ANALISIS PENGAKUAN, PENGUKURAN DAN PENYAJIAN ASET BIOLOJIK PADA PT ASTRA AGRO LESTARI TBK MENURUT PSAK 16 (REVISI 2011) DAN IAS 41 Vera Indrianti, Stefanus Ariyanto Binus University, Jalan Kebon Jeruk Raya No. 27, Kebon Jeruk – Jakarta Barat 11530, +6281365586999.
[email protected]
ABSTRACT This research aims to know the difference in recognition, measurement and presentation of biological asset in palm plantation in accordance with Indonesian Accounting Standard 16 Fixed Assets (PSAK 16) which allows selection of cost model or revaluation and International Accounting Standards 41 Agriculture (IAS 41) with basis of market price(fair value) as well as looking at the impact of implementation fair value on biological asset in financial statements.This research is a qualitative research with secondary data using the financial statements of the year 2011 in PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).Analysis in this research is to compare the implementation of PSAK 16 cost model by PT AALI with IAS 41on the recognition, measurement and presentation of biological asset. The result indicates that implementation of fair value model IAS 41 cause the recognition of unrealized gain or loss because of biological asset (oil palm plants) are not intended for sale and cause loss to the company especially in taxation when compared to PSAK 16 cost model. The conclusion of this research is there are significant different on biological asset accounting treatments between PSAK 16 cost model (based on historical cost) and IAS 41 (based on fair value) in financial reporting. Key words : Biological asset, Fair value, Historical cost, IAS 41, PSAK 16
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan dalam pengakuan, pengukuran, dan penyajian aset biolojik pada perkebunan kelapa sawit menggunakan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 16 Aset Tetap (PSAK 16) berdasarkan model biaya atau model revaluasi dan International Accounting Standards 41 (IAS 41) yang berbasis nilai wajar, serta melihat dampak penggunaan nilai wajar pada aset biolojik dalam laporan keuangan. Metode dan objek penelitian dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif eksploratoria dengan menggunakan data sekunder berupa laporan keuangan tahun 2011 pada PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI). Analisis dalam penelitian ini adalah dengan membandingkan penerapan PSAK 16 model biaya oleh PT AALI dengan IAS 41 pada pengakuan, pengukuran dan penyajian aset biolojik. Hasil yang dicapai dari penelitian ini adalah penerapan nilai wajar IAS 41 menyebabkan adanya pengakuan keuntungan dan kerugian yang tidak dapat direalisasikan karena aset biolojik (tanaman kelapa sawit) tidak ditujukan untuk dijual. Hal ini akan menyebabkan kerugian pada
perusahaan terutama dalam perpajakan apabila dibandingkan dengan PSAK 16 Model Biaya. Simpulan dari penelitian ini terdapat perbedaan yang cukup signifikan atas perlakuan akuntansi aset biolojik antara PSAK 16 model biaya berbasis biaya perolehan dengan IAS 41 berbasis nilai wajar dalam pelaporan keuangan. Kata Kunci: Aset Biolojik, Biaya Perolehan, IAS 41, Nilai Wajar, PSAK 16
PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan sumber daya alam, terutama dari sektor perkebunan. Salah satu komoditas perkebunan yang menarik perhatian para investor adalah kelapa sawit. Ketertarikan investor ini disebabkan karena usaha perkebunan kelapa sawit mampu menjanjikan laba di masa yang akan datang. Hal ini semakin diperkuat dengan peningkatan permintaan minyak kelapa sawit (CPO/Crude Palm Oil) di pasar global karena minyak kelapa sawit jauh lebih kompetitif dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Peningkatan permintaan dalam komoditas perkebunan, mendorong industri perkebunan untuk menyajikan laporan keuangan secara memadai dengan memenuhi karakteristik kualitatif dalam laporan keuangan. Salah satu karakteristik kualitatif yang penting adalah mengenai isu keterbandingan karena adanya tuntutan pelaporan secara global yang menyebabkan peningkatan terhadap pemahaman dan daya banding laporan keuangan antar negara. Upaya dalam peningkatan daya banding dan peningkatan kualitas laporan keuangan yaitu dengan dilakukan konvergensi Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) terhadap International Accounting Standars (IAS) atau International Financial Reporting Standards (IFRS) di Indonesia. Standar IAS yang sangat mempengaruhi perusahaan perkebunan kelapa sawit adalah IAS 41:Agriculture. Namun, sampai saat ini Dewan Standar Akuntansi Keuangan-Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK-IAI) belum menerbitkan PSAK yang mengacu pada IAS 41 yang berbasis nilai wajar karena adanya perdebatan mengenai dampak penerapan standar akuntansi internasional tersebut pada pengakuan, pengukuran dan penyajian aset biolojik. Oleh karena itu, perusahaan agrikultur di Indonesia masih menerapkan PSAK 16: Model Biaya dalam mengukur aset biolojiknya. Hal tersebut mendorong dilakukannya penelitian untuk menganalisis lebih lanjut mengenai implementasi IAS 41 terhadap pengakuan, pengukuran dan penyajian aset biolojik. Penelitian ini menggunakan salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tercatat dalam Bursa Efek Indonesia (BEI) yaitu PT Astra Agro Lestari Tbk. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian ini dibuat dengan judul “Analisis Pengakuan, Pengukuran, dan Penyajian Aset Biolojik Pada PT Astra Agro Lestari Tbk Menurut PSAK 16:Aset Tetap dan IAS 41:Agriculture”.
LANDASAN TEORI Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 16 – Aset Tetap Dalam PSAK 16:Aset Tetap belum ada standar yang mengatur mengenai akuntansi aset biolojik secara spesifik. Penerapan PSAK 16:Aset Tetap pada industri perkebunan kelapa sawit disebabkan karena aset biolojik memiliki kesamaan sifat dengan aset tetap. Persamaan antara aset biolojik (tanaman kelapa sawit) dengan aset tetap diantaranya karena keduanya merupakan aset berwujud yang digunakan untuk kegiatan produksi serta memiliki manfaat ekonomi lebih dari satu periode. Pengakuan suatu aset dalam PSAK 16:Aset Tetap hanya dapat diakui apabila memiliki kemungkinan manfaat ekonomis di masa mendatang serta biaya perolehan dalam aset dapat diukur dengan andal. Sedangkan pengukuran aset dalam PSAK 16 memiliki 2 model sebagai kebijakan akuntansi dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama. Dua model tersebut yaitu model biaya dan model revaluasi. Dalam penerapannya, perusahaan kelapa sawit mendasarkan perlakukan akuntansinya berdasarkan model biaya yaitu harga perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset. Sementara pada model revaluasi, aset dicatat pada jumlah revaluasian yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi.
International Accounting Standards (IAS) 41 – Agriculture IAS 41 bertujuan untuk menentukan perlakuan dan penyajian akuntansi yang terkait dengan aktivitas agrikultural. Aktivitas ini mencakup seluruh proses transformasi biolojik yaitu proses pertumbuhan, degenerasi, produksi, dan prokreasi yang menyebabkan perubahan kualitatif maupun kuantitatif dari sebuah aset biolojik. Ruang lingkup pada IAS 41 meliputi aset biolojik, produk agrikultural pada titik panen dan hibah dari pemerintah yang berkaitan dengan aset biolojik. Aset biolojik adalah hewan atau tumbuhan yang masih hidup, misalnya pohon kelapa sawit. Secara umum, aset biolojik dapat dibagi menjadi dua kategori, antara lain (1) aset biolojik yang dapat menghasilkan produk agrikultural (aset biolojik pengusung/bearer biological asset) dan (2) aset biolojik yang nantinya menjadi produk agrikultural (aset biolojik yang dapat dikonsumsi/consumable biological asset). Sedangkan produk agrikultural merupakan hasil panen dari aset biolojik yaitu produk yang telah dipisahkan dari aset biolojik, misalnya buah kelapa sawit/tandan buah segar. IAS 41 tidak mengatur pengolahan produk agrikultural setelah panen. Sehingga, pengolahan produk agrikultural setelah panen akan merujuk kepada IAS 2 mengenai Inventory (persediaan) atau standar lain yang dapat diterapkan. Suatu perusahaan harus mengakui aset biolojik atau produk agrikultural hanya ketika perusahaan mengendalikan aset tersebut sebagai hasil dari kejadian masa lalu, memiliki kemungkinan manfaat ekonomis di masa mendatang serta nilai wajar dapat diukur dengan andal. Sedangkan pengukuran pada aset biolojik dan produk agrikultural dalam IAS 41 adalah berdasarkan nilai wajar dikurangi dengan biaya untuk menjual. Dasar acuan yang paling tepat dalam menentukan nilai wajar adalah apabila terdapat pasar aktif untuk aset biolojik atau produk agrikultural tersebut. Pasar aktif dapat didefinisikan sebagai sebuah pasar yang memenuhi kondisi seperti barang yang diperdagangkan di pasar bersifat sejenis, penjual dan pembeli bersedia melakukan transaksi serta harga tersedia di publik. Berikut ini merupakan alternatif pengukuran aset biolojik, apabila tidak dapat menentukan nilai wajar yaitu: 1. Apabila tidak terdapat pasar aktif dalam menentukan nilai wajar, terdapat alternatif untuk menentukan nilai wajat tersebut yaitu: (a) harga transaksi pasar terkini (b) harga pasar untuk aset yang mirip (c) benchmark terhadap sektor, seperti nilai dari sebuah kebun buah yang dinyatakan per hektar. 2. Apabila harga atau nilai yang ditentukan pasar tidak tersedia bagi aset biolojik dalam kondisinya yang sekarang, maka dalam menentukan nilai wajar dari aset biolojik, entitas menggunakan present value of expected net cash flow (nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan). 3. Apabila harga atau nilai yang ditentukan pasar tidak tersedia serta estimasi nilai wajar dipastikan tidak andal, maka aset biolojik diukur pada biaya dikurang akumulasi depresiasi dan akumulasi kerugian penurunan nilai. Pengukuran aset biolojik berdasarkan IAS 41 harus diukur pada pengakuan awal dan pada setiap akhir periode pelaporan. Sehingga keuntungan atau kerugian pada saat pengakuan awal (yang diukur pada nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual) harus dimasukkan dalam laporan laba rugi periode yang bersangkutan (IAS 41 paragraf 26).
Aspek Perpajakan di Indonesia Undang-Undang Pajak Penghasilan dalam pasal 4 menyebutkan bahwa selisih lebih penilaian kembali aktiva (aset tetap) merupakan objek pajak. Hal ini akan dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK 03/2008. Berdasarkan PMK Nomor 79/PMK 03/2008 dijelaskan bahwa perusahaan yang ingin melakukan penilaian kembali aktiva tetap harus mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada Dirjen Pajak. Selisih lebih atas penilaian kembali aktiva akan dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final sebesar 10%. Penilaian kembali aktiva harus dilakukan berdasarkan nilai pasar/nilai wajar yang ditetapkan oleh jasa penilai dan hanya boleh dilakukan setiap lima tahun.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Objek penelitian yang digunakan adalah PT Astra Agro Lestari Tbk, salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang diperoleh dari situs website PT Bursa Efek Indonesia dan PT Astra Agro Lestari Tbk, yaitu www.idx.co.id dan www.astra-agro.co.id berupa laporan keuangan tahunan tahun 2011. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka serta dokumentasi, dengan memahami teori-teori yang menyangkut pokok permasalahan yang diteliti dengan cara mengkaji, mendokumentasikan, dan menelaah buku-buku serta jurnal-jurnal yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
HASIL DAN BAHASAN Pengakuan dan Pengukuran Aset Biolojik Menurut PSAK 16 :Model Biaya PT Astra Agro Lestari (AALI) Tbk mendasarkan perlakuan akuntansinya untuk pengakuan dan pengukuran aset biolojik (tanaman kelapa sawit) sesuai dengan PSAK 16:Model Biaya. Dalam pengakuan aset biolojiknya, PT AALI membagi tanaman perkebunannya menjadi dua yaitu tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman menghasilkan (TM). Pembagian tanaman perkebunan tersebut disesuaikan dengan umur dari tanaman yaitu tanaman diklasifikasikan sebagai tanaman belum menghasilkan apabila memiliki umur di bawah tiga tahun, dan akan diklasifikasikan sebagai tanaman menghasilkan apabila telah berumur di atas tiga hingga empat tahun dan dapat menghasilkan tandan buah segar yang dapat dipanen. Total lahan tertanam pada perkebunan inti PT AALI sebanyak 206.579Ha. Dari total lahan tertanam tersebut, sebanyak 160.849Ha merupakan tanaman menghasilkan dan 45.730Ha merupakan tanaman belum menghasilkan. Aset biolojik PT AALI dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset sesuai dengan pengukuran berdasarkan PSAK 16:Model Biaya. Komponen biaya perolehan dalam TBM dapat meliputi biaya persiapan lahan, penanaman, pemupukan dan pemeliharaan termasuk kapitalisasi biaya pinjaman yang digunakan untuk membiayai pengembangan TBM. Pengukuran untuk TBM tidak dilakukan penyusutan karena perhitungan penyusutan dimulai ketika tanaman dinyatakan telah menghasilkan. Berikut ini terdapat tabel 4.1 yang menunjukkan rincian biaya perolehan dari TBM.
Tabel 4.1 Rincian Biaya Perolehan Tanaman Belum Menghasilkan (Dinyatakan dalam jutaan Rupiah) Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)
2011
2010
Saldo Awal
2.086.413
1.867.972
848.912
852.435
(386.908)
(452.310)
Penambahan biaya Reklasifikasi ke Tanaman Menghasilkan (TM) Pengurangan oleh pengalihan kebun inti menjadi kebun plasma
(121.212)
Pengurangan sehubungan dengan pelepasan entitas anak Saldo Akhir 2.427.205 Sumber: diolah dari Laporan Keuangan PT AALI tahun 2010-2011
(181.684) 2.086.413
Pengukuran untuk tanaman menghasilkan berdasarkan biaya perolehan dikurangi biaya penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset, jika ada. Biaya perolehan pada TM merupakan nilai yang telah direklasifkasi dari TBM. Untuk TM, dapat dilakukan perhitungan terhadap penyusutan. Perhitungan
terhadap penyusutan TM dimulai pada tahun tanaman tersebut menghasilkan (kisaran umur tiga hingga empat tahun), dengan menggunakan metode garis lurus selama taksiran masa manfaat ekonomis tanaman yaitu 20 tahun. Oleh karena itu, penyusutan akan dialokasikan selama umur produktif 17 tahun. Berikut ini terdapat tabel 4.2 yang menunjukkan komposisi TM pada PT AALI tahun 2010 dan 2011. Tabel 4.2 Komposisi TM PT AALI (Dinyatakan dalam jutaan rupiah)
Pengakuan dan Pengukuran Aset Biolojik Menurut PSAK 16 :Model Revaluasi Pengakuan aset biolojik dalam PSAK 16: Model Revaluasi tidak berbeda dengan PSAK 16:Model Biaya karena aset biolojik juga diklasifikasikan menjadi dua yaitu tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman menghasilkan (TM). Namun pengukuran aset biolojik diantara PSAK 16:Model Biaya dan PSAK 16:Model Revaluasi mengalami perbedaan karena PSAK 16:Model Biaya mengukur aset biolojiknya berdasarkan historical cost sedangkan PSAK 16:Model Revaluasi mengukur aset biolojiknya berdasarkan fair value (nilai wajar). Definisi nilai wajar dalam PSAK 16 sama dengan definisi nilai wajar dalam IAS 41. Berdasarkan hal ini, sepanjang perhitungan nilai wajar menggunakan basis harga pasar yang sama (dalam hal pengukuran aset biolojik) maka nilai tercatat tanaman kelapa sawit akan memiliki nilai wajar yang sama baik diukur dengan menggunakan PSAK 16 maupun IAS 41. Akan tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya karena dampak yang terdapat pada laporan laba rugi serta laporan posisi keuangan pada komposisi ekuitas terkait kenaikan/penurunan nilai revaluasi atau keuntungan/kerugian perubahan nilai wajar. Informasi mengenai nilai wajar untuk TBM dan TM diasumsikan menggunakan jasa penilai independen yang diperoleh dari penelitian sebelumnya dan akan disesuaikan dengan kondisi perusahaan pada tahun 2010 dan 2011. Informasi nilai wajar yang diketahui dalam penelitian terdahulu adalah nilai wajar per pohon tahun 2009 untuk TM dan TBM yaitu sebesar Rp 743.438 dan Rp 125.045. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) mempertimbangkan tingkat inflasi yang terjadi pada periode desember 2010 yaitu 6,96% dan periode desember 2011 yaitu 3,79% serta (2) jumlah pohon kelapa sawit yang ditanam per hektar adalah sekitar 130 pohon. Selain asumsi tersebut, dalam menghitung nilai wajar juga diperlukan informasi mengenai luas areal lahan sawit pada perkebunan inti perusahaan yang akan ditunjukkan dalam tabel 4.3 mengenai luas areal lahan sawit pada perkebunan inti. Tabel 4.3 Luas Areal Lahan Sawit Pada Perkebunan Inti Lahan Sawit Tertanam (Ha) Tanaman menghasilkan (TM) Tanaman belum menghasilkan (TBM) Sumber: diolah dari laporan tahunan PT AALI
2009
2010
2011
139.875
148.274
160.849
66.922
57.768
45.730
Nilai wajar per pohon dari TM dan TBM selama tahun 2010 dan 2011 dalam PT AALI diperoleh dari hasil perkalian antara nilai wajar per pohon tahun sebelumnya dengan tingkat inflasi. Sedangkan informasi nilai wajar dari TM dan TBM PT AALI diperoleh dari nilai wajar per pohon TM/TBM x luas areal lahan x jumlah pohon per ha. Berikut ini terdapat tabel 4.4 yang menunjukkan nilai wajar TM dan TBM pada PT AALI. Tabel 4.4 Nilai Wajar Tanaman Menghasilkan dan Tanaman Belum Menghasilkan PT AALI Nilai wajar aset biolojik (dalam jutaan 2009 2010 2011 rupiah) Tanaman menghasilkan (TM)
13.518.490
15.327.606
17.257.704
Tanaman belum menghasilkan (TBM)
1.087.873
1.004.426
825.253
Total nilai wajar aset biolojik
14.606.363
16.332.032
18.082.957
Berdasarkan informasi nilai wajar pada tabel 4.4, maka dapat dilakukan pengukuran aset biolojik berdasarkan PSAK 16:Model Revaluasi. Gambaran mengenai pengukuran aset biolojik dalam PSAK 16:Model Revaluasi dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini: Tabel 4.5 Gambaran Pengukuran Aset Biolojik dalam PSAK 16:Model Revaluasi
Pengakuan dan Pengukuran Aset Biolojik Menurut IAS 41 : Agriculture Dalam IAS 41:Agriculture, pengakuan aset biolojik diklasifikasikan menjadi dua yaitu aset biolojik yang belum dewasa (TBM) dan aset biolojik yang sudah dewasa (TM). Pembagian aset biolojik menjadi aset biolojik yang belum dewasa (TBM) dan aset biolojik yang sudah dewasa (TM) juga berdasarkan umur dari aset biolojik tersebut. Berbeda dengan PSAK 16:Model Biaya, pengukuran aset biolojik pada IAS 41 adalah berdasarkan nilai wajar dikurangi dengan biaya untuk menjual pada awal dan akhir periode pelaporan. Dasar acuan yang paling tepat dalam menentukan nilai wajar adalah pasar aktif. Namun, penentuan nilai wajar berdasarkan pasar aktif sangat sulit diterapkan, sehingga BAPEPAM-LK mengeluarkan suatu pedoman yang menjelaskan bahwa penggunaan jasa penilai independen dapat membantu menentukan nilai wajar aset biolojik. Informasi mengenai nilai wajar aset biolojik untuk TM dan TBM dalam penelitian ini telah disajikan dalam tabel 4.4 di atas. Sedangkan biaya untuk menjual diasumsikan sebesar 2,5% dari nilai wajar aset biolojik untuk biaya broker/perantara. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka hasil pengukuran aset biolojik dalam IAS 41 dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut ini: Tabel 4.6 Pengukuran Aset Biolojik IAS 41 Pengukuran aset biolojik berdasarkan IAS 41 (dalam jutaan rupiah)
2009
2010
2011
Tanaman menghasilkan (TM)
13.180.528
14.944.416
16.826.261
Tanaman belum menghasilkan (TBM)
1.060.676
979.315
804.622
Total pengukuran aset biolojik
14.241.204
15.923.731
17.630.883
Berikut ini terdapat tabel 4.7 yang menunjukkan keuntungan/kerugian sebagai akibat pengukuran aset biolojik pada awal dan akhir tahun dalam IAS 41. Tabel 4.7 Pengakuan Keuntungan/Kerugian Pengukuran Aset Biolojik IAS 41
Analisis Perbandingan Penyajian Aset Biolojik Pada Laporan Laba Rugi PT AALI Menurut PSAK 16:Model Biaya dan IAS 41 Dalam perbandingan penyajian laporan laba rugi (tabel 4.8) dapat dilihat bahwa dalam IAS 41 mengakui adanya keuntungan atas perubahan nilai wajar biolojik yaitu sebesar Rp1.021.898 juta pada tahun 2011 dan Rp1.068.418 juta pada tahun 2010. Keuntungan atas perubahan nilai wajar ini sesuai dengan IAS 41 paragraf 26 bahwa keuntungan atau kerugian harus dimasukkan dalam laporan rugi laba periode bersangkutan. Pengakuan keuntungan perubahan nilai wajar pada IAS 41 menyebabkan terjadinya peningkatan laba pada laporan, padahal keuntungan dari kenaikan nilai wajar ini tidak dapat direalisasikan karena tanaman kelapa sawit termasuk dalam bearer biological asset. Keuntungan atas kenaikan nilai wajar akan terus terjadi hingga masa produktif dari tanaman kelapa sawit, namun apabila tanaman kelapa sawit tidak produktif hingga masa manfaat tanaman habis, maka keuntungan perubahan nilai wajar akan dibuang dan tidak dapat direalisasikan sehingga terjadi pengakuan keuntungan di awal dan kerugian di masa akhir manfaat kelapa sawit. Pada saat pengakuan keuntungan di awal, perusahaan diharuskan membayar pajak yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan PSAK 16: Model Biaya yang dapat dilihat pada tabel 4.8 pada akun beban pajak penghasilan. Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan pasal 4 disebutkan bahwa selisih lebih penilaian kembali aktiva merupakan objek pajak. Pengenaan pajak final atas selisih lebih penilaian kembali aktiva ini adalah 10%. Dengan adanya Undang-Undang tersebut, maka keuntungan dari nilai wajar yang diperoleh perusahaan pada tahun 2011 dan 2010 yaitu sebesar Rp1.021.898 juta dan Rp1.068.418 juta akan dikenakan pajak sebesar 10% meskipun keuntungan atas nilai wajar tersebut merupakan keuntungan yang tidak terealisasi.
Tabel 4.8 Perbandingan Penyajian Laporan Laba Rugi 2011 (dalam jutaan rupiah)
PSAK 16
2010 IAS 41
PSAK 16
IAS 41
Pendapatan bersih
10.772.582
10.772.582
8.843.721
8.843.721
Beban pokok pendapatan Keuntungan/(Kerugian) dari nilai wajar aset biolojik
(6.837.674)
(6.728.742)
(5.234.372)
(5.143.932)
-
1.021.898
-
1.068.418
Laba bruto
3.934.908
5.065.738
3.609.349
4.768.207
Beban penjualan
(291.269)
(291.269)
(206.527)
(206.527)
Beban umum dan administrasi
(310.707)
(310.707)
(438.782)
(438.782)
Total beban usaha
(601.976)
(601.976)
(645.309)
(645.309)
Laba sebelum pajak penghasilan
3.332.932
4.463.762
2.964.040
4.122.898
Beban pajak penghasilan (25%)
(833.233)
(1.115.941)
(741.010)
(1.030.725)
3.347.822
2.223.030
3.092.174
Laba tahun berjalan 2.499.699 Sumber: data diolah dari laporan keuangan PT AALI
Analisis Penyajian Aset Biolojik Pada Laporan Posisi Keuangan PT AALI Berdasarkan PSAK 16:Model Biaya dan IAS 41 Dalam perbandingan penyajian aset biolojik pada laporan posisi keuangan (tabel 4.9) dapat dilihat bahwa penerapan IAS 41 menyebabkan satu akun yang berganti nama di bagian aset tidak lancar yaitu tanaman perkebunan menjadi aset biolojik. Namun, penerapan IAS 41 tidak hanya berdampak pada perubahan nama akun, melainkan juga jumlah tercatat pada aset biolojik. Berdasarkan pengukuran menurut IAS 41, total aset biolojik pada PT AALI tahun 2011 adalah sebesar Rp17.630.883 juta dan tahun 2010 sebesar Rp15.923.731 juta. Aset biolojik ini diukur menggunakan nilai wajar dikurang biaya untuk menjual. Nilai wajar yang diperoleh berasal dari jasa penilai independen.
Penggunaan nilai wajar untuk aset biolojik perusahaan akan mengakibatkan laporan posisi keuangan perusahaan lebih sering mengalami kenaikan/penurunan apabila dibandingkan dengan biaya perolehannya karena dengan menggunakan nilai wajar, nilai aset biolojik akan mencerminkan nilai yang sebenarnya dan disesuaikan dengan kondisi pasar saat itu. Apabila aset mengalami peningkatan, maka juga dapat berdampak pada peningkatan dari sisi ekuitas sebesar jumlah yang sama dengan peningkatan aset tersebut, begitu juga sebaliknya. Selain itu, penggunaan nilai wajar aset biolojik akan menyebabkan volatilitas pada laporan keuangan, misalnya ketika tanaman kelapa sawit berada dalam masa produktif, maka nilai wajar dari aset biolojik akan mengalami peningkatan, dan apabila tanaman kelapa sawit sudah mencapai usia tua, nilai wajar aset biolojik akan mengalami penurunan. Tabel 4.9 Perbandingan Penyajian Laporan Posisi Keuangan
Sumber: data diolah dari laporan keuangan PT AALI
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa (1) Terdapat perbedaan yang cukup signifikan terutama dalam pengukuran aset biolojik berdasarkan IAS 41 dengan PSAK 16 khususnya model biaya yang diterapkan oleh PT Astra Agro Lestari Tbk. Perbedaan tersebut disebabkan karena IAS 41 mengukur aset biolojik menggunakan nilai wajar (fair value) sedangkan PSAK 16 model biaya menggunakan historical cost. (2) Perhitungan nilai wajar antara PSAK 16:Model revaluasi dan IAS 41akan memiliki persamaan sepanjang perhitungannya menggunakan basis harga pasar yang sama. Namun meskipun perhitungan nilai wajar sama, perbedaan diantara keduanya disebabkan karena dampak yang terdapat pada laporan posisi keuangan bagian ekuitas dan laporan laba rugi tahun berjalan. Hal inilah yang menyebabkan PSAK 16 model revaluasi tidak bisa menggantikan penerapan IAS 41. (3) Dampak penggunaan nilai wajar atas aset biolojik (tanaman kelapa sawit) dalam IAS 41 menyebabkan timbulnya pengakuan keuntungan/kerugian akibat perubahan nilai wajar pada laporan laba rugi perusahan. Akan tetapi, pengakuan keuntungan tersebut tidak dapat direalisasikan karena kelapa sawit tidak ditujukan untuk dijual. Sehingga hal ini akan menyebabkan kerugian pada perusahaan terutama dalam hal perpajakan karena perusahaan harus melakukan pembayaran pajak lebih besar karena adanya peningkatan laba akibat pengakuan keuntungan perubahan nilai wajar yang tidak dapat terealisasi tersebut. Selain itu, penggunaan nilai wajar dalam IAS 41 juga menyebabkan terjadinya kenaikan/penurunan aset biolojik pada laporan posisi keuangan apabila dibandingkan dengan biaya perolehannya. Hal ini disebabkan karena penggunaan nilai wajar disesuaikan dengan kondisi pasar dari aset biolojik. Berdasarkan dampak-dampak penggunaan nilai wajar pada IAS 41 tersebut, maka diperlukan adanya penyesuaian terutama dalam hal perpajakan atas selisih lebih penilaian kembali aktiva sehingga perusahaan perkebunan dapat melakukan pengukuran aset biolojik berdasarkan nilai wajar (fair value) pada IAS 41. Hal ini disebabkan karena dengan adanya penerapan IAS 41 nilai aset biolojik dapat mencerminkan nilai yang sebenarnya karena disesuaikan dengan kondisi pasar, dapat meningkatkan
keterbandingan dalam laporan keuangan (didukung dengan adanya rencana pengadopsian IFRS 13:Fair Value sehingga memungkinkan terjadinya pemahaman yang sama dalam mengukur nilai wajar) serta menyebabkan perusahaan perkebunan kelapa sawit dapat berkembang secara global. Berdasarkan hasil kesimpulan, penulis mengajukan beberapa saran yaitu (1) bagi perusahaan kelapa sawit, sebaiknya mulai berdikusi dengan otoritas perpajakan untuk melakukan penyesuaian terhadap pengenaan pajak atas keuntungan perubahan nilai wajar (2) bagi Direktorat Jenderal Pajak, sebaiknya dapat melakukan penyesuaian terhadap pengenaan pajak final atas selisih lebih aktiva terutama pada industri perkebunan kelapa sawit yang keuntungan atas perubahan nilai wajarnya belum tentu terealisasi (3) Bagi Dewan Standar Akuntansi Keuangan-Ikatan Akuntan Indonesia, sebaiknya dapat segera dilakukan pengadopsian IFRS 13:Fair Value sehingga dalam penentuan nilai wajar diperoleh pemahaman yang sama diantara semua pihak seperti akuntan, jasa penilaian independen. DSAK-IAI disarankan juga melakukan sosialisasi kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit, Direktorat Jenderal Pajak, BAPEPAM, dan Institut Akuntan Indonesia pada saat penyusunan dan penerbitan exposure draft pengadopsian IAS 41.
REFERENSI Aryanto, Y.H . (2011). Theoretical Failure of IAS 41. Working Paper Series, diakses 23 Mei 2013 dari http://ssrn.com/abstract=1808413. Bank Indonesia. (2011). Laporan Inflasi (Indeks Harga Konsumen), diakses 20 Mei 2013 dari http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Data+Inflasi/. BAPEPAM-LK. (2012). Pedoman Penilaian dan Penyajian Laporan Penilaian Properti Perkebunan Kelapa Sawit di Pasar Modal, diakses tanggal 28 Februari 2013 dari http://www. Bapepam.go.id/ pasar_modal/ publikasi_pm/ siaran_pers_pm/ 2012/pdf/SE-09-2012.pdf. Bursa Efek Indonesia. (2011). Laporan Keuangan http://www.idx.co.id/. Deloitte. (2009). IAS PLUS Summary Of http://www.iasplus.com/standard/ias41.htm.
IAS
Tahunan, diakses 5 April 2013 dari
41,
diakses
5
Mei
2013
dari
Elad,C. & Herbohn,K. (2011). Implementing Fair Value Accounting in The Agricultural Sector. The Institude of Chartered Accountants of Scotland, diakses 10 Juni 2013 dari www.sciencedirect.com. European Commission. (2009). International Accounting Standards 41 Agriculture, diakses 30 Desember 2012 dari http://ec.europa.eu/internal_market/accounting/docs/consolidated/ias41_en.pdf. Ikatan Akuntan Indonesia. (2012) . Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta : Salemba Empat. Kieso, D.E., Weygandt, J.J, & Kimmel P.D. (2011). Financial Accounting. United Stated:John Wiley & Sons. Kieso, D. E., Weygandt, J. J, & Warfield, T. D. (2011). Intermediate Accounting IFRS 1th edition. United States: John Wiley & Sons. Lam, N., Lau,P. (2009). Intermediate Financial Reporting (An IFRS Perspective). Singapore: Publisher McGraw Hill. Luwia, Santana. (2011). Analisis Pengakuan, Pengukuran dan Penyajian Aset Biolojik Pada PT Dinamika Cipta Sentosa Menurut IAS 41:Agriculture. Skripsi tidak dipublikasikan. Jakarta:Fakultas Ekonomi Universitas Bina Nusantara. Martani, Dwi. (2010). Penerapan Standar Akuntansi Agrikultur (IAS 41). Economic Business & Accounting Review volume III. (2): 55-71.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK 03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan, diakses 24 Maret 2013 dari http://www.sjdih.depkeu.go.id/fulltext/2008/79~PMK.03~2008Per.htm. Riyadi, Deden. (2010). Analisis Nilai Wajar Tanaman Kelapa Sawit Berdasarkan International Accounting Standard 41 Agriculture Dibandingkan Dengan Berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 16 Aset Tetap: Studi Pada PT Agro Indonesia. Tesis tidak dipublikasikan. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
RIWAYAT PENULIS Vera Indrianti lahir di Padang pada 25 Agustus 1991. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Akuntansi pada tahun 2013.