FENOMENA MITOS LARANGAN PERNIKAHAN DI DESA JETIS DAN DESA ROGOMULYO KECAMATAN KALIWUNGU KABUPATEN SEMARANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh: Khoirun Nasir 21111038
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2016
1
2
3
4
‘Motto
“Kebenaran dan kebaikan itu berbeda, Kebenaran muncul dari hati Sedangkan kebaikan muncul dari akal pikiran”
5
PERSEMBAHAN Dalam skripsi ini penulis persembahkan kepada pihak-pihak yang penulis anggap mempunyai peranan penting: 1. Untuk Zuni Rara Handayani yang selalu menemani siang malam dan tanpa henti selalu memberikan semangat untuk terselesainya skripsi ini, kau adalah anugrah terindah dalam hidupku. Trimakasih sayang, 2. Bapak Sigit Suwarno, Ibu Kamyati, Bapak Bakiri, Ibu Kusniatun serta Bapak Yatimin dan Ibu Sriyatun, terima kasih yang sangat mendalam saya persembahkan kepada bapak ibu sekalian karena bapak ibu lah saya bisa seperti ini. 3. Yang tidak mungkin saya lupakan, untuk Bapak Drs. Mubasirun, M.Ag. yang telah memberikan pengarahan, semangat dan bimbingannya hingga terselesainya skripsi ini. Serta semua dosen IAIN Salatiga yang telah memberikan pengetahuan,,, 4. Untuk semua makhluk Tuhan yang ada di dunia ini. Inilah karyaku satu setengah tahun……
6
KATA PENGANTAR
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Bismillahirrahmaanirahiim Alhamdulillahi robbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq serta inayah-Nya yang tiada terhingga sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan judul “Fenomena Mitos Larangan Pernikahan di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang Dalam Perspektif Hukum Islam”. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta para pengikutnya yang setia, beliaulah utusan Allah di bumi ini untuk membimbing umat manusia dari zaman jahiliyah sampai pada zaman modern sekarang ini. Alhamdulillah berkat kerja keras penulis skripsi ini dapat terselesaikan tanpa ada halangan. Tentunya dalam penulisan ini tidak akan terselesaikan dengan sempurna tannpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: Bpk. Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku rektor IAIN Salatiga. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah. Bpk. Sukron Makmun, S.HI.,M.Hi. selaku ketua fakultas syari’ah. Bpk. Drs. Mubasirun, M.Ag. selaku pembimbing yang selalu setia dan dengah penuh kesabaran memberikan pengarahan serta bimbingannya untuk selesainya skripsi ini. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah banyak memberikan bekal keilmuannya kepada penulis. Orang tua tercinta beserta seluruh keluarga yang telah memberikan bantuan dan dukungannya, baik dari segi materiil maupun moril. Semua mahasiswa IAIN Salatiga yang telah selalu setia menemani mulai dari awal hingga akhir kuliah penulis. Serta pihak-pihak lain yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu. Penulisan skripsi ini pastinya masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun dan dapat memperbaiki penulisan skripsi di masa mendatang. Akhirul kalam, semoga hasil penulisan ini bermanfaat bagi penulis khususnya serta bagi para pembaca pada umumnya. Amin ya Robbal Alamin.
Salatiga, 26 Januari 2016
Khoirun Nasir
7
ABSTRAK NASIR, KHOIRUN. FENOMENA MITOS LARANGAN PERNIKAHAN DI DESA JETIS DAN DESA ROGOMULYO KECAMATAN KALIWUNGU KABUPATEN SEMARANG. Skripsi. Sarjana Fakultas Syariah Progdi Ahwal al-Syakhshsiyyah IAIN Salatiga,2016 Drs. H. Mubasirun, M.Ag. Kata Kunci: Mitos, Larangan, Pernikahan, Hukum Islam. Penelitian ini berusaha mengungkap tentang mitos larangan pernikahan yang terjadi di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Islam tidak menerangkan dalam al-Qur’an ataupun Hadist mengenai masalah mitos secara pasti. Berangkat dari hal tersebut penulis membahas pada tiga fokus masalah dalam skripsi ini, yaitu apa yang melatar belakangi larangan pernikahan tersebut? Bagaimana pendapat masyarakat terhadap larangan pernikahan tersebut? Serta bagaimana tinjauan hukum Islam mengenai larangan pernikahan tersebut? Peneliti berusaha mengungkap permasalahan di atas dengan melakukan penelitian kualitatif, peneliti melakukan observasi lapangan untuk melihat secara langsung benar tidak adanya mitos larangan pernikahan yang terjadi di desa Jetis dan Desa Rogomulyo tersebut. Selain itu, untuk menambah data penulis juga melakukan wawancara kepada berbagai narasumber mulai dari masyarakat umum, tokoh masyarakat serta pemerintah desa sesuai dengan data yang penulis butuhkan, dan juga melakukan wawancara kepada ulama’ untuk mengetahui hukum dari mempercayai mitos larangan pernikahan tersebut. Peneliti juga menggunakan data serta dokumentasi yang ada pada pemerintahan Desa Jetis dan Desa Rogomulyo untuk melengkapi data yang dibutuhkan. Peneliti juga menggunakan kitab-kitab klasik untuk berusaha menemukan hukum dari mitos larangan pernikahan tersebut. Kemudian untuk menguji hasil temuan data tersebut maka penulis mengadakan analisis data dengan menggunakan kerangka teoritik yang dibuat oleh penulis. Peneliti menyimpulkan beberapa pokok permasalahan, antara lain; tidak ada yang mengetahui mengenai asal usul adanya larangan pernikahan yang terjadi di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo secara pasti, tapi ada salah satu narasumber yang pernah mendengar cerita mengenai larangan tersebut meskipun narasumber tersebut belum yakin akan kebenaran dari cerita tersebut. Masyarakat berbeda pendapat mengenai percaya atau tidaknya mereka terhadap larangan tersebut, ada yang percaya, ada yang tidak dan ada juga yang hanya ikut-ikutan. Sedangkan kesimpulan dari hukum mengenai mitos tersebut secara kaidah fiqhiyah bisa dibenarkan dengan dalil dengan berbagai syarat
dan ketentuannya, secara ushul fiqih hal ini bisa masuk pada masalah ihtisan dengan anggapan bahwa semua yang dianggap baik oleh masyarakat maka dianggap baik juga secara syar’i. Secara aqidah islamiyah tidak bisa dibenarkan kecuali jika percaya bahwa musibah itu terjadi karena kekuasaan Allah dan melanggar mitos tersebut hanyalah sebagai perantara.
8
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………... i NOTA PEMBIMBING ……………………………………………………………... ii HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………………… iii PERNYATAAN KEASLIAN …………………………………………………..….. iv MOTTO ………………………………………………………………………….….. v PERSEMBAHAN ……………………………………………………………….…. vi KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. vii ABSRTAK …………………………………………………………………………viii DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. ix BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah ..…………………………..………...…………. 1
B.
Rumusan Masalah …………………………………..…………………… 5
C.
Tujuan Penelitian ……………………………………..…………………. 6
D.
Kegunaan Penelitian …………………………………..………………… 6
E.
Penegasan Istilah ………………………………………………………... 7
F.
Metode Penelitian ……………………………………………………..… 8
G.
Sistematika Penulisan …………………………………………..……… 13
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN A. Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan ……………………………..………..…….… 15
9
2. Dasar dan Hukum Pernikahan .…………………………………….... 16 3. Prinsip-Prinsip, Tujuan dan Hikmah Pernikahan Dalam Islam…….…22 4. Rukun dan Syarat Pernikahan ……………….……………….……… 25 B. Larangan Pernikahan dalam Perspektif Hukum Islam …………..…..…... 27 1. Larangan yang Bersifat Selamanya (Abadi) …………….………...…. 28 2. Larangan yang Bersifat Sementara ……………………….……..…… 37 C. Mitos 1. Pengertian Mitos …………………………..………………………..… 42 2. Pembagian Mitos ………………………………..……………………. 43 3. Fungsi Mitos ……………...…………………….…………….………. 44 BAB III GAMBARAN UMUM DESA JETIS DAN DESA ROGOMULYO A. Sekilas Desa Jetis dan Desa Rogomulyo 1. Desa Rogomulyo …………….………………………………..……… 47 2. Desa Jetis ……………………………………..……………….….…... 53 B. Mitos Larangan Pernikahan di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo ……….… 57 C. Persepsi
Masyarakat
Desa
Jetis
dan
Desa
Rogomulyo
Mengenai
Kepercayaan Larangan Pernikahan di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo ……………………....................................................................................
60
BAB IV PERSEPSI TENTANG LARANGAN PERNIKAHAN ANTAR DESA DAN TINJAUAN HUKUM ISLAM A. Persepsi Masyarakat Terhadap Larangan Pernikahan di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo ……………………………......………………..…… 67
10
B. Persepsi Ulama’ Terhadap Larangan Pernikahan Disebabkan Adanya Mitos …………………………………………….……………...…… 69 C. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kepercayaan Larangan Pernikahan Sebab Adanya Mitos …………………………………………..…… 71 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………………..………………………………………… 80 B. Saran …………………..………………………………….………….. 83 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 84 LAMPIRAN-LAMPIRAN
11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makluk sosial yang saling membutuhkan. Kehidupan seorang pria tidak akan sempurna tanpa kehadiran seorang wanita. Seperti kisah Nabi Adam yang diberi kenikmatan yang luar biasa yang belum pernah dirasakan oleh siapapun manusia di muka bumi. Kenikmatan itu adalah surga beserta isinya. Meskipun Nabi Adam di surga diberi segala kenikmatan tetapi setelah berdiam lama di surga, dia merasa ada sesuatu yang kurang. Setelah dipikir-pikir, ternyata dia menginginkan teman hidup sehingga diciptakanlah Siti Hawa yang terbuat dari tulang rusuk Adam. Jadi pernikahan yang pertama bagi manusia adalah Nabi Adam dan Siti Hawa yang mempunyai keturunan manusia di seluruh muka bumi ini. Pernikahan merupakan anugerah Allah, dan salah satu dari tanda-tanda (ayat-ayat) kekuasaan-Nya di alam semesta ini. Pernyataan ini sesuai dengan yang difirmankan Allah dalam surat Al-Rum ayat 21 yang berbunyi:
Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara rasa kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”(QS. Al-Rum ayat 21). (Yayasan Penyelenggara Peterjemah alQur’an,2010:406)
12
Ayat di atas secara umum dijadikan sebagai landasan hukum dan landasan teoritis bagi umat Islam dalam menjalani hidup sebagai suami –isteri agar terjalin keluarga yang terteram, sakinah, mawaddah dan rahmah. Pernikahan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku bagi seluruh manusia. Pernikahan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia sebagai sarana berkembang biak dan kelestaraian hidupnya. Melalui pernikahan yang disyariatkan Allah manusia dapat mewujudkan tujuan hidup tenteram dan bahagia. Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 1 menyatakan bahwa yang dinamakan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa (Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal1). Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksakannya merupakan ibadah (Kompilasi Hukum Islam Pasal 2). Pernikahan yang sah harus memenuhi rukun dan syarat pernikahan. Pernikahan yang sah harus pula memperhatikan larangan-larangan dalam pernikahan. Tidak semua perempuan boleh dinikahi, tetapi syarat perempuan yang boleh dinikahi adalah bukan orang yang haram bagi laki-laki yang menikahinya atau sebaliknya. Jadi bentuk pernikahan yang diharamkan yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki, atau sebaliknya laki-laki mana saja tidak boleh menikahi seorang
13
perempuan. Keseluruhan larangan-larangan itu diatur dalam al-Qur’an dan alHadist. Diantara wanita yang tidak boleh dinikahi untuk selamanya, yaitu wanita yang tidak boleh dinikahi oleh laki-laki sepanjang masa yang disebut mahram muabbad, dan diantaranya haram yang sifatnya sementara yaitu perempuan yang tidak boleh dinikahi selama waktu tertentu dan dalam keadaan tertentu. Bilamana keadaan yang menyebabkan haram sementara hilang maka berubah menjadi halal, mahrom yang demikian disebut mahram muaqqat, seperti menikahi saudara perempuan dari matan istri yang sudah meninggal atau sudah diceraikan (Sabiq, 1980:103). Haram yang sifatnya selamanya atau mahram muabbad ada 4 sebab yaitu: 1. Karena hubungan nasab. 2. Karena hubungan susuan. 3. Karena hubungan semenda atu perkawinan. 4. Karena sumpah li’an. Tentang larangan yang bersifat muabbad telah disepakati serta dapat kita pahami dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 23, dan mengenai li’an surat an-Nur ayat 6 – 9. Haram yang sifatnya untuk sementara atau mahram muaqqat yaitu: 1. Mengumpulkan antara dua perempuan yang bersaudara. 2. Perempuan dalam ikatan pernikahan dengan laki-laki lain. 3. Perempuan yang sedang menjalani masa iddah.
14
4. Nikahnya orang yang sedang ihram. 5. Nikah dengan pezina. 6. Perempuan yang ditalak tiga kali. 7. Menikahi wanita musyrik. 8. Nikah lebih dari empat kali. 9. Nikah dengan budak, padahal mampu nikah dengan perempuan merdeka (Basyir, 1996:28-30). Uraian larangan pernikahan di atas sebagai salah satu bagian syari’at Islam yang bersumber dari wahyu illahi dan sunnah rosul yang dinyakini oleh seluruh umat Islam sebagai sumber dalam menetapkan hukum. Terkait dengan larangan pernikahan di atas, ternyata masih ada dalam masyarakat larangan pernikahan yang tidak berdasar al-Qur’an dan al-Hadist. Larangan itu merupakan larangan adat yang diyakini jika dilaksanakan akan mendapat bencana seperti larangan menikah antar suku, larangan menikah klangkahi, larangan pernikahan barep telon di Kabupaten Ngawi dan lainlain. Ada juga bentuk larangan pernikahan yang tidak terkait adat, justru yang dipelopori oleh keluarga Ahlu Bait atau keluarga Nabi. Larangan itu berupa fatwa yang melarang pernikahan syarifah dengan non Sayyid demi menjaga keturunan suci nabi Muhammad SAW. Semua larangan itu tidak merujuk pada al-Qur’an maupun al-Hadits. Ada juga larangan menikah di bulan muharram dan masih banyak lagi larangan pernikahan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
15
Peneliti menemukan mitos dalam masyarakat berupa larangan pernikahan yang unik, yaitu larangan pernikahan di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo. Peneliti tertarik pada mitos ini karena notabennya masyarakat di Desa tersebut kebanyakan adalah orang yang beragama Islam dan tidak ada larangan dalam al-Qur’an dan al-Hadits untuk menikah, tetapi mengapa ada larangan untuk menikah di Desa tersebut. Paparan di atas melahirkan ketertarikan peneliti sebagai akademisi untuk melakukan penelitian. Maka peneliti tertarik untuk meneliti masalah tersebut ke dalam sebuah judul skripsi yang berjudul: ”FENOMENA MITOS LARANGAN PERNIKAHAN DI DESA JETIS DAN DESA ROGOMULYO
KECAMATAN
KALIWUNGU
KABUPATEN
SEMARANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. B. Rumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah di
atas, maka
peneliti
menfokuskan obyek penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana persepsi masyarakat Desa Jetis dan masyarakat Desa Rogomulyo mengenai larangan pernikahan di Desa mereka? 2. Apa yang melatar belakangi masalah larangan pernikahan di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo? 3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap larangan pernikahan antar desa?
16
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai setelah penelitian ini selesai adalah: 1. Mengetahui persepsi masyarakat Desa Jetis dan Desa Rogomulyo mengenai larangan pernikahan di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo 2. Mengetahui latar belakang terjadinya larangan pernikahan di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo dan dampak bagi yang melanggarnya. 3. Mengetahui kedudukan hukum dilihat dari pandangan hukum Islam terhadap larangan pernikahan di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo. D. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut: 1. Secara teoritis Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam, khususnya di bidang fiqih munakahat dan dapat digunakan sebagai acuan bagi pihak-pihak yang akan melakukan penelitian lanjutan serta dapat menambah bahan pustaka bagi Institut Agama Islam (IAIN) Salatiga 2. Secara Praktis a.
Masyarakat secara luas pada umumnya dan masyarakat Desa Jetis dan masyarakat Rogomulyo pada khususnya bisa mengetahui sejarah adanya larangan pernikahan yang terjadi di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo.
b.
Pemerintah bisa mengetahui tingkat kepercayaan masyarakat terhadap mitos-mitos yang ada di masyarakat tersebut.
17
E. Penegasan Istilah Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda dengan maksud peneliti, maka peneliti akan menjelaskan istilah di dalam judul ini. Istilah yang perlu peneliti jelaskan adalah: 1. Mitos Mitos berasal dari bahasa Yunani mitos yang berarti dongeng. Mitos sebagai kata benda yang artinya cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu yang mengandung penafsiran tentang asalusul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut yang diungkapkan dengan cara ghaib. Memitoskan berarti mengeramatkan, mengagungkan secara berlebihan tentang pahlawan, benda dan sebagainya. Secara terminologis, mitos dapat diartikan sebagai kiasan atau cerita sakral yang berhubungan dengan even primordial, yaitu waktu permulaan yang mengacu pada asal mula segala sesuatu dan dewa-dewa sebagai objeknya, cerita atau laporan suci tentang kejadian-kejadian yang berpangkal pada asal mula segala sesuatu dan permulaan terjadinya dunia (Arikunto, 2002:206). 2. Larangan Nikah Larangan (nahy) sebagai lawan dari perintah didefinisikan sebagai kata atau ungkapan yang meminta agar suatu perbuatan dijauhi yang dikeluarkan orang yang berkedudukan lebih tinggi kepada orang yang kedudukannya lebih rendah. Larangan membawa berbagai macam variasi. Adanya yang bermakna keharaman (tahrim), ketercelaan (karahiyah),
18
tuntunan (irsyad) atau kesopanan (ta’dib) dan permohonan ( Kamali, 1996:184-185). Dalam hal ini larangan yang tidak bersifat keharaman. Jadi yang dimaksud larangan nikah disini adalah ketidakbolehan melakukan pernikahan. F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis, yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya (Maleong, 2010:6). Peneliti menggunakan metode penelitian ini sebab bagi peneliti penelitian ini sedikit menggunakan data-data stastik yang berhubungan dengan angka. Maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis, yaitu sebuah pendekatan dengan melihat sejarah yang mendasari suatu hal tersebut terjadi. Dalam hal ini penulis mencoba melacak sejarah kemunculan larangan nikah antar desa. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini bertempat di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Adapun alasan pemilihan tempat ini adalah karena di Desa ini terdapat kepercayaan larangan pernikahan bagi warganya dan akibat bagi yang melanggarnya. Padahal dalam al-Qur’an dan al-Hadist serta hukum Negara tidak ada larangan pernikahan masyarakat desa.
19
3. Sumber Data Sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah lurah dan beberapa masyarakat yang dianggap mengetahui larangan tersebut dari kedua desa, mulai tokoh masyarakat, tokoh agama serta masyarakat awam. 4. Prosedur Pengumpulan Data Prosedur yang diperoleh untuk mengumpulkan data adalah dari data primer yang dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertama, yaitu hasil wawancara dengan pelaku yang melanggar larangan pernikahan yang terjadi di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo (pasangan suami istri yang melakukan pernikahan). Disamping data primer tersebut terdapat data sekunder yang sering kali juga diperlukan oleh peneliti (Suryabrata, 2009:39). Data-data sekunder biasanya berupa bentuk-bentuk dokumen misalnya data mengenai keadaan demografis suatu daerah, data produktifitas suatu desa dan sebagainya. Langkah-langkahnya adalah dengan: a.
Wawancara Wawancara
adalah salah satu sumber studi kasus yang sangat
penting dan sumber yang esensial bagi studi kasus
(K. Yin,
2004:108). Dalam pengumpulan data, peneliti mewancarai secara mendalam yang
diarahkan pada masalah tertentu dengan para
informan yang sudah dipilih untuk mendapatkan data yang diperlukan. Pihak-pihak yang diwawancarai adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, masyarakat umum serta perangkat desa setempat untuk
20
memperoleh data-data penunjang yang berisi tanggapan dan dampak yang dirasakan sebelum dan selama penelitian. b.
Pengamatan (Observasi) Observasi dibagi menjadi dua macam yaitu observasi langsung dan observasi partisipan (K. Yin, 2004:114). Dalam observasi ini, selain melakukan observasi langsung, peneliti juga melakukan observasi partisipan. Peneliti melakukan observasi langsung di Desa Rogomulyo selama satu bulan dan bertempat di rumah saudara Rumadi yang merupakan tokoh pemuda Dusun Gegunung salah satu Dusun di Desa Rogomulyo. Selama satu bulan peneliti bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat guna memperoleh informasi mengenai larangan pernikahan yang ada di Desa Rogomulyo. Peneliti juga melakukan observasi partisipan di Desa Jetis, karena peneliti sendiri adalah warga masyarakat Desa Jetis.
c.
Kajian Pemikiran Di sini peneliti tidak menggunakan kajian pustaka, akan tetapi peneliti cenderung menggunakan kajian pemikiran disbanding studi pustaka dikarenakan peneliti tidak menemukan peneliti sebelumnya yang pernah melakukan penelitian di Desa yang sama dengan kasus yang sama.
21
5. Metode Analisis Data Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap dari lapangan, tahap berikutnya yang harus dimasuki adalah tahap analisa. Ini adalah tahap penting dan menentukan. Pada tahap inilah data dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenarankebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian. Disini imajinasi dan kreativitas sipeneliti diuji betul (Koentjaraningkrat, 1994:269). Dalam penulisan ini, setelah data diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode induksi yaitu cara berfikir dari pernyataan yang bersifat khusus untuk ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum. 6. Pengecekan Keabsahan Data Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian, karena dari itulah nantinya
akan muncul teori. Dalam
memperoleh keabsahan temuan, penulis akan menggunakan teknik-teknik perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan, ketekunan pengamatan, triangulasi (menggunakan beberapa sumber, metode, teori), pelacakan kesesuaian, kecukupan refensi dan pengecekan anggota (maleong, 2009:327). Jadi temuan data tersebut bisa diketahui keabsahannya. Untuk menggunakan teknik triangulasi dengan sumber dapat ditempuh dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan wawancara, membandingkan apa yang dikatakan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, membandingkan apa yang dikatakan orang-orang
22
tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang masa, membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan (maleong, 2009:331). Peneliti telah melakukan triangulasi dengan membandingkan tanggapan masyarakat dan tanggapan peneliti sendiri, membandingkan gambaran situasi masyarakat yang didengar dengan kenyataan yang dilihat oleh peneliti secara langsung, membandingkan anggapan masyarakat yang diketahui peneliti dengan hasil wawancara yang didapat. Hasil dari pembandingan tersebut ternyata banyak yang tidak sesuai dengan apa yang diketahui peneliti sebelum melakukan penelitian. 7. Tahap-Tahap Penelitian a.
Penelitian Pendahuluan Peneliti mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan pernikahan, larangan-larangan pernikahan dan mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan kepercayaan.
b.
Pengembangan Desain Setelah mengetahui banyak hal tentang larangan-larangan nikah, kemudian peneliti melakukan observasi ke objek penelitian untuk melihat langsung situasi dan kondisi Desa Jetis dan Desa Rogomulyo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Semarang.
c.
Penelitian Sebenarnya. Kehadiran peneliti di tempat penelitian, yakni di desa Jetis dan desa Rogomulyo.
23
G. Sistematika Penulisan Dalam menyusun skripsi ini penulis membagi kedalam beberapa bab dan masing-masing bab mencangkup beberapa sub bab yang berisi sebagai berikut: 1. Bab I merupakan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian yang terdiri dari pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, tempat/lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, metode analisis data, pengecekan keabsahan data, tahap-tahap penelitian, dan yang terakhir adalah sistematika penulisan. 2. Bab II berisikan kajian pustaka yang menjelaskan perkawinan/pernikahan yang meliputi pengertian perkawinan, dasar dan hukum perkawinan, prinsip-prinsip, tujuan dan hikmah perkawinan dalam Islam, rukun dan syarat perkawinan. Selain itu dalam bab ini juga menjelaskan tentang larangan perkawinan yang meliputi larangan yang bersifat selamanya, larangan yang bersifat sementara. Dan yang terakhir dari bab ini adalah mengenai tentang pengertian mitos. 3. Bab III berisikan hasil penelitan yang terdiri dari gambaran umum objek penelitian terdiri dari gambaran umum kedua desa, larangan pernikahan antar desa yang terjadi di kedua desa, dan yang terakhir adalah persepsi masyarakat terhadap mitos larangan pernikahan di Desa mereka. 4. Bab IV merupakan analisis dari peneliti yang berisikan tentang pembahasan pokok permasalahan dari data hasil temuan mengenai
24
persepsi masyarakat tentang hukum mitos larangan pernikahan desa tersebut, selain itu peneliti juga menyimpulkan persepsi tokoh-tokoh agama mengenai hukum larangan menikah di Desa tersebut, setelah peneliti menguraikan persepsi dari berbagai kalangan tersebut peneliti meninjau dari sudut pandang
hukum Islam terhadap mitos larangan
pernikahan yang terjadi di Desa tersebut. 5. Bab V, bab ini merupakan penutup atau bab akhir dari penyusunan skripsi yang penulis buat. Dalam bab ini penulis kemukakan kesimpulan dari seluruh hasil penelitian, saran-saran atau rekomendasi dalam rangka meningkatkan pengetahuan tentang hukum-hukum Islam, khusunya tentang larangan nikah yang terjadi di Desa tersebut.
25
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN A. Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku bagi semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhtumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya (Tihami dan Sahrani, 2009:6). Nikah menurut bahasa adalah al-jam’u yang artinya kumpul. Makna nikah bisa diartikan dengan aqdunal-tazwij yang artinya akad nikah. Dapat juga diartikan wath’u al-zaujah artinya menyetubuhi istri. Rahmat Hakim mendifinisikan bahwa kata nikah berasal dari bahasa Arab nakaha, sinonimnya tazawwaja yang terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah perkawinan. Namun demikian kata nikah juga sering dipergunakan karena telah masuk dalam bahasa Indonesia (Tihami dan Sahrani, 2009:7). Dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 1 disebutkan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk
26
mentaati perintah allah dan melaksakannya merupakan ibadah (Kompilasi Hukum Islam Pasal 1). Adapun menurut syarak nikah adalah akad serah terima antara lakilaki dan perempuan dengan tujuan untuk memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera (Tihami dan Sahrani, 2009:8). Jadi intinya Pernikahan itu adalah suatu ibadah yang disunnahkan syariat islam dan melaksanakannya merupakan ibadah. 2. Dasar dan Hukum Pernikahan Hukum pernikahan adalah hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat pernikahan tersebut. Pernikahan tidak hanya dilaksankan oleh manusia akan tetapi juga hewan dan tumbuhan. Menurut sarjana ilmu Alam mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan terdiri dari dua pasang. Misalnya air yang kita minum terdiri dari oksigen dan hydrogen, listrik ada positif dan negatif, ada laki-laki dan wanita dan sebagainya. Dalam al-Qur’an menyatakan bahwa hidup berpasang-pasang dan hidup berjodoh adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia mempunyai naluri untuk berpasang-pasang dalam arti adalah melakukan pernikahan. Dalam Al-Qur’an surat Adz Dzariyat ayat 49 :
27
Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010:522). Mengenai hukum sunnah dari menikah sesuai dengan hadist nabi yaitu:
“ Nikah adalah sunnahku, barang siapa siapa menbeci sunnahku maka bukanlah termasuk golonganku” (Ibnu Majah, No:1836).
Dalam surat Yasin ayat 36 menyatakan
Artinya: Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010:442). Dari ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menciptakan makhluk secara berpasang-pasang. Dari pasangan-pasangan itu, Allah menciptakan manusia untuk berkembang biak dari generasi ke generasi berikutnya. Hal itu sesuai dengan firman Allah Surat An nisa’ ayat 1:
Artinya: Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan lakilaki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, 28
dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu (Yayasan Penyelenggara Penerjemah AlQur’an, 2010:77). Dalam Surat an-Nahl ayat 72 juga menyebutkan:
Artinya: Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucucucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010:274). Di Indonesia pada umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal melakukan pernikahan adalah mubah. Hal ini disebabkan karena di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pendapat ulama’ Syafi’iyah. Sedangkan menurut Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah hukum melakukan pernikahan adalah sunnah. Menurut Ulama’ Dhahiriyah adalah wajib melakukan pernikahan satu kali seumur hidup.( Darajat dkk, 1985:59). Berdasarkan
al-Qur’an
maupun
as-Sunnah,
Islam
sangat
menganjurkan kaum muslimin untuk menikah. Namun demikian, kalau dilihat dari kondisi orang yang melakukan serta tujuan melaksanakannya maka hukum melakukan pernikahan dibagi menjadi 5 yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
29
a.
Pernikahan Wajib Pernikahan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai keinginan yang kuat untuk menikah dan mempunyai kemampuan yang kuat untuk melaksanakan. Selain itu juga mampu memikul beban kewajiban ketika menikah serta ada kekawatiran akan tergelincir kearah perbuatan zina jika tidak menikah. Bagi orang yang telah mempunyai kriteria ini wajib menikah. Alasan ketentuan tersebut adalah apabila menjaga diri dari perbuatan zina adalah wajib, padahal bagi seseorang tertentu penjagaan diri itu hanya akan terjamin jika menikah. Maka bagi orang itu melakukan pernikahan hukumnya adalah wajib.
b. Pernikahan sunnah Pernikahan hukumnya
sunnah bagi
orang yang telah
berkeinginan untuk menikah dan mempunyai kemampuan untuk melaksanakan serta memikul kewajiban-kewajiban dalam pernikahan tetapi masih mampu untuk membujang dan jika tidak menikah tidak khawatir akan berbuat zina. Alasan menetapkan hukum sunnah adalah dari anjuran al-Qur’an dan Hadits Nabi. c.
Pernikahan Haram Pernikahan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup dalam pernikahan sehingga jika menikah akan berakibat menyusahkan dirinya dan isterinya.
30
Hadist nabi mengajarkan agar seseorang jangan sampai berbuat sesuatu yang menyusahkan diri sendiri dan orang lain. Al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat
195
melarang
orang
melakukan
hal
yang
mendatangkan kerusakan :
Artinya: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010: 30). Termasuk juga hukumnya haram, apabila melakukan pernikahan dengan maksud untuk menelantarkan orang lain yaitu wanita yang dinikahi tidak diurus hanya agar wanita itu tidak menikah dengan orang lain (Darajat dkk, 1985:61). Al-Qurthubi
berpendapat
bahwa
apabila
menyadari tidak akan mampu memenuhi kewajiban
calon
suami
nafkah dan
membayar mahar atau kewajiban lain yang menjadi hak istri hukumnya tidak halal menikahi seseorang kecuali apabila dia menjelaskan perihal keadaannya kepada calon istri. Calon suami harus bersabar sampai merasa mampu memenuhi hak-hak isterinya, barulah dia boleh melakukan pernikahan. Al-Qurthubi juga mengatakan bahwa orang yang mengetahui pada dirinya terdapat penyakit yang menghalangi kemungkinan melakukan hubungan dengan calon isteri
31
harus memberi keterangan kepada calon isteri agar pihak isteri merasa tidak tertipu ( Basyir, 1996:13). d. Pernikahan yang Makruh Pernikahan hukumnya makruh apabila seorang mampu dalam segi materil, cukup mempunyai daya tahan mental dan agama serta tidak khawatir akan terseret dalam perbuatan zina tetapi khawatir tidak dapat memenuhi kewajiban terhadap isterinya meskipun tidak akan menyusahkan pihak istri, misalnya calon istri tergolong orang kaya sedangkan calon suami belum mempunyai keinginan untuk menikah. Imam Ghozali berpendapat bahwa apabila suatu pernikahan dikhawatirkan akan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah dan semangat beribadah dalam bidang ilmiah, hukumnya lebih makruh daripada yang telah disebutkan di atas (Basyir, 1996:13). e.
Pernikahan yang mubah Pernikahan hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak khawatir akan berbuat zina dan andai kata menikah juga tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan kewajibannya terhadap istri. Pernikahan dilakukan sekedar untuk memenuhi syahwat dan kesenangan bukan tujuan untuk membina keluarga dan menjaga keselamatan hidup beragama.
32
3. Prinsip-Prinsip, Tujuan dan Hikmah Pernikahan Dalam Islam a.
Prinsip Pernikahan Pernikahan dalam ajaran Islam ditandai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) Pilihan jodoh yang tepat. 2) Pernikahan didahului dengan peminangan. 3) Ada ketentuan tentang larangan pernikahan antara laki-laki dan perempuan. 4) Pernikahan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang bersangkutan. 5) Ada persaksian dalam akad nikah. 6) Pernikahan tidak ditentukan untuk waktu tertentu. 7) Ada kewajiban membayar mas kawin atas suami. 8) Ada kebebasan mengajukan syarat dalam akad nikah. 9) Tanggung jawab pimpinan keluarga dalam suami. 10) Ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah tangga ( Basyir, 1996:13).
b. Tujuan Pernikahan Menurut Zakiyah Darajat dkk (1985 :64) tujuan pernikahan ada lima yaitu: 1) Mendapatkan dan melangsungkan pernikahan. 2) Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan menumpahkan kasih sayang.
33
3) Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. 4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab, menerima hak serta kewajiban dan bersugguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal. 5) Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang. Fungsi keluarga adalah menjadi pelaksana pendidikan yang paling menentukan. Sebab keluarga merupakan salah satu diantara lembaga pendidikan informal, ibu bapak yang dikenal pertama oleh putra-putrinya
dengan
segala
perlakuan
yang
diterima
dan
dirasakannya dapat menjadikan dasar pertumbuhan pribadi atau kepribadian sang putra-putri itu sendiri. Pernikahan juga bertujuan untuk membentuk perjanjian suci antara seorang pria dan seorang wanita yang mempunyai segi-segi perdata, diantaranya adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kebebasan memilih, dan darurat. c.
Hikmah pernikahan Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia, Adapun hikmah pernikahan adalah: 1) Nikah adalah jalan alami yang paling baik. Nikah merupakan jalan yang sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks.
34
Dengan menikah badan menjadi segar, jiwa tenang, mata terpelihara dari yang melihat haram dan perasaan tenang menikmati barang yang berharga. 2) Nikah jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang dalam Islam sangat diperhatikan sekali. 3) Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak serta akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan kasih sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusian seseorang. 4) Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak menimbulkan sifat rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. 5) Pembagian tugas dimana yang satu mengurusi rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami-istri dalam menangani tanggung jawabnya. 6) Pernikahan dapat membuahkan diantaranya: tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan masyarakat yang memang oleh islam direstui, ditopang dan ditunjang karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyayangi merupakan masyarakat yang kuat dan bahagia ( Tihami dan Sahrani, 2009:20).
35
4. Rukun dan Syarat Pernikahan Rukun yaitu, sesuatu yang mesti ada yang menentukan syah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihrom untuk shalat. Syarat yaitu, sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan ,itu seperti menutup aurat untuk shalat. Dalam pernikahan calon pengantin laki-laki dan perempuan harus beragama islam. Adapun rukun nikah adalah: a. Mempelai laki-laki. b. Mempelai perempuan. c. Wali. d. Dua orang saksi. e. Shigat ijab Kabul. Adapun syarat pernikahan adalah syarat yang berkaitan dengan rukun-rukun pernikahan, yaitu syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul. a. Syarat suami: 1)
Beragama islam.
2)
Terang bahwa calon suami benar laki-laki.
3)
Orangnya diketahui dan tertentu.
36
4)
Calon mempelai laki-laki jelas halal menikah dengan calon istri.
5) Calon mempelai laki-laki mengetahui bahwa calon istri serta mengetahui bahwa calon istri halal baginya. 6) Calon suami ridha atau tidak dipaksa untuk melakukan pernikahan. 7)
Tidak sedang melakukan ihram.
8)
Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
9)
Tidak sedang mempunyai istri empat (Darajat dkk, 1985:50).
b. Syarat-syarat Istri: 1) Tidak ada halangan syarak yaitu tidak bersuami, bukan mahram, dan tidak sedang iddah. 2) Merdeka atas kemauan sendiri 3) Jelas orangnya. 4) Tidak sedang ihram 5) Beragama islam c. Syarat-syarat Wali: 1)
Laki-laki, diutamakan adalah ayah kandung
2)
Baligh.
3)
Waras akalnya.
4)
Tidak dipaksa.
5)
Adil.
6)
Tidak sedang ihram (Abdillah, 2010:253).
d. Syarat-syarat Saksi: 1) Laki-laki.
37
2) Baligh. 3) Waras akalnya. 4) Adil. 5) Dapat mendengar dan melihat. 6) Bebas tidak dipaksa. 7) Tidak sedang ihram. 8) Memahami bahasa yang digunakan untuk ijab Kabul. e. Syarat Ijab Qabul: 1) Kedua belah pihak sudah tamyiz. 2) Ijab qabul dalam satu majlis yaitu ketika mengucapkan ijab Kabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain atau memurut adat ada kata-kata yang dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab dan qabul. 3) Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas (Sabiq, 1980:53-55). B. Larangan Pernikahan dalam Persepektif Hukum Islam Maksud larangan pernikahan dalam pembahasan ini adalah larangan untuk menikah antara seorang pria dengan seorang wanita menurut syariat Islam. Adapun larangan tersebut dibagi menjadi dua yaitu larangan yang bersifat selamanya dan larangan yang bersifat abadi.
38
1. Larangan yang Bersifat Selamanya (Abadi) Menurut Tihami dan Sahrani (2009:63) larangan yang bersifat selamanya ada
yang telah disepakati dan ada pula yang masih
diperselisihkan. a. Larangan yang bersifat selamanya yang disepakati ada tiga yaitu: 1)
Larangan nikah karena pertalian nasab Dalam kaitannya dengan masalah larangan nikah karena pertalian nasab didasarkan pada potongan firman Allah Swt surat an-Nisa’ ayat 23:
.... Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anakanakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang laki-laki (Yayasan Penyelenggara Penerjemah AlQur’an,2010:81). Berdasarkan ayat diatas, wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya karena pertalian nasab adalah: a)
Ibu, perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturunan keatas yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya keatas).
b) Saudara perempuan baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja.
39
c)
Anak perempuan, wanita yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus kebawah yakni anak perempuan, cucu perempuan, baik dari laki-laki maupun anak perempuan dan seterusnya kebawah.
d) Bibi, saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara seayah kandung atau seibu dan seterusnya keatas. e)
Keponakan perempuan yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya kebawah (Darajat dkk, 1985:85).
2) Larangan nikah karena hubungan mushaharah (pertalian kerabat semenda) Larangan pernikahan kareana hubungan mushaharah atau karena pertalian kerabat semenda disebutkan dalam lanjutan surat an-Nisa’ ayat 23 yaitu sebagai berikut:
40
Artinya: Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anakanakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anakanak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010:81). Dari ayat diatas jika diperinci adalah sebagai berikut: a)
Mertua perempuan , nenek perempuan istri dan seterusnya ke atas, baik sari garis ibu ataupun ayah.
b) Anak tiri, dengan syarat kalau telah terjadi hubungan kelamin antara suami dengan ibu anak tersebut. c)
Menantu yakni istri, isti cucu dan seterusnya kebawah.
d) Ibu tiri yakni bekas istri ayah, untuk ini tidak diisyaratkan harus adanya hubungan seksual antara ibu dan ayah. Persoalan dalam hubungan mushaharah dapat berbentuk keharaman yang disebabkan karena semata-mata akad (pernikahan) yang sah atau dapat juga dikarenakan perzinaan. Imam Syafi’I berpendapat bahwa larangan pernikahan karena mushaharah hanya disebabkan karena semata-mata akad saja, tidak bisa dikarenakan perzinaan dengan alasan tidak layak perzinaan yang dicela itu
41
disamakan karena hubungan mushaharah. Sebaliknya Imam Abu Hanifah
berpendapat
bahwa
larangan
pernikahan
karena
mushaharah disampingkan disebabkan pernikahan yang sah bisa juga
disebabkan
karena
perzinaan.
Perselisihan
pendapat
disebabkan karena perbedaan dalam menafsirkan firman Allah surat Al-Nisa’ ayat 22 yang berbunyi:
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang Telah dinikahi oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010:81) Kata “ ma nakaha” ada yang menafsirkan wanita yang dinikahi ayah secara akad yang sah menurut Imam Safi’i. Sedangkan menurut Imam Hanafi menafsirkan wanita yang disetubuhi oleh ayah baik dengan pernikahan maupun perzinaan. Istri ayah (ibu tiri) haram dinikahi dengan sepakat para ulama’ atas dasar semata-mata akad walaupun tidak disetubuhi. Kalau sudah terjadi akad nikah, baik sudah disetubuhi maupun belum namanya adalah istri ayah. Ibu istri mertua digolongkan di dalamnya nenek istri dan ibu dari ayah istri hingga keatas, karena mereka digolongkan ibu-ibu istri. Anak istri (anak tiri) dengan syarat keharaman karena telah menyetubuhi ibunya artinya karena kalau pria dan seorang wanita
42
baru
terikat
dengan
hanya
semata
akad
(belum
terjadi
persetubuhan) maka menikahi anaknya tidak haram. 3) Larangan nikah karena hubungan sesusuan Larangan nikah karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan surat Al-Nisa’ ayat 23 yaitu:
Artinya: Diharamkan atas kamu menikahi ibu-ibumu yang menyusukan kamu, yang saudara-saudara yang perempuan sepersusuan….. (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010:81). Menurut riwayat abu Dawud, an Nasai dan Ibnu Majah dari Aisyah, keharaman karenan sesusuan diterangkan dalam sebuah hadist yaitu:
Diharamkan karena adan hubungan susuan apa yang diharamkan karena ada hubungan nasab. Kalau diperinci hubungan sesusuan yang diharamkan adalah: a)
Ibu susuan yaitu ibu yang menyusui maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui sehingga haram melakukan pernikahan.
b) Nenek susuan yaitu ibu dari anak yang pernah menyusui atau ibu ibu dari suami yang menyusui, suami dari ibu yang menyusui itu dipandang seperti ayah bagi anak susuan sehingga haram melakukan pernikahan. 43
c)
Bibi susuan yaitu saudara perempuan ibu susuan atau saudara perempuan suami ibu susuan dan seterusnya keatas.
d) Kenenekan sesusuan perempuan yaitu anak perempuan dari saudara ibu susuan. e)
Saudara susuan perempuan, baik saudara seayah sekandung maupun seibu saja.
Sebagai tambahan penjelasan mengenai susuan ini dapat dikemukakan beberapa hal. a)
Susuan yang mengakibatkan keharaman adalah susuan yang diberikan pada anak yang memang masih memperoleh makanan dari air susu.
b) Mengenai berapa kali seorang ibu bayi menyusui pada seorang ibu yang menimbulkan keharaman pernikahan seperti keharaman hubungan nasab sebagaimana tersebut dalam hadis di atas , dengan melihat dalil yang kuat adalah yang tidak dibatasi jumlahnya, asal seorang bayi telah menyusui dan kenyang pada perempuan itu menyebabkan keharaman melakukan pernikahan. Demikian menurut Hanafi dan Maliki (Darajat dkk, 1985:86-87). Menurut Imam Safi’i (Abu Abdillah:288) ketetapan susuan hanya berlaku untuk susu wanita hidup yang mencapai usia sembilan tahun, baik dari kalangan gadis maupun janda, sendirian atau berkeluarga (bersuami). Ketika seorang wanita menyusui
44
seorang anak dengan air susunya, baik wanita itu masih hidup atau telah meninggal adalah diperas sewaktu wanita itu hidup, maka bayi itu menjadi ibu anak tersebut (ibu susuan) syaratnya ada dua yaitu: a)
Anak yang berusia di bawah dua tahun. Permulaan keduanya itu dari penyapihan anak sepenuhnya, sedangkan anak telah mencapai umur dua tahun maka susuan tersebut tidak mengakibatkan adanya hubungan muhrim.
b) Wanita itu telah menyusui 5 tetes susuan tersebut secara terpisah sampai pada lubang (perut) anak yang disusui. Berpedoman pada kebiasaan yang berlaku dan yang dihitung adalah susuan atau beberarapa susuan, kalau tidak masuk perut berarti tidak dihitung. Kalau terputus-putus diantara 5 tetes susuan maka termasuk hitungan dan sekaligus suami wanita yang menyusui adalah ayah dari anak tersebut. b. Larangan yang bersifat selamanya yang dipersilisihkan, ada dua yaitu: 1)
Larangan pernikahan karena sumpah li’an Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina tanpa mendatangkan empat orang saksi, maka suami diharuskan bersumpah empat kali dan yang kelima kali dilanjutkan dengan menyatakan bersedia menerima laknat Allah apabila tindakannya itu dusta. Istri yang mendapatkan tuduhan itu bebas dari hukuman
45
zina kalau ingin bersumpah seperti suami diatas empat kali dan yang kelima kalinya diteruskan bersedia mendapat laknat bila tiuduhan suami itu benar. Sumpah demikian disebut sumpah li’an. Apabila terjadi sumpah li’an antara suami istri maka putuslah hubungan pernikahan keduanya untuk selamam-lamanya. Keharaman ini didasarkan pada firman Allah dalan surat an-Nur ayat 6-9 yaitu:
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010:350).
2)
Larangan pernikahan karena zina
46
Tidak dihalalkan bagi laki-laki yang suci (belum pernah berzina) menikah dengan perempuan pezina, begitu juga tidak halal perempuan yang suci menikah dengan laki-laki pezina kecuali bila mereka
sudah
bertaubat.
Alasan-alasannya
adalah
Allah
mensyaratkan agar kedua orang laki-laki dan perempuan yang ingin menikah agar benar-benar menjaga kehormatannya (Sabiq, 1980:140) Menurut Sayyid Sabiq (1980:143) tujuan Islam melarang menikah dengan orang zina adalah Islam tidak menginginkan lakilaki muslim jatuh ditangan perempuan pezina, juga tidak menghendaki perempuan muslim jatuh ditangan laki-laki pezina. Hidup di bawah pengaruh mental yang rendah diliputi jiwa yang tidak sehat, bergaul dengan tubuh yang penuh dengan bakteribakteri dan berbagai macam cacat serta penyakit. Islam dalam segala hukumnya, perintahnya, larangan-larangannya menjelaskan tidak menginginkan manusia tidak menjadi bahagia, tidak dapat menaikkan dirinya mencapai tingkat yang sangat luhur yang dikehendaki oleh Allah agar dapat ditempuh oleh manusia. Mengenai larangan menikah orang zina sesuai dengan firman Allah surat an-Nur ayat 3 berbunyi:
47
Artinya: Laki-laki zina tidak patut menikah kecuali perempuan zina atau musyrik, dan perempuan zina tidak patut dinikahi kecuali oleh laki-laki zina atau musyrik, sedang perbuatan tersebut haram bagi orang-orang mukmin (Yayasan Penyelenggara Penerjemah AlQur’an, 2010:350). 2. Larangan yang Bersifat Sementara Wanita-wanita yang haram dinikahi tidak untuk selamanya (bersifat sementara) adalah sebagai berikut: a.
Dua perempuan bersaudara haram dinikahi oleh seorang laki-laki dalam waktu bersamaan, maksudnya mereka haram dimadu dalam waktu bersamaan. Apabila menikahi mereka berganti-ganti seperti seorang laki-laki menikahi seorang wanita kemudian wanita tersebut meninggal dunia atau dicerai maka laki-laki itu boleh menikahi adik perempuan dari wanita yang telah meninggal dunia tersebut. Keharaman mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam satu waktu berdasarkan surat an-Nisa’ ayat 23 seperti yang disebut ayat di atas. Keharaman mengumpulkan dua wanita dalam satu pernikahan juga diberlakukan terhadap dua orang yang mempunyai hubungan keluarga bibi dan kemenakan. Larangan ini dinyatakan dalam sebuah hadis nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abu Hurairah:
“Sesungguhnya Rosulullah SAW. Melarang menghimpun menjadi istri seorang laki-laki antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ayah perempuan tersebut atau antara seorang perempuan
48
dengan saudara perempuan ibu perempuan tersebut”(Shohih Bukhori, Bab Nikah:2517). b.
Wanita yang terkait pernikahan dengan laki-laki lain haram dinikahi oleh laki-laki. Keharaman ini disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 24:
Artinya: Dan (diharamkan juga kamu menikahi) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteriisteri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010:82) c.
Wanita yang sedang dalam iddah, baik iddah cerai maupun iddah ditiggal mati berdasarkan firman Allah surat al-Baqoroh ayat 228.
49
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010:36). d.
Wanita yang ditalak tiga kali atau talak ba’in haram menikah lagi dengan bekas suaminya kecuali kalau sudah menikah lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh suami terakhir dan telah habis masa iddahnya, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229-230.
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
50
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010: 36). e.
Wanita yang sedang melakukan ihram baik ihram umrah maupun haji tidak boleh dinikahi. Hal ini berdasarkan hadis nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh imam muslim dari Ustman bin Affan:
“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh dinikahi dan tidak boleh meminang.” (Shohih Bukhari, Bab Nikah:2522). f.
Wanita musyrik haran dinikahi. Maksudnya wanita musyrik adalah yang menyembah selain Allah. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 24:
Artinya: Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orangorang kafir (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010:4).
51
Adapun keharaman menikahi wanita ahli kitab, yakni wanita Nasrani ataupun Yahudi namun meyakini bahwa nabi Muhamad adalah nabi terakhir di jelaskan oleh Allah dalam surat al-Maidah ayat 5:
Artinya: Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan manikahi) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundikgundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010:107). g.
Wanita haram dinikah oleh seorang laki-laki yang telah mempunyai istri 4 orang. Dalam surat an-Nisa’ ayat 3 , seorang laki-laki hanya boleh menikahi istri maksimal 4 orang. Haram menikah lagi dengan wanita kelima dan seterusnya kecuali salah satu diantara yang 4 telah dicerai atau meninggal dunia dan selesai iddahnya. Keharaman seorang laki-laki menikah lebih dari empat sesuai dengan firman Allah dalam Surat an-Nisa’ ayat 3 yaitu:
52
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010:77). C. Mitos 1. Pengertian Mitos Mitos berasal dari bahasa Yunani Mytos yang berarti dongeng. Mitos sebagai kata benda, yang artinya cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu yang mengandung penafsiran tentang asalusul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut yang diungkapkan dengan cara ghaib. Dalam kata kerja memitoskan berarti mengeramatkan, mengagungkan
secara
berlebihan
tentang
pahlawan,
benda
dan
sebagainya. Secara terminologis, mitos dapat diartikan sebagai kiasan atau cerita sakral yang berhubungan dengan even primordial, yaitu waktu permulaan yang mengacu pada asal mula segala sesuatu dan dewa-dewa sebagai objeknya, cerita atau laporan suci tentang kejadian-kejadian yang berpangkal pada asal mula segala sesuatu dan permulaan terjadinya dunia (Suharsimi Arikunto, tt:hlm).
53
Dalam jurnal Theologia fakultas Ushuluddin volume 19 nomor 1 tahun 2008 Machrus menjelaskan dalam kolom mitos dan kekuasaan, bahwa mitos adalah sesuatu yang universal, artinya masyarakat di manapun di dunia ini mengenal mitos meskipun ada yang mengalami penurunan (demitologi) terutama bersamaan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam masyarakat yang sudah maju pun masih mempercayai adanya mitos. Namun mitos hanya mengikat bagi masyarakat yang mempercayainya. Bagi masyarakat yang tidak mempunyai hubungan kepercayaan terhadap mitos masyarakat lain jelas mitos itu tidak berarti sama sekali. Mitos juga disebut mitologi, yang kadang diartikan sebagai cerita rakyat yang dianggap benar- benar terjadi dan bertalian dengan terjadinya tempat, alam semesta, para dewa, adat istiadat, dan konsep dongeng suci. Mitos juga mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, kisah perang meraka dan sebagainya. Mitos sarat dengan keajaiban yang jauh dari fakta sejarah (Jurnal Teologia Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang,2008:227). 2. Pembagian Mitos Endraswara membagi mitos menjadi empat ragam, yaitu: a.
Mitos gugon tuhon, yaitu larangan tertentu. Seperti larangan menikah antara warga desa dengan desa tertentu, yang mana bila dilakukan akan mendatangkan bahaya atau mala petaka.
b.
Mitos berupa bayangan asosiatif, yaitu merupakan mitos yang muncul dalam dunia mimpi.
54
c.
Mitos berupa dongeng, legenda dan cerita-cerita. Seperti mitos tentang asal usul suatu daerah atau penamaan suatu daerah.
d.
Mitos berupa sirikan (yang harus dihindari) tekanan, utamanya pada aspek ora ilok (tidak baik) jika dilakukan. Seperti tidak boleh menikah pada bulan suro (Endraswara,tt:hlm).
3. Fungsi Mitos Menurut Mahzum ada enam fungsi mitos dalam kehidupan: a.
Mitos sebagai kesadaran masyarakat terhadap kekuatan gaib di luar dirinya. Ritual slametan erat hubungannya dengan kepercayaan pada kekuatan sakti maupun makhluk halus. Slametan dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari kemarahan kekuatan gaib yang seringkali diwujudkan dalam berbagai malapetaka dan bencana alam. Selain itu, ritual slametan juga ditujukan sebagai ungkapan rasa terima kasih pada kekuatan-kekuatan yang dianggap memberikan perlindungan dan kesejahteraan pada mereka.
b.
Mitos sebagai media keselamatan. Mitos berupa laku slametan memberikan jaminan keselamatan dan ketentraman hidup masyarakat pengikut ritual. Melalui ritual slametan tersebut masyarakat semakin yakin bahwa mereka akan mendapat jaminan keselamatan serta terhindar dari musibah dan malapetaka.
c.
Mitos sebagai ajaran. Tradisi slametan mengandung ajaran kearifan lokal yaitu anggota masyarakat berkumpul dan mengingat kembali
55
jasa para leluhur. Hal ini merupakan wujud rasa syukur dan terima kasih atas jasa dan perjuangan leluhur semasa hidupnya. d.
Mitos sebagai arahan terhadap tindakan manusia. Mitos larangan menebang masyarakat
pepohonan agar
tidak
di
sekitar merusak
pemakaman pepohonan
mengarahankan sebagai
penjaga
keseimbangan alam. Mitos tentang larangan menikah pada bulan Suro mengarahkan pada tindakan masyarakat untuk selalu berhati-hati dan waspada. e.
Mitos sebagai solidaritas sosial. Ritual slametan mencerminkan kebersamaan masyarakat. Perasaan memiliki budaya slametan demikian kuat. Selain itu, biaya ritual slametan ini ditanggung bersama oleh semua masyarakat sehingga semakin menguatkan solidaritas masyarakat.
f.
Mitos sebagai pengetahuan tentang dunia. Mitos berupa cerita dan legenda dapat memberikan keterangan dan pengetahuan mengenai asal usul terjadinya beberapa daerah. Hal ini menambah khazanah pengetahuan mengenai asal usul daerah(Mahzum,tt:hlm). Menurut Peursen fungsi mitos dibagi menjadi tiga, yaitu:
a.
Menyadarkan manusia adanya kekuatan gsaib.
b.
Memberi jaminan bagi masa kini.
c.
Memberikan pengetahuan tentang dunia (Peursen,tt:hlm). Sedangkan Sukatman (tt:hlm) menyebutkan fungsi mitos yaitu:
a.
Bahan pembicaraan untuk menahan kantuk.
56
b.
Melestarikan ajaran atau faham yang dipegang teguh dari generasi tua ke generasi muda.
c.
Menggiring pikiran dan perasaan generasi muda sesuai ketentuan
d.
kehendak generasi tua.
e.
Bahan lelucon (humor).
f.
Menebar isu dan mengacau ketenangan masyarakat atas kelompok politik tertentu (Sukatman,tt:hlm).
57
BAB III GAMBARAN UMUM DESA JETIS DAN DESA ROGOMULYO
A. SEKILAS TENTANG DESA JETIS DAN DESA ROGOMULYO 1.
Desa Rogomulyo a. Latar Belakang Desa Rogomulyo merupakan satuan wilayah pemerintahan yang berada di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Berdasarkan struktur pemerintahannya Rogomulyo merupakan desa yang dipimpin oleh seorang kepala desa. Ada enam dusun yang merupakan pembagian wilayah administrasinya. Di bawah dusun terbagi lagi dalam satuan wilayah administrasi RT dan RW yang jumlah keseluruhan dalam satu desa ada 13 RW dan 35 RT. Dalam sejarahnya desa Rogomulyo adalah desa tertinggal, yang mana keadaan sosial ekonomi masyarakatnya sangat ketinggalan jauh dengan desa-desa di sekitarnya. Sejarah desa merupakan satu hal yang tidak dapat dipungkiri yang membentuk desa Rogomulyo sebagaimana kondisi saat ini. Kondsi yang dialami desa Rogomulyo telah mencapai perkembangan di berbagai sektor, secara singkat dapat disebutkan: 1) Sektor perekonomian. 2) Sektor keamanan 3) Sektor sosial kebudayaan
58
4) Sektor pemerintahan Perkembangan di atas dapat dikatakan sebagai kekuatan atau potensi
desa
untuk
maju
dan
dukungan
dalam
mengatasi
permasalahan-permasalahan yang dihadapi desa. Dalam setiap perkembangan pasti ada hambatan dan tantangan atau dampak dari perkembangan itu sendiri. Adapun masalah-masalah yang dihadapi desa saat ini adalah:
1) Kemiskinan yang sampai sekarang masih banyak disandang oleh sebagian besar masyarakat desa Rogomulyo 2) Sumber daya manusia masih relatif rendah sehingga belum dapat memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal untuk peningkatan kesejahteraan
b. Asal-Usul atau Legenda Desa Pada masa Kerajaan Mataram nama Rogomulyo belum ada, saat itu masih bernama Laweyan yang dipimpin oleh seorang penglawe
(sekarang
disebut
kepala
desa)
yang
masa
kepemimpinannya seumur hidup, yang mana wilayah-wilayah tersebut terbagi-bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Goboyo, Suruhan, dan Gegunung dengan pusat pemerintahan di Goboyo dipimpin oleh penglawe: Jogo Semito, digantikan Jogo Pawiro dengan sebutan Mbah Doro, digantikan Joyo Pawiro
59
2) Gagadan (sekarang Dusun Gumuk) dan Jangkrikan dengan pusat pemerintahan di Gagadan 3) Genting dengan pusat pemerintahan di Genting Pada masa pemerintahan colonial Bekanda, Laweyan-laweyan tersebut digabung menjadi satu dengan nama desa Rogomulyo, yang mempunyai makna: 1) ROGO berarti badan, awak, tubuh, tempat 2) MULYO berarti senang, serba kecukupan, bahagia, makmur 3) ROGOMULYO berarti suatu tempat atau desa yang mana masyarakatnya hidup dalam keadaan yang senang dan bahagia. Rogomulyo terdiri dari enam dusun yang masing-masing dikepalai/dipimpin oleh seorang bekel (sekarang kepala dusun), enam dusun tersebut adalah: 1) Dusun Suruhan 2) Dusun Gegunung 3) Dusun Rogomulyo 4) Dusun Gumuk 5) Dusun Jangkrikan 6) Dusun Genting c.
Sejarah Pemerintahan Desa Dalam perjalanan sejarah pemerintahan desa Rogomulyo sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda sampai sekarang telah mengalami berkali-kali pergantian kepemimpinan, yang mana
60
Demang/ Kepala Desa tersebut dipilih langsung oleh warga masyarakat yang sudah berumur dewasa (berumur 17 tahun ke atas atau sudah pernah kawin. Pemimpin (Demang/Kepala Desa) Rogomulyo yaitu: No
Nama
Waktu Menjabat
1
Cepong
tidak diketahui
2
Wongso Setiko
tidak diketahui
3
Suto Diharjo
tidak diketahui
4
Jogo Prawiro Pirman
- 1952
5
Soemanto Diharjo
1952 – 1988
6
Parno
1988 – 1988
7
Salib Suhardi
1988 – 1998
8
Herman Hendrarto, SH
1998 – 2000
9
Soerjadi
Periode 2000 - 2012 (2 periode)
10
Timotius Trimo
2012 – sekarang
d. Kondisi Geografis 1) Letak Wilayah Nama Desa
= Rogomulyo
Nama Kecamatan
= Kaliwungu
Nama Kabupaten
= Semarang
Nama Propinsi
= Jawa Tengah
Jarak kecamatan
= 3,2 km
Jarak kabupaten
= 54,8 km
2) Batas Wilayah Utara
= Kec. Susukan
61
Timur
= Kab. Boyolali
Selatan
= Desa Jetis dan Desa Kaliwungu
Barat
= Kec. Boyolali dan Kec. Susukan
3) Luas Wilayah Luas wilayah desa adalah 402 Ha, terbagi atas 6 dusun dan 35 RT, yaitu: No
Nama Dusun
Jumlah RT
1
Rogomulyo
10
2
Suruhan
10
3
Gumuk
5
4
Jangkrikan
2
5
Genting
4
6
Gegunung
4
e. Demografi/Kependudukan dan Sosial Budaya Desa 1) Jumlah Penduduk No
Penduduk
Jumlah
1
Laki-laki
1924
2
Perempuan
2008
3
Jumlah
3932
2) Agama dan Etnis Penduduk No 1 2 3 4 5 6
Agama Islam Kristen Katolik Hindu Budha Konghuchu
Jumlah 3.567 orang 361 orang 0 orang 0 orang 0 orang 0 orang
62
f. Potensi dan Permasalahan Desa No 1
Bidang Sumber
Masalah Daya SDM yang ada belum mampu mengolah
Manusia
dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada secara maksimal
2
Sumber
Daya Sumber daya alam belum dikelola/
Alam
dimanfaatkan secara maksimal untuk mencukupi kebutuhan hidup
3
Sarana-prasarana
Kesadaran masyarakat untuk berswadaya kurang,
Pemeliharaan
hasil
pembangunan kurang maksimal, dan Sarana prasarana pemerintahan belum memenuhi standar 4
Bidang ekonomi
SDM belum mampu mengolah sumber daya alam yang ada secara maksimal, Sumber daya alam belum dimanfaatkan secara
maksimal
kebutuhan
untuk
masyarakat,
mencukupi Belum
ada
pengusaha/investor yang masuk ke Desa Rogomulyo untuk membuka usahanya, Masih minimnya modal usaha bagi masyarakat, mampu
dan
Masyarakat
melaksanakan
belum
manajemen
usahanya 5
Bidang kesehatan
Masyarakat
belum
sepenuhnya
menyadari arti pentingnya kesehatan, Pola
makan
masyarakat
belum
memenuhi kriteria 4 sehat 5 sempurna, dan Banyak KK yang belum memiliki jamban keluarga
63
6
Bidang
Tingkat pendidikan masyarakat relatif
pendidikan
rendah, dan Kesadaran masyarakat untuk melaksanakan pendidikan relatif kurang
7
Bidang
Anggota lembaga desa kurang aktif
kelembagaan 8
Bidang
sosial Seni
budaya
budaya
dikembangkan
yang dan
ada Kondisi
belum sosial
masyarakat masih rendah 9
Bidang ketertiban Sarana prasarana pos kamling tidak dan keamanan
lengkap serta Pelaksanaan siskamling tidak rutin
10
Lain-lain
Kerja sama dengan pihak investor belum ada, Transportasi kurang lancar, Belum ada
sarana/trayek
angkutan
umum
pedesaan, Banyak angkatan kerja yang tidak mempunyai pekserjaan tetap, serta Lapangan pekerjaan yang ada di desa tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang diperoleh generasi muda
2.
Desa Jetis a. Latar Belakang Desa Jetis adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Kaliwungu
Kabupaten
Semarang.
Berdasarkan
struktur
pemerintahannya desa Jetis merupakan desa yang dipimpin oleh seorang kepala desa. Ada sepuluh dusun yang merupakan pembagian wilayah administrasinya yang kemudian dibagi atas RT dan RW.
64
Kondsi yang dialami desa Jetis bisa dikatakan telah mencapai perkembangan di berbagai sektor, secara singkat dapat disebutkan: 1) Sektor perekonomian. 2) Sektor keamanan 3) Sektor sosial kebudayaan 4) Sektor pemerintahan Perkembangan di atas dapat dikatakan sebagai kekuatan atau potensi
desa
untuk
maju
dan
dukungan
dalam
mengatasi
permasalahan-permasalahan yang dihadapi desa. Dalam setiap perkembangan pasti ada hambatan dan tantangan atau dampak dari perkembangan itu sendiri. b. Asal-Usul atau Legenda Desa Tidak diketahui mengenai sejarah asal muasal adanya desa Jetis, namun yang pasti desa ini sudah ada sebelum zaman kesultanan Mataram pertama. Hal ini dibuktikan dengan adanya makam Kyai Pakiringan yang merupakan ayah dari Ki Juru Mertani, yang mana Ki Juru Mertani adalah patih pertama di kesultanan Mataram yang berjuluk Kyai Adipati Mandaraka, adapun makamnya ada di dusun Kiringan Utara desa Jetis.
65
c.
Sejarah Pemerintahan Desa Dalam perjalanan sejarah pemerintahan, desa Jetis sampai sekarang telah mengalami berkali-kali pergantian kepemimpinan, yang mana Kepala Desa tersebut dipilih langsung oleh warga masyarakat yang sudah mempunyai hak pilih. Adapun yang pernah menjabat sebagai Kepala Desa di desa Jetis adalah: No
Nama
Waktu Menjabat
1
Bekel Cowijoyo
Tidak diketahui
2
Kasan Dikromo
Tidak diketahui
3
Mbah Manten
Tidak diketahui
4
Harjo Sukarto
Tidak diketahui
5
Jogo Sukaryo
Tidak diketahui
6
Sumarjo
1979-1993 (2 periode)
7
Budiningsih
2000-2006
8
H. Sugeng Sumarjo
2008-2012
9
Suwardi
2013- sekarang
d. Kondisi Geografis 1) Letak Wilayah Nama Desa
= Jetis
Nama Kecamatan
= Kaliwungu
Nama Kabupaten
= Semarang
Nama Propinsi
= Jawa Tengah
Jarak kota kecamatan
= 2 km
Jarak kota kabupaten
= 32 km
Jarak kota propinsi
= 42 km 66
2) Batas Wilayah Utara
= Desa
Rogomulyo
dan
Desa
Ngampon Kec. Boyolali Timur
= Desa Kaliwungu
Selatan
= Desa Payungan
Barat
= Desa Dawung Kec. Boyolali
3) Luas Wilayah Luas wilayah desa adalah 264,71 Ha, terbagi atas 10 dusun dan 23 RT, yaitu: No
Nama Dusun
Jumlah RT
1
Kiringan Utara
2
2
Kiringan Selatan
2
3
Sendang
3
4
Jetis
2
5
Gumuk
2
6
Klegen
2
7
Pregolan
2
8
Brungkah
2
9
Kemiri 1
2
10
Kemiri 2
2
e. Demografi/Kependudukan dan Sosial Budaya Desa 1) Jumlah Penduduk No
Penduduk
Jumlah
1
Laki-laki
1124
2
Perempuan
1088
3
Jumlah
2212
67
B. MITOS LARANGAN PERNIKAHAN DI DESA JETIS DAN DESA ROGOMULYO Menurut penuturan bapak Muslih, orang yang dianggap mengetahui mengenai sejarah terjadinya mitos larangan pernikahan yang terjadi di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo adalah sebagai berikut. Dahulu hidup seorang yang dianggap mempunyai kekuatan linuweh (mempunyai kekuatan supranutaral yang tinggi) mencari kekuatan dengan melakukan ritual (bersemedi/menyepi di tempat yang sepi untuk memperoleh sesuatu). Kebetulan lokasi ritual yang beliau tempati adalah sungai yang mengikuti aliran sungai dong pungkur. Sungai dong pungkur adalah pertemuan dua sungai yang berada di desa Jetis, kedua aliran sungai tersebut adalah aliran sungai dari desa Selodoko Kec. Ampel Kab. Boyolali dengan aliran sungai dari desa Kedawung Kec. Ampel Kab. Boyolali. Sungai ini juga yang menjadi batas wilayah desa Jetis dengan desa Rogomulyo. Singkat cerita, setelah 40 hari melakukan ritual di aliran sungai tersebut beliau melihat cahaya hijau yang kemudian beliau ambil, ketika beliau mengambil cahaya tersebut cahaya tersebut berubah menjadi batu kecil, akan tetapi penunggu sungai tersebut tidak terima ketika batu tersebut diambil sehingga terjadilah perkelahian diantara mereka. Perkelahian tersebut akhirnya dimenangkan oleh orang yang mempunyai kekuatan tersebut hingga penunggu sungai tersebut mengatakan sumpah yang intinya ia tidak akan pernah terima dengan kejadian tersebut
68
dan ia akan mengambil tumbal, yaitu jika ada pengantin baru yang usia pernikahannya belum melewati 40 hari kemudian menyebrangi aliran sungai dongpungkur maka salah satunya akan mati. Akibat kejadian inilah mitos tersebut muncul, namun mengenai kapan terjadinya kejadian tersebut tidak ada yang tahu secara pasti. Menurut narasumber kejadian tersebut terjadi jauh sebelum beliau dilahirkan, beliau mengetahui sejarah ini dari mertua beliau (mbah Citro Gino Alm). Beliau menuturkan, sebenarnya tidak sepenuhnya semua warga Desa Jetis dan warga Desa Rogomulyo itu dilarang menikah, akan tetapi hanya sebagian Dusun di Desa Jetis dan sebagian Dusun di Desa Rogomulyo. Untuk Desa Jetis larangan ini berlaku untuk Dusun Kiringan Selatan, Kiringan Utara, Jetis, Gumuk dan Sendang. Sedangkan untuk Desa Rogomulyo larangan ini berlaku untuk Dusun Gegunung, Banaran dan Rogomulyo. Bahkan belum tentu warga Desa Jetis tersebut boleh menikah dengan warga Desa Jetis itu sendiri, hal ini berlaku untuk Dusun Kiringan Selatan, Kiringan Utara, Jetis, Gumuk dan Sendang yang menikah dengan warga dari Dusun Klegen, padahal dusun-dusun tersebut masuk pada wilayah Desa Jetis. Begitu juga untuk Desa Rogomulyo, terjadi pula larangan untuk menikah sesama warga Desa Rogomulyo, larangan ini berlaku untuk Dusun Gegunung, Banaran dan Rogomulyo dengan sebagian warga Gegunung yang berada di wilayah Jatenan. Hal ini dilatar belakangi karena aliran sungai dong pungkur yang memisahkan wilayah- wilayah tersebut.
69
Selain itu beliau menuturkan bahwa larangan ini juga berlaku untuk sebagian dusun di Desa Ngampon Kec. Ampel Kab. Boyolali. Lebih lanjut beliau juga menuturkan jika ada pengantin baru yang usia pernikahannya belum sampai 40 hari dari daerah manapun kemudian melewati jembatan di atas sungai dong pungkur maka salah satu dari mereka akan meninggal tidak lama kemudian. Berbagai cerita muncul sebagai akibat jika melanggar kepercayaan ini, mulai dari kehidupan yang tidak harmonis, perceraian hingga kematian. Akibat dari melanggar kepercayaan ini bisa berupa kehidupan yang tidak harmonis, ada yang tidak mempunyai keturunan, adakalanya kesulitan ekonomi dan lain-lain. Akibat dari melanggar kepercayaan ini berupa perceraian jika sang suami berasal dari Desa Jetis sedangkan istrinya berasal dari Desa Rogomulyo. Sebaliknya, jika sang suami berasal dari Desa Rogomulyo dan istri berasal dari Desa Jetis ketika sang istri kelihatan sedang mengandung maka salah satu orang tua dari sang istri akan meninggal dunia, entah itu akibat sakit atau yang lainnya yang kemudian akan dihubungkan dengan mitos karena melanggar kepercayaan larangan menikah yang terjadi yang terjadi di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo.
70
C. PERSEPSI
MASYARAKAT
ROGOMULYO
MENGENAI
DESA
JETIS
KEPERCAYAAN
DAN
DESA
LARANGAN
PERNIKAHAN DI DESA JETIS DAN DESA ROGOMULYO Dalam hal persepsi, tentunya tiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda. Terlebih lagi mengenai mitos yang berkembang di desa Jetis dan desa Rogomulyo. Desa yang mempunyai mitos tentang larangan menikah antara penduduk desa satu dengan yang lain yang mempunyai sejarah dari nenek moyang zaman dahulu. Bisa jadi persepsi orang ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Tergantung dari tiap orang masing-masing. 1. Tokoh masyarakat Menurut bapak Sambyah Tanwiri selaku tokoh agama desa Jetis, tentang ada tidaknya mitos larangan pernikahan di Desa Jetis dengan masyarakat desa Rogomulyo sampai sekarang masih ada tapi jarang sekali, karena setiap mau melangkah mereka diingatkan oleh orang tuanya “ojo nang ojo ndok, sejarahe jarene wong ndisek iku rak apek”. Tapi ada, salah satu orang dari penduduk Jetis dan keluarganya baik-baik saja. Sampai sekarang mitos tersebut masih berlanjut di sebagian masyarakat. Beliau memilih untuk tidak percaya dengan hal yang seperti itu. Beliau memandang, yang terpenting lebih kuat keagamaannya. Jadi Allah itu melarang hal yang tidak sesuai dengan aturan syari’at. Untuk apa mempercayai sampai berlebihan, misalnya saja orang desa Jetis yang menikah dengan penduduk desa Rogomulyo ada, nyatanya tidak apa-apa karena dia yakin. Beliau pun lebih percaya seperti itu. Manusia diciptakan
71
Allah itu sama di manapun berada. Manusia memilih suami-istri dari manapun, sepanjang sesama aqidah, sesama keyakinan tidak ada masalah. Jika memang tidak yakin untuk apa dijalankan, ibarat berjalan di atas syariat yang tidak benar. Kita sebagai manusia sudah diberi acuan Qur’an dan Hadist, inilah yang layak kita jalankan. Kita tidak perlu memikirkan mitos-mitos yang tidak masuk akal. Semuanya kita kembalikan pada qadha’ dan takdir. Ketika memegang kedua hal tersebut, kita akan menjadi lebih teguh(wawancara dengan Bpk. Kyai Sambyah Tanwiri, jum’at 05 juni 2015 12.36 WIB, Masjid riyadhul jannah). Pendapat tersebut sama dengan apa yang disampaikan oleh bapak Marjhono, seorang perangkat desa bagian kaur kesra desa Jetis yang sekaligus mempunyai pekerjaan sebagai petani. Menurutnya, beliau juga tidak percaya dengan adanya mitos tersebut. Permasalahannya, tidak ada manfaatnya antara satu desa dengan desa lain ada mitos seperti itu. Ada rumah tangga yang bercerai itu karena orangnya sendiri bukan karena mitos tersebut(wawancara dengan Bpk. Marjhono, jum’at 05 juni 2015 13.07 WIB, Masjid riyadhul jannah). Selanjutnya dari bapak Sukino selaku kaur kesra sekaligus Modin desa Rogomulyo. Dengan adanya kepercayaan masyarakat yang seperti itu, beliau menanggapi hal tersebut dengan baik. Karena sebagai seorang modin dan aparat desa harus melayani masyarakat sebaik mungkin. Dengan catatan tidak menyimpang dari tuntunan agama. Beliau menyikapi dengan mengikuti syariat yang ada. Dan yang dimaksud syari’at di sini
72
adalah semisal ada hajatan, meminta pada Allah supaya diberi kelancaran dan keselamatan melalui ziarah ke makam leluhur. Ziarah itu ada perintahnya selama tidak menyimpang dari syari’at Islam. Seperti halnya mitos yang ada kaitannya dengan sedekah bumi bertujuan untuk keselamatan, khususnya bagi para petani. Sejarah tentang mitos tersebut merupakan suatu sugesti tiap-tiap orang. Bahkan sampai sekarang pun juga masih berlanjut, tapi kenyataannya yang melanggar tersebut baik-baik saja meskipun salah satu dari keluarganya ada yang
meninggal, lalu
dihubungkan dengan larangan menikah tersebut. Karena sugesti itu tidak bisa diprediksi (wawancara dengan bpk. Sukino, sabtu, 06, juni 2015 19.30WIB kediaman Bpk. Sukino). Sedangkan bapak Suwardi yang menjabat sebagai kedes desa Jetis tidak mengetahui secara pasti akan sejarah dari mitos tersebut. masalah percaya dan tidak percaya, beliau lebih memilih untuk percaya mitos larangan perkawinan itu. Karena hal itu sudah mejadi adat masyarakat desa Jetis dan masyarakat desa Rogomulyo sendiri yang harus dipatuhi selama tidak melanggar syari’at agama(wawancara dengan bpk. Suwardi, rabu, 10, juni 2015 12.30WIB balai desa jetis). Lain halnya dengan bapak Zuhdi Mansur yang menjabat sebagai imam mushola desa Jetis. Mitos itu hanya sebagai kabar burung belaka. Sebagai orang yang beragama, yang namanya antara desa ini dilarang menikah dengan desa lain itu tidak ada hukum yang mengatakan seperti itu. Karena itu tidak ada dasarnya baik di dalam al-Qur’an maupun hadits.
73
Beliau tidak percaya akan mitos larangan perkawinan tersebut, karena segala sesuatu yang ada di dunia ini sudah diatur oleh Allah SWT. (wawancara dengan bpk. Zuhdi Mansur, rabu, 10, juni 2015 19.30WIB kediaman bpk. Zuhdi Mansur). Berbeda dengan apa yang telah dituturkan oleh tokoh-tokoh di atas, mbah parmo menuturkan (iki tradisi seng wes enek ket zaman disek, seng jenenge tradisi iku kudu diterusake. Tradisi iki mengku balak kagone wong seng klagar, jalaran tradisi iki duweni maksut supoyo ora ono kedadeankedadean seng ora dikarepake. Wes akeh contoh seng iso dadi tulhodo, mulane ojo karepe dewe klagar tradisi seng wes ono) jika diartikan dalam bahasa Indonesia kurang lebih maksutnya adalah (ini adalah tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu, yang namanya tradisi itu harus dilanjutkan. Tradisi ini mengandung akibat bagi yang melanggarnya, karena tradisi ini mempunyai tujuan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sudah banyak contoh yang bisa dijadikan sebagai pedoman, makanya jangan seenaknya sendiri melanggar tradisi yang sudah ada). (wawancara dengan mbah Parmo, rabu, 10, juni 2015 21.30WIB kediaman mbah Parmo). 2. Masyarakat umum Bapak Jumian merupakan seorang yang berprofesi sebagai buruh tani, bertempat tinggal di desa Jetis. Dalam usianya yang bisa dikatakan relatif senja, sehingga penduduk setempat menganggap beliau sebagai sesepuh (orang yang dituakan). Beliau mengatakan mitos tentang larangan perkawinan tersebut benar adanya. Menurutnya sampai sekarang antara
74
warga desa Jetis dengan warga desa Rogomulyo jarang yang berani melakukan pernikahan. Kata orang zaman dahulu wala’ desa (wawancara dengan bpk. Jumian, rabu, 10, juni 2015 16.30WIB kediaman bpk. Jumian). Selanjutnya hasil wawancara penulis dengan ibu Ngatirah, beliau adalah warga asli desa Rogomulyo yang dulu pernah bekerja sebagai petani. Tapi, karena faktor usia, sekarang pekerjaannya hanya di rumah dan mengasuh cucu. Mengenai mitos itu, beliau membenarkan adanya mitos tersebut. Tapi beliau tidak mengetahui sejarahnya bagaimana, karena dari dulu memang sudah begitu. Beliau hanya mengetahui, jika penduduk desa Jetis menikah dengan penduduk desa Rogomulyo itu tidak boleh, karena ada akibatnya. Ibu Ngatirah hanya ikut orang-orang saja tentang mitos itu, tapi tidak percaya sepenuhnya. Tentang mitos itu masih berlanjut apa tidak, beliau tidak tahu tentang perkembangan yang ada di masyarakat (wawancara dengan ibu Ngatirah, jum’at, 12, juni 2015 12.00 WIB kediaman ibu Ngatirah). Selanjutnya hasil wawancara penulis dengan ibu Tini, beliau adalah warga desa Jetis yang bekerja sebagai buruh tani. Beliau memilih untuk tidak banyak memberikan pernyataan tentang masalah mitos tersebut. Namun, beliau membenarkan adanya mitos tersebut dan masih berlanjut sampai sekarang (wawancara dengan ibu Tini, jum’at, 19, juni 2015 16.10 WIB kediaman ibu Tini).
75
Menurut ibu Subadriah yang kesehariannya bekerja sebagai buruh pabrik, membenarkan mitos tersebut meskipun tidak mengetahui asal muasalnya karena beliau merupakan masyarakat pendatang. Tentang percaya atau tidaknya, beliau percaya akan mitos tersebut. Kenyataan yang ada di masyarakat, mereka pada tidak berani melanggar karena takut jika terjadi apa-apa (wawancara dengan ibu, Subadriah, jum’at, 19, juni 2015 21.10 WIB kediaman ibu Subadriah). Sedangkan menurut bapak Paiman penduduk desa Rogomulyo tidak ada yang berani melangkahi (melanggar) mitos tersebut. Jika dilangkahi, tidak lama rumah tangganya akan pisah, meninggal atau cerai. Kebanyakan orang-orang pada tidak berani, karena itu sudah menjadi tradisi dari dulu. Jadi antara dua penduduk desa itu tidak boleh berjodohan (wawancara dengan bpk. Paimin, jum’at, 19, juni 2015 15.00 WIB kediaman bpk. Paimin). 3. Pelaku pernikahan antar desa Menurut bapak Juweni yang berprofesi sebagai pedagang. Beliau tidak mengetahui mitos tersebut. Tapi, kata orang-orang sekitar memang benar adanya. Menurutnya, sekarang mitos tersebut sudah tidak berlaku dan sudah banyak yang melanggar. Beliau memilih untuk tidak percaya mitos tersebut, karena beliau sendiri yang berasal dari desa Rogomulyo dapat orang dari desa Jetis, kenyatannya juga tidak apa-apa (wawancara dengan bpk. Juweni, sabtu, 20, juni 2015 09.00 WIB kediaman bpk. Juweni).
76
Sedangkan menurut ibu Sumiyati, warga desa Rogomulyo yang menikah dengan pemuda desa Jetis yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Mitos tersebut sudah tidak berlaku lagi karena sekarang sudah banyak yang warga asli Rogomulyo yang menikah dengan warga desa Jetis. Dan ibu Sumiyati tidak percaya akan hal itu (wawancara dengan ibu Sumiyati, sabtu, 20, juni 2015 19.00 WIB kediaman ibu Sumiyati).
77
BAB IV PERSEPSI TENTANG LARANGAN PERNIKAHAN ANTAR DESA DAN TINJAUAN HUKUM ISLAM
Kehidupan masyarakat pada masa kini tidak lepas dari budaya nenek moyang atau leluhur yang telah melekat pada kehidupan sehari-hari. Budaya nenek moyang tersebut antara lain adalah kepercayaan pada roh halus (animisme), kepercayaan bahwa benda-benda tertentu mempunyai kekuatan gaib (dinamisme), dan adanya benda-benda tertentu yang dipuja atau disembah (totemisme). Meskipun pada masa kini agama dan ilmu pengetahuan yang rasional telah menggeser kepercayaan lama tersebut, masih ada budaya-budaya lama yang tetap melekat pada sebagian masyarakat. Salah satunya adalah kepercayaan terhadap mitos larangan pernikahan antar desa yang terjadi di Desa Jetis dan Desa Rogomulyo. A. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP LARANGAN PERNIKAHAN DI DESA JETIS DAN DESA ROGOMULYO Tidak semua masyarakat sependapat mengenai mitos larangan pernikahan yang terjadi di kedua desa tersebut. Ada yang beranggapan bahwa mitos tersebut harus ditigalkan, ada pula yang beragapan mitos tersebut harus dilestarikan dan dijaga kelangsungannya, akan tetapi kebanyakan dari mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, mereka hanya berusaha untuk tidak menikah dengan masyarakat desa Jetis ataupun sebaliknya desa Rogomulyo.
78
Masyarakat yang beragapan bahwa mitos tersebut harus ditigalkan adalah masyarakat-masyarakat yang pengetahuan agamanya bisa dianggap cukup, sehingga mereka mengetahui hukum mempercayai sebuah mitos dan beragapan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah kehendak Allah, jika kita beragapan ada hal yang datang dari selain Allah itu adalah musrik dan itu adalah dosa besar. Masyarakat yang beragapan bahwa mitos itu harus diteruskan adalah masyarakat-masyarakat yang beranggapan bahwa mitos itu dianggap sebagai tradisi yang harus diteruskan, masyarakat-masyarakat seperti inilah yang menjadikan mitos ini tetap ada sampai sekarang, karena ketika ada yang ingin menikah dari kedua warga desa tersebut mereka akan selalu mengingatkan pada calon mempelai tentang akibat jika melanggar mitos larangan pernikahan tersebut. Sedangkan kebanyakan dari masyarakat umum mengikuti saja, terkadang mereka ada yang mengikuti dari pendapat yang melarang pernikahan antar desa, ada pula dari sebagian mereka yang mengikuti pendapat bahwa mitos tersebut tidak punya pengaruh apa-apa terhadap kehidupan manusia, jadi mereka tetap melangsungkan pernikahan. Namun kebanyakan dari mereka, karena terbatasnya pengetahuan agama di antara masyarakat golongan ini menjadikan mitos tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti, mereka takut jikalau ada hal-hal yang tidak diinginkan yang akan menimpa keluarga mereka jika melanggar mitos ini. Mereka beranggapan lebih baik menghindar dari pada harus menanggung akibat yang
79
tidak diinginkan, maka tidak heran jika sampai sekarang mitos larangan pernikahan di dua desa ini tetap berlanjut sampai sekarang. B. PERSEPSI
ULAMA
TERHADAP
LARANGAN
PERNIKAHAN
DISEBABKAN ADANYA MITOS 1.
Ust. Akrom Auladi (ustadz pondok pesantren tremas pacitan) Menurut beliau, Islam tidak menjelaskan secara pasti hukum larangan pernikahan antar desa, itu hanyalah mitos belaka yang diyakini oleh warganya, Islam tidak melarang sebuah pernikahan salama dipandang secara syariat tidak sampai melanggar ketentuan larangan pernikahan, yakni nasab, mushaharoh dan rodho’ah (wawancara dengan ust. Akrom Auladi, sabtu, 8, agustus 2015 09.00 WIB Perguruan Islam Pondok Tremas ).
2.
Ust. Aminuddin (ustadz sekaligus putra pengasuh pondok pesantren futuhul ulum Wedung Demak) Menurut beliau, larangan pernikahan antar desa tersebut tidak bisa dibenarkan secara islam karena tidak ada dasar hukumnya, dan itu hanyalah sebagai mitos belaka. Sebenarnya ketika janin dalam kandungan sudah mencapai usia 120 hari sudah ditentukan oleh Allah apa yang menjadi takdir atas dirinya yang meliputi 4 perkara. yaitu, jodoh, rezeki, maut dan umur. Jadi kita tidak boleh mengikuti sesuatu di luar syariat, dengan adanya takdir Allah atas manusia tersebut kita tidak boleh mempercayainya, kecuali jika larangan pernikahan tersebut
80
dibenarkan oleh syari’at (wawancara dengan ust. Aminuddin, minggu, 2, agustus 2015 19.00 WIB Pondok Pesantren futuhul ulum ). 3.
Ust. Sholahudin al Ayubi (ustadz pondok pesantren Tremas Pacitan) Menurut beliau, larangan pernikahan tersebut hanyalah mitos belaka yang kemudian diturunkan secara turun temurun pada anak cucunya. Tidak ada penjelasan hukum mengenai larangan pernikahan tersebut, tapi pada kenyataannya hal tersebut memang terjadi sehingga mau tidak mau masyarakatpun akhirnya menyakini hal tersebut (wawancara dengan ust. Sholahudi al-Ayubi, sabtu, 8, agustus 2015 10.00 WIB Perguruan Islam Pondok Tremas ).
4.
Ust. Ahmad Fauzi (dewan pentasheh bahsul masail pondok tremas) Dalam mengambil sebuah hukum agama kita harus berpijak pada al Qur’an dan Hadist, jika dalam keduanya tidak terdapat hukum mengenai masalah tersebut kita masih bisa mencarinya melalui metode ijma’ dan qiyas sebagaimana yang dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu (wawancara dengan ust. Ahmad Fauzi, sabtu, 8, agustus 2015 14.30 WIB Perguruan Islam Pondok Tremas ).
5.
Ust. Jabir (dewan pentasheh bahsul masail pondok tremas) Menambahi yang disampaikan ust. Fauzi, ketika ulama dahulu menjawab mengenai suatu masalah hukum perlu juga mengetahui kaidah-kaidah fiqiyah yang mungkin saja bisa digunakan sebagai dasar untuk mengambil sebuah hukum agama yang tidak diatur dalam nash al-
81
Qur’an dan Hadist (wawancara dengan ust. Jabir, sabtu, 8, agustus 2015 19.00 WIB Perguruan Islam Pondok Tremas ). C. TINJAUAN
HUKUM
ISLAM
TERHADAP
KEPERCAYAAN
LARANGAN PERNIKAHAN SEBAB ADANYA MITOS Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin yang dilengkapi dengan tuntunan-tuntunan bagi pemeluknya. Di dalam Islam, Nabi Muhammad SAW mengajarkan untuk mengambil suatu hukum yang berasal dari Al Qur’an dan Hadits. Namun, apabila di dalam Al Qur’an dan Hadits tidak ada, para ulama yang mendapat predikat warasatul anbiya’ telah mengajarkan untuk mengambil hukum dari ijma’ dan qiyas seperti yang telah diajarkan oleh para sahabat. Mitos dan tradisi yang terdapat di desa Jetis dan desa Rogomulyo sebagian mungkin ada yang lahir dari sebuah perjalanan spiritual, dan sebagian lagi bahkan mungkin bisa menjadikan lemahnya aqidah seseorang. Mitos-mitos tersebut adalah sesuatu yang baru yang belum pernah ada pada zaman Rasulullah SAW. Tapi, kepercayaan masyarakat terhadap mitos tersebut tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang haram, setidaknya jika kita menilai sesuatu hal tersebut dari segi positifnya, bukan dari negatifnya asal tidak melanggar syari’at Islam dan tidak merusak aqidah Islamiyah. Jika dilihat dari segi kearifan lokal, antara masyarakat desa Jetis dan masyarakat desa Rogomulyo tidak melakukan hal yang salah karena dengan mempercayai mitos tersebut mereka menghormati sesepuh terdahulu yang telah membangun dan mempertahankan desa mereka.
82
Jika menyimpulkan pendapat-pendapat para ustadz-ustadz tersebut di atas kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya mempercayai larangan pernikahan antar desa tidak bisa dibenarkan jika al-Qur’an dan al-Hadist melarang hal tersebut, tapi tidak menutup kemungkinan ketika hukum suatu perkara tidak dijelaskan dalam al-Qur’an maupun al-Hadist tapi jika ada ijma’ atau qiyas yang membolehkan suatu hal maka boleh-boleh saja hal tersebut dilakukan, karena ketika para ulama itu mengeluarkan suatu hukum perkara beliau telah mendalami ilmu-ilmu yang diperlukan untuk memberikan suatu hukum mengenai suatu perkara tersebut. Jika dilihat dari sisi qowaidul fiqhiyah diterangkan tentang kaidah (bahaya itu harus dihilangkan), hukum larangan pernikahan antar desa tersebut bisa saja dibenarkan. Dalam kitab syarah al faroidu al bahiyat fi al qowaidul al fiqhiyah yang mana kaidah ini mempunyai beberapa kaidahkaidah cabang, antara lain adalah: 1.
Bahaya bisa membolehkan sesuatu yang dilarang.
2.
Sesuatu yang diperbolehkan karena adanya bahaya itu hanya boleh dilakukan sesuai kadar kebutuhannya.
3.
Bahaya itu tidak bisa dihilangkan dengan bahaya yang lain.
4.
Ketika dua kerusakan itu bertentangan maka menjaga mafsadah yang lebih besar itu lebih didahulukan dengan menjalankan mafsadah yang lebih ringan.
5.
Menolak
kerusakan
itu
lebih
didahulukan
dari
pada
menarik
kemanfaatan.(Harist,1979:43-49).
83
Dalam kaidah cabang yang nomer lima ini mempunyai maksud mencegah bahaya lebih utama dari pada menarik kebaikan. Kaidah yang nomer lima ini menyakut dalam segala permasalahan yang di dalamnya terkandung maslahah dan mafsadah, yaitu apabila dalam suatu permasalahan itu maslahah dan mafsadah berkumpul maka yang diutamakan adalah menolak mafsadah. Nabi Muhamad yang dalam hal ini adalah manusia yang membuat peraturan lebih memperhatikan pada sesuatu yang dilarang dari pada yang diperintahkan. Karena dalam manhiyat (larangan )terhadap unsurunsur yang dapat menghilangkan atau merusak hikmah larangan itu sendiri, tidak demikian halnya dalam ma’murot (perintah)(as-Suyuti,tt:178). Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa hal-hal yang dilarang lebih utama untuk dihilangkan atau ditangkal dari pada mencari kebaikan dengan melakukan perintah-perintah agama kalau di sisi lain kita membiarkan kerusakan. Hal ini sesuai dengan Hadist
Artinya: jika aku perintahkan kamu semua akan suatu perkara, maka kerjakanlah ia semampumu. Dan jika aku melarang suatu hal maka jauhilah (Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo 2005,2009:238). Meskipun demikian, kaidah ini tidaklah berlaku secara mutlak, namun perlu untuk diperinci dengan melihat besar kecilnya maslahah dan mafsadah, yaitu: 1.
Jika mafsadahnya lebih besar dibanding maslahatnya, maka menghindari mafsadah itu dikedepankan daripada meraih kemaslahatan tersebut.
84
2.
Jika maslahahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan mafsadah yang akan timbul, maka meraih maslahah itu lebih diutamakan daripada menghindari mafsadahnya. Oleh karena itu jihad berperang melawan orang kafir disyariatkan, karena meskipun ada mafsadahnya yaitu hilangnya harta, jiwa dan lainnya, namun maslahah menegakkan kalimat Allah dimuka bumi jauh lebih utama dan lebih besar.
3.
Apabila maslahah dan mafsadah seimbang, maka secara umum saat itu menolak mafsadah lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan yang ada (as-Suyuti,tt:179). Contoh penerapan kaidah:
1.
Mengambil mafsadah a. Dilarang jual beli minuman keras, babi dan lainnya meskipun ada maslahah dari sisi ekonomi atau kesehatan. b. Jika bercampur antara daging yang halal dan yang haram dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya, maka semuanya tidak boleh dimakan, karena menolak mafsadah makan daging haram lebih dikedepankan daripada maslahah daging yang halal. c. Larangan membuat jendela rumah kalau dengannya bisa melihat aurat tetangganya, meskipun itu ada maslahah baginya. d. Boleh mengambil rukhsah dalam ibadah seperti shalat (berduduk, berbaring), puasa (berbuka dalam musafir) dan bersuci (dengan bertayammum) namun tidak boleh dalam kemakshiatan lebihlebih dalam masalah dosa besar.
85
e. Berkumur-kumur dan memasukkan air kedalam hidung adalah sunnah, namun meninggalkannya bagi orang yang puasa lebih dianjurkan karena menghindari batalnya puasa. f. Seandai seseorang tidak sanggup menahan dari membuang hajatnya dan hanya ada tempat umum yang mana jika melakukannya akan terlihat auratnya maka ia harus menahannya karena menutup aurat adalah wajib. Begitu juga kalau wanita wajib mandi (haid,nifas atau janabat) namun tidak ada tempat yang khusus (penutup antara laki-laki), maka ia wajib mencari tempat atau mengulur waktu sehingga datang waktu yang tepat, karena menutup aurat itu wajib(Subuki,2001:40-42). 2.
Mengambil Mashlahah a. Mengucapkan kalimat kafir dalam keadaan terpaksa, sedangkan hatinya tetap teguh dengan keimanannya. b. Shalat wajib dalam keadaan suci dari hadas, namun berbeda dengan halnya orang yang mustahadhah dan sil-sil baul. c. Membongkar kuburan bagi mayat yang belum dimandikan atau diyakini salah menghadap kiblat(Subuki,2001:43-44).
3.
Mengambil Mashlahah atau Masfsadah Seperti tangan orang yang menderita kusta atau yang harus di amputasi namun dalam keadaan takut, namun seandainya ia berani dan yakin maka memotongnya adalah wajib(Subuki,2001:46).
86
Berdasar tinjauan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori larangan menikah antar desa bisa dibenarkan, dalam artian hanya berpendapat mengenai larangan itu saja, dengan tujuan agar tidak terjadi mafsadah bagi kedua mempelai atau keluarganya. Dengan alasan bahwa menghindari mafsadah (menghindari kematian dengan melarang suatu pernikahan) itu lebih utama dibandingkan dengan mengambil maslahah itu sendiri (pernikahan). Ditinjau dari ushul fiqih, larangan pernikahan antar desa dapat dikategorikan dalam maslahah mulghah. Larangan menikah antar desa bertentangan dengan nash sehingga dikategorikan dalam maslahah mulghah. Di dalam konsep ushul fiqih, terdapat konsep al-istihsan. Al-istihsan diartikan dengan menganggap sesuatu baik atau mengikuti sesuatu yang baik. Di dalam konsep al-istihsan seorang mujtahid mentarjih suatu dalil atas dalil yang lain karena adanya kemaslahatan dan menghilangkan kesempitan (Djazuli dan Aen, 2000:157-158). Apa yang dianggap baik kaum muslimin maka baik juga di sisi Allah. Masyarakat menganggap bahwa larangan nikah antar desa adalah aturan yang baik demi kepentingan bersama. Jadi larangan nikah antar desa juga sesuai dengan konsep Al-istihsan dalam ushul fikih. Sedangkan jika dilihat dari perspektif Aqidah Islamiyah, Islam melarang kita untuk percaya kepada selain Allah SWT termasuk pada mitos. Hal-hal yang tidak masuk akal yang tidak tercantum dalam al-Qur’an maupun al-Hadist itu hukumnya haram. Segala sesuatu yang terjadi pada manusia di bumi ini seperti lahir, mati dan seterusnya semuanya terjadi jika Allah
87
mengizinkan. Sebagaimana dalam firman Allah dalam al- Qur’an surat alThagabun ayat 11:
Artinya :Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah sMaha Mengetahui segala sesuatu (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010:557). Dan juga dalam surat al-Hadid ayat 22:
Artinya :Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010:540) Dari ayat-ayat tersebut jelas jika Allah lah yang mengatur semua urusan yang ada di dunia ini, mulai dari manusia, hewan, tumbuhan bahkan yang berkaitan dengan aqidah atau keyakinan. Oleh sebab itu, tindakan apapun yang ada kaitannya dengan masalah aqidah maupun keyakinan harus mendapat izin terlebih dahulu dari al-Qur’an maupun Hadist. Islam
memerintahkan
hamba-Nya
untuk
bertawakkal,
yakni
memasrahkan diri atas ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT. Dengan begitu bukan berarti sebagai manusia tidak memiliki kewenangan untuk bisa memastikan apa yang terjadi pada diri kita esok hari. Tapi bukan berarti juga percaya sepenuhnya akan mitos tersebut. 88
Mitos yang sudah melekat di hati masyarakat sewaktu-waktu bisa melahirkan sebuah sugesti, baik itu sugesti baik maupun buruk. Dan kejadian yang dialami oleh masyarakat itu merupakan balasan atau hukuman yang diterima mereka melalui sugesti tersebut. Beberapa dampak yang diyakini oleh masyarakat berkaitan dengan adanya mitos tersebut bisa berupa tertimpa penyakit, perceraian dan bahkan sampai kematian. Tapi yang lebih dikhawatirkan di sini adalah jika masyarakat menyakini kebenaran mitos tersebut, padahal mereka mengetahui kalau perbuatan tersebut tidak ada dalam ketentuan al-Qur’an maupun alHadist. Jadi, masalah mitos tentang larangan perkawinan antara desa Jetis dan desa Rogomulyo, secara aqidah Islamiyah termasuk menyalahi syari’at Islam apabila diyakini secara berlebihan, dalam arti menafikan adanya kehendak Allah. Allah telah menetapkan Qadla’ dan Qodar, di mana Qadla’ adalah ketetapan Allah yang tidak dapat berubah. Sedangkan Qodar masih dapat diubah. Allah telah berfirman dalam QS. Ar Ra’d ayat 11:
Artinya : Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang
89
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010:250).
Apabila masyarakat desa Jetis ataupun masyarakat desa Rogomulyo ada yang mendapatkan musibah ketika melanggar mitos tersebut, maka berarti dia mendapat musibah dari Allah melalui perantara mitos tersebut. Jika mereka percaya bahwa musibah itu datangnya dari selain Allah, maka hal itu tidak bisa dibenarkan. Hubungan mitos dan musibah yang datangnya dari Allah bisa saja dikaitkan dengan cara mengagapnya sebagai sebuah klausal sebab akibat, dalam artian ketika melanggar mitos tersebut (sebab) kemudian mendapatkan musibah (akibat) itu hanyalah sebagai perantara bagaimana Allah menunjukkan kekuasaan-NYA pada manusia.
90
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dengan judul Fenomena Mitos Larangan Pernikahan Antar Desa Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Larangan Pernikahan Antara Masyarakat Desa Jetis Dengan Masyarakat Desa Rogomulyo Kec Kaliwungu Kab Semarang), adalah sebagi berikut: 1. Kehidupan masyarakat pada umumnya tidak bisa terlepas dari yang namanya sejarah nenek moyang mereka. Begitu juga masyarakat desa Jetis dan desa Rogomulyo, sebagian besar masyarakat kedua desa percaya adanya mitos larangan pernikahan yang terjadi diantara desa mereka. Mitos tersebut berasal dari sejarah salah satu diantara nenek moyang mereka yang mempunyai kekuatan linuweh beradu kekuatan dengan salah satu penugu di sebuah sungai yang memisahkan desa Jetis dan desa Rogomulyo. Penugu sungai itu kalah dan menyatakan sumpah bahwa penugu tersebut akan mengambil nyawa pengantin yang usia pernikahannya belum mencapai 40 hari jika melewati aliran sungai tersebut. 2. Setiap manusia mempunyai pendapat masing-masing mengenai suatu masalah ataupun kejadian, begitu juga masyarakat desa Jetis dan masyarakat desa Rogomulyo, mereka mempunyai persepsi sendirisendiri tentang larangan pernikahan yang terjadi di desa tersebut. Jika
91
dikelompokkan maka persepsi-persepsi masyarakat itu adalah sebagai berikut: a. Masyarakat yang tidak percaya dengan larangan pernikahan antar desa. Kebanyakan masyarakat yang mempunyai persepsi seperti ini
adalah
masyarakat-masyarakat
yang
bisa
dikatatan
pengetahuan mereka mengenai masalah hukum agama Islam cukup mendalam. b. Masyarakat yang percaya, bahkan mereka berpegang teguh bahwa larangan itu harus tetap dipertahankan karena dianggap sebagai tradisi. Persepsi-persepsi yang demikian ini muncul dari masyarakat yang usianya lebih dari 60. Mereka beranggapan bahwa larangan tersebut itu adalah sebuah tradisi dan mempunyai nilai-nilai sejarah serta mengandung bala’ atau akibat bagi yang melanggarnya. c. Masyarakat yang hanya mengikuti pendapat-pendapat di atas, terkadang percaya terkadang tidak. Percaya jika ada yang melanggar larangan tersebut kemudian terjadi sesuatu, tidak percaya jika memang tidak ada akibat dari melanggar larangan itu. Kebanyakan yang berpersepsi seperti ini adalah masyarakat umum dibawah usia 50 tahun dan orang-orang dewasa. 3. Secara tekstual memang larangan pernikahan antar desa tidak tercantum dalam al-Qur’an dan Hadist, tetapi bukan berarti masalah ini tidak bisa dicari hukumnya dari sisi agama. Meskipunn masih terjadi
92
perselisihan menurut penulis Islam tidak menutup pintu untuk berijtihad, begitu juga dalam masalah larangan pernikahan antar desa. Dalam qowaidul fiqhiyah terdapat kaidah menolak kerusakan itu lebih didahulukan dari pada menarik kemanfaatan yang merupakan cabang dari kaidah
(bahaya itu harus dihilangkan), namun dengan
syarat tetap memperhatikan syarat-syarat kaidah ini bisa digunakan. Dalam ilmu ushul fiqih terdapat konsep ihtihsan meskipun imam Syafi’i beragapan bahwa ihtihsan itu tidak boleh digunakan sebagai hujah atau dasar hukum. Ihtihsan yaitu mengagap sesuatu itu baik atau mengikuti sesuatu yang baik. Sedangkan dari sisi aqidah islamiyah percaya jika melanggar sebuah mitos bisa menimbulkan bahaya itu tidak bisa dibenarkan dan bisa menjadi musryik, namunn jika mitos itu hanya sebagai lantaran bagaimana Allah menunjukkan kuasa-NYA pada manusia itu diperbolehkan, dengan alasan bahwa percaya pada mitos sama juga percaya dengan makhluk gaib dan itu adalah salah satu rukun iman, sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Baqoroh ayat 3.
Artinya: yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shplat, menifakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka (Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2010:2).
93
B. SARAN 1. Bagi masyarakat umum harus mempunyai keyakinan bahwa segala sesuatu itu berasal dari Allah. Sebuah bencana yang dianggap sebagai akibat karena melanggar sebuah mitos itu tidak bisa dibenarkan, itu hanyalah sebuah perantara saja bagaimana Allah menunjukkan kuasa-Nya pada manusia. 2. Bagi tokoh masyarakat harus mengetahui dan memahami bagaimana suatu hukum itu dapat digali, jika dalam al-Qur’an atau al-Hadist itu tidak ada hukum mengenai suatu perkara bukan berarti perkara itu mutlak tidak bisa dilakukan. Dalam mencari hukum suatu perkara itu harus mengetahui terlebih dahulu latar belakang dari adanya perkara tersebut. 3. Bagi
instansi
pemerintah
hendaknya
memperhatikan
kehidupan
masyarakat, memahami dan mengerti serta memberikan pengarahan pada masyarakat mengenai mitos-mitos yang berkembang di masyarakat serta memberikan solusi dari permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat tersebut.
94
Daftar Pustaka Abil Qasim, Abu Bakar bin. Tanpa tahun. Al Faraidul Bahiyyah: Risalah Qawaid Fiqh. Terjemahan oleh Moh Adib Bisri.1997. Kudus: Menara kudus Al-Bukhari, Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il. 1992. Shahih alBukhari. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyya. Basyir, Ahmad Azhar. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Dimyati, Harist. Tanpa Tahun. Syarah al-Faroidu al-Bahiyah fi al-Qowaidu alFiqhiyah. Surabaya: Mahfudhoh. Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Jogjakarta: Narasi. Hakim, Abdul Hamid, Tanpa Tahun. Al-Bayan juz 3. Jakarta:Sa’adiyah Putra. Husnan, Ahmad. 1988. Hukum Islam Tidak Mengenal Reaktualisasi. Solo: CV. Pustaka Mantiq. J. Maleong, Lexy.2002. Metode penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Kamali,
Muhammad Hashim. 1996.
Prinsip dan Teori Hukum Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajat Offset. Koentjaraningkrat. 1994.
Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.
95
Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo 2005, 2009. Formulasi Nalar Fiqh. Surabaya: Khalista. Koto, Alaiddin, 2009. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh.: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. M. Amirin, Tatang, 1990. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Rajawali Pers. Peursen, Van. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan. Qardhawi, Yusuf. 1997. Fatwa Antara Ketelitian dan Kecerobohan. Jakarta: Gema Insani Press. Sudarsono. 1990. Kamus Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sabiq, Sayyid.1980. Fiqih Sunnah 6. Terjemahan Mahyudin Syaf, Bandung: AlMa’rif. Sukatman. 2009. Butir-butir Tradisi Lisan Indonesia: Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Laksbang Pressindo. Suryabrata, Sumadi. 2009. Metode Penelitian. Jakarta: Raja Grafido Persada. Abu Abdillah, Syamsudin. Tanpa tahun. Fathul Qorib. Terjemahan Oleh Abu H.F. Ramadhan.2010. Surabaya: Mutiara Ilmu. Tihami & Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Yayasan
Penyelenggara
Penterjemah
Al-Qur’an.
2010.
Al-Qur’an
dan
Terjemahannya. Jakarta: Syamil Qur’an. Yin, R.K. 2004. Studi Kasus dan Metode, Terjemahan M. Djazuli Mudzakir., Jakarta: Raja Grafido Persada.
96
Yunus, Mahmud.1989. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus Wadzuriyah. Zakiah Darajat, Usman Said, Suaibu Tholib, & Malikul Adil. 1985. Ilmu Fikih. Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama. Zuhri, Saifudin,
2009. Ushul Fiqih: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
97
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 1. Nama: Khoirun Nasir 2. Tempat dan Tanggal Lahir: Kab. Semarang, 12 Juli 1989 3. Jenis Kelamin: Laki-laki 4. Warga Negara: Indonesia 5. Agama: Islam 6. Alamat: Dusun Kiringan Selatan RT:03 RW:01, desa Jetis, Kec. Kaliwungu, Kab. Semarang 7. Riwayat Pendidikan a. SDN Jetis 01 lulus tahun 2001 b. MTs NU Raudhatul Mu’alimin Wedung Demak lulus Tahun 2004 c. MA NU Raudhatul Mu’alimin Wedung Demak lulus Tahun 2007 d. MP PIP Tremas lulus Tahun 2008 e. MA Mu’adalah PIP Tremas lulus Tahun 2011 Demikian daftar riwayat hidup ini, saya buat dengan sebenar-benarnya. Salatiga, 6 Januari 2016 Penulis
Khoirun Nasir NIM: 21111038
98
Nama-nama narasumber yang masuk dalam penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Nama Bpk.Sambyah Tanwiri Bpk. Marjhono Bpk. Sukino Bpk. Suwardi Bpk. Zuhdi Mansur Mbah Parmo Bpk. Jumian Ibu Ngatirah Ibu Tini Ibu Subadriah Bpk. Paiman Bpk. Jueni Ibu Sumiyati Ust. Akrom A Ust. Sholahudin al-A Ust. M. Afifudin Ust. A. Fauzi Ust. Jabir Bpk. Muslih
Alamat Jetis Jetis Rogomulyo Jetis Jetis Rogomulyo Rogomulyo Rogomulyo Jetis Rogomulyo Rogomulyo Jetis Jetis Pacitan Pacitan Demak Pacitan Pacitan Jetis
Status Tokoh agama Tokoh masyarakat Tokoh masyarakat Tokoh masyarakat Tokoh agama Tokoh masyarakat Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Pelaku Pelaku Ustadz Ustadz Ustadz Ustadz Ustadz Narasumber
Tanggapan Tdk percaya Tdk percaya Tdk tahu Tdk tahu Tdk percaya Percaya Percaya Tdk tahu Percaya Percaya Percaya Tdk percaya Tdk percaya Tdk percaya Tdk percaya Tdk percaya Belum pasti Bisa saja Bisa saja
99
Pedoman wawancara A. Pertanyaan bagi masyarakat 1. Apa yang melatar belakangi adanya larangan pernikahan antara desa jetis dengan desa rogomulyo? 2. Sejak kapan adanya larangan tersebut? 3. Persepsi anda terhadap larangan pernikahan tersebut? Percaya atau tidak, apa alasan anda? 4. Adakah akibat bagi yang melanggar mitos tersebut? Kejadian seperti apa yang terjadi jika melanggar mitos tersebut? 5. Menurut anda, bagaimana hukum mempercayai mitos tersebut? B. Pertanyaan bagi ulama 1. Adakah nash al-qur’an atau nash hadist yang menerangkan tentang hukum mempercayai mitos secara tekstual? Kalau ada nash yang mana? 2. Jika tidak ada, menurut anda bagaimana hukum mempercayai mitos-mitos seperti larangan pernikahan yang terjadi antara masyarakat desa jetis dengan desa rogomulyo? 3. Adakah dalil, hujah atau kaidah yang bisa dipakai untuk membenarkan mitos larangan pernikahan tersebut?
100