BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dengan dikeluarkannya PP 60 Tahun 2008 mengakibatkan tuntutan dan tantangan berat bagi auditor pemerintah untuk menghasilkan audit yang berkualitas, mewujudkan pemerintahan yang good governance, dan menciptakan akuntabilitas aparat pemerintah. Penerapan prinsip-prinsip good governance merupakan tuntutan yang harus dilakukan oleh pemerintah saat ini dalam rangka memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat. Good governance diartikan sebagai cara yang digunakan oleh pemerintah dalam mengelola sumber daya ekonomi dan sosial bagi pembangunan masyarakat (World Bank). Sementara United Nations Development Program mendefinisikan good governance sebagai pelaksanaan wewenang administratif, ekonomi dan politik untuk mengelola urusan-urusan negara pada berbagai tingkatan (dalam Mardiasmo, 2002). Akuntabilitas menurut UNDP adalah pertanggungjawaban kepada publik atas aktivitas yang dilakukan. Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa akuntabilitas publik merupakan kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Lebih lanjut, Mardiasmo menyatakan bahwa
tuntutan akuntabilitas sektor publik terkait perlunya dilakukan transparansi dan pemberian informasi kepada publik dalam rangka pemenuhan hak-hak publik. Dari beberapa definisi mengenai akuntabilitas tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah sebagai pihak yang diberikan tanggung jawab dalam mengelola keuangan negara diharuskan untuk memberikan informasi dan pengungkapan atas pelaksanaan
pengelolaan
keuangan
negara
kepada
masyarakat.
Dengan
terlaksananya prinsip akuntabilitas publik maka tujuan reformasi dapat tercapai. Salah satu ciri yang dapat menggambarkan pemerintahan yang berhasil adalah pemerintahan yang mampu mengelola keuangan dengan baik dalam arti tertib, efesien, transparan, dan bertanggungjawab. Pernyataan ini didukung oleh UU No. 17 Tahun 2003 pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan bahwa keuangan negara dikelola secara tertib, taat terhadap peraturan perundang-undangan, efesien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Mardiasmo (2002) menjelaskan bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam audit pemerintahan di Indonesia. Kelemahan tersebut antara lain: Pertama, tidak tersedianya indikator kinerja yang memadai sebagai dasar pengukuran kinerja pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah. Hal tersebut umum dialami oleh organisasi publik karena output yang dihasilkan berupa pelayanan publik tidak mudah diukur. Kedua, berkaitan dengan masalah struktur lembaga audit terhadap pemerintahan pusat dan daerah di Indonesia. Permasalahannya adalah banyaknya lembaga pemeriksa fungsional yang overlapping antara satu dengan
yang lain
sehingga
menyebabkan
ketidakefisienan
dan
ketidakefektifan
pelaksanaan pengauditan. Pelaksanaan prinsip akuntabilitas pada sektor publik erat kaitannya dengan peran auditor dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai atas kewajaran informasi keuangan pemerintah yang diungkapkan kepada masyarakat. Di Indonesia, yang melaksanakan fungsi pemeriksaan secara garis besar dipisahkan menjadi dua yaitu auditor eksternal dan auditor internal. Auditor eksternal pemerintah diimplementasikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dibentuk sebagai perwujudan pasal 23E Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai dengan UUD 1945 amandemen III bab VIII A tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pasal 23 E ayat 1 yang menyatakan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri. Konsekuensi dari pasal itu adalah BPK RI harus bertindak obyektif dan independen dengan berlandaskan pada standar dan peraturan yang berlaku pada saat menjalankan tugas pemeriksaan. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, BPK juga didukung dengan beberapa Undang-Undang dalam rangka pelaksanaan akuntabilitas publik seperti: Undangundang
No.
15
Tahun
2004
tentang
Pemeriksaan
Pengelolaan
dan
Pertanggungjawaban Keuangan Negara dan Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara serta Peraturan BPK RI No. 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Tipikor atau tindak pidana korupsi kini menjadi berita utama perekonomian Indonesia di era pasca reformasi. BPK sebagai lembaga audit keuangan negara memiliki peran yang cukup besar dalam pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). BPK sebagai salah satu lembaga audit eksternal pemerintah yang melaksanakan fungsi pemeriksaan yang meliputi: pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Salah satu hasil audit BPK adalah sebuah kesimpulan mengenai ada tidaknya indikasi tindak pidana atau perdata yang menyebabkan kerugian keuangan dan kekayaan negara. Oleh karena itu, audit yang dilakukan oleh BPK harus berkualitas. Dalam melaksanakan tugas audit, BPK sebagai auditor pemerintah memerlukan individu-individu yang cakap dan ahli dalam melaksanakan aktivitasnya sehingga dalam hal ini sumber daya manusia adalah faktor penting bagi kualitas hasil audit. Dapat dikatakan pula bahwa karakteristik personal memberikan konsekuensi yang penting bagi keberhasilan audit yang dilaksanakan. Auditor dengan karakteristik personal yang baik akan memberikan konsekuensi hasil audit yang berkualitas, tetapi auditor dengan karakteristik personal yang buruk akan menghasilkan audit yang berkualitas rendah. Penemuan-penemuan terhadap pelanggaran harus di dukung oleh bukti kompeten yang cukup agar laporan yang disampaikan atau opini audit dapat dipertanggungjawabkan. Untuk memperoleh bukti kompeten yang cukup maka auditor harus melaksanakan prosedur audit yang diperlukan dengan benar atau
tidak melakukan perilaku disfungsional audit (Heriningsih, 2001 dalam Maryanti, 2005). Perilaku disfungsional audit dan berhentinya auditor (turnover) dari pekerjaan berhubungan dengan penurunan kualitas audit (Public Oversight Board, 2000 dalam Donnelly et al. 2003). Perilaku ini bisa mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kualitas audit. Perilaku yang mempunyai pengaruh langsung termasuk premature sign-off, pemerolehan bukti yang kurang (Otley & Pierce, 1995; Donnelly et al. 2003), pemerosesan yang kurang akurat (McDanield, 1990) dan kesalahan dari tahapan audit (Margheim & Pany, 1986), altering/replacing of audit procedure (Donnelly et al. 2003) dan perilaku audit yang mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap kualitas audit adalah under reporting of time (Donnelly et al. 2003). Auditor (pemeriksa) bertugas melakukan pemeriksaan untuk dapat mengetahui apakah laporan keuangan organisasi telah disusun secara wajar dan memberikan opini terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan tersebut. Ada kalanya opini audit kurang mendapatkan respon yang positif dikarenakan adanya kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku oleh seorang auditor dalam proses audit (Donelly et, al. 2003). Pemeriksa
dituntut
professional
dalam
melaksanakan
pekerjaan
pemeriksaannya sehingga akan menghasilkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang berkualitas. Profesionalitas mengacu pada perilaku, tujuan, atau kualitas yang memberi karakteristik atau menandai suatu profesi atau orang yang
professional (Messier et al., 2006; Mintz, 1997). Laporan hasil pemeriksaan (LHP) merupakan hal yang sangat penting dalam penugasan pemeriksaan karena melalui laporan tersebut pemeriksa dapat mengkomunikasikan hasil temuantemuan pemeriksaan kepada stakeholders. Laporan tersebut harus memberi tahu para pembaca (stakeholders) tentang derajat kesesuaian antara informasi dan kriteria yang telah ditetapkan (Arens et al., 2008). Sejalan dengan hal tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) juga mewajibkan setiap pemeriksanya professional dalam setiap kegiatan pemeriksaan yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) pada pernyataan standar umum ketiga yaitu “Dalam pelaksanaan pemeriksaan serta penyusunan laporan hasil pemeriksaan, pemeriksa wajib menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama”. Oleh karena itu, diharapkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) dapat terjamin dan stakeholders memperoleh keyakinan atas informasi yang tersaji dalam laporan keuangan auditan berisi informasi yang reliable dan dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh seorang auditor dalam bentuk manipulasi, kecurangan ataupun penyimpangan terhadap standar audit dikenal sebagai perilaku disfungsional auditor. Kasus suap yang dilakukan oleh Kepala Bidang Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Bekasi dan Inspektur Wilayah Kota Bekasi, yang juga menjabat sebagai Kepala Bawasda Kota Bekasi terhadap Kepala Auditoriat BPK Jawa Barat III (2010) dengan tujuan supaya hasil audit terhadap laporan keuangan dinyatakan
wajar tanpa pengecualian. Kasus tersebut merupakan salah satu contoh perilaku disfungsional auditor. Dysfunctional audit behavior (perilaku disfungsional audit) yaitu perilaku pemeriksa dalam proses pemeriksaan yang tidak sesuai dengan prosedur pemeriksaan yang telah ditetapkan atau menyimpang dari standar yang berlaku, yang dapat menguarangi kualitas pemeriksaan. Perilaku disfungsional audit tersebut dapat berefek negatif terhadap hasil audit yang dilakukan auditor sehingga dikhawatirkan kualitas audit akan menurun. Menurunnya kualitas audit akan berdampak pada ketidakpuasan pengguna jasa audit terhadap keabsahan serta keyakinan akan kebenaran informasi yang terkandung dalam laporan keuangan auditan. Hal ini akan menyebabkan terkikisnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap profesi audit. Impilkasi dari perilaku disfungsional audit di lingkungan BPK RI akan berdampak negatif terhadap kualitas kinerja pemeriksa dalam pelaksanaan penugasan pemeriksaan yang akan mengakibatkan kualitas kerja professional dijalankan tidak tepat waktu dan kinerja pemeriksa tidak dapat terevaluasi dengan baik, serta kualitas laporan hasil pemeriksaan (LHP) tidak sesuai dengan yang diharapkan. Mengingat betapa berbahayanya akibat yang dapat ditimbulkan oleh perilaku disfungsional yang dilaksanakan oleh auditor maka akan sangat perlu untuk dikaji mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi tingkat penerimaan perilaku disfungsional audit (dysfunctional audit behavior) sehingga dapat
diambil tindakan yang perlu demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap profesi audit terutama yang bekerja di lembaga negara. SAS No. 82 dalam Donnelly et al. (2003) menyatakan bahwa sikap auditor menerima perilaku disfungsional merupakan indikator perilaku disfungsional aktual. Dysfunctional Audit Behavior merupakan reaksi terhadap lingkungan (Donnelly et al. 2003). Penelitian mengenai apakah perbedaan individu auditor secara signifikan mempengaruhi penerimaan auditor terhadap perilaku disfungsional baru dilakukan oleh Donnelly et al. (2003). Penelitian oleh Donnelly et al. (2003) mengembangkan suatu model teoritis yang menghubungkan Pengendalian Diri, kinerja pegawai, keinginan berpindah kerja, dan penerimaan auditor terhadap perilaku disfungsional. Menggunakan teknik Structural Equation Modeling, hasil survey terhadap 106 auditor dari 10 Kantor Akuntan Publik secara umum mendukung model penjelasan yang diajukan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa auditor yang lebih menerima perilaku disfungsional cenderung memiliki Pengendalian Diri eksternal, tingkat kinerja yang rendah, dan menunjukkan keinginan berpindah tempat kerja yang lebih besar. Penelitian mengenai perilaku disfungsional audit masih relatif sedikit yang melakukannya. Melihat begitu banyaknya perilaku disfungsional terjadi di kalangan auditor, dan telah terjadi dari tahun ke tahun serta terjadi di berbagai negara, tidak memandang di negara maju maupun negara berkembang, menunjukkan fakta bahwa perilaku penyimpangan audit merupakan masalah yang
serius bagi profesi auditor dan terkesan sangat sulit dihentikan. Secara umum, penelitian-penelitian tersebut belum mampu menjawab serta menjelaskan faktorfaktor penyebab perilaku disfungsional audit. Keterbatasan penelitian empiris yang dilakukan terutama dalam menjelaskan faktor-faktor penyebab perilaku disfungsional, dan kurangnya literatur yang mengidentifikasi dan menjelaskan faktor-faktor tersebut menjadi alasan untuk melakukan penelitian ini. Penelitian ini penting dilakukan karena semakin meningkatnya tuntutan stakeholders pengguna laporan keuangan pemerintah terhadap profesionalitas pemeriksa BPK untuk mendapatkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang berkualitas dan dapat memebrikan kontribusi mengenai transparasi dan akuntabilitas penyelenggaraan akuntansi pemerintahan di Indonesia. 1.2. Perumusan Masalah Sumber daya manusia merupakan faktor penting bagi BPK sebagai lembaga yang melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara sehingga penting untuk mengetahui bagaimana perilaku auditor yang dipengaruhi karakteristik personal yang berhubungan secara langsung dengan perilaku disfungsional dalam audit. Beberapa penelitian mencoba menguji faktor-faktor yang berhubungan dengan penerimaan perilaku disfungsional seperti yang dilakukan oleh Kelley dan Margheim (1990) serta Donnelly et al (2003) dengan menggunakan responden auditor pada Kantor Akuntan Publik. Penelitian lain di Indonesia juga dilakukan oleh Setiawan (2005) terhadap perilaku disfungsional dengan mengembangkan
penelitian yang dilakukan oleh Donnelly et al (2003) namun beberapa hasilnya berlawanan dengan hasil penelitian sebelumnya sehingga penelitian lain perlu dilakukan untuk menemukan bukti yang jelas tentang dugaan adanya hubungan anatara Pengendalian Diri, Kinerja, Komitmen Organisasi, Keinginan berpindah kerja, Harga Diri dan Penerimaan Perilaku Disfungsional yang dalam penelitian ini menggunakan responden auditor pemerintah yaitu auditor pemeriksa yang bekerja di Badan Pemeriksan Keuangan Republik Indonesia Perwakilan Jawa Barat. 1.3..Pertanyaan Penelitian Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah ada pengaruh pengendalian diri auditor pemerintah yang bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan terhadap penerimaan perilaku disfungsional audit ? 2. Apakah ada pengaruh kinerja auditor pemerintah yang bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan terhadap penerimaan perilaku disfungsional audit ? 3. Apakah ada pengaruh komitmen organisasi auditor pemerintah yang bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan terhadap penerimaan perilaku disfungsional audit ? 4. Apakah ada pengaruh keinginan berpindah kerja auditor pemerintah yang bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan terhadap penerimaan perilaku disfungsional audit ? 5. Apakah ada pengaruh harga diri auditor pemerintah yang bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan terhadap penerimaan perilaku disfungsional audit ?
1.4.Tujuan Penelitian Berkaitan dengan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Menganalisis pengaruh pengendalian diri terhadap perilaku disfungsional audit. 2. Menganalisis pengaruh kinerja terhadap perilaku disfungsional audit. 3. Menganalisis pengaruh komitmen organisasi terhadap perilaku disfungsional audit. 4. Menganalisis pengaruh keinginan berpindah kerja terhadap perilaku disfungsional audit. 5. Menganalisis pengaruh harga diri terhadap perilaku disfungsional audit. 1.5 . Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan membawa manfaat sebagai berikut : 1. Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu (teoritis) terutama dalam bidang akuntansi keperilakuan dan auditing, hasil penelitian dapat memberikan kontribusi manfaat dalam menjelaskan bagaimana variabel-variabel karakteristik individu secara signifikan berpengaruh baik positif maupun negatif terhadap penerimaan pemeriksa atas perilaku disfungsional audit, serta dapat memberikan landasan untuk dilakukannya penelitian-penelitian lebih lanjut yang lebih mendalam mengenai pengambilan keputusan auditor eksternal pemerintah.
2. Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan kontribusi praktis, yaitu bagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan profesi, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang sebenernya mengenai perilaku disfungsional audit sehingga dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan di masa yang akan datang dapat merencanakan program dan prosedur pemeriksaan dengan lebih baik dan professional guna meningkatkan kualitas pekerjaannya, serta untuk mendorong laporan pemeriksaan yang berkualitas tinggi dan dapat diandalkan. 1.6. SISTEMATIKA PENELITIAN Penulisan penelitian ini dibagi dalam lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut : BAB 1 : PENDAHULUAN Bab ini menguraikan secara singkat isi dari penelitian yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan sistemtika penelitian. BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini memaparkan teori-teori yang telah diperoleh melalui studi pustaka dari berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah penelitian yang telah diterapkan untuk selanjutnya digunakan dalam landasan pembahsan dan pemecahan masalah, serta berisi penelitian terdahulu.
BAB 3: METODE PENELITIAN Bab ini berisi tentang definisi operasional variable yang terdapat dalam penelitian, jenis dan sumber data yang digunakan, metode pengumpulan data, populasi dan sampel serta metode analisis yang digunakan dalam penelitian. BAB 4: ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang deskripsi objek penelitian serta menguraikan pembahasan mengenai pengaruh penegndalian diri, komitmen organisasi, keinginan berpindah kerja, kinerja, harga diri terhadap perilaku disfungsional audit terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan. Pembahasan masalah ini dilakukan atas analisis data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis yang telah ditetapkan. BAB 5: PENUTUP Bab ini adalah bab terakhir dan sekaligus menjadi penutup dari penelitian ini. Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran yang bersifat membantu dalam penelitian mengenai pengaruh pengendalian diri, komitmen organisasi, keinginan berpindah kerja, kinerja, dan harga diri terhadap perilaku disfungsional audit terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan.