TRANSFORMASI ORGANISASI PENGELOLA ZAKAT DI INDONESIA (Studi Kasus Dompet Dhuafa dan BAZNAS)
SYAIFUL BAHRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Transformasi Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia (Studi Dompet Dhuafa dan BAZNAS) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Syaiful Bahri NIM I353110141
RINGKASAN SYAIFUL BAHRI. Transformasi Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia (Studi Kasus Dompet Dhuafa dan BAZNAS). Dibimbing oleh TITIK SUMARTI and SAHARUDDIN. Penelitian ini bertujuan mengkaji tiga hal/ isu, yaitu (1) mengetahui proses transformasi pengelolaan zakat di Indonesia, (2) mengkaji pengorganisasian dan program pengelolaan zakat Dompet Dhuafa dan BAZNAS dan (3) mengetahui pandangan masyarakat mengenai Dompet Dhuafa, BAZNAS dan Organisasi Pengelola Zakat Modern. Penelitian ini bermaksud untuk meneliti dinamika pengelolaan zakat dan organisasinya dengan menghimpun data untuk mengambil makna dan pemahaman dari proses transformasi nilai dan struktur, serta perkembangan pengorganisasian dan program pengelolaan zakat Dompet Dhuafa dan BAZNAS. Oleh Karena itu dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah Historical organization case studies, yaitu memusatkan perhatian pada organisasi tertentu sejak awal pertumbuhannya dan Life History, yaitu menekankan perhatian pada peristiwa yang menyangkut riwayat hidup seseorang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah (1) snowball sampling (2) wawancara mendalam, (3) Sosio dan Life History, (4) analisis dokumen, dan (5) kuesioner. Penelitian ini meneliti mengenai organisasi pengelola zakat, yaitu Dompet Dhuafa dan BAZNAS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengelolaan zakat di Indonesia melalui era kesultanan Islam hingga reformasi menunjukkan bahwa dinamika pengelolaan zakat berkembang yang pada awalnya dikelola Negara, kemudian dikelola lokal oleh masyarakat hingga pada saat ini perpaduan dari keduanya, yaitu sinergi pengelolaan zakat oleh Negara dan masyarakat. Proses transformasi pengelolaan zakat terjadi pada peralihan orde baru menuju reformasi, yang diawali lahirnya Dompet Dhuafa, berdirinya Forum Zakat (FOZ), disahkannya UU pengelola zakat Tahun 1999 dan lahirnya BAZNAS pada tahun 2001. Proses transfornasi pengelolaan zakat dapat dikaji dari dua dimensi, yaitu transformasi nilai berupa pembaharuan konsep/ fikih zakat dan transformasi struktur berupa perubahan pelaku pengelola zakat, relasi antar pelaku dan aturannya. Transformasi pengelolaan zakat berimplikasi pada perkembangan pengorganisasian dan program pengelolaan zakat Dompet Dhuafa dan BAZNAS. Walaupun begitu pengelolaan zakat tradisional tetap berjalan karena telah mengakar dan melekat pada masyarakat. Perkembangan pengorganisasian Dompet Dhuafa lebih luwes baik secara struktur maupun strategi organisasi. Sedangkan BAZNAS yang merupakan organisasi bentukan pemerintah perkembangan organisasinya tergantung pada perkembangan regulasi (UU pengelola zakat). Dalam menerapkan strategi pemberdayaan dan partisipasi masyarakat melalui program pengelolaan zakat, Dompet Dhuafa lebih baik dibandingkan BAZNAS. Pemberdayaan yang Dompet Dhuafa melalui program pengelolaan zakatnya lebih menjangkau jejaring masyarakat lokal. Hal ini sejalan dengan pandangan masyarakat yang lebih percaya terhadap kredibilitas Dompet Dhuafa dibandingkan dengan BAZNAS. Oleh karena itu transformasi pengelolaan zakat yang mengarah pada pola pengorganisasian modern dan strategi pemberdayaan pada program pengelolaan zakat harus tetap membangun jejaring kemitraan yang menjangkau masyarakat lokal, masjid, dan pesantren sehingga pengelolaan zakat modern dan tradisional dapat bersinergi untuk optimalisasi pengelolaan zakat di Indonesia. Key Words : Zakat, Transformasi Organisasi Pengelola Zakat, Pengelolaan Zakat
SUMMARY SYAIFUL BAHRI. Transformation of Zakat Institution in Indonesia (A Case Study Dompet Dhuafa and BAZNAS). Supervised by TITIK SUMARTI and SAHARUDDIN. The purpose of this study is to discuss about 3 issues, namely (1) knowing the process of the zakat management transformation in Indonesia, (2) reviewing the organization and the programs of zakat management of DompetDhuafa and BAZNAS and (3) to know the public’s view about Dompet Dhuafa, BAZNAS and modern zakat management organizations. This study is intended to research the dynamics of zakat management and its organizations by collecting data to recognize and understand the points and the structures of transformation process, and also the development of zakat management organization and programs of Dompet Dhuafa dan BAZNAS. Therefore, this study uses qualitative approach. The research strategy used is case studynamedHistorical organization case studies which emphasizes on certain organizations since the initial growth and Life History, which emphasizes on the events involving someone’s history. The data collectingtechnique used in this study is (1) snowball sampling (2) in-depth interview, (3) Socio dan Life History,(4) document analysis, and (5) questionnaire. This study researches about zakat management organizations, i.e. DompetDhuafa and BAZNAS. The study result shows that the zakat management development through the Islamic sultanate era into the Reform Order show that the dynamics of zakat management At first managed by Islamic sultanate, then on colonial era managed by local community and now zakat managed by the synergy of government and local community. The zakat management transformation process occurred on the transition of the New Order to the Reform Order, which is started by the foundation of DompetDhuafa, Forum Zakat (FOZ), the legitimation of Zakat Management Act of 1999 and the establishment of BAZNAS in 2001. The zakat management transformation process can be viewed in 2 dimensions, i.e. the value transformation in the form of concept renewal/ fikih zakat and the structure transformation in the form of zakat organizer changes, the relationships between the zakat executants and the rules. The zakat management transformation influences the developments of zakat management organizations and programs of DompetDhuafa and BAZNAS. Nevertheless, the traditional zakat organizations still exist because several people have clung to it. The development of DompetDhuafa organization is more elegant and better both in the structure and strategy, whereas the development of BAZNAS, which is a state-owned organization, depends on the state regulations (Zakat management Act). In applying the strategy of people empower and participation through the zakat management programs, Dompetdhuafa is better than BAZNAS. The people empowerment of DompetDhuafa through its zakat management programs reaches more locals. This is in step with the public view which believes more in the credibility of DompetDhuafa rather than BAZNAS. Therefore, the zakat management transformation which is directed to the pattern of modern organization and empowerment strategy on the zakat management programs must stick to the building of the partnerships which reach locals, mosques, and Islamic boarding schools so that the modern and traditional zakat management can be in a synergy to optimize the zakat management in Indonesia. Key Words : Zakat, Zakat management, Transformation of Zakat menagement
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
TRANSFORMASI ORGANISASI PENGELOLA ZAKAT DI INDONESIA (STUDI KASUS DOMPET DHUAFA DAN BAZNAS)
SYAIFUL BAHRI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji luar komisi pada ujian Tesis: Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MScAgr
Judul Tesis : Transformasi Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia (Studi Kasus Dompet Dhuafa dan BAZNAS) Nama : Syaiful Bahri NIM : I353110141
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Titik Sumarti, MS Ketua
Dr Ir Saharuddin, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 28 Agustus 2015
Tanggal Lulus: 15 September
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Alhamdulillahhirabbil’alamin penelitian tesis dengan judul Transformasi Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia (Studi Kasus Dompet Dhuafa dan BAZNAS) dapat diselesaikan sebagai syarat mendapat gelar akademik. Berkat motivasi dan doa yang selalu dipanjatkan Istri (Akmalya Chairunnisa, anak (Fatih Karim El Bahri), kedua orangtua (Nurhimam, SH dan Darsih Suprihatin, SH) serta Iim Za’imah (Kakak) yang selalu mendorong dan menginspirasi penulis dalam menjalani kehidupan dan selama proses belajar di dunia akademik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Titik Sumarti, MS dan Bapak Dr. Ir. Saharuddin, MS selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Arya H Dharmawan, M.ScAgr yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof. KH Didin Hafidhuddin selaku ketua Umum BAZNAS, Bapak Ahmad Juwaini selaku Presiden Direktur Dompet Dhuafa, Sdr. Adi selaku Staf CORSEC Dompet Dhuafa. Juga, ucapan terima kasih penulis sampaikan pada: 1. Ketua dan Wakil Ketua Program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan, Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MscAgr dan Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA beserta jajarannya, atas dorongan, semangat dan layanan akademiknya yang diberikan. 2. Dekanat Fakutas Ekologi Manusia IPB beserta jajarannya, atas layanan akademik. 3. Keluarga utan kayu Papa, Mama, Dienel, Uca, Da’Inal, Kak Ulan, Keisha dan Khansa 4. Teman-teman mahasiswa S2; Mas Amir, Bang Dony, Mas Syahdin, Risman, Mbak Elok, Uni Nining, Icha, Mbak Melly, Prima, Rai, Riri, Isma dan Mei, atas diskusi, berbagi cerita dan pengalaman serta saling dukung selama proses belajar di Sosiologi Pedesaan. 5. Teman-teman BAZNAS dan Dompet Dhuafa Ery, Iman, Kamal, Dimas, Tika dll 6. Teman-teman Kostan Al Fath Irfan, Aan, Ary, Osi, Ardy, Fajar, Sigit dll 7. Guru dan Teman-Teman Pasca IPB, Pak Eno, Kang Aji Winara, Budiyoko, Jamal, Pak Siddik, Kang Opik, dll
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015 Syaiful Bahri
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR MATRIKS
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 5 Kegunaan Penelitian 6 Ruang Lingkup Penelitian 6 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsepsi Zakat, Infak dan Sedekah 6 Organisasi dan Transformasi 8 Pemberdayaan, Partisipasi dan Kemitraan 11 Kerangka Pikir 13 3 METODE PENELITIAN Pendekatan dan Strategi Penelitian 14 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data 14 Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian 15 Teknik Pengolahan Data 15 4 PROFIL DOMPET DHUAFA DAN BAZNAS 17 5 TRANSFORMASI PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA Sejarah Perkembangan Pengelolaan Zakat di Indonesia 21 Proses Transformasi Pengelolaan Zakat di Indonesia 25 Ringkasan: Dimensi Nilai dan Struktur pada Transformasi Pengelolaan Zakat di Indonesia 32 6 POLA PENGORGANISASIAN DAN PROGRAM PENGELOLAAN ZAKAT: DOMPET DHUAFA DAN BAZNAS Pola Pengorganisasian dan Program Pengelolaan Zakat Dompet Dhuafa 36 Pola Pengorganisasian dan Program Pengelolaan Zakat BAZNAS 50 Perbandingan Pengorganisasian dan Program Pengelolaan Zakat Dompet Dhuafa dan BAZNAS 63 7 HASIL TRANSFORMASI: PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP ORGANISASI PENGELOLA ZAKAT Pandangan Masyarakat mengenai Dompet Dhuafa dan BAZNAS 66 Pandangan Masyarakat mengenai Pentingnya OPZ dikelola Profesional dengan Strategi Pemberdayaan 68 8 PROSES DAN ARAH TRANSFORMASI PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA 70 9 SIMPULAN DAN SARAN 74 DAFTAR PUSTAKA 75 RIWAYAT HIDUP 79
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
Transformasi Nilai Pengelolaan Zakat: Pembaharuan Konsep Zakat Tahapan Pendayagunaan Zakat Transformasi Struktur Pengelolaan Zakat Ekspansi Organisasi: Pembukaan Kantor Cabang dan Perwakilan Dompet Dhuafa Inovasi Organisasi: Pengembangan Jejaring Organ Dompet Dhuafa Unit Usaha Social Enterprise Dompet Dhuafa Perkembangan Pola dan Strategi Pengimpunan Dompet Dhuafa Sumber Informasi Masyarakat mengenai BAZNAS dan Dompet Dhuafa
33 34 35 39 40 41 43 67
DAFTAR MATRIKS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Metode Pengumpulan Data Aspek-Aspek Era Pengelolaan Zakat di Indonesia Fase-Fase Pendayagunaan Dana ZIS Dompet Dhuafa Fase Charity dan Kebermanfaatan Program Pendayagunaan Dompet Dhuafa Fase Transformasi Program Pendayagunaan Dompet Dhuafa Fase Advokasi Program Pendayagunaan Dompet Dhuafa Fokus BAZNAS Pada Tahun 2003-2010 Perkembangan Pola dan Strategi Pendayagunaan BAZNAS Perbandingan Pengorganisasian Dompet Dhuafa dan BAZNAS Kepercayaan Masyarakat terhadap Dompet Dhuafa dan BAZNAS Indikator Pentingnya OPZ Dikelola Profesional dan Modern Pandangan Masyarakat terhadap Keberadaan OPZ Perbandingan Pengorganisasian Zakat Tradisional, BAZNAS dan Dompet Dhuafa
16 31 46 47 48 49 51 60 63 68 69 70 72
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kerangka Pikir Proses Transformasi Organisasi Pengelola Zakat Perkembangan Organisasi Dompet Dhuafa Tahun 1994-2014 Perubahan Logo Dompet Dhuafa Penghimpunan Dana ZIS Dompet Dhuafa Tahun 1999-2004 Penghimpunan Dana ZIS Dompet Dhuafa 2005-2013 Perkembangan Organisasi BAZNAS Tahun 2001-2014 Penggunaan Dana ZIS BAZNAS untuk Operasional Amil Penghimpunan Dana ZIS BAZNAS Tahun 2001-2003 Penghimpunan Dana ZIS BAZNAS Tahun 2004-2013 Kepercayaan Masyarakat terhadap Dompet Dhuafa dan BAZNAS Pandangan Masyarakat terhadap OPZ Modern
13 37 41 44 45 50 57 57 58 67 69
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Permasalahan Kemiskinan apabila dianalisa secara sosiologis dapat dilihat aspek kultural yang disebabkan oleh sikap, gaya hidup, nilai, orientasi sosial budaya seseorang atau masyarakat dan aspek struktural yang disebabkan struktur masyarakat yang tidak seimbang, baik dalam pemilikan ataupun pengelolaan sumberdaya, ketidakmerataan kesempatan berusaha, ketidaksamaan informasi atau akses terhadap sumberdaya, ataupun karena adanya kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada mereka (Sudjanto, Djoko, dan Hamdani 2009). Oleh karena itu dalam mengatasi kemiskinan kultural dan struktural diperlukan upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, etos kerja (terutama masyarakat tidak mampu) dan mewujudkan tatanan ekonomi yang melahirkan sistem distribusi kekayaan yang adil sehingga mendorong kepedulian orang kaya terhadap orang miskin. Zakat, infak dan sedekah (ZIS) merupakan instrumen dalam ajaran agama Islam untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan karena bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta menciptakan distribusi kekayaan yang adil antar orang kaya dan miskin. Esensi ZIS tertanam kuat pada ajaran agama Islam untuk memerintahkan manusia berbagi kesejahteraannya satu sama lain, seperti yang tertuang dalam kitab suci Al Qur’an (Az Zariyat: 19, At Taubah: 103, Ar Rum: 39) bahwa zakat, infak dan sedekah membersihkan harta dengan memberikan kepada masyarakat miskin sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu zakat dapat dijadikan salah satu alternatif dalam menyelesaikan kemiskinan di Indonesia. Apalagi ZIS merupakan sumber dana yang tidak akan pernah habis sehingga dapat menjadi modal dalam membiayai berbagai program dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan. Selama masyarakat yang beragama Islam memiliki kesadaran berzakat, infak, sedekah dan selama dana tersebut dikelola dengan baik maka dana zakat akan selalu ada sehingga dapat bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan dana zakat yang pada awalnya hanya menggunakan konsep charity seperti pembangunan fasilitas fisik peribadatan, pembiayaan penyiaran dan pendidikan agama seperti masjid, sekolah, rumah sakit dan asrama-asrama panti (Masudi, 1991 dan Miftah, 2005 dalam Malik, 2010) berkembang menjadi program yang lebih produktif dan inovatif dengan menggunakan strategi pemberdayaan sehingga lebih efektif dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan. Dari sinilah baik pengelolaan zakat maupun organisasi pengelola zakat yang menggunakan pendekatan strategi pemberdayaan menjadi booming dan terkenal karena mulai dirasakan pengaruhnya oleh masyarakat dan dapat berkontribusi lebih besar dan signifikan dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia. Pengelolaan zakat, infak dan sedekah di Indonesia telah ada semenjak Islam masuk di Indonesia, tetapi zakat masih dikelola secara lokal, belum terorganisir, terbatas dan kurang teratur. Masing-masing individu melaksanakan kewajiban zakat sesuai dengan pengetahuannya yang dimilikinya masing-masing. Pemberi zakat (muzakki) menyerahkan zakatnya
2 kepada orang-orang tertentu, seperti para penghulu, kyai, guru ngaji, ulama setempat tanpa melihat kelayakan mereka dalam menerima zakat (Nuskhi, 1995). Namun penggunannya bukan hanya untuk mustahik tetapi dominan digunakan untuk penunjang hidup para pengumpul zakatnya (Steenbrink dalam Malik 2010). Selain itu banyak masyarakat yang berkelebihan harta yang belum menyisihkan hartanya untuk zakat, infak dan sedekah karena kurang memiliki kesadaran, tidak memahami esensi kewajiban dan manfaat tentang zakat, infak, dan sedekah. Sejak reformasi dan berlakunya otonomi daerah partisipasi masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan, khususnya di bidang politik meningkat tajam sehingga pemerintah sadar bahwa pendekatan yang top-down dan sentralistik dalam pembangunan dan penanggulangan kemiskinan tidak efektif. Pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan dan pembangunan fisik memicu Friedman (1992) dalam mengkonsepsikan dua pergerakan alternatif, yaitu pembangunan tidak hanya sekedar berfokus pada pertumbuhan ekonomi demi kepentingan manusia dan terdapat batas-batas yang perlu diperhatikan dalam eksploitasi sumber daya alam dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Pemikiran ulang doktrin-doktrin tersebut yang memunculkan suatu solusi alternatif yang dikenal sebagai pemberdayaan masyarakat yang basisnya adalah partisipasi dari tiap masyarakat sehingga perbaikan kondisi kehidupan masyarakat dapat terpenuhi atas keberdayaan masyarakat itu sendiri. Sejalan dengan definise Ife (1995) mengenai pemberdayaan masyarakat, yaitu strategi/ upaya pemberian atau peningkatan kekuasaan kepada masyarakat untuk dapat berdaya, berinisiatif dan berpartisipasi aktif. Munculnya pemberdayaan masyarakat sebagai alternatif pembangunan membuka peluang lembaga-lembaga non pemerintah atau yang biasa disebut lembaga swadaya masyarakat untuk berperan serta dan mengambil bagian di dalamnya. Organisasi pengelola zakat, semenjak reformasi ikut menerapkan pemberdayaan masyarakat melalui program pengelolaan zakatnya. Selain itu organisasi pengelola zakat juga menerapkan prinsip pengorganisasian modern. Hal ini menurut Sudewo (2012) di awali semenjak lahirnya Dompet Dhuafa pada tahun 1993, yang menjadi pioneer mengelola zakat menggunakan prinsip organisasi modern dan strategi pemberdayaan pada program pengelolaan zakat hingga disahkannya UU pengelola Zakat Tahun 1999 yang melahirkan BAZNAS pada tahun 2001. Setelah itu mulai lahir dan berkembang berbagai organisasi pengelola zakat modern yang menggunakan strategi pemberdayaan, seperti Rumah Zakat (1998), PKPU (1999), DPU DT (1999) dan keberadaan lembaga tersebut semakin diperkuat pasca disahkannya UU pengelola zakat tahun 1999. Beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa pengelolaan zakat berkontribusi terhadap pemberdayaan masyarakat, yaitu penelitian Minarti dan Haryanto (2010) mengenai Pemberdayaan Masyarakat Perajin Gula Kelapa di Kabupaten Pacitan yang menggunakan dana zakat melalui pendekatan kelompok berfokus pada pembiayaan mikro, pelatihan dan membangun jaringan antara masyarakat dengan pemerintah, dunia usaha, lembaga keuangan dan organisasi masyarakat lainnya. Hasilnya adalah lahirnya konstruk kesadaran baru bahwa mereka mampu lepas dari
3 kemiskinan sehingga program yang diberikan dapat peningkatan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan aset produktif. Kemudian penelitian yang dilakukan Effendi dan Meylani (2010) mengenai pendayagunaan ZIS sebagai modal kerja melalui program Ikhtiar yang berbasis komunitas dengan mekanisme kelompok untuk kaum perempuan berpenghasilan rendah dengan pelatihan keuangan mikro, pengelolaan ekonomi keluarga, kewirausahaan, koperasi dan pendidikan kewarganegaraan serta pendayagunaan dana-dana ZIS untuk modal kerja sehingga masyarakat yang mengikuti program tersebut pendapatannya meningkat. Oleh karena itu perkembangan organisasi pengelola zakat modern yang menggunakan strategi pemberdayaan diperlukan sebagai alternatif solusi dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan di Indonesia. Diantara berbagai organisasi pengelola zakat yang ada, Dompet Dhuafa dan BAZNAS merupakan representasi dari organisasi pengelola zakat modern yang menggunakan strategi pemberdayaan pada program pengelolaan zakatnya. Hal ini dikarenakan peran Dompet Dhuafa sebagai pioneer organisasi pengelola zakat modern dan BAZNAS sebagai wakil resmi pemerintah dalam mengelola zakat. Perumusan Masalah Apabila kembali pada esensi pengelolaan zakat, infak dan sedekah pada ajaran Islam yang sebenarnya bahwa makna pengelolaan dana zakat, infak dan sedekah sebenarnya sangat luas, yaitu diberikan kepada masyarakat yang miskin sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Qardhawi (1996) zakat, infak dan sedekah bukan sekedar bantuan untuk sedikit meringankan penderitaan masyarakat miskin, tetapi zakat memiliki tujuan besar untuk menanggulangi kemiskinan, dengan pemberian modal kerja dan pelatihan. Kemiskinan harus dicegah dan ditanggulangi dengan mengelola dana zakat, infak dan sedekah (ZIS) secara efektif dan multiguna sehingga ZIS dapat berfungsi sebagai “ikan”, “umpan” sekaligus “kail” bahkan ”sungai” bagi masyarakat miskin berupa program pemberdayaan fisik, mental, pendidikan dan ketrampilan. Hal ini sejalan dengan yang dilakukan Rasululullah ketika ada seorang sahabat yang membutuhkan bantuan ekonomi, Rasulullah memberikan uang untuk membeli kapak (modal kerja) agar sahabat tersebut dapat mencari nafkah dengan kapak tersebut (Sudewo, 2012). Jahar (2009) juga menjelaskan bahwa zakat, infak dan sedekah bertujuan tidak semata-mata melaksanakan kewajiban kebaikan dengan memberikan sebagian harta yang dimiliki kepada orang-orang miskin tetapi juga bertujuan untuk memperkuat kesejahteraan masyarakat dengan menghilangkan kesenjangan yang lebar antara kelompok kaya dan miskin sebagai cara untuk mewujudkan keadilan sosial. Masalah gap antar kelas sosial menjadi perhatian utama Islam karena ketimpangan distribusi materi sebagai penyebab ketidakadilan di masyarakat. Berkaca pada kebijakan perekonomian dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang telah ditetapkan pemerintah terlihat bahwa pengelolaan zakat, infak dan sedekah belum mendapatkan posisi yang
4 memadai dalam skenario pembangunan nasional (IZDR, 2012). Hal ini dikarenakan zakat masih dianggap sebelah mata sebagai bagian dari solusi dalam pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Di Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia memiliki potensi zakat, infak dan sedekah yang besar. Beberapa studi telah mencoba mengkalkulasikan potensi zakat secara nasional, yaitu Monzer Kahf (1989) bahwa potensi zakat nasional pada kisaran 1-2 persen dari total PDB, kemudian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2005) menyatakan bahwa potensi zakat nasional mencapai angka 19,3 Triliyun Rupiah sedangkan IMZ pada 2007 merilis prediksi potensi zakat nasional pada kisaran 27,2 Triliyun (IZDR, 2012). Studi terbaru yang dilakukan oleh BAZNAS dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (FEM IPB) menunjukkan angka yang lebih besar, yaitu pada tahun 2011 potensi zakat nasional mencapai 3,4 persen dari PDB atau tidak kurang dari Rp 217 Triliyun, yang terdiri dari potensi zakat rumah tangga sebesar Rp 82,7 Triliyun, Zakat Industri (perusahaan swasta dan BUMN) sebesar Rp 117, 29 Triliyun dan Zakat Tabungan sebesar Rp 17 Triliyun (IZDR 2012). Walaupun pencapaian penghimpunan zakat baru mencapai 1,7 Triliyun rupiah, belum mencapai 2 persen dari potensi zakat nasional, kinerja zakat sudah berimplikasi positif terhadap pengentasan kemiskinan (IZDR, 2012). Secara umum persentase rumah tangga miskin (penerima zakat) mengalami penurunan sebesar 21,11 persen dan pendayagunaan zakat oleh OPZ mampu mempercepat pengentasan kemiskinan 1,9 Tahun dari 7 tahun menjadi 5,1 tahun (IZDR, 2012). Namun permasalahannya adalah selama ini pengelolaan zakat di Indonesia dilakukan secara tradisional dengan sistem tatakelola yang lemah, tidak efektif dan tidak efisien sehingga kurang memberikan dampak yang berarti dan tujuan zakat tidak tercapai dengan optimal (Malik 2010). Sudewo (2012) juga menjelaskan bahwa pengelolaan dana ZIS yang tradisional dianggap kurang efektif dan optimal dalam pengelolaan dana zakat, yaitu disebabkan oleh: 1. Kepemimpinan yang feodal, tradisional dan berpusat pada ketokohan 2. Pengelolaan zakat yang dianggap sepele, tanpa perencanaan, manajemen dan pengawasan 3. Struktur organisasi yang tumpang tindih 4. Sumber daya pengelola zakat (amil) yang kurang memiliki kapasitas, kemampuan dan pengetahuan 5. Lemahnya kreativitas dalam penghimpunan dan pengelolaan dana zakat, infak dan sedekah Oleh karena itu diperlukan pengelolaan dana ZIS yang dapat mendukung tercapainya tujuan zakat dengan optimal, diwujudkan melalui keberadaan organisasi pengelola zakat yang mampu mengelola dana ZIS dengan lebih efektif, efisien dan tetap memperhatikan aspek partisipasi masyarakat pada program pengelolaan zakat. Dalam mewujudkan hal tersebut diperlukan trasnfromasi pengelolaan zakat yang mengarah pada pengelolaan dana zis dengan pengorganisasian yang modern dan menggunakan strategi pemberdayaan pada program pengelolaan zakatnya. Kuntowijoyo (1987) menjelaskan transformasi sebagai perpindahan atau pergeseran suatu hal
5 ke arah yang lain atau baru tanpa mengubah struktur yang terkandung didalamnya, meskipun dalam bentuknya yang baru telah mengalami perubahan. Kerangka transformasi adalah struktur dan kultur (nilai). Sejalan dengan penelitian Sutisna (2010) mengenai Transformasi organisasi pengelola zakat dan pengelolaanya di Putukerjo di awali dari kolaborasi tiga stake holder, yaitu Ulama, pemimpin pemerintah desa dan Golongan Masyarakat Kaya yang bersinergi dan melakukan dialog dengan masyarakat lewat rembug desa untuk mentransformasi organisasi pengelola zakat dengan pengelolaan yang terstruktur, profesional, holistik melibatkan semua pihak serta kreatif dan produktif dalam pendayagunaan dana zakat melalui BAZIS Putukerjo. Dalam pengumpulan dana zakat, infak dan sedekah dilakukan secara profesional, masif dan terstruktur melalui penanggung jawab hingga tingkat RT dan menerapkan sanksi sosial bagi warga yang tidak membayar zakat sehingga dana yang terkumpul cukup besar. untuk menjalankan berbagai program. Pendayagunaan zakat, infak dan sedekah dilakukan profesional, produktif dan kreatif, yaitu dalam bentuk bantuan bahan pokok (uang maupun makanan), alat ibadah, beasiswa, pembelian modal produktif (mesin jahit, ternak dll) untuk menciptakan lapangan kerja, dan modal kerja skala mikro untuk bantuan usaha. Keberadaan organisasi pengelola zakat modern saat ini tidak lepas dari adanya transformasi pengelolaan zakat di Indonesia yang terjadi pada tahun 1990-an. Lahirnya Dompet Dhuafa sebagai pioneer organisasi pengelola zakat modern, dibentuknya Forum Zakat (FOZ), disahkannya UU pengelola zakat tahun 1999 hingga lahirnya BAZNAS sebagai organisasi pengelola zakat yang resmi dibentuk pemerintah merupakan rentetan peristiwa yang secara simultan menjadi proses transformasi pengelolaan zakat. Proses transformasi pengelolaan zakat menciptakan iklim pengelolaan zakat yang berbeda pada era reformasi dibandingkan era-era pengelolaan zakat sebelumnya. Pengelolaan zakat menjadi booming dengan lahirnya berbagai organisasi pengelola zakat baik di tingkat nasional maupun daerah. Transformasi pengelolaan zakat selain kaji prosesnya juga di analisis berdasarkan dimensi struktur dan nilai seperti yang diuraikan Kuntowijoyo. Oleh karena itu berdasarkan uraian diatas penelitian ini mengkaji Sejauh mana transformasi pengelolaan zakat dikaji dari dimensi nilai dan struktur mengarah pada pengorganisasian dan program pengelolaan zakat infak sedekah yang lebih baik? Oleh karena itu berdasarkan rumusan masalah pada penelitian ini dirinci melalui pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana proses transformasi pengelolaan zakat di Indonesia? 2. Bagaimana pola pengorganisasi dan program pengelolaan zakat Dompet Dhuafa dan BAZNAS pasca transformasi? 3. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap kredibilitas Dompet Dhuafa, BAZNAS dan organisasi pengelola zakat yang dikelola secara modern? Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian yang akan dilakukan, meliputi: 1. Mengkaji proses transformasi pengelolaan zakat di Indonesia
6 2. Mengkaji pola pengorganisasi dan program pengelolaan zakat Dompet Dhuafa dan BAZNAS pasca transformasi 3. Mengkaji pandangan masyarakat terhadap kredibilitas Dompet Dhuafa, BAZNAS dan organisasi pengelola zakat yang dikelola secara modern Kegunaan Penelitian Secara umum, hasil kajian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang penting terhadap praktik pengelolaan zakat yang dilakukan oleh organisasi pengelola zakat agar pengelolaan organisasi dan praktik pengelolaan zakatnya dapat menjadi lebih profesional sehingga tujuan pengelolaan zakat, yaitu pengentasan kemiskinan dengan instrumen zakat, infak dan sedekah dapat tercapai. Kemudian untuk pemberi zakat (muzaki) dapat lebih meningkatkan kontribusinya terhadap organisasi zakat, infak dan sedekah. Kegunaan eksternal penelitian ini agar akademisi dan berbagai organisasi organisasi yang mengelola zakat, infak dan sedekah agar bisa memberikan kontribusi yang lebih besar lagi kepada masyarakat melalui pengelolaan dana zakat, infak dan sedekah. Selain itu penelitian ini juga diharapkan berguna sebagai sarana edukasi bagi masyarakat luas agar bertambah kesadaran dalam menunaikan zakat, infak dan sedekah. Bagi peneliti, diharapkan kajian ini bermanfaat untuk menambah literatur dan keilmuan di sosiologi organisasi pada kajian mengenai praktik pengelolaan zakat, infak dan sedekah dalam strategi pemberdayaan. Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas penelitian, adalah mengkaji proses transformasi pengelolaan zakat dari perspektif sosiologi organisasi dari pengelolaan tradisional ke modern. Transformasi pengelolaan zakat sendiri dikaji dari transformasi nilai dan struktur. Peneliti juga membandingkan pengorganisasian dan program pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa dan BAZNAS. 2
TINJAUAN PUSTAKA
Konsepsi Zakat, Infak dan Sedekah Islam sebagai agama yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh baik hubungan dengan Allah maupun hubungan antar manusia. Dalam konteks hubungan antar manusia, Islam mengatur kesejahteraan umatnya, dengan adanya aturan dalam distribusi kesejahteraan yang adil antar satu sama lain melalui zakat, infak dan sedekah sehingga manusia bisa hidup pada taraf hidup yang layak. Esensi zakat, infak dan sedekah tertanam kuat pada ajaran agama Islam untuk memerintahkan manusia berbagi kesejahteraannya satu sama lain, seperti yang tertuang dalam kitab suci Al Qur’an (Az Zariyat: 19, At Taubah: 103, Ar Rum: 39) bahwa zakat
7 membersihkan harta dengan memberikan kepada masyarakat yang miskin sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang. Zakat yang merupakan Rukun Islam ketiga mengisyaratkan bahwa zakat menjadi pilar penting dalam konsepsi Islam sehingga zakat disebut sebagai rukun masyarakat. Menurut istilah, dalam kitab al-Hâwî, al-Mawardi dalam Yasin (2011) mendefinisikan zakat dengan nama pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat tertentu, dan untuk diberikan kepada golongan tertentu. Hafidhudin (1998) mendefinisikan zakat sebagai bagian dari harta yang telah memenuhi syarat tertentu, yang diwajibkan oleh Allah untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula. Adapun kata infak berasal dari kata Anfaqaa dan sedekah, sebagian ahli fikih berpendapat bahwa infak adalah segala macam bentuk pengeluaran (pembelanjaan) untuk suatu kepentingan, baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun yang lainnya (Hafidhudin, 1998). Sementara kata sedekah adalah segala bentuk pembelanjaan (infak) di jalan Allah. Sedekah, selain bisa dalam bentuk harta, dapat juga berupa sumbangan tenaga atau pemikiran, dan bahkan sekadar senyuman. Seperti yang diuraikan Yasin (2011) bahwa perbedaan zakat dengan infak dan sedekah terletak pada praktik, hukum, syarat, dan golongan yang berhak menerima. Pada praktiknya zakat memiliki batasan-batasan, seperti hukumnya wajib ditunaikan oleh setiap orang yang telah memenuhi syaratsyarat wajib zakat (harta sudah mencapai nisab (nisab merupakan batasan jumlah tertentu dari kepemilikan harta kita sehingga wajib menunaikan zakat) dan besarannya telah ditentukan, yaitu 2,5 % dari harta atau penghasilan yang dimiliki serta perbedaan yang terakhir adalah pada golongan penerimanya (Yasin, 2011). Zakat mensyaratkan bahwa terdapat delapan golongan yang berhak menerima zakat, yaitu fakir miskin, amil zakat, mualaf, riqab, garim (orang yang berhutang), fi sabilillah (yang berjuang di jalan Allah) dan ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan) sedangkan infak dan sedekah tidak mensyaratkan siapa yang berhak menerimanya. Pada praktiknya zakat merupakan ibadah sosial yang telah diatur sedemikian rupa, dari hukum, syarat pemberi dan penerima zakat serta harta apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya. Secara umum zakat dibedakan menjadi empat macam (Yasin 2011), yaitu: 1. Zakat fitrah yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim setahun sekali pada bulan Ramadhan (Puasa), sebesar 3,5 liter beras. 2. Zakat Maal (Harta), sebesar 2,5 persen dari jumlah harta yang dimiliki apabila telah mencapai nisab (syarat minimal jumlah harta yang dimiliki untuk berzakat), yang meliputi binatang ternak, harta perniagaan, harta perusahaan, hasil pertanian, hasil laut, barang tambang, emas, perak dan properti produktif 3. Zakat profesi, merupakan jenis zakat yang baru berkembang pada masa kekinian sebagai analogi jumlah harta yang diterima seseorang dalam setiap bulan/ tahun secara rutin, besarnya sama 2,5 % apabila telah mencapai nisab 4. Zakat harta yang lain, seperti saham dan rezeki yang tak terduga (undian/ hadiah).
8 Zakat sebagai praktek distribusi kekayaan mempertemukan tiga kelompok orang yang terlibat, yaitu Amil sebagai pengelola zakat, muzakki yang berkewajiban membayar zakat dan mustahik sebagai penerima zakat (Malik, 2010). Oleh karena itulah Dalam Rukun Islam, zakat merupakan rukun masyarakat karena melibatkan banyak pihak, yaitu dari muzaki, oleh amil dan untuk mustahik (Hafidhuddin dan Juwaini, 2006). Dalam memfasilitasi bertemunya ketiga kelompok tersebut diperlukan suatu wadah yang biasa disebut sebagai Organisasi Pengelola Zakat (OPZ). Organisasi pengelola zakat memiliki tugas dalam mendistribusikan sebagian harta muzakki karena memiliki harta yang lebih kepada mustahik karena kondisi ekonomi yang kekurangan yang dimaknai sebagai suatu bentuk kepedulian sosial orang kaya terhadap orang miskin (Malik, 2010). Keberadaan amil dan organisasi pengelola zakat sebagai perantara dalam pengelolaan zakat antara muzakki dengan mustahik adalah agar pengelolaan zakat, infak dan sedekah adalah agar dana dikelola secara dana terkumpul masif, obyektif, profesional, sehingga pemberdayaan dapat berjalan optimal untuk masyarakat yang berhak mendapatkannya. Organisasi dan Transformasi Organisasi didefinisikan Etzioni (1996) merupakan unit sosial (atau pengelompokkan manusia) yang sengaja dibentuk kembali dengan penuh pertimbangan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu. Peradaban modern hakikatnya sangat bergantung pada organisasi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini terbukti dari kehidupan manusia yang tidak dapat lepas dari organisasi semenjak ia lahir sampai meninggal. Sementara menurut Liliweri (2014) mendefinisikan organisasi sebagai entiti sosial yang mempunyai tujuan tertentu, sistem aktivitasnya terstruktur dan terkoordinasi. Hakikat organisasi diakui masyarakat dalam melaksanakan seperangkat tugas dan fungsi melalui kinerja individu dan kelompok yang saling berkaitan baik secara internal maupun eksternal. Menurut Etzioni (1996) organisasi modern jauh lebih efektif dan efisien dalam mencapai tujuannya. Namun organisasi modern memiliki beberepa permasalahan, yaitu: 1. bertambah luasnya ruang lingkup dan meningkatnya rasionalitas organisasi mengakibatkan banyak orang bekerja untuk organisasi seringkali kecewa dan terkesampingkan dari organisasi. 2. Keberadaan organisasi tidak lagi bertujuan mencapai tujuan masyarakat tetapi justru organisasi mengatur keberadaan masyarakat yang diisitilahkan etzioni “organisasi menjadi tuan masyarakat”. 3. Dalam mencapai tujuannya organisasi dapat mengalami pergeseran dari tujuan semula. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu dirasakan terdapat kebutuhan atau tujuan lain yang lebih cocok, tujuan yang telah ditetapkan tidak tercapai, tercapai dan ketidaksadaran pemimpin terhadap penyimpangan organisasi yang terjadi sehingga tujuan organisasi tidak tercapai.
9 4. Pada organisasi modern permasalahan yang dapat mucul juga adalah pengukuran efektifitas dan efisiensi yang berlebihan, sehingga organisasi akan mengalami distorsi dalam mencapai tujuannya. 5. Pada organisasi modern dibutuhkan tenaga profesional yang dapat mendukung berjalannya organisasi dalam mencapai tujuan tetapi tenaga profesional dapat membahayakan keutuhan organisasi apabila terlalu menekankan pada kegiatan utama dalam mencapai tujuan dan mengabaikan fungsi sekunder, seperti psikologis anggota organisasi dan kedekatan komunikasi diantara anggota organisasi. Hal ini merupakan efek samping keberadaan organisasi modern. Oleh karena itu permasalahan organisasi adalah bagaimana caranya membentuk pengelompokkan manusia yang serasional mungkin dengan efek samping seminimal mungkin sehingga mencapai kepuasan maksimum. Kondisi saat ini dimana kebutuhan manusia bergantung pada organisasi modern, memungkinkan Negara sebagai organisasi yang memiliki wewenang yang besar ikut mengatur berbagai organisasi masyarakat. Setiap masyarakat memiliki kebijakan yang berbeda dalam mengendalikan perekonomian dan organisasi baik bidang ekonomi maupun lainnya. Interaksi berbagai organisasi di dalam masyarakat pun pada hakikatnya tidak pernah diatur secara eksklusif dengan satu pola, karena kebutuhan masyarakat selalu beraneka ragam. Oleh karena itu Negara seharusnya dapat menahan diri untuk tidak mencampuri urusan urusan organisasi masyarakat. Dalam kaitannya dengan organisasi Etzioni berpendapat bahwa organisasi harus melekat pada komunitas, yaitu adanya kedekatan orang-orang dalam suatu kelompok atau organisasi. Masyarakat secara mandiri mengelola organisasinya demi memnuhi kebutuhan hidupnya. Kajian organisasi dalam dunia akademik menjadi menarik untuk dikaji/dipelajari karena organisasi menjadi kebutuhan manusia/ masyarakat dan terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam perspektif keilmuan sosiologi, organisasi banyak dikaji karena sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari interaksi antar manusia, sehingga secara otomatis organisasi menjadi salah satu bahasan utama dalam kajian sosiologi karena di dalam organisasi interaksi manusia sangat dinamis. Studi/ kajian organisasi melalui perspektif sosiologi disebut sebagai sosiologi organisasi. Pada studi sosiologi organisasi dipelajari interaksi dan tindakan sosial manusia dalam organisasi maupun diluar organisasi. Oleh karena itu pada studi sosiologi organisasi dapat digunakan untuk menjelaskan tujuan, maksud, sikap, pengorganisasian, harapan, kewajiban, identitas dan perasaan individu dalam organisasi (Geser 1990 dalam Liliweri 2014). Dengan studi sosiologi organisasi kita dapat pula melihat ragam variasi hubungan lingkungan yang berpengaruh terhadap perubahan organisasi, seperti perubahan kebudayaan, nilai, dan norma individu atau masyarakat. Setiap organisasi memiliki unsur-unsur yang menyusunnya, Liliweri (2014) lebih rinci menjelaskan yang menjadi konsep inti menyusun organisasi, yaitu: 1. Aktor/ Partisipan merupakan sentral dari organisasi. Oleh karena manusia sebagai aktor utama dari organisasi maka organisasi menjadi dinamis (terus mengalami perubahan).
10 2. Tujuan merupakan arah yang akan dicapai oleh organisasi, biasanya dirumuskan dalam visi misi. 3. Struktur organisasi, yang meliputi (a) struktur sosial (aktor/pelaku, posisi sosial melalui relasi dalam organisasi berupa hubungan antar bagian-bagian organisasi dan menjelaskan posisi (status dan kedudukan/ hierarki) dalam organisasi dan serta struktur normatif berupa nilai, norma, peranan) dan (b) struktur fisik (bentuk fisik dari organisasi seperti kantor yang terletak pada letak geografis tertentu) 4. Teknologi, yaitu organisasi dianggap seperti teknologi yang berfungsi mentransformasikan input kedalam proses sehingga keluar produk hasil dari organisasi untuk memenuhi kebutuhan lingkungan. 5. Strategi Organisasi adalah metode dan teknik yang serba cepat dan tepat untuk memperkuat proses kerja organisasi, beberapa jenis strategi, yaitu a. strategi organisasional (skema kerja pemasaran produk organisasi untuk berkompetisi dengan produk yang sama), b. Strategi penguatan (cara untuk merancang struktur yan tepat dalam membangun jaringan/ memperkuat pengaruh antara organisasi dengan lingkungan sehingga dapat memenuhi kebutuhan lingkungan), dan c. Strategi proses yang terdiri dari external appraisal untuk menganalisa peluang dan ancaman dari lingkungan terhadap organisasi dan internal appraisal strategi untuk merumuskan langkah-langkah berdasarkan SWOT Konsep inti tersebut merupakan elemen organisasi yang menyusun organisasi. Perubahan organisasi dipengaruhi dan mempengaruhi kedelapan elemen tersebut. Perubahan sosial dalam kaitannya dengan organisasi dan ikatan antara unsur-unsur masyarakat didefinisikan oleh para ahli sebagai transformasi dalam struktur sosial/ organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu yang mengacu pada variasi hubungan antar individu, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu (Macionis, Ritzer dan farley dalam Lauer 2003). Capra dalam Pujileksono (2009) menjelaskan bahwa transformasi melibatkan perubahan jaring-jaring hubungan sosial dan ekologis. Apabila struktur jaring-jaring tersebut diubah, maka akan terdapat didalamnya sebuah transformasi lembaga sosial, nilainilai dan pemikiran-pemikiran. Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat (Soemardjan dan Soeleman, 1974). Perubahan-perubahan sosial dapat terjadi baik direncanakan maupun tidak. Perubahan yang direncanakan adalah perubahan-perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat (Abdulsyani, 1992). Perubahan yang tidak direncanakan biasanya berupa perubahan yang tidak dikehendaki dan terjadi di luar jangkauan masyarakat, karena terjadi di luar perkiraan dan jangkauan, tidak dikehendaki dan sangat sulit ditebak kapan akan terjadi (Abdulsyani, 1992).
11 Konsep Pemberdayaan, Partisipasi dan Kemitraan Pemberdayaan menurut (Sumodiningrat dalam Erman, 2003) merupakan upaya meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat dalam memenuhi tuntutan hidup sehari-hari di masa mendatang. Pemberdayaan bertujuan agar kelompok rentan lemah memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif sehingga dapat memperbaiki kesejahteraannya, seperti perbaikan ekonomi, perbaikan kesejahteraan sosial (pendidikan dan kesehatan), dan kemerdekaan dari segala bentuk penindasan (Mardikanto, 2010). Sedangkan menurut Suharto (2005) berdasarkan tujuannya pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras, yaitu: 1. aras mikro (pemberdayaan yang dilakukan secara individu melalui bimbingan, berupa konseling, stress management, intervensi krisis), 2. aras meso (pemberdayaan dilakukan dalam kelompok sebagai media intervensi, berupa pendidikan dan dinamika kelompok untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan, ketranpilan dan sikap-sikap sehingga memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya), dan 3. aras makro (berupa perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat dan manajemen konflik). Selanjutnya Suharto (2005) juga berpendapat bahwa pendekatan pemberdayaan dalam proses pencapaian tujuan pemberdayaan dapat dicapai dengan: 1. menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal, 2. memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya sehingga pemberdayaan harus mampu menumbuh kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat 3. melindungi masyarakat agar tidak tertindas kelompok kuat berupa penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil 4. memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peran dan tugas-tugas kehidupannya 5. memelihara kondisi kondusif agar keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat sehingga setiap orang punya kesempatan yang sama dalam berusaha. Indikator keberhasilan pemberdayaan masyarakat adalah adanya partisipasi dari masyarakat dalam setiap program yang dijalankan. Hal ini sejalan dengan pendapat Nasdian (2006) bahwa pemberdayaan merupakan jalan atau sarana menuju partisipasi. Sebelum mencapai tahap tersebut, tentu saja dibutuhkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itulah pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses inilah yang pada akhirnya dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat (Hikmat, 2004). Muhadjir dalam Fauzi (2009) merinci tingkat partisipasi masyarakat dalam empat jenis, yaitu (1) keterlibatan orang dalam
12 proses pembuatan keputusan, (2) keterlibatan orang dalam pelaksanaan program dan pengambilan keputusan, (3) keterlibatan orang di dalam menikmati hasil dari kegiatan dan (4) keterlibatan di dalam evaluasi suatu hasil dari program yang sudah terlaksana. Nasdian (2006) juga memaparkan bahwasannya partisipasi dalam pengembangan komunitas harus menciptakan peran serta yang maksimal dengan tujuan agar semua orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif pada proses dan kegiatan masyarakat. Oleh karena itulah partisipasi dalam perencanaan menjadi dasar bagi munculnya partisipasi dalam pelaksanaan. Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa partisipasi adalah proses ketika warga komunitas, baik sebagai individu maupun kelompok sosial, organisasi atau lembaga, mengambil peran dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka (Sjaifudian dalam Aprinova 2006). Oleh karena itulah tepat jika dikatakan bahwa implementasi program pemberdayaan berhasil jika keberdayaan masyarakat terwujud dengan partisipasi mereka dalam setiap tahap kegiatan pemberdayaan tersebut. Dalam mencapai tujuan pemberdayaan yang optimal diperlukan gerakan yang sistematis, terstruktur, dan terorganisir. Oleh karena itulah pemberdayaan tidak dapat dilakukan oleh seorang diri atau hanya sekelompok orang. Dalam melakukan pemberdayaan dibutuhkan suatu organisasi yang profesional karena tujuan besar pemberdayaan membutuhkan perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan yang tersusun dengan baik dan terencana dengan sumberdaya yang handal. Sejalan dengan pendapat Etzioni (1996) bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang terorganisir, kita lahir dalam organisasi, dididik dan dibesarkan dalam organisasi, kita meluangkan waktu untuk bekerja, bersenang-senang, dan berdo’a bahkan meninggal serta dikuburkan atas kerja organisasi. Dalam konteks ini keberadaan organisasi penting dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Strategi pemberdayaan dan partisipasi diaplikasikan melalui kemitraan/ kolaborasi antara organisasi dengan masyarakat. Kolaborasi merupakan salah satu bentuk interaksi sosial. Menurut Abdulsyani (1992), Kolaborasi adalah suatu bentuk proses sosial, dimana didalamnya terdapat aktivitas tertentu yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami. Sedangkan menurut Roucek dan Warren dalam Abdulsyani (1992) mengatakan bahwa kolaborasi berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama. Pendekatan kolaborasi atau kemitraan disebut sebagai jembatan penyebrangan yang berfungsi mengintegrasikan batas-batas geografi, kepentingan dan persepsi (Yaffe dan Wondolleck dalam Suporahardjo, 2005). Dari beberapa pustaka bahwa kolaborasi merupakan varian dari kemitraan. Di dalam konteks pelayanan publik kemitraan diartikan oleh Kernaghan dalam Suporahardjo (2005) merupakan suatu hubungan yang melibatkan pembagian power, kerja, dukungan dan/ atau informasi dengan yang lain untuk pencapaian tujuan bersama dan saling member manfaat satu sama lain.
.
13 Kerangka Pikir Proses Transformasi Organisasi Pengelola Zakat Selama ini pengelolaan zakat di Indonesia yang dilakukan tradisional dirasakan kurang memberikan dampak yang berarti karena dianggap lemah pada sistem tatakelola, tidak efektif, tidak efisien dan dianggap tidak mencapai tujuan zakat secara optimal. Zakat yang seharusnya dapat menyelesaikan permasalahan kemiskinan masyarakat secara sistematis, dengan pengelolaan yang tradisional dampak pengelolaan zakat menjadi terbatas dan tidak optimal. Oleh karena itulah diperlukan transformasi pengelolaan zakat yang mendorong pengelolaan zakat yang lebih professional sehingga dapat menghimpun dana secara massif dengan program yang inovatif. Transformasi pengelolaan zakat dapat dikaji dari dua dimensi, yaitu transformasi nilai dan struktur. Adanya transformasi pengelolaan zakat berimplikasi perkembangan pada pola pengorganisasian dan program pengelolaan zakat Dompet Dhuafa dan BAZNAS yang massif, efektif, inovatif. Pada akhirnya akan berdampak pada pandangan masyarakat terhadap pengorganisasian dan program pengelolaan zakat yang dilakukan Dompet Dhuafa dan BAZNAS. Pengelolaan Zakat Tradisional : Pola Pengorganisasian dan Program Pengelolaan Zakat
Transformasi Nilai Pembaharuan Konsep/ Fikih Zakat
Transformasi Struktur Pelaku, Relasi antar Pelaku zakat dan kelembagaan (aturan) (liliweri, 2014)
Pengelolaan Zakat Modern Pola Pengorganisasian dan Program Pengelolaan Zakat (Dompet Dhuafa dan BAZNAS)
Pandangan Masyarakat tentang Organisasi Pengelola Zakat
Keterangan : Transformasi Proses Dampak
Gambar 1 Kerangka Pikir Proses Transformasi Organisasi Pengelola Zakat
14 3
METODE PENELITIAN
Pendekatan dan Strategi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach), dengan informasi yang bersifat subyektif dan historis. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Cresswell, 1998). Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata- kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Strategi yang digunakan adalah studi kasus dengan pertimbangan bahwa: (1) pertanyaan penelitian berkenaan dengan ”bagaimana” dan ”mengapa”, (2) penelitian ini memberikan peluang yang sangat kecil bagi peneliti untuk mengontrol gejala atau peristiwa sosial yang diteliti, dan (3) menyangkut peristiwa atau gejala kontemporer dalam kehidupan yang rill (Yin, 1996 dalam Widiyanto 2009). Penelitian ini menggunakan strategi studi kasus yang memungkinkan terjadinya dialog peneliti dan tineliti, sehingga kebenaran yang lahir merupakan kesepahaman bersama melalui interaksi antara keduanya mengenai sebuah masalah (Sitorus, 1998). Strategi tersebut digunakan untuk meneliti dinamika sejarah praktik pengelolaan zakat dan organisasinya dengan menghimpun data untuk mengambil makna dan pemahaman dari proses transformasi nilai dan struktur, serta perkembangan pengorganisasian dan program pengelolaan zakat. Bogdan dan Biklen dalam Mulyana (2007) menggolongkan studi kasus kualitatif kedalam tiga tipe, yaitu (1) Historical organization case studies, (2) Observational case studies (3) Life History. Historical organization case studies. Studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah Historical organization case studies, yaitu memusatkan perhatian pada organisasi tertentu sejak awal pertumbuhannya dan Life History, yaitu menekankan perhatian pada peristiwa yang menyangkut riwayat hidup seseorang. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini jenis data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi terhadap organisasi, kejadian atau kegiatan. Sedangkan data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah (1) snowball
15 sampling (2) wawancara mendalam, (3) Sosio dan Life History, (4) analisis dokumen, dan (5) kuesioner. Unit analisis dalam penelitian ini adalah organisasi pengelola zakat. Organisasi pengelola zakat yang menjadi unit analisis merupakan organisasi baik yang dikelola masyarakat Dompet Dhuafa maupun Pemerintah (BAZNAS). Walaupun BAZNAS dan DD sama-sama bergerak pada pengelolaan dan zakat, infak sedekah tetapi tetap memiliki karakteristik pengelolaan yang berbeda. Kedua organisasi ini juga mewakili berbagai organisasi pengelola zakat yang ada di Indonesia dan telah mapan dalam pengumpulan, pengelolaan dan pendayagunaan dana zakat, infak dan sedekah. Pemilihan subyek penelitian diawali dengan mewawancarai bagian pusat data organisasi/ litbang, yaitu SL (35) dari Dompet Dhuafa dan HH (28) dari BAZNAS. Kemudian direkomendasikan kepada subyek penelitian yang lain, meliputi Presiden Direktur Dompet Dhuafa AJ (46) dan amil (staf) Dompet Dhuafa Ad (26), dan di BAZNAS, yaitu Ketua Umum BAZNAS DH (63), amil (staf) BAZNAS ID (27), AK (27), dan TN (27). Ditambah dengan akademisi ekonomi syariah, IS (36). Pada penelitian yang menggunakan kuesioner menggunakan teknik snowball sampling dengan mencari subyek penelitian yang bukan merupakan muzaki atau mustahik Dompet Dhuafa dan BAZNAS. Hal ini dilakukan untuk menghindari bias pandangan masyarakat mengenai penilaian terhadap Dompet Dhuafa dan BAZNAS.
Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini di BAZNAS dan Dompet Dhuafa karena kedua organisasi tersebut sudah mapan sebagai Organisasi pengelola zakat dan telah mampu menjalankan program-program pemberdayaan yang mapan di masyarakat. Waktu penelitian dilakukan dimulai bulan Oktober s/d Maret 2015.
Teknik Pengolahan Data Analisis data berpedoman pada topik penelitian mengenai transformasi organisasi pengelola zakat. Data yang dianalisis mencakup kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif meliputi data sekunder dan primer yang bersumber dari wawancara yang dikombinasikan dengan analisis dokumen. Data yang dianalisis juga mencakup hasil-hasil studi sebelumnya berkaitan dengan topik penelitian yang sama. Data kualitatif diolah melalui tiga langkah seperti yang diuraikan Mile dan Huberman dalam Salim (2006), yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dalam tahap ini peneliti melakukan pemilihan, dan pemusatan perhatian untuk penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar yang diperoleh sehingga dapat dikembangkan sebuah deskripsi informasi tersusun untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan dalam bentuk teks naratif dan tabel dengan mencari makna setiap gejala yang diperolehnya dari lapangan, mencatat keteraturan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur kausalitas dari
16 fenomena. Sedangkan data kuantitatif yang didapatkan melalui kuesioner mengenai pandangan masyarakat mengenai Dompet Dhuafa dan BAZNAS, di analisis dengan tabel frekuensi dijelaskan secara eksplanatory dan diperbandingkan antara Dompet Dhuafa dengan BAZNAS. Matriks 1 Metode Pengumpulan Data Tujuan
Data yang dibutuhkan
Teknik Pengambilan Data
Mengkaji proses 1) Sejarah Perkembangan transformasi Pengelolaan Zakat di pengelolaan zakat Indonesia di Indonesia 2) Proses Transformasi Pengelolaan Zakat di Indonesia 3) Dimensi Nilai dan Struktur Transformasi Pengelolaan Zakat di Indonesia
(1) snowball (2) wawancara mendalam (3) life dan history (4) analisis dokumen
sosio
Mengkaji Pola 1) Pola Pengorganisasian pengorganisasi dan Program dan program Pengelolaan Zakat pengelolaan zakat Dompet Dhuafa Dompet Dhuafa 2) Pola Pengorganisasian dan BAZNAS dan Program Pengelolaan Zakat BAZNAS 3) Ringkasan: Perbandingan Pola Pengorganisasian dan Program Pengelolaan Zakat Dompet Dhuafa dan BAZNAS
(1) snowball (2) wawancara mendalam (3) life dan history (4) analisis Dokumen
sosio
Mengetahui Pandangan masyarakat terhadap kredibilitas Dompet Dhuafa, BAZNAS dan organisasi pengelola zakat yang dikelola secara modern
Kuisioner
(1) Pandangan Masyarakat terhadap kredibilitas Dompet Dhuafa dan BAZNAS (2) Pandangan Masyarakat mengenai Organisasi Pengelola Zakat yang Dikelola Secara Profesional dengan Menggunakan strategi
pemberdayaan
Subyek dan Informan Penelitian
Subyek Penelitian 1. Litbang BAZNAS 2. Pres Direktur DD 3. Dir. CORSEC DD 4. Akademisi/ Peneliti yang menjadi pemerhati Zakat dan Keuangan Syariah Sumber Data Sekuder 1. dokumen sejarah dan perkembangan organisasi 2. UU Zakat Subyek Penelitian 1. Ka.Umum BAZNAS 2. Litbang BAZNAS 3. Pres Direktur DD, 4. CORSEC DD 5. Amil DD dan BAZNAS 6. Akademisi/ Peneliti yang menjadi pemerhati BAZNAS dan Dompet Dhuafa Sumber Data Sekuder 1. Dokumen profil & perkembangan organisasi 2. Data Laporan Dana ZIS Dompet Dhuafa 3. Data Laporan Dana ZIS BAZNAS 4. Situs Jejaring Dompet Dhuafa dan BAZNAS 5. Majalah Zakat BAZNAS Masyarakat umum selain muzaki dan mustahik Dompet Dhuafa dan BAZNAS
17 4 PROFIL DOMPET DHUAFA DAN BAZNAS Menurut Undang-undang RI Nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat organisasi pengelola zakat dibagi menjadi dua, yaitu organisasi yang dikelola pemerintah disebut Badan Amil zakat (BAZ) dan organisasi yang dikelola oleh masyarakat/ swasta disebut lembaga Amil zakat (LAZ). BAZ dapat langsung didirikan oleh pemerintah atas rekomendasi kepala daerah setempat. BAZ dari tingkat nasional hingga kecamatan sebagai organisasi pemerintah struktur organisasi dan tata kerjanya diatur dalam undang-undang Keputusan Menteri Agama No. 581 tahun 1999. LAZ sebagai organisasi pengelola zakat yang dikelola oleh masyarakat/ swasta menurut UU, diberikan izin operasional jika memenuhi beberapa syarat, yaitu memiliki badan hukum, telah berjalan selama dua tahun, memiliki data muzaki dan mustahik setempat, memiliki laporan keuangan dan bersedia untuk diaudit. Sedangkan untuk struktur organisasi dan tata kerja LAZ tidak diatur secara khusus dan terperinci pada Undang-Undang dan peraturan yang ada. Pada penelitian ini, dilakukan di dua organisasi zakat, yaitu BAZNAS dan Dompet Dhuafa. Untuk membahas lebih jauh maka akan dirinci pada aspek sebagai berikut: 1. Profil, Struktur, Manajemen, Visi dan Misi Organisasi 2. Lingkup Kerja, Fokus Isu dan Kebijakan Organisasi 3. Program Pengumpulan dan Pendayagunaan Dana ZIS Profil Dompet Dhuafa1 Dompet Dhuafa adalah lembaga nirlaba milik masyarakat indonesia yang berkhidmat mengangkat harkat sosial kemanusiaan kaum dhuafa dengan dana ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf, serta dana lainnya yang halal dan legal, dari perorangan, kelompok, perusahaan/lembaga). DD tercatat di Departemen Sosial RI sebagai organisasi yang berbentuk Yayasan yang dilakukan di hadapan Notaris H. Abu Yusuf, SH tanggal 14 September 1994, diumumkan dalam Berita Negara RI No. 163/ A.YAY.HKM/ 1996/ PNJAKSEL. Pada tanggal 8 Oktober 2001, Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 439 Tahun 2001 tentang PENGUKUHAN DOMPET DHUAFA REPUBLIKA sebagai Lembaga Amil Zakat tingkat nasional. Legalitas Dompet Dhuafa ditambah dengan adanya Persetujuan Operasi dari Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman RI Nomor. 162/A.YAY.HKM/1996/ PN.JAK.SEL dan diperbaharui oleh Dirjen Administrasi Hukum No. C-HT.01.09-88, tertanggal 21 September 2004. Yayasan berkedudukan di Perkantoran Ciputat Indah Permai C 28-29, Jl. Ir. H. Juanda No. 50 Ciputat, Jakarta. Dompet Dhuafa (DD) memiliki Visi “Terwujudnya masyarakat dunia yang berdaya melalui pelayanan, pembelaan dan pemberdayaan yang berbasis pada sistem yang berkeadilan.” Berdasarkan visi organisasinya DD 1
http://www.dompetdhuafa.org/about/[15 Oktober 2014],
18 merancang langkah-langkah dalam mencapai visinya melalui Misi organisasi, yaitu: 1. Menjadi gerakan masyarakat dunia yang mendorong perubahan tatanan dunia yang harmonis 2. Mendorong Sinergi dan Penguatan Jaringan Kemanusiaan & Pemberdayaan Masyarakat Dunia 3. Mengokohkan Peran Pelayanan, Pembelaan & Pemberdayaan 4. Meningkatkan Kemandirian, Independensi & Akuntabilitas Lembaga dalam Pengelolaan Sumber Daya Masyarakat Dunia 5. Mentransformasikan Nilai-Nilai untuk Mewujudkan Masyarakat Religius Dompet Dhuafa melakukan pengembangan pengelolaan bisnis sehingga pengelolaan dana zakat infak sedekah dapat memberikan manfaat yang lebih luas baik secara kuantitas maupun inovasi program-programnya untuk masyarakat miskin. Oleh karena itulah sesuai dengan Surat Keputusan Dewan Pembina Yayasan Dompet Dhuafa Republika Nomor 109/DDCorsec/Rajab/1431 tanggal 10 Juni 2010 yang memutuskan untuk melakukan pemisahan keuangan Direktorat Bisnis, Fundrising dan Program. Maka dibentuklah Strategic Service Directorate jejaring Dompet Dhuafa yang dalam proses pembentukan Holding Company (yang selanjutnya akan disebut "Holding") berbadan hukum "PT" akan mengkordinir semua kegiatan pengembangan bisnis. Maka terbentuklah PT Daya Dinamika Corpora yang kemudian agar lebih mudah dikenal oleh Donatur maka PT Daya Dinamika Corpora berganti nama menjadi “PT Dompet Dhuafa Corpora” (DD Corpora). Sebagai Yayasan Dompet Dhuafa terdiri dari Dewan Pembina terdiri dari tiga orang, Dewan Pengawas terdiri dari empat orang, Dewan Penasihat Syari’ah yang terdiri dari tiga orang, Sedangkan Dewan Pengurus sebagai pelaksana Yayasan terdiri dari 6 orang, yaitu Presiden Direktur yang dijabat oleh Ahmad Juwaini dan terdiri dari 5 direktur dibawahnya, yaitu Direktur Ekesekutif, Direktur Program, Direktur Komunikasi dan Pengembangan Sumberdaya, Direktur Pengembangan Sosial, dan Direktur Keuangan dan Umum. Dompet Dhuafa merupakan organisasi zakat tingkat nasional yang juga telah melakukan pengembangan organisasi ke level internasional. Hal ini di tandai dengan keberadaan 17 cabang di berbagai provinsi di Indonesia dan empat cabang di luar negri. Selain memiliki cabang-cabang baik di dalam maupun luar negri, dalam membantu penghimpunan, pengelolaan dan program pendayagunaan Dompet Dhuafa juga memiliki Kantor Perwakilan baik di dalam maupun luar negri. Kantor Perwakilan merupakan kerjasama Dompet Dhuafa dengan lembaga zakat setempat dalam membantu pelaksanaan membantu penghimpunan, pengelolaan dan program pendayagunaan dana zakat infak sedekah. Dompet Dhuafa (DD) mengembangkan lembaga keuangan syariah atau Baitul Maal wa Tamwil melalui program MPZ (Mitra Pengelola Zakat) dengan menggandeng 83 BMT dari seluruh Indonesia, yaitu (a) di Jabodetabek sebanyak 10 BMT, (b) di Jawa Barat sebanyak 11 BMT, (c) Jawa Tengah sebanyak 36 BMT, (d) Yogyakarta sebanyak 20 BMT, dan (e) Jawa Timur sebanyak 6 BMT.
19 Program Pengelolaan Dana Zakat, Infak dan Sedekah Dompet Dhuafa 2 1. Program Penghimpunan Program-program penghimpunan dana zakat infak sedekah yang dilakukan Dompet Dhuafa diantaranya, melalui (a) Perbankan yang bekerjasama dengan Bank syari’ah dan Bank konvensional (setor tunai, ATM, Internet Banking, dan SMS Banking) (b) Pembayaran tunai langsung ke Kantor Dompet Dhuafa (kantor pusat, cabang dan perwakilan) dan (c) pelayanan jemput donasi dengan minimal nominal satu juta rupiah 2. Pengelolaan Administrasi dan Keuangan Dompet Dhuafa secara rutin membuat laporan-laporan pertanggungjawaban keuangan baik bulanan maupun tahunan. Laporan-laporan tersebut rutin diterbitkan oleh Dompet Dhuafa di situs resmi www.zakat.go.id 3. Program Pendayagunaan Program-program Dompet Dhuafa yang dikelola oleh Jejaring Dompet Dhuafa, yaitu: (a) Bidang Kesehatan: (Klinik Layanan Kesehatan CumaCuma (LKC) dan Rumah Sehat Terpadu DD), (b) Bidang Pendidikan (Sekolah SMART Ekselensia Indonesia, FIS Filial, Sekolah Guru Indonesia (SGI),Beastudi Indonesia, Makmal Pendidikan,Institusi Kemandirian dan Kampus Umar Usman), (c) Bidang Pengembangan Ekonomi: (BMT Center, Pertanian Sehat Indonesia, Kampoeng Ternak Nusantara, Tebar Hewan Kurban, Karya Masyarakat Mandiri, Tabung Wakaf Indonesia dan Indonesia Magnificient Zakat (IMZ), dan (d) Bidang Pengembangan Sosia (Lembaga Pelayan Masyarakat, Migrant Institute, Disaster Management Center, Semesta Hijau,Corps Da’i). Profil Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)3 Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) merupakan badan/ organisasi pemerintah yang didirikan berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 8 Tahun 2001 dan memiliki tugas dan fungsi menghimpun dan menyalurkan zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) pada tingkat nasional sertamenjadi regulator dan koordinator zakat nasional. BAZNAS merupakan Organisasi pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama. Saat ini Kantor BAZNAS berkedudukan di Ibu kota negara Indonesia, yaitu Provinsi DKI Jakarta yang beralamat di Jalan Kebon Sirih Raya No. 57, Jakarta Pusat.BAZNAS memiliki visi “Menjadi Badan Zakat Nasional yang Amanah, Transparan dan Profesional”. Berdasarkan visi organisasinya BAZNAS merancang langkah-langkah dalam mencapai visinya melalui Misi organisasi, yaitu: 1. Meningkatkan kesadaran umat untuk berzakat melalui amil zakat. 2. Meningkatkan penghimpunan dan pendayagunaan zakat nasional sesuai dengan ketentuan syariah dan prinsip manajemen modern. 3. Menumbuh kembangkan pengelola/amil zakat yang amanah, transparan, profesional, dan terintegrasi. 4. Mewujudkan pusat data zakat nasional. 2
http://www.dompetdhuafa.org/program [15 Oktober 2014] http://pusat.baznas.go.id/profil/visimisi[15 Oktober 2014]
3
20 5. Memaksimalkan peran zakat dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia melalui sinergi dan koordinasi dengan lembaga terkait Struktur organisasi BAZNAS terdiri dari dua bagian, yaitu Pengurus BAZNAS dan Pelaksana pengelolaan zakat, infak sedekah. Pengurus BAZNAS terdiri dari Dewan pertimbangan, Komisi Pengawas dan Badan Pelaksana. Dewan Pertimbangan dan Komisi Pengawas BAZ terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan Anggota. Baik Dewan Pertimbangan maupun Komisi Pengawas di tingkat Nasional berjumlah 10 orang. Sedangkan Pelaksana Pengelolaan zakat infak sedekah terdiri dari Direktur Pelaksana yang memimpin lima divisi dibawahnya, yaitu (1) Divisi Penghimpunan dan Komunikasi Lembaga, (2) Divisi Pendistribusian dan Pendayagunaan, (3) Divisi Keuangan, HRD dan IT, (4) Divisi CORSEC, Legal dan GAF dan (5) Divisi Litbang (Perencanaan dan Pengembangan). Keanggotaan BAZNAS terdiri atas unsur masyarakat (Ulama, tenaga profesional dan tokoh masyarakat Islam) dan unsur pemerintah (ditunjuk dari kementerian/instansi yang berkaitan dengan pengelolaan zakat). BAZNAS dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua. Masa kerja BAZNAS dijabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. BAZNAS memiliki cabang disetiap Provinsi, Kabupaten/ Kota hingga kecamatan di Indonesia. BAZNAS Provinsi dibentuk oleh Menteri Agama atas usul gubernur setelah mendapat pertimbangan BAZNAS. Selain memiliki cabang di setiap Provinsi, Kabupaten hingga Kecamatan, BAZNAS juga memiliki organisasi yang membantu BAZNAS, yang dinamakan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) baik di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota, yaitu satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu pengumpulan zakat. Hasil pengumpulan zakat oleh UPZ wajib disetorkan ke BAZNAS, BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota. Saat ini BAZNAS telah membentuk 101 UPZ yang tersebar di berbagai instansi pemerintah, swasta, masjid dan kantor perwakilan negara. Program Pengelolaan Dana Zakat, Infak dan SedekahBAZNAS4 Secara umum tugas badan amil zakat sebagai operator zakat meliputi tiga hal, yaitu : 1. Penghimpunan.Program-program penghimpunan dana zakat, infak dan sedekah yang dilakukan BAZNAS diantaranya, yaitu(1) Zakat Via Payroll System, (2) Zakat Via BizZakat (3) Zakat Via E-Card, (4) Zakat Via Online Payment, (5) Zakat Layanan Perbankan Syariah, (6) Jemput Zakat dan (7)Unit Pengumpul Zakat. 2. Pengelolaan Administrasi dan Keuangan. BAZNAS sebagai resmi organisasi pemerintah mengharuskan BAZNAS memberikan laporan pertanggungjawaban baik kepada muzaki, pemerintah, instansi-instansi terkait dan masyarakat luas. BAZNAS rutin membuat laporan-laporan pertanggungjawaban yang terdiri dari Laporan Pertanggungjawaban tahunan, Bulanan dan Laporan Rekapitulasi Muzaki dan Mustahik yang
4
http://pusat.baznas.go.id/program [15 Oktober 2014]
21 di terbitkan oleh BAZNAS di situs resmi BAZNAS www.pusat.baznas.go.id 3. Program Pendistribusian dan pendayagunaan Dalam melakukan pendistribusian dan pendayagunaan dana zakat, infak dan sedekah BAZNAS membaginya dalam lima bidang, yaitu (a) Bidang Kesehatan (Rumah Sehat BAZNAS yang terletak di Jakarta, Yogyakarta dan Makasar), (b) Bidang Pendidikan (Rumah Cerdas Anak Bangsa (RCAB)), (c) Bidang Ekonomi (Program Zakat Community Development (ZCD) dan Rumah Makmur BAZNAS (RMB)), (d) Bidang Sosial, terdapat dua program, yaitu (1) Konter Layanan Mustahik (KLM) dan Program Tanggap Bencana, (e) Bidang Dakwah yang dinamakan Rumah Dakwah BAZNAS
5
TRANSFORMASI PRAKTIK PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA Sejarah Perkembangan Pengelolaan Zakat di Indonesia
Sejarah panjang pengelolaan zakat di Indonesia di awali semenjak hadirnya Islam di Indonesia pada abad ke-13 masehi, yang dilakukan oleh kesultanan Islam. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam menurut Mas’udi (1991), zakat merupakan upeti atau pajak sehingga menjadi sarana yang efektif bagi pemerataan dan penyejahteraan kaum miskin. Pada saat itu zakat diwajibkan bagi setiap warga negara. Beberapa kerajaan Islam di Indonesia pada saat itu memiliki pola pengelolaan zakat yang sama walaupun praktiknya berbeda. Kerajaan Aceh mewajibkan zakat kepada setiap warganya dan kerajaan berperan aktif mengumpulkan zakat dengan membentuk badan khusus yang ditangani pejabat kerajaan dan bertempat di masjid-masjid serta menunjuk imam dan penghulu yang berperan dalam mengelola keuangan masjid yang bersumber dari dana zakat, infak dan sedekah (Azra, 2006). Sedangkan Kerajaan Banjar zakat dikelola oleh pejabat kerajaan yang disebut mantri Bumi yang berasal dari warga kerajaan biasa namun memiliki kemampuan dan keahlian yang mumpuni di bidangnya (Rass, 1968). Namun semenjak lenyapnya kerajaan Islam oleh kolonialisme, pengelolaan zakat dilakukan oleh masjid-masjid dan ulama di tingkat lokal. Penjajah Belanda memandang zakat sebagai potensi ancaman dan sumber kekuatan pejuang muslim dalam melawan penjajah dengan munculnya wacana jihad yang berkorespondesi dengan ruh zakat yang difahami untuk syiar dan penguatan agama (Malik, 2010). Pemerintah kolonial pada 1905 mengeluarkan peraturan yang melarang keras kepala desa sampai bupati turut campur dalam pengumpulan zakat sehingga penduduk menjadi tidak memberikannya kepada penghulu dan naib, melainkan kepada ahli agama yang dihormati, yaitu kyai atau guru mengaji (Faisal, 2011). “...pengelolaan zakat sebelum kemerdekaan dikelola oleh masyarakat karena penjajah Belanda menghapus segala hal yang berkaitan dengan
22 agama berbeda dengan penjajahan Inggris yang masih memberikan kesempatan para sultan Malaysia mengelola zakat sehingga selama beratus-ratus tahun zakat dikelola oleh maysarakat dan menjadi budaya... ” (IS (38) akademisi Ekonomi Syariah)
Pada periode inilah sejarah zakat dikelola secara individual oleh umat Islam. Masing-masing individu melaksanakan kewajiban zakat sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki masing-masing secara lokal, terbatas dan kurang teratur. Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah penjajahan menghidupkan kembali institusi Majelis Islam A`la Indonesia (MIAI), suatu federasi partai politik dan organisasi massa Islam yang telah hidup sebelum Perang Dunia II (Malik, 2010). Lembaga MIAI kemudian mengambil inisiatif untuk membangun baitul maal di Jawa pada tahun 1943. Namun upaya ini akhirnya gagal karena MIAI dibubarkan pemerintah Jepang pada akhir tahun 1943. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pengelolaan zakat di Indonesia masih belum menjadi perhatian pemerintah karena kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia yang masih belum stabil (IZDR, 2009) dan mengalami hambatan politis karena tidak didukung berbagai pihak baik legislatif maupun eksekutif. Pasca proklamasi kemerdekaan, pada tahun 1950 banyak desakan dari elit muslim agar pengelolaan zakat menjadi salah satu komponen sistem perekonomian keuangan Negara dan diatur dengan perundang-undangan (Ali, 1988). Namun karena ada sikap curiga terhadap kekuatan agama yang selalu berbenturan dengan kelompok partai komunis saat itu, maka pemerintah melalui Kementerian Agama pada tanggal 8 Desember 1951, yang menyatakan bahwa pemerintah tidak mencampuri rakyat yang beragama Islam dalam mengumpulkan dan mengelola zakat fitrah (Malik, 2010). Perjuangan memasukkan tatakelola zakat dalam ruang negara berjalan cukup alot hingga pada tahun 1964, Kementerian Agama menyusun RUU zakat dan Recana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPPPUU) tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian serta Pembentukan bait al-mal, namun kembali mengalami penolakan. Pada tahun 1967 kembali dilakukan upaya namun tetap gagal dan kegagalan ini menunjukkan kalau dalam tubuh pemerintahan kala itu ada konflik internal dari kubu Islam dan kubu pendukung Partai Komunitas bersama Partai Nasionalis sekuler. Penolakan merupakan wujud dari rasa curiga terhadap kekompok Islam yang selalu dilihat sebagai upaya mendirikan Negara Islam di Indonesia (Malik, 2010). Selama era kolonial sampai dengan orde lama pengelolaan zakat di Indonesia tidak berkembang. Ratusan tahun pemerintah kolonial memisahkan pengelolaan zakat dengan Negara sehingga sudah menjadi budaya masyarakat bahwa zakat merupakan urusan pribadi masing-masing. Hal ini pun berlanjut pada era orde lama dengan alasan pemerintah tidak mencampuri urusan agama masyarakat sehingga pengelolaan zakat tetap menjadi urusan pribadi masing-masing warga negara. Secara akademis pun tidak ada penelitian yang menunjukkan berapa banyak zakat dapat dihimpun dan seberapa besar zakat memberikan kontribusi dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan.
23 Pada era orde baru zakat mulai dilirik oleh pemerintah secara formal semenjak tahun 1968, ketika Presiden Soeharto berpidato dalam perayaan Isra’ Mi’raj di Istrana Negara mengenai pentingnya pelaksanaan zakat secara efektif dan efisien (Departemen Agama RI, 1982). Hasil pidato ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Agama tentang pembentukkan Badan Amil Zakat dan Baitul Maal di tingkat Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya. “...Presiden Soeharto pada masa itu mendeklarasikan diri sebagai amil tingkat nasional diikuti oleh kepala-kepala daerah hingga tingkat kelurahan...” (IS (38) akademisi Ekonomi Syariah)
Sebagai tindak lanjut dari pemerintah pusat pada tanggal 5 Desember 1968, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mendirikan Badan Amil Zakat (BAZ) pada dengan yang kemudian diikuti beberapa daerah lainnya seperti Aceh, Sumatra Barat, Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Selatan yang tampil dalam nama dan konsep yang berbeda-beda bergantung dengan masing-masing daerah (Rahardjo, 1986) sehingga dari lembaga-lembaga tersebut dapat ditarik tiga pola, yaitu (1) Lembaga yang fokus dalam pengumpulan zakat fitrah saja seperti di Jawa Barat, (2) Lembaga yang menitik beratkan zakat maal, ditambah infak dan sedekah, seperti BAZIS DKI Jakarta, dan (3) Lembaga yang ingin mencakup semua jenis harta benda Islam, ini mengarah kepada pembentukkan lembaga Baitul Maal. Pada tahun 1982, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila (YABMP) didirikan Presiden Soeharto dengan tujuan pembiayaan rumah Ibadah di daerah-daerah terpencil dan lingkungan miskin. Yayasan tersebut mengumpulkan dana dari sumbangan Instansi Pemerintah yang ditarik dari potongan gaji pegawai negeri sipil dan ABRI-POLRI yang beragama Islam, Badan Usaha Negara dan Swasta, amal jariah, shadaqah dan hibah (Thaba dalam Malik, 2010). Hal ini merupakan cikal bakal zakat menjadi bagian dari Sumbangan dari Pegawai Negari Sipil, ABRI dan POLRI. Pemanfaatan dana tersebut terkonsentrasi pada pembangunan Masjid yang dikenal dengan Masjid Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Selain pemerintah, lembaga zakat dikalangan masyarakat pun mulai bergeliat, yaitu dengan berdirinya lembaga pengelolaan zakat berbentuk Yayasan di Surabaya yang dinamakan Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF) pada 1 maret 1987 (Hafidhudin dan Juwaini, 2007). “....Sejarah terbentuknya YDSF berawal dari berkumpulnya para pemimpin perusahaan yang sedang berkumpul di masjid Al Falah Surabaya yang peduli pada kondisi sosial ekonomi masyarakat sehingga mereka bermaksud menghimpun dana untuk dapat memberikan bantuan kepada masyarakat....” (SL (32) manajer Corsec Dompet Dhuafa).
Walaupun pada era Orde Baru telah ada peran negara dan masyarakat (masjid, pesantren, tokoh masyarakat dan yayasan) dalam pengelolaan zakat, tetapi pengelolaan zakat tetap tidak berkembang dan stagnan. Zakat belum memberikan kontribusi yang signifikan dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia.
24 “...pengelolaan zakat sebelum tahun 1990-an belum berkembang walaupun sudah ada perhatian negara karena pengelolaan zakat yang dilakukan pemerintah pada saat itu tertutup dan YDSF sebagai pioner lembaga zakat masyarakat hanya mengelola dana zakat fitrah, infak dan sedekah, selain itu letak YSDF jauh dari pusat ibu kota sehingga tidak memiliki pengaruh yang signifikan...” (AJ (46) Presiden Direktur Dompet Dhuafa) “...permasalahannya ketika semua pejabat (dari presiden hingga kepala daerah mengdeklarasikan diri menjadi amil, sehingga hasil penghimpunan zakat 80 persen diambil oleh amil akibatnya masyarakat tidak percaya sehingga pengelolaan zakat mengalami stagnasi...” (IS (38) akademisi Ekonomi Syariah)
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perkembangan yang berarti dari pengelolaan zakat pada sebelum tahun 1990-an. Hal ini ditambah dengan peran serta negara dalam pengelolaan zakat justru menimbulkan polemik tersendiri. Hak amil yang terlalu besar dan tidak adanya akuntabilitas (pengelolaan tertutup) mengakibatkan masyarakat tidak percaya pada peran Negara dalam mengelola zakat. Keberadaan YDSF pun tidak memberikan pengaruh terhadap pengelolaan zakat di Indonesia karena kiprahnya yang lokal dan terbatas di Jawa Timur. Ditambah lagi di Indonesia pengelolaan zakat belum diberikan ruang dalam kebijakan perekonomian. Hal ini sejalan dengan uraian Hafidhudin dan Juwaini (2007) mengenai ciri-ciri pengelolaan zakat di Indonesia sebelum tahun 1990-an zakat, yaitu: 1. Zakat masih dikelola secara tradisional dengan pengelolaan sekedarnya, dikelola oleh orang-orang yg tidak kompeten, secara musiman dan insidental 2. Zakat pada umumnya diberikan langsung oleh muzaki kepada mustahik tanpa melalui amil 3. Harta obyek zakat hanya terbatas pada harta-harta yang secara eksplisit disebutkan secara rinci oleh Al Qur’an, misalnya zakat fitrah, zakat pertanian, zakat emas 4. Zakat yang diberikan bersifat konsumtif untuk keperluan sesaat Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa sebelum tahun 1990an obyek harta zakat terbatas, seperti zakat fitrah yang pengumpulannya hanya satu tahun sekali, zakat mal (harta) berupa kepemilikan emas, zakat pertanian, hasil laut, peternakan dan kebun. Dapat dikatakan bahwa petani, nelayan, peternak dikenakan wajib zakat. Sedangkan profesi lainnya seperti dokter, insinyur, pegawai, guru, dosen, pengusaha dan berbagai profesi lainnya pada perekonomian modern tidak menjadi wajib zakat kecuali membayar zakat fitrah. Padahal di Indonesia penghasilan petani, nelayan dan peternak relatif rendah. Bahkan nelayan termasuk kepada golongan masyarakat miskin di Indonesia. Menurut data sosial ekonomi (2014) jumlah penduduk miskin perdesaan berjumlah 14 juta jiwa lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk miskin perkotaan sebesar 8 juta jiwa. Padahal penduduk perdesaan cenderung berprofesi sebagai petani dan nelayan. Selain itu penghasilan sektor pertanian menurut data sosial ekonomi (2014) rata-rata pendapatan pertanian tahun 2013 sebesar Rp 1,03 juta per bulan. Hal ini
25 menguatkan pendapat bahwa petani dan nelayan masuk dalam golongan masyarakat miskin. Hal ini menunjukkan bahwa obyek harta zakat yang terbatas pada kondisi kekinian menjadi tidak adil, karena petani dan nelayan yang berpenghasilan kecil berkewajiban membayar zakat sedangkan profesi lain yang lebih besar pendapatannya tidak dikenakan wajib zakat. Selain itu dengan obyek harta zakat yang terbatas, potensi zakat pun tidak dapat dikalkulasikan. Hal ini menurut Hafidhuddin dan Juwaini (2006) dipicu karena (1) belum meratanya keberadaan lembaga zakat di berbagai daerah, (2) rendahnya kepercayaan masyarakat pada amil zakat, (3) profesi amil zakat masih dianggap sebagai profesi sambilan dan (4) kurangnya sosialisasi tentang zakat (urgensi, hikmah, tujuan, tata cara pelaksanaan, harta obyek zakat, dan keterkaitan zakat dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Proses Transformasi Pengelolaan Zakat di Indonesia Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa pengelolaan zakat hingga era orde baru tidak mengalami perkembangan dan stagnan. Hal ini disebabkan tertutupnya dan penyalahgunaan pengelolaan zakat yang dilakukan pemerintah. Selain itu menurut Hafidhudin dan Juwaini (2006) bahwa stagnasi pengelolaan zakat sebelum tahun 1990-an dikarenakan zakat dikelola secara tradisional. “... kelompok masyarakat di awal tahun 1990-an mengorganisir diri mereka dengan membentuk Dompet Dhuafa di Jakarta dan dielaborasi dengan perkembangan konsep (fiqh) zakat. Pada tahun 1997 atas inisiasi Dompet Dhuafa beberapa lembaga zakat membentuk Forum Zakat (FOZ) yang kemudian FOZ mendorong pembuatan UU zakat…”. (IS (38) akademisi Ekonomi Syariah)
Perkembangan pengelolaan zakat yang dianggap stagnan oleh sekelompok masyarakat mendorong gerakan transformasi pengelolaan zakat pada tahun 1990-an, yang diawali dengan berdirinya lembaga zakat Dompet Dhuafa. “…Dompet Dhuafa yang lahir dari rahim Harian Umum Republika (perusahaan media yang telah menerapkan manajemen organisasi profesional), melekat pula nilai-nilai/ kultur bisnis dan manajemen modern yang profesional dalam pengelolaan organisasi Dompet Dhuafa, misalnya Dompet Dhuafa menerapkan aturan kepegawaian yang sama dengan Republika, full time, memiliki gaji yang ditentukan dan bekerja sesuai dengan struktur, tugas dan fungsi yang telah ditentukan. Walaupun pada awal berdirinya Dompet Dhuafa merupakan organisasi sederhana dengan ruang lingkup yang terbatas…”(AJ (46) Presiden Direktur Dompet Dhuafa) “…Pada tahun 1994 Dompet Dhuafa mulai berinovasi dalam program penyaluran dana zis dalam bidang pengembangan ekonomi dengan mendirikan dan melakukan pelatihan pembinaan BMT (Baitul Mal wa Tamwil) atau lembaga keuangan mikro syariah yang memberikan modal usaha kepada mustahik/ penerima manfaat dari pengusaha mikro dan UKM. Namun dalam memberikan modal usahanya Dompet Dhuafa belum
26 memberikan pendampingan kepada penerima modal usaha (penerima manfaat)…”(AJ (46) Presiden Direktur Dompet Dhuafa)
Uraian di atas menunjukkan, Dompet Dhuafa yang lahir pada tahun 1993 melalui harian umum Republika menerapkan inovasi dengan menerapkan prinsip organisasi modern dan program pengelolaan zakat yang menggunakan pendekatan pengembangan ekonomi melalui BMT/ lembaga keuangan mikro syariah. Dompet Dhuafa merupakan lembaga zakat yang lahir dari koran Harian Republika, pada bulan april tahun 1993. Dompet Dhuafa awalnya merupakan organisasi sederhana yang menjadi bagian aksi sosial dari koran republika yang bernama Ikatan Sosial Republika (ISR). Seiring antusiasme dan dukungan masyarakat dengan besarnya sumbangan dana sosial, ISR berganti nama menjadi Dompet Dhuafa Republika dan mendirikan Yayasan Dompet Dhuafa Republika pada tahun 1994.5 Kemandirian organisasi Dompet Dhuafa diawali dengan berdirinya Yayasan Dompet Dhuafa pada 4 September 1994, dengan legalitas yang tercatat Departemen Sosial RI pada September 1994 dengan Parni Hadi, Haidar Bagir, S. Sinansari Ecip, dan Eri Sudewo sebagai Dewan Pendirinya.6 Erie Sudewo ditunjuk menjadi Ketua Yayasan Dompet Dhuafa yang bertugas mengumpulkan dan menyalurkan dana zakat, infak dan sedekah dalam berbagai program kemanusiaan, antara lain untuk kebutuhan kedaruratan, bantuan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan bagi kalangan dhuafa/ oleh karena itu dapat dikatakan bahwa misi utama Dompet Dhuafa adalah memberdayakan masyarakat melalui pengelolaan dana ZIS. Dalam mengembangkan organisasinya Dompet Dhuafa terus belajar dan bersinergi dengan lembaga-lembaga lainnya dalam meningkatkan kapasitas organisasinya. Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan AJ (46), yaitu
5
Ringkasan dari http://dompetdhuafa.org/about/ sejarah [20 Oktober 2014] dan thesis (Herry Bazhrizal Tanjung. Analisis Usaha Tani Padi Sawah dengan Memanfaatkan Dana Zakat di Lamongan, Jawa Timur, Tesis, Program Pasca Sarjana, IPB, 1998, hlm 45 Seiring dengan aktifnya aksi sosial Republika, April 1993, Koran Republika yang baru terbit tiga bulan menyelenggarakan promosi surat kabar di stadion Kridosono, Yogyakarta pada tahun 1993 yang dikemas sebagai gabungan antara dakwah dan entertainment untuk menarik pelanggan baru dan menarik minat masyarakat membeli saham koran, yang dihadiri Pemred Republika Parni Hadi, (alm) Zainuddin MZ dan Rhoma Irama dan awak pemasaran Republika. Setelah acara tersebut rombongan Republika bertemu sejumlah mahasiswa Yogyakarta yang bergabung dalam corp dakwah pedesaan (CDP) dan aktif pada kegiatan dakwah di tempat terpencil dan miskin di Yogyakarta, seperti Gunung Kidul dan Lereng Merapi yang memerlukan dana untuk pengembangan masyarakat sehingga menggugah pemimpin Harian Umum Republika untuk menugaskan sekretaris redaksi, Eri Sudewo sebagai koordinator pengumpul zakat para karyawan untuk menyalurkan zakat melalui CDP. Ketika banyak pembaca Republika yang antusias menyalurkan zis sehingga ISR mengganti namanya menjadi Dompet Dhuafa untuk menjangkau pembaca lebih luas yang dipublikasikan pertama kali di Harian Republika pada 2 juli 1993 dan mendapat sambutan luar biasa, ditandai dengan adanya kemajuan yang signifikan dari pengumpulan dana masyarakat. 6 dari http://dompetdhuafa.org/about/ sejarah [20 Oktober 2014] Legalitas Dompet Dhuafa Republika tercatat di sebagai organisasi yang berbentuk Yayasan yang dilakukan di hadapan Notaris H. Abu Yusuf, SH tanggal 14 September 1994, diumumkan dalam Berita Negara RI No. 163/ A.YAY.HKM/ 1996/ PNJAKSEL dan diperbaharui oleh Dirjen Administrasi Hukum No. C-HT.01.09-88, tertanggal 21 September 2004.
27 “…Dalam rangka mengembangkan organisasi, saya ditunjuk oleh Pak Erie pada saat itu (tahun 1995-1996) untuk datang studi banding ke YDSF sehingga dapat belajar dari pengalaman praktek pengelolaan ZIS YDSF sebagai masukan dalam merancang program-program Dompet Dhuafa kedepan…” (AJ (46) Presiden Direktur Dompet Dhuafa)
Proses transformasi berlanjut pada Tahun 1997 hingga 1999 ketika peralihan era antara orde baru menuju reformasi walapun situasi politik, ekonomi dan keamanan yang tidak stabil. Kehadiran Yusuf Qhardawi yang diundang Bank Indonesia untuk berbicara terkait ekonomi syari’ah pada 1997, menandakan bahwa Bank Indonesia yang bermazhab ekonomi konvensional (umum) mulai mengakui keberadaan ekonomi syari’ah (Sudewo, 2012). Hal ini merupakan cikal bakal berkembangan ekonomi syariah di Indonesia pada era reformasi. Zakat merupakan salah satu pilar ekonomi syariah, sehingga perkembangan ekonomi syariah di Indonesia merupakan habitat tumbuh suburnya pengelolaan zis, seperti yang dinyatakan oleh Hafidhuddin (2013).7 Tahapan proses transformasi selanjutnya adalah berdirinya FOZ pada tahun 1997 yang berawal dari kegiatan seminar zakat profesi yang diadakan oleh Dompet Dhuafa dengan Ahmad Juwaini (AJ) sebagai ketua panitianya. “…Saat itu saya ditunjuk Pak Erie sebagai penanggungjawab seminar bertemu pimpinan lembaga-lembaga tersebut dalam rangka mengajak beberapa lembaga untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam kegiatan. Setiap pimpinan lembaga yang ditemui menyampaikan permasalahanpermasalahan yang relatif sama satu sama lain dalam pengelolaan zakat, yaitu penyaluran dana ZIS ganda pada satu mustahik sehingga saya terinspirasi dalam menggagas berdirinya FOZ, agar masing-masing organisasi pengelola zakat dapat saling berkoordinasi dan sinergi...” (AJ (46) Presiden Direktur Dompet Dhuafa)
Seminar inilah yang menjadi momentum didirikannya FOZ oleh Dompet Dhuafa dan lembaga-lembaga zakat lainnya Hal ini pun dikuatkan oleh Hafidhudin dan Juwaini (2006) bahwa Dompet Dhuafalah yang memiliki peran besar dalam membidani terbentuknya asosiasi organisasi pengelola zakat FOZ. “...FOZlah yang mendorong penyusunan hingga disahkannya UU pengelolaan zakat no.38 Tahun 1999. Hal ini merupakan babak baru dalam pengelolaan zakat di Indonesia, karena zakat telah menjadi elemen penting dalam kehidupan bangsa Indonesia dan telah memasuki wilayah formal kenegaraan...”. (SL manager CORSEC Dompet Dhuafa)
FOZ berupaya melegalisasi pengelolaan zakat di Indonesia dengan mendorong pemerintah untuk membuat UU yang mengatur pengelolaan zakat. Hal ini dilakukan sebagai upaya membawa pengelolaan zakat infak sedekah (ZIS) menjadi bagian penting dari Negara dan keberadaan zakat dianggap penting oleh seluruh elemen masyarakat sehingga tujuan pengelolaan zakat dapat tercapai dengan optimal. “…Habibie merupakan presiden yang berani dan kongkrit dalam mendukung pengelolaan zakat di Indonesia dengan mengesahkan UU
7
Berdasarkan wawancara Republika kepada Hafidhuddin pada 22 Agustus 2013.
28 pengelolaan zakat no.38 Tahun 1999, walaupun situasi sosial, politik dan ekonomi tidak stabil..” (IS (38) akademisi Ekonomi Syariah)
Pengesahan UU pengelolaan zakat No.38 Tahun 1999 pada 23 September 1999 oleh pemerintah 8 merupakan awal dilegalkannya kembali pengelolaan zakat oleh negara. Dukungan dan keberanian Presiden BJ Habiebie pada saat itu juga menjadi salah satu faktor berhasilnya UU tersebut disahkan. Dengan diberlakukannya UU ini, terutama pada satu dekade terakhir pasca reformasi, pengelolaan zakat di Indonesia berkembang dengan pesat. Keberadaan UU pengelolaan zakat Tahun 1999, berimplikasi pada dibentuknya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai lembaga pengelola zakat pemerintah tingkat nasional yang pertama pada tahun 2001. BAZNAS lahir sebagai bentuk implementasi dari UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengeloaan zakat dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2001 yang berdampak pada dilepasnya fungsi pengelolaan zakat oleh Kementrian Agama walaupun pada Kementrian agama fungsi pengelolaan zakat masih ada, yaitu pada direktorat pemberdayaan zakat (HH (28) Litbang BAZNAS). BAZNAS memiliki fungsi melakukan penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat, infak dan sedekah. Menurut HH (28) secara resmi BAZNAS lahir pada 17 Januari 2001 dengan ditetapkannya Ketua Umum BAZNAS pertama, Drs. H. Achmad Subianto yang merupakan Sesmen Kementrian BUMN beserta pengurus BAZNAS periode 2001-2004 yang terdiri Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, MSc. sebagai Ketua Dewan Pertimbangan, dan H. Muchtar Zarkasyi, SH sebagai Ketua Komisi Pengawas. Beserta para personil lainnya yang duduk di dalam kepengurusan seperti ulama, birokrat, profesional dan tokoh nasional yang dinilai memiliki integritas dan kredibilitas tinggi terutama di bidang pengelolaan zakat. Pada awal berdirinya, BAZNAS belum memiliki kelengkapan organisasi untuk menjalankan segala tugas dan fungsi organisasi dengan optimal. “...Dapat dikatakan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid mendirikan BAZNAS tanpa menyiapkan kelengkapan organisasinya sehingga BAZNAS harus mengkoordinasikan sendiri dengan berbagai pihak (lembaga dan kementrian terkait) dalam memenuhi kebutuhan organisasinya...” (IS(38) akademisi Ekonomi Syariah)
Hal ini menunjukkan bahwa sebagai organisasi yang baru terbentuk, BAZNAS minim sumberdaya organisasi, seperti modal operasional, sumberdaya manusia (staf/ amil) dan kantor karena tanpa ketersediaan dana operasional dan sumberdaya manusia yang memadai, maka aktifitas organisasi tidak berjalan dengan optimal. Pada Surat Keputusan Presiden telah tertulis megenai anggaran operasional BAZNAS yang berasal dari APBN tetapi realisasi dalam pencairannya tidak mudah. Oleh karena itulah Periode pertama kepengurusan BAZNAS Pada tahun 2001 sampai dengan 2003 berfokus pada pembentukkan dan menyiapkan infrastruktur dan sumberdaya organisasi. 8
UU Pengelolaan Zakat No.38 Tahun 1999
29 Menurut HH (28) langkah awal BAZNAS dalam menghimpun dana sebagai modal operasional, dengan membangun kerjasama bersama perbankan, yaitu membuka rekening penerimaan dana zis dengan nomor unik yaitu berakhiran 555 untuk zakat dan 777 untuk infak. Kemudian langkah kedua, dibantu oleh Kementerian Agama, BAZNAS menyurati lembaga pemerintah serta luar negeri untuk membayar zakat ke BAZNAS sehingga berhasil menghimpun dana sebesar Rp 100 juta. Dalam memenuhi kebutuhan dana dan sumberdaya manusia yang berkualitas, langkah strategis BAZNAS bekerjasama dengan PT. Permodalan Nasional Madani (PT PNM) yang merupakan BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan usaha kecil, mikro, koperasi dan jasa manajemen pada November 2001. Dalam kerjasama tersebut disepakati bahwa PT. PNM menyediakan jasa manajemen dengan memfasilitasi BAZNAS dalam pembuatan sistem dan prosedur serta aplikasi zakat. “...Rapat perdana BAZNAS sekaligus pengesahan pengurusnya dilakukan pada April 2001 di Kementerian Agama. Satu bulan setelah rapat perdana dua orang staf sekretariat dan keuangan diangkat untuk membantu menyiapkan infrastruktur BAZNAS...” (HH, 28 Litbang BAZNAS)
Kementerian Agama memfasilitasi rapat pengurus dalam penyusunan kebijakan BAZNAS, yaitu mengatur adanya pelaksana harian BAZNAS yang akan menggerakkan roda operasional BAZNAS sehari-hari. Pada awalnya BAZNAS menempati kantor Gedung Sasana Amal Bakti Lantai 2, yang terletak di Jl. Lapangan Banteng Timur, sekitar lingkungan Kementerian Agama, Jakarta Pusat (HH (28) Litbang BAZNAS). Pemenuhan amil dan infrastruktur operasional terus dilakukan, kebutuhan SDM amil yang semula hanya ada tiga orang yang mulai aktif pada tahun 2001, mulai terpenuhi pada bulan September 2002, dengan disepakatinya kerjasama operasional antara BAZNAS dengan PT. PNM. Saat itu PT. PNM menempatkan enam orang amil di Pelaksana Harian BAZNAS dipimpin seorang Direktur Eksekutif/ Direktur Pelaksana Emmy Hamidiyah, dan mulai berkantor di Gedung Arthaloka Jl. Jenderal Sudirman Kav. 2 Lt. 2 Jakarta Pusat. Pada periode awal kepengurusannya, BAZNAS juga telah berhasil membuat sistem dan prosedur, penerbitan Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ) dan Bukti Setor Zakat (BSZ) sebagai bukti zakat pengurang penghasilan kena pajak, yang di-launching bersamaan dengan diresmikannya kantor BAZNAS yang terletak di Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat pada bulan April 2002 (HH (28) Litbang BAZNAS). Hal ini membuktikan bahwa secara bertahap BAZNAS tumbuh dan mulai menunjukkan aktivitasnya dalam kegiatan penghimpunan yang salah satunya dilakukan dengan pembentukan Unit Pelayanan Zakat (UPZ) di BUMN, Departemen, dan perwakilan Indonesia di luar negeri. Pada periode pertama kepengurusannnya, BAZNAS juga sudah mulai menyalurkan dana ZIS dengan program-program dan bantuan karitatif, sehingga apabila kita simpulkan bahwa saat itu BAZNAS melakukan penyaluran dana murni, berupa hibah, santunan dan karitatif. Lahirnya Dompet Dhuafa dan FOZ, disahkannya UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan lahirnya BAZNAS merupakan tahapan
30 proses Transformasi pengelolaan zakat di Indonesia dan mendorong lahirnya berbagai organisasi pengelola zakat yang modern baik milik pemerintah, masyarakat, dan swasta/ perusahaan, seperti Pos Keadilan Pelayanan Umat (PKPU), Rumah Zakat, DPU Darut Tauhid, BAMUIS BNI, LAZIS Muhammadiyyah, LAZIS NU dll. Walaupun organisasi pengelola zakat modern tumbuh dan berkembang, praktik pengelolaan zakat tradisional yang dilakukan baik oleh Kiai, Pesantren, Masjid, tokoh lokal tetap berjalan sebagaimana mestinya karena pengelolaan zakat tradisional telah dipraktekan selama ratusan tahun oleh masyarakat Indonesia sehingga kuat dan mengakar terutama di daerah-daerah. Keberadaan BAZNAS dan tumbuhnya berbagai organisasi pengelola zakat juga menguatkan pesan mengenai pentingnya zakat disalurkan dan dikelola oleh lembaga bukan hanya sekedar perorangan. Sejalan dengan pendapat Hafidhuddin dan Juwaini (2006) mengenai keberadaan organisasi pengelola zakat, yaitu: (1) Mengikis egoisme muzaki agar tak memandang bahwa hartanya merupakan miliknya sendiri, (2) Menghindari proses merendahkan mustahik (apabila muzaki langsung menyerahkan dikhawatirkan munculnya hubungan “anda menolong dan saya yang ditolong”), (3) Menciptakan pemerataan, keadilan dan ketepatan sasaran, (4) Dana zis dikelola profesional dan masif apabila dikelola oleh organisasi, karena perorangan tidak akan mampu dan muncul ketidakadilan di masyarakat dan (5) potensi zakat akan optimal dimobilisasi dan didayagunakan untuk keperluan umat yang strategis. Dinamisasi perkembangan pengelolaan zakat terus berlanjut pasca disahkannya UU baru mengenai pengelolaan zakat No.23 Tahun 2011. Dalam undang-undang tersebut mengatur peran pemerintah yang lebih dominan sebagai regulator dan pengelola zakat, yaitu ditetapkannya BAZNAS sebagai regulator dan Koordinator pengelola zakat. UU tersebut juga mengatur dengan lebih rinci, pihak-pihak yang diperbolehkan menghimpun dana zis. Hal ini berdampak pada adanya pengajuan Judicial Review terhadap UU tersebut. Hal ini pun berdampak pada pengorganisasian dan program pengelolaan zakat OPZ yang berasal dari masyarakat. Oleh karena itulah pasca disahkannya UU tersebut menjadi babak baru dalam pengelolaan dana zis dan perkembangan organisasi pengelola zakat. Apabila kita telaah lebih mendalam bahwa semenjak era kerajaan Islam sampai era reformasi, perkembangan pengelolaan zakat di Indonesia berjalan dinamis dengan karakteristik yang khas pada masing-masing era. Antara satu era dengan era yang lain apabila diperbandingkan memiliki kekhasan karakteristik yang dapat dibagi berdasarkan lima aspek, yaitu (1) Pengelolaan ZIS, (2) Peran negara dalam pengelolaan ZIS, (3) Harta yang dijadikan Obyek zakat, (4) regulasi/ peraturan dan (5) akuntabilitas dalam pengelolaan ZIS.
9
Sintesa dari Wawancara dengan IS (38) Akademisi Ekonomi Syariah, AJ (40) Presiden Direktur DD dan HH (28) Litbang BAZNAS dengan berbagai sumber dokumen dari BAZNAS dan Dompet Dhuafa 10ibid 11 http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/zakat-dalam-riwayat-perjalanan-pemerintahan-indonesia/ 12ibid
Akuntabilitas
Obyek Zakat
Peraturan
Peran Negara
Pengelolaan/ Manajemen ZIS
Aspek
Waktu
Tidak adanya kewajiban dalam mempertangg ungjawabkan (Faisal, 2011)
Perorangan, tanah, emas, perdagangan, pertanian (Fasial, 2011)
Belum ada aturan tertulis yang mengatur pelaksanaan zakat
Mendukung dan mengatur praktik pengelolaan zakat (Fasial, 2011)
Penarikan Zakat dengan menunjuk petugas diberbagai tempat (pasar, muara sungai) terhadap berbagai profesi masyarakat (Fasial, 2011)
Era Kerajaan Islam di Indonesia
Tidak adanya kewajiban dalam mempertanggungjawab kan
Zakat fitrah, infak, Sedekah dan Wakaf
Pemerintah Kolonial melarang praktik pengelolaan zakat yang dilakukan oleh pejabat pemerintah karena khawatir menjadi sumber dana dalam perjuangan kemerdekaan (Faisal 2011) Ada aturan tertulis yang melarang adanya praktik pengelolaan zakat (Faisal 2011) : Ordonantie Pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200 tanggal 28 Pebruari 1905
Zakat dikelola secara lokal oleh Kiai, Tokoh Agama dan Tokoh Lokal12 dengan pengetahuan masingmasing individu, dikelola dengan terbatas dan kurang teratur (Faisal 2011)
Era Kolonial
Tidak adanya kewajiban dalam mempertanggungjaw abkan
Zakat fitrah, infak, Sedekah dan Wakaf
Tahun 1964 RUU Zakat batal diajukan ke DPR dan tahun 1967 bahasan RUU zakat dihentikan karena tidak mendapat dukungan dari Menteri Keuangan (IZDR, 2009)
Pemerintah belum memberi perhatian karena kondisi sosial, ekonomi, keamanan yang tidak stabil dan adanya hambatan politis (IZDR, 2009)
Kesadaran tentang zakat masih rendah sehingga dikelola secara tradisional, musiman, insidental dan kurang teratur oleh Kiai, Tokoh Agama, Tokoh Lokal, Masjid dan Pesantren11
Era Orde Lama
Pertanggungjawaba n pemerintah dalam mengelola zakat hanya menjadi konsumsi internal kalangan pemerintah
Zakat fitrah, infak, Sedekah dan Wakaf
PMA No.4 dan No.5/1968 mengenai pembentukkan BAZ dan Baitul Maal di tingkat Pusat hingga Kabupaten/Kota (Departemen Agama RI, 1982).
Pemerintah mulai memeperhatikan pengelolaan zakat melalui instruksi presiden agar setiap jajaran pemerintah ikut mengelola zakat
Pemerintah dari tingkat nasional hingga kelurahan/ desa ikut mengelola zakat (fitrah) dan pengelolaan zakat di kalangan masyarakat (masjid, pesantren dll) tetap berjalan
Era Orde Baru
Pertanggungjawaban pengelolaan zakat di audit oleh akuntan publik dan dipublikasikan kepada muzaki dan masyarakat
Zakat Fitrah dan Zakat Mal. Pemabaharuan obyek zakat (zakat profesi dan zakat perusahaan)
UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat infak dan sedekah yang di inisiasi oleh FOZ (masyarakat)
Pemerintah mengesahkan UU zakat, mendirikan Badan Amil Zakat dan secara formal mengakui keberadaan LAZ
Pengelolaan zakat semakin kreatif dan inovatif dengan menggunakan pendekatan masyarakat oleh BAZNAS dan LAZ. pengelolaan zakat secara tradisional tetap ada
Era Reformasi10
Pertanggungjawaban pengelolaan zakat menjadi bagian strategi dalam membangun kepercayaan kepada masyarakat
Zakat Fitrah dan Zakat Mal. Pembaharuan obyek zakat (zakat profesi dan zakat perusahaan)
Pemerintah mengesahkan UU Zakat yang baru dan Presiden semakin memperhatikan zakat (adanya inpres untuk membayar zakat kepada seluruh PNS, penetapan hari zakat nasional), BAZNAS berperan dalam berbagai agenda zakat Internasional UU No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat infak dan sedekah, Instruki Presiden, Peraturan Mentri Agama (PMA), Peraturan BAZNAS. Judicial Review UU No. 23 Tahun 2011
(1) BAZNAS sebagai Koordinator Zakat nasional (2) Berbagai lembaga pemerintahan dan perusahaan sudah mewajibkan pegawainya membayar zakat (3) pengembangkan pengelolaan zakat berbasiskan teknologi dan IT
Era Reformasi Pasca UU pengelolaan Zakat yang Baru9
31
Matriks 2 Aspek-Aspek Era Pengelolaan Zakat di Indonesia
32 Ringkasan: Dimensi Nilai dan Struktur Transformasi Pengelolaan Zakat di Indonesia Transformasi menurut Kuntowijoyo (2006) adalah perpindahan atau pergeseran suatu hal ke arah yang lain atau baru tanpa mengubah secara keseluruhan yang terkandung didalamnya, meskipun dalam bentuknya yang baru telah mengalami perubahan. Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa berdirinya Dompet Dhuafa, lahirnya FOZ, disahkannya UU zakat hingga lahirnya BAZNAS sebagai organisasi pengelola zakat milik pemerintah menciptakan arah perubahan pengelolaan zakat yang dikelola menggunakan prinsip organisasi modern dan strategi pemberdayaan. Namun esensi, hukum dan ajaran inti dalam pengelolaan ZIS tidak berubah. Transformasi pengelolaan zakat terwujud pada pengorganisasian dan program pengelolaan zakat organisasi pengelola zakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Macionis, Ritzer dan farley dalam Lauer (2003) bahwa perubahan sosial dalam kaitannya dengan organisasi dan ikatan antara unsur-unsur masyarakat didefinisikan oleh para ahli sebagai transformasi dalam struktur sosial/ organisasi masyarakat. Transformasi pengelolaan zakat yang terjadi apabila dilihat melalui kerangka transformasi terdiri dari transformasi nilai dan struktural (Kuntowijoyo, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa apabila kita telaah lebih mendalam bahwa proses transformasi pengelolaan zakat yang terjadi pada saat itu terbagi dalam dua dimensi, yaitu transformasi nilai dan transformasi struktur. “…Modernisasi zakat didorong oleh Dompet Dhuafa dengan presiden direkturnya Erie Sudewo kemudian Fikih zakatnya oleh KH Didin Hafidhuddin, disinilah artinya perpaduan dari keduanya...” (IS (38) akademisi Ekonomi Syariah)
Transformasi nilai pada pengelolaan zakat berupa pembaharuan konsep (fikih) zakat. Fikih zakat merupakan nilai-nilai inti dalam praktik pengelolaan zakat. “...hasil buku Yusuf Qardhawi diterjemahkan dan kemudian Bapak (Didin Hafidhuddin) punya ijtihad sendiri dari disertasinya mengenai zakat, yaitu qiyas shabah yang berarti bagaimana mengqiyaskan zakat penghasilkan dalam dua hal yaitu pada sisi nisab dengan zakat pertanian, dan kadar diqiyaskan dengan zakat emas yang menelurkan zakat dalam perekonomian modern. Ijtihad individu diakui internasional dan digunakan di Indonesia...” (IS (38) akademisi Ekonomi Syariah)
Uraian diatas menunjukkan bahwa pembaharuan obyek zakat melalui Ijtihad (proses perenungan mendalam) untuk menentukan dengan tepat dan sesuai harta yang dikenakan sebagai obyek zakat pada kondisi perekonomian saat ini (modern). Pembaharuan konsep juga dilakukan dalam hal hukum dan implementasi pengelolaan zakat pada perekonomian modern, seperti struktur manajemen pengelolaan zis yang modern, pendayagunaan dana zis dan penggunaan dana zis untuk amil. Seperti yang diuraikan pada tabel berikut mengenai pembaharuan konsep zakat.
33 Tabel 1 Transformasi Nilai Pengelolaan Zakat: Pembaharuan Konsep Zakat Aspek
Zakat Tradisional
Obyek Zakat
Zakat dalam perekonomian Modern
Zakat pertanian, perdagangan, hasil tambang dll
Struktur dan Manajemen ZIS
Panitia, musiman, insidental
Pendayagunaan Zakat
Keperluan konsumtif seharihari (charity)
Penggunaan Dana ZIS untuk Amil
Tidak diatur
Bertambah menjadi : zakat profesi, zakat perusahaan, zakat investasi properti, zakat perdagangan mata uang, zakat asuransi syariah, dan zakat usaha pada sektor modern. Memiliki pembagian struktur sesuai dengan fungsi: dewan pengawas, dewan syariah, pelaksana zakat Modal produktif, membangun pabrik atau perusahaan dari uang zakat yang keuntungannya untuk mustahik Batasan untuk amil maksimal 12,5 persen dari total dana yang dihimpun organisasi pengelola zakat
Sumber : Hafidhuddin, 2002 Pembaharuan obyek harta zakat yang mencakup berbagai profesi dan usaha dalam perekonomian modern mengakibatkan dana zakat semakin beragam, tidak hanya terbatas pada zakat fitrah dan zakat harta (pertanian, emas, dll) tetapi berbagai profesi modern seperti dokter, insinyur, pengusaha dan perusahaan juga menjadi obyek zakat. Hal ini menyempurnakan perkembangan konteks kekinian mengenai obyek harta zakat yang ada pada perekenomian modern. Pengelolaan zakat menjadi lebih adil karena tidak hanya petani, nelayan, peternak saja yang menjadi wajib zakat, berbagai profesi lain asalkan memenuhi syarat wajib zakat dikenakan kewajiban membayar zakat. Selain itu dengan keragaman obyek zakat dalam perekonomian modern potensi sumber dana zakat menjadi besar dan dapat dikalkulasikan. Hal ini dikarenakan dengan adanya zakat profesi dan perusahaan besaran sumber dana zakat yang dihimpun dapat dihitung per bulan atau per tahun sesuai dengan gaji atau keuntungan berbagai profesi modern yang juga tetap tiap bulannya. Tercatat beberapa penelitian mengenai potensi dana zis, yaitu Monzer Kahf (1989) bahwa potensi zakat nasional pada kisaran 1-2 persen dari total PDB, kemudian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2005) menyatakan bahwa potensi zakat nasional mencapai angka 19,3 Triliyun Rupiah sedangkan IMZ pada 2007 merilis prediksi potensi zakat nasional pada kisaran 27,2 Triliyun (IZDR, 2012). Studi terbaru yang dilakukan oleh BAZNAS dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (FEM IPB) menunjukkan angka yang lebih besar, yaitu pada tahun 2011 potensi zakat nasional mencapai 3,4 persen dari PDB atau tidak kurang dari Rp 217 Triliyun, yang terdiri dari potensi zakat rumah tangga sebesar Rp 82,7 Triliyun, Zakat Industri (perusahaan swasta dan BUMN) sebesar Rp 117, 29 Triliyun dan Zakat Tabungan sebesar Rp 17 Triliyun (IZDR 2012).
34 Selain itu konsep pendayagunaan dana ZIS berkembang secara bertahap tidak hanya untuk keperluan konsumtif saja, tetapi untuk pengembangan ekonomi dan sumberdaya manusia seperti yang diuraikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Tahapan Pendayagunaan Dana ZIS Tahapan Penyaluran murni
Program Hibah, santunan dan karitatif
Dana Langsung habis
Semi Pendayagunaan
Hibah, santunan, karitatif, Pengembangan sumber daya manusia
Langsung habis
Pendayagunaan
Hibah, santunan, karitatif, Pengembangan sumber daya manusia, Pengembangan ekonomi
Tidak langsung habis
Orientasi Sampainya dana kepada Mustahik Manfaat program (dana) kepada mustahik Perubahan mustahik
Sumber : Hafidhuddin dan Juwaini, 2006 Selain itu pada transformasi nilai (konsep fikih zakat) juga menetapkan bahwa hak amil (pengelola zakat) hanya 1/8 atau 12,5 persen dari total dana yang telah dihimpun, tidak boleh lebih. Hal ini ditetapkan agar hak untuk penerima zakat lain yang lebih membutuhkan diprioritaskan, terutama masyarakat miskin. Transformasi struktural pengelolaan zakat di Indonesia terdiri dari perubahan (1) pelaku, (2) relasi antar pelaku zakat dan (3) perubahan aturan kelembagaan dalam pengelolaan zakat. Perubahan pelaku pengelola zakat, yaitu adanya organisasi pengelola zakat modern, seperti Dompet Dhuafa sebagai amil dalam pengelolaan zakat selain masjid, pesantren, Kiai, tokoh lokal dll. Pengelolaan zakat bertambah tidak hanya dilakukan oleh orangorang yang berasal dari pesantren, masjid atau harus memiliki pengetahuan atau gelar tertentu dalam agama. Dompet Dhuafa justru lahir dari perusahaan Media/ Harian Umum dan diketuai oleh Erie Sudewo yang menurut AJ (46) tidak memiliki latarbelakang pendidikan formal keagamaan atau memiliki status/ gelar tertentu dalam agama (Kiai, ustad dsb). Adanya perubahan pada pengelola zakat (amil) mempengaruhi relasi antar pelaku zakat yang lain, yaitu hubungan antara pemberi zakat (muzakki) dengan penerima zakat (mustahik) berubah, tidak lagi langsung tetapi diperantarai oleh amil/ pengelola zakat yang merupakan organisasi modern. Dalam memberikan zakatnya, muzaki tidak harus bertemu langsung dengan amil tetapi dapat melalui Bank dengan transfer dsbgnya. Hubungan antara amil dengan muzaki dilandasi atas kepercayaan muzaki terhadap amil dalam pengelolaan zakat sehingga amil harus transparan dalam pengelolaan zakat. Hubungan antara amil dengan mustahik tidak lagi subordinat, tetapi melalui berbagai program pemberdayaan yang dilakukan oleh amil/ organisasi pengelola zakat. Aturan dan kelembagaan yang mengatur hubungan antar pelaku zakat pun telah dilegalkan melalui UU pengelolaan zakat yang mengatur bagaimana pengelolaan zakat yang profesional.
35 Tabel 3 Transformasi Struktur Pengelolaan Zakat Aspek
Zakat Tradisional
Pelaku pengelola zakat
Zakat dalam perekonomian Modern
Kiai, Ulama, Tokoh Agama, Pesantren, Masjid dll
Relasi antar pelaku organisasi pengelola zakat
Muzaki dapat memberi zakat langsung kepada mustahik ataupun melalui orang yang dipercaya (Kiai, Ulama dll) secara langsung (tunai)
Aturan
Panitia musiman, insidental, skarela
Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) Modern baik Pemerintah (BAZNAS) maupun yang didirikan masyarakat dan swasta/ perusahaan (Dompet Dhuafa, PKPU, RZ dll) Muzaki membayar zakat atas dasar kepercayaan terhadap OPZ dan melalui berbagai program dan teknologi yang ada di era modern. Mustahik menerima dana zis melalui berbagai program OPZ Aturan organisasi masuk fulltime, ada kontrak kerja dan UU Pengelola Zakat No. 39 Tahun 1999, UU Pengelola Zakat No. 23 Tahun 2011
Sumber : data penelitian Transformasi struktural pada pengelolaan ZIS dimiplementasikan pada organisasi pengelola zakat modern yang memiliki ciri-ciri (Hafidhuddin dan Juwaini, 2006), yaitu (1) pengelolaan secara full time/ sesuai dengan jam kerja kantor, (2) dikelola oleh orang-orang yang memiliki kompetensi dalam bidangnya, (3) adanya balas jasa yang wajar, dan memenuhi standar untuk hidup, (4) Orientasi penilaian di dalam lembaga adalah orientasi prestasi sehingga setiap pengelola memberikan kontribusi terbaiknya, (5) Menggunakan dan melakukan cara-cara sesuai standar manajemen modern, (visi misi, perencanaan tahunan, pengorganisasian, penyusunan personil, penyusunan anggaran dan evaluasi perkembangan), (6) Mengimplementasikan transparansi dan akuntabilitas lembaga (pencatatan setiap kegiatan dan transaksi, menyusun laporan dan mempublikasikan laporan kegiatan dan keuangan kepada publik sehingga masyarakat dapat mengapresiasi), dan (7) menggunakan strategi pemberdayaan dalam pendayagunaan dana zakat, infak dan sedekah. Pada praktiknya Dompet Dhuafa merupakan representasi dari transformasi struktural pengelolaan zakat. Dompet Dhuafa mewarisi nilainilai kultur bisnis dan manajemen modern Republika, yaitu dengan aturan kepegawaian yang sama dengan Republika, bekerja full time, memiliki gaji yang ditentukan dan bekerja sesuai dengan struktur, tugas dan fungsi yang telah ditentukan. Pada perkembangannya pasca transformasi pengelolaan zakat, pengorganisasian dan program pengelolaan zakat yang modern juga dilakukan oleh berbagai OPZ lainnya, baik dari pemerintah seperti BAZNAS maupun lembaga zakat masyarakat, seperti PKPU, Rumah Zakat, LAZIS MU, LAZIS NU, Darut Tauhid dll. Dompet Dhuafa menggunakan strategi pemberdayaan secara utuh pada tahun 1999 ketika Dompet Dhuafa telah menjadi organisasi mandiri, yaitu ketika berpisah dari Republika dan berdiri sendiri sebagai lembaga zakat. Erie Sudewo sebagai pemimpin organisasi lebih leluasa dalam mengembangkan Dompet Dhuafa baik secara manajemen organisasi maupun berinovasi dalam
36 pengelolaan zakat menggunakan strategi pemberdayaan yang menurut AJ (46) dilatarbelakangi beberapa hal, yaitu: 1 Latar belakang Erie Sudewo sebagai pemimpin lembaga zakat yang lahir dari perusahaan koran bukan dari pesantren atau tokoh agama, sehingga tidak kaku dengan fiqih, lebih berani dan bebas dalam mengembangkan program-program pengelolaan Dana ZIS 2 Karakter personal Erie Sudewo (ES) sebagai pendiri dan pemimpin Dompet Dhuafa yang ingin selalu berbeda dengan yang lainnya, kreatif dan inovatif menyebabkan Dompet Dhuafa pun sebagai organisasi terwarnai dengan berbagai program-program baru dan orisinil yang berbeda dengan organisasi pengelola zakat lainnya serta kreatif dan inovatif dalam mengembangkan organisasinya. 3 Semangat Dompet Dhuafa yang ingin mengembalikan “kemuliaan zakat” masa kejayaan Islam zaman Rasul dan sahabat nabi, ke masa kini dan terus diwariskan ke generasi berikutnya. 4 Cara pandang Dompet Dhuafa merupakan “The Shadow State”, yaitu pengelolaan ZIS Dompet Dhuafa menjadi bayangannya negara dalam memberikan manfaat kepada masyarakat di kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial baik berkompetisi membangun masyarakat, maupun menjadi partner saling mengcopy program yang baik satu sama lain Hal ini membuktikan bahwa melalui, Dompet Dhufa berinovasi melalui program penyaluran dan pendayagunaan dana ZIS menggunakan pendekatan strategi pemberdayaan dan didasarkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam empat bidang (kesehatan, pendidikan, ekonomi dan sosial) sehingga program pengelolaan dana ZIS tidak lagi hanya terbatas pada hibah, charity/ karitatif.
6
POLA PENGORGANISASIAN DAN PROGRAM PENGELOLAAN ZAKAT DOMPET DHUAFA DAN BAZNAS
Transformasi pengelolaan zakat yang terjadi pada tahun 1999 menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan pola pengorganisasian dan program pengelolaan zakat di Indonesia. Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa pasca transformasi pengelolaan zakat, banyak organisasi pengelola zakat yang bertransformasi menggunakan pola pengorganisasian yang modern seperti Dompet Dhuafa dan banyak pula organisasi pengelola zakat modern yang lahir, seperti BAZNAS. Dalam Studi kasus Dompet Dhuafa merupakan lembaga zakat yang mengalami perkembangan pola pengorganisasian dan program pengelolaan zakat pasca transformasi pengelolaan zakat sedangkan BAZNAS merupakan organisasi pengelola zakat yang lahir sebagai implementasi transformasi pengelolaan zakat. Pola Pengorganisasian dan Program Pengelolaan Zakat Dompet Dhuafa Transformasi pengelolaan zakat dan Dompet Dhuafa saling mempengaruhi satu sama lain, disatu sisi Dompet Dhuafa merupakan trigger
37 Transformasi Pengelolaan Zakat, dan disisi lain adanya transformasi pengelolaan zakat (salah satunya disahkannya UU No.38 Tahun 1999) yang menciptakan lingkungan yang kondusif dalam pengelolaan zakat di Indonesia, membuat Dompet Dhuafa semakin leluasa dalam mengembangkan pola pengorganisasian dan program pengeolaan zakat yang massif, inovatif dengan menggunakan strategi pemberdayaan. Ditambah lagi dengan ditetapkannya Dompet Dhuafa sebagai LAZ tingkat nasional pada tanggal 8 Oktober 2001 oleh Menteri Agama semakin menguatkan kedudukan Dompet Dhuafa sebagai institusi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat. Hal ini merupakan momentum Dompet Dhuafa, untuk menjadi lebih profesional dan memiliki program pengelolaan zakat yang yang lebih kreatif dan inovatif agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Dompet Dhuafa yang lahir pada tahun 1993, selama 20 tahun perannya baik di dunia perzakatan maupun pengembangan sosial ekonomi masyarakat di Indonesia, Dompet Dhuafa telah melewati fase-fase perkembangan organisasi yang dinamis. Oleh karena itu semenjak lahir pada tahun 1993 hingga saat ini, perkembangan pengorganisasian Dompet Dhuafa dibagi dalam tiga fase, yaitu fase kelahiran (tahun 1993-1999), fase kemandirian dan inovasi organisasi (1999-2010) dan fase organisasi social enterprise (pasca 2010), yaitu ketika Dompet Dhuafa menjadi dua organisasi, yaitu DD Filantropi dan DD Corpora. Pembagian ketiga fase tersebut didasari, masingmasing fase memiliki karakteristik tersendiri dalam pengorganisasian dan program pengelolaan zakatnya. 1994-1999 1 Fase lahir dan pengembangan organisasi
1999-2010
2010-2015
2 Fase kemandirian dan inovasi organisasi
3 Fase Dompet Dhuafa menjadi Social Enterprise
Tahun 1993 lahirnya Dompet Dhuafa dibawah asuhan Koran Republika Tahun 1994 berdiri Yayasan Dompet Dhuafa yang dipimpin Erie Sudewo Program: bantuan bencana, modal produktif, beasiswa pendidikan dan bantuan hewan kurban
Tahun 1999 Dompet Dhuafa berpisah dari Republika Program penyaluran dan ZIS menggunakan strategi pemberdayaan Pergantian Presiden Direktur Dompet Dhuafa menjadi Ismail A. Said Pembukaan cabang dan Mitra Dompet Dhuafa di dalam dan luar negri Program-program Dompet Dhuafa menjadi lembaga otonom mandiri yang memiliki program dan struktur organisasi
Pada Tahun 2010 Pembagian Dompet Dhuafa menjadi DD Filantropi dan DD Corpora (Transformasi DD menjadi Organisasi Social Enterprises) Pergantian Pres Direktur Dompet Dhuafa menjadi Ahmad Juwaini Tahun 2013
Sumber : data penelitian Gambar 2 Perkembangan Organisasi Dompet Dhuafa Tahun 1994-2013
38 Fase kemandirian dan inovasi organisasi diawali setelah secara resmi berpisah dengan Republika pada tahun 1999 dan ditetapkannya Dompet Dhuafa sebagai LAZ tingkat nasional pada tanggal 8 Oktober 2001 oleh Menteri Agama. “…berpisahnya Dompet Dhuafa dengan Republika pada tahun 1999 ditandai dengan Pak Erie statusnya tidak menjadi karyawan Republika dan tidak lagi digaji oleh Republika serta pindahnya kantor Dompet Dhuafa di Ciputat…”(AJ (46) Presiden Direktur Dompet Dhuafa)
Setelah menjadi organisasi mandiri, Dompet Dhuafa memiliki otoritas penuh dalam mengelola seluruh urusan organisasi, seperti sumber daya manusia dan program-program pengelolaan zakat. Dompet Dhuafa telah memiliki bekal yang cukup dalam mengelola organisasi secara mandiri karena setelah lima tahun pertama terbentu sebagai bagian dari Republika, Dompet Dhuafa telah mendapatkan bargaining dan menjadi icon sebagai lembaga sosial pengelola zakat di mata masyarakat. Apalagi pada saat itu Dompet Dhuafa sebagai lembaga pengelola dana zakat dan sosial belum memiliki saingan, karena pengelolaan BAZIS DKI yang tertutup dan YDSF sebagai lembaga zakat pertama, program-programnya masih sederhana, lokal dan terbatas. Pada fase ini perubahan elemen organisasi yang dominan adalah perubahan pemimpin organisasi, struktur dan strategi organisasi. Setelah 11 tahun menjadi Presiden Direktur Dompet Dhuafa, Erie Sudewo telah membangun nilai-nilai dasar, infrastruktur organisasi dan program pengelolaan zakat yang kreatif dan inovatif sehingga menjadi trendsetter bagi lembaga zakat yang lain. Pada tahun 2004, terjadi pergantian kepemimpinan Dompet Dhuafa dari Erie Sudewo diserahkan kepada Ismail Agus Said. Pada masa kepemimpinan, berfokus pada inovasi dan ekspansi organisasi melanjutkan apa yang telah Erie Sudewo bangun dan jalankan, meliputi pembukaan beberapa cabang dan kantor perwakilan Dompet Dhuafa baik di dalam maupun di luar negeri dan yang kedua pengembangan program pengelolaan zakat yang telah dirintis sebelumnya menjadi lebih sistematis, variatif dan inovatif dengan program pendayagunaan zakat dikelola oleh organisasi tersendiri yang disebut jejaring/ organ. Hal ini bertujuan sebagai lembaga zakat nasional, Dompet Dhuafa dapat memberikan pelayanan yang optimal dan merata ke seluruh Indonesia.
39 Tabel 4 Ekspansi Organisasi : Pembukaan Kantor Cabang dan Perwakilan Dompet Dhuafa No. Strategi Ekspansi Deskripsi Daerah Ekspansi Organisasi 1
Pembukaan Kantor Cabang di Indonesia
Pembukaan cabang oleh Dompet Dhuafa di dalam negeri
2
Pembukaan Kantor Perwakilan
Kerjasama Dompet Dhuafa dengan lembaga zakat daerah (setempat)
3
Pembukaan Kantor Cabang di luar Negeri
Pembukaan cabang oleh Dompet Dhuafa di dalam negeri
Jakarta, Bekasi, Karawaci, Singgalang, Sumatra Selatan, Riau, Jambi, Banten, Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan lembaga zakat DSNI Amanah(Batam), Lampung Peduli, Lembaga Zakat Dompet Sosial Madani (Bali), Lembaga Zakat Dompet Amal Sejahtera Ibnu Abbad (NTB) dan Dompet Ummat (Kalimantan Barat) Hongkong, Amerika, Jepang, Australia, Korea
Sumber: data penelitian (wawancara dan situs dompet dhuafa) Dompet Dhuafa mengawali pembukaan cabang di Jawa Barat pada tahun 2002, kemudian cabang dompet dhuafa di dalam negeri terus bertambah dan berkembang. Selain kantor cabang, Dompet Dhuafa juga memiliki kantor perwakilan, yaitu kerjasama program pengelolaan zakat antara Dompet Dhuafa dengan organisasi setempat. Dompet Dhuafa pertama kali bekerjasama dengan lembaga zakat Peduli Ummat Wasapada pada tahun 2001. Sedangkan di luar negri Dompet Dhuafa pertama kali membuka cabangnya di Hongkong pada tahun 2004 setelah pada tahun 1999 Dompet Dhuafa diundang oleh organisasi Islam di Hongkong, dan pada tahun 2003 Dompet Dhuafa memiliki program pemberdayaan bagi Migran di Hongkong. Sedangkan program pengelolaan zakatnya, Dompet Dhuafa cabang bekerjasama dengan Dompet Dhuafa Pusat walaupun terdapat pula program mandiri yang dijalankan oleh cabang. Oleh karena itu, pembukaan cabang baru Dompet Dhuafa baik di dalam maupun di luar negeri menunjukkan perkembangan strategi ekspansi organisasi dan berkembangnya struktur organisasi Dompet Dhuafa. Selain pembukaan cabang baru, Dompet Dhuafa juga melakukan inovasi organisasi dengan pengembangan struktur pada internal organisasi, yaitu program-program Dompet Dhuafa yang telah berjalan dengan baik dikembangkan menjadi jejaring organisasi otonom yang diberikan wewenang dalam mengatur organisasinya sendiri. Menurut Ad (26) baik setiap jejaring organisasi maupun cabang dompet dhuafa memiliki otoritas sendiri dalam pengelolaan organisasi baik struktur organisasi, visi misi, maupun perekrutan dan pembinaan sumberdaya manusia/ amilnya.
40 Tabel 5 Inovasi Organisasi: Pengembangan Jejaring Organ Dompet Dhuafa Bidang Kesehatan Sosial Ekonomi
Pendidikan
Program
Tahun
LKC BMT
2004 2005
Tebar Hewan Kurban Lab. Biologi Pertanian Beasiswa Pendidikan
2005 2004 2003
Deskripsi menjadi jejaring organisasi kesehatan berkembang menjadi jejaring Masyarakat Mandiri yang berfokus pada pengembangan berkembang menjadi Kampung Ternak Berkembang menjadi Lembaga Pertanian Sehat (LPS) Berkembang menjadi LPI (Lembaga Pengembangan Insani) yang memiliki berbagai program beasiswa dari SD hingga PT
Sumber : dokumen organsisasi (situs jejaring organisasi Dompet Dhuafa) Fase selanjutnya adalah Dompet Dhuafa menjadi Organisasi Social Enterprise pada tahun 2010, yaitu ketika Dompet Dhuafa secara legal berpisah menjadi dua organisasi Dompet Dhuafa, yaitu Dompet Dhuafa Filantropi yang berfokus pada pelayanan dan pemberdayaan sedangkan Dompet Dhuafa Corpora yang berfokus membangun unit bisnis yang keuntungannya untuk menunjang aktivitas sosial Dompet Dhuafa filantropi13. DD Corpora merupakan perusahaan yang berorientasi social bussiness dan dikelola secara profesional sehingga seluruh hasil hasil usahanya untuk mendukung yayasan Dompet Dhuafa. “...dalam rangka mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan organisasi, Dompet Dhuafa ingin spesialisasi dalam fokus organisasinya bahwa kegiatan yang bersifat sosial fokus kegiatan sosial dan kegiatan yang bersifat social enterprise fokus pada tugasnya, dua kegiatan yang berbeda secara kultur dipisahkan obyek atau tujuannya sehingga dipisahkan lebih jelas agar masing-masing bisa lebih kuat dan fokus. Namun walaupun dipisahkan kedua organisasi tersebut tetap satu kesatuan yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat. Disamping itu Dompet Dhuafa yang terus tumbuh dan banyak orang yang terlibat didalamnya, dan harapan mereka ingin mengembangkan karirnya, jika terkumpul di satu tempat maka akan sesak sehingga dibuat organisasi baru agar SDM/ personal dapat berkembang dan mengembangkan karir, karena jika tidak di fasilitasi akan keluar/ pergi dari dompet dhuafa. Ini merupakan bagian dari proses kaderisasi dan dinamisasi Dompet Dhuafa...”(AJ, (46)Presiden Direktur Dompet Dhuafa)
13
http://ddcorpora.co.id/ina/sejarah/[12 Desember 2014] Sesuai dengan Surat Keputusan Dewan Pembina Yayasan Dompet Dhuafa Republika Nomor 109/DD-Corsec/ Rajab/ 1431 tanggal 10 Juni 2010 yang memutuskan untuk melakukan pemisahan keuangan Direktorat Bisnis, Fundrising dan Program. Maka terbentuklah PT Daya Dinamika Corpora yang kemudian agar lebih mudah dikenal oleh Donatur maka PT Daya Dinamika Corpora berganti nama menjadi “PT Dompet Dhuafa Corpora” (DD Corpora). Kelembagaan DD Corpora ditetapkan mandiri, berbadan hukum perseroan, dengan kepemilikan saham utama pada Yayasan Dompet Dhuafa Republika.
41 Berdasarkan uraian yang ada menunjukkan bahwa pemisahan Dompet Dhuafa bertujuan untuk memisahkan fokus organisasi masing-masing, dan sebagai upaya pengembangan organisasi dan sumber daya manusia yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, fokus kerja DD Corpora yang berbentuk PT diharapkan dapat memberikan keuntungan yang optimal melalui usahausahanya sehingga dapat mendukung penuh aktivitas sosial DD Filantropi. Semenjak berdirinya sampai dengan tahun 2015, DD Corpora membawahi beberapa unit usaha, baik unit usaha yang diwariskan oleh Dompet Dhuafa Yayasan maupun unit usaha mandiri yang dibangun oleh DD Corpora. Tabel 6 Unit Usaha Social Enterprise Dompet Dhuafa Unit Usaha
Status
Tahun
Deskripsi
DD Travel
Warisan
DD Consulting DD Live Stock DD Water PT Pertanian Sehat Indonesia PT Permodalan BMT Ventura DD Konstruksi
Warisan Warisan Warisan Warisan
Program Haji Plus, Umroh Tematik, dan Wisata Zakat Jasa Konsultasi dan Training Perusahaan Pemasaran ternak dan hasil ternak Penjualan air mineral Bidang pertanian
Warisan
Pengembangan dari BMT Center
Mandiri
DD Niaga
Mandiri
DD Medika PT Wasila Nusantara
Mandiri Mandiri
Konstruksi bangunan (sekolah, jembatan, air bersih, pasar, masjid) Penjualan barang bekas dari Donasi masyarakat Pelayanan kesehatan home care Pengelolaan aset Dompet Dhuafa yang berasal dari Wakaf
Sumber: http://ddcorpora.co.id/ina/ Selain perubahan struktur organisasi, Dompet Dhuafa berupaya mengembangkan organisasinya menjadi semakin kreatif dan inovatif demi meningkatkan kontribusinya kepada masyarakat Indonesia. Hal ini diimplementasikan melalui perubahan logo yang awalnya berbentuk dua buah pancing menjadi mata tombak berbentuk segitiga bertepatan dengan kiprah Dompet Dhuafa memasuki usia ke-17 tahun.
Gambar 3 Perubahan Logo Dompet Dhuafa “...lambang Dompet Dhuafa seperti kail bermakna bahwa dompet dhuafa membantu masyarakat tidak dengan meberikan ikan, tetapi dengan memberikan kail, yaitu dengan melatih dan mendidik masyarakat agar dapat hidup mandiri. Kemudian dompet dhuafa berubah logo menjadi mata tombak yang bermakna semangat proaktif Dompet Dhuafa dalam melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya, dengan filosofi berburu Dompet Dhuafa
42 ingin mengejar dimanapun mustahik/ masyarakat kurang mampu untuk dibantu dan Dompet Dhuafa juga proaktif mendatangi donatur untuk bersedia menyisihkan dananya untuk masyarakat yang membutuhkan...”(AJ, (46) Presiden Direktur Dompet Dhuafa)
Hal ini menunjukkan bahwa perubahan logo yang dilakukan menandakan transformasi Dompet Dhuafa menuju tingkatan kontribusi dan pemberdayaan yang lebih tinggi. Sejalan dengan perkembangan pola pengorganisasian Dompet Dhuafa, program pengelolaan zakat Dompet Dhuafa juga berkembang meliputi, pengelolaan administrasi keuangan, penghimpunan, dan pendayagunaan dana zakat, infak dan sedekah. Perkembangan praktik pengelolaan zakat yang dilakukan Dompet Dhuafa, baik penghimpunan maupun pendayagunaan dana ZIS semata-mata dilakukan untuk meningkatkan kebermanfaatan Dompet Dhuafa untuk masyarakat Indonesia, baik dari pelayanan kesehatan, pendidikan, ekonomi dan sosial. Tercatat berdasarkan catatan laporan keuangan Dompet Dhuafa (1999), pengelolaan dana zis Dompet Dhuafa telah di audit akuntan publik semenjak tahun 1999, yaitu ketika awal Dompet Dhuafa menjadi organisasi mandiri yang terpisah dengan Republika. Hal ini dilakukan sebagai tuntutan UU No.38 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa pengawasan pengelolaan zakat dapat dibantu akuntan publik (BAB VI, Pasal 18, ayat 4). Laporan keuangan yang diaudit juga digunakan Dompet Dhuafa sebagai strategi menjaga kepercayaan muzaki agar tetap konsisten membayarkan ZIS melalui Dompet Dhuafa dan menjaring masyarakat luas agar membayarkan ZIS melalui Dompet Dhuafa. Dalam pengelolaan dana ZIS, Dompet Dhuafa juga telah menerapkan transformasi nilai (konsep fikih zakat) dalam pengelolaan zakat, yaitu dana zis tidak hanya digunakan untuk masyarakat yang membutuhkan tetapi menurut Ad (26) terdapat alokasi yang proporsional untuk amil, baik diperuntukkan gaji amil (Dompet Dhuafa menggaji amil secara profesional semenjak berdiri di tahun 1994) maupun operasional amil, yang meliputi biaya iklan, biaya riset serta pengembangan organisasi dan program. Hal ini juga seperti yang diungkapkan “...Dalam menjalankan programnya kepada masyarakat dompet dhuafa melakukan berbagai riset baik dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi maupun untuk dalam menerapkan program pemberdayaan di suatu masyarakat agar efektivitas program tercapai. Dana tersebut diambil dari pos dana operasional amil...”(SL(35) manager CORSEC Dompet Dhuafa)
Hal ini menujukkan bahwa Dompet Dhuafa penggunaan dana amil untuk melakukan riset evaluasi kinerja organisasi, meningkatkan penggunaan teknologi untuk operasional organisasi. Dalam melaksanakan programnya, Dompet Dhuafa juga melakukan survey terhadap lokasi dan kondisi masyarakat yang menjadi sasaran program agar pencapaian program efektif dan optimal. Selain itu Dompet Dhuafa juga menggunakan dana ZIS untuk melakukan berbagai riset dalam rangka pengembangan zakat nasional seperti maping potensi zakat nasional dan bekerjasama dengan banyak pihak, seperti lembaga penelitian di universitas.
43 Dompet Dhuafa merupakan 10 besar lembaga zakat yang menghimpun dana ZIS terbanyak di Indonesia dan konsisten mengumpulkan dana ZIS lebih dari 30 Milyar semenjak tahun 2005 (IZDR, 2009). Hal ini tidak terlepas dari perkembangan pola dan strategi penghimpunan dana ZIS yang dilakukan Dompet Dhuafa demi meningkatkan efektivitas dan jumlah dana ZIS yang dikumpulkan. Tabel 7 Perkembangan pola dan strategi Penghimpunan dana ZIS Dompet Dhuafa Tahun 1993-1999 2000-2004 2005-2007 2008-sekarang
Pola dan strategi Penghimpunan dana ZIS Era Jurnalistik Air Mata Penerapan prinsip marketing dan fundrising Experimental marketing dan data basing Implementasi customer relationship management, aktivasi penjualan dan optimasi IT dalam kegiatan fundrising
Sumber : IZDR (2009) Pada era jurnalistik air mata, Dompet Dhuafa masih bagian Republika sehingga penghimpunan dananya dominan melalui media Harian Republika, baik berupa iklan maupun artikel, opini kolom pembaca dengan membangun empati masyarakat agar mau berbagi kepada masyarakat lain yang tidak mampu. Oleh karena itu pada era ini disebut sebagai pola dan strategi jurnalistik air mata. “...Dompet Dhuafa dapat segera menjadi icon, karena lahir di bawah asuhan koran republika sehingga langsung dapat dikenali oleh masyarakat, karena melalui publikasi republika DD dapat segera dikenal publik/ masyarakat luas...”(AJ, (46)Presiden Direktur Dompet Dhuafa)
Pola strategi penghimpunan era jurnalistik air mata ini juga merupakan cara Dompet Dhuafa untuk memperkenalkan diri dan membangun bargaining di mata masyarakat sehingga dalam waktu beberapa tahun Dompet Dhuafa telah menjadi icon lembaga sosial/ lembaga amil zakat profesional yang dipercaya masyarakat. Pada tahun 1999, ketika Dompet Dhuafa berpisah dengan Republika, dalam penghimpunannya menggunakan lebih beragam strategi karena pada program Dompet Dhuafa yang beragam membutuhkan dana zis yang besar. “…Pada tahun 2000 sampai dengan 2004, Dompet Dhuafa dalam menghimpun dana zis, menggunakan strategi seperti direct mail yang dikembangkan oleh saya pertama kali dengan mengumpulkan nama dan alamat yang dikumpulkan dari perusahaan atau asosiasi bisnis juga oragnisasi nirlaba, seperti IPHI, ikatan Advokat dll..”. AJ, (46)Presiden Direktur Dompet Dhuafa)
Hal ini menunjukkan bahwa dalam menghimpun dana Dompet Dhuafa menggunakan prinsip marketing dan fundrising, yaitu dengan memasarkan dan mengajak berbagai stakeholder potensial agar membayarkan zakatnya melalui Dompet Dhuafa. Selain itu strategi jurnalistik tetap digunakan karena Dompet Dhuafa masih tetap bekerjasama dengan Republika dan media lain seperti tabloid adil dan tekad sebagai sarana edukasi dan sosialisasi zakat serta promosi dan penggalangan dana dari masyarakat karena ketiga media tersebut
44 menjangkau 300.000 pembaca komunitas muslim yang kebanyakan kelas menengah dengan penghasilan yang tinggi (IZDR, 2009).
Penghimpunan (Dalam Milyar)
Penghimpunan Dana ZIS Dompet Dhuafa Tahun 1999-2004 20 15 10
Penghimpunan Dana ZIS
5
0 1999
2000
2001
2002
2003
2004
Sumber: Laporan Keuangan Dompet Dhuafa 1999-2004 Gambar 4 Penghimpunan Dana ZIS Dompet Dhuafa Tahun 1999-2004 Pada tahun 2005 sampai dengan 2007, dalam penghimpunan Dompet Dhuafa mengembangkan strategi experimental marketing dan data basing, yaitu dalam melakukan marketing untuk penghimpunan dana zakat, Dompet Dhuafa melakukan riset terlebih dahulu untuk memprediksi konsekuensi apakah strategi marketing yang dilakukan dapat berhasil dengan memahami emosi dan perasaan muzaki menjadi penting utuk diperhatikan sehingga kebutuhan muzaki akan didengarkan dan berusahan untuk diwujudkan (IZDR, 2009). Kemudian data basing dengan mendata muzaki dan masyarakat yang berpotensi menjadi muzaki melalui strategi intensifikasi zakat berupa maping, yaitu mendapatkan gambaran potensi zakat di suatu wilayah sehingga didapatkan data wajib zakat potensial dan petunjuk untuk memformulasikan strategi peningkatan penerimaan zakat yang tepat. Pada tahun 2008, strategi yang digunakan Dompet Dhuafa dalam penghimpunan dana ZIS semakin berkembang, yaitu dengan mengimplementasikan customer relationship management, aktivasi penjualan dan optimasi IT dalam kegiatan fundrising. Data base muzaki dan wajib zakat potensial yang dimiliki Dompet Dhuafa, digunakan untuk membangun hubungan lebih erat dan berkelanjutan antara amil dan muzaki sehingga Dompet Dhuafa dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada muzaki yang secara konsisten membayar zakat melalui Dompet Dhuafa. “...Yang terbaik bukan hanya mengajak orang berzakat ke dompet dhuafa, tetapi tingkatan yang terbaik dalam fundrising DD adalah menjadikan mereka percaya bahwa DD adalah lembaga terbaik, sehingga sudah pasti muzaki menitipkan uang ke DD dan mengajak orang untuk donasi ke dompet dhuafa. Menciptakan advokasi dan relawan dompet dhuafa, menjadi aktif, membela dompet dhuafa, mengenalkan pada orang lain. Semenjak saya
45 membangun fundrising titik tekan saya bahwa kepuasan donatur adalah yang utama...”(AJ, (46)Presiden Direktur Dompet Dhuafa)
Hal ini menunjukkan bahwa Dompet Dhuafa memandang muzaki merupakan mitra amil, bukan sekedar obyek sumber dana zis sehingga muzaki merupakan bagian dari Dompet Dhuafa yang aktif menjadi relawan zakat dalam mengedukasi dan mensosialiasikan zakat serta mengajak masyarakat membayarkan zakatnya melalui Dompet Dhuafa. Oleh karena itulah Dompet Dhuafa selalu membangun hubungan baik, memberikan pelayanan dan kepuasan muzaki adalah yang utama. Dalam menjaga hubungan baik yang berkelanjutan dan menjaga loyalitas muzaki Dompet Dhuafa juga memiliki strategi membership (keanggotaan muzaki), yaitu melalui kartu keanggotaan yang memiliki fasilitas khusus seperti kartu diskon di beberapa perusahaan yang menjadi mitra Dompet Duafa dan kerjasama Dompet Dhuafa dengan Bank Muamalat Indonesia membuat Kartu Ukhuwah (KU), yaitu kartu keanggotaan yang dapat digunakan sebagai ATM yang memudahkan donatur dalam menyalurkan sumbangannya. Dompet Dhuafa juga berupaya menjaga menjaga hubungan baik dengan para donatur dengan cara mengirimkan souvenir, kartu lebaran, atau kartu ulang tahun, dan majalah gratis pada para donatur. Dompet Dhuafa juga memiliki pelayanan jemput zakat atau pengambilan zakat, bagi donatur yang ingin dananya diambil di rumah. Berbagai pelayanan tersebut membuat, donatur merasa lebih dihargai dan menjadi loyal. Strategi marketing dan fundrising juga dipadukan dengan optimasi IT dalam kegiatan fundrising, seperti dalam menghimpun dana zis melalui zakat on line melalui ATM, Internet Banking, dan SMS Banking. Dompet Dhuafa bekerjasama dengan berbagai Bank syari’ah dan Bank konvensional dalam menghimpun dana zakat, infak, sedekah, wakaf dan sumbangan kemanusiaan dengan memiliki rekening di Bank-Bank tersebut. Perkembangan pola dan strategi penghimpunan dana zis yang dilakukan Dompet Dhuafa berdampak pada meningkatnya dari tahun ke tahun jumlah dana zis yang dapat dihimpun seperti yang diuraikan pada grafik penghimpunan dana zis Dompet Dhuafa tahun 2005 – 2013.
Penghimpunan Dana ZIS Dompet Dhuafa Tahun 2005-2013 Penghimpunan Dana ZIS (dalam Milyar Rupiah)
206.6 144.6 21 2005
25.3 2006
38.9 2007
74.8 2008
92 2009
2010
210.9
143.9
2011
2012
2013
sumber: Laporan Keuangan Dompet Dhuafa 2005-2013 Gambar 5 Penghimpunan Dana ZIS Dompet Dhuafa Tahun 2005-2013
46 Pemisahan antara Dompet Dhuafa Filantropi dan Dompet Dhuafa Corpora pada tahun 2010 mempengaruhi strategi penghimpunan dana zis, yaitu mengembangkan strategi penghimpunan dana non zakat. Strategi ini sudah diawali semenjak tahun 2004 ketika Dompet Dhuafa mengembangkan unit bisnis dibawah program pendayagunaan dana zis. Pada tahun 2010, ketika DD Corpora didirikan merupakan keseriusan komitmen Dompet Dhuafa dalam mengembangkan strategi penghimpunan dana diluar dana zis. DD Corpora yang menjadi Perusahaan berbadan hukum PT yang mengelola seluruh aset dan aktivitas bisnis (social enterprise) yang dilakukan Dompet Dhuafa. “…walaupun dana zis yang dihimpun terus bertambah, tetapi proporsi dana zis dari total pemasukan keuangan Dompet Dhuafa cenderung menurun, dari proporsi dana zakat dengan non zakat 9:1 mengarah ke 6:1, ditambah lagi dengan kekhawatiran masyarakat cenderung dibatasi dalam menghimpun dana zis karena terpusat dilakukan oleh Negara sebagai dampak implementasi UU pengelolaan zakat No. 23 Tahun 2011. Apabila diproyeksikan 20-30 tahun kedepan bisa jadi masyarakat dilarang menghimpun dana zakat, sehingga organisasi tidak mati jika suatu saat nanti dilarang menghimpun dana ZIS. Namun Dompet Dhuafa masih tetap optimis masih dapat terus bertahan dalam gelanggang pengelolaan zakat di Indonesia..” (AJ, (46)Presiden Direktur Dompet Dhuafa)
Sebagai organisasi yang dinamis dan terus berkembang selama 21 tahun Dompet Dhuafa berkiprah di dalam pengelolaan zakat, program pendayagunaan dana ZIS pun berkembang sama halnya dengan program penghimpunannya. Hal ini dilakukan demi mengingkatkan kebermanfaatan Dompet Dhuafa untuk masyarakat baik dalam pelayanan kesehatan, sosial, ekonomi maupun pendidikan. Semenjak tahun 1993 sampai dengan saat ini program pendayagunaan dana ZIS yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa dibagi menjadi 4 fase, seperti yang diuraikan pada matriks 3. Matriks 3 Fase-Fase Pendayagunaan Dana ZIS Dompet Dhuafa Fase Pendayagunaan Fase I : Charity Fase II : Kebermanfaatan Fase III : Transformasi Fase IV : Advokasi
Deskripsi Memberikan bantuan langsung seperti uang dan barang untuk masyarakat sesuai kebutuhan Memberikan fasilitas agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Fokus merubah orang agar menjadi lebih berdaya/ memiliki ketrampilan/ pengetahuan Fokus pada regulasi dan menkonsidikan lingkungan/ sistem yang kondusif bagi berkembangnya masyarakat yang sejahtera
Sumber: Data penelitian, wawancara dengan AJ (46) Presiden Direktur Dompet Dhuafa Ketika pola dan strategi pendayagunaan berkembang dari fase ke fase berikutnya bukan berarti fase yang sebelumnya ditinggalkan tetapi terdapat penambahan pola dan strategi pendayagunaan zakat fase sebelumnya. Pada fase charity merupakan awal kiprah Dompet Dhuafa dalam pengelolaan zakat dan sosial kemanusiaan sehingga masih belajar dalam menciptakan program kreatif, efektif dan tepat sasaran dalam menyelesaikan permasalahan
47 kemiskinan masyarakat. Kemudian pada fase kedua kebermanfaatan Dompet Dhuafa tetap menjalankan program bantuan langsung (uang dan barang) ditambah dengan mendirikan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan masyarakat tidak mampu. Matriks 4 Fase Charity dan Kebermanfaatan Program Pendayagunaan Dompet Dhuafa Bidang
Fase I :Charity
Kesehatan
Pendidikan
Beasiswa pendidikan
Ekonomi
Program THK : Bantuan daging kurban untuk daerah terpencil dan Pemberian modal produktif BMT (lembaga keuangan mikro syariah)
Sosial
Program bantuan sosial kemanusiaan (bencana)
Fase II : Kebermanfaatan Berdirinya Klinik kesehatan/ LKC pada tahun 2000 yang dikonsep Erie Sudewo dan dr. Piprim di Ciputat dan berkembang di berbagai kota seperti, di Bekasi, Tangerang, Yogyakarta dan Makassar Berdirinya SMART Ekselensia (SMP dan SMA) pada tahun 2004 dan beastudi etos (asrama dan pembinaan) untuk mahasiswa Pada tahun 1999, didirikan Laboratorium Biologi Pertanian untuk meneliti dan mengembangkan sarana produksi pertanian tepat guna untuk membantu petani, dengan produk sarana pertanian ramah lingkungan (pupuk organik, agensi hayati pengendali hama tanaman dan pestisida nabati)
sumber: situs berbagai jejaring dompet dhuafa “…Uang bisa habis, lingkungan bisa rusak tetapi jika manusia memiliki mindset menjadi mandiri maka ia akan berusaha untuk tetap berdaya dan mandiri (agent of change) untuk bertahan hidup…”(AJ, (46)Presiden Direktur Dompet Dhuafa)
Pada fase transformasi Dompet Dhuafa tidak hanya memberikan manfaat fasilitas tetapi juga berfokus mengubah penerima manfaat menjadi mandiri, berdaya dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, karena mendapatkan pelatihan ketrampilan maupun pendampingan melalui strategi pemberdayaan (people change). Fase ini diawali dengan perkembangan program pendayagunaan Dompet Dhuafa yang berjalan dengan baik menjadi jejaring organisasi Dompet Dhuafa yang otonom.
48 Matriks 5 Fase Transfromasi Program Pendayagunaan Dompet Dhuafa Bidang
Fase Transformasi
Pendidikan 1. Program Makmal Pendidikan, yaitu pendampingan guru dan sekolah dengan memberikan pelayanan kepada tenaga pendidik untuk dapat meningkatkan kapasitas kompetensinya, pengembangan mutu dan pelayanan pendidikan yang berkualitas di sekolah-sekolah binaan. 2. Didirikannya Institut Kemandirian, yaitu lembaga pendidikan non formal yang memiliki berbagai fasilitas untuk pelatihan ketrampilan kerja (komputer, salon, otomotif, mengemudi, IT dll). 3. Pada tahun 2011 didirikan Kampus Umar Ustman yang yang bertujuan melahirkan masyarakat yang memiliki jiwa wirausaha sehingga dapat melahirkan usaha-usaha baru. Ekonomi 1. BMT Center Dompet Dhuafa yang kegiatannya mendirikan, membina dan meberikan pelatihan kepada BMT yang memberikan bantuan keuangan mikro syariah kepada masyarakat 2. Program Masyarakat Mandiri (MM) merupakan pendampingan bagi UMKM 3. Pada tahun 2004 laboratorium biologi Dompet Dhuafa berubah menjadi jejaring organisasi Lembaga Pertanian Sehat (LPS) yang memiliki melakukan aktivitas penelitian, pembinaan dan pendampingan petani dan pemasaran produk-produk pertanian ramah lingkungan 4. Kampoeng Ternak yang berfokus pada pemberdayaan Peternak pada tahun 2005 Sosial pemberdayaan terhadap buruh migran melalui program Serikat Pekerja Migran (SPM) pada tahun 2003 yang berfokus pada dakwah, pendidikan, advokasi dan pemberdayaan migran di Hongkong.
Sumber: situs berbagai jejaring dompet dhuafa Fokus pada fase advokasi tidak hanya adalah berubahnya individu, baik ketrampilan maupun mindset sehingga dapat menjadi agent of change yang mempengaruhi lingkungannya agar bisa mandiri dan berdaya. “… Dompet Dhuafa juga memiliki pandangan dalam mencegah dan mengurangi kemiskinan tidak cukup hanya manusianya yang dirubah tetapi lingkungannya juga harus berubah, dengan menjaga sistem lingkungan tempat hidup manusia (ekonomi, sosial, politik dan lingkungan) melalui aksi advokasi, yang berfokus pada regulasi dan menyiapkan lingkungan untuk generasi masa depan. Apabila tidak melakukan rehabilitasi maka sumber daya akan habis dan turun, sehingga akan menciptakan lingkungan yang miskin…”(AJ, (46)Presiden Direktur Dompet Dhuafa)
Perpaduan perubahan mindset manusia dengan daya dukung lingkungan yang baik, maka menghasilkan kebermanfaatan yang berlipat ganda untuk masyarakat dan generasi di masa mendatang. Misalnya, Advokasi masyarakat dalam mengondisikan perilaku hidup sehat dibandingkan berobat. Proses pemberdayaan yang sudah dilakukan dengan optimal, jika terjadi perubahan regulasi pemerintah maka pemberdayaan dapat gagal, sehingga tidak perlu merubah atau mengkondisikan sistem dan regulasi yang mendukung proses pemberdayaan. Pemberdayaan yang dilakukan tidak
49 cukup dengan mengurus masyarakat, tetapi juga mengurus pemerintah, jaringan pemasaran, dan semua stakeholder yang berkaitan di dalamnya. Program-program pendayagunaan yang dilakukan Dompet Dhuafa tidak lagi hanya berfokus pada memberikan kebermanfaatan dan mengubah orang-orang didalamnya tetapi juga mengondisikan sistem/ lingkungan tempat manusia itu hidup dan beraktivitas. Matriks 6 Fase Advokasi Program Pendayagunaan Dompet Dhuafa Bidang
Fase Transformasi
Pendidikan
Pada tahun 2009, lahir Sekolah Guru Ekselensia Indonesia (SGEI) sebagai produk inovasi dari Makmal Pendidikan, yang berkomitmen melahirkan Guru Transformatif yang memiliki kompetensi mengajar, mendidik dan berjiwa kepemimpinan sosial. SGI menjadi bagian dari upaya Dompet Dhuafa dalam menciptakan agent of change dalam lingkungan pendidikan, dengan dibekali berbagai kompetensi dan peserta SGI ditempatkan pada berbagai sekolah di daerah terpencil untuk dapat mengondisikan lingkungan pendidikan setempat menjadi lebih baik. Pada bidang ekonomi setiap jejaring organisasi Dompet Dhuafa seperti Pertanian Sehat Indonesia (PSI), Kampoeng Ternak, dan Masyarakat Mandiri (MM) selain memiliki program pendampingan petani, peternak dan pengusaha UKM juga mulai merambah pada penciptaan jaringan pemasaran dan jaringan komunikasi dengan stakeholder terkait serta melakukan advokasi kebijakan yang berkaitan dengan bidangnya masing-masing.
Ekonomi
Sosial
1. Jejaring organisasi Indonesia Magnificient Zakat (IMZ) yang berfokus pada riset dan advokasi kebijakan, terkait isu kemiskinan, kaji dampak program pemberdayaan, sosio-ekonomi zakat serta survei opini publik. Sedangkan advokasi kebijakan yang menjadi fokus IMZ dengan pemantauan terhadap kebijakan di tingkat nasional, regional, maupun lokal yang memiliki keterkaitan langsung dengan pengembangan isu pengentasan kemiskinan dan zakat Indonesia. IMZ bersama stakeholder zakat dan Organisasi lainnya telah melakukan pengawalan atas proses pengesahan UU Pengelolaan Zakat, UU fakir Miskin, dan Peraturan daerah mengenai Pengelolaan Zakat. 2. Jejaring organisasinya, Semesta Hijau yang programnya meliputi sedekah pohon, air untuk kehidupan, energi terbarukan dan pengelolaan limbah. 3. Corps Da’i Dompet Dhuafa (Cordofa) yang memberikan pembinaan kepada da’i/ da’iyah berupa capacity building, kajian keIslaman dan kowledge management melalui FGD, riset, data base, dan kepustakaan Islam sehingga didapatkan da’i/ da’iyah yang menjadi agent of change untuk ditempatkan diberbagai daerah di Indonesia maupun diluar negeri
Sumber: situs berbagai jejaring dompet dhuafa
50 Pola Pengorganisasian dan Program Pengelolaan Zakat BAZNAS BAZNAS merupakan organisasi pengelola zakat yang lahir dari adanya proses transformasi pengelolaan zakat di Indonesia, karena BAZNAS dibentuk sebagai implementasi dari UU pengelola zakat No. 38/ 1999. Oleh karena itulah BAZNAS yang lahir pasca transformasi pengelolaan zakat, di era reformasi telah memiliki ciri-ciri dasar sebagai organisasi pengelola zakat modern. Namun sebagai organisasi yang baru, BAZNAS belum optimal dalam menjalankan fungsi organisasi dan praktik pengelolaan dana ZIS. Perkembangan pola pengorganisasian BAZNAS menjadi organisasi pengelola zakat modern dan program pengelolaan zakat yang menggunakan pendekatan masyararakat terjadi secara bertahap dalam rangka mengoptimalkan pencapaian tujuan organisasi BAZNAS. 2003-2011
2001-2003
2
1 Fase Kelahiran
Pasca 2011
Fase pengembangan dan inovasi organisasi
4 Fase BAZNAS menjadi Koordinator Zakat Nasional
Lahirnya BAZNAS Terpilihnya Achmad Subianto menjadi Ketua Umum BAZNAS Awal pondasi BAZNAS : Pembangunan Infrastruktur dan SD organisasi Terpilihnya Didin Hafidhuddin sebagai Ketua Umum BAZNAS Peningkatan profesionalitas organisasi Terpilihnya Direktur Pelaksana BAZNAS baru Program Penghimpunan dan Pendayagunaan (menggunakan pendekatan Comdev dan Empowerment
Keppres tentang perpanjangan masa kepengurusan BAZNAS Disahkannya UU Baru Pengelolaan Zakat oleh DPR UU No. 23 Tahun 2011 Rekrutmen amil, manajer dan program ABDP Transformasi fungsi, struktur, sistem dan program BAZNAS sesuai dengan UU baru BAZNAS sebagai koordinator dan regulator pengelola zakat Nasional Sumber : data penelitian
Gambar 6 Perkembangan Organisasi BAZNAS Tahun 2001-2013 Semenjak lahir pada tahun 2001 hingga saat ini, perkembangan BAZNAS dibagi menjadi tiga tahap, yaitu fase kelahiran BAZNAS pada tahun 2001-2003, fase perkembangan dan inovasi organisasi ketika BAZNAS pada tahun 2003-2011 dan fase BAZNAS menjadi koordinator pengelola zakat pasca disahkannya UU No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat yang baru. Perkembangan BAZNAS dibagi menjadi tiga tahap tersebut karena pada ketiga tahap tersebut memiliki karakteristik pola pengorganisasian dan program pengelolaan zakat yang berbeda. Pada tahap pertama ketika BAZNAS yang baru berdiri dipimpin oleh Achmad Subianto berfokus pada pembangunan infrastruktur dan sumberdaya organisasi. Secara lebih detail tahap pertama telah diuraikan pada bab
51 sebelumnya mengenai lahirnya BAZNAS sebagai organisasi pengelola zakat pemerintah (halaman 32). Pada fase pengembangan dan inovasi organisasi diawali ketika BAZNAS dipimpin oleh Didin Hafidhuddin pada tahun 2003 sampai dengan 2011. Pada fase ini pola pengorganisasian yang berkembang, meliputi dan strategi Organisasi. Pergantian kepengurusan dan kepemimpinan BAZNAS terjadi pada tahun 2003, dengan terpilihnya Didin Hafidhuddin menggantikan Achmad Subianto. Didin Hafidhuddin memimpin BAZNAS selama dua periode lebih, yaitu pada periode kepengurusan BAZNAS tahun 2003-2008, periode kepengurusan BAZNAS 2008-2011 dan periode kepengurusan transisi tahun 2011-2015. BAZNAS sebagai organisasi pengelola zakat tingkat nasional membutuhkan bargaining yang kuat di dalam dunia perzakatan. Apalagi sebagai organisasi yang baru lahir, BAZNAS secara usia organisasi dan pengalaman, tertinggal dibandingkan dengan lembaga zakat tingkat nasional lain yang telah berdiri terlebih dahulu, seperti Dompet Dhuafa. Pada kepengurusan yang kedua BAZNAS telah memiliki modal organisasi yang kuat dalam menjalankan sehingga fungsi-fungsi organisasi telah optimal dalam mendukung pengorganisasian dan program pengelolaan zakat. Berikut dijelaskan pada matriks 7 mengenai fokus BAZNAS pada tahun 2003-2010 beserta strategi yang dilakukan. Matriks 7 Fokus BAZNAS Pada Tahun 2003-2010 Fokus BAZNAS 2003-2008
Strategi yang dilakukan
Pematangan Visi Misi BAZNAS sebagai pusat zakat nasional yang amanah, transparan dan profesional untuk meningkatkan kesadaran berzakat masyarakat Peningkatan peran koordinasi, informasi dan konsultasi antara BAZNAS pusat dengan daerah Peningkatan kapasitas organisasi, koordinasi lembaga dan manajemen pengelolaan zakat pada September 2006 s/d 2007 Aktif pada kegiatan FOZ, menginisiasi terbentuknya Dewan Zakat MABIMS (Majelis Agama-Agama Islam Indonesia, Brunei, Malaysia dan Singapura) dan berperan pada penyelenggaraan Konferensi Zakat Asia Tenggara di Padang tahun 2007. Pada tahun 2010 BAZNAS berkoordinasi dengan Forum Zakat sukses menyelenggarakan World Zakat Forum dan kiprah BAZNAS di dunia Internasional semakin meningkat Pada tahun 2010, BAZNAS ditetapkan sebagai mitra kerja resmi Komisi VIII DPR-RI
Sosialisasi BAZNAS melalui media massa nasional Rakornas dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas BAZ. Sinergi Pengelolaan Zakat BAZNAS dan Dompet Dhuafa Peningkatan peran BAZNAS baik di tingkat nasional maupun Internasional
Pengakuan dan legalitas BAZNAS sebagai organisasi pengelola zakat oleh lembagalembaga Negara
Sumber : data penelitian (wawancara dengan HH (28) Litbang BAZNAS) Berdasarkan uraian di atas menunjukkan peran BAZNAS sebagai organisasi pengelola zakat yang dibentuk pemerintah, dalam pengorganisasiannya fokus pada sosialisasi dan edukasi zakat kepada
52 masyarakat secara luas serta membangun koordinasi dan sinergi dengan lembaga-lembaga pemerintah. Hal ini dilakukan agar peran BAZNAS sebagai perwakilan pemerintah dalam mengelola zakat semakin diakui. Hal ini penting dilakukan BAZNAS karena salah satu tugas utama BAZNAS dalam pengelolaan zakat adalah menghimpun dana zakat pegawai pemerintah baik PNS, TNI/ POLRI, pegawai BUMN/D. Fase selanjutnya dalam pengembangan pola pengorganisasian BAZNAS pasca disahakan UU pengelola zakat yang baru, No.23 Tahun 201114 . Pada fase ini elemen-elemen organisasi yang berkembang meliputi sumberdaya organisasi (amil), teknologi, dan struktur organisasi. Disahkannya UU pengelolaan zakat yang baru berpengaruh signifikan terhadap BAZNAS. Sebagai organisasi pengelola zakat yang dibentuk pemerintah, segala hal yang berkaitan dengan pengorganisasian dan program pengelolaan zakat BAZNAS diatur oleh undang-undang. Pengaruh implementasi UU tersebut adalah perubahan status BAZNAS yang tidak hanya sebagai pengelola zakat tetapi juga sebagai koordinator dan regulator pengelolaan zakat di Indonesia. Oleh karena itu BAZNAS harus meningkatkan pengelolaan organisasinya menjadi lebih profesional disegala aspek, seperti sumber daya (amil), teknologi, dan program pengelolaan zakat. Pengesahan UU pengelolaan zakat yang baru mempengaruhi struktur kepengurusan BAZNAS yang pada awalnya berjumlah 33 orang di kerucutkan menjadi 11 orang yang terdiri dari 8 orang dari unsur masyarakat dan 3 orang perwakilan PNS (UU No.23 Tahun 2011). Oleh karena itu kepengurusan BAZNAS periode 2008-2011, yang seharusnya berakhir pada tanggal 7 November 2011, diperpanjang masa kepengurusannya. 15 Hal ini dilakukan dalam rangka menyiapkan seleksi kepengurusan BAZNAS yang baru karena adanya perubahan struktur. “…Pada 5 Desember 2014, Tim Seleksi Calon Anggota BAZNAS Periode 2015 – 2019 yang dibentuk oleh Menteri Agama telah menetapkan 16 nama calon anggota dari unsur masyarakat setelah melalui beberapa tahapan. Selanjutnya Presiden RI akan memilih 8 nama dari 16 nama tersebut untuk dimintakan pertimbangan kepada DPR RI dan ditetapkan bersama 3 orang dari Pemerintah…”(HH (28) Litbang BAZNAS).
Sebagai koordinator dan regulator zakat, tugas BAZNAS bertambah tidak hanya menangani internal organisasi tetapi juga menangani BAZNAS daerah dan berbagai lembaga zakat di Indonesia. Oleh karena itu, BAZNAS terus meningkatkan kuantitas dan kualitas sumberdayanya dengan program rekrutmen dan pengembangan SDM agar didapatkan amil-amil yang berkualitas. Dalam rangka pengembangan jumlah dan kapasitas amil, BAZNAS melakukan tahap berikut: 14
UU No.23 Tahun 2011, pada 27 Oktober 2011, disetujuinya undang-undang pengelolaan zakat pengganti Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999, yang kemudian diundangkan sebagai UU Nomor 23 Tahun 2011 pada tanggal 25 November 2011 oleh DPR RI. 15 http://pusat.baznas.go.id/struktur-organisasi/[10 desember 2014] Perpanjangan keanggotaan BAZNAS melalui SK Menteri Agama No.10/2012, tanggal 24 Januari 2012.
53 a. Pada tahun 2011, merekrut empat orang SDM (amil) muda/ fresh graduate dari PTN unggulan yang memiliki kreativitas dan komitmen dalam berkontribusi kepada masyarakat melalui salah seorang pengurus BAZNAS Bakhtiar Rahman (HH (28) Litbang BAZNAS) b. Pada tahun 2012 BAZNAS merekrut beberapa orang profesional dan berpengalaman di bidang manajerial perusahaan dan organisasi dalam rangka memenuhi posisi-posisi manajer di BAZNAS. “...Mereka menjadi katalisator dalam proses transformasi BAZNAS menjadi organisasi zakat profesional, terlihat dari hasil kerja mereka dalam merapihkan sistem organisasi, struktur organisasi, mengembangkan teknologi organisasi demi menunjangnya operasional organisasi dan berbagai program-program pengelolaan zakat...” (ID(27) Amil BAZNAS)
c. Pada tahun 2013 BAZNAS mengembangkan program ABDP (Amil BAZNAS Developement Program), yaitu memberikan berbagai macam pelatihan-pelatihan kepada amil dalam menunjang profesionalitas dan kualitas kerjanya, seperti Pelayanan Prima, Aspek Legal dan Akad, Monitoring dan Evaluasi Pelaporan, Budaya Perusahaan, Kepemimpinan, dan Etika Berusaha dalam Islam diisi oleh internal BAZNAS maupun mengundang para profesional dari luar BAZNAS. “...Untuk mendapatkan calon-calon tenaga amil zakat terbaik, rekrutmen berasal dari sarjana (S1) lulusan baru (fresh graduate) di berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia, seperti Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Padjadjaran (UNPAD). Akhirnya, terseleksilah di antaranya 13 orang yang kemudian menjalani program pelatihan, yaitu Amil Baznas Development Program (ABDP)..”16
ABDP ini akan dilakukan 2 kali dalam setahun, yaitu ada awal dan akhir tahun 2013. Peserta ABDP juga menjalani on the job training atau praktik lapang di Srimartani, Bantul, Yogyakarta, tempat di mana BAZNAS melakukan program Zakat Community Development (ZCD). d. Pada tahun 2014, dalam mempersiapkan SDM yang kompeten ditingkat manajerial, BAZNAS membentuk Assessment Center untuk melakukan penilaian terhadap para amil BAZNAS yang paling siap menempati posisi manajer dan diikuti dengan pelatihan calon manajer (management trainee) (Majalah Zakat BAZNAS, edisi April-Mei 2014, hal 14) Selain itu dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi BAZNAS dan mengintegrasikan sistem pengelolaan zakat nasional, BAZNAS mengembangkan Teknologi Informasi yang dinamakan SIMBA sebagai backbone (tulang punggung) pelayanan zakat, mulai dari muzaki hingga mustahik, termasuk juga organisasi pelayanan zakat baik badan amil zakat (BAZ) maupun lembaga amil zakat (LAZ). “…SIMBA diawali dengan membangun master plan IT, kemudian membuat standard operating procedure (SOP)-nya hingga pembuatan sistemnya itu 16
Hasil Wawancara Ibu Hermin Hermawati (CORSEC BAZNAS) Pada Majalah Zakat BAZNAS Edisi Mei 2013
54 sendiri dari November 2011 hingga september 2012. Pada awal Oktober 2012, BAZNAS menyelenggarakan pelatihan perdana tentang SIMBA untuk BAZNAS Provinsi dan Kabupaten di Jakarta yang dihadiri perwakilan 30 BAZNAS Provinsi dan 10 BAZNAS kabupaten. Pada tahun 2013, program Simba sudah diimplementasikan dan menghasilkan laporan-laporan dari daerah berupa data laporan, seperti profil muzakki, jumlah penghimpunan dana ZIS, profil asnaf, dan jenis program penyaluran. Selain itu, SIMBA dapat menerbitkan kartu nomor pokok wajib zakat (NPWZ) dan bukti setor zakat (BSZ) sehingga BAZNAS dapat melayani muzakki sebaik mungkin mulai dari registrasi sampai ke pembayaran, dan pelaporan.….”(Majalah Zakat BAZNAS, Edisi Maret Tahun 2013)
Melalui SIMBA, BAZNAS pusat dapat mengetahui laporan BAZNAS provinsi dan kabupaten/ kota. Hal ini semakin memperkuat sistem zakat nasional yang memberi manfaat terhadap kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan perangkat infrastruktur fisik dan kapasitas sumber daya manusia agar sistem yang dibangun berjalan dengan baik. Pengesahan UU pengelolaan zakat yang baru tidak serta merta diterima semua pihak dan organisasi pengelola zakat di Indonesia. Lembaga zakat masyarakat membentuk Koalisi Masyarakat Zakat (KOMAZ) mengajukan judicial reciew menggugat tiga pasal (18, 38 dan 41) ke Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu tentang persyaratan sebuah lembaga zakat harus berbentuk badan hukum dan organisasi kemasyarakatan (ormas), dan tidak diperbolehkannya amil zakat mendistribusikan dan menghimpun zakat tanpa izin dari pemerintah. Pasal-pasal tersebut dianggap tidak relevan dan membatasi peran masyarakat. Padahal masyarakat memiliki peran besar dalam pembangunan dan pengentasan kemiskinan melalui zakat dan sebuah lembaga zakat cukup berbadan hukum saja, tanpa harus menjadi ormas karena Indonesia merupakan negara hukum. Putusan MK mengenai judicial review UU No. 23/ 2011 tentang Pengelolaan Zakat dikabulkan sebagian pasalnya pada Kamis, 31 Oktober 2013.17 Pengajuan judicial review UU Nomor 23 Tahun 2011 membuat “kekakuan komunikasi” antara BAZNAS dengan sebagian LAZ tingkat nasional selama tahun 2013, ditandai hampir tidak ada kegiatan nasional yang dilaksanakan bersama-sama, tetapi BAZNAS berupaya agar komunikasi antar organisasi pengelola zakat tetap berjalan dengan baik. “…setelah Sidang Putusan MK, BAZNAS begerak cepat untuk memecah kebekuan komunikasi dengan dengan mengadakan Silaturahim BAZNAS dan LAZ tingkat nasional pada 27 November 2013 yang dihadiri 15 dari 18 LAZ tingkat nasional, BAZNAS Provinsi Jawa Barat, dan BAZIS DKI. Silaturahim tersebut menyepakati 5 Agenda Zakat Nasional, yaitu penguatan regulasi, sosialisasi dan edukasi, penguatan kelembagaan, optimalisasi pendayagunaan dan sinergi…”(HH (28) Litbang BAZNAS). 17
“Putusan MK Perkuat Optimalisasi Pengelolaan Zakat” Majalah Zakat BAZNAS, Edisi November Desember Tahun 2013, Hal 14 Isi judicial review mengabulkan sebagian pasal yang di uji materikan, yakni persyaratan pendirian lembaga amil zakat (LAZ) tak harus berlatar belakang ormas Islam dan pengelolaan zakat tanpa izin tak bisa dikriminalisasi. Masjid dan mushalla juga bisa mengelola zakat dan hanya berkewajiban melaporkan pengelolaan zakatnya kepada pengawas syariah eksternal atau pemegang kewenangan di wilayahnya
55 Sejalan dengan uraian di atas bahwa salah satu agenda zakat nasional adalah sosialisasi dan edukasi zakat kepada masyarakat. agenda ini bertujuan agar pengelolaan zakat dapat optimal dan efektif, karena zakat selama ini tidak menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah sehingga keberadaan zakat cenderung dipinggirkan. “...Selama ini zakat dianggap sebagai urusan pribadi oleh mayoritas umat muslim, padahal zakat merupakan urusan publik yang dampaknya mempengaruhi masyarakat luas. Oleh karena itulah diperlukan berbagai cara, media dan metode agar masyarakat memiliki persepsi yang sama, bahwa zakat itu bukan urusan individu, tapi urusan publik yang memerlukan penanganan secara khusus dan serius melalui organisasi atau lembaga...”(DH (63) Ketua Umum BAZNAS).
Seiring dengan hal tersebut, “…pada tanggal 5 Agustus 2013 yang bertepatan dengan tanggal 27 Ramadhan 1434 H, terdapat kunjungan incognito Presiden SBY, Wapres Budiono, Beberapa Menteri, Gubernur DKI Jokowidodo disertai dengan Duta BAZNAS ke Kantor BAZNAS di Kebon Sirih yang membuahkan ditetapkannya hari zakat naisonal pada 27 ramadhan dan disepakatinya Inpres Optimalisasi pengelolaan zakat…” (HH(28) Litbang BAZNAS)
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat tiga momentum besar bagi perkembangan pengelolaan zakat nasional, yaitu (a) kunjungan presiden beserta jajarannya, (b) ditetapkannya hari zakat nasional pada 27 ramadhan dan (c) disepakatinya inpres optimalisasi pengelolaan zakat18 yang bermakna semakin diakuinya pengelolaan zakat dan BAZNAS menjadi bagian penting dari bangsa ini. Setelah ratusan tahun keberadaan zakat dikesampingkan dalam kehidupan bernegara, adanya inpres tersebut menjadi langkah awal zakat menjadi bagian penting dari negara seperti zaman Rasulullah atau era kerajaan Islam di Indonesia. Selain itu, dengan inpres tersebut potensi dana ZIS yang dihimpun dari pegawai pemerintah dan BUMN meningkat. Walaupun pada implementasinya BAZNAS harus bekerja keras dalam mensosialisasikan Inpres No 3 Tahun 2014 kepada berbagai instansi dan kelembagaan pemerintah karena inpres presiden tersebut masih bersifat himbauan. Sejalan dengan perkembangan pola pengorganisasian BAZNAS, program pengelolaan zakatnya juga berkembang. Meliputi pengelolaan administrasi keuangan, penghimpunan, dan pendayagunaan dana zakat, infak sedekah. Perkembangan praktik pengelolaan zakat yang dilakukan BAZNAS, baik penghimpunan maupun pendayagunaan dana ZIS semata-mata dilakukan untuk mencapai tujuan BAZNAS dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan di Indonesia. Inovasi dan keragaman pola dan strategi pengelolaan zakat yang dilakukan BAZNAS semata-mata bertujuan terhimpunnya dana zakat yang efektif dan masif. Bertambahnya jumlah dana 18
http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/inpres-zakat-dan-reformasi-kebijakanpembangunan-bidang-agama/[20 maret 2015], Instruksi Presiden (Inpres) kepada para pejabat Negara, pegawai negeri sipil (PNS), TNI, POLRI, dan karyawan BUMN/D untuk membayarkan zakatnya kepada BAZNAS dan ditandatangani pada 23 April 2014
56 yang dihimpun dan disalurkan serta semakin beragamnya program pengelolaan zakat juga mendorong BAZNAS untuk terus meningkatkan profesionalitas pengelolaan dana ZIS secara administrasi keuangan. Semenjak lahir di tahun 2000, pengelolaan dana zis BAZNAS telah konsisten diaudit akuntan publik hingga saat ini (Laporan keuangan BAZNAS 2001 s/d 2013). BAZNAS sebagai lembaga pemerintah juga dituntut UU No.38 Tahun 1998 untuk melibatkan akuntan publik dalam pengawasan akuntan publik (UU No. 28 Thun 1999, BAB VI, Pasal 18, ayat 4). Selain itu laporan keuangan yang diaudit dan dipublikasikan merupakan tanggung jawab BAZNAS dalam transparansi keuangan baik untuk pemerintah, pembayar zakat dan masyarakat secara luas. Menurut HH (28) Litbang BAZNAS, langkah awal BAZNAS dalam membangun pengelolaan keuangan dana zis yang profesional dan akuntabel dengan membuat sistem dan prosedur pengelolaan keuangan dana ZIS dengan penerbitan Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ) dan Bukti Setor Zakat (BSZ) sebagai bukti pencatatan dana zakat yang dihimpun dan juga sebagai bukti pengurang penghasilan kena pajak. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan keuangan BAZNAS terintegrasi dengan sistem perpajakan Indonesia, karena BSZ BAZNAS diakui sebagai tanda bukti apabila pembayar zakat telah membayar zakat di BAZNAS akan mendapatkan pengurangan penghasilan kena pajak. BAZNAS dengan cermat memperhitungkan proporsi antara hak amil dengan hak mustahik lainnya (fakir miskin dll) agar jangan sampai amil mengambil bagian zakat terlampau besar bahkan lebih besar dari bagian fakir miskin sehingga batas maksimal hak amil sebesar 12,5% baik yang digunakan untuk membayar gaji amil maupun biaya operasional ke amil-an (lembaga), seperti pengembangan kapasitas amil dan operasional lembaga. Bahkan pengeluaran BAZNAS untuk hak amil tidak lebih besar daripada 10 persen. “...BAZNAS berusaha meningkatkan jumlah penghimpunan dananya sehingga proporsi hak amil dapat terus ditekan, saat ini hak amil tidak pernah lebih dari 10 persen dari jumlah dana BAZNAS yang dihimpun. Bahkan target BAZNAS kedepan hak amil hanya sekitar 3 persen saja..”(IS (38) Akademisi Ekonomi Syariah)
Dalam melaksanakan tugasnya amil berusaha agar setiap dana ZIS yang dihimpun diharapkan dapat benar-benar efektif digunakan untuk merubah mustahik menjadi lebih berdaya. Oleh karena itu biaya operasional ke-amil-an tidak hanya digunakan untuk orang yang bekerja sebagai amil tetapi juga digunakan untuk mensurvey dan memonitoring berbagai program pendayagunaan yang dilakukan oleh BAZNAS agar efektif dan efisien menjadikan mustahik berdaya dan mandiri. Selain itu dana ZIS juga digunakan untuk melakukan riset dan pengembangan zakat untuk mengetahui potensi zakat nasional, pengembangan jaringan dalam bidang teknologi dalam membantu efektifitas dan profesionalitas pengelolaan keuangan dana ZIS serta digunakan pula untuk sosialisasi, edukasi dan penyadaran mengenai pentingnya zakat kepada masyarakat baik melalui media elektronik maupun sosial. Semenjak tahun 2005 BAZNAS sudah memasukkan pengeluaran dana ZIS operasional keamilan diluar gaji amil seperti yang diuraikan pada grafik dibawah ini.
57
Penggunaan Dana ZIS BAZNAS untuk Operasional Amil Sosialisasi dan Penyadaran Zakat
Survey dan Monev
Riset dan Pengembangan Zakat
Pengembangan Jaringan
Jumlah Penyaluran (dalam Jutaan Rupiah)
796 175 15 9
sumber : Laporan keuangan BAZNAS tahun 2005
Gambar 7 Penggunaan Dana ZIS BAZNAS untuk Operasional Amil Perkembangan inovasi dan keragaman pola dan strategi penghimpunan dana ZIS yang dilakukan BAZNAS didorong oleh semangat BAZNAS yang terus berusaha meningkatkan jumlah penghimpunan dana ZIS. Semakin bertambah dana ZIS yang dihimpun maka semakin bertambah pula kebermanfaatan dana yang dapat diberikan kepada mustahik. Sebagai organisasi pengelola zakat pemerintah di tingkat nasional BAZNAS memiliki tugas utama melakukan penghimpunan dana ZIS di lingkungan pemerintahan, yaitu Kementrian, BUMN, BUMD dan berbagai Instansi Pemerintah lainnya. Oleh karena itu strategi utama BAZNAS dalam melakukan penghimpunan adalah melalui via payroll sistem atau pembayaran zakat melalui pemotongan langsung pada gaji PNS atau pegawai BUMN. Selain program zakat via payroll system BAZNAS juga membentuk Unit Pelayanan Zakat (UPZ) di BUMN, Departemen, dan perwakilan Indonesia di luar negeri dalam melakukan kegiatan penghimpunan Dana ZIS.
Penghimpunan Dana ZIS BAZNAS Tahun 2001-2003 dalam juta;an
2000 1500 1000
Penghimpunan Dana ZIS
500 0 2001
2002
2003
sumber : Laporan keuangan BAZNAS tahun 2001 s/d 2003
Gambar 8 Penghimpunan Dana ZIS BAZNAS Tahun 2001-2003
58 Pada awal kelahirannya, BAZNAS belum optimal dalam menghimpunan dana ZIS karena masih minimnya sumber daya dan infrastruktur organisasi. Tercatat pada tiga tahun pertama BAZNAS baru dapat menghimpun dana kurang dari 2 milyar rupiah.
Jumlah Penghimpunan Dana ZIS BAZNAS Tahun 2004-2013 Penghimpunan Dana BAZNAS (dalam Milyar Rupiah)
50.2
59.1
40.2
31.3 17.2
14.3
18.6
25.2
27.1
2.83 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
sumber : Laporan Keuangan BAZNAS tahun 2004 sampai dengan 2013
Gambar 9 Penghimpunan Dana ZIS BAZNAS pada Tahun 2004-2013 Pada periode kedua kepengurusannya, BAZNAS lebih optimal menjalankan program penghimpuan dana ZIS dibandingkan sebelumnya. Sejak 2004, perolehan zakat nasional yang dihimpun BAZNAS selalu mengalami kenaikan menjadi lebih dari 2 milyar rupiah. Pada tahun 2005 ketika terjadi musibah nasional tsunami di Aceh, BAZNAS mampu mengumpulkan dana ZIS hingga 31 Milyar untuk membantu masyarakat Aceh. Kinerja penghimpunan zakat BAZNAS terus meningkat semenjak 2006 hingga tahun 2008, BAZNAS telah mampu menghimpun dana ZIS rata-rata sebesar 18 Milyar. Hal ini dikarenakan BAZNAS terus berupaya dalam meningkatkan fasilitas, pelayanan dan strategi penghimpunan dana ZIS. Pencapaian ini tidak lepas dari bertambahnya UPZ BAZNAS yang pada akhir Desember 2008 telah terbentuk sekurang-kurangnya 88 UPZ. Selain itu terdapat keuntungan bagi setiap muzaki yang membayar zakat melalui BAZNAS, yaitu dapat mengurangi potongan penghasilan karena pajak dengan melampirkan bukti setor zakat ketika melampirkan SPT (surat pemberitahuan) pajak tahunan. Hal ini dilakukan sebagai strategi agar semakin banyak muzaki yang tertarik untuk membayar zakat melalui BAZNAS. Pada periode kedua dibawah kepemimpinan Didin Hafidhuddin pada tahun 2008-2011, menurut AK (27), BAZNAS terus mengembangkan berbagai program penghimpunan agar dapat lebih optimal dalam menghimpun Dana ZIS. Program-program tersebut meliputi pembayaran zakat via konter zakat BAZNAS, jemput zakat, pembayaran zakat via Bank Syariah baik Teller maupun ATM. BAZNAS juga tetap berupaya mengoptimalkan zakat via payroll system karena pelayanan yang kurang optimal terhadap pemberi zakat.
59 Pada tahun 2011 setelah disahkannya UU No. 23/ 2011 BAZNAS sebagai koordinator dan regulator pengelolaan zakat di Indonesia terus mengembangkan profesionalitas dalam menghimpun dana ZIS. Pada periode ini dikembangkan beberapa program penghimpunan zakat, seperti menambah jumlah UPZ menjadi 101 unit, program mobil zakat keliling (BIZZAKAT) yang bekerjasama dengan BANK Mega Syari’ah. Kemudian menurut AK (28) dan TN (28) amil BAZNAS, bahwa strategi BAZNAS dalam meningkatkan pelayanannya terhadap muzaki dengan cara: 1. BAZNAS menempatkan diri sebagai sahabat spiritual muzaki, sehingga membangun kedekatan dengan muzaki juga menjadi prioritas BAZNAS, misalnya adanya muzaki yang curhat masalah keluarga, pribadi, kesehatan, menjadi pembimbing spiritual muzaki dll. 2. Adanya bagian khusus di Divisi Penghimpunan yang bertanggungjawab dalam berkomunikasi dan melayani muzaki. 3. Muzaki Gathering yang biasanya diadakan pada bulan Ramadhan (Puasa) sebagai sarana muzaki dengan amil saling memberikan masukan demi kemajuan BAZNAS 4. Muzaki Award, berupa penghargaan kepada muzaki perorangan, muzaki badan dan Unit Pengumpul Zakat yang telah berkontribusi nyata dalam menyukseskan visi dan misi BAZNAS untuk melayani mustahik. Berdasarkan uraian AK (27) BAZNAS juga melakukan inovasi teknologi agar muzaki lebih mudah dalam berzakat, mendapatkan informasi mengenai zakat dan mendapatkan pelayanan (konsultasi zakat) di BAZNAS. Inovasi tersebut dengan mengembangkan program aplikasi android, pembayaran via EDC, sms banking, e-banking dan ATM. BAZNAS juga melakukan aliansi strategis dengan pegadaian, perBankan baik konvensional maupun syari’ah, Koperasi Nusantara dll dalam rangka menghimpun donasi zakat. Dampaknya pencapaian penghimpunan dana ZIS yang dilakukan BAZNAS meningkat drastis menjadi lebih dari 40 milyar rupiah semenjak pada tahun 2011, bahkan pada tahun 2013 BAZNAS telah mampu menghimpun dana ZIS sebesar Rp 59,2 Milyar. Pada tahun 2013 pencapaian penting bagi penghimpunan dana BAZNAS adalah diterbitkannya Inpres sehingga setiap lembaga pemerintah membayar zakat melalui BAZNAS dengan payroll sistem. Semenjak keberadaan Inpres tersebut BAZNAS lebih memiliki wewenang secara hukum untuk menawarkan Instansi pemerintah dan BUMN untuk membayar Zakat di BAZNAS. Hal ini terlihat dari beberapa Instansi besar pemerintah langsung bergabung menjadi mitra BAZNAS setelah sosialisasi zakat seperti, LAPAN Jakarta pada agustus 2014, LAPAN Bandung pada september 2014 dan TNI pada November 2014 (Majalah Zakat, Edisi November 2014). Adanya Inpres Zakat diharapkan jumlah dana yang dapat dihimpun BAZNAS dapat terus meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dalam mensosialisasikan Inpres, tahapan BAZNAS dalam meyakinkan setiap lembaga tidak mudah, bahkan membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga bertahun tahun. Tahapan sosialisasi tersebut seperti yang diuraikan AK (27) diawali audiensi kepada lembaga pemerintah atau perusahaan BUMN/ swasta dengan mengirim surat, kemudian sosialisasi kepada lembaga atau perusahaan tersebut sehingga mereka menyepakati
60 adanya pembayaran zakat via payroll sistem, setelah pembayaran zakat via payroll sistem berhasil maka amil baznas akan menawarkan donasi dan infak bagi lembaga dan perusahaan serta khusus perusahaan ditawarkan pula CSR dan zakat perusahaan. Target akhirnya adalah mereka menyalurkan donasi, infak, dana CSR dan zakat perusahaan melalui BAZNAS. Pada awalnya program pendistribusian dana ZIS yang dilakukan BAZNAS pada periode pertama kepengurusannya bersifat karitas/ charity karena pada saat itu fokus BAZNAS masih pada pembangunan infrastruktur organisasi sehingga belum memiliki program-program penghimpunan dana ZIS yang beragam. “.... pada prinsipnya, walaupun zakat harus diterima secara langsung oleh mustahik tetap diperlukan suatu kebijakan yang mempertimbangkan kebutuhan mustahik dan kemampuan mereka dalam menggunakan dana zakat yangmengarah pada peningkatan kesejahteraan hidupnya. Para ulama, menyatakan bahwa jika mustahik zakat memiliki kemampuan untuk berdagang, selayaknya dia diberi modal usaha yang memungkinkan dia memperoleh keuntungan yang dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Demikian juga jika yang bersangkutan memiliki keterampilan tertentu, kepadanya bisa diberikan peralatan produksi yang sesuai dengan pekerjaannya. Jika mustahik tidak bekerja dan tidak memiliki keterampilan tertentu, kepadanya diberikan jaminan hidup dari zakat, misalnya dengan cara ia ikut menanamkan modal (dari uang zakat tersebut) pada usaha tertentu, sehingga mustahik tersebut memiliki penghasilan dari perputaran zakat itu....” (DH (63) Ketua Umum BAZNAS).
Hal ini menunjukkan bahwa Didin Hafidhuddin sebagai pemimpin BAZNAS mendukung pengembangan pola dan strategi program pendistribusian dana yang lebih inovatif dan beragam. Perkembangan program pendistribusian dana ZIS BAZNAS diuraikan pada matriks berikut. Matriks 8 Perkembangan Pola dan Strategi Pendayagunaan BAZNAS Penyaluran Zakat murni
Penyaluran Zakat Semi Pendaayagunaan
Penyaluran Zakat Pendayagunaan
Indonesia Sehat BAZNAS Jakarta)
Karitas
(RS Rumah Sehat BAZNAS di Jakarta, Yogyakarta dan Makassar) Indonesia Cerdas (Bantuan Rumah Cerdas Anak Bangsa dan Beasiswa SD-SMA) dengan 5 Program Unggulan Indonesia Peduli (KLM Konter Layanan Mustahik dan dan Tanggap Bencana) Tanggap Darurat Bencana Indonesia Taqwa Rumah Dakwah BAZNAS dengan 3 Program unggulan Indonesia Makmur (Baitul Program ZCD (pemberdayaan Mal) ekonomi komunitas) dan Rumah Makmur BAZNAS (Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah)
Sumber : sumber data penelitian (sintesa wawancara dengan HH(28), ID (27) dan majalah zakat BAZNAS)
61 Pada periode kepengurusan 2003-2008 menurut HH (28 pendayagunaan dana ZIS BAZNAS mulai menjangkau sampai ke pelosokpelosok negeri, berupa program kemanusiaan untuk musibah dari skala lokal sampai nasional. Misalnya pada tahun 2005, ketika bencana tsunami di Aceh, BAZNAS bersama BUMN Peduli dengan tanggap memberikan bantuan dan pertolongan baik rehabilitasi maupun rekonstruksi pasca bencana khususnya, dengan membangun pesantren, sekolah, pasar darurat dan lembaga keuangan untuk usaha mikro dan kecil. Selain itu program BAZNAS diluar bantuan bencana,berupa: 1. Bantuan pendidikan untuk keluarga kurang mampu ( SD s/d PT). 2. Bidang kesehatan, melalui pelayanan kesehatan yang memadai untuk masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh dan miskin, melalui program Unit Kesehatan Keliling (UKK) dan Dokter Keluarga Pra Sejahtera (DKPS) di beberapa daerah Jadebotabek, Jawa Tengah dan Indonesia Timur. 3. Beridirinya Rumah Sehat BAZNAS pada tahun 2007 di daerah Menteng, Jakarta Pusat, dan 4. Guliran modal kerja bagi usaha produktif dhuafa di berbagai daerah untuk para pedagang sayur, nelayan, petani ‘gurem’, serta pengrajin tas dan sepatu. Menurut HH (28) pada tahun 2008, program pendistribusian dan pendayagunaan dana ZIS BAZNAS dikelola lebih sistematis dan rapih dengan membagi program pelayanan pada lima bidang. Kelima bidang tersebut, yaitu program Indonesia Sehat (bidang kesehatan), Indonesia Cerdas (bidang pendidikan), Indonesia Taqwa (bidang dakwah), Indonesia Peduli (bidang kemanusiaan), dan Indonesia makmur (bidang ekonomi). Kemudian pada tahun 2009 Program tersebut berkembang menjadi lebih inovatif, yaitu: 1. Rumah Makmur BAZNAS, yaitu lembaga keuangan mikro syariah berbadan hukum koperasi yang menyalurkan dana ZIS secara produktif baik melalui pinjaman kebajikan (Al Qardhul Hasan) maupun melalui pembiayaan dengan pola syariah kepada para mustahik. 2. Dalam bidang kesehatan di tahun 2011, Program Indonesia Sehat BAZNAS yang pada awalnya hanya memiliki satu Rumah Sehat BAZNAS di Jakarta, bertambah dua Rumah Sehat BAZNAS pada tahun 2011, yaitu di Yogyakarta yang dilaunching pada 25 november 2011 dan di Makasar yang mulai dibangun pada september 2011. Bahkan pada tahun 2012, Rumah Sehat BAZNAS bertambah di Sidiorjo Jawa Timur yang bekerjasama dengan PGN Al-Chusnaini, dan di Samarinda, Kalimantan Timur yang bekerjasama dengan BAZDA setempat. 3. Rumah Cerdas Anak Bangsa (RCAB) yang terdiri dari beberapa program yang lebih variatif dan inovatif, yaitu (a) Bimbingan Belajar Gratis, yaitu Program bimbingan belajar untuk menghadapi UASBN/UNAS dengan baik, (b) program Satu Keluarga Satu Sarjana, yaitu Beastudi ikatan dinas untuk mahasiswa dari keluarga tidak mampu atas kerjasama BAZNAS dengan PTN, (c) Rumah Pintar, yaitu pusat pembelajaran masyarakat yang di dalamnya terdapat perpustakaan, sarana bermain edukatif, peralatan ketrampilan bagi anak, remaja, ibu dan masyarakat sekitar, (d) Mobil/ Motor Pintar, yaitu program perpustakaan berjalan yang
62 membawa buku, komputer, video player dan CD interaktif, alat permainan edukatif dan arena panggung dan bekerjasama dengan Persatuan Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) di NTB dan Yogyakarta, dan (e) Beasiswa Dinnar, yaitu program Beasiswa berprestasi bagi siswa SD – SMU di seluruh Indonesia 4. Rumah Dakwah BAZNAS yang memiliki beberapa program, yaitu (a) kaderisasi seribu ulama, merupakan program beasiswa program magister dan doktoral dan pada program studi khusus semenjak 2007 dan (b) Bina Mualaf dan Kafalah Dai, merupakan penyaluran zakat yang ditujukan kepada mualaf dan berbagai kegiatan dakwah untuk masyarakat miskin di daerah terpencil dan terluar. 5. Pada bidang sosial BAZNAS terus mengembangkan programprogramnya, seperti (a) Tanggap Bencana (bantuan untuk korban bencana) baik di dalam dan luar negeri dan (b) Konter Layanan Mustahik (KLM) berupa bantuan, untuk perorangan yang meliputi bantuan kebutuhan hidup, kesehatan (bantuan pengobatan jalan), pendidikan (biaya tunggakan sekolah dll), bantuan untuk orang terlantar, bantuan untuk yang berhutang gharimin, bantuan Mualaf, bantuan fisabilillah dan bantuan advokasi pelayanan pendidikan, kesehatan dll. Setelah UU No.23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat yang baru disahkan, menurut HH (28) BAZNAS sebagai koordinator zakat nasional dituntut menjadi lebih profesional dan optimal dalam menjalankan program pendayagunaan dana zakat dengan lebih memperhatikan aspek pemberdayaan. Hal ini diimplementasikan dengan dibuatnya program ZCD (zakat community development), yang merupakan program jangka panjang dengan mengintegrasikan program-program untuk mengatasi masalah kesehatan, pendidikan, ekonomi dan masalah sosial, dengan menggunakan dana ZIS menggunakan pendekatan partisipasi komunitas/masyarakat, dengan segala fasilitas dan teknologi yang diinovasikan pada suatu program. Program ini menggunakan pendekatan komunitas (suatu kelompok masyarakat yang teroganisir dengan kesamaan aktifitas) dan kewilayahan (sasaran program dengan permasalahan secara geografis dan kependudukan) dengan wilayah sasaran program meliputi masyarakat perkotaan, pedesaan, dan pesisir. “...Program ZCD dimulai pada tahun 2011 di Desa Srimartani, Piyungan, Yogyakarta yang bekerjasama dengan UGM. Mereka dibina dalam pengembangan wilayah agropolitan untuk mendukung program ketahanan pangan nasional. Beberapa program yang dijalankan antara lain program tanam padi SRI (Systemof Rice Intensification), pertanian terpadu atau SITTI (Sistem Integrasi Tanaman Ternak dan Ikan) dan pengembangan peternakan rakyat...”(HH, 28 Staf Litbang BAZNAS)
Pasca putusan judicial review UU No. 23/ 2011 pada tahun 2013, ditetapkan agenda zakat nasional yang salah satunya adalah optimalisasi pendayagunaan dana ZIS sehingga BAZNAS mengembangkan ZCD sebagai model program pendayagunaan zakat nasional yang diadopsi oleh BAZNAS di daerah dan lembaga zakat yang lain yang dilakukan di 100 desa miskin di seluruh tanah air yang di-launching pada 17 Januari 2013 di Bogor dan dikickoff pada 29 Desember 2013 di Sumatera Barat (Majalah Zakat BAZNAS, Edisi Desember 2013).
63 Perbandingan Pengorganisasian dan Program Pengelolaan Zakat Dompet Dhuafa dengan BAZNAS Pada dasarnya Dompet Dhuafa dan BAZNAS merupakan organisasi yang memiliki fungsi dan tujuan yang sama dalam pengelolaan zakat, yaitu menghimpun dan menyalurkan dana ZIS untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua organisasi tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dalam pengorganisasian dan program pengelolaan zakatnya. Namun hal mendasar yang membedakan keduanya adalah dasar pembentukkan organisasinya, Dompet Dhuafa yang berasal dari perusahaan media harian umum, dan tumbuh di masyarakat sedangkan BAZNAS didirikan pemerintah, hasil implementasi UU No.38 Tahun 1999, tentang pengelolaan zakat. Perbedaan tersebut yang mempengaruhi perkembangan pola pengorganisasian dan program pengelolaan zakat antara keduanya, seperti yang diuraikan pada mastriks 9. Matriks 9 Perbandingan Pengorganisasian Dompet Dhuafa dan BAZNAS Aspek Makro (Regulasi)
Dompet Dhuafa Keberadaan UU pengelola zakat tidak mengatur secara rinci mengenai pengorganisasian dan program pengelolaan zakat Dompet Dhuafa, hanya mengesahkan keberadaan Dompet Dhuafa sebagai lembaga zakat
BAZNAS Sebagai organisasi pemerintah, perkembangan struktur organisasi BAZNAS bergantung pada UU pengelolaan zakat, yaitu ketika disahkannya UU pengelolaan zakat yang baru No. 23 Tahun 2011 berimplikasi pada perubahan struktur dan fungsi BAZNAS
Struktur Organisasi
Struktur organisasi Dompet Dhufa lebih “luwes” dalam mengembangkan organisasinya, seperti ekspansi organisasi (pembukaan cabang di berbagai daerah), bentuk organisasi jejaring program pemberdayaan dan pemisahan DD Filantropi dengan DD Corpora (tahun 2010)
Fungsi Organisasi
Fungsi utama Dompet Dhuafa sebagai operator/ pengelola zakat walaupun Dompet Dhuafa juga concern terhadap perkembangan regulasi (zakat, kemiskinan dll)
struktur organisasi BAZNAS cenderung kaku, berubahnya struktur dan fungsi organisasi bergantung dengan UU, misalnya model struktur Badan Amil Zakat yang terpisah menjadi dua, ada pengurus (tidak langsung mengurus teknis pengelolaan zakat) dan pelaksana (yang mengurus pengelolaan zakat secara teknis) BAZNAS sebagai organisasi pengelola zakat yang dibentuk pemerintah memiliki fungsi tidak hanya sebagai operator zakat tetapi juga sebagai koordinator dan regulator zakat (pasca disahkannya UU No. 23 Tahun 2011) sehingga bertugas dalam mengordinasikan seluruh organisasi pengelola zakat di Indonesia
64 Persamaan diantara keduanya dalam pengelolaan administrasi keuangan, yaitu sama-sama telah bekerjasama dengan akuntan publik dalam mengaudit laporan keuangannya dan mempublikasikan laporan keuangan kepada pemberi zakat dan masyarakat pada umumnya. Sedangkan perbedaan pengelolaan zakat pada program penghimpunan dan pendayagunaannya. Dalam penghimpunan dana ZIS, perbedaan mendasar diantara keduanya adalah BAZNAS sebagai organisasi pemerintah memiliki tugas utama menghimpun dana ZIS di lingkungan lembaga pemerintah. Sedangkan penghimpunan yang dilakukan Dompet Dhuafa lebih beragam, baik masyarakat, pengusaha, perusahaan dan sebagainya. Dompet Dhuafa yang lahir pada tahun 1993 secara organisasi lebih matang dan berpengalaman dibandingkan BAZNAS yang lahir pada tahun 2001. Oleh karena itu dalam hal program pengelolaan zakat Dompet Dhuafa telah mendahului BAZNAS. Pada saat BAZNAS baru lahir di tahun 2001, Dompet Dhuafa telah menjadi organisasi mandiri, dengan pengorganisasian yang modern (amil professional, struktur organisasi yang ajeg) dan telah memiliki berbagai program pengelolaan yang inovatif dan kreatif (berbasiskan pada pelayanan kesehatan, pendidikan, ekonomi dan sosial) yang menggunakan strategi pemberdayaan. Dompet Dhuafa menjadi pioner lembaga zakat modern yang menggunakan strategi pemberdayaan. Hal ini dibuktikan dengan berbagai program Dompet Dhuafa, seperti: 1. Klinik kesehatan Gratis/ LKC (Layanan Kesehatan Cuma-Cuma), pada tahun 2001 2. Program pemberdayaan ekonomi melalui dana bergulir BMT (lembaga keuangan mikro syariah) pada tahun 2000. 3. Pada tahun 1999, didirikan Laboratorium Biologi Pertanian untuk meneliti dan mengembangkan sarana produksi pertanian tepat guna untuk membantu petani dengan produk sarana pertanian ramah lingkungan Dalam perkembangan pendayagunaan dana ZIS, Dompet Dhuafa lebih dahulu berkembang dibandingkan BAZNAS, yang baru menggunakan strategi pemberdayaan pada tahun 2011 melalui Zakat Development Community (ZDC). Walaupun program pendayagunaan dana ZIS keduanya sama-sama berfokus pada pelayanan bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial dan keagamaan. “…Walaupun BAZNAS telah menggunakan strategi pemberdayaan, amil masih merasakan penerapan pendekatan tersebut masih kurang dalam realisasinya. Hal ini dapat dilihat dari proporsi pendistribusian dana program karitas (KLM) lebih dari 50 persen dari total dana zis BAZNAS…(ID(27) amil BAZNAS)”
Hal ini menunjukkan bahwa fokus program pendayagunaan BAZNAS masih berupa program charity dan kebermanfaatan (pemberian fasilitas dan pelayanan) serta sedang berupaya menerapkan strategi pemberdayaan pada programnya, yaitu ZCD. Sedangkan program pendayagunaan Dompet Dhuafa tidak hanya memberikan kebermanfaatan kepada masyarakat tetapi juga mengubah orang (penerima manfaat) menjadi lebih berdaya dan mengkondisikan sistem yang menunjang perkembangan masyarakat dengan strategi advokasi pada programnya.
65 “…Dompet Dhuafa berpandangan bahwa dalam mencegah dan mengurangi kemiskinan tidak cukup hanya manusianya yang dirubah tetapi lingkungannya juga harus berubah, dengan menjaga sistem lingkungan tempat hidup manusia (ekonomi, sosial, politik dan lingkungan) melalui aksi advokasi, yang berfokus pada regulasi dan menyiapkan lingkungan untuk generasi masa depan. Apabila tidak melakukan rehabilitasi maka sumber daya akan habis dan turun, sehingga akan menciptakan lingkungan yang miskin…”(AJ, (46)Presiden Direktur Dompet Dhuafa)
Hal ini menunjukkan bahwa strategi pemberdayaan yang dilakukan Dompet Dhuafa tidak hanya berfokus pada pengkondisian personal tetapi sudah masuk pada tahap advokasi dalam mengkondisikan sistem dan kebijakan. Pemberdayaan yang dilakukan tidak cukup mengurus masyarakat, tetapi juga harus mengurus pemerintah, jaringan pemasaran, dan semua stakeholder yang berkaitan di dalamnya. 7
HASIL TRANSFORMASI: PANDANGAN MASYARAKAT MENGENAI ORGANISASI PENGELOLA ZAKAT
Pada UU pengelolaan zakat yang baru No. 23/ 2011, pada BAB VI pasal 85 bahwa peran serta masyarakat tidak hanya sebagai pengawas tetapi masyarakat berperan serta dalam pembinaan dan pengawasan BAZ dan LAZ. Peran serta pembinaan disini dijelaskan lebih lanjut pada pasal berikutnya bahwa “pembinaan dilakukan dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat melalui BAZNAS dan LAZ; dan memberikan saran untuk peningkatan kinerja BAZNAS dan LAZ (pasal 85 ayat 2, UU No.23/2011). Oleh karena itu sudah menjadi amanah undangundang bahwa organisasi pengelola zakat baik BAZ (pemerintah) maupun LAZ (masyarakat) tidak hanya memiliki tugas dalam pengelolaan dana zakat, infak dan sedekah tetapi juga berperan aktif dalam mengedukasi dan mensosialisasikan mengenai pentingnya membayar zakat kepada masyarakat dan manfaat zakat dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia. BAZNAS sebagai koordinator dan regulator zakat nasional, memiliki tanggung jawab dalam mengedukasi, mensosialisasikan zakat kepada seluruh masyarakat Indonesia, baik mengenai urgensi zakat maupun manfaatnya untuk masyarakat yang kurang mampu. Dalam membangun hubungan dengan masyarakat, BAZNAS juga bertujuan memperkenalkan masyarakat dengan BAZNAS sebagai organisasi sehingga terbangun positioning BAZNAS yang baik di mata masyarakat. Dalam membangun hubungan dengan masyarakat BAZNAS menggunakan beberapa saluran, yaitu: 1. Seminar hasil penelitian yang dilakukan oleh BAZNAS atau penelitian yang didukung oleh BAZNAS, 2. Media cetak bekerjasama dengan beberapa harian Nasional seperti Media Indonesia, pelita harian, jurnal nasional, 3. Media elektronik bekerjasama dengan Metro TV, RCTI dan beberapa stasiun radio 4. Media sosial seperti web BAZNAS, facebook, dan twitter yang dikelola oleh BAZNAS maupun twitter Ketua BAZNAS
66 Selain itu BAZNAS juga memanfaatkan kegiatan bulan Ramadhan dengan melibatkan aktif masyarakat menjadi relawan Zakat BAZNAS dan mengadakan berbagai acara Ramadhan yang mengundang masyarakat secara luas. Kegiatan Ramadhan BAZNAS juga merupakan salah satu cara efektif BAZNAS dalam menyebarkan informasi mengenai pentingnya zakat, branding BAZNAS dan mempublikasikan berbagai kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh BAZNAS. Namun dalam memperkenalkan BAZNAS dan kegiatannya serta mengedukasi dan mensosialisasikan urgensi zakat kepada masyarakat masih dianggap kurang karena keterbatasan operasional dan SDM / amil BAZNAS. Sejalan dengan BAZNAS, Dompet Dhuafa juga memiliki fokus khusus dalam membangun hubungan dengan masyarakat. Apalagi Dompet Dhuafa merupakan organisasi yang lahir dari rahim media nasional Republika. Saluran yang digunakan Dompet Dhuafa juga beragam19, seperti: 1. Media sosial seperti web, facebook, dan twitter yang dikelola resmi oleh Dompet Dhuafa maupun media sosial yang milik pribadi amil Dompet Dhuafa. 2. Iklan melalui media cetak dan elektronik 3. Majalah Swara Cinta yang berisi informasi mengenai kiprah Dompet Dhuafa dalam pengelolaan zakat nasional 4. Zakat TV 5. Berbagai penelitian yang dilakukan Dompet Dhufa melalui jejaringnya IMZ dan penelitian yang bekerjasama dengan pihak lain 6. Berbagai dokumentasi buku baik yang dibuat oleh personal amil Dompet Dhuafa, dibuat oleh jejaring maupun yang dibuat oleh penerima manfaat (mustahik) yang berprestasi. Menurut AJ (46) Dompet Dhuafa membagi masyarakat dalam beberapa tingkatan, yaitu (1) Masyarakat Simpatisan, (2) Masyarakat Netral, dan (3) Masyarakat yang tidak menyukai Dompet Dhuafa. Dompet Dhuafa berharap semua masyarakat dapat menjadi simpatisan Dompet Dhuafa yang memiliki pandangan baik terhadap Dompet Dhuafa walaupun belum menyumbang apapun. Masyarakat netral adalah yang tidak memiliki sentimen positif ataupun negatif terhadap Dompet Dhuafa, mungkin karena mereka belum mengetahui keberadaan Dompet Dhuafa ataupun tidak memahami mengenai keberadaan pengelolaan zakat di Indonesia. Sedangkan golongan masyarakat ketiga pasti ada, walaupun apapun yang telah dilakukan Dompet Dhuafa pasti masih terdapat orang yang tidak menyukai lembaga zakat ini. Pandangan Masyarakat Mengenai Dompet Dhuafa dan BAZNAS Selain melihat bagaimana cara Dompet Dhuafa dan BAZNAS membangun hubungan dengan masyarakat peneliti juga melihat bagaimana persepsi masyarakat terhadap Dompet Dhuafa dan BAZNAS. Dalam penelitian yang dilakukan mayoritas masyarakat mengetahui informasi mengenai Dompet Dhuafa dan BAZNAS melalui melalui media cetak dan 19
data penelitian (wawancara dengan AJ (46) dikompilasi dengan informasi pada www.dompetdhuafa.org[10 maret 2015]
67 elektronik, dan paling sedikit mengetahui informasi BAZNAS dan Dompet Dhuafa melalui konter zakat yang tersebar diberbagai lokasi. Tabel 8 Sumber Informasi Masyarakat mengenai BAZNAS dan Dompet Dhuafa No.
Jumlah (Persentase) BAZNAS Dompet Dhuafa
Sumber Informasi
1. 2. 3.
Media Cetak dan Elektronik Internet Teman/ Saudara
Konter Zakat 4. Sumber: olah data penelitian
48 23 19
35 23 23
10
19
Pada penelitian ini dilihat bagaimana kepercayaan masyarakat terhadap Dompet Dhuafa dan BAZNAS, sehingga terlihat hasil pengorganisasian dan program pengelolaan zakat yang dilakukan Dompet Dhuafa dan BAZNAS terhadap pandangan masyarakat dalam hal kepercayaan masyarakat yang dinilai dari beberapa indikator, yaitu profesionalisme organisasi, kontribusi dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan, amil yang profesional, program penghimpunan dan pendistribusian yang masif dan kreatif serta laporan keuangan yang transparan. Secara penilaian kumulatif pandangan masyarakat terhadap kredibilitas Dompet Dhuafa dan BAZNAS, masingmasing sebesar 19 dan 17,06, artinya masyarakat percaya terhadap kredibilitas Dompet Dhuafa dan BAZNAS sebagai organisasi pengelola zakat. Sebanyak 74 persen percaya terhadap Dompet Dhuafa dan 61 persen percaya terhadap BAZNAS sebagai organisasi pengelola zakat.
Kepercayaan Masyarakat terhadap Dompet Dhuafa dan BAZNAS 120
dalam persen
100 80 Sangat Percaya
60
Percaya
40
Kurang percaya
20
Tidak percaya
0 Dompet Dhuafa
BAZNAS
Organisasi Pengelola Zakat
Sumber: olah data penelitian Gambar 10 Kepercayaan Masyarakat Terhadap Dompet Dhuafa dan BAZNAS
68 Apabila dilihat penilaian kumulatif dari setiap indikator mengenai kepercayaan masyarakat terhadap Dompet Dhuafa dan BAZNAS, bahwa masyarakat percaya terhadap kredibilitas Dompet Dhuafa dan BAZNAS karena kedua organisasi tersebut telah dikelola secara professional, yaitu masing-masing sebesar 3,3 (Dompet Dhuafa) dan 3 (BAZNAS). Kepercayaan masyarakat paling rendah terhadap Dompet Dhuafa ditunjukan pada indikator peran Dompet Dhuafa dalam penyelesaian permaslahan kemiskinan di Indonesia dan BAZNAS pada program penghimpunan dana yang dilakukan oleh BAZNAS, yaitu masing-masing sebesar 3 dan 2,7. Matriks 10 Kepercayaan Masyarakat terhadap Dompet Dhuafa dan BAZNAS Dompet Dhuafa
Indikator
Kumulatif Organisasi yang Profesional Amil profesional Program Pendistribusian Dana ZIS yang kreatif, produktif dan tepat sasaran Laporan keuangan yang Transparansi Berkontribusi aktif menyelesaikan permasalahan kemiskinan di Indonesia Program Penghimpunan Dana ZIS kreatif dan masif
3.3 (Percaya) 3.1 (Percaya)
3.2 (Percaya)
3 (Percaya)
3 (Percaya)
3.25 (Percaya)
Persentase Resonden Sangat percaya (32,2) Percaya (64,5) Kurang Percaya (3,2) Sangat percaya (22, 6) Percaya (67,7) Kurang Percaya (9,7) Sangat percaya (25,8) Percaya (71) Kurang Percaya (3,2)
Sangat percaya (22,6) Percaya (61,3) Kurang Percaya (16,1) Sangat percaya (12, 9) Percaya (77,4) Kurang Percaya (9,7)
Sangat percaya (32,2) Percaya (61,3) Kurang Percaya (6,4)
BAZNAS Kumulatif 3 (percaya) 2.9 (percaya)
2.8 (percaya)
2.8 (percaya)
2.7 (percaya)
2.7 (percaya)
Persentase Resonden Sangat percaya (19, 3) Percaya (71) Kurang Percaya (9,6) Sangat percaya (12,9) Percaya (71) Kurang Percaya (16,1) Sangat percaya (9,6) Percaya (61,3) Kurang Percaya (29)
Sangat percaya (9,6) Percaya (61,3) Kurang Percaya (29) Sangat percaya (9,6) Percaya (61,3) Kurang Percaya (29)
Sangat percaya (19, 3) Percaya (51,6) Kurang Percaya (38,7)
Sumber: olah data penelitian
Pandangan Masyarakat mengenai Pentingnya OPZ Dikelola Profesional dengan Strategi Pemberdayaan Pada penelitian ini juga melihat pandangan masyarakat mengenai pentingnya keberadaan organisasi pengelola zakat yang dikelola secara modern. Secara kumulatif pandangan masyarakat dilihat dari beberapa
69 indikator bahwa sangat penting keberadaan organisasi pengelola zakat yang dikelola secara modern dan profesional, terlihat dari penilaian kumulatif masyarakat sebesar 53,6 dan terlihat pula pada diagram lingkaran pada gambar 8.3 bahwa sebanyak 61 persen masyarakat merasa sangat penting keberadaan Organisasi Pengelola Zakat yang dikelola secara profesional dan modern. Sedangkan 39 persen lainnya menilai penting keberadaan Organisasi Pengelola Zakat yang dikelola secara profesional dan modern. Tidak ada masyarakat yang menilai kurang penting dan tidak penting pengelolaan zakat dikelola secara profesional dan modern. Pentingnya Organisasi Pengelola Zakat dikelola secara Profesional dan Modern Sangat Penting
penting
39% 61%
sumber: olah data penelitian Gambar 11 Pandangan Masyarakat Terhadap OPZ Modern Menurut masyarakat keberadaan organisasi pengelola zakat yang dikelola secara profesional dan modern sangat penting baik dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan, melayani masyarakat tidak mampu dalam berbagai bidang seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi dan sosial serta adanya organisasi pengelola zakat yang melakukan program pemberdayaan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, terlihat dari lebih dari 50 persen masyarakat berpandangan sangat penting dari setiap indikator. Matriks 11 Indikator Pentingnya OPZ yang Dikelola Profesional dan Modern Urutan
Indikator Organisasi Pengelolaan Zakat yang dikelola Profesional dan Modern
Nilai Kumulatif
1
Lap. Keuangan Transparan
3.71
25,8
74,2
2
Kepemimpinan Profesional dll Amil Profesional Penghimpunan masif Pendistribusian kreatif
3.65 3.65 3.65 3.58
35,5 35,5 35,5 42
64,5 64,5 64,5 58
Keberadaan Cabang di Daerah Visi Misi Tujuan Org Sinergi dengan Pemerintah dll Pendistribusian COMDEV Struktur Org LAZ Efektif Teknologi tepat guna
3.55 3.55 3.55 3.52 3.52 3.42
42 45 45 48 48 55
58 55 55 52 52 45
3 4
5 6
Sumber: olah data penelitian
Jumlah Responden (persen) Penting Sangat Penting
70 Berdasarkan uraian matriks diatas bahwa prioritas kriteria organisasi pengelola zakat yang profesional dan modern, adalah adanya laporan keuangan yang transparan terlihat dari 74,2 persen masyarakat menilai sangat penting laporan keuangan yang transparan bagi organisasi pengelola zakat. Sedangkan menurut pandangan masyarakat syarat, prioritas kriteria organisasi pengelola zakat yang terakhir adalah teknologi tepat guna. Kemudian masyarakat juga berpandangan bahwa keberadaan organisasi pengelola zakat yang dikelola secara profesional dan modern sangat penting baik dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan, melayani masyarakat tidak mampu dalam berbagai bidang seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi dan sosial serta adanya organisasi pengelola zakat yang melakukan program pemberdayaan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, terlihat dari lebih dari 50 persen masyarakat berpandangan sangat penting dari setiap indikator. Matriks 12 Pandangan Masyarakat terhadap Pentingnya Keberadaan OPZ Urutan 1
Pentingnya Keberadaan OPZ dalam Berbagai hal Keberadaan OPZ yang dikelola profesional dan Modern Keberadaan OPZ dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan Keberadaan OPZ dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, ekonomi dan sosial Keberadaan OPZ dalam melakukan program pemberdayaan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
2 3
Nilai
Penting
Sangat Penting
3.65
12
19
3.61
12
19
3.52
15
16
3.52
15
16
Sumber: olah data penelitian
8
PROSES DAN ARAH TRANSFORMASI PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA
Selama 400 tahun, sejak era Kerajaan Islam hingga Reformasi pengelolaan zakat di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis. Zakat dikelola secara tradisional dan lokal dimulai pada era Kolonial Belanda hingga Orde Baru. Oleh karena itu pengelolaan zakat secara tradisional dan lokal melekat menjadi budaya di masyarakat Indonesia hingga saat ini. Walaupun pada tahun 1990-an hingga 2000-an pengelolaan zakat telah mengalami transformasi menuju pengorganisasian yang modern, pengelolaan zakat tradisional tetap berjalan dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hal ini dikarenakan pengelolaan zakat tradisional telah melekat dan mengakar pada Masyarakat Indonesia. Keberadaan BAZNAS dan Dompet Dhuafa sebagai organisasi pengelola zakat modern, beriringan dengan pengelolaan zakat tradisional yang dilakukan di masjid, pesantren, ulama dan aktor lokal. Baik pengelolaan tradisional maupun modern, mengelola zakat dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pengelolaan zakat tradisional menurut Masudi (1991) dan Miftah (2005) menggunakan konsep charity seperti pembangunan fasilitas fisik peribadatan, pembiayaan penyiaran dan pendidikan agama seperti masjid,
71 sekolah, rumah sakit dan asrama-asrama panti. Pemberi zakat (muzakki) menyerahkan zakatnya kepada orang-orang tertentu, seperti para penghulu, kyai, guru ngaji, ulama setempat tanpa melihat kelayakan mereka dalam menerima zakat (Nuskhi, 1995). Namun permasalahannya penggunannya bukan hanya untuk mustahik tetapi dominan digunakan untuk penunjang hidup para pengumpul zakatnya (Steenbrink dalam Malik 2010). Pengelolaan zakat tradisional dalam sejarah menurut Malik (2010) telah terbukti mampu menjadi katup pengaman ekonomi subsisten masa lalu, dan memberikan manfaat bagi penguatan kelembagaan komunitas dan menciptakan relasi yang hangat dalam masyarakat. Kehangatan relasi antara muzakki dan mustahik terbangun di sini. Relasi tersebut terbangun dalam keterbukaan informasi dan prosesi penyerahan zakat di masjid yang dapat disaksikan oleh banyak orang termasuk mustahik sehingga masing-masing antara mustahik dan muzaki saling mengetahui satu sama lain. Ideologi asketisisme dan altruisme merupakan ciri yang sangat kental dan mendasari rasionalitas pengelolaan zakat tradisional. Disisi lain proses transformasi pengelolaan zakat modern, dengan disahkannya UU Pengelola Zakat Tahun 1999 dan lahirnya BAZNAS, organisasi pengelola zakat yang dibentuk pemerintah menandakan masuknya pengelolaan zakat ke dalam ranah Negara. Keberadaan zakat semakin diakui oleh Negara, dan zakat infak dan sedekah dapat dikelola dengan lebih efektif dan efisien terutama pada sisi penghimpunan. Terlihat dari uraian sebelumnya bahwa semenjak transformasi pengelolaan zakat, pada tahun 1999 hingga saat ini dana zakat yang berhasil dihimpun semakin meningkat. Namun permasalahannya adalah dominasi Negara dalam pengelolaan zakat semakin menguat, terbukti dari disahkannya UU Pengelola Zakat No. 23 Tahun 2011 mengenai peran Negara yang dominan dalam pengelolaan zakat dan mengecilnya peran masyarakat dalam mengelola zakat. BAZNAS didaulat menjadi koordinator dan regulator pengelola zakat nasional sedangkan terdapat beberapa pasal (18, 38 dan 41) tentang persyaratan sebuah lembaga zakat harus berbentuk badan hukum dan organisasi kemasyarakatan (ormas), dan tidak diperbolehkannya amil zakat mendistribusikan dan menghimpun zakat tanpa izin dari pemerintah. Pasalpasal tersebut dianggap tidak relevan dan membatasi peran masyarakat. Padahal masyarakat memiliki peran besar dalam pembangunan dan pengentasan kemiskinan melalui zakat dan sebuah lembaga zakat cukup berbadan hukum saja, tanpa harus menjadi ormas karena Indonesia merupakan negara hukum. Oleh karena itu Pengesahan UU pengelolaan zakat yang baru tidak serta merta diterima semua pihak dan organisasi pengelola zakat di Indonesia. Lembaga zakat masyarakat membentuk Koalisi Masyarakat Zakat (KOMAZ) mengajukan judicial reciew menggugat tiga pasal (18, 38 dan 41) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK mengenai judicial review UU No. 23/ 2011 tentang Pengelolaan Zakat dikabulkan sebagian pasalnya pada Kamis, 31 Oktober 2013.20 20
“Putusan MK Perkuat Optimalisasi Pengelolaan Zakat” Majalah Zakat BAZNAS, Edisi November Desember Tahun 2013, Hal 14 Isi judicial review mengabulkan sebagian pasal yang di uji materikan, yakni persyaratan pendirian lembaga amil zakat (LAZ) tak harus berlatar belakang ormas Islam dan pengelolaan
72 Sedangkan Dompet Dhuafa yang lahir dari perusahaan koran Dompet Dhuafa memiliki pengorganisasian modern dan strategi pemberdayaan pada program pengelolaan zakatnya. Dompet Dhuafa berupaya menjadi shadow state organization, yaitu organisasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat diberbagai bidang seperti yang dilakukan pemerintah (AJ (46)). Disatu sisi Dompet Dhuafa menerapkan pengorganisasian modern tetapi di sisi lain melalui program pemberdayaannya Dompet Dhuafa membangun jaringan kemitraan dengan masyarakat. Matriks 13 Perbandingan Pengorganisasian Zakat Tradisional, BAZNAS dan Dompet Dhuafa Aspek Kelemahan/ Permasalahan
Tradisional hegemoni elit agama lokal, tata yang kelola lemah (Malik, 2010)
BAZNAS Sentralisasi dan Dominasi Negara dalam pengelolaan zakat
Jaringan (Struktur) Pendekatan
kecil
besar
personal approach
Basis Kelembagaan dan Pengelolaan Zakat
Pengelolaan Lokal (Masjid, pesantren, Ulama/ Tokoh Lokal)
Regulasi
Tidak tertulis
anonymusity approach Negara (BAZNAS) bersinergi dengan organisasi pengelola zakat (LAZ), masjid, pesantren dll UU Pengelolaan Zakat tahun 1999 dan 2011 Struktur organisasi modern dan strategi pemberdayaan
Kekuatan
Idiologi
Dompet Dhuafa Persaingan Pengelolaan zakat antar berbagai organisasi pengelola zakat modern Interaksi personal Pengelolaan Zakat Pengelolaan Zakat masyarakat yang yang efektif, efisien modern, kreatif, dekat antara muzaki dan terpusat dan partisipatif dan mustahik (Strategi Pemberdayaan) Altruism Developmentlism Komersialism
Pengorganisasian Tradisional, jejaring Zakat masjid, pesantren, lokal, insidental. Obyek Zakat
Akuntabilitas
Zakat Fitrah, Zakat Mal (Pertanian, emas, tabungan dll) Tidak ada
Sel (bagian-bagian)
anonymusity approach Sinergi pengelolaan Negara, masyarakat dan swasta UU Pengelolaan Zakat tahun 1999 dan 2011 Struktur organisasi modern dan strategi pemberdayaan Zakat Profesi, Zakat Zakat Profesi, Perusahaan dll Zakat Perusahaan dll Diaudit dan Diaudit dan dipublikasian secara dipublikasian profesional secara profesional
zakat tanpa izin tak bisa dikriminalisasi. Masjid dan mushalla juga bisa mengelola zakat dan hanya berkewajiban melaporkan pengelolaan zakatnya kepada pengawas syariah eksternal atau pemegang kewenangan di wilayahnya
73 Oleh karena itu transformasi pengorganisasian zakat di Indonesia dalam dimensi nilai dan struktur yang mengarah pada pengorganisasian modern dan program yang memberdayakan merupakan strategi terbaik dalam mengoptimalisasi pengelolaan zakat di Indonesia saat ini. Transformasi pengelolaan zakat yang dikaji dalam dimensi nilai dan struktur diperlukan dalam menjawab tantangan perkembangan sosial ekonomi di Indonesia. Zakat dapat dijadikan alternatif dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Sejalan dengan pendapat Qardhawi (1996) zakat, infak dan sedekah bukan sekedar bantuan untuk sedikit meringankan penderitaan masyarakat miskin, tetapi zakat memiliki tujuan besar untuk menanggulangi kemiskinan, dengan pemberian modal kerja dan pelatihan. Transformasi nilai pada pengelolaan zakat berupa pembaharuan konsep (fikih) zakat dalam perekonomian modern berimplikasi meluasnya harta obyek zakat pada zakat profesi dan perusahaan dapat lebih adil menjangkau masyarakat kaya yang belum terjangkau sebelumnya. Pembaharuan obyek harta zakat yang mencakup berbagai profesi dan usaha dalam perekonomian modern mengakibatkan dana zakat semakin beragam tidak terbatas pada zakat fitrah dan zakat harta (pertanian, emas, dll) tetapi berbagai profesi modern seperti dokter, insinyur, pengusaha dan perusahaan juga menjadi obyek zakat. Transformasi struktur pada pengelolaan zakat yang berwujud pada Pengelolaan dana ZIS yang dilakukan secara modern dan profesional dan diimplementasikan melalui keberadaan organisasi pengelola zakat modern dapat lebih professional, masif, dan kreatif dalam mengelola zakat. Seperti yang diuraikan Hafidhuddin dan Juwaini (2006) bahwa keberadaan organisasi pengelola zakat modern bertujuan untuk: 1. Mengikis egoisme muzaki agar tak memandang bahwa hartanya merupakan miliknya sendiri, 2. Menghindari proses merendahkan mustahik, karena apabila muzaki langsung menyerahkan dikhawatirkan munculnya hubungan “anda menolong dan saya yang ditolong”, 3. Menciptakan pemerataan, keadilan dan ketepatan sasaran, 4. Dana ZIS akan terkelola dengan lebih profesional dan masif apabila dikelola oleh organisasi, karena 1 atau 2 orang tidak akan mampu dan muncul ketidakadilan di masyarakat dan 5. Potensi zakat akan optimal dimobilisasi dan didayagunakan untuk keperluan umat yang strategis apabila dikelola oleh lembaga. Namun pengeolaan zakat yang menggunakan pengorganisasian modern dan strategi pemberdayaan harus tetap memperhatikan aspek jejaring kemitraan dengan masyarakat lokal, masjid pesantren sehingga sinergi pengelolaan zakat tradisional dan modern dapat tercapai. Negara juga harus tetap menjaga agar tidak mendominasi dalam pengelolaan zakat. Sejalan dengan pendapat Etzioni (1996) bahwa setiap masyarakat memiliki kebutuhan yang beragam sehingga Negara seharusnya dapat menahan diri untuk tidak terlalu mencampuri masyarakat. oleh karena itu orgaisasi pengelolaan zakat baik Negara (BAZNAS), Dompet Dhuafa maupun organisasi lain hanya perlu mendorong menumbuhkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat sehingga mandiri mengelola organisasinya demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
74 9
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang ada, simpulan dari penulisan ini adalah: 1. Pengelolaan zakat di Indonesia melalui era kesultanan Islam hingga reformasi menunjukkan bahwa dinamika pengelolaan zakat berkembang yang pada awalnya dikelola Negara, kemudian dikelola lokal oleh masyarakat hingga pada saat ini perpaduan dari keduanya, yaitu sinergi pengelolaan zakat oleh Negara dan masyarakat. 2. Proses Transformasi pengorganisasian dan program pengelolaan zakat ditentukan oleh dua dimensi, yaitu transformasi nilai dan stuktur yang prosesnya diawali dari lahir dan berkembangnya Dompet Dhuafa, berdirinya FOZ dan disahkannya UU pengelolaan zakat tahun 1999. 3. Perkembangan pengorganisasian dan program pengelolaan zakat Dompet Dhuafa dan BAZNAS dicirikan pada pola pengorganisasian modern dengan menggunakan strategi pemberdayaan pada program pengelolaan zakat. 4. Pandangan Masyarakat terhadap Dompet Dhuafa dan BAZNAS merupakan organisasi yang dipercaya dalam pengelolaan zakat, infak dan sedekah. Masyarajat juga berpandangan penting organisasi pengelola zakat dikeloa secara professional dan modern dengan menggunakan strategi pemberdayaan. 5. Transformasi pengorganisasian dan program pengelolaan zakat yang mengarah pada pengorganisasian modern dan program yang memberdayakan dengan tetap membangun jejaring kemitraan dengan masyarakat lokal, masjid dan pesantren merupakan strategi terbaik dalam mengoptimalisasi pengelolaan zakat di Indonesia. Saran Berdasarkan bahasan dan simpulan di atas, maka saran diperlukan, yaitu: 1. Pola pengorganisasian yang modern dan strategi pemberdayaan perlu diterapkan oleh organisasi pengelola zakat dengan tetap memperhatikan jejaring kemitraan dengan masyarakat. 2. Tumbuhnya berbagai organisasi pengelola zakat merupakan indikasi baik dalam perkembangan pengelolaan zakat tetapi diperlukan sinergi antar organisasi agar iklim yang tercipta dalam pengelolaan zakat bukan persaingan dalam menghimpun dana ZIS, tetapi kerjasama dalam mengoptimalkan potensi dana ZIS yang dapat dikelola. 3. Pemerintah yang baru di era Presiden Joko widodo harus terus mendukung dan menjamin tumbuh suburnya pengelolaan zakat di Indonesia dengan tidak mendominasi pengelolaan zakat yang tersentralisasi oleh negara
75 DAFTAR PUSTAKA Abdulsyani. 1992. Sosiologi Skematika Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas: Pengambangan Masyarakat sebagi upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers Andrian, Charles F. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Aprinova, Chandra. 2006. Pemberdayaan Komunitas Miskin (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Assa’di, Husain. 2009. Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Tengah Kepentingan Donor(Studi Kasus LSM Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) dan LSM Lembaga Pertanian Dompet Dhuafa (LPS DD) Republika) [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Azyumardi Azra. 2006. “Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia” dalam Kuntarno Noor Aflah (ed), Zakat & Peran Negara, (Jakarta: Forum Zakat) BAZNAS, Laporan Auditor Independen Tony H Ratim, Keuangan Tahunan BAZNAS, Jakarta, 2002-2005. , Laporan Auditor Independen Drs. Bambang Mudjiono, Keuangan Tahunan BAZNAS, Jakarta, 2006-2007. , Laporan Auditor Independen Ahmad Toha, Keuangan Tahunan BAZNAS, Jakarta, 2008-2009. , Laporan Auditor Independen Basyirudin Wildan, Keuangan Tahunan BAZNAS, Jakarta, 2010-2013. Creswell, J. W. 1998. Qualitative inquiry and research design : choosing among five tradition. London : Sage Publication Departemen Agama RI. 1982. Pedoman Zakat Seri 7. Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf. Jakarta Dompet Dhuafa Republika, Laporan Auditor Independen Amir Abadi Yusuf dan Aryanto, Laporan Keuangan Tahunan 1999-2007 , Laporan Penerimaan Dana Tahun 2008-2013, Ciputat, 2013 Effendi, Jaenal dan Meylani Wina. 2010. Pendayagunaan ZIS sebagai Modal Kerja Terhadap Indikator Kemiskinan Mustahiq (Studi Kasus: Program Ikhtiar di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor). Dalam Jurnal Erman. 2003. Pemberdayaan Komunitas Petani Padi: Suatu Strategi Pengembangan Masyarakat Desa Teluk Latak Kecamatan Bengkalis [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Etzioni, Amitai. 1996. Organisasi-Organisasi Modern. Jakarta : UI Press Faisal. 2011. Sejarah Pengelolaan Zakat di Dunia Muslim dan Indonesia
76 (Pendekatan Teori Investigasi-Sejarah Charles Peirce dan DefisitKebenaran Lieven Boeve), (Lampung, IAIN Raden Intan Lampung), Vol 11, h. 257 Fauzi, Amin. 2009. Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat: Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Friedmann. 1992. Empowerment The Politics of Alternative Development. Oxford: Blackwell Publishers Hafidhudin, Didin. 1998. Panduan Praktis tentang Zakat Infak Sedekah. Jakarta: Gema Insani Press Hafidhudin, Didin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press Hafidhudin, Didin dan Juwaini, Ahmad. 2006. Membangun Peradaban Zakat Meniti Jalan Kegemilangan Zakat. Jakarta: IMZ Hikmat, H. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Penerbit Humaniora Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating Community AlternativesVision, Analysis and Practice. Australia-Sydney: Longman IZDR. 2009. Indonesia Zakat Developement Report 2009, Zakat dan Pembangunan: Era Baru Zakat Menuju Kesejahteraab Umat. Ciputat: IMZ IZDR. 2011. Indonesia Zakat Developement Report 2011, Kajian Empiris Peran Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan. Ciputat: IMZ IZDR. 2012. Indonesia Zakat Developement Report 2012, Membangun Peradaban Zakat Indonesia: Soal Kebijakan dan Hal Lain yang Belum Paripurna. Ciputat: IMZ Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT. Gramedia Jahar, Asep Saepudin. 2010. Masa Depan Filantropi Islam Indonesia Kajian Lembaga-Lembaga Zakat dan Wakaf. Bahan Makalah untuk presentasi Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke 10 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan J. J. Rass, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, Disertasi (The Hague: Leiden; Bibliotheca Indonesica 1, 1968), h. 196. Juwaini, Ahmad. 2011. SOCIAL ENTERPRISE: Transformasi Dompet Dhuafa Menjadi World Class Organization. Jakarta: Expose (Mizan Group) Kemetrian Agama. 2014. Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan 2013. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat (Edisi Paripurna). Yogyakarta: Tiara Wacana Lawang, Robert M.Z. 1985. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi Modul 4–6. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka Liliweri, Alo. 2014. Sosiologi dan Komunikasi Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara
77 Malik, Abdul. 2010. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat Studi Kasus 3 Lembaga Zakat Provinsi Jambi dan Sumatra Barat [Disertasi] Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Mardikanto, Totok. 2010. Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat, Acuan bagi Aparat Birokrasi, Akademisi, Praktisi dan Peminat/Pemerhati Pemberdayaan Masyarakat. Surakarta: UNS Press Mas’udi, Masdar Farid. 1991.Agama Keadilan, Risalah Zakat dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus Mintarti, Nana dan Haryanto Gito. 2010. Pemberdayaan Berbasis Zakat Studi Kasus Perajin Gula Kelapa di Kabupaten Pacitan. Dalam Jurnal Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset Mulyana, Ris R. 2007. Pelaksanaan Belajar Jarak Jauh SMP Terbuka (Studi Kasus Implementasi Kurikulum SMP Terbuka di Plumbon Jawa Barat) [tesis]. Bandung: Program Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia Nasdian F. T. 2006. Pengembangan Masyarakat (Community Developement). Bogor. Institut Pertanian Bogor Nasir Tajang, Mohd. 2014. Zakat Perusahaan dan Potensinya. Zakat Mensucikan Harta dan Jiwa: 6-7 Nuskhi, Muhammad. 1995. Peranan Zakat dalam Pengembangan Sumberdaya Keluarga di Pedesaan Studi Kasus di Desa Kepakisan, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Pujileksono, S. 2009. Antropologi (Edisi Revisi). Malang: UMM Press Qardhawi, Y. 1996. Hukum Zakat. Terjemahan. Jakarta: Mizan dan Lifera Antarnusa Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 38 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Zakat. Lembaran Negara RI Tahun 1999, No. 164. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2011. Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Lembaran Negara RI Tahun 1999, No. 115. Sekretariat Negara. Jakarta. Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Soemardjan Selo dan Soeleman Soemardi. 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Sudewo, Edi. 2012. Manajemen ZIS: Profesionallah agar Tak Terus Terbetot di Kubangan Tradisi, Potensi dan Wacana. Jakarta: IMZ Suharto, Edi. 2005. MembangunMasyarakat Memberdayakan Masyarakat “Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial”.Bandung: PT Refika Aditama Suporahardjo. 2005. Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus dalam Suporahardjo (Ed). Bogor: Pustaka Latin Surjadi, Harry. 2009. Pendekatan-Pendekatan dalam Program Pengembangan Masyarakat.http://mhs.blog.ui.ac.id/harry.surjadi/2009/03/24/pendekata n-pendekatan-dalam-program-pengembangan-masyarakat
78 Susanto, Astrid. 1985.Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung:Sosialina Cipta Sutisna, Nana. 2010. Model Pengelolaan Zakat di Putukerjo: Sinergi Pengelolaa Zakat melalui Tiga Pilar Komunitas untuk Kesejahteraan Kaum Miskin. Dalam Jurnal Veeger, K J. 1990. Realitas Sosial; Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Indovidu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Widiyanto.2009. Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing : Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Desa Campur Sari, Kecamatan Bulu. Kabupaten Temanggung [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Yasin, Ahmad Hadi. 2011. Panduan Zakat Praktis. Jakarta: Dompet Dhuafa
79
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 November 1988. Penulis adalah anak terakhir dari dua bersaudara dari pasangan Nurhimam, SH dan Darsih Suprihatin, SH. Pada tahun 2013 penulis menikah dengan Akmalya Chairunnisa, S.Pd dan dikaruniai anak laki-laki pada Desember 2014 yang bernama Fatih Karim El Bahri. Setamat dari SMAN 31 Jakarta Timur pada tahun 2006, penulis kemudian melanjutkan pendidikan pada tahun 2006 di Jurusan Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan lulus pada tahun 2011. Semenjak semester 5 penulis telah aktif sebagai Asisten Praktikum Sosiologi Umum dan Pendidikan Agama Islam hingga akhir masa kuliah S1. Pada tahun 2011, penulis melanjutkan Sekolah Pasca Sarjana di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB, Institut Pertanian Bogor (IPB). Selain kuliah pasca sarjana, penulis juga aktif sebagai Asisten Praktikum Sosoiologi Pedesaan dan Perubahan Sosial untuk mahasiswa S1. Pada tahun 2012 penulis mendapatkan Beasiswa Unggulan Calon Dosen dari DIKTI selama dua semester.