55
BAB IV NILAI-NILAI ISLAM DALAM TRADISI “TUTUS” DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN A. Tradisi “Tutus” Dalam Bidang Keagamaan Tradisi “tutus” merupakan tradisi keagamaan yang keberadaannya terbentuk secara turun temurun. Bentuk tradisi ini merupakan sebuah tradisi dimana dalam acara yang diselenggrakan terdapat niali-nilai Islam mulai dari awal proses acara sampai pemandian karena tujuan dari “tutus” sendiri adalah untuk menghilangkan rasa sial yang terdapat dari ciri-ciri seorang anak yang harus ditutus, jika anak tidak ditutus maka akan terjadi kesialan baik menimpa dirinya, harta, maupun orang tuanya. Secara awam banyak diungkapkan bahwa tradisi sama artinya dengan budaya. Tradisi dianggap sebagai suatu kebiasaan, maksudnya bahwa segala ketentuan dan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung unsur-unsur atau nilainilai budaya, adat istiadat, yang bersifat turun temurun merupakan suatu yang telah menjadi tradisi, dan masyarakat atau sekelompok masyarakat secara bersama-sama terlibat dalam melestarikan atau melaksanakan suatu kebiasaankebiasaan yang dimaksud. Misalnya tradisi sadranan, suranan, sekaten, maupun ruwatan. Sedangkan dalam hukum Islam tradisi diistilahkan dengan kata u‟rf yang artinya adat istiadat atau kebiasaan.
55
56
Menurut Budiono Herusatoto secara umum tradisi itu biasanya dimaksudkan untuk menunjukan kepada suatu nilai, norma, dan adat kebiasaan tertentu yang berkembang lama dan berlangsung hingga kini masih diterima, dan diikuti bahkan dipertahankan oleh masyarakat tertentu”. Tradisi diartikan sebagai adat kebiasaan yang dilakukan turun temurun dan masih terus dilakukan dalam masyarakat dan setiap tempat atau daerah atau suku yang berbeda-beda.66 Tradisi merupakan keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun benar-benar masih ada pada masa kini, belum dihancurkan, dirusak, dibuang, atau dilupakan. Menurut Shils tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini”. Tradisi merupakan kebiasaan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara turun-temurun. Kebiasaan yang diwariskan mencakup berbagai nilai budaya yang meliputi adat istiadat dan kepercayaan. 67 Biasanya suatu tradisi dijadikan sebagai perlambang budaya hidup masyarakat sesuai dengan norma hidup dan adat yang melekat. Menurut Ariono Suryono, tradisi adalah suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya dari suatu kebudayaan untuk mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial.68
66
Budiono, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, 9. Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, 70. 68 Ariono, Kamus Antropologi, 413. 67
57
Sependapat dengan pengertian tersebut menurut Van Peursen, Tradisi merupakan pewarisan atau penerusan norma-norma, adat-istiadat, dan kaidahkaidah serta pewarisan harta kekayaan”.69 Pada dasarnya masyarakat pedesaan cenderung lebih erat hubungannnya dengan berbagai macam tradisi yang harus dipertahankan keberadaanya sesuai warisan nenek moyangnya. Apabila masyarakat pedesaan dapat diidentifikasi sebagai masyarakat agraris, maka masyarakat tersebut cenderung tidak berani berspekulasi dengan alternatif yang baru. Kata tradisi banyak mengarah pada hal-hal yang berkaitan dengan kesenian, upacara kepercayaan, pandangan hidup dan lain-lain. Hasil kesenian tradisi merupakan pewarisan yang dilimpahkan oleh masyarakat, dari angkatan tua kepada angkatan muda. Kriteria yang menentukan bagi konsep tradisi adalah bahwa tradisi diciptakan melalui tindakan dan kelakuan manusia melalui pikiran dan imajinasi manusia yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan pengertian tradisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tradisi pada dasarnya telah lama hidup di tengah-tengah masyarakat dan diteruskan secara turun-temurun sebagai suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya dari suatu kebudayaan untuk mengatur tindakan atau perbuatan manusia. Di dalam tradisi “tutus” ini melaksanakan beberapa amalan keagamaan yang pada hakikatnya bernilai ibadah dimana dalam tradisi tersebut
69
Peuesen Van, Strategi Kebudayaan, 1.
58
terdapat beberapa ibadah seperti khotmil qur;an shalawat serta ibadah-ibadah lainnya yang berguna untuk peningkatan keimanan terhadap sang pencipta. Diantaranya yaitu pembacaan manaqib serta doa-doa yang ditujukan kepada sang pencipta. Allah SWT menganjurkan pada hambaNya untuk senantiasa beribadah dan berdoa agar ditunjukkan jalan kebenaran, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 186:
َّْاعًْ ِإ َذاْ َد َعاًًِْفَلٍَسْتَ ِجٍثُىا ٌ ْعثَا ِديْ َعًٌِّْفَئًًِِّْقَ ِس ُ ٌةْأُ ِج َ َْو ِإ َذا ِ ٍةْ َدع َىجَْالد ِ َسأَلَك ُْوى ُ ِلً َولٍُؤ ِهٌُىاْ ِتًْلَ َعلَّهُنٌَْس َ شد Artinya:
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Q.S. Al-Baqarah, 186)
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi tutus merupakan sebuah tradisi yang mengandung nilai-nilai Islam dan tidak bertentangan dengan aturan agama Islam. Tetapi yang dilihat dari sini adalah tradisi tersebut atau kepercayaan terhadap kesialan anak yang mempunyai ciri-ciri tersebut tidak boleh terlalu dipercayai atau untuk menyalahkan takdir tetapi dengan niat syukuran atau tasyakuran atau untuk keselamatan saja dengan membacakan ayat suci al-quran dan amalan lainnya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
59
Karena mereka yang terbiasa dengan pekerjaan berbuat syirik kepada Allah dengan menyediakan piduduk, diancam oleh Allah berupa ancaman tidak akan diberikan ampunan, sebagaimana dengan melakukan perbuatan dosa lainnya selain syirik. Kepada mereka akhlus syirik yang meskipun tanpa sadar telah melakukan kesyirikan karena kejahilannya terhadap ilmu agama, maka tidak ada cara lain yang harus dipilih dan ditempuh kecuali melakukan taubat meminta ampun atas prilaku sesat yang telah dilakukan, karena taubat dapat menghapus segala dosa. karena Allah telah menjanjikannya dalam Al-Qur‟an sesuai dengan yang tercantum dalam surah Az-Zumar ayat 53:70
َّ ََّْللاْإِى َْْللاٌََْغفِ ُس َ يْالَّ ِر َ اْعثَا ِد ِ َّ ٌيْأَس َسفُىاْ َعلَىْأًَفُ ِس ِهن َْلْتَقٌَطُىاْ ِهيْ َّزح َو ِح ِ ٌَْقُل ُّ ْْج ِوٍ ًعاْإًَِّهُْهُ َىْال َغفُى ُزْال َّس ِحٍ ُن َ ىب َ ًُالر
Artinya: “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat
Allah.
Sesungguhnya
Allah
mengampuni
dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.Az-Zumar : 53 ) Sementara, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam telah memberikan kaidah, meniru ritual orang kafir, apapun bentuknya, berarti telah meniru kebiasaan mereka. Dan tindakan ini telah melanggar peringatan dalam hadis 70
Al-Quran, 39 (Az-Zumar): 53.
60
dari Ibnu Umar radhiyallahu „anhuma, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:71
هيْتشثهْتقىمْفهىْهٌهن Artinya: “Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (HR. Abu Daud hadis shahih).
B.
Tradisi “Tutus” dalam Bidang Kependidikan “Tutus” merupakan salah satu kebudayaan masyarakat Jawa khususnya jawa timur yang dalam bahasa jawanya dikenal dengan ruwatan. Menurut Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.72 Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa ruwatan merupakan kebudayaan karena ruwatan adalah suatu gagasan, tindakan dan hasil karya manusia secara bertahap atau melalui pembelajaran. Kebudayaan mempunyai wujud dan unsur kebudayaan. Wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat ada tiga wujud kebudayaan yaitu: pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ideas, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, wujud kebudayaan
71 72
An Nawawi, Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi Juz VII, 13. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT Rineka Cipta,1990), 180.
61
sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama adalah wujud ideas dari kebudayaan. sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya dalam kepala, atau dengan perkataan, dalam pikiran manusia di mana kebudayaan itu hidup.73 Wujud kedua dari kebudayan disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, yang dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu mengikuti polapola tertentu yang berdasarkan adat tata- kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret terjadi di sekeliling kita sehari-hari, dapat diobservasi, didokumentasi dan difoto. Dari wujud kebudayaan yang kedua masyarakat Desa Ragang mempunyai suatu tradisi “Tutus” anak, bersih desa, selametan dari acara kelahiran, perkawinan dan kematian seperti dalam kebudayaan Jawa. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan memerlukan keterangan banyak karena merupakan keseluruhan total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan semua karya manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba atau dilihat dari kreteria tersebut. 73
Ibid., 5.
62
Menurut Koentjaraningrat unsur –unsur universal merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini adalah :74 1. Sistem religi dan upacara keagamaan 2. sistem dan organisasai kemasyarakatan 3. sistem pengetahuan 4. bahasa 5. kesenian 6. sistem mata pencaharian hidup 7. sistem teknologi dan peralatan. Masyarakat Desa Ragang merupakan masyarakat Jawa atau suku Jawa karena merupakan masyarakat tradisional hidup di daerah pedesaan dan bekerja di sektor pertanian. Masyarakat Jawa mempunyai berbagai bentuk kemasyarakatan. Menurut Budiono Herusutoto bentuk-bentuk masyarakat Jawa adalah masyarakat kekeluargaan, masyarakat gotong royong, dan masyarakat berketuhanan, masingmasing dapat dijelaskan sebagai berikut:75 a) Masyarakat kekeluargaan Masyarakat kekeluargaan maksudnya masyarakat yang merupakan satu kesatuan yang lekat terikat satu sama lain oleh ikatan keluarga. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat. Dalam masyarakat kekeluargaan setiap orang dianggap sebagai keluarga sendiri atau saudara dalam istilah jawa biasa
74 75
Ibid., 2. Budiono, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, 38.
63
disebut dengan taretan Dhibik. Taretan dhibik mengandung maksud masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi rasa persaudaraan. Hal tersebut tercermin dalam kehidupan masyarakat Desa Ragang yang kebanyakan petani Cabe dan Padi. Pada saat panen apabila ada orang yang ingin membeli dihargai murah bahkan diberi dengan cuma-cuma karena mereka menganggap saudara. b) Masyarakat gotong royong Masyarakat gotong royong bercirikan hidup tolong menolong, bekerja sama dalam melakukan pekerjaan untuk kepentingan bersama. Gaya hidup tolong menolong ini selalu hidup dalam hati warga masyarakat desa seperti dalam masyarakat Jawa. Dalam masyarakat Jawa setiap laki-laki dalam keluarga mempunyai pekerjaan berat seperti menggarap sawah, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan kompleks makam dan lain sebagainya. Namun biasanya dikerjakan secara bersama-sama dan tolong menolong. c) Masyarakat berketuhanan Masyarakat berketuhanan pada suku Jawa sejak zaman purba mempunyai kepercayaan pada kekuatan besar diluar dirinya (supernatural). Salah satunya yaitu kepercayaan animisme yang berarti mempercayai adanya roh yang menguasai semua benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan juga manusia sendiri.
64
Agama Hindu di Jawa membawa kepercayaan tentang dewa-dewa yang menguasai dunia. Kemudian agama Budha, Islam, Kristen, Khatolik yang masuk ke Jawa, membawa perkembangan bagi masyarakat Jawa dalam berkeyakinan, yaitu yakin kepada Tuhan Yang Maha Esa.