situasi ini auditor biasanya tidak melaksanakan prosedur yang lengkap dengan mengabaikan salah satu atau beberapa langkah audit yang berlaku tanpa menggantinya dengan langkah lain dan tetap mengeluarkan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit (Rikarbo, 2012). Reckers et al. (1997) menyatakan bahwa kualitas audit menjadi sangat rendah, apabila auditor mengeluarkan opini sebelum melakukan seluruh prosedur audit yang disyaratkan. Praktik penghentian prematur atas prosedur audit berpengaruh langsung terhadap kualitas laporan audit yang dihasilkan auditor, apabila salah satu langkah dalam prosedur audit dihilangkan, maka kemungkinan auditor membuat judgment yang salah akan semakin tinggi (Qurrahman, 2012). Troy (2001) mengungkapkan meskipun auditor sudah mengetahui dengan jelas prosedur audit yang harus dilakukan, tetap saja ada faktor situasional yang dapat mempengaruhi keputusan auditor sehingga melakukan penghentian prematur atas prosedur audit. Menurut Weningtyas, dkk. (2007) faktor yang menjadi penyebab terjadinya penghentian prematur atas prosedur audit tidak hanya disebabkan oleh faktor internal auditor, akan tetapi juga akibat dari faktor situasional pada saat melaksanakan proses audit yang merupakan faktor eksternal. Faktor internal tersebut antara lain locus of control, self rate employee performance, turnover intentions dan self esteem in relation to ambition, sedangkan faktor situasional yang disebutkan seperti time pressure, audit risk, materialitas, prosedur review dan kontrol kualitas.
2
Penelitian Herningsih (2001), Coram et al. (2004), Monoarfa (2006) dan Weningyas, dkk. (2007) menyebutkan praktik penghentian prematur atas prosedur audit banyak dilakukan auditor dalam kondisi time pressure. Raghunathan (1991) menyatakan auditor yang melakukan penghentian prematur atas prosedur audit sebagian besar disebabkan oleh keinginan untuk menyelesaikan pekerjaan audit tepat waktu. Auditor sering kali beranggapan apabila evaluasi kinerja serta promosi karir dalam audit firm erat berhubungan dengan kemampuan dalam menuntaskan penugasan audit agar tepat dengan waktu yang tersedia. Pada waktu yang sama auditor juga diharuskan melengkapi seluruh penugasan dan prosedur audit untuk dasar memberikan opini mengenai kewajaran laporan keuangan. Ini menjadi dilema bagi auditor antara menuntaskan penugasan audit sesuai dengan anggaran waktu yang diberikan dengan kualitas audit sesuai standar profesional yang harus dipatuhi (Kaplan et al., 2009). Kondisi
time
pressure
merupakan
keadaan
dimana
auditor
mendapatkan tekanan dari kantor tempatnya bekerja agar menyelesaikan audit pada waktu dan anggaran biaya yang telah ditetapkan. Schuler (dalam Liantih 2010) menyebutkan bahwa time pressure membatasi individu dalam menyelesaikan tugas mereka. Soobaroyen and Chengbroyan (2005) mengemukakan bahwa time pressure yang terdapat di negara berkembang jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara maju. Akers and Eaton (2003) meneliti pengaruh time pressure dan gender terhadap penghentian
3
prematur atas prosedur audit dan menemukan bahwa time pressure berpengaruh signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Faktor audit risk juga terindikasi sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi keputusan auditor dalam melakukan penghentian prematur atas prosedur audit. Dimana dalam proses perencanaan audit, auditor juga harus mempertimbangkan audit risk, dalam penelitian ini risiko yang dimaksud adalah risiko deteksi yang ditentukan oleh efektivitas prosedur audit dan penerapannya oleh auditor (Kurniawan, 2008). Audit risk adalah risiko bahwa auditor mungkin tanpa sengaja telah gagal untuk memodifikasi pendapat secara tepat mengenai laporan keuangan yang mengandung salah saji material (Boynton and Kell, 2010). Risiko ini menyatakan suatu ketidakpastian yang dihadapi auditor, dimana kemungkinan bahan bukti yang telah dikumpulkan oleh auditor tidak mampu untuk mendeteksi adanya salah saji yang material (Rikarbo, 2012). Ketika auditor menginginkan risiko deteksi yang rendah berarti auditor ingin semua bahan bukti yang terkumpul dapat mendeteksi adanya salah saji yang material. Supaya bahan bukti tersebut dapat mendeteksi adanya salah saji yang material maka diperlukan jumlah bahan bukti yang lebih banyak dan jumlah prosedur yang lebih banyak pula. Ketika audit risk rendah, maka auditor harus lebih banyak melakukan prosedur audit sehingga kemungkinan melakukan penghentian prematur atas prosedur audit akan semakin rendah (Weningtyas, dkk., 2007).
4
Penghentian prematur atas prosedur audit, selain dipengaruhi oleh faktor ekternal juga dipengaruhi oleh faktor internal berupa professional commitment dan locus of control. Professional commitment adalah tingkat loyalitas individu pada profesinya seperti yang dipersepsikan oleh individu tersebut (Wijayanti, 2008). Di dalam suatu organisasi, seorang anggota organisasi dituntut untuk memiliki komitmen profesi. Menurut Jeffrey and Weatherholt (dalam Rikarbo, 2012) professional commitment dapat diartikan sebagai intensitas identifikasi dan keterlibatan individu dengan profesi tertentu. Professional commitment digambarkan sebagai suatu format fokus karir pada komitmen pekerjaan yang menekankan pentingnya suatu profesi di masa hidup seseorang. Karakteristik personal lain yang mempengaruhi penghentian prematur atas prosedur audit adalah locus of control (Donelly et al., 2003). Penelitianpenelitian terdahulu telah menunjukkan suatu hubungan yang kuat dan positif diantara eksternal locus of control individual dengan suatu keinginan atau maksud untuk menggunakan penipuan atau manipulasi untuk memperoleh tujuan-tujuan personal. Bernardi (2003) menyebutkan bahwa seseorang yang mampu menyeimbangkan eksternal locus of control dan internal cenderung dapat terhindar dari perasaan tertekan. Menurut Wahyudi (2011), seorang auditor yang memiliki internal locus of control akan berusaha lebih keras ketika ia meyakini bahwa usahanya akan mendatangkan hasil sehingga tingkat kinerjanya juga tinggi. Dapat dipahami juga bahwa eksternal locus of control sebagai kebalikan dari internal locus
5
of control, dimana auditor yang memiliki eksternal locus of control dominan cenderung menunjukan kinerja yang rendah bila dibandingkan individu dengan internal locus of control. Ardiansah (2003) menyatakan bahwa individu dengan eksternal locus of control lebih mudah merasa terancam dan tidak berdaya serta strategi yang dipilih dalam menyelesaikan sebuah permasalahan cenderung bersifat reaktif. Locus of control berperan dalam motivasi, locus of control yang berbeda bisa mencerminkan motivasi yang berbeda dan kinerja yang berbeda. Internal akan cenderung lebih sukses dalam karier dari pada eksternal, mereka cenderung mempunyai level kerja yang lebih tinggi, promosi yang lebih cepat dan mendapatkan uang yang lebih (Hidayat, 2012). Hubungan yang signifikan antara time pressure, audit risk, materialitas serta prosedur review dan kontrol kualitas terhadap penghentian prosedur audit telah dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Suryanita, dkk. (2007). Hasil pengujian regresi yang dilakukan Stefani (2011) menyimpulkan bahwa variable time pressure dan audit risk berpengaruh positif terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Variabel review procedure dan quality control oleh kantor tempat bekerjanya auditor, komitmen pada organisasi auditor, professional commitment auditor, prosedur dan kesadaran etis berpengaruh negatif terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Pengalaman dalam mengaudit meski
6
berpengaruh negatif terhadap penghentian prematur atas prosedur audit tapi secara statistik tidak signifikan. Wahyudi (2012) menyatakan bahwa variabel time pressure, audit risk, prosedur review dan kontrol kualitas tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penghentian prematur prosedur audit dan hanya materialitas yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap penghentian prematur prosedur audit. Penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2010) menunjukan hasil penelitian bahwa time pressure, audit risk, materialitas, prosedur review dan locus of control berdampak secara signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Seluruh prosedur audit yang disyaratkan harus dilakukan oleh auditor, baik itu auditor independen yang bekerja di Kantor Akuntan Publik ataupun auditor pemerintah yang bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) sebelum memberikan opini atas laporan keuangan yang diauditnya. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa
pengelolaan
dan
tanggungjawab
keuangan
negara
(www.bpk.go.id). Dikeluarkannya PP60/2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, mengakibatkan tuntutan dan tantangan berat bagi auditor pemerintah untuk menghasilkan audit yang berkualitas, mewujudkan pemerintahan yang good governance, menciptakan akuntabilitas aparat pemerintahan, serta memiliki visi menjadi katalisator pembaharuan manajemen pemerintahan. Untuk itu praktik profesional auditor pemerintah
7
yang bertugas sebagai pengawas perlu ditingkatkan, meskipun auditor memiliki keterbatasan kemampuan diri sendiri, waktu yang ditetapkan, biaya dan beban kerja yang cukup besar. Sikap profesional ini diperlukan karena BPK-RI dengan posisinya sebagai auditor pemerintah memiliki peranan sangat penting (Gustati, 2012). Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) dalam era reformasi sekarang ini telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR-RI dalam Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK-RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang keuangan negara. Dikeluarkannya TAP
MPR No.VI/MPR/2002 menegaskan kembali
kedudukan BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional. Pemeriksaan yang dilakukan BPK-RI terkait lembaga pemerintahan, harus dilakukan dengan cermat sehingga dapat mendeteksi apabila terdapat penyimpangan yang mungkin terjadi. Kasus-kasus yang banyak menimpa organisasi pemerintahan saat ini, seperti kasus Bank Century dan Hambalang menuntut BPK-RI untuk lebih serius dalam proses audit pemerintahan (www.bpk.go.id). Prosedur audit BPK-RI harus sesuai dengan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). SPKN ini ditetapkan dalam Peraturan BPK Nomor 01 Tahun 2007 sebagaimana amanat UU yang ada. Sejak ditetapkannya Peraturan BPK ini dan dimuatnya dalam Lembaran Negara, SPKN akan mengikat BPK maupun pihak lain yang melaksanakan
8
pemeriksaan keuangan negara untuk dan atas nama BPK. Inilah tonggak sejarah dimulainya reformasi terhadap pemeriksaan yang dilakukan BPK setelah 60 tahun pelaksanaan tugas konstitusionalnya. Hasil pemeriksaan BPK diharapkan dapat lebih berkualitas yaitu memberikan nilai tambah yang positif bagi pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat Indonesia. Penyusunan SPKN ini telah melalui proses sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang maupun dalam kelaziman penyusunan standar profesi. Hal ini tidaklah mudah, oleh karenanya, SPKN ini akan selalu dipantau perkembangannya dan akan selalu dimutakhirkan agar selalu sesuai dengan dinamika yang terjadi di masyarakat (www.bpk.go.id). Penelitian sebelumnya terkait faktor yang mempengaruhi penghentian prematur atas prosedur audit selama ini lebih ditekankan kepada auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik (KAP). Penelitian terkait sangat jarang mengambil subjek pada akuntan pemerintah yang bekerja di Kantor Badan Pengawas Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI). Auditor pemerintah merupakan auditor yang juga menghadapi time pressure dalam melaksanakan prosedur audit, mengingat institusi tempat mereka bekerja juga memperoleh anggaran waktu untuk menunjang kegiatannya. Kecenderungan anggaran waktu ini disinyalir akan berdampak pula terhadap prosedur audit yang akan dilaksanakan oleh auditor (Erika, 2008). Hal tersebut membuat penulis melakukan penelitian pada auditor di Kantor BPK-RI Perwakilan Bali. Selain itu penelitian ini juga memakai
9
variabel independen yang terdiri dari faktor eksternal dan faktor internal auditor. Fenomena ini membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan penghentian prematur atas prosedur audit, khususnya dari aspek time pressure, audit risk, professional commitment dan locus of control. Judul yang penulis angkat disini yaitu “Pengaruh Time Pressure, Audit Risk, Professional Commitment dan Locus Of Control pada Penghentian Prematur Atas Prosedur Audit (Studi Pada Kantor BPK-RI Perwakilan Bali)”
1.2
Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah dipaparkan
maka yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah: 1)
Bagaimana pengaruh time pressure pada penghentian prematur atas prosedur audit?
2)
Bagaimana pengaruh audit risk pada penghentian prematur atas prosedur audit?
3)
Bagaimana pengaruh professional commitment
pada penghentian
prematur atas prosedur audit? 4)
Bagaimana pengaruh locus of control pada penghentian prematur atas prosedur audit?
10