BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Seperti yang diketahui Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dimana menurut sensus penduduk 2010 lebih dari 87% penduduk Indonesia merupakan pemeluk agama Islam.1 Dengan demikian nilai-nilai Islami sangat lekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bagi FBO (faith-based organizations) yang menganut nilai-nilai berbeda untuk tetap melakukan aksi-aksi kemanusiaannya di Indonesia. Salah satu FBO yang tetap melakukan aksi kemanusiaannya walaupun nilainilai yang mereka anut berbeda dengan mayoritas penduduk Indonesia adalah JRS (Jesuit Refugee Service). JRS merupakan FBO dengan nilai-nalai kristiani yang sangat kental. JRS sudah hadir di Indonesia lebih dari 30 tahun yang lalu, pada awalnya JRS masuk ke Indonesia untuk merespon adanya manusia perahu asal Vietnam yang berada di Pulau Galang. Salah satu wilayah kerja JRS di Indonesia berada di wilayah Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang melayani pengungsi di Sewon Refugee Community Housing. Mayoritas penduduk Bantul merupakan pemeluk agama Islam dengan presentasi 95,26%, pemeluk agama Kristen sebesar 1,54%, pemeluk agama Katolik sebesar 2,94%, dan agama lainnya sebesar 1
Badan Pusat Statistik Indonesia, Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut: Indonesia,
, diakses pada 14 November 2014.
Halaman | 1
0,26%.2 Saat ini komunitas pengungsi Sewon dihuni 51 pengungsi yang berasal dari wilayah konflik di Timur Tengah seperti Iran, Irak, dan juga wilayah Asia seperti Afganistan dan Sri Lanka yang juga mayoritasnya merupakan pemeluk agama Islam. 3 Kehadiran pengungsi di Sewon tentunya dapat menimbulkan konflik dengan para penduduk disana. Hal ini dapat disebabkan perbedaan budaya antara masyarakat Sewon dengan para pengungsi.4 Disisi lain dengan masuknya JRS kesana dengan nilai-nilai kristiani yang dianut JRS maka juga dapat memungkinkan terjadinya pergesekan nilai-nilai yang dapat berujung pada konflik. Tetapi pada kenyataannya hingga saat ini Sewon Refugee Community Housing masih menerima pengungsi dan hidup berdampingan dengan masyarakat lokal. Masyarakat Sewon maupun para pengungsi juga sangat menerima kehadiran JRS diantara mereka. Penulis menilai hal ini menarik diteliti karena walaupun terdapat perbedaan nilai-nilai diantara masyarakat Sewon pengungsi, dan JRS tetapi pada kenyataannya JRS masih dapat bekerja di sana dan melakukan bina damai untuk dapat mencegah terjadinya konflik. Salah satu strategi yang dilakukan JRS untuk merespon keberadaan para pengungsi di Sewon adalah dengan melakukan advokasi untuk membantu menjamin pemenuhan hak para pengungsi.5 Disisi lain untuk dapat menerapkan strategi-strategi kemanusiaannya JRS juga menghadapi tantangan. Dari penjelasan singkat di atas
2 Badan Pusat Statistik Indonesia, Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut: DI Yogyakarta, < http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=3400000000>, diakses pada 5 Maret 2015. 3 Lars Stenger, Materi Orientasi Volunteer JRS Sewon, 9 Maret 2015, tidak dipublikasikan. 4 Hasil pertemuan dengan pengungsi di Sewon pada 11 Maret 2015. 5 Jesuit Refugee Service, Pengungsi Urban, , diakses pada 5 Maret 2014.
Halaman | 2
meskipun
terdapat
tantangan
yang menjadi
penghambat, tetapi
diplomasi
kemanusiaan yang dilakukan JRS di Sewon, Yogyakarta tetap mampu bertahan ditengah-tengah masyarakat Muslim. Oleh karena itu penulisan tesis ini memfokuskan pada strategi dan tantangan JRS dalam melakukan diplomasi humaniter di Sewon, Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan singkat di atas, tesis ini dirancang untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi strategi diplomasi kemanusiaan JRS Indonesia di Sewon, Yogyakarta? 2. Apa tantangan yang muncul dalam mengimplementasikan strategi tersebut?
C. Tinjauan Literatur Terdapat beberapa tulisan terdahulu yang secara substansial memiliki relevansi dengan penelitian ini dan dianggap dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan yang signifikan dalam proses penulisan. Pertama, artikel yang ditulis oleh A. K. M. Hedayetul Huq dengan judul Aspect of Christian NGO Work in a Muslim Society: Challenges and Responds in Bangladesh (2009). Dalam artikel ini penulis memberi penjelasan mengenai kinerja NGO (Non-Governmental Organizations) berbasis agama khususnya Kristen di Bangladesh yang masyarakatnya mayoritas adalah Muslim dalam rentang tahun Halaman | 3
1971-1995. Menurut Huq sebagian besar penelitian yang ada di Bangladesh hanya berfokus pada bagaimana mengurangi masalah kemiskinan dengan berbagai macam cara. Hanya sedikit yang mempertimbangkan kinerja NGO berdasar asal usul, sifat, dan keyakinan mereka apakah hal tersebut dapat berpengaruh pada negara dan masyarakat yang dibantu. Dan dalam hasil penelitiannya ternyata memang latar belakang keyakinan dari suatu NGO itu memengaruhi kinerja mereka di wilayah yang berbeda keyakinan. Oleh karena itu jika NGO Kristen ingin tetap bekerja di masyarakat Muslim harus dapat membina hubungan dekat dengan komunitaskomunitas Muslim di wilayah kerjanya dengan komunikasi dan juga dialog dalam semangat toleransi. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan adalah strategi diplomasi humaniter apa yang dilakukan JRS sebagai FBO berbasis nilai-nilai kristiani untuk dapat bekerja di wilayah yang penerima bantuan dan penduduknya mayoritas muslim di Sewon, Yogyakarta. Kedua, artikel yang dipresentasikan pada IHAF (International Humanitarian Action Forum) yang diadakan di UGM pada tanggal 6 November 2014 yang berjudul Tantangan Faith-Based Organization (FBO) International di Indonesia yang Multikultur (Studi Perbandingan Muslim Aid dan Catholic Relief Services) yang ditulis oleh Dr. Suhadi, menjelaskan tantangan apa saja yang dihadapi Muslim Aid dan Catholic Relief Service di dalam melakukan aksi-aksi kemanusiaan di dalam masyarakat yang memiliki berbagai macam budaya. Keadaan yang multukultur ini kemudian menjadi tantangan bagi kinerja FBO di Indonesia. Dr. Suhadi menjelaskan terdapat beberapa tantangan yang dihadapi, yaitu tantangan internal, eksternal, dan Halaman | 4
dari organisasi lainnya. Tantangan internal misalnya program yang dilakukan ternyata tanpa penilaian awal yang mendalam sehingga program tidak menjadi program yang keberlanjutan. Tantangan yang datang dari organisasi lainnya adalah seringkali organisasi yang satu dan yang lain memiliki program yang sama di tempat yang sama sehingga terjadi program ganda. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan mengambil JRS sebagai studi kasus dan berfokus pada tantangan FBO dengan nilai Kristiani di dalam masyarakat Muslim. Ketiga, artikel yang juga dipresentasikan pada IHAF (International Humanitarian Action Forum) yang diadakan di UGM pada tanggal 6 November 2014 yang berjudul A New Approach to Refugee’s Walfare through the Role of Community: Case Study of Refugee’s Community Center in Sewon yang ditulis oleh Nurul A. Zayzda, dkk. Dalam artikel ini Nurul, dkk menjelaskan peran aktor di luar negara dalam permasalahan pemenuhan kesejahteraan pengungsi. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa pemerintah masih kurang dalam memenuhi kesejahteraan para pengungsi karena biasanya para pengungsi akan dimasukkan kedalam rumah detensi. Komunitas pengungsi di Sewon menjadi studi kasus bahwa terdapat suatu pendekatan baru dalam pemenuhan kesejahteraan pengungsi melalui komunitas. Penelitian ini juga menunjukkan peran aktor non negara, IOM (International Organization for Migration) dan JRS, yang mampu memberi respon yang baik dalam pemenuhan kebutuhan para pengungsi. Sedangkan perbedaan dari penelitian yang akan penulis lakukan adalah penulis akan lebih memfokuskan pada strategi dan tantangan yang
Halaman | 5
dihadapi JRS di komunitas pengungsi di Sewon, Yogyakarta dalam melakukan diplomasi kemanusiaan.
D. Kerangka Konseptual 1. Humanitarian diplomacy Diplomasi merupakan hal yang tidak dapat kita pisahkan dari aktivitas dalam hubungan internasional. Diplomasi humaniter pun menjadi salah satu aspek dalam diplomasi yang sedang banyak dilakukan karena isu-isu mengenai kemanusiaan sedang menjadi fokus penelitian. Diplomasi humaniter menjadi penting karena ketika berbicara mengenai isu-isu kemanusiaan pendekatan yang dilakukan pun berbeda ketika melakukan diplomasi tradisional. Larry Minear menulis dalam bukunya bahwa diplomasi tradisional dijalankan dalam kerangka negara berdaulat yang sudah diatur dalam Konvensi Wina 1949 mengenai apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Sedangkan diplomasi humaniter tidak dibingkai oleh rezim. Diplomasi humaniter ditandai dengan keadaan yang mendesak yang tidak melihat batas negara selayaknya yang dilakukan diplomat pada diplomasi tradisional. Diplomasi humaniter lebih dapat diimprovisasi dan ad hoc, lebih oportunis dan ad hominem.6ʾ7
6 L. Minear & H. Smith, Humanitarian Diplomacy: Practitioners and Their Crafts, United Nations University Press, New York, 2007, hal: 9-10 7 Ad hominem merupakan serangan terhadap lawan melalui argumen yang bertujuan untuk mendiskreditkan argument dan opini lawan. Hal ini dimungkinkan dalam diplomasi humaniter karena sering kali institusi kemanusiaan memiliki kemampuan dan otoritas yang terbatas dalam memberi sanksi ekonomi atau militer terhadap lawannya sehingga ad hominem menjadi salah satu cara mereka berdiplomasi.
Halaman | 6
Menurut International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies diplomasi humaniter adalah, “Humanitarian diplomacy is persuading decision makers and opinion leaders to act, at all times, in the interests of vulnerable people, and with full respect for fundamental humanitarian principles.”8 Sedangkan Menurut Hazel Smith diplomasi humaniter adalah,”humanitarian officials have functions in common with state diplomats in that they must rely on negotiation, persuasion and dialogue to try to reach agreements with those with whom they may not share values and interest.”9 Dapat dikatakan juga bahwa diplomasi humaniter merupakan proses menciptakan dan memelihara ruang bagi kemanusiaan agar aksi-aksi kemanusiaan dapat dilakukan juga memelihara atau memberi akses kepada mereka yang membutuhkan seperti dalam keadaan konflik, bencana, dan juga situasi politik yang kacau. Dalam menjalankan diplomasi humaniter Minear & Smith memberi penjelasan beberapa aktivitas yang dilakukan yaitu, ”These activities comprises such efforts as arranging for the presence of international humanitarian organizations and personnels in a given country, negotiating access to civilian populations in need of assistance and protection, monitoring assistance programmes, promoting respect for international law and norms, supporting indigenous individuals and institutions, and
8
International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, Humanitarian Diplomacy Policy, <www.ifrc.org/en/what-we-do/humanitarian-diplomacy/humanitarian-diplomacy-policy/>, diakses pada 6 April 2014. 9 Minear & Smith, hal: 50.
Halaman | 7
engaging in advocacy in various levels in support of humanitarian objectives.”10 Menurut IFRC aksi diplomasi humaniter termasuk tanggung jawab untuk meyakinkan dan meyakinkan dengan alat dan aksi yang tepat, fokus pada wilayah yang dikuasai dan diketahui, dan melibatkan pihak-pihak lain disaat yang tepat.11 Untuk dapat mencapai diplomasi kemanusiaan yang efektif maka harus didukung dengan kemampuan berdiplomasi yang baik pula dari para diplomatnya. Kemampuan yang dibutuhkan yaitu, memiliki pemahaman mengenai Hukum Humaniter Internasional, dapat memahami sifat konflik yang berbeda tergantung dari situasi budaya masing-masing wilayah; kemampuan untuk menyediakan pemimpin dalam keberagaman dan dalam tahap kesuksesan ataupun sebaliknya; memiliki kemampuan untuk membuka dan memelihara ruang kemanusiaan; menjadi batrai hubungan antar personal; dan peka terhadap menajemen waktu.12 Dalam melakukan diplomasi humaniter juga harus memperhatikan strategi apa yang akan dilakukan untuk dapat memastikan bahwa setiap program kemanusiaan yang dijalankan akan bermanfaat bagi target grup yang sudah ditentukan. Salah satu strategi yang bisa digunakan adalah dengan melakukan srategi Do No Harm yang ditulis Marry B. Anderson. Do No Harm sebenarnya merupakan prinsip dalam ilmu kedokteran di mana ketika akan melakukan suatu tindakan kepada pasien akan memperhatikan kepentingan dan juga kebutuhan pasien. Begitu pun 10
Minear & Smith, hal: 1. International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, Humanitarian Diplomacy Policy, <www.ifrc.org/en/what-we-do/humanitarian-diplomacy/humanitarian-diplomacy-policy/>, diakses pada 6 April 2014. 12 Minear & Smith, hal 28. 11
Halaman | 8
dalam studi bantuan kemanusiaan asas ini digunakan untuk menghindari konflik, karena bantuan kemanusiaan yang diterima suatu kelompok itu dapat mendukung tercapainya perdamaian atau sebaliknya mendorong terjadinya konflik. Untuk dapat melakukan prinsip Do No Harm ini dapat dilakukan dengan 7 langkah sebagai berikut.13
Step 1: Understanding the Context of Conflict Ketika akan melakukan aksi kemanusiaan pada awalnya harus melakukan penaksiran yang mendalam di wilayah yang akan dituju. Para diplomat humaniter harus dapat memahami konteks konflik dan juga mempelajari bagaimana masyarakatnya hidup di wilayah tersebut sehingga menghindari do harm.
Step 2: Analyzing dividers and tensions Dalam setiap masyarakat dalam konflik terkadang memiliki kapasitas untuk melakukan kekerasan dan berperang, juga hal-hal yang membuat masyarakat tersebut menjadi terpisah. Hal-hal yang menjadi pembagi dalam masyarakat inilah yang dapat memicu terjadinya ketegangan diantara kelompok masyarakat. Di dalam bukunya Anderson memberi 5 kategori untuk mengidentifikasi pembagi masyarakat, yaitu sistem dan institusi, sikap dan aksi, perbendaan nilai dan kepentingan, perbedaan pengalaman, serta simbol dan peristiwa.14
Step 3: Analyzing connectors and local capacities for peace
13
Kevin Chang & S. R. Panggabean, Materi Mata Kuliah Foundation in Peace Studies, tidak dipublikasikan. 14 Mary B. Anderson, Do No Harm: How Aid Can Support Peace or War, Lynne Rinner Publishers, Boulder, 1999, hal 31-33.
Halaman | 9
Dalam suatu keadaan konflik setiap kelompok masyarakat memiliki sistem dalam menangani ketidakpersetujuan dan ketegangan tanpa kekerasan. Setiap kelompok masyarakat memiiki sistem yang membatasi dan mengakhiri kekerasan jika meletus atau dalam keadaan darurat. Konektor dan juga kapasitas lokal untuk perdamaian dapat dianalisis melalaui 5 kategori juga, yaitu sistem dan institusi, sikap dan aksi, kesamaan nilai dan kepentingan, kesamaan pengalaman, serta simbol dan peristiwa.
Step 4: Analyzing the assistance programme Tahap selanjurnya adalah menganalisis program bantuan apa yang paling dibutuhkan masyarakat yang menjadi target grup. Ada beberapa pertanyaan yang harus diperhatikan dan dijawab ketika melakukan analisis program, seperti kenapa program ini di buat, di mana, apa, berapa lama, kepada siapa, oleh siapa, dan juga bagaimana menjalankan program tersebut.
Step 5: Analyzing the programme’s impact on dividers and connectors using the concepts of resource transfers and ethical messaging Tahap selanjutnya adalah menganalisis bagaimana program yang telah di buat memberi dampak terhadap pembagi dan juga konektor dalam masyarakat. Transfer sumber daya ini termasuk didalamnya barang-barang dan jasa, pelatihan dan pengetahuan, kontrak, pendanaan, legitimasi, kekuasaan, dan harapan.
Step 6: Considering and generating programme options
Halaman | 10
Setelah melakukan transfer sumber daya maka selanjutnya menentukan opsi-opsi apa saja yang dimiliki diplomat humaniter jika program yang dijalankan gagal.
Step 7: Test programming options and re-design programme Tahap terakhir adalah melakukan tes terhadap opsi-opsi yang sudah dibuat dan kemudian mendisain ulang program yang gagal.
2. Bina-damai Upaya bina damai pasca konflik berakhir merupakan fase yang sangat penting dalam tahapan konflik.Ketika konflik sudah berakhir masalah yang muncul kemudian adalah masyarakat yang hancur karena konflik. Dalam tahap bina damai inilah masyarakat pasca konflik tersebut dibantu untuk kembali menata hidup mereka. Menurut Boutros-Ghali dalam laporannya An Agenda for Peace, bina damai adalah serangkaian aktivitas yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan mendukung berbagai struktur yang bertujuan untuk memperkuat dan mempersolid perdamaian sehingga dapat mencegah terulangnya konflik. Menurut Kofi Annan bina damai berbagai kegiatan integral yang dijalankan secara bersamaan di akhir konflik untuk mengkonsolidasikan perdamaian dan mencegah terulangnya konflik bersenjata. Bina damai bertujuan untuk membangun perdamaian positif yang meliputi tiga elemen sebagai berikut.15
15
Ririn Tri Nurhayati, Materi Mata Kuliah Bina Damai dan Rekonstruksi Masyarakat, 3 Juni
2014
Halaman | 11
1. Upaya menyelesaikan akar konflik seperti eksklusi sosial, politik dan ekonomi berdasar etnis, agama, gender atau hubungan kekuasaan yangg timpang antara pusat dan daerah. 2. Mekanisme untuk memperkuat kapasitas untuk mencegah dan menyelesaikan konflik dengan cara-cara damai. 3. Inclusive peace process & agreements bertujuan utk mencapai perjanjian damai yang akan menjadi fondasi yang kuat bagi upaya political settlement yang dapat mengatasi akar konflik dan membangun mekanisme resolusi konflik yang komprehensif.
Salah satu pendekatan mengenai bina damai yang akan penulis gunakan adalah dengen pendekatan comprehensive framework for peacebuilding oleh John Paul Lederach.16 Kunci utama dari pendekatan ini adalah fokus kepada konstituen perdamaian di semua level masyarakat dengan mengidentifikasikan individu atau kelompok mid-level dan mendukung mereka untuk menciptakan perdamaian dan rekonsiliasi. Dengan mendukung mid-level ini diharapkan dapat mempengaruhi bina damai pada level makro dan akar rumput. Lederach kemudian membagi masyarakat kedalam tiga level, dimana pendekatan di tiap level mengunakan strategi bina damai yang berbeda. Level 1 merupakan pendekatan yang dilakukan para pemimpin utama pada level negara yang berfokus pada negosiasi tingkat tinggi dan hasil. Level 2 16
John P. Lederach, Civil Society and Reconciliation in Turbulent Peace: The Challeges of managing Internatonal Conflict, eds. Chester A. Croker, Fen Osler Hampson, dan Pamela Aall, United States Institute of Peace Press, Washington D.C., 2001
Halaman | 12
merupakan pendekatan yang dilakukan pada mid-level kepemimpinan dan lebih berfokus pada resolusi seperti lokakarya penyelesaian masalah dan pelatihan resolusi konflik. Level 3 merupakan pendekatan pada level akar rumput melalui pendekatan bina damai seperti komisi perdamaian lokal, dialog antar komunitas, dan juga trauma healing.17 Untuk lebih jelasnya dapat meliha gambar dibawah ini.
Gambar 1. Level pendekatan bina damai Selain itu, ada juga hal-hal yang dapat mengahambat jalannya proses bina damai. Konflik bersenjata yang terjadi merupakan penghambat dalam proses 17
T. Paffenholz & Christoph Spurk, Civil Society, Civil Engagement, and Peacebuilding, Social Development Papers, No. 36, 2006, hal 22.
Halaman | 13
pembangunan, misalnya orang-orang meninggalkan rumah mereka, pendidikan mereka, pekerjaan mereka, atau meninggal, infrastruktur rusak atau hancur, dan sebagainya. Kerusakan akibat perang sulit untuk diukur, tetapi diperkirakan sekitar miliaran dolar. Untuk memperbaiki semua kerusakan akibat konflik bersenjata seringakali di luar kemampuan pemerintah pasca konflik, seperti pembangunan infrastruktur, pengurangan kemiskinan, penyediaan layanan publik, dan lain sebagainya.18 Oleh karena itulah aktor lain selain pemerintah sangat dibutuhkan dalam proses bina damai di wilayah pasca konflik. Salah satu aktor yang paling aktif ikut serta dalam proses bina damai adalah NGO. Dalam melakukan proses bina damai di dalam masyarakat pasca konflik terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi. Menurut Nicole Ball tantangan dalam proses bina damai dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: 1) Tantangan institusi: institusi yang menjalankan pemerintahan tidak berjalan dengan baik dikarenakan beberapa karakteristik, seperti lemahnya sistem administrasi, sistem yang non-partisipasi, persaingan tidak sehat dalam institusi, pemimpin memiliki legitimasi terbatas, dan kurangnya konsensus. 2) Tantangan ekonomi dan sosial: kondisi sosial dan ekonomi tidak kondusif untuk mendukung jalannya bina damai. Kondisi tersebut seperti, kerusakan parah pada infrastruktur ekonomi dan sosial, tingginya level hutang, perluasan ekonomi
18
Nicole Ball, The Challenge of Rebuilding War-Torn Socieites dalam Chester A. Crocker, Fen Osler Hampson, dan Pamela Aall, Turbulent Peace: The Challenges of Managing International Conflict, eds., Washington, D.C.: United States Institute of Peace Press, 2001, halaman: 719.
Halaman | 14
illegal, sumber daya manusia rusak, ketimpangan gender, kerusakan lingkungan, lemahnya struktur sosial, dan kurangnya indikator sosial 3) Tantangan keamanan: situasi dan kondisi dalam masyarakat yang dapat mengancam keberlasungan pencapaian bina damai. Kondisi-kondisi tersebut termasuk kekerasan terhadap hak asasi manusia, oposisi bersenjata, kurangnya transparansi dan akuntabilitas, jumlah peredaran senjata banyak, jumlah pasukan keamanan banyak, dan terlibatnya politik dalam keamanan.
3. Prinsip Humaniter Banyak organisasi humaniter melihat prinsip humaniter sebagai Bintang Utara mereka ketika menjalankan program-program kemanusiaan. Sebagian besar agensi kemanusiaan menganut suatu kode etik yang diartikulasikan kedalam prinsip-prinsip utama.19 Terdapat empat prinsip humaniter yang paling umum dijadikan sebagai pedoman banyak organisasi humaniter, yaitu humanity, neutrality, impartiality, dan independence. Ketiga prinsip pertama (humanity, neutrality, impartiality) disahkan PBB melalui Resolusi Majelis Umum PBB No. 46/182 pada tahun 1991, sedangkan prinsip keempat (independence) disahkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB No. 58/114.20
19
Minear & Smith, hal: 15. United Nations Office for the Coordination on Humanitarian Affairs, OCHA on Message: Humanitarian Principles, https://docs.unocha.org/sites/dms/Documents/OOMhumanitarianprinciples_eng_June12.pdf, diakses pada 14 Juli 2014. 20
Halaman | 15
Humanity
Neutrality
Impartiality
Independence
Penderitaan setiap manusia harus dibantu tidak peduli hal itu ditemukan dimana. Tujuan dari aksi kemanusiaan adalah melindungi kehidupan dan kesehatan dan menjamin kehormatan setiap manusia.
Aktor humaniter tidak diperkenankan untuk mengambil bagian atau terlibat dalam keadaan konflik. Aksi kemanusiaan yang dilakukan harus tanpa agenda politik atau agenda lain yang tidak ada hubungannya dengan kemanusiaan.
Aksi kemanusiaan harus dilaksanakan atas dasar kebutuhan, memberi prioritas kepada kasus darurat tanpa melihat asal usul orang yang akan ditolong (tanpa diskriminasi).
Aksi kemanusiaan harus bebas dari tujuan politik, ekonomi, militer, atau hal lain. Aksi kemanusiaan harus dapat menolak campur tangan dari pihak-pihak yang dapat mencoreng ketiga prinsip dasar.
E. Argumen Utama Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka konseptual di atas maka argumen utama yang penulis ajukan adalah Jesuit Refugee Service sebagai FBO berbasis nilainilai Kristiani yang bekerja di dalam masyarakat Muslim melakukan diplomasi humaniter melalui aksi-aksi kemanusiaan yang difokuskan pada pengungsi bertujuan untuk menciptakan dan memelihara ruang bagi kemanusiaan agar aksi-aksi tersebut dapat memberi akses kepada mereka yang membutuhkan seperti dalam keadaan konflik, bencana, dan juga situasi politik yang kacau. Penerapan diplomasi humaniter yang dilakukan JRS didasari pada prinsip-prinsip Do No Harm sehingga bantuan
Halaman | 16
kemanusiaan yang diberikan JRS tidak menjadi pemisah antara kelompok Islam maupun Kristen di wilayah kerjanya dan juga antara pengungsi dengan masyarakat lokal. Selain itu diplomasi humaniter melalui upaya bina damai yang dilakukan JRS di Sewon, Yogyakarta diaktualisasikan dalam bentuk pendekatan di semua level melalui upaya advokasi. Pemilihan aplikasi strategi diplomasi kemanusiaan tersebut membuat masyarakat di wilayah kerja JRS dapat menerima FBO tersebut dengan baik dan dapat bertahan hingga sekarang. Untuk dapat menjalankan diplomasi humaniter di Indonesia terdapat beberapa tantangan yang menghambat diplomasi humaniter yang dilakukan JRS. Tantangan yang dihadapi yaitu, adanya divider dalam masyarakat Indonesia, dan tantangan di bidang institusi, sosial dan ekonomi, serta keamanan. Walaupun demikian, JRS dapat mengatasinya hingga sampai sekarang masih dapat bekerja membantu para pengungsi di Sewon, Yogyakarta.
F. Metodologi Penelitian Aktivitas keilmuan yang akan dilakukan adalah dengan melakukan penelitian lapangan ke kantor pusat Jesuit Refugee Service Indonesia di Yogyakarta dan juga di komunitas pengungsi di Sewon, Bantul. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini akan menggunakan data primer dan data sekunder. Untuk data primer akan diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber yang berkompeten dari pihak JRS Indonesia, pengungsi penghuni Community Housing, dan sejumlah masyarakat di Sewon dengan sampel acak. Selain Halaman | 17
itu penulis juga melakukan observasi partisipan dengan mengikuti kegiatan yang diadakan JRS Indonesia di Sewon. Penulis menjadi relawan asisten pengajar Bahasa Inggris bagi para pengungsi penghuni Komunitas pengungsi di Sewon Sejak Maret – Juni 2015. Sedangkan data sekunder mengenai laporan dan kinerja Jesuit Refugee Service Indonesia, serta topik-topik yang berhubungan dengan pembahasan penelitian ini akan diperoleh melalui metode telaah pustaka dari berbagai sumber, sepert buku, jurnal cetak, jurnal online, majalah, surat kabar, dan berita online. Metode yang digunakan dalam menganalisis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah metode analisis data kualitatif dengan mengaplikasikan konsep ke dalam situasi konkret, tatanan sosial dan pengalaman yang nyata. Setelah semua data telah terkumpul maka data-data tersebut akan penulis olah untuk menganalisis apa saja strategi dan tantangan bagi Jesuit Refugee Service di Sewon, Yogyakarta. Dengan demikian nantinya akan memberikan gambaran jelas mengenai strategi apa saja telah dilakukan Jesuit Refugee Service agar dapat diterima masyarakat Sewon dan bagaimana efektivitas strategi yang tersebut terhadap pencapaian perdamaian positif di sana. Selain itu dijelaskan juga bentuk-bentuk tantangan yang masih harus dihadapi Jesuit Refugee Service.
G. Sistematika Penulisan Tesis ini akan terdiri atas lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
Halaman | 18
Bab I merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, studi literatur, kerangka konseptual, argumen utama, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II akan berisi data hasil penelitian mengenai beberapa hal, yaitu 1) gambaran isu dan tren pengungsi global yang berpengaruh pada situasi dan kondisi pengungsi di Indonesia; 2) gambaran mengenai pengungsi di Indonesia; dan 3) analisis berisi data hasil penelitian mengenai JRS, meliputi profil dan juga programprogram kemanusiaan apa saja yang telah dilakukan JRS di Indonesia. Bab III menjelaskan proses implementasi strategi yang digunakan JRS Indonesia agar dapat diterima para penerima bantuannya dan juga masyarakat sekitar komunitas pengungsi Sewon, dan bagaimana efektivitas strategi tersebut terhadap pencapaian diplomasi kemanusiaan di sana. Bab IV juga merupakan bagian mengenai analisis tantangan apa saja yang dihadapi Jesuit Refugee Service di Sewon, Yogyakarta. Terakhir adalah bab V yang merupakan kesimpulan dari penjelasan dari bab-bab sebelumnya.
Halaman | 19