ANALISIS PENETAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR SERTA IMPLEMENTASINYA DI PROVINSI DKI JAKARTA Nurwulan Ramadhani1, Edi Sumantri2 1
Program Studi Ilmu Adm.Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Adm.Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
2
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) merupakan jenis pajak daerah yang memiliki peranan yang cukup signifikan karena terkait dengan penggunaan bahan bakar sebagai jenis barang strategis dan volume kendaraan yang mengalami trend peningkatan sehingga berpengaruh terhadap pemakaian PBBKB. Skripsi ini membahas perubahan sistem pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) akibat adanya Peraturan Pemerintah No.91 Tahun 2010 sehingga terjadi perubahan mekanisme pemungutan PBBKB dari withholding menjadi self assessment system. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini adalah ditetapkannya Peraturan Pemerintah No.91 Tahun 2010 mengakibatkan terjadinya perubahan sistem pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor pada penyedia bahan bakar yang tadinya Wajib Pungut menjadi Wajib Pajak. Dalam implementasi pemungutan PBBKB di DKI Jakarta, Dinas Pelayanan Pajak masih terkendala baik secara internal maupun secara eksternal sehingga pengawasannya cenderung masih lemah. Sedangkan terkait pemeriksaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor masih terkendala pada akses data yang hanya ditangani oleh UMPS 3 Pertamina membatasi gerak Dinas Pelayanan Pajak untuk mendapatkan kronologis penjualan bahan bakar kendaraan bermotor secara detail untuk meningkatkan penerimaan pajak PBBKB.
The Analysis Determining of Self Assestment System of Motor Vehicle Fuel Tax and Its Implementation in DKI Jakarta Province ABSTRACT Motor Vehicle Fuel Tax is a kind of local tax that has a significant role as it relates to the use of fuel as a strategic item types and volume of vehicles experiencing an increasing trend towards the use PBBKB so influential. This thesis discusses the changes in voting systems Motor Vehicle Fuel Tax (PBBKB) as a result of the Government Perataturan 91 of 2010 resulting in a change in the mechanism of withholding voting PBBKB become self assessment system. This study is a qualitative research with in-depth interviews. The results of this study are the enactment of Government Regulation 91 of 2010 resulted in a change voting system Motor Vehicle Fuel Tax on fuel providers that had become Taxpayers Pick Mandatory. In PBBKB polling implementation in Jakarta Tax Office is still constrained both internally and externally so that oversight tends to be weak. While the examination related Motor Vehicle Fuel Tax is still constrained to access only the data that is handled by UMPS 3 Pertamina restrictive Tax Agency to obtain a chronological sale of automotive fuel in detail to increase tax revenues Motor Vehicle Fuel Tax. Keywords : Auditing ; Controlling ; Implementation ; Motor Vehicle Fuel Tax ; Self Asssestment System
PENDAHULUAN Indonesia perlu mensejahterakan atau memakmurkan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakatnya melalui pembangunan ekonomi. Hal tersebut memerlukan investasi yang
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
dapat menggerakkan roda perekonomian negara ke arah yang lebih baik. Maka dari itu, untuk mendorong investasi perlu adanya efektifitas fasilitas pajak (Gunadi, 2002, hal : 117). Pembangunan ekonomi di tingkat nasional pun harus diikuti sampai ke daerah agar tercapai masyarakat adil dan makmur. Pelaksanaan pembangunan daerah saat ini dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah. Lahirnya kebijakan otonomi daerah yang disusul dengan kebijakan desentralisasi fiskal, menunjukkan adanya keseriusan pembagunan daerah. Tujuan otonomi daerah antara lain untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), selain itu juga untuk menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi. Salah satu contoh perubahan pelaksanaan pemerintahan di daerah adalah daerah memiliki wewenang yang lebih besar dalam menyelenggarakan pengelolaan pemerintahan di daerah. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, maka Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil usaha BUMD dan pendapatan asli daerah lainnya (Abimanyu, 2005, hal : 3). Hal ini memungkinkan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Dimana kewenangan diberikan secara luas untuk menggali dan mengoptimalkan potensi daerah yang ada untuk dijadikan sebagai sumber keuangan daerah sesuai dengan ketentuan yang ada, serta memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat. Meskipun Undang-Undang telah mengatur fleksibilitas dan diskresi daerah secara penuh dalam mengelola keuangan daerah, namun demikian daerah harus tetap memperhitungkan kapasitas kemampuan basis penerimaan yang dimiliki (Chalid, 2005, hal : 9). Oleh sebab itu, penyelenggaraan otonomi daerah dapat berguna dan berhasil apabila dilandasi kemauan dan kemampuan yang besar dari daerah untuk mengembangkan ataupun meningkatkan potensi sumber-sumber keuangan secara maksimal. Dalam hal ini, pemerintah daerah diharuskan bersikap mandiri dalam membiayai seluruh kegiatan operasional daerahnya sebagai tanggungjawab penyelenggaraan pemerintah di tingkat daerah dan merupakan salah satu kunci utama penentu keberhasilan Pemerintah Daerah dalam menjawab tantangan atas tanggungjawab yang diterimanya sekaligus sebagai respon pemerintah daerah terhadap desentralisasi fiskal yang merupakan bagian penting dalam implementasi otonomi daerah (Ismail, 2005, hal : 190). Sebagai bukti keseriusan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UndangUndang (UU) No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan perbaikan atas UU No.34 Tahun 2000 dan UU No.18 tahun 1997. Adanya perubahan
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dirasa cukup signifikan dan sebuah terobosan baru yang bertujuan untuk peningkatan kemampuan memajaki (taxing power) dalam hal pemberian wewenang kepada daerah untuk memungut pajak daerah dengan pemberian diskresi (keleluasaan) dalam penetapan tarif maksimum jika diperlukan, disertai dengan perluasan basis pajak dan pengenaan jenis pajak baru. Adanya revisi UU Pajak Daerah tersebut diharapkan dapat lebih mendorong peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah dimana pelaksanaan UU tersebut berdasarkan prinsip demokrasi, pemertaan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah (Prianta, 2013, hal : 540). Sama halnya seperti daerah lainnya di Indonesia, Provinsi DKI Jakarta juga merupakan daerah otonom yang dituntut mandiri dalam pelaksanaan pemerintahan daerahnya. Pajak daerah merupakan salah satu sumber yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Provinsi DKI Jakarta memerlukan dana yang cukup besar dalam menyelenggarakan kegiatan pembangunan daerah di berbagai sektor. Dari sumber pendapatan daerah yang dimiliki Provinsi DKI Jakarta, Pendapatan Asli Daerah yang memberikan kontribusi penerimaan yang cukup besar melalui pajak daerah salah satunya adalah Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sangat sesuai untuk dijadikan pajak daerah, seperti yang diungkapkan Nick Devas dalam kajiannya tentang Keuangan Pemerintahan Daerah di Indonesia bahwa penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dapat dijadikan salah satu sumber pendapatan daerah karena potensi hasilnya cukup besar (Devas, 1989, hal : 13). Penerimaan pajak daerah yang berasal dari PBBKB dinilai cukup hingga tahun 2013, mencapai nilai Rp. 1.027.108.786.899 sejalan dengan semakin berkembangnya Kota Jakarta, maka kebutuhan atas sarana transportasi pun meningkat yang ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah kendaraan dari tahun ke tahun. Penjualan bahan bakar kendaraan bermotor ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian di sektor transportasi, semakin banyak kendaraan yang beroperasi berarti jumlah bahan bakar yang dikonsumsi akan semakin meningkat, sehingga potensi pengenaan PBBKB cenderung meningkat. Dengan faktor jumlah kendaraan bermotor yang meningkat juga kepadatan lalu lintas yang tinggi di Jakarta berdampak pada tingginya konsumsi terhadap bahan bakar kendaraan bermotor. Perkembangan jumlah kendaraan bermotor yang terus meningkat dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan penerimaan daerah dari sektor PBBKB. Selain itu, jumlah total kendaraan di tahun 2012 ke 2013 trend peningkatannya mencapai 9,8 persen. (http://news.detik.com, 28 Februari 2014). Meningkatnya penerimaan daerah dari sektor
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
PBBKB yang setiap tahunnya bisa mencapai 9,8% maka bukan tidak mungkin PBBKB menyumbang pundi-pundi pendapatan pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan peningkatan pelayanan serta membiayai pembangunan daerahnya. Sejak awal diberlakukannya, realisasi penerimaan PBBKB cenderung melebihi target rencana yang di tetapkan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta berharap banyak agar PBBKB ini dapat memberikan kontribusi yang memadai bagi penerimaan daerah. Kebutuhan konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor setiap tahunnya cukup besar searah dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Data dari Polda Metro Jaya, saat ini kurang lebih ada 540 SPBU yang tersebar di Jabodetabek, terdiri dari 102 SPBU di Jakarta Selatan, 26 SPBU di Jakarta Pusat, 37 SPBU di Jakarta Utara, 60 SPBU di Jakarta Barat, 64 SPBU di Jakarta Timur, 51 SPBU di Kota Tangerang, 46 SPBU di Kabupaten Tangerang, 58 SPBU di Kota Bekasi, 55 SPBU di Kabupaten Bekasi, 40 SPBU di Depok dan 1 SPBU di Bandara Soekarno-Hatta (http://beritajakarta.com, 23 Maret 2014). Dengan demikian, melihat jumlah kendaraan yang selalu meningkat dan banyaknya SPBU yang tersebar di Jakarta, bukan tidak mungkin ke depannya PBBKB ini menjadi salah satu sektor andalan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menopang perekonomian pembangunan daerah. Pada tahun 2009 penerimaan PBBKB sebesar Rp. 671.464.087.091, lalu di tahun 2010 sebesar Rp. 727.327.812.376, kemudian pada tahun 2011 meningkat menjadi Rp. 848.569.568.929, begitu pula dengan tahun 2012 masih dengan trend yang meningkat yaitu sebesar Rp. 882.558.921.963, dan terakhir sampai tahun 2013 sudah mencapai angka sebesar Rp. 1.027.108.786.899 Dengan demikian, melihat perkembangannya, PBBKB setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Pajak bahan bakar dimungkinkan untuk dipungut oleh Pemerintah Daerah, sejalan dengan potensi yang dimiliki daerah, dengan membebankan kepada pemilik kendaraan dan pertanggungjawaban daerah terhadap perawatan fasilitas jalan ( Devas, 1989, hal.75). PBBKB adalah pajak daerah di tingkat provinsi yang akan dikenakan pada konsumen yang menggunakan bahan bakar kendaraan bermotor, yang termasuk bahan bakar kendaraan bermotor yaitu bensin seperti : premium, pertamax, pertamax plus, solar dan bahan bakar gas. Bahan bakar kendaraan bermotor yang dimaksud adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor. Jadi, bukan semata Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dibeli dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), tapi juga Bahan Bakar Gas (BBG) dan sejenisnya yang dibeli dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG). Pungutan pajak ini dilakukan oleh penyedia bahan bakar kendaraan bermotor, yaitu produsen dan/atau importer bahan bakar. Dalam pelaksanaan pemungutannya yang menjadi subjek PBBKB
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
adalah konsumen bahan bakar kendaraan bermotor atau orang yang menggunakan atau membeli bahan bakar kendaraan bermotor. Sedangkan objek PBBKB adalah Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di air Pembaharuan UU No.34 Tahun 2000 menjadi UU No.28 Tahun 2009, terdapat lima kebijakan, salah satunya adalah di sektor PBBKB. Selain menaikkan masalah tarif PBBKB dari 5% yang ditetapkan seragam di seluruh Indonesia, menjadi maksimum 10% dengan menganut diskriminasi tarif, yakni dibedakan untuk kendaraan pribadi, kendaraan umum, dan jenis bahan bakar. Namun bila berbicara masalah tarif PBBKB, yang perlu di ingat adalah pengenaan terhadap bahan bakar yang merupakan jenis barang strategis yang dibutuhkan oleh orang banyak, harus sangat hati-hati dalam pelaksanaanya karena sangat berkaitan erat dengan respon yang ada di masyarakat, yang dapat menimbulkan gejolak di masyarakat apabila terdapat pengenaan tarif yang berbeda. Sejauh ini praktek pengenaan tarif PBBKB masih harus diberlakukan secara nasional dan sama di semua daerah. Hal signifikan lainnya adalah di dalam UU No.28 Tahun 2009 dengan ditegaskan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 91 Tahun 2010 Tentang jenis pajak daerah yang dipungut berdasarkan penetapan kepala daerah atau dibayar sendiri oleh wajib pajak, menjelaskan bahwa terhadap PBBKB merupakan jenis pajak provinsi yang mana pemungutan pajaknya dibayar sendiri oleh wajib pajak. Hal menjadi penegasan bahwa sistem pemungutan PBBKB yang diberlakukan menganut self assessment system, dimana penyedia bahan bakar yang semula sebagai Wajib Pungut berubah menjadi Wajib Pajak dalam melaksanakan kegiatan perpajakanya. Masalah mendasar pula yang terjadi adalah ketika menjalankan kewajibannya perpajakannya sebagai wajib pungut dengan withholding system maka dari kegiatannya sebagai pihak ketiga yang melakukan kegiatan pemotongan PBBKB, penyedia bahan bakar mendapatkan biaya pungut (insentif) sedangkan ketika beralih dengan self assessment system maka hilangnya bentuk biaya pungut tersebut yang berpengaruh terhadap koordinasi antara penyedia bahan bakar dengan Dinas Pelayanan Pajak (DPP) sebagai pihak yang ditunjuk untuk mengelola PBBKB di Provinsi DKI Jakarta. Sebelum adanya PP No.91 Tahun 2010 ini, sistem pemungutan PBBKB selama ini menganut sistem pemungutan pajak dengan cara withholding system yaitu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong dan memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Pada awalnya untuk meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan agar PBBKB secara ekonomis dapat dipungut yang berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dibanding biaya
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
pemungutannya, maka ditunjuklah pihak ketiga sebagai pemungut PBBKB (Sumarsan, 2012, hal : 14) yaitu penyedia bahan bakar kendaraan bermotor yang selama ini di monopoli oleh PT. Pertamina sebagai penyedia bahan bakar terbesar di Indonesia dan khususnya di Provinsi DKI Jakarta. Selain PT. Pertamina, pemerintah juga memberikan izin kepada badan swasta untuk ikut serta sebagai penyedia bahan bakar dalam negeri namun terbatas pada jenis bahan bakar tertentu. Pada pelaksanaannya, Dinas Pelayanan Pajak (DPP) Provinsi DKI Jakarta sebagai instansi instansi yang diberi wewenang dalam melakukan pemungutan pendapatan daerah tidak dapat mengoptimalkan penerimaan PBBKB. Hal ini dikarenakan penyalur PBBKB yaitu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum bukanlah pemungut PBBKB yang bertugas untuk menyetorkan langsung PBBKB kepada Dinas Pelayanan Pajak sehingga tidak dapat mengetahui secara pasti besarnya bahan bakar yang dipesan oleh stasiun bahan bakar pengisian umum atau jumlah bahan bakar yang dikeluarkan PT. Pertamina dan penyedia bahan bakar lainnya dalam delivery order-nya. Dinas Pelayanan Pajak juga tidak dapat mengetahui kebenaran data yang dilaporkan PT. Pertamina dalam Surat Pemberitahuan Pajak Daerahnya. Dalam hal ini, Dinas Pelayanan Pajak tidak dapat melakukan konfirmasi data mengenai jumlah PBBKB yang telah ditarik oleh SPBU dari konsumen karena SPBU tidak memiliki kewajiban perpajakan atas pajak daerah dan tidak bertanggung jawab kepada Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta, melainkan hanya kepada PT. Pertamina. Mengingat PBBKB merupakan salah satu jenis pajak daerah yang memiliki potensi yang cukup besar dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD), harapan tersebut tidak sepenuhnya dapat diupayakan secara optimal dikarenakan terbatasnya akses pemerintah provinsi DKI Jakarta terhadap informasi konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor yang dimonopoli oleh Pertamina dan Pemerintah Pusat. Kondisi tersebut melemahkan posisi tawar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengoptimalkan penerimaan dari PBBKB sehingga yang terjadi selama ini adalah pemerintah propinsi DKI Jakarta hanya dapat bersikap pasif dan menerima saja hasil perolehan dari bagi hasil PBBKB sehingga proses pemeriksaan dan pengawasan terhadap PBBKB sulit untuk dilaksanakan. Keterlambatan penyetoran hasil pemungutan PBBKB karena untuk menyetorkan pajak PT Pertamina harus menunggu setoran PBBKB dari seluruh SPBU yang ada di wilayah DKI Jakarta terkumpul terlebih dahulu baru kemudian dapat disetorkan ke pemerintah daerah. Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% yang dapat diterapkan apabila terjadi keterlambatan dalam penyetoran pajak tidak dapat dilakukan, karena selama ini apabila terjadi keterlambatan dalam penyetoran PBBKB upaya maksimal dari Dinas Pelayanan Pajak yaitu dengan menanyakan alasan keterlambatan penyetoran
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
tersebut kepada Pertamina melalui rapat koordinasi dengan pihak Pertamina. Masalah lain yang terkait dengan mekanisme bagi hasi PBBKB adalah adanya ketidakpastian menyangkut berapa besar jumlah penerimaan Povinsi DKI Jakarta apakah sudah sesuai dengan mekanisme pemungutan dan pemotongan yang dilakukan oleh pihak Pertamina. Dengan kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam sistem pemungutan PBBKB tersebut, maka di dalam UU No.28 Tahun 2009 yang dipertegas dengan adanya Peraturan Pemerintah No.91 Tahun 2010 yang merubah sistem pemungutan PBBKB yang semula penyedia bahan bakar sebagai withholding system menjadi penyedia bahan bakar yang self assessment system artinya wewenang penuh berada di wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Dengan self assessment system diharapkan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak akan lebih meningkat karena wajib pajak diberi kepercayaan penuh untuk membayar pajaknya atau tanggung jawab kewajiban perpajakannya. Sehingga diharapkan perubahan sistem pemungutan PBBKB tersebut dampak membawa hasil yang positif, potensial loss terhadap PBBKB bisa diminimalisir dan adanya intensifikasi berupa proses pemeriksaan pajak sebagai konsekuensi penerapan sistem pemungutan tersebut dalam rangka menguji tingkat kepatuhan wajib pajak dan dengan dijadikannya wajib pajak, penyedia bahan bakar (PT.Pertamina) bisa mengoptimalkan penerimaan PBBKB. Sistem pemungutan PBBKB sebelum terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010, yaitu dalam penerapan UU No.34 Tahun 2000 pemungutan PBBKB dilakukan dengan withholding system yang menempatkan penyedia bahan bakar sebagai wajib pungut dalam kegiatan perpajakan. Dengan sistem pemungutan yang diberlakukan saat itu memang dapat mengefisiensikan pemungutan dari segi administrasi perpajakan. Namun yang tidak kalah pentingnya dalam pemungutan suatu pajak adalah fungsi pengawasan yang secara penuh dapat dilakukan lewat pemeriksaan untuk menguji kepatuhan atas pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilakukan. Keterbatasan wewenang yang dimiliki seperti tidak dapat melakukan pemberian sanksi bungan sehubungan dengan keterlambatan penyetoran, tidak berjalannya pemeriksaan, tidak dapat melakukan penagihan melalui Surat Ketetapan Pajak Daerah, maka Dinas Pelayanan Pajak tidak memiliki alat kontrol atas pemungutan PBBKB yang telah dilakukan pemungut pajak dalam hal ini pihak penyedia bahan bakar (PT. Pertamina) yang melakukan kegiatan pemungutan PBBKB tersebut yang mana dari dampak tersebut akan mengakibatkan sulitnya mengoptimalkan penerimaan PBBKB.
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
Adanya perubahan sistem pemungutan pajak yang menganut withholding system berubah menjadi self assessment system sebagaimana yang ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009 dan dipertegas dalam PP No.91 Tahun 2010 tersebut akan menjadikan penyedia bahan bakar sebagai wajib pajak, dan terjadi pergantian peran penyedia bahan bakar yang semula sebagai pemungut pajak menjadi wajib pajak. Koordinasi yang baik antara Pertamina ataupun penyedia bahan bakar lainnya dengan Dinas Pelayanan Pajak dalam penyocokan jumlah PBBKB yang telah disetor dan dilaporkan dalam delivery order-nya, akan sangat membantu mengoptimalkan penerimaan PBBKB. Selain itu, kerjasama dengan pihak lain yang terkait seperti Kementrian ESDM, BPH Migas juga diperlukan untuk mengetahui kuota bahan bakar yang dikeluarkan oleh penyedia bahan bakar. Dengan self assessment system peluang untuk melakukan pemeriksaan pajak pun menjadi alat control yang penting untuk meningkat penerimaan PBBKB. Maka dari itu peneliti mengangkat tema dari skripsi ini dalam judul “Analisis Penetapan Self Assessment System Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Serta Implementasinya Di Provinsi DKI Jakarta”. Peneliti merumuskan permasalahan penelitian dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana analisis kebijakan dalam penetapan sistem pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ? 2. Bagaimana implementasi pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor di Provinsi DKI Jakarta ? Adapun tujuan dan manfaat yang ingin di sampaikan dari penulisan ini adalah : 1. Untuk menganalisis kebijakan dalam penetapan sistem pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. 2. Untuk menganalisis implementasi pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor di Provinsi DKI Jakarta.
TINJAUAN TEORITIS Menurut Edwards dalam Winarno, ada empat faktor yang memberikan pengaruh terhadap implementasi kebijakan yaitu, komunikasi, sumber-sumber, struktur birokrasi, dan tingkah laku. Implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan, maka pendekatan yang ideal adalah dengan cara merefleksikan kompleksitas ini dengan membahas semua faktor tersebut secara bersamaan. (Winarno, 2007, Hal. 174). Implementasi dilaksanankan oleh badan-badan
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
administrasi maupun agen pemerintah ditingkat bawah dengan dilakukan juga pemantauan terhadap pelaksaan kebijakan. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan/atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kebutuhan kewajiban perpajakan. Hal ini sejalan dengan definisi pemeriksaan dari Arens dan Loebbecke seperti dikutip oleh Kelley (1973, hal : 87) adalah : “Auditing is the process by which a competent, independent person accumulates and evaluates evidence about quantifiable information related to a specificeconomy entity for the purpose of determining and reporting on the degree of correspondence between the quantible information and established criteria” Inti dari definisi pemeriksaan di atas adalah bentuk kegiatan untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti dari keterangan-keterangan yang terukur dari sutau kesatuan ekonomi. Tujuannya untuk mempertimbangkan dan melaporkan tingkat kesesuaian dari keterangan-keterangan yang terukur tersebut berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Kriteria tersebut yang nantinya akan dijadikan tolak ukur untuk pemeriksaan. Pengawasan merupakan suatu proses untuk menerapkan pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya, dan bila perlu mengoreksi dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula. Tujuan pengawasan adalah mengusahakan agar apa yang direncakan menjadi kenyataan (Bohari, 2005, hal : 173). Pemungutan pajak merupakan tujuan utama administrasi pajak dan menjadi alasan mengapa ada administrasi pajak. Dalam memungut pajak, ada tiga teknik yang secara teorits dapat diterapkan, yaitu self assessment system, official assessment system dan hybrid system/semi self assessment system yang berkembang pesat sejak diperkenalkannya teknik pemotongan/pemungutan pajak yang popular dengan istilah withholding tax. Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga Pemerintah Daerah tersebut (Richard M. Bird, 1992, hal : 7). Bird mendefinisikan bahwa pajak daerah (local tax) dengan karakteristik sebagai berikut ini A ‘trully local’ tax might be defined as one that is : a. Assesed by a local government b. At rates dedicated by that government c. Collected by that government, and d. Whoses proceeds accrue to that government Sesuai dengan pengertian tersebut, pajak daerah dapat bersifat pajak asli daerah, yakni jenis-jenis pajak yang ditetapkan oleh daerah selaku daerah otonom, atau dapat pula berupa
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
pajak yang berasal dari pajak-pajak negara (pusat) yang diserahkan kepada kepala daerah untuk menjadi sumber pendapatan daerah. Menurut Lutfi dalam Jurnalnya Kriteria pajak daerah yang baik (good local tax) menurut M. Bird, yaitu (Lutfi, 2006, Hal. 3) a. that easy to administer locally b. that are imposed solely (or mainly) on local resident c. that do not raise problem of ‘harmonization’ or ‘competition’ between sub national government or between sub national and national government Dari kriteria yang disebutkan bahwa diharapkan pengelolaan dan pemungutan pajak daerah dapat dengan mudah dilakukan oleh pemerintah daerah serta hanya berdampak pada masyarakat setempat. Hal lainnya yang penting diperhatikan dalam penetapan pajak daerah adalah perlunya dihindari masalah yang timbul akibat penetapan suatu jenis pajak oleh pemerintah daerah karena terkait dengan harmonisasi pemungutan pajak antar pemerintah daerah dengan tingka pemerintahan yang lebih tinggi. Pada dasarnya, kebijakan atas Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) untuk menangani adanya external cost
sangatlah beralasan. Dipajakinya bahan bakar
kendaraan bermotor ini, merupakan mekanisme utama dalam mengurangi greenhouse effect pada gas emisi dan kerusakan jalan. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) adalah pajak terhadap konsumsi bahan bakar yang digunakan untuk menggerakkan kendaraan bermotor. Pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) atas konsumsi BBM, pada dasarnya adalah upaya pemerintah untuk meminimalissir eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari konsumsi BBM, yaiu pencemaran udara. Pajak yang khusus diterapkan untuk menkoreksi dampak dan suatu eksternalitas negatif, yang dalam buku Rosdiana lazim disebut sebagai Pajak Pivogian sesuai dengan nama penggagasnya, Arthur Pigou (Rosdiana dan Tarigan, 2005, hal : 35). Adanya pemungutan Fuel Taxation atas pajak atas konsumsi bahan bakar untuk mengatasi dampak eksternalitias negatif yang ditimbulkan dari penggunaan bahan bakar tersebut. Secara teoritis, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) merupakan merupakan Pajak Pigouvian yaitu pajak yang dipungut maksud dan tujuan untuk mengatasi dampak eksternalitas negatif yang ditimbulkan bahan bakar kendaraan bermotor. Dinas Pendapatan Daerah DKI Jakarta membuat Standar Parameter Pelayanan yang mana parameter tersebut merupakan wujud atau kontraprestasi atas penerimaan pajak yang dipungut dan digunakan untuk kepentingan dengan sektor yang berkaitan langsung dengan pajak yang dipungut dalam hal ini Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Wujud Pelayanan dari PBBKB di DKI Jakarta dari penerimaan PBBKB, salah satunya adalah pengelolaan, pengendalian, dan pengawsan lingkungan hidup dan salah satu parameter ideal
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
wujud pelayanan yang dibuat oleh Ismail adalah tersedia sarana-prasarana pengendalian dampak lingkungan berupa eksternalitas negatif atau pencemaran udara akibat asap kendaraan bermotor (Ismail, 2005, hal: 63-64)
METODE PENELITIAN Sesuai dengan permasalahan yang diangkat oleh peneliti maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti berdasarkan tujuan penelitian adalah penelitian deskriptif. Berdasarkan manfaat penelitian, penelitian ini termasuk dalam penelitian murni. Berdasarkan dimensi waktunya, jenis penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah penelitian cross-sectional. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Site penelitian mengambil lokasi penelitian di Provinsi DKI Jakarta. Pihak otoritas keuangan dan perpajakan daerah antara lain Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta. Penelitian ini memiliki pembatasan hanya terhadap kebijakan penetapan self assessment system berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 terhadap sistem pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) di Provinsi DKI Jakarta yang akan membandingkan penerapan sistem pemungutan yang terjadi sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah ini, serta implementasi yang terbatas pada kegiatan pemeriksaan dan pengawasan PBBKB. Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu dalam hal perolehan data. Dalam hal ini, ada beberapa data yang tidak dapat diakses karena data tersebut bersifat rahasia. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut peneliti mencoba mencari informasi dan data-data dañ internet serta buku-buku yang berhubungan dengan penelitian dan hasil wawancara yang relevan dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.
HASIL PENELITIAN Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor bermotor berpotensi pada penjualan bahan bakar kendaraan bermotor sehingga dapat dikatakan bahwa pajak kendaraan bermotor sangat cocok untuk dijadikan pajak daerah yang nantinya dapat diandalkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah daerah karena persaingan dalam penyaluran bahan bakar khususnya di bidang penyaluran ke konsumen melalui SPBU semakin terbuka dengan dijualnya berbagai jenis bahan bakar yang dilakukan oleh penyedia bahan bakar. Prospek terhadap pengenaan PBBKB di DKI Jakarta bisa naik,
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
karena bagaimana pun kebutuhan akan bahan bakar akan terus meningkat walaupun banyak jenis bahan bakar lain karena trend pemakaian bahan bakar di DKI Jakarta terus menanjak, karena masayarakat yang mengkonsumsi bahan bakar kendaraan bermotor juga naik dan target yang ditetapkan oleh fiskus juga naik terkait penerimaan PBBKB bagi kas daerah. Prospek PBBKB ke depannya cenderung akan meningat, namun sebagai barang strategis yang diperlukan oleh hajat hidup orang banyak, PBBKB terkait juga dengan kebijakan pemerintah pusat, ketergantungan subsidi yang diberikan pemerintah dan harga minyak dunia yang akan berpengaruh terhadap penjualan harga bahan bakar kendaraan.
Gambar 5.1 Kapasitas Volume Bahan Bakar (dalam satuan liter) Sumber : Laporan SPTPD dan SSPD Dinas Pelayanan Pajak Prov.DKI Jakarta, 2014
Dari gambar di atas bisa kita lihat kapasitas volume bahan bakar selalu meningkat tiap tahunnya dari kurun waktu 2008-2013. Hal ini disebabkan karena volume kendaraan yang juga semakin banyak, kebijakan perintah yang terkait dengan pemberian subsidi, yang mengakibatkan volume bahan bakar senantiasa mengalami kenaikan tiap tahunnya. Kendala lain dari penerapan aturan PBBKB yang baru adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk menghemat penggunaan BBM. Adanya diskriminasi tarif antar daerah maupun antar jenis kendaraan yang mungkin menyebabkan kenaikan harga jual BBM, tidak menjamin turunnya konsumsi BBM. Akibatnya besaran subsidi pada APBN tidak berkurang secara signifikan. Rendahnya dampak perubahan tarif PBBKB terhadap konsumsi BBM tersebut ditengarai dengan masih terbatasnya penyediaan sarana transportasi umum yang aman dan nyaman, yang menyebabkan penggunaan kendaraan pribadi, baik yang menggunakan premium maupun solar terus mengalami peningkatan, sehingga volume konsumsi BBM sulit untuk dikurangi. Perkembangan penerimaan PBBKB di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.2 Realisasi dan Rencana Penerimaan PBBKB Tahun 2008-2013 Tahun Rencana Realisasi Persentase 2008 880.000.000.000 767.232.997.857 87,19 2009 770.000.000.000 671.464.087.091 87,20 2010 700.000.000.000 727.327.812.376 103,90 2011 824.000.000.000 848.569.568.929 102,98 2012 1.000.000.000.000 882.510.965.890 88,25 2013 1.100.000.000.000 1.026.758.386.899 93,34 Sumber : Subdis Pengendalian DPP DKI Jakarta telah diolah kembali oleh penulis), 2014
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
UU No.34 Tahun 2000 dengan Undang-Undang No.28 tahun 2009 dimana terdapat perbedaan pemungutan PBBKB dari withholding system menjadi self assessment system sehingga terjadi perubahan pemungutan PBBKB pada penyedia bahan bakar yang tadinya Wajib Pungut menjadi Wajib Pajak dengan ditetapkannya self assessment system melalui PP No.91 Tahun 2010 akibat dari kelemahan yang terjadi di dalam pemungutan PBBKB dengan withholding system. Selanjutnya agar pelaksaaan self assessment system dalam pemungutannya dapat mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan serta dapat menghimpun penerimaan PBBKB sesuai dengan potensinya, maka diperlukan adanya tindakan pengawasan dan pemeriksaan secara efektif terhadap pelaksanaan self assessment system. Pentingnya pengawasan dan pemeriksaan dalam pelaksaaan self assessment system sebagai akibat diberikannya kepercayaan penuh kepada wajib pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya. Self Assessment System sebagai tindakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan penghindaran pajak dapat diminimalisir sehingga diharapakan PBBKB dapat menjadi sektor andalan bagi penerimaan kas daerah Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan tugas Dinas Pelayanan Pajak sebagai aparatur perpajakan dalam rangka pelaksanaan sistem self assessment adalah memberi pelayanan di bidang perpajakan secara optimal terhadap seluruh wajib pajak, untuk menunjang keberhasilan kebijakan di bidang perpajakan, karena hal terpenting berkenaan dengan pelaksanaan sistem self assessment adalah tingkat kesadaran wajib pajak. Dengan penerapan self assessment system keberhasilan yang bisa dilakukan oleh Dinas Pelayanan Daerah sebagai pengelola PBBKB adalah dilakukannya pemeriksaan terhadap wajib pajak dalam hal ini PT.Pertamina terhadap pelaksanaan PBBKB suatu hal yang sulit dilakukan ketika masih menggunakan sistem pemungutannya masih menggunakan withholding system. Faktor yang menjadi kendala pemeriksaan dalam rangka menguji tingkat kepatuhan PBBKB terkait dengan masalah penga,bilan data yang sulit diakses oleh fiskus karena dalam hal ini penyediaan bahan bakar di Provinsi DKI Jakarta yang hampir 80% di dominasi oleh PT. Pertamina sulit untuk mendapatkan kronologis penyaluran BBM, karena penyalur BBM yang dilakukan oleh Pertamina dilakukan secara nasional sehingga sulit untuk mendeteksi berapa kuota yang hanya di distribusikan di wilayah DKI Jakarta saja dan kurangnya SDM yang menangani masalah PBBKB di Dinas Pelayanan Pajak. Pemeriksaan dilakukan jika memenuhi unsur kecurigaan, DPP pun mempunyai hitungan, sendiri. Pasokan BBM untuk menangani Jakarta terdapat di UPMS 3 Pertamina yang menangani DKI, Banten dan Jabar. Jadi untuk kebutuhan wilayah masing-masing. DPP selama ini belum bisa mengakses langsung kepada SPBU baru hanya sampai ke Pertamina saja itu pun hanya di UPMS 3 belum
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
sampai terlalu dalam sampai ke coorporatenya pada administasi merka karena struktur dari Pertamina sebagai BUMN yang sulit dilakukan pemeriksaan secara mendetail. Sedangkan dalam pelaksanaan pemungutan PBBKB masih terdapat kendala dalam hal pengawasan yang kurang efektif dalam pemungutan pajak yaitu terkendala atas data pembanding mengenai jumlah kuota bahan bakar yang di distribusikan oleh penyedia bahan bakar di Provinsi DKI Jakarta, sehingga tidak dapat diketahui secara pasti berapa jumlah bahan bakar kendaraan bermotor yang keluar di Provinsi DKI yang pada akhirnya Dinas Pelayanan Pajak tidak dapat mengetahui secara pasti mengenai besaran PBBKB yang seharusnya mereka terima dari pemungut pajak.
PEMBAHASAN Pengenaan PBBKB adalah sebagai salah satu upaya pemerintah daerah untuk menggali potensi daerahnya terkait dengan adanya prinsip otonomi daerah yang mengharuskan daerah mandiri dalam membiayai penyelenggaraan pemerintah daerahnya. Walaupun pada beberapa literature mengatakan bahwa pengenaan PBBKB atas konsumsi BBM pada dasarnya adalah upaya pemerintah untuk menginternalisasikan eksternalitas negatif, namun mengacu pada latar belakang diberlakukannya PBBKB ini adalah solusi bagi hilangnya penerimaan daerah, maka konteks pemahaman terhadap PBBKB ini hanya sebatas PBBKB sebagi fungsi budgetair daripada fungsi regulasi pencemaran udara. Pelaksanaan pemungutan PBBKB dengan UU No.34 Tahun 2000 sebelum ditetapkan Peraturan Pemerintah (PP) No.91 Tahun 2010 (pada saat itu PP yang digunakan adalah PP No.65 Tahun 2001) dilakukan oleh pemungut pajak (dalam hal ini Pertamina), yaitu penyedia bahan bakar kendaraan bermotor. Jadi pemungutan PBBKB ini dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu secara withholding system. Dengan dijadikannya penyedia bahan bakar sebagai pemungut pajak, dapat ditemukan kelebihan dan kelemahannya. Kelebihannya antara yaitu adanya efisiensi dalam pengadministrasian dan menekan biaya pemungutan. Karena pada dasarnya diberlakukan withholding system sebagai salah satu sistem dalam pemungutan pajak adalah agar : 1. Dapat menstimulir peningkatan kepatuhan pajak ; 2. Menghindari penggelapan pajak ; 3.Menyakinkan masyarakat, bahwa penerapan withholding system akan menambah tax equity ; 4. Mengurangi masalah tax collection bagi fiskus. Sistem pemungutan PBBKB dengan withholding dilakukan memang dapat mengefisiensikan pemungutan dari segi administrasi perpajakan namun yang tidak kalah pentingnya dalam pemungutan suatu pajak adalah fungsi pengawasan yang secara penuh dapat dilakukan lewat pemeriksaan untuk menguji kepatuhan atas pemenuhan kewajiban
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
perpajakan yang telah dilakukan. Dengan tidak berjalannya pemeriksaan, maka DPP tidak memiliki alat kontrol atas pemungutan PBBKB yang telah dilakukan pemungut pajak. Ini akan mengakibatkan sulitnya mengoptimalkan penerimaan PBBKB. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pada sistem pemungutan PBBKB dengan withholding system mengakibatkan kurangnya pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh Dinas Pelayanan Daerah yang berpotensi pada terjadinya penggelapan pajak, yang tentunya sangat merugikan pemerintah daerah dikarenakan pajak yang harusnya masuk ke kas daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi tidak efektif karena adalah kelemahan dalam kontrol/pengawasan yang terjadi di lapangan. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan penetapan PP No.91 Tahun 2010 menegaskan sistem pemungutan yang berlaku untuk PBBKB menggunakan self assessment system sehingga dengan sistem ini membutuhkan peran serta fiskus dalam pengawasan dan pemeriksaan kewajiban pemungutan pajak yang dilakukan para penyedia bahan bakar. Sistem withholding tax yang hanya mengandalkan laporan rutin dari penyedia bahan bakar dan rapat-rapat koordinasi rutin per triwulan tanpa adanya peran aktif fiskus dalam melakukan administrasi pengawasan terhadap pemungutan PBBKB oleh penyedia bahan bakar dan penjulan bahan bakar di SPBU dikhawatirkan akan membuat praktek penggelapan pajak dan kebohongan dalam pelaporan pemungutan PBBKB dari yang seharusnya. Pemungutan PBBKB menggunakan self assessment system juga dirasa paling cocok diterapkan karena dapat menguji tingkat kepatuhan si wajib pajak Dengan berlakunya sistem self assessment system salah satu kelebihannya adalah fiskus atau pemungut pajak tidak repot dalam melakukan pemungutan pajak, karena yang berperan aktif dalam melakukan kewajiban perpajakannya adalah wajib pajak itu sendiri. Artinya terjadi penghematan biaya dan tenaga. Dengan adanya self assessment system yang mengharuskan wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terutangnya kepada pemerintah daerah secara otomatis mengurangi beban administrator perpajakan daerah (Dinas Pelayanan Pajak) apabila dibandingkan menggunakan sistem official assessment dimana Dinas Pelayanan Pajak harus melakukan perhitungan pajak terutang dan kemudian melakukan penetapan mengenai besarnya pajak terutang lewat penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah. Positifnya self assestment system penerimaan lebih cepat diterima karena lebih mempercayakan kepada wajib pajak, sepanjang bisa mengawasi si penyedia bahan bakar. Selain itu, ketika sistem pemungutan self assessment dilakukan frekuensi pertemuan antara petugas pajak dan wajib pajak akan memperkecil adanya kolusi. Dengan sedikitnya intensitas pertemuan antara petugas pajak dan wajib pajak akan memperkecil kemungkinan terjadinya
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
kolusi. Berbeda pada sistem official assestment dimana sebelum melakukan penetapan pajak, petugas pajak mendatangi satu persatu wajib pajaknya untuk menghitung dasar pengenaan pajak terutang untuk dijadikan dasar penetapan pajak. Terlalu seringnya pertemuan antara wajib pajak dan petugas pajak dapat menstimulir terjadinya penyimpangan pajak yang dilakukan antara wajib pajak dan petugas pajak. Tugas aparat pajak dalam rangka pelaksanaan self assessment system adalah memberi berbagai pelayanan di bidang perpajakan secara optimal terhadap seluruh wajib pajak. Pelayanan pajak menjadi faktor yang sangat penting dalam penerapan sistem ini, ini berkenaan dengan tingkat kesadaran wajib pajak karena untuk menunjang keberhasilan kebijakan di bidang perpajakan, kesadaran dalam mematuhi peraturan perundang-undangan perpajakan sangat penting untuk mendapat perhatian. Sistem pemungutan PBBKB yang terjadi bila dikaitkan dengan UU No.34 Tahun 2000 dan UU. No.28 Tahun 2009 adalah, terjadinya perubahan pada penyedia bahan bakar dari withholding sebagai wajib pungut dan self assessment system
sebagai wajib pajak. Hal
lainnya yang terkait perubahan tersebut adalah hak-hak pemotong pajak, salah satunya haknya adalah dulu mendapat yang namanya biaya upah pungut dalam rangka pemungutan kalau sekarang tidak dapat karena sebagai wajib pajak dengan berlakunya withholding system menjadi self assessment system. Dalam perubahan sistem self assessment dan withholding masalah upah pungut yang dihapuskan akan berpengaruh dalam koordinasi antara pemerintah daerah dengan pihak penyedia bahan bakar walaupun dalam praktek pelaksanaannya penyedia bahan bakar melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dan temuan yang dilakukan oleh DPP dengan melibatkan koordinasi dengan pihak yang terkait dengan distribusi kuota BBM selama ini antara lain Kementrian ESDM, BPH Migas dan juga berkoordinasi kepada KPK, BPK berupa kecurigaan besarnya PBBKB yang tidak sesuai dengan yang disetorkan dengan distribusi bahan bakar yang dilakukan penyedia bahan bakar, maka hal ini menjadi dasar dilakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak. Permasalahan yang timbul dengan penghapusan upah pungut juga menimbulkan koordinasi antara wajib pajak dan fiskus terhambat dalam proses pemungutan PBBKB. Pembaharuan UU No.34 Tahun 2000 menjadi UU No.28 Tahun 2009, salah satunya yang berpengaruh di sektor PBBKB adalah masalah tarif pengenaan PBBKB. Pada saat pelaksanaan UU No.34 Tahun 2000, penetapan tarif PBBKB adalah sebesar 5% yang ditetapkan secara seragam di seluruh wilayah. Salah satu upaya peningkatan taxing power daerah antara lain melalui pengalihan sepenuhnya beberapa pajak Pusat kepada Daerah (artinya daerah sepenuhnya menetapkan basis apajak, tarif, maupun administrasi pemungutannya. Perubahan dalam UU No.28 Tahun 2009 dengan menaikkan masalah tarif
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
PBBKB dari 5% yang ditetapkan seragam di seluruh Indonesia, menjadi maksimum 10% dengan menganut diskriminasi tarif, yakni dibedakan untuk kendaraan pribadi, kendaraan umum, dan jenis bahan bakar. Namun bila berbicara masalah tarif PBBKB, yang perlu di ingat adalah pengenaan terhadap bahan bakar yang merupakan jenis barang strategis yang dibutuhkan oleh orang banyak, harus sangat hati-hati dalam pelaksanaanya karena sangat berkaitan erat dengan respon yang ada di masyarakat, yang dapat menimbulkan gejolak di masyarakat apabila terdapat pengenaan tarif yang berbeda. Sejauh ini praktek pengenaan tarif PBBKB masih harus diberlakukan secara nasional dan sama di semua daerah. Pemungutan terhadap PBBKB sangat terpengaruh oleh campur
tangan pemerintah pusat karena di
pengenaan PBBKB terhadap pengenaan pajak pemerintah pusat berupa PPN dan pajak perintah daerah berupa PBBKB. Penerapan aturan PBBKB yang baru merupakan kebijakan yang diperkirakan berdampak terhadap APBN dan APBD. Untuk APBN, adanya diskriminasi tarif diharapkan dapat mengurangi subsidi BBM. Sementara itu, adanya penetapan tarif maksimal yang memungkinkan daerah provinsi dapat menerapkan tarif PBBKB berbeda dengan daerah lainnya akan berdampak terhadap penerimaan APBD masing-masing daerah. Namun demikian, penerapan aturan baru ini diperkirakan masih menghadapi berbagai kendala khususnya karena penetapan harga BBM saat ini masih ditetapkan secara seragam oleh Pemerintah dan belum mencerminkan harga keekonomian. Sebagian jenis BBM yang menjadi objek PBBKB, yaitu jenis premium dan solar masih bersubsidi sehingga peningkatan tarif PBBKB yang tidak diikuti oleh kenaikan jual per liter BBM, di satu pihak memang dapat meningkatkan penerimaan PAD, tetapi di lain pihak justru berdampak terhadap peningkatan subsidi BBM. Peningkatan tarif PBBKB yang diharapkan dapat mengurangi subsidi BBM berpotensi menyebabkan kenaikan harga BBM sehingga perlu dilakukan secara hati-hati mengingat potensi dampak sosial yang akan ditimbulkannya cukup besar. Pemeriksaan di dalam pemungutan PBBKB dapat dilakukan ketika telah dilakukan adanya evaluasi terhadap pelaksanaan PBBKB. Evaluasi dilakukan terhadap setoran masa dan membayar pajak secara self assestment system merupakan alat untuk mengukur tingkat kepatuhan dan menguji kebenaran wajib pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya. Baru setelah evaluasi itu fiskus dapat proyeksikan untuk melakukan pemeriksaan. Rencana pemeriksaan tehadap wajib pajak PBBKB dapat dilakukan terhadap wajib pajak potensial untuk dikenakan PBBKB, yang kedua wajib pajak itu tidak pernah bayar, lalu dilakukan satu pengujian dalam hal pemeriksaan. Dalam hal pemeriksaan itu juga fiskus melibatkan suku dinas UPPD, untuk menguji apakah wajib pajak betul melakukan pembayaran dengan benar,
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
tepat, sesuai dengan aturan, diujilah pada saat fiskus melakukan pemeriksaan. Data-data secara administratif itu yang akan diberikan kepada tim pemeriksaan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan pemeriksaan wajib pajak. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap wajib pajak berhubungan dengan kepatuhan wajib pajak, dalam arti bahwa pemeriksaan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak bila dilaksanakan dengan benar. Pada akhirnya kepatuhan wajib pajak akan meningkatkan penerimaan di PBBKB. Oleh karena itu dapat pula dikatakan bahwa pemeriksaan berhubungan dengan peningkatan penerimaan. Pada saat penerapan UU No.34 Tahun 2000, pemeriksaan terhadap pelaksanaan PBBKB sulit dilaksanakan, karena pada saat itu Dinas Pelayanan Pajak cenderung given saja dari pihak penyedia bahan bakar apalagi Pertamina sebagai struktur BUMN yang mempunyai . Dengan diterapkan self assestment system saat ini, maka keuntungan yang diperoleh dengan sistem self assestment adalah Dinas Pelayanan Pajak dapat melakukan pengujian terhadap pelaksanaan PBBKB pada saat terjadi penurunan penerimaan. Sebuah pemeriksaan dapat dilakukan apabila ditemukan indikasi berupa pembayaran yang telat dilakukan, kurang bayar, menunggak pajak dilakukan oleh si wajib pajak. Adapun implementasi pemeriksaan yang dilakukan oleh DPP terhadap pemungutan PBBKB kepada pihak penyedia bahan bakar (Pertamina) dalam kerangka Konsugar (Koordinasi, Supervisi, dan Pencegahan) dengan melibatkan pihak KPK dan BPKP. Faktor yang menjadi kendala pemeriksaan dalam rangka menguji tingkat kepatuhan PBBKB terkait dengan masalah penga,bilan data yang sulit diakses oleh fiskus karena dalam hal ini penyediaan bahan bakar di Provinsi DKI Jakarta yang hampir 80% di dominasi oleh PT. Pertamina sulit untuk mendapatkan kronologis penyaluran BBM, karena penyalur BBM yang dilakukan oleh Pertamina dilakukan secara nasional sehingga sulit untuk mendeteksi berapa kuota yang hanya di distribusikan di wilayah DKI Jakarta saja dan kurangnya SDM yang menangani masalah PBBKB di Dinas Pelayanan Pajak. Pemeriksaan dilakukan jika memenuhi unsur kecurigaan, DPP pun mempunyai hitungan, sendiri. Pasokan BBM untuk menangani Jakarta terdapat di UPMS 3 Pertamina yang menangani DKI, Banten dan Jabar. Jadi untuk kebutuhan wilayah masing-masing. DPP selama ini belum bisa mengakses langsung kepada SPBU baru hanya sampai ke Pertamina saja itu pun hanya di UPMS 3 belum sampai terlalu dalam sampai ke coorporatenya pada administasi merka karena struktur dari Pertamina sebagai BUMN yang sulit dilakukan pemeriksaan secara mendetail. Terhadap kendala yang dihadapi dalam pengawasan yang masih kurang dilakukan oleh Dinas Pelayanan Pajak, sebenarnya bukan hanya di DPP nya saja tapi juga kesadaran
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
dari wajib pajaknya terkait dengan posisi PT.Pertamina sebagai wajib pajak mempunyai kewajiban perpajakan yang harus lakukan, karena terkait dengan tingkat kepatuhan dan pemeriksaan yang dilakukan. Jadi harus kerjasama dan berkoordinasi dengan baik antara wajib pajak dan DPP ; mengembangkan online sistem yang bisa DPP pakai untuk DPP cari data-data seperti data pembayaran karena dari wajib pajak meminta online system karena data pelaporan itu bisa langsung namun hal tersebut juga masih dikaji. Selain itu perbaikan juga dari sisi sumber daya manusianya yang banyak dari sisi kuantitas dan berkualitas; memperbaiki mekanisme pemungutan yang diserahkan ke sudin, mutasi PNS secara cepat, skill membaca laporan keuangan harus ditingkatkan, penguasaan pemahaman industri BBM. Dalam pengawasan ke depannya yang terpenting juga diharapkan PBBKB dapat melibatkan UPPD dan Sudin seperti pajak daerah lainnya agar penerimaan PBBKB lebih cepat terealisasi. Upaya ekstensifikasi terhadap pemungutan PBBKB juga dapat dilakukan ke sarana laut atau bunker yang juga menggunakan bahan bakar dalam pengoperasiannya.
KESIMPULAN Atas dasar uraian dan analisis sebagaimana yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, hasil penelitian ini mendapat simpulan sebagai berikut ini : 1. Pada penetapan sistem pemungutan PBBKB mengakibatkan penyedia bahan bakar yang semula Wajib Pungut berubah menjadi Wajib Pajak PBBKB. Perubahan withholding system menjadi self assestement system diharapkan mampu menjawab kendala dari pemungutan PBBKB yang terjadi. 2. Dalam implementasi pemungutan PBBKB terkait dengan pelaksanaan pemeriksaan, Dinas Pelayanan Pajak telah melakukan pemeriksaan terhadap penyedia bahan bakar namun masih terkendala mengenai akses data yang terbatas hanya ditangani oleh UMPS 3 Pertamina membatasi gerak Dinas Pelayanan Pajak untuk mendapatkan kronologis penjualan bahan bakar kendaraan bermotor secara detail untuk meningkatkan penerimaan pajak PBBKB. Sedangkan terkait pelaksanaan pengawasan terhadap pemungutan PBBKB, masih belum dilakukan secara optimal karena terkendala baik secara internal maupun eksternal. Kendala internal terkait SDM, sedangkan eksternal terkait kurangnya koordinasi dengan unit-unit pengelola BBM.
SARAN Perlu dilakukan upaya untuk memaksimalkan penerimaan PBBKB di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan analisis, beberapa saran yang dapat penulis sampaikan antara lain :
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
1. Melakukan koordinasi pemungutan PBBKB dengan Wajib Pajak dan instansi lainnya yang terkait. Koordinasi tersebut dapat berbentuk : a. Pemeriksaan Wajib Pajak PBBKB yang melibatkan Sudin, UPPD dan BPKP b. Melakukan pencocokan data penerimaan dengan penyedia bahan bakar kendaraan bermotor setiap triwulan 2. Mengoptimalkan penerimaan PBBKB untuk mencapai target penerimaan PBBKB dengan cara : a. Melakukan pemantauan lapangan terhadap penjualan bahan bakar antar penyedia bahan bakar kendaraan bermotor b. Mendata perusahaan yang sudah mendapatkan Izin Usaha Niaga Umum Bahan Minyak dari Kementrian ESDM untuk dikukuhkan sebagai WP baru
DAFTAR REFERENSI Buku : Abimanyu, Anggito. 2005. Evaluasi UU No 34 tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta: Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan BAPEKKI. Bird, M.Richard and Milka Casanegra de jantscher. 1992. Improving Tax Administration in Developing Countries. Washington, DC : IMF. Bohari. 2005. Pengawasan Keuangan Daerah. Jakarta : Raja Grafindo. Chalid, Pheni. 2005. Keuangan Daerah, Investasi dan Desentralisasi. Jakarta: Kemitraan. Devas, Nick, dkk. 1989. Keuangan Pemerintahan Daerah di Indonesia, diterjemahkan oleh Masri Maris. Jakarta: UI-Press. Gunadi. 2002. Ketentuan Perhitungan dan Pelunasan Pajak Penghasilan. Jakarta: Penerbit Karya Salemba Empat. Ismail, Tjip. 2005. Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia. Jakarta : PT. Yellow Mediatama. Kelley, Patrick L. 1973. Readings On Income Tax Administration. New York : The Foundation Press, Inc. Prianta, Diaz. 2013. Perpajakan Indonesia Edisi Revisi 2. Jakarta : Mitra Wacana Media. Sumarsan, Thomas. 2012. Perpajakan Indonesia Edisi 2. Jakarta : Indeks. Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik:Teori&Proses. Jakarta: PT Buku Kita. Jurnal :
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
Lutfi. Achmad. 2006. Penyempurnaan Administrasi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah: Suatu Upaya Dalam Optimalisasi Penerimaan PAD. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi: Bisnis & Birokrasi, Volume XIV, Nomor 1, 3. Lainnya : http://news.detik.com/index.php/en/berita/berita-media/174-revisi-perda-pbbkbmendesak. Diakses pada tanggal 28 Februari 2014 pukul 20.30 WIB. http://beritajakarta/pajak-bahan-bakar-kendaraan-bermotor-pbbkb/.com, tanggal 23 Maret 2014 pukul 21.30 WIB.
Analisis penetapa..., Nurwulan Ramadhani, FISIP, 2014
Diakses
pada