P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011
ISSN 1411 - 1497
ANALISIS PENJATAHAN KREDIT (CREDIT RATIONING) PADA PASAR KREDIT PERDESAAN (Studi Kasus Penjatahan Kredit bagi Rumah Tangga Petani oleh Lembaga Keuangan di Wilayah Agropolitan Sumowono dan Bandungan )
Oleh Edhy Sutanto Kusumosudjono STIE Bank BPD Jateng Abstract The common main problem to the micro business in villages is related to the access to the formal financial services especially Banks. Based on that phenomenon, the problems studied in this paper are How is credit rationing in the village credit market. To answer those questions, data was collected from 417 farmers households in Sumowono and Bandungan who were asked to answer the questionnaires. The data that was collected is being analyzed by Tobit Analysis Modeling. The research result shows that some variables such as age,years of farming experience, lands of farming, visiting frequency gets backward bending curve. Keywords : micro business farming, credit rationing Pendahuluan Usaha mikro di Indonesia dalam jumlah besar mempunyai potensi untuk dikembangkan. Oleh karena itu perlu dukungan permodalan dan pendampingan secara terus- menerus agar usaha mikro dapat beralih menjadi usaha kecil dan jika berkembang dalam jumlah besar pada gilirannya akan memperkuat fondasi ekonomi nasional. Beberapa bukti telah ada yaitu ; (1) Pengalaman di Bangladesh menurut Sri Hartati Samhadi (2005) menunjukkan bahwa 3,7 juta debitur Bangladesh merupakan rumah tangga miskin sebagai usaha mikro yang terus-menerus mendapatkan akses fasilitas kredit mikro,ternyata mampu keluar dari garis kemiskinan setelah 5 (lima) tahun, (2) Hasil penelitian Mat Syukur (1985) menunjukkan bahwa usaha mikro yang mendapat pelayanan kredit mikro rata-rata bisa menaikkan pendapatan 14-215% dari 87,34% responden, (3) Noer Sutrisno (2003) mengatakan akses usaha mikro termasuk usaha mikro agribisnis terhadap lembaga keuangan formal terutama bank sangat rendah yaitu hanya sekitar 12 %. Kondisi petani sebagai Usaha Mikro dan Kecil (UMK) agribisnis di perdesaan pada umumnya sering terjebak lilitan hutang dari para pelepas uang yaitu para tengkulak melalui sistem ijon. Para tengkulak memberikan kredit kepada petani terutama dalam membiayai kehidupannya mulai dari masa tanam sampai menunggu masa panen berikutnya. Sulitnya UMK mengakses kredit
34
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011
ISSN 1411 - 1497
kepada lembaga keuangan bank disebabkan oleh apa yang disebut dengan asymetric information, yaitu lembaga keuangan formal terutama bank tidak sempurna mendapat informasi tentang kegiatan usaha mikro dan kecil atau sebaliknya, usaha mikro dan kecil tidak bisa mencari lembaga keuangan yang tepat dengan kondisinya. Asymmetric information membuat calon pemberi pinjaman kesukaran memprediksi peluang state-contingent payoffs. Untuk mengkompensasi risiko tersebut, pemberi pinjaman meningkatkan tingkat suku bunga yang harus dibayar oleh calon penerima kredit dan penyediaan jaminan (collateral) yang harus disediakan oleh calon penerima kredit. Di Bandungan dan Sumowono sebagai wilayah agropolitan, para petani juga mengalami kesulitan dalam mengakses kredit untuk keperluan membeli kebutuhan faktor-faktor produksi seperti pupuk,bibit dan obat-obatan. Hal ini disebabkan oleh (1) Keterbatasan jumlah lembaga keuangan yang berada di Bandungan dan Sumowono, (2) Para petani sangat terbatas mempunyai informasi tentang lembaga keuangan dalam mengajukan kredit bagi keperluan menambah modal usaha tani, (3) Keterbatasan agunan yang dimiliki petani, (4) Sulit mencari lembaga keuangan yang menawarkan jenis kredit yang sesuai jenis kredit yang diminta. Hasil wawancara dengan petani diperoleh informasi bahwa selain luas lahan yang dikelola petani dalam menentukan jumlah kredit atau pinjaman yang diterima, status telah menikah lebih mudah untuk mendapatkan kredit, disamping itu nilai dan status kepemilikan tanah yang diagunkan juga turut menentukan jumlah kredit atau pinjaman yang diterima. Kondisi diatas membuahkan berbagai pertanyaan bagi para pelaku program, pelaku bisnis, dan lembaga keuangan itu sendiri. Oleh karena itu pertanyaan penelitian yang perlu di jawab adalah bagimanakah Penjatahan Kredit (Credit Rationing) Pada Pasar Kredit Perdesaan. Materi and Metode Credit Rationing Pada awalnya credit rationing (penjatahan kredit) dilakukan oleh kreditur namun pada perkembangan selanjutnya oleh debitur (tidak jadi pinjam) dengan berbagai alasan. Credit rationing terjadi jika permintaan kredit dari peminjam ditolak meskipun peminjam tersebut bersedia untuk membayar seluruh price elemen ataupun non- price elemen, misalnya agunan yang disepakati dalam kontrak kredit. Mengapa harus ada penjatahan kredit (credit rationing)? Prinsip ekonomi paling dasar adalah bahwa keseimbangan pasar mendorong penawaran untuk mengimbangi permintaan; yang berarti bahwa jika permintaan melebihi penawaran, harga akan meningkat, sementara penurunan permintaan dan atau peningkatan penawaran sampai permintaan dan penawaran seimbang pada keseimbangan harga yang baru. Jika hal ini tercapai, tidak diperlukan lagi adanya credit rationing. (Stiglitz dan Weiss, 1981).
35
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011
ISSN 1411 - 1497
Credit rationing dapat dihindari jika pemberi pinjaman penuh dengan mengkombinasikan tingkat suku bunga dan jaminan. Williamson (1986) menyatakan bahwa penambahan adverse selection dan masalah moral hazard, asymmetry information juga menyebabkan biaya monitoring yang dapat meningkatkan credit rationing. Secara teori, credit rationing terjadi bila debitur menambah tingkat suku bunga, yang menyebabkan meningkatnya proyek yang berisiko dan mendapatkan jaminan pinjaman yang lebih berisiko, berlawanan dengan risiko pengembalian yang diharapkan. Menurut Latruffe dan Fraser (2002), credit rationing pada sektor pertanian terjadi bila beberapa petani mempunyai akses yang terbatas dalam kredit. Hal ini dapat mempengaruhi jumlah individu yang menerima pinjaman. Bentuk lain dari credit rationing terjadi jika seluruh inividu mendapat pinjaman, tapi beberapa orang lainnya dibatasi jumlah pinjaman tersebut. Ketika petani bisa mengajukan pinjaman namun tidak mendapatkannya, ini disebut sebagai external rationing. Hal ini bisa terjadi jika supply dana untuk kredit tidak mencukupi atau lembaga keuangan kurang percaya/yakin terhadap calon nasabah. Internal rationing adalah apabila petani menolak atau tidak jadi mengajukan kredit kepada lembaga keuangan. Hal ini berhubungan dengan sisi permintaan dan diwujudkan bahwa petani tidak mengajukan pinjaman meskipun mereka menginginkannya karena beberapa alasan seperti petani tidak mampu memenuhi persyaratan pinjaman atau karena tinggninya biaya transaksi selama proses pengajuan pinjaman. Selanjutnya keseimbangan credit rationing dipaparkan oleh Villamil dalam gambar lain seperti Gambar 2.2. berikut: Lender’s expected payoff
i
Efficient Interest rate
In-efficient interest rate
i-maks
ED
D1
io
Sumber : Villamil (2004) Do i-maks (A)
Q0
Tingkat suku bunga
(B)
Gambar 2.2 Keseimbangan pada Credit Rationing
36
Q-maks
Jumlah pinjaman
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 Keterangan : i0 imaks Q0 Qmaks D
ISSN 1411 - 1497
Sn
adalah suku bunga awal adalah suku bunga maksimal yang dapat dicapai adalah jumlah pinjaman awal adalah jumlah pinjaman maksimal yang dapat dicapai adalah demand kredit adalah supply kredit pada pasar-n
ED
adalah excess demand
Expected return to the bank
Pada panel A Gambar 2.2 digambarkan fungsi lender’s expected payoff dari tingkat suku bunga (i). Fungsi expected payoff yang concave menunjukkan bahwa fungsi lender’s expected payoff memiliki titik puncak pada tingkat suku bunga maksimum (i-maks). Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, kenaikan tingkat suku-bunga yang melewati i-maks akan menyebabkan harapan penerimaan lembaga keuangan menjadi rendah. Dengan kata lain, tingkat suku bunga lebih besar dari i-maks disebut inefficient interest rate. Pada panel B peminjam memiliki permintaan akan pinjaman yang cukup besar (Q1) dan bersedia menerima tingkat suku bunga yang lebih tinggi. Namun pemberi pinjaman hanya bersedia memberikan pinjaman tidak lebih dari Qmax sehingga menciptakan kelebihan permintaan (excess demand) sebesar ED yang juga merupakan equibibrium credit rationing. Pihak pemberi pinjaman hanya bersedia memberikan tingkat suku bunga maksimal i-maks yang merupakan tingkat suku bunga pada keuntungan maksimal (lender’s maximum profit). Dapat juga digambarkan oleh Stiglizt & Weiss sebagai berikut :
r* (1981) interest rate Sumber : Stiglizt & Weiss
Gambar 2.3 Hubungan Suku Bunga dengan Tingkat Pengembalian Tingkat suku bunga dimana expected return pada bank adalah maksimal disebut tingkat suku bunga bank yang optimal (r*). Baik permintaan maupun penawaran kredit merupakan fungsi dari tingkat suku bunga. Pada saat tingkat permintaan melebihi penawaran maka peminjam bersedia untuk membayar dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi sampai dengan permintaan seimbang dengan penawaran. Akan tetapi selanjutnya,meskipun penawaran tidak seimbang dengan permintaan, terjadi keseimbangan tingkat suku bunga, sehingga
37
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011
ISSN 1411 - 1497
meskipun calon peminjam bersedia membayar dengan tingkat suku bunga lebih tinggi dari r*, bank tidak akan memberikan pinjaman karena peminjam dinilai berisiko, terjadi credit rationing. Credit rationing terjadi ketika peminjam potensial tidak memiliki kecukupan jaminan (collateral) atau sangat tingginya biaya transaksi (transaction cost) atas kredit yang diperlukannya,sedangkan risk rationing berlaku ketika calon peminjam tidak melakukan pengajuan pinjaman karena munculnya risiko perubahan status kepemilikan jaminan karena gagal bayar. Kedua jenis credit rationing ini terjadi karena fragmented credit markets, informational asymmetries, adverse selection dan moral hazard (Bell, 1997 Stiglitz et al. 1981, Carter, 1988). Menurut Boucher (2002), Quantity rationing merupakan bentuk konvensional dari non price rationing, yaitu seseorang dengan permintaan kredit tertentu ditolak oleh pemberi pinjaman. Sebaliknya risk rationing terjadi jika seseorang secara sukarela membatalkan pinjaman dari pasar kredit karena takut kehilangan jaminannya, meskipun ada keuntungan yang diharapkan apabila mereka meningkatkan investasinya. Kerangka Pemikiran Teori Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Analisis
Umur Pendidikan Frekuensi Kunjungan Lama Usaha Credit
Jarak Usaha dengan Pasar
Rationing
Luas Usaha Status Kepemilikan tanah Modal Kerja Agunan Tanah
38
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011
ISSN 1411 - 1497
Sumber : Zeller, 2002; Boucher, 2002; Giang Ho, 2004; Nunung et al, 2005, Riskayanto dan Sulistiowati, 2007; Okurut, Schoombee dan van der Berg, 2004; Tirole, 2004 Populasi dan sampel Populasi penelitian ini meliputi seluruh rumah tanggan petani yang ada di wilayah Bandungan dan Sumowono sebanyak 13.386 petani. Populasi tersebut tersebar pada 6 desa di Bandungan dan 16 desa di Sumowono. Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan menggunakan formula yang disarankan Slovin (dalam umar, 2006) yaitu: n=
N 1 ( Ne 2 )
Dari perhitungan diatas, diperoleh sampel minimal rumah tangga petani sebanyak 388 rtp. Namun,dalam pelaksanaannya, data yang berhasil diperoleh dalam penelitian ini adalah sebanyak 417 responden. Untuk selanjutnya, data dari 417 responden digunakan seluruhnya sebagai sumber informasi dalam penelitian ini. Teknik pengambilan sampel rumah tangga petani dilakukan dengan teknik multi stage cluster sampling. Metode Analisis Model Tobit digunakan untuk mengestimasi pinjaman yang diterima petani yang juga dipengaruhi oleh variabel-variabel sosial dan variabel-variabel ekonomi. Jadi rumah tangga petani dapat dikelompokkan menjadi dua, satu kelompok (n1) adalah rumah tangga petani yang memiliki informasi tentang credit rationing sedangkan kelompok kedua (n2) adalah rumah tangga petani yang tidak memiliki informasi tentang credit rationing. Sampel yang demikian, yang hanya memiliki sebagian informasi tentang regressand (jumlah pinjaman / kredit yang diterima) disebut dengan censored sample (Gudjarati, 2003). Secara matematis, model Tobit dapat diilustrasikan dalam persamaan berikut ini : YModel Tobit = f ( Constanta + C1 Umur + C2 Didik + C3Frek + C4Lamus + C5Pasar + C6Luas + C7Status + C8Modal + C9A. Tanah) + e Hasil dan Pembahasan Struktur Pasar Kredit Perdesaan Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa petani dalam melaksanakan usaha agribisnis sangat memerlukan modal tambahan, namun dalam kenyataannya di wilayah perdesaan jumlah penyedia layanan kredit terutama lembaga keuangan formal atau bank sangat terbatas, hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.1:
39
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011
ISSN 1411 - 1497
Tabel 3.1 Jenis Lembaga Keuangan / Kreditur di Kecamatan Bandungan dan Kecamatan Sumowono No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kreditur Lembaga Keu.Bank: Bank BPR BKK BPR
Jumlah Kreditur
Persentase (%)
2 2 1 5
14, 28 14, 28 7,14 35.7
4 5 9
28,56 35,71 64.27
Lembaga Keu. Non Bank: KSP Perorangan (‘bank titil’) Total
Sumber : Data Primer Yang Diolah, 2008 Berdasarkan data yang disajikan dalam Tabel 3.1 diatas, bahwa Lembaga Keuangan Bank sangat terbatas memiliki cabang atau unit pelayanan kredit diwilayah perdesaan, yaitu 2 (dua) unit pelayanan dari BRI yang dikenal dengan sebutan BRI Unit Desa dan 3 (tiga) buah Bank Perkreditan Rakyat atau BPR. Dari Tabel 3.1 serta hasil wawancara berbagai pihak dan petani beranggapan Lembaga keuangan bank tidak tertarik membeayai sektor pertanian dan perdesaan yang dianggap beresiko tinggi, sehingga lebih tertarik membiayai sektor jasa dan industri manufaktur yang dianggap kurang beresiko dan aman. Perilaku Pengambilan Keputusan : Rumah Tangga Petani (RTP) dan Lembaga Keuangan dalam Credit Rationing di Pasar Kredit Perdesaan Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap 417 rumah tangga petani dapat disajikan dalam Gambar 3.1 sebagai berikut :
40
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011
Pengajuan Kredit (n = 417 atau 100%)
ISSN 1411 - 1497
Bunga tinggi (n = 2 atau 2%) Takut jaminan hilang (n = 48 atau 48,5%) Biaya transaksi yang tinggi (n = 10 atau 10,1%) Sistem nilai yang ada (n = 39 atau 39,4%)
Tidak (n = 99 atau 23,74 %)
Ya (n = 318 atau 76,26%)
Gambar 3.1 Internal Credit Rationing Sumber : Data primer yang diolah, 2008 Sebanyak 417 responden ternyata 318 (76,26%) responden yang mengajukan kredit kepada lembaga keuangan yang ada di perdesaan untuk memenuhi tambahan kebutuhan modal untuk usaha tani, sedangkan 99 (23,74%) responden tidak mau atau tidak mengajukan kredit (Internal Credit Rationing) untuk memenuhi kekurangan modal usaha taninya. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh hasil bahwa para petani tidak mengambil kredit disebabkan oleh: 1. Para petani yang menilai bahwa bunga yang diberikan dianggap terlalu tinggi. Responden yang menyatakan bunganya terlalu tinggi sebanyak (n=2 atau sebesar 2%). Petani menganggap bunga tinggi tidak sebanding dengan tingginya risiko yang akan diterima, sehingga akan menghasilkan keuntungan kecil atau bahkan akan merugi. 2. Bagi petani yang meminjam kredit lebih dari Rp 2 juta, harus menggunakan jaminan. Petani kawatir bila pinjam ke LKNB dan menggunakan jaminan, maka jaminannya akan hilang (n=48 atau sebesar 48,5%). 3. Biaya transaksi yang tinggi (n=10 atau 10,1%). Hal ini berlaku bagi petani yang meminjam ke bank yaitu membutuhkan waktu dan biaya tidak sedikit untuk mengurus kelengkapan syarat surat pengajuan kredit seperti harus ada surat keterangan dari lurah setempat yang sering tidak bisa diurus sekali dalam sehari namun harus beberapa kali datang ke kantor kelurahan.
41
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011
ISSN 1411 - 1497
4. Sistem nilai yang ada (n=39 atau 39,4%) yaitu sebagian petani masih beranggapan bahwa orang yang meminjam merupakan representasi dari keluarga miskin dan calon debitur tidak mau dikatakan sebagai keluarga miskin/kekurangan Responden melakukan pengajuan kredit dan mendapatkan persetujuan kredit walaupun beberapa responden mendapat pembatasan kredit oleh lembaga keuangan (External Credit Rationing ) sehingga dapat diilustrasikan pada Gambar3.2 sebagai berikut :
Umur Pendidikan Frekuensi Jarak pasar Luas Lahan Modal kerja Lama usaha Status kepemilikan tanah Agunan tanah Persetujuan Kredit
Tidak disetujui 0%
< 100 % (n=147 atau 46,23%)
100 % (n=171 atau 53,77%)
Gambar 3.2 External Credit Rationing Sumber: Data Primer Yang Diolah, 2008 Berdasarkan Gambar 4.2 sebanyak 318 responden yang mengajukan kredit memperoleh perlakuan External Credit Rationing bahwa semua petani yang mengajukan kredit kepada lembaga keuangan mendapatkan persetujuan kredit, dengan alasan-alasannya: a. Pada umumnya petani pinjam uang kepada lembaga keuangan non bank sebab keberadaan lembaga keuangan non bank ditengah-tengah masyarakat perdesaan, b. Hampir semua petani di desa tersebut sudah banyak mengenal lembaga keuangan terutama lembaga keuangan non bank maupun petugasnya. c. Keberadaan lembaga keuangan non bank kebanyakan mengambil tenaga petugas kredit juga berasal dari anggota masyarakat desa tersebut
42
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011
ISSN 1411 - 1497
d. Kondisi ad c) menyebabkan apabila anggota masyarakat mencoba iseng mengajukan pinjaman tanpa alasan yang jelas mereka akan malu sendiri atau tidak ada orang yang berani atau mencoba iseng untuk pinjam. Analisis Model Untuk menganalisis data daalam peenelitian ini menggunakan Model analisis Tobit seperti yang diaplikasikan oleh Zeller et al, (2002), Boucher (2002), Riskayanto dan Sulistiowati (2007), Okurut Schoombee dan van der Berg (2004) Giang Ho (2004), Nunung et al (2005) dan diperoleh hasil seperti tampak pada Tabel 4.17. Tabel 3.2 Tabel Pengujian Hipotesis Model Tobit Variable Umur Pendidikan Frekuensi kunjungan Lama usaha Jarak pasar Skala usaha Status kepemilikan tanah Modal Agunan tanah Konstanta
Regression Coefficient -0,3219 x 107
3,554***
Marginal Effect -0,01403
2,659** 4,027***
0,027758 0,064363
12,03 4,32
t-hitung
0,6381 x 107 0,1479 x 108
Mean 45,68
0,2355 x 107 -0,4345 x 106
5,522** - 0,103*
0,010219 -0,00191
20,84 3,74
0,8751 x 107 319,89
2,015* 11,861**
0,038053 1,37 x 10-6
1,43 -
-3,7378
- 3,822**
-1,6 x 10-8
7167777,78
2,102* - 1,023
0,000915 -0,01403
83913801,02 -
0,2115 x 106 -0,6084 x 108
Keterangan: * signifikan pada alpha 0,05 ** signifikan pada alpha 0,01 *** signifikan pada alpha 0,001 Dari hasil pengujian model dengan menggunakan metode Tobit yang disajikan dalam Tabel 3.2 maka persamaan untuk penelitian ini dapat dituliskan sebagai berikut: Credit rationing = -0,6084 x 108 -0,3219 x 107 Umur + 0,6381 x 107 Didik + 0,1479 x 108 Frek + 0,2355 x 107 Lamus -0,4345 x 106 Pasar + 0,8751 x 107 Luas + 319,89 Status -3,7378 Modal + 0,2115 x 106 A. Tanah Berdasarkan persamaan Model Tobit diatas, dapat diartikan sebagai berikut:
43
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011
ISSN 1411 - 1497
1. Variabel umur berpengaruh negatif terhadap credit rationing. Hasil analisis ini didukung data penelitian yang menunjukkan, dengan semakin bertambahnya umur rumah tangga petani maka credit rationing yang didapatkan akan semakin kecil. Besarnya pengaruh umur ditunjukkan oleh marginal effect sebesar -0,01403. Artinya besarnya pengaruh umur terhadap credit rationing akan turun 1,4 % pada rata-rata umur 45,68 tahun. 2. Variabel pendidikan berpengaruh positif terhadap credit rationing. Hasil analisis ini didukung data penelitian yang menunjukkan, dengan semakin lama masa pendidikan rumah tangga petani maka credit rationing yang didapatkan akan semakin besar. Besarnya marginal effect pendidikan sebesar 0,027758. Artinya besarnya pengaruh pendidikan terhadap credit rationing akan naik 2,78 % pada rata-rata lama pendidikan 12,03 tahun. 3. Variabel frekuensi kunjungan berpengaruh positif terhadap credit rationing. Hasil analisis ini didukung data penelitian yang menunjukkan, dengan semakin sering kunjungan petugas maka credit rationing yang didapatkan akan semakin besar. Besarnya marginal effect frekuensi kunjungan petugas sebesar 0,064363. Artinya besarnya pengaruh frekuensi kunjungan petugas terhadap credit rationing akan naik 6,44 % pada rata-rata frekuensi kunjungan 4,32 kali. 4. Variabel lama usaha berpengaruh positif terhadap credit rationing. Data dari sampel penelitian menunjukkan bahwa dengan semakin lama masa usaha rumah tangga petani maka credit rationing yang didapatkam akan semakin besar. Besarnya marginal effect lama usaha sebesar 0,010219. Artinya besarnya pengaruh lama usaha terhadap credit rationing akan naik 1 % pada rata-rata lama usaha 20,84 tahun. 5. Variabel jarak usaha dengan pasar berpengaruh negatif terhadap credit rationing. Hal ini didukung oleh data sampel penelitian yang menunjukkan bahwa lokasi usaha yang berjarak jauh maupun dekat dengan pasar tidak mempengaruhi credit rationing yang didapatkan. Besarnya marginal effect jarak usaha sebesar -0,00191. Artinya besarnya pengaruh jarak usaha terhadap credit rationing akan turun 0,2 % pada rata-rata jarak usaha 3,74 km. 6. Variabel skala usaha dengan pasar berpengaruh positif terhadap credit rationing. Data sampel yang diperoleh dalam penelitian menunjukkan bahwa semakin besar skala usaha maka akan mendapatkan credit rationing yang semakin besar. Besarnya marginal effect skala usaha sebesar 0,038053. Artinya besarnya pengaruh skala usaha terhadap credit rationing akan naik 2,78 % pada rata-rata luas lahan 1,43 Ha. 7. Variabel status kepemilikan tanah dengan pasar berpengaruh positif terhadap credit rationing. Hal ini didukung oleh data penelitian menunjukkan bahwa jika status kepemilikan tanah merupakan hak milik maka rumah tangga petani akan mendapatkan credit rationing semakin besar. 8. Variabel modal tanah dengan pasar berpengaruh negatif terhadap credit rationing. Data yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa jika
44
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011
ISSN 1411 - 1497
modal yang dimiliki semakin besar maka akan mendapatkan credit rationing yang semakin kecil. Besarnya marginal effect modal kerja sebesar -1,6 x 10-8. Artinya besarnya pengaruh modal kerja terhadap credit rationing akan turun 0,000016 % pada rata-rata modal kerja Rp. 7.167.777,78. 9. Variabel agunan tanah dengan pasar berpengaruh positif terhadap credit rationing. Data yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa jika nilai agunan tanah yang dimiliki semakin besar maka akan mendapatkan credit rationing yang semakin besar. Besarnya marginal effect agunan tanah sebesar 0,000915. Artinya besarnya pengaruh agunan tanah terhadap credit rationing agunan tanah akan naik 0,09 % pada rata-rata agunan tanah Rp. 83.913.801,02. Kesimpulan Dari hasil penelitian ditarik beberapa kesimpulan Faktor-faktor yang mempengaruhi pengajuan kredit petani dan credit rationing adalah: umur petani, pendidikan, frekuensi kunjungan petugas, jarak usaha, lama usaha, status kepemilikan tanah, modal yang dimiliki petani dan agunan petani. Pengaruh umur terhadap credit rationing adalah negatif dan signifikan. Hal ini berkaitan dengan anggapan bahwa kreditur tidak terlalu mempersoalkan umur namun yang diutamakan adalah status perkawinan sebab orang yang sudah menikah akan mempunyai tanggung jawab yang lebih tinggi dibandingkan yang belum menikah, sehingga semua yang diberi kredit adalah mereka yang sudah menikah saja. Implikasi Kebijakan Karena kredit perdesaan beresiko tinggi maka terjadi dua buah pilihan strategi kebijakan oleh lembaga kredit perdesaan yaitu : a. Strategi masuk dalam menyalurkan kredit perdesaan, agar dilakukan oleh Lembaga Keuangan Non bank. b. Strategi keluar artinya tidak menyalurkan kredit perdesaan, agar dilakukan oleh Lembaga Keuangan Bank. Daftar Pustaka Affendi Anwar (2005). Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan,Tinjauan Kritis. P4Wpress, Bogor Indonesia Agung, J. et al. (2001) Credit Crunch In Indonesia In the Aftermath of The Crisis Facts, Causes and Policy Implication. Bank Indonesia: Jakarta. Bank Indonesia (2008) Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Jawa Tengah. Nopember 2008. ISSN 1411.7363 Bell C, Srinivasan TN, Udry C. (1997). “Rationing, Spillover, and Interlinking in Credit Markets: The Case of Rural Punjab”. Oxford Economic Papers 49(4) pp. 557-585.
45
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011
ISSN 1411 - 1497
Boucher SR, Carter MR. (2002). “Risk Rationing in Moral Hazard Constrained Credit Markets”: Staff Working Paper #445, Agricultural and Apllied Economics, UW-Madison.: Sinar Harapan Press. -------.(2002). “Endowments and Credit Market performance: An economical exploration of non-price rationing mechanisms in rural credit markets in Peru”. Doctoral Dissertation. University of Wisconsin Dissrtator Fellowship. Carter, Michael R. (1988) "Equilibrium Credit Rationing of Small Farm Agriculture." Journal of Development Studies. 28. pp. 83-103. Carter M, Barham B, Mesbah D. (1996) “Agricultural Export Booms In The Rural Poor In Chile, Guatemala And Paraguay”. Latin American Research Review 31 (1) Giang Ho (2004). Rural Credit Markets in Vietnam: Theory and Practice, Departement of economics Macalester College. University of Minnesota. Gudjarati, D., (2003) Basic Econometrics. Fourth Editon. International Edition. McGraw-Hill Singapore Latruffe, L. Dan Fraser, R. (2002) “Reducing Farm Credit Rationing: An assesment of The Relative Efffectiveness of two Government Intervention Schemes”. Working Paper 02-02, INRA-ESR Rennes, April 2002. 27 p. Mat Syukur, (2002). “Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan Melalui Keuangan Mikro”. (Dalam Bunga Rampai Lembaga Keuangan Mikro). Business Innovation Centre of Indonesia. (Pusat Inovk of Clavelandasi Bisnis Indonesia), Bogor. Mudrajad Kuncoro. (2004) Metode Kuantitatif. Teori Dan Aplikasi Untuk Bisnis Dan Ekonomi. Edisi Kedua. Penerbit & Pencetak. Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN. Yogyakarta. Nachrowi Djalal dkk. (2002) Penggunaan Teknik Ekonometrika. Pendekatan Populer & Praktis Dilengkapi Teknis Analisis & Pengolahan Data Dengan Menggunakan Program SPSS. Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Noer Soestrisno (2003). “Lembaga Keuangan Mikro : Energi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat”. (Dalam Bunga Rampai Lembaga Keuangan Mikro). Business Innovation Centre of Indonesia. (Pusat Inovasi Bisnis Indonesia), Bogor. Nunung Nuryantono, Manfred Zeller dan Stefan Schwarze. (2005) “Credit Rationing Of Farm Households And Agricultural Production: Empirical Evidance In The Rural Areas Of Central Sulawesi, Indonesia”, Institute of Rural Development of Georg August University of Goettingen. Okurut N, Schoombe A, Van der berg S. (2004) “Credit Demand and Credit Rationing in the Informal Financial Sector in Uganda”. Forum Paper 2004: South Africa. Pindyck S.R, Rubinfeld. (1991). Econometric Models and Economic Forecasts. 3rd ed. McGraw Hill Book Co. Singapore. Riskayanto, Novita Sulistiowati. (2007). “Determinan Penyaluran Kredit Pada Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah (UMKM) Melalui BPR” Disertasi Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Gunadarma, Jakarta
46
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011
ISSN 1411 - 1497
Sri Hartati Samhadi. (2006). “Dilema Sektor Informal”. Kompas 15 April 2006. Stiglitz JE, et al. 1981. “Credit Rationing in Markets with Imperfect Information”. American Economic Review. 71(3). pp. 912-927 ------- 1981. “Credit Rationing in Markets with Imperfect Information”, American Economic Review. Tirole J, (2004), The Ticheory of Corporate Finance, forthcoming. Villamil Anne P. (2004). Financial Contracts and Credit Rationing. Departement of Economic. University of Illionois Williamson. (1986) Costly Monitoring, Financial Intermediation And Equilibrium Credit Rationing. 18: 159-179. Zeller, M. (1994) “Determinants of Credit Rationing: a study of informal lenders and formal credit groups in Madagascar”, World Development, 22(12), 1982-1907. Zeller, M. Schwarze, S dan Van Rheenen, T. (2002) “Statistical Sampling Frame and Methods Used for the Selection of Villages and Households in the Scope of the Research Program on Stability of Rain Forest Margin in Indonesia”. Storma Discussion Paper Series No 1. Bogor, Indonesia. University of Goettingen and Kassel Germany and Institut Pertanian Bogor and University of Tadulako, Indonesia.
47