BABAK 1
Pemirsa RCTI Sport, demikianlah telah kita saksikan bersama jalannya pertandingan babak pertama antara tuan rumah ‘La Beneamata’ Inter Milan melawan tim tamu ‘Los Blaugrana’ Barcelona dalam big match semi final Liga Champions. Selama menunggu kick of babak kedua, terlebih dulu kita berbincang-bincang mengenai ulasan pertandingan babak pertama dan prediksi babak selanjutnya bersama komentator kita pagi hari ini, Bung Ropan. Jam boleh menunjukan pukul setengah empat pagi, namun suasana sepi tidak nampak di ruang keluarga Rema. Seperti biasa, pada jam-jam penayangan pertandingan bola seperti ini, Rema bersama sang ayah serta kakak cowoknya selalu siap stay tuned di depan televisi. “Ayah gimana, masih tetap mau jagoin Barcelona? Kebalas 1-1 nih. Babak dua pasti tuan rumah unggul jauh.”, tantang Rema, mulai melancarkan aksi saling ejek yang biasa ia lakukan bareng sang ayah dan kakak. Berhubung sang kakak yang seorang wartawan bola sedang bertugas meliput berita ke luar negeri, jadinya malam ini permainan saling ejek hanya diikuti dua kontestan. “Eh Re, babak pertama Barca bisa mencuri gol lebih dulu. Lihat saja hasil akhirnya nanti pasti 2-1 buat Barca.”, tantang balik ayah. “Boo!”, ejek Rema sambil mengangkat kedua jempolnya menungging ke bawah. ”Oke, mending kita taruhan aja. Kalo prediksi Ayah kebukti Rema akan pijitin ayah satu jam penuh setiap habis pulang kerja selama seminggu gratis. Tapi kalo Inter yang menang, privilege-nya uang jajan Rema naik dua kali lipat selama seminggu.” Ayah mempertimbangkan terlebih dulu usulan taruhan yang ditawarkan putri semata wayangnya. Sementara Rema, sambil tersenyum licik, dengan sabar ia menanti sambutan uluran tangan Ayah yang berarti menandakan kesepakatan. “Ayo dong, yah! Deal or no deal!”, desak Rema mengikuti gaya presenter kuis di televisi. Setelah mantap berpikir, akhirnya Ayah memberikan jawaban, “Oke, deal, Ayah terima tantangan kamu. Paling juga nanti kamu mesti siap-siap melatih otot jari kamu di pundak ayah selama seminggu. Hahaha!” “Kita lihat saja nanti.”, komentar Rema lebih yakin lagi. Keduanya kembali fokus menunggu kelanjutan pertandingan. ZLEEEEP!!! Tak ada petir tak ada hujan dalam sekejap layar kaca televisi mendadak berubah hitam, gelap, alias mati. Rema dan
Ayah seketika saling bertatapan syok mendapati kejadian tragis tersebut. “Ayah, tv-nya kenapa?”, tanya Rema bingung sembari memukul-mukul tv besar yang ada dihadapannya, mencoba cara tradisional untuk menghidupkan kembali si tv. Setali tiga uang Ayah pun sama tidak tahunya dengan sang putri. Setelah diusut, misteri mendadak matinya televisi pun terungkap plus sang aktor dibalik kejadian tersebut. “Ya ampuun! Ayah! Rema! Ini tuh jam setengah tiga pagi, bukan siang. Kalian mau nonton bola sampai kapan? Memang besok kamu sekolah siang, Re? Ayah juga, bukannya besok ada jadwal pimpin pertandingan? Bukannya pada istirahat, ini malah bikin gaduh di pagi buta.” Demikianlah serentetan omelan yang tidak jarang terdengar juga di saat-saat seperti ini, setidaknya untuk seminggu kebelakang. Bagi Ayah juga Rema, kehadiran beserta omelan Ibu ini tidak hanya terdengar sebagai kemarahan biasa tapi juga bunyi peluit panjang yang menandakan pertandingan harus segera berakhir, meski pertandingannya sendiri masih menyisakan satu babak. “Iih, Ibu kenapa sih? Lagi-lagi omelin Rema karena nonton bola. Ibu kan tahu Rema itu gak bisa bolos nonton bola, apalagi buat pertandingan big match seperti sekarang!”, protes Rema diikuti anggukan tanda dukungan dari Ayah di belakang. “Iya, tapi kalo sebagai gantinya kamu jadi bolos sekolah, ibu gak bisa tolerir lagi. Ngerti!”, ancam Ibu dengan ekspresi jauh lebih galak. “Siapa yang bolos sekolah? Ibu suka ngasal deh!”, bantah Rema dengan suara tegas, keras dan meyakinkan, “orang Rema bolosnya cuma jam pertama aja kok.”, lanjutnya namun dengan suara yang sangat-sangat kecil cenderung berbisik hingga bisa dipastikan tidak mungkin terdeteksi oleh telinga manusia dengan jelas. “Apa??”, tanya Ibu yang walaupun tidak mendengar jelas kelanjutan ucapan Rema tapi tetap merasa curiga dengan isi ucapannya. Sebelum keadaan makin memanas, Ayah buru-buru menyenggol lengan Rema supaya diam. “Tenang Bu, tenang!” Ayah coba jadi penengah, “Ya sudah, biar Ibu tenang, kita udahan nonton bolanya. Re, kamu balik tidur ke kamar kamu sana!”, perintah Ayah, dengan hatihati mengambil remote tv dari tangan ibu untuk kemudian meletakkannya di atas meja. Meski tidak rela, Rema akhirnya setuju untuk menghentikan acara nonton bola dan dengan terpaksa kembali pergi tidur ke kamarnya di lantai atas.
2
“Aduuh! Betee!”, teriak Rema dengan kencang pagi harinya di kantin sekolah ketika jam istirahat berlangsung. Razy dan Indah, sahabat terdekatnya, menatap penuh kasihan atas penderitaan yang dialami Rema, dengan setia mereka selalu siap sedia buka telinga mendengarkan segala keluh kesah Rema. “Ibu gue tuh kenapa sih akhir-akhir ini kerjaannya marah-marah mulu! Gue maen bola sama anak-anak kompleks, marah. Beli koran, majalah, sama poster bola, marah juga. Bilangnya gue itu buang-buang duit, ‘mendingan uangnya ditabung, Rema sayang!’ gitu katanya. Dan terakhir nih, tadi pagi banget pas gue lagi nonton champions league bareng bokap, untuk ke tiga kalinya dia ngomel-ngomel cuma karena kita nonton bola, sukses bikin pertandingan berakhir menggantung buat gue.” Rema mengambil napas sejenak setelah cukup panjang berorasi. Hal itu kemudian dimanfaatkan Indah untuk berkomentar, “Gue rasa sih Re, gak ada alasan lain yang bisa jelasin sikap antipati bola nyokap lo akhir-akhir ini selain karena prestasi sekolah lo yang makin mengecewakan.” “Hah? Gak salah ngomong lo, Ndah. Emang gue bikin kecewa apa sama nyokap gue?” “Banyak. Peringkat kelas lo contohnya yang makin menurun. Emang sih lo masih bisa masuk lima besar semester kemarin. Tapi kalo lo nyari masalah terus dengan sering kesiangan dan bolos jam pertama. Udah gitu ditambah pilihan lo yang tetap gak mau ikut klub ekskul apapun. Padahal kita semua tahu kalau di sekolah kita yang tercinta ini keaktifan di ekskul itu amat sangat penting. So, gue cuma bisa kasih saran supaya lo say goodbye dengan tekad lo untuk merebut kembali tahta juara kelas dari Razy. Dan yang ada peringkat lo tuh bakalan makin jauh turun, mungkin sampai out sepuluh besar.” Tubuh Rema bergidik ngeri. “Iih Indah, tega banget sih lo gambarin keadaan gue semengerikan itu. Lo sendiri juga gak lebih baik dari gue.”, balas Rema membela diri, walau dalam hati kecil ia sedikit membenarkan ucapan Indah tersebut. Di sekolahnya ini, SMU Pelita Unggulan, semua murid unggulan berkumpul dan saling bersaing ketat. Persaingan pun merata di segala bidang tidak hanya dalam akademik, tapi juga di bidang kesenian, olahraga, musik, sains, serta kekayaan. Dan Rema yang sudah pasti tidak memiliki keunggulan di lima bidang terakhir yang disebutkan tadi, setidaknya dalam akademik ia berusaha untuk memperlihatkan keunggulan. Yah, itu pun masih sejauh ini. Kembali ke perdebatan antara Rema dan Indah, tentunya Indah tidak tinggal diam mendengar omongan Rema yang balik menyindirnya
3
itu. Sebagai peraih sepatu emas ‘miss bawel’ –versi FIFA yang Presiden direkturnya Rema-, adrenalinnya tentu terpacu untuk kembali menggocek mulut. “Jangan tersinggung ya Re! Gue itu berbicara sesuai fakta. Kenapa? soalnya masalah yang kita hadapi masing-masing itu beda. Begitu REal MAdrid-ku sayang!” “Hus! Indah!”, protes Rema buru-buru dengan mata melotot. Bukan karena kata-kata awal omongan Indah, tapi lebih karena panggilan terakhir Indah yang menyebutkan langsung akronim namanya. Yup. Nama Rema yang diberikan sang ayah tersebut merupakan kepanjangan dari nama salah satu klub sepak bola ternama yang bermarkas di Madrid Spanyol, klub Real Madrid. Bukan tanpa alasan sang ayah memberi nama tersebut bagi anak kedua yang juga merupakan anak bungsunya itu. Julukan Los Galacticos yang berarti tim bertabur bintang yang disandang sang klub menjadi alasan utama untuk kembali mengabadikan nama klub sepakbola pada buah hatinya. Ayah ingin putri tercintanya itu selalu jadi bintang yang bersinar terang di kehidupannya. Sebelumnya Ayah memberikan nama ‘Chester’ bagi putra pertamanya, kakak Rema, yang diambil dari penggalan nama klub di Liga Inggris, Manchester United. “Lo kurang kenceng nyebutin nama panjang gue. Sekalian aja lo ke ruang informasi dan ulangi ucapan lo tadi.”, sindir Rema kesal dengan tindakan sembrono Indah. Wajar jika Rema sedikit naik pitam mendengar namanya disebut secara lengkap seperti tadi. Bukan karena ia malu atau tidak bangga. Bukan, sama sekali bukan. Rema justru sangat bangga. Hanya saja ia memiliki trauma dengan sejarah namanya tersebut yang sering dijadikan bahan ejekan oleh teman-teman sekelasnya ketika duduk di bangku sekolah dasar. “Ups,, sori Re. Gue gak sengaja. Suaranya kekencengan ya tadi?”, sesal Indah betul-betul. Tidak lama, Rema pun tersenyum menanggapi permohonan maaf sahabat dari SMA-nya tersebut. “Gak apa-apa Ndah. Gue tahu lo pasti gak sengaja. Tapi ntar-ntar lo mesti lebih hati-hati ya. Ini di kantin Ndah!”, tegur Rema mengingatkan. “Iya,,iya,, kan gue keceplosan tadi.” “Ya..ya..ya.” “Nah, gitu dong! Oke, lanjut. Jadi maksud gue dengan kondisi kita yang berbeda itu, karena nyokap lo sangat teramat berharap lo bisa dapatin beasiswa ke Perguruan Tinggi dari sekolah. Dan itu hanya bisa terwujud kalo lo berprestasi bagus dan menangin seleksi beasiswa yang super ketat itu. Sedang gue, masa bodoh kali nyokap-bokap mau rapor gue biasa-biasa aja juga, yang penting jangan hancur. Hehehe” Rema terdiam. Terngiang ucapan Ibu yang selalu menaruh
4
harapan besar padanya, “Ibu itu cuma lulusan SMA, gak punya kemampuan apa-apa, jadi gak bisa bantu Ayah cari uang. Sedang Ayah, kamu sendiri tahu kan bagaimana pekerjaannya. Gaji jadi wasit emang besar! Belum lagi kalau sedang libur liga. Apalagi pas nanti pensiun. Mana ada tunjangan seperti pegawai negeri! Mau cari kerjaan lain, susahnya minta ampun.” Sesak dada Rema setiap teringat curahan hati Ibunya tersebut. Beban berat sebesar gunung serasa bertengger di pundaknya. Ia memang bukan Indah yang berayahkan seorang pejabat tinggi atau Razy yang walaupun perekonomian keluarganya tidak jauh berbeda dengan dirinya, tapi sahabatnya itu memiliki pegangan beasiswa dari Universitas di Singapura berkat keberhasilannya meraih medali perak di ajang olimpiade kimia se-dunia tiga bulan lalu. Sedang dirinya, walau dua kali pernah jadi juara kelas, yaitu ketika semester 12 kelas X dan terakhir turun ke peringkat lima di kelas XI semester 1 kemarin. Tidak ada prestasi membanggakan lain yang pernah ia raih. Selain itu, keadaannya yang tidak melibatkan diri aktif di kegiatan ekstrakulikuler apapun di sekolah, membuatnya sulit untuk mendapatkan nilai tambahan sebagai penunjang prestasi. “Udah Re, lo gak usah murung gitu. Gimana kalau lo gabung ke klub kimia bareng gue? Kalau lo aktif terus disana, lo bisa dapatin banyak peluang beasiswa. Apalagi klub kimia kita punya nama baik di dalam dan luar sekolah.”, bujuk Razy akhirnya ikut bergabung dalam perbincangan setelah sebelumnya hanya menyibukkan diri dalam benaman koran yang rutin dibaca setiap hari. Indah mendelik tak setuju ke arah Razy. “Eh, Zy apa lo main doktrin-doktrinan segala! Jangan Re, lo gabung di klub renang aja bareng gue. Gue jamin dalam tiga bulan tubuh lo akan berubah seIndah tubuh gue. Hohoho!”, promo Indah dengan bangga sambil berpose-pose centil layaknya foto model. “Hahaha! Aduh Re, jangan sampe deh lo dengar omongan cewek super pede ini. Bodi bagus emang bisa bantuin apa?”, balas Razy. Membuat suasana berubah panas. Sreeet!!! “Eh, otak molekul. Mulai merasa kecakepan yah lo. Mentang-mentang label lo sekarang sebagai mantan ‘juara olimpiade kimia.” Indah marah besar sampai-sampai menarik koran yang sedang dibaca Razy hingga jatuh ke lantai. “Yah setidaknya ada yang bisa gue banggain dalam diri gue.” “Hah!? Sombong banget lo Zy! Rema, lo putusin deh, diantara ajakan gue sama si kunyuk ini mana yang lo pilih. Gue kan!” Tidak ada sahutan yang terdengar dari kubu Rema. Dan betapa kagetnya Indah juga Razy, ketika mereka mengalihkan pandangan kembali pada Rema,
5
dilihatnya sang sahabat tengah sibuk menjelajahi isi koran yang tadi dibaca Razy. “ ‘Liga Champions: Inter Milan Tumbangkan Barcelona 3-1.’ Yes! Yes! Asyiik!!” Rema berteriak kegirangan usai membaca sebaris headline dalam kolom olahraga koran. Razy dan Indah berubah diam terpaku melihat perubahan drastis sikap Rema. Senyum-senyum sendiri yang dilanjutkan dengan aksi loncat-loncat dan joget kegirangan. Kelakuannya ini bisa diibaratkan seperti orang yang baru mendapati dirinya dikutuk sekaya Bill Gates. “Lo kenapa Re? Belum ada lima menit lo merengek-rengek bilang bete. Sekarang kok lo malah mendadak super happy gitu.”, tanya Indah kebingungan. “Hahaha! gimana gue gak mendadak girang Ndah. Gue baru ingat tadi pas lihat korannya Razy. Sebelum nyokap datang merusak acara nobar tuh gue sempat taruhan dulu sama bokap. Nah, pas gue cek rubrik olahraga dan lihat hasil akhir pertandingan, ternyata jagoan gue menang. Itu berarti gue menang taruhan dan selama seminggu dompet gue bakal dua kali lebih tebal dari biasanya. Hahaha! Money,money, come to mama!” Razy dan Indah langsung terduduk lesu usai mendengar penjelasan Rema. Dikira ada kejadian besar apa. Mereka hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan kegilaan Rema dalam berselebrasi. “Hai Zy, Indah, Rema!”, sapa seorang cewek yang tiba-tiba datang menghampiri meja ketiganya. Nampak cewek cantik itu sudah tidak asing lagi bagi Rema-Indah-Razy. “Mmm, gue ganggu yah?” tanya ‘tamu tak diundang’ tersebut. “Enggak lah Rin, lo ini kayak lagi ketemu siapa aja.”, jawab Razy, satu-satunya orang yang bersikap welcome. Reaksi yang jauh berbeda diperlihatkan Indah dan Rema yang jangankan untuk menjawab sapaan cewek bernama Airin tersebut, melihat ke arahnya saja mereka enggan. “Tumben Rin akhir-akhir ini lo sering nyapa kita bertiga lagi. Aneh.”, sindir Indah penuh curiga. “Hus! Indah! apanya yang aneh? Airin kan dulu sahabat kita juga. Wajar kalo dia sapa kita bertiga.”, debat Razy lengkap dengan tatapan awasnya. “Iya, DULU Airin emang sahabat kita. Sebelum dia masuk tim cheers sekolah, gabung sama geng barunya yang sok eksklusif dan mulai menjauhi sahabat-sahabat lamanya.”, timpal Indah ketus. Airin memilih diam dan hanya tersenyum kecil menanggapi perkataan pedas Indah. Bagaimana pun dia tidak bisa menyangkal semua kebenaran tersebut. “Maksud kedatangan gue kesini. Gue cuma pengen ngomong sesuatu sama lo Re.”, ucap Airin tenang, membuat tenggorokan Indah
6
makin tersedak karena sindirannya tadi tidak ditanggapi oleh Airin. Sebelum Indah kembali mengeluarkan kata-kata pedasnya, Razy langsung berinisiatif menyambungkan perbincangan, “Lo mau ngomongin hal penting sama Rema? Apa perlu gue dan Indah tinggalin kalian berdua buat ngobrol?” Loh-loh,, kenapa nama gue disebut-sebut. Kalau mau pergi, pergi aja sendiri, rutuk Indah dalam hati, tidak terima namanya dibawa-bawa Razy. “Nggak, nggak perlu Zy. Gue cuma bentar kok.” Airin memberi senyum hangat pada Razy sebelum pandangannya beralih pada Rema. “Re, gue pengen ucapin banyak makasih sama lo. Keputusan lo kemarin benar-benar di luar dugaan dan gue sangat-sangat bersyukur untuk itu.” Indah dan Razy memasang wajah bingung, tidak mengerti sama sekali maksud ucapan Airin. “Lo tahu gue gak punya pilihan lain.”, sahut Rema pelan dan datar. Makin membuat kepala Indah dan Razy dipenuhi tanda tanya. “Iya gue tahu, dan karena itu gue juga ingin meminta maaf sama lo karena udah pake cara seperti itu.” Rema tak memberi tanggapan kali ini. “Oh yah, besok siang sepulang sekolah rencana awal akan dilaksanakan. Kehadiran lo sangat-sangat penting, untuk itu gue minta lo datang. Soal tempat nanti gue kabari. Bisa kan Re?” Rema menghela nafas panjang untuk kemudian mengangguk setuju. Airin tersenyum lebar menerima kesediaan Rema. “Apa yang pengen gue omongin semuanya udah gue sampaiin. Kalau gitu gue cabut dulu Re, Zy, Ndah. Sori udah ganggu waktu kalian.”, pamit Airin sebelum berlalu pergi. Suasana meja mendadak hening sepeninggal Airin dan segala misteri yang ia munculkan. Indah dan Razy membisu dalam kebingungan. Sementara Rema membisu dalam kegalauan. “Re, gue kok gak ngerti yah sama omongan Airin barusan. Maksud omongan dia apa sih?”, tanya Indah memecah kesunyian. “Iya Re, gue juga nggak ngerti sama omongan Airin tadi, sekalipun IQ gue jauh diatas si bodi kerempeng ini. Lo udah berbuat apa sih sampai Airin berterimakasih kayak gitu? Lalu rencana apa yang dimaksud Airin? Jangan-jangan soal permintaan Airin sebelumnya itu..” “Heh! Maksud lo apa Zy hina-hina badan gue! Dasar otak molekul. Tampang lo tuh ketuaan dua puluh tahun!” Teeet!! Bel tanda masuk kelas terlanjur berbunyi sebelum rasa penasaran Indah dan Razy terjawab, dan juga sebelum pertarungan debat ejek berlanjut lebih sengit lagi diantara keduanya. “Gue cerita nanti aja ya! Yang pasti gue gak bakal sembunyiin apapun dari kalian. Yuk balik ke kelas!”, ajak Rema yang langsung disetujui oleh Razy dan
7
Indah. Mereka bertiga pun segera meninggalkan kantin.
Saat itu, sekitar dua minggu lalu, seperti biasa selepas waktu pulang sekolah Rema mampir terlebih dulu ke kios koran dan majalah yang biasa berjualan di depan gerbang sekolah. Begitu tiba, majalah dan koran olahraga langsung menjadi menu utama yang disantapnya. Jauh berbeda dengan siswi-siswi lain yang ramai mengerubuti majalah fashion, musik atau gosip. Tanpa berlama-lama Rema segera mengambil salah satu koran bola langganannya dan siap-siap mengambil uang di saku untuk melakukan pembayaran. “3500 yah mas! Ini uangnya.”, kata sebuah suara asing dibelakang Rema. Orang tersebut kemudian mengulurkan tangan dan membayarkan koran yang akan dibeli Rema. Rema terkejut sekali sewaktu menengok ke belakang dan melihat sosok familiar yang telah menjadi asing berdiri tersenyum ramah seperti tidak ada masalah. “Lo kenapa sih Rin akhir-akhir ini jadi sering muncul dihadapan gue? Jangan bilang kalau lo lupa kita udah bukan sahabat dekat lagi.”, tanya Rema sinis pada orang yang seharusnya lebih berhak diberi ucapan terima kasih itu. “Lo justru kenapa Re selalu sinis, dingin, dan curiga sama kehadiran gue?”, tanya balik Airin, orang yang berburuk hati membayarkan koran Rema– kembali, ini menurut versi Rema. “Eits, tunggu dulu. Apa nggak kebalik tuh? bukannya selama ini justru lo yang selalu sinis dan dingin sama gue.”, tandas Rema sambil berbalik pergi menjauhi kios dan mengambil sepedanya yang terparkir di pohon dekat trotoar, bersiap untuk pulang. Sebelum Rema sempat menaiki sepeda, Airin berhasil menahannya dan memaksa Rema untuk tinggal lebih lama. “Gue pengen ngobrol sebentar sama lo Re. please!” Seperti sebelum-sebelumnya, Rema berniat untuk menolak kembali permintaan Airin tersebut. Namun, entah kenapa kali ini yang keluar dari mulutnya justru adalah kata ‘Oke’. “Lo jangan geer dulu. Gue lakuin ini karena udah capek terus-terusan diminta buat ngobrol terus.”, tegas Rema mengemukakan alasan kesediaannya. “Makasih Re, apapun itu alasan lo. Mmm, enaknya kita ngobrol dimana ya. Di kursi dekat pohon sana aja gimana?” Airin menunjuk tempat yang dimaksud dan langsung bergegas kesana. Dengan sikap tak antusias Rema mengikuti Airin dari belakang. Tidak banyak basabasi, sesampainya di tempat tujuan Airin segera mengutarakan maksudnya selama seminggu terakhir ini terus-menerus menemui Rema. Semakin banyak penjelasan yang keluar dari mulut Airin,
8
semakin Rema syok, tak percaya, dan marah. “Tunggu-tunggu Rin! Jangan bilang kalo lo pengen gue bantuin lo sama geng ‘4U Cupid’ lo itu buat menangin taruhan!”, potong Rema tak bisa menutupi keterkejutannya. Airin mengangguk cepat. Dan itu cukup membuat Rema kehilangan selera untuk melanjutkan perbincangan. Airin kemudian melanjutkan ucapannya sebelum Rema makin bertambah kesal. “Re, gue tahu kesalahan gue sama lo banyak. Dan gue juga tahu sampai detik ini lo belum bisa maafin gue.” ”Nah itu lo tahu.”, timpal Rema ketus. ”Tapi taruhan ini teramat penting buat gue, Re. Ini menyangkut harga diri gue. Dan gue rela kalo harus memohon di kaki lo supaya lo bisa maafin kesalahan-kesalahan gue selama ini dan mau bantuin gue.”, mohon Airin dengan penuh harap. Sebagai bukti kesungguhan katakatanya, Airin bangkit berdiri lalu jongkok di samping kaki Rema. Rema sontak kaget, tapi itu tidak lantas meluluhkan hatinya. “Rin, masalahnya kenapa harus gue? Geng lo yang bikin taruhan sama si Prita, kenapa gue mesti ikut terlibat segala? Lo bisa kan andalin Arnett, Zeta atau Elvi, sobat-sobat lo di ‘4U Cupid’ dan bukannya gue, mantan sahabat lo.” Tuh, benar kan hati Rema belum melunak. Katakatanya saja masih nyerempet hati kayak bajaj. Tapi bukan Airin namanya kalau menyerah begitu saja. Ia belum kehabisan akal untuk menaklukan hati Rema. “Gue gak pernah anggap lo sebagai mantan sahabat. Bagi gue lo itu tetap ‘Rema Thalita’ sahabat gue. Kalaupun setelah masuk SMA kita jadi sedikit menjauh, itu gue akuin karena kesalahan gue yang terlalu sibuk dengan teman-teman baru gue di klub cheers.” Mulut Rema terbuka lebar jengah mendengar pembelaan Airin barusan. Apa tadi katanya? Sedikit menjauh? Karena sibuk? Gak bisa dipercaya. “Udah deh Rin. Nggak ada gunanya debat soal siapa yang salah dan benar. Yang jelas gue gak bisa bantu lo menangin taruhan itu. Sekalipun misalkan gue masih sahabat lo, tetap aja bakalan sulit buat gue coba masuk ke kehidupan cowok itu. Lo pikir aja, secara fisik-duitpopularitas gue kalah jauh dibanding lo-Arnet-Zetta-Elvi, apalagi dibanding Prita sama antek-anteknya. Dan lo dengan seenak jidat lo malah nyuruh gue buat dekati sang target. Targetnya tuh ‘Stefano’, Rin! Walaupun secara personal gue gak kenal tuh cowok, tapi gue tahu segimana terkenalnya dia di sekolah dan seberapa banyak cewek yang antri kejar dia. Lo jangan nyindir gue deh!” Airin terdiam, kehilangan kata-kata untuk membalas omongan Rema. “Ini uang koran gue. Mulai sekarang lo nggak usah lagi sok dekat dan baik sama gue. Yang jelas alasan gue tadi udah cukup rasional buat bikin lo batalin niat lo nyuruh
9
gue maju deketin Stefano.” Secara paksa Rema memberikan uang korannya ke tangan Airin lalu kemudian bangkit berdiri. Tidak mau menyerah, dengan cepat Airin segera menangkap tangan Rema sebelum gadis itu benar-benar pergi. “Gue benar-benar butuh pertolongan lo kali ini, Re. Gue serius.” Airin begitu putus asa, hingga nyaris menitikkan air mata. ”Anggap saja ini satu-satunya cara untuk membayar hutang budi lo sama gue atas kejadian dua tahun lalu. Selama ini lo selalu meminta untuk balas budi kan! Kalau lo benarbenar serius dengan ucapan lo itu Re, maka inilah saatnya lo buktikan.” Kata-kata pamungkas Airin tersebut seketika meruntuhkan tembok sikap penolakan tegas Rema yang sedari awal telah ia bangun. Bagaimana tidak? Jika itu menyangkut hutang nyawa yang ia miliki selama ini, apapun akan dilakukan, termasuk merubah keputusan untuk bersedia memenuhi permintaan Airin. Apa ini sudah tepat? Apa tindakan gue benar? Pertanyaanpertanyaan penuh keraguan tersebut terus menggelayuti pikiran Rema usai ia memberi tahu Airin tentang kesediaannya untuk membantu kemarin malam melalui telepon. Airin menyambut penuh sukacita perubahan sikap Rema tersebut. Berulang kali dia mengungkapkan rasa terima kasih sekaligus penyesalannya karena harus menggunakan cara yang sedikit tidak baik untuk mendesak Rema.
10