1
MS Word Export To Multiple PDF Files Software - Please purchase license.PERAN ORANG TUA DALAM MEMBENTUK PERILAKU KERJASAMA PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN DI PAUD PASIR PUTIH KECAMATAN TOLINGGULA KABUPATEN GORONTALO UTARA Asriyani Jailani, Ruslin W. Badu, Irvin Novita Arifin
ABSTRAK Penelitian ini bermaksud untuk mendiskripsikan Peran Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Kerjasama Anak Usia 5-6 Tahun di PAUD Pasir Putih Kecamatan Tolinggula Kabupaten Gorontalo Utara. Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan sumber data primer 5 (lima) orang tua, serta seluruh orang anak didik dan sumber data sekunder berupa dokumen, tulisan serta arsip-arsip yang mendukung penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Selanjutnya data di analisis dengan langkah-langkah reduksi data, penyajian data dan verifikasi dan pengumpulan keputusan.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Peran Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Kerjasama Anak Usia 5-6 Tahun di PAUD Pasir Putih Kecamatan Tolinggula Kabupaten Gorontalo Utara belum semua orang tua yang bisa menjalankan perannya dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara menginformasikan bahwa secara umum belum semua orang tua bisa menjalankan perannya dengan baik dari 5 indikator yaitu 1) membentuk kontak sosial pada anak, 2) menanamkan keinginan berkelompok pada anak, 3) membiasakan anak bergaul dengan teman sebayanya, 4) membimbing anak bermain bersama, 5) membiasakan anak menolong teman dalam bermain. Dari masing-masing indikator peneliti menemukan belum semua orang tua yang bisa menjalankan perannya dengan baik. Hal ini di pengaruhi oleh berbagai kesibukan orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup,tingkat pengetahuan orang tua yang masih kurang memahami pentingnya pembentukan kerjasama pada anak sejak usia dini, temuan lain yaitu rendahnya tingkat ekonomi orang tua, kurangnya komitmen anggota keluarga dalam membentuk perilaku kerjasama anak sejak usia dini. Kata kunci : Peran Orang Tua, Perilaku kerjasama PENDAHULUAN Masa anak-anak adalah masa yang paling rentan terhadap rangsangan dari luar, baik rangsangan yang bersifat positif maupun negatif. Rangsangan tersebut dapat berpengaruh di kehidupan anak selanjutnya. Pada usia satu tahun, anak belum tahu tentang perilaku, anak akan mengetahui perilaku benar dan salahnya dari dampak perbuatan yang dilakukannya. Untuk itu sejak usia satu tahun anak
2
sebaiknya sudah mulai diperkenalkan pada nilai-nilai atau tingkah laku yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Hal ini dapat dimulai dari lingkungan keluarga, tetapi tentunya penerapan nilai-nilai perilaku kerjasama harus disesuaikan dengan tahapan berpikir anak. Baumrind dalam Dariyo (2004:97). Peran orang tua sangat diperlukan dalam menanamkan kebiasaan bertingkah laku yang diharapkan dapat di munculkan oleh anak. Jadi, sebagai orang terdekat dengan anak, orang tua dan para pengasuh hendaknya peka atau tanggap apabila anak memberikan sinyal bahwa ia siap untuk diberi stimulasi untuk mengaktualisasikan potensi-potensi yang tersembunyi agar tidak terjadi kesalahan yang fatal. Perilaku yang menyimpang atau perilaku yang tidak mau kerjasama dapat mempengaruhi perilaku-perilaku lainnya dan berdampak pada konsentrasi belajar anak itu sendiri maupun anak lain, perilaku seperti itu pada dasarnya mengganggu orang lain tanpa menghiraukan objek yang diganggu tersebut. Baumrind dalam Dariyo (2004:97). Orang Tua memegang peranan utama dan pertama bagi pendidikan anak, mengasuh, membesarkan dan mendidik anak merupakan tugas mulia yang tidak lepas dari berbagai halangan dan tantangan, sedangkan guru disekolah merupakan pendidik yang kedua setelah orang tua di rumah. Pada umunnya anak atau siswa adalah merupakan insan yang masih perlu dididik atau diasuh oleh orang yang lebih dewasa dalam hal ini adalah ayah dan ibu, jika orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama ini tidak berhasil meletakkan dasar perilaku yang baik maka akan sangat berat untuk berharap sekolah mampu membentuk anak menjadi berbudi pekerti baik atau tidak nakal.Baumrind dalam Dariyo (2004:97) Meski dunia pendidikan atau sekolah juga turut berperan dalam memberikan kesempatan kepada anak untuk memiliki perilaku tidak nakal berdasarkan pergaulan teman sebaya, pola asuh orang tua tetap merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak untuk berakhlak baik. Orang tua mana yang tidak mau melihat anaknya tumbuh menjadi anak tidak suka bekerjasama. Tampaknya memang itulah salah satu tujuan yang ingin dicapai orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Baumrind dalam Dariyo (2004:97). Seorang anak yang tingkat kerjasama rendah akan menyebabkan sesuatu hasil kegiatan tidak menyenangkan.
3
Oleh karenanya kerjasama anak harus ditingkatkan dengan baik sehingga anak merasa puas dan terdorong semangatnya dalam bekerja sama dengan orang lain. Menurut Hurlock (dalam Sadiman, 2003: 38) bahwa "kegembiraan dan tingkat kerja sama anak timbul bila anak merasakan sesuatu yang menimbulkan rasa senang. Karena situasi yang lucu, menakjubkan, tak terduga, kehadiran orang lain yang diharapkan. Prestasi yang memuaskan, suasana yang nyaman, dan sebagainya. Rasa ini diekspresikan dengan tersenyum, tertawa, bertepuk tangan, melompat-lompat, memeluk benda atau orang yang mendatangkan kegembiraan". Berdasarkan pendapat tersebut disimpulkan bahwa kerja sama yang menyenangkan memberikan peran penting dalam kehidupan anak. Oleh karenanya para pendidik dituntut untuk menciptakan kondisi yang mampu menghadirkan sesuatu yang terbaik. Selain pendapat tersebut maka disimpulkan bahwa kerja sama anak dapat membantu untuk tumbuh berkembang dan dapat mengendalikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kesabaran, ketabahan, dan keuletan dalam kerja sama. Hal ini sejalan dengan pendapat Fuchan (2004: 33) bahwa perkembangkan kerja sama merupakan kemampuan mengenal emosi diri antara orang lain, mengelola emosi, memotivasi diri, dan mengenali kemampuan orang lain. Pengembangan kerja sama yang baik bagi anak memudahkan baginya mengatur suasana hati, menghilangkan kecemasan, rasa bersalah, menekan amarah yang tidak mengikuti dapat diatur dengan menggunakan kecerdasan berfikir. Pengembangan kerja sama yang baik bagi anak memungkinkan terciptanya hubungan yang berlangsung efektif antara guru dengan anak didik, dan dapat mengantar dirinya untuk memiliki aktivitas belajar dan komunikasi antara seseorang dengan orang lain. Bagi anak yang memiliki pengembangan kerja sama yang memadai diyakini akan mampu mendinamisir lingkungan belajar dan membangun iklim yang kondusif, sehingga menimbulkan semangat dan motivasi belajar. Untuk itu kerja sama merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh setiap anak guna menjalin hubungan kerja sama yang baik dan harmonis dengan guru dan sesama anak di kelas sehingga tujuan pembelajaran di kelas dapat tercapai. Menurut Wijaya (2001: 66-67) bahwa "Seorang anak yang memiliki kemampuan kerja sama yang
4
dirincikan dengan perilaku yaitu memiliki rasa keterbukaan, penuh hormat, kemantapan hubungan dengan orang lain, terutama antara guru dan sesama anak lain, memiliki kemandirian dan kepercayaan diri, dan mampu berdiskusi dengan orang lain, menghargai perbedaan pendapat, memiliki kepuasan terhadap aktivitas belajar." Sebaliknya anak yang kurang memiliki kerja sama yang baik dalam aktivitas belajar dirincikan antara lain kurang menerima pendapat dari orang lain, sering memotong pembicaraan orang, kurang sanggup mengontrol atau mengendalikan diri dan tempramennya sekehendak hati. Uraian di atas menunjukan bahwa keberhasilan aktivitas anak sangat tergantung dari kemampuan anak dalam mengelola kerja sama yang dimilikinya. Anak yang memiliki emosi yang baik mampu menguasai bahan pelajaran, mampu mengkombinasikan berbagai cara belajar yaitu kerja sama, serta mampu mengelola interaksi dengan orang lain. Pengembangan kerja sama yang baik bagi seorang anak dipandang sebagai faktor yang mendasar dalam menentukan aktivitas dan aktivitas belajar anak. Wijaya (2001: 66-67) Orang tua adalah guru pertama bagi anak, sebab orang tua merupakan teladan utama bagi seorang anak dalam membentuk perilaku kerjasama dengan teman bermainnya. Seorang anak akan memperoleh pendidikan, maka orang tua harus berperan aktif secara penuh, terutama peran orang tua mendidik anak dalam membentuk perilaku kerjasama. Penekanan yang harus dilakukan oleh orang tua kepada pendidikan anak adalah mendidik anak dengan norma-norma kerjasama. Baik buruknya seorang anak dalam kerjasama tergantung dari peran orang tua. Pembentukan perilaku kerjasama anak sejak dini adalah sesuatu yang sangat penting, sebab fondasi utama dalam membentuk kepribadian anak. Wijaya (2001: 66-67). Berdasarkan fenomena di lapangan pada PAUD Pasir Putih Tolinggula peran orang tua dalam membentuk perilaku kerjasama anak dalam bermain belum maksimal, padahal anak sangat membutuhkan peran orang tua. Hal ini tercermin pada beberapa aspek yaitu orang tua jarang memberikan motivasi, kurang bertindak sebagai fasilitator, kurang bertindak sebagai pembimbing. Kondisi ini berdampak pada perilaku kerja sama yang masih rendah ketika bermain seperti
5
nampak perilaku anak yang cenderung tertutup dengan teman, belum menunjukkan perilaku yang sopan santun, menunjukkan perilaku ingin menang sendiri, kurang memiliki kemandirian, kurang memiliki kepercayaan diri, dan kurang mampu berkomunikasi dengan orang lain. Mengacu pada temuan tersebut penulis tertarik untuk mengkaji masalah ini dalam suatu penelitian dengan judul “Peran Orang Tua dalam Membentuk Perilaku Kerjasama Anak Usia 5-6 tahun di PAUD Pasir Putih Kecamatan Tolinggula
Kabupaten Gorontalo Utara”. Masalah dalam penelitian ini
dirumuskan yaitu bagaimanakah peran orangtua dalam membentuk perilaku kerjasama anak di PAUD Pasir Putih Kecamatan Tolinggula Kabupaten Gorontalo Utara, Tujuan penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan peran orangtua dalam membentuk perilaku kerjasama anak di PAUD Pasir Putih Kecamatan Tolinggula Kabupaten Gorontalo Utara. Manfaat teoritis sebagai bahan refrensi dan perbandingan pada masalah yang lebih dalam terhadap penelitian lebih lanjut tentang pembentukan sikap kerja sama anak di PAUD, adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut: Manfaat Praktis ; Membiasakan anak dalam hal kerja sama yang baik. Meningkatkan peran dan fungsi guru dalam menghadapi masalah yang terjadi pada anak sehingga kompotensi akademik dan kualitas belajar akan membuahkan keberhasilan yang diinginkan, Sebagai bahan informasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang berbasis karakter anak, Meningkatkan rasa tanggung jawab pendidikan anak dalam lingkungan keluarga. KAJIAN TEORI Perilaku manusia (human behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks. Menurut Yusuf (2001: 2) bahwa perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi, sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat menelaah
6
alasan dibalik perilaku individu, sebelum ia mampu mengubah perilaku tersebut. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Azwar (1999: 9) mendefinisikan perilaku (behavior) sebagai aktivitas
yang di dasari oleh kodrat untuk
mempertanankan kehidupan setelah melakukan interaksi antara stimulus dengan response). Perilaku sebagai sebuah gerakan yang dapat diamati dari luar untuk Thoha (2003: 33) mengatakan perilaku manusia adalah sebagai suatu fungsi dari interaksi antara person atau individu dengan lingkungannya. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka disimpulkan pengertian perilaku sebagai respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan merupakan suatu fungsi dari interaksi antara person atau individu dengan lingkungannya. Perilaku adalah kelakuan, tabiat atau tingkah laku, atau perilaku merupakan kegiatan individu atas sesuatu yang berkaitan dengan individu tersebut yang diwujudkan dalam bentuk gerak atau ucapan. Menurut Yusuf (2001:12) definisi perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Demikian yang dimaksud perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas manusia darimanusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku adalah segenap manifestasi hayati individu dalam berinteraksi dengan lingkungan, mulai dari perilaku yang paling nampak sampai yang tidak tampak, dari yang dirasakan sampai yang paling tidak dirasakan. Pembentukan perilaku melalui beberapa langkah dan menurut Uno (2006:2) diuraikan sebagai berikut: 1) Jadwal Penguatan (Schedule of Reinforcement), 2) pembentukan (shaping), 3) Modifikasi tingkah laku (behavior modification), 4) Generalisasi dan Dsikriminasi Kecenderungan untuk terulang atau meluasnya tingkah laku yang diperkuat dari satu situasi stimulus yang lain itu disebut generalisasi stimulus. Yusuf (2001:11) mengatakan “tujuan yang diharapkan oleh pendidik anak usia dini, antara lain: 1) Dapat memahami perilaku anak usia dini di lingkungan sekolahnya, 2) Dapat memahami konsep pembentukan perilaku anak usia dini, agar dapat membantu
7
dalam mengatasi masalah perkembangan kepribadiannya, 3) Untuk mencapai suatu usaha yang sejalan dalam pembentukan perilaku bagi anak dalam lingkungan sekolah maupun keluarga demi terbentuknya akhlaq yang baik, 4) Dalam pembentukan perilaku muslim dapat mengupayakan yang sejalan dengan tujuan ajaran islam”. Menurut Uno (2006:2) bahwa generalisasi stimulus mempunyai arti penting bagi perbendaharaan dan integritas tingkah laku individu. Fenomena dari generalisasi stimulus itu dengan mudah bisa kita jumpai dalam kehidupan seharhari. Sebagai contoh, seorang anak yang berada di rumah diperlakukan dengan baik karena bertingkah laku baik akan menggeneralisasikan dan mengulang tingkah laku baiknya itu di luar rumah. Di samping generalisasi stimulus, individu mengembangkan tingkah laku adaptif atau penyesuaian dirinya melalui kemampuan membedakan atau diskriminasi stimulus.
Diskriminasi stimulus merupakan kebalikan dari generalisasi stimulus, yakni suatu proses belajar bagaimana merespon secara tepat terhadap berbagai stimulus yang berbeda. Sebagai contoh, seorang anak kecil belajar membedakan antara orang-orang yang termasuk anggota keluarga percaya bahwa kemampuan mendiskriminasi
stimulus
ini
sama
pentingnya
dengan
kemampuan
menggeneralisasikan stimulus. Kemampuan mendiskriminasi stimulus ditentukan oleh pengalaman belajar individu yang khas. Pada dasarnya pembentukan perilaku itu sangat penting dalam dunia pendidikan, dan dilakukan sedini mungkin karena dengan begitu ketika dewasa menjadi anak yang memiliki perilaku yang diiginkan. Dengan adanya pembentukan perilaku dimungkinkan akan membentuk tingkah laku yang menghasilkan akhlaq yang mulia. Menurut Nurfitriah (2006:78) bahwa kerjasama merupakan upaya pencapaian kematangan dalam hubungan sosial, dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma kelompok, moral, dan tradisi, meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama. Adapun perilaku kerjasama yang seharusnya dimiliki oleh anak usia prasekolah. Menurut Nurgraha (2005: 23) diantaranya adalah: (a) Membuat
8
kontak sosial dengan orang diluar rumahnya, seperti mulai senang untuk bermain dengan teman-teman baru dilingkungannya dan memiliki teman disekolah; (b) Anak prasekolah sudah mulai ingin berkelompok namun belum memahami arti dari sosialisasi yang sebenarnya. Mereka baru mulai belajar menyesuaikan diri, dengan harapan dapat diterima oleh lingkungan sosialnya; (c) Hubungan dengan orang dewasa. Anak selalu ingin dekat dengan orang dewasa baik dengan orang tua maupun guru. Mereka selalu berusaha untuk berkomunikasi dan menarik perhatian orang dewasa; (d) Anak yang berusia 3-4 tahun mulai bermain bersama (cooperative play). Mereka tampak mulai mengobrol selama bermain, memilih teman untuk bermain, mengurangi tingkah laku bermusuhan; (e) Anak yang berusia 5 tahun diharapkan dapat memiliki beberapa kawan, mungkin satu sahabat serta dapat memuji, memberi semangat, atau menolong anak lain ; (f) Usia 5 tahun 6 bulan anak diharapkan dapat mencari kemandirian lebih banyak, seringkali puas, menikmati berhubungan dengan anak lain meski pada saat krisis muncul, menyatakan pernyataan-pernyataan positif mengenai keunikan dan keterampilan serta anak dapat berteman secara mandiri. Sedangkan menurut Lawrence dan Hurlock (dalam Nurgraha, 2005: 128-129) bahwa karakteristik kerjasama yang diharapkan dapat dimiliki oleh seorang anak usia TK adalah sebagai berikut : a) Memiliki keterampilan bercakapcakap/komunikasi yang baik, b) Menjalin persahabatan dengan teman-teman sepermainannya, c) Memiliki Sense of Humor, d) berperan serta dan dapat bekerjasama dalam satu kelompok dan e) Memiliki tata krama atau berperilaku baik. Hurlock (2006:12) mengemukakan mengenai karakteristik kerjasama anak TK yang termasuk kedalam perilaku sosial yang baik diantaranya adalah kerjasama, persaingan yang positif, kemurahan hati, hasrat akan penerimaan soaial, simpati dan empati, perilaku ramah, tidak mementingkan diri sendiri, meniru, serta perilaku kelekatan. Anak yang secara sosial-emosional siap untuk sekolah adalah anak yang percaya diri, ramah tamah, dan dapat mengembangkan hubungan yang baik dengan teman dan mampu mengkomunikasikan (kerja sama) dan rasa ilustasi keramahan dan kesenangan secara tepat serta mampu mendekatkan instruksi dan
9
memberi perhatian terhadap tugas. Sebagai guru atau pendidik sedapat mungkin berupaya untuk menghindarkan kerja sama yang tidak menyenangkan pada anak, namun sebaliknya menciptakan kondisi yang menimbulkan suatu kerja sama yang menyenangkan. Menurut Fuchan (2004: 54) bahwa "Aspek kerja sama dari suatu perilaku, pada umumnya selalu melibatkan tiga aspek yaitu (1) rangsangan yang menimbulkan emosi (stimulus) ; (2) perubahan-perubahan psikologi yang terjadi pada individu; dan (3) pola sambutan." Berdasarkan kedua pendapat di atas maka disimpulkan pengertian kerjasama yaitu suatu upaya seseorang untuk peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain, cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain sehingga muncul interaksi dengan lingkungan di sekelilingnya dengan mengandung tiga variable perilaku yaitu rangsangan yang menimbulkan emosi, perubahan psikologi yang terjadi pada individu dan pola sambutan terhadap orang lain. Menurut Solehuddin (2000:89) bahwa dalam situasi tertentu, pola sambutan yang berkaitan dengan kerja sama seringkali organisasinya bersifat kacau dan mengganggu, kehilangan arah dan tujuan. Berkenaan dengan perubahan jasmaniah yang terjadi terkait dengan kerja sama seseorang. Selanjutnya, dia mengemukakan pula tentang ciri-ciri kerja sama yaitu: (1) lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnya seperti pengamatan dan berfikir; (2) bersifat fluktuatif atau tidak tetap; dan (3) banyak bersangkut paut peristiwa pengenalan panca indera dan subyektif. Perubahan aspek jasmaniah akan muncul pada waktu individu menghayati suatu perilaku kerja sama, maka terjadi perubahan pada aspek jasmaniah. Perubahan-perubahan tersebut tidak terlalu terjadi serempak, mungkin yang satu mengikuti yang lainnya. seseorang jika marah maka perubahan yang paling kuat terjadi debar jantungnya, sedang yang lain adalah pada pernafasannya, dan sebagainya. Perilaku anak diekspresikan melalui suatu gerakkan atau sikap. Kerja sama yang dihayati oleh seseorang diekspresikan melalui perilakunya, terutama dalam ekspresi roman muka dan suara bahasa. Ekspresi kerja sama ini juga dipengaruhi oleh pengalaman, belajar, dan kematangan. Kerjasama selain kemampuan menjalin persahabatan yang akrab dengan teman, juga mencakup
10
kemampuan seperti memimpin, mengorganisir, menangani perselisihan antar teman, memperoleh simpati dan anak
yang lain, dan sebagainya. Inti dari
pengertian kerja sama dari pendapat ini menunjuk pada kemampuan seorang anak untuk peka terhadap perasaan orang lain. Anak yang memiliki kecerdasan interpersonal cenderung mampu untuk mengenali berbagai kekuatan maupun kelemahan yang ada pada dirinya sendiri. Anak semacam ini senang melakukan intropeksi diri, mengoreksi kekurangan maupun kelemahannya, kemudian mencoba untuk memperbaiki diri. Kerjasama adalah suatu perilaku dasar untuk menjalin suatu hubungan yang hangat dengan orang lain, hubungan yang penuh kepercayaan. Peran orangtua yang seharusnya adalah sebagai orang pertama dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan terhadap anak-anaknya. Orangtua juga harus bisa menciptakan situasi pengaruh perhatian orangtua dengan menanamkan norma-norma untuk dikembangkan dengan penuh keserasian, sehingga tercipta iklim atau suasana keakraban antara orangtua dan anak. Menurut Nurcholis Madjid dalam Turmudji (2003:11) peran orang tua adalah peran tingkah laku, teladan, dan pola-pola hubungannya dengan anak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai keagamaan menyeluruh. Meningkatkan kerja sama diwujudkan pada hubungan kekerabatan dengan orang lain. Dalam prakteknya setiap guru harus memperhatikan aktivitas anak dengan pasangan atau sahabat dekatnya; atau dalam aktivitas bekerja sama antara satu anak atau lebih dalam sebuah proyek yang berdasarkan pada kesamaan minat. Howard Gardner (dalam Hanifa, (2008: 2) mendefinisikan kerja sama berarti peka terhadap perasaan, keinginan, dan ketakutannya sendiri. Selain itu anak juga menyadari kelebihan dan kelemahan diri serta mampu menyusun perencanaan (plan) dan tujuan (goal). Biasanya anak cerdas diri memiliki kesadaran atas kemampuan diri dan cerdas intrapersonal (cerdas sosial). Maka dapat disimpulkan bahwa kerja sama sebagai kemampuan seseorang dalam menjalin hubungan antarpribadi atau dengan orang lain yang ada di sekitar. Kemampuan ini harus dilatih dan dikembangkan sejak masa kanak-kanak di samping kemampuan akademiknya. Banyak sekali orang yang tidak menyadari betapa pentingnya kerja sama ini. Padahal kemampuan intrapersonal yang baik sangat diperlukan dalam
11
kehidupan pribadi, lingkungan pekerjaan atau dalam bermasyarakat. Anak yang kerja sama terlatih sejak kecil akan mudah bergaul, berteman, dan berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya, sehingga dapat lebih berhasil dalam pekerjaannya atau mungkin mendapat jenjang karier lebih tinggi dan lebih cepat. Fakta dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan, orang-orang yang kurang cerdas secara
sosial
sulit
berkembang
dalam
pekerjaannya
atau
lingkungan
masyarakatnya, meskipun anak pandai secara akademik. Sedangkan anak yang cerdas sosial walaupun tidak memiliki IQ tinggi, mampu menjalin hubungan, kerja sama atau mempengaruhi dan memimpin orang lain. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan di PAUD Pasir Putih Kecamatan Tolinggula Kabupaten Gorontalo Utara pada bulan januari 2013 berjumlah total 15 orang, perempuan 10 orang dan laki-laki 5 orang. Anak didik PAUD Pasir Putih Kecamatan Tolinggula
Kabupaten Gorontalo Utara semuanya beragama islam.
Adapun orang tua dari anak didik PAUD Pasir Putih Kecamatan Tolinggula Kabupaten Gorontalo Utara jenjang pendidikannya adalah SD 13 orang, SLTP 2 orang, dapat di pahami bahwa tingkat pendidikan orang tua yang berada di PAUD Pasir Putih Kecamatan Tolinggula Kabupaten Gorontalo Utara berada pada jenjang sekolah dasar, jika di bandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Hal ini menandakan bahwa dari segi pendidikan, orang tua harus lebih meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, sehingga hal ini tidak akan berdampak positif terhadap kehidupan pada orang tua lainnya. Kondisi orang tua menurut tingkat pekerjaannya menunjukan bahwa orang tua dari anak didik PAUD Pasir Putih Kecamatan Tolinggula Kabupaten Gorontalo Utara lebih sebagian besar adalah mengurus rumah tangga. Penelitian ini di lakukan untuk memperoleh gambaran tentang peran orang tua dalam membentuk perilaku kerjasama anak di PAUD Pasir Putih Desa Molangga Kecamatan Tolinggula Kabupaten Gorontalo Utara. berdasarkan hasil temuan dalam wawancara di peroleh gambaran tentang peran orang tua dalam membentuk perilaku kerjasama di PAUD Pasir Putih Desa Molangga Kecamatan Tolinggula Kabupaten Gorontalo Utara, yang dapat di dilihat sudah meningkat. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan
12
oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Menurut Soekamto (2008;12) peran adalah suatu konsep prihal apa yang dapat dilakukan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat, peran meliputi norma-norma yang dikembangkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, peran dalam arti ini merupakanrangkaian peraturan-peraturan yang membentuk seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan. Berdasarkan uraian di atas maka pengertian peran dapat dismpulkan sebagai serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu. Misalnya dalam keluarga, perilaku ibu dalam keluarga diharapkan bisa memberi anjuran, memberi penilaian, memberi sangsi dan lain-lain. Peran dapat tampil sebagai suatu pola tinglah laku yang (dianggap) harus dilakukan seseorang untuk memantapkan kedudukannya. Pada umumnya peran seseorang bertautan dengan harapan-harapan orang lain atau masyarakat terhadap kedudukannya itu. Misalnya apabila seorang ayah menelantarkan anaknya, dalam artian tidak melaksanakan perannya sebagai ayah seperti yang diharapkan adat kebiasaan atau aturan yang berlaku dalam budaya suatu masyarakat ataupun kaidah-kaidah agama, maka ia disebut seorang ayah yang tidak melaksanakan perannya dengan baik. Sebab, dari seorang ayah diharapkan bahwa ia harus mengurus dan mendidik anak dengan baik selaras dengan peran keayahannya sebagai pendidik. Demikianlah peran itu bertautan dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu ataupun kaidah-kaidah agama yang dianut Soelaeman, (2004: 121). Setiap keluarga terdiri atas beberapa anggota keluarga, maka masing-masing anggota keluarga memiliki peran masing-masing, sesuai dengan kedudukannya dalam
keluarga
yang
bersangkutan.
Pelaksanaan
masing-masing
peran
sebagaimana mestinya itu membantu mengukuhkan dan menambah keharmonisan kehidupan keluarga yang bersangkutan, membantu anggota-anggota keluarga lainnya serta unit keluarga sebagai suatu kesatuan dalam melaksanakan perannya masing-masing. Soelaeman, (2004: 121). Setiap manusia yang menjadi bagian dari masyarakat senantiasa mempunyai status atau kedudukan yang akan menimbulkan suatu peran atau peran . Jadi status merupakan posisi di dalam suatu
13
sistem sosial. Peran adalah perilaku yang terkait dengan status tersebut. Peran merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status). Peran merupakan pemeranan dari perangkat hak dan kewajiban. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalankan ia menjalankan suatu peran . Peran menentukan apa yang diperbuat seseorang dalam masyarakat. Soelaeman, (2004: 121). Menurut Darajat (2003:12) orang tua adalah merupakan pendidik utama dan pertama bagianak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. Orangtua adalah ayah, ibu dan anak, baik melalui hubungan biologis maupun sosial. Umumnya, orangtua memiliki peran yang sangat penting dalam membesarkan anak. Menurut Ali (2010: 56) juga mengatakan bahwa orang tua adalah unsur pokok dalam pendidikan dan memainkan peran penting dan terbesar dalam melaksanakan tanggung jawab ini. Dari satu sisi, orang tua adalah pembawa warisan keturunan dan di sisi lain merupakan bagian dari masyarakat. Jadi orangtua adalah orang dewasa pertama bagi anak yang harus mau menerima terhadap segala tingkah laku anaknya, tempat anak menggantungkan, tempat ia mengharapkan bantuan dalam pertumbuhan dan perkembangannya menuju kedewasaan, serta bertanggung jawab penuh terhadap kesuksesan anak untuk hidup di masa depan. Orangtua memegang peran penting untuk meningkatkan prestasi belajar anak tanpa dorongan dan rangsangan dari orangtua maka perkembangan dan prestasi belajar anak mengalamai hambatan. Berdasarkan uraian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peran orangtua adalah suatu tindakan untuk memberikan motivasi, bimbingan, fasilitas belajar, serta perhatian yang cukup terhadap anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu. Orangtua akan berperan aktif untuk menunjang keberhasilan anak. Hal ini bisa dicapai dengan bagaimana peran orangtua memberi motivasi, bimbingan, fasilitas belajar serta perhatian yang cukup terhadap anak-anaknya. Kebiasaan belajar yang baik dan disiplin diri harus dimiliki anak, selain itu kebutuhan untuk berprestasi tinggi dan berdaya saing tinggi harus selalu ditanamkan pada diri anak
14
sedini mungkin. Jika hal ini telah dilakukan maka keberhasilan anak lebih mudah untuk dicapai. Peran orang tua terhadap pembentukan perilaku kerjasama anak harus di mulai sejak dini. kerjasama merupakan salah satu fitrah manusia sebagai mahluk sosial.semakin modern seseorang maka ia akan semakin banyak bekerjasama dengan orang lain, bahkan seakan tak di batasi oleh ruang dan waktu tentunya dengan perangkat yang modern pula. Perilaku kerjasama adalah gejala saling mendekati untuk mengurus kepentingan bersama dan tujuan yang sama. kerjasama dan pertentangan merupakan dua sifat yang dapat di jumpai dalam seluruh proses sosial/masyarakat, di antara seseorang dengan orang lain, kelompok dengan kelompok, dan kelompok dengan seseorang. serta di wujudkan dengan sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut suyanto (2005:154) bahwa perilku kerjasama mempersiapkan anak untuk masa depannya di masyarakat yaitu memacu anak untuk belajar secara aktif ketika ia bekerjasama dan bukan hanya pasif. hal ini memotivasi anak untuk mencapai prestasi akademik yang lebih baik, menghormati perbedaan yang ada dan kemajuan kemampuan sosial. Menurut suyanto (2005:154) bahwa perilku kerjasama mempersiapkan anak untuk masa depannya di masyarakat yaitu memacu anak untuk belajar secara aktif ketika ia bekerjasama dan bukan hanya pasif. hal ini memotivasi anak untuk mencapai prestasi akademik yang lebih baik, menghormati perbedaan yang ada dan kemajuan kemampuan sosial. Pendapat di atas merupakan dasar perlunya peran serta orang tua dalam membentuk perilaku kerjasama pada anak di Paud Pasir Putih Desa Molannga Kecamatan Tolinggula Kabupaten Gorontalo Utara menunjukan bahwa secara umum orang tua membentuk perilaku kerjasama anak dapat di jelaskan sebagai berikut: 1.
Membentuk Kontak Sosial Pada Anak Hasil penelitian menunjukan bahwa peran orang tua dalam membentuk
perilaku kerjasama anak hubungannya dengan membentuk kontak sosial pada anak, dilakukan orang tua melalui membiasakan anak menghargai pendapat orang lain, membiasakan anak menyesuaikan diri dalam bermain. namum peran itu
15
belum berjalan dengan baik, karenah belum semua orang tua mampu menjalankan peran itu dengan baik. Temuan di lapangan bahwa orang tua membiasakan anak menghargai orang lain memang ada, namun belum berjalan dengan baik, kenyataan ini di pengaruhi oleh berbagai aturan yang sifatnya membiasakan anak tidak berjalan dengan baik. Kondisi lain yang menyebabkan orang tua kurang berperan dengan baik di sebabkan oleh rendahnya tingkat pengetahuan orang tua tentang cara membiasakan anak yang tepat, sehingga orang tua yang terlalu memanjakan anak dan ada juga dengan cara kekerasan.dari kedua cara itu tanpa di sadari oleh orang tua hanya akan mengakibatkan anak untuk tidak menghargai orang lain dan merusak harapan orang tua untuk membiasakan anak itu sia-sia. 2.
Menanamkan keinginan berkelompok pada anak Hasil penelitian menunjukan bahwa peran orang tua terhadap pembentukan
perilaku
kerjasama
anak
hubungannya
dengan
menanamkan
keinginan
berkelompok pada anak melalui menjalin persahabatan dengan teman, menanamkan kebiasaan mengentrol emosi dalam bermain peran itu bisa berjalan dengan baik jika orang tua selalu mengarahkan anak dengan baik pula. hal ini di karenakan bahwa orang tua tersebut memang pendidikan dan kebiasaan di lingkungan yang selalu di tiru anaknya. Kenyataan lain juga ada orang tua yang selalu membiasakan anak mereka untuk membentuk keinginan berkelompok pada anak melalui menjalin persahabatan dengan teman, mengontrol emosi anak belum berjalan dengan baik. hal ini di pengaruhi oleh lingkungan pergaulan anak itu sendiri. selain itu juga di pengaruhi oleh kurangnya komitmen dalam sebuah rumah tangga sehingga apa yang di inginkan tidak bisa berjalan dengan baik. selain kenyataan tersebut, maka peneliti juga menemukan bahwa kerterbatasan ekonomi bisa menyebabkan peran orang tua juga tidak bisa menumbuhkan kepedulian pada diri anak. 3.
Membiasakan anak bergaul dengan temannya. Hasil penelitian secara umum menunjukan bahwa peran orang tua terhadap
pembentukan perilaku kerjasama anak hubungannya dengan membiasakan anak begaul dengan temannya, melalui membiasakan anak memiliki tata krama dengan
16
temannya, memang ada. namun belum semua orangtua bisa membiasakan anak menamkan kebiasaan-kebiasaan tersebut pada anak mereka dengan baik. Hasil temuan di lapangan menunjukan bahwa tingkat kesibukan orangtua dan pengaruh lingkungan juga menyebabkan kurangnya tata krama pada diri anak, sehingga orangtua tidak sepenuhnya membiasakan anaknya juga kebiasaan memanjakan anak dan tanpa di sadari oleh orang tua itu adalah cara yang kurang tepat sehingga menyebabkan anak mereka tidak mampu untuk memiliki tata krama terhadap temannya. Hal lain yang di temukan yaitu kurangnya komitmen yang kuat antara keluarga sehingga tidak mampu membiasakan anaknya.karenah anak sering terbiasa di bantu maka pembiasaan itu tidak akan terbentuk dalam diri anak dengan baik. 4.
Membimbing anak bermain bersama Hasil penelitian menunjukan bahwa peran orang tua terhadap pembentukan
perilaku kerjasama anak hubungannya denagn membimbing anak bermain bersama melalui memandirikan anak, bekerjasama dalam bermain, memang ada pada orang tua. namun belum semua peran itu berjalan dengan baik kenyataan di lapangan bahwa orang tua yang selalu meninngalkan anaknya di rumah bisa membiasakan anak untuk mandiri. selain kenyataan tersebut di atas peneliti juga menemukan bahwa pembiasaan orang tua sjak masih bayi juga berpengaruh pada pembentukan kemandirian pada diri anak.kenyatan lain menunjukan bahwa orang tua selalu membentak anak dan memukul bahkan tidak mau menghargai anak, maka
bisa
mengakibatkan
rendahnya
pembentukan
kemandirian
anak,
bekerjasama anak, sehingga peran itu tidak bisa berjalan dengan baik. 5.
Membiasakan anak menolong teman dalam bermain
Hasil penelitian menunjukan bahwa peran orang tua terhadap pembentukan perilaku kerjasama anak hubungannya dengan membiasakan anak menolong teman dalam bermain melalui menolong teman terasing, menyelesaikan masalah dalam kelompok, memang ada. namun belum semua peran itu terlaksana dengan baik. kenyataan di lapangan menunjukan bahwa ada orang tua yang selalu membiarkan anaknya di bantu oleh orang lain, mengakibatkan anak tidak dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok. selain itu orang tua yang sering tidak
17
berada di rumah, sering membiarkan anaknya dan tidak mampu untuk bertindak tegas mengakibatkan anak tersebut lalai. kenyataan lain ada juga orang tua yang hanya mengharapkan pendidikan itu di sekolah sedangkan di rumah tidak di ajarkan padahal pendidikan yang utama adalah keluarga. hal ini di sebabkan oleh kurangnya pengetahuan orang tua serta keadaan ekonominya, selain itu orang tua yang sering tidak berada di rumah, hal ini bisa mengakibatkan anak tidak terbiasa dengan kasih saying dari orang tua sehingga berdampak pada diri anak yang akibatnya tidak tertanan pada diri anak menolong sesama teman. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat di simpulkan bahwa secara umum belum semua orang tua bisa menjalankan perannya dengan baik dari 5 indikator yaitu 1) membentuk kontak sosial pada anak, 2) menanamkan keinginan berkelompok pada anak, 3) membiasakan anak bergaul dengan orang teman sebayanya, 4) membimbing anak bermain bersama, 5) membiasakan anak menolong teman dalam bermain. Masing-masing indikator peneliti menemukan belum semua orang tua yang bisa menjalankan perannya dengan baik. Hal ini di pengaruhi oleh berbagai kesibukan orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup,tingkat pengetahuan orang tua yang masih kurang memahami pentingnya pembentukan kerjasama pada anak sejak usia dini, temuan lain yaitu rendahnya tingkat ekonomi orang tua, kurangnya komitmen anggota keluarga dalam membentuk perilaku kerjasama anak sejak usia dini. Melalui hasil penelitian, diharapkan pemerintah daerah dalam hal ini instansi yang terkait untuk lebih melibatkan orang tua dalam membentuk perilaku kerjasama anak usia dini sehingga kedepan mampu menciptakan generasi penerus yang berguna bagi nusa dan bangsa. Penulis mengharapkan kepada pihak-pihak terkait untuk mampu mensosialisasikan kepada orang tua tentang bagaimana membentuk perilaku kerjasama pada anak yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Azwar. 1999. Pendidikan Anak Usia Dini, Penerbit: Alfabeta Darajat, Zakiah. 2003. Berawal dari Keluarga. Jakarta: Mizan.
18
Dariyo, Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia. Depdiknas. 2004. Acuan Menu Pembelajaran pada Pendidikan Anak Dini Usia Menu Pembelajaran Generik. Jakarta: Depdiknas. Fuchan, A. 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan Perilaku Kerjasama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hanifa, 2008. Bermain Kelompok Merangsang Kecerdasan Intrapersonal Anak. Tersedia pada: (http//www/bermain-peran-merangsang-kecerdasan.html) diakses pada tanggal 12 Oktober 2012. Hurlock, 2006. Psikologi Perkembangan edisi kelima Erlangga Jakarta Nurfitriah. 2006. Pengembangan Keterampilan Sosial Anak TK Melalui Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif. Bandung: UPI Nurgraha. 2005. Metode Pengembangan Sosial Emosional. Bandung: Universitas Terbuka Soelaeman, M.I. 2004. Pendidikan dalam Keluarga. Bandung: Alfabeta. Solehuddin, M. 2000. Konsep Dasar Pendidikan Prasekolah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Soekamto,Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. CV.Rajawali,jakarta Suyanto, Slamet. 2005. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Sudiman, A.M. 2003. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta. Grafindo. Turmudji, T. 2003. Pola Asuh Orang Tua dengan Agresivitas Remaja. Jurnal Uno, Hamzah. 2006. Model Pembelajaran, Bumi Aksara Wijaya, Cece. 2001. Pendidikan Remedial Sarana Pengembangan Mutu Sumber Daya Manusia. Bandung : Remaja Rosdakarya. Yusuf, Husain. 2001. Teknik-teknik Pengubahan Tingkah Laku. Gorontalo: IKIP Negeri Gorontalo.