Nanang Iskandar Fauzie: Analisis Pelaksanaan Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Layak di Pemerintahan Provinsi Lampung (Studi Kasus Perkara Tata Usaha Negara No.02/G/TN/2003/PTUN-BL)
1
ANALISIS PELAKSANAAN AZAS-AZAS UMUM PEMERINTAHAN YANG LAYAK DI PEMERINTAHAN PROVINSI LAMPUNG (Studi Kasus Perkara Tata Usaha Negara No.02/G/TN/2003/PTUN-BL) Oleh : Nanang Iskandar Fauzie Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRAK Membangun pemerintahan yang bersih, berwibawa dan bertanggung jawab perlu pengawasan ketat terutama terhadap jalannya roda pemerintahan yang bersih, berwibawa dan bertanggung jawab. Secara praktik, pengawasan dibagi empat macam, yakni pengawasan Politis, Yudisial, Administratif dan Publik Opinion. Kewenangan pemerintah dalam melaksanakan tata usaha negara dikelompokan menjadi 3 (tiga) macam perbuatan yakni mengeluarkan keputusan (beschikking), Peraturan (regeling) dan Perbuatan Material (materiele daad). Permasalahan penelitian ini, bagaimana kenyataan hukum azas-azas pemerintahan umum yang layak dalam menentukan kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintahan Provinsi Lampung yang menjadi dasar atau ukuran bahwa pemerintah telah melakukan perbuatan secara sewenang-wenang dalam kaitannya dengan perbuatan administrasi Negara. Bagaimana kekuatan hukum atas keputusan yang dibuat secara cacat hukum dan bagaimana pula akibat hukumnya. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normative dan analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenyataan hukum azas-azas umum pemerintahan yang layak (AAUPL) terdapat perbedaan pandangan secara hukum atau doktrin dengan hukum positif (pengaturan perundang-undangan) dalam system hukum di Indonesia. Ternyata AAUPL baru diakui sebatas teori dan doktrin saja namun belum diakui keberadaannya dalam hukum positif. Sedangkan kreteria telah terjadi penyalahgunaan kekuasan oleh pemerintah/Administrasi Negara hanya diakui jika pelaksanaan kewenangan yang dimiliki pemerintah/ pejabat administrasi negara melanggar udang-undang. Padahal menurut doktrin dan azas hukum pelanggaran/penyalahgunaan wewenang harus didasari atas kreteria yang lebih luas yaitu pelanggaran hukum karena dalam pelanggaran hukum termasuk pengertian terhadap pengaturan perundang-undangan. Kekuasaan hukum dari suatu keputusan dalam kenyataan terhadap keputusan yang sah dan sempurna tidak dapat dibatalkan oleh pembuat keputusan itu sendiri maupun oleh badan yang lebih tinggi atau badan peradilan administrasi Negara. Disarankan bahwa keberadaan AAUPL dalam kedudukan sebagai jaminan terhadap suatu pemerintahan yang menjunjung tinggi hukum hendaknya diakui keberadaannya yang hanya tidak sebatas pada doktrin saja tetapi diakui dalam hukum positif Indonesia namun hendaknya juga digunakan sebagai dasar hukum dalam mengajukan gugatan terhadap administrasi Negara.
__________________
Keywords : Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Layak (AAUPL)
PENDAHULUAN Pengawasan yang ketat sangat dibutuhkan terutama terhadap jalannya roda pemerintahan yang bersih, berwibawa dan bertanggung jawab. Secara praktik, pengawasan dibagi menjadi empat macam, yakni pengawasan Politis, yudisial, administratif dan publik opinion (Wicipto Setiadi, 1994:20). Kewenangan pemerintah dalam melaksanakan tata
Jurnal Sains dan Inovasi 7(1) 1– 8 (2011)
usaha negara dikelompokan menjadi 3 (tiga) macam perbuatan antara lain : mengeluarkan keputusan (beschikking), mengeluarkan peraturan (regeling) melakukan perbuatan material (materiele daad). Pengawasan politis dilakukan dalam rangka menjalankan pemerintahan yang bersih dan biasa dilakukan oleh lembaga disamping lembaga yang telah mendelegasikan kekuasaan pada pemerintah atau juga lembaga
Nanang Iskandar Fauzie: Analisis Pelaksanaan Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Layak di Pemerintahan Provinsi Lampung (Studi Kasus Perkara Tata Usaha Negara No.02/G/TN/2003/PTUN-BL)
yang mewakili rakyat sebagaimana pemerintahan yang demokratis. Sedangkan pengawasan Yudisial dilakukan oleh Badan peradilan yang merdeka dan objektif yang biasa disebut Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan dalam pengawasan berfungsi sebagai control represifyudikaif, artinya badan ini bertindak apabila telah terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah. Peradilan ini diadakan untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemerintah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan TUN. Pengawasan Administratif yang dilakukan pemerintahan lazimnya disebut pengawasan melekat yaitu yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahan dan pengawasan fungsional yang dilakukan oleh Inspektorat atau Badan Pengawas Daerah (Bawasda). Pengawasan Publik Opinion dilakukan oleh masyarakat (Wasmas) yaitu sebagai suatu konsekuensi dari pemerintahan yang transparan. Dikeluarkannya UndangUndang Nomor 5 tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, aparatur pemerintah di pusat atau daerah tidak dapat lagi bertindak sewenang-wenang dan setiap kebijakan yang dikeluarkan hendaknya ditetapkan secara yuridis (tidak melanggar undang-undang). Satu hal penting dalam rangka membangun pemerintahan yang bersih, berwibawa dan bertanggung jawab adalah adanya control masyarakat dimana bila control ini berjalan baik maka mutu
Jurnal Sains dan Inovasi 7(1) 1– 8 (2011)
2
kepemimpinan akan ditantang dan terpaksa membuktikan segala keputusan yang dibuat baik atau tidak baik. Kekhawatiran yang terjadi umumnya keputusan yang dibuat pemerintah biasanya dibuat lisan. Oleh sebab itu diisyaratkan segala keputusan harus dibuat tertulis yang bisa digugat melalui PTUN apabila menyalahi kewenangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004 mengenai keputusan sebagai perbuatan TUN data diangap objek pengawasan yudisial, antara lain diatur pada pasal 1 angka 2 & 3 yang memuat persyaratan, antara lain : 1) Keputusan TUN harus tertulis, 2) Keputusan yang dibuat harus dalam kapasitas sebagai badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, 3) Keputusan TUN harus bersifat konkrit, 4) Keputusan TUN harus bersifat individual, yaitu keputusan ditujukan kepada seseorang atau Badan Hukum yang akibat putusan tersebut merugikan individu atau masyarakat. 5) Keputusan harus bersifat final karena keputusan tersebut memerlukan persetujuan instansi lain dan membuat akibat hukum yang merugikan. Prakteknya Pemerintah Provinsi Lampung dalam penyelenggaraan pemerintahan terdapat perbuatan administratur Negara yang dianggap telah merugikan seseorang atau badan hukum dengan alasan perbuatan tersebut sewenang-wenang atau melanggar Asasa-asas Umum Pemerintahan Yang Layak (AAUPL) dengan telah dikeluarkan-nya Surat Keputusan Gubernur No. G/308/
Nanang Iskandar Fauzie: Analisis Pelaksanaan Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Layak di Pemerintahan Provinsi Lampung (Studi Kasus Perkara Tata Usaha Negara No.02/G/TN/2003/PTUN-BL)
III.02/HK/2002 tanggal 10 Oktober 2002 tentang Ijin Usaha Perkebunan (IUP) atas nama PT. Garuda Pancaarta. Terhadap SK tersebut telah merugikan PT.Indo Lampung Buana Makmur (ILBM) yang kemudian diambil langkah pengajuan pengawasan Yudiisal melalui PTUN Bandar Lampung dengan Register Perkara No.02/G/TN/PTUN/BL tanggal 10 April 2003. Dari pengamatan, adanya kasus TUN tersebut didapat adanya perbedaan persepsi tentang adanya pelanggaran AAUPL yang dilakukan oleh administrasi Negara versi pemerintah (melalui kuasa hukumnya) maupun badan Yudisial (PTUN) atau menurut pihak yang dirugikan PT.Indo Lampung Buana Makmur (ILBM). Fenomena yang terjadi adalah perbuatan secara sewenang-wenang oleh administrasi Negara menjadi relative berbeda akibat adanya persepsi yang bersifat subjektif dari masing-masing pihak yang bersengketa. Akibat perbedaan tersebut yang menjadi pertanyaan adalah dasar atau ukuran yang dijadikan pegangan masing-masing pihak yang bersengket untuk menafsirkan pelanggaran terhadap AAUPL dikarenakan tidak adanya standar atau ukuran yang jelas tentang secara sewenang-wenang atau perbuatan melanggar hukum baik alasan demi kepentingan umum menurut versi pemerintah maupun dengan alasan melanggar AAUPL. Fenomena dalam Penulisan ini tertarik untuk dibahas secara hukum dan dengan melakukan penelitian secara normative atas kasus tersebut, maka
Jurnal Sains dan Inovasi 7(1) 1– 8 (2011)
3
diajukan suatu judul “Analisis Pelaksanaan Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Praktik di Pemerintah Provinsi Lampung (Studi kasus Perkara Tata Usaha Negara No.02/G/TN/PTUN/ BL tanggal 10 April 2003 Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah :1) Bagaimana kenyataan hukum (rechts werkelijkheids) Azas-azas pemerintahan Umum yang layak dalam penentuan kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Lampung, 2) Apakah yang menjadi dasar atau ukuran bahwa pemerintah telah melakukan perbuatan secara sewenang-wenang dalam kaitannya dengan suatu perbuatan administrasi negara. 3) Bagaimana kekuatan hukum (rechtskrach) atas keputusan (beschikking) yang dibuat secara cacat hukum dan bagaimana pula akibat hukumnya. Ruang lingkup penulisan ini adalah meliputi kajian hukum Administrasi negara khususnya dibidang keputusan yang dikeluarkan oleh Tata Usaha Negara di Provinsi Lampung serta kaitan kasus perkara Tata Usaha Negara Nomor : 02/G/TN/2003/PTUN-B.1 tanggal 10 April 2003. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan pendekatan Yuridis Normatif, yaitu pendekatan yang mengkaji masalahmasalah hukum yang bersumber pada asas hukum, peraturan perundangundangan, sejarah hukum dan
Nanang Iskandar Fauzie: Analisis Pelaksanaan Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Layak di Pemerintahan Provinsi Lampung (Studi Kasus Perkara Tata Usaha Negara No.02/G/TN/2003/PTUN-BL)
sistematika dalam perundangundangan serta kenyataan hukum dalam arti positif yang dilakukan pejabat berwenang. Penelitian ini mengkaji teoriteori hukum atau doktrin maupun konsep hokum denagn menggunakan pendekatan normative sehingga dapat mengetahui apakah terdapat konsistensi antara hukum dalam pengertian positif dan pengertian hukum dalam arti nyata dengan harapan mengetahui gambaran tingkat kesenjangan antara hukum dalam arti positif dengan hukum nyata. PEMBAHASAN Kenyataan Hukum Asasa-asas Umum Pemerintahan yang layak Penyelenggaraan Pemerintahan negara moderen harus didasari 2 (dua) perinsip, yakni : 1).Bekerjanya birokrasi/pemerintah harus didasarkan Undang-Undang yang berlaku sebagai acuan menjalankan kebijakan (bleid) yang ditetapkan sebagai kepastian hukum bagi masyarakat terhadap pejabat yang memiliki kewenangan menjalankan tugas dan 2). Bekerjanya birokrsi/pemerintah dalam menjalankan kebijakan harus didasari dengan memperhatikan Asasa-asas Umum Pemerintahan Yang Layak (AAUPL). Dari hal tersebut dapat dinyatakan bahwa pelakasanaan kekuasaan yang dimiliki administrasi negara harus mencerminkan wetmig dan rechmatig sehingga kebijakan tidak bersifat legal (sesuai UndangUndang) dan juga legitimate (sesuai
Jurnal Sains dan Inovasi 7(1) 1– 8 (2011)
4
hukum). Dari penelitian didapatkan bahwa, berdasarkan fenomena hukum dalam pelaksanaan kebijakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Lampung dimana masyarakat selaku pencari keadilan, menganggap Pemerintah Provinsi Lampung telah menyalahgunakan kekuasaan (detournamen du papouir) yang merugikan masyarakat sehingga terjadi gugatan Tata Usaha Negara (TUN) sebagaimana perkara PTUN Nomor : 02/G/TN/2003/ PTUN-BL tanggal 10 April 2003. Dari perkara tersebut menarik dikemukakan sebagai bahasan dalam hubungannya dengan bagaimana kenyataan hukum AAUPL, apakah suatu dasar gugatan dalam TUN dapat diajukan berdasarkan apakah AAUPL telah diterapkan dengan baik oleh pemerintah dalam menjalankan kebijakan. Ketika Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 dimunculkan, lahirlah saran dan keinginan agar tidak terwujud walaupun berdasarkan asasasas dan lokakarya kerja sama antara LAN-Menpan-Dep Kehakiman disarankan agar keputusan dapat menilai keputusan birokrasi berdasarkan apakah AAUPL telah ditetapkan atau tidak terlebih Tim Hukum Universitas Airlangga mengusulkan AAPUL dapat menjadi dasar gugatan TUN. Hal ini diketahui dalam pengaturan tentang Hukum Acara TUN Bab IV pasal 53 ayat (1 dan 2) UU Nomor 5 tahun 1986 yang berbunyi : Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingnnya dirugikan oleh suatu keputusan TUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi
Nanang Iskandar Fauzie: Analisis Pelaksanaan Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Layak di Pemerintahan Provinsi Lampung (Studi Kasus Perkara Tata Usaha Negara No.02/G/TN/2003/PTUN-BL)
tuntutan Keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitas. Ayat 2 : Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah : a. Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku b. Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya weweangan tersebut. c. Badan atau pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan. Dari pasal di atas secara substansial terdapat 2 (dua) hal yang menjadi perhatian, yakni :1) AAUPL tidak dapat menjadi dasar gugatan TUN tetapi hanya dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan (berarti AAUPL tidak dalam diktum), 2) Dalam pertimbangan hukum tidak perlu menyebut seluruh AAUPL tetapi cukup asa mana saja yang telah melanggar. Secara kongkrit hal diatas dapat dilihat pada kasus perkara Nomor : 02/G/TN/2003/PTUN-BL tanggal 10 April 2003, yakni Kasus Perkara : 1. Tergugat I (Pemprov Lampung) yang dianggap telah mengeluarkan Surat Keputusan No. G/308/ III.02/HK/2002 tanggal 10 Oktober 2002 secara tidak sah.
Jurnal Sains dan Inovasi 7(1) 1– 8 (2011)
5
2. Tergugat II (PT.Garuda Pancaarta) yang menerima SK tersebut 3. Penggugat (PT. Indo Lampung) yang merasa dirugikan atas perbuatan Tergugat I dan Tergugat II. Keluarnya SK tersebut, Penggugat (PT. Indo Lampung) merasa dirugikan karena sebelumnya lahan tersebut dikuasai Penggugat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 25/Kpts-II/1998 tanggal 9 Januari 1998. Terhadap isi gugatan Penggugat merasa dirugikan oleh karena adanya SK Gubernur tersebut sehingga penggugat mengajukan gugatan TUN yang ternyata dalam dasar gugatan memang tidak karena alasan pelanggaran terhadap AAUPL tetapi didasari sebagaimana ketetapan menurut Pasal 1 angka 2 dan 3 serta pasal 35 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986. Dikarenakan tergugat aquo dan telah memenuhi ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 dan telah menimbulkan akibat hukum yang merugikan kepentingan Penggugat, maka gugatan Penggugat terhadap SK Tergugat a-quo telah memenuhi ketentuan pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 yang menyatakan: Seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh keputusan TUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan Batal atau tidak sah, dengan atau tanpa
Nanang Iskandar Fauzie: Analisis Pelaksanaan Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Layak di Pemerintahan Provinsi Lampung (Studi Kasus Perkara Tata Usaha Negara No.02/G/TN/2003/PTUN-BL)
disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Sehingga dari pasal 53 tersebut dasar-dasar gugatan memang tidak memuat bahwa Tergugat selaku administrasi negara dalam menjalankan wewenangnya telah mengabaikan atau tidak menerapkan prinsip negara hukum yang moderen yaitu AAUPL tetapi dinyatakan atas dasar : 1. Bahwa perbuatan administrasi negar melanggat peraturan Perundang-Undangan (onwtmatig) sebagaimana dicantumkan dalam pasal 53 ayat 2a. 2. Bahwa perbuatan administrasi negara itu dapat atau merugikan masyarakat sebagaimana tercantum pada pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986. Dari beberapa penjelasan di atas dan dikatikan dengan kenyataan hukum (rechts werklwijk), maka dapat dinyatakan bahwa AAUPL dalam negara Hukum di Indonesia baru diakui baru sebatas hukum saja tetapi belum diakui dalam bentuk hukum positif seperti Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 dan bahkan belum diakui secara kenyataan, contoh Kasus Perkara PTUN No : 02/G/TN/2003/PTUN-B.1 tanggal 10 April 2003. Berdasarkan hal di atas, maka eksistensi atau keberadaan AAUPL dalam menjamin perlindungan masyarakat terhadap kewenangan/ kekuasaan yang dimiliki administrasi negara tidak eksis sehingga kemungkinan terjadinya perbuatan
Jurnal Sains dan Inovasi 7(1) 1– 8 (2011)
6
menyalahgunakan kekuasaan (misburik van her recht) yang dilakukan pejabat akan terus bertambah dan alat pengontrol melalui Yudikatif (kontrol Yudisial) tidak dapat dihaapkan berjalan dengan baik. Dasar atau Ukuran Pemerintah Melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Berdasarkan data hukum primer atau skunder serta tersier dikemukakan bahwa ukuran yang dapat digunakan bahwa telah terjadi perbuatan birokrasi yang dapat dikategorikan perbuatan penyalahgunaan wewenang dan hanya dapat dipakai sebagai Pedoman adalah terjadinya pelanggaran peraturan Perundang-Undangan yakni bersifat Enwematig dasarnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Jo UndangUndang Nomor 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang terdapat dalam Pasal 53 ayat 1 dan 2. Dengan demikian ukuran untuk mengkategorikan telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh administrasi negara diartikan hanya berdasarkan peraturan perundangundangan saja sedangkan diketahui undang-undang adalah hanya bagian dari hukum. Hukum itu sendiri merupakan sistem nilai yang berlaku pada masyarakat, baik tertulis atau tidak tertulis maupun asas atau doktrin yang diakui keberadaanya dalam masyarakat. Berkaitan dengan apa yang dikemukakan termasuk AAUPL sehingga jelaslah bahwa telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh
Nanang Iskandar Fauzie: Analisis Pelaksanaan Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Layak di Pemerintahan Provinsi Lampung (Studi Kasus Perkara Tata Usaha Negara No.02/G/TN/2003/PTUN-BL)
birokrasi yang termasuk pelanggaran hukum dapat diukur. Sebagai gambaran, pada perinsipnya pelanggaran peraturan perundangundangan (onwematig) atau pelanggaran terhadap hukum (onrechtmatig) adalah saling melengkapi dan tidak bertentangan, karena penyelenggaraan pemerintahan diusahakan sejauh mungkin tidak hanya legal tetapi juga legitimate. Berdasarkan pengamatan atas produk kebijakan oleh Birokrasi/ Administrasi Negara banyak ditemui tidak memiliki dasar hukum atau kurang jelas dasar hukumnya dan bahkan bertentangan satu dengan lainnya. Dalam praktek sering dibenarkan dengan dalih untuk kepentingan umum atau pembangunan. Apabila alasan ini dibiarkan maka akan timbul macammacam persoalan dan dengan latar belakang tersebut administrasi Negara dapat menjadi tidak tahu dan tidak memahami batas kewenangan yang dimilikinya dan dilain pihak bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata yang dikenai putusan atau kebijakan sangat sulit dan bahkan tidak mungkin untuk mengadakan pembelaan ataupun menuntut ganti rugi atas perbuatan penyalahgunaan wewenang. Kekuatan Hukum (rechtast) atas keputusan (besiking) yang dibuat secara cacat hukum dan akibatnya. Menurut doktrin Hukum Administrasi Negara, Keputusan (besiking) haru dibuat sempurna agar melahirkan keputusan yang sah dan dapat berlaku (rechgeldid) khirnya
Jurnal Sains dan Inovasi 7(1) 1– 8 (2011)
7
memiliki kekuatan hokum (rechstrat). Keputusan yang memiliki Kekuatan Hukum harus memenuhi syarat material dan syarat formal. Syarat Material harus meliputi : 1) Alat pemerintah yang membuat keputusan harus berwenang, 2) Dalam kehendak alat pemerintahan yan membuat keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis (geengebarken), 3) Keputusan harus diberi bnetuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatanya harus memperhatikan prosedur membuat keputusan, bilamana prosedur itu ditetapkan denan tegas dalam peraturan, 4) Isi dan Tujuan Keputusan harus sesuai dengan ini dan tujuan yang hendak dicapai. Syarat Formil meliputi : 1) Syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubunung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi, 2) Harus diberi bentuk yang telah ditentukan, 3) Syarat berhubungan dengan pelaksanaan keputusan itu dipenuhi, 4) Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dbuatnya dan diumumkannya keputusan dan tidak boleh dilupakan. Alat pemerintah yang membuat keputusan harus berwenang (berhak) termasuk badan peradilan perundangundangan. Jika alat ini jelas tidak berwenang maka keputusan akan batal mutlak (van recht nieteg). Dengan demikian keputusan dianggap tidak pernah ada dan pembatalannya berlak surut sampai saat keputusan dikeluarkan.
Nanang Iskandar Fauzie: Analisis Pelaksanaan Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Layak di Pemerintahan Provinsi Lampung (Studi Kasus Perkara Tata Usaha Negara No.02/G/TN/2003/PTUN-BL)
Dalam kehendak alat pemerintahan yang membuat keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis (vilsvorming) yang terganggu (tidak normal) disebabkan oleh kesesatan (dwaling-kekeliruan karena khilaf), Bedrog (penipuan) dank arena dwang ( paksaan- contoh Seorang Camat diancam oleh A dengan senjata pistol untuk memberikan ijin kepada pemohon (penodong). Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatanya harus memperhatikan prosedur membuat keputusan, bilamana prosedur itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan. Bentuk ini ada dua macam, yakni Keputusan lisan (mondeling beshiking). Keputusan ini dikeluarkan dalam tidak membawa akibat kekal dan tidak begitu penting bagi pemerintah. Keputusan ini biasanya dikeluarkan secara tertulis (schripljkeghseerven besiching). Bentuk ini sering digunakan karena bentuk tertulis ini merupakan kebiasaan dan penting menyusun alasan (motivasi) maupun diktumnya. Isi dan Tujuan Keputusan harus sesuai dengan ini dan tujuan yang hendak dicapai (delmating bestur). Jika kewenangan tidak sesuai dengan tujuan yang seharusnya hendak dicapai hal ini disebut “detorument de pouver” (menyimpang dari tujuan, menyeleweng). Beranjak dari uraian-uraian di atas, maka penulis menggaris bawahi sesuai dengan yang telah diterima secara umum : “ suatu ketetapan yang
Jurnal Sains dan Inovasi 7(1) 1– 8 (2011)
8
sempurna dan berlaku sah pada umumnya tidak dapat dicabut kembali oleh alat Negara yang membuatnya”. DAFTAR PUSTAKA Amrah Muslimin, 1985, Beberapa Azas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni Bandung Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1977, Simposium Peradilan Tata Usaha Negara, Bina Cipta Bandung Baramuli AA, Permasalahan Hukum dalam Peradilan Administrasi Hukum dan Pembangunan Benyamin Mangkoedilaga, 1983, Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara, suatu Orientasi Pengenalan, Ghalia Indonesia, Jakarta Chaidir Ali, 1978, Yurisprudensi Indonesia Tentang Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Penguasa (Onrechtmatig Overheidessdaad), Bina Cipta Bandung Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU Nomor 9 tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 jo UU Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 jo UU Nomor 8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.