APLIKABILITAS HAK ASASI MANUSIA SECARA UNIVERSAL Anton Pradjasto1 Hak asasi manusia yang diformulasikan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia diyakini memiliki sifat universal; dimanapun dan kapan saja dapat diberlakukan. Deklarasi yang diadopsi pada 10 Desember 1948 ini dielaborasi dalam berbagai perjanjian internasional, yang kemudian menjadi standar dasar tentang perilaku terutama antara Negara terhadap warganya. Dua diantara yang paling pokok itu adalah Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Gabungan ketiganya seringkali disebut sebagai Konstitusi Internasional HAM. Di satu pihak berbagai pelanggaran hak asasi manusia hingga kini terus terjadi di berbagai Negara dengan segala latar belakang sejarah dan budaya. Belum lama ini media menyingkap kekejaman yang dilakukan tentara AS terhadap warga Irak. Dua pengadilan pidana ad hoc internasional hingga kini masih berkelut terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi Afrika (Rwanda) dan Eropa (eks Yugoslavia) beberapa tahun lalu. Kita saksikan pula arah memperkuat pemenuhan HAM. India misalnya, sekalipun di sana jutaan orang masih menghadapi resiko pelanggaran HAM secara sistemati – karena dan hanya karena perbedaan kasta yang ditancapkan sejak yang bersangkutan lahir, telah mengeluarkan peraturan untuk mencegah kekerasan terhadap ‘yang tidak boleh disentuh’. Di Indonesia, korban-korban hak asasi manusia terus menyerukan pemulihan hak asasi manusia. Bukan saja atas perbuatan yang langsung mereka alami pada peristiwa berdarah di Tanjung Priok atau pada saat-saat berakhirnya – bergantinya kekuasaan 1965 dan 1998. Terakhir mereka mendesak adanya penyelidikan atas kematian human rights defender Munir. Tulisan ini hendak melihat kembali persoalan aplikabilitas HAM melintasi waktu dan tempat atas berbagai prinsip dan norma yang terkandung di dalamnya. Di antaranya anggapan bahwa HAM adalah western constructed dan alasan perbedaan tingkat ekonomi antara Negara maju dengan Negara berkembang/tidak berkembang. Penulis beranggapan bahwa ujian pokok universalitas berlakunya hak asasi manusia terletak pada korban. Konstruksi Barat Konstruksi Barat atas perumusan HAM seringkali dijadikan alasan tidak dapat berlakunya perjanjian HAM internasional secara universal. Jika kita melihat sejarah dan asal usul pemikiran hak asasi manusia mungkin saja Negara-negara yang disebut dunia ketiga mempunyai pengaruh yang sangat sedikit bagi perumusan konsep awal hak asasi manusia. Konsep HAM yang ada berkembang untuk waktu yang lama dari sejarah Eropa sebagai respon terhadap perubahan konfigurasi kekuasaan dari setiap epoh sejarah.
1
Lulusan University of Essex, Human Rights Centre, 1999. Pekerja HAM. Deputi II Demos. Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat lembaga DEMOS.
Demikian pula dengan kerangka kerja hukum HAM internasional, banyak didasarkan pada model barat. Dari berbagai dokumen tampak bahwa sekalipun tim yang merumuskan DUHAM adalah orang-orang yang berasal dari berbagai Negara dan draf teks diperdebatkan oleh seluruh anggota Majelis Umum PBB, proses itu memang didominasi oleh delegasi Barat yang ketika itu sebagai pemenang Perang Dunia II hendak mencegah terulangnya kembali pembunuhan massal (holocaust). Tidak pula dapat disangkal bahwa sebagian besar bangsa, termasuk yang berasal dari Barat bermuka ganda. Mereka mengkritik Negara lain sementara tidak mempedulikan hak asasi warganya sendiri. Lihat saja apa yang dialami indigenous people di Amerika Utara dan Australia yang belum lama diakui hak-haknya. Rezim racis apartheid yang diterapkan hingga 1994 adalah bentuk nyata wajah kolonialism Barat, di akhir abad 20. Banyak pula Negara itu yang cuci tangan atau tidak peduli terhadap dampak yang diciptakan komunitas bisnis yang berdomisili di negaranya terhadap masyarakat di Negara lain. Hal ini tampak dari kinerja berbagai perusahaan multinasional/transnasional yang menghancurkan tanah-tanah adat, mengeksploitasi buruh murah atau membatasi akses masyarakat pada sumber daya air dengan penetapan harga air yang tak terjangkau. Kasus yang terjadi di Buyat 2004 dan pelanggaran berat HAM di tempat beroperasinya Freeport pada 1995 adalah beberapa contoh diantaranya. Sikap hiprokrit dan kuatnya model hukum barat adalah satu hal. Akan tetapi beranggapan bahwa hak asasi manusia tidak dapat diterapkan di Negara lain terlalu menyederhanakan persoalan. Pada masa pemerintahan orde baru jelas tampak bahwa jargon ini seringkali digunakan. Pemerintahan itu, sebagaimana pemerintah Asia lainnya mengklaim dua hal. Pertama dengan klaim bahwa bahwa Asia memiliki nilai sendiri (Asian Values) dan kedua dengan menganggap bahwa perkembangan sosial ekonomi yang ada mengharuskan terjadinya trade off hak asasi manusia dengan ‘pembangunan’. Asian value Kelompok ini beranggapan bahwa Asia memiliki kultur yang berbeda dengan nilai-nilai hak asasi manusia yang berasal dari budaya barat. Oleh karena itu tidak dapat diterapkan di Asia, termasuk Indonesia. Cara pandang ini cacat dan sarat dengan kepalsuan karena berbagai alasan berikut ini. Pertama, tidak bisa disangkal bahwa Asia memiliki perbedaan sejarah dari ‘barat’. Di Asia pula terdapat aneka ragam budaya. Bukan hanya dalam budaya, pada banyak hal lain Asia sangat heterogen. Sementara banyak TKI mengalami siksaan, industrialis Cina Selatan sedang mengalami kemakmuran. Tidak pula ada persamaan antara janda-janda politik beserta anak-anak mereka di Aceh dengan para Jendral di Jakarta. Demikian pula di Barat. Tentu tidak pula dapat disamakan antara anak sekolah di New York dengan kelompok neo-Nazi di berbagai jalan Austria. [Vanessa, 2001] Oleh karena itu pula sulit untuk menyatakan terdapat satu ‘nilai Asia’; satu nilai yang berbeda dengan ‘barat’. Justru, sebagaimana terjadi di Indonesia, terdapat aneka ragam budaya, kepercayaan dan nilai. Yang terjadi adalah pemimpin yang klaim ‘satu nilai Asia’ juga memilih dan menerapkan sistem nilai maupun kepentingan Negara ‘barat’. Misalnya saja sistem perdagangan bebas dan
penerapan kebijakan yang mengejar pertumbuhan. Berbagai paket deregulasi dan privatisasi usaha-usaha pelayanan publik didorong untuk tercapainya perdagangan bebas; yang hingga kini tidak menunjukan adanya peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat kebanyakan. Kedua, realita keanekaragaman budaya memang sekaligus memperkuat pandangan tidak absolutnya nilai hak asasi manusia. Hal ini bukan berarti bahwa nilai-nilai yang telah dirumuskan dalam berbagai instrumen hak asasi manusia tidak dapat berlaku secara universal. Sebab, seperti yang ditunjukan oleh An Naim, pemikir Islam terkemuka, di antara perbedaan manusia atau masyarakat memiliki kepentingan, kepedulian dan nilai-nilai yang sama. [Abdullahi A AnNa’im, 1992]. Kecenderungan manusia dari berbagai latar belakang yang dengan cepat mengulurkan tangan bagi korban bencana komunitas lain adalah salah satu bentuk adanya kesamaan itu. Contoh lain, adalah kemarahan spontan yang menyebar di sebagian besar belahan dunias atas pelanggaran hak asasi manusia di Bosnia, Rwanda,Timor Leste maupun Thailand belum lama ini. Ke-tiga, validitas klaim ini masih harus diuji dengan berbagai kenyataan berikut. Seorang Marsinah yang harus kehilangan nyawanya karena percaya dan hendak merealisasikan haknya berorganisasi dan mogok. Sementara, Chico Mendez dari Brazil, dan kawan-kawannya yang percaya akan persamaan martabat telah mengorbankan hidupnya untuk melindungi hutan tropis di Brazil dari eksploitasi yang berlebihan. Dan, Martin Shikuku, dari sebuah Negara di Afrika, yang tidak sanggup jalan setelah dibebaskan dari tahanan karena percaya akan persamaan derajat manusia. Kenyatan-kenyataan ini menunjukan bahwa mereka semua berasal dari berbagai Negara, berbagai lapisan masyarakat dan dapat diduga tidak pernah bertemu apalagi kenal satu dengan yang lain. Meskipun demikian mereka memiliki kepercayaan yang sama atas persamaan martabat umat manusia. Dengan kata lain, realitas ini menunjukan bahwa manusia dari berbagai tempat dan lapisan mengakui universalitas prinsip hak asasi manusia. Jika ditelusuri sebenarnya justru di Negara-negara dengan pemerintahan yang menyangkal universalitas hak asasi manusialah perlindungan dan penerapannya menjadi problematis. Di sana peraturan yang menindas, yang memberi otoritas kontrol yang besar pemerintah terhadap masyarakat sipil, justu yang berlaku. Kekerasan dan pelibatan tentara dalam menghadapi tuntutan masyarakat menjadi pola daripada pengecualian. Disamping itu stigmatisasi sebagai kriminal atau kelompok teroris atas mereka yang kritis terhadap berlangsungnya penyelenggaraan kekuasaan banyak terjadi di Negara bersangkutan. Dengan kata lain klaim itu patut diragukan. Dengan adanya proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia dan beberapa Negara Asia lainnya memang klaim ini tidak lagi menonjol. Meskipun di Asia belum memiliki mekanisme perlindungan hak asasi, setidaknya di India, Malaysia, Thailand, dan tentunya Indonesia telah terdapat Komisi-komisi Nasional HAM. Bahkan sejak 1998 Indonesia adalah salah satu Negara di Asia yang di tataran formal memiliki peraturan-peraturan yang mengakui dan melindungi HAM. Amandemen II UUD 1945 (pasal 28), UU HAM 1990 dan UU Pengadilan HAM 2000 adalah ‘piranti lunak’ perlindungan HAM. Bahkan Komnas HAM Indonesia seringkali membuat Komisi sejenis lainnya di Negara lain ‘iri’ karena otoritas besar untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Terlepas dari berbagai kritik atas kinerja Komnas HAM,
sejarahpun menyaksikan ketika berbagai institusi demokrasi seperti DPR dan Pengadilan diragukan Komnas HAM menjadi sasaran harapan.
Manusia individual dan kolektif Turunan dari alasan ‘nilai Asia’ yang digunakan untuk menolak validitas universal HAM adalah bahwa bangsa Asia memiliki cara pandang yang berbeda tentang apa itu manusia. Mereka meyakini, masyarakat Asia memiliki hubungan kekeluargaan yang kuat yang di dalamnya menekankan relasi-kolektiv sebagai lawan dari cara pandang yang menekankan otonomi pribadi manusia. Dalam hubungan sosial seperti yang diklaim ini, bukan kepentingan individu yang diunggulkan akan tetapi kepentingan kelompok. Individu tidak dianggap sebagai entitas yang otonom akan tetapi hanya sebagai bagian dari kolektif. Oleh karena itu dalam masyarakat ini, komunitas dan tanggung jawab kolektif memiliki nilai yang lebih tinggi daripada kebebasan. Jika kita bandingkan, pendekatan masyarakat yang berorientasi pada individu cenderung menarik garis tegas antara Negara dan individu (penguasa dengan yang dikuasai). Oleh karena itu, setidaknya secara teoritis, hubungan antara keduanya lebih bersifat konfrontatif daripada konsensual. Hal yang sebaliknya terjadi pada masyarakat yang berbasis pada komunalitas. Kedua, pendekatan ‘pertama’ pada dasarnya hendak melindungi individu [-individu] dari kekuasan yang sewenang-wenang. Sedangkan pendekatan kedua, berusaha mencari hubungan timbal balik antara penguasa dengan rakyat. Ketiga, dalam kerangka kerja pertama individu adalah pemilik/pemegang hak. Mereka memiliki hak semata-mata karena mereka adalah manusia. Oleh karena itu, hak tersebut bersifat tak terbagikan dan menjadi sumber kedaulatan Negara. Di pihak lain, masyarakat yang berorientasi pada komunal memandang komunitas sebagai pemegang hak dari anggota-anggotanya. Dalam pendekatan ini ‘hak’ dimiliki secara kolektif. Dalam kehidupan politik, pandangan ini dicerminkan dalam ‘hubungan bapak-anak’. Pemerintah dianggap sebagai bapak dan warga Negara sebagai anak-anak. Pemerintah kemudian dianggap harus bersedia bekerja keras untuk membahagiakan rakyatnya. Implikasi politiknya adalah pemerintah mengklaim sebagai satusatunya pihak dan penentu kebahagiaan. [Daniel A Bell, 1997] Klaim ‘relasi kolektif’ bagaimanapun mengandung banyak kelemahan berikut. Pertama, sekalipun di sebagian besar Negara Asia mengunggulkan kolektivitas, tetap saja cara hidup ini mengakui martabat manusia sebagai prinsip hidup bersama. Nilai-nilai yang hidup di Asia tidak menyangkal bahwa ‘...every human being are born free and equal in dignity and rights....’ and that they have ‘... the right to life, liberty and security of person’ sebagaimana pasal 1 dan 3 DUHAM. Atas terbunuhnya Marsinah, di Siduarjo, tentu tidak ada masyarakat Indonesia yang mengakui bahwa penyiksaan yang dialaminya sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di Indonesia. Tindakan itu justru dianggap sebagai perlakuan yang bertentangan dengan kebebasan, persamaan dan hak hidup seseorang. Dengan kata lain, menolak memberlakukan HAM karena dan hanya karena menganggap masyarakat mengunggulkan kolektivitas tidak memiliki dasar. Selanjutnya, jika betul bahwa Negara ini berbasis pada relasi kolektif maka Negara itu tetap harus menerima dan mengakui kebebasan berkumpul. Tanpa dapat berkumpul dan berorganisai,
maka klaim hubungan berbasis pada kolektivitas kehilangan alasan adanya (raison d’etre). Sebab, berbagai kebebasan untuk menjalankan sikap oposisi, berkumpul dan menyatakan pendapat memungkinkan warga negara menaruh kepercayaan pada Negara. [Bell, 1997] Dan dengan kepercayaan demikian negarapun dapat semakin kuat. Sikap yang dengan mudah menganggap kritik-kritik terhadap pengelolaan konflik sebagai anti nasionalisme sesungguhnya lebih banyak karena hendak menyembunyikan sikap otoritarianism. Ketiga, realitas di sejumlah Negara Asia, termasuk Indonesia menunjukan bahwa klaim sebagai masyarakat yang harmonis jauh dari fakta. Bukan karena dalam beberapa komunitas tidak terdapat keharmonisan akan tetapi bertentangan dengan fakta atas penggunaan kekerasan secara berlebihan serta pendekatan dan keterlibatan aparat militer menghadapi tuntutan rakyat. Berbagai tuntutan buruh atau petani yang kembali mulai marak akhir-akhir ini merupakan gambaran akan kegagalam pemerintah maupun pemegang kekuasaan modal mempertahankan hubungan timbal balik antara penguasa dengan rakyat. Tidaklah berlebihan untuk menganggap argumen-argumen itu jauh dari kenyataan. Jargon itu lebih sering digunakan sebagai manipulasi untuk membenarkan pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga masyarakat. Oleh karena itu klaim seperti ini harus dilihat secara kritis; kalau tidak meninggalkannya.
Nasi atau HAM Setelah Perang Dunia II berakhir, banyak negara memperoleh kemerdekaan. Mereka sebagian besar berada di wilayah selatan dari dunia yang bundar ini. Sejarah yang dilalui oleh negaranegara selatan memang berbeda dengan sejarah negara-negara di belahan bumi utara. Karena perbedaan tersebut, sejumlah akademisi berpandangan bahwa hak asasi manusia yang ada saat ini tidak dapat berlaku universal. Karena apa yang dianggap ‘alamiah’ di negara ‘barat’ atau ‘utara’ belum tentu ‘alamiah’ di negara selatan.[Pollis dan Scwab, 1980] Pandangan ini ‘diambil alih’ begitu saja oleh pemerintahan, termasuk Indonesia khususnya pada masa orde baru. Menurut mereka, untuk dapat hidup dalam alam demokratis dan yang menghargai hak asasi manusia maka pembangunan ekonomi harus didahulukan daripada penerapan HAM itu sendiri. Dengan kata lain hanya mereka yang memiliki cukup uang dapat memanfaatkan demokrasi, padahal mayoritas masyarakat Indonesia miskin. Pertumbuhan ekonomi secara signifikan akan terjadijika terdapat ‘pimpinan yang kuat’. Selanjutnya, demikian argumen kelompok ini, pembatasan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia, khususnya hak sipil politik, dianggap sebagai keniscayaan untuk tercapainya pembangunan tersebut. Pembatasan hak asasi merupakan trade off dari pembangunan. Benar bahwa kemiskinan yang meluas terjadi di Indonesia. Sulit pula disangkal bahwa kemiskinan dapat merusak martabat manusia. Akan tetapi membatasi hak asasi manusia untuk terciptanya pembangunan tidak bisa didukung lagi. Dari waktu ke waktu banyak bukti yang menunjukan bahwa kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata tanpa adanya kontrol efektif dari warga terhadap Negara justru menghasilkan kesenjangan ekonomi yang lebih dalam. Pembangunan, alih-alih meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, justru
lebih memperkuat otoritarianism – karena pendekatan itupun pada gilirannya membutuhkan strategi represif [Andrew McIntyre, 1994]. Sebagaimana ditunjukan pada krisis ekonomi 1997, anggapan bahwa penundaaan hak-hak asasi manusia hingga tercapainya pembangunan ekonomi, tidak hanya tidak melindungi HAM tapi juga tidak menghasilkan pembangunan. Korban yang paling ujung dari pendekatan ini adalah komunitas-komunitas miskin seperti buruh pabrik, pekerja sector informal, penghuni pemukiman miskin maupun masyarakat adat disamping para akademisi. Slogan ini lagi-lagi hanya digunakan untuk mengabsahkan kebijakan-kebijakan represif negara terhadap warganya. Hak asasi manusia dipinggirkan dalam nama ‘pertumbuhan’. Perdebatan untuk menitik-beratkan ekonomi seringkali bermuara pada perdebatan antara hak sipil politik dan sosial, ekonomi, budaya. Hak-hak sosial dan ekonomi seringkali dipandang sebagai acuan aspirasi semata dan bukan HAM. Kapasitasnya untuk diterapkan diragukan. Maka, bagi sebagian pihak hanya hak sipil politik yang merupakan hak asasi manusia. Tidak cukup ruang untuk menjelaskan betapa kelirunya pandangan itu. Cukup dikatakan dalam tulisan ini bahwa meski keduanya dapat dibedakan akan tetapi tidak perlu dipertentangkan. Justru kedua kelompok hak asasi manusia bersifat universal, tak terbagikan dan pemenuhannya tergantung pada hak lain. Refleksi Mary Robinson, Ketua Komisi HAM PBB di Surabaya empat tahun lalu, menegaskan bahwa kebebasan umat manusia dari rasa takut dan kemiskinan hanya dapat dicapai jika ada kondisi yang memungkinkan semua orang menikmati hak-hak sosial,ekonomi, budaya maupun sipil dan politik. Sekedar ilustrasi kesalingan ini tampak dalam realitas berikut. Contoh klasik adalah seorang tahanan politik tidak saja kehilangan hak untuk bebas dari pemenjaraan yang semena-mena tapi juga kehilangan hak atas kerja maupun hak untuk menikmati hidup berkeluarga. Hak-hak buruh pabrik untuk memiliki upah yang layak akan sangat sulit terpenuhi tanpa pengakuan atas hak-hak politik mereka untuk membentuk organisasi buruh, melakukan pemogokan, termasuk hak untuk menyatakan pendapat dan untuk iktu menentukan kebijakan-kebijakan publik. Di pihak lain, realisasi hak berorganisasi akan sangat sulit dilakukan ketika buruh tidak memiliki penghasilan yang cukup. Mereka bahkan harus lembur untuk mengisi kekurangan penghasilan, harus bermukim di tempat-tempat yang tidak sehat dengan fasilitas yang sangat terbatas. Akibatnya waktu yang disisihkan untuk berorganisasi juga menjadi terbatas.
Tantangan kontemporer HAM Lima tahun lebih sudah pemerintahan otoriter Soeharto jatuh. Dua kali pemilihan umum dilakukan dengan relatif demokratis. Jaminan hukum HAM semakin baik. Akan tetapi pelanggaran hak asasi manusia masih terus terjadi. Di Aceh, Papua bahkan belum lama ini di Bojong kekerasan terhadap warga masih terus terjadi. Penggusuran berlangsung di berbagai kota besar dari Medan, Jakarta hingga Makasar. Seorang pekerja HAM, Munir, mati diracun. Di satu pihak distribusi sumber daya ekonomi tidak terjadi, di pihak lain partisipasi masyarakat untuk menentukan hidup bersama juga tidak terjadi. Kiranya ada beberapa faktor yang mungkin dapat menjelaskan terus berlanjutnya pelanggaran HAM. Pertama, cacat pandang mengenai hak asasi manusia dalam dua segi. Pertama anggapan masih hidup bahwa HAM adalah norma yang tidak dapat diberlakukan di Indonesia karena berasal dari
barat. Kedua melihat hak asasi manusia sipil politik dan sosial, ekonomi, budaya secara dikotomis – dimana hak sosial ekonomi dianggap bukan HAM. Seperti dikemukakan di atas, validitas cara pandang itu semakin tidak tepat. Beberapa pejabat pemerintah, komisioner KOMNAS HAM maupun militer masih mengedepankan HAM sebagai konstruksi ‘barat’ untuk menghindari tanggung jawabnya. Di kalangan itu pula banyak yang beranggapan pemenuhan hak sosial ekonomi tergantung pada ada tidaknya nya kebijakan pemerintah semata dan bukan sesuatu yang dapat dituntut pada Negara sebagai pemegang tanggung jawab utama. Kedua, demokrasi sebagai kerangka kerja bagi pemajuan, perlindungan maupun penegakan HAM belum sungguh terjadi. Riset Demos menunjukan bahwa dari berbagai hak dan institusi demokrasi hanya institusi-institusi yang menyangkut kebebasan sipil yang sungguh-sungguh eksis dan cakupannya meluas. [Demos, 2004] Sebagai contoh, kebebasan mendirikan partai termasuk memobilisasi dukungan, berbicara, berserikat dan beroganisasi, kebebasan pers. Sementara hak/institusi demokratis yang berhubungan dengan hak-hak sosial dan ekonomi [hak atas kerja, jaminan sosial dan atas kesehatan], supremasi sipil, akses pada keadilan dan pengadilan yang imparsial masih sangat buruk. Hal ini bias dijelaskan dengan beberapa ilustrasi berikut. Hingga kini struktur territorial yang memungkinkan dominasi militer atas sipil masih bertahan. Para pelaku kasus korupsi baik yang dilakukan oleh pejabat pemerintah maupun pemilik modal tidak kunjung diadili apalagi dihukum. Dukungan DPR terhadap Perpu 1/2004 yang memberi kewenangan 13 penambang melakukan aktivitasnya di hutan lindung sekalipun telah diprotes secara luas oleh masyarakat adalah contoh lain dari tidak pedulinya wakil terhadap kepentingan vital masyarakat. Ketiga, masih kuatnya politik impunitas; yaitu penggunaan kekuasaan politik untuk meniadakan akuntabilitas pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini antara lain tampak ketika KKR diperlakukan sekedar sebagai rekonsiliasi tanpa mengedepankan pengungkapan kebenaran dan akuntabilitas dari Negara maupun para pelaku pelanggaran HAM bersangkuta. Demikian pula dalam proses pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Pada pekara Semanggi I – II, Dewan Perwakilan Rakyat melampaui wewenangnya dengan memutuskan ‘tidak adanya pelanggaran berat HAM’ dalam kasus yang bersangkutan. Evaluasi legal yang dilakukan oleh ICTJ terhadap proses pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Timor Timur menyimpulkan bahwa pengadilan itu memang dimaksudkan untuk gagal. Bukan saja keputusan hukum yang membebaskan sebagian besar terdakwa akan tetapi juga proses hukum yang mencakup penyidikan, pendakwaan dan pemeriksaan di pengadilan menunjukan kearah itu. Sebagaimana temuan penelitian DEMOS, hal ini memperkuat gambaran mengenai masih dikuasainya berbagai institusi demokrasi termasuk lembaga yudisial oleh kekuatan dominan lama. Mereka berasal dari militer, birokrat, perusahaan besar dan lembaga keuangan internasional. Contoh yang lain adalah konflik antara media dengan milisi yang didukung modal serta kontroversi pencemaran di Buyat. Tentu ulasan ini tidak berpretensi menjawab sekuruh persoalan kontemporer penerapan hak asasi manusia secara universal. Yang jelas, penerapan hak asasi bukan sekedar untuk menjadi perdebatan politik atau akademis. Hak asasi manusia akan terus hidup karena HAM menjadi alat bagi korban untuk membebaskan diri dari ‘penderitaan yang dipaksakan padanya’. Jakarta, 8 Desember 2004 Antonio P.H.