FAKTOR ACH PADA PENGHAWAAN HYBRID KANTOR DI JAKARTA SELATAN Julius Setiadi, Firza Utama Sjarifudin, dan Vivien Himayani Fakultas Teknik, Jurusan Arsitektur, Universitas Bina Nusantara, Jl. K H. Syahdan No. 9, Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat 11480. Telp. (62-21) 534 5830,
[email protected] ABSTRACT The research deploys Air Changes per Hour factor on hybrid ventilation in office building. The purpose of this research was to develop an office building to have hybrid ventilation sistem depend on Air Changes per Hour factor as research based and how the aerodinamic building can be built from wind direction simulation. Research methods used was quantiative research methods where the quantitative variable in this research were wind speed measure. Wind speed data was used as input data of CFD simulation with Autodesk Flow Design software. The best form of building mass from simulation was ellipse because this form was aerodinamic from wind direction. The calculation used to calculate ventilation size with 0,72 ACH standard. (JS) Keywords: Wind Speed, Air Changes Per Hour, Hybrid Ventilation, Office.
ABSTRAK Penelitian menjelaskan pengaruh faktor Air Changes per Hour pada penghawaan hybrid di bangunan kantor yang terletak pada kawasan Mega Kuningan Jakarta Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan bagaimana merancang sebuah kantor yang memiliki sistem penghawaan hybrid dengan faktor Air Changes per Hour sebagai dasar pertimbangan dan bagaimana sebuah bangunan yang aerodinamis dapat terbentuk dari simulasi arah angin. Metode penelitian yang digunakan adalah metode pelitian kuantitatif dimana variabel kuantitatif dalam penelitian ini dilihat dari pengukuran kecepatan angin. Data kecepatan angin kemudian digunakan sebagai data input simulasi CFD dengan bantuan software Autodesk Flow Design. Hasil simulasi mendapatkan bahwa bentuk massa bangunan yang terbaik adalah menggunakan bentukan dasar elips karena bentuk yang aerodinamis terhadap arah angin. Perhitungan yang digunakan adalah besar bukaan dengan standar 0,72 ACH. (JS) Katakunci: Kecepatan Angin, Air Changes per Hour, Penghawaan Hybrid, Kantor.
PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Segitiga Emas atau yang lebih dikenal dengan nama CBD (Central Business District) merupakan bagian dari rencana pemda DKI untuk menjadikan wilayah ini sebagai pusat bisnis di Jakarta. Daerah ini dibentuk oleh tiga jalan utama, yaitu Jalan Sudirman, Jalan Gatot Subroto dan Jalan Rasuna Said/Kuningan. Tiga jalan ini menjadi pusat bisnis di Jakarta terbukti dengan adanya gedung-gedung tinggi yang merupakan perkantoran nasional bahkan multinasional dan terdapat beberapa gedung terkenal lainnya. Kawasan yang sangat terkenal dari tiga jalan tersebut salah satunya adalah Mega Kuningan. Kawasan yang berpola melingkar ini baru-baru ini juga menjadi pengembangan utama dalam distrik bisnis komersial Jakarta, terlihat dari pembangunan gedunggedung tinggi yang masih terus berjalan sampai sekarang. Yulianti, Ikhsan, dan Wiyono (2012:21) pada artikelnya mengatakan bahwa gedung-gedung tinggi dibangun dengan struktur lebih tertutup dan umumnya dilengkapi sistem sirkulasi udara serta pendingin buatan untuk menciptakan kondisi lingkungan kerja yang nyaman. Udara luar yang masuk ke dalam sistem ventilasi gedung akan berkurang bahkan mencapai titik nol, hanya udara resirkulasi yang digunakan untuk bernapas. Hal tersebut menyebabkan buruknya kualitas udara dalam ruangan (Indoor Air Quality atau IAQ). Sick Building Syndrome (SBS) atau sindrom gedung sakit dikenal sejak tahun 1970. Kedokteran okupasi tahun 1980 memperkenalkan konsep SBS sebagai masalah kesehatan akibat
1
lingkungan kerja berhubungan dengan polusi udara, IAQ dan buruknya ventilasi gedung perkantoran. Sick Building Syndrome merupakan kumpulan gejala yang dialami oleh pekerja dalam gedung perkantoran berhubungan dengan lamanya berada di dalam gedung dan juga kualitas udara. Environmental Protection Agency (EPA) tahun 1991 mengatakan sindrom ini timbul berkaitan dengan waktu yang dihabiskan seseorang dalam sebuah bangunan, namun gejalanya tidak spesifik dan penyebabnya tidak bisa diidentifikasi. SBS dapat mengakibatkan berbagai bahaya bagi kesehatan seperti sakit kepala, iritasi di mata, hidung, atau tenggorokan, kulit kering atau gatal dan pusing (OneIndia/MEL). Medical Marketing Manager Bayer Healthcare Consumer Care dr. Handy Purnama menyatakan, penelitian yang dilakukan terhadap 350 orang karyawan dari 18 perusahaan di wilayah DKI Jakarta, dilakukan dalam kurun waktu 6 bulan (mulai Juli-Desember 2008), 50% orang yang bekerja di dalam gedung perkantoran mengalami SBS. National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) tahun 1997 menyebutkan 52% penyakit pernapasan terkait dengan SBS akibat buruknya ventilasi gedung dan kinerja AC akibat jarang dibersihkan. Penelitian Occupational Safety and Healthy Act (OSHA) mendapatkan dari 446 gedung, penyebab polusi udara dalam gedung karena ventilasi tidak memenuhi syarat (52%), alat/bahan dalam gedung (7%), polusi luar gedung (11%), mikroba (5%), bahan bangunan/alat kantor (3%), dan tidak diketahui (12%). Beberapa studi telah dilakukan pada gedung-gedung publik dan gedung perkantoran mengenai hubungan antara ventilasi/penghawaan dan Sick Building Syndrome (SBS), yang meliputi gejala yang berkaitan dengan udara yang tidak sehat. Dalam artikel yang ditulis pada Institut national de santé publique du Québec menyatakan bahwa untuk mengukur hubungan antara ventilasi dengan udara yang sehat, para peneliti telah membandingkan frekuensi gejala sehubungan dengan adanya ventilasi mekanik atau ventilasi alami dalam kaitannya dengan tingkat ventilasi/penghawaan yang diukur dalam Air Changes per Hour (ACH). Air Changes per Hour (ACH) merupakan ukuran dari seberapa banyak udara dalam suatu ruang yang tertukar (en.wikipedia.org). Menurut Satwiko, ACH atau pergantian udara per-jam adalah jumlah pergantian seluruh udara dalam ruangan dengan udara segar dari luar setiap jamnya. Dalam ASHRAE Handbook-Fundamentals (2001:26) menegaskan bahwa, Air Changes per Hour berperan sebagai rasio terhadap laju aliran volumetrik dari udara ke dalam ruang untuk volume ruang dalam, yang diukur dengan satuan jam. Agar bangunan kantor dapat memiliki udara yang sehat (IAQ yang baik), maka dalam penelitian ini memerlukan faktor-faktor yang dapat diukur, yaitu dalam Air Changes per Hour. Berdasarkan ASHRAE Standard 62-1989, standar minimum yang diperlukan untuk nilai pertukaran udara pada bangunan kantor adalah sebesar 0,72 ACH. Seiring perkembangan zaman, tidaklah mungkin sebuah bangunan kantor di kawasan Mega Kuningan tidak menggunakan sistem pendingin ruangan, sehingga penghawaan campuran atau yang dapat disebut dengan penghawaan hybrid dapat menjadi solusi untuk menciptakan kualitas udara dalam ruang yang baik.
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang, maka perlu adanya pengkajian lebih lanjut tentang faktor Air Changes per Hour pada penghawaan hybrid kantor, yang dapat dirumuskan: Bagaimana merancang sebuah kantor yang memenuhi standar Air Changes per Hour dengan sistem penghawaan hybrid? Bagaimana desain massa bangunan yang aerodinamis guna dapat memaksimalkan aliran udara yang masuk untuk dapat memenuhi standar Air Changes per Hour? merupakan permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini.
TUJUAN Tujuan dari studi ini adalah untuk menentukan bagaimana merancang sebuah kantor yang memenuhi standar Air Changes per Hour dengan sistem penghawaan hybrid dan bagaimana sebuah bangunan yang aerodinamis dapat terbentuk dari simulasi arah angin guna dapat memaksimalkan udara yang masuk kedalam bangunan, sehingga mampu memenuhi standar Air Changes per Hour pada bangunan kantor yang dilakukan dengan bantuan simulasi komputer serta studi literatur yang mengacu kepada teori-teori yang relevan serta pengamatan langsung di lapangan berupa studi banding pada bangunan sejenis.
LINGKUP PEMBAHASAN Ruang lingkup pembahasan pada penelitian ini adalah:
2
• Mengenai faktor Air Changes per Hour pada penghawaan hybrid bangunan kantor dengan menganalisa jumlah pergantian udara yang diharapkan dapat menciptakan kualitas udara dalam ruang yang sehat. • Kasus yang diangkat dalam penelitian ini adalah perancangan kantor yang terletak di Mega Kuningan, Jakarta Selatan. • Penekanan penelitian ini membahas mengenai permasalahan pergantian udara per jam (Air Changes per Hour) dalam kaitannya terhadap besar dan letak bukaan. • Bukaan berupa ventilasi hybrid, dimana pengkondisian bangunan tetap menggunakan AC. • Perhitungan pertukaran udara yang diteliti dan dihitung adalah ruang kerja kantor. • Pengukuran kecepatan angin dilakukan di ITC Kuningan, Jakarta Selatan. ITC Kuningan merupakan sampel random, bukan spesifik. Sampel ITC Kuningan digunakan bukan untuk bahasan secara lokasi, melainkan data dari ITC Kuningan digunakan dalam hubungannya terhadap peritungan kekasaran lingkungan. • Faktor kecepatan angin akan digunakan sebagai variabel simulasi. Variabel lain tidak diikut sertakan dalam simulasi ini dan dianggap tidak memberikan pengaruh pada hasil simulasi.
KAJIAN PUSTAKA National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) tahun 1997 menyebutkan 52% penyakit pernapasan terkait dengan SBS akibat buruknya ventilasi gedung dan kinerja AC akibat jarang dibersihkan. Penelitian Occupational Safety and Healthy Act (OSHA) mendapatkan dari 446 gedung, penyebab polusi udara dalam gedung karena ventilasi tidak memenuhi syarat (52%). Air Changes per Hour (ACH) merupakan ukuran dari seberapa banyak udara dalam suatu ruang yang tertukar (en.wikipedia.org). Menurut Satwiko, ACH atau pergantian udara per jam adalah jumlah pergantian seluruh udara dalam ruangan dengan udara segar dari luar setiap jamnya. Dalam ASHRAE Handbook-Fundamentals (2001:26) menegaskan bahwa, Air Changes per Hour berperan sebagai rasio terhadap laju aliran volumetrik dari udara ke dalam ruang untuk volume ruang dalam, yang diukur dengan satuan jam. Berdasarkan ASHRAE Standard 62-1989, standar minimum yang diperlukan untuk nilai pertukaran udara pada bangunan kantor adalah sebesar 0,72 ACH. Air Changes per Hour (ACH) dalam Standar Internasional dapat dirumuskan sebagai: N = 3600 Q / V Dimana, N = Q = V =
Jumlah Air Changes per Hour Aliran udara kedalam ruang (m³/s), dan Volume ruang (m³)
Aliran udara kedalam ruang (Q) yang dihitung dengan satuan m³/s, diperoleh dengan rumus: Q = 0.025 A v Dimana, 0.025 = Faktor pengali A = Luas bukaan (m²), dan v = Kecepatan angin pada bukaan (m/s)
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode pelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah metode yang lebih menekankan pada aspek pengukuran secara obyektif terhadap fenomena. Untuk dapat melakukan pengukuran, setiap fenomena di jabarkan kedalam beberapa komponen masalah, variabel dan indikator. Setiap variabel yang ditentukan di ukur dengan memberikan simbolsimbol angka yang berbeda-beda sesuai dengan kategori informasi yang berkaitan dengan variabel tersebut. Dengan menggunakan simbol-simbol angka tersebut, teknik perhitungan secara kuantitatif matematik dapat dilakukan sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang berlaku umum didalam suatu parameter. Alasan peneliti menggunakan metode penelitian kuantitatif karena pendekatan ini memberikan hasil yang dapat diukur secara matematis sehingga data yang dihasilkan nantinya dapat menjadi nilai input untuk pembuatan bentuk parametric dari desain yang akan dibuat. Variabel kuantitatif dalam penelitian ini berupa pengukuran sampel kecepatan angin (diluar) pada level ketinggian 10 m, 20 m, dan 30 m di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Sampel digunakan
3
untuk menghasilkan data perhitungan faktor Air Changes per Hour pada lingungan Jakarta Selatan yang akan digunakan sebagai acuan dalam simulasi. Selanjutnya menggunakan data yang diperoleh dari Weather Tool 2011 sebagai input analisa perubahan aliran dan kecepatan udara karena massa bangunan dengan menggunakan software Ecotect Analysis 2011. Metode pengembangan dari penelitian ini adalah Experimental Research dengan simulasi. Penelitian ekperimental dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan. Dalam hal ini, penulis mencoba untuk melakukan eksperimen dalam pencarian bentuk bangunan yang aerodinamis guna memasukan aliran udara kedalam bangunan agar mendapatkan sistem penghawaan hybrid yang baik, sebagaimana sesuai dengan standar Air Changes per Hour. Eksperimen dilakukan melalui percobaan simulasi terhadap berbagai bentuk massa yang terus bekembang hingga mendapatkan nilai yang terbaik. Penulis juga melakukan percobaan simulasi ini untuk mencari jenis bukaan inlet dan outlet yang terbaik dalam pencapaian standar Air Changes per Hour.
HASIL DAN BAHASAN PENGUKURAN KECEPATAN ANGIN Data pengukuran kecepatan angin di Jakarta Selatan dilakukan peneliti di ITC Kuningan, Jakarta Selatan, pada tanggal 23 Maret 2014 menggunakan alat anemometer berdasarkan ketinggian 10 m sampai dengan 30 m dengan tiga titik ukur yang berbeda (titik A, titik B, titik C). Pengukuran di lapangan dilakukan guna mengetahui kecepatan angin rata-rata di Jakarta Selatan pada ketinggian 10 m sampai 30 m, yang kemudian data dimasukan kedalam kalkulator kecepatan angin dari Soren Krohn dan Danish Wind Industry Association. Untuk menghitung kecepatan angin pada ketinggian selanjutnya, data diperoleh dengan kalkulator kecepatan angin dari Soren Krohn dan Danish Wind Industry Association. Sampel yang diambil adalah 2,33 m/s yang merupakan rata-rata kecepatan angin pada ketinggian ±10 meter. Tabel 1 Kecepatan angin di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan
Sumber: Soren Krohn dan Danish Wind Industry Association
ANALISA BENTUK DASAR GUBAHAN MASSA Analisa bentuk dasar gubahan massa menggunakan bentuk dasar persegi panjang, trapesium, lingkaran, dan elips, yang dibantu dengan simulasi software Ecotect Analysis 2011 dan Autodesk Flow Design. Simulasi dilakukan guna mengetahui arah angin dan tekanan angin pada massa bangunan, yang akan digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk mencari bentukan dasar gubahan massa yang dapat mengalirkan udara paling baik (aerodinamis). Berikut hasil analisa bentuk dasar gubahan massa:
4
Tabel 2 Analisa bentuk dasar gubahan massa
Setelah mensimulasikan beberapa bentukan dasar massa bangunan, maka untuk mendapatkan massa bangunan yang aerodinamis dapat menggunakan bentukan dasar elips. Hal ini dikarenakan bentukan elips dapat mengalirkan udara sehingga massa bangunan memiliki sedikit tekanan yang ditimbulkan oleh angin. Setelah mendapatkan bentuk alternatif 4, Simulasi dilakukan kembali untuk memastikan dimana posisi bangunan yang memiliki tekanan angin tinggi dan tekanan angin rendah. Simulasi dilakukan pada 3 titik ukur yaitu: low zone, mid zone, dan high zone.
5
Tabel 3 Kecepatan angin hasil simulasi pada gubahan massa alternatif 4 Titik Ukur / Arah angin Low Zone Mid Zone High Zone 3,83 m/s 5,46 m/s 6,07 m/s 252⁰ Barat Daya 4,41 m/s 5,73 m/s 6,20 m/s 180⁰ Selatan 4,05 m/s 4,86 m/s 5,34 m/s 72⁰ Timur Laut Sumber: hasil analisa CFD
LETAK LUAS BUKAAN INLET-OUTLET Letak inlet ventilasi akan berada pada sisi bangunan yang memiliki tekanan angin tinggi (merah), sedangkan outlet ventilasi berada pada sisi bangunan yang memiliki tekanan angin rendah (biru). Berikut hasil simulasinya:
Gambar 1 Titik pengukuran simulasi Tabel 4 Tekanan angin hasil simulasi pada gubahan massa alternatif 4 Arah Angin Gambar Letak Inlet-Outlet Keterangan
Timur Laut Tenggara Timur Laut
Barat Daya
72⁰ Timur Laut
Barat Laut
180⁰ Selatan
Barat Daya
252⁰ Barat Daya
Pada saat angin datang dari barat daya, inlet (merah) berada pada area sky terrace barat daya terbuka, dan outlet (biru) berada pada sisi timur laut terbuka pada saat yang bersamaan Pada saat angin datang dari barat daya, inlet (merah) berada pada area sisi tenggara terbuka, dan outlet (biru) berada pada sisi barat laut terbuka pada saat yang bersamaan Pada saat angin datang dari barat daya, inlet (merah) berada pada area sky terrace timur laut terbuka, dan outlet (biru) berada pada sisi barat daya terbuka pada saat yang bersamaan
6
PERHITUNGAN LUAS BUKAAN INLET TERKAIT DENGAN ACH Bukaan Pada Lantai 4 (Low Zone, Angin Barat Daya) Diketahui, Kec. Angin = 3,83 m/s Volume Ruang = Luas Ruang (Bersih) x Tinggi Ruang 502,73 m2 x 2,7 m = 1357,37 m3 Perhitungan, ACH = (0,025 x Luas Bukaan x Kec. Angin) / Vol. Ruang x 3600 0,72 = (0,025 x Luas Bukaan x 3,83 m/s) / 1357,37 m3 x 3600 0,72 = 0,25 Luas Bukaan Luas Bukaan = 0,72 / 0,25 = 2,88 m2 Sehingga Luas Bukaan pada Lantai 4 adalah 2,88 m2 Bukaan Pada Lantai 7 (Low Zone, Angin Timur Laut) Diketahui, Kec. Angin = 4,05 m/s Volume Ruang = Luas Ruang (Bersih) x Tinggi Ruang 502,73 m2 x 2,7 m = 1357,37 m3 Perhitungan, ACH = (0,025 x Luas Bukaan x Kec. Angin) / Vol. Ruang x 3600 0,72 = (0,025 x Luas Bukaan x 4,05 m/s) / 1357,37 m3 x 3600 0,72 = 0,27 Luas Bukaan Luas Bukaan = 0,72 / 0,27 = 2,67 m2 Sehingga Luas Bukaan pada Lantai 7 adalah 2,67 m2 Bukaan Pada Lantai 16 (Mid Zone, Angin Barat Daya) Diketahui, Kec. Angin = 5,46 m/s Volume Ruang = Luas Ruang (Bersih) x Tinggi Ruang 502,73 m2 x 2,7 m = 1357,37 m3 Perhitungan, ACH = (0,025 x Luas Bukaan x Kec. Angin) / Vol. Ruang x 3600 0,72 = (0,025 x Luas Bukaan x 5,46 m/s) / 1357,37 m3 x 3600 0,72 = 0,36 Luas Bukaan Luas Bukaan = 0,72 / 0,36 = 2 m2 Sehingga Luas Bukaan pada Lantai 16 adalah 2 m2 Bukaan Pada Lantai 19 (Low Zone, Angin Timur Laut) Diketahui, Kec. Angin = 4,86 m/s Volume Ruang = Luas Ruang (Bersih) x Tinggi Ruang 502,73 m2 x 2,7 m = 1357,37 m3 Perhitungan, ACH = (0,025 x Luas Bukaan x Kec. Angin) / Vol. Ruang x 3600 0,72 = (0,025 x Luas Bukaan x 4,86 m/s) / 1357,37 m3 x 3600 0,72 = 0,32 Luas Bukaan Luas Bukaan = 0,72 / 0,32 = 2,25 m2 Sehingga Luas Bukaan pada Lantai 19 adalah 2,25 m2 Bukaan Pada Lantai 28 (High Zone, Angin Barat Daya) Diketahui,
7
Kec. Angin Volume Ruang
= 6,07 m/s = Luas Ruang (Bersih) x Tinggi Ruang 502,73 m2 x 2,7 m = 1357,37 m3
Perhitungan, ACH = (0,025 x Luas Bukaan x Kec. Angin) / Vol. Ruang x 3600 0,72 = (0,025 x Luas Bukaan x 6,07 m/s) / 1357,37 m3 x 3600 0,72 = 0,4 Luas Bukaan Luas Bukaan = 0,72 / 0,4 = 1,8 m2 Sehingga Luas Bukaan pada Lantai 28 adalah 1,8 m2 Bukaan Pada Lantai 31 (High Zone, Angin Timur Laut) Diketahui, Kec. Angin = 5,34 m/s Volume Ruang = Luas Ruang (Bersih) x Tinggi Ruang 502,73 m2 x 2,7 m = 1357,37 m3 Perhitungan, ACH = (0,025 x Luas Bukaan x Kec. Angin) / Vol. Ruang x 3600 0,72 = (0,025 x Luas Bukaan x 5,34 m/s) / 1357,37 m3 x 3600 0,72 = 0,35 Luas Bukaan Luas Bukaan = 0,72 / 0,35 = 2,05 m2 Sehingga Luas Bukaan pada Lantai 31 adalah 2,05 m2 Setelah menghitung luas bukaan terkait dengan Air Changes per Hour, maka diperlukan bukaan seluas: Zona Low Low Mid Mid High High
Tabel 5 Kesimpulan luas bukaan Letak Inlet Luas Bukaan Barat Daya 2,88 m2 Timur Laut 2,67 m2 Barat Daya 2 m2 Timur Laut 2,25 m2 Barat Daya 1,8 m2 Timur Laut 2,05 m2
Gambar 2 Letak dan jumlah bukaan inlet
LETAK DAN JUMLAH BUKAAN TERKAIT DENGAN ACH Tahap selanjutnya adalah mensimulasikan letak bukaan inlet dan outlet untuk mengetahui seperti apa bukaan inlet dan outlet yang baik. Simulasi ini mengasumsikan adanya core pada lantai tipikal. Dibuat satu buah tambahan lubang pada inlet, sehingga menjadi 2 lubang inlet dan 1 lubang outlet.
8
Gambar 3 Simulasi CFD bukaan Pada simulasi letak bukaan inlet, disimpulkan bahwa inlet berjumlah 2 buah. Setelah melakukan perhitungan untuk mencari luas bukaan terkait Air Changes per Hour, didapatnya luas masing-masing inlet sebesar: Zona Low Low Mid Mid High High
Tabel 6 Luas bukaan yang diperlukan Letak Inlet Luas Bukaan Jumlah Bukaan Barat Daya 2 Buah 1,44 m2 Timur Laut 2 Buah 1,335 m2 Barat Daya 2 Buah 1 m2 Timur Laut 2 Buah 1,125 m2 Barat Daya 2 Buah 0,9 m2 Timur Laut 2 Buah 1,025 m2
SISTEM PENGHAWAAN HYBRID Sistem penghawaan buatan pada kantor menggunakan umumnya AC sentral, dimana supply udara berasal dari udara yang disirkulasikan kembali sebesar ±80%. Hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya gedung yang kurang sehat. Berikut skema aliran udara yang disirkulasi kembali:
Gambar 4 Skema supply udara reserikulasi Agar tercipta lingkungan yang lebih sehat, gedung perlu mendapat supply udara dari luar yang lebih tinggi, sehingga perlu dimasukannya penghawaan alami dimana sumber supply udara 100% berasal dari udara luar. Berikut ilustrasinya:
Gambar 5 Skema supply udara dari luar
9
Gambar 6 Diagram alur penghawaan hybrid Supply udara yang 100% berasal dari udara luar (sky terrace) setelah diturunkan suhunya akan dialirkan kedalam ruang kerja (workstation), dimana dalam ruang tersebut sangat tinggi tingkat okupansinya sehingga memerlukan supply udara bersih. Pengambilan 100% udara luar melalui AHU sudah dilakukan pada bangunan 41 Cooper Square, New York, dicantum dalam artikelnya Melody Baglione, Building Sustainability into Control Systems > Air Handling Units.
DIMENSI BUKAAN Untuk dapat memasukan udara luar kedalam Air Handling Unit (AHU) sebagai supply udara, maka dibutuhkan penghubung antara bukaan dengan AHU yang berupa ducting.
Gambar 7 Inlet dan ducting menuju AHU Bukaan inlet yang berjumlah 2 buah kemudian akan disatukan melalui ducting, yang kemudian baru akan menuju kedalam AHU.
Gambar 8 Dimensi bukaan inlet Luas bukaan yang sebelumnya sudah dihitung menjadi acuan untuk mengetahui dimensi bukaan. Berikut dimensi bukaan inlet yang diperlukan: Zona Low Low Mid Mid High High
Letak Inlet Barat Daya Timur Laut Barat Daya Timur Laut Barat Daya Timur Laut
Tabel 7 Dimensi bukaan Luas Bukaan 1,44 m2 1,335 m2 1 m2 1,125 m2 0,9 m2 1,025 m2
A 50 cm 50 cm 50 cm 50 cm 50 cm 50 cm
B 288 cm 267 cm 200 cm 225 cm 180 cm 205 cm
10
TRANSFORMASI BANGUNAN BERDASARKAN LUAS BUKAAN Berdasarkan perhitungan luas bukaan dengan menggunakan rumus Air Changes per Hour, disimpulkan bahwa luas bukaan inlet semakin tinggi zonanya semakin kecil bukaannya. Oleh karenanya, bangunan dibentuk sesuai dengan luas bukaan yang semakin tinggi semakin mengecil. Selain itu bangunan juga ditransformasi agar menjadi bangunan yang lebih aerodinamis terhadap aliran angin sesuai dengan simulasi kecepatan dan arah angin.
Gambar 9 Transformasi bangunan berdasarkan luas bukaan
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN
Gambar 10 Skema pendistribusian udara bersih melalui ducting AC Berdasarkan sejumlah hasil analisa dari data yang ada maka dapat disimpulkan bahwa: • Penyebab terjadinya gejala Sick Building Syndrome diakibatkan karena kondisi pengudaraan yang kurang baik. Hal ini menyebabkan gedung kantor lebih banyak terserang gejala Sick Building Syndrome karena terkait dengan lamanya orang berada dalam gedung. • Bentuk massa bangunan berpengaruh terhadap aliran udara. Bentuk elips merupakan bentuk yang paling baik dalam mengalirkan udara.
11
• Kecepatan dan arah angin dapat berubah ketika terbentur bangunan. • Layout vegetasi di sekitar bangunan berpengaruh terhadap arah angin yang mengarah ke bangunan. • Angin yang terbentur bangunan menimbukan tekanan, dimana udara akan mengalir dari tekanan tinggi menuju tekanan rendah. • Perancangan menggunakan simulasi dapat mengalami beberapa perubahan bentukan (transformasi) menyesuaikan dengan hasil simulasi. • Kecepatan angin berpengaruh terhadap besar bukaan untuk mencapai standar Air Changes per Hour. Jika dihitung berdasarkan rumus Air Changes per Hour, semakin tinggi kecepatan angin maka semakin kecil bukaan.
SARAN Dalam pencapaian Air Changes per Hour (ACH), maka hal yang perlu diperhatikan adalah arah datang angin, kecepatan angin, bentukan massa, besar bukaan, dan volume ruang. Beberapa hal lain yang perlu di perhatikan pada penelitian selanjutnya adalah terkait dengan kenyamanan thermal yang dipengaruhi oleh 3 aspek, yaitu: suhu, kelembaban, dan kecepatan angin. Dalam penelitian ini yang didapatkan adalah salah satu satuan Air Changes per Hour yang memenuhi standar yang diatur oleh besar bukaan inlet dan outlet. Bagi peneliti selanjutnya dapat menggunakan metode yang sama dengan penelitian ini untuk mendapatkan arah datang angin, kecepatan angin. Jika hal tersebut telah didapatkan, penelitian dapat dilanjutkan dengan menghitung nilai standar Air Changes per Hour sehingga dapat berapa luas bukaan yang perlu dirancang agar tercipta standar ACH yang diinginkan.
REFERENSI Airistar Technologies, L.L.C. (2005). Frequency of Air Changes per Hour – A Key Consideration in Selecting Air Purification Systems. Business Briefing: Hospital Engineering & Facilities Management 2005 American Society of Heating, Refrigerating, and Air-Conditioning Engineers. (2001). ASHRAE Handbook of Fundamentals. American Society of Heating, Refrigerating, and Air-Conditioning Engineers. (1989). ASHRAE Standard 62-1989. Baglione, M. 2014. Building Sustainability into Control Systems > Air Handling Units. Diperoleh (0308-2014) dari http://engfac.cooper.edu NIOSH. (1997). Musculoskeletal Disorder and Workplace Factors: A Critical Review of Epidemiologic Evidence for Work Related Musculoskeletal Disorders. NIOSH: Centers for Disease Control and Prevention Persily, A.K., Dols, W.S., Nabinger, S.J. (1994). Air Changes Effectiveness Measurement in Two Modern Office Buildings. Indoor Air 1994, 4: 40-55 Soren Krohn & Danish Wind Industry Association. 2003. Wind Speed Calculator. Diperoleh (24-032014) dari http://wiki.windpower.org U.S Environmental Protection Agency. (1991). Medical Waste Management and Disposal. Amerika : Noyes Data Corporation. Yulianti, D., Ikhsan, M., Wiyono, W.H. (2012). Sick Building Syndrome. CDK-189/ vol. 39 no. 1
RIWAYAT PENULIS Julius Setiadi lahir di kota Jakarta pada 18 Juli 1992. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Arsitektur pada tahun 2014.
12