FENOMENA KAWIN SANDHÉK PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DI DESA SOKALELAH KECAMATAN KADUR KABUPATEN PAMEKASAN Suhriyanto dan Moh. Hefni
Jurusan Syari‟ah dan Ekonomi STAIN Pamekasan, Jln. Raya Panglegur km. 04 Pamekasan Email:
[email protected];
[email protected] Abstrak: Pelaksanaan kawin sandhék di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan sangat berbeda dengan pelaksanaan perkawinan pada umumnya karena pelaksanaannya dilakukan di tempat calon pengantin yang ditinggal kabur (laki-laki), hal ini disebabkan oleh tidak adanya persiapan sama sekali dari pihak keluarga calon pengantin esandhék itu (perempuan) karena pemberitahuannya hanya semalam sebelum keesokannya dilaksanakan akad nikahnya. dan dalam pelaksanaan kawin sandhék ini tidak dilakukan lamaran terlebih dahulu karena sangat mendadak. Tujuan dilaksanakannya kawin sandhék Untuk menutupi rasa malu atau aib dari keluarga calon pengantin yang ditinggal kabur oleh pasangannya tanpa ada alasan yang jelas, Untuk menghindari gagalnya perkawinan maka dari itu pihak keluarga mencarikan ganti perempuan di sekitar rumah atau di pondok pesantren; dan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah serta untuk mendapatkan keturunan yang shaleh dan shalehah. Abstract: The implementation of sandhek marriage in Sokalelah village, Kadur- Pamekasan is very different with the implementation of common marriage because it is done in the place of a bride candidate whose the groom fled. Getting the information on the night before the marriage held, there is no preparation at all from the family of the bride. In the implementation of sandhek marriage does not
Fenomena Kawin Sandhék Perpektif Hukum Islam
have marriage proposal (lamaran) first because it is a very sudden event. The purpose of sandhek marriage is to cover up the disgrace from the family of the bride candidate that is left by his couple without any certain reason. So, in order to avoid the failing of marriage then the family look for another groom around her house or in islamic boarding house. Besides, its purpose is to have sakinah, mawaddah warahmah family and to get shaleh and shalehah generation. Kata Kunci: Kawin Sandhék Perspektif Hukum Islam
Pendahuluan Manusia merupakan pribadi yang kompleks, sebagai makhluk individu dia juga sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial dalam menjalani kehidupan sehari-harinya tentu tidak bisa melepaskan diri dari pergaulan dengan lingkungannya. Khususnya dengan sesama manusia, pasti saling mengenal antara satu dengan yang lainnya dan saling membutuhkan, sesuai dengan firman Allah swt. dalam al-Qur’an surat aLHujuraat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.1 Agar jalinan dan pergaulan tersebut dapat berjalan dengan seimbang, teratur dan tertib, maka diperlukan adanya aturan-aturan serta norma-norma tertentu, baik yang berasal dari adat istiadat yang datangnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri maupun yang datangnya dari ajaran dan syari’at Islam, salah satu aturan dan norma yang datangnya dari syari’at Islam ialah perkawinan. Perkawinan merupakan Departemen Agama, al-Qur‟an dan Terjemah (Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 847. 1
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
261
Suhriyanto dan Moh. Hefni
sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhlukNya, baik pada manusia, tumbuhan maupun hewan, ini adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah swt. sebagai jalan bagi makhlukNya untuk berkembangbiak dan melestarikan hidupnya, perkawinan juga dapat diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai fondasi suatu masyarakat baik dan teratur, sebab perkawinan tidak hanya ikatan lahir saja, akan tetapi juga menjadikan ikatan batin. Oleh karena itu perkawinan merupakan ikatan suci dimana kedua belah pihak dihubungkan menjadi suami istri dengan menggunakan nama Allah swt. Dalam masalah perkawinan, agama Islam mengenal adanya asas kerelaan dan kafa’ah antara calon istri dan calon suami. Dengan adanya asas itu jelaslah bahwa dalam agama Islam tidak ada unsur paksaan dan tekanan dari siapapun dalam menentukan calon istri dan calon suami, maka dari itu calon istri dan calon suami telah saling mengetahui, sehingga mereka nanti setelah memasuki kehidupan dalam sebuah rumah tangga tidak terjadi kekecewaan antara mereka yang selanjutnya. Mereka akan membina dan menciptakan kehidupan rumah tangga yang sesuai dengan ajaran dan ketentuan agama Islam. Perkawinan merupakan sesuatu yang sakral, sehingga tidak bisa dianggap sebagai mainan, karena perkawinan merupakan suatu upaya untuk membentuk sebuah rumah tangga yang harmonis dan utuh, dan perkawinan juga sebagai sunnah Rasul, kesakralan perkawinan akan tetap terjaga dan terpelihara baik apabila dibangun atas prinsip-prinsip yang sesusai dengan tujuan dari perkawinan. Tujuan tersebut tidak hanya berguna untuk memberikan jalan yang aman pada naluri seksual saja melainkan pilar utamanya adalah pemenuhan akan kebutuhan rasa kasih sayang, rasa aman dan tentram. Tujuan
262
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
Fenomena Kawin Sandhék Perpektif Hukum Islam
juga tidak hanya demi sahnya hubungan dua jenis kelamin, tetapi sebagai bentuk untuk menjaga kehormatan manusia dan mengikuti perintah Allah swt. untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan tentram. Berbeda halnya dengan perkawinan yang tidak didasari oleh cinta atau perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua masing-masing. Perkawinan yang dilakukan atas dasar perjodohan ini akan membawa malapetaka, baik laki-laki dan perempuan itu sendiri, maupun keturunan mereka. Bahkan bagi masyarakat yang berada di sekeliling mereka. Perjodohan semacam ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri di kalangan keluarga, namun tetap dilakukan karena ada alasan tersendiri bagi kedua belah pihak. Sehingga pada waktu perkawinan itu terjadi atau dilaksanakan, salah satu dari calon pengantin itu kabur sehinga menimbulkan suatu sistem pernikahan yang biasa dikenal dengan istilah “kawin sandhék”. Kawin sandhék ini merupakan suatu perkawinan yang dilakukan karena salah satu pengantin baik laki-laki atau perempuan menghilang atau kabur pada malam perkawinan tanpa ada alasan yang jelas. Sehingga untuk menutupi rasa malu dari pihak keluarga pengantin yang ditinggal, pihak keluarga mencari pengganti untuk menggantikan calon pengantin yang kabur atau hilang dalam waktu yang sangat singkat atau semalam dan dalam melaksanakan kawin sandhék tidak mempertimbangkan kesiapan dari pelakunya. Fenomena inilah yang disebut kawin sandhék. Dan kawin sandhék ini biasanya sering terjadi di pedesaan-pedesaan seperti halnya yang terjadi di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan. Berangkat dari peristiwa tersebut peneliti tertarik untuk meneliti kasus kawin sandhék yang terjadi di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan untuk mengetahui lebih jelas penyebab terjadinya kawin sandhék di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan, dan bagaimana al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
263
Suhriyanto dan Moh. Hefni
pandangan hukum Islam tentang kawin sandhék tersebut. Artikel penelitian ini merupakan upaya untuk menyatakan secara eksplisit pertanyaan-pertanyaan yang hendak dicarikan jawabannya. Fokus penelitian merupakan pertanyaan lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang hendak diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah.2 Berdasarkan paparan di atas maka fokus penelitian sebagai berikut: Pertama, Bagaimana pelaksanaan kawin sandhék di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan?; Kedua, Apa tujuan dilaksanakannya kawin sandhék di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan?; Ketiga, Bagaimana pandangan hukum Islam tentang kawin sandhék di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan? Kawin Sandhék Perspektif Hukum Islam Manusia adalah makhluk Allah swt. yang mempunyai naluri untuk hidup berpasang-pasangan. Seperti yang dijelaskan dalam surat adz-Dzariyat ayat 29: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.3 Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah swt. berpasang-pasangan inilah Allah swt. menciptakan manusia menjadi berkembangbiak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya. Seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 1: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.4
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Edisi Revisi (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press: 2012), hlm. 10. 3 Ibid. hlm. 860. 4 Ibid. hlm. 114. 2
264
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
Fenomena Kawin Sandhék Perpektif Hukum Islam
Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu dengan melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dengan wujud aturan-aturan yang disebut hukum perkawinan dalam Islam. Hukum Islam juga ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan terciptanya keluarga yang sejahtera karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kesejahteraan keluarga. Demikian juga kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup keluarga. Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar tetapi sampai terperinci, yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, karena itu perkawinan sangat dianjurkan oleh Islam bagi orang yang telah mempunyai kemampuan itu dan hal ini dinyatakan baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Seperti yang dijelaskan di dalam hadits Nabi saw.: “Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah yang baik agamanya”.5 Melihat arti umum ayat dan hadits di atas, manusia sama derajatnya hanya taqwalah yang membedakan manusia satu dengan yang lain, bukan seperti kebangsawanan dan kebangsaan ataupun kecantikan. Dengan demikian, sebenarnya Islam menekankan kekufu’an dalam segi agama dengan tujuan mendapat derajat berbahagia dalam rumah tangga. Namun, karena setiap manusia mempunyai keinginan berlainan, sehingga yang terjadi di masyarakat kekufu’an lebih ditekankan pada harta dan kedudukan.
Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari (Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 2005), hlm. 641. 5
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
265
Suhriyanto dan Moh. Hefni
Islam juga menjaga sisi kesetaraan dalam pernikahan, penjagaan ini untuk memelihara kehormatan perempuan supaya tidak dihina, menjaga hak-haknya, meneguhkan ikatan pernikahan, menghilangkan beban-beban rumah tangga yang berat dan untuk menolong mewujudkan rasa kasih sayang antara suami isteri. Maksud syari’at Islam adalah bahwa ikatan perkawinan harus dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bila dilihat dari latar belakang sosial, memungkinkan untuk berkembangnya ikatan kasih sayang. Bila kemungkinan ini tidak ada, maka terjadinya perkawinan diantara kedua orang itu tidak diharapkan. Hal ini menerangkan bahwa perkawinan menurut syari’at Islam telah mengatur kesepadanan atau keseimbangan atau kesamaan derajat diantara calon kedua suami isteri itu. Inilah yang disebut kafa‟ah (kufu‟),6 perkawinan diantara pasangan-pasangan yang tidak sepadan (kufu‟) maka tidak disetujui karena untuk menjaga kemungkinan akan terjadinya perceraian. Sama halnya dengan kawin sandhék yang mana kawin sandhék merupakan perkawinan yang tanpa menjalani penyesuaian terlebih dahulu, akan tetapi langsung melaksanakan perkawinan tanpa memberi kesempatan kepada kedua calon pengantin untuk saling mengenal antara satu dengan yang lainnya. Kawin sandhék adalah perkawinan yang dilakukan karena salah satu calon pengantinnya baik laki-laki atau perempuan kabur atau lari dari rumah tanpa alasan yang jelas, dan untuk menutupi rasa malu atau aib dari pihak keluarga pengantin yang ditinggalkan maka keluarga itu mencarikan gantinya baik dari tetangganya atau minta tolong kepada pengasuh pondok pesantren supaya mencarikan di pondoknya. Perkawinan semacam ini dipandang baik oleh Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia (Jakarta: UI Press, 1988), hlm. 159. 6
266
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
Fenomena Kawin Sandhék Perpektif Hukum Islam
orang Islam selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits dan diperbolehkan dalam Islam. Ketika kawin sandhék dikaitkan dengan al-Qur’an dan alHadits, maka kawin sandhék ini perlu dilakukan jika memang dibutuhkan, mengingat dari segi positifnya. Namun ketika kawin sandhék ini bertentangan dengan alQur’an dan al-Hadits, maka kawin sandhék ini tidak perlu dilakukan. Maksudnya kawin sandhék itu tidak perlu dilakukan jika pelaksanaan perkawinannya tidak sesuai dengan syari’at Islam. Seperti halnya kawin sandhék yang akan mengakibatkan perceraian, karena kawin sandhék ini adalah perkawinan yang tanpa melakukan kafa‟ah dengan calon pengantin pengganti terlebih dahulu dan tanpa adanya peminangan. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif. Istilah penelitian kualitatif kami maksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Contohnya dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, perilaku seseorang, di samping juga peranan organisasi, pergerakan sosial, atau hubungan timbal-balik. Sebagian datanya dapat dihitung sebagaimana data sensus, namun analisisnya bersifat kualitatif.7 Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.8 Penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi kasus, yaitu menyajikan penelitian secara intensif, terinci dan mendalam Anselm Strauss & Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif Tata Langkah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data, terj. Muhammad Shodiq & Imam Muttaqien (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 4. 8 Lexy, J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2011), hlm. 4. 7
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
267
Suhriyanto dan Moh. Hefni
terhadap suatu kajian atas kasus kawin sandhék di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan. Pelaksanaan Kawin Sandhék di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan Dalam perkawinan sandhék yang terjadi di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan ini, kalau dilihat dari masalah pelaksanaannya pastinya ada sebuah perbedaan dengan perkawinan biasa pada umumnya, seperti apa yang telah kita ketahui bersama bahwa pelaksanaan perkawinan biasa terlebih dahulu dilakukan lamaran dan persiapan yang sangat matang dan detail mengenai akad nikah disertai dengan walimatul ursy, terkadang ada yang merayakan besar-besaran dan ada yang sederhana pula. Akan tetapi lain halnya dengan pelaksanaan kawin sandhék, yang mana pelaksanaannya hanya dilaksanakan di salah satu rumah calon pengantin, karena pelaksanaannya mendadak tanpa lamaran dan persiapan dari salah satu calon pengantin yang diminta atau esandhék untuk menjadi calon pengantin dari salah satu calon pengantin yang pasangannya kabur atau menghilang dikarenakan alasannya belum jelas akan tetapi besar kemungkinan karena ketidakcocokan, bukan pilihan sendiri, tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh pengantin yang kabur. Dan dalam kasus yang terjadi di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan, pengantin yang kabur atau menghilang itu biasanya adalah calon pengantin perempuan. Perkawinan sandhék dimaksudkan agar perkawinan tetap dilangsungkan atau dilaksanakan dengan tujuan untuk menutupi rasa malu bagi calon pengantin yang ditinggal kabur. Dan biasanya perkawinan sandhék ini dilaksanakan di pagi atau siang hari sama halnya seperti perkawinan pada umumnya dan dihadiri oleh petugas KUA, tokoh agama (kyai), keluarga, tetangga serta para undangan.
268
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
Fenomena Kawin Sandhék Perpektif Hukum Islam
Hal ini sesuai dengan paparan Siswono selaku pelaku kawin sandhék. “Iya, saya adalah pelaku dari kawin sandhék, saya sudah kawin selama lima tahun dan alhamdulillah sudah dikaruniai satu anak, kalau saya ditanyakan masalah pelaksanaan kawin sandhék tentunya berbeda dengan perkawinan biasa, bedanya adalah kalau kawin sandhék tidak ada persiapan dari keluarga isteri saya. Karena pertama saya tidak akan menikah dengan isteri saya yang sekarang, namun karena calon isteri saya kabur, makanya keluarga saya meminta tokoh masyarakat (kyai) untuk mencarikan calon istri untuk saya sebagai pengganti dari calon istri saya yang kabur di dekat-dekat rumah atau tetangga dengan cara mendatangi keluarganya. Akan tetapi kalau di dekat rumah tidak ada yang mau biasanya tokoh masyarakat (kyai) itu mencarikan di pondok-pondok pesantren ”.9 Peneliti mewawancarai lebih dalam kepada pelaku kawin sandhék (Siswono) alasan kemungkinan calon istrinya itu kabur: “Saya itu bingung dek, kenapa calon isteri saya itu kabur. Tapi yang saya ketahui dia itu memang sudah dari dulu tidak mau menjadi calon pendamping saya, tapi saya terus mempertahankan karena saya berharap siapa tahu nantinya dia mau menjadi isteri saya. Tapi pada kenyataannya dia tetap tidak mau malah dia memilih kabur di waktu perkawinan. Mungkin karena dia merasa tidak cocok atau tidak sesuai atau bahkan saya tidak termasuk kriterianya. Ya sudahlah mungkin itu yang terbaik buat saya”.10
Siswono (Pelaku Kawin Sandhék), Wawancara Langsung (02 April 2013 Pukul 15.00 WIB). 10 Siswono (Pelaku Kawin Sandhék), Wawancara Langsung (02 April 2013 Pukul 15.00 WIB). 9
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
269
Suhriyanto dan Moh. Hefni
Kemudian untuk mendapatkan data yang lebih valid, peneliti juga mewawancarai Nur selaku isteri dari Siswono atau perempuan yang diminta atau esandhék untuk menikah dengan Siwono. ”Pertama saya tidak pernah menyangka bahwa saya akan menikah dengan Siswono orang yang belum saya kenal sebelumnya dan saya tidak menyangka bahwa saya akan menikah mendadak tanpa ada lamaran dan persiapan apaapa dari keluarga suami saya. Saya mengetahui bahwa saya akan menikah pada malam harinya, sebelum besoknya saya akan menikah kira-kira jam 23.00 WIB. „Kan dulunya saya mondok di salah satu pesantren yang ada di Kecamatan Kadur tepatnya di candhénah, kira-kira jam 23.00 WIB saya dipanggil oleh pak kyai, saya diminta untuk menikah dengan seorang laki-laki yag ditinggal kabur oleh calon isterinya, karena saya menghormati kyai saya, akhirnya saya hanya menuruti permintaan Beliau, walaupun saya merasa terpaksa, soalnya pada waktu itu saya masih belum siap untuk menikah, tapi dengan Bismillah saya melangkah ke kehidupan yang baru”.11 Berdasarkan paparan dari pelaku kawin sandhék di atas, ternyata pelaksanaan kawin sandhék memang tidak sama dengan perkawinan biasa pada umumnya, karena perkawinan ini dilaksanakan tanpa ada lamaran dan persiapan dari calon pengantin yang diminta atau esandhék untuk menikah dikarenakan serba mendadak. Dan alasan kaburnya calon pengantin yang kabur itu masih belum jelas tetapi kemungkinan karena ketidakcocokan, bukan pilihan sendiri, dan bukan kriterianya. Hal ini senada dengan apa yang dipaparkan Madsirat bapak dari Nur (selaku orang yang esandhék atau diminta untuk kawin dengan Siswono) yang peneliti temui di rumahnya. Nur (Pelaku Kawin Sandhék), Wawancara Langsung (02 April 2013 Pukul 15.00 WIB). 11
270
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
Fenomena Kawin Sandhék Perpektif Hukum Islam
“Aduh nak, kalau pernikahan anak saya dulu tanpa ada persiapan sama sekali karena saya sebagai bapaknya tidak pernah menyangka bahwa anak saya akan menikah secara mendadak, hanya waktu tengah malam saya didatangi oleh pak kyai untuk meminta persetujuan kepada saya dan ibunya bahwa anak saya akan dikawinkan dengan Siswono (calon pengantin yang ditinggal kabur oleh calon pengantin perempuannya) dan perkawinan anak saya akan dilaksanakan besok dan saya harus menjadi walinya untuk mengawinkan anak saya, pada waktu itu saya hanya menanyakan kepada pak kyai apakah anak saya mau apa tidak, Beliau bilang bahwasanya anak saya mau, maka saya juga menyetujui dan merestui dengan harapan bisa menjadi keluarga yang sakinah mawaddah. Karena saya tidak tahu kalau pada waktu itu anak saya akan menikah maka saya tidak ada persipan sama sekali hanya saja keluarga calon pengantin laki-laki yang menyiapkan dan diadakan disana”.12 Dari pernyataan yang dipaparkan oleh bapak Madsirat semakin memperjelas bahwa waktu pelaksanaan perkawinan sandhék tidak memerlukan persiapan dari calon pengantin perempuan yang esandhék atau diminta untuk dikawinkan. Karena pemberitahuannya sangat mendadak, sehingga sangat mustahil untuk mempersiapkan semuanya, makanya perkawinannya dilaksanakan di rumah calon pengantin lakilaki. Mengenai hal tersebut, sama dengan apa yang dipaparkan oleh bapak Mansyur pelaku kawin sandhék yang saat peneliti temui di rumahnya. “Kalau dulu pada waktu saya melaksanakan kawin sandhék memang dilaksanakan di rumah saya dek, karena kan di rumah isteri saya tidak mempunyai persiapan untuk perkawinan saya dan isteri saya, karena Madsirat (Pelaku Kawin Sandhék), Wawancara Langsung (03 April 2013 Pukul 08.30 WIB) 12
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
271
Suhriyanto dan Moh. Hefni
pemberitahuannya pada malam hari sebelum pelaksanaan perkawinan tersebut, kalau di rumah saya „kan memang sudah menyiapkan segalanya akan tetapi calon isteri saya kabur, makanya dicarikan pengganti oleh tokoh masyarakat untuk di kawinkan sandhék dengan saya”.13 Berdasarkan pemaparan dari bapak Mansyur (pelaku kawin sandhék) tersebut, bahwa persiapan untuk pelaksanaan perkawinan ini tidak dilakukan oleh keluarga pengantin perempuan karena waktunya yang serba mendadak. Mengenai pemaparan dari bapak Mansyur di atas, serupa dengan apa yang dikatakan oleh bapak Suhaimi selaku kepala dusun Rongrongan di Desa Sokalelah yang peneliti temui di rumahnya. “Kalau dikasus yang terjadi di sini biasanya perkawinan sandhék itu memang diadakan dirumah laki-laki karena calon pengantin perempuan yang esandhék, jadi dari pihak perempuan tidak bisa mempersiapkan pelaksanaan perkawinan dalam waktu yang sesingkat itu”.14 Dari pemaparan bapak Suhaimi (aparat desa) membuat peneliti tambah yakin dan membenarkan perkataan dari bapak Mansyur selaku pelaku kawin sandhék ketika peneliti temui di rumahnya, bahwasanya tidak ada persiapan bagi calon pengantin perempuan yang diminta kawin dengan calon pengantin laki-laki yang calon pengantinnya kabur. Berdasarkan pemaparan dari semua pihak yang diwawancarai oleh peneliti, maka peneliti bertamu lagi ke rumah bapak Mansyur untuk mewawancarai istrinya yaitu Hariseh selaku wanita yang mengalami kawin sandhék, yang mana paparan Hariseh sama halnya dengan apa yang dipaparkan oleh semua informan yang peneliti wawancarai. Mansyur (Pelaku Kawin Sandhék), Wawancara Langsung (04 April 2013 Pukul 12.00 WIB) 14 Suhaimi (Aparat Desa Sokalelah), Wawancara Langsung (05 April 2013 Pukul 19.30 WIB) 13
272
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
Fenomena Kawin Sandhék Perpektif Hukum Islam
“Dulunya saya tidak tahu bahwa perkawinan yang dilaksanakan dengan suami saya itu disebut kawin sandhék, yang saya tahu hanya saya menikah mendadak dengan seorang laki-laki yang yang belum saya kenal sebelumnya karena permintaan dari orang tua saya, tapi alhamdulillah keluarga saya sampai sekarang rukun, awet dan tentram, saya juga bahagia hidup dengan suami saya, walaupun dulunya saya tidak mengenal dia, mungkin ini sudah jodoh dan jalan yang diberikan Allah swt. untuk saya”15 Ternyata dari keterangan di atas dapat memperjelas pemaparan dari semua yang peneliti teliti, karena Hariseh memaparkan bahwa dia kawin dengan laki-laki yang belum dia kenal sebelumnya, disebabkan perkawinannya mendadak. Walaupun pertamanya Hariseh sendiri tidak suka karena belum kenal dengan laki-laki yang dikawinkan akan tetapi pada akhirnya keluarga yang dibina oleh Hariseh kekal dan bahagia hingga awet sampai sekarang dan sudah dikaruniai dua anak. Berdasarkan paparan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan perkawinan sandhék tidak sama dengan pelaksanaan perkawinan pada umumnya. Seperti apa yang telah kita ketahui bersama bahwa pelaksanaan perkawinan lazimnya terlebih dahulu diawali dengan lamaran dan persiapan yang sangat matang dan detail mengenai akad nikah yang disertai dengan walimatul ursy, terkadang ada yang merayakan besar-besaran dan ada yang sederhana pula, akan tetapi lain halnya dengan pelaksanaan kawin sandhék yang mana pelaksanaannya hanya dilaksanakan di salah satu rumah calon pengantin, dikarenakan pelaksanaannya mendadak tanpa ada lamaran dan juga tidak ada persiapan dari salah satu calon pengantin yang diminta atau esandhék untuk menjadi calon pengantin dari salah satu calon pengantin yang pasangannya kabur atau menghilang, yang mana alasannya masih belum Hariseh (Pelaku Kawin Sandhék), Wawancara Langsung (07 April 2013 Pukul 14.30 WIB) 15
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
273
Suhriyanto dan Moh. Hefni
jelas, tetapi kemungkinan karena ketidakcocokan, bukan pilihan sendiri, dan bukan kriterianya. Dan dalam kasus yang terjadi di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan, pengantin yang kabur atau menghilang itu biasanya adalah calon pengantin perempuan. Perkawinan sandhék dimaksudkan agar perkawinan tetap dilangsungkan atau dilaksanakan dengan tujuan untuk menutupi rasa malu bagi calon pengantin yang ditinggal kabur. Dan biasanya perkawinan sandhék ini dilaksanakan di pagi atau siang hari sama halnya seperti perkawinan pada umumnya dan dihadiri oleh petugas KUA, tokoh agama (kyai), keluarga, tetangga serta para undangan. Tujuan Dilaksanakannya Kawin Sandhék di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan Kawin sandhék merupakan suatu perkawinan yang dilaksanakan dengan upaya untuk mengurangi rasa malu keluarga calon pengantin yang ditinggal kabur atau menghindari gagalnya suatu acara perkawinan dikarenakan salah satu calon pengantinnya kabur tanpa ada alasan yang jelas dengan cara meminta bantuan tokoh agama (kyai) mencarikan penggantinya baik di sekitar rumah atau biasanya di pondokpondok pesantren. Kawin sandhék ini biasa terjadi di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan. Hal ini terjadi dikarenakan pada malam sebelum pelaksanaan ijab qabul (perkawinan) salah satu calon pengantinnya menghilang atau kabur, maka dari itu, untuk menutupi aib atau malu dari pihak keluarga calon pengantin yang ditinggal kabur biasanya pihak keluarga korban enyandhék agi orang lain untuk dijadikan pengganti pengantin yang kabur tersebut. Tujuan dilaksanakannya kawin sandhék ini dianggap sangat perlu, karena dengan dilaksanakannya kawin sandhék diharapkan akan mengurangi rasa malu dan pastinya biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit dari keluarga calon pengantin yang ditinggal kabur oleh pasangannya.
274
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
Fenomena Kawin Sandhék Perpektif Hukum Islam
Sebagaimana yang dituturkan oleh Bapak Han selaku orang tua dari Siswono. Beliau menuturkan bahwa: “Perkawinan sandhék ini sangatlah penting, karena dengan dilaksanakannya kawin sandhék bisa membantu para orang tua khususnya saya selaku orang tua dari Siswono, dan orang tua yang mempunyai kasus seperti anak saya. Pas waktu saya mendengar kabar kalau calon isteri anak saya kabur, saya merasa (talkah dedeh reah cong), pikiran saya sudah tidak karuan, selain saya juga kasian kepada anak saya, saya juga merasa malu pada masyarakat khususnya para undangan dan tetangga. Tapi alhamdulillah akhirnya anak saya menemukan jodohnya juga walaupun caranya kawin sperti ini”.16 Juga seperti yang dituturkan tokoh masyarakat (kyai) Zainal Fatah: “Saya pikir perkawinan seperti ini sangat perlu untuk dilaksanakan ketika ada kasus atau kejadian seorang pengantin yang ditinggal kabur oleh calon pengantinnya dan perkawinan semacam ini juga cukup membantu mengurangi rasa malu dari keluarga yang ditinggal kabur oleh calon pengantinnya”.17 Hal serupa juga diungkapkan oleh Siswono selaku pelaku kawin sandhék: “Saya sangat bersyukur dengan dilaksanakannya kawin sandhék karena hal itu bisa mengurangi rasa malu dari keluarga saya, alangkah hancurnya hati orang tua saya kalau tidak dilaksanakannya perkawinan semacam itu, selain itu saya juga takut orang tua saya kenapa-napa karena selain malu pastinya sudah banyak biaya yang
Han (Orang Tua Pelaku Kawin Sandhék), Wawancara Langsung (03 April 2013 Pukul 09.00 WIB). 17 Zainal Fatah (Tokoh Masyarakat), Wawancara Langsung (08 April 2013 Pukul 16.30 WIB). 16
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
275
Suhriyanto dan Moh. Hefni
dikeluarkan oleh keluarga saya untuk biaya perkawinan saya”.18 Berdasarkan pemaparan dari semua yang diwawancarai oleh peneliti, maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa tujuan dilaksanakannya kawin sandhék untuk mengurangi rasa malu dari pihak keluarga yang ditinggal kabur oleh calonnya tanpa ada alasan yang jelas. Kawin sandhék juga bertujuan untuk menghindari gagalnya perkawinan bagi calon pengantin yang ditinggal kabur, karena dengan dilaksanakannya kawin sandhék ini bisa membantu korban untuk tetap menikah dan tidak menggagalkan pernikahannya, sebagaimana yang dituturkan oleh Mansyur selaku pelaku kawin sandhék berikut: “Kalau saya ingat dulu, ketika calon isteri saya kabur, sungguh saya merasa putus asa dan seperti tidak punya harapan lagi, karena selain memikirkan rasa malu, saya juga berpikir bahwa perkawinan saya akan gagal dilaksanakan, tapi berkat usaha dari keluarga saya dan saudara-saudara saya, akhirnya saya enyandhék agi pengganti calon isteri saya yang kabur, dan perkawinan saya akhirnya dapat dilaksanakan”.19 Seperti halnya yang dituturkan oleh Sahrawi sebagai berikut: “Dulu pas saya mendengar bahwa calon isterinya Mansyur ini kabur saya merasa sangat kasian sekali, karena saya pikir perkawinannya akan gagal. Akan tetapi dari keluarga Mansyur langsung mencarikan penggantinya atau enyandhék agi sampai menemukan calon isteri yang mau dengan Mansyur, akhirnya
Siwono (Pelaku Kawin Sandhék), Wawancara Langsung (02 April 2013 Pukul 15.00 WIB). 19 Mansyur (Pelaku Kawin Sandhék), Wawancara Langsung (04 April 2013 Pukul 12.00 WIB). 18
276
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
Fenomena Kawin Sandhék Perpektif Hukum Islam
perkawinannya bisa dilaksanakan, walaupun dengan cara calonnya enyandhék agi”.20 Selain itu Hariseh selaku orang yang esandhék untuk menjadi istri Mansyur juga menuturkan sebagai berikut: “Pertamanya ketika saya tahu kalau saya diminta menikah, saya sangat terkejut dan saya tidak bisa berpikir apa-apa. Ketika saya mendengarkan ceritanya kalau orang yang mau dinikahkan dengan saya ini mempunyai masalah yang seperti itu maka saya pun merasa kasian dan pada waktu itu saya hanya berpikir kalau saya yang berada di posisi orang tersebut gimana perasaannya. Karena saya juga berpikir bagaimana kalau perkawinannya gagal, karena alasan itulah saya menerima untuk menikah walaupun saya belum kenal betul dengan orang tersebut, dan alhamdulillah perkawinan saya langgeng sampai sekarang”.21 Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti bisa mengetahui bahwa kawin sandhék dilaksanakan untuk menghindari gagalnya perkawinan bagi calon pengantin yang ditinggal kabur oleh pasangannya. Kawin sandhék yang terjadi di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan ini juga bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah, dan untuk memperoleh keturunan, karena dengan dilaksanakannya kawin sandhék maka pelaku dari kawin sandhék bisa membina keluarga yang harmonis, sebab sebelum mereka menikah mereka belum mengenal karakteristik masing-masing maka hal itu yang akan menjadi tantangan dalam membangun rumah tangga yang harmonis dan mempunyai keturunan sholeh dan sholehah serta hal itu merupakan tujuan dari setiap orang.
Sahrawi (Tetangga dari Pelaku Kawin Sandhék), Wawancara Langsung (09 April 2013 Pukul 18.30 WIB). 21 Hariseh (Pelaku Kawin Sandhék), Wawancara Langsung (07 April 2013 Pukul 14.30 WIB). 20
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
277
Suhriyanto dan Moh. Hefni
Seperti yang dituturkan oleh Ustadz Saheri yang peneliti temui di rumahnya: “Sebenarnya tujuan dilaksanakannya kawin yang semacam ini untuk mendapatkan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah, karena mereka belum mengerti sifat dari masing-masing pasangannya, sehingga pasangan tersebut harus saling mengerti antara satu dengan yang lainnya, karena dengan begitu akan terciptalah keluarga yang harmonis ”.22 Hal ini juga diungkapkan oleh Suhaimi selaku Kepala Dusun sebagai berikut: “Dengan dilaksanakannya perkawinan ini tujuan hidup bisa tercapai, karena tujuan hidup itu sendiri adalah untuk mendapatkan keluarga dan untuk mendapatkan keturunan yang berguna bagi agama dan bangsa”.23 Dari paparan diatas bisa disimpulkan bahwa pelaksanaan kawin sandhék di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah dan mendapatkan keturunan yang baik. Temuan Penelitian dan Pembahasan Pertama, Pelaksanaan kawin sandhék ini tidak seperti pelaksanaan perkawinan pada biasanya, yang mana kalau perkawinan umumnya terlebih dahulu dilakukan peminangan sedangkan kawin sandhék tidak ada peminangan (khitbah) terlebih dahulu, dikarenakan waktunya yang mendadak; Kedua, Sebagaimana yang diwawancarai oleh peneliti yang menyatakan bahwa pelaksanaan kawin sandhék tidak ada persiapan sama sekali dari calon pengantin pengganti atau Ustadz Saheri (Tokoh Masyarakat), Wawancara Langsung (10 April 2013 Pukul 13.00 WIB). 23 Suhaimi (Aparat Desa Sokalelah), Wawancara Langsung (05 April 2013 Pukul 19.30 WIB). 22
278
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
Fenomena Kawin Sandhék Perpektif Hukum Islam
calon pengantin yang esandhék karena pemberitahuannya hanya semalam sebelum keesokannya pelaksanaan akad nikah. Dan pada kasusnya calon pengantin pengganti dalam kawin sandhék itu merasa terpaksa untuk melaksanakan perkawinan tersebut. Akan tetapi, karena rasa hormatnya kepada orang tua atau pengasuh pondok maka walaupun merasa terpaksa akhirnya dia mau untuk kawin sandhék; Ketiga, Salah satu pelaku (pelaku yang diminta menjadi calon pengantin pengganti) menyatakan bahwa pelaksanaan kawin sandhék dilakukan tanpa adanya penyesuaian antara calon suami dan calon isteri atau yang biasa disebut dengan kafa‟ah. Kafa‟ah di sini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan ketidakharmonisan antara calon suami dan calon isteri nanti setelah menikah dan perkawinannya dilakukan di tempat calon pengantin yang ditinggal kabur oleh pasangannya. Tujuan dilaksanakannya kawin sandhék menurut masyarakat: Pertama, Untuk menutupi aib keluarga atau rasa malu dari calon pengantin yang ditinggal kabur oleh pasangannya; Kedua, Untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah seperti yang dijelaskan dalam surat alRuum ayat 21: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.24 Menurut Quraish Shihab, kata sakana berarti diam/tenang sesuatu setelah bergejolak. Sakana karena perkawinan adalah ketenangan yang dinamis, yaitu ketenangan psikologis seseorang setelah menjalani kehidupan berumah tangga. Seseorang yang belum kawin/hidup sendiri akan menjadi tenang setelah menemukan pasangannya dan hidupnya dalam sebuah keluarga. Menurut Miftah Farid, sakana 24
Departemen Agama, al-Qur‟an dan Terjemahan, hlm. 644. al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
279
Suhriyanto dan Moh. Hefni
digunakan al-Qur’an (surat ar-Ruum [30]:21 tersebut) untuk menggambarkan kenyataan nyaman dan tenang sehingga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya cinta kasih (mawaddah warahmah) diantara sesama anggotanya.25 Untuk mendapatkan keturunan yang sholeh dan sholehah adalah agar umat Islam di kemudian hari menjadi umat yang banyak dan tentu saja yang berkualitas. Hal ini sesuai dengan peringatan pada ayat alQur’an agar tidak meninggalkan generasi yang lemah, ayat tersebut tercantum di dalam al-Qur’an surat an-Nisaa’ ayat 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.26 Pelaksanaan kawin sandhék yang terjadi di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan tidak seperti pelaksanaan perkawinan pada biasanya, yang mana dalam sebuah perkawinan biasanya diadakan peminangan atau khitbah terlebih dahulu, sedangkan dalam kawin sandhék tidak ada peminangan. Padahal peminangan itu sendiri berfungsi sebagai pemberitahuan keinginan untuk menikahi seorang wanita kepada walinya, baik disampaikan secara langsung (oleh laki-laki yang meminang) maupun melalui perantara pihak lain.27 Dengan demikian, disyari’atkan peminangan sebenarnya dalam rangka mempersiapkan perkawinan yang tidak saja sah menurut syari’at Islam, tetapi juga akan membawa kebahagiaan bagi kedua pasangan dan keluarga, karena dengan peminangan mereka bisa saling memahami keadaan masing-masing, terutama identitas diri dan kepribadiannya, sehingga dapat memperkokoh keserasian berumah tangga. Atas dasar itulah Rasulullah saw. bersabda yang artinya: “Apabila seorang diantara Siti Musawwamah, Hukum Perkawinan, hlm. 6. Departemen Agama, al-Qur‟an dan Terjemahan, hlm. 116. 27 Siti Musawwamah, Hukum Perkawinan, hlm. 80. 25 26
280
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
Fenomena Kawin Sandhék Perpektif Hukum Islam
kamu meminang seorang perempuan, jika ia dapat, maka ia dapat melihatnya apa yang dapat mendorongnya untuk menikahi, maka laksanakan”.28 Pada dasarnya kawin sandhék ini bertujuan untuk menutupi aib keluarga atau rasa malu dari calon pengantin yang ditinggal kabur oleh pasangannya, sehingga dengan adanya kawin sandhék akan tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah dan untuk mendapatkan keturunan yang sholeh dan sholehah. Namun pada kenyataannya perempuan yang esandhék atau perempuan yang diminta kawin dengan calon pengantin yang pasangannya kabur merasa terpaksa untuk dijadikan sebagai pengganti akan tetapi karena kehendak orang tuanya atau pengasuh pondok maka dia hanya pasrah dan tunduk sebagai rasa hormatnya sebagai anak sekaligus sebagai santri. Walaupun merasa terpaksa namun perkawinan tetap sah seperti yang dijelaskan dalam kitab Fathul Mu‟in bahwa pernikahan yang dilakukan tanpa meminta persetujuan dari anak gadisnya, pernikahan tersebut dianggap sah menurut pendapat yang kuat. Sesuai dalam buku “Fathul Mu‟in”, dinyatakan bahwa wali dapat memaksa anaknya untuk kawin. “Andai kata seorang wali mujbir (yang berhak memaksa kawin) mengakui adanya pernikahan dengan lelaki yang seimbang, maka pengakuannya itu dapat diterima, sekalipun dari pihak anak perempuan yang dikawinkan itu menyangkal. Karena orang yang memiliki hak berhak pula memiliki pengakuan, lain halnya dengan selain dia (yakni selain wali mujbir)”.29 Pemaksaan dalam kawin sandhek ini tetap boleh dan sah sesuai dengan pendapat para ulama’. Berdasarkan hadits di atas, bahwa yang mempunyai kewenangan untuk menikahkan anaknya secara paksa adalah ayah kandungnya. Maka dari itu Imam Syafi’I menetapkan hak ijbar atas seorang wali karena Ibid. hlm. 80. Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Terjemahan Fathul Mu‟in Jilid 2 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2005), hlm. 1225. 28 29
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
281
Suhriyanto dan Moh. Hefni
dasar kasih sayang terhadap puterinya, bukan karena hal lain yang punya tujuan tertentu yang hanya membuat kehidupan puterinya rumit. Penetapan Imam Syafi’I membuat batasanbatasan mengenai kebolehan bagi seorang wali untuk menikahkan anak gadis tanpa meminta persetujuan darinya harus memenuhi tujuh syarat, diantaranya: (1) Antara ayah dan puterinya secara lahir tidak ada permusuhan; (2) Ayah menikahkan puterinya dengan laki-laki yang sekufu‟; (3) Menikahkan puterinya sesuai dengan mahar mitsilnya; (4) Maskawin yang digunakan adalah mata uang negara tersebut; (5) Calon suami tidak termasuk orang yang kesulitan membayar maskawin; (6) Ayah tidak menikahkan dengan orang yang bisa menimbulkan dampak buruk bagi puterinya, misalnya dinikahkan dengan orang yang tuna netra atau orang pikun; (7) Ayah tidak mewajibkan puterinya berhaji, karena seorang suami kadang melarang isterinya berhaji sebab kewajiban haji bersifat longgar. Wanita yang menjadi puterinya mempunyai hak untuk menyegerakan kebebasan tanggung jawabnya.30 Pada kenyataannya menurut salah satu perempuan yang esandhék atau perempuan yang diminta kawin dengan calon pengantin yang pasangannya kabur itu tidak mau karena perempuan tersebut masih belum kenal dan masih belum tahu sifat-sifatnya dan tidak mengenal sama sekali dengan calon pengantin laki-lakinya, takutnya sesuatu yang tidak diinginkan akan menjadi masalah dalam keluarganya seperti perceraian karena antara calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan tidak menjalani kafa‟ah terlebih dahulu, tapi menurut Imam Malik, unsur yang menjadi ukuran kesekufu‟an hanyalah takwa, kesalehan dan tidak mempunyai cacat (aib). Ulama’ Hanafiah menetapkan 6 unsur kesekufu‟an, yaitu: keturunan (nasab), agama (din), kemerdekaan (al-hurriyah), harta (al-mal), kekuatan moral (diyanah), dan pekerjaan (hirkah). Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟I Juz 2 (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 461-462. 30
282
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
Fenomena Kawin Sandhék Perpektif Hukum Islam
Madzab Syafi’I mepunyai pendapat yang hampir sama dengan Hanifah dengan sedikit pengurangan dan penambahan. Syafi’iyah menambahkan, bahwa calon suami tidak mempunyai cacat dan menekankan pada unsur kemerdekaan, tetapi tidak menjadikan kekayaan sebagai kualifikasi kafa‟ah.31 Dari beberapa kualifikasi unsur kafa‟ah yang ditetapkan para Fuqaha’ tersebut hanya ada satu kualifikasi yang disepakati, yaitu kualifikasi kemantapan agama (al-din). Kualifikasi ini merujuk pada hadits Nabi saw. yang artinya: “Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah yang baik agamanya”.32 Penutup Dari keseluruhan pembahasan yang terdapat dalam penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Pelaksanaan kawin sandhék di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan dilatarbelakangi oleh kaburnya salah satu calon pengantin tanpa diketahui alasan yang jelas, dan dalam kasus yang terjadi di desa ini biasanya yang kabur adalah pengantin perempuannya. Pelaksanaan kawin sandhék di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan ini berbeda dengan pelaksanaan perkawinan pada umumnya karena dalam perkawinan sandhék ini tidak ada lamaran dan tidak ada juga persiapan sama sekali dari calon pengantin yang enyandhék agi itu karena pelaksanaannya sangat mendadak dan biasanya perkawinan sandhék ini dilaksanakan di keluarga calon pengantin yang ditinggal kabur oleh pasangan. Kedua, Tujuan dilaksanakannya kawin sandhék di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan adalah: (1) Untuk menutupi aib atau malu dari pihak keluarga calon pengantin yang ditinggal kabur; (2) Untuk menghindari 31 32
Siti Musawwamah, Hukum Perkawinan, hlm. 42. Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, hlm. 641. al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
283
Suhriyanto dan Moh. Hefni
gagalnya perkawinan bagi calon pengantin yang ditinggal kabur; (3) Untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah, dan untuk memperoleh keturunan. Pandangan hukum Islam tentang kasus kawin sandhék di Desa Sokalelah Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan boleh atau sah dilaksanakan, karena sudah mempenuhi syarat dan rukun perkawinan. Walaupun dalam perkawinan sandhék calon pengantin penggantinya (yang esandhék) merasa terpaksa akan tetapi pemaksaan dalam kawin sandhék ini tetap boleh dan sah sesuai dengan pendapat para ulama’ dan memenuhi ketiga syarat. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta, 2010. Bakry, Hasbullah. Pedoman Islam di Indonesia. Jakarta: UI Press, 1988. Buna’I. Buku Ajar Metodologi Penelitian Pendidikan. Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2006. Fannani al-, Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari. Terjemahan Fathul Mu‟in Jilid 2. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2005. Fauzan al-, Saleh. Fiqih Sehari-hari. Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 2005. Huda, Miftahul. Kawin Paksa: Ijbar Nikah dan Hak-hak Reproduksi Perempuan. Ponorogo: STAIN Press, 2009. Jamali, Abdul. Hukum Islam. Bandung: Mandar Maju, 1997. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Nuansa Aulia, 2012. Moleong, Lexy, J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2011. Musawwamah, Siti. Hukum Perkawinan. Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2010. Nuruddin, Amir. Hukum Perdata Islam. Jakarta: Kencana, 2004. Saebani, Beni, Ahmad. Fiqh Munakahat 1. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
284
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
Fenomena Kawin Sandhék Perpektif Hukum Islam
Schacht, Joseph. Pengantar Hukum Islam. Bandung: NUANSA, 2010. Shomad, Abd. Hukum Islam. Jakarta: PRENADA MEDIA GROUP,tt. Strauss, Anselm, dan Juliet Corbin. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif Tata Langkah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data, terj. Muhammad Shodiq & Imam Muttaqien. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2012. Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: PRENADA MEDIA, 2003. Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Edisi Revisi. Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2012. Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Pernikahan. Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986. Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi‟I Juz 2. Jakarta: Almahira, 2010.
al-Ihkâm, V o l . 9 N o . 2 D e s e m b e r 2 0 1 4
285