Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2013, hal 59-75 ISSN 2302-5719
Volume 1, Nomor 1
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis EDISIUS RIYADI TERRE Salah satu Pendiri dan Redaktur Pelaksana Jurnal Hak Asasi Manusia, DIGNITAS (2004 – 2009) Surel:
[email protected] Diterima: 29 Oktober 2012 Disetujui: 5 November 2012
ABSTRACT This article examines human rights not primarily as ideas and concepts but as a movement of consciousness. The consciousness this article will employ is based on the negative experiences of humankind around the world, experiences of losses, rather than on philosophical reflection. However, this article is a philosophical survey in the sense that it does not explore the philosophical thoughts of thinkers on human rights, ethics, politics and law, but it tries to trace its own way of apprehending human rights by using genealogical journey of human rights in history since the Enlightenment. Tracing genealogically will offer a new paradigm on how to understand human rights as universal standards and norms on how politics should walk beyond the debate between the idealist and pragmatist, particularist and universalist, Islam and the West. The new paradigm is purposefully captured, by referring to Adorno, as “negative dialectics”, in which one knows what he/she has when losing it. By tracing genealogically, one will find a new understanding on the universality of human rights not as abstract universal norms but mainly as “the same voices of victims of humankind” in each country, culture and civilization around the world. Keywords: Genealogi, dialektika negatif, kesadaran, filsafat, korban
saksikan isu HAM sebagai agenda dan proTidak berlebihan jika dikatakan bahwa gram utama mulai dari tingkat PBB hingga abad 20 dan sesudahnya adalah “abad ke tingkat masyarakat sipil di pelbagai behak asasi manusia” (Henkin, 1990; Bobbio, lahan dunia dengan didampingi pelbagai 1996:32). Penamaan itu tentu saja mengan lembaga non-pemerintah yang bergerak di dung dua aspek tak terpisahkan yaitu dis- bidang hak asasi manusia. Penamaan abad kursus dan gerakan, atau teori dan praksis. hak asasi manusia, kalau kita telusuri rePada tingkat diskursus kita saksikan mere- alitas di baliknya, tentu saja muncul dari baknya pelbagai terbitan, tulisan, diskusi, sebuah realitas kelam dan negatif dalam training, bahkan kuliah di pelbagai belahan sejarah umat manusia, yaitu pengalaman dunia yang menjadikan HAM sebagai sub- penderitaan. Penderitaan yang dimaksud jek kajian utama. Pada tingkat gerakan, kita adalah penderitaan yang disebabkan oleh Pendahuluan
06-Hak Asasi.indd 59
4/18/2013 8:31:39 PM
60
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis
Voleme 1, 2013
perbuatan manusia itu sendiri. Maka, se filosof dapat, dan memang sebaiknya, menjelaskan belakangan, bahwa hak asasi bagaimana dikatakan Magnis-Suseno: itu memang dapat dimengerti dari latar be… hak-hak asasi tidak diciptakan dari udalakang prinsip-prinsip moral dasar interakra kosong, melainkan mengungkapkan sesi manusiawi” (Magnis-Suseno, 1991:136). jarah pengalaman sekelompok orang yang Dengan pertama-tama melihat ide secara mendalam mempengaruhi cara sehak asasi manusia muncul dari kesadaran luruh masyarakat menilai kembali tatanan dan keprihatinan akan pembantaian dan kehidupannya dari segi martabat manusia. Sejarah itu berwujud penderitaan, ketidak pemerkosaan manusia, berarti kita memaadilan, dan pemerkosaan (Magnis-Suseno, haminya, berpikir dan bertindak de ngan 1991:136). cara dialektika negatif (Adorno, 1973), yaitu dengan menempatkan para korban Realitas negatif itulah yang kemudian realitas negatif itu sebagai subjek utama, 2 direfleksikan dan lalu diteorikan1 serta sebagai perhatian prima facie. Tanpa “kediperdebatkan oleh para pemikir hingga berpihakan” seperti ini, semua pembicaradewasa ini. Biasanya, ada dua pertanyaan an dan perjuangan atas nama hak asasi mayang selalu menyibukkan para pemikir nusia tak berarti apa-apa, bahkan menjadi tentang hak asasi manusia: apa itu hak asa- alat penindasan baru dengan gaya “serigasi manusia, dan mengapa dinamakan hak la berbulu domba”. Inilah posisi saya dalam menelusuri asasi manusia? Apa pun dan bagaimanapun perdebatan dan jawabannya, negati- sejarah, prinsip dan kandungan hak asasi vitas itu tetap mencekam dan menghentak manusia. Penelusuran ini saya dekati senurani kemanusiaan. Karena itu, pertanya cara genealogis. Pendekatan genealogis an tentang pendasaran sesuatu sebagai hak yang saya maksud adalah penelusuran asasi manusia akan dijawab: karena manu- hak asasi manusia sebagai sebuah kesadasia sendiri tidak tega, ngeri, jijik terhadap ran, sebuah genealogi kesadaran, yaitu kependeritaan itu, dan sekaligus ingin keluar sadaran dalam ide dan sekaligus gerakan dari realitas negatif itu. Secara antropolo- yang terkait-kelindan dan tidak terputusgis, manusia, bahkan makhluk hidup se- putus. Namun, penelusuran genealogis ini cara keseluruhan, mempunyai mekanisme saya batasi pada era modern yaitu mulai internal dan alamiah untuk keluar dari zaman Pencerahan hingga era kontempenderitaan. Dari situlah kemudian “para porer.3 Selain itu, penelusuran genealogis Dilihat sejarah etimologisnya, teori memang menyusuli praksis. Teori berasal dari kata Theoros (Yunani), yakni seorang yang diutus oleh suatu masyarakat untuk melakukan theoria, memandang, memaknai, melakukan, dst… Jadi, dalam pengertian pra-modernnya – yang kemudian dicoba diangkat kembali oleh Teori Kritis Mazhab Frankfurt, dengan berhutang besar pada Marx, sebagai gugatan terhadap paradigma ilmu pengetahuan modern – teori selain memang menyusuli praksis, juga berarti bahwa antara teori dan praksis itu sendiri tak dapat dipisahkan. Bahkan, teori adalah praksis itu sendiri. 2 Prinsip prima facie, yang secara harfiah berarti “kesan pertama”, pertama kali dikemukakan oleh William David Ross untuk mengatasi dilema tindakan etis dalam teori etika deontologi Immanuel Kant. Prima facie berarti tindakan etis yang diambil di antara pelbagai pilihan yang tampak pada “pandangan pertama” dan diyakini saat itu sebagai “tindakan yang benar”, terlepas dari hal itu benar atau tidak di masa depan. Pada tingkat yang lebih luas, prinsip prima facie ini sering disamakan sebagai “rasa keadilan”. Lihat Ross, W. D. (1930). The Right and the Good. Gloucestershire: Clarendon Press. 3 Jadi, meskipun berhutang banyak pada konteks perbudakan di Yunani kuno dan pemikiran filosofis para pemikir besarnya semisal Plato, Aristoteles, konteks Romawi Kuno, dan pelbagai sejarah bangsa-bangsa lainnya, penelusuran genealogis saya di sini tidak mencakupi itu, melainkan pelbagai konteks dan refleksi zaman itu saya pandang sebagai referensi yang terartikulasi secara lebih signifikan dalam era kontemporer sebagaimana saya maksudkan dalam tulisan ini. 1
06-Hak Asasi.indd 60
4/18/2013 8:31:40 PM
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis
EDISIUS RIYADI TERRE
61
ini dibagi atas fase-fase dengan berangkat dari tonggak-tonggak penting gerakan hak asasi manusia, jadi bukan pada asal-usul perdebatan teoretisnya---meskipun tidak bisa dinafikan bahwa tonggak sejarah yang dimaksud tidak mungkin terlepas dari diskursus gagasan yang diketengahkan oleh para pemikir berpengaruh pada zamannya. Karena itu, saya membagi fase genealogis hak asasi manusia atas tiga fase, yaitu: Fase I, Praperang Dunia I-II yang meliputi tonggak sejarah penentangan monarki absolut di Inggris dan Prancis hingga perjuangan kemerdekaan di Amerika; Fase II, Pasca-perang Dunia I-II yang merupakan era penegakan rule of law dan demokratisasi; Fase III, fase kontemporer yang ditandai globalisasi dan neoliberalisme. Bagian berikut tulisan ini akan melompat pada butir-butir permenungan para filosof tentang konsep dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Bagian berikutnya lagi akan mencoba mempertemukan hasil telusuran genealogis dengan butir-butir permenungan para pemikir hak asasi manusia yang melihat adanya sebuah keterarahan ide dan gerakan hak asasi manusia dari kewargaan kepada kemanusiaan universal. Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpul an.
itu, didukung oleh kelompok anti-modern, anti-liberalisme, dan terutama mengental pada kaum pascamodernis, persoalan universalitas hak asasi manusia sangat menyi ta perhatian mereka. Sebaliknya, kubu kedua, yang kita namakan kaum empiris-pragmatis, tidak begitu peduli dengan pertanyaan-pertanyaan “omong-kosong” tersebut. Bagi kubu ini, yang terpenting adalah gerakan. Tidak perlu banyak disibukkan dengan pelbagai teori yang abstrak dan membingungkan, yang terpenting adalah gerakan dan advokasi terus menerus dengan memanfaatkan instrumen-instrumen yang sudah ada. Instrumen hak asasi manusia internasional, kemudian, menjadi semacam “kitab suci” bagi para pejuang gagah berani ini. Mereka tidak peduli apakah di balik instrumen-instrumen tersebut tersembunyi kepentingan-kepentingan hegemonik dan dominatif dari kelompok dan ideologi tertentu yang pada gilirannya mempersendat implementasinya di lapangan. Bagi me reka, ketersendatan itu adalah semata-mata persoalan tidak adanya good will dari pihak pemegang kewajiban hak asasi manusia baik itu negara, masyarakat itu sendiri, dan loci kekuasaan global lainnya seperti institusi ekonomi global. Alih-alih memasuki arena pertentang an mereka itu, di sini saya justru langsung Genealogi Hak Asasi Manusia menawarkan cara memandang dari posisi Dalam perbincangan tentang hak asasi yang tidak berada pada keduanya, yaitu manusia, kebanyakan orang berdiri di dua penelusuran genealogis: genealogi kesadar kubu yang saling bertentangan. Kubu per- an. Yang saya maksud adalah bahwa kita tama adalah kubu idealis-rasional, keba menelusuri genealogi hak asasi manusia nyakan didominasi oleh para filosof, yang dalam ranah kesadaran praksis, dengan mencoba mengurai persoalan hak asasi berpegang pada tonggak-tonggak sejarah manusia dari asal usul ide dan gagasan- penting gerakannya, namun dengan menya. Karena itu, pertanyaan yang menyi- masuki ranah kesadaran reflektif sebelum bukkan mereka adalah: apakah hak asasi dan sesudah tonggak sejarah itu terpanmanusia itu memang ada, kalau ada apa cang, yang berarti memasuki wilayah perhakikatnya, apa isinya, dan apa yang men- menungan para pemikir. Dengan cara ini, jadi landasan keberadaannya itu. Selain pembagian fase genealogis di sini sama
06-Hak Asasi.indd 61
4/18/2013 8:31:40 PM
62
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis
sekali tidak terputus dan tanpa saling pengaruh, melainkan berwatak heuristik, artinya selalu bergerak dalam wilayah dialektika antara praksis dan kontemplasi, selain dialektika antara praksis itu sendiri dan teori itu sendiri. Singkatnya, genealogi kesadaran heuristik yang kita maksud di sini berarti memperhatikan hubungan antara aksi dan refleksi. Namun, kembali saya tegaskan, penelusuran genealogi hak asasi manusia kita di sini, dibatasi pada era modern yaitu mulai zaman Pencerahan hingga era kontemporer. 1. Fase I: Pra-Perang Dunia I dan II Fase pertama ini merentang dari tonggak sejarah penentangan monarki absolut di Inggris hingga Prancis dan perjuangan kemerdekaan di Amerika. Lazimnya, kebanyakan orang mengamini bahwa paham hak asasi untuk pertama kali lahir di Inggris pada abad ke-17, tepatnya pada tahun 1679 dengan lahirnya Habeas Corpus, suatu dokumen bersejarah yang menjadi cikal bakal prinsip rule of law untuk menggantikan kesewenangan rule by man yang ter utama pada masa itu terpersonalisasi pada sang raja sebagai penguasa monarki absolut. Inti dokumen ini adalah bahwa orang yang ditahan harus dihadapkan dalam waktu paling lambat tiga hari kepada seorang hakim untuk diproses dan diadili. Jadi, ini merupakan tonggak pertama yang sekarang dikenal sebagai kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang dan hak untuk mendapatkan peradilan yang jujur (fair trial). Tonggak ini bukannya tanpa prese den dan anteseden. Jauh sebelum itu, pada tahun 1215, didorong oleh kepentingan bangsawan dan feodalis yang merasa keberadaannya terancam oleh kekuasaan raja 4
Voleme 1, 2013
yang sewenang-wenang, dikeluarkanlah sebuah piagam yang kita kenal dengan nama Magna Charta Libertatum. Sebuah piagam yang melarang penahanan, penghukuman, dan perampasan benda sewenangwenang. Sejarah terus bergulir. Kurang lebih empat ratus tahun setelah itu, tepatnya pada tahun 1640, terjadi Revolusi Inggris yang dipimpin Oliver Cromwell, dan kemudian memegang tampuk pemerintahan menggantikan raja, dan mendirikan pertama kalinya pemerintahan republik di Inggris yang kemudian dalam sejarah selanjutnya menjadi satu-satunya, karena setelah itu (1660) hingga sekarang Inggris kembali menjadi monarki. Revolusi ini berangkat dari kesewenangan raja yang mengebiri hak atas partisipasi politik dan kebebasan beragama serta kebebasan untuk meng awasi pemerintahan. Ketidakpuasan rakyat terhadap peme rintahan monarki tidak dengan sendirinya menggerakan mereka untuk memusnahkan monarki, melainkan “menjinakkan” monarki. Demikianlah, pada tahun 1688, terjadi apa yang dalam sejarah disebut sebagai Glorious Revolution, di mana rakyat mendukung Pangeran William dari Ora nye untuk melengserkan Raja James II. Antara raja baru dan rakyat terjadi ke sepakatan berupa lahirnya “An Act Declaring the Rights and Liberties of the Subject and Settling the Succession of the Crown” yang lazim dikenal dengan sebutan Bill of Rights setahun kemudian (1689). Undangundang ini mengandung ketentuan hakhak positif4 tertentu yang harus dimiliki oleh setiap rakyat dan penduduk dalam sebuah negara yang bebas dan demokratis. Ia menjamin hak warga untuk memberikan petisi kepada raja dan hak Subjek (rakyat)
Tentang hak positif, silahkan baca uraian di belakang tentang paradigma hak asasi manusia: “hak positif: paradigma rule of law”.
06-Hak Asasi.indd 62
4/18/2013 8:31:40 PM
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis
untuk membela negara. Ia juga menjamin bahwa keputusan raja harus mendapat persetujuan dari rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh parlemen. Singkatnya, undang-undang ini berisikan pengakuan hakhak dan kebebasan warga negara terutama hak politik dan hak-hak parlemen dalam pemerintahan raja, dan ini menjadi tonggak sejarah dunia dalam hal pemerintahan konstitusional modern. Peristiwa tahun 1215 dan 1640 di atas kemudian mempengaruhi renungan politik filosof terkenal Inggris yaitu John Locke (1632-1704).5 Renungannya, selain realitas politik yang meresahkan, memberi pengaruh signifikan pada kelahiran Bill of Rights tahun 1689 tersebut, bahkan hingga masa sesudahnya termasuk hingga sekarang. Inti pandangan Locke adalah bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hakhak alamiah (natural rights) yang tidak dapat dilepaskan (inalienable). John Locke menekankan empat hak utama yaitu: hak atas hidup, kebebasan (kemerdekaan), hak atas properti (hak milik), dan hak untuk mengusahakan kebahagiaan. Pemikiran-pemikiran John Locke de ngan cepat menyebar ke pelbagai daratan Eropa terutama ke Prancis dan ke Amerika, yang dibawa oleh para “pelarian” dari Inggris dan Eropa lainnya. Gagasan Locke, hampir sejalan dengan gagasan Thomas Aquinas (1225-1274), seorang teolog dan filosof besar abad pertengahan yang terkenal dengan Teori Hukum Kodrat-nya, yang mengemukakan bahwa berdasarkan hukum kodrat, tidak seorang pun boleh merampas hak atas hidup, keamanan (kesehatan), kebebasan dan milik orang lain. Pandangan ini berimplikasi politis, karena membatasi peran pemerintah dengan prinsip bahwa tak seorang pun boleh tun-
5
06-Hak Asasi.indd 63
EDISIUS RIYADI TERRE
63
duk di bawah kekuasaan orang lain tanpa persetujuan orang yang hendak dikuasai itu. Prinsip ini kemudian menjadi dasar digugatnya sebuah kekuasaan oleh yang dikuas ai. Pandangan ini menemukan tanahnya yang subur dalam pengalaman pahit para “pelarian” Eropa (terutama Inggris) di Amerika baik selama sebelumnya berada di Inggris maupun selama berada di Amerika namun masih di bawah kekuasa an Inggris. Dialektika sejarah berlangsung terus, dan sintesisnya pun lahir dalam Declaration of Independence Amerika Serikat pada tahun 1776 (disusun oleh Thomas Jefferson) yang mempertegas sebuah deklarasi yang dikeluarkan sebulan sebelumnya yaitu Bill of Rights of Virginia atau kadang disebut Virginia Declaration of Rights (yang disusun oleh George Mason). Deklarasi Virginia itu berisikan daftar hak asasi yang lengkap pertama kali dalam sejarah dan hampir memasukkan semua daftar hak versi John Locke yang diturunkan atas pelbagai jenis hak lainnya lagi. Sayangnya, kendati Deklarasi itu berisi ketentuan persamaan hak untuk “semua umat manusia” namun dalam pelaksanaannya hak itu hanya melekat pada kaum kulit putih dan laki-laki. Pengaruh pemikiran hukum kodrat Aquinas yang diartikulasikan Locke juga menemukan lahan suburnya dalam pe ngalaman pahit rakyat Prancis yang meng alami penindasan di bawah raja yang memerintah dengan semboyan “negara adalah saya.” Revolusi Prancis yang dimulai tahun 1788 kemudian berbuah pada lahirnya “pernyataan tentang hak-hak manusia dan warga negara” (Déclaration des droits de l’homme et du citoyen – Declaration of the Rights of Man and of the Citizen). Deklarasi ini membedakan hak-hak yang
Tentang filsafat politiknya, lihat Locke (1988).
4/18/2013 8:31:40 PM
64
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis
dimiliki manusia sebagai manusia – yang sekarang lazim kita sebut sebagai paham hak asasi manusia – dan hak-hak yang diperoleh manusia sebagai warga masyarakat dan negara – yang sekarang lazim kita mengerti sebagai hak hukum dan civil liberties. Memang kemudian, dalam kenyataannya, deklarasi hasil revolusi tersebut jauh panggang dari api karena teror yang dikomandani Maximilien de Robespierre (1758 – 1794). Cita-cita penghormatan hak asasi manusia dengan bertolak dari paham kebebasan total malah berakhir pada raibnya kebebasan itu dari ranah kehidupan manusia. Namun, dialektika sejarah terus berlangsung, yang implikasinya pada hak asasi manusia terus kita rasakan hingga sekarang. Masa-masa selanjutnya hingga sebelum Perang Dunia merupakan masa ambigu, di mana di satu sisi ada upaya penegakan hak warga negara di negaranegara yang menjadi tonggak sejarah hak asasi manusia itu, namun di sisi lain ne gara-negara itu dan juga negara Eropa lainnya terlibat dalam nafsu kolonialisme yang justru bertentangan dengan paham hak asasi manusia yang mereka anut di negeri nya sendiri. Namun demikian, perlu kita catat bahwa ciri khas paham dan gerakan hak asasi manusia pada fase ini6 terletak pada perlawanan kaum borjuasi liberal terhadap pemerintah yang feodal dan absolutik dengan mengedepankan negara konstitusional. Pada abad XIX, selain kaum borjuis liberal, kaum buruh pun memasuki arena. Di satu sisi mereka, pada mulanya, mendukung perjuangan kaum borjuis liberal melawan feodalisme, namun di sisi lain,
Voleme 1, 2013
kemudian, mereka juga melawan kawan seiring itu untuk memperjuangkan hakhak mereka sebagai manusia pekerja. Di bawah ideologi sosialisme, dengan motor besarnya Marxisme, perjuangan mereka kemudian melahirkan ide hak-hak asasi sosial. Bagaimanapun juga, dalam fase pertama ini, kalau kita cermati, kesadaran akan hak terutama berangkat dari pengalaman ketertindasan penguasa. Hal ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan karena “pengalaman bersama” akan ketertindasan itu turut serta memberi warna pada klaim universalitas hak asasi manusia, dan bukan sekadar berangkat dari paham kodrati. Universalitas yang tumbuh dari negativitas pengalaman bersama ini bergayung sambut dengan renungan antropologi filosofis, sosial dan politik para pemikir, semisal John Locke dengan mengetengahkan tesis antropologis bahwa semua manusia diciptakan sama dengan hak yang sama pula dan tak dapat dicerabut. Nyatalah kini, meski baru masuk pada penelusuran fase pertama, bahwa kita tidak ikut terjerembab dalam pertikaian dua kubu utama perdebatan masalah hak asasi manusia, melainkan melihat dialektikanya. 2. Fase II: Fase Pasca-Perang Dunia I dan II Fase ini merupakan fase penegakan rule of law dan demokratisasi. Semua citacita dan perjuangan luhur abad XIX seolah raib tak berbekas pada abad XX, yang oleh Frederico Mayor7 dinamakan sebagai “abad terkelam” dalam sejarah kehidupan manusia. Abad ini ditandai perang dunia dua kali, perang saudara, otoritarianisme,
Tentang kekhasan konsep dan gerakan hak asasi manusia pada masa ini, terutama pada abad XIX, yang dalam artikel telusuran genealogis ini saya masukkan sebagai fase pertama, lihat Magnis-Suseno (1991:124). 7 Frederico Mayor adalah Direktur UNESCO. Pendapat itu disampaikannya dalam kata pengantarnya untuk buku karangan Baechler, Jean. (1999). Democracy, an Analytical Survey. Perancis: UNESCO Publishing. 6
06-Hak Asasi.indd 64
4/18/2013 8:31:40 PM
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis
diktatorisme, kekacauan sosial, perang dingin, ketidakadilan yang merajalela, kemiskinan dan pembodohan yang akut, dan bahkan diindikasikan sebagai abad kegamangan. Kembali universalitas negativitas berupa pengalaman penderitaan menyatukan manusia yang terwakili dalam diri beberapa gelintir pemimpin dengan dukung an hampir seluruh umat manusia yang jijik dan ngeri pada kekelaman dan penderitaan akibat nafsu manusia sendiri. Kekejaman Nazi Jerman merupakan klimaks dari kengerian dan kejijikan manusia terhadap penderitaan. Didahului oleh preseden terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1919 setelah berakhirnya Perang Dunia I, kemudian dipertegas lagi dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa yang secara resmi berdiri pada 24 Oktober 1945, lahirlah sebuah deklarasi yang kita kenal sebagai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).8 DUHAM inilah yang lalu menjadi tonggak baru perjuangan dan gerakan hak asasi manusia hingga masa kontemporer. Bersama dengan turunannya dalam bentuk dua kovenan utama yaitu Kovenan Internasi-
EDISIUS RIYADI TERRE
65
onal tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), DUHAM telah menjadi semacam kitab suci bagi para pejuang dan subjek pemegang hak asasi manusia di seluruh dunia, yang dikenal dengan sebutan International Bills of Human Rights. Apakah dengan lahirnya DUHAM (1948) dan kedua Kovenan (1966) itu, perjuangan hak asasi manusia lalu menjadi lebih mudah? Sejarah kembali bertutur bahwa instrumentalisasi hak asasi manusia saja tidak cukup. Setelah itu memang PBB masih terus mengeluarkan pelbagai konvensi yang melarang perbudakan,9 penghapusan penyiksaan,10 tentang hak anak,11 tentang larangan diskriminasi terhadap perempuan,12 anti-diskriminasi,13 bahkan belakangan deklarasi hak-hak masyarakat adat,14 dll. Namun, semua konvensi dan deklarasi yang dikeluarkan PBB itu tak berbunyi apa-apa tanpa adanya upaya perjuangan terus-menerus oleh para pembela kemanusiaan. Setelah paruh pertama abad XX dunia dihentakkan oleh kekejaman totaliterisme
Untuk uraian tentang kandungan DUHAM lihat pada bagian tentang Bill of Human Rights di belakang nanti dalam tulisan ini. 9 Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery (Konvensi Pelengkap tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Institusi dan Praktik yang Sama dengan Perbudakan), disahkan oleh PBB dengan Resolusi ECOSOC 608 (XXI) pada 30 April 1956 di New York dan kemudian di Jenewa pada 7 September 1956, dan mulai berlaku pada 30 April 1957, untuk melengkapi Konvensi Menentang Perbudakan (Slavery Convention) yang dibuat pra-lahirnya PBB, yaitu pada tahun 1926, yang kemudian dibuat protokol untuk mengamendemennya oleh PBB pada tahun 1953. 10 Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Tindakan atau Pengukuman Kejam Lainnya, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia; biasa disebut singkat Konvensi Menentang Penyiksaan - CAT) yang disahkan oleh PBB pada 10 Desember 1984 dengan Resolusi GA 39/46, dan mulai berlaku 26 Juni 1987. 11 Convention on the Rights of the Child (CRC – Konvensi Hak Anak) yang disahkan PBB pada 20 Desember 1989 dengan Resolusi GA 44/25, dan mulai berlaku pada 2 September 1990. 12 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW – Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) yang disahkan oleh PBB dengan Resolusi GA 34/180 pada 18 Desember 1979 dan mulai berlaku pada 3 September 1981. 13 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD – Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial) yang disahkan oleh PBB dengan Resolusi GA 2106 A (XX) pada 21 Desember 1965, dan mulai berlaku pada 4 Januari 1969. 14 Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang disahkan oleh PBB dengan Resolusi GA 61/295 pada 13 September 2007, sebelumnya sudah ada Konvensi ILO 169. 8
06-Hak Asasi.indd 65
4/18/2013 8:31:40 PM
66
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis
Nazi, memasuki paruh kedua, hampir seluruh seluruh dunia dilanda kekejaman totaliterisme sosialis-komunis, otoritarianisme, despotisme, fasisme yang membentang mulai dari Eropa Timur, Amerika Latin, hingga Asia, termasuk Indonesia. Hak asasi manusia kembali menjumpai tantangan berat. Mendekati akhir abad XX, kengerian itu semakin memuncak yang sekali lagi melahirkan universalitas penderitaan manusia dalam diskursus dan gerakan demokratisasi yang hampir merata di seluruh dunia. Fenomena demokratisasi dan liberalisasi mendekati akhir abad XX ini oleh Huntington disebut sebagai “gelombang ketiga demokratisasi” (Huntington, 1991). Pada era ini jugalah muncul sebuah paradigma baru dalam perjuangan kemanusiaan, sebagai bentuk yang lebih artikulatif yang berangkat dari dialektika negatif penderitaan para korban berhadapan dengan kekejaman penguasa totaliter, fasis dan otoriter, yang kita kenal dengan sebut an “keadilan transisional”.15 Ciri khas perjuangan dan diskursus hak asasi pada fase ini yang terutama terartikulasi secara signifikan pada akhir abad XX adalah penekanan pada hakhak korban.16 Namun, belum juga proses demokratisasi dan penegakan keadilan transisional menunjukkan hasilnya yang menggembirakan, hak asasi manusia kembali mendapatkan tantangan baru dan serius yaitu dengan gempuran globalisasi dan neoliberalisme yang menyebarkan lokus kekuasaan bukan lagi semata pada negara melainkan juga pada pelaku-pelaku ekonomi internasional. Hal ini tentu saja berakibat pada mekanisme dan logika pertang-
Voleme 1, 2013
gungjawaban dan penagihan kewajiban yang baru (diperbarui) untuk menjamin pemenuhan hak asasi manusia. 3. Fase III: Era Globalisasi dan Neo-li beralisme Fase III yang merupakan fase kontemporer ditandai globalisasi dan neoliberalisme. Ciri khas fase ini adalah bahwa epistemologi konvensional seputar hak asasi manusia mulai dipandang tidak memadai sekaligus digugat. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa lokus kekuasaan politik sebagai pengampu kewajiban pemenuhan hak asasi manusia tidak lagi berada pada satu aktor yaitu negara (state actor) melainkan sudah tersebar ke mana-mana ter utama aktor-aktor ekonomi global. Hampir tidak ada kebijakan negara yang berimplikasi pada hak asasi manusia yang imun dan netral dari pengaruh kekuasaan ekonomi global itu. Maka, menagih kewajiban semata kepada Negara untuk memenuhi, menghargai dan melindungi di satu sisi dan menggugat Negara atas kejahatan dan pelanggaran yang dilakukannya baik de ngan cara aktif (by commission) maupun secara pasif (by omission) tampak tidak realistis dan rasional. Logika politik kontemporer dengan mudah bisa memandang hal ini. Namun, yang susah adalah bagaimana logika filsafat politik kontemporer itu menjadi efektif sampai pada mempengaruhi kebijakan. Lagi-lagi PBB mengambil peran penting. Beberapa tahun belakangan ini, PBB menginisiasi tindakan penyusunan dan lahirnya beberapa instrumen, baik berupa deklarasi maupun konvensi, yang menegaskan per-
Tentang diskursus “keadilan transisional” ini, sudah ada banyak sekali literatur yang muncul dan memenuhi pustaka intelektual dari para pembela demokrasi dan hak asasi manusia. Salah satu yang terpenting adalah dari Teitel (2000). 16 Tentang hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusi, silahkan baca Van Boven (2003). Buku ini merupakan terjemahan dari dokumen yang diterbitkan PBB, hasil studi yang dilakukan Boven tentang hak-hak korban pelanggar an hak asasi manusia. 15
06-Hak Asasi.indd 66
4/18/2013 8:31:41 PM
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis
lunya institusi-institusi ekonomi global bertanggung jawab atas masalah hak asasi manusia. Yang terakhir adalah disusunnya UN Draft Norms on Business and Human Rights.17 Pada fase inilah lahir generasi baru dalam diskursus hak asasi manusia, yang sering disebut sebagai hak asasi manusia generasi ketiga, yaitu hak asasi manusia atas pembangunan, lingkungan yang sehat, termasuk di dalamnya hak-hak minoritas dan kelompok-kelompok rentan. Paradigma yang dikembangkan oleh para pejuang hak asasi manusia pada fase ini adalah paradigma ekonomi politik dengan fokus pada etika tanggung jawab terutama yang berkaitan dengan masa depan (Jonas, 1984). Etika tanggung jawab bertolak dari asumsi ketidakterkiraan (unpredictibilty) dampak dari tindakan manusia, bahkan dari tindakan yang semula dipandang baik dan berguna sekalipun. Karena itu, pel bagai kebijakan atas nama kebaikan, harus sudah dengan sendirinya membawa serta tanggung jawab atas dampak negatif di masa depan, apalagi kalau kebijakan itu memang dinilai buruk dari awal. Gerakan hak asasi manusia pada fase ini kemudian memunculkan inisiatif-inisiatif--- kembali PBB memainkan peran penting di sini--berupa CSR (Corporate Social Responsibility) dengan nama UN Global Compact18. Perjalanan hak asasi manusia dalam dialektika sejarah masih terus berlangsung, dan kita masih belum bisa menangkap sintesis absolutnya selain hanya sintesissintesis sementara. Universalitas kengerian akan penderitaan, jadi bukan sekadar universalitas etis – artinya kemauan bersama seluruh umat manusia untuk mengatakan
EDISIUS RIYADI TERRE
67
Nie wieder (Jerman), atau nunca más (Spanyol) yang keduanya berarti imperatif negatif “tidak boleh terjadi lagi” terhadap pen deritaan, dan bukan sekadar sebuah hasil refleksi etis dan rasional – merupakan pendorong utama untuk sampai pada sintesis absolut itu. Konsep Umum dan Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia Sekarang kita memasuki pembahasan tentang konsep umum dan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang direnungkan oleh para filosof guna memahami hak asasi manusia dan pada gilirannya akan mempe ngaruhi cara para pengambil kebijakan untuk peka terhadap hak asasi manusia atau bahkan memunculkan substansi hak asasi manusia yang baru. 1. Konsep Umum Konsep umum hak asasi manusia da pat dijelaskan dengan mengangkat beberapa karakternya, tanpa harus disibukkan dengan daftar hak yang termaktub di dalamnya. Dengan cara itu, orang mungkin saja bisa berbeda pendapat tentang apa saja yang layak dan harus menjadi hak asasi dan apa yang tidak, namun mereka bisa sependapat mengenai karakternya. Paling tidak ada delapan karakter yang bisa kita angkat di sini, terutama dalam pengertian kontemporernya (bdk. Nickel 2005; 2010). Pertama, hak asasi manusia bukan se kadar norma moral biasa yang diterapkan dalam hubungan interpersonal semata melainkan norma-norma politik yang berkait an dengan bagaimana orang diperlakukan oleh negara dan institusi-institusinya. Memang ada juga jenis hak asasi yang secara
Versi draf bisa dilihat di www2.ohchr.org/english/issues/business/docs/lawhouse2.doc Lihat situs yang memuat ikhtiar ini di http://www.unglobalcompact.org/
17 18
06-Hak Asasi.indd 67
4/18/2013 8:31:41 PM
68
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis
utama diarahkan pada hubungan interpersonal yaitu hak atas anti-diskriminasi rasial dan seksual. Namun, pemerintah dan negara juga termasuk di dalamnya yang dilarang untuk mempraktikan diskriminasi, dan bahkan bertanggung jawab jika terjadi diskriminasi interpersonal dengan analisis sistemik. Kedua, hak asasi manusia eksis sebagai hak moral dan/atau legal. Hak asasi manusia eksis sebagai norma bersama dalam kesadaran moral aktual manusia – yaitu sebagai norma moral absah yang didukung oleh penalaran yang kuat – selain juga sebagai hak legal baik di tingkat nasional (yang biasanya diacu sebagai hak-hak “si pil” dan juga politik, atau hak “konstitusional”) maupun di tingkat internasional yang diakui dalam hukum internasional. Hak asasi manusia paling tidak eksis dalam empat cara, yaitu: (1) melalui pemberlakuan hukum dan keputusan judisial baik di tingkat nasional maupun internasional; (2) sebagai norma prapositif berdasarkan paham hukum kodrat dan pemberian sang Pencipta, jadi tidak atau belum diakuinya suatu hak dalam hukum tidak menghilangkan eksistensi hak itu sebagai hak asasi manusia; (3) sebagai norma yang diterima oleh hampir semua umat manusia, terlepas dari percaya atau tidak pada sang Pencipta, yaitu norma moral berdasarkan pandangan dan kesadaran umum tentang moralitas aktual manusia, semisal kesadaran moral umum manusia bahwa membunuh itu tidak baik; dan (4) sebagai norma moral yang diabsahkan dalam ranah politik dan hukum, jalan yang kebanyakan ditempuh dalam gerakan dan diskursus hak asasi manusia kontemporer. Ketiga, hak asasi manusia sangat beragam dan banyak, bukan hanya segelintir. Hak asasi manusia yang digambarkan John Locke – hak atas hidup, kebebasan, dan hak milik – hanyalah segelintir dari hak asasi yang kita kenal sekarang. Hak
06-Hak Asasi.indd 68
Voleme 1, 2013
asasi manusia kontemporer tidak abstrak sebagaimana paham klasik, juga meng arah pada problem-problem spesifik dan konkret, semisal penjaminan pengadil an yang jujur, pengentasan perbudakan, pelarangan genosida, penjaminan hak-hak perempuan, anak-anak, dll. Karena itu, paham hak asasi manusia kontemporer kendati tetap mengacu pada sejarah kelahirannya, namun ia telah melampaui sejarahnya itu. Keempat, hak asasi manusia merupakan patokan minimal (minimal standards). Me reka lebih memberi perhatian pada menghindari kekejaman dan kengerian daripada mencapai yang terbaik. Fokusnya adalah pemberian perlindungan secara minimal pada kebaikan hidup manusia. Karena itu, konsep dan kandungan hak asasi manusia bersifat dinamis dan toleran terhadap perbedaan kultural dan ideologi, namun tetap menjadi patokan minimal. Kelima, hak asasi manusia merupa kan norma internasional yang mencakupi semua negara dan seluruh umat manusia dewasa ini. Mereka adalah norma-norma yang sangat direkomendasikan kepada seluruh umat manusia, karena lahir dari hasil refleksi mendalam atas universalitas penderitaan umat manusia pada abad sebelumnya yang diimbuhi dengan kerinduan untuk mencegah kembali terulangnya tragedi yang sama. Keenam, hak asasi manusia merupa kan norma berprioritas tinggi (high-priority norms). Artinya, pengingkaran terhadap hak asasi manusia hanya akan berbuah pada ketidakadilan dan realitas tidak manusiawi. Kedudukannya yang berprioritas tinggi bermakna bahwa suatu masyarakat yang adil dan manusiawi hanya terjadi sejauh hak-hak asasi dijadikan patokan dan ukuran. Ketujuh, hak asasi manusia memiliki nilai justifikasi yang kuat yang berlaku di mana pun dan mendukung prioritasnya
4/18/2013 8:31:41 PM
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis
yang tinggi. Tanpa karakter ini, hak asasi manusia itu tidak dapat menyeberangi dan melampaui perbedaan kultural dan mengatasi klaim kedaulatan nasional. Justifikasi yang kuat ini sangat dibutuhkan, namun juga tidak berarti absolut dan tak dapat dikurangi dalam tuntutannya. Tuntutan yang kuat ini masih harus dihadapkan pada konteks aktual problemnya. Kedelapan, hak asasi manusia adalah hak, tetapi tidak harus dalam pengertiannya yang kaku. Sebagai hak, mereka memiliki beberapa unsur. Yang pertama sekali adalah bahwa mereka memiliki “pemegang hak” (rightholder) – seorang atau suatu badan yang memilik hak tertentu. Umumnya, yang diakui sebagai pemegang hak dari hak asasi adalah semua orang yang hidup. Lebih tepatnya, kadangkadang mereka adalah semua umat manusia, kadang-kadang semua penduduk di suatu negara, kadang semua anggota dari suatu kelompok dengan kerentanan tertentu (seperti perempuan, anak-anak, kelompok-kelompok minoritas rasial dan religius, masyarakat adat, dll.) dan kadang semua kelompok etnik (seperti halnya hak anti-genosida). Unsur lainnya adalah bahwa mereka berfokus pada kebebasan, perlindungan, status atau keuntungan. Hak selalu berkait an dengan sesuatu yang berfokus pada kepentingan pemegangnya (Brandt, 1983). Yang kedua adalah bahwa hak selalu meng arah pada pengampu tanggung jawab atau kewajiban untuk memenuhi, melindungi, atau menjamin hak tersebut. Yang terakhir adalah bahwa hak selalu bersifat mandatoris, dalam arti melimpahkan kewajiban kepada pengampu tanggung jawab, namun tidak murni merupakan tanggung jawab pengampu kewajiban semata, melainkan dipenuhi dengan mengandaikan ada nya langkah proaktif dari pemegang hak
06-Hak Asasi.indd 69
EDISIUS RIYADI TERRE
69
sendiri, seperti hak atas makanan, pakaian, rumah, dan pendidikan. 2. Prinsip-prinsip Setelah kita mengikuti telusuran genealogisnya dan membedah pengertianpengertian kunci dari hak asasi manusia, berikut ini kita masuki beberapa prinsip utama yang dicerna dari uraian kita sebe lumnya. Beberapa prinsip utama yang saya maksud antara lain adalah bahwa hak asasi manusia itu bersifat universal, tak terpisahkan, non-diskriminatif, mengandaikan ada nya partisipasi, dan penjaminannya dilakukan dengan remedi (upaya hukum) yang efektif. Kita ikuti satu per satu secara singkat dan umum saja, tanpa terlalu jauh memasuki perdebatan argumentatifnya. Universal Prinsip universalitas hak asasi manusia umumnya diderivasikan dari pandangan atau teori hukum kodrat Thomas Aquinas, yang diartikulasikan lebih tajam oleh John Locke. Intinya bahwa secara kodrati semua manusia itu sama, dan sudah membawa serta dalam eksistensinya hak sebagai manusia. Karena itu, sebagai manusia yang sama dengan hak yang sama, hak-hak itu bersifat universal. Argumen universalitas ini juga mendapatkan landasan rasional nya dalam teori rasionalitas Immanuel Kant yang mengedepankan bahwa ide-ide transendental bersifat umum pada semua manusia. Pada gilirannya, universalitas rasio ini juga tertuang dalam teori etikanya. Namun demikian, sebagaimana telah saya kemukakan di depan, universalitas hak asasi manusia tidak hanya terletak pada universalitas kodrat dan ide-ide transendental, melainkan juga terletak pada universalitas penderitaan manusia. Secara antropologis, hampir tidak ada manusia yang menyukai penderitaan, demi alasan
4/18/2013 8:31:41 PM
70
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis
apa pun. Kalaupun toh seseorang harus menyukai dan melalui penderitaan, itu dilakukannya untuk suatu tujuan di luar penderitaan itu, bukan untuk penderitaan itu sendiri. Hanya orang sado-masokis saja yang menyukai penderitaan, dan jumlah mereka tidak banyak, karena itu disebut abnormal. Penderitaan masif dan fenomenal umat manusia pada abad-abad sebelumnya, terutama abad XX, mengukuhkan universalitas hak asasi manusia bukan sekadar pada tataran etis dan rasional, melainkan pada tataran eksistensial dan empiris.
Voleme 1, 2013
mun ia dalam pelbagai fungsi sosialnya itu tetaplah membawa serta statusnya sebagai manusia utuh. Alasan kedua adalah bahwa dalam praktiknya, misalnya hak atas kebebasan berpendapat (sebagai hak sipil dan politik) hanya akan terjamin sejauh hak atas pendidikannya (sebagai hak ekonomi, sosial dan budaya) terjamin.19
Non-diskriminasi Prinsip ketiga dalam hak asasi manusia adalah bahwa ia berlaku sama pada semua orang, tanpa pandang ras, etnis, keyakinan, ideologi, bangsa, status, seks dan golongan. Memang terdapat konvensi Kesalingtergantungan dan Ketakterpisahan yang mengatur hak-hak khusus semisal Pengelompokan hak-hak asasi manusia konvensi pelarang an genosida, konvensi atas hak negatif, positif, aktif dan hak sosial anti-diskriminasi rasial, konvensi hak-hak tidak berarti bahwa hak-hak itu terpisah anak, konvensi anti-diskriminasi terhadap satu sama lain. Alih-alih terpisah, hak-hak perempuan, lalu konvensi ILO 169 (dan itu saling mengandaikan dan karena itu usulan draf deklarasi) tentang hak-hak masaling tergantung. Memang dalam sejarah syarakat adat. Namun, keberadaan konveninstrumentalisasinya kemudian pertama si-konvensi khusus itu justru menekankan sekali dikelompokkan menjadi dua besar signifikansi prinsip non-diskriminasi itu. yang tertuang dalam dua kovenan. Juga Karena dalam praktiknya, prinsip itu tidak kemudian muncul pelbagai konvensi yang terlaksana jika kondisi-kondisi kemungkin memberikan perhatian khusus pada prob- annya tidak mendukung. Karena itu, dilem khusus berkaitan dengan ras, etnis, tempuh jalan untuk lebih mengefektifikan dan kelompok-kelompok rentan. Namun, pemenuhannya dengan memberi perhaitu semua tidak berarti bahwa eksistensi tian khusus pada perrmasalahan tertentu. hak asasi manusia terpecah-pecah dan Terhadap pemegang hak dari konvensiterlepas. Mengapa demikian? konvensi khusus tersebut, pemberlakuan Alasan pertama sekali bersifat ontolo- dua koven an utama hak asasi manusia gis-antropologis yaitu bahwa hak itu dimi tetaplah sama dan non-diskriminatif. liki oleh manusia yang dalam eksistensinya otonom dan utuh, tidak terpecah-pecah. Partisipasi Dalam eksistensinya, ia hadir sebagai ma- Kendatipun ada pemilahan antara pemenusia utuh, terlepas dari ia sebagai seorang gang hak dan pengampu kewajiban untuk manusia sopir taksi, manusia guru, manu- menjamin hak asasi itu, dalam pelaksasia birokrat, manusia presiden, manusia naannya hak itu tidak akan terjamin tanpa perempuan, manusia agama A, dst. Na- partisipasi aktif dari pemegang hak itu
19
Tentang uraian komprehensif menyangkut interdependensi dan indivisibilitas hak asasi manusia, namun tanpa argumen ontologis-antropologis seperti yang saya kemukakan, silakan baca Donnely (1989:28-37).
06-Hak Asasi.indd 70
4/18/2013 8:31:41 PM
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis
sendiri. Hal ini terutama nyata dalam hakhak demokratis. Remedi yang Efektif Sebagaimana telah dikemukakan pada urai an tentang konsep di depan, pene gakan hak asasi manusia terjamin, meski bukan satu-satunya jalan, melalui remedi atau upaya hukum yang efektif. Tanpa law enforcement, daftar hak asasi manusia itu hanyalah tinggal daftar. Karena itu, hakhak asasi manusia yang tertuang dalam pelbagai instrumen internasional perlu diadopsi di dalam sistem hukum nasional setiap negara, dan diperjuangkan terus untuk diterapkan hingga pemenuhannya pa ling tidak pada taraf minimal. Subjek Hak Asasi Manusia: Warga atau Manusia-manusia? Hak asasi manusia baik sebagai substansi maupun sebagai ide tidak pernah dapat dimengerti dengan melihat subjeknya, de ngan mengacu pada Arendt ([1958] 1998) sebagai Manusia (dengan huruf awal besar), melainkan manusia-manusia. Itu berarti bahwa berbicara tentang hak asasi manusia tidak pernah dapat dimengerti dengan melihat manusia sebagai sebuah individu tanpa mengandaikan kesosialannya baik dalam bentuk negara, masyarakat, maupun keluarga. Bahkan keberadaan negara sebagai kondisi kemungkinan bagi pemenuhan hak asasi manusia ditegaskan oleh Arendt dalam The Origin of Totalitarianism (1973) sebagai “hak atas hak asasi manusia.” Dengan kata lain, keberadaan suatu kehidupan politik yang etis merupakan jaminan bagi tegaknya hak asasi manusia. Apakah itu berarti bahwa manusia dalam konsep hak asasi manusia dilihat Arendt sebagai warga negara? Saya kira tidak, ka rena kehidupan politik yang dimengerti
06-Hak Asasi.indd 71
EDISIUS RIYADI TERRE
71
Arendt adalah sebuah tatanan yang di mana-mana sama, dan karena itu para warga nya memiliki kesamaan universal. Gerakan pelampauan dari kewargaan ke kemanusiaan ini tidak hanya berada di tataran filosofis, tetapi juga di ranah ge rakan praksis-pragmatis, yang antara lain tercermin dari kebijakan dan doktrin hak asasi manusia internasional di mana bebe rapa kejahatan hak asasi manusia (misalnya kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, teror, dsb.) digelari sebagai hostis humanis generis (musuh seluruh umat manusia). Selain itu, doktrin kedaulatan nasional sekarang ini tidak lagi menjadi penghalang bagi campur tangan negara lain atau dunia internasional untuk menindak sebuah negara yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat kepada warganya. Persis karena warga negara bersangkut an dilihat sebagai “sesama manusia” oleh negara-negara dan warga negara-negara lain. Klaim universalitas hak asasi manusia yang berangkat dari refleksi filsafat manusia selalu berbenturan dengan klaim pluralitas budaya, antara lain penolakan dunia Islam terhadap konsep hak asasi manusia yang dinilai terlalu terhegemoni oleh Barat dan Kristen (Budi Hardiman, 2006:211-237) atau usulan negara-negara kawasan Asia untuk mengedepankan nilai-nilai Asia dalam konsep hak asasi manusia, dsb. Menurut hemat saya, semua klaim dan kontra-klaim itu dapat diselesaikan dengan mengajukan pertanyaan berikut: “Jika tak ada filsafat, apakah hak asasi manusia ada?” Jawabannya bersifat terbukti-daridirinya sendiri yaitu “Ada”. Jika demikian, mungkin sebaiknya hak asasi manusia didekati sebagai fenomen-fenomen Husserlian yang menampilkan diri apa ada nya dan kita mendekatinya dengan sikap sebagai seorang pemula yang tidak tahu apa-apa. Mari kita copot baju filsafat atau
4/18/2013 8:31:42 PM
72
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis
konsep kita yang rentan dengan beban ideologi dan asumsi filosofis tertentu, dan yang tertinggal adalah “manusia-manusia yang terancam kehilangan hak hidupnya”. Berhadapan dengan realitas ini saya berani tegaskan bahwa bukanlah manusia jika seseorang, entah dengan latar belakang Barat, Kristen, Islam, Asia, dan sebagainya, masih mempersoalkan univer salitas hak asasi manusia dan menolak konsep hak asasi manusia yang dicurigai sebagai sarat dengan agenda hegemonik Barat. Wajah-wajah “manusia-manusia yang terancam kehilangan hak hidupnya” merupakan momen-momen etis, mengacu pada Emmanuel Levinas, yang sudah-selalu mengundang rasa tanggung jawab kita sebagai manusia. Momen-momen etis itu adalah momen-momen universal. Momen-momen universal itu berarti kita tidak lagi melihat seseorang sebagai warga dari negara tertentu, anggota dari kultur tertentu, penganut dari keyakinan tertentu, melainkan sebagai “manusia yang sama-sama memiliki kesamaan dengan saya yaitu kita sama-sama berbeda”, meng acu pada Arendt ([1958] 1998). Memahami kebedaan yang sama-sama kita miliki itu melahirkan relasi kebebasan antar-manusia, dan kebebasan itulah yang membuat kita mengerti akan “hak” orang lain yang sudah-selalu-dengan-sendirinya menuntut untuk dihargai. Refleksi teoretis ini tampak terlalu “tinggi” bagi orang yang hidup, andai ada, selama tiga fase genealogis yang telah saya uraikan di depan. Bagi orang yang hidup pada ketiga fase genealogis itu, lagi-lagi kita bayangkan saja ada orang yang demikian, “hak asasi manusia adalah hak-hak warga negara dan anggota masyarakat berhadap an dengan setiap bentuk kekuasaan entah politis, kultur, sosiologis, familial dan ekonomi, yang berlaku sama di setiap tatanan
06-Hak Asasi.indd 72
Voleme 1, 2013
sosial-ekonomi-kultur-politik di mana pun di dunia ini, dan itulah universalitasnya”. Para warga negara dalam fase genealogis pertama, para korban dalam fase genealogis kedua, dan para “konsumen” dalam fase genealogis ketiga, sama-sama merupakan “manusia-manusia” yang kehilangan hak hidupnya sebagai manusia. Manusia-manusia yang demikian adalah ma nusia-manusia yang telanjang, tidak berbaju Barat, tidak berbaju Kristen, tidak berbaju Islam, tidak juga berbaju Asia, dsb., melainkan manusia yang berbungkus kulit kemanusiaan universal. Ide dan ge rakan hak asasi manusia telah muncul se bagai sebuah gerakan humanisme universal yang tidak lagi bertumpu pada idealitas manusia yang rasional dan otonom, tetapi pada manusia yang rentan dan saling bergantung. Kesimpulan Sekarang mari kita coba tarik beberapa kesimpulan dari telusuran genealogis, konseptual dan filosofis di atas. Pertama, hak asasi manusia pertamatama muncul bukan sebagai ide melainkan sebagai respon kodrati manusia terhadap ancaman akan hidupnya. Respon itu muncul pertama kali dalam bentuk tindakan yang lalu kemudian oleh pribadi-pribadi tertentu yang memiliki cukup waktu dan intelek untuk merenungkannya dalam bentuk pemikiran. Gerakan hak asasi manusia modern yang pertama kali direkam oleh penulisan sejarah Eropa muncul pertama kali di Inggris, kemudian berlanjut ke Amerika Serikat lalu dimimesis dan dipercanggih oleh rakyat Perancis pada fase genealogis pertama, pertama-tama bukan merupakan gerakan pemikiran melainkan gerakan politik riil. Gerakan politik riil ini direnungkan oleh para pemikir dan sekaligus okum arahan agar tetap berjalan
4/18/2013 8:31:42 PM
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis
dalam koridor rasional dan etis, supaya tidak muncul ekses-ekses seperti yang dilakukan oleh Maximilien de Robespierre di Perancis pasca revolusi. Implikasinya adalah bahwa pendasaran hak asasi manusia pada paham Hukum Kodrat tetapi yang aplikasinya diserahkan pada dimensi legalitas politik (paham Positivisme Hukum) tidak dipertentangkan karena politik itu sendiri merupakan bawaan kodrati manusia (Aristotelian). Kedua, hak asasi manusia tumbuh se bagai gerakan internasional pada fase kedua bukan terutama lahir dari refleksi filosofis melainkan sebagai keprihatinan internasional terhadap korban-korban yang berguguran dalam jumlah yang tak pantas disebutkan bagi manusia yang berhati nurani. Korban-korban itu oleh para algojonya tidak lagi dilihat sebagai “warga” politik tertentu seperti dalam fase pertama melainkan “anggota” etnis, kelas, kultur dan okum tertentu. Karena itu gerakan pembantaian ini bergerak melintasi batas okum dan bergerak ke seluruh dunia. Itulah yang dilakukan oleh NAZI, algojo Komunisme, Fasisme dan Totalitarianisme. Tetapi itu tidak berarti bahwa pengaruh pemikiran filosofis tidak berperan. Para pemimpin dunia yang melahirkan Deklara si Universal Hak Asasi Manusia dan yang kemudian diturunkan dalam pelbagai Kovenan dan Konvensi serta Deklarasi Internasional memang bukan filosof, tetapi mereka adalah pemimpin-pemimpin yang membawa serta dalam diri mereka pemikiran filosofis para pemikir dunia sekaligus terutama berbekalkan keprihatinan me reka berupa imperatif “tidak boleh terjadi lagi” berhadapan dengan realitas okum pembantaian manusia yang irasional dan okum. Gerakan “keadilan transisional” pada abad XXI merupakan kelanjutan dari semangat tersebut.
06-Hak Asasi.indd 73
EDISIUS RIYADI TERRE
73
Ketiga, hak asasi manusia tidak hanya tumbuh sebagai gerakan internasional melainkan sebagai gerakan global yaitu bahwa ia tidak lagi dibatasi oleh legitimasi okum dan politik tertentu melainkan tumbuh menjadi kesadaran bersama seluruh umat manusia melampaui sekat ruang politik dan okum. Inilah yang ditandai dalam fase genealogis ketiga dalam uraian di depan. Para “warga” dan para “korban” dalam kedua fase sebelumnya kini diperlakukan sebagai “konsumen” dalam fase ketiga di mana kekuasaan yang menjadi algojo bukan lagi politik melainkan ekonomi. Politik telah lengser dari kehidupan manusia dan digantikan oleh pasar. Relasi antarmanusia berubah menjadi relasi transaksional. Kendatipun politik tetap ada, tetapi ia hanya berlaku sebagai pelayan pasar. Pada fase ini, pemimpin-pemimpin dunia tampak gelagapan dan terpecah belah dengan parah. Pada fase inilah ge rakan masyarakat sipil menemukan bentuknya yang sangat mengesankan dengan didukung oleh para pemikir-pemikir terkemuka di bidang ekonomi politik tetapi juga dengan gerakan kembali kepada warisan pemikir-pemikir kuno dari era Yunani Kuno dan zaman Pertengahan (yang pada era modern sering dicaci maki sebagai pembawa kegelapan bagi manusia). Keempat, konsep dan prinsip-prinsip hak asasi manusia merupakan abstraksi yang ditarik dari pengalaman riil konkret warga okum dan korban kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, okum dan perang. Para pemikir bisa saja berbeda pendapat atas abstraksi itu tetapi hak asasi manusia tetaplah hak-hak dari manusia dalam kapasitas kesosialannya yang kodrati. Nuansa individualitas dalam konsep dan substansi ayat-ayat dokumen okum hak asasi manusia hanyalah sebuah model aplikasi agar lebih mengena pada manusia
4/18/2013 8:31:42 PM
74
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis
sebagai “pribadi”, bukan sebuah cara pandang bahwa manusia dalam hak asasi manusia adalah manusia yang soliter. Kemunculan hak asasi manusia generasi ketiga yang salah satunya adalah “hak-hak kolektif dan komunal” kiranya mencerminkan pandangan tersebut. Will Kymlicka (1996) bisa dikatakan sebagai salah satu pemikir kontemporer yang berhasil menyintesiskan pertentangan antara hak individual dan kolektif/komunal dalam paham hak asasi manusia sekaligus memperlihatkan bahwa keduanya bersifat saling mengandaikan. Kelima, gerakan hak asasi manusia yang bermula dari konteks politik sebuah okum lalu kemudian bergerak melampaui batas dan sekat okum dan okum positif tertentu kiranya berjalan demikian seiring karakter kejahatan terhadap hak asasi manusia yang telah melampaui lokalitas politik tertentu sebagaimana telah diuraikan dalam analisis dan kesimpulan tentang fase genealogis kedua di atas. Hak asasi manusia telah bergerak dari konteks “kewargaan” menuju “kemanusiaan” universal bukan sematamata karena jasa pemikiran filosofis dan etika yang memandang manusia secara universal melainkan terutama karena di satu sisi universalitas penderitaan manusia di mana pun di dunia ini dan di sisi lain kejahatan yang mengancam kehidupan manusia itu juga berkarakter internasional, global dan universal. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa meskipun hak asasi manusia dipahami sebagai hak kodrati manusia tetapi hak asasi manusia hanya dikatakan sebagai hak asasi manusia sejauh ada kesadaran terhadapnya. Kesadaran terhadap hak asasi manusia itu bukan pertama-tama lahir dalam refleksi pemikiran melainkan pada pengalaman “kehilangan” manusia atas dimensi-dimensi tertentu dalam hidupnya, yang lalu dimengerti sebagai “hak”. Selama manusia
06-Hak Asasi.indd 74
Voleme 1, 2013
tidak mengalami kehilangan, kesadaran akan sesuatu yang hilang itu tidak ada, atau kalaupun ada tetapi tidak benar-benar disadari. Hal ini mirip seperti cerita tentang seekor ikan yang bertanya kepada ibunya di manakah yang disebut samudra itu. Ibunya mengatakan bahwa tempat ia berenang, melayang, dan hidup itulah samudra. Ia menerimanya tetapi tidak mengerti, sampai ia kemudian ditangkap oleh nela yan dan merasa “kehilangan” samudra yang ia pertanyakan. Saat itulah ia mengerti apa itu samudra. Daftar Pustaka Adorno, Theodor W. (1973). Negative Dialectics. Diterjemahkan oleh E.B.A dari versi asli bahasa Jerman, Negative Dialektik. (1966). New York: The Seabury Press. Arendt, Hannah. ([1958], 1998) Human Condition, edisi kedua, dengan Kata Pe ngantar oleh Margaret Canovan. Chicago dan London: The University of Chicago Press. Arendt, Hannah. (1973). The Origins of Totalitarianism. New York: Harcourt, Brace & World. Baechler, Jean. (1999). Democracy: an Analytical Survey. Prancis: UNESCO Publishing. Bobbio, N. (1996). The Age of Rights. Diterjemahkan oleh A. Cameron. Cambridge: Polity Press. Brandt, Richard B. (1983). “The Concept of a Moral Right and its Function.” Journal of Philosophy 80(1):29-45. Donnely, Jack. (1989). Universal Human Rights in Theory and Practice. Itacha dan London: Cornell University Press. Henkin, Louis. (1990). The Age of Rights. New York: Columbia University Press. Huntington, Samuel P. (1991). The Third Wave: Democratization in the Late Twen-
4/18/2013 8:31:42 PM
Hak Asasi Manusia, dari Kewargaan ke Humanisme Universal Sebuah Telusuran Genealogis
tieth Century. Oklahoma: University of Oklahoma Press. Jonas, Hans. (1984). The Imperative of Responsibility, in Search of an Ethics for the Technological Age. Chicago: University of Chicago Press. Kymlicka, Will. (1996, 2003). Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minori ty. Oxford: Clarendon Press. Diterjemahkan oleh Edlina Hafmini Eddin ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kewargaan Multikultural. Jakarta: LP3ES. Locke, John. ([1689] 1988). Two Treatises of Government. Disunting oleh Peter Laslett. Cambridge: Cambridge University Press. Magnis-Suseno, Franz. (1991). Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia, 1991. Nickel, James. “Human Rights,” sebuah lema dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, 24 Agustus 2010, dapat diakses
06-Hak Asasi.indd 75
EDISIUS RIYADI TERRE
75
online pada: http://plato.stanford.edu/entries/rights-human/ _____. (1987, 1996). Making Sense of Human Rights, Philosophical Reflections on the Universal Declaration of Human Rights, Los Angeles: University of California Press. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Hak Asasi Manusia, Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Jakarta: Gramedia. Ross, W.D. (1930). The Right and the Good. Gloucestershire: Clarendon Press. Teitel, Ruti G. (2000). Transitional Justice. New York: Oxford University Press. van Boven, Theo. (2003). Mereka yang Menjadi Korban, tentang Hak-Hak Korban atas Restitusi, Reparasi, dan Kompensasi. Jakarta: ELSAM. Buku ini merupakan terjemahan dari dokumen yang diterbitkan PBB, hasil studi yang dilakukan Boven tentang hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusia.
4/18/2013 8:31:42 PM