ASPEK PENDIDIKAN NILAI DALAM PELAKSANAAN TRADISI BERSIH DESA (CEPROTAN) TAHUN 2007 (Studi Kasus di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan)
SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan
Oleh: TRI UTOMO A.220040006
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008
2
PERSETUJUAN
ASPEK PENDIDIKAN NILAI DALAM PELAKSANAAN TRADISI BERSIH DESA (CEPROTAN) TAHUN 2007 (Studi Kasus di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan)
Yang dipersiapkan dan disusun oleh:
NAMA
:
TRI UTOMO
NIM
:
A220040006
FAKULTAS
:
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JUR/PROG
:
PPKn / S1
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Skripsi S-1
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Hj. Sri Arfiah, SH. M. Pd NIK.235
Dra. Sundari, SH. M. Hum NIK. 151
ii
3
PENGESAHAN
ASPEK PENDIDIKAN NILAI DALAM PELAKSANAAN TRADISI BERSIH DESA (CEPROTAN) TAHUN 2008 (Studi Kasus di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan)
Yang dipersiapkan dan disusun oleh:
TRI UTOMO NIM. A220040006 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal, 4 November 2008 dan dinyatakan telah memenuhi syarat Susunan Dewan Penguji
1. _________________________ (Dra. Hj. Sri Arfiah, SH. M. Pd) 2. _________________________ (Dra. Sundari, SH. M.Hum) 3. _________________________ (Drs. Mulyadi Sk. SH. M.Pd) Surakarta,
November 2008
Universitas Muhammadiyah Surakarta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Dekan,
Drs. H. Sofyan Anif, M.Si NIK. 547
iii
4
PERNYATAAN
Dengan ini, saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila ternyata kelak dikemudian hari terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya di atas, maka saya bertanggungjawab sepenuhnya.
Surakarta, Oktober 2008
TRI UTOMO NIM. A220040006
iv
5
MOTO
Masa lalu lebih indah dari masa kini, mengenangnya hanya menjadi beban dalam hidup ke depan. (Penulis) Benar hidup sekali senang selamanya, salah hidup sekali sengsara selamanya. (Alm K.H Ubaidah Lubis)
v
6
PERSEMBAHAN
Karya terindah ini kupersembahkan dengan penuh rasa syukur kepada:
ALLAH SWT atas segala nikmat dan hidayahMU. NABI Muhammad SAW atas suri tauladan dan pengorbanannya membawa Agama Islam. Para perantara Agama yang berjuang amal ma’ruf nahi munkar agar tetap abadinya Agama Islam. Kedua orang tuaku Bapak Djumiran & Ibu Tipah yang selalu memberi semangat, kasih sayang dan kepercayaan kepadaku, terima kasih atas semua perjuangan dan pengorbanannya yang telah diberikan selama ini. Kakak-kakak ku serta keponakan ku tercinta yang selalu memberi semangat dan motivator selama ini. Teman-teman terbaikku Mas (Danang, Eko JP, Gunanto, Anjar) Kekasihku tercinta Reta yang selama ini selalu memberi semangat serta kasih sayang selama ini. Mbak Teman-teman Wisma Kost Angkasa dan Bocah Ola-Olo Community yang memberi semangat Kebersamaan. Teruntuk semua Bapak/Ibu Pendidik yang telah memberikan ilmunya kepadaku, tetesan keringat serta pengorbanan engkau tidak akan pernah sia-sia, karena akan kutunjukkan rasa syukurku melalui doa maupun kesuksesan dalam jejak langkahku.
vi
7
Semua teman-teman mahasiswa jurusan Pkn FKIP UMS untuk semua angkatan yang telah memberikan semangat, dukungan serta doa sehingga bisa melewati semua ini. Semua orang yang suka maupun benci kepadaku, karena engkau menjadi cambuk untuk mencapai kesuksesan dalam hidupku.
vii
8
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur
penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah me-
limpahkan rahmat, hidayah serta inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa banyak pihak yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan bimbingan dan arahan serta berbagai masukan yang positif, sehingga membantu memperlancar terselesaikannya skripsi ini. Oleh karena itu penulis dengan segala kerendahan hati, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan berdo’a semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat kepada mereka. Selain itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Drs. Sofyan Anif, M.Si, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan ijin guna penyusunan skripsi. 2. Bapak Drs. Achmad Muthali’in, M.Si, selaku ketua jurusan PKn selaku ketua jurusan PKn yang selalu meluangkan waktu dan sabar dalam menerima keluhan mahasiswa.
viii
9
3. Ibu Dra. Sri Arfiah, SH. M.Pd, selaku Pembimbing Pertama, sekaligus Sekretaris Program Studi PKn yang dengan sabar di dalam membimbing sehingga memberi semangat kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini 4. Ibu Dra. Sundari, SH. M.Hum, selaku Pembimbing Kedua, yang benar-benar bisa membuat penulis menjadi termotivasi untuk menyelesaikan skripsi. 5. Bapak Drs. Mulyadi Sk. SH. M.Pd. selaku Penguji tiga yang dengan sabar dan cepat di dalam menguji skripsi ini. 6. Ibu Dra. Hj. Sri Gunarsi, SH. M.H, selaku Pembimbing Akademik (PA) yang telah dengan ramah tamah memberikan saran-saran di saat penulis mengalami kesulitan perkuliahan. 7. Bapak Iman Tukidjo Kepala Desa Sekar yang telah memberi kesempatan dan ijin riset kepada penulis guna penyusunan skripsi. 8. Bapak Djumiran dan Ibu Tipah sebagai kedua orang tua yang dengan kasih sayang, cintanya serta do’anya yang selalu mengiringi setiap langkah dan memberi kepercayaan kepada penulis. 9. Kakak-kakak ku serta keponakan ku tercinta yang selalu memberi semangat dan motivator selama ini. 10. Sahabat-sahabat PKn FKIP UMS angakatan 2004, yang telah memberi bantuan dan canda tawanya yang selalu memberi semangat dan dukungannya. 11. Pihak-pihak lain yang tidak disebutkan satu persatu yang bersangkutan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis berdoa semoga amal baik yang telah diberikan mendapat ridho, rahmat dan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.
ix
10
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini mengingat keterbatasan waktu dan tenaga serta ilmu penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun selalu penulis harapkan untuk lebih menyempurnakan skripsi ini. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Surakarta, Oktober 2008 Penulis
TRI UTOMO
x
11
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................
iv
HALAMAN MOTTO.....................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN......................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................
viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xv
DAFTAR SKEMA .........................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
xvii
ABSTRAK .....................................................................................................
xviii
BAB
BAB
I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.............................................................
1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................
4
C. Pembatasan Masalah ..................................................................
5
D. Perumusan Masalah ...................................................................
6
E. Tujuan Penelitian........................................................................
6
F. Manfaat atau Kegunaan Penelitian..............................................
7
G. Sistematika Penulisan ................................................................
8
II LANDASAN TEORI
xi
12
A. Tinjauan Pustaka........................................................................
11
B. Kerangka Teoritik .....................................................................
13
1. Kebudayaan ..........................................................................
13
2. Pelaksanaan Tradisi...............................................................
16
3. Kepercayaan..........................................................................
18
4. Nilai ......................................................................................
20
5. Aspek Pendidikan Sebuah Tradisi .........................................
22
C. Kerangka Pemikiran...................................................................
25
BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian.....................................................
26
B. Bentuk dan Strategi Penelitian...................................................
27
1. Bentuk Penelitian ...................................................................
27
2. Strategi Penelitian ..................................................................
27
C. Identivikasi Variabel ..................................................................
28
D. Sumber Data ..............................................................................
29
1. Informan ................................................................................
30
2. Tempat dan Peristiwa .............................................................
30
3. Arsip maupun Dokumen.........................................................
30
E. Sampling ....................................................................................
31
F. Teknik Pengumpulan Data..........................................................
32
1. Wawancara Mendalam ..........................................................
32
2. Observasi Langsung ..............................................................
32
3. Mencatat Arsip maupun Dokumen ........................................
33
G. Validitas Data ............................................................................
33
H. Teknik Analisis Data..................................................................
34
xii
13
1. Pengumpulan Data .................................................................
34
2. Reduksi Data..........................................................................
35
3. Sajian Data..............................................................................
35
4. Penarikan Kesimpulan ............................................................
35
I. Prosedur Penelitian....................................................................
36
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian........................................................
37
1. Letak Geografis dan Keadaan Alam .......................................
37
2. Keadaan Penduduk.................................................................
37
B. Diskripsi Hasil Penelitian ...........................................................
38
1. Sejarah Tradisi Bersih Desa (Ceprotan) ..................................
39
2. Tujuan Tradisi........................................................................
49
3. Waktu dan Tempat Tradisi .....................................................
50
4. Persiapan Pelaksanaan dan Perlengkapan Tradisi ...................
51
5. Prosesi Tradisi........................................................................
51
6. Fungsi dan makna tradisi Bersih Desa (Ceprotan) Bagi Masyarakat Pendukungnya .....................................................
56
C. Temuan Studi yang Dihubungkan Kajian Teori ..........................
60
1. Pemahaman warga masyarakat Sekar dalam pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan)........................................
61
2. Pertisipasi Warga Masyarakat dalam Pelaksanaan Tradisi Bersih Desa (ceprotan) .....................................................
62
3. Tinjauan Aspek pendidikan nilai yang ada pada tradisi Bersih Desa (Ceprotan) .................................................... BAB V KESIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN xiii
63
14
A. Kesimpulan................................................................................
65
B. Implikasi ....................................................................................
66
C. Saran-saran ...............................................................................
68
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
69
LAMPIRAN- LAMPIRAN.............................................................................
71
xiv
15
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Halaman
Perincian Kegiatan Pokok Penelitian........................................................
xv
26
16
DAFTAR SKEMA
Skema
Halaman
1. Analisis Ineraktif .......................................................................................
xvi
35
17
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Surat permohonan menjadi konsultan.......................................................
71
2. Surat keterangan penelitian ......................................................................
73
3. Foto Pelaksanaan Tradisi Ceprotan ..........................................................
74
xvii
18
ABSTRAK ASPEK PENDIDIKAN NILAI DALAM PELAKSANAAN TRADISI BERSIH DESA (CEPROTAN) TAHUN 2008 (Studi Kasus di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan)
Tri Utomo, A220040006, Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek pendidikan nilai dalam pelasanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabapaten Pacitan. Peneitian ini merupakan penelitian etnografi yang bersifat diskriptif analitik. Strategi penelitian ini menggunakan studi kasus yang terpancang embedded case study. Strategi ini dipilih karena dalam penelitian ini telah ditentukan beberapa variabel pokok yang akan menjadi pusat kajian. Sumber data diperoleh dari beberapa sumber yaitu informan, tempat dan peristiwa serta arsip maupun dokumen. Cuplikan data penelitian ini adalah purposive sampling. Peneliti mengambil Key Informan sebagai subjek penelitian, yaitu Kepala Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan dan masyarakat sekitarnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, observasi langsung serta mencatat arsip mapun dokumen. Teknik analisis data dalam penelitian ini menerapkan model analisis interaktif, baik dalam pengumpulan data, reduksi data, sajian data, maupun penarikan kesimpulan. Prosedur penelitiannya meliputi tahap pra lapangan, tahap penelitian lapangan, tahap analisis data, dan analisis dokumentasi, observasi dan tahap penulisan laporan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar relatif normal, dengan adanya kesadaran yang tinggi dan keyakinan mereka semua atau pemahaman masyarakat. Tradisi Bersih Desa (Ceprotan) merupakan kewajiban yang harus ditunaikan dan menurut warga masyarakat Sekar banyak sekali berkah dan manfaatnya bagi perubahan hidup masyarakat juga merupakan sarana untuk memohon hajad (keingginan) agar Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan rejeki dan keselamatan kepada masyarakat Desa Sekar. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) antara lain dalam mempersiapkan pelaksanaan Bersih Desa (Ceprotan), menyediakan keperluan pelaksanaan Bersih Desa (Ceprotan), menjaga ketertiban pada pelaksanaan Bersih Desa (Ceprotan), pelestarian dan pengembangan budaya pada tradisi Bersih Desa (Ceprotan). Nilai pendidikan dalam tradisi Bersih Desa (Ceprotan) adalah dengan adanya kebersamaan tanpa memandang status sosial, karena dihadapan Tuhan semua manusia adalah sama. Nilai sosial pada Bersih Desa (Ceprotan) adalah xviii
19
bahwa perayaan tradisi tersebut akan mendatangkan suatu pengaruh yang kuat berkenaan dengan kehidupan sosial budaya. Nilai religius pada tradisi Bersih Desa (Ceprotan) adalah untuk lebih meningkatkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pengucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diiberi berkah serta pertolongan di masa sekarang dan akan datang. Perayaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) bagi masyarakat Sekar mempunyai dampak bagi masyarakat sekitarnya. Dampak dalam bidang ekonomi pengucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberi berkah dan pertolongan selama satu tahun dan mengharap ditahun yang akan datang menjadi lebih baik. Dampak dalam bidang sosial budaya yaitu adanya kebersamaan dalam memberikan simpatinya dalam menyelenggarakan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) ini dapat mempersatukan kelompok-kelompok dalam ikatan yang paling erat untuk hidup bersama dalam kerukunan. Semua ini merupakan gambaran pola hidup gotong royong yang sangat kental bagi masyarakat Indonesia. Dampak dalam bidang religius yaitu pemahaman masyarakat terhadap tradisi Bersih Desa (Ceprotan), merupakan ajaran turun temurun dari para leluhur dalam rangka mensyukuri karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Surakarta, Oktober 2008 Penulis
Tri Utomo
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Hj. Sri Arfiah SH. M. Pd. NIK.235
Dra. Sundari SH. M. Hum. NIK. 151
Mengetahui Universitas Muhammadiyah Surakarta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Dekan,
Drs. H. Sofyan Anif, M.Si NIK. 547
xix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kesatuan yang meliputi wilayah dari Sabang sampai Merauke yang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil, tanahnya subur kaya flora dan fauna serta sumber alamnya. Tanah air Indonesia terkenal kesuburan dan kekayaannya, bangsa lain tertarik dan berupaya untuk menguasai, terbukti tanah air kita pernah dijajah bangsa lain beberapa puluh tahun lalu. Wilayah Indonesia yang sangat luas telah dihuni suku bangsa yang tersebar ke seluruh pelosok tanah air secara tidak merata. Penduduk menempati wilayah yang berbeda-beda sehingga menjadikan wilayah peradaban yang dimilikinya beraneka ragam, yang kemudian menjadi modal dasar pembangunan nasional. Dari persebaran yang tidak merata tersebut, pulau Jawa adalah pulau yang paling padat penduduknya dibandingkan dengan jumlah penduduk di pulau lainnya. Di Pulau Jawa ini tidak hanya didiami oleh suku bangsa Jawa saja, melainkan juga suku-suku bangsa lainnya. Pada dasarnya masing-msing suku bangsa memiliki kebiasaan, tradisi, adat istiadat dan budaya yang saling mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Kehidupannya secara berdampingan dan penuh toleransi dengan peradaban yang berbeda-beda. Salah satu kehidupan budaya diantaranya adalah budaya Jawa yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur tersebut sudah banyak berbeda dan bervariasi yang bersifat lokal dalam berbagai unsur kebudayaan seperti perbedaan dialek, bahasa,
1
2
kesenian perilaku dalam pergaulan maupun adat-istiadat dan upacara adat. Dari perbedaan-perbedaan tersebut terdapat keunikan yang tidak dijumpai di daerah lain, sehingga sangat menarik bagi kita untuk datang mengadakan pengamatan atau penelitian. Di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan terdapat tradisi yang disebut “Ceprotan” yang artinya yaitu melempar dengan memakai buah kelapa yang masih muda dan dikupas kulitnya. Pelaksanaan upacara ceprotan ini bagi masyarakat Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan mengandung nilai kepercayaan, dan simbol serta penghayatan magis terhadap warisan budaya nenek moyang. Masyarakat Desa Sekar Kecamaan Donorojo Kabupaten Pacitan meskipun mereka telah menerima keprcayaan Islam, namun mereka masih tetap mempertahankan dan menjunjung tinggi budaya warisan nenek moyang. Hal ini terlihat dengan jelas dalam kehidupannya sehari-hari, mereka masih melakukan bentuk ritual-ritual kepercayaan seperti melakukan upacara selamatan, membakar kemenyan, melakukan sesaji pada hari-hari tertentu yang dianggap sebagai hari yang keramat. Kehidupan masyarakat Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan dalam segi kepercayaan masih memiliki keyakinan tentang adanya sesuatu yang menguasai dirinya dan alam sekitar, yang mereka nyatakan bahwa kekuatan yang menguasai segalanya itu disebut “Sing Mbau Rekso” (yang menguasai lingkungan). Istilah ini dianggapnya segala sesuatu yang memberi dan mengatur
3
kehidupannya, serta berkuasa atas diri manusia, juga dianggap sebagai kekuatan yang mengerikan dan menakutkan. Disamping itu masyarakat Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan sebagian besar masih percaya adanya roh-roh makhluk halus dan arwaharwah leluhur yang dianggap masih berkeliaran disekitar hidupnya. Masyarakat meyakini bahwa makhluk-makhluk halus itu ada yang mendatangkan keuntungan dan ada yang mendatangkan mala petaka. Kemudian agar masyarakat merasa aman dan tentram dalam hidupnya, agar terhindar dari makhluk-makhluk halus, maka mereka melakukan upacara-upacara ritual dan memberikan sesaji. Tradisi kepercayaan tersebut sampai saat ini masih dilaksanakan dan terpelihara dengan baik serta dianggap keramat oleh masyarakat yang sering disebut dengan nama upacaya bersih desa atau sedekah bumi. Upacara ini dilaksanakan setiap setahun sekali bertepatan dengan bulan Dulkaidah pada hari senin kliwon. Apabila pada bulan itu tidak ada hari senin kliwon, maka pelaksanaan bersih desa itu dilaksanakan pada hari minggu kliwon. Bedasarkan kepercayaan orang jawa bahwa bulan Dulkaidah dianggap sebagai bulan yang keramat, sehingga tidak sedikit dijumpai dikalangan masyarakat Jawa terutama di daerah pedesaan, bahwa bulan Dulkaidah masih banyak melakukan kegiatan upacara selamatan, membuat sesaji dan kegiatan-kegiatan yang lain jenisnya. Hal itu dilaksanakan atas dasar kepercayaan terhadap makhluk halus di tempat-tempat tertentu seperti di pohon-pohon besar, di perempatan jalan dan lain sebagainya.
4
Maksud dan tujuan dari upacara bersih desa di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan adalah sebagai ungkapan terimakasih terhadap “Sing Mbau Rekso” sumber mata air Desa Sekar yang memberikan keselamatan dan ketentraman hidup masyarakat.
B. Identifikasi Masalah Keanekaragaman masyarakat Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa sehingga menunjukan banyaknya kebudayaan-kebudayaan yang ada, karena masing-masing suku bangsa mempunyai kebudayaan khas sendiri-sendiri. Keanekaragaman masyarakat dan budaya yang telah terbentuk, sangatlah besar kemungkinan masuknya faktor dari luar maupun faktor dari dalam, baik faktor geografis maupun historis, dimana suatu bangsa mendiami suatu daerah kepulauan, sehingga memberikan warna dan corak tersendiri terhadap keanekaragaman budaya Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa pandangan hidup yang berisikan nilai tradisional, aturan dan norma itu akan digunakan sebagai petunjuk untuk bertindak. Petunjuk itu kadang secara imperatif mendesak kepada masing-masing individu sebagai anggota masyarakat untuk melakukannya. Berbagai macam nilai, tradisi, dan norma telah pula menimbulkan berbagai macam masalah. Beberapa masalah yang dikemukakan dari pandangan hidup yang berisikan nilai, tradisi, aturan, dan norma antara lain: Bagaimana pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang tradisi Bersih Desa (Ceprotan), bagaimana mengenai latar belakang terjadinya dan rangkaian tatacara pelaksanaan tradisi
5
Bersih Desa (Ceprotan), bagaimana partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan), tentang nilai-nilai apa yang dijunjung oleh masyarakat Desa Sekar Kecamaan Donorojo Kabupaten Pacitan untuk melestarikan nilai-nilai tradisional tersebut, manfaat atau pengaruh apa yang diperoleh dari kegiatan tersebut. Selanjutnya bagaimana dampaknya bagi masyarakat sekitar. Dalam konteks ini tentu saja masih banyak yang dapat kemukakan dari tradisi Bersih Desa masyarakat yang bersangkutan.
C. Pembatasan Masalah Permasalahan yang berkaitan dengan judul sangat luas sehingga tidak mungkin permasalahan yang ada dapat terjangkau dan terselesaikan semua. Oleh karena itu guna menghindari kemungkinan adanya kesalahfahaman dan penasifran yang berbeda-beda yang dapat mengakibatkan penyimpangan terhadap judul di atas, maka perlu adanya pembahasan dan perumusan masalah, sehingga persoalan yang akan diteliti menjadi jelas dan kesalahfahaman dapat dihindari. Dalam hal ini penulis membatasi ruang lingkup dan fokus masalah sebagai berikut: 1. Objek Penelitian Objek penelitian adalah aspek-aspek dari subjek penelitian yang menjadi sasaran penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah aspek pendidikan nilai pada tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. 2. Subjek Penelitian
6
Subjek penelitian adalah masyarakat Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan.
D. Perumusan Masalah Perumusan masalah atau sering diistilahkan problematika merupakan kegiatan penting yang harus ada dalam penulisan suatu karya ilmiah. Oleh karena itu, peneliti sebelum melakukan penelitian harus mengetahui terlebih dahulu permasalah yang ada, sehingga dalam proses pemecahanya akan terarah dan terfokus. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pemahaman masyarakat tentang tradisi Bersih Desa (Ceprotan) Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan? 2. Bagaiman partisipasi masyarakat Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan dalam pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan)? 3. Bagaiman tradisi Bersih Desa (Ceprotan) ditinjau dari aspek-aspek pendidikan nilai atau moral?
E. Tujuan Penelitian Setiap kegiatan yang akan dilaksanakan oleh manusia pasti mempunyai tujuan tertentu sebagai motivasi gerak dan langkah yang ingin dicapai sehingga kegiatan yang dilakukan terarah dan teratur. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
7
1. Untuk memperoleh gambaran secara jelas tentang pemahaman masarakat terhadap tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. 2. Untuk memperoleh gambaran secara jelas tentang partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. 3. Untuk memahami aspek pendidikan nilai yang terdapat dalam tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan.
F. Manfaat atau Kegunaan Penelitian 1. Manfaat atau kegunaan teoritis a. Sebagai suatu karya ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada khususnya, maupun bagi masyarakat pada umumnya. b. Melalui
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memperluas
cakrawala
pengetahuan, khususnya mengenai tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan sebagai bagian dari budaya bangsa Indonesia, yang secara langsung telah menentuh kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat sekitarnya. c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman penelitian berikutnya yang sejenis. 2. Manfaat atau kegunaan praktis
8
a. Melalui kegiatan penelitian ini diharapkan digunakan sebagai salah satu masukan dan kerangka acuan yang sangat berharga bagi para pengambil keputusan, terutama dalam pengelolaan dan pelestarian tradisi Bersih Desa (Ceprotan). b. Menyebarluaskan informasi mengenai arti pentingnya pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan). c. Sebagai
calon
pendidik
pelajaran
pendidikan
kewarganegaraan,
pengetahuan dan pengalaman selama mengadakan penelitian ini dapat ditrasformasikan kepada peserta didik pada khususnya, serta bagi masyarakat luas pada umumnya. d. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi jurusan pendidikan kewarganegaraan pada khususnya mengenai pengembangan mata kuliah antropologi budaya.
G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah para pembaca dalam memahami isi skripsi ini, peneliti perlu mengemukakan sistematika penulisannya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini sebagaimana uraian berikut. Bagian awal meliputi: Halaman Judul, Halaman Persetujuan, Halaman Pengesahan, Halaman Motto, Halaman Persembahan, Kata Pengantar, Daftar Isi, Daftar Tabel, Daftar Lampiran, dan Abstrak. Bagian pokok skripsi ini terperinci dalam lima bab. Bab I Pendahuluan mencakup Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah,
9
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat atau Kegunaan Penelitian, serta Sistematika Penulisan. Bab
II
Landasan
Teori
diawali
dengan Tinjauan
Pustaka
yang
mengemukakan hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Selanjutnya Kerangka Teoritik yang dimulai dengan Tinjauan Teoristis mengenai Kebudayaan yang berisi uraian: Pengertian Kebudayaan, Wujud dan Nilai Kebudayaan, Tahapan Perkembangan Budaya, Unsur-unsur Kebudayaan, serta Hakekat Kebudayaan. Uraian berikutnya mengenai Pelaksanaan Tradisi yang mencangkup: Pengertian Tradisi, dan Pengertian Religi. Uraian selanjutnya mengenai Kepercayaan yang mencangkup: Asal-usul Kepercayaan, Sistem Kepercayaan, Bentuk-bentuk Kepercayaan, Fungsi Upacara, dan Unsur-unsur Upacara. Uraian berikutnya mengenai Nilai yang berisi Pengertian Nilai, Fungsi Nilai dalam Tradisi serta mengenai Aspek Pendidikan yang berisi Pengertian Pendidikan, Cangkupan Pendidikan, Aspek Edukaif Dalam Tradisi yang dilanjutkan dengan Penyusunan Kerangka Pemikiran. Bab III Metode Penelitian yang berisi uraian meliputi: Tempat dan Waktu Penelitian, Bentuk dan Strategi Penelitian, Identivikasi Variabel, Sumber Data, Sampling, Teknik Pengumpulan Data, Validitas Data, Teknik Analisis Data, serta Prosedur Penelitian. Bab IV Hasil Penelitian yang berisi uraian meliputi: Diskripsi Lokasi Penelitian, Diskrisi Permasalahan Penelitian, serta Tinjauan Studi yang dihubungkan dengan Kajian Teori.
10
Bab V berisi: Kesimpulan, Implikasi serta Saran-Saran, kemudian bagian akhir dari skripsi ini berisi uraian-uraian Daftar Pustaka, Lampiran-Lampiran dan Daftar Ralat (bila ada).
11
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka Manusia dalam hidupnya memandang dunia sebagai sebuah kerangka acuan untuk dapat mengerti tentang masing-masing
pengalaman yang dilalui.
Pandangan khas orang Jawa realitasnya tidak dapat dibagi-bagi dalam berbagai bidang yang saling terpisah tanpa ada hubungan satu sama lain, melainkan dipandang sebagai satu kesatuan. Pada dasarnya orang Jawa tidak penah membedakan antara sikap religius dan bukan religius, menganggap ineteraksi sosial sekaligus merupakan sikap terhadap alam dan sebaliknya, sikap terhadap alam mempunyai relevansi terhadap sosial. Suatu nilai budaya, walaupun suatu konsepsi yang abtrak, juga bisa mempengaruhi tindakan manusia secara langsung. Disamping itu nilai budaya juga bisa menyebabkan menimbulkan pola-pola cara pikir yang tertentu pada diri individu yang bersangkutan. Ada nilai budaya yang menganggap penting konsepsi bahwa dalam kehidupan masyarakat itu amat tergantung pada sesamanya, dan karena itu orang harus selalu ingat terhadap sesamanya. Semua agama tidak terkecuali sedikit banyak mendorong terbentuknya simbol-simbol. Simbol tersebut merupakan pengembangan ide, bentuk, dan gaya yang mempunyai nilai instrumental dalam kegiatan keagamaan. Untuk menjadi sebuah hasil seni, gaya menjadi sangat esensial. Kadang-kadang agama tidak hanya berpengaruh pada bentuk, tetapi juga pada unsur seni.
11
12
Berkaitan dengan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaen Pacitan, meskipun masyarakat telah menerima pengaruh budaya dari luar terutama pengaruh Islam, namun mereka masih mempertahankan dan menjunjung tinggi warisan budaya nenek moyangnya. Hal ini terlihat dengan jelas dalam kehidupan mereka sehari-hari, mereka masih melakukan berbagai bentuk ritus religius seperti melakukan upacara selamatan, membakar kemenyan, membuat sesaji pada hari-hari tertentu yang dianggap keramat. Tradisi mempunyai tata nilai dan tata ukuran yang memadukan dan mengikat kehidupan masyarakat. Hasil penelitian Kamadi (1995: 64) menyatakan bahwa: Pada dasarnya upacara bersih desa tersebut merupakan tindakan masyarakat dalam hubungannya dengan kepercayaan yang mereka anut. Mereka percaya bahwa kekuatan roh yang mendiami sumber (mata air) Sekar dapat melindungi keselamatannya. Adanya kepercayaan tersebut akan berpengaruh juga pada pola pikir masyarakat. Semantara itu hasil penelitian Sumaryono (2003: 71) membuktikan bahwa: 1. Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pedesaan dalam kehidupannya masih diwarnai dengan beranekaragam tradisi yang bersifat religius masyarakat maupun non religius. Dan tradisi tersebut adalah merupakan peningkatan budaya nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun. 2. Dalam tradisi tersebut pada dasarnya terkandung nilai-nilai luhur yang merupakan suatu pedoman, mengatur dan memberi arah bagi setiap orang dalam hubungannya dengan sesama manusia dengan Tuhan dan dengan alam lingkungannya. 3. Walaupun masyarakat Desa Sekar telah memeluk agama Islam, namun dalam pelaksanaan upacara bersih desa (Ceprotan) masih dipengaruhi oleh unsur-unsur kepercayaan animisme dan dinamisme, Hindu, Budha, dan Islam. 4. Upacara bersih desa di Desa Sekar pada hakekatnya merupakan tindakan masyaraka dalam hubungannya dengan kepercayaan yang mereka anut, yaitu percaya kekuatan roh yang mendiami sumber Sekar dapat melindunginya.
13
5. Upacara bersih desa Sekar tampak dirasakan adanya kerjasama dan gotong royong sesama warga. Hal tersebut merupakan sarana untuk mempererat kerukunan hidup sehingga tercipta suatu suasana kesatuan dan kesatuan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa setiap upacaraupacara terdapat simbol-simbol yang mempengaruhi makna sakral. Kekuatan suatu tradisi akan tetap bertahan jika mitos masih tetap melekat pada upacara tersebut. Berdasarkan pada latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk meneliti suatu tradisi (Ceprotan) pada pelaksanaan upacara bersih Desa di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan, karena pembahasan spesifik yang mengungkapkan suatu budaya lokal khususnya yang berkaitan dengan pemahaman, partisipasi, mengenai tradisi (Ceprotan) pada pelaksanaan upacara bersih Desa, serta aspek pendidikan nilai yang terdapat tradisi (Ceprotan) tersebut, sepanjang belum pernah dilakukan.
B. Kerangka Teoritik Tradisi mempunyai sifat universal, akan tetapi perwujutan tradisi mempunyai ciri-ciri khusus yang sesuai dengan situasi maupun lokasinya. Hal ini menyebabkan setiap manusia di dalam masyarakat mempunyai tradisi yang berlainan. Perbedaan tersebut dikarenakan pendukung tradisi seperti latar belakang tradisi dan masyarakat tidaklah sama. Penjelasan mengenai kebudayaan tersebut dipaparkan dalam kajian teoritik sebagaimana uraian berikut ini. 1. Kebudayaan a. Pengertian kebudayaan. Berkaitan dengan pengertian kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 1331), Kebudayaan adalah “hasil kegiatan
14
dari penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat isiadat”. Menurut Sujarwa (1998: 10-11), kebudayaan adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat”. Menurut Kroeber dan Klukhon sebagamana dikutip Sujarwa (1998: 11), berpendapat bahwa: Kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbolsimbol yang menyusun pencapaianya secara tesendiri dari kelompokkelompok menusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi; pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai. Berdasarkan pengertian kebudayaan adalah suatu hasil cipta, rasa, karsa manusia yang di dapat dengan cara belajar, bertingkah laku, pikiran perasaan yang tersusun dalam kehidupan masarakat yang diwujudkan dengan simbol-simbol atau ritus-ritus sakral. Kebudayaan dalam bentuk fisik yang kongkret biasa juga disebut kebudayaan fisik, mulai dari benda yang diam sampai dengan benda yang bergerak, seperti candi, masjid, lukisan relief atau patung. b. Wujud dan Nilai Kebudayaan. Nilai kebudayaan yang sudah meresap dalam diri seseorang dapat diwujudkan dalam bentuk perayaan hari-hari besar tertentu. Menurut J. J. Hinigman sebagaiman dikutip Sujarwa (1998: 10-11), “tradisi sebagai bagian dari kebudayaan dapat dibedakan berdasarkan gejalanya, yaitu ideas, activities, dan artifact”. Menurut Koenjaraningrat yang dikutip Sujarwa (1998: 11), bahwa kebudayaan ada tiga wujud, yaitu: 1) Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
15
2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks akivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Pewarisan tradisi diperoleh dengan cara belajar. Tradisi yang diwariskan berwujud material (jasmaniah) dan non material (rohaniah). Berwujud material (jasmaniah) misalkan patung, candi, keris, tempat-tempat yang dikeramatkan dan hewan-hewan keramat, sedangkan yang berwujud non material (rohaniah) misalkan tarian, hajatan, mantra-mantra, dan lain sebagainya. Tradisi yang tumbuh dan berkembang dari masarakat tidak lepas dari nilainilai yang telah dibangunnya sendiri. Nilai-nilai tradisi tersebut berpengaruh bagi kehidupan masyarakat, kerena nilai-nilai tradisi itu merupakan konsep yang hidup di dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan. c. Tahapan Perkembangan Budaya. Menurut pendapat Van Peurson yang dikutip oleh Sujarwa (1998: 17), perkembangan budaya dapat dibagi atas tiga tahap, yaitu: 1) Tahap mistis adalah tahap dimana manusia merasakan dirinya terkepung oleh kekuaan-kekuatan gaib di sekitarnya, yaitu kekuatan dewa-dewa, alam raya atau kekuasaan kesuburan. Kecenderungan bersifat mastis seperti ini sering dijumpai di daerah-daerah modernitasnya rendah. 2) Tahap ontologis adalah tahap dimana manusia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar segala sesuatu (ontologi). Tahap ini berkembang di daerah-daerah berkebudayaan kuno yang dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu. 3) Tahap fungsional yaitu sikap yang menandai manusia modern. Manusia pada tahap ini berusaha mengadakan relasi-relasi baru.
16
d. Unsur-Unsur Kebudayaan. Semua bentuk kebudayaan yang ada di dunia ini memiliki kesamaan unsur yang bersifat universal. Sujarwa (1998: 11), menyebutkan ada tujuh unsur-unsur budaya yang bersifat universal, yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Sistem religi dan upacara keagamaan Sistem organisasi kemasyarakatan Sistem pengetahuan Bahasa Kesenian Sisten mata pencaharian hidup Sistem teknologi dan peralatan
e. Hakekat Kebudayaan. Menurut Sutrisno (1989: 25-26), aspek-aspek yang melingkupi esensi kebudayaan ada enam ciri yaitu: 1) Nilai. Eksistensi nilai harus selalu menyertai setiap kebudayaan dalam pertumbuhan dan perkembangan. 2) Insaniyah. Kebudayaan adalah karya manusia sebagai hasil kecendikiaan budi yang terbiasakan secara wajar. 3) Kontinyuitas. Kebudayaan secara berkelanjutan dicipakan manusia dalam rangka mempengaruhi situasinya, dan tdak mengenal kata akhir. 4) Totalias. Kebudayaan adalah semua unit yang meliputi semua unsur kebudayaan yang ada. 5) Tersusun dan Terukur. Berbagai benda alami dan kegiatan manusia dalam suatu kebudayaan memiliki ketersusunan dan keteraturan. 6) Masyarakat. Kebudayaan terjadi dalam interaksi manusia dalam suatu masyarakat. 2. Pelaksanaan Tradisi a. Pengertian Tradisi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 1069), tradisi adalah “adat kebiasaan turun-temurun yang masih dijalankan oleh masyarakat”. Kehidupan sosial penuh dengan berbagai masalah, bagaimana behubungan dengan alam sekitar, bagaimana berhubungan secara serasi dengan orang lain, serta bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan. Manusia terarah mencoba setiap cara yang mungkin untuk menghadapi masalah semacam itu.
17
Dari pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tradisi adalah kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang dalam adat istiada yang diwariskan dengan tata cara tertentu yang berkaitan dengan mitos atau kepercayaan dan dianggap tata cara tersebut merupakan cara yang paling baik dan benar. b. Pengertian Religi. Kehidupan masyarakat Jawa pada dasarnya syarat dengan nilai-nilai religi. Menurut Fowler (1995: 47), berpendapat bahwa: Religi diartikan sebagai suatu kumpulan tradisi komulatif dimana semua pengalaman religius dan masa lampau didapakan dan diendamkan kedalam seluruh system berbentuk ekspresi tradisional yang bersifat kebudayaan dan lembaga. Sistem religi muncul dari sebuah emosi religi, yaitu getaran spiritual atau batin manusia. Emosi ini akan mendorong semua tindakan budaya spiritual yang kadang-kadang bersifat sakral. Emosi ini akan terkait dengan emosi keyakinan, seperti kepercayaa kepada roh halus, roh leluhur, dewa dan sebagainya. Disamping itu, emosi juga akan berhubungan dengan ritual religi yang menyangkut tempat, waktu dan benda-benda tradisi. Unsur-unsur ritual antara lain sesaji, doa-doa, mantra, nyanyian, laku, semedi dan sebagainya. Sistem religi akan banyak menimbulkan kepercayaan-kepercayaan tehadap kekuaan gaib. Menurut kepercayaan, alam gaib itu umunya didiami oleh banyak makhluk dan kekuatan yang tidak dapat dikuasai manusia. Makin maju kebudayaan manusia maka makin luas batas akal itu, tetapi dalam banyak kebudayaan batas-batas akal manusia masih sama sempit, soal-soal hidup yang tidak dapat dipecahkan dengan akal, dipecahkan hanya dengan ilmu gaib.
18
3. Kepercayaan a. Asal-usul Kepercayaan. Dyson dan Santoso yang dikutip oleh Sujarwa (1998: 139), menyatakan asal-usul kepercayaan adalah “adanya kepercayan manusia terhadap kekuatan yang dianggap lebih tinggi dari padanya. Oleh karenanya, manusia melakukan berbagai hal untuk mencapai kesenangan hidup”. Selanjutnya Sujarwa (1998: 139), menjelaskan teori mengenai asal-usul kepercayaan: 1) Teori kasadaran jiwa. Teori ini beranggapan manusia mulai sadar akan adanya jiwa (roh halus). Asalnya menganut animisme yang kemudian berkembang menjadi monotheisme. 2) Teori batas. Dalam memahami kehidupan manusia mempunyai keterbatasan dalam pemikiran, sehingga manusia percaya bahwa ada kekuatan di luar manusia yang lebih besar. 3) Teori kritis. Dalam kehidupannya manusia mengalami masa kreitis, misalkan sakit, takut, stres, dan sebagainya. Dan untuk mengatasi hal tersebut diperlukan upacara khusus/ritus maka dilakukan berbagai bentuk upacara. 4) Teori kekuatan luar biasa. Manusia merasakan kekuatan terhadap gejala alam yang memiliki kemampuan luar biasa (the supranatural). 5) Teori sentiment kemasyarakatan. Adanya perasaan kemasyarakatan dapat menimbulkan getaran jiwa dan emosi keagamaan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk totem (benda atau hewan keramat). 6) Teori firman Tuhan. Teori ini didasarkan pada suatu keyakinan atau kepercayaan terhadap Sang Pencipta alam semesta. b. Sistem Kepercayaan. Keyakinan bahwa alam ada karena ada penciptanya menumbuhkan berbagai sistem kepercayaan, yang menggunakan berbagai sarana dan prasarana, misalkan waktu dilaksanakan upacara, tempat upacara, dan orang-orang yang melakukan upacara. Sujarwa (1998: 141-142), menjelaskan bahwa masing-masing kepercayaan memiliki sistem kepercayaan, antara lain yaitu: 1) Fethisism, yaitu kepercayaan akan adanya jiwa dalam benda-benda tertentu (sering disebut jimat).
19
2) Animism, yaitu kepercayaan adanya berbagai macam roh yang melingkupi sekeliling manusia. 3) Animatism, yaitu percaya bahwa benda dan tumbuhan sekitar manusia itu memiliki jiwa dan bisa berfikir seperti manusia. 4) Prae-animism dan dinamism, yaitu kepercayaan pada kekuatan gaib/sakti yang ada dalam segala hal yang luar biasa. 5) Totemism, yaitu bentuk kepercayaan yang dianut oleh kelompok kekerabatan dan unilinear. Mereka percaya bahwa nenek moyangnya saling behubungan kerabat. Totem adalah lambang dari sejenis binatang, tumbuhan, gejala alam atau benda yang melambangkan nenek moyang tersebut. 6) Polhytheism, yaitu kepercayaan pada suatu sistem yang luas dari dewadewa. 7) Monothism, yaitu kepercayaan pada satu Tuhan. 8) Mistic, yaitu keercayaan pada satu dewa atau Tuhan yang dianggap meliputi segala hal dalam alam (kesatuan dengan Tuhan). Berdasarkan pemahaman Ketuhanan dan kepercayaan tersebut setiap individu merasa pasti, bahwa tujuan hidupnya adalah uantuk kebahagiaan yang sempurna tidak sekedar di dunia ini melainkan ada di dunia lain yang lebih abadi yaitu di akherat (dunia setelah mati). c. Benuk-bentuk Kepercayaan. Menurut Dhavamony (1995: 65), ada beberapa bentuk kepercayaan sebagai berikut: 1) Animisme yaitu suatu sistem kepercayaan dimana manusia religius, khususnya orang-orang primitif, membubuhi jiwa pada manusia dan juga pada semua makhuk hidup dan benda mati. 2) Pra-Animisme atau Animatisme yaitu suatu daya atau kekuatan supernatural ada dalam pribadi tertentu, binatang dan objek tak berjiwa lainnya. 3) Totemism yaitu fenomena yang memunjuk kepada hubungan organisasional khusus antar suatu suku bangsa atau kian dan suatu spesies tertentu dalam wilayah binatang atau tumbuhan. 4) Dinamisme yaitu pemujaan atau penghormatan terhadap barang-barang kuno khususnya buatan manusia seperti keris, tombak, lambanglambang. d. Fungsi Upacara. Berkaian dengan fungsi upacara, Mulder (1983: 63-64) berpedapat bahwa upacara mempunyai lima fungsi, yaitu:
20
1) Sebagai sarana sosialisasi. 2) Untuk tinggal dekat dengan para Dewa, walaupun kehadiran itu tidak dapat dilihat dengan mata dan ditangkap dengan panca indra manusia. 3) Untuk mengokohkan rencana alam raya semula dan diharapkan akan mempartisipasikan hidup seluruh umat manusia dalam tata keselamatan. 4) Melindungi individu dari resa ragu dan bahaya dengan mengantisipasikan dan mengatasi secara simbolik. 5) Untuk memperlihatkan keinginan agar selamat dengan melestarikan keseimbangan yang tak tergoncangkan ataupun untuk memulihkannya kembali andai kata terganggu dan untuk mempertahankan tata tertib juga mencegah bahaya. Upacara dalam arti keagamaan adalah tindakan-tindakan tertentu yang bertujuan sebagai ungkapan atas kewajibannya sebagai manusia untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting untuk selalu mengingat kejadian-kejadian dalam hidupnya sebagai wujud rasa syukur atas apa yang diperoleh. Bentuk upacara yang bertalian dengan adat atau kehidupan beragama, mencerminkan sistem kepercayaan alam pikiran serta pandangan hidup masyarakat. Cara melakukannya dengan sikap yang sungguh-sungguh dan hati-hati, kelalaian dalam upacara dianggap dapat mengakibatkan hal-hal yang buruk atau malapetaka. 4. Nilai a. Pengertian Nilai. Pengertian nilai menurut Danadjaja sebagaimana dikutip Ndraha (1997: 18) adalah “pengertian-pengertian (conception) yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar”. b. Fungsi Nilai dalam Tradisi. Sistem nilai merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dalam adat istiadat. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai dalam budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang
21
mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tadi. Walaupun nilai-nilai berfungasi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya umum, luas, dan tidak kongkret itu, maka nilai-nilai tradisi dalam suatu nilai kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam para individu yang menjadi warga dari kebudayaan yang bersangkutan. Berkaitan dengan fungsi nilai dalam tradisi, Koentjaraningrat (1979: 190) berpendapat bahwa: Dalam tiap masyarakat, baik yang kompleks maupun sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan yang lain berkaitan hingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsepkonsep ideal dalam kebudayaan memberi pandangan yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakat. Dengan demikian, maka nilai dalam sebuah sistem tradisi berfungsi sebagai sebuah pedoman orientasi bagi segala tindakan manusia dalam hidupnya. Suatu sistem nilai dalam tradisi merupakan sistem tata tindakan yang lebih tinggi dari pada sitem-sistem tata tindakan yang lain, seperti sistem norma hukum, hukum adat, aturan adat, aturan etika, aturan moral, aturan sopan santun, dan sebagainya. Nilai-nilai sosial pada suatu tradisi adalah bahwa tradisi akan mendatangkan suatu pengaruh kuat yang berkenaan dengan kehidupan sosial yang meliputi normanorma, tata tindakan, peradatan, serta pedoman hidup warga masyarakat. Nilai-
22
nilai religi dalam tradisi adalah geteran spiritual atau batin manusia yang akan mendorong semua tindakan budaya spiritual yang kadang-kadang bersifat sakral yang terkait dengan sistem keyakinan, seperti kepercayaan kepada roh halus, roh leluhur, dewa dan sebagainya. 5. Aspek Pendidikan Sebuah Tradisi a. Pengertian Pendidikan. UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 definisi pendidikan ternaktub dalam pasal 1 dan 2 yakni: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (pasal 1). Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berasaskan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang berakar pada nlai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman (pasal 2). Berdasarkan rumusan tersebut maka yang dimaksud dengan pendidikan yang dihubungkan dengan kebudayaan atau tradisi, adalah semua kegiatan masyarakat yang hidup dalam sistem sosial yang dapat membentuk pola prilaku manusia, misalnya norma-norma yang dihormati, adanya hukum dan aturanaturan yang khas yang mengatur seluruh pola tingkah laku dalam masyarakat, adanya suatu perasaan sebagai identitas yang mengikat semua warga untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan serta pengendalian diri.
23
b. Cangkupan Pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sedangkan pendidikan dibagi menjadi tiga jalur yang terdiri dari pendidika formal, non formal, dan informal. Jenjang pendidikan formal adalah UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 pasal 13 ayat (1) terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Untuk jenjang pendidikan non formal, pasal 26 ayat (3) UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Sedangkan untuk pendidikan informal, menurut UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 pasal 27 ayat (1) adalah pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Selanjutmya mengenai jenis pendidikan, dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 pasal 15, jenis pendidikan mencangkup umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Sedangkan dalam aspek ini aspek kultural edukatif dalam sebuah tradisi termasuk kedalam jenjang pendidikan non formal yaitu pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dan masuk ke dalam jenis pendidikan khusus yaitu pendidikan budaya.
24
c. Aspek Pendidikan dalam Tradisi. Sistem nilai budaya merupakan tingkat paling tinggi dan paling absrak dari adat istiadat. Hal ini disebabkan karena nilainilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam fikiran sebagian besar deri warga suatu masyarakat mengenai suatu yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan warga masyarakat tadi. Walaupun nilai-nilai budaya dalam sebuah tradisi berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep nilai budaya itu sangat umum. Namun karena sifatnya yang umum, luas, dan tidak kongkret itulah, maka nilai-nilai budaya dalam suatu tradisi berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dalam sistem sosial masyarakat. Dalam sebuah tradisi terdapat beberapa instrumen yang dapat dikaji mengenai aspek edukatifnya misalnya mengenai simbol, ritual, serta alat-alatnya. Instrumen yang pertama adalan simbol yang dalam sebuah tradisi merupakan suatu penafsiran yang digunakan manusia untuk mengungkap pemikirannya tentang Tuhan, yang diambil dari kebiasaan hidup yang disadari seperti yang diketahuinya dari dirinya dan dari orang lain yaitu emosi-emosi, perbuatan, dan nilai-nilai manusia. Dengan adanya instrumen peralatan dalam pelaksanaan upacara, dapat diambil hikmah antara lain, untuk menanamkan suasana khusuk dalam ritual atau prosesi ibadah, menambah keyakinan pada kita bahwasanya benda-benda adalah sarana untuk mencapai tujuaan karena penyandaran tujuan adalah kepada Tuhan.
25
C. Kerangka Pemikiran Berdasarkan berbagai kajian teoritis di atas maka dapat dirumuskan suatu kerangka pemikiran sebagai berikut: 1. Masyarakat Jawa memiliki khasanah budaya yang merupakan warisan dari nenek moyang. Budaya Jawa ini telah mengakar dengan kuat dalam kehidupan sehingga sulit untuk dipisahkan atau dihapuskan. Budaya Jawa dengan nilainilai budayanya merupakan pandangan hidup bagi masyarakat Jawa. Pendangan hidup ini merupakan suatu abtraksi pengalaman hidup yang dibentuk oleh suatu cara berfikir dan akhirnya menjadi pedoman yang dianut oleh sebagian besar masyarakat. 2. Budaya masyarakat Jawa sampai saat ini tidak lepas dari unsur kepercayaan masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa percaya terhadap kekuatan alam lainnya, di luar kekuatan manusia. Tradisi bersih Desa (Ceprotan) dimaksudkan agar manusia mendapatkan berkah atau kemuliaan hidup serta keselamatan dalam hidupnya. Kebiasaan masyarakat Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan dalam melaksanakan warisan leluhur melahirkan suatu tradisi yang masih hidup sampai saat ini.
26
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian ini adalah di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. Waktu penelitian yaitu bulan September 2007 sampai Oktober 2008. Adapun
tahap-tahap
perincian
kegiatan
pokok
yang
dilakukan
adalah
sebagaimana tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Perincian Kegiatan Pokok Penelitian
No 1 2
3
4 5
Nama Kegiatan Persiapan dan pra survey Penyusunan dan pengembangan pedoman pengumpulan data Pegumpulan data, reduksi, refleksi dan verifikasi Analisis dan interpretasi Penulisan laporan akhir
September 2007 1 2 3 4 X X X X
Bulan Pelaksanaan Kegiatan Oktober November 2007 2007 1 2 3 4 1 2 3 4
Oktober 2008 1 2 3 4
X X X X
X X X X X X X X
26
27
B. Bentuk dan Strategi Penelitian 1. Bentuk Penelitian Bentuk penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan kebudayaan (Etnografi) tetapi bersifat deskriptif analitik. Menurut Moleong (1989:15), Etnografi adalah “usaha untuk menguraikan kebudayaan atau aspek-aspek kebudayaan”. Sementara itu menurut Sutopo (1988:14-15), Etnografi adalah: Diskripsi analitik atau rekontruksi-rekontruksi pemandangan budaya dan kelompok-kelompok secara utuh. Etnografi merupakan studi empiris dan naturalistik. Bentuk penelitian ini, secara tradisional telah memusatkan pada lokasi riset tunggal, dengan memusatkan diri pada pencatatan secara rinci aspek-aspek suatu fenomena tunggal, yang bisa berupa sekelompok manusia ataupun merupakan gerakan proses sosial. Riset etnografi bersifat holistik, artinya riset ini tidak hanya mengarahkan pada salah satu atau beberapa variabel tertentu yang menjadi perhatian peneliti dalam suatu studi. Bentuk holistik ini didasarkan pada pandangan bahwa budaya adalah merupakan keseluruhan yang terdiri atas bagian yang tidak dapat dipisahpisahkan. 2. Strategi Penelitian Strategi penelitian ini adalah studi kasus tunggal terpancang. Menurut Surakhmad (1985:143), “studi kasus memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan mendetail. Subyek yang diselidiki terdiri dari satu unit (atau satu kesatuan unit) yang dipandang sebagai kasus”. Adapun studi kasus dalam penelitian ini adalah: a. Pemahaman tradisi Bersih Desa (Ceprotan). b. Partisipasi dalam pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan). c. Tinjauan aspek pendidikan nilai atau moral pada tradisi Bersih Desa (Ceprotan).
28
C. Identifikasi Variabel Variabel merupakan objek penelitian yang bervariasi dan menjadi titik perhatian dari suatu penelitian. Menurut Hadi (1982: 224) bahwa “variabel adalah gejala-gejala yang menunjukan variasi, baik dalam jenisnya, maupun dalam tingkatannya”. Variabel tradisi Bersih Desa (Ceprotan) adalah sebagai berikut: 1. Pemahaman tentang tradisi Bersih Desa (Ceprotan), yaitu seberapa taraf pengetahuan masyarakat mengenai tradisi Bersih Desa (Ceprotan). Adapun indikatornya meliputi: a. Pemahaman tentang latar belakang kegiatan tradisi Besih Desa (Ceprotan). b. Pandangan masyarakat tentang tradisi Bersih Desa (Ceprotan). c. Pengalaman individu berkaitan dengan kegiatan tradisi Bersih Desa (Ceprotan). 2. Partisipasi dalam pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan), yaitu intensitas keterlibatan warga masyarakat dalam pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan). Adapun indikatornya meliputi: a. Partisipasi dalam mempersiapkan pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan). b. Partisipasi dalam menyediakan keperluan untuk pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan). c. Partisipasi dalam menjaga ketertiban pada pelaksanaan upacara tradisi Bersih Desa (Ceprotan). d. Partisipasi dalam melestarikan dan mengembangkan tradisi Bersih Desa (Ceprotan).
29
3. Tinjauan aspek pendidikan nilai yang ada pada tradisi Bersih Desa (Ceprotan), yaitu: tinjauan dari segi aspek pendidikan nilai budaya dan moral, dengan indikator sebagai berikut: a. Tinjauan aspek pendidikan nilai budaya tentang pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan). b. Tinjauan aspek pendidikan nilai moral yaitu pada masyarakat Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kebupaten Pacitan. 4. Dampak Pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) bagi masyarakat yaitu pengaruh atau efek yang ditimbulkan dari adanya tradisi Bersih Desa (Ceprotan) dengan indikator meliputi: a. Dampak dalam bidang ekonomi dari pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan). b. Dampak dalam bidang sosial budaya dari pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan). c. Dampak dalam bidang religius dari pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan).
D. Sumber Data Menurut Arikunto (1992: 102) sumber data dalam penelitian adalah “subyek dari mana data diperoleh”. Menurut Lofland dan Lofland yang dikutip Moleong (1989: 122), menyatakan “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan selebihnya
adalah data tambahan seperti dokumen
dan lain-lain”. Selanjutnya diterangkan juga oleh Moleong (1989: 122) bahwa
30
“kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video/audio tapes, pengambilan foto atau film”. Sumber data tambahan, diantaranya adalah sumber tertulis, foto dan data statistik. Oleh karena itu data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa sumber, yaitu: 1.
Informan Informan adalah orang yang memberikan tanggapan pada apa yang diminta
atau ditanyakan oleh seseorang peneliti. Dalam penelitian yang ditunjukkan sebagai informan yang memberikan data-data yang diperlukan adalah dari Juru Kunci Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. 2. Tempat dan peristiwa Tempat atau lokasi yaitu di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan, sedangkan peristiwa yang dimaksud adalah mengenai pelaksanaan upacara tradisi Bersih Desa (Ceprotan ) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. 3. Arsip maupun Dokumen Arsip maupun dokumen yang digunakan berhubungan dengan berbagai kegiatan yang terkait dengan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. Arsip maupun dokumen ini digunakan untuk mengungkap data yang berhubungan dengan berbagai kegiatan yang terkait dengan tradisi Bersih Desa (Ceprotan).
31
E. Sampling Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif sehingga cuplikan yang digunakan bersifat
purposive sampling. Menurut Hadi (1987: 82) bahwa:
“Pemilihan sekelompok subyek dalam purposive sampling, didasarkan atas ciriciri tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri populasi yang sudah diketahui sebelumnya”. Adapun yang menjadi kriteria dasar penelitian dengan menggunakan purposive sampling ini, menurut Sutopo (1988: 22) terdiri dari tiga jenis, yaitu: 1. Internal sampling yaitu keputusan yang diambil, begitu peneliti memiliki suatu pikiran umum tentang apa yang sedang dipelajari, dan berapa jumlah dokumen serta macamnya yang akan direviu, dengan siapa akan berbicara, dan kapan akan melakukan observasi. 2. Time sampling yaitu dimana peneliti menentukan kapan akan mengunjungi tempat dan subyek tertentu untuk mendapatkan data yang dianggap paling tepat. 3. Snowball sampling yaitu peneliti pertama-tama datang pada seseorang yang menurut pengetahuanya dapat dipakai sebagai “key informant”, tetapi setelah berbicara secara cukup, informant tersebut menunjukan subyek lain yang dipandang mengetahui lebih banyak masalahnya sehingga peneliti menunjuknya sebagai informant baru, dan demikian pula seterusnya berganti informan berikutnya yang tahu lebih dalam pula, sehingga data yang diperolehnya semakin banyak, lengkap dan mendalam. Jenis sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis internal sampling, snowball sampling dan time sampling. Dalam penelitian ini internal sampling digunakan untuk pertimbangan peneliti dalam memperoleh data, dan time sampling digunakan karena tradisi Bersih Desa (Ceprotan) dilaksanakan hanya setahun sekali, serta snowball sampling digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap tentang tradisi Bersih Desa (Ceprotan).
32
F. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan karakteristik yang diperlukan untuk keperluan penelitian ini maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: 1. Wawancara mendalam Berkaitan dengan wawancara mendalam Hamidi (2004: 72-73) menyatakan bahwa: Dalam hal ini seharusnya peneliti mempelajari teknik wawancara agar bisa dilakukan wawancara secara mendalam. Teknik ini menuntut peneliti untuk mampu bertanya sebanyak-banyaknya dengan perolehan jenis data tertentu sehingga diperoleh data atau informasi yang rinci. Hubungan antara peneliti dengan para responden atau informan harus bisa dibuat akrab, sehingga subyek penelitian bersikap terbuka dalam menjawab setiap pertanyaan, bertanya atau ngobrol santai dengan responden berbicara sesuai dengan pengalaman, pengetahuan dan pandangan mereka. Peneliti harus tetap mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan penting yang berkaitan dengan diperolehnya informasi dalam menjawab permasalahan peneliti (terstruktur), sehingga jawaban atau cerita para responden disadari atau tidak nmenjawab bagian-bagian atau indikator-indikator permasalahan penelitian atau struktur internal konsep yang hendak diteliti tepat sasaran. Dalam penelitian ini melaksanakan teknik wawancara dengan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh informasi kepada Juru Kunci Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan dan masyarakat sekitar Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. Teknik wawancara dalam penelitian ini digunakan untuk mengungkap data mengenai pemahaman tentang tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. 2. Observasi Langsung Berkaitan dengan observasi langsung Hamidi (2004: 74) mengemukakan pendapat bahwa: Observasi berarti peneliti melihat dia mendengarkan (termasuk menggunakan tiga indra yang lain) apa yang dilakukan dan dikatakan atau
33
diperbincangkan para responden dalam aktivitas kehidupan sehari-hari baik sebelum, menjelang, ketika dan sesudahnya. Teknik observasi langsung dalam penelitian ini digunakan untuk mengungkap data mengenai rangkaian tata cara pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. 3. Mencatat arsip maupun dokumen Menurut Hamidi (2004: 72) “Teknik dokumentasi yang berupa informasi yang berasal dari catatan penting baik dari lembaga atau organisasi maupun dari perorangan”. Dalam penelitian ini teknik dokumentasi digunakan untuk mencatat arsip maupun dokumen yang ada dan tersimpan di lokasi tempat pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) maupun pada Juru Kunci Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. Teknik mencatat arsip maupun dokumen ini digunakan untuk mengungkap data mengenai tata cara pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan.
G. Validitas Data Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengetahui validitas data (kestabilan data), sebagaimana dikemukakan Hamidi (2004: 82-83), yaitu: a. Teknik trianggulasi antar sumber data, antar teknik pengumpulan data dan antar pengumpul data, yang dalam hal terakhir ini peneliti berupa mendapatkan rekan atau pembantu dalam penggalian data dari warga di lokasi yang mampu setelah diberi penjelasan. b. Pengecekan kebenaran informasi kepada para informan yang telah ditulis oleh peneliti dalam laporan penelitian (member check). c. Akan mendiskusikan dan menyeminarkan dengan teman sejawat di jurusan tempat peneliti belajar (peer debriefing), termasuk koreksi di bawah para pembimbing. d. Analisis kasus negatif, yakni kasus yang tidak sesuai dengan hasil penelitian hingga waktu tertentu.
34
e. Perpanjangan waktu penelitian cara ini akan ditempuh selain untuk memperoleh bukti yang lebih lengkap juga untuk memeriksa konsistensi tindakan para informan. Penelitian ini menggunakan dua macam trianggulasi, yang pertama trianggulasi sumber data yang berupa informasi dari tempat, peristiwa dan dokumen serta arsip yang memuat catatan yang berkaitan dengan data yang dimaksudkan. Kedua, trianggulasi teknik atau metode pengumpulan data yang berasal dari hasil wawancara, observasi, dan dokumen. Penelitian ini juga menggunakan teknik informasi riview bertujuan untuk menguji keabsahan data dengan cara memberikan daftar laporan kepada informan untuk dilakukan pengecekan keabsahan datanya.
H. Teknik Analisis Data Menurut Hamidi (2004: 75) “Unit analisis adalah satuan yang diteliti yang bisa berupa individu, kelompok, benda atau suatu latar peristiwa sosial seperti misalnya aktivitas individu atau kelompok sebagai subjek penelitian”. Dalam penelitian ini, mengingat data yang diperoleh merupakan data yang didapat melalui pengamatan serta wawancara secara langsung, maka analisis data yang peneliti gunakan adalah dengan model interaktif baik dalam pengumpulan data, reduksi data, sampai pada penarikan kesimpulan. Adapun langkah-langkahnya menurut Miles dan Huberman (1992: 15-19) adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data di lokasi studi dengan melakukan observasi, wawancara mendalam, dan mencatat dokumen dengan menentukan strategi pengumpulan data yang dipandang tepat dan untuk
35
menentukan fokus serta pendalaman data pada proses pengumpulan data berikutnya. 2. Reduksi data, yaitu sebagai proses seleksi, pemfokusan, pengabstrakan, transformasi data kasar yang ada di lapangan langsung, dan diteruskan pada waktu pengumpulan data, dengan demikian reduksi data dimulai sejak peneliti mulai memfokuskan wilayah penelitian. 3. Sajian data, yaitu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan penelitian dilakukan. Dalam pengujian data meliputi berbagai jenis matrik gambar, jaringan kerja, keterkaitan kegiatan atau tabel. 4. Penarikan kesimpulan, yaitu dalam pengumpulan data, peneliti harus mengerti dan tanggap terhadap sesuatu yang diteliti langsung di lapangan dengan menyusun pola-pola pengarahan dan sebab akibat. Menurut Miles dan Huberman (1992: 20), siklus analisis interaktif yang ditetapkan dalam penelitian ini ditunjukkan dalam gambar 1 berikut ini.
Pengumpulan Data
Reduksi data
Penyajian data
Kesimpulan-kesimpulan: Penarikan/verifikasi
Gambar 1. Skema Analisis Interaktif
36
I. Prosedur Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan prosedur dengan langkah-langkah sebagaimana dirumuskan oleh Moleong (1989: 92-103) sebagai berikut: 1. Tahap Pra Lapangan, yaitu merupakan tahap yang dilakukan mulai dari pembuatan usulan penelitian sampai memperoleh izin penelitian. 2. Tahap Penelitian Lapangan. Pada tahap ini peneliti diharapkan mampu memahami latar belakang masalah dengan persiapan dari yang mantap untuk memasuki lapangan. Peneliti berusaha untuk menggali dan mengumpulkan data-data untuk dibuat analisis data, yang selanjutnya data dikumpulkan dan disusun. 3. Observasi. Dalam teknik pengumpulan data dengan cara observasi kegiatan yang dilakukan adalah mengadakan pengamatan tentang pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan dan dampaknya bagi masyarakat Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. 4. Tahap Analisis Data. Setelah data yang terkumpul cukup selanjutnya dianalisis untuk mengetahui permasalahan yang diteliti. 5. Analisis Dokumentasi. Dalam teknik pengumpulan data melalui dokumentasi ini kegiatan yang dilakukan adalah menganalisis dokumentasi yang terdapat pada tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan.
37
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Ditinjau dari letak secara geografis tradisi Bersih Desa (Ceprotan) terletak di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Digambarkan sebagai berikut: a. Sebelah barat
: Desa Sukodono
b. Sebelah utara
: Desa Donorojo
c. Sebelah timur
: Desa Wareng Kecamatan Punung
d. Sebelah selatan
: Desa Klepu
2. Keadaan Penduduk Jumlah total penduduk Desa Sekar adalah 3065 jiwa, dengan komposisi 1382 jiwa penduduk laki-laki, dan 1683 penduduk perempuan. Berdasarkan monografi yang tercatat dalam kantor kelurahan diklasifikasikan sebagai berikut: a. Jumlah penduduk menurut agama dan kepercayaan 1) Agama Islam
: 3057 orang
2) Agama Kristen Katholik
: 5 orang
3) Agama Kristen Protestan
: 3 orang
4) Agama Budha
: - orang
5) Agama Hindhu
: - orang
37
38
b. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian 1) Petani
: 1993 orang
2) Buruh tani
: 144 orang
3) Pedagang
: 83 orang
4) Sopir angkutan
: 15 orang
5) Pegawai negeri
: 41 orang
6) Pensiunan
: 6 orang
7) lain-lain
: 391 orang
B. Deskripsi Hasil Penelitian Di masyarakat sering terjadi ketegangan akibat adanya perbedaan pandangan mengenai tradisi yang bekembang. Dalam tradisi yang bersifat lokal, masyarakat mengikutsertakan unsur-unsur agama dan kepercayaan dengan tetap melakukan perlakuan khusus dengan sesaji. Peranan tradisi adalah untuk selalu mengingatkan manusia berkenaan dengan eksistensi dan hubunganya dengan lingkungan sekitar. Dalam rangka mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat sering mengadakan tradisi selamatan. Tradisi yang terjadi dari berbagai macam bentuk sesaji disertai doa menjadi peristiwa lazim dilakukan masyarakat Desa. Perlengkapan yang digunakan dalam setiap tradisi harus sejajar antara sarana yang digunakan dengan yang disimbolkan. Tradisi Bersih Desa (Ceprotan) merupakan salah satu bagian kebudayaan Indonesia yang eksistensinya telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Secara struktural, tradisi Bersih Desa (Ceprotan) dibangun
39
oleh konfigurasi budaya ekspresif yang secara dominan mengandung nilai solidaritas, filsafat, estetika, dan religius. Kepercayaan terhadap roh ataupun keyakinan terhadap adanya kekuatankekuatan gaib yang melingkupi kehidupan masyarakat desa sampai sekarang masih terus berlangsung. Dalam mengatasi segala kemungkinan yang mengancam segala keselamatan diadakanya selamatan yang ternyata sampai sekarang tidak pernah ditinggalkan dalam tata cara kehidupan masyarakat desa. Tradisi Bersih Desa di Sekitar diyakini sebagai tradisi yang mempunyai makna religi bagi masyarakat setempat, dan tradisi tersebut diadakan setiap tahun sekali yang bersifat turun temurun. Hal ini juga nampak dalam tradisi Bersih Desa (Ceprotan) yang dapat dimaknai sebagai wujud ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rejeki dan keselamatan kepada masyarakat Sekar selama setahun dan berharap pula berkah dan pertolongan untuk tahun depan. 1. Sejarah Tradisi Bersih Desa (Ceprotan) Pada hakekatnya tradisi Bersih Desa (Ceprotan) merupakan perwujudan rasa terimakasih masyarakat Sekar kepada Sing Mbau Rekso sumber air di Desa Sekar yang telah memberikan keselamatan dan ketentraman hidup. Tradisi ini sampai sekarang belum diketahui secara pasti kapan dimulainya. Ada suatu cerita rakyat yang melatarbelakangi adanya tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di desa Sekar adalah sebagai berikut. Cerita ini bermula dari kerajaan Majapahit. Pada saat itu yang duduk sebagai Raja adalah Prabu Brawijaya. Sang Prabu mempunyai seorang Permaisuri
40
bernama Dewi Dwarawati dari Kerajaan Campa, dan seseorang selir atau garwo paminggir yang kedua-duanya sama-sama mengandung. Pada suatu hari sang permaisuri sedang beristirahat di Taman Sari dan duduk dibawah pohon Nagasari dan ditemani oleh sang selir. Keduanya sangat akrab dan rukun, kebaikan dan ketulusan sang selir ini telah menyentuh hati sang permaisuri dan tanpa disadari sampai berjanji ntuk menjodohkan putra mereka. Mendengar bicara sang permaisuri yang demikian itu, sang selir menyutujuinya dan bersamaan itu pula terdengar suara menggelegar di langit yang seolah-olah menjadi saksi penyaji tersebut. Beberapa bulan kemudian sang permaisuri melahirkan seorang anak putri yang cantik dan garwa selir melahirkn seorang anak laki-laki yang tampan dan diberi nama Raden Gugur. Keduanya dibesarkan bersama di Istana Kerajaan Majapahit. Setelah dewasa, tiba saatnya permaisuri untuk menikahkan kedua putranya seperti yang menjadi sumpahnya ketika mengandung. Permaisuri tidak berani melanggar sumpah yang telah diucapkan, takut dengan kutukan dewata. Apalagi kedua putranya saling mencintainya, namun Prabu Brawijaya tidak memperbolehkan kedua putranya untuk melangsungkan pernikahan, karena mereka masih saudara yang berasal dari satu darah keturunan. Karena tidak mendapat restu dari orang tua, pada suatu malam kedua putranya itu pergi meninggalkan Istana Kerajaan Majapahit, tanpa sepengetahuan siapapun dan tanpa tujuan. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan seorang kyai di Dusun Modjo, yang selanjutnya mereka berdua mengabdi kepadanya.
41
Kemudian oleh Kyai Modjo keduanya dinikahkan dan semenjak itu Raden Gugur memakai nama Raden Prawiroyuda. Kyai Modjo tidak mengetahui dan tidak menduga bahwa kedua abdinya adalah putra mahkota Kerajaan Majapahit. Mereka dianggap seperti anaknya sendiri atau seperti abdi lainnya. Mereka bekerja menanam padi, palawija, menyiangi rumput, mencari kayu bakar dan lain sebagainya. Sebaliknya Raden Prawiroyuda dan istrinya tidak menunjukkan sikap bahwa mereka adalah putra Raja Majapahit. Sepeninggal kedua putranya, Prabu Brawijaya pikirannya sangat gelisah, karena kehilangan dua putra mahkotanya. Sang Prabu kemudian memerintahkan para abdi kerajaan untuk mencari kedua putranya sampai ketemu. Beberapa waktu kemudian datanglah utusan menghadap Sang Prabu bahwa kedua putranya telah diketahui tempat tinggalnya. Kabar ini membuat hati gembira Sang Prabu. Setelah mendengar berita gembira ini, Sang Prabu bersama pengawalnya menuju Dusun Modjo untuk menjemput kedua putranya. Sesampainya di Dusun Modjo Sang Prabu bertemu dengan Kyai Modjo dan segera menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya. Betapa terkejutnya hati Kyai Modjo bahwa kedua abdinya ternyata Putra Mahkota Majapahit tidak lain yaitu Putra Sang Prabu Brawijaya. Barulah Kyai Modjo sadar dan minta maaf kepada Sang Prabu. Sebaliknya Prabu Brawijaya menyampaikan ucapan terima kasih karena selama ini Kyai Modjo telah merawat dan mendidik kedua putranya. Prabu Brawijaya menyuruh Kyai Modjo untuk memanggil kedua putranya yang saat itu tengah berada di ladang. Raden Prawiroyuda sangat terkejut melihat
42
kedatangan Kyai Modjo yang tiba-tiba memberikan sembah. Kyai Modjo mengatakan kedatangannya dan menyampaikan pesan dari Prabu Brawijaya yang ingin mengajaknya kembali ke Istana. Raden Prawiroyuda menyuruh Kyai Modjo untuk pulang lebih dulu, nanti setelah pekerjaannya selesai barulah Raden Prawiroyuda dan istrinya menyusul. Sepeningggal Kyai Modjo, Raden Prawiroyuda dan intrinya tidak segera pulang, melainkan pergi meninggalkan Dusun Modjo. Mereka merasa takut bertemu dengan Sang Prabu sebagai ayah kandungnya dan tidak ingin kembali ke Istana Kerajaan, karena tidak ingin menanggung malu. Setelah ditunggu-tunggu kedua putranya tidak kunjung datang, Prabu Brawijaya kembali memerintahkan Kyai Modjo dan kepada para abdinya untuk mencari sampai ketemu. Dalam pencariannya Kyai Modjo bertemu dengan Demang Prawiromantri bersama-sama menyusul Raden Prawiroyuda. Kemudian Raden Prawiroyuda berpesan akan menemui Sang Prabu di kelak dikemudian hari. Demang Prawiromantri segera meminta diri menghadap Sang Raja. Prabu Brawijaya menyambut gembira berita tersebut. Keesokan harinya Kyai Modjo, Demang Prawiromantri, dan para abdi dalem sebagai pengawal Raja bersamasama menemui Raden Prawiroyuda. Namun apa yang terjadi tempat yang telah dijanjikan keadaannya telah sepi karena Raden Prawiroyuda dan istrinya telah pergi ke hutan. Prabu Brawijaya sangat kecewa dan pasrah kepada Sang pencipta. Prabu Brawijaya akhirnya memutuskan untuk kembali ke Majapahit dan memerintahkan Kyai Modjo agar melanjutkan pencarian ke hutan dan sungai
43
seperti yang telah dijanjikan Raden Prawiroyuda. Di tempat tersebut oleh Raden Prawiroyuda diberi nama Liroboyo yang artinya angelirake ubaya atau mengingkari janji. Sampai saat ini tempat ini dikenal dengan nama Liroboyo. Sepeninggal Prabu Brawijaya, Kyai Modjo berhasil menemukan Raden Prawiroyuda yang telah menjadi Raja di daerah Ngretati. Kemudian setelah menjadi Raja, Raden Prawiroyuda lebih dikenal dengan Gusti Kalak. Berkat perjuangan yang telah dilakukan oleh Kyai Modjo maka Prabu Brawijaya menghadiahkan harta benda dan seorang selir yang saat itu sedang mengandung. Raja berpesan jika kelak lahir bayi laki-laki agar diberi nama Raden Lembu Peteng dan apabila lahir perempuan terserah Kyai Modjo. Prabu Brawijaya juga menitipkan perlengkapan raja dan sepucuk surat untuk disampaikan kepada Raden Prawiroyuda. Perlengkapan tersebut antara lain berupa sebuah kepek yang berisi jimat yang terdiri dari bondong, kelat bahu, luluk atau kuluk matha, serat karo pakdo, dan keris Kyai Jaruman. Jimat tersebut hanya dipakai pada saat berperang. Disamping itu juga mengirimkan harta benda, perhiasan, dan hewan piaraan seperti kerbau, sapi dan kuda. Kemudian Kyai Modjo pergi ke Ngretati untuk menyerahkan pemberian Prabu Brawijaya kepada Gusti Kalak. Semua barang kiriman diterima oleh Gusti Kalak sesuai yang tercantum dalam isi surat, kecuali keris Kyai Djaruman yang tidak ada. Gusti Kalak segera mengutus Kyai Modjo untuk menanyakan ke Majapahit. Sebenarnya keris tersebut telah disembunyikan oleh Kyai Modjo bermaksud
44
untuk memilikinya. Sehingga setiap kali ditanyakan oleh Gusti Kalak, Kyai Modjo selalu mengelak dengan alasan belum ada waktu pergi ke Majapahit. Beberapa hari kemudian putri selir pemberian Prabu Brawijaya melahirkan seorang anak laki-laki dan diberi nama Raden Lembu Peteng sesuai dengan permintaan atau pesan Sang Prabu. Mendengar tentang kelahiran bayi tersebut, Prabu Brawijaya sangat besar hatinya akan tetapi Raden Lembu Peteng tidak berumur panjang. Meninggal sejak kecil dan dimakamkan di daerah Nglaren. Makam tersebut sampai sekarang masih tetap dikeramatkan penduduk. Gusti Kalak selalu memikirkan pusaka Kyai Djaruman yang akhirnya pada suatu saat Gusti Kalak tahu bahwa pusaka tersebut disembunyikan Kyai Modjo. Gusti Kalak menjadi murka dan ingin menangkap serta menghukumnya. Kyai Modjo menyadari hal ini, sehingga ia berusaha bersembunyi bersama keluarganya ke daerah Kulung. Beberapa tahun kemudian Kerajaan Majapahit ditakhlukkan Kerajaan Demak, dan Prabu Brawijaya meloloskan diri dan bertapa di sebuah gua di daerah Kalak, akan tetapi Gusti Kalak tidak mengetahui Sang Prabu Brawijaya bertapa di gua Kalak. Kerajaan Majapahit runtuh namun Kraton Ngretati tetap dikuasai Gusti Kalak. Pada saat kerajaan Demak berkuasa di daerah Tembayat terdapat seorang penguasa yang bernama Kyai Ageng Tembayat yang telah beragama Islam. Sang Kyai mendengar bahwa di tanah Modjo ada seorang putra Raja Majapahit menjadi Raja di Kraton Ngretati yang masih menganut Agama Budha. Beliau bermaksud
45
untuk mengislamkan Gusti Kalak. Kyai Tembayat pergi ke Ngretati dengan mengajak putrinya yang cantik rupawan bernama mbak prawan. Sesampainya di Kalak mbak prawan ikut derep atau menuai padi milik Gusti Kalak. Sedangkan Kyai Tembayat hanya mengawasi putrinya dari kejauhan. Saat matahari terasa panas Kyai Ageng Tembayat merasa haus dan ingin memetik kelapa muda ( bahasa Jawa : degan ). Kemudian Kyai Ageng Tembayat mendekati kelapa dan mulai memetik buahnya dengan cara mnggoncang-goncang pohon kelapa tersebut. Akibatnya banyak buah kelapa yang berjatuhan. Kejadian itu dilihat oleh Gusti Kalak yang saat itu sedang lewat. Gusti Kalak merasa kagum terhadap kekuatan yang dimiliki Kyai Ageng Tembayat. Gusti Kalak lalu menghampiri Kyai Ageng Tembayat, dan menanyakan asal-usul serta tujuan datang ke Kalak. Kyai Ageng Tembayat mengatakan kedatangannya adalah mengantar putrinya bekerja sebagai pemetik padi. Kyai Ageng Tembayat sangat kagum melihat kesaktian yang dimiliki oleh Gusti Kalak. Setelah minta maaf Kyai Tembayat segera memanggil putrinya dengan harapan Gusti Kalak dapat melihat kecantikannya. Kenyataannya memang Gusti Kalak sangat terkesima melihat kecantikan Mbak Prawan, namun perasaan tersebut terpendam dalam hati. Gusti Kalak meminta kepada Kyai Ageng Tembayat untuk mengambil putrinya untuk dijadikan abdi di Keraton Ngretati. Kyai Ageng Tembayat merasa gembira atas tawaran tersebut, karena maksud hati yang sebenarnya akan segera terkabul.
46
Kyai Ageng Tembayat mengijinkan dan memberi nasehat kepada putrinya, Kyai Ageng Tembayat segera memohon pamit kepada Gusti Kalak untuk kembali ke Tembayat. Mbak Prawan kemudian menjadi abdi di Ngretati melayani Gusti Kalak. Perasaan cinta Gusti Kalak terhadap Mbak Prawan semakin besar tidak dapat dibendungnya lagi. Akhirnya Gusti Kalak menyatakan keinginannya untuk memperistri, dan Mbak Prawan menerimanya dengan syarat perkawinannya harus menggunakan tata cara Islam. Gusti Kalak pun menyanggupi persyaratan yang diajukan oleh Mbak Prawan, kemudian Mbak Prawan dan Gusti Kalak berangkat ke Tembayat, dan Gusti Kalak memutuskan diri untuk menganut agama Islam. Perkawinan Gusti Kalak dan Mbak Prawan melahirkan seorang putra lakilaki yang gagah dan tampan yang diberi nama Kyai Godek. Sejak kecil Kyai Godek sudah diajari ilmu agama Islam dan setelah besar ditugasi untuk membuka hutan dan mengembangkan agama Islam. Kyai Godeg mulai membuka hutan untuk dijadikan sebuah padepokan. Ditengah-tengah hutan ini Kyai Godeg bertemu dengan seorang putri yang bernama Dewi Sekartadji yang sedang berkelana mencari kekasihnya yaitu Raden Kertapati atau Panji Asmarabangun. Dewi Sekartadji ditemani saudara laki-lakinya yang bernama Sukamandi. Kyai Godeg sangat terkejut dan heran atas kedatangan Dewi Sekartadji di tengah hutan itu. Sang Dewi segera menghampiri Kyai Godeg mengutarakan maksudnya. Karena berjalan berhari-hari merasa haus, ia minta tolong Kyai Godeg untuk dicarikan air untuk minum. Padahal di tengah hutan tersebut tidak ada sumber air. Kyai Godeg menjawab, jangankan untuk minum,
47
untuk berwudlupun tidak ada. Kyai Godeg akan berusaha mencarinya, dan Dewi Sekartadji dipersilakan untuk menunggunya. Kemudian Kyai Godeg bersemedi di depan sebuah Teleng (bagian tanah yang air atau pasir laut yang lembab dan diduga rembesan atau saluran air dibawah tanah). Dengan kekuatan ilmu yang dimiliki dalam sekejab Kyai Godeg menghilang dan kembali dengan membawa kelapa muda. Kyai Godeg segera mengupas dan menghaturkan kepada Sang Dewi Sekartadji. Air kelapa muda tersebut segera diminum dan sisanya oleh Sang Dewi Sekartadji ditumbahkan ke tanah kemudian terjadilah suatu keajaiban, bahwa tanah bekas tumpahan air kelapa tersebut berubah menjadi sebuah mata air. Kyai Godeg merasa kagum menyaksikan kesaktian Dewi Sekartadji. Selanjutnya Dewi Sekartadji menyampaikan pesan sebagai wasiat kepada Kyai Godeg untuk memberi nama daerah tersebut dengan nama “Sekar”. Selesai berkata demikian Dewi Sekartadji segera mohon diri untuk melanjutkan pengembaraannya Kyai Godeg sangat berterima kasih serta berjanji untuk melaksanakan semua wasiat Dewi Sekartadji. Sepeninggal Dewi Sekartadji, Kyai Godeg melanjutkan usahanya membuka hutan, dan selama membuka hutan Kyai Godeg selalu menggunakan sumber air tersebut. Di dekat sumber air ini oleh Kyai Godeg diletakkan bongkahan batu yang digunakan untuk sholat. Bongkahan batu ini sampai kini masih ada dan sumber air maupun bongkahan batu masih tetap dikeramatkan oleh masyarakat setempat.
48
Selesai membuka hutan, Kyai Godeg mulai mendirikan padepokan sajak saat itu mulailah berdatangan orang–orang untuk mengabdi menjadi murid atau cantrik Kyai Godeg. Untuk menjadi murid ada beberapa persyaratan yang harus dipatuhi atau dibawa sebagai berikut: Beras, ketan, cengkih, ayam putih mulus, mori (kain berwarna putih), menyan dan kembang setaman. Persyaratan yang dimaksud Kyai Godeg tersebut bukan arti yang sebenarnya namun simbolis. Beras artinya biar aber (hilang) maksudnya berguru tidak boleh angkara murka, segala sifat yang tidak baik harus dihilangkan. Ketan artinya keketan ana tandinge, maksudnya harus memiliki keteguhan iman sudah tidak memikirkan hal – hal yang lain. Ayam putih mulus artinya berpikiran bersih dan suci. Cengkir artinya kencenge pikir maksudnya bertekad bulat. Mori artinya ngemori maksudnya ilmu yang utama hendaknya dapat menyatu dengan dirinya. Menyan artinya nyanding, maksudnya hendaknya dapat mendekatkan diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kembang setaman artinya ngembangke maksudnya dapat mengembangkan perbuatan yang baik. Dalam waktu yang singkat daerah yang semula hutan belantara dan sepi berubah menjadi padukuhan yang ramai. Padukuhan kemudian oleh Kyai Godeg dinamakan dusun Sekar sesuai dengan wasiat Dewi sekartadji. Kyai Godeg wafat dalam usia lajut. Sebelum meninggal berwasiat kepada anak cucu beserta para muridnya agar tetap melaksanakan upacara peringatan pada setiap bulan sela (longkang) pada hari Selasa Kliwon atau Minggu Kliwon dengan sebutan Upacara Ceprotan. Kyai Godeg dimakamkan di Dusun Sekar yang sampai sekarang masih dikeramatkan oleh masyarakat sekar.
49
Cerita rakyat tersebut merupakan dasar bagi masyarakat Sekar sampai sekarang masih mempercayai kekuatan roh yang mendiami sumber Sekar. Kekuatan roh tersebut dianggap mampu menentukan keselamatan dan kesengsaraan hidup mereka. Agar tidak mengganggu kehidupannya, maka harus dihormati atau diperlakukan secara khusus, salah satu bentuk masyarakat dalam menghormati dengan cara melaksanakan bersih desa. Dalam upacara tersebut mengandung harapan agar kekuatan roh itu mau memberi keselamatan dan ketentraman masyarakat setempat. Kepercayaan terhadap adanya kekuatan roh tersebut termasuk kepercayaan animisme yaitu bentuk religi masyarakat yang berdasar anggapan bahwa alam sekeliling tempat tinggal manusia didiami oleh berbagai arwah atau roh yang dapat mendatangkan kesengsaraan maupun ketentraman kehidupan masyarakat. 2. Tujuan Tradisi Adapun tujuan dari tradisi Bersih Desa (Ceprotan) pada hakikatnya merupakan perwujudan ucapan terima kasih yaitu untuk mengucap syukur atas berkat dan kelimpahan pada tahun yang lalu, dan permohonan berkat dan pertolongan Tuhan Yang Maha Esa pada tahun yang akan datang, serta sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga. Masyarakat Sekar akan merasa lega dan puas apabila telah melaksanakan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) ini karena mereka telah melaksanakan amanat dari leluhurnya.
50
3. Waktu dan Tempat Tradisi Tradisi Bersih Desa (Ceprotan) dilaksanakan setahun sekali pada bulan selo atau Dulkhangidah. Berdasarkan keyakinan / kepercayaan bulan itu adalah keramat, sehingga banyak dijumpai di masyarakat melaksanakan kegiatankegiatan ritual. Pelaksanaan tradisi diusahakan jatuh pada hari Senin Kliwon, apabila tidak ada hari itu, dialihkan pada hari Minggu Kliwon, karena masyarakat kuat keyakinannya dalam perhitungan hari, hal ini termasuk perhitungan hari untuk hajat perkawinan / pernikahan, mendirikan rumah dan hari – hari untuk keperluan lainnya. Pusat tempat tradisi di rumah Kepala Desa yang berada di Dusun Krajan Lor yang tidak jauh dari sumber sekar. Di halaman rumah Kepala Desa. Di halaman itu dibuat panggung dengan latar belakang lukisan sejarah asal mula terjadinya Desa Sekar. Panggung itu pada saat tradisi berlangsung untuk tempat para tamu dari tingkat Kecamatan, Kabupaten maupun para Wisatawan. Dan pada malam harinya digunakan tempat pementasan pertunjukan kesenian dan wayang kulit. Di rumah sebelah Kepala Desa disediakan ruangan khusus untuk meletakkan sesaji dan untuk mengumpulkan kelengkapan lainnya yang berasal dari setiap rumah. Semua sesaji itu sebagai sarana untuk melakukan persembahan kepada yang mbahu rekso sumber sekar. Ruangan sesaji hanya orang–orang tertentu yang diperbolehkan masuk.
51
4. Persiapan Pelaksanaan dan Perlengkapan Tradisi Sebagai tahap persiapan diawali dengan pembentukan panitia kerja yang terdiri dari pamong desa dan masyarakat setempat, yang dilaksanakan dua minggu sebelumnya. Sehari sebelum pelaksanaan bersih desa segenap warga Dusun Krajan Lor dan Krajan Kidul kerja bakti membersihkan lingkungan sumber, lingkungan dusun, jalan–jalan dusun, pembenahan pagar, kebersihan pekarangan, pembuatan panggung, pemasangan umbul–umbul dan menghias arena tradisi Bersih Desa (Ceprotan). Tiga hari sebelumnya pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) warga Dusun Krajan Lor dan Krajan Kidul mulai memetik buah kelapa muda (Bahasa Jawa “degan”) yang masih cengkir rata–rata baru berumur 3 bulan. Syaratnya setiap orang rata–rata mengumpulkan lima belas sampai dua puluh lima buah kemudian dikupas dan dibiarkan lunak (Bahasa Jawa “gembut”) setelah tiga hari kemudian, perlengkapan tradisi dibedakan menjadi dua jenis yaitu sesaji dan perlengkapan yang berupa peralatan pendukung. Perlengkapan sesaji adalah perlengkapan pokok yang paling utama dalam tradisi Bersih Desa (Ceprotan), orang–orang yang bertugas mencari barang-barang sesaji harus orang yang dianggap bersih lahir dan batinnya, yang terlepas dari keinginan–keinginan atau pikiran–pikiran negatif. Orang tersebut adalah Juru Kunci Desa Sekar. Sebelum sesaji dipersembahkan di ruang sesaji terlebih dulu bahan–bahan tersebut dimasak dan dibentuk sesuai dengan nama–nama sesaji yang diperlukan, seperti ayam panggang, jadah, tompak, salak, tumpeng, sayur menir daun kelor,
52
buah asam, kacang panjang, cambah, pecel dari daun turi, daun pakisan, daun betis, lembayung, udang, kepiting dan benceng, rengginan yang berwarna merah putih, sebangsa tales, pisang raja rebus, uler–uler dari tepung beras berwarna merah, putih, kuning, nasi giling kecil–kecil, panjang ilang yang berisi kelapamuda hijau, empon–empon yang terdiri dari lengkuas, kunyit, jahe, kencur, temu lawak, benang telon merah, putih dan hitam, wayang kulit dengan tokoh Harjuna dan Dewi Sembara, bantal putih, kembang telon, kemenyan dan minyak wangi. Perlengkapan tradisi yang berupa sarana dari penduduk antara lain teningan dan tampah untuk meletakkan sesaji, anglo untuk membakar kemenyan, jalen tempat panggang dari bambo, ceting, gamelan, keranjang tempat buah kelapa. Umbul – umbul, alat penerangan dan perlengkapan tradisi
Bersih Desa
(Ceprotan). 5. Prosesi Tradisi a. Tahap Pendahuluan Tradisi Bersih Desa (Ceprotan) diawali upacara selamatan mulai pagi hingga siang hari. Khusus masyarakat Krajan Lor dan Dusun Krajan Kidul datang ketempat tradisi sesaji dengan membawa seekor ayam potong yang masih mentah, nasi giling, krupuk, rengginan, jadah untuk dijadikan ambengan sebagai sesaji upacara selamatan. Ayam potong yang masih mentah tersebut dikumpulkan dan dimasak bersama–sama dirumah tempat sesaji oleh kaum laki – laki dari Krajan Lor dan Krajan Kidul.
53
Sebelum upacara selamatan dimulai, terlebih dahulu juru kunci mengadakan sesaji disumber sekar. Sarana sesaji berupa Panjang Ilang yang berisi Gantal (terdiri dari daun sirih yang digulung diikat dengan benang putih, kapur sirih gambir dan tembakau), kembang telon, kemenyan, buah kelapa muda hijau. Panjang Ilang digantungkan pada pohon beringin yang ada disumber sekar. Disaat sesaji juru kunci memohon ketentraman dan keselamatan hidup bersama warganya terhadap sing mbahu rekso sumber sekar. Upacara selamatan dipimpin
juru
kunci
dengan
mengucapkan
mantra–mantra.
Disela–sela
mengucapkan mantra–mantra warga masyarakat menyaut dengan ucapan inggih (ya) dan selama upacara berlangsung dalam suasana hening dan hikmat. Selesai mengucapkan mantra–mantra dilanjutkan pembacaan doa secara Islam. Kemudian setelah selesai ambengan dibawa pulang kerumah masing–masing. b. Tahap Puncak Puncak tradisi Bersih Desa di Desa Sekar adalah tradisi “Ceprotan” yang dilaksanakan setelah tradisi selamatan selesai. Adapun Pelaksanaannya dimulai pada saat matahari mulai terbenam atau menjelang waktu maghrib. Namun sebelumnya ditampilkan atraksi–atraksi kesenian dalam bentuk tari–tarian ataupun atraksi kesenian lainnya sebagai acara pertunjukkan (hiburan) para pengunjung. Pada saat pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) peserta mengenakan pakaian adat Jawa dan upacara tersebut dihadiri oleh pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan, Muspika Kecamatan Donorojo, Kepala Desa sewilayah Kecamatan Donorojo. Tradisi Bersih Desa (Ceprotan) telah diangkat sebagai aset
54
wisata budaya daerah, maka dalam penyelenggaraannya menjadi tanggung jawab Dinas Pariwisata Kabupaten Pacitan. Acara Tradisi Ceprotan dimulai setelah acara sambutan – sambutan baik tingkat Desa, tingkat Kecamatan, tingkat Kabupaten telah selesai. Para peserta tradisi Ceprotan memasuki arena Ceprotan diiringi gending Dandang Gula, dengan peserta para pemuda atau orang yang telah dewasa. Peserta dibagi dua kelompok terdiri kurang lebih lima puluh orang dan mengenakan seragam yang berlainan. Setiap peserta membawa sebuah keranjang yang berisi buah kelapa muda rata–rata berisi lima belas sampai dua puluh lima buah. Setelah peserta menceprot (melempar) mereka bersiap ditempat masing– masing, sesaji diarak dari tempat sesaji menuju ke arena Ceprotan, masuknya iring –iringan sesaji diiringi gendhing Ladrang wilujeng. Adapun urutan pengiring sesaji tersebut adalah sebagai berikut: Barisan paling depan adalah juru kunci dengan membawa Panjang Ilang yang berisi buah kelapa hijau muda diapit oleh kepala Desa Sekar dan istrinya. Dibelakangnya adalah dua orang Manggoloyudo dengan membawa Lenongan yang berisi ayam panggang, tumpeng, jadah, kembang telon, dan sesaji lainnya. Ayam panggang inilah yang nantinya akan diperebutkan oleh peserta Ceprotan. Urutan berikutnya adalah sepuluh orang dayang–dayang menggunakan busana kembar dan masing– masing membawa cething yang berisi buah–buahan seperti: pisang, nanas, apel, salak, anggur, dan semangka. Barisan dibelakangnya adalah dua puluh prajurit yang mengenakan pakaian Kejawen. Dan barisan paling belakang adalah sesepuh desa dari sepuluh dusun. Seiring dengan tenggelamnya matahari sang juru kunci
55
mulai memimpin persembahan kepada kekuatan gaib yaitu sing mbahu rekso sumber sekar sambil mengucapkan mantra-mantra di atas asap dupa. Setelah pembacaan mantra dan doa juru kunci dan para pengirim sesaji meninggalkan arena, tiba–tiba terjadi teriakan–teriakan para peserta Ceprotan. Secara tidak diduga dua orang dari peserta Ceprotan melompat ketengah arena dan berlari untuk mengambil ayam panggang. Tetapi sebelum keduanya berhasil meraih panggang ayam tersebut, para peserta lainnya menyerang dengan lemparan. Lemparan buah–buah kelapa dari dua arah sehingga kedua orang tersebut menjadi kerepotan. Namun kedua orang tersebut berhasil membawa lari panggang ayam tersebut, sehingga panggang ayam tersebut menjadi hak miliknya. Kemudian kedua kelompok peserta Ceprotan tersebut saling menyerang sampai persediaan buah kelapanya habis. Suatu keajaiban bahwa para peserta Ceprotan walaupun terkena lemparan buah kelapa tidak merasa sakit dan orang yang melompat akan mengambil panggang tidak ditunjuk sebelumnya melainkan keinginan secra tiba–tiba oleh kekuatan gaib. Setelah persediaan buah kelapa habis, para peserta berhamburan lari ketengah arena dan saling berpelukan meluapkan kegembiraannya serta tidak ada rasa dendam. Setelah Ceprotan selesai, Panitia menutup tradisi Bersih Desa (Ceprotan) dengan mengucapkan hamdalah secara bersama–sama. c. Acara Penutup Sebagai akhir dari acara dalam tradisi Bersih Desa (Ceprotan) ini adalah acara tasyakuran dan malam hiburan, yang diselenggarakan malam hari setelah pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) selesai. Masyarakat Desa Sekar
56
terutama kaum lelaki berkumpul di Pendopo Kelurahan mengikuti acara tasyakuran dengan makan bersama–sama. Makanan yang dihidangkan merupakan bagian dari ambengan upacara selamatan, yang sengaja disiapkan untuk acara syukuran. Acara syukuran sebagai ungkapan rasa terima kasih terhadap Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan berkah dan keselamatan. 6. Fungsi dan makna tradisi Bersih Desa (Ceprotan) Bagi Masyarakat Pendukungnya a. Fungsi tradisi Seperti telah diuraikan di atas bahwa tradisi Bersih Desa (Ceprotan) ini merupakan suatu tradisi yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat Sekar setiap tahun sekali. Hal ini menandakan bahwa tradisi ini masih befungsi bagi masyarakat pendukungnya. Disamping itu juga terdapat makna-makna simbolik yang sangat berarti bagi mereka, terutama di dalam sesaji-sesaji tradisi. Di dalam macam-macam sesaji itu terdapat pesan-pesan yang terselubung dan perlu pemahaman tersendiri sehingga orang bisa mengetahui makna apa saja yang terkandung dalam sesaji tersebut. Menurut pendapat Budhi Santoso dalam dinas P dan K Propinsi Jawa tengah (2005:24) fungsi upacara tradisional yang ada pada masyarakat pendukungnya mengandung 4 fungsi yaitu (1) norma sosial, (2) pengendali sosial, (3) media sosial dan (4) pengelompokan sosial. Yang dimaksud dengan norma sosial, yaitu bahwa di dalam upacara tradisional terdapat simbol-simbol yang bermakna positif dan mengandung nilai-nilai atau norma-norma sosial. Nilai-nilai atau normanorma sosial yang terdapat dalam tradisi tersebut mencerminkan asumsi apa yang
57
baik dan apa yang tidak baik, sehingga nilai-nilai atau norma-norma ini dapat dipakai sebagai pengendali sosial. Tradisi Bersih Desa (Ceprotan) dilihat dari fungsi norma sosial dan pengendalian sosial seperti halnya dengan upacara-upacara tradisional lainnya, biasanya di dalam terdapat sesaji dan perlengkapan lainnya yang merupakan simbol atau lambang-lambang yang bermakna positif. Simbol atau lambang ini mengandung norma atau aturan-aturan yang mencerminkan nilai atau asumsi apa yang baik dan tidak baik, sehingga dapat dipakai sebagai pengendali sosial dan pedoman berperilaku bagi masyarakat pendukungnya. Selain dapat berfungsi sebagai pengatur perilaku antar individu dan masyarakat, berfungsi pula sebagai penata hubungan manusia dengan alam lingkungan, terutama pada Tuhan Yang Maha Esa. Yang dimaksud dengan media sosial yaitu bahwa tradisi pada umumnya dipakai sebagai obyek sikap emosional yang menghubungkan masa lampau dan masa sekarang. Kemudian tradisi berfungsi sebagai media sosial juga dapat dipakai sebagai alat atau sarana mengutarakan pikiran, emosional, kepentingan dan kebutuhan yang menjadi hajat hidup orang banyak (masyarakat). Di samping itu dapat pula dipakai sebagai alat bagi pendukung tradisi melakukan hubungan sosial atau kontak sosial diantara masyarakat, ternyata hal ini sesuai pula pada tradisi Bersih Desa (Ceprotan). Dalam tradisi Bersih Desa (Ceprotan) disamping sebagai obyek sikap emosional yang menghubungkan masa lampau dengan masa sekarang, hal ini nampak pada saat mereka membakar kemenyan dalam pelaksanaan tradisi tersebut. Kemudian dapat pula dipakai untuk
mengutarakan pikiran, pesan, kebutuhan dan
58
kepentingan yang menjadi hajat hidup orang banyak. Selain itu dalam upacara ini juga dapat dipakai untuk hubungan sosial/kontak sosial diantara sesama warga ataupun masyarakat lain yang mendukung upacara tersebut, misalnya dalam persiapan, pelaksanaan, setelah pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) dan lain sebagainya. Sedang yang dimaksudkan dengan pengelompokan sosial yaitu bahwa kegiatan tradisi ini dapat dipakai sebagai sarana yang efektif bagi pendukungnya untuk berinteraksi dan berkomunikasi sehingga menimbulkan kesatuan, solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Di dalam tradisi Bersih Desa (Ceprotan) ini berfungsi pula sebagai pengelompokan sosial artinya bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi Bersih Desa (Ceprotan) tersebut dapat mengikat seseorang ke dalam kelompok sosial yang bersangkutan. Keterikatan masyarakat terhadap tradisi Bersih Desa (Ceprotan) ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang menghadiri pelaksanaan upacara dari awal sampai akhir yaitu saat persiapan, pelaksanaan, setelah pelaksanaan dan lain sebagainya. Selain empat hal tersebut, tradisi Bersih Desa (Ceprotan) ini juga berfungsi untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan warga masyarakat yang bersifat sosial. Berfungsi untuk kepentingan pribadi artinya bahwa ada sebagian masyarakat Desa Sekar yang sudah mengawali pelaksanaan upacara. Hal ini dilakukan karena permohonan berkat dan pertolongan Tuhan Yang Maha Esa pada tahun yang akan datang, berhasil dalam pekerjaan dan lain sebagainya telah mereka raih. Sedangkan fungsi untuk kepentingan masyarakat, memang pada dasarnya upacara ini diperlukan oleh warga masyarakat yaitu untuk kepentingan
59
seluruh warga masyarakat. Mereka bersama-sama secara gotong royong melaksanakan tradisi tersebut untuk kepentingan bersama, untuk keberhasilan dan kemakmuran seluruh warga masyarakat. b. Makna Tradisi Di dalam tradisi yang masih sangat tradisional biasanya terdapat bentukbentuk tradisi yang di dalamnya mengandung petunjuk-petunjuk yang penyampaiannya melalui lambang-lambang atau simbol-simbol dengan makna tersendiri. Simbol atau lambang yang dinyatakan dalam tradisi mengandung makna yang terselubung seperti perilaku seseorang, yang diungkapkan melalui isyarat-isyarat tertentu dan belum banyak diketahui selain masyarakat pendukungnya. Untuk itu maka dalam kajian ini akan dilakukan penjelasan dari makna simbolik yang ada dalam tradisi Bersih Desa (Ceprotan). Artinya dengan lambang-lambang
yang
diberi
arti
secara
sistematis,
menyampaikan perasaan dan bisa mengerti maksud
manusia
saling
yang sebenarnya serta
menjadi pengalaman. Menurut Santoso dalam Dinas P dan K Propinsi Jateng (2005: 28) dengan lambang-lambang yang mempunyai arti dalam pergaulan sosial pada suatu lingkungan sosial tertentu, maka manusia dapat memperbanyak pengalaman, pengetahuan dan mengembangkan gagasan baru sehingga terwujud kebudayaan. Dengan perantaraan lambang-lambang pula, manusia dapat menyampaikan atau menyebarluaskan kebudayaan yang merupakan keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, hukum, moral dan adat istiadat dalam lingkup masyarakat tertentu.
60
Lambang-lambang dan makna simbolik dalam tradisi yang masih sangat tradisional, biasanya terdapat dalam sesaji-sesaji yang ada dalam penyelenggaraan tradisi yang masih sangat tradisional. Demikian pula dalam pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan). Setiap tradisi ritual di daerah, biasanya tidak pernah meninggalkan sesaji yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam setiap upacara. Sesaji yang digunakan harus disesuaikan dengan tujuan dan maksud dilaksanakan dalam tradisi Bersih Desa (Ceprotan), antara lain yaitu: satu ekor Ayam Panggang Cangakan, Satu Ekor Ayam panggang biasa, jadah yang terbuat dari Beras Ketan, Rengginan, Salak dan Pisang Raja, Sayur Tumpang dan Sayur Asem, Udang, Kepiting, dan ikan Kutuk, Uwi, Gembili, Mbothe, serta buah pisang raja Kukus, Untir – untir, Nasi Golong 4 buah, Benang Lawe dibentuk kitiran, Empon–empon yang terdiri dari Lengkuas Kunyit, kencur dan Temulawak. Rokok klobot yang diikat benang berwarna merah dan putih. Panjang Ilang dua buah yang berisi kelapa muda warna hijau, wayang kulit tokoh Arjuna dan Sembadra, kembang setaman 10 bokor, air kendi, minyak wangi dan kemenyan. Pada dasarnya fungsi dan makna sesaji-sesaji ini adalah sebagai ucapan terima kasih atas terkabulnya permohonan-permohonan masyarakat melalui tradisi bersih desa ini.
C. Temuan Studi yang Dihubungkan Kajian Teori Tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan Jawa Timur yang dilaksanakan setiap tahun sekali, yaitu pada
61
hari senin kliwon atau minggu kliwon pada bulan dhulkaidah dalam kalender Jawa. Ritual (prosesi), dan peralatan yang digunakan sebagai sebuah pengertian filosofis yang berguna sebagai pemaknaan hakikat hidup bagi manusia dalam berhubungan dengan alam, sesama manusia, dan hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. 1. Pemahaman warga masyarakat Sekar dalam pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan). Pemahaman warga masyarakat terhadap tradisi Bersih Desa (Ceprotan) tersebut relatif normal, dengan adanya kesadaran yang tinggi dari keyakinan mereka semua atau pemahaman masyarakat. Tradisi Bersih Desa (Ceprotan) seolah-olah merupakan kewajiban yang harus ditunaikan dan menurut warga masyarakat Sekar banyak sekali berkah dan manfaatnya bagi perubahan hidup masyarakat juga merupakan sarana untuk memohon hajad (keinginan) agar Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan rejeki dan keselamatan kepada masyarakat dan berharap pula berkah serta pertolongan-Nya. Menurut Bapak Makno S.Pd (wawancara tanggal 17 November 2007) selaku Kepala BPD Desa Sekar “pemahaman masyarakat terhadap tradisi Bersih Desa (Ceprotan), merupakan pelestarian tadisi adat sebagai aset wisata budaya daerah Kabupaten Pacitan”. Menurut Bapak Sugiyono (wawancara tanggal 18 November 2007) Kepala Dusun Krajan Lor “tradisi Bersih Desa (Ceprotan) merupakan warisan tradisi nenek moyang yang harus dilaksanakan setiap setahun sekali”.
62
2. Partisipasi warga masyarakat dalam pelaksanaan tradisi bersih desa (Ceprotan) Masyarakat (warga) setempat juga ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan), antara lain : a. Partisipasi dalam mempersiapkan pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan). b. Partisipasi dalam menyediakan keperluan pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan). c. Partisipasi dalam menjaga ketertiban pada pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan). d. Partisipasi dalam melestarikan dan mengembangkan tradisi Bersih Desa (Ceprotan). Persiapan satu minggu sebelum tradisi Bersih Desa (Ceprotan), masyarakat Desa Sekar melakukan kegiatan membersihkan rumah dan lingkungan tempat dilaksanakannya tradisi Bersih Desa (Ceprotan). Dalam tradisi Bersih Desa (Ceprotan) ini selain melibatkan aparat keamanan, untuk menjaga keamanan dan ketertiban pada saat pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan), masyarakat secara bersama-sama menjaga ketertiban untuk kelancaran pelaksanaan tradisi. Dalam menyelenggarakan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) secara teknis melibatkan beberapa orang antara lain: a. Juru kunci yaitu orang yang memimpin tradisi Bersih Desa (Ceprotan). b. Pemuda masyarakat Desa Sekar sebagai pelempar bluluk. c. Polisi dan Hansip yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban pada saat tradisi Bersih Desa (Ceprotan).
63
3. Tinjauan aspek pendidikan nilai yang ada pada tradisi Bersih Desa (Ceprotan). Budaya merupakan nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi manusia dalam kehidupan masyarakat, maka dari itu manusia perlu memilih, mengkaji, dan memperdalam budaya lewat suatu pendidikan. Dalam hal ini masyarakat Desa Sekar yang merayakan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) ingin mengetahui lebih dalam mengenai tradisi Bersih Desa (Ceprotan). Selain ingin mengetahui pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan), masyarakat juga ingin mengetahui nilai moral yang terkandung dalam diri masyarakat Sekar. Dalam hal ini aspek pendidikan moral (nilai) dari pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) adalah mengenai upacara ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Sekar. Dalam tradisi Bersih Desa (Ceprotan) ini masyarakat biasanya memanjatkan doa secara bersama-sama, hal ini bisa dijadikan suatu pelajaran bagi pelaksanaan hari raya ini. Dengan adanya kebersamaan ini tidak memandang status sosial, karena dihadapan Tuhan semua manusia adalah sama. Nilai-nilai sosial pada tradisi Bersih Desa (Ceprotan) adalah bahwa perayaan tradisi tersebut akan mendatangkan suatu pengaruh kuat yang berkenaan dengan kehidupan sosial masyarakat. Nilai-nilai religius pada tradisi Bersih Desa (Ceprotan) adalah untuk lebih meningkatkan kepercayaan pada Tuhan YME dan pengucapan syukur kepada Tuhan YME karena telah diberi berkah serta pertolongan dimasa sekarang dan masa yang akan datang. Tradisi Bersih Desa (Ceprotan) yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali di Desa Sekar mempunyai dampak tersendiri bagi masyarakat. Adapun dampak yang
64
berkaitan dengan upacara tradisi bersih desa (Ceprotan) tersebut diantaranya adalah sebagai berikut : a. Dampak dalam bidang ekonomi Masyarakat Sekar melakukan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) bertujuan salah satunya yaitu untuk mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberi berkah dan pertolongan selama satu tahun dan mengharap ditahun yang akan datang menjadi lebih baik. b. Dampak dalam bidang sosial budaya Adanya
kebersamaan
dalam
memberikan
simpatinya
dalam
menyelenggarakan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) ini dapat mempersatukan kelompok-kelompok dalam ikatan yang paling erat untuk hidup bersama dalam kerukunan. Semua ini merupakan gambaran pola hidup gotong royong yang sangat kental bagi masyarakat Indonesia. c. Dampak dalam bidang religius Menurut Menurut Bapak Iman Tukidjo (wawancara tanggal 17 November 2008) selaku Kepala Desa Sekar “pemahaman masyarakat terhadap tradisi Bersih Desa (Ceprotan), merupakan ajaran turun temurun dari para leluhur dalam rangka mensyukuri karunia Tuhan Yang Maha Esa, dan mereka percaya bahwa dengan melakukan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) maka Tuhan akan menambah rezeki untuk mereka”. Menurut bapak Paidjo (wawancara tanggal 19 November 2008) “Sejarah munculnya tradisi Bersih Desa yang harus dilaksanakan secara turun temurun.
65
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan Setiap kebudayaan memiliki tradisi sendiri-sendiri dalam mengungkapkan rasa syukurnya dan memohonkan pengharapan kepada Yang Maha Kuasa. Daerah pantai
dan
daerah
pegunungan
memiliki
cara
sendiri-sendiri
dalam
mengungkapkan eksistensinya. Akan tetapi di atas semua itu ada hal yang bisa dikatakan memiliki persamaan yaitu sistem simbol yang selalu ada di dalam setiap upacara yang dilaksanakan. Setelah melihat pembahasan dalam bab-bab di atas, maka kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah : 1. Tradisi bersih Desa (Ceprotan) berfungsi sebagai pengatur perilaku antar individu dan masyarakat. Berfungsi pula sebagai penata hubungan manusia dengan alam lingkungan, terutama pada yang Maha Tinggi. Tradisi bersih Desa (Ceprotan) berfungsi sebagai media sosial yang dapat digunakan sebagai alat atau sarana mengutarakan pikiran, emosional, kepentingan dan kebutuhan yang menjadi hajat hidup orang banyak. 2. Partisipasi dalam pelaksanaan Tradisi bersih Desa (Ceprotan), yaitu intensitas keterlibatan warga masyarakat dalam pelaksanaan tradisi bersih Desa (Ceprotan) dari sebelum pelaksanaan tradisi, prosesi tradisi, hingga akhir tradisi serta dapat melestarikan dan mengembangkan tradisi bersih Desa (Ceprotan).
65
66
3. Aspek pendidikan moral (nilai) dari pelaksanaan tradisi bersih Desa (Ceprotan). Adalah mengenai ritual yang dilaksanakan. Ritual dalam pelaksanaan tradisi bersih Desa (Ceprotan) ini adalah pada saat melafalkan doa-doa yang dilakukan secara individu dan bersama-sama. Hal yang dapat dijadikan pelajaran dari pelaksanaan upacara ini adalah adanya kebersamaan tanpa memandang status sosial setiap individu, karena dihadapan Tuhan YME semua manusia sama. Suatu sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sebuah sistem budaya tidak pernah berhenti. Sistem budaya juga mengalami perubahan dan perkembangan, baik karena dorongan dalam maupun dorongan luar. Interaksi antara komponen-komponen budaya dapat melahirkan bentuk-bentuk simbol baru.
B. Implikasi Tradisi bersih Desa (Ceprotan) merupakan kepercayaan warga masyarakat Sekar yang dilaksanakan setiap tahun. tradisi Bersih Desa (Ceprotan). Tradisi Bersih Desa (Ceprotan) merupakan peninggalan budaya para leluhur masyarakat Sekar. Warga masyarakat Sekar melaksanakan tradisi Bersih Desa (Ceprotan) dengan maksud, untuk mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberi berkat dan kelimpahan pada tahun yang lalu, dan permohonan berkat dan pertolongan Tuhan pada tahun yang akan datang. Tradisi Bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan Propinsi Jawa Timur mempunyai dampak positif dan dampak
67
negatif bagi warga masyarakat. Dampak positifnya adalah untuk memetri adat kebiasaan orang-orang tua yang sudah turun-temurun sebagai ucapan terima kasih, atas karunia-Nya sehingga pada tahun yang akan datang lebih baik daripada tahun ini. Dampak negatifnya apabila dijumpai masyarakat yang kurang memahami adanya pelaksanaan tradisi bersih Desa (Ceprotan) dikhawatirkan warga masyarakat mencampuradukkan agama dengan adat, sehingga keyakinan masyarakat terhadap agama akan pudar. Untuk itu dalam rangka menghindari pengaruh negatif. Warga masyarakat perlu membentengi diri dengan keimanan yang kuat serta mengembangkan kemampuan wawasan beragama, sehingga diperoleh hasil yang baik dalam
pemaknaan sebuah ritual ataupun tradisi
keagamaan. Implikasi nilai pendidikan adalah dengan pelaksanaan tradisi bersih Desa (Ceprotan) di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Jabupaten Pacitan Propinsi Jawa Timur diharapkan agar warga masyarakat Sekar lebih kritis dalam memahami tradisi Bersih Desa (Ceprotan) sehingga bisa menjadi suatu aset budaya yang dapat dilestarikan untuk memperkaya budaya bangsa Indonesia. Untuk melestarikan
budaya
hendaknya
warga
masyarakat
Sekar
kaum
tua
mensosialisasikannya kepada generasi muda yang merupakan generasi penerus, pergantian generasi nilai-nilai dasar yang menjiwai dan mengatur kehidupan berbangsa sebagai nilai vital yang harus dijunjung tinggi oleh seluruh warga masyarakat.
68
C. Saran-saran 1. Prosesi pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan), hendaknya tetap dilestarikan untuk memperkaya budaya nasional. 2. Pemerintah daerah bersama warga masyarakat diharapkan terus melestarikan kebiasaan orang-orang tua yang sudah turun-temurun sebagai sarana yang efektif bagi pendukungnya untuk berinteraksi dan berkomunikasi sehingga menimbulkan kesatuan. 3. Pelaksanaan tradisi Bersih Desa (Ceprotan), bukan dilaksanakan guna menyekutukan Tuhan, melainkan sebagai sarana untuk mensyukuri nikmat pemberian
Tuhan. Oleh karena itu warga masyarakat Sekar khususnya
diharapkan mampu mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dalam tradisi Bersih Desa (Ceprotan) tersebut. 4. Kewajiban bagi setiap generasi adalah untuk mempersiapkan generasi penerus lebih berkualitas, dan pada saatnya nanti generasi penerus benar-benar siap mengambil alih dan meneruskan tugas serta peranan generasi sebelumnya dan dengan demikian terjalinlah kelangsungan hidup dan eksistensi bangsa dari masa ke masa. 5. Saran kepada peneliti lain yang hendak meneliti obyek yang sama yaitu tradisi Bersih Desa (Ceprotan), supaya mengambil tema yang lain agar lebih inovatif sekaligus menambah khasanah wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat.
69
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1992. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomelogi Agama. Yogyakarta: Kanisius. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakata: Gadjah Mada University Pers. Fowler, James W. 1995. Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan. Yogyakarta: Kanisius. Hamidi. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMMP Press. Hadi, Sutrisno. 1982. Metodologi Research Jilid 3. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM. Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi Research Jilid 1. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM. Kamadi. 1995. Upacara Bersih Desa di Donorojo (Kajaian Sosiologis Anropologis). (Skripsi Sarjana S1). Madiun: IKIP PGRI. Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Koenjarningrat. 1983. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Marimba, Ahmad. D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al Ma`arif Miles, B. Mathew, dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UIP. Moleong, Lexy, J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya. Mulder, Niels. 1983. Jawa – Thailand Beberapa Perbandingan Sosial Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ndraha, Taliziduhu. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka cipta. R.I. 2003. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara. 69
70
Sujarwa, 1998. Manusia dan Fenomena Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumaryono. 2003. Upacara Bersih Desa di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan Berdasarkan Tinjauan Sosiologis Antropologis. (Skripsi Sarjana S1). Pacitan: Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI. Surakhmad, Winarno. 1985. Penelitian Ilmiah Dasar Metoda dan Teknik. Bandung: Tarsito. Sutrisno, Slamet. 1989. Sedikit Tentang Strategi Kebudayaan Nasional Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Sutopo, Heribertus. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif. Surakarta: Pusat Penelitian Universitas Sebelas Maret. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
71
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN Jl. A. Yani Tromol Pos I – Pabelan, Kartasura Telp. (0271) 717417 Fax : 715 448 Surakarta 57102
Nomor : 342/FKIP/A6-II/II/2008 Lamp : Hal : Permohonan Menjadi Konsultan
Surakarta, 25 Februari 2008
Kepada : Yth. Dra. Sundari, SH. MH. Dosen FKIP UMS Di Surakarta Assalamu’alaikum Wr. WB. Dengan ini Pimpinan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitan Muhammadiyah Surakarta, setelah mempelajari usul permohonan JUDUL SKRIPSI yang diajukan oleh : Nama
: Tri Utomo
NIM
: A 220 040 006
NIRM
:-
Jurusan
: Pendidikan Kewarganegaraan
Fakultas
: Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Judul Skripsi : ASPEK PENDIDIKAN NILAI DALAM ELAKSAANAAN TRADISI BERSIH DESA (CEPROTAN) STUDI KASUS DI DESA SEKAR KECAMATAN DONOROJO KABUPATEN PACITAN TAHUN 2008. Memandang perlu untuk menerima usul tersebut dengan maksud bahwa dalam rangka penyusunan , kami mohon dengan hormat Bapak/Ibu menjadi konsultan dengan catatan judul tersebut dapat direvisi. Atas ketersediaannya diucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Drs. H. Maryadi, M. A NIP. 131 602 728
72
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN Jl. A. Yani Tromol Pos I – Pabelan, Kartasura Telp. (0271) 717417 Fax : 715 448 Surakarta 57102
Nomor : 342/FKIP/A6-II/II/2008 Lamp : Hal : Permohonan Menjadi Konsultan
Surakarta, 25 Februari 2008
Kepada : Yth. Dra. Sri Arfiahi, SH. M. Pd. Dosen FKIP UMS Di Surakarta Assalamu’alaikum Wr. WB. Dengan ini Pimpinan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitan Muhammadiyah Surakarta, setelah mempelajari usul permohonan JUDUL SKRIPSI yang diajukan oleh : Nama
: Tri Utomo
NIM
: A 220 040 006
NIRM
:-
Jurusan
: Pendidikan Kewarganegaraan
Fakultas
: Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Judul Skripsi : ASPEK PENDIDIKAN NILAI DALAM ELAKSAANAAN TRADISI BERSIH DESA (CEPROTAN) STUDI KASUS DI DESA SEKAR KECAMATAN DONOROJO KABUPATEN PACITAN TAHUN 2008. Memandang perlu untuk menerima usul tersebut dengan maksud bahwa dalam rangka penyusunan , kami mohon dengan hormat Bapak/Ibu menjadi konsultan dengan catatan judul tersebut dapat direvisi. Atas ketersediaannya diucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
73
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PACITAN KECAMATAN DONOROJO DESA SEKAR
SURAT KETERANGAN No:460/ 28/ 408. 6110/ 2008
Yang bertanda tangan di bawah ini Kepala Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan, menerangkan bahwa Nama
: TRI UTOMO
NIM
: A.220040006
Jurusan
: PKn
Fakultas
: FKIP
Universitas
: Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
Benar-benar telah mengadakan penelitian di Desa Sekar, dalam rangka penyusunan skripsi yang berjudul "Aspek Pendidikan Nilai Dalam Pelaksanaan Tradisi Bersih Desa (Ceprotan) Studi Kasus di Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan Tahun 2008". Demikian Surat keterangan ini dibuat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
74
FOTO PELAKSANAAN TRADISI BERSIH DESA (CEPROTAN)
Gambar 1 Sambutan Kapala desa Sekar dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Gambar 2 Tari-tarian sebagai Fungsi Hiburan
75
Gambar 3 Tempat Sesaji dan Juru Kunci Tradisi Bersih Desa (Ceprotan)
Gambar 4 Buah Kelapa Muda yang Digunakan Untuk Melempar Dalam Tradisi Bersih Desa (Ceprotan)
76
Gambar 5 Para Pemuda Desa Sekar yang Saling Melempar Buah Kelapa Muda Dalam Tradisi Bersih Desa (Ceprotan)
Gambar 6 Para Pedagang, Penonton dan Sesepuh Desa Sekar Memasuki Arena Upacara
77
Gambar 7 Peneliti dan Kapala Desa Sekar Sebagai Key Informan