APROGRAM ADVOKASI TENAGA KERJA INDONESIA PADA FAITH BASED ORGANIZATIONS (STUDI KASUS MIGRANT INSTITUTE DOMPET DHUAFA) DIAN SETYAWATI Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia E-mail: HYPERLINK "mailto:" HYPERLINK "mailto:
[email protected]"
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas tentang program advokasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada Faith Based Organizations (studi kasus Migrant Institute Dompet Dhuafa) sebagai upaya untuk meningkatkan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa dalam pelaksanaan program advokasi di Migrant Institute telah dilaksanakan empat jenis advokasi, yaitu: advokasi klien, advokasi masyarakat, advokasi legislatif, dan advokasi administratif. Unsur faith pun banyak mempengaruhi cara pandang dan pelaksanaan advokasi di Migrant Institute. Lebih lanjut pihak lembaga harus memperhatikan faktor pendukung dan faktor penghambat pelaksanaan advokasi untuk memaksimalkan perlindungan bagi Tenaga Kerja Indonesia. Kata kunci: Advokasi, Tenaga Kerja Indonesia, Faith Based Organizations
Abstract The focus of this study is discusses the implementation of an advocacy program on Faith - Based Organizations (Migrant Institute Dompet Dhuafa case study) in an effort to improve the protection of Indonesian Workers. This study is a qualitative research strategy case study. The results of the study revealed that in the implementation of advocacy programs at the Migrant Institute has been implemented in four types of advocacy, namely: client advocacy, community advocacy, legislative advocacy, and administrative advocacy. Elements affected how much faith and advocacy work in the Migrant Institute. Furthermore, the agency must consider the factors supporting and inhibiting factors to maximize the implementation of advocacy for the protection of Indonesian Workers. Key words: Advocacy, Indonesian Labor, Faith Based Organizations
Pendahuluan Kesejahteraan sosial adalah kondisi yang senantiasa ingin diwujudkan oleh setiap negara. Untuk mewujudkan kondisi ini, Indonesia telah melakukan berbagai macam langkah salah satunya adalah melalui pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) keluar
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
negeri. Upaya pengiriman TKI secara besar-besaran telah terjadi pertama kali pada tahun 1983. Menurut Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan (2002) disebutkan bahwa pada tahun itu harga minyak dunia jatuh sehingga Indonesia mengalami masalah ekonomi besar yang berdampak pada dikeluarkannya kebijakan pengiriman tenaga kerja murah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan International Labour Organization (ILO) pada tahun 2005. Ekspor tenaga kerja murah yang dilakukan terus menerus membuat Indonesia menempati posisi kedua terbesar di dunia, sebagai pemasok tenaga kerja setelah Filiphina. Adapun pada tahun 2012 berdasarkan laporan Kementrian Luar Negeri tentang jumlah TKI pada tahun 2012 adalah 2.536.429 jiwa. Dengan perbandingan pekerja di sektor formal dan informal adalah 1:6. Adapun yang bekerja disektor informal umumnya adalah Penata Laksana Rumah Tangga. Menurut Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan (2002), ekspor tenaga kerja murah memiliki dampak postif dalam hal penanganan pengangguran dan perbaikan ekonomi. Analisa tersebut sesuai dengan pemaparan Jumhur Hidayat, Kepala BNP2TKI (Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia), yang dimuat dalam Antara Jatim (2013) bahwa pada tahun 2013, sekitar 6,5 juta TKI tersebar di 178 negara sehingga telah teratasi jumlah pengangguran sebanyak 6,5 juta orang. Sebanyak 32,5 juta orang terhindar dari kemiskinan karena rata-rata setiap TKI menanggung hidup lima anggota keluarganya. Tak hanya itu, TKI pun telah berjasa memberikan devisa negara sekitar Rp 120 triliun per tahun atau delapan persen dari APBN sebesar Rp 1.500 triliun. Tidak hanya dampak positif, Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan (2002) pun melihat dampat negatif dari kebijakan ini yakni telah terbukanya peluang dan otoritas lebih besar bagi mesin-mesin negara (agen penghubung) yang menjalankan bisnis dengan proses yang tidak baik berupa pemerasan, eksploitasi, dan penyiksaan yang mencolok kepada TKI. Hal tersebut terjadi pada masa orba dan tidak berubah pada masa reformasi. Adapun berikut data jumlah TKI bermasalah tahun 2010 – 2012 berdasarkan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam Kompas (2013) :
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
Gambar 1.1 Jumlah TKI Bermasalah di Luar Negeri Tahun 2010 – 2012 Sumber : Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam Kompas (2013)
Grafik tersebut menyebutkan bahwa jumlah TKI bermasalah tahun 2010 adalah 60.399 jiwa dan turun menjadi 44.432 jiwa tahun 2011 dan 31.528 jiwa tahun 2012. Memang terjadi penurunan angka TKI bermasalah, namun angka yang tertera masih sangatlah tinggi dan membutuhkan perhatian khusus. Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan (2002) mengatakan bahwa ada dua penyebab utama dari tingginya kasus TKI yakni adanya kebijakan pemerintah yang memberikan peluang bagi penyiksaan dan gagalnya pemerintah menyediakan cara pemulihan serta ganti rugi. Maka perlu upaya-upaya advokasi yang dilakukan berbagai pihak baik pada ranah kebijakan pemerintah maupun pada ranah advokasi kasus guna memaksimalkan mekanisme perlindungan TKI yang memadai. Advokasi menurut Zastrow (1982) adalah aktivitas menolong klien atau sekelompok klien untuk mencapai layanan tertentu ketika mereka ditolak suatu lembaga atau suatu sistem layanan, sehingga dapat mengembalikan hak-hak korban, baik ekonomi maupun politik, memulihkan keadaan fisik dan psikisnya serta merehabilitasi mereka sedemikian rupa sehingga dapat kembali ke dalam masyarakat pada kondisi memiliki keberfungsian yang baik. Jika dikaitkan dengan definisi Zastrow tersebut maka fungsi advokasi diharapkan dapat membuat para TKI tidak ditolak lagi oleh suatu sistem layanan, terciptanya sistem yang mendukung perlindungan TKI, terkembalikan hak-hak TKI baik ekonomi hingga politik, terpulihkannya keadaan fisik dan psikisnya serta dapat direhabilitasi sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi dengan baik. Adapun upaya advokasi yang ingin dilihat dalam penelitian ini adalah advokasi yang dilakukan oleh NGO (non government organizations) yang berbasis faith atau biasa disebut dengan NGO FBOs (faith based organizations). Kerja-kerja advokasi pada NGO FBOs ini penting untuk dilihat karena menurut Ferris (2005) kini NGO FBOs di dunia tidak hanya bergerak pada pengembangan kapasitas pelayanan kesehatan dan pendidikan atau tanggap darurat saja, melainkan juga telah bergerak pada pelayanan advokasi untuk keadilan. Di Indonesia, Migrant Institute adalah salah satu NGO FBOs yang bergerak dalam bidang advokasi TKI. Migrant Institute dikategorikan faith karena berada di bawah naungan Dompet Dhuafa yang merupakan lembaga nirlaba yang mengoptimalkan penggalangan dana zakat, infaq, shadaqah dana wakaf masyarakat muslim di Indonesia. Hal ini sesuai dengan definisi FBOs menurut Ferris (2005) yang memberikan penjabaran
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
bahwa salah satu citi FBOs adalah memiliki dukungan finansial dari sumber agama. Migrant Institute sebagai salah satu NGO FBOs di Indonesia yang bergerak pada bidang advokasi TKI telah berdiri sejak tahun 2010. Di usianya yang masih sangat muda, ada sekitar 300 kasus di tahun 2011 – 2013 yang masuk di Migrant Institute, dan telah mampu diselesaikan sekitar 70% - 80 %. Kasus yang masuk meliputi seluruh jenis kasus yakni kasus pra penempatan, penempatan, dan pasca penempatan. Akan tetapi berdasarkan penuturan pengurus Migrant Institute, mayoritas kasus yang masuk adalah kasus di penempatan. Tingginya jumlah kasus yang masuk dan mampu diselesaikan oleh Migrant Institute ini yang pada akhirnya perlu dilihat dan dikaji lebih mendalam terkait bagaimana cara-cara Migrant Institute dapat menumbuhkan rasa kepercayaan para TKI untuk pada akhirnya menyerahkan kasusnya ke Migrant Institute dan bagaimana Migrant Institute mampu menyelesaikan kasus dengan baik. Migrant Insitute pun memiliki program pelayanan advokasi yang dekat pada masyarakat dalam bentuk pos informasi dan pengaduan TKI sehingga pelayanan advokasi dapat dijangkau oleh masyarakat secara mudah. Menurut data Crisis Center Migrant Institute bahwa Migrant Institute telah memiliki 70 Pos informasi dan Pengaduan TKI di empat wilayah besar yakni Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jumlah titik tersebut bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat untuk mulai membentuk pos ditiap daerah basis TKI bukanlah hal yang mudah, apalagi dalam hal pembinaan atau tindak lanjut 70 titik pos tersebut. Lebih lanjut, dinamika yang terjadi dalam upaya memperluas pelayanan advokasi melalui pembentukan 70 titik pos informasi dan pengaduan TKI ternyata menjadi sebuah penghambat pemberian pelayanan advokasi yang seharusnya justru mempermudah pelayanan. Para pengurus di Crisis Center Migrant Institute karena fokus pada pembentukan 70 Pos Informasi dan Pengaduan TKI, mengalami permasalahan dalam penanganan advokasi langsung. Hal ini terlihat pada tahun 2013, menurut data Bidang Crisis Center Migrant Institute, dari sekitar 120 kasus yang masuk yang tertangani hanya 60 kasus. Terjadi penurunan penanganan kasus, di tahun 2013 menjadi hanya 50% kasus yang mampu tertangani. Maka berdasarkan jabaran rumusan permasalahan tersebut, pertanyaan penelitian adalah : Bagaimanakah gambaran program advokasi TKI di Migrant Institute? Apakah yang menjadi faktor pendukung dan penghambat program advokasi TKI di Migrant Institute?
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
Tinjauan Teoritis Pada tinjauan teoritis akan coba dipaparkan konsep yang mampu memberikan penjelasan mendalam mengenai program advokasi dan Faith Based Organizations (FBOs). Berikut penjabaran lebih lanjut: Advokasi Definisi Advokasi dan Peranan Advokasi dalam Pekerja Sosial Advokasi berangkat dari suatu pemahaman dan keyakinan bahwa ketidakadilan yang menimpa masyarakat lemah disebabkan oleh tatanan sosial yang asimetris menyebabkan hubungan kekuasaan yang timpang dan tidak adil. Untuk memperkuat pemahaman tersebut, adapun definisi advokasi menurut Zastrow (1982) adalah aktifitas menolong klien atau sekelompok klien untuk mencapai layanan tertentu ketika mereka ditolak oleh suatu lembaga atau sistem layanan, dan membantu memperluas pelayanan agar mencakup lebih banyak orang yang membutuhkan. Zastrow (1982) melihat bahwa ada sebuah sistem yang lebih besar dan powerfull sehingga kelompok klien tidak mampu mendapatkan akses sumber daya atau layanan. Melawan sistem yang lebih besar dan powerfull inilah yang perlu diperankan oleh pekerja sosial ketika berperan sebagai advokat dan tentu ini adalah suatu peranan yang sulit untuk dilakukan karena harus mampu melawan kekuatan yang lebih besar. Menurut Kaminski dan Walmsley (1995), advokasi adalah suatu tindakan yang ditujukan untuk mengubah kebijakan, kedudukan atau program dari suatu institusi. Kaminski dan Walmsley pun melihat bahwa advokasi adalah satu aktifitas yang menunjukkan keunggulan pekerja sosial dibandingkan profesi lain. Keunggulan ini pun dijabarkan Ashman dan Grafton (2006) dalam Kaminski dan Walmsley (1995) yang mengungkapkan bahwa advokasi adalah peran makro yang dijalankan oleh pekerja sosial untuk dapat menyentuh sistem makro. Perlu diketahui bahwa perwujudan kesejahteraan bagi masyarakat lemah sangat berkaitan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Ashman dan Grafton (2006) dalam Kaminski dan Walmsley (1995) menjabarkan advokasi penting dilakukan dalam usaha kesejahteraan sosial karena melalui pelaksanaan advokasi akan dapat memberikan akses kepada sistem klien yang awalnya tidak mendapatkan sumber daya menjadi mendapatkan sumber daya melalui pengubahan peraturan kebijakan. Pekerja sosial yang
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
menjadi advokat berperan berbicara mewakili nama klien dalam rangka mempromosikan perlakuan adil dan merata untuk mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan. Schneider dan Lester (2001) pun menyebutkan “advocacy was defined as an obligation of social workers to the legislative process” (advokasi didefinisikan sebagai suatu kewajiban pekerja sosial untuk proses legislatif). Dalam kaitan itu, pekerja sosial bertanggungjawab memastikan legislasi sosial dapat berlangsung efektif dan dilaksanakan. Advokasi juga digunakan untuk mempengaruhi dan bertindak secara kolektif untuk mempengaruhi perubahan sosial.
Jenis – Jenis Advokasi Pekerja Sosial Sebagaimana telah dijabarkan diatas terkait tujuan advokasi. Maka untuk mencapai tujuan tersebut, pekerja sosial sebagai advokat harus melakukan tindakan mendukung, menasehati, bahkan mewakili hak dan kepentingan klien di pengadilan atau badan sosial atau pada saat berhadapan dengan pihak berwajib. Menurut Schanider dalam Edi Suharto (2004) terdapat 4 jenis advokasi dalam pekerjaan sosial, yaitu: Advokasi klien (Client advocacy) Tujuan akhirnya adalah untuk membantu klien tentang bagaimna klien berjuang memenangkan pertarungan terhadap hak-haknya dalam sebuah sistem sosial. Advokasi masyarakat (Cause advocacy) Advokasi pekerja sosial yang selalu membantu klien individu dan keluarga dalam memperoleh pelayanan. Advokasi Legislatif (Legislative advocacy) Advokasi jenis ini biasanya dilakukan untuk mempengaruhi proses pembuatan suatu undang-undang. Advokasi Administratif (Administrative advocacy) Advokasi jenis ini bertujuan untuk memperbaiki atau mengoreksi keluhankeluhan administratif dan mengatasi masalah-masalah administratif. Advokasi ini dapat dilakukan melalui lembaga seperti Ombudsmans.
Faith Based Organizations Jika trend dunia saat ini dalam memberikan pelayanan sosial tidak hanya dilakukan pemerintah melainkan pemerintah melibatkan NGO sebagai pilar yang penting
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
bagi perubahan masayarakat, maka saat ini pun negara juga telah melibatkan organisasi berbasis iman (Faith Based Organizations) sebagai pihak yang memenuhi syarat untuk memberikan bantuan. Untuk itu maka perlu untuk dapat mengetahui lebih detail terkait FBOs melalui penjabaran definisi FBOs, perbedaan FBOs dan SHOs, dan tantangan FBOs.
Definisi Faith Based Organizations Definisi tentang Faith Based Organizations hingga sejauh ini belum ada definisi yang berlaku umum. Namun NGO yang berbasis FBOs menurut Ferris (2005) dapat ditandai dengan memiliki satu atau lebih hal berikut: adanya afiliasi dengan lembaga keagamaan, adanya penetapan visi misi yang memiliki referensi eksplisit dengan nilainilai keagamaan, adanya dukungan finansial dari sumber-sumber agama, dan tata kelola kepengurusannya berdasarkan mekanisme keyakinan agama yakni proses pemilihan dewan anggota dan staf serta pengambilan keputusan.
Faith Based Organizations (FBOs) dan Secular Humanities Organizations (SHOs) Jika dilihat berdasarkan sejarah, FBOs sebenarnya telah muncul terlebih dahulu dibandingkan SHOs. Ram Cnaan (1999) dalam Graddy (2006) menyebutkan bahwa FBOs telah memiliki sebuah sejarah panjang dalam keikutsertaan pemberian pelayanan sosial, hal ini karena gerakan-gerakan kelompok religiuslah yang pertama kali memiliki semangat memberikan bantuan sosial (sebelum abad 20). Namun setalah tahun 1935, di US telah ada Social Security Act yang menimbulkan perpindahan tanggung jawab atas social service dari kelompok religius ke negara. Meskipun begitu, kelompok-kelompok religius tetap melanjutkan pemberian pelayanannya dengan semaksimal mungkin. Perbedaan antara FBOs dan SHOs menurut Graddy (2006) adalah: pertama, struktur organisasi, bahwa FBOs mempunyai struktur organisasi yang unik karena menawarkan efisiensi dan efektivitas manfaat dibandingkan secular service providers. FBOs lebih efisien dalam pemberian beberapa pelayanan sosial karena ada peran gereja dan relawan. Kedua, karakteristik FBOs terhadap agama memungkinkan mereka lebih efektif menerapkan metode yang berbeda dalam pemberian pelayanan melalui penggunaan intensitas yang lebih sering dari secular service provider. Beberapa penulis mencatat bahwa FBOs biasannya melihat pekerjaan mereka sebagai sebuah pekerjaan pendeta atau sebuah panggilan yang membuat mereka berlaku berbeda dari penyedia layanan lain.
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
Adapun berikut perbedaan FBOs dan SHOs menurut Ferris (2005) yakni terkait motivasi dalam melakukan misi kemanusiaan. SHOs ketika memberikan pertolongan kemanusiaan cenderung termotivasi oleh rasa kasih sesama manusia. Namun, FBOs dalam memberikan pertolongan kemanusiaan tidak hanya termotivasi oleh rasa kasih sayang sesama manusia tetapi juga ada dorongan keimanan dari agama yang mereka anut. Etindi (1999) dalam Graddy (2006) mengidentifikasi 3 perbedaan FBOs dan SHOs. Pertama, FBOs menganggap pekerjaan mereka sebagai sebuah misi sehingga mereka lebih memiliki keinginan lebih untuk membuat komitmen kontribusi jangka panjang dalam pemberian layanan hingga terjadi perubahan yang diinginkan. Kedua, FBOs lebih memungkinkan percaya pada konsep monitoring, hubungan satu dengan satu (one-on-one relationship) yang mana satu orang ini diberi motivasi, tantangan, dan pengajaran tentang bagaimana melakukan banyak hal. Ketiga, Dalam Graddy (2006) gagasan Etindi (1999) diperkuat oleh Sherman (2000) bahwa FBOs lebih adaptif karena lebih memilih memberikan pelayanan dengan menyesuaikan kepada kebutuhankebutuhan individual, berbanding terbalik dengan program pemerintah yang memaksa bahwa justru semua peserta harus menyesuaikan program.
Tantangan Faith Based Organizations Tantangan yang hadir bagi FBOs adalah adanya isu pemaksaan para penerima bantuan untuk mau mengikuti agama lembaga/kelompok pemberi bantuan yang berbasis FBOs. Dalam Ferris (2005) disebutkan bahwa pada tahun 2005, laporan pers di Indonesia memberitakan adanya kelompok misionaris yang berusaha mengajak para penerima bantuan kepada injil disaat proses pemberian bantuan bagi kaum Muslim yang terkena tsunami. Tindakan ini pada akhirnya sempat menuai kritik terhadap semua pemberi bantuan dari pihak Kristen sehingga membuat Dewan Gereja Indonesia mengeluarkan pernyataan yang kuat agar para misionaris yang memberikan bantuan tetap memberikan penghormatan terhadap keyakinan agama dari semua orang yang dibantu, hal ini karena perilaku kelompok misionaris yang mengajak pada injil saat memberikan bantuan tersebut pada akhirnya telah memperburuk citra FBOs Kristen. Metode Penelitian
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
Pendekatan Penelitian. Penelitian ini mencoba menggambarkan program advokasi serta menggambarkan faktor pendukung dan penghambat program advokasi TKI di Migrant Institute. Dalam upaya mengambarkan program tersebut maka sangatlah cocok jika menggunakan penelitian kualitatif sebagai pendekatan penelitian karena mampu menggali informasi secara mendalam. Hal ini sesuai dengan Neuman (2006), yang menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah upaya untuk menggali informasi secara luas dan mendalam dari informan. Pendekatan kualitatif juga dirasa cocok dalam penelitian ini, karena penelitian ini lebih berusaha menangkap aspek dalam dunia sosial yang sulit untuk interpretasi jika melalui angka. Strategi Penelitian. Strategi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Kasus. Menurut Cresswell (2003), studi kasus merupakan strategi penelitian yang di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, serta peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Strategi ini menjadi sesuai karena peneliti memang ingin menyelidiki secara cermat program, peristiwa, aktivitas advokasi yang memiliki unsur faith di Migrant Institute. Kasus ini sendiri bersifat organisasi dan pada hasil penelitian diakhir, studi kasus ini akan dapat dihubungkan pada level mikro ke level makro masyarakat.
Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah dimana penelitian ini dilakukan untuk melihat program advokasi. Adapun penelitian ini dilakukan di Migrant Institute yang merupakan salah satu lembaga di bawah naungan Dompet Dhuafa yang berada di Jl. Haji Ali No. 40 Kampung Tengah, Kramat Jati, Jakarta Timur. Migrant Institute dipilih menjadi lokasi penelitian karena lembaga ini telah mampu memberikan upaya advokasi kasus kepada 300 klien TKI di umurnya yang masih sangat mudah (3 tahun). Tak hanya itu, Migrant Institute dipilih karena telah memiliki 70 titik Pos Informasi dan Pengaduan TKI yang ada di 4 wilayah besar yakni Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Teknik Pemilihan Informan. Metode pemilihan informan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Hal ini dikarenakan tidak semua populasi dapat digunakan sebagai informan, hanya populasi yang memiliki kriteria diatas saja yang dapat menjadi informan. Lebih lanjut Neuman (2006) mendefinisikan metode purposive sampling adalah suatu metode yang digunakan pada situasi khusus atau bersifat unik. Sampel yang
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
diambil menggunakan metode ini ditentukan apakah sesuai dengan maksud dan tujuan penelitan. Dengan demikian setiap populasi tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi informan, melainkan siapa yang menjadi informan disesuaikan dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini ada 6 informan yang berasal dari 3 orang pengurus Migrant Institute dan 3 orang klien Migrant Institute. Teknik dan Waktu Pengumpulan Data. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terbagai menjadi tiga, yaitu studi literatur, wawancara mendalam, dan observasi. Waktu penelitian dilakukan selama empat bulan, yaitu bulan Oktober 2013 sampai dengan bulan Januari 2014. Teknis Analisa Data. Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa data yang dikemukakan oleh Neuman (2006). Menurut Neuman (2006), analisis data ini terbagi menjadi 3 data yaitu: (1) Data satu yaitu, pengumpulan data dasar yang berasal dari pengalaman peneliti selamat turun lapangan yang terdiri dari : listen, observe, interview. (2) Data dua yaitu, perekaman data yang terdiri dari sound recording, visual recording, dan field notes atau catatan lapangan. (3) Data tiga yaitu, penyeleksian dan pemrosesan data dalam sebuah laporan akhir, yang terdiri dari : sortir, klasifikasi, pengkodean (Open, Axial Coding and Selective Coding), dalam seleksi pengkodean (selain dari data 2 dapat pula didapat dari other resources, seperti peta dan dokumen), kemudian dilanjutkan dengan interpretasi dan elaborasi. Hasil dan Pembahasan
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
Pada bagian hasil dan pembahasan akan berusaha menjawab pertanyaan penelitian “Bagaimana gambaran program advokasi TKI di Migrant Institute” dan “Apakah yang menjadi faktor pendukung dan penghambat program advokasi TKI di Migrant Institute.” Berikut jabaran lebih lanjut terkait hasil dan pembahasan. Implementasi Program Advokasi TKI Advokasi adalah kegiatan yang penting dilakukan karena merupakan langkah menuju perubahan sosial dan kesejahteraan sosial. Advokasi berangkat dari suatu pemahaman dan keyakinan bahwa ketidakadilan yang menimpa masyarakat lemah disebabkan oleh tatanan sosial yang asimetris sehingga memunculkan hubungan kekuasaan yang timpang dan tidak adil. Kerja-kerja advokasi kini memiliki perkembangan, dalam Sharma (2003) disebutkan bahwa jika dahulu advokasi hanya menitikberatkan pada program pembelaan hukum yang dilakukan dipengadilan sebagai ciri khasnya, maka kini kerja-kerja advokasi tidak hanya dimaknai seperti itu tetapi lebih luas, bahwa pembelaan dapat berjalan diluar ruang pengadilan sekalipun. Gagasan Sharma yang melihat bahwa advokasi tidak hanya dilakukan pada ruang-ruang pengadilan telah dilakukan oleh Migrant Institute dalam menjalankan advokasi TKI. Kerja-kerja advokasi dibuat sangat beragam yang meliputi advokasi klien, advokasi masyarakat, advokasi legislatif, dan advokasi administratif. Ke-empat bentuk advokasi tersebut tetap dapat dikategorikan advokasi karena memiliki aktifitas menolong TKI dan keluarganya untuk mendapatkan hak yang mengalami hambatan pada sistem yang lebih besar. Hal tersebut sesuai dengan definisi Advokasi menurut Zastrow (1982) bahwa advokasi adalah aktifitas menolong klien atau sekelompok klien untuk mencapai layanan tertentu ketika mereka ditolak oleh suatu lembaga atau sistem layanan, dan membantu memperluas pelayanan agar mencakup lebih banyak orang yang membutuhkan. Jika merujuk gagasan advokasi Kaminski dan Walmsley (1995) yang menyebutkan advokasi adalah suatu tindakan yang ditujukan untuk mengubah kebijakan, kedudukan atau program dari suatu institusi. Maka kerja-kerja advokasi di Migrant Institute juga memiliki kesesuaian pada gagasan tersebut. Hal ini terlihat ketika Migrant Institute melakukan kerja-kerja mempengaruhi kebijakan seperti UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI dan juga kerja-kerja mempengaruhi Peraturan Daerah tentang asuransi TKI agar memihak TKI. Adapun gagasan advokasi Kaminski dan Walmsley (1995) memiliki kesamaan definisi dengan gagasan advokasi Ashman dan Grafton (2006) yang menyebutkan bahwa
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
advokasi adalah peran makro yang dijalankan oleh pekerja sosial untuk dapat menyentuh sistem makro. Terjadi kesesuaian terhadap kedua gagasan ini karena ‘kebijakan’ pada gagasan Kaminski dan Walmsley adalah dapat disamakan dengan ‘sistem makro’ pada gagasan Ashman dan Grafton. Dalam menjalankan kerja advokasi yang terbagi kedalam empat bentuk yakni advokasi klien, advokasi masyarakat, advokasi legislatif, dan advokasi kebijakan. Migrant Institute telah membaginya kedalam dua tim: tim crisis center dan tim advokasi kebijakan. Tim Crisis Center mempunyai fungsi sebagai pusat informasi dan pengaduan TKI. Tim advokasi kebijakan memiliki fungsi mempengaruhi proses pembuatan kebijakan yang ada ditingkat daerah maupun nasional terkait perlindungan TKI. Berikut rincian kerja-kerja advokasi Migrant Institute yang sesuai dengan gagasan Schnaider dalam Edi Suharto yang telah membagi kerja advokasi ke dalam empat jenis yakni advokasi klien, advokasi masyarakat, advokasi lagislatif, dan advokasi administratif :
Advokasi Klien Pelaksanaan advokasi klien terlihat dalam program penerimaan pengaduan. Advokasi klien adalah fungsi advokasi utama yang dijalankan Migrant Institute dibanding fungsi advokasi lain. Dalam program penerimaan pengaduan, kasus yang sering masuk adalah terkait asuransi TKI, kekerasan fisik, kekerasan psikologis, pelecehan seksual, kerja melebihi perjanjian, perdagangan manusia dan hilang kontak. Program penerimaan pengaduan pada akhirnya dapat dikategorikan sebagai advokasi klien karena memiliki kesesuaian definisi advokasi klien yang dipaparkan Schneider dalam Edi Suharto (2004) bahwa advokasi klien (Client advocacy) adalah advokasi yang mencoba membantu klien tentang bagaimana klien berjuang memenangkan pertarungan terhadap hak-haknya dalam sebuah sistem sosial. Kasus klien yang diterima melalui program penerimaan pengaduan selanjutnya diadvokasi dalam bentuk bantuan hukum dan dibantu melalui kerja-kerja media. Adapun penanganan kasus melalui bantuan hukum tidak dilaksanakan Migrant Institute sendiri, melainkan melalui kerjasama dengan LBH (Lembaga Bantuan Hukum). Hal tersebut dikarenakan Migrant Institute belum memiliki sumber daya manusia yang ahli dibidang hukum. Salah satu contoh adalah saat menangani kasus trafficing klien di Bima, Migrant Institute melakukan kerja-kerja bantuan hukum bekerja sama dengan LBH Medan. Adapun penanganan kasus melalui kerja-kerja media dengan cara mengeluarkan press
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
release ke publik sehingga memungkinkan untuk memunculkan kembali kasus klien yang telah lama tenggelam. Hal tersebut berdampak kasus tidak akan dilupakan pemerintah dan dapat segera di follow-up kembali. Umumnya isi advokasi menggunakan media akan memunculkan kalimat-kalimat pernyataan kekecewaan terhadap pemerintah, lembaga, atau sistem. Seperti kalimat berikut “Pelayanan BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI) macet, pemerintah tidak berpihak.”
Advokasi Masyarakat Advokasi masyarakat yang dilakukan oleh Migrant Institute memiliki dua fokus kerja yakni memberikan informasi terkait TKI dan memfasilitasi masyarakat untuk bertemu para pemangku kebijakan untuk membahas perlindungan TKI. Dua fungsi ini jika dirujuk pada definisi advokasi masyarakat milik Scneider dalam Edi Suharto (2004) yang memaparkan bahwa advokasi masyarakat adalah kerja advokasi yang memiliki fokus membantu klien individu dan keluarga dalam memperoleh pelayanan. Maka definisi ini memiliki kesesuaian dengan pelaksanaan advokasi masyarakat di Migrant Institute. Sesuai karena program kerja advokasi masyarakat di Migrant Institute fokusnya bukan lingkup individu sebagaimana program advokasi klien melainkan fokusnya adalah individu, keluarga, dan masyarakat. Sesuai juga dalam hal tujuan memperoleh pelayanan karena program advokasi masyarakat mencoba mengedukasi para TKI dan keluarganya untuk tau cara memperoleh pelayanan serta memfasilitasi kedekatan para pemangku kebijakan dengan masyarakat sehingga akses pelayanan dapat dirasakan dan tidak ada kesenjangan. Pada pelaksanaannya fungsi advokasi masyarakat berdasarkan konsep Schneider diturunkan oleh Migrant Institute ke dalam beberapa program kerja sebagai berikut: Save Migration : Merupakan suatu kegiatan advokasi masyarakat melalui pemberian informasi kepada para TKI, keluarganya, dan masyarakat terkait migrasi yang aman: pemberangkatan keluar negeri yang aman, menjadi TKI yang legal, cara melakukan pengaduan kasus selama bekerja, dan hak-hak seorang TKI. Save Migration dikategorikan sebagai advokasi masyarakat karena menjalankan fungsi edukasi bagi TKI. Adapun bentuk edukasi save migration yang dilakukan tidak hanya dalam bentuk penyuluhan, Migrant Institute pun membagikan buku panduan yang dibuat sendiri terkait migrasi yang aman. Buku yang dibuat dalam
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
bentuk buku saku sehingga dapat dibawa dengan mudah oleh para TKI. Pelatihan Paralegal : Merupakan sebuah program pelatihan untuk para relawan yang nantinya akan membantu kerja-kerja Migrant Institute dalam memberikan informasi dan menangani kasus yang dialami TKI. Hal yang dibahas selama pelatihan meliputi penjabaran masalah TKI, peran paralegal dalam perlindungan TKI, dan latihan penanganan kasus. Pelatihan paralegal dikategorikan sebagai advokasi masyarakat karena melalui pelatihan ini secara tidak langsung membantu penyebaran isu perlindungan TKI kepada masyarakat yang lebih luas. Serta mengajak masyarakat untuk turut serta membantu permasalahan TKI secara langsung dengan menjadikan diri mereka sebagai paralegal. Dialog Publik : Adalah bentuk advokasi masyarakat dengan mempertemukan para pemangku kebijakan dengan para TKI, keluarganya, dan masyarakat di daerah kantong-kantong TKI. Melalui program ini diharapkan pemerintah tidak melupakan TKI di daerahnya yang terpencil dan memfasilitasi sampainya aspirasi masyarakat terkait kebijakan perlindungan TKI.
Advokasi Lagislatif Advokasi legislatif Migrant Institute adalah advokasi yang berfungsi mempengaruhi proses pembuatan kebijakan agar berpihak pada perlindungan TKI. Hal ini sesuai dengan definisi advokasi legislatif (legislative advocacy) yang digagas oleh Schnaider dalam Edi Suharto (2004) bahwa advokasi jenis ini adalah advokasi yang biasannya dilakukan untuk mempengaruhi proses pembuatan suatu undang-undang. Dalam melakukan advokasi legislatif, Migrant Institute melakukannya dengan membentuk aliansi. Salah satu contohnya adalah dengan bergabung dalam JARI (Jaringan Advokasi Revisi UU 39). Contoh advokasi legislatif yang pernah ditangani adalah pengawalan revisi UU No.39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. Dalam Undang-Undang tersebut Migrant Institute ingin mengubah substansi dari komodifikasi proses perdagangan buruh migran menjadi ke perlindungan buruh migran karena hampir seluruh isi di Undang-Undang tersebut lebih mengatur pada tata niaga daripada perlindungan buruh migran. Contoh lain adalah saat melakukan pengawalan kebijakan tentang asuransi. Migrant Institute mencoba mendorong kebijakan asuransi agar asuransi dapat dikelola oleh pemerintah dibandingkan pihak swasta. Dengan harapan asuransi bisa lebih pro kepada TKI karena banyak TKI yang kesulitan mengambil uang asuransinya di
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
lembaga swasta. Pada tingkat daerah, advokasi legislatif yang dilakukan salah satunya adalah pengawalan kebijakan di Perda Brebes tentang tata kelola buruh migran. Migrant Institute mencoba memperjuangkan penundaan pengesahan perda tersebut. Namun karena kurang penanganan serius maka perda terlanjur disahkan. Hal yang coba diadvokasi adalah penundaan pengesahan Perda karena bagaimana Perda bisa disahkan sementara payung hukum di tingkat nasional yang memiliki pengaruh besar di Perda masih belum siap sehingga memberikan peluang pelaksanaan dilapangan yang membingungkan karena tidak ada kesesuian Perda dengan Kebijakan Nasional dan juga jika dipaksakan segera diketok hanya akan menghabiskan anggaran daerah. Salah satu yang menjadi contoh permasalahan di Perda itu adalah bahwa Perda mencoba untuk mewajibkan PJTKI memiliki cabang di tiap daerah sedangkan kebijakan di tingkat nasional tidak mengharuskan PJTKI wajib membuat cabang di tiap daerah. Langkah taktis advokasi legislatif yang dilakukan oleh Migrant Institute dapat dengan mendatangi langsung lembaga terkait, melalui kerja-kerja media dengan memberikan kritik saat ada kebijakan yang tidak memihak perlindungan TKI namun juga dibarengi dengan apresiasi saat ada kebijakan yang memihak perlindungan TKI, jika seluruh sarana advokasi legislatif ditutup maka Migrant Institute akan melakukan aksi demonstrasi, salah satunya adalah saat May Day. Terkait langkah taktis melalui media, yang disayangkan adalah pada pelaksanaannya Migrant Institute masih belum bisa menjadi leader opinion karena umurnya yang masih dikatakan muda.
Advokasi Administratif Advokasi administratif adalah advokasi yang diberikan kepada klien saat mengalami kesulitan mekanisme administrasi pada sistem yang lebih besar. Permasalahan mekanisme administratif yang dimaksud adalah ketika TKI mengalami penolakan atau diputar-putar saat masuk ke dalam lembaga pemerintah dan lembaga lainnya karena intelektualitas TKI rendah sehingga cenderung mengalami pelayanan lama bahkan penolakan. Jika TKI memahami alur dan dasar hukum yang benar pastinya tidak akan mudah untuk mengalami penolakan seperti itu dan disinilah tugas Migrant Institute dalam advokasi administratif untuk membantu memberikan mekanisme alur yang tepat bahkan menjadi pendamping yang membantu TKI mendapatkan pelayanan. Jika dikaitkan dengan gagasan Schnaider dalam Edi Suharto (2004) akan ditemukan kesesuaian karena definisi advokasi administratif adalah advokasi yang mencoba untuk
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
memperbaiki atau mengoreksi keluhan-keluhan administratif dan mengatasi masalahmasalah administratif. Umumnya advokasi administratif dilakukan dengan pelayanan langsung individu per individu atau melalui bentuk sosialisasi masyarakat.
Unsur faith pada program advokasi TKI Program advokasi menggunakan cara pandang Islamic Advocacy
Dalam menjalankan kerja-kerja advokasi, Migrant Institute mencoba mengadopsi konsep islamic advocacy yang coba diwariskan salah satu mantan petinggi Dompet Dhuafa. Adapun hal-hal yang penting dalam konsep tersebut adalah sebagai berikut: Migrant Institute sebagai NGO FBOs diharapkan dalam melakukan advokasi melihat pemerintah bukan sebagai opponent melainkan sebagai kawan yang sama-sama memperjuangkan perlindungan TKI. Konsep islamic advocacy mengajak Migrant Institute untuk lebih berhati-hati dalam melakukan kritik kepada pihak yang menjadi sasaran advokasi. Sebisa mungkin tidak melakukan tuduhan tanpa bukti. Apa yang disampaikan harus sudah terbukti kebenarannya. Serta saat mengkritik sebisa mungkin tidak menunjuk kesalahan sebuah kebijakan secara person melainkan selalu impersonal pada jabatannya. Prinsip selanjutnya dalam islamic advocacy adalah dalam memberikan kritik sebisa mungkin tidak berorientasi pada kejatuhan nama orang yang kita kritik. Inti dari prinsip ketiga ini adalah mengajak untuk mengerjakan advokasi yang tidak hanya berorientasi hasil tetapi juga proses yang baik. Hal ini juga memiliki hubungan jika dikaitkan dengan konsep dasar individu secara psikologis. Bahwa individu justru akan cenderung tertutup ketika terjadi kritikan terlebih kritikan yang menuding tanpa bukti. Maka penting dilakukan kerja-kerja advokasi dengan prinsip yang seimbang yakni advokasi konstruktif. Adapun mengapa Migrant Institute menggunakan islamic advocacy sebagai metode advokasinya karena memang NGO FBOs cenderung akan menjalankan proses advokasi yang sesuai dengan unsur faith yang mereka percayai sebagai sebuah kebenaran. Ini adalah hal yang wajar yang terjadi di NGO FBOs. Graddy (2006) telah menerangkan bahwa para pengurus yang bekerja di NGO FBOs tidak melihat pekerjaan
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
mereka sebagai sebuah kerja-kerja pemberian pelayanan biasa tapi mereka juga menganggap kerja-kerja mereka adalah kerja-kerja pendeta, sebuah panggilan keagamaan.
Unsur Faith dalam Motivasi Internal Pengurus Migrant Institute Ferris (2005) melihat bahwa FBOs dalam melakukan kerja-kerja kemanusiaan tidak hanya termotivasi oleh rasa kasih sayang sesama manusia tetapi juga ada dorongan keimanan dari unsur faith agama yang mereka anut. Adapun ciri yang dipaparkan Ferris (2005) terkait FBOs ini telah ditemukan di program advokasi di Migrant Institute. Di Migrant Institute motivasi internal dalam melakukan advokasi tidak sekedar kemanusiaan saja tetapi memiliki niatan keberimanan (faith) yakni untuk berdakwah. Motivasi faith dalam bentuk dakwah ini pada akhirnya membuat kerja-kerja advokasi para pengurus lebih memiliki komitmen jangka panjang dalam memberikan pelayanan advokasi. Etindi (1999) dalam Graddy (2006) sudah mencoba melihat fenomena ini bahwa unsur faith pada umumnya mampu membuat individu memiliki komitmen lebih lama, lebih panjang dalam melakukan kontribusi pemberian pelayanan hingga terjadi perubahan yang diinginkan. Di Migrant Institute sendiri, perubahan jangka panjang yang diinginkan dalam capaian faith adalah adanya perbaikan spiritual pada diri klien. Lebih lanjut secara sistem yang lebih besar, Migrant Institute berharap masyarakat Indonesia menjadi lebih mandiri kedepannya sehingga tidak perlu lagi bekerja menjadi TKI di bidang penata letak rumah tangga karena menjadi TKI lebih banyak resiko negatif yang akan dialami TKI daripada keuntungan yang didapat. TKI sendiri yang berangkat keluar negeri mayoritas adalah perempuan. Migrant Institute sebagai FBOs Islam melihat pemberangkatan TKI yang mayoritas perempuan adalah permasalahan yang serius. Bagi Migrant Institute, perempuan lebih baik tidak berada sangat jauh dari keluarganya dengan berbagai pertimbangan keamanan. Migrant Institute pun melihat bahwa perempuan yang bekerja keluar negeri dengan meninggalkan anak serta suami justru menimbulkan permasalahan sosial yang lebih kompleks seperti perceraian suami istri akibat relasi yang menjadi jauh dan kondisi anak yang menjadi tidak terurus akibat Ibu bekerja. Jika ditelaah lebih lanjut, cara pandang Migrant Institute dalam melihat TKI perempuan ini banyak dipengaruhi oleh unsur faith Islam yang menganjurkan seorang perempuan baiknya tidak keluar dalam jarak jauh tanpa murhim. Menurut Ferris, cara pandang ini adalah cara pandang yang wajar dan pasti umum ditemukan di NGO FBOs yang dalam kerja-kerjanya secara sering dan eksplisit akan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
mereka sebagai arah gerak.
Faktor Pendukung dan Penghambat Advokasi TKI Faktor Pendukung Advokasi TKI Pertama, adanya kondisi pengurus yang memiliki pemahaman TKI dan advokasi. Di Tim Crisis Center ada pengurus yang memang merupakan mantan TKI yang juga pernah menjadi korban. Hal ini membuat pemahaman pengurus akan TKI tidak sekedar yang di dapatkan melalui buku-buku tetapi juga melalui fakta langsung yang pernah dirasakan. Kedua, adanya jaringan nasional yang sudah terjalin luas meliputi pihak government dan non-government. Jika merujuk pada pembahasan sebelumnya bahwa dalam melihat pemerintah, Migrant Institute tidak melihatnya sebagai opponent, sehingga berdampak baiknya hubungan dengan pemerintah dan memberi kemudahan saat menjalankan tugas-tugas advokasi. Ketiga, adanya nama Dompet Dhuafa sebagai penaung Migrant Institute membuat Migrant Institute lebih mudah untuk dikenal oleh masyarakat. Ke-empat, adanya fasilitas yang lengkap yang dimiliki oleh kantor. Sebagaimana kita ketahui bahwa fasilitas kantor yang mendukung akan sangat berpengaruh pada kecepatan kerja-kerja pengurus.
Faktor Penghambat Advokasi TKI Faktor Penghambat Internal Adapun faktor penghambat internal yang menghambat kerja-kerja advokasi meliputi minimnya sumber daya manusia secara kuantitas, pelayanan yang kurang ramah membuat hubungan advokasi antara pengurus dan klien tidak baik, Dompet Dhuafa yang kurang melakukan pemberian supervisi kepada Migrant Institute membuat Migrant Institute seperti berjalan sendiri tanpa mendapatkan bantuan, kondisi tim advokasi yang kurang sigap dalam menjemput kasus-kasus TKI sehingga masih sedikit kasus yang memiliki dampak pada kebijakan, kemampuan manajemen follow-up relawan yang kurang maksimal membuat para relawan di tiap daerah kantong-kantong TKI menghilang.
Faktor Penghambat Eksternal
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
Faktor yang menjadi penghambat eksternal adalah, pertama adanya medan advokasi yang jauh dan belum terbangun yakni kondisi wilayah yang diadvokasi terkadang berjauhan, terpencil, jalanan rusak, sehingga berdampak sulit untuk di cari. Kedua Migrant Institute yang masih sedikit memiliki cabang di negara yang tinggi kasus TKI seperti Malaysia dan di Timur Tengah. Ketiga, dokumen dari klien yang kurang lengkap berpotensi menghambat proses advokasi semakin sulit untuk terselesaikan. Keempat, pihak pemerintah yang kurang kooperatif berpotensi membuat kerja-kerja advokasi lama untuk selesai bahkan terancam untuk tidak selesai.
Kesimpulan Migrant Institute sebagai NGO berbasis Faith Based Organizations yang bergerak dibidang advokasi TKI telah menjalankan pelayanan advokasi yang tidak hanya memaknai advokasi pada pembelaan hukum yang dilakukan dipengadilan saja sebagai ciri khasnya. Namun telah menjalankan advokasi pada empat jenis advokasi yakni advokasi klien, advokasi masyarakat, advokasi legislatif, dan advokasi administratif. Adapun unsur faith yang terkandung dalam program advokasi TKI dapat dilihat melalui dua hal yakni cara pandang Migrant Institute melihat sistem makro dan melalui motivasi internal pengurus. Unsur faith yang terkandung dalam cara pandang Migrant Institute terlihat ketika digunakannya islamic advocacy dalam kerja-kerja advokasi. Terkait motivasi internal pengurus yang memiliki unsur faith, pengurus menjadikan dakwah sebagai motivasi internal mereka. Faktor pendukung dalam pelaksanaan advokasi TKI ada empat faktor. Pertama, adanya kondisi pengurus yang memiliki pemahaman akan TKI dan advokasi. Kedua, adanya jaringan nasional yang sudah terjalin luas. Ketiga, adanya nama Dompet Dhuafa sebagai yang menaungi Migrant Institute membuat lembaga ini lebih mudah untuk dikenal oleh masyarakat. Dan ke-empat adanya kelengkapan fasilitas kantor. Faktor penghambat dalam pelaksanaan advokasi TKI dapat dilihat melalui dua hal yakni faktor penghambat internal dan faktor penghambat eksternal. Faktor penghambat internal meliputi minimnya sumber daya manusia secara kuantitas, pelayanan yang kurang ramah, minimnya supervisi dari Dompet Dhuafa kepada Migrant Institute, tim advokasi yang belum terlalu sigap dalam menjemput kasus dan kemampuan manajemen follow-up relawan yang kurang maksimal membuat para relawan di tiap daerah kantong-kantong TKI menghilang. Faktor penghambat eksternal yang mempengaruhi program advokasi TKI Migrant
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
Institute adalah adanya medan advokasi yang jauh dan belum terbangun, cabang Migrant Institute yang masih sedikit, dokumen dari klien yang kurang lengkap berpotensi menghambat proses advokasi semakin sulit terselesaikan, dan pihak pemerintah yang kurang kooperatif berpotensi membuat kerja-kerja advokasi lama untuk selesai bahkan terancam untuk tidak selesai.
Saran Perlu ada penambahan dan pemilihan pengurus yang tepat. Khususnya pengurus yang memiliki latar belakang pendidikan Hukum, Kesejahteraan Sosial, dan Psikologi. Latar belakang pendidikan hukum untuk membantu pelaksanaan advokasi bantuan hukum. Latar belakang pendidikan Kesejahteraan Sosial untuk membantu kerja-kerja advokasi baik dilevel mikro (klien) maupun makro (kebijakan). Latar belakang psikologi untuk menangani advokasi klien yang memiliki gangguan depresi, korban kekerasan fisik, psikologi, pelecehan seksual, dsb. Adanya kondisi tim advokasi TKI yang kurang mampu menjemput kasus dan kondisi lembaga yang belum mampu menjadi opinion leader menjadikan sebuah pelatihan manajemen isu, strategi advokasi, dan pelatihan tentang perencanaan advokasi penting untuk dilakukan. Adanya ketidakpuasan klien terkait pelayanan Migrant Institute yang kurang ramah dan tidak maksimal, maka menjadi penting untuk dibuat pelatihan soft skill sehingga para pengurus dapat bekerja lebih profesional dalam pemberian layanan. Terdapat keluhan pengurus terkait minimnya kedekatan dan supervisi yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa sehingga perlu ada pengkomunikasian terhadap hal ini melalui Direktur Eksekutif sebagai fasilitator sehingga dapat tercipta kembali relasi yang baik antara Migrant Institute dan Dompet Dhuafa. Adanya penurunan jumlah pos informasi dan pengaduan TKI membuat pentingnya meningkatkan kembali loyalitas relawan melalui pembuatan sistem manajemen relawan yang didalamnya berisi strategi rekruitmen relawan, pelatihan relawan, serta konsep monitoring dan evaluasi relawan. Adanya sikap pemerintah yang kurang kooperatif sehingga menghambat kerjakerja advokasi dapat diatasi dengan terus menjalin relasi kepada pemerintah namun tetap bersikap tegas ketika ada pelayanan pemerintah yang tidak memuaskan.
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
Daftar Pustaka Buku Ashman, K. K., & Hull, G. H. (2006). Generalist Practice With Organizations and Communities. United States of America: Thomson Brooks. Creswell, J. W (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. SAGE Publications Kaminski, L & Walmsley, C. (1995). The Advocate Brief: A Guide for Social Workers. The Social Worker. Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan. (2002). Buruh Migran Indonesia : Penyiksaan Sistematis di dalam dan di luar negeri. Jakarta: Komnas Perempuan. Mufti, A. (2013). Grafik Data Kemiskinan Indonesia. Jakarta: BPS RI. Neuman, W. L. (2006). Social Research Methods : Qualitative and Quantitative Approaches. Sydney: Pearson International Edition. Schneider, R.L. & Lester, L. (2001). Social Work Advocacy: A New Framwork for Action. Belmont, CA: Brooks/Cole Thomson Learning. Sharma, R. R. (2003). An Introduction to Advocacy Training Guide. DKI Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suharto, E. (2004). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama. Zastrow, C. (1982). Introduction to social welfare institutions: Social problems, services, and current issues. United States: Dorsey Press.
Jurnal Ilmiah Ferris, E. (2005, Juni). Faith Based and Secular Humanitarian Organizations. Internasional Review of The Red Cross, hal. 311. Graddy, E. A. (2006). Faith-Based Versus Secular Providers of Social Services Differences in What, How, and Where. JHHSA Winter 2006 , 309-330.
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014
Publikasi Elektronik Suhendratio, H. (2005, Mei 12). Detik News. Diambil kembali dari news.detik.com: HYPERLINK "http://news.detik.com/read/2005/05/12/153910/359925/10/indonesia-jadi-juaradunia-pemasok-tenaga-kerja-kasar" http://news.detik.com/read/2005/05/12/153910/359925/10/indonesia-jadi-juaradunia-pemasok-tenaga-kerja-kasar
PAGE \* MERGEFORMAT 110 Universitas Indonesia
EMBED Excel.Chart.8 \s
Program advokasi..., Dian Setyawati, FISIP UI, 2014