ANALISIS IMPLEMENTASI DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN TARIF PROGRESIF PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DKI JAKARTA Ajeng Nur Azizah1, Edi Sumantri2 1 2
Program Studi Ilmu Adm.Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Adm.Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) merupakan jenis pajak daerah yang menjadi salah satu primadona sumber penerimaan daerah karena terkait dengan penggunaan kendaraan bermotor sebagai jenis barang strategis dan volume kendaraan yang mengalami trend peningkatan sehingga berpengaruh terhadap pemakaian PKB. Skripsi ini membahas implementasi tarif progresif PKB. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini adalah peneliti memberikan penilaian terhadap implementasi tarif progresif PKB berdasarkan hasil analisis wawancara mendalam sekaligus memaparkan kendala-kendala serta temuan peneliti mengenai implementasi tarif progresif PKB. Kemudian, peneliti menjabarkan proyeksi strategi menutup celah penghindaran pajak dalam menegakkan law enforcement oleh dinas pelayanan pajak provinsi DKI Jakarta. Dan yang terakhir, peneliti menjabarkan beberapa alternatif dari pengenaan tarif progresif PKB sebagai penjabaran dari teori-teori dan konsep-konsep yang diketahui penulis.
The Analysis Implementation and Policy Alternative of Vehicle Tax Progressive Rates in DKI Jakarta ABSTRACT Vehicle Tax is a type of local taxes that became one of the excellent source of revenue because it relates to the use of motor vehicles as a kind of strategic goods and the volume of vehicles that have an increasing trend affecting the use of Vehicle Tax. This thesis discusses the implementation of the progressive rates of Vehicle Tax. This study is a qualitative research with in-depth interviews. The results of this study are researchers provide an assessment of the implementation of the progressive rates based on the analysis of Vehicle Tax indepth interviews as well describe the constraints and research findings regarding the implementation of the progressive rates of Vehicle Tax. Then, the researchers describe the projection strategy is illustrated easel close loopholes in the tax avoidance by law enforcement tax services agency of Jakarta provincial. And the last but not least, the researchers describe several alternative of progressive rates Vehicle Tax as the elaboration of the theories and concepts that are known writer. Keywords: Vehicles Tax, Progressive Rate, Policy Implementation, Policy Alternative
PENDAHULUAN Besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Provinsi DKI Jakarta merupakan bukti nyata masyarakat mendukung pemerintah daerah dalam menjalankan proses pemerintahan secara otonom sesuai pemberian otonomi daerah melalui mekanisme desentralisasi fiskal. Salah satu komponen PAD adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah (Feltensein and Iwata dalam Rosdiana, 2009). Pajak daerah dan retribusi
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
daerah
merupakan
sumber
pendapatan
daerah
yang
penting
untuk
membiayai
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah (Sidik dalam Rosdiana, 2009). Pajak Daerah merupakan salah satu unsur penting dan merupakan kontributor utama dari PAD. Suatu pemerintahan daerah dapat menetapkan dan memungut beragam jenis pajak daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya (Luthfi, 2006). Sampai saat ini, pemerintah daerah memiliki 12 sumber pendapatan melalui pajak daerah. Salah satu pajak daerah yang memberikan kontribusi besar adalah pajak kendaraan bermotor yang selanjutnya disingkat menjadi PKB. Sampai saat ini, PKB menggunakan tarif progresif sebagai instrumen dalam mencapai tujuannya. Tarif PKB yang diberlakukan merupakan hasil keputusan Pemerintah Provinsi dengan tetap mengacu pada UU No.28 tahun 2009 sebagai dasar penetapan tarifnya. Dalam ketentuannya, PKB tarif progresif dikenakan pada kendaraan bermotor yang dimiliki atas nama dan/atau alamat yang sama. Sedangkan dalam penghitungannya, PKB dihitung berdasarkan hasil perkalian antara tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP PKB dibentuk dari perkalian antara Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) dengan bobot yang mencerminkan secara relatif kadar kerusakan jalan dan/atau pencemaran Iingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. NJKB diperoleh berdasarkan harga pasaran umum (HPU) atas suatu kendaraan bermotor dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri Keuangan dan penetapannya berbeda-beda disetiap daerah. Selain HPU PKB yang berbeda-beda disetiap daerah, besaran tarif progresif dalam PKB juga diberi keleluasan untuk berbeda-beda disetiap daerah. Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam penetapan tarif PKB, sedangkan pemerintah pusat hanya menetapkan tarif maksimum terhadap penetapan tarif PKB sebagaimana tertuang dalam UU No.28 tahun 2009. Penetapan tarif progresif terhadap PKB dimaksudkan untuk mendorong fungsi budgetair dan fungsi regulerend dari Pajak itu sendiri. Fungsi budgetair dari PKB, yakni tarif progresif PKB dimaksudkan dapat meningkatkan penerimaan daerah. Hasil pemungutan pajak-pajak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor memberikan kontribusi yang signifikan (Barratt and Smith dalam Rosdiana, 2009). Sementara fungsi regulerend memiliki fungsi sebagai pengatur. Selain fungsi budgetair, PKB memiliki Fungsi regulerend yang sangat penting, yakni untuk mengendalikan pertumbuhan kendaraan bermotor yang menyebabkan kemacetan. Namun, pada praktiknya fungsi regulerend PKB belum dapat berjalan sesuai harapan dengan semakin meningkatnya pertumbuhan kendaraan bermotor. Belum optimal dengan pengenaan tarif progresif pada Perda No.8 tahun 2010, pemerintah daerah kembali merancang peraturan daerah yang merupakan perubahan atas Perda No.8 tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
Bermotor dan telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta dan rencananya akan diterapkan Oktober 2014. Dengan disahkannya perda ini, maka PKB akan mengalami kenaikan secara signifikan pada kepemilikan kendaraan bermotor kedua, ketiga, keempat dan seterusnya yang melampaui kenaikan 150%. Dengan naiknya tarif progresif yang semakin tinggi terhadap PKB akan berdampak pada semakin tinggi potensi tax evoidance dengan cara penghindaran progresifitas tarif PKB di kalangan masyarakat. Jika terjadi banyaknya kecenderungan masyarakat untuk melakukan penghindaran tarif progresif PKB, maka kebijakan menaikkan tarif pajak progresif hanya akan menjadi sarana bagi pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan PAD semata, sehingga mengesampingkan tujuan mengendalikan pertumbuhan kendaraan bermotor. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi dan alternatif yang lebih andal dalam pelaksanaan kebijakan tarif progresif yang syarat akan penghindaran pajak yang sekaligus dapat mengatasi dampak eksternalitas yang disebabkan kendaraan bermotor. Maka dari itu peneliti mengangkat tema dari skripsi ini dalam judul “Analisis Implementasi & Alternatif Kebijakan Tarif Progresif PKB DKI Jakarta”. Peneliti merumuskan permasalahan penelitian dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana implementasi kebijakan tarif progresif PKB di DKI Jakarta ? 2. Apa strategi yang dilakukan pemerintah daerah DKI Jakarta untuk menutup celah penghindaran tarif progresif PKB ? 3. Apa alternatif dasar pengenaan tarif progresif terhadap PKB ? Adapun tujuan dan manfaat yang ingin di sampaikan dari penulisan ini adalah : 1. Untuk mendeskripsikan bagaimana implementasi kebijakan tarif progresif Pajak Kendaraan Bermotor 2. Untuk menganalisis strategi yang dilakukan pemerintah daerah DKI Jakarta untuk menutup celah penghindaran tarif progresif pajak kendaraan bermotor 3. Untuk menganalisis alternatif yang dapat digunakan sebagai dasar pengenaan tarif progresif terhadap PKB. TINJAUAN TEORITIS Implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan salah satunya model implementasi kebijakan public Grindle. Merile S Grindle (1980, Hal : 6) memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik dan administrasi. Model implementasi Grindle menjelaskan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran akhirnya ditentukan oleh baik materi program yang telah
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif. Proses politik dapat terlihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor kebijakan, sedangkan proses administrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Dalam pandangan Grindle bahwa model konseptual implementasi kebijakan memfokuskan diri pada tiga komponen, yaitu: tujuan kebijakan, aktivitas penerapan, dan hasil (out come). Keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir (outcomes), sementara aktivitas penerapan menunjuk pada proses politik dan administratif dalam penerapan kebijakan untuk mencapai tujuan kebijakan, sementara hasil (outcome) lebih diartikan sebagai dampak perubahan yang terjadi setelah kebijakan tersebut dilaksanakan dan tingkat penerimaannya Menurut Grindle (1980, Hal : 7) terdapat gambaran lebih rinci yang dilihat dalam dua sisi, yakni isi kebijakan (contents policy) dan konteks implementasinya (contexs implementation). Kebijakan fiskal suatu negara memiliki peran yang sangat strategis untuk mendorong pertumbuhan perekonomian negara. Oleh karena itu penetapan kebijakan fiskal harus melalui proses yang dibuat secara hati-hati. Salah satu azas yang disampaikan Adam Smith tentang pajak bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan atas empat azas yaitu : 1) Equality : kesamaan/keadilan dalam beban pajak. 2) Certainty : ada kepastian. 3) Convenience : tidak menekan wajib pajak, dipungut atas waktu ang tepat. 4) Economics : biaya pemungutannya tidak lebih besar dari penerimaannya. Asas equality yakni kesamaan dalam beban pajak didasarkan pada kemampuan subjek pajak. Hendaklah dalam pemungutan pajak tidak ada diskriminasi terhadap wajib pajak. Berkaitan dengan keadilan, Mansury menyatakan bahwa terdapat dua macam pendekatan keadilan yaitu benefit approach dan ability to pay approach. Pendekatan benefit approach menekankan bahwa dalam suatu sistem perpajakan yang adil setiap wajib pajak harus membayar pajak sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan pemerintah. Sedangkan, pendekatan Ability to pay apparoach adalah bahwa pajak didasarkan pada kemampuan membayar masing-masing wajib pajak. Fungsi pajak yang paling utama adalah untuk mengisi kas Negara (to raise government’s revenue) (Rosdiana dan Tarigan, 2004, Hal : 40). Menurut Nurmantu pajak digunakan untuk memasukan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku (Nurmantu, 2003, Hal : 30). Fungsi budgetair merupakan fungsi pajak yang utama pada kebanyakan negara berkembang dikarenakan karena negara
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
berkembang sangat membutuhkan dana untuk pembiayaan dan pembangunan. Sedangkan, Fungsi regulerend atau fungsi mengatur merupakan fungsi tambahan, karena fungsi ini hanya sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak. Menurut Nurmantu, yang dimaksud dengan fungsi regulerend adalah suatu fungsi dimana pajak digunakan pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu (Nurmantu, 2003, Hal : 36). Tarif progresif adalah suatu tarif yang persentasenya semakin besar bila jumlah yang harus dikenakan pajak semakin besar (Mardiasmo, 2011 Hal : 9). Tarif ini penggunaannya terutama ditujukan kepada pajak-pajak subjektif yang memperhatikan daya pikul Wajib Pajak (Brotodiharjo, 2003 Hal : 183). Suatu pajak disebut pajak progresif apabila persentase tarif yang dikenakan makin lama makin tinggi apabila objek pajaknya makin lama makin tinggi pula (Nurmantu, 2003, Hal : 67). Penggunaan tarif ini, menyebabkan penerima penghasilan yang lebih tinggi dapat mendistribusikan penghasilannya kepada penerima penghasilan yang lebih rendah melalui pembayaran pajak. Selain itu dalam kasus PKB, tarif progresif dimaksudkan untuk menekan keinginan masyarakat dalam membeli kendaraan bermotor yang memiliki banyak eksternalitas negatif jika pertumbuhan kendaraan bermotor tidak dikendalikan. Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak yang sifatnya objektif, dimulai dengan objeknya seperti keadaan, peristiwa, perbuatan, dan lainlain baru kemudian dicari subjek pajaknya. Kewajiban objektifnya ditentukan ketika adanya kepemilikan dan atau penguasaan atas kendaraan bermotor terjadi dan atas pembayaran pajak kendaraan bermotornya. Selain itu pajak atas kendaraan bermotor dapat digolongkan sebagai pajak tidak langsung karena beban pajak yang dipikul seseorang atau badan (tax burden) dapat dilimpahkan (tax shifting) kepada pihak lain baik forward shifting (pajak dilimpahkan kepada konsumen) ataupun backward shifting (pajak dilimpahkan ke harga pokok pajak) (Devano, 2006 Hal : 44). Menurut Schultz dalam buku Azhari A. Samudra dasar pengenaan pajak terhadap kendaraan bermotor dapat ditentukan sebagai berikut: Gross Weight/ Net weight (berat kotor atau berat bersih kendaraan bermotor); Horse Power (kekuatan mesin); Ownership (kepemilikan); Seat Capacity (kapasitas tempat duduk): Type (jenis kendaraan) (Samudra, 1995, Hal : 145). Dasar pengenaan pajak terhadap gross weight/net weight disebabkan karena semakin berat suatu kendaraan maka semakin besar pula kerusakan yang ditimbulkannya di jalan raya. Untuk kriteria horse power disebabkan semakin besar cylinder capacity suatu kendaraan, maka semakin besar pajaknya. Ownership berhubungan dengan kepemilikan kendaraan tersebut apakah milik pribadi atau badan dan dibedakan menjadi dua jenis yaitu
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
kendaraan umum dan kendaraan motor pribadi. Seat capacity berkaitan dengan sedikit atau banyaknya tempat duduk di kendaraan tersebut, besarnya pajak ikut diperhitungkan. Penghindaran pajak dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu (Santoso & Rahayu, 2013, hal.5) 1 Menahan diri, yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak, seperti tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau dll. 2
Pindah lokasi, adalah memindah lokasi usaha atau domisili yang tarif pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya rendah.
3
Penghindaran pajak secara yuridis. Perbuatan ini dilakukan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidakjelasan undang-undang (loopholes)
Kebijakan publik merupakan setiap pilihan pemerintah apa yang harus dilakukan atau tidak harus dilakukan (Hasio, 2007, Hal : 3). Peran analisis kebijakan publik adalah memastikan bahwa kebijakan yang hendak diambil benar-benar dilandaskan atas manfaat optimal yang akan diterima oleh publik dan bukan asal menguntungkan pengambil kebijakan. METODE PENELITIAN Sesuai dengan permasalahan yang diangkat oleh peneliti maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti berdasarkan tujuan penelitian adalah penelitian deskriptif. Berdasarkan manfaat penelitian, penelitian ini termasuk dalam penelitian murni. Berdasarkan dimensi waktunya, jenis penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah penelitian cross-sectional. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Site penelitian mengambil lokasi penelitian di Provinsi DKI Jakarta. Pihak otoritas keuangan dan perpajakan daerah antara lain Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta. Penelitian ini memiliki pembatasan hanya terhadap implementasi kebijakan, strategi menutup celah penghindaran pajak dan alternatif kebijakan pajak kendaraan bermotor di provinsi DKI Jakarta berdasarkan Perda No.8 tahun 2010. Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu dalam hal perolehan data. Dalam hal ini, ada beberapa data yang tidak dapat diakses karena data tersebut bersifat rahasia. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut peneliti mencoba mencari informasi dan data-data dari internet serta buku-buku yang berhubungan dengan penelitian dan hasil wawancara yang relevan dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
HASIL PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan beberapa aspek yang relevan dari model implementasi kebijakan Merilee S Grindle dengan Pelaksanaan penerapan tarif progresif PKB di DKI Jakarta. Namun, Sebelum masuk kepada analisis implementasi kebijakan menurut Grindle, peneliti merasa perlu menjabarkan analisis peneliti terhadap fungsi budgetair dan fungsi regulerend dari kebijakan tarif progresif PKB sebagai berikut : Tabel 5.4 Perbandingan Pajak Kendaraan Bermotor Terhadap Pajak Daerah dan Pendapatan Asli Daerah DKI Jakarta Tahun 2009-2012 Tahun
PKB
Pajak Daerah
Persentase
PAD
Persentase
2009 2010 2011 2012
2,766,961,102,529 3,107,744,107,420 3,664,400,165,006 4,106,845,546,568
8,560,134,926,182 10,751,745,151,388 15,221,249,152,689 17,721,493,016,509
32.32% 28.90% 24.07% 23.17%
10,601,057,958,783 12,891,992,182,041 17,825,987,294,430 22,040,801,447,924
26.10% 24.11% 20.56% 18.63%
Sumber : BPKD Provinsi DKI Jakarta, Data Diolah Peneliti
Dari Tabel 5.4 dapat dilihat bahwa penerimaan PKB mengalami kenaikan disetiap tahunnya. PKB juga memiliki kontribusi cukup besar terhadap Pendapatan Daerah seperti berikut: Tabel 5.5 Perbandingan Pajak Kendaraan Bermotor Terhadap Pendapatan Daerah DKI Jakarta Tahun 2009-2012 TAHUN
PKB
PENDAPATAN DAERAH
PERSENTASE
2009 2010 2011 2012
2,766,961,102,529 3,107,744,107,420 3,664,400,165,006 4,106,845,546,568
19,251,893,888,555 23,025,986,993,128 28,297,361,482,869 35,379,180,051,989
14.37% 13.50% 12.95% 11.61%
Sumber : BPKD Provinsi DKI Jakarta, Data Diolah Peneliti
Dalam tabel 5.5 jumlah pendapatan PKB terhadap Pendapatan daerah pada tahun 2009 sebesar 14,37%, pada 2010 sebesar 13,5%, pada 2011 sebesar 12,95% dan pada tahun 2012 sebesar 11,61%. Berdasarkan data tersebut PKB merupakan sumber pendapatan daerah yang potensial dan memiliki kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan daerah. Jika dilakukan perbandingan dengan sumber pendapatan daerah lainnya, maka dapat terlihat sebagai berikut : Tabel 5.6 Persentase Tiga Besar Primadona Pendapatan Daerah DKI Jakarta Tahun 2009-2012 2009 2010 2011 2012 Dana Perimbangan 44.93% 41.42% 32.33% 32.66% BBN-KB 13.21% 17.36% 16.19% 15.57% PKB 14.37% 13.50% 12.95% 11.61% Sumber : BPKD Provinsi DKI Jakarta, Data Diolah Peneliti
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa PKB masuk kedalam tiga besar primadona pendapatan daerah meskipun persentasenya menurun disetiap tahun. Penurunan ini bukan hanya dirasakan PKB semata, tetapi juga dirasakan hampir seluruh sumber penerimaan
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
pendapatan daerah lainnya. Melihat bahwa PKB merupakan sumber penerimaan daerah yang potensial sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, maka sangatlah penting bagi pemerintah daerah untuk lebih mengoptimalisasikan potensi PKB. Pada praktiknya fungsi regulerend PKB belum dapat berjalan sesuai harapan dengan semakin meningkatnya kemacetan di Jakarta. Hal ini dapat digambarkan dari tabel perkembangan jumlah kendaraan bermotor sebagai berikut : Tabel 5.7 Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Tahun 2010 s.d. 2013 Provinsi DKI Jakarta No.
Jenis kendaraan Bermotor
2010
2011
2012
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1.
Sepeda Motor
2.
Mobil Penumpang
3.
Mobil Bus
7,257,352
Growth (%) 2,296,055
Growth (%) 519,738
Growth (%) 4.
701,328
Mobil Barang (Truk, Pick up)
Total Kendaraan di DKI Jakarta Growth (%)
Growth (%) 10,774,473 11,973,896 11.13
8,208,665 13.11 2,502,501 8.99 520,695 0.18 742,013 5.80
2013 *) (6)
9,209,718 12.20 2,770,282 10.70 526,151 1.05 777,394 4.77
13,283,569
10,433,025 13.28 3,038,265 9.67 528,963 0.53 834,348 7.33
14,834,624 10.94
11.68
Sumber : Publikasi Statistik Transportasi, BPS, 2014 *) data olahan yang belum dipublikasi
Dari tabel 1.1 di atas, Perkembangan kendaraan bermotor di Jakarta dalam kurun waktu 20102013 mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu dengan rata-rata 11,25% pertahun. Hal ini membuktikan pertumbuhan kendaraan bermotor masih terus meningkat secara persisten meskipun pasca penerapan UU No.28 tahun 2009 telah menggunakan tarif progresif. Keberhasilan fungsi budgetair juga dapat terukur dari banyaknya pertumbuhan kendaraan bermotor sebanding dengan pertumbuhan penerimaan PKB. Dalam hal ini peneliti mencoba menjabarkan analisis dengan merujuk tabel 5.7 yang telah disajikan sebelumnya juga tabel 5.9 yang disajikan dibawah ini : Tabel 5.9
PKB Growth
Persentasi Pertumbuhan Realisasi Penerimaan PKB Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2009 s.d. 2013 (dalam rupiah) 2009
2010
2011
2012
2013
2,766,961,102,529
3,107,744,107,420
3,664,400,165,006
4,106,968,370,530
4,605,206,082,027
12,31%
17,91%
12,08%
12,13%
-
Sumber : Olahan Peneliti, 2014
Dari tabel 5.9 tergambar bahwa secara umum, pertumbuhan realisasi penerimaan PKB DKI Jakarta meningkat diatas 12% pertahun dengan rata-rata lima tahun kebelakang 13,61% pertahun. Apabila dilakukan perbandingan antara pertumbuhan kendaraan bermotor lima tahun kebelakang dengan pertumbuhan realisasi penerimaan PKB lima tahun kebelakang maka dapat digambarkan sebagai berikut :
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
Tabel 5.10 Perbandingan Persentase Pertumbuhan Fungsi Budgetair PKB Dengan Pertumbuhan Kendaraan Bermotor Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2013 % Pertumbuhan Fungsi Budgetair 2009 12,31% 2010 17,91% 2011 12,08% 2012 12,13% Sumber : Diolah Peneliti, 2014 Tahun
% Pertumbuhan Kendaraan Bermotor 11,13% 10,94% 11,68%
Selisih (tidak diketahui) 6,78% 1,14% 0,45%
Dari tabel perbandingan antara fungsi budgetair PKB dengan pertumbuhan kendaraan bermotor di Provinsi DKI Jakarta dapat terlihat bahwa implementasi tarif progresif PKB dari segi budgetair telah berhasil menyerap penerimaan pertumbuhan kendaraan bermotor lima tahun kebelakang pasca implementasi UU No.28 tahun 2009. Aktivitas penetapan NJKB merupakan serangkaian kegiatan dimana dasar pengenaan pajak ditentukan berpengaruh terhadap besaran jumlah pajak terutang berdasarkan tipe dan tahun kendaraan yang berlaku secara nasional. Tahap penetapan NJKB dapat dijabarkan sbb :
Gambar 5.1 Alur Proses Penetapan Permendagri Tentang Penghitungan Dasar Pengenaan PKB Dan BBN-KB (NJKB) Sumber : Kemendagri, 2014
Dari gambar diatas, dapat terlihat bahwa aktor-aktor berkepentingan dalam penetapan NJKB didominasi oleh pemerintah yakni Kemendagri dan Kemenkeu sebagai otoritas pemerintah pusat dan DPP sebagai otoritas pemerintahan daerah. Asosiasi tak banyak dilibatkan hanya sebatas diikut sertakan dalam rapat kerja nasional. Dalam hal ini jelaslah bahwa penetapan tarif dan NJKB tidak terdapat tarik ulur kepentingan antara pemerintah, asosiasi, dan masyarakat, melainkan semata-mata merupakan otoritas pemerintah pusat dan daerah. Penerapan tarif progresif diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan daerah sebagai outcomes dari agenda local taxing empowerment. Dari tahun ketahun, realisasi
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
penerimaan PKB senantiasa meningkat. Hal ini dapat tergambar dari tabel perbandingan penerimaan tarif progresif PKB Provinsi DKI Jakarta tahun 2011, 2012 dan 2013 sbb : Tabel 5.11 Perbandingan Penerimaan Progresifitas Tarif PKB Provinsi DKI Jakarta Tahun 2011 PROGRESIF I (1,5%) JENIS
KBM
RODA 2
2,573,393
RODA 4
1,422,711
TOTAL
3,996,104
PROGRESIF II (2%)
PKB POKOK PKB DENDA 377,971,189,500 5,454,552,978 2,661,855,874,642 24,127,921,704 3,039,827,064,142 29,582,474,682
KBM 303,358 76,951 380,309
PKB POKOK PKB DENDA 64,222,756,800 857,054,230 268,611,953,450 2,318,390,300 332,834,710,250 3,175,444,530
PROGRESIF III (2,5%) KBM 64,901 13,362 78,263
PROGRESIF 1V (4%)
PKB POKOK PKB DENDA 17,649,645,500 237,384,150 67,555,799,100
KBM 39,307
594,403,000 85,205,444,600 831,787,150
48,122
8,815
PKB POKOK PKB DENDA 16,755,583,200 239,232,580 55,416,702,300 512,439,800 72,172,285,500 751,672,380
Sumber : Borderel, Data Diolah Kominforda, 2014
Dari data tersebut maka diperoleh total penghasilan dan unit kendaraan bermotor sbb: Tabel 5.12 Jumlah Penerimaan Berdasarkan Pokok dan Denda Tarif Progresif PKB Provinsi DKI Jakarta Tahun 2011 JUMLAH JENIS
KBM
RODA 2
2,980,959
RODA 4
1,521,839
TOTAL
4,502,798
PKB POKOK PKB DENDA 476,599,175,000 6,788,223,938 3,053,440,329,492 27,553,154,804 3,530,039,504,492 34,341,378,742
Sumber : Borderel, Data Diolah Kominforda, 2014
Dari tabel diatas dapat diperhitungkan bahwa pada progresifitas I terdapat kendaraan 88,74% dari total unit kendaraan ditahun 2011, progresifitas II sebesar 8,45%,
progresifitas III
sebesar 1,74% dan progresifitas IV yakni 1,07%. Penerimaan pokok PKB progresifitas I dibanding total penerimaan yakni 86,11%, 9,43% untuk progresifitas II, 2,41% untuk preogresifitas III, dan 2,04% untuk progresifitas IV. Sementara untuk PKB denda ditahun 2011 yakni 86,14% untuk progresifitas I, 9,25% untuk progresifitas II, 2,42% untuk progresifitas III dan 2,19% untuk preogresifitas IV. Tabel 5.13 Perbandingan Penerimaan Progresifitas Tarif PKB Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 PROGRESIF I(1,5%) JENIS
KBM
PKB POKOK
RODA 2
2,634,957
RODA 4
1,465,776
TOTAL
4,100,733
396,345,167,475 6,221,965,536 2,979,561,549,300 28,530,866,687 3,375,906,716,775 34,752,832,223
PROGRESIF II(2%) KBM
PKB POKOK
308,859
67,358,998,500 1,028,805,780 322,317,061,100 3,307,042,480 389,676,059,600 4,335,848,260
PKB DENDA
PROGRESIF III (2,5%)
PROGRESIF 1V (4%)
KBM
PKB POKOK
KBM
PKB POKOK
60,347
16,965,599,425 257,362,540 80,045,727,600 829,847,900 97,011,327,025 1,087,210,440
28,190
12,532,622,100 207,241,890 64,353,135,400 735,187,920 76,885,757,500 942,429,810
PKB DENDA
88,277 397,136
PKB DENDA
15,458 75,805
PKB DENDA
8,905 37,095
Sumber : Borderel, Data Diolah Kominforda, 2014
Dari data tersebut maka diperoleh total penghasilan dan unit kendaraan bermotor sbb :
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
Tabel 5.14 Jumlah Penerimaan Berdasarkan Pokok dan Denda Tarif Progresif PKB Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 JUMLAH JENIS
KBM
PKB POKOK
RODA 2
3,032,353
RODA 4
1,578,416
PKB DENDA 493,202,387,500 7,715,375,746 3,446,277,473,400
TOTAL
4,610,769
3,939,479,860,900
33,402,944,987 41,118,320,733
Sumber : Borderel, Data Diolah Kominforda, 2014
Dari tabel diatas dapat diperhitungkan bahwa pada progresifitas I terdapat kendaraan 88,94% dari total unit kendaraan ditahun 2011, progresifitas II yakni 8,61%, progresifitas III sebesar 2% dan progresifitas IV sebesar 0.93%. Penerimaan pokok PKB progresifitas I sebesar 85,7%, 9,9% untuk progresifitas II, 2% untuk preogresifitas III, dan 1,95% untuk progresifitas IV. Sementara untuk PKB denda ditahun 2012 yakni 84,52% untuk progresifitas I, 10,54% untuk progresifitas II, 2,64% untuk progresifitas III dan 2,3% untuk preogresifitas IV. Tabel 5.15
Perbandingan Penerimaan Progresifitas Tarif PKB Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013 PROGRESIF I (1,5%)
JENIS
KBM
RODA 2
2,634,957
RODA 4
1,465,776
TOTAL
4,100,733
PKB POKOK PKB DENDA 396,345,167,475 6,221,965,536 2,979,561,549,300 28,530,866,687 3,375,906,716,775 34,752,832,223
PROGRESIF II (2%) KBM 308,859 88,277 397,136
PKB POKOK PKB DENDA 67,358,998,500 1,028,805,780 322,317,061,100 3,307,042,480 389,676,059,600 4,335,848,260
PROGRESIF III (2,5%)
PROGRESIF 1V (4%)
KBM
KBM
60,347 15,458 75,805
PKB POKOK PKB DENDA 16,965,599,425 257,362,540 80,045,727,600 829,847,900 97,011,327,025 1,087,210,440
28,190 8,905 37,095
PKB POKOK PKB DENDA 12,532,622,100 207,241,890 64,353,135,400 735,187,920 76,885,757,500 942,429,810
Sumber : Borderel, Data Diolah Kominforda, 2014
Dari data tersebut maka diperoleh total penghasilan dan unit kendaraan bermotor sbb : Tabel 5.16 JENIS
Jumlah Penerimaan Berdasarkan Pokok dan Denda Tarif Progresif PKB Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013 JUMLAH KBM PKB POKOK PKB DENDA
RODA 2
3,129,652
RODA 4
1,651,241
TOTAL
4,780,893
524,942,012,925 7,832,432,280 3,889,711,591,057 37,766,753,314 4,414,653,603,982 45,599,185,594
Sumber : Borderel, Data Diolah Kominforda, 2014
Dari tabel diatas dapat diperhitungkan bahwa pada progresifitas I terdapat kendaraan 89% dari total unit kendaraan ditahun 2011, progresifitas II yakni 8,8%, progresifitas III yakni 1,6% dan progresifitas IV yakni 0.76%. Penerimaan pokok PKB progresifitas I dibanding total penerimaan yakni 85%, 10,4% untuk progresifitas II, 2,56% untuk preogresifitas III, dan
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
1,7% untuk progresifitas IV. Sementara untuk PKB denda tahun 2012 yakni 84% untuk progresifitas I, 10,9% untuk progresifitas II, 2,8% untuk progresifitas III dan 2,3% untuk preogresifitas IV. Dari realisasi penerimaan progresifitas tarif PKB tiga tahun kebelakang peneliti melihat bahwa konsentrasi penerimaan PKB terdapat pada kepemilikan kendaraan pertama yakni diatas 88% dari total penerimaan, sehingga dikhawatiran terjadi upaya penghindaran tarif progresif dengan meminjam identitas orang lain yang tidak teridentifikasi oleh sistem. Dengan demikian, outcomes dari agenda lokal penetapan tarif progresif dikhawatirkan belum optimal dan terdapat indikasi penghindaran tarif progresif PKB. Bentuk penghindaran tarif progresif PKB pertama yaitu menahan diri. Hal ini merupakan sasaran dan tujuan dari diberlakukannya tarif progresif PKB. Pada penghindaran pajak kedua dimana masyarakat memilih untuk memindahkan lokasi usaha atau domisili dari daerah yang tarif pajaknya tinggi kedaerah yang tarif pajaknya rendah, hal ini akan berdampak pada turunnya potensi penerimaan pajak. Hingga saat ini, keseragaman menetapkan tarif pada tiap-tiap regional sudah hampir terlaksana, meskipun masih terdapat beberapa daerah yang tidak menginginkan kesamaan tarif tersebut. Hal ini dapat dilihat dari gambar tarif PKB dan BBN-KB perregional sesuai perda masing-masing daerah sebagai berikut :
Gambar 5.2 Tarif PKB Dan BBN-KB Per-Regional Sesuai Perda Sumber : Kemendagri, 2014
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa keseragaman menetapkan tarif telah terlaksana di pulau Sulawesi, Bali, NTB dan NTT. Keseragaman menetapkan tarif dapat terlihat dari keseragaman warna-warna pada tiap regional. Di Pulau Jawa sendiri hanya Provinsi Jawa Tengah yang menetapkan tarif berbeda dan lebih tinggi, yakni 1,8%.
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
Tabel 5.17 Kebijakan Tarif Progresif PKB Seluruh Provinsi Regional Pulau Jawa KEPEMILIKAN KBM DKI Pertama 1,5 Ke Dua 2 Ke Tiga 2,5 Ke Empat 4 Ke Lima Dst Sumber : UPPD Kebayoran Baru
Banten 1,5 2 2,5 3 4
PROVINSI Jabar Jateng 1,75 2,25 2,75 3,25 3,75
Jogja 1,5 2 2,5 3 3,5
Jatim
Dari tabel kebijakan tarif progresif seluruh preovinsi regional Pulau Jawa ditas, dapat dilihat bahwa keseragaman menetapkan tarif telah terlaksana dikepemilikan kendaraan bermotor pertama, kedua, dan ketiga, namun provinsi-provinsi yang tergabung berhak untuk menetapkan tarif lebih tinggi dari kesepakatan dengan konsekuensi berupa upaya penghindaran pajak oleh masyarakat sebagaimana yang telah disampaikan peneliti sebelumnya. Sedangkan pada provinsi Jawa Tengah, Jogja dan Jawa Timur telah terjadi kesepakatan tersendiri untuk menetapkan tarif yang sama sebagai bentuk upaya menegakkan law enforcement terhadap penghindaran pajak. Kemudian pada upaya penghindaran pajak ketiga yakni penghindaran pajak secara yuridis. Penghindaran ini terjadi karena adanya celah pada ketentuan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Dalam implementasi ketentuan tarif progresif PKB, wajib pajak dapat berupaya menghindari progresifitas dari tarif PKB dengan cara menggunakan nama dan/atau alamat milik orang lain. keterbatasan sistem pada saat ini, penghindaran progresifitas PKB dapat dimanfaatkan masyarakat dengan cara mendaftarkan kendaraan bermotor dengan nama yang berbeda pada satu keluarga. Untuk itu optimalisasi sekaligus law enforcement kedepannya adalah dengan penggunaan single identity yakni berupa Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang terdapat dalam KTP elektronik dengan koordinasi bersama Dukcapil harus segera direalisasikan. Dalam penetapan tarif progresif baik berdasarkan alternatif apapun harus diatur dalam peraturan pemerintah, harus siap secara administrasi dan harus ada kemauan politik dalam mengimplementasikannya. Peneliti menganalisis bahwa sesungguhnya alternatif tarif progresif berdasarkan kemewahan dimungkinkan terlaksana di Indonesia dengan karakteristik yang melekat terhadap objek pajak sehingga sulit melakukan penghindaran, namun alternatif ini belum menjadi rujukan peraturan dan dalam menggunakannya belum didukung kesiapan administrasi dan kemauan politik kearah itu. Sedangkan, Sedangkan, alternatif penambahan unsur DPP dengan kilometre tax harus mempertimbangkan beberapa hal yang sulit diwujudkan, antara lain : biaya dalam pengadaan alat yang harus berlaku secara nasional,
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
koordinasi dengan pihak ketiga dalam proses pembayaran dan pengendalian, kesiapan SDM, serta kesederhanaan administrasi. PEMBAHASAN Penelitian ini mengadopsi model implementasi kebijakan Merile S. Grindle (1980) melalui model konseptual implementasi kebijakan yang merupakan suatu proses politik (political process) dan proses administrasi (administration process). Fokus dari kedua model konseptual kebijakan tersebut terdapat pada tiga komponen, yaitu: tujuan kebijakan, aktivitas penerapan, dan hasil (out come). Peneliti menyimpulkan bahwa terdapat dua temuan peneliti atas implementasi tarif progresif PKB. Multitafsir atas isi kebijakan yang mengakhibatkan implementsi yang terjadi di DKI Jakarta hanya berdasarkan nama dan alamat dapat menjadi celah penghindaran pajak. Ketidaksiapan sistem pendataan untuk mampu mengakomodir amanat undang-undang dengan konsekuensi yang berbeda ketika dijalankan dengan sistem yang berlaku selama ini harus segera direforasi agar tujuan pemungutan PKB dapat terserap optimal. Kemudian temuan kedua yakni bahwa dalam implementasinya, terdapat resistensi institusi TNI/POLRI terhadap pembayaran PKB untuk kendaraan dinas TNI/POLRI yang tidak ditemukan pada institusi pemerintahan lainnya. Perbedaan penafsiran yang mengakhibatkan resistensi tersebut seharusnya dapat diambil jalan tengah dengan membebankan kawajiban pembayaran PKB terhadap anggaran belanja APBN atas institusi tersebut. Namun, karena opsi ini tak jua ditempuh, hal ini menjadi temuan pihak eksternal yakni BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) ketika diadakan audit. Penting bagi pemerintah daerah untuk mengoptimalisasikan potensi PKB. Penerapan Perda No.8 tahun 2010 yang belum efektif menimbulkan hilangnya potensi pendapatan daerah. Belum adanya reformasi pendataan yang terintegrasi dengan baik menjadi salah satu penyebab utama kehilangan potensi pajak. Pendekatan kepemilikan berdasarkan nama dan/atau alamat yang pada ketentuannya diamanatkan juga belum dapat diimplementasikan. Hal ini sudah seharusnya menjadi perhatian untuk memaksimalisasikan potensi PKB dimasa mendatang. Kemudian dari segi manfaat kebijakan, manfaat kebijakan dari segi fungsi budgetair sebagai penyediaan sarana dan prasarana transportasi umum di Jakarta memang telah tercapai, namun dalam pengoperasiannya terdapat beberapa kendala yang kurang membuat nyaman pengguna transportasi umum yakni masyarakat. Biaya yang lebih mahal dalam menggunakan transportasi umum juga menjadi alasan mengapa masyarakat enggan
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
beralih menggunakan transportasi umum ketimbang kendaraan pribadi. Hal ini menghambat fungsi regulerend tarif progresif PKB sehingga belum dapat tercapai. Pajak dipungut berdasarkan tiga dasar pengenaan; berdasarkan pendapatan (income) contohnya PPh, berdasarkan konsumsi (consumption) contohnya PPN, Pajak restoran, dll, dan yang ketiga berdasarkan kekayaan/kesejahteraan (wealth). Selama ini, PKB dipungut berdasarkan kekayaan (wealth). Dasar kekayaan yang selama ini diterapkan terhadap PKB pada progresifitas kepemilikan memiliki berbagai kelemahan serta loop holes dalam implementasinya. Selain berdasarkan kepemilikan, ada alternatif lain dalam pengenaan tarif progresif PKB yakni alternatif tarif progresif berdasarkan kemewahan. Nilai jual atas kendaraan bermotor maupun kapasitas silinder mencerminkan tingkat ekonomi penggunanya. Semakin mahal dan besar kapasitas silinder dari kendaraan bermotor akan berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan pengguna kendaraan tersebut. Menurut Davey, secara prinsip beban pengeluaran pemerintah daerah harus dipikul oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai kekayaan dan kesanggupannya. Besaran kekayaan dan kesanggupan dalam hal kendaraan bermotor dapat direpresentatifkan oleh nilai jual kendaraan, besaran cylinder capacity (cc) maupun horse power (hp). Dengan tarif progresif berdasarkan tingkat kemewahan, ukuran kemewahan objek pajak melekat terhadap objek dari kendaraan bermotor. Jika ditinjau dari asas keadilan) Pajak kendaraan bermotor dengan tarif progresif berdasarkan kemewahan merupakan konsekuensi yang adil dan merata sebanding dengan kemampuan subjek pajak dalam membeli kendaraan bermotor berdasarkan tingkat kemewahannya. Berdasarkan pendekatan benefits approach, subjek pajak harus membayar pajak kendaraan sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan pemerintah; bahwa semakin mewah kendaraan bermotor maka manfaat yang dirasakan subjek pajak semakin tinggi. Hal ini juga sejalan dengan pemikiran bahwa semakin tinggi kapasitas silinder pada suatu kendaraan maka akan berdampak semakin boros bahan bakarnya, semakin berat bobot kendaraannya, semakin besar dampak pada kerusakan jalan, dll. Jika berdasarkan pendekatan ability to pay, maka semakin mewah kendaraan bermotor yang dimiliki subjek pajak akan semakin tinggi tingkat kemampuan subjek pajak dalam membayar pajak. Dengan demikian alternatif progresifitas PKB berdasarkan kemewahan sesuai dengan azas keadilan berdasarkan prinsip benefits dan prinsip ability to pay. Dalam penetapan tarif progresif baik berdasarkan alternatif apapun harus diatur dalam peraturan pemerintah, harus siap secara administrasi dan harus ada kemauan politik dalam
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
mengimplementasikannya. Peneliti menganalisis bahwa sesungguhnya alternatif tarif progresif berdasarkan kemewahan dimungkinkan terlaksana di Indonesia dengan karakteristik yang melekat terhadap objek pajak sehingga sulit melakukan penghindaran, namun alternatif ini belum menjadi rujukan peraturan dan dalam menggunakannya belum didukung kesiapan administrasi dan kemauan politik kearah itu. Indonesia memakai kriteria Gross Weight, Horse Power dan Type dalam penentuan DPP Kendaraan bermotor yang diwujudkan dalam NJKB. Terhadap kendaraan bermotor sama jenis, sama merk, dan sama tahun pembuatan akan dikenakan pajak yang sama. Semestinya, dampak eksternalitas yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor masingmasing berbeda tergantung tingkat mobilitas dari kendaraan bermotor tersebut. Mobilitas kendaraan menyebabkan eksternalitas negatif terhadap lingkungan seperti pencemaran udara, perusakan jalan, kebisingan dll. Semakin tinggi penggunaan kendaraan bermotor maka dapat diasumsikan bahwa akan semakin tinggi pula eksternalitas negatif yang disebabkan. Namun pengenaan PKB yang berlaku di Indonesia pada saat ini adalah setiap kendaraan bermotor dengan tipe dan tahun sama akan dikenakan pajak yang sama pula sehingga tidak memenuhi prinsip keadilan secara horizontal maupun vertikal. Dalam literatur The Economics of Road User Charged, dapat digambarkan bahwa setiap pemakai jalan harus membayar biaya akhibat kendaraan tersebut menimbulkan kerusakan jalan (Samudra, 2005, Hal 59). Dengan demikian peneliti merasa perlu untuk menambahkan unsur penggunaan kendaraan bermotor di dalam pengenaan PKB. Penambahan unsur DPP kendaraan bermotor berdasarkan tingkat penggunaan kendaraan dikenal dengan nama kilometre tax. Alternatif Kilometer Tax ini sesuai dengan pendekatan beneficial received dimana pemakai jalan atau pemilik kendaraan bermotor dikenakan pajak sebanding dengan manfaat yang diterima. Pajak yang dikenakan sama dengan biaya pemeliharaan untuk setiap kilometer pemeliharaan jalan raya ditambah dengan biaya congesti. Penggunaan alternatif kilometre tax selain dapat memperbesar jumlah pajak terutang bagi PKB, juga masuk kedalam azas equity dimana besarnya pajak yang dibebankan sebanding dengan biaya yang ditimbulkan oleh pemakai jalan. Kilometer tax ini juga telah diberlakukan dibeberapa negara maju seperti Belanda, Swedia, Perancis, dll. Untuk menghitung besarnya kilometer yang ditempuh kendaraan bermotor untuk dikenakan pajak atasnya menggunakan sebuah alat speedometer yang berbasis GPS. Alat tersebut langsung terintegrasi dengan satelit untuk memudahkan fiskus dalam menghitung pajaknya sekaligus sebagai upaya menutup celah penghindaran pajak (tax avoidance) maupun penyelundupan pajak (tax evasion).
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
Penggunaan kilometre tax selain untuk menguragi eksternalitas negatif dari penggunaan kendaraan bermotor yang sesuai dengan fungsi reguleren, juga untuk menambah pendapatan pemerintah dari sisi budgetair. Dari segi regulerend, alternatif kilometre tax juga dapat menjadi solusi mengatasi kemacetan dengan adanya upaya pembebanan atas mobilitas kendaraan bermotor yang menimbulkan kemacetan, meskipun harus tetap dibarengi dengan penanganan traffic management yang baik yang tidak hanya bersifat jangka pendek. Namun, dengan pertimbangan beberapa hal, antara lain : pengadaan alat yang mahal dan harus berlaku secara nasional, biaya yang besar dalam koordinasi dengan pihak ketiga dalam proses pembayaran dan pengendalian, SDM fiskus selaku penyelenggara pelayanan perpajakan masih belum mumpuni dari segi kuantitas maupun kualitas, serta ketidaksederhanaan administrasi, maka Bernardo berpendapat bahwauntuk sementara ini pemerintah daerah hanya dapat membuat suatu kebijakan yang mudah untuk dilaksanakan dengan tidak menyulitkan implementasinya terhadap masyarakat maupun fiskus. Dengan demikian penambahan unsur kilometre tax untuk saat ini belum dapat menjadi pilihan kebijakan meskipun cukup potensial. Solusi termudah dalam mengatasi eksternalitas negatif yang disebabkan oleh kendaraan bermotor saat ini adalah kajian terhadap nilai koefisien bobot sebagai dasar pengenaan pajak agar pengenaan terhadap koefisien nilai bobot dapat merepresentatifkan jumlah eksternalitas negatif yang disebabkan masing-masing kendaraan bermotor. Fungsi regulerend tarif progresif PKB belum sepenuhnya dapat mengatasi kemacetan. Faktor utama penyebabnya adalah tingginya penggunaan kendaraan bermotor. Dalam upaya penanganan jumlah kendaraan bermotor, salah satu alternatif yang dapat digunakan pemerintah daerah yang berkaitan langsung dengan fungsi regulerend dari pajak kendaraan bermotor adalah pengenaan tarif PKB dan BBN-KB maksimal, menetapkan kebijakan atas pajak parkir dan retribusi parkir, penanganan manajemen kemacetan yang dilakukan dengan perbaikan sarana dan prasarana transportasi umum, dan kebijakan pembatasan kendaraan bermotor. Selain hal tersebut, kebijakan pembatasan kendaraan dapat dilakukan dengan berbagai cara kendali lalu lintas (pembatasan lalu lintas) seperti pelarangan sepeda motor untuk melintasi jalur cepat di ruas jalan tertentu, pengaturan waktu kegiatan sekolah, pengaturan waktu operasional kendaraan angkutan barang di jalan tol dalam kota, pemberlakuan pembatasan nomor polisi ganjil-genap, dll. Namun, peneliti merasa kebijakan tersebut penting untuk dilakukan kajian yang lebih kempleks dan juga mendalam sebelum diimplementasikan terhadap masyarakat Jakarta.
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
KESIMPULAN Atas dasar uraian dan analisis sebagaimana yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, hasil penelitian ini mendapat simpulan sebagai berikut ini : 1. Implementasi tarif progresif PKB provinsi DKI Jakarta dari segi pemenuhan fungsi regulerend masih belum dapat tercapai sedangkan dari segi pemenuhan fungsi budgetair sudah tercapai. Namun, terdapat kendala ketidaksiapan sistem pendataan dan resistensi institusi TNI/POLRI terhadap pembayaran PKB untuk kendaraan dinas TNI/POLRI. 2. Strategi yang dilakukan pemerintah dalam upaya menutup celah penghindaran tarif progresif PKB adalah keseragaman penetapan tarif tiap-tiap regional dan strategi kedepannya dengan sistem pendataan tarif progresif PKB menggunakan single identity berupa Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang terdapat dalam KTP elektronik dengan koordinasi bersama Dukcapil. 3. Ada dua alternatif PKB yakni alternatif tarif progresif berdasarkan kemewahan dan alternatif Kilometre Tax. Alternatif tarif progresif berdasarkan kemewahan memiliki karakteristik yang melekat terhadap objek pajak sehingga sulit melakukan penghindaran namun dibutuhkan kemauan politik untuk menerapkannya. Sedangkan, alternatif penambahan unsur DPP dengan kilometre tax harus mempertimbangkan beberapa hal yang sulit diwujudkan, antara lain : biaya dalam pengadaan alat yang harus berlaku secara nasional, koordinasi dengan pihak ketiga dalam proses pembayaran dan pengendalian, kesiapan SDM, serta kesederhanaan administrasi. SARAN Atas dasar kesimpulan dan analisis sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, beberapa saran yang dapat penulis sampaikan antara lain : 1. a) Intensifikasi dengan cara reformasi sistem pendataan harus segera dilaksanakan
dengan menggunakan basis NIK sebagai dasar kepemilikan dan harus berkoordinasi kepada Dukcapil agar tarif progresif berdasarkan nama dan/atau alamat mampu dijalankan sesuai amanat undang-undang. b) Perbedaan antara isi kebijakan dengan implementasi atas pengenaan PKB terhadap kendaraan TNI/POLRI dapat menempuh dua opsi. Opsi pertama dengan membebankan kawajiban pembayaran PKB terhadap anggaran belanja APBN atas institusi tersebut, sedangkan opsi kedua adalah penghapusan kebijakan dengan pertimbangan uang yang dibayarkan ke kas penerimaan daerah merupakan uang tunjangan transport dari pemerintah pusat. Opsi kedua ini ditempuh untuk
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
menghindari temuan dari BPK yang mempengaruhi penilaian kinerja dinas pelayanan pajak, meskipun semangat local taxing empowerment dikesampingkan. 2. Intensifikasi atas celah penghindaran pajak dengan keseragaman menetapkan tarif tiap-tiap regional dapat dilakukan dengan cara rapat kerja dinas pendapatan daerah seluruh Indonesia dan akan lebih baik jika keseragaman tersebut tidak hanya berlaku terhadap kepemilikan kendaraan pertama dan BBN-KB saja, melainkan keseragaman terhadap setiap lapisan tarif. 3.
Tarif Progresif berdasarkan kepemilikan menjadi pilihan terbaik di Indonesia pada saat ini dengan sasaran utama yang dituju adalah pengendalian kemacetan. Namun, ada baiknya dilakukan optimalisasi terhadap pengendalian eksternalitas negatif yang ditimbulkan kendaraan bermotor meskipun memerlukan biaya yang besar. Solusi termudah adalah kajian lebih lanjut terhadap nilai koefisien bobot sebagai DPP. DAFTAR REFERENSI
Buku : Abimanyu, Anggito. 2005. Evaluasi UU No 34 tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta: Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan BAPEKKI Babbie, Earl. 2004. The Practical of Social Research, eight edition. California : Wadsworth. Bird, M.Richard and Milka Casanegra de jantscher. 1992. Improving Tax Administration in Developing Countries. Washington, DC : IMF. Chalid, Pheni. 2005. Keuangan Daerah, Investasi dan Desentralisasi. Jakarta: Kemitraan. Cresswell, John W. 1994. Research Design: Quantitive and Qualitative Approach. New Delhi: Sage Publication. Davey, K.J. 1989. Pembiayaan Pemerintahan Daerah. Jakarta : Universitas Indonesia Press Devas, Nick, dkk. 1989. Keuangan Pemerintahan Daerah di Indonesia, diterjemahkan oleh Masri Maris. Jakarta: UI-Press. Dwijowijoto, Riant Nugroho. 2003. Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta : Elex Media Komputindo. Gaffar, Afan, 1995. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Prisma 4. Grindle, S. Merile. 1980 Politics and Policy Implementation in The Third Word. Princeton: Princeton University Press
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014
Ismail, Tjip. 2005. Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia. Jakarta : PT. Yellow Mediatama. Mardiasmo. 2009. Perpajakan Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi. Mansury, R., 2000. Kebijakan Fiskal. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan. Nugroho, Riant D., 2004. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT. Gramedia. Rosdiana, Haula. 2005. Perpajakan Teori dan Aplikasi. Jakarta. PT Rajagrafindo Persada. _____________ dan Rasin Tarigan. Teori Perpajakan dan aplikasi. Jakarta : Rajawali Press 2005. _____________, dan Edi Slamet Irianto. 2012. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Samudra, Azhari. 2005. Perpajakan di Indonesia : Keuangan, Pajak dan Retribusi. Jakarta : Hecca Publishing. Sumarsan, Thomas. 2012. Perpajakan Indonesia Edisi 2. Jakarta : Indeks. Wahab, Solichin. 1997. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta : PT. Bumi Aksara Jurnal : Lutfi. Achmad. 2006. Penyempurnaan Administrasi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah: Suatu Upaya Dalam Optimalisasi Penerimaan PAD. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi: Bisnis & Birokrasi, Volume XIV, Nomor 1, 3. Rosdiana, Haula. 2009. Menggagas Model Proyeksi Penerimaan PKB dan BBNKB . Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi: Bisnis & Birokrasi, Volume XVI, Nomor 3. Lainnya : http://www.bps.go.id http://taxnews.com http://news.viva.co.id/news/read/515685-dprd-dki-bahas-kenaikan-tarif-progresifkendaraan-bermotor , Diakses pada tanggal 16 Oktober 2014 pukul 20.30 WIB.
Analisis implementasi dan ..., Ajeng Nur Azizah, FISIP UI, 2014