TRADISI PERNIKAHAN JAM’IYAH RIFA’IYAH DI DESA JETIS KECAMATAN BANDUNGAN KABUPATEN SEMARANG
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh: HANIF AHMAD SAIFUDDIN NIM : 21110005
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015
ii
iii
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Sesuatu yang belum dikerjakan, sering kali mustahil. Kita baru yakin kalau kita telah berhasil melakukannya dengan baik.
PERSEMBAHAN
Untuk kedua orang tuaku yang selalu mendo’akanku Untuk Kakek dan Nenekku yang saya hormati Untuk Adekku yang aku sayang Untuk saudara-saudaraku tercinta Untuk teman terbaikku yang memberikan semangat dan do’a Untuk dosen-dosen IAIN Salatiga yang telah membagi ilmunya Untuk teman-teman seperjuanganku yang telah berbagi Semangat
v
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرمحن الرحيم Asslamualaikum wr. wb. Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita baginda Rasulullah SAW yang selalu kami harapkan syafa’atnya. Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, sehingga bimbingan, pengarahan dan bantuan telah banyak penulis peroleh dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1.
Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.
2.
Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga.
3.
Sukron Ma’mun, S.HI., M.Si. selaku Ketua Jurusan Ahwal alSyakhshiyyah.
4.
Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si. selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis dalam perkuliahan.
5.
Benny Ridwan, M.Hum. selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiranya guna membimbing penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
6.
Seluruh dosen dan staff IAIN Salatiga, terimakasih atas ilmu yang diberikan.
vi
7.
Orang tuaku dan adekku, Bapak Muslich Asy’ari, Ibu Hanik Umaroh dan Adek
Nanang
Abdurrohman
tersayang
yang
selalu
membantu,
mendo’akan dan memberi dukungan. 8.
Kakek dan nenekku yang memberikan do’a dan dukungan.
9.
Saudara-saudaraku, Arif, Rois dan lain-lain yang telah memberikan semangat.
10. Teman terbaikku Lilis Handayani yang telah mendo’akan, membantu dan selalu meluangkan waktunya untukku disaat sedih maupun senang. 11. Teman-teman Jurusan Ahwal al-Syakhsiyah angkatan 2010, Danang, Choe, Zainul dan lain-lain yang telah memberikan semangat. 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah berperan dan membantu hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Akhirnya penulis menyadari atas keterbatasan yang dimiliki dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, sehingga masih banyak ditemui kekurangan dan ketidak sempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan. Namun demikian sekecil apapun karya ini, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi ilmu yang berkah. Teriring do’a dan harapan semoga amal baik dan jasa semua pihak tersebut di atas akan mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT. Amin.
Penulis
vii
ABSTRAK Saifuddin, Hanif Ahmad. 2015. Tradisi Pernikahan Jam‟iyah Rifa‟iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Skripsi. Fakultas Syari’ah. Jurusan Ahwal al-Syakhsiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pebimbing: Benny Ridwan, M.Hum. Kata Kunci: Tradisi, Pernikahan, Jam’iyah Rifa’iyah Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah dan faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan tersebut. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah (1) Bagaimana tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan (2) Apa faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif diskriptif analisis dengan mengambil lokasi penelitian di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, dokumentasi dan observasi. Data yang berhasil dihimpun dianalisis secara kualitatif. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah meliputi: tradisi mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan, tradisi Shihhah dan tradisi pemilihan saksi pernikahan. Faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan di Jam’iyah Rifa’iyah adalah: (1) faktor yang melatarbelakangi tradisi mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan adalah Jam’iyah Rifa’iyah yang akan menikah diharuskan mempelajari kitab Tabyin al-Islah supaya ibadah pernikahannya tidak sia-sia begitu saja, perkawinannya dianggap shahih dan pernikahannya kekal dan bahagia, (2) faktor yang melatarbelakangi tradisi pemilihan saksi adalah terjadinya kualifikasi saksi pernikahan di kitab Tabyin al-Islah yang terkesan berhati-hati dan sulit dipenuhi oleh seorang saksi pernikahan biasa dan (3) faktor yang melatarbelakangi tradisi shihah adalah pada masa KH. Ahmad Rifa’i mayoritas wali hakim atau penghulu belum bisa adil mursyid, berada dalam perintah pemerintah kafir dan hanya memikirkan kepentingan pribadi dengan mengatas namakan agama. Setelah Indonesia merdeka pengulangan pernikahan atau tradisi shihah di Jam’iyah Rifa’iyah sudah mengalami pergeseran dikarenakan para penghulu sudah diperintah oleh penguasa bukan kafir, para penghulu dinilai sudah memiliki sifat yang alim dan sebagian besar penghulu memiliki latar belakang pendidikan agama yang cukup mumpuni. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat dan berguna bagi masyarakat yang ingin mengetahui tradisi pernikahan di Jam’iyah Rifa’iyah.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................................... ii PENGESAHAN KELULUSAN ......................................................................... iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .......................................................... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi ABSTRAK ........................................................................................................... viii DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi DAFTAR TABEL................................................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 6 D. Kegunaan Penelitian ............................................................................... 6 E. Kegunaan Istilah ..................................................................................... 7 F. Telaah Pustaka ........................................................................................ 8 G. Metode Penelitian ................................................................................... 10 H. Sistematika Penulisan ............................................................................. 16
ix
BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 18 A. Pernikahan............................................................................................... 18 1.
Pengertian Pernikahan ..................................................................... 18
2.
Hukum Pernikahan .......................................................................... 20
3.
Rukun Pernikahan ............................................................................ 22
4.
Syarat Pernikahan ............................................................................ 24
5.
Hikmah Pernikahan.......................................................................... 27
B. Tradisi Pernikahan .................................................................................. 28 1.
Tradisi dalam Islam ......................................................................... 28
2.
Aspek-Aspek Sosiologis Tradisi Pernikahan dalam Islam .............. 34
BAB III HASIL PENELITIAN ......................................................................... 38 A. Gambaran Umum Desa Jetis Kecamatan Bandungan ............................ 38 1.
Letak Geografis Desa Jetis Kecamatan Bandungan ........................ 38
2.
Kondisi Sosial Keagamaan .............................................................. 38
3.
Tingkat Pendidikan .......................................................................... 40
B. Gambaran Umum Jam’iyah Rifa’iyah .................................................... 41 1.
Profil Pendiri Jam’iyah Rifa’iyah .................................................... 41
2.
Profil Jam’iyah Rifa’iyah................................................................. 43
C. Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah .................................................. 45 D. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah . 47 1.
Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Mempelajari Pernikahan Kitab Tabyin al-Islah Sebelum Pernikahan ............................................... 47
2.
Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pemilihan Saksi .................. 49
x
3.
Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Shihah ................................. 55
BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah ................................ 59 B. Analisis Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah ............................................................................................. 60 1.
Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Mempelajari Pernikahan Kitab Tabyin al-Islah Sebelum Pernikahan ................................ 60
2.
Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pemilihan Saksi ............. 61
3.
Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Shihah ............................ 67
C. Analisis Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah Berdasarkan Ilmu Ushul Fiqih ....................................................................................... 70 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan......................................................................................... 72 B. Saran ................................................................................................... 74
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Menurut Agama ....................................................... 39 Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan ................................................ 40
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Daftar Nilai SKK Lampiran 3 Lembar Konsultasi Lampiran 4 Daftar Pertanyaan
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang yang mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Sedangkan Ikatan batin adalah hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh mengikat kedua pihak. Ikatan pernikahan merupakan ikatan suci yang berdasarkan nilai-nilai ketuhanan untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan warrahmah. Ikatan pernikahan bukan saja ikatan perdata tetapi ikatan lahir batin antara seorang suami dengan seorang isteri. Pernikahan tidak lagi hanya sebagai hubungan jasmani tetapi juga merupakan hubungan batin. Ikatan yang didasarkan pada hubungan jasmani itu berdampak pada masa yang pendek sedangkan ikatan lahir batin itu lebih jauh. Dimensi masa dalam ini dieksplisitkan dengan tujuan sebuah perkawinan yakni untuk membangun sebuah keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Nuruddin dan Tarigan, 2006:46). Dalam agama Islam, mengajarkan pernikahan yang memiliki tujuan untuk mewujudkan ketenangan hidup, ketentraman dan kontinuitas yang
1
2
menimbulkan rasa kasih sayang antara suami istri. Islam mengatur hubungan ini dengan segala perlindungan-Nya sehingga mencapai tingkatan taat yang tinggi. Islam juga mengatur hubungan antara suami istri dengan Syari’at terbatas dan menegakkan peraturan rumah tangga atas kepemimpinan sang suami. Peraturan inilah yang dapat memelihara dari segala keguncangan yang dialihkan pada bimbingan kasih sayang dan taqwa kepada Allah SWT. Pernikahan tidak hanya tentang ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal atau ikatan suci yang berdasarkan nilai-nilai ketuhanan untuk membentuk keluarga sakinah dan mawaddah. Namun pernikahan juga tentang proses yang dilakukan dalam sebuah pernikahan. Tradisi
merupakan
sesuatu
kebiasaan
yang
berkembang
di
masyarakat, baik yang menjadi adat kebiasaan, atau yang diasimilasikan dengan ritual adat atau agama. Atau dalam pengertian yang lain, sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Islam merupakan agama yang universal, memiliki sifat yang mampu untuk adaptasi serta tumbuh disegala tempat dan waktu. Hanya saja pengaruh lokalitas dan tradisi dalam sekelompok suku bangsa sangat sulit dihindari dalam masyarakat muslim. Namun demikian, walaupun berhadapan dengan budaya dunia, keuniversalan Islam tetap tidak akan berkurang. Hal ini menjadi indikasi bahwa perbedaan tidaklah menjadi kendala untuk mencapai
3
tujuan Islam, dan Islam tetap menjadi pedoman dalam segala aspek kehidupan. Hanya saja pergumulan Islam itu berakibat pada adanya keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan universal suatu agama berkenaan dengan tata caranya, dengan kata lain masyarakat muslim tidak dapat lepas dengan istilah tradisi. Tradisi merupakan adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat. Sejak dahulu tradisipun telah ada dan menjadi kebiasaan yang dijalani oleh masyarakat saat ini. Dalam hukum Islam istilah tradisi lebih dikenal dengan urf. Urf secara etimologi merupakan sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi, istilah urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi masyarakat karena telah menjadi kebiasaan yang menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan. Pada masa sekarang tradisi pernikahan juga masih melekat dan dijalankan di masyarakat. Jam’iyah Rifa’iyah yang berada di Desa Jetis Kecamatan Bandungan
juga menjalakan tradisi pernikahan. Jam’iyah
Rifa’iyah adalah kelompok keagamaan pengikut dan simpatisan KH. Ahmad Rifa’i yang muncul pada pertengahan abad ke 19 di pesisir utara Jawa Tengah tepatnya di Desa Kalisalak Kecamatan Limpung Kabupaten Batang, yang mana pada masa itu masuk dalam Karesidenan Pekalongan. KH. Ahmad Rifa’i telah memainkan peranan yang amat penting dalam sejarah Islam dan gerakan keagamaan menentang Pemerintah Belanda di Indonesia maupun birokrat pribumi yang bekerjasama dengan pemerintah Belanda khususnya di
4
Kalisalak Kabupaten Batang dan sekitarnya. Hingga kini cukup banyak pengikut dan simpatisan KH. Ahmad Rifa’i yang tersebar di beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Batang, Pekalongan, Pemalang, Kendal, Kebumen, Wonosobo, Pati dan bahkan diluar Jawa Tengah seperti Arjowinangun Cirebon, Indramayu, Yogyakarta dan Jakarta. Nama Rifa’iyah merupakan suatu penghormatan terhadap pendiri Jama’ah keagamaan dan untuk mengenang jasa-jasa KH. Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum, bukan untuk memuja. Selain sebagai pendiri dia juga sebagai tokoh sentral yang sangat dihormati oleh pengikutnya hingga sekarang. Dalam masalah pernikahan, Jam’iyah Rifa’iyah berpedoman pada kitab Tabyin al-Islah. Kitab Tabyin al-Islah berisi tentang Ilmu perkawinan dan yang berkaitan dengannya. Ilmu perkawinan yang dijelaskan dalam kitab Tabyin al-Islah sesunguhnya tidak berbeda dengan kitab-kitab ilmu perkawinan pada umumnya. Namun ada suatu penjelasan dalam kitab Tabyin al-Islah yang membedakan dengan tradisi masyarakat islam pada umumnya, yaitu Jam’iyah Rifa’iyah tidak dapat mengesahkan akad nikah yang dilakukan oleh penghulu atau orang di luar Jam’iyah Rifa’iyah sebab pihak-pihak yang terlibat dalam pernikahan seperti wali dan saksi nikah dianggap tidak memenuhi syarat syah yang dijelaskan dalam kitab Tabyin al-Islah. Jam’iyah Rifa’iyah mempunyai tradisi menentukan atau memilih orang yang menjadi wali dan saksi pernikahan dalam setiap pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah supaya syarat syah kualifikasi wali dan saksi pernikahan dapat terpenuhi.
5
Jam’iyah Rifa’iyah juga berpendapat bahwa seseorang yang ingin melakukan pernikahan diharuskan untuk mempelajari kitab Tabyin al-Islah untuk mencapai syarat syah secara fiqhiyah dan pernikahannya bisa diangap shahih. Jam’iyah Rifa’iyah mengenal sebuah prinsip, tidak bisa syah secara fiqhiyah seseorang yang akan melakukan sesuatu tanpa mengetahui dulu ilmunya. Seseorang yang tidak mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan akan mendapatkan sanksi dikucilkan dari Jam’iyah Rifa’iyah. Sebagaimana latar belakang tersebut, maka penting untuk dilakukan penelitian terhadap masyarakat terkait. Untuk mengetahui tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah yang dilakukan sebagian masyarakat Desa jetis kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Hal menarik yang ingin penulis teliti adalah bagaimana tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah dan apa faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah. Dan peneliti menentukan judul yang sesuai dari penelitian ini adalah “Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang”.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang?
6
2.
Apa faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang.
2.
Untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang.
D. Kegunaan Penelitian Untuk memberikan hasil yang bermanfaat, serta diharapkan mampu dijadikan dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka sekiranya penelitian ini dapat berguna di antaranya: 1.
Kegunaan Teoritis Sebagai upaya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan khususnya mengenai tradisi-tradisi pernikahan.
2.
Kegunaan Praktis a.
Bagi Progam Studi Ahwal al-Syakhsiyah Dapat dipergunakan untuk menambah ilmu pengetahuan di bidang perdata Islam.
7
b.
Bagi Masyarakat Diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui tradisi pernikahan di Jam’iyah Rifa’iyah.
E. Penegasan Istilah Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah didalam judul ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan sebagai berikut: 1.
Tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan, sejak dahulu telah ada dan menjadi kebiasaan yang dijalani oleh masyarakat saat ini. Dalam hukum Islam istilah tradisi lebih dikenal dengan urf.
2.
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3.
Jam’iyah Rifa’iyah adalah kelompok keagamaan pengikut dan simpatisan KH. Ahmad Rifa’i yang muncul pada pertengahan abad ke19 di pesisir utara Jawa Tengah tepatnya di Desa Kalisalak Kecamatan Limpung Kabupaten Batang, yang mana pada masa itu masuk dalam Karesidenan Pekalongan. KH. Ahmad Rifa’i telah memainkan peranan yang amat penting dalam sejarah Islam dan gerakan keagamaan menentang Pemerintah Belanda di Indonesia maupun birokrat pribumi yang bekerjasama dengan pemerintah Belanda khususnya di Kalisalak
8
Kabupaten Batang dan sekitarnya. Hingga kini cukup banyak pengikut dan simpatisan KH. Ahmad Rifa’i yang tersebar di beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Batang, Pekalongan, Pemalang, Kendal, Kebumen, Wonosobo, Pati dan bahkan diluar Jawa Tengah seperti Arjowinangun Cirebon,
Indramayu,
Yogyakarta
dan
Jakarta.
Nama
Rifa’iyah
merupakan suatu penghormatan terhadap pendiri Jama’ah keagamaan dan untuk mengenang jasa-jasa KH. Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum, bukan untuk memuja. Selain sebagai pendiri dia juga sebagai tokoh sentral yang sangat dihormati oleh pengikutnya hingga sekarang.
F. Telaah Pustaka Penelitian terdahulu dibutuhkan untuk memperjelas, menegaskan, melihat kelebihan dan kelemahan berbagai teori yang digunakan penulis lain dalam penelitian atau pembahasan masalah yang serupa. Selain itu penelitian terdahulu perlu disebutkan dalam sebuah penelitian untuk memudahkan pembaca melihat dan membandingkan perbedaan teori yang digunakan dan perbedaaan hasil kesimpulan oleh penulis dengan peneliti yang lain dalam melakukan pembahasan tema yang hampir serupa. Penelitian mengenai Jam’iyah Rifa’iyah telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Ada yang secara total mengkaji dalam skripsi, tesis, disertasi maupun buku. Berikut ini penelitian yang mempunyai topik atau tema yang hampir serupa dengan skripsi ini:
9
1.
Penelitian Abdul Djamil dalam disertasinya yang kemudian dibukukan dengan judul Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam Kh. Ahmad Rifa‟i Kalisalak. Abdul Djamil lebih memfokuskan pada doktrin dan pemahaman normatif yang diajarkan KH. Ahmad Rifa’i, ia juga sedikit menyinggung historisitas Jam’iyah Rifa’iyah dan ketokohan KH. Ahmad Rifa'i. Abdul Djamil menyimpulkan bahwa sepeninggal KH. Ahmad Rifa'i dari Kalisalak, pengikut KH. Ahmad Rifa'i mengalami diaspora. Mereka tersebar dibeberapa tempat di Nusantara, karena menghindari kejaran kekuasaan kolonial Belanda. Trauma dari kejaran kolonial Belanda ini menghasilkan sikap bagi para pengikutnya untuk anti terhadap kekuasaan dan terjadi apa yang dikatakan Abdul Djamil sebagai protes diam. Tentang pernikahan dalam buku ini Abdul Djamil hanya mengulas tentang pemikiran KH. Ahmad Rifa’i dalam Kitab Tabyin al-Islah.
2.
Penelitian Muhlisin Saad dalam buku an-Naz‟ah al-Kharijiyyah fî Afkar wa Harakah Syaikh Ahmad Rifa’i. Buku ini diterjemahkan oleh KH. Ahmad Syadizirin Amin, dengan judul Mengungkap Gerakan dan Pemikiran Syaikh Ahmad Rifa‟i. Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Badan Wakaf Rifa’iyah ini menggambarkan ciri khas pemikiran KH. Ahmad Rifa’i terutama berkaitan dengan hal-hal yang spesial. Tentang pernikahan, dalam buku tersebut hanya mengutip pendapat KH. Ahmad Rifa'i dalam kitab Tabyin al-Islah, utamanya tentang persyaratan wali yang harus adil atau mursyid.
10
3.
Penelitian yang dilakukan oleh M. Nasrudin dalam skripsinya yang Berjudul Hukum Islam dan Perubahan Sosial: Studi Pergeseran Pemikiran Jam‟iyah Rifa‟iyah Tentang Keabsahan Nikah yang Diadakan oleh Penghulu atau PPN. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa dahulu Jam’iyah Rifa’iyah tidak menerima akad nikah yang dilakukan oleh penghulu, sehingga harus melakukan akad nikah hingga dua kali. Akad yang pertama dilakukan di PPN dan akad yang kedua dilakukan di Jam’iyah Rifa’iyah itu sendiri. Akan tetapi setelah diadakan penelitian, kenyataan di lapangan membuktikan bahwa pemahaman Jam’iyah Rifa’iyah terhadap keabsahan nikah sudah mulai bergeser dengan menerima akad nikah yang dilakukan penghulu walaupun pergeseran itu tidak terjadi secara keseluruhan di Jam’iyah Rifa’iyah, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya perbedaan persepsi antara tokoh tua dan tokoh muda di Jam’iyah Rifa’iyah.
G. Metode Penelitian 1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field research) dalam pelaksanaannya menggunakan metode pendekatan kualitatif diskriptif analisis yang umumnya menggunakan strategi multi metode yaitu wawancara, pengamatan, serta penelaahan dokumen atau studi documenter yang antara satu dengan yang lain saling melengkapi, memperkuat dan menyempurnakan (Sukmadinata, 2008:108).
11
2.
Kehadiran penelitian Penelitian dan pengumpulan data-data di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang ini dengan cara peneliti terjun langsung ke lapangan. Penelitian ini dimulai pada tanggal 31 oktober 2014 sampai dengan selesainya penelitian yang disertai dengan kegiatan akhir berupa penyusunan skripsi.
3.
Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Adapun alasan pemilihan tempat adalah Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang mempunyai daerah yang dikira tidak mempersulit dalam melakukan penelitian mengenai tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah.
4.
Sumber Data Sumber data dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: a.
Data Primer Sumber dan jenis data primer penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan subjek serta gambaran ekspresi, sikap dan pemahaman dari subjek yang diteliti sebagai dasar utama melakukan interpretasi data. Data atau informasi tersebut diperoleh secara langsung dari orang-orang yang dipandang mengetahui masalah yang akan dikaji dan bersedia memberi data atau informasi yang diperlukan. Sedangkan untuk pengambilan data dilakukan dengan bantuan catatan lapangan, bantuan foto atau apabila memungkinkan dengan
12
bantuan rekaman suara handphone. Sementara itu observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung segala aktivitas di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. b.
Data Sekunder Data sekunder adalah data atau informasi yang diperoleh dari sumber-sumber lain selain data primer. Diantaranya buku-buku literatur, internet, dan majalah atau jurnal ilmiah yang berhubungan dengan tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah.
5.
Prosedur Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metodemetode sebagai berikut: a.
Metode Wawancara Mendalam Dalam metode ini penulis menggunakan teknik interview guide yaitu cara pengumpulan data dengan menyampaikan secara langsung daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya guna memperoleh jawaban yang langsung pula dari seorang responden (Koentjaraningrat, 1986:138). Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara mendalam yang diarahkan pada masalah tertentu dengan para informan yang sudah dipilih untuk mendapatkan data yang diperlukan. Teknik wawancara yang digunakan ini dilakukan secara tidak terstruktur, dimana peneliti tidak melakukan wawancara dengan struktur yang
13
ketat kepada informan agar informasi yang diperoleh memiliki kapasitas yang cukup tentang berbagai aspek dalam penelitian ini. b.
Metode Dokumentasi Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara membaca dan mengutip dokumen-dokumen yang ada dan dipandang relevan. Dalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, peraturan rapat, catatan harian dan sebagainya (Arikunto, 1989:131). Metode ini digunakan untuk memperoleh data sejarah Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang, dan data-data dan informasi lain yang menunjang.
c.
Metode Observasi atau Pengamatan Metode observasi adalah teknik pengumpulan data dengan pengamatan
langsung
kepada
objek
penelitian
(Surakhmad,
1994:164). Metode ini digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi lingkungan di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Pengamatan disini termasuk juga didalamnya peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun langsung diperoleh dari data (Moleong, 2007:174). Observasi ini dilakukan dengan melakukan serangkaian pengamatan dengan menggunakan alat indera penglihatan dan pendengaran secara langsung terhadap objek yang diteliti. Dalam
14
penelitian ini, penulis menggunakan teknik observasi berperan pasif dimana observasi bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. 6.
Analisis Data Metode analisis adalah suatu cara penanganan terhadap objek ilmiah tertentu dengan jalan memilah dan memilih antara pengertian yang satu dengan yang lain untuk mendapatkan pengertian yang baru. Data yang berhasil dihimpun akan dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menerapkan metode berfikir induktif, yaitu suatu metode berfikir yang bertolak dari fenomena yang khusus dan kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum (Daymon, 2008:369).
7.
Pengecekan Keabsahan Data Dalam hal pengecekan keabsahan data penelitian terhadap beberapa kriteria keabsahan data yang nantinya akan dirumuskan secara tepat, teknik pemeriksaanya yaitu dalam penelitian ini harus terdapat adanya kredibilitas yang dibuktikan dengan perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, pengecekan sejawat kecukupan referensi, adanya kriteria kepastian dengan teknik uraian rinci dan audit kepastian. Untuk mengetahui apakah data yang telah dikumpulkan dalam penelitian memiliki tingkat kebenaran atau tidak, maka dilakukan pengecekan data yang disebut dengan validitas data. Untuk menjamin validitas data akan dilakukan triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan
15
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2007:330). Validitas data akan membuktikan apakah data yang diperoleh sesuai dengan apa yang ada di lapangan atau tidak. Dengan demikian data yang diperoleh dari suatu sumber akan dikontrol oleh data yang sama dari sumber yang berbeda. 8.
Tahap-tahap Penelitian a.
Penelitian pendahuluan Penulis mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan nikah dan buku lain yang berhubungan dengan tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah.
b.
Pengembangan desain Setelah penulis mengetahui banyak hal tentang tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah, kemudian penulis melakukan observasi ke objek penelitian untuk melihat secara langsung tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang.
c.
Penelitian sebenarnya Penulis melakukan penelitian dengan cara terjun langsung ke lokasi penelitian untuk meneliti secara lebih mendalam tentang tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang.
16
H. Sistematika Penulisan Dalam menyusun skripsi ini penulis membagi kedalam beberapa bab dan masing-masing bab mencakup beberapa sub bab yang berisi sebagai berikut: Dalam menyusun skripsi ini penulis membagi kedalam beberapa bab dan masing-masing bab mencakup beberapa sub bab yang berisi sebagai berikut: 1.
BAB I merupakan Pendahuluan yang menjelaskan: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
2.
BAB II merupakan Kajian Pustaka yang menjelaskan pernikahan yang meliputi: pengertian pernikahan, hukum perkawinan, rukun pernikahan, syarat pernikahan dan hikmah pernikahan. Dan selanjutnya menjelaskan tradisi yang meliputi: tradisi dalam Islam dan aspek-aspek sosiologis tradisi pernikahan dalam Islam.
3.
BAB III merupakan hasil penelitian yang terdiri dari: gambaran umum Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang, gambaran umum Jam’iyah Rifa’iyah, tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah dan faktor yang melatarbelakagi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah.
4.
BAB IV merupakan Analisis data dari data hasil temuan-temuan yang terdiri dari: analisis tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah, analisis faktor
17
yang melatarbelakangi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah dan analisis tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah berdasarkan ilmu ushul fiqih. 5.
BAB V Bab ini merupakan bab penutup atau bab akhir dari penyusunan skripsi yang penulis susun. Dalam bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari seluruh hasil penelitian dan saran-saran.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pernikahan 1.
Pengertian Pernikahan Pernikahan atau perkawinan dalam literartur fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Alquran dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Alquran dengan arti kawin. Secara arti kata nikah berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari perkataan nikah lebih banyak dipakai dalam arti kiasan daripada arti yang sebenarnya, bahkan nikah dalam arti yang sebenarnya jarang sekali dipakai pada saat ini (Muchtar, 1974:11). Imam Syafi’i mengartikan nikah sebagai suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazi, nikah itu artinya hubungan seksual. Nikah menurut arti asli dapat juga berarti aqad, dengan nikah menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita (Ibrahim, 1971:65). Adapun dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
18
19
wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tegasnya
pernikahan
adalah
akad
atau
perikatan
yang
menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang didirikan Allah SWT. (Depag, 1985:49). Pengertian pernikahan yang telah disebutkan di atas sangatlah berbeda
dengan
pengertian
menurut
Burgelijke
Wetboek
yang
memisahkan hukum perkawinan dengan ketentuan agama. Pasal 26 BW mengatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang hanya memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan artinya pasal ini hendak menyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan (Subekti, 1996:25). Pada dasarnya pengertian pernikahan disini adalah banyak memiliki
perbedaan.
Perbedaan
yang
terdapat
bukan
untuk
memperlihatkan pertentangan, tetapi hanya membedakan dimana lebih menambahkan unsur-unsur pada masing-masing perumus. Tetapi dalam perbedaan tersebut ditemukan adanya kesamaan unsur mengenai pengertian pernikahan, yaitu suatu ikatan perjanjian. Ikatan perjanjian
20
disini berbeda dengan ikatan akad jual beli maupun akad sewa-menyewa, tetapi akad disini merupakan akad suci yang disatukan oleh kedua pihak laki-laki dan perempuan untuk menuju suatu keluarga yang harmonis sesuai syari’at islam.
2.
Hukum Pernikahan Hukum asal pernikahan mubah, Mubah yaitu sesuatu perbuatan yang dibolehkan mengerjakannya, tidak diwajibkan dan tidak pula diharamkan (Muchtar, 1974:23). Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat an-Nur ayat 32:
ِ َّ و أَنْ ِكحوا ْاْلَيامى ِمْن ُكم و ِ ِ ِ اِل ِ ِ َ الص ُني م ْن عباد ُك ْم َو إِمائ ُك ْم إِ ْن يَ ُكونُوا فُػ َقراءَ يػُغْن ِه ُم اهلل ُ َ ْ َ ِ ِ ِ ْ َِمن ف ليم ْ ٌ ضلو َو اهللُ واس ٌع َع Artinya: “Dan kawinlah laki-laki dan perempuan yang janda di antara kamu, dan budak-budak laki-laki dan perempuan yang patut buat berkawin. Walaupun mereka miskin, namun Allah akan memampukan dengan kurniaNya karena Tuhan Allah itu adalah Maha Luas pemberianNya, lagi Maha Mengetahui (akan nasib dan kehendak hambaNya) (Depag, 2006:389)”. Dan firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 4:
ِ ِِ ِ ْب لَ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِمنْوُ نَػ ْف ًسا فَ ُكلُوهُ َىنِيئًا َم ِريئًا َْ ص ُدقَاِت َّن ِْنلَ ًة فَِإ ْن ط َ َِّساء َ َوآَتُوا الن Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) dengan penuh kelahapan lagi baik akibatnya (Depag, 2006:77)”.
21
Namun hukum pernikahan itu mungkin bisa berubah menjadi wajib, sunnah, haram dan makruh. Hukum pernikahan bisa berubah disebabkan oleh faktor berikut ini: a.
Orang yang diwajikan menikah adalah orang yang sanggup untuk menikah, sedang dia khawatir terhadap dirinya akan melakukan perbuatan yang dilarang Allah SWT. Melaksanakan pernikahan merupakan satu-satunya jalan baginya untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.
b.
Orang yang disunatkan menikah adalah orang yang mempunyai kesanggupan untuk menikah dan sanggup memelihara diri dari kemungkinan melakukan perbuatan terlarang. Sekalipun demikian melaksanakan pernikahan adalah lebih baik baginya, karena Rasulullah SAW melarang hidup sendirian dalam nikah.
c.
Orang yang dimakruhkan menikah adalah orang yang tidak mempunyai kesangupan menikah. Pada hakekatnya orang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk menikah diperbolehkan untuk melakukan pernikahan. Tetapi dia dikhawatirkan tidak dapat mencapai tujuan pernikahannya, karena itu dianjurkan sebaiknya dia tidak melakukan pernikahan.
d.
Orang yang diharamkan menikah adalah orang-orang yang mempunyai kesanggupan untuk menikah, tetapi kalau dia menikah diduga akan menimbulkan kemudharatan terhadap pihak yang lain, seperti orang gila, orang yang suka membunuh, atau mempunyai
22
sifat-sifat yang dapat membahayakan pihak yang lain dan sebagainya (Muchtar, 1974:23-25).
3.
Rukun Pernikahan Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau perbuatan hukum, baik dari segi para subjek hukum maupun objek hukum yang merupakan bagian dari perbuatan hukum ketika hukum tersebut berlangsung. Rukun menentukan sah atau tidak sahnya suatu perbuatan atau peristiwa hukum. Jika salah satu rukun dalam peristiwa atau perbuatan hukum itu tidak terpenuhi berakibat perbuatan hukum atau peristiwa hukum tersebut tidak syah dan statusnya batal demi hukum (Djubaedah, 2010:90). Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dikemukakan bahwa rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidak sahnya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya perbuatan tersebut (Djubaedah, 2010:91). Rukun dapat pula diartikan sesuatu yang harus ada yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu pekerjaan, dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat (Ghazaly, 2006:46). Rukun nikah terdiri dari: a.
Calon mempelai laki-laki dan perempuan
23
Calon mempelai laki-laki dan perempuan biasanya hadir dalam upacara pernikahan. Calon mempelai perempuan selalu ada dalam upacara tersebut, tetapi calon mempelai laki-laki, mungkin karena sesuatu keadaan, dapat mewakilkan kepada orang lain dalam ijab kabul. (Saleh, 2008:300). b.
Wali dari calon mempelai perempuan Wali yang menjadi rukun nikah adalah wali nasab, yaitu wali yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai perempuan. Dalam keadaan luar biasa, wali nasab dapat digantikan oleh wali hakim, yaitu petugas pencatat nikah jika wali nasab tersebut tidak ada atau tidak ditemukan. Demikian pula, jika wali nasab tidak mau tau tidak bersedia menikahkan calon mempelai perempuan,
maka
wali
hakimlah
yang
bertindak
untuk
menikahkannya. c.
Dua orang saksi Saksi dalam perkawinan harus terdiri dari dua orang laki-laki yang memenuhi syarat. Perkawinan yang tidak dihadiri saksi, walaupun rukun (1), (2), dan (3) sudah dipenuhi, menurut pendapat umum adalah tidak sah.
d.
Ijab dan kabul Tentang pelaksanaan ijab kabul atau akad, perkawinan harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan kabul. Menurut pengertian hukum perkawinan, ijab adalah penegasan kehendak
24
untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan dari pihak perempuan kepada calon mempelai laki-laki. Kabul adalah penegasan untuk menerima ikatan perkawinan tersebut, yang diucapkan oleh mempelai laki-laki. Penegasan penerimaan itu harus diucapkan oleh mempelai laki-laki langsung sesudah ucapan penegasan penawaran yang dilakukan oleh wali pihak mempelai perempuan. Tidak boleh ada tenggang waktu yang mengesankan adanya keraguan. (Saleh, 2008:300). Adapun rukun pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tertera dalam bab IV tentang rukun dan syarat perkawinan, bagian kesatu Pasal 14 adalah calon suami, calon isteri, wali Nikah, dua orang saksi, Ijab dan Kabul.
4.
Syarat Pernikahan Syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum. (Djubaedah, 2010:92). Syarat menurut Tihami (2010:12) adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan ibadah, tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat. Rukun dan syarat dalam pernikahan keduanya wajib dipenuhi, apabila tidak dipenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah.
25
Syarat yang merupakan bagian dari masing-masing rukun perkawinan antara lain: a.
Syarat-syarat calon suami: 1) Beragama Islam. 2) Laki-laki. 3) Jelas orangnya. 4) Dapat memberikan persetujuan, tidak terpaksa dan atas kemauannya sendiri. 5) Tidak terdapat halangan perkawinan atau bukan merupakan mahram dari calon istri.
b.
Syarat-syarat calon istri: 1) Beragama Islam. 2) Perempuan. 3) Jelas orangnya. 4) Dapat dimintai persetujuannya. 5) Tidak terdapat halangan perkawinan.
c.
Syarat-syarat wali: 1) Laki-laki. 2) Islam. 3) Baligh. 4) Mempunyai hak perwalian. 5) Waras akalnya. 6) Tidak terdapat halangan perwaliannya.
26
d.
Syarat-syarat saksi: 1) Minimal dua orang laki-laki. 2) Islam. 3) Baligh. 4) Hadir dalam ijab qabul. 5) Dapat mengerti maksud akad.
e.
Syarat-syarat akad 1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali. 2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria. 3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah, tazwij. 4) Antara ijab dan qabul bersambungan. 5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya. 6) Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram haji atau umrah. 7) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai pria atau wakilnya, dan dua orang saksi (Rofiq, 1998:72). Undang-undang Perkawinan mengatur syarat-syarat perkawinan
dalam Bab II pasal 6: a. b. c.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua, Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya,
27
d.
5.
maka ijin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya, Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya (Rofiq, 1998:73).
Hikmah Pernikahan Dengan pernikahan akan banyak hikmah yang diperoleh seseorang, diantaranya adalah terdapatnya teman hidup yang dulunya hanya sendiri. Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaimana tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia. Adapun hikmah dari pernikahan adalah: a.
Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami goncang dan kacau serta menerobos jalan yang jahat. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang halal.
b.
Nikah, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan.
28
c.
Selanjutnya, naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
d.
Menyadari tanggung jawab beristeri dan menanggung anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang.
e.
Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batasbatas tanggung jawab antara suami isteri dalam menangani tugastugasnya.
f.
Dengan
pernikahan
diantaranya
dapat
membuahkan
tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang. (Sabiq, 1980:18).
B. Tradisi Pernikahan 1.
Tradisi dalam Islam Islam merupakan agama yang universal, memiliki sifat yang mampu untuk adaptasi serta tumbuh disegala tempat dan waktu. Hanya saja pengaruh lokalitas dan tradisi dalam sekelompok suku bangsa sangat sulit dihindari dalam masyarakat muslim. Namun demikian, walaupun
29
berhadapan dengan budaya dunia, keuniversalan Islam tetap tidak akan berkurang. Hal ini menjadi indikasi bahwa perbedaan tidaklah menjadi kendala untuk mencapai tujuan Islam, dan Islam tetap menjadi pedoman dalam segala aspek kehidupan. Hanya saja pergumulan Islam itu berakibat pada adanya keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan universal suatu agama berkenaan dengan tata caranya, dengan kata lain masyarakat muslim tidak dapat lepas dengan istilah tradisi. Tradisi merupakan adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat. Sejak dahulu tradisi pun telah ada dan menjadi kebiasaan yang dijalani oleh masyarakat saat ini. Dalam hukum Islam istilah tradisi lebih dikenal dengan urf. Urf secara etimologi merupakan sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan dalam kitab al-Wajiz fi Ushul al-fiqih, istilah urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi masyarakat karena telah menjadi kebiasaan yang menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan. Istilah urf dalam pengertian istilah aladah (adat istiadat). Contoh urf berupa perbuatan atau kebiasaan, disuatu masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan sehari-hari seperti garam, tomat, dan gula. Dengan hanya menerima barang dan menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan qabul. Contoh urf yang berupa perkataan, seperti kebiasaan di suatu masyarakat untuk tidak menggunakan kata al-lahm (daging) kepada jenis ikan. Kebiasaan-
30
kebiasaan seperti itu menjadi bahan pertimbangan waktu akan menetapkan hukum dalam masalah. Masalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Alqur’an dan Sunnah. Secara umum urf atau adat itu diamalkan oleh semua madzhab fiqih terutama dikalangan ulama madzhab Hanafiyah dan Malikiyah (Effendi, 2005:153-154). Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqh di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya al-Ijtihad fi ma la Nassa fih, bahwa madzhab yang dikenal banyak menggunakan urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyah, dan selanjutnya oleh kalangan hanabilah dan kalangan Syafi’iyyah. Menurutnya, pada prinsipnya madzhab-madzhab besar fikih sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan di antara madzhab-madzhab
tersebut,
sehingga
urf
dimasukkan
kedalam
kelompok-kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama (Effendi, 20005:155). Dari beberapa penjelasan dapat dikatakan bahwa urf atau adat itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan ulama atas adat itu bukanlah karena semata-mata ia bernama adat atau urf. Urf atau adat itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri. Adat atau urf menjadi dalil karena ada yang mendukung, atau tempat sandarannya, baik dalam bentuk ijma‟ atau mashlahat.
31
Adat yang berlaku di kalangan umat berarti telah diterima sekian lama secara baik oleh umat. Bila semua ulama telah mengamalkannya, berarti secara tidak langsung telah terjadi ijma‟, walaupun dalam bentuk sukuti. Adat itu berlaku dan diterima orang banyak karena mengandung kemashlahatan. Tidak memakai adat seperti ini, hal ini berarti menolak mashlahat, sedangkan semua pihak telah sepakat untuk mengambil sesuatu yang bernilai mashlahat, meskipun tidak ada nash yang secara langsung mendukungnya (Syarifuddin, 2008:378). Islam datang dengan seperangkat norma syara‟ yang mengatur kehidupan muamalah yang harus dipatuhi umat Islam sebagai konsekuensi sebagai keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagian dari adat lama itu ada yang selaras dan ada yang bertentangan dengan hukum syara‟. Pertemuan antara adat dan syari’at tersebut terjadilah pembenturan, penyerapan, dan pembauran antara keduanya. Sedangkan mengenai macam-macam urf yang ditulis Nasrun Haroen (1996:139-141) di dalam bukunya, para ulama ushul fiqih membagi urf menjadi tiga macam yaitu: a.
Dari segi objeknya, urf dibagi menjadi 2 yaitu: 1) Al-urf
al-lafzhi
mempergunakan
adalah lafal
kebiasaan atau
masyarakat
ungkapan
tertentu
dalam dalam
mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya,
32
ungkapan daging yang berarti daging sapi padahal kata-kata daging mencangkup seluruh daging yang ada. 2) Al-urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah
kehidupan
mereka
yang
tidak
terkait
dengan
kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada harihari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus. b.
Dari segi cakupannya, urf dibagi menjadi 2 yaitu: 1) Al-urf al-am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya, dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak dan ban serep, termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. 2) Al-urf al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya, di kalangan para pedagang, apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainya dalam barang itu, konsumen tidak bisa mengembalikan barang tersebut.
c.
Dari segi dari pandangan syara‟, urf dibagi menjadi 2 yaitu:
33
1) Al-urf al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (alqur’an atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin. 2) Al-urf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalildalil syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara‟. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba. Berdasarkan macam-macam urf di atas, para ulama ushul fiqih bersepakat bahwa urf al-shahih yaitu kebiasaan yang berlaku di tengahtengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (alqu’an atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka, baik yang menyangkut urf al-am dan urf al-khas, maupun yang berkaitan dengan urf al-lafzhi dan urf al-amali, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara‟ (Haroen, 1996:142). Pada zaman Rasulullah SAW, di negeri Arab telah terdapat aturan-aturan dan adat istiadat yang sudah dipatuhi selama ini. Ada diantaranya yang harus lebih diperbaiki dan disempurnakan sedikit demi sedikit, ada yang dapat diterima untuk diteruskan karena wahyu tidak
34
membatalkannya, dan ada pula yang harus dirombak sama sekali karena bertolak belakang dengan syari’at islam. Seperti halnya, dengan kebiasaan masyarakat meminum minuman keras, yang bagi mereka minuman tersebut sudah menyatu pada diri mereka. Hal ini merupakan suatu kebiasaan atau tradisi yang menimbulkan kemudharatan (Ali, 1998:314).
2.
Aspek-aspek Sosiologis Tradisi Pernikahan dalam Islam Secara terminologi kata tradisi merupakan suatu kaitan antara masa lalu dengan masa kini. Ia menunjuk kepada masa lalu yang diwariskan untuk masa kini tetapi masih berfungsi dan berwujud untuk masa
sekarang.
Tradisi
memperlihatkan
bagaimana
masyarakat
bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat ghaib atau keagamaan. Kata tradisi sangat melekat pada kehidupan masyarakat saat ini. Masyarakat sangat mempercayai tradisi, tradisi sudah ada sejak dahulu kala bahkan sejak zaman jahiliyah. Tradisi khususnya tradisi pernikahan sudah dijalani sejak zaman jahiliyah. Adapun jenis-jenis pernikahan pada zaman jahiliyah, yaitu: a.
Nikah al-Khidn, menurut anggapan masyarakat jahiliyah asal tidak ketahuan tidak apa-apa, tetapi kalau ketahuan dianggap tercela. Pernikahan ini seperti memelihara gundik.
35
b.
Nikah Badal, seorang laki-laki menawarkan kepada laki-laki lain untuk slaing tukar-menukar isteri mereka. Pernikahan ini seperti jual beli tukar tambah.
c.
Nikah Istibdha‟, praktik pernikahan semacam ini bertujuan mencari bibit unggul sebagai keturunan. Caranya, suami memerintahkan istrinya untuk tidur seranjang dengan laki-laki yang gagah perkasa, kaya dan pandai. Harapannya agar anak yang dilahirkannya nanti dari hasil hubungan seks menjadi sama dan setidaknya meniru jejak dan karakter sang ayah. Meskipun, ayahnya itu bukanlah suaminya yang sah. Suami memerintah istrinya ketika sang isteri suci dari haid. Setelah itu suami yang pertama tadi tidak akan menyentuhnya sama sekali sampai jelas bahwa si isteri itu hamil dari laki-laki tersebut. Jika telah nyata hamil maka si laki-laki yang terakhir ini dapat memiliki isteri itu, jika ia mau.
d.
Perkawinan Keroyokan, sekelompok lelaki kurang dari 10 orang, semuanya menggauli seorang wanita. Bila telah hamil kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut tidak seorangpun boleh absen. Kemudian ia menunjuk salah seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan sebagai bapak dari anak itu, dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak. Dan biasanya penunjukan ayah dari jabang bayi setelah jabang bayi lahir.
e.
Nikah Syighar, seorang laki-laki menikahkan anak perempuanya dengan seorang yang di ikuti dengan permintaan agar dia di
36
kawinkan dengan anak perempuan calon menantunya atau perempuan yang ada di bawah kekuasaan orang yang akan dikawinkan dengn anak perempuannya, keduanya akan kawin tanpa membayar maskawin (Alhamdani, 1980:14). Jika
dilihat
pernikahan
pada
zaman
jahiliyah
sangatlah
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam hal ini Rasulullah SAW meluruskan seluruh tradisi yang salah, sehingga tidak bertentangan dengan hukum Islam. Tradisi pernikahan pada masa Rasulullah tidaklah jauh berbeda dengan masa sekarang. Tetapi pada masa Rasul untuk menghormati suatu kaum adalah dengan mengangkat saudara atau dengan jalan menikahi salah satu kerabat dari kaum tersebut. Pada masa itu, pria menikahi lebih dari empat wanita ialah hal yang wajar. Bahkan pada zaman itu para raja dan pemimpin suatu bangsa mempunyai banyak istri, dan biasanya para istri tersebut diambil sewaktu masih gadis, bukan janda. Kini kita berada pada suatu generasi yang hidup jauh dari kehidupan Rasul, al-Khulafau al-Rasyidun, para imam madzhab, atba‟u al-Tabi‟in dan fuqaha klasik. Tidak hanya jauh dalam pengertian rentang waktu, melainkan jauh dalam arti corak berikut karakteristik budaya dan perdabannya.
Setiap
fenomena-fenomena
sosial
budaya
yang
berkembnag dengan aneka ragamnya, tidak lagi memperoleh petunjuk atau jawaban secara langsung yang turun dari Allah (wahyu), sebagaimana ketika Rasul menghadapi fenomena serupa pada masanya.
37
Setiap kali menghadapi problem yang krusial, ketika itu pula tiba-tiba Alqur’an turun sebagai jawabannya. Demikian juga pada setiap fenomena yang dijumpai masyarakat muslim pada era awal selalu saja Rasul dijadikan sebagai figur otoritatif untuk memberikan jawabanjawabannya. Tradisi pernikahan saat ini sudah mengalami perluasan budaya, sehingga lebih berfariasi dan inovatif dalam penerapannya. Pada dasarnya tradisi masyarakat zaman dahulu dengan sekarang tidak jauh berbeda selama tradisi tersebut tidak keluar dari norma-norma hukum Islam.
BAB III HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Desa Jetis Kecamatan Bandungan 1.
Letak Geografis Desa Jetis Kecamatan Bandungan Desa Jetis adalah sebuah desa yang terletak di kaki gunung Ungaran yang memiliki luas wilayah 278,765 Ha. dengan ketinggian 700 Mdl. di atas permukaan laut. Batas wilayah Desa Jetis di sebelah utara adalah Desa Mlirir dan Desa Duren, sebelah selatan adalah Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa,
sebelah
timur
adalah
Kelurahan Baran
Kecamatan Ambarawa dan sebelah barat adalah Kelurahan Bandungan. Sedangkan jarak obritasi Desa Jetis Kecamatan Bandungan adalah:
2.
a.
Jarak ke ibu kota Kecamatan
: 2 KM.
b.
Jarak ke ibu kota Kabupaten
: 15 KM.
c.
Jarak ke ibu kota Provinsi
: 40 KM.
d.
Jarak ke ibukota Negara
: 650 KM.
Kondisi Sosial Keagamaan Desa Jetis Kecamatan Bandungan mempunyai jumlah penduduk 4.460 jiwa yang terdiri dari 2.229 laki-laki dan 2.213 perempuan.
38
39
Tabel 3.1 : Jumlah Penduduk Menurut Agama No. Kelompok agama
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1.
Islam
2212
2212
4424
2.
Kristen
12
12
24
3.
Katolik
5
7
12
Jumlah
2229
2213
4460
Sumber: Data monografi kependudukan Desa Jetis Kecamatan Bandungan Bulan Januari 2015. Dilihat dari data monografi di atas penduduk yang beragama Islam 4.424 jiwa, Kristen 24 jiwa dan Katolik 12 jiwa. Sehingga dapat disimpulkan, mayoritas penduduk Desa Jetis Kecamatan Bandungan beragama Islam. Walaupun terjadi perbedaan keyakinan atau agama, dalam kehidupan sehari-hari penduduk Desa Jetis Kecamatan Bandungan tidak menggambarkan adanya perpecahan ataupun konflik akibat perbedaan keyakinan. Bagi pemeluk agama Islam sebagi pemeluk mayoritas sangat menghormati pemeluk agama Kristen dan Katolik meskipun pemeluknya hanya sebagian kecil dari masyarakat Desa Jetis Kecamatan Bandungan begitu juga sebaliknya. Dengan sikap masyarakat Desa Jetis Kecamatan Bandungan tersebut menjadikan pemeluk agama terkesan lebih toleran dan tidak membedakan-bedakan satu dengan yang lain. Dari 4.424 jiwa penduduk yang beragama Islam, sekitar 990 jiwa penduduk yang menganut aliran Jam’iyah Rifa’iyah yang tersebar di
40
beberapa dusun di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang.
3.
Tingkat Pendidikan Sebuah pendidikan merupakan suatu hak yang didapatkan oleh setiap manusia, yang mana pendidikan dapat dikategorikan dengan mencari ilmu yang hukumnya wajib dalam ajaran Islam. Tabel 3.2 : Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan No. Jenis Pendidikan
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1.
Tidak sekolah
0
0
0
2.
Belum tamat SD
216
219
435
3.
Tidak tamat SD
92
151
243
4.
Tamat SD
672
700
1372
5.
Tamat SLTP/SMP
264
290
554
6.
Tamat SLTA/SMA
317
243
560
7.
Tamat akademi
16
25
41
8.
Sarjana ke atas
50
48
98
Jumlah
1627
1676
3303
Sumber: Data monografi kependudukan Desa Jetis Kecamatan Bandungan Bulan Januari 2015. Dari data monografi di atas rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Desa Jetis Kecamatan Bandungan tergolong sangat baik bahkan banyak pula yang sampai lulus tingkat Sarjana. Namun di Desa
41
Jetis Kecamatan Bandungan masih banyak pula warga yang kurang mendapatkan pendidikan.
B. Gambaran Umum Jam’iyah Rifa’iyah 1.
Profil Pendiri Jam’iyah Rifa’iyah KH. Ahmad Rifa’i dilahirkan di Desa Tempuran Kabupaten Kendal pada tanggal 10 Muharram 1200 Hijriyah. Ayahnya bernama RKH. Muhammad bin Abi Sujak, yang menjadi qadli agama di kabupaten tersebut. Pada usianya mencapai 30 tahun KH. Ahmad Rifa’i pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Selama 8 tahun di Mekah KH. Ahmad Rifa’i mendalami ilmu-ilmu keislaman di bawah guru Syaikh Ahmad Usman dan Syaikh Al Faqih Muhammad Ibn Abd al-Aziz al-Jaisyi. Kemudian KH. Ahmad Rifa’i melanjutkan belajarnya ke Mesir selama 12 tahun untuk belajar kitab-kitab dengan petunjuk dan arahan guru-guru agung seperti Syaikh Ibrahim al-Bajuri dan Syaikh Abdurrahman al-Mirsyi (Saad, 2004:6-7). Setelah 20 tahun belajar di Timur Tenggah, kemudian KH. Ahmad Rifa’i pulang ke Indonesia bersama Syaikh Nawawi Banten dan Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan Madura. Dan pada waktu inggin kembali ke Indonesia ketiganya duduk berkeliling memusyawarahkan untuk menyatakan menyebarkan ilmu yang diperolehnya dalam bentuk tulisan
dan
mereka
bersepakat
bahawa
setiap
individu
wajib
42
mengembangkan ajarannya, pendidikannya dan keagamaannya (Saad, 2004:7). Setelah pulang dari Timur Tenggah KH. Ahmad Rifa’i tinggal di Kaliwunggu
Kabupaten
Kendal
dan
memusatkan
perhatiannya
merealisasikan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dan mengarang kitabkitab Tarjumah. Di samping kesibukannya dalam urusan pengajaran dan mengarang kitab, KH. Ahmad Rifa’i bekerja keras menanamkan keislaman kepada murid-muridnya dan masyarakat umumnya. Pada waktu pemerintah Belanda dan sekutunya menjajah penduduk dan tanah airnya, KH. Ahmad Rifa’i memandang bahwa pemerintah Belanda yang harus bertanggung jawab atas kesengsaraan yang telah menimpa umat Islam pada waktu itu. Kemudian KH. Ahmad Rifa’i membuat gerakan Ahmad Rifa’i untuk melawan pemerintah Belanda dan menyebabkan KH. Ahmad Rifa’i harus berhadapan dengan pemerintah Belanda. Karena takut dengan gerakan Ahmad Rifa’i, pemerintah Belanda memanggil Ahmad Rifa’i dan Pemerintah Belanda memenjarakan KH. Ahmad Rifa’i di Kendal dan Semarang. Setelah keluar dari penjara KH. Ahmad Rifa’i pindah ke Desa Kalisalak. Di Desa Kalisalak KH. Ahmad Rifa’i menikah dengan Sujinah, setelah istri pertamanya Ummil Umroh meninggal dunia. Kalisalak adalah desa terpencil yang terletak di Kecamatan Limpung Kabupaten Batang. Di Desa Kalisalak pertama kali KH. Ahmad Rifa’i mendirikan lembaga pondok pesantren yang namanya semakin terkenal di kalangan orang
43
banyak dan berdatangan para murid dari berbagai daerah seperti Kendal, Pekalongan, Wonosobo dan daerah lainya (Saad, 2004:8). Ketika pemerintah Belanda mengetahui bahwa gerakan KH. Ahmad Rifa’i lambat laun semakin banyak pengikutnya dari daerah lain, maka pemerintah Belanda menangkap dan mengasingkan KH. Ahmad Rifa’i ke Ambon pada tanggal 16 Syawal 1275 (19 Mei 1859). Walaupun diasingkan dari khayalak ramai KH. Ahmad Rifa’i tidak meninggalkan mengarang kitab sebagai wahana untuk dakwah islamiyah. Dan kemudian KH. Ahmad Rifa’i juga pindah ke Kampung Jawa Tondano Kabupaten Minahasa, Manado dan meninggal disana setelah berumur 89 tahun (Saad, 2004:9).
2.
Pofil Jam’iyah Rifa’iyah Sebagaimana para pemuka aliran, KH. Ahmad Rifa'i tidak pernah memproklamasikan berdirinya Jam’iyah Rifa’iyah sebagai nama bagi sebuah organisasi. Para pengikutnyalah yang mengidentifikan diri sebagai pengikut KH. Ahmad Rifa'i. Mereka biasa menyebut diri sebagai santri Tarjumah atau santri Rifa’iyah. Semenjak abad ke 19 hingga pertengahan abad ke 20, santri Tarjumah masih tersebar dalam berbagai organisasi dan lembaga. Beberapa di antaranya masih menutup diri dengan dunia luar. Belum lagi ada semacam trauma sejarah, dan kehilangan panutan kala KH. Ahmad Rifa'i diasingkan ke Kampung Jawa, Tondano, Minahasa. Baru pada 1965, didirikan Yayasan Islam
44
Rifa'iyah di Randudongkal, Pemalang. Yayasan ini menaungi Madrasah Ibtidaiyah dan pesantren yang melestarikan pengajaran kitab-kitab Tarjumah (Nasrudin, 2009:90). Dengan
bendera
yayasan,
para
santri
Tarjumah
mulai
bersinggungan dengan komunitas lain di luar mereka. Karena belum ada institusi resmi yang menggabungkan mereka, santri Tarjumah masih terfregmentasi. Sehingga, gerakan keagamaan mereka masih bersifat sporadis, terpolarisasi, dan tidak fokus. Di beberapa daerah, mereka masih harus berhadapan dengan organisasi keislaman lain yang sudah mapan, seperti NU dan Muhammadiyah. Kegiatan yayasan yang telah didirikan tidak leluasa. Bahkan, di beberapa daerah, Santri Tarjumah dipersulit mendirikan yayasan. Dalam kondisi terdesak ini, pemerintah Kabupaten Pekalongan menawarkan kebebasan berkegiatan. Tapi dengan catatan mau bergabung dengan Sekber Golkar. Tawaran ini diterima setelah para Kyai Tarjumah memutuskannya dalam sebuah musyawarah. Dengan bergabungnya santri Tarjumah kepada Golkar, mereka mendapat banyak kemudahan dalam beraktifitas dan akses yang cukup luas terhadap kekuasaan. Pada 24-25 Desember 1990 diadakanlah Seminar Nasional Mengungkap Pembaharuan Islam Abad XIX: Gerakan KH. Ahmad Rifa'i, Kesinambungannya dan Perubahannya di Jogjakarta. Seminar ini merekomendasikan berdirinya Jam’iyah Rifa'iyah (Nasrudin, 2009:91).
45
Tepat pada 18 Desember 1991 (18 Jumadil Akhir 1412 H), dideklarasikanlah Jam'iyah Rifa'iyah di Cirebon, Jawa Barat. Berdirinya Jam'iyah Rifa'iyah ini merupakan puncak kesadaran santri Tarjumah akan pentingnya sebuah organisasi dalam menghadapi berbagai tantangan bangsa, negara, umat, dan agamadi satu sisi, serta melestarikan tradisi pemikiran KH. Ahmad Rifa’i yang masih relevan dan dinamis di sisi lain (Nasrudin, 2009:92). Jam'iyah Rifa'iyah berakidah, berasaskan Islam ala ahlu sunah, mengikuti salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Syafi’i. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Jam’iyah Rifa’iyah berpedoman kepada Pancasila. Sedang secara keumatan, Jam’iyah Rifa'iyah
bersifat
sosial
keagamaan, memperjuangkan
nilai-nilai
kemaslahatan umat, kesejahteraan, dan kemanusiaan.
C. Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah Dari hasil observasi dan wawancara terhadap Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan diketahui tradisi pernikahan di Jam’iyah Rifa’iyah sebagi berikut: 1.
Tradisi Mempelajari Kitab Tabyin al-Islah Sebelum Pelaksanaan Pernikahan Calon mempelai yang akan melakukan pernikahan diharuskan mempelajari
kitab
Tabyin
al-Islah
(ilmu
pernikahan)
sebelum
pelaksanaan pernikahan. Calon mempelai yang akan melakukan
46
pernikahan menemui kyai atau tokoh ulama Jam’iyah Rifa’iyah kira-kira 2 bulan sebelum dilakukannya pernikahan untuk mempelajari kitab Tabyin al-Islah sampai paham isi dari kitab tersebut. Apabila calon mempelai yang akan melakukan pernikahan tidak paham isi dari kitab Tabyin al-Islah, biasanya kyai atau tokoh ulama Jam’iyah Rifa’iyah tidak membolehkan dulu calon mempelai tersebut untuk melaksanakan pernikahan sampai calon mempelai tersebut paham isi dari kitab Tabyin al-Islah. Kitab Tabyin al-Islah sendiri terdiri dari atas 2 bab, yang masingmasing bab mempunyai lapangan pembahasan sendiri-sendiri. Bab 1 membahas tentang rukun perkawinan, wali bagi wanita,susunan wali, wali hakim, saksi perkawinan, ijab qabul, larangan perkawinan, kafa‟ah, mas kawin, walimah, menggilir dan nusyuz, serta khulu‟. Sedangkan bab 2 membahas tentang talak. Kitab Tabyin al-Islah ditulis mengunakan arab pegon (tulisan arab berbahsa jawa). Pengunaan tulisan arab pegon dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan orang awam (orang yang tidak bisa membaca tulisan berbahasa arab) yang akan mempelajari kitab Tabyin al-Islah. 2.
Tradisi Pemilihan Saksi Pernikahan Dilakukannya pemilihan atau penujukan saksi pernikahan yang sesuai dengan kualifikasi saksi pernikahan di kitab Tabyin al-Islah. Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang melakukan pemilihan dan seleksi tersendiri saksi pernikahan.
47
Masyarakat mengusulkan beberapa nama warga yang dianggap memenuhi kualifikasi saksi pernikahan. Kemudian para tokoh Jam’iyah Rifa’iyahlah yang berhak menyeleksi dan menentukan seseorang menjadi saksi pernikahan yang kemudian dinobatkan. Jumlah saksi pernikahan bervariatif, sampai sekarang jumlah rata-rata saksi pernikahan adalah 6 orang, jadi hanya 6 orang inilah yang bisa menjadi saksi. 3.
Tradisi Shihah Pernikahan yang dilakukan setelah sebelumnya sudah pernah terjadi pernikahan atau akad nikah. Tradisi shihah ini sudah mengalami pergeseran pemikiran antara masa KH. Ahmad Rifa’i masih hidup dengan masa kini. Pada masa KH. Ahmad Rifa’i masih hidup, KH. Ahmad Rifa’i menolak akad nikah yang dilakukan penghulu sehingga KH. Ahmad Rifa’i mengeluarkan fatwa untuk dilakukanya akad nikah ulang. Sedangkan pada masa kini tradisi shihah sudah jarang dilakukan oleh Jam’iyah Rifa’iyah, Jam’iyah Rifa’iyah menilai para penghulu sudah bisa diterima akad nikahnya.
D. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah 1.
Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Mempelajari Kitab Tabyin alIslah Sebelum Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah diharuskan bagi orang yang akan melakukan pernikahan untuk mempelajari kitab Tabyin al-Islah (kitab ilmu
48
pernikahan). Menurut pandangan bapak Khadzaroh, salah satu tokoh agama Jam’iyah Rifa’iyah ini berpendapat: “Seseorang yang akan menikah atau melakukan suatu hubungan muamalah dengan sesama manusia maka harus mempelajari dan memahami maksud dan tujuan yang akan dicapai, supaya ibadah yang dilakukan tidak sia-sia begitu saja. Serta dengan cara ini kita akan tahu bagaimana tata cara beribadah dan semua hal mengenai ibadah itu sendiri”. Pendapat bapak Khadzaroh berdasarkan prinsip dalam ajaran Jam’iyah Rifai’yah sebagai berikut:
.و كل من بغري علم يعمل اعمالو مردودة التقبل Artinya: “barang siapa yang beramal tanpa ilmu, maka segala amalnya akan sia-sia di tolak”. Ada anggapan dalam Jam’iyah Rifa’iyah bahwa orang yang tidak mempelajari lebih dulu kitab Tabyin al-Islah, perkawinannya akan dianggap tidak shahih. Dan jika ada salah satu Jam’iyah Rifa’iyah yang tidak mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan maka dia akan mendapatkan sanksi dari Jam’iyah Rifa’iyah yaitu dia akan setengah dikucilkan dari Jam’iyah Rifa’iyah. Bapak Khadzaroh juga mengatakan: “Seseorang yang akan melaksanakan pernikahan harus mempelajari dan memahami kitab Tabyin al-Islah. Apabila orang itu tidak mempelajari dan memahami kitab Tabyin al-Islah maka akan mendapatkan sanksi setengah dikucilkan di kalangan Jam’iyah Rifa’iyah. Dikarenakan orang yang tidak mempelajari dan memahami kitab Tabyin al-Islah pernikahannya tidak shahih dan rumah tangganya ditakutkan tidak akan bahagia”. Dari keterangan bapak Khadzaroh dapat disimpulkan Jam’iyah Rifa’iyah diharuskan mempelajari kitab Tabyin al-Islah agar mereka
49
dapat memahami maksud dan tujuan pernikahan dan pernikahanya shahih dan rumah tangganya bahagia.
2.
Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pemilihan Saksi Pernikahan Terjadinya kualifikasi saksi pernikahan adalah faktor yang melatarbelakangi tradisi pemilihan dan penunjukan saksi pernikahan. Jam’iyah Rifa’iyah Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang melakukan
pemilihan
dan
seleksi
tersendiri.
Masyarakat
mengusulkan beberapa nama warga yang dianggap memenuhi kualifikasi saksi pernikahan. Kemudian para tokoh Jam’iyah Rifa’iyahlah yang berhak menyeleksi dan menentukan seseorang menjadi saksi pernikahan yang kemudian dinobatkan. Jumlah saksi pernikahan bervariatif, sampai sekarang jumlah rata-rata saksi pernikahan adalah 6 orang, jadi hanya 6 orang inilah yang bisa menjadi saksi dimana mereka tinggal, akan tetapi terkadang mereka juga diundang untuk menjadi saksi pernikahan di Jam’iyah Rifa’iyah desa lain biasanya dikarenakan adanya hubungan kekeluargaan antara mempelai pernikahan dengan para saksi tersebut. Dalam Kitab Tabyin al-Islah karangan KH. Ahmad Rifa’i halaman 48-50 dijelaskan mengenai kualifikasi saksi pernikahan yaitu: a.
Islam.
b.
Akil (berakal).
c.
Baligh.
50
d.
Laki-laki.
e.
Merdeka.
f.
Dua orang.
g.
Bisa melihat (tidak buta).
h.
Bisa mendengar (tidak tuli).
i.
Bisa berbicara (tidak bisu).
j.
Bukan anaknya.
k.
Bukan bapaknya.
l.
Bukan musuhnya.
m. Bukan orang yang fasiq. n.
Terjaga kehormatanya.
o.
Terjaga keselamatan i‟tiqad (keyakinan) nya, yakni bukan orang Qadariyyah dan Jabariyyah.
p.
Terjaga pemikirannya (bisa mengendalikan diri atau orang yang tidak pemarah, dan orang yang lemah). Syarat syah saksi tentang bukan orang fasiq biasanya sulit
dipenuhi oleh saksi pernikahan di kalangan Jam’iyah Rifa’iyah. Khadzaroh berpendapat: “Bukan orang yang fasiq merupakan syarat syah yang sulit dipenuhi oleh saksi pernikahan di kalangan Jam’iyah Rifa’iyah dikarenakan orang yang tidak fasiq diharuskan untuk tidak melakukan klasifikasi dosa yang difatwakan oleh KH. Ahmad Rifa’i”. KH. Ahmad Rifa’i mengklasifikasikan dosa menjadi tiga yaitu: a.
Dosa besar yang mengakibatkan pelakunya menjadi kafir.
51
Dosa besar yang mengakibatkan pelakunya menjadi kafir ada 10 macam yaitu: 1) Berkeyakinan dalam hati bahwa Allah SWT tidak ada. 2) Berkeyakinan dalam hati bahwa para Nabi tidak ada. 3) Menghina sebagian syariat Islam. 4) Bersujud kepada berhala, matahari dan lain-lain. 5) Meragukan ajaran-ajaran yang dibawa oleh para Nabi. 6) Berkeyakinan bahwa adat atau tradisi bisa memberikan efek atau dampak tersendiri (menafikan pertolongan Allah SWT). 7) Meragukan hari kiamat. 8) Menghalalkan sesuatun yang diharamkan oleh Nabi dan sebaliknya. 9) Membenci sebagian syariat agama Islam. 10) Menjatuhkan al-Qur’an dengan sengaja di tempat yang hina. b.
Dosa besar yang tidak mengakibatkan pelakunya menjadi kafir. Dosa besar yang tidak menyebabkan pelakunya menjadi kafir ada 44 macam yaitu: 1) Membunuh atau melukai sesama umat Islam tanpa alasan yang syariat. 2) Berzina dan liwat. 3) Minum arak (kullu musykirin). 4) Memakan harta anak yatim tanpa alasan. 5) Memakan harta riba‟.
52
6) Mencuri. 7) Main judi. 8) Menuduh orang lain berbuat zina, padahal orang yang dituduh tidak melakukannya. 9) Persaksian yang dusta. 10) Merampas milik orang lain (mbegal). 11) Melarikan diri dari medan perang melawan orang kufur. 12) Tidak taat kepada salah satu kedua orang tua. 13) Meninggalkan salah satu shalat wajib lima waktu. 14) Meninggalkan puasa pada bulan ramadlan walaupun hanya satu hari. 15) Menyelewengkan ajaran Nabi Muhammad SAW. 16) Mencela para sahabat Nabi Muhammad SAW. 17) Meninggalkan belajar ilmu yang wajib dipelajari. 18) Tidak mau bersaksi atas apa yang dilihat. 19) Sumpah yang dusta. 20) Memutus tali persaudaraan. 21) Mengurangi timbangan atau takaran dalam transaksi apapun. 22) Perilaku suap-menyuap. 23) Memukul sesama orang Islam. 24) Tidak mau membayar zakat, baik zakat mal maupun zakat fitrah. 25) Memakan bangkai. 26) Tidak menggantungkan diri pada rahmat Allah SWT.
53
27) Meninggalkan amar ma‟ruf dan nahi munkar. 28) Tidak menyampaikan ilmu yang sebenarnya kepada orang lain. 29) Mengumpulkan laki-laki dan wanita dalam satu majelis yang mengandung terlihatnya aurat. 30) Memfitnah seseorang melalui penguasa atau pemerintah. 31) Melakukan sihir. 32) Menjelek-jelekkan orang alim dan orang yang mengafal Alqur’an. 33) Wanita yang nusyuz pada suaminya. 34) Memakan daging babi. 35) Merasakan dalam hati tidak menggantungkan pada Allah SWT. 36) Ziharnya seorang suami. 37) Membakar rumah. 38) Menghafal al-Qur’an akan tetapi tidak menjaganya. 39) Melakukan dosa kecil secara terus menerus. 40) Membakar hewan hidup-hidup. 41) Ujub (berbangga diri). 42) Riya‟ (pamer). 43) Takabbur (sombong). 44) Hasut. c.
Dosa
kecil
yang
apabila
dilakukan
mengakibatkan pelakunya menjadi fasiq.
terus-menerus
akan
54
Dosa kecil yang apabila dilakukan terus-menerus maka akan mengakibatkan pelakunya menjadi fasiq ada 21 macam, yaitu: 1) Menjelek-jelekkan orang Islam (moyok‟i). 2) Laki-laki memandang perempuan yang bukan mahrom dan sebaliknya. 3) Bicara dusta Membuka aurat. 4) Melihat sesuatu yang haram. 5) Mendengarkan suara yang haram. 6) Mendatangi tempat yang digunakan untuk maksiat. 7) Memakai pakaian haram. 8) Membicarakan
kejelekan
orang
lslam,
sekalipun
yang
dibicarakan adalah kenyataan. 9) Saling berdiam diri dengan sesama muslim. 10) Menjual sesuatu yang mendatangkan dosa. 11) Berniat akan melakukan dosa besar. 12) Memasukkan anak kecil ke dalam masjid. 13) Memakai pakaian yang terkena najis. 14) Berlebih-lebihan dalam menggunakan sutra. 15) Mendengarkan suara musik sekalipun gamelan (termasuk televisi dan radio). 16) Menjual budak muslim kepada orang kufur. 17) Menjual barang yang kejelekannya ditutup-tutupi. 18) Menjual arak.
55
19) Kencing menghadap Ka’bah dan berak. 20) Membelakangi Ka’bah tanpa pengalang. 21) Menggambar bentuk hewan.
3.
Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Shihah a.
Tradisi shihah pada masa KH. Ahmad Rifa’i Pada masa KH. Ahmad Rifa'i penghulu tidak bisa menjadi wali, hal ini karena penghulu dipandang tidak adil. Para penghulu meskipun alim tetapi tetap saja fasiq lantaran mereka mengabdikan diri
pada
pemerintah yang
kafir. perilaku penghulu yang
menyimpang dari aturan syariat menyebabkan akad nikah yang dilangsungkan oleh penghulu dianggap tidak sah sehingga melatar belakangi adanya pengulangan pernikahan. Menurut pandangan bapak Khadzaroh ada beberapa hal yang menjadi dasar penghulu tidak bisa menjadi wali pada masa KH. Ahmad Rifa’i: “Pertama, penghulu menghamba kepada raja kafir atau kolonial Belanda. Raja kafir seharusnya dilawan, bukan diikuti, ditaati, dan apalagi mengabdi kepada mereka. Kedua, para penghulu hanya mengejar kekayan duniawi dan pangkat jabatan. Hal ini tampak dalam perilaku mereka yang mengambil kas masjid sebagai gaji demi kepentingan pribadi. Ketiga, para penghulu menerima upah yang telah ditentukan dari akad nikah yang ia catat. Qadhi maupun yang lain tidak layak menerima upah menikahkan atau mencatat pernikah. Menikahkan bukanlah profesi, melainkan aturan syariat yang harus ditunaikan. Sehingga meminta upah atas akad nikah diharamkan. Sedang menerima ujroh tanpa meminta dalam jumlah yang bebas diperkenankan. Tetapi, yang terjadi banyak penghulu menerapkan tarif dalam setiap akad nikah yang dijalankannya. Keempat, para penghulu biasanya selalu berharap akan harta benda dan tidak ikhlas. Kelima, penghulu
56
itu telah menentang syariat dengan menjalankan hukum kafir atau penjajah Belanda yang bertentangan dengan Islam. Dan celakanya dasar-dasar tersebut dibiasakan dalam kehidupan penghulu. Lengkap sudah seorang penghulu tidak sah menjadi wali dalam sebuah pernikahan. Sebagai solusi, KH. Ahmad Rifa'i mengharuskan diadakannya nikah ulang atau shihah agar pernikahan sepasang pengantin menjadi sah”. Pendapat bapak Khadzaroh tersebut berdasarkan petikan syair dalam kitab Tabyin al-Islah karangan KH. Ahmad Rifa’i halaman 180 berikut ini: Akeh „alim fasiq niru saiki zaman, pada dadi pengulu maha gedhe kedusan. Buru artha haram duniane keluhuran, ikulah kena fitnah dunia pengapusan. Artinya: “Banyak alim fasiq seperti pada era kini, mereka menjadi penghulu berlumur dosa. Mengejar uang haram dan kemuliaan dunia, mereka tertipu fitnah dunia”. Dan juga syair dalam kitab Tabyin al-Islah karangan KH. Ahmad Rifa’i halaman 194 berikut ini: Kang podo ngawula marang raja kufur, sakeng pangestu ing sabenere syara‟ mungkur. Uga ghalib qadhi ora sah jumat shalat, lan nikahan bebathalan kurang syarat. Artinya: “Mereka menghambakan diri pada raja kafir, tidak mengikuti aturan syariat. Sehingga penghulu tidak sah menjadi imam shalat jumat, dan mewakili wali dalam akad nikah, batal karena kurang syarat”. Dari keterangan Bapak Khadzaroh dan petikan syair dalam kitab Tabyin al-Islah dapat disimpulkan bahwa pada masa KH. Ahmad Rifa’i melakukan tradisi shihah karena tidak percaya pada penghulu pada masa itu. Buktinya, penghulu yang dipergunakan biasanya tidak memenuhi kriteria adil. Mereka mengabdi kepada
57
kolonial yang kafir. Dan tidak lagi memiliki kesempurnaan dalam sikap adil. Inilah yang melatar belakangi tradisi shihah di kalangan Jam’iyah Rifa’iyah pada masa itu. b.
Tradisi shihah Pada masa kini Tradisi shihah pada masa kini sudah mengalami pergeseran. Pada masa kini tradisi shihah sudah jarang dilakukan dikalangan Jam’iyah Rifa’iyah dan sudah menerima pernikahan oleh penghulu di karenakan para penghulu sudah diperintah oleh penguasa bukan kafir dan para penghulu dinilai sudah memiliki sifat adil. Namun masih ada kecenderungan di kalangan Jam'iyah Rifa'iyah untuk mempertahankan
tradisi
shihah.
Dalam
pendapatnya
Bapak
Khadzaroh mengatakan: “Tradisi shihah pada masa kini didasarkan pada 3 tujuan, yakni tajamul atau memperindah pernikahan, ikhtiyath atau berhati-hati dalam menjalankan syari’at dan tajdid atau meperbaharui pernikahan”. Dan biasanya dalam prosesi pernikahan di Desa Jetis Kecamatan Bandungan, seorang penghulu hanya datang lalu mencatat pernikahan. Penghulu hanya bertugas sebagai PPN tidak mengakadkan. Sedang yang biasa mengakadkan adalah wali sendiri atau tahkim kepada tokoh masyarakat desa ini. Jadi, pada masa kini yang melatarbelakangi tradisi shihah di kalangan
Jam’iyah
Rifa’iyah
dikarenakan
mereka
ingin
memperbaharui pernikahan, memperindah pernikahan adan berhati-
58
hati dengan syari’at KH. Ahmad Rifa’i tentang tidak syahnya pernikahan oleh penghulu.
BAB IV ANALISIS DATA
A. Analisis Tradisi Pernikahan di Jam’iyah Rifa’iyah Sebagaimana para pemuka aliran, KH. Ahmad Rifa’i tidak pernah memproklamasikan berdirinya Jam’iyah Rifa’iyah sebagai nama bagi sebuah organisasi. Para pengikutnyalah yang mengidentifikan diri sebagai pengikut KH. Ahmad Rifa’i. Mereka biasa menyebut diri sebagai santri Tarjumah atau santri Rifa’iyah. Semenjak abad ke 19 hingga pertengahan abad ke 20, santri Tarjumah masih tersebar dalam berbagai organisasi dan lembaga. Kemudian Tepat pada tanggal 18 Desember 1991 (18 Jumadil Akhir 1412 H), dideklarasikanlah Jama’ah Jam'iyah Rifa'iyah di Cirebon, Jawa Barat. Berdirinya Jam'iyah Rifa'iyah ini merupakan puncak kesadaran santri Tarjumah akan pentingnya sebuah organisasi dalam menghadapi berbagai tantangan bangsa, negara, umat, dan agama. Di satu sisi Jam’iyah Rifa’iyah juga harus melestarikan tradisi pemikiran KH. Ahmad Rifa'i yang masih relevan dan dinamis. Jam’iyah Rifa’iyah dalam menetapkan landasan hukum masih menggunakan tradisi pemikiran KH. Ahmad Rifa’i. Tradisi pemikiran KH. Ahmad Rifa’i juga digunakan dalam masalah pernikahan, sehinga di kalangan Jam’iyah Rifa’iyah terdapat tradisi pernikahan yang berbeda dengan umat Islam pada umumnya. Berikut ini tradisi pernikahan di Jam’iyah Rifa’iyah:
59
60
1.
Tradisi mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan Tradisi mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan adalah calon mempelai laki-laki dan perempuan di Jam’iyah Rifa’iyah diharuskan mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan dilakukan.
2.
Tradisi pemilihan saksi pernikahan Tradisi pemilihan saksi pernikahan adalah pemilihan saksi pernikahan yang sesuai dengan kualifikasi pernikahan di kitab Tabyin alIslah.
3.
Tradisi shihah. Tradisi shihah adalah tradisi pengulangan akad nikah yang sebelumnya telah dilakukan.
B. Analisis Faktor yang Melatar Belakangi Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah 1.
Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Mempelajari Kitab Tabyin alIslah Sebelum Pernikahan Menurut pandangan ulama Jam’iyah Rifai’yah, seseorang yang akan menikah atau melakukan suatu hubungan muamalah dengan sesama manusia maka harus mempelajari dan memahami maksud dan tujuan yang akan dicapai supaya ibadah yang dilakukan tidak sia-sia begitu saja. Serta dengan cara ini kita akan tahu bagaimana tata cara beribadah dan semua hal mengenai ibadah itu sendiri. Ada prinsip dalam ajaran
61
Jam’iyah Rifai’yah yaitu barang siapa yang beramal tanpa ilmu, maka segala amalnya akan sia-sia di tolak. Prinsip Jam’iyah Rifa’iyah ini tidak hanya berlaku bagi perkawinan saja, tetapi juga haji, jual beli, toharoh, yang juga ada kitab tersendiri. Jam’iyah Rifa’iyah juga beranggapan bahwa orang yang tidak mempelajari lebih dulu kitab Tabyin al-Islah, perkawinannya akan dianggap tidak shahih dan pernikahannya tidak akan kekal dan bahagia. Dan jika ada salah satu Jam’iyah Rifa’iyah yang tidak mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan maka dia akan mendapatkan sanksi dari Jama’ah Jam’iyah Rifa’iyah yaitu dia akan setengah dikucilkan dari Jama’ah Jam’iyah Rifa’iyah. Walaupun tradisi mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan terlihat memberatkan bagi pasangan yang akan melakukan pernikahan, tetapi tradisi mempelajari kitab Tabyin alIslah di Jam’iyah Rifa’iyah hingga sekarang masih dilakukan oleh Jam’iyah Rifa’iyah karena Jam’iyah Rifa’iyah sangat memegang teguh ajaran-ajaran dari KH. Ahmad Rifa’i dan tradisi mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan dipandang dapat mengajarkan kepada pasangan mempelai bagaimana mencapai perikahan yang bahagia dan kekal.
2.
Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pemilihan Saksi Pernikahan Terjadinya kualifikasi saksi pernikahan adalah faktor yang melatar belakangi tradisi pemilihan saksi pernikahan. Jam’iyah Rifa’iyah
62
di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang melakukan pemilihan
dan
seleksi
tersendiri
saksi
pernikahan.
Masyarakat
mengusulkan beberapa nama warga yang dianggap memenuhi kualifikasi saksi pernikahan. Kemudian para tokoh Jam’iyah Rifa’iyahlah yang berhak menyeleksi dan menentukan seseorang menjadi saksi pernikahan yang kemudian dinobatkan. Jumlah saksi pernikahan bervariatif, sampai sekarang jumlah rata-rata saksi pernikahan adalah 6 orang, jadi hanya 6 orang inilah yang bisa menjadi saksi dimana mereka tinggal, akan tetapi terkadang mereka juga diundang untuk menjadi saksi pernikahan di Jam’iyah Rifa’iyah lain biasanya dikarenakan adanya hubungan kekeluargaan antara mempelai pernikahan dengan para saksi tersebut. Mengenai kualifikasi saksi pernikahan KH. Aḥmad Rifa’i memasukkannya ke dalam salah satu rukun nikah, sebagaimana tertulis dalam kitabnya Tabyin al-Iṣlah. Dalam masalah kualifikasi pernikahan KH. Ahmad Rifa’i mengikuti Imam Syafi’i. Berikut ini bukti KH. Ahmad Rifa’i mengikuti ajaran Imam Syafi’i: a.
Islam, akil (berakal), baligh, dua laki-laki, dan merdeka. Kualifikasi Islam, akil, baligh, dua laki-laki, dan merdeka bagi saksi pernikahan sebagaimana dituliskan KH. Aḥmad Rifa’i dalam Tabyin al-Islah-nya, ternyata juga terdapat dalam kitab Taqrib karangan Abu Syuja’ (salah satu ulama madzhab Syafi’i) halaman 44 tertulis sebagai berikut:
63
ويفتقر الويل والشاىدان اىل ستة شراءط االسالم والثاين البلوغ والثالث العقل والرابع .اِلرية واخلامس الذكورة والسادس العدالة Artinya: “Wali dan dua saksi membutuhkan enam syarat: pertama, Islam. Kedua, baligh. Ketiga, berakal. Keempat, merdeka. Kelima, Laki-laki. dan keenam, adil”. b.
Bisa melihat (tidak buta) dan bisa mendengar (tidak tuli). Kualifikasi saksi pernikahan bisa melihat dan mendengar di dalam kitab Tabyin al-Islah juga dijelaskan dalam kitab Hasyiyah I‟anah at-Talibin karangan Jalil Jubali (salah satu ulama madzhab Syafi’i) halaman 229 dituliskan sebagai berikut:
.... اليصح اال حبضرة شاىدين وشرطهما حرية وذكورة وعدالة ومسع وبصر Artinya: “Tidak sah akad nikah kecuali dengan hadirnya dua saksi, syarat-syaratnya adalah merdeka, laki-laki, adil, bisa mendengar, dan bisa melihat....”. c.
Bisa berbicara (tidak bisu). Saksi disyaratkan harus orang yang bisa berbicara, tidak bisu. Syarat ini juga dijelaskan kitab al-Iqna‟ karangan Muhammad Syabirin Rasyid (salah satu ulama madzhab Syafi’i) halaman 632 dituliskan sebagai berikut:
.والثامنة ان يكون ناطقا فال تقبل شهادة االخرس وان فهمت اشارتو Artinya: “Dan syarat saksi yang kedelapan yaitu orang yang bisa berbicara, tidak diterima kesaksian orang bisu walaupun bahasa isyaratnya bisa difahami”.
64
d.
Bukan anak dan bapaknya Kualifikasi saksi pernikahan ini dapat kita lihat di dalam kitab Hasyiyah al-Allamah asy-Syekh Sulaiman al-Jaml ala Syarh al-Minhaj karangan Sulaiman al-Jamal (salah satu ulama madzhab Syafi’i) halaman 384 dituliskan sebagai berikut:
.... وتراد شهادتو لبعضو من أصل أو فرع لو Artinya: “Dan ditolak kesaksiannya kepada sebagiannya, yakni dari asal (bapak) atau cabang (anak)nya .....”. e.
Bukan musuhnya. Tidak
diperbolehkan
seorang
musuh
menjadi
saksi.
Pernyataan ini dipertegas ulama madzhab Syafi’i bisa dilihat dalam kitab Fath al-Wahhab karanagan Abi Yahya Zakaria al Anshori halaman 221 dituliskan sebagai berikut:
.والتقبل من عدوشخص عليو Artinya:
f.
“Dan tidak terhadapnya” .
diterima
kesaksian
seorang
musuh
Bukan orang yang fasiq Bukan orang yang pernah melakukan dosa besar dan bukan orang yang sering menjalankan dosa kecil atau adil. Syarat ini dituliskan di dalam kitab Tabyin al-Islah dan diperkuat dalam kitab ulama madzhab Syafi’i yaitu dalam kitab al-Iqna‟ karangan Muhammad Syabirin Rasyid halaman 632 dituliskan sebagai berikut:
65
.واخلامسة العدالة فال تقبل شهادة فاسق Artinya: “dan syarat saksi yang kelima adalah adil, tidak diterima kesaksian orang fasiq”. g.
Terjaga kehormatannya Orang yang di komunitasnya terjaga dari kejelekan tempat tersebut, contoh: makan di warung pinggir jalan, tidak memakai penutup kepala ketika hendak ke sawah, tidak memakai baju di luar rumah, dan lain-lain. Syarat ini juga dituliskan dalam kitab Fath alWahhab karangan Abi Yahya Zakaria al Anshori halaman 221 tertulis sebagai berikut:
.الشاىد حر مكلف ذومروءة Artinya: “Saksi adalah orang yang merdeka, mukallaf, dan mempunyai harga diri”. h.
Terjaga keselamatan i‟tiqad (keyakinan)nya, yakni bukan orang Qadariyyah dan Jabariyyah. Keberadaan saksi pernikahan yang diharuskan orang yang terjaga i‟tiqad atau keyakinannya. ini tertulis di kitab-kitab karangan ulama madzhab Syafi’i dalam kitab Hasyiyah Ibrahim al-Baijuri karangan Ibrahim al-baijurri halaman 663 tertulis sebagai berikut:
والثالث أن يكون العدل سليم السريرة أي العقيدة فال تقبل شهادة مبتدع يكفر أو .يفسق ببدعتو
66
Artinya: “dan yang ketiga dari syarat adil adalah terjaga keyakinannya, tidak diterima kesaksian pelaku bid‟ah yang mengakibatkan kufur atau fasiq”. Dalam hal ini, baik Imam Syafi’i maupun para pengikutnya tidak secara langsung bahwa orang yang berakidah Qadariyyah dan Jabariyyah tidak boleh menjadi saksi. Akan tetapi Imam Syafi’i dan para pengikutnya hanya menyebutkan orang yang selamat i‟tiqadnya yang bisa menjadi saksi. Jadi jelaslah bahwa ini adalah salah satu sumbangsih pemikiran KH. Aḥmad Rifa’i. i.
Terjaga pemikirannya (bisa mengendalikan diri atau orang yang tidak pemarah, dan orang yang lemah). Syarat ini tertulis di kitab ulama madzhab Syafi’i yaitu kitab al-Iqna‟ karangan Muhammad Syabirin Rasyid halaman 634 tertulis sebagai berikut:
.... والرابع أن يكون العدل مأمونا عند الغضب Artinya: “dan bagian yang keempat dari adil adalah seseorang yang terjaga dari kemarahannya .....”. Kualifikasi saksi harus orang yang terjaga kehormatannya, orang yang terjaga keselamatan i‟tiqad (keyakinan)nya dan orang yang terjaga pemikirannya (bisa mengendalikan diri atau orang yang tidak pemarah, dan orang yang lemah) ini dalam kitab-kitab ulama madzhab Syafi’i adalah bagian dari adil, akan tetapi KH. Aḥmad Rifa’i merinci satu persatu sebagai syarat saksi nikah, tidak heran ketika syarat saksi yang
67
disebutkan dalam kitab-kitab Syafi’iyah lebih sedikit daripada di dalam kitab Tabyin al-Iṣlah. Dalam masalah saksi pernikahan bukan orang yang fasiq Jam’iyah Rifa’iyah berpendapat bahwa bukan orang yang fasiq adalah orang muslim mukallaf yang tidak menjalankan dosa besar, tidak mengesampingkan dosa kecil dan
menolak orang yang bukan fasiq
berdasarkan cerita orang. Kualifikasi ini di kalangan Jam’iyah Rifa’iyah dianggap paling sulit dipenuhi oleh seorang saksi pernikahan. Sehingga kualifikasi bukan orang fasiq merupakan faktor utama yang melatar belakangi adanya pemilihan saksi pernikahan di Jam’iyah Rifa’iyah.
3.
Tradisi Shihah Pada masa KH. Ahmad Rifa’i pengulangan pernikahan atau tradisi shihah dikarenakan wali hakim atau penghulu pada masa KH. Ahmad Rifa’i melakukan penyelewengan dan para penghulu hanya memikirkan kepentingan pribadi dengan mengatas namakan dan memanfaatkan agama, guna mengeruk keuntungan pribadi. Dalam kondisi ini, KH. Ahmad Rifa’i memahami bahwa penghulu tidak memenuhi kualifikasi adil. Konsekuensinya, perwalian dan akad nikah tidak sah. Lalu dibuatlah institusi shihah guna menanggulangi ketidak absahan akad nikah. Diharapkan, pernikahan tersebut benar-benar sah. KH. Ahmad Rifa'i tidak mengeluarkan fatwa bahwa shihah itu sebagai keharusan. Ia juga tidak mengklaim pernikahan yang diakadkan
68
penghulu tidak sah secara mutlak. Dalam Tabyin al-Islah, ia hanya menyebutkan ghalib qadhi (mayoritas penghulu). Dengan demikian, jika ada qadhi yang masih bertahan dan berpegang teguh kepada syari’ah, maka akad nikah sah. Akan tetapi, orang seperti ini benar-benar langka. Secara politis, posisi qadhi waktu itu teramat lemah. Ia menjadi bawahan, diperintah oleh pejabat pemerintah Belanda atau pemimpin kafir. Dalam perjalanan waktu, ada pergeseran pemahaman di Jam’iyah Rifa’iyah dalam mengambil kesimpulan, bahwa pendapat hukum yang dikeluarkan oleh KH. Ahmad Rifa'i adalah sebuah produk hukum yang tidak selalu mengikat bagi para pengikutnya untuk seterusnya. Walaupun fatwa ketidak absahan nikah yang diakadkan oleh penghulu dianggap sebagai keputusan final. Dan membatu dan membeku dalam logika berfikir di Jam'iyah Rifa'iyah selama beberapa waktu. Setelah masa kemerdekaan pemahaman Jam’iyah Rifa’iyah sedikit demi sedikit mulai mengalami pergeseran. Pergeseran ini seiring dengan munculnya kesadaran bahwa bangsa ini sudah merdeka dari jajahan pemerintah kafir. Pemerintah Indonesia meski tidak berasaskan Islam bukanlah negara kafir. Di sini umat Islam bebas beribadah, bebas dari tekanan orang kafir dan tidak dipaksa menjalankan maksiat oleh negara. Kondisi sosial-politik yang berubah mendorong perubahan kadar maslahat
bagi
bangsa
ini.
Bila
Jam’iyah
Rifa’iyah
masih
mempertahankan pandangan bahwa penghulu itu anak buah pemerintah kafir, maka hal ini tidak akan membawa maslahat, bagi Jam'iyah
69
Rifa'iyah sendiri maupun bagi bangsa. Lagi pula, perbuatan mencampur syara‟ dengan bathil dan tidak adil kini sudah berkurang di kalangan penghulu. Sebagian besar penghulu memiliki latar belakang pendidikan yang cukup mumpuni. Mereka banyak yang berasal dari kalangan pesantren, tempat yang sangat disegani oleh Jam'iyah Rifa'iyah. Karenanya, akad nikah yang diakadkan oleh penghulu dianggap sah. Namun demikian, di Jam'iyah Rifa'iyah masih ada yang tetap mempertahankan pemikiran ini. Mereka merasa nyaman dengan pemahaman seperti ini. Hal ini tampak dengan kecenderungan yang ada untuk tetap menyelenggarakan tradisi shihah, meskipun hanya sekedar penyebutannya saja. Pergeseran pemikiran inilah yang kemudian berusaha membawa Jam'iyah Rifa'iyah ke alam yang lebih modern dan moderat. Kendatipun demikian, perubahan ini masih belum sepenuhnya terjadi. Nyatanya, pernikahan yang diakadkan penghulu baru bisa dihitung dengan jari. Boleh jadi, masih ada ketakutan dan keengganan di Jam’iyah Rifa’iyah untuk melangar ajaran KH. Ahmad Rifa’i. Kebanyakan Jama’ah Jam'iyah Rifa'iyah masih melimpahkan hak perwalian kepada Kyai (tahkim), dimana dulu menimba ilmu. Tradisi shihah karenanya masih tetap dilangsungkan hingga kini. Namun, Jam'iyah Rifa'iyah mewanti-wanti, bahwa tradisi shihah dilangsungkan tidak dalam kerangka menghakimi akad nikah yang dilaksanakan oleh penghulu sebelumnya.
70
Tradisi shihah lebih ditujukan dalam rangka tabarukan, mengharap berkah kepada sang Guru. Itu yang pertama. Kedua, dilakukan dalam kerangka tajdid, memperbaharui pernikahan. Ketiga, dalam kerangka tajamul nikah atau memperindah pernikahan.
C. Analisis Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah Berdasarkan Ilmu Ushul Fiqih Tradisi merupakan adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat. Sejak dahulu tradisi pun telah ada dan menjadi kebiasaan yang dijalani oleh masyarakat saat ini. Dalam hukum Islam istilah tradisi lebih dikenal dengan urf. Urf secara etimologi merupakan sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi atau istilah, urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi masyarakat karena telah menjadi kebiasaan yang menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan. Adat yang berlaku dikalangan umat berarti telah diterima sekian lama secara baik oleh umat. Bila semua ulama telah mengamalkannya, berarti secara tidak langsung telah terjadi ijma‟, walaupun dalam bentuk sukuti. Adat itu berlaku dan diterima orang banyak karena mengandung kemashlahatan. Tidak memakai adat seperti ini, hal ini berarti menolak mashlahat, sedangkan semua pihalk telah sepakat untuk mengambil sesuatu yang bernilai mashlahat, meskipun tidak ada nash yang secara langsung mendukungnya (Syarifuddin, 2008:378).
71
Islam datang dengan seperangkat norma syara‟ yang mengatur kehidupan muamalah yang harus dipatuhi umat Islam sebagai konsekuensi sebagai keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagian dari adat lama itu ada yang selaras dan ada yang bertentangan dengan hukum syara‟. Pertemuan antara adat dan syari’at tersebut terjadilah pembenturan, penyerapan, dan pembauran antara keduanya. Tradisi pernikahan yang dilakukan Jam’iyah Rifa’iyah dilihat dari kacamata ilmu ushul fiqih termasuk dalam urf al-shahih. Urf al-shahih yaitu kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (alqu’an atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Para ulama sepakat bahwa urf al-shahih diperbolehkan dikarenakan urf al-shahih tidak bertentangan dengan nash (alqu’an atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka
(Haroen, 1996:142). Tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah bisa
dikatakan seperti di atas dikarenakan faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah juga tidak bertentangan dengan nash (alqu’an atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penilitian yang mengacu pada rumusan masalah sebagaimana telah peneliti jabarkan dalam bab III dan telah dianalisis dalam bab IV. Maka bisa ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Jam’iyah
Rifa’iyah
dalam
menetapkan
landasan
hukum
masih
menggunakan tradisi pemikiran KH. Ahmad Rifa’i. Tradisi pemikiran KH. Ahmad Rifa’i juga digunakan dalam masalah pernikahan, sehinga di Jam’iyah Rifa’iyah terdapat tradisi pernikahan yang berbeda dengan umat islam pada umumnya. Tradisi pernikahan di Jam’iyah Rifa’iyah meliputi:
2.
a.
Tradisi mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan.
b.
Tradisi pemilihan saksi pernikahan.
c.
tradisi shihah.
Faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan di Jam’iyah rifa’iyah adalah: a.
Faktor yang melatarbelakangi tradisi mempelajari kitab Tabyin alIslah sebelum pernikahan Jam’iyah
Rifa’iyah
yang
akan
menikah
diharuskan
mempelajari kitab Tabyin al-Islah supaya ibadah pernikahannya tidak sia-sia begitu saja, perkawinannya dianggap shahih dan pernikahannya kekal dan bahagia. Dan jika ada salah satu Jam’iyah
72
73
Rifa’iyah tidak mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan maka dia akan mendapatkan sanksi dari Jam’iyah Rifa’iyah yaitu dia akan setengah dikucilkan dari Jam’iyah Rifa’iyah. b.
Faktor yang melatarbelakangi tradisi pemilihan saksi Terjadinya kualifikasi saksi pernikahan di kitab Tabyin alIslah yang terkesan berhati-hati dan sulit dipenuhi oleh seorang saksi pernikahan biasa.
c.
Faktor yang melatarbelakangi tradisi shihah Pada masa KH. Ahmad Rifa’i mayoritas wali hakim atau penghulu belum bisa adil mursyid, berada dalam perintah pemerintah kafir atau pemerintah belanda dan hanya memikirkan kepentingan pribadi
dengan
mengatas
namakan agama
guna
mengeruk
keuntungan pribadi. Setelah Indonesia merdeka pengulangan pernikahan atau tradisi shihah di Jam’iyah Rifa’iyah sudah mengalami pergeseran dikarenakan para penghulu sudah diperintah oleh penguasa bukan kafir, para penghulu dinilai sudah memiliki sifat yang alim dan sebagian besar penghulu memiliki latar belakang pendidikan agama yang cukup mumpuni. Namun demikian, di Jam’iyah Rifa’iyah masih ada yang tetap mempertahankan tradisi Shihah dengan pemahaman yang berbeda pada masa KH. Ahmad Rifa’i. Tradisi shihah lebih ditujukan dalam rangka tabarukan, mengharap berkah kepada sang Guru, itu yang pertama. Kedua,
74
dilakukan dalam kerangka tajdid, memperbaharui pernikahan. Ketiga,
dalam
kerangka
tajamul
nikah
atau
memperindah
pernikahan.
B. Saran Setelah melakukan penelitian dan menganalisa hasil yang didapat dari data-data, penulis bermaksud memberikan saran bagi obyek penelitian. Adapun beberapa saran dari penulis adalah sebagai berikut: 1.
Jam’iyah Rifa’iyah jangan hanya terpaku terhadap pemikiran KH. Ahmad Rifa’i harus membuka diri dengan pemikiran-pemikiran ulama lain.
2.
Tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah dalam ajaran agama Islam termasuk tradisi atau urf yang diperbolehkan, sehingga pertahankan tradisi tersebut. Namun dalam mempertahankan tradisi tersebut Jam’iyah Rifa’iyah harus melihat perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Anshori, Abi Yahya Zakaria. Fath al-wahab. Semarang: Toha Putra. Al-Bajuri, Ibrahim. Hasyiyah Syekh Ibrahim al-Bajuri Juz II. Beirut: Dar alKutub al-Alamiyyah. Alhamdani, H.S.A. Risalah Nikah. Pekalongan: Raja Murah. Ali, Mukti. 1998. Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yoga. Al-Jamal, Sulaiman. Hasyiyah al-Allamah asy-Syeikh Sulaiman al-Jamal ala Syarh al-Minhaj. Beirut: Dar al-Fikr. Arikunto, Suharsimi. 1992. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Bina Aksara. Bakar, Abi. Hasyiyah I‟anah at-Thalibin Juz III. Beirut: Dar al-Fikr. Daymon, Kristina. 2008. Metode-Metode Riset Kualitatif dalam Publik Relation. dan Marketing Communication. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka. Departemen Agama RI. 1985. Ilmu Fiqh Jilid II, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. ___________________ 2006. Qur‟an tajwid dan terjemahan. Jakarta: Maghfirah Pustaka. Djamil, Abdul. 2001. Perlawanan Kyai Desa: Pemikiran dan Gerakan KH. Ahmad Rifa‟i. Yogyakarta: LKIS. Djubaedah, Neng. 2010. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Effendi, Satria dan Zain M. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Perdana Media Group. Ghazaly, Abdur Rahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos Publising House. Ibrahim, Hosen. 1971. Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk. Jakarta: Ihya Ulmuddin. Jubali, Jalil. 1978. Mughni al-Muhtaj Juz III. Mesir: Dar al-Fikr. Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Moleong, J. Lexy. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muchtar, Kamal. 1974. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang. Nasrudin, Muhammad. 2009. Hukum Islam dan Perubahan Sosial: Studi Pergeseran Pemikiran Jam‟iyah Rifa‟iyah tentang Keabsahan Nikah yang Diakadkan oleh Penghulu atau PPN. Skripsi Tidak Diterbitkan: Jurusan Syari’ah IAIN Walisongo. Nurudin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Perdana Media Group. Rifa’i, Ahmad. Tabyin al-Islah. Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sa’ad, Mukhlisin. 2004. Mengungkap Gerakan dan Pemikiran Syaikh Ahmad Rifa‟i. Pekalongan: Yayasan Badan Wakaf Rifa’iyah. Sabiq, Sayyid. 1980. Fikih Sunah 6. Bandung: PT. Al-Ma’arif. Saleh, H.E. Hassan. 2008. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Subekti, R. 1996. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermesa. Sukmadinata, Saudih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Surakhmad, Winarno. 1994. Pengantar Pengertian Ilmiah. Bandung: Tarsito. Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh Jillid 2. Jakarta: Perdana Media. Syuja’, Abi. Taqrib. Semarang: Pustaka al-Alawiyah.
Tihami, Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Hanif Ahmad Saifuddin
Tempat, tanggal lahir : Kabupaten Semarang, 19 Desember 1992 Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Warga Negara
: Indonesia
Agama
: Islam
Alamat
: Jetis RT 02 RW 06 Bandungan Semarang Jawa tenggah
Nomer Hp
: 089669048247
Riwayat Pendidikan : 1.
RA Nurul Anwar Dusun Jetis Desa Jetis Kecamatan Bandungan lulus tahun 1998.
2.
MI Nurul Anwar Dusun Jetis Desa Jetis Kecamatan Bandungan lulus tahun 2004.
3.
MTS Roudlotu Furqon Desa Kebumen Kecamatan Banyubiru lulus tahun 2007.
4.
MA al-Bidayah Desa Candi Kecamatan Bandungan lulus tahun 2010.
5.
IAIN Salatiga lulus tahun 2015.
Demikian daftar riwayat hidup ini yang penulis buat dengan sebenarbenarnya.
Penulis
DAFTAR NILAI SKK Nama
: Hanif Ahmad Saifuddin
Nim
: 21110005
Jurusan
: Syari’ah/ Ahwal Al SyakhShiyyah
PA
: Ilyya Muhsin S.HI.,M.Si
No
Nama kegiatan
1
Piagam
Pelaksanaan
Penghargaan
Pengenalan
Keterangan
Nilai
Peserta
3
Peserta
3
Peserta
6
Peserta
3
Panitia
3
Orientasi 25-27
Akademik
dan Agustus 2010
Kemahasiswaan (OPAK) 2
Sertifikat
User
Education 20-25
(Pendidikan Pemakai) Oleh UPT September Perpustakaan STAIN Salatiga 3
2010
Piagam Seminar National Workshop 19 Desember of
Entrepreneurship
and
Basic 2010
Coorperation 2010 oleh KOPMA 4
Piagam Seminar Politik Pilwakot 27
Januari
yang Ideal untuk Masa Depan 2011 Salatiga yang Lebih Baik oleh DEMA STAIN Salatiga 5
Piagam penghargaan Lomba untuk 15-17 Memeriahkan Hari
Kemerdekaan Agustus 2011
Indonesia oleh IRMABAD
6
Sertifikat Keakraban
Penghargaan Mahasiswa
Malam 08-09 Syariah Oktober 2011 Peserta
3
Peserta
3
Panitia
3
Peserta
3
Peserta
3
Panitia
3
Panitia
3
Panitia
3
“Semalam Sehati” Oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Syariah 7
Sertifikat Mapaba PMII
23
Oktober
2011 8
Piagam Penghargaan Bebek Cup III
28-29 Oktober 2011
9
Sertifikat Qiro’atil Qutub
SeptemberDesember 2011
10
Sertifikat Comparison of English 13 and Arabic oleh CEC dan ITTAQO
11
Piagam nuzulul
Penghargaan Qurán
oleh
April
2012
Tadarus 05
Agustus
Jama’áh 2012
Quránan Dusun Jetis 12
Piagam penghargaan Lomba untuk 15-17 Memeriahkan Hari
Kemerdekaan Agustus 2012
Indonesia oleh IRMABAD 13
Sertifikat MAPABA PMII
05-07 Oktober 2012
14
Seminar Nasional Peran Lembaga 29 N0vember Perbankan Syariáh dengan Adanya 2012 Otoritas Jasa Keuangan (UU No. 21
Peserta
6
Panitia
2
Peserta
6
Peserta
6
Panitia
2
Panitia
2
Tahun 2011 Tentang OJK) oleh HMJ Syariáh 15
Piagam
Penghargaan
Pengajian 23
Januari
Maulid Nabi Muhammad SAW oleh 2013 Ta’mir Masjid Baitul Ibad 16
Sertifikat
Seminar
Ahlussunnah
Nasional 26
Waljamaáh
Perspektif Islam
Indonesia
Maret
dalam 2013 oleh
Dema STAIN Salatiga 17
Sertifikat Seminar Nasional “Norma 27 Mei 2013 Hukum Serta Kebijakan Pemerintah dalam Mengendalikan Harga BBM Bersubsidi” Oleh DEMA
18
Piagam Penghargaan Pengajian Isra’ 05 Juni 2013 Mi’raj oleh Ta’mir Masjid Baitul Ibad
19
Piagam
Penghargaan
Pengajian 25 Juli 2013
Nuzulul Qurán oleh Ta’mir Masjid Baitul Ibad
20
Piagam
Penghargaan
Tadarus 25 Juli 2013
nuzulul Qurán dan Buka Bersasama
Panitia
2
Panitia
2
Panitia
3
Peserta
6
Panitia
2
Peserta
6
Panitia
2
oleh Jamaáh Quranan Dusun Jetis 21
Piagam Penghargaan Lomba untuk 17 Memeriahkan Hari
Agustus
Kemerdekaan 2013
Indonesia oleh IRMABAD 22
Piagam Penghargaan SSC Cup III 01 oleh SSC
23
Seminar
Oktober
2013 Nasional
Bahasa
Arab 09
Oktober
Upaya Menjaga Eksistensi dan Mas 2013 Depan Pembelajaran Bahasa Arab 24
Piagam
Penghargaan
Pengajian 04 November
tahun Baru Hijriyah oleh Ta’mir 2013 Masjid Baitul Ibad 25
Sertifikat Seminar Nasional Guru 18 November Kreatif
dalam
Kurikululum
2013
Implementasi 2013 oleh
HMJ
Tarbiyah 26
Piagam Penghargan Pengajian Malid 13
Januari
Nabi Muhammad SAW oleh Ta’mir 2014 Masjid Baitul Ibad
27
Piagam Penghargaan Diklatsar V 17-26 Januari oleh SSC
28
Panitia
3
Panitia
2
Panitia
2
Panitia
2
Panitia
2
Panitia
2
Peserta
6
Panitia
3
2014
Piagam Penghargaan Pengajian Isra’ 26 Mei 2014 Mi’raj oleh ta’mir Masjid Baitul Ibad
29
Piagam
Penghargaan
Pengajian 14 Juli 2014
Nuzulul Qurán oleh Ta’mir Masjid Baitul Ibad 30
Piagam
Penghargaan
Tadarus 15 Juli 2014
Nuzulul Qurán dan Buka bersama oleh Jamaáh Quranana Dusun Jetis 31
Piagam Penghargaan Lomba untuk 15-17 Memeriahkan
Hari
kemerdekaan Agustus 2014
Indonesia oleh IRMABAD 32
Piagam
Penghargaan
Pengajian 24
Oktober
Tahun Baru Hijriyah oleh Ta’mir 2014 Masjid Baitul Ibad 33
34
Sertifikat
Seminar
Nasional 16 November
Entrepreneurship oleh RACANA
2014
Sertifikat Diklatsar VI oleh SSC
2
Februari
2015
DAFTAR PERTANYAAN
1.
Apakah Jama’ah Jam’iyah Rifa’iyah itu?
2.
Siapakah Pendiri Jama’ah Jam’iyah Rifa’iyah?
3.
Apakah Jama’ah Jam’iyah Rifa’iyah mempunyai tradisi-tradisi tertentu dalam pelaksanaan pernikahan?
4.
Dapatkah anda menjelaskan tradisi-tradisi pernikahan tersebut?
5.
Dapatkah anda menjelaskan faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan di Jama’ah Jam’iyah Rifa’iyah?
6.
Apakah faktor yang melatarbelakangi tradisi tersebut menpunyai dasar hukum?
7.
Apakah anda dapat menjelaskan dasar hukumnya?