ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR
SITI ANNI MAKRIFAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya Terhadap Pembangunan Ekonomi Provinsi Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2010
Siti Anni Makrifah NIM : H151080464
ABSTRACT SITI ANNI MAKRIFAH. An Analysis of Regional Financial Management and Its Impact on Development Growth East Java Province. Under direction of BAMBANG JUANDA and BUDIASIH. Since the implementation of fiscal decentralization, local government has bigger authority to manage regional income and regional spending integrated in spending budget. As outcomes, local government can raise the independency on finance and government accountability to boost economic development. The aims of this research are to analyze improvment of regional finance management, economic development and effects of government spending allocation on economic development in East Java Province from 2002 to 2008. A descriptive analysis is utilized as methodology to find out development of regional finance accountability and results of economic development. A panel vector auto regression model, is utilized to analyze the effects of government spending allocation on economic growth, human development index (HDI) and poverty rate. The result provides that ratio of of Local Own Revenue (PAD) in comparison to the total local income and or total local spending is still low and it tends to decline every year. It means that the local government did not yet optimally exploit the income sources from their potencies. In other word, there is dependency on central government funding for regional development. The indicators of economic development which are HDI, poverty rate and disparity have better results, even though in the beginning of implementation of fiscal decentralization the regional development disparity getting wider. Indeed, it takes time and needs good preparation to obtain the expected result of economic development since the implementation of fiscal decentralization. Government spending allocation has impacts on Gross Regional Domestic Product (GRDP) and Human Development Index (HDI) in the long and short term. Capital spending has significant effect on economic development. Capital spending variable has the biggest effect on prediction of variance percentage contribution, but the effect on government spending total is not that big. It means that private sector and society participate actively on economic development and government only acts as a stimulator through spending allocation Keywords : Fiscal Decentralization, Regional Finance, Economic Development, Panel Vector Autoregresion (PVARs) .
RINGKASAN SITI ANNI MAKRIFAH. Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya Terhadap Pembangunan Ekonomi Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan BUDIASIH. Implikasi pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemerintah daerah mendapat keleluasaan yang lebih besar dalam mengelola keuangan daerah yang dituangkan dalam anggaran belanja, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Keleluasaan yang dimiliki daerah diharapkan dapat meningkatkan kemandirian keuangan daerah serta kinerja pemerintah untuk mendorong terciptanya pembangunan ekonomi yang lebih baik. Hal ini didasarkan anggapan bahwa daerah yang lebih tahu kondisi, potensi dan kebutuhan masyarakatnya. Desentralisasi fiskal tidak akan berguna jika tidak diikuti dengan kemampuan finansial yang cukup memadai oleh pemerintah daerah. Selama kurun waktu tahun 2002-2008, proporsi penerimaan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dengan BHPBP (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) terhadap total penerimaan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur rata-rata di bawah 20%, sedangkan DAU (Dana Alokasi Umum) proporsinya lebih dari 70%. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat masih tergolong tinggi. Jumlah keseluruhan dana APBD baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kebijakan masing-masing pemerintah daerah melalui alokasi sumber-sumber pendanaan yang tercermin pada alokasi belanjanya. Apabila alokasi belanja daerah dibagi menurut jenis belanjanya, maka selama kurun waktu 2002-2008, porsi belanja pegawai masih menempati peringkat tertinggi yaitu rata-rata diatas 46.62% dari total belanjanya. Sementara itu porsi belanja barang mencapai 12.52%, belanja modal 27.93% dan belanja lainnya 12.93%. Hal ini menunjukkan belanja modal yang diharapkan dapat memacu perkembangan pembangunan ekonomi nampaknya masih menunjukkan proporsi yang masih kecil. Beberapa indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Timur, selama kurun waktu 2002-2008 menunjukkan kondisi yang membaik. IPM, indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat dari 62.64 pada tahun 2002 menjadi 69.14 pada tahun 2008. Persentase penduduk miskin juga mengalami penurunan dari 20.34% pada tahun 2002 menjadi 16.97% pada tahun 2008. Indikator lain adalah laju pertumbuhan ekonomi yaitu sebesar 3.80% pada tahun 2002 menjadi 5.90% pada tahun 2008. Ukuran agregat yang memperlihatkan peningkatan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut di atas, merupakan indikasi dampak peningkatan jumlah dana yang dibelanjakan di daerah, baik melalui mekanisme dana desentralisasi maupun dana-dana lain di daerah, sebagaimana dikemukakan oleh Keynes (Todaro, 2006). Namun umumnya pengeluaran pemerintah akan meningkat sejalan dengan peningkatan kegiatan perekonomian suatu negara. Hal ini dapat dijelaskan dalam kaidah yang dikenal dengan hukum Wagner (Todaro, 2006), yaitu dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat maka secara
relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hal ini disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Bertolak dari hal-hal tersebut di atas maka perlu diketahui ada tidaknya pengaruh perubahan pengelolaan keuangan daerah baik dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pembangunan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan (1) Menganalisis perkembangan kinerja keuangan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dari sisi penerimaan maupun pengeluaran; (2) Menganalisis perkembangan pertumbuhan ekonomi, IPM, persentase penduduk miskin dan kesenjangan pembangunan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur; (3) Mengidentifikasi pengaruh alokasi belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, IPM, dan jumlah penduduk miskin Provinsi Jawa Timur. Metode analisis deskriptif yang digunakan untuk melihat perkembangan kinerja keuangan daerah, pertumbuhan ekonomi, IPM, persentase penduduk miskin adalah analisis boxplot, analisis GIS dan analisis cluster. Analisis inferensia dengan menggunakan model Vector Autoregressive (VAR) dalam data panel digunakan untuk mengkaji pengaruh alokasi belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan jumlah penduduk miskin. Hasil analisis kinerja keuangan daerah menunjukkan bahwa rasio PAD terhadap total penerimaan daerah dalam kurun waktu tahun 2002 sampai tahun 2008 cenderung menunjukkan penyebaran data yang semakin konvergen akan tetapi mengalami penurunan. Salah satu penyebabnya karena kenaikan PAD lebih kecil dari pada kenaikan total penerimaan, sehingga proporsinya menurun. Kenaikan PAD yang kecil disebabkan daerah masih belum mampu menggali potensi PAD yang ada secara optimal karena adanya keterbatasan sumber daya alam maupun manusia selain juga masalah kebijakan pemerintah. Beberapa kabupaten/kota, seperti Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo dan Kota Kediri adalah kabupaten/ kota yang mempunyai rasio PAD terhadap total penerimaan yang lebih besar dibandingkan daerah lain. Hal ini disebabkan kabupaten/kota tersebut kegiatan perekonomian hampir 30% didominasi oleh sektor industri, sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor-sektor ini adalah salah satu sektor penyumbang penerimaan daerah dari pajak. Daerah yang rasio PAD terhadap total penerimaan besar, maka Rasio DAU terhadap total penerimaan adalah lebih kecil di banding daerah lain. Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Setiaji dan Adi (2007). Jika dilihat dari sisi pengeluaran, hampir semua kabupaten/kota, rasio belanja rutin terhadap total belanja daerah masih diatas 50%, artinya sebagian besar anggaran masih digunakan untuk belanja rutin. Menurut kategori Tankilisan (2005) daerah yang mempunyai kategori cukup, dalam arti rasio PAD terhadap total penerimaan maupun rasio PAD terhadap total belanja rutin lebih dari 20% hanya kota Surabaya, sedangkan daerah lainnya masih dalam kategori kurang. Sehingga dapat dikatakan, salah satu tujuan desentralisasi fiskal yaitu meningkatnya rasio PAD terhadap total penerimaan belum bisa diwujudkan oleh sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Kinerja pembangunan yang dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi, IPM, persentase penduduk miskin serta ketimpangan pembangunan menunjukkan hasil yang berbeda. Secara umum pertumbuhan ekonomi dan IPM kabupaten/kota dalam kurun waktu 2002-2008, menunjukkan kondisi yang membaik dan semakin konvergen antar daerah. Akan tetapi untuk persentase penduduk miskin kabupaten/kota tingkat konvergennya tidak lebih baik dari tahun sebelumnya. Hal ini
menunjukkan bahwa indikator-indikator pembangunan antar daerah tidak bisa dilaksanakan secara bersama-sama, selalu ada yang diprioritaskan. Tujuan pembangunan selain meningkatkan kesejahteraan juga mewujudkan pemerataan pembangunan antar daerah artinya tidak terjadi ketimpangan. Ukuran untuk melihat ketimpangan pembangunan antar wilayah dengan Indeks Theil. Hasil analisis dengan indeks Theil menunjukkan ketimpangan pembangunan kabupaten/kota pada tahun 2008 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2002 yaitu dari 0.425 menjadi 0.409. Walaupun pada awal-awal pelaksanaan desentralisasi fiskal terjadi kenaikan ketimpangan pembangunan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan kesiapan dan tanggapan masing-masing daerah terhadap pelaksanaan desentralisasi fiskal. Wilayah yang menjadi pemicu ketimpangan pembangunan yang terjadi di Jawa Timur adalah Kota Surabaya, Kota Kediri, Kabupaten Sidoarjo, Kota Malang, Kabupaten Gresik, Kota Probolinggo dan Kota Mojokerto. Alokasi belanja daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan IPM baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jenis belanja pegawai berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, namun tidak terjadi untuk jangka panjang. Jenis belanja modal dan belanja barang berpengaruh positif dalam jangka panjang namun tidak dalam jangka pendek. Kontribusi alokasi belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi secara umum tidak begitu besar. Hal ini menunjukkan bahwa peran swasta dalam menggerakkan perekonomian Jawa Timur lebih besar dari peran pemerintah. Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Alfirman (2006). Alokasi belanja modal secara signifikan berpengaruh positif dalam jangka pendek pada IPM namun tidak dalam jangka panjang. Jenis alokasi belanja yang berpengaruh secara signifikan terhadap IPM baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek adalah belanja barang. Secara umum, dapat dikatakan bahwa belanja daerah mempunyai dampak terhadap pembangunan ekonomi Jawa Timur. Jenis belanja yang berpengaruh tergantung pada jenis indikator pembangunan ekonomi yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa teori Keynes yang menyatakan belanja pemerintah akan mempengaruhi hasil pembangunan berlaku di Jawa Timur. Berdasarkan hasil penelitian maka beberapa saran ke depan antara lain : (1) untuk meningkatkan PAD perlu mencari alternatif lain dengan melihat kondisi dan potensi daerah masing-masing serta tidak menghambat investor untuk menanamkan modalnya di daerah, (2) Pemerintah daerah hendaknya tidak hanya fokus dalam mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam waktu yang cepat, tetapi juga harus memperhatikan pemerataan, (3) Pemerintah daerah hendaknya dalam membuat alokasi belanja memperhatikan kebutuhan masyarakatnya, dan meningkatkan kontrol dalam penggunaan keuangan daerah sehingga dapat mengurangi terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Kata Kunci : Desentralisasi Fiskal, Keuangan Daerah, Pembangunan Ekonomi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR
SITI ANNI MAKRIFAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Tesis
: Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya Terhadap Pembangunan Ekonomi Provinsi Jawa Timur
Nama
: Siti Anni Makrifah
NRP
: H151080464
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Ketua
Dr. Budiasih Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 29 Januari 2010
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya Terhadap Pembangunan Ekonomi Provinsi Jawa Timur, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Budiasih selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, Dr. Ir. D.S. Priyarsono dan Dr. Sri Mulatsih selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Moch. Ali Badrus (Suami penulis), Chafidhotul Itsmi (Anak pertama penulis), Moch. Shochiful Achsan (Anak kedua penulis) dan seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan kekuatan luar biasa kepada penulis mulai dari proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman BPS baik di BPS Kabupaten Tulungagung, BPS Provinsi Jawa Timur serta BPS Jakarta yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga dalam menyelesaikan tesis ini. Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.
Bogor, Januari 2010
Siti Anni Makrifah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tulungagung pada tanggal 6 September 1973 dari bapak H.Fahrurozi dan ibu Hj.Siti Maesaroh Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan Moch. Ali Badrus dan dikaruniai dua orang anak yaitu Chafidhotul Itsmi dan Moch. Shochiful Achsan. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN Ketanon II kemudian melanjutkan ke SMPN 2 Tulungagung pada tahun 1986 dan lulus pada tahun 1989. Setelah lulus dari SMPN penulis melanjutkan ke SMAN 1 Tulungagung. Pada tahun 1992 penulis melanjutkan pendidikan di Akademi Ilmu Statistik Jakarta dan lulus tahun 1995. Setelah lulus penulis bekerja di BPS Jakarta. Pada tahun 1997, penulis berkesempatan melanjutkan sekolah ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik dan lulus tahun 1999. Setelah lulus penulis bekerja di BPS Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Pada tahun 2008 penulis diterima menjadi mahasiswa program studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut Pertanian Bogor melalui seleksi bea siswa tugas belajar kerja sama BPS-IPB.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................
xx
1 PENDAHULUAN............................................................................................... 1.1 Latar Belakang............................................................................................. 1.2 Perumusan Masalah..................................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian....................................................................................... 1.5 Cakupan Penelitian......................................................................................
1 1 6 7 8 8
2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 2.1 Tinjauan Teori-Teori.................................................................................... 2.1.1 Konsep Desentralisasi Fiskal............................................................ 2.1.2 Pengelolaan Keuangan Daerah......................................................... 2.1.3 Pembangunan Ekonomi ..................................................................... 2.2 Tinjauan Empiris......................................................................................... 2.3 Kerangka Pemikiran.................................................................................... 2.4 Hipotesis Penelitian. ...................................................................................
9 9 9 11 21 34 36 39
3 METODE PENELITIAN. .................................................................................. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian. ..................................................................... 3.2 Jenis dan Sumber Data. ............................................................................... 3.3 Definisi Operasional. ................................................................................... 3.4 Metode Analisis. . ........................................................................................
40 40 40 41 43
4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ............................................... 4.1 Kondisi Geografis dan Iklim....................................................................... 4.2 Karakteristik Kependudukan dan Sosial................................................. 4.3 Karakteristik Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur........... 4.4 Struktur Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur................. 4.5 Jumlah Fasilitas Pelayanan Publik Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur......................................................................................................
62 62 66 71 76 82
5 HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................... 87 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari Sisi Penerimaan dan Sisi Pengeluaran..................................... 87 5.2 Perkembangan Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur .................................................................................................. 104 5.3 Analisis Gerombol (Cluster Analisis)....................................................... 118
5.4 Analisis Panel VAR : Pengaruh Belanja Daerah terhadap PDRB, IPM dan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Timur ................................. 5.4.1 Hasil Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap PDRB………. 5.4.2 Hasil Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) . ...................................................... 5.4.3 Hasil Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Jumlah Penduduk Miskin ............................................................................
128 129 134 139
6 KESIMPULAN DAN SARAN... ...................................................................... 6.1 Kesimpulan... ............................................................................................... 6.2 Saran.............................................................................................................
145 146 146
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
148
LAMPIRAN………………………………………………………………..
151
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
P erbandingan rasio sumber penerimaan terhadap total penerimaan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008.......................
2. erkembangan dasar hukum pengelolaan keuangan daerah …………… 3.
3 P 13 P
emetaan format anggaran pemerintah kabupaten/kota berdasarkan beberapa peraturan …………….………………………………………
17
ilai maksimum dan minimum dari setiap komponen IPM…………….
N 31
enis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian……………..….
J 41
kala interval derajat desentralisasi fiskal……………………………….
S 50
kala interval indeks kemampuan rutin daerah…………….……………
S 52
eberapa uji unit root dalam data panel………………….……………..
B 58
4.
5.
6.
7.
8.
9.
K abupaten/kota dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Timur tahun 2008……………………………………………………………………..
10.
63 J
umlah penduduk kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 20052008 …………………………………………………………………….
68
DRB Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008…………………………
P 72
11.
12.
K ontribusi PDRB menurut lapangan usaha Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008.. …………………………………………………………….
73
13.
P enerimaan total kabupaten dan kota di Jawa Timur menurut sumber penerimaannya tahun 2002 dan 2008 serta pertumbuhannya …………..
77
14.
K ontribusi penerimaan kabupaten/kota terhadap total penerimaan Jawa Timur menurut jenis pendapatan tahun 2008 ……...……………………
79
15.
T otal belanja kabupaten/kota di Jawa Timur menurut jenisnya tahun 2002 dan 2008 serta pertumbuhannya …………………………………..
80
16.
K ontribusi belanja kabupaten/kota terhadap total belanja Provinsi Jawa Timur menurut jenis belanja tahun 2008………………………………..
81
17.
B anyaknya sekolah TK, SD, SMP, SMA dan SMK menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2008…………………….
83
18.
R asio jumlah siswa menurut tingkatan sekolah dan kabupaten/kota di Provinsi Jawa timur tahun 2008…………………………………………
84
19.
J umlah fasilitas kesehatan menurut jenisnya di Provinsi Jawa Timur tahun 2008………………………………………………………………
86
20.
P erkembangan jumlah kabupaten/kota menurut rasio PAD terhadap penerimaan daerah menurut kriteria tim Fisipol UGM tahun 20022008…………………………………………………………………….
21.
89 S
tatistik deskriptif pendapatan perkapita kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008………………..………………………….. 22.
108 I
ndeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Timur tahun 2002-2008….. 23.
113 J
umlah penduduk miskin di Jawa Timur tahun 2002-2008…….……….. 24.
116 N
ilai cluster centroids dan jumlah kabupaten masing-masing cluster tahun 2002……………………………………………………………….
119
25.
P engelompokan kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur berdasarkan metode hierarki tahun 2002 …………………………………………….
26.
122 N
ilai cluster centroids dan jumlah kabupaten masing-masing cluster tahun 2008……………………………….…………………………….. 27.
123 P
engelompokan kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur berdasarkan metode hierarki tahun 2008 ….…..…….……………………………….. 28.
125 R
ata-rata persentase penduduk miskin, rasio PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan daerah dan pendapatan perkapita masing-masnig cluster dan total Jawa Timur tahun 2002………………………………. 29.
126 R
ata-rata persentase penduduk miskin, rasio PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan daerah dan pendapatan perkapita masing-masnig cluster dan total Jawa Timur tahun 2002……………………………….. 30. asil estimasi pengaruh belanja daerah terhadap PDRB Jawa Timur… 31.
127 H 129 H
asil impulse response PDRB karena shock masing-masing jenis belanja tiap tahun selama 10 tahun ……..………………………………. 32.
130 H
asil variance decomposition VECM masing-masing jenis belanja terhadap PDRB……..………..………………………………………..… 33. asil estimasi pengaruh belanja daerah terhadap IPM Jawa Timur…… 34.
131 H 134 H
asil impulse response IPM karena shock masing-masing jenis belanja tiap tahun selama 10 tahun ……..………………………………………. 35.
135 H
asil variance decomposition VECM masing-masing jenis belanja terhadap IPM……..……………………………………………………... 36.
136 H
asil estimasi belanja daerah terhadap jumlah penduduk miskin Jawa Timur…………………………………………………………………….
140
37.
H asil impulse response jumlah penduduk miskin karena shock masingmasing jenis belanja tiap tahun selama 10 tahun ……..…………………
38.
141 H
asil variance decomposition VAR-FD masing-masing jenis belanja terhadap jumlah penduduk miskin ........…………………………………
142
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
P erkembangan rasio jenis belanja terhadap total belanja kabupaten/kota
di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 ……………………………… 2.
4 P
erkembangan pertumbuhan ekonomi, persentase penduduk miskin dan IPM Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008. ………………..………… 3.
H ubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB...................................................
21
iagram alur perhitungan IPM …………………...…………………..
D 32
iagram alur kerangka pemikiran.........................................................
D 38
ilayah administrasi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur………….
W 40
iagram boxplot ……………………………………………..................
D 44
endogram hasil analisis cluster……..………………………………….
D 47
4.
5. 6. 7. 8. 9.
W ilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut ketinggian ratarata dari atas permukaan laut tahun 2008…………………………..
10.
11.
12.
15.
66 W
ilayah kabupaten/kota di Jawa Timur menurut tingkat kepadatan penduduk tahun 2008……………………………………………………
14.
64 S
atuan Wilayah Pengembangan (SWP) Provinsi Jawa Timur beserta kelompoknya ……………………………………………………………
13.
5
70 K
ontribusi PDRB kabupaten/kota terhadap total PDRB Jawa Timur tahun 2008……………………………………………………………….
72
PDRB kabupaten di Provinsi Jawa Timur menurut lapangan usaha tahun 2008 ………………………………………………………………
74
PDRB kota di Provinsi Jawa Timur menurut lapangan usaha tahun 2008 75 D
erajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2002-2008....................................................................................... 16.
88 K
abupaten/kota menurut klasifikasi derajat desentralisasi fiskal tahun 2008……................................................................................................... 17.
91 D
erajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008. .................................................... 18.
92 H
ubungan antara jumlah penduduk miskin dan DAU kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2008............................................................... 19.
94 H
ubungan antara IPM dan DAU kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2008. .................................................................................... 20.
95 D
erajat ketergantungan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur terhadap pemerintah pusat tahun 2002-2008........................................... 21.
96 D
erajat belanja rutin kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 20022008……………………………………………………………….. 22.
97 D
erajat belanja pembangunan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008………………………………………………………… 23.
98 D
erajat kemandirian daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008........................................................................................ 100 24.
D erajat kemandirian sumber daya alam dan manusia kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008…………………………………. 101
25. lasifikasi Rasio PAD terhadap belanja rutin .......................................
K 101
26.
R asio PAD terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008…………………………………………………. 102
27.
R asio jumlah PAD dan BHPBP terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008.................................................. 103
28.
P ertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008………………………………………………………………..
106
29.
W ilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 2008.………………………………………
30.
107 W
ilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut PDRB perkapita tahun 2008…………………………………………………….
109
31.......................................................... Indeks theil antar kabupaten, antar kota, dan antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008………………………………….
111
32.
P erkembangan IPM kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2002-2008….
33.
112 J
umlah kabupaten/kota menurut klasifikasi IPM dari UNDP tahun 20022008…….......................................................................................... 34.
114 W
ilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut klasifikasi IPM tahun 2008.………… ………………............................................... 35.
115 P
erkembangan persentase penduduk miskin kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2002-2008 …………............................................................ 36.
117 W
ilayah kabupaten/kota menurut persentase penduduk miskin tahun 2008…………………………………………………………………….. 37.
118 P
engelompokan kabupaten/kota berdasarkan metode hierarki tahun 2002........................................................................................................... 38.
120 P
engelompokan kabupaten/kota berdasarkan metode hierarki tahun 2008...........................................................................................................
124
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
2.
P roduk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur (Milyar Rupiah) tahun 20022008 ………………………………………………………….……........
151
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur (Milyar Rupiah) tahun 20022008……………………………………………………………………..
152
3.
4.
5.
Presentase penduduk miskin kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 20022008…………………………………….….………..………
153
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 20022008……….………………………………………..
154
Jumlah penduduk kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 (jiwa)…………………… …………………………………..
155
6.
P DRB perkapita kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 20022008 (ribu rupiah)……….………..… ………..…………………………
7.
156 P
ertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002- 2008…………………………………….…………………………
157
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2002 (Kabupaten)……….
P 158
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2003 (Kabupaten)………..
P 159
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2004 (Kabupaten)………..
P 160
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2005 (Kabupaten)………..
P 161
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2006 (Kabupaten)………..
P 162
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2007 (Kabupaten)……..….
P 163
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2008 (Kabupaten)……..….
P 164
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2002 (Kota)…………….…
P 165
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2003 (Kota)……………….
P 166
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17. erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2004 (Kota)………….……
P 167
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2005 (Kota)……………...
P 168
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2006 (Kota)…………..….
P 169
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2007 (Kota)…………..….
P 170
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2008 (Kota)…………..….
P 171
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2002 (kabupaten dan kota)
P 172
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2003 (kabupaten dan kota)
P 173
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2004 (kabupaten dan kota)
P 174
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2005 (kabupaten dan kota)
P 175
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2006 (kabupaten dan kota)
P 176
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2007 (kabupaten dan kota)
P 177
erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2008 (kabupaten dan kota)
P 178
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
R asio PAD terhadap total penerimaan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008…………………………………………………
30.
179 R
asio BHPBP terhadap total penerimaan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 …………………………………………... 31.
180 R
asio DAU terhadap total penerimaan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 …………………………………………………
181
32.
R asio Belanja Rutin terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 …………………………………………..
33.
182 R
asio Belanja Pembangunan terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008………………………………… 34.
183 R
asio PAD terhadap belanja rutin kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 …………………………………………….….. 35.
184 R
asio total PAD dan BHPBP terhadap belanja rutin kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008………………………………..... 36.
185 R
asio PAD terhadap Total Belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 ……………....................................................... 37.
186 R
asio total PAD dan BHPBP terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 …………………………………. 38. endogram Analisis cluster dengan variabel PDRB perkapita, persentase penduduk miskin dan rasio total PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan tahun 2002………………………………………….… 39.
187 D
188 D
endogram Analisis cluster dengan variabel PDRB perkapita, persentase penduduk miskin dan rasio total PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan tahun 2008 ………………………………………..….
189
ji unit root LNBP pada level dan first difference………………….….
U 190
ji unit root LNBB pada level dan first difference………………….….
U 191
ji unit root LNBM pada level dan first difference..…………………...
U 192
ji unit root LNBL pada level dan first difference……………………..
U 193
ji unit root LNPDRB pada level dan first difference………………….
U 194
40.
41.
42.
43.
44.
45. ji unit root LNIPM pada level dan first difference…………………….
U 195
ji unit root LNMIS pada level dan first difference…………………….
U 196
ji kointegrasi LNPDRB LNBB LNBM LNBP LNBL ………………
U 197
ji kointegrasi LNIPM LNBB LNBM LNBP LNBL …………………
U 198
ji kointegrasi LNPMIS LNBB LNBM LNBP LNBL ………………..
U 199
mpulse response LNPDRB karena shock LNBP LNBB LNBL LNBM
I 200
asil variance decomposition LNPDRB LNBP LNBB LNBL LNBM..
H 201
mpulse response LNIPM karena shock LNBP LNBB LNBL LNBM…
I 202
asil variance decomposition LNIPM LNBP LNBB LNBL LNBM….
H 203
mpulse response LNMIS karena shock LNBP LNBB LNBL LNBM…
I 204
asil variance decomposition LNMIS LNBP LNBB LNBL LNBM…..
H 205
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001
yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemeritah Pusat dan Daerah. Kedua UU tersebut diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Substansi perubahan kedua UU tersebut adalah semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah. Perubahan kedua UU itu dilakukan dengan harapan daerah menjadi semakin mandiri di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing. Hal ini merupakan tanggapan terhadap perkembangan aspirasi yang menginginkan format baru hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia, yang membawa implikasi pada pelimpahan kewenangan pusat ke daerah dalam berbagai bidang. Pelimpahan kewenangan dalam bidang keuangan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur keuangan diantaranya: (1) penerimaan daerah dari bagi hasil sumberdaya alam dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan fiskal bagi daerah yang memiliki sumberdaya alam seperti minyak, gas alam, hasil pertambangan, kehutanan, perkebunan, serta perikanan; (2) penerimaan daerah dari bagi hasil pajak yang merupakan dana yang bersumber dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), bagian daerah ini tergolong sebagai penerimaan daerah dengan persentase pembagiannya tidak mengalami perubahan; dan (3) skema bantuan pemerintah dalam bentuk transfer yakni Dana Alokasi Umum (DAU) yang formulanya beberapa kali mengalami perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Perubahan-perubahan ketimpangan
dan
tersebut
pemerataan.
diatas
Ketika
memungkinkan
pemerintah
pusat
adanya
efek
mengeksplorasi
sumberdaya alam maka yang terjadi ketimpangan fiskal vertikal (pusat dan
2
daerah), maka untuk mengoreksi ketimpangan fiskal vertikal (pusat dan daerah) dilakukan melalui mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH). Efek sampingnya mekanisme dana Bagi Hasil (DBH) adalah ketimpangan fiskal horizontal (antar daerah) maka distimulasi dengan mekanisme transfer yaitu Dana Alokasi Umum (DAU). Menanggapi desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dapat meresponnya dalam dua hal yaitu : (1) lebih memusatkan perhatiannya pada usaha memperbesar penerimaan melalui intensifikasi dan perluasan pajak, retribusi daerah serta memanfaatkan sumberdaya yang optimal melalui bagi hasil dan peningkatan dana transfer dan (2) lebih berorientasi pada efektifitas pengeluaran yaitu merencanakan,
merumuskan
dan
melaksanakan
kegiatan
serta
program
pembangunan yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat tergantung pada proses implementasi, dukungan politik, baik pada tingkat pengambilan keputusan masing-masing tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan
administrasi
pemerintahan,
pengembangan
kelembagaan
dan
sumberdaya manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik. Oleh karena itu, dengan adanya desentralisasi fiskal, kemampuan daerah khususnya dalam mengelola dana secara mandiri menjadi tuntutan yang nyata, sehingga seluruh potensi dapat dioptimalisasikan melalui mekanisme perencanaan secara tepat. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh wilayah otonom di Indonesia, termasuk Provinsi Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan PDRB tertinggi kedua setelah DKI Jakarta, sehingga sering dikatakan
Provinsi
Jawa
Timur
merupakan
provinsi
penggerak
perekonomian di kawasan timur Indonesia. Selain itu Provinsi
roda
Jawa Timur
mempunyai daerah terluas dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa yaitu 36.92% dari luas Pulau Jawa, serta jumlah kabupaten/kota terbanyak yaitu 38 daerah. Kondisi kabupaten/kota di Jawa Timur itu mempunyai karakteristik, sumberdaya dan struktur keuangan yang sangat berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur beserta
3
partisipasi masyarakatnya dengan memanfaatkan keberbedaan sumberdaya yang ada, diharapkan dapat menggali sumber-sumber asli potensi daerah dalam rangka peningkatan penerimaan total pemerintah, sehingga Provinsi Jawa Timur mampu mengoptimalisasikan potensi dari sumberdaya-sumberdaya yang diperlukan dalam merancang dan membangun perekonomian di daerahnya. Berdasarkan data keuangan daerah Provinsi Jawa Timur, selama kurun waktu tahun 2002-2008, proporsi penerimaan total PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan BHPBP (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) terhadap total penerimaan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur rata-rata di bawah 20%, sedangkan DAU (Dana Alokasi Umum) proporsinya lebih dari 70% (Tabel 1). Hal ini menunjukkan masih belum optimalnya Provinsi Jawa Timur dalam menggali sumberdaya yang ada sehingga masih adanya ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam membiayai pelaksanaan pembangunan.
Tabel 1 Perkembangan rasio sumber penerimaan terhadap total penerimaan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 Sumber Penerimaan PAD (Pendapatan Asli daerah) BHPBP (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) DAU (Dana Alokasi Umum) Lain-lain Total Penerimaan
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
10.31
10.73
10.59
11.26
9.62
9.63
8.75
9.43
10.02
9.63
10.39
9.40
9.75
8.50
75.89
69.23
67.86
65.78
70.49
68.79
70.96
4.37
10.02
11.92
12.57
10.48
11.83
11.79
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber : BPS, diolah.
Desain perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menggunakan prinsip money follows function atau uang mengikuti kewenangan. Artinya jika kewenangan dilimpahkan ke daerah, maka uang untuk mengelola kewenangan pun harus dilimpahkan ke daerah. Dengan demikian daerah menjadi mampu untuk melaksanakan segala urusannya sendiri sebab sumber-sumber pembiayaan juga sudah diserahkan. Apabila terjadi pergeseran wewenang fiskal dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke tingkat yang lebih rendah, dalam hal ini pemerintah daerah diberikan kebebasan dalam melaksanakan fungsi dan
4
tanggungjawabnya serta pengambilan keputusan penyediaan pelayanan terhadap sektor publik, maka secara tidak langsung dapat berpengaruh positif terhadap pelaksanaan pembangunan ekonomi di daerah. Hal ini disebabkan keyakinan bahwa pemerintah daerah yang langsung berhubungan dengan rakyat, sehingga akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan rakyatnya. Jumlah keseluruhan dana APBD baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan
digunakan
untuk
mewujudkan
kesejahteraan
masyarakat.
Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kebijakan masing-masing pemerintah daerah melalui alokasi sumber-sumber
pendanaan
yang
tercermin
pada
alokasi
belanjanya.
Perkembangan alokasi belanja pemerintah untuk seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut jenis belanja selama 7 tahun terakhir menunjukkan porsi belanja pegawai masih menempati peringkat tertinggi yaitu rata-rata diatas 46.63% dari total belanjanya. Sementara itu porsi belanja barang mencapai 12.52%, belanja modal 27.93% dan belanja lainnya 12.93% (Gambar 1).
100.00
Persen
80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 Belanja lain-lain
2002 12.58
2003 14.26
2004 14.24
2005 18.61
2006 9.73
2007 10.82
2008 10.23
Belanja Modal
31.00
33.43
24.82
22.32
27.31
27.95
28.70
Belanja Barang dan Jasa
6.26
8.28
11.21
12.28
16.64
17.11
15.84
Belanja Pegawai
50.15
44.03
49.73
46.80
46.31
44.12
45.23
Sumber : BPS, diolah. Gambar 1 Perkembangan rasio jenis belanja terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008. Belanja
modal,
yang
diharapkan
dapat
memacu
perkembangan
pembangunan ekonomi nampaknya masih menunjukkan proporsi yang masih
5
kecil, walaupun ada indikasi kenaikan setiap tahun. Padahal jenis belanja modal di era desentralisasi seharusnya mempunyai porsi yang semakin meningkat dari tahun sebelumnya dan paling besar dibandingkan dengan jenis belanja lainnya. Sebab jenis belanja modal ini adalah jenis belanja yang bersifat jangka panjang dan produktif yang digunakan pemerintah untuk membiayai penyediaan barang publik dalam rangka pelaksanaan pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan fiskal melalui pengeluaran pemerintah digunakan untuk membiayai tugas-tugas pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Selain juga merupakan bagian dari kegiatan perekonomian nasional. Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu aspek penggunaan sumber daya ekonomi yang secara langsung dikuasai dan dimiliki oleh pemerintah dan secara tidak langsung dimiliki oleh masyarakat melalui pembayaran pajak. Sektor pemerintah memiliki aspek yang luas, antara lain bagaimana dan pada sektor mana pengeluaran itu dilakukan. Peran pemerintah tidak bisa dilepaskan dari fungsinya yang terbagi atas fungsi alokasi, fungsi distibusi dan fungsi stabilisasi.
75.00 70.00 65.00 60.00 55.00 50.00 N i l a i
45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Pertumbuhan Ekonomi (%)
Penduduk Miskin (%)
IPM
Sumber : BPS, diolah. Gambar 2 Perkembangan pertumbuhan ekonomi, persentase penduduk miskin dan IPM Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008.
6
Berbagai faktor keberhasilan pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur dalam menjalankan fungsinya yang dilihat dari beberapa indikator, selama kurun waktu 2002-2008 menunjukkan kondisi yang membaik. IPM, indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat dari 62.64 pada tahun 2002 menjadi 69.14 pada tahun 2008. Persentase penduduk miskin juga mengalami penurunan dari 20.34% pada tahun 2002 menjadi 16.97% pada tahun 2008. Indikator lain adalah laju pertumbuhan ekonomi yaitu sebesar 3.80% pada tahun 2002 menjadi 5.90% pada tahun 2008 (Gambar 2). Akan tetapi indikator-indikator yang menunjukkan faktor keberhasilan pemerintah Jawa Timur itu kondisinya lebih rendah jika dibandingkan dengan keberhasilan nasional. Pada tahun 2008, IPM nasional adalah sebesar 71.1, pertumbuhan ekonomi sebesar 6.10%, dan persentase penduduk miskin sebesar 15.42%. Ukuran agregat yang memperlihatkan peningkatan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut di atas, merupakan indikasi dampak peningkatan jumlah dana yang dibelanjakan di daerah, baik melalui mekanisme dana desentralisasi maupun dana-dana lain di daerah, sebagaimana dikemukakan oleh Keynes (Todaro dan Smith, 2006). Oleh karena itu pemerintah daerah harus mampu berperan dalam mengelola keuangannya secara mandiri sehingga seluruh potensi harus dioptimalkan melalui mekanisme perencanaan yang efektif dan efisien dengan melihat hasil-hasil pembangunan yang dicapai pada tahun sebelumnya. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh wilayah otonomi. Peran pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya harus bersama-sama mengambil inisiatif dalam pembangunan daerahnya, termasuk menggali potensi sumber-sumber keuangan daerahnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
1.2
Perumusan Masalah Implikasi pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia adalah pemerintah
daerah mendapat keleluasaan yang lebih besar dalam mengelola keuangan daerah yang dituangkan dalam anggaran belanja, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Anggaran belanja merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah untuk mempengaruhi perekonomian. Kebijakan fiskal bekerja
7
mempengaruhi perekonomian melalui anggaran yang berfungsi sebagai alokasi, distribusi dan stabilisasi (Stiglitz, 2000). Keleluasaan yang dimiliki daerah diharapkan dapat meningkatkan kemandirian keuangan daerah serta kinerja pemerintah untuk mendorong terciptanya pembangunan ekonomi yang lebih baik. Ukuran agregat yang memperlihatkan peningkatan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat, merupakan indikasi dampak peningkatan jumlah dana yang dibelanjakan di daerah, baik melalui mekanisme dana desentralisasi maupun dana-dana lain di daerah, sebagaimana dikemukakan oleh
Keynes (Todaro dan Smith, 2006). Namun umumnya
pengeluaran pemerintah akan meningkat sejalan dengan peningkatan kegiatan perekonomian suatu negara. Hal ini dapat dijelaskan dalam kaidah yang dikenal dengan hukum Wagner (Todaro dan Smith, 2006), yaitu dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hal ini disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Selain itu, dengan adanya kewenangan dalam menentukan prioritas pembangunan, hasil-hasil pembangunan tahun sebelumnya akan menjadi acuan dalam menentukan alokasi belanja maupun target pencapaiann pembangunan di masa yang akan datang. Dengan mempertimbangkan hal di atas, maka pokok permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana perkembangan kinerja keuangan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dari sisi penerimaan dan sisi pengeluaran?. 2. Bagaimana perkembangan pertumbuhan ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), persentase penduduk miskin dan kesenjangan pembangunan kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Timur?. 3. Bagaimana pengaruh belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, IPM dan jumlah penduduk miskin Provinsi Jawa Timur?.
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis perkembangan kinerja keuangan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dari sisi penerimaan dan sisi pengeluaran.
8
2. Menganalisis perkembangan pertumbuhan ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), persentase penduduk miskin dan kesenjangan pembangunan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. 3. Mengidentifikasi pengaruh belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, IPM dan jumlah penduduk miskin Provinsi Jawa Timur.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan tambahan
rujukan bagi para mahasiswa atau peneliti yang berminat di bidang keuangan daerah dan perkembangan pembanguan daerah. Penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan informasi tambahan bagi pemerintah dalam mengambil keputusan kebijakan keuangan kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal yang berkaitan dengan upaya pemerintah dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat dan perilaku pemerintah daerah dalam mengartikulasikan kebijakan desentralisasi fiskal.
1.5
Cakupan Penelitian Penelitian ini menggunakan unit analisis seluruh kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Timur dengan menggunakan data tahun 2002-2008. Ruang lingkup analisis penelitian difokuskan pada pengelolaan keuangan dari sisi penerimaan dan pengeluaran. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi yang digunakan pertumbuhan ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), persentase penduduk miskin dan kesenjangan pembangunan. Penelitian ini dibatasi pada aspek
alokasi
anggaran
penerimaan
pemerintah
daerah
terkait
kinerja
pembangunan (PDRB, IPM, jumlah penduduk miskin) kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tinjauan Teori-Teori
2.1.1 Konsep Desentralisasi Fiskal Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi akan diwujudkan dengan memberikan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, kepala daerah yang dipilih oleh rakyat, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat (Bird, 2000). Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi, karena apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya dan diberikan kebebasan dalam mengambil keputusan di sektor publik, maka harus mendapat dukungan dari pemerintah pusat berupa subsidi/bantuan maupun pinjaman dari pemerintah pusat serta sumber-sumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan dari pemerintah pusat. Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama, antara lain fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi alokasi adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi agar tercipta secara efisien, yaitu peran pemerintah dalam menyediakan barang yang tidak bisa disediakan oleh pasar. Fungsi distribusi adalah peran pemerintah dalam memengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya keadilan dalam mengatur distribusi pendapatan. Fungsi stabilisasi merujuk pada tindakan pemerintah dalam memengaruhi keseluruhan tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan harga. Dalam hal ini pemerintah menggunakan kebijakan anggaran untuk mengurangi pengangguran, kestabilan harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menurut Halim (2007) akan berjalan dengan baik dengan berpedoman pada hal-hal sebagai berikut :
10
1.
Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement.
2.
Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.
3.
Stabilitas politik yang kondusif.
4.
Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan memengaruhi keputusankeputusan tersebut.
5.
Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan pemerintah
6.
Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat. Salah satu teori yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan
oleh Tiebout yang dikenal sebagai "The Tiebout Model" yang terkenal dengan ungkapannya "Love it or leave it" (Stiglitz, 2000). Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyarakat lokal dengan pemerintah daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah daerahnya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya. Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal (Stiglitz, 2000).
11
Model Tiebout ini menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang dikenal sebagai "the market for local services would be perfectly competitive" (Stiglitz, 2000). Disinilah arti penting desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara pemerintah lokal dengan DPRD-nya.
2.1.2 Pengelolaan Keuangan Daerah Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah berubah seiring dengan adanya desentralisasi fiskal. Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang
meliputi
perencanaan,
pelaksanaan,
penatausahaan,
pelaporan,
pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah (Halim, 2007:23). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 58 tahun 2005, tentang pengelolaan keuangan daerah, pasal 1 ayat 5 yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan UU No 33 Tahun 2004 pada pasal 66 ayat 1, keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, menggunakan konsep nilai uang (value for money) dengan
prinsip tata
pemerintahan yang baik. Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP. Nomor 105 tahun 2000, pasal 8). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik dan harus berpihak pada kepentingan publik, yang artinya memaksimumkan penggunaan anggaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah.
12
Pada dasarnya pengelolaan keuangan daerah menyangkut tiga aspek analisis yang saling terkait satu dengan lainya. Ketiga aspek tersebut meliputi : 1. Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut. 2. Analisis pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat. 3. Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan. Dalam konsep yang lebih luas, sistem pengelolaan keuangan daerah terdiri dari aspek-aspek berikut : 1. Pengelolaan (optimalisasi dan/atau penyeimbangan) seluruh sumber-sumber yang mampu memberikan penerimaan, pendapatan dan atau penghematan yang mungkin dilakukan. 2. Ditetapkan oleh badan eksekutif dan badan legislatif, dilaksanakan oleh badan eksekutif serta diawasi oleh badan legislatif dan seluruh komponen masyarakat daerah. 3. Diarahkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakatnya. 4. Didasari oleh prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif. 5. Dokumentasi, transparansi, dan akuntabilitas. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa alokasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah salah satu wujud pengelolaan keuangan daerah. APBD adalah sebuah rencana yang disusun dalam bentuk kuantitatif dalam satuan moneter untuk suatu periode, yang biasanya satu tahun. Pendapatan daerah adalah semua penerimaan daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah, dan belanja daerah adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Tabel 2 menunjukkan perkembangan dasar hukum pengelolaan keuangan daerah semenjak diberlakukannya desentralisasi fiskal.
13
Tabel 2 Perkembangan dasar hukum pengelolaan keuangan daerah Sebelum dan Sekarang
Sekarang dan Nanti
UU 22/1999
Pemerintahan Daerah
UU 17/2003
Keuangan Negara
UU 25/1999
Perimbangan Keuangan Pemerintah
UU 1/2004
Perbendaharaan Negara
Pusat dan Pemerintah Daerah.
UU 32/2004
Pemerintahan daerah
PP 105/2000
Pengelolaan Keuangan Daerah
UU 33/2004
Perimbangan
KMDN 29/2002
Pedoman Pengurusan,
Pemerintah
Keuangan Pusat
dan
Pertanggungajawaban dan
PP 24/2005
pemerintah daerah
Pengawasan Keuangan Daerah
PP 58/2005
Standar Akuntansi Pemerintah
Permendagri
Pedoman Pengelolaan Keuangan
13/2006
Daerah
Pengelolaan Keuangan daerah
Sumber : Halim, 2007. Ada beberapa format APBD yang digunakan sejak dilaksanakan desentralisasi fiskal. Pada tahun 2001-2002 menggunakan format APBD yang berdasarkan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) 1981. Pada awal tahun 1980-an dikeluarkan Permendagri Nomor 900/099 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), dan Permendagri Nomor 020-595 tentang Manual Administrasi Barang Daerah, dan Permendagri Nomor 970 Tentang Manual Administrasi Pendapatan Daerah. Kelemahan paling mendasar sistem administrasi keuangan daerah adalah masih diterapkannya pembukuan tunggal (Single entry book keeping) dan berbasis kas (cash basis). Secara struktural, yaitu penerimaan meliputi sisa anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, dan pinjaman. Sedangkan Belanja di bagi menjadi belanja rutin dan Belanja Pembangunan (Mulyana, 2006). Belanja rutin didefinisikan sebagai belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan. Pengeluaran rutin mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi, dan belanja lain-lain. Belanja pembangunan didefinisikan sebagai belanja
yang menghasilkan nilai
tambah aset, baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu. Belanja pembangunan adalah pengeluaran berkaitan dengan proyekproyek yang meliputi belanja modal dan belanja penunjang. Belanja modal mencakup pembebasan tanah, pengadaan mesin dan peralatan, konstruksi bangunan dan jaringan (infrastruktur), dan belanja modal fisik maupun non fisik
14
lainnya. Sementara itu, belanja penunjang yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan proyek terdiri dari gaji/upah, bahan, perjalanan dinas, dan belanja penunjang lainnya. Format
yang
berbasis
Manual
Administrasi
Keuangan
Daerah
(MAKUDA 1981) (format lama) diganti dengan format yang berbasis kinerja dengan berdasarkan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002. Perundangan Kemendagri No. 29 Tahun 2002 tersebut tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Perubahan struktur anggaran belanja dalam APBD berdasarkan MAKUDA 1981 berbeda dengan struktur belanja dalam APBD tahun anggaran 2002-2006 (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002). Perbedaan tersebut karena adanya perubahan sistem pencatatan dari ’Single Entry ke Double Entry (dari sistem tunggal ke sistem berpasangan) yang berbasis kinerja dan prestasi (Mulyana, 2006). Struktur keuangan daerah berdasarkan Kepmendagri 29 Tahun 2002 merupakan satu kesatuan yang terdiri dari Pendapatan Daerah, Belanja daerah dan Pembiayaan. Dalam hal ini, yang dimaksud satu kesatuan adalah dokumen APBD yang merupakan rangkuman seluruh jenis pendapatan, jenis belanja dan sumber-sumber pembiayaannya. Pendapatan Daerah dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok pendapatan meliputi Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Menurut jenis pendapatan misalnya, pajak daerah, retribusi daerah , Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus (Mulyana, 2006). Sementara itu, belanja dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Belanja menurut organisasi adalah satu kesatuan pengguna anggaran seperti DPRD dan sekretariat DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah, Sekretariat Daerah serta dinas daerah dan lembaga teknis daerah lainnya. Fungsi belanja misalnya, pendidikan, kesehatan, dan fungsi-fungsi lainnya. Jenis belanja maksudnya adalah belanja pegawai, belanja barang,
15
belanja
pemeliharaan,
belanja
perjalanan
dinas
dan
belanja
modal/pembangunan. Selanjutnya, pembiayaan dirinci menurut sumber pembiayaan. Sumbersumber pembiayaan yang merupakan penerimaan daerah antara lain, yaitu sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi serta penerimaan dari penjualan aset daerah yang dipisahkan. Sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran yaitu pembayaran hutang pokok. Surplus anggaran adalah selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah, dan defisit anggaran adalah selisih kurang Pendapatan daerah terhadap Belanja Daerah (Mulyana, 2006). Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya tidak terduga dibedakan dalam bagian anggaran pengeluaran tidak terduga. Pengeluaran yang dibebankan pada pengeluaran tidak terduga adalah penanganan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah (Mulyana, 2006). Belanja Aparatur Daerah adalah bagian belanja berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/pembangunan
yang
dialokasikan
pada
atau
digunakan
untuk
membiayai kegiatan yang hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampaknya (impact) tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat. Sedangkan belanja pelayanan publik adalah bagian belanja berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampaknya (impact) secara langsung dinikmati masyarakat (Publik) (Mulyana, 2006). Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut berjalan hanya sampai 4 tahun dan direvisi kembali dengan PP 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan yang ditentukan lebih lanjut oleh Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman
Pengelolaan
Keuangan
Daerah
sebagai
pengganti
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002. Permendagri No. 13 Tahun 2006 ini sebagai pedoman umum bagi pemerintahan daerah dalam melaksanakan tata
16
kelola keuangannya, yang tentu saja dalam rangka perbaikan manajemen keuangan daerah yang sehat tercapai transparasi dan akuntabilitas. Format baru belanja tahun 2006, berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006, belanja dikelompokkan ke dalam dua bentuk yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan
belanja yang
dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan di dalamnya yang terdiri atas belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan di dalamnya terdiri atas belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja modal. Pengeluaran pemerintah digunakan untuk membiayai kepentingan publik. Pengeluaran pemerintah dilaksanakan dalam rangka : 1. Menyediakan barang publik atau proses pembagian keseluruhan sumberdaya untuk digunakan sebagai barang pribadi dan barang publik 2. Distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin terpenuhinya apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai keadaan distribusi yang merata dan adil, kemudian disebut fungsi distribusi. 3. Penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya dan laju pertumbuhan ekonomi yang cepat, dengan memperhitungkan segala akibatnya terhadap perdagangan dan neraca pembayaran, yang kemudian disebut fungsi stabilisasi.
17
Tabel 3 Pemetaan format anggaran pemerintah kabupaten/kota berdasarkan beberapa peraturan Jenis Makuda 1981 Pengeluaran Rutin Pengeluaran Staff
Rutin Rutin
Rutin Rutin
Rutin Rutin
Aparatur-Adm umum Publik-Adm umum
Pengeluaran Staff Pengeluaran Staff
Permendagri No. 13/2006 Belanja Tidak langsung
Pembayaran Hutang dan Bunga Pengeluaran yang Tidak termasuk dalam pengeluaran lainnya
Keuangan untuk Pemerintah di Tingkat yang lebih rendah Pengeluaran tak terduga Barang dan Jasa Operasional
Belanja pembangu n
Belanja Pembangunan
Hibah Bantuan Sosial Dana bagi Hasil
Pembagian pendapatan untuk pemerintah daerah atau desa Bantuan keuangan untuk pemerintah daerah atau desa
Bantuan keuangan
Aparaturoperasional dan Perawatan PublikOperasonal dan perawatan AparaturOperasional dan Perawatan
PublikOperasional dan Perawatan
Aparatur Publik
Sumber : Mulyana, 2006
Pengeluaran Staff
Pembayaran Hutang Subsidi
Pensiun dan santunan Subsisi/Bantuan
Pemeliharaan Biaya perjalanan Dinas
Belanja pembangu n
Kepmendagri No. 29/2002
Pengeluara tak terduga Pengeluaran Staf
Belanja Langsung
Pengeluaran tak terduga Belanja Barang dan Jasa
Pengeluaran staf Barang dan Jasa Biaya Perjalanan Dinas Operasional dan perawatan Lain-lain Barang dan Jasa Biaya Perjalanan Dinas Operasional dan Perawatan Lain-lain Belanja modal Belanja Modal
Belanja modal
18
Di dalam perekonomian, pemerintah telah berperan yang terlihat pada alokasi anggaran khususnya alokasi pengeluaran. Keynes (Todaro, 2006) berpendapat tingkat kegiatan dalam perekonomian ditentukan oleh perbelanjaan agregat. Pada umunya perbelanjaan agregat dalam suatu periode tertentu adalah kurang dari perbelanjaan agregat yang diperlukan untuk mencapai tingkat full employment. Keynes berpendapat sistem pasar bebas tidak akan dapat membuat penyesuaian-penyesuaian yang akan meciptakan full employment. Untuk mencapai kondisi tersebut diperlukan kebijakan pemerintah. Tiga bentuk kebijakan pemerintah yaitu kebijakan fiskal, moneter dan pengawasan langsung. Kebijakan fiskal melalui pengaturan anggaran pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Kebijakan moneter dilakukan dengan memengaruhi jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga. Pengawasan langsung dilakukan dengan membuat peraturanperaturan. Menurut Mangkoesoebroto (1997), perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor yaitu : 1. Perubahan permintaan akan barang publik. 2. Perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. 3. Perubahan kualitas barang publik. 4. Perubahan harga faktor produksi. Ada beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebroto, 1997) yaitu : 1. Model Rostow dan Musgrave Model Rostow dan Musgrave berisi tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap
19
diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave dan Musgrave (1991) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negaranegara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.
20
3. Teori Peacock dan Wiseman Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sehingga pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta. Ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh
21
pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena. 4. Kurva Scully. Kurva Scully merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor Gerald Scully, yang menerangkan hubungan antara peran pengeluran pemerintah dengan
tingkat
diformulasikan
pertumbuhan Scully,
rasio
ekonomi. pengeluaran
Dalam
model
pemerintah
kuadratik menjadi
yang
variabel
independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Dari model dapat disimpulkan bahwa : peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi bahkan dapat mencapai nol seperti ditunjukkan pada Gambar 3. g Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
0 t Rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB Sumber : Kharisma, 2006. Gambar 3 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB. 2.1.3 Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi dalam jangka panjang adalah meningkatkan kualitas dari setiap individu. Manusia merupakan subyek sekaligus obyek dari
22
pembangunan
ekonomi.
Jika
pengeluaran
pemerintah
diarahkan
pada
pembangunan ekonomi, maka pembangunan kualitas sudah semestinya menjadi bagian terpenting dari kebijakan yang dijalankan. Sehingga jika pembangunan dapat berjalan dengan baik, maka selain terdapat pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat, menurunnya persentase penduduk miskin, naiknya IPM, naiknya pendapatan perkapita serta diiringi dengan adanya pemerataan pembangunan antar daerah.
Pembangunan Menurut Bappenas (1999) pembangunan dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan memanfaatkan dan memperhitungkan kemampuan sumber daya, informasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan perkembangan global. Sedangkan pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata dan berkeadilan. Pembangunan dapat pula diartikan sebagai suatu proses perubahan peningkatan kualitas kehidupan manusia. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan ekonomi dan sosial. Dewasa ini negara-negara yang sedang berkembang menggebu-gebu keinginannya untuk melakukan pembangunan, terutama pembangunan dibidang ekonomi. Padahal perubahan dibidang ekonomi bukan
hanya
satu-satunya
arti
yang
terkandung
dalam
pembangunan.
Pembangunan harus diartikan lebih dari pemenuhan kebutuhan materi di dalam kehidupan
manusia.
Pembangunan
seharusnya
merupakan
proses
multidimensional yang meliputi berbagai perubahan yang mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan masyarakat serta pengentasan kemiskinan (Todaro dan Smith, 2006).
23
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya menciptakan peningkatan pada produksi nasional riil, tetapi juga harus ada perubahan dalam kelembagaan, struktur administrasi, perubahan sikap, dan kebiasaan. Jadi dalam hal ini istilah pembangunan diartikan sebagai perubahan yang meningkat baik di bidang sosial maupun di bidang ekonomi. Istilah pembangunan ekonomi diartikan sebagai perubahan yang meningkat pada kapasitas produksi nasional. Peningkatan ini dicerminkan dengan pertumbuhan ekonomi. Indikator pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya dilihat secara material, seperti meningkatnya pendapatan per kapita, tetapi juga peningkatan formasi kapital non material seperti kebijakan sosial-budaya yang menunjang harmoni sosial dan kestabilan politik serta kemandirian. Peningkatan pendapatan per kapita riil bisa dicapai apabila pertumbuhan
produksi
masyarakat
masih
meningkat
setelah
dikurangi
peningkatan jumlah penduduk dan tingkat inflasi. Pertumbuhan ini dapat dicapai apabila struktur ekonomi yang berat pada sektor pertanian diubah dititikberatkan pada sektor industri. Hal ini tidak berarti bahwa suatu negara mengabaikan pembangunan sektor pertanian atau menurunkan produksi sektor pertanian. Produksi sektor pertanian tetap ditingkatkan, karena bagaimanapun produksi pertanian juga menopang sektor industri. Perubahan struktur ini adalah karena adanya kenyataan bahwa dengan investasi yang sama di sektor industri akan menghasilkan pertumbuhan pendapatan masyarakat yang lebih cepat dibanding dengan investasi yang sama di sektor pertanian. Hal ini disebabkan karena pembangunan di sektor industri mempunyai dampak kebelakang dan kedepan yang lebih luas dibanding dengan sektor pertanian. Menurut Todaro dan Smith (2006) dalam melaksanakan pembangunan, pada umumnya negara-negara yang sedang berkembang masih mempunyai hambatanhambatan, antara lain; (1) hambatan alam (kekurangan sumber daya alam) dan (2) hambatan yang berhubungan dengan ciptaan manusia (kekurangan peraturan pendukung), hambatan obyektif (kekurangan modal), dan hambatan subyektif (kekurangan jiwa kepemimpinan). Perubahan ekonomi dan sosial dapat dicapai dengan cara-cara yang berbeda-beda tergantung dari tujuan pembangunan itu sendiri. Pada umumnya menurut (Todaro dan Smith, 2006) tujuan pembangunan mencakup hal-hal pokok
24
seperti: (1) meningkatkan pertumbuhan ekonomi, (2) meningkatkan pemerataan pendapatan
masyarakat,
(3)
meningkatkan
kesempatan
kerja,
dan
(4)
meningkatkan pemerataan pembangunan antar daerah. Dari keempat tujuan ini, beberapa memang ada yang tampak kontradiktif satu sama lain. Misalnya tujuan pertama, yaitu usaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan tujuan kedua, yaitu meningkatkan pemerataan. Tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi biasanya dapat dicapai dengan usaha yang menggunakan teknologi tinggi, namun di pihak lain penggunaan teknologi tinggi dapat merampas kesempatan kerja seseorang yang berarti hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmati pendapatannya, sedangkan masyarakat yang lainnya menganggur. Kebalikannya apabila diutamakan tujuan untuk peningkatan pemerataan, maka ini berarti harus menggunakan lebih banyak tenaga kerja dari pada tenaga mesin. Keadaan seperti ini dapat berakibat mengurangi kecepatan pertumbuhan ekonomi, walaupun mungkin pemerataan lebih dapat ditingkatkan. Pemilihan untuk lebih mengutamakan salah satu di antara dua tujuan tersebut bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu dalam menetapkan kebijaksanaan program pembangunan perlu dilakukan secara hati-hati dengan memperhitungkan untung ruginya. Beberapa ukuran yang digunakan untuk melihat keberhasilan suatu pembangunan ekonomi (Todaro dan Smith, 2006) yaitu : 1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi mengandung makna adanya peningkatan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktifitas ekonomi yang terjadi di masyarakat. Peningkatan produksi barang dan jasa yang dimaksud diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilai peningkatan benar-benar mencerminkan adanya pertumbuhan produksi yang terbebas dari pengaruh harga (BPS, 2008). Berbagai model pertumbuhan ekonomi bermunculan secara dinamis mengikuti perubahan perekonomian dari waktu ke waktu (Todaro dan Smith, 2006). Teori Klasik yang dimotori oleh Adam Smith beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi sebenarnya bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Dengan adanya pertambahan penduduk maka akan terdapat pertambahan output
25
atau hasil. Selain Adam Smith, yang termasuk dalam teori klasik adalah David Ricardo. Ricardo berpendapat bahwa faktor pertumbuhan penduduk yang semakin besar sampai menjadi dua kali lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah. Kelebihan tenaga kerja akan mengakibatkan upah menjadi turun. Upah tersebut hanya dapat digunakan untuk membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami kemandegan (stationary state). Teori Klasik selanjutnya berkembang menjadi Teori Neoklasik yang dimotori oleh Harrord Domar dan Robert Solow. Harrord Domar beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori ini juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja. Sedangkan Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern. Adapun pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Oleh karenanya, menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumber daya yang positif. Model pertumbuhan Solow dikatakan merupakan pilar yang sangat memberi kontribusi terhadap teori pertumbuhan neoklasik. Pada intinya model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi kedalam persamaan pertumbuhan. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2006). Model Neoklasik beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi, baik modal maupun tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar. Akibatnya, pada saat itu modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan regional cenderung melebar. Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara
26
yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembanguan regional akan berkurang. Perkiraan ini merupakan kesimpulan kedua dari model ini dan kemudian dikenal sebagai Hipotesa Neoklasik.
2. Kemiskinan Konsep kemiskinan menurut Bellinger (2007) memiliki dua dimensi yaitu dimensi pendapatan dan dimensi non pendapatan. Kemiskinan dalam dimensi pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki pendapatan rendah yang diukur dari hal kepemilikan harta kekayaan seperti lahan dan kesulitan dalam mengakses jasa pelayanan publik. Sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan adanya ketidakmampuan, ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan kebebasan yang dapat juga menimpa pada berbagai level pendapatan. Kemiskinan dari sisi pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur, dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Menurut Todaro dan Smith (2006), besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan di bawah kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Ukuran ini relatif tetap dalam bentuk kebutuhan kalori minimum ditambah komponen non makanan yang juga sangat dibutuhkan untuk tetap survive. Garis kemiskinan berbeda untuk tiap negara, tetapi yang umum dijadikan standar untuk membandingkan antar negara adalah sebesar US$ 1 per hari. Sedangkan kemiskinan relatif adalah ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat ratarata distribusi pendapatan. Kemiskinan menurut BPS diukur dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmammpuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK),
27
yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2 100 kalori perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Garis kemiskinan non makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS). Garis kemiskinan juga berbeda-beda untuk tiap daerah tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing daerah.
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Dalam tingkat negara seluruh barang dan jasa yang dihasilkan di dalam negeri diukur secara agregat dalam bentuk Produk Domestik Bruto (PDB). Agar dapat diagregasikan seluruh barang dan jasa yang diproduksi dikonversi dalam bentuk mata uang negara yang bersangkutan. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur dari perubahan PDB dalam periode tertentu misalnya dalam periode satu tahun. Terdapat kontroversi antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Banyak yang berpendapat bahwa pertumbuhan yang cepat berakibat buruk pada kaum miskin, karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural pertumbuhan modern. Di samping itu, terdapat pendapat di kalangan pembuat kebijakan bahwa pengeluaran publik yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk untuk mempercepat pertumbuhan. Namun banyak juga yang berpendapat bahwa
28
kebijakan untuk mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan (Todaro dan Smith, 2006), dengan pertimbangan sebagai berikut: a. Kemiskinan membuat kaum miskin tidak punya akses kredit, menyekolahkan anaknya, tidak punya peluang berinvestasi sehingga akan memperlambat pertumbuhan perkapita. b. Data empiris menunjukkan kaum kaya di negara miskin tidak mau menabung dan berivestasi di negara mereka sendiri. c. Kaum miskin memiliki standar hidup seperti kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah sehingga menurunkan tingkat produktivitas ekonominya. d. Peningkatan pendapatan kaum miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk lokal, sementara golongan kaya cenderung mengkonsumsi barang impor. e. Penurunan kemiskinan secara masal akan menciptakan stabilitas sosial dan memperluas partisipasi publik dalam proses pertumbuhan. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pengurangan kemiskinan bukanlah hal yang saling bertentangan, tetapi harus dilaksanakan secara simultan. Berbagai kebijakan yang tepat dapat dirumuskan agar seluruh elemen masyarakat dapat berperan serta dalam pertumbuhan yang berkelanjutan.
3. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia (IPM), secara khusus mengukur capaian pembangunan manusia menggunakan beberapa komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor didalamnya. Untuk mengukur dimensi kesehatan, digunakan angka umur harapan hidup. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah yang dikombinasikan. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli (Purchasing Power Parity). a. Umur Harapan Hidup
29
Angka harapan hidup dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan tak langsung (indirect estimation). Ada dua jenis data masukan yang digunakan untuk menghitung angka umur harapan hidup yaitu Anak Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH). Paket program Mortpack digunakan untuk menghitung angka harapan hidup dengan input data ALH dan AMH. Selanjutnya menggunakan program Mortpack ini, dipilih metode Trussel dengan model West, yang sesuai dengan dengan histori kependudukan dan kondisi Indonesia dan Negara-negara Asia Tenggara umumnya. Besarnya nilai maksimum dan nilai minimum untuk masing-masing komponen ini merupakan nilai besaran yang telah disepakati oleh semua negara (175 negara didunia).
Pada komponen angka umur harapan hidup, angka
tertinggi sebagai batas atas untuk penghitungan indeks dipakai 85 tahun dan terendah adalah 25 tahun. Angka ini merupakan angka rata-rata umur terpanjang penduduk Swedia dan terpendek dari negara Siera Leon di Afrika.
b. Tingkat Pendidikan Untuk mengukur dimensi pengetahuan penduduk digunakan dua indikator, yaitu rata-rata lama sekolah (mean of years schooling) dan angka melek huruf. Selanjutnya rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani
pendidikan formal.
Sedangkan angka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Proses penghitungannya, kedua indikator tersebut digabung setelah masing-masing diberikan bobot. Rata-rata lama sekolah diberi bobot sepertiga dan angka melek huruf diberi bobot dua pertiga. Untuk penghitungan indeks pendidikan, dua batasan dipakai sesuai kesepakatan beberapa negara saat pertama kali penghitungan IPM dilakukan. Batas atas untuk angka melek huruf, dipakai maksimum 100 dan minimum 0 (nol), yang menggambarkan kondisi 100% atau semua
masyarakat mampu
membaca dan menulis, dan nilai nol mencerminkan kondisi sebaliknya.
c. Standar Hidup Layak
30
Selanjutnya dimensi ketiga dari ukuran kualitas hidup manusia adalah standar hidup layak. Dalam cakupan lebih luas standar hidup layak menggambarkan tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh penduduk sebagai dampak semakin membaiknya ekonomi. UNDP mengukur standar hidup layak menggunakan GDP riil yang disesuaikan, sedangkan BPS dalam menghitung standar hidup layak menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan formula Atkinson. Jika C(i) < Z
C (I) = C(i) = Z + 2(C(i)`-`Z)1/2 = Z + 2(Z)
1/2
Jika Z < C(i) < 2Z
+ 3(C(i)`-`2Z)
1/3
Jika 2Z < C(i) < 3Z .................(2.1)
dst Keterangan : C(i) = PPP dari nilai riil pengeluaran per kapita Z
= Batas tingkat pengeluaran yang ditetapkan secara arbiter sebesar Rp 549 500.00 per kapita per tahun atau Rp1 500.00 per kapita per hari
Penghitungan indeks daya beli, seperti terlihat pada uraian sebelumnya dan diagram penghitungan IPM, terlihat bahwa batas atas penghitungan digunakan batas masksimum dan minimum adalah sebesar Rp732 720.00 dan Rp300 000.00 ini merupakan batas sampai dengan tahun 1996. Pada tahun 2002, batas bawah penghitungan PPP dirubah dan disepakati menjadi Rp360 000.00
mengikuti
kondisi pasca krisis ekonomi.
Penyusunan Indeks Sebelum penghitungan IPM, setiap komponen harus dihitung indeksnya. Formula yang digunakan sebagai berikut; Indeks X (i , j ) =
keterangan
X(i,j)
( X (i , j ) − X (i − min) ) ( X ( i − maks ) − X ( i − min) )
................................ (2.2)
= Indeks komponen ke-i dari daerah j
X(i-min) = Nilai minimum dari Xi X(i-maks) = Nilai maksimum dari Xi
31
Nilai IPM dapat dihitung sebagai: IPM j =
1 ∑ Indeks X (i , j ) 3 j
……………………………………(2.3)
keterangan : Indeks X(i,j)
= Indeks komponen IPM ke i untuk wilayah ke j; i = 1, 2, 3 j = 1, 2 ……. k wilayah
Untuk menghitung indeks rangkuman batas minimun dan maksimum setiap komponen IPM ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Nilai maksimum dan minimum dari setiap komponen IPM
Komponen IPM 1. Angka Harapan Hidup 2. Angka Melek Huruf 3. Rata-rata lama sekolah 4. Daya beli
Maksimum
Minimum
Keterangan
85
25
Standar UNDP
100
0
Standar UNDP
15
0
732 720
a
300 000 (1996) UNDP menggunakan PDB Riil disesuaikan b
360 000 (1999,2002)
Keterangan
: a) b)
Perkiraan maksimum pada akhir PJP II tahun 2018 Penyesuaian garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru
Sumber : BPS, 2009. Gambar 4 menunjukkan bahwa untuk menghitung IPM, terlebih dahulu dihitung untuk masing-masing indeks harapan hidup, indeks pendidikan dan indeks pendapatan. Penghitungan masing-masing indeks dilakukan seperti dalam penjelasan dan rumusan yang telah diuraikan. Dengan menggunakan IPM, UNDP membagi status pembangunan manusia di kabupaten/kota ke dalam empat kategori dengan kriteria sebagai berikut : a.
Rendah, bila angka IPM < 50.
b.
Menengah Bawah, bila angka 50 ≤ IPM < 66.
32
c.
Menengah Atas, bila angka 66 ≤ IPM < 90.
d.
Tinggi, bila angka IPM ≥90.
DIMENSI
INDIKATOR
INDEKS
Umur panjang Dan sehat Angka harapan hidup pada saat Lahir
Pengetahuan Angka melek Rata-rata huruf lama seko(Lit) lah (MYS)
Indeks harapan hidup
Indeks pendidikan
Kehidupan yang layak Pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan (PPP Rupiah) Indeks pendapatan
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM)
Sumber : BPS, 2009. Gambar 4 Diagram alur perhitungan IPM.
4. Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan berbagai faktor yang terdapat pada masingmasing daerah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan suatu daerah juga menjadi berbeda. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bilamana pada suatu proses pembangunan suatu wilayah biasanya terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang. Terjadinya ketimpangan antar wilayah membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Beberapa faktor utama yang menyebabkan atau memicu terjadinya ketimpangan pembangunan wilayah tersebut (Sjafrizal, 2008), adalah : a. Faktor geografis
33
Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lainnya baik dan ditunjang dengan kondisi geografis yang lebih baik dari daerah lain, maka wilayah tersebut akan berkembang lebih baik daripada daerah lain. b. Faktor historis Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang telah dilakukan di masa lalu. Bentuk kelembagaan, budaya atau kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem intensif terhadap kapasitas kerja. c. Faktor politis Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi suatu wilayah tidak akan berkembang. Bahkan pelarian modal keluar wilayah untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil. d. Faktor kebijakan Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik di beberapa sektor dan lebih menekankan pertumbuhan dan pembangunan pada daerah-daerah yang menjadi pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah. e. Faktor administratif Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena adanya perbedaan kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Sehingga dapat dikatakan wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih yang berarti sama dengan mempunyai sumberdaya manusia yang lebih baik. f. Faktor sosial Masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang rendah cenderung akan menghambat
34
perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat maju memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. g. Faktor ekonomi Beberapa faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah adalah perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan. Hal ini mengakibatkan terjadinya akumulasi dari berbagai faktor ekonomi. Wilayah yang mempunyai faktor-faktor ekonomi yang baik, mendorong untuk menjadi daerah yang lebih maju, dan menjadi pusat kegiatan ekonomi, sedangkan daerah lainnya akan tertinggal.
2.2 Tinjauan Empiris Ada beberapa tinjauan empiris yang relevan dengan permasalahan yang diangkat dan menambah kajian lebih baik. Penelitian yang dilakukan oleh Alfirman dan Sutriono (2006), bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan timbal balik antara pengeluaran pemerintah dan Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia periode 1970-2003. Metode yang dipakai adalah Granger Causality dan Vector Autoregression (VAR) dengan memperlakukan kedua variabel sebagai variabel endogen. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan kausalitas antara total pengeluaran pemerintah dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Pengeluaran rutin tidak signifikan mempengaruhi Produk Domestik Bruto (PDB) karena lebih bersifat konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif seperti belanja untuk pembayaran bunga utang. Sementara pengeluaran pembangunan memiliki hubungan kausalitas positif dan signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini dapat dijelaskan oleh pengaruh positif pengeluaran sektor pertanian, infrastruktur dan transportasi serta pendidikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan pengaruh positif perubahan Produk Domestik Bruto (PDB) terhadap pengeluaran pemerintah di sektor infrastruktur dan transportasi. Penelitian Syaibani (2005) yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengeluaran
pemerintah
pusat
maupun
pengeluaran
pemerintah
daerah
35
mempengaruhi pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data pengeluaran pemerintah di semua propinsi di Indonesia dari tahun 2001-2003. Metode analisisnya menggunakan model-model ekonometrik. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh yang positif terhadap
pertumbuhan
ekonomi.
Pengeluaran
pemerintah
daerah
lebih
berpengaruh dibanding pengeluaran pemerintah pusat. Selain itu pengeluaran pemerintah pusat mempunyai pengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Kharisma (2006) yang melakukan penelitian dengan tujuan mengetahui pengaruh anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah propinsi di Indonesia. Penelitian yang menggunakan data sekunder dari 26 propinsi di Indonesia selama periode 19952004 yang diestimasi dengan menggunakan model ekonometrik data panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum pelaksanaan desentralisasi selama periode 1995-2000, peran anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan berpengaruh negatif, baik di Jawa maupun luar jawa. Sedang kurun waktu 2001-2004, peran anggaran Pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sisi pengeluaran lebih besar dibandingkan sisi penerimaan, baik di Jawa maupun luar Jawa. Di era desentralisasi
peran
PAD
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
mengalami
peningkatan, walaupun masih di bawah dana perimbangan. Selain itu selama masa era desentralisasi, peran anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengeluaran pembangunan maupun pengeluaran rutin mengalami peningkatan dibandingkan era sebelumnya. Landiyanto (2005) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk melihat kinerja keuangan daerah kota surabaya, dengan menggunakan metode eksploratif yang diperkuat dengan melihat tingkat kemandirian keuangan dan derajat desentralisasi. Data yang digunakan adalah data yang berasal dari Kota Surabaya tahun 1998-2002 menunjukkan bahwa Kota Surabaya masih memiliki ketergantungan pada pemerintah pusat, yang disebabkan belum optimalnya penerimaan dari pendapatan Asli daerah Kota Surabaya. Sehingga perlu di cari alternatif-alternatif untuk meningkatkan PAD.
36
Wang (2007) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk melihat keterkaitan antara pengeluaran pemerintah, pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi menggunakan dengan metode VAR dengan data dari 20 negara selama kurun waktu 1970-1999. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan jangka panjang antara ketiga variabel tersebut, sedang dalam jangka pendek tidak terlihat. Sedangkan perbedaan tipe pemerintahan akan mempunyai dampak yang berbeda terhadap pertumbuhan dan pengangguran. Loizides dan Vamvoukas (2008) melakukan penelitian untuk mencari hubungan antara proporsi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dengan dimodifikasi tambahan inflasi dan pengangguran dengan metode Trivariate Causality Testing. Dengan menggunakan sampel 3 negara yaitu Yunani, Irlandia, Inggris yang mewakili Negara berkembang dan maju selama kurun waktu 1960-1995. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan metode yang sama, karena kondisi negara yang berbeda ternyata memberikan hasil yang berbeda antara negara berkembang dan maju. Sehingga dapat dikatakan kondisi serta sejarah suatu negara/daerah sangat mempengaruhi dalam hubungan alokasi belanja pemerintah dan pertumbuhan ekonomi yang dihubungkan dengan inflasi dan tingkat penggangguran.
2.3 Kerangka Pemikiran Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999
yang
diperbaharui dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan langkah strategis dalam pengaturan desentralisasi fiskal bagi pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal merupakan inti dari desentralisasi itu sendiri karena pemberian kewenangan di bidang politik maupun administrasi tanpa dibarengi dengan desentralisasi fiskal merupakan desentralisasi yang sia-sia, sebab untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab serta tugas-tugas pelayanan publik tanpa dibarengi wewenang baik penerimaan maupun pengeluaran desentralisasi tidak akan efektif. Desentralisasi akan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menggali potensi daerah dan memperoleh transfer dari pusat dalam rangka keseimbangan fiskal. Selain itu,
37
pemerintah daerah juga diberi kewenangan untuk menentukan alokasi pengeluaran yang dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah untuk menyediakan barang dan jasa publik, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan kewenangan untuk mengambil keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan maupun aspek pengeluaran. Dengan adanya perubahan mendasar pada peraturan perundangan mengenai pelaksanaan pemerintahan di daerah tentunya harus diiringi dengan perubahan tentang ketentuan dan tata cara pengelolaan keuangan daerah. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat mengharmonisasikan pengelolaan keuangan daerah baik antara pemerintah dengan pemerintah daerah, pemerintah daerah dengan DPRD dan pemerintah daerah dengan masyarakat (Halim, 2007). Dengan demikian, daerah dapat mewujudkan pengelolaan keuangan secara efektif dan efsien serta dapat mewujudkan tata pemerinah yang baik. Agar pelaksanaan desentralisasi fiskal dan pengelolaan keuangan dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan adanya manajemen yang baik dengan memperhatikan asas-asas umum dalam kebijakan keuangan negara dan keuangan daerah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal mempunyai tujuan utama untuk mendukung pendanaan atas urusan-urusan yang telah diserahkan di daerah, agar dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik sehingga diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga pada gilirannya akan mendorong perkembangan ekonomi melalui pembangunan ekonomi. Hal itu dapat ditunjukkan dengan semakin membaiknya nilai indikator-indikator yang menunjukkan keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Oleh karenanya pelaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan mampu memberikan dampak positif pada pelaksanaan pembangunan ekonomi dan dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah. Hal ini dikarenakan desain alokasi dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah juga memperhatikan keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah pada masa
38
sebelumnya melalui indikator-indikator yang ada yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, pengangguran, dan IPM. Sehingga dapat dikatakan ada hubungan yang erat antara pengelolaan keuangan daerah dan pembangunan ekonomi di era desentralisasi. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka dapat disusun diagram alur kerangka pemikiran dari Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya terhadap Pembangunan Ekonomi Provinsi Jawa Timur yang ditunjukkan pada Gambar 5.
UU No 32 dan 33 Tahun 2004
Desentralisasi Fiskal
Penerimaan Daerah (PAD, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, Lain-lain yang sah)
Pengeluaran Daerah (Belanja , Pembiayaan)
Pengelolaan Kuangan Daerah Analisis penerimaan Keuangan Daerah Analisis Pengeluaran Keuangan Daerah
Pembangunan Ekonomi (PDRB, IPM, Persentase Penduduk miskin, Kesenjangan Pembangunan )
Rekomendasi Kebijakan atas Hasil Penelitian Gambar 5 Diagram alur kerangka pemikiran.
39
2.4 Hipotesis Penelitian Adanya desentralisasi fiskal yang berdampak pada perubahan pengelolaan keuangan daerah diharapkan dapat meningkatkan kemandirian daerah serta peran anggaran pemerintah dalam pembangunan ekonomi suatu daerah baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini disebabkan karena : 1. Ada beberapa daerah yang mengalami kemajuan dalam hal kemandirian keuangan daerah, namun ada juga
beberapa daerah yang masih sangat
tergantung pada pemerintah pusat. 2. Ada beberapa daerah yang mengalami kemajuan pembangunan ekonomi yang sangat pesat di era desentralisasi fiskal. 3. Alokasi belanja daerah mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah.
III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Provinsi Jawa Timur dan dilaksanakan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan mulai tahap persiapan hingga penyelesaian laporan. Pengambilan dan pengolahan data dimulai pada bulan September 2009.
Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 6 Wilayah administrasi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.
3.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang terkait dalam penelitian ini diambil dari publikasi resmi pemerintah atau studi literatur yang diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Jawa Timur, BPS Pusat Jakarta, Pemda Jawa Timur, Departemen
41
Keuangan serta instansi lainnya yang terkait. Untuk mendukung ketersediaan data lainnya yang lebih lengkap, sumber data juga diakses melalui publikasi artikel maupun makalah/jurnal ilmiah dari internet. Jenis dan sumber data yang diperlukan seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5.
Data APBD Kemiskinan IPM Penduduk PDRB
Sumber BPS, Departemen Keuangan BPS BPS BPS BPS
3.3 Definisi Operasional Definisi operasional dari masing-masing variabel yang digunakan adalah : 1.
Kinerja fiskal daerah adalah berasal dari sisi penerimaan yaitu bersumber dari PAD dan bagi hasil yang merupakan kemampuan daerah untuk pendanaan, kemudian kinerja fiskal dari sisi pengeluaran daerah terdiri dari pos-pos pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.
2.
Fiscal capacity adalah ketersediaan keuangan daerah yang bersumber dari PAD, dana perimbangan (dana bagi hasil pajak dan sumberdaya, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus) dan penerimaan lainnya yang sah.
3.
Fiscal needs adalah kebutuhan fiskal daerah merupakan konsep yang menunjukkan jumlah fiskal yang dibutuhkan daerah dalam menjalankan pembangunan baik untuk pengeluaran rutin dan pembangunan daerah agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
4.
Total penerimaan daerah adalah semua penerimaan daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah, baik itu yang berasal dari pendapatan asli daerah, dana transfer dan pendapatan lain yang sah.
5.
Total pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.
6.
Belanja rutin adalah pengeluaran untuk keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan. Belanja rutin mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi, dan belanja lain-lain.
42
7.
Belanja pembangunan adalah belanja yang menghasilkan nilai tambah aset, baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu.
8.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah sumber pendapatan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah yang dijadikan sebagai barometer bagi potensi perekonomian suatu daerah, sekaligus mencerminkan efektifitas dan efisiensi aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan pekerjaannya
9.
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) adalah penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan pajak dan bukan pajak oleh provinsi maupun pusat, diantaranya yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak penghasilan orang pribadi dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Bagi hasil bukan pajak, diantaranya ádalah iuran hak penguasaan hutan, provisi sumber daya hutan, dan lainnya.
10. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi 11. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah suatu indeks yang secara khusus mengukur capaian
pembangunan manusia yang menggunakan beberapa
komponen dasar kualitas hidup melalui pendekatan tiga dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. 12. Persentase penduduk miskin adalah perbandingan antara jumlah penduduk suatu daerah yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan terhadap jumlah penduduk keseluruhan. Garis kemiskinan dibedakan atas garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan. Garis kemiskinan makanan yaitu nilai kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori perkapita perhari, sedangkan garis kemiskinan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. 13. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 (PDRB) adalah jumlah produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktifitas ekonomi yang terjadi di masyarakat yang diukur berdasarkan suatu periode
43
tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilainya benar-benar mencerminkan adanya jumlah produksi yang terbebas dari pengaruh harga. 14. Belanja pegawai adalah jenis belanja yang menampung seluruh pengeluaran negara yang digunakan untuk membayar gaji pegawai, termasuk berbagai tunjangan yang menjadi haknya, dan membayar honorarium, lembur, tunjangan khusus, serta membayar pensiun dan asuransi kesehatan (kontribusi sosial). 15. Belanja barang adalah jenis belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan operasional pemerintahan untuk pengadaan barang dan jasa, dan biaya pemeliharaan aset negara. 16. Belanja modal menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan untuk pembelian barang-barang kebutuhan investasi (dalam bentuk aset tetap dan aset lainnya) 17. Belanja lainnya adalah jenis belanja pembayaran bunga utang, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.
3.4 Metode Analisis. Beberapa metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dengan menggunakan analisis boxplot, analisis GIS dan analisis cluster untuk mengetahui perkembangan kinerja keuangan dan pembangunan ekonomi daerah. Sedangkan pengaruh belanja daerah terhadap pembangunan ekonomi menggunakan metode analisis inferensia yaitu metode VAR dalam panel data.
1. Analisis Boxplot Salah satu bentuk analisis deskriptif adalah grafik dalam bentuk boxplot. Sebagaimana diketahui, bahwa data itu mempunyai karakteristik untuk setiap tahun maupun setiap wilayah. Oleh karena itu langkah awal dalam menganalisis data adalah mempelajari karakteristik dari data tersebut. Untuk itu, kita perlu mengetahui misalnya pemusatan dan penyebaran data dari nilai tengahnya, nilai ekstrim atau pencilan dan beberapa pengukuran lainnya. Boxplot adalah salah satu teknik untuk mempelajari karakteristik dan distribusi data tersebut.
44
Boxplot (juga dikenal sebagai diagram box-and-whisker) merupakan suatu box (kotak berbentuk bujur sangkar). Boxplot adalah salah satu cara dalam statistik deskriptif untuk menggambarkan secara grafik dari data numeris melalui lima ukuran sebagai berikut : a. Nilai observasi terkecil b. Kuartil terendah atau kuartil pertama (Q1), yang memotong 25% dari data
terendah. c. Median (Q2) atau nilai pertengahan. d. Kuartil tertinggi atau kuartil ketiga (Q3), yang memotong 25% dari data
tertinggi. e. Nilai observasi terbesar.
Boxplot juga menunjukkan adanya nilai pencilan (outlier) dari observasi. Boxplot dapat digunakan untuk menunjukkan perbedaan antara populasi tanpa menggunakan asumsi distribusi stastistik yang mendasarinya. Karenanya, boxplot tergolong dalam statistik non-parametrik. Jarak antara bagian-bagian dari box menunjukkan derajat dispersi (penyebaran) dan skewness (kecondongan) dalam data. Dalam penggambarannya, boxplot dapat digambarkan secara horizontal maupun vertikal. Software yang digunakan dalam analisis boxplot ini adalah MINITAB 14. Hasil pengolahannya analisis boxplot dapat diilustrasikan dalam bentuk seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Outlier Perpanjangan Whisher, nilai tertinggi dalam batas atas
Kuartil ketiga (Q3)
Median (Q2)
Kuartil pertama (Q1)
Perpanjangan Whisher, nilai terendah dalam batas atas
Gambar 7 Diagram Boxplot.
45
Dari Gambar 7 dapat dijelaskan : a. Garis horizontal bagian bawah box menyajikan kuartil pertama (Q1), sementara bagian atas menyajikan kuartil ketiga (Q3). Bagian dari box adalah bidang yang menyajikan interquartile range (IQR), atau bagian pertengahan dari 50 % observasi. Panjang box ditentukan oleh IQR ini. IQR adalah ukuran yang terkenal untuk mengukur penyebaran data. Semakin tinggi (jika boxplot vertikal) atau semakin lebar (jika boxplot horizontal) bidang IQR ini, menunjukkan data semakin menyebar. b. Garis tengah yang melewati box menyatakan median dari data. Median adalah ukuran yang terkenal untuk lokasi variabel (nilai pusat atau rata-rata). c. Garis yang memperpanjang box dinamakan dengan whiskers. Whiskers menunjukkan nilai yang lebih rendah dan lebih tinggi dari kumpulan data yang berada dalam IQR (kecuali outlier). Panjang garis whisker bagian atas ini adalah kurang dari atau sama dengan Q3 + (1.5 x IQR). Panjang garis whisker bagian bawah ini adalah lebih besar atau sama dengan Q1 – (1.5 x IQR). Masing-masing garis whisker dimulai dari akhir box. d. Nilai yang berada di atas atau dibawah whisker dinamakan nilai outlier atau ekstrim. Suatu nilai dikatakan outlier jika: Q3+(1.5x IQR) < outlier ≤ Q3+(3x IQR) atau jika Q1-(1.5xIQR)>outlier≥Q1-(3xIQR). Selanjutnya, suatu nilai dikatakan ekstrim jika lebih besar dari Q3+(3 x IQR) atau lebih kecil dari Q1 – (3 x IQR). Beberapa manfaat dari penggunaan analisis boxplot adalah : a. Melihat derajat penyebaran data (yang dapat dilihat dari tinggi atau lebar box). Jika data menyebar, maka box semakin tinggi atau lebar. b. Menilai kesimetrisan data. Jika data simetris, garis median akan berada di tengah box dan whisker pada bagian atas dan bagian bawah akan memiliki panjang yang sama. Jika data tidak simetris (condong), median tidak akan berada di tengah box dan salah satu dari whisker lebih panjang dari yang lainnya.
46
2. Analisis Cluster (Analisis Gerombol) Analisis cluster merupakan suatu teknik statistik yang mengelompokkan n obyek pengamatan menjadi k gerombol dimana n> k, berdasarkan kesamaan sifat masing-masing obyek pengamatan dimana objek-objek dalam sebuah cluster relatif homogen dan objek-objek antar cluster relatif heterogen. Pada analisis cluster tidak ada asumsi yang berhubungan dengan jumlah kelompok maupun struktur kelompok. Cluster yang ideal sebagai hasil pengelompokan dengan analisis cluster adalah jika ragam setiap cluster dan ragam dalam cluster relatif lebih kecil dibandingkan ragam antar cluster. Pengelompokan
didasarkan
kepada
kemiripan
(similarities)
atau
ketidakmiripan (dissimilarities). Dalam penelitian ini yang digunakan adalah ukuran kemiripan dengan jarak Euclidian. Jarak ini digunakan apabila antara peubah-peubah individu tidak berkorelasi. Ada beberapa metode pengelompokan yang dapat digunakan pada analisis cluster ini yaitu : a. Metode pengelompokan berhierarki Metode ini memulai pengelompokan dengan dua atau lebih obyek yang mempunyai kesamaan terdekat. Kemudian proses diteruskan ke obyek lain yang mempunyai kedekatan kedua. Demikian seterusnya sehingga cluster akan membentuk semacam pohon dimana ada hierarki (tingkatan) yang jelas antar obyek dari yang paling mirip sampai yang tidak mirip, sehingga semua obyek pada akhirnya membentuk satu cluster. Dalam metode ini kita dapat menelusuri kenapa obyek yang bersangkutan menggerombol dalam satu cluster. Metode ini dapat dibedakan menjadi : 1) Metode agglomerative, yaitu metode yang pada mulanya tiap-tiap obyek dianggap sebagai satu kelompok tersendiri. Kemudian objek-objek yang paling mirip berdasarkan ukuran jarak terdekat dimasukkan dalam satu kelompok. Kelompok-kelompok yang terbentuk dilakukan penggabungan antar kelompok yang juga berdasarkan atas jarak terdekat. 2) Metode divisive, yaitu metode yang pada mulanya seluruh obyek dianggap berada dalam satu kelompok, kemudian kelompok tersebut dipecah menjadi beberapa sub kelompok, dimana obyek didalam suatu sub kelompok sangat berbeda dengan objek pada sub kelompok yang lain. Selanjutnya setiap sub
47
kelompok itu dipecah lagi menjadi beberapa sub kelompok berdasarkan ukuran ketidakmiripan. Pada metode analisis gerombol berhierarki terdapat beberapa metode untuk memperbaiki matrik jarak antara lain : 1) Metode pautan tunggal. 2) Metode pautan lengkap. 3) Metode pautan rataan. Dalam penelitian ini digunakan metode pautan rataan, karena metode ini dapat meminimumkan rataan jarak semua pasangan individu-individu dari penggabungan dua gerombol. b. Metode pengelompokan tidak berhierarki Dengan metode ini, kita dapat menelusuri sebab suatu obyek menggerombol ke suatu cluster, karena obyek selalu berpindah dari satu cluster ke cluster lain. Metode ini dimulai dengan menentukan terlebih dahulu jumlah cluster yang diinginkan. Setelah cluster diketahui, beberapa proses pengelompokan dilakukan tanpa mengikuti proses hierarki, antara lain teknik penyekatan dan penggunaan grafik. Pada teknik penyekatan seperti K-rataan (K-Means), obyek dapat berpindah
cluster
pada
setiap
tahapan
pengclusteran.
Biasanya
dalam
menggunakan teknik ini sudah ditetapkan berapa banyak cluster yang dinginkan, misalnya K cluster. Hasil analisis cluster digambarkan dalam bentuk dendogram seperti ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8 Dendogram hasil analisis cluster.
48
Manfaat analisis cluster adalah untuk : 1) Eksplorasi data. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang informasi yang ada dalam himpunan data tersebut bahkan sampai pada pembangkitan hipotesis untuk melihat struktur populasinya. 2) Reduksi data. Bila terdapat gerombol yang tepat, akan memungkinkan mengatasnamakan seluruh anggota gerombol tersebut dalam suatu informasi ringkasan dari gerombol tersebut. 3) Pelapisan atau pemisahan obyek-obyek. Hasil pengelompokan dari analisis gerombol dapat digunakan sebagai pelapisan atau stratifikasi dalam penarikan contoh atau penggolongan tipe obyek.
3. Analisis Spasial/Sistem Informasi Geografis (SIG) Analisis spasial secara sederhana dapat diartikan sebagai analisis yang menggunakan referensi keruangan (geografi). Setiap bagian dari analisis selain memberikan gambaran tentang suatu fenomena, juga selalu dapat memberikan informasi mengenai lokasi dan juga persebaran fenomena tersebut dalam suatu ruang (wilayah). Tujuan analisis spasial pada penelitian ini adalah membuat peta tematik yaitu peta yang akan memberikan gambaran suatu data atribut kedalam referensi geografi, misalkan peta tematik nilai PDRB menurut kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur dan lain sebagainya. Analisis spasial juga digunakan untuk membuat peta tematik yang akan memperlihatkan perkembangan kinerja keuangan daerah dan pelaksanaan pembangunan ekonomi di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Analisis ini menggunakan peta dasar dari BPS dan software ArcView GIS 3.3. 4. Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Perkembangan pengelolaan keuangan daerah dapat dilihat dari kinerja keuangan pemerintah daerah. Data yang digunakan adalah data APBD masingmasing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Dikarenakan adanya beberapa kali perubahan struktur APBD, maka dilakukan penyesuaian. Kinerja keuangan daerah dapat dianalisis dengan analisis kinerja fiskal yang dapat diukur dengan dua konsep yaitu :
49
a. Sisi Penerimaan (Fiscal Available). Fiscal Available atau ketersediaan fiskal terbagi tiga sumber yaitu : (1) Fiskal yang tersedia berasal murni dari daerah yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD). Rasio PAD terhadap total penerimaan menunjukkan kemandirian dari suatu daerah. Secara umum dapat diformulasikan : ……………………………………………………. (3.1) Keterangan : DDF
= Derajat desentralisasi fiskal
PAD
= Penerimaan Asli Daerah (Juta Rupiah)
TPD
= Total penerimaan daerah (Juta Rupiah)
(2) Fiskal yang tersedia berasal dari transfer pusat ke daerah berupa Dana Bagi
Hasil. Rasio dana bagi hasil terhadap total penerimaan menunjukkan seberapa besar potensi daerah terhadap sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. Secara umum dapat diformulasikan : ………………………………………………..(3.2) Keterangan : DPS
= Derajat potensi sumberdaya alam dan manusia
BHPBP = Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (Juta Rupiah) TPD
= Total penerimaan daerah (Juta Rupiah)
(3) Fiskal yang tersedia merupakan pembagian dari pusat. Rasio DAU terhadap total penerimaan menunjukkan seberapa besar penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah pusat. Secara umum dapat diformulasikan :
…………………………………………………….. (3.3) Keterangan : DKP
= Derajat ketergantungan terhadap pemerintah pusat
DAU
= Dana Alokasi Umum (Juta Rupiah)
TPD
= Total penerimaan daerah (Juta Rupiah)
50
Kinerja keuangan, yang dilihat dari sisi penerimaan khususnya komponen PAD dibandingkan TPD (Total Penerimaan Daerah) dapat dikategorikan dalam skala interval. Pengkategorian hasil skala interval menurut hasil penelitian tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan (2005) adalah seperti ditunjukkan dalam Tabel 6. Tabel 6 Skala interval derajat desentralisasi fiskal PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan daerah 00 - 10.00 Sangat Kurang 10.01 - 20.00 Kurang 20.00 - 30.00 Cukup 30.01 - 40.00 Sedang 40.01 - 50.00 Baik > 50.00 Sangat Baik Sumber : Tim Fisipol UGM dalam Tankilisan, 2005. b. Sisi Pengeluaran (Fiscal Needs). Fiscal needs atau kebutuhan fiskal daerah merupakan konsep yang menunjukkan jumlah fiskal yang dibutuhkan daerah dalam menjalankan pembangunan baik untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Fiscal needs adalah total pengeluaran pemerintah daerah yang tertuang dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah. Perhitungannya adalah dengan : (1) Pengeluaran untuk pengeluaran rutin. Rasio pengeluaran rutin terhadap total pengeluaran daerah. Secara umum dapat diformulasikan :
…………………………..……..………………….… (3.4)
Keterangan : DKR
= Derajat kebutuhan rutin daerah
KR
= Pengeluaran Rutin (Juta Rupiah)
TKD
= Total pengeluaran daerah (Juta Rupiah)
51
(2)
Pengeluaran
untuk
pengeluaran
Pembangunan.
Rasio
pengeluaran
pembangunan terhadap total pengeluaran daerah. Semakin besar kontribusi rasio pengeluaran pembangunan dibandingkan dengan pengeluaran rutin menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif, artinya pemerintah daerah lebih konsentrasi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara umum dapat diformulasikan :
……………………..……………………………….… (3.5) Keterangan : DKP
= Derajat kebutuhan publik daerah
KP
= Pengeluaran pembangunan (Juta Rupiah)
TKD
= Total pengeluaran daerah (Juta Rupiah)
Selain itu juga dilihat perkembangan derajat kemandirian daerah yang mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah (Halim, 2007). Ada 4 formula yang digunakan yaitu : ………………………..………..………………….… (3.6) …………………………………..……….……………(3.7) …………………………………………..…… (3.8) ………………………………….. ……………(3.9) Keterangan: DK
= Derajat kemandirian daerah
PAD
= Pendapatan Asli Daerah (Juta Rupiah)
BHPBP = Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (Juta Rupiah) TKD
= Total pengeluaran Daerah (Juta Rupiah)
KR
= Pengeluaran rutin (Juta Rupiah)
Dalam menilai derajat kemandirian daerah, digunakan skala menurut Tumilar dalam Tangkilisan (2005) terdapat skala interval yang ditunjukkan pada Tabel 7.
52
Tabel 7 Skala interval indeks kemampuan rutin daerah PAD/Pengeluaran (%) Kemampuan Keuangan daerah 00 - 10.00 Sangat Kurang 10.01 - 20.00 Kurang 20.00 - 30.00 Cukup 30.01 - 40.00 Sedang 40.01 - 50.00 Baik > 50.00 Sangat Baik Sumber : Tumilar dalam Tankilisan, 2005.
5. Analisis Indeks Theil Sebagaimana diketahui, setiap kabupaten/kota mempunyai perbedaan kandungan sumberdaya alam, perbedaan kondisi geografis, konsentrasi kegiatan ekonomi serta alokasi dana pembangunan sehingga akan mengakibatkan orientasi maupun dampak pembangunan yang diterima untuk masing-masing daerah juga akan berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu timbulnya masalah ketimpangan pembangunan antar wilayah. Salah satu ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah indeks Theil. Indeks Theil umumnya membandingkan kesenjangan pembangunan antar wilayah yang dicerminkan oleh nilai tambah aktifitas ekonomi dari suatu wilayah seperti pendapatan perkapita. Secara matematis formula untuk menghitung ketimpangan pembangunan antar wilayah dengan indeks Theil menurut Sjafrizal (2008) dapat ditulis sebagai berikut: ...................................................................(3.10) Keterangan : Td
= Indeks Theil.
yi
= PDRB per kapita kabupaten/kota ke- i di Provinsi Jawa Timur (ribu rupiah), i=1,2,3,...,38.
Y
= Jumlah PDRB perkapita kabupaten kota di provinsi Jawa Timur (ribu rupiah)
Ni
= jumlah penduduk kabupaten/kota ke- i di Provinsi Jawa Timur (jiwa), i=1,2,3,...,38.
N
= jumlah penduduk Propinsi Jawa Timur (jiwa)
Range nilai Indeks Theil: 0 < Td <1.
53
Kriteria penilaiannya adalah jika : a. Nilai Td mendekati 1 (satu), menunjukkan kemerataan antar daerah semakin memburuk (semakin timpang). b. Nilai Td mendekati 0 (nol), menunjukkan kemerataan antar daerah semakin membaik. Ada beberapa kelebihan penggunaan indeks theil sebagai ukuran ketimpangan yaitu : a. Indeks ini dapat menghitung ketimpangan dalam daerah dan antar daerah secara sekaligus, sehingga cakupan analisis menjadi lebih luas. b. Indeks ini dapat menghitung kontribusi (dalam persentase) masing-masing daerah terhadap ketimpangan pembangunan wilayah secara keseluruhan sehingga dapat memberikan implikasi kebijakan yang cukup tinggi.
6. Pengaruh belanja daerah terhadap PDRB, IPM dan jumlah penduduk miskin Provinsi Jawa Timur Untuk mengkaji pengaruh belanja daerah terhadap PDRB, IPM dan jumlah penduduk miskin Provinsi Jawa Timur digunakan analisis statistik inferensia. Analisis statistik inferensia adalah suatu alat analisis yang hasilnya dapat digunakan untuk bahan pengambilan keputusan atau peramalan di masa mendatang. Metode analisis yang digunakan adalah metode VAR dalam data Panel. Metode analisis ini merupakan pengembangan dari metode VAR, yang biasanya dilakukan dalam data times series, tetapi dalam hal ini menggunakan data panel. Sebagaimana disebutkan dalam Enders (1995), metode VAR dipopulerkan oleh Sims. Argumen utamanya adalah jika terdapat hubungan yang simultan antar variabel yang diamati, maka variabel-variabel tersebut perlu diperlakukan sama sehingga tidak ada lagi variabel endogen dan variabel eksogen. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan salah satunya adalah model VAR tidak banyak tergantung pada teori dalam penyusunan model, sehingga sering disebut model yang tidak struktural atau atheoritical model
(Enders, 1995). Model VAR
memperlakukan semua variabel secara simetris, apakah variabel tersebut diukur
54
dalam level atau first difference. Tidak terdapat variabel eksogen dan tidak ada identifying restriction yang didasari pada teori ekonomi. Peranan teori ekonomi dalam model VAR tradisional hanya terbatas dalam proses identifikasi variabel yang akan digunakan dalam proses estimasi. Seperti
yang
dijelaskan
sebelumnya
bahwa
penelitian
ini
akan
mengimplementasikan pendekatan VAR dalam data panel dengan tujuan untuk mengatasi beberapa kelemahan dalam model data panel yang statis. Pendekatan VAR dalam data panel merupakan penggabungan antara pendekatan Vector Autoregressive (VAR) dan panel data. VAR menyatakan semua variabel dalam sistem sebagai variabel endogen dan pendekatan panel data dapat menunjukkan heterogenitas dari individu yang tidak dapat diobservasi. Pendekatan estimasi VAR dalam data panel pertama kali dilakukan oleh Holtz-Eakin, Newey dan Rosen (1988) atau disingkat HNR. Pendekatan NHR kemudian menjadi rujukan dalam pemodelan yang menggabungkan antara pendekatan VAR dan panel data seperti yang dilakukan oleh Love dan Zicchino (2006) dan Becker dan Hoffmann (2003). Secara garis besar analisis VAR dapat memberikan manfaat bagi penggunaan dalam bentuk : a. Forecasting, eksplorasi nilai saat ini dan masa depan seluruh variabel dengan memanfaatkan seluruh informasi masa lalu variabel. b. Impule Response Function (IRF), melacak respon saat ini dan masa depan dari setiap variabel akibat perubahan atau shock suatu variabel tertentu c. Forecast Error Variance Decomposition (FEVDs), prediksi kontribusi persentase varian setiap variabel terhadap perubahan suatu variabel tertentu. Implementasi pendekatan PVAR dalam penelitian ini merujuk pada Becker dan Hoffman (2003) dan Gavin dan Theodora (2005) yang menyatakan persamaan PVAR dalam bentuk berikut: ........................................................ (3.11)
Keterangan : A
= matriks pangkat dua dengan dimensi n x n
55
n
= jumlah variabel
B(L) = matriks polinomial berderajat p dengan lag operator L p
= jumlah lag yang digunakan dalam model
Yit
= vektor untuk variabel endogen
Yit-1 = matriks dari lag i
= kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur, i=1,2,3....,38
t
= periode waktu penelitian, t=1,2,3,...,7
Yit adalah sebuah matrik, yaitu :
............................................................. (3.12)
Keterangan : PDRBit
= PDRB kabupaten/kota ke i tahun ke t (Juta Rupiah), i=1,2,…38, t=1,2,3,…,8
IPMit
= Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota ke i tahun t, i=1,2,…38, t=1,2,3,…,8
MISit
= Jumlah Penduduk Miskin kabupaten/kota ke i tahun ke t (Jiwa), i=1,2,…38, t=1,2,3,…,8
BPit
= Belanja Pegawai kabupaten/kota ke i tahun ke t (Juta rupiah), i=1,2,…38, t=1,2,3,…,8
BBit
= Belanja Barang kabupaten/kota ke i tahun ke t (Juta rupiah), i=1,2,…38, t=1,2,3,…,8
BMit
= Belanja Modal kabupaten/kota ke i tahun ke t (Juta rupiah), i=1,2,…38, t=1,2,3,…,8
BLit
= Belanja Lain kabupaten/kota ke i tahun ke t (Juta rupiah), i=1,2,…38, t=1,2,3,…,8
Uit
= error term kabupaten ke i tahun ke t , i=1,2,…38, t=1,2,3,…,8
56
Ada beberapa tahapan uji yang akan digunakan dalam metode VAR dalam data panel yaitu : a.
Uji Stationerity data Data panel merupakan gabungan antara data times series dan data cross
section. Dalam beberapa hal, data times series seringkali tidak stasioner sehingga menyebabkan hasil regresi yang meragukan atau regresi lancung. Regresi lancung adalah situasi dimana hasil regresi menunjukkan koefisien regresi yang signifikan secara statsitik dan nilai koefisien diterminasi yang tinggi, namun hubungan antar variabel di dalam model tidak saling berhubungan. Oleh karena itu, untuk dapat mengestimasi suatu model maka langkah utama yang harus dilakukan adalah uji stasioneritas
data (unit root test). Pengujian akar-akar unit dilakukan untuk
menganalisis apakah suatu variabel stasioner atau tidak stasioner. Data yang stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-rata dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya (Enders, 1995). Uji kestasioneran data merupakan tahap yang paling penting dalam menganalisis data time series untuk melihat ada tidaknya akar unit yang terkandung diantara variabel, sehingga hubungan diantara variabel menjadi valid. Panel data merupakan gabungan antara data times series dan cross section, maka tahap uji stasioner juga perlu dilakukan. Ada perbedaan uji stasionar di data panel dengan uji stasioner di data times series, hal ini dikarenakan adanya pengaruh indivual dan waktu. Ada beberapa metode uji stasioner dalam panel data, diantaranya dengan unit root (Baltaqi, 2001). Ide dasar uji unit root dalam panel data adalah pengembangan dari uji unit root dalam times series, yang dapat dijelaskan dalam model : ..............................................................(3.13)
Variabel Yit dan Xit merupakan pengamatan untuk setiap unit ke-i, i=1,2,3,...,N dan t=1,2,3,...,T. N adalah jumlah individu dan T adalah jumlah periode waktu. Variabel gangguan yang dinotasikan dengan
adalah bersifat
random dan stokhastik dengan rata-rata nol, varian yang konstan dan tidak saling berhubungan. Variabel yang mempunyai sifat tersebut disebut variabel gangguan
57
yang white noise. Jika diasumsikan
, dengan lag pi dan bervariasi antar
cross section, maka uji hipotesisnya : Ho :
(mempunyai Unit root)
H1 :
(Tidak mempunyai unit root)
Jika nilai
maka dikatakan bahwa variabel random Y mempunyai
akar unit (Unit root). Jika data panel mempunyai akar unit maka dikatakan data tersebut bergerak secara random (random walk) dan data yang mempunyai sifat random walk dikatakan data tidak stasioner. Oleh karena itu jika kita melakukan regresi Yit pada lag Yit-1 dan mendapatkan nilai
maka data dikatakan tidak
stasioner. Inilah ide dasar uji akar unit untuk mengetahi apakah data stasiner atau tidak. Formula uji unit root dengan dasar ADF adalah : ............................(3.14)
Jika diasumsikan
, dengan lag pi dan bervariasi antar cross
section, maka uji hipotesisnya : Ho :
(mempunyai Unit root)
H1 :
(Tidak mempunyai unit root)
Posedur untuk menentukan apakah data stasioner atau tidak dengan cara membandingkan antara nilai statistik dengan nilai kritisnya. Jika nilai absolut statistik lebih besar dari nilai kritisnya, maka data yang diamati menunjukkan stasioner dan jika sebaliknya, nilai absolut statistik lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tidak stasioner. Secara spesifik, ada beberapa uji unit root dalam data panel yang masing-masing uji tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Beberapa uji unit root ditunjukkan pada Tabel 8.
58
Tabel 8 Beberapa uji unit root dalam data panel Test
Hipotesis Nol
LLC (Levin, Lin Mempunyai unit root
Hipotesis Alternatif Tidak Mempunyai unit root
dan Chu) Breitung
Mempunyai unit root
Tidak Mempunyai unit root
IPS
Mempunyai unit root
Beberapa
Cross
section
mempunyai unit root Fisher-ADF
Mempunyai unit root
Beberapa
Cross
section
mempunyai unit root Fisher-PP
Mempunyai unit root
Beberapa
Cross
section
mempunyai unit root Hadri
Tidak Mempunyai unit root
Mempunyai unit toot
Sumber : Baltaqi, 2001 b. Menentukan Lag Optimal Menentukan lag optimal dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama yaitu menetukan panjang lag maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil (stasioner) jika seluruh rootsnya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak dalam unit circle. Kedua, panjang selang optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi Likehood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Critrion (AIC), Schwarz Information Critrion (SC) dan Hannan Quin Critrion (HQ). Panjang selang optimal diperlukan untuk menangkap pengaruh dari setiap variabel terhadap variabel lain di dalam sistem VAR. Bila digunakan salah satu kriteria di dalam menentukan panjang selang optimal, maka panjang selang optimal terjadi jika nilai-nilai kriteria di atas mempunyai nilai absolut paling kecil. Sedangkan jika menggunakan beberapa kriteria maka kita menggunakan kriteria tambahan yaitu dengan melihat nilai adjusted R2 variabel VAR dari masing-masing kandidat selang diperbandingkan, dengan penekanan pada variabel-variabel terpenting dari
59
sistem VAR tersebut. Selang optimal akan dipilih dari sistem VAR yang menghasikan nilai adjusted R2 terbesar pada variabel-variabel penting dalam sistem. c. Pengujian Hubungan Kointegrasi Regresi yang menggunakan data panel yang didalamnya terdapat data times series yang tidak stasioner kemungkinan besar akan menghasilkan regresi lancung. Regresi lancung terjadi jika koefisien diterminasi cukup tinggi tapi hubungan antara variabel independent dan variabel dependen tidak mempunyai makna. Hal ini terjadi karena hubungan keduanya yang merupakan data yang mengandung times series hanya menunjukkan trend saja. Jadi tingginya koefisien diterminasi karena trend bukan hubungan antar keduanya. Jika data dua variabel mengandung akar unit atau dengan kata lain tidak stasioner, namun kombinasi linier kedua variabel mungkin saja stasioner. Sebagaimana dinyatakan oleh Baltaqi (2001) keberadaan variabel nonstasioner menyebabkan kemungkinan besar adanya hubungan jangka panjang antara variabel-variabel di dalam sistem VAR. Berkaitan dengan hal tersebut, maka langkah selanjutnya di dalam estimasi VAR adalah uji kointegrasi, untuk mengetahui keberadaan hubungan antar variabel. Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang antara variabel-variabel yang meskipun secara individual tidak stasioner, tetapi kombinasi linier antara variabel tersebut menjadi stasioner. Metode yang dapat digunakan untuk melakukan uji kointegrasi adalah pengembangan dari uji kointegrasi di data times series, seperti metode Pedroni dan Koo (yang menggunakan dasar test kointegrasi Engle-Granger) dan Combined individual test (Fisher/Johansen). Untuk melakukan uji kointegrasi, dibuat dulu formula regresinya yaitu : ...............(3.15)
Kemudian kita dapatkan residualnya : ........................................................................(3.16) Atau
60
..........................................(3.17) Dari hasil estimasi nilai statistiknya, kemudian dibandingkan dengan nilai kristisnya. Nilai statitik diperoleh dari nilai
. Jika nilai statistiknya lebih besar
dari nilai kritisnya maka variabel-variabel yang diamati saling berkointegrasi atau mempunyai hubungan jangka panjang dan sebaliknya maka variabel-variabel yang diamati tidak berkointegrasi. d. Analisis Dalam model VAR Pada dasarnya analisis ini digunakan untuk melihat struktur dinamis dari sistem variabel dalam model yang diamati, yang dicerminkan oleh variabel inovasi (innovation variabel). a) Impulse Respon Function (IRF). IRF menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap kejutan dari variabel sendiri dan variabel endogen lainnya. Impulse Respon Function (IRF) menelusuri pengaruh kontemporer dari suatu standar deviasi shock dari suatu inovasi terhadap nilai-nilai endogen saat ini atau nilai mendatang. IRF memberikan arah hubungan dan besarnya pengaruh antar variabel endogen karena menunjukkan pengaruh satu standar deviasi shock variabel endogen terhadap variabel endogen lainnya maupun variabel itu sendiri. Dengan demikian shock atau suatu variabel dengan datangnya informasi baru akan mempengaruhi variabel itu sendiri dan variabel-variabel lainnya dalam sistem. Hasil IRF tersebut sangat sensitif terhadap pengurutan (ordering) variabel yang digunakan dalam perhitungan.
b) Variance Decomposition Analisis ini adalah cara lain untuk memahami karakteristik dari perilaku dinamis. Jika IRF dapat melacak pengaruh dari suatu shock yang terjadi terhadap endogenous variabel dalam sistem, maka variance decomposition memisahkan varian yang ada dalam variabel endogen menjadi komponen-komponen shock pada variabel endogen dalam VAR. Variance decomposition digunakan untuk menyusun perkiraan error variance suatu variabel, yaitu seberapa besar perbedaan
61
antara varian sebelum dan sesudah shock, baik shock yang berasal dari diri sendiri maupun shock dari variabel lain atau untuk melihat pengaruh relatif variabelvariabel penelitian terhadap variabel lainnya. Prosedurnya dengan mengukur presentase kejutan-kejutan atas masing-masing variabel. Lebih penting lagi menurut Sims dalam Enders (1995) Variance Decomposition menunjukkan kekuatan hubungan granger causality yang mungkin ada diantara variabelvariabel. Dengan kata lain, jika suatu variabel menjelaskan porsi yang besar dari forecast error variance dari variabel lain atau sebaliknya, mengindikasikan hubungan granger causality yang kuat.
IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis dan Iklim Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa selain Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah Provinsi Jawa Timur terletak pada batas astronomi 111o0’ hingga 114o4’ Bujur Timur dan 7o12’ hingga 8o48’ Lintang Selatan. Provinsi Jawa Timur mempunyai batas wilayah : a. Sebelah utara dengan Pulau Kalimantan tepatnya Provinsi Kalimantan Selatan. b. Selatan timur berbatasan dengan Pulau Bali. c. Sebelah selatan berbatasan dengan perairan terbuka Samudera Indonesia. d. Sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Secara umum, wilayah Jawa Timur terbagi menjadi dua bagian besar yaitu Jawa Timur daratan, hampir mencakup 90% dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa Timur, dan wilayah kepulauan yang sekitar 10% dari luas wilayah Jawa Timur. Luas wilayah Provinsi Jawa Timur yang mencapai 46 428.57 km2 atau 2.51% dari keseluruhan luas Indonesia dan merupakan provinsi dengan urutan ke-12 dari segi perbandingan wilayah dengan provinsi lain di Indonesia. Provinsi Jawa Timur terbagi ke dalam empat badan koordinasi wilayah (Bakorwil), 29 kabupaten, 9 kota dan 658 kecamatan dengan 8 497 desa/kelurahan (2 400 kelurahan dan 6 097 desa). Apabila diamati dari komposisi jumlah kecamatan dan desa, maka diketahui bahwa Kabupaten Malang memiliki jumlah kecamatan terbanyak, yaitu 33 kecamatan. Banyaknya jumlah kecamatan yang dimiliki tidak secara otomatis menjadi daerah dengan jumlah desa/kelurahan terbanyak pula. Kabupaten yang memiliki jumlah desa/kelurahan terbanyak adalah di Kabupaten Lamongan, yaitu sebesar 474 desa/kelurahan. Sementara itu, Kabupaten Banyuwangi adalah daerah dengan luas wilayah paling besar yaitu sebesar 5 782.68 km2 dan Kota Mojokerto adalah daerah dengan luas wilayah paling kecil sebesar 16.46 km2 (Tabel 9).
63
Tabel 9 Kabupaten/Kota dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Timur tahun 2008 Kabupaten/Kota
Luas Area 2
(km )
Kelurahan/Desa
Jumlah Kecamatan
Perkotaan Perdesaan
Jumlah
Kabupaten : 1
Pacitan
1 342.42
12
19
152
171
2
Ponorogo
1 371.78
21
66
237
303
3
Trenggalek
1 205.22
14
28
129
157
4
Tulungagung
1 046.22
19
91
180
271
5
Blitar
1 588.79
22
53
195
248
6
Kediri
1 386.05
24
105
239
344
7
Malang
2 979.41
33
117
272
389
8
Lumajang
1 790.90
21
27
177
204
9
Jember
2 477.68
31
63
184
247
10
Banyuwangi
5 782.68
24
62
155
217
11
Bondowoso
1 560.10
23
33
182
215
12
Situbondo
1 638.81
17
33
103
136
13
Probolinggo
1 599.03
24
75
255
330
14
Pasuruan
1 150.75
24
106
259
365
15
Sidoarjo
634.39
18
268
85
353
16
Mojokerto
692.15
18
102
202
304
17
Jombang
903.90
21
144
162
306
18
Nganjuk
1 224.33
20
86
198
284
19
Madiun
1 010.86
15
39
167
206
20
Magetan
688.82
18
71
164
235
21
Ngawi
1 295.98
19
15
202
217
22
Bojonegoro
2 307.06
27
58
372
430
23
Tuban
1 839.94
20
45
283
328
24
Lamongan
1 669.56
27
51
423
474
25
Gresik
1 191.19
18
139
217
356
26
Bangkalan
1 259.54
18
38
243
281
27
Sampang
1 233.36
14
12
174
186
28
Pamekasan
792.30
13
25
164
189
29
Sumenep
1 998.54
27
35
297
332
63.40
3
46
0
46 21
Kota 71
Kediri
72
Blitar
73
Malang
74
32.57
3
21
0
110.06
5
54
3
57
Probolinggo
56.66
3
21
8
29
75
Pasuruan
35.29
3
32
2
34
76
Mojokerto
16.46
2
18
0
18
77
Madiun
33.23
3
27
0
27
78
Surabaya
326.36
31
163
0
163
79
Batu
92.78
3
12
12
24
46 428.57
658
2 400
6 097
8 497
Jumlah
Sumber : BPS, 2009.
64
Provinsi Jawa Timur mempunyai beberapa gunung berapi yang masih aktif antara lain Gunung Kelud, Gunung Berapi dan Gunung Raung. Sementara beberapa sungai besar yang ada di Jawa Timur diantaranya adalah sungai Bengawan Solo, Brantas, Madiun, Konto dan lainnya. Lokasi Provinsi Jawa Timur yang berada disekitar garis khatulistiwa,
seperti provinsi lainnya di
Indonesia, wilayah ini mempunyai perubahan musim sebanyak dua jenis setiap tahunnya yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Bulan Oktober sampai April merupakan musim penghujan sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei sampai September. Rata-rata temperatur di Jawa Timur antara 20oC – 37oC, dengan kelembapan 28% sampai 100%.
Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 9 Wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut ketinggian rata-rata dari atas permukaan laut Tahun 2008.
65
Gambar 9 menunjukkan letak kabupaten/kota di Jawa Timur menurut ketinggian rata-rata dari atas permukaan laut. Provinsi Jawa Timur dapat dibedakan menjadi 3 dataran yaitu : dataran tinggi, dataran sedang dan dataran rendah. Dataran tinggi merupakan daerah dengan ketinggian rata-rata 100 meter diatas permukaan laut. Kabupaten Blitar,
Daerah tersebut meliputi Kabupaten Trenggalek,
Kabupaten Malang, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten
Magetan, Kota Blitar, Kota Malang dan Kota Batu. Dataran sedang mempunyai ketinggian antara 45-100 meter diatas permukaan laut. Daerah ini meliputi Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Madiun, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Bangkalan, Kota Madiun dan Kota Kediri. Kabupaten Lainnya merupakan dataran rendah, dengan ketinggian dibawah 45 meter diatas permukaan laut. Secara umum perkembangan struktur ruang Jawa Timur mengarah pada dominasi kawasan perkotaan yang mempengaruhi perekonomian wilayah perdesaan. Fenomena urbanisasi dan aglomerasi wilayah terus berkembang mengarah ke hierarki perkotaan lebih besar, sehingga primacy kota metropolitan semakin tinggi dibandingkan tingkatan kota-kota lainnya. Untuk mengendalikan perkembangan kawasan perkotaan yang cenderung terus membesar, dan berpotensi mendorong perkembangan mega-urban tersebut, serta
menyeimbangkan
perkembangan
perkotaan,
dan
mengendalikan
perkembangan kawasan terbangun di perkotaan serasi dengan kawasan pedesaan sesuai dengan daya dukung serta prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, maka dibentuklah struktur ruang wilayah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Jawa Timur. Penentuan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) berdasarkan kecenderungan pergerakan manusia, barang dan jasa, serta karakteristik wilayah. Orientasi pergerakan manusia, barang dan jasa di Jawa Timur cenderung memusat pada titik-titik tertentu, dan mengarah pada wilayah yang telah terlebih dahulu berkembang. SWP Jawa Timur terbagi dalam sembilan kelompok yaitu kelompok Gerbangkertosusilo plus, Malang Raya, Madiun dan sekitarnya, Kediri dan sekitarnya, Probolinggo-lumajang, Blitar, Jember dan sekitarnya, Banyuwangi dan sekitarnya serta Madura dan Kepulauan. Gambar 10 menunjukkan kelompok Satuan Wilayah Pengembangan Jawa Timur.
66
Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 10 Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Provinsi Jawa Timur beserta kelompoknya. 4.2 Karakteristik Kependudukan dan Sosial Penduduk memegang peranan penting dalam proses pembangunan ekonomi karena disamping sebagai obyek pembangunan tetapi juga sekaligus sebagai subyek pembangunan. Keunikan peranan penduduk dalam pembangunan ini menempatkan posisi yang krusial yaitu merupakan penggerak pembangunan atau justru sebagai penghambat pembangunan. Penduduk sebagai penggerak pembangunan manakala penduduk merupakan sumber daya manusia yang produktif sehingga mampu menciptakan nilai tambah dalam kegiatan ekonomi. Sedangkan penduduk akan menjadi penghambat pembangunan manakala jumlah
67
penduduk yang banyak tanpa diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia sehingga menjadi beban bagi pembangunan. Jumlah Penduduk provinsi Jawa Tmur termasuk dalam kategori provinsi dengan jumlah penduduk yang besar di Indonesia. Konsekuensi yang ditimbulkan dengan jumlah penduduk yang besar adalah timbunya masalah-masalah sosial dan lingkungan yang cukup kompleks seperti penciptaan lapangan kerja, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Tabel 10 menunjukkan jumlah penduduk setiap kabupaten/kota di Jawa Timur pada tahun 2005-2008. Pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Timur menurut hasil SUPAS 2005 adalah sebesar 0.54%.
Beberapa daerah yang
mempunyai tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi dibanding dengan daerah lain tidak terlepas dari potensi daerah tersebut menjadi pusat kawasan pertumbuhan ekonomi sehingga menjadi daerah tujuan perpindahan penduduk. Daerah-daerah tersebut antara lain Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Jombang dan Kabupaten Gresik. Namun selain itu juga disebabkan karena masih kuatnya kepercayaan pada adat seperti banyak anak banyak rizqi, atau tidak boleh ikut program KB karena bertentangan dengan agama, Daerah-daerah tersebut antara lain daerah di kawasan Madura, yaitu Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pamekasan.
68
Tabel 10 Jumlah penduduk kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 20052008 Kabupaten/Kota
Pertumbuhan
Jumlah Penduduk (Jiwa) 2005
2006
2007
2008
551 290
553 321
555 262
557 029
Penduduk 2008 (%)
Kabupaten 1
Pacitan
0.32
2
Ponorogo
885 047
888 857
892 527
895 921
0.38
3
Trenggalek
673 102
673 920
674 620
675 380
0.11
4
Tulungagung
977 211
981 257
985 147
988 731
0.36
5
Blitar
1 069 151
1 069 569
1 069 798
1 070 122
0.03
6
Kediri
1 450 937
1 451 028
1 451 119
1 451 630
0.04
7
Malang
2 375 537
2 388 755
2 401 624
2 413 779
0.51
8
Lumajang
1 013 454
1 017 467
1 021 317
1 024 849
0.35
9
Jember
2 295 795
2 304 634
2 313 100
2 320 844
0.33
10
Banyuwangi
1 517 432
1 522 534
1 527 384
1 531 753
0.29
11
Bondowoso
701 105
703 303
705 384
707 242
0.26
12
Situbondo
616 505
618 816
621 026
623 042
0.32
13
Probolinggo
1 040 234
1 041 370
1 042 323
1 043 671
0.13
14
Pasuruan
1 433 270
1 438 610
1 443 716
1 448 370
0.32
15
Sidoarjo
1 715 439
1 737 543
1 759 623
1 781 405
1.24
16
Mojokerto
978 769
987 817
996 774
1 005 486
0.87
17
Jombang
1 237 640
1 253 752
1 269 851
1 285 739
1.25
18
Nganjuk
991 313
994 468
997 458
1 000 132
0.27
19
Madiun
642 159
642 335
642 398
642 518
0.02
20
Magetan
622 384
623 536
624 581
625 424
0.13
21
Ngawi
827 728
830 281
832 696
834 847
0.26
22
Bojonegoro
1 239 756
1 247 919
1 255 914
1 263 551
0.61
23
Tuban
1 069 935
1 073 071
1 076 027
1 078 641
0.24
24
Lamongan
1 187 504
1 188 136
1 188 559
1 189 087
0.04
25
Gresik
1 132 689
1 153 292
1 174 063
1 194 821
1.77
26
Bangkalan
907 119
923 657
940 331
956 996
1.77
27
Sampang
851 537
868 370
885 379
902 429
1.93
28
Pamekasan
785 932
802 172
818 604
835 101
2.02
29
Sumenep
1 016 187
1 016 418
1 016 471
1 016 907
0.04
Kota 71
Kediri
263 335
265 721
268 081
270 374
0.86
72
Blitar
128 731
129 932
131 121
132 278
0.88
73
Malang
802 763
807 543
812 209
816 637
0.55
74
Probolinggo
215 195
218 995
222 822
226 643
1.71
75
Pasuruan
173 774
173 872
173 940
174 073
0.08
76
Mojokerto
112 823
112 959
113 075
113 201
0.11
77
Madiun
174 739
175 955
177 148
178 291
0.65
78
Surabaya
2 622 023
2 625 298
2 628 113
2 630 079
0.07
79
Batu
182 235
184 117
185 986
187 813
0.98
36 481 779 36 690 600 36 895 571 37 094 836
0.54
Jumlah
Sumber : BPS, 2009.
69
Permasalahan lain dalam kependudukan di Provinsi Jawa Timur yaitu adanya konsentrasi penduduk pada satu tempat sehingga menimbulkan perbedaan kepadatan penduduk antar wilayah di Jawa Timur. Daerah yang luas belum tentu penduduknya banyak atau sebaliknya daerah yang sempit belum tentu penduduknya sedikit. Angka kepadatan penduduk Provinsi Jawa Timur dari tahun 2002 ke tahun 2008 menunjukkan peningkatan. Secara umum tingkat kepadatan penduduk Provinsi Jawa Timur pada tahun 2008 sebesar 799 orang/Km2, namun untuk tingkat kepadatan kabupaten/kota sangat bervariatif. Kepadatan penduduk di kota umumnya lebih tinggi dibandingkan kepadatan penduduk di kabupaten. Untuk tingkat kepadatan daerah kota, rata-rata diatas 2000 orang/km2. Kepadatan penduduk daerah perkotaan merupakan konsekuensi logis dari tingginya aktivitas perekonomian di perkotaan. Oleh karena itu, meskipun luas wilayah perkotaan relatif jauh lebih sempit dibandingkan wilayah kabupaten, namun jumlah penduduknya relatif lebih banyak, sehingga kepadatan penduduk pun semakin tinggi. Wilayah kabupaten/kota di Jawa Timur dapat dibedakan menjadi tiga kelompok menurut tingkat kepadatan penduduk. Kelompok pertama yaitu kelompok kabupaten/kota yang mempunyai kepadatan penduduk di atas 2000 orang/km2, yaitu semua daerah yang berstatus kota serta Kabupaten Sidoarjo. Kelompok kedua yaitu kelompok kabupaten/kota yang mempunyai kepadatan penduduk antara 1000 -2000 orang/km2, yaitu Kabupaten Kediri, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang, Kabupaten Gresik dan Kabupaten Pamekasan. Lokasi kelompok kedua ini berdekatan dengan Kota Surabaya. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingginya aktivitas perekonomian Kota Surabaya mampu menjadi faktor penarik bagi para pekerja. Namun karena pertumbuhan penduduk di Surabaya sudah semakin jenuh serta tingginya kebutuhan hidup, maka banyak para pendatang pada umumnya memilih untuk berdomisili di wilayah sekitar Kota Surabaya. Kelompok ketiga, yaitu kabupaten/kota yang mempunyai tingkat kepadatan kurang dari 1000 orang/km2 adalah lebih dari 50% dari kabupaten/kota di Jawa Timur. Kabupaten yang mempunyai kepadatan penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Banyuwangi. Meskipun jumlah penduduk wilayah ini relatif
70
banyak, namun Kabupaten Banyuwangi merupakan kabupaten dengan wilayah terluas di Provinsi Jawa Timur. Selain Kabupaten Banyuwangi, wilayah dengan kepadatan penduduk terendah adalah Kabupaten Situbondo, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Lumajang (Gambar 11).
Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 11 Wilayah kabupaten/kota di Jawa Timur menurut tingkat kepadatan penduduk tahun 2008.
Jika diamati lebih lanjut, maka diketahui bahwa kabupaten dengan kepadatan penduduk yang rendah berlokasi jauh dari wilayah perkotaan, khususnya ibukota provinsi serta kondisi geografisnya yang di sekitar pegunungan. Adapun seluruh wilayah tapal kuda di Jawa Timur memiliki
71
kepadatan penduduk yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi serta pusat kegiatan pemerintahan, dalam hal ini adalah perkotaan, merupakan faktor penarik yang cukup signifikan bagi masyarakat untuk menentukan tempat tinggalnya.
4.3 Karakteristik Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menggambarkan kemampuan suatu wilayah dalam menciptakan nilai tambah pada suatu waktu tertentu. PDRB dapat dilihat dari tiga sisi pendekatan yaitu produksi, pengeluaran dan pendapatan. Ketiganya menyajikan komposisi data nilai tambah dirinci menurut sektor ekonomi, komponen penggunaan dan sumber pendapatan. PDRB dari sisi produksi merupakan penjumlahan seluruh nilai tambah bruto yang mampu diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi atas berbagai aktifitas produksinya. Sedangkan dari sisi penggunaan menjelaskan tentang penggunaan dari nilai tambah tersebut. Selanjutnya dari sisi pendapatan, nilai tambah merupakan jumlah upah/gaji, surplus usaha, penyusutan pajak tak langsung neto yang diperoleh. Secara makro, besaran PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja ekonomi suatu wilayah seperti provinsi atau kabupaten. Fenomena dan perilaku ekonomi dari berbagai pelaku ekonomi dapat dilihat dari data PDRB. Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 dan direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004. Adanya kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan regional suatu daerah dan menimbulkan multiplier effect terhadap perekonomian Jawa Timur. Jawa Timur merupakan barometer perekonomian nasional setelah DKI Jakarta dan Provinsi Jawa barat, sebab kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional mencapai sekitar 16%. PDRB Jawa Timur baik Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) maupun Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) pada periode 2002-2008 menunjukkan kecenderungan terus meningkat sejalan kian membaiknya kondisi perekonomian.
72
Tabel 11 PDRB Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 PDRB
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Atas Dasar Harga Berlaku (Milyar) 267 157.72 300 609.86 341 065.25 403 392.35 470 627.49 534 919.33 621 581.96
Atas Dasar Harga KonstanMilyar) 218 452.39 228 884.46 242 228.89 256 374.73 271 249.32 287 814.18 304 798.97
Sumber : BPS, diolah.
Pada tahun 2002 PDRB Jawa Timur menurut ADHB sebesar 267.158 triliun rupiah, yang kemudian meningkat di tahun 2008 mencapai 621.582 triliun rupiah. PDRB ADHK juga mengalami kenaikan menjadi 304.799 triliun rupiah pada tahun 2008 yang pada tahun 2002 sebesar 218.452 triliun rupiah (Tabel 11).
Trenggalek; 0.60 Ponorogo; 0.98 Batu; 0.41
Pacitan; 0.45
Tulungagung; 2.30 Kediri; 2.07 Blitar; 1.81
Banyuwangi; 3.26
Lumajang; 1.93 Jember; Bondowoso; 3.37 0.72
Surabaya; 26.27
Madiun; 0.37 Mojokerto; Malang; 4.11 0.39 Pasuruan; 0.36 Probolinggo ; 0.65
Malang; 4.44
Situbondo ; 1.17 Probolinggo; 2.09 Pasuruan; 2.18
Sidoarjo ; 8.39 Kediri; 8.26 Gresik; 5.04
Blitar; 0.21
Mojokerto; 1.98 Jombang; 1.97 Nganjuk; 1.47
Sumenep; 1.63 Bangkalan; 1.04 Pamekasan ; 0.69 Sampang ; 0.81
Lamongan; 1.41
Madiun; 0.83
Tuban; 2.12 Bojonegoro; 2.22
Magetan ; 0.99
Ngawi; 0.98
Gambar 12 Kontribusi PDRB kabupaten/kota terhadap total PDRB Jawa Timur tahun 2008. Provinsi Jawa Timur terdiri dari 29 kabupaten dan 9 kota. Dari 38 kabupaten/kota tersebut, masing-masing daerah mempunyai karakteristik alam,
73
sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda-beda. Hal tersebut menyebabkan produktivitas perekonomian antar wilayah yang satu berbeda dengan wilayah lainnya. Gambar 12 menunjukkan bahwa kontribusi terbesar terhadap total PDRB Provinsi Jawa Timur diberikan oleh Kota Surabaya yang pada tahun 2008 sebesar 26.27%, Daerah lain yang mempunyai peran cukup besar di dalam menciptakan PDRB Jawa Timur selain Kota Surabaya adalah Kota Kediri sebesar 8.26%, Kabupaten Sidoarjo sebesar 8.39%, Kabupaten Gresik sebesar 5.05% dan Kabupaten Malang sebesar 4.11%. Struktur nilai tambah yang terbentuk dari masing-masing sektor menggambarkan tingkat ketergantungan suatu daerah terhadap sektor tersebut. Semakin besar nilai tambah suatu sektor maka semakin besar pula wilayah tersebut tergantung dari sektor tersebut. Nilai tambah bruto Jawa Timur sangat dipengaruhi oleh tiga sektor yang paling besar pangsanya dalam pembentukan nilai tambah bruto Jawa Timur. Ketiga sektor tersebut adalah sektor pertanian, sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Tabel 12 Kontribusi PDRB menurut lapangan usaha Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 Lapangan Usaha
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Pertanian
19.04
18.24
17.57
17.24
17.15
16.73
16.57
Pertambangan dan Penggalian
2.06
2.00
1.93
2.00
2.07
2.12
2.18
29.31
29.50
29.61
29.99
29.27
28.76
28.49
Listrik, Gas dan Air Bersih
1.89
1.94
2.05
1.90
1.86
1.91
1.91
Bangunan
3.81
3.74
3.68
3.60
3.46
3.36
3.34 29.36
Industri Pengolahan
Perdagangan, Hotel dan Restoran
25.35
26.08
26.71
27.17
27.96
28.80
Pengangkutan dan Komunikasi
5.67
5.71
5.52
5.53
5.57
5.55
5.32
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
4.53
4.41
4.61
4.53
4.52
4.62
4.68
Jasa-Jasa
8.35
8.38
8.32
8.04
8.14
8.15
8.15
Total
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber : BPS, 2009
Tabel 12 menunjukkan bahwa mulai tahun 2006, terjadi pertukaran posisi antara sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Kontribusi industri pengolahan mengalami penurunan, salah satu penyebabnya adanya krisis BBM pada tahun 2005. Sebagaimana diketahui, bahwa sektor industri adalah
74
sektor yang sangat tergantung pada BBM, sehingga jika ada kenaikan harga BBM akan berpengaruh pada sektor industri. Namun gambaran kontribusi sektor PDRB terhadap total PDRB untuk masing-masing kabupaten/kota di Jawa Timur sangat bervariatif. Sebagaimana diketahui kabupaten/Kota mempunyai kondisi geografis dengan berbagai potensi yang dapat diberdayakan, seperti sumberdaya air, lahan, hutan serta pesisir pantai dan laut. Beragamnya potensi masing-masing wilayah menyebabkan timbulnya perbedaan karakteristik struktur perekonomian yang berbeda di setiap kabupaten/kota. Sebagai contoh aktifitas perekonomian di wilayah kabupaten pada umumnya di dorong oleh sektor pertanian dan sektor industri sedangkan wilayah perkotaan oleh sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Struktur masing-masing daerah seperti ditunjukkan pada Gambar 13. 100.00
80.00
P e r s e n
60.00
40.00
20.00
0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 Kode Kabupaten Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Pengangkutan dan Komunikasi Jasa-jasa
Pertambangan dan Penggalian Listrik, Gas dan Air Bersih Perdagangan, Hotel dan Restoran Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang
08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan
Kabupaten 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi
22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Gambar 13 PDRB kabupaten di Provinsi Jawa Timur menurut lapangan usaha tahun 2008.
75
Beberapa kabupaten didominasi hampir 50% oleh sektor pertanian seperti Kabupaten Banyuwangi, dan kabupaten-kabupaten di kawasan Madura. Kota secara umum kontribusi dari sektor pertanian sangat kecil kecuali Kota Batu. Sebagian besar didominasi oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pangsa terbesar pada PDRB tahun 2008 disumbangkan oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, yang kemudian disusul sektor industri, namun sebagian besar wilayah Jawa Timur masih berbasis sektor pertanian. Sedangkan sektor perdagangan dan industri pengolahan hanya menjadi basis di beberapa kabupaten/kota saja.
100.00 90.00 80.00 70.00 P e r s e n
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 71
72
73
74
75 Kode Kota
Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Pengangkutan dan Komunikasi Jasa-jasa
76
77
78
79
Pertambangan dan Penggalian Listrik, Gas dan Air Bersih Perdagangan, Hotel dan Restoran Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Keterangan : Kota 71 Kediri 72 Blitar
73 Malang 74 Probolinggo
75 Pasuruan 76 Mojokerto
77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 14 PDRB kota di Provinsi Jawa Timur menurut lapangan usaha tahun 2008.
76
4.4 Struktur Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Sejalan dengan tuntutan demokratisasi dalam bernegara, penyelenggaraan pemerintahan juga mengalami perubahan. Sistem pemerintahan yang semula lebih condong pada sentralistik menjadi desentralisasi. Selaras dengan perubahan tersebut, maka tata aturan juga mengalami perubahan yang lebih mengarah pada penyempurnaan pelaksanaan otonomi daerah, melalui pemberian kewenangan yang seluas-luasnya dengan tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbagai penyempurnaan dilakukan seperti yang tertuang dalam UU No. 33 Tahun 2004, yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 25 Tahun 1999. Pemberian kewenangan diberikan baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran keuangan daerah. Penerimaan daerah merupakan sumber pendapatan pemerintah daerah yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan daerah. Penerimaan daerah di Propinsi Jawa Timur selama periode 2002-2008 mengalami peningkatan. Dengan demikian adanya implementasi kebijakan desentralisasi fiskal yaitu dengan adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam mengelolan pendapatan daerah sejalan dengan meningkatnya besaran APBD yang diterima oleh pemerintah daerah Jawa Timur. Meningkatnya penerimaan daerah ini diharapkan juga mampu untuk meningkatkan kemandirian daerah dalam membiayai pembangunan dan menentukan prioritas pembangunan sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki. Selain itu, pemerintah daerah diharapkan juga mampu mengelola anggaran tersebut secara tepat karena dalam era desentralisasi fiskal ini, penerimaan daerah merupakan modal utama dalam pembangunan. Penerimaan daerah terdiri atas beberapa komponen yaitu Pendapatan Asli daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan penerimaan lain yang sah. Perkembangan komponen penerimaan daerah di Jawa Timur secara umum selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal tersebut dapat dilihat dari komposisi penerimaan daerah di Provinsi Jawa Timur pada periode tahun 2002 dan 2008.
77
Tabel 13 Penerimaan total kabupaten dan kota di Jawa Timur menurut sumber penerimaan tahun 2002 dan 2008 serta pertumbuhannya 2002
Sumber Penerimaan
Juta rupiah
2008 %
Juta rupiah
Pertumbuhan (%)
%
PAD
1 215 470.42
10.31
2 405 534.33
8.75
97.91
BHPBP
1 112 228.50
9.43
2 336 997.94
8.50
110.12
DAU
8 950 063.53
75.89
19 508 428.56
70.96
117.97
515 767.67
4.37
3 239 994.47
11.79
528.19
11 793 530.12
100.00
27 490 955.30
100.00
133.10
Lain-Lain Total
Sumber : BPS, diolah
Tabel 13 menunjukkan perubahan penerimaan Jawa Timur periode tahun 2002 dan 2008 menurut sumber penerimaan. PAD mengalami perubahan sebesar 97.91% dari tahun 2002 ke tahun 2008. Perubahan ini merupakan perubahan yang terkecil dibandingkan dengan perubahan jenis sumber penerimaan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa daerah belum optimal untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurut BPS (2008) ada beberapa faktor yang menyebabkan belum optimalnya penerimaan PAD terhadap total penerimaan daerah yaitu: a. Masih adanya sumber pendapatan potensial yang dapat digali oleh Pemda akan tetapi berada di luar penerimaan pemerintah daerah. b. Rendahnya tingkat hidup dan ekonomi masyarakat yang tercermin dalam pendapatan perkapita c. Kurang mampunya pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang ada. Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai dana transfer dari pusat, mempunyai kontribusi terbesar dari total penerimaan daerah. Besarnya kontribusi DAU terhadap total penerimaan daerah mengindikasikan masih lemahnya anggaran daerah kabupaten/kota di Jawa Timur dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan melalui Pendapatan Asli daerah (PAD). Hal ini memberikan gambaran bahwa kinerja fiskal penerimaan daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur melalui PAD belum menunjukkan hasil yang baik. Dengan kata lain, pembiayaan pembangunan Jawa Timur sebagian masih bergantung pada pusat.
78
Besarnya penerimaan total provinsi Jawa Timur tentu tidak terlepas dari bagaimana kondisi penerimaan daerah masing-masing kabupaten/kotanya. Adanya potensi yang dimiliki masing-masing kabupaten/kota tentu berakibat pada besarnya jumlah penerimaan yang diterima oleh masing-masing daerah. Tabel 15 menunjukkan dari 38 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Jawa Timur, Kota Surabaya pada tahun 2008 merupakan daerah yang memiliki kontribusi penerimaan daerah terhadap total penerimaan provinsi terbesar dengan kontribusi sebesar 7.48%. Hal ini dikarenakan Kota Surabaya, sebagai ibukota Provinsi Jawa Timur tentunya mempunyai kegiatan ataupun fasilitas yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah lain. Jika dilihat dari besarnya PDRB, kontribusi PDRB Kota Surabaya terhadap total PDRB Jawa Timur adalah lebih besar dari 25%, artinya kegiatan perekonomian Jawa Timur hampir lebih 25% terdapat di Kota Surabaya. Beberapa kota yang mempunyai kontribusi penerimaan sekitar 1%, jika dilihat kontribusi PDRB terhadap PDRB Jawa Timur rata-rata juga dibawah 1%.
Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kegiatan
perekonomian yang tercermin dari besarnya PDRB dengan penerimaan daerah. Hal ini sesuai dengan teori Peacock dan Wiseman yang menyatakan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi suatu daerah, maka penerimaan daerah juga akan meningkat. Jika dilihat komponen penerimaan daerah, kota Surabaya baik dari komponen PAD, BHPBP dan DAU mempunyai kontribusi terbesar dibandingkan daerah lain yang diikuti oleh Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik. Sebagaimana diketahui, komponen PAD adalah pajak daerah, retribusi daerah, BUMN dan lain-lain. Pajak daerah, retribusi daerah itu kebanyakan bersumber dari sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa. Kota Surabaya, sebagai ibu kota Provinsi hampir lebih 50% struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor tersebut. Sehingga wajar jika Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten/kota lainnya.
79
Tabel 14 Kontribusi penerimaan kabupaten/kota terhadap total penerimaan Jawa Timur menurut jenis pendapatan tahun 2008 Kabupaten/Kota
Kontribusi (persen) Total Pendapatan
PAD
BHPBP
DAU
Kabupaten 1
Pacitan
1.93
0.87
1.01
2.08
2
Ponorogo
2.56
1.39
1.65
2.76
3
Trenggalek
2.37
1.11
1.36
2.39
4
Tulungagung
2.93
1.88
1.38
3.22
5
Blitar
3.12
1.81
1.70
3.25
6
Kediri
3.04
2.27
2.13
3.50
7
Malang
4.62
3.56
2.91
4.96
8
Lumajang
2.68
2.11
1.37
2.76
9
Jember
4.38
3.82
2.70
4.83
10
Banyuwangi
3.58
2.24
2.12
3.95
11
Bondowoso
2.08
1.29
1.09
2.29
12
Situbondo
2.01
0.91
1.44
2.19
13
Probolinggo
2.46
1.35
1.57
2.72
14
Pasuruan
3.09
2.53
3.04
3.07
15
Sidoarjo
4.08
7.79
8.19
3.30
16
Mojokerto
2.58
1.68
2.74
2.57
17
Jombang
2.73
2.66
1.85
3.01
18
Nganjuk
2.76
2.01
1.59
2.97
19
Madiun
2.27
1.09
1.32
2.40
20
Magetan
2.33
1.44
1.22
2.51
21
Ngawi
2.49
0.83
1.60
2.79
22
Bojonegoro
2.95
2.03
5.81
3.01
23
Tuban
2.47
2.77
2.34
2.63
24
Lamongan
2.97
2.27
2.35
3.07
25
Gresik
3.03
5.28
4.41
2.73
26
Bangkalan
2.40
1.26
3.19
2.42
27
Sampang
2.04
0.84
2.00
2.17
28
Pamekasan
2.06
1.15
0.87
2.30
29
Sumenep
2.72
1.59
5.21
2.83
71
Kediri
1.97
2.75
1.37
2.05
72
Blitar
1.15
1.19
0.82
1.11
Kota
73
Malang
2.54
3.25
2.82
2.42
74
Probolinggo
1.45
1.26
1.44
1.29
75
Pasuruan
1.15
0.77
0.84
1.16
76
Mojokerto
1.12
0.73
0.93
1.14
77
Madiun
1.25
0.80
0.83
1.36
78
Surabaya
7.48
26.68
19.22
3.66
79
Batu
1.15
0.75
1.57
1.11
100.00
100.00
100.00
100.00
Total
Sumber : BPS, diolah
80
Jumlah keseluruhan dana APBD baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan
digunakan
untuk
mewujudkan
kesejahteraan
masyarakat.
Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kebijakan masing-masing pemerintah daerah melalui alokasi sumber-sumber pendanaan yang tercermin pada alokasi belanjanya. Secara umum total belanja daerah dari tahun 2002 ke tahun 2008 mengalami pertumbuhan sebesar 165.88%. Jenis belanja barang merupakan jenis belanja yang mempunyai pertumbuhan terbesar dari tahun 2002 ke tahun 2008. Selain terjadi perubahan yang besar, kontribusi belanja barang terhadap total belanja juga mengalami peningkatan dari 6.26% pada tahun 2002 menjadi 15.84% pada tahun 2008.
Tabel 15 Total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut jenisnya tahun 2002 dan 2008 serta pertumbuhannya Jenis Belanja
2002
2008
Juta rupiah
%
Juta rupiah
%
Pertumbuhan (%)
5 749 553.30
50.15
13 786 993.74
45.23
139.79
718 013.35
6.26
4 827 374.75
15.84
572.32
Modal
3 554 018.21
31.00
8 746 505.65
28.70
146.10
Lain_lain
1 442 546.90
12.58
3 119 555.84
10.23
116.25
11 464 131.76
100.00
30 480 429.98
100.00
165.88
Pegawai Barang
Total
Sumber : BPS, diolah.
Besarnya total belanja Provinsi Jawa Timur tentu tidak terlepas dari bagaimana kondisi belanja daerah masing-masing kabupaten/kotanya. Adanya perbedaan potensi, kondisi dan kebijakan masing-masing daerah mengakibatkan prioritas
pembangunan
masing-masing
daerah
juga
berbeda.
Hal
ini
mengakibatkan perbedaan alokasi belanja untuk masing-masing kabupaten/kota di Jawa Timur. Daerah yang kondisi geografisnya rentan terhadap potensi bencana alam, maka alokasi belanja untuk menangani bencana akan lebih besar dibandingkan daerah lainnya.
81
Tabel 16 Kontribusi belanja kabupaten/kota terhadap total belanja Provinsi Jawa Timur menurut jenis belanja tahun 2008 Kabupaten/Kota
Total Belanja
Kontribusi (persen) Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal
Belanja Lainnya
Kabupaten 1
Pacitan
1.85
2.16
1.34
1.71
1.71
2
Ponorogo
2.64
2.98
2.09
2.47
2.49
3
Trenggalek
2.36
2.34
2.31
2.43
2.40
4
Tulungagung
2.61
2.95
3.51
2.12
1.11
5
Blitar
3.04
3.34
1.74
3.51
2.39
6
Kediri
3.27
3.31
2.09
4.15
2.45
7
Malang
4.57
4.96
3.00
4.18
6.31
8
Lumajang
2.44
2.69
1.87
1.70
4.29
9
Jember
4.04
4.31
3.48
3.80
4.33
10 Banyuwangi
3.66
4.16
2.13
2.82
6.17
11 Bondowoso
2.01
2.45
1.51
1.31
2.78
12 Situbondo
1.91
2.03
1.67
1.96
1.63
13 Probolinggo
2.30
2.45
1.98
1.90
3.20
14 Pasuruan
2.93
2.93
4.64
1.99
2.96
15 Sidoarjo
4.14
3.58
4.31
4.02
6.71
16 Mojokerto
2.36
2.65
1.25
2.67
1.90
17 Jombang
2.62
2.92
2.94
1.91
2.78
18 Nganjuk
2.63
3.21
1.79
2.44
1.91
19 Madiun
2.19
2.58
1.81
1.73
2.33
20 Magetan
2.21
2.86
1.55
1.64
1.95
21 Ngawi
2.38
2.71
1.63
2.23
2.51
22 Bojonegoro
2.95
3.04
1.78
3.42
3.08
23 Tuban
2.47
2.87
1.61
2.30
2.55
24 Lamongan
2.72
2.82
2.49
2.45
3.44
25 Gresik
2.91
2.59
3.32
2.04
6.16
26 Bangkalan
2.36
2.02
2.95
2.78
1.75
27 Sampang
2.32
2.01
1.81
3.15
2.21
28 Pamekasan
2.17
2.25
2.24
1.98
2.19
29 Sumenep
2.61
3.33
2.30
1.56
2.84
71 Kediri
1.79
1.57
2.06
1.85
2.20
72 Blitar
1.04
0.92
1.43
1.24
0.38 1.50
Kota
73 Malang
2.52
2.24
2.89
3.11
74 Probolinggo
1.39
1.05
2.20
1.73
0.65
75 Pasuruan
1.25
1.03
1.49
1.47
1.23
76 Mojokerto
1.18
0.75
1.85
1.52
1.08
77 Madiun
1.17
1.46
1.17
0.94
0.48
78 Surabaya
9.93
5.73
18.75
14.19
2.85
79 Batu
1.05
0.74
0.96
1.57
1.11
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Total
Sumber : BPS, diolah.
82
Tabel 16 menunjukkan Kota Surabaya, sebagai ibukota provinsi, dari berbagai jenis belanja mempunyai kontribusi terbesar dibandingkan dengan daerah lain. Hal ini disebabkan sebagai kota metropolitan, dengan kepadatan penduduk, kegiatan perekonomian yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lain, tentunya jumlah pegawai, biaya pemeliharaan barang dan jasa serta biaya pelayanan masyarakat juga akan lebih besar dibandingkan dengan daerah kabupaten/kota lain. Hal ini menunjukkan bahwa suatu daerah yang mempunyai kegiatan perekonomian yang lebih besar dibandingkan daerah lain, maka besarnya belanja daerah juga akan lebih besar dibanding daerah lain. Hal ini sesuai dengan hukum Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi (Mangkoesoebroto, 1997). Selain itu juga sesuai dengan hukum Wagner yang menerangkan mengapa peranan pemerintah yang dimanivestasikan lewat belanja daerah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Suatu daerah yang kegiatan perekonomiannya lebih maju di daerah lain, tentunya mempunyai potensi sumberdaya yang lebih banyak dari daerah lain baik itu sumberdaya alam maupun manusia. Dengan adanya kelebihan sumberdaya tersebut, tentunya biaya yang digunakan baik untuk membayar, memelihara dan perawat fasilitas yang ada akan lebih besar dibandingkan dengan daerah lain.
4.5 Jumlah Fasilitas Pelayanan Publik Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Salah satu cara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat adalah dengan menyediakan fasilitas pelayanan publik yang diperlukan masyarakat. Fasilitas pelayanan publik yang diperlukan antara lain adalah sarana pendidikan dan kesehatan. Tersedianya fasilitas pendidikan dan kesehatan diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan dengan baik, sehingga harapan suatu daerah untuk mempunyai penduduk yang berpendidikan dan sehat dapat terwujud. Hal ini disebabkan, penduduk yang sehat dan berpendidikan akan menjadi modal atau penggerak dalam pelaksanaan pembangunan suatu daerah. Pada akhirnya, kondisi masyarakat yang adil dan makmur dapat terwujud.
83
Tabel 17 Banyaknya sekolah TK, SD, SMP, SMA dan SMK menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2008 TK
SD
SLTP
SMU
SMK
MI
MTs
MA
1 Pacitan
357
415
59
11
18
105
35
12
2 Ponorogo
318
618
82
30
27
79
69
44
3 Trenggalek
391
436
78
19
22
111
20
8
4 Tulungagung
479
660
69
20
21
103
38
15
5 Blitar
846
730
91
17
21
193
49
22
Kabupaten/Kota Kabupaten
6 Kediri
677
638
97
31
28
221
91
32
7 Malang
956
1 127
267
62
53
303
163
46
8 Lumajan
435
577
92
31
13
159
66
15
9 Jember
831
1 001
236
59
52
357
138
57
10 Banyuwangi
653
856
144
48
33
226
73
26
11 Bondowoso
339
502
66
20
21
98
82
30
12 Situbondo
238
459
67
15
15
84
61
35
13 Probolinggo
340
618
91
25
7
355
124
52
14 Pasuruan
551
728
111
36
31
287
115
47
15 Sidoarjo
730
614
143
57
59
217
57
30
16 Mojokerto
374
506
96
34
34
182
69
37
17 Jombang
357
570
262
50
46
262
119
73
18 Nganjuk
613
690
70
27
33
91
50
27
19 Madiun
707
464
40
13
15
63
33
15
20 Magetan
402
506
54
12
28
71
32
13
21 Ngawi
440
579
73
25
32
106
34
12
22 Bojonegoro
571
808
95
43
46
227
83
33
23 Tuban
361
611
69
26
19
210
87
32
24 Lamongan
934
636
131
69
55
529
162
67
25 Gresik
488
477
94
46
25
357
127
60
26 Bangkalan
185
654
98
28
6
112
87
35
27 Sampang
187
578
96
18
4
484
136
47
28 Pamekasan
208
482
102
34
15
291
148
66
29 Sumenep
239
707
79
35
2
510
102
75
71 Kediri
103
144
30
25
22
18
8
5
72 Blitar
81
61
15
7
16
7
5
2
258
259
90
48
45
48
24
13
74 Probolinggo
76
116
22
12
14
22
9
3
75 Pasuruan
83
62
20
8
10
8
2
1
76 Mojokerto
50
61
17
16
9
12
3
4
77 Madiun
62
70
20
25
26
135
35
14
1 250
897
289
168
96
23
16
9
Kota
73 Malang
78 Surabaya 79 Batu Jumlah
77
72
25
9
10
11
2
2
16 247
19 989
3 580
1 259
1 029
6 677
2 554
1 116
Sumber : BPS, 2009.
84
Tabel 18 Rasio jumlah siswa menurut tingkatan sekolah dan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2008 Kabupaten/Kota
TK
SD
SLTP
SMU
SMK
MI
MTs
MA
Kabupaten 1 Pacitan
24
110
368
379
483
68
152
183
2 Ponorogo
34
119
380
381
506
89
173
160
3 Trenggalek
30
124
359
389
329
94
303
275
4 Tulungagung
46
125
564
624
574
118
235
280
5 Blitar
36
120
397
443
430
104
249
311
6 Kediri
53
185
513
391
421
113
170
146
7 Malang
54
172
308
338
564
158
160
132
8 Lumajan
53
153
336
314
605
119
141
260
9 Jember
55
217
305
412
468
126
203
137 186
10 Banyuwangi
58
156
372
389
712
132
279
11 Bondowoso
41
132
280
271
273
83
94
89
12 Situbondo
48
108
321
574
523
91
127
102
13 Probolinggo
44
143
264
334
594
101
101
123 139
14 Pasuruan
45
188
383
354
713
94
169
15 Sidoarjo
70
232
560
543
674
188
329
213
16 Mojokerto
59
139
365
352
480
156
237
205
17 Jombang
56
148
163
366
619
162
218
180
18 Nganjuk
36
128
629
400
610
104
217
152
19 Madiun
29
108
601
531
648
131
195
157
20 Magetan
27
98
479
783
494
95
218
178
21 Ngawi
24
121
449
312
518
188
245
218
22 Bojonegoro
35
117
422
394
359
115
246
258
23 Tuban
53
137
581
338
358
119
191
203
24 Lamongan
34
109
333
386
362
112
136
190
25 Gresik
62
152
357
430
55
139
149
169
26 Bangkalan
48
184
255
303
447
148
120
106
27 Sampang
45
165
199
275
293
138
112
105
28 Pamekasan
42
168
180
236
223
114
140
163
29 Sumenep
47
102
244
316
724
95
269
140 574
Kota 71 Kediri
71
182
497
573
855
87
415
72 Blitar
58
208
603
668
880
232
478
746
73 Malang
68
268
400
456
839
222
274
173
74 Probolinggo
68
190
412
325
587
105
171
233
75 Pasuruan
63
335
452
533
714
195
119
304
76 Mojokerto
75
189
535
410
925
249
275
339
77 Madiun
89
235
575
251
585
179
274
107
78 Surabaya
58
276
427
486
486
104
202
186
79 Batu
58
221
321
296
320
211
580
78
Jawa Timur
47
156
364
406
530
135
224
212
Sumber : BPS, 2009.
85
Tabel 17 menunjukkan jumlah sarana pendidikan yang tersedia di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2008. Beberapa kabupaten/kota mempunyai fasilitas yang lebih banyak dibandingkan dengan kabupaten/kota lain. Kabupaten Malang, Kabupaten Jember, Kota Malang, Kota Surabaya adalah kabupaten/kota yang mempunyai fasilitas yang lebih banyak dibandingkan kabupaten lain. Hal ini disebabkan banyaknya warga di sekitar kabupaten/kota yang sekolah di kabupaten/kota tersebut, karena terkenal mutu pendidikan yang lebih baik. Oleh karena banyaknya permintaan, maka sekolah-sekolah banyak bermunculan baik swasta maupun negeri. Akan tetapi, banyaknya sekolah belum tentu dapat menaikkan indikator keberhasilan pelaksanaan pembangunan. Suatu indikator pelaksanaan pembangunan dikatakan berhasil, jika sarana pelayanan publik tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Rasio murid terhadap jumlah
sekolah
menunjukkan
persebaran
yang
hampir
merata
antara
kabupaten/kota di Jawa Timur. Kota cenderung mempunyai rasio murid terhadap sarana sekolah yang lebih besar dari daerah lain (Tabel 18). Selain sarana pendidikan, sarana yang sangat diperlukan dalam masyarakat adalah sarana kesehatan. Kesehatan adalah sangat penting dalam kehidupan. Penduduk yang sehat dapat bekerja dengan baik, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dirinnya. Suatu kabupaten/kota yang mempunyai sarana kesehatan yang lebih banyak dibanding daerah lain, dan masyarakat mau memanfaatkan maka tingkat keberhasilan pembangunan akan lebih baik dari daerah yang kondisi kesehatan penduduk kurang baik. Tersedianya fasilitas pendidikan dan kesehatan sangat berhubungan dengan keberhasilan salah satu indikator pembangunan yaitu IPM. IPM terbentuk atas tiga hal, yaitu indek harapan hidup, indeks pendidikan dan indeks daya beli. Indeks harapan hidup sangat terkait dengan fasilitas kesehatan. Jika suatu daerah angka kelahiran bayi hidup besar, maka secara tidak langsung angka harapan hidup juga lebih besar di bandingkan dengan daerah lain yang mempunyai angka harapan hidup lebih kecil. Sedangkan fasilitas pendidikan sangat terkait dengan angka buta huruf. Oleh karena itu, walaupun sarana dan prasarana tersedia, namun jika masyarakat tidak mau mamanfaatkan, maka tidak akan mempengaruhi IPM kabupaten/kota yang lainnya.
86
Tabel 19 Jumlah fasilitas kesehatan menurut jenisnya di Provinsi Jawa Timur tahun 2008 Kabupaten/Kota
Rumah Sakit Umum
Puskesmas
Pemerintah
Swasta
Induk Pembantu
Keliling
Posyandu
Pondok Bersalin
Kabupaten 01
Pacitan
1
0
24
83
36
786
110
02
Ponorogo
1
5
31
56
52
1 134
241
03
Trenggalek
1
4
22
66
27
841
104
04
Tulungagung
1
9
28
70
29
1 232
176
05
Blitar
1
5
24
68
22
1 605
1 528
06
Kediri
2
6
36
80
39
2 022
152
07
Malang
2
7
38
94
66
2 734
244
08
Lumajan
1
2
24
53
33
1 269
127
09
Jember
5
6
49
126
49
2 819
120
10
Banyuwangi
2
8
45
105
55
2 170
164
11
Bondowoso
1
0
23
64
25
1 010
130
12
Situbondo
1
1
17
59
30
909
40
13
Probolinggo
1
3
33
87
33
1 526
220
14
Pasuruan
1
2
33
72
41
1 810
253
15
Sidoarjo
1
15
25
57
41
1 662
410
16
Mojokerto
3
4
27
55
51
1 248
226
17
Jombang
1
8
34
73
44
1 267
123
18
Nganjuk
2
3
20
83
13
1 301
183
19
Madiun
2
1
25
58
33
861
150
20
Magetan
1
1
22
58
42
914
106
21
Ngawi
1
1
24
63
29
1 166
152
22
Bojonegoro
3
4
36
67
36
1 547
308
23
Tuban
1
2
33
54
50
1 406
210
24
Lamongan
1
4
33
108
37
1 732
348
25
Gresik
1
6
32
74
36
1 434
150
26
Bangkalan
1
0
22
70
33
1 010
207
27
Sampang
1
0
21
52
23
870
186
28
Pamekasan
1
1
20
48
26
788
180
29
Sumenep
1
1
29
71
29
1 353
163
71
Kediri
1
10
9
26
8
323
0
72
Blitar
1
4
3
16
7
158
0
73
Malang
1
16
15
33
17
640
0
74
Probolinggo
1
2
6
19
7
214
0
75
Pasuruan
1
0
9
24
8
260
0
76
Mojokerto
1
4
5
15
7
159
0
77
Madiun
2
4
6
16
6
269
0
78
Surabaya
5
34
53
71
54
2 801
0
79
Batu
1
3
4
3
9
186
10
56
186
940
2 297
1 183
45 436
6 721
Kota
Jumlah
Sumber : BPS, 2009.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari Sisi Penerimaan dan Sisi Pengeluaran Selama masa desentralisasi fiskal telah terjadi beberapa kali perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan daerah. Perubahan peraturan tersebut dengan harapan dapat lebih mengharmonisasikan pengelolaan keuangan daerah, baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara pemerintah daerah dan DPRD, ataupun antara pemerintah daerah dan masyarakat. Dengan demikian, daerah dapat mewujudkan pengelolaan keuangan secara efektif dan efisien, serta dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pembahasan pengelolaan keuangan daerah hanya dibatasi pada kinerja keuangan baik dari sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran. Kinerja keuangan daerah dari sisi penerimaan, adalah melihat rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total penerimaan, rasio antara Bagi Hasil Pajak Bukan Pajak (BHPBP) terhadap total penerimaan serta Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap total penerimaan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang diperoleh dari potensi wilayah sendiri dapat menggambarkan seberapa besar daerah mampu menggali potensi yang dimiliki. Perkembangan rasio PAD terhadap total penerimaan daerah selama tahun 2002-2008 semakin konvergen namun rata-ratanya menurun dari 9.01% pada tahun 2002 menjadi 7.31% pada tahun 2008. Artinya, rasio PAD terhadap total penerimaan kabupaten/kota semakin mengumpul perseberannya namun nilainya lebih kecil dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan kenaikan PAD tidak sebanding dengan kenaikan total penerimaan, sehingga tingkat kemandirian daerah semakin menurun yang artinya ketergantungan pada pemerintah pusat semakin besar.
88
Variabel
Rata-Rata
Minimum
Q1
Median
Q3
Maximum
Range
IQR
2002
9.01
4.29
5.90
7.18
10.10
30.19
25.90
4.20
2003
9.30
4.69
6.35
7.51
11.40
30.26
25.57
5.05
2004
8.86
4.24
5.51
7.12
10.11
31.37
27.13
4.60
2005
9.33
3.65
6.42
7.79
10.93
32.52
28.87
4.52
2006
8.16
2.80
5.38
6.77
9.56
31.44
28.64
4.18
2007
8.21
3.39
5.77
6.89
8.67
29.94
26.55
2.90
2008
7.31
2.94
4.85
5.71
7.60
31.20
28.26
2.75
Keterangan : 15 = Sidoarjo, 23 = Tuban, 25= Gresik, 71= Kediri, 78 = Surabaya Sumber : BPS, diolah
Gambar 15 Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008. Perkembangan rasio PAD terhadap total penerimaan daerah jika dikategorikan menurut hasil penelitian tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan (2005) dengan menggunakan skala interval ditunjukkan pada Tabel 20. Perkembangan rasio PAD terhadap penerimaan daerah Kabupaten/Kota selama tahun 2002-2008 mengalami pergeseran. Pada awal tahun 2002 jumlah kabupaten/kota yang masuk kriteria sangat kurang yaitu yang rasionya kurang dari 10% berjumlah 29 atau sekitar 76.32% dari jumlah kabupaten/kota di Jawa Timur, pada tahun 2008 menjadi 33 Kabupaten atau 86.84%. Sedangkan yang masuk kategori sedang hanya satu yaitu Kota Surabaya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Setiaji dan Adi (2007) terhadap seluruh kabupaten/kota di Jawa-Bali menunjukkan bahwa setelah otonomi daerah terjadi penurunan peran
89
(share) PAD terhadap penerimaan daerah. Hal ini disebabkan kenaikan PAD lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan total penerimaan daerah.
Tabel 20 Perkembangan jumlah kabupaten/kota menurut rasio PAD terhadap penerimaan daerah menurut kriteria tim Fisipol UGM tahun 20022008 Kriteria
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Sangat Kurang
29
27
28
28
30
31
33
Kurang
8
10
9
9
7
6
4
Cukup
-
-
-
-
-
1
-
Sedang
1
1
1
1
1
-
1
Baik
-
-
-
-
-
-
-
sangat Baik
-
-
-
-
-
-
-
38
38
38
38
38
38
38
Jumlah
Sumber : BPS, diolah
Menurut UU No. 33 Tahun 2004 yang termasuk PAD adalah pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan milik daerah serta penerimaan lain yang sah. Jenis pajak yang masuk kategori ini adalah jenis pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian C, pajak parkir yang tentunya tidak semua daerah terdapat kegiatan-kegiatan yang dapat menghasilkan pajak tersebut. Jenis-jenis retribusi antara lain retribusi jalan umum, retribusi jasa serta usaha perijinan tertentu. Melihat sumber-sumber penerimaan yang bersumber dari PAD, wajar jika suatu daerah yang struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor industri, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa akan lebih besar jika dibanding daerah yang struktur perekonomiannya didominasi oleh bidang pertanian. Sebab, pada dasarnya pajak-pajak yang menjadi sumber PAD berasal dari sektor tersebut. Beberapa daerah, seperti Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, Kota Kediri mempunyai rasio PAD terhadap total penerimaan jauh lebih besar dari daerah lain. Hal ini disebabkan antara lain struktur perekonomian daerah tersebut yang lebih dari 30% didominasi oleh sektor penghasil pajak dan
90
retribusi, selain juga sumber daya manusia yang mendukung. Menurut BPS (2008) ada beberapa faktor yang menyebabkan kecilnya kenaikan PAD terhadap total penerimaan daerah yaitu : a. Masih adanya sumber pendapatan potensial yang dapat digali oleh Pemda akan tetapi berada diluar penerimaan pemerintah daerah. b. Rendahnya tingkat hidup dan ekonomi masyarakat yang tercermin dalam pendapatan perkapita. c. Kurang mampunya pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang ada.
Akan tetapi, dibalik derasnya keinginan untuk menaikkan PAD, harus diperhatikan kelangsungan jangka panjangnya. Artinya pada saat sekarang PAD bisa saja meningkat, karena pendapatan dari pajak yang naik akibat kenaikan tarif pajak, akan tetapi hal tersebut menjadi beban pengusaha sehingga mengganggu kegiatan usahanya. Oleh karena itu pembuatan kebijakan dalam rangka meningkatkan PAD harus memperhatikan banyak pihak dan banyak kepentingan. Salah satunya adalah dengan tetap memperhatikan kondisi dan situasi daerahnya masing-masing. Daerah-daerah yang mempunyai PAD kecil kebanyakan daerah yang mempunyai struktur perekonomian di sektor pertanian, padahal hampir 50% kabupaten/kota di Jawa Timur struktur perekonomiannya di dominasi oleh sektor pertanian. Oleh karena itu masing-masing daerah harus mencari potensi yang paling menonjol atau produk unggulan masing-masing daerah, kemudian di kembangkan dan di beri bantuan dalam hal pengolahan maupun pemasaran. Pada akhirnya tidak hanya sebagai penghasil bahannya saja, tetapi juga mampu mengolah, sehingga jika kegiatan ini dapat berjalan dengan baik, maka pendapatan asli daerah akan dapat meningkat seiring dengan berkembangnya kegiatan perekonomian suatu daerah. Selain itu, secara nyata jika dilihat letak daerah yang berdekatan akan mempunyai rasio PAD terhadap total penerimaan yang tidak begitu jauh berbeda. Hal ini menunjukkan kemajuan suatu daerah akan mempengaruhi perkembangan daerah sekitarnya. Oleh karena itu pembentukan SWP di Jawa Timur perlu
91
dikembangkan dan dilaksanakan dengan baik, sehingga perkembangan di Jawa Timur tidak terpusat di Kota Surabaya dan Sekitarnya. N W
E S
23
26
24 22 17
18
76
15
16
75 14
74
79
06 02 01
29
28
78
21 19 20 77
27
25
13
03
04
72
05
07
12
11
73 08 09
10
Legenda Sangat Kurang ( < 10%) Sedang (10% - 20%) Sedang ( > 20%)
Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 16 Kabupaten/Kota menurut klasifikasi derajat desentralisasi fiskal tahun 2008.
Sumber penerimaan daerah lainnya adalah Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP). Dana bagi hasil pajak dan bukan pajak walaupun merupakan kewenangan pemerintah pusat, akan tetapi pemungutan pajak ini memerlukan sinergi antara pemerintah daerah setempat dengan pelayanan pajak. Penerimaan Dana Bagi Hasil sendiri telah ditentukan pemerintah pusat dalam UU No. 32 Tahun 2004. Bagi hasil untuk Pajak Bumi dan Bangunan (10% pusat, 90% daerah), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (20% pusat, 80% daerah),
92
pertambangan minyak bumi (85% pusat, 30% daerah) serta pertambangan gas alam (70% pusat, 30% daerah). Gambar 17 menunjukkan kontribusi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap total penerimaan yang mencerminkan salah satu indikator peningkatan potensi sumberdaya modal dan manusia. Selama kurun waktu tahun 2002-2008, rasio antara BHPBP terhadap total penerimaan di Provinsi Jawa Timur perkembangannya semakin konvergen dan rata-ratanya masih di bawah 10 persen dan cenderung mengalami penurunan. Hal ini di sebabkan karena kabupaten/kota di Jawa Timur relatif tidak terdapat sektor migas yang besar seperti di kawasan Kalimantan atau Sumatera, sehingga sumber dana bagi hasil hanya dari PBB, PPh orang pribadi dan BPHTB.
Variabel
Rata-Rata Minimum
Q1
Median
Q3
Maximum
Range
IQR
2002
8.95
4.49
5.58
7.42
9.56
27.42
22.93
3.98
2003
9.02
4.36
5.65
7.69
11.26
24.53
20.17
5.61
2004
8.50
5.07
6.33
7.35
9.46
26.40
21.33
3.13
2005
9.10
4.87
6.21
7.63
10.51
25.72
20.85
4.30
2006
8.32
1.39
5.60
7.04
9.51
25.25
23.86
3.91
2007
8.68
4.24
5.61
7.25
9.79
25.97
21.73
4.18
2008
7.65
3.57
4.94
5.93
8.59
21.84
18.27
3.65
Keterangan : 15 = Sidoarjo, 29 = Sumenep, 71= Kediri, 78 = Surabaya, 79= Batu Sumber : BPS, diolah
Gambar 17 Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008. Besar kecilnya kontribusi ini tidak terlepas dari nilai kontribusi masingmasing kabupaten/kota di Jawa Timur. Setiap kabupaten/kota mempunyai kontribusi yang berbeda-beda tergantung besar kecilnya sumber BHPBP yang
93
dimiliki masing-masing kabupaten kota di Jawa Timur. Daerah yang mempunyai potensi dan bisa memanfaatkan, maka akan dapat meningkatkan BHPBP, sementara daerah yang tidak punya potensi akan semakin jauh tertinggal. Hal ini dapat dilihat dari nilai minimum rasio BHPBP terhadap penerimaan daerah yang mana kondisinya dari tahun 2002 dengan tahun 2008 semakin menurun. Sedangkan untuk nilai maksimumnya kondisi 2008 juga mengalami penurunan jika dibanding kondisi 2002. Beberapa kabupaten yang mempunyai rasio BHPBP terhadap total penerimaan lebih besar dibanding daerah lain adalah Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sumenep yang memang mempunyai
potensi dalam meningkatkan BHPBP. Daerah yang
mempunyai Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak besar adalah daerah-daerah yang struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri dan sektor pertambangan. Sumber penerimaan pemerintah daerah lainnya adalah Dana Alokasi Umum (DAU). DAU merupakan salah satu jenis dana perimbangan yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan horizontal antar daerah. Kebijakan ini dilatar belakangi, dengan adanya desentralisasi fiskal daerah diberi kewenangan untuk menggali sumber penerimaan dari potensi yang dimiliki masing-masing daerah. Padahal kondisi dan situasi suatu daerah berbeda-beda. Di satu sisi ada daerah yang kaya, namun di sisi lain ada daerah yang miskin akan sumber daya baik alam maupun manusia. Maka untuk menghindari kesenjangan tersebut, diberikanlah dana perimbangan berupa DAU. Pengalokasian DAU ke daerah dilakukan dengan formula yang didasarkan pada dasar perhitungan DAU. Secara historis sejak tahun 2001-2005, formula DAU terbagi menjadi komponen utama yaitu alokasi minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan kesenjangan fiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai. Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006, komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi Alokasi dasar (AD) dan celah fiskal (CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan keuangan antar daerah, dengan mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal masing-masing daerah.
94
1000000
7 9
900000
DAU (Juta rupiah)
800000
10 78 6
700000
15
5
4
17 13 25 821
600000 2
500000
73 71
20
22 18 29
3 11
14 23
16 19 12 1
24
28
26 27
400000 300000
77
74 767975 72
200000 0
100000
200000 300000 Ju mlah p en d ud u k mis kin (Jiwa)
400000
500000
Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 18 Hubungan antara jumlah penduduk miskin dan DAU kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2008. Formula DAU yang digunakan selama ini selain dipengaruhi oleh jumlah penduduk, luas wilayah juga jumlah penduduk miskin. Suatu daerah yang jumlah penduduk miskinnya lebih banyak dari daerah lain, akan mendapat DAU yang lebih besar dari daerah lain. Sebaliknya, daerah yang mempunyai penduduk miskin lebih sedikit dari daerah lain, maka akan mendapat DAU yang lebih kecil jika dibanding dengan daerah lain. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, seperti ditunjukkan pada Gambar 18. Hal ini disebabkan formula alokasi DAU yang digunakan selama ini mengganggap DAU yang diterima tahun sekarang tidak boleh lebih kecil dari tahun sebelumnya. Akibatnya, kabupaten/kota yang mendapat DAU besar di tahun 2002, maka akan mendapat DAU yang lebih besar lagi, walaupun tingkat kemiskinannya lebih kecil dari daerah lain, seperti Kabupaten Tulungagung yang DAU lebih besar dari Kabupaten Ponorogo, padahal jumlah penduduk miskin lebih sedikit. Kondisi yang tidak berbeda jauh
95
jika digunakan variabel IPM dan DAU, seperti ditunjukkan pada Gambar 19. Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab terjadinya peningkatan kesenjangan pembangunan antar kabupaten/kota di awal pelaksanaan desentralisasi fiskal.
1000000
7
9
Dana Alokasi Umum (DAU)
900000 800000
10 78
6
700000
5 14
600000
29
13
500000 27
11
12
28
24
22 8
23
21
26
15
4 17
18
2 2016 3
19
25 73
1
400000 300000
71
77
74 79 75
76 72
200000 55
60
65
70
75
IPM
Keterangan 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 19 Hubungan antara IPM dan DAU kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2008. Perkembangan rasio DAU terhadap total penerimaan selama kurun waktu 2002 sampai dengan 2008 menunjukkan kondisi yang diharapkan. Artinya secara rata-rata mengalami penurunan dan penyebarannya semakin konvergen, walaupun pada
awal-awal
memang
tidak
konvergen.
Gambar
20
menunjukkan
perkembangan rasio DAU terhadap total penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur. Beberapa kabupaten/kota yang mempunyai rasio DAU terhadap total penerimaan daerah lebih kecil di banding daerah lain adalah Kabupaten Sidoarjo, Kota Surabaya. Hal ini sesuai dengan tujuan pemberian DAU untuk mengurangi
96
kesenjangan horizontal antara kabupaten kota. Daerah yang mempunyai proporsi PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan daerah lebih besar dibandingkan daerah lain, maka proporsi DAU terhadap total penerimaan lebih kecil dibandingkan dengan daerah lain.
Variabel
Rata-Rata Minimum
Q1
Median
Q3
Maximum
Range
IQR
2002
77.78
36.33
75.27
82.11
83.49
85.16
48.83
8.22
2003
71.81
28.81
69.58
74.36
76.63
81.72
52.91
7.05
2004
70.71
25.72
67.21
74.26
76.33
82.48
56.76
9.12
2005
68.92
23.56
66.13
73.10
75.41
79.48
55.92
9.28
2006
72.87
26.50
70.21
75.28
78.19
82.92
56.42
7.98
2007
70.70
31.51
68.25
73.16
75.51
80.86
49.35
7.26
2008
72.76
34.69
71.33
74.51
77.72
81.71
47.02
6.39
Keterangan : 15 = Sidoarjo, 71= Kediri, 78 = Surabaya Sumber : BPS, diolah.
Gambar 20 Derajat ketergantungan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur terhadap pemerintah pusat tahun 2002-2008.
Semua penerimaan daerah baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan
digunakan
pemerintah
Pelaksanaan
pembangunan
untuk
masing-masing
melaksanakan daerah
pembangunan.
tergantung
kebijakan
pemerintah daerah yang dimanifestasikan dalam alokasi belanja daerah. Sebab pada dasarnya alokasi belanja yang disusun mencerminkan pola-pola kebijakan, prioritas-prioritas dan program-program pembangunan untuk setiap tahun (Priyarsono, 2008)
Alokasi belanja daerah mempunyai peranan yang sangat
penting dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah daerah. Besarnya alokasi
97
belanja daerah mempresentasikan kebutuhan daerah termasuk kebutuhan publik. Belanja daerah diperlukan dalam perekonomian daerah dengan tujuan untuk menyediakan barang publik, mengalokasikan barang produksi dan konsumsi, memelihara stabilitas ekonomi dan percepatan pertumbuhan ekonomi. (Stiglitz, 2000). Belanja rutin adalah belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan yang termasuk didalamnya belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi
dan lainnya. Gambar 21 menunjukkan
perkembangan rasio belanja rutin terhadap total belanja kabupaten/kota Di Jawa Timur. Perkembangan rasio belanja rutin terhadap total belanja menunjukkan persebaran kabupaten/kota yang semakin tidak konvergen dan secara rata-rata juga mengalami kenaikan.
Variabel
Q1
Median
Q3
Maximum
Range
IQR
2002
Rata-Rata Minimum 67.94
33.44
63.68
69.79
74.21
86.63
53.19
10.53
2003
61.95
28.69
59.00
63.06
67.58
78.62
49.93
8.58
2004
69.21
52.33
66.51
70.69
74.80
80.57
28.24
8.29
2005
70.89
50.16
66.82
73.21
76.16
85.00
34.84
9.34
2006
72.49
59.81
68.63
73.69
75.94
84.29
24.48
7.32
2007
71.41
57.11
69.01
72.26
76.33
83.23
26.12
7.33
2008
71.68
57.11
66.18
73.13
76.97
82.83
25.72
10.79
Keterangan : 29 = Sumenep, 74= Probolinggo, 77 =Madiun, 79= Batu Sumber : BPS, diolah.
Gambar 21 Derajat belanja rutin kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008.
98
Hal ini menunjukkan adanya perbedaan kebijakan pemerintah daerah di dalam mengalokasikan belanja yang disebabkan adanya perbedaan prioritas pembangunan masing-masing daerah. Selain itu adanya peningkatan proporsi belanja rutin terhadap total belanja untuk beberapa kabupaten/kota, sehingga secara umum mengalami kenaikan. Beberapa daerah yang mempunyai rasio belanja rutin terhadap total belanja lebih rendah dari daerah lain adalah Kota Batu dan Kabupaten Sumenep, proporsi belanja rutin lebih kecil dari 50%. Kota Batu merupakan kota pemekaran dari Kabupaten Malang tahun 2002, sehingga memerlukan dana yang belum banyak untuk membiayai kegiatan rutinnya. Belanja pembangunan merupakan jenis belanja yang menghasilkan nilai tambah aset baik fisik maupun non fisik yang dilaksanakan pada periode tertentu. Gambar 22 menunjukkan perkembangan rasio belanja pembangunan terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.
Variabel
Q1
Median
Q3
Maximum
Range
IQR
2002
Rata-Rata Minimum 32.06
13.37
25.80
30.22
36.33
66.56
53.19
10.53
2003
38.05
21.38
32.42
36.95
41.00
71.31
49.93
8.58
2004
30.79
19.43
25.21
29.31
33.49
47.67
28.24
8.29
2005
29.11
15.00
23.85
26.80
33.18
49.84
34.84
9.34
2006
27.51
15.71
24.06
26.32
31.38
40.19
24.48
7.32
2007
28.59
16.77
23.67
27.74
31.00
42.89
26.12
7.33
2008
28.32
17.17
23.03
26.88
33.82
42.89
25.72
10.79
Keterangan : 29 = Sumenep, 72= Blitar, 74= Probolinggo, 79= Batu Sumber : BPS, diolah.
Gambar 22 Derajat belanja pembangunan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008.
99
Kota Batu dan Kabupaten Sumenep mempunyai rasio belanja pembangunan terhadap total belanja jauh lebih besar dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Hal ini disebabkan Kota Batu yang mulai berdiri menjadi kota sendiri, tentunya memerlukan banyak dana untuk pembangunan infrastruktur yang dapat menunjang pelaksanaan pembangunan ekonomi. Hal ini sejalan dengan teori Rostow, pada awal terbentuknya suatu daerah, maka alokasi belanja sebagian besar untuk belanja pembangunan. Perkembangan rasio belanja pembangunan terhadap total belanja kabupaten/kota menunjukkan persebaran yang semakin tidak konvergen dan secara rata-rata mengalami penurunan dan masih berkisar dibawah 30%. Hal ini menunjukkan perbedaan mengalokasikan belanja rutin dan belanja pembangunan antar kabupaten/kota di Jawa Timur. Kondisi ini menunjukkan bahwa dengan adanya kewenangan daerah dalam mengelola keuangan dari sisi belanja, maka masing-masing daerah mempunyai prioritas pembangunan yang berbeda sehingga alokasi belanjapun juga berbeda. Melihat kinerja keuangan dari sisi pengeluaran ternyata alokasi belanja rutin masih lebih besar daripada belanja pembangunan. Kondisi ini jika dilihat dengan analisis ekonomi mengenai perilaku birokrat dalam pemerintahan sesuai dengan pandangan Weber yang dimodifikasi oleh Niskanen (Mangkoesoebroto, 1997), yang menyatakan bahwa birokrat sebagaimana juga dengan orang lain adalah pihak yang memaksimumkan kepuasannya yaitu gaji, jumlah karyawan, reputasi dan status sosial. Pemberlakuan desentralisasi fiskal, salah satunya bertujuan untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menggali potensi yang ada, yang pada akhirnya digunakan untuk membiayai pembangunan. Besarnya kemampuan daerah dalam menggali potensi yang ada didaerahnya tercermin dalam besarnya PAD dari masing-masing daerah. Akan tetapi, secara rata-rata perkembangan rasio PAD terhadap belanja rutin selama kurun waktu tahun 20022008 mengalami persebaran yang semakin konvergen akan tetapi ada kecenderungan menurun dari tahun 2002 sampai dengan 2008 (Gambar 23).
100
Variabel
Rata-Rata Minimum
Q1
Median
Q3
Maximum
Range
IQR
2002
14.22
5.95
8.50
10.63
17.57
41.57
35.62
9.07
2003
13.59
6.00
8.85
11.11
17.87
42.65
36.65
9.02
2004
11.55
5.31
7.38
9.23
13.71
44.30
38.99
6.34
2005
12.19
4.07
8.18
9.53
13.85
45.22
41.15
5.68
2006
12.71
4.12
7.77
10.21
13.88
58.75
54.63
6.11
2007
12.28
4.27
8.12
9.40
13.12
53.87
49.60
4.99
2008
9.38
3.78
6.02
7.92
10.16
35.97
32.19
4.14
Keterangan : 15= Sidoarjo, 23 = Tuban, 71=Kediri , 78=Surabaya, 79= Batu Sumber : BPS, diolah
Gambar 23 Derajat kemandirian daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008.
Beberapa daerah yang mempunyai kemandirian di atas 40% adalah Kota Surabaya. Hal ini menunjukkan sebagian daerah memang kurang mampu untuk menggali potensi yang digunakan untuk membiayai kegiatan rutinnya. Sedangkan untuk rasio PAD ditambah BHPBP terhadap total belanja rutin menunjukkan hasil yang tidak begitu berbeda (Gambar 25). Kota Surabaya, adalah salah satu kota di Provinsi Jawa Timur, yang dengan PAD dan BHPBP mampu membiayai belanja rutin di atas 60%, bahkan pada tahun2006 dan 2007 diatas 100%. Artinya dengan PAD dan BHPBP, Kota Surabaya sudah mampu membiayai belanja rutin pada tahun 2006 dan tahun 2007.
101
Variabel
Rata-Rata Minimum
Q1
Median
Q3
Maximum
Range
IQR
2002
29.12
14.16
17.03
22.24
34.25
118.86
104.70
17.22
2003
27.21
13.94
17.84
21.96
33.93
77.22
63.28
16.09
2004
22.75
13.24
16.13
18.24
24.90
81.58
68.34
8.77
2005
23.89
12.79
16.68
18.98
26.07
80.99
68.20
9.39
2006
25.54
8.94
18.07
20.90
28.59
105.94
97.00
10.52
2007
25.10
12.28
17.10
20.22
27.04
100.61
88.33
9.94
2008
19.29
9.81
12.57
15.95
23.15
61.15
51.34
10.58
Keterangan : 3 = Trenggalek, 29 = Sumenep, 74= Probolinggo, 79= Batu Sumber : BPS, diolah
Persen
Gambar 24 Derajat kemandirian sumber daya alam dan manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008.
40 35 30 25 20 15 10 5 0 2002
2003
2004
2005
Baik
1
1
1
1
Sedang
2
sangat Baik
2006 1
2007 1
2008
1
Cukup
6
3
3
5
3
4
1
Kurang
13
21
11
11
16
11
8
Sangat Kurang
16
13
23
21
18
22
28
Gambar 25 Klasifikasi rasio PAD terhadap belanja rutin.
102
Perkembangan
kemandirian
daerah,
khususnya
komponen
PAD
dibandingkan TBR (total belanja rutin) jika dikategorikan menurut hasil penelitian tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan (2005) dengan menggunakan skala interval ditunjukkan pada Gambar 25. Selama kurun waktu 2002-2008 terdapat pergeseran kabupaten/kota ke kategori yang kurang baik. Kabupaten/kota yang masuk kategori kurang, artinya rasio PAD terhadap belanja rutin di bawah 10%, mengalami peningkatan dari 16 kabupaten/kota tahun 2002 menjadi 28 Kabupaten/kota pada tahun 2008. Hal ini menunjukkan kemampuan daerah untuk menggali sumber penerimaan yang berasal dari daerahnya sendiri untuk membiayai kegiatan rutinnya semakin menurun. Artinya, untuk membiayai kegiatan rutin saja, kabupaten/kota masih sangat tergantung pada pemerintah pusat.
Variabel
Rata-Rata
Minimum
Q1
Median
Q3
Maximum
Range
IQR
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
2002
9.37
4.80
6.10
7.45
11.28
30.33
25.53
5.18
2003
8.18
3.82
5.81
6.90
9.06
26.24
22.42
3.25
2004
7.87
3.93
5.15
6.58
8.73
26.93
23.00
3.58
2005
8.31
3.46
5.68
7.24
9.94
26.30
22.84
4.27
2006
9.03
3.41
5.72
7.45
10.01
38.83
35.42
4.29
2007
8.68
3.40
6.02
7.05
9.06
39.04
35.64
3.04
2008
6.60
2.77
4.54
5.46
7.23
21.21
18.44
2.69
Keterangan : 15=Sidoarjo , 29 = Sumenep, 74= Probolinggo, 79= Batu Sumber : BPS, diolah
Gambar 26 Rasio PAD terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008.
103
Perkembangan rasio PAD Terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur selama tahun 2002-2008 menujukkan persebaran yang semakin konvergen akan tetapi secara rata-rata menurun (Gambar 26). Rata-rata rasio PAD terhadap total belanja masih dibawah 10%, artinya untuk membiayai pembangunan daerah, sumber penerimaan kabupaten/kota yang berasal dari PAD masih sangat kurang. Beberapa daerah yang mempunyai rasio PAD terhadap belanja rutin besar, ternyata untuk rasio PAD terhadap total belanja juga masih besar. Kota Surabaya, selama kurun waktu 2002-2008, mempunyai rasio sekitar 30%, artinya kegiatan pembangunan di Kota Surabaya dibiayai dari penerimaan asli daerah sebesar 30%.
Variabel
Rata-Rata
Minimum
Q1
Median
Q3
Maximum
Range
IQR
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
2002
18.62
9.37
12.47
15.64
20.55
52.95
43.58
8.08
2003
16.17
9.33
11.75
13.96
18.55
47.51
38.18
6.80
2004
15.41
9.63
11.63
13.04
15.83
49.59
39.96
4.20
2005
16.38
9.73
12.80
13.76
17.65
47.10
37.37
4.85
2006
18.24
6.15
13.39
15.11
20.26
70.02
63.87
6.87
2007
17.83
8.97
12.64
14.34
19.08
72.91
63.94
6.44
2008
13.55
7.24
9.33
10.98
15.36
36.06
28.82
6.04
Keterangan : 15=Sidoarjo , 23=Tuban, 25= Gresik, 78=Surabaya Sumber : BPS, diolah
Gambar 27 Rasio jumlah PAD dan BHPBP terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008. Perkembangan rasio PAD dan BHPBP terhadap total belanja menunjukkan hasil yang tidak berbeda jauh dengan rasio PAD terhadap total belanja. Selama
104
kurun waktu 2002-2008, persebaran kabupaten/kota semakin konvergen, dan rataratanya juga menurun dari 18.62% pada tahun 2002 menjadi 13.55% pada tahun 2008. Artinya hanya sekitar 13.55% dari keseluruhan belanja daerah yang dibiayai dari PAD dan BHPBP. Beberapa kabupaten/kota yang mempunyai rasio lebih besar dari daerah lain adalah Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Gresik (Gambar 27). Secara umum dapat dikatakan bahwa perkembangan pengelolaan keuangan daerah yang dilihat dari kinerja keuangannya ternyata menunjukkan hasil yang kurang diharapkan. Artinya, dengan adanya kewenangan yang dimiliki daerah dalam menggali sumber-sumber penerimaan daerah, justru tidak mampu menaikkan rasio PAD terhadap total penerimaan daerah.
Persebaran
kabupaten/kota untuk rasio PAD terhadap total penerimaan juga semakin konvergen tapi menurun. Hal ini menunjukkan kemampuan daerah sama-sama kurang baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Bahkan bisa dikatakan hanya beberapa daerah yang mampu membiayai belanja rutin dari PAD dan BHPBP. Daerah-daerah yang mempunyai PAD maupun BHPBP lebih besar dari pada daerah lain adalah daerah-daerah yang struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor industri dan sektor jasa-jasa. Lebih lanjut, jika dilihat dari letak geografis, suatu daerah yang maju maka akan mendorong daerah disekitarnya untuk lebih berkembang dari pada daerah lainnya.
5.2 Perkembangan Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Pelaksanaan
desentralisasi
fiskal
mempunyai
tujuan
utama
untuk
mendukung pendanaan atas urusan-urusan yang telah diserahkan kepada daerah, agar daerah dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang lebih baik. Dengan penyelenggaraan dan pelayanan publik yang lebih baik, diharapkan dapat memberikan kesempatan pada daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya sehingga pada gilirannya akan mendorong perkembangan ekonomi melalui pembangunan ekonomi. Hal ini didasarkan anggapan bahwa daerah lebih tahu situasi, kondisi dan kebutuhan dalam pelaksanaan pembangunan.
105
Namun upaya perbaikan ekonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak bisa hanya diserahkan kepada kebijakan desentralisasi fiskal semata. Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang disesuaikan dengan potensi, kondisi, aspirasi dan permasalahan di daerah. Pelaksanaan pembangunan yang baik hanya dapat
dilakukan apabila terjadi keseimbangan peran dari tiga pilar yaitu
pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Ketiganya mempunyai fungsi dan peran masing-masing dalam mengisi pembangunan. Pemerintah (Eksekutif dan legislatif) memainkan peran untuk menjalankan dan menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain. Sinkronisasi dan koordinasi antar tingkatan pemerintahan yang berbeda harus dapat diwujudkan. Peran sektor swasta adalah mewujudkan penciptaan lapangan kerja dan pendapatan. Masyarakat berperan dalam menciptakan interaksi sosial, ekonomi, dan politik Ketiga pilar tersebut memainkan perannya sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Untuk menilai keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi regional, terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan antara lain, pertumbuhan ekonomi, IPM, kesenjangan pembangunan dan persentase penduduk miskin. 1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator pembangunan ekonomi regional yang dicerminkan oleh pertumbuhan PDRB pada harga konstan. Pertumbuhan ekonomi
antar daerah itu berbeda-beda yang dipengaruhi oleh
kondisi geografis, sosial budaya, fokus kegiatan ekonomi serta kebijakan pemerintah suatu daerah. Perkembangan Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Timur, jika dilihat secara umum mulai dari tahun 2002-2008 menunjukkan persebaran yang semakin konvergen dan mempunyai rata-rata yang meningkat dari 4.05% pada tahun 2002 menjadi 5.79% pada tahun 2008 (Gambar 28).
106
Variabel
Rata-Rata Minimum
Q1
Median
Q3
Maximum
Range
IQR
2002
4.05
2.24
3.32
3.85
4.72
6.05
3.81
1.40
2003
4.29
2.17
3.51
4.29
4.81
6.47
4.30
1.30
2004
5.37
2.61
4.65
5.36
5.92
9.34
6.73
1.27
2005
5.54
3.27
4.73
5.51
6.18
8.88
5.61
1.45
2006
5.49
3.82
4.70
5.42
5.92
10.03
6.21
1.22
2007
5.91
4.08
5.18
5.90
6.28
13.01
8.93
1.11
2008
5.79
4.25
5.21
5.84
6.12
13.51
9.26
0.91
Keterangan : 22 : Bojonegoro, 29 : Sumenep Sumber : BPS, diolah
Gambar 28 Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 20022008. Kondisi
ini
secara
umum
menunjukkan
kegiatan
perekonomian
kabupaten/kota mengalami kemajuan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2004, ada 2 kota yang masuk outlayer (pencilan), yang satu diatas dan lainnya di bawah kelompok kabupaten/kota. Namun dengan seiringnya waktu, pencilan yang dibawah bisa mengejar ketertinggalan dan masuk dalam kelompok, akan tetapi yang satu kabupaten yaitu Kabupaten Bojonegoro tetap di luar. Hal ini karena adanya penggalian tambang minyak bumi yang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah yang bersumber potensi dari sumber daya alam yang dimiliki daerah.
107
N W
E S
23 24
26
22 77 19
17
18
76 15 16
75 14
74
79
06 02 01
29
28
78
21 20
27
25
13
03
04
05
07
12
11
73 72
08 09 10
Legenda Pertumbuhan ekonomi kurang dari 5% Pertumbuhan Ekonomi antara 5%-6% Pertumbuhan Ekonomi lebih dari 6%
Keterangan 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 29 Wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 2008. Selain pertumbuhan ekonomi, indikator yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi adalah pemerataan pembangunan yang dapat dilihat dari data PDRB perkapita. Analisis ini dinilai banyak kelemahan, tetapi secara internasional masih tetap digunakan oleh para peneliti. Angka pendapatan perkapita dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat, perbedaan aktifitas ekonomi sekaligus menggambarkan produktifitas perkapita suatu daerah. Angka ini menunjukkan kemampuan nyata dari suatu daerah dalam menghasilkan output.
108
Perbedaan kesenjangan terlihat nyata antara Kabupaten dan Kota, walaupun pergerakan setiap tahunnya adalah tidak berubah. Secara rata-rata tingkat pendapatan perkapita pada tahun 2002 sebesar Rp8 251 000.00 dan pada tahun 2008 sebesar Rp17 843 000.00, atau dapat dikatakan 2 kali lipatnya (Tabel 21). Namun kalau di lihat lebih jauh lagi, ternyata jarak antara yang terkecil dan terbesar juga semakin melebar. Tabel 21 Statistik deskriptif pendapatan perkapita kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, 2002-2008 (000 Rupiah) Tahun
Rata-Rata Minimum
Q1
Median
Q3
Maximum
Range
Inter Quartile Range (IQR)
2002
8 251
2 474
3 780
4 911
5 988
91 983
89 509
2 208
2003
9 207
2 758
4 176
5 396
6 665
104 015
101 257
2 489
2004
10 295
3 028
4 591
5 896
7 445
115 925
112 897
2 854
2005
11 954
3 411
5 288
6 799
8 753
132 351
128 941
3 465
2006
13 821
3 914
6 080
7 874
10 195
151 945
148 031
4 115
2007
15 476
4 371
6 794
8 977
11 529
165 638
161 267
4 735
2008
17 843
5 063
7 835
10 735
13 336
189 805
184 742
5 501
Sumber : BPS, diolah Jika dilihat lebih jauh, mulai tahun 2002 sampai dengan 2008,
lima
kabupaten yang mempunyai pendapatan perkapita terendah yaitu Kabupaten Pacitan, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Sampang dan Kabupaten Bondowoso. Hal ini bisa dimaklumi, sebab daerah-daerah tersebut mempunyai sumberdaya alam yang kurang mendukung dan secara geografis terletak di daerah pegunungan. Sedangkan lima kabupaten walaupun urutannya tidak selalu berurutan, mulai tahun 2002-2008 yang mempunyai pendapatan perkapita terbesar adalah Kota Kediri, Kota Surabaya, Kota Malang, kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik. Hal ini disebabkan daerah-daerah tersebut secara umum mempunyai sumberdaya alam yang mendukung dan mempunyai letak yang strategis untuk melakukan kegiatan ekonomi. Secara langsung dapat dilihat pada Gambar 30.
109
Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 30 Wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut PDRB perkapita tahun 2008.
2. Ketimpangan Pembangunan Pembangunan regional merupakan sub sistem dari pembangunan provinsi dan merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan lebih mencerminkan aspirasi, potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan dengan pembangunan regional. Pelaksanaan pembangunan ekonomi di masing-masing kabupaten/kota telah menghasilkan pencapaian yang berbeda-beda. Hal ini berhubungan dengan keunggulan komparatif yang dimiliki masing-masing kabupaten/kota serta potensi perekonomiannya.
110
Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pembangunan di Jawa Timur maupun diwilayah lainnya dalam skala apapun telah menghasilkan perbedaan-perbedaan antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Salah satu cara untuk mengetahui perbedaan-perbedaan yang terjadi sebagai implikasi dari proses pembangunan dapat dilakukan dengan pengukuran indeks Theils. Pada hakekatnya, output daerah dan kesejahteraan masyarakat adalah dua hal yang berbeda, maka patut dipertanyakan apakah ada kaitan antara kekayaan daerah dan kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Asumsi bahwa tingkat kekayaan daerah yang tinggi juga akan berdampak terhadap tingginya kesejahteraan
masyarakat
merupakan
hasil
dari
kebijakan
pemerataan
pembangunan antar daerah yang dijalankan pemerintah, terutama melalui instrument fiskal, seperti transfer dari pusat, transfer antar daerah dan kebijakan lain. Salah satu alat untuk mengukur pemerataan pembangunan adalah dengan Indeks Theil. Berdasarkan indeks theil tahun 2002-2008, terlihat bahwa tingkat pemerataan aktifitas perekonomian yang tercermin dari nilai PDRB antar kabupaten/kota masih rendah, namun perkembangannya menunjukkan kondisi yang lebih baik.
Perkembangan ketimpangan pembangungan yang dihitung
dengan Indeks Theil menunjukkan penurunan dari tahun 2002 sebesar 0.413 turun menjadi 0.409 pada tahun 2008 (Gambar 31). Akan tetapi, sebelum kesimpulan dapat ditarik, ada baiknya terlebih dahulu dilakukan pemisahan antara indeks ketimpangan antar kabupaten dan kota. Alasannya adalah karena struktur perekonomian kabupaten berbeda sekali dengan struktur ekonomi kota. Kegiatan ekonomi kabupaten pada umumnya adalah pertanian, sedangkan kegiatan ekonomi kota lebih banyak terkonsentrasi pada sektor industri, perdagangan dan jasa. Kalau kedua daerah ini digabung dalam perhitungan indeks ketimpangan, maka indeksnya menjadi lebih tinggi. Sedangkan jika ketimpangan antar kabupaten dipisahkan maka ketimpangan menurun sangat drastis, yaitu bergerak antara 0.043 sampai dengan 0.042. Ini berarti bahwa pembangunan ekonomi antar kabupaten di Provinsi Jawa Timur adalah lebih merata, hal ini merupakan kondisi yang cukup menggembirakan. Indeks yang cukup tinggi terlihat pada perkembangan ekonomi antar kota, dengan indeks ketimpangan berkisar antara
111
0.391 sampai dengan 0.356. Variasi potensi yang cukup besar merupakan sumber utama ketimpangan. Kota-kota yang tumbuh cepat adalah kota Kediri, karena adanya Pabrik Rokok Gudang Garam. 0.500 0.450 0.400 0.350
Nilai
0.300 0.250 0.200 0.150 0.100 0.050 0.000 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Kabupaten
0.043
0.043
0.042
0.042
0.042
0.041
0.042
Kota
0.391
0.392
0.393
0.380
0.370
0.362
0.356
Kabupaten dan Kota
0.425
0.429
0.435
0.426
0.419
0.413
0.409
Gambar 31 Indeks theil antar kabupaten, antar kota, dan antar kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008
3. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) IPM merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan yang dikembangkan oleh UNDP berdasarkan berbagai survey di sebagian besar negara di dunia. Istilah pembangunan dapat diartikan sebagai adanya perubahan atau adanya perkembangan dari satu periode ke periode berikutnya. Dalam kaitannya dengan pembangunan manusia, makna tersebut masih relevan jika diartikan sebagai perubahan yang terjadi pada manusia dilihat dari sisi ekonomi dan sosial. Dengan mengamati perubahan atau perkembangan manusia dari sisi ekonomi dan sosial, maka dapat dijadikan indikator keberhasilan pemerintahan daerah dalam melaksanakan program-programnya.
112
Pembangunan manusia dalam konteks ini diartikan sebagai sumberdaya untuk mencapai tujuan pembangunan yang orientasi akhirnya adalah pada peningkatan kesejahteraan manusia. Angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Timur selama periode 2002-2008 cenderung menunjukkan peningkatan. Peningkatan angka IPM ini diharapkan mampu mewakili peningkatan pembangunan manusia yang dapat memberikan dampak positif terhadap kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang produktif, yaitu tenaga manusia yang sehat, berpendidikan dan terampil.
Variabel
Rata-Rata Minimum
Q1
Median
Q3
Maximum
Range
IQR
2002
64.32
50.47
61.31
65.30
68.89
71.68
21.21
7.58
2003
65.03
51.12
61.78
66.51
69.01
72.27
21.15
7.23
2004
65.82
53.86
62.77
66.55
69.81
72.91
19.05
7.04
2005
66.35
53.83
62.88
67.03
69.53
74.21
20.38
6.65
2006
66.29
53.70
63.44
67.00
69.52
74.06
20.36
6.08
2007
66.86
54.05
62.76
67.86
70.27
74.36
20.31
7.51
2008
68.14
55.77
64.88
69.10
71.58
76.10
20.33
6.70
Sumber : BPS, diolah
Gambar 32 Perkembangan IPM kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2002-2008.
Perkembangan IPM selama kurun waktu 2002-2008 menunjukkan persebaran kabupaten/kota yang semakin konvergen dan mempunyai rata-rata yang semakin meningkat yaitu dari 64.32 tahun 2002 menjadi 68.14 pada tahun 2008 (Gambar 32). Kabupaten Sampang, merupakan kabupaten yang selama kurun waktu penelitian mempunyai nilai IPM yang paling kecil dibandingkan
113
dengan daerah lain. Salah satu penyebabnya, Kabupaten Sampang jika dilihat dari sisi sumberdaya alam maupun manusia lebih rendah dari daerah lain. Kabupaten Sampang terletak di kawasan Pulau Madura. Selain kondisi geografis dan potensi alam yang kurang juga didukung kehidupan tradisionalnya yang sangat kuat.
Tabel 22 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Timur tahun 2002-2008 Tahun
IPM
Angka Tertinggi Kabupaten/Kota
Angka Terendah
Jawa Timur
IPM
IPM
Kabupaten/Kota
2002
62.64
71.68
Kota Mojokerto
50.47
Kabupaten Sampang
2003
63.66
72.27
Kota Mojokerto
51.12
Kabupaten Sampang
2004
64.49
72.91
Kota Mojokerto
53.86
Kabupaten Sampang
2005
66.84
73.59
Kota Madiun
53.83
Kabupaten Sampang
2006
66.87
74.06
Kota Malang
53.70
Kabupaten Sampang
2007
67.46
74.36
Kota Madiun
54.05
Kabupaten Sampang
2008
69.14
76.10
Kota Surabaya
55.77
Kabupaten Sampang
Sumber : BPS, diolah
Program prioritas sasaran pembangunan maupun kebijakan masing-masing kabupaten/kota tentunya tidaklah sama. Hal tersebut tercermin dari angka IPM yang berbeda-beda antar daerah. Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang cenderung fluktuatif, IPM tumbuh lebih stabil. Artinya meskipun terjadi pasang surut perkembangan ekonomi, tetapi pembangunan manusia di Jawa Timur lambat laun mengalami perbaikan yang nyata. Selama kurun waktu 20022008, kabupaten/kota yang mempunyai IPM tertinggi sangat bervariasi. Selama tahun 2002 sampai 2008 secara berurutan kabupaten/kota yang mempunyai IPM tertinggi adalah Kota Mojokerto selama tiga tahun berturut-turut, Kota Madiun tahun 2005 dan tahun 2007, Kota Malang tahun 2006, dan Kota Surabaya memiliki angka IPM tertinggi tahun 2008. Sementara peringkat terbawah dalam penghitungan IPM selama kurun waktu 2002-2008 adalah Kabupaten Sampang. Hal yang perlu disadari bahwa untuk meningkatkan IPM suatu daerah, tidak hanya menyediakan sarana dan prasarana peningkatan sektor kesehatan, pendidikan dan ekonomi, tetapi juga harus mengubah paradigma masyarakat setempat dalam menyikapi keberadaan sarana dan prasarana tersebut. Jika dalam
114
suatu masyarakat masih menyukai atau lebih memilih pengobatan tradisional (dukun bayi) untuk pertolongan persalinan daripada mempercayakan kepada tenaga medis, maka IPM dikategori kesehatan tidak akan mengalami peningkatan yang nyata. Demikian pula, jika suatu wilayah lebih memilih pendidikan informal daripada formal, maka kategori pendidikannya tidak begitu menolong kenaikan IPM khususnya pada indikator rata-rata lama sekolah (mean years of schooling). Sementara paritas daya beli sangat tergantung harga-harga barang dan jasa di daerah itu.
35 30 Nilai
25 20 15 10 5 0
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Menengah Bawah
21
20
19
17
17
13
10
Menengah Atas
18
19
20
22
22
26
29
Sumber : BPS, data diolah
Gambar 33 Jumlah kabupaten/kota menurut klasifikasi IPM dari UNDP tahun 2002-2008.
Perkembangan IPM menurut klasifikasi UNDP mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, masuk kategori menengah bawah dan menengah atas. Pada Tahun 2002, kabupaten/kota yang masuk kelompok menengah bawah sebanyak 21 daerah, sedangkan yang masuk kelompok menengah atas sebanyak 18 daerah. Artinya hampir 50%, masuk kelompok menengah bawah. Seiring dengan pelaksanaan pembangunan, pada tahun 2008 kondisinya berbalik. Kabupaten/kota yang masuk kelompok menengah atas sebanyak 29 daerah sedangkan yang masuk kelompok menengah bawah sebanyak 10 daerah (Gambar 33).
115
N W
E S
23 24 25
26
22 21 15 17 16 20 19 18 14 79 06 02 72 01 07 03 04 05
27 28
13 08
29
11 09
12
10
Legenda IPM antara 50 - 65 IPM antara 66-90
Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 34 Wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut klasifikasi IPM tahun 2008. Dari Gambar 34 terlihat bahwa daerah daerah yang angka IPM masuk kelompok menengah bawah adalah kabupaten yang ada di wilayah Madura, Kabupaten
Probolinggo,
Kabupaten
Bondowoso,
Kabupaten
Situbondo,
Kabupaten Jember, Kabupaten Sumenep yang dikenal dengan daerah tapal kuda. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan sumberdaya manusia di Provinsi Jawa Timur masih terkonsentrasi di bagian tengah dengan kecenderungan berkembang pada wilayah barat. Sedangkan pembangunan sumberdaya manusia diwilayah timur belum optimal.
116
4.
Penduduk Miskin Selain IPM, indikator lain yang dapat digunakan adalah persentase
penduduk miskin. Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan, salah satunya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari jumlah penduduk miskin. Jika pembangunan ekonomi yang dilaksanakan berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat, logikanya jumlah penduduk miskin akan menurun. Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur dalam kurun waktu 2002-2008 cukup berfluktuatif. Pada periode waktu tahun 2002 hingga 2005, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan yaitu dari 7.198 juta jiwa menjadi 7.080 juta jiwa. Namun di tahun 2005, penduduk miskin meningkat cukup signifikan, yaitu sebanyak 1.4 juta jiwa. Hal ini akibat adanya krisis harga minyak, yang mempengaruhi kinerja sektor industri. Angka tersebut kemudian berangsur-angsur menurun di tahun 2006 hingga tahun 2008 (Tabel 23).
Tabel 23 Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur tahun 2002-2008 Tahun
Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk
Penduduk Miskin
Perubahan
Miskin (Jiwa)
Jawa Timur
(%)
(%)
2002
7 198 102
35 466 328
20.30
2003
7 080 210
35 737 623
19.81
-0.48
2004
6 979 565
36 137 434
19.31
-0.50
2005
8 390 996
36 481 779
23.00
3.69
2006
7 455 655
36 690 600
20.32
-2.68
2007
7 109 619
36 895 571
19.27
-1.05
2008
6 186 156
37 094 836
16.68
-2.59
Sumber : BPS, data diolah
Namun hal ini tidak terlihat untuk semua Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Gambar 35 memperlihatkan gambaran tingkat kemiskinan yang tidak jauh berbeda dengan gambaran capaian IPM. Daerah-daerah dengan IPM tinggi secara relatif juga mempunyai presentase penduduk miskin yang rendah. Sebaliknya daerah dengan IPM rendah juga mempunyai nilai presentase penduduk miskin yang tinggi. Kabupaten Sampang, selama kurun waktu 2002-2008 mempunyai
117
IPM terendah di Provinsi Jawa Timur, dan jika dilihat dari tingkat kemiskinan setiap tahunnya masuk kategori pencilan.
Variabel
Q1
Median
Q3
Maximum
Range
IQR
2002
Rata-Rata Minimum 20.42
6.20
15.30
19.76
24.29
44.56
38.36
9.00
2003
19.54
6.17
13.87
17.62
22.57
51.34
45.17
8.70
2004
19.20
4.33
11.84
18.80
24.21
51.03
46.70
12.37
2005
22.09
4.73
11.44
18.39
28.01
70.58
65.85
16.57
2006
19.20
3.99
11.87
18.43
24.38
56.84
52.85
12.52
2007
17.97
3.94
9.59
17.10
23.47
51.02
47.08
13.88
2008
16.65
4.19
9.95
15.22
20.28
46.11
41.92
10.33
Keterangan : 11 : Bondowoso, 27 : Sampang Sumber : BPS, diolah
Gambar 35 Perkembangan persentase penduduk miskin kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2002-2008. Gambar 36 menunjukkan letak kabupaten/kota menurut persentase penduduk miskin. Kabupaten/kota yang mempunyai persentase penduduk miskin diatas 30% pada tahun 2008 adalah kabupaten/kota yang ada di wilayah kepulaun Madura. Salah satu penyebabnya adalah minimnya sumberdaya alam maupun manusia di wilayah kepulauan Madura. Oleh karena itu perlu adanya program yang dapat mengurangi jumlah penduduk miskin di kawasan Madura, dengan memanfaatkan sumberdaya alam maupun manusia yang ada. Sebagai contoh, bantuan baik teknis maupun non teknis dalam bidang pertanian khususnya peternakan. Sebab kawasan Madura terkenal dengan ternak sapinya.
118
N W
E S
23
26
24 22 17
18
15
76 16
75 14
79
06 02 01
29
28
78
21 19 20 77
27
25
74 13
03
04
72
05
07
12
11
73 08 09
10
Legenda persentase penduduk miskin ( <10%) Persentase Penduduk Miskin (10%-19.9%) Persentase Penduduk Miskin (20%-29.9%) Persentase Penduduk Miskin (>30%)
Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 36 Wilayah Kabupaten/kota menurut presentase penduduk miskin tahun 2008.
5.3 Analisis Gerombol (Cluster Analysis) Analisis gerombol atau cluster analysis dalam penelitian ini bertujuan membagi daerah kabupaten/kota ke dalam dua atau beberapa kelompok yang berbeda. Setiap kabupaten/kota yang terletak dalam kelompok yang sama akan mempunyai sifat atau ciri-ciri karakteristik yang hampir serupa. Analisis gerombol ini digunakan terutama pada masalah bila obyek yang akan diteliti ingin dikelompokkan dalam suatu kelompok yang relatif homogen. Dengan analisis gerombol ini obyek atau kasus yang diamati dapat disederhanakan atau dikurangi,
119
sehingga dapat diperoleh gambaran secara umum tentang obyek yang diteliti. Indikator yang digunakan sebagai dasar pengelompokan adalah PDRB perkapita sebagai indikator potensi ekonomi, rasio total PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan daerah sebagai indikator kemampuan anggaran daerah dan persentase penduduk miskin sebagai indikator capaian kinerja pembangunan. Pengelompokan 38 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur berdasarkan PDRB perkapita, rasio total PAD dan BHPBP terhadap total pendapatan dan persentase penduduk miskin menggunakan metode hierarki pautan centroid. Jarak antara dua buah gerombol diukur sebagai jarak Euclidian antara kedua rataan (centroid) gerombol. Hasil pengelompokan akan dipertunjukkan dengan dendogram yang berguna untuk menunjukkan anggota cluster yang ada jika akan diputuskan berapa cluster yang seharusya terbentuk. Tanda negatif maupun positif pada tabel menunjukkan perbandingan dengan jarak rata-rata dengan pusat cluster. Positif berarti nilai diatas rata-rata sedangkan negatif berarti nilai di bawah rata-rata.
Tabel 24 Nilai cluster centroids dan jumlah kabupaten/kota masing-masing cluster tahun 2002
Variabel
Cluster 1
2
0.0471
2.7346
-1.3138
-0.4332
-1.1925
IDF
-0.3462
-0.4820
1.5668
1.4108
3.6706
perkapita
-0.2455
-0.3884
0.2752
5.6589
1.3818
30
2
4
1
1
Miskin
Jumlah Kabaupaten/kota
3
4
5
Tabel 24 menunjukkan nilai cluster centroids dan jumlah kabupaten/kota masing-masing cluster yang terbentuk dengan menggunakan data tahun 2002. Ada lima cluster yang terbentuk, akan tetapi jika dilihat secara garis besar akan terbentuk 2 cluster, sebab pada dasarnya cluster satu dan dua adalah sama yaitu variabel miskin mempunyai nilai cluster centroids positif dan IDF serta perkapita mempunyai nilai cluster centroids yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa cluster satu dan dua merupakan daerah dengan potensi ekonomi, kemampuan anggaran daerah dan capaian kinerja pembangunan kurang baik, karena tingkat
120
kemiskinannya diatas rata-rata sedang kemampuan keuangan dan pendapatan perkapita dibawah rata-rata. Cluster tiga, empat dan lima adalah sama yaitu variabel miskin mempunyai nilai cluster centroids yang negatif, IDF dan perkapita yang positif, artinya persentase penduduk miskin dibawah rata-rata dan kemampuan keuangan serta PDRB perkapita yang diatas rata-rata yang berarti bahwa cluster ketiga merupakan daerah dengan potensi ekonomi, kemampuan anggaran daerah dan capaian kinerja pembangunan manusianya yang baik. Hal yang membedakan antara cluster tiga, empat dan lima adalah besarnya jarak antara masing-masing cluster tersebut.
Keterangan : Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 37 Pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan metode hierarki tahun 2002 Gambar
37
menunjukkan
letak
kabupaten/kota
berdasarkan
pengelompokan dengan analisis cluster tahun 2002. Provinsi Jawa Timur yang terdiri dari 38 kabupaten/kota terbagi menjadi lima cluster. Cluster satu terdiri atas
121
30 kabupaten/kota yang ditunjukkan dengan warna ungu, cluster dua terdiri atas dua kabupaten dengan warna biru, cluster tiga terdiri atas 4 kabupaten/kota yang ditunjukkan dengan warna hijau dan , cluster empat dan lima masing-masing hanya satu kota yang ditunjukkan dengan warna kuning dan merah. Hal ini menunjukkan bahwa suatu daerah yang maju dapat mengakibatkan daerah sekitarnya juga mengalami kemajuan. Cluster satu yang mempunyai persentase penduduk miskin diatas rata-rata tetapi lebih kecil daripada cluster dua adalah hampir 50% kabupaten kota di Jawa Timur. Kabupaten yang mempunyai presentase penduduk miskin terbesar masuk pada cluster dua yaitu Kabupaten Bondowoso dan Sampang. Hal ini disebabkan daerah ini mempunyai potensi sumberdaya alam maupun manusia yang lebih kecil dibandingkan dengan daerah lain, sehingga nilai kemampuan keuangan daerah maupun pendapatan perkapitanya juga dibawah rata-rata. Cluster dua ini merupakan cluster dengan kondisi yang kurang baik dibandingkan dengan cluster lainnya. Dari sisi, persentase penduduk miskin, nilainya paling besar dan bertanda positif, yang artinya persentase penduduk miskinnya diatas rata-rata provinsi Jawa Timur. Sedangkan dari sisi kemampuan keuangan daerah dan pendapatan perkapita menunjukkan tanda negatif dan nilainya paling besar dibandingkan cluster lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa baik dari sisi kamampuan keuangan daerah dan pendapatan perkapita
lebih rendah dibandingkan dengan clster
lainnya. Cluster tiga yang terdiri dari Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kota Malang dan Kota Batu
122
Tabel 25 Pengelompokkan kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur berdasarkan metode hierarki tahun 2002 Cluster Cluster 1
Kabupaten/Kota
Penduduk Miskin Kemampuan Keuangan (%) Daerah([PAD+BHPBP]/TPD)
Pendapatan Perkapita (Ribu Rp.)
01 Pacitan
30.65
9.48
2,024.13
02 Ponorogo
31.18
10.01
2,739.75
03 Trenggalek
24.39
10.88
2,473.38
04 Tulungagung
18.65
11.06
5,500.16
05 Blitar
19.26
12.70
3,730.17
06 Kediri
17.83
11.96
3,583.38
07 Malang
18.97
15.19
4,364.86
08 Lumajang
21.45
12.66
4,461.78
09 Jember
22.04
12.26
3,369.50
10 Banyuwangi
17.00
14.81
5,213.12
12 Situbondo
26.59
10.77
4,125.43
13 Probolinggo
26.43
14.88
4,711.62
14 Pasuruan
20.31
20.99
3,391.60
16 Mojokerto
15.55
14.39
4,640.32
17 Jombang
24.26
22.07
3,637.30
18 Nganjuk
25.96
13.98
3,514.13
19 Madiun
22.91
11.66
3,102.26
20 Magetan
22.64
12.95
3,694.02
21 Ngawi
20.05
11.71
2,716.96
22 Bojonegoro
27.96
12.91
3,646.24
23 Tuban
23.42
29.27
4,248.54
24 Lamongan
21.41
13.51
3,012.97
26 Bangkalan
18.66
14.38
2,891.54
28 Pamekasan
19.47
14.26
1,993.62
29 Sumenep
20.73
22.81
4,101.75 3,986.18
72 Blitar
15.45
16.43
74 Probolinggo
14.84
19.32
6,478.12
75 Pasuruan
10.38
14.93
4,414.52
76 Mojokerto
14.73
13.62
7,730.08
77 Madiun
10.55
14.59
4,424.60
Cluster 2
11 Bondowoso
39.00
13.69
2,363.66
27 Sampang
44.56
13.10
2,467.71
Cluster 3
15 Sidoarjo
6.20
39.04
11,801.53
25 Gresik
14.13
28.86
9,491.95
73 Malang
9.25
24.91
11,549.85
79 Batu
11.07
38.38
4,952.54
Cluster 4
71 Kediri
17.04
31.32
66,510.49
Cluster 5
78 Surabaya
11.11
52.72
21,178.25
Sumber : BPS, Data diolah 2009.
123
Tabel 26 memperlihatkan nilai cluster centroids untuk masing-masing indikator pada pengelompokkan 5 cluster. Cluster satu memiliki nilai cluster centroids untuk variabel miskin, IDF dan perkapita yang negatif. Hal ini menunjukkan cluster satu merupakan daerah dengan potensi ekonomi dan kemampuan
anggaran
daerah
kurang
baik
sedangkan
capaian
kinerja
pembangunan baik. Cluster dua memiliki nilai cluster centroids untuk variabel miskin yang positif, tetapi IDF dan perkapita negatif yang berarti bahwa cluster dua merupakan daerah dengan potensi ekonomi, kemampuan anggaran daerah dan capaian kinerja pembangunan yang kurang baik. Sedangkan cluster tiga, empat dan lima memiliki nilai cluster centroids untuk variabel miskin yang negatif, sedangkan IDF dan perkapita positif yang berarti bahwa cluster tiga, empat dan lima merupakan daerah dengan potensi ekonomi, kemampuan anggaran daerah dan capaian kinerja pembangunan manusianya yang baik.
Tabel 26 Nilai cluster centroids dan jumlah kabupaten/kota masing-masing cluster tahun 2008 Variabel
Cluster 1
2
3
4
5
Miskin
-0.0336
2.7232
-0.7953
-1.1215
-0.8982
IDF
-0.2641
-0.5716
1.4730
0.3711
4.5401
perkapita
-0.2458
-0.4496
0.4398
5.5640
1.6367
31
2
3
1
1
Jumlah Kabaupaten/kota
Gambar
38
menunjukkan
letak
kabupaten/kota
berdasarkan
pengelompokan dengan analisis cluster tahun 2008. Provinsi Jawa Timur yang terdiri dari 38 kabupaten/kota terbagi menjadi 5 cluster. Cluster satu terdiri atas 31 kabupaten/kota yang ditunjukkan dengan warna ungu, cluster dua terdiri atas 2 kabupaten dengan warna biru, cluster tiga terdiri atas 3 kabupaten/kota yang ditunjukkan dengan warna hijau dan cluster empat dan lima masing-masing hanya 1 kota yang ditunjukkan dengan warna kuning dan merah.
124
Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 38 Pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan metode hierarki tahun 2008
Tabel 27 menunjukkan pengelompokan kabupaten kota berdasarkan variabel kemiskinan, keuangan daerah dan pendapatan perkapita. Cluster satu yang mempunyai anggota paling besar dibandingkan daerah lain. Cluster dua terdiri dari Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pamekasan. Sedangkan Cluster tiga terdiri dari Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Kota Malang, sedangkan cluster empat dan lima masing-masning adalah Kota Kediri dan Kota Surabaya.
125
Tabel 27 Pengelompokkan kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur berdasarkan metode hierarki tahun 2008 Cluster Cluster 1
Cluster 2 Cluster 3
Kabupaten/Kota
Penduduk Miskin Kemampuan Keuangan Pendapatan Perkapita (%) Daerah([PAD+BHPBP]/TPD) (Ribu Rp.)
01 Pacitan
19.70
8.37
2,521.39
02 Ponorogo
10.68
10.23
3,564.18
03 Trenggalek
15.28
8.99
3,159.50
04 Tulungagung
9.97
9.62
7,475.01
05 Blitar
13.10
9.72
5,066.34
06 Kediri
18.26
12.50
4,562.95
07 Malang
17.25
12.10
5,750.93
08 Lumajang
17.59
11.26
5,817.79
09 Jember
12.69
12.88
4,540.50
10 Banyuwangi
12.18
10.50
6,991.04
11 Bondowoso
19.58
9.89
3,063.92
12 Situbondo
16.84
10.06
5,431.92
13 Probolinggo
19.06
10.25
6,163.10
14 Pasuruan
19.24
15.53
4,468.11
16 Mojokerto
13.58
14.74
5,899.86
17 Jombang
15.15
14.29
4,688.66
18 Nganjuk
22.63
11.26
4,717.35
19 Madiun
15.45
9.15
3,950.10
20 Magetan
12.79
9.85
4,856.67
21 Ngawi
23.86
8.42
3,479.22
22 Bojonegoro
22.98
22.75
5,742.37
23 Tuban
25.23
17.84
5,823.15
24 Lamongan
22.01
13.39
4,030.79
26 Bangkalan
32.02
15.87
3,357.74
29 Sumenep
31.06
21.36
4,860.72
72 Blitar
6.14
15.13
5,451.18
74 Probolinggo
9.90
16.02
8,365.27
75 Pasuruan
12.06
12.12
6,014.43
76 Mojokerto
8.50
12.72
10,614.82
77 Madiun
5.07
11.28
5,941.40
79 Batu
7.14
17.26
6,759.33
27 Sampang
46.11
11.92
2,792.23
28 Pamekasan
35.73
8.43
2,328.61
15 Sidoarjo
9.65
33.77
14,561.09
25 Gresik
14.86
27.60
12,747.43
73 Malang
4.19
20.59
15,753.95
Cluster 4
71 Kediri
6.66
18.08
82,301.03
Cluster 5
78 Surabaya
8.65
53.04
30,225.39
Sumber : BPS, diolah
126
Perbandingan analisis cluster dengan menggunakan variabel persentase penduduk miskin, rasio PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan dan PDRB perkapita antara tahun 2002 dan tahun 2008 menunjukkan sedikit pergeseran kecuali cluster empat dan cluster lima. Kota Kediri, yang pada tahun 2002 maupun tahun 2008 tidak mengalami perubahan dan masuk cluster empat. Salah satu ciri cluster empat baik pada tahun 2002 maupun 2008 adalah pendapatan perkapita yang lebih tinggi dibanding dengan cluster lain. Hal ini dikarenakan Kota Kediri terdapat salah satu Pabrik Rokok terbesar di Indonesia yaitu Gudang Garam, yang mempengaruhi PDRB Kota Kediri di sektor industri. Cluster lima, yang pada tahun 2002 maupun 2008 tetap Kota Surabaya yang masuk cluster ini. Ciri utama dari custer ini adalah kemampuan keuangan daerah yang lebih besar dibanding dengan daerah lain. Hal ini disebabkan Kota Surabaya dengan struktur perekonomian yang didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, industri serta jumlah penduduk yang banyak tentunya mempunyai potensi yang besar dalam penerimaan daerah dari sisi pajak, retribusi, PPh, serta PBB. Cluster tiga adalah cluster yang terletak antara cluster empat dan cluster lima khususnya dilihat dari variabel pendapatan perkapita dan kemampuan keuangan daerah. Dari sisi keuangan daerah cluster tiga ini kondisinya lebih baik dari cluster empat, namun di bawah cluster lima. Namun dari sisi pendapatan perkapita, cluster tiga lebih tinggi dari cluster lima namun dibawah cluster empat. Ada pergeseran kabupaten yang masuk cluster ini, yaitu pada tahun 2002 adalah kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kota Malang dan Kota Batu, namun pada tahun 2008, Kota Batu tidak masuk kelompok cluster ini dan bergabung dengan sebagian besar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur, yaitu cluster satu. Tabel 28 Rata-rata Persentase penduduk miskin, rasio PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan dan pendapatan perkapita masing-masing cluster dan total Jawa Timur tahun 2002 Variabel Miskin (%) IDF (%) Perkapita (000 Rupiah) Jumlah Kabaupaten/kota
Cluster 1
2
20.79
3
41.78
4
10.16
Total
5
17.04
11.11
20.42
14.68
13.40
32.80
31.32
52.72
17.96
3 930.73
2 415.69
9 448.97
66 510.49
21 178.25
6 532.58
30
2
4
1
1
38
127
Tabel 29 Rata-rata Persentase penduduk miskin, rasio PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan dan pendapatan perkapita masing-masing cluster dan total Jawa Timur tahun 2008 Variabel Miskin (%) IDF (%) Perkapita (000 Rupiah) Jumlah Kabaupaten/kota
Cluster 1
2
16.35
3
40.92
4 9.57
Total
5 6.66
8.65
16.65
12.75
10.18
27.32
18.08
53.04
14.97
5 262.25
2 560.42
14 354.16
82 301.03
30 225.39
8 522.09
31
2
3
1
1
38
Hal yang menarik, cluster dua dengan kondisi persentase penduduk miskin diatas rata-rata, kemampuan keuangan dan pendapatan perkapita di bawah ratarata, pada tahun 2002 terdri dari Kabupaten Sampang dan Kabupaten Bondowoso. Namun pada tahun 2008, Kabupaten Bondowoso masuk cluster satu, dan digantikan oleh Kabupaten Pamekasan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah Kabupaten Bondowoso berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin. Cluster satu yang anggotanya diatas 50% dari total Kabupaten/kota mengalami perbaikan. Kalau pada tahun 2002 indikator variabel persentase penduduk miskin menunjukkan positif yang artinya jumlahnya diatas rata-rata, pada tahun 2008 tandanya menunjukkan negatif yang artinya jumlahnya dibawah rata-rata. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang masih mempunyai persentase penduduk miskin yang besar adalah Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sampang. Sedangkan daerah yang mempunyai kemampuan keuangan dan pendapatan perkapita diatas rata-rata adalah Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, Kota Kediri, Kota Surabaya dan Kota Malang. Berdasarkan perkembangan kinerja keuangan daerah yang di lihat dari sisi penerimaan serta hasil-hasil pembangunan dengan indikator pertumbuhan persentase penduduk miskin menunjukkan bahwa semenjak pelaksanaan desentralisasi fiskal, walaupun dengan rasio PAD terhadap penerimaan yang semakin menurun ternyata hasil pembangunan menunjukkan ke arah yang semakin baik. Artinya, keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal tidak hanya di lihat dari kemampuan daerah untuk mendapatkan PAD yang lebih besar, akan tetapi bagaimana dengan keterbatasan keuangan daerah yang berasal dari potensi sendiri dapat melaksanakan pembangunan dengan hasil seperti yang diharapkan.
128
5.4 Analisis Panel VAR : Pengaruh Belanja Daerah terhadap PDRB, IPM dan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Timur Sebagaimana disebutkan sebelumnya, untuk melihat pengaruh alokasi belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, IPM dan jumlah penduduk miskin digunakan metode analisis VAR dalam panel data. Alokasi belanja pemerintah dibedakan atas empat macam yaitu belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal dan belanja lainnya. Penghitungannya dilakukan dengan menggunakan software Eviews 6. Metode VAR mensyaratkan bahwa variabelvariabel yang digunakan harus stasioner dalam tingkat yang sama. Untuk itu, sebelum melakukan analisis VAR, terlebih dahulu dilakukan uji unit root. Hasil uji unit root menunjukkan bahwa semua variabel tidak stasioner pada tingkat level dan stasioner pada first difference pada taraf nyata α=5% . Suatu variabel yang tidak stasioner pada level, ada kemungkinan kombinasi variabel tersebut stasioner. Langkah selanjutnya dilakukan uji kointegrasi terhadap variabel : 1. PDRB dengan belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja Lainnya. 2. IPM dengan belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja Lainnya. 3. Jumlah penduduk miskin dengan belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja Lainnya. Hasil uji kointegrasi menunjukkan ternyata ada kointegrasi antara PDRB, IPM dengan alokasi belanja secara signifikan pada taraf nyata α=5% artinya PDRB, IPM mempunyai hubungan jangka panjang dengan jenis-jenis belanja, sedangkan jumlah penduduk miskin tidak signifikan pada taraf nyata α=5% maupun α=10% yang berarti tidak mempunyai hubungan jangka panjang. Sehingga model yang cocok untuk PDRB, IPM dengan jenis belanja pemerintah adalah menggunakan model VECM, sedangkan hubungan jumlah penduduk miskin dengan alokasi belanja pemerintah menggunakan model VAR FD. Analisis dengan model VAR, selain dengan melihat tanda dari koefisien masing-masing variabel juga dapat dilihat dari nilai Impulse Respon Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEDV). Analisis impulse response dilakukan untuk melihat dampak perubahan alokasi belanja pada horizon
129
waktu ke depan, sedangkan FEDV digunakan untuk melihat kontribusi relatif masing-masing variabel dalam menerangkan perilaku variabel lainnya pada horizon waktu ke depan.
5.4.1 Hasil Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap PDRB 1. Indikator Model Panel VAR Hubungan antara PDRB dan Jenis belanja pemerintah ditunjukkan dalam model VECM namun koefisien error correction term tidak signifikan pada taraf nyata α=5% maupun α=10% . Hal ini menunjukkan perlu waktu yang lama untuk penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang. Hasil estimasi dengan model VECM dapat dijelaskan dalam Tabel 30. Tabel 30 Hasil estimasi pengaruh belanja daerah terhadap PDRB Jawa Timur Variabel Jangka Panjang LNBP(-1)
0.006
Variabel Jangka Pendek CointEq1
-1.738 LNBB(-1)
11.779 **
0.000 D(LNPDRB(-1))
-1.540 LNBL(-1)
-13.560 **
3.029 **
0.643 ** -0.078
D(LNPDRB(-2))
-1.700 LNBM(-1)
0.000
0.248 ** -0.078
D(LNBP(-1))
-1.237
0.003 -0.004
D(LNBP(-2))
0.002 -0.003
D(LNBB(-1))
0.002 -0.002
D(LNBB(-2))
0.001 -0.002
D(LNBL(-1))
0.003 ** -0.001
D(LNBL(-2))
0.001 -0.001
D(LNBM(-1))
0.000 -0.001
D(LNBM(-2))
0.003 ** -0.001
Keterangan : ** Signifikan pada taraf nyata 5% Angka dalam ( ) menyatakan simpangan baku
130
Berdasarkan persamaan jangka pendek, bahwa belanja pegawai dan belanja barang tidak signifikan berpengaruh terhadap PDRB pada taraf nyata α=5% maupun α=10%. Belanja lain dan belanja modal berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata α=5%. Koefisien belanja barang dan belanja modal bertanda positif, artinya setiap ada kenaikan belanja barang dan belanja modal akan menaikkan PDRB (cateris paribus). Dalam Persamaan jangka panjang, variabel belanja pegawai tidak signifikan memengaruhi PDRB baik pada taraf nyata α=5% maupun α=10%, Belanja barang, belanja modal dan belanja lain berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata α=5%. Koefisien belanja barang dan belanja modal bertanda positif, artinya setiap ada kenaikan belanja barang dan belanja modal akan menaikkan PDRB dalam jangka panjang (cateris paribus), sedangkan koefisien belanja lain bertanda negatif, artinya setiap ada kenaikan belanja lain akan menurunkan PDRB dalam jangka panjang (cateris paribus).
Tabel 31 Hasil impulse response PDRB karena shock masing-masing jenis belanja tiap tahun selama 10 tahun Periode
LNPDRB
LNBP
LNBB
LNBL
LNBM
1
0.008
0.000
0.000
0.000
0.000
2
0.013
0.000
0.001
0.001
0.000
3
0.018
0.000
0.001
0.001
0.002
4
0.023
0.000
0.001
0.001
0.002
5
0.027
0.001
0.002
0.002
0.003
6
0.031
0.001
0.002
0.002
0.004
7
0.034
0.001
0.002
0.002
0.004
8
0.037
0.001
0.003
0.002
0.005
9
0.040
0.001
0.003
0.002
0.005
10
0.043
0.001
0.003
0.003
0.006
Total
0.272
0.006
0.019
0.016
0.032
Cholesky Ordering : LNPDRB LNBP LNBB LNBL LNBM
Hasil analisis impulse response dilakukan untuk melihat dampak saat ini dan masa depan dari variabel PDRB akibat perubahan atau shock variabel belanja barang, belanja pegawai, belanja modal dan belanja lainnya. Adanya shock pada variabel belanja barang, belanja pegawai, belanja modal dan belanja lainnya pada periode pertama tidak memberi dampak apapun pada total PDRB. Pada periode
131
kedua shock belanja pegawai memberi dampak sebesar 0.000 pada PDRB, shock belanja barang memberi dampak sebesar 0.001 pada PDRB dan shock belanja lain memberi dampak sebesar 0.001 pada PDRB dan shock belanja modal memberi dampak sebesar 0.000 (Tabel 31). Dalam kurun waktu 10 tahun, maka jenis belanja yang memberikan dampak paling besar adalah belanja modal sebesar 0.032 sedangkan belanja pegawai memberikan dampak paling kecil yaitu sebesar 0.006. Jika dikaji lebih dalam lagi, kejutan-kejutan yang terjadi dengan datangnya informasi baru dalam jenis belanja daerah berpengaruh pada PDRB.
Tabel 32 Hasil Variance Decomposition VECM masing-masing jenis belanja terhadap PDRB Periode
S.E.
LNPDRB
LNBP
LNBB
LNBL
LNBM
1
0.008
100.000
0.000
0.000
0.000
0.000
2
0.015
99.341
0.055
0.203
0.397
0.005
3
0.024
98.604
0.023
0.330
0.361
0.682
4
0.033
98.463
0.034
0.369
0.341
0.793
5
0.043
98.166
0.036
0.388
0.385
1.024
6
0.053
97.973
0.039
0.426
0.381
1.180
7
0.063
97.825
0.041
0.448
0.379
1.306
8
0.073
97.705
0.043
0.466
0.368
1.418
9
0.084
97.603
0.044
0.481
0.362
1.509
10
0.094
97.510
0.046
0.495
0.357
1.592
Cholesky Ordering : LNPDRB LNBP LNBB LNBL LNBM
Selain IRF, dalam VECM menyediakan analisis variance decomposition. Analisis ini memberikan metode yang berbeda di dalam menggambarkan sistem dinamis VAR, yaitu menggambarkan relatif pentingnya setiap variabel di dalam sistem VAR karena adanya shock. Selain itu digunakan juga untuk memprediksi kontribusi persentase varian setiap variabel karena adanya perubahan variabel tertentu di dalam sistem VAR. Tabel 32 menjelaskan prediksi kontribusi persentase varian PDRB terhadap perubahan variabel jenis alokasi belanja. Periode pertama forecast error variance dari PDRB dapat dijelaskan oleh PDRB itu sendiri sebesar 100%, sedangkan yang dapat dijelaskan oleh variabel lainnya sebesar 0%. Pada periode kedua yang dapat dijelaskan oleh PDRB sendiri sebesar 99.341%, belanja pegawai sebesar 0.055%, belanja barang sebesar 0.203%,
132
belanja lain sebesar 0.397% dan belanja modal sebesar 0.005%. Sampai sepuluh periode mendatang forecast error variance yang dapat dijelaskan oleh PDRB sendiri sebesar 97.510%, belanja pegawai sebesar 0.046%, belanja barang sebesar 0.495%, belanja lain sebesar 0.357% dan belanja modal sebesar 1.592%. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa belanja pada periode 10 memberikan kontribusi terbesar dibandingkan jenis belanja lain dan selalu meningkat setiap tahunnya, sedangkan jenis belanja lain, kontribusinya lama-lama akan berkurang.
2. Interpretasi Model Panel VAR : Pengaruh Belanja Daerah terhadap PDRB Jawa Timur Hubungan antara PDRB dan jenis belanja pemerintah ditunjukkan dalam model VECM artinya adanya hubungan jangka panjang dan jangka pendek antara PDRB dengan jenis belanja pemerintah, akan tetapi koefisien error correction term tidak signifikan. Kondisi tidak signifikan ini menunjukkan perlu waktu yang lama untuk penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang. Jenis belanja pegawai baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek tidak signifikan berpengaruh terhadap PDRB. Hal ini disebabkan komposisi jenis belanja pegawai lebih bersifat tidak produktif, seperti belanja gaji pegawai dan tunjangan beras. Selain itu sumbangan belanja pegawai terhadap PDRB dalam bentuk konsumsi rumah tangga juga kecil. Sehingga wajar jika belanja pegawai tidak berpengaruh baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang terhadap PDRB Jawa Timur. Jenis belanja barang, dalam jangka pendek tidak berpengaruh terhadap PDRB akan tetapi dalam jangka panjang berpengaruh positif secara signifikan terhadap PDRB. Hal ini dapat dijelaskan, yang termasuk dalam jenis belanja barang adalah belanja pemeliharaan serta perbaikan. Jika suatu barang investasi, dipelihara secara berkala, tentunya akan menambah jangka waktu operasi barang tersebut. Sehingga belanja barang untuk kasus Jawa Timur mempunyai pengaruh jangka panjang. Belanja modal mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap PDRB baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, penambahan alokasi belanja modal yang digunakan untuk belanja investasi akan menambah modal sehingga akan dapat langsung menambah PDRB, selain itu karena sifatnya
133
yang produktif, tidak habis sekali pakai, maka secara jangka panjang juga tetap berpengaruh terhadap PDRB. Jenis belanja lain, yang termasuk di dalamnya belanja subsidi, belanja sosial dan membayar hutang, dalam jangka pendek secara signifikan berpengaruh positif akan tetapi dalam jangka panjang berpengaruh negatif. Berdasarkan analisis diatas dapat ditunjukkan bahwa jenis belanja yang mempunyai pengaruh positif baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek adalah belanja modal. Dalam kurun waktu 10 tahun, kontribusi pengaruh jenis belanja modal terhadap keragaman PDRB memberikan dampak paling besar dibanding jenis belanja lainnya. Hal ini berarti bahwa jika ingin menaikkan PDRB, maka alokasi belanja modal perlu mendapat perhatian. Dari hasil analisis FEDV, prediksi kontribusi persentase varian PDRB terhadap perubahan variabel jenis alokasi belanja, jenis alokasi belanja mempunyai kontribusi terbesar dibandingkan jenis belanja lainnya, sedangkan belanja pegawai mempunyai kontribusi terkecil. Selain ini juga dapat dilihat secara total prediksi kontribusi belanja pemerintah terhadap PDRB itu di bawah 10%. Hal ini menunjukkan bahwa peran pemerintah dalam kegiatan perekonomian yang di proxy dengan alokasi belanja adalah kecil. Sebagaimana diketahui PDRB itu adalah jumlah produksi barang atau jasa suatu daerah dalam waktu satu tahun. Dalam pelaksanaan perekonomian, ada tiga pihak yang berperan yaitu, pemerintah, swasta dan masyarakat. Ternyata teori Keynes berlaku di Jawa Timur, dimana pengeluaran pemerintah sebagai campur tangan pemerintah dapat menstimulus perekonomian, meskipun kontribusinya kecil, artinya sudah ada peran swasta dan masyarakat dalam menggerakkan kegiatan perekonomian di Jawa Timur. Oleh karena itu, untuk menjaga kelangsungan pembangunan perekonomian di Jawa Timur,
perlu menjalin hubungan yang baik antara pemerintah, swasta dan
masyarakat.
Kebijakan-kebijakan
yang
dibuat
hendaknya
melindungi
kelangsungan pelaksanaan pembangunan ekonomi dan selalu menjaga kestabilan dan keamanan berinvestasi.
134
5.4.2 Hasil analisis pengaruh belanja daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 1. Indikator Model Panel VAR Hubungan antara IPM dan Jenis belanja pemerintah ditunjukkan dalam model VECM namun koefisien error correction term tidak signifikan pada taraf nyata α=5% maupun α=10% . Hal ini menunjukkan perlu waktu yang lama untuk penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang. Hasil estimasi dengan model VECM dapat dijelaskan dalam Tabel 33. Berdasarkan persamaan jangka pendek, bahwa belanja pegawai tidak signifikan berpengaruh terhadap IPM, sedangkan belanja lain, belanja barang dan belanja modal berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata α=5% terhadap IPM.
Tabel 33 Hasil Estimasi pengaruh belanja daerah terhadap IPM Jawa Timur Variabel Jangka Panjang LNBP(-1)
-6.945 **
Variabel Jangka Pendek CointEq1
-2.050 LNBB(-1)
13.559 **
D(LNIPM(-1))
-2.224 LNBL(-1)
-23.117 **
0.921
-0.031 -0.023
D(LNIPM(-2))
-2.669 LNBM(-1)
0.000 0.000
0.032 ** -0.023
D(LNBP(-1))
-1.300
-0.003 -0.005
D(LNBP(-2))
0.001 -0.003
D(LNBB(-1))
0.000 -0.003
D(LNBB(-2))
0.004 ** -0.003
D(LNBL(-1))
0.000 -0.003
D(LNBL(-2))
-0.006 ** -0.003
D(LNBM(-1))
0.002 ** -0.001
D(LNBM(-2))
0.001 -0.001
Keterangan : ** Signifikan pada taraf nyata 5% Angka dalam ( ) menyatakan simpangan baku
135
Koefisisen belanja barang dan belanja modal bertanda positif, artinya setiap ada kenaikan belanja barang dan belanja modal akan menaikkan IPM (cateris paribus), sedangkan koefisien belanja lain bertanda negatif, artinya jika ada kenaikan belanja lain akan menurunkan IPM (cateris paribus). Persamaan jangka panjang, variabel belanja modal tidak signifikan mempengaruhi IPM, sedangkan pegawai, belanja barang dan belanja lain berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata α=5% terhadap IPM. Koefisien belanja pegawai dan belanja lain bertanda negatif artinya dalam jangka panjang, jika ada kenaikan belanja pegawai dan belanja lain akan menurunkan IPM (cateris paribus), sedangka belanja barang bertanda positif, artinya dalam jangka panjang jika ada kenaikan belanja barang akan menaikkan IPM (cateris paribus).
Tabel 34 Hasil impulse response IPM karena shock masing-masing jenis belanja tiap tahun selama 10 tahun Periode
LNIPM
LNBP
LNBB
LNBM
LNBL
1 2
0.009
0.000
0.000
0.000
0.000
0.009
-0.001
0.000
0.001
0.000
3
0.009
-0.001
0.001
0.002
-0.002
4
0.009
-0.001
0.000
0.001
0.000
5
0.009
-0.001
0.000
0.001
-0.001
6
0.009
-0.001
0.000
0.001
0.000
7
0.009
0.000
0.000
0.001
0.000
8
0.009
-0.001
0.000
0.001
0.000
9
0.009
0.000
0.000
0.001
0.000
10
0.009
-0.001
0.000
0.001
0.000
Total
0.089
-0.005
0.003
0.011
-0.004
Cholesky Ordering : LNIPM LNBP LNBB LNBM LNBL
Hasil analisis impulse response dilakukan untuk melihat dampak saat ini dan masa depan dari variabel IPM akibat perubahan atau shock variabel belanja barang, belanja pegawai, belanja modal dan belanja lainnya. Adanya shock pada variabel belanja barang, belanja pegawai, belanja modal dan belanja lainnya pada periode pertama tidak memberi dampak apapun pada total IPM. Pada periode kedua shock belanja pegawai memberi dampak sebesar -0.001 pada IPM, shock belanja barang memberi dampak sebesar 0.000 pada IPM dan shock belanja lain
136
memberi dampak sebesar 0.000 pada IPM dan shock belanja modal memberi dampak sebesar 0.001 (Tabel 34). Dalam kurun waktu 10 tahun, maka jenis belanja yang memberikan dampak paling besar adalah belanja modal sebesar 0.011 sedangkan belanja pegawai dan belanja lain akan mengurangi IPM. Jika dikaji lebih dalam lagi, kejutan-kejutan yang terjadi dengan datangnya informasi baru dalam jenis belanja daerah berpengaruh pada IPM. Tabel 35 Hasil Variance Decomposition VECM masing-masing jenis belanja terhadap IPM Periode
S.E.
LNIPM
LNBP
LNBB
LNBM
LNBL
1
0.009
100.000
0.000
0.000
0.000
0.000
2
0.013
98.845
0.179
0.004
0.972
0.001
3
0.016
96.716
0.228
0.371
1.573
1.113
4
0.018
96.617
0.361
0.341
1.796
0.886
5
0.020
96.697
0.351
0.288
1.755
0.909
6
0.022
96.881
0.370
0.247
1.741
0.761
7
0.024
97.078
0.349
0.223
1.690
0.660
8
0.026
97.192
0.344
0.201
1.685
0.577
9
0.027
97.270
0.334
0.190
1.676
0.529
10
0.029
97.319
0.335
0.182
1.683
0.481
Cholesky Ordering : LNIPM LNBP LNBB LNBM LNBL
Selain IRF, dalam VECM menyediakan analisis variance decomposition. Analisis ini memberikan motode yang berbeda di dalam menggambarkan sistem dinamis VAR, yaitu menggambarkan relatif pentingnya setiap variabel di dalam sistem VAR karena adanya shock. Selain itu digunakan juga untuk memprediksi kontribusi persentase varian setiap variabel karena adanya perubahan variabel tertentu di dalam sistem VAR. Tabel 35 menjelaskan prediksi kontribusi persentase varian IPM terhadap perubahan variabel jenis alokasi belanja. Periode pertama forecast error variance dari IPM dapat dijelaskan oleh IPM itu sendiri sebesar 100%, sedangkan yang dapat dijelaskan oleh variabel lainnya sebesar 0%. Pada periode kedua yang dapat dijelaskan oleh IPM sendiri sebesar 98.845%, belanja pegawai sebesar 0.179%, belanja barang sebesar 0.004% , belanja lain sebesar 0.001% dan belanja modal sebesar 0.972%. Sampai sepuluh periode mendatang forecast error variance yang dapat dijelaskan oleh IPM sendiri sebesar
137
97.319%, belanja pegawai sebesar 0.335%, belanja barang sebesar 0.182% , belanja lain sebesar 0.481% dan belanja modal sebesar 1.683%. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa belanja modal pada periode 10 memberikan kontribusi terbesar dibandingkan jenis belanja lain dan selalu meningkat setiap tahunnya, sedangkan jenis belanja pegawai, belanja barang dan jenis belanja lain kontribusinya lama-lama akan berkurang. 2. Interpretasi Model Panel VAR : Pengaruh Belanja Daerah terhadap IPM Jawa Timur Hubungan antara IPM dan jenis belanja pemerintah ditunjukkan dalam model VECM artinya adanya hubungan jangka panjang dan jangka pendek antara IPM dengan jenis belanja pemerintah, akan tetapi koefisien error correction term tidak signifikan. Kondisi tidak signifikan ini menunjukkan perlu waktu yang lama untuk penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang. Belanja pegawai tidak signifikan berpengaruh terhadap IPM, sedangkan belanja lain, belanja barang dan belanja modal berpengaruh secara signifikan terhadap IPM. Hal ini disebabkan jenis belanja pegawai, yang manfaat terbesarnya adalah langsung ke pegawainya. Padahal jumlah pegawai itu relatif sedikit untuk tiap daerah, sehingga wajar jika jenis belanja ini tidak berpengaruh terhadap IPM dalam jangka pendek. Dalam persamaan
jangka
panjang,
variabel
belanja
modal
tidak
signifikan
mempengaruhi IPM, Belanja barang berpengaruh positif secara signifikan mempengaruhi IPM, sedangkan belanja pegawai dan belanja lain berpengaruh negatif terhadap IPM. Hal ini dapat dijelaskan, yang termasuk jenis belanja barang adalah jenis belanja jasa juga, antara lain barang-barang keperluan kantor yang habis kurang dalam satu tahun, untuk membiayai penyuluhan, kursus dan lainlain. Sebagaimana diketahui bahwa IPM itu dibentuk dari tiga komponen yaitu pendidikan, kesehatan maupun daya beli. Oleh karena itu untuk menjelaskan lebih jauh tentang alokasi APBD yang mempengaruhi IPM . maka perlu dilihat lebih detail alokasi belanja dalam APBD mempengaruhi tingkat pencapaian dari setiap komponen pembentuk IPM baik pendidikan, kesehatan maupun daya beli. Secara
138
rinci dapat dijelaskan faktor yang mempengaruhi pencapaian komponen IPM, diantaranya : a. Rata-rata Lama Sekolah secara umum dipengaruhi oleh daya tampung kelas 1 SMP dan adalah tingkat kelulusan dari SD maupun SMP. Untuk itu, program pembangunan yang mengarah kepada upaya untuk menekan murid yang drop out baik melalui pemberian beasiswa maupun sekolah SMP Terbuka, SMP Satu Atap dan SMP Kelas Jauh akan mampu meningkatkan Rata-rata Lama Sekolah. b. Angka Melek Huruf untuk penduduk usia 15 tahun ke atas secara umum dipengaruhi oleh kemampuan baca tulis huruf latin, bahasa indonesia dan kemampuan pengetahuan dasar. Oleh karena itu, adanya kegiatan yang berkenaan dengan keaksaraan fungsional, kejar paket dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat yang mengarah kepada pemberantasan buta aksara, akan mendorong peningkatan angka melek huruf. c. Angka Harapan Hidup untuk bayi yang berumur 1 tahun ke atas sangat ditentukan oleh pelayanan kesehatan kepada bayi terutama program Imunisasi. Hal ini disebabkan karena kegiatan imunisasi kepada bayi akan memberikan daya tahan tubuh mereka terhadap berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Korelasi antara Angka Harapan Hidup dengan jumlah imunisasi lengkap maupun jumlah cakupan desa yang telah terpenuhi imunisasi (UCI Desa) akan berpengaruh terhadap Umur Harapan Hidup (UHH) bagi bayi yang bersangkutan. Selain itu, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan kepada ibu-ibu yang melahirkan, terutama ibu-ibu yang termasuk resiko tinggi (resti) sangat menentukan peluang hidup bagi seorang bayi. Untuk itu, berbagai program pembangunan yang mengarah pada kegiatan imunisasi, pelayanan KIA, dan kegiatan pendukung lainnya, seperti revitalisasi posyandu akan berpengaruh kepada pencapaian Angka Harapan Hidup. Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap Angka Harapan Hidup yaitu prosentase balita gizi baik. Hal ini disebabkan karena balita dengan gizi yang baik sangat mungkin memiliki usia hidup yang lebih lama. d. Kemampuan daya beli masyarakat, dipengaruhi oleh beberapa faktor namun salah satu faktornya adalah jumlah penduduk miskin. Keberadaan jumlah
139
penduduk miskin sangat berkorelasi dengan tingkat penghasilan yang rendah sehingga kemampuan daya belinya pun juga rendah. Oleh karena itu, program utama yang dapat meningkatkan kemampuan daya beli adalah program penanggulangan kemiskinan yang diupayakan dengan dua hal yaitu : (1) mengurangi beban orang miskin dan (2) meningkatkan pendapatan orang miskin. Untuk mengurangi beban orang miskin diantaranya dengan program BOS, PKH, Beasiswa Daerah dan program sejenis lainnya. Sedangkan yang meningkatkan pendapatan orang miskin yaitu : program Raskin, BLT, Padat Karya, dan program pemberian bantuan tunai lainnya. Jadi upaya untuk mengurangi beban orang miskin dan meningkatkan pendapatan orang miskin yaitu melalui program penanggulangan kemiskinan. Kalau diperhatikan, program-program untuk mempengaruhi kinerja IPM melalui komponen pembentuknya, sebagian besar adalah berasal dari belanja pemerintah pusat, misalnya BOS, PKH, BLT, PNPM. Sedangkan untuk penyuluhan-penyuluhan, khususnya dalam bidang kesehatan, dana yang dikeluarkan termasuk dalam belanja barang. Sementara belanja modal dalam jangka panjang tidak signifikan berpengaruh terhadap IPM, karena walaupun sarana dan prasana sudah tersedia akan tetapi masyarakat tidak mau menggunakan, maka juga tidak akan menaikkkan IPM suatu daerah. Misalnya, fasilitas puskesmas, RS sudah tersedia, akan tetapi masyarakat kalau sakit cenderung berobat secara tradisional, hal ini tidak akan menaikkan IPM daerah tersebut.
5.4.3 Hasil Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Jumlah Penduduk Miskin 1. Indikator Model Panel VAR Hubungan antara jumlah penduduk miskin dan jenis belanja pemerintah ditunjukkan dalam model VAR FD, karena setelah dilakukan uji kointegrasi ternyata tidak terdapat kointegrasi antara jumlah penduduk miskin dan jenis belanja pemerintah pada tingkat signifikansi pada taraf α=5% maupun α=10%. Hasil estimasi dengan model VAR FD dapat dijelaskan dalam Tabel 32. Belanja pegawai dan belanja lain berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata α=10%.
140
Koefisien belanja pegawai dan belanja lain bertanda positif, artinya jika ada kenaikan belanja pegawai dan belanja lain maka jumlah penduduk miskin akan meningkat (Cateris paribus). Jenis belanja barang dan belanja modal
tidak
signifikan berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin baik pada taraf nyata α=5% maupun α=10%.
Tabel 36 Hasil Estimasi pengaruh belanja daerah terhadap jumlah penduduk miskin Jawa Timur Variabel
VAR FD
DLNMIS(-1)
-0.518 **
DLNMIS(-2)
-0.130
-0.109
-0.131 DLNBP(-1)
0.326 * -0.213
DLNBP(-2)
0.054 -0.130
DLNBB(-1)
0.015 -0.097
DLNBB(-2)
0.049 -0.087
DLNBL(-1)
0.079 * -0.063
DLNBL(-2)
0.098 ** -0.051
DLNBM(-1)
-0.020 -0.058
Keterangan : ** Signifikan pada taraf nyata 5% * Signifikan pada taraf nyata 10% Angka dalam ( ) menyatakan simpangan baku
Hasil analisis impulse response dilakukan untuk melihat dampak saat ini dan masa depan dari variabel jumlah penduduk miskin akibat perubahan atau shock variabel belanja barang, belanja pegawai, belanja modal dan belanja lainnya. Adanya shock pada variabel belanja barang, belanja pegawai, belanja modal dan belanja lainnya pada periode pertama tidak memberi dampak apapun
141
pada jumlah penduduk miskin. Pada periode kedua shock belanja pegawai memberi dampak sebesar 0.022 pada jumlah penduduk miskin, shock belanja barang memberi dampak sebesar -0.001 pada jumlah penduduk miskin dan shock belanja lain memberi dampak sebesar 0.041 pada jumlah penduduk miskin dan shock belanja modal memberi dampak sebesar 0.009 (Tabel 37). Dalam kurun waktu 10 tahun, maka jenis belanja yang memberikan dampak paling besar terhadap kenaikan jumlah penduduk miskin adalah belanja lain sebesar 0.037 Jika dikaji lebih dalam lagi, kejutan-kejutan yang terjadi dengan datangnya informasi baru dalam jenis belanja daerah berpengaruh pada jumlah penduduk miskin.
Tabel 37 Hasil impulse response jumlah penduduk miskin karena shock masingmasing jenis belanja tiap tahun selama 10 tahun Periode
DLNMIS
DLNBP
DLNBB
DLNBL
DLNBM
1
0.402
0.000
0.000
0.000
0.000
2
-0.208
0.022
-0.001
0.041
0.009
3
0.054
-0.017
0.009
0.026
-0.012
4
-0.002
0.025
-0.012
-0.049
0.026
5
0.001
-0.020
0.007
0.031
0.003
6
-0.007
0.009
0.001
-0.020
-0.026
7
0.010
-0.003
-0.007
0.008
0.014
8
-0.011
0.000
0.006
0.002
-0.001
9
0.006
0.000
-0.001
-0.003
0.001
10
-0.001
0.000
-0.001
0.000
-0.001
Total
0.245
0.017
0.001
0.037
0.013
Cholesky Ordering : DLNMIS DLNBP DLNBB DLNBL DLNBM
Selain IRF, dalam VECM menyediakan analisis variance decomposition. Analisis ini memberikan motode yang berbeda di dalam menggambarkan sistem dinamis VAR, yaitu menggambarkan relatif pentingnya setiap variabel di dalam sistem VAR karena adanya shock. Selain itu digunakan juga untuk memprediksi kontribusi persentase varian setiap variabel karena adanya perubahan variabel tertentu di dalam sistem VAR. Tabel 38 menjelaskan prediksi kontribusi persentase varian jumlah penduduk miskin terhadap perubahan variabel jenis alokasi belanja. Periode pertama forecast error variance dari jumlah penduduk
142
miskin dapat dijelaskan oleh jumlah penduduk miskin itu sendiri sebesar 100%, sedangkan yang dapat dijelaskan oleh variabel lainnya sebesar 0%. Pada periode kedua yang dapat dijelaskan oleh jumlah penduduk miskin sendiri sebesar 98.896%, belanja pegawai sebesar 0.237%, belanja barang sebesar 0.000%, belanja lain sebesar 0.824% dan belanja modal sebesar 0.043%. Sampai sepuluh periode mendatang forecast error variance yang dapat dijelaskan oleh jumlah penduduk miskin sendiri sebesar 95.332%, belanja pegawai sebesar 0.856%, belanja barang sebesar 0.174%, belanja lain sebesar 2.840% dan belanja modal sebesar 0.798%. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa belanja lain pada periode 10 memberikan kontribusi terbesar dibandingkan jenis belanja lain dan selalu meningkat setiap tahunnya.
Tabel 38 Hasil Variance Decomposition VAR-FD masing-masing jenis belanja terhadap jumlah penduduk miskin Periode
S.E.
DLNMIS
DLNBP
DLNBB
DLNBL
DLNBM
1
0.402
100.000
0.000
0.000
0.000
0.000
2
0.455
98.896
0.237
0.000
0.824
0.043
3
0.459
98.364
0.364
0.039
1.121
0.111
4
0.463
96.622
0.639
0.111
2.216
0.412
5
0.465
95.981
0.820
0.134
2.652
0.413
6
0.466
95.482
0.856
0.134
2.814
0.714
7
0.467
95.351
0.857
0.158
2.836
0.798
8
0.467
95.336
0.857
0.173
2.836
0.798
9
0.467
95.332
0.856
0.173
2.840
0.798
10
0.467
95.332
0.856
0.174
2.840
0.798
Cholesky Ordering : DLNMIS DLNBP DLNBB DLNBL DLNBM
2. Interpretasi Model Panel VAR : Pengaruh Belanja Daerah terhadap Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Timur Berdasarkan hasil analisis diatas, untuk kasus jawa timur, belanja modal tidak mempengaruhi jumlah penduduk miskin. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kuspradoto (2006) yang menunjukkan bahwa pengeluaran belanja pembangunan di Provinsi Jawa Timur tidak secara signifikan mempengaruhi kemiskinan. Upaya-upaya untuk mengurangi kemiskinan telah
143
dilaksanakan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan pembangunan. Selain melalui program-program khusus, meskipun tidak dirancang secara spesifik untuk penanggulangan kemiskinan, upaya-upaya tersebut juga dilaksanakan melalui pembangunan sektoral. Ada beberapa alasan, mengapa belanja pemerintah daerah tidak memengaruhi kemiskinan. Hal ini disebabkan alokasi belanja modal kurang menyentuh langsung terhadap masyarakat miskin. Pembangunan prasarana perhubungan misalnya, adalah suatu yang dibutuhkan oleh masyarakat miskin untuk memasarkan produksinya. Namun, tidak jarang pembangunan prasarana tersebut belum mencapai sasarannya atau kurang memberi manfaat bagi upayaupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (miskin) dan kelompok rentan lainnya. Jika anggaran pemerintah daerah terbatas maka menyebabkan anggaran yang
dialokasikan
relatif
kecil
untuk
mencakup
seluruh
upaya-upaya
menanggulangi kemiskinan, sehingga seringkali alokasi anggaran ini habis untuk kegiatan-kegiatan yang kurang produktif. Pengelolaan program-program yang saling tumpang tindih. Tumpang tindih program juga seringkali menimbulkan duplikasi penerima manfaat. Duplikasi semacam ini terhadap penerima manfaat yang sama dapat menimbulkan ketergantungan. Masyarakat miskin sering menganggap bantuan pemerintah sebagai bantuan rutin, sehingga kurang efektif untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Hal ini terjadi pada kasus BLT dan PKH yang merupakan program pemerintah pusat dan dilaksanakan di seluruh Indonesia. Program yang dijalankan sering dirancang dari atas ke bawah (top down) tanpa melibatkan partisipasi aktif subyek yang akan dituju dan relatif seragam untuk semua tempat. Sebagai akibatnya ketika program dijalankan tidak sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat penerima manfaat. Tanpa menyertakan partisipasi aktif dan menangkap aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat miskin hanya akan menimbulkan keengganan masyarakat menjadi sasaran program. Kondisi ini seringkali akan berakhir dengan tidak adanya kepedulian masyarakat miskin itu sendiri terhadap keberlanjutan program. Beberapa
program
mungkin
berpengaruh
langsung
dan
dirasakan
bermanfaat terhadap penanggulangan kemiskinan. Tetapi karena dilaksanakan tidak berbeda dengan penanganan sebuah proyek dengan batas waktu tertentu dan
144
kriteria-kriteria yang berlainan, maka tidak adanya konsistensi dan keberlanjutan program dapat pula menjadikan hambatan bagi kegiatan-kegiatan masyarakat miskin yang sedang tumbuh. Perlu diperhatikan adalah dimensi ruang terhadap pelaksanaan program. Program yang berhasil disatu tempat belum tentu berhasil bila dilaksanakan ditempat lain. Apabila hal-hal diatas tidak mendapat perhatian, maka
pengeluaran
pembangunan
dan
upaya-upaya
mengurangi
tingkat
kemiskinan tidak berdampak signifikan. Sebaliknya pengeluaran pembangunan yang dirancang dengan baik dan memperhatikan berbagai aspek kemasyarakatan akan memberikan dampak bagi menurunnya tingkat kemiskinan. Secara umum, dari keseluruhan dampak alokasi belanja pemerintah terhadap PDRB, jumlah penduduk miskin dan IPM dapat dikatakan bahwa belanja pemerintah daerah berpengaruh terhadap PDRB, jumlah penduduk miskin maupun IPM. Walaupun kontribusinya, yang ditunjukkan oleh kontribusi masingmasing jenis belanja terhadap varian dari PDRB, penduduk miskin maupun IPM masih kecil. Jenis belanja daerah yang mempengaruhi pelaksanaan pembangunan tergantung
pada
indikator
pembangunan
yang
digunakan.
Kondisi
ini
menunjukkan keberhasilan pembangunan di Jawa Timur yang telah dicapai selama ini merupakan hasil kerja sama yang baik antara pemerintah daerah, swasta, masyarakat serta pemerintah pusat. Oleh karena itu untuk lebih mendapatkan hasil pembangunan yang lebih baik di masa mendatang perlu ditingkatkan kerjasama antar berbagai pihak serta penciptaan kondisi yang aman dan stabil.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, maka sesuai dengan tujuan penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Secara umum rasio PAD terhadap total penerimaan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurun. Hal ini menunjukkan bahwa sumber-sumber penerimaan yang dapat digali dari potensi yang ada di kabupaten/kota belum optimal. Di sisi lain, alokasi belanja rutin masih mempunyai kontribusi yang lebih besar di banding dengan belanja pembangunan. Kondisi yang tak jauh beda jika dilihat dari sisi rasio PAD terhadap belanja rutin kabupaten/kota, secara umum juga mengalami penurunan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu tujuan desentralisasi fiskal untuk meningkatkan kemandirian daerah dengan memperkuat PAD ternyata kondisi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. 2. Secara umum pertumbuhan ekonomi dan IPM antara kabupaten/kota menuju suatu kondisi yang konvergen dan membaik. Namun di sisi lain persentase penduduk miskin semakin tidak konvergen antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Hal ini diduga adanya prioritas pembangunan yang berbeda antar kabupaten/kota
di
Provinsi
Jawa
Timur.
Kesenjangan
pembangunan
mengalami penurunan, walupun pada awal pelaksanaan desentralisasi terjadi kenaikan, hal ini menunjukkan pelaksanaan desentralisasi ditanggapi berbedabeda oleh daerah dan memerlukan waktu untuk menyesuaikannya. Kondisi pencapaian berbagai indikator yang tidak berjalan beriringan menunjukkan bahwa
adanya
perbedaan
prioritas
pembangunan
masing-masing
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. 3. Belanja pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan IPM baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Jenis belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan IPM baik dalam jangka panjang maupun pendek, sementara belanja pegawai hanya berpengaruh dalam jangka pendek. Belanja pengawai dan belanja lain berpengaruh positif terhadap kemiskinan, artinya jika jenis belanja ini naik maka kemiskinan juga
146
akan naik. Alokasi belanja mempunyai pengaruh terhadap pembangunan ekonomi, akan tetapi pengaruhnya yang dapat dilihat dari kontribusinya sangat kecil. Hal ini menunjukkan adanya peran swasta dan peran pemerintah yang lebih tinggi dalam proses pembangunan kabupaten/kota di Jawa Timur 6.2 Saran Berdasarkan hasil analisis serta kesimpulan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut : 1. Pemerintah daerah perlu mencari alternatif lain untuk dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan melihat kondisi dan potensi yang dimiliki, sehingga tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat tidak semakin besar. Peningkatan PAD diharapkan tidak menghambat investor untuk menanamkan modalnya. Peran swasta perlu ditingkatkan dengan mengadakan kerja sama dengan pemerintah daerah melalui pengembangan ekonomi lokal. 2. Pemerintah daerah hendaknya tidak hanya fokus dalam mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam waktu yang cepat tetapi harus memperhatikan pemerataan pembangunan. Karena strategi pengembangan tersebut sangat rapuh dan peka terhadap faktor eksternal maupun perubahan ekonomi di luar wilayah. 3. Pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat seyogyanya membuat alokasi dana APBD lebih banyak ke pengeluaran modal yang secara langsung berdampak pada peningkatan ekonomi lokal. Upaya yang dapat dilakukan adalah membuat birokrasi pemerintahan yang lebih efisien serta meningkatkan kontrol masyarakat terhadap penggunaan belanja pemerintah daerah untuk mengurangi terjadinya penyimpangan-penyimpangan dan korupsi serta perilaku rent seeking. Selain itu juga perlu adanya sinkronisasi prioritas pembangunan ekonomi di tingkat kabupaten kota, provinsi dan nasional, sehingga dapat menghemat anggaran belanja daerah. 4. Untuk meningkatkan investasi daerah, pemerintah daerah seharusnya tidak meningkatkan pajak dan retribusi daerah yang berlebihan dengan dalih peningkatan PAD. Upaya yang seharusnya dilakukan adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi dunia usaha sehingga mampu menarik investor untuk menanamkan modalnya, yang pada gilirannya akan menyerap
147
tenaga kerja lokal dan menjadi sumber pendapatan daerah. Pemerintah daerah bahkan seharusnya memberikan insentif dan kemudahan bagi investor melalui kemudahan
perijinan,
perbaikan
infrastruktur
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia lokal.
perekonomian
serta
DAFTAR PUSTAKA Afirman L, Sutriono E. 2006. Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Produk Domestik Bruto dengan menggunakan Pendekatan Granger Causality dan Vector Autoregression. Jurnal Keuangan Publik 4(1):25-66. Becker S, Hoffmann M. 2003. Intra and International Risk Sharing in the Short Run and the Long Run. Europen Economic Review 50(3):777-806. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah TK II Tahun 2002-2007. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Evaluasi Kinerja Pembangunan Pemerintah Provinsi Jawa Timur Tahun 2002-2008. Surabaya: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Jawa Timur Dalam Angka 2008. Surabaya: BPS. [BAPPENAS] Badan Perencanaan dan Pembangunan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta.
Nasional.
1999.
Baltaqi BH. 2001. Econometric Analysis of Panel data. New York : John Wiley & Sons, LTD. Bellinger, WK. 2007. The Economics Analysis of Publik Policy. Routledge. Bird R, Francois. 2000. Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Blanchard O. 2006. Macroeconomics. Fourth edition. New Jersey, Prentice Hall. [DPR] Dewan Perwakilan Rakyat RI. 2004a. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. [DPR] Dewan Perwakilan Rakyat RI. 2004b. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Enders, W. 1995. Apllied Econometric Times Series. New York:John Wiley and Sons, Inc. Gavin TW, Theodorou A. 2005. A Common Model Approach to Macroeconomics. Using Panel Data to Reduce Sampling Error. Journal Of Forcasting 24:203-219. Halim A. 2007. Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta:STIM YKPN. Hoffmann M. 2003. Fixed versus Flexible Exchange Rates: A Panel-VAR. Department of Economics. University of Cologne.
149
Holtz-Eakin D, W.K. Newey, H.S. Rosen. 1988. Estimation Vector Autoregresions with Panel Data. Econometrica 56:1371-1395. Junsoo M. 1988. Summary of Estimating Vector Autoregressions with Panel Data Holtz-Eakin, Newey and Rosen. Econometrica. Kharisma B. 2006. Peran Anggaran Pemerintah Daerah Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Sebelum dan Sesudah Era Desentralisasi : Pendekatan Model Ekonometrika periode 1995-2005. [Tesis]. Depok: Program Studi Ilmu Ekonomi Pasca sarjana, FE UI. Kuncoro M. 2004. Otonomi Daerah, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta: Penerbit Erlangga. Landiyanto A. 2005. Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan di Era Otonomi Daerah : Studi Kasus Kota Surabaya.Cures Working Paper No. 05/ Januari 2005. Loizides J, Vamvoukas G. 2008. Government Expenditure And Economic Growth: Evidence From Trivariate Causality Testing. Athens University of Economics and Business. Journal of Applied Economics, Vol VIII, No1 (May 2008), 125-152. Love I, Zicchino L. 2006. Financial Development and Dynamic Investment Behavior: Evidence from Panel VAR. The Quarterly Review of Economics and Finance 46:190-210. Mangkoesoebroto G. 1997. Ekonomi Publik.Edisi 3. Yogyakarta: BPFE. Musgrave R.A, Musgrave P.B. 1991. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Jakarta. Penerbit Erlangga. Mulyana B. 2006. Keuangan Daerah : Perspektif Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan APBD di Indonesia. Http//www.bppk.depkeu.go.id. Priyarsono DS, Widyastutik, Henny R. 2008. Ekonomi Publik. Jakarta: Universitas Terbuka. Pujiati A. 2007. Analisis Pertumbuhan Ekonomi di Karesidenan Semarang Era Desentralisasi Fiskal. Journal Ekonomi Pembangunan , 61-70. Rao, V.V. Bhanoji. 1989. Government Size and Economic Growth : A new Framework and some Evidence from Cross-Section and Time-Series Data. Comment. American Economic Review 79: 272-280. Setiaji W, Aji PH. 2007. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Sesudah Otonomi Daerah : Apakah Mengalami Pergeseran. Studi Pada Kabupaten Kota se Jawa Bali. Simposium Nasional Akutansi X. Unhas. Makasar. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional. Teori dan Aplikasi. Padang : Baduose Media.
150
Stiglitz, J.E. 2000. Economics of the Public Sektor. Third Ed. New York: W.W. Norton & Company. Syaibani M. 2005. Pengeluaran Pemerintah dan Pembangunan Ekonomi daerah di Indonesia (Studi Kasus Tingkat propinsi tahun 2001-2003). [Tesis]. Depok: Program Studi Ilmu Ekonomi Pasca sarjana, FE UI. Tangkilisan H N. 2005. Managemen Publik. Jakarta:Gramedia Widiasono. Todaro M, Stepen Smith C. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Erlangga. Widarjono A. 2007. Ekonometrika, Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta:FE UII. Wang S, Burton. 2007. Government Outlays, Economic Growth and Umployment : A Var Model. Working Paper Departement Of Economisc of University Of Delaware No. 2007-13. Wang S, Burton A. Abram. 2007. Effect of Government of Government Size on the Steady-State Unemployment Rate : An Error Correction Model, Mimeo, University of Delaware.
LAMPIRAN
151
Lampiran 1. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur (Milyar Rupiah) tahun 2002-2008 Kabupaten/Kota
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
1 Pacitan
1 342.80
1 504.50
1 661.48
1 880.23
2 165.76
2 427.16
2 820.39
2 Ponorogo
2 884.98
3 125.75
3 470.19
4 030.61
4 660.91
5 267.70
6 121.13
3 Trenggalek
1 794.87
1 927.67
2 083.65
2 457.42
2 870.19
3 234.07
3 758.03
Kabupaten
4 Tulungagung
6 376.54
7 089.64
8 042.99
9 318.98
10 863.14
12 329.63
14 327.16
5 Blitar
4 838.19
5 434.57
6 116.49
7 280.11
8 501.53
9 698.64
11 269.92
6 Kediri 7 Malang
5 859.48
6 492.52
7 367.89
8 531.19
9 820.92
11 179.28
12 875.44
12 064.33
13 428.78
14 993.86
17 582.35
20 908.73
23 750.36
27 598.17
8 Lumajang
5 176.08
5 714.82
6 625.32
7 899.31
9 166.70
10 308.53
11 978.62
9 Jember
9 302.96
10 384.75
11 619.76
13 639.30
15 925.69
18 028.46
20 959.27
10 Banyuwangi
9 090.62
10 036.74
11 095.14
13 146.36
15 354.25
17 459.63
20 288.27
11 Bondowoso
2 053.08
2 268.17
2 502.65
2 923.75
3 419.52
3 841.98
4 459.42
12 Situbondo
3 192.35
3 584.40
4 010.93
4 761.40
5 572.39
6 293.12
7 282.68
13 Probolinggo
5 635.91
6 368.24
7 202.51
8 458.97
9 882.78
11 206.49
13 022.06
14 Pasuruan
5 936.97
6 549.59
7 431.07
8 729.93
10 239.51
11 644.52
13 531.05
15 Sidoarjo
21 923.30
24 948.26
29 139.76
35 224.13
39 787.85
45 285.82
52 172.60
16 Mojokerto
5 208.22
5 915.79
6 722.36
8 071.62
9 382.03
10 610.92
12 330.00
17 Jombang
5 424.75
6 054.95
6 794.98
7 895.21
9 263.75
10 526.53
12 236.94
18 Nganjuk
3 897.53
4 361.93
4 922.59
5 891.28
6 884.58
7 848.12
9 119.60
19 Madiun
2 488.85
2 754.74
3 049.89
3 492.41
4 002.93
4 462.89
5 135.92
20 Magetan
2 797.68
3 105.24
3 448.12
4 091.76
4 733.64
5 307.53
6 167.40
21 Ngawi
2 772.81
3 012.95
3 352.42
3 988.33
4 649.51
5 239.45
6 088.29
22 Bojonegoro
5 117.93
5 731.76
6 617.04
7 771.65
9 398.90
11 163.00
13 821.52
23 Tuban
5 557.79
6 214.82
7 022.69
8 250.93
9 886.38
11 327.79
13 183.01
24 Lamongan 25 Gresik
3 872.59
4 290.27
4 743.61
5 700.15
6 684.63
7 530.13
8 750.09
12 756.77
14 428.14
16 552.02
19 720.86
23 243.91
26 852.02
31 297.33
26 Bangkalan
2 947.04
3 302.66
3 649.40
4 385.65
5 025.75
5 630.08
6 487.22
27 Sampang
2 369.50
2 607.11
2 893.10
3 402.77
3 933.77
4 378.10
5 047.40
28 Pamekasan
1 926.69
2 136.17
2 382.16
2 796.11
3 263.58
3 672.71
4 262.72
29 Sumenep
5 176.82
5 570.87
6 048.80
6 897.87
7 927.49
8 804.34
10 130.74
71 Kediri
23 984.72
27 139.44
30 397.53
34 852.72
40 375.05
44 404.37
51 318.35
72 Blitar
591.09
658.23
738.88
861.47
1 003.58
1 140.26
1 329.00
10 864.85
12 109.52
13 877.99
16 627.07
19 322.24
21 986.09
25 548.07
1 719.63
1 924.80
2 177.12
2 591.39
3 058.35
3 489.15
4 055.42
923.83
1 051.90
1 194.36
1 404.00
1 649.38
1 917.22
2 227.83
1 038.47
1 163.46
1 349.61
1 591.00
1 848.37
2 100.21
2 435.46
1 288.83
1 463.37
1 713.43
1 990.37
2 312.83
Kota
73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Jumlah
Sumber : BPS
991.89
1 128.61
68 375.00
77 343.57
1 035.62
1 180.69
88 350.86 104 361.35 122 298.39 140 383.48 163 277.10 1 363.63
1 643.89
1 937.99
2 199.21
2 555.50
267 157.72 300 609.86 341 065.25 403 392.35 470 627.49 534 919.33 621 581.96
152
Lampiran 2. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur (Milyar Rupiah) tahun 2002-2008 Kabupaten/Kota
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Kabupaten 1
Pacitan
1 098.75
1 127.87
1 166.88
1 213.21
1 263.68
1 327.74
1 404.49
2
Ponorogo
2 398.27
2 488.38
2 598.68
2 716.92
2 847.60
3 015.89
3 193.23
3
Trenggalek
1 641.87
1 695.79
1 761.50
1 838.30
1 918.63
2 021.85
2 133.86
4
Tulungagung
5 254.64
5 554.08
5 915.46
6 224.24
6 574.67
6 979.67
7 390.77
5
Blitar
3 943.79
4 133.76
4 365.31
4 608.46
4 841.65
5 114.71
5 421.60
6
Kediri
7
Malang
8 9
5 128.94
5 280.60
5 580.49
5 762.97
6 034.98
6 347.60
6 623.72
10 207.40
10 627.56
11 181.26
11 745.92
12 371.97
13 121.72
13 881.46
Lumajang
4 451.40
4 626.18
4 867.60
5 119.74
5 378.29
5 655.81
5 962.35
Jember
7 627.51
7 960.87
8 389.64
8 863.66
9 368.89
9 929.15
10 537.80
10 Banyuwangi
7 757.06
8 112.03
8 574.14
9 025.14
9 542.28
10 095.73
10 708.54
11 Bondowoso
1 621.85
1 682.47
1 754.34
1 849.07
1 951.88
2 059.04
2 166.93
12 Situbondo
2 487.71
2 600.92
2 749.32
2 901.35
3 058.03
3 223.16
3 384.32
13 Probolinggo
4 752.48
4 936.17
5 203.24
5 450.39
5 746.89
6 085.38
6 432.25
14 Pasuruan
4 651.21
4 866.42
5 091.85
5 413.65
5 733.06
6 097.11
6 471.47
15 Sidoarjo
18 556.36
19 757.74
20 808.12
22 179.37
23 467.99
24 812.71
25 939.21
16 Mojokerto
4 296.06
4 494.21
4 742.08
5 070.70
5 330.83
5 620.83
5 932.22
17 Jombang
4 363.33
4 549.02
4 813.59
5 077.85
5 362.21
5 688.77
6 028.39
18 Nganjuk
3 379.39
3 539.63
3 745.23
3 956.46
4 188.70
4 443.79
4 717.98
19 Madiun
1 982.86
2 056.45
2 127.50
2 223.88
2 318.39
2 434.54
2 538.01
20 Magetan
2 298.03
2 375.25
2 494.45
2 615.43
2 739.67
2 881.86
3 037.48
21 Ngawi
2 209.80
2 265.62
2 376.89
2 491.45
2 601.82
2 736.08
2 904.62
22 Bojonegoro
4 171.29
4 318.12
4 721.43
5 140.70
5 656.31
6 392.20
7 255.78
23 Tuban
4 437.07
4 620.59
4 875.73
5 161.45
5 525.33
5 896.63
6 281.09
24 Lamongan
3 484.43
3 635.07
3 828.18
4 050.60
4 272.57
4 526.36
4 792.96
10 192.35
10 848.23
11 569.08
12 480.72
13 346.88
14 265.15
15 230.90
26 Bangkalan
2 478.66
2 556.04
2 675.09
2 800.02
2 927.98
3 074.38
3 213.34
27 Sampang
1 978.77
2 047.85
2 129.90
2 211.69
2 313.65
2 411.05
2 519.79
28 Pamekasan
1 491.22
1 530.18
1 606.43
1 686.59
1 765.02
1 848.15
1 944.62
29 Sumenep
4 041.40
4 128.93
4 236.71
4 376.95
4 555.53
4 741.39
4 942.90
17 342.75
18 114.72
18 745.98
19 595.33
20 343.87
21 228.83
22 252.06
25 Gresik
Kota 71 Kediri 72 Blitar
505.27
534.55
567.88
602.35
638.55
678.53
721.07
73 Malang
9 071.28
9 492.11
10 131.27
10 807.03
11 452.21
12 150.79
12 865.26
74 Probolinggo
1 346.59
1 411.39
1 484.05
1 577.10
1 680.40
1 789.46
1 895.93
75 Pasuruan
736.74
773.67
827.27
878.15
932.51
993.03
1 046.95
76 Mojokerto
849.02
901.27
961.59
1 020.06
1 073.71
1 142.32
1 201.61
77 Madiun
766.84
798.92
841.38
891.36
939.49
998.21
1 059.30
54 466.39
57 372.94
61 212.46
65 711.57
70 074.82
74 797.86
79 495.17
78 Surabaya 79 Batu Jumlah
Sumber : BPS
862.35 915.77 977.35 1 048.89 1 120.32 1 196.84 1 269.49 218 452.28 228 884.34 242 228.77 256 374.93 271 244.67 287 817.72 304 798.97
153
Lampiran 3. Presentase penduduk miskin kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 Kabupaten/Kota
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Kabupaten 1 Pacitan
30.65
28.69
32.55
27.01
26.94
24.74
19.70
2 Ponorogo
31.18
33.13
27.09
26.19
16.54
16.31
10.68
3 Trenggalek
24.39
22.50
28.66
27.55
22.11
21.44
15.28
4 Tulungagung
18.65
17.72
17.34
15.38
12.55
12.35
9.97
5 Blitar
19.26
17.32
17.47
14.64
12.54
12.63
13.10
6 Kediri
17.83
16.44
17.47
15.95
18.98
17.95
18.26
7 Malang
18.97
13.99
13.86
17.19
20.17
19.24
17.25
8 Lumajang
21.45
22.77
21.98
17.98
17.69
17.27
17.59
9 Jember
22.04
21.97
19.19
27.76
13.85
13.45
12.69
10 Banyuwangi
17.00
18.09
17.08
22.79
16.06
15.51
12.18
11 Bondowoso
39.00
50.69
51.03
55.58
19.62
19.69
19.58
12 Situbondo
26.59
28.34
25.44
38.27
19.68
18.75
16.84
13 Probolinggo
26.43
27.08
30.03
32.73
24.03
23.55
19.06
14 Pasuruan
20.31
17.15
14.75
20.86
18.12
8.37
19.24
15 Sidoarjo
6.20
6.17
4.33
4.84
8.82
8.34
9.65
16 Mojokerto
15.55
17.51
20.26
13.02
14.44
13.86
13.58
17 Jombang
24.26
20.18
19.54
14.12
18.88
17.07
15.15
18 Nganjuk
25.96
19.41
20.12
18.79
23.02
21.60
22.63
19 Madiun
22.91
19.02
20.03
21.27
21.34
20.14
15.45
20 Magetan
22.64
19.86
24.11
11.04
15.49
14.67
12.79
21 Ngawi
20.05
16.23
17.17
28.75
25.43
23.44
23.86
22 Bojonegoro
27.96
29.30
27.28
39.63
31.83
28.95
22.98
23 Tuban
23.42
23.32
22.98
25.74
28.38
29.61
25.23
24 Lamongan
21.41
15.72
19.65
26.92
30.72
28.54
22.01
25 Gresik
14.13
8.95
8.81
13.20
18.73
17.13
14.86
26 Bangkalan
18.66
20.50
21.73
35.09
35.56
34.04
32.02
27 Sampang
44.56
51.34
39.33
70.58
56.84
51.02
46.11
28 Pamekasan
19.47
19.58
24.51
41.10
38.73
35.75
35.73
29 Sumenep
20.73
17.22
18.41
30.29
27.78
26.11
31.06
71 Kediri
17.04
14.34
11.32
9.92
7.30
7.36
6.66
72 Blitar
15.45
14.94
11.36
10.95
7.51
7.49
6.14
9.25
7.22
6.57
4.73
3.99
3.94
4.19
74 Probolinggo
14.84
13.50
6.27
8.87
12.36
12.04
9.90
75 Pasuruan
10.38
8.42
8.56
9.82
9.98
9.74
12.06
76 Mojokerto
14.73
12.22
13.07
11.57
8.90
8.79
8.50
77 Madiun
10.55
7.96
8.70
8.06
6.32
5.59
5.07
Kota
73 Malang
78 Surabaya
11.11
13.48
12.00
11.70
10.38
9.12
8.65
79 Batu
11.07
10.18
9.51
9.36
7.91
7.15
7.14
Jawa Timur
20.34
19.52
19.10
22.51
19.89
18.89
16.97
Sumber : BPS
154
Lampiran 4. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 Kabupaten/Kota
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Kabupaten 1 Pacitan
63.81
64.07
63.60
67.02
67.55
68.77
69.52
2 Ponorogo
62.11
62.65
64.19
65.15
65.43
66.79
68.17
3 Trenggalek
67.14
67.80
68.20
68.69
68.92
68.98
71.02
4 Tulungagung
67.68
68.79
67.87
69.59
68.94
70.23
72.07
5 Blitar
66.48
67.67
67.19
68.46
69.49
69.13
70.87
6 Kediri
67.83
68.39
68.46
67.90
67.67
68.67
69.28
7 Malang
65.26
65.94
64.98
65.92
66.41
66.73
67.45
8 Lumajang
61.70
61.96
62.89
62.25
63.88
62.86
65.15
9 Jember
58.58
58.62
59.79
60.05
60.75
61.24
62.33
10 Banyuwangi
63.52
64.56
65.42
64.52
64.99
65.13
66.88
11 Bondowoso
52.38
54.85
56.96
58.27
57.57
57.97
59.12
12 Situbondo
55.13
55.89
58.03
59.14
59.17
60.48
60.20
13 Probolinggo
57.08
57.20
58.53
58.01
58.11
57.92
58.89
14 Pasuruan
61.67
62.05
62.66
63.09
62.98
62.44
64.07
15 Sidoarjo
70.75
71.05
72.06
72.33
72.12
72.05
73.30
16 Mojokerto
68.90
70.03
70.98
68.83
68.53
70.07
70.90
17 Jombang
67.70
68.81
68.40
69.03
68.24
70.00
71.36
18 Nganjuk
63.94
65.26
65.55
67.03
66.44
67.22
68.70
19 Madiun
65.34
67.07
66.15
66.55
65.93
66.39
68.91
20 Magetan
68.89
69.78
70.30
68.75
68.31
68.50
70.40
21 Ngawi
63.60
64.18
63.99
64.64
63.59
66.02
66.83
22 Bojonegoro
60.24
61.22
62.80
64.09
64.34
65.15
66.21
23 Tuban
62.74
63.27
64.64
64.36
63.96
64.47
66.30
24 Lamongan
64.57
64.79
66.95
66.06
65.99
66.28
67.98
25 Gresik
69.82
70.36
71.44
71.00
71.39
70.11
72.20
26 Bangkalan
59.11
59.35
59.69
60.03
60.13
59.56
61.94
27 Sampang
50.47
51.12
53.86
53.83
53.70
54.05
55.77
28 Pamekasan
60.21
61.04
62.55
60.05
60.01
60.44
61.25
29 Sumenep
55.00
55.30
58.31
61.24
60.49
61.54
62.15
71 Kediri
70.41
70.89
71.36
71.57
71.05
72.49
73.39
72 Blitar
68.94
69.59
70.92
73.19
73.40
73.28
74.97
Kota
73 Malang
67.71
68.33
69.13
72.42
74.06
73.26
73.13
74 Probolinggo
67.23
68.28
69.61
68.55
68.28
70.38
70.78
75 Pasuruan
67.18
68.02
69.64
68.98
68.69
69.73
71.42
76 Mojokerto
71.68
72.27
72.91
73.22
73.19
73.64
74.91
77 Madiun
70.87
71.94
72.61
73.59
72.89
74.36
74.93
78 Surabaya
69.30
70.53
70.86
74.21
72.84
73.57
76.10
79 Batu
69.21
68.23
67.52
69.51
69.59
70.84
70.48
Jawa Timur
62.64
63.66
64.49
66.84
66.87
67.46
69.14
Sumber : BPS
155
Lampiran 5. Jumlah penduduk kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 (jiwa) Kabupaten/Kota
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
542 827
545 582
548 732
551 290
553 321
555 262
557 029
Kabupaten 1 Pacitan 2 Ponorogo
875 360
877 746
880 994
885 047
888 857
892 527
895 921
3 Trenggalek
663 817
667 291
670 567
673 102
673 920
674 620
675 380
4 Tulungagung 5 Blitar
955 361
960 578
969 499
977 211
981 257
985 147
988 731
1 057 267
1 061 879
1 066 115
1 069 151
1 069 569
1 069 798
1 070 122
6 Kediri
1 431 313
1 440 972
1 449 972
1 450 937
1 451 028
1 451 119
1 451 630
7 Malang
2 338 538
2 346 307
2 359 484
2 375 537
2 388 755
2 401 624
2 413 779
8 Lumajang
997 673
1 003 256
1 008 571
1 013 454
1 017 467
1 021 317
1 024 849
9 Jember
2 263 695
2 276 567
2 287 425
2 295 795
2 304 634
2 313 100
2 320 844
10 Banyuwangi
1 487 989
1 494 071
1 506 605
1 517 432
1 522 534
1 527 384
1 531 753
11 Bondowoso
686 160
689 874
695 900
701 105
703 303
705 384
707 242
12 Situbondo
603 018
606 433
611 836
616 505
618 816
621 026
623 042
13 Probolinggo
1 008 672
1 017 590
1 029 721
1 040 234
1 041 370
1 042 323
1 043 671
14 Pasuruan
1 371 392
1 389 634
1 412 963
1 433 270
1 438 610
1 443 716
1 448 370
15 Sidoarjo
1 572 370
1 614 214
1 667 955
1 715 439
1 737 543
1 759 623
1 781 405
16 Mojokerto 17 Jombang
925 812
939 727
960 552
978 769
987 817
996 774
1 005 486
1 199 607
1 209 257
1 224 459
1 237 640
1 253 752
1 269 851
1 285 739
18 Nganjuk
961 656
967 500
980 251
991 313
994 468
997 458
1 000 132
19 Madiun
639 167
640 801
641 828
642 159
642 335
642 398
642 518
20 Magetan
622 095
621 622
622 033
622 384
623 536
624 581
625 424
21 Ngawi
813 336
816 131
822 356
827 728
830 281
832 696
834 847
22 Bojonegoro
1 205 461
1 213 625
1 227 627
1 239 756
1 247 919
1 255 914
1 263 551
23 Tuban
1 044 376
1 051 669
1 061 466
1 069 935
1 073 071
1 076 027
1 078 641
24 Lamongan
1 156 478
1 162 961
1 176 113
1 187 504
1 188 136
1 188 559
1 189 087
25 Gresik
1 073 788
1 090 326
1 112 936
1 132 689
1 153 292
1 174 063
1 194 821
26 Bangkalan
857 213
867 485
888 607
907 119
923 657
940 331
956 996
27 Sampang
801 863
811 739
832 932
851 537
868 370
885 379
902 429
28 Pamekasan
747 995
756 857
772 377
785 932
802 172
818 604
835 101
29 Sumenep
985 286
992 416
1 005 146
1 016 187
1 016 418
1 016 471
1 016 907
71 Kediri
260 752
260 919
262 217
263 335
265 721
268 081
270 374
72 Blitar
126 756
127 083
127 968
128 731
129 932
131 121
132 278
73 Malang
785 402
790 979
797 302
802 763
807 543
812 209
816 637
Kota
74 Probolinggo
207 868
209 710
212 646
215 195
218 995
222 822
226 643
75 Pasuruan
166 890
168 675
171 402
173 774
173 872
173 940
174 073
76 Mojokerto
109 833
110 735
111 941
112 823
112 959
113 075
113 201
77 Madiun
173 313
173 257
174 053
174 739
175 955
177 148
178 291
2 571 808
2 584 532
2 604 653
2 622 023
2 625 298
2 628 113
2 630 079
174 123
177 623
180 231
182 235
184 117
185 986
187 813
78 Surabaya 79 Batu Jumlah
Sumber : BPS
35 466 328 35 737 623 36 137 434 36 481 779 36 690 600 36 895 571 37 094 836
156
Lampiran 6. PDRB perkapita kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 (ribu rupiah) Kabupaten/Kota
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
1 Pacitan
2 473.71
2 757.60
3 027.86
3 410.60
3 914.11
4 371.20
5 063.27
2 Ponorogo
3 295.77
3 561.11
3 938.94
4 554.12
5 243.72
5 902.01
6 832.22
3 Trenggalek
2 703.87
2 888.80
3 107.30
3 650.89
4 258.95
4 793.92
5 564.31
4 Tulungagung
6 674.48
7 380.60
8 296.03
9 536.30
11 070.64
12 515.52
14 490.45
5 Blitar
4 576.13
5 117.88
5 737.17
6 809.24
7 948.56
9 065.86
10 531.44
6 Kediri
4 093.78
4 505.65
5 081.40
5 879.78
6 768.25
7 703.90
8 869.64
7 Malang
5 158.92
5 723.37
6 354.72
7 401.42
8 752.98
9 889.29
11 433.59
Kabupaten
8 Lumajang
5 188.15
5 696.27
6 569.01
7 794.44
9 009.33
10 093.37
11 688.18
9 Jember
4 109.63
4 561.59
5 079.84
5 940.99
6 910.29
7 794.07
9 030.88 13 245.13
10 Banyuwangi
6 109.33
6 717.71
7 364.33
8 663.56
10 084.67
11 431.07
11 Bondowoso
2 992.13
3 287.80
3 596.28
4 170.20
4 862.09
5 446.65
6 305.37
12 Situbondo
5 293.95
5 910.62
6 555.57
7 723.21
9 004.92
10 133.43
11 688.90
13 Probolinggo
5 587.45
6 258.17
6 994.62
8 131.80
9 490.18
10 751.45
12 477.17
14 Pasuruan
4 329.15
4 713.18
5 259.21
6 090.92
7 117.64
8 065.65
9 342.26
15 Sidoarjo
13 942.84
15 455.36
17 470.35
20 533.59
22 898.91
25 736.09
29 287.33
16 Mojokerto
5 625.57
6 295.22
6 998.43
8 246.71
9 497.74
10 645.26
12 262.72
17 Jombang
4 522.11
5 007.17
5 549.38
6 379.25
7 388.82
8 289.58
9 517.44
18 Nganjuk
4 052.93
4 508.46
5 021.77
5 942.91
6 922.87
7 868.12
9 118.40
19 Madiun
3 893.89
4 298.90
4 751.88
5 438.54
6 231.84
6 947.23
7 993.43
20 Magetan
4 497.19
4 995.39
5 543.31
6 574.34
7 591.61
8 497.74
9 861.15
21 Ngawi
3 409.18
3 691.75
4 076.61
4 818.40
5 599.93
6 292.15
7 292.71
22 Bojonegoro
4 245.62
4 722.84
5 390.11
6 268.69
7 531.66
8 888.35
10 938.63
23 Tuban
5 321.64
5 909.48
6 616.03
7 711.62
9 213.16
10 527.42
12 221.87
24 Lamongan
3 348.60
3 689.09
4 033.29
4 800.11
5 626.15
6 335.51
7 358.66 26 194.16
25 Gresik
11 880.15
13 232.87
14 872.39
17 410.66
20 154.40
22 871.02
26 Bangkalan
3 437.93
3 807.16
4 106.88
4 834.70
5 441.15
5 987.34
6 778.73
27 Sampang
2 954.99
3 211.76
3 473.39
3 996.03
4 530.06
4 944.89
5 593.13
28 Pamekasan
2 575.80
2 822.42
3 084.19
3 557.70
4 068.43
4 486.55
5 104.44
29 Sumenep
5 254.13
5 613.44
6 017.83
6 787.99
7 799.44
8 661.67
9 962.31
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo
91 982.86 104 014.93 115 925.14 132 351.26 151 945.27 165 637.88 189 805.04 4 663.24
5 179.54
5 773.95
6 692.05
7 723.85
8 696.26
10 047.00
13 833.49
15 309.53
17 406.18
20 712.31
23 927.19
27 069.50
31 284.49
8 272.71
9 178.41
10 238.24
12 042.06
13 965.38
15 658.89
17 893.45
75 Pasuruan
5 535.57
6 236.22
6 968.18
8 079.45
9 486.18
11 022.33
12 798.28
76 Mojokerto
9 454.96
10 506.68
12 056.45
14 101.76
16 363.23
18 573.57
21 514.50
77 Madiun
5 723.14
6 514.08
7 404.80
8 374.59
9 737.90
11 235.62
12 972.21
26 586.36
29 925.56
33 920.40
39 801.85
46 584.58
53 416.08
62 080.68
79 Batu
5 947.63
6 647.15
7 566.04
9 020.71
10 525.86
11 824.57
13 606.62
Jawa Timur
7 532.71
8 411.58
9 438.00
11 057.37
12 826.92
14 498.20
16 756.56
78 Surabaya
Sumber : BPS
157
Lampiran 7. Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 Kabupaten/Kota
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Kabupaten 1 Pacitan
2.80
2.65
3.46
3.97
4.16
5.07
5.78
2 Ponorogo
3.89
3.76
4.43
4.55
4.81
5.91
5.88
3 Trenggalek
3.50
3.28
3.87
4.36
4.37
5.38
5.54
4 Tulungagung
5.57
5.70
6.51
5.22
5.63
6.16
5.89
5 Blitar
3.81
4.82
5.60
5.57
5.06
5.64
6.00
6 Kediri
2.61
2.96
5.68
3.27
4.72
5.18
4.35
7 Malang
4.57
4.12
5.21
5.05
5.33
6.06
5.79
8 Lumajang
3.86
3.93
5.22
5.18
5.05
5.16
5.42
9 Jember
3.07
4.37
5.39
5.65
5.70
5.98
6.13
10 Banyuwangi
4.72
4.58
5.70
5.26
5.73
5.80
6.07
11 Bondowoso
3.35
3.74
4.27
5.40
5.56
5.49
5.24
12 Situbondo
4.05
4.55
5.71
5.53
5.40
5.40
5.00
13 Probolinggo
4.72
3.86
5.41
4.75
5.44
5.89
5.70
14 Pasuruan
3.42
4.63
4.63
6.32
5.90
6.35
6.14
15 Sidoarjo
4.44
6.47
5.32
6.59
5.81
5.73
4.54
16 Mojokerto
4.09
4.61
5.52
6.93
5.13
5.44
5.54
17 Jombang
4.06
4.26
5.82
5.49
5.60
6.09
5.97
18 Nganjuk
4.62
4.74
5.81
5.64
5.87
6.09
6.17
19 Madiun
3.61
3.71
3.46
4.53
4.25
5.01
4.25
20 Magetan
2.34
3.36
5.02
4.85
4.75
5.19
5.40
21 Ngawi
2.87
2.53
4.91
4.82
4.43
5.16
6.16
22 Bojonegoro
3.61
3.52
9.34
8.88
10.03
13.01
13.51
23 Tuban
4.13
4.14
5.52
5.86
7.05
6.72
6.52
24 Lamongan
3.84
4.32
5.31
5.81
5.48
5.94
5.89
25 Gresik
5.87
6.44
6.64
7.88
6.94
6.88
6.77
26 Bangkalan
3.60
3.12
4.66
4.67
4.57
5.00
4.52
27 Sampang
3.11
3.49
4.01
3.84
4.61
4.21
4.51
28 Pamekasan
2.24
2.61
4.98
4.99
4.65
4.71
5.22
29 Sumenep
2.28
2.17
2.61
3.31
4.08
4.08
4.25
71 Kediri
3.24
4.45
3.48
4.53
3.82
4.35
4.82
72 Blitar
6.00
5.80
6.23
6.07
6.01
6.26
6.27
73 Malang
3.78
4.64
6.73
6.67
5.97
6.10
5.88
74 Probolinggo
3.77
4.81
5.15
6.27
6.55
6.49
5.95
75 Pasuruan
5.59
5.01
6.93
6.15
6.19
6.49
5.43
76 Mojokerto
6.05
6.15
6.69
6.08
5.26
6.39
5.19
77 Madiun
5.36
4.18
5.31
5.94
5.40
6.25
6.12
78 Surabaya
5.40
5.34
6.69
7.35
6.64
6.74
6.28
79 Batu
5.96
6.19
6.72
7.32
6.81
6.83
6.07
Jawa Timur
3.80
4.78
5.83
5.84
5.80
6.11
5.90
Kota
Sumber : BPS
158
Lampiran 8. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2002 (Kabupaten) Kabupaten
Penduduk
PDRB Perkapita
(pi)
(yi)
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P) ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
1 Pacitan
542 827
2 024.13 0.017
0.018
0.984
-0.007
0.000
2 Ponorogo
875 360
2 739.75 0.023
0.028
0.826
-0.083
-0.002
3 Trenggalek
663 817
2 473.38 0.021
0.021
0.984
-0.007
0.000
4 Tulungagung
955 361
5 500.16 0.047
0.031
1.520
0.182
0.009
5 Blitar
1 057 267
3 730.17 0.032
0.034
0.931
-0.031
-0.001
6 Kediri
1 431 313
3 583.38 0.031
0.046
0.661
-0.180
-0.006
7 Malang
2 338 538
4 364.86 0.037
0.076
0.493
-0.307
-0.011
997 673
4 461.78 0.038
0.032
1.181
0.072
0.003
9 Jember
2 263 695
3 369.50 0.029
0.073
0.393
-0.406
-0.012
10 Banyuwangi
1 487 989
5 213.12 0.045
0.048
0.925
-0.034
-0.002
11 Bondowoso
686 160
2 363.66 0.020
0.022
0.909
-0.041
-0.001
12 Situbondo
603 018
4 125.43 0.035
0.020
1.806
0.257
0.009
8 Lumajang
13 Probolinggo
1 008 672
4 711.62 0.040
0.033
1.233
0.091
0.004
14 Pasuruan
1 371 392
3 391.60 0.029
0.044
0.653
-0.185
-0.005
15 Sidoarjo
1 572 370
11 801.53 0.101
0.051
1.981
0.297
0.030
16 Mojokerto
925 812
4 640.32 0.040
0.030
1.323
0.122
0.005
17 Jombang
1 199 607
3 637.30 0.031
0.039
0.800
-0.097
-0.003
18 Nganjuk
961 656
3 514.13 0.030
0.031
0.965
-0.016
0.000
19 Madiun
639 167
3 102.26 0.027
0.021
1.281
0.108
0.003
20 Magetan
622 095
3 694.02 0.032
0.020
1.568
0.195
0.006
21 Ngawi
813 336
2 716.96 0.023
0.026
0.882
-0.055
-0.001
22 Bojonegoro
1 205 461
3 646.24 0.031
0.039
0.798
-0.098
-0.003
23 Tuban
1 044 376
4 248.54 0.036
0.034
1.074
0.031
0.001
24 Lamongan
1 156 478
3 012.97 0.026
0.037
0.688
-0.163
-0.004
25 Gresik
1 073 788
9 491.95 0.081
0.035
2.334
0.368
0.030
26 Bangkalan
857 213
2 891.54 0.025
0.028
0.890
-0.050
-0.001
27 Sampang
801 863
2 467.71 0.021
0.026
0.812
-0.090
-0.002
28 Pamekasan
747 995
1 993.62 0.017
0.024
0.704
-0.153
-0.003
29 Sumenep
985 286
4 101.75 0.035
0.032
1.099
0.041
0.001
Total
30 889 584
117 013.388
0.043
159
Lampiran 9. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2003 (Kabupaten) Kabupaten
Penduduk PDRB Perkapita (pi)
(yi)
yi/Y
pi/P (yi/Y)/(pi/P) ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
1 Pacitan
545 582
2 067.28 0.017
0.018
0.975
-0.011
0.000
2 Ponorogo
877 746
2 834.96 0.023
0.028
0.831
-0.080
-0.002
3 Trenggalek
667 291
2 541.30 0.021
0.021
0.980
-0.009
0.000
4 Tulungagung
960 578
5 782.01 0.048
0.031
1.548
0.190
0.009
5 Blitar
1 061 879
3 892.87 0.032
0.034
0.943
-0.025
-0.001
6 Kediri
1 440 972
3 664.61 0.030
0.046
0.654
-0.184
-0.006
7 Malang
2 346 307
4 529.48 0.037
0.075
0.497
-0.304
-0.011
8 Lumajang
1 003 256
4 611.17 0.038
0.032
1.182
0.073
0.003
9 Jember
2 276 567
3 496.88 0.029
0.073
0.395
-0.403
-0.012
10 Banyuwangi
1 494 071
5 429.48 0.045
0.048
0.935
-0.029
-0.001
11 Bondowoso
689 874
2 438.80 0.020
0.022
0.909
-0.041
-0.001
12 Situbondo
606 433
4 288.89 0.035
0.019
1.819
0.260
0.009
1 017 590
4 850.84 0.040
0.033
1.226
0.089
0.004
13 Probolinggo 14 Pasuruan
1 389 634
3 501.94 0.029
0.045
0.648
-0.188
-0.005
15 Sidoarjo
1 614 214
12 239.85 0.101
0.052
1.951
0.290
0.029
939 727
4 782.47 0.040
0.030
1.309
0.117
0.005
17 Jombang
1 209 257
3 761.83 0.031
0.039
0.800
-0.097
-0.003
18 Nganjuk
967 500
3 658.54 0.030
0.031
0.973
-0.012
0.000
19 Madiun
640 801
3 209.18 0.027
0.021
1.288
0.110
0.003
20 Magetan
621 622
3 821.05 0.032
0.020
1.581
0.199
0.006
21 Ngawi
816 131
2 776.05 0.023
0.026
0.875
-0.058
-0.001
22 Bojonegoro
1 213 625
3 732.04 0.031
0.039
0.791
-0.102
-0.003
23 Tuban
1 051 669
4 393.57 0.036
0.034
1.075
0.031
0.001
24 Lamongan
1 162 961
3 125.70 0.026
0.037
0.691
-0.160
-0.004
25 Gresik
1 090 326
9 949.53 0.082
0.035
2.347
0.371
0.030
26 Bangkalan
867 485
2 946.50 0.024
0.028
0.874
-0.059
-0.001
27 Sampang
811 739
2 522.79 0.021
0.026
0.799
-0.097
-0.002
28 Pamekasan
756 857
2 021.76 0.017
0.024
0.687
-0.163
-0.003
29 Sumenep
992 416
4 160.48 0.034
0.032
1.078
0.033
0.001
16 Mojokerto
Total
31 134 110
121 031.867
0.043
160
Lampiran 10. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2004 (Kabupaten)
Kabupaten
Penduduk PDRB Perkapita (pi)
(yi)
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P)
ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
1 Pacitan
548 732
2 126.51 0.017
0.017
0.971
-0.013
0.000
2 Ponorogo
880 994
2 949.71 0.023
0.028
0.839
-0.076
-0.002
3 Trenggalek
670 567
2 626.87 0.021
0.021
0.982
-0.008
0.000
4 Tulungagung
969 499
6 101.56 0.049
0.031
1.577
0.198
0.010
5 Blitar
1 066 115
4 094.59 0.033
0.034
0.963
-0.017
-0.001
6 Kediri
1 449 972
3 848.69 0.031
0.046
0.665
-0.177
-0.005
7 Malang
2 359 484
4 738.86 0.038
0.075
0.503
-0.298
-0.011
8 Lumajang
1 008 571
4 826.23 0.038
0.032
1.199
0.079
0.003
9 Jember
2 287 425
3 667.72 0.029
0.073
0.402
-0.396
-0.012
10 Banyuwangi
1 506 605
5 691.03 0.045
0.048
0.947
-0.024
-0.001
11 Bondowoso
695 900
2 520.96 0.020
0.022
0.908
-0.042
-0.001
12 Situbondo
611 836
4 493.55 0.036
0.019
1.841
0.265
0.009
13 Probolinggo
1 029 721
5 053.06 0.040
0.033
1.230
0.090
0.004
14 Pasuruan
1 412 963
3 603.67 0.029
0.045
0.639
-0.194
-0.006
15 Sidoarjo
1 667 955
12 475.23 0.099
0.053
1.874
0.273
0.027
16 Mojokerto
960 552
4 936.83 0.039
0.030
1.288
0.110
0.004
17 Jombang
1 224 459
3 931.20 0.031
0.039
0.805
-0.094
-0.003
18 Nganjuk
980 251
3 820.68 0.030
0.031
0.977
-0.010
0.000
19 Madiun
641 828
3 314.75 0.026
0.020
1.294
0.112
0.003
20 Magetan
622 033
4 010.17 0.032
0.020
1.616
0.208
0.007
21 Ngawi
822 356
2 890.34 0.023
0.026
0.881
-0.055
-0.001
22 Bojonegoro
1 227 627
3 845.99 0.031
0.039
0.785
-0.105
-0.003
23 Tuban
1 061 466
4 593.39 0.037
0.034
1.084
0.035
0.001
24 Lamongan
1 176 113
3 254.94 0.026
0.037
0.694
-0.159
-0.004
25 Gresik
1 112 936
10 395.09 0.083
0.035
2.341
0.369
0.031
26 Bangkalan
888 607
3 010.43 0.024
0.028
0.849
-0.071
-0.002
27 Sampang
832 932
2 557.11 0.020
0.026
0.769
-0.114
-0.002
28 Pamekasan
772 377
2 079.85 0.017
0.025
0.675
-0.171
-0.003
29 Sumenep
1 005 146
4 215.02 0.034
0.032
1.051
0.022
0.001
Total
31 495 020
125 674.036
0.042
161
Lampiran 11. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2005 (Kabupaten) Kabupaten
Penduduk PDRB Perkapita (pi)
(yi)
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P)
ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
1 Pacitan
551 290
2 200.67 0.017
0.017
0.967
-0.014
0.000
2 Ponorogo
885 047
3 069.80 0.023
0.028
0.841
-0.075
-0.002
3 Trenggalek
673 102
2 731.08 0.021
0.021
0.983
-0.007
0.000
4 Tulungagung
977 211
6 369.40 0.049
0.031
1.580
0.199
0.010
5 Blitar
1 069 151
4 310.39 0.033
0.034
0.977
-0.010
0.000
6 Kediri
1 450 937
3 971.90 0.030
0.046
0.663
-0.178
-0.005
7 Malang
2 375 537
4 944.53 0.038
0.075
0.504
-0.297
-0.011
8 Lumajang
1 013 454
5 051.77 0.038
0.032
1.208
0.082
0.003
9 Jember
2 295 795
3 860.82 0.029
0.072
0.408
-0.390
-0.011
10 Banyuwangi
1 517 432
5 947.64 0.045
0.048
0.950
-0.022
-0.001
11 Bondowoso
701 105
2 637.37 0.020
0.022
0.912
-0.040
-0.001
12 Situbondo
616 505
4 706.13 0.036
0.019
1.850
0.267
0.010
13 Probolinggo
1 040 234
5 239.58 0.040
0.033
1.221
0.087
0.003
14 Pasuruan
1 433 270
3 777.13 0.029
0.045
0.639
-0.195
-0.006
15 Sidoarjo
1 715 439
12 929.27 0.099
0.054
1.827
0.262
0.026
16 Mojokerto
978 769
5 180.70 0.039
0.031
1.283
0.108
0.004
17 Jombang
1 237 640
4 102.85 0.031
0.039
0.803
-0.095
-0.003
18 Nganjuk
991 313
3 991.13 0.030
0.031
0.976
-0.011
0.000
19 Madiun
642 159
3 463.13 0.026
0.020
1.307
0.116
0.003
20 Magetan
622 384
4 202.28 0.032
0.020
1.636
0.214
0.007
21 Ngawi
827 728
3 009.99 0.023
0.026
0.881
-0.055
-0.001
22 Bojonegoro
1 239 756
4 146.54 0.032
0.039
0.811
-0.091
-0.003
23 Tuban
1 069 935
4 824.07 0.037
0.034
1.093
0.039
0.001
24 Lamongan
1 187 504
3 411.02 0.026
0.037
0.696
-0.157
-0.004
25 Gresik
1 132 689
11 018.67 0.084
0.036
2.358
0.372
0.031
26 Bangkalan
907 119
3 086.72 0.024
0.029
0.825
-0.084
-0.002
27 Sampang
851 537
2 597.29 0.020
0.027
0.739
-0.131
-0.003
28 Pamekasan
785 932
2 145.98 0.016
0.025
0.662
-0.179
-0.003
29 Sumenep
1 016 187
4 307.23 0.033
0.032
1.027
0.012
0.000
Total
31 806 161
131 235.059
0.042
162
Lampiran 12. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2006 (Kabupaten) Kabupaten
Penduduk PDRB Perkapita (pi)
(yi)
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P)
ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
1 Pacitan
553 321
2 283.80 0.017
0.017
0.960
-0.018
0.000
2 Ponorogo
888 857
3 203.66 0.023
0.028
0.838
-0.077
-0.002
3 Trenggalek
673 920
2 846.97 0.021
0.021
0.982
-0.008
0.000
4 Tulungagung
981 257
6 700.25 0.049
0.031
1.587
0.201
0.010
5 Blitar
1 069 569
4 526.73 0.033
0.033
0.984
-0.007
0.000
6 Kediri
1 451 028
4 159.11 0.030
0.045
0.666
-0.176
-0.005
7 Malang
2 388 755
5 179.26 0.038
0.075
0.504
-0.298
-0.011
8 Lumajang
1 017 467
5 285.96 0.038
0.032
1.208
0.082
0.003
9 Jember
2 304 634
4 065.24 0.030
0.072
0.410
-0.387
-0.011
10 Banyuwangi
1 522 534
6 267.37 0.046
0.048
0.957
-0.019
-0.001
11 Bondowoso
703 303
2 775.31 0.020
0.022
0.917
-0.037
-0.001
12 Situbondo
618 816
4 941.74 0.036
0.019
1.856
0.269
0.010
13 Probolinggo
1 041 370
5 518.59 0.040
0.033
1.232
0.091
0.004
14 Pasuruan
1 438 610
3 985.14 0.029
0.045
0.644
-0.191
-0.006
15 Sidoarjo
1 737 543
13 506.42 0.098
0.054
1.807
0.257
0.025
16 Mojokerto
987 817
5 396.58 0.039
0.031
1.270
0.104
0.004
17 Jombang
1 253 752
4 276.93 0.031
0.039
0.793
-0.101
-0.003
18 Nganjuk
994 468
4 212.00 0.031
0.031
0.985
-0.007
0.000
19 Madiun
642 335
3 609.32 0.026
0.020
1.306
0.116
0.003
20 Magetan
623 536
4 393.76 0.032
0.019
1.638
0.214
0.007
21 Ngawi
830 281
3 133.67 0.023
0.026
0.877
-0.057
-0.001
22 Bojonegoro
1 247 919
4 532.59 0.033
0.039
0.844
-0.073
-0.002
23 Tuban
1 073 071
5 149.08 0.037
0.034
1.116
0.047
0.002
24 Lamongan
1 188 136
3 596.03 0.026
0.037
0.704
-0.153
-0.004
25 Gresik
1 153 292
11 572.86 0.084
0.036
2.333
0.368
0.031
26 Bangkalan
923 657
3 169.99 0.023
0.029
0.798
-0.098
-0.002
27 Sampang
868 370
2 664.36 0.019
0.027
0.713
-0.147
-0.003
28 Pamekasan
802 172
2 200.30 0.016
0.025
0.638
-0.195
-0.003
29 Sumenep
1 016 418
4 481.94 0.033
0.032
1.025
0.011
0.000
Total
31 996 208
137 634.931
0.042
163
Lampiran 13. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2007 (Kabupaten) Kabupaten
Penduduk PDRB Perkapita (pi)
(yi)
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P)
ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
1 Pacitan
555 262
2 391.20 0.017
0.017
0.957
-0.019
0.000
2 Ponorogo
892 527
3 379.05 0.023
0.028
0.841
-0.075
-0.002
3 Trenggalek
674 620
2 997.02 0.021
0.021
0.987
-0.006
0.000
4 Tulungagung
985 147
7 084.90 0.049
0.031
1.597
0.203
0.010
5 Blitar
1 069 798
4 781.01 0.033
0.033
0.993
-0.003
0.000
6 Kediri
1 451 119
4 374.28 0.030
0.045
0.670
-0.174
-0.005
7 Malang
2 401 624
5 463.68 0.038
0.075
0.505
-0.296
-0.011
8 Lumajang
1 021 317
5 537.76 0.038
0.032
1.204
0.081
0.003
9 Jember
2 313 100
4 292.57 0.030
0.072
0.412
-0.385
-0.011
10 Banyuwangi
1 527 384
6 609.82 0.046
0.047
0.961
-0.017
-0.001
11 Bondowoso
705 384
2 919.03 0.020
0.022
0.919
-0.037
-0.001
12 Situbondo
621 026
5 190.05 0.036
0.019
1.856
0.269
0.010
13 Probolinggo
1 042 323
5 838.29 0.040
0.032
1.244
0.095
0.004
14 Pasuruan
1 443 716
4 223.20 0.029
0.045
0.650
-0.187
-0.005
15 Sidoarjo
1 759 623
14 101.15 0.097
0.055
1.780
0.250
0.024
16 Mojokerto
996 774
5 639.02 0.039
0.031
1.257
0.099
0.004
17 Jombang
1 269 851
4 479.87 0.031
0.039
0.784
-0.106
-0.003
18 Nganjuk
997 458
4 455.12 0.031
0.031
0.992
-0.003
0.000
19 Madiun
642 398
3 789.77 0.026
0.020
1.310
0.117
0.003
20 Magetan
624 581
4 614.06 0.032
0.019
1.641
0.215
0.007
21 Ngawi
832 696
3 285.81 0.023
0.026
0.876
-0.057
-0.001
22 Bojonegoro
1 255 914
5 089.68 0.035
0.039
0.900
-0.046
-0.002
23 Tuban
1 076 027
5 480.00 0.038
0.033
1.131
0.054
0.002
24 Lamongan
1 188 559
3 808.28 0.026
0.037
0.712
-0.148
-0.004
25 Gresik
1 174 063
12 150.24 0.084
0.036
2.299
0.361
0.030
26 Bangkalan
940 331
3 269.46 0.023
0.029
0.772
-0.112
-0.003
27 Sampang
885 379
2 723.19 0.019
0.028
0.683
-0.165
-0.003
28 Pamekasan
818 604
2 257.69 0.016
0.025
0.613
-0.213
-0.003
29 Sumenep
1 016 471
4 664.56 0.032
0.032
1.019
0.008
0.000
Total
32 183 076
144 889.775
0.041
164
Lampiran 14. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2008 (Kabupaten) Kabupaten
Penduduk PDRB Perkapita (pi)
(yi)
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P)
ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
1 Pacitan
557 029
2 521.39 0.017
0.018
0.962
-0.017
-0.00029
2 Ponorogo
895 921
3 564.18 0.024
0.029
0.845
-0.073
-0.00176
3 Trenggalek
675 380
3 159.50 0.021
0.022
0.994
-0.003
-0.00006
4 Tulungagung
988 731
7 475.01 0.051
0.032
1.606
0.206
0.01043
5 Blitar
1 070 122
5 066.34 0.034
0.034
1.006
0.003
0.00009
6 Kediri
1 451 630
4 562.95 0.031
0.046
0.668
-0.175
-0.00542
7 Malang
2 413 779
5 750.93 0.039
0.077
0.506
-0.296
-0.01152
8 Lumajang
1 024 849
5 817.79 0.039
0.033
1.206
0.081
0.00321
9 Jember
2 320 844
4 540.50 0.031
0.074
0.416
-0.381
-0.01173
10 Banyuwangi
1 531 753
6 991.04 0.047
0.049
0.970
-0.013
-0.00063
11 Bondowoso
707 242
3 063.92 0.021
0.023
0.920
-0.036
-0.00075
12 Situbondo
623 042
5 431.92 0.037
0.020
1.852
0.268
0.00986
13 Probolinggo
1 043 671
6 163.10 0.042
0.033
1.255
0.099
0.00411
14 Pasuruan
1 448 370
4 468.11 0.030
0.046
0.655
-0.183
-0.00556
15 Sidoarjo
1 781 405
14 561.09 0.099
0.057
1.737
0.240
0.02366
16 Mojokerto
1 005 486
5 899.86 0.040
0.032
1.247
0.096
0.00383
17 Jombang
1 285 739
4 688.66 0.032
0.041
0.775
-0.111
-0.00352
18 Nganjuk
1 000 132
4 717.35 0.032
0.032
1.002
0.001
0.00003
19 Madiun
642 518
3 950.10 0.027
0.020
1.306
0.116
0.00311
20 Magetan
625 424
4 856.67 0.033
0.020
1.650
0.217
0.00716
21 Ngawi
834 847
3 479.22 0.024
0.027
0.885
-0.053
-0.00125
22 Bojonegoro
1 263 551
5 742.37 0.039
0.040
0.966
-0.015
-0.00059
23 Tuban
1 078 641
5 823.15 0.039
0.034
1.147
0.060
0.00235
24 Lamongan
1 189 087
4 030.79 0.027
0.038
0.720
-0.143
-0.00389
25 Gresik
1 194 821
12 747.43 0.086
0.038
2.267
0.355
0.03070
26 Bangkalan
956 996
3 357.74 0.023
0.031
0.745
-0.128
-0.00290
27 Sampang
902 429
2 792.23 0.019
0.029
0.657
-0.182
-0.00345
28 Pamekasan
835 101
2 328.61 0.016
0.027
0.592
-0.227
-0.00359
Total
31 348 540
147 551.952
0.04160
165
Lampiran 15. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2002 (Kota) Kota
Penduduk PDRB Perkapita
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P) ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
(pi)
(yi)
71 Kediri
260 752
66 510.49
0.507
0.057
8.896
0.949
0.481
72 Blitar
126 756
3 986.18
0.030
0.028
1.097
0.040
0.001
73 Malang
785 402
11 549.85
0.088
0.172
0.513
-0.290
-0.026
74 Probolinggo
207 868
6 478.12
0.049
0.045
1.087
0.036
0.002
75 Pasuruan
166 890
4 414.52
0.034
0.036
0.923
-0.035
-0.001
76 Mojokerto
109 833
7 730.08
0.059
0.024
2.455
0.390
0.023
77 Madiun
173 313
4 424.60
0.034
0.038
0.890
-0.050
-0.002
78 Surabaya
2 571 808
21 178.25
0.161
0.562
0.287
-0.542
-0.087
79 Batu
174 123
4 952.54
0.038
0.038
0.992
-0.003
0.000
Total
4 576 744
131 224.644
0.391
166
Lampiran 16. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2003 (Kota) Kota
Penduduk PDRB Perkapita
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P) ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
(pi)
(yi)
71 Kediri
260 919
69 426.68
0.507
0.057
8.938
0.951
0.482
72 Blitar
127 083
4 206.35
0.031
0.028
1.112
0.046
0.001
73 Malang
790 979
12 000.45
0.088
0.172
0.510
-0.293
-0.026
74 Probolinggo
209 710
6 730.23
0.049
0.046
1.078
0.033
0.002
75 Pasuruan
168 675
4 586.71
0.033
0.037
0.913
-0.039
-0.001
76 Mojokerto
110 735
8 138.98
0.059
0.024
2.469
0.392
0.023
77 Madiun
173 257
4 611.19
0.034
0.038
0.894
-0.049
-0.002
78 Surabaya
2 584 532
22 198.58
0.162
0.561
0.288
-0.540
-0.087
79 Batu
177 623
5 155.68
0.038
0.039
0.975
-0.011
0.000
Total
4 603 513
137 054.862
0.392
167
Lampiran 17. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2004 (Kota) Kota
Penduduk PDRB Perkapita
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P) ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
(pi)
(yi)
71 Kediri
262 217
73 567.10
0.508
0.056
8.991
0.954
0.484
72 Blitar
127 968
4 437.71
0.031
0.028
1.111
0.046
0.001
73 Malang
797 302
12 706.94
0.088
0.172
0.511
-0.292
-0.026
74 Probolinggo
212 646
6 978.96
0.048
0.046
1.052
0.022
0.001
75 Pasuruan
171 402
4 826.51
0.033
0.037
0.902
-0.045
-0.001
76 Mojokerto
111 941
8 590.15
0.059
0.024
2.459
0.391
0.023
77 Madiun
174 053
4 834.04
0.033
0.037
0.890
-0.051
-0.002
78 Surabaya
2 604 653
23 501.20
0.162
0.561
0.289
-0.539
-0.087
79 Batu
180 231
5 422.78
0.037
0.039
0.964
-0.016
-0.001
Total
4 642 413
144 865.364
0.393
168
Lampiran 18. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2005 (Kota) Kota
Penduduk PDRB Perkapita
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P) ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
(pi)
(yi)
71 Kediri
263 335
74 412.17
0.496
0.056
8.814
0.945
0.469
72 Blitar
128 731
4 679.16
0.031
0.028
1.134
0.055
0.002
73 Malang
802 763
13 462.29
0.090
0.172
0.523
-0.281
-0.025
74 Probolinggo
215 195
7 328.70
0.049
0.046
1.062
0.026
0.001
75 Pasuruan
173 774
5 053.41
0.034
0.037
0.907
-0.042
-0.001
76 Mojokerto
112 823
9 041.21
0.060
0.024
2.500
0.398
0.024
77 Madiun
174 739
5 101.07
0.034
0.037
0.911
-0.041
-0.001
78 Surabaya
2 622 023
25 061.40
0.167
0.561
0.298
-0.526
-0.088
79 Batu
182 235
5 755.72
0.038
0.039
0.985
-0.006
0.000
Total
4 675 618
149 895.132
0.380
169
Lampiran 19. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2006 (Kota) Kota
Penduduk PDRB Perkapita
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P) ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
(pi)
(yi)
71 Kediri
265 721
76 561.02
0.490
0.057
8.653
0.937
0.459
72 Blitar
129 932
4 914.53
0.031
0.028
1.136
0.055
0.002
73 Malang
807 543
14 181.54
0.091
0.172
0.527
-0.278
-0.025
74 Probolinggo
218 995
7 673.23
0.049
0.047
1.052
0.022
0.001
75 Pasuruan
173 872
5 363.19
0.034
0.037
0.926
-0.033
-0.001
76 Mojokerto
112 959
9 505.32
0.061
0.024
2.527
0.403
0.024
77 Madiun
175 955
5 339.38
0.034
0.037
0.911
-0.040
-0.001
78 Surabaya
2 625 298
26 692.14
0.171
0.559
0.305
-0.515
-0.088
79 Batu
184 117
6 084.84
0.039
0.039
0.993
-0.003
0.000
Total
4 694 392
156 315.190
0.370
170
Lampiran 20. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2007 (Kota) Kota
Penduduk PDRB Perkapita
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P) ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
(pi)
(yi)
71 Kediri
268 081
79 188.11
0.484
0.057
8.504
0.930
0.450
72 Blitar
131 121
5 174.82
0.032
0.028
1.136
0.055
0.002
73 Malang
812 209
14 960.18
0.091
0.172
0.530
-0.276
-0.025
74 Probolinggo
222 822
8 030.88
0.049
0.047
1.038
0.016
0.001
75 Pasuruan
173 940
5 709.03
0.035
0.037
0.945
-0.025
-0.001
76 Mojokerto
113 075
10 102.34
0.062
0.024
2.572
0.410
0.025
77 Madiun
177 148
5 634.88
0.034
0.038
0.916
-0.038
-0.001
78 Surabaya
2 628 113
28 460.67
0.174
0.558
0.312
-0.506
-0.088
79 Batu
185 986
6 435.12
0.039
0.039
0.996
-0.002
0.000
Total
4 712 495
163 696.029
0.362
171
Lampiran 21. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2008 (Kota) Kota
Penduduk PDRB Perkapita
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P) ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
(pi)
(yi)
71 Kediri
270 374
82 301.03
0.480
0.057
8.398
0.924
0.444
72 Blitar
132 278
5 451.18
0.032
0.028
1.137
0.056
0.002
73 Malang
816 637
15 753.95
0.092
0.173
0.532
-0.274
-0.025
74 Probolinggo
226 643
8 365.27
0.049
0.048
1.018
0.008
0.000
75 Pasuruan
174 073
6 014.43
0.035
0.037
0.953
-0.021
-0.001
76 Mojokerto
113 201
10 614.82
0.062
0.024
2.587
0.413
0.026
77 Madiun
178 291
5 941.40
0.035
0.038
0.919
-0.037
-0.001
78 Surabaya
2 630 079
30 225.39
0.176
0.556
0.317
-0.499
-0.088
79 Batu
187 813
6 759.33
0.039
0.040
0.993
-0.003
0.000
Total
4 729 389
171 426.799
0.356
172
Lampiran 22. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2002 (Kabupaten+Kota) Kabupaten/Kota
Penduduk PDRB Perkapita (pi)
(yi)
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P) ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
Kabupaten 1 Pacitan
542 827
2 024.13
0.008
0.015
0.533
-0.273
-0.002
2 Ponorogo
875 360
2 739.75
0.011
0.025
0.447
-0.350
-0.004
3 Trenggalek
663 817
2 473.38
0.010
0.019
0.532
-0.274
-0.003
4 Tulungagung
955 361
5 500.16
0.022
0.027
0.823
-0.085
-0.002
5 Blitar
1 057 267
3 730.17
0.015
0.030
0.504
-0.298
-0.004
6 Kediri
1 431 313
3 583.38
0.014
0.040
0.358
-0.446
-0.006
7 Malang
2 338 538
4 364.86
0.018
0.066
0.267
-0.574
-0.010
997 673
4 461.78
0.018
0.028
0.639
-0.195
-0.003
9 Jember
2 263 695
3 369.50
0.014
0.064
0.213
-0.672
-0.009
10 Banyuwangi
1 487 989
5 213.12
0.021
0.042
0.501
-0.301
-0.006
11 Bondowoso
686 160
2 363.66
0.010
0.019
0.492
-0.308
-0.003
8 Lumajang
12 Situbondo
603 018
4 125.43
0.017
0.017
0.977
-0.010
0.000
13 Probolinggo
1 008 672
4 711.62
0.019
0.028
0.667
-0.176
-0.003
14 Pasuruan
1 371 392
3 391.60
0.014
0.039
0.353
-0.452
-0.006
15 Sidoarjo
1 572 370
11 801.53
0.048
0.044
1.072
0.030
0.001
925 812
4 640.32
0.019
0.026
0.716
-0.145
-0.003
17 Jombang
1 199 607
3 637.30
0.015
0.034
0.433
-0.363
-0.005
18 Nganjuk
961 656
3 514.13
0.014
0.027
0.522
-0.282
-0.004
19 Madiun
639 167
3 102.26
0.012
0.018
0.693
-0.159
-0.002
20 Magetan
622 095
3 694.02
0.015
0.018
0.848
-0.071
-0.001
21 Ngawi
813 336
2 716.96
0.011
0.023
0.477
-0.321
-0.004
16 Mojokerto
22 Bojonegoro
1 205 461
3 646.24
0.015
0.034
0.432
-0.364
-0.005
23 Tuban
1 044 376
4 248.54
0.017
0.029
0.581
-0.236
-0.004
24 Lamongan
1 156 478
3 012.97
0.012
0.033
0.372
-0.429
-0.005
25 Gresik
1 073 788
9 491.95
0.038
0.030
1.263
0.101
0.004
857 213
2 891.54
0.012
0.024
0.482
-0.317
-0.004
26 Bangkalan 27 Sampang
801 863
2 467.71
0.010
0.023
0.440
-0.357
-0.004
28 Pamekasan
747 995
1 993.62
0.008
0.021
0.381
-0.419
-0.003
29 Sumenep
985 286
4 101.75
0.017
0.028
0.595
-0.226
-0.004
71 Kediri
260 752
66 510.49
0.268
0.007
36.443
1.562
0.418
72 Blitar
126 756
3 986.18
0.016
0.004
4.493
0.653
0.010
73 Malang
785 402
11 549.85
0.047
0.022
2.101
0.322
0.015
74 Probolinggo
207 868
6 478.12
0.026
0.006
4.453
0.649
0.017
Kota
75 Pasuruan
166 890
4 414.52
0.018
0.005
3.779
0.577
0.010
76 Mojokerto
109 833
7 730.08
0.031
0.003
10.055
1.002
0.031
77 Madiun
173 313
4 424.60
0.018
0.005
3.647
0.562
0.010
2 571 808
21 178.25
0.085
0.073
1.177
0.071
0.006
79 Batu
174 123
4 952.54
0.020
0.005
4.064
0.609
0.012
Total
35 466 328
248 238.031
78 Surabaya
0.425
173
Lampiran 23. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2003 (Kabupaten+Kota) Kabupaten/Kota
Penduduk PDRB Perkapita (pi)
(yi)
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P) ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
Kabupaten 1 Pacitan
545 582
2 067.28
0.008
0.015
0.525
-0.280
-0.002
2 Ponorogo
877 746
2 834.96
0.011
0.025
0.447
-0.349
-0.004
3 Trenggalek
667 291
2 541.30
0.010
0.019
0.527
-0.278
-0.003
4 Tulungagung
960 578
5 782.01
0.022
0.027
0.834
-0.079
-0.002
5 Blitar
1 061 879
3 892.87
0.015
0.030
0.508
-0.294
-0.004
6 Kediri
1 440 972
3 664.61
0.014
0.040
0.352
-0.453
-0.006
7 Malang
2 346 307
4 529.48
0.018
0.066
0.267
-0.573
-0.010
8 Lumajang
1 003 256
4 611.17
0.018
0.028
0.636
-0.196
-0.004 -0.009
9 Jember
2 276 567
3 496.88
0.014
0.064
0.213
-0.672
10 Banyuwangi
1 494 071
5 429.48
0.021
0.042
0.503
-0.298
-0.006
11 Bondowoso
689 874
2 438.80
0.009
0.019
0.490
-0.310
-0.003
12 Situbondo
606 433
4 288.89
0.017
0.017
0.979
-0.009
0.000
13 Probolinggo
1 017 590
4 850.84
0.019
0.028
0.660
-0.180
-0.003
14 Pasuruan
1 389 634
3 501.94
0.014
0.039
0.349
-0.457
-0.006
15 Sidoarjo
1 614 214
12 239.85
0.047
0.045
1.050
0.021
0.001
939 727
4 782.47
0.019
0.026
0.705
-0.152
-0.003
1 209 257
3 761.83
0.015
0.034
0.431
-0.366
-0.005
16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk
967 500
3 658.54
0.014
0.027
0.524
-0.281
-0.004
19 Madiun
640 801
3 209.18
0.012
0.018
0.693
-0.159
-0.002
20 Magetan
621 622
3 821.05
0.015
0.017
0.851
-0.070
-0.001
21 Ngawi
816 131
2 776.05
0.011
0.023
0.471
-0.327
-0.004
22 Bojonegoro
1 213 625
3 732.04
0.014
0.034
0.426
-0.371
-0.005
23 Tuban
1 051 669
4 393.57
0.017
0.029
0.578
-0.238
-0.004
24 Lamongan
1 162 961
3 125.70
0.012
0.033
0.372
-0.429
-0.005
25 Gresik
1 090 326
9 949.53
0.039
0.031
1.264
0.102
0.004
26 Bangkalan
867 485
2 946.50
0.011
0.024
0.470
-0.328
-0.004
27 Sampang
811 739
2 522.79
0.010
0.023
0.430
-0.366
-0.004
28 Pamekasan
756 857
2 021.76
0.008
0.021
0.370
-0.432
-0.003
29 Sumenep
992 416
4 160.48
0.016
0.028
0.581
-0.236
-0.004
260 919
69 426.68
0.269
0.007
36.845
1.566
0.421
Kota 71 Kediri 72 Blitar
127 083
4 206.35
0.016
0.004
4.583
0.661
0.011
73 Malang
790 979
12 000.45
0.046
0.022
2.101
0.322
0.015
74 Probolinggo
209 710
6 730.23
0.026
0.006
4.444
0.648
0.017
75 Pasuruan
168 675
4 586.71
0.018
0.005
3.765
0.576
0.010
76 Mojokerto
110 735
8 138.98
0.032
0.003
10.178
1.008
0.032
77 Madiun
173 257
4 611.19
0.018
0.005
3.685
0.566
0.010
2 584 532
22 198.58
0.086
0.072
1.189
0.075
0.006
79 Batu
177 623
5 155.68
0.020
0.005
4.019
0.604
0.012
Total
35 737 623
258 086.729
78 Surabaya
0.429
174
Lampiran 24. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2004 (Kabupaten+Kota) Kabupaten/Kota
Penduduk PDRB Perkapita (pi)
(yi)
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P) ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
Kabupaten 1 Pacitan
548 732
2 126.51
0.008
0.015
0.518
-0.286
-0.002
2 Ponorogo
880 994
2 949.71
0.011
0.024
0.447
-0.349
-0.004
3 Trenggalek
670 567
2 626.87
0.010
0.019
0.523
-0.281
-0.003
4 Tulungagung
969 499
6 101.56
0.023
0.027
0.841
-0.075
-0.002
5 Blitar
1 066 115
4 094.59
0.015
0.030
0.513
-0.290
-0.004
6 Kediri
1 449 972
3 848.69
0.014
0.040
0.355
-0.450
-0.006
7 Malang
2 359 484
4 738.86
0.018
0.065
0.268
-0.571
-0.010
8 Lumajang
1 008 571
4 826.23
0.018
0.028
0.639
-0.194
-0.003
9 Jember
2 287 425
3 667.72
0.014
0.063
0.214
-0.669
-0.009
10 Banyuwangi
1 506 605
5 691.03
0.021
0.042
0.505
-0.297
-0.006
11 Bondowoso
695 900
2 520.96
0.009
0.019
0.484
-0.315
-0.003
12 Situbondo
611 836
4 493.55
0.017
0.017
0.981
-0.008
0.000
13 Probolinggo
1 029 721
5 053.06
0.019
0.028
0.655
-0.183
-0.003
14 Pasuruan
1 412 963
3 603.67
0.013
0.039
0.341
-0.468
-0.006
15 Sidoarjo
1 667 955
12 475.23
0.046
0.046
0.999
0.000
0.000
960 552
4 936.83
0.018
0.027
0.687
-0.163
-0.003
17 Jombang
1 224 459
3 931.20
0.015
0.034
0.429
-0.368
-0.005
18 Nganjuk
980 251
3 820.68
0.014
0.027
0.521
-0.283
-0.004
19 Madiun
641 828
3 314.75
0.012
0.018
0.690
-0.161
-0.002
20 Magetan
622 033
4 010.17
0.015
0.017
0.861
-0.065
-0.001
21 Ngawi
822 356
2 890.34
0.011
0.023
0.469
-0.328
-0.004
22 Bojonegoro
1 227 627
3 845.99
0.014
0.034
0.418
-0.378
-0.005
23 Tuban
1 061 466
4 593.39
0.017
0.029
0.578
-0.238
-0.004
24 Lamongan
1 176 113
3 254.94
0.012
0.033
0.370
-0.432
-0.005
25 Gresik
1 112 936
10 395.09
0.038
0.031
1.248
0.096
0.004
26 Bangkalan
888 607
3 010.43
0.011
0.025
0.453
-0.344
-0.004
27 Sampang
832 932
2 557.11
0.009
0.023
0.410
-0.387
-0.004
28 Pamekasan
772 377
2 079.85
0.008
0.021
0.360
-0.444
-0.003
1 005 146
4 215.02
0.016
0.028
0.560
-0.252
-0.004
71 Kediri
262 217
73 567.10
0.272
0.007
37.476
1.574
0.428
72 Blitar
127 968
4 437.71
0.016
0.004
4.632
0.666
0.011
73 Malang
797 302
12 706.94
0.047
0.022
2.129
0.328
0.015
74 Probolinggo
212 646
6 978.96
0.026
0.006
4.384
0.642
0.017
75 Pasuruan
171 402
4 826.51
0.018
0.005
3.761
0.575
0.010
76 Mojokerto
111 941
8 590.15
0.032
0.003
10.250
1.011
0.032
77 Madiun
174 053
4 834.04
0.018
0.005
3.710
0.569
0.010
2 604 653
23 501.20
0.087
0.072
1.205
0.081
0.007
79 Batu
180 231
5 422.78
0.020
0.005
4.019
0.604
0.012
Total
36 137 434
270 539.400
16 Mojokerto
29 Sumenep Kota
78 Surabaya
0.435
175
Lampiran 25. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2005 (Kabupaten+Kota) Kabupaten/Kota
Penduduk PDRB Perkapita (pi)
(yi)
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P) ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
Kabupaten 1 Pacitan
551 290
2 200.67
0.008
0.015
0.518
-0.286
-0.002
2 Ponorogo
885 047
3 069.80
0.011
0.024
0.450
-0.347
-0.004
3 Trenggalek
673 102
2 731.08
0.010
0.018
0.527
-0.279
-0.003
4 Tulungagung
977 211
6 369.40
0.023
0.027
0.846
-0.073
-0.002
1 069 151
4 310.39
0.015
0.029
0.523
-0.281
-0.004
5 Blitar 6 Kediri
1 450 937
3 971.90
0.014
0.040
0.355
-0.449
-0.006
7 Malang
2 375 537
4 944.53
0.018
0.065
0.270
-0.568
-0.010
8 Lumajang
1 013 454
5 051.77
0.018
0.028
0.647
-0.189
-0.003
9 Jember
2 295 795
3 860.82
0.014
0.063
0.218
-0.661
-0.009
10 Banyuwangi
1 517 432
5 947.64
0.021
0.042
0.509
-0.294
-0.006
11 Bondowoso
701 105
2 637.37
0.009
0.019
0.488
-0.311
-0.003
12 Situbondo
616 505
4 706.13
0.017
0.017
0.991
-0.004
0.000
13 Probolinggo
1 040 234
5 239.58
0.019
0.029
0.654
-0.185
-0.003
14 Pasuruan
1 433 270
3 777.13
0.013
0.039
0.342
-0.466
-0.006
15 Sidoarjo
1 715 439
12 929.27
0.046
0.047
0.978
-0.010
0.000
978 769
5 180.70
0.018
0.027
0.687
-0.163
-0.003
17 Jombang
1 237 640
4 102.85
0.015
0.034
0.430
-0.366
-0.005
18 Nganjuk
991 313
3 991.13
0.014
0.027
0.522
-0.282
-0.004
19 Madiun
642 159
3 463.13
0.012
0.018
0.700
-0.155
-0.002
16 Mojokerto
20 Magetan
622 384
4 202.28
0.015
0.017
0.876
-0.057
-0.001
21 Ngawi
827 728
3 009.99
0.011
0.023
0.472
-0.326
-0.003 -0.005
22 Bojonegoro
1 239 756
4 146.54
0.015
0.034
0.434
-0.362
23 Tuban
1 069 935
4 824.07
0.017
0.029
0.585
-0.233
-0.004
24 Lamongan
1 187 504
3 411.02
0.012
0.033
0.373
-0.429
-0.005
25 Gresik
1 132 689
11 018.67
0.039
0.031
1.262
0.101
0.004
26 Bangkalan
907 119
3 086.72
0.011
0.025
0.442
-0.355
-0.004
27 Sampang
851 537
2 597.29
0.009
0.023
0.396
-0.403
-0.004
28 Pamekasan
785 932
2 145.98
0.008
0.022
0.354
-0.451
-0.003
1 016 187
4 307.23
0.015
0.028
0.550
-0.260
-0.004
263 335
74 412.17
0.265
0.007
36.669
1.564
0.414
29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar
128 731
4 679.16
0.017
0.004
4.717
0.674
0.011
73 Malang
802 763
13 462.29
0.048
0.022
2.176
0.338
0.016
74 Probolinggo
215 195
7 328.70
0.026
0.006
4.419
0.645
0.017
75 Pasuruan
173 774
5 053.41
0.018
0.005
3.774
0.577
0.010
76 Mojokerto
112 823
9 041.21
0.032
0.003
10.399
1.017
0.033 0.010
77 Madiun
174 739
5 101.07
0.018
0.005
3.788
0.578
2 622 023
25 061.40
0.089
0.072
1.240
0.094
0.008
79 Batu
182 235
5 755.72
0.020
0.005
4.099
0.613
0.013
Total
36 481 779
281 130.191
78 Surabaya
0.426
176
Lampiran 26. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2006 (Kabupaten+Kota) Kabupaten/Kota
Penduduk PDRB Perkapita (pi)
(yi)
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P) ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
Kabupaten 1 Pacitan
553 321
2 283.80
0.008
0.015
0.515
-0.288
-0.002
2 Ponorogo
888 857
3 203.66
0.011
0.024
0.450
-0.347
-0.004
3 Trenggalek
673 920
2 846.97
0.010
0.018
0.527
-0.278
-0.003
4 Tulungagung
981 257
6 700.25
0.023
0.027
0.852
-0.069
-0.002
5 Blitar
1 069 569
4 526.73
0.015
0.029
0.528
-0.277
-0.004
6 Kediri
1 451 028
4 159.11
0.014
0.040
0.358
-0.446
-0.006
7 Malang
2 388 755
5 179.26
0.018
0.065
0.271
-0.568
-0.010
8 Lumajang
1 017 467
5 285.96
0.018
0.028
0.648
-0.188
-0.003
9 Jember
2 304 634
4 065.24
0.014
0.063
0.220
-0.657
-0.009
10 Banyuwangi
1 522 534
6 267.37
0.021
0.041
0.514
-0.289
-0.006
11 Bondowoso
703 303
2 775.31
0.009
0.019
0.493
-0.308
-0.003
12 Situbondo 13 Probolinggo
618 816
4 941.74
0.017
0.017
0.997
-0.001
0.000
1 041 370
5 518.59
0.019
0.028
0.661
-0.179
-0.003
14 Pasuruan
1 438 610
3 985.14
0.014
0.039
0.346
-0.461
-0.006
15 Sidoarjo
1 737 543
13 506.42
0.046
0.047
0.970
-0.013
-0.001
16 Mojokerto
987 817
5 396.58
0.018
0.027
0.682
-0.166
-0.003
17 Jombang
1 253 752
4 276.93
0.015
0.034
0.426
-0.371
-0.005
18 Nganjuk
994 468
4 212.00
0.014
0.027
0.529
-0.277
-0.004
19 Madiun
642 335
3 609.32
0.012
0.018
0.701
-0.154
-0.002
20 Magetan
623 536
4 393.76
0.015
0.017
0.880
-0.056
-0.001
21 Ngawi
830 281
3 133.67
0.011
0.023
0.471
-0.327
-0.003
1 247 919
4 532.59
0.015
0.034
0.453
-0.344
-0.005
22 Bojonegoro 23 Tuban
1 073 071
5 149.08
0.018
0.029
0.599
-0.223
-0.004
24 Lamongan
1 188 136
3 596.03
0.012
0.032
0.378
-0.423
-0.005
25 Gresik
1 153 292
11 572.86
0.039
0.031
1.253
0.098
0.004
26 Bangkalan
923 657
3 169.99
0.011
0.025
0.428
-0.368
-0.004
27 Sampang
868 370
2 664.36
0.009
0.024
0.383
-0.417
-0.004
28 Pamekasan
802 172
2 200.30
0.007
0.022
0.342
-0.466
-0.003
1 016 418
4 481.94
0.015
0.028
0.550
-0.259
-0.004
71 Kediri
265 721
76 561.02
0.260
0.007
35.964
1.556
0.405
72 Blitar
129 932
4 914.53
0.017
0.004
4.721
0.674
0.011
73 Malang
807 543
14 181.54
0.048
0.022
2.192
0.341
0.016
74 Probolinggo
218 995
7 673.23
0.026
0.006
4.373
0.641
0.017
75 Pasuruan
173 872
5 363.19
0.018
0.005
3.850
0.585
0.011
76 Mojokerto
112 959
9 505.32
0.032
0.003
10.503
1.021
0.033
77 Madiun
175 955
5 339.38
0.018
0.005
3.788
0.578
0.011
2 625 298
26 692.14
0.091
0.072
1.269
0.103
0.009
79 Batu
184 117
6 084.84
0.021
0.005
4.125
0.615
0.013
Total
36 690 600
293 950.122
29 Sumenep Kota
78 Surabaya
0.419
177
Lampiran 27. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2007 (Kabupaten+Kota) Kabupaten/Kota
Penduduk PDRB Perkapita (pi)
(yi)
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P) ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
Kabupaten 1 Pacitan
555 262
2 391.20
0.008
0.015
0.515
-0.288
-0.002
2 Ponorogo
892 527
3 379.05
0.011
0.024
0.453
-0.344
-0.004
3 Trenggalek
674 620
2 997.02
0.010
0.018
0.531
-0.275
-0.003
4 Tulungagung
985 147
7 084.90
0.023
0.027
0.860
-0.066
-0.002
5 Blitar
1 069 798
4 781.01
0.015
0.029
0.534
-0.272
-0.004
6 Kediri
1 451 119
4 374.28
0.014
0.039
0.360
-0.443
-0.006
7 Malang
2 401 624
5 463.68
0.018
0.065
0.272
-0.565
-0.010
8 Lumajang
1 021 317
5 537.76
0.018
0.028
0.648
-0.188
-0.003
9 Jember
2 313 100
4 292.57
0.014
0.063
0.222
-0.654
-0.009
10 Banyuwangi
1 527 384
6 609.82
0.021
0.041
0.517
-0.286
-0.006
11 Bondowoso
705 384
2 919.03
0.009
0.019
0.495
-0.306
-0.003
12 Situbondo
621 026
5 190.05
0.017
0.017
0.999
0.000
0.000
1 042 323
5 838.29
0.019
0.028
0.670
-0.174
-0.003 -0.006
13 Probolinggo 14 Pasuruan
1 443 716
4 223.20
0.014
0.039
0.350
-0.456
15 Sidoarjo
1 759 623
14 101.15
0.046
0.048
0.958
-0.019
-0.001
996 774
5 639.02
0.018
0.027
0.676
-0.170
-0.003
17 Jombang
1 269 851
4 479.87
0.015
0.034
0.422
-0.375
-0.005
18 Nganjuk
997 458
4 455.12
0.014
0.027
0.534
-0.272
-0.004
19 Madiun
642 398
3 789.77
0.012
0.017
0.705
-0.152
-0.002
20 Magetan
624 581
4 614.06
0.015
0.017
0.883
-0.054
-0.001
21 Ngawi
832 696
3 285.81
0.011
0.023
0.472
-0.326
-0.003
1 255 914
5 089.68
0.016
0.034
0.485
-0.315
-0.005
16 Mojokerto
22 Bojonegoro 23 Tuban
1 076 027
5 480.00
0.018
0.029
0.609
-0.215
-0.004
24 Lamongan
1 188 559
3 808.28
0.012
0.032
0.383
-0.417
-0.005
25 Gresik
1 174 063
12 150.24
0.039
0.032
1.237
0.092
0.004
26 Bangkalan
940 331
3 269.46
0.011
0.025
0.416
-0.381
-0.004
27 Sampang
885 379
2 723.19
0.009
0.024
0.368
-0.434
-0.004
28 Pamekasan
818 604
2 257.69
0.007
0.022
0.330
-0.482
-0.004
1 016 471
4 664.56
0.015
0.028
0.549
-0.261
-0.004
268 081
79 188.11
0.257
0.007
35.318
1.548
0.397
29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar
131 121
5 174.82
0.017
0.004
4.719
0.674
0.011
73 Malang
812 209
14 960.18
0.048
0.022
2.202
0.343
0.017
74 Probolinggo
222 822
8 030.88
0.026
0.006
4.309
0.634
0.017 0.011
75 Pasuruan
173 940
5 709.03
0.019
0.005
3.924
0.594
76 Mojokerto
113 075
10 102.34
0.033
0.003
10.682
1.029
0.034
77 Madiun
177 148
5 634.88
0.018
0.005
3.803
0.580
0.011
2 628 113
28 460.67
0.092
0.071
1.295
0.112
0.010
79 Batu
185 986
6 435.12
0.021
0.005
4.137
0.617
0.013
Total
36 895 571
308 585.804
78 Surabaya
0.413
178
Lampiran 28. Perhitungan Indeks Theil Jawa Timur Tahun 2008 (Kabupaten+Kota) Kabupaten/Kota
Penduduk PDRB Perkapita (pi)
(yi)
yi/Y
pi/P
(yi/Y)/(pi/P) ln(yi/Y)/(pi/P) (yi/Y)*ln(yi/Y)/(pi/P)
Kabupaten 1 Pacitan
557 029
2 521.39
0.008
0.015
0.518
-0.285
-0.002
2 Ponorogo
895 921
3 564.18
0.011
0.024
0.456
-0.341
-0.004
3 Trenggalek
675 380
3 159.50
0.010
0.018
0.536
-0.271
-0.003
4 Tulungagung
988 731
7 475.01
0.023
0.027
0.866
-0.062
-0.001
5 Blitar
1 070 122
5 066.34
0.016
0.029
0.542
-0.266
-0.004
6 Kediri
1 451 630
4 562.95
0.014
0.039
0.360
-0.444
-0.006
7 Malang
2 413 779
5 750.93
0.018
0.065
0.273
-0.564
-0.010
8 Lumajang
1 024 849
5 817.79
0.018
0.028
0.650
-0.187
-0.003
9 Jember
2 320 844
4 540.50
0.014
0.063
0.224
-0.650
-0.009
10 Banyuwangi
1 531 753
6 991.04
0.022
0.041
0.523
-0.282
-0.006
11 Bondowoso
707 242
3 063.92
0.009
0.019
0.496
-0.304
-0.003
12 Situbondo
623 042
5 431.92
0.017
0.017
0.999
-0.001
0.000
13 Probolinggo
1 043 671
6 163.10
0.019
0.028
0.676
-0.170
-0.003
14 Pasuruan
1 448 370
4 468.11
0.014
0.039
0.353
-0.452
-0.006
15 Sidoarjo
1 781 405
14 561.09
0.045
0.048
0.936
-0.029
-0.001
16 Mojokerto
1 005 486
5 899.86
0.018
0.027
0.672
-0.173
-0.003
17 Jombang
1 285 739
4 688.66
0.014
0.035
0.418
-0.379
-0.005
18 Nganjuk
1 000 132
4 717.35
0.015
0.027
0.540
-0.267
-0.004
19 Madiun
642 518
3 950.10
0.012
0.017
0.704
-0.152
-0.002
20 Magetan
625 424
4 856.67
0.015
0.017
0.890
-0.051
-0.001
21 Ngawi
834 847
3 479.22
0.011
0.023
0.477
-0.321
-0.003
22 Bojonegoro
1 263 551
5 742.37
0.018
0.034
0.521
-0.284
-0.005
23 Tuban
1 078 641
5 823.15
0.018
0.029
0.618
-0.209
-0.004
24 Lamongan
1 189 087
4 030.79
0.012
0.032
0.388
-0.411
-0.005
25 Gresik
1 194 821
12 747.43
0.039
0.032
1.222
0.087
0.003
26 Bangkalan
956 996
3 357.74
0.010
0.026
0.402
-0.396
-0.004
27 Sampang
902 429
2 792.23
0.009
0.024
0.354
-0.450
-0.004
28 Pamekasan
835 101
2 328.61
0.007
0.023
0.319
-0.496
-0.004
1 016 907
4 860.72
0.015
0.027
0.548
-0.262
-0.004
71 Kediri
270 374
82 301.03
0.254
0.007
34.868
1.542
0.392
72 Blitar
132 278
5 451.18
0.017
0.004
4.720
0.674
0.011
73 Malang
816 637
15 753.95
0.049
0.022
2.210
0.344
0.017
29 Sumenep Kota
74 Probolinggo
226 643
8 365.27
0.026
0.006
4.228
0.626
0.016
75 Pasuruan
174 073
6 014.43
0.019
0.005
3.958
0.597
0.011
76 Mojokerto
113 201
10 614.82
0.033
0.003
10.741
1.031
0.034
77 Madiun
178 291
5 941.40
0.018
0.005
3.817
0.582
0.011
78 Surabaya
2 630 079
30 225.39
0.093
0.071
1.316
0.119
0.011
79 Batu
187 813
6 759.33
0.021
0.005
4.123
0.615
0.013
Total
37 094 836
323 839.472
0.409
179
Lampiran 29. Rasio PAD terhadap total penerimaan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2002-2008 Kabupaten/Kota
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Kabupaten 1
Pacitan
4.99
2
Ponorogo
5.24
6.41
3
Trenggalek
6.05
5.92
4
Tulungagung
5.84
6.62
6.01
5
Blitar
5.21
5.69
5.48
6.42
5.39
4.96
5.09
6
Kediri
6.04
7.05
7.24
6.75
7.27
6.94
6.54
7
Malang
6.50
8.92
6.08
7.71
6.83
7.23
6.74
8
Lumajang
7.91
7.62
7.77
8.65
8.03
8.31
6.90
9
Jember
6.58
6.39
7.03
7.81
7.15
6.93
7.64
10 Banyuwangi
8.94
8.59
7.32
7.90
6.67
6.61
5.47
11 Bondowoso
8.67
6.75
5.89
6.56
5.35
5.79
5.43
12 Situbondo
5.76
6.06
4.69
7.79
3.93
5.72
3.98
13 Probolinggo
5.05
6.95
5.52
5.97
5.72
5.78
4.81
14 Pasuruan
12.79
11.77
11.19
11.56
9.85
8.01
7.17
15 Sidoarjo
18.85
18.86
19.56
18.69
18.15
17.71
16.71
7.25
8.86
9.35
9.55
8.03
7.53
5.71
17 Jombang
13.54
16.83
10.70
11.03
10.68
11.36
8.53
18 Nganjuk
8.03
9.32
8.69
9.11
8.21
7.46
6.36
19 Madiun
4.56
6.23
6.19
4.82
4.94
4.91
4.20
20 Magetan
7.13
7.83
7.05
6.65
5.40
6.22
5.40
21 Ngawi
6.20
5.19
5.09
3.65
2.80
3.39
2.94
22 Bojonegoro
6.63
7.34
9.21
8.48
6.38
7.47
6.02
19.58
14.21
14.12
13.56
12.14
11.60
9.81
7.92
8.10
8.23
9.31
6.51
7.35
6.68
16 Mojokerto
23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik
4.69
4.24
4.43
3.93
4.38
3.93
6.38
7.31
6.28
5.97
4.75
5.30
5.83
4.78
5.20
4.10
7.25
5.57
6.74
5.61
16.21
15.40
17.19
18.52
15.67
15.58
15.23
26 Bangkalan
5.92
6.64
6.23
6.37
5.33
4.80
4.59
27 Sampang
4.29
5.01
5.29
4.60
4.48
5.12
3.60
28 Pamekasan
4.85
5.12
5.48
6.70
7.05
5.88
4.86
29 Sumenep
7.22
6.83
5.32
6.40
6.41
5.94
5.10
71 Kediri
11.62
13.50
17.16
17.11
11.00
14.17
12.19
72 Blitar
9.05
11.80
10.11
12.46
11.06
9.28
9.07
Kota
73 Malang
14.58
12.54
14.18
14.28
11.41
13.51
11.17
74 Probolinggo
9.81
10.26
10.12
10.90
9.46
9.35
7.58
75 Pasuruan
9.40
9.09
7.61
7.79
7.93
6.00
5.87
76 Mojokerto
6.17
7.39
7.19
7.16
7.33
8.46
5.65
77 Madiun
6.74
11.28
6.37
8.07
6.71
6.84
5.59
78 Surabaya
30.19
30.26
31.37
32.52
31.44
29.94
31.20
79 Batu
10.96
5.91
4.80
4.97
4.93
3.65
5.71
10.31
10.73
10.59
11.26
9.62
9.63
8.75
Total
180
Lampiran 30. Rasio BHPBP terhadap total penerimaan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2002-2008 Kabupaten/Kota
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Kabupaten 1
Pacitan
4.49
5.55
6.34
6.21
5.76
5.42
4.44
2
Ponorogo
4.77
5.53
6.30
7.15
6.44
6.46
5.48
3
Trenggalek
4.83
5.31
5.90
6.02
5.62
5.47
4.89
4
Tulungagung
5.22
4.84
5.29
6.21
5.19
5.54
4.01
5
Blitar
7.49
4.40
7.48
4.87
8.59
4.24
4.63
6
Kediri
5.92
6.07
6.37
6.06
5.76
6.59
5.96
7
Malang
8.70
7.92
6.71
6.07
5.15
5.58
5.35
8
Lumajang
4.75
7.27
6.10
5.30
4.63
4.92
4.36
9
Jember
5.68
9.61
5.99
5.68
4.84
5.00
5.25
10 Banyuwangi
5.87
6.41
6.80
6.67
5.53
5.71
5.03
11 Bondowoso
5.02
4.36
5.07
5.20
5.04
5.09
4.46
12 Situbondo
5.01
9.88
6.57
6.75
1.39
6.52
6.08
13 Probolinggo
9.84
10.41
7.16
8.85
7.15
6.90
5.44
14 Pasuruan
8.19
12.04
7.22
8.95
8.94
7.63
8.35
15 Sidoarjo
20.20
21.47
14.38
17.63
16.16
18.14
17.06
16 Mojokerto
7.14
11.58
8.04
8.04
9.66
9.58
9.02
17 Jombang
8.53
8.47
6.48
6.53
7.09
7.02
5.76
18 Nganjuk
5.94
5.68
5.90
5.62
5.01
5.62
4.91
19 Madiun
7.11
11.19
7.58
6.72
5.64
6.11
4.95
20 Magetan
5.82
6.21
6.71
6.69
3.95
5.05
4.44
21 Ngawi
5.51
5.27
5.88
10.38
9.49
9.80
5.49
22 Bojonegoro
6.29
6.86
7.72
11.23
17.64
14.06
16.73
23 Tuban
9.69
10.60
8.78
12.89
12.76
14.16
8.04
24 Lamongan 25 Gresik
5.59
5.04
6.21
6.66
6.67
7.86
6.71
12.64
12.57
12.67
14.41
12.18
14.28
12.36
26 Bangkalan
8.46
5.39
7.54
11.71
12.33
12.96
11.28
27 Sampang
8.81
7.25
10.35
10.72
9.56
10.22
8.32
28 Pamekasan
9.41
9.13
7.73
8.56
7.10
7.82
3.57
15.59
11.82
13.71
16.44
16.98
17.52
16.26
71 Kediri
19.70
10.65
12.13
9.41
5.78
6.26
5.89
72 Blitar
7.38
6.94
9.16
6.93
6.93
7.63
6.07 9.42
29 Sumenep Kota
73 Malang
10.34
11.56
11.74
10.44
8.49
9.79
74 Probolinggo
9.51
11.46
11.43
9.09
7.89
8.22
8.45
75 Pasuruan
5.53
7.46
7.77
7.84
6.76
6.34
6.25
76 Mojokerto
7.45
7.98
7.70
15.16
7.00
7.48
7.07
77 Madiun
7.85
7.00
6.80
7.41
7.08
8.33
5.69
78 Surabaya
22.52
24.53
26.40
25.72
25.25
25.97
21.84
79 Batu
27.42
17.06
10.86
9.68
8.67
8.50
11.55
9.43
10.02
9.63
10.39
9.40
9.75
8.50
Total
181
Lampiran 31. Rasio DAU terhadap total penerimaan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2002-2008 Kabupaten/Kota
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Kabupaten 1
Pacitan
85.09
77.98
76.94
77.69
79.20
74.04
76.63
2
Ponorogo
83.31
72.90
72.26
75.54
77.98
74.70
76.55
3
Trenggalek
84.92
76.23
76.07
74.70
78.51
72.41
71.58
4
Tulungagung
82.45
75.65
68.26
75.37
78.86
74.63
77.93
5
Blitar
82.23
76.62
76.21
76.68
81.29
76.77
74.07
6
Kediri
83.44
73.81
75.52
71.60
79.30
77.34
81.71
7
Malang
84.24
77.34
77.27
73.00
77.93
75.52
76.22
8
Lumajang
83.20
81.36
74.44
72.97
76.49
74.22
73.04
9
Jember
84.26
77.66
76.99
76.02
81.78
77.54
78.31
10 Banyuwangi
80.05
72.94
75.06
74.42
78.08
75.51
78.42
11 Bondowoso
81.98
74.63
80.41
79.48
82.38
76.52
78.30
12 Situbondo
83.62
76.62
74.08
71.59
77.46
74.52
77.38
13 Probolinggo
84.45
74.65
75.47
73.88
77.86
73.59
78.60
14 Pasuruan
75.08
74.51
68.93
67.63
69.41
71.10
70.60
15 Sidoarjo
60.96
55.15
52.86
50.50
53.44
54.56
57.31
16 Mojokerto
81.57
69.19
70.83
67.86
71.71
66.81
70.74
17 Jombang
77.40
72.28
75.16
73.99
74.99
75.82
78.32
18 Nganjuk
83.25
73.76
74.92
75.53
77.68
75.72
76.37
19 Madiun
83.10
74.31
73.71
75.51
78.69
75.43
74.94
20 Magetan
78.49
73.62
73.69
74.43
77.45
75.83
76.60
21 Ngawi
83.31
76.12
76.67
77.38
82.92
80.86
79.74
22 Bojonegoro
82.71
79.69
77.65
74.84
70.23
73.08
72.25
23 Tuban
70.59
70.20
65.94
65.26
65.86
68.38
75.41
24 Lamongan
81.79
74.41
72.22
73.19
74.65
71.44
73.33
25 Gresik
65.85
60.52
59.11
55.01
60.58
61.63
63.95
26 Bangkalan
83.31
75.09
74.56
70.67
71.88
70.79
71.52
27 Sampang
85.16
80.86
78.92
74.70
75.57
75.16
75.33
28 Pamekasan
84.38
76.68
75.50
73.50
76.54
72.09
78.99
29 Sumenep
75.33
66.08
77.81
70.55
71.08
71.54
73.75
61.91
61.15
54.66
56.04
74.69
68.48
73.86
Kota 71 Kediri 72 Blitar
74.61
68.40
65.61
66.42
68.64
67.41
68.62
73 Malang
67.29
61.00
60.01
53.76
67.27
64.72
67.64
74 Probolinggo
75.72
68.77
64.88
60.51
65.85
59.89
62.84
75 Pasuruan
77.67
69.71
72.02
67.88
70.15
66.56
71.66
76 Mojokerto
81.22
76.66
66.53
59.82
70.75
67.87
72.06
77 Madiun
84.58
81.72
82.48
75.72
74.32
73.24
77.65
78 Surabaya
36.33
28.81
25.72
23.56
26.50
31.51
34.69
79 Batu
60.66
71.84
67.43
61.74
71.25
69.22
68.10
75.89
69.23
67.86
65.78
70.49
68.79
70.96
Total
182
Lampiran 32. Rasio Belanja Rutin terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2002-2008 Kabupaten/Kota
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Kabupaten 1
Pacitan
62.44
64.59
74.08
76.05
74.26
72.71
73.60
2
Ponorogo
68.69
61.09
75.06
76.14
74.40
76.86
73.12
3
Trenggalek
69.66
65.43
68.66
74.68
78.27
72.88
76.31
4
Tulungagung
81.23
68.98
69.53
76.64
80.41
76.39
76.75
5
Blitar
86.63
70.27
77.38
73.13
74.53
73.03
66.88
6
Kediri
73.70
58.94
68.74
78.28
71.84
71.53
63.61
7
Malang
70.28
62.09
76.71
75.59
74.54
64.30
73.74
8
Lumajang
71.15
70.29
75.65
74.09
70.45
72.46
80.03
9
Jember
69.91
67.30
71.14
78.48
72.94
70.63
72.98
10 Banyuwangi
79.05
62.89
73.86
73.28
75.32
71.29
77.92
11 Bondowoso
70.09
59.23
63.01
60.33
77.75
72.60
81.32
12 Situbondo
62.23
65.27
74.79
78.43
68.71
65.16
70.55
13 Probolinggo
62.75
58.13
70.24
69.48
72.54
71.55
76.28
14 Pasuruan
61.02
61.99
67.09
73.57
76.56
77.47
80.57
15 Sidoarjo
71.94
63.22
71.38
65.38
66.64
69.14
72.12
16 Mojokerto
66.97
78.62
80.57
84.43
78.86
72.40
67.50
17 Jombang
66.28
55.50
65.21
67.27
74.55
83.23
79.04
18 Nganjuk
78.74
67.06
77.94
70.07
75.25
65.48
73.39
19 Madiun
74.73
65.72
75.17
76.82
76.04
74.23
77.33
20 Magetan
78.56
70.92
77.97
75.59
69.48
71.85
78.69
21 Ngawi
76.84
66.00
72.64
85.00
82.62
79.64
73.13
22 Bojonegoro
68.00
56.90
73.90
70.24
77.28
73.99
66.76
23 Tuban
70.38
59.02
64.21
69.06
61.44
70.20
73.31
24 Lamongan
72.13
72.19
74.81
76.52
75.91
77.60
74.18
25 Gresik
63.86
70.96
74.00
74.15
75.69
77.32
79.89
26 Bangkalan
74.09
68.54
66.94
63.47
66.52
69.10
66.13
27 Sampang
63.12
63.66
54.77
72.37
65.42
66.15
61.09
28 Pamekasan
74.55
68.41
70.11
75.81
73.70
72.12
73.73
29 Sumenep
44.69
28.69
68.24
76.20
84.29
76.63
82.83
Kota 71 Kediri
67.48
59.03
73.83
68.85
73.67
57.11
70.41
72 Blitar
66.83
58.30
53.78
58.31
64.30
63.05
65.69
73 Malang
74.88
64.31
67.67
56.11
70.14
69.33
64.56
74 Probolinggo
65.13
52.42
54.43
50.16
70.40
57.54
64.17
75 Pasuruan
52.77
60.32
67.31
68.13
72.37
61.82
66.20
76 Mojokerto
63.98
60.40
72.16
66.15
59.81
73.86
63.04
77 Madiun
50.58
42.89
53.84
67.04
63.28
78.24
76.85
78 Surabaya
72.94
61.52
60.79
58.16
66.10
72.47
58.97
79 Batu
33.44
42.88
52.33
60.30
68.37
68.72
57.11
69.00
62.31
69.41
70.67
72.69
71.79
71.30
Total
183
Lampiran 33. Rasio Belanja Pembangunan terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2002-2008 Kabupaten/Kota
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Kabupaten 1
Pacitan
37.56
35.41
25.92
23.95
25.74
27.29
26.40
2
Ponorogo
31.31
38.91
24.94
23.86
25.60
23.14
26.88
3
Trenggalek
30.34
34.57
31.34
25.32
21.73
23.69
29.48
4
Tulungagung
18.77
31.02
30.47
23.36
19.59
23.61
23.25
5
Blitar
13.37
29.73
22.62
26.87
25.47
26.97
33.12
6
Kediri
26.30
41.06
31.26
21.72
28.16
28.47
36.39
7
Malang
29.72
37.91
23.29
24.41
25.46
35.70
26.26
8
Lumajang
28.85
29.71
24.35
25.91
29.55
27.54
19.97
9
Jember
30.09
32.70
28.86
21.52
27.06
29.37
27.02
10 Banyuwangi
20.95
37.11
26.14
26.72
24.68
28.71
22.08
11 Bondowoso
29.91
40.77
36.99
39.67
22.25
27.40
18.68
12 Situbondo
37.77
34.73
25.21
21.57
31.29
34.84
29.45
13 Probolinggo
37.25
41.87
29.76
30.52
27.46
28.45
23.72
14 Pasuruan
38.98
38.01
32.91
26.43
23.44
22.53
19.43
15 Sidoarjo
28.06
36.78
28.62
34.62
33.36
30.86
27.88
16 Mojokerto
33.03
21.38
19.43
15.57
21.14
27.60
32.50
17 Jombang
33.72
44.50
34.79
32.73
25.45
16.77
20.96
18 Nganjuk
21.26
32.94
22.06
29.93
24.75
34.52
26.61
19 Madiun
25.27
34.28
24.83
23.18
23.96
25.77
22.67
20 Magetan
21.44
29.08
22.03
24.41
30.52
28.15
21.31
21 Ngawi
23.16
34.00
27.36
15.00
17.38
20.36
26.87
22 Bojonegoro
32.00
43.10
26.10
29.76
22.72
26.01
33.24
23 Tuban
29.62
40.98
35.79
30.94
38.56
29.80
26.69
24 Lamongan
27.87
27.81
25.19
23.48
24.09
22.40
25.82
25 Gresik
36.14
29.04
26.00
25.85
24.31
22.68
20.11
26 Bangkalan
25.91
31.46
33.06
36.53
33.48
30.90
33.87
27 Sampang
36.88
36.34
45.23
27.63
34.58
33.85
38.91
28 Pamekasan
25.45
31.59
29.89
24.19
26.30
27.88
26.27
29 Sumenep
55.31
71.31
31.76
23.80
15.71
23.37
17.17
32.52
40.97
26.17
31.15
26.33
42.89
29.59
Kota 71 Kediri 72 Blitar
33.17
41.70
46.22
41.69
35.70
36.95
34.31
73 Malang
25.12
35.69
32.33
43.89
29.86
30.67
35.44
74 Probolinggo
34.87
47.58
45.57
49.84
29.60
42.46
35.83
75 Pasuruan
47.23
39.68
32.69
31.87
27.63
38.18
33.80
76 Mojokerto
36.02
39.60
27.84
33.85
40.19
26.14
36.96
77 Madiun
49.42
57.11
46.16
32.96
36.72
21.76
23.15
78 Surabaya
27.06
38.48
39.21
41.84
33.90
27.53
41.03
79 Batu Total
66.56
57.12
47.67
39.70
31.63
31.28
42.89
31.00
37.69
30.59
29.33
27.31
28.21
28.70
184
Lampiran 34. Rasio PAD terhadap belanja rutin kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2002-2008 Kabupaten/Kota
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Kabupaten 1
Pacitan
7.90
6.62
5.31
5.32
5.65
6.31
5.01
2
Ponorogo
7.72
10.10
7.82
8.57
8.99
8.15
5.67
3
Trenggalek
8.77
8.44
7.20
7.30
6.85
9.29
5.25
4
Tulungagung
7.48
9.10
8.48
9.01
7.42
8.82
7.40
5
Blitar
5.95
7.86
7.03
8.78
7.61
6.62
7.04
6
Kediri
8.44
10.78
10.15
8.28
11.26
10.83
8.61
7
Malang
9.56
13.29
7.67
9.48
10.29
11.16
8.34
8
Lumajang
10.65
10.13
9.87
11.20
12.52
11.76
8.53
9
Jember
9.61
8.65
9.13
9.42
9.85
9.86
10.24
10 Banyuwangi
12.06
12.75
9.43
10.28
10.47
9.19
6.19
11 Bondowoso
12.01
9.73
8.21
9.58
7.38
8.32
6.24
12 Situbondo
9.31
7.36
5.64
9.32
6.61
9.34
5.35
13 Probolinggo
8.52
10.88
7.24
8.04
8.77
8.04
6.09
14 Pasuruan
21.97
14.46
13.35
13.28
12.90
9.34
8.46
15 Sidoarjo
27.33
27.11
24.83
24.76
27.46
26.95
20.59
16 Mojokerto
11.71
9.24
10.41
10.12
11.94
11.87
8.34
17 Jombang
20.74
28.41
14.79
15.56
16.21
12.95
10.13
18 Nganjuk
10.60
12.77
10.35
11.55
11.64
11.75
8.20
19 Madiun
6.43
8.92
7.24
5.48
7.16
6.73
5.09
20 Magetan
9.34
10.25
8.52
8.22
7.62
9.12
6.51 3.78
21 Ngawi
8.21
7.47
6.32
4.07
4.12
4.27
22 Bojonegoro
10.32
11.97
11.16
10.80
9.07
9.45
8.14
23 Tuban
31.32
19.78
17.43
16.45
22.31
18.21
12.05
24 Lamongan
11.53
10.21
9.59
11.33
9.10
9.16
8.86
25 Gresik
26.00
18.61
20.40
22.78
21.49
20.52
17.90
26 Bangkalan
9.16
8.26
7.78
8.82
8.63
6.59
6.39
27 Sampang
7.60
6.00
7.42
4.90
7.82
7.60
4.67
28 Pamekasan
7.18
6.57
6.46
7.52
10.45
8.27
5.66
29 Sumenep
13.75
22.27
6.79
6.51
8.58
8.04
5.80
16.68
19.19
21.47
21.25
19.58
23.68
17.18
Kota 71 Kediri 72 Blitar
16.54
16.32
16.10
18.63
17.57
14.18
13.79
73 Malang
20.25
18.11
17.05
22.68
17.38
20.54
15.75
74 Probolinggo
13.72
17.83
17.27
20.96
14.76
16.34
11.14
75 Pasuruan
21.50
11.33
9.04
9.47
13.58
9.96
7.33
76 Mojokerto
10.06
11.52
9.33
9.88
13.15
13.62
7.70
77 Madiun
14.92
18.00
10.23
11.06
10.13
10.35
7.01
78 Surabaya
41.57
42.65
44.30
45.22
58.75
53.87
35.97
79 Batu
33.93
13.61
8.20
7.21
8.09
5.62
9.91
14.20
14.55
13.96
11.07
Total
15.37
15.24
13.61
185
Lampiran 35. Rasio total PAD dan BHPBP terhadap belanja rutin kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2002-2008 Kabupaten/Kota
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Kabupaten 1
Pacitan
15.00
14.44
13.24
12.79
13.93
14.13
10.67
2
Ponorogo
14.75
18.83
15.55
16.95
18.21
16.97
12.22
3
Trenggalek
15.76
16.00
15.21
14.82
14.89
19.06
11.50
4
Tulungagung
14.16
15.74
15.95
16.74
14.33
16.07
12.69
5
Blitar
14.51
13.94
16.63
15.43
19.72
12.28
13.45
6
Kediri
16.71
20.07
19.07
15.72
20.18
21.12
16.45
7
Malang
22.35
25.09
16.13
16.94
18.05
19.76
14.97
8
Lumajang
17.05
19.80
17.63
18.05
19.74
18.74
13.93
9
Jember
17.91
21.65
16.91
16.27
16.51
16.96
17.27
10 Banyuwangi
19.99
22.26
18.19
18.95
19.15
17.14
11.88
11 Bondowoso
18.98
16.02
15.29
17.18
14.32
15.64
11.37
12 Situbondo
17.42
19.35
13.55
17.39
8.94
19.98
13.52
13 Probolinggo
25.15
27.16
16.63
19.96
19.72
17.65
12.97
14 Pasuruan
36.03
29.24
21.95
23.57
24.61
18.24
18.31
15 Sidoarjo
56.61
57.97
43.08
48.12
51.92
54.56
41.62
16 Mojokerto
23.23
21.31
19.36
18.63
26.30
26.97
21.50
17 Jombang
33.81
42.71
23.76
24.76
26.96
20.95
16.98
18 Nganjuk
18.45
20.54
17.38
18.67
18.75
20.60
14.53
19 Madiun
16.47
24.92
16.11
13.12
15.34
15.11
11.08
20 Magetan
16.96
18.38
16.64
16.50
13.19
16.51
11.88
21 Ngawi
15.51
15.06
13.62
15.65
18.08
16.61
10.85
22 Bojonegoro
20.11
23.15
20.52
25.10
34.16
27.25
30.76
23 Tuban
46.81
34.53
28.27
32.09
45.75
40.44
21.93
24 Lamongan
19.66
16.56
16.83
19.44
18.42
18.96
17.76
25 Gresik
46.28
33.79
35.43
40.50
38.19
39.34
32.43
26 Bangkalan
22.26
14.96
17.19
25.03
28.59
24.38
22.10 15.45
27 Sampang
23.23
14.68
21.97
16.31
24.52
22.76
28 Pamekasan
21.10
18.26
15.58
17.13
20.97
19.26
9.81
29 Sumenep
43.45
60.82
24.28
23.24
31.32
31.73
24.27
71 Kediri
44.96
34.33
36.65
32.93
29.86
34.13
25.49
72 Blitar
30.03
25.91
30.68
28.99
28.59
25.83
23.01
73 Malang
34.61
34.80
31.17
39.27
30.32
35.42
29.03
74 Probolinggo
27.02
37.75
36.78
38.45
27.06
30.70
23.56
75 Pasuruan
34.13
20.63
18.29
19.01
25.16
20.46
15.13
Kota
76 Mojokerto
22.22
23.97
19.31
30.79
25.72
25.65
17.32
77 Madiun
32.32
29.17
21.15
21.22
20.83
22.96
14.14
78 Surabaya
72.59
77.22
81.58
80.99
105.94
100.61
61.15
118.86
52.86
26.75
21.25
22.33
18.74
29.97
29.43
29.49
25.99
27.30
28.78
28.08
21.82
79 Batu Total
186
Lampiran 36. Rasio PAD terhadap Total Belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2002-2008 Kabupaten/Kota
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Kabupaten 1
Pacitan
4.93
4.27
3.93
4.05
4.20
4.59
3.69
2
Ponorogo
5.30
6.17
5.87
6.53
6.69
6.27
4.15
3
Trenggalek
6.11
5.52
4.94
5.45
5.36
7.09
3.70
4
Tulungagung
6.08
6.27
5.90
6.91
5.97
6.74
5.68
5
Blitar
5.15
5.52
5.44
6.42
5.67
4.83
4.71
6
Kediri
6.22
6.36
6.98
6.48
8.09
7.75
5.48
7
Malang
6.72
8.25
5.88
7.17
7.67
7.17
6.15
8
Lumajang
7.58
7.12
7.47
8.30
8.82
8.52
6.83
9
Jember
6.72
5.82
6.50
7.39
7.18
6.96
7.47
10 Banyuwangi
9.53
8.02
6.97
7.53
7.89
6.55
4.82
11 Bondowoso
8.42
5.76
5.17
5.78
5.74
6.04
5.08
12 Situbondo
5.80
4.80
4.22
7.31
4.54
6.09
3.77
13 Probolinggo
5.35
6.32
5.09
5.59
6.36
5.75
4.64
14 Pasuruan
13.41
8.96
8.95
9.77
9.88
7.24
6.82
15 Sidoarjo
19.66
17.14
17.72
16.19
18.30
18.64
14.85
16 Mojokerto 17 Jombang
7.84
7.26
8.39
8.54
9.41
8.60
5.63
13.75
15.77
9.65
10.46
12.09
10.77
8.01
18 Nganjuk
8.35
8.56
8.07
8.09
8.76
7.69
6.02
19 Madiun
4.81
5.86
5.44
4.21
5.45
5.00
3.93
20 Magetan
7.34
7.27
6.65
6.22
5.30
6.55
5.13
21 Ngawi
6.31
4.93
4.59
3.46
3.41
3.40
2.77
22 Bojonegoro
7.02
6.81
8.25
7.59
7.01
7.00
5.44
22.04
11.67
11.19
11.36
13.71
12.78
8.84
8.32
7.37
7.18
8.67
6.91
7.11
6.57
23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik
16.60
13.21
15.09
16.89
16.26
15.87
14.30
26 Bangkalan
6.79
5.66
5.21
5.60
5.74
4.55
4.23
27 Sampang
4.80
3.82
4.07
3.54
5.12
5.03
2.85
28 Pamekasan
5.35
4.49
4.53
5.70
7.70
5.96
4.17
29 Sumenep
6.14
6.39
4.63
4.96
7.23
6.16
4.80
11.26
11.33
15.85
14.63
14.42
13.52
12.10
Kota 71 Kediri 72 Blitar
11.05
9.51
8.66
10.86
11.30
8.94
9.06
73 Malang
15.16
11.64
11.54
12.73
12.19
14.24
10.17
8.94
9.35
9.40
10.51
10.39
9.40
7.15
74 Probolinggo 75 Pasuruan
11.34
6.84
6.09
6.45
9.83
6.15
4.85
76 Mojokerto
6.44
6.96
6.73
6.54
7.87
10.06
4.85
77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Total
7.55
7.72
5.51
7.42
6.41
8.10
5.39
30.33
26.24
26.93
26.30
38.83
39.04
21.21
11.35
5.83
4.29
4.35
5.53
3.86
5.66
10.60
9.50
9.45
10.04
10.58
10.02
7.89
187
Lampiran 37. Rasio total PAD dan BHPBP terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2002-2008 Kabupaten/Kota
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Kabupaten 1
Pacitan
9.37
9.33
9.81
9.73
10.35
10.27
7.86
2
Ponorogo
10.13
11.50
11.67
12.91
13.55
13.04
8.94
3
Trenggalek
10.98
10.47
10.45
11.07
11.66
14.55
8.11
4
Tulungagung
11.50
10.86
11.09
12.83
11.53
12.28
9.74
5
Blitar
12.57
9.79
12.87
11.28
14.70
8.97
9.00
6
Kediri
12.31
11.83
13.11
12.31
14.49
15.11
10.47
7
Malang
15.71
15.58
12.37
12.81
13.46
12.71
11.04
8
Lumajang
12.13
13.92
13.33
13.37
13.90
13.58
11.15
9
Jember
12.52
14.57
12.03
12.77
12.05
11.98
12.60
10 Banyuwangi
15.80
14.00
13.44
13.89
14.43
12.22
9.25
11 Bondowoso
13.30
9.49
9.63
10.37
11.14
11.35
9.24
12 Situbondo
10.84
12.63
10.13
13.64
6.15
13.02
9.54
13 Probolinggo
15.78
15.79
11.68
13.87
14.31
12.62
9.90
14 Pasuruan
21.99
18.13
14.73
17.34
18.85
14.13
14.76
15 Sidoarjo
40.72
36.64
30.75
31.46
34.60
37.72
30.02
16 Mojokerto
15.56
16.76
15.60
15.73
20.74
19.53
14.52
17 Jombang
22.41
23.70
15.49
16.66
20.10
17.44
13.42
18 Nganjuk
14.53
13.78
13.54
13.08
14.11
13.49
10.66
19 Madiun
12.31
16.38
12.11
10.08
11.66
11.22
8.57
20 Magetan
13.32
13.04
12.97
12.47
9.17
11.86
9.35
21 Ngawi
11.92
9.94
9.89
13.31
14.94
13.23
7.94
22 Bojonegoro
13.67
13.17
15.16
17.63
26.40
20.16
20.53
23 Tuban
32.95
20.38
18.15
22.16
28.11
28.39
16.08
24 Lamongan
14.18
11.96
12.59
14.87
13.98
14.71
13.18
25 Gresik
29.55
23.98
26.22
30.03
28.91
30.42
25.91
26 Bangkalan
16.49
10.25
11.51
15.88
19.02
16.85
14.61
27 Sampang
14.66
9.35
12.03
11.80
16.04
15.05
9.44
28 Pamekasan
15.73
12.50
10.92
12.99
15.45
13.89
7.24
29 Sumenep
19.42
17.45
16.57
17.71
26.40
24.31
20.10
71 Kediri
30.34
20.27
27.06
22.67
22.00
19.49
17.94
72 Blitar
20.07
15.11
16.50
16.91
18.38
16.28
15.11 18.74
Kota
73 Malang
25.92
22.38
21.10
22.03
21.27
24.55
74 Probolinggo
17.60
19.79
20.02
19.28
19.05
17.67
15.12
75 Pasuruan
18.01
12.44
12.31
12.95
18.21
12.65
10.01
76 Mojokerto
14.22
14.48
13.94
20.37
15.38
18.94
10.92
77 Madiun
16.35
12.51
11.39
14.22
13.18
17.96
10.87
78 Surabaya
52.95
47.51
49.59
47.10
70.02
72.91
36.06
79 Batu
39.75
22.66
14.00
12.81
15.27
12.88
17.12
20.30
18.37
18.04
19.30
20.92
20.16
15.56
Total
188
Lampiran 38. Dendogram Analisis cluster dengan variabel PDRB Perkapita, persentase penduduk miskin dan rasio total PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan tahun 2002
Keterangan 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
189
Lampiran 39. Dendogram Analisis cluster dengan variabel PDRB Perkapita, persentase penduduk miskin dan rasio total PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan tahun 2008
Keterangan 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
190
Lampiran 40. Uji unit root LNBP pada level dan first difference Panel unit root test: Summary Series: LNBP Date: 01/20/10 Time: 07:19 Sample: 2002 2008 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* 1.00453 0.8424 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat 6.40825 1.0000 ADF - Fisher Chi-square 23.6392 1.0000 PP - Fisher Chi-square 21.4785 1.0000
Crosssections
Obs
38
228
38 38 38
228 228 228
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary Series: D(LNBP) Date: 01/20/10 Time: 07:20 Sample: 2002 2008 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -15.4511 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -3.92144 0.0000 ADF - Fisher Chi-square 143.169 0.0000 PP - Fisher Chi-square 169.016 0.0000
Crosssections
Obs
38
190
38 38 38
190 190 190
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
191
Lampiran 41. Uji unit root LNBB pada level dan first difference Panel unit root test: Summary Series: LNBB Date: 01/20/10 Time: 07:22 Sample: 2002 2008 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -10.5807 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -1.22389 0.1105 ADF - Fisher Chi-square 98.1732 0.0444 PP - Fisher Chi-square 145.395 0.0000
Crosssections
Obs
38
228
38 38 38
228 228 228
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary Series: D(LNBB) Date: 01/20/10 Time: 07:22 Sample: 2002 2008 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -32.7591 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -7.89145 0.0000 ADF - Fisher Chi-square 200.409 0.0000 PP - Fisher Chi-square 239.178 0.0000
Crosssections
Obs
38
190
38 38 38
190 190 190
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
192
Lampiran 42. Uji unit root LNBM pada level dan first difference Panel unit root test: Summary Series: LNBM Date: 01/20/10 Time: 07:23 Sample: 2002 2008 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -1.57929 0.0571 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat 2.03226 0.9789 ADF - Fisher Chi-square 40.2100 0.9998 PP - Fisher Chi-square 38.9672 0.9999
Crosssections
Obs
38
228
38 38 38
228 228 228
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary Series: D(LNBM) Date: 01/20/10 Time: 07:23 Sample: 2002 2008 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -12.0382 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -2.39878 0.0082 ADF - Fisher Chi-square 112.699 0.0040 PP - Fisher Chi-square 138.297 0.0000
Crosssections
Obs
38
190
38 38 38
190 190 190
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
193
Lampiran 43. Uji unit root LNBL pada level dan first difference Panel unit root test: Summary Series: LNBL Date: 01/20/10 Time: 07:27 Sample: 2002 2008 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -20.9438 0.0000 Breitung t-stat -1.10780 0.1340 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -0.92897 0.1765 ADF - Fisher Chi-square 107.704 0.0098 PP - Fisher Chi-square 233.981 0.0000
Crosssections
Obs
38 38
228 190
38 38 38
228 228 228
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary Series: D(LNBL) Date: 01/20/10 Time: 07:28 Sample: 2002 2008 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -19.0710 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -5.14537 0.0000 ADF - Fisher Chi-square 163.735 0.0000 PP - Fisher Chi-square 257.416 0.0000
Crosssections
Obs
38
190
38 38 38
190 190 190
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
194
Lampiran 44. Uji unit root LNPDRB pada level dan first difference Panel unit root test: Summary Series: LNPDRB Date: 01/21/10 Time: 19:58 Sample: 2002 2008 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* 1.32164 0.9069 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat 13.1186 1.0000 ADF - Fisher Chi-square 4.52190 1.0000 PP - Fisher Chi-square 12.9403 1.0000
Crosssections
Obs
38
228
38 38 38
228 228 228
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary Series: D(LNPDRB) Date: 01/21/10 Time: 19:58 Sample: 2002 2008 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -11.9980 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -2.78400 0.0027 ADF - Fisher Chi-square 115.158 0.0005 PP - Fisher Chi-square 160.759 0.0000
Crosssections
Obs
37
185
35 35 35
175 175 175
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
195
Lampiran 45. Uji unit root LNIPM pada level dan first difference Panel unit root test: Summary Series: LNIPM Date: 01/21/10 Time: 19:56 Sample: 2002 2008 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -4.11805 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat 2.30546 0.9894 ADF - Fisher Chi-square 34.8183 1.0000 PP - Fisher Chi-square 66.7170 0.7137
Crosssections
Obs
37
222
37 37 37
222 222 222
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary Series: D(LNIPM) Date: 01/21/10 Time: 19:56 Sample: 2002 2008 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -16.0079 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -4.28247 0.0000 ADF - Fisher Chi-square 144.622 0.0000 PP - Fisher Chi-square 151.078 0.0000
Crosssections
Obs
38
190
37 37 37
185 185 185
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
196
Lampiran 46. Uji unit root LNMIS pada level dan first difference Panel unit root test: Summary Series: LNMIS Date: 01/20/10 Time: 07:29 Sample: 2002 2008 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -2.11023 0.0174 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat 1.80978 0.9648 ADF - Fisher Chi-square 48.8426 0.9935 PP - Fisher Chi-square 53.9176 0.9742
Crosssections
Obs
38
228
38 38 38
228 228 228
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary Series: D(LNMIS) Date: 01/20/10 Time: 07:29 Sample: 2002 2008 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -14.8814 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -3.46494 0.0003 ADF - Fisher Chi-square 134.831 0.0000 PP - Fisher Chi-square 180.942 0.0000
Crosssections
Obs
38
190
38 38 38
190 190 190
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
197
Lampiran 47. Uji kointegrasi LNPDRB LNBB LNBM LNBP LNBL Kao Residual Cointegration Test Series: LNPDRB LNBP LNBB LNBL LNBM Date: 01/21/10 Time: 20:00 Sample: 2002 2008 Included observations: 266 Null Hypothesis: No cointegration Trend assumption: No deterministic trend Lag selection: Automatic 1 lag by SIC with a max lag of 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel t-Statistic -6.333375
ADF Residual variance HAC variance
Prob. 0.0000
0.002192 0.003288
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RESID) Method: Least Squares Date: 01/21/10 Time: 20:00 Sample (adjusted): 2004 2008 Included observations: 190 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
RESID(-1) D(RESID(-1))
-0.885021 0.248572
0.084026 0.067096
-10.53273 3.704755
0.0000 0.0003
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.309311 0.305638 0.051335 0.495424 295.5914 1.845509
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
0.022024 0.061605 -3.090435 -3.056256 -3.076590
198
Lampiran 48. Uji kointegrasi LNIPM LNBB LNBM LNBP LNBL Kao Residual Cointegration Test Series: LNIPM LNBP LNBB LNBL LNBM Date: 01/21/10 Time: 19:57 Sample: 2002 2008 Included observations: 266 Null Hypothesis: No cointegration Trend assumption: No deterministic trend Lag selection: Automatic 1 lag by SIC with a max lag of 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel t-Statistic -11.82795
ADF Residual variance HAC variance
Prob. 0.0000
0.000967 0.000994
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RESID) Method: Least Squares Date: 01/21/10 Time: 19:57 Sample (adjusted): 2004 2008 Included observations: 190 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
RESID(-1) D(RESID(-1))
-0.987426 0.212339
0.056960 0.047423
-17.33530 4.477590
0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.603238 0.601127 0.022133 0.092097 455.4354 1.812785
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
0.008470 0.035045 -4.773004 -4.738825 -4.759159
199
Lampiran 49. Uji kointegrasi LNMIS LNBB LNBM LNBP LNBL Kao Residual Cointegration Test Series: LNMIS LNBB LNBM LNBP LNBL Date: 01/20/10 Time: 07:30 Sample: 2002 2008 Included observations: 266 Null Hypothesis: No cointegration Trend assumption: No deterministic trend Lag selection: fixed at 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel t-Statistic -0.558001
ADF Residual variance HAC variance
Prob. 0.2884
0.131742 0.090224
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RESID) Method: Least Squares Date: 01/20/10 Time: 07:30 Sample (adjusted): 2004 2008 Included observations: 190 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
RESID(-1) D(RESID(-1))
-1.007081 0.202872
0.107125 0.103961
-9.400974 1.951418
0.0000 0.0525
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.388489 0.385236 0.306602 17.67289 -43.97408 2.149509
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
-0.014106 0.391040 0.483938 0.518117 0.497783
200
Lampiran 50. Impulse Response LnPDRB karena shock LNBP LNBB LNBL LNBM Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LNPDRB to LNPDRB
Response of LNPDRB to LNBP
.05
.0010
.04
.0008
.03
.0006
.02
.0004
.01
.0002
.00
.0000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
10
2
Response of LNPDRB to LNBB
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of LNPDRB to LNBL
.004
.0030 .0025
.003 .0020 .002
.0015 .0010
.001 .0005 .000
.0000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of LNPDRB to LNBM .006 .005 .004 .003 .002 .001 .000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
201
Lampiran 51. Hasil Variance Decomposition LnPDRB LNBP LNBB LNBL LNBM
Variance Decomposition Percent LNPDRB variance due to LNPDRB
Percent LNPDRB variance due to LNBP
100.0
.06
99.5
.05
99.0
.04
98.5
.03
98.0
.02
97.5
.01
97.0
.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
10
Percent LNPDRB variance due to LNBB .5
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Percent LNPDRB variance due to LNBL .4
.4
.3
.3 .2 .2 .1
.1
.0
.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Percent LNPDRB variance due to LNBM 2.0
1.6
1.2
0.8
0.4
0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
202
Lampiran 52. Impulse Response LNIPM karena shock LNBP LNBB LNBL LNBM Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LNIPM to LNIPM
Response of LNIPM to LNBP
.010
.010
.008
.008
.006
.006
.004
.004
.002
.002
.000
.000
-.002
-.002 1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
10
2
Response of LNIPM to LNBB
3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
Response of LNIPM to LNBL
.010
.010
.008
.008
.006
.006
.004
.004
.002
.002
.000
.000
-.002
-.002 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
Response of LNIPM to LNBM .010 .008 .006 .004 .002 .000 -.002 1
2
3
4
5
6
7
8
1
2
3
4
5
6
7
8
203
Lampiran 53. Hasil Variance Decomposition LNIPM LNBP LNBB LNBL LNBM
Variance Decomposition Percent LNIPM variance due to LNIPM
Percent LNIPM variance due to LNBP
100
.4
99
.3
98
.2
97
.1
96
.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
10
Percent LNIPM variance due to LNBB .4
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Percent LNIPM variance due to LNBL 1.50 1.25
.3 1.00 .2
0.75 0.50
.1 0.25 .0
0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Percent LNIPM variance due to LNBM 1.50 1.25 1.00 0.75 0.50 0.25 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
204
Lampiran 54. Impulse Response LNMIS karena shock LNBP LNBB LNBL LNBM Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of DLNMIS to DLNMIS
Response of DLNMIS to DLNBP
.6
.6
.4
.4
.2
.2
.0
.0
-.2
-.2
-.4
-.4 1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
10
Response of DLNMIS to DLNBB
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of DLNMIS to DLNBL
.6
.6
.4
.4
.2
.2
.0
.0
-.2
-.2
-.4
-.4 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of DLNMIS to DLNBM .6
.4
.2
.0
-.2
-.4 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
205
Lampiran 55. Hasil Variance Decomposition LNIPM LNBP LNBB LNBL LNBM Variance Decomposition Percent DLNMIS variance due to DLNMIS
Percent DLNMIS variance due to DLNBP
100
1.0
99
0.8
98
0.6
97
0.4
96
0.2
95
0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
10
Percent DLNMIS variance due to DLNBB .20
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Percent DLNMIS variance due to DLNBL 3.0 2.5
.16
2.0 .12 1.5 .08 1.0 .04
0.5
.00
0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Percent DLNMIS variance due to DLNBM 1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10