Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
KEABSAHAN NIKAH DI KUA; Studi Kasus Jamaah Rifa’iyah Kabupaten Kendal Ikhsan Intizam STIT Muh. Kendal
[email protected]
Abstrak: Kesempurnaan saksi dan wali nikah di pernikahan jamaah Rifa`iyah merupakan hal yang sangat penting. Meskipun pernikahan di KUA dianggap sah secara hukum, jamaah Rifa`iyah tetap menyelenggarakan pernikahan ulang di rumah mempelai puteri. Permasalahan penelitian ini: Bagaimanakah praktik akad nikah di kalangan jamaah Rifa’iyah, mengapa jamaah Rifa’iyah melaksanakan akad nikah dua kali di KUA dan di rumah mempelai puteri, dan bagaimanakah pandangan jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal terhadap keabsahan nikah di KUA?. Penelitian deskriptif dengan pendekatan studi kasus ini dilaksanakan di Kabupaten Kendal. Teknik pengumpulan data: Observasi, dokumentasi dan interview. Analisis data deskriptif meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan. Hasil penelitian ini sebagai berikut: 1) Praktik akad nikah di kalangan jamaah Rifa’iyah dilaksanakan dua kali yakni di Kantor Urusan Agama dan di rumah mempelai puteri. Akad nikah dua kali ini merupakan tradisi pernikahan yang telah dilaksanakan sejak jaman KH. Ahmad Rifa`i selaku pendiri jamaah Rifa`iyah sampai sekarang. 2) Alasan jamaah Rifa’iyah melaksanakan pernikahan dua kali untuk menyempurnakan pernikahan pada prosesi pernikahan di KUA; 3) Pandangan jamaah Rifa`iyah menganggap pernikahan yang dilaksanakan di KUA dianggap sudah sah dan telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Adapun prosesi pernikahan di rumah mempelai puteri dilakukan untuk menyempurnakan syarat dan rukun yang mungkin dijumpai kurang sempurna seperti saksi dan wali nikah yang mungkin kurang sempurna. Alasan lainnya untuk menyempurnakan prosesi walimahan pernikahan. Kata Kunci: Nikah di KUA, Nikah di Rumah Mempelai Puteri, Jamaah Rifa`iyah, Kesempurnaan Nikah.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 17 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
Pendahuluan Realiatas kehidupan di masyarakat pasti terdapat perbedaan pendapat dan perbedaan tata cara melaksanakan pernikahan, sebagai contoh pada jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal cara-cara sebelum pernikahan dan berlangsungnya pernikahan ada perbedaan dengan masyarakat umum. Pada jamaah Rifa`iyah, menjelang pernikahan kurang satu bulan calon pengantin laki-laki atau perempuan disuruh mengkaji kitab Tabyīn al-Islāh terlebih dahulu, (perempuan mengkaji bersama ustadzah, sedangkan laki-lakinya mengkaji bersama ustadnya), walaupun salah satu calon pengantin itu bukan Rifa`iyah tetap disuruh mengkaji kitab Tabyin al-Islah terlebih dahulu. Agar calon pengantin mengetahui hukum, syarat dan rukun nikah, dan syarat ijab qabul, serta ilmu nikah lainnya seperti; kewajiban-kewajiban melaksanakan ibadah, hak-hak menjadi suami dan isteri, mengetahui larangan-larangan yang di benci oleh Allah SWT, contoh: talaq, nuzuz, dan sebagainya. Syarifuddin menjelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, oleh karena itu perceraian, nuzuz dan sebagainya hendaknya harus dihindari.1 Sebelum menikah, calon pengantin ditanya kesiapannya menjadi sumai atau isteri. Jika sudah siap, kemudian disuruh membaca dua kalimah syahadatain dan surat al-Fatikhah dilanjutkan bacaan-bacaan shalat sampai akhir dan disaksikan banyak ulama Rifa`iyah. Karena sebagai wali harus seorang yang “mursyid”, artinya terjaga dari perbuatan yang “fasik”, baik fasik duniawiyah maupun ukhrawiyah, karena orang fasik itu “mahjur” dibatasi kehidupannya oleh hukum. Dan supaya pernikahan tersebut benar-benar sah dan mendapat berkah dari para ulama.2 Masyarakat Rifa`iyah menjalankan prosesi akad nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) dengan alasan untuk mematuhi peraturan pemerintahan yang sudah ada di Indonesia, supaya pernikahan tersebut sah dalam pandangan pemerintah. Jamaah Rifa`iyah di Kabupaten Kendal dalam menjalankan prosesi akad nikah di KUA sengaja tidak mengajak para ulama yang alim dan adil untuk saksi. Hal ini disebabkan alasan mengajak para ulama ke KUA kurang pantas. Alasan tersebut berkaitan tradisi pelaksanaan prosesi pernikahan jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 26 2 Maslahul Huda, Perkawinan Ulang bagi Penganut Aliran Rifaiyah di Kelurahan Pagerkukuh Kabupaten Wonosobo, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Press, 2010), hlm. v.
18 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
selama ini mengundang ulama-ulama Rifa`iyah dari Pekalongan, Batang, dan dari Cirebon.3 Alasan lainnya jamaah Rifa`iyah mengadakan perkawinan ulang adalah pemenuhan syarat dan rukun nikah serta tidak tercampurnya antara laki-laki dan perempuan dalam satu majelis pertemuan. Hal tersebut dikemukakan K.H. Nakmatullah, salah seorang tokoh Rifaiyah di Kabupaten Kendal, bahwa pernikahan kurang satu saja rukun dan syaratnya dianggap sudah batal pernikahanya. Prosesi pernikahan yang dihadiri tamu undangan yang bercampur laki-laki dan perempuan dalam satu majelis tanpa hijab dapat menyebabkan mungkar dan pernikahan menjadi rusak.4 Jamaah Rifa`iyah yang melaksanakan akad di KUA, pernikahan tersebut harus di ulang lagi. Konsep ini sejalan dengan pandangan Kyai Ahmad Rifa’i bahwa pernikahan yang dilaksanakan oleh penghulu itu tidak sah, sebab masih banyak kekurangan, maka untuk mengabsahkan pernikahan tersebut harus diulang kembali. Kekurangan-kekurangannya itu, berkisar pada masalah status wali, saksi dan bahasa, dan wali diwakilkan kepada ulama yang alim dan adil bertujuan mengalap berkah dari para ulama tersebut.5 Penyelenggaraan prosesi pernikahan di rumah mempelai isteri berjalan tertib. Pada acara resepsian, laki-laki dan perempuan tidak boleh bercampur dalam satu ruangan. Pengantin laki-laki dan perempuan tidak boleh duduk berdampingan di hadapan orang-orang banyak. Walaupun sudah ijab qabul sah dan sudah menjadi suami-isteri, pengantin tersebut dipisah terlebih dahulu dan belum dapat berdampingan mengikuti jalannya resepsi sampai selesai. Pengantin laki-laki tidak di rias (hanya memakai sarung, kemejan putih, jas hitam dan peci). Adapun yang duduk dihadapan orang-orang yang mengiring dari pengantin laki-laki, yang di tempat ruang tamu perempuan itu hanya pengantin perempuan dan didampingi pengantin kecil untuk teman pengantin perempuan. Adapun yang bertempat tamu laki-laki itu pengantin laki-laki dan pendamping lakilaki, tidak boleh bercampur dalam satu ruangan.6 3
Wawancara dengan K.H. Abu Su`ud, selaku tokoh Rifa`iyah Kabupaten Kendal di rumahnya tanggal 24 Pebruari 2015 jam 19.30 WIB. 4 Wawancara dengan K.H. Nakmatullah, selaku tokoh Rifa`iyah Kabupaten Kendal, di Rumahnya tanggal 14 Pebruari 2015, jam 19.00 WIB. 5 Hasil wawancara dengan ibu Arina Hikmah, S.H.I (seorang ustadzah yang cukup disegani jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal) tanggal 4 Maret 2015 di rumahnya, jam 09.45 WIB. 6 Ibid. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 19 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
Deskripsi yang lebih unik lagi pada jamaah Rifa`iyah di Kabupaten Kendal adalah tidak boleh mengambil gambar (foto) pengantin disaat pelaksaan penikahan berlangsung. Pengambilan foto pada saat resepsi pun tidak boleh karena adanya gambar atau foto itu mungkar. Fenomena pernikahan jamaah Rifa`iyah di Kabupaten Kendal di atas adalah salah satu fragmen unik dalam semesta pemikiran Hukum Islam di negeri ini. Berdasarkan fenomena tersebut dapat menyatakan bahwa konklusi hukum ini tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang melatarbelakangi dan mendukung tercapainya konklusi ini. Dan perbedaan dalam pemikiran keagamaan (tafkir ad-dini) menjadi hal yang wajar dan absah keberadaannya. Warga jamaah Rifa`iyah dalam perkawinan dan kehidupan rumah tangga juga terpengaruh oleh ajaran dan pemahaman yang diajarkan oleh KH. Ahmad Rifa'i selaku pendiri jamaah Rifa`iyah melalui kitab-kitabnya yang jumlahnya mencapai puluhan.7 Peraturan dalam bidang munakahat (perkawinan) dan kekeluargaan terpengaruh oleh ajaran yang diketengahkan dalam kitab Tabyin al-Islah. Sedangkan kitab Tabyin al-Islah sendiri berisi aturan yang menyangkut konteks keberagamaan masyarakat. Kitab-kitab yang dijadikan pegangan tidak akan lepas dari latar belakang KH. Ahmad Rifa'i (sebagai penulis), yang mengedepankan sifat ikhtiyat dalam memutuskan suatu perkara umat. Melalui sifat ikhtiyat tersebut terkadang muncul beberapa masalah yang dianggap berbeda dengan golongan ormas Islam yang lain. Salah satunya adalah masalah Pernikahan, dalam praktiknya jamaah Rifa`iyah sekarang ini, telah terjadi suatu kesenjangan artinya ada perbedaan dalam teknis akad nikah. Jamaah Rifa`iyah telah melangsungkan akad nikah sebanyak dua kali yaitu di KUA (Kantor Urusan Agama) dan di rumah. Berbeda dengan yang ada pada masyarakat umumnya artinya biasanya untuk pelaksannaan akad nikah cuma satu kali yaitu memilih antara pelaksanaan akad nikah di KUA atau pelaksanaan akad nikah di rumah. Perbedaan tersebut menurut masyarakat umum dinilai kontroversial banyak hal atau asumsi yang mengatakan hal tersebut tidak beralasan atau tidak memiliki sumber hukum. Adanya perbedaan-perbedaan cara melaksanakan pernikahan yang sangat menonjol akhirnya menimbulkan gesekan di masyarakat umum. Faktor utama yang menjadi sebabnya adalah bahwa perkawinan pada jamaah Rifa`iyah banyak perbedaan dengan masyarakat umum. 7
Jamaah Rifa’iyah adalah organisasi sosial keagamaan yang melestarikan fatwafatwa K.H. Ahmad Rifa’i.
20 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
Sedangkan kehidupan jama`ah Rifa`iyah itu berabaur atau berada di lingkungan masyarakat umum seperti NU, Muhammadiyah, dan lain-lain. Bagaimanakah Rifa`iyah menyikapi perbedaan pernikahan yang sudah berjalan sejak dulu? Apakah Rifa`iyah membolehkan menikah dengan orang non Rifa`iyah? Karena dulu orang tua dari perempuan menikah di KUA bagaimana menurut jamaah Rifa`iyah? pernikahan tersebut sah apa tidak? Siapa yang berhak menjadi wali? Berdasarkan dari uraian di atas peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian berjudul “Pandangan Jamaah Rifa`iyah Terhadap Keabsahan Akad Nikah di KUA (Studi Kasus di Kabupaten Kendal Batang)”. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimanakah praktik akad nikah di kalangan jamaah Rifa`iyah di Kabupaten Kendal? 2. Mengapakah jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal melaksanakan akad pernikahan dua kali di KUA dan di rumah mempelai puteri? 3. Bagaimanakah pandangan jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal Batang terhadap keabsahan akad nikah di KUA? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Mendiskripsikan praktik akad nikah di kalangan jamaah Rifa`iyah di Kabupaten Kendal. 2. Mendiskripsikan latar belakang jamaah Rifa`iyah di Kabupaten Kendal melaksanakan akad pernikahan dua kali di KUA dan di rumah mempelai puteri. 3. Mendiskripsikan pandangan jamaah Rifa`iyah di Kabupaten Kendal terhadap keabsahan akad nikah di KUA. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoritis dan Praktis: 1. Manfaat Teoritis Penilitian ini dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan di bidang hukum perkawinan, utamanya memberikan gambaran mengenai praktik akad nikah di kalangan jamaah Rifa`iyah. 2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti terdahulu
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 21 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
1) Mendukung temuan penelitian terdahulu dan menyempurnakan metode penelitian yang digunakan terkait tema penelitian ini. 2) Menyusun teori baru berdasarkan hasil temuan di lapangan yang mungkin berbeda disebabkan disiplin metode penelitian yang digunakan peneliti terdahulu dengan penulitian ini. b. Bagi Jamaah Rifa`iyah 1) Memberikan deskripsi terkait keabsahan praktik akad nikah pada jamaah Rifa`iyah. 2) Sebagai bahan rujukan dalam melaksanakan akad nikah dua kali yang selama ini di jalankan jamaah Rifa`iyah. c. Bagi Jamaah Non Rifa`iyah 1) Memberikan informasi/alasan jamaah Rifa`iyah melaksanakan akad nikah dua kali di KUA dan di rumah mempelai puteri. 2) Memberikan referensi praktik jamaah Rifa`iyah melaksanakan akad nikah dua kali di KUA dan di rumah mempelai puteri. d. Bagi peneliti Sebagai sumber referensi mengenai praktik akad nikah dua kali di KUA dan di rumah mempelai puteri pada jamaah Rifa`iyah. Landasan Teori 1. Konsep Pernikahan Secara etimologi nikah dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar dari kata , , yang berarti bergabung dan berkumpul. Disebut demikian karena salah satu dari pasangan suami isteri berkumpul satu sama lain baik dengan cara berhubungan intim maupun pada saat akad. 8 Makna nikah juga dikenal dalam bahasa Arab dengan kata yang berarti ganda atau berpasangan atau lawan kata dari tunggal sama halnya jika dikatakan genap lawan kata dari pada ganjil, bersih lawan dari kotor. Setiap dari keduanya yakni suami isteri disebut " " dan " " artinya dua atau sepasang. Jika dikatakan, orang itu mempunyai sepasang sandal. Sepasang yang dimaksud adalah sandal kiri dan kanan. Atau jika dikatakan seseorang mempunyai sepasang merpati maka itu berarti orang tersebut mempunyai merpati jantan dan betina. Konsep tersebut ditegaskan Allah SWT dalam al-Quran:
8
al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhit, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Jilid 1, hlm. 63
22 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
“Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan” (Q.S. al-Najm: 45).9 Kata " " dimaksudkan juga untuk pasangan suami isteri. Pada kalimat " " berarti seorang pria telah menikahi seorang wanita.10 Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa kata nikah dan zawaj adalah merupakan kata sinonim yang mengandung arti yang sama. Karena jika dikatakan berarti yang artinya 11 wanita itu telah menikah. Meskipun kedua kata di atas mengandung arti yang sama, namun jika diperhatikan tulisan-tulisan para ulama tentang masalah ini, akan di dapatkan kata yang banyak dipakai adalah kata nikah dibanding dengan kata zawaj. Oleh sebab itu, dalam beberapa kitab klasik, para ulama sering menulis tentang masalah ini dengan sebutan nikah, misalnya adalah kitab al-nikah dan bukan kitab al-zawaj. Adapun pegertian nikah secara terminologi dikemukakan berdasarkan pendapat para ulama fikih sebagai berikut : Pengertian nikah menurut Ghandur, dikutip Syarifuddin, yaitu akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban.12 Menurut ulama Hanafiah, nikah adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendatkan kenikmatan biologis. Pengertian ini didasarkan pada pendapat sebagian ulama Hanafiyah dalam mendefinisikan nikah sebagai akad yang diadakan dan bertujuan memiliki hak resmi untuk melakukan hubungan intim.13 Maksud dari memiliki hak berhubungan di sini menurut ulama Hanafiyah adalah seorang suami mempunyai hak sepenuhnya untuk 9
Soenarjo, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 2003), hlm. 387. Ibnu Manzur, Jamal al-Din Muhammad bin Mukram, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Lisan al-‘Arab, t.th), Jilid 2, hlm. 60 11 Ibrahim Mustafa dkk, al-Mu’jam al-Washit, (Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyah, t.th), jilid 2, hlm. 951. 12 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 43. 13 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), Jilid 1, hlm. 17. Lihat juga Muhammad bin Abd al-Wahid al-Siwasi, Ibnu al-Humam, atau sering disebut Ibnu al-Humam, Syarh Fath al-Qadir, (Mesir: Matba’ah Mustafa al-Babi al-Halabi 1970 M/1389 H) Cet.ke-1, Jilid 3 hlm. 185. 10
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 23 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
melakukan hubungan dan menikmati kesenangan dengan isterinya berupa pisik tetapi bukan berarti seorang suami memiliki hak penuh terhadap isterinya sehingga suami seenaknya memperlakukan isterinya sesukanya seperti harta benda. Oleh karena itu setiap dari keduanya mempunyai hakhak yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dijalankan. Sedangkan menurut sebagian mazhab maliki, nikah merupakan sebuah ungkapan (sebutan) atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata. Pengertian ini didasarkan pada pendapat ulama Malikiyah dalam mendefinisikan nikah sebagai akad yang diadakan yang bertujuan untuk memperoleh hak resmi berhubungan dan mendapatkan kesenangan dengan seorang wanita tanpa harus menjelaskan maharnya terlebih dahulu dan suami tidak harus tahu terlebih dahulu siapa isterinya.14 Berdasarkan pengertian tersebut, artinya nikah dalam pengertian ini hanya sebatas pada kebolehan bersenang-senang semata. Adapun menurut ulama Syafi’iyah, nikah dirumusan dengan akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) inkah atau tazwij; atau turunan (makna) dari keduanya. Definisi nikah tersebut dapat disimak pendapat ulama Syafi`iyah, yakni Khatib dalam menjelaskan tentang pengertian nikah sebagai akad diadakan yang bertujuan mendapatkan hak resmi melakukan hubungan badan setelah mengucapkan lafaz nikah atau semisalnya.15 Berdasarkan definisi tersebut, artinya akad yang membolehkan seseorang memperoleh manfaat berupa mendapatkan hak bersenang-bersenang yang lazim didapatkan setelah menikah. Sejalan dengan pendapat ulama Syafi`iyah tentang pengertian nikah, ulama Hanabilah mendefinisikan nikah tangan akad (yang dilakukan dengan menggunakan) kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan (bersenang). Definisi ini sejalan dengan pendapat salah satu ulama Hanabilah bahwa nikah adalah akad diadakan dengan lafaz nikah yang diucapkan untuk memperoleh hak resmi melakukan hubungan dengan tujuan mendapatkan kesenangan.16
14 Beni Ahmad Saebani, Op.Cit, hlm. 17. Lihat juga al-Nafrawi, Ibnu Gunaim, alFawaqih al-Diwani, (Mesir: Mustafa’ al-Bajial-Halabi, 1955 M/1374 H), Cet. ke-3, Jilid 2, hlm. 21. 15 Beni Ahmad Saebani, Op.Cit, hlm. 17. lihat juga al-Khatîb, Muhammad al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar Ihya’ al- Turats, t.th.), Jilid 3, hlm. 123. 16 Beni Ahmad Saebani, Op.Cit, hlm. 17. Lihat juga Ibrahim bin Muhammad bin Muflih, al-Mubdi’ Syarh al-Muqni’,(T.t, al-Maktab al-Islamî, 1977 M/1397 H, t.th.), Jilid 7, hlm. .4
24 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
Menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 (pasal 1), perkawinan itu ialah ikatan lahir batin antar seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.17 Pertimbangannya ialah sebagai negara yang berdasarkan Pancasila di mana sila yang pertama ialah ketuhanan yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai perhubungan yang erat sekali dengan agama/keruhanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau ruhani juga mempunyai peranan yang penting. Menurut kompilasi Islam, perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.18 Syarifuddin menegaskan Nikah ialah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-masing.19 Dalam hal ini Syarifuddin mendefinisikan akad nikah sebagai perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang berakad dalam bentuk ijab dan qabul. Iijab merupakan bentuk penyerahan dari pihak pertama sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Setelah menyimak beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ulama mazhab dan para pakar di bidang ilmu Fiqh di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun masing-masing berbeda di dalam menjelaskan dan memberikan pengertian tentang nikah, namun pada dasarnya pendapat itu mempunyai pengertian dan maksud yang sama. Karena akad nikah adalah aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT., supaya seorang suami bisa mendapatkan hak melakukan hubungan dan memperoleh kesenangan dengan isterinya. Begitu pula dengan akad nikah suami atau isteri mendapat hak resmi terhadap isteri atau suaminya dalam bentuk hubungan intim atau yang lainnya. Definisi tersebut di atas begitu pendek dan sederhana dan hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan, yaitu kebolehan melakukan hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan itu. Negara-negara muslim merumuskan undang-undang perkawinannya 17
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 1996),
18
Ibid., hlm 4. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: PT. Kencana Press, 2007),
hlm. 3. 19
hlm. 4. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 25 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
dengan melengkapi penambahan hal-hal yang berkaitan kehidupan perkawinan itu. Undang-undang perkawinan yang berlaku di negara Indonesia merumuskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita (suami dan isteri) dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.20 Berdasarkan definisi dalam undang-undang perkawinan di atas, ada beberapa unsur yang menurut pandangan penulis bisa melahirkan pernikahan bagi umat Islam di Indonesia, yaitu: a. Pernikahan tentu harus diawali dengan terjadinya akad perkawinan antara laki-laki dan pihak mempelai wanita. Begitu pula menyebutkan kata antara laki-laki dan perempuan berarti menafikan akan terjadinya perkawinan satu jenis, baik laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Ini merupakan penegasan definisi terhadap fenomena yang telah menjadi tradisi, bahkan di beberapa wilayah Eropa dan Amerika mendapatkan legalitas di atas payung hukum negara yang sah. b. Pernikahan memiliki asas bahu-membahu membangun keluarga harmonis dan dinamis. Keduanya harus menjadi penyempurna atas yang lain, sebagaimana Allah menggunakan perumpaman pasangan suami isteri layaknya pakaian yang dikenakan menutupi badan. c. Pernikahan merupakan bentuk dari pada pelaksanaan hak dan kewajiban antara suami dan isteri. Hal-hal yang menjadi hak dari suami merupakan kewajiban terhadap isteri. Begitu pula hal-hal yang menjadi hak isteri merupakan kewajiban terhadap suami. Ada pesan egaliter, kesetaran serta kesejajaran dalam menempatkan hak-dan kewajiban pasangan dalam Islam. Tidak hanya suami yang bisa menuntut hak, tetapi isteri juga dapat menuntut haknya jika tertindas dan teraniaya. Jika isteri dianggap nusyuz ketika tidak memenuhi kehendak suami, sehingga berdosa, maka suami pun dapat di kategorikan nusyuz jika suami mengingkari atas kewajiban-kewajiban terhadap anak dan isterinya. Berdasarkan uraian di atas diharapkan bisa menepis klaim golongan yang menilai bahwa perkawinan dalam Islam hanya mengedepankan dimensi hubungan badan semata dan memposisikan wanita sebagai objek. Sebaliknya Islam menempatkan posisi wanita kepada tempat yang terhormat dalam konteks pernikahan Islam dan bukan media semata, sebagaimana yang diyakini oleh agama lain. 20
Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 7.
26 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
Perkawinan sebagai sunnah Rasul dan penyempurna agama seseorang, sejatinya tidak dilihat dan dipahami secara terbatas hanya pada tema penyaluran hawa nafsu dan kebutuhan biologis. Sesungguhnya pernikahan itu memiliki tujuan dan hikmah yang sepatutnya tidak dapat kita kesampingkan. Nilai-nilai sosial yang mencakup atau terkandung dalam nikah/perkawinan juga merupakan sisi yang diperhitungkan dalam Islam sebagai pengejawantah dari maqashid as-syariah. Ketenangan, cinta dan saling menyayangi merupakan nilai universal yang ditanamkan dan sekaligus menjadi tujuan dalam perkawinan. Firman Allah: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Q.S. ar-Rum: 21).21 Ayat ini memberikan makna bahwa perkawinan yang ideal dan dianjurkan adalah sebuah ikatan yang akan melahirkan ketenangan hidup, media untuk saling berbagi dalam suka dan duka serta timbulnya kasih sayang antara anggota keluarga. Saling mengasihi dan hidup dalam ketenangan merupakan kebutuhan fitrah manusia sebagai mahluk Allah. Dengan disyariatkannya perkawinan, diharapkan kebutuhan tersebut dapat terpenuhi. Pernikahan memiliki tujuan melangsungkan keturunan dan ikatan kekerabatan, karena kebahagiaan hidup bagi manusia adalah memiliki anak sebagai generasi penerus bagai harapan dan cita-cita suami dan isteri. Secara umum, landasan akad nikah harus didasarkan pada tiga hal yang akan dijelaskan secara garis besar berikut ini : a. Keyakinan atau keimanan Pengertian keimanan menurut Junaid al-Baghdadi, merupakan keyakinan yang mutlak dan tertanam dalam diri seseorang terhadap Allah SWT yang Maha Tunggal yang menciptakan dan mengatur alam semesta yang dimanifestasikan menjadi tujuan dan sandaran hidup dan 21
Soenarjo, dkk, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 2003), hlm. 297. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 27 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
ibadahnya, karena Allah merupakan pusat doa terangkat, tidak ada bapak dan anak, serta tidak ada yang menyerupai-Nya.22 Pengertian iman tersebut memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Iman akan menentukan seseorang bisa meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Iman yang menjadi syarat diterimanya amal perbuatan manusia. Berdasarkan kedudukan iman yang sangat penting dalam konfigurasi syariat Islam (iman-Islam-ihsan), maka amal perbuatan manusia (termasuk akad nikah) bagaimanapun baiknya, tidak akan diterima Allah SWT apabila tidak dilandasi oleh keimanan. b. Al-Islam Dasar kedua ialah Islam. Menurut Syukur, Islam merupakan risalah yang dibawa nabi Muhammad saw. sebagai agama yang universal, rahmatan li al-`alamin berbentuk sunnah yang sahih, hukum yang benar dan diterima di sisi Allah SWT.23 Ajaran Islam mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, yang meliputi keimanan atau peribadatan bersifat vertikal; dan yang mengatur hubungan antar manusia dengan manusia dan dengan lingkungannya, disebut muamalah yang bersifat horizontal. Berdasarkan penjelasan tersebut Islam menjadi dasar pernikahan. Maksudnya akad nikah merupakan suatu aktivitas ibadah yang telah dicontohkaan Rasulullah saw. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan ajaran-ajaran dan norma- norma Islam yang bersumber pada al-Quran dan Sunnah Rasulullah, serta ijtihad, terutama dalam bentuk ijma dan qiyas. Kitab-kitab fiqih dari berbagai mazhab, meskipun yang terbanyak adalah dari mazhab Syafi’iy. Dari daftar kitab figh yang ditelaah untuk perumusan KHI itu kelihatannya kitab-kitab tersebut berasal dari mazhab Syafi’iy, Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Zhahiri. Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dalam melihat kepada sifatnya sebagai sunah Allah dan sunah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu hanya semata mubah. Perkawinan merupakan suatu perbuatan yang diperintahkan Allah SWT dan Nabi Muhammad saw. 22
Imam Abu Qasim al-Junaid, Rasail al-Junaid, (Tahqiq : Ali Hasan Abdul Qadir, t.th),
hlm. 33 23
Muhammad Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, (Semarang: LemBkota bekerjasama dengan Pustaka Nun, 2010), hlm. 29.
28 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
Nikah sangat dianjurkan dalam Islam karena nikah mengandung banyak manfaat yang berguna bagi setiap individu, ummat secara keseluruhan serta manusia pada umumnya. Di antara hikmah nikah sebagai berikut: a. Hasrat seksual yang dimiliki oleh setiap orang memiliki pengaruh sangat kuat dan menjadi kebutuhan yang menuntut untuk selalu dipenuhi, dan ketika hasrat itu tidak dipenuhi maka hal itu akan berpengaruh dan mempunyai efek yang tidak baik pada diri seseorang seperti rasa galau, jiwa tidak tenang dan bahkan cenderung mempengaruhi untuk berbuat keji. Maka untuk menghindar dari pengaruh seperti itu maka solusinya adalah menikah karena menikah adalah sebaik-baik jalan keluar dan alami dilakukan. b. Menikah adalah cara yang tepat dalam hidup untuk memenuhi hasrat seksual dan menekan penagruhnya, sebagaimana nikah juga berfungsi sebagai sarana mendapatkan anak dan memperbanyak keturunan serta berguna untuk menjaga keberlangsungan populasi manusia. c. Salah satu manfaat nikah adalah orang tua sejak kecil terhadap anaknya akan menumbuhkan rasa cinta, kasih dan sayang, yang dengan manfaat-manfaat dan cara-cara seperti ini akan membuat sempurna unsur kemanusiaan bagi setiap individu. d. Rasa kepedulian terhadap pernikahan setelah menikah serta rasa tanggung jawab dan peduli terhadap anak-anak akan memotivasi seseorang untuk giat dan memaksimalkan potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk memenuhi rasa kepedulian tersebut. e. Nikah mempunyai kontribusi membentuk pribadi disiplin seperti disiplin membagi waktu dan pekerjaan, karena unsur kedisiplinan ini seseorang dapat mengatur urusan-urusan rumah tangganya sebagaimana disiplin dalam mengatur urusan di luar rumah. Tentu saja keduanya dispilin dan tanggung jawab berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. f. Keharmonisan rumah tangga, ikatan cinta yang kuat antar keluarga, dan hubungan sosial masyarakat sebagai manfaat pernikahan merupakan sesuatu yang sangat dihargai dan diperhatikan Islam karena masyarakat yang rukun dan harmonis adalah masyarakat yang kuat dan sejahtera. g. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporannya, yang dimuat Koran al-Sya’b yang terbit Sabtu, 1 juni 1959 melaporkan bahwa pasangan suami isteri akan bertahan hidup lebih lama jika dibandingkan yang bukan pasangan suami-isteri (hidup sendiri tanpa pasangan).24 24
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1397), juz 2, hlm. 15. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 29 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
Adapun syarat nikah menurut undang-undang pernikahan yang berlaku di negara Indonesia pasal 7 No 1 Th 1974, menjelaskan sebagai berikut : a. Pernikahan harus berdasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. b. Untuk melangsungkan pernikahan seorang yangbelum mencapai 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tua. c. Dalam hal selah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat 2 (dua) pasal ini cukup diperoleh dari orang yang mampu menyatakan kehendaknya. d. Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut nomor 2, tiga dan empat pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatu pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum atas permintaan seorang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2,3 dan 4 dalam pasal ini. e. Ketentuan tersebut ayat 1 s/d 5 pasal ini berlaku sepanjang hokum masing-masing agamanya dan kepercayaan yaitu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. f. Dikemukakan secara tegas bahwa pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. 25 Mengenai syarat sah pernikahan Jumhur mengatakan terdapat sepuluh hal yang harus dipenuhi yaitu; Pertama, kedua pasangan harus berstatus halal untuk menikah dalam arti bukan muhrim berdasarkan kekerabatan atau Musoharoh (karena sebab pernikahan). Kedua, Shigat dalam akad harus bersifat muabad yakni tanpa adanya batasan waktu. Ketiga, terdapat dua orang laki-laki sebagai saksi. Keempat, perkawinan harus berdasarkan ridho dari kedua belah pihak yang melangsungkan. Kelima, menyebutkan pasangan mempelai secara jelas dalam lafadz akad. Keenam, tidak sedang melakukan ihram. Ketujuh, adanya mahar (maskawin). Kedelapan, Saksi tidak merahasiakan pernikahan dari masyarakat luas. Kesembilan, kedua pasangan tidak sedang sekarat atau dalam sakit yang kritis. Kesepuluh, hadirnya wali sebagai tanda memberi persetujuan.26 Adapun mazhab Hanafi membagi syarat ke dalam empat macam yakni: Pertama; Syuruth Al-in`iqâd yaitu syarat yang menentukan 25 26
Undang-undang Perkawinan, (Surabaya: Pustaka Tata Masa, 2009), cet. XI, hlm. 9 Ibid.
30 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
terlaksananya akad perkawinan. Terdiri dari: 1) Kecocokan antara Ijab dan Kabul; 2) Bersatunya Majlis (tempat) antara yang melaksanakan ijab dan kabul; 3) Saling mendengar dan memahami dari pelaksana akad; dan 4) Tidak terdapat penolakan dari yang menerima (kabul). Kedua, Syuruth Asshihhah merupakan syarat yang menentukan keberlangsungan sah dan tidaknya perkawinan. Terdiri dari 1) Mempelai wanita halal untuk dinikahi; dan 2) Dua orang saksi. Ketiga; Syuruth An-nufûdz yaitu syarat yang menentukan kelangsungan sahnya perkawinan, yaitu 1) Sempurnanya (ahliyah) kedua orang yang melangsungkan aqad (berakal dan baligh); 2) Kedua orang yang melaksanakan akad memiliki kewenangan untuk melangsungkan perkawinan Keempat; Syurûth Al-luzûm yaitu syarat yang menentukan kepastian perkawinan sehingga tidak mungkin dibatalkan atau terdapatnya Faskh (pisah) dikemudian hari, yaitu 1) Wanita yang dikawini Ahliyah (dalam keadaan baligh dan sehat mental); dan 2) Pria yang menikahi sekufu (starata yang sama).27 Adapun rukun pernikahan menurut pendapat para ulama sebagai berikut: Menurut Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa rukun nikah hanya dua hal saja yaitu Ijab dan Kabul. Sementara jumhur ulama mengatakan rukun nikah terdiri dari Sighat (ijab dan kabul), mempelai wanita, mempelai pria dan Wali. Selain dari empat hal tersebut, Imam Malik menambah satu rukun sehingga menjadi lima yaitu mahar (maskawin). Pendapat yang sama juga dilakukan Syafi`iyah dengan menambahkan rukun yang kelima yaitu dua orang saksi yang adil.28 Pendapat jumhur ulama bahwa rukun perkawinan itu terdiri empat hal di atas dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut: a. Adanya calon suami dan isteri yang akan melakukan perkawinan. b. Adanya wali dari pihak dari calon wanita. Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkanya. c. Adanya dua orang saksi. Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut. d. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki. Berdasarkan ketentuan rukun pernikahan di atas, ada perbedaan para ulama tentang jumlah rukun nikah tersebut. Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu : a. Wali dari pihak perempuan. b. Mahar (maskawin). 27 28
Ibid. Ahmad Rifa`i, Fiqh Islam Lengkap, (Semarang: as-Syifa`, 2007), hlm. 89 JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 31 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
c. Calon pengantin laki-laki. d. Calon pengantin perempuan. e. Sighat akad nikah. Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu: a. Calon pengantin laki-laki. b. Calon pengantin perempuan. c. Wali. d. Dua orang saksi. e. Sighat akad nikah. Menurut ulama Hanafiyah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja (yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki). Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat, yaitu : a) Sighat (ijab dan qabul) b) Calon pengantin perempuan c) Calon pengantin laki-laki d) Wali dari pihak calon pengantin perempuan. Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun, seperti terlihat di bawah ini. a. Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan, yakni mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. b. Adanya wali. c. Adanya dua orang saksi d. Dilakukan dengan sighat tertentu.29 Rukun dan syarat menentukan suatu hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan suatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mengujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya.30 Beda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakekat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkanya, sedangkan syarat adalah sesuatu 29
Undang-undang Perkawinan, (Surabaya: Pustaka Tata Masa, 2009), hlm. 49. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Islam Indonesia, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2007), hlm. 59. 30
32 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun. Pandangan Rifa`iyah Terhadap Pernikahan a. Biografi KH. Ahmad Rifa`i Nama lengkapnya Ahmad Rifa’i, dilahirkan pada tanggal 9 Muharam 1200H/1786 M, di Desa Tempuran Kendal dan meninggal pada sekitar 1870 di Minahasa, Sulawesi Utara.31 Ayahnya bernama Muhammad Marhum, anak penghulu Landeraad Kendal R.K.H. Abu Sujak alias Sutjowidjojo. 32 Menurut sumber dari kalangan Rifai'yah, sejak kecil Ahmad Rifa`i telah ditinggalkan oleh ayahnya dan kemudian dipelihara oleh kakeknya bernama K.H. Asy'ari, seorang ulama terkenal di wilayah Kaliwungu yang kemudian membesarkannya dengan pendidikan agama.33 Dengan demikian, masa remajanya berada dalam lingkungan kehidupan agama yang kuat karena Kaliwungu merupakan wilayah yang sejak dulu terkenal sebagai pusat perkembangan Islam di wilayah Kendal dan sekitarnya.34 Di lingkungan ini Ahmad Rifa`i belajar bermacam-macam ilmu pengetahuan agama Islam yang lazim dipelajari dunia pesantren seperti ilmu Nahwu, Sharaf, Fiqh, Badi', Bayn, Ilmu Hadits, dan Ilmu Al-Qur'an.35 Riwayat pendidikan Ahmad Rifa`i sangat panjang dan spektakuler. Hal ini bisa dilihat dari sejarah yang ditulis para sejarawan Islam yang mengisahkan bahwa setelah sekian lama digodok dalam tempaan guru Asy’ari, maka pada tahun 1816 M, di usianya yang ke-30 tahun, memutuskan sendiri untuk menunaikan haji dan umroh ke Makah alMukaromah. Seperti pada umumnya hujjaj (jamaah haji), terutama yang 31
Desa Tempuran yang dahulunya adalah sebuah desa, sekarang menjadi sebuah dukuh Tempuran yang berada di Kelurahan Pegulon Kecamatan Kendal Kota Kabupaten Kendal. Lokasi dusun Tempuran berda di sebeleh Selatan Masjid Agung Kendal. 32 Abdul Jamil, Perlawanan Kyai Ndeso; Pemikiran dan Gerakan Islam KH.Ahmad Rifa’i Kalisalak, LKIS, Yogyakarta, 2001, hlm. 13, 33 K.H. Asyari, dikenal sebagai wali guru oleh penduduk setempat. Berkat jasa-jasa dan perjuangannya, setiap tahun tepatnya satu minggu setelah hari raya Idhul Fitri, umat Islam di Kabupaten Kendal dan sekitarnya memperingati syawalan dan mengunjungi makamnya di petilasan desa Pungkuran Kecamatan Kaliwungu. 34 Kaliwungu dikenal sebagai Kota Santri, karena di wilayah ini ribuan santri dari berbagai daerah di Indonesia dan manca negara, menimba ilmu agama di pondok pesantren yang berada di 25 tempat, baik pondok pesantren besar seperti PP. Aspik dan sebagainya maupun pondok pesantren kecil seperti Apik, dan sebagainya. 35 Ahmad Syadzirin Amin, Mengenal Ajaran Tarajumah Shaikh H. Ahmad Rifa’i, (Pekalongan: Yayasan al-Insaf, 1999), hlm. 9 JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 33 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
benar-benar mencintai ilmu pengetahuan, selalu berkeinginan untuk menetap (mukim) untuk beberapa lama di Jazirah Arab untuk mendalami ilmu pengetahuan agama Islam. Demikian juga halnya dengan Ahmad Rifa’i, selama delapan tahun menetap di Mekah dan Madinah, berguru kepada sejumlah ulama terkenal di sana, seperti Syaikh Isa Al-Barowi (1235 H.), dan Syaikh Fakih Muhammad ibnu Abdul Aziz al-Jaizi. Ahmad Rifa’i berguru kepada kedua ulama tersebut tentang berbagai macam cabang ilmu pengetahuan agama Islam, disamping belajar dengan ulama-ulama besar lainnya. Sekalipun demikian, Ahmad Rifa’i tidak lepas dari pengaruh perkembangan Islam yang terjadi di Jazirah Arab sekitar abad XVII yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab yaitu penegasan kembali kepada otoritas fikih atau aspek-aspek lain dari kehidupan keagamaan Islam yang bersumber kepada al-Quran dan Sunnah Rasul.36 Setelah menuntut ilmu agama selama delapan tahun di Mekah dan Madinah, Ahmad Rifa’i melanjutkan studinya ke negeri yang terkenal kental dengan pemikiran-pemikiran mazhab Syafi’i yaitu Mesir, karena fatwa Imam Syafi’i Qoul Jadid yang terbanyak ada di sana. Koleksi kitabkitab bermazhab Syafi’i sementara yang belum sempat terbitkan juga tersimpan di perpustakaan Darul Kutub di kota tersebut. Kepindahan Ahmad Rifa’i ke Mesir ini juga mempunyai maksud ingin memperluas ilmu agama kepada guru-guru yang berafiliasi kepada mazhab fikih Imam Syafi’i, karena dia juga sadar bahwa sebagian besar masayarakat Islam di Indonesia, terutama di Jawa adalah penganut faham tersebut. Selama dua belas tahun bermukim di Mesir, Ahmad Rifa’i berguru kepada ulama-ulama kenamaan di sana. Di antara gurunya adalah Syaikh Ibrahim al-Bajuri. Sebenarnya banyak muslim Indonesia yang belajar di Mekah waktu itu. Akan tetapi kemudian terkenal sebagai ulama besar, khususnya di Jawa tersebut nama-nama besar seperti Syaikh Nawawi al-Banteni dan Syaikh Kholil Bangkalan al-Maduri. Kedua orang ini menjadi teman akrab Ahmad Rifa’i hingga kepulangannya di Jawa terutama dalam menyebarkan agama Islam, selepas bermukim di Mesir selama dua belas tahun. 37 Sebagai pemeluk Islam yang taat tentu tidak mengabaikan perintahperintah agamanya yang dianut. Untuk menjaga dirinya agar selamat dari perbuatan yang melanggar hukum, seperti yang dilakukan leluhurnya, Ahmad Rifa’i menikah dengan seorang gadis pilihan di Kendal. Dari pernikahan yang sakinah, terjalin kasih sayang itu kemudian membuahkan hasil keturunan sebanyak lima orang anak, masing-masing bernama: K.H 36 37
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Kalam, 1978), hlm. 1791. Abdul Razak, Manaqib Syaikh H. Ahmad Rifa’i al-Jawi,(tp., tth.), hlm. 5.
34 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
Khabir, K.H Junaidi, Nyai Zaenab, Kiai Jauhari, Nyai Fatimah alias Umrah. Sedang pernikahannya dengan Sujainah di Kalisalak Batang membuahkan keturunan seorang anak laki-laki. Setelah pulang dari Mekah pada tahun 1833, Ahmad Rifa`i banyak melakukan penerjemahan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa yang kemudian disebut sebagai kitab Tarajumah. Pemikiranpemikiran Ahmad Rifa`i, selama di Mekah menjadi inspirasi yang mendorong dirinya untuk berjuang dalam dakwah Islam. Pada waktu itu, kota Mekah memiliki arti tersendiri sebagai kota yang menjadi penghubung jaringan ulama dari berbagai kawasan yang telah berlangsung sejak abad-abad sebelumnya.38 Salah satu unsur terpenting yang dijadikan dasar pertimbangan dalam menilai bobot keilmuan seseorang, terutama masa-masa terakhir ini, ialah berapa banyak dan sejauh mana kualitas karya ilmiahnya yang telah di hasilkannya. Di lihat dari sisi ini Kiyai Ahmad Rifa’i termasuk ulama pengarang yang produktif dalam menulis kitab berbahasa Jawa dengan nilai sastra tinggi.39 Kiyai Ndesa (meminjam istilah Abdul Jamil) yang unik dari pesisir Utara Jawa Tengah ini memang melahirkan banyak karya tulis, walupun ia sendiri kurang populer di banding dengan sahabat kentalnya yaitu Kiai Nawawi dari Banten. Namun demikian ia banyak dikenal terutama di kalangan ilmuan sejarah dan sastra. Hasil karyanya berupa kitab “Tarajumah” mengundang nilai sejarah dan sastra tinggi. Tercatat sejarawan Sartono Kartodirdjo menyatakan, Kiyai Ahmad Rifa’i termasuk ulama produktif dalam menulis kitab berbahasa Jawa dengan nilai sastra sangat tinggi. Di kalangan ilmuwan pengikut jamaah Rifa’iyah belum 38
Azra menggambarkan bahwa pada abad ke-17 terdapat adanya hubungan saling silang para ulama yang menciptakan komunitas intelektual internasional yang saling berkaitan satu sama lain. Hubungan di antara mereka pada umumnya tercipta dalam kaitan dengan upaya pencarian ilmu melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti masjid, madrasah, dan riba. Hal ini mengambil bentuk hubungan guru dengan murid (hubungan vertikal), guru dengan guru atau murid dengan murid (hubungan horizontal). Mobilitas guru-guru dan murid yang relatif tinggi memungkinkan pertumbuhan jaringan ulama sehingga mengatasi batas-batas wilayah, perbedaan asal etnis, dan kecenderungan keagamaan dalam hal madzhab dan sebagainya. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 105. 39 Ahmad Syadzirin Amin, salah seorang pemimpin jamaah Rifaiyah memberi rincian tentang jumlah kitab karangan Ahmad Rifa’i, baik yang sekarang ada dan dapat dijadikan rujukan maupun yang masih dalam pencarian karena alasan hilang atau yang lainnya, tidak kurang dari 65 judul. Lihat Ahmad Syadirin Amin, Gerakan Syaikh Ahmad Rifa’i dalam Menentang Kolonial Belanda, (Jakarta: Jama’ah Masjid Baiturrahman, 1996), hlm. 10-18. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 35 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
ditemui kesepakatan mengenai berapa jumlah karya-karya Kiyai Ahamad Rifa’i ini, baik yang di karangnya ketika bermukim di Kalisalak Pekalongan maupun ketika diasingkan di Ambon. Kuntowijoyo merinci karya-karya Kiyai Ahmad Rifa’i tersebut berjumlah 55 buah kitab.40 Karya-karya ilmiah yang dihasilkan dari kecerdasan dan kemahiran Kiyai Ahmad Rifa’i di Kalisalak tersebut, adalah: 1) Surat Undang-undang Biyawara (Maklumat), tahun 1254 H. 2) Nasihatul Awam (Nasehat Untuk Kaum Awam), tahun1254 H. 3) Syarihul Iman,(Penjelasan Tentang Iman), selesai tahun 1255 H. 4) Taisir (Kemudahan), selesai tahun 1256 H. 5) Bayan (Penjelasan), selesai tahun 1257 H. 6) Targib (Kegemaran Beribadah),selesai tahun 1257 H. 7) Thariqat (Jalan Kebenaran), selesai tahun 1257 H. 8) Inayah (Pertolongan), selesai tahun 1256 H. 9) Athlab (Menuntut), selesai tahun 1259 H. 10) Husnul Mithalab (Kebaikan Ilmu yang dianut), tahun 1259 H. 11) Thullah (Pencari kebenran), selesai tahun 1259 H. 12) Absyar (Mengupas), selesai tahun 1259 H. 13) Tatriqah (Pemisahan Hak dengan Batil), selesai tahun 1260 H. 14) Asnal Miqosad (Ketetapan yang Harus dikerjakan), tahun 1261 H. 15) Tatshilah (Perincian), selesai tahun 1261 H. 16) Imdad (Pertolongan),selesai tahun 1261 H. 17) Irsyad (Petunjuk), selesai tahun 1261 H. 18) Irfaq (Memberi Manfaat), selesai tahun 1261 H. 19) Nadzam Arja’ (Penghargaan), selesai tahun 1261 H. 20) Jam’ul Masail I (Kumpulan Masalah-masalah), tahun 1261 H. 21) Jam’ul Masail II (Kumpulan Masalah-masalah), tahun 1261 H. 22) Jam’ul Masail III (kumpulan Masalah-masalah), tahun 1261 H. 23) Qowa’id (Pilar-pilar Agama),selesai tahun 1261 H. 24) Tahsin (Memperbaiki), selesai tahun 1261 H. 25) Shawalih (Perdamaian),selesai tahun 1262 H. 26) Miqashad (Tujuan), selesai tahun 1262 H. 27) As’ad (Membahagiakan), selesai tahun 1262 H. 28) Fauziyah (Keberuntungan), selesai tahun 1262 H. 40
Perbedaan di atas memang wajar jika muncul di permukaan. Hal tersebut dikarenakan kitab-kitab Kiai Ahmad Rifa’i masih banyak tersimpan dalam musium di Negeri Kincir Angin (Belanda), karena dipandang bahwa ajaran Kiai Ahmad Rifa’i meresahkan masyarakat, sehingga kitab-kitab karyanya ikut disita sebagai barang bukti. Kitab-kitab tarajumah (nama kitab tarjumah karya Kiai Ahmad Rifa’i) mulai ditulis ketika menetap di Kalisalak, Batang yaitu mulai tahun 1254 H sampai tahun 1275 H. Lihat Ibid.
36 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
29) 30) 31) 32) 33) 34) 35) 36) 37) 38) 39) 40) 41) 42) 43) 44) 45) 46) 47) 48) 49) 50) 51) 52) 53) 54) 55) 56) 57) 58) 59) 60) 61)
Hasaniyah (Kebagusan), selesai tahun 1262 H. Fadhiliyah (Keutamaan), selesai tahun 1263 H. TabyinalIslah (Perbaikan Hubungan), selesai tahun 1264 H. Abyān al-Hawaij (Penjelasan Beberapa Hajat Pokok), tahun 1265. Tasyrihatal Mubtaj (Penguraian bagi yang Membutuhkan), 1265 H Takhyirah Mukhtasyar (Pilihan Akidah yang Diringkas), 1265 H. Kaifiyah (Metode atau Tata cara), selesai tahun 1265 H. Mushbahah (Lampu Petunjuk), selesai tahun 1266 H. Riayatul Himmah (Penjagaan Mengerjakan Ibadah), 1266 H. Ma’uniyah (Bantuan atau Pertolongan), selesai tahun 1266 H. Uluwiyah (Kemuliaan atau Ketinggian), selesai tahun 1266 H. Rujumiyah (Pelemparan), selesai tahun 1266 H. Muthamah (ditanamkan), selesai tahun 1266 H. Basthiyah (Kekuasaan Dalam Ilmu), selesai tahun 1267 H. Tahsinah (Memperbaiki bacaan), selesai tahun 1268 H. Tazkiyah (Penyembelihan Binatang), selesai tahun 1269 H. Fatawiyah (fatwa-fatwaAgama), selesai tahun 1269 H. Samhiyah (kemurahan Hati), selesai tahun 1269 H. Maslahah (Reformasi), selesai tahun 1270 H. Wadlilah (Yang Tampak Jelas), selesai tahun 1272 H. Munawirul Himmah (Lampu Penerang Cita-Cita), tahun 1272 H. Tasyrihatal (Penyiaran, Penyebaran Berita), selesai tahun 1273 H. Mahabbatullah (Cinta Pada Allah), selesai tahun 1273 H. Mirghabut Tha’at (Yang Menimbulkan Keinginan Patuh), 1273 H. Hujajiyah (Menyalahkan), selesai tahun 1273 H. Tashfiyah (Penjernihan), selesai tahun 1273 H. Sibhatun Nikah (Keabsahan Nikah). Nadzam Wiqoyah (Pemeliharaan, Penjagaan), tahun 1273 H. Tanbih Rejeng Kitab Tajwid Sebanyak 700 B Nadzam Dan Jawabannya, selesai tahun 1273 H. Sebanyak 500 Tanbih bahasa Jawa, selesai tahun 1273 H. Surat-surat berisi fatwa-fatwa yang ditujukan kepada penghulu Pekalongan dan daerah lainnya. 62) Puluhan lembar tulisan Ahmad Rifa’i dengan bahasa Krama Inggil. 63) Ada lagi kitab tanpa judul yang berisi fatwa-fatwa Agama.41
41
Ahmad Syadzirin Amin, Mengenal Ajaran Tarajumah Shaikh H. Ahmad Rifa’i, (Pekalongan: Yayasan al-Insaf, 1999), hlm. 9-10 JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 37 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
2. Kondisi Sosial Historis Jama`ah Rifa`iyah Jamaah Rifa`iyah adalah kata majmuk terdiri dari dua unsur yaitu Jamaah dan Rifa`iyah. Jamaah artinya perkumpulan atau perhimpunan, persatuan dan organsasi. Rifa`iyah artinya santri-santri dan simpatisan yang berusaha mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah yang didakwakan K.H. Ahmad Rifa`i dan perjuanganya dalam menuju kesejahteraan serta keberuntungan duniawi maupun ukhrawi dibawah bimbingan Allah melalui tuntunan al-Quran dan Sunnah Rasul. Jama`ah Rifa`iyah berpegang teguh kepada mazhab Syafi`i dan Syafi`iyah, tanpa mengesampingkan mazhab yang lain seperti mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali. (Yada`i, 2005). Rifa`iyah merupakan salah satu aliran Islam di Indonesia, yang memiliki tradisi keagamaan bercorak tasawuf dan berfiqih bermadzab ahlussunah waljama`ah. Sebagai salah satu organisasi sosial keagamaan, aliran Rifa`iyah mengikuti ajaran K.H. Ahmad Rifa`i dari desa Kalisasak Kabupaten Batang. Pengikut aliran Rifa`iyah dalam pandangan masyarakat umum sering disebut sebagai Tarjumah, Tarjamah, Tarajumah, Ubudiah, Budiah, dan Santri dari Kalisasak.42 Sebutan yang disematkan masyarakat kepada jamaah Rifa`iyah di atas disebabkan karena pendiri jamaah ini yaitu Syaikh Ahmad Rifa`i telah berhasil menterjemahkan dan menyusun puluhan kitab berbahasa Jawa yang berisi ajaran-ajaran ke Islaman untuk konteks sosial, politik dan ekonomi pada awal abad ke-19. Kitab-kitab agama yang ditulis Syaikh Ahmad Rifa`i dalam bentuk syair, puisi tembang Jawa, bentuk natsar dan nastrah sebanyak 65 buah judul, 500 Tandih dan 700 Nadzam doa dan jawabnya mengupas tentang tiga bidang ilmu Syariat Islam, Ushuluddin, Fiqih dan Tasawuf rasional, sedang kitab-kitab yang ditulis di negeri Ambon sebanyak empat judul kitab dan 60 Tanbih, semuanya memakai bahasa Melayu. Kitab-kitab tersebut memuat tiga bidang ilmu agama, juga memuat syair-syair protes sosial keagamaan terhadap ulama tradisional, penghulu dan pemerintah kolonial Belanda.43 Kitab-kitab yang disusun oleh Syaikh Ahmad Rifa`i itu dikenal dengan istilah Kitab Tarajumah yang artinya terjemaahan karena memang kitabkitab itu merupakan kitab terjemahan dari hasil hafalan kitab-kitab berbahasa Arab yang pernah dipelajari di Mekkah. Kitab Tarjumah merupakan sosialisasi ajaran Islam yang dikemukakan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh kebanyakan orang serta anjuran untuk mengikuti 42 Ahmad Syadirin Amin, Gerakan Syaikh Ahmad Rifa’i dalam Menentang Kolonial Belanda, (Jakarta: Jama’ah Masjid Baiturrahman, 1996), hlm. 62-67 43 Ibid, hlm. 118-119
38 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
ulama yang benar, selain itu menciptakan ikatan kesetiaan antara guru dan murid. Istilah Alim Adil dipakai juga sebagai batas yang membedakan antara ulama yang dapat dijadikan sebagai panutan dan yang harus ditolak. Dalam beberapa kitab yang ditulisnya, sering kali ia menyebutkan sifat-sifat yang dimiliki oleh orang yang disebut sebagai Alim Adil. Dalam kitab Syarh al-Iman ia menjelaskan Alim Adil sebagai syarat untuk menjadi guru, salah satu kriteria Alim Adil adalah ulama yang tidak bekerja pada kekuasaan kolonial (ulama birokrat). Menurut Abdul Djamil, hal inilah yang menjadi sebab memicu kebencian sebagian ulama terhadapnya karena mereka merasa tersinggung oleh pernyataan Syaikh Ahmad Rifa`i itu. 44 Disamping Reformasi dan revivalisme, Gerakan Rifa`iyah juga menjadi gerakan protes menentang birokrat tradisional dan Pemerintah Kolonial Belanda. Doktrin-doktrin protesnya dituangkan dalam kitab-kitab yang dikarangnya sendiri, sebagai pelengkap kitab Tarjumah. Kadar protes yang dilakukan oleh KH Ahmad Rifa`i hanya sampai pada penanaman rasa anti Belanda dan anti pada birokrat tradisional ini, juga ditunjukkan pada jalan tidak mentaati dan tidak mengakui perintah dari lembaga formal yang ada. Gerakan Rifa`iyah mengecam dan menganggap remeh pada penguasa formal. Dan menganjurkan pada pengikutnya untuk tidak mematuhi perintahnya. Di samping itu, mengadakan pembinaan ummat sendiri secara eklusif, menjauhkan diri dari pengaruh luar yang dianggap fasik (rusak).45 Ahmad Rifa`i tidak sekedar seorang pemikir yang telah berjasa memberikan alternatif kepada umat tetapi ia juga menjalankan aksi protes keras terhadap Pemerintah Belanda, perlawanannya terhadap ulamaulama birokrat, ini menunjukkan sebuah perlawanan yang cerdas. Dengan alasan, ulama birokrat sebagai penentu hukum sepanjang tahun akan mengelabuhi masyarakat secara terus-menerus, ini dilakukan dengan cara memanipulasi penafsiran dan pemahaman agama, ulama birokrat memonopoli agama sebagai alat hegemoni terhadap masyarakat terjajah. Ahmad Rifa`i menunjukkan kebobrokan ulama birokrat dalam menafsirkan agama guna kepentingan pihak penjajah. Ahmad Rifa`i mencoba melawan kebijakan-kebijakan yang ditentukan oleh pihak ulama birokrat. Ahmad Rifa`i menentang keras untuk menyelenggarakan perkawinan ditengah para ulama fasik tersebut. Ia tidak segan-segan membatalkan perkawinan, hal ini didasarkan atas kejenuhan Ahmad Rifa`i terhadap ulama birokrat yang memungut biaya yang tinggi dan memanipulasi fatwa-fatwa dengan 44
Abdul Jamil, Op. Cit., hlm. 183-184. Ahmad Adaby Darban, Rifa`iyah Gerakan Sosial Keagamaan Di Pedesaan Jawa Tengah Tahun 1850-1982, (Yogyakarta: Tawarang Press, 2005), hlm. xi 45
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 39 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
kepentingan kaum penjajah (Ahsa, 2003: 39). Jamaah Rifa`iyah begitu taat dalam melaksanakan ajaran yang tertuang dalam kitab-kitab karangan K.H Ahmad Rifai. Pemerintah Belanda dan para birokarat tradisional khususnya para ulama yang menduduki kursi birokrat merasa terancam dan tergeser kedudukannya dengan adanya kitab-kitab ajaran Ahmad Rifa`i. Kemudian Pemerintah Belanda dan para ulama mempunyai siasat untuk menyabarkan fitnah dikalangan masyarakat Islam bahwa kitab-kitab karangan KH Ahmad Rifai sesat menyesatkan. Kitab-kitab tersebut akhirnya dicekal dan dilarang keras untuk di sebarluaskan kepada masyarakat Islam. Sikap radikal Syaikh Ahmad Rifa`i terhadap kekuasaan kolonial dan tatanan Islam Jawa, membuat ajarannya tidak tersebar luas. Ada sebabsebab historis dan sosiologis yang melatarbelakangi. Pertama, Syaikh Ahmad Rifa`i selaku pendiri ajaran pernah mengorganisir suatu gerakan perlawanan terbuka dan keras dalam melawan Pemerintahan Hindia Belanda, sikap dan ajaran yang dikembangkannya ini menuai kemarahan Pemerintah Kolonial. Maka atas tuduhan mengembangkan ajaran sesat dan mengancam stabilitas keamanan, Syaikh Ahmad Rifa`i ditangkap, diadili, dan kemudian diasingkan ke Ambon. Praktis dengan keadaan ini, gerakan Rifa`iyah menjadi sulit berkembang, mesti tidak mati sekali. Kedua sebagai penerapan dari ajaran yang diberikan Syaikh Ahmad Rifa`i, kehidupan Jamaah Rifa`iyah cenderung mengisolasi diri dari kebudayaan kota yang dianggapnya kotor dan sesat. Gerakan Rifa`iyah menjadi terbatas di daerah pedesaan dan pedalaman serta semata bersifat lokal.46 Sebenarnya tuduhan para ulama tentang ajaran Syaikh Ahmad Rfa`i itu sesat menyesatkan pada awalnya menitikberatkan pada kepentingan politis saja, karena mereka (para ulama) merasa terancam kedudukannya di mata masyarakat sebab Syaikh Ahmad Rifa`i menyebarkan pemahaman bahwa ulama yang duduk sebagai ulama birokrat bukanlah seorang “Alim”Adil tapi kaki tangan orang-orang kafir. Namun kepentingan politis itu membonceng pada sikap mengkritisi ajaran Syaikh Ahmad Rifa`i tentang paham keislamannya. Dalam hal ajaran peribadatan rujukan Syaikh Ahmad Rifa`i sama dengan kitab fiqh yang sering dipelajari di dunia pesantren, khususnya pesantren salaf (tradisional). Namun demikian tetap ada perbedaan, perbedaan itu dalam hal: (1) Jumlah bilangan syarat sahnya shalat Jumat. Orang-orang Rifa`iyah berkeyakinan bahwa syarat sahnya jumlah bilangan orang dalam shalat Jum`at adalah empat orang yang mengetahui Qoul 46
Abdul Jamil, Op.Cit, hlm. vi
40 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
Qadimnya Imam Syafi`i (fatwa-fatwa Imam Syafi`i ketika tinggal di Bagdad). Ini berbeda dengan keyakinan umat Islam pada umumnya yakni 40 orang. (2) Rukun Islam hanya satu yaitu mengucapkan kalimat Syahadat. Ini juga jelas berbeda dengan masyarakat Islam pada umumnya, yang mempercayai bahwa rukun Islam ada 5. (3) Mangenai Tashih al-Nikah, sebagaimana ulama-ulama Ahlusunnah, Syaikh Ahmad Rifa`i sepakat bahwa pernikahan yang tidak memenuhi rukun dan syaratnya, hukumnya tidak sah, dan pernikahan itu harus diulang setelah syarat dan rukun nikah terpenuhi. Masing-masing rukun ini mempunyai syarat yang harus dipenuhi, sehingga suatu pernikahan hukumannya sah secara syar`i (menururt hukum Islam). Syaikh Ahmad Rifa`i menegaskan bahwa, wali nikah harus bersifat mursyid yaitu mampu menjaga perintah agama dan sejumlah harta yang dimilikinya, tidak berbuat kemaksiatan dan kemungkaran.47 Pemikiran Ahmad Rifa`i yang berbeda dari ulama-ulama yang lain, menimbulkan pemicu konflik dimana-mana. Ahmad Rifa`i berulangkali di penjara, dituduh mengajarkan ajaran sesat, dibuang ke Ambon, Manado. Dari hasil pemikirannya murid-muridnyapun ikut menikmati penghinaanpenghinaan yang berimbas dari pemikiran-pemikiran kontroversial tersebut. Torehan kesedihan menimpa masyarakat Rifa`iyah, khusunya pada masa pasca murid generasi kedua, beberapa peristiwa terjadi, peristiwa Demak yang menuai badai konflik fisik yang berkepanjangan, pada tahun 1970-an pelarangan mendirikan Shalat Jumat di sekitar 35 masjid masyarakat Rifa`iyah. Pembakaran-pembakaran kitab Amad Rifa`i di Wonosobo. Lahirnya SK. XII tentang pelarangan penyebaran ajaran Tarajumah dengan kitabnya Ri`ayatul Himmah.48. Melihat kerasnya reaksi terhadap Rifa`iyah, para santri dan jama`ahnya menyurutkan sikap sosial-politik Rifa`iyah hanya menjadi gerakan pendidikan Islam (tahun 1959 pesantren Rifa`iyah membuka madrasahnya yang pertama). Dengan cara ini, meski Rifa`iyah tidak berkembang, tetap bisa bertahan hidup. Sifat itu berkompromi dengan lingkungan, melekat terus sampai sekarang. Hal ini menyebabkan kelompok-kelompok Rifa`iyah, meski tetap menganut pendirinya, tetapi mau bergabung dengan kelompok lain yang sifatnya berbeda-beda, misalnya di daerah yang NUnya kuat, Rifa`iyah bergabung dengan NU, apabila Muhammadiyah yang kuat, Rifa`iyah bergabung dengan 47
Shodiq Abdullah, Islam Tarajumah; Komunitas Doktrin Dan Tradisi, (Semarang: RaSAIL, 2006), hlm. 117. 48 M. Nur Ahsa, Perkembangan Ajaran Rifaiyah di Pondok Pesantren Insap Desa Paesan Kedungwuni Pekalongan 1945-1992. (Skripsi, 2003, Tidak di terbitkan), hlm. 39 JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 41 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
Muhammadiyah. Jama`ah Rifa`iyah sangat terbuka dengan kelompok lain dan tidak segan untuk bergabung dengan kelompok lain seperti NU dan Muhammadiyah. Akan tetapi walaupun mereka bergabung dengan kelompok lain, mereka tetap taat mengamalkan ajaran Ahmad Rifa`i. Ahmad Syadzairin Amin selaku pimpinan Pondok Pesantren Insap Rifa`iyah menjelaskan bahwa, sekilas para Rifa`iyah tak jauh berbeda dengan para pengikut pesantren-pesantren yang lain. Ajaran yang menjadi khasnya jama`ah Rifa`yah antara lain soal jumlah malaikat. Umumnya Islam di Jawa mempercayai adanya 10 malaikat. K.H. ahmad Rifa`i menambahkan dua malaikat, yakni malaikat Sayyiah dan malaikat Hasanah. Ahmad Rifa`i juga memperinci, bahwa kitab keagamaan yang diturunkan Allah SWT lebih dari empat. Allah menurunkan 104 kitab kepada delapan nabi. Soal malaikat dan kitab itu memang tidak menimbulkan pertentangan tajam dengan ulama lain. Banyak pihak yang mengatakan bahwa ajaran Rifaiyah sesatmenyesatkan. terlebih dengan ajarannya mengenai Rukun Islam hanya satu, berbeda dengan keyakinan masyarakat pada umumnya bahwa Rukun Islam ada lima. Selain itu stigma sesat yang turus temurun mewaris pada ingatan masyarakat khususnya kaum ulama membuat ajaran Rifa`iyah sulit mendapatkan legalisasi dari pemerintah dalam mengembangkan dakwah dan jama`ahnya. Warga Rifa`iyah berkilah bahwa sulit berkembangnya Rifa`iyah karena sering mendapat fitnah dan musibah mulai dari Serat Cibolek, kasus Meduri, Kasus Demak, Kasus Paesan Batang, Kasus Kedungwuni Pekalongan, dan lain-lain.49 Kasus-kasus yang menimpa jamaah Rifaiyah juga meluas pada organisasi Rifa`iyah. Kegiatan yayasan yang telah didirikan oleh jamaah Rifa`iyah tidak leluasa. Bahkan, di beberapa daerah, Santri Tarjumah dipersulit mendirikan yayasan. Dalam kondisi terdesak ini, pemerintah kabupaten Pekalongan menawarkan kebebasan berkegiatan. Tapi dengan catatan mau bergabung dengan Sekber Golkar. Tawaran ini diterima setelah 23 Kyai Tarjumah memutuskannya dalam sebuah musyawarah.50 49
Kasus Demak bermula dengan pelaporan seorang guru agama Sirajudin di Demak pada 1982 kepada pihak berwajib bahwa ajaran Rifaiyah menyimpang, karena mengajarkan rukun Islam satu, tidak mengabsahkan nikah penghulu, dan ketidakabsahan shalat jumat. Kasus ini berujung pelarangan pengajaran Ri’ayah al-Himmah oleh Kajati Jawa Tengah. Sedang peristiwa Miduri terjadi pada 1965 dengan pembubaran Shalat Jumat ala Rifaiyah. Khatib diturunkan dari mimbar. Dan mesjid disegel. Peristiwa Kalisasak, dai pengajian yang didatangkan dari Kendal yakni KH. Ali Munawir diturunkan paksa oleh warga pada saat sedang berceramah dari mimbar pengajian. Lihat Abdul Djamil, op. cit, hlm. 84 dan 90 50 Muhammad Nasruddin, Hukum Islam dan Perubahan Sosial; Studi Pergeseran Pemikiran Jamaah Rifa`iyah, (Semarang: IAIN Walisongo, 2009), hlm. 62
42 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
Dengan bergabungnya santri Tarjumah kepada Golkar, mereka mendapat banyak kemudahan dalam beraktifitas dan akses yang cukup luas terhadap kekuasaan. Pada tanggal 24 - 25 Desember 1990, diadakanlah Seminar Nasional bertema Mengungkap Pembaharuan Islam Abad XIX : Gerakan K.H. Ahmad Rifa'i, Kesinambungannya dan Perubahannya di Jogjakarta. Seminar ini merekomendasikan berdirinya Jamaah Rifa'iyah.51 Tepat pada 18 Desember 1991 (18 Jumadil Akhir 1412 H), dideklarasikanlah Jamaah Rifa'iyah di Cirebon, Jawa Barat. Berdirinya Jamaah Rifa'iyah ini merupakan puncak kesadaran santri Tarjumah akan pentingnya sebuah organisasi dalam menghadapi pelbagai tantangan bangsa, negara, umat, dan agama di satu sisi, serta melestarikan tradisi pemikiran KH. Ahmad Rifa'i yang masih relevan dan dinamis di sisi lain.94 Sebagai organisasi keagamaan, Jamaah Rifa'iyah berakidah, berasaskan Islam ala ahlussunah, mengikuti salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Syafi’i. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Jamaah Rifa'iyah berpedoman kepada Pancasila. Secara keumatan, Jamaah Rifa'iyah bersifat sosial keagamaan, memperjuangkan nilai-nilai kemaslahatan umat, kesejahteraan, dan kemanusiaan. Jamaah Rifa'iyah sudah melaksanakan 10 kali Muktamar Nasional yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. Mulanya, muktamar dihelat oleh yayasan-yayasan yang mengidentikkan diri sebagai santri Tarjumah, di pelbagai daerah di Indonesia, terutama di Jawa Tengah. Baru pada 1991, muktamar dihelat oleh Jamayah Rifa'iyah dalam satu organisasi. Sampai sekarang jamaah Rifaiyah telah menyebar luas di belbagai daerah di seluruh Indonesia, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Papua, Kalimantan, dan lain-lain. Adapun secara khusus di Jawa Tengah jamaah Rifaiyah ada di Kajen Pati, di Kudus, di Kelurahan Pagerkukuh Wonosobo, di Kedungwuni Pekalongan, di desa Tanahbaya Kecamatan Randudongkal Pemalang, di Kendal ada di desa Purwosari Kecamatan Patebon, di Desa Pamriyan Kecamatan Gemuh, di daerah Rowosari Kendal jamaah Rifaiyah memiliki pengikut yang besar yang tersebar di desa Kalisari, desa Bulak, desa Gebanganom, desa Randusari, desa Gempolsewu, desa Wonotenggang, desa Pojoksari, desa Sendangdawuhan, desa Gilisari, desa Ngaram-ngaram, desa Tanjungsari, desa Tanjunganom, dan desa Sendangsikucing. Di Kabupaten Batang, jamaah Rifa`iyah menyebar di desa-desa di Kecamatan Gringsing,
51
Ibid, hlm. 63. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 43 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
Kecamatan Tersono, Kecamatan Banyuputih, di Paesan, di Desa Donorejo Kecamatan Limpung, Kecamatan Kota Batang, dan sebagainya. Pandangan Jama`ah Rifa`iyah Terhadap Keabsahan Pernikahan Pandangan jama`ah Rifa`yah terhadap keabsahan pernihanan mengacu pada ajaran K.H. Ahmad Rifa`i selaku pendiri dan tokoh panutan jamaah Rifa`iyah dalam masalah pernikahan dan aturan syarat dan rukun pernikahan yang harus dipenuhi agar penikahan tersebut syah. Menurut Menurut K.H. Ahmad Rifa’i rukun perkawinan itu ada lima, dan masing-masing rukun itu mempunyai syarat-syarat tertentu. Syarat dari rukun tersebut adalah: 1. Syarat-syarat pengantin lelaki ada lima: a. Berumur baligh. b. Berakal. c. Tidak senasab atau sesusuan (radla) dengan pengantin wanita. d. Dengan kehendak sendiri (ikhtiyar). Tidak sah apabila pernikahan dipaksa. e. Menentukan dan mengetahui nama wanita yang akan dinikahi, mengetahui akan status calon isterinya, perawan atau janda dan sudah lepas iddah.52 2. Syarat-syarat pengantin wanita: a. Berumur baligh. b. Berakal. c. Tidak senasab atau sesusuan (radla) dengan pengantin lelaki. d. Dengan kehendak sendiri, tanpa adanya paksaan selain wali mujbir bapak/kakek. e. Mengetahui lelaki yang akan menikahi dirinya.53 3. Wali nikah syarat-syaratnya: K.H. Ahmad Rifa’i menegaskan bahwa salah satu diantaranya syaratsyarat wali nikah adalah mursyid, artinya seorang wali nikah tidak boleh dilakukan oleh orang yang fasiq, oleh karenanya pernikahan yang mereka perwalikan tidak sah. Kemudian berkaitan dengan lafaz mursyid itu sendiri, maksudnya adalah adil atau tidak fasiq. Dalam pada itu semasa K.H. Ahmad Rifa’i dalam urusan perkawinan yang lazimnya bertindak sebagai wali nikah dilakukan oleh para penghulu, padahal penghulu itu mempunyai pendidikan agama yang dangkal dan diangkat oleh pemerintah kolonial belanda yang tidak beragama Islam. Oleh karenanya menurut pendapat K.H. Ahmad Rifa’i bahwa para penghulu itu termasuk 52 Ahmad Syadirin Amin, Terjemah Tabyinal Islah li Muridi Nikah Karangan Syaikh Ahmad Rifa’i bin Muhammad, (Pekalongan : Yayasan Badan wakaf Rifa’iyah, 2004), hlm 15. 53 Ibid., hlm 16.
44 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
orang-orang fasiq, untuk itu perkawinan yang diperwalikan oleh mereka menjadi tidak sah dan harus diperbaharuhi. Perkawinan ulang ini bisa berarti wajib, apabila perkawinan pertama dianggap tidak sah, dan bisa berarti mustahab apabila perkawinan pertama dianggap kurang sempurna. Adapun adanya kemungkinan yang mustahab ini, Kyai Haji Ahmad Rifa’i sendiri mengesahkan perkawinan yang dilaksanakan oleh orang fasiq, jika beda alasan yang dapat diterima syara’ oleh karena adanya uzur. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam konsepnya : 54
Konsep yang dikembangkan oleh K.H. Ahmad Rifa`i sebagaimana diungkapkan di atas, senada dengan fatwa ulama yang mengatakan bahwa apabila suatu kefasikan telah merjalela di suatu tempat, maka salah perkawinan yang dilaksanakan oleh seorang wali yang fasiq karena adanya uzur, demikian menurut qaul mu’tamad. Penegasan di atas senada dengan pendapat dari pengikut mazhab Syafi’i bernama Syihab al-Din Ahmad al-Qulyubi mengatakan : jika salah satu dari syarat-syarat sahnya perkawinan itu tidak terpenuhi maka batal perkawinannya. Padahal mursyid adalah termasuk salah satu syarat yang harus dipenuhi seorang yang menjadi wali nikah, maka perkawinan yang dilakukan penghulu fasiq menjadi tidak sah dan harus diperbaruhi (tajdid). Berdasarkan digambarkan di atas, dapat dimaklumi dengan adanya keharusan tajdid tersebut menunjukan bahwa sebagai pengikut versi mazhab Syafi’i yang lebih mengutamakan ikhtiyat (berhati-hati/teliti yang mengutamakan kelengkapan rukun dan syarat perkawinan dari pada kekurangan). 4. Tentang syarat-syarat saksi nikah Syekh K.H Ahmad Rifa’i mensyaratkan adanya dua orang saksi yang adil. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan dalam nash alQuran, yakni jika kita menggunakan saksi hendaknya dua orang saksi lakilaki yang alim dan adil. Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat alMaidah ayat 8 :
54
Ibid, hlm. 16. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 45 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. al-Maidah: 8).55 Dalam kitabnya syekh K.H Ahmad Rifa’i yaitu: 56
Bahwa syarat-syarat sah yang harus terpenuhi oleh kedua orang saksi di dalam pernikahan (ijab dan qabul) ialah sebanyak 16 perkara: a. Beragama Islam. Tidak sah saksi orang kafir b. Berakal sehat. Tidak sah saksi orang yang hilang akalnya c. Sudah usia dewasa. Tidak sah saksi anak-anak d. Lelaki, tidak sah wali wanita e. Merdeka, tidak sah saksi budak f. Dua orang, tidak sah saksi satu orang g. Melihat, tidak sah saksi buta h. Mendengar, tidak sah saksi tuli i. Bisa berbicara benar, tidak sah saksi bisu j. Bukan anak, tidak sah saksi anaknya sendiri k. Bukan bapak, tidak sah saksi bapaknya sendiri l. Bukan musuh, tidak sah musuh menjadi saksi m. Tidak fasiq, tidak sah saksi fasiq n. Menjaga keperwiraan, tidak sah saksi cidera keperwiraan (marwat) o. Selamat i’tiqad, tidak sah saksi mukmin sesat bid’ah seperti Qadariyah dan Jabariyah.
55 56
Soenarjo, dkk, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 2003), hlm. 297. Syekh Ahmad Rifa’i, Tabyin al-Islah, hlm 46.
46 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
p. Sentosa pikiran (tidak terlalu pemarah), tidak sah saksi seorang yang besar nafsu ketika marah terhadap orang lain, sehingga melampui batas kewajaran.57 5. Syarat- syarat ijab qabul: a) Hendaknya pengantin lelaki yang menerima (qabul) bukan anak kecil, karena syarat pengantin lelaki harus sudah baligh b) Hendaklah, pengantin lelaki jangan kelamaan dalam menjawab ucapan wali yang menikahkan pengantin wanita c) Hendaklah muafakad dalam penyebutan wali pada jumlah maskawin d) Hendaklah jangan di janji talak nanti setelah disetubuhi e) Hendaklah antara keduanya faham akan bahasa yang diucapkan.58 Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada Bagian ke-empat pasal 24 bahwa saksi merupakan rukun dari akad nikah. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi, kemudian di pasal 25 Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan bahwa untuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tuna rungu atau tuli. Selanjutnya pada pasal 26 dijelaskan bahwa saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.59 Selain merupakan rukun nikah, keberadaan saksi juga dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dikemudian hari dalam hubungan pernikahan, apabila suami atau isteri terlibat perselisihan dan diajukan perkaranya ke pengadilan. Saksi-saksi tersebutlah yang menyaksikan akad nikah. 60 Selain harus menyaksikan langsung akad nikah, saksi juga dimintai tanda tangan di akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan.61 Dalam ajaran KH. Ahmad Rifa’i terdapat suatu penerapan kualifikasi saksi pernikahan sebenarnya sama dengan para imam mażhab fikih pada umumnya, hanya perbedaan bahasa yang dipakai dan perincian makna yang lebih mendalam. secara umum ulama fikih menggunakan bahasa adil sedangkan KH. Ahmad Rifa’i menyebutnya dengan mursyid.
57
Ibid, hlm. 17. Ibid, hlam. 17-18. 59 Kompilasi Hukum Islam (KHI), (Bandung: Fokus Media, 2007), hlm. 13. 60 Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 96. 61 Idhoh Anas, Risalah Nikah ala Rifa’iyah, (Pekalongan: Usaha Penerbitan al-Asri, 2008), hlm. 60. 58
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 47 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
Saksi pernikahan menurut KH. Ahmad Rifa’i diharuskan seorang yang mursyid, yaitu orang yang tidak melakukan dosa kecil secara terusmenerus dan tidak pernah melakukan dosa besar. Pengertian mursyid sama dengan adil dan tidak fāsiq. Mursyid dimaknai lebih dalam oleh KH. Ahmad Rifa’i, pemahaman tersebut melahirkan penerapan syarat sah saksi yang tidak lazim dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, sebagai contoh orang yang sering menonton televisi tidak sah menjadi saksi pernikahan, karena menurutnya sebagian besar program acara di televisi adalah maksiat dan mengakibatkan orang yang menontonnya kehilangan sifat keadilannya. Contoh lain, orang mendengarkan musik yang ada suara gitarnya juga tidak bisa menjadi saksi pernikahan, yang mana menurut ajaran KH. Ahmad Rifa’i bahwa bermain gitar hukumnya adalah haram, begitu juga mendengarkannya termasuk dalam kategori dosa kecil. Jadi, orang yang sering menonton televisi dan mendengarkan musik tidak memenuhi syarat sebagai saksi pernikahan sehingga orang tersebut tidak mursyid. Tidak diperbolehkannya saksi pernikahan melihat televisi tentunya merupakan sebuah masalah menarik untuk diteliti. Karena di era globalisasi seperti sekarang ini dimana masyarakat sangat membutuhkan beberapa media untuk mengikuti perkembangan zaman, diantaranya adalah media elektronik seperti televisi, radio dan lain sebagainya. Media elektronik tidak selalu menayangkan hal-hal yang tidak pantas ditonton seperti apa yang dijadikan alasan KH. Ahmad Rifa’i terhadap ketidakbolehan saksi pernikahan menonton televisi. Televisi menayangkan acara pengajian, pendidikan, bahkan acara-acara yang justru mendukung penonton untuk menjadi insan yang lebih baik. Mursyid tidak hanya berlaku bagi saksi perkawinan saja. tetapi juga pada wali nikah, yang juga dijelaskan dalam kitab Tabyin al-Islah (kitab karangan KH. Ahmad Rifa’i yang menjelaskan nikah dan yang berhubungan dengannya). Ketika kriteria mursyid tidak ada pada saksi maka akibat hukumnya adalah batalnya saksi pernikahan yang juga mengakibatkan tidak adanya ijab-qabul, ketika tidak ada ijab-qabul maka pernikahan dianggap batal (tidak sah).62 Di samping masalah ijab-qabul, masalah yang penting lainnya adalah tentang kedudukan naib atau penghulu. Perbedaan penghulu zaman dahulu dan penghulu zaman sekarang (dahulu pegawai penghulu dulu jabatannya tertentu) sekarang sudah diangkat oleh pemerintah. Menuurt jamaah Rifa’iyyah, kalau nikah diwakilkan petugas kurang sempurna, 62
Ibid.
48 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
akhirnya diulang nikahnya. Sebab diwakilkan petugas KUA kurang sempurna adalah karena penghulu itu kebanyakan tidak taat kepada Allah SWT., tetepi taat karena kerja. Akhirnya dinikahkan oleh penghulu itu kurang sempurna. Dalam perkawinan dan kehidupan rumah tangga, warga Jam’iyyah Rifa’iyah juga terpengaruh oleh ajaran dan pemahaman yang diajarkan oleh KH. Ahmad Rifa'i melalui kitab-kitabnya. terutama dalam bidang munakahah (perkawinan) dan kekeluargaan terpengaruh oleh ajaran yang diketengahkan dalam kitab Tabyin al-Islah. Sedangkan kitab Tabyin al-Islah sendiri berisi aturan yang menyangkut konteks keberagamaan masyarakat. Kitab-kitab yang dijadikan pegangan tidak akan lepas dari latar belakang KH. Ahmad Rifa'i (sebagai Penulis). Ia juga tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan masyarakat pada waktu itu yakni masyarakat pedalaman Jawa (Rural Java) Desa Kalisalak tempat berdakwah pertama KH. Ahmad Rifa'i. Ketentuan kualifikasi saksi dalam pembahasan ini merupakan pandangan KH. Ahmad Rifa’i yakni ketentuan saksi pernikahan. Seiring perkembangan pengetahuan dan teknologi, tidak menutup kemungkinan adanya perubahan pemahaman terhadap produk hukum KH. Ahmad Rifai dalam memahami ketentuan kualifikasi saksi pernikahan. Hasil Penelitian; Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal Jamaah Rifa'iyah tidak tunggal dan menyebar di mana-mana. Seperti telah dipaparkan di muka, jamaah Rifaiyah di Indonesia menyebar di berbagai pelosok daerah di Jawa dan Kepulauan yang lain. Dokumen tentang seluk beluk, sejarah pergerakan dan ajaran jamaah Rifa`yah juga menyebar di berbagai toko buku, perpustakaan pondok pesantren, perguruan tinggi, sampai di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda. Dari berbagai corak dan warna serta idiologi yang menjadi atribut jamaah Rifaiyah juga telah diteliti oleh para pakar penelitian dari dalam dan luar negeri. Dari berbagai ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa pada jamaah Rifa`iyah yang tidak tunggal dan menyebar di mana-mana tersebut dii dalamnya ada banyak warna dan rupa.Pola pemikirannya juga tidak tunggal. Tetapi, secara garis besar bisa ditemukan adanya kesamaan dalam pola pikir dalam bidang-bidang tertentu dalam hal keagamaan. Abdul Djamil menyatakan, bahwa pola pemikiran KH. Ahmad Rifa'i dalam mengarang kitab (pernikahan) cenderung induktif dan membumi. Kondisi ini, membuat pemahaman keagamaannya tidak mudah berkembang dan kaku. Produk pemikiran jenis ini menurut kesimpulannya JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 49 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
akan susah bertahan menghadapi peprutaran roda jaman. Sebab, taklid dan kepatuhan luar biasa kepada sosok KH. Ahmad Rifa'i yang dianggap sebagai wali tampak begitu besar.63 Nampaknya pandangan tersebut juga hampir sama dengan yang dialami sosok Gusdur di NU. Sebagian besar pemikiran KH. Ahmad Rifa'i diikuti (bagitu saja) oleh santrinya. Hal ini dapat dilihat dalam pernikahan, pemikiran santri Tarjumah era kini masih sama seperti ajaran KH. Ahmad Rifa'i dalam Tabyin al-Islah. Kitab ini menjadi juknis (petunjuk teknis) atau juklak (petunjuk pelaksanaan) dan selalu atau tetap diajarkan kepada pemuda Rifa'iyah yang hendak melangsungkan perkawinan. Akan tetapi dalam perkembangannya di era postmodern ini, di beberapa daerah tradisi taklid di kalangan jamaah Rifa`iyah mulai luntur. Ada pergeseran pemikiran di sana. Mengenai pernikahan, mulai mengabsahkan pernikahan yang diakadkan oleh penghulu, baik sebagai wali hakim, ataupun tahkim. Kendatipun mereka masih setengah hati dalam menerima para penghulu itu. Oleh sebab itu, di beberapa daerah seperti di Kabupaten Kendal dan daerah lainnya, mereka masih tetap melangsungkan pernikahan ulang di rumah mempelai puteri. Sementara di beberapa daerah lainnya seperti, Kepundung, Donorejo Limpung Batang, Rowosari dan Purwosari Kendal, dan Paesan Kedungwuni, kegiatan pernikahan ulang sudah mulai luntur dan terjadi pergeseran pemikiran.64 Sebetulnya di Kabupaten Kendal, para generasi muda sudah mulai terjadi pergeseran pemikiran terkait tradisi nikah shihhah. Menutut Ustadz Nuriddin, selaku tokoh agama Jamaah Rifaiyah Kabupaten Kendal, shihhah adalah sebutan orang Rifa'iyah atas tajdid nikah. Dulu, tradisi ini dilaksanakan lantaran pada masa KH. Ahmad Rifa'i, hukum yang berlaku adalah hukum adat yang meskipun mempertimbangkan hukum Islam, tapi tidak sepenuhnya. Buktinya, wali dan saksi yang dipergunakan biasanya tidak memenuhi kriteria mursyid. Penghulunya mengabdi kepada kolonial yang kafir. Penghulu tersebut tidak lagi memiliki kesempurnaan dalam sikap mursyid. Inilah yang melatarbelakangi tajdid dalam pernikahan. Namun demikian, setelah Indonesia merdeka dan pejabat KUA yang
63 Abdul Jamil, Perlawanan Kyai Deso; Pemikiran KH. Ahmad Rifai dari Kalisalak, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. xi. 64 Lihat penelitian yang dilakukan Maslahul Huda, Perkawinan Ulang bagi Penganut Aliran Rifaiyah diKelurahan Pagerkukuh Wonosobo,Skripsi, (Jakarta: UIN Syarif Hodayatullah, 2010), hlm. v, tidak diterbitkan. Lihat juga penelitian yang dilakukan Dewi Mariana SN., Konsep Wali Nikah; Analisis KH. Ahmad Rifa`i dan Relevansinya dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 19-23,Skripsi, (Semarang: IAIN Walisongo, 2013), hlm. viii, tidak diterbitkan.
50 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
menjadi penghulu sesuai dengan yang digariskan syariat Islam, maka penghulu tersebut sudah mursyid. Semenjak Indonesia merdeka, masih ada kecenderungan di kalangan Jamaah Rifa'iyah di Kabupaten Kendal untuk mempertahankan tradisi shihhah. Hal ini didasarkan pada dua tujuan, yakni tajamul atau memperindah pernikahan dan ikhtiyath atau berhati-hati dalam menjalankan syari’at Islam sebagaimana dasar dan kandungan spiritualitas dari ajaran KH. Ahmad Rifa`i. Oleh karena itu, terkait dengan pernikahan ulang dan nilai-nilai spiritualitas yang dikandungnya, mereka mendasarkan diri pada pemahaman yang diturunkan dari Hasiyah al-Jamal ala’ al-Minhaj (juz 4: 245). Di samping itu biasanya, dalam prosesi pernikahan di Kabupaten Kendal ini, tidak selamanya prosesi pernikahan diadakan di KUA, seringkali para warga desa melangsungkan pernikahan anak-anaknya di rumahnya sendiri dengan menggelar walimahan. Nah, dalam konteks pernikahan yang langsung diselenggarakan di rumah sendiri ini, biasanya seorang penghulu hanya datang lalu mencatat pernikahan. Petugas penghulu hanya bertugas sebagai Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Pegawai dari KUA tersebut tidak mengakadkan. Sedang yang biasa mengakadkan adalah walinya pengantin perempuan sendiri bila mampu. Atau, tahkim kepada ulama Rifaiyyah yang mursyid di desa masing-masing atau mengundang salah satu tokoh Rifa`iyah di Kabupaten Kendal.65 Lebih lanjut dalam hal-hal tertentu terkait keabsahan pernikahan di KUA dan dilaksanakan pernikahan kedua di rumah mempelai puteri, semisal karena nikah dianggap kurang lengkap syarat wali dan saksinya, maka bisa diadakan akad nikah untuk kali kedua, sebagai sebentuk ikhthiyah, dan menjaga akad nikah tersebut menjadi sah. Lagi pula, tajdid nikah dipandang tidak sebagai akad hakiki. Tajdid nikah tersebut hanyalah penyempurna, yang tidak merusak akad nikah yang sudah dijalankan sebelumnya di Kantor Urusan Agama (KUA). Tajdid nikah biasanya dilaksanakan karena mempertimbangkan sulitnya mencari saksi yang memenuhi derajat alim dan adil. Lazimnya pada pernikahan biasa yang dilaksanakan umat Islam, akad nikah dilaksanakan dengan saksi seadanya dan sekenanya. Apalagi jika pernikahan tersebut dilaksanakan di KUA yang hanya dihadiri beberapa orang saja, sehingga saksinya juga seadannya saja. Maka, Jamaah Rifa'iyah di Kabupaten Kendal ini amat selektif memilih orang yang terlibat dalam akad nikah. Wali, kalau tidak mursyid, alternatifnya dengan tahkim. Sedang 65
Diceritakan kembali oleh bapak Dr. H. Ahmad Tantowi, M.Si., M.Pd, selaku ketua Jamaah Rifaiyah Kabupaten Kendal, di rumahnya, tanggal 2 Maret 2015, jam 16.00 WIB. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 51 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
saksi diambil dari ulama-ulama Rifaiyyah setempat yang terpercaya benarbenar adil menurut anggapan atau penilaian masyarakat Kabupaten Kendal. Namun, bila kefasikan sudah mewabah, maka dicari yang terbaik di antara yang ada. Apbila satu kampung jamaah Rifa'iyah dan sama-sama tidak mursyid, maka dicari yang paling baik dan paling ringan maksiatnya. Terkait dengan tradisi shihhah atau pernikahan ulang di kalangan jamaah Rifa`iyah sebagaimana, ada kesan bahwa dengan diadakan shihhah, maka akad nikah terdahulu (yang diakadkan penghulu) dianggap tidak sah.menyatakan bahwa tujuan pernikahan ulang, yakni untuk tajamul nikah. Memperindah pernikahan yang telah dilaksanakan. Atau, tajdid nikah, memperbaharui pernikahan. Ia mencatat bahwa pernikahan ulang tidak hanya terjadi di kalangan Jamaah Rifa'iyah semata. Di Pondok Pesantren al-Falah Ploso, Kediri, pernah ada tajdid nikah yang dilaksanakan oleh salah seorang pengasuh pesantren setempat, bahkan sampai lima kali. Tujuannya ngalap berkah. Yang terpenting adalah, bukan berarti Jamaah Rifa’iyah menghukumi tidak sah pada akad nikah yang diakadkan oleh penghulu di Kantor Urusan Agama (KUA). Bapak H. Ali Nahri menggarisbawahi hal ini, karena, kesalahpahaman perihal tajamul nikah bisa menyulut konflik. Bahkan, beliau pernah berdebat terbuka dengan penghulu dalam masalah tajamul nikah. Mengenai masalah produk hukum dalam Tabyin an Nikah karangan KH. Ahmad Rifa`i yang menyatakan bahwa pernikahan yang diakadkan penghulu di KUA itu tidak sah, beberapa pemuka Rifa`iyah di Kabupaten Kendal menyatakan bahwa hal itu dikarenakan para penghulu menghamba kepada pemerintahan kafir pada zaman kolonial Belanda. Di samping alasan tersebut, para tokoh generasi muda di Kabupaten Kendal umumnya berpendapat bahwa pengetahuan agama para penghulu jaman kolonial Belanda tersebut kurang berkompeten dalam urusan syariat Islam. Pendapat yang sama juga dibenarkan Dewi Mariana dalam penelitiannya bahwa penghulu pada zaman kolonial Belanda diangkat dalam kapasitasnya sebagai penghulu bukan berdasarkan pada disiplin keilmuannya, tetapi pada loyalitas mereka kepada pemerintah kolonial Belanda.66 Atas temuan penelitian ini sehingga wajar apabila jamaah Rifa`iyah utamanya generasi muda mempertanyakan tingkat keadilan dan kealiman para penghulu ini. 66 Dewi Mariana SN.,Konsep Wali Nikah; Analisis KH. Ahmad Rifa`i dan Relevansinya dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 19-23,Skripsi, (Semarang: IAIN Walisongo, 2013), hlm. viii, tidak diterbitkan.
52 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
Pada saat sekarang, penghulu di Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki disiplin keilmuan agama Islam yang memadai, para pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) juga diangkat melalui tes kemampuan profesi, dan keilmuan agama yang memadai. Di samping itu, pada umumnya pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki latar belakang pendidikan pesantren dan memiliki pengabdian dan perjuangan di masyarakatnya sendiri-sendiri. Atas dasar latar belakang pendidikan pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) di era sekarang ini dengan era zaman Belanda jelas terdapat perbedaan yang signifikan. Oleh karena itu, di era sekarang pandangan jamaah Rifa`iyah terhadap keabsahan penghulu juga terjadi pergeseran pemikiran, terutama generasi muda jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal. Menurut M. Khaqullah, yang merupakan ketua Ikatan Remaja Masjid as-Salafiyah Kabupaten Kendal, pada prinsipnya, ketika ditanya keabsahan pernikahan yang diakadkan oleh penghulu, ia menyatakan, nikah tersebut sah, ketika syarat dan rukun nikah sempurna. Akan tetapi, untuk lebih mantap, masyarakat Jamiyah Rifa'iyah kemudian melaksanakan akad nikah lagi (shihhah) kepada Kyai yang alim adil. Juga, agar sah di muka negara dan di hadapan Tuhan. Shihhah ini dilakukan bukan dalam kerangka menganggap batal nikah yang telah diakadkan (oleh penghulu sebelumnya). Hanya saja, niatnya adalah untuk ngalap berkah. Ia mencontohkan bagaimana keberkahan ini berfungsi. Seorang yang bekerja sebagai petani, buruh bangunan, dan sejenisnya dengan penghasilan yang tak seberapa tapi bisa menghidupi isteri dan anakanaknya yang banyak dengan layak dan pendidikan yang cukup memadai. Hal ini tidak mungkin terjadi kecuali ada unsur keberkahan di sini.67 Lalu, disinggung mengenai pendapat hukum KH. Ahmad Rifa'i yang menyatakan bahwa akad nikah yang dilaksanakan penghulu tidak sah, ia berpendapat bahwa itu karena penghulu tidak adil syahadat. Karena, mereka masih mengabdi kepada kolonial Belanda yang kafir. Sebuah pendapat yang seragam di kalangan Jamaah Rifa’iyah. Terkait dengan pernikahan yang dilaksanakan oleh umat Islam di luar jamaah Rifaiyah, KH. Ahmad Syadzirin Amin, selaku Ketua Syuriah Jamaah Rifa’iyah menyatakan dalam memandang pernikahan, jamaah Rifa’iyah memiliki dua perspektif: yaitu ke luar dan ke dalam. Keluar jamaah Rifa`iyah, artinya dalam melihat pernikahan yang diadakan oleh orang di luar jamaah Rifa’iyah, santri Tarjumah memandang selama 67
Wawancara dengan M. Khaqullah, Ketua Remaja Masjid Kalipucang Wetan, di Rumahnya tanggal 17 Pebruari 2016, jam 18.00 WIB JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 53 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
pernikahan yang dilaksanakan telah memenuhi syarat dan rukunnya, maka dipandang sah. Jamaah Rifa’iyah tidak perlu menghakimi komunitas di luar sana. Sedang ke dalam komunitas jamaah Rifa’iyah, ada hubungan gurumurid yang seperti halnya tarekat pada umumnya. Seorang guru harus memberikan bimbingan kepada muridnya, juga dalam persoalan nikah. Maka setiap warga Jamaah Rifa’iyah yang hendak menikah harus menyelesaikan dulu mengkaji Tabyîn al-Ishlâh. Ini untuk membekali mereka dengan pengetahuan tentang nikah dan hak-kewajiban masing-masing pihak: suami maupun isteri. Hubungan guru dengan murid ini bagi seorang murid juga menumbuhkan rasa perlunya untuk mendapat restu dan berkah dalam pernikahan dan menjalani kehidupan rumah tangga yang tidak mudah. Maka, mereka akan sangat terhormat dan puas ketika gurunya bisa menjadi wali bagi pernikahan mereka, setidaknya menjadi saksi dalam pernikahan tersebut. Secara psikologis, keterlibatan seorang kyai dalam akad nikah santri akan memberikan rasa tenang dan tenteram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata, bagi kedua mempelai dan kedua keluarga. Bahwa pernikahan mereka telah direstui dan didoakan kyai. Bahwa yang mempersatukan dan menyaksikan persatuan mereka adalah guru mereka. Dan mereka akan sepenuh hati serta sekuat tenaga menjaga wasiat guru mereka. Pada awalnya di sekitar tahun 1956 sampai 1969, sebagian besar pemuda Rifa`iyah di Kabupaten Kendal masih tidak mau menerima dan mengabsahkan pernikahan dengan penghulu sebagai wali hakim, atau sebagai penerima tahkim. Mereka masih berpandangan bahwa pernikahan tersebut dianggap tidak sempurna. Hal ini didasarkan dengan Kitab Tabyin an Nikah yang mereka baca. Mereka biasanya menggelar pernikahan sekali di hadapan penghulu. Kemudian mereka menggelar lagi pernikahan lagi di hadapan kyai. Hal ini pada awalnya sempat memicu konflik dengan penghulu di KUA dan dengan beberapa kaum muslimin lainnya seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Perubahan mulai terjadi semenjak santri Tarjumah Kabupaten Kendal dan santri dari beberapa daerah lainnya menyelenggarakan pendidikan melalui Yayasan Pendidikan Islam. Santri Rifa'iyah kemudian bersentuhan dengan masyarakat luas dan berbagai organisasi. Sehingga mau tidak mau, mereka bersinggungan dengan pemerintah, terutama setelah Tarjumah bergabung dengan partai Golongan Karya (Golkar). Pandangan mereka terhadap pemerintah mulai bergeser yang lalu turut menggeser pandangan tentang pernikahan yang diakadkan oleh penghulu.
54 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
Di sisi lain, sebetulnya santri Tarjumah masih takut untuk meninggalkan secara penuh pemikiran KH. Ahmad Rifa'i yang tercantum dalam kitab Tabyin an-Nikah. Apalagi di kalangan masyarakat awam, sehingga mereka sering menjawab bahwa pernikahan pada jamaah Rifaiyah dilaksanakan tanpa penghulu dari pemerintah atau Kantor Urusan Agama (KUA). Ada semacam stereotipe negatif yang masih melekat di pandangan santri Tarjumah bahwa penghulu adalah orang yang kurang baik pemahaman agamanya, sehingga santri Tarjumah tersebut khawatir akad nikahnya tidak sah. Sehingga, santri Tarjumah menggelar akad nikah ulang. Namun, pemahaman ini mulai bergeser, setelah mereka tahu, para alumni pesantren mulai menjadi penghulu, hingga ada beberapa santri Rifa’iyah yang menjadi penghulu serta pejabat pemerintahan. Terkait dengan permasalahan syarat dan rukun pernikahan yang ditetapkan KH. Ahamd Rifa`i seperti saksi yang alim adil, wali yang mursyid, dan penghulu yang mursyid. Setelah penulis mengkaji tentang saksi nikah dan wali nikah, baik dalam kerangka Fiqih pada umumnya, maupun spesifik saksi dan wali nikah yang di tetapkan KH. Ahmad Rifa’i, penulis memahami bahwa sebenarnya ketentuan saksi dan wali nikah yang ditetapkan KH. Ahmad Rifa’i secara umum adalah sama dengan fiqih-fiqih Syafi’iyah yang lain. Sebagaimana Fathu al-Qarib, Fathu al-Mu’in, Kifayah alAhyar, I’anah at-Talibin, Iqna,’ Mugni al-Muhtaj, al-Bajuri, Fathu al-Wahhab, Tanwir al-Qulub, dan lain sebagainya. Dalam hal hukum dan persyaratan saksi dan wali nikah misalnya, kitab-kitab tersebut juga mengharuskan nikah dengan saksi dan wali serta mensyaratkan beberapa syarat bagi saksi dan wali nikah, yang diantaranya adalah bahwa yang menjadi saksi atau wali dalam suatu pernikahan harus bersifat adil. K.H. Ahmad Rifa’i selaku pendiri jamaah Rifa`iyah juga menetapkan syarat-syarat tersebut bagi saksi dan wali dan menetapkan bahwa saksi dan wali termasuk rukun nikah, sehingga tidak sah nikahnya seorang perempuan tanpa wali. Berbeda dengan ulama Hanafiah maupun Daud adDahiri yang mengatakan wali bukan termasuk syarat sah nikah. Meskipun secara umum sama dengan fikih-fikih Syafi’iyah lainnya, akan tetapi KH. Ahmad Rifa’i terkesan lebih menekankan dalam penerapannya, seperti contoh penekanan syarat alim adil bagi saksi dan mursyid wali nikah.Akibatnya beliau harus berhadapan dengan pemerintah Belanda karena kritik keras beliau terhadap hakim-hakim pemerintah yang dinilai fasik. Dalam hal tertentu KH. Ahmad Rifa’i juga mengemukakan pendapat yang berbeda dari pendapat mayoritas ulama’ Syafi’iyah. Pendapat berbeda tersebut seperti halnya dalam masalah wali tahkim yang menyulut konflik dengan pemerintah Belanda. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 55 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
Berdasarkan alur pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa produk hukum KH. Ahmad Rifa`i yang merupakan induk semangat dari hukum-hukum aplikatif pada jamaah Rifaiyah dalam menetapkan ketentuan syarat dan rukun nikah sesuai dengan fenomena sosial pada zaman itu dan sekaligus tidak terlepas dari dalil al-Quran, Hadist maupun pendapat ulama. Hasil penelusuran penulis menyimpulkan bahwa KH. Ahmad Rifa’i tergolong sebagai seorang mujadid dalam metode dakwah yang mengetahui akan kebutuhan hukum masyarakat yang beliau hadapi. Penerjemahan kitab dalam bentuk syair demi memudahkan orang awam beliau lakukan dan penetapan hukum yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah beliau munculkan, sepertinya halnya masalah syarat dan rukun pernikahan, KH. Ahmad Rifa`i lebih menegaskan dari segi penerapannya, di samping menekankan segi spiritualitas (tasawuf) dalam menetapkan syariat pernikahan. Melalui nilai-nilai spiritualitas dalam menjalankan syariat Islam terutatama dalam hal pernikahan diharapkan ajaran Islam dapat dihayati lebih mendalam dalam spectrum keimanan yang kokoh di hati umat Islam sehingga berbuah ihsan, suatu penghayatan keagamaan yang mendasarkan tujuan menjalankan pernikahan dapat membumbung tinggi semata-mata Tuhan sebagai tujuan akhirnya, sementara hubungan dalam kerangka perkawinan merupakan perantara kepada tujuan akhir. Sementara itu pergeseran pemikiran tentang keabsahan pernikahan dua kali yang terjadi dalam realitas jamaah Rifaiyah di beberapa daerah dan kemungkinan ada sudah muncul benih-benih tersebut pada generasi muda Rifaiyah Kabupaten Kendal merupakan upaya untuk mengakomodir dan beradaptasi dengan fenomena masyarakat yang ada juga memunculkan hukum (pasal) yang sesuai dengan zaman yang dihadapainya dengan tetap berpegang pada dalil al-Qur’an, Hadist maupun pendapat ulama’. Pendapat KH. Ahmad Rifa’i mengenai syarat dan rukun nikah seperti wali dan saksi nikah khususnya lagi dalam masalah tahkim tepat di zaman itu dan dalam situasi dan kondisi yang sama pendapat beliau tetap bisa dijadikan pegangan hukum, sementara pasal-pasal tentang syarat dan rukun nikah dalam hukum nasional (KHI) juga sesuai dengan zaman yang dihadapi, inilah yang disebut hukum Islam meminjam istilah Dewi Mariana disebut dinamis.68
68 Dewi Mariana SN., Konsep Wali Nikah; Analisis KH. Ahmad Rifa`i dan Relevansinya dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 19-23, Skripsi, (Semarang: IAIN Walisongo, 2013), hlm.82, tidak diterbitkan.
56 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
Analisis Hasil Penelitian Praktik akad nikah pada jamaah Rifa`iyah di Kabupaten Kendal berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan tokoh Rifa`iyah, warga masyarakat, mempelai penganten dapat peneliti simpulkan sebagai berikut: Menurut tokoh Rifa`iyah Kabupaten Kendal, jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal melaksanakan akad nikah dua kali, yakni di KUA dan di rumah mempelai puteri. Praktik akad nikah dua kali tersebut sesuai dengan anjuran KH. Ahmad Rifa`i, oleh karena itu, tradisi pernikahan tersebut sudah dilaksanakan sejak jaman KH. Rifa`i masih hidup sampai sekarang. Menurut warga jamaah Rifa`iyah, praktik pernikahan warga Rifa`iyah Kabupaten Kendal dilaksanakan di KUA dan di rumah sendiri, atau sering disebut perkawinan ulang. Perkawinan ulang ini dilaksanakan sejak dahulu sesuai anjuran tokoh agama (Rifa`iyah) dan anjuran KH. Ahmad Rifa`i, selaku pendiri jamaah Rifa`iyah. Menurut mempelai penganten, praktik pernikahan yang kami lakukan dilaksanakan dua kali, yang pertama di Kantor Urusan Agama Kecamatan Batang Kota dengan wali nikah adalah Kepala KUA yang sudah mendapat mandat dari orang tua pengantin puteri. Adapun pernikahan kedua dilaksanakan di rumah sendiri dengan wali nikah adalah para kyai selaku tokoh Rifa`iyah di Kabupaten Kendal yang juga sudah memperoleh mandat dari orang tua pengantin puteri. Menurut hasil pengamatan penulis, praktik akad nikah bagi warga jamaah Rifa`iyah di Kabupaten Kendal yang penulis amati terhadap dua pasang mempelai dalam kurun waktu tiga bulan sejak Januari sampai Maret 2015 yaitu pernikahan saudari Nur Farkhana dengan M. Ferdiyansyah tanggal 09 Januari 2015 dan Siti Mubarokah dengan M. Gores tanggal 4 Pebruari 2015, dilaksanakan dua kali yang pertama di akad nikah di KUA dan di rumah mempelai isteri. Selama prosesi pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Batang Kota, acara akad nikah berjalan lancar, begitu juga pelaksanaan prosesi akad nikah di rumah mempelai puteri juga berjalan lancar. Pada intinya susunan acara akad nikah di KUA dan di rumah mempelai puteri hampir sama, hanya yang membedakan yaitu; 1) Pernikahan di KUA, tidak ada sambutan mauidhoh hasanah, tidak ada sambutan dari keluarga pengantin laki-laki, dan wali nikah adalah Kepala KUA yang sudah memperoleh mandat dari orang tua pengantin puteri, dan tidak ada sambutan mauidhah hasanah dai kyai Rifa`iyah; dan 2) Pernikahan di rumah mempelai isteri, tidak ada penandatanganan dan
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 57 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
penyerahan buku nikah, dan tidak ada pembacaan sighot ta`lik dari pengantin laki-laki. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh Rifaiyah, warga jamaah Rifaiyah, mempelai pengantin, dan pengamatan penulis terhadap praktik akad nikah bagi jamaah Rifaiyah Kabupaten Kendal, dapat disimpulkan bahwa: 1. Praktik akad nikah di kalangan jamaah Rifa’iyah di Kabupaten Kendal dilaksanakan dua kali yakni pernikahan dilaksanakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan di wilayah Kabupaten Kendal dan pernikahan kedua dilaksanakan di rumah mempelai puteri. 2. Pernikahan dua kali ini merupakan tradisi pernikahan bagi jamaah Rifa`iy Kabupaten Kendal yang telah dilaksanakan sejak jaman KH. Ahmad Rifa`i selaku pendiri jamaah Rifa`iyah sampai sekarang. Simpulan Berdasarkan beberapa uraian dan analisis di atas, dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Praktik akad nikah di kalangan jamaah Rifa’iyah di Kabupaten Kendal dilaksanakan dua kali yakni pernikahan dilaksanakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan dan pernikahan kedua dilaksanakan di rumah mempelai puteri. Akad nikah dua kali ini merupakan tradisi pernikahan yang telah dilaksanakan sejak jaman KH. Ahmad Rifa`i selaku pendiri jamaah Rifa`iyah sampai sekarang. 2. Alasan jamaah Rifa’iyah di Kabupaten Kendal melaksanakan akad pernikahan dua kali di KUA dan di rumah mempelai puteri adalah untuk menyempurnakan pernikahan yang mungkin dijumpai pada prosesi pernikahan di KUA. 3. Pandangan jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal menganggap bahwa pernikahan yang dilaksanakan di KUA dianggap sudah sah, karena secara hukum Islam telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Adapun prosesi pernikahan di rumah mempelai puteri dilakukan untuk menyempurnakan syarat dan rukun yang mungkin dijumpai kurang sempurna seperti saksi dan wali nikah yang mungkin kurang sempurna. Alasan lainnya untuk menyempurnakan prosesi walimahan pernikahan. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini menurut peneliti sebagai berikut: Data utama sebagai bahan interprestasi pada penelitian ini diperoleh dari hasil interview, sehingga realitas yang sesungguhnya tentang alasan pernikahan dua kali di KUA dan di rumah mempelai puteri memerlukan
58 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
pengamatan yang seksama dan berkesinambungan serta memerlukan penelitian kuantitatif untuk mengukur persentase warga jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal yang memungkinkan memiliki alasan dinamis untuk setuju dan tidak setuju/alasan lainnya dalam konteks penyelenggaraan pernikahan dua kali di Kantor Urusan Agama (KUA) dan di rumah mempelai puteri. Oleh karena itu penelitian ini hanya menjelaskan hasil penelitian berdasarkan data deskriptif. Peneliti berharap di masa yang akan datang diadakan penelitian lebih lanjut sehingga dinamisasi pendapat terhadap kasus pernikahan dua kali terutama antara kaum tua dan generasi mudanya di Kabupaten Kendal dapat digeneralisasikan hasilnya melalui penelitian tersebut. Rekomendasi Saran dari peneliti terkait hasil penelitian ini sebagai berikut: 1. Kepada para pembaca, hendaklah perlu ditegaskan bahwa jamaah Rifaiyah merupakan salah satu ormas Islam yang didirikan KH. Ahmad Rifai dengan basic agama bercorak tasawuf dan bermadzab Fiqh seperti halnya umat Islam lainnya di Indonesia yang bermadzab Syafi`i. Oleh karena itu, dalam perkembangannya jamaah Rifaiyah memiliki tradisi keagamaan yang sudah diwariskan dalam sejarah pendirian jamaah Rifai`yah sebagai ciri khas masing-masing organisasi keagamaan yang multikultural di tanah air. Ciri khas tersebut merupakan hal yang wajar dalam berorganisasi dan tetap dalam bingkai Islam dan bukan sesuatu yang menyimpang. 2. Bagi para peneliti, hendaklah meningkatkan kajian terhadap jamaah Rifa`iyah yang tersebar di seluruh nusantara. Jamaah Rifaiyah memiliki tingkat keunikan tersendiri dalam khasanah kebudayaan Indonesia yang multikultural. Kajian-kajian budaya Islam berbasis penelitian akhirakhir ini menjadi prioritas Kementerian Agama RI dalam regulasi juknis penelitian sejak tahun 2015 sampai saat ini. Oleh karena itu kajian terhadap jamaah Rifaiyah merupakan sumber data penelitian yang tidak akan kering untuk diteliti dengan tingkat kemanfaatan yang relatif tinggi bagi pengembangan pengetahuan Islam dan sosial humanitis. 3. Bagi Jamaah Rifaiyah, terutama terhadap tokoh agama dan masyarakat, hendaknya tingkatkanlah kredebilitas sebagai anggota jamaah yang inklusif terhadap perubahan budaya dan pemikiran Islam. Beberapa kajian Islam dalam lintas sejarah selalu menanamkan budaya ijtihad tiada henti dan melakukan transformasi secara bertahap terhadap perubahan budaya dan teknologi agar Islam rahmatan lil `alamin. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 59 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
4. Bagi kaum muda Rifa`iyah, kalian adalah ujung tombak penerus pergerakan Rifa`iyah di masa yang akan dating. Oleh karena itu tumbuhkanlah semangat cinta dan perjuangan terhadap Rifaiyah dibarengi dengan bekal pengetahuan yang memadai agar Rifaiyah semakin inklusif dalam peta pergerakan ormas Islam di Indonesia dan dunia. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Shodiq, Islam Tarajumah; Komunitas Doktrin dan Tradisi, Semarang: RaSAIL, 2006. Ahsa, M. Nur, Perkembangan Ajaran Rifaiyah di Pondok Pesantren Insap Desa Paesan Kedungwuni Pekalongan 1945-1992. Skripsi, 2003, Tidak di terbitkan. Ali, Mohammad, Penelitian Kependidikan, Prosedur dan Strategi, Bandung : Angkasa, 2004. Amin, Ahmad Syadirin, Gerakan Syaikh Ahmad Rifa’i dalam Menentang Kolonial Belanda, Jakarta: Jama’ah Masjid Baiturrahman, 1996. Amin, Ahmad Syadirin, Terjemah Tabyinal Islah li Muridi Nikah Karangan Syaikh Ahmad Rifa’i bin Muhammad, Pekalongan : Yayasan Badan wakaf Rifa’iyah, 2004. Amin, Ahmad Syadirin, Mengenal Ajaran Tarajumah Shaikh H. Ahmad Rifa’i, Pekalongan: Yayasan al-Insaf, 1999. Anas, Idhoh, Risalah Nikah ala Rifa’iyah, Pekalongan: al-Asri, 2008. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2010. Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 2004. Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Azzam, Abdul Aziz Muhammad, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, Jakarta: Amzah, 2011. Darban, Ahmad Adaby, Rifa`iyah Gerakan Sosial Keagamaan Di Pedesaan Jawa Tengah Tahun 1850-1982, Yogyakarta: Tawarang Press, 2005. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Departeman Agama RI, 2003. Djamil, Abdul, Perlawanan Kyai Desa Pemikiran Dan Gerakan Islam Kh. Ahmad Rifa’i Kalisalak, LkiS: Yogyakarta, 2001. Djazuli, H.A., Ilmu Fiqih, Jakarta: Kencana, 2005. Hasan, M. Ali, Pedoman Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta : Fajar Interpratama Offest, 2006.
60 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Keabsahan Nikah di KUA Perspektif Jamaah Rifa`iyah Kabupaten Kendal
Huda, Maslahul, Perkawinan Ulang bagi Penganut Aliran Rifaiyah di Kelurahan Pagerkukuh Kabupaten Wonosobo, Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Press, 2010. Junaid, Imam Abu Qasim al-, Rasail al-Junaid, Tahqiq : Ali Hasan Abdul Qadir, t.th. Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Kalam, 1978. Kompilasi Hukum Islam KHI, Bandung: Fokus Media, 2007. Lestari, Setyatun, Skripsi: Pemikiran Jam’iyyah Rifa’iyah tentang Pelaksanaan Pernikahan di Desa Paesan, 2007, Tidak dipublikasikan. Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Modern, Yogyakarta : Graha Ilmu 2011. Margono, S. , Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 2004. Mariana SN., Dewi, Konsep Wali Nikah; Analisis KH. Ahmad Rifa`i dan Relevansinya dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 19-23, Skripsi, Semarang : IAIN Walisongo, 2013, tidak diterbitkan. Moloeng, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005. Mubarok, Jaih, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005. Muhajir, Noeng, Metode Penelitian, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2011. Muslim, Imam, Shahih Muslim, Bandung: Al-Ma`arif, 2003. Nasruddin, Muhammad, Hukum Islam dan Perubahan Sosial; Studi Pergeseran Pemikiran Jamaah Rifa`iyah, Semarang: IAIN Walisongo, 2009. Nazir, Muh, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1999. Patton, Michael Quinn, Metode Evaluasi Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Ramulyo, Moh. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : PT Bumi Aksara, 1996. Razak, Abdul, Manaqib Syaikh H. Ahmad Rifa’i al-Jawi,tp., tth. Rifa`i, Ahmad, Fiqh Islam Lengkap, Semarang: as-Syifa`, 2007. Rifa’i, KH. Ahmad, Manuskrip Tabyin al-Islah. Rofik, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005. Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1397. Saebani, Beni Ahmad, Fiqih Munakahat, Bandung : Pustaka Setia, 2001. Soenarjo, dkk, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Kemenag RI, 2003.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 61 Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016
Ikhsan Intizam
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung : Alfabeta, 2005. Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Suryabrata, Sumadi, Metode Penelitian, Yogyakarta : Universitas Gama Mada Press, 2001. Syarifuddin, Amir, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2010. Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Islam Indonesia, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2007. Syukur, Muhammad Amin, Pengantar Studi Islam, Semarang: LemBkota bekerjasama dengan Pustaka Nun, 2010. Tihami, Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007. Undang-undang Perkawinan, Surabaya: Pustaka Tata Masa, 2009.
62 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 7 Nomor 1 Pebruari 2016