Bab 1 Pendahuluan
A. Latar Belakang Pertumbuhan industri ekstraktif skala global telah mengakibatkan sumber daya alam ibarat tumpahan gula yang dikerubungi semut. Masing-masing pihak saling berebut untuk memperoleh akses terhadap sumber ekonomi yang tersedia di alam, baik hasil hutan, hasil laut maupun tambang. Kerapkali usaha mendapatkan akses terhadap sumber ekonomi di wilayah yang memiliki potensi ekonomi membenturkan dua pihak, antara pihak kapitalis (industri) dan masyarakat tempatan (lokal). Benturan sebagai konsekuensi logis dari perebutan akses terhadap sumber daya inilah yang kemudian kerap memicu konflik antara pihak kapitalis dan masyarakat lokal. Dalam selang waktu 1998-2003 misalnya, telah terjadi 17 konflik yang muncul sebagai akibat dari aksi perebutan sumber ekonomi, yang dalam hal ini melibatkan industri tambang dengan komunitas lokal1. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang juru bicara lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dalam wawancaranya dengan sebuah media massa menyebutkan, bahwa di antara tahun 2007-2013 telah tercatat 13 orang meninggal dunia, 125 orang luka-luka dan 234 orang ditahan karena konflik pertambangan. Pada tahun 2013 saja, telah terjadi 369 kasus dengan luasan wilayah konflik mencapai 1.281.660,09 hektar yang melibatkan 139.874 kepala keluarga (KK). Jumlah tersebut meningkat tajam bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pada 1
Konflik tersebut terjadi pada perusahaan Kaltim Prima Coal, Unocoal, Kideco Jaya Agung, Kelian Equatorial Mining, Tinto Harum, Indomuro Kencana, Expans Tomori Sulawesi, Permata Karya Graha Sakti, Meares Soputan Mining, Prima Lestari, Pulau Indah Teknik, Inco, Newmont Minahasa Raya, Newmont Nusa Tenggara, Freeport Indonesia, Newcrest Halmahera, serta Exxon Mobil di Aceh (Berita Buana, 2003; Prayogo, 2010: 26). 1
tahun 2012 yang pernah terjadi konflik sebanyak 198 kasus, naik 86,36%2. Konflik di atas masih terus bertambah ketika melihat akhir-akhir ini peristiwa serupa juga tengah berlangsung di berbagai daerah di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya alam. Misalnya fenomena perlawanan petani di daerah Karawang, di lahan pertanian yang rencananya akan dibangun sebagai kawasan industri3. Perlawanan serupa juga terjadi di Rembang, Jawa Tengah, yang rencananya akan didirikan sebagai pabrik semen oleh PT Semen Indonesia, tetapi kemudian menuai reaksi perlawanan dan menggerakkan solidaritas aktivis dan seniman bersama masyarakat lokal menentang rencana tersebut4. Bahkan, baru-baru ini pada Maret 2015 gabungan dari petani rembang dan aktivis menuju Universitas Gadjah Mada (UGM) dan istana negara yang ada di Jakarta untuk melakukan demonstrasi. Mereka menilai para akademisi UGM ikut ambil bagian dalam rencana pendirian pabrik semen di Rembang. Dari gambaran itu saja menunjukkan betapa tinggi potensi konflik yang diakibatkan oleh benturan antara kapitalis dan masyarakat lokal, tidak terkecuali di sektor pertambangan yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini. Bila dikembalikan lagi pada dasar-dasar hukum yang berlaku di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena seperti itu menandakan absennya negara melaksanakan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dimana pengusahaan sumberdaya alam; bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dimanfaatkan untuk sebesar-besar 2
Diambil dari wawancara juru bicara organisasi lingkungan hidup Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama liputan6.com berjudul Konflik Tambang dan Korban-korbannya, diakses pada 16 Agustus 2014, pukul 10.00. 3 Berita tentang tentang perlawanan petani karawang banyak dijumpai di berbagai jejaring sosial internet seperti facebook dan twitter yang disebarkan oleh para aktivis cyber dengan mengunggah foto-foto peristiwa bentrokan pada sekitar bulan Juni 2014. Situasi semakin mendidih pada tanggal 23 Juni 2014 lalu, di sebuah jalan raya sekitar 500 petani berhadap-hadapan dengan 7000 aparat gabungan yang dikerahkan untuk mengeksekusi lahan di tiga desa di Karawang 4 Tidak berbeda dengan berita tentang perlawanan petani Karawang, berita tentang perlawanan di Rembang juga beredar di berbagai jejaring sosial internet. Ada beberapa video dan gambar yang berhasil saya dokumentasikan, yang karena keterbatasan ruang tidak saya hadirkan di sini. 2
kemakmuran rakyat secara adil dan merata (Sodiki 2012: xxviii). Negara alih-alih menata regulasi demi hajat hidup orang banyak, melalui produk-produk kebijakannya, justru mengesankan dirinya berpihak pada kapitalis dalam rangka menancapkan modalnya dan cenderung mengabaikan kelangsungan hidup masyarakat lokal. Fenomena semacam itu tergambar pada wacana tambang pasir besi di Kulon Progo, Yogyakarta. Di dalam konflik yang berlangsung antara masyarakat lokal dengan kapitalis pada tambang pasir besi, negara justru mendukung kapitalis untuk mengelola potensi wilayah yang ditengarai mengandung biji besi5, di mana selama ini tanah tersebut telah difungsikan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian6. Dukungan yang diberikan oleh negara kepada kapitalis menimbulkan reaksi perlawanan petani di Kulon Progo. Melalui kenyataan semacam itu, terdapat kecenderungan bagaimana agenda pembangunan yang dilakukan oleh negara dengan jalan memuluskan ekspansi kapital tanpa terlebih dahulu menimbang dengan cermat aspek-aspek lokal seperti keberadaan lahan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat tempatan, bukan memakmurkan tetapi justru merangsang reaksi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap kapitalis dan negara. 5
Dalam kasus penambangan pasir besi Kulon Progo, PT Jogja Magasa Mining (JMM) milik keluarga Kraton Yogyakarta yang bekerjasama dengan perusahaan dari Australia Barat dan berencana mengolah potensi pasir besi sepanjang 22 km, untuk diekspor ke Australia (Untuk lebih jelasnya, lihat George Junus Aditjondro, SG dan PAG, Penumpang Gelap RUUK Yogyakarta, dalam buku Menanam Adalah Melawan! tulisan Widodo (2013), hlm: 91-94. - Lihat juga, Anugerah Perkasa, 2014, “Jejak Hitam Keraton di Kulon Progo”. Dalam tulisannya, Perkasa menyebutkan, "Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo No.1/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012-2032, bahkan mengatur rinci soal pertambangan untuk pelbagai jenis. Aturan yang disahkan pada Februari 2012 itu memaparkan soal Kawasan Peruntukan Pertambangan (KPP) - mineral dan batubara, panas bumi serta minyak dan gas bumi - yang tersebar pada hampir seluruh kecamatan di Kulon Progo (diakses di laman www.indoprogress.com, pada 15 Agustus 2014, pukul 13.00.)". 6 Terungkap dalam diskusi bedah buku "Menanam adalah Melawan" bersama penulisnya Widodo, seorang petani setempat, pada 17 Maret 2014 di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Dalam kasus pasir besi, segala bujuk rayu dilakukan oleh pengusaha supaya warga berkenan melepas kepemilikan tanahnya. Karena merasa tanahnya terancam, aksi tersebut kemudian memicu munculnya reaksi perlawanan dari masyarakat, yang pada titik ekstrim, warga kemudian cenderung mencurigai gerak-gerik orang asing yang datang ke desanya sebagai bentuk perlindungan diri. 3
Bila fenomena di atas menggambarkan “perlawanan terbuka” yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kapitalis dan negara sebagai akibat dari perebutan sumber ekonomi, tidak berbeda jauh dengan itu, di perbatasan provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah yang memiliki potensi sumber daya alam minyak dan gas bumi yang sebagian besar dikelola oleh perusahaan asing, terdapat sebuah desa yang memiliki sejarah panjang eksploitasi tambang minyak bernama Wonocolo. Di sana warga mengusahakan sendiri persediaan minyak yang dimiliki oleh wilayahnya. Minyak ditambang dan diolah oleh penduduk bersama orang-orang dari “luar desa”, bahkan sampai menciptakan rantai produksi dan distribusi sendiri. Letaknya hanya sekitar lima kilometer dari operasi tambang Blok Cepu yang merupakan bekas perusahaan Belanda, Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM). Para penambang minyak di Wonocolo ini adalah warga desa bersama dengan orang-orang yang datang dari wilayah sekitar. Atas aktivitas ekonomi yang mereka lakukan, oleh negara ditengarai sebagai aktivitas ilegal karena tidak mengantongi ijin dari pemerintah daerah setempat7. Pendapat berbeda juga pernah diajukan oleh sebuah film dokumenter yang berusaha merekam aktivitas ekonomi penambangan di desa itu: hingga kini aktivitas ekonomi penambangan minyak itu tidak memperoleh perlindungan hukum8. Di sini ada dua pandangan berbeda mengenai aktivitas ekonomi penambangan, satu pihak melihat kegiatan tersebut sebagai aktivitas ilegal karena tidak mengantongi ijin, pihak lain melihat aktivitas penambangan tidak mendapat perlindungan hukum. Sementara itu dari persepsi masyarakat sendiri, melalui penelitian Juhadi, dkk (2013) berjudul “Persepsi Masyarakat Penambang Tradisional Terhadap Sumberdaya Minyak 7
Lihat, misalnya, artikel berjudul Penambangan Minyak Tradisional, http://www.sakti.tv/penambang-minyak-tradisional/, diakses pada 22 September 2014, pkl 22.00. 8 Terungkap dalam film dokumenter garapan Tedika Puri Amanda,dkk berjudul Gubug Reot di atas Minyak Internasional, sebuah film pendek yang meraih penghargaan sebagai film terbaik dalam Festival Film Dokumenter tahun 2009. 4
Bumi di Kawasan Cepu” diketahui bahwa aktivitas penambangan tradisional di desa-desa Blok Cepu merupakan cara untuk mempertahankan budaya dengan menyesuaikan kondisi sosial dan lingkungan alam9. Dengan berlarut-larutnya proses pengaturan tata kelola ladang minyak tersebut proses secara ilegal pengelolaan minyak mentah yang dilakukan para penambang, penyuling dan pedagang engkrek, bisa dipastikan masih terus berjalan10. Ada yang berbeda antara Rembang, Karawang, Kulon Progo dan Wonocolo. Bila di masyarakat petani Kulon Progo, Rembang dan Karawang perlawanan adalah reaksi yang dilakukan secara terbuka melalui aksi-aksi protes, mobilisasi massa dan membangun solidaritas dengan harapan situasi dapat segera berubah, di Wonocolo perlawanan berlangsung sebagaimana diistilahkan James Scott (2000) sebagai strategi survival, yaitu sebagai reaksi terhadap meluasnya kontrol negara dan rezim-rezim kapitalis yang meminggirkan akses produksi masyarakat lokal. Pernah suatu kali di tahun 2006, karena rendahnya imbal jasa yang diterima oleh para buruh dan pemilik sumur minyak, penambang tradisional ini secara bersama-sama melakukan aksi boikot terhadap sebuah koperasi yang dibentuk oleh Pertamina11. Akibat 9
Lihat, misalnya, Juhadi, dkk (2013), Persepsi Masyarakat Penambang Tradisional Terhadap Sumberdaya Minyak Bumi di Kawasan Cepu. Sebagai catatan, menurut saya, ada beberapa hal yang belum terurai dengan jelas dari apa yang dikemukakan oleh Juhadi,dkk tentang persepsi masyarakat, karena aktivitas ekonomi penambangan tradisional/ilegal dalam hal ini bukan semata merupakan pergerakan untuk memulihkan kembali sistem ‘tradisional’ sebagaimana dikemukakan secara implisist oleh Junaidi,dkk, tetapi aktivitas penambangan tradisional/ilegal seringkali juga merupakan peperangan untuk menjinakkan pasar-pasar dan birokrasi (Lihat, misalnya, Samuel L.Popkin, 1986, Petani Rasional, hlm: 29), dengan melekatkan wacana ‘tradisional’ sebagai benteng pertahanan untuk mengamankan aktivitas ekonomi penambangan yang mereka lakukan. 10
Dikutip dari sebuah artikel tulisan Slamet Agus Sudarmojo, 2011, Berkah Pedagang "Engkrek" Minyak Sulingan Mengalir, dari laman Internet http://www.antarajatim.com/lihat/berita/68363/berkah-pedagang-engkrek-minyak-sulingan-meng alir, diakses pada 7 april 2014, pukul 12.00. 11
Lihat Yudhanto, 2011. Strategi Perlawanan Petani Tambang Tradisional dalam Menjaga Kelangsungan Hidup di tengah Rendahnya Imbal Jasa, Jurnal Fisip UMRAH Vol.1 No.1, hal: 8.
5
dari peristiwa itu operasi penambangan kemudian berjalan di luar campur tangan Pertamina12. Para penambang lebih memilih menjual sendiri minyaknya daripada menjual ke Pertamina tetapi dengan harga yang jauh dari standar penjualan yang mereka inginkan. Terdapat kecenderungan dimana perebutan akses terhadap sumber ekonomi oleh kapitalis yang disokong oleh negara merangsang munculnya berbagai bentuk protes sosial, dan bahkan lebih jauh lagi, menstimulus aksi perbanditan di beberapa daerah. Perlawanan dengan aksi perbanditan dilakukan untuk melindungi dan mempertahankan sumber ekonomi penopang hidup. Di sekitar wilayah operasi tambang Blok Cepu yang tidak (atau belum) disentuh oleh perusahaan internasional, di sela-sela tempat itulah berlangsung kegiatan produksi dan distribusi minyak skala lokal. Menariknya, dalam aktivitas produksi skala lokal ini, para penambang memiliki beberapa julukan seperti; penambang liar, penambang ilegal, penambang tanpa ijin (PETI), penambang rakyat, penambang tradisional, hingga wong samin13. Beragam julukan tersebut tidak lain merupakan akibat dari gejala friksi, dimana identitas menjadi benteng terakhir untuk melindungi aset sekaligus menyembunyikan diri. Tiga tahun terakhir yang terhitung sejak tahun 2012 akhir ini adalah rentang waktu yang sangat penting bagi masyarakat penambang di Wonocolo. Dalam rentang masa tiga tahun terakhir itu mereka secara kolektif mengalami pembalikan situasi, dari situasi eksploitatif yang berlangsung lebih dari satu abad lamanya, beralih ke situasi yang 12
Diambil dari catatan lapangan pada pertengahan Mei 2014, berdasarkan keterangan dari seorang warga yang berasal dari luar Desa Wonocolo yang kerap mengantar orang keluar masuk wilayah penambangan. 13 Wong Samin adalah orang-orang yang menurut sumber lisan merupakan salah satu suku Jawa Kuno dimana dalam kehidupannya memiliki nilai-nilai atau pandangan hidup yang berbeda dengan orang Jawa pada umumnya. (Keterangan tentang wong samin saya peroleh dari data lapangan ketika ngobrol dengan Lurah Desa Wonocolo bersama seorang aparat kepolisian setempat pada 18 Mei 2014 lalu, yang ketika itu turut memberi penjelasan perihal kehidupan orang-orang di Wonocolo). 6
mampu membuat mereka berdiri di atas kaki sendiri. Usaha penambangan yang dilakukan turun-temurun sejak tiga generasi terakhir sedikit banyak telah dapat mereka petik buahnya. Mereka menjadi lebih rasional dalam usaha pertambangan. Hal ini tidak akan terjadi tanpa adanya penetrasi kapitalisme dalam sistem produksi ekonomi penambangan tradisional itu sendiri.
B. Permasalahan Wonocolo sebagai sebuah desa penghasil minyak memiliki sejarah eksploitasi yang panjang. Eksploitasi telah berlangsung bahkan sejak masa kolonial, yang masih berlanjut meskipun Hindia-Belanda sudah lepas dari negara kolonial dan mendirikan negara baru. Kenyataan semacam ini mengantarkan saya pada dua pertanyaan. Pertama, bagaimana masyarakat penambang di Wonocolo melakukan rasionalisasi sebagai respon terhadap masuknya rezim kapitalis di desa? Kedua, berkaitan dengan meluasnya kontrol negara terhadap sumber daya alam yang bisa berdampak pada merosotnya akses masyarakat terhadap usaha ekonomi penambangan di daerahnya, saya ingin mengetahui bagaimana strategi masyarakat penambang menjaga kelangsungan usahanya di tengah meluasnya kontrol negara terhadap sumber daya alam?
C. Tinjauan Pustaka Dalam penelitiannya di wilayah pertambangan di Jawa Barat, Iskandar Zulkarnain, dkk (2003) melihat secara umum konflik yang berkembang di daerah pertambangan di Indonesia muncul karena adanya sifat yang khas dari kawasan pertambangan. Kawasan pertambangan biasanya berlokasi di daerah yang relatif terpencil dan belum begitu
7
berkembang termasuk masyarakat di sekitarnya. Sementara itu, kegiatan pertambangan yang dilakukan memerlukan teknologi yang maju dengan fasilitas memadai. Akibatnya jurang kesenjangan antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat lokal menganga demikian lebar dan ini selalu melahirkan konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar (Zulkarnain, 2003: 5). Telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai aktivitas penambangan ilegal dan perlawanan yang dilakukan masyarakat terkait dengan ekonomi penambangan. Beberapa di antaranya adalah penelitian Isa Ansari (2007) berjudul “Penambangan Emas Tanpa Ijin: Eksploitasi dan Kerusakan Ekologi di Mandor, Kalimantan Barat”. Dalam penelitiannya tersebut, Ansari menampilkan dampak aktivitas penambangan terhadap lingkungan dan kultur masyarakat lokal. Dengan berangkat pada asumsi bahwa wilayah pertambangan sebagai frontier, yakni sebuah wilayah yang dipahami sebagai “kosong tak bertuan” yang mengandung potensi ekonomi tanpa batas dan dengan begitu berarti dapat dieksploitasi terus-menerus, Ansari menemukan bahwa penambangan tanpa ijin telah mengakibatkan kerusakan budaya dan lingkungan14. Penambangan emas ilegal tersebut terus berlangsung karena selain menguntungkan secara ekonomi juga karena adanya kolaborasi antara penambang dengan masyarakat lokal yang cenderung resisten terhadap negara. Di sini Ansari tidak melihat lebih jauh, apakah sikap resisten yang dilakukan penambang ilegal merupakan sebuah kejahatan alam sebagaimana yang dilakukan oleh perusahaan tambang legal - yang karena memiliki kekuatan ekonomi-politik sehingga mampu melangsungkan eksploitasi terus-menerus, ataukah sikap resisten yang dilakukan penambang ilegal adalah strategi masyarakat untuk bertahan hidup. Dengan demikian, terdapat ketidaktepatan
14
Untuk lebih jelasnya, lihat, Isa Ansari, 2007, Penambangan Emas Tanpa Ijin: Eksploitasi dan Kerusakan Ekologi di Mandor, Kalimantan Barat, hlm: 13-14.
8
argumen Ansari dalam melihat gejala ekonomi penambangan, bahwa baik legal maupun tidak legal sektor industri pertambangan entah skala kecil maupun besar pada akhirnya juga merusak alam. Karena adanya aktivitas ekonomi penambangan tanpa ijin/ilegal, keberadaan alam yang semula dibayangkan Ansari sebagai sesuatu yang alami/steril dari aktivitas manusia (tak bertuan) kemudian rusak. Wilayah penambangan ilegal tersebut seolah-olah berdiri sendiri dan terlepas begitu saja dari dunia luar. Ansari tidak melihat bahwa ekonomi penambangan ilegal juga merupakan sebentuk aktivitas ekonomi rasional bagi pelakunya - sebagai reaksi dari penetrasi kapitalisme yang mencari wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam dan berdampak merubah cara pandang masyarakat lokal. Yudhanto (2011) dalam penelitian di Blok Cepu berjudul "Strategi Perlawanan Petani Tambang Tradisional dalam Menjaga Kelangsungan Hidup di Tengah Rendahnya Imbal Jasa", melihat lebih jauh lagi persoalan tambang. Pada tulisannya, Yudhanto menemukan adanya unsur perlawanan dalam konflik yang berlangsung antara penambang dan negara yang dipicu oleh rendahnya imbal jasa yang diterima penambang dari negara. Aktivitas politik masyarakat lokal dalam melakukan resistensi dipicu oleh kepentingan ekonomi dan kebutuhan bertahan hidup. Perlawanan memuncak ditandai dengan aksi boikot setoran minyak pada tahun 2006 kepada koperasi bentukan pertamina. Aksi itu kemudian berlanjut dengan membangun jaringan pasar lokal/ilegal sebagai cara untuk menjual hasil produksi minyak. Inilah yang dilihat oleh Yudhanto sebagai strategi perlawanan. Akan tetapi saya melihat perlawanan yang dimaksud Yudhanto masih sebatas “aksi terbuka” tanpa melihat lebih dalam lagi, seperti misalnya, bagaimana strategi boikot itu bekerja, apakah aksi boikot tersebut bersifat spontan ataukah terorganisir, jika terorganisir siapakah yang menggerakkan aksi boikot hingga mampu membentuk jaringan dan rantai
9
distribusi sendiri? Widodo (2013), dalam buku berjudul "Menanam Adalah Melawan!" memaparkan bagaimana wajah kebijakan negara yang berencana membuka tambang pasir besi di Kulon Progo dengan mengatasnamakan pembangunan, tetapi pada praktiknya justru mengancam kelangsungan hidup masyarakat lokal. Sebagai saksi sekaligus pelaku (petani) di Kulon Progo, Yogyakarta, Widodo menceritakan latar belakang perlawanan yang dilakukan para petani Kulon Progo. Di lahan pertanian yang telah lama menjadi sumber ekonomi petani, akan dibangun pertambangan pasir besi. Karena lahan mereka terdesak oleh rencana pembangunan, muncullah penolakan-penolakan di kalangan petani sendiri. Perlawanan bermula dari sini, dengan membentuk paguyuban petani, membangun solidaritas dengan membangun jaringan bersama para aktivis, akademisi, bahkan hingga ke tingkat internasional seperti Melbourne Anarchist Club dari Australia dan Casual Anarchist Federation (CAF) yang berpusat di Inggris. Hal tersebut dilakukan untuk satu tujuan: menggalang solidaritas untuk memperbesar kapasitas suara dalam menolak rencana pembangunan tambang pasir besi. Selain dengan membangun jaringan, perlawanan juga dilakukan secara simbolik oleh Widodo sendiri - melalui tulisannya yang mewakili sudut pandang emic - dengan memperkenalkan slogan "Menanam Adalah Melawan!" sebagai judul bukunya. Secara metode, tulisan Widodo ini menarik karena selain sebagai penulis ia juga merupakan orang yang terlibat langsung dalam aksi-aksi perlawanan, ia memiliki lahan pertanian yang terancam oleh agenda pembangunan. Berbagai kajian di atas secara garis besar telah memperlihatkan tipologi perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan sumber hidup yang terancam dirampas, karena kebijakan pemerintah yang berubah dinilai akan dapat mengganggu
10
proses produksi (Sarmini, 2003: 262), dan akhirnya menyudutkan aktivitas ekonomi masyarakat tempatan. Akan tetapi di sini saya belum mendapati perhatian para peneliti yang menitikberatkan kajiannya pada strategi yang dilakukan penambang guna menjaga kelangsungan usahanya. Mustahil aksi-aksi perlawanan sebagai usaha mempertahankan wilayah dilakukan tanpa adanya strategi untuk menjaga kelangsungannya. Perhatian Iskandar Zulkarnain, dkk (2003) misalnya, berhenti pada pemetaan sumber konflik dan munculnya identitas penambang yang disebut sebagai Penambangan Tanpa Ijin (PETI) yang jika diletakkan dalam formasi diskursif ala Foucaultian, akan terlihat bahwa pemunculan istilah PETI oleh Zulkarnain dkk tersebut tidak lain merupakan bagian dari contoh kecil tentang bagaimana wacana identitas diproduksi oleh lembaga yang memiliki akses pengetahuan dan kekuasaan guna menciptakan legalitas tentang pengelolaan sumber daya alam. Untuk itu penelitian ini ingin mengetahui bagaimana strategi penambang mensiasati rezim kapitalis serta meluasnya kontrol negara terhadap sumber daya alam yang dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat penambang.
D. Kerangka Berpikir Untuk mengatakan bahwa sebuah masyarakat “tradisional”, atau bahwa penduduknya terikat oleh tradisi, tidak menjelaskan mengapa tradisi itu dapat bertahan terus, atau mengapa mereka terus melekat pada tradisi itu (Wolf, 1983: vi). Mitos desa “tradisional” Jawa yang tertutup dan komunal adalah ciptaan negara koloni Belanda dan dilestarikan terus oleh negara modern Indonesia untuk memudahkan klasifikasi tanah dan mengabsahkan penguasaan negara atas tanah-tanah tertentu, termasuk tanah hutan (Breman, 1980; Peluso, 2006: 44). Oleh karena itu untuk mendefinisikan suatu daerah,
11
masyarakat, dan praktik-praktik tertentu sebagai pinggiran, tidak tertib, “tradisional”, dan/atau memerlukan “pembangunan” tidak hanya melalui pengungkapan dunia sosial yang ada, tetapi juga berarti membeberkan wacana tentang kekuasaan (Tania Li, 2002: 21). Dalam hal ini wacana dipahami sebagai peristiwa bahasa yang di dalamnya berlangsung bentuk-bentuk kuasa yang saling berkonfrontasi satu sama lain, sebuah pertarungan antar wacana melalui wacana, teks beredar dan saling menanggapi, memberi kunci untuk memahami pola hubungan kuasa, dominasi, dan konfrontasi di mana wacana hadir serta berfungsi (Ricoeur, 2003; Setyobudi: 2002: 9). Dalam konfrontasi tersebut, berlangsung strategi dominasi dan siasat-siasat bertahan dari struktur dominan. Apa yang dimaksud sebagai strategi dalam hal ini dipahami sebagai pola-pola yang dibentuk oleh berbagai usaha yang direncanakan manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Ahimsa-Putra, 1986; Sumintarsih, 2003: 152-153) dalam kaitannya dengan upaya mempertahankan serta melangsungkan kehidupan, yang oleh karena itu setiap makhluk hidup (baca: manusia) perlu melakukan adaptasi (Ahimsa-Putra, 1980; Brown, 1965; Bennet, 1976; Haviland, 1985; Keesing, 1989; Moran, 1979; Rambo, 1983; Spradley, 1972; Raharjana, 2003: 71). Proses dominasi pada prakteknya terwujud dalam bentuk-bentuk eksploitasi terhadap sub-minor. Tidak dapat dihindari bahwa konfrontasi yang berlangsung sebagai perseteruan antar kelas melahirkan suatu bentuk resistensi sebagai tindakan rasional dari pihak yang kalah dengan memunculkan usaha-usaha untuk mempertahankan diri. Penelitian ini menggunakan istilah rasionalisasi untuk menerjemahkan tindakan yang dilakukan oleh aktor-aktor dalam subyek tineliti. Rasionalisasi berasal dari kata rasional, yang bila mengikuti pemahaman dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata
12
rasional diartikan sebagai “menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; cocok dengan akal (2008: 1029)”. Samuel Popkin (1986) dalam gagasannya tentang ekonomi rasional telah mengulas dengan rinci istilah rasional yang saya gunakan - yang sebetulnya juga merupakan kritik atas kajian Scott mengenai ekonomi moral (lihat, Ahimsa, 2003: 28-32). Bagi Popkin, rasionalitas adalah ketika individu-individu menilai hasil yang mungkin diperoleh yang berkaitan dengan pilihan mereka yang sesuai dengan kesukaan-kesukaan dan nilai mereka (lihat, Popkin, 1986: 25). Nilai-nilai inilah yang ketika dikonstekstualisasikan dalam pemahaman kultural jawa pedesaan tercermin dalam istilah-istilah seperti Selaning Sela. Istilah tersebut termanifestasikan dalam tindakan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk meningkatkan apa yang telah mereka peroleh dari pilihan-pilihan yang mereka ambil. Tindakan ini dapat berupa melakukan perhitungan untung-rugi - bahkan juga, tidak jarang melakukan manipulasi situasi yang memungkinkan mereka tetap dapat ubet (bertahan) dan memperoleh hasil dari usahanya meskipun dalam tekanan ekonomi-politik yang luar biasa kuat. Rasionalisasi yang dapat juga disebut “senjata berpikir” ini dalam pemahaman Peluso (2006) tentang budaya perlawanan terdiri atas ideologi, struktur sosial lokal, dan sejarah merupakan konfigurasi kontekstual dari tanggapan petani umumnya terhadap pengendalian pihak luar dan pengambilan sumber daya oleh negara (Peluso, 2006: 22). Pada titik inilah ekonomi moral memainkan peranan penting sebagai sistem nilai yang menentukan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat penambang. Meluasnya kontrol negara terhadap sumberdaya alam dan desakan kekuatan pasar menjadikan ekonomi moral sebagai pilihan rasional untuk menjaga struktur tradisional demi dapat melanjutkan usaha ekonomi penambangan.
13
Situasi semacam ini berdekatan dengan apa yang pernah diulas Polanyi (1971) tentang kehidupan petani di Inggris dan Perancis pada abad 17, dimana kekuatan lokal berusaha menghalangi atau setidak-tidaknya membatasi permainan kekuatan-kekuatan pasar dengan jalan menghidup-hidupkan ekonomi moral (lihat, Scott, 1994: 13-14). Dalam hal ini ekonomi moral lebih memusatkan perhatian pada apa yang dipikiran dan diyakini petani mengenai dunianya, pada pandangan hidup yang digunakan untuk menjelaskan tindakan mereka (lihat, Scott, 1994: Ahimsa-Putra, 2003). Posisi negara sendiri, dalam hal ini, seperti digambarkan Scott; “Dalam drama ini negara merupakan pelaku pula, sama halnya dengan para pemilik faktor-faktor produksi yang langka. Tidak hanya negara menyediakan sarana-sarana hukum dan paksaan yang diperlukan untuk menjamin agar kontrak-kontrak ditaati dan ekonomi pasar dipertahankan, malahan negara sendiri merupakan salah satu pihak yang menuntut haknya atas penghasilan petani (Scott, 1994: 12)”. Di sinilah dalam perspektif Scottian resistensi bekerja sebagai strategi untuk bertahan hidup, karena struktur dominan menempatkan masyarakat penambang dekat dengan “garis bahaya”. Oleh karena itu sesuai dengan asumsi Scott, melalui prinsip “dahulukan selamat” para penambang memperkuat ekonomi moralnya dengan menjalin hubungan patron-klien. Lebih daripada itu, sesuai situasi di lapangan penelitian yang rentan konflik, saya membawa konsep resistensi ala Scott dengan bersandar pada konsep Hobsbawm (1972) yang dikembangkan oleh Pranoto (2010) tentang dunia perbanditan di Jawa; “Dalam hal ideologi perbanditan pedesaan letaknya ada di tengah antara resistensi petaninya Scott dengan mesianismenya Sartono Kartodirdjo.., Perbanditan sosial lebih merupakan kombinasi antara everyday forms of peasant resistance dan peasant revolt. Ideologi gerakan perbanditan memang antipenguasa yang ekstraktif dengan latar belakang sekuler lebih dominan daripada religius. Memang pada dasarnya gerakan itu muncul karena terdesak oleh ekspansi perkebunan yang mempersempit lahan dan hajat hidup petani. Dari sinilah timbul perasaan tidak senang dan dilampiaskan
14
dalam bentuk gerakan perbanditan. Gerakan ini bertujuan mengembalikan miliknya yang telah diserobot “penguasa”. Dipandang dari ideologinya, perbanditan pedesaan lebih menitikberatkan hal-hal yang sifatnya riil dan ekonomis, artinya menghadapi kepentingan primer yang merupakan hajat hidup bersama dalam masyarakat pedesaan (Pranoto, 2010:117-118)”. Pranoto dalam penelitiannya tentang perbanditan di Jawa, melihat bahwa gerakan tersebut tidak lain adalah bentuk protes masyarakat yang terpinggirkan oleh struktur kolonial yang dominan di masanya. Dalam penelitian yang saya lakukan di desa penghasil minyak, aksi perbanditan itu bagian kecil saja dari ekonomi moral masyarakat penambang. Dengan demikian, melalui kerangka berpikir di atas, saya menggunakannya sebagai alur untuk menuntun penelitian ini guna memperoleh jawaban dari pertanyaan yang telah dirumuskan dalam tulisan ini.
E. Lokasi, Metodologi Penelitian, dan Metode Analisis Data Penelitian ini dilakukan di Desa Wonocolo, Bojonegoro. Desa tersebut terletak di dekat area penambangan besar Blok Cepu yang dikelilingi oleh hutan jati di wilayah perbatasan provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pemilihan Desa Wonocolo sebagai lokasi penelitian, didasarkan karena faktor historis. Dalam konteks historis masyarakat Wonocolo memiliki pengalaman kolektif yang membedakan dirinya dengan masyarakat desa-desa lain. Perbedaan ini terkait dengan aktivitas ekonomi penambangan yang telah ditekuni sejak tahun 194215, yang dengan kata lain berarti aktivitas tersebut telah ada sejak sebelum Indonesia sebagai sebuah negara baru hadir dengan segala regulasi dan
15
Lihat, misalnya, Yudhanto, 2011. Strategi Perlawanan Petani Tambang Tradisional dalam Menjaga Kelangsungan Hidup di tengah Rendahnya Imbal Jasa, dalam Jurnal Fisip UMRAH Vol.1 No.1, hal: 8. 15
kebijakan yang baik langsung maupun tidak berpengaruh pada kelangsungan aktivitas ekonomi para penambang minyak tradisional. Aspek historis tersebut menjadi menarik karena di dalamnya juga mencakup slentingan wacana identitas (suku samin) penambang yang coba dihidupi hingga sekarang. Saya menduga wacana identitas tersebut ada sangkut-pautnya dengan kelangsungan aktivitas ekonomi penambangan ilegal, yang bila ditempatkan pada konteks ekonomi penambangan, hal itu dapat menjadi suatu bentuk atau bagian dari strategi yang dilakukan para penambang untuk melanggengkan usaha ekonominya ditengah represi aturan-aturan hukum yang dibuat oleh negara. Wacana historis ini direproduksi melalui lisan sampai tulisan, yang seiring pesatnya teknologi, dapat ditemukan di berbagai laman di internet16. Untuk memperoleh sumber sejarah lisan (oral history), saya menggunakan metode wawancara mendalam kepada beberapa sesepuh desa yang berusia di atas 60 tahun. Beberapa dari mereka memiliki riwayat hidup sebagai pelaku perbanditan dalam masa-masa susah yang dipimpin oleh seorang lurah yang diktator. Sejarah lisan menjadi penting karena dengan begitu dapat diketahui bagaimana ingatan kolektif masyarakat. Dalam hal ini, ingatan merupakan suatu persepi manusia tentang dunia, dan sebuah panggung tempat manusia mengoreksi kembali lakon yang telah dimainkannya. Meskipun sejarah lisan menjadi penting di sini, tidak dapat dihindari terdapat juga kelemahan dari digunakannya sumber sejarah lisan dalam penulisan - seperti misalnya, penduduk lokal tidak terbiasa mengingat peristiwa dengan menggunakan rentetan angka tahun sebagaimana biasa dilakukan dalam tradisi akademis. Mereka lebih mudah 16
Keterangan tentang aspek kesejarahan dapat dilihat, misalnya pada artikel “Sejarah Industri Minyak di Bojonegoro” yang dapat ditemukan di laman http://www.jonegoroan.com/sejarah-industri-minyak-di-bojonegoro.html, diakses diakses pada
15 April 2014, pukul 18.00. 16
mengingat peristiwa sebagai peristiwa itu sendiri sehingga angka tahun cenderung diabaikan. Untuk menutup kelemahan itu, saya menggunakan data sejarah yang saya dapatkan dari berbagai sumber literer yang saya peroleh dalam proses penelitian ini. Penggunaan peristiwa sebagai penanda peristiwa itu sendiri sering saya jumpai ketika melakukan wawancara dengan informan dan beberapa dari mereka kerap mengatakan: jaman Londo, jaman Jepang, dan jaman Indonesia merdeka, sebagai penanda waktu. Wonocolo dipilih sebagai lokasi penelitian karena saya menganggap desa tersebut dapat mewakili gambaran mengenai dinamika resistensi penambang tradisional terhadap negara, yang dilakukan melalui aksi pelanggaran terus-menerus (penambangan ilegal), terlebih Wonocolo berada dekat dengan perusahaan penambangan legal skala global. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi yang memfokuskan pengamatan terhadap orang-orang yang terlibat di dalam aktivitas ekonomi penambangan tradisional, khususnya para pemilik sumur minyak dan juga wali masyarakat yang memiliki kewenangan dalam mengorganisasi masyarakat lokal. Dengan mengikuti pemahaman Scott (2000) tentang perlawanan yang biasa dilakukan melalui cara-cara seperti perusakan harta benda milik orang kaya, pencurian atau bergosip sebagai upaya gerilya untuk merontokkan nama baik orang kaya, penelitian ini ingin melihat bagaimana upaya atau praktik-praktik di luar hukum yang dilakukan oleh para penambang, dan selain itu juga akan mengamati bagaimana wacana tambang beredar di lingkungan para penambang. Selain menggunakan metode observasi, penelitian ini juga menggunakan metode wawancara mendalam kepada beberapa informan terpilih, yaitu masyarakat setempat, wali masyarakat (tetua desa, kepala desa, agamawan), dan tentunya pelaku penambangan
17
tradisional itu sendiri (yang terdiri dari pemilik sumur minyak, buruh tambang, dan orang-orang yang terlibat dengan aktivitas ekonomi penambangan), serta juga masyarakat yang tinggal di luar Desa Wonocolo. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode Wealth Rank melalui informasi yang digali lewat penduduk lokal. Metode ini penting untuk mengetahui seperti apa persebaran kesejahteraan warga dan efektifitas strategi ekonomi penambangan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat penambang. Beberapa metode tersebut dimaksudkan untuk mengetahui gambaran masyarakat terhadap aktivitas penambangan di daerahnya. Keduanya akan menjadi data primer yang akan dianalisis secara kualitatif. Selain itu, terdapat sumber data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini. Data sekunder antara lain yaitu sumber-sumber literer yang mengulas wacana ekonomi penambangan tradisional yang berupa buku, jurnal ilmiah, koran, majalah, berita televisi, film dokumenter, maupun wacana-wacana yang berasal dari media online. Penelitian ini juga menerapkan metode analisa wacana yang didasarkan pertama-tama dari data yang diperoleh di lapangan. Selanjutnya data tersebut akan direfleksikan dengan wacana yang didapat dari berbagai sumber data sekunder untuk memperoleh
gambaran
menyeluruh
tentang
relasi
wacana
aktivitas
ekonomi
penambangan di Wonocolo. Wacana yang dimaksud di sini terdiri dari berbagai macam topik yang dinilai memiliki titik singgung dengan aktivitas ekonomi penambangan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seperti apa pengaruh wacana penambangan tradisional terhadap aktivitas ekonomi penambangan dan juga seperti apa sebaliknya. Selain menggunakan metode analisa wacana, penelitian ini juga akan menaruh perhatian pada sejarah lisan masyarakat setempat. Sebagai bagian dari wacana, sejarah
18
lisan dimaksudkan untuk melacak sejauh mana cerita-cerita sejarah memberi pengaruh terhadap kelangsungan aktivitas ekonomi penambangan - di mana tidak menutup kemungkinan hal itu bisa saja menjadi bagian dari strategi penguasaan wilayah yang dibangun dengan menggunakan aspek kesejarahan (klaim historis) sebagai upaya untuk menandingi wacana penguasaan sumber daya alam oleh negara yang terlegitimasi dalam UUD pasal 33 ayat (2) dan (3) di mana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Penelitian ini juga akan menelisik mitos atau legenda masyarakat setempat. Sebagaimana dikatakan Barthes (2004), mitos di sini dipahami sebagai tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana17. Mitos berfungsi mengatasi atau memecahkan berbagai kontradiksi empiris yang tidak terpahami oleh nalar manusia (Levi-Strauss 1963; Ahimsa-Putra, 2006: 259). Melalui mitos inilah dapat ditelusuri kontradiksi empiris yang dialami secara kolektif oleh masyarakat terkait aktivitas penambangan di Wonocolo. Dengan demikian, melalui penerapan metode penelitian dan serangkaian metode analisis di atas, selanjutnya data yang terkumpul akan disusun dan dianalisis untuk menjawab rumusan pertanyaan penelitian.
17
Untuk lebih jelasnya, lihat, misalnya R.Barthes, 2004, Mitologi, hlm 152. 19