ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TARIF PROGRESIF PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN PERKOTAAN DI WILAYAH DKI JAKARTA Adhitya Nugroho1, Edi Sumantri2 1
Program Studi Ilmu Adm.Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Adm.Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
2
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Skripsi ini membahas mengenai implementasi kebijakan pada penerapan tarif progresif dalam rangka pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di DKI Jakarta dimaksudkan untuk memberikan progresivitas sehingga dapat dirasakan adil bagi Wajib Pajak. Namun pada penerapan kebijakannya ditemukan permasalahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan dalam penerapan tarif progresif PBB P2 di DKI Jakarta. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam terhadap aktor-aktor pelaksana kebijakan dan studi literatur. Adapun hasil penelitian ini yakni implementasi penerapan tarif progresif PBB P2 yang belum baik ditinjau dari realisasi penerimaan PBB P2 tahun 2013 sebesar Rp 3.372.759.801.356 atau 93,79% yang belum optimal serta kendala dalam pelaksanaan penerapan tarif progresif PBB P2 berupa resistensi dari masyarakat DKI Jakarta dan upaya pemerintah dalam mengatasi kendala tersebut.
Analysis of The Policy Implementation of Progressive Rate of Land and Buliding Tax on Rural and Urban Sector in DKI Jakarta ABSTRACT This undergraduate thesis discusses about implementation of progressive rates of land and building tax on rural and urban sector collection intended to provide a progression that can be perceived fairly for the taxpayer. However, the implementation of policies found problems. This study aims to analyze policy implementation in the application of progressive rates of land and building tax on rural and urban sector collection in Jakarta. This research was conducted using a qualitative approach through in-depth interviews of the actors implementing the policy and literature review. The results of this research is the implementation of application of progressive rates of land and building tax on rural and urban sector is not good in terms of realization of the land and building tax on rural and urban sector acceptance in 2013 is IDR 3,372,759,801,356, or 93.79%, which is not optimal and obstacle in the implementation of progressive rates the land and building tax on rural and urban sector such as resistance from people of Jakarta and government efforts to overcome that obstacle.
Keywords : Implementation of policy ; Policy ; Tax policy
PENDAHULUAN Pemerintah daerah
telah diberikan kewenangan yang lebih dalam
pengelolaan dan peyelenggaraan pemerintahan di era otonomi daerah melalui desentralisasi fiskal yang diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
Pemerintahan Daerah. Pada umumnya desentralisasi fiskal membawa peningkatan pada
expenditure
assignment
(pengeluaran/belanja)
Pemerintah
daerah.
Sedangkan revenue assignment (pendapatan) harus mengalami peningkatan berbanding lurus dengan tuntutan dan kebutuhan sesuai karakteristik tiap daerah. Pemerintah daerah memiliki tugas menyelenggarakan pelayanan publik dan pembangunan, akan tetapi dari aspek penerimaannya pemerintah daerah memiliki keterbatasan dalam mencari dana untuk membiayai tugas tersebut. Atas pengalihan
kewenangan
yang
lebih
luas
tersebut
dapat
menimbulkan
ketidakstabilan makro ekonomi skala regional mapupun nasional. Pemerintah daerah harus memilki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumbersumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk penyelenggaraan pemerintah daerahnya (Koswara, 2000, p. 5). Kemampuan pengelolaan keuangan daerah pun merupakan hal terpenting. Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah faktor keuangan yang baik. Pemerintah pusat tetap turut memiliki peran dalam kewenangan keuangan daerah dalam koridor konsep Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah melalui UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Artinya di samping daerah otonom harus meningkatkan kapasitas dan pengelolaan rumah tangga sendiri, pemerintah pusat memiliki kewajiban untuk membantu dalam pemenuhan bidang keuangan apabila PAD yang ada pada suatu daerah tidak cukup (insuficiency) untuk membiayai pembangunan. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, konsep hubungan keuangan antara pusat dan daerah berupa dana perbantuan atau dana transfer yang terdiri atas Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).Meskipun demikian, pelaksanaan otonomi daerah melalui desentralisasi fiskal dewasa ini masih mengandalkan pemberian dana transfer sebagai pembiayaan APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dalam koridor desentralisasi fiskal, hasil penerimaan pajak dan retribusi daerah memiliki peranan cukup besar dalam Penerimaan Asli Daerah (PAD), akan tetapi kebutuhan pembangunan daerah pada berbagai macam sektor adalah sangat
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
mendesak dan menjadi prioritas utama yang selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya. Oleh karena itu, pemberian peluang untuk mengenakan pungutan baru diharapkan dapat meningkatkan PAD. Untuk mendorong kemandirian dan kemampuan otonomi pemerintahan daerah, pemerintah pusat terus berupaya meningkatkan kemampuan fiskal daerah dengan mengkaji basis-basis pajak yang potensial dan telah memenuhi kriteria yang tepat sebagai jenis-jenis pajak daerah (www.kemenkeu.go.id, 2009). Perubahan pada penerimaan daerah tentunya akan membawa dampak positif pada pergerakan roda perekonomian. Berdasarkan hal tersebut, agenda untuk melimpahkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai salah satu basis pajak daerah adalah upaya yang tepat untuk meningkatkan taxing power daerah (www.kemenkeu.go.id, 2011). Dalam mekanisme bagi hasil penerimaan PBB pada saat dikelola pemerintah pusat, daerah mendapatkan alokasi dengan porsi yang dominan yakni sebesar 90 % sedangkan sisanya sebesar 10% diperoleh pemerintah pusat. (www.kemenkeu.go.id, 2011). Atas penetapan pembagian hasil ini dapat dilihat bahwa PBB erat kaitannya dengan konteks kedaerahan. (Asian Development Bank, 2008). Selain itu apabila ditinjau dari segi basis pajak, PBB tidak memiliki mobilitas tinggi atau immovable sehingga memudahkan Pemerintah daerah untuk memungutnya (www.pajak.go.id, 2013). Selain itu PBB mempunyai peran penting bahkan diharapkan dapat menempati kedudukannya sebagai sumber penerimaan potensial masa depan, khususnya dalam rangka untuk membiayai dan menggalakan pembangunan ekonomi daerah (Devas, 1989 p. 140). Sebagai instrumen dan landasan dasar pelaksanaan otonomi daerah, melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat telah memberikan perluasan kewenangan pelaksanaan pemungutan perpajakan dan retribusi yang dilakukan dengan memperluas basis pajak daerah dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif dan sistem admministrasi perpajakan, dimana hal tersebut diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan perubahan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Penjelasan UU Nomor 28 Tahun 2009, disebutkan pula bahwa perluasan basis pajak dilakukan sesuai kriteria pajak yang baik, yaitu tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat mobilitas penduduk, ekspor impor dan arus lalu lintas barang dan jasa antar daerah. Menurut Sri Mulyani, peraturan baru ini memperbaiki tiga hal antara lain penyempurnaan sistem pemungutan pajak dan retribusi daerah, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang
perpajakan serta
meningkatkan efektivitas pengawasan yang berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah dilakukan dengan tetap konsisten terhadap prinsip perpajakan yang tepat (Koran Tempo, 19 Agustus 2009). Sampai tahun 2009 PBB masih dipungut Pemerintah Pusat, namun demikian penerimaan dari pajak ini hampir seluruhnya dibagihasilkan kepada Pemerintah
daerahmelalui
mekanisme
Dana
Bagi
Hasil
Pajak.MelaluipenerapanUU Nomor 28 Tahun 2009, pemungutan PBB dilakukan oleh Pemerintah daerah dan realisasi pemungutannya menjadi kontribusi dalam PAD. Dalam prakteknya pada negara-negara dunia, PBB (property taxation) diterapkan oleh lebih dari 130 negara yang sebagian besar pemungutannya dilakukan oleh Pemerintah daerah. Penerimaan ini setelah berpindah dari dana transfer ke pendapatan daerah dapat memberikan kontribusi yang sangat besar bagi Pemerintah daerah (Asian Development Bank, 2008). Berdasarkan hal itu, peralihan PBB sebagai pajak pusat menjadi pajak daerah tentu saja diharapkan dapat secara langsung meningkatkan PAD. PBB memiliki advantage salah satunya yakni menjadi aspek dalam peningkatan manajemen pertumbuhan fiskal dan secara langsung meningkatkan penerimaan daerah. (Asian Development Bank, 2008). Selain itu pemberlakuan PBB juga dapat berdampak lebih baik terhadap penggunaan lahan dan pengelolaan tingkat kepadatan suatu daerah. Agenda pendaerahan PBB telah terakomodasi dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 yang berlaku efektif mulai tahun 2010 dengan batas akhir pelimpahan sampai dengan tahun 2014, dimana Pusat dan DPR telah sepakat untuk menjadikan PBB sebagai basis pajak daerah, walaupun hanya terbatas pada PBB sektor pedesaan dan perkotaan (PBB sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan tetap sebagai objek pajak Pusat).
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
Dengan masa peralihan selama empat tahun tersebut, Pusat harus dapat menyerahkan kewenangan PBB sektor pedesaan dan perkotaan kepada seluruh Kabupaten/Kota. Sesuai dengan amanat UU Nomor 28 Tahun 2009, terhitung mulai tahun 2013 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendapatkan pelimpahan kewenangan pemungutan PBB sektor perdesaan dan perkotaan (PBB P2) dari pemerintah pusat sebagai upaya perluasan basis PAD dan peningkatan local taxing power. Sebagai Ibukota dan pusat aktivitas perekonomian, perdagangan, bisnis dan jasa di Indonesia, DKI Jakarta memiliki postur dan potensi PAD yang sedemikian besar dan mengalami peningkatan tiap tahunnya seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi negara, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Pelayanan Pajak secara konsisten dan berkesinambungan menggali potensi PAD untuk memenuhi pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur
yang
terus
mendesak.
Peningkatan
kapasitas
infrastruktur
transportasi dalam rangka mengimbangi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemacetan ibu kota seperti pembangunan Mass Rapid Transit (MRT), Monorail dan pengadaan transportasi massal membutuhkan dana yang sangat besar. Di samping itu pembiayaan untuk bidang kesehatan dan pendidikan masyarakat DKI Jakarta telah menjadi prioritas utama seperti program Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) serta pembangunan infrastruktur dalam bidang transportasi dan penanganan banjir. Pertumbuhan sektor properti di wilayah DKI Jakarta dewasa ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan.Semakin membaiknya pertumbuhan ekonomi di DKI, memungkinkan banyak investor masuk untuk menanamkan modalnya termasuk di bidang properti. Bahkan, perkembangan ekonomi pasca 2015 di Jakarta diprediksi akan bertumpu pada sektor properti (www.jakarta.go.id, 20 Februari 2013). Melalui pelaksanaan pemungutan PBB P2 Pemprov DKI Jakarta diharapkan mampu meningkatkan PAD nya secara langsung dan optimal secara berkesinambungan dan konsisten seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan sektor properti di DKI Jakarta.
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
Pelaksanaan pemungutan PBB P2 memiliki sistem administrasi salah satunya unsur tax burden atau Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Sebelumnya penghitungan tax burden PBB menurut UU Nomor 12 Tahun 1994 dilakukan dengan mengalikan tarif dan NJKP (Nilai Jual Kena Pajak), dimana besar tarif adalah sebesar 0,5 persen dan besarnya NJKP adalah 20-40 persen. NJOP tidak kena pajak untuk setiap daerah setinggi-tingginya Rp12 juta. Sedangkan menurut UU Nomor 28 Tahun 2009, besaran NJOP tidak kena pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp10 juta untuk setiap Wajib Pajak dan tarif PBB Pedesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3 persen. Penghitungan PBB terhutang dilakukan dengan cara mengalikan tarif dengan NJOP kemudian dikurang NJOP tidak kena pajak (www.kemenkeu.go.id, 2009). Sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU No. 28 tahun 2009, pemerintah daerah diberikan keleluasaan berupa diskresi dalam menetapkan besaran tarif
pajak daerah dalam rangka meningkatkan local taxing power.
Penetapan tarif pajak itu sendiri disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik pada tiap daerah dan yang terpenting besaran tarif pajak tersebut tidak melebihi besaran tarif tertinggi yang tercantum pada UU No. 28 tahun 2009. Dalam rangka pelaksanaan pemungutan PBB P2, Pemprov DKI Jakarta menerapkan tarif progresif sebagai upaya diskresi penetapan tarif pajak daerah, yang terdiri dari empat golongan tarif yang mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2011 tentang PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan. Sesuai aturan ini, golongan 1 wajib pajak diberi beban tarif PBB sebesar 0,01 persen per tahun dengan aset total nilai jual obyek pajak (NJOP) di bawah Rp 200 juta. Golongan 2 merupakan wajib pajak yang mendapat beban tarif sebesar 0,1 persen per tahun dengan NJOP total Rp 200 juta-Rp 2 miliar. Golongan 3 wajib pajak berlaku tarif 0,2 persen per tahun dengan nilai total NJOP Rp 2 miliar-Rp 10 miliar. Sementara tarif golongan 4 sebesar 0,3 persen dengan total NJOP di atas Rp 10 miliar. Melalui mekanisme tarif progresif ini, masyarakat lapisan ekonomi bawah mendapatkan subsidi pajak dari golongan menengah atas. Menurut Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak I Jakarta Selatan Wilson P. Purba sebagaimana dikutip pada www.nonstop-online.com tanggal 26 Februari 2013, perbedaan presentase tarif PBB P2 merupakan kebijakan subsidi silang antara wajib pajak dengan NJOP
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
tinggi dengan masyarakat perekonomian rendah. Selain itu, pemberlakuan tariff progresif ini berdampak pada presentase proyeksi target penerimaan PBB P2 DKI Jakarta lebih besar 30 % dari tahun sebelumnya yakni dari Rp. 2,8 trilyun pada tahun 2012 kemudian meningkat pada tahun 2013 yakni sebesar Rp. 3,6 trilyun. Pelaksanaan penerapan tarif progresif PBB P2 di DKI Jakarta tentu saja memiliki kendala dan resistensi dari masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang mengalami kenaikan PBB yang signifikan. Hal ini terkait pada konsepPBB sebagai jenis pajak properti yang mana merupakan pajak yang bersifat kebendaan yang artinya pajak terutang ditentukan oleh keadaan subjek / objek tanah dan bangunan yang berbeda-beda.Atas diferensiasi kondisi objek PBB, subyek pajak PBB P2 pastinya memiliki ability to pay yang berbeda. yang artinya keadaan subyek pajak tidak ikut menentukan besarnya pajak seperti yang dikemukakan Sidik (2000, p. 10), pemungutan pajak properti khususnya PBB menimbulkan kontroversi yakni pajak properti merupakan jenis pajak objektif yang pada dasarnya tidak memperhatikan kemampuan bayar wajib pajaknya artinya tidak setiap wajib pajak yang yang memiliki properti bernilai tinggi secara otomatis juga berpenghasilan tinggi. Perubahan besaran NJOP tiap tiga tahun sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 28 tahun 2009, ikut menentukan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang kemudian berdampak pada penentuan golongan tarif progresif pada tiap objek pajak. Pemberlakukan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 175 tahun 2013 tentang Penetapan NJOP Tahun 2014 berdampak pada besaran pokok pajak terutang yang mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Penetapan NJOP atas objek PBB tersebut mengalami kenaikan ratarata sebesar 20 % - 140 % dari tahun sebelumnya sehingga menimbulkan polemik dari kalangan pengusaha properti dan terutama masyarakat DKI Jakarta (Republika, 11 Maret 2014). Sebagai contoh, penerapan tarif progresif PBB P2 yang terkait dengan peningkatan besaran NJOP menimbulkan gap yang cukup signifikan terlebih lagi antara golongan 1 yakni tariff 0,01 % pada NJOP di bawah Rp 200 juta dan golongan 2 yakni dengan tariff 0,1 % pada NJOP Rp 200 juta sampai dengan Rp 2 milyar, apabila diperhitungkan dengan NJOP yang mengalami kenaikan maka objek pajak yang berada pada golongan 1 akan
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
mengalami pergeseran ke tariff golongan 2 yang artinya mengalami kenaikan ketetapan pajak sebesar lebih dari 100 % dari tahun sebelumnya. Fenomena kenaikan ketetapan PBB P2 di DKI Jakarta pada tahun 2014 sebenarnya menyasar kepada kelompok masyarakat yang kaya yang seharusnya membayar pajak lebih banyak daripada golongan masyarakat kurang mampu (www.merdeka.com , 8 Mei 2014). Namun banyak kalangan merasa keberatan atas kebijakan tersebut karena kenaikan pokok PBB P2 yang sangat signifikan dalam jangka waktu yang terlampau cepat. Kemudian kebijakan penyesuaian NJOP PBB P2 tahun 2014 memiliki dampak kenaikan pajak yang merata di wilayah DKI Jakarta sehingga banyak kalangan masyarakat yang menjadi tidak mampu membayar PBB P2 (www.republika.co.id, 1 April 2014). Kebijakan tarif progresif yang bersamaan dengan penyesuaian NJOP PBB P2 pada tahun 2014 yang menimbulkan kenaikan pokok PBB P2 secara signifikan tentu menimbulkan beban pajak yang menjadi lebih besar serta memiliki kaitan erat dengan pelayanan publik dan tingkat kesejahteraan masyarakat DKI Jakarta. Pada dasarnya Pemprov DKI Jakarta mengupayakan optimalisasi penerimaan pajak daerah secara berkesinambungan terutama pada PBB P2 yang bertujuan untuk mendapatkan dana yang bisa mengoptimalkan pembangunan segala bidang di DKI Jakarta namun disamping itu hal tersebut menimbulkan resistensi pada masyarakat yang terkena dampak kenaikan PBB P2 secara signifikan. Kondisi dan fenomena yang dijabarkan di atas merupakan hal yang dianggap menarik oleh penulis untuk dibahas dalam penelitian
ini. Penulis
tertarik untuk memahami lebih dalam dasar pemikiran pemerintah yang menjadi tujuan penetapan kebijakan perubahan tarif PBB dari tarif single rate menjadi tarif progresif. Selain itu, peneliti juga akan menganalisis implementasi kebijakan tarif progresif di DKI Jakarta sebagai upaya penguatan taxing local power daerah. Sebagai pelaksanaan otonomi daerah, Provinsi DKI Jakarta melaksanakan pemungutan PBB P2 dengan harapan memeroleh kenaikan realisasi PAD yang cukup untuk membiayai pembangunan di segala sektor sebagai impact pertumbuhan ekonomi nasional. Penerapkan tarif progresif pada pemungutan PBB P2 yang diharapkan akan tercipta keadilan pada tiap lapisan masyarakat dan dapat.meningkatkan
realisasi
PAD.
Pemberlakuan
tarif
progresif
pada
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
pemungutan PBB P2 di DKI Jakarta memiliki resistensi dan menimbulkan polemik pada pelaksanaannya.Dengan melihat dari permasalahan tersebut, dapat diuraikan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1.
Bagaimana implementasi kebijakan penerapan tarif progresif PBB P2 di DKI Jakarta?
2.
Apa kendala yang dihadapi dalam penerapan tarif progresif PBB P2 dan upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengatasi kendala tersebut?
Berdasarkan pertanyaan permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Untuk menganalisis implementasi kebijakan dalam penerapan tarif progresif PBB P2 di DKI Jakarta
2.
Untuk menganalisis kendala yang ditemukan pemerintah DKI Jakarta dalam penerapan kebijakan tarif progresif PBB P2 dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut TINJAUAN TEORITIS Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan.
Nurdin dan Usman (2004, p. 7) mengemukakan bahwa implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan. Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk memengaruhi apa yang disebut “street level bureaucrats” untuk memberikan pelayanan atau mengatur prilaku kelompok sasaran (target group). Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan publik.
Biasanya
kebijakan dirumuskan
implementasi
dengan
tujuan
dilaksanakan
yang
jelas.
setelah
sebuah
Implementasi
adalah
suatu rangkaian aktifitas dalam rangka menghantarkan kebijakan kepada masyarakat
sehingga
sebagaimana
yang
kebijakan
diharapkan
tersebut
(Afan
dapat
membawa
hasil
Gaffar, 2009, p. 295). Pengertian
implementasi di atas apabila dikaitkan dengan kebijakan adalah
bahwa
sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu bentuk positif seperti undang-undang dan kemudian didiamkan dan tidak dilaksanakan
atau
diimplmentasikan,
tetapi
sebuah
kebijakan
harus
dilaksanakan atau diimplementasikan agar mempunya dampak atau tujuan
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
yang diinginkan. Implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan salah satunya model implementasi kebijakan public Grindle. Merile S Grindle (1980, p. 6-10) memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik dan administrasi Model tersebut menjelaskan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran akhirnya ditentukan oleh baik materi program yang telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif. Proses politik dapat terlihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor kebijakan, sedangkan proses administrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Dalam pandangan Grindle (1980, p. 7) bahwa model konseptual implementasi kebijakan memfokuskan diri pada tiga komponen, yaitu: tujuan kebijakan, aktivitas penerapan, dan hasil (out come). Tarif pajak didefinisikan sebagai system yang digunakan untu menghitung besarnya pajak yang harus dibayar (Mansury, 2000, p. 173). Pemungutan tidak sosial
terlepas
dari
yang sangat
keadilan.
Keadilan
penting untuk
pajak
dapat menciptakan keseimbangan
mensejahterakan masyarakat.
Dalam
penetapan tarif pun harus berdasarkan keadilan. Di mana penghitungan pajak yang terutang menggunakan tarif pajak (Waluyo, 2005 p. 17). Prinsip kehatihatian menjadi hal terpenting dalam menentukan tariff pajak, yang mana terdapat unusr tujuan politis dari pemerintah yang berkuasa (Soemitro, 2004, p. 134). Soemitro menambahkan, pemerintah dalam mencapai tujuannya, baik yang bersifat politis maupun non politis, menggunakan kebijakan tariff dengan mengkombinasikan penggunaan tariff tinggi dan tariff rendah (atau sebesar 0%). Selain itu apabila diasumsikan pemungutan pajak yang mengunakan tariff tinggi, maka dapat memiliki fungsi menghambat/mencegah atas dampak dan bentuk eksternalitas
negatif
diantaranya
perjudian,
pelacuran,
pemborosan
dan
sebagainya. Fungsi tersebut pun memiliki peran dalam memasukkan uang ke dalam kas Negara. Apabila uang yang masuk ke dalam kas Negara menjadi besar, hal itu merupakan tanda bahwa tariff pajak yang tinggi itu kurang mencapai tujuannya dan sebaliknya jika karean itu uang yang masuk ke dalam kas Negara kecil, maka hal itu merupakan tanda bahwa tariff itu berhasil mencapai sasarannya
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
(Soemitro, 2004, p. 135). Dalam koridor pemungutan pajak daerah, penentuan tariff pajak merupakan elemen krusial yang sangat berkaitan dengan kontraprestasi yang diterima masyarakat local. Ismail (2005) berpendapat bahwa tariff pajak daerah mementukan penciptaan pasat dalam penyediaan pelayanan masyarakat yang mempengaruhi pemilihan lokasi tempat tinggal dan kegiatan investasi (Ismail, 2005 p. 215). Pajak Properti adalah upaya tertua untuk mendapatkan pemasukan bagi pemerintah,
Pajak
Properti
merupakan
sumber
utama pemasukan
pemerintah setidaknya sampai sebelum Pajak Pendapatan dan Pajak Penjualan diperkenalkan pada abad ke-20 (Devas, 1989, p. 118). Pajak Properti khususnya pajak tanah tergolong salah satu jenis pajak tertua yang dikenakan sebagian besar Negara di dunia dan dengan berbagai pertimbangan sampai saat ini tetap dipertahankan untuk dipungut oleh sebagian besar Negara di dunia (Sidik, 2000, p. 5). Pajak Properti atau Pajak Bumi dan bangunan merupakan pajak yang bersifat kebendaan atau pajak yang bersifat objektif dalam arti besarnya pajak yang terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan (Widodo, Puspita, 2010:2). Bumi/tanah adalah permukaan bumi serta tubuh bumi yang ada di bawahnya (Samudra, 1995 p. 79). Sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan (Samudra, 1995. p. 80). Menurut Musgrave (1983), pajak properti merupakan perwakilan utama dari pajak atas kekayaan (wealth taxation) dalam sistem perpajakan (Musgrave, 1983 p. 807). Pada dasarnya Pajak Properti tetap sejalan dengan prinsip manfaat pajak dan prinsip
ability-to-pay
(O'Sullivan,
1995, p. 15).
Hal tersebut
beralasan bahwa nilai tanah dan bangunan menjadi dasar pengenaan pajak, dan untuk memperluasnya diperlukan pendapatan yang sepadan, sehingga orang yang memiliki kemampuan membayar tinggi akan dikenai biaya yang tinggi pula. Sedangkan prinsip manfaat didasarkan pendapatan Pajak Properti yang digunakan untuk membiayai pengeluaran
pemerintah lokal, misalnya untuk
membiayai pemadam kebakaran, jalan, taman, dan lainya yang sebenarnya memberi manfaat kepada pemilik properti baik itu tanah atau bangunan itu
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
sendiri dikarenakan fasilitas tersebut meningkatkan nilai properti yang mereka miliki. Pajak Properti merupakan pajak yang lebih baik jika dilakukan oleh pemerintah daerah dibandingkan dengan jenis pajak yang lain (O'Sullivan, 1995, p. 15). Terkait Pemerintahan
dengan
peran
Pajak
Bumi
dan
Bangunan
dalam
Daerah, Bird dan Slack (2004, p. 1) menyatakan bahwa
bagaimana tingkatan suatu daerah dalam mengontrol Pajak Properti merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mereka dalam menciptakan keputusan keuangan
yang otonom.
Tingkatan Pajak Properti, rancangannya, dan
pengawasan Pajak Properti merupakan elemen yang vital dalam menciptakan kebijakan desentralisasi yang
efektif.
Properti
dengan
selalu
dihubungkan
Berdasarkan
hal tersebut,
pemerintahan
Pajak
daerah/lokal
di
kebanyakan negara di dunia. Salah satu alasan utamanya adalah bahwa properti yang berupa Bumi/Tanah dan Bangunan bersifat tidak bergerak sehingga tidak dapat dialihkan pajaknya (Bird, 2004, p. 10).
Sependapat dengan
O’Sullivan, Bird memberikan alasan lain mengapa Pajak
Properti
sesuai
sebagai pajak daerah, yaitu karena adanya hubungan antara pelayanan publik yang disediakan oleh Pemerintah Daerah yang menambah nilai dari bumi/tanah dan bangunan (Bird, 2004, p. 10).
METODE PENELITIAN Sesuai dengan permasalahan yang diangkat oleh peneliti maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti berdasarkan tujuan penelitian adalah penelitian deskriptif. Berdasarkan manfaat penelitian, penelitian ini termasuk dalam penelitian murni. Berdasarkan dimensi waktunya, jenis penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah penelitian cross-sectional. Teknis analisis data yang dilakukan dalam penelitian menggunakan teknik kualitatif. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Proses penelitian ini dimulai dari menentukan topik penelitian, merumuskan masalah, menentukan judul penelitian, merancang metode penelitian, menganalisis
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
permsalahan yang ada dan menyimpulkan apa yang ditemukan selama proses penelitian tersebut. Tempat-tempat yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan antara lain tempat wawancara dengan informan terkait dengan penelitian yaitu tempat akademisi di bidang Pajak Daerah, Kantor Kementrian Keuangan, Kantor Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta dan wilayah permukiman di kecamatan Menteng dan Gambir, Jakarta Pusat. Agar penelitian yang dilakukan menjadi lebih terarah maka peneliti membatasi pembahasan mengenai implementasi kebijakan tariff progresif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi kebijakan tersebut dan upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengatasi kendala yang dihadapi pada penerapan tarif progresif PBB P2.
HASIL PENELITIAN Pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta meningkat dewasa ini sehingga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membutuhkan dana yang cukup besar untuk mengimbanginya. Sesuai amanat UU Nomor 28 tahun 2009, Pajak Bumi dan Bangunan sector Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dikelola Pemprov DKI Jakarta mulai tahun 2013. Pemungutan PBB P2 di DKI Jakarta menggunakan tariff progresif sebagai diskresi dalam rangka upaya local taxing power yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta dengan bertujuan untuk memberikan keadilan dan di satu sisi dapat meningkatkan realisasi penerimaan PBB P2. Analisis implementasi pada penerapan tarif progresif terdiri atas isi dan tujuan kebijakan sebagai latar belakang dan landasan penerapan kebijakan, kemudian peneliti menganalisis proses pada aktivitas penerapan pada kebijakan tarif porgresif PBB P2. Aktivitas penerapan tersebut memiliki outcome berupa hasil kebijakan dan kendala yang timbul pada implementasi kebijakan tarif progresif PBB P2 di DKI Jakarta serta upaya yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dalam mengatasi kendala tersebut.
PEMBAHASAN Penelitian ini mengadopsi model implementasi kebijakan Merile S. Grindle
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
(1980)
yang komprehensif dan substansial. Melalui
model konseptual
implementasi kebijakan yang merupakan suatu proses politik (political process) dan proses administrasi (administration process) yang memfokuskan diri pada tiga komponen, yaitu: tujuan kebijakan, aktivitas penerapan, dan hasil (out come). Tujuan kebijakan menunjuk pada pemerincian tujuan dan sasaran secara jelas, sementara aktivitas penerapan menunjuk pada proses politik dan administratif dalam penerapan kebijakan untuk mencapai tujuan kebijakan, sementara hasil (outcome) lebih diartikan sebagai dampak perubahan yang terjadi setelah kebijakan tersebut dilaksanakan. Implementasi kebijakan dapat dilihat secara rinci yang dilihat dalam dua sisi, yakni isi kebijakan (contents policy) dan konteks implementasinya (contexs implementation). Dalam penelitian ini digunakan beberapa aspek yang relevan dari model implementasi kebijakan Merilee S Grindle dengan Pelaksanaan penerapan tarif progresif PBB P2 di DKI Jakarta. Isi kebijakan
atau
program
akan
berpengaruh
pada
tingkat
keberhasilan
implementasi. Dalam penerapan tarif progresif PBB P2 secara substansial terkandung muatan dan materi kebijakan yang sudah dirumuskan oleh para aktor pemangku kepentingan: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, DPRD DKI Jakarta, Kementrian Keuangan, dan pihak swasta dan masyarakat. Materi dan muatan kebijakan tersebut kemudian diimplementasikan agar memenuhi tujuan yang menjadi ekspektasi para aktor pemangku kepentingan. Isi kebijakan sangatlah penting bagi implementasi itu sendiri karena melalui serangkaian aktivitas proses yang kemudian akan dapat diketahui apakah para pelaksana kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dalam dimensi model implementasi kebijakan Grindle, content of policy sangat terkait dengan implementability kebijakan yang telah ditetapkan sehingga menghasilkan outcomes sebagai kunci penting keberhasilan penerapan kebijakan. Peneliti menggunakan salah satu unsur content of policy model implementasi kebijakan Grindle yakni jenis tujuan dan manfaat kebijakan dalam rangka melihat lebih dalam penerapan tarif progresif PBB P2 di DKI Jakarta. Pemahaman atas unsur tersebut dapat melihat secara fundamental materi kebijakan yang sudah dilaksanakan agar mencapai tujuan yang sudah dicanangkan.
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
Dalam pelaksanaan penerapan tarif progresif PBB P2, terdapat tujuan dan manfaat yang sudah dicanangkan oleh para pembuat dan pelaksana kebijakan. Tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dari kebijakan ini tentunya tidak terlepas dengan amanah UU No. 28 Tahun 2009 yakni latar belakang kebijakan pendaerahan PBB P2 yang bertujuan untuk meningkatkan local taxing power, perwujudan kebijakan yang dapat dilakukan adalah (1) menciptakan pajak daerah baru, (2) menaikan tarif pajak daerah semaksimal mungkin, dan (3) menyerahkan pajak pusat menjadi pajak daerah. Ketiga aspek tersebut dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan local taxing power. Dari segi manfaat, baik itu menciptakan jenis pajak baru, menaikan tarif, ataupun menyerahkan pajak pusat menjadi pajak daerah akan berdampak pada meningkatnya jumlah pendapatan daerah dari sektor pajak. Namun, pajak bukan hanya berkaitan dengan pendapatan atau fungsi Budgetair melainkan juga harus memperhatikan fungsi pengaturan atau Regulate. Pelaksanaan PBB P2 tentunya menjadi pendukung dalam penyelenggaraan desentralisasi fiscal yang lebih matang dan maksimal sehingga tercapai pemeratan kemampuan keuangan antar daerah. Daerah memliki diskresi yang lebih luas dalam menentukan politik dan kebijakan perpajakan daerahnya terutama pemungutan PBB P2 yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah. Diskresi tersebut diantaranya adalah penentuan dan optimalisasi tarif PBB P2 sebagaimana dijelaskan pada pasal 80 UU No. 28 tahun 2009. Pemerintah DKI Provinsi Jakarta sebagai daerah yang telah melaksanakan pemungutan PBB P2 mulai tahun 2013 memiliki diskresi dalam penentuan tarif PBB P2 yang ditindaklanjuti melalui Peraturan Daerah No 16 Tahun 2011 tentang PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan pasal 6, Pemprov DKI Jakarta menerapkan tarif progresif yang terdiri dari empat golongan tarif. Sesuai aturan ini, golongan 1 wajib pajak diberi beban tarif PBB sebesar 0,01 persen per tahun dengan aset total nilai jual obyek pajak (NJOP) di bawah Rp 200 juta. Golongan 2 merupakan wajib pajak yang mendapat beban tarif sebesar 0,1 persen per tahun dengan NJOP total Rp 200 juta-Rp 2 miliar. Golongan 3 wajib pajak berlaku tarif 0,2 persen per tahun dengan nilai total NJOP Rp 2 miliar-Rp 10 miliar. Sementara tarif golongan 4 sebesar 0,3 persen dengan total NJOP di atas Rp 10 miliar. Besaran Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB P2
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
menentukan golongan tarif progresifnya sehingga diperoleh ketetapan PBB terhutang yang harus dibayar masyarakat. Pemprov DKI menentukan tarif progresif PBB P2 memiliki tujuan dan manfaat yang fundamental mengenai penyelenggaraan otonomi daerah yang berorientasi kepada pelayanan masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi provinsi. Secara detail, Tujuan dan manfaat yang ingin dicapai antara lain optimalisasi penerimaan pajak daerah, sebagai sumber penerimaan pajak potensial sebagai pengganti PKB dan BBNKB di masa yang akan datang, pemenuhan keadilan di masyarakat dan penyempurnaan kebijakan penerapan tarif PBB setelah menjadi pajak daerah. Sebagaimana yang telah diungkapkan Grindle (1980), aktivitas penerapan menunjuk pada proses politik dan administratif dalam penerapan kebijakan untuk mencapai tujuan kebijakan. Proses politik dan administratif yang dilaksanakan oleh aktor –aktor pemangku kepentingan atas suatu kebijakan menjadi salah satu hal mendasar yang berpengaruh dan terkait dengan tujuan yang telah dicanangkan pada saat perumusan kebijakan. Aktivitas penerapan merupakan focus dan kunci pada proses implementasi sebuah kebijakan. Dengan kata lain, dalam konteks implementasi kebijakan, bagaimana mengantarkan kebijakan secara konkrit ke masyarakat. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Konteks dan proses implementasi kebijakan menjadi sangat krusial, tergantung upaya yang ditempuh aktor pemangku kebijakan bagaimana tujuan dan ekspektasi dapat dicapai. Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (1979) memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan
Negara,
yang
mencakup
baik
usaha-usaha
untuk
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian- kejadian (Wahab, 1997,
p.64-65). Kejadian yang
terjadi aktivitas penerapan kebijakan pun berpengaruh terhadap hasil (outcomes) yang timbul kemudian apakah hasil (outcomes) memang sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai yang kemudian dirumuskan. Seberapa tepat dan optimal
langkah dan tindakan yang diambil oleh aktor pelaksana kebijakan menjadi focus
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
utama. Aktivitas penerapan kebijakan terkait dengan content policy (isi kebijakan) yang mencakup tujuan dan manfaat daripada kebijakan tersebut sehingga peneliti merasa perlu untuk menganalisis aktivitas penerapan kebijakan sebagai upaya dalam mencapai tujuan dan manfaat yang telah ditentukan. Selama aktivitas penerapan kebijakan berjalan, segala keputusan dan tindakan politik dan administrative yang dilakukan dapat menjadi perhatian dan juga pemahaman secara menyeluruh tentang substansi daripada isi kebijakan tersebut. Dalam pelaksanaan kebijakan pendaerahan PBB P2 sangat terkait dengan tujuan utama yang terkandung dalam manifestasi otonomi daerah; semangat peningkatan dan pemerataan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat daerah menjadi isu utama. Pencanangan local taxing empowerment pada era otonomi daerah mendorong daerah meningkatkan capability dalam kemandirian keuangan sehingga secara langsung memiliki kaitan dengan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan dasar kepada masyarakat. Pemprov DKI Jakarta sebagai pelaksana otonomi daerah telah melaksanakan pemungutan PBB P2 sejak 1 Januari tahun 2013 dalam rangka mengoptimalkan pendapatan yakni dari sektor pajak daerah sehingga pemenuhan kebutuhan pembangunan dan pelayanan dasar masyarakat sebagai tujuan otonomi daerah dapat diimplementasikan. Terkait dengan pelaksanaan pemungutan PBB P2, telah disinggung sebelumnya bahwa Pemprov DKI Jakarta menggunakan diskresi dengan perluasan kewenangan dalam menentukan tarif PBB P2 dalam rangka local taxing empowerment yakni dengan menerapkan tarif progesif pada PBB P2. Menerapkan tarif progresif pada PBB P2 merupakan langkah awal yang ditempuh Pemprov DKI Jakarta dalam mengoptimalkan penerimaan pajak daerah dan melindungi masyarakat kecil. Pelaksanaan penerapan tarif progresif PBB P2 pada tahun 2013 merupakan terobosan baru khususnya di DKI Jakarta. Sebenarnya penerapan jenis tarif seperti ini telah dilakukan oleh pemerintah pusat sebelumnya yang dapat disebut tarif efektif PBB menggunakan NJKP sebagai tax base. Ketika PBB P2 dialihkan ke DKI Jakarta, penerapan tarif tersebut dilakukan perbaikan dan penyempurnaan karena didasarkan berbagai pertimbangan yakni optimalisasi pendapatan daerah dan pemenuhan asas keadilan dalam pemungutan pajak.
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
Tabel Perbedaan Perhitungan sebelum dan sesudah pendaerahan PBB di DKI Jakarta Tarif Menurut UU Nomor No. 12 tahun 1994 jo UU Nomor No. 12 tahun 1985
Tarif Menurut Perda Provinsi DKI Jakarta No. 16S tahun 2011
TARIF TUNGGAL : 0,5% TARIF EFEKTIF : 1. Tarif : 0,1% untuk NJOP < Rp. 1 Milyar ( 0,5% x 20% NJKP ) 2. Tarif : 0,2% untuk NJOP > Rp.1 Milyar ( 0,5% x 40% NJKP ) **MENGGUNAKAN NJKP **NJOPTKP paling tinggi Rp. 12 juta.
:TARIF PROGRESSIF 1. Tarif : 0,01% untuk NJOP < Rp.200 juta 2.Tarif : 0,1% untuk NJOP Rp.200jt s/d < Rp. 2 Milyar 3. Tarif : 0,2% untuk NJOP Rp.2Mil s/d < Rp.10 Milyar 4. Tarif : 0,3% untuk NJOP Rp.10 Milyar keatas. **TIDAK MENGGUNAKAN- NJKP **NJOPTKP serendahnya Rp. 15 juta
Sumber : Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, 2014
Berdasarkan tabel tersebut sangatlah jelas perbedaan tarif dan dasar pengenaan pajak PBB P2 sebelum dan sesudah peralihan. Tarif progresif yang berarti besaran tarif mengikuti besaran NJOP dirasakan lebih adil dan dapat mengoptimalkan penerimaannya yang terdiri dari 4 golongan tarif berbeda. Tentunya dalam penerapan tarif progresif terdapat konsekuensi yang terdapat pada perbedaan nilai ketetapan pajak yang harus dibayar pada Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB P2 antara sebelum dan sesudah terkena tarif progresif. Konsekuensi yang timbul secara esensial karena akibat dari perbedaan jenis tarif antara sebelum dan sesudah dialihkan ke DKI Jakarta. Perbedaan tersebut berupa penurunan dan kenaikan ketetapan serta ketetapan yang relatif sama antara tahun 2012 sewaktu dikelola pemerintah pusat dan tahun 2013 yang merupakan tahun pertama pendaerahan PBB P2 di DKI Jakarta Penerapan kebijakan tarif progresif PBB P2 yang sebelumnya melalui proses perumusan berupa perhitungan yang mendalam pada dasarnya bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dan menerapkan asas keadilan dalam pemungutan PBB P2. Kebijakan ini secara garis besar dirancang agar dapat diimplementasikan secara optimal tanpa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan baik dari pihak Pemprov DKI Jakarta maupun masyarakat sebagai pembayar pajak. Aktivitas penerapan tarif progresif PBB P2 dalam perjalanannya dibutuhkan upaya dan tindakan lebih berupa proses politik dan adminsitratif dari pelaksana kebijakan untuk menghadapi dinamika yang terjadi pada masyarakat dan menyesuaikan kondisi ekonomi, politik dan social yang semakin berkembang.
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
Secara bertahap, Pemprov DKI Jakarta meningkatkan kemampuan fiskalnya seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dengan meningkatan target pendapatan daerah yakni PAD dan penerimaan pajak daerah. Pembangunan infrastuktur berupa pembangunan transportasi massal, perbaikan jalan dan pengendalian banjir dan kemacetan menuntut Pemprov DKI Jakarta untuk menggenjot PAD nya. Pemprov DKI Jakarta perlu melakukan tindakan politis dalam menangani hal tersebut disamping tantangan DKI Jakarta sebagai ibukota Negara semakin berat di masa yang akan datang. Penggenjotan PAD yang signifikan secara bertahap menjadi agenda utama Jakarta Baru sebagai manifestasi politik Gubernur selaku Kepala Daerah DKI Jakarta. Agenda Jakarta Baru memiliki seperangkat program terobosan yang berorientasi utama kepada penanganan banjir,kemacetan dan pelayanan masyarakat sehingga diperlukan dana yang besar dalam mewujudkan program-program tersebut. Terkait dengan upaya menggenjot PAD, pengalihan PBB P2 menjadi pajak daerah di DKI Jakarta merupakan hal vital dalam penentuan arah kebijakan perpajakan daerah dimana sector ini akan menjadi sumber pendapatan utama di masa depan. Pemprov DKI Jakarta melaksanakan sejumlah proses politik dan administrative sebagai bagian dari aktivitas penerapan kebijakan. Khusus penerapan tarif progresif PBB P2 pada tahun 2014 menjadi hal paling krusial mengingat Pemprov DKI Jakarta berupaya meningkatkan PADnya secara signifikan. PAD pada tahun 2014 menjadi Rp39,55 triliun 50,6% dari sebelumnya sebesar Rp26,26 triliun dalam APBD-Perubahan 2013 DKI. Penerapan tarif progresif menjadi hal paling vital dimana pada tahun 2014, Pemprov DKI Jakarta menerapkan kebijakan penyesuaian NJOP sesuai dengan amanah Perda No 16 tahun 2011 dan UU No. 28 tahun 2009, dengan menerbitkan regulasi Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 22 tahun 2013 tentang penetapan NJOP PBB P2 tahun 2013. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta berusaha meningkatkan penerimaan PBB dengan kebijakan perhitungan PBB P2 bangunan strata title. Dalam meningkatkan PAD yang menjadi sumber dana pembangunan infrastuktur yang mendesak dan pelayanan masyarakat, Pemprov DKI Jakarta menerapkan kebijakan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB P2 yang merupakan salah satu upaya local taxing empowerment dimana dalam UU No. 28
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
tahun 2009 pasal 79 daerah dapat menetapkan NJOP tiap 3 tahun kecuali pada objek pajak tertentu yang dapat ditetapkan tiap tahun. Secara kronologis, penyesuaian NJOP tidak dilakukan ketika PBB P2 dialihkan kepada daerah. Penyesuaian NJOP di DKI Jakarta terakhir dilakukan pada tahun 2010. Penyesuaian NJOP dengan harga pasar yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta mempertimbangkan tren kenaikan harga pasar wajar tanah dan bangunan di DKI Jakarta tidak hanya mencermati inflasi yang terjadi tiap tahun. Sejak tahun 2010 NJOP PBB DKI Jakarta tidak mengalami penyesuaian, kemudian ketetapan PBB pada tahun 2011, 2012 dan 2013 mengikuti NJOP yang sama dengan tahun 2010 sehingga ketetapan PBB pada tahun-tahun tersebut tidak mengalami kenaikan yang signifikan dan pada saat PBB didaerahkan pada tahun 2013 ketetapan PBB nya pun mengikut NJOP pada tahun 2010. Dengan adanya ketiadaan penyesuaian NJOP dari tahun 2010 hingga tahun 2012 sewaku PBB masih merupakan kewenangan DJP kemudian didaerahkan pada tahun 2013 ke DKI Jakarta, menurut pernyataan Karmen Manurung telah terjadi kenaikan harga pasar tanah dan bangunan yang lebih tinggi dari tingkat inflasi per tahun yakni rata-rata sebesar 20% hingga 25%. Apabila tanah dan atau bangunan berada pada wilayah yang terdapat pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan tol dan jalan arteri maka kenaikan harga pasar tanah bisa mencapai 50%. Disamping itu perkembangan kondisi tanah yang semakin terbatas jumlahnya menyebabkan harga tanah pun ikut melambung tinggi. Atas dasar itulah Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan penyesuaian NJOP pada tahun 2014. Sehingga menimbulkan konsekuensi yang timbul dari penyesuaian NJOP dengan harga pasar wajar di tahun 2014 yakni peningkatan kelas NJOP yang signifikan pada tiap wilayah di seluruh DKI Jakarta. Dalam aktivitas penerapan kebijakan yang sedang berjalan tentunya menilik pada dampak dan perubahan yang terjadi pada saat proses itu berlangsung. Hal itu pun dapat memengaruhi proses politik dan administratif yang berlangsung pada koridor implementasi kebijakan. Tentunya selama implementasi kebijakan berlangsung, terdapat kendala-kendala yang timbul sebagai bagian dari dinamika yang terjadi pada aktivitas penerapan kebijakan itu sendiri. Dinamika tersebut secara substansial adalah berupa respon sebagai salah satu bentuk dari
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
reaksi perubahan yang terjadi. Atas respon yang terjadi tersebut, pelaksana kebijakan
tentunya
telah
menggulirkan
upaya
dalam
menanggapi
dan
mengatasinya. Terkait dengan penerapan tarif progresif PBB P2 di DKI Jakarta, peneliti menelisik lebih dalam reaksi yang terjadi berupa respon masyarakat atas kebijakan tarif progresif PBB P2 di DKI Jakarta dan upaya yang telah dilakukan Pemprov DKI Jakarta dalam mengatasi kendala tersebut. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa penyesuaian PBB P2 pada tahun 2014 berdampak pada kenaikan PBB terutangnya. Selama 4 tahun semenjak 2010 NJOP PBB P2 belum pernah dilakukan penyesuaian sehingga menyebabkan lonjakan kenaikan NJOP yang harus mendekati harga pasar wajar pada tahun 2014. Dampak lain yang timbul adalah terkait dengan kebijakan penerapan tarif progresif yang mengikuti kenaikan NJOP PBB P2 sehingga banyak terjadi pergeseran cluster tarif PBB P2 bahkan banyak wajib pajak yang mengalami penurunan ketetapan PBB P2 pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2012 ketika terjadi kenaikan NJOP pada tahun 2014, menjadi kembali seperti semula pada tahun 2012 bahkan lebih besar PBB terutangnya dari tahun tersebut. Kebijakan penerapan tarif progresif PBB P2 termasuk penyesuaian NJOP PBB P2 pada tahun 2014 mendapatkan resistensi dari masyarakat. Bahwasanya menurut Rosdiana dan Irianto, dalam pemungutan pajak harus menerapkan asas neutrality
yang artinya bahwa pajak itu harus bebas dari
distorsi atas ekonomi, konsumsi dan factor ekonomi lainnya. Artinya pajak seharusnya tidak mempengaruhi pilihan masyarakat untuk melakukan konsumsi dan juga tidak memengaruhi pilihan produsen untuk menghasilkan barang dan jasa, serta tidak mengurangi semangat orang untuk bekerja. Karena itu dalam menentukan tariff, hendaknya jangan dipilih tariff yang tidak tepat dan menaikkan tariff pajak pun belum tentu akan meningkatkan pajak, nahkan sebalikmya mungkin akan menyebabkan penerimaan menurun. (Rosdiana dan Irianto, 2012 p. 179) Dengan kenaikan PBB terutang yang sangat signifikan menyebabkan masyarakat DKI Jakarta merespon negatif karena terkait dengan kemampuan ability to pay masyarakat. Selain itu, kebijakan tarif progresif dengan penyesuaian NJOP PBB P2 secara bersamaan dirasakan kurang smooth dan membutuhkan tahapan dan tingkatan. Berbagai macam respon yang beragam baik
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
dari masyarakat kemudian ditanggapi praktisi dan akademisi mengenai penerapan kebijakan tarif progresif dan penyesuaian NJOP PBB P2 secara bersamaan pada tahun 2014 diharapkan menjadi pertimbangan dan masukan bagi para pelaksana kebijakan ini yakni pihak Pemprov DKI Jakarta sehingga dalam proses implementasi kebijakan dapat meminimalisir hambatan yang tentunya terkait dengan upaya mencapai tujuan daripada kebijakan itu sendiri. Atas perubahan yang terjadi berupa respon yang beragam dari masyarakat mengenai kebijakan tarif progresif PBB P2 di DKI Jakarta, terdapat upaya yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta diantaranya menyempurnakan tarif progresif PBB dan memang golongan tarif perlu dilakukan pengkajian dan dinilai kurang pas. Sejalan dengan itu Soemitro (2004) bahwa Prinsip kehati-hatian menjadi hal terpenting dalam menentukan tariff pajak, yang mana terdapat unsur tujuan politis dari pemerintah yang berkuasa (Soemitro, 2004, p. 134). Penerapan tarif progresif PBB P2 pada tahun berjalan kemudian bersamaan dengan kebijakan penyesuaian NJOP PBB P2 pun harus dilakukan evaluasi yang komprehensif dan menyeluruh terutama terhadap benefit yang seharusnya diperoleh masyarakat sebagai feedback yang diberikan Pemprov DKI Jakarta atas kenaikan PBB terhutangnya sebagai pemenuhan social welfare function dalam pemungutan PBB P2 di DKI Jakarta. Seperti yang telah dirumuskan oleh AICPA (American Instittute of Certified Public Accountants) (2001), sebagai ganti atas prinsip keadilan, maka telah diintrodusir social welfare function yang dikaitkan dengan perpajakan daerah. Artinya berapapun pajak daerah ditetapkan, asal social welfare tidak mengalami penurunan, maka suatu penetapan pajak dikatakan tidak memiliki masalah dalam keadilan pungutan. Pemprov DKI Jakarta selain menonjolkan politik perpajakan dengan menonjolkan asas budgetair namun juga harus mengupayakan sisi regulerendnya. Kontrapretasi yang diterima masyarakat sebagai pembayar PBB P2 secara langsung menjadi fokus utama Pemprov DKI Jakarta. Menurut Anwar Syahdat, kombinasi fungsi regulerend dan fungsi budgetair yang ideal adalah menaikan NJOP pada kawasan tertentu melalui pertimbangan kemampuan membayar pajak yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat mengatur tata kelola ruang permukiman dan perkotaan, sebagai langkah penerapan asas keadilan pada pemungutan PBB P2 dan meningkatkan penerimaan PBB P2 secara signifikan.
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
Selain itu, dalam proses penerapan tarif progresif PBB P2 yang dibarengi dengan penyesuaian NJOP PBB P2, memang beberapa manfaat yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat belum direalisasikan secara penuh seiring dengan peningkatan target penerimaan PBB P2 yang meningkat pada tahun 2014. Manfaat secara langsung yang diperoleh masyarakat belum berjalan dengan optimal. Oleh karena itu, gejolak yang timbul di masyarakat sebagai dampak kenaikan PBB P2 di DKI Jakarta secara esensial dapat diredam melalui kegiatan ekstensifikasi yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta diantaranya sosialisasi secara intensif kepada masyarakat tentang kebijakan penerapan tarif progresif dan penyesuaian NJOP PBB P2 dengan pendekatan yang persuasif agar masyarakat dapat menerima dengan pemahaman dan kesadaran. Selain kegiatan sosialisasi, bagi masyarakat dan kalangan swasta yang terkena dampak kenaikan PBB P2 sehingga kemampuan pembayaran pajaknya menurun dapat mengajukan permohonan pengurangan pokok PBB P2 sebagaimana yang telah diatur dalam Perda No. 16 tahun 2011 dan Peraturan Gubernur No. 211 tentang Pemberian Pengurangan PBB P2. Pelayanan yang lebih prima dan bermutu yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta melalui Unit Pelayanan Pajak Daerah pada tiap kecamatan kepada masyarakat pembayar PBB P2 diharapkan dapat mengurangi resistensi yang timbul. Melalui pelayanan yang cepat, tanggap dan ramah dapat mengurangi respon yang negative atas kenaikan ketetapan PBB P2. Selain itu, proses pengurangan pokok ketetapan PBB P2 yang lebih efektif, tepat dan optimal dapat meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam pembayaran PBB. Hal itu disebabkan
oleh
respon
yang diberikan
pemerintah
dalam
memroses
pengurangan ketetapan PBB P2 secara optimal yakni dengan memperhatikan kemampuan pembayaran PBB P2. Oleh karena itu masyarakat yang mengalami kenaikan ketetapan PBB P2 dihargai dan ditanggapi dengan baik oleh pemerintah sehingga diharapkan dapat melakukan pembayaran PBB tepat waktu. Atas resistensi yang timbul dari masyarakat sebagai dampak penerapan tarif progresif PBB P2 dan kemudian dibarengi dengan penyesuaian NJOP yang menyebabkan kenaikan pokok PBB P2 merupakan hal yang wajar, di satu sisi menilik pada kemampuan masyarkat dalam pembayaran pajak yang berbeda-
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
beda. Golongan masyarakat yang terkena dampak kenaikan PBB P2 dan memiliki kemampuan membayar pajak yang kurang dapat mengajukan permohonan pengurangan PBB P2 kepada Dinas Pelayanan Pajak melalui UPPD. Selain itu dalam koridor proses kebijakan, penerapan tarif progresif PBB P2 juga secara berkesinambungan terus dilakukan pengkajian dan pengembangan, namun dalam menyempurnakan substansi dalam kebijakan harus mengikuti prosedur peraturan dan hukum yang berlaku dan dilakukan dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Kajian dan penyempurnaan kebijakan tarif PBB P2 merupakan bagian dari evaluasi kebijakan. Menurut Dunn (2003), evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan; tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali suatu masalah (Dunn,2003, p. 109). Evaluasi atas kebijakan penerapan tarif progresif PBB P2 di DKI Jakarta dilakukan berdasarkan kritik atas nilai-nilai dan kondisi yang mendasari kebijakan tersebut. Evaluasi kebijakan penerapan tarif progresif PBB P2 melibatkan berbagai unsur stakeholder yakni pemerintah, parlemen, masyarakat dan kaalangan swasta serta menggunakan berbagai metodologi perhitungan
dan
kajian
yang
mendalam
supaya
mendapatkan
suatu
penyempurnaan atas kebijakan yang lebih ideal dan optimal. Oleh karena itu Pemprov DKI Jakarta pun melibatkan Dewan Riset Daerah dan unsur yang lainnya dalam pelaksanaan kajian dan penyempurnaan kebijakan tarif PBB P2. Pada saat evaluasi kebijakan dirumuskan kembali yang kemudian diterapkan, maka para perumus kebijakan melakukan revisi regulasi sebagai langkah political will.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Implementasi kebijakan penerapan tarif PBB P2 di DKI Jakarta belum terlaksana dengan baik. Hal ini berdasarkan hasil kebijakan berupa realisasi penerimaan PBB P2 tahun 2013 dengan tax collection 93,69%. Artinya
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
penerimaan PBB P2 pada tahun 2013 belum optimal karena belum mencapai targetnya sehingga belum sesuai dengan tujuan kebijakan penerapan tarif progresif PBB P2 yakni optimalisasi penerimaan pajak daerah. Selain itu, tujuan Pemprov DKI Jakarta menerapkan tarif progresif terendah yakni 0,01% yang semula sebagai bentuk keberpihakan kepada masyarakat kecil dan pemenuhan keadilan bagi masyarakat namun pada implementasinya penerapan tarif golongan 0,01% menjadi tidak optimal karena realisasi penerimaan PBB P2 pada golongan ini rendah yakni dengan tax collection 60,07% dan jumlah SPPT yang dibayar oleh masyarakat hanya 57,41%. Atas fakta tersebut pun diperoleh indikasi yang lain bahwa penerapan golongan tarif 0,01% belum memenuhi tujuan kebijakan yaitu sebagai penyempurnaan kebijakan tarif PBB P2 tahun sebelumnya yang merupakan kewenangan Direktorat Jenderal Pajak. 2. Kendala yang muncul pada implementasi kebijakan tarif progresif PBB P2 di DKI Jakarta adalah respon masyarakat berupa resistensi atas kenaikan pokok PBB P2. Hal itu terjadi karena kemampuan membayar pajak yang kurang sebagai dampak dari kebijakan penyesuaian NJOP PBB P2 yang sebelumnya tidak dilakukan sejak tahun 2010 sehingga mempengaruhi pergeseran cluster pada golongan tarif progresif PBB P2. Penyesuaian NJOP PBB P2 pada tahun 2014 dan penerapan tarif progresif secara bersamaan menimbulkan beban bagi masyarakat. Resistensi dari masyarakat dapat diredam oleh Pemprov DKI Jakarta melalui upaya-upaya sebagai berikut : a. Kegiatan sosialisasi secara intensif kepada masyarakat pada tiap kelurahan dan kecamatan di DKI Jakarta b. Pemberian fasilitas pengurangan PBB P2 terkena dampak kenaikan ketetapan PBB P2 berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 211 tahun 2012 c. Meningkatkan mutu pelayanan PBB P2 di Unit Pelayanan Pajak Daerah d. Menyusun alternatif kebijakan melalui penguatan fungsi regulerend pada pemungutan PBB P2
SARAN Berdasarkan data dan fakta yang peneliti dapatkan selama penelitian,
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
terutama berkaitan dengan optimalisasi penerapan tarif progresif PBB P2 di DKI Jakarta, berikut adalah saran yang dapat peneliti berikan: 1. Penerapan tarif progresif pada PBB P2 memiliki gradasi tarif yang cukup tinggi oleh karena itu Pemprov DKI Jakarta perlu menyempurnakannya dengan melakukan kajian penggunaan tarif progresif yang berjenjang pada PPh Orang Pribadi dan diterapkan pada tarif PBB P2, ditinjau dari sisi asas keadilan dan ability to pay masyarakat 2. Mengevaluasi golongan tarif terendah yakni tarif 0,01% ditinjau dari segi
efektivitas. 3. Mengevaluasi Dasar Pengenaan Pajak PBB P2 yakni batasan NJOP tertinggi
pada golongan tarif 0,01% sebesar Rp. 200.000.000,-, ditinjau berdasarkan perkembangan harga tanah dan property yang mengalami kenaikan tiap tahun di DKI Jakarta. 4. Semua kajian dan evaluasi penerapan tarif progresif PBB P2 tersebut dilakukan dengan cara menggunakan aplikasi simulasi penerapan tarif dan menentukan berbagai alternative pilihan jenis tarif yang paling ideal 5. Pemprov DKI Jakarta diharapkan dapat melakukan deregulasi atas kebijakan-
kebijakan pemungutan PBB P2 sebelumnya berdasarkan hasil dari penyempurnaan dan evaluasi yang telah dilakukan dengan merevisi Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur 6. Pemprov DKI Jakarta diharapkan dapat melaksanakan sosialisasi atas
kebijakan penerapan tarif progresif dan penyesuaian NJOP PBB P2 yang lebih intensif melalui media cetak dan elektronik supaya kendala yang timbul dalam penerapan kebijakan berupa resistensi masyarakat dapat diminimalisir dengan optimal.
REFERENSI Buku : Agustino, Leo. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta Baily, Kenneth D. 1999. Methods of Social Research. New York: The Free Press.
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
Bird, Richard M. 1992. Tax policy and economic development. Baltimore And London, London: The Hopkins University Press
. 1999. Theading The Fiscal Labirinth: Some Fiscal Issues in Fiscal Decentralization, Tax Policy In Real World, Meulbourne: Cambridge University Press. BPPK Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2008. Pajak Bumi dan Bangunan. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan RI. Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches, Thousand Oaks. California, USA : SAGE Publication Inc. Devas, Nick. 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta : UI Press Dunn, William N. 2003. Public Policy Analiysis: An Introduction, Second Edition (Terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Dye, Thomas R. 1981. Understanding Public Policy. USA: Prentice-Hall, INC. Englewood Cliffs,NJ. Gaffar, Afan, 1995. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Prisma 4. Grindle, S. Merile. 1980 Politics and Policy Implementation in The Third Word. Princeton: Princeton University Press Ismail, Tjip. 2005. Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia. Jakarta : PT. Yellow Mediatama Kaho, Riwu Joshua. 1990. Analisis Hubungan Pemerintahan Pusat dan Daerah. Jakarta : PT Rineka Cipta K.J Davey, 1988. Pembiayaan Pemerintahan Daerah : Praktek-Praktek Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga diterjemahkan oleh Amanullah, Jakarta: UI-Press. Koswara Dr. E., 2001. Otonomi Daerah. Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Mansury, R. 1996. Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: IND-HILLCO.
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
. 1996. Panduan Konsep Utama Pejak Penghasilan Indonesia, Jilid 2. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara. . 1999. Kebijakan Fiskal. 1999. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan Bird. Musgrave, Richard A and Peggy B. Musgrave. 1984. Public Finance in Theory and Practice. Singapore. Mcgraw Hill Book Company. Nasution, Agus Salim dkk. 1989. Pajak dan Retribusi Daerah. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka Nazier, M Daeng. (2004). Kebijakan fiskal pemikiran, konsep, dan implementasi dalam teknologi menunjang penetapan kebijakan fiskal. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Neuman, W. Lawrence. 2011. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach. Needham Heights, MA: Allyn&Bacon Nowak, Norman. 1970. Tax Administration : Theory and Practice. Washington : Prager Publisher Inc Nugroho, Riant. 2013. Metode Penelitian Kebijakan. Jakarta : Pustaka Pelajar Nurmantu, Safri. 2003. Materi Pokok Jakarta: Universitas Terbuka.
Dasar-dasar
Perpajakan.
. 2005. Pengantar Perpajakan Edisi Ketiga. Jakarta: Granit O'Sullivan, A. T. 1995. Property Taxes and Tax Revolts: The Legacy of Proposition 13. Cambridge: Cambridge University Press Prakosa, Kesit Bambang. 2003. Yogyakarta: UII Press
Pajak
dan
Retribusi
Daerah,
Rosdiana, Haula. 2005. Perpajakan Teori dan Aplikasi. Jakarta. PT Rajagrafindo Persada. Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. 2012. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta:
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
Raja Grafindo Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan. Teori Perpajakan dan aplikasi. Jakarta :Rajawali Press 2005. Samudra Azhari, 2005, Perpajakan di Indonesia, Keuangan, Pajak dan Retribusi, Jakarta : Hecca Publishing. Sidik, Machfud. 2000. Model Penilaian Properti Berbagai Penggunaan Tanah di Indonesia. Jakarta : Yayasan Bina Ummat Sejahtera Slamet Soelarno. 1999. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta: STIA LAN Press Sumitro, Rohmat. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak. Bandung: Eresco .2004.
Azas dan Dasar Perpajakan. Bandung
: Eresco Suandy, Erly. 2005. Hukum Pajak, Jakarta : Penerbit Salemba Empat Syadullah, Makmun dan Muhammad Afi Nizar. 2013, Kebjiakan Fiskal, Teori dan Praktek di Indonesia. Jakarta : Ortax Tjahya, Supriatna, 1993, Sistem Administrasi Pemerintahan Di Daerah, Jakarta: Bumi Aksara Usman, Nurdin. 2002. Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Wahab, Solichin. 1997. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta : PT. Bumi Aksara Waluyo. 2001. Perpajakan Indonesia. Jakarta : Salemba Empat. Winarno, Budi. 2005. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo
Universitas Indonesia Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
Jurnal : American Institute of Certified Public Accountants, 2001. Guiding Principles of Good Tax Policy: A Framework for Evaluating Tax Proposals. New York : American Institute of Certified Public Accountants, Inc
Websites : http://www.nonstop-online.com/2013/02/pelayanan-sppt-sudah-bisa-di-kantorkelurahan-dan-kecamatan-penerimaan-pbb-dki-ditarget-rp-36-triliun/ diunduh pada 16 Maret pukul 21.00 WIB http://www.jakarta.go.id/v2/news/2013/02/sektor-properti-masih-potensial-di-dki diunduh pada 16 Maret pukul 21.15 WIB http://megapolitan.kompas.com/read/2013/03/20/02582923/DKI.Berlakukan.PBB.P rogresif diunduh pada 16 Maret pukul 21.30 WIB http://m.merdeka.com/jakarta/njop-naik-240-persen-janji-jokowi-beri-keringananpbb-tepat.html, diunduh pada 7 Juni 2014 pukul 10.00 WIB http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/14/03/31/n3avua-wargakeberatan-njop-naik, diunduh pada 7 Juni 2014 pukul 10.00 WIB
Perundangan, Peraturan dan Sumber Lainnya : Republik Indonesia. Undang-Undang No.28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 130. ________________ .Undang-Undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 126. ________________ .Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah. Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 125. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2011 Nomor 16 ________________, Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 211 Tahun 2012 Tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan, Berita Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2012 Nomor 203 ________________, Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 175 Tahun 2013 Tentang Penetapan Nilai Jual Objek Pajak bumi dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan Tahun 2014, Berita Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2013 Nomor 71037
Universitas Indonesia
Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014
Universitas Indonesia
Analisis implementas..., Adhitya Nugroho, FISIP, 2014