ANALISIS PENGARUH INSTRUMEN MONETER SYARIAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP PENYALURAN DANA KE SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA
DENDY SEPTINDO
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Konvensional terhadap Penyaluran Dana ke Sektor Pertanian di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2016 Dendy Septindo NIM H54110014
ABSTRAK DENDY SEPTINDO. Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Konvensional terhadap Penyaluran Dana ke Sektor Pertanian di Indonesia. Dibimbing oleh TANTI NOVIANTI dan DENI LUBIS. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap penyaluran dana ke sektor pertanian dari tahun 2009 sampai 2014 dengan menggunakan metode VAR/VECM yang dinalisis melalui Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Hasil penelitian pada model konvensional menunjukkan bahwa suku bunga SBI dan suku bunga kredit berpengaruh negatif signifikan dalam jangka panjang serta suku bunga PUAB memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kredit pertanian. Disamping itu, hasil penelitian pada model syariah menunjukkan bahwa bonus SBIS dan ERP berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan pertanian serta bagi hasil PUAS berpengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan pertanian. Berdasarkan hasil FEVD, SBI memiliki pengaruh yang besar terhadap kredit pertanian dibandingkan dengan PUAB dan SBK pada model konvensional sedangkan pada model syariah SBIS memiliki pengaruh yang lebih kecil dibandingkan dengan ERP dan PUAS. Kata kunci: Impulse renponse Function, Kredit/Pembiayaan Pertanian, Instrumen Moneter syariah dan konvensional, Variance Decomposition ABSTRACT DENDY SEPTINDO. The effect of Islamic and Conventional Monetary Instrument towards Agriculture Fund Distributions. Supervised by TANTI NOVIANTI and DENI LUBIS. This study aimed to analyze the effect of sharia and conventional monetary instruments to the distribution of agricultural sector funds from 2009 to 2014 and using VAR / VECM which analysed through Impulse response Function (IRF) and the Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Results of research on the conventional models, shows that the SBI interest rate and lending interest rates (SBK) significantly negative effect and interbank rates (PUAB) have a significant positive effect on agricultural credit. In addition, the results of research on the sharia model indicates that the SBIS and ERP significant negative effect on agricultural financing and PUAS significant negative effect on agricultural finance. Based on the FEVD results , SBI has a considerable effect on the agricultural credit compared with SBK and interbank rates (PUAB) on the conventional models whereas the models of sharia, SBIS have a smaller effect than the ERP and PUAS. Keyword: Agricultural credit and agricultural Financing, Impulse response Function, Islamic and Conventional Monetary Instrumens, Variance Decomposition
ANALISIS PENGARUH INSTRUMEN MONETER SYARIAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP PENYALURAN DANA KE SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA
DENDY SEPTINDO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Konvensional terhadap Penyaluran Dana ke Sektor Pertanian”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh instrumen moneter konvensional dan syariah terhadap penyaluran dana pada sektor pertanian. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua penulis yaitu Ayah Edwar dan Ibu Marweli atas segala do’a dan dukungan yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang kakak penulis Yoke Oktaviandi dan Eldo Satria yang memberikan dukungan dalam pengerjaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Tanti Novianti, S.P, M.Si dan Bapak Deni Lubis S.Ag, M.A selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran, waktu dan motivasi dengan sabar sehingga penulis dapat menyelsaikan skripsi ini. 2. Bapak Irfan Syauqi Beik, Ph.D dan Bapak Salahuddin El Ayyubi, Lc, M.A selaku dosen penguji pada ujian skripsi yang memberikan saran dan masukan pada penelitian ini. 3. Dosen, staf dan seluruh civitas akademika Departemen IE FEM IPB yang memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi untuk penulis. 4. Teman-teman dari Program Studi Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan dan Ilmu Ekonomi Syariah yang telah memberikan saran, masukan, dan bantuan dalam pengerjaan skripsi ini. 5. Keluarga besar Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang Bogor (IPMM Bogor) terutama kepada Rahmad Fadli, Irma Bismark, Ajeng Praharti, Gustimona, Wahyu Arisya, Keluarga IKMS dan IKMS 48 yang selalu mendukung dan selalu mengingatkan penulis dalam pengerjaan skripsi. 6. Teman-teman kosan wisma hijau Ahmad Haris, Ibrahim, Noorul Amin, Shofiyanto, Ilfa hidayat, Praditya Riskyanto yang selalu memberi dukungan dan motivasi untuk penulis. 7. Rekan-rekan Hubungan Eksternal BEM FEM IPB yaitu bunga, linda, wilson, ayu, solihin, elita. 8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam meyelesaikan penulisan skripsi ini.
Bogor, Maret 2016 Dendy Septindo
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
6
Transmisi Moneter
7
Islamic Financing chanel
8
Instrumen Moneter
8
Kebijakan Moneter Islam
9
Kebijakan Moneter Ganda
10
Teori Preferensi Likuiditas
11
Bank Syariah dan Bank Konvensioanal
12
Pembiayaan dan Kredit Pertanian
15
PUAB dan PUAS
16
Equivalent rate pembiayaan dan Suku bunga
17
Penelitian Terdahulu
17
Kerangka Pemikiran
18
Hipotesis
20
METODE
20
Jenis dan Sumber Data
20
Metode Analisis
20
Analisis Data
21
HASIL DAN PEMBAHASAN
25
Perkembangan SBI dan SBIS
25
Penyaluran Kredit dan Pembiayaan Pertanian
26
Suku bunga Kredit dan Equivalent Rate Pembiayaan
27
Suku bunga PUAB dan Bagi Hasil PUAS
28
Uji Stasionaritas Data
29
Uji Lag Optimum
30
Uji stabilitas VAR
31
Uji Kointegrasi
31
Hasil Estimasi VECM
32
Impulse Response Function
34
Variance Decomposition
37
SIMPULAN DAN SARAN
40
Simpulan
40
Saran
40
DAFTAR PUSTAKA
41
LAMPIRAN
43
RIWAYAT HIDUP
58
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Perkembangan Jumlah BUS, UUS , dan BPRS Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional Variabel Penelitian Hasil Uji Stasionaritas Data Pada Level
3 14 18 28
Hasil Uji stasionaritas Data Pada First Difference
30
Perhitungan Lag Optimum Hasil Johansen Cointegration Test pada Model I Hasil Johansen Cointegration Test pada Model II Estimasi VECM Kredit Pertanian Estimasi VECM Pembiayaan Pertanian
30 31 32 32 33
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pertumbuhan PDB Sektor Pertanian Pangsa Pasar Kredit Bank Umum Pangsa Pasar Kredit dan Pembiyaan Pertanian Skema Transmisi Kebijakan Moneter Alur Penerapan Sistem Moneter Ganda di Indonesia Kurva Permintaan Uang Kerangka Pemikiran Perkembangan SBI dan SBIS Kredit Pertanian Perbankan Konvensional Perkembangan Pembiayaan Pertanian Perbandingan Suku Bunga dan Equivalent Rate Pembiayaan Perbandingan Suku Bunga PUAB dan Bagi Hasil PUAS Analisis Impulse Response Function Model I Analisis Impulse Response Function Model II Analisis Variance Decomposition Function Model I Analisis Variance Decomposition Function Model I
1 2 5 7 11 12 19 26 26 27 28 29 35 36 38 39
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil Uji Stasionaritas Variabel 2 Hasil Uji Estimasi VECM Model I 3 Hasil Uji Estimasi VECM Model II
43 47 52
PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peran strategis dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Peran ini dapat dilihat jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor pertanian, luas lahan yang digunakan untuk pertanian dan kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2014, tenaga kerja di sektor pertanian berjumlah 38 973 033 orang atau sebesar 33.99 persen dari total angkatan kerja. Dari segi luas lahan, sektor pertanian memanfaatkan lahan sebesar 71.33 persen dari seluruh luas lahan yang ada di Indonesia (Hafidhuddin dan Syukur 2008). Selama lima tahun terakhir, jumlah kontribusi sektor pertanian selalu berada dalam tiga sektor yang paling berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2014, sektor yang paling berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia yaitu sektor industri pengolahan, sektor pertanian dan sektor perdagangan, hotel dan restoran masingmasing sektor berkontribusi sebesar 23.37 persen, 15.21 persen, dan 14.26 persen. Dilihat dari jumlahnya, kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia juga terus bertambah dalam sepuluh tahun terakhir. Pada tahun 2003 sektor pertanian berkontribusi sebesar Rp 329.1 triliun dan pada tahun 2014 menjadi Rp 1 446.7 triliun rupiah. 1600000
Triliun Rupiah
1400000 1200000 1000000 800000
1446722 1310427 1193453 1091447 985471 857197 716656
541932 433223 364169 400000 329125
600000 200000 0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Gambar 1 Pertumbuhan PDB Sektor Pertanian Ketersediaan modal menjadi sebuah keharusan dalam mengembangkan sektor pertanian. Untuk memperoleh modal, para pelaku di sektor pertanian dapat mengajukan pembiayaan pada lembaga formal maupun informal. Salah satu lembaga formal yang memberikan pembiayaan adalah perbankan. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia tahun 2014 didapatkan bahwa pangsa pasar kredit sektor pertanian dari total kredit bank umum mencapai 5.78 persen. Pangsa pasar kredit pertanian ini meningkat sebesar 0.4 persen jika dibandingkan dengan tahun 2013. Dari data Statistik Perbankan 2014 juga diperoleh bahwa pangsa pasar kredit
2 untuk sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan mencapai 17.98 persen dan 19.51 persen jika dibandingkan dengan pangsa pasar kredit pertanian, pangsa pasar kedua sektor ini hampir tiga kali lipat pangsa pasar sektor pertanian. Meskipun mengalami peningkatan namun pangsa pasar kredit sektor pertanian masih rendah bila kita bandingkan dengan kedua sektor ini. Melihat besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia, pangsa pasar kredit pertanian seharusnya tidak jauh berbeda dengan sektor perdagangan dan sektor industri pengolahan. 25.00% 20.00% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00% 2011
2012
2013
2014
Pangsa Pasar Kredit Sektor pertanian Pangsa Pasar Kredit Sektor industri dan pengolahan Pangsa Pasar Kredit Sektor perdagangan
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (SPI), 2014
Gambar 2 Pangsa Pasar Kredit Bank Umum Periode 2011- 2014 Rendahnya alokasi kredit untuk pertanian diduga terkait dengan strategi penyaluran kredit perbankan yang lebih diarahkan pada kredit beresiko rendah. Ashari (2010) menjelaskan perkembangan perekonomian yang saat ini belum stabil mendorong perbankan untuk menyesuaikan strategi dengan lebih memfokuskan penyaluran kredit berisiko terkendali, yaitu bersifat jangka pendek dan plafon yang tidak terlalu besar. Kendala yang dihadapi perbankan dalam menyalurkan kredit untuk sektor pertanian antara lain : (1) sektor pertanian sangat tergantung pada musim sehingga dipandang mempunyai resiko tinggi, (2) tata niaga komoditas pertanian banyak yang belum tertata sehingga harga selalu naik turun dan tidak ada kepastian, dan (3) sebagian dana yang dihimpun di bank bersifat jangka pendek (short term funding), sedangkan kredit pertanian sebagian besar berjangka relatif panjang (long term loan), akibatnya ada ketidaksesuaian dalam waktu (mismatch) antara pendanaan dan kredit. Untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian, Pemerintah Indonesia memasukkan program bank khusus pertanian dalam rencana kerja Kementerian Pertanian tahun 2016. Pada program kerja ini dijelaskan bahwa bentuk kegiatan yang akan dilakukan pemerintah berupa inisiasi pendirian atau kajian tentang bank khusus pertanian. Indonesia menerapkan dual banking system setelah diberlakukannya UU No. 10 tahun 1998. Dual banking system adalah pengoperasian bank konvensional dan bank syariah secara bersamaan. Terbitnya UU No. 23 tahun 1999 memberikan tanggung jawab kepada Bank Indonesia untuk mengatur, mengawasi, dan mengembangkan perbankan syariah di Indonesia. Pertumbuhan bank syariah di Indonesia semakin pesat dikarenakan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan produk dan layanan keuangan syariah
3 serta dukungan penuh dari pemerintah sejak hadirnya industri keuangan syariah di Indonesia. Pada Tabel 1 diperoleh bahwa perkembangan bank syariah memiliki trend yang terus meningkat dan diprediksi akan terus bertambah. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia tahun 2014, jumlah bank syariah pada tahun 2009 adalah 169 dan pada tahun 2014 menjadi 198 atau dalam lima tahun terakhir meningkat sebesar 17.16 persen. Peningkatan jumlah bank umum syariah tertinggi terjadi pada tahun 2010, terdapat lima bank umum syariah yang didirikan yaitu Bank Mega Syariah, Bank Victoria Syariah, BCA Syariah, Bank Jabar Banten Syariah, dan Maybank Syariah. Pada tahun 2014, berdiri satu bank umum syariah baru yaitu Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah (BTPN Syariah). Sampai saat ini, perkembangan bank syariah semakin pesat dan menjadikan bank syariah sebagai salah satu lembaga keuangan yang memiliki peran semakin besar dalam perekonomian nasional. Tabel 1 Perkembangan Jumlah Bank Syariah, Unit Usaha Syariah, dan Bank Pembiayaan Syariah Tahun 2009-2014 Kelompok Bank 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Bank Umum Syariah 6 11 11 11 11 12 Unit Usaha Syariah
25
23
24
24
23
22
Bank Pembiayaan syariah
138
150
155
158
163
164
Total Jumlah Bank Syariah
169
184
190
193
197
198
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Indonesia, 2014
Perkembangan perbankan syariah secara lebih lanjut dapat dilihat dari jumlah aset, dana pihak ketiga dan pembiayaan. Berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah (SPS) tahun 2014 diperoleh bahwa jumlah aset bank syariah mencapai 272.34 triliun rupiah, pembiayaan sebesar 199.33 triliun rupiah dan DPK tumbuh mencapai 217.86 triliun rupiah. Perkembangan industri perbankan syariah menyebabkan transmisi kebijakan moneter tidak hanya memengaruhi bank konvensional tapi juga memengaruhi bank syariah, sehingga Bank Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjalankan operasi moneter konvensional dan syariah. Hal ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang menerapkan sistem moneter ganda pada sistem perekonomiannya, yaitu penerapan sitem moneter konvensional dan syariah secara bersamaan. Penerapan sistem moneter ganda ini dilandasi oleh UU Bank Sentral No. 23 tahun 1999. Sistem moneter ganda di Indonesia mendorong Bank Indonesia juga menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) sebagai instrumen moneter pelengkap Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang selama ini digunakan oleh perbankan konvensional. SBIS merupakan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan efektifitas mekanisme transmisi moneter dengan prinsip syariah. SBIS telah diterbitkan oleh Bank Indonesia sejak tahun 2008 berdasarkan akad Jua’lah. Instrumen moneter ini diterbitkan untuk menggantikan instrumen moneter syariah sebelumnya yaitu Sertikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Aturan tentang SWBI dan SBIS dijelaskan pada DSN MUI nomor 36 pada tahun 2002 dan DSN MUI Nomor 64. Perbedaan mendasar terdapat pada akad yang digunakan, pada SWBI digunakan akad wadi’ah sedangkan pada
4 SBIS digunakan akad ju’alah. Pada instrumen SWBI dengan akad wadi’ah, Bank Indonesia tidak menetapkan imbalan pasti atas penempatan SWBI, namun Bank Indonesia hanya memberikan imbalan secara sukarela. Pada instrumen moneter SBIS dengan akad ju’alah, Bank Indonesia wajib memberikan imbalan dengan nilai yang telah ditetapkan atas penempatan dana pada SBIS, karena penempatan dana pada SBIS merupakan bentuk partisipasi bank syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian moneter. Sebagai instrumen moneter, SBI dan SBIS memiliki jalur transmisi tersendiri terhadap sektor riil yang mana instrumen ini akan memengaruhi besarnya pembiayaan dan penyaluran kepada sektor riil. Penyaluran dana ke sektor pertanian melalui perbankan dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya faktor eksternal yaitu instrumen moneter. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan bahwa penelitian mengenai pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap pembiayaan pertanian di Indonesia penting dilakukan karena akan memengaruhi tindakan perbankan konvensional maupun perbankan syariah dalam menyalurkan dana ke sektor pertanian. Selain itu, hadirnya SBIS sebagai instrumen moneter yang berprinsip syariah diharapkan lebih efektif dalam meningkatkan penyaluran dana perbankan ke sektor pertanian. Untuk menjawab ekspektasi tersebut, penelitian ini akan mengalisis secara kuantitatif pengaruh instrumen moneter terhadap pembiayaan pertanian di Indonesia. Perumusan Masalah Peran sektor pertanian yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia membuat sektor ini menjadi salah satu sektor yang perlu difasilitasi terutama dalam permodalan, perluasan usaha dan keberlanjutannya. Lembaga yang dapat berperan dalam permodalan pada sektor pertanian adalah bank. Bank merupakan lembaga yang menggerakan perekonomian secara riil. Hal ini dijelaskan melalui fungsi perbankan sebagai financial intermediarie, yang mana fungsi bank sebagai lembaga yang menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia tahun 2014, pangsa pasar kredit pertanian sebesar 5.78 persen, nilai ini masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kredit pada sektor perdagangan, hotel dan restoran yang mencapai 19.5 persen dan pangsa pasar kredit sektor industri pengolahan yang mencapai 17.9 persen. Pada pembiayaan perbankan syariah, pangsa pasar pembiayaan pertanian mencapai 2.85 persen dan jauh lebih kecil jka dibandingkan dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang mencapai 12.15 persen dan sektor industri pengolahan yang mencapai 6.67 persen. Meskipun kontribusi sektor pertanian tergolong besar terhadap PDB Indonesia, namun proporsi pembiayaan dan kredit pertanian yang disalurkan sangat kecil jika dibandingkan dengan sektor lain. Pangsa pasar kredit dan pembiayaan pertanian dalam periode penelitian tidak mengalami pertumbuhan yang besar. Pangsa pasar kredit pertanian perbankan konvensional dari tahun 2009 sampai tahun 2010 mengalami penuruan dari 5.38 persen menjadi 5.15 persen. Pada tahun 2010 sampai tahun 2014, pangsa pasar kredit pertanian mengalami peningkatan, namun peningkatan pangsa pasar kredit pertanian kurang dari satu persen. Pangsa pasar pembiayaan pertanian perbankan syariah dari tahun 2009 sampai tahun 2012 mengalami penurunan dari 2.84 persen menjadi 1.57 persen. Pada tahun 2012 sampai tahun 2014 pangsa pasar pembiayaan
5 pertanian meningkat menjadi 2.85 persen. Dari tahun 2009 sampai tahun 2014, pangsa pasar pembiayaan pertanian hanya meningkat sebesar 0.01 persen. 7.00 6.00
Persen
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 2009
2010 Bank Syariah
2011
2012
2013
2014
Bank Konvensional
Sumber : Statistik Perbankan Indonesia (SPI), 2014
Gambar 3 Pangsa Pasar Pembiayaan dan Kredit Pertanian Periode Januari 2009 – Desember 2014 Kecilnya pangsa pasar pembiayaan dan kredit pertanian kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya faktor eksternal yaitu instrumen moneter. Penelitian ini akan menganalisis pengaruh instrumen moneter konvensional dan syariah terhadap penyaluran dana pada sektor pertanian dengan menggunakan teori mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit dan pembiayaan. Menurut Warjiyo (2004), ketika Bank Indonesia melakukan operasi moneter untuk mencapai sasaran operasionalnya, bank-bank melakukan transaksi dipasar uang untuk mengelola likuiditasnya. Interaksi ini tidak hanya memengaruhi perkembangan suku bunga dipasar uang tapi juga besarnya dana yang dialokasikan bank untuk kreditnya. Pada sektor pertanian, perbankan menyalurkan dana melalui kredit dan pembiayaan yang bersifat jangka panjang. Hal tersebut menjadi masalah tersendiri bagi perbankan, mengingat sebagian besar sumber dana yang ada di perbankan merupakan dana yang dihimpun dari masyarakat dan bersifat jangka pendek, sehingga terjadi mismatch (ketidaksesuaian waktu) yang menyebabkan terganggunya likuiditas perbankan. Untuk mengatasi gangguan likuiditas pada bank, maka bank melakukan transaksi pada instrumen moneter dan pasar uang antar bank untuk mengelola likuiditasnya. Berlakunya sistem perbankan ganda di Indonesia menyebabkan otoritas moneter memiliki tanggung jawab untuk menjaga kestabilan moneter dan sinergi dari kedua sistem untuk meraih kesejahteraan bersama (Ascarya 2012). Berdasarkan penerapan mekanisme tersebut, berarti terdapat pengaruh instrumen moneter konvensional dan syariah terhadap penyaluran dana di perbankan, termasuk kredit dan pembiayaan pertanian. Berdasarkan penjelasan tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh instrumen moneter konvensional terhadap kredit pertanian di Indonesia?
6 2. Bagaimana pengaruh instrumen moneter syariah terhadap pembiayaan pertanian di Indonesia? 3. Bagaimana perbandingan pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional dalam penyaluran dana pada sektor pertanian di Indonesia? Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi pengaruh instrumen moneter konvensional terhadap kredit pertanian di Indonesia. 2. Mengidentifikasi pengaruh instrumen moneter syariah terhadap pembiayaan pertanian di Indonesia. 3. Membandingkan sejauh mana pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional dalam penyaluran dana ke sektor pertanian di Indonesia. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan masukan bagi pemerintah, masyarakat dan kalangan akademisi: 1. Pemerintah dapat menjadikan penelitian ini sebagai masukan dalam pengambilan kebijakan khususnya dalam mengembangkan sektor pertanian melalui perbankan. 2. Perbankan dapat menjadikan penelitian ini sebagai masukan dalam menjalankan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi. 3. Kalangan akademisi dapat menjadikan referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbandingan pengaruh instrumen moneter konvensional dan syariah terhadap pengembangan sektor pertanian Indonesia. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dua yaitu instrumen moneter konvensional dan instrumen moneter syariah. Instrumen moneter konvensional direpresentasikan oleh suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan instrumen moneter syariah direpresentasikan melalui bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Terdapat dua model dalam penelitian ini yaitu model konvensional dan syariah. Pada model syariah, variabel dependen yang digunakan adalah pembiayaan pertanian dan pada model konvensional variabel yang digunakan kredit pertanian. Variabel independen model syariah yaitu SBIS, PUAS dan Equivalent Rate Pembiayaan, sedangkan pada model konvensional dikgunakan variabel SBI, PUAB, dan suku bunga kredit. Periode waktu yang diambil dalam penelitian ini adalah perekonomian Indonesia dari Januari 2009 sampai dengan Desember 2014.
7
TINJAUAN PUSTAKA Transmisi Moneter Melalui Jalur Kredit Transmisi moneter adalah mekanisme bekerjanya kebijakan moneter sampai memengaruhi sektor riil. Mishkin (2008) menjelaskan bahwa jalur mekanisme transmisi moneter dapat terjadi melalui beberapa jalur, yaitu jalur efek suku bunga tradisional (traditional interest effect), jalur efek harga aset (other asset price effect) dan jalur kredit (credit view). Transmisi moneter melalui jalur kredit terbagi lagi atas lima bagian yaitu penyaluran bank (bank lending channel), jalur neraca (balance sheet channel), jalur tingkat harga yang tidak diantisipasi (unanticipated price level channel), dan jalur efek likuiditas rumah tangga (household liquidity effect). Mekanisme transmisi moneter melalui pinjaman bank (credit view) muncul untuk menangani masalah informasi asimetrik pada pasar keuangan. Pada jalur kredit, transmisi moneter memengaruhi penyaluran dana pada perbankan serta neraca perusahaan dan rumah tangga. Penyaluran dana pada perbankan (bank lending channel) berangkat dari analisis bahwa bank memiliki peran penting dalam sistem keuangan karena dapat menangani masalah informasi asimetrik pada pasar kredit maka peminjam hanya dapat mengakses kredit melalui bank. Berdasarkan asumsi tidak ada substitusi sempurna diantara bank dengan sumber dana lain, maka saat terjadi ekspansi moneter yang akan meningkatkan cadangan perbankan dan deposit bank, maka akan meningkatkan ketersediaan dan kuantitas pinjaman perbankan yang tersedia. Berdasarkan asumsi bahwa peminjam bergantung pada pinjaman perbankan untuk membiayai aktivitasnya, maka peningkatan peminjam pada perbankan akan meningkatkan investasi. Secara skematik, transmisi kebijakan moneter melalui jalur pembiayaan perbankan dijelaskan pada gambar 4 berikut : Ekspansi kebijakan moneter : cadangan dan deposit bank bank
investasi
ketersediaan pinjaman dari
output
Sumber: Mishkin (2008)
Gambar 4 Skema Transmisi Kebijakan Moneter Jalur Kredit Kebijakan moneter melalui jalur kredit bertujuan untuk mendorong investasi dari sisi supply yang direpresentasikan oleh bank sebagai lembaga intermediasi. Bank Indonesia dapat melakukan kontraksi dan ekspansi moneter dengan menaikkan atau menurunkan suku bunga kebijakan (BI rate) dalam proses trasmisinya. Kebijakan ini akan memengaruhi sisi liabilitas (kewajiban) bank yang didominasi oleh dana pihak ketiga (DPK) yaitu dana masyarakat yang disimpan di perbankan. Ketika ekonomi memanas, Bank Indonesia melakukan kontraksi moneter dengan menaikkan BI rate. Kebijakan ini akan menyebabkan jumlah uang yang beredar di masyarakat akan turun sehingga DPK juga ikut turun. Penurunan DPK akan mengakibatkan penurunan ketersediaan dana yang siap disalurkan perbankan, salah satunya dalam bentuk kredit. Perbankan akan cenderung menaikan suku bunga dana seperti tabungan dan deposito untuk meningkatkan
8 DPK, sehingga berakibat pada kenaikan suku bunga kredit. Permintaan terhadap kredit baru cenderung turun karena suku bunga kredit meningkat dan menyebabkan investasi turun dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Islamic Bank financing Channel Terdapat enam jalur transmisi kebijakan moneter pada ekonomi konvensional antara lain jalur uang, jalur kredit, jalur suku bunga, jalur nilai tukar, jalur harga asset dan jalur ekspektasi. Pada ekonomi islam belum ditemukan teori baku mengenai mekenisme transmisi kebijakan moneter begitu pula dengan jalurjalurnya. Penelitian mengenai jalur transmisi kebijakan moneter syariah sebagian besar masih mengkaji jalur pembiayaan bank syariah (pada ekonomi konvensional disebut jalur kredit). Penelitian dalam bidang ini telah dilakukan diantaranya oleh Rusydiana (2009), Ascarya (2010) dan Sukmana, Raditya dan Salina (2010). Konsep mengenai Islamic Bank Financial Channel menyerupai konsep bank landing channel dalam ekonomi konvensional, namun pada teori ini yang menjadi subjek adalah bank syariah dan yang menjadi objek adalah pembiayaan bank syariah. Sukmana, Raditya dan Salina (2010) merupakan upaya awal untuk mengetahui transmisi moneter melalaui jalur pembiayaan bank syariah di Malaysia terhadap pertumbuhan ekonomi yang dirumuskan sebagai berikut IPI = f (IF, ID, ONIGHT). IPI merupakan industrial production index sebagai proksi pertumbuhan ekonomi/output, IF adalah pembiayaan perbankan syariah, ID adalah dana pihak ketiga perbankan syariah, ONIGHT merupakan suku bunga overnight di pasar uang antar bank sebagai proksi kebijakan moneter. Penelitian serupa juga dilakukan Ascarya (2010) dengan tujuan untuk mengetahui adanya transmisi kebijakan moneter pada jalur pembiayaan melalui perbankan syariah di Indonesia dengan tujuan akhir kebijakan moneter, yaitu pertumbuhan ekonomi dan kestabilan nilai uang. Pada penelitian ini dirumuskan teori transmisi melalui jalur pembiayaan sebagai berikut IPI = f (IFIN, IDEP,PUAS,SBIS) dan CPI= (IFIN,IDEP,PUAS,SBIS). IPI merupakan industrial production index sebagai proksi pertumbuhan ekonomi, CPI merupakan consumer price index sebagai proksi inflasi, IDEP merupakan dana pihak ketiga perbankan syariah, PUAS adalah suku bunga harian di pasar uang antar bank syariah, dan SBIS adalah imbal hasil sertifikat bank Indonesia syariah yang merupakan indikator kebijakan moneter. Terdapat perbedaaan indikator moneter pada penelitian yang dilakukan oleh Ascarya dan Sukmana. Sukmana menggunakan suku bunga harian di pasar uang sebagai indikator moneter sedangkan Ascarya menggunakan bonus SBIS sebagai indikator moneter. Instrumen Moneter Bank Indonesia memiliki beberapa instrumen moneter dalam melakukan kebijakan moneter yaitu Operasi Pasar Terbuka (OPT) atau Open Market Operation, Giro Wajib Minimun (GWM), Fasilitas Diskonto, dan intervensi Mata Uang Asing.
9 Berikut penjelasan mengenai instrumen moneter yang digunakan oleh Bank Indonesia: a. Operasi Pasar Terbuka. Operasi Pasar Terbuka adalah kegiatan jual beli surat berharga oleh bank sentral yang akan memengaruhi tingkat suku bunga. Operasi ini memiliki dua aktivitas didalamnya, yaitu jual beli surat-surat berharga termasuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Kedua instrumen ini digunakan sebagai instrumen utama dalam kebijakan moneter. Hal ini dikarenakan bank Indonesia memiliki SBI dalam jumlah yang memadai untuk mengeksekusi kebijakan kontraksi dan ekspansi yang diambil setelah mempertimbangkan tekanan terhadap inflasi. SBI juga memenuhi tiga syarat utama likuiditas surat berharga yang dapat diperjualbelikan dalam operasi paar terbuka dan diterbitkan secara berkelanjutan serta tersedia setiap saat (Sugiyono, 2003) b. Giro Wajib Minimum Giro Wajib Minimum merupakan ketentuan bank sentral yang mewajibkan bank untuk memelihara sejumlah alat likuid dalam rekening gironya pada bank Indonesia (Warjiyo, 2008). Giro wajib minimum ditetapkan sebesar persentase tertentu dari kewajiban lancar bank. Semakin kecil persentase tersebut maka semakin besar kemampuan bank memanfaatkan cadangannya untuk diberikan kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman dan begitu juga sebaliknya. c. Fasilitas Diskonto Fasilitas diskonto adalah fasiltas kredit yang diberikan oleh bank Indonesia kepada bank dengan tingkat diskonto yang ditetapkan oleh bank Indonesia (Warjiyo, 2008). Dengan penetapan diskonto yang tinggi diharapkan bank akan mengurangi permintaan kredit pada bank sentral yang akibatnya akan mengurangi jumlah uang yang beredar. d. Intervensi Mata Uang Asing Intervensi mata uang asing adalah kebijakan bank sentral untuk memengaruhi jumlah uang beredar atau likuiditas di pasar uang melalui jual beli valuta asing atau cadangan devisa. Apabila bank sentral ingin mengetatkan likuiditas rupiah di pasar uang, bank sentral akan menjual cadangan devisanya. Kebijakan Moneter Dalam Kajian Islam Sistem moneter dan kebijakan moneter sudah dimulai oleh bangsa Quraisy walaupun masih dalam bentuk sederhana. Kahalifah Umar memerintah Islam pada 634-644 M terdapat beberapa kebijakan yang dilakukan pada masa tersebut. Beberapa kebijakan moneter yang diterapkan oleh Umar antara lain : 1. Islam melarang segala sesuatu yang akan berdampak pada bertambahnya gejolak dalam daya beli dan ketidakstabilan nilai uang, misalnya : a. Mengharamkan perdagangan uang, yaitu Mengharamkan riba fadhl. b. Mengharamkan penimbunan. c. Pengawasan ketat terhadap inflasi serta penyelesaian dampak-dampak inflasi. 2. Larangan bermuamalah dengan uang uang palsu.
10 3. Melindungi inflasi dengan menghimbau masyarakat untuk menginvestasikan uang, sederhanana dalam belanja, serta melarang berlebih-lebihan dan menghambur-hamburkan uang. 4. Penyatuan moneter melalui percetakan dirham sesuai dengan ketentuan islam, yaitu sebesar enam daniq. Sektor moneter berperan sebagai penyokong sektor riil dalam sudut pandang Islam. Uang dan perbankan sebagai bagian dari sistem moneter harus digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan utama sosio ekonomi Islam (Chapra 1997). Tujuan tersebut antara lain : 1. Kesejahteraaan ekonomi yang luas berdasarkan full employment dan tingkat pertumbuhan optimum. Pertubuhan ekonomi dalam sudut pandang Islam adalah : a. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh dicapai melalui produksi barang dan jasa yang tidak penting atau secara moral dipertanyakan. b. Tidak boleh memperlebar jurang antara yang miskin dan kaya dengan jalan mendorong konsumsi yang tidak habis. c. Tidak boleh membahayakan generasi sekarang ataupun generasi mendatang dengan mendegradasikan moral mereka atau lingkungan fisik. 2. Keadilan sosio-ekonomi dan pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan, salah satunya melalui mekanisme zakat. 3. Stabilitas dalam nilai uang sehingga memungkinkan medium of exchange dapat dipergunakan sebagai satuan perhitungan, patokan yang adil dalam penanggungan pembayaran, dan nilai tukar yang stabil. 4. Mobilisasi dan investasi tabungan bagi pembangunan ekonomi dengan satu cara yang menjamin pengembalian yang adil bagi semua pihak yang terlibat. 5. Mewujudkan jasa-jasa lain. Mobilisasi tabungan dan investasi tidak hanya diperlukan bagi hal yang bersifat produktif saja, namun juga utuk mengembangkan pasar uang primer dan sekunder, mewujudkan jasa perbankan lain, dan mememuhi kebutuhan akan keuangan non-inflonationary bagi pemerintah. Kebijakan Moneter Ganda di Indonesia Peraturan Bank Indonesia nomor 4/10/PBI/2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menyatakan bahwa SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia Sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. SBI diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu piranti dalam Operasi Pasar Terbuka (OPT). Sedangkan peraturan Bank Indonesia nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) menyatakan bahwa SBIS adalah surat berharga dalam jangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad Ju’alah. Kedua instrumen ini memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai instrumen Operasi Pasar Terbuka dalam rangka pengendalian moneter dengan tujuan akhir kestabilan nilai rupiah dan tingkat inflasi. SBIS dibuat oleh Bank Indonesia dalam rangka efektivitas mekanisme moneter dengan prinsip syariah. Akad ju’alah merupakan jenis akad yang mana
11 pihak Bank Indonesia (ja’il) memberikan sejumlah bonus (ju’ul) kepada bank syariah (maj’ullah) karena dianggap telah membantu Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter (mahall al-‘aqad). Saat akan melakukan transaksi lelang SBIS maka akan diumumkan bahwa Bank Indonesia akan melakukan kebijakan moneter yaitu menyerap likuiditas yang beredar di masyarakat. Bank syariah sebagai maj’ullah akan membeli SBIS tersebut dan mendapatkan imbalan tertentu. Jumlah nominal ju’ul atau imbalannya harus dibayarkan oleh ja’il yang ditetapkan saat terjadinya akad dan harus disepakati oleh kedua belah pihak.
Sumber: Ascarya (2012) Gambar 5 Alur Penerapan Sistem Moneter Ganda di Indonesia Transmisi kebijakan moneter tidak hanya memengaruhi perbankan konvensional saja namun juga memengaruhi perbankan syariah, karena mekanisme transmisi juga dapat melalui jalur syariah. Penggunaan instrumen moneter dalam kebijakan moneter ganda dijelaskan oleh Ascarya (2012), bahwa instrumen kebijakan moneter tidak hanya terbatas hanya menggunakan suku bunga saja, tapi juga dapat menggunakan bagi hasil atau margin. Dalam sistem moneter ganda, interest rate pass-through lebih tepat disebut dengan policy rate pass-through, yang mana policy rate untuk konvensional adalah suku bunga, sedangkan policy rate untuk syariah menggunakan bagi hasil atau margin. Teori Prefensi Likuiditas Teori Preferensi Likuiditas menyatakan bahwa tingkat bunga menyesuaikan untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan uang, jika M adalah keseimbangan uang dan P adalah tingkat harga maka M/P adalah penawaran dari keseimbangan uang riil. Teori ini mengasumsikan adanya penawaran uang riil yang tetap dan menegaskan bahwa tingkat bunga adalah sebuah determinan dari berapa banyak uang yang ingin dipegang oleh masyarakat. Alasannya adalah bahwa tingkat bunga adalah biaya peluang (opportunity cost) dari memegang uang, yaitu biaya yang harus ditanggung karena memegang sebagian aset dalam bentuk uang (yang tidak mendapatkan bunga) atau dalam deposito atau obligasi. Ketika tingkat bunga naik, orang-orang ingin memegang uang dalam jumlah yang lebih sedikit.
12 Hal ini menunjukkan bahwa fungsi permintaan uang riil dipengaruhi oleh suku bunga (Mankiw, 2007). Berdasarkan Gambar 6, tingkat bunga akan menyesusaikan untuk menyeimbangkan pasar uang dimana jumlah uang riil yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Apabila tingkat suku bunga diatas keseimbangan maka jumlah uang riil yang ditawarkan akan melebihi jumlah yang diminta. Orang-orang yang memegang kelebihan penawaran uang akan berusaha untuk mengubah sebagian diantaranya menjadi deposito datau obligasi. Bank-bank penerbit obligasi yang lebih suka membayar tingkat bunga yang lebih rendah merespon kelebihan uang dengan mengurangi tigkat bunga sehinga tingkat bunga akan bergerak kembali menuju keseimbangan, begitu juga sebaliknya.
Sumber: Mankiw (2007)
Gambar 6 Kurva Permintaan Uang Teori Bank Konvensional dan Syariah Bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak. Seperti yang dipaparkan dalam UU No.10 tahun 1998 bahwa fungsi dari perbankan sebagai lembaga intermediasi atau penghubung antara sektor keuangan dan sektor riil. Pada saat ini UU No. 21 tahun 2008 digunakan sebagai landasan hukum bagi perbankan untuk beroperasi. Pada UU ini terdapat beberapa perubahan dari UU sebelumnya yaitu penegasan perbedaan kredit dan pembiayaan, penetapan dewan pengawas sebagai pihak terafliasi, dan penjelasan bentuk pembiayaan oleh bank syariah. Perbankan di Indonesia digolongkan menjadi dua yaitu bank konvensional dan bank syariah. Bank konvensional menjalankan kegiatannya dengan menggunakan sistem bunga. Berbeda dengan bank konvensional, bank syariah menjalankan usahanya dengan prinsip syariah. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan umat islam untuk menghimpun atau meminjam bunga atau yang dikenal dengan riba. Secara bahasa riba berarti tambahan (az-zyadadah), karena salah satu bentuk riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan, ada juga yang mengartikan berbunga (an-numu), karena salah satu bentuk riba adalah membuat harta, uang atau yang lainnya (Nawawi, 2012). Adanya larangan ini membuat perbankan syariah hanya mengalokasikan dana pada usaha yang dikategorikan halal.
13 Penjelasan tentang riba dalam Al-qur’an diturunkan secara bertahap. Pada tahap pertama dijelaskan dalam Al-qur’an Surat Ar-Ruum ayat 39. Pada ayat ini dijelaskan bahwasannya Allah SWT membenci riba dan perbuatan riba itu tidaklah mendapat pahala di sisi Allah SWT. Pada ayat ini tidak ada petunjuk Allah SWT yang mengatakan bahwasannya riba itu haram. Artinya ayat ini berupa peringatan untuk tidak melakukan hal yang negatif.
َّ ََ ْْاَّللِ َو َما آت َ ْيت ُ ْم ِم ْن زَ َكاةٍ ت ُ ِريدُوََ َو َّ َاس فَ ََل يَ ْربُو ِع ْند ِ ََّو َما آت َ ْيت ُ ْم ِم ْن ِربًا ِليَ ْرب َُو فِي أ َ ْم َوا ِل الن ِاَّلل )93( ََض ِعفُو ْ فَأُولَئِكَ ُه ُم ْال ُم “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”. (Qs. Ar-Ruum [30]: 39) Pada tahap kedua penjelasan riba dalam Al-qur’an dijelaskan dalam Surat An-Nisa’ ayat 160-161. Ayat ini mengisahkan tentang orang-orang Yahudi, Allah SWT telah mengharamkan riba kepada mereka namun mereka tetap mengerjakan perbuatan ini.
ُ فَ ِب َ علَ ْي ِه ْم ْ َّت أ ُ ِحل َّ س ِبي ِل ٍ ط ِيبَا )061( يرا ً ِاَّللِ َكث َ ص ِد ِه ْم َ ظ ْل ٍم ِمنَ الَّذِينَ هَادُوا َح َّر ْمنَا َ ع ْن َ ت لَ ُه ْم َو ِب )060(عذَابًاأ َ ِلي ًما ِ َاس ِب ْالب ِ َّع ْنَُ َوأ َ ْك ِل ِه ْم أ ْم َوا َل الن َ اط ِل َوأ َ ْعت َ ْدنَا ِل ْل َكافِ ِرينَ ِم ْن ُهم َ الربَا َوقَ ْد نُ ُهوا ِ َوأ َ ْخ ِذ ِه ُم “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dank arena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah (161). Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil, kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih”. (Qs. An Nisa [4]: 160-161) Pada tahap ketiga penjelasan riba dalam Al-qur’an dijelaskan dalam Surat Ali Imron ayat 130. Ayat ini menjelaskan kebiasaan orang Arab saat itu sering mengambil riba dengan berlipat ganda. Ayat ini telah secara jelas mengharamkan perbuatan riba, akan tetapi bentuk pengharaman ayat ini masih bersifat sebagian, yaitu kepada kebiasaan orang saat itu yang mengambil riba dengan berlipat ganda dari modal. Riba yang disebutkan yaitu riba dengan penambahan dari pokok modal dari hutang yang berlipat ganda.
َّ عفَةً َواتَّقُوا َاَّللَ لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحون ْ َ الربَا أ َ ضا َ ضعَافًا ُم ِ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل ت َأ ْ ُكلُوا “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(Qs. Ali Imron [3]: 130)
14 Pada tahap terakhir penjelasan tentang riba terdapat pada Al-qur’an Surat Al baqarah Ayat 277dan 278. Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT dengan tegas mengahramamkan riba.
َّ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا ) فَإ ِ َْ لَ ْم ت َ ْفعَلُوا فَأْذَنُوا722( َالربَا إِ َْ ُك ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِين ِ َي ِمن َ اَّللَ َوذَ ُروا َما بَ ِق َّ وس أ َ ْم َوا ِل ُك ْم ََل ت َْظ ِل ُموََ َو ََل َب ِمن ُ اَّللِ َو َر ٍ بِ َح ْر ُ سو ِل َِ َوإِ َْ ت ُ ْبت ُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُء ْ ُت )722( ََظلَ ُمو “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba, jika memang kamu orang yang beriman. Jika kamu tidak melakukannya, maka terimalah pernyataan perang dari Allah dan rasul Nya dan jika kalian bertobat maka bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim dan tidak pula dizalimi”. (QS. Al Baqarah[2] : 278- 279) Tabel 2 Perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional No
Perbedaan
Bank Konvensional
Bank Syariah
1
Fungsi dan kegiatan bank
Intermediasi, jasa keuangan
Intermediasi, manager investasi, investor, sosial, jasa keuangan
2
Mekanisme dan objek usaha
Tidak anti riba dan maysir
Anti riba dan maysir
3
Prinsip dasar operasi
-Bebas nilai (prinsip metralis) -Uang sebagai komoditi -bunga
4
Prioritas pelayanan
Kepentingan Pribadi
-Tidak bebas nilai (prinsip syariah islam) -Uang sebagai alat tukar dan bukan komoditi -bagai hasil, jual beli dan sewa Kepentingan publik
5
Orientasi
Keuntungan
Tujuan sosial ekonomi Islam, keuntungan
6
Bentuk
Bank komersial
Bank komersial, bank pembangunan, bank universal atau multi purpose
7
Evaluasi nasabah
Kepastian pengembalian pokok dan bunga (creditwhothiness dan collateral)
Lebih hati-hati karena partisipasi dalam resiko
8
Hubungan nasabah
Terbatas debiturkreditur
Erat sebagai mitra usaha
15 9
Sumber likuiditas jangka pendek
Pasar uang, Bank Sentral
Pasar uang syariah, bank sentral
10
Pinjaman yang diberikan
Komersial dan nonkomersial, berorientasi laba
Komersial dan non komersial, berorientasi laba dan nirlaba
11
Lembaga penyelesai sengeketa
Pengadilan, arbiterase
Pengadilan, Badan Arbiterase Syariah Nasional
12
Resiko Usaha
-dihadapibersama antara bank dan nasabah menggunagakan prinsip keasilan dan kejujuran -tidak mungkin terjadi negative spread
13
Struktur pengawas
-Resiko bank tidak terkait langsung dengan debitur, resiko debitur tidak terkait langsung dengan bank -kemungkinan terjadi negarive spread Dewan komisaris
14
Investasi
Halal atau haram
Halal saja
Dewan komisaris, DPS, DSN
Sumber : Ascarya 2006
Salah satu cara yang dilakukan oleh bank konvensional untuk menyalurkan dana yang dihimpun adalah kredit. Kredit yang diberikan berupa kredit korporasi atau kredit UMKM, dan pihak bank akan mendapatkan bunga atas harga uang yang telah dipinjamkan. Sedangkan pada bank syariah cara yang digunakan untuk menyalurkan dana yang dihimpun adalah melaui pembiayaan dan sistem yang digunakan adalah sistem bagi hasil. Beberapa produk yang dihasilkan oleh perbankan syariah: 1. Produk dengan prinsip jual beli antara lain murabahah, salam, dan istisna. 2. Produk dengan prinsip bagi hasil antara lain musyarakah, mudharabah dan rahn. 3. Produk dengan prinsip sewa antara lain ijarah. Pembiayaan dan Kredit Perbankan Berdasarkan Undang-undang Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008, pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil, sewa menyewa, jual beli atau pinjam meminjam berdasarkan persetujuan bank syariah dengan pihak lain mewajibkan pihak yang dibiayai san atau diberi fasilitas dana tersebut untuk mengembalikan dana tersebut dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil. Antonio (2001) menjelaskan bahwa pembiayaan adalah salah satu tugas pokok dari bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan terbagi menjadi dua: 1. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.
16 2. Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi. Menurut keperluannya pembiayaan produktif dibagi menjadi dua yaitu pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi. Berdasarkan Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan menyatakan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan dan kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Kredit perbankan dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria : 1. Berdasarkan jangka waktunya, yaitu kredit jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. 2. Berdasarkan tujuan penggunaan dananya, yaitu kredit modal kerja, kredit investasi dan kredit konsumsi. 3. Berdasarkan golongan atau segmentasinya, yaitu kredit sektor UMKM dan non-UMKM. PUAB dan PUAS Pasar uang antar bank merupakan salah satu instrumen yang digunakan oleh perbankan dalam mengelola likuiditasnya. Transaksi di pasar uang antar bank terjadi dikarenakan perbankan mengalami kekurangan likuiditas atau kelebihan likuiditas. Kekurangan likuiditas pada perbankan disebabkan oleh perbedaan antara penerimaan dan penanaman dana, sedangkan kelebihan likuiditas pada perbankan dikarenakan dana yang dihimpun belum dapat disalurkan melalui kredit. Perbankan yang mengalami kelebihan likuiditas dapat mengalokasikannya pada pasar uang antar bank dan perbankan yang mengalami kesulitan likuiditas dapat menggunakan PUAB untuk meningkatkan likuiditasnya. Pasar uang antar bank menerapkan bunga pada proses transaksinya. Nilai suku bunga PUAB ditetapkan melalui kesepakatan antara peminjam dan pemilik dana. Sejak tahun 2008, Bank Indonesia menetapkan suku bunga Pasar Uang Antar Bank sebagai sasaran operasional kebijakan moneter, sehingga suku bunga PUAB tidak terlalu melebar dari acuannya (BI rate). Bank Indonesia selalu berusaha untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan secara seimbang sehingga terbentuk suku bunga yang wajar dan stabil melalui kebijakan moneter (operasi pasar terbuka). Berkembangnya perbankan dengan prinsip syariah di Indonesia menyebabkan instrumen Pasar Uang Antar Bank tidak dapat diterapkan pada perbankan syariah. Hal ini dikarenkan perbankan syariah tidak boleh menggunakan sistem bunga. Instrumen Pasar Uang Antar Bank yang menggunakan prinsip syariah (PUAS) diterbitkan untuk menjaga likuiditas perbankan syariah. Instrumen PUAS ini diatur dalam peraturan Bank Indonesia NO.2/8/PBI/2000.
17 Equivalent Rate Pembiayaan Dan Suku Bunga Kredit Suku bunga adalah satu komponen utama dalam kebijakan ekonomi konvensional yang berarti biaya yang harus dibayarkan oleh peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan dari pemberi pinjaman atas investasinya. Fahmi (2010) menjelaskan bahwa bunga kredit adalah sejumlah nilai uang yang diwajibkan kepada pihak yang meminjamnya dengan perhitungan berdasarkan persentase dan dilakukan berdasarkan periode atau waktu yang ditentukan. Selain itu, pengertian bunga kredit adalah suatu jumlah ganti rugi atau balas jasa atas penggunaan uang oleh nasabah bank, bagi pengusaha kredit berarti nasabah memerlukan suatu likuiditas untuk kegiatan usahanya. Pada bank syariah digunakan sistem bagi hasil. Bagi hasil merupakan komponen terpenting dalam sistem moneter syariah dan merupakan cerminan dari kinerja sektor riil. Pada bank syariah terdapat dua jenis keuntungan dari pembiayaan yang diberikan, yaitu margin keuntungan dan bagi hasil. Margin keuntungan adalah persentase tertentu yang ditetapkan oleh perbankan syariah terhadap produk pembiayaan yang berbasis Natural Certanty Contract atau akad bisnis yang memberikan kepastian pembayaran baik segi jumlah maupun waktu seperti murabahah, ijarah, salam, dan istisna. Sedangkan bagi hasil adalah nisbah yang ditetapkan terhadap produk-produk pembiayaan yang berbasis Natural Certainty Conract atau akad bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah maupun waktunya seperti musyarakah dan mudharabah (Karim, 2010). Pada operasionalnya bank syariah menggunakan equivalent rate pembiayaan sebagai indikasi persentase imbalan atas penanaman modal. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai mekanisme transmisi moneter melalui jalur kredit atau pinjaman sudah cukup banyak dilakukan. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Rusydiana (2009), yang menyimpulkan bahwa semakin tinggi SWBI yang ditetapkan Bank Indonesia maka semakin rendah pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah. Selain itu, terdapat hubungan yang negatif antara pembiayaan syariah dan SBI. Semakin tinggi SBI maka menyebabkan penurunan pembiayaan syariah dan sebaliknya. Hal ini disebabkan jika Bank Indonesia menaikkan suku bunga maka memicu perbankan konvensional untuk menaikkan suku bunganya, baik pinjaman maupun deposito. Oleh karena itu, daya saing perbankan syariah turun menjadi kurang kompetitif. Penelitian yang dilakukan oleh Ayyuniah (2010) menjelaskan bahwa instrumen moneter konvensional memberikan guncangan yang lebih besar terhadap pertumbuhan sektor riil dibandingkan dengan instrumen moneter syariah karena proporsi instrumen moneter konvensional yang masih mendominasi sampai dengan 97% dari share perbankan nasional. Akan tetapi instrumen moneter syariah memiliki karakteristik yang lebih stabil dibandingkan dengan variabel moneter konvensional. Selain itu disimpulkan bahwa kebijakan moneter baik ekspansif maupun kontraktif dengan instrumen suku bunga SBI tidak mampu memengaruhi jumlah penawaran kredit investasi bank umum. Hal ini menjadi bukti bahwa
18 kebijakan moneter melalui bank lending tidak berlangsung di Indonesia Selama periode 2001-2007. Penelitian Ascarya (2012) menjelaskan bahwa sisi konvensional banyak memengaruhi sisi syariah dari kredit karena sistem moneter dan keuangan Indonesia masih didominasi oleh sistem konvensional (97,5%), dan bagian yang berhubungan dengan sektor riil adalah kredit. Suku bunga SBI memberikan dampak buruk yang setara dan permanen imbal hasil SBIS terhadap output. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Policy Rate Pass-Through syariah belum dinilai efektif. Tidak ada keseimbangan jangka pendek yang signifikan dan hanya PLS yang signifikan dalam keseimbangan jangka panjang. Hal ini disebabkan karena ekonomi syariah berpusat pada aktifitas sektor riil. Sementara itu SBIS, demi semangat perlakuan yang adil (Fair Treatment) dengan konvensional, melakukan benchmark pada kebijakan suku bunga konvensional dan nilainya sama dengan SBI. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Beik (2013) menjelaskan bahwa SBIS berpengaruh positif terhadap pembiayaan pertanian perbankan syariah. Hal ini mengindikasikan kenaikan bonus SBIS memiliki andil terhadap peningkatan penyaluran dana ke sektor pertanian. Berdasarkan uji Impulse Respon Fuction pembiayaan pertanian lebih cepat stabil dalam merespon guncangan SBIS. Hasil yang berbeda ditunjukan oleh penelitian yang dilakukan oleh Ramadhan (2012), bahwa SBI dan SBIS memiliki pengaruh negatif terhadap kredit perbankan konvensional dan pembiayaan pada perbankan syariah. Menariknya terdapat hubungan yang positif antara pembiayaan syariah dan SBI. Semakin tinggi SBI akan menyebabkan kenaikan pembiayaan syariah dan sebaliknya. Hal ini disebabkan jika bank sentral menaikkan suku bunga maka akan memicu bank konvensional untuk menaikkan suku bunganya, baik pinjaman maupun deposito. Kenaikan suku bunga pinjaman akan mendorong menurunnnya permintaan kredit pada perbankan konvensional. Kondisi ini dimanfaatkan oleh perbankan syariah dengan memberikan pembiayaan yang lebih besar karena bank konvensional sebagai saingannya sedang menurunkan penyaluran kreditnya. Pada penelitian ini, penulis akan menganalis pengaruh instrumen moneter konvensional dan syariah terhadap penyaluran dana ke sektor pertanian melalui dua model yaitu model transmisi moneter jalur kredit dan model transmisi moneter jalur pembiayaan. Model yang digunakan pada penelitian ini merujuk pada model penelitian yang dilakukan oleh Ascarya (2012). Penelitian ini fokus pada pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap penyaluran dana pada sektor pertanian sedangkan Ascarya meneliti pengaruh instrumen moneter konvensional dan syariah terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia. Instrumen moneter syariah direpresentasikan melalui bonus SBIS dan instrumen moneter konvensional direpresentasikan melalui suku bunga SBI. Kerangka Pemikiran Penerapan sistem moneter ganda di Indonesia yang dilandasi oleh UU Bank Indonesia No. 23 tahun 1999 mendorong Bank Indonesia menjalankan kebijakan moneter konvensional dengan prinsip suku bunga dan kebijakan moneter syariah dengan prinsip profit and loss sharing secara bersamaan. Penerapan sistem moneter ganda ini kemudian juga melahirkan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) sebagai instrumen moneter pelengkap Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang selama
19 ini dipakai oleh perbankan konvensional. Sebagai instrumen moneter SBI dan SBIS memiliki jalur transmisi tersendiri terhadap sektor riil dimana instrumen ini akan memengaruhi besarnya pembiayaan dan penyaluran kredit pada sektor riil, termasuk sektor pertanian. Sebagaimana diperlihatkan di Gambar 7, instrumen moneter yang dimaksud adalah SBI dan SBIS. Sedangkan penyaluran dana digambarkan dengan pembiayaan dari perbankan syariah dan kredit dari perbankan. Sebagai saluran transmisinya, digunakan besarnya bagi hasil dan suku bunga kredit. Suku bunga PUAB dan bagi hasil PUAS merupakan sasaran moneter dari Bank Indonesia yang juga merupakan instrumen pengelolaan likuiditas bagi bank konvensional dan bank syariah.
Gambar 7 Kerangka Pemikiran
20 Hipotesis Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka hipotesis pada penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Suku bunga SBI dan bonus SBIS berpengaruh negatif terhadap penyaluran dana ke sektor pertanian 2. Pembiayaan pertanian dari perbankan syariah lebih cepat stabil ketika terjadi guncangan moneter dibandingkan dengan kredit pertanian dari perbankan konvensional.
METODE Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat kuantitatif berupa time series bulanan periode Januari 2009 sampai dengan Desember 2014. Data diperoleh dari beberapa sumber, yaitu Statistik Perbankan Indonesia (SPI), Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), Statistik Perbankan Indonesia Syariah (SPIS), Laporan Keuangan Bulanan Bank Umum dan Bank Umum Syariah, dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Kategori Kredit Pertanian Pembiayaan Pertanian Suku Bunga SBI Bonus SBIS Suku bunga rata-rata kredit Equivalent Rate Pembiayaan Suku bunga PUAB Bagi hasil PUAS
Tabel 4 Variabel Penelitian Variabel Satuan LNCRD Rupiah LNPYD Rupiah SBI Persen SBIS Persen SBK Persen
Sumber Bank Indonesia Bank Indonesia Bank Indonesia Bank Indonesia Bank Indonesia
ERP
Persen
Bank Indonesia
PUAB PUAS
Persen Persen
Bank Indonesia Bank Indonesia
Metode Analisis Metode analisis data yang digunakan untuk mendukung dan mencapai tujuan penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrika. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah analisis yang digunakan untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Analisis deskriptif dapat digunakan dengan bantuan grafik, tabel dan diagram. Dalam penelitian ini, analisis deskriptif dilakukan melalui gambaran umum mengenai perkembangan SBI dan SBIS, perkembangan suku bunga PUAB dan bagi hasil PUAS, jumlah dan porsi penyaluran dana ke sektor pertanian bank syariah dan konvensional, serta suku
21 bunga bank konvensional dan bagi hasil bank syariah di Indonesia selama kurun waktu 2009-2014. Analisis Ekonometrika Metode analisis ekonometrika yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Vector Autoregression (VAR) jika data yang digunakan stationer dan tidak terdapat kointegrasi, atau Vector Error Correction Model (VECM) jika data yang digunakan diketahui stationer dan terdapat kointegrasi. Analisis data dengan menggunakan pendekatan model VAR dan VECM mencakup tiga alat analisis utama yaitu Granger Causality Test, Impulse Response Function (IRF), dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Adapun perangkat lunak yang digunakan dalam proses pengolahan adalah Eviews 6. Analisis Data Secara kuantitatif, analisis data pada penelitian menggunakan pendekatan model VAR/VECM, berikut langkah-langkah analisis data menggunakan model VAR/VECM. Uji Stasioneritas Data Estimasi model ekonometrik time series akan menghasilkan kesimpulan yang tidak berarti, ketika data yang digunakan mengandung akar unit (tidak stasioner). Data yang mengandung akar unit (tidak stasioner) jika dimasukkan dalam pengolahan statistik maka akan memberikan hasil estimasi yang spurious, hal ini ditandai dengan tingginya nilai koefesien determinasi, R2 dan t-statistik signifikan, tetapi penafsiran hubungannya tidak memiliki arti secara ekonomi. Augmented dickey-fuller test (ADF test) merupakan prosedur standar untuk menyelidiki adanya akar unit pada data time series. Uji akar unit ADF memerlukan estimasi regresi: ∆𝑌𝑡 = 𝛼0 + 𝛽𝑌𝑡−1 + ∑𝑝𝑖−1 𝛿𝑖 ∆𝑌𝑡−1 + 𝜀𝑡 Dalam persamaan seperti ini hipotesis yang digunakan adalah: H0 : 𝛽 = 0 (mengandung akar unit-series tidak stationer) H1 : 𝛽 < 0 (tidak mengandung akar unit-series stationer) Jika nilai statistik ADF secara absolut lebih kecil dibandingkan dengan nilai kritis Mackinon, maka H0 diterima. Dengan kata lain, Yt mengandung satu akar unit atau data tidak stasioner, melalui proses diferensiasi agar data menjadi stasioner . Uji akar-akar Unit Uji stasioneritas akan dilakukan dengan metode ADF. Hasil series stasioner akan berujung pada penggunakan VAR dengan metode standar. Sementara series nonstasioner akan berimplikasi pada dua pilihan yaitu VAR atau VECM. Uji Stabilitas VAR Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic polynomial. Jika semua akar fungsi polinomial tersebut berada dalam unit circle atau jika nilai absolutnya <1 maka model VAR tersebur dianggap stabil sehinga Impuls Response Function dan Forecast Eror Variance Decomposition (FEVD) yang dihasilkan valid.
22 Pengujian lag optimal Penentuan jumlah lag optimal yang digunakan merupakan langkah penting yang harus dilakukan dalam menggunakan model VAR maupun VECM. Untuk penentuan panjang lag optimal dapat digunakan beberapa kriteria yaitu dengan menggunaan Prediction Error (FPE) dan Hannan-Quin Information Criterion (HQ). Pengujian panjang lag optimal berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR atau VECM. Dalam penelitian ini digunakan semua kriteria informasi untuk menentukan lag optimal. Model diestimasi dengan lag yang berbeda-beda lalu dibandingkan nilai kriterianya. Lag optimal yang dipilih berdasarkan nilai kriteria terkecil. Uji kointegrasi (johannsen cointegration test) Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner terkointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi ditemukan oleh Engle Dan Granger (1987) sebagai kombinasi dari dua linear atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menghasilkan variabel yang stasioner. Kombinasi linier ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang di antara variabel. Jika trace statistic>critical value persamaan tersebut terkointegrasi. Dengan demikian H0= non kointegrasi dengan hipotesis alternatif H1=kointegrasi. Jika trace statistic
= vektor yang berisi variabel yang dianlaisis dalam penelitian = vector intercept = vektor koefesien regresi = time trend = 𝛼𝑥 β′ dimana b’mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang = variabel in-level = matriks koefesien regresi = ordo VECM dari VAR = lag = error term
23 Impulse Response Function (IRF) Suatu metode yang digunakan untuk menentukan response suatu variabel endogen terhadap suatu shock tertentu. Hal ini dikarenakan shock variabel misalnya ke-I tidak hanya berpengaruh terhadap variabel ke-I saja, tetapi ditransmisikan kepada semua variabel endogen lainnya melalu struktur lag dalam VECM. IRF dapat mengukur pengaruh suatu shock pada suatu waktu kepada inovasi variabel endogen pada saat tersebut dan di masa yang akan datang. Sementara itu, IRF bertujuan untuk mengisolasi suatu guncangan agar lebih spesifik, yang artinya suatu variabel dapat dipengaruhi oleh shock atau guncangan tertentu. Apabila suatu variabel tidak dipengaruhi oleh shock, maka shock spesifik tersebut tidak dapat diketahui melainkan shock secara umum. Variance Decompotition (FEVD) Metode yang dapat dilakukan untuk melihat bagaimana perubahan suatu variabel yang ditunjukan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh variabelvariabel lainnya adalah FEVD. Metode ini mencirikan suatu struktur dinamis dalam model VAR/VECM. Dalam metode ini dapat dilihat kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel memengaruhi variabel lain dalam waktu kurun waktu panjang. FEVD merinci ragam dari peramalan galat menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Besar perbedaan antara error variance sebelum dan sesudah terjadinya shock yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari variabel laindapat dilihat dengan menghitung persentase kuadrat prediksi galat k-tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain. Jadi melalui FEVD dapat diketahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi dalam variabel tertentu. Model Penelitian Model 1 𝐿𝑁𝐶𝑅𝐷 𝑎1 𝑎11 𝑆𝐵𝐼 𝑎2 [ ]= [ ]+[ ⋮ 𝑃𝑈𝐴𝐵 𝑎3 𝑎14 𝑆𝐵𝐾 𝑎4
𝐿𝑁𝐶𝑅𝐷𝑡 − 1 𝑒1𝑡 ⋯ 𝑎41 𝑆𝐵𝐼𝑡 − 1 𝑒2𝑡 ]+[ ] ⋱ ⋮ ][ 𝑃𝑈𝐴𝐵𝑡 − 1 𝑒3𝑡 ⋯ 𝑎44 𝑆𝐵𝐾𝑡 − 1 𝑒4𝑡 Model 2
𝐿𝑁𝑃𝑌𝐷 𝑎1 𝑎11 𝑆𝐵𝐼𝑆 𝑎2 [ ]= [ ]+[ ⋮ 𝑃𝑈𝐴𝑆 𝑎3 𝑎14 𝐸𝑅𝑃 𝑎4 Keterangan: LNCRD LNPYD SBI SBIS
𝐿𝑁𝑃𝑌𝐷𝑡 − 1 𝑒1𝑡 ⋯ 𝑎41 𝑆𝐵𝐼𝑆𝑡 − 1 𝑒2𝑡 ]+[ ] ⋱ ⋮ ][ 𝑃𝑈𝐴𝑆𝑡 − 1 𝑒3𝑡 ⋯ 𝑎44 𝐸𝑅𝑃𝑡 − 1 𝑒4𝑡
= kredit pertanian (miliar rupiah) = pembiayaan pertanian (miliar rupiah) = suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (persen) = bagi hasil Sertikat Bank Indonesia Syariah (persen)
24 PUAB PUAS SBK ERP
= suku bunga Pasar uang Antar Bank (persen) = imbal hasil Pasar Uang Anta rank Syariah (persen) = suku bunga kredit pertanian (persen) = equivalent rate pembiayaan pertanian (persen) Variabel dan Defenisi Operasional
1. Kredit pertanian konvensional Kredit pertanian konvensional yang dimaksud pada penelitian ini adalah total jumlah kredit yang disalurkan oleh bank umum konvensional pada sektor pertanian dari bulan Januari 2009 sampai Desember 2014. 2. Pembiayaan pertanian syariah Pembiayaan pertanian syariah adalah total jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh bank umum syariah pada sektor pertanian dari bulan Januari 2009 sampai Desember 2014. 3. Suku bunga rata-rata kredit Suku bunga rata-rata kredit adalah suku bunga kepada pihak ketiga bukan bank yang dihitung secara rata-rata tertimbang terhadap seluruh suku bunga kredit. Suku bunga rata-rata kredit yang digunakan pada penelitian ini adalah suku bunga rata-rata kredit pada sektor pertanian dari bulan Januari 2009 sampai Desember 2014. 4. Equivalent Rate of Return pembiayaan sektor pertanian Equivalent Rate of Return pembiayaan sektor pertanian merupakan nisbah bagi hasil dari pembiayaan yang dibebankan oleh perbankan syariah di Indonesia kepada sektor pertanian dari bulan Januari 2009 sampai Desember 2014. 5. Sertifikat Bank Indonesia Sertifikat Bank Indonesia (SBI) merupakan surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh BI sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. Data SBI yang digunakan dalam penelitian ini adalah suku bunga SBI yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dari bulan Januari 2009 sampai Desember 2014. 6. Sertifikat Bank Indonesia Syariah Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) adalah surat berharga dalam jangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad Ju’alah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bonus yang diberikan oleh BI kepada bank syariah atas pembelian SBIS (1 bulan) dari bulan Januari 2009 sampai Desember 2014. 7. Suku bunga pasar uang antar bank Suku bunga pasar uang antar bank merupakan suku bunga yang digunakan dalam transaksi pinjam meminjam uang pada pasar uang antar bank konvensional dari bulan Januari 2009 sampai Desember 2014. 8. Bagi hasil pasar uang antar bank syariah Bagi hasil PUAS merupakan bagi hasil yang digunakan pada transaksi pinjam meminjam uang pada pasar uang antar bank syariah dari bulan Januari 2009 sampai Desember 2014.
25
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Pada penelitian ini instrumen moneter yang digunakan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu instrumen moneter konvensional dan instrumen moneter syariah. Instrumen moneter konvensional dicerminkan oleh suku bunga Sertifikat Bank Indonesia sedangkan instrumen moneter syariah dicerminkan oleh bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah. Bunga pasar uang antar bank dan imbal hasil pasar uang antar bank syariah merupakan sasaran operasional dari operasi pasar terbuka (SBI dan SBIS). Penyaluran dana dari perbankan ke sektor pertanian dicerminkan oleh total kredit pertanian dari perbankan konvensional dan pembiayaan pertanian dari perbankan syariah. Suku bunga kredit dan persentase equivalent rate pembiayaan merupakan variabel dalam transmisi moneter melalui jalur kredit. Sertifikat Bank Indonesia Dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem diskonto atau bunga. SBI digunakan untuk menjaga kestabilan rupiah dimana dengan penjualan SBI Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Bank Indonesia melakukan perhitungan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia dengan cara mengumumkan target suku bunga SBI yang diinginkan Bank Indonesia untuk pelelangan pada masa periode tertentu. Pertumbuhan jumlah Bank Syariah yang cukup pesat pada saat ini, berdampak pada mobilisasi dana masyarakat. Dengan adanya pertumbuhan bank syariah maka pengendalian moneter oleh Bank Indonesia melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT) yang selama ini hanya melalui bank konvensional diperluas melalui bank yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Instrumen kebijakan moneter yang dikeluarkan pertama kali oleh Bank Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan syariah sebagai instrumen penyerap likuiditas layaknya bank konvensional adalah Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Berdasarkan peraturan Bank Indonesia Nomor 6/7/PBI/2004, SWBI adalah penitipan dana jangka pendek dengan prinsip wadiah yang disediakan Bank Indonesia untuk bank syariah dan unit usaha syariah sebagai bukti penitipan dana wadi’ah. Pada pelaksanaannya bank syariah mengeluh karena bonus dari SWBI sangat kecil dan lebih rendah jika dibandingkan dengan suku bunga SBI. Bank Indonesia kemudian mengeluarkan peraturan kembali mengenai instrumen penyerap likuiditas yang berdasarkan prinsip syariah pengganti SWBI agar lebih menguntungkan bagi perbankan syariah. Dikeluarkannya peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 mengenai Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) maka peraturan mengenai SWBI resmi dicabut. SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad Ju’alah, yaitu janji atau komitmen untuk memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil yang ditentukan atas suatu pekerjaan.
26 Gambar 8. Menunjukkan besarnya return SBI dan SBIS pada periode penelitian. Dapat dilihat pada gambar bahwa sebelum tahun 2009 return SBI selalu lebih tinggi dibandingkan dengan return SBIS (SWBI), tetapi sejak adanya peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 yang mulai diterapkan sejak Maret 2008 maka return SBIS dan SBI tidak jauh berbeda dan mengalami penyesuaian. Demi semangat perlakuan yang adil (fair treatment) dengan instrumen moneter konvensional, Bank Indonesia melalui instrumen moneter syariah melakukan benchmarking secara langsung terhadap nilai suku bunga SBI sehingga bonus SBIS yang ditetapkan sama persis nilainya dengan suku bunga SBI. 12 10 8 6 4 2 0 2008
2009
2010
2011
SBIS
2012
2013
2014
SBI
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 2013 (diolah)
Gambar 8 Perkembangan SBI dan SBIS periode Januari 2008 – Desember 2014 Penyaluran Kredit dan Pembiayaan Pertanian 1. Kredit Pertanian Bank Konvensional Gambaran posisi kredit pertanian perbankan konvensional selama periode penelitian ditunjukkan pada Gambar 9. Pada awal penelitian yaitu bulan Januari 2009, posisi kredit pertanian pada Rp 67 triliun. Pada pertengahan periode yaitu bulan Desember 2011 posisi kredit pertanian pada Rp 114 triliun dan pada akhir periode penelitian bulan Desember 2013 berada pada Rp 212 triliun. Kredit pertanian perbankan konvensional pada periode penelitian tumbuh sebesar 320 persen.
Miliar Rupiah
250000
212386
200000 150000
114725
100000 50000 0 2009
2010
2011
2012
2013
2014
Tahun
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 2014 (diolah)
Gambar 9 Kredit Pertanian Perbankan Konvensional
27
2. Pembiayaan Pertanian dari Bank Syariah Gambaran posisi pembiayaan pertanian perbankan syariah selama periode penelitian ditunjukkan pada Gambar 10. Pada awal penelitian yaitu bulan Januari 2009, posisi pembiayaan pertanian pada Rp 1.8 triliun. Pada pertengahan periode yaitu bulan Desember 2011 posisi pembiayaan pertanian pada Rp 2.2 triliun dan pada akhir periode penelitian bulan Desember 2013 berada pada Rp 5.6 miliar. Pembiayaan pertanian perbankan syariah sepanjang periode penelitian tumbuh sebesar 314 persen. 5679
6000
Miliar
5000 4000 3000
2201
1810
2000 1000 0 2009
2010
2011
2012
2013
2014
Tahun
Sumber: Statistik Perbankan Syariah, 2014 (diolah)
Gambar 10 Perkembangan Pembiayaan Pertanian Suku Bunga Kredit dan Equivalent Rate Pembiayaan Faktor suku bunga dan equivalent rate menjadi pertimbangan bank dalam menentukan besar kecilnya dana yang akan disalurkan ke sektor pertanian. Secara teori, semakin tinggi return (suku bunga dan equivalent rate) maka penawaran pemberian dana dari perbankan melalui kredit atau pembiayaan akan semakin besar karena bank akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Akan tetapi, dari sisi permintaan, tingginya return cenderung menurunkan permintaan kredit karena peminjam diharuskan membayar bunga yang lebih besar. Berdasarkan grafik, diperoleh bahwa persentase bagi hasil bank syariah sejak Januari 2008 hingga Desember 2014 lebih besar jika dibandingkan dengan suku bunga bank konvensional. Pada bulan Januari 2008 nilai equivalent rate pembiayaan pertanian sebesar 16.1 persen sedangkan nilai suku bunga rata-rata kredit yaitu sebesar 12.9 persen. Besaran equivalent rate pembiayaan perbankan syariah mencapai nilai tertinggi pada bulan desember 2014 yaitu sebesar 17.9 persen sedangkan nilai suku bunga kredit bank konvensional hanya sebesar 12.1 persen. Lebih besarnya nilai equivalent rate pembiayaan memengaruhi permintaan pembiayaan pertanian, mengingat perbankan syariah dan konvensional memiliki efek substitusi. Debitur pada umumnya akan memilih pinjaman dengan persentase bunga atau bagi hasil yang lebih kecil. Pada Desember 2014, perbankan syariah dengan equivalent rate lebih besar hanya mampu menyalurkan 2.85 persen dari total pembiayaan untuk sektor pertanian sedangkan perbankan konvensional mampu menyalurkan 5.78 persen dari total kredit.
28 20.00 18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 2009
2010
2011 Suku bunga kredit
2012
2013
2014
Equivalent rate
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (SPI), 2014
Gambar 11. Perbandingan Suku Bunga dan Tingkat Margin Periode 2009-2013 Suku Bunga PUAB dan Bagi Hasil PUAS Pasar uang antar bank merupakan salah satu instrumen yang digunakan oleh perbankan dalam mengelola likuiditasnya. Nilai suku bunga PUAB ditetapkan melalui kesepakatan antara peminjam dan pemilik dana. Sejak tahun 2008, Bank Indonesia menetapkan suku bunga Pasar Uang Antar Bank sebagai sasaran operasional kebijakan moneter, sehingga suku bunga PUAB tidak terlalu melebar dari acuannya (BI rate). Bank Indonesia selalu berusaha untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan secara seimbang sehingga terbentuk suku bunga yang wajar dan stabil melalui kebijakan moneter (Operasi Pasar Terbuka). Berkembangnya perbankan dengan prinsip syariah di Indonesia menyebabkan instrumen Pasar Uang Antar Bank tidak dapat diterapkan pada perbankan syariah. Hal ini dikarenakan perbankan syariah tidak boleh menggunakan sistem bunga. Instrumen Pasar Uang Antar Bank yang menggunakan prinsip syariah (PUAS) diterbitkan untuk menjaga likuiditas perbankan syariah. Instrumen PUAS ini diatur dalam peraturan Bank Indonesia NO.2/8/PBI/2000. Berdasarkan Gambar 12, diperoleh bahwa suku bunga PUAB dan bagi hasil PUAS berfluktuasi dari awal tahun 2009 sampai dengan akhir tahun 2014. Pada Januari 2009, nilai suku bunga PUAB yaitu 8.7 persen sedangkan bagi hasil PUAS sebesar 9.29 persen. Pada periode selanjutnya suku bunga PUAB dan bagi hasil PUAS mengalami fluktuasi namun memiliki nilai yang tidak jauh berbeda. Pada bulan Desember 2014 diperoleh bahwa suku bunga PUAB sebesar 6.32 persen dan bagi hasil PUAS sebesar 6.3 persen. Sepanjang periode penelitian posisi suku bunga PUAB dan bagi hasil PUAS tidak jauh berbeda, hal ini dikarenakan suku bunga PUAB dan bagi hasil PUAS memiliki acuan yang sama yaitu BI rate.
29 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 2009
2010
2011
2012
Bagi Hasil PUAS
2013
2014
Suku Bunga PUAB
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) 2014
Gambar 12 Perbandingan Suku Bunga PUAB dan Bagi Hasil PUAS Periode 2009-2014 Hasil Estimasi Model VECM Uji stasioneritas data dilakukan pada setiap variabel yang digunakan pada model. Langkah ini dilakukan untuk menghindari masalah regresi lancing (spurious regression) karena data yang digunakan dalam model ini adalah time series. Data time series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit root pada tingkat level. Uji stasioneritas ini dilakukan pada tingkat level dan first difference dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) test. Jika nilai ADF test lebih kecil dari nilai kritisnya, maka data tersebut stasioner. Nilai kritis yang disepakati pada penelitian ini adalah lima persen. Hasil dari uji stasioneritas yang dilakukan pada semua variabel, menunjukkan bahwa variabel LNCRD, SBK dan PUAS stasioner di level, sedangkan variabel LNPYD, ERP, SBI, SBIS, dan PUAB tidak stationer di level. Berdasarkan uji stationeritas pada first difference diperoleh bahwa semua variabel stasioner. Tabel 5 Hasil Uji Stasioneritas Data Pada Level ADF Variabel
Statistik
NIlai Kritis MacKinnon 1%
5%
10%
Keterangan
Level LNCRD
-4.120005
-4.105534
-3.480463
-3.168039
Stasioner*
LNPYD
-2.015702
-4.094550
-3.475305
-3.165046
Tidak Stasioner
SBK
-3.184799
-3.525618
-2.902953
-2.588902
Stasioner*
ERP
-1.660691
-3.525618
-2.902953
-2.588902
Tidak Stasioner
SBI
-2.323572
-3.528515
-2.904198
-2.589562
Tidak Stasioner
SBIS
-2.323572
-3.528515
-2.904198
-2.589562
Tidak Stasioner
PUAB
-2.769086
-3.525618
-2.902953
-2.588902
Tidak Stasioner
PUAS
-3.431410
-3.525618
-2.902953
-2.588902
Stasioner*
Sumber: Data Penelitian (diolah) Catatan: tanda asterisk (*) menunjukkan nilai pengujian berdasarkan taraf nyata lima persen
30 Tabel 6 Hasil Uji Stasioneritas Data Pada First Difference ADF Variabel
NIlai Kritis MacKinnon
Statistik
1%
5%
10%
Keterangan
First difference LNCRD
-6.632899
-4.096614
-3.476275
-3.165610
Stasioner*
LNPYD
-13.45318
-4.094550
-3.475305
-3.165046
Stasioner*
SBK
-7.685420
-3.528515
-2.904198
-2.589562
Stasioner*
ERP
-10.47398
-3.527045
-2.903566
-2.589227
Stasioner*
SBI
-4.865422
-3.527045
-2.903566
-2.589227
Stasioner*
SBIS
-4.865422
-3.527045
-2.903566
-2.589227
Stasioner*
PUAB
-5.794105
-3.527045
-2.903566
-2.589227
Stasioner*
PUAS
-10.38670
-3.527045
-2.903566
-2.589227
Stasioner*
Sumber: Data Penelitian (diolah) Catatan: tanda asterisk (*) menunjukkan nilai pengujian berdasarkan taraf nyata lima persen
Uji Lag Optimal Penetapan lag optimal bertujuan untuk menunjukkan berapa lama reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya serta menghilangkan masalah autokolerasi dalam sebuah sistem VAR. Pengujian panjang lag ditentukan berdasarkan kriteria Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwarz Criterion (SC) yang terkecil. Pada penelitian ini model VAR diestimasi dengan tingkat lag yang berbeda-beda kemudian dibandingkan nilai AIC-nya. Nilai AIC terkecil dipakai sebagai acuan lag optimal. Berdasarkan hasil pengujian lag optimum, model 1 optimum pada lag pertama dan model dua juga optimum pada lag pertama. Tabel 7 Perhitungan Lag Optimum LR FPE AIC SC Model 1
Lag
LogL
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
102.1166 123.4773 132.4932 144.4851 148.8403 172.7088 182.2429 202.8699 217.7674 236.0033
NA 39.21952 15.37137 18.87261 6.282896 31.30297* 11.25332 21.64141 13.67638 14.34956
Lag
LogL
LR
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-240.6610 -7.337245 11.21857 27.51949 34.93104 43.91442 53.72608 66.53575 72.57986
NA 429.6120 31.80998* 25.87447 10.82322 11.97783 11.83629 13.82631 5.756295
4.71e-07 3.96e-07* 5.01e-07 5.82e-07 8.82e-07 7.21e-07 9.73e-07 9.50e-07 1.18e-06 1.42e-06
FPE Model 2 0.027751 2.80e-05 2.60e-05* 2.62e-05 3.55e-05 4.66e-05 6.14e-05 7.62e-05 0.000123
HQ
-3.216939 -3.392698* -3.163711 -3.032300 -2.650503 -2.908487 -2.696489 -2.848193 -2.812045 -2.885353
-3.078521* -2.700608 -1.917949 -1.232866 -0.297398 -0.001710 0.763960 1.165928 1.755747 2.236111
-3.162692* -3.121461 -2.675485 -2.327085 -1.728299 -1.769294 -1.340307 -1.275021 -1.021884 -0.878203
AIC
SC
HQ
7.767017 0.867849 0.786712 0.777159* 1.049808 1.272558 1.469013 1.570294 1.886354
7.903089 1.548209* 2.011360 2.546096 3.363033 4.130071 4.870814 5.516383 6.376731
7.820534 1.135438* 1.268372 1.472891 1.959611 2.396432 2.806958 3.122310 3.652441
Sumber: Data Penelitian (diolah) Catatan: Tanda asterisk cetak tebal merupakan Lag optimal yang dipilih
31 Uji Stabilitas VAR Uji stabilitas VAR digunakan untuk melihat kestabilan dari sistem VAR. Apabila seluruh akar-akarnya memiliki modulus yang nilai absolutnya lebih kecil dari satu dan terletak pada unit circle-nya, maka model VAR tersebut stabil sehingga analisis IRF dan FEVD yang dihasilkan dianggap valid. Dari hasil stabilitas VAR, dapat disimpulkan bahwa sistem VAR bersifat stabil karena root yang diuji memiliki kisaran kurang dari satu. Pada model I root yang diuji memiliki modulus berkisar dari 0.572363- 0.950929 dan pada model II modulus dari root yang diuji berkisar antara 0.296062- 0.959167. Uji Kointegrasi Uji kointegrasi dilakukan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner pada level namun stasioner pada first difference memiliki kointegrasi atau tidak. Uji kointegrasi mengimplikasikan bahwa dalam sistem persamaan tersebut terdapat error correction model yang menggambarkan adanya dinamisasi jangka pendek secara konsisten dengan hubungan jangka panjangnya. Kointegrasi merepresentasikan hubungan keseimbangan jangka panjang. Uji kointegrasi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Johansen dengan membandingkan trace statistic dengan nilai kritis 5 persen. Jika nilai trace statistic lebih besar dibandingkan nilai kritisnya maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Hasil pengujian pada Tabel 8 menjelaskan bahwa terdapat satu rank kointegrasi pada taraf nyata lima persen. Hal ini berarti terdapat minimal satu persamaan kointegrasi yang mampu menjelaskan keseluruhan model I. Berdasarkan hasil uji kointegrasi dan stasionaritas data, didapat bahwa ada rank kointegrasi dan variabel yang digunakan stastioner pada first difference, sehingga model yang digunakan adalah metode Vector Error Correction Model. Tabel 8 Hasil Johansen Cointegration Test pada Model I Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 At most 2 At most 3
0.335378 0.198695 0.071349 0.013861
50.26208 21.66449 6.158563 0.977031
47.85613 29.79707 15.49471 3.841466
0.0292 0.3175 0.6768 0.3229
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Hasil pengujian pada Tabel 9 menunjukkan bahwa terdapat satu rank kointegrasi pada taraf nyata lima persen. Hal ini berarti terdapat satu persamaan kointegrasi yang mampu menjelaskan keseluruhan model II. . Berdasarkan hasil uji kointegrasi dan stasionaritas data, didapat bahwa ada rank kointegrasi dan variabel yang digunakan stastioner pada first difference. Pada tahap selanjutnya, model yang digunakan adalah metode Vector Error Correction Model, karena sudah memenuhi syarat yaitu terdapat rank kointegrasi dan variabel stasioner pada first difference.
32 Tabel 9 Hasil Johansen Cointegration Test pada Model II Hypothesized No. of CE(s) None * At most 1 At most 2 At most 3
Eigenvalue 0.394735 0.190645 0.115613 0.029872
Trace Statistic
0.05 Critical Value
59.80880 25.16466 10.56998 2.092604
55.24578 35.01090 18.39771 3.841466
Prob.** 0.0188 0.3740 0.4271 0.1480
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
Berdasarkan uji kointegrasi, pada kedua model terdapat kointegrasi pada taraf nyata lima persen. Pada model I terdapat satu persamaan kointegrasi yang mampu menjelaskan hubungan jangka panjang antar variabel dan pada model II terdapat satu persamaan kointegrasi yang mampu menjelaskan hubungan jangka panjang antar variabel, sehingga model yang digunakan adalah model VECM. Estimasi VECM Berdasarkan hasil uji kointegrasi sebelumnya terbukti bahwa terdapat kointegrasi pada kedua model sehingga digunakanlah model VECM untuk menganalisis responsivitas kredit dan pembiayaan pertanian terhadap instrumen moneter. Dengan menggunakan model VECM kita dapat mengetahui hubungan jangka pendek dan jangka panjang antar variabel. Dalam penelitian ini digunakan signifikansi dengan taraf nyata sebesar lima persen. Tabel 10 Estimasi VECM Kredit Pertanian Variabel Koefisien t-statistik Jangka Pendek 0.230511 [ 1.77610] D(LNCRD(-1)) 0.011977 [ 0.62267] D(SBI(-1)) -0.040228 [-1.58081] D(PUAB(-1)) 0.002389 [ 0.17052] D(SBK(-1)) Jangka Panjang [-7.37244] -1.647381 SBI(-1) [ 7.50924] 1.980266 PUAB(-1) [-4.76830] -0.637059 SBK(-1) Sumber: Data Penelitian (diolah)
Catatan: (Cetak tebal) menunjukkan signifikansi Pada hasil estimasi VECM diperoleh koreksi kesalahan sebesar 0.01 persen, koreksi kesalahan ini berarti ketidakseimbangan (disequilibrium) akan dikoreksi sebesar 0.01 persen untuk kembali pada keseimbangan jangka panjang di bulan berikutnya. Pada jangka pendek tidak ada variabel yang signifikan memengaruhi kredit pertanian. Hal ini terjadi karena model penelitian ini adalah model transmisi moneter sehingga variabel membutuhkan waktu atau lag untuk bereaksi pada variabel lain. Pada umumnya reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya terjadi dalam jangka panjang.
33 Berdasarkan hasil estimasi jangka panjang, suku bunga SBI, suku bunga PUAB dan SBK memiliki pengaruh signifikan terhadap kredit pertanian. Variabel SBI memiliki pengaruh negatif terhadap kredit perbankan konvensional. Berdasarkan hasil estimasi VECM jangka panjang, dapat dijelaskan bahwa saat terjadi kenaikan suku bunga SBI sebesar satu persen maka akan mengurangi kredit pertanian sebesar 1.65 persen. Hal ini dikarenakan saat suku bunga SBI meningkat maka perbankan akan cenderung mengalokasikan dananya pada SBI, sehingga mengurangi penawaran kredit pertanian. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Awawin (2013) dan Ramadhan (2012). Variabel PUAB memiliki pengaruh positif terhadap kredit pertanian perbankan konvensional. Pada hasil estimasi VECM jangka panjang dapat dijelaskan bahwa saat terjadi kenaikan suku bunga PUAB sebesar satu persen akan meningkatkan kredit pertanian sebesar 1.99 persen. Ketika terjadi peningkatan suku bunga PUAB membuat pinjaman antar bank meningkat akibat kebutuhan likuiditas perbankan. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2012). Suku bunga kredit rata-rata pertanian memiliki pengaruh negatif terhadap kredit pertanian, yakni ketika terjadi kenaikan suku bunga kredit sebesar satu persen akan menurunkan kredit pertanian sebesar 0.64 persen. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Syahfitri (2013). Suku bunga kredit merupakan income yang diperoleh oleh bank konvensional, artinya disaat suku bunga kredit naik maka pendapatan bank dari kredit juga akan meningkat. Kenaikan suku bunga kredit ini tidak serta merta meningkatkan penawaran kredit karena semakin tinggi suku bunga kredit akan membuat bank lebih selektif dalam memilih debiturnya. Menurut Mishkin (2008) penetapan suku bunga kredit yang tinggi akan meningkatkan adverse selection pada bank yang bersangkutan karena individu dan perusahaan yang memiliki prospek investasi beresiko yang mau menerima suku bunga tinggi. Selain itu jika dilihat dari sisi permintaan kredit, suku bunga kredit merupakan biaya modal bagi debitur sehingga suku bunga yang tinggi menyebabkan permintaan kredit berkurang karena akan menambah beban pengeluaran usaha debitur. Tabel 11 Estimasi VECM Pembiayaan Pertanian Variabel Koefisien t-statistik Jangka Pendek [-2.19017] -0.209990 D(LNPYD(-1)) D(SBIS(-1)) -0.029816 [-1.05486] -0.001396 [-0.08091] D(PUAS(-1)) [ 2.26554] 0.029424 D(ERP(-1)) Jangka Panjang SBIS(-1) [-3.59957] -0.505598 [- 4.52365] -0.691912 PUAS(-1) [1.95473] 0.144362 ERP(-1) Sumber: Data Penelitian (diolah)
Catatan: (Cetak Tebal) menujukkan signifikansi Berdasarkan uji estimasi VECM pada Model II didapatkan koreksi kesalahan sebesar -0.06. Koreksi kesalahan ini berarti ketidakseimbangan akan dikoreksi sebesar -0.06 persen untuk kembali pada keseimbangan jangka panjang di bulan
34 berikutnya. Pada jangka pendek terdapat dua variabel yang signifikan berpengaruh terhadap pembiayaan pertanian. Variabel yang berpengaruh signifikan yaitu equivalent rate pembiayaan pertanian dan pembiayaan pertanian itu sendiri. Equivalent rate pembiayaan pertanian signifikan berpengaruh positif terhadap jumlah pembiayaan pertanian. Hasil estimasi VECM menunjukkan bahwa koefisien ERP 0.029424, artinya apabila ERP meningkat sebesar satu persen akan menyebabkan peningkatan pembiayaan pertanian sebesar 0.03 persen. Ketika terjadi peningkatan ERP, maka pendapatan yang diterima perbankan syariah juga naik dan sebagian pendapatan ini disalurkan kembali pada sektor pertanian sehinga volume pembiayaan pertanian juga meningkat. Berdasarkan hasil estimasi jangka panjang varibel SBIS, PUAS dan ERP signifikan berpengaruh terhadap pembiayaan pertanian. Pada estimasi VECM diperoleh nilai koefisien dari SBIS sebesar -0.5, artinya setiap terjadi peningkatan sebesar satu persen pada bonus SBIS maka akan menurunkan volume pembiayaan pertanian yang disalurkan oleh perbankan syariah sebesar 0.5 persen. Variabel SBIS memiliki hubungan yang negatif terhadap pembiayaan pertanian. Hal ini dikarenakan ketika Bank Indonesia melakukan kontraksi moneter dengan menaikkan bonus SBIS maka bank syariah melakukan pembelian SBIS pada Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter dan pengelolaan likuiditas. Variabel PUAS signifikan memengaruhi pembiayaan pertanian dalam jangka panjang. Berdasarkan hasil estimasi VECM diperoleh nilai koefisien dari PUAS sebesar -0.69, artinya ketika terjadi peningkatan bagi hasil PUAS sebesar satu persen akan menurunkan pembiayaan petanian sebesar 0.69 persen. Hal ini mengindikasikan, meskipun pendapatan perbankan meningkat akibat perolehan keuntungan dari penempatan dana pada PUAS namun perbankan syariah lebih memilih mengalokasikan tambahan keuntungan tersebut pada sektor yang memiliki risiko pembiayaan rendah dibanding sektor pertanian. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rusydiana (2009). Variabel ERP memiliki pengaruh positif terhadap pembiayaan pertanian dalam jangka panjang dengan nilai sebesar 0.14 persen. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Beik (2013). Ketika ERP naik, maka pendapatan perbankan syariah semakin besar, dan sebagian hasil pendapatan ini disalurkan pada sektor pertanian sehingga dapat meningkatkan volume pembiayaan pada sektor tersebut. Impulse Response Function (IRF) Analisis Impulse Response Function (IRF) merupakan salah satu analisis yang penting dalam model VAR/VECM. Penelusuran pengaruh guncangan sebesar satu standar deviasi yang dialami oleh satu peubah di dalam sistem terhadap nilainilai semua peubah saat ini dan beberapa periode mendatang disebut Impulse Response Function. Analisis IRF ini melacak respon dari variabel endogen dalam sistem VAR karena adanya guncangan (shocks) atau perubahan dalam variabel gangguan. Guncangan yang diberikan biasanya sebesar satu standar deviasi dari peubah tersebut atau biasanya disebut dengan innovation.
35 Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LNCRD to LNCRD
Response of LNCRD to SBI
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
5
10
Response of LNCRD to PUAB
15
20
25
30
35
40
45
50
40
45
50
Response of LNCRD to IR
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
5
10
15
20
25
30
35
Sumber: Data penelitian (diolah)
Gambar 13 Analisis Impulse Response Function (IRF) Persamaan LNCRD Guncangan pada variabel SBI sebesar satu standar deviasi pada periode pertama belum direspon oleh kredit pertanian. Pada periode kedua guncangan suku bunga SBI direspon negatif oleh kredit pertanian sebesar 0.0038 persen dan angka ini merupakan titik tertinggi respon kredit pertanian terhadap guncangan suku bunga SBI. Respon kredit pertanian mengalami fluktuasi hingga periode ke-16 sebesar 0.0034 persen, pada periode ini tercapai keseimbangan sepanjang periode. Berdasarkan hasil uji IRF Model I pada gambar 13, guncangan kredit pertanian sebesar satu standar deviasi pada periode pertama akan menyebabkan peningkatan pada kredit pertanian itu sendiri sebesar 0.037 persen. Pada periode kedua, respon kredit pertanian sebagai guncangan mengalami peningkatan menjadi 0.045 persen. Respon kredit pertanian terhadap pertanian itu sendiri terus meningkat hingga periode ke-12 yaitu menjadi 0.051 dan angka ini tetap terjaga sepanjang periode. Guncangan pada variabel suku bunga kredit (SBK) sebesar satu standar deviasi pada periode pertama belum direspon oleh kredit pertanian. Pada periode kedua guncangan suku bunga kredit direspon negatif oleh kredit pertanian sebesar 0.0022 persen, angka ini merupakan titik terendah respon kredit pertanian terhadap guncangan suku bunga kredit. Respon negatif kredit pertanian terhadap guncangan suku bunga kredit mengalami penurunan pada periode kedua menjadi 0.005 persen. Pada periode selanjutnya respon kredit pertanian terhadap guncangan suku bunga kredit terus mengalami penurunan dan pada periode ke-13, respon negatif kredit pertanian mencapai keseimbangan yaitu sebesar 0.006 persen, angka ini tetap terjaga sepanjang periode.
36 Guncangan suku bunga PUAB sebesar satu deviasi pada periode pertama belum direspon oleh kredit pertanian. Pada periode kedua guncangan bonus SBIS direspon negatif oleh kredit pertanian sebesar 0.002536 persen, angka ini merupakan titik terendah respon kredit pertanian terhadap guncangan suku bunga PUAB. Pada periode selanjutnya kredit pertanian merespon positif guncangan suku bunga PUAB sebesar 0.000337 persen. Respon kredit pertanian terhadap guncangan suku bunga PUAB terus meningkat hingga mencapai kestabilan pada periode ke-17 yaitu sebesar 0.002494 persen. Pada periode ini tercapai keseimbangan sehingga angka tersebut tetap terjaga sepanjang periode. Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LNPYD to SBIS
Response of LNPYD to LNPYD .08
.08
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
50
10
15
20
25
30
35
40
45
50
40
45
50
Response of LNPYD to ERP
Response of LNPYD to PUAS .08
.08
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
5
10
15
20
25
30
35
Sumber: Data Penelitian
Gambar 14 Analisis Impulse Response Function (IRF) Persamaan LNPYD Berdasarkan hasil uji IRF pada gambar 13, guncangan pembiayaan pertanian sebesar satu standar deviasi pada periode pertama akan menyebabkan peningkatan pada pembiayaan itu sendiri sebesar 0.06 persen, angka ini merupakan titik tertinggi dari respon pembiayaan pertanian terhadap guncangan dari pembiayaan itu sendiri. Pada periode selanjutnya respon pembiayaan mengalami penurunan menjadi 0.041 persen, angka ini merupakan titik terendah dari respon pembiayaan pertanian terhadap guncangan dari pembiayaan itu sendiri. Respon pembiayaan pertanian terhadap guncangan kemudian mengalami fluktuasi dan mencapai keseimbangan pada periode ke-13 yaitu sebesar 0.045 persen, angka ini tetap terjaga sepanjang periode. Guncangan bonus SBIS sebesar satu deviasi pada periode pertama belum direspon oleh pembiayaan pertanian. Pada periode kedua guncangan bonus SBIS direspon negatif oleh pembiayaan pertanian sebesar 0.0034 persen. Pada periode selanjutnya respon negatif pembiayaan pertanian terhadap guncangan bonus SBIS
37 mengalami peningkatan menjadi 0.0031 persen, peningkatan ini belangsung hingga periode ke-14. Pada periode ke-14 guncangan bonus SBIS direspon negatif oleh pembiayaan pertanian sebesar 0.0025 persen, pada periode ini juga tercapai keseimbangan sehingga angka tersebut tetap terjaga sepanjang periode. Di sisi lain, guncangan equivalent rate pembiayaan pertanian (ERP) sebesar satu deviasi pada periode pertama belum direspon oleh pembiayaan pertanian. Pada periode kedua guncangan pada ERP direspon positif oleh pembiayaan pertanian sebesar 0.021 persen, angka ini merupakan titik tertinggi dari respon pembiayaan pertanian terhadap guncangan pada ERP. Pada periode berikutnya respon pembiayaan pertanian terhadap guncangan ERP mengalami penurunan menjadi 0.014 persen. Pada periode selanjutnya respon pembiayaan pertanian terhadap guncangan ERP mengalami fluktuasi dan mencapai kestabilan pada periode ke-17. Respon kredit pertanian terhadap ERP menjadi sebesar 0.017 persen dan angka ini tetap terjaga sepanjang periode. Guncangan pada bagi hasil PUAS sebesar satu deviasi pada periode pertama belum direspon oleh pembiyaan pertanian. Pada periode kedua guncangan pada bagi hasil PUAS direspon negatif oleh pembiayaan pertanian sebesar 0.01 persen, angka ini merupakan titik tertinggi dari respon pembiayaan pertanian terhadap guncangan pada imbal hasil. Pada periode berikutnya respon pembiayaan pertanian terhadap guncangan bagi hasil PUAS mengalami penurunan menjadi 0.014 persen dan merupakan titik terendah dari respon pembiayaan pertanian terhadap guncangan pada bagi hasil PUAS. Pada periode salanjutnya respon pembiayaan pertanian terhadap goncangan PUAS mengalami fluktuasi dan mencapai kestabilan pada periode ke-12 yaitu sebesar 0.0136 persen dan angka ini tetap terjaga sepanjang periode. Hasil Uji Variance Decomposition Metode yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya adalah FEVD. Uji Variance Decomposition (FEVD) berfungsi untuk menjelaskan seberapa besar persentase kontribusi masing-masing guncangan (shock) dalam variabel yang memengaruhi kredit dan pembiayaan pertanian di Indonesia. Jangka waktu yang digunakan dalam FEVD adalah 5 tahun terdiri dari 60 bulan. Metode ini mencirikan suatu struktur dinamis dalam model VAR/VECM. Dalam metode ini dapat dilihat kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel memengaruhi variabel lain dalam waktu kurun waktu panjang. FEVD merinci ragam dari peramalan galat menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Besar perbedaan antara error variance sebelum dan sesudah terjadinya shock yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari variabel lain dapat dilihat dengan menghitung persentase kuadrat prediksi galat k-tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabelvariabel lain. Jadi melalui FEVD dapat diketahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi dalam variabel tertentu.
38 Variance Decomposition of LNCRD 101 100 99 98 97 96 95 94 5
10
15
20
25
LNCRD
30 SBI
35
40
PUAB
45
50
55
60
IR
Sumber: Data Penelitian (diolah)
Gambar 15 Variance Decomposition (%) LNCRD Berdasarkan hasil Variance Decomposition Model I, dapat diidentifikasi seberapa besar pengaruh variabel penelitian terhadap kredit pertanian. Pada periode pertama, variabel kredit pertanian secara signifikan dipengaruhi oleh variabel kredit itu sendiri sebesar 100 persen. Variabel lain mulai berpengaruh pada kredit pertanian memasuki periode kedua dengan persentase untuk suku bunga kredit pertanian sebesar 0.14 persen, suku bunga SBI sebesar 0.43 persen, dan suku bunga PUAB sebesar 0.19 persen. Memasuki periode ke-60 (tahun kelima), kontribusi masing-masing variabel mengalami perubahan terhadap penyaluran kredit pertanian. Pengaruh kredit pertanian terhadap kredit itu sendiri turun menjadi 94.8 persen. Variabel suku bunga kredit mengalami peningkatan menjadi 1.48 persen, lalu diikuti variabel suku bunga SBI meningkat menjadi 3.49 persen dan suku bunga PUAB meningkat menjadi 0.22 persen. Hasil FEVD menunjukkan bahwa variabel paling berpengaruh terhadap kredit perbankan pertanian konvensional adalah SBI. SBI memiliki pengaruh negatif terhadap kredit pertanian, artinya SBI memiliki pengaruh paling besar terhadap penurunan kredit pertanian.Variabel SBK juga memiliki pengaruh negatif terhadap kredit pertanian sedangkan variabel suku bunga PUAB memiliki pengaruh positif namun persentase pengaruh PUAB masih sangat kecil dibandingkan dengan SBI dan SBK. Hal ini dikarenakan ketika terjadi kenaikan suku bunga SBI, bank konvensional cenderung mengalokasikan dana pada SBI yang memiliki resiko lebih rendah dibandingkan dengan kredit pertanian. Berdasarkan Gambar 16. dapat diidentifikasi seberapa besar pengaruh variabel penelitian terhdap kredit pertanian. Pada periode pertama, variabel pembiayaan pertanian secara signifikan dipengaruhi oleh variabel kredit itu sendiri sebesar 100 persen. Variabel lain mulai berpengaruh pada pembiayaan pertanian memasuki periode kedua dengan persentase untuk ERP sebesar 7.99 persen, bagi hasil PUAS 1.78 persen, dan bonus SBIS sebesar 0.006 persen. Memasuki periode
39 ke-60 (tahun kelima), kontribusi masing-masing variabel mengalami perubahan terhadap penyaluran pembiayaan pertanian. Pengaruh pembiayaan pertanian terhadap pembiayaan itu sendiri turun menjadi 74.95 persen. Variabel ERP mengalami peningkatan menjadi 14.12 persen, lalu variabel bagi hasil PUAS mengalami peningkatan menjadi 9.02 persen, variabel dan bonus SBIS meningkat menjadi 1.91 persen.
Variance Decomposition of LNPYD 105 100 95 90 85 80 75 70 5
10
15
20
25
30
LNPYD ERP
35
40
45
50
55
60
PUAS SBIS
Sumber: Data Penelitian (diolah)
Gambar 16 Variance Decomposition (%) LNPYD Hasil FEVD diatas, menunjukkan bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap penyaluran pembiayaan pertanian adalah ERP. Variabel yang memiliki pengaruh paling besar adalah ERP (positif) yang merupakan nisbah bagi hasil pembiayaan pertanian, artinya perbankan syariah lebih memilih mengalokasikan dananya pada sektor rill. Variabel SBIS dan PUAS memiliki pengaruh negatif terhadap kredit pertanian, namun persentase pengaruh kedua variabel ini lebih kecil dibandingkan dengan persentase pengaruh ERP. Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan bonus SBIS sebagai instrumen moneter syariah tidak memiliki pengaruh dominan dalam transmisi moneter jalur pembiayaan pertanian. Kecilnya persentase pengaruh SBIS ini juga dapat dijelaskan melalui Fatwa DSN MUI Nomor 64. Pada fatwa tersebut dijelaskan bahwa, diterbitkannya SBIS oleh Bank Indonesia berfungsi untuk pengendalian likuiditas dan pengendalian moneter serta bank syariah hanya boleh menempatkan kelebihan likuiditasnya pada SBIS sepanjang belum dapat menyalurkan pada sektor riil.
40
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Berdasarkan hasil estimasi VECM, Instrumen moneter konvensional yang diwakili oleh suku bunga SBI dan instrumen moneter syariah yang diwakili oleh bonus SBIS berpengaruh secara signifikan terhadap penyaluran dana ke sektor pertanian. Suku bunga SBI memiliki pengaruh negatif terhadap kredit dan bonus SBIS juga berpengaruh negatif terhadap pembiayaan pertanian. 2. Berdasarkan hasil IRF, pada model konvensional guncangan SBI direspon negatif oleh kredit pertanian dan pada model syariah guncangan SBIS juga direspon negatif oleh pembiayaan pertanian. Varibel SBIS lebih cepat stabil jika dibandingkan dengan variabel SBI. 3. Berdasarkan hasil FEVD, pada model konvensional SBI memiliki persentase pengaruh paling besar terhadap kredit pertanian jika dibandingkan dengan variabel PUAB dan SBK sedangkan pada model syariah persentase pengaruh SBIS paling kecil terhadap pembiayaan pertanian bank syariah dibandingkan dengan PUAS dan ERP. Hal ini mengindikasikan, bahwa bank konvensional lebih cenderung mengalokasian dana pada SBI dari pada kredit pertanian saat terjadi kenaikan suku bunga SBI, sedangkan pembiayaan pertanian merespon kenaikan bonus SBIS secara negatif, namun dalam persentase yang sangat kecil.
Saran Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa saran yang dapat dilakukan diantaranya : 1. Pada model syariah, bonus SBIS memiliki pengaruh negatif terhadap penyaluran pembiayaan pertanian, namun dari hasil FEVD pengaruh tersebut sangat kecil terhadap pembiayaan pertanian. Meskipun penggunaan SBIS sebagai instrumen moneter syariah tidak berdampak besar terhadap penurunan pembiayaan pertanian, tetapi saat ini bonus SBIS masih mengacu pada suku bunga SBI (1 bulan). Pemerintah melalui Otoritas Moneter diharapkan menciptakan intrumen moneter syariah yang tidak mengacu pada bunga melainkan mengacu pada prinsip syariah, namun tetap memiliki nilai kompetitif dengan intrumen moneter konvensional. 2. Pada penelitian ditemukan bahwa Instrumen moneter konvensional berdampak besar tehadap pengurangan kredit pertanian, artinya bank konvensional lebih cenderung menempatkan dana pada pasar uang dari pada kredit disaat suku bunga SBI meningkat. Maka dari itu, pemerintah diharapkan terus mendukung perkembangan bank syariah yang sangat concern pada sektor riil.
41
DAFTAR PUSTAKA Al-qur’an dan Terjemahan. 2012. Jakarta: CV Penerbit J-ART Antonio, S. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta: Tazkia dan Bank Indonesia. Ascarya. 2007. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta [ID]: PT Raja Grafindo Persada. Ascarya. 2010. Peran Perbankan Syariah dalam Transmisi Kebijakan Moneter Ganda. Jakarta[ID]: Jurnal Ekonomi Islam Republika Iqtishadia. Ascarya. 2012. Analisis Efektivitas Kebijakan Moneter Ganda di Indonesia. Jakarta: Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 14 No.3. Ashari dan Friyatno. 2006. Prespektif Pendirian Bank Pertanian di Indonesia [Jurnal]. Jakarta [ID]: Forum Penelitian Agro Ekonomi volume 24. Ashari. 2010. Perdirian Bank Pertanian di Indonesia: “Apakah Agenda Mendesak?” [Jurnal]. Bogor [ID]: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Awawin, M. 2013. Analisis Pengaruh Intrumen Moneter Syariah dan Konvensional Terhadap Penyaluran Dana Ke Sektor Properti [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut pertanian Bogor. Ayyuniah, Q. 2010. Analisis Pengaruh Instrumen Moneter dan Konvensional Terhadap pertumbuhan sektor riil di Indonesia [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Beik IS dan Aprianti WN. 2013. Analisis Faktor Faktor Yang Memengaruhi Pembiayaan Ban Syariah Untuk Sektor Pertanian Di Indonesia [Jurnal]. Bogor [ID]: Jurnal Agroekonomi Vol.31 No.1 [BI] Bank Indonesia. 2014. Statistik Perbankan Syariah 2010-2014 [Internet]. [diunduh pada 2014]. Tersedia pada http://www.bi.gio.id [BI] Bank Indonesia. 2014. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia 2010-2014. [Internet]. [diunduh pada 2014]. Tersedia pada http://www.bi.gio.id [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Porduk Domestik Bruto 2009-2014 [Intenet]. [diunduh 2014]. Tersedia pada http://www.bps.go.id Chapra, U. 1997. Al Quran Menuju Sistem Moneter yang Adil. Yogyakarta[ID] :Penerbit Dana Bakti Prima Yasa. Fahmi, I. 2010. Dasar-dasar Perbankan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor [ID]: IPB Press. Hafidhuddin dan Syukur. 2008. Peran Pembiayaan Syariah dalam Pembangunan Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian. Karim, A. 2010. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta [ID]: PT Raja Grafindo Persada. Mankiw, Gregory. 2007. Makro Ekonomi. Jakarta: Erlangga Mishkin, FS. 2008. The Economis of Money, Banking, and Financial Markets. Addison Wesley. World Student Series. New York. Muslim, F. 2008. Analisis Transmisi Moneter (Credit Channeling) Terhadap Posisi Kredit Investasi Di Indonesia Periode 2007:1-2012:6 [Skripsi]. Bandung [ID]: Universitas Padjajaran.
42 Nawawi, I. 2012. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Jakarta [ID]: Ghalia Indonesia. Ramadhan, MM. 2012. Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Syariah Dan Konvensional Terhadap Penyaluran Dana ke Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Rusydiana S.R. 2009. Mekanisme Transmisi Syariah pada Sistem Moneter Ganda di Indonesia [Jurnal]. Jakarta [ID]: Buletin ekonomi moneter dan perbankan volume 11 No. 4. Sugiyono, F.X. 2003. Instrumen Pengendalian Moneter: Operasi Pasar Terbuka. Jakarta [ID]: Pusat Pendidikan Dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia. Sukmana, Raditya and Salina. 2010. “Roles of the Islamic Banks in the Monetary Transmission Process in Malaysia”[Jurnal]. Malaysia: Internastional Jurnal Of Islamic and Middle Eastern Finance and Management Sumitra, A. 2009. Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta [ID]: Kencana Prenada Media Group. Syahfitri, I. 2013. Analisis Kredit Perbankan Dan Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Warjiyo, P. 2004. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia. Jakarta [ID]: Pusat Pendidikan Dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia. Wijaya, WM. 2013. Analsisis Peranan Jalur Kredit Dalam Transmisi Moneter Di Indonesia [Skripsi]. Yogjakarta [ID]: Universitas Gajah Mada
.
43
LAMPIRAN Lampiran 1 hasil uji stasioneritas variabel 1) CRD Level Null Hypothesis: LNCRD has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.605060 -4.072415 -3.464865 -3.158974
0.2793
t-Statistic
Prob.*
-8.496479 -4.073859 -3.465548 -3.159372
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-14.85119 -4.073859 -3.465548 -3.159372
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
First Difference Null Hypothesis: D(LNCRD) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
2) PYD Level Null Hypothesis: D(LNPYD) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
44 First Difference Null Hypothesis: LNPYD has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.123144 -4.073859 -3.465548 -3.159372
0.5252
t-Statistic
Prob.*
-1.481442 -3.512290 -2.897223 -2.585861
0.5381
t-Statistic
Prob.*
-10.94365 -3.512290 -2.897223 -2.585861
0.0001
t-Statistic
Prob.*
-1.660691 -3.525618 -2.902953 -2.588902
0.4467
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
3) SBK Level Null Hypothesis: IR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
First Difference Null Hypothesis: D(IR) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
4)ERP Level Null Hypothesis: ERP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
45 First Difference Null Hypothesis: D(ERP) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-10.47398 -3.527045 -2.903566 -2.589227
0.0001
t-Statistic
Prob.*
-1.987290 -3.512290 -2.897223 -2.585861
0.2919
t-Statistic
Prob.*
-3.869566 -3.513344 -2.897678 -2.586103
0.0035
t-Statistic
Prob.*
-3.381347 -3.512290 -2.897223 -2.585861
0.0144
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
5) SBI Level Null Hypothesis: SBI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
First Difference Null Hypothesis: D(SBI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
6) SBIS Level Null Hypothesis: SBIS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
46 First Difference Null Hypothesis: D(SBIS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.528191 -3.513344 -2.897678 -2.586103
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-2.769086 -3.525618 -2.902953 -2.588902
0.0679
t-Statistic
Prob.*
-5.794105 -3.527045 -2.903566 -2.589227
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-3.431410 -3.525618 -2.902953 -2.588902
0.0130
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
7) PUAB Level Null Hypothesis: PUAB has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
First Difference Null Hypothesis: D(PUAB) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
8) PUAS Level Null Hypothesis: PUAS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
47
First Difference Null Hypothesis: D(PUAS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-10.38670 -3.527045 -2.903566 -2.589227
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 2 Hasil Estmasi VAR/VECM Model I 1. Uji Lag Optimum VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: D(LNCRD) D(SBI) D(PUAB) D(SBK) Exogenous variables: C Date: 11/10/15 Time: 23:03 Sample: 2009M01 2014M12 Included observations: 61 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
102.1166 123.4773 132.4932 144.4851 148.8403 172.7088 182.2429 202.8699 217.7674 236.0033 260.2828
NA 39.21952 15.37137 18.87261 6.282896 31.30297* 11.25332 21.64141 13.67638 14.34956 15.92099
4.71e-07 3.96e-07* 5.01e-07 5.82e-07 8.82e-07 7.21e-07 9.73e-07 9.50e-07 1.18e-06 1.42e-06 1.56e-06
-3.216939 -3.392698* -3.163711 -3.032300 -2.650503 -2.908487 -2.696489 -2.848193 -2.812045 -2.885353 -3.156812
-3.078521* -2.700608 -1.917949 -1.232866 -0.297398 -0.001710 0.763960 1.165928 1.755747 2.236111 2.518324
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
48 2. Stabilitas VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: D(LNCRD) D(SBI) D(PUAB) D(SBK) Exogenous variables: C Lag specification: 1 10 Date: 11/10/15 Time: 23:02 Root -0.614382 - 0.786761i -0.614382 + 0.786761i -0.923190 + 0.310387i -0.923190 - 0.310387i -0.045324 + 0.968904i -0.045324 - 0.968904i -0.963519 + 0.071092i -0.963519 - 0.071092i 0.477343 - 0.815075i 0.477343 + 0.815075i -0.311167 - 0.888209i -0.311167 + 0.888209i 0.867596 + 0.362210i 0.867596 - 0.362210i -0.492282 - 0.780874i -0.492282 + 0.780874i 0.780703 - 0.490571i 0.780703 + 0.490571i -0.827609 - 0.394921i -0.827609 + 0.394921i 0.411942 + 0.818134i 0.411942 - 0.818134i 0.639013 + 0.653805i 0.639013 - 0.653805i -0.648685 + 0.642903i -0.648685 - 0.642903i 0.883777 + 0.102767i 0.883777 - 0.102767i -0.884796 0.112634 + 0.874837i 0.112634 - 0.874837i 0.034352 + 0.788747i 0.034352 - 0.788747i 0.748742 + 0.117346i 0.748742 - 0.117346i -0.351153 - 0.645669i -0.351153 + 0.645669i 0.398306 + 0.615175i 0.398306 - 0.615175i 0.139958 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.998227 0.998227 0.973971 0.973971 0.969963 0.969963 0.966138 0.966138 0.944566 0.944566 0.941138 0.941138 0.940170 0.940170 0.923096 0.923096 0.922040 0.922040 0.917005 0.917005 0.915991 0.915991 0.914220 0.914220 0.913300 0.913300 0.889732 0.889732 0.884796 0.882058 0.882058 0.789494 0.789494 0.757882 0.757882 0.734981 0.734981 0.732863 0.732863 0.139958
49 3. Uji Kointegrasi Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 At most 2 At most 3
0.335378 0.198695 0.071349 0.013861
50.26208 21.66449 6.158563 0.977031
47.85613 29.79707 15.49471 3.841466
0.0292 0.3175 0.6768 0.3229
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
4. Hasil Estimasi VECM Vector Error Correction Estimates Date: 11/18/15 Time: 11:48 Sample (adjusted): 2009M03 2014M12 Included observations: 70 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
LNCRD(-1)
1.000000
SBI(-1)
-1.647381 (0.22345) [-7.37244]
PUAB(-1)
1.980266 (0.26371) [ 7.50924]
SBK(-1)
-0.637059 (0.13360) [-4.76830]
C
-5.153152 (1.35545) [-3.80181]
Error Correction:
D(LNCRD)
D(SBIS)
D(PUAB)
D(SBK)
CointEq1
0.013903 (0.01274) [ 1.09137]
0.256516 (0.06738) [ 3.80727]
-0.071794 (0.08338) [-0.86106]
0.154940 (0.12246) [ 1.26523]
D(LNCRD(-1))
0.230511 (0.12978) [ 1.77610]
-0.622506 (0.68643) [-0.90688]
-0.699970 (0.84947) [-0.82401]
-0.486665 (1.24764) [-0.39007]
D(SBI(-1))
0.011977 (0.01923) [ 0.62267]
0.338778 (0.10173) [ 3.33013]
0.383559 (0.12589) [ 3.04668]
-0.034807 (0.18490) [-0.18824]
D(PUAB(-1))
-0.040228 (0.02545) [-1.58081]
0.111390 (0.13459) [ 0.82760]
0.166675 (0.16656) [ 1.00068]
0.044750 (0.24463) [ 0.18293]
50 D(SBK(-1))
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
0.002389 (0.01401) [ 0.17052]
0.053775 (0.07410) [ 0.72573]
0.081777 (0.09170) [ 0.89181]
-0.190064 (0.13468) [-1.41125]
-0.123241 -0.192363 0.088897 0.036982 -1.782931 134.0812 -3.688035 -3.527428 0.016317 0.033868
0.531335 0.502494 2.486753 0.195596 18.42295 17.48742 -0.356783 -0.196177 -0.026286 0.277307
0.264156 0.218873 3.808360 0.242054 5.833481 2.569681 0.069438 0.230044 -0.030143 0.273874
0.104188 0.049061 8.215223 0.355511 1.889963 -24.33798 0.838228 0.998835 -0.029857 0.364566
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
2.20E-07 1.64E-07 149.5338 -3.558109 -2.755075
5. Impulse Resnponse Function Period
LNCRD
SBI
PUAB
SBK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
0.036982 0.044833 0.048043 0.049639 0.050238 0.050487 0.050584 0.050623 0.050639 0.050645 0.050648 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649
0.000000 -0.003848 -0.007455 -0.008917 -0.009498 -0.009722 -0.009811 -0.009844 -0.009856 -0.009861 -0.009862 -0.009862 -0.009862 -0.009862 -0.009862 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861
0.000000 -0.002536 0.000337 0.001600 0.002128 0.002335 0.002423 0.002460 0.002477 0.002485 0.002489 0.002491 0.002492 0.002493 0.002493 0.002493 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494
0.000000 -0.002152 -0.005144 -0.005824 -0.006199 -0.006324 -0.006381 -0.006403 -0.006412 -0.006416 -0.006418 -0.006418 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419
51 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649 0.050649
-0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861 -0.009861
0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494 0.002494
-0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419 -0.006419
Cholesky Ordering: LNCRD SBI PUAB SBK
6. Variance Decomposition Period
S.E.
LNCRD
SBI
PUAB
SBK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
0.036982 0.058340 0.076117 0.091509 0.105028 0.117131 0.128146 0.138304 0.147772 0.156672 0.165094 0.173107 0.180765 0.188111 0.195182 0.202005 0.208605 0.215002 0.221215 0.227258 0.233144 0.238885 0.244492
100.0000 99.23988 98.13548 97.32483 96.76195 96.37636 96.10269 95.90159 95.74869 95.62899 95.53290 95.45413 95.38841 95.33275 95.28501 95.24361 95.20738 95.17539 95.14694 95.12148 95.09856 95.07782 95.05896
0.000000 0.435032 1.214804 1.789983 2.176609 2.438975 2.623830 2.759168 2.861807 2.942039 3.006372 3.059069 3.103012 3.140211 3.172108 3.199761 3.223966 3.245330 3.264325 3.281326 3.296631 3.310482 3.323076
0.000000 0.188976 0.112977 0.108744 0.123614 0.139122 0.151984 0.162122 0.170108 0.176484 0.181661 0.185936 0.189519 0.192563 0.195180 0.197452 0.199444 0.201203 0.202769 0.204170 0.205433 0.206575 0.207614
0.000000 0.136116 0.536741 0.776445 0.937832 1.045542 1.121496 1.177122 1.219390 1.252488 1.279068 1.300868 1.319064 1.334478 1.347703 1.359173 1.369215 1.378080 1.385964 1.393020 1.399374 1.405123 1.410352
52 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
0.249972 0.255335 0.260588 0.265737 0.270788 0.275747 0.280618 0.285405 0.290114 0.294748 0.299310 0.303803 0.308231 0.312596 0.316901 0.321149 0.325340 0.329479 0.333566 0.337604 0.341594 0.345538 0.349437 0.353294 0.357109 0.360883 0.364618 0.368316 0.371977 0.375602 0.379192 0.382749 0.386273 0.389765 0.393226 0.396657 0.400058
95.04173 95.02594 95.01140 94.99799 94.98556 94.97402 94.96328 94.95324 94.94386 94.93506 94.92679 94.91901 94.91167 94.90474 94.89819 94.89198 94.88608 94.88048 94.87515 94.87008 94.86524 94.86063 94.85621 94.85199 94.84795 94.84407 94.84036 94.83679 94.83336 94.83007 94.82689 94.82384 94.82090 94.81806 94.81532 94.81267 94.81012
3.334578 3.345123 3.354827 3.363786 3.372083 3.379788 3.386963 3.393660 3.399926 3.405801 3.411321 3.416517 3.421416 3.426043 3.430421 3.434569 3.438504 3.442243 3.445799 3.449187 3.452417 3.455501 3.458447 3.461266 3.463965 3.466551 3.469033 3.471415 3.473703 3.475904 3.478022 3.480061 3.482027 3.483922 3.485751 3.487517 3.489223
0.208563 0.209434 0.210234 0.210974 0.211658 0.212294 0.212887 0.213439 0.213956 0.214441 0.214897 0.215326 0.215730 0.216112 0.216473 0.216816 0.217140 0.217449 0.217743 0.218022 0.218289 0.218543 0.218786 0.219019 0.219242 0.219455 0.219660 0.219857 0.220046 0.220227 0.220402 0.220570 0.220733 0.220889 0.221040 0.221186 0.221326
1.415127 1.419505 1.423534 1.427253 1.430698 1.433897 1.436876 1.439656 1.442258 1.444697 1.446989 1.449146 1.451180 1.453101 1.454918 1.456641 1.458274 1.459827 1.461303 1.462710 1.464051 1.465331 1.466554 1.467725 1.468845 1.469919 1.470949 1.471938 1.472888 1.473802 1.474681 1.475528 1.476344 1.477131 1.477890 1.478623 1.479332
Cholesky Ordering: LNCRD SBI PUAB SBK
Lampiran 3 Hasil Estimasi VAR/VECM Model II 1. Uji Lag Optimum VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LNPYD PUAS SBIS ERP Exogenous variables: C Date: 12/13/15 Time: 03:12 Sample: 2009M01 2014M12 Included observations: 62 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5
-234.3053 -5.770967 12.66032 28.80487 35.70476 45.39568
NA 420.2084 31.51155* 25.51881 10.01596 12.81702
0.025624 2.70e-05 2.52e-05* 2.55e-05 3.53e-05 4.56e-05
7.687269 0.831322 0.752893 0.748230* 1.041782 1.245301
7.824503 1.517494* 1.988003 2.532278 3.374768 4.127225
7.741151 1.100730* 1.237828 1.448692 1.957771 2.376817
53 6 7 8 9 10
56.86088 69.02417 75.11998 104.5637 132.6784
13.68427 12.94802 5.702534 23.74493 19.04543
5.74e-05 7.33e-05 0.000120 9.91e-05 9.41e-05
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion
2. Stabilitas VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: D(LNPYD) D(SBIS) D(PUAS) D(ERP) Exogenous variables: C Lag specification: 1 10 Date: 11/10/15 Time: 23:22 Root 0.945402 + 0.161916i 0.945402 - 0.161916i 0.900532 + 0.322671i 0.900532 - 0.322671i 0.629503 + 0.714635i 0.629503 - 0.714635i -0.011744 + 0.950630i -0.011744 - 0.950630i -0.880743 - 0.353542i -0.880743 + 0.353542i -0.768155 - 0.554923i -0.768155 + 0.554923i 0.492758 + 0.795270i 0.492758 - 0.795270i 0.745180 - 0.536785i 0.745180 + 0.536785i 0.306058 - 0.858142i 0.306058 + 0.858142i 0.240962 + 0.876438i 0.240962 - 0.876438i -0.126711 - 0.899709i -0.126711 + 0.899709i 0.843730 + 0.335304i 0.843730 - 0.335304i -0.655871 + 0.611026i -0.655871 - 0.611026i -0.259132 + 0.844291i -0.259132 - 0.844291i -0.861678 + 0.082258i -0.861678 - 0.082258i -0.451423 - 0.733411i -0.451423 + 0.733411i -0.444966 + 0.662024i -0.444966 - 0.662024i -0.784678 + 0.141193i -0.784678 - 0.141193i
Modulus 0.959167 0.959167 0.956595 0.956595 0.952353 0.952353 0.950703 0.950703 0.949052 0.949052 0.947629 0.947629 0.935556 0.935556 0.918385 0.918385 0.911087 0.911087 0.908959 0.908959 0.908587 0.908587 0.907914 0.907914 0.896393 0.896393 0.883163 0.883163 0.865596 0.865596 0.861205 0.861205 0.797665 0.797665 0.797279 0.797279
1.391585 1.515349 1.834839 1.401171 1.010375
4.822446 5.495149 6.363577 6.478847 6.636988
2.738627 3.077919 3.612936 3.394795 3.219525
54 -0.486065 - 0.323586i -0.486065 + 0.323586i 0.215475 - 0.203034i 0.215475 + 0.203034i
0.583924 0.583924 0.296062 0.296062
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
3. Uji Kointegrasi Hypothesized
Trace
No. of CE(s)
Eigenvalu e
Statistic
None * At most 1 At most 2 At most 3
0.394735 0.190645 0.115613 0.029872
59.80880 25.16466 10.56998 2.092604
0.05 Critical Value 55.24578 35.01090 18.39771 3.841466
Prob.** 0.0188 0.3740 0.4271 0.1480
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
4. Hasil Estimasi VECM Vector Error Correction Estimates Date: 12/13/15 Time: 03:18 Sample (adjusted): 2009M03 2014M12 Included observations: 70 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
LNPYD(-1)
1.000000
SBIS(-1)
-0.500344 (0.13917) [-3.59526]
PUAS(-1)
-0.683821 (0.15151) [ -4.51332]
ERP(-1)
0.142905 (0.07318) [1.95284]
@TREND(09M01)
-0.015386
C
-5.808624
Error Correction:
D(LNPYD)
D(SBIS)
D(PUAS)
D(MARGINRAT ARATA)
CointEq1
-0.041234 (0.02616) [-1.57646]
0.125483 (0.09777) [ 1.28341]
-0.758908 (0.19902) [-3.81328]
0.137623 (0.26229) [ 0.52469]
D(LNPYD(-1))
-0.211786 (0.09602) [-2.20566]
0.154363 (0.35893) [ 0.43007]
0.204558 (0.73060) [ 0.27999]
0.595317 (0.96288) [ 0.61826]
55 D(SBIS(-1))
-0.030770 (0.02858) [-1.07656]
0.507210 (0.10684) [ 4.74731]
0.183724 (0.21748) [ 0.84480]
0.242119 (0.28662) [ 0.84474]
D(PUAS(-1))
-0.000699 (0.01746) [-0.04002]
0.061755 (0.06526) [ 0.94634]
-0.062642 (0.13283) [-0.47160]
-0.190329 (0.17506) [-1.08722]
D(ERP(-1))
0.028407 (0.01311) [ 2.16716]
-0.015304 (0.04900) [-0.31234]
-0.121224 (0.09974) [-1.21545]
-0.208206 (0.13145) [-1.58397]
C
0.002840 (0.01640) [ 0.17320]
-0.048978 (0.06130) [-0.79903]
-0.182587 (0.12477) [-1.46339]
-0.153047 (0.16444) [-0.93072]
@TREND(09M01)
0.000560 (0.00040) [ 1.41129]
0.001134 (0.00148) [ 0.76353]
0.004191 (0.00302) [ 1.38695]
0.004786 (0.00398) [ 1.20163]
0.244054 0.172059 0.234037 0.060950 3.389880 100.2014 -2.662896 -2.438046 0.021714 0.066984
0.383668 0.324970 3.270277 0.227836 6.536283 7.901024 -0.025744 0.199106 -0.026286 0.277307
0.322103 0.257541 13.54957 0.463759 4.989079 -41.85077 1.395736 1.620586 -0.034143 0.538216
0.112936 0.028454 23.53508 0.611206 1.336800 -61.17558 1.947874 2.172723 0.022857 0.620091
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
1.37E-05 8.96E-06 9.491208 0.643108 1.670992
5. Impulse Resnponse Function Period
LNPYD
SBIS
PUAS
MARGINRATA RATA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0.060950 0.041249 0.046352 0.044469 0.045094 0.044869 0.044968 0.044942 0.044959 0.044957 0.044960 0.044960 0.044961 0.044961 0.044961
0.000000 -0.003487 -0.003016 -0.002774 -0.002514 -0.002348 -0.002251 -0.002196 -0.002167 -0.002151 -0.002143 -0.002139 -0.002137 -0.002137 -0.002136
0.000000 -0.010239 -0.015070 -0.013814 -0.014914 -0.014602 -0.014767 -0.014706 -0.014726 -0.014713 -0.014715 -0.014713 -0.014712 -0.014712 -0.014712
0.000000 0.020294 0.014439 0.017375 0.016414 0.016852 0.016699 0.016761 0.016736 0.016744 0.016740 0.016741 0.016740 0.016740 0.016740
56 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961 0.044961
-0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136 -0.002136
-0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712 -0.014712
0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740 0.016740
Cholesky Ordering: LNPYD SBIS PUAS ERP
6. Variance Decomposition Period
S.E.
LNPYD
SBIS
PUAS
ERP
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0.060950 0.077105 0.092403 0.104958 0.116395 0.126743 0.136338 0.145292 0.153729 0.161726 0.169346 0.176637 0.183640 0.190384 0.196898
100.0000 91.10471 88.59820 86.62046 85.44342 84.59371 83.98527 83.52024 83.15696 82.86407 82.62328 82.42159 82.25020 82.10271 81.97444
0.000000 0.204500 0.248914 0.262753 0.260300 0.253846 0.246629 0.240004 0.234244 0.229345 0.225189 0.221652 0.218618 0.215996 0.213710
0.000000 1.763281 3.887555 4.745267 5.500372 5.966219 6.329135 6.597499 6.810732 6.981553 7.122444 7.240321 7.340548 7.426779 7.501779
0.000000 6.927506 7.265331 8.371523 8.795908 9.186225 9.438964 9.642253 9.798064 9.925028 10.02908 10.11644 10.19064 10.25452 10.31007
57 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
0.203204 0.209319 0.215261 0.221043 0.226677 0.232175 0.237546 0.242798 0.247939 0.252975 0.257913 0.262758 0.267515 0.272190 0.276785 0.281305 0.285754 0.290135 0.294450 0.298703 0.302897 0.307033 0.311114 0.315142 0.319119 0.323048 0.326929 0.330765 0.334557 0.338306 0.342014 0.345682 0.349312 0.352905 0.356461
81.86186 81.76224 81.67348 81.59388 81.52210 81.45704 81.39780 81.34362 81.29390 81.24809 81.20576 81.16652 81.13005 81.09606 81.06431 81.03458 81.00670 80.98048 80.95579 80.93249 80.91048 80.88964 80.86989 80.85115 80.83333 80.81637 80.80022 80.78480 80.77009 80.75602 80.74256 80.72967 80.71731 80.70545 80.69406
0.211701 0.209922 0.208336 0.206914 0.205631 0.204468 0.203410 0.202442 0.201553 0.200734 0.199978 0.199277 0.198625 0.198018 0.197450 0.196919 0.196421 0.195952 0.195511 0.195095 0.194701 0.194329 0.193976 0.193641 0.193322 0.193019 0.192731 0.192455 0.192192 0.191941 0.191700 0.191470 0.191249 0.191037 0.190834
Cholesky Ordering: LNPYD SBIS PUAS ERP
7.567607 7.625851 7.677752 7.724293 7.766263 7.804305 7.838946 7.870621 7.899697 7.926480 7.951232 7.974175 7.995501 8.015374 8.033938 8.051319 8.067626 8.082955 8.097392 8.111013 8.123885 8.136068 8.147616 8.158577 8.168995 8.178909 8.188356 8.197367 8.205971 8.214196 8.222067 8.229605 8.236832 8.243765 8.250424
10.35884 10.40198 10.44043 10.47491 10.50600 10.53418 10.55985 10.58331 10.60485 10.62469 10.64303 10.66003 10.67583 10.69055 10.70430 10.71718 10.72926 10.74061 10.75131 10.76140 10.77094 10.77996 10.78852 10.79664 10.80436 10.81170 10.81870 10.82537 10.83175 10.83784 10.84367 10.84926 10.85461 10.85975 10.86468
58
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Dendy Septindo, lahir pada 18 September 1993 di Solok, Sumatera Barat. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Ayah penulis beranama Edwar dan ibu bernama Marweli. Penulis memulai pendidikan di SDN 1 Kecamatan X Koto Singkarak pada tahun ajaean 1999/2000, kemudian melanjutkan pendidikan di SMP 1 Kecamatan X Koto Singkarak pada tahun ajaran 2005/2006, selanjutnya penulis menempuh pendidikan di SMAN 1 Kota Solok pada tahun ajaran 2008/2009 dan lulus pada tahun 2011. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor program studi Ekonomi Syariah melalui jalur SNMPTN Undangan. Selama masa perkuliahan penulis aktif di beberapa organisasi dan kegiatan kampus diantaranya anggota Departemen Hubungan Eksternal, BEM FEM tahun 2012, Kepala Divisi Humas dan Kesekretariatan, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang Bogor tahun 2012, Ketua Pelaksana Masa Perkenalan Departemen Ilmu Ekonomi tahun 2012, Anggota Forum Mahasiswa Ekonomi Indonesia (FMEI) tahun 2012, Ketua Pelaksana Festival Budaya dan Seni Minangkabau di Bogor (Minangvaganza) tahun 2012, Ketua Departemen Hubungan Eksternal, BEM FEM IPB tahun 2013, Ketua Umum Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang Bogor tahun 2013, dan lain lain.