VOL. 2, NO. 2, JULI 2008
ISSN: 1978 - 3116
EKONOMI & BISNIS VOL. 2, NO. 2, JULI 2008 : 67-144
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP IKLAN, MEREK, DAN NIAT BELI KONSUMEN PADA IKLAN DENGAN FEAR APPEAL TINGGI DAN RENDAH PADA PARTISIPAN WANITA Nedi Nugrah Dominanto ANALISIS OPTIMASI FAKTOR PRODUKSI BUDIDAYA UDANG GALAH DI KECAMATAN MINGGIR, KABUPATEN SLEMAN Suparmono MODEL KEPEMIMPINAN BARU DALAM MENGELOLA DIVERSITAS ANGKATAN KERJA DALAM RANGKA MERAIH KEUNGGULAN BERSAING Siti Al Fajar PENGARUH VARIABEL FUNDAMENTAL TERHADAP HARGA SAHAM PERUSAHAAN GO PUBLIC DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI) PERIODE 2003-2006 Rowland Bismark Fernando Pasaribu KERJASAMA PERDAGANGAN REGIONAL (AFTA): KAJIAN EKONOMI TERHADAP PERDAGANGAN BARANG INDONESIA Sri Fatmawati PENGARUH KUALITAS INTI, KUALITAS HUBUNGAN, RISIKO YANG DIPERSEPSIKAN, DAN HARAPAN KONSUMEN PADA LOYALITAS PELANGGAN DAN KOMPLAIN PELANGGAN PADA SALON KECANTIKAN “X” YANG ADA DI YOGYAKARTA Yosua Pontolumiu Manoppo
JEB
VOL. 2
NO. 2
Hal 67-144
JULI 2008
ISSN: 1978 - 3116
ISSN: 1978-3116
JURNA L
Vol. 2, No. 2, Juli 2008
EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
JURNAL EKONOMI & BISNIS (JEB) EDITOR IN CHIEF Prof. Dr. Djoko Susanto, MSA., Akuntan STIE YKPN Yogyakarta EDITORIAL BOARD MEMBERS Dr. Baldric Siregar, MBA., Akuntan STIE YKPN Yogyakarta
Dr. Soeratno, M.Ec. Universitas Gadjah Mada
Dr. Dody Hapsoro, MSPA., MBA., Akuntan STIE YKPN Yogyakarta
Dr. Wisnu Prajogo, SE., MBA. STIE YKPN Yogyakarta
MANAGING EDITORS Dra. Sinta Sudarini, MS., Akuntan STIE YKPN Yogyakarta EDITORIAL SECRETARY Drs. Rudy Badrudin, M.Si. STIE YKPN Yogyakarta PUBLISHER Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STIE YKPN Yogyakarta Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telpon (0274) 486160, 486321 ext. 1100 Fax. (0274) 486155 EDITORIAL ADDRESS Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telpon (0274) 486160, 486321 ext. 1332 Fax. (0274) 486155 http://www.stieykpn.ac.id O e-mail:
[email protected] Bank Mandiri atas nama STIE YKPN Yogyakarta No. Rekening 137 – 0095042814
Jurnal Ekonomi & Bisnis (JEB) terbit sejak tahun 2007. JEB merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara (STIE YKPN) Yogyakarta. Penerbitan JEB dimaksudkan sebagai media penuangan karya ilmiah baik berupa kajian ilmiah maupun hasil penelitian di bidang ekonomi dan bisnis. Setiap naskah yang dikirimkan ke JEB akan ditelaah oleh MITRA BESTARI yang bidangnya sesuai. Daftar nama MITRA BESTARI akan dicantumkan pada nomor paling akhir dari setiap volume. Penulis akan menerima lima eksemplar cetak lepas (off print) setelah terbit. JEB diterbitkan setahun tiga kali, yaitu pada bulan Maret, Juli, dan Nopember. Harga langganan JEB Rp7.500,- ditambah biaya kirim Rp12.500,- per eksemplar. Berlangganan minimal 1 tahun (volume) atau untuk 3 kali terbitan. Kami memberikan kemudahan bagi para pembaca dalam mengarsip karya ilmiah dalam bentuk electronic file artikel-artikel yang dimuat pada JEB dengan cara mengakses artikel-artikel tersebut di website STIE YKPN Yogyakarta (http://www.stieykpn.ac.id).
ISSN: 1978-3116
JURNA L
Vol. 2, No. 2, Juli 2008
EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
DAFTAR ISI
PERBEDAAN SIKAPTERHADAP IKLAN, MEREK, DAN NIAT BELI KONSUMEN PADAIKLAN DENGAN FEAR APPEAL TINGGI DAN RENDAH PADA PARTISIPAN WANITA Nedi Nugrah Dominanto 67-75 ANALISIS OPTIMASI FAKTOR PRODUKSI BUDIDAYA UDANG GALAH DI KECAMATAN MINGGIR, KABUPATEN SLEMAN Suparmono 77-94 MODEL KEPEMIMPINAN BARU DALAM MENGELOLADIVERSITASANGKATAN KERJADALAM RANGKA MERAIH KEUNGGULAN BERSAING Siti Al Fajar 95-100 PENGARUH VARIABELFUNDAMENTALTERHADAPHARGA SAHAM PERUSAHAAN GO PUBLIC DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI) PERIODE 2003-2006 Rowland Bismark Fernando Pasaribu 101-113 KERJASAMAPERDAGANGAN REGIONAL(AFTA): KAJIAN EKONOMI TERHADAP PERDAGANGAN BARANG INDONESIA Sri Fatmawati 115-126 PENGARUH KUALITAS INTI, KUALITAS HUBUNGAN, RISIKO YANG DIPERSEPSIKAN, DAN HARAPAN KONSUMEN PADA LOYALITAS PELANGGAN DAN KOMPLAIN PELANGGAN PADA SALON KECANTIKAN “X” YANGADA DI YOGYAKARTA Yosua Pontolumiu Manoppo 127-144
ISSN: 1978-3116 PERBEDAAN SIKAP TERHADAP IKLAN, MEREK, DAN ............... (Nedi Nugrah Dominanto)
Vol. 2, No. 2, Juli 2008 Hal. 67-75
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP IKLAN, MEREK, DAN NIAT BELI KONSUMEN PADA IKLAN DENGAN FEAR APPEAL TINGGI DAN RENDAH PADA PARTISIPAN WANITA Nedi Nugrah Dominanto Mantup Baru, RT. 15 Baturetno, Banguntapan, Bantul Telepon +62 274 370695 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Advertising is one of many promotion strategy corporate can do for give information to customer about corporate product to their target market. Although advertising need a huge cost, and the result is unpredictable, but many corporate sure that advertising are able to support corporate promotion strategy to aim their target market. advertising include some element which integrated and influence advertising effectiveness. one of some elements is level of utilizing of fear appeal. This research purpose is to test existency of difference between advertising, brand, and consumer purchase intention to advertising with high fear appeal and low fear appeal influence to women participants. This research use advertising response model theory, which used by Mehta (1994). Participants criteria are female university student, who lived around seturan, sleman as a research respondents. Another criteria of respondents are female university student, aged around 18-25 years. Sum of respondents in this research are 300 female university student. however, only 200 questionnaire is send back to the researcher. Researcher used one way anova as his analytical tool to test influence of advertising with low fear appeal and high fear appeal to women attitude towards advertising, attitude toward brand, and purchase intention from female university students participants. Result of this analysis generally can be concluded that difference is exist significantly for attitude towards advertising, attitude towards brands between ads which use high
fear appeal if compared to ads which use low fear appeal. Afterwards, for existency of purchase intention difference is settled that the difference is exist between high fear appeal advertising if compared to low fear appeal advertising, although mentioned brand product only imagination. Keywords: fear appeal, attitude towards ads, attitude toward brand, purchase intention, advertising response model theory.
PENDAHULUAN Periklanan dilakukan untuk mempengaruhi perasaan, pengetahuan, makna, kepercayaan, sikap, dan citra konsumen yang berkaitan dengan produk atau merek. Seiring dengan pesatnya perkembangan dan banyaknya perusahaan yang memanfaatkan iklan sebagai sarana komunikasi, maka iklan perlu dirancang sedemikian rupa sehingga mempunyai daya tarik yang dapat berupa daya tarik perasaan dan emosi. Iklan menggunakan rasa takut (fear appeal) ini masih terdapat isu dasar bagi para pengiklan dalam menentukan berapa besar kekuatan penyajian rasa takut yang seharusnya (Shimp, 2000). Banyak penelitian mengenai daya tarik rasa takut yang dilakukan oleh para psikolog dan peneliti pemasaran, tetapi hasilnya tetap menunjukan tidak ada konsensus mengenai tingkat optimum rasa takut (Shimp, 2000). Berdasarkan latar belakang dan fenomena mengenai iklan yang
67
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 67-75
menggunakan daya tarik rasa takut, maka penelitian ini dirancang untuk menguji perbedaan sikap terhadap iklan, merek, dan niat beli konsumen pada iklan dengan menggunakan daya tarik rasa takut pada partisipan wanita. Ketertarikan penulis hanya berfokus pada konsumen wanita karena pada umumnya sebagian besar wanita lebih emosional dalam menanggapi iklan dengan daya tarik rasa takut. Komunikasi pemasaran merupakan suatu usaha untuk menyampaikan pesan kepada publik terutama target audience yang bertujuan untuk memberitahukan keberadaan suatu produk (Kotler, 2003). Menurut Kotler (2003), periklanan didefinisikan sebagai segala bentuk penyajian dan promosi ide, barang, ataupun jasa secara non-personal oleh suatu sponsor tertentu yang memerlukan pembayaran. Tujuan periklanan dapat digolongkan menurut sasarannya (Kotler, 2002), yaitu untuk memberi informasi, membujuk, dan mengingat. Pemakaian daya tarik iklan dibagi menjadi dua jenis
Penayangan Iklan
P E R H A T I A N
dibandingkan dengan wanita, kemampuan pria dalam menangkap kemampuan non verbal kurang baik. Darley dan Smith (1995) menyatakan bahwa pria lebih logical atau rasional dan lebih menyukai pesan yang subjektif. Pemirsa atau penerima iklan adalah sasaran periklanan, sesuai dengan segmen produk yang diiklankan. Pemirsa pria dan wanita memiliki karakteristik perilaku yang berbeda dalam menangkap pesan iklan. Pemirsa pria lebih bersifat selektif yaitu hanya tertarik kepada informasi yang berkaitan dengan dirinya atau bersifat single agentic. Pemirsa wanita lebih bersifat multiple agentic, yaitu lebih menerima informasi yang tidak hanya ditujukan kepada dirinya saja (Meyers-Levy, 1998). Model respon iklan (advertising response model atau ARM) adalah suatu model untuk mempelajari kinerja iklan. ARM merupakan suatu rerangka untuk mengukur kinerja sebuah iklan dengan mengintegrasikan berbagai ukuran yang digunakan untuk penelitian.
Pemahaman Proses Komunkasi Central Merek Produk
Peripheral
Sikap terhadap merek Niat Membeli
Sikap terhadap iklan
Sumber: Mehta (1994)
Gambar 1 Proses Pengolahan Informasi
yaitu daya tarik rasional dan daya tarik berdasarkan pada perasaan dan emosi (Shimp, 2000). Para pengiklan mencoba untuk memotivasi para pelanggan untuk mengolah informasi dan melakukan tindakan dengan menggunakan daya tarik rasa takut yang menyebutkan (1) konsekuensi negatif jika tidak menggunakan produk yang diiklankan atau (2) konsekuensi negatif dari perilaku yang tidak baik (Shimp, 2000). Apabila
68
ARM menggambarkan bagaimana sebuah iklan diproses. Menurut model ini, iklan yang efektif akan menimbulkan perhatian, kemudian konsumen akan memproses informasi yang meliputi central dan peipheral, selanjutnya menumbuhkan sikap positif terhadap merek yang diiklankan serta kesukaan terhadap iklan tersebut, dan akhirnya menghasilkan minat membeli. Iklan merupakan suatu dorongan dalam
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP IKLAN, MEREK, DAN ............... (Nedi Nugrah Dominanto)
membentuk atensi konsumen. Jika konsumen sudah tertangkap atensinya, maka akan muncul proses komunikasi yang menyangkut komunikasi central maupun peripheral. Menurut ARM, konsumen produk-produk yang berisiko rendah lebih tertarik pada peripheral iklan. Menurut Mehta (1994), pemrosesan peripheral ini dapat menghasilkan sikap terhadap iklan atau kesukaan terhadap iklan, yang selanjutnya akan mempengaruhi sikap terhadap merk dan niat membeli. Sedangkan definisi mengenai perhatikan, pemahaman, sikap terhadap iklan, sikap terhadap merek, dan niat membeli adalah sebagai berikut: perhatian adalah proses mengenali secara selektif sebagian atau suatu rangsangan (Assael, 1998). Pemahaman adalah proses kognitif yang melibatkan intrepretasi untuk mengetahui suatu konsep, peristiwa, objek, dan manusia dalam lingkungan (Asseal 1998). Sikap terhadap iklan adalah predisposisi merespon dalam cara yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap rangsangan iklan tertentu pada saat yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap iklan tertentu pada saat penayangan suatu iklan (Markenzie & Lutz, 1989). Sikap terhadap merek adalah predesposisi pemirsa setelah melihat iklan terhadap merek barang yang diiklankan itu. Niat membeli adalah rencana konatif konsumen untuk membeli barang atau merek tertentu (Peter & Olson 2002). Dengan demikian, niat membeli merupakan keinginan untuk membeli produk yang diiklankan setelah menerima iklan tersebut. Hipotesis dalam penelitian ini adalah: H1: Sikap konsumen wanita terhadap iklan dalam merespon iklan dengan fear appeal tinggi lebih tinggi daripada iklan dengan fear appeal rendah. H2: Sikap konsumen wanita terhadap merek dalam merespon iklan dengan fear appeal tinggi lebih tinggi daripada iklan dengan fear appeal rendah. H3: Niat membeli konsumen wanita dalam merespon iklan dengan fear appeal tinggi lebih tinggi daripada iklan dengan fear appeal rendah. MATERI DAN METODE PENELITIAN Kriteria partisipan adalah mahasiswi yang tinggal di wilayah Seturan, Sleman sebagai responden penelitian dan berusia 18-25 tahun. Jumlah partisipan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 200 partsipan mahasiswi. Penelitian ini menggunakan sampel iklan
produk dengan merek yang tidak ada di pasaran. Produk yang akan dijadikan sampel iklan adalah deodorant untuk wanita. Sampel iklan yang digunakan dalam penelitian ini adalah iklan cetak yang menggunakan satu kategori produk yang terdiri dari dua iklan, iklan pertama menonjolkan tingkat daya tarik rasa takut (fear appeal) rendah, sedangkan iklan kedua menampilkan yang menonjolkan daya tarik rasa takut tinggi. Pemberian kuesioner yang telah terlampir selembar iklan cetak tersebut dilakukan dengan between subject, yaitu subjek penelitian dibagi menjadi dua grup yang masingmasing grup diberi treatment yang berbeda. Grup pertama diberikan treatment dengan diperlihatkan iklan dengan fear appeal rendah dan grup dua diperlihatkan iklan dengan fear appeal tinggi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Definisi operasional variabel dalam ini adalah sikap terhadap iklan didefinisikan sebagai kecenderungan konsumen untuk merespon dalam cara yang menguntungkan atau tidak menguntungkan, positif, atau negatif terhadap iklan secara keseluruhan (Mackenzie & Lutz, 1989). Sikap terhadap iklan tersebut diukur dengan menggunakan seven point sematic differential dengan butir-butir pertanyaan suka-tidak suka secara keseluruhan terhadap iklan. Sikap terhadap merek didefinisikan sebagai kecenderungan seseorang untuk mengevaluasi suatu merek dalam bentuk menguntungkan atau tidak menguntungkan dan dalam bentuk baik atau buruk (Assael, 1998). Sikap pemirsa terhadap merek adalah evaluasi konsumen (suka atau tidak) secara keseluruhan terhadap iklan tersebut. Sikap terhadap merek dapat diukur dengan menggunakan dua indikator yang diukur dengan menggunakan skala seven point semantic differential. Indikator pertama adalah perasaan suka dan tidak suka terhadap keseluruhan merek. Niat membeli adalah rencana kognatif atau keinginan konsumen untuk suatu barang atau merek tertentu. Niat membeli dapat diukur dengan menanyakan tentang kemungkinan membeli produk yang diiklankan. Skala yang digunakan untuk mengukur niat membeli adalah skala seven point semantic differential dari sangat tidak setuju sekali sampai setuju sekali dengan butir pertanyaan “saya akan membeli produk deodorant”. Penelitian ini menggunakan dua sampel iklan cetak yang mempromosikan satu jenis produk. Kedua iklan tersebut memiliki intensitas daya
69
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 67-75
tarik rasa takut yang berbeda. Iklan pertama memiliki daya tarik rasa takut rendah dibandingkan dengan iklan kedua. Hal ini telah dibuktikan dengan cek manipulasi. Untuk menentukan intensitas daya tarik rasa takut dalam iklan menggunakan skala likert dengan menanyakan apakah iklan tersebut memiliki daya tarik rasa takut tinggi maupun sebaliknya. Cek manipulasi ini dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada 30 responden yang masing-masing responden diminta untuk melihat dua buah iklan deodorant yang masing-masing menggunakan iklan fear appeal tinggi dan rendah. Setelah melihat kedua iklan tersebut, kemudian konsumen diminta mengisi pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Pengujian cek manipulasi dilakukan dengan menggunakan paired sample t-test. Hasil pengujian cek manipulasi dapat dilihat pada Tabel 1.
penelitian dan data yang diperoleh memiliki konsistensi yang baik, handal, dan dapat dipercaya. Sedangkan Rules of Thumb yang dipakai adalah item to total correlation masing-masing butir harus lebih besar dari 0,50.hasil uji reliabilitas bertujuan untuk menguji instrumen-instrumen dalam penelitian. Responden berjumlah 200 mahasiswi wanita, yang terdiri dari 100 responden yang diperlihatkan iklan dengan fear appeal tinggi dan 100 responden yang diperlihatkan iklan dengan fear appeal rendah. Tabel 2 Uji Realibilitas Faktor Attitude to Advertising, Attitude to Brand, dan Purchase Intention Konstruk/Variabel Ad Attitude
Tabel 1 Hasil Pengujian Cek Manipulasi
Brand Attitude
HASIL PENELITIAN
Iklan A ( fear appeal rendah ) 2,2000 Purchase Intention
Pengujian validitas ini dilakukan untuk mengetahui derajat ketepatan pengukuran variabel atau instrumen yang digunakan dalam penelitian. Menurut Hair et al. (1998), uji validitas dapat dilakukan dengan mengacu pada konsep-konsep pengukuran yang telah digunakan oleh peneliti lain. Uji seperti ini memberikan bukti bahwa bukti-bukti pengukuran yang digunakan memenuhi kriteria validitas. Untuk menguji validitas dalam penelitian ini menggunakan validitas isi. Dengan demikian, indikator-indikator pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini telah divalidasi oleh Droge. Pengujian reliabilitas ini menggunakan Cronbach’s Alpha dan item to total correlation. Menurut Sekaran (2003), terdapat pedoman dalam pengujian koefisien Crobanch’s Alpha dan uji reliabilitas, jika koefisien Cronbach’s Alpha kurang dari 0,60 menandakan tingkat reliabilitas yang kurang baik, Cronbach’s Alpha 0,60 sampai dengan 0,80 menandakan tingkat reliabilitas yang baik. Semakin besar nilai koefisien Cronbach Alpha, maka instrumen
70
Item to Total Cronbach’s Correlation Alpha ( α ) 0,9245 0,8123 Ad 1 0,7747 Ad 2 0,7289 Ad 3 0,7237 Ad 4 0,7126 Ad 5 0,7984 Ad 6 0,6918 Ad 7 0,7255 Ad 8 Ab 1 0,6029 0,8338 Ab 2 0,6753 P/sig Ab 3 Iklan B 0,7304 ( Ab fear4 appeal tinggi 0,6463) 0,000 Pi 1 4,1333 0,7587 0,8619 Pi 2 0,7587 Item
PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan Oneway Anova untuk menguji perbedaan iklan dengan fear appeal rendah dan tinggi pada sikap terhadap iklan, merek, dan niat membeli pada partisipan mahasiswi. Kuesioner penelitian disebarkan kepada 300 responden pada mahasiswa S1 wanita yang ada di Yogyakarta. Jumlah kuesioner yang kembali berjumlah sama yaitu 279. Dengan demikian, respon rate dari penelitian ini sebesar 93%. Setelah dilakukan proses editing, kuesioner yang dapat digunakan untuk analisis sebanyak 200 eksemplar yang diikutsertakan dalam analisis untuk menyertakan jumlah responden pada dua treatment level 100 responden untuk treatment iklan dengan fear appeal tinggi dan 100 responden untuk treatment iklan dengan fear appeal rendah.
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP IKLAN, MEREK, DAN ............... (Nedi Nugrah Dominanto)
Tabel 3 Distribusi Profil Responden Berdasarkan Usia Usia (tahun) 18 – 21 22 – 25
Fear appeal Fear appeal rendah tinggi 50 50 50 50
Total
Persentase
100 100
50 % 50 %
Untuk memperkuat hasil karakteristik responden, maka peneliti menggunakan analisis Chisquare yang bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan respon responden terhadap iklan berdasarkan tingkatan usia. Berdasarkan hasil dari perhitungan statistik didapatkan asymp. sig sebesar 1.000 karena probabilitas 1.000 lebih besar dari 0.05 maka Ho diterima, artinya bahwa perbedaan respon responden tidak disebabkan karena perbedaan tingkatan usia. Namun perbedaan respon responden yang terjadi disebabkan oleh karena adanya perbedaan respon dalam menanggapi treatment iklan yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh usia pada penelitian fear appeal advertising ini dapat dikontrol. Mean Difference Variabel Penelitian Berdasarkan Usia Pengukuran sikap terhadap iklan (attitude toward ads), merek (attitude towards brand), dan niat membeli (purchase intention) berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Perbedaan Ads Attitude, Brand Attitude, dan Purchase Intention Berdasarkan Usia
Usia (tahun) 18 – 21 22 – 25 Sig
Ads Attitude 0.8675 1.0238 0.250
Brand attitude 0.9400 1.1125 0.122
Purchase Intention 0.3900 0.4450 0.737
Berdasarkam usia responden, terdapat perbedaan mean (mean difference) untuk sikap terhadap iklan (attitude towards ads), sikap terhadap merek (attitude towards brand), dan niat membeli (purchase intention), namun perbedaan tersebut tidak signifikan. Secara keseluruhan responden yang berusia 18-21 tahun memiliki perbedaan mean yang lebih rendah
dibanding respoden yang berusia 22-25 tahun. Hal ini disebabkan karena responden yang berusia antara 1821 tahun bersikap cenderung emosional dalam merespon iklan yang menggunakan daya tarik rasa takut (fear appeal advertising). Cenderung emosional karena responden umur 18-21 tahun mungkin bersikap kurang perhatian terhadap iklan menggunakan daya tarik rasa takut tersebut meskipun iklan produk tersebut sebenarnya itu penting bagi dirinya namun responden kurang merespon. Tabel 5 Distribusi Profil Responden Berdasarkan Norma Fear appeal Fear appeal rendah tinggi Konservatif 30 26 Liberal 70 74 Norma
Total
Persentase
56 144
28 % 72 %
Untuk memperkuat hasil karakteristik responden, maka peneliti menggunakan analisis Chisqure yang bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan respon responden terhadap iklan berdasarkan norma. Berdasarkan hasil dari perhitungan statistik didapatkan asymp. sig sebesar 0.529 Karena probabilitas 0,529 lebih besar daripada 0.005 maka Ho diterima, artinya bahwa perbedaan respon responden tidak disebabkan oleh karena perbedaan norma. Namun perbedaan respon responden yang terjadi disebabkan adanya perbedaan respon dalam menanggapi treatment iklan yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh norma pada penelitian fear appeal advertising ini dapat dikontrol. Mean Difference Sikap Terhadap Iklan (Attitude Toward Ads), Sikap Terhadap Merek (Attitude Toward Brand), dan Niat Membeli (Purchase Intention) Berdasarkan Norma Pengukuran sikap terhadap iklan (attitude toward ads), merek (attitude towards brand), dan niat membeli (purchase intention) berdasarkan norma dapat dilihat pada Tabel 6.
71
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 67-75
Tabel 6 Perbedaan Ads Attitude, Brand Attitude, dan Purchase Intention Berdasarkan Norma
Ads Attitude Konservatif 0.5223 Liberal 1.1102 Sig 0.000 Norma
Brand Attitude 0.7723 1.1250 0.004
Purchase Intention -0.0268 0.5903 0.001
Berdasarkam Tabel 6 nampak bahwa norma responden, terdapat perbedaan mean (mean difference) untuk sikap terhadap iklan, merek, dan niat membeli. Perbedaan tersebut signifikan karena nilai sig. lebih kecil dari 0.005. Hal tersebut mempunyai makna bahwa norma mempunyai pengaruh terhadap sikap terhadap iklan, sikap terhadap merek, dan niat membeli pada penelitian iklan yang menggunakan daya tarik rasa takut (fear appeal advertising) ini. Berdasarkan perbedaan norma secara keseluruhan responden nampak bahwa mean responden yang berfaham liberal lebih tinggi dibanding dengan mean responden yang berfaham konservatif. Hal ini membuktikan bahwa responden yang berfaham liberal lebih bisa menerima iklan yang menggunakan daya tarik rasa takut. Pengujian hipotesis dilakukan untuk menjawab hipotesis penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode oneway Anova untuk menguji H1 sampai H3, yaitu: Ha: Sikap konsumen wanita terhadap iklan dalam merespon iklan dengan fear appeal tinggi lebih tinggi daripada iklan dengan fear appeal rendah. Pengujian hipotesis 1 diawali dengan pegujian asumsi kesamaan varians kedua kelompok sampel. Hasil Lavene’s test adalah 4.911 karena probabilitas jauh di atas 0,05, Ho ditolak. Ho ditolak dikarenakan test homogeneity of variances menunujukan sig 0,028 dan hal tersebut di bawah 0,05 Diasumsikan bahwa varians populasi adalah berbeda. Berdasarkan hasil uji oneway Anova secara keseluruhan mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan dari variabel sikap terhadap iklan (Mean fear appeal rendah = 0.7013; Mean fear appeal tinggi = 1.1900; Foutput = 13.811; nilai probabilitas = 0.000). Karena probabilitas 0.000 lebih kecil daripada 0.005 maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya sikap konsumen wanita terhadap iklan dalam merespon iklan fear appeal tinggi lebih tinggi daripada iklan dengan
72
fear appeal rendah. Hal ini membuktikan bahwa pada umumnya sebagian besar wanita lebih tertarik pada halhal yang menunjukan menakut-nakuti. Ha: Sikap konsumen wanita terhadap merek dalam merespon iklan dengan fear appeal tinggi lebih tinggi daripada iklan dengan fear appeal rendah. Pengujian hipotesis 2 diawali dengan pegujian asumsi kesamaan varians kedua kelompok sampel. Hasil Lavene’s test adalah 1.297 karena probabilitas jauh di atas 0,05, maka Ho diterima. Diasumsikan bahwa varians populasi adalah sama. Berdasarkan hasil uji oneway Anova secara keseluruhan mengidikasikan bahwa terdapat perbedaan dari variabel sikap terhadap merek (Mean fear appeal rendah = 0.8525; Mean fear appeal tinggi = 1.2000 ; Foutput = 10.152; nilai probabilitas = 0.002). Karena probabilitas 0.002 lebih kecil daripada 0.005 maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya sikap konsumen wanita terhadap merek dalam merespon iklan fear appeal tinggi lebih tinggi daripada iklan dengan fear appeal rendah. Hal ini membuktikan bahwa pada umumnya sebagian besar wanita lebih tertarik pada hal-hal yang menunjukan menakut-nakuti. Ha: Niat membeli konsumen wanita dalam merespon iklan dengan appeal tinggi lebih tinggi daripada iklan dengan fear appeal rendah. Pengujian hipotesis 3 diawali dengan pegujian asumsi kesamaan varians kedua kelompok sampel. Hasil Lavene’s test adalah 1.419 karena probabilitas jauh di atas 0,05, maka Ho diterima. Diasumsikan bahwa varians populasi adalah sama. Berdasarkan hasil uji oneway Anova secara keseluruhan mengidikasikan bahwa terdapat perbedaan dari variabel sikap terhadap merek (Mean fear appeal rendah = 0.1650; Mean fear appeal tinggi = 0.6700 ; Foutput = 9.974; nilai probabilitas = 0.002). Karena probabilitas 0.002 lebih kecil daripada 0.005 maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya sikap konsumen wanita terhadap merek dalam merespon iklan fear appeal tinggi lebih tinggi daripada iklan dengan fear appeal rendah. Hal ini dimungkinkan meskipun merek yang digunakan dalam penelitian ini merupakan merek rekaan namun bentuk desain produk merek tersebut, format iklan dan tawaran keuntungan dari penggunaan produk merek ini dirasa sangat baik bagi para responden sehingga responden berniat ingin membeli apabila produk merek tersebut benar-benar ada. Meskipun iklan ini tidak mencantumkan informasi yang jelas, misalnya harga namun hal itu tidak
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP IKLAN, MEREK, DAN ............... (Nedi Nugrah Dominanto)
mempengaruhi responden untuk tidak membutuhkan produk merek tersebut. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini dimaksudkan untuk menguji apakah ada perbedaan sikap terhadap iklan, merek, dan niat membeli konsumen dalam merespon iklan yang menggunakan fear appeal. Berdasarkan hasil analisis data pada bagian sebelumnya, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan untuk sikap terhadap iklan dan merek antara iklan yang menggunakan daya tarik rasa takut tinggi dibanding dengan iklan yang menggunakan daya tarik rasa takut rendah. Kemudian untuk perbedaan niat membeli tetap ada perbedaan antara iklan yang menggunakan daya tarik rasa takut tinggi dibanding dengan iklan yang menggunakan daya tarik rasa takut rendah meskipun produk merek tersebut hanya rekaan. Saran Secara keseluruhan hasil penelitian ini membuktikan bahwa iklan yang menggunakan daya tarik rasa takut memiliki respon yang lebih positif. Penelitian ini menghasilkan sikap konsumen terhadap iklan, sikap konsumen terhadap merek yang positif, dan hal itu berpengaruh positif terhadap untuk niat membeli meskipun iklan memiliki intensitas rasa takut yang berbeda. Berdasarkan simpulan penelitian ini, pembuat iklan tidak perlu takut dalam mengambil pertimbangan saat mereka berencana menggunakan iklan yang bertema daya tarik rasa takut untuk konsumen Indonesia, meskipun diketahui bahwa masyarakat Indonesia masih banyak yang berfaham konservatif dalam menghadapi iklan yang menggunakan daya tarik rasa takut. Meskipun penggunaan tema daya tarik rasa takut sudah dapat meningkatkan pengaruh persuasif, namun dapat menimbulkan perasaan negatif seperti rasa takut, rasa malu, atau perasaan tidak senang. Oleh karena itu, sebaiknya iklan yang menggunakan daya tarik rasa takut harus tetap disesuaikan dengan produk yang akan diiklankan.
DAFTAR PUSTAKA Aaker, D.A., and Day, G.S.(2001). Marketing Research. 7th ed. New York: John Wiley & Sons Inc. Albari dan Liriswati, A (2004),”Analisi Minat Beli Konsumen Sabun Cair Lux, Biore dan Lifebuoy Di Kotamadya Yogyakarta Ditinjau dari Pengaruh Sikapnya Setelah Melihat Iklan Di Televisi dan Norma Subjektif.” Jurnal Siasat Bisnis, II, No 9, Desember, h.215 – 239. Amir, M.T. (2004), Manajemen Ritel: Panduan Lengkap Pengelola Toko Modern, ed 1 Jakarta: Penerbit PPM. Anzwar, Saifuddin (2001), Reliabilitas dan Validitas, ed. 3, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Boedijoewono, N (2001), Pengatar Statistik Ekonomi dan Perusahaan, ed 2 Yogyakarta: Penerbit Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN. Assel, H. (1998). Consumer Behaviour and Marketing Action. 6 th ed. Cincinnati, OH: SouthWestren College Publishing. Cooper, Donald R, and Pamela S. Schindler (2003). Business Research Methods. 8th ed. New York. Mc Graw-Hill company. Christensen, L.B. (1988). Experimental Methodology, 4th ed. Sydney. Allyn & Bacon, Inc. Daneshvary, Rennae, and R. Keith Schwer. (2000). “The Association Endorsement and Consumer’s Intention to Purchase,”Journal of Consumer Marketing, Vol 17, No.3, pp. 203-213. Darley, William K. and Robert E. Smith (1995).”Gender Differences in Information Processing Strategies: An Empiricial Test of The Selectivity Model in Advertising Strategies: An Empirical Test of The Selectivity Model in Advertising Response,”Journal of Advertising, Spring, Vol 24,pp.43-56.
73
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 67-75
Droge, C. (1989). “Shaping the Route to Attitude Change: Central Versus Peripheral Procesing Through Comparative Versus Noncomparative Advertising.”. Journal of Marketing Research, Vol 26, pp.193-204.
MacKenzie, Scott B and Ricard J.Lutz (1989), “An Empirical Examination of the Structural Antecedents of Attitude Toward Ads in an Advertising Pretesting Context,” Journal of Marketing Research, 23 May, pp. 130-143.
Ferrel, O.C. and Larry Gresham (1985), “A Contengency Framework for Understanding Ethical Decision Making in Marketing,” Journal of Marketing, 49 (Summer), 87 – 96.
Mehta, Abhilasha (1994). “How Advertising Respon Modeling (ARM) can Increase Ads Effectiveness,” Journal of Marketing Research, May/ June, pp. 62-74.
Fraderich, John and O.C Ferrel (1992), “Cognitive Consistency of Marketing Managers in Ethical Decision Naking in Marketing,” Journal of The Academy Marketing Scienc, 20 (Summer) 245 – 252.
————(2000). “Advertising Attitudes and Advertising Effectiveness”. Jounal of Advertising Research, May/June, pp.400-409.
Ghozali, Imam. (1997 ). Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, Edisi Ketiga, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hastings, G., et al (2004 ),”Fear Appeals in Social Marketing: Strategic and Ethical Reasons for Concern,”Published Online in Willey InterScience (www.interscience.willey.com), Vol 21, No 11, pp. 961 – 986. Hair, J.F., R.E. Anderson, R.L Tatham, W.C. Black. (1998). Multivariate Data Analysis,5 th ed., Upper Saddle River, NJ : Prentice-hall International, Inc. Hague, P dan Jackson, P (1992). Marketing Research in Practice, 1st ed. London: Kogan Page Limited. Kotler, P and Armstrong, G. (1996). Principles of Marketing, 7th ed. Prentice Hall. Inc. Kotler, Philip. (2002). Manajemen pemasaran, Edisi Milenium, Jakarta: Prehilindo. Kotler, P. (2003). Marketing Management, 11th ed. Person Educational International. Kussujaniatun, S. (2001),” Analisis Minat Konsumen Briket Batubara: Suatu Studi Empiris,” STIE Widya Wiwaha Kajian Bisnis, No 24, September – Desember, h.107 – 123.
74
Meyers, Levy Joan (1988). “The Influence of Sex Roles on Judgement”. Journal of Consumer Research, 14 (March),pp. 86-97. Nurbyati, T. (1998 ), “ Relationship Marketing Sebagai Suatu Strategi Untuk Meningkatkan Keuntungan Jangka Panjang,” Kajian Bisnis, No 14, Mei – September, h.131 – 137. Peter, J.Paul, and Olson jerry C. (2002), Consumer Behaviour and Marketing Strategy, 6th ed, Boston, Ricard D Irwin,Inc. Reidenbach, R.E and D.P. Robin (1990), “Toward the Development of a Multidimensional Scale for Improving Evaluations of Business Ethics, “Journal of Business Ethics, 9 (August), 639 – 653. Santoso, Singgih (2001). SPSS Versi 10 Mengolah Data Stastitik Secara Profesional, Edisi Pertama, Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Schiffman., et al (2000) Consumer Behaviour, 7th ed, New Jersey, Prentice Hall International Inc. Sekaran, Uma (2003).Research Method for Business: A Skill Building Approach, 4th ed, New York, John Wiley and Sons Inc. Shimp, Terence A. (2000), Advertising Promotion And Supplemental Aspect of Integrated Marketing Communications, 5th ed, University of South Carolina, Harcourt College Publisher.
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP IKLAN, MEREK, DAN ............... (Nedi Nugrah Dominanto)
Inc.,1984. Snipes, R.L., et al (1999), “A Model Of The Effects Of Self-Efficacy On The Percieved Ethicality and Performance Of Fear Appeals in Advertising,” Journal of Business Ethics, Vol 19, No 3, pp. 273 – 285. Sudaryana, A. (2001), “Motivasi, Variabel, dan Prediktor Arah Perilaku Konsumen,” STIE Widya Wiwaha Kajian Bisnis, No 24, September – Desember, h.1 – 10. Sudjana (1996). Metoda Statistika, ed 6 Bandung: Penerbit Tarsito Sugiyono (2004). Metode Penelitian Bisnis, ed 6 Bandung: Penerbit Alfabeta, CV.
Yudistiro, Yusuf (2006), “Analisis Perbedaan Pengaruh Daya Tarik (Atrractiveness) Dan Keahlian (Expertise) Bintang Iklan Pada Sikap Terhadap Iklan, Merek Dan Niat Membeli Pria Dan Wanita, Tesis Program Magister Manajemen STIE YKPN, (Tidak Dipublikasikan). Zuraida, L dan Chasanah, U. (2001), “Consumer Decision Model Pendekatan Alternatif Analisis Efektifitas Iklan: Studi Empiris Iklan Di Televisi Tentang Sabun Deterjen Bubuk,” STIE Widya Wiwaha Kajian Bisnis, No 24, September – Desember, h.125 – 145.
Sutisna, (2001) Perilaku Konsumen dan Komunikasi Pemasaran, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Sutojo, S dan Kleinsteuber, F (2002) Stategi Manajemen Pemasaran, Jakarta: Penerbit Damar Mulia Pustaka. Swastha Dh, B. (1979), Azaz –Azas Marketing, ed 2 Yogyakarta: Penerbit Akademi Keuangan dan Bisnis (AKB). Swastha Dh, B (1997), Butir–Butir Materi Segi–Segi Penulisan Karya Ilmiah, ed 3 Yogyakarta: Penerbit Magister Manajemen Universitas Gajah Mada. Tunjungsari, Ratih (2005), “Analisis Perbedaan Mood, Recall, dan Brand Attitude Konsumen Antara Iklan Yang Menggunakan Musik Dan Iklan Yang Tidak Menggunakan Musik”, Tesis Program Magister Manajemen STIE YKPN, (Tidak Dipublikasikan). Umar, H. (1999). Metodologi Penelitian Aplikasi Dalam Pamasaran, ed 2. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. William J. Staton., Marketing Principle : McGraw-Hill,
75
.
ISSN: 1978-3116 ANALISIS OPTIMASI FAKTOR PRODUKSI BUDIDAYA UDANG ............... (Suparmono)
Vol. 2, No. 2, Juli 2008 Hal. 77-94
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
ANALISIS OPTIMASI FAKTOR PRODUKSI BUDIDAYA UDANG GALAH DI KECAMATAN MINGGIR, KABUPATEN SLEMAN Suparmono Jalan Dr. Rajimin, Sucen, Triharjo, Sleman, Yogyakarta 55511 Telepon +62274868043, Fax. +62274868043 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT
PENDAHULUAN
The objectives of this research are to identify the production factors that have an effect to product and to know the optimum level of production factors that are used in the business of Giant Freshwater Prawn culture in sub district of Minggir in Sleman Regency. This research is based on data of harvesting in once season plant in the early year 2006. This research used the descriptive method, while the location choice conducted with purposive sampling. The amount of sample used is 30 units of prawn business are selected by simple random sampling model. The relation among production factors and production yield is analyzed by using The Cobb Douglass production function type. Result of this research indicated that production factors which have significant effects are tokolan (prawn seeds with 10-15 gram in weight each), the urea and TSP fertilizer, lime, pellet (prawn feed) and seasonal labor. The pond width is not has a significant effect on 90% level of confidence. Prawn tokolan, TSP fertilizer, pellet, and seasonal labor have the positive elasticity while urea fertilizer and lime have the negative elasticity. The production factors of tokolan, TSP fertilizer, and pellet have not used in optimum level but urea fertilizer and lime used exceeding of optimum level and the seasonal labor have been used at optimum level.
Revitalisasi perikanan sebagai suatu gerakan nasional yang telah dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 11 Juni 2005, merupakan komitmen bersama Pemerintah dan menjadi program prioritas pembangunan perikanan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005:1). Alasan utama mengapa revitalisasi perikanan perlu dibangun adalah (1) Indonesia memiliki sumberdaya perikanan yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas, (2) Indonesia memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) yang tinggi di sektor perikanan dan berpeluang untuk ditingkatkan menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantage), (3) industri di sektor perikanan memiliki keterkaitan (backward and forward linkage) yang kuat dengan industri-industri lainnya, (4) investasi di sektor perikanan memiliki efisiensi yang relatif tinggi dan memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi pula, dan (5) pada umumnya industri perikanan berbasis sumberdaya lokal (resources based industries). Pelaksanaan program revitalisasi perikanan ini merupakan wujud dukungan politik, ekonomi, dan sosial untuk menjadikan sektor perikanan sebagai salah satu prime mover pembangunan ekonomi nasional serta merupakan upaya untuk memacu pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan yang berwawasan lingkungan guna peningkatan kesejahteraan rakyat serta memacu meningkatnya sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Sasaran program revitalisasi perikanan
Keywords: production factors, The Cobb Douglass production function type, optimum level, giant freshwater prawn culture.
77
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 77-94
difokuskan pada pengembangan tiga komoditas ekonomis penting yakni udang, tuna, dan rumput laut. Udang dijadikan komoditas unggulan untuk program revitalisasi karena potensi sumber daya komoditas tersebut cukup besar, nilai jualnya tinggi, dan peluang pasarnya masih terbuka. Udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) atau dikenal juga sebagai Giant Freshwater Prawn merupakan komoditas unggulan perikanan yang banyak dibudidayakan. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi DIY (2005:I-1) mengidentifikasi bahwa budidaya udang galah di kolam air tawar, sampai dengan tahun 2003 tercatat seluas 500 ha yang semuanya terdapat di Jawa dan Bali. Sedangkan di Jawa, budidaya udang galah tersebar di Tasikmalaya, Sukabumi, Purbalingga, Yogyakarta, Lumajang, Sidoarjo, Jepara, dan Pasuruan. Sentra budidaya udang galah di Yogyakarta terdapat di Kabupaten Sleman. Budidaya udang galah di Kabupaten Sleman cenderung meningkat, terbukti dengan semakin luasnya kolam budidaya udang galah dari tahun ke tahun dan pada tahun 2005 telah mencapai luas 35 ha dengan produksi mencapai 130 ton tiap tahun. Cepatnya perkembangan usaha budidaya udang galah di Kabupaten Sleman disebabkan oleh jenis tanah dan kualitas air yang mendukung usaha budidaya tersebut serta adanya tingkat keuntungan yang cukup tinggi. Sentra pengembangan budidaya udang galah di Kabupaten Sleman terdapat di Kecamatan Minggir, yang pada tahun 2005 tercatat seluas 22,045 ha, sebagian besar berada di Desa Sendangrejo (21,465 ha) dan Desa Sendangsari (0,58 ha). Seluruh luasan tersebut diusahakan oleh 42 pembudidaya yang terdiri dari 35 pembudidaya perorangan, 5 pembudidaya kelompok, 1 yayasan, dan 1 jama’ah masjid dengan luasan bervariasi antara 300 m2 sampai dengan 25.000 m2 (Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi DIY, 2005:II2). Usaha budidaya udang galah di Kecamatan Minggir pada umumnya dilakukan dengan sistem monokultur (Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi DIY, 2005:III5). Sistem budidaya monokultur ini merupakan sistem yang paling banyak dilakukan karena mempunyai keunggulan relatif yakni lebih mudah dikontrol dan ditangani. Produktivitas usaha budidaya udang galah dipengaruhi oleh faktor sumberdaya alam, tenaga kerja, modal, dan teknologi sebagai faktor produksi. Dengan demikian, pengembangan budidaya udang galah
78
mempunyai dua dimensi yaitu dimensi teknologi dan dimensi yang menyangkut masalah ekonomi. Dimensi yang berkaitan dengan persoalan teknologi adalah bagaimana teknik produksi yang dilakukan sehingga dicapai hasil yang maksimal. Sedangkan dimensi yang erat kaitannya dengan persoalan ekonomi adalah bagaimana bentuk usaha yang dipilih sehingga dapat menguntungkan atau dapat meningkatkan pendapatan pembudidaya. Dalam rangka meningkatkan pendapatan pembudidaya udang galah maka kedua dimensi masalah budidaya tersebut harus ditangani secara serentak. Hubungan antara faktor-faktor produksi tersebut berpengaruh pula terhadap produksi. Oleh karena keterbatasan modal pembudidaya melakukan pemilihan terhadap faktor produksi yang digunakan. Luas lahan yang digunakan, jumlah benih yang ditebar, jumlah pupuk, jumlah pakan, dan tenaga kerja yang digunakan tergantung pada kemampuan pembudidaya dalam menyediakan modal. Dengan modal yang terbatas pembudidaya akan memilih kombinasi faktor produksi yang diharapkan akan dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi. Menurut Bank Indonesia (2003:15), sampai saat ini belum dilakukan studi untuk skala usaha optimum bagi budidaya udang galah. Akibatnya pembudidayaan yang dilakukan sifatnya hanya disesuaikan dengan luas lahan. Bagi pembudidaya yang memiliki beberapa kolam, besarnya keuntungan yang diperoleh tergantung pula pada manajemen pengelolaan kolam yang dimiliki. Mengingat usaha ini merupakan sektor kegiatan ekonomi maka dasar pengembangannyapun harus dilandaskan pada pendekatan ekonomi juga. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan ekonomi produksi sebagai sarana untuk mengkaji masalah-masalah yang diteliti dan kemungkinan memberikan rekomendasi penggunakan faktor produksi pada tingkat yang optimum sehingga pembudidaya dapat memperoleh keuntungan maksimal dan produksi udang galah di daerah penelitian dapat ditingkatkan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor produksi apa saja yang berpengaruh terhadap produksi usaha budidaya udang galah dan berapa tingkat penggunaan faktor produksi yang optimum pada usaha budidaya udang galah. Chong & Lizarondo (1981), dengan menggunakan model pendekatan fungsi produksi CobbDouglass, menyatakan bahwa faktor-faktor yang
ANALISIS OPTIMASI FAKTOR PRODUKSI BUDIDAYA UDANG ............... (Suparmono)
mempengaruhi produksi tambak ialah umur tambak, nener bandeng, glondongan bandeng, aklimatisasi nener, tenaga kerja, biaya operasi, lama pemeliharaan, pestisida, pupuk organik, pupuk anorganik, dan luas lahan. Berdasarkan semua faktor tersebut yang mempunyai pengaruh nyata adalah umur tambak, nener bandeng, glondongan bandeng, pupuk organik, pupuk anorganik, tenaga kerja, dan luas lahan sedangkan faktor lainnya tidak mempunyai pengaruh nyata sampai tingkat kepercayaan 90%. Hamzah (1984) menyimpulkan hasil penelitiannya di Kabupaten Pati bahwa faktor produksi yang mempengaruhi budidaya campuran bandeng dan udang windu adalah nener bandeng, benur udang windu, pupuk organik, pupuk anorganik, pakan tambahan, obat-obatan, dan tenaga kerja. Untuk pakan tambahan dan tenaga kerja tidak mempunyai pengaruh nyata terhadap produksi pada taraf kepercayaan 95%. Model persamaan yang digunakan juga semacam fungsi produksi Cobb-Douglass. Penelitian dengan menggunakan fungsi produksi yang sama dilakukan oleh Mashuri (1985), yang meneliti tentang faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap tingkat produksi tambak, tingkat penggunaan faktor produksi, kombinasi faktor-faktor produksi, dan kombinasi produksi antara ikan bandeng dan udang yang optimum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor produksi yang berpengaruh nyata adalah luas lahan, kondisi tambak, nener bandeng, dan pupuk urea. Penggunaan benur udang, pupuk TSP, pakan tambahan ikan, pakan tambahan singkong, dan tenaga kerja luar keluarga telah mencapai optimum. Kombinasi faktor produksi yang optimum hanya pada kombinasi pupuk TSP dan pakan tambahan singkong. Kombinasi produksi ikan bandeng dan udang windu belum mencapai optimum. Nurung et al (2003:116-122) dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglass meneliti tentang analisis produksi, pendapatan, dan pemasaran ikan asin di Desa Kandang Kecamatan Selebar Kota Bengkulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor modal berpengaruh nyata terhadap produksi ikan asin pada tingkat kepercayaan 99% sedang faktor-faktor produksi seperti lama penggaraman dan lama penjemuran tidak berpengaruh nyata sampai dengan taraf kepercayaan 90%. Apabila dibandingkan dengan penelitian-penelitian tersebut, penelitian ini mempunyai kesamaan dalam hal penggunaan analisis fungsi produksinya. Namun
demikian, penelitian ini mempunyai perbedaan yang spesifik dari segi komoditas yang diteliti, lokasi penelitian, dan waktu pelaksanaan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor produksi luas kolam, tokolan udang, Urea, TSP, kapur, pakan, dan tenaga kerja musiman yang berpengaruh terhadap produksi usaha budidaya udang galah. Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan kajian tentang tingkat penerapan teknologi terutama penggunaan faktor-faktor produksi secara ekonomis sehingga dapat dicari alternatif usaha peningkatan produksi dan pendapatan pembudidaya udang galah; sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Sleman dalam rangka merumuskan kebijakan yang tepat dalam pengembangan usaha budidaya udang galah, khususnya di wilayah Kecamatan Minggir sebagai kawasan pengembangan budidaya udang galah. Usaha tani secara umum, termasuk di dalamnya usaha budidaya udang galah adalah setiap organisasi dari alam, modal, dan tenaga kerja yang ditujukan kepada produksi di lapangan usaha perikanan. Dengan demikian, usaha tani pada dasarnya memperhatikan cara-cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, modal, dan pengolahan) yang terbatas untuk mencapai tujuan (Soekartawi, 2002:13-33). Usaha budidaya udang galah pada prinsipnya adalah teknologi pemeliharaan udang galah di kolam dengan pengendalian lingkungan agar menjadi habitat yang baik dan sesuai bagi pertumbuhan udang galah, sehingga pembudidaya dapat memperoleh hasilnya secara maksimal (Hadie & Emawati, 1992: 5-7). Secara umum, terdapat beberapa teknologi budidaya udang galah yaitu tradisional, semi intensif, dan intensif. Menurut Bank Indonesia (2003: 4), di Kabupaten Sleman sampai saat ini baru dikembangkan pembudidayaan dengan dua teknologi yaitu teknologi tradisional dan semi intensif, dan sebagian besar pembudidaya menggunakan teknologi semi intensif. Sebagai akibat keterbatasan modal yang dimiliki, maka sebagian pembudidaya udang galah menjalankan usaha skala mikro dan menggunakan lahan tidak produktif yang disewa dari tanah kas desa ataupun tanah pelungguh. Usaha pembudidayaan udang galah terdiri atas beberapa tahapan teknologi budidaya, yaitu teknologi pembenihan, pendederan, dan pembesaran. Untuk mendukung budidaya pada berbagai tahapan
79
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 77-94
diperlukan teknologi lain, misalnya teknologi pakan dan nutrisi, pengendalian hama penyakit, pengelolaan kualitas air, teknologi panen dan pasca panen, serta pemasaran (Murtidjo, 1993: 50-63). Kedalaman kolam udang galah menentukan produksi udang galah, di mana kedalaman kolam optimal antara 80 – 100 cm dengan luas kolam antara 500 – 1.000 m2 (Sutomo et al, 2006:6). Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan DIY (2005: III8), kolam budidaya udang galah yang ideal adalah bentuk empat persegi panjang. Ukuran kolam ideal adalah berkisar antara 0,25 – 1,0 ha dengan kedalaman rata-rata 90 cm (75-120 cm). Menurut Bank Indonesia (2003: 8), ukuran kolam yang ideal adalah lebar maksimum 20 m dan panjang 50 m atau luas maksimal 1.000 m2, hal ini terkait dengan kemudahan dalam pemberian pakan dan kemudahan saat pemanenan. Tokolan udang merupakan faktor produksi yang penting dan sangat mempengaruhi hasil produksi. Jumlah tokolan yang disediakan perlu mempertimbangkan tingkat kematian (mortalitas) selama adaptasi dan pemeliharaan. Angka survival rate dari tokolan sampai udang konsumsi mencapai 50% 75% (Bank Indonesia, 2003: 10). Menurut Murtidjo, (1993: 60) kepadatan tokolan udang galah 5 ekor/m2, sedangkan menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi DIY (2005: III-9) dinyatakan bahwa kepadatan optimal pembesaran udang galah adalah 10 ekor/ m2. Rekomendasi teknis yang lain disampaikan oleh Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar (2000) bahwa padat tebar tokolan udang untuk teknologi maju dapat mencapai 110.000 – 200.000 ekor/hektar/musim tanam. Pengolahan tanah dasar kolam meliputi pengeringan, pengapuran, dan pemupukan untuk meningkatkan kesuburan kolam. Dinas Perikanan dan Keluatan Propinsi DIY (2005: III9) merekomendasikan bahwa pengapuran dilakukan dengan dosis 750 kilogram/hektar, dan jenis pupuk yang digunakan adalah urea dan TSP dengan dosis masing-masing 250 kilogram/hektar. Sedangkan Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar (2000) menganjurkan dosis penggunaan kapur, urea dan TSP masing-masing 200 kilogram, 60 kilogram, dan 36 kilogram/hektar. Budidaya udang galah saat ini sangat tergantung pada pakan buatan (pelet) yang mempunyai kandungan protein 30%. Rasio pemberian pakan (FCR = food conversion ratio) pada pemeliharaan udang galah berkisar antara 1:2 sampai
80
1:3 (Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi DIY, 2005: III-10). Faktor produksi tenaga kerja merupakan faktor produksi yang penting dan perlu diperhitungkan dalam proses produksi dalam jumlah yang cukup bukan saja dilihat dari tersedianya tenaga kerja tetapi juga kualitas dan macam tenaga kerja perlu pula diperhatikan (Soekartawi et al, 1986). Macam tenaga kerja yang ada dalam usaha budidaya udang galah meliputi tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, serta tenaga kerja keluarga. Tenaga kerja musiman umumnya digunakan pada saat kegiatan persiapan kolam dan pemanenan hasil produksi. Teori produksi merupakan teori yang mempelajari bagaimana cara mengkombinasikan berbagai penggunaan input pada tingkat teknologi tertentu untuk menghasilkan sejumlah output tertentu. Sasaran teori produksi adalah untuk menentukan tingkat produksi yang optimum dengan sumberdaya yang ada (Budiono, 2002). Produksi merupakan suatu proses yang menghasilkan barang atau jasa dengan cara mengkombinasikan berbagai faktor produksi. Masalah ini menyangkut pemilihan alokasi sumberdaya seperti berapa banyaknya, bagaimana mengalokasikannya, dan bagaimana agar sumberdaya itu tetap menghasilkan produksi. Mubyarto (1986: 91) menyatakan bahwa produksi pertanian adalah hasil yang diperoleh sebagai akibat bekerjanya beberapa faktor produksi sekaligus yaitu modal, tenaga kerja dan tanah. Soekartawi et al (1986) menggolongkan faktorfaktor yang mempengaruhi produksi menjadi dua kelompok besar, yaitu (1) faktor biologis seperti lahan dengan berbagai kesuburannya, bibit, pupuk, obatobatan, dan sebagainya dan (2) faktor sosial ekonomi seperti biaya produksi, harga, tenaga kerja, tingkat pendidikan, pengelolaan, dan sebagainya. Berdasarkan faktor-faktor produksi tersebut di atas maka faktor pengelolaan mempunyai peranan yang cukup penting sehubungan dengan keberhasilan usaha yang dilakukan. Pengelolaan tersebut mencakup pengambilan keputusan atau penetapan pilihan dari alternatif-alternatif yang ada. Boediono (2002) mengemukakan bahwa dalam menentukan dan mengorganisasikan faktor-faktor produksi yang beraneka ragam maka perlu dilakukan seselektif mungkin sehingga diperoleh hasil yang lebih baik. Fungsi produksi menurut Soekartawi (2003: 17)
ANALISIS OPTIMASI FAKTOR PRODUKSI BUDIDAYA UDANG ............... (Suparmono)
adalah hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dengan variabel yang menjelaskan (X). Variabel yang dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang menjelaskan berupa input. Hal yang sama dinyatakan oleh Smith (1981: 253-267) bahwa hubungan antara masukan dan keluaran biasanya mengacu pada fungsi produksi dan sebagian besar ekonomi produksi berkenaan dengan metode untuk menentukan hubungan masukan-masukan fisik ini, ditambah dengan unsur ekonomi, dan mengintepretasikan perilaku produsen berdasarkan hasil tersebut. Dengan demikian, fungsi produksi merupakan hubungan fisik antara masukan dan produksi. Masukan seperti tanah, benih, tenaga kerja, teknologi, dan sebagainya mempengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Selain itu alokasi sumberdaya yang dilakukan petani sangat menentukan berapa besar produksi yang akan diperoleh. Dengan demikian, petani dapat mempengaruhi produksi melalui keputusan berapa jumlah sumberdaya yang akan digunakan, seperti berapa luas tanah yang dipakai, berapa banyaknya bibit, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja, dan lainnya. Hubungan kuantitif antara masukan dan produksi dikenal dengan fungsi produksi, sedangkan analisis dan pendugaan hubungan itu disebut analisis fungsi produksi. Dalam praktik, hasil analisis fungsi produksi sering dipakai untuk melihat dan mengevaluasi pengaruh bantuan pemerintah dalam meningkatkan produksi pertanian (Soekartawi et al, 1986). Hubungan antara faktor produksi yang digunakan dengan tingkat produksi yang dihasilkan, secara matematis dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi produksi sebagai berikut: Y = f (X1, X2, X3, ..., Xn)
faktor produksi diestimasi dengan menggunakan fungsi produksi tipe Cobb-Douglass. Fungsi produksi tipe Cobb-Douglass tidak terlalu sulit digunakan dalam penelitian sebab variabel-variabel yang terdapat di dalamnya dapat dinyatakan dalam bentuk logaritma dan merupakan fungsi persamaan linear additif (Soekartawi, 2003: 165-166). Fungsi produksi tipe Cobb-Douglass yang berupa garis lurus (linear) dalam bentuk logaritma, mempunyai beberapa keunggulan yang menjadikannya menarik Smith (1981: 253-267). Keunggulan tersebut antara lain adalah : 1. elastisitas produksi, yang mengukur tanggapan keluaran pada satuan masukan yang bertambah, adalah identik dengan koefisien produksi (bi) sehingga perubahan dalam persentase penggunaan masukan dapat dengan mudah ditentukan. 2. jumlah dari koefisien produksi dapat diartikan sebagai tolok ukur bagi ekonomi skala usaha. Secara matematis fungsi produksi tipe Cobb-Douglass dapat ditulis sebagai berikut (Soekartawi, 2003: 154): Y = A X1b1 X2b2 X3b3 . . . Xnbn
(persamaan 2)
Dalam mengestimasi parameter fungsi produksi pada persamaan tersebut digunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam menggunakan metode OLS adalah penduga metode kuadrat terkecil (1) linear, (2) tidak bias, (3) mempunyai ragam yang minimum pada semua bentuk linear, dan (4) masih mempunyai nilai sisa. Untuk itu model fungsi produksi tersebut ditransformasikan dalam bentuk linear logaritma sehingga persamaan 2 tersebut berubah menjadi:
(persamaan 1)
keterangan : Y = hasil produksi atau variabel yang dipengaruhi oleh faktor produksi X = faktor produksi atau variabel yang mempengaruhi hasil produksi Menurut Soekartawi (2002), fungsi produksi menggambarkan kualitas maksimum output yang dapat diproduksi sebagai sebuah fungsi dari kuantitas input yaitu modal dan tenaga kerja yang dipakai dalam proses produksi. Dalam penelitian ini tingkat penggunaan
Ln Y = Ln A + b1 Ln X1 + ... + bn Ln Xn (persamaan 3) keterangan : Y = Jumlah produksi X1...Xn = Tingkat penggunaan faktor produksi b1...bn = Parameter X1...Xn (koefisien poduksi) A = Konstanta (intercept) Penyelesaian fungsi produksi Cobb-Douglass seperti tersebut di atas adalah melalui transformasi logaritma serta bentuk fungsinya telah diubah menjadi fungsi linear. Berkaitan dengan itu maka dalam menggunakan
81
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 77-94
Apabila keuntungan merupakan selisih antara nilai hasil produksi dan nilai faktor produksi yang digunakan, maka model fungsi keuntungan dapat dituliskan sebagai berikut (Soekartawi, 2002:74-80):
fungsi produksi tipe Cobb-Douglass perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan (Soekartawi, 2003). Hal ini berarti bahwa faktor produksi teknologi merupakan faktor produksi tetap, sedang faktor produksi yang lainnya dapat dianggap sebagai faktor produksi tidak tetap sehingga produksi terutama dipengaruhi oleh faktor produksi tidak tetapnya. Dengan demikian, hubungan antara faktor produksi dengan hasil produksinya dapat dituliskan sebagai berikut : Y = f (X1 … Xn ; Z1 … Zm)
n Π = Py Y - Σ Pxi Xi i=1 n Π = Py f (X1 ... Xn; Z1 ... Zm) i=1
(persamaan 4)
∂Y
MPPxi =
= Xi
f (X1…Xn;Z1…Zm)
(persamaan 5)
Xi
Tingkat produksi maksimum akan dicapai apabila MPP sama dengan nol. Pada tingkat ini maka peningkatan penggunaan faktor produksi tidak tetap selanjutnya tidak akan meningkatkan produksi, bahkan hasil produksi justru akan menurun dan itu ditandai oleh MPP yang lebih kecil daripada nol (Soekartawi, 2002:49-52). Untuk menentukan tingkat produksi yang optimum dalam konsep efisiensi harga, hubungan fisik di atas belum cukup. Untuk itu perlu diperhitungkan harga faktor produksi dan harga hasil produksinya.
82
Σ Pxi Xi
(persamaan 7)
Keterangan: Π adalah keuntungan Py adalah harga hasil produksi Pxi adalah harga faktor produksi tidak tetap
keterangan : Y adalah hasil produksi Xi adalah faktor produksi tidak tetap Zi adalah faktor produksi tetap Untuk memperoleh pendapatan bersih yang maksimum (memaksimumkan keuntungan) para produsen harus mengetahui berapa banyak faktor produksi harus digunakan dalam proses produksi. Untuk dapat melakukan hal ini produsen memerlukan keterangan tentang daya produksi dari faktor produksi yang digunakan. Dalam hal ini, keuntungan maksimum dicapai apabila nilai produk marjinal harus disamakan dengan harga faktor produksi (Boediono, 2002: 64-66). Untuk menjelaskan pernyataan di atas, dengan menurunkan fungsi dari persamaan 4 terhadap masingmasing faktor produksi tidak tetapnya (Xi), maka didapatkan Marginal Physical Product (MPP) sebagai berikut :
(persamaan 6)
Untuk menentukan keuntungan maksimum akan tercapai apabila turunan pertama dari fungsi keuntungan di atas sama dengan nol. Π
= Py
f (X1…Xn;Z1…Zm)
Xi
Pxi = 0 (persamaan 8)
Xi
∂ Y
Pxi = 0
Py
(persaman 9)
Xi Y = MPPxi
(persaman 10)
Xi
maka Py MPPXi = Pxi Py MPPxi = Marginal Value Product (MVP) MVPxi = Pxi MVPxi atau
= 1
(persamaan 11)
Pxi Di sini terlihat bahwa MVPxi sama dengan Pxi, berarti keuntungan maksimum akan tercapai apabila marjinal dari nilai produksi itu sama besarnya dengan harga satuan faktor produksi yang bersangkutan (Chong & Lizarondo, 1981). Untuk selanjutnya persamaan (persamaan 11) dapat dituliskan sebagai berikut:
ANALISIS OPTIMASI FAKTOR PRODUKSI BUDIDAYA UDANG ............... (Suparmono)
MVPx 1 Px 1
=
MVPx 2 Px 2
=
MVPx 3 Px 3
= .… =
MVPxi
= 1 (persamaan 12)
Pxi
MATERI DAN METODE PENELITIAN Metode yang dipergunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif yang menggambarkan mengenai situasi yang terjadi berdasarkan data yang ada. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman dengan pertimbangan bahwa kecamatan tersebut merupakan kawasan pengembangan usaha budidaya udang galah dan merupakan sentra penghasil udang galah di Kabupaten Sleman. Populasi dari penelitian ini adalah 42 unit usaha budidaya udang galah yang terdiri dari 35 pembudidaya perorangan, 5 pembudidaya kelompok, 1 yayasan, dan 1 jama’ah masjid. Menurut Gay & Diehl (1996: 140-141) dalam Kuncoro (2003: 111), untuk studi yang bersifat korelasional, dibutuhkan minimal 30 sampel untuk menguji ada tidaknya hubungan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan sampel sejumlah 30 unit usaha budidaya udang galah dan teknik yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah sampling acak sederhana (simple random sampling). Materi yang diamati dalam penelitian ini adalah tingkat penggunaan faktor produksi, hasil produksi, dan keuntungan yang diperoleh dari usaha budidaya udang galah. Faktor produksi yang diamati antara lain adalah luas kolam, tokolan udang, pupuk urea, pupuk TSP, kapur, pakan, dan tenaga kerja musiman. Cara pengukuran variabel yang akan diuji adalah 1) luas kolam adalah luas kolam yang dikerjakan pada musim tanam yang bersangkutan yang dinyatakan dalam ha; 2) tingkat produksi adalah produksi yang diperoleh pada satu musim tanam termasuk udang yang digunakan sendiri atau yang digunakan untuk keperluan lain selain dijual dalam kg; 3) tingkat penggunaan teknologi meliputi pemupukan (pupuk urea dan TSP dalam kg), penggunaan kapur (dalam kg), tokolan udang yang ditebar (dalam ekor), dan pakan ikan (dalam kg); 4) jumlah tenaga kerja musiman yang dihitung adalah jumlah hari kerja orang pria untuk pekerjaan persiapan kolam dan pemanenan hasil yang dinyatakan dalam hari orang kerja per hektar (HOK/ hektar) yang setara dengan 8 jam kerja pria.
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer berupa pengamatan langsung, wawancara, dan daftar pertanyaan. Sedang data sekunder diambil dari instansi atau lembaga yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Data primer yang berupa faktor produksi, hasil produksi, harga, dan biaya yang diperoleh dari banyaknya usaha budidaya udang galah untuk daur produksi tunggal sehingga data yang didapatkan berupa data silang tempat atau cross-sectional data. Analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah analisis fungsi produksi. Analisis data dilakukan untuk satu musim tanam. Analisis data untuk satu tahun dilakukan dengan melipatgandakan hasil-hasil analisis dalam satu musim tanam, dengan asumsi bahwa pembudidaya udang galah akan berperilaku yang sama dalam berproduksi untuk periode musim tanam berikutnya. Untuk mengestimasi pengaruh faktor produksi terhadap produksi yang dihasilkan digunakan fungsi produksi tipe Cobb-Douglass, yaitu: Y = A X1b1 X2b2 X3b3 X4b4 X5b5 X6b6 X7b7 (persamaan 13) keterangan: Y = produksi (kg) X1 = luas kolam (ha) X2 = tokolan udang (ekor) X3 = pupuk urea (kg) X4 = pupuk TSP (kg) X5 = kapur (kg) X6 = pakan (kg) X7 = tenaga kerja musiman (HOK) A = intercept (titik potong antara garis regresi dengan sumbu tegak) b1…b7 = koefisien produksi parsial untuk X1…X7 Pemilihan varibel-variabel yang diikutkan dalam model didasarkan pada logika proses produksi di daerah penelitian. Dengan transformasi logaritma, persamaan 13 diubah menjadi: Ln Y = Ln A + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + .... + b7 Ln X7 (persamaan 14)
83
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 77-94
Selanjutnya dengan metode Ordinary Least Square (OLS) melalui pendekatan ekonometri akan diperoleh koefisien produksi (bi) dari masing-masing variabel. Untuk menguji model yang digunakan cukup memadai dengan data yang ada, maka perlu diadakan verivikasi model. Verifikasi yang biasa dilakukan adalah uji model dan uji terhadap penyimpangan asumsi klasik serta uji optimasi penggunaan faktor produksi. Untuk mengetahui tingkat kebaikan model fungsi produksi yang digunakan, dilihat dari besar nilai koefisien determinasinya (adjusted R 2). Nilai adjusted R 2 menunjukkan keeratan hubungan antara variabel terpengaruh (produksi) dan variabel yang mempengaruhi (faktor produksi). Menurut Kuncoro (2004: 84), nilai R2 adalah di antara nol dan satu. Formula untuk menghitung koefisien determinasi adalah: Untuk mengetahui bahwa tingkat produksi dipengaruhi oleh tingkat penggunaan faktor produksi maka digunakan uji signifikansi simultan (uji statistik F). Menurut (Kuncoro, 2004: 82), uji F ini berfungsi untuk mengetahui apakah variabel bebas (faktor produksi) secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel tidak bebas (hasil produksi). Untuk menguji kebenaran hipotesis alternatif dilakukan uji F dengan rumus sebagai berikut (Kuncoro, 2004: 82): MSR F hitung =
SSR/k =
MSE
(persamaan 15) SSE/(n-k)
keterangan: SSR = sum of squares due to regression SSE = sum of squares error n = jumlah observasi k = jumlah parameter (termasuk intercept) dalam model MSR = mean squares due to regression MSE = mean of squares due to error Apabila F hitung > F tabel maka H0 ditolak dan Ha diterima, yang berarti bahwa faktor produksi secara bersama berpengaruh terhadap produksi. Tetapi jika F hitung d” F maka H0 diterima dan Ha ditolak, dengan arti kata tabel bahwa faktor produksi secara bersama tidak berpengaruh nyata terhadap produksi. Untuk mengetahui pengaruh faktor produksi secara individu
84
(parsial) terhadap produksi, maka selanjutnya dilakukan uji signifikansi parameter individual (uji statistik t). Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh variabel penjelas secara individual dalam menerangkan variasi variabel terikat (Kuncoro, 2004: 81). Untuk menguji hipotesis tersebut digunakan statistik t dengan rumus sebagai berikut (Kuncoro, 2004: 81) : t = (bi – 0) / S = bi / S
(persamaan 16)
dimana b adalah nilai parameter dan S adalah standart error dari b. Standart Error dari masing-masing parameter dihitung dari akar varians masing-masing. Apabila t hitung > t tabel maka H0 ditolak dan Ha diterima, yang berarti bahwa ada pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat, tetapi jika t d” ttabel maka H0 diterima dan Ha ditolak, dengan hitung arti kata bahwa tidak ada pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat. Agar persamaan penduga tersebut dapat digunakan sebagai model penduga terbaik diperlukan asumsi-asumsi yang harus dipenuhi, yaitu (Supranto, 2005:189-200), yaitu nilai tengah (mean value) dari komponen pengganggu (ui) yang ditimbulkan oleh variabel penjelas harus sama dengan nol; varians dari komponen pengganggu harus konstan atau memenuhi syarat homoskedastisiti; tidak terjadi autokorelasi; dan tidak terjadi multikolineariti. Terkait dengan hal tersebut maka selanjutnya dilakukan uji terhadap penyimpangan asumsi klasik yaitu ada tidaknya masalah multikolinearitas, autokorelasi, heteroskedastisitas, dan normalitas (Kuncoro, 2004: 8999). Multikolinieritas adalah adanya hubungan yang sempurna atau hampir sempurna antara semua atau beberapa variabel bebas dalam model regresi yang ditemukan (Kuncoro, 2004: 98). Multikolineariti sering ditandai oleh R2 yang tinggi (0,7 – 1,0) akan tetapi koefisien regresinya tidak satupun yang signifikan menurut uji-t (Supranto, 2005). Menurut Santosa & Ashari (2005:240), untuk melihat gejala multikolinearitas dapat dilihat dari tabel Collinearity Statistics yakni dengan melihat nilai korelasi antarvaribel bebasnya. Sedangkan Gujarati (1995: 335) dalam Kuncoro (2004:98) menyatakan bahwa multikolinearitas tidak menjadi masalah yang serius apabila nilai korelasi antara dua variabel bebas kurang dari 0,80. Pendapat yang sama
ANALISIS OPTIMASI FAKTOR PRODUKSI BUDIDAYA UDANG ............... (Suparmono)
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi nilai residualnya terdistribusi secara normal. Menurut Santosa & Ashari (2005: 231), maksud data terdistribusi secara normal adalah bahwa data akan mengikuti bentuk distribusi normal dimana data memusat pada nilai rata-rata dan median. Untuk mengetahui bentuk distribusi data tersebut dapat digunakan grafik distribusi maupun analisis statistik. Untuk data yang terdistribusi normal maka bentuk grafik histogramnya akan mengikuti bentuk lonceng. Sedangkan secara statistik dapat menggunakan analisis keruncingan (kurtosis) dan kemencengan (skewness) dimana jika nilai rasio skewness dan kurtosis berada antara nilai minus dua (-2) dan plus 2 (+2) maka dapat diartikan bahwa data terdistribusi secara normal (Santosa & Ashari, 2005: 231-235). Penggunaan faktor produksi optimum apabila:
disampaikan oleh Cooper & Emory (1998:149) bahwa korelasi antarvariabel bebas yang nilainya sama atau lebih dari 0,80 sudah tidak dapat diterima. Sedangkan Nugroho (2005:58) menyampaikan bahwa jika nilai koefisien korelasi antarmasing-masing variabel bebas kurang dari 0,70 maka model dapat dinyatakan bebas dari asumsi klasik multikolinearitas. Autokorelasi adalah adanya keadaan yang tidak sesuai dengan anggapan bahwa dalam model regresi tidak terjadi korelasi antarvariabel residu, atau korelasi yang terjadi di antara anggota observasi yang terletak berderetan secara series dalam bentuk waktu (jika datanya time series) atau korelasi antara tempat yang berderet atau berdekatan kalau datanya coss sectional (Nugroho, 2005:59-60). Menurut Santosa & Ashari (2005:240) untuk mendeteksi gejala autokorelasi dapat digunakan uji Durbin-Watson (DW). Uji ini menghasilkan DW hitung (d) dan DW tabel (dL dan dU), dengan kriteria pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi sebagai berikut : 1. d < dL 2. 3. 4. 5.
: Terjadi masalah autokorelasi yang positif yang perlu perbaikan. dL < d < dU : Ada masalah autokorelasi positif tetapi lemah, dimana perbaikan akan lebih baik. dU < d < 4 - dU : Tidak ada masalah autokorelasi. 4-dU < d < 4-dL : Masalah autokorelasi lemah, dimana dengan perbaikan akan lebih baik. 4-dL < d : Masalah autokorelasi serius.
MVPx1 MVPx2 MVPx3 MVPx4 MVPx5 MVPx6 MVPx7 = = = = = = = 1 Px1 Px2 Px3 Px4 Px5 Px6 Px7
Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variansi dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variansi dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastis dan jika berbeda disebut heteroskedastis. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastis atau tidak terjadi heteroskedastis. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan cara grafis yakni dengan melihat Scatterplot (Santosa & Ashari, 2005: 243), jika penyebaran residual tidak teratur (terpencar dan tidak membentuk pola tertentu) maka dapat disimpulkan bahwa di dalam model tidak terjadi heteroskedatisitas.
≠
atau
MVPxi
=1
Pxi apabila
MVPxi
= ki, maka uji hipotesisnya adalah:
Pxi H0 : ki = 1 Ha : ki 1 ki = 1, apabila tki ≤ ttabel maka berarti penggunaan faktor produksi sudah optimum. ki ≠ 1, apabila tki > ttabel maka berarti penggunaan faktor produksi belum optimum. HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil rekapitulasi data, dapat dikemukakan kondisi demografi dan sosial ekonomi responden pembudidaya udang galah di Kecamatan Minggir sebagaimana tercantum pada Tabel 1 dan Tabel 2.
85
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 77-94
Tabel 1 Kondisi Demografi Responden Pembudidaya Udang Galah di Kecamatan Minggir Tahun 2006 No 1.
Keterangan
Persentase
Kelompok umur 21 - 30 tahun
9
30
31 - 40 tahun
5
17
41 - 50 tahun
5
17
> 50 tahun
11
37
30
100
30
100
Jumlah 2.
Σ Responden
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
0
0
Jumlah
30
100
Sumber: Data Primer, diolah, 2006. Pada Tabel 1 nampak bahwa berdasarkan kelompok umur, terdapat 30% responden berusia antara 21 – 30 tahun, 17% berusia 31 – 40 tahun, 17% berusia 41 – 50 tahun dan 37% responden berusia lebih dari 50 tahun. Berdasarkan data tersebut nampak bahwa usaha budidaya udang galah diminati oleh para pemuda sebagai mata pencaharian, dimana 47% responden berusia kurang dari 40 tahun. Sedangkan kondisi sosial ekonomi responden tercermin dari tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan, dan pengalaman berusaha sebagaimana disajikan dalam Tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Kondisi Sosial Ekonomi Responden Pembudidaya Udang Galah di Kecamatan Minggir Tahun 2006 No 1.
2.
86
Keterangan
Σ Responden
Persentase
Tamat SD
8
27
Tamat SLTP
1
3
Tamat SLTA
16
53
Pendidikan
Sarjana
5
17
Jumlah
30
100
Status kepemilikan lahan
3.
Lama usaha < 2 tahun
14
47
2 - 4 tahun
10
33
> 4 tahun
6
20
Jumlah
30
100
Sumber: Data Primer, diolah , 2006. Berdasarkan Tabel 2 nampak bahwa responden yang berpendidikan SLTA dan sarjana mencapai 70%. Hal ini menunjukkan bahwa pembudidaya udang galah mempunyai latar belakang pendidikan formal yang cukup tinggi. Sedangkan dari sisi pengalaman berusaha terdapat 53% responden telah berusaha dalam bidang tersebut lebih daripada 2 tahun. Berdasarkan status kepemilikan lahannya maka 33% responden memanfaatkan lahan miliknya sendiri, 13% responden sebagian sewa dan sebagian memanfaatkan lahannya sendiri, dan 53% responden menyewa lahan pelungguh atau tanah kas desa sebagai lahan budidaya. Perubahan dari hasil produksi kolam udang galah disebabkan oleh perubahan dari tingkat faktor produksi yang digunakan dan faktor teknis serta non teknis lainnya. Dalam penelitian ini, faktor-faktor produksi yang diamati adalah luas kolam, tokolan udang, pupuk urea, pupuk TSP, kapur, pakan, dan tenaga kerja musiman. Untuk melihat hasil produksi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya digunakan fungsi produksi per unit usaha. Rata-rata produksi dan penggunaan faktor produksi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Rata-Rata Produksi dan Penggunaan Faktor Produksi Usaha Budidaya Udang Galah di Kecamatan Minggir Tahun 2006 Faktor Produksi Luas Kolam (X1) Tokolan Udang (X2) Urea (X3)
Per Unit Usaha 0,23 ha
Per Hektar 1,00 Ha
17.584 ekor
76.452 ekor
23,26 kg
101,13 Kg
TSP (X4)
19,36 kg
84,17 Kg
Kapur (X5)
99,10 kg
430,87 Kg
548,58 kg
2.385,13 Kg
Milik sendiri
10
33
Pakan (X6)
Sewa dan milik sendiri
4
13
Tenaga Kerja Musiman (X7)
Sewa
16
53
Produksi (Y)
Jumlah
30
100
16,43 HOK 262,51 kg
Sumber: Data Primer, diolah, 2006.
71,43 HOK 1.141,35 Kg
ANALISIS OPTIMASI FAKTOR PRODUKSI BUDIDAYA UDANG ............... (Suparmono)
Untuk mengetahui nilai parameter dari fungsi produksi yang diduga digunakan model regresi ter-log semacam fungsi produksi Cobb-Douglass. Hasil analisis data selengkapnya tercantum dalam Tabel 4. Tabel 4 Estimasi Fungsi Produksi Per Unit Usaha Usaha Budidaya Udang Galah di Kecamatan Minggir Tahun 2006 Variabel Konstanta Luas Kolam (X1) Tokolan Udang (X2) Urea (X3) TSP (X4) Kapur (X5) Pakan (X6) Tenaga Kerja Musiman (X7) Adjusted R2 F-test Durbin Watson Test Derajad Bebas
Koefisien Regresi -0,703 0,083 0,130 -0,100 0,068 -0,045 0,831 0,074 0,993 612,42 *** 2,097 22
t-test
1,088 1,914 -1,751 1,657 -1,509 12,785 1,840
** ** * * *** **
Sumber: Analisis Data Primer (Lampiran 6), 2006 Keterangan: Nyata pada tingkat kepercayaan 99 % ** Nyata pada tingkat kepercayaan 95 % * Nyata pada tingkat kepercayaan 90 %
produksi yang mempengaruhi seperti luas kolam, tokolan udang, urea, TSP, kapur, pakan, dan tenaga kerja musiman secara bersama mempunyai pengaruh sebesar 99,3% terhadap hasil produksi usaha budidaya udang galah. Dengan kata lain, sebesar 99,3% variabel produksi dijelaskan oleh faktor produksinya dan sisanya sebesar 0,7% dijelaskan oleh variabel lain di luar model (unexplained variation). Faktor produksi yang mempunyai pengaruh besar adalah pakan dan tokolan udang. Untuk uji parsialnya (uji-t) terlihat bahwa faktor produksi tokolan udang, urea, TSP, kapur, pakan, dan tenaga kerja musiman berpengaruh nyata terhadap produksi. Sedangkan faktor luas kolam tidak mempunyai pengaruh nyata terhadap hasil produksi sampai pada taraf kepercayaan 90%. Kalau dilihat di sini bahwa Ftest nilainya besar, R2 juga besar kemudian didapatkan hanya satu thitung yang tidak signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam model yang digunakan tidak terjadi gejala multikolinearitas. Dengan melihat Tabel 4 maka didapatkan model fungsi produksi sebagai berikut: Y = 0,495 X10,083 X20,130 X3-0,100 X40,068 X5-0,045 X60,831 X70,074 Berdasarkan persamaan regresi di atas dapat diketahui hubungan antara produksi dan faktor produksi dengan melihat elastisitasnya (koefisien produksi) sebagai berikut: b1
***
b2
PEMBAHASAN Berdasarkan Tabel 4 nampak bahwa nilai F-test cukup besar dan nyata pada taraf kepercayaan 99% dengan nilai 612,42 yang lebih besar apabila dibandingkan dengan F-tabel (7;22;0,01) = 3,59. Hal ini berarti bahwa semua faktor produksi secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap hasil produksi. Besarnya nilai koefisien determinasi yang disesuaikan (Adjusted R2) adalah 0,993 yang berarti bahwa faktor-faktor
b3 b4 b5
= 0,083
yang artinya bahwa apabila faktor luas kolam ditambah 100% maka akan meningkatkan produksi sebesar 8,3%, tetapi tidak nyata. = 0,130 yang artinya bahwa apabila faktor tokolan udang ditambah 100% maka akan meningkatkan produksi sebesar 13%. = -0,100 yang artinya bahwa apabila faktor pupuk urea ditambah 100% maka akan menurunkan produksi sebesar 10%. = 0,068 yang artinya bahwa apabila faktor pupuk TSP ditambah 100% maka akan meningkatkan produksi sebesar 6,8%. = -0,045 yang artinya bahwa apabila faktor kapur ditambah 100% maka akan menurunkan produksi sebesar 4,5%.
87
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 77-94
b6
yang artinya bahwa apabila faktor pakan ditambah 100% maka akan meningkatkan produksi sebesar 83,1%. b 7 = 0,074 yang artinya bahwa apabila faktor tenaga kerja musiman ditambah 100% maka akan meningkatkan produksi sebesar 7,4%. Faktor produksi yang berperan penting pada produksi budidaya udang galah adalah luas kolam yang dikelola. Dalam penelitian ini didapatkan nilai elastisitas positif sebesar 0,083, tetapi pengaruhnya tidak nyata terhadap produksi. Kondisi demikian kemungkinan disebabkan pembudidaya udang galah di Kecamatan Minggir umumnya mempunyai kolam dengan kedalaman kurang dari 80 cm. Menurut Sutomo et al (2006:6) kedalaman kolam udang galah menentukan produksi udang galah, di mana kedalaman kolam optimal antara 80 – 100 cm. Sedangkan Dinas Kelautan dan Perikanan (2005:III-8) menganjurkan bahwa ukuran kolam udang galah yang ideal berkisar antara 0,25 – 1,0 hektar dengan kedalaman antara 75 – 120 cm. Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian Chong & Lizarondo (1981) yaitu bahwa faktor produksi luas tambak mempunyai elastisitas positif sebasar 0,57 dan nyata pengaruhnya terhadap produksi, dengan catatan kedalaman perairan tambak lebih dari 1 meter. Dengan demikian, untuk meningkatkan produksi udang galah di daerah penelitian penting sekali dilakukan perbaikan terhadap kondisi kolam terutama mengenai kedalaman kolamnya. Tokolan udang dengan nilai elastisitas yang positif menunjukkan bahwa peningkatan jumlah tokolan udang yang ditanam akan meningkatkan produksi kolam. Nilai elastisitas yang cukup besar dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa pembudidaya pada umumnya masih menggunakan faktor produksi ini pada tingkat yang rendah sehingga masih ada kemungkinan untuk ditingkatkan. Sebagaimana terlihat pada Tabel 3 bahwa padat tebar rata-rata tokolan udang di daerah penelitian adalah 76.452 ekor/hektar, dimana kepadatan ini masih jauh lebih rendah dari anjuran teknis Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi DIY (2005: III-9) bahwa kepadatan optimal pembesaran udang galah adalah 100.000 ekor/hektar. Pupuk urea mempunyai nilai elastisitas yang negatif dan ini berarti bahwa penambahan dosis pupuk
88
= 0,831
urea sudah tidak dapat lagi meningkatkan produksi. Dengan pemakaian, pupuk urea yang rata-rata 101,13 kilogram/hektar ternyata sudah terlalu tinggi, sedangkan secara teknis yang baik rata-rata penggunaan pupuk urea ini adalah 60 kg/hektar (Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar, 2000). Faktor produksi yang berupa pupuk TSP mempunyai nilai elastisitas yang positif yang berarti bahwa faktor produksi ini masih dapat ditambahkan ke dalam kolam untuk meningkatkan produksi. Pentingnya penambahan pupuk TSP yang digunakan adalah untuk menambah kesuburan kolam sebagai media budidaya atau dengan kata lain tujuan pemupukan adalah untuk menumbuhkan pakan alami di kolam. Kapur mempunyai nilai elastisitas yang negatif dan ini berarti bahwa penambahan dosis kapur sudah tidak dapat lagi meningkatkan produksi. Dengan pemakaian kapur yang rata-rata 430,87 kilogram/hektar ternyata sudah terlalu tinggi, sedangkan secara teknis yang baik rata-rata penggunaan kapur ini adalah 200 kg/ hektar (Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar, 2000). Nilai elastisitas faktor produksi pakan adalah positif yakni 0,831 dan mempunyai pengaruh yang paling besar dalam meningkatkan produksi dibandingkan dengan faktor produksi lainnya. Nilai elastisitas pakan ini sejalan dengan nilai elastisitas tokolan udang, dimana keduanya bernilai positif sehingga untuk meningkatkan produksi udang galah di daerah penelitian maka jumlah tokolan udang yang ditebar dan jumlah pakan yang digunakan harus pula ditingkatkan. Berdasarkan Tabel 3 nampak untuk menghasilkan produksi rata-rata 1.141,35 kilogram dibutuhkan pakan 2.385,13 kilogram, hal ini berarti bahwa Food Convertion Ratio (FCR) rata-rata budidaya udang galah di daerah penelitian adalah 1 : 2,1. Pada tenaga kerja musiman mempunyai nilai elastisitas yang positif sebesar 0,074. Elastisitas ini masih relatif kecil dibandingkan dengan besarnya elastisitas faktor produksi yang lainnya sehingga masih memungkinkan untuk ditingkatkan lagi. Namun demikian, hasil uji optimasi didapatkan hasil bahwa penggunaan faktor produksi ini sudah dalam tingkat optimum yang berarti bahwa penggunaan tenaga kerja musiman saat ini yang rata-rata 71,43 HOK/hektar sudah efisien sehingga tidak perlu ditingkatkan lagi.
ANALISIS OPTIMASI FAKTOR PRODUKSI BUDIDAYA UDANG ............... (Suparmono)
Sebagaimana telah diuraikan bahwa dari faktorfaktor produksi yang ada didapat nilai elastisitas positif untuk faktor produksi luas kolam, tokolan udang, TSP, pakan, dan tenaga kerja musiman. Sedangkan faktor produksi pupuk urea dan kapur mempunyai nilai elastisitas negatif. Nilai elastisitas yang positif menunjukkan bahwa pembudidaya udang galah menggunakan faktor produksi tersebut pada tingkat yang rasional, sedang nilai elastisitas yang negatif mempunyai arti bahwa pembudidaya sudah tidak rasional lagi menggunakan faktor produksi. Fungsi produksi yang dihasilkan sebagai berikut:
produksi. Apabila keuntungan merupakan selisih nilai hasil produksi dengan nilai faktor produksi yang digunakan maka model fungsi keuntungannya adalah sebagai berikut: Π = Py Y - (Px2 X2 + Px3 X3 + Px4 X4 + Px5 X5 + Px6 X6 + Px7 X7) Besarnya nilai Py dan Pxi dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5 Harga Faktor Produksi dan Hasil Produksi Usaha Budidaya Udang Galah di Kecamatan Minggir Tahun 2006
Y = 0,495 X10,083 X20,130 X3-0,100 X40,068 X5-0,045 X60,831 X70,074 Dengan memasukkan nilai rata-rata dari Xi, maka didapatkan produksi rata-rata (Y) sebesar 263,49 kilogram atau 1.145,61 kilogram/hektar/musim tanam. Hasil prediksi model ini tidak jauh berbeda dengan hasil produksi rata-rata sesungguhnya yakni sebesar 1.141,35 kilogram/hektar/musim tanam, sehingga model tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk memprediksi tingkat produksi dari penggunaan sejumlah faktor produksi di daerah penelitian. Kalau fungsi tersebut diturunkan terhadap masing-masing faktor produksi tidak tetapnya (Xi) maka didapatkan MPPxi. Seorang produsen yang rasional akan berusaha pada suatu tingkat dimana MPP menurun dan titik produksi maksimum tercapai pada saat MPP sama dengan nol. Untuk menentukan tingkat produksi yang optimum dalam konsep efisiensi ekonomis (harga), maka hubungan fisik itu belumlah cukup. Untuk itu perlu diusahakan harga faktor produksi dan harga hasil
Faktor Produksi Produksi (Y)
Satuan Kg
Tokolan Udang (X2) Urea (X3) TSP (X4) Kapur (X5) Pakan (X6) Tenaga Kerja Musiman (X7)
Harga (Rp) 40.000
ekor kg
200 1.400
kg kg
1.750 250
kg HOK
5.800 25.000
Sumber: Data Primer, 2006. Dengan memasukkan nilai dari produksi dan faktor produksi didapatkan keuntungan sebesar Rp3.299.853,00 atau per hektar per musim tanam senilai Rp14.347.186,96. Dengan memasukkan nilai-nilai SEbi, nilai Y Tabel 3, serta nilai Py dan Pxi Tabel 5, maka didapatkan besarnya nilai tki seperti terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil Analisis Optimasi Penggunaan Faktor Produksi Usaha Budidaya Udang Galah di Kecamatan Minggir Tahun 2006 Variabel Tokolan Udang (X2) Urea (X3) TSP (X4)
MPP Xi 0,00
MVP Xi
σ ki
76,91 0,38456 0,20115
-1,12 -44.883,96 0,92
ki
-32,06 18,2742
tki -3,0596 *** -1,8091 **
36.706,74 20,9753 12,6469 1,57947 *
Kapur (X5)
-0,12
-4.734,36
-18,937
12,625
-1,5792 *
Pakan (X6)
0,40
15.909,28 2,74298 0,21455 8,12376 ***
TK Musiman (X7)
1,17
46.928,22 1,87713 1,01466 0,86445
Sumber: Analisis Data Primer, 2006.
89
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 77-94
Keterangan: *** Nyata pada tingkat kepercayaan 99 % ** Nyata pada tingkat kepercayaan 95 % * Nyata pada tingkat kepercayaan 90 % Pada Tabel 6 nampak bahwa secara ekonomis penggunaan faktor produksi tokolan udang, pupuk urea, pupuk TSP, kapur, dan pakan tidak optimum. Sedangkan penggunaan tenaga kerja musiman untuk kegiatan persiapan kolam dan panen telah digunakan pada tingkat optimum. Pada tokolan udang terlihat bahwa penggunaannya belum pada tingkat optimum, hal ini dapat diketahui dari nilai tk2 = 3,0596 lebih besar dari ttabel (29;0,01) = 2,462. Perbandingan antara Marginal Value Product dari tokolan udang tidak sama dengan satuan biaya tokolan udang sehingga peningkatan faktor produksi selanjutnya pada setiap satuan biaya yang dikeluarkan akan meningkatkan penerimaan sebesar k2 = 0,384 dari jumlah biaya yang dikeluarkan. Pada Tabel 7 disajikan kisaran penggunaan tokolan udang di Kecamatan Minggir. Tabel 7 Kisaran Penggunaan Tokolan Udang Usaha Budidaya Udang Galah di Kecamatan Minggir Tahun 2006 Σ Responden
Persentase
< 50.000 ekor/ha/musim tanam
2
7
50.000 - 100.000 ekor/ha/musim tanam
23
77
> 100.000 ekor/ha/musim tanam
5
16
30
100
Kisaran
Jumlah Sumber: Data Primer, diolah, 2006.
Berdasarkan Tabel 7 nampak 7% responden menebar tokolan udang dengan kepadatan kurang dari 50.000 ekor/hektar/musim tanam, sedangkan yang menebar tokolan antara 50.000–100.000 ekor/hektar/ musim tanam ada 77% responden. Dengan demikian, masih ada peluang untuk meningkatkan penerimaan dengan cara meningkatkan kepadatan tokolan udang yang ditebar. Hal ini sesuai dengan rekomendasi teknologi dari Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar (2000) bahwa padat tebar tokolan udang untuk teknologi maju dapat mencapai 110.000 – 200.000 ekor/hektar/musim tanam.
90
Pada faktor produksi pupuk urea penggunaannya sudah tidak optimum lagi, berarti pembudidaya udang galah telah menggunakan faktor produksi ini secara berlebihan. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai k2 negatif (-32,06) yang berarti bila pupuk urea ditingkatkan penggunaannya maka akan mengakibatkan penurunan penerimaan sebesar 32,06 dari jumlah biaya yang dikeluarkan. Pada Tabel 8 dapat dilihat kisaran penggunaan pupuk urea oleh pembudidaya udang galah di Kecamatan Minggir. Tabel 8 Kisaran Penggunaan Pupuk Urea Usaha Budidaya Udang Galah di Kecamatan Minggir Tahun 2006 Σ Responden
Persentase
< 60 kg/ha/musim tanam
3
10
60 - 100 kg/ha/musim tanam
17
56
101 - 150 kg/ha/musim tanam
5
17
> 150 kg/ha/musim tanam
5
17
30
100
Kisaran
Jumlah Sumber: Data Primer, diolah, 2006.
Pada Tabel 8 nampak hanya 10% responden yang menggunakan urea dengan dosis kurang dari 60 kilogram/hektar/musim tanam, sedangkan sisanya menggunakan pupuk urea secara berlebihan. Dosis penggunaan pupuk urea yang dianjurkan oleh Pusat Riset Perikanan Budidaya (2006) adalah 5–10 kilogram/ hektar/musim tanam, sedangkan teknologi anjuran dari Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar (2000) adalah 60 kg/ hektar/musim tanam. Pada faktor produksi pupuk TSP terlihat bahwa penggunaannya belum optimal, dengan nilai k3 = 20,975. Nilai tk3 sebesar 1,579 lebih besar dibandingkan nilai ttabel (29;0,10) = 1,311, dengan demikian faktor produksi ini masih mungkin untuk ditingkatkan lagi penggunaannya. Nilai k3 sebesar 20,975 mempunyai arti bahwa penambahan setiap satuan nilai faktor produksi pupuk TSP akan meningkatkan penerimaan sebesar 20,975 kalinya. Kisaran penggunaan pupuk TSP di Kecamatan Minggir dapat dilihat pada Tabel 9.
ANALISIS OPTIMASI FAKTOR PRODUKSI BUDIDAYA UDANG ............... (Suparmono)
Tabel 9 Kisaran Penggunaan Pupuk TSP Usaha Budidaya Udang Galah di Kecamatan Minggir Tahun 2006 Σ Responden
Persentase
< 35 kg/ha/musim tanam
2
7
35 - 75 kg/ha/musim tanam
13
43
76 - 140 kg/ha/musim tanam
7
23
> 140 kg/ha/musim tanam
8
27
Kisaran
Jumlah
30
100
Sumber: Data Primer, diolah, 2006. Berdasarkan Tabel 9 dapat dikatakan bahwa sebagian besar pembudidaya udang galah masih menggunakan pupuk TSP kurang dari 75 kilogram/ hektar/musim tanam, sehingga penggunaan pupuk TSP masih dapat ditingkatkan lagi. Menurut rekomendasi teknis dari Dinas Kelautan dan Perikanan (2005) bahwa dosis pupuk TSP yang digunakan untuk budidaya udang galah adalah 250 kg/hektar/musim tanam. Dosis pemakaian kapur pada usaha budidaya udang galah di daerah penelitian telah melebihi optimum, hal ini terlihat dari nilai tk4 sebesar 1,579 lebih besar dari ttabel (29;0,10) = 1,311. Dengan nilai k4 = 18,937 ini berarti bahwa peningkatan penggunaan kapur selanjutnya setiap satuan biayanya akan menurunkan penerimaan sebesar 18,937 kalinya. Pada Tabel 10 dapat dilihat kisaran penggunaan kapur oleh pembudidaya udang galah.
Berdasarkan Tabel 10 nampak 57% responden menggunakan kapur dengan dosis lebih dari 400 kilogram/hektar/musim tanam. Dengan melihat bahwa pembudidaya sudah tidak optimum dalam menggunakan faktor produksi ini maka sebaiknya penggunaan kapur dikurangi. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar (2000) menganjurkan bahwa untuk budidaya udang galah maka dosis kapur yang digunakan adalah 200 kilogram/ hektar/musim tanam. Pada faktor produksi pakan terlihat bahwa penggunaannya belum optimal, dengan nilai k6 = 2,743. Nilai tk3 sebesar 8,124 lebih besar dibandingkan nilai ttabel (29;0,01) = 2,462, dengan demikian faktor produksi ini masih mungkin untuk ditingkatkan lagi penggunaannya. Nilai k6 sebesar 2,743 mempunyai arti bahwa setiap penambahan satuan nilai faktor produksi pakan akan meningkatkan penerimaan sebesar 2,743 kalinya. Kisaran penggunaan pakan di Kecamatan Minggir dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11 Kisaran Penggunaan Pakan Usaha Budidaya Udang Galah di Kecamatan Minggir Tahun 2006 Σ Responden
Persentase
< 1.500 kg/ha/musim tanam
5
17
1.500 - 2.500 kg/ha/musim tanam
8
26
2.501 - 3.500 kg/ha/musim tanam
12
40
> 3.500 kg/ha/musim tanam
5
17
30
100
Kisaran
Jumlah
Tabel 10 Kisaran Penggunaan Kapur Usaha Budidaya Udang Galah di Kecamatan Minggir Tahun 2006 Kisaran
Σ Responden
Persentase
< 200 kg/ha/musim tanam
6
20
200 - 400 kg/ha/musim tanam
7
23
401 - 600 kg/ha/musim tanam
8
27
> 600 kg/ha/musim tanam
9
30
30
100
Jumlah Sumber: Data Primer, diolah, 2006.
Sumber: Data Primer, diolah, 2006.
Berdasarkan Tabel.11 nampak sebagian besar pembudidaya menggunakan pakan kurang dari 3.500 kg/hektar/musim tanam, sehingga masih memungkinkan untuk ditingkatkan. Kemungkinan peningkatan penggunaan pakan ini sejalan dengan temuan tentang penggunaan padat tebar tokolan udang yang masih mungkin ditingkatkan. Rata-rata penggunaan tenaga kerja musiman untuk kegiatan persiapan kolam dan pemanenan hasil adalah 16,43 HOK dengan luas kolam rata-rata 0,23 hektar, didapatkan nilai tk7 = 0,864 lebih kecil dibandingkan ttabel (29;0,10) = 1,311, berarti
91
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 77-94
penggunaan tenaga kerja musiman telah mencapai tingkat yang optimum atau berarti k7 = 1. Perbandingan antara Marginal Value Product dari tenaga kerja musiman sama dengan satuan biaya dari faktor produksi tenaga kerja musiman. Dengan demikian, pembudidaya udang galah telah menggunakan masukan faktor produksi tenaga kerja musiman sangat efisien, pada tingkat 71,43 HOK per hektar kolam. Peningkatan penggunaan faktor produksi selanjutnya sudah tidak efisien lagi, karena tambahan satuan penerimaan lebih kecil dibandingkan tambahan satuan biaya yang digunakan dalam proses produksi. Pada Tabel 12 dapat dilihat kisaran penggunaan tenaga kerja musiman di daerah penelitian. Tabel 12 Kisaran Penggunaan Tenaga Kerja Musiman pada Usaha Budidaya Udang Galah di Kecamatan Minggir Tahun 2006
2,54. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa nilai DW-test sebesar 2,097 berada pada daerah asumsi pengambilan keputusan dU < d < 4 - dU (1,46 < 2,097 < 2,54), yang berarti di dalam model yang digunakan tidak terdapat gejala autokorelasi. Dalam scatterplot nampak penyebaran residual tidak teratur (terpencar dan tidak membentuk pola tertentu) sehingga dapat disimpulkan bahwa di dalam model tidak terjadi heteroskedastisitas. Untuk mengetahui bentuk distribusi data tersebut secara statistik dapat mengggunakan analisis keruncingan (kurtosis) dan kemencengan (skewness) dimana jika nilai rasio skewness dan kurtosis berada antara nilai minus dua (-2) dan plus dua (+2) dapat diartikan bahwa data terdistribusi secara normal. Oleh karena nilai rasio skewness adalah -0,185 dan nilai rasio kurtosis adalah -1,609 yang berarti bahwa nilai tersebut berada pada kisaran antara -2 dan +2 sehingga data tersebut terdistribusi secara normal. SIMPULAN DAN SARAN
Σ Responden
Persentase
< 50 HOK/ha/musim tanam
5
17
50 - 100 HOK/ha/musim tanam
20
66
> 100 HOK/ha/musim tanam
5
17
30
100
Kisaran
Jumlah Sumber: Data Primer, diolah, 2006.
Berdasarkan Tabel 12 nampak responden yang menggunakan tenaga kerja musiman dalam kisaran 50– 100 HOK/ha/musim tanam sebanyak 20 orang atau 66%, ini yang mendekati tingkat penggunaan faktor produksi tenaga kerja musiman yang efisien. Berdasarkan hasil estimasi persamaan regresi linier berganda didapat nilai koefisien determinasi (R2) = 0,995 yaitu lebih besar daripada nilai koefisien korelasi antarvariabel. Selain itu, semua nilai korelasi antarvariabel bebas lebih kecil dari 0,80 sehingga dapat disimpulkan bahwa di dalam model yang digunakan tidak terdapat gejala multikolinearitas. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda didapatkan nilai statistik DW-test sebesar 2,097, kemudian dengan bantuan tabel statistik DW pada derajad kepercayaan á = 0,05 dengan jumlah sampel (n) = 30 dan jumlah variabel bebas (k) = 7, maka dapat diperoleh nilai batas bawah (dL) = 1,18, nilai batas atas (dU) = 1,46, nilai 4 – dL = 2,82, dan nilai 4 – dU =
92
Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usaha budidaya udang galah di Kecamatan Minggir, maka dapat diambil simpulan, yaitu: model persamaan penduga yang digunakan semacam fungsi produksi Cobb-Douglass memberikan hasil analisis cukup baik sebagai persamaan penduga fungsi produksi usaha budidaya udang galah di Kacamatan Minggir. Hal ini nampak dari nilai Fhitung yang cukup besar dan nyata pada taraf kepercayaan 99% serta nilai koefisien determinasi yang disesuaikan (adjusted R2) sebesar 0,993. Hal ini berarti bahwa secara keseluruhan (bersama) variabel bebas (faktor produksi) yang diikutkan dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (hasil produksi) dan besar pengaruhnya mencapai 99,3%. Selain itu, di dalam model yang digunakan juga tidak terjadi gejala penyimpangan terhadap asumsi klasik regresi linier. Hasil uji parsial menunjukkan bahwa dari tujuh faktor produksi yang diduga berpengaruh nyata terhadap usaha budidaya udang galah, didapatkan enam faktor produksi yang secara teknis berpengaruh nyata terhadap produksi. Faktor-faktor tersebut adalah tokolan udang, pupuk urea, pupuk TSP, kapur, pakan,
ANALISIS OPTIMASI FAKTOR PRODUKSI BUDIDAYA UDANG ............... (Suparmono)
dan tenaga kerja musiman. Untuk faktor produksi luas kolam tidak berpengaruh nyata terhadap produksi sampai taraf kepercayaan 90%. Faktor produksi tokolan udang, pupuk TSP, pakan, dan tenaga kerja musiman mempunyai elastisitas produksi positif, sedangkan pupuk urea dan kapur memiliki elastisitas produksi yang negatif.
DAFTAR PUSTAKA Bank Indonesia, 2003, Analisis Kelayakan Finansial Budidaya Pendederan dan Pembesaran Udang Galah, Penerbit Bank Indonesia, Jakarta. Boediono, 2002, Ekonomi Mikro, Edisi Kedua, BPFE, Yogyakarta.
Saran Berdasarkan simpulan di atas maka saran yang disampaikan adalah peningkatan penggunaan tokolan udang pada setiap satuan biaya yang dikeluarkan haruslah berhati-hati dan sebaiknya dilakukan secara bertahap sesuai dengan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan dalam mengelola usaha. Penggunaan pupuk urea pada tingkat 101,13 kg/hektar dan kapur pada tingkat 430,87 kg/hektar disarankan untuk dikurangi karena elastisitas produksinya negatif dan penggunaannya sudah tidak optimum lagi. Sedangkan penggunaan pupuk TSP pada tingkat rata-rata 84,17 kilogram/hektar disarankan untuk ditingkatkan karena masih mempunyai elastisitas positif dan belum digunakan secara optimum. Demikian juga halnya dengan penggunaan pakan disarankan untuk ditingkatkan penggunaannya mengingat nilai elastisitasnya positif dan belum digunakan secara optimal. Peningkatan penggunaan jumlah pakan ini sebaiknya diimbangi dengan peningkatan kualitas pakan dan frekuensi pemberiannya. Usaha-usaha tersebut tentu saja berimplikasi kepada pembudidaya untuk menambah modal usahanya. Dengan demikian, diperlukan bantuan permodalan dari lembaga-lembaga lain di luar usaha taninya melalui Program Penguatan Modal dan pendampingan teknologi oleh penyuluh perikanan untuk mengimbangi peningkatan pemanfaatan faktorfaktor produksi tersebut.
Chong, K.C. dan M. S. Lizarado, 1981, Hubungan Masukan Keluaran Pada Budidaya Perairan Bandeng di Filipina, dalam Penelitian Ekonomi Budidaya Perairan Di Asia, Edisi Pertama, Gramedia, Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2005, Buku Putih Revitalisasi Sektor Kelautan dan Perikanan, DKP, Jakarta. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi DIY, 2005, Laporan Akhir Penyusunan Master Plan Kawasan Pengembangan Budidaya Udang Galah Di Kecamatan Minggir, Diskanlaut, Yogyakarta. Cooper, D.L. dan Emory, C.W., 1996, Metode Penelitian Bisnis, Jilid Dua, Edisi Kelima, Terjemahan, Penerbit Erlangga, Jakarta. Hadie, W. dan Emmawati, L., 1992, Pembenihan Udang Galah Usaha Industri Rumah Tangga, Edisi Pertama, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Hamzah, A., 1984, Aspek Ekonomi Substitusi Bandeng dan Udang Ditinjau Dari Peningkatan Pendapatan Usahatani Tambak (Suatu Studi Kasus Di Kabupaten Pati), Thesis, Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar, 2000, Budidaya Udang Galah, Petunjuk Teknis Nomor Agdex : 494/20, Denpasar.
93
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 77-94
Kuncoro, M., 2003, Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi: Bagaimana Meneliti dan Menulis Tesis, Edisi Pertama, penerbit Erlangga, Jakarta. Kuncoro, M., 2004, Metode Kuantitatif Teori dan Aplikasi Untuk Bisnis dan Ekonomi, Edisi Kedua, UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Mashuri, A., 1985, Analisis Ekonomi Produksi Usahatani Tambak Di Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan, Thesis, Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mubyarto, 1986, Pengantar Ekonomi Pertanian, Edisi Pertama, LP3ES, Jakarta. Murtidjo, B. A., 1993, Budidaya Udang Galah Sistem Monokultur, Edisi Pertama, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Nugroho, R.H., 2005, Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian Dengan SPSS, Edisi Pertama, Andi Offset, Yogyakarta. Nurung, M., Sumantri, B., dan Indahyana, O. U., 2003, Analisis Produksi Pendapatan dan Pemasaran Usaha Ikan Asin Di Desa Kandang Kecamatan Selebar Kota Bengkulu, Majalah Agriseb Vol. 1 No.2, Bengkulu. Pusat Riset Perikanan Budidaya, 2000, Teknologi Budidaya Udang Galah, Makalah Diseminasi Teknologi/ Temu Bisnis Udang Galah, BRKP DKP, Jakarta. Santoso, P.B. dan dan Ashari, 2005, Analisis Statistik Dengan Microsoft Excel dan SPSS, Cetakan Pertama, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta. Smith, I. R., 1981, Ekonomi Mikro Dari Sistem Produksi Budidaya Perairan Yang Ada Sekarang, dalam Penelitian Ekonomi Budidaya Perairan Di Asia, Edisi Pertama, Gramedia, Jakarta.
94
Soekartawi, Soeharjo L., Dillon J., Hardaker J.B., 1986, Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil, Cetakan Ketiga, UI Press, Jakarta. Soekartawi, 2002, Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian : Teori dan Aplikasi, Edisi Revisi, Rajawali Press, Jakarta. _________, 2003, Teori Ekonomi Produksi Dengan Pokok Pembahasan Analisis Cobb-Dauglass, Edisi Kedua, Rajawali Press, Jakarta. Supranto, J., 2005. Ekonometri Buku Satu, Edisi Pertama, Ghalia Indonesia, Bogor. Sutomo, H., Mudjiutami, E., Mu’minah, S., Hastuti, S., Raharjo, P., 2006, Pengembangan Budidaya Udang Galah, Makalah, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar, Sukabumi.
ISSN: 1978-3116 MODEL KEPEMIMPINAN BARU DALAM MENGELOLA DIVERSITAS................ (Siti Al Fajar)
Vol. 2, No. 2, Juli 2008 Hal. 95-100
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
MODEL KEPEMIMPINAN BARU DALAM MENGELOLA DIVERSITAS ANGKATAN KERJA DALAM RANGKA MERAIH KEUNGGULAN BERSAING Siti Al Fajar Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta, Jalan Seturan Yogyakarta 55281, Telepon +62 274 486160, 486321, Fax. +62 274 486155 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Globalization increases work force diversity. The diversity involves gender, cultural, subcultural, age, skill, and ability. Diversity must be defined in global term. It means looking at all people and everything that makes them different from one to another, as well as things that make them similar. Differentiating factors often go beyond race and language, and may include values and customs. Greater diversity will create certain challenges, such as communication problems (including misunderstanding among employees and managers as well as the need to translate verbal and written materials into several languages). An increase in organizational factionalism will require increasing amounts of time dedicated to dealing with special interest and advocacy groups. Besides creating certain challenge, diversity also make some important contributions, such as to create an organization culture that is more tolerant to behavioral styles and wider views. This often leads to better business decision, and greater responsiveness to diverse groups of customers. The increasing diversification of the work force is real. Learning to effectively manage a diverse work force should be viewed as an investment in the future, in order to reach competitive advantage for organization. Competitive advantage has six dimensions: cost, resource, marketing, creativity, problem solving, and flexibility argument. To get there, the application of a new leadership model is needed.
Keywords: diversity, work force, competitive advantage, and a new leadership model.
PENDAHULUAN Globalisasi menimbulkan perubahan yang tidak pernah berhenti bergolak. Perubahan ini ditandai oleh munculnya tuntutan konsumen yang sangat tinggi, tingkat persaingan yang ketat, serta timbulnya tuntutan baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Kanter (1995) menyatakan bahwa globalisasi ditandai dengan empat proses, yaitu mobilitas, keserentakan, pencarian jalan bebas hambatan, dan pluralisme. Mobilitas yang terjadi dalam globalisasi tidak hanya menyangkut kapital, namun juga ide dan tenaga kerja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa globalisasi meningkatkan keragaman angkatan kerja yang antara lain mencakup gender, ras, kebangsaan, agama, usia, kultur, ketrampilan, dan kemampuan. Globalisasi memungkinkan sebuah organisasi menjadi tempat kerja internasional. Oleh karena itu, organisasi harus keluar dari tradisi memperlakukan anggotanya sebagai sesuatu yang bersifat homogen, karena pada dasarnya karyawan sebagai anggota organisasi merupakan individu yang berbeda-beda, tidak tunggal, dan tidak dapat disamaratakan (bersifat heterogen) Peningkatan keragaman angkatan kerja pasti akan menimbulkan tantangan spesifik, tetapi di pihak lain akan memberikan manfaat bagi organisasi
95
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 95-100
(Byars & Rue, 2003). Tantangan spesifik yang terjadi antara lain, munculnya problem komunikasi, seperti kesalahpahaman atau perselisihan antara karyawan dengan karyawan dan manajemen dengan karyawan yang memerlukan waktu yang agak lama untuk mengatasinya. Adapun manfaat yang ditimbulkan oleh keragaman (diversitas) angkatan kerja antara lain meningkatnya kemauan untuk mendengarkan suara dari kelompok customer yang berbeda-beda dan terciptanya kultur yang lebih toleran terhadap perbedaan di dalam organisasi dan wawasan yang lebih luas di antara anggota organisasi sehingga memunculkan organisasi multikultur. Menurut Cox dan Blake (1991) seperti dikutip dalam Rachmawati (2004), organisasi ini memiliki enam dimensi, yaitu 1) akulturasi, yakni suatu metode untuk menyatukan kelompok dominan dan minoritas agar dapat beradaptasi antara satu dengan lainnya serta mengatasi perbedaan-perbedaan budaya antarmereka; 2) integrasi struktural, yaitu mengetahui profil atau keadaan budaya anggota-anggota organisasi seperti perekrutan dan penempatan tenaga kerja; 3) integrasi formal, yaitu suatu tindakan yang dilakukan untuk mengenali hubungan-hubungan penting yang berkaitan dengan kegiatan yang sering terjadi atau yang dilakukan di luar jam kerja formal untuk mengetahui sejauh mana kelompok minoritas dilibatkan dalam jaringan informal atau di luar jam kerja formal; 4) bias kultural yang di dalamnya terdapat dua komponen, yaitu kecurigaan atau prasangka terhadap anggotaanggota organisasi yang lain berdasarkan pada identitas budaya dan terjadinya diskriminasi terhadap anggota-anggota kelompok minoritas; 5) identifikasi organisasional yang berkaitan dengan perasaan memiliki, kesetiaan, dan komitmen para anggota terhadap organisasi; dan 6) konflik antarkelompok, yaitu berkaitan dengan perselisihan, ketegangan, dan pertentangan antarkelompok budaya yang ada dalam organisasi. Berdasarkan enam dimensi tersebut, maka ditemukan ciri-ciri organisasi multikultur, yaitu 1) pluralisme, merupakan proses akulturasi yang terjadi melalui proses pengadopsian beberapa norma antara anggota kelompok budaya mayoritas dengan minoritas atau sebaliknya; 2) integrasi struktural secara penuh, yakni kelompok minoritas terintegrasi secara penuh di seluruh fungsi, level, dan kelompok-kelompok kerja
96
yang ada dalam suatu organisasi; 3) integrasi secara penuh ke dalam internal network, kelompok minoritas terintegrasi dalam aktivitas-aktivitas sosial dan jaringan-jaringan informal di luar jam kerja normal organisasi; 4) tidak ada prasangka dan diskriminasi, artinya tidak terdapat prasangka dan diskriminasi yang didasarkan perbedaan di antara anggota organisasi; 5) tidak ada perbedaan dalam identifikasi organisasional berdasarkan pada kelompok yang beridentitas kultural, maksudnya adanya rasa ikut memiliki, kesetiaan, dan komitmen terhadap organisasi yang dimiliki oleh seluruh anggota organisasi; dan 6) tingkat konflik antarkelompok rendah. Meningkatnya diversitas angkatan kerja adalah kenyataan. Oleh karena itu, belajar mengelola perbedaan anggota organisasi secara efektif harus dipandang sebagai investasi untuk masa yang akan datang, agar dapat meraih keunggulan bersaing bagi organisasi. Dengan demikian, diperlukan penerapan suatu model kepemimpinan baru agar organisasi multikultur benarbenar dapat tercipta yang mengarah kepada teraihnya keunggulan bersaing bagi organisasi. Kepemimpinan transformasional merupakan suatu model kepemimpinan yang baru (Bass, 1998; Bryman, 1992). MASALAH DAN PEMBAHASAN Mengelola diversitas angkatan kerja berarti menarik, mempertahankan, dan memotivasi individu-individu dengan latar belakang dan kondisi yang berbeda-beda. Selama era 1990-an dan memasuki abad 21 diversitas sumberdaya manusia menjadi komponen utama fenomena tenaga kerja dalam organisasi. Diversitas merupakan isu yang nyata-nyata penting dan relevan saat ini dan pada masa yang akan datang. Perubahan demografi menciptakan tantangan baru bagi manajer dalam organisasi. Perbedaan-perbedaan di antara individu sering menciptakan konflik dalam organisasi. Oleh karena itu, organisasi harus dapat menghargai, mempromosikan, dan secara proaktif mengelola keragaman kultural angkatan kerja untuk meminimalkan konflik dan memaksimalkan keunggulan-keunggulan agar organisai dapat kompetitif di arena persaingan. Cox dan Blake (1991) seperti yang dikutip dalam Rachmawati (2004), menyebutkan ada enam dimensi keunggulan bersaing bagi organsiasi yang dapat diperoleh dari pengelolaan
MODEL KEPEMIMPINAN BARU DALAM MENGELOLA DIVERSITAS................ (Siti Al Fajar)
diversitas angkatan kerja. Keenam dimensi yang dimaksud adalah argumen biaya, penguasaan sumberdaya, pemasaran, kreativitas, pemecahan masalah, dan argumen fleksibilitas seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.. Tabel 1 Dimensi Keunggulan Bersaing
Dimensi KeunggulanBersaing
Keunggulan Bersaing
Argumen Biaya
Organisasi dengan diversitas karyawan akan menghasilkan biaya yang tinggi untuk mengintegrasikan karyawan berkaitan dengan turn over, tingkat kepuasan kerja, atau tingkat absensi. Perusahaan yang dapat mengelola diversitas dengan baik akan memperoleh keunggulan biaya dibandingkan dengan yang tidak.
Argumen Penguasaan Sumberdaya
Perusahaan tidak dapat menghindar dari perekrutan tenaga kerja wanita dan kelompok minoritas. Perusahaan yang memiliki reputasi terbaik dalam mengelola diversitas ini akan memenangkan persaingan dalam mempertahankan karyawan terbaiknya.
Argumen Pemasaran
Dalam organisasi multinasional, diperlukan kepekaan terhadap budaya yang dimiliki masing-masing konsumen. Dengan angkatan penjualan yang multikultural, perusahaan dapat memperoleh keungulan bersaing melalui pemanfaatan wawasan pekerja untuk memahami efek-efek kultur pada keputusan pembelian dan memetakan strategi untuk meresponnya.
Argumen Kreativitas
Dengan adanya diversitas dalam perspektif akan meningkatkan tingkat kreativitas karyawan dan menghasilkan keputusan terbaik bagi perusahaan, karena diversitas karyawan akan meningkatkan kemampuan organisasi dalam memecahkan suatu masalah.
Argumen Pemecahan Masalah
Heterogenitas dalam kelompok pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, mempunyai potensi untuk menghasilkan keputusan yang baik melalui perspektif-perspektif yang lebih luas dan melalui analisis masalah yang lebih kritis sehingga organisasi dapat mendeteksi dan memecahkan masalah bisnis yang menuntut cara pemecahan yang sama sekali berbeda dengan cara di masa lalu.
Argumen Fleksibilitas
Implikasi model multikultur dalam mengelola diversitas menjadikan sistem kurang terstandardisasi kemudian menjadi lebih cair. Toleransi terhadap sudut pandang budaya yang berbeda akan meningkatkan keterbukaan organisasi terhadap ide-ide baru. Hal ini akan menciptakan fleksibilitas yang lebih besar dalam bereaksi terhadap perubahan lingkungan karena akan menciptakan fleksibilitas dalam kebijakan-kebijakan perusahaan.
97
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 95-100
Perbedaan yang muncul akibat keragaman angkatan kerja harus dikelola dengan baik dengan menerapkan bentuk kepemimpinan yang relevan. Jika tidak maka akan menimbulkan pertentangan di tempat kerja yang mengarah kepada konflik di antara mereka yang pada akhirnya akan menurunkan kinerja organisasi. Oleh karena itu, dalam pengelolaan diversitas angkatan kerja perlu penerapan bentuk kepemimpinan trasformasional sebagai bentuk kepemimpinan yang fleksibel dan sudah didukung oleh berbagai penelitian, bahwa bentuk kepemimpinan tersebut mempunyai efek positif terhadap kinerja organisasi (Bass, 1985). Pemimpin yang selalu adaptif dan proaktif, fleksibel, serta efektif adalah pemimpin yang memiliki bentuk kepemimpinan transformasional. Seperti yang dikatakan oleh Vries (1998), pemimpin yang kharismatik didefinisikan sebagai agen perubahan yang selalu mengubah organisasi. Mereka selalu tidak puas dengan status quo, tidak pernah mengenal lelah dan selalu enerjik, tidak pernah berhenti mendorong diri mereka untuk mencari peluang-peluang baru. Mereka adalah entrepreneur, tidak sabaran, dan selalu membuat orang-orang di sekitarnya mempunyai perasaan yang spesial terhadap mereka. Dalam kepemimpinan transformasional, seorang pemimpin tidak hanya merumuskan visi, memonitor prestasi, dan memberikan imbalan (balas jasa), tetapi seorang pemimpin juga harus mampu memberi inspirasi terhadap anggotanya (Bass, 1985). Davidhizar dan Shearer (1997), menyebutkan bahwa kepemimpinan transformasional memotivasi karyawan untuk melakukan pekerjaan dengan baik dan menciptakan perubahan. Seorang pemimpin transformasional mempengaruhi bawahan dengan menciptakan emosi dan identifikasi yang kuat terhadap pimpinan, tetapi pemimpin tetap sebagai penilai yang memberikan koreksian terhadap anggota. Kepemimpinan transformasional terjadi saat pemimpin memotivasi bawahan untuk menempatkan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi (Bass & Avolio, 1994). Nilai penting dari kepemimpinan transformasional adalah untuk memberdayakan para anggota agar melakukan pekerjaan secara efektif dengan cara membangun komitmen pada nilai-nilai yang ada, mengembangkan keahlian, dan kepercayaan dalam organisasi (Yukl, 1994). Bernard M. Bass (1989) seperti dikutip dalam
98
Stoner, at al, (1995), menyatakan bahwa pemimpin transformasional memotivasi para individu dalam suatu organisasi untuk bekerja secara optimal. Hal itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu 1) meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya nilai dan tugas; 2) mendorong karyawan untuk mementingkan kepentingan organisasi melebihi kepentingan pribadi (self-interests); dan 3) meningkatkan kebutuhan dari jenjang lebih rendah ke yang lebih tinggi, seperti kebutuhan aktualisasi diri (Bass, 1985). Kepemimpinan transformasional merupakan suatu model kepemimpinan yang memiliki visi (Sashkin, Westley & Mintzberg dalam Conger, 1989), dan kharismatik (Conger, 1989). Di samping itu, dalam studi laboratorium yang didisain untuk menguji dampak perilaku pemimpin yang direktif kalau dibandingkan dengan perilaku pemimpin yang kharismatik, ditemukan bahwa perilaku pemimpin yang kharismatik menghasilkan kinerja yang lebih tinggi, kepuasan, dan kejelasan peran yang lebih besar daripada perilaku pemimpin yang direktif (Howell & Frort (1989) seperti dikutip dalam Podsakoff, Mackenzie & Bommer, 1996). Bass dan Avolio (1994), menyebutkan bahwa pemimpin yang transformasional memotivasi orang lain untuk melakukan pekerjaan melebihi apa yang telah mereka lakukan selama ini, dan bahkan sering melebihi pemikiran yang mungkin. Mereka menetapkan harapanharapan yang lebih menantang dan mencapai kinerja yang lebih tinggi. Bryman (1992), juga menyebutkan bahwa berbagai studi organisasional menunjukkan bahwa perilaku pemimpin yang transformasional berhubungan secara positif dengan kepuasan, self reported effort, dan kinerja pekerjaan (job performance). Menurut Luthans (1995), hasil suatu penelitian menunjukkan bahwa pemimpin transformasional yang efektif memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut 1) mengidentifikasikan dirinya sebagai agen perubahan; 2) pemberani; 3) percaya pada orang lain; 4) pencipta nilai (value-driven); 5) pembelajar seumur hidup (lifelong learners); 6) memiliki kemampuan untuk mengatasi kompleksitas, ketidakjelasan, dan ketidakpastian; dan 7) pencipta visi. Searah dengan hasil penelitian tersebut, Bass (1998) mengungkapkan bahwa pemimpin yang transformasional dikarakteristikkan oleh empat faktor yang meliputi kepemimpinan yang kharismatik, kepemimpinan inspirasional, stimulasi intelektual, dan pertimbangan
MODEL KEPEMIMPINAN BARU DALAM MENGELOLA DIVERSITAS................ (Siti Al Fajar)
individual. Kepemimpinan yang kharismatik merupakan faktor yang fundamental dalam proses transformasional. Pemimpin yang memiliki kharisma menyediakan visi dan menanamkan pentingnya misi, dikagumi, dan dipercayai. Di samping itu, juga mampu menghasilkan antusiasme dan rasa bangga seseorang terhadap dirinya. Kharisma dapat digambarkan sebagai kemampuan pemimpin menghasilkan kekuatan simbolik yang diinginkan bawahan (Bass, 1985). Para bawahan yang bekerja dengan pemimpin yang kharismatik akan termotivasi untuk bekerja lebih giat karena mereka menyukai pemimpinnya. Kepemimpinan inspirasional atau motivasi inspirasional akan mengkomunikasikan visinya dengan penuh rasa percaya diri dan terkadang memberikan contoh untuk lebih memfokuskan tujuan dan tindakan yang tepat. Mereka menanamkan komitmen pada bawahan untuk mencapai suatu tujuan dan agar selalu berpandangan jauh ke depan. Pemimpin dengan dimensi ini mampu menimbulkan rasa optimisme, antusiasme, dan meningkatkan motivasi kepada para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasional. Kepemimpinan kharismatik atau motivasi inspirasional biasanya membentuk faktor tunggal terpadu kepemimpinan inspirasional-kharismatik (Bass, 1998). Stimulasi intelektual mendukung usaha para anggota untuk lebih inovatif dan kreatif dengan cara menanyakan asumsi-asumsi dan menyusun kembali masalah-masalah yang ada dengan menggunakan metode atau cara baru. Dalam dimensi ini kreativitas sangat dibutuhkan (Bass & Avolio, 1994). Dalam dimensi ini juga tidak terdapat kritik terhadap kesalahan anggota. Ide-ide baru dan pemecahan masalah yang kreatif datang dari bawahan, termasuk proses dalam menghadapi masalah, dan menemukan solusinya. Para bawahan didorong untuk mencoba pendekatanpendekatan baru dan ide-ide mereka tidak dikritik, karena tentu saja berbeda dengan ide para pemimpin (Bass, 1998). Stimulasi intelektual menggambarkan bagaimana pemimpin transformasional memberi dukungan kepada para bawahan untuk menghadapi masalah dengan cara baru. Dengan mendorong pola berpikir para bawahan, maka akan mendukung mereka untuk dapat mengatasi masalah (Bass, 1985). Pertimbangan individual akan memberikan perhatian khusus pada kebutuhan masing-masing
anggota untuk pencapaian dan pertumbuhan dengan bertindak sebagai pembimbing. Para anggota dikembangkan untuk mencapai ke tingkat kesuksesan yang lebih tinggi. Dimensi kepemimpinan pertimbangan individual ini diterapkan ketika kesempatan pembelajaran baru diciptakan sepanjang iklim organisasi mendukung. Para individu berbeda dalam bentuk kebutuhan dan harapannya. Perilaku pemimpin transformasional dalam dimensi ini dapat menerima perbedaan individual (misalnya, beberapa karyawan menginginkan dukungan yang lebih sementara yang lainnya mendambakan otonomi dan juga masih ada beberapa karyawan yang menginginkan struktur tugas). Interaksi dan komunikasi pemimpin transformasional dalam dimensi ini dilakukan secara pribadi (misalnya, pemimpin mengingat kembali apa yang pernah dipercakapkan dengan para pengikutnya dan melihat individu sebagai manusia seutuhnya, lebih dari hanya seorang bawahan). Pemimpin dengan dimensi ini mendengarkan sesuatu dengan efektif dan mendelegasikan tugas dengan maksud mengembangkan nilai potensial angggota. Tugas yang didelegasikan dimonitor dengan tujuan untuk melihat apakah anggota membutuhkan pengarahan dan dukungan tambahan, dan juga untuk menilai kemajuan yang diperoleh. Para bawahan tidak merasa bahwa mereka sedang diawasi (Bass, 1998). SIMPULAN Pengelolaan sumberdaya manusia dituntut lebih proaktif dan responsif. Segala aktivitas harus dapat mengantisipasi berbagai perkembangan yang terjadi, kemudian melakukan tindakan-tindakan untuk menghadapi isu-isu bisnis yang berkaitan dengan sumberdaya manusia. Meningkatnya isu-isu bisnis yang terkait dengan sumberdaya manusia memiliki pengaruh kuat pada manajer sumberdaya manusia dan manajer fungsional dalam organisasi. Sumberdaya manusia yang beragam memerlukan pengelolaan yang efektif agar dapat menciptakan kompetensi bagi organisasi sehingga keunggulan bersaing dapat diraih. Untuk mengelola diversitas sumberdaya manusia yang dimaksud, diperlukan model kepemimpinan yang baru, yaitu kepemimpinan transformasional.
99
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 95-100
DAFTAR PUSTAKA Bass, B.M. (1985). Leadership and Performance Beyond Expectation. New York: The Free Press. Bass, B.M. (1987). From Transactional to Transformational Leadership: Learning to Share the Vision. Journal of Management, Vol. 13. No. 2:19-31. Bass, B.M. (1990). Bass & Stogdill’s Handbook of Leadership: Theory, research, & Managerial Applications. New York: The Free Press Bass, B.M. (1998). Transformational Leadership: Industrial, Military, and Educational Impact. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Bryman, A (1992). Improving Organizational Effectiveness: Through Transformational Leadership. London: Sage Publications, Inc. Byars, L.L. & Rue, L.W. (2003). Human Resource Management.7th ed. Singapore: Mc Graw Hill International Edition. Conger, J.A. (1989). Recharismatic Leader. San Fransisco: Jossey-Bass. Davidhizar, R.Z. Shearer, R. (1997). Giving Encouragement as a Transformational Leadership Technique. Health Core Supery, 15 (3): 16-21. Downton, J.V. (1973). Rebel Leadership: Commitment and Charisma in the Revolutionary Process. New York: The Free Press. Ellitan, L. (2002). Praktik-Praktik Pengelolaan Sumberdaya Manusia dan Keunggulan Kompetitif Berkelanjutan. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan, 4 (2): 65-76. Eptein, S., & Meier, P. (1989). Constructive Thinking: A Broad Coping Variable with Specific Components. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 332-350.
100
Howel, J.M. & Avolio, B.J. (1993). Transformational Leadership, Transactional Leadership, Locus of Control, and Support for Innovation: Predictors of Consolidated-Business-Unit Performance. Journal of Applied Psycholoy, Vol. 78. No.6: 891-902. Johns, G. (1996). Organizational Behavioral Understanding and Managing Life at Work. 4th ed. Harper Collins College Publisher. Kanter, Rosabeth Moss (1995). World Class: Thriving Locally in the Global Economy. New York: Simon & Schuster. Kuhnert, Karl W. (1987). Transactional and Transformasional Leadership: A Contructive/ Developmental Analysis. Academy of Management Review, Vol. 12. No.4: 648-657. Kreitner, R. & Kinicky, A. (1992). Organizational Behavior. USA: Irwin.
ISSN: 1978-3116 PENGARUH VARIABEL FUNDAMENTAL TERHADAP ............... (Rowland Bismark Fernando Pasaribu)
Vol. 2, No. 2, Juli 2008 Hal. 101-113
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
PENGARUH VARIABEL FUNDAMENTAL TERHADAP HARGA SAHAM PERUSAHAAN GO PUBLIC DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI) PERIODE 2003-2006 Rowland Bismark Fernando Pasaribu Asian Banking Finance and Informatics Institute of Perbanas Jalan Perbanas, Karet Kuningan, Setiabudi, Jakarta 12940 Telepon +62 21 527 8788 ext. 33, Fax. +62 21 522 2645 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT This study aimed to test five fundamental factors (growth, profitability, leverage, liquidity, and efficiency) and two market ratios (earning ratio and price earning ratio) that predicted to influence stock price in several groups of manufacturing industries listed in Indonesia Stock Exchange from 2003 untill 2006. The result of this ratios, using multiple regressions shows that all the fundamentals factors and market ratios has significant influence simultaneously and partially in all industries. Earning per share was the dominant influence variable in six industries, where profitability factors in farming industries and liquidity factors in the property and real estate industry. All proxy has coefficient of determination range 21,98% - 85,41%. Keywords: growth, profitability, leverage, liquidity, efficiency, earning ratio, price earning ratio, stock price.
PENDAHULUAN Harga suatu produk berdasarkan definisi klasik adalah gambaran titik temu antara sisi penawaran dan permintaan. Untuk beberapa produk tertentu, harga sama sekali tidak terkait langsung dengan penawaan dan permintaan. Oleh karena itu, banyak hal yang mampu dan capable untuk mempengaruhi titik temu kedua sisi tersebut. Harga saham misalnya, tidak cukup
hanya sisi permintaan dan penawaran (atau bahkan sama sekali tidak) yang merepresentasikan terbentuknya harga produk tersebut. Fabozzi (1999) menyatakan bahwa dalam analisis sekuritas ada dua pendekatan yang digunakan yaitu analisis fundamental dan teknikal. Analisis fundamental didasarkan pada dua model dasar penilaian sekuritas yaitu earning multiplier dan asset values, sedangkan analisis teknikal secara umum memfokuskan perhatian pada perubahan volume dan harga pasar sekuritas. Faktor fundamental yang sering digunakan untuk memprediksi harga saham atau return saham adalah rasio keuangan dan rasio pasar. Rasio keuangan yang berfungsi untuk memprediksi harga saham antara lain return on assets (ROA), debt equity ratio (DER), dan book value per Share (BVS). Rasio pasar yang sering dikaitkan dengan harga atau return saham adalah price book value (PBV). Faktor teknikal diukur dengan beberapa indikator antara lain inflasi, nilai tukar mata uang, dan risiko pasar. Saham perusahaan yang go public adalah komoditi investasi yang berisiko, karena bersifat peka terhadap perubahan–perubahan yang terjadi, baik perubahan di dalam negeri maupun perubahan dari luar negeri. Perubahan-perubahan ini tentunya merupakan risiko bagi investor. Risiko ini terbagi menjadi risiko sistematis dan risiko tidak sistematis. Sharpe (1999) mendefinisikan risiko sistematis sebagai bagian dari perubahan aktiva yang dapat dihubungkan kepada faktor umum yang juga disebut sebagai risiko pasar atau risiko yang tidak dapat dibagi. Risiko sistematis merupakan tingkat minimum
101
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 101-113
risiko yang dapat diperoleh bagi suatu portofolio melalui diversifikasi sejumlah besar aktiva yang dipilih secara acak. Risiko tidak sistematis adalah risiko yang unik bagi perusahaan, seperti pemogokan kerja oleh pekerja perusahaan, bencana alam yang menimpa perusahaan, dan sebagainya (Fabozzi, 1999). Penelitian sebelumnya juga terlihat berusaha menambah item-item yang menurut mereka capable untuk mempengaruhi harga saham, di antaranya i) arus kas (Sloan, 1996; Triyono dan Hartono, 2000; Pradhono dan Christian, 2004; Sukartaatmadja 2005; Setiawan, 2005; Daniati dan Suhairi, 2006; Meythi, 2006); ii) indikator ekonomi makro (Reza, 2000; Hilda, 2003; Auliyah, 2006; Ernawati 2007); iii) penciptaan nilai tambah ekonomis (Sartono dan Setiawan, 1999; Praweti, 2003; Rohmah dan Trisnawati, 2004; Dewi, 2004; Sasongko dan Wulandari, 2006) dan; iv) moment atau peristiwa tertentu (Sularso, 2003; Susilo dan Jaryono, 2004; Iramani dan Mahdi, 2006; Siaputra dan Atmadja, 2006). Sementara pada beberapa penelitian sebelumnya yang menghubungkan antara faktor fundamental (rasio keuangan) dengan harga saham menunjukkan hasil yang variatif, baik itu yang berpengaruh signifikan (Kusdiyanto, 1996; Rahadjo, 2001; Rosyadi, 2002; Riska, 2002; Wibowo, Idawati, Kharisma, Lestari, Santoso, Sitobang, Sudarto, dan Havid, 2003; Fahrani, 2004; Wulandari, Mawardi, 2005; Enggarini, Asna dan Nugraha, 2006; Faridl, 2007) atau tidak berpengaruh sama sekali (Riska, 2002; Haryanto, dan Sugiharto, 2003; Hengki, 2004; Anggraeni dan Sugiharto 2004; Suharli, 2005; dan Puspasari, 2006; Siyami, 2007). Hasil penelitian yang variatif tersebut mendorong untuk dilakukan penelitian lanjutan tentang hubungan atau pengaruh faktor fundamental (rasio keuangan) dengan harga saham. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah penambahan pada proksi faktor fundamental yang tidak hanya terpaku pada profitabilitas dan leverage, tapi juga pertumbuhan, dan efisiensi operasional perusahaan, cakupan luas sampel, dan periode penelitian. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui i) pengaruh signifikan (baik secara simultan dan parsial) faktor fundamental (pertumbuhan, profitabilitas, leverage, likuiditas, dan efisiensi) terhadap harga saham; ii) faktor fundamental apa yang dominan dalam mempengaruhi harga saham emiten; dan iii) kemampuan faktor fundamental dalam menjelaskan variansi harga saham.
102
Pada kajian penelitian terdahulu, Riska (2002) menganalisis pengaruh earning per share, price earning ratio, dan return on equity terhadap harga saham emiten industri properti di Bursa Efek Jakarta. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa secara simultan dan parsial, tidak satupun variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Haryanto dan Sugiharto (2003) meneliti pengaruh rasio profitabilitas (ROA dan NPM) terhadap harga saham emiten industri makanan dan minuman periode 20002001. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ROA dan NPM secara simultan dan parsial dan tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Enggarini (2006) menganalisis pengaruh variabel fundamental dan teknikal terhadap harga saham emiten yang tergabung dalam LQ 45 periode 2002-2004. Penelitiannya bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel fundamental (EPS, ROA, ROE) dan variabel teknikal (harga saham masa lalu), terhadap harga saham emiten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial EPS dan harga saham masa lalu berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Puspasari (2006) mengenai pengaruh current ratio, debt to equity ratio, net profit margin ratio, return on equity ratio, dan dividend payout ratio terhadap perubahan harga saham pada perusahaan manufaktur yang go public di Bursa Efek Surabaya (BES) untuk periode 2000-2004. Penelitian Puspasari menunjukkan bahwa adalah i) secara simultan, variabel independen tidak berpengaruh terhadap perubahan harga saham dan ii) secara parsial, hanya variabel DER yang berpengaruh terhadap harga saham. Penelitian Faridl (2007) bertujuan untuk mengetahui: 1) EPS, PER, dan ROE terhadap harga saham, secara simultan maupun secara parsial; 2) variabel bebas yang dominan berpengaruh terhadap harga saham. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa EPS, PER, dan ROE berpengaruh signifikan secara simultan terhadap harga saham. Secara parsial, EPS berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Temuan lain penelitian adalah EPS merupakan variabel bebas yang dominan diantara variabel-variabel bebas yang lain. Siyami (2007) menggunakan variabel independen yang sama dengan penelitian Faridl disertai penambahan variabel teknikal (harga saham masa lalu) yang dianggap berpengaruh signifikan terhadap harga
PENGARUH VARIABEL FUNDAMENTAL TERHADAP ............... (Rowland Bismark Fernando Pasaribu)
saham emiten industri farmasi di BEJ. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semua variabel independent mempunyai pengaruh yang signifikan secara simultan dan parsial terhadap variabel dependent. Temuan lainnya adalah bahwa harga saham masa lalu merupakan variabel yang dominan pengaruhnya terhadap harga saham emiten. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah: H1: Pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif terhadap harga saham perusahaan yang tergabung di delapan kelompok industri. H2: Profitabilitas perusahaan berpengaruh positif berpengaruh positif terhadap harga saham perusahaan yang tergabung di delapan kelompok industri. H3: Leverage perusahaan berpengaruh positif terhadap harga saham perusahaan yang tergabung di delapan kelompok industri. H4: Likuiditas perusahaan berpengaruh positif terhadap harga saham perusahaan yang tergabung di delapan kelompok industri. H5: Efisiensi perusahaan berpengaruh positif terhadap harga saham perusahaan yang tergabung di delapan kelompok industri. MATERI DAN METODE PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini menggunakan perusahaan dalam delapan kelompok industri yang listed di BEI. Pengambilan sampel menggunakan metode judgment sampling, yaitu pemilihan sampel berdasarkan kriteriakriteria tertentu. Kriteria tersebut adalah perusahaan yang sahamnya selalu terdaftar dan aktif diperdagangkan di BEI minimal sejak tahun 2002 serta selalu menyajikan informasi keuangan selama periode pengamatan (Siagian, 2000). Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan yang tergabung dalam industri pertanian, industri pertambangan, industri dasar dan kimia, aneka industri, industri barang konsumsi, industri properti dan real estate, industri infrastruktur, dan industri perdagangan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 yang diperoleh dari www.jsx.co.id, www.yahoo.com, dan www.reuters.com. Penelitian ini menggunakan 34 rasio untuk merepresentasikan lima proksi yang dianggap mempengaruhi harga saham perusahaan (lampiran 1).
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah model regresi linier berganda sebagai berikut: Y = α+β1X1+β2X2+β3X3+β4X4+ β5X5+β6PER+β6X6 dimana: Y α β1- β6 X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7
= Harga Penutupan Saham = Konstanta = Koefisien Regresi = Rasio Pertumbuhan Perusahaan = Rasio Profitabilitas: = Rasio Leverage: = Rasio Likuiditas: = Rasio Turn Over = Price Earning Ratio = Earning Per Share
Uji Significancy F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan dengan hipotesis sebagai berikut: Ho: Variabel independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen Ha: Variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen Dengan ketentuan, apabila Sig.F > á 0,05 maka Ho diterima dan apabila Sig.F d” á 0,05 maka Ha diterima. Uji Significancy t dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen (pertumbuhan perusahaan, profitabilitas, leverage, likuiditas, turn over performance, price earning ratio, dan earning per share) terhadap variabel dependen secara parsial dengan hipotesis sebagai berikut: Ho: Variabel independen (Xi) tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen Ha: Variabel independen (Xi) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen Dengan ketentuan, apabila Sig.t > á 0,05 maka Ho diterima dan apabila Sig.t d” á 0,05 maka Ha diterima. Uji koefisien beta regresi dilakukan dengan merangking standardized coefficients beta yang diperoleh dari hasil analisis regresi berganda dengan menggunakan SPSS. Uji ini dilakukan untuk mengetahui di antara variabelvariabel independen mana yang mempunyai pengaruh dominan terhadap variabel dependen.
103
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 101-113
Pengujian asumsi klasik ini bermaksud untuk memastikan bahwa model yang diperoleh benar-benar memenuhi asumsi dasar dalam analisis regresi yang meliputi asumsi tidak terjadi multikolinearitas, tidak terjadi autokorelasi, dan tidak terjadi heteroskedastisitas. Pengujian terhadap ada tidaknya multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan metode VIF (Variance Inflation Factor (Gujarati, 1995; 339). Pemenuhan terhadap asumsi non-multikolinieritas dilakukan dengan kriteria nilai VIF < 10 dan Nilai Tolerance mendekati 1 (Santoso, 2002:206). Pendeteksian autokorelasi menurut Santoso (2002) dapat dilihat pada angka D-W (Durbin-Watson) dengan kriteria i) angka D-W di bawah -2 berarti ada autokorelasi positif; ii) angka D-W di antara -2 sampai +2 berarti tidak ada
autokorelasi; dan iii) angka D-W di atas +2 berarti ada autokorelasi negatif. Uji gejala heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejser dengan langkah sebagai berikut i) mencari nilai unstandarized residual variabel dependen dan kemudian mengabsolutkannya; ii) nilai absolut tersebut kemudian diregres kembali terhadap variabel independen; dan iii) berdasarkan hasil regresi yang didapatkan dilihat signifikan t-nya. Apabila tidak ada yang yang signifikan maka dapat disimpulkan tidak terjadi gejala heteroskedastisitas. HASIL PENELITIAN Berikut ini akan dijelaskan statistik deskriptif dan pengujian hipotesis.
Tabel 1 Statistik Deskriptif (2003-2006)
Variabel Harga Saham PER EPS Gwth_TA Gwth_HT Gwth_Eq Gwth_Sal NIWC SALCA SALWC EBITTA ROI GPM NPM ROE TETA RETA DTA DER LDTA LDER
104
N 840 840 840 840 840 840 840 840 840 840 840 840 840 840 840 840 840 840 840 840 840
Min
Max Mean 15 51500 1579.32 -37872.34 883333.33 2539.36 -2044.859 4282.012 135.01 -0.85 19.71 0.13 -1 1222.51 2.02 -30.5 86.35 0.31 -1 26.77 0.25 -1416.07 1506.97 0.81 0 2194.51 11.97 -2795.89 29103.29 122.00 -0.85 22.52 0.14 -1.27 23.11 0.39 -22.43 10.53 -0.02 -45.21 10.89 -0.18 -27.96 37.38 0.11 -3.37 1 0.38 -5.15 0.81 -0.19 0 4.37 0.62 -3428.47 1038.7 0.26 -0.47 2.45 0.23 -1460.36 683.81 0.48
Std. Deviasi 4687.11 35234.56 534.71 0.79 42.87 4.62 1.31 72.44 137.90 1518.58 1.33 1.37 1.12 2.19 2.38 0.42 0.77 0.42 128.00 0.24 57.92
PENGARUH VARIABEL FUNDAMENTAL TERHADAP ............... (Rowland Bismark Fernando Pasaribu)
QATA ATR RETE CashCL CashTA WCTA CACL CASAL CATA ITO COLPER CATO FATO ATO WCTO
840 840 840 840 840 840 840 838 840 838 838 840 840 840 840
0 0 -1349.42 0 0 -2.44 0.02 0 0.01 0 0.03 -1354.05 -104.22 -1.26 -1416.07
0.82 378.08 905.74 242.21 0.8 0.86 557.62 254 0.92 160.99 10221.15 211.53 17.38 9.32 1506.97
0.23 2.11 -1.27 1.05 0.09 0.07 4.20 2.01 0.45 1.36 102.73 -1.09 -0.15 0.04 0.81
0.17 15.58 57.34 9.45 0.11 0.42 29.36 11.20 0.22 8.64 386.37 47.68 5.32 0.50 72.44
Sumber: Hasil olah data. Statistik deskriptif yang akan dibahas adalah nilai minimum, maksimum, mean, dan standar deviasi dari 36 variabel penelitian selama 4 tahun (2003-2006).
Berikut adalah hasil uji hipotesis secara simultan dan parsial.
Tabel 2 Hasil Uji Signifikansi Simultan dan Parsial Ukuran Koefisien Earning Per Share Pertumbuhan
Profitabilitas
Leverage
Likuiditas
Efisiensi
GwthTA GwthSAL SALCA SALWC EBITTA ROI GPM NPM RETA QATA CashTA WCTA CASAL CATA COLPER CATO
Sig.F
Tani
Tambang 0.006
Ind. Dasar 0.000
Ank.Ind 0.000
Konsumsi 0.000 0.019
Properti
Infstr. dll. 0.000
Dagang 0.000
0.026 0.000 0.015
0.000 0.001 0.019 0.001 0.000 0.000 0.001
0.000 0.000 0.024 0.000
0.019
0.012 0.000 0.006
0.000 0.003 0.000 0.028
0.021 0.000
0.011 0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
Sumber: Hasil olah data.
105
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 101-113
PEMBAHASAN Berdasarkan Tabel 2, nampak bahwa secara simultan dan parsial pertumbuhan, profitabilitas, posisi leverage, likuiditas, dan efisiensi perusahaan berpengaruh signifikan terhadap harga saham di delapan industri. Secara umum, penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Faridl (2007), Siyami (2007), Enggarini (2006), bahwa EPS berpengaruh signifikan terhadap harga saham emiten. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan Riska (2002) bahwa pada periode penelitian PER dan ROE memang tidak berpengaruh signifikan untuk industri properti. Penelitian ini juga mendukung Puspasari (2006), bahwa current ratio, debt to equity ratio, return on equity, dan dividend payout ratio tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap harga
saham emiten. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Haryanto dan Sugiharto (2003), karena ternyata rasio profitabilitas berpengaruh signifikan secara parsial pada enam industri dan secara simultan pada seluruh industri. Berdasarkan hasil pemeringkatan yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa earning per share (EPS) merupakan variabel yang memiliki pengaruh dominan pada enam industri, sedangkan profitabilitas (SALCA) hanya dominan pada industri pertanian, sementara likuiditas (CashTA) berpengaruh dominan pada industri properti dan real estate. Berdasarkan koefisien adjusted R-square diperoleh informasi bahwa kemampuan lima proksi dalam menjelaskan variasi harga saham emiten sangat beragam dengan rentang nilai 21,98%-85,41%.
Tabel 3 Standardized Coefficient
Sumber: Hasil olah data.
106
PENGARUH VARIABEL FUNDAMENTAL TERHADAP ............... (Rowland Bismark Fernando Pasaribu)
Tabel 4 Adjusted R Square
Tolerance (mendekati 1) dan VIF (< 10). Berdasarkan Tabel 5, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi pada persamaan multiregresi di delapan industri karena angka D-W terletak di antara -2 sampai +2. Tabel 5 Hasil Uji Autokorelasi
Sumber: Hasil olah data.
Kemampuan tertinggi dalam menjelaskan variansi terdapat pada industri barang konsumsi (85,41%) dan aneka industri (77,83%). Sedangkan pada enam industri lainnya, pertumbuhan, profitabilitas, posisi leverage, likuiditas, dan efisiensi perusahaan rata-rata mampu menjelaskan variansi harga saham emiten sebesar 46,32% sisanya sebesar 53,68% adalah pengukuran lainnya yang tidak digunakan dalam penelitian. Hasil uji asumsi klasik yang terdiri dari uji multikolinearitas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas, yaitu berdasarkan Tabel 7 dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi gejala multikolinearitas pada persamaan multiregresi berdasarkan kriteria nilai
Sumber: Hasil olah data.
Berdasarkan Tabel 6, dapat disimpulkan bahwa memang masih terjadi gejala heteroskedastisitas pada persamaan multiregresi berdasarkan kriteria koefisien sig.t pendekatan gletzjer karena masih terjadi signifikansi parsial (sig.t) dari hasil regres nilai absolut dari unstandarized residual variabel dependent terhadap variabel independen
Tabel 6 Hasil Uji Heteroskedastisitas
Sumber: Hasil olah data.
107
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 101-113
SIMPULAN, KETERBATAS PENELITIAN, DAN IMPLIKASI Simpulan Secara simultan dan parsial, pertumbuhan, profitabilitas, posisi leverage, likuiditas, dan efisiensi perusahaan berpengaruh signifikan terhadap harga saham di delapan industri. Temuan lainnya adalah earning per share (EPS) merupakan variabel yang memiliki pengaruh dominan pada enam industri, sedangkan profitabilitas (SALCA) hanya dominan pada industri pertanian, sementara likuiditas (CashTA) berpengaruh dominan pada industri properti dan real estate. Pertumbuhan, profitabilitas, posisi leverage, likuiditas, dan efisiensi perusahaan mampu menjelaskan variansi harga saham emiten sebesar 85,41% pada industri barang konsumsi dan 77,83% di aneka industri sedangkan pada enam industri lainnya secara rata-rata sebesar 46,32% sisanya sebesar 53,68% adalah pengukuran lainnya yang tidak digunakan dalam penelitian Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu i) masih terjadi gejala heteroskedastisitas pada beberapa persamaan multiregresi yang terbentuk; ii) penelitian ini hanya menggunakan periode observasi selama 4 tahun (2003-2006) dimana penggunaan data baru dilakukan secara pooling untuk masing-masing industri; dan iii) penelitian ini hanya menggunakan lima proksi faktor fundamental yang dianggap mempengaruhi harga saham emiten. Implikasi Implikasi penelitian ini adalah i) mengkaji ulang perihal penggunaan variabel yang menimbulkan terjadinya gejala heteroskedastisitas; ii) periode penelitian agar diperpanjang, dan penggunaan data mungkin dapat diperluas pada masing-masing tahun baik secara pooling atau parsial pada tiap industri; dan iii) proksi faktor fundamental mungkin bisa dikembangkan lagi, misalnya tingkatan leverage operasional, tingkatan leverage keuangan, atau elastisitas arus kas perusahaan terhadap fluktuasi nilai tukar.
108
DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, Silvia. dan Toto Sugiharto. Analisis Z-Skor Untuk Penilaian Kinerja Keuangan Serta Pengaruhnya Terhadap Harga Saham Perusahaan Perdagangan di BEJ. Majalah Ekonomi dan Komputer, No.3 Tahun XII-2004; 114-123. Asna dan Andi Nugraha. 2006. Analisis Pengaruh Rasio Keuangan Terhadap Return Saham Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Ekonomi MODERNISASI, Volume 2, No. 3, Oktober 2006. Auliyah, Robiatul. dan Ardi Hamzah. 2006. Analisa Karakteristik Perusahaan, Industri dan Ekonomi Makro Terhadap Return dan Beta Saham Syariah di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi 9, Padang, Agustus. K-AKPM06. Daniati, Ninna dan Suhairi. 2006. Pengaruh kandungan Informasi Komponen Laporan Arus Kas, Laba Kotor, dan Size Perusahaan Terhadap Expected Return. Simposium Nasional Akuntansi 9, Padang, Agustus. K-AKPM21. Fabozzi, Frank. 1999. Manajemen Investasi, Jilid I. Jakarta: Salemba Empat. Hilda, 2003, Analisis Pengaruh Perubahan Tingkat bunga SBI, Tingkat Inflasi, Kurs Valas dan GNP terhadap Return Indeks LQ 45 di BEJ, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang. Haryanto, dan Toto Sugiharto. 2003. Pengaruh Rasio Profitabilitas Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Industri di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, No. 3, Jilid 8, Tahun 2003; 141-154. Hengki. Pengaruh Pergerakan Rasio Profitabilitas Emiten Terhadap Perubahan Harga Saham. Majalah Ekonomi dan Komputer, No.3 Tahun XII-2004; 145-157.
PENGARUH VARIABEL FUNDAMENTAL TERHADAP ............... (Rowland Bismark Fernando Pasaribu)
Idawati, Sukirno, dan Pujiningsih. 2003. Pengaruh Perubahan Earnings Per Share terhadap Perubahan Harga Saham pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEJ. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Vol. 2, No. 1; 94–104. Iramani, Rr. dan Ansyori Mahdi. 2006. Studi Tentang Pengaruh Hari Perdagangan Terhadap Return Saham Pada BEJ. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 8, No. 2, November: 63-70. Kusdiyanto. 1996. Analisis Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Harga Saham Bank-Bank Go Publik di Indonesia. Empirika, No. 17, 39–49. Kharisma, Erina. 2003. Analisis Pengaruh Variabe Fundamental dan Teknikal Terhadap Harga Saham. Lintasan Ekonomi, Volume XX, No 2, Juli, hal 188-203. Kormedi, R., dan R. Lipe. 1987. Earnings Innovations, Earnings Persistence, and Stock Returns. Journal of Business 60 (3). pp. 323-345. Lipe, R.C. 1990. The Relation Between Stock Return, Accounting Earnings and Alternative Information. The Accounting Review (January). pp. 4971. Meythi. 2006. Pengaruh Arus Kas Operasi Terhadap Harga Saham dengan Persistensi Laba Sebagai Variabel Intervening. Simposium Nasional Akuntansi 9, Padang, Agustus. K-AKPM01. Pradhono dan Yulius Jogi Christian. 2004. Pengaruh Economic Value Added, Residual Income, Earnings, dan Arus Kas Operasi Terhadap Return yang Diterima Oleh Pemegang Saham (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta). Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 6, No. 2, November: 140-166. Puspasari, Dory Erma. 2006. Analisis Pengaruh Current Ratio, Debt to Equity Ratio, Net Profit Margin Ratio, Return On Equity, Dan Dividend Payout Ratio terhadap Perubahan Harga Saham
pada Perusahaan Manufaktur yang Go-Publik di Bursa Efek Surabaya. Skripsi. Universitas Airlangga Surabaya. Reza, Mochammad. 2000. Analisis Dampak Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Tingkat Inflasi dan Kurs Tukar terhadap Return Saham dari PerusahaanPerusahaan yang terdapat di Indonesia, Tesis Program Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya Malang. Riyanto, Bambang. 2002. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi 4.Yogyakarta: BPFE. Rosyadi, Imron. 2002. Keterkaitan Kinerja Keuangan dengan Harga Saham (Studi Pada 25 Emiten 4 Ratio Keuangan di BEJ). Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol, 1, No. 1, April, 24–48. Rohmah, Sholikhah Nur dan Rina Trisnawati. 2004. Pengaruh Economic Value Added dan Profitabilitas Perusahaan terhadap Return Pemegang Saham Perusahaan Rokok. Empirika, Vol. 17, No. 1, Juni, 64–78. Sartono, R. Agus dan Kusdhianto Setiawan. 1999. Adakah Pengaruh “EVA” terhadap Nilai Perusahaan dan Kemakmuran Pemegang Saham Pada Perusahaan Publik?. Jurnal Akuntansi dan Bisnis Indonesia. Vol. 14, No. 4, Oktober, 124– 136. Sharpe, William F., Gordon J. Alexander, & Jeffery V. Bailey, 1999, Investasi, Terjemahan oleh Hanry dan Agustiono, Edisi Revisi, Jilid I, Jakarta: Penerbit Prehallindo. Sloan, R.G. 1996. Do Stock Prices Fully Reflect Information in Accruals and Cash Flows about Future Earnings? The Accounting Review 71 (July). pp. 289-315. Santoso, Singgih. 2002. Buku Latihan SPSS Statistik Multivariat. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Sudarto, Hindrata Gunawan dan Muhammad Havid. 2003. Faktor-faktor Fundamental dan Teknikal
109
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 101-113
serta Hubungannya dengan Harga Saham pada Perusahaan Rokok, Makanan, dan Minuman di BEJ. Jurnal Ekonomi, Bisnis, dan Akuntansi, Vol. 5, No. 2, September; 197-210. Sitobang, Sonang. 2003. Pengaruh Kinerja Perusahaan terhadap Pendapatan Saham Perusahaan Industri Otomotif yang Terdaftar di BEJ. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Vol. 2, No. 1, 75-93. Sularso, R. Andi. 2003. Pengaruh Pengumuman Dividen terhadap Harga Saham (Return) Sebelum dan Sesudah Ex-Dividend Date di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 5, No. 1, Mei: 1 – 17. Susilo, Dwi. Teguh Djiwanto, dan Jaryono. 2004. Dampak Publikasi Laporan Keuangan Terhadap Perilaku Return Saham di Bursa Efek Jakarta. SMART, Vol. 2 No.2 Mei: 97-110. Sukartaatmadja, Iswandi. 2005. Pengaruh Arus Kas Operasi dan Laba Akuntansi terhadap Tingkat Keuntungan dan Likuiditas Saham Emiten Sektor Keuangan di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Ilmiah Ranggagading, Vol. 5 No.2, Oktober: 125-132. Suharli, Michael. 2005. Studi Empiris terhadap Dua Faktor yang Mempengaruhi Return Saham Pada Industri Food & Beverages Di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 7, No. 2, November: 99- 116. Sasongko, Noer dan Nila Wulandari. 2006. Pengaruh Economic Value Added dan Rasio Profitabilitas Terhadap Harga Saham. Empirika, Vol.19 No.1. Siaputra, Lani. dan Adwin Surja Atmadja. 2006. Pengaruh Pengumuman Dividend terhadap Harga Saham Sebelum dan Sesudah Ex-Dividend Date di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 8, No. 1, Mei: 71-77.
110
Siyami, Nia Isniati. 2007. Analisis Pengaruh Variabel Fundamental dan Teknikal Terhadap Harga Saham Perusahaan Farmasi yang Listing di BEJ Periode 2002-2004. Skripsi. Universitas Brawijaya, Malang. Triyono., dan J. Hartono. 2000. Hubungan Kandungan Informasi Arus Kas, Komponen Arus Kas, dan Laba Akuntansi dengan Harga atau Return Saham. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 3, no. 1 (Januari). pp. 54-68. Wulandari, Dwi. 2005. Pengaruh Variabel-variabel Fundamental dan Teknikal Terhadap Harga Saham (http://www.ekofeum.co.id.)
PENGARUH VARIABEL FUNDAMENTAL TERHADAP ............... (Rowland Bismark Fernando Pasaribu)
Tabel 7 Hasil Uji Multikolinearitas
Sumber: Hasil olah data. Keterangan: suatu persamaan multiregresi memiliki gejala multikolinieritas kalau nilai tolerance > 1 dan Nilai VIF <10 (Santoso, 2002).
111
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 101-113
Lampiran 1 Definisi Operasional Variabel
112
PENGARUH VARIABEL FUNDAMENTAL TERHADAP ............... (Rowland Bismark Fernando Pasaribu)
Lampiran 2 Sampel Penelitian
113
.
ISSN: 1978-3116 KERJASAMA PERDAGANGAN REGIONAL (AFTA): KAJIAN EKONOMI................ (Sri Fatmawati)
Vol. 2, No. 2, Juli 2008 Hal. 115-126
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
KERJASAMA PERDAGANGAN REGIONAL (AFTA): KAJIAN EKONOMI TERHADAP PERDAGANGAN BARANG INDONESIA Sri Fatmawati Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta, Jalan Seturan Yogyakarta 55281, Telepon +62 274 486160, 486321, Fax. +62 274 486155 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT In global perspective, the ratification of Uruguay Round had a positive impact on the world trade. However, most of benefit would be enjoyed by the developed country such as the US, EC, and Japan. To anticipate the formed of World Trade Organization (WTO), the countries in Southeast Asia formed regional agreement in order to strengthen the regional block in economic, particularly in trade. In this case, how issues and prospects the regional agreement in the future particularly in trade? How the impact of (Association of South East Asia Nations (ASEAN) Free Trade Area (AFTA) to Indonesian economic? This paper aims to elaborate the trend of AFTA until special economic zone in ASEAN and how its impact to Indonesia, particularly in trade and investment. Keywords: regional agreement, block in economic, trade and investment.
PENDAHULUAN Kerjasama perdagangan dalam lingkup regional dalam dekade terakhir terus bertambah. Hal ini ditengarai sebagai akibat proses liberalisasi perdagangan multilateral yang dinilai tidak menunjukkan kemajuan berarti sejak dari kegagalan WTO untuk memulai putaran perundingan perdagangan baru di Seattle tahun 1999
dan kesulitan dalam pencapaian kesepakatan pada putaran Doha tahun 2006. Kerjasama perdagangan regional adalah perjanjian dari dua atau lebih negara yang bertujuan untuk mengurangi hambatan dalam perdagangan atas dasar resiprokal dan atau preferensi (World Bank, 2005). Sampai dengan tahun 2004, telah terdapat sekitar 230 perjanjian perdagangan regional (termasuk di dalamnya perjanjian bilateral). Volume perdagangan antar negara-negara yang tergabung dalam perjanjian perdagangan regional saat ini mencapai 40% dari perdagangan dunia. Nilai preferensi dari kerjasama perdagangan regional juga semakin berkurang sebagai akibat dari semakin banyaknya negara yang mengurangi tarif seluruh sektor kepada seluruh negara anggota atas dasar Most Favoured Nation (MNF) dan pada waktu yang sama hambatan preferensi dikurangi melalui kerjasama perdagangan regional. Namun, dari seluruh penurunan tarif di negara-negara berkembang dalam dua dekade terakhir, hanya sebesar 10% disumbang dari penurunan tarif dalam rangka perjanjian perdagangan regional kemudian berturut-turut sebesar hampir 65% disumbang dari penurunan tarif secara unilateral, dan 25% dari penurunan tarif dalam rangka putaran Uruguay. Berdasarkan data WTO, sampai dengan saat ini hampir seluruh negara di dunia ini paling tidak bergabung dalam satu kerjasama perdagangan regional. Bahkan ada negara yang bergabung dalam beberapa perjanjian atau kerjasama perdagangan regional. Secara rata-rata, satu negara menjadi anggota dalam enam
115
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 115-126
perjanjian perdagangan regional. Dibandingkan negaranegara di kawasan lain, negara-negara di Asia Timur merupakan negara yang paling sedikit menandatangani perjanjian perdagangan regional. Sedangkan negaranegara di belahan utara sebagai negara yang paling banyak berpartisipasi dalam perjanjian perdagangan regional. Secara rata-rata, per negara menandatangani paling sedikit 13 perjanjian. Mitra utama dari negaranegara di belahan utara tersebut dalam kerjasama perdagangan adalah negara-negara berkembang, yaitu sejumlah 45 negara. Artikel ini akan menguraikan perkembangan, prinsip, dan motif kerjasama perdagangan regional. Kemudian akan dikemukakan beberapa contoh kerjasama perdagangan regional di Asia Timur, seperti ASEAN-Preferential Trade Aggrement (ASEAN-PTA), Asian Free Trade Area (AFTA), ASEAN+3 (ASEAN+ Korea, Cina, Jepang), dan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) dan akan dianalisis peluang dan tantangan yang akan dihadapi Indonesia terkait dengan perdagangan barang di kawasan bebas ASEAN. Selain itu, juga ditinjau mengenai manfaat kerjasama perdagangan regional terhadap peningkatan perdagangan dan kemakmuran negara-negara di kawasan ASEAN termasuk Indonesia. Proses regionalisasi atau integrasi regional dalam kerjasama perdagangan sebenarnya tidak terlepas dari sejarah pembentukan WTO. Berawal dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang disepakati pada tahun 1947 sebagai reaksi atas perkembangan regionalisasi perdagangan berupa blokblok kerjasama perdagangan yang banyak merugikan negara-negara yang tidak bergabung dalam salah satu blok perdagangan karena adanya penetapan tarif preferensi antarnegara dalam blok perdagangan. GATT sebagai lembaga internasional yang mengelola dan mengendalikan aturan main di bidang perdagangan yang dirumuskan secara multilateral telah banyak membantu menjaga sistim perdagangan internasional yang relatif terbuka dan memungkinkan pertumbuhan ekonomi dunia yang cukup tinggi dapat tetap berjalan dan bahkan menjadi lebih terbuka. Namun, dalam periode 1970-1980an sebagai akibat dinamika perkembangan ekonomi dunia seperti penurunan harga minyak dan terjadinya global imbalances mengakibatkan adanya kecenderungan proteksionisme di negara-negara maju seperti Amerika Serikat.
116
Hambatan dalam bentuk yang terselubung seperti voluntary export restraint maupun sanitari atau phytosanitary regulation semakin marak terutama sebagai reaksi terhadap resesi ekonomi dunia pada awal tahun 1980an. Selain itu, kerjasama perdagangan regional dengan sistim preferensi yang dibentuk pada akhir 1980 an seperti North American Free Trade Area (NAFTA) antara Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko menambah kekhawatiran negara-negara berkembang di luar kerjasama tersebut untuk memperoleh akses ke pasar Amerika Serikat. Runtuhnya sistim marxisme di Eropa Timur dan keinginan negara-negara di kawasan tersebut untuk bergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) juga dapat menganggu akses negaranegara berkembang ke pasar Eropa dan dikhawatirkan MEE akan menjadi kekuatan yang bersifat introvert dan semakin berorientasi ke dalam dan eksklusif. Kekhawatiran tersebut tidak berlebihan karena terbukti ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) ke pasar Eropa mengalami penurunan yang cukup signifikan yang ditengarai sebagai ekses dari pembentukan Free Trade Area (FTA) dan perlakuan yang tidak sama antara negara-negara eksportir satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, MEE atau European Union (EU) memberikan hak istimewa yang tidak membebankan tarif bea masuk bagi Turki dan Bangladesh, sementara TPT dari Indonesia masih dikenakan tarif sebesar 12%-17%. Menyikapi hal itu maka disepakati untuk diadakan serangkaian perundingan yang disebut putaran Uruguay yang pada akhirnya menyepakati pembentukan WTO pada tahun 1995. Perundingan tersebut banyak diikuti oleh negara berkembang yang berkepentingan terhadap pembukaan akses pasar bagi ekspor produk tradisional. Berdalih memperoleh akses pasar yang lebih besar, negara-negara maju yang telah memperoleh kemajuan di bidang services, intellectual property rights, dan investasi mendesak untuk memasukkan bidang-bidang baru tersebut Sebagai kepentingan negara maju dalam perundingan. Pengaruh yang cukup besar negara-negara maju dalam perundingan GATT mengakibatkan bidang-bidang baru tersebut berhasil dimasukkan dalam pasal-pasal perundingan. Selain itu, pembentukan WTO juga merupakan upaya perbaikan kelembagaan GATT untuk menampung perluasan cakupan substansi yang cukup signifikan. Terdapat tiga pilar utama yang dihasilkan dalam kesepakatan akhir perundingan putaran Uru-
KERJASAMA PERDAGANGAN REGIONAL (AFTA): KAJIAN EKONOMI................ (Sri Fatmawati)
guay, yaitu (i) persetujuan multilateral terhadap perdagangan barang; (ii) persetujuan multilateral terhadap perdagangan jasa; dan (iii) persetujuan terhadap perdagangan terkait dengan aspek hak kekayaan intelektual (Trade related Aspects of Intelectual Property Rights). Meskipun GATT menganut prinsip MFN atau non discriminatory, konsep kerjasama perdagangan dalam bentuk FTA dan Custom Union (CU) diakomodasi dalam perjanjian dan diberikan pengecualian di dalam pasal 24. FTA adalah bentuk perjanjian perdagangan dengan preferensi yang melakukan diskriminasi terhadap pihak di luar perjanjian melalui penerapan tarif dan hambatan dalam bentuk ketentuan. Namun demikian, perjanjian perdagangan regional dapat mempercepat proses liberalisasi perdagangan melalui penerapan perdagangan duty free antaranggota dan memberikan kesempatan negaranegara anggota perjanjian untuk melakukan integrasi perekonomian lebih lanjut lebih dari yang dapat dilakukan melalui perjanjian WTO (WTO, 2005). Hal ini disebabkan oleh cakupan dari perjanjian perdagangan regional saat ini yang lebih luas dari perjanjian regional tradisional yang meliputi jasa keuangan, perlindungan investasi, perlindungan lingkungan, hak buruh, procurement pemerintah, peraturan perdagangan internasional, dan isu mengenai hukum persaingan usaha. Selain itu, juga terdapat mekanisme untuk fasilitasi perdagangan yang tidak terdapat dalam WTO. Terdapat beberapa pendapat mengenai pengecualian yang diberikan untuk CU dan FTA, pertama adalah kenyataan politis yaitu jauh sebelum pembentukan GATT telah terdapat beberapa kerjasama perdagangan antarnegara yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan hambatan perdagangan. Beberapa negara menyatakan tidak akan menandatangani GATT apabila terdapat klausul yang melarang kerjasama serupa di masa yang akan datang (WTO,1995). Pendapat kedua menyatakan bahwa karena hampir seluruh anggota WTO juga anggota kerjasama regional maka WTO secara faits accomplish harus mengakomodasi bentuk kerjasama regional dalam bentuk FTA dan CU (Ariff, 2001). Beberapa negara anggota juga menginginkan agar GATT mengakomodasi kerjasama regional dengan alasan bahwa kerjasama regional meningkatkan perdagangan dan mendukung alokasi sumber daya lebih efisien.
Terdapat dua konsep mengenai kerja sama perdagangan dalam lingkup regional yaitu kerjasama regional (regional cooperation) dan penyatuan regional (regional integration). Kerjasama regional dapat diartikan sebagai kebijakan bersama yang diambil oleh sekelompok negara yang biasanya terletak dalam satu kawasan untuk mencapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi dibandingkan dengan upaya yang diambil masing-masing negara secara individu (Lamberte, 2004). Sedangkan penyatuan regional adalah penyatuan secara de facto beberapa negara dalam satu kawasan geografis. Penyatuan tersebut dapat didorong oleh (i) kebutuhan pasar sehingga tidak diperlukan perjanjian eksplisit atau koordinasi tindakan antarnegara untuk menyatukan perekonomiannya dan (ii) penyatuan yang dihasilkan oleh kebijakan yang dihasilkan dari kerjasama regional dalam bentuk perjanjian perdagangan regional (institution driven). Intensitas penyatuan regional dapat bervariasi, regional full economic integration tercipta apabila barang, jasa, dan faktor produksi dapat bergerak bebas antarnegara dalam satu kawasan dan pasar keuangannya juga telah menyatu. Selain itu juga terdapat istilah regionalization dan regionalism. Regionalisasi adalah upaya penyatuan perekonomian yang didorong oleh pasar dan biasanya dipengaruhi oleh kekuatan pasar dan perkembangan teknologi yang sama dengan proses globalisasi. Sedangkan menurut Lamberte (2005), regionalisasi adalah upaya penyatuan perekonomian yang didorong oleh pasar yang dimulai dari proses reformasi perekonomian secara unilateral di masingmasing negara dalam suatu kawasan. Regionalism adalah kerjasama ekonomi formal dan kesepakatan ekonomi dari suatu kelompok negara yang bertujuan untuk memfasilitasi atau meningkatkan penyatuan regional. Beberapa faktor yang menjadi motif pembentukan kerjasama regional antara lain (i) membangun rasa aman baik secara ekonomis maupun politis di antara negara berdekatan; (ii) mengelola friksi perdagangan; (iii) peningkatan kapasitas untuk pembangunan; (iv) batu loncatan untuk liberalisasi multilateral; (v) kebijakan untuk menjamin diplomasi perdagangan; (vi) the copycat syndrome atau reaksi pertahanan terhadap regionalisme di Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Latin yang mengancam daya saing perekonomian Asia Timur; dan (vii) persaingan untuk
117
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 115-126
mendapatkan penanaman modal asing (PMA). MASALAH DAN PEMBAHASAN Pembahasan mengenai kerjasama perdagangan di kawasan yang terdekat dengan Indonesia tentunya tidak akan terlepas dari pembahasan mengenai ASEAN sebagai cikal bakal dari kerjasama ekonomi khususnya perdagangan di Asia Tenggara bahkan tidak berlebihan apabila dikatakan juga merupakan cikal bakal dari kerjasama ekonomi dan perdagangan di kawasan Asia Pasifik. Salah satu alasan yang mendukung pernyataan tersebut adalah pendapat yang dikemukakan oleh Masahiro Kawai (2005) bahwa dalam 40 tahun terakhir, 8 negara Asia yaitu Cina, Korea, Taipei-Cina, dan 5 negara ASEAN ( Singapura, Malaysia, Indonesia Thailand, dan Phillipina) mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat yang salah satu faktor pendorongnya adalah orientasi ekonomi bersifat outward. Hal tersebut diakui oleh Bank Dunia dalam The East Asian Miracle (1993) yang menyatakan bahwa pada periode ‘keajaiban’ (1980an sampai dengan 1990an) pangsa perdagangan luar negeri negara-negara tersebut terhadap Gross Domestic Product (GDP) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan negaranegara berkembang lain di dunia. Keadaan tersebut dicapai oleh liberalisasi perdagangan yang didukung oleh kebijakan domestik dan reformasi institusional mengakibatkan perekonomian negara-negara Asia Timur tersebut tumbuh. ASEAN didirikan berdasarkan deklarasi Bangkok tanggal 8 Agustus 1967 oleh 5 negara yaitu Indonesia, Philipina, Singapura, Malaysia, dan Thailand. Tujuan utama pembentukan ASEAN adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan. Keanggotaan ASEAN terus bertambah hingga berjumlah 10 negara. Berawal dari keikutsertaan Brunei tanggal 8 Januari 1984, Vietnam tanggal 28 Juli 1995, Laos dan Myanmar tanggal 23 Juli 1997, dan terakhir Kamboja tanggal 30 April 1999. ASEAN juga memiliki beberapa prinsip dasar yang tertuang dalam dua dokumen. Dokumen pertama dalam deklarasi Zona Damai, Merdeka, dan Netral (ZOPFAN) yang mendeklarasikan agar negara-negara ASEAN meningkatkan upaya untuk menjamin pemahaman kawasan ASEAN sebagai zona aman, damai, merdeka dan netral, bebas dari campur tangan kekuatan luar.
118
Dokumen kedua, yaitu prinsip yang tercantum dalam perjanjian persahabatan dan kerja sama (TAC) di Asia Tenggara yang ditandatangani tanggal 24 Februari 1976. Perjanjian tersebut mendeklarasikan bahwa negara-negara anggota dalam hubungan bernegara harus didasari prinsip saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, kesatuan wilayah, dan identitas nasional dari seluruh negara. Kerja sama ASEAN memasuki tahap kristalisasi pada KTT ASEAN ke 9 di Bali tahun 2003 dengan pendeklarasian Bali Concord II yang bertujuan untuk mencapai integrasi penuh ASEAN pada tahun 2020 dalam wadah komunitas ASEAN yang terdiri atas 3 pilar utama, yaitu kerjasama politik keamanan, kerjasama ekonomi, dan kerjasama social budaya. Melalui kerjasama ekonomi diharapkan akan terjadi penyatuan ekonomi ASEAN dalam bentuk masyarakat ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) yang ditandai dengan pergerakan arus barang dan jasa, investasi, dan modal yang bebas dan tanpa hambatan. Pengembangan kerjasama ASEAN adalah ASEAN Preferential Trade Agreement (PTA). Mengingat salah satu tujuan pembentukan ASEAN adalah percepatan pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan intra ASEAN yang masih rendah terutama ketika ASEAN pertama kali terbentuk pada tahun 1967 maka pada tanggal 25 Februari 1977 dibentuk kerjasama perdagangan preferensi antarnegara ASEAN untuk mengembangkan perdagangan di antara negara ASEAN. ASEAN PTA merupakan komitmen pertama negara ASEAN dalam rangka meningkatkan perdagangan intra kawasan antara lain melalui pertukaran tarif preferensi khususnya untuk produk makanan, energi, dan produk yang termasuk dalam proyek industri ASEAN dan peningkatan penggunaan bahan baku yang tersedia di kawasan. Peningkatan perdagangan dilakukan dengan melalui skim sebagai berikut, yaitu (i) pengurangan tarif melalui tarif preferensi; (ii) mendukung kredit ekspor dengan suku bunga preferensi; (iii) kontrak kuantitas jangka panjang; (iv) preferential procurement dari instansi pemerintah; dan (v) pembebasan hambatan non tarif. Berdasarkan kelima cara tersebut, hanya pengurangan tarif yang dilaksanakan cukup luas bagi barang-barang yang diperdagangkan dan berasal dari negara-negara anggota ASEAN (Prabowo, 2004). Kerjasama dalam ASEAN PTA tidak memberikan
KERJASAMA PERDAGANGAN REGIONAL (AFTA): KAJIAN EKONOMI................ (Sri Fatmawati)
kontribusi yang diharapkan dalam meningkatkan perdagangan intra ASEAN. Selama 10 tahun sejak ditandatangani kesepakatan ASEAN PTA, dari 12.783 jenis barang yang didaftarkan hanya sebesar 2,7% yang diberikan fasilitas PTA (Prabowo, 2004). Pangsa ekspor negara intra ASEAN terhadap total ekspor ASEAN di tahun 1970 dan 1993 tidak mengalami peningkatan berarti yaitu 21,4% menjadi 22,3%. Begitu pula impor intra ASEAN terhadap total impor ASEAN dalam dua periode tahun tidak mengalami peningkatan berarti yaitu 16,3% menjadi 19,2%. Sedangkan ekspor Indonesia ke ASEAN pada dua periode tersebut menurun cukup tajam yaitu dari 21,1% menjadi 11,4%. Begitu pula impor ASEAN ke Indonesia menurun dari 7,6% menjadi 6,9%. Untuk lebih meningkatkan kerjasama ekonomi dan perdagangan ASEAN pada tahun 1992 disepakati pembentukan AFTA. Tujuan AFTA adalah untuk meningkatkan kerjasama ekonomi antarbegara ASEAN guna mencapai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang bersinambungan bagi semua negara anggota ASEAN. Tujuan strategis AFTA adalah untuk meningkatkan competitive advantage kawasan sebagai satu kawasan/unit produksi tunggal (single production unit) dan pasar tunggal (single market). Pengurangan tarif dan non tarif negara-negara ASEAN diharapkan akan menciptakan efisiensi ekonomi yang lebih besar serta peningkatan produktifitas dan daya saing (Low, 2004). Pencapaian tujuan AFTA dilakukan melalui penghapusan hambatan tarif dan non tarif dengan target penurunan mencapai 0%-5% untuk produk yang memiliki muatan ASEAN sebesar 40%, dalam kurun waktu 15 tahun sejak pemberlakuan ketentuan pada tahun 1993. Mekanisme penurunan tarif dilakukan melalui penerapan Common Effective Preferential Tariff (CEPT) dan atas dasar prinsip MFN. Namun pada tahun 1994 disepakati untuk mempercepat proses liberalisasi menjadi 10 tahun sehingga perdagangan bebas kawasan dapat tercapai pada tahun 2003. Pada tanggal 1 Januari 2005 sebanyak 98,98% produk yang masuk dalam inclusion list CEPT dari negara ASEAN telah berhasil diturunkan tarifnya menjadi 0%-5%. Produkproduk Exclusion List (EL) yang masih dikenakan tarif CEPT di atas 5% adalah produk-produk yang baru ditransfer dari Temporary Exclusion List, Sensitive List, dan General Exclusion List pada tahun 2003.
Kerjasama ini menurut beberapa analis tidak banyak mendorong peningkatan perdagangan intra ASEAN karena (i) beberapa negara ASEAN masih ragu; (ii) ekonomi negara ASEAN tidak complementarity; (iii) volume perdagangan intra ASEAN tidak menunjukkan peningkatan berarti; (iv) kondisi politik ekonomi negara ASEAN kurang mendukung; dan (v) ketidakkompakan ASEAN dalam menghadapi berbagai institusi multilateral. Kesepakatan perdagangan regional ASEAN selain mencakup perdagangan barang juga mencakup perdagangan jasa. Liberalisasi perdagangan jasa di ASEAN dilakukan melalui ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) yang ditandatangani pada KTT ASEAN ke 5 di Bangkok tanggal 15 Desember 1995. AFAS bertujuan untuk meningkatkan kerjasama di bidang jasa, mengurangi secara substantif hambatan perdagangan sektor jasa, dan meliberalisasikan lebih jauh sektor jasa. Latar belakang pembentukan AFAS adalah (i) untuk melengkapi pendirian AFTA dan (ii) memperkuat sektor jasa ASEAN dalam pasar dunia. Pangsa perdagangan jasa ASEAN terhadap perdagangan jasa dunia adalah 20% dan diharapkan akan meningkat menjadi 50% pada tahun 2020. Sampai saat ini, komitmen Indonesia dalam AFAS adalah meliputi sektor perbankan, lembaga keuangan non bank, telekomunikasi, angkutan udara, angkutan laut, dan turisme. Untuk sektor usaha lembaga keuangan non bank, kehadiran tenaga asing dimungkinkan sepanjang menduduki jabatan Direktur, Manajer, dan Tenaga Ahli untuk jangka waktu maksimum 3 tahun atau dapat diperpanjang. Indonesia tidak memberikan komitmen atas kehadiran tenaga asing di sektor telekomunikasi dan angkutan udara. Meskipun perkembangan AFTA kurang begitu menggembirakan di satu sisi, namun proses kerjasama perdagangan dan investasi intra ASEAN dan tiga Negara maju Asia yaitu Jepang, Korea Selatan, dan Cina (ASEAN+3) mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Proses tersebut terjadi sebagai respon terhadap kekuatan pasar seperti investor, produser, importir, dan eksportir (Yue,1995). Hal ini terlihat dari perkembangan intensitas perdagangan antarnegara ASEAN+3 yang tercermin dari volume perdagangan ASEAN+3 terhadap perdagangan dunia di tahun 2001mencapai 23%. Sejalan dengan perkembangan volume perdagangan seluruh Negara
119
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 115-126
ASEAN+3 share perdagangan intra ASEAN+3 mengalami peningkatan pada tahun 1978, 1988, dan 1996 masing-masing sebesar 31%, 36%, dan 49%. Krisis keuangan Asia di tahun 1997 yang banyak menimpa negara-negara ASEAN mengakibatkan munculnya kesadaran negara-negara tersebut untuk memaksimalkan kerjasama regional khususnya dalam membantu likuiditas dalam hal terjadi krisis. Keinginan tersebut juga dipicu oleh lambannya proses pencairan bantuan likuiditas oleh IMF. Salah satu inisitatif pertama yang mengemuka dan diformalkan di antara Negara ASEAN+3 adalah kerjasama di bidang moneter dan keuangan bukan kerja sama di bidang perdagangan dan investasi. Kerjasama ini diharapkan dapat memperkuat ASEAN sebagai suatu kelompok kawasan dan memperkuat posisi di mata internasional APEC yang didirikan pada tahun 1989 bertujuan untuk lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran masyarakat di kawasan Asia Pacifik berdasarkan prinsip non binding commitment, open dialogue, dan saling menghormati terhadap pandangan negara anggota. Tujuan akhir pembentukan APEC adalah menciptakan kawasan perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka pada tahun 2010 untuk negara maju dan pada tahun 2020 untuk negara berkembang. Agenda utama APEC adalah sebagai forum untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi serta kerjasama perdagangan dan investasi di kawasan Asia Pasifik. Melalui forum APEC diharapkan terjadi pengurangan tarif dan hambatan perdagangan lain yang akan mendorong peningkatan efisiensi perekonomian anggota APEC yang terdiri dari 21 negara. Operasionalisasi APEC dilakukan melalui dialog terbuka dan keputusan dibuat atas dasar konsensus dan komitmen diterapkan atas dasar sukarela. Namun dalam perkembangannya, APEC tidak mampu mencapai Early Voluntary Sector Liberalization sehingga seluruh anggota APEC bersepakat untuk mengalihkan upaya liberalisasi 9 sektor yang disetujui dalam kerangka WTO. Dalam perkembangan APEC terakhir, terlihat adanya upaya beberapa negara besar untuk menjadikan forum APEC yang semula adalah kerjasama ekonomi dan perdagangan menjadi forum untuk memuluskan kepentingan negara-negara tersebut di bidang politik maupun keamanan. Meski kehadiran AFTA sudah lebih dari satu
120
dasa warsa dengan hasil penurunan tarif rata-rata 0%5%, namun magnitude perdagangan intra ASEAN tidak juga menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal ini terlihat dari rata-rata pertumbuhan ekspor intra ASEAN dibandingkan dengan rata-rata ekspor ASEAN ke ekstra kawasan sejak tahun 1993–2004 masingmasing mencapai 11% dan 10%. Namun demikian, dilihat dari proporsinya, ekspor intra ASEAN jauh lebih sedikit (20%) dibandingkan dengan ekspor ke ekstra ASEAN yang mencapai 80% dari total ekspor ASEAN. Demikian pula, di sisi impor rata-rata pertumbuhan impor intra ASEAN hanya mencapai 10%, sementara impor dari kawasan di luar ASEAN mencapai 8% namun pangsanya mencapai 80% dari total impor ASEAN. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan Uni Eropa (UE). Sebagai perbandingan perdagangan produk kesehatan dan makanan intra ASEAN hanya 18% dan 5%, sementara perdagangan intra UE untuk produk yang sama telah mencapai 50% dan 18%. Hal itu menunjukkan bahwa meski tarif telah jauh turun namun masih jauh dari memadai untuk menjadi satu pasar tunggal. Kenyataan yang ada dihadapi para pebisnis ASEAN di lapangan adalah masih banyak hambatan non tarif seperti (i) perbedaan standarisasi produk-produk; (ii) prosedur perijinan yang berbelit; (iii) inefisiensi pengurusan pengeluaran barang yang mengakibatkan bertambahnya biaya pergudangan sehingga barang tidak kompetitif. Selain itu, persoalan ragam komoditas yang hampir sama merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan kurang cepatnya pertumbuhan perdagangan di kawasan ini. Padahal diyakini bahwa semakin dalam integrasi perdagangan yang terjadi, akan membawa keuntungan yang substansial bagi negara-negara anggota ASEAN karena akan mengurangi seperlima biaya produksi secara kawasan dan pada akhirnya mampu menjadi pemain yang dinamis di pasar global (Wattanapruttipaisan, 2006). Proses integrasi sektor-sektor AFTA dimulai tahun 2005 dan penghapusan tarif akan diterapkan pada tahun 2002 pada enam negara anggota lama untuk semua sektor yang disepakati. Sebagaimana kesepakatan Agustus 2006, penerapan penghapusan tarif dipercepat menjadi tahun 2007 karena pembentukan pasar tunggal ASEAN dipercepat dari tahun 2020 menjadi tahun 2015. Hingga tahun 2005 telah disepakati 11 sektor strategis yang bebas diperdagangkan di
KERJASAMA PERDAGANGAN REGIONAL (AFTA): KAJIAN EKONOMI................ (Sri Fatmawati)
ASEAN, tujuh di antaranya merupakan produk industri barang seperti elektronik, tekstil dan produk tekstil (TPT), agro processing, karet, otomotif, hasil kelautan, dan produk kayu. Sisanya merupakan industi jasa penerbangan, pariwisata, teknologi informasi, dan jasa kesehatan. Empat industri barang yang disebut pertama mendominasi perdagangan intra ASEAN. Kebijakan domestik negara anggota ASEAN telah membentuk pola perdagangan intra ASEAN dan model integrasi yang diadopsi oleh masing-masing sektor. Hasil studi menunjukkan bahwa perdagangan elektronik sangat terkonsentrasi pada beberapa produk yang mengindikasikan adanya spesialisasi produk dan merupakan bagian dari rantai produksi. Pada industri otomotif, strategi produksi sangat tergantung pada kantor pusat yang bermarkas di negara maju. Produksi otomotif biasanya untuk memenuhi pasar regional dan produksi untuk bagian khusus otomotif dipusatkan pada satu negara tertentu untuk mencapai skala ekonomi. Sementara itu untuk tekstil dan garmen tidak terdapat spesialisasi produk mengingat masing-masing negara memproduksi berbagai jenis produk dalam variasi yang luas. Untuk produk karet pola perdagangan intra ASEAN menunjukkan bahwa negara seperti Indonesia, Myanmar, Philipina, Thailand, dan Vietnam mengekspor karet mentah ke Malaysia dan Singapura untuk kemudian diekspor kembali ke negara-neara tersebut dalam bentuk karet olahan. Untuk produk kayu dibagi menjadi dua kelompok di mana Laos, Myanmar, dan Malaysia mengekspor produk yang bernilai tambah rendah, sedangkan kelompok lain yakni Indonesia, Philipina, Singapura, dan Thailand memproduksi kayu dengan nilai tambah yang lebih tinggi (Austria, 2004).
Negara yang memperoleh surplus terbanyak dari perdagangan barang di kawasan ini pada tahun 2000 adalah Singapura dan Malaysia yaitu sekitar 58% (USD 181 miliar) sementara Indonesia dan Philipina membukukan surplus sekitar 21%, dan Thailand meraih 17%. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat pangsa ekspor intra ASEAN didominasi oleh 4 negara utama yaitu Singapura (39%), Malaysia (27%), Thailand (14,8%), dan Indonesia (11,5%) selama periode 19982004. Berdasarkan data tersebut nampak Indonesia belum maksimal dalam memanfaatkan penurunan tarif bea masuk untuk meningkatkan ekspor ke ASEAN dan apabila hal ini tidak dibenahi maka pada tahun 2007 pasar Indonesia hanya akan menjadi lahan bagi Negara anggota ASEAN lainnya. Tidak akan ada lagi skemaskema yang dapat disiasati untuk memproteksi pengusaha dan industri lokal karena Indonesia terikat pada kesepakatan tersebut kecuali meningkatkan daya saing dan produktifitas guna menghasilkan produk yang berkualitas dan efisien. Daya saing Indonesia dilihat dari berbagai sisi dan sektor-sektor yang akan diliberalisasi masih rendah. Sejak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) Oktober 2005 kinerja industri yang sebagian besar tarifnya turun menjadi 0% justru mengalami penurunan seperti elektronika (30%-40%) dan otomotif (mobil 50% dan motor 20%). Ekspor kayu (tripleks) Indonesia pada kawasan regional harus bersaing ketat dengan Malaysia yang berani menetapkan harga jauh di bawah harga pasar. Selain itu, kayu yang diekspor Malaysia juga sudah mengalami pengolahan lebih jauh sehingga memiliki nilai tambah lebih tinggi. Permasalahan kayu
Tabel 1 Pangsa Ekspor Intra ASEAN (%), ASEAN-5
Negara Indonesia Malaysia Philipina Singapura Thailand
1998 13.5 31.2 5.5 37.5 12.0
1999 11.1 29.2 6.7 39.1 13.2
2000 11.7 26.1 6.4 40.5 14.1
2001 11.5 25.4 6.0 39.7 15.2
2002 11.5 25.5 6.4 39.2 15.2
2003 10.7 26.5 6.6 35.9 16.5
2004 10.8 26.4 5.7 36.2 17.6
Rata-rata 11.5 27.2 6.2 38.2 14.8
Sumber: ASEAN Trade Statistic Database.
121
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 115-126
di Indonesia terutama adalah praktek illegal logging yang mengakibatkan bahan baku kayu menjadi semakin sulit serta teknologi permesinan yang sudah usang sehingga mengurangi produktifitas. Untuk meningkatkan ekspor kayu, pemerintah harus secara konsisten memerangi praktek illegal logging serta mengganti mesin-mesin tua yang dilakukan dengan mengundang investor asing. Produk TPT Indonesia di kawasan ASEAN harus bersaing dengan Thailand, Vietnam, dan Philipina. Dalam industri ini, Indonesia menghadapi sejumlah permasalahan seperti kondisi permesinan yang sudah tua, rendahnya investasi baru, serta meningkatnya daya saing negara-negara tetangga yang memiliki bahan baku kapas dan upah tenaga kerja yang rendah. Sementara itu industri TPT di dalam negeri didominasi produk impor murah. Tabel 2 berikut ini menggambarkan strategi yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN dalam meningkatkan ekspor TPT. Indonesia juga merupakan pengekspor karet bersama Malaysia dan Thailand, namun untuk pasar ASEAN, Thailand memberikan kontribusi terbesar yaitu sekitar 43% sementara Indonesia dan Malaysia
menguasai sekitar 48%. Namun, produk ekspor karet ini masih dalam bentuk karet mentah efek nilai tambahnya sangat kecil. Peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produk karet menjadi industri yang diandalkan masih terbuka. Peranan ekspor produk primer terutama makanan merupakan komoditas yang penting pada awal pembangunan ekonomi Indonesia (27% dari total ekspor non migas tahun 1965). Hal yang serupa terjadi hampir pada semua negara berkembang tidak terkecuali Singapura dan Korea Selatan. Bedanya, negara-negara tersebut selama 20 tahun dan sejalan dengan pola penerapan industrialisasi dan perdagangan, secara signifikan telah meninggalkan ekspor primer tersebut. Di lain pihak, dalam periode yang sama Indonesia masih mengandalkan ekspor komoditas makanan dimana penurunan pangsanya mencapai 11,7% dan 12,3% pada tahun 1994 dan 2005. Tahun 1980-an negara-negara berkembang lainnya seperti Korea, Singapura, dan Malaysia telah mengandalkan ekspor barang yang bersifat capital dan technology intensive seperti mesin elektrik, barang kimia dan farmasi, komputer, dan peralatan komunikasi lainnya dimana beberapa jenis barang bahkan memiliki
Tabel 2 Fokus Pengembangan TPT Negara-Negara ASEAN Malaysia Pengembangan industri pakaian jadi pada high value added items dan pengembangan nama dagang merk Malaysia. Pengembangan kapasitas melalui teknologi proses.
Philipina Pengembangan industri kain untuk udara tropis.
Pengembangan Menarik investor industri dyeing finishing & printing. tekstil khususnya bidang spinnin, weaving, dan Pengembangan garment. produk-produk bernilai tinggi. Peningkatan produktifitas melalui upgrading keahlian, teknologi, efisiensi, dan leadline.
Sumber: Bank Indonesia.
122
Vietnam Pengembangan industri kain high quality untuk ekspor.
Indonesia Pengembangan industri hulu (pulp, rayon), serat karamay, sutera, abaka, dan acrylic. Pengembangan industri kain high value dan pakaian jadi fashion untuk ekspor dengan mengembangkan merk dagang Indonesia. Peningkatan produktivitas serta just in time dengan mendirikan pusat pelatihan keahlian tekstil.
KERJASAMA PERDAGANGAN REGIONAL (AFTA): KAJIAN EKONOMI................ (Sri Fatmawati)
teknologi yang canggih. Hal ini telah dimulai oleh Korea, Singapura, dan Malaysia sejak tahun 1960-an. Sementara itu, Indonesia bersama dengan Thailand tahun 1980-an baru memulai ekspor pada komoditas yang sedikit berteknologi rendah seperti tekstil dan sepatu. Dengan kata lain, Indonesia tertinggal 20 tahun untuk meraih pangsa ekspor produk yang bertumpu pada teknologi dan tenaga ahli dan hal itu pun dengan porsi yang sangat kecil. Tahun 1990-an, Korea dan Singapura yang telah beralih pada produk berteknologi tinggi dimana perekonomiannya didorong oleh aktifitas PMA. Perusahaan internasional banyak yang memindahkan sebagian usahanya di Korea dan Singapura. Hasilnya adalah produk-produk ekspor jauh lebih terdiversifikasi dan meningkatnya produk yang sophisticatied. PMA juga mengalir ke Indonesia dan sebagian perusahaan internasional juga beroperasi di Indonesia, namun
barang-barang yang dihasilkan hanyalah produk yang mengandalkan tenaga kerja dengan keahlian rendah untuk menghasilkan produk assembling atau fabrikasi yang rendah. Pendekatan lain dapat dilakukan untuk melihat struktur ekspor yaitu berdasarkan klasifikasi produk ekspor SITC dengan kecanggihan teknologi produk sesuai intensitas Research and Development (R&D) dan penggunaan produk sumberdaya alam. Pengelompokkan produk berdasarkan kategori ini menunjukan bahwa makin canggih teknologi dalam menghasilkan suatu produk, cenderung mempunyai nilai tambah yang tinggi per unit ekspor dan menunjukkan makin dinamis segmen pasarnya dalam perdagangan internasional. Tabel 4 berikut ini menunjukkan perbandingan struktur teknologi ekspor barang manufaktur Indonesia dengan beberapa negara Asia lainnya.
Tabel 3 Perubahan Komposisi Ekspor Non Migas Indonesia (% terhadap Total Ekspor Non Migas) Produk Makanan Tekstil, Pakaian, Sepatu Kayu dan Produk Kertas Mesin Non Elektrik Mesin Elektrik Bahan Kimia dan Obatan Komputer dan Peralatan Kantor Peralatan Komunikasi Sumber: John Weiss, 2005.
1965 27 0.2 0 2.5 0 0.5 0 0
1975 22.7 0.3 0.1 0.8 0.6 1.4 0 0.1
1985 14.6 6.1 10 0.2 0.8 5.9 0 0
1994 11.7 24.7 17.3 0.6 2.1 3.2 0.9 2.5
2005 12.3 13.1 8.1 1.5 6.6 3.5 3.9 3.5
Tabel 4 Struktur Teknologi Ekspor (STE) Manufaktur Beberapa Negara (1985,1998,2000, dalam %) STE Resource Based Low Technology Medium Technology High Technology
Tahun 1985 1998 2000 1985 1998 2000 1985 1998 2000 1985 1998 2000
China 3.2 4.5 9.5 63 56.3 44.9. 19.1 13.2 21.2 14.8 26 24.4
Korea 8.6 10.7 11.7 41.4 21 17.1 37.2 38.5 34 12.8 29.8 37.1
Singapura 43.5 14.1 14.9 8.6 7 6.5 23.4 18.7 17.4 24.5 60.2 61.2
Malaysia 53.7 16.7 13.1 8 11 9.6 11.4 20.3 17.8 26.9 52.1 59.4
Thailand 37.9 19.3 18.4 35.4 25.3 21.5 22 20.5 23.8 4.7 34.8 36.3
Indonesia 75.2 38.8 33.7 15.5 33 31.3 6.4 18.5 17.5 3 9.7 17.4
Philipina 56 7.2 6.5 24.1 7.2 11.9 0.9 10.9 11.6 11 67.4 70
Sumber: Lall (2000) dan Lall Albaladejo (2004).
123
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 115-126
Berdasarkan Tabel 4 tersebut nampak selama 15 tahun sejak tahun 1985, produk ekspor Indonesia masih didominasi oleh produk yang berbasis sumber daya alam. Basis ini sudah ditinggalkan oleh negaranegara yang berada dalam satu kelompok dengan Indonesia yakni Philipina, Malaysia, dan Thailand. Selain itu bagi Indonesia dominasi produk dengan teknologi rendah masih merupakan bagian penting dalam struktur ekspor terutama ekspor produk pakaian jadi, tekstil, dan alas kaki yang berbasis upah buruh yang rendah. Dalam tingkatan ini, Indonesia bersaing ketat dengan China dan Thailand. Sementara itu, Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara seperti Singapura, Malaysia, bahkan Philipina untuk memproduksi barang ekspor yang bermuatan teknologi tinggi atau bernilai tambah tinggi seperti barang-barang elektronik. Selain rendahnya daya saing dan produktifitas, tantangan bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor di kawasan ASEAN antara lain masih banyak peraturan non tarif yang dianggap menghambat perdagangan di kawasan ASEAN. Indonesia harus menyelesaikan 217 peraturan perundangan yang masuk dalam kategori red-box karena dinilai menghambat kelancaran arus perdagangan barang. Jumlah peraturan perundangan di Indonesia yang masuk dalam kategori red-box ini tergolong banyak dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lain. Untuk menghadapi pasar bebas AFTA tahun 2015, pemerintah seharusnya membuat langkahlangkah perbaikan yang signifikan guna mendorong industri dan perdagangan barang yang diliberalisasi. Jika tidak industri dan perdagangan barang yang diliberalisasi ini akan lebih terpuruk. Pasar Indonesia yang begitu besar akan menjadi lahan bagi negaranegara ASEAN lainnya. Pemerintah perlu membuat grand design peta perdagangan dan industri serta ketentuan-ketentuan teknis seperti yang dilakukan oleh negara ASEAN lainnya. Selain itu, pungutan dan pajak yang tinggi hendaknya juga perlu ditinjau kembali karena hal ini mengakibatkan produk Indonesia sulit bersaing. Selain itu, masalah fasilitas pembiayaan ekspor dengan bunga yang rendah masih menjadi kendala bagi pengusaha. Indonesia masih berpeluang besar untuk mengekspor produk-produk seperti minyak bumi dan produknya, peralatan telekomunikasi, minyak kelapa sawit, dan non ferrous metal, namun demikian harus didukung oleh penyediaan fasilitas pembiayaan
124
ekspor dan infrastruktur. Tujuan utama kerjasama perdagangan regional adalah peningkatan kemakmuran seluruh negara anggota melalui liberalisasi perdagangan. Namun, sebagian besar literature menunjukkan bahwa secara teoritis dampak PTA terhadap kemakmuran belum diketahui. Selain itu kesulitan dalam mengukur dampak PTA masih dinegosiasikan dan belum secara penuh diimplementasikan. Beberapa metode yang digunakan oleh sebagian besar negara untuk meliberalisasi perdagangan adalah melalui pembentukan PTA, FTA, CU, dan Pasar Bersama. Mengingat pelaksanaan bentuk kerjasama perdagangan ini lebih efektif untuk negaranegara yang secara geografis tinggal dalam satu kawasan maka metode-metode kerjasama liberalisasi perdagangan ini sering disebut sebagai pendekatan regional dalam liberalisasi perdagangan. Pertanyaan utama yang sering timbul dalam pembentukan kerjasama regional adalah apakah metode liberalisasi perdagangan regional suatu hal yang baik dan menguntungkan. Jika ya dalam kondisi bagaimana dan jika tidak mengapa? Salah satu alasan yang mendukung bentuk kerjasama perdagangan regional adalah karena bentuk kerjasama ini bertujuan untuk menciptakan kondisi perdagangan bebas. Meskipun pembentukan kerjasama perdagangan seperti FTA dan CU dibolehkan dalam GATT, namun sesungguhnya bentuk kerjasama perdagangan ini menyalahi prinsip non discrimination karena dalam praktiknya menerapkan kebijakan diskriminasi. WTO dalam hal ini memberikan toleransi karena kerjasama perdagangan tersebut mengarah pada penciptaan perdagangan bebas. Meskipun demikian, terdapat beberapa pendapat yang mengkhawatirkan kerjasama ini akan lebih mempersulit pencapaian perdagangan dunia yang lebih bebas. Alasan logis dari penyataan tersebut adalah semakin besar magnitude kerjasama regional relatif dibandingkan pasar dunia, semakin tinggi kekuatan pasar kawasan tersebut. Semakin tinggi kekuatan pasar maka akan semakin tinggi tarif dan pajak ekspor yang diterapkan kepada negara anggota. Dengan demikian, pendekatan regional pada proses liberalisasi perdagangan dapat menimbulkan pembentukan blok perdagangan yang besar di mana antarnegara anggota dapat berdagang secara bebas namun menghambat perdagangan dengan negara lain
KERJASAMA PERDAGANGAN REGIONAL (AFTA): KAJIAN EKONOMI................ (Sri Fatmawati)
yang non anggota. Berdasarkan alasan tersebut beberapa pakar perdagangan internasional berpendapat bahwa pendekatan multilateral dalam liberalisasi perdagangan akan lebih cenderung berhasil mencapai tujuan perdagangan dunia yang bebas dibandingkan dengan pendekatan regional atau preferensi Berdasarkan penelitian McGuire (2004), Indonesia telah gagal untuk mengambil manfaat liberalisasi perdagangan dalam bentuk peningkatan pertumbuhan ekonomi, produktivitas, dan teknologi. Jaringan kebijakan Publik Indonesia (JAJAKI) dan United Nations Support Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR) mensinyalir bahwa ketidakmampuan Indonesia untuk mengambil manfaat perdagangan bebas disebabkan karena ketidaksiapan Indonesia untuk liberalisasi perdagangan. Pasar Indonesia yang sudah terbuka tidak dibarengi dengan keberadaan lembaga, kebijakan, dan infrastruktur yang mutlak diperlukan bagi perdagangan agar Indonesia dapat secara positif menanggapi dan mendapatkan manfaat dari liberalisasi perdagangan. Bahkan sering terkesan kebijakan yang diambil adalah inkonsisten seperi kebijakan penurunan proteksi digantikan dengan proteksi dalam bentuk lain dengan bobot yang sama. Hal ini disebabkan karena dunia usaha kurang kompetitif baik dari sisi inovasi, tenaga kerja, ataupun aspek lain. Fenomena ini semakin terlihat jelas pada saat perekonomian Indonesia khususnya sektor perdagangan mengalami reformasi yang cukup signifikan dan mendalam sebagai akibat krisis tahun 1997.
perdagangan dan politik telah semakin mempersulit proses liberalisasi pasar. Bagi Indonesia, sendiri keikutsertaan Indonesia dalam berbagai forum kerjasama perdagangan internasional diyakini dapat memberikan manfaat yang lebih baik bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia. Walaupun demikian, tantangan yang ditimbulkan sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia tersebut tidaklah sedikit baik tantangan ekonomi, politis, ataupun sosial. Tantangan ekonomi yang dihadapi sangatlah besar yang meliputi kurangnya kapasitas nasional, infrastruktur fisik yang lemah, kondisi sosial politik hukum kurang kondusif, investasi asing yang rendah, biaya ekonomi yang tinggi, dan tenaga kerja kurang kompetitif di pasar internasional. Berbagai upaya yang sistematis dan konsepsional untuk meningkatkan daya saing ekonomi nasional perlu dilakukan agar Indonesia dapat memanfaatkan liberalisasi perdagangan dunia dengan baik.
SIMPULAN
Austria, Myrna (2004), The Pattern of Intra-ASEAN Trade in the Pririty Goods Sector, REPSF Project no.03/006e, August.
Berbagai forum kerja sama baik bilateral, regional, maupun multilateral dari waktu ke waktu telah menunjukkan arah perdagangan yang semakin liberal dalam pengertian mengurangi berbagai pembatasan akses pasar dan pembatasan national treatment. Walaupun demikian, dewasa ini berbagai pembatasan perdagangan yang bersifat trade distortive dalam bentuk subsidi, hambatan tarif dan non tarif, serta proteksi regulasi masih banyak terjadi di berbagai negara termasuk negara-negara maju sekalipun. Berbagai upaya untuk mencapai tingkat liberalisasi yang lebih tinggi bukannya tanpa persoalan, baik dalam tatanan nasional ataupun internasional. Sensitivitas kebijakan
DAFTAR PUSTAKA Ariff, Mohammed (2001). Regional Interaction and Global Free Trade. Palgrave. pp 133. Arifin, Sjamsul, dkk (2007). Kerjasama Perdagangan Internasional. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Hamid, Edy Suandi (2000). Ekonomi Indonesia: Memasuki Milenium III. Yogyakarta: UII Press. Kartadjoemena, Hasan (2000). Substansi perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa, Jakarta: UI- Press. Lamberte, Mario (2005). An Overview of Economic Cooperation and Integration in Asia. ADB. Manila. pp 4.
125
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 115-126
Low, Linda (2004). ASEAN Economi Co-operation and Challenges. ISAS. pp 16. Prabowo, Dibyo dan Sonia Wardoyo (2004). AFTA Suatu Pengantar. Yogyakarta: BPFE. The World Trade Organization (1995). Regionalism and the World Trading System. Geneva. The World Trade Organization (2005), Legal, Economic, and Political Analysis. Vol.II, Geneva. Wattanapruttipaisan, Thitipha (2006), Priority Inegration Sectors: Performance and Challenges, Asia Views, Edition: 33/III/2006. Yue, Chia Siow (1995). Progress and Issues in ASEAN Economic Integration. ISAS, Singapore. pp 36.
126
ISSN: 1978-3116 PENGARUH KUALITAS INTI, KUALITAS HUBUNGAN, RISIKO ................ (Yosua Pontolumiu Manoppo)
Vol. 2, No. 2, Juli 2008 Hal. 127-144
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
PENGARUH KUALITAS INTI, KUALITAS HUBUNGAN, RISIKO YANG DIPERSEPSIKAN, DAN HARAPAN KONSUMEN PADA LOYALITAS PELANGGAN DAN KOMPLAIN PELANGGAN PADA SALON KECANTIKAN “X” YANG ADA DI YOGYAKARTA Yosua Pontolumiu Manoppo Jalan Sungai Kapuas Nomor 11 A, Sempu Barat, Jakarta Telepon +62 21 4415832 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT The purpose of this research examine the model that describes the effect of core quality, relational quality, perceived risk, consumer expectation, that are mediated by perceived value and customer satisfaction to consumer compliant and customer loyalty. The result of this study shows that customer satisfaction is effected by core quality, relational quality, perceived risk, and customer expectation. This result is expected to become one of information resource for management of “X” skin care to determine policies that are related to the effort to increase their service quality. Keywords: core quality, relational quality, perceived risk, customer expectation, perceived value, customer satisfaction, consumer complaint, customer loyalty.
PENDAHULUAN Dewasa ini dunia pemasaran telah mengalami banyak perubahan menuju ke era globalisasi. Untuk dapat memenangkan persaingan perusahaan harus mampu memberikan kepuasan pada pelanggan melalui penyampaian produk dan jasa yang berkualitas. Beberapa penelitian terdahulu mengenai kepuasan pelanggan hanya memasukkan kualitas sebagai penentu terciptanya suatu kepuasan pelanggan. Misalnya Parasuraman, dkk. (1995) yang melakukan
penelitian mengenai kepuasan pelanggan menyatakan bahwa penentu terciptanya kepuasan pelanggan adalah kualitas layanan. Begitu juga penelitian Cronin dan Taylor (1992) yang mencari konseptualisasi dan pengukuran kualitas layanan serta hubungan antara kualitas layanan, kepuasan pelanggan, dan minat membeli kembali. Padahal bidang pemasaran saat ini menghadapai sebuah paradigma baru yaitu pemasaran hubungan. Pemasaran hubungan mempunyai fokus pada kegiatan-kegiatan yang menyangkut pada mendapatkan pelanggan serta mempertahankan pelanggan, tidak lagi hanya pada aktivitas-aktivitas untuk menarik pelanggan. Nilai dianggap sebagai faktor yang penting dalam pemasaran hubungan dan kemampuan perusahaan untuk memberikan nilai yang superior kepada pelanggan dianggap sebagai faktor yang penting dalam melaksanakan pemasaran hubungan dan dianggap sebagai sebuah strategi yang kompetitif. Dengan menambah nilai yang lebih pada suatu produk atau jasa inti, perusahaan berusaha untuk dapat meningkatkan kepuasan pelanggan sehingga ikatan yang terjalin semakin kuat dan pada akhirnya loyalitas pelanggan tercapai. Penelitian mengenai kepuasan pelanggan yang telah memasukkan nilai salah satunya dilakukan oleh McDougall dan Levesque (2000). Mereka berpendapat bahwa kepuasan pelanggan pada jasa dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu kualitas inti, kualitas hubungan, dan nilai yang dipersepsikan secara langsung. Ketiga variabel ini akan mempengaruhi kepuasan pelanggan secara spesifik.
127
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 127-144
Menurut Fornell dkk, (1996) kepuasan pelanggan mempunyai tiga anteseden, yaitu kualitas yang dirasakan, nilai yang dirasakan, dan harapan pelanggan. Kualitas yang dirasakan maupun harapan pelanggan keduanya dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan secara langsung maupun tidak langsung melalui nilai yang dirasakan. Sedangkan kepuasan pelanggan yang terbentuk akan berpengaruh negatif terhadap komplain pelanggan dan berpengaruh positif terhadap kesetiaan pelanggan. Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut; apakah kualitas inti berpengaruh positif pada nilai yang dipersepsikan; apakah kualitas hubungan berpengaruh positif pada nilai yang dipersepsikan; apakah risiko yang dipersepsikan berpengaruh negatif pada nilai yang dipersepsikan; apakah harapan konsumen berpengaruh positif pada nilai yang dipersepsikan; apakah nilai yang dipersepsikan berpengaruh positif pada kepuasan pelanggan; apakah kepuasan pelanggan berpengaruh negatif pada komplain pelanggan; dan apakah kepuasan pelanggan berpengaruh positif pada loyalitas pelanggan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris mengenai pengaruh kualitas inti, kualitas hubungan, risiko yang dipersepsikan, harapan konsumen pada komplain pelanggan, loyalitas pelanggan yang dimediasi oleh nilai yang dipersepsikan, dan kepuasan pelanggan pada salon kecantikan “X” di Yogyakarta. Kepuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau beberapa norma kinerja lain) dan kinerja aktual produk sebagaimana dirasakan setelah pemakaiannya (Tse dan Wilton, 1988). Menurut Oliver (1993) kepuasan keseluruhan ditentukan oleh ketidakpuasan harapan sebagai perbandingan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Kepuasan merupakan fungsi positif dari harapan pelanggan (keyakinan pelanggan sebelum membeli jasa) dan keyakinan dikonfirmasi (keyakinan pelanggan sesudah membeli jasa dibandingkan harapannya). Sedangkan menurut (Kotler & Keller, 2006), kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan kinerja (atau hasil) suatu produk dengan harapanharapannya. Jadi seorang konsumen mempersepsikan kualitas produk atau jasa yang dibeli melebihi
128
kebutuhan, keinginan, dan harapannya maka kepuasan konsumen dikatakan tinggi (diskonfirmasi positif). Jika seseorang konsumen mempersepsikan bahwa kualitas produk atau jasa tidak memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapannya maka kepuasan konsumen dikatakan rendah (diskonfirmasi negatif). Jika kinerja sesuai harapan, maka diskonfirmasi akan sama dengan nol (konfirmasi) sehingga konsumen tidak merasa puas ataupun kecewa. Menurut Oh dan Parks (1997) dalam Suhartono (2001) kepuasan konsumen adalah suatu perasaan emosional dalam merespon terhadap konfirmasi atau diskonfirmasi, selanjutnya melibatkan dinamika konitif, afektif, dinamika psikologis, dan fisiologis yang tak terungkap lainnya yang bersifat ekstensif. Berdasarkan definisi-definisi tersebut dilihat adanya suatu kesamaan makna bahwa kepuasan pelanggan merupakan perasaan atau penilaian emosi dari pelanggan atas penggunaan suatu barang atau jasa dimana harapan dan kebutuhan mereka terpenuhi. Zeithaml (1988) mendefinisikan nilai dalam 2 pengertian, yaitu value yang lebih individualistik dan personal jika dibandingkan dengan kualitas serta value terdapat tingkat konsep lebih tinggi daripada kualitas dan value (tidak seperti halnya kualitas) melibatkan adanya trade off dari komponen give dan get. Komponen pengorbanan dari perceived value termasuk monetery price dan non monetery price. Artinya, pengorbanan konsumen dihitung dengan uang dan sumber lainnya seperti waktu, energi, dan usaha dalam mendapatkan produk atau layanan. Atribut ekstrinsik berperan sebagai sinyal value yang dapat diukur dengan kegiatan penilaian manfaat serta biaya. Persepsi tentang value tergantung pada referensi yang digunakan konsumen dalam membuat evaluasi perceived value berdampak hubungan antara kualitas dan pembelian. Lebih lanjut lagi dalam Zeithaml (1988) membahas perceived quality tersebut memiliki berbagai arti yang berhubungan dengan penilaian konsumen tentang superioritas produk, yaitu 1) perbedaan antara fungsi kualitas obyektif dan aktual, 2) sebagai higher level abstraction daripada atribut spesifik produk, 3) penilaian secara global yang dalam beberapa kasus mirip dengan attitudes, dan 4) penilaian biasanya dibuat dalam consumer evoked set. Atribut intrinsik produk sebagai sinyal kualitas merupakan produk spesifik, namun dimensi kualitas dapat
PENGARUH KUALITAS INTI, KUALITAS HUBUNGAN, RISIKO ................ (Yosua Pontolumiu Manoppo)
digeneralisasi pada kelas produk atau kategori. Tandatanda ekstrinsik berperan sebagai indikator kualitas yang dapat digeneralisasi di antara merek (accros brand), produk, dan kategori. Kemudian sinyal-sinyal kualitas berubah setiap waktu karena adanya persaingan, usaha promosi perusahaan, perubahan selera konsumen, dan informasi. Perceived risk merupakan salah satu komponen yang penting pada pemrosesan informasi yang dilakukan oleh konsumen (Assael, 1998). Perceived risk didefinisikan oleh Oglethorpe dan Monroe (1994) sebagai persepsi konsumen mengenai ketidakpastian dan konsekuensi-konsekuensi negatif yang mungkin diterima atas pembelian suatu produk atau jasa. Persepsi bahwa suatu pembelian berisiko menjadikan konsumen melakukan aktivitas pencarian informasi tambahan. Semakin tinggi persepsi konsumen terhadap risiko, akan semakin tinggi pula kecendrungan konsumen untuk melakukan pencarian informasi tambahan mengenai suatu produk. Ketika persepsian semakin menjadi tinggi, ada suatu motivasi apakah akan menghindari pembelian dan penggunaan atau meminimumkan risiko melalui pencarian informasi dan evaluasi alternatif pembelian dalam tahap pengambilan keputusan yang kompleks. Konsumen mungkin akan mengevaluasi merek secara detail dan cermat. Informasi mengenai produk sangat dibutuhkan dan konsumen mengevaluasi berbagai merek. Proses pengambilan keputusan yang demikian menggambarkan adanya keterlibatan konsumen dengan suatu produk. Konsep risiko yang dipersepsikan telah menjadi topik penelitian yang hangat sejak tahun 1960-an. Raymond A. Bauer (Bettman, 1973) memperkenalkan konsep risiko yang dipersepsikan melalui penelitian perilaku konsumen yang menyatakan bahwa perilaku konsumen mengandung adanya risiko, artinya bahwa setiap tindakan konsumen akan menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak dapat diantisipasi dengan apapun yang dapat diperkirakan kepastiannya, dan beberapa konsekuensi-konsekuensi di antaranya mungkin akan mengecewakan. Pernyataan ini mendorong peneliti lain untuk memperdalam konsep risiko yang dipersepsikan dengan melakukan penelitian-penelitian lebih lanjut. Pada saat konsep risiko yang dipersepsikan diperkenalkan pertama kali, konstruk ini diajukan untuk
menjelaskan fenomena-fenomena dalam perilaku konsumen seperti pencarian informasi, loyalitas merek, dan kepercayaan terhadap orang lain didalam keputusan-keputusan pembelian. Ide dasar dibalik konstruk ini bukan merupakan hal yang baru, tetapi lebih banyak diilhami oleh teori-teori statistik, psikologi dan ilmu ekonomi. Dalam teori-teori tersebut, risiko persepsian dikaitkan dengan situasi-situasi pilihan yang secara potensial hasilnya bisa positif bisa negatif. Sebaliknya, dalam perilaku konsumen, konsep mengenai risiko hanya menfokuskan pada potensi yang negatif saja. Potensi hasil negatif inilah yang akan menjadi perbedaan penting antara pengertian risiko dalam perilaku konsumen dengan perilaku yang digunakan dalam disiplin ilmu lain (Stone dan Grounhaug, 1993). Pengertian risiko telah digunakan dalam banyak konteks. William W. Lawrence dalam Manuela (1990) mendefinisikan risiko sebagai potensi untuk menerima kenyataan yang tidak diinginkan, yaitu konsekuensikonsekuensi negatif dari suatu peristiwa. Meskipun demikian konsep risiko yang dikemukakan oleh para peneliti tidak lagi menjadi bahan pertimbangan. Dalam konteks perilaku konsemen para peneliti berusaha memberi gambaran bahwa konsumen menghadapi kesulitan dalam mempertimbangkan kemungkinan konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari tindakannya dan konsumen jarang dapat mempertimbangkan beberapa konsekuensi ini dengan tingkat kepastian yang tinggi. Konsumen dihadapkan pada beberapa tipe risiko yang berbeda dalam keputusan pembeliannya. Assael (1998) mengidentifikasi terdapat lima tipe risiko yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan pembelian, yaitu 1) financial risk atau risiko financial merupakan suatu fungsi dari biaya produk relatif terhadap pendapatan konsumen yang bisa dibelanjakan; 2) sosial risk atau risiko sosial mempunyai arti bahwa suatu pembelian mungkin tidak memenuhi standar referensi group tertentu; 3) performance risk atau risiko kinerja terkait dengan kemungkinan suatu produk gagal dalam menjalankan fungsinya atau adanya kemungkinan produk yang dibeli tidak dapat dioperasikan secara teknis karena rusak misalnya. Psychlogical risk atau risiko psikologi, yaitu adanya kemungkinan bahwa produk yang dibeli tidak sesuai dengan citra dirinya. Risiko ini terkait
129
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 127-144
dengan resiko kinerja, yaitu terjadinya kegagalan kinerja suatu produk. (Kotler & Keller, 2006) mendefinisikan kualitas sebagai keseluruhan ciri serta sifat dari suatu produk atau layanan yang berpengaruh pada kemampuan memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat. Menurut Parasuraman, dkk. (1985) kualitas jasa adalah kualitas jasa yang mencakup suatu perbandingan antara harapan dan persepsi konsumen terhadap kinerja jasa yang mereka terima (gap theory). Parasuraman, dkk. (1985) mengembangkan sebuah model yang merupakan dasar dari skala SERVQUAL, dalam mengevaluasi kualitas jasa konsumen membandingkan antara jasa yang mereka harapkan dengan persepsi dan jasa yang mereka terima. Dalam penelitian Parasuraman et al., dihasilkan lima dimensi kualitas layanan yang dijadikan dasar dalam penelitian kualitas layanan yaitu tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty. Tangibles meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi. Reliability, merupakan kemampuan perusahaan dalam memberikan layanan yang dijanjikan dengan tepat waktu dan memuaskan. Responsiveness merupakan kemampuan para staf untuk membantu para pelanggan dengan memberikan layanan dengan tanggap. Assurance mencakup kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf. Emphaty mencakup kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pelanggan. McDougall dan Levesque (2000) telah melakukan penelitian yang menguji hubungan antara kualitas inti, kualitas hubungan, nilai persepsian, kepuasan konsumen, dan perilaku setelah pembelian. Mereka menemukan bahwa kualitas inti dan nilai persepsian adalah variabel yang paling berpengaruh terhadap kepuasan konsumen dan pengaruh kualitas hubungan terhadap kepuasan konsumen signifikan tetapi bukan variabel kontrol. Mereka juga menyatakan bahwa ada hubungan langsung antara kepuasan konsumen dan perilaku setelah pembelian. Berbagai definisi kualitas jasa, pada dasarnya mempunyai esensi yang sama yaitu terdiri dari dua komponen utama yang menyangkut komponen inti jasa yang ditawarkan dan komponen penyampaian jasa. Parasuraman, dkk. (1985) melakukan penelitian mengenai kualitas yang dirasakan konsumen pada
130
empat industri layanan, yaitu perbankan, kartu kredit, perdagangan surat-surat berharga, serta pemeliharaan dan perbaikan produk. Dalam penelitian tersebut mereka mengidentifikasi lima kesenjangan yang menyebabkan kegagalan penyampaian pelayanan, yaitu kesenjangan antara harapan konsumen dan persepsi manajemen, kesenjangan antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi kualitas layanan, kesenjangan antara spesifikasi kualitas layanan dan penyampaian layanan, kesenjangan antara penyampaian layanan dan komunikasi eksternal, dan kesenjangan antara layanan yang dirasakan dan layanan yang diharapkan. Pengukuran kualitas layanan dengan menggunakan lima dimensi kualitas layanan yaitu reliability, responsiveness, assurance, emphaty, dan tangible. Pengukuran kualitas layanan dapat dilakukan dengan membuat skala multi item sebagai dasar dari SERVQUAL yang terdiri dari 22 butir. Zeithaml (1988) melakukan penelitian mengenai perceived value dari jasa dengan menggunakan focus group dan in-depth interview. Metode ini dipilih untuk dapat menggali hubungan antara persepsi konsumen terhadap harga, kualitas dan nilai. Focus group digunakan untuk menentukan atribut yang penting dan variabel yang dianggap berhubungan dengan perceived value. Sementara in-depth interview digunakan untuk mengungkapkan hubungan kausal antara atribut produk, kualitas dan nilai. Kuesioner dengan pertanyaan terbuka digunakan untuk menguji informasiinformasi yang dibutuhkan untuk membuat penilaian mengenai kualitas dan nilai. Hasil penelitian menyatakan bahwa perceived quality mempengaruhi perceived value yang pada akhirnya mempengaruhi purchase intention. Baik intrinsic atribut (yaitu bagaimana pembelian jasa dilakukan) maupun extrinsic atribut (yaitu reputasi jasa) ditemukan berhubungan positif dengan perceived quality. Secara keseluruhan, Zeithaml menyimpulkan bahwa kualitas, harga (moneter dan non-moneter), reputasi jasa, dan emosional respon merupakan dimensi-dimensi yang terkait dengan perceived value. Penelitian Sudarwati (2003) menggunakan model kualitas jasa dimana kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh kualitas layanan (kualitas inti dan kualitas hubungan), perceived value, dan future intention (switching intention dan loyalty intention). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh perceived
PENGARUH KUALITAS INTI, KUALITAS HUBUNGAN, RISIKO ................ (Yosua Pontolumiu Manoppo)
value dalam pembentukan kepuasan pelanggan dimana kepuasan pelanggan berpengaruh positif pada loyalty intention dan berpengaruh negatif kepada switching intention. Jadi kualitas inti dan kualitas hubungan tidak berpengaruh secara langsung pada kepuasan pelanggan, tetapi melalui perceived value. Penelitian ini juga membuktikan bahwa adanya peran nilai dalam pembentukan kepuasan pelanggan dimana kepuasan pelanggan berpengaruh positif pada loyalty intention dan berpengaruh negatif pada switching intention. Jadi, kualitas inti dan kualitas hubungan tidak berpengaruh secara langsung pada kepuasan pelanggan, tetapi melalui perceived value. Penelitian ini difokuskan untuk menganalisis pengaruh core quality, relational quality, perceived risk, customer expectation terhadap loyalitas pelanggan dan komplain pelanggan yang dimediasi oleh variabel perceived value dan customer satisfaction. Penelitian ini mengkombinasikan model penelitian Sweeney et al (1999), Mcdougall dan Levesque (2000), dan Fornell et al. (1996). Gambar 1 menunjukkan model yang digunakan dalam penelitian ini. Hipotesis dalam penelitian ini adalah membuktikan bahwa kepuasan pelanggan dipengaruhi kualitas inti, kualitas hubungan, dan perceived value.
H1: Kualitas inti berpengaruh positif pada nilai yang dipersepsikan. H2: Kualitas hubungan berpengaruh positif pada nilai yang dipersepsikan. H3: Resiko yang dipersepsikan berpengaruh negatif pada nilai yang dipersepsikan. H4: Harapan konsumen berpengaruh positif pada nilai yang dipersepsikan. H5: Nilai yang dipersepsikan berpengaruh positif pada kepuasan pelanggan. H6: Kepuasan pelanggan berpengaruh negatif pada komplain pelanggan. H7: Kepuasan pelanggan berpengaruh positif pada loyalitas pelanggan. MATERI DAN METODE PENELITIAN Metode pengambilan sampel adalah dengan metode non-probability sampling yaitu setiap unsur dalam populasi tidak memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Metode non-probability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode convenience dengan memilih anggota populasi yang paling mudah ditemui sebagai responden (Sekaran, 2002). Pengambilan sampel dilakukan dengan
Core Quality
Consumer Complaint H1 (+) H5 (+)
Relational Quality
H2(+)
Perceived Value
H3(-) Perceived Risk
Customer Satisfaction H4 (+)
Customer Expectation
H6 (-)
H7 (+) Customer Loyalty
Sumber: Dimodifikasi dari Sweeney et al (1999), Mcdougall dan Levesque (2000), dan Fornell et al. (1996). Gambar 1 Pengaruh kualitas inti, kualitas hubungan, risiko yang dipersepsikan, harapan konsumen pada loyalitas dan komplain pelanggan.
131
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 127-144
purposive sampling yaitu pengambilan sampel dengan kriteria tertentu agar sampel yang diambil sesuai dengan tujuan penelitian (Hartono, 2004/2005). Subyek penelitian adalah pemakai jasa salon kecantikan “X” di Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan data primer. Data primer diperoleh langsung dari responden dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dipandang memiliki relevansi dengan topik yang akan diteliti. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei, yaitu dengan menggunakan pertanyaan atau kuesioner yang dibagikan secara langsung kepada responden yang berjumlah 250 orang untuk ditanggapi dan diisi kemudian diserahkan kembali secara langsung pula kepada peneliti dengan tujuan meningkatkan jumlah pengembalian kuesioner. Penelitian ini menguji variabel yang terbagi dalam variabel independen, variabel intervening/mediasi, dan variabel dependen. Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel dependen secara positif ataupun negatif dan dapat mengakibatkan perubahan pada variabel dependen (Kuncoro, 2003). Core quality, relational quality, perceived risk, customers expectation sebagai variabel independen dalam penelitian ini. Variabel perceived value, customer satisfaction sebagai variabel mediasi yaitu variabel yang muncul di antara waktu variabel independen bekerja untuk mempengaruhi variabel dependen dan berpengaruh terhadap variabel dependen (Kuncoro, 2003). Variabel dependen adalah variabel utama yang diteliti. Tujuan penelitian adalah memahami, mendeskripsikan, dan memprediksikan variabel dependen (Kuncoro, 2003). Dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah customers loyalty dan customer complain pemakai jasa salon kecantikan “X” di Yogyakarta. Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1) kualitas inti merupakan penilaian konsumen terhadap kualitas layanan yang telah diberikan oleh salon kecantikan dalam suatu bentuk yang nyata seperti kecepatan layanan, ketepatan layanan, dan ketepatan informasi yang dibutuhkan konsumen yang terdiri dari 4 butir pertanyaan yang diukur dengan menggunakan skala Likert dengan skor 1-5 (1=sangat tidak setuju sampai dengan 5=sangat setuju); 2) kualitas hubungan merupakan penilaian konsumen terhadap suatu kualitas yang berkaitan
132
dengan bagaimana cara salon kecantikan memberikan layanan seperti keramahan, kesopanan, merespon dengan cepat keluhan konsumen, dan ketepatan dalam memenuhi janji yang terdiri dari 5 butir pertanyaan yang diukur dengan menggunakan skala Likert dengan skor 1-5 (1=sangat tidak setuju sampai dengan 5=sangat setuju); 3) perceived risk menunjukkan risiko yang mungkin akan dialami oleh konsumen karena pemakaian produk yang dianjurkan oleh salon kecantikan dengan item risiko, yaitu risiko fisik seperti menimbulkan jerawat dan kulit wajah menjadi rusak, risiko konsumen menjadi tidak percaya diri, risiko konsumen berpenampilan buruk, risiko keuangan, dan risiko tentang persepsi orang lain terhadap konsumen yang terdiri dari 6 butir pertanyaan yang diukur menggunakan skala Likert dengan skor 1-5 (1=sangat tidak setuju sampai dengan 5=sangat setuju); 4) harapan konsumen tentang salon kecantikan yang dipilihnya yang terdiri dari 8 butir pertanyaan yang diukur menggunakan skala Likert dengan skor 1-5 (1=sangat tidak setuju sampai dengan 5=sangat setuju); 4) nilai yang dipersepsikan merupakan penilaian konsumen setelah mendapatkan layanan dan memakai produk secara keseluruhan yang diberikan oleh pihak salon kecantikan yang didasarkan pada persepsi atas apa yang telah diberikan oleh konsumen dan atas apa yang telah didapat dari salon kecantikan tersebut yang terdiri dari 6 butir pertanyaan yang diukur menggunakan skala Likert dengan skor 15 (1=sangat tidak setuju sampai dengan 5=sangat setuju); 5) kepuasan pelanggan merupakan respon konsumen terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual dari produk dan jasa yang dirasakan yang didasarkan pada penilaian kepuasan terhadap layanan dan produk secara keseluruhan dan perbandingan antara harapan dan kenyataan yang terdiri dari 3 butir pertanyaan yang diukur menggunakan skala Likert dengan skor 1-5 (1=sangat tidak setuju sampai dengan 5=sangat setuju); 6) komplain pelanggan merupakan suatu aktivitas yang menunjukkan adanya keinginan untuk melakukan pengaduan atau protes terhadap produk atau layanan yang kurang memuaskan yang diterima oleh konsumen yang terdiri dari 4 butir pertanyaan yang diukur menggunakan skala Likert dengan skor 1-5 (1=sangat tidak setuju sampai dengan 5=sangat setuju); dan 7) niat untuk loyal merupakan suatu aktivitas yang menunjukkan adanya keinginan untuk
PENGARUH KUALITAS INTI, KUALITAS HUBUNGAN, RISIKO ................ (Yosua Pontolumiu Manoppo)
melakukan pembelian atau untuk menggunakan secara terus-menerus jasa salon kecantikan yang terdiri dari 4 butir pertanyaan yang diukur menggunakan skala Likert dengan skor 1-5 (1=sangat tidak setuju sampai dengan 5=sangat setuju). Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Structure Equation Modelling menggunakan Analysis Moment Structure (Amos). Metode analisis ini digunakan untuk mengukur variabel-variabel latent yang ada dalam penelitian dimana dalam penelitian terdapat lebih dari beberapa variabel endogenous (dependent variabel) dan variabel endogenous ini bisa menjadi variabel exogenous (independent variabel) bagi variabel endogenous yang lain (Hair et al, 2006). Hair et al (2006) mengajukan tahapan pemodelan dan analisis persamaan struktural menjadi beberapa langkah yaitu pengembangan model berdasar teori, menyusun diagram jalur dan persamaan struktural, memilih jenis input matrik dan estimasi model yang diusulkan, menilai identifikasi model struktural, dan menilai kriteria goodness-of-fit.
kesatuan alat ukur yang mengukur konstruk yang sama dan dapat memprediksi dengan baik konstruk yang seharusnya diprediksi. Hasil analisis faktor dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai MSA > 0,50 sehingga indikator tersebut dikatakan valid dan nilai KMO dan Barlett’s test sebesar 0,786. Berdasarkan Tabel 1 nampak bahwa factor loading semua item sudah di atas 0,5 tetapi ada 7 item variabel RI1, RI3, HK1, HK6, HK7, HK8, K2 yang belum terkelompok ke dalam komponennya masingmasing. Oleh karena itu, dilakukan pengujian ulang. Item pada variabel yang sama tetapi terkelompok pada komponen yang berbeda, dikeluarkan dengan memilih item terkelompok dengan jumlah yang lebih sedikit atau yang memiliki factor loading yang lebih rendah. Hasil pengujian akhir analisis faktor dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai MSA > 0,50 sehingga indikator tersebut dikatakan valid dan nilai KMO dan Barlett’s test sebesar 0,811 dan semua item variabel terkelompok ke dalam komponennya masing- masing.
HASIL PENELITIAN Kuesioner yang disebarkan dalam kuesioner penelitian ini berjumlah 250 eksemplar dan kuesioner yang kembali sebanyak 235 sehingga respon rate dari penelitian ini adalah sebesar 94 persen. Namun demikian, dari 235 kuesioner yang masuk 15 di antaranya tidak diikutsertakan dalam analisis selanjutnya karena cara pengisian yang salah dan tidak lengkap sehingga jumlah kuesioner yang digunakan dalam analisis sebanyak 220 eksemplar. Status pendidikan responden dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yakni pelajar dan mahasiswa, dengan persentase responden yang berstatus pelajar sebesar 0,2 % dan responden mahasiswa sebesar 99.8 %. Berdasarkan jenis kelamin, 0,013% responden berjenis kelamin pria dan 99,99% wanita. Berdasarkan segi pendapatan, 99.98% berpendapatan antara Rp500.000-Rp1.000.000 dan sisanya 0.022 % di bawah Rp500.000. Uji validitas dilakukan dengan menggunakan analisis faktor. Menurut Hair et al (1998), analisis faktor perlu dilakukan untuk mengetahui apakah indikator masing-masing konstruk memiliki loading factor yang signifikan. Loading factor yang signifikan membuktikan bahwa indikator tersebut merupakan satu
133
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 127-144
Tabel 1 Hasil Pengujian Validitas
134
PENGARUH KUALITAS INTI, KUALITAS HUBUNGAN, RISIKO ................ (Yosua Pontolumiu Manoppo)
Tabel 2 Hasil Pengujian Validitas (setelah menghilangkan RI 1, RI3, HK1,HK6, HK7, HK8, K2)
Reliabilitas merupakan alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Hasil pengujian reliabilitas dapat dilihat pada
Tabel 3. Suatu kuesioner dikatakan reliabel jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten.
135
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 127-144
Tabel 3 Hasil Pengujian Reliabilitas
Berdasarkan Tabel 3 nampak bahwa koefisien Cronbach‘s Alpha (α) dari ketujuh variabel di atas 0.60 yaitu berkisar antara 0.778 sampai dengan 0.979. Menurut Nunnally, 1967 dalam Ghozali (2005) suatu variabel dikatakan reliabel apabila memiliki koefisien Cronbach‘s Alpha lebih besar atau sama dengan 0.6. Tetapi jika nilai Alpha <60% hal ini mengidentifikasikan ada beberapa responden yang menjawab tidak konsisten dan harus kita lihat satu persatu jawaban responden yang tidak konsisten harus dibuang dari analisis dan Alpha akan meningkat sehingga
136
disimpulkan bahwa ke delapan variabel yang digunakan dalam penelitian ini reliabel. Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas, diketahui bahwa item-item yang valid dan reliabel adalah KI1, KI2, KI3, KI4, KH1, KH2, KH3, KH4, KH5, RI2, RI4, RI5, RI6, HK2, HK3, HK4, HK5, N1, N2, N3, N4, N5, N6, K1, K3, KK1, KK2, KK3, KK4, NL1, NL2, NL3, NL4.
PENGARUH KUALITAS INTI, KUALITAS HUBUNGAN, RISIKO ................ (Yosua Pontolumiu Manoppo)
Gambar 2 Model Struktural Hipotesis-hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Hipotesis 1: Ho: Kualitas inti tidak berpengaruh secara positif pada nilai yang dipersepsikan. Ha: Kualitas inti berpengaruh secara positif pada nilai yang dipersepsikan. Hipotesis 2: Ho: Kualitas hubungan tidak berpengaruh secara positif pada nilai yang dipersepsikan. Ha: Kualitas hubungan berpengaruh secara positif pada nilai yang dipersepsikan.
Hipotesis 3: Ho: Resiko yang dipersepsikan tidak berpengaruh secara negatif pada nilai yang dipersepsikan. Ha: Resiko yang dipersepsikan berpengaruh secara negatif pada nilai yang dipersepsikan. Hipotesis 4: Ho: Harapan konsumen tidak berpengaruh secara positif pada nilai yang dipersepsikan. Ha: Harapan konsumen berpengaruh secara positif pada nilai yang dipersepsikan.
137
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 127-144
Hipotesis 5: Ho: Nilai yang dipersepsikan tidak berpengaruh secara positif pada kepuasan konsumen. Ha: Nilai yang dipersepsikan berpengaruh secara positif pada kepuasan konsumen. Hipotesis 6: Ho: Kepuasan konsumen tidak berpengaruh secara negatif pada komplain pelanggan Ha: Kepuasan konsumen berpengaruh secara negatif pada komplain pelanggan Hipotesis 7: Ho: Kepuasan konsumen tidak berpengaruh secara positif pada loyalitas pelanggan Ha: Kepuasan konsumen berpengaruh secara positif pada loyalitas pelanggan.
PEMBAHASAN Sebelum melakukan pengujian model struktural dengan SEM, terlebih dahulu dipenuhi beberapa asumsi, yaitu uji kecukupan sampel yang hasilnya menunjukkan bahwa total sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 220 sampel. Jumlah ini telah memenuhi kriteria karena seperti yang telah ditentukan pada bab sebelumnya, menurut Hair et al (1998), jumalh sampel yang sesuai adalah minimal 100 sampel. Oleh karena itu, jumlah sampel telah memenuhi asumsi kecukupan sampel. Uji normalitas menunjukkan bahwa nilai statistik untuk menguji normalitas disebut z value (Critical Ratio atau C.R. > nilai kritis, maka dapat diduga bahwa distribusi tidak normal. Nilai kritis dapat ditentukan berdasarkan tingkat signifikansi 1%, yaitu sebesar ± 2.58 (Hair et al, 1998). Hasil uji normalitas dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil Uji Normalitas
138
PENGARUH KUALITAS INTI, KUALITAS HUBUNGAN, RISIKO ................ (Yosua Pontolumiu Manoppo)
≥
Pada Tabel 4, sebagian besar nilai critical ratio untuk skewness dan kurtosis menunjukkan nilai yang lebih besar dari ± 2.58 (C.R. ± 2.58). Hal ini berarti bahwa sebagian besar nilai critical ratio pada skewness maupun kurtosis tidak normal, sehingga tidak memenuhi asumsi normalitas data pada level α = 0.001, baik secara univariate maupun multivariate. Oleh karena itu, data tidak terdistribusi normal. Asumsi normalitas secara multivariate tidak dapat dipenuhi dalam pengujian SEM sehingga dapat diabaikan dan analisis dapat tetap dilanjutkan, karena data yang digunakan adalah data yang dimasukkan apa adanya, yang didapat dari data primer sehingga memungkinkan adanya respon dari setiap individu yang sangat beragam. Langkah selanjutnya adalah evaluasi terhadap outlier. Outlier adalah kondisi dimana suatu data memiliki karakteristik yang unik yang terlihat sangat
berbeda jauh dari observasi-observasi yang lain dan muncul dalam bentuk ekstrim, baik untuk variabel tunggal maupun variabel-variabel kombinasi (Hair et al, 1998). Dalam analisis multivariate, adanya outlier dapat diuji dengan chi-square terhadapa nilai mahalanobis distance squared pada tingkat signifikansi 0.001, dengan degree of freedom sejumlah variabel yang digunakan dalam penelitian. Dalam hal ini, variabel yang dimaksud adalah jumlah item pengukuran pada model. Jika terdapat observasi yang mempunyai nilai mahalonobis distance squared > chisquare, maka observasi tersebut dikeluarkan dari analisis. Dalam penelitian ini, jumlah variabel yang digunakan adalah 33 variabel. Dengan demikian, apabila terdapat nilai mahalonobis distance squared yang lebih besar dari X2 (33, 0,001) = 59,703, maka nilai tersebut adalah multivariate outliers. Hasil pengujian outliers dapat dilihat pada Tabel 5.
139
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 127-144
Tabel 5 Multivariate Outliers
Pada Tabel 5 nampak kriteria mahalanobis distance, terdeteksi nilai yang dianggap outlier. Peneliti memutuskan tidak membuang sampel yang outlier karena peneliti berkeinginan menampilkan data sesungguhnya dan apa adanya data dari responden, selain itu setelah dilakukan pengujian kembali dengan membuang outlier menunjukkan nilai goodness-of fit yang mengalami penurunan sehingga penelitian ini tetap menggunakan 220 responden. Evaluasi atas kriteria goodness-of fit dari model struktural yang telah diestimasi, disajikan dalam Tabel 6 berikut ini: Tabel 6 Hasil Goodness-of-Fit
Berdasarkan Tabel 6 nanpak bahwa nilai ChiSquare menunjukkan angka 1237,075 tetapi indeks ini tidak menjadi satu-satunya dasar untuk menentukan model tersebut fit atau tidak. Nilai CMIN/DF, GFI, dan RMSEA sudah dapat memenuhi nilai yang disyaratkan, Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa model tersebut fit.
140
Tabel 7 Hasil Goodness-of-Fit setelah outlier dikeluarkan
Berdasarkan Tabel 7 hasil Goodness-of-Fit setelah outlier dikeluarkan dapat dilihat bahwa nilai Chi-Square menunjukkan angka 1231,065, akan tetapi indeks ini tidak menjadi satu-satunya dasar untuk menentukan model tersebut fit atau tidak. Nilai CMIN/ DF, GFI, dan RMSEA dapat memenuhi nilai yang disyaratkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa model tersebut fit. Pengujian goodness-of fit setelah mengeluarkan 28 outlier menunjukkan nilai goodnessof fit yang sedikit mengalami penurunan tetapi penurunan tersebut tidak membawa pengaruh yang signifikan. Dengan demikian, peneliti memutuskan untuk tidak mengeluarkan outlier dari penelitian karena ≥ alasan lain yang diungkapkan pada analisis hubungan kausalitas. Untuk menguji hipotesis yang diajukan dapat dilihat dari hasil koefisien standardized regression (Ghozali, p. 132, 2005). Hubungan kausalitas dikatakan signifikan apabila nilai parameter estimasi kedua konstruk memiliki nilai C.R. ± 2.326 dan C.R. ± 1.645 pada tingkat signifikansi α = 0.01 dan α = 0.05. Tabel 8 berikut merupakan hasil perhitungan regression weight.
PENGARUH KUALITAS INTI, KUALITAS HUBUNGAN, RISIKO ................ (Yosua Pontolumiu Manoppo)
Tabel 8 Regression Weight
* = Tingkat Signifikansi 0,05 ** = Tingkat Signifikansi 0.01
Hipotesis 1: Nilai C.R. untuk parameter estimasi hubungan kausal antara kualitas inti pada nilai yang dipersepsikan adalah 1,876 atau C.R. ± 1,645, pada tingkat signifikansi sebesar 0.05. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Ho yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh positif yang signifikan antara kualitas inti pada nilai yang dipersepsikan ditolak, dan sebaliknya Ha yang menyatakan bahwa ada pengaruh positif yang signifikan antara kualitas inti pada nilai yang dipersepsikan diterima. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas inti pada salon kecantikan “X” mempunyai pengaruh positif yang signifikan pada nilai yang dipersepsikan oleh konsumen. Hipotesis 2: Nilai C.R. untuk parameter estimasi hubungan kausal antara kualitas hubungan pada nilai yang dipersepsikan adalah 6,803, atau C.R. ± 2,326, pada tingkat signifikansi sebesar 0.01. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Ho yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh positif yang signifikan antara kualitas hubungan pada nilai yang dipersepsikan ditolak, dan sebaliknya Ha yang menyatakan bahwa ada pengaruh positif yang signifikan antara kualitas hubungan pada nilai yang dipersepsikan diterima. Hal ini menunjukkan kualitas hubungan pada salon kecantikan “X” mempunyai pengaruh positif pada nilai yang dipersepsikan oleh konsumen. Hipotesis 3: Nilai C.R. untuk parameter estimasi hubungan kausal antara risiko yang dipersepsikan pada nilai yang
dipersepsikan adalah -2,160, atau C.R. ± 1,645, pada tingkat signifikansi sebesar 0.05. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Ho yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh negatif yang signifikan antara risiko yang dipersepsikan pada nilai yang dipersepsikan ditolak, dan sebaliknya Ha yang menyatakan bahwa ada pengaruh negatif yang signifikan antara risiko yang ≥ dipersepsikan pada nilai yang dipersepsikan diterima. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi risiko yang dipersepsikan pada salon kecantikan “X” maka semakin rendah nilai yang dipersepsikan oleh konsumen. Hipotesis 4: Nilai C.R. untuk parameter estimasi hubungan kausal antara harapan konsumen pada nilai yang dipersepsikan adalah 2,725 atau C.R. ± 2.326, pada tingkat signifikansi sebesar 0.01. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Ho yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh positif yang signifikan antara harapan pada nilai yang dipersepsikan ditolak, dan sebaliknya Ha yang menyatakan bahwa ada pengaruh positif yang signifikan antara harapan konsumen dengan nilai yang dipersepsikan diterima. Hal ini menunjukkan semakin tinggi harapan konsumen pada salon kecantikan “X” semakin tinggi pula nilai yang dipersepsikan oleh konsumen. Hipotesis 5: Nilai C.R. untuk parameter estimasi hubungan kausal antara nilai yang dipersepsikan pada kepuasan konsumen adalah 4,725 atau C.R. ± 2,326, pada tingkat signifikansi sebesar 0.01. Oleh karena itu, dapat
141
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 127-144
disimpulkan bahwa Ho yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh positif yang signifikan antara nilai yang dipersepsikan pada kepuasan konsumen ditolak, dan sebaliknya Ha yang menyatakan bahwa ada pengaruh positif yang signifikan antara nilai yang dipersepsikan pada kepuasan konsumen diterima. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai yang dipersepsikan pada salon kecantikan “X”, semakin tinggi pula kepuasan konsumen. Hipotesis 6: Nilai C.R. untuk parameter estimasi hubungan kausal antara kepuasan konsumen pada komplain pelanggan adalah -2,573 atau C.R. ± 2,326, pada tingkat signifikansi sebesar 0.01. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Ho yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh negatif yang signifikan antara kepuasan konsumen pada komplain pelanggan ditolak, dan sebaliknya Ha yang menyatakan bahwa ada pengaruh negatif yang signifikan antara kepuasan konsumen pada komplain pelanggan diterima. Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan konsumen berpengaruh negatif terhadap komplain pelanggan, yang berarti bahwa semakin tinggi kepuasan konsumen pada salon kecantikan “X maka semakin rendah komplain pelanggan. Hipotesis 7: Nilai C.R. untuk parameter estimasi hubungan kausal antara emosi positif pada resiko yang dipersepsikan adalah 1,887 atau C.R. ± 1,645, pada tingkat signifikansi sebesar 0.05. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Ho yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh positif yang signifikan antara kepuasan konsumen pada loyalitas pelanggan ditolak, dan sebaliknya Ha yang menyatakan bahwa ada pengaruh positif yang signifikan antara kepuasan konsumen pada loyalitas pelanggan diterima. Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan konsumen berpengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan, yang berarti bahwa semakin tinggi kepuasan konsumen pada salon kecantikan “X” maka semakin tinggi pula loyalitas pelanggan. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN Simpulan Penelitian ini dilakukan untuk menguji model yang
142
menggambarkan hubungan antara kualitas inti, kualitas hubungan, risiko yang dipersepsikan, harapan konsumen, nilai yang dipersepsikan, kepuasan konsumen, komplain pelanggan, dan niat untuk loyal pada konsumen yang menggunakan jasa salon kecantikan “X” di Yogyakarta. Jumlah keseluruhan variabel yang ada dalam penelitian ini adalah 8 variabel yang terdiri dari 4 variabel independen yaitu kualitas inti, kualitas hubungan, risiko yang dipersepsikan, harapan konsumen; 2 variabel mediasi yakni: nilai yang dipersepsikan dan kepuasan konsumen; serta 2 variabel dependen yaitu komplain pelanggan dan loyalitas pelanggan. Model struktural yang diujikan dapat diterima sebagai model penelitian karena menunjukkan indeks goodness-of fit yang memenuhi persyaratan berdasarkan cut of value yang direkomendasikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa model secara keseluruhan dapat menjelaskan data sesungguhnya mengenai pola hubungan antarkonstruk penelitian. Hal ini ditunjukkan dengan nilai indeks goodness-of fit yang sebagian besar lebih tinggi dari nilai kritis yang ditetapkan.
≥ Implikasi dan Saran Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa determinan atau penentu bahwa kepuasan konsumen dapat mempengaruhi komplain dan loyalitas pelanggan. Semakin tinggi tingkat kepuasan konsumen maka konsumen akan semakin loyal dengan merek atau jasa yang dipakainya, dan semakin tinggi tingkat kepuasan konsumen maka semakin rendah komplain yang dilakukan oleh pelanggan. sedangkan kepuasan sendiri ditentukan oleh nilai yang dipersepsikan oleh konsumen. Dalam penelitian ini pengambilan keputusan oleh konsumen dilakukan dengan mempertimbangkan dan mengamati kualitas layanan, risiko yang dipersepsikan, dan harapan konsumen. Semakin tinggi kualitas layanan yang diterima oleh konsumen maka semakin tinggi nilai yang dipersepsikan pada salon kecantikan tersebut oleh konsumen. Semakin tinggi nilai yang dipersepsikan oleh konsumen terhadap salon kecantikan tersebut maka persepsi konsumen akan risiko yang diterima semakin kecil. Selain risiko yang dipesepsikan, dalam penelitian ini terdapat harapan konsumen dimana jika salon kecantikan “X” sesuai
PENGARUH KUALITAS INTI, KUALITAS HUBUNGAN, RISIKO ................ (Yosua Pontolumiu Manoppo)
dengan harapan konsumen maka semakin tinggi nilai yang dipersepsikan pada salon kecantikan tersebut. Hasil penelitian tersebut dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi pemasar yang ingin menarik pelanggan yang lebih banyak serta loyal. Loyalitas dapat diwujudkan dan dipertahankan apabila perusahaan lebih memperhatikan harapan konsumen, kinerja produk, kualitas layanan, dan kepuasan konsumen dengan tetap mempertahankan kualitas dan memperhatikan sisi lain konsumen dalam mengkonsumsi produk dan jasa. Saran yang terkait dengan penelitian ini berkaitan dengan ketepatan dalam pendistribusian kuesioner, yaitu dijumpai responden yang mengisi dengan tidak teliti karena aktifitas maupun kesibukan mereka sehingga mengakibatkan banyak kuesioner yang tidak dapat digunakan untuk dianalisis. Di samping itu, latar belakang responden juga harus diperhatikan dan dibuat lebih spesifik untuk menghindari adanya perbedaan pemahaman dan respon yang beragam terhadap item kuesioner.
DAFTAR PUSTAKA Assael, H. (1998) Consumer Behavior and Marketing Action. 6th ed. Cincinnati, Ohio: South Westren College Publishing. Bettman, J. (1973) “Perceived Risk and its Component: A Model and Empirical Test,” Journal of Marketing Research, Vol. 3 (May), pp 184-190. Cronin, J.J. and Taylor, S.A. (1992) “ Measuring service quality: a re-examinition and extension,” Journal of Marketing, Vol 56. July, pp. 55-68. Crosby, L.A., Evans, K.R and Cowles, D (1990) “Relationship Quality in Service Selling: An Iterpersonal Influence Perspective,” Journal of Marketing, Vol. 54, July, pp. 66-81. Day, E. (2002) “The Role of Value in Customer Satisfaction,” Journal of Customer Satisfaction, Dissatisfaction and Complaining behaviour, Vol. 15, pp. 22-32.
Dharmmesta, B. Swastha (1999), “Loyalitas Pelanggan: Sebuah Kajian Konseptual sebagai Panduan Bagi Peneliti,” Journal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 14, No. 3, h 73-88. Fisk, R. P., Brown, S. W. and Bitner, M. J. (1993) “Tracking the evolution of the service marketing literature,” Journal of Retailing, Vol. 69, Spring, pp. 61-103. Fornell, C.; Johnson, M.D.; Anderson, E.W.; Cha, J; and Bryant, B.E. (1996) “ The American Customer Satisfaction Index: Nature, Purpose, and Findings,” Journal of Marketing, Vol. 60, October, pp. 7-18. Ghozali, Imam (2005). Aplikasi Analsis Multivariate dengan Program SPSS, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gronholdt, L.; Martensen, A; and Kristensen, K. (2000) “The Relationship between customers satisfaction and loyalty: cross-industry differences”. Total Quality Management, Vol. 11, NOS 4&5, pp. 509-514. Hair, F. Joseph JR.; Black, C. William; Babin, J. Barry; Anderson, E. Rolph; and Tatham, L. Ronald (1998), Multivariate Data Analysis, 6th ed., Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall. Jogiyanto (2004), Metodelogi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-pengalaman, ed. 2004/2005. Yogyakarta: BPFE Kotler, P. and Keller, K.L. (2006), Marketing Management, 12th ed. Upper Saddle River, N.J.: Pearson Education, Inc.. Kristensen, K.; Martensen, A.; and Gronholdt, L. (1999) “Measuring the impact of buying behaviour on customer satisfaction,” Total Quality Management, Vol. 10, NOS 4&5, pp. 602-614. Kristensen, K.; Martensen, A.; and Gronholdt, L. (2000) “Customer satisfaction measurment at Post
143
JEB, Vol. 2, No. 2, Juli 2008: 127-144
Denmark: Results of application of the European Customer Satisfaction Index Methodology,” Total Quality Management, Vol. 11, No. 7, pp. 1007-1015. Kuncoro, Mudrajad. (2003). Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi, Jakarta: Erlangga.
3, pp. 260-285. Sekaran, U. (2000), Research Methods for Business: A Skill Building Approach, 3th ed., New York: John Wiley & Sons, Inc.
Manuela, A.F. (1990) On the Future of The Safety Profession, Professional Safety, Vol. 17, No.35, pp. 22–25.
Sharma, N. and Patterson, P.G. (1999) “The impact of communication effectiveness and service quality on relationship commitment in consumer, profesional service”. Journal of Service Marketing, Vol. 13, 2, pp. 151-170.
Martensen, A.; Gronholdt, L.; and Kristensen, K. (2000) “The drivers of customer satisfaction and loyalty: cross-industry finding from Denmark”. Total Quality Management, Vol. 11, NOS. 4&5 ,pp 544-553.
Sudarwati, Yuni (2003), Ada Hubungan Kualitas Inti, Kualitas Hubungan, Nilai yang dirasakan dengan Kepuasan Pelanggan, Niat Berpindah dan Niat untuk Loyal, Tesis Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada (tidak dipublikasikan)
McDougall, G. H.G., dan Levesque, T. (2000) “Customer Satisfaction with services: Putting perceived value into the equation,” Journal of Services Marketing Vol. 14, No. 5, pp 392-410.
Suhartono, Dwi (2001) “ Kepuasan Pelanggan: Pengaruhnya terhadap perilaku Konsumen di Industri Perhotelan,” USAHAWAN, No. 7.
Oglethorpe, J.F. and Monroe, B.K. (1994) “Determinant of Perceived Health and Safety Risk of Selected Hazardous Product and Activities,” Journal of Consumer Research, Vol 28, No.3,pp 326-346. Oliver, Richard L. (1993) “A Conceptual Model of Service Quality and Satisfaction: Compatible Goals, Diferent Concept,” Advances in Service Marketing and Management, Vol 2, pp 65-85. Parasuraman, A.; Zeithmal, V.A.; and Berry, L. (1985)” A Conceptual Model of Service Quality and Its Implications for Future Research”. Journal of Marketing, Vol. 49, pp. 41-50. Petrick, J.F. (2002) “Development of a Multi-Dimensional Scale for Measuring the Perceived Value of a Service”. Journal of Leisure Research, Vol. 34, No. 2, pp. 119-134. Philip, George and Shirley Ann Hazlett (1997), “The Measurement of Service Quality: A New P-C-P Attributes Model,” International Journal of Quality and Reliability Management, Vol. 14, No.
144
Stone, R.N. dan Grounhaug, K. (1993) “Perceived Risk: Future Considerstion,” European Journal of Marketing, No.27, No. 3, pp 39 -50. Telagawati, Ni Luh Wayan Sayang (2003), Analisis Pengaruh Harapan Pelanggan, Kualitas yang Dipersepsikan, Nilai yang Dipersepsikan terhadap Kepuasan Pelanggan dan Pengaruh Kepuasan Pelanggan terhadap Loyalitas Pelanggan Industri Jasa, Tesis Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada (tidak dipublikasikan) Tjiptono, Fandi (1996) Manajemen Jasa, Yogyakarta : Penerbit ANDI Tjiptono, Fandy (2005), Pemasaran Jasa, Edisi 1. Malang: Bayumedia Publising. Tse, D.K dan Wilton, P.C (1988) “Models of Consumer Satisfaction Formation : An Extension,” Journal of Marketing Research, Vol 35, No.3, pp 204-212. Zeithaml (1988) “Consumer Perceptions of Price, Quality, and Value : A Means – End Model and Synthesis of Evidence,” Journal of Marketing, Vol 52, No. 3, pp 2-22.
ISSN: 1978-3116
JURNA L
Vol. 2, No. 2, Juli 2008
EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
INDEKS PENULIS DAN ARTIKEL JURNAL EKONOMI & BISNIS (JEB)
Vol. 1, No. 1, Maret 2007 Harjanti, Theresia Tri dan Eduardus Tandelilin, pp. 1-10, Pengaruh Firm Size, Tangible Assets, Growth Opportunity, Profitability, dan Business Risk pada Struktur Modal Perusahaan Manufaktur di Indonesia: Studi Kasus di BEJ. Dewi, Kurnia, pp. 11-22, Pengaruh Pengetahuan tentang Taktik Pemasang Iklan, Penghargaan Diri, Kerentanan Konsumen, dan Pengetahuan Produk Konsumen pada Skeptisme Remaja terhadap Iklan Televisi. Khasanah, Mufidhatul, pp. 23-31, Analisis Nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) pada Investasi di Kabupaten Sleman, Tahun 2000-2004. Yusuf, Muhammad, pp. 33-48, Metodologi Event Study: Telaah Metodologi di Bidang Ekonomi dan Keuangan. Kusumawati, Rini, pp. 49-58, Analisis Pengaruh Image, Kualitas yang Dipersepsikan, Harapan Nasabah pada Kepuasan Nasabah dan Pengaruh Kepuasan Nasabah pada Loyalitas Nasabah dan Perilaku Beralih Merek Norpratiwi, AM Vianey, pp. 59-65, Aspek Value Added Rumah Sakit sebagai Badan Layanan Umum. Vol. 1, No. 2, Juli 2007 Puspitasari, Christiana Rini, pp. 67-75, Dampak Ekonomi Pembangunan Perumahan Casa Grande di Kabupaten Sleman Terhadap Masyarakat di Luar Perumahan, Tahun 2000-2005 (Studi Kasus di Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Sleman) Estikasari, Ni Nengah Ami Estikasari, pp. 77-86, Pengaruh Pendukung Online pada Web Site Penyedia Layanan Telekomunikasi dalam Meningkatkan Loyalitas Pelanggan Handayani, Asri Wening dan Rudy Badrudin, pp. 87-97, Analisis Deskriptif Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota di Propinsi D.I. Yogyakarta, Tahun 2004-2005
ISSN: 1978-3116 Vol. 2, No. 2, Juli 2008
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
Prajogo, Wisnu, pp. 99-103, Interpersonal Network: Keterkaitannya dengan Personality dan Kinerja Berdasarkan Sudut Pandang Social Resources Theory Algifari, pp. 105-112, Analisis Pertumbuhan Ekspor Indonesia Sebelum dan Setelah Krisis Ekonomi Supriyanto, Y, pp. 113-118, Kontroversi Penggunaan Risk-Adjusted Discount Rates (RADR) untuk Mendiskontokan Cash Flows dalam Capital Budgeting Vol. 1, No. 3, Nopember 2007 Anatan, Lina dan Fahmy Radhi, pp. 119-133, The Effect of Environmental Factors, Manufacturing Strategy and Technology on Operational Performance: Study Amongst Indonesian Manufacturers Ciptono, Wakhid Slamet, pp. 135-146, Triple-R Strategy of Reformation—Revitalization, Reflection, and Realization: in Memory of 10 Years of Reformation and 100 Years of National Awakening [2008] Handayani, Asri Wening dan Rudy Badrudin, pp. 147-160, Analisis Deskriptif Struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten/Kota di Propinsi D.I. Yogyakarta, Tahun 2004-2005 Astuti, Kurnia dan Budiono Sri Handoko, pp. 161-173, Analisis Pertumbuhan Ekonomi, Kebutuhan Investasi, dan Penyerapan Tenaga Kerja di Kabupaten Sleman Fachrunnisa, OliviaI, pp. 175-186, Identifikasi Pentingnya Komunikasi Nonverbal di Organisasi Purnamawati, Astuti, pp. 187-192, Pengukuran Tingkat Keunggulan Komparatif Barang Ekspor Indonesia Vol. 2, No. 1, Maret 2008 Maryatmo, R., pp. 1-8, Strategi Bisnis Eceran (Studi Kasus di Yogyakarta) Windayani, Santi, pp. 9-28, Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Penggunaan Informasi Kinerja dalam Penganggaran Prajogo, Wisnu, pp. 29-35, Pengaruh Proactive Personality pada In-Role dan Extra-Role Performance (Kasus pada Sebuah Perguruan Tinggi di Yogyakarta)
ISSN: 1978-3116 Vol. 2, No. 2, Juli 2008
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
Sardjito, Bambang dan Osmad Muthaher, pp. 37-49, Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran terhadap Kinerja Aparat Pemerintah Daerah: Budaya dan Komitmen Organisasi sebagai Variabel Moderating Raharjo, Achmad, pp. 51-55, Prospek Pengembangan Industri Komponen dan Perakitan Otomotif di Kabupaten Sleman Fatmawati, Sri, pp. 57-65, Pemerataan Kepemilikan Saham dan Keadilan: Kebijakan Pemecahan Saham
ISSN: 1978-3116
JURNA L
Vol. 2, No. 2, Juli 2008
EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
PEDOMAN PENULISAN
JURNAL EKONOMI & BISNIS (JEB) Ketentuan Umum 1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan format yang ditentukan. 2. Penulis mengirim tiga eksemplar naskah dan satu compact disk (CD) yang berisikan naskah tersebut kepada redaksi. Satu eksemplar dilengkapi dengan nama dan alamat sedang dua lainnya tanpa nama dan alamat yang akan dikirim kepada mitra bestari. Naskah dapat dikirim juga melalui e-mail. 3. Naskah yang dikirim belum pernah diterbitkan di media lain yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh semua penulis bahwa naskah tersebut belum pernah dipublikasikan. Pernyataan tersebut dilampirkan pada naskah. 4. Naskah dan CD dikirim kepada Editorial Secretary Jurnal Akuntansi & Manajemen (JAM) Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telpon (0274) 486160, 486321 ext. 1332 O Fax. (0274) 486155 e-mail:
[email protected] Standar Penulisan 1. Naskah diketik menggunakan program Microsoft Word pada ukuran kertas A4 berat 80 gram, jarak 2 spasi, jenis huruf Times New Roman berukuran 12 point, margin kiri 4 cm, serta margin atas, kanan, dan bawah masing-masing 3 cm. 2. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan. Gambar dan tabel dikelompokkan bersama pada lembar terpisah di bagian akhir naskah. 3. Angka dan huruf pada gambar, tabel, atau histogram menggunakan jenis huruf Times New Roman berukuran 10 point. 4. Naskah ditulis maksimum sebanyak 15 halaman termasuk gambar dan tabel. Urutan Penulisan Naskah 1. Naskah hasil penelitian terdiri atas Judul, Nama Penulis, Alamat Penulis, Abstrak, Pendahuluan, Materi dan Metode, Hasil, Pembahasan, Ucapan Terima Kasih, dan Daftar Pustaka. 2. Naskah kajian pustaka terdiri atas Judul, Nama Penulis, Alamat Penulis, Abstrak, Pendahuluan, Masalah dan Pembahasan, Ucapan Terima Kasih, dan Daftar Pustaka. 3. Judul ditulis singkat, spesifik, dan informatif yang menggambarkan isi naskah maksimal 15 kata. Untuk kajian pustaka, di belakang judul harap ditulis Suatu Kajian Pustaka. Judul ditulis dengan huruf kapital dengan jenis huruf Times New Roman berukuran 14 point, jarak satu spasi, dan terletak di tengah-tengah tanpa titik. 4. Nama Penulis ditulis lengkap tanpa gelar akademis disertai alamat institusi penulis yang dilengkapi dengan nomor kode pos, nomor telepon, fax, dan e-mail.
ISSN: 1978-3116 Vol. 2, No. 2, Juli 2008
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
5.
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
14.
Abstrak ditulis dalam satu paragraf tidak lebih dari 200 kata menggunakan bahasa Inggris. Abstrak mengandung uraian secara singkat tentang tujuan, materi, metode, hasil utama, dan simpulan yang ditulis dalam satu spasi. Kata Kunci (Keywords) ditulis miring, maksimal 5 (lima) kata, satu spasi setelah abstrak. Pendahuluan berisi latar belakang, tujuan, dan pustaka yang mendukung. Dalam mengutip pendapat orang lain dipakai sistem nama penulis dan tahun. Contoh: Badrudin (2006); Subagyo dkk. (2004). Materi dan Metode ditulis lengkap. Hasil menyajikan uraian hasil penelitian sendiri. Deskripsi hasil penelitian disajikan secara jelas. Pembahasan memuat diskusi hasil penelitian sendiri yang dikaitkan dengan tujuan penelitian (pengujian hipotesis). Diskusi diakhiri dengan simpulan dan pemberian saran jika dipandang perlu. Pembahasan (review/kajian pustaka) memuat bahasan ringkas mencakup masalah yang dikaji. Ucapan Terima Kasih disampaikan kepada berbagai pihak yang membantu sehingga penelitian dapat dilangsungkan, misalnya pemberi gagasan dan penyandang dana. Ilustrasi: a. Judul tabel, grafik, histogram, sketsa, dan gambar (foto) diberi nomor urut. Judul singkat tetapi jelas beserta satuan-satuan yang dipakai. Judul ilustrasi ditulis dengan jenis huruf Times New Roman berukuran 10 point, masuk satu tab (5 ketukan) dari pinggir kiri, awal kata menggunakan huruf kapital, dengan jarak 1 spasi b. Keterangan tabel ditulis di sebelah kiri bawah menggunakan huruf Times New Roman berukuran 10 point jarak satu spasi. c. Penulisan angka desimal dalam tabel untuk bahasa Indonesia dipisahkan dengan koma (,) dan untuk bahasa Inggris digunakan titik (.). d. Gambar/Grafik dibuat dalam program Excel. e. Nama Latin, Yunani, atau Daerah dicetak miring sedang istilah asing diberi tanda petik. f. Satuan pengukuran menggunakan Sistem Internasional (SI). Daftar Pustaka a. Hanya memuat referensi yang diacu dalam naskah dan ditulis secara alfabetik berdasarkan huruf awal dari nama penulis pertama. Jika dalam bentuk buku, dicantumkan nama semua penulis, tahun, judul buku, edisi, penerbit, dan tempat. Jika dalam bentuk jurnal, dicantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, nama jurnal, volume, nomor publikasi, dan halaman. Jika mengambil artikel dalam buku, cantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, editor, judul buku, penerbit, dan tempat. b. Diharapkan dirujuk referensi 10 tahun terakhir dengan proporsi pustaka primer (jurnal) minimal 80%. c. Hendaknya diacu cara penulisan kepustakaan seperti yang dipakai pada JAM/JEB berikut ini:
Jurnal Yetton, Philip W., Kim D. Johnston, and Jane F. Craig. Summer 1994. “Computer-Aided Architects: A Case Study of IT and Strategic Change.”Sloan Management Review: 57-67.
ISSN: 1978-3116 Vol. 2, No. 2, Juli 2008
JURNA L EKONOMI & BISNIS
Tahun 2007
Buku Paliwoda, Stan. 2004. The Essence of International Marketing. UK: Prentice-Hall, Ince. Prosiding Pujaningsih, R.I., Sutrisno, C.L., dan Sumarsih, S. 2006. Kajian kualitas produk kakao yang diamoniasi dengan aras urea yang berbeda. Di dalam: Pengembangan Teknologi Inovatif untuk Mendukung Pembangunan Peternakan Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional dalam Rangka HUT ke-40 (Lustrum VIII) Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman; Purwokerto, 11 Pebruari 2006. Fakutas Peternakan UNSOED, Purwokerto. Halaman 54-60. Artikel dalam Buku Leitzmann, C., Ploeger, A.M., and Huth, K. 1979. The Influence of Lignin on Lipid Metabolism of The Rat. In: G.E. Inglett & S.I.Falkehag. Eds. Dietary Fibers Chemistry and Nutrition. Academic Press. INC., New York. Skripsi/Tesis/Disertasi Assih, P. 2004. Pengaruh Kesempatan Investasi terhadap Hubungan antara Faktor Faktor Motivasional dan Tingkat Manajemen Laba. Disertasi. Sekolah Pascasarjana S-3 UGM. Yogyakarta. Internet Hargreaves, J. 2005. Manure Gases Can Be Dangerous. Department of Primary Industries and Fisheries, Queensland Govermment. http://www.dpi.gld.gov.au/pigs/ 9760.html. Diakses 15 September 2005. Dokumen [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman. 2006. Sleman Dalam Angka Tahun 2005.
Mekanisme Seleksi Naskah 1. 2. 3.
Naskah harus mengikuti format/gaya penulisan yang telah ditetapkan. Naskah yang tidak sesuai dengan format akan dikembalikan ke penulis untuk diperbaiki. Naskah yang sesuai dengan format diteruskan ke Editorial Board Members untuk ditelaah diterima atau ditolak. 4. Naskah yang diterima atau naskah yang formatnya sudah diperbaiki selanjutnya dicarikan penelaah (MITRA BESTARI) tentang kelayakan terbit. 5. Naskah yang sudah diperiksa (ditelaah oleh MITRA BESTARI) dikembalikan ke Editorial Board Members dengan empat kemungkinan (dapat diterima tanpa revisi, dapat diterima dengan revisi kecil (minor revision), dapat diterima dengan revisi mayor (perlu direview lagi setelah revisi), dan tidak diterima/ditolak). 6. Apabila ditolak, Editorial Board Members membuat keputusan diterima atau tidak seandainya terjadi ketidaksesuaian di antara MITRA BESTARI. 7. Keputusan penolakan Editorial Board Members dikirimkan kepada penulis. 8. Naskah yang mengalami perbaikan dikirim kembali ke penulis untuk perbaikan. 9. Naskah yang sudah diperbaiki oleh penulis diserahkan oleh Editorial Board Members ke Managing Editors. 10. Contoh cetak naskah sebelum terbit dikirimkan ke penulis untuk mendapatkan persetujuan. 11. Naskah siap dicetak dan cetak lepas (off print) dikirim ke penulis.