ANALISIS PENGARUH INSTRUMEN MONETER SYARIAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP PENYALURAN DANA KE SEKTOR PROPERTI DI INDONESIA
MIRSAD AWAWIN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Konvensional terhadap Penyaluran Dana ke Sektor Properti di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2014
Mirsad Awawin NIM H14100034
iv
ABSTRAK MIRSAD AWAWIN. Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Konvensional terhadap Penyaluran Dana ke Sektor Properti di Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO. Penelitian ini menganalisis pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap penyaluran dana ke sektor properti melalui perbankan syariah dan konvensional dari Januari 2008 hingga Desember 2013 dengan menggunakan metode VAR/VECM yang dianalisis melalui Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Hasil penelitian menunjukkan instrumen moneter konvensional yang diwakili oleh suku bunga SBI dan instrumen moneter syariah yang diwakili oleh SBIS secara signifikan berpengaruh negatif terhadap pembiayaan properti baik melalui perbankan syariah maupun perbankan konvensional. Berdasarkan hasil simulasi IRF guncangan moneter akan berpengaruh dengan cepat pada pembiayaan Properti dari perbankan syariah dan kredit Properti dari perbankan konvensional. Akan tetapi, kredit Properti dari perbankan konvensional akan lebih cepat stabil dibandingkan dengan pembiayaan Properti dari perbankan syariah. Berdasarkan hasil FEVD, SBI dan SBIS memiliki pengaruh yang besar pada jalur pembiayaan perbankan syariah dan memiliki pengaruh yang kecil pada jalur kredit perbankan konvensional. Hal ini mengindikasikan peran SBI yang semakin tidak efektif dalam transmisi moneter melalui jalur kredit dan peran SBIS yang semakin signifikan dalam transmisi moneter melalui jalur pembiayaan. Kata kunci : Mekanisme transmisi moneter, Kredit/Pembiayaan Properti, Impulse Response Function, Variance Decomposition.
ABSTRACT MIRSAD AWAWIN. The Impact of Islamic and Conventional Monetary Instruments towards property fund distributions. Supervised by NUNUNG NURYARTONO. This study analyse the impact of Islamic and Conventional Monetary Instruments towards property funding held by Islamic and Conventional Banking from January 2008 to December 2013 using VAR/VECM which analysed through Impulse Response Function (IRF) and Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). The result shows Conventional Monetary Instruments which represented by interest rate of SBI and Islamic Monetary Instruments which represented by fee of SBIS significantly affect to property funding negatively, which held by both Islamic and Conventional Banking. As the result of IRF simulation, monetary shocks can affect rapidly on property funding from Islamic and conventional Banking. Despite, property funding from Conventional Banking will be more stable than Islamic Banking. SBI and SBIS are more likely affect to property funding held by islamic banking than conventional banking, according to the result of FEVD. The result indicates that the significant role of SBIS is more effective to monetary transmission through funding than the role of SBI. Keywords: The Mechanism of Monetary Transmission, Property Funding, Impulse Response Function, Variance Decomposition.
ANALISIS PENGARUH INSTRUMEN MONETER SYARIAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP PENYALURAN DANA KE SEKTOR PROPERTI DI INDONESIA
MIRSAD AWAWIN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
vi
viii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penyusunan skripsi dengan judul “Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Konvensional terhadap Penyaluran Dana ke Sektor Properti di Indonesia” ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih tulus penulis ucapkan kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran dan motivasi dalam penulisan skripsi ini. 2. Ibu Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr selaku dosen penguji utama dan Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P, M.Si selaku dosen penguji dari Komisi Pendidikan atas kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan skripsi ini. 3. Kedua orang tua penulis, yakni Aswardi dan Dismalyeni serta kedua adik penulis Yuni Kartika dan Muhammad Ikhsan Alfadillah atas segala doa dan dukungan yang selalu dicurahkan. 4. Saudara seperjuangan hidup Maya Sasmita, Ibrohim, dan Muhammad Deni Ramadhan yang selalu bersemangat dan tidak pernah bosan dalam memberikan doa dan motivasi. 5. Rekan seperjuangan bimbingan skripsi Luqman Aziz, Andri Sukrudin, Ahmad Azhari Pohan, Fatimah Zachra Fauziah, Masyitoh Al Kautsar, dan Nana Rodiana atas dorongan semangat dan bantuan selama penulisan skripsi ini. 6. Sahabat seperjuangan gerakan sosial Inovasi untuk Indonesia Sigit, Rizal, Azka, Delly, Kautsar, Maya, Astri, dan sahabat lainnya yang banyak menanamkan value. 7. Sahabat seperjuangan eksternal Ranger X-Tion FORMASI FEM IPB 2013 Ulfah, Rahmi, Mpit, dan Sanjoyo yang selalu mengingatkan kebaikan 8. Sahabat seperjuangan kampus Ksatria Jakpus BEM KM IPB 2013 Dede Rahmat, Fikria Ulfa, Elvira, Dara, Riki, Fikri, Riswan, Laras, Noeng, Siska, dan Tuti yang selalu memberikan semangat tulus 9. Sahabat seperjuangan kuliah keluarga Ilmu Ekonomi 47, khususnya prodi ESP 47. 10. Semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis berharap penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kelanjutan studi ekonomi Islam sehingga ekonomi Islam dapat terus bertumbuh di Indonesia. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, November 2014 Mirsad Awawin
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
5
Ruang Lingkup Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA METODE DAN PENELITIAN
5 14
Jenis dan Sumber Data
14
Metode Analisis Data
14
Pengolahan Data
15
Model Penelitian
17
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
18
Gambaran Umum
18
Hasil Estimasi Model VECM
22
Implikasi Estimasi Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Konvensional terhadap Penyaluran Dana ke Sektor Properti di Indonesia 33 SIMPULAN DAN SARAN
35
Simpulan
35
Saran
35
DAFTAR PUSTAKA
36
LAMPIRAN
37
RIWAYAT HIDUP
58
x
DAFTAR TABEL 1 Perkembangan Jumlah Bank Syariah, Unit Usaha Syariah, dan BPRS Tahun 2008-2013 2 Jenis dan Sumber Data Penelitian 3 Rujukan Model Penelitian 4 Model Penelitian 5 Hasil Uji Stasioneritas Data 6 Perhitungan Lag Optimum 7 Stabilitas sistem Vector Autoregression 8 Hasil Johansen Cointegration test Model I 9 Hasil Johansen Cointegration test Model II 10 Hasil Granger Causality Test 11 Hasil Estimasi VECM Model I 12 Hasil Estimasi VECM Model II
3 14 17 18 23 23 24 25 25 26 26 27
DAFTAR GAMBAR 1 Pertumbuhan sektor konstruksi yang mencakup properti tahun 20082013 2 Pangsa kredit properti terhadap total kredit periode Desember 2008Desember 2013 3 Skema Transmisi Kebijakan Moneter jalur Pembiayaan 4 Alur Penerapan Sistem Moneter Ganda di Indonesia 5 Kurva Permintaan dan Penawaran Uang 6 Konsep Real Estate, Properti Riil, dan Properti Individu 7 Kerangka Pemikiran 8 Perkembangan SBI dan SBIS periode Januari 2008- Desember 2013 9 Perkembangan Kredit Properti 10 Perkembangan Pembiayaan Properti 11 Perbandingan porsi penyaluran dana ke sektor properti bank syariah dan konvensional periode Januari 2008- Desember 2013 12 Perbandingan Suku Bunga dan Bagi Hasil periode 2008-2013 13 Analisis impulse response function (IRF) persamaan LNCRD 14 Analisis impulse response function (IRF) persamaan LNPYD 15 Variance decomposition (%) LNCRD 16 Variance decomposition (%) LNPYD
1 2 6 7 8 9 13 19 20 20 21 22 28 30 32 32
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Data yang digunakan Hasil Uji Stasioneritas Variabel Hasil Analisis VAR/VECM Model I Hasil Analisis VAR/VECM Model II
37 39 43 50
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Dunia mencatat bahwa sektor properti memainkan peran yang sangat vital di dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di negara-negara sedang berkembang namun juga di negara maju. Negara maju seperti Amerika telah menjadikan sektor properti sebagai motor penggerak perekonomian negaranya, yaitu sebagai pemicu percepatan pertumbuhan ekonomi khususnya di sektor riil. Menurut Wuryandani et all (2005), sektor properti merupakan indikator seberapa aktifnya kegiatan ekonomi yang sedang berlangsung di suatu negara. Sektor properti memiliki efek pelipat gandaan (multiplier effect) dengan mendorong naiknya berbagai kegiatan di sektor-sektor lain yang terkait seiring meningkatnya kegiatan di bidang properti. Kebutuhan akan produk properti akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan kegiatan ekonomi. Dengan demikian, meningkatnya kegiatan di bidang properti menandakan mulai membaiknya perekonomian suatu negara, terutama negara berkembang seperti Indonesia. Sektor properti memiliki peran yang penting dalam perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tumbuh sekitar 6 persen pada tahun-tahun terakhir ini sangatlah ditunjang oleh pertumbuhan sektor riil salah satunya yaitu sektor konstruksi yang mencakup properti. Berdasarkan data BPS (2013), sektor ini mampu menyerap tenaga kerja sebesar 6.349.487 jiwa atau 5,6 persen dari total angkatan kerja. Berdasarkan Gambar 1, pertumbuhan sektor konstruksi yang mencapai rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 7,8 persen mampu menyumbang sebesar 10,78 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar 907,27 triliun rupiah. Nilai ini tentunya belum optimal dan menjadi peluang emas mengingat penduduk Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan berjumlah 250 juta jiwa, yang menjadikan kebutuhan akan properti khususnya perumahan akan semakin besar. Begitu juga dengan permintaan terhadap apartemen, pusat perbelanjaan, perkantoran serta bangunan-bangunan komersial lainnya juga akan mengalami peningkatan. Hal ini tentu saja akan berimplikasi pada pertumbuhan sektor properti yang nantinya akan mempengaruhi kegiatan ekonomi dan perkembangan ekonomi nasional. Milyar Rupiah
1000000 800000 600000
PDB Sektor Konstruksi
400000 200000 0
Tahun Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)
Gambar 1. Pertumbuhan sektor konstruksi yang mencakup properti tahun 2000- 2013
2
Pada kenyataannya perkembangan sektor properti di Indonesia sangat berkaitan erat dengan sektor perbankan. Salah satu sumber utama pembiayaan sektor properti berasal dari perbankan. Pembiayaan perbankan terhadap proyek properti pun jumlahnya cukup besar dan terus meningkat terhadap portofolio kredit perbankan. Berdasarkan data SEKI (2013), penyaluran kredit properti sampai dengan desember 2013 mencapai Rp 471,96 triliun dengan pertumbuhan mencapai 26,54 persen. Gambar 2 menunujukan kredit Properti memberikan kontribusi sebesar 14,33 persen dari total outstanding kredit bank umum yang bernilai Rp 3.292,87 triliun, dimana nilai kredit properti ini terus bertumbuh sejak tahun 2008. 16 14
Persen
12 10 8 6 4
Pangsa Kredit Properti terhadap Total Kredit
2 0
Sumber: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI), 2013 (diolah)
Gambar 2. Pangsa kredit properti terhadap total kredit periode Desember 2008-Desember 2013 Sebagian besar sumber pembiayaan perbankan berasal dari dana pihak ketiga atau masyarakat yang biasanya disimpan dalam bentuk tabungan atau deposito yang bersifat jangka pendek. Sementara itu, sifat kredit properti cenderung merupakan jangka panjang Hal ini bisa menimbulkan maturity mismatch atau ketidaksesuaian jatuh tempo, karena kredit sektor properti umumnya berjangka panjang sedangkan sumber dananya sewaktu-waktu dapat di tarik oleh masyarakat. Hal ini akan menyebabkan terganggunya likuiditas perbankan yang berdampak pada pembiayaan yang disalurkan. Ketergantungan terhadap pembiayaan dari perbankan inilah yang membuat perkembangan sektor properti di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan bank/lembaga keuangan, otoritas moneter Negara (Bank Indonesia), serta lebih jauh lagi dipengaruhi oleh kondisi makroekonomi negara secara keseluruhan (Murtiningsih, 2009). Oleh karena itu, pembiayaan sektor properti menjadi sangat bergantung pada instrumen moneter khususnya SBI yang berhubungan langsung dengan likuiditas perbankan. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999, Indonesia menjadi salah satu negara yang menerapkan sistem moneter ganda pada sistem perekonomiannya yakni sistem moneter syariah dan
3
konvensional. Hal ini membawa pengaruh yang besar terhadap perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Mulai tahun 2002 bermunculan bank syariah, unit usaha syariah (UUS) dan bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) yang tersebar di seluruh Indonesia dengan tren yang meningkat dan diprediksi akan terus bertambah sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1. Munculnya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 2002 mendorong bertumbuh kembangnya perbankan syariah. Perkembangan bank syariah yang semakin pesat menjadikan perbankan syariah sebagai salah satu lembaga keuangan yang memainkan peran yang semakin besar dalam perbankan nasional. Tabel 1 Perkembangan jumlah bank syariah, unit usaha syariah, dan BPRS tahun 2008-2013 Kelompok Bank
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Bank Umum Syariah (BUS)
5
6
11
11
11
11
Unit Usaha Syariah (UUS)
27
25
23
24
24
23
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) 131 138 Total Jumlah Kantor BUS, UUS, DAN BPRS 1024 1223 Sumber: Statistik Perbankan Syariah Indonesia, 2013
150
155
158
163
1763
2101
2663
2929
Penerapan sistem moneter ganda di Indonesia juga mendorong Bank Indonesia melahirkan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) sebagai instrumen moneter pelengkap Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang selama ini dipakai oleh perbankan konvensional. SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan efektifitas mekanisme moneter dengan prinsip syariah. SBIS yang berdasarkan akad Ju’alah mulai digunakan sebagai instrumen moneter sejak tahun 2008 yang menggantikan peran Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Sebagai instrumen moneter, SBI dan SBIS memilki jalur transmisi tersendiri terhadap sektor riil dimana instrumen ini akan mempengaruhi besarnya pembiayaan dan penyaluran kredit kepada sektor riil. Penyaluran dana ke sektor properti melalui perbankan dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya faktor eksternal yaitu instrumen moneter. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan bahwa penelitian mengenai pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap pembiayaan properti di Indonesia penting untuk dilakukan karena akan mempengaruhi tindakan perbankan konvensional maupun syariah dalam menyalurkan dananya ke sektor properti. Selain itu, hadirnya SBIS dengan prinsip syariah sebagai instrumen moneter pelengkap SBI diharapkan lebih efektif dalam meningkatkan penyaluran dana perbankan ke sektor properti. Untuk menjawab ekspektasi tersebut, penelitian ini akan menganalisis secara kuantitatif pengaruh instrumen moneter terhadap pembiayaan properti di Indonesia. Rumusan Masalah Peran sektor properti yang cukup besar dan prospektif terhadap perekonomian Indonesia membuat sektor ini menjadi perhatian penting yang harus didukung dan di fasilitasi terutama dalam hal pembiayaan. Sumber
4
pembiayaan sektor properti yang selama ini cukup didominasi pembiayaan perbankan dihadapkan dengan sifat kredit properti yang cenderung jangka panjang. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri bagi perbankan mengingat sebagian besar sumber dana perbankan berasal dari pihak ketiga atau masyarakat yang bersifat jangka pendek sehingga terjadi maturity mismatch yang menyebabkan terganggunya likuiditas perbankan. Kebutuhan terhadap pembiayaan perbankan inilah yang menjadikan perkembangan sektor properti sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan otoritas moneter, salah satunya transmisi kebijakan moneter khususnya SBI yang berhubungan langsung dengan likuditas perbankan. Dilihat dari sisi perbankan, instrumen moneter menjadi faktor eksternal yang memengaruhi penyaluran kredit perbankan. Oleh karena itu, pembiayaan perbankan ke sektor properti yang efektif akan terwujud apabila transmisi moneter berjalan dengan baik dimana sektor keuangan yang digambarkan melalui perbankan dapat menyalurkan dana ke masyarakat dan menggerakkan perekonomian secara riil. Berdasarkan fenomena tersebut, penerapan mekanisme transmisi moneter ganda sejak tahun 1992 dengan penggunaan sistem moneter syariah dan konvensional secara bersamaan akan menimbulkan pengaruh dari instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap penyaluran dana dari perbankan, termasuk dalam pemberian kredit atau pembiayaan properti. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis instrumen moneter manakah yang lebih berpengaruh dalam penyaluran dana ke sektor properti di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh instrumen moneter konvensional terhadap kredit properti di Indonesia? 2. Bagaimana pengaruh instrumen moneter syariah terhadap pembiayaan properti di Indonesia? 3. Bagaimanakah perbandingan pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional dalam penyaluran dana ke sector properti di Indonesia? Tujuan Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi pengaruh instrumen moneter konvensional terhadap kredit properti di Indonesia. 2. Mengidentifikasi pengaruh instrumen moneter syariah terhadap pembiayaan properti di Indonesia. 3. Membandingkan sejauh mana pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional dalam penyaluran dana ke sektor properti di Indonesia.
5
Manfaat Penulisan Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan masukkan bagi pemerintah, masyarakat, dan kalangan akademisi: 1. Pemerintah dapat menjadikan penelitian ini sebagai masukan dalam mengambil kebijakan moneter, khususnya dalam mengembangkan sektor properti melalui perbankan. 2. Masyarakat dapat mengetahui peran perbankan syariah dalam mengembangkan sektor properti 3. Kalangan akademisi dapat menjadikan penelitian ini sebagai referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbandingan pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap perkembangan sektor properti di Indonesia. Instrumen moneter yang digunakan terbagi dua menjadi instrumen moneter konvensional dan syariah, instrumennya yaitu bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), kredit properti perbankan konvensional, dan pembiayaan properti perbankan syariah . Sedangkan periode waktu yang diambil dalam studi kasus ini adalah perekonomian Indonesia dari Januari 2008 sampai dengan Desember 2013.
TINJAUAN PUSTAKA Transmisi Moneter Transmisi moneter adalah mekanisme bekerjanya kebijakan moneter sampai memengaruhi sektor riil. Mishkin (2009) menjelaskan bahwa jalur mekanisme transmisi moneter dapat terjadi melalui beberapa jalur, yaitu jalur efek suku bunga tradisional (traditional interest rate effect), jalur efek harga asset lain (other asset price effect) dan jalur kredit (credit view). Mekanisme transmisi moneter melalui jalur kredit (credit view) muncul untuk menangani masalah asimetri informasi pada pasar keuangan. Pada jalur ini, transmisi moneter memengaruhi penyaluran dana pada perbankan serta neraca perusahaan dan rumah tangga. Terkait pengaruhnya terhadap penyaluran dana dari perbankan (bank lending channel), berangkat dari analisis bahwa bank memiliki peran penting dalam sistem keuangan karena dapat menangani masalah informasi asimetrik pada pasar kredit maka peminjam hanya dapat mengakses pasar kredit melalui bank. Berdasarkan asumsi tidak ada subtitusi sempurna diantara bank dengan sumber dana lain, maka saat terjadi ekspansi moneter yang meningkatkan cadangan perbankan dan deposit bank maka akan meningkatkan ketersediaan dan kuantitas pinjaman perbankan yang tersedia. Berdasarkan
6
asumsi peminjam tergantung pada pinjaman perbankan untuk membiayai aktifitasnya, maka peningkatan pinjaman pada perbankan akan meningkatan investasi. Secara skematik, transmisi kebijakan moneter melalui jalur pembiayaan perbankan diperlihatkan pada Gambar 3 berikut: Ekspansi kebijakan moneter: cadangan dan deposit bank bank
Investasi
ketersediaan pinjaman dari
Output (Y)
Sumber: Mishkin (2009)
Gambar 3. Skema Transmisi Kebijakan Moneter jalur Pembiayaan Kebijakan moneter melalui jalur kredit bertujuan untuk mendorong investasi dari sisi supply yang direpresentasikan oleh bank sebagai lembaga intermediasi. Dalam proses transmisinya, Bank Indonesia dapat melakukan kontraksi dan ekspansi moneter dengan menaikkan atau menurunkan suku bunga kebijakan (BI Rate). Kebijakan ini akan memengaruhi sisi liabilitas (kewajiban) bank yang didominasi oleh dana pihak ketiga (DPK) yaitu dana masyarakat yang disimpan di perbankan. Ketika ekonomi memanas, Bank Indonesia melakukan kontraksi moneter dengan menaikkan BI Rate. Kebijakan ini akan menyebabkan jumlah uang beredar di masyarakat akan turun sehingga mengakibatkan jumlah DPK juga ikut menurun. Penurunan DPK akan mengakibatkan penurunan ketersediaan dana yang siap disalurkan oleh perbankan, salah satunya dalam bentuk kredit. Untuk meningkatkan DPK perbanakan akan cenderung menaikan suku bunga dana seperti tabungan dan deposito sehingga berakibat pada kenaikan suku bunga kredit. Permintaan terhadap kredit baru cenderung turun karena suku bunga kredit yang meningkat dan menyebabkan investasi turun dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Instrumen Moneter Instrumen moneter adalah alat kebijakan moneter yang digunakan untuk memengaruhi sektor riil. Dalam menjalankan kebijakan moneter Bank Indonesia memiliki beberapa instrument moneter yaitu Operasi Pasar Terbuka (OPT), Giro Wajib Minimum (GWM), Fasilitas Diskonto, dan Intervensi Mata Uang Asing. Instrumen moneter menggunakan Operasi Pasar Terbuka dilaksanakan dengan melangsungkan kegiatan jual beli surat berharga oleh bank sentral yang pada gilirannya akan memengaruhi tingkat suku bunga. Operasi ini memiliki dua aktivitas di dalamnya, yaitu jual dan beli surat-surat berharga termasuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Kedua instrumen ini menjadi instrumen utama dalam kebijakan moneter. Menurut Sugiyono (2003), hal ini dilandaskan Bank Indonesia yang memiliki SBI dalam jumlah yang memadai untuk mengeksekusi keputusan kontraksi atau ekspansi moneter. Selain itu, SBI memenuhi tiga syarat utama likuiditas surat berharga yakni dapat diperjualbelikan dalam operasi pasar terbuka dan diterbitkan secara kontinyu serta tersedia setiap saat. Peraturan Bank Indonesia nomor 4/10/PBI/2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menyatakan bahwa SBI adalah surat berharga dalam mata uang
7
rupiah yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. SBI diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu piranti dalam Operasi Pasar Terbuka (OPT). Sedangkan peraturan Bank Indonesia nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah menyatakan bahwa SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad Ju’alah. Kedua instrumen ini memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai instrumen Operasi Pasar Terbuka dalam rangka pengendalian moneter dengan tujuan akhir kestabilan nilai rupiah dan tingkat inflasi. SBIS dibuat oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan efektifitas mekanisme moneter dengan prinsip syariah. Akad Ju’alah merupakan jenis akad dimana pihak Bank Indonesia (Ja’il) memberikan sejumlah bonus (ju’ul) kepada bank syariah (Maj’ullah) karena dianggap telah membantu Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter (mahall al-‘aqd). Di dalam prakteknya, yaitu saat Bank Indonesia akan melakukan transaksi lelang SBIS maka Bank Indonesia akan mengumumkan bahwa Bank Indonesia akan melakukan kebijakan moneternya yaitu akan menyerap likuiditas yang beredar di masyarakat. Maka bank syariah yang akan membeli SBIS tersebut dan mendapatkan imbalan tertentu. Jumlah nominal Ju’ul atau imbalannya harus dibayarkan oleh Ja’il yang ditetapkan saat terjadinya akad dan harus disepakati oleh kedua belah pihak. Menurut Muslim (2008), perubahan pada tingkat suku bunga SBI diharapkan mampu memberi pengaruh pada tingkat suku bunga kredit sebab tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) nantinya akan digunakan sebagai proksi bagi kebijakan moneter. Dengan kata lain tingkat suku bunga SBI dijadikan barometer untuk menentukan tingkat suku bunga deposito, kemudian suku bunga pinjaman akan merepon perubahan tersebut.
Sumber: Ascarya (2012)
Gambar 4. Alur Penerapan Sistem Moneter Ganda di Indonesia Bertumbuh kembangnya perbankan syariah menjadikan transmisi kebijakan moneter tidak hanya memengaruhi perbankan konvensional saja namun juga memengaruhi perbankan syariah karena mekanisme transmisi juga dapat
8
melewati jalur syariah. Instrumen kebijakan moneter ganda juga tidak terbatas hanya menggunakan suku bunga saja, tetapi dapat pula menggunakan bagi hasil atau margin. Gambar 4 menjelaskan dalam rangka mencapai tujuan akhir kebijakan moneter yaitu pengendalian output dan inflasi, instrumen moneter syariah yang menggunakan bagi hasil atau margin dan instrumen moneter konvensional yang menggunakan suku bunga akan mempengaruhi kredit dan pembiayaan melalui suku bunga pinjaman dan bagi hasil atau margin pembiayaan. Dengan demikian, menurut Ascarya (2012) dalam sistem moneter ganda, interest rate pass-through lebih tepat disebut policy rate pass-through, dimana policy rate untuk konvensional menggunakan suku bunga, sedangkan policy rate untuk syariah dapat menggunakan bagi hasil atau margin. Teori Preferensi Likuiditas Teori Preferensi Likuiditas menyatakan bahwa tingkat bunga menyesuaikan untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan uang. Jika M adalah penawaran uang dan P adalah tingkat harga maka M/P adalah penawaran dari keseimbangan uang riil. Teori ini mengasumsikan adanya penawaran uang riil yang tetap dan menegaskan bahwa tingkat bunga adalah sebuah determinan dari berapa banyak uang yang ingin dipegang oleh masyarakat. Alasannya adalah bahwa tingkat bunga adalah biaya peluang (opportunity cost) dari memegang uang, yaitu biaya yang harus ditanggung karena memegang sebagian asset dalam bentuk uang (yang tidak mendapatkan bunga) atau dalam deposit atau obligasi. Ketika tingkat bunga naik, orang-orang ingin memegang uang dalam jumlah yang lebih sedikit. Hal ini menunjukan bahwa fungsi permintaan uang riil dipengaruhi oleh suku bunga (Mankiw, 2007). Berdasarkan Gambar 5, tingkat bunga akan menyesuaikan untuk menyeimbangkan pasar uang dimana jumlah uang riil yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Apabila tingkat bunga diatas keseimbangan maka jumlah uang riil yang ditawarkan akan melebihi jumlah yang diminta. Orang-orang yang memegang kelebihan penawaran uang akan berusaha untuk mengubah sebagian diantaranya menjadi deposito atau obligasi. Bank-bank dan penerbit obligasi yang lebih suka membayar tingkat bunga yang lebih rendah akan merespon kelebihan uang dengan mengurangi tingkat bunga sehingga tingkat bunga akan bergerak kembali menuju keseimbangan, begitu juga sebaliknya.
Sumber: Mankiw, 2007
Gambar 5. Kurva Permintaan dan Penawaran Uang
9
Properti Properti adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki atau dijadikan objek kepemilikan. Sementara Properti riil diartikan sebagai kepentingan, keuntungan, dan hak-hak yang menyangkut kepemilikan tanah dan bangunan beserta perbaikan yang menyatu terhadapnya (Rafitas dalam Murtiningsih, 2005). Properti terbagi menjadi: a. Aset berwujud (Tangible Property) yang terdiri dari: 1. Real Property yang terdiri dari tanah, bangunan dan prasarana, serta pengembangan lainnya. 2. Personal Property terdiri dari mesin dan peralatan, kendaraan, peralatan kantor, fixtures dan furnitures serta building equipment. b. Aset tak berwujud (Intangible Property) yang terdiri dari goodwill, personal guarantee, francises, trademark, patent, dan copy right. c. Surat-surat berharga (Marketable Securities)yang terdiri dari saham, tabungan dan promissary notes. Dalam perkembangannya, bangunan dalam bisnis properti berdasarkan penggunaannya dibagi atas: 1. Bangunan Komersial yang terdiri dari bangunan perkantoran, ruko, pertokoan, serta hotel dan motel. 2. Bangunan Perumahan yang terdiri dari rumah tinggal dan kondominium/apartemen. 3. Bangunan Industri yang terdiri dari industri berat, industri ringan dan gudang, gudang dan kantor, pergudangan, dan industrial parks. 4. Bangunan Fasilitas Umum yang terdiri dari rumah sakit, perguruan tinggi, gedung-gedung pemerintah, dan SPBU/ pom bensin. 5. Bangunan Hiburan yang terdiri dari bioskop, lapangan golf, museum, sarana olahraga, convention center, dll. Gambar 6 menjelaskan mengenai konsep/hubungan antara real estate, properti riil, dan properti individu.
Sumber: Sidik (2000)
Gambar 6. Konsep Real Estate, Properti Riil, dan Properti Individu
10
Pembiayaan dan Kredit Properti Berdasarkan Undang-undang Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008, pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil, sewa menyewa, jual beli atau pinjam meminjam berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan pihak yang lain mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana tersebut untuk mengembalikan dana tersebut dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil. Ascarya (2007) menjelaskan bahwa kebutuhan pembiayaan properti dapat dipenuhi dengan berbagai cara, antara lain: 1. Bagi hasil dengan akad musyarakah mutanaqisah, yaitu pembiayaan dengan cara bank syariah dan nasabah bermitra untuk membeli aset yang diinginkan nasabah. Aset tersebut kemudian disewakan kepada nasabah. Bagian sewa dari nasabah digunakan sebagai cicilan pembelian porsi aset yang dimiliki oleh bank syariah, sehingga pada periode waktu tertentu (saat jatuh tempo), aset tersebut sepenuhnya telah dimiliki oleh nasabah. 2. Jual beli dengan akad murabahah, yaitu pembiayaan dengan cara bank syariah membelikan aset yang dibutuhkan nasabah dari supplier kemudian menjual kembali kepada nasabah dengan mengambil margin keuntungan yang diinginkan. Selain mendapat keuntungan margin,ban syariah juga hanya menanggung resiko yang minimal. Sementara itu, nasabah mendapatkan kebutuhan asetnya dengan harga yang tetap. 3. Sewa dengan akad ijarah muntahiya bittamlik, yaitu pembiayaan dengan cara bank syariah membelikan aset yang yang dibutuhkan nasabah kemudian menyewakannya kepada nasabah dengan perjanjian pengalihan kepemilikan di akhir periode dengan harga yang disepakati di awal akad. Dengan cara ini bank syariah tetap menguasai kepemilikan aset selama periode akad dan pada waktu yang sama menerima pendapatan dari sewa. Sementara itu, nasabah terpenuhi kebutuhannya dengan biaya yang dapat diperkirakan sebelumnya. Akad murabahah merupakan akad yang paling luas penggunaannya karena mudah diterapkan dan beresiko kecil, sehingga tidak mengherankan jika porsi terbesar portofolio bank syariah menggunakan akad murabahah. Namun demikian, akad bagi hasil merupakan akad yang dipercaya lebih mencerminkan esensi bank syariah untuk mendorong kelancaran usaha produktif di sektor riil sehingga seharusnya menjadi akad utama pembiayaan pembiayaan bank syariah. Berdasarkan Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan menyatakan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak pinjam meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
11
Berdasarkan Definisi Bank Indonesia, kredit properti diberikan dalam bentuk kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit konsumsi. Kredit investasi dan kredit modal kerja diberikan kepada pengembang untuk proses pembangunan proyek properti, sementara kredit konsumsi diberikan kepada masyarakat sebagai konsumen dari produk-produk properti. Dilihat dari komposisinya, kredit properti terbagi menjadi kredit konstruksi, kredit real estate, dan kredit kepemilikan rumah atau apartemen (KPRA). Kredit konstruksi umumnya diberikan kepada kontraktor atau para usahawan untuk membangun perkantoran, mall, ruko, dan pusat bisnis lainnya. Kredit real estate diberikan kepada para pengembang untuk membangun kompleks perumahan kelas atas. Sedangkan kredit KPRA diberikan kepada perorangan yang akan membeli atau memperbaiki rumah atau apartemen. Suku Bunga dan Profit Loss Sharing Suku bunga adalah salah satu komponen utama dalam kebijakan ekonomi konvensional yang berarti biaya yang harus dibayarkan oleh peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya. Sedangkan bagi hasil adalah komponen terpenting dalam sistem moneter syariah dan merupakan cerminan dari kinerja sektor riil. Dengan adanya sistem bagi hasil maka distribusi kekayaan dan pendapatan akan semakn merata sehingga sektor riil akan tumbuh (Ayuniyyah, 2010). Pada bank syariah terdapat dua jenis keuntungan yang didapat dari pembiayaan yang diberikan, yaitu margin keuntungan dan bagi hasil. Margin keuntungan adalah persentase tertentu yang ditetapkan oleh perbankan syariah terhadap produk pembiayaan yang berbasis Natural Certainty Contract atau akad bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktu seperti murabahah, ijarah, salam, dan istisna. Sedangkan bagi hasil adalah nisbah yang ditetapkan terhadap produk-produk pembiayaan yang berbasis Natural Uncertainty Contract atau akad bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah maupun waktunya seperti musyarakah dan mudharabah (Karim, 2010). Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai mekanisme transmisi moneter melalui jalur kredit atau pinjaman sudah cukup banyak dilakukan. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Rusydiana (2009), yang menyimpulkan bahwa semakin tinggi SWBI yang ditetapkan Bank Indonesia maka akan semakin rendah pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah. Selain itu terdapat hubungan yang negatif antara pembiayaan syariah dan SBI. Semakin tinggi SBI akan menyebabkan penurunan pembiayaan syariah dan sebaliknya. Hal ini disebabkan jika Bank Indonesia menaikan suku bunga maka akan memicu perbanakan konvensional untuk menaikan suku bunganya, baik pinjaman maupun deposito. Oleh karena itu, daya saing perbankan syariah akan turun dan menjadi kurang kompetitif. Hasil yang berbeda ditunjukan dalam penelitian yang dilakukan Ramadhan (2012), yang menyimpulkan SBI dan SBIS memiliki pengaruh yang negatif
12
terhadap kredit perbankan konvensional dan pembiayaan perbankan syariah. Menariknya, terdapat hubungan yang positif antara pembiayaan syariah dan SBI. Semakin tinggi SBI akan menyebabkan kenaikan pembiayaan syariah dan sebaliknya. Hal ini disebabkan jika bank sentral menaikkan suku bunga maka akan memicu perbankan konvensional untuk menaikan suku bunganya, baik pinjaman maupun deposito. Kenaikan suku bunga pinjaman akan mendorong menurunnya permintaan kredit perbankan konvensional. Kondisi ini dimanfaatkan oleh perbankan syariah dengan memberikan pembiayaan properti yang lebih besar karena bank konvensional sebagai saingannya sedang menurunkan penyaluran kreditnya. Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Ayyuniah (2010) menjelaskan bahwa instrumen moneter konvensional memberikan guncangan yang lebih besar terhadap pertumbuhan sektor riil dibandingkan dengan instrumen moneter syariah karena proporsi instrument konvensional yang masih mendominasi sampai dengan 97 persen dari share perbankan nasional. Akan tetapi, instrumen moneter syariah memiliki karakteristik yang lebih stabil dibandingkan dengan variabel moneter konvensional karena lebih cepat menemukan titik kestabilan dibandingkan dengan instrumen moneter konvensional. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter baik ekspansif maupun kontraktif dengan instrument suku bunga SBI tidak mampu memengaruhi jumlah penawaran kredit investasi perbankan umum. Hal ini menjadi bukti bahwa kebijakan moneter melalui jalur bank lending tidak berlangsung di Indonesia selama periode 2001-2007. Selain itu, penelitian yang dilakukan Ascarya (2009) menjelaskan bahwa sisi konvensional banyak memengaruhi sisi syariah dari kredit karena sistem moneter dan keuangan Indonesia masih didominasi (97,5 persen) oleh sistem konvensional, dan bagian yang berhubungan dengan sektor riil adalah kredit. Suku bunga SBI memberikan dampak buruk yang setara dan permanen dengan imbal hasil SBIS terhadap output. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Policy Rate Pass-Through syariah dinilai belum efektif. Tidak ada keseimbangan jangka pendek yang signifikan dan hanya PLS yang signifikan dalam kesembangan jangka panjang. Hal ini disebabkan karena ekonomi syariah berpusat pada aktifitas di sektor riil. Sementara itu SBIS, demi semangat perlakuan yang adil (fair treatment) dengan konvensional, melakukan benchmark pada kebijakan suku bunga konvensional dan nilainya sama dengan SBI. Kerangka Pemikiran Penerapan sistem moneter ganda di Indonesia yang dilandasi oleh Undangundang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 mendorong Bank Indonesia menjalankan kebijakan moneter konvensional dengan prinsip suku bunga dan kebijakan moneter syariah dengan prinsip profit dan loss sharing secara bersamaan. Selain itu, penerapan sistem moneter ganda telah melahirkan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) sebagai instrumen moneter perlengkap Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang selama ini dipakai oleh perbankan konvensional. Sebagai instrumen moneter, SBI dan SBIS memiliki jalur transmisi tersendiri terhadap sektor riil dimana instrumen moneter ini akan memengaruhi
13
besarnya pembiayaan dan penyaluran kredit kepada sektor riil, termasuk sektor properti yang salah satu sumber utama pembiayaannya berasal dari perbankan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap penyaluran dana ke sektor properti di Indonesia. Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 7, instrumen moneter yang dimaksud adalah SBI dan SBIS. Sedangkan penyaluran dana digambarkan dengan pembiayaan dari perbankan syariah dan kredit dari perbankan konvensional. Sebagai saluran transmisinya, digunakan besarnya bagi hasil dan suku bunga kredit. Penerapan Sistem Moneter Ganda di Indonesia Instrumen Moneter Konvensional
Instrumen Moneter Syariah
Suku Bunga Bank Konvensional
Profit dan Loss Sharing Bank Syariah
Kredit
Pembiayaan
Kredit Properti
Pembiayaan Properti Instrumen yang lebih berpengaruh dalam penyaluran dana ke sektor Properti
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 7. Kerangka Pemikiran Hipotesis Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Suku bunga SBI dan bonus SBIS berpengaruh negatif terhadap penyaluran dana ke sektor Properti. 2. Pembiayaan properti dari perbankan syariah lebih cepat stabil ketika terjadi guncangan moneter dibandingkan dengan kredit properti dari perbankan konvensional.
14
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat kuantitatif berupa timeseries bulanan periode Januari 2008 sampai dengan Desember 2013. Data diperoleh dari beberapa sumber, yaitu Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), Statistik Perbankan Indonesia (SPI), Statistik Perbankan Indonesia Syariah (SPIS), Laporan Keuangan Bulanan Bank Umum dan Bank Umum Syariah, dan Badan Pusat Statistik (BPS). Tabel 2. Jenis dan Sumber Data Penelitian Kategori
Variabel
Satuan
Sumber
Kredit Properti
LNCRD
Rupiah
Bank Indonesia
Pembiayaan Properti
LNPYD
Rupiah
Bank Indonesia
Suku Bunga SBI
SBI
Persen
Bank Indonesia
Bonus SBIS
SBIS
Persen
Bank Indonesia
Suku Bunga Rata-Rata Kredit
IR
Persen
Bank Indonesia
Margin Rata-Rata Pembiayaan
MARGIN
Persen
Bank Indonesia
PLS
Persen
Bank Indonesia
Profit and Loss Sharing
Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan untuk mendukung dan mencapai tujuan penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrika. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah analisis yang digunakan untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Analisis deskriptif dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan grafik, tabel dan diagram. Dalam penelitian ini, analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui gambaran umum mengenai perkembangan SBI dan SBIS, jumlah dan porsi penyaluran dana ke sektor properti bank syariah dan konvensional, serta suku bunga bank kovensional dan bagi hasil bank syariah di Indonesia selama kurun waktu 2008-2013. Analisis Ekonometrika Metode analisis ekonometrika yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vector Autoregression (VAR) jika data yang digunakan adalah stasioner dan tidak terdapat kointegrasi, atau Vector Error Correction Model (VECM) jika data yang digunakan kemudian diketahui stasioner dan terdapat kointegrasi. Analisis data dengan menggunakan pendekatan model VAR dan VECM mencakup tiga alat analisis utama yaitu Granger causality test, impuls response function (IRF), dan
15
forecast error variance decomposition (FEVD). Adapun perangkat lunak yang digunakan untuk proses pengolahan adalah Eviews 6. Pengolahan Data Berikut adalah tahapan-tahapan dalam pengolahan data menggunakan perangkat lunak Eviews 6 dengan metode VAR/VECM : Uji Stasioneritas Data Estimasi model ekonometrik time series akan menghasilkan kesimpulan yang tidak berarti, ketika data yang digunakan mengandung akar unit (tidak stasioner). Data yang mengandung akar unit (tidak stasioner) jika dimasukan dalam pengolahan stastistik maka akan memberikan hasil estimasi yang spurious yang ditandai oleh tingginya koefisien determinasi, R2 dan t-statistik signifikan, tetapi penafsiran hubungannya tidak memiliki arti secara ekonomi. Augmented dickey-fuller test (ADF test) merupakan prosedur standar, untuk menyelidiki adanya akar unit pada data time series. Uji akar unit ADF memerlukan estimasi regresi : ∑
....................................................(1)
Dalam persamaan seperti ini hipotesis yang digunakan adalah : H0 : β = 0 (mengandung akar unit-series tidak stasioner) H1 : β < 0 (tidak mengandung akar unit-series stasioner) Jika nilai statistik ADF secara absolut lebih kecil dibandingkan nilai kritis MacKinnon, maka H0 diterima. Dengan kata lain, Yt mengandung satu akar unit atau data tidak stasioner. Data time series yang belum stasioner pada tingkat level dapat dijadikan stasioner, melalui proses diferensiasi agar data menjadi stasioner. Uji Akar-akar Unit Uji stasioneritas akan dilakukan dengan metode ADF. Hasil series stasioner akan berujung pada penggunaan VAR dengan metode standar. Sementara series nonstasioner akan berimplikasi pada dua pilihan yaitu VAR dalam bentuk differens atau VECM. Uji Stabilitas VAR Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic polinomial. Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit circle atau jika nilai absolutnya <1 maka model VAR tersebut dianggap stabil sehingga Impuls Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) yang dihasilkan dianggap valid.
16
Pengujian Lag Optimal Penentuan jumlah lag optimal yang digunakan merupakan langkah penting yang harus dilakukan dalam menggunakan model VAR maupun VECM. Untuk penentuan panjang lag optimal dapat digunakan beberapa kriteria yaitu dengan menggunakan Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC), Final Prediction Error (FPE), dan Hannan-Quinn Information Criterion (HQ). Pengujian panjang lag optimal berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR maupun VECM. Dalam penelitian ini digunakan semua kriteria informasi untuk menentukan lag optimal. Model diestimasi dengan lag yang berbeda-beda lalu dibandingkan nilai kriterianya. Lag optimum yang dipilih berdasarkan nilai kriteria yang terkecil. Uji Kointegrasi (Johannsen Cointegration Test) Uji kointegrasi bertujuan untuk menetukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner terkointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi dikemukakan oleh Engle dan Granger (1987) sebagai kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menghasilkan variabel yang stasioner. Kombinasi linier ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang di antara variabel. Jika trace statistic>critical value, persamaan tersebut terkointegrasi. Dengan demikian H0 = nonkointegrasi dengan hipotesis alternatifnya H1 = kointegrasi. Jika trace statistic>critical value, kita tolak H0 atau terima H1 yang artinya terjadi kointegrasi. Setelah jumlah persamaan yang terkointegrasi telah diketahui maka tahapan analisis dilanjutkan dengan analisis Vector Error Correction Model. Vector Error Correction Model (VECM) Vector Error Correction Model (VECM) adalah VAR terestriksi yang digunakan untuk variabel yang nonstasioner tetapi memiliki potensi untuk terkointegrasi. Dalam VECM terdapat speed of adjustment dari jangka pendek ke jangka panjang. Menurut Firdaus (2011) model VECM secara umum adalah sebagai berikut : ∏ ∑ ................(2) Di mana : = vektor yang berisi variabel yang dianalisis dalam penelitian = vektor intercept = vektor koefisien regresi t = time trend ∏ = αx β’ dimana b’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang = variabel in-level Tx = matriks koefisien regresi k-1 = ordo VECM dari VAR k = lag ε = error term
17
Impuls Response Function (IRF) Suatu metode yang digunakan untuk menentukan respons suatu variabel endogen terhadap suatu shock tertentu. Hal ini dikarenakan shock variabel misalnya ke-i tidak hanya berpengaruh terhadap variabel ke-i itu saja, tetapi ditransmisikan kepada semua variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis atau struktur lag dalam VECM. Atau dengan kata lain IRF mengukur pengaruh suatu shock pada suatu waktu kepada inovasi variabel endogen pada saat tersebut dan di masa yang akan datang. Sementara itu, IRF bertujuan untuk mengisolasi suatu guncangan agar lebih spesifik, yang artinya suatu variabel dapat dipengaruhi oleh shock atau guncangan tertentu. Apabila suatu variabel tidak dapat dipengaruhi oleh shock, maka shock spesifik tersebut tidak dapat diketahui melainkan shock secara umum. Variance Decomposition (FEVD) Metode yang dapat dilakukan untuk melihat bagaimana perubahan suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya adala FEVD. Metode ini mencirikan suatu struktur dinamis dalam model VAR/VECM. Dalam metode ini dapat dilihat kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel mempengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang. FEVD merinci ragam dari peramalan galat menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Dengan menghitung persentase kuadrat prediksi galat k-tahap ke depan dari sebuah varabel akibat inovasi dalam varabel-variabel lain maka akan dapat dilihat seberapa besar perbedaan antara error variance sebelum dan sesudah terjadinya shock yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari variabel lain. Jadi melalui FEVD dapat diketahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi dari variabel tertentu. Model Penelitian Model Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada model penelitian Masyitha Mutiara Ramadhan (2012) : Tabel 3. Rujukan Model Penelitian Model
Penjabaran
I
CRDt= f ( IRt , SBIt ,SBISt )
II
PYDt= f ( MARGINt , PLSt , SBIt , SBISt )
Dimana: CRDt PYDt IRt MARGINt PLSt SBIt SBISt
= Kredit UMKM Konvensional = Pembiayaan UMKM Syariah = Suku Bunga Rata-Rata Kredit = Tingkat Margin Rata-Rata Pembiayaan = Profit and Loss Sharing = Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia = Bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah
18
Merujuk pada model penelitian tersebut, model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 4. Model Penelitian Model
Penjabaran
I
CRDt= f ( IRt , SBIt ,SBISt )
II
PYDt= f ( MARGINt , PLSt , SBIt , SBISt )
Dimana: CRDt PYDt IRt MARGINt PLSt SBIt SBISt
= Kredit Properti Konvensional = Pembiayaan Properti Syariah = Suku Bunga Rata-Rata Kredit = Tingkat Margin Rata-Rata Pembiayaan = Profit and Loss Sharing = Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia = Bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Pada penelitian ini instrumen moneter yang digunakan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu instrumen moneter konvensional dan syariah. Instrumen moneter konvensional dicerminkan melalui suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), sedangkan instrumen moneter syariah dicerminkan melalui bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Penyaluran dana dari perbankan ke sektor Properti dicerminkan melalui total kredit Properti dari perbankan konvensional dan pembiayaan Properti dari perbankan syariah. Sedangkan suku bunga kredit, presentase profit dan loss sharing, dan presentase margin adalah variabel dalam proses transmisi moneter melalui jalur kredit. Sertifikat Bank Indonesia dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem diskonto atau bunga. SBI digunakan untuk menjaga kestabilan rupiah dimana dengan penjualan SBI Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Bank Indonesia melakukan perhitungan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia dengan cara mengumumkan target suku bunga SBI yang diinginkan Bank Indonesia untuk pelelangan pada masa periode tertentu. Dewasa ini, jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah di Indonesia semakin berkembang sehingga berdampak terhadap peningkatan mobilisasi dana masyarakat. Perkembangan bank syariah yang cukup pesat tentunya dilandasi dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Dengan perkembangan tersebut maka pengendalian moneter oleh
19
Bank Indonesia melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT) yang selama ini melalui bank-bank konvensional dapat diperluas melalui bank-bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah . Instrumen kebijakan moneter yang hadir pertama kali di Indonesia setelah dikeluarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan syariah sebagai instrumen penyerap likuiditas layaknya bank konvensional adalah Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Berdasarkan peraturan Bank Indonesia Nomor 6/7/PBI/2004, SWBI adalah penitipan dana jangka pendek dengan prinsip wadiah yang disediakan Bank Indonesia untuk bank syariah dan unit usaha syariah sebagai bukti penitipan dana wadiah. Akan tetapi, bank syariah mengeluh akan return dari SWBI yang nilainya lebih rendah dari Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Hal ini disebabkan karena pemberian bonus atas penitipan dana wadiah adalah kewenangan Bank Indonesia yang besarnya sesuai dengan kebijakan dan anggaran dana yang dimiliki oleh Bank Indonesia. Karena hal itulah Bank Indonesia mengeluarkan peraturan kembali mengenai instrumen penyerap likuiditas yang berdasarkan syariah pengganti SWBI agar lebih menguntungkan dalam hal return yang didapatkan bank syariah. Dikeluakannya peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 mengenai Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) maka peraturan mengenai SWBI resmi dicabut. SBIS diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi pasar terbuka pengganti SWBI dalam rangka pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. SBIS yang diterbitkan menggunakan akad Ju’alah, yaitu janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (‘iwadhju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Gambar 8. menunjukan besarnya return SBI dan SBIS pada periode penelitian. Dapat dilihat pada gambar bahwa sebelum tahun 2009 return SBI selalu lebih tinggi dibandingkan SBIS (SWBI), tetapi sejak adanya peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 yang mulai diterapkan sejak Maret 2008 tentang penerapan SBIS maka return SBIS dan SBI tidak jauh berbeda dan mengalami penyesuaian. Demi semangat perlakuan yang adil (fair treatment) dengan instrumen moneter konvensional, Bank Indonesia melalui instrumen moneter syariah (SBIS) melakukan benchmarking secara langsung terhadap nilai suku bunga SBI sehingga bonus SBIS ditetapkan sama persis nilainya dengan suku bunga SBI. 12 10 8 6 4 2 0
Bonus SBIS (%) Suku Bunga SBI (%) 2008
2009
2010
2011 Tahun
2012
2013
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 2013 (diolah)
Gambar 8. Perkembangan SBI dan SBIS periode Januari 2008- Desember 2013
20
Penyaluran Dana Properti 1. Kredit Properti dari Bank Konvensional Kredit properti yang disalurkan bank konvensional memiliki tren yang terus meningkat. Tercatat pada Desember 2013, porsi kredit properti yang disalurkan sebesar 14, 33 persen dari total kredit atau sekitar Rp 471, 96 triliun seperti diperlihatkan pada Gambar 9. 500000 450000 400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0 Desember 2008 Desember 2009 Desember 2010 Desember 2011 Desember 2012 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 2013
Kredit Properti BUK/CRD (Miliar Rp)
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 2013 (diolah)
Gambar 9. Perkembangan Kredit Properti 2. Pembiayaan Properti dari Bank Syariah Pembiayaan properti yang disalurkan bank syariah memiliki tren yang terus meningkat. Tercatat pada Desember 2013, porsi pembiayaan properti yang disalurkan sebesar 3,78 persen dari total pembiayaan atau sekitar Rp 6, 96 triliun seperti diperlihatkan pada Gambar 10. 8000 7000 6000
Pembiayaan Properti BUS/PYD (Miliar Rp)
5000 4000 3000 2000 1000
Sumber: Laporan Keuangan Bank Umum Syariah, 2013 (diolah)
Gambar 10. Perkembangan Pembiayaan Properti
Desember 2013
November
Oktober
September
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Februari
Januari
Desember 2012
Desember 2011
Desember 2010
Desember 2009
Desember 2008
0
21
3. Perbandingan Kredit dan Pembiayaan Properti Perbandingan kredit atau pembiayaan Properti pada bank konvensional dan syariah dapat dilihat dari beberapa hal, salah satunya dari porsi pembiayaan yang disalurkan kepada Properti. Porsi pembiayaan dihitung dengan cara membagi jumlah pembiayaan properti dengan jumlah pembiayaan total yang disalurkan. Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa porsi kredit Properti yang disalurkan bank konvensional masih jauh lebih besar dibandingkan dengan pembiayaan Properti dari bank syariah. Tercatat pada Desember 2013 sekitar 14,33 persen penyaluran dana pada bank konvensional ditujukan kepada properti, sedangkan bank syariah hanya memiliki porsi 3,78 persen dari total pembiayaannya. Total pembiayaan Properti dari bank syariah pun baru mencapai 1,5 persen dari total kredit Properti bank konvensional. Porsi kredit properti yang mencapai nilai 14,33 persen dari total kredit mengindikasikan sektor properti akan sangat potensial sehingga terus mendapatkan perhatian dari perbankan konvensional. Porsi pembiayaan properti yang baru sebesar 3,78 persen mengindikasikan sektor properti belum menjadi prioritas utama pembiayaan perbankan syariah sehingga intermediasi perbankan syariah ke sektor properti cenderung lambat. Hal ini masih dapat dimaklumi mengingat usia perbankan syariah yang baru melewati satu dekade dan baru fokus bergerak di pembiayaan properti pada tahun 2009 dengan jumlah aset yang masih lebih kecil jika dibandingkan dengan bank konvensional. 25 20
Persen
15 Bank Konvensional
10
Bank Syariah 5 0 2008
2009
2010
2011 Tahun
2012
2013
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) dan Laporan Keuangan Bank Umum Syariah, 2013 (diolah)
Gambar 11. Perbandingan porsi penyaluran dana ke sektor properti bank syariah dan konvensional periode Januari 2008- Desember 2013 Suku Bunga Kredit dan Bagi Hasil Faktor suku bunga dan bagi hasil tentunya menjadi pertimbangan para bankir dalam menentukan besar kecilnya dana yang akan disalurkan ke sektor properti. Secara teori, semakin tinggi return (suku bunga dan bagi hasil) maka penawaran pemberian dana dari perbankan melalui kredit atau pembiayaan akan semakin besar karena bank akan mendapatkan keuntungan lebih besar. Akan tetapi dari sisi permintaan, tingginya tingkat return cenderung menurunkan
22
Persen
permintaan kredit karena peminjam diharuskan membayar bunga yang lebih besar. Terjadi kompetisi antara bank syariah dan bank konvensional dalam penentuan return yang ditunjukkan dengan adanya fluktuasi pada besaran suku bunga bank konvensional dan bagi hasil bank syariah. Gambar 12 memperlihatkan persentase suku bunga bank konvensional berada diatas persentase bagi hasil perbankan syariah hingga akhir tahun 2010, namun memasuki tahun 2011 persentase bagi hasil perbankan syariah mengungguli persentase suku bunga perbankan konvensional. Hal ini didorong upaya akselarasi peningkatan pangsa pasar perbankan syariah yang dicanangkan mulai tahun 2011 sehingga dalam prosesnya memberikan tingkat bagi hasil yang cukup tinggi. Tercatat pada Desember 2013, perbankan syariah menawarkan tingkat bagi hasil sebesar 13,51 persen sementara perbankan konvensional menawarkan tingkat suku bunga sebesar 12,14 persen. Besarnya tingkat return bank syariah dan bank konvensional yang cukup fluktuatif mendorong persaingan keduanya cukup kompetitif. 16 14 12 10 8 6 4 2 0 2008
2009
2010
2011
Tahun Suku Bunga Bank Konvensional
2012
2013
Bagi Hasil Bank Syariah
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia dan Perbankan Indonesia Syariah, 2013 (diolah)
Gambar 12. Perbandingan Suku Bunga dan Bagi Hasil periode 2008-2013
Hasil Estimasi Model VECM Uji Stasioneritas Data Uji stasioneritas data dilakukan pada setiap variabel yang digunakan pada model. Langkah ini digunakan untuk menghindari masalah regresi lancung (spurious regression) karena data yang digunakan pada penelitian ini adalah data time series. Data time series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit root pada tingkat level. Uji stasioneritas ini dilakukan pada tingkat level dan first difference dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) test. Jika nilai ADF test lebih kecil dari nilai kritisnya, maka data tersebut stasioner. Nilai kritis yang dipakai pada penelitian ini adalah 5 persen. Hasil uji stasioneritas menunjukan variabel Kredit Properti, Pembiayaan Properti, dan Bonus SBIS stasioner pada tingkat level. Sedangkan Suku Bunga
23
Kredit, Margin Pembiayaan, Profit and Loss Sharing, dan Suku Bunga SBI stasioner pada tingkat first difference. Tabel 5 Hasil Uji Stasioneritas Data ADF Variabel
Statistik
Nilai Kritis MacKinnon 1%
5%
10%
Keterangan
Level LN_CRD
-4.831084
-4.092547
-3.47436
-3.1645
Stasioner*
LN_PYD
-4.22301
-4.092547
-3.47436
-3.1645
Stasioner*
IR
-1.984874
-3.525618
-2.90295
-2.5889
Tidak Stasioner
MARGIN
-2.841477
-3.53003
-2.90485
-2.58991
Tidak Stasioner
PLS
-1.855799
-3.525618
-2.90295
-2.5889
Tidak Stasioner
SBI
-1.832579
-3.527045
-2.90357
-2.58923
Tidak Stasioner
SBIS
-3.094464
-3.527045
-2.90357
-2.58923
Stasioner*
first difference LN_CRD
-9.28036
-3.527045
-2.90357
-2.58923
Stasioner*
LN_PYD
-7.649646
-3.527045
-2.90357
-2.58923
Stasioner*
IR
0.0000
-3.527045
2.903566
-2.58923
Stasioner*
MARGIN
-7.963893
-3.53003
-2.90485
-2.58991
Stasioner*
PLS
-9.34531
-3.527045
-2.90357
-2.58923
Stasioner*
SBI
-3.549331
-3.528515
-2.9042
-2.58956
Stasioner*
SBIS -6.021583 -3.528515 -2.9042 -2.58956 Stasioner* Sumber : Data penelitian (diolah) Catatan : tanda asterik (*) menunjukkan nilai pengujian berdasarkan taraf nyata lima persen
Uji Lag Optimum Penetapan lag optimum bertujuan untuk menunjukan berapa lama reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya serta menghilangkan masalah autokorelasi dalam sebuah sistem VAR. Pengujian panjang lag ditentukan berdasarkan kriteia Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwarz Criterion (SC) yang terkecil. Pada penelitian ini model VAR diestimasi dengan tingkat lag yang berbeda-beda kemudian dibandingkan nilai SC-nya. Nilai SC terkecil dipakai sebagai acuan nilai lag optimal. Berdasarkan hasil pengujian lag optimum, Model I optimum pada lag pertama dan Model II optimum pada lag kedua Tabel 6 Perhitungan Lag Optimum Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
Model I 0
-271.5311
1
10.71654
2
28.09008
NA
0.030833
7.872318
8.000803
7.923354
524.1742
1.53E-05
0.265242
0.907669*
0.520421*
30.27959*
1.48e-05*
0.225998*
1.382367
0.685322
24
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
Model II 0
-642.8756
NA
75.29053
18.51073
18.67134
18.57452
1
-325.7200
579.9416
0.017884
10.16343
11.12707
10.54620
2
-256.9727
115.8883*
0.005181*
8.913507*
10.68018*
9.615252*
Sumber : Data penelitian (diolah) Catatan : tanda asterik cetak tebal (*) Lag optimal yang dipilih
Uji Stabilitas VAR Uji Stabilitas VAR digunakan untuk melihat kestabilan dari sistem VAR. Apabila seluruh akar-akarnya memiliki modulus yang nilai absolutnya lebih kecil dari satu dan terletak pada unit circlenya, maka model VAR tersebut stabil sehingga analisis IRF dan FEVD yang dihasilkan dianggap valid. Dari hasil uji stabilitas VAR, dapat disimpulkan bahwa sistem VAR bersifat stabil karena root yang diuji memiliki kisaran kurang dari satu, yatu berkisar antara 0.617802 0.955679 pada Model I dan berkisar antara 0.629905 -0.974563 pada Model II. Tabel 7. Stabilitas sistem Vector Autoregression Root
Modulus
Model I 0.948851 – 0.114038i
0.955679
0.948851 + 0.114038i
0.955679
0.904854
0.904854
0.617802
0.617802
Model II 0.974478 – 0.012917i
0.974563
0.974478 + 0.012917i
0.974563
0.790301
0.790301
0.629332 – 0.026870i
0.629905
0.629332 + 0.026870i
0.629905
Sumber : Data penelitian (diolah)
Uji kointegrasi Uji Kointegrasi dilakukan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner pada level namun stasioner pada first difference memiliki kointegrasi atau tidak. Uji Kointegrasi mengimplikasikan bahwa dalam sistem persamaan tersebut terdapat error correction model yang menggambarkan adanya dinamisasi jangka pendek secara konsisten dengan hubungan jangka panjangnya. Kointegrasi mempresentasikan hubungan keseimbangan jangka panjang. Uji kointegrasi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Johansen dengan membandingkan trace statistic dengan nilai kritis sebesar 5 persen. Jika nilai trace
25
statistik lebih besar dibandingkan nilai kritisnya maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Tabel 8. menunjukan bahwa minimal terdapat satu rank kointegrasi pada taraf nyata lima persen, yang berarti terdapat minimal satu persamaan kointegrasi yang mampu menerangkan keseluruhan Model I. Tabel 8. Hasil Johansen Cointegration Test pada Model I Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
0.05
Statistic
Critical Value
Prob.**
None *
0.512724
112.6629
63.87610
0.0000
At most 1 *
0.399981
62.33828
42.91525
0.0002
At most 2 *
0.271077
26.58270
25.87211
0.0408
At most 3
0.061588
4.449613
12.51798
0.6765
Trace test indicates 5 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level *denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **Mackinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Sumber : Data penelitian (diolah)
Tabel 9. menunjukan bahwa minimal terdapat satu rank kointegrasi pada taraf nyata lima persen, yang berarti terdapat minimal satu persamaan kointegrasi yang mampu menerangkan keseluruhan Model II. Tabel 9. Hasil Johansen Cointegration test pada Model II Hypothesized No. of CE(s) None * At most 1 At most 2 At most 3 At most 4
Eigenvalue 0.702667 0.325059 0.143399 0.109218 0.076392
Trace Statistic 136.9155 52.01244 24.49338 13.65860 5.562736
0.05 Critical Value 88.80380 63.87610 42.91525 25.87211 12.51798
Prob.** 0.0000 0.3289 0.8144 0.6857 0.5177
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level *denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Sumber: Data Penelitian (diolah)
Berdasarkan hasil uji kointegrasi, pada kedua model terdapat minimal satu rank kointegrasi pada taraf nyata 5 persen yang berarti terdapat minimal satu persamaan kointegrasi yang mampu menjelaskan hubungan jangka panjang antar variable pada model, sehingga model yang digunakan adalah model VECM Uji Kausalitas Granger Uji Kausalitas Granger merupakan suatu metode untuk mengetahui apakah diantara variabel-variabel yang ada dalam model memiliki hubungan kausalitas (sebab-akibat). Berdasarkan hasil Uji Kausalitas Granger terdapat beberapa hubungan antara variabel, tetapi tidak terdapat hubungan sebab akibat diantara
26
variabel. Pada Model I, kredit Properti mempengaruhi suku bunga kredit dan suku bunga kredit mempengaruhi suku bunga SBI sementara suku bunga SBI mempengaruhi bonus SBIS dan bonus SBIS mempengaruhi suku bunga kredit. Sedangkan pada Model II, profit dan loss sharing mempengaruhi besarnya Pembiayaan Properti dan pembiayaan Properti mempengaruhi besarnya bonus SBIS. Tabel 10. Hasil Granger Causality Test Hipotesis
Probability
Kesimpulan
Model I LNCRD does not Granger Cause IR IR does not Granger Cause SBI SBIS does not Granger Cause IR SBI does not Granger Cause SBIS
0.0359 0.0009 0.0002 0.0016
LNCRD IR IR SBI SBIS IR SBI SBIS
0.0437 0.0041
PLS LNPYD LNPYD SBIS
Model II PLS does not Granger Cause LNPYD LNPYD does not Granger Cause SBIS Sumber : Data penelitian (diolah) Catatan : panah bercetak tebal ( ) variabel yang diteliti
Estimasi VECM Berdasarkan hasil uji kointegrasi sebelumnya terbukti bahwa terdapat kointegrasi pada kedua model. Untuk itu digunakanlah model VECM untuk menganalisis responsivitas kredit dan pembiayaan Properti terhadap instrumen moneter. Dengan analisis VECM dapat diketahui hubungan jangka pendek dan jangka panjang antar variabel. Dalam penelitian ini, digunakan signifikansi dengan taraf nyata lima persen. Tabel 11 Hasil estimasi VECM Kredit Properti Variabel
Koefisien
t-statistik
Jangka Pendek CointEq1
-0.014761
[-1.70309]
D(LNCRD(-1))
-0.211634
[-1.58305]
D(IR(-1))
-0.091322
[-1.23183]
D(SBI(-1))
-0.045884
[-0.94859]
D(SBIS(-1))
0.004861
[ 0.24706]
Jangka Panjang IR(-1)
-0.334495
[-0.73621]
SBI(-1)
-1.711915
[-5.23088]
SBIS(-1)
1.732475
[ 7.23146]
@TREND(08M01) -0.034938 Sumber : Data penelitian (diolah) Catatan : (Cetak Tebal) menunjukkan siginifikansi
[-1.62292]
27
Berdasarkan hasil uji estimasi VECM pada Model I dapat dijelaskan bahwa pada jangka pendek tidak ada variabel yang signifikan mempengaruhi kredit Properti. Hal ini terjadi karena model dalam penelitian ini adalah model transmisi moneter sehingga suatu variabel membutuhkan waktu atau lag untuk bereaksi pada variabel lain sehingga umumnya reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya terjadi dalam jangka panjang. Berdasarkan hasil estimasi jangka panjang, suku bunga SBI dan bonus SBIS memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kredit Properti. Variabel SBIS memiliki hubungan yang positif terhadap kredit Properti dari perbankan konvensional, sementara variabel SBI memiliki hubungan yang negatif terhadap kredit properti. Terdapat satu variabel yang tidak signifikan mempengaruhi kredit Properti yaitu suku bunga kredit (IR) karena nilai t-statistiknya [-0.73621] lebih kecil dibandingkan t-tabel [1.66757]. Hal ini disebabkan ketika terjadi kenaikan suku bunga SBI, meski dalam mekanismenya akan meningkatkan suku bunga pinjaman, namun akan mendorong perbankan cenderung mengalokasikan dananya ke SBI dan mengurangi jumlah penawaran kredit yang disalurkan. Ketika permintaan kredit properti kecil, maka suku bunga pinjaman tidak menjadi variabel utama dalam penyaluran kredit properti. Selain itu, berdasarkan penelitian sebelumnya pemberian kredit modal kerja perbankan cenderung lebih mempertimbangkan harga properti dan pendapatan debitur diatas suku bunga, Tabel 12. Hasil Estimasi VECM Pembiayaan Properti Variabel
Koefisien
t-statistik
Jangka Pendek CointEq1
-0.046318
[-6.64794]
D(LNPYD(-1))
-0.094688
[-1.45124]
D(MARGIN(-1))
0.000302
[ 0.54951]
D(PLS(-1))
-0.013083
[-1.25052]
D(SBIS(-1))
0.101409
[ 12.2904]
D(SBI(-1))
-0.093859
[-5.33102]
Jangka Panjang MARGIN(-1)
0.003906
[ 0.64023]
PLS(-1)
-0.038087
[-0.43466]
SBIS(-1)
0.736160
[ 9.40113]
SBI(-1)
-0.704231
[-6.33729] [-5.70675]
@TREND(08M01) -0.041366 Sumber : Data penelitian (diolah) Catatan : (Cetak Tebal) menunjukkan siginifikansi
Berdasarkan hasil uji estimasi VECM pada Model II, pada jangka pendek suku bunga SBI dan bonus SBIS signifikan mempengaruhi pembiayaan Properti. Variabel SBI memiliki hubungan yang negatif terhadap pembiayaan Properti dari perbankan syariah, sementara variabel SBIS memiliki hubungan yang positif terhadap pembiayaan properti. Pengaruh kedua variabel ini dapat terlihat dalam
28
jangka pendek karena Model II ini menggunakan lag optimum 2 dimana variabel SBI dan SBIS mulai bereaksi terhadap variabel pembiayaan Properti. Berdasarkan hasil estimasi jangka panjang, suku bunga SBI dan bonus SBIS signifikan mempengaruhi pembiayaan Properti. Variabel SBI memiliki hubungan yang negatif terhadap pembiayaan Properti dari perbankan syariah, sementara variabel SBIS memiliki hubungan yang positif terhadap pembiayaan properti. Variabel MARGIN memiliki hubungan yang positif dengan pembiayaan properti namun tidak signifikan mempengaruhi pembiayaan karena nilai tstatistiknya [0.64023] lebih kecil dibandingkan t-tabel [1.66792]. Hal ini disebabkan ketika terjadi kenaikan bonus SBIS, meski dalam mekanismenya akan meningkatkan margin pembiayaan, namun akan mendorong perbankan cenderung mengalokasikan dananya ke SBIS dan mengurangi jumlah penawaran pembiayaan yang disalurkan. Ketika permintaan pembiayaan properti kecil, maka margin pembiayaan tidak menjadi variabel utama dalam penyaluran pembiayaan properti. Sementara variabel PLS tidak signifikan mempengaruhi pembiayaan karena nilai t-statistiknya [0.64023] lebih kecil dibandingkan t-tabel [1.66792]. Hal ini mungkin disebabkan masih lambatnya intermediasi perbankan syariah ke sektor properti mengingat perbankan syariah masih tergolong baru dalam menggarap pembiayaan properti yang dimulai tahun 2009. Impulse Response Function (IRF) Analisis Impulse Response Function (IRF) merupakan salah satu analisis penting di dalam model VAR/VECM. Analisis IRF ini melacak respon dari variabel endogen di dalam sistem VAR karena adanya goncangan (shocks) atau perubahan di dalam variabel gangguan. Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LNCRD to LNCRD
Response of LNCRD to IR
.16
.16
.12
.12
.08
.08
.04
.04
.00
.00
-.04
-.04 10
20
30
40
50
60
70
10
Response of LNCRD to SBI
20
30
40
50
60
70
Response of LNCRD to SBIS
.16
.16
.12
.12
.08
.08
.04
.04
.00
.00
-.04
-.04 10
20
30
40
50
60
70
10
20
30
40
50
60
Sumber : Data penelitian (diolah)
Gambar 13. Analisis impulse response function (IRF) persamaan LNCRD
70
29
Berdasarkan hasil uji IRF Model I pada Gambar 13, guncangan kredit properti sebesar satu standar deviasi pada periode pertama akan menyebabkan peningkatan pada kredit property itu sendiri sebesar 0.119500 persen dimana angka ini merupakan titik tertinggi dari peningkatan pada kredit properti sebagai respon terhadap guncangan. Pada periode kedua, respon kredit properti terhadap guncangan mengalami penurunan, menjadi sebesar 0.105693 persen dimana angka ini merupakan titik terendah dari peningkatan pada kredit properti. Memasuki periode ketiga, respon kredit properti terhadap guncangan berfluktuasi dan baru mencapai titik keseimbangan pada periode tujuh belas dimana terjadi peningkatan pada kredit properti sebesar 0.119010 persen dan angka ini tetap terjaga sepanjang periode. Di sisi lain, guncangan pada suku bunga kredit (IR) sebesar satu standar deviasi pada periode pertama belum direspon oleh kredit properti. Mulai periode kedua, guncangan pada suku bunga kredit direspon negatif oleh kredit properti sebesar 0.021712 persen dimana angka ini merupakan titik tertinggi dari respon kredit properti terhadap guncangan. Memasuki periode selanjutnya, respon kredit properti terhadap guncangan mengalami penurunan dan mencapai titik terendahnya pada periode keempat dengan penurunan sebesar 0.024944 persen. Memasuki periode kelima, respon kredit properti terhadap guncangan kembali mengalami peningkatan dan baru mencapai titik keseimbangan pada periode keenam belas dimana terjadi penurunan pada kredit properti sebesar 0.024000 persen dan angka ini tetap terjaga sepanjang periode. Guncangan pada suku bunga SBI sebesar satu standar deviasi pada periode pertama belum direspon oleh kredit properti. Mulai periode kedua, guncangan pada suku bunga SBI direspon negatif oleh kredit properti sebesar 0.010213 persen dimana angka ini merupakan titik tertinggi dari respon kredit properti terhadap guncangan. Memasuki periode ketiga, respon negatif dari kredit properti terhadap guncangan mengalami kenaikan dan mencapai titik terendahnya pada bulan kedelapan belas sebesar 0.025556 persen dimana angka ini juga merupakan titik keseimbangan yang tetap terjaga sepanjang periode. Guncangan pada bonus SBIS sebesar satu standar deviasi pada periode pertama belum direspon oleh kredit properti. Mulai periode kedua, guncangan pada bonus SBIS direspon negatif oleh kredit properti sebesar 0.009362 persen dimana angka ini merupakan titik tertinggi dari respon kredit properti terhadap guncangan. Memasuki periode ketiga, respon kredit properti terhadap guncangan mengalami penurunan dan mencapai titik terendahnya pada periode kelima sebesar 0.019955 persen. Namun, memasuki periode keenam respon negatif dari kredit properti terhadap guncangan mengalami penurunan dan mencapai titik keseimbangan pada periode kedelapan belas dimana terjadi penurunan pada kredit properti sebesar 0.018904 dan angka ini tetap terjaga sepanjang periode.
30
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LNPYD to LNPYD
Response of LNPYD to MARGIN
.08
.08
.04
.04
.00
.00
-.04
-.04
-.08
-.08 10
20
30
40
50
60
70
10
Response of LNPYD to PLS
20
30
40
50
60
70
Response of LNPYD to SBIS
.08
.08
.04
.04
.00
.00
-.04
-.04
-.08
-.08 10
20
30
40
50
60
70
10
20
30
40
50
60
70
Response of LNPYD to SBI .08
.04
.00
-.04
-.08 10
20
30
40
50
60
70
Sumber : Data penelitian (diolah)
Gambar 14. Analisis impulse response function (IRF) persamaan LNPYD Berdasarkan hasil uji IRF pada Gambar 14, guncangan pembiayaan properti sebesar satu standar deviasi pada periode pertama akan menyebabkan peningkatan pada pembiayaan properti itu sendiri sebesar 0.053292 persen. Pada periode kedua, respon pembiayaan properti terhadap guncangan mengalami penurunan, menjadi sebesar 0.037962 persen dimana angka ini merupakan titik terendah dari peningkatan pada pembiayaan properti. Memasuki periode ketiga, respon pembiayaan properti terhadap guncangan kembali meningkat dan mencapai titik tertinggi pada periode kedua puluh lima sebesar 0.075477 dimana angka ini juga merupakan titik keseimbangan yang tetap terjaga sepanjang periode. Di sisi lain, guncangan pada tingkat margin pembiayaan sebesar satu standar deviasi pada periode pertama belum direspon oleh pembiayaan properti. Pada periode kedua, guncangan pada tingkat margin pembiayaan direspon positif oleh pembiayaan properti sebesar 0.001415 persen. Pada periode ketiga, respon pembiayaan properti terhadap guncangan mengalami peningkatan dan mencapai titik tertingginya sebesar 0.001570 persen. Memasuki periode keempat, respon pembiayaan properti terhadap guncangan mengalami penurunan dan mencapai
31
titik terendahnya pada periode kedelapan belas sebesar 0.001099 persen dimana angka ini juga merupakan titik keseimbangan yang tetap terjaga sepanjang periode. Guncangan pada imbal hasil pembiayaan sebesar satu standar deviasi pada periode pertama belum direspon oleh pembiayaan properti. Pada periode kedua, guncangan pada imbal hasil pembiayaan direspon negatif oleh pembiayaan properti sebesar 0.004593 persen dimana angka ini merupakan titik terendah dari respon pembiayaan properti terhadap guncangan. Memasuki periode ketiga, respon pembiayaan properti terhadap guncangan mengalami kenaikan dan di periode keempat berubah positif dan mencapai titik tertingginya pada periode kedua puluh tiga sebesar 0.005070 persen dimana angka ini juga merupakan titik keseimbangan yang tetap terjaga sepanjang periode. Guncangan pada suku bunga SBI sebesar satu standar deviasi pada periode pertama belum direspon oleh pembiayaan properti. Pada periode kedua, guncangan pada suku bunga SBI direspon negatif oleh pembiayaan properti sebesar 0.015076 persen dimana angka ini merupakan titik terendah dari respon pembiayaan properti terhadap guncangan. Memasuki periode ketiga, respon pembiayaan properti terhadap guncangan berubah positif dan mengalami kenaikan menjadi sebesar 0.034129 persen di periode kedua puluh enam dimana angka ini merupakan titik tertinggi dari respon pembiayaan properti terhadap guncangan dan titik keseimbangan yang tetap terjaga sepanjang periode. Guncangan pada bonus SBIS sebesar satu standar deviasi pada periode pertama belum direspon oleh pembiayaan properti. Pada periode kedua, guncangan pada bonus SBIS direspon positif oleh pembiayaan properti sebesar 0.029032 persen dimana angka ini merupakan titik tertinggi dari respon pembiayaan properti terhadap guncangan. Memasuki periode ketiga, respon pembiayaan properti terhadap guncangan berubah negatif dan terus mengalami penurunan hingga menjadi sebesar 0.059403 persen mulai periode kedua puluh tujuh dimana angka ini merupakan titik terendah dari respon pembiayaan properti terhadap guncangan serta titik keseimbangan yang tetap terjaga sepanjang periode. Variance Decomposition (FEVD) Variance Decomposition (FEVD) bermanfaat untuk menjelaskan kontribusi dari masing-masing variabel terhadap shock yang ditimbulkannya terhadap variabel endogen utama yang diamati. FEVD. FEVD memiliki tujuan untuk menjelaskan seberapa besar persentase kontribusi masing-masing guncangan (shock) dalam variabel yang mempengaruhi kredit dan pembiayaan properti di Indonesia. Jangka waktu yang digunakan dalam memproyeksikan FEVD adalah sebesar 6 tahun terdiri dari 72 bulan.
32
100% 98% 96% 94% SBIS
92%
SBI
90%
IR
88%
LNCRD
86% 84% 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 3740 43 46 49 52 55 5861 64 67 70 73 Periode Sumber : Data penelitian (diolah)
Gambar 15 Variance decomposition (%) LNCRD Berdasarkan hasil Variance Decomposition (FEVD) pada model I yang ditunjukkan diatas, dapat diidentifikasi seberapa besar pengaruh variabel penelitian terhadap kredit properti. Pada periode pertama, variabel kredit properti secara signifikan dipengaruhi oleh variabel kredit properti itu sendiri sebesar 100 persen. Kontribusi variabel lain mulai berpengaruh terhadap penyaluran kredit properti memasuki periode kedua dengan persentase untuk suku bunga kredit sebesar 1.80 persen, suku bunga SBI sebesar 0.40 persen, dan bonus SBIS sebesar 0.34 persen. Memasuki periode ketujuh puluh dua (tahun ke-6), kontribusi masing-masing variabel mengalami perubahan terhadap penyaluran kredit properti. Pengaruh kredit properti terhadap penyaluran kredit properti itu sendiri menurun hingga sebesar 90.14 persen. Variabel suku bunga kredit mengalami kenaikan menjadi sebesar 3.63 persen. Lalu diikuti variabel suku bunga SBI yang meningkat menjadi 3.99 persen dan bonus SBIS sebesar 2.24 persen. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
SBI SBIS PLS MARGIN LNPYD 1 4 7 1013 1619 2225 283134 3740 4346 495255 5861 64677073 Periode
Sumber : Data penelitian (diolah)
Gambar 16 Variance decomposition (%) LNPYD
33
Berdasarkan hasil Variance Decomposition (FEVD) pada model II yang ditunjukkan diatas, dapat diidentifikasi seberapa besar pengaruh variabel penelitian terhadap pembiayaan properti. Pada periode pertama, variabel pembiayaan properti secara signifikan dipengaruhi oleh variabel pembiayaan properti itu sendiri sebesar 100 persen. Kontribusi variabel lain mulai berpengaruh terhadap penyaluran pembiayaan properti memasuki periode kedua dengan pesentase untuk tingkat margin sebesar 0.04 persen, imbal hasil pembiayaan (PLS) sebesar 0.39 persen, suku bunga SBI sebesar 4.23 persen, dan bonus SBIS sebesar 15.68 persen. Memasuki periode ketujuh puluh dua (tahun ke-6), konribusi masing-masing variabel mengalami perubahan terhadap penyaluran pembiayaan properti. Pengaruh pembiayaan properti terhadap penyaluran pembiayaan properti itu sendiri menurun hingga sebesar 55.50 persen. Variabel tingkat margin mengalami penurunan menjadi sebesar 0.01 persen dan imbal hasil pembiayaan (PLS) yang juga mengalami penurunan menjadi sebesar 0.24 persen. Kemudian diikut variabel suku bunga SBI yang meningkat menjadi 11.05 persen dan bonus SBIS yang mengalami kenaikan yang signifikan menjadi sebesar 33.20 persen. Implikasi Estimasi Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Konvensional terhadap Penyaluran Dana ke Sektor Properti 1. Pengaruh Suku Bunga SBI dan bonus SBIS terhadap Kredit Properti Konvensional Pada estimasi pengujian Impulse Response Function (IRF), guncangan moneter berpengaruh dengan cepat pada kredit properti konvensional. Respon Kredit Properti terhadap guncangan suku bunga SBI dan bonus SBIS adalah negatif. Makna dari respon Kredit Properti yang negatif terhadap guncangan suku bunga SBI dan bonus SBIS menunjukkan bahwa apabila terjadi guncangan (suku bunga SBI atau bonus SBIS naik) akan menyebabkan menurunnya kredit properti yang disalurkan. Hal ini disebabkan ketika terjadi kenaikan suku bunga SBI atau bonus SBIS, perbankan akan lebih tertarik untuk mengalokasikan dananya di SBI atau SBIS karena menjanjikan return yang tinggi sehingga jumlah dana kredit Properti yang disalurkan akan menurun. Hal ini mengindikasikan SBI dan SBIS secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kredit properti dalam transmisi moneter melalui jalur kredit. Pada estimasi pengujian Variance Decomposition (FEVD) terlihat bahwa variabel suku bunga SBI memiliki pengaruh yang lebih dominan dibandingkan dengan variabel bonus SBIS. Namun demikian, baik SBI maupun SBIS kontribusinya masih terbilang kecil. Dalam jangka panjang suku bunga SBI masih memiliki pengaruh yang signifikan, namun relatif kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa peran SBI semakin lama semakin tidak efektif dalam transmisi moneter melalui jalur kredit.
34
2. Pengaruh Suku Bunga SBI dan bonus SBIS terhadap Pembiayaan Properti Syariah Pada estimasi pengujian Impulse Response Function (IRF), guncangan moneter berpengaruh dengan cepat pada pembiayaan properti syariah. Respon Pembiayaan Properti terhadap guncangan suku bunga SBI adalah positif dan terhadap guncangan bonus SBIS adalah negatif. Makna dari respon Pembiayaan Properti yang positif terhadap guncangan suku bunga SBI menunjukkan bahwa apabila terjadi guncangan (suku bunga SBI naik) akan menyebabkan meningkatnya pembiayaan properti yang disalurkan. Hal ini disebabkan ketika terjadi kenaikan suku bunga SBI, bank konvensional akan mengalihkan penyaluran dananya ke SBI sehingga kredit yang mereka tawarkan akan menurun. Kondisi ini dimanfaatkan oleh perbankan syariah dengan memberikan pembiayaan Properti yang lebih besar karena bank konvensional sebagai saingannya sedang menurunkan penyaluran kreditnya. Hal ini sejalan dengan penelitian Ramadhan (2012), yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pembiayaan syariah dan SBI. Semakin tinggi SBI akan menyebabkan kenaikan pembiayaan syariah dan sebaliknya Sementara respon pembiayaan properti yang negatif terhadap guncangan bonus SBIS menunjukkan bahwa apabila terjadi guncangan (bonus SBIS naik) akan menyebabkan menurunnya pembiayaan properti yang disalurkan. Hal ini disebabkan ketika terjadi kenaikan bonus SBIS, perbankan syariah akan lebih tertarik menyalurkan dana dengan pembelian SBIS karena memberikan return yang lebih tinggi dan menghadapi resiko yang lebih rendah dibandingkan dengan menyalurkan pembiayaan ke sektor Properti, sehingga jumlah dana pembiayaan Properti yang disalurkan akan menurun. Hal ini mengindikasikan secara signifikan SBI berpengaruh positif terhadap pembiayaan properti sementara SBIS memiliki berpengaruh negatif terhadap pembiayaan properti dalam transmisi moneter melalui jalur pembiayaan. Pada estimasi pengujian Variance Decomposition (FEVD) terlihat bahwa variabel bonus SBIS memiliki pengaruh yang lebih dominan dibandingkan dengan variabel suku bunga SBI. Pengaruh SBIS dalam pembiayaan Properti memiliki porsi yang sangat besar sementara pengaruh SBI terhadap pembiayaan Properti pun relatif cukup besar. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang pengaruh SBIS terhadap pembiayaan masih relatif besar. Hal ini dikarenakan pembiayaan Properti dari perbankan syariah mendapatkan pengaruh langsung dari SBIS sebagai salah satu instrumen moneter syariah pada saat transmisi moneter.
35
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Instrumen moneter konvensional yang diwakili oleh suku bunga SBI dan instrumen moneter syariah yang diwakili oleh bonus SBIS secara signifikan berpengaruh terhadap penyaluran dana ke sektor Properti baik melalui perbankan konvensional maupun perbankan syariah. Dari jalur kredit perbankan konvensional, SBI memiliki hubungan yang negatif terhadap kredit Properti. Begitu juga dengan SBIS yang memiliki hubungan yang negatif terhadap pembiayaan Properti. Perbankan akan lebih tertarik mengalokasikan dananya di SBI atau SBIS ketika terjadi kenaikan return. Hal ini lah yang menyebabkan jumlah penyaluran dana yang disalurkan ke sektor Properti akan menurun. 2. Berdasarkan hasil IRF, guncangan moneter akan berpengaruh relatif cepat pada pembiayaan Properti dari perbankan syariah dan kredit Properti dari perbankan konvensional. Akan tetapi, kredit Properti dari perbankan konvensional akan lebih cepat stabil dibandingkan dengan pembiayaan properti dari perbankan syariah. 3. Berdasarkan hasil FEVD, baik instrumen moneter syariah maupun instrumen moneter konvensional keduanya memiliki pengaruh yang besar pada jalur pembiayaan perbankan syariah. Sebaliknya, keduanya memiliki pengaruh yang kecil pada jalur kredit perbankan konvensional. Hal ini mengindikasikan bahwa peran SBI yang semakin tidak efektif dalam transmisi moneter melalui jalur kredit dan peran SBIS yang semakin signifikan dalam transmisi moneter melalui jalur pembiayaan. Saran 1. Peran SBIS yang semakin signifikan melalui jalur pembiayaan perbankan syariah mengindikasikan kinerja instrumen moneter syariah semakin baik. Untuk lebih mengefektifkan SBIS sebagai instrumen moneter syariah yang mampu mendorong bertumbuhnya sektor riil, bank bank syariah kedepannya harus mengoptimalkan intermediasi ke sektor properti sehingga mampu memberikan dampak yang positif terhadap sektor riil khususnya properti. 2. Transmisi kebijakan moneter lewat jalur kredit perbankan konvensional berjalan kurang optimal terlihat dari hasil FEVD yang menunjukan pengaruh instrumen moneter SBI yang tidak terlalu besar. Untuk itu, otoritas moneter harus ikut berpartisipasi mendorong penyaluran dana perbankan ke sektor Properti mengingat potensi sektor Properti yang masih sangat besar bagi perekonomian Indonesia.
36
Daftar Pustaka Ascarya, 2012. Transmission Channel and Effectiveness of Dual Monetary Policy in Indonesia. Bulletin of Monetary Economics and Banking, volume 14 No.3 Ascarya. 2007. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ayuniyyah, Qurroh. 2010. Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Konvensional Terhadap Pertumbuhan Sektor Riil di Indonesia.[Skripsi]. Bogor. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produk Domestik Bruto. Tersedia pada www.bps.go.id [diunduh 18 Maret 2014] Direktorat Perbankan Syariah. Statistik Perbankan Syariah. Berbagai Edisi.Jakarta: Bank Indonesia. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Berbagai Edisi. ___________. Statistik Perbankan Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Berbagai Edisi. Firdaus, Muhammad. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor: IPB Press. Karim, Adiwarman. 2010. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Mankiw, Gregory. 2007. Makro Ekonomi. Jakarta: Erlangga Mishkin, Frederic S. 2009. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. Addison Wesley. World Student Series. New York. Murtiningsih, Siti. 2009. Analisis Dampak Guncangan Variabel Makro Terhadap Investasi Bisnis Properti di Indonesia. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Muslim, Fauzal. 2008. Analisis Transmisi Kebijakan Moneter (Credit Chanelling) Terhadap Posisi Kredit Investasi Di Indonesia Periode 2001:1-2007:6 [Skripsi]. Bandung: Fakultas Ekonomi, Universitas Padjajaran. Ramadhan, Masyitha M. 2012. Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Konvensional Terhadap Penyaluran Dana ke Sektor Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) di Indonesia.[Skripsi].Bogor. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Rusydiana S.R. 2009. Mekanisme Transmisi Syariah pada Sistem Moneter Ganda di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, volume 11 No. 4 Sidik, M. 2000. Model Penelitian Properti Berbagai Penggunaan Tanah di Indonesia. Yayasan Bina Ummat Sejahtera, Jakarta. Sugiyono, F.X. 2003. Instrumen Pengendalian Moneter: Operasi Pasar Terbuka. Seri Kebanksentralan No.10. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, Jakarta. Wuryandani, Gantiah. Hermanto, Martinus J. Prasetya, Reska. 2005. Perilaku Pembiayaan Dalam Industri Properti. Jurnal Bank Indonesia.
37
LAMPIRAN Lampiran 1
Data yang digunakan
Periode
IR (%)
MARGIN (%)
PLS (%)
8.00
174.29 172.98
12.60 12.65
12.16
7.93
95832.00 106357.00
14.71
1.98
14.47
12.07
Maret
1.92
7.96
210.61
119898.00
12.59
14.49
12.06
254.40
132623.00
12.62
14.34
11.96
12.59
7.99
7.99
Mei
8.31
8.31
496.95
134323.00
14.22
11.83
Juni
8.37
8.37
479.06
135790.00
12.69
14.15
11.65
Juli
9.23
9.23
461.16
144585.00
12.76
14.17
11.43
533.87
186293.00
13.03
14.25
11.20
13.53
9.28
9.28
9.71
9.71
569.98
142372.00
14.39
11.06
Oktober
10.98
10.98
567.28
102728.00
14.21
14.55
11.07
November
11.24
11.24
579.12
103267.00
14.65
14.73
11.19
14.63
14.92
11.37
10.83 9.50
584.18
Januari
10.83 9.50
85254.00
599.28
191239.00
14.74
14.92
11.06
Februari
8.74
8.74
612.95
192714.00
14.57
15.04
10.93
Maret
8.21
8.21
647.91
192894.00
14.50
15.12
10.98
April
7.59
7.59
687.67
194449.00
14.34
15.32
11.37
Mei
7.25
7.25
703.20
196558.00
14.27
15.00
10.94
Juni
6.95
6.95
729.73
200127.00
14.04
15.46
11.29
Juli
6.71
6.71
744.72
201495.00
13.99
15.71
11.16
Agustus
6.58
6.58
871.77
204093.00
13.80
15.71
10.95
September
6.48
6.48
889.81
205832.00
13.68
15.78
11.04
Oktober
6.49
6.49
926.01
208748.00
13.61
15.65
11.21
November
6.47
6.47
951.16
211471.00
13.54
15.95
11.49
Desember
6.46
6.46
956.44
213912.00
13.27
16.07
11.72
Januari
6.45
6.45
980.10
199529.27
12.66
15.87
10.85
Februari
6.41
6.41
980.10
199435.06
12.68
16.51
11.42
Maret
6.27
6.27
1002.30
204830.84
12.95
16.44
11.75
April
6.20
6.20
1032.11
209571.73
12.89
85.17
11.57
Mei
6.30
6.30
1069.98
215578.16
12.75
80.69
11.30
Juni
6.26
6.26
1107.94
219049.30
12.63
73.30
11.39
Juli
6.63
6.63
1157.98
222202.79
12.68
15.77
11.04
Agustus
6.63
6.63
1159.36
225085.88
12.65
15.51
10.92
September
6.64
6.64
1240.50
228176.45
12.58
15.49
10.95
Oktober
6.37
6.37
1305.31
233704.41
12.57
15.61
11.52
November
6.42
6.42
1332.97
238366.77
12.51
15.53
11.67
Desember
6.26
6.26
1486.81
241274.31
12.39
15.30
14.52
Januari
6.08
6.08
1492.26
238794.83
12.45
15.40
13.96
Februari
6.70
6.70
1497.72
242676.28
12.44
15.32
14.01
Desember
2011
CRD (Miliar Rp)
3.34
September
2010
PYD (Miliar Rp)
Februari
Agustus
2009
SBI (%)
Januari
April
2008
SBIS (%)
38
2012
2013
Maret
6.72
6.72
1634.07
248620.32
11.69
15.23
14.43
April
7.18
7.18
1656.48
253501.53
11.81
15.10
14.15
Mei
7.36
7.36
1716.12
260187.11
11.79
15.25
14.33
Juni
7.36
7.36
1735.78
264980.01
11.77
15.15
14.41
Juli
7.28
7.28
1820.36
269480.62
12.29
15.13
14.23
Agustus
6.78
6.78
2473.93
277637.14
12.22
15.05
14.18
September
6.28
6.28
2695.09
284787.58
12.11
15.04
13.81
Oktober
5.77
5.77
2736.76
292652.93
12.09
14.93
13.75
November
5.22
5.22
2787.76
297358.37
12.00
14.76
13.48
Desember
5.04
5.04
2864.95
300738.37
11.98
14.72
13.64
Januari
4.88
4.88
2908.10
307055.72
12.16
14.66
13.76
Februari
3.82
3.82
3212.15
310623.16
12.04
14.66
13.59
Maret
3.83
3.83
3010.33
318671.05
12.02
14.63
13.80
April
3.93
3.93
3167.08
317526.79
11.87
14.40
13.82
Mei
4.24
4.24
3214.31
336713.18
11.79
14.33
13.81
Juni
4.32
4.32
3501.76
357763.50
11.80
14.21
13.65
Juli
4.46
4.46
3479.48
367824.19
11.79
14.12
13.70
Agustus
4.54
4.54
3656.17
347136.10
11.74
13.81
13.80
September
4.67
4.67
3786.69
356588.58
11.71
13.94
13.93
Oktober
4.75
4.75
3941.57
360532.74
11.69
13.85
13.68
November
4.77
4.77
4232.73
369600.13
11.62
13.81
13.70
Desember
4.80
4.80
4543.87
372964.42
11.50
13.69
13.44
Januari
4.84
4.84
4837.26
370826.76
11.50
13.74
13.54
Februari
4.86
4.86
4944.48
374392.93
11.46
13.68
13.45
Maret
4.87
4.87
5440.44
383383.67
11.45
13.57
13.13
April
4.89
4.89
5531.43
392251.29
11.45
13.52
12.97
Mei
5.02
5.02
5693.96
404906.20
11.47
13.64
12.52
Juni
5.28
5.28
5992.94
432458.69
11.42
13.56
12.32
Juli
5.52
5.52
6296.63
444026.20
11.68
13.47
14.97
Agustus
5.86
5.86
6068.52
453945.40
11.65
13.41
14.31
September
6.61
6.61
6244.67
465565.05
11.81
17.15
12.74
Oktober
6.97
6.97
6357.38
466654.29
11.95
13.34
12.80
November
7.22
7.22
6739.36
468934.01
12.08
13.32
12.67
Desember
7.22
7.22
6955.21
471961.96
12.14
13.18
13.51
39
Lampiran 2
Hasil Uji Stasioneritas Variabel 1) CRD Level Null Hypothesis: LNCRD has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.831084 -4.092547 -3.474363 -3.164499
0.0010
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
First Difference Null Hypothesis: D(LNCRD) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.280360 -3.527045 -2.903566 -2.589227
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
2) PYD Level Null Hypothesis: LNPYD has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-4.223010 -4.092547 -3.474363 -3.164499
0.0069
40
First Difference Null Hypothesis: D(LNPYD) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.649646 -3.527045 -2.903566 -2.589227
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
3) IR Level Null Hypothesis: IR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.840677 -3.525618 -2.902953 -2.588902
0.8011
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
First Difference Null Hypothesis: D(IR) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-5.845535 -3.527045 -2.903566 -2.589227
0.0000
41
4) MARGIN Level Null Hypothesis: MARGIN has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.841477 -3.530030 -2.904848 -2.589907
0.0579
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
First Difference Null Hypothesis: D(MARGIN) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.963893 -3.530030 -2.904848 -2.589907
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
5) PLS Level Null Hypothesis: PLS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-1.855799 -3.525618 -2.902953 -2.588902
0.3511
42
First Difference Null Hypothesis: D(PLS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.345310 -3.527045 -2.903566 -2.589227
0.0000
6) SBI Level Null Hypothesis: SBI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.832579 -3.527045 -2.903566 -2.589227
0.3620
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
First Difference Null Hypothesis: D(SBI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-3.549331 -3.528515 -2.904198 -2.589562
0.0094
43
7) SBIS Level Null Hypothesis: SBIS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.094464 -3.527045 -2.903566 -2.589227
0.0315
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
First Difference Null Hypothesis: D(SBIS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.021583 -3.528515 -2.904198 -2.589562
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 3
HASIL ANALISIS VAR/VECM MODEL I 1. Uji Lag Optimum VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LNCRD IR SBI SBIS Exogenous variables: C Date: 08/13/14 Time: 14:56 Sample: 2008M01 2013M12 Included observations: 70 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2
-271.5311 10.71654 28.09008
NA 524.1742 30.27959*
0.030833 1.53e-05 1.48e-05*
7.872318 0.265242 0.225998*
8.000803 0.907669* 1.382367
7.923354 0.520421* 0.685322
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
44
2. Uji Stabilitas VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: LNCRD IR SBI SBIS Exogenous variables: C Lag specification: 1 2 Date: 08/13/14 Time: 14:39 Root
Modulus
0.938640 0.907527 - 0.130558i 0.907527 + 0.130558i 0.425722 0.350889 - 0.198825i 0.350889 + 0.198825i -0.309053 0.236706
0.938640 0.916870 0.916870 0.425722 0.403304 0.403304 0.309053 0.236706
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
3. Uji Kointegrasi Date: 08/14/14 Time: 00:30 Sample (adjusted): 2008M03 2013M12 Included observations: 70 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: LNCRD IR SBI SBIS Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 * At most 3
0.512724 0.399981 0.271077 0.061588
112.6629 62.33828 26.58270 4.449613
63.87610 42.91525 25.87211 12.51798
0.0000 0.0002 0.0408 0.6765
Trace test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
4. Uji Kausalitas Granger Pairwise Granger Causality Tests Date: 08/13/14 Time: 20:50 Sample: 2008M01 2013M12 Lags: 1 Null Hypothesis: IR does not Granger Cause LNCRD LNCRD does not Granger Cause IR
Obs
F-Statistic
Prob.
71
0.98037 4.58277
0.3256 0.0359
45
SBI does not Granger Cause LNCRD LNCRD does not Granger Cause SBI
71
0.83716 0.64927
0.3634 0.4232
SBIS does not Granger Cause LNCRD LNCRD does not Granger Cause SBIS
71
0.98341 2.74570
0.3249 0.1021
SBI does not Granger Cause IR IR does not Granger Cause SBI
71
25.8679 12.0295
3.E-06 0.0009
SBIS does not Granger Cause IR IR does not Granger Cause SBIS
71
15.0649 5.7E-11
0.0002 1.0000
SBIS does not Granger Cause SBI SBI does not Granger Cause SBIS
71
0.06438 10.8308
0.8005 0.0016
5. Hasil Estimasi VECM Vector Error Correction Estimates Date: 08/14/14 Time: 00:30 Sample (adjusted): 2008M03 2013M12 Included observations: 70 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
LNCRD(-1)
1.000000
IR(-1)
-0.334495 (0.45435) [-0.73621]
SBI(-1)
-1.711915 (0.32727) [-5.23088]
SBIS(-1)
1.732475 (0.23957) [ 7.23146]
@TREND(08M01)
-0.034938 (0.02153) [-1.62292]
C
-6.762585
Error Correction:
D(LNCRD)
D(IR)
D(SBI)
D(SBIS)
CointEq1
-0.014761 (0.00867) [-1.70309]
0.002688 (0.01440) [ 0.18667]
0.002245 (0.02498) [ 0.08987]
-0.303421 (0.04673) [-6.49314]
D(LNCRD(-1))
-0.211634 (0.13369) [-1.58305]
-0.211033 (0.22211) [-0.95012]
0.195187 (0.38525) [ 0.50665]
0.449434 (0.72078) [ 0.62354]
D(IR(-1))
-0.091322 (0.07414)
0.272809 (0.12317)
-0.201453 (0.21364)
-0.449343 (0.39970)
46
[-1.23183]
[ 2.21490]
[-0.94296]
[-1.12420]
D(SBI(-1))
-0.045884 (0.04837) [-0.94859]
0.071745 (0.08036) [ 0.89274]
0.551390 (0.13939) [ 3.95565]
0.544758 (0.26079) [ 2.08885]
D(SBIS(-1))
0.004861 (0.01968) [ 0.24706]
-0.002603 (0.03269) [-0.07964]
0.043768 (0.05670) [ 0.77193]
0.167710 (0.10608) [ 1.58095]
C
0.024634 (0.01438) [ 1.71317]
0.000478 (0.02389) [ 0.02001]
-0.012355 (0.04144) [-0.29816]
0.058085 (0.07752) [ 0.74924]
0.101429 0.031229 0.884000 0.117527 1.444847 53.68709 -1.362488 -1.169760 0.021286 0.119406
0.154554 0.088503 2.440113 0.195261 2.339937 18.15008 -0.347145 -0.154417 -0.007286 0.204521
0.303784 0.249392 7.341109 0.338681 5.585099 -20.40051 0.754300 0.947028 -0.010143 0.390917
0.453338 0.410630 25.69636 0.633645 10.61484 -64.25059 2.007160 2.199888 0.074857 0.825376
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
1.14E-05 7.99E-06 13.49820 0.442909 1.374428
6. Hasil Impulse Response Function Period
LNCRD
IR
SBI
SBIS
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
0.119500 0.105693 0.115406 0.116628 0.118012 0.118504 0.118776 0.118897 0.118956 0.118984 0.118997 0.119003 0.119007 0.119008 0.119009 0.119009 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010
0.000000 -0.021712 -0.023840 -0.024944 -0.024689 -0.024434 -0.024231 -0.024116 -0.024055 -0.024025 -0.024012 -0.024005 -0.024002 -0.024001 -0.024001 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000
0.000000 -0.010213 -0.016042 -0.020259 -0.022699 -0.024080 -0.024811 -0.025188 -0.025376 -0.025469 -0.025514 -0.025536 -0.025546 -0.025551 -0.025554 -0.025555 -0.025555 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556
0.000000 -0.009362 -0.016548 -0.019293 -0.019955 -0.019817 -0.019521 -0.019272 -0.019107 -0.019011 -0.018958 -0.018931 -0.018917 -0.018910 -0.018907 -0.018905 -0.018905 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904
47
22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72
0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010 0.119010
-0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000 -0.024000
-0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556 -0.025556
Cholesky Ordering: LNCRD IR SBI SBIS
-0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904 -0.018904
48
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LNCRD to LNCRD
Response of LNCRD to IR
.16
.16
.12
.12
.08
.08
.04
.04
.00
.00
-.04
-.04 10
20
30
40
50
60
70
10
Response of LNCRD to SBI
20
30
40
50
60
70
Response of LNCRD to SBIS
.16
.16
.12
.12
.08
.08
.04
.04
.00
.00
-.04
-.04 10
20
30
40
50
60
70
10
20
30
40
7. Hasil Simulasi Forecast Errror Variance Decomposition Period
S.E.
LNCRD
IR
SBI
SBIS
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
0.119500 0.161600 0.201327 0.235668 0.266438 0.294283 0.319834 0.343537 0.365726 0.386652 0.406506 0.425436 0.443560 0.460971 0.477749 0.493957 0.509650 0.524875 0.539669 0.554069 0.568104
100.0000 97.45973 95.65065 94.29637 93.39233 92.77117 92.33176 92.00836 91.76167 91.56754 91.41077 91.28148 91.17297 91.08059 91.00097 90.93164 90.87072 90.81677 90.76865 90.72547 90.68650
0.000000 1.805209 2.565220 2.992424 3.199778 3.312314 3.378192 3.420894 3.450992 3.473656 3.491538 3.506117 3.518282 3.528611 3.537500 3.545236 3.552030 3.558047 3.563413 3.568228 3.572572
0.000000 0.399426 0.892295 1.390173 1.813451 2.156048 2.427100 2.641296 2.811954 2.949711 3.062556 3.156354 3.235397 3.302840 3.361027 3.411725 3.456286 3.495757 3.530961 3.562554 3.591064
0.000000 0.335634 0.891836 1.321035 1.594443 1.760470 1.862952 1.929452 1.975380 2.009091 2.035132 2.056052 2.073352 2.087964 2.100504 2.111400 2.120964 2.129429 2.136977 2.143748 2.149859
50
60
70
49
22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72
0.581801 0.595183 0.608270 0.621081 0.633634 0.645942 0.658021 0.669881 0.681536 0.692994 0.704266 0.715360 0.726285 0.737048 0.747656 0.758116 0.768433 0.778613 0.788662 0.798585 0.808386 0.818070 0.827640 0.837101 0.846456 0.855708 0.864862 0.873920 0.882885 0.891760 0.900548 0.909250 0.917870 0.926410 0.934872 0.943258 0.951570 0.959810 0.967979 0.976081 0.984116 0.992085 0.999992 1.007836 1.015619 1.023344 1.031010 1.038620 1.046175 1.053675 1.061123
90.65117 90.61897 90.58951 90.56246 90.53754 90.51449 90.49312 90.47325 90.45473 90.43742 90.42121 90.40600 90.39170 90.37823 90.36552 90.35350 90.34212 90.33134 90.32110 90.31137 90.30210 90.29328 90.28485 90.27681 90.26912 90.26176 90.25471 90.24796 90.24147 90.23524 90.22926 90.22350 90.21796 90.21262 90.20747 90.20250 90.19771 90.19308 90.18861 90.18429 90.18010 90.17605 90.17213 90.16833 90.16464 90.16107 90.15760 90.15424 90.15097 90.14779 90.14470
Cholesky Ordering: LNCRD IR SBI SBIS
3.576513 3.580102 3.583387 3.586403 3.589182 3.591752 3.594135 3.596350 3.598415 3.600345 3.602152 3.603848 3.605443 3.606945 3.608362 3.609702 3.610971 3.612173 3.613315 3.614400 3.615433 3.616417 3.617356 3.618253 3.619110 3.619931 3.620717 3.621470 3.622193 3.622888 3.623555 3.624197 3.624815 3.625410 3.625984 3.626538 3.627072 3.627588 3.628087 3.628569 3.629036 3.629487 3.629925 3.630348 3.630759 3.631158 3.631544 3.631920 3.632284 3.632639 3.632983
3.616921 3.640479 3.662032 3.681824 3.700064 3.716926 3.732562 3.747101 3.760653 3.773317 3.785176 3.796305 3.806770 3.816628 3.825930 3.834723 3.843046 3.850937 3.858429 3.865550 3.872328 3.878787 3.884949 3.890834 3.896461 3.901845 3.907003 3.911947 3.916692 3.921249 3.925630 3.929843 3.933898 3.937805 3.941571 3.945204 3.948710 3.952097 3.955369 3.958533 3.961595 3.964558 3.967428 3.970210 3.972906 3.975521 3.978058 3.980522 3.982914 3.985239 3.987499
2.155401 2.160449 2.165068 2.169310 2.173219 2.176832 2.180183 2.183299 2.186203 2.188917 2.191459 2.193844 2.196086 2.198199 2.200192 2.202077 2.203861 2.205552 2.207157 2.208683 2.210136 2.211520 2.212841 2.214102 2.215308 2.216461 2.217567 2.218626 2.219643 2.220620 2.221559 2.222461 2.223331 2.224168 2.224975 2.225753 2.226505 2.227231 2.227932 2.228610 2.229266 2.229901 2.230516 2.231112 2.231690 2.232251 2.232794 2.233322 2.233835 2.234333 2.234817
50
Lampiran 4
HASIL ANALISIS VAR/VECM MODEL II 1. Uji Lag Optimum VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LNPYD MARGIN PLS SBIS SBI Exogenous variables: C Date: 08/13/14 Time: 22:24 Sample: 2008M01 2013M12 Included observations: 70 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2
-642.8756 -325.7200 -256.9727
NA 579.9416 115.8883*
75.29053 0.017884 0.005181*
18.51073 10.16343 8.913507*
18.67134 11.12707 10.68018*
18.57452 10.54620 9.615252*
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
2. Uji Stabilitas VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: LNPYD MARGIN PLS SBIS SBI Exogenous variables: C Lag specification: 1 2 Date: 08/13/14 Time: 22:17 Root 0.994928 0.784807 - 0.102799i 0.784807 + 0.102799i 0.726346 0.431614 - 0.337951i 0.431614 + 0.337951i 0.381234 - 0.318061i 0.381234 + 0.318061i -0.395359 -0.050763 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.994928 0.791511 0.791511 0.726346 0.548181 0.548181 0.496489 0.496489 0.395359 0.050763
51
3. Uji Kointegrasi Date: 08/14/14 Time: 00:36 Sample (adjusted): 2008M03 2013M12 Included observations: 70 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: LNPYD MARGIN PLS SBIS SBI Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 At most 2 At most 3 At most 4
0.702667 0.325059 0.143399 0.109218 0.076392
136.9155 52.01244 24.49338 13.65860 5.562736
88.80380 63.87610 42.91525 25.87211 12.51798
0.0000 0.3289 0.8144 0.6857 0.5177
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
4. Uji Kausalitas Granger Pairwise Granger Causality Tests Date: 08/13/14 Time: 23:07 Sample: 2008M01 2013M12 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
MARGIN does not Granger Cause LNPYD LNPYD does not Granger Cause MARGIN
70
0.29532 0.29216
0.7453 0.7476
PLS does not Granger Cause LNPYD LNPYD does not Granger Cause PLS
70
3.28552 1.47496
0.0437 0.2363
SBIS does not Granger Cause LNPYD LNPYD does not Granger Cause SBIS
70
41.3137 5.99679
3.E-12 0.0041
SBI does not Granger Cause LNPYD LNPYD does not Granger Cause SBI
70
1.14101 0.78724
0.3258 0.4594
PLS does not Granger Cause MARGIN MARGIN does not Granger Cause PLS
70
0.39529 0.49527
0.6751 0.6117
SBIS does not Granger Cause MARGIN MARGIN does not Granger Cause SBIS
70
0.01760 0.00572
0.9826 0.9943
SBI does not Granger Cause MARGIN MARGIN does not Granger Cause SBI
70
0.01201 0.24583
0.9881 0.7828
SBIS does not Granger Cause PLS PLS does not Granger Cause SBIS
70
0.47668 1.34558
0.6230 0.2675
SBI does not Granger Cause PLS
70
1.23510
0.2975
52
PLS does not Granger Cause SBI SBI does not Granger Cause SBIS SBIS does not Granger Cause SBI
70
0.23028
0.7950
21.1858 0.73995
8.E-08 0.4811
5. Hasil Estimasi VECM Vector Error Correction Estimates Date: 08/14/14 Time: 00:36 Sample (adjusted): 2008M03 2013M12 Included observations: 70 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
LNPYD(-1)
1.000000
MARGIN(-1)
0.003906 (0.00610) [ 0.64023]
PLS(-1)
-0.038087 (0.08762) [-0.43466]
SBIS(-1)
0.736160 (0.07831) [ 9.40113]
SBI(-1)
-0.704231 (0.11112) [-6.33729]
@TREND(08M01)
-0.041366 (0.00725) [-5.70675]
C
-5.523400
Error Correction:
D(LNPYD)
D(MARGIN)
D(PLS)
D(SBIS)
D(SBI)
CointEq1
-0.046318 (0.00697) [-6.64794]
-0.312163 (1.59903) [-0.19522]
0.015997 (0.08441) [ 0.18952]
-0.581840 (0.08919) [-6.52361]
-0.019247 (0.04828) [-0.39869]
D(LNPYD(-1))
-0.094688 (0.06525) [-1.45124]
-2.375148 (14.9746) [-0.15861]
-0.118476 (0.79046) [-0.14988]
1.123773 (0.83524) [ 1.34545]
-0.042972 (0.45209) [-0.09505]
D(MARGIN(-1))
0.000302 (0.00055) [ 0.54951]
0.015635 (0.12619) [ 0.12390]
-0.000907 (0.00666) [-0.13615]
0.003563 (0.00704) [ 0.50623]
0.002208 (0.00381) [ 0.57959]
D(PLS(-1))
-0.013083 (0.01046) [-1.25052]
0.996546 (2.40114) [ 0.41503]
-0.135657 (0.12675) [-1.07027]
-0.046104 (0.13393) [-0.34424]
-0.034876 (0.07249) [-0.48109]
53
D(SBIS(-1))
0.101409 (0.00825) [ 12.2904]
0.101845 (1.89370) [ 0.05378]
-0.024507 (0.09996) [-0.24516]
0.075828 (0.10563) [ 0.71790]
0.049884 (0.05717) [ 0.87252]
D(SBI(-1))
-0.093859 (0.01761) [-5.33102]
-0.884506 (4.04075) [-0.21890]
0.093187 (0.21330) [ 0.43688]
0.489452 (0.22538) [ 2.17165]
0.482177 (0.12199) [ 3.95249]
C
0.051242 (0.00678) [ 7.55355]
0.083307 (1.55696) [ 0.05351]
0.030133 (0.08219) [ 0.36664]
0.017757 (0.08684) [ 0.20448]
-0.004990 (0.04701) [-0.10616]
0.742642 0.718131 0.153753 0.049402 30.29914 114.9059 -3.083024 -2.858175 0.052857 0.093050
0.004871 -0.089904 8098.777 11.33808 0.051393 -265.6098 7.788850 8.013700 -0.018429 10.86039
0.023421 -0.069586 22.56715 0.598505 0.251820 -59.70570 1.905877 2.130727 0.020571 0.578709
0.463978 0.412928 25.19624 0.632408 9.088735 -63.56268 2.016077 2.240926 0.074857 0.825376
0.299917 0.233243 7.381879 0.342305 4.498232 -20.59435 0.788410 1.013260 -0.010143 0.390917
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
0.002927 0.001728 -274.0091 9.000260 10.31724
6. Hasil Impulse Response Function Period
LNPYD
MARGIN
PLS
SBIS
SBI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
0.053292 0.037962 0.050899 0.059908 0.065742 0.069443 0.071763 0.073204 0.074093 0.074638 0.074970 0.075172 0.075294 0.075367 0.075412 0.075438 0.075454 0.075463 0.075469 0.075472 0.075474 0.075475 0.075476
0.000000 0.001415 0.001570 0.001456 0.001356 0.001275 0.001216 0.001175 0.001147 0.001129 0.001118 0.001110 0.001106 0.001103 0.001101 0.001100 0.001100 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099
0.000000 -0.004593 -0.000883 0.001183 0.002615 0.003531 0.004114 0.004480 0.004709 0.004850 0.004936 0.004989 0.005021 0.005041 0.005052 0.005060 0.005064 0.005066 0.005068 0.005069 0.005069 0.005069 0.005070
0.000000 0.029032 -0.003225 -0.024832 -0.038299 -0.046586 -0.051650 -0.054729 -0.056595 -0.057720 -0.058397 -0.058803 -0.059046 -0.059191 -0.059277 -0.059328 -0.059359 -0.059377 -0.059387 -0.059394 -0.059398 -0.059400 -0.059401
0.000000 -0.015076 0.005605 0.018081 0.025123 0.029076 0.031292 0.032535 0.033233 0.033625 0.033845 0.033969 0.034039 0.034078 0.034100 0.034112 0.034119 0.034123 0.034126 0.034127 0.034128 0.034128 0.034128
54
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72
0.075476 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477 0.075477
0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099 0.001099
0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070 0.005070
Cholesky Ordering: LNPYD MARGIN PLS SBIS SBI
-0.059402 -0.059402 -0.059402 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403 -0.059403
0.034128 0.034128 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129 0.034129
55
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LNPYD to LNPYD
Response of LNPYD to MARGIN
.08
.08
.04
.04
.00
.00
-.04
-.04
-.08
-.08 10
20
30
40
50
60
70
10
Response of LNPYD to PLS
20
30
40
50
60
70
Response of LNPYD to SBIS
.08
.08
.04
.04
.00
.00
-.04
-.04
-.08
-.08 10
20
30
40
50
60
70
10
20
30
40
50
60
70
Response of LNPYD to SBI .08
.04
.00
-.04
-.08 10
20
30
40
50
60
70
7. Hasil Forecast Errror Variance Decomposition Period
S.E.
LNPYD
MARGIN
PLS
SBIS
SBI
1 2 3 4 5
0.053292 0.073310 0.089499 0.112010 0.137749
100.0000 79.65842 85.78938 83.37851 77.90749
0.000000 0.037278 0.055798 0.052522 0.044420
0.000000 0.392450 0.273056 0.185498 0.158681
0.000000 15.68301 10.65227 11.71580 15.47674
0.000000 4.228840 3.229490 4.667672 6.412669
56
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63
0.163789 0.188791 0.212312 0.234301 0.254863 0.274147 0.292311 0.309493 0.325819 0.341391 0.356299 0.370617 0.384407 0.397721 0.410606 0.423100 0.435236 0.447042 0.458545 0.469767 0.480726 0.491442 0.501928 0.512200 0.522270 0.532150 0.541849 0.551378 0.560745 0.569958 0.579024 0.587951 0.596744 0.605409 0.613952 0.622378 0.630692 0.638897 0.646998 0.654999 0.662903 0.670714 0.678435 0.686070 0.693620 0.701089 0.708480 0.715794 0.723034 0.730202 0.737300 0.744331 0.751296 0.758197 0.765036 0.771814 0.778534 0.785195
73.08033 69.45478 66.80685 64.85582 63.38980 62.26365 61.37978 60.67208 60.09513 59.61712 59.21538 58.87343 58.57907 58.32316 58.09870 57.90026 57.72360 57.56533 57.42272 57.29357 57.17606 57.06868 56.97019 56.87951 56.79576 56.71816 56.64608 56.57894 56.51624 56.45756 56.40254 56.35082 56.30214 56.25622 56.21284 56.17179 56.13289 56.09598 56.06090 56.02753 55.99574 55.96542 55.93648 55.90881 55.88235 55.85700 55.83271 55.80941 55.78703 55.76553 55.74485 55.72495 55.70579 55.68732 55.66950 55.65231 55.63571 55.61968
0.037478 0.032356 0.028646 0.025919 0.023869 0.022292 0.021051 0.020055 0.019242 0.018567 0.017999 0.017515 0.017099 0.016737 0.016419 0.016138 0.015887 0.015663 0.015461 0.015278 0.015112 0.014960 0.014820 0.014692 0.014573 0.014463 0.014361 0.014266 0.014177 0.014094 0.014016 0.013942 0.013873 0.013808 0.013747 0.013689 0.013634 0.013581 0.013532 0.013484 0.013439 0.013396 0.013355 0.013316 0.013279 0.013243 0.013208 0.013175 0.013144 0.013113 0.013084 0.013056 0.013029 0.013002 0.012977 0.012953 0.012929 0.012907
0.158701 0.166934 0.176531 0.185339 0.192850 0.199094 0.204253 0.208525 0.212087 0.215083 0.217625 0.219803 0.221685 0.223327 0.224769 0.226045 0.227182 0.228201 0.229120 0.229952 0.230709 0.231401 0.232035 0.232620 0.233159 0.233659 0.234124 0.234557 0.234961 0.235339 0.235693 0.236027 0.236340 0.236636 0.236916 0.237180 0.237431 0.237669 0.237895 0.238110 0.238315 0.238510 0.238697 0.238875 0.239046 0.239209 0.239365 0.239516 0.239660 0.239798 0.239932 0.240060 0.240183 0.240302 0.240417 0.240528 0.240635 0.240738
19.03648 21.81290 23.89258 25.45285 26.64073 27.56194 28.28992 28.87564 29.35477 29.75267 30.08761 30.37302 30.61887 30.83272 31.02034 31.18624 31.33396 31.46631 31.58557 31.69358 31.79185 31.88166 31.96403 32.03987 32.10992 32.17481 32.23510 32.29125 32.34369 32.39276 32.43878 32.48203 32.52275 32.56115 32.59743 32.63176 32.66430 32.69517 32.72450 32.75241 32.77900 32.80436 32.82856 32.85170 32.87384 32.89503 32.91535 32.93484 32.95355 32.97154 32.98883 33.00547 33.02150 33.03695 33.05185 33.06622 33.08011 33.09352
7.687015 8.533029 9.095389 9.480073 9.752755 9.953025 10.10500 10.22370 10.31877 10.39656 10.46138 10.51624 10.56327 10.60406 10.63977 10.67131 10.69937 10.72449 10.74713 10.76762 10.78626 10.80330 10.81893 10.83331 10.84660 10.85890 10.87034 10.88099 10.89094 10.90024 10.90897 10.91718 10.92490 10.93218 10.93907 10.94558 10.95175 10.95760 10.96317 10.96846 10.97350 10.97831 10.98291 10.98729 10.99149 10.99551 10.99937 11.00306 11.00661 11.01002 11.01330 11.01646 11.01950 11.02243 11.02526 11.02798 11.03062 11.03316
57
64 65 66 67 68 69 70 71 72
0.791801 0.798352 0.804850 0.811295 0.817690 0.824036 0.830332 0.836582 0.842785
55.60417 55.58917 55.57466 55.56060 55.54698 55.53378 55.52098 55.50856 55.49650
0.012885 0.012863 0.012843 0.012823 0.012804 0.012785 0.012767 0.012749 0.012732
Cholesky Ordering: LNPYD MARGIN PLS SBIS SBI
0.240838 0.240935 0.241028 0.241119 0.241207 0.241292 0.241374 0.241454 0.241532
33.10649 33.11903 33.13117 33.14293 33.15432 33.16536 33.17606 33.18645 33.19653
11.03562 11.03800 11.04030 11.04253 11.04469 11.04679 11.04882 11.05079 11.05270
58
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Mirsad Awawin, dilahirkan di Bogor pada tanggal 17 Maret 1992. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Aswardi dan Dismalyeni. Penulis memulai pendidikan di TK Al-Hidayah dan melanjutkan pendidikan formal di SDN Panaragan Kidul 2 Bogor, SMPN 7 Bogor, dan SMAN 6 Bogor. Pada tahun 2010, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Penulis mengambil program studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan dengan minor Ekonomi Syariah di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Prestasi yang pernah diraih penulis ketika menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) adalah menjadi Finalis Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian Masyarakat IPB dengan social project SUPERNOVA (Komunitas Narapidana Inovatif) dan bidang Gagasan Tertulis dengan ide Automatic Chain System (Mekanisme rantai berputar untuk pembersihan sampah sungai). Penulis juga aktif di organisasi internal maupun eksternal kampus dan berbagai kepanitian lainnya. Di internal kampus, penulis aktif dalam Forum Mahasiswa Muslim dan Studi Islam (FORMASI) FEM sebagai Koordinator Departemen Eksternal dan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) IPB Kabinet Kreasi Untuk Negeri sebagai Staf Ahli Kementerian Kebijakan Kampus tahun 2013. Di eksternal kampus, penulis aktif di Ikatan Alumni Muslim Bogor tahun 2010-2013. Saat ini penulis diamanahkan sebagai Project Officer di LSM Inovasi untuk Indonesia.