ANALISIS PERHITUNGAN PERSEDIAAN MENURUT PSAK DAN PERPAJAKAN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP LAPORAN RUGI LABA PADA PT. MENARA TIGA (M3) KOTA GORONTALO
Sitty Zochra Yahya Skripsi Sarjana Ekonomi UNG
ABSTRAK
Sitty Zochra Yahya, NIM 921409158. Skripsi. 2013. “Analisis perhitungan persediaan Menurut PSAK dan Perpajakan serta Dampaknya terhadap Laporan Laba Rugi”.Program studi S1 Akuntansi. Di bawah bimbingan Bapak Imran R. Hambali S.Pd., SE, MSA selaku pembimbing I dan Bapak Rio Monoarfa SE.Ak, M.Si selaku pembimbing II. Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif komparatif dengan pendekatan kuntitatif, yakni membandingkan perhitungan persediaan menurut PSAK dengan mengggunakan metode LCM (Lower of Cost Market) dan menurut Perpajakan dengan menggunakan metode FIFO dan Average dan menjelaskan dampak dari kedua metode tersebut terhadap laporan laba rugi. Hal yang mendorong peneliti untuk melakukan perhitungan persediaan menurut PSAK dan Perpajakan, karena perusahaan ini menggunakan metode LIFO yang tidak sesuai dengan PSAK dan Perpajakan. Sedangkan penggunaan metode LCM (Lower of Cost Market) menurut PSAK karena terjadi penurunan nilai persediaan pada akhir tahun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan metode LCM (Lower of Cost Market) menurut PSAK untuk menghitung persediaan akhirnya, lebih rendah dibandingkan dengan yang menggunakan metode menurut Perpajakan yaitu FIFO dan Average. Metode LCM tidak sesuai dengan ketentuan Perpajakan. Karena itu perusahaan harus memilih antara menggunakan FIFO dan Average. Dalam hal ini perusahaan sebaiknya menggunakan metode Average yang PPh nya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan metode FIFO dan tidak lebih tinggi dibandingkan
dengan metode LCM. Namun metode Average sudah sesuai dengan ketentuan perpajakan
Kata Kunci: Persediaan, PSAK, Perpajakan, LCM (lower of cost market) FIFO, average
1. PENDAHULUAN Perusahaan merupakan usaha yang didirikan untuk menghasilkan suatu atau beberapa barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Perusahaan yang menghasilkan barang pastilah membutuhkan yang namanya persediaan. Dalam pengelolaan bidang usahanya, perusahaan yang menghasilkan barang dapat dibagi menjadi 2 yaitu perusahaan dagang dan perusahaan tekstil (manufaktur ). Perusahaan
dagang
adalah
suatu
perusahaan
yang
aktivitas
usahanya membeli dan menjual langsung persediaan tanpa mengalami proses lebih lanjut. Maka persediaan sering dikelompokkan sebagai persediaan
barang dagangan (merchandise inventory). Sedangkan
perusahaan tekstil adalah perusahaan yang aktivitas usahanya adalah membeli bahan baku (raw material) kemudian diproses lebih lanjut untuk menjadi barang jadi (finishied good) dan kemudian dijual (Santoso, 2007: 239). Persediaan merupakan aspek terpenting bagi perusahaan dagang dan perusahaan manufaktur. Karena sumber utama pendapatan perusahaan
terdapat pada persediaan guna merealisasikan laba perusahaan. Sistem pencatatan persediaan dapat dilakukan dengan 2 cara yakni, fisik dan perpetual. Penggunaan metode fisik mengharuskan adanya perhitungan barang yang masih ada pada tanggal penyusunan laporan keuangan. Sedangkan penggunaan metode perpetual, dibuatkan rekening sendirisendiri yang merupakan buku pembantu persediaan. Dibandingkan dengan metode fisik, maka metode perpetual merupakan cara yang lebih baik untuk mencatat persediaan yaitu dapat membantu memudahkan penyusunan neraca dan laporan laba rugi, juga dapat digunakan untuk mengawasi barang-barang dalam gudang (Baridwan, 2010: 151-152). Persediaan baru akan diakui sebagai hak milik apabila hak kepemilikan barang secara sah telah berpindah. Dua syarat penyerahan barang dalam perjalanan berkaitan dengan berpindahnya hak milik atas barang yang diperjualbelikan adalah FOB Shiping Point dan FOB Destination (Suhadimanto, 2005: 6). Menurut Baridwan (2010), dalam menghitung persediaan akhir ada berbagai metode yang dapat dipilih. Yang antara lain yaitu metode Identifikasi khusus, Masuk Pertama Keluar Pertama (FIFO), Rata-rata tertimbang (Weighted Average), dan Masuk Terakhir Keluar Pertama (LIFO), Persediaan Minimum, Biaya Standar, Harga Beli Terakhir, Metode Nilai Penjualan Relatif, dan Metode Biaya Variabel. Ada juga cara perhitungan persediaan berdasarkan metode taksiran yaitu Laba Bruto
dan Metode Harga Eceran. Penggunaan metode-metode ini disesuaikan dengan kondisi persediaan perusahaan. Menurut ketentuan PSAK 14 tahun 2012 ada beberapa metode yang diperkenankan untuk digunakan dalam menghitung nilai persediaan, yang antara lain: LCM (Lower of Cost Market) atau harga terendah antara biaaya dan nilai realisasi neto, metode harga eceran, identifikasi khusus, FIFO dan Average. Perhitungan Persediaan menurut UU PPh No. 36 Tahun 2008 pasal 10 ayat 6 dalam Zain (2010: 150) menyatakan bahwa, “persediaan dan pemakaian
persediaan
untuk
penghitungan
harga
pokok
dinilai
berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama”. Pencatatan
persediaan
menurut
perpajakan
menggunakan system perpetual. Karena
lebih
dianjurkan
dalam penyusunan laporan
keuangan fiskal ditegaskan agar pencatatannya sedapat mungkin dilakukan dengan system perpetual. Namun bukan berarti pencatatan secara fisik tidak boleh digunakan. Pencatatan persediaan secara fisik boleh digunakan tetapi hanya sebagai pelengkap dan untuk membuktikan apakah informasi persediaan akhir yang tercatat pada laporan laba rugi sama dengan persediaan yang terdapat dalam gudang atau sesuai dengan kenyataan. Pemilihan metode tersebut harus dilakukan secara taat azas, artinya sekali wajib pajak memilih salah satu cara peniliaian
pemakaian persediaan untuk penghitungan HPP, maka untuk selanjutnya harus dilakukan cara yang sama pula (Agus dan Estralita 2012: 32). PT. Menara Tiga (M3) Kota Gorontalo dagang
merupakan perusahaan
yang menjual barang-barang meubel dan keramik. Barang-
barang yang dijual tersebut berasal dari pulau Jawa. Syarat penyerahan barang dalam perjalanan menggunakan FOB Shipping point yaitu barang dalam perjalanan sampai berada di gudang PT. Menara Tiga menjadi tanggung jawab perusahaan ini sebagai pembeli. Persediaan pada perusahaan ini merupakan unsur yang sangat mempengaruhi
laporan laba rugi. Oleh karena itu, persediaan yang
dimiliki selama satu periode harus dapat dipisahkan mana yang sudah dibebankan sebagai biaya yang akan dilaporkan pada laporan laba rugi dan mana yang belum terjual yang akan menjadi persediaan dalam laporan neraca. Metode perhitungan persediaan yang digunakan PT. Menara Tiga (M3) adalah metode LIFO untuk memberikan suatu laporan laba rugi yang perspektif artinya laba bersih diukur dengan menggunakan LIFO yang menggabungkan harga jual sekarang dan biaya akuisisi yang sekarang. Metode ini juga menghasilkan suatu gambaran laba yang cenderung hanya melaporkan laba operasi dan menanggguhkan pengakuan keuntungan pemilikan persediaan sampai harga atau kuantitas menurun dan juga untuk tujuan pajak jika laba bersih rendah maka pajak yang akan
dibayarkan juga rendah. Penggunaan metode LIFO ini juga dapat dilihat dari kartu persediaanya selama tahun 2009. Sistem pencatatan yang digunakan oleh PT. Menara Tiga (M3) adalah system perpetual. Oleh karena itu pada peneltian ini dilakukan perhitungan persediaan menurut PSAK dan Perpajakan. Sehingga akan menghasilkan laporan keuangan dalam hal ini laporan Laba Rugi yang semestinya. Pada penelitian ini dalam menghitung persediaan akhir menurut PSAK menggunakan metode LCM (Lower of Cost Market). Baridwan (2010: 185) mengungkapkan bahwa LCM digunakan apabila perusahaan mengalami kerugian karena turunnya harga persediaan. Pada PT Menara Tiga (M3) ini sendiri berlaku hal yang sama. Terjadi penurunan harga persediaan pada akhir tahun. Hal ini terlihat pada laporan persediaan perusahaan tersebut. Karena itu peneliti lebih memilih menggunakan metode LCM (Lower of Cost Market) menurut PSAK sedangkan berdasarkan aturan perpajakan menggunakan metode FIFO dan Average. Sehubungan
dengan
pola
pemikiran
tersebut
diatas
peneliti
mengambil judul ”Analisis Perhitungan Persediaan Menurut PSAK dan Perpajakan Serta Dampaknya Terhadap Laporan Laba Rugi Pada PT. Menara Tiga (M3) Kota Gorontalo”. 2. KAJIAN TEORI Persediaan merupakan salah satu aktiva yang paling penting dalam operasi kegiatan perusahaaan dagang. Sebagaian besar sumber daya
perusahaan sering kali diinvestasikan dalam bentuk barang-barang yang dibeli atau diproduksi. Biaya barang-barang ini harus dicatat, dikelompokkan, dan diikhtisarkan selama periode akuntasi. Pada akhir periode, biaya dialokasikan di antara aktivitas periode berjalan dan aktifitas periode mendatang, yaitu di antara barang-barang yang berada dalam persediaan untuk dijual periode mendatang. Persediaan juga merupakan aktiva lancar terbesar dari perusahaan manufaktur maupun dagang. Pengaruh persediaan terhadap laba lebih mudah terlihat ketika kegiatan bisnis berfluktuasi. Selama iklim usaha baik, penjualan menjadi tinggi dan persediaan bergerak lebih cepat dari pembelian ke penjualan. Namun ketika kondisi ekonomi menurun, tingkat penjualan juga menjadi menurun, persediaan bertumpuk dan perlu dilakukan penjualan meskipun mengalami kerugian. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai persediaan, pada bagian ini
diberikan
batasan
maupun
kriteria
mengenai
pengertian
persediaan. Biaya-Biaya Yang Berhubungan Dengan Persediaan Mulyadi (2002: 8) mengatakan “biaya dalam arti luas adalah pengorbanan sumber ekonomi, yang ditukar dalam satuan uang,yang telah terjadi untuk tujuan tertentu”. 4 unsur pokok dalam defenisi biaya tersebut adalah: 1. Biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi
2. Diukur dalam satuan uang 3. Yang telah terjadi atau yang secara potensial akan terjadi 4. Pengorbanan tersebut untuk tujuan tertentu Biaya-biaya persediaan meliputi biaya pembelian, biaya konversi dan biaya lain-lain. Biaya ini muncul pada saat persediaan berada dalam kondisi yang siap untuk dipakai atau dijual. Adapun biaya-biaya persediaan menurut Standar Akuntansi Keuangan 14 Tahun 2012 adalah sebagai berikut: “biaya persediaan meliputi semua biaya pembelian, biaya konversi, dan biaya lain yang timbul sampai biaya berada dalam kondisi dan lokasi saat ini”. 1. Pembelian Biaya pembelian meliputi harga pembelian, bea masuk/pajak lainnya, biaya pengangkutan dan lain-lain. Adapun yang mempengaruhi biaya pembelian adalah: a. Barang dalam perjalanan, Suhadimanto (2005: 9) mengungkapkan bahwa persediaan barang akan diakui sebagai hak milik apabila hak kepemilikan barang secara sah telah berpindah. Syarat penyerahan barang dalam perjalanan yang lazim terjadi adalah sebagai berikut:
1) FOB Shipping point Dengan syarat ini barang yang diperjual belikan menjadi milik pembeli pada saat barang sudah diatas kapal. Kemudian segala
risiko dalam perjalanan laut sampai ke gudang pembeli menjadi tanggung jawab pembeli. Jika dengan syarat penyerahan barang FOB Shipping point, maka: a) Untuk penjual nilai persediaan akan berkurang pada saat barang dikirim. b) Untuk pembeli nilai persediaan akan bertambah ketika barang telah dikirim. 2) FOB Destination Dengan syarat ini barang yang sudah diperjualbelikan menjadi milik pembeli pada saat barang sudah diterima pembeli dari pengangkut. Segala resiko selama dalam perjalanan dari gudang penjual sampai tiba di pelabuhan pembeli menjadi tanggung jawab penjual, selanjutnya ongkos angkut darikapal menuju gudang pembeli menjadi tanggung jawab pembeli. Jika dengan syarat penyerahan barang FOB Destination, maka: a) Untuk penjual nilai persediaan akan berkurang pada saat barang sudah diterima pembeli. b) Untuk pembeli nilai persediaan akan bertambah ketika barang sudah diterima pembeli. b. Diskon dagang, yaitu suatu potongan yang merupakan suatu cara untuk menentukan berapa sebenarnya harga yang harus dibayar oleh pembeli.
c. Potongan pembelian, yaitu potongan yang diperoleh oleh pembeli apabila ia mampu membayar faktur terhutang atas pembelian tersebut sebelum masa potongan berakhir. d. Retur pembelian, timbul karena barang yang diterima rusak atau tidak sesuai
dengan
perjanjian
ataupun
mungkin
karena
adanya
penyesuaian harga yang diperlukan, total retur pembelian selama satu periode akan mengurangi pembelian perusahaan pada periode tersebut dan disajikan dalam laporan laba rugi. e. Pajak pertambahan nilai (PPN) Pajak pertambahan nilai ditujukan pada mereka orang pribadi maupun badan yang menghasilkan/memproduksi barang, mengimpor barang, memperdagangakan barang dan ataupun menyerahkan jasa yang dilakukan
dalam
lingkungan
perusahaan.
PPN
timbul
kerana
digunakannya factor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam
menyiapkan,
menghasilkan,
menyalurkan
dan
memperdagangkan barang ataupun pemberian pelayanan jasa pada konsemun. Semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa, tanah, upah kerja, dan laba perusahaan merupakan unsure pertambahan nilai yang menjadi dasar pengenaan PPN. f. Biaya pengangkutan
Biaya pengangkutan yang terjadi dalam kaitannya dengan pembelian harus ditambahkan ke dalam perhitungan biaya persediaan. Namun biaya ini sering dicatat dalam pos khusus seperti ongkos angkut yang dilaporkan perusahaan
sebagai dagang
tambahan dan
harga
biaya
bahan
pokok
penjualan
yang
pada
digunakan
oleh
perusahaan manufaktur. g. Biaya
penyimpanan,
yaitu
biaya
yang
terjadi
dalam
rangka
melaksanakan kegiatan penyimpanan bahan sebelum diproduksi. 2. Biaya Konversi Biaya konversi persediaan meliputi biaya yang secara langsung terkait dengan unit yang diproduksi dan biaya overhead produksi tetap dan variable yang dialokasikan secara sistematis, yang terjadi dalam proses konversi bahan menjadi barang jadi. Biaya overhead tetap adalah biaya produksi tak langsung yang relative konstan tanpa memperhatikan volume produksi
yang
dihasilkan,
seperti
penyusutan
dan
pemeliharaan
bangunan dan peralatan pabrik dan juga biaya manajemen dan administrasi pabrik. Biaya overhead variable adalah biaya produksi yang berubah secara langsung atau hampir secara langsung, mengikuti perubahan volume produksi, seperti bahan tak langsung dan Proses produksi mungkin menghasilkan lebih dari satu jenis produk secara serentak. Hal tersebut terjadi misalnya, bila dihasilkan produk gabungan (joint product) atau bila terdapat produk utama dan produk sampingan.
Bila biaya konversi tidak dapat diidentifikasikan secara terpisah, biaya tersebut dialokasikan antar produk secara rasional dan konsisten. 3. Biaya Lain-lain Biaya lain-lain, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk menempatkan persediaan barang jadi berada dalam kondisi dan tempat yang siap dijual atau dipakai. Misalnya dalam keadaan tertentu diperkenankan untuk membebankan biaya overhead non produksi atau biaya perancangan produk untuk pelanggan khusus sebagai biaya persediaan. Contoh-contoh biaya yang dikeluarkan dari biaya persediaan dan diakui sebagai beban dalam periode terjadinya adalah: 1) Jumlah pemborosan bahan, tenaga kerja atau biaya produksi lainnya yang tidak normal; 2) Biaya penyimpanan, kecuali biaya tersebut diperlukan dalam proses produksi sebelum dilanjutkan pada tahap produksi berikutnya; 3) Biaya administrasi dan umum yang tidak memberikan kontribusi untuk membuat persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini; dan 4) Biaya penjualan.
Kerangka Berfikir PT. Menara Tiga (M3) merupakan jenis perusahaan
dagang yang
menjual berbagai jenis barang meubel dan keramik. Dimana persediaannya merupakan aktiva lancar yang paling utama. Setiap perusahaan yang
didirikan pastilah diwajibkan membayar pajak atas penghasilannya. Karena itu perusahaan tidak hanya menghitung persediaan berdasarkan PSAK tetapi juga berdasarkan perpajakan. Terdapat perbedaan antara keduanya dalam perhitungan persediaan akhir. Maka yang perlu diperhatikan disini apakah kedua metode tersebut berdampak pada laporan laba rugi perusahaan PT. Menara Tiga (M3). 3.METEDOLOGI PENELITIAN Tekhnik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data yang berhubungan dengan topic pembahasan yaitu berupa data sekunder yang merupakan data yang dikumpulkan oleh penulis berupa data laporan keuangan terutama yang berhubungan dengan persediaan tahun 2009 yang menjadi objek penelitian. Tekhnik Analisis Data Tekhnik analisis data dalam penelitian ini menggunakan tekhnik deskriptif komparatif yakni membandingkan perhitungan persediaan menurut PSAK dan Perpajakan serta menjelaskan dampak dari kedua cara perhitungan persediaan tersebut terhadap laporan rugi laba. Tahapan dalam menganalisis data dalam penelitian ini,dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Memperoleh laporan persediaan barang dagang dan laporan keuangan PT. Menara Tiga (M3) Kota Gorontalo
2. Melakukan
perhitungan
persediaan
menurut
Peraturan
Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) 3. Melakukan perhitungan Laba Rugi menurut Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang menggunakan metode nilai terendah antara biaya dan nilai realisasi neto. 4. Melakukan Perhitungan Laba Rugi menurut PSAK dengan menggunakan metode LCM (Lower of Cost Market). 5. Melakukan perhitungan persediaan menurut
Perpajakan dengan
menggunakan metode FIFO dan Average 6. Melakukan peritungan Laba Rugi menurut Perpajakan 7. Mendeskripsikan perbandingan Laporan Laba Rugi secara PSAK dan Perpajakan.
4. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Perhitungan
Persediaan
Menurut
Pernyataan
Standar
Akuntansi
Keuangan menggunakan Metode Nilai Terendah antara Biaya dan Nilai realisasi Bersih. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa PT. Menara Tiga (M3) dalam menghitung persediaan akhir menggunakan metode LIFO yang tidak sesuai baik secara PSAK dan Perpajakan. Pada poin ini akan menjabarkan
perhitungan persediaan sesuai PSAK dengan menggunakan metode nilai terendah antara biaya dan nilai realisasi neto. Berikut tabel perhitungannya. Tabel 10 Perhitungan Persediaan Menggunakan Nilai Terendah antara Biaya dan Nilai Realisasi Bersih
Barang
Jumlah akhir
harga / unit
NRN / unit
Nilai terendah antara biaya & NRN
Total Biaya
W X
165
Rp 3,874,
112
Y Z
NRN
Rp 448,3
Rp 3,398 Rp 319,4
Rp 639,210 Rp 50,209,6
Rp Rp
560,670 35,772,8
Rp 560,670 Rp 35,772,8
18
Rp 7,494,
Rp 5,848,4
Rp 134,892
Rp 105,278,4
Rp 105,271,2
35
Rp 6,000
Rp 7,000
Rp 210,000 Rp1,034,311,6
Rp 245,000
Rp 210,000 Rp 911,714
Rp 947,686
Metode yang digunakan pada tabel di atas menjelaskan bahwa barang W, X, dan Y mengalami penurunan pada nilai realisasi neto sedangkan barang Y mengalami peningkatan nilai realisasi bersihnya. Adapun cara perhitungan nilai realisasi bersih yaitu: 1) Persediaan akhir barang W pada saat dibeli harganya sebesar Rp.3.874.400 dan pada akhir tahun mengalami penurunan harga sebesar Rp.3.636.000 (harga pasar barang bisa dilihat pada Tabel 8). Jadi beban penjualannya adalah Rp.238.000. Penilaian harga pokok barang tersebut berdasarkan nilai realisasi bersih adalah: Rp.3.636.000 - Rp.238.000 = Rp.3.398.000
2) Persediaan akhir barang X pada saat dibeli harganya sebesar Rp.448.300 dan pada akhir tahun mengalami penurunan harga sebesar Rp.383.850 (harga pasar barang bisa dilihat pada Tabel 8). Maka beban penjualannya adalah Rp.64.450. Penilaian harga pokok barang tersebut berdasarkan nilai realisasi bersih adalah: Rp.383.850 - Rp.64.450 = Rp.319.400. 3) Persediaan akhir barang Y pada saat dibeli harganya sebesar Rp.7.494.000 dan pada akhir tahun mengalami penurunan harga sebesar Rp.6.671.200 (harga pasar barang bisa dilihat pada Tabel 8). Jadi beban penjualannya adalah Rp.822.800. Penilaian harga pokok barang tersebut berdasarkan nilai realisasi bersih adalah: Rp.6.671.200 - Rp. 822.800 = Rp.5.848.400. 4) Persediaan akhir barang Z pada saat dibeli harganya sebesar Rp. 6.000.000 dan pada akhir tahun mengalami peningkatan harga sebesar Rp.6.500.000 (harga pasar barang bisa dilihat pada Tabel 8). Maka beban penjualannya adalah Rp.500.000. Penilaian harga pokok barang tersebut berdasarkan nilai realisasi bersih adalah: Rp.6.500.000 + Rp.500.000 = Rp.7.000.000 Contoh di atas berdasarkan metode tersebut mengungkapkan adanya selisih sebesar Rp.122.597..600 dari perbedaan total biaya sebesar Rp.1.034.311.600 dan harga terendah antara nilai realisasi bersih dan biaya
sebesar
Rp.911.714.000.
Penurunan
biaya
sebesar
Rp.122.597..600
disebabkan karena penggunaan metode nilai terendah antara biaya dan nilai realisasi bersih dapat dilaporkan secara terpisah (dibuat akun tersendiri) dalam laporan rugi laba atau langsung dimasukan kedalam HPP. Laporan Laba Rugi Menurut PSAK dengan menggunakan metode LCM (Lower of Cost market ) Laporan laba rugi untuk menurunkan nilai persediaan berdasarkan individual item basis yakni: 1. Menggunakan akun tersendiri untuk mencatat kerugian penurunan nilai persediaan yang dilaporkan pada laporan Laba Rugi. Jurnal penyesuaian untuk menurunkan nilai persediaan yaitu: Kerugian karena penurunan nilai persediaan Persediaan
Rp.122.597.600 Rp.122.597.600
Penggunaan akun tersendiri dalam Laporan Laba Rugi dapat di lihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 11 Laporan Laba Rugi dengan menggunakan akun tersendiri untuk mencatat kerugian URAIAN
NILAI (Rupiah)
PENJUALAN BERSIH
NILAI (Rupiah) Rp 21,414,840,400.00
HARGA POKOK PENJUALAN: SALDO BARANG DAGANG AWAL
Rp 2,188,248,000.00
PEMBELIAN
Rp 2,349,782,900.00
BARANG YANG TERSEDIA UNTUK DIJUAL
Rp 4,538,030,900.00
SALDO BARANG DAGANG AKHIR: BIAYA
Rp 1,034,311,600.00 HARGA POKOK PENJUALAN
Rp 3,503,719,300.00
LABA KOTOR KERUGIAN PENURUNAN NILAI PERSEDIAAN
Rp 17,911,121,100.00
Rp
121,625,600.00
Rp
254,903,175.00
Rp
756,162,391.00
BEBAN OPERASIONAL PERUSAHAAN: BEBAN PENJUALAN BEBAN UMUM,ADMINISTRASI & BUNGA BANK JUMLAH BEBAN OPERASIONAL
Rp 1,132,691,166.00
LABA USAHA
Rp16,778,429,934.00
PENGHASILAN LAIN (KONTRAKTOR)
Rp
LABA BERSIH SEBELUM PPH
Rp 17,032,938,489.00
PAJAK PENGHASILAN
Rp 4,7692,222,776.92
LABA BERSIH SETELAH PAJAK
Rp 12,263,715,712.08
254,508,555.00
1) Menggunakan metode dengan langsung memasukan kerugian penurunan nilai barang ke dalam HPP yang seharusnya Rp.1.034.311.600 diturunkan menjadi Rp.911.714.000 Pada saat dilakukan jurnal penyesuaian akun
persediaan harus dikredit sebesar Rp.122.597.600 dan di debet ke Harga Pokok Penjualan. Adapun jurnalnya dan laporan laba ruginya sebagai berikut: Harga Pokok Penjualan
Rp.122.597.600
Persediaan
Rp.122.597.600
Tabel 12 Laporan Laba Rugi dimana Kerugian langsung di masukkan ke dalam HPP
URAIAN
NILAI (Rupiah)
PENJUALAN BERSIH
NILAI (Rupiah) Rp
21,414,840,400.00
Rp
3,626,316,900.00
Rp
17,788,523,500.00
Rp
1,011,065,566.00
LABA USAHA
Rp
16,777,457,934.00
PENGHASILAN LAIN (KONTRAKTOR)
Rp
254,508,555.00
LABA BERSIH SEBELUM PPH
Rp
17,031,966,489.00
PAJAK PENGHASILAN
Rp
4,768,950,616.92
LABA BERSIH SETELAH PAJAK
Rp
12,263,015,872.08
HARGA POKOK PENJUALAN: SALDO BARANG DAGANG AWAL
Rp
2,188,248,000.00
PEMBELIAN
Rp
2,349,782,900.00
BARANG YANG TERSEDIA UNTUK DIJUAL
Rp
4,538,030,900.00
Rp
911,714,000.00
SALDO BARANG DAGANG AKHIR: LCM HARGA POKOK PENJUALAN LABA KOTOR BEBAN OPERASIONAL PERUSAHAAN: BEBAN PENJUALAN
Rp
254,903,175.00
BEBAN UMUM, ADMINISTRASI & BUNGA BANK
Rp
756,162,391.00
JUMLAH BEBAN OPERASIONAL
Perhitungan
Persediaan
Menurut
Ketentuan
Perpajakan
dengan
menggunakan Metode FIFO dan Average 1. Metode FIFO (First In First Out) Harga pokok persediaan akan dibebankan sesuai dengan urutan terjadinya transaksi jual beli. Harga pokok yang dibebankan adalah harga pokok yang terdahulu. Kemudian disusul dengan yang berikutnyadan persediaan akhir akan dibebankan harga pokok terakhir. Penjabarannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 13 Perhitungan Persediaan dengan menggunakan Metode FIFO (First In First Out)
Bulan
Unit
Pembelian harga/unit
Jumlah
Unit
Penjualan harga/unit
Jumlah
Unit
Saldo harga/unit
Jumlah
(dalam ribuan) 2009 Januari Februari
149
Rp 3,574,7
Rp 532,630,3
Maret April
100
Rp2,214,45
100
Rp 7,494
Rp 749,400
90
Rp 7,494
Rp 674,460
Rp 221,445
102 58
Rp 7,494
Rp 764,388
Rp 3,574,7
Rp 207,332,6
292 292
Rp 7,494 Rp 7,494
Rp 2,188,248 Rp 2,188,248
149 192
Rp 3,574,7 Rp 7,494
Rp 532,630,3 Rp 1,438,848
149 102 149 102
Rp Rp Rp Rp
Rp Rp Rp Rp
532,630,3 764,388 532,630,3 764,388
149 100
Rp 3,574,7 Rp 2,214,45
Rp Rp
532,630,3 221,445
91
Rp 325,297,7
100
Rp 3,574,7 Rp 2,214,45
27 100
Rp 3,574,7 Rp 2,214,45
Rp 96,516,9 Rp 221,445
27 100 372
Rp 3,574,7 Rp 2,214,45 Rp 448,3
Rp 96,516,9 Rp 221,445 Rp 166,767,6
82 372
Rp 2,214,45 Rp 448,3
Rp Rp
354 354 310 154 310 45
Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Rp 158,698,2 Rp 158,698,2 Rp 1,200,940 Rp 69,038,2 Rp 1,200,940 Rp 20,173,5
3,574,7 7,494 3,574,7 7,494
Rp 221,445
Mei 64
Rp 3,574,7
Rp 228,780,8
Juni 372
Rp 448,3
Rp 166,767,6
Juli Agustus
310
Rp 3,874
27 18
Rp 3,574,7 Rp 2,214,45
Rp 96,516,9 Rp 39,860,1
82 18
Rp 2,214,45 Rp 448,3
Rp 181,584,9 Rp 8,069,4
Rp 1,200,940
September
200
Rp 448,3
Rp 89,660
Oktober
109
Rp 448,3
Rp 48,864,7
448,3 448,3 3,874 448,3 3,874 448,3
181,584,9 166,767,6
November
38
Rp 6,000
Rp 228,000
Desember
45 18
Rp 448,3 Rp 3,874
Rp 20,173,5 Rp 69,732
310 45 310 38
Rp Rp Rp Rp
3,874 448,3 3,874 6,000
292 38
Rp 3,874 Rp 6,000
Seperti yang telah dijelaskan pada tabel di atas maka dapat diketahui persediaan barang akhir sebesar: a) 292 unit @ Rp.3.874.000 = Rp.1.131.208.000 b) 38 unit @ Rp.6.000.000 = Rp.228.000.000 Maka
total
persediaan
akhirnya
adalah
330
unit
dengan
nilai
Rp.1.359.208.000. 2) Metode Rata-rata bergerak (moving average) Dalam metode ini harga pokok rata-rata dicatat setiap ada penjualan barang. Maka diperlukan untuk menghitung harga pokok rata-rata setiap kali terjadi pembelian barang. Sehingga dalam satu periode akan terdapat beberapa harga pokok. Berikut penjabarannya pada tabel di bawah ini.
Rp 1,200,940 Rp 20,173,5 Rp 1,200,940 Rp 228,000 Rp 1,131,208 Rp 228,000
Tabel 14 Perhitungan Persediaan dengan menggunakan Metode Ratarata Bergerak (moving average)
Bulan 2009
Unit (dalam ribuan) Januari Februari
149
Pembelian harga/unit
Rp 3,574,7
Jumlah
100
Rp 2,214,45
372
Rp
448,3
100
Rp 6,169,7
Rp 616,979,2
90
Rp 6,169,7
Rp 555,281,2
160
Rp 5,158,1
Rp 825,311,36
64
Rp 5,158,1
Rp 330,124,5
Juli
100 310
Rp 3,874
Rp 1,907,5
Rp 1,907,5
Rp
292
Rp 7,494
Rp 2,188,248
441
Rp 6,169,7
Rp 2,720,878,3
341
Rp 6,169,7
Rp 2,103,899,
251
Rp 6,169,7
Rp 1,548,617,7
351
Rp 5,042,9
Rp 1,770,062,7
191
Rp 5,158,1
Rp
985,215,4
127
Rp 5,158,1
Rp
655,090,8
499
Rp 1,647
Rp
821,858,4
454
Rp 1,907,
Rp
866,041,7
354
Rp 1,907,5
Rp
675,283,6
664
Rp 2,825,6
Rp 1,876,223,6
464
Rp 2,773,4
Rp 1,286,892,8
355
Rp 2,773,4
Rp
393
Rp 3,085,4
Rp 1,212,583,9
330
Rp 3,056,6
Rp 1,008,689,5
Rp 1,200,940 Rp 2,773,4
Rp 554,695,2
Oktober
109
Rp 2,773,4
Rp 302,308,8
Rp 6,000
Jumlah
Rp 190,758,1
200
38
Saldo harga/unit
85,841,1
September
November
Unit
Rp 166,767,6
45
Agustus
Jumlah
Rp 221,445
Mei Juni
Penjualan harga/unit
Rp 532,630,3
Maret April
Unit
984,583,9
Rp 228,000
Desember
63
Rp 3,056,6
Rp 192,568,
Informasi di atas menjelaskan bahwa persediaan akhir sebesar 330 unit senilai Rp.1.008.689.550
Terdapat
perbedaan
nilai
persediaan
akhir
pada
perhitungan
persediaan yang menggunakan metode FIFO dan Rata-rata bergerak. Pada metode FIFO persediaan akhirnya senilai Rp.1.359.208.000 dan untuk Ratarata bergerak senilai Rp.1.008.689.550. Laporan Laba Rugi Menurut Perpajakan Tabel 15 Laporan Laba Rugi yang persediaannya dihitung menggunakan metode FIFO URAIAN
NILAI (Rupiah)
PENJUALAN BERSIH
NILAI (Rupiah) Rp 21,414,840,400.00
HARGA POKOK PENJUALAN: SALDO BARANG DAGANG AWAL
Rp 2,188,248,000.00
PEMBELIAN
Rp 2,349,782,900.00
BARANG YANG TERSEDIA UNTUK DIJUAL SALDO BARANG DAGANG AKHIR: BIAYA
Rp 4,538,030,900.00 Rp 1,359,208,000.00
HARGA POKOK PENJUALAN LABA KOTOR
Rp 3,178,822,900.00 Rp 18,236,017,500.00
BEBAN OPERASIONAL PERUSAHAAN: BEBAN PENJUALAN
Rp
254,903,175.00
BEBAN UMUM, ADMINISTRASI DAN BUNGA BANK
Rp
756,162,391.00
JUMLAH BEBAN OPERASIONAL
Rp 1,011,065,566.00
LABA USAHA
Rp 17,224,951,934.00
PENGHASILAN LAIN (KONTRAKTOR)
Rp
LABA BERSIH SEBELUM PPH
Rp 17,479,460,489.00
PAJAK PENGHASILAN
Rp 4,894,248,936.92
LABA BERSIH SETELAH PAJAK
Rp 12,585,211,552.08
254,508,555.00
Tabel 16 Laporan Laba Rugi yang persediaannya dihitung menggunakan metode Rata-rata Bergerak URAIAN
NILAI (Rupiah)
PENJUALAN BERSIH
NILAI (Rupiah) Rp 21,414,840,400.00
HARGA POKOK PENJUALAN: SALDO BARANG DAGANG AWAL
Rp 2,188,248,000.00
PEMBELIAN
Rp 2,349,782,900.00
BARANG YANG TERSEDIA UNTUK DIJUAL SALDO BARANG DAGANG AKHIR:
Rp 4,538,030,900.00
BIAYA
Rp 1,008,689,550.00
HARGA POKOK PENJUALAN LABA KOTOR
Rp 3,529,341,350.00 Rp 17,885,499,050.00
BEBAN OPERASIONAL PERUSAHAAN: BEBAN PENJUALAN
Rp
254,903,175.00
BEBAN UMUM, ADMINISTRASI DAN BUNGA BANK
Rp
756,162,391.00
JUMLAH BEBAN OPERASIONAL
Rp 1,011,065,566.00
LABA USAHA
Rp 16,874,433,484.00
PENGHASILAN LAIN (KONTRAKTOR)
Rp
LABA BERSIH SEBELUM PPH
Rp 17,128,942,039.00
PAJAK PENGHASILAN
Rp 4,796,103,770.92
LABA BERSIH SETELAH PAJAK
Rp 12,332,838,268.08
254,508,555.00
Kedua tabel di atas menjelaskan bahwa terjadi perbedaan pada laba bersih setelah pajaknya. Tabel pertama yang persediaanya menggunakan metode FIFO laba bersih setelah pajaknya sebesar Rp.12.585.211.552,08 sedangkan
yang
menggunakan
metode
Rata-rata
bergerak sebesar
Rp.12.332.838.268,08 hal ini dikarenakan oleh persediaan akhir yang berbeda pula. Perhitungan persediaan akhir yang menggunakan metode FIFO lebih tinggi persediaan akhir, laba bruto dan laba bersih setelah pajak dibandingkan dengan metode Rata-rata bergerak. Perbandingan Laporan Laba Rugi Menurut PSAK dengan menggunakan LCM (Lower of Cost Market) dan Perpajakan dengan menggunakan FIFO dan Average
Seperti yang telah dijabarkan pada tabel-tabel di atas bahwa terdapat perbedaan-perbedaan
pada
laporan
laba
rugi
menurut
PSAK
dan
Perpajakan. Adapun perbandingan dari ketiga laporan laba rugi di atas adalah sebagai berikut. Tabel 17 Perbandingan dari ketiga laporan laba rugi yang menggunakan metode LCM (Lower of Cost Market) menurut PSAK dan FIFO serta Average menurut Perpajakan PSAK LCM
Keterangan Persediaan Akhir HPP Laba Kotor Laba bersih sebelum PPh PPh Laba bersih setelah PPh
Rp Rp Rp Rp Rp Rp
911,714,000 3,626,316,900 17,788,523,500 17,031,966,489 4,768,950,616.92 12,263,015,872.08
Perpajakan FIFO
AVERAGE
Rp 1,359,208,000 Rp 3,178,822,900 Rp 18,236,017,500 Rp 17,479,460,489 Rp 4,894,248,936,92 Rp 12,585,211,552.08
Rp 1,008,689,550 Rp 3,529,341,350 Rp 17,885,499,050 Rp 17,128,942,039 Rp 4,796,103,770,92 Rp 12,332,838,268.08
Tabel di atas menjelaskan bahwa jika persediaan akhir jumlahnya kecil, maka dapat menyebabkan HPP menjadi lebih besar. Sehingga laba kotor menjadi lebih kecil yang akan berdampak pada laba bersih sebelum pajak yang menjadi kecil pula. Rendahnya laba bersih dapat mempengaruhi beban pajak yang akan dibayar. Hal ini dapat merugikan pihak pajak itu sendiri. Pada perbandingan laporan laba rugi di atas jelas terlihat bahwa penggunaan metode perhitungan persediaan akhir menurut PSAK yang menggunakan metode LCM (Lower of Cost Market) lah yang memperoleh laba bersih terendah dibandingkan dengan metode FIFO dan Average. Untuk kepentingan internal perusahaan, metode LCM (Lower of Cost Market) bisa diterapkan jika dilihat dari sisi besarnya PPh yang dibayarkan. Namun jika dilihat dari sudut pandang laba usahanya metode ini tidak menguntungkan baik bagi pihak internal perusahaan maupun dalam perspektif perpajakan. Karena menghasilkan laba yang relatif rendah. Oleh karena itu metode ini tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan. Maka dari itu perusahaan harus menggunakan metode yang sesuai dengan ketentuan perpajakan. Perusahaan dapat memilih antara menggunakan metode FIFO atau Average. Dalam menggunakan metode FIFO bisa dilihat pada tabel di atas memang menghasilkan laba yang relative lebih tinggi dibandingkan dengan metode LCM (Lower of Cost Market) dan Average. Namun jika dilihat dari besarnya PPh yang dibayar, metode ini tidak
menguntungkan bagi pihak internal perusahaan. Namun menguntungkan bagi pihak pajak karena menghasilkan PPh yang lebih besar dari kedua metode tersebut. Sedangkan jika menggunakan metode Average jelas terlihat memang menghasilkan laba usaha yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan metode FIFO dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode LCM (Lower of Cost Market). Jadi metode ini bisa digunakan baik untuk kepentingan internal perusahaan maupun perpajakan. Meskipun metode FIFO lebih menguntungkan bagi pihak pajak. Namun metode ini sudah sesuai dengan ketentuan perpajakan. Pengaruh Perhitungan Persedaan terhadap Neraca, Laporan Laba Rugi dan perpajakan. Yusuf (2001: 114-115) mengungkapkan bahwa: 1) Pengaruh Terhadap Neraca FIFO akan terasa pada masa inflasi. Karena pemakaian FIFO pada masa seperti itu akan menghasilkan nilai persediaan yang lebih mencerminkan harga yang berlaku pada tanggal neraca. Pada metode FIFO harga perolehan dan pembeian yang lebih akhir akan dialokasikan pada persediaan. Oeh karena itu harga perolehan yang ditetapkan pada tanggal neraca akan mendekati harga saat itu. Akibat yang sebaliknya akan terjadi jika metode LIFO digunakan pada saat inflasi. Dengan LIFO, harga perolehan persediaan pada tanggal neraca akan didasarkan pada harga perolehan barang yang dibeli lebih awal, atau bahkan harga
perolehan barang yang berasal dari periode sebelumnya. Akibatnya, harga perolehan persediaan tidak mencerminkankeadaan pada tanggal neraca, dan aktiva lancar serta total aktiva akan dilaporkan lebih rendah dari harga yang berlaku pada tanggal neraca. 2) Pengaruh terhaadap Laporan Rugi-Laba Perbedaan setiap rupiah dalam persediaan akhir akan mengakibatkan perbedaan yang sama jumlahnya dalam laba bersih sebelum pajak. Pada masa inflasi FIFO akan menghasilkan laba bersih yang lebih tinggi karena yang ditandingkan dengan pendapatan adalah harga perolehan yang berasal dari pembelian dengan harga yang lebih rendah. Tingkat laba bersih yang lebih tinggi bagi manajemen mungkin merupakan hal yang lebih menguntungkan. Karena pihak luar akan memberikan penilaian yang positif terhadap perusahaan. Selain itu jika manajemen diberi bonus yang besarnya ditentukan atas dasar laba bersih maka bonus yang diterima manajemen juga akan semakin tinggi. 3) Pengaruh Pajak Meskipun jumlah rupiah persediaan laba bersih selama masa inflasi pada metode FIFO lebih besar dibandingkan dengan LIFO namun dewasa ini banyak perusahaan yang berpindah ke metode LIFO. Hal ini disebabkan karena perhitungan laba bersih dengan metode LIFO akan menghasilkan pajak penghasilan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan metode FIFO atau rata-rata.
Simpulan Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Perusahaan tidak menggunakan metode perhitungan nilai persediaan
yang sesuai dengan PSAK dan Perpajakan. Karena menggunakan metode LIFO (Last in First Out) yang jelas-jelas bertentangan dengan PSAK
dan
Perpajakan
itu
sendiri.
Untuk
system
pencatatan
persediaannya menggunakan perpetual. Hal ini sudah sesuai dengan PSAK dan Perpajakan. 2.
Perhitungan persediaan akhir
PT. Menara Tiga (M3) menggunakan
metode LCM (Lower of Cost Market) menurut PSAK dan menggunakan metode FIFO (First in First Out) dan Average menurut Perpajakan. Untuk PSAK, penggunaan LCM digunakan karena adanya penurunan harga barang pada akhir tahun yang menyebabkan kerugian pada perusahaan. 3.
Hasilnya menunjukkan bahwa laba yang diperoleh perusahaan dengan menggunakan metode LCM (Lower of Cost Market) dalam perhitungan persediaan menurut PSAK,
lebih rendah dibandingkan dengan yang
menggunakan metode perhitungan persediaan berdasarkan Peraturan Perpajakan dengan metode FIFO (First in First Out) dan Average. Hal ini jelas merugikan pihak pajak. Karena rendahnya laba perusahaan dapat
memperkecil beban pajak yang akan dibayarkan. Karena itu metode ini tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan. 4. Untuk
kepentingan
menggunakan
internal
metode
perusahaan
Average.
dan
Meskipun
perpajakan
metode
dapat
FIFO
lebih
menguntungkan bagi pihak pajak itu sendiri. Karena menghasilkan laba yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan metode Average. Namun metode ini sudah sesuai dengan ketentuan Perpajakan yang berlaku.
Daftar Pustaka
Agus, Sukrisno dan Trisnawati, Estralita. 2012. Akuntansi Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat Baridwan, Zaki. 2010. Intermediate Accounting. Yogyakarta: BPFE Gunadi. 2007. Akuntansi Pajak Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Baru. Jakarta: PT Gramedia Ikatan Akuntansi Indonesia. 2012. Standar Akuntansi Keuangan Revisi Tahun 2012. Jakarta: Salemba Empat Jauhari, Heri.2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia Jusup, Haryono. 2001. Dasar-dasar Akuntansi. Yogyakarta: STIE YKPN Kieso, Weygandt, Warfield. 2002. Akuntansi Intermediate. Jakarta: Erlangga Mardiasmo. 2011. Perpajakan. Yogyakarta: ANDI Mursidi. 2008. Akuntansi Biaya. Bandung: PT Refika Aditama Santoso, Iman. 2007. Akuntansi keuangan Accounting). Bandung: PT Refika Aditama
Menengah
(Intermediate
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Sekaran, Uman. 2006. Metode Penelitian untuk Bisnis. Jakarta: Salemba Empat Silalahi, Ulber. 2012. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama Soemarso. 2004. Akuntansi Suatu Pengantar. Jakarta: Salemba Empat Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta Suhadimanto, Amir. 2005. Akuntansi. Jakarta: Yudistira Suharli, Michell. 2006. Akuntansi. Yogyakarta: Graha Ilmu Suhayati, Ely dan Anggadini, Sri Dewi. 2009. Akuntansi Keuangan. Yogyakarta: Graha Ilmu Widjaya, Siana Murti. 2002. Penilaian Persediaan Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Undang-Undang Perpajakan. Jurnal. Surabaya: Universitas Pelita Harapan. Yahya, Johannes. 2012. Akuntansi Perpajakan. Jakarta: Mitra Wacana Media Zain, Mohammad dan Hermana, Suryo. 2010. Himpunan Undang-Undang Perpajakan 2010. Jakarta: PT Indeks 2009. Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Gorontalo: UNG