HUBUNGAN ANTARA JENIS POLA ASUH ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN MENJADI PELAKU DAN/ATAU KORBAN PEMBULIAN PADA SISWA-SISWI SMA DI JAKARTA SELATAN Mutiara Pertiwi & Juneman, S.Psi., M.Si. BINUS University, Jl. Peninggaran Timur II no.37, Jakarta Selatan, (+62)856-974-88-376,
[email protected]
ABSTRAK This research was conducted to examine the relationship between the types of parenting styles with tendencies to be perpetrators and/or victims of bullying among high school students in South Jakarta. The subject of this research were 189 people high school students in South Jakarta with an age range around 15-18 years. Classifying of parenting styles in this study was measured using the Parental Authority Questionnaire-Revised (PAQ-R) developed by Buri (1991) and revised by Reitmann (2000) based on the theory of Baumrind (1991) and has been modified by researchers. The tendencies to be perpetrators and/or victims of bullying measured using the Bully and Victims Scales: Adolescent Peer Relations instrumentation developed by Parada (2000) and has also been modified by adding item based on elicitation study on high school students in South Jakarta. Results from the study were analyzed using chi-square analysis showed a significant relationship between the type of parenting parents with behavioral tendencies to be perpetrators and/or victims pembulian on high school students in South Jakarta (Chi-Square value of 36.238, α <0.05) . The results were also analyzed in an integrated between the types of parenting styles with tendencies to be perpetrators and/or victims pembulian on high school students in South Jakarta. Keywords: Type parenting parents, Pembulian Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara jenis pola asuh orangtua dengan kecenderungan menjadi pelaku dan/atau korban pembulian pada siswa-siswi SMA di Jakarta Selatan. Subjek dari penelitian ini berjumlah 189 orang siswa-siswi SMA di kawasan Jakarta Selatan dengan rentang usia 1518 tahun. Pengklasifikasian jenis pola asuh orangtua pada penelitian ini diukur menggunakan Parental Authority Questionnaire-Revised (PAQ-R) yang dikembangkan oleh Buri (1991) dan direvisi oleh Reitmann (2000) berdasarkan teori dari Baumrind (1991) dan telah dimodifikasi oleh peneliti. Kecenderungan menjadi pelaku dan/atau korban pembulian diukur menggunakan Bully and Victims Scales : Adolescent Peer Relations Intrument yang dikembangkan oleh Parada (2000) dan juga telah dimodifikasi peneliti dengan menambahkan butir item berdasarkan hasil studi elisitasi pada siswa-siswi SMA di Jakarta Selatan. Hasil dari penelitian dianalisa menggunakan analisis chi-square menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara jenis pola asuh orangtua dengan kecenderungan perilaku menjadi pelaku dan/atau korban pembulian pada siswa-siswi SMA di Jakarta Selatan (nilai Chi-Square 36,238, α < 0,05). Hasil penelitian juga dianalisa secara integratif antara jenis pola asuh orangtua dengan kecenderungan perilaku menjadi pelaku dan/atau korban pembulian pada siswa-siswi SMA di Jakarta Selatan.
Kata Kunci: Jenis pola asuh orangtua, Pembulian
PENDAHULUAN Perilaku kekerasan anak-anak di Indonesia, khususnya pembulian masih marak terjadi dan terus meningkat. Hal ini diperkuat oleh data dari KPA yang menemukan bahwa aksi pembulian di sekolah telah terjadi sebanyak 472 kasus pada tahun 2009 (“Ruang Eksekusi,” 2009). Pembulian tersebut justru muncul dalam format-format yang telah dilegalkan oleh instansi pendidikan yang bersangkutan, seperti Masa Orientasi Siswa (MOS), acara regenerarisasi kegiatan ekstrakurikuler, atau bentuk-bentuk acara lainnya, yang tidak pernah disadari menjadi ajang pembulian (“Awas Bullying”, 2007). Dalam acara MOS, regenerarisasi, Latihan Dasar Kepemimpinan Sekolah (LDKS) banyak menerapkan sistem senioritas yang kental. Survei yang dilakukan oleh Plan Indonesia dan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) pada 2008 mencatat bahwa 67,9 persen siswa SMA mengaku bahwa ada tindak kekerasan yang terjadi di sekolah mereka, dengan 43,7 persen pelakukanya adalah sesama siswa (“Young Hearts,” 2010). Menurut Bauman (2008, dalam Indira, 2011) pembulian memiliki definisi sebagai berikut : (1) Sebuah perilaku agresif yang ditandai dengan tiga kondisi yang menentukan yaitu (a) perilaku negatif atau berbahaya yang bertujuan untuk menyakiti atau mencelakai, (b) perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang selama periode waktu tertentu, dan (c) terdapat ketidakseimbangan kekuasaan atau kekuaan antara pihak yang terlibat (Olweus, 1993). (2) Adanya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang sistematis (Smith & Sharp, 1994 dalam Indira, 2011). (3) Terpaparnya individu secara berulang terhadap interaksi negatif baik secara langsung maupun tidak lansung, yang dilakukan oleh satu orang atau lebih yang dominan. Bahaya yang terjadi dapat disebabkan karena perlakuan langsung secara fisik maupun psikis, dan/atau secara tidak langsung melalui proses penguatan atau penghindaran oleh penonton kejadian (Twemlow, Fonagy, & Sacco, 2004) (dalam Indira, 2011). Schwartz (2000) mengemukakan bahwa terdapat empat kategori kelompok dari pembulian, antara lain : (1) semata-mata pelaku (pure bullies), orang atau siswa yang hanya mengintimidasi atau menganiaya anak lainnya; (2) semata-mata korban (pure victims), orang atau siswa yang hanya menjadi korban pembulian dari anak lainnya, yang lebih kuat secara fisik dan/atau psikologis; (3) pelaku maupun korban (bullyvictims), orang atau siswa yang terlibat dalam situasi pembulian dengan menjadi pelaku pembulian bagi korban yang lebih lemah darinya dan juga menjadi korban pembulian bagi pelaku pembulian yang lebih kuat darinya; dan (4) bukan pelaku maupun korban (neutral children), orang atau siswa yang tidak terlibat menjadi pelaku maupun korban pembulian (Dukes, Stein & Warren, 2007). Salah satu karakteristik dari perilaku pembulian adalah adanya perilaku agresi yang membuat pelaku senang untuk menyakiti korbannya (Rigby, 1996 dalam Astuti, 2008). Faktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu seseorang untuk melakukan tindakan agresi kepada orang lain, yang merujuk pada perilaku pembulian. Pada remaja, rasa frustasi dapat muncul karena adanya tekanan dari orangtua yang menginginkan anaknya tunduk dan patuh dalam sikap pola asuh otoriter mereka (Sarwono, 2002 dalam Fortuna 2008). Santrock (2007) menjabarkan bahwa orangtua otoriter menetapkan batasan-batasan dan kedali tegas terhadap anak mereka, serta kurang memberikan peluang untuk berdialog secara verbal. Mereka cenderung mengeluarkan kalimat perintah seperti, “Lakukan menurut perintahku atau tidak sama sekali. Tidak ada diskusi!” Orangtua dengan pola asuh otoriter juga menerapkan pola asuh dengan kekerasan dan memberikan sesuatu yang bersifat menghukum (Smith & Myron-Wilson, 1998 dalam Ahmed & Braithwaite, 2004). Sesuai dengan pendapat Farrington (2000) bahwa pola asuh orangtua memiliki kemungkinan berkorelasi dengan perilaku pembulian pada anak, sehingga anak yang berasal dari keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter, cenderung menjadi pelaku pembulian (Smith & Myron-Wilson, 1998 dalam Ahmed & Braithwaite, 2004). Namun, penelitian mengenai pola asuh orangtua yang yang terkait dengan bagaimana seorang anak menjadi korban pembulian masih memuat banyak hasil yang bertentangan. Temuan lain menunjukkan bahwa pola asuh permisif cenderung menjadikan anak kesulitan dalam membatasi perilaku agresif mereka, sehingga mengembangkan mereka menjadi pelaku pembulian (Miller et al, 2002 dalam Georgiou, 2008). Pola asuh permisif terdiri dari dua macam yaitu permisif yang bersifat memanjakan dan permisif yang bersifat mengabaikan (Maccoby & Martin, 1983 dalam Santrock, 2003). Pola asuh permisif memanjakan membiarkan anaknya melakukan apapun yang mereka inginkan, tanpa memberikan kendali terhadap mereka. Sehingga, pada saat remaja mereka tidak pernah belajar untuk mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap agar keinginannya dituruti. Orangtua yang mengasuh dengan pola ini, memiliki pemikiran bahwa dengan kombinasi sedikitnya pembatasan yang diberikan dan kelekatan yang terjadi, akan menghasilkan remaja yang percaya diri. Namun, pengasuhan ini justru berkaian dengan rendahnya kompetensi sosial remaja, khususnya dalam pengendalian diri (Santrock, 2007).
Serupa dengan permisif bersifat memanjakan, pola asuh permisif bersifat mengabaikan juga menghasilkan remaja yang tidak kompeten secara sosial, tidak menyikapi kebebasan dengan baik dan memiliki pengendalian diri yang buruk. Remaja yang diasuh dengan pola asuh permisif bersifat mengabaikan merasa bahwa hal-hal lain dalam kehidupan orangtuanya lebih penting dari dirinya, sehingga kebutuhan akan perhatian dari orangtuanya tidak pernah terpenuhi (Santrock, 2007). Orangtua yang menerapkan pola asuh ini bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan mengenai dimana keberadaan dan apa kegiatan anaknya (Santrock, 2003). Dengan tidak adanya pengawasan, batasan kendali dan perhatian dari orangtua yang menerapkan sistem pola asuh permisif, memiliki kemungkinan pada anak remaja mereka untuk mengembangkan perilaku agresif mereka dan melakukan tindakan pembulian. Bertolak belakang dengan penelitian sebelumnya, peneliti lain menemukan bahwa pola asuh orangtua yang permisif memprediksi anak cenderung menjadi korban pembulian, dan pola asuh orangtua yang otoriter memprediksi anak cenderung menjadi pelaku pembulian (Baldry & Farrington, 2000; Kaufmann et al, 2000, dalam Georgiou, 2008). Rican, Klicperova dan Koucka (1993) mengamati bahwa anak-anak yang diasuh oleh orangtua dengan pola pengasuhan otoritatif dengan mendukung kemandirian dan otonomi anaknya, cenderung kurang terlibat dalam perilaku pembulian (Ahmed & Braithwaite, 2004). Orangtua dengan pola pengasuhan ini memberikan kesempatan berdialog secara verbal dan bersikap hangat. Seperti contoh (Santrock, 2007) mengenai bagaimana seorang ayah dengan pola asuh otoritatif berbicara dengan anak remajanya secara terbuka, “Kamu tahu bahwa kamu seharusnya tidak melakukan itu. Sekarang mari kita bicarakan bagaimana caranya agar kamu mampu menangani situasi macam ini dengan lebih baik.” Para remaja yang diasuh dengan pola pengasuhan otoritatif biasanya mandiri dan memiliki tanggung jawab sosial yang baik (Santrock, 2007). Reuter & Conger (1995) juga menyatakan bahwa orangtua otoritatif mencapai keseimbangan yang baik antara pengendalian, otonomi, pemberian peluang kepada remajanya untuk mengembangkan kemandirian sambil memberikan standar, batasan, dan bimbingan yang diperlukan oleh anak-anak mereka (Santrock, 2007). Dengan demikian, berdasarkan sumber literatur di atas menunjukkan bahwa adanya hubungan antara satu pola asuh yang spesifik dengan satu kecenderungan perilaku pelaku-korban pembulian. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan secara integratif antara pola asuh dengan kecenderungan perilaku pelaku-korban pembulian.
METODE PENELITIAN Subjek penelitian ini adalah siswa laki-laki dan perempuan Sekolah Menengah Atas, baik negeri maupun swasta di wilayah Jakarta Selatan, yang duduk di kelas X - XII dan berusia 15 – 18 tahun. Sampel dikumpulkan secara accidental non-probability sampling. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner dengan skala Likert. Sebagai penelitian pendahuluan, peneliti menggunakan metode studi elisitasi terhadap 238 siswa lakilaki dan perempuan di beberapa SMA di Jakarta Selatan, untuk mengetahui tindakan pembulian apa saja yang banyak dilakukan dan diterima oleh siswa SMA di Jakarta Selatan. Kuesioner digunakan untuk menggali data dari lapangan mengenai rumusan masalah yang ditanyakan. Jumlah subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 189 orang, yang terdiri dari 78 siswa dan 111 siswi SMA di Jakarta Selatan. Kuesioner yang peneliti gunakan dikonstruk berdasarkan hasil adaptasi dari alat ukur Parada (2000) yang bernama Bully and Victims Scales : Adolescent Peer Relations Intrument dan ditambahkan dengan hasil dari studi elisitasi yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan nilai relialibilitas yang dapat dilihat di tabel 1.
Tabel 1. Nilai Reliabilitas Kuesioner Bully and Victims Scales : Adolescent Peer Relations Intrument Bully Scales Reliability
Victim Scales Reliabilty
Cronbach's
Cronbach’s
Alpha .922
N of Items 22
Alpha .968
N of Items 24
Pada kuesioner yang menggali kecenderungan perilaku menjadi pelaku dan/atau korban pembulian, subjek diminta untuk memilih 1 dari 6 pilihan jawaban yang disediakan, yaitu “tidak pernah”, “jarang”, “12 kali sebulan”, “1 kali seminggu”, “beberapa kali seminggu”, hingga “setiap hari”. Untuk kuesioner pola asuh oranngtua, peneliti menggunakan adaptasi alat ukur Authority Questionnaire-Revised yang dibuat oleh Buri pada tahun 1991, dan dikembangkan oleh Reitman pada tahun 2000 (Altobello, C., Hupp. S.D.A., Reitman, D., & Rhode, P.C, 2002). Pada kuesioner yang menggali data mengenai pola asuh orangtua yang diterapkan, subjek diminta untuk memilih 1 dari 5 jawaban yang disediakan, yaitu “sangat tidak sesuai”, “tidak sesuai”, “netral”, “sesuai”, hingga “sangat sesuai”. Dengan nilai reliabilitas alat ukur tersebut dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Nilai Reliabilitas Kuesioner Authority Questionnaire-Revised Authoritarian Reliability Cronbach's
Authoritative Reliability Cronbach's
Permissive Reliability Cronbach's
Alpha
N of Items
Alpha
N of Items
Alpha
N of Items
.791
8
.827
7
.732
6
Pada tahap pengambilan data, peneliti menghampiri subjek dan meminya subjek mengisi kuesioner yang telah disediakan. Kuesioner tersebut diisi ditempat dan tidak diperkenankan untuk dibawa pulang.
HASIL DAN BAHASAN Hasil analisis uji hipotesis menunjukkan bahwa adanya hubungan antara pola asuh orang tua dengan kecenderungan perilaku menjadi pelaku dan/atau korban pembulian. Hasil temuan dari penelitian ini sejalan dengan pernyataan Farrington (2000) bahwa pola asuh orangtua berkorelasi dengan perilaku pembulian pada anak (dalam Ahmed & Braithwaite, 2004). Secara integratif, hasil analisisnya dapat dilihat di tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Integratif Kecenderungan Perilaku Pembulian Bukan Semata-
Pelaku
pelaku
Tidak
Semata-
mata
maupun
maupun
dapat
mata
pelaku
korban
korban
dibedakan
korban
Total
Jenis
P-manja
1
0
1
0
0
2
Pola
P-abai
0
0
4
0
0
4
Asuh
Otoritatif
0
2
15
3
1
21
7
4
4
3
2
20
11
23
54
41
13
142
19
29
78
47
16
189
Orangt Otoriter ua
Tidak dpt dibedakan
Total
Dalam penelitian ini, secara integratif peneliti menemukan bahwa jenis pola asuh orangtua otoriter menunjukkan kecenderungan perilaku menjadi pelaku pembulian, sebagai kecenderungan perilaku
tertinggi. Kecenderungan perilaku terendah yang ditunjukkan oleh jenis pola asuh otoriter adalah kecenderungan menjadi korban pembulian. Jenis pola asuh otoritatif menunjukkan kecenderungan perilaku tertinggi yaitu perilakubukan pelaku maupun korban pembulian, atau dengan kata lain menunjukkan bahwa anak tersebut cenderung tidak terlibat dalam tindakan pembulian. Dalam penelitian ini, jenis pola asuh otoritatif tidak menunjukkan kecenderungan perilaku anak menjadi pelaku pembulian. Untuk jenis pola asuh orangtua permisif, peneliti menganalisa secara terpisah antara permisifmemanjakan dengan permisif-mengabaikan. Jenis pola asuh orangtua permisif-memanjakan dalam penelitian ini menunjukkan kecenderungan perilaku anak untuk menjadi pelaku pembulian saja. Namun, pola asuh orangtua permisif-memanjakan juga menunjukkan bahwa ada kecenderungan anak tidak terlibat dalam tindakan pembulian sama sekali, dan tidak menunjukkan kecenderungan perilaku yang lainnya. Sedangkan, untuk jenis pola asuh orangtua permisif-mengabaikan hanya menunjukkan kecenderungan perilaku anak bukan sebagai pelaku maupun korban pembulian, atau tidak terlibat sama sekali dengan tindakan pembulian. Dalam mengklasifikasikan jenis pola asuh orangtua pada penelitian ini, peneliti menggunakan nilai skor standar deviasi (z-score) setiap responden. Sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Buri (1991) dan Smetana (1995) (dalam Leman, 2005) bahwa untuk menentukan pola asuh orangtua yang digunakan nilai skor standar deviasi responden (anak) pada satu jenis pola asuh orangtua harus diatas 0,5, dan skor standar deviasi pada jenis pola asuh lainnya dibawah 0,00, sehingga baru bisa diklasifikasikan jenis pola asuh orangtua yang digunakan. Dari 189 responden yang datanya berhasil diolah akhirnya diklasifikasikan menjadi 2 responden ditunjukkan diasuh dengan jenis pola asuh permisif-memanjakan, 4 responden diasuh dengan jenis pola asuh permisif-mengabaikan, 21 responden diasuh dengan jenis pola asuh otoritatif, 20 responden diasuh dengan jenis pola asuh otoriter, dan sisanya sebesar 142 responden tidak dapat dibedakan dalam keempat jenis pola asuh orangtua Diana Baumrind diatas. Jenis pola asuh orangtua yang tidak dapat dibedakan tersebut, bernama pola asuh undifferentiated yang juga diperkenalkan oleh Diana Baumrind (dalam Watanabe, 2011). Walaupun pola asuh undifferentiated tidak sesuai dengan kriteria dari penelitian Baumrind, nilai skor pada jenis pola asuh undifferentiated tidak berbeda secara signifikan dari nilai rata-rata dalam jenis pola asuh yang lain. Oleh karena itu, pola asuh orangtua undifferentiated termasuk dalam pola ini (Baumrind, 1989 dalam Watanabe, 2011). Temuan ini juga mendukung temuan lain bahwa anak yang berasal dari keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter cenderung menjadi pelaku pembulian (Smith & Myron-Wilson, 1998 dalam Ahmed & Braithwaite, 2004). Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Ahmed dan Braithwaite (2004) yang menemukan bahwa pelaku pembulian cenderung menggunakan pola asuh otoriter di rumah. Merujuk pada penelitian Baumrind (1991) mengenai pola asuh orangtua, hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh orangtua yang otoriter memiliki prediksi terbaik untuk kecenderungan perilaku anak menjadi pelaku pembulian (dalam Georgiou, 2008). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, peneliti mengasumsikan bahwa pola asuh orangtua yang otoriter mendidik anak dengan cara yang kasar dan menghukum, serta kurangnya kehangatan, kelekatan anak terhadap orangtua, dan banyaknya konflik memungkinankan anak untuk bertindak serupa terhadap temannya di sekolah karena meniru apa yang dilakukan oleh orangtua kepada dirinya. Sesuai dengan hasil penelitian Bandura yang menunjukkan bahwa perilaku mendidik yang agresif dapat berfungsi sebagai model contoh bagi anak-anaknya untuk melakukan hal yang serupa dalam kehidupan pertemanan dengan anak lainnya (Farrington, 1993 dalam Ahmed & Braithwaite, 2004). Temuan ini juga didukung oleh Olweus (1993) yang menemukan bahwa faktor pola asuh orang tua yang mengasuh anaknya dengan menggunakan metode power-assertive, seperti menggunakan hukuman fisik dan kekerasan emosional, akan menghasilkan anak dengan kecenderungan perilaku serupa. Hasil temuan jenis pola asuh otoritatif yang mendukung kemandirian dan otonomi anak, memang cenderung kurang terlibat dalam perilaku pembulian (Ahmed & Braithwaite, 2004). Sejalan dengan hasil penelitian Rigby (1993) yang menemukan bawa anak yang diasuh dengan sikap yang positif cenderung tidak terlibat dalam tindakan pembulian (Georgiou, 2008). Hal ini disebabkan karena, pada pola asuh yang otoritatif kebutuhan setiap anak terakomodasi dengan baik, serta pada pola asuh otoritatif menghargai dan menghormati perbedaan sehingga orang dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya (Surbakti, 2009). Hasil temuan jenis pola asuh permisif ini mendukung hasil temuan terdahulu yang menyatakan bahwa faktor pola asuh orangtua permisif tidak turut berperan terhadap perilaku pembulian yang terjadi di tiga kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta (Royanto & Djuwita, 2011). Tetapi di dalam penelitian ini juga ditemukan hasil bahwa jenis pola asuh permisif (permisif-memanjakan) menghasilkan kecenderungan anak menjadi pelaku pembulian. Hasil temuan ini juga pernah ditemukan sebelumnya oleh Sears dan koleganya (1957, dalam Georgiou 2008) bahwa jenis pola asuh permisif memberikan kebebasan pada anak untuk melakukan tindakan agresi pada orang lain. Temuan ini juga didukung oleh penelitian lain yang menyatakan bahwa jenis pola asuh orangtua permisif memiliki
5
hubungan dengan tingginya agresi pada anak-anak (Rubin, Stewart, & Chen,1995 dalam Casas, Crick, Huddleston-Casas, Ostrov, Weigel, & Yeh, 2006). Orangtua dengan jenis pola asuh permisif tanpa disadari berkomunikasi dengan anak-anak mereka bahwa perilaku agresif dapat diterima dengan tidak menghukum anak mereka ketika anak mereka melakukan tindakan agresif pada orang lain (Casas, Crick, HuddlestonCasas, Ostrov, Weigel, & Yeh, 2006). Di Indonesia, Hanif (2005) juga telah menemukan bahwa anak dengan jenis pola asuh orangtua permisif memiliki tingkat agresivitas yang tinggi. Secara lebih integratif, peneliti juga mencoba menganalisis signifikansi hubungan antara jenis pola asuh orangtua dengan jenis pembulian yang sering dilakukan maupun diterima oleh pelaku dan/atau korban pembulian dengan menggunakan korelasi Pearson. Jenis pembulian yang ingin dilihat signifikansi hubungannya terdiri dari pembulian terbuka (fisik dan verbal), pembulian tidak langsung, dan pembulian maya, baik pelaku maupun korban. Hasil korelasi yang telah dilakukan dengan bantuan peranti lunak SPSS, menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis pola asuh orangtua otoriter dengan jenis pembulian terbuka (dimensi pelaku) (α < 0,05), dengan nilai korelasi 0,402 yang artinya semakin otoriter pola asuh yang diterapkan, maka semakin sering anak menunjukkan kecenderungan pelaku secara terbuka. Pola asuh orangtua otoriter juga menunjukkkan adanya hubungan yang signifikan dengan jenis pembulian terbuka fisik dan verbal (dimensi pelaku), dengan masing-masing nilai korelasi 0,409 dan 0,368. Adanya hubungan yang signifikan juga ditunjukkan antara jenis pola asuh orangtua otoriter dengan jenis pembulian tidak langsung dan pembulian maya (dimensi pelaku) (α < 0,05) dengan nilai korelasi 0,291 dan 0,253 yang artinya semakin otoriter orangtua, maka semakin sering anak melakukan kecenderungan perilaku sebagai pelaku dengan cara melakukan tindakan pembulian tidak langsung atau melalui dunia maya. Hasil korelasi ini, mendukung hasil analisis integratif pada penelitian ini, bahwa pola pengasuhan orangtua yang otoriter, cenderung akan menghasilkan periilaku anak menjadi pelaku pembulian, baik secara terbuka, tidak langsung ataupun melalui media maya. Untuk hasil korelasi jenis pola asuh orangtua otoritatif menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan jenis pembulian terbuka (fisik dan verbal) dan pembulian tidak langsung pada dimensi pelaku (α < 0,05), dengan masing-masing nilai korelasi -0,258 dan -0,158 yang artinya semakin otoritatif pola asuh yang diterapkan oleh orangtua, maka kecenderungan anak untuk menjadi pelaku pembulian baik secara terbuka atau tidak langsung akan semakin rendah. Temuan ini, juga mendukung hasil analisis integratif sebelumnya, bahwa pola asuh orangtua otoritatif cenderung menghasilkan perilaku anak yang tidak terlibat dalam tindakan pembulian, baik sebagai pelaku maupun korban. Hasil korelasi lain untuk pola asuh permisif-memanjakan menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan dengan jenis-jenis pembulian (α > 0,05). Sedangkan permisif-mengabaikan menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan jenis pembulian terbuka dan pembulian tidak langsung dimensi pelaku (α < 0,05), dengan nilai korelasi masing-masing sebesar 0,225 dan 0,173 yang artinya semakin permisif dan tidak pedulinya orangtua terhadap anak, maka anak cenderung akan melakukan tindakan pembulian secara terbuka atau tidak langsung. Temuan ini sejalan dengan hasil analisis integratif sebelumnya, yang menemukan bahwa pola asuh permisif-mengabaikan akan memunculkan kecenderungan perilaku anak menjadi pelaku pembulian, namun kecenderungan perilaku sebagai pelaku yang muncul tersebut tidak terlalu signifikan dibandingkan kecenderungan perilaku yang dimunculkan dari jenis pola asuh orangtua otoriter. Lebih lanjut lagi, ditemukan bahwa adanya hubungan signifikan antara jenis pola asuh orangtua otoriter dengan jenis pembulian dimensi korban (α < 0,05), dengan nilai korelasi 0,228 untuk jenis pembulian terbuka, 0,165 untuk jenis pembulian tidak langsung, dan 0,173 untuk jenis pembulian maya. Artinya, semakin otoriter orangtua, maka akan semakin tinggi kecenderungan perilaku korban pembulian anak. Anak akan semakin sering mendapat perilaku pembulian. Peneliti menyimpulkan berdasarkan hasil korelasi bahwa adanya hubungan signifikan antara jenis pola asuh orangtua yang otoriter dengan jenis pembulian dimensi pelaku dan korban, yang artinya jenis pola asuh orangtua otoriter memiliki kecenderungan untuk menghasilkan perilaku sebagai pelaku dan/atau korban pembulian. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, anak yang diasuh dengan pola asuh otoriter dengan kekerasan dan hukuman cenderung akan menjadi pelaku pembulian di sekolah (Smith & Myron-Wilson, 1998 dalam Ahmed & Braithwaite, 2004). Namun pada penelitian lain ditemukan bahwa pola asuh otoriter cenderung mengembangkan anak yang depresi (Wolfradt et al, 2003 dalam Georgiou 2008). Hasil penerapan pola asuh orangtua otoriter menyebabkan anak remaja mengalami tekanan secara fisik dan psikis, kehilangan dorongan semangat juang, cenderung selalu menyalahkan diri sendiri, mudah putus asa, dan tidak memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapat (Surbakti, 2009). Karakter anak yang cenderung merasa tidak nyaman dengan lingkungan, tidak aman dan memiliki self-esteem yang rendah selalu menjadi korban pembulian (Olweus, 1993).
6
Asumsi peneliti, anak yang diasuh dengan pola asuh otoriter memiliki dua kecenderungan perilaku dalam pembulian, beberapa anak dapat melakukan tindakan pembulian karena meniru perilaku dari orangtua (Bandura 1986, dalam Ahmed & Braithwaite, 2004), dan sebagian lainnya justru merasakan tekanan dan rendah diri karena selalu merasa gagal dalam melakukan sesuatu sehingga selalu menerima hukuman dari orangtua, anak yang merasa rendah diri ini akan selalu merasa rendah diri dan tidak berguna di lingkungan pergaulannya sehingga selalu menjadi target pembulian (korban) (Olweus, 1993). Karena korban memiliki perasaan rendah diri dan selalu menyalahkan diri sendiri, mereka jadi merasa bahwa mereka pantas menerima perilaku pembulian tersebut sehingga diam saja dan tidak melaporkannya kepada orangtua atau guru, sehingga tindakan pembulian terus terjadi (SEJIWA, 2008). Hasil studi lain menyatakan bahwa korban tidak hanya merupakan anak yang pasif, yang pendiam dan sulit untuk menghargai diri sendiri. Tetapi juga ada korban yang agresif, anak seperti ini cenderung lebih impulsif dan sering menggunakan agresi fisikal bila ada anak lain yang mengganggunya, sulit mengontrol diri, serta cenderung bereaksi terlalu cepat terhadap segala bentuk provokasi pada dirinya (Priyatna, 2010). Hal tersebut justru dimanfaatkan oleh pelaku untuk memanipulasi sifatnya tersebut dan menjadikannya target pembulian untuk memenuhi keinginan mereka atas penghargaan diri dari lingkungan pergaulannya. Hal ini juga didukung oleh temuan lain yang menyatakan bahwa karakteristik korban pembulian mirip dengan profill pelaku pembulian (Komiyama, 1986 dalam Ahmed & Braithwaite, 2004). Temuan lain pada penelitian ini menunjukkan bahwa siswa laki-laki mendominasi dalam kecenderungan perilaku sebagai semata-mata pelaku pembulian dan perilaku pelaku maupun korban pembulian. Hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Aluede dkk (2006, dalam Magfirah & Rachmawati, 2009) yang menunjukkan bahwa remaja laki-laki lebih sering menjadi pelaku sekaligus juga korban pembulian. Hasil penelitian Magfirah dan Rachmawati (2009) juga menunjukkan bahwa siswa laki-laku mendominasi dalam kecenderungan perilaku pembulian. Sedangkan siswa perempuan memiliki kecenderungan perilaku sebagai korban pembulian atau sama sekali tidak terlibat dalam perilaku pembulian. Temuan lain dari penelitian ini adalah bahwa siswa-siswa kelas XII (senior) di SMA wilayah Jakarta Selatan cenderung memiliki perilaku sebagai semata-mata pelaku pembulian dan siswa kelas X (siswa baru) sama sekali tidak memiliki kecenderungan sebagai pelaku pembulian. Temuan ini mendukung faktor tradisi senioritas yang diungkapkan oleh Astuti (2008) bahwa senioritas dijadikan kesempatan atau alasan kakak kelas (senior) untuk melakukan tindakan pembulian terhadap adik kelas (junior/siswa baru). Hasil penelitian peneliti juga menemukan bahwa siswa laki - laki yang terlibat tindakan pembulian cenderung melakukan dan menerima tindakan pembulian terbuka, seperti memukul, menampar, menendang secara langsung, atau lebih ke arah physical bullying (grafik dapat dilihat di lampiran 8). Sedangkan siswa perempuan yang terlibat tindakan pembulian cenderung melakukan dan menerima tindakan pembulian tidak langsung dan pembulian melalui media maya, seperti menyebarkan rumor, manipulasi, mengabaikan teman lainnya atau lebih ke psychological bullying (grafik dapat dilihat di lampiran 8). Hal ini sesuai dengan teori Olweus (1993) yang menyatakan bahwa siswa laki-laki cenderung melakukan tindakan pembulian secara fisik langsung, dan siswa perempuan melakukan tindakan pembulian secara tidak langsung (non-fisik). Berdasarkan analisis regresi yang dilakukan peneliti diketahui bahwa pola asuh orangtua pada penelitian ini memberi sumbangan sebesar 21,8% untuk kecenderungan perilaku menjadi pelaku pembulian dan 8,3% untuk kecenderungan perilaku menjadi korban pembulian. Hal ini sejalan dengan pernyataan Priyatna (2010) bahwa adanya banyak faktor yang mempengaruhi tindakan pembulian, seperti faktor bagaimana lingkungan pergaulan yang didapat oleh para siswa di sekolah.
SIMPULAN DAN SARAN Terdapat hubungan yang positif dan siginifikan antara pola asuh orangtua dengan kecenderungan perilaku menjadi pelaku dan/atau korban pembulian. Analisis secara integratif, pola asuh orangtua yang otoriter cenderung mengembangkan perilaku semata-mata pelaku pembulian. Sedangkan pola asuh orangtua otoritatif, permisif-mengabaikan dan pola asuh orangtua yang tidak bisa dibedakan (undifferentiated) cenderung mengembangkan perilaku anak menjadi bukan pelaku maupun korban pembulian, yang artinya tidak terlibat dengan tindakan pembulian. Serta, jenis pola asuh orangtua permisifmemanjakan menampilkan dua kecenderungan perilaku anak menjadi semata-mata pelaku pembulian, dan juga bukan pelaku maupun korban pembulian. Berdasarkan kesimpulan diatas dapat direkomendasikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Bagi Sekolah
7
a.
2.
3.
4.
Meningkatkan kesadaran pada siswa mengenai adanya praktik pembulian di sekitar mereka, sehingga dapat mencegah tindakan tersebut untuk semakin meluas. b. Pihak sekolah memberikan perhatian khusus kepada aksi-aksi pembulian, dengan memberikan peraturan dan sanksi tegas yang menentang tindakan pembulian tersebut. c. Pihak sekolah bekerja sama dengan orangtua siswa untuk mengawasi gerak-gerik perilaku anaknya di rumah. d. Pihak sekolah membudayakan lingkingan sekolah yang positif, dengan menegakkan nilai-nilai keluhuran seperti kejujuran, toleransi, hormat, empai, peduli, kasih sayang, dan kerjasama dengan membangun aktivitas-aktivitas anti-bullying seperti poster, pembentukan dewa, pengawas, mengadakan workshop, kurikulum anti-bullying dan membentuk diskusi bersama support group. Bagi Orangtua Untuk intervensi orangtua di rumah (Priyatna, 2010) yang harus dilakukan adalah a. Jangan menyalah-nyalahkan anak. Orangtua harus menyimak, memberikan dukungan dan empati, serta dilarang untuk menyalah-nyalahkan perilaku anak, b. Memberikan yang terbaik. Orangtua harus memberikan perlindungan yang terbaik bagi anak dari segala macam bentuk kekerasan, dan bekerja sama dengan pihak sekolah. c. Orangtua harus menghindari sikap agresif, intimidasi dan merusak lainnya. Orangtua harus mencontohkan kompetensi perilaku sosial dan emosional yang baik kepada anak. Bagi Korban Pembulian a. Korban harus mengakui bahwa terdapat masalah dalam lingkup pergaulan mereka, dan mereka telah menjadi korban pembulian. b. Korban memberitahukan pengalaman yang dialami kepada oranglain yang mereka percaya untuk membantu dan terus berkomunikasi hingga masalah tersebut terselesaikan. Bagi Pelaku Pembulian a. Ajak pelaku untuk berdiskusi langsung dan intensif dengan pihak sekolah dan orangtua. b. Ajak pelaku menggali potensi dan bakat yang ada pada dirinya untuk menyalurkan emosiemosi negatif yang ada pada dirinya dan mengalihkannya menjadi enerrgi yang positif.
REFERENSI Ahmed, E., & Braithwaite, V, (2004). Bullying and victimization: cause for concern for both families and schools. Social psychology of education, 7, 35-54. Amelia, A.M. 02 April, 2010, Tak pakai kaos dalam siswi SMA 70 bulungan dianiaya senior. Detik, (Online) (http://news.detik.com/read/2010/04/02/215010/1330958/10/tak-pakai-kaos-dalam-siswisma-70-bulungan-dianiaya-senior?nd992203605, diakses 14 Maret 2012). Asril, S. 20 September, 2011. Kronologi kericuhan SMA X Jakarta versi polisi. Kompas, (Online). (http://nasional.kompas.com/read/2011/09/20/16453733/Kronologi.Kericuhan.SMA.6.Jakarta.Versi .Polisi, diakses 14 Maret 2012). Astuti, P.R. (2008). Meredam Bullying: 3 cara efektif mengatasi kekerasan pada anak. Jakarta: PT. Grasindo. Baldry, A.C., & Farrington, D.P. (2000). Bullies and delinquents: Personal characteristics and paretal styles. Journal of Community & Applied Social Psychology, 10, 17-31. Baumrind, D. (1966). Effects of authoritative parental control on child behavior, Child development, 37(4), 887 – 907. Casas, J.F., Crick, N.R., Huddleston-Casas, C.A., Ostrov, J.M., Weigel, S.M., Woods, K.E., & Yeh, E.A.J. (2006). Early parenting and children’s relational and physical aggression in the preschool and home contexts. Applied developmental psychology, 27, 209 – 227. Coloroso, B. (2007). Stop bullying (memutus rantai kekerasan anak dari prasekolah hingga SMU). Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi.
8
DeMaray, K. M., & Malecki, K. C. (2003). Perceptions of the frequency and importance of social support by students classified as victims, bullies, and bully/victims in an urban middle school. School Psychology Review, 32, 471-489. Djuwita, R. 29 April, 2006. Kekerasan tersembunyi di sekolah: aspek-aspek psikososial dari bullying. Workshop Bullying: Masalah tersembunyi dalam dunia pendidikan di Indonesia. IDAI, (Online) (http://www.idai.or.id/remaja/artikel.asp?q=201057142347, diakses 14 maret 2012). Dukes, R.L., Stein, J.A., & Warren, J.I. (2007). Adolescent male bullies, victims, and bully-victims: a comparison of psychosocial and behavioral characteristics. Journal of Pediatric Psychology, 32(3), 273-282. Georgiou, S.N . (2008). Bullying and victimization at school : the role of mothers. British Journal of Educational Psychology. Georgiou, S.N. (2008). Parental style and child bullying and victimization experiences at school. Soc Psychol Edu. Greening, L., Luebbe, A., & Stoppelbein, L. (2010). The moderating effects of parenting styles on AfricanAmerican and Caucasian children’s suicidal behaviors. J Youth Adolescence, 39, 357-369, DOI:10.1007/s10964-009-9459-z. Gunawan, D. 17 September, 2009. Ruang Eksekusi di Zona Anti-Kekerasan. Detik, (Online), (http://news.detik.com/read/2009/11/17/095752/1243038/159/ruang-eksekusi-di-zonaantikekerasan, diakses 14 Maret 2012). Hamburger, M.E., Basile, K.C., Vivolo, A.M. (2011). Measuring Bullying Victimization, Perpetration, and Bystander Experiences: A Compendium of Assessment Tools. Atlanta, GA: Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Injury Prevention and Control. Hanif. (2005). Perbedaan tingkat agresivitas pada siswa SMU Muhammadiyah I Yogyakarta berdasar pada pola asuh dan jenis pekerjaan orangtua. Jurnal penelitian humaniora, 6(2), 144-154. Hurlock, E.B. (1990). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (edisi 5). Jakarta: Penerbit Erlangga. Ijaz, T., & Mahmood, Z. (2009). Relationship between perceived parenting styles and levels of depression, anxiety, and frustration tolerance in female students. Pakistan journal of psychological research, 24 (1-2), 63 – 78. Indarini, N. 29 April, 2007. Awas! Bullying di sekolah. Detik, (http://news.detik.com/read/2007/04/29/024012/773879/10/awas-bullying-di-sekolah, tanggal 14 Maret 2012).
(Online) diakses
Indira, P.M. (2011). Studi deskriptif tentang bullying pada sekolah menengah atas dan kejuruan di salatiga. Conference proceeding asosiasi psikologi pendidikan, 361 – 374. Indra.
09 April, 2011. “Bullying” sering dianggap sepele. Kompas, (Online) (http://megapolitan.kompas.com/read/2011/04/09/15512144/.Bullying.Sering.Dianggap.Sepele, diakses 23 Februari 2012).
Kartono, K. (2003). Patologi sosial 2: Kenakalan remaja. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada. Leman, P. (2005). Authority and moral reason: Parenting style and children’s perception of adult rule justifications. International journal of behavioral development, 29(4), 265-270, DOI:10.1080/01650250544000044.
9
Magfirah, U., & Rachmawati, M.A. (2009). Hubungan antara iklim sekolah dengan kecenderungan perilaku bullying. Psikohumanika, 3(1), 2 -12, ISSN 1979-0341. Nazir, M. (2003). Metode penelitian. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Olweus, D. (1993). Bullying at school. UK: Blackwell Publishing. Parada, R. H. (2000). Adolescent Peer Relations Instrument: A theoretical and empirical basis for the measurement of participant roles in bullying and victimization of adolescence: An interim test manual and a research monograph: A test manual. Penrith South, DC, Australia: Publication Unit, Self-concept Enhancement and Learning Facilitation (SELF) Research Centre, University of Western Sydney. Prasasty, R.A. 27 Oktober, 2011, Anak jadi korban bully 15 ortu siswa sma Y0 lapor ke komnas PA. Detik, (Online) (http://us.news.detik.com/read/2011/10/27/141226/1753977/10/anak-jadi-korban-bully15-ortu-siswa-sma-70-lapor-ke-komnas-pa?nd992203605, diakses 14 Maret 2012) Priyatna, A. (2010). Let’s End Bullying: Memahami, mencegah, dan mengatasi bullying. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Priyatna, A. (2010). Parenting untuk orangtua sibuk. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Rahmatullah, A. 03 April, 2010, Kasus bullying juga menimpa Okke siswa SMA 46 Jakarta. Detik, (Online) (http://news.detik.com/read/2010/04/03/065911/1330995/10/kasus-bullying-jugamenimpa-okke-siswa-sma-46-jakarta, diakses 14 Maret 2012). Ramdan, D.M. 1 Desember, 2009. Inilah catatan kasus kekerasan di sekolah. Okezone, (Online) (http://news.okezone.com/read/2008/12/01/1/169426/inilah-catatan-kasus-kekerasan-di-sekolah, diakses 14 Maret 2012). Reitman, D. Rhode, P.C. Hupp, S.D.A. & Altobello, C. (2002). Development and validation of the parental authority Questionnaire Revised. Journal of Psychopathology and Behavioral Assessment. Royanto, L.R.M., & Djuwita, R. (2011). Peran faktor personal dan situasional terhadap perilaku bullying di tiga kota besar di Indonesia. Conference Proceeding Asosiasi Psikologi Pendidikani, 307 – 317. Rusdayanto, F. 24 September, 2011. Tawuran dan kekerasan di sekolah. Haluan Kepri, (Online) (http://www.haluankepri.com/opini-/17864-tawuran-dan-kekerasan-di-sekolah.html , diakses 14 Maret 2011). Santrock, J.W. (2003). Perkembangan remaja. Jakarta: Penerbit Erlangga. Santrock, J.W. (2007). Remaja. Jakarta: Penerbit Erlangga. Sarwono, S.W. (2002). Psikologi Remaja. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada. Sedayu, A. 09 November, 2009. Kak Seto: ada tiga kasus bullying di tiga sekolah favorit. Tempo, (Online) (http://www.tempo.co/read/news/2009/11/09/064207304/Kak-Seto-Ada-Tiga-Kasus-Bullying-diTiga-Sekolah-Favorit, diakses 14 Maret 2012). SEJIWA. (2008). Bullying: Mengatasi kekerasan di sekolah dan lingkungan. Jakarta: PT. Grasindo. SEJIWA. 16 April, 2010. Young hearts : pelajar se-Jabodetabek bersuara melawan bullying di sekolah. (Online) (http://sejiwa.org/workshop-young-hearts , diakses 14 Maret 2012). SEJIWA .12 Oktober, 2010, Kekerasan terhadap anak makin memiriskan. (http://sejiwa.org/kekerasan-terhadap-anak-makin-memiriskan, diakses 14 Maret 2012).
10
(Online)
Setianingsih, D.A. 23 Desember, 2011. Bullying masih jadi momok. Kompas, (cetak). Shaughnessy, J.J., Zechmeister, E.B., & Zechmeister, J.S. (2006). Research Methods in Psychology. (7th Edition). New York: McGraw-Hill. Sujianto, A.E. (2009). Aplikasi statistic dengan SPSS 16.0. Jakarta: PT. Prestasi Pustaka. Sullivan, K. (2000). The-anti bullying handbook. New York: Oxford University Press. Supeno, H. (2010). Kriminalisasi Anak: tawaran gagasan radikal peradilan anak tanpa pemidanaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. Surbakti, E.B. (2009). Kenalilah anak remaja anda. Jakarta: Elex Media Komputindo Taganing, N.M. & Fortuna, F. (2008). Hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku agresif pada remaja. Watanabe, A. (2011). The influence of parenting on children’s academic achievement: comparison between the united states and japan (Unpublished master’s thesis). California State University, Chico.
RIWAYAT PENULIS Mutiara Pertiwi lahir di kota Jakarta pada tanggal 11 Oktober 1990. Penulis menamatkan pendidikan S1 di BINUS University dalam bidang Psikologi pada tahun 2012.
11