ANALISIS PENGAKUAN DAN PENGUKURAN PADA PEMBIAYAAN MUDHARABAH BERDASARKAN PSAK 105 (STUDI KASUS PADA PT BANK MUAMALAT INDONESIA TBK) Silpia Navita Sari (21208165) Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2012 ABSTRAKSI Standar Akuntansi memiliki peranan penting bagi pihak penyusun dan pemakai laporan keuangan sehingga timbul keseragaman atau kesamaan interpretasi atas informasi yang terdapat dalam laporan keuangan. Tujuan penelitian untuk untuk menganalisis Kendala-kendala apa saja dalam pelaksanaan Pembiayaan mudharabah dalam penerapan PSAK 105 dan untuk menganalisis pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan yang dilaksanakan pada Bank Muamalat Indonesia, Tbk telah sesuai dengan aturan-aturan perbankan syariah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, kuantitatif dan komparatif. Berdasarkan hasil penelitian bahwa dalam praktik pihak Bank tidak menghadapi kendala-kendala karena pihak nasabah sudah mengerti mengenai produk-produk syariah, tidak adanya pengaruh luar dan keuntungannya dibagi sesuai nisbah pada saat berakhirnya akad. Penerapan akuntansi syariah pada pembiayaan bagi hasil mudharabah PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk telah dilakukan dengan baik, karena pencatatan transaksi – transaksi sudah dilakukan sesuai Standar Akuntansi Keuangan. Penerapan akuntansi baik pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan pembiayaan mudharabah pada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk ini secara umum telah sesuai dengan PSAK No. 105. Kata kunci : Pengakuan dan Pengukuran, Mudharabah , PSAK 105. ABSTRACT Accounting Standards have an important role for the compilers and users of financial statements so that the resulting uniformity or sameness interpretation of the information contained in the financial statements. For research purposes to analyze any obstacles in the implementation of Mudharabah in SFAS 105 and to analyze the recognition, measurement, presentation and disclosure of which was held on Bank Muamalat Indonesia, Tbk has been in accordance with the rules of Islamic banking.The method used in this research is descriptive, quantitative and comparative. The research concludes that in practice the Bank does not face obstacles because the customers already know about Islamic products, the absence of outside influence and profits shared according to the ratio at the end of the contract. The application of Islamic accounting in sharing mudaraba financing PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk has done well, since recording of transactions - transactions are conducted in accordance Financial Accounting Standards. Either the application of accounting recognition, measurement, presentation and disclosure of financing at PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk has generally been in accordance with SFAS No.105. Keywords : Recognition and Measurement, Mudaraba, SFAS 105.
PENDAHULUAN Pengertian Bank menurut UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 adalah : “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.” (Dahlan Siamat, 2005, p275). Bank Syariah adalah Bank umum sebagaimana dimaksud dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang saat ini telah diubah dengan UU No.10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. (Dahlan Siamat, 2005, p413). Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, Bank Syariah adalah suatu system perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal : usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media yang tidak islami, dll), dimana hal ini tidak dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Seiring dengan meningkatnya rasa keberagamaan (religiusitas) masyarakat Muslim menjalankan Syariah Islam dalam kehidupan sosial-ekonomi, semakin banyak institusi bisnis Islami yang menjalankan kegiatan operasional dan usahanya berlandaskan prinsip syariah. Untuk mengelola institusi Islami ini diperlukan pencatatan transaksi dan pelaporan keuangan. Pencatatan akuntansi dan
pelaporan keuangan dengan karakteristik tertentu yang sesuai dengan syariah. Pencatatan transaksi dan pelaporan keuangan yang diterapkan pada institusi bisnis Islami inilah yang kemudian berkembang menjadi akuntansi syariah. System keuangan islam merupakan bagian dari konsep yang lebih tentang ekonomi Islam. Sistem keuangan Islam bukan sekedar transaksi komersial, tetapi harus sudah sampai kepada lembaga keuangan untuk dapat mengimbangi tuntutan zaman. Bentuk system keuangan atau lembaga keuangan yang sesuai dengan prinsip Islam ádalah terbebas dari unsur riba. Kontrak keuangan yang dapat dikembangkan dan dapat menggantikan sistem riba adalah mekanisme syirkah yaitu : musyarakah dan mudharabah (bagi hasil). Standar akuntansi syariah, laporan keuangan diharapkan dapat menyajikan informasi yang relevan dan dapat dipercaya kebenarannya. Standar akuntansi juga digunakan oleh pemakai laporan keuangan seperti investor, kreditor, pemerintah, dan masyarakat umum sebagai acuan untuk memahami dan menganalisis laporan keuangan sehingga memungkinkan mereka untuk mengambil keputusan yang benar. Dengan demikian standar akuntansi memiliki peranan penting bagi pihak penyusun dan pemakai laporan keuangan sehingga timbul keseragaman atau kesamaan interpretasi atas informasi yang terdapat dalam laporan keuangan. Penyusunan Standar Akuntansi dilakukan dengan mengacu kepada Accounting dan Auditing Standar for Islamic Financial Institution yang diterbitkan oleh Accounting dan Auditing Organitation for Islamic Financial Institution (AAOIFI). Akan tetapi, perkembangan entitas syariah non bank dan semakin banyaknya entitas syariah lainnya membuat PSAK 59 sudah tidak memadai kebutuhan pengguna SAK syariah. Oleh karena itu, sejak tahun 2004
DSAK sudah mulai mengantisipasi untuk mengembangkan dan menyempurnakan SAK syariah. Tahap pertama dari DSAK telah berhasil mengeluarkan enam nomor PSAK syariah KDPPLK Syariah, Salah Satunya adalah PSAK 105 tentang Akuntansi Mudharabah. Mudharabah saat ini merupakan wahana utama bagi lembaga keuangan syariah untuk memobilisasi dana masyarakat untuk menyediakan berbagai fasilitas, seperti fasilitas pembiayaan bagi para pengusaha. Mudharabah dengan dasar profit and loss sharing principle merupakan salah satu alternatif yang tepat bagi lembaga keuangan syariah yang menghindari sistem bunga (interest free) yang oleh sebagian ulama dianggap sama dengan riba yang diharamkan. Pengertian mudharabah menurut PSAK no. 105 (IAI, 2009) adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang tertuang dalam kontrak. Apabila terjadi kerugian, hal tersebut ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis, yaitu (Antonio Syafi’i, 2010, P97) : a. Mudharabah Muthlaqah Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antar shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukan sesukamu) dari
shahibul maal ke mudharib yang member kekuasaan sangat besar. b. Mudharabah Muqayyadah Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha. Peneliti tertarik untuk meneliti mengenai pengukuran dan pengakuan dalam pembiayaan mudharabah menurut PSAK 105 karena sesuai dengan asumsi dasar dalam Akuntansi Perbankan Syariah adalah accrual basic, namun dalam pendapatan bagi hasil, terkandung pendapatan yang masih dalam pengakuan atau accrual basic dan ada pendapatan yang nyata diterima atau, sedangkan pendapatan yang masih dalam pengakuan tidak diperkenankan dibagikan kepada pemilik dana. Dalam hal ini Peneliti memilih studi kasus pada PT. Bank Muamalat Indonesia karena Bank Muamalat merupakan pelopor banksyariah pertama di Indonesia. PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk didirikan pada 24 Rabius Tsani 1412 H atau 1 Nopember 1991, diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pemerintah Indonesia, dan memulai kegiatan operasinya pada 27 Syawwal 1412 H atau 1 Mei 1992. PT Bank Muamalat Indonesia yang bercirikan syariat Islam tidak mengenal adanya sistem bunga sebagai mana Bank umum konvensional, akan tetapi PT Bank Muamalat Indonesia menghendaki adanya semangat kebersamaan yang erat antara Bank dengan nasabahnya yang diwujudkan dalam bentuk negosiasi atau musyawarah untuk menentukan nisbah (perbandingan bagi hasil ).
METODE PENELITIAN Metode penelitian dalam penelitian ini adalah dengan metode deskriptif, metode kuantitatif dan metode komparatif. Analisis deskriptif yaitu menganalisis dan menyajikan data secara sistematik sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan, yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik tertentu. Analisis kuantitatif dilakukan dengan cara menganalisis data yang ada dengan menggunakan rumus-rumus yang diperlukan. Analisis Komparatif dilakukan dengan membandingkan teori dengan praktik didalam perusahaan. Beberapa metode analisis yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Memilih data yang telah didapatkan sesuai dengan kebutuhan yang akan digunakan dalam penelitian. 2. Melakukan analisis terhadap transaksi mudharabah yang terjadi pada PT. Bank Muamalat Indonsia Tbk menggunakan sampel penelitian yang diperoleh dari PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk. 3. Menganalisis pengakuan dan pengukuran dalam pencatatan atau penjurnalan yang dilakukan PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk pada transaksi mudharabah tersebut apakah telah sesuai dengan PSAK No. 105. 4. Menganalisis penyajian dan pengungkapan yang terjadi pada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk apakah telah sesuai dengan PSAK No. 105.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pendapatan Bagi hasil Pembiayaan Mudharabah . Ada 2 macam akad bagi hasil di perbankan syari’ah, yaitu akad mudharabah dan akad musyarakah. Kedua akad ini hampir sama satu sama lain dan dalam praktiknya di perbankan perbedaan hanya terletak pada komposisi permodalan usaha. Pada dasarnya mudharabah adalah kerja sama usaha dimana salah satu pihak berperan sebagai permodal dari suatu usaha dan pihak lain yang berperan sebagai pengelola dari usaha tersebut. Sementara itu musyarakah adalah kerja sama usaha dimana semua pihak ikut berperan dalam permodalan. Bank muamalat indonesia adalah bank syariah yang menerapkan sistem bagi hasil dalam memperoleh pendapatan (kegiatan operasional) yang berdasarkan pada prinsip syari’ah. Pendapatan bagi hasil ini merupakan sumber utama pendapatan Bank syariah muamalat Indonesia. Salah satu pembiayaan yang memakai sistem bagi hasil di Bank Syariah Muamalat Indonesia adalah pembiayaan mudharabah. Mudharabah merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak bank/pemilik modal (shahibul mall) menyediakan seluruh (100%) modal kepada pihak pengusaha/pengelola dana (mudharib), dengan nisbah bagi hasil disepakati diawal sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal (bank) selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Pelaksanaan pembiayaan mudharabah pada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk dibagi dalam dua jenis yaitu mudharabah muthlaqah (investasi tidak terikat) dan mudharabah muqayyadah (terikat). Pada mudharabah muthlaqah , pemilik dana memberikan kebebasan kepada bank dalam mengelola investasi. Sedangkan pada mudharabah muqayyadah, bank
menyalurkan dananya sesuai dengan permintaan dan persyaratan dari pemilik dana dalam hal ini adalah nasabah atau investor yang memberikan batasan kepada pengelola dana mengenai tempat, cara dan obyek investasi. Laba mudharabah dibagi antara pihak pengelola dana dengan pihak bank secara proporsional sesuai dengan kesepakatan nisbah yang telah ditentukan di muka. Sedangkan rugi dibebankan seluruhnya kepada bank sepanjang kerugian tersebut bukan terjadi karena kelalaian dari pihak pengelola modal. Secara lebih rinci, kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan mudharabah ini, perlakuannya kurang lebih sebagai berikut: a. Bank bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana secara penuh, dan nasabah bertindak sebagai mudharib yang mengelola dana dalam kegiatan usaha. b. Jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan bank dan nasabah; c. Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah; d. Pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai . e. Pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati. f. Bank menanggung seluruh risiko kerugian usaha yang dibiayai kecuali jika nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian usaha. g. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut.
h. Nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal akad. i. Pembagian keuntungan dilakukan dengan menggunakan metode bagi pendapatan (revenue sharing). j. Pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha dari mudharib sesuai dengan laporan hasil usaha dari usaha mudharib. k. Pengembalian pembiayaan dilakukan pada akhir periode akad untuk pembiayaan dengan jangka waktu sampai dengan satu tahun atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha nasabah; dan l. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian dan/atau kecurangan. Secara garis besar, pelaksanaan pembiayaan mudharabah muqayyadah dan mutlaqoh hampir sama, perbedaannya terletak pada : a. Bank bertindak sebagai agen penyalur dana investor (channelling agent) kepada nasabah yang bertindak sebagai pengelola dana untuk kegiatan usaha dengan persyaratan dan jenis kegiatan usaha yang ditentukan oleh investor; b. Jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara investor, nasabah dan Bank; c. Bank sebagai agen penyaluran dana milik investor tidak menanggung risiko kerugian usaha yang dibiayai, resiko sepenuhnya ditanggung oleh investor. d. Bank sebagai agen penyaluran dana dapat menerima fee (imbalan) yang
perhitungannya diserahkan kepada kesepakatan para pihak. Prinsip Syariah Islam Pelaksanaan Mudharabah.
Terhadap
Pendapatan bagi hasil yang diperoleh PT. BMI berasal dari pembiayaan mudharabah dan sehingga praktik pembiayaan yang menghasilkan pendapatan bagi hasil ini harus diketahui dan dicocokkan dengan hukum syariah untuk dapat menilai apakah pendapatan bagi hasil tersebut telah sesuai dengan hukum Islam. Terkait dengan temuan-temuan dalam studi kasus pada Bank Muamalat, beberapa hal yang berkaitan dengan prinsip mudharabah yang dilaksanakan pada Bank Muamalat yang kemudian dicocokkan dengan pendapat jumhur ulama. Pada faktanya, PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk ketika melakukan penyaluran dana berupa pembiayaan mudharabah kepada pihak yang memerlukan dana telah sesuai dengan syarat-syarat yang ada dalam persyaratan ijab dan qabul yaitu : a. Harus jelas menunjukkan maksud untuk melakukan kegiatan mudharabah. Pada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk nasabah yang akan melakukan pembiayaan mudharabah dengan PT. BMI harus menjelaskan maksud dan tujuannya melakukan kegiatan pembiayaan tersebut. b. Harus bertemu. Di PT. BMI nasabah yang akan melakukan kegiatan mudharabah pada saat akan melakukan perjanjian atau kesepakatan pihak Bank Muamalat harus bertemu dengan nasabah tujuannya agar penawaran pihak pertama sampai dan diketahui oleh pihak kedua sebagai ungkapan kesediaan bekerja sama. c. Dan harus sesuai maksud pihak pertama, cocok dengan keinginan pihak kedua.
1. Adanya dua pihak (pihak penyedia dana dan pengusaha / pengelola dana). a. Cakap bertindak hukum secara syar’i yang artinya shahibul maal memiliki kapasitas menjadi pemodal dana dan mudharib menjadi pengelola dana tersebut. Dalam hal ini PT. BMI pada pembiayaan mudharabah memang bertindak sebagai shahibul maal yang memiliki kapasitas sebagai pemodal dana dan nasabah atau mudharib memiliki kapasitas sebagai pengelola dana. b. Memiliki walayah tawkil wa wakalah (memiliki kewenangan mewakilkan / memberi kuasa dan menerima pemberian kuasa), yaitu penyerahan modal oleh pihak pemberi modal kepada pihak pengelola modal merupakan suatu bentuk pemberian kuasa untuk mengolah modal tersebut. Pada PT. BMI juga setelah modal diserahkan oleh pihak PT. BMI kepada nasabah, maka nasabah tersebut akan mengelola atau mengolah modal tersebut dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kontrak atau perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak antara pemodal dana dengan pengelola dana. 2. Adanya modal Dalam hal ini, PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk ketika akan melakukan penyaluran dana berupa pembiayaan mudharabah kepada pihak yang memerlukan dana telah sesuai dengan syarat-syarat modal yang ada, yaitu : a. Modal harus jelas jumlah dan jenisnya dan diketahui oleh kedua belah pihak pada waktu dibuatnya akad mudharabah, pada PT. BMI ketika akan melakukan pembiayaan mudharabah modal yang diberikan tentunya jelas jumlah dan jenisnya telah diketahui oleh kedua belah pihak yaitu pihak Bank Muamalat
dengan pihak nasabah (atau pengelola dana) pada saat dibuatnya akad pembiayaan tersebut. b. Harus berupa uang (bukan barang), dalam hal ini PT. BMI dalam melaksanakan pembiayaan mudharabah memberikan modal pinjaman dalam bentuk berupa uang. c. Uang bersifat tunai. Pada PT. BMI modal pinjaman yang di berikan adalah uang yang bersifat tunai. Uang diberikan sesuai jumlahnya secara tunai kepada nasabah. d. Modal diserahkan sepenuhnya kepada pengelola secara langsung. Pada PT. BMI modal yang akan di pinjamkan kepada mudharib memang diserahkan secara langsung agar mudharib dapat langsung memulai kerja usahanya. 3. Adanya usaha (‘amal). Menurut Veithzal Rivai, H. (2008), mengenai jenis usaha pengelolaan ini, sebagian ulama khususnya Syafi’i dan Maliki, mensyaratkan hanya berupa usaha dagang (commercial). Mereka menolak usaha yang berjenis kegiatan industri (manufacture) dengan anggapan bahwa kegiatan industri itu termasuk dalam kontrak persewaan (ijarah) yang semua kerugian dan keuntungan ditanggung oleh pemilik modal (investor), sementara para pegawainya digaji secara tetap. Tetapi, Abu Hanifah membolehkan usaha apa saja selain berdagang, termasuk kegiatan kerajinan atau industri. Jadi sesungguhnya, dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa jenis usaha yang
diperbolehkan adalah semua jenis usaha. Tentu saja tidak hanya menguntungkan, juga harus sesuai dengan ketentuan syariah sehingga merupakan usaha yang halal. Dalam menjalankan usaha ini, shahibul maal tidak boleh membatasi mudharib sedemikian rupa sehingga mengakibatkan upaya pemerolehan keuntungan maksimal tidak tercapai. Tetapi, di lain pihak, pengelola harus senantiasa menjalankan usahanya dalam ketentuan syariah secara umum. Apabila usaha itu dijalankan di bawah akad mudharabah terbatas, maka ia harus memenuhi klausulklausul (perjanjian) yang ditentukan oleh shahibul maal. Pada faktanya PT. BMI memberikan pinjaman dana / modal pada usaha-usaha yang bersifat tidak hanya menguntungkan tetapi juga merupakan usaha yang halal dan juga harus sesuai dengan ketentuan syariah Islam. 4. Adanya usaha (‘amal). Menurut Veithzal Rivai, H. (2008), mengenai jenis usaha pengelolaan ini, sebagian ulama khususnya Syafi’i dan Maliki, mensyaratkan hanya berupa usaha dagang (commercial). Mereka menolak usaha yang berjenis kegiatan industri (manufacture) dengan anggapan bahwa kegiatan industri itu termasuk dalam kontrak persewaan (ijarah) yang semua kerugian dan keuntungan ditanggung oleh pemilik modal (investor), sementara para pegawainya digaji secara tetap. Tetapi, Abu Hanifah membolehkan usaha apa saja selain berdagang, termasuk kegiatan kerajinan atau industri. Jadi sesungguhnya, dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa jenis usaha yang diperbolehkan adalah semua jenis usaha. Tentu saja tidak hanya menguntungkan, juga harus sesuai dengan ketentuan syariah sehingga merupakan usaha yang halal.
Dalam menjalankan usaha ini, shahibul maal tidak boleh membatasi mudharib sedemikian rupa sehingga mengakibatkan upaya pemerolehan keuntungan maksimal tidak tercapai. Tetapi, di lain pihak, pengelola harus senantiasa menjalankan usahanya dalam ketentuan syariah secara umum. Apabila usaha itu dijalankan di bawah akad mudharabah / musyarakah terbatas, maka ia harus memenuhi klausulklausul (perjanjian) yang ditentukan oleh shahibul maal. Pada faktanya PT. BMI memberikan pinjaman dana / modal pada usaha-usaha yang bersifat tidak hanya menguntungkan tetapi juga merupakan usaha yang halal dan juga harus sesuai dengan ketentuan syariah Islam. 5. Adanya keuntungan Menurut Veithzal Rivai, H. (2008), mengenai keuntungan, disyaratkan bahwa : a. Keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan presentase dari jumlah modal yang diinvestasikan, melainkan hanya keuntungannya saja setelah dipotong besarnya modal. Dalam hal ini, perhitungan harus dilakukan secara cermat. Setiap keadaan yang membuat ketidakjelasan penghitungan akan membawa kepada suatu kontrak yang tidak sah. b. Keuntungan untuk setiap pihak tidak ditentukan dalam jumlah nominal, misalnya satu juta, dua juta dan seterusnya. Jika ditentukan dengan nominal, berarti shahibul maal telah mematok untung tertentu dari sebuah usaha yang belum jelas untung dan ruginya. Ini akan membawa pada perbuatan riba’. c. Nisbah pembagian ditentukan dengan persentase, misalnya 60:40%, 50:50%, dan seterusnya. Penentuan persentase tidak harus terikat pada bilangan
tertentu. Artinya, jika nisbah bagi hasil tidak ditentukan pada saat akad, maka setiap pihak memahami bahwa keuntungan itu akan dibagi secara sama, karena aturan umum dalam penghitungan ini adalah kesamaan. d. Keuntungan harus menjadi hak bersama sehingga tidak boleh diperjanjikan bahwa seluruh keuntungan untuk salah satu pihak. Pada dasarnya, mudharabah dan musyarakah membagi keuntungan berdasarkan kesamaan. Namun, jika mudharib mensyaratkan seluruh keuntungan untuk dirinya, para fuqaha berbeda pendapat. Imam Malik membolehkannya, karena cara itu merupakan kebaikan atau kesukarelaan shahibul maal. Di lain pihak, Imam Syafi’i melarangnya. Ia menganggap cara seperti itu sebagai suatu kesamaran, karena jika terjadi kerugian, shahibul maal pun telah menanggung modalnya. Jadi menurut Imam Syafi’i, beban resiko yang ditanggung shahibul maal itu telah berat dan tidak boleh ditambah lagi. Imam Abu Hanifah, berkenaan dengan masalah ini berpendapat bahwa hal itu tidak termasuk kategori mudharabah / musyarakah, melainkan qardh (pinjaman). Artinya, pelimpahan seluruh keuntungan ke tangan mudharib menjadikan kegiatan ekonomi itu sebagai sebuah pinjaman. Maka dari itu, jika terjadi kejadian yang sebaliknya (kerugian), maka seluruh kerugian ditanggung oleh mudharib. Dalam hal adanya keuntungan ini, PT. BMI ketika akan melakukan penyaluran dana berupa pembiayaan mudharabah dan musyarakah kepada pihak yang memerlukan dana telah sesuai dengan syarat-syarat yang ada, yaitu sebagai berikut : a. Keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan persentasi dari jumlah modal yang diinvestasikan, melainkan
hanya keuntungannya saja setelah dipotong besarnya modal. Pada PT. BMI, keuntungan atau laba yang dibagikan adalah setelah dipotong besarnya modal dan perhitungan yang dilakukan oleh PT. BMI dilakukan dengan cermat agar tidak terjadi ketidakjelasan penghitungan sehingga akan membawa pada suatu kontrak / perjanjian yang tidak sah. b. Keuntungan untuk setiap pihak tidak ditentukan dalam jumlah nominal. Pada PT. BMI keuntungan yang di bagikan harus sesuai dengan perhitungan yang seadil-adilnya dan sejelas mungkin agar tidak terjadi pada perbuatan riba’. c. Nisbah pembagian ditentukan dengan presentase. Faktanya pada PT. BMI memang nisbah pembagian keuntungan adalah dengan menggunakan presentase, misalnya 30:70%, 50:50%, dsb. Nisbah ini ditentukan pada saat akad, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman antara bank dengan pihak nasabah dalam pembagian nisbah. d. Keuntungan harus menjadi hak bersama sehingga tidak boleh diperjanjikan bahwa seluruh keuntungan untuk salah satu pihak. 6. Yadul Amanah Konsep mudharabah memiliki prinsip bahwa modal yang dikelola oleh mudharib (pengelola dana) adalah yadul amanah artinya ia tidak menanggung apapun ketika modal tersebut hilang, berkurang atau rusak kecuali jika hal itu disebabkan oleh kelalaiannya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam setiap permohonan pinjaman dana dalam pembiayaan mudharabah, pihak bank mengharuskan adanya aset yang dijadikan jaminan (collateral) oleh
mudharib untuk lebih meyakinkan pihak bank akan kejujuran mudharib. Jika pihak mudharib gagal mengembalikan modal yang dipinjamnya sesuai dengan jumlah dan waktu yang telah disepakati maka jaminannya akan dilelang. Jika nilai jaminan tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai hutangnya, maka selisih tersebut akan dikembalikan ke pihak nasabah. PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk yang dalam hal ini berposisi sebagai mudharib bagi nasabah penyimpan dana, sekaligus merupakan shahibul maal bagi pihak yang membutuhkan dana, melakukan pengambilan barang jaminan dari mudharib untuk menjamin dan mempertanggungjawabkan pengelolaan dana pihak nasabah, karena pada hakikatnya pihak nasabah menanamkan dan mempercayakan dana di PT. BMI atas dasar motif keamanan, dan agar dana yang mereka titipkan tersebut mengalami peningkatan dengan dikelola oleh pihak bank. Oleh sebab itu, pihak bank sebagai mudharib akan berusaha untuk meningkatkan serta menjaga stabilitas jumlah nilai yang akan dibagihasilkan kepada pihak penyimpan dana. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berkesimpulan bahwa praktek ini yaitu pengambilan jaminan oleh pihak bank karena pihak muhdarib tidak bisa mengembalikan dana mudharabah, telah menyalahi prinsip yang telah dikemukakan sebelumnya yaitu memposisikan mudharib sebagai pihak yang tidak akan menanggung kerugian yang tidak diakibatkan oleh kelalaiannya. Transaksi-transaksi yang berkaitan dengan pengambilan jaminan tersebut dikategorikan sebagai transaksi yang fasid (rusak). Agar transaksi mudharabah tersebut tidak terkategori transaksi yang fasid, maka konsekuensinya transaksi tersebut dibatalkan atau syarat yang rusak tersebut yakni keharusan
memberikan jaminan jika mengalami kerugian ditiadakan.
nasabah
7. Biaya pengelolaan Seorang mudharib disamping berhak atas bagian keuntungan dari modal yang dikelolanya, iapun berhak atas biaya atas operasi pengelolaan tersebut. Meski demikian biaya operasional tersebut oleh para fuqaha diberikan batasan-batasan yang tegas. Biaya-biaya yang boleh dibebankan atas dana mudharabah yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan pengelolaan harta mudharabah saja. Selain itu, tidak diperbolehkan seorang mudharib untuk membebankannya kepada dana mudharabah, seperti nafkah hidup seharihari, dan sebagainya. Dengan demikian, pihak pengelola memiliki hak untuk mempergunakan modal usaha untuk membiayai berbagai kebutuhan transaksi. Namun demikian ia tidak memiliki hak untuk mendapatkan gaji sebagai kompensasi dari proses pengembangan modal tersebut termasuk gaji karyawan yang membantunya karena kompensasi akan ia peroleh dari keuntungan usaha tersebut. Dengan kata lain, pihak shahibul maal yaitu bank, harus ikut menanggung segala biaya yang timbul akibat dari transaksi-transaksi yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah. Dalam hal ini PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk mempergunakan metode revenue sharing dalam perhitungan bagi hasil yang akan diterima dari mudharib. Jika menggunakan metode revenue sharing, maka bank memperoleh bagiannya dari jumlah pendapatan yang diterima oleh mudharib pada periode tersebut sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang terkait dengan pengelolaan dana mudharabah yang bersangkutan. Dengan menggunakan metode revenue sharing, menggambarkan bahwa pihak mudharib menanggung biaya-biaya
operasionalisasi usaha yang dikurangi dari pendapatan bagi hasil yang menjadi bagian mudharib setelah dibagikan kepada pihak shahibul maal, sehingga akan memperkecil jumlah pendapatan yang seharusnya diterima. Dengan demikian, walaupun pihak shahibul maal telah menerima bagian dari bagi hasil tersebut, dan mengakui adanya pendapatan akan tetapi pihak mudharib tetap mempunyai peluang untuk mengalami kerugian, jika biaya-biaya operasionalnya lebih besar dibandingkan dengan pendapatannya. Hal ini menunjukkan bahwa pihak mudhariblah yang sepenuhnya menanggung biaya operasional tersebut. Penjelasan dan pemaparan di atas menghantarkan penulis pada kesimpulan bahwa penggunaan metode revenue sharing dalam menghitung penerimaan bagi hasil telah menyalahi prinsip bagi hasil yang ada di dalam Islam. Hal ini didasarkan pada pernyataan para fuqaha bahwa mudharib berhak untuk membebankan biaya-biaya yang menyangkut operasionalisasi usaha pada dana mudharabah, sehingga shahibul maal juga harus ikut menanggung biaya operasional tersebut. 8. Pembagian keuntungan Tidak ada perbedaan di kalangan para fuqaha tentang hak mudharib atas keuntungan dari pengelolaan harta mudharib. Namun mereka berbeda pendapat kapan keuntungan tersebut menjadi hak mudharib. Meski demikian mereka tidak berbeda pendapat bahwa proses penyerahan keuntungan tersebut dilakukan setelah modal diserahkan kepada pemilik modal. Dalam kasus pembiayaan mudharabah pada PT. BMI, pihak pengelola diwajibkan membayar angsuran dari modal yang dipinjamnya berdasarkan kesepakatan di dalam akad secara berkala (setiap akhir bulan laporan) terlepas besar kecilnya angsuran tersebut. Angsuran tersebut terdiri dari pokok pinjaman ditambah dengan bagi
hasil yang diperoleh sesuai dengan nisbah yang telah ditetapkan dalam akad. Padahal sebagaimana yang telah dipaparkan oleh para fuqaha bahwa pemberian keuntungan itu dilakukan hanya ketika modal tersebut telah dikembalikan kepada pemilik modal sehingga jelas apakah proses mudharabah itu menguntungkan atau tidak. Pendapatan yang diperoleh dari pembiayaan mudharabah ini, dalam pandangan Islam, diakui pada saat mudharib telah menyetorkan seluruh modal yang dipinjamnya. Jika terdapat kelebihan dari modal yang telah dimudharabahkan tadi, maka laba diakui ketika laba tersebut telah nampak dan diperhitungkan sesuai dengan nisbah yang disepakati, sehingga terdapat jaminan yang pasti akan diterimanya pendapatan tersebut. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa pendapatan tersebut diakui pada saat pendapatan telah direalisasi berupa kas yang diserahkan. Besarnya nilai dari pendapatan tersebut diukur sebesar jumlah yang akan atau yang telah diterima bank setelah diperhitungkan sesuai dengan proporsi bagi hasil yang telah ditentukan di dalam akad. Pelaksanaan pembagian keuntungan pada PT. BMI, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, ternyata belum sesuai dengan pembagian keuntungan yang telah disyaratkan dalam Islam. Hal ini dapat dilihat pada perbedaan waktu pengakuan dan penerimaan pendapatan bagi hasil oleh shahibul maal. Bank menerima pendapatan bagi hasil tersebut secara angsuran bersamaan dengan angsuran pokok pinjaman, dan sekaligus mengakuinya saat pendapatan tersebut telah terealisasi, sedangkan Islam mensyaratkan pembagian keuntungan dilaksanakan pada saat modal telah diserahkan sepenuhnya kepada shahibul maal.
9. Mudharabah atas mudharabah Seorang amil (pengelola) tidak boleh memudharabahkan harta mudharabah kepada pihak lain. Jika hal tersebut dilakukan maka hal tersebut termasuk ke dalam kategori melampaui batas. Tidak ada perbedaan di kalangan fuqaha yang masyhur bahwa jika seorang amil menyerahkan modal qiradh kepada pihak pengelola lain maka ia wajib menanggungnya jika mengalami kerugian (Sayyid Sabiq,1983). Pada faktanya, PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk Indonesia ketika melakukan penyaluran dana berupa pembiayaan mudharabah kepada pihak yang memerlukan dana, maka sejatinya pihak perbankan tersebut telah memudharabahkan harta mudharabah. Hal ini dapat dilihat dari akad yang disepakati antara bank dengan pihak yang menyimpan dana serta akad yang disepakati antara bank dengan pihak yang memerlukan dana. Akad yang ditetapkan dengan pihak penanam dana adalah akad mudharabah, dimana pihak penanam dana bertindak sebagai shahibul maal dan pihak bank bertindak sebagai mudharib. Adapun akad yang ditetapkan dengan pihak yang memerlukan dana juga merupakan akad mudharabah. Dalam hal ini bank bertindak sebagai shahibul maal dan pihak yang memerlukan dana bertindak sebagai mudharib. Dengan demikian, jika pihak pengelola mengalami kerugian maka kerugian tersebut tidak boleh dibebankan kepada pemilik modal pertama (nasabah atau investor). Jadi, kerugian tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan bank. Demikian pula kerugian itu tidak boleh dibebankan kepada pihak pengelola jika kerugian tersebut tidak diakibatkan oleh kelalaiannya. Sikap PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk yang melakukan mudharabah atas mudharabah ini termasuk dalam kategori melampaui batas dan jika tetap melakukan hal tersebut maka konsekuensinya kerugian
apapun dari pengelolaan harta tersebut tidak boleh dilimpahkan kepada pemilik modal. Dalam praktiknya, PT. BMI memang tidak membebankan kerugian dari pengelolaan harta mudharabah kepada para nasabahnya, akan tetapi langkah PT. BMI yang memudharabahkan harta mudharabah itu tetap termasuk dalam kategori melampaui batas sehingga tidak sesuai dengan syariah Islam. Pelaksanaan keempat poin yang penulis temukan di atas yang belum sesuai dengan syariah Islam, tidak terlepas dari pengaruh sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia. Terkait dengan konsep yadul amanah dalam mudharabah, sistem kapitalisme secara tidak langsung memaksa seseorang untuk tidak mempercayai orang lain. Dalam kapitalisme, sebuah kesuksesan dilihat dari materi. Tolak ukur untuk melihat seseorang pun didasarkan pada materi. Sehingga seseorang mau bekerja sama juga didasarkan karena materi. Begitu pula halnya dengan perbankan. Dalam hal ini perbankan mau memberikan pembiayaan mudharabah karena bank telah memprediksi jumlah laba yang akan diperoleh, sehingga pihak bank secara otomatis akan mengambil jaminan mudharabah ketika mudharib mengalami kerugian. Hal ini menunjukkan bahwa standar yang dipergunakan oleh bank untuk memberikan pembiayaan mudharabah adalah berdasarkan materi bukan sistem kepercayaan seperti yang telah disyaratkan di dalam Islam. Dalam hal pembagian keuntungan, PT. BMI menerima pendapatan bagi hasil per bulan secara angsuran. Metode yang digunakan untuk mendapatkan keuntungan ini mempergunakan revenue sharing di mana bank tidak ikut menanggung biaya pengelolaan mudharabah. Bank Muamalat menjalankan hal ini karena PT. BMI dituntut untuk memberikan bagi hasil kepada nasabah penyimpan dana setiap bulannya.
Sebagaimana diketahui, secara mayoritas, motif nasabah dalam menyimpan dana di bank syariah tidak semata-mata karena bank syariah tersebut menerapkan syariah Islam, akan tetapi mereka hanya ingin memperoleh keuntungan dan tidak mau menanggung kerugian. Hal ini juga merupakan imbas dari sistem kapitalisme yang menjadikan manusia hanya berorientasi kepada materi dengan jalan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan resiko yang sekecil-kecilnya. Perbankan syariah yang ada saat ini belum bisa dikatakan ideal karena sebagian besar kegiatan operasionalnya khususnya pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah masih terpengaruh aturanaturan kapitalis. Perbankan syariah dapat dikatakan ideal jika berada dalam sebuah sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam akan bisa terwujud dengan politik ekonomi Islam yang diterapkan oleh pemerintahan Islam. Penyajian dan berdasarkan PSAK 105.
pengungkapan
Pada PSAK No. 105 paragraf 36 menyatakan bahwa pemilik dana menyajikan investasi mudharabah dalam laporan keuangan sebesar nilai tercatat. Pelaporan yang dilakukan PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk telah sesuai dengan yang dinyatakan dalam PSAK No. 105 paragraf 36 tersebut. Paragraf 37 Menyatakan Pengelola dana menyajikan transaksi mudharabah dalam laporan keuangan: a. dana syirkah temporer dari pemilik dana disajikan sebesar nilai tercatatnya untuk setiap jenis mudharabah; b. bagi hasil dana syirkah temporer yang sudah diperhitungkan tetapi belum diserahkan kepada pemilik dana disajikan sebagai pos bagi hasil yang belum dibagikan di kewajiban
Dan PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk mengungkapkan hal-hal yang terkait transaksi mudharabah, antara lain pembagian hasil usaha, rincian jumlah investasi mudharabah berdasarkan jenis atau penyalurannya, dan penyisihan kerugian investasi mudharabah selama periode berjalan, hal tersebut telah sesuai dengan PSAK No. 105 paragraf 38.
PENUTUP Kesimpulan 1. Dalam praktiknya Pihak Bank tidak menghadapi kendala-kendala yang berarti karena bank muamalat merupakan bank syariah pertama di indonesia sehingga para nasabah sudah cukup mengerti tentang produk-produk bank syariah, tidak adanya pengaruh dari luar, dan keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah pada saat berakhirnya akad, hanya saja dalam penerapan pengakuan akad mudharabah dan pengakuan pembelian asset nonkas belum diatur dalam PSAK 105. Pengakuan mudharabah diakui sebagai kewajiban oleh Bank dan Pengakuan Pembelian diakui sebagai penambahan asset mudharabah oleh pihak Bank. 2. Penerapan akuntansi syariah dalam produk bagi hasil pada pembiayaan bagi hasil mudharabah PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk telah dilakukan dengan baik, dengan prinsip dan ketentuan yang ditetapkan nilai-nilai syariah hal ini digambarkan saat diberikan pembiayaan berdasarkan keuntungan ditetapkan berdasarkan kesepakatan Bank dan Nasabah, yaitu Rata-rata margin 30% dan 70% dan pencatatan transaksi –
transaksi sudah dilakukan sesuai Standar Akuntansi Keuangan. Implikasi Berbagai macam permasalahan yang terjadi di ruang lingkup penelitian ini telah terungkap dan secara langsung berimbas terhadap Bank dan nasabah. Penerapan PSAK 105 dapat membantu Bank dalam memahami pencataan disetiap permintaan nasabah yang akan melakukan Permintaan terhadap investasi, maupun produk-produk PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk yang akan melakukan penyaluran dana berupa pembiayaan mudharabah. Konsistensi Bank kepada nasabah yang memerlukan dana harus sesuai dengan syarat-syarat modal yang ada, modal harus jelas jumlah dan jenisnya dan diketahui oleh kedua belah pihak pada waktu dibuatnya akad mudharabah dan nasabah untuk menghimpun dana di Bank dapat terlindungi dengan adanya kesepakatan diawal akad pembiayaan terhadap modal atau uang nasabah. Saran Secara garis besar telah disimpulkan bahwa penerapan akuntansi syariah pada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk sudah baik, namun PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk harus lebih konsisten terhadap penerapan pengakuan dan pengukuran atas pencatatan transaksi mudharabah dengan ketentuan yang berlaku yaitu khususnya PSAK 105. Pihak Bank lebih meningkatkan kewaspadaan dalam menyalurkan dana kepada mudharib (pengelola dana).
Susanti,
DAFTAR PUSTAKA Amita.
Rizka (2008).
Pengakuan dan
pengukuran pendapatan bagi hasil pada PT. BPRS Gebu Prima Medan. Antonio, Muhammad Syafi’i (2010), Bank Syariah;
Dari
Teori
ke
Praktik,
Cetakan ke enam belas, Gema Insani, Jakarta.
Internal atas pembelian bahan Baku pada PT printcolor Indonesia. Jakarta (tidak dipublikasikan). http://www.emeraldinsight.com http://www.muamalatbank.com Ikatan Akuntan Indonesia (2009), Standar Akuntansi Keuangan, Per 1 Juli 2009, Salemba Empat, Jakarta. Kusmawanti. (2008). Pendapatan bagi hasil dan pelakuan Akuntansi pada Bank Muamalat Indonesia cabang Malang. Sri,
dan
Wasilah
(2011),
Akuntansi Syariah di Indonesia, Edisi 2 Revisi, Salemba Empat, Jakarta. Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Djambatan, Jakarta. Siamat,
(2010).
Pengakuan
dan
pengukuran pendapatan bagi hasil pada PT. BNI Syariah cabang Medan. Taufiqul Hulam. Jaminan Dalam Transaksi Akad Mudharabah Pada Perbankan Syariah. Mimbar Hukum, Volume 22, Nomor 3 Oktober 2010, Halaman 520-533. Veithzal Rivai, H.(2008). Islamic Financial Managemen. Edisi 1, Cetakan 1.
Dina, (2010). Evaluasi Sistem Pengendalian
Nurhayati,
Desi
Dahlan
Lembaga
(2005), Keuangan;
Manajemen Kebijakan
Moneter dan Perbankan, Edisi kelima, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2008.