BAB 1
PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang SMA Negeri 6 Jakarta merupakan salah satu SMA favorit dibilangan Jakarta Selatan. Banyak siswa-siswi dari berbagai sekolah menengah pertama yang mendaftarkan diri mereka di SMAN 6. Menurut fakta yang didapat oleh peneliti, ada beberapa siswa yang berdomosili diluar Jakarta seperti Tangerang ataupun Cibubur yang bersekolah disana. Hal ini menjadikan SMAN 6 salah satu sekolah dengan berbagai macam budaya, karena beragamnya siswa-siswi yang bersekolah disana. SMA favorit ini mempunyai standar masuk yang tinggi, apabila seorang siswa ingin bersekolah disana, mereka diharuskan mempunyai nilai UN dengan rata-rata nilai 8, bahkan tidak sedikit siswa yang mendaftar mempunyai nilai UN rata-rata 9. Sekolah merupakan tempat dimana anak-anak menghabiskan waktu bertahun-tahun sebagai anggota dari satu masyarakat kecil yang memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan mereka. Konteks sosial mengalami perubahan sejak masa kanakkanak sampai masa remaja (Minuchin & Shapiro, 1983, dalam Santrock 2008). Pada masa kanak-kanak, batas lingkungan mereka adalah ruangan kelas, di dalam keadaan sosial yang terbatas ini, anak-anak berinteraksi dengan satu atau dua guru, mereka juga berinteraksi dengan teman-teman sebaya dalam kelompok kecil, selain itu ruang kelas masih merupakan konteks utama pada masa kanak-kanak. Ketika anak-anak memasuki sekolah menegah atas, lingkup dan kompleksitas lingkungan sekolah semakin meningkat (Wingfield et al, 2006, dalam Santrock, 2008). Pada masa tersebut, lingkungan sosialnya adalah seluruh sekolah daripada hanya ruang kelas saja. Para remaja berinteraksi dengan guru dan teman sebaya dari latar belakang budaya
serta berbagai minat yang lebih luas. Siswa-siswa sekolah menengah lebih sadar akan makna sekolah sebagai sistem sosial dan termotivasi untuk menyesuaikan diri. Belajar adalah suatu perubahan tingkah laku yang relatif permanen sebagai hasil dari pengalaman (Matlin, 1999, dalam Sihadi, 2004). Dalam konteks sekolah, belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan siswa untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman siswa sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Secara umum prestasi adalah hasil yang telah diraih oleh seseorang. Prestasi bisa dimaknai berbeda oleh setiap orang. Bagi seorang penyapu jalanan, ketika berhasil menyapu bersih jalan tanpa menyisakan satu daun kering pun yang tercecer, bisa jadi itu dianggap sebuah prestasi. Begitu pula bagi atlet seperti Chris john, menjadi juara dunia adalah sebuah prestasi(Nurdiaman, 2009). Prestasi belajar atau prestasi akademik adalah hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa sesuai dengan tujuan instruksional yang menyangkut isi pelajaran dan perilaku yang diharapkan dari siswa (Lanawati, 1999, dalam Sihadi, 2004). Nurdiaman (2009) juga mengatakan bahwa bagi seorang siswa ketika hasil pelajaran yang diperoleh sangat memuaskan, karena ia memperoleh nilai yang bagus pada setiap bidang studi, maka siswa tersebut dapat dikatakan sebagai siswa yang berprestasi dalam bidang akademik. Dari pengertian tersebut, prestasi belajar selalu terkait dengan hasil yang dicapai karena suatu usaha, ilmu pengetahuan dan keterampilan. Prestasi belajar juga menggambarkan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan, untuk mengetahui seberapa jauh pengalaman belajar telah dipahami siswa, setelah itu dilakukan evaluasi belajar yang biasa kita sebut dengan rapor. Ada faktor-faktor yang ternyata mempengaruhi prestasi belajar, hal tersebut dapat berasal dari dalam diri sendiri (faktor internal) dan dari luar diri (faktor eksternal). Faktor internal meliputi kemampuan intelektual, minat dan bakat, sedangkan faktor eksternal
meliputi guru, teman sebaya dan lingkungan. Faktor eksternal juga dapat dilihat dari penelitian sebelumnya yang mempunyai hubungan dengan prestasi, seperti IQ dan kecerdasan emosi. Sudah banyak penelitian mengenai prestasi dan IQ ataupun kecerdasan emosi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Daniel Goleman yang menyatakan bahwa IQ bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan seseorang dalam kehidupannya, bahkan secara fantastik Goleman menyebut bahwa kecerdasan hanya menentukan 20 % dalam keberhasilan seseorang, sedangkan sisanya 80% ditentukan oleh kelas dalam kehidupan, kecerdasan emosi, dan lain-lain. Kritik tajam ini jelas mengharuskankalangan psikolog untuk secara cermat kembali mengevaluasi tentang alat tes IQ tersebut (Idrus, 2011). Berdasarkan penelitian Goleman, peneliti melihat bahwa masih ada 80% hal-hal yang dapat menjadi penentu atau mendukung keberhasilan atau prestasi dalam konteks belajar di sekolah. Peneliti mellihat bahwa masih sedikit penelitian tentang kecerdasan budaya, masih jarang orang yang membuat penelitian tentang variabel ini. P. Christopher Earley dan Soon Ang (2003, dalam Ang, 2008) memperkenalkan konsep kecerdasan budaya (CI) dengan ilmu-ilmu sosial dan disiplin manajemen pada tahun 2003. Pada waktu itu, seperti saat ini, dunia mengalami globalisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan keterkaitan ini dipicu oleh komunikasi canggih dan teknologi transportasi. Secara bersamaan, dunia juga telah mengalami bentrokan ideologi dan konflik budaya. CI didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk berfungsi secara efektif dalam situasi yang ditandai dengan keragaman budaya. Awalnya dipahami sebagai konstruk tingkat individu, CI juga dapat diterapkan di tingkat analisis. CI memiliki relevansi dengan kelompok, tim, organisasi, dan bahkan negara. Kecerdasan budaya, didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk berfungsi dan mengelola secara efektif dalam pengaturan beragam budaya, sesuai dengan Schmidt dan Hunter (2000, dalam Ang, 2008). Definisi kecerdasan secara umum adalah kemampuan
untuk memahami dan alasan benar dengan abstraksi (konsep) dan pemecahan masalah. Meskipun penelitian awal cenderung untuk melihat kecerdasan sempit sebagai kemampuan untuk memahami konsep dan memecahkan masalah dalam pengaturan akademik, sekarang ada konsensus bahwa peningkatan kecerdasan dapat ditampilkan di tempat lain selain kelas Sternberg & Detterman (1986, dalam Ang, 2008). Manusia merupakan kumpulan individu yang menempati suatu wilayah tertentu dalam jangka waktu yang lama. Manusia itu sendiri bersifat dinamis selalu mengalami perubahan karena perkembangan pola pikir, lingkungan dan sebagainya, hal tersebut menuntut manusia untuk beradaptasi (Santosa, 2011). Kecerdasan budaya adalah bagaimana seseorang dapat menerima bahwa terdapat perbedaan budaya dan bagaimana seseorang dapat beradaptasi dengan budaya baru disekitarnya. Hal ini penting karena apabila seseorang tidak dapat beradaptasi dengan budaya baru, maka ia dapat menjadi seseorang yang pendiam, sulit untuk menjalin relasi dengan orang lain dan akhirnya tersingkir dari pergaulan dan juga mungkin kecerdasan budaya merupakan salah satu pendukung dari prestasi belajar. Pertanyaannya adalah apakah ada hubungan kecerdasan budaya dan prestasi? Apabila ternyata terdapat hubungan, seberapa besar hubungannya? Sebaliknya, apabila ternyata tidak terdapat hubungan antara kecerdasan budaya dan prestasi belajar, faktor apa yang membuat tidak adanya hubungan tersebut? Dapat disimpulkan bahwa siswa-siswi SMAN 6 adalah anak-anak yang pintar apabila dilihat dari hasil nilai UN mereka, tetapi bagaimana dengan kecerdasan budaya mereka? Kelas X adalah masa-masa transisi mereka dari jenjang SMP ke jenjang SMA, mereka perlu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru mereka. Apakah nilai mereka yang tinggi juga sejalan dengan kecerdasan budaya mereka? Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk melihat adakah hubungan kecerdasan budaya dengan prestasi akademik siswa kelas X pada SMAN 6 Jakarta.
1.2 Identifikasi masalah Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu, adakah hubungan antara kecerdasan budaya terhadap prestasi akademik siswa kelas X pada SMAN 6 Jakarta. 1.3 Tujuan dan kegunaan penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melihat adakah hubungan antara kecerdasan budaya terhadap prestasi akademik siswa kelas X pada SMAN 6 Jakarta. Selain itu juga sebagai salah satu syarat dalam rangka memperoleh gelar sarjana psikologi pada Fakultas Humaniora jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah ada hubungan kecerdasan budaya terhadap prestasi akademik. Penelitian ini dilakukan dengan penyebaran kuesioner dengan item yang merujuk pada Stenberg dan Cultural Intelligence Center. Analisis dilakukan dengan melihat hasil kuesioner responden dan rata-rata nilai rapor responden, data akan diolah memakai SPSS Statistics. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis •
Memberikan sumbangan pemikiran mengenai hubungan kecerdasan budaya terhadap prestasi akademik siswa kelas X pada SMAN 6 Jakarta.
•
Sebagai referensi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan hubungan kecerdasan budaya terhadap prestasi akademik siswa kelas X pada SMAN 6 Jakarta, serta sebagai bahan kajian lebih lanjut.
1.4.2 Manfaat praktis •
Kegunaan bagi instansi pendidikan Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang bermanfaat
sebagai masukan dan pertimbangan bagi instansi pendidikan untuk lebih memperhatikan kecerdasan budaya siswa siswi mereka, sehingga siswa siswi mereka dapat memiliki prestasi belajar yang cemerlang.
•
Kegunaan bagi pembaca Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan referensi bagi
pihak-pihak yang dalam kegiatannya berhubungan dengan prestasi belajar siswa.