ANALISIS KONSISTENSI POLA PEMANFAATAN RUANG DENGAN RENCANA TATA RUANG (Studi Kasus Kota Palu)
OLEH: SUCI RACHMAWATY A253050231
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
1
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Konsistensi Pola Pemanfaatan Ruang dengan Rencana Tata ruang adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2008
SUCI RACHMAWATY NRP A253050231
2
ABSTRAK SUCI RACHMAWATY. Analisis Konsistensi Pola Pemanfaatan Ruang dengan Rencana Tata Ruang (Studi Kasus: Kota Palu). Dibimbing oleh SUDARSONO dan DWI PUTRO TEJO BASKORO. Pertambahan jumlah penduduk yang meningkat dari tahun ke tahun mengakibatkan kebutuhan akan ruang/lahan meningkat sedangkan dilain pihak ketersediaan ruang/lahan terbatas. Oleh karena itu jika dalam perkembangan suatu wilayah, ruang/lahan yang ada tidak diatur dengan baik maka akan terjadi berbagai benturan kepentingan antar aktivitas yang berdampak pada persaingan dalam penggunaan lahan. Hal ini terlihat dari terkonversinya lahan pertanian yang diperuntukkan dalam RTRW menjadi lahan terbangun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola penggunaan lahan tahun 1998 dan 2006 dan mengidentifikasi penyebab terjadinya konsistensi dan inkonsistensi pemanfaatan lahan terhadap RTRW. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis penggunaan lahan, tabulasi silang (koefisien Cramer’s V dan Koefisien Kappa) and wawancara (deskriptif). Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa penggunaan lahan yang terbesar pada tahun 2006 adalah kebun/tegalan sebesar 42.38% sedangkan penggunaan lahan yang terkecil adalah kawasan pertambangan sebesar 0.001% dari luas administrasi Kota Palu. Berdasarkan hasil crosstabulasi antara peta penggunaan lahan tahun 2006 dan peta RTRW diperoleh nilai Koefisien Kappa 0,53 dan nilai Cramer’s V 0,52; antara peta penggunaan lahan tahun 1998 dan RTRW diperoleh nilai koefisien kappa 0.5 dan nilai Cramer’s V 0.5; dan antara peta penggunaan lahan tahun 2006 dan peta penggunaan lahan tahun 1998 diperoleh nilai koefisien Kappa 0,57 dan nilai Cramer’s V 0,64. Hasil cross tabulasi menunjukkan nilai ≥ 0.5. Artinya bahwa antar peta yang ditumpang tindihkan penggunaan lahannya ≥ 50% adalah sama. Dengan kata lain terjadi penyimpangan penggunaan lahan yang cukup besar yaitu ≥ 50%. Hasil tumpang tindih peta RTRW, peta penggunaan lahan tahun 2006, dan peta penggunaan lahan tahun 1998 diperoleh 5 bentuk konsistensi yaitu sangat konsisten, konsisten tidak sengaja, inkonsisten tidak sengaja, inkonsisten sengaja, dan sangat tidak konsisten. Hasil kuisioner menunjukkan bahwa umumnya pengetahuan responden pada RTRW sangat rendah (kurangnya sosialisasi). Hal ini didukung juga dengan hasil kuisioner yang menunjukkan bahwa hampir semua pelaku pengguna lahan tidak tahu lahan mereka direncanakan untuk apa dalam RTRW. Hasil kuisioner juga menunjukkan bahwa penggunaan lahan masih ditentukan keinginan responden sebagai pemilik lahan (tidak mengacu pada RTRW). Kata kunci: RTRW, penggunaan lahan, konsistensi, inkonsistensi.
3
ABSTRACT SUCI RACHMAWATY. The Consistency Analysis between Land use pattern and Land Use Planning (A Case Study in Palu). Supervised by SUDARSONO as the chairman, DWI PUTRO TEJO BASKORO as the member of advisory committee. The keep increasing population from year to year has brought about in increasing the need of land. Meanwhile the availability of land is relatively limited. The situation may cause many conflict of interest among land user that will in turn, cause many land use inconsistency toward RTRW. The research purposes were to identify land use pattern in 1998 and 2006 and to identify the cause of inconsistency land use in RTRW. Method of this research were Land use analysis, Cross tabulation (Cramer’s V Coefficient and Kappa Coefficient) and interview (descriptive). Base on the analysis, the use of biggest farm in 2006 is garden / non irrigated dry field which equal was to 42.38% while the use of smallest farm was the area of mining that was 0.001% of administration area of Palu city. Based on the cross-tabulation between land use map in 2006 and RTRW map, Coefficient Kappa value was 0.53 and Cramer’s V value was 0.52; between land use map in 1998 and RTRW map, Coefficient Kappa value was 0.5 and Cramer’s V value was 0.5; and between land use map in 1998 and land use map in 2006, Coefficient Kappa value was 0.57 and Cramer’s V value was 0.64. Cross Tabulation result showed value ≥ 0.5. It means that ushering the map which is joined with others overlap its farm use ≥ 50%. In other words, the deviation of farm use is wide enough that is about 50%. Based on Cross tabulation between land use in 1998, land use in 2006 and RTRW, it had been found 5 forms of consistencies. There were very consistence, unintended consistency, unintended inconsistency, intended inconsistency, very inconsistency. The result of questioner showed the knowledge of society about RTRW generally was low because of less socialization to society. The results of interview also showed that almost all the land user did not know what their land was planned in RTRW. The results of questionnaire and interview showed that the use of land was determined by the land owner (did not relate to RTRW.) Keywords: Land use planning, Land use Pattern, inconsistency
4
SUCI RACHMAWATY. Analisis Konsistensi Pola Pemanfaatan Ruang dengan Rencana Tata Ruang (Studi Kasus: Kota Palu). Dibimbing oleh SUDARSONO dan DWI PUTRO TEJO BASKORO.
Ringkasan Pertambahan jumlah penduduk yang meningkat dari tahun ke tahun mengakibatkan kebutuhan akan ruang/lahan meningkat sedangkan dilain pihak ketersediaan ruang/lahan terbatas. Oleh karena itu jika dalam perkembangan suatu wilayah, ruang/lahan yang ada tidak diatur dengan baik maka akan terjadi berbagai benturan kepentingan antar aktivitas yang berdampak pada persaingan dalam penggunaan lahan. Hal ini terlihat dari terkonversinya lahan pertanian yang diperuntukkan dalam RTRW menjadi lahan terbangun. Lahan-lahan pertanian di areal perkotaan umumnya beralih fungsi menjadi areal-areal pemukiman dan perdagangan dan jasa. Hal ini berarti alih fungsi lahan lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi dari suatu lahan (cepatnya memperoleh keuntungan ekonomi). Oleh karena itu pertumbuhan penduduk dan imigrasi hanya menjadi penentu minor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan (CPB 1996, diacu dalam Tjallingii 2000). Pada RTRW kota Palu, Penggunaan lahan terbagi atas penggunaan lahan untuk kawasan lindung dan untuk kawasan budidaya. Dalam kawasan budidaya selain diperuntukkan untuk kawasan terbangun (permukiman, perkantoran, perdagangan dan jasa) juga diperuntukkan untuk kawasan pertanian (sawah dan kebun). Sebagai ibukota provinsi maka kota Palu menjadi pusat kegiatan sosial maupun ekonomi. Dengan semakin meningkatnya kegiatan-kegiatan sosial dan ekonomi maka pembangunan fisik (ruang terbangun) juga meningkat. Kondisi ini tentu sangat mendukung terjadinya konversi lahan yang diperuntukkan untuk lahan pertanian (sawah/tegalan) dalam RTRW. Sedangkan dilain pihak sawah maupun tegalan yang diperuntukkan dalam RTRW tersebut walaupun tidak dapat memenuhi kebutuhan hasil pertanian kota Palu secara keseluruhan namun merupakan salah satu bentuk RTH yang dapat menyediakan udara bersih dan segar untuk masyarakat yang berdomisili di Kota Palu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola penggunaan lahan tahun 1998 dan 2006 dan mengidentifikasi penyebab terjadinya konsistensi dan inkonsistensi pemanfaatan lahan terhadap RTRW. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis penggunaan lahan, tabulasi silang (koefisien Cramer’s V dan Koefisien Kappa) and wawancara (deskriptif). Analisis penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk penguasaan, penggunaan, dan kesesuaian pemanfaatan lahan untuk kegiatan budidaya dan lindung, tabulasi silang dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan geografis yang dilakukan antar peta RTRW dan peta penggunaan lahan, sedangkan Wawancara dilakukan untuk mengetahui pengetahuan partisipasi masyarakat terhadap RTRW. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa penggunaan lahan yang terbesar pada tahun 2006 adalah kebun/tegalan sebesar 42.38% sedangkan penggunaan lahan yang terkecil adalah kawasan pertambangan sebesar 0.001% dari luas
5
administrasi Kota Palu. Hasil analisis/superimpose peta RTRW dengan peta kelas lereng menunjukkan bahwa kawasan yang diarahkan dalam RTRW untuk hutan lindung sekitar 44.81% berada pada kelerengan 25-40 % dan sekitar 55.19 % berada pada kelerengan >40 %. Hutan suaka alam sekitar 45.81% berada pada kelerengan 25-40% (Tabel 6). Hutan lindung dan hutan suaka alam termaksud di dalam kawasan lindung yang berfungsi sebagai kawasan resapan air dan kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahan lainnya dan cagar alam/pelestarian alam, dan suaka margasatwa. Sedangkan untuk kawasan hutan produksi terbatas sekitar 40.30% berada pada kelerengan 25-40%. Salah satu kriteria kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi adalah kawasan/lokasi dengan kelerangan 0-40% (landai sampai dengan agak curam). Untuk perkantoran pemerintah dan perdagangan dan jasa direncanakan pada kawasan yang relatif datar yaitu pada kelas kelerengan 0-8%. Sedangkan kawasan permukiman dan fasilitas penunjang berada pada kelerengan 0-15%. Berdasarkan kelas kelerengan, perencanaan tersebut sudah sesuai dengan kriteria kelerengan untuk permukiman yaitu <15%. Kelerengan Sawah dan kebun/tegalan yaitu untuk sawah 0-8% dan kebun/tegalan yaitu berkisar 0-25%. Berdasarkan hasil crosstabulasi antara peta penggunaan lahan tahun 2006 dan peta RTRW diperoleh nilai Koefisien Kappa 0,53 dan nilai Cramer’s V 0,52; antara peta penggunaan lahan tahun 1998 dan RTRW diperoleh nilai koefisien kappa 0.5 dan nilai Cramer’s V 0.5; dan antara peta penggunaan lahan tahun 2006 dan peta penggunaan lahan tahun 1998 diperoleh nilai koefisien Kappa 0,57 dan nilai Cramer’s V 0,64. Hasil cross tabulasi menunjukkan nilai ≥ 0.5. Artinya bahwa antar peta yang ditumpang tindihkan penggunaan lahannya ≥ 50% adalah sama. Dengan kata lain terjadi penyimpangan penggunaan lahan yang cukup besar yaitu ≥ 50%. Hasil tumpang tindih peta RTRW, peta penggunaan lahan tahun 2006, dan peta penggunaan lahan tahun 1998 diperoleh 5 bentuk konsistensi yaitu sangat konsisten, konsisten tidak sengaja, inkonsisten tidak sengaja, inkonsisten sengaja, dan sangat tidak konsisten. Lokasi yang sangat konsisten yaitu lokasi-lokasi yang penggunaan lahannya tahun 2006 sesuai dengan penggunaan lahan tahun 1998 dan RTRW, Konsisten sengaja adalah penggunaan lahan tahun 2006 yang sesuai dengan arahan RTRW tetapi berbeda dengan penggunaan lahan tahun 1998, Inkonsisten tanpa sengaja yaitu apabila bentuk penggunaan lahan tahun 1998 dan 2006 sama tetapi tidak sesuai dengan RTRW, Inkonsisten sengaja yaitu penggunaan lahan yang pada tahun 1998 sesuai dengan RTRW tetapi pada tahun 2006 berubah menjadi bentuk penggunaan lahan yang lain, Lokasi yang sangat tidak konsisten merupakan penggunaan lahan yang tidak sama antara penggunaan lahan tahun 1998, RTRW, dan penggunaan lahan tahun 2006. Kawasan yang sangat konsisten dominan berada di bagian Timur Kota Palu. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut merupakan kawasan yang ditetapkan dalam RTRW menjadi kawasan lindung yaitu hutan lindung dan hutan suaka alam. Kawasan Permukiman dan perdagangan/jasa juga termaksud dalam kawasankawasan yang sangat konsisten. Hal ini dikarenakan pada kawasan tersebut sudah didukung dengan fasilitas dan utilitas seperti kondisi jalan, PDAM, dan penerangan jalan yang baik. Kawasan yang konsisten sengaja menyebar di bagian timur, selatan dan barat kota Palu. Hal ini dikarenakan adanya
6
perkembangan/perubahan penggunaan lahan yang menuju kepada RTRW. Artinya pada kawasan-kawasan tertentu RTRW yang disusun oleh pemerintah sudah dapat mengakomodasi /memprediksi perubahan yang akan terjadi di masyarakat. Perubahan ini juga didukung dengan sudah membaiknya kondisi jalan. Kawasan yang inkonsisten tidak sengaja mendominasi di bagian utara dan bagian barat Kota Palu. Hal ini dikarenakan RTRW direncanakan di atas penggunaan lahan yang berbeda sebelumnya. Artinya bahwa pada kawasan-kawasan tersebut belum terjadinya pembangunan sesuai dengan arahan RTRW. Masyarakat masih mengandalkan lahan mereka sebagai sumber penghasilan (masalah ekonomi). Kawasan yang inkonsistensi sengaja dominan berada di bagian Barat Kota Palu khususnya pada kawasan yang diperuntukkan untuk hutan lindung. Hal ini dikarenakan adanya masyarakat yang tinggal didalam kawasan hutan lindung. Masyarakat membuka hutan untuk bertani dengan sistem nomaden. Kawasan yang sangat tidak konsisten dominan berada di bagian timur dan utara Kota Palu. Hal ini dikarenakan masyarakat pada kawasan-kawasan tersebut masih mengandalkan pertanian sebagai sumber penghasilan mereka. Sehingga lahanlahan yang berupa hutan atau semak digunakan untuk kebun/tegalan padahal dalam RTRW direncanakan untuk jenis penggunaan lahan yang lain seperti industri dan peternakan. Hasil kuisioner menunjukkan bahwa umumnya pengetahuan responden pada RTRW sangat rendah (kurangnya sosialisasi). Hal ini didukung juga dengan hasil kuisioner yang menunjukkan bahwa hampir semua pelaku pengguna lahan tidak tahu lahan mereka direncanakan untuk apa dalam RTRW. Hasil kuisioner juga menunjukkan bahwa penggunaan lahan masih ditentukan keinginan responden sebagai pemilik lahan (tidak mengacu pada RTRW).
7
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
8
ANALISIS KONSISTENSI POLA PEMANFAATAN RUANG DENGAN RENCANA TATA RUANG (Studi Kasus Kota Palu)
SUCI RACHMAWATY
Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
9
”Tesis ini aku persembahkan buat Ibunda Sitti Sanariah dan Ayahanda Yusuf Paada (alm) yang selalu mendukung ananda dalam suka maupun duka. Kepada Ibunda tercinta yang tak pernah lelah mendampingi, ananda haturkan banyak terima kasih, Andai gelar yang ananda peroleh dapat dilekatkan di belakang nama ibunda maka akan ananda lekatkan sebagai rasa terima kasih atas pengorbanan bunda selama ini”.
Allah Always Answer your requesr, Maybe not always with “a yes” but with “the best”. Allah slalu menjawab permintaanmu mungkin tidak slalu dengan “Ya” tapi pasti dengan yang “terbaik”
10
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb Syukur Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah SWT. Karena atas rakhmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini sejak pengumpulan data di lapangan hingga penulisan tesis. Tulisan ini dibuat untuk penyelesaian akhir studi Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor Program Studi Perencanaan Wilayah. Atas selesainya tulisan ini penulis mengucapkan terma kasih yang tulus kepada : Bapak Prof. Dr. Ir. Sudarsono. MSc, selaku ketua komisi pembimbing Bapak Dr. Ir. Dwi Tejo Putro Baskoro. MSc, selaku Anggota Komisi Pembimbing. Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi MSc, Selaku Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah Institut Pertanian Bogor. Bapak dan Ibu dosen pengajar Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ayahanda Yusuf Paada yang telah berpulang ke rahmatullah. Ibunda Hj. St. Sanariah yang tercinta atas segala do’a yang tidak pernah putus serta dorongan yang diberikan sehingga anakda lebih giat dalam meningkatkan pendidikan, Kakanda Dr Ir. Alimuddin Paada. MS, Putromo Paada SH. MSi, Dra. Emmy Paada, Ernawaty Paada Ssos, Muh Yamin Paada SP. MS. Muh Yahya Paada SH, Muh Yasin Paada ST, Syamsuddin Noor Amd, adinda Laila Kurniawaty SPd, dan seluruh keluarga . Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah angkatan 2005 dan 2006 atas segala bantuan dan kerjasamanya. Semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapat ganjaran yang setimpal dari Allah, SWT. Bogor,
Agustus 2008
Suci Rachmawaty
11
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palu Propinsi Sulawesi Tengah pada tanggal 13 Juni 1978 dari Ayah yang bernama (Alm.) Yusuf Paada dan Ibu yang bernama Sitti Sanariah. Penulis merupakan anak kesembilan dari sepuluh bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Palu dan melanjutkan ke Fakultas Teknik Sipil Universitas Tadulako. Lulus program sarjana pada tahun 2002. Penulis diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2005.
12
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……………………………………………………
1
1.2. Perumusan Masalah ………………………………………………
2
1.3. Kerangka Berfikir
3
………………………………………………
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………
5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perencanaan Tata Ruang Wilayah ……………………………….
6
2.2. Pemanfaatan Ruang/penggunaan lahan ……….………………… 17 2.3. Persepsi …………………………………………………….......
21
2.5. Sistem Informasi Geografis .……………………………………
22
III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi Penelitian ………………………………………………
24
3.2. Jenis dan Sumber Data ….………………………………………
24
3.3. Metode Analisis Data ……………………………………………
24
3.3.1. Basis data ………………………………………………..
25
3.3.2. Analisis penggunaan lahan ……………………………….
25
3.3.2. Analisis konsistensi RTRW ……………………………
26
3.3.3. Persepsi masyarakat ……………………………………
28
IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kota Palu ……………………………
31
4.2. Kecamatan Palu Timur ……………………………..............
34
4.3. Kecamatan Palu Selatan ………………………………………...
36
4.4. Kecamatan Palu Barat ………………………………………...
37
4.3. Kecamatan Palu Utara ………………………………………...
38
13
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)......................................
36
5.2. Penggunaan Lahan Kota Palu …………………………………..
41
5.3. Analisis Konsistensi RTRW Kota Palu .......................................
44
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ……………………………………………………..
68
6.2. Saran ……………………………………………………………
69
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
14
DAFTAR TABEL
No
Tabel
Halaman
1
Jenis data/peta yang dibutuhkan
24
2
Wilayah Administrasi Kota Palu
31
3
Proporsi RTRW di setiap Kecamatan
36
4
Proporsi RTRW dibandingkan dengan luas setiap kecamatan
38
5
Proporsi luas kecamatan pada kelas kelerengan
38
6
Proporsi RTRW berdasarkan klas kelerengan
39
7
Luas Penggunaan lahan tahun 2006 di setiap kecamatan
40
8
Hasil tabulasi silang RTRW dengan peta penggunaan lahan
42
9
Proporsi penggunaan lahan tahun 1998 dan 2006 terhadap RTRW
44
10
Luas lahan yang berubah tahun 1998 sampai tahun 2006
48
11
Proporsi penggunaan lahan tahun 2006 terhadap RTRW
59
15
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1
Diagram alir kerangka pikir penelitian
4
2
Peta wilayah administrasi Kota Palu
32
3
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu
37
4
Peta klas Lereng Kota Palu
39
5
Grafik Proporsi penggunaan lahan Kota Palu tahun 2006
41
6
Peta penggunaan lahan Kota Palu tahun 2006
43
7
Peta penggunaan lahan Kota Palu tahun 1989
45
8
Peta Konsistensi pemanfaatan ruang terhasap Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu
49
16
DAFTAR LAMPIRAN
No
Lampiran
Hal
1
Hasil Cross tabulasi peta RTRW dan peta penggunaan lahan tahun 2006
68
2
Hasil Cross tabulasi peta RTRW dan peta penggunaan lahan tahun 1998
71
3
Hasil Cross tabulasi peta eksisting 1998 dan peta penggunaan lahan tahun 2006
74
4
Pengetahuan Responden tentang RTRW
77
5
Tanggapan Responden terhadap konsistensi RTRW
78
17
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk yang meningkat dari tahun ke tahun mengakibatkan kebutuhan akan ruang/lahan meningkat sedangkan di lain pihak ketersediaan ruang/lahan tersebut relatif terbatas. Oleh karena itu, jika dalam perkembangan suatu wilayah ruang/lahan yang ada tidak diatur dengan baik, maka akan terjadi berbagai benturan kepentingan antar aktivitas yang berdampak pada persaingan dalam penggunaan lahan. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif (Iqbal & Sumaryanto 2007). Hal ini dikarenakan tidak efektifnya mekanisme implementasi tata ruang wilayah. Untuk menghindari terjadinya alih fungsi lahan maka RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) digunakan sebagai pedoman penggunaan lahan. Dengan disusunnya RTRW, maka suatu wilayah telah atur pemanfaatan lahannya. Namun, sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan wilayah, penggunaan lahan seringkali berubah dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut ada yang sesuai dengan RTRW dan ada yang tidak sesuai dengan RTRW. Perubahan yang terjadi umumnya dari lahan - lahan pertanian menjadi lahan -lahan terbangun. Lahan-lahan pertanian di areal perkotaan umumnya beralih fungsi menjadi areal-areal pemukiman dan perdagangan dan jasa. Hal ini berarti alih fungsi lahan lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi dari suatu lahan (cepatnya memperoleh keuntungan ekonomi). Oleh karena itu pertumbuhan penduduk dan imigrasi hanya menjadi penentu minor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan (CPB 1996, diacu dalam Tjallingii 2000). Pada RTRW kota Palu, Penggunaan lahan terbagi atas penggunaan lahan untuk kawasan lindung dan untuk kawasan budidaya. Dalam kawasan budidaya selain diperuntukkan untuk kawasan terbangun (permukiman, perkantoran, perdagangan dan jasa) juga diperuntukkan untuk kawasan pertanian (sawah dan kebun).
1
Sebagai ibukota provinsi maka kota Palu menjadi pusat kegiatan sosial maupun ekonomi. Dengan semakin meningkatnya kegiatan-kegiatan sosial dan ekonomi maka pembangunan fisik (ruang terbangun) juga meningkat. Kondisi ini tentu sangat mendukung terjadinya konversi lahan yang diperuntukkan untuk lahan pertanian (sawah/tegalan) dalam RTRW. Sedangkan dilain pihak sawah maupun tegalan yang diperuntukkan dalam RTRW tersebut walaupun tidak dapat memenuhi kebutuhan hasil pertanian kota Palu secara keseluruhan namun merupakan salah satu bentuk RTH yang dapat menyediakan udara bersih dan segar untuk masyarakat yang berdomisili di Kota Palu. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, analisis konsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW di kota Palu perlu dilakukan untuk mengetahui penyebabpenyebab terjadinya inkonsistensi terhadap tata ruang saat ini.
1.2 Perumusan Masalah Pertumbuhan pusat kota yang cepat dibandingkan daerah pinggirannya merupakan suatu fenomena yang terjadi di dalam suatu wilayah. Menurut Atash & Beheshtiha (1998), implikasi yang akan datang untuk kota – kota baru antara lain adalah master plan untuk kota-kota baru harus fleksibel agar mengakomodasi perubahan-perubahan yang tidak diharapkan pada ekonomi dan populasi nasional dan regional. Untuk kota-kota besar dan kota raya, sebagian pertumbuhannya melebar ke kawasan pinggirannya dalam maupun di luar batas administrasi kota. Biasanya pertumbuhan ini diiringi dengan pertumbuhan kawasan pusat yang menurun. Kota Bandung misalnya mulai mengalami pertumbuhan kawasan pinggiran yang pesat sekitar pertengahan 1970an. Pertumbuhan di kawasan pusat menurun dari 5-6% pada periode 1920-1961 menjadi sekitar 1,5-2% per tahun pada periode 19611990. Kawasan pinggiran sebaliknya mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 47% per tahun pada periode 1971-1980 (Kombaitan 1992). Permasalahan inkonsistensi, dalam tahap pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan inefisiensi yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Berbagai isu penting lahir
2
dalam proses pertumbuhan kawasan pinggiran kota ini, antara lain : berkurangnya lahan pertanian produktif, persoalan pengembangan dan pengelolaan lahan perkotaan (Kombaitan 1992). Konversi lahan yang terjadi di pusat Kota Palu yaitu dari aktitifitas permukiman menjadi komersial dan jasa. Kawasan-kawasan terbuka seperti daerah pesisir pantai atau kawasan konservasi dikonversi untuk aktifitas yang secara ekonomi jauh lebih menguntungkan, yaitu aktifitas komersial dan jasa berupa pembangunan perumahan dan ruko. Akibatnya dalam penggunaan ruang, kawasan-kawasan ini berorientasi pada maksimalisasi keuntungan finansial. Orientasi pembangunan untuk mengejar maksimalisasi keuntungan ekonomi menyebabkan pembangunan yang dilaksanakan cenderung mengutamakan pembangunan
fisik
dan
kurang
memperhatikan
aspek
lingkungan
(Dai et al. 2001). Dari beberapa uraian diatas, rumusan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah pola pemanfaatan ruang yang ada sudah sesuai dengan arahan RTRW Kota Palu? 2. Mengevaluasi faktor – faktor yang mempengaruhi perubahan dan konsistensi pola pemanfaatan ruang.
1.3 Kerangka Berfikir Menurut UU 26 Tahun 2007, penataan ruang didefinisikan sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang merupakan acuan dalam menentukan peluang dan batasan dalam pembangunan (Wahyuni 2006). Tujuan dari penataan ruang wilayah adalah terwujudnya pemanfaatan ruang yang berkualitas, berdaya guna dan berhasil guna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan melalui upaya-upaya optimalisasi dan efisiensi dalam penggunaan ruang, kenyamanan bagi penghuninya, peningkatan produktivitas kota, sehingga mampu mendorong sektor perekonomian wilayah dengan tetap memperhatikan aspek kesinergian, keberkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
3
Salah satu tahapan dari penataan ruang Kota Palu adalah perencanaan, yang menghasilkan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu (Gambar 1). Dokumen ini merupakan acuan yang sah dalam melaksanakan pembangunan/pemanfaatan
ruang.
Namun,
dalam
penerapannya
terjadi
penyimpangan, yang dapat terjadi karena kurang akomodatifnya RTRW maupun partisipasi masyarakat yang rendah. Inkonsistensi tata ruang tentu bukan kesalahan masyarakat semata sebagai pelaku utama pengguna lahan. Tentu hal ini didukung oleh faktor-faktor lain sehingga membentuk masyarakat mengambil sikap sendiri terhadap jenis pemanfaatan lahan yang mereka miliki. Oleh karena itu, menurut Bintarto (2007) ”.....Supaya RTRW bagus dan diterima semua pihak, maka dalam penetapan RTRW harus melibatkan masyarakat”. Penataan Ruang Kota Palu
Perencanaan
Pemanfaatan
Dokumen RTRW
Aktifitas pembangunan
Tahun 1998
Pengendalian
Tahun 2006
Konsistensi penggunaan lahan : - Sangat konsisten - Konsisten sengaja - Inkonsisten tanpa sengaja - Inkonsisten sengaja - Sangat tidak konsisten
Persepsi masyarakat
KESIMPULAN
Gambar 1. Diagram alir kerangka pikir penelitian
4
Kondisi diatas merupakan salah satu faktor pendorong perubahan fungsi lahan yang dapat berakibat pada penurunan kualitas lingkungan (Savitri 2007). Berdasarkan RTRW, Penggunaan lahan tahun 1998, dan penggunaan lahan tahun 2006, bentuk/tingkat konsistensi penggunaan lahan dapat dibagi dalam lima bagian yaitu : Sangat Konsisten, konsisten sengaja, inkonsisten tanpa sengaja, inkonsisten sengaja, dan sangat tidak konsisten. Kelima kategori ini disusun berdasarkan kategori yang paling konsisten dan yang paling tidak konsisten (Gambar 1). Sehingga identifikasi penyebab maupun akar permasalahan terjadinya konsistensi penggunaan lahan yang terjadi di kota Palu akan ditinjau dari sisi perencanaan, pemanfaatan, maupun dari sisi pengendalian.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis konsistensi pola pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang. 2. Mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dan konsistensi pola pemanfaatan ruang.
1.4.2. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah kota Palu dalam merumuskan kebijakan penataan ruang.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perencanaan Tata Ruang Wilayah Menurut UUPR 26/2007, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Selanjutnya, perencanaan wilayah dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai kontrol yang relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, serta menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan atau sasaran tersebut. Dalam paradigma perencanaan tata ruang yang modern, perencanaan tata ruang diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial, dan ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan ruang dalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktivitas agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan (Rustiadi 2004). Menurut UU 26/2007, rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan: -
Keserasian, keselarasan, dan kesinambungan, fungsi budidaya, dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi ketahanan keamanan
-
Aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumberdaya, fungsi dan estetika lingkungan, serta kualitas ruang.
2.1.1. Kawasan Kota Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Kawasan kota (urban) merupakan kawasan yang dinamis, dimana secara tetap terjadi perubahan. Kota merupakan sebuah hasil proses produksi yang permanen (Lefebvre 1990, diacu dalam Martokusumo
6
2006). Perubahan ini bisa bersifat ekspansif (perluasan) atau intensifikasi (restrukturisasi internal) sebagai respon dari kebijakan ekonomi atau tekanan sosial yang timbul. Desain urban dapat dilihat sebagai sebuah alat untuk mengontrol perubahan, sebagai konsekuensi terhadap perkembangan dan pembangunan perkotaan, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik. Desain Urban bukanlah merupakan suatu produk akhir. Namun demikian, desain
urban akan sangat turut menentukan kualitas dari produk akhirnya, yaitu lingkungan binaan yang dihuni. Dengan demikian desain urban harus dipahami sebagai suatu proses yang mengarahkan perwujudan suatu lingkungan binaan fisik yang layak, sesuai dengan aspirasi masyarakat, ramah terhadap lingkungan, termaksud kepada kemampuan sumberdaya setempat dan daya dukung lahan serta merujuk kepada aspek lokal (Martokusumo 2006). Kriteria Umum Kawasan Perkotaan (Kepmenkimpraswil 327/2002): −
Memiliki fungsi kegiatan utama budidaya bukan pertanian atau lebih dari 75% mata pencaharian penduduknya di sektor perkotaan;
−
Memiliki jumlah penduduk sekurang-kurangnya 10.000 jiwa;
−
Memiliki kepadatan penduduk sekurang-kurangnya 50 jiwa per hektar;
−
Memiliki fungsi sebagai pusat koleksi dan distribusi pelayanan barang dan jasa dalam bentuk sarana dan prasarana pergantian moda transportasi.
2.1.2. Perencanaan tata ruang Kawasan Perkotaan Perencanaan tata ruang Kawasan Perkotaan secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang perkotaan serta pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk mengakomodasikan kegiatan sosial ekonomi yang diinginkan. Berdasarkan Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan dari Departeman Permukiman dan Prasarana Wilayah, kawasan perkotaan diklasifikasikan berdasarkan jumlah penduduk menjadi : a) Kawasan Perkotaan Kecil, yaitu
Kawasan Perkotaan dengan jumlah
penduduk yang dilayani sebesar 10.000 hingga 100.000 jiwa; b) Kawasan Perkotaan
Sedang, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah
penduduk yang dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa;
7
c) Kawasan Perkotaan Besar, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 500.000 jiwa; d) Kawasan Perkotaan Metropolitan, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 1.000.000 jiwa. Berdasarkan PP No. 47/1997, kawasan budidaya terdiri dari kawasan pertanian, pertambangan, peruntukan industri, pariwisata, permukiman, dan kawasan budidaya lainnya yang terdiri dari kawasan hutan kota dan kawasan hutan rakyat.
1) Kawasan Pertanian -
Kawasan Pertanian Lahan Basah : kawasan pertanian dengan sistem pengelolaan yang memerlukan air (gilir musim atau terus menerus sepanjang
tahun)
dengan
tanaman
utama
padi/sagu
dan
atau
dibudidayakan untuk usaha tani perikanan. -
Kawasan Pertanian Lahan Kering : areal lahan yang keadaan dan sifat fisiknya mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi bagi tanaman palawija dan holtikultura (kebun rakyat, tanaman holtikultura, palawija, padi ladang, dan dapat dibudidayakan untuk usaha tani peternakan).
-
Kawasan Tanaman Tahunan/Semusim : areal yang diperuntukkan untuk jenis tanaman keras/tahunan sebagai tanaman utama yang dikelola dengan teknologi sederhana sampai tinggi dan memperhatikan asas konservasi tanah dan air (perkebunan besar atau rakyat dan hutan produksi). Dalam kawasan ini dimungkinkan adanya budidaya permukiman terbatas.
Kriteria ruang :
•
Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat pengolahan hasil pertanian seperti kawasan industri, dan kawasan peternakan;
•
Memiliki akses terhadap pasar
lokal, regional, nasional, dan
internasional (angkutan sungai, jaringan jalan);
•
Didukung oleh ketersediaan tenaga kerja;
•
Didukung oleh prasarana irigasi/sumber air;
•
Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan permukiman pedesaan;
8
•
Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan industri pengolahan hasil pertanian;
•
Radius pelayanan jaringan jalan regional dan lokal;
•
Mempunyai
hubungan
fungsional
yang
erat
dengan
kegiatan
perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.
3) Kawasan Pertambangan Kawasan pertambangan terdiri dari :
− Kawasan pertambangan terbuka (surface mining) : kawasan pertambangan dimana semua kegiatan penggaliannya dilakukan di tempat terbuka, langsung berhubungan dengan udara luar.
− Kawasan pertambangan bawah tanah (underground mining) : kawasan pertambangan dimana kegiatan penggaliannya dilakukan di bawah tanah dengan menggunakan sistem tambang bawah tanah. Kriteria ruang :
• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat pengolahan hasil pertanian seperti kawasan industri dan kawasan peternakan;
• Memiliki akses terhadap pasar lokal, regional, nasional dan internasional (pelabuhan laut, angkutan sungai, jalan raya, kereta api);
• Didukung oleh ketersediaan tenaga kerja; • Di luar wilayah permukiman penduduk dan hutan lindung minimal jarak 3 – 20 km dengan batas yang jelas, dapat dipisahkan oleh hutan dan atau perkebunan;
• Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas sumberdaya air seperti sungai, mata air, air tanah, waduk dan udara.
4) Kawasan Industri Kawasan industri terdiri dari :
− Kawasan industri yang mendekati bahan baku : industri kimia dasar (ammonia, semen, clinker, kaca, pulp dan kertas, industri organik dan anorganik), industri mesin dan logam dasar (besi baja, aluminimum, tembaga, timah, kereta api, pesawat terbang, kapal, alat-alat berat lainnya).
9
− Kawasan industri yang mendekati pasar : industri aneka pangan, industri aneka tekstil dan kimia, industri aneka alat listrik dan logam, industri aneka bahan bangunan dan umum Kriteria ruang :
• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat produksi seperti kawasan pertanian, pertambangan, perikanan, peternakan;
• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan pasar lokal, regional, nasional, dan internasional (pelabuhan laut, terminal kargo, angkutan sungai, bandar udara, jalan raya, kereta api);
• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan konsumen dan bahan baku;
• Memiliki akses yang tinggi dengan jaringan jalan regional atau sekitar jalan regional untuk menampung angkutan berat (klasifikasi Jalan Kelas A ≥ 10.000 ton;
• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan ketersediaan tenaga kerja;
• Di luar wilayah permukiman penduduk/permukiman perkotaan dan hutan lindung minimal jarak 3 – 20 km dengan batas yang jelas, dapat dipisahkan oleh hutan dan atau perkebunan;
• Antara
kawasan
industri
dengan
kawasan
perumahan
perlu
dikembangkan suatu kawasan penyangga (buffer zone);
• Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas sumberdaya air (sungai, mata air, air tanah, waduk dam udara).
5) Kawasan Pariwisata Kawasan pariwisata terdiri dari :
− Kawasan wisata alam : lebih menonjolkan panorama alam, dilengkapi dengan jasa pelayanan makan, minum, akomodasi. Wisata alam dibagi lagi menjadi dua yaitu wisata pegunungan dan wisata bahari.
− Kawasan wisata buatan : terdiri dari wisata sejarah dan budaya, dan taman rekreasi.
10
Kriteria ruang :
• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat produksi seperti kawasan pertanian, perikanan dan perkebunan;
• Memiliki akses terhadap pasar lokal, retgional, nasional, dan internasional (pelabuhan laut, terminal kargo, angkutan sungai, bandar udara, jalan raya, kereta api);
• Didukung oleh ketersediaan tenaga kerja; • Jauh dari kegiatan yang memproduksi polusi tinggi (industri, tambang, TPA, pasar ternak/ikan);
• Didukung oleh prasarana dan sarana penunjang serta pelengkapnya (pasar/kios hasil kerajinan, akomodasi, energi listrik, telepon, air bersih, persampahan, sanitasim jaringan jalan);
• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan kawasan industri kecil/handycraft,
pusat
budaya
masyarakat/kesenian,
bangunan
pertunjukan.
6) Kawasan Permukiman Kawasan permukiman dibagi dua :
− Kawasan permukiman perkotaan : ruang yang diperuntukkan bagi pengelompokan permukiman penduduk dengan dominasi kegiatan non pertanian
(pemerintahan,
perdagangan,
dan
jasa
lainnya)
untuk
menampung penduduk pada saat sekarang maupun perkembangannya di masa yang akan datang.
− Kawasan permukiman perdesaan : ruang yang diperuntukkan bagi pengelompokan permukiman penduduk yang terikat dengan pola lingkungan pedesaan, dominasi kegiatan usahanya di bidang pertanian dan sarana serta prasarana pertanian. Kriteria ruang kawasan permukiman secara umum :
• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat produksi seperti kawasan pertanian, pertambangan, perikanan, peternakan, kehutanan, dsb;
• Memiliki aksesibilitas cukup baik terhadap wilayah sekitarnya (adanya jalan raya, jalan kereta api, angkutan umum, angkutan sungai);
11
• Didukung oleh ketersediaan prasarana dan sarana penunjang seperti rumah sakit, sekolah, pasar, fasilitas sosial dan fasilitas umum, dsb;
• Tidak meinmbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya air;
• Berada di luar kawasan yang berfungsi lindung. Kriteria ruang kawasan permukiman perkotaan :
• Memiliki kawasan perumahan dengan kepadatan bangunan rendah sampai tinggi (rumah susun), tipe rumah mewah sampai sederhana, kavling besar sampai kecil;
• Memiliki aksesibilitas yang lengkap (jaringan sistem primer, tol, sekunder, dan lokal), dengan sistem pelayanan angkutan jalan raya, jalan rel, angkutan udara dan angkutan sungai);
• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan prasaran dan sarana penunjang seperti rumah sakit, sekolah sampai perguruan tinggi, perdagangan dan jasa, pelabuhan udara, pelabuhan laut, kargo, terminal, parkir, jaringan utilitas yang baik, serta fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya sesuai dengan jumlah penduduk dan hirarki kota (metropolitan, besar, menengah, kecil);
• Antar kawasan dihubungkan oleh aksesibilitas yang baik, sesuai dengan fungsi pelayanan kegiatannya;
• Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya air;
• Berada di luar kawasan yang berfungsi lindung. Kriteria ruang kawasan permukiman pedesaan :
• Memiliki kawasan perumahan dengan kepadatan bangunan rendah sampai sedang, tipe rumah relatif homogen, kavling besar sampai sedang;
• Memiliki aksesibilitas cukup baik (sekunder dan lokal), dengan sistem pelayanan angkutan jalan raya, dan angkutan sungai/danau/laut;
• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan prasaran dan sarana penunjang
seperti
terminal,
tambatan
puskesmas,
sekolah,
perahu/perahu
perdagangan
motor,
Balai
tradisional,
Desa,
industri
12
penggilingan padi, kios/depot/koperasi/BPR, pasar pelelangan hasil bumi, industri es, tempat pengeringan, perbengkelan, jaringan utilitas, serta fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya yang diatur menurut jumlah penduduk dan perkembangan wilayahnya;
• Antar kawasan dihubungkan oleh aksesibilitas yang baik (jalan desa/lingkungan/setapak, angkutan pedesaan);
• Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya air;
• Berada di luar kawasan yang berfungsi lindung. 7) Kawasan Budidaya Lainnya a. Kawasan Hutan Kota Pembagian Kawasan Hutan Kota adalah sebagai berikut : Jalur Hijau, Taman Kota, Kebun dan Halaman, Kebun Raya, Hutan Raya, dan Kebun Binatang, Hutan Lindung, Kuburan dan Taman Makam Pahlawan. Kriteria ruang kawasan hutan kota :
• Berfungsi sebagai kawasan lindung; • Diarahkan pada lokasi yang memiliki tingkat polusi tinggi, dan atau pinggiran kota, bantaran sungai/laut. b. Kawasan Hutan Rakyat Kawasan hutan rakyat mempunyai fungsi hidrologis/pelestarian ekosistem, luas penutupan tajuk minimal 50 persen dan merupakan tanaman cepat tumbuh dengan luas minimal 0,25 hektar. Kriteria ruang kawasan hutan rakyat :
• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat pengolahan hasil hutan seperti kawasan industri;
• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan pasar lokal, regional, nasional, dan internasional (pelabuhan laut, angkutan sungai, jalan raya, kereta api);
• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan ketersediaan tenaga kerja;
• Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas sumberdaya lingkungan dan sumberdaya air (sungai, mata air, air tanah).
13
Sehubungan dengan tuntutan kualitas, eksistensi sebuah kota yang baik secara ideal dapat diukur melalui beberapa persyaratan mendasar. Adapun persyaratan tersebut meliputi (H. Frey 1999, diacu dalam Martokusumo 2006): 1. Pada tingkatan dasar, kota yang baik mampu mewadahi kebutuhan fisik warganya, tempat untuk tinggal dan tempat untuk bekerja, membuka peluang untuk mendapatkan nafkah/penghasilan, pendidikan, transportasi, dan kemungkinan untuk berkomunikasi serta akses kepada berbagai jasa pelayanan dan fasilitas. 2. Sebuah kota yang baik harus menjamin keamanan, keamanan dan perlindungan, pengaturan secara visual dan fungsi serta kontrol terhadap lingkungan yang bebas polusi, kebisingan, kecelakaan dan kejahatan. 3. Selain itu, sebuah kota yang baik harus mampu memberikan dan menciptakan suatu lingkungan sosial yang kondusif. Menjadi sebuah tempat tumbuh berkembangnya sebuah keluarga, memunkinkan individuindividu untuk menjadi bagian dari sebuah komunitas, serta menyuguhkan perasaan keterikatan kepada sebuah tempat dan daerah/kawasan. 4. Kota yang baik juga harus memiliki citra yang baik, reputasi yang bagus dan prestige. Hal ini memberikan warganya rasa percaya diri, kekuatan, status dan kejayaan. 5. Dalam tingkatan yang lebih tinggi sebuah kota yang baik memungkinkan warganya untuk bisa menjadi kreatif, membentuk lingkungan pribadinya dan mengekspresikan diri serta mengembangkan lingkungan komunitas sesuai dengan kebutuhan dan aspirasinya. Kota yang baik harus dirancang dengan baik, direncanakan dengan menyenangkan, secara fisik mudah dicitrakan dan kota yang baik merupakan tempat kebudayaan dan produk seni.
2.1.3. Standar pelayanan minimal. Berikut adalah Standar Pelayanan Minimal (SPM) kabupaten/kota yang dikeluarkan oleh dinas permukiman dan prasarana wilayah untuk bidang penataan ruang adalah :
14
•
Pelibatan masyarakat minimal 2 (dua) kali pada tahap proses penyusunan RTRW Kabupaten/ Kota meliputi penyusunan kebijakan dan penentuan pola dan struktur pemanfataan ruang;
•
Setiap kecamatan memiliki papan informasi tata ruang wilayahnya berupa peta, papan pengumuman;
•
Penyediaan akses yang mudah untuk mendapatkan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota. Standar Pelayanan Minimal dalam Pemanfaatan Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota adalah :
•
Pelibatan masyarakat dalam penyusunan program dan anggaran sesuai dengan Rencana Tata Ruang dengan Bappeda/ Tim Penyusun Anggaran yang diberi kewenangan untuk itu;
•
Penyediaan akses setiap saat untuk mendapatkan informasi bidang Penataan Ruang (Pemanfaatan Ruang). Standar Pelayanan Minimal dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Wilayah Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut :
•
Penyebaran informasi hasil pemantauan dan evaluasi kepada masyarakat minimal 2 (dua) kali dalam 1 tahun;
•
Pemberian pelayanan kepada masyarakat atas setiap pengaduan yangberkaitan dengan pemanfaatan ruang;
•
Di setiap Kantor Camat tersedia wadah/ unit kerja yang dapat menampung pengaduan masyarakat atas pelanggaran pemanfaatan ruang;
•
Pemberian sanksi atas pelanggaran tata ruang;
•
Penyediaan kotak saran dan melakukan komunikasi timbal balik dengan masyarakat melalui media yang tersedia.
Informasi yang akan disampaikan harus memenuhi syarat :
9 Informasi yang hendak disampaikan harus sesuai dengan materi kewenangan bidang penataan ruang;
9 Informasi yang disampaikan harus memenuhi syarat-syarat, yaitu: a. Umum, yaitu berisikan hal-hal yang umum dipahami oleh masyarakat, bukan hal-hal yang dapat dipahami oleh sebagian atau sekelompok orang saja.
15
b. Jelas dan gamblang, yaitu informasi yang disampaikan tidak boleh memberikan banyak penafsiran. c. Bahasa yang jelas, yaitu informasi yang disampaikan hendaklah menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan mudah dipahami oleh masyarakat. Jangan menggunakan istilah-istilah yang tidak dipahami. d. Positif, yaitu informasi yang disampaikan dalam bentuk positif, simpatik dan menarik. e. Seimbang, yaitu informasi yang disampaikan tidak ekstrem dan mempertentangkan hal yang satu dengan yang lainnya.
9 Informasi yang disampaikan harus informatif artinya bersifat memberikan keterangan atau fakta dan masyarakat mengambil kesimpulan atas informasi yang diberikan;
9 Seluruh masyarakat mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi bidang penataan ruang;
9 Seluruh masyarakat dapat memperoleh dengan mudah informasi bidang penataan ruang;
9 Masyarakat dapat menyampaikan informasi bidang penataan ruang. Penyebaran Informasi Papan informasi Penataan Ruang harus disediakan disetiap halaman Kantor Camat. Dalam papan informasi dimaksud harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Terbuat dari bahan kayu/ besi;
Ukuran minimal 2 x 3 meter;
Harus memuat informasi rencana struktur dan pola pemanfataan ruang dengan skala minimal 1 : 100.000 (Kabupaten) dan 1 : 50.000 (Kota) untuk kecamatan yang bersangkutan, legenda, alamat pengaduan, Nomor telepon/faxcimili yang dapat dihubungi.
Peta dinding memuat peta rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kota dengan skala minimal 1 : 100.000 (Kabupaten) , 1 : 50.000 (Kota) harus tersedia di setiap kantor Camat .
16
Penyebaran Hasil Pemantauan Dan Evaluasi Hasil pemantauan pemanfaatan ruang yang perlu diinformasikan kepada masyarakat adalah Penyimpangan Pemanfaatan Ruang yang disajikan dalam bentuk selebaran yang ditempatkan di setiap kantor camat. Penyimpangan pemanfaatan ruang : 1. Perubahan fungsi lahan Misal : peruntukkan lahan pertanian berubah menjadi lahan permukiman. 2. Perubahan fungsi kawasan Misal : Kawasan lindung menjadi kawasan budidaya. Mekanisme penyebaran informasi hasil pemantauan dan evaluasi dapat dilihat pada Gambar 2.
DINAS
KANTOR CAMAT
KANTOR LURAH/ KADES
MASYARAKAT
Gambar 2. Mekanisme penyebaran informasi
2.2. Pemanfaatan Ruang/penggunaan lahan Menurut FAO Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda di atasnya sepanjang memiliki pengaruh terhadap penggunaan lahan, termasuk di dalamnya hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang (Arsyad 1989). Lahan memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi produksi
dan
wadah
(misalnya
tempat
tinggal,
produksi
tanaman,
penggembalaan), fungsi regulasi (misalnya siklus tanaman, keseimbangan air dan
17
tanah, proses asimilasi), dan fungsi informasi (ilmu pengetahuan, sejarah) (Graaff 1996, diacu dalam Savitri 2007). Penggunaan lahan adalah setiap campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhannya, baik material maupun spiritual (Vink 1975, diacu dalam Sitorus 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor kelembagaan. Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, kondisi pasar dan transportasi. Faktor kelembagaan dicirikan oleh hukum pertanahan, situasi politik, sosial ekonomi, dan secara administrasi dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan hidup (Barlowe 1986, diacu dalam Savitri 2007). Menurut UU 26/2007, Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukkan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukkan ruang untuk fungsi budidaya. Menurut Rustiadi (2004), tata ruang sebagai wujud pola dan struktur pemanfaatan ruang terbentuk secara alamiah dan merupakan wujud dari proses pembelajaran (learning process) yang terus menerus. Sebagai alat pendeskripsian, istilah pola spasial (ruang) erat dengan istilah-istilah kunci seperti pemusatan, penyebaran, pencampuran dan keterkaitan, posisi/lokasi, dan lain-lain. Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan aspek-aspek sebaran sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap jenis aktifitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda, dan tingkat penyebaran yang berbeda-beda pula (Rustiadi 2004). Menurut Rustiadi (2004), pola pemanfaatan ruang juga dicerminkan dengan gambaran pencampuran atau keterkaitan spasial antar sumberdaya dan pemanfaatannya. Kawasan perdesaan dicirikan dengan dominasi pencampuran antara aktifitas-aktifitas pertanian, penambangan, dan kawasan lindung. Sebaliknya, kawasan perkotaan dicirikan oleh pencampuran yang lebih rumit antara aktifitas jasa komersial dan permukiman. Adapun, kawasan sub urban di daerah perbatasan perkotaan dan perdesaan dicirikan dengan kompleks pencampuran antara aktifitas permukiman, industri dan pertanian. Peta penggunaan lahan (land use map) dan peta penutupan lahan (land cover map)
18
adalah bentuk deskriptif terbaik dalam menggambarkan pola pemanfaatan ruang yang ada. Bagi seorang perencana, pengetahuan mengenai penggunaan lahan dan penutupan lahan sangatlah penting dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang memperhatikan aspek lingkungan. Penggunaan lahan (land use) dan penutup lahan (land cover) merupakan dua istilah yang sering diberi pengertian sama, padahal keduanya mempunyai pengertian berbeda. Menurut Lillesand dan Kiefer (1987), penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia pada obyek tersebut, dapat berupa konstruksi vegetasi maupun buatan. Pertambahan penduduk yang pesat dan pemenuhan kesejahteraan penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman, pertanian, industri, dan rekreasi. Keadaan tersebut menyebabkan perubahan penggunaan lahan yang sering tidak mengikuti kaidah konservasi alam (Mahmudi 2002). Perubahan penggunaan lahan, misalnya dari hutan menjadi permukiman atau industri akan mengurangi daya serap tanah terhadap air.
2.2.1. Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Pemanfaatan ruang pada dasarnya merupakan realisasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disusun. Namun demikian, kompleksitas permasalahan dalam proses perkembangan wilayah dapat mengakibatkan terjadinya pemanfaatan ruang yang menyimpang dari RTRW. Konsistensi dalam pemanfaatan ruang terlihat dari kesesuaian antara aktifitas penggunaan ruang dengan RTRW. Analisis konsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW bertujuan untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang yang telah dilakukan sesuai dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasar/pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang. Menurut Meyer dan Turner (1994), perubahan penggunaan lahan (land use
change) meliputi pergeseran penggunaan lahan menuju penggunaan lahan yang berbeda (conversion) atau intensifikasi pada penggunaan yang telah ada
19
(modification). Menurut Rustiadi (2001), proses alih fungsi lahan dapat dipandang merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: (1) pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita; dan (2) adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer (sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktivitas sektorsektor sekunder (industri manufaktur dan jasa). Menurut Dardak (2006), upaya menciptakan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dirasakan masih menghadapi tantangan yang berat. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya permasalahan yang mencerminkan bahwa kualitas ruang kehidupan kita masih jauh dari cita-cita tersebut. Permasalahan tersebut antara lain adalah semakin meningkatnya frekuensi dan cakupan bencana, lingkungan perumahan kumuh dan kemacetan lalu lintas terutama di kawasan perkotaan besar dan metropolitan, semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup di kawasan perkotaan akibat penurunan luas ruang terbuka hijau, pencemaran lingkungan, dan sebagainya. Meningkatnya kebutuhan akan lahan akibat bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan terjadinya tumpang tindih kepentingan terhadap sebidang lahan. Hal ini jika dibiarkan dapat mengarah pada pola sebaran kegiatan yang secara ekonomi paling menguntungkan, namun belum tentu menguntungkan atau bahkan merugikan dari segi lingkungan (Wiradisastra 1989). Penggunaan lahan secara umum dipengaruhi oleh dua faktor utama : (1) alami dan (2) manusia. Faktor alami meliputi iklim, topografi, tanah dan bencana alam, sedangkan faktor manusia merupakan aktifitas manusia pada sebidang lahan. Faktor manusia lebih dominan berpengaruh dibandingkan dengan faktor alam karena sebagian besar perubahan penggunaan lahan disebabkan oleh aktifitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya dari sebidang lahan tertentu (Vink 1965, diacu dalam Sudadi et al. 1991). Menurut Meyer dan Turner (1994), faktor manusia dapat dibagi menjadi manusia yang melakukan aktifitas pada
20
lahannya dan pemerintah yang menyusun tata ruang atau arahan rencana penggunaan lahan suatu wilayah. Faktor lain yang menjadi penentu konversi lahan adalah nilai lahan yang diukur dalam produktifitas lahan dan jarak yang mencerminkan lokasi suatu lahan dan aksesibilitas. Di Indonesia, salah satu masalah pokok dalam usaha penataan penggunaan lahan dan lingkungan hidup antara lain adalah adanya kontradiksi antara kebutuhan yang menjadi pemakai yang lebih luas di satu pihak dan batasanbatasan yang berat demi lingkungan hidup (Sandy 1980, diacu dalam Sitorus 2004). Penyimpangan penggunaan lahan yang terkait dari aspek masyarakat sangat dipengaruhi oleh persepsi dan pengetahuan masyarakat itu sendiri.
2.3. Persepsi Dyah (1983) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu pandangan, pengertian dan interpretasi seseorang mengenai suatu objek yang diinformasikan kepadanya dengan cara mempertimbangkan hal tersebut dengan diri dan lingkungannya. Persepsi merupakan proses kognitif yang bisa terjadi pada setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya yang dapat diperoleh melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, maupun penciuman (Thoha 1983). Karakteristik seseorang ikut mempengaruhi persepsinya dan persepsi tersebut akan mempengaruhi tindakan atau perilakunya (Roger dan Shoemaker 1971, diacu dalam Yusri 1999). Persepsi adalah pengamatan, pengertian, dan penilaian seseorang terhadap rangsangan objek atau informasi yang disampaikan kepada orang tersebut (Yusri 1999). Terdapat tiga komponen persepsi yang mempengaruhi pandangan seseorang terhadap suatu obyek yaitu, komponen kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif berisi ide, anggapan, pengetahuan dan pengetahuan seseorang terhadap obyek berdasarkan pengalaman langsung yang dihubungkan dengan sumber informasi. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki seseorang akan menghasilkan keyakinan (belief) evaluatif terhadap obyek tertentu. Komponen
afektif menekankan pada perasaan atau emosi, dengan demikian merupakan evaluasi emosional dalam menilai obyek tertentu. Sedangkan komponen konatif
21
menekankan pada kecenderungan (tendency) dan perilaku aktual seseorang untuk melakukan tindakan sesuai dengan yang dipersepsikan. Menurut Asngari (1984), menyatakan bahwa persepsi individu terhadap lingkungan merupakan faktor penting karena akan berlanjut dalam menentukan tindakan individu tersebut. Persepsi dapat dibentuk melalui faktor hereditas (keturunan/bawaan) dan lingkungan (Thorndike 1968, diacu dalam Erwina 2005). Kedua faktor ini saling mempengaruhi dan saling berinteraksi dalam membentuk persepsi. Faktor hereditas antara lain adalah bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, dan tanggapan yang dibawa sejak lahir. Adapun faktor lingkungan adalah faktor yang berada di luar individu, misalnya pendidikan, lingkungan sosial dan status sosial. Penyimpangan dalam pemanfaatan ruang yang sebagian disebabkan oleh masyarakat dapat diolah dalam sistem informasi untuk keperluan analisis.
2.4. Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasiinformasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Menurut Aronoff, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dalam menganalisis data yang bereferensi geografis, yaitu masukan, keluaran, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data) serta analisis dan manipulasi data (Prahasta 2005). SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu dengan SIG pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data yang menjadi miliknya sendiri kedalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta 2005).
22
Teknologi SIG akan mempermudah para perencana dalam mengakses data, menampilkan informasi-informasi geografis terkait dengan substansi perencanaan dan meningkatkan keahlian para perencana serta masyarakat dalam menggunakan sistem informasi spasial melalui komputer. SIG dapat membantu para perencana dan pengambil keputusan dalam memecahkan masalah-masalah spasial yang sangat kompleks. Dalam penelitian ini, penggunaan SIG lebih diprioritaskan pada fungsinya untuk melakukan teknik tumpang tindih (overlay) dari beberapa peta yang digunakan. Jika pengolahan data dilakukan secara manual, pengguna harus bekerja dengan beberapa peta analog dan beberapa informasi atribut yang diperlukan. Selanjutnya pengguna dapat menganalisis kedua data tersebut (peta dan data atribut) untuk kemudian memplotkan hasil akhirnya kedalam peta. Untuk tumpang tindih (overlay) peta juga dapat dilakukan hal yang sama. Beberapa kelemahan dari proses tersebut adalah selain membutuhkan waktu yang relatif lama, tingkat ketelitian dan akurasinya sangat bergantung pada kemampuan dan ketelitian penggunanya dalam melakukan proses olah data tersebut. Dengan teknologi SIG, pengguna memerlukan data spasial dan atribut dalam bentuk digital, sehingga prosesnya dapat dilakukan dengan cepat dengan tingkat ketelitian cukup baik dan prosesnya dapat diulang kapan saja, oleh siapa saja, dan hasilnya dapat disajikan dalam berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna.
23
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai bulan Oktober 2007, meliputi tahap persiapan, pengumpulan data, pengecekan lapangan, analisis, dan penulisan.
3.2. Jenis dan sumber data Data-data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap inkonsistensi RTRW. Pengumpulan data ini dilakukan dengan mewawancarai responden secara langsung dan menyebarkan kuisioner. Tabel 1. Jenis data/peta yang dibutuhkan No Jenis Data 1
Sumber
Desa
Responden
Primer -Kuisioner
2
Skala
Sekunder Fisik - Peta penggunaan lahan tahun 1998
1:20 000
- Bappeda Kota Palu
1:20 000
- Bappeda Kota Palu
1: 20 000
- Bappeda Kota Palu
- Peta penggunaan lahan tahun 2006 - Peta RTRW
Data sekunder dikumpulkan dari beberapa instansi terkait sesuai atribut yang akan dikaji. Data berupa peta dan data numerik atau tabular. Jenis dan sumberdata sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdapat pada Tabel 1.
24
3.3 Metode Analisis Data Tahapan dalam menganalisis data terdiri dari 4 (empat) bagian yaitu: 1) Pembuatan basis data, 2) Analisis penggunaan lahan, 3) Analisis konsistensi RTRW, 4) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW.
3.3.1 Basis data Basis data adalah kumpulan data yang saling berhubungan. Suatu basis data menyediakan data untuk pengguna terbatas maupun berbagai penggunaan secara luas. Suatu basis data terdiri dari satu file atau lebih yang distrukturkan sedemikian rupa dalam bentuk Sistem Pengelolaan Basis Data (Database
Manajemen System/DBMS), dan diakses melalui jalur tersebut (Barus & Wiradisastra 2000). DBMS adalah sistem perangkat lunak yang bertujuan khusus untuk pengelolaan, penyimpanan, dan manipulasi informasi (Haryanto 2003). Penyusunan basis data ditujukan untuk mempermudah pencarian dan penghubung data tabular. Suatu sistem pengelolaan basisdata harus dapat digunakan untuk memanipulasi berbagai tipe objek dan variasi hubungan antar objek. Dengan penyusunan basisdata akan memudahkan dalam pengelolaan untuk mendapatkan hasil akhir yang diinginkan baik berupa tabular maupun peta. Dalam penelitian ini data yang disusun sebagai basis data adalah data penggunaan lahan tahun 1998, data penggunaan lahan tahun 2006, dan Peta RTRW
(1999-2009).
Pengolahan
dan
analisis
data
dilakukan
dengan
menggunakan perangkat lunak Arcview 3.3 dan Idrisi. Peta Penggunaan lahan tahun 2006 dan Peta RTRW dioverlay untuk menghasilkan peta konsistensi. Peta ini menjadi dasar atau patokan dalam penyebaran kuisioner dan wawancara langsung.
3.3.2. Analisis penggunaan lahan Analisis penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk penguasaan, penggunaan, dan kesesuaian pemanfaatan lahan untuk kegiatan budidaya dan lindung. Selain itu, dengan analisis ini dapat diketahui besarnya fluktuasi intensitas kegiatan di suatu kawasan, perubahan, dan kecenderungan
25
pola
perkembangan
kawasan
budidaya.
Analisis
dilakukan
dengan
mengidentifikasi suatu bentuk penggunaan lahan yang terjadi pada tahun 1998 dan tahun 2006. Hasil identifikasi tersebut kemudian dideskripsikan. Hasil deskripsi tersebut berupa luasan dan persentase luasan dari suatu bentuk penggunaan lahan pada suatu wilayah administrasi dan kelas lereng..
3.3.3. Analisis Konsistensi RTRW Konsistensi RTRW adalah untuk melihat seberapa jauh tingkat konsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW. Analisis ini dilakukan dengan cara mengoverlay peta RTRW, peta penggunaan lahan tahun 1998, peta penggunaan lahan tahun 2006. hasil overlay yang berupa data atribut, diekspor ke Microsoft
Excel dan diolah. Pengolahan dilakukan dengan cara membuat matriks yang berisi kolom -kolom yang memberikan informasi mengenai jenis penggunaan lahan tahun 1998 dan 2006 yang berada pada kawasan-kawasan yang telah ditetapkan dalam RTRW. Tumpang tindih antar ke 3 peta dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya konsistensi dan inkonsistensi penggunaan lahan. Dari hasil tumpang tindih ke 3 peta tersebut dapat diindentifikasi 5 bentuk konsistensi penggunaan lahan yaitu: 1. Sangat konsisten yaitu jika
penggunaan laha tahun 2006 sesuai dengan
eksisting tahun 1998 dan RTRW. 2. Konsisten sengaja yaitu jika penggunaan lahan tahun 2006 yang sesuai dengan arahan RTRW tetapi berbeda dengan penggunaan lahan tahun 1998. dengan kata lahan perubahan lahan yang terjadi mengarah ke RTRW. 3. Inkonsisten tanpa sengaja yaitu jika penggunaan lahan yang pada tahun 1998 sesuai dengan RTRW tetapi pada tahun 2006 berubah menjadi bentuk penggunaan lahan yang lain. 4. Inkonsisten sengaja yaitu jika penggunaan lahan pada tahun 1998 tidak sesuai dengan RTRW tetapi pada tahun 2006 sesuai dengan penggunaan lahan tahun 1998. 5. Inkonsisten sengaja/ngawur yaitu jika penggunaan lahan tahun 2006 tidak sama antara eksisting tahun 1998 dan RTRW.
26
Identifikasi Hubungan Geografis Identifikasi hubungan geografis dilakukan antara peta RTRW dan peta penggunaan lahan dengan menggunakan software Idrisi. Kedua peta tersebut kemudian diolah terlebih dahulu di ArcView untuk menyamakan frame. Setelah batasan kedua peta sama kemudian diimport ke Idrisi. Data yang diimport masih dalam bentuk data vektor sehingga dilakukan dulu pengeditan database kedua peta sehingga diperoleh peta baru dengan database dalam bentuk angka. Kedua peta baru tersebut kemudian ditransformasi menjadi peta raster. Untuk mengetahui derajat asosiasi antar kedua peta maka dua peta diuji secara statistik dengan menggunakan koefisien Cramer’s V dan koefisien Kappa. Untuk mendapatkan kedua koefisien tersebut maka dua peta (raster) tersebut kemudian dilakukan tabulasi silang. Dari hasil tabulasi silang akan diperoleh nilai koefisien Cramer’s V dan Koefisien Kappa yang memperlihatkan korelasi antar kedua peta. Menurut Bonham dan Charter (1998), pengukuran-pengukuran variasi dapat digunakan untuk mengkuantifikasi derajat asosiasi antar peta, dan dalam setiap perhitungan didasarkan pada jumlah area tabulasi silang.
Koefisien Cramer’s V Koefisien Cramer’s V adalah koefisien asosiasi yang berdasarkan pada nilai Chi-square. Cramer’s V adalah unit–unit pengukuran bebas dengan variasi nilai antara 0 (mengindikasikan tidak ada korelasi antara ke dua peta) nilai maksimum tidak lebih dari 1. Cramer’s V tergantung pada nilai X2, total area dan dimensi
area
tabel.
Pengukuran
koefisien
menggunakan
tabel
yang
perhitungannya berdasarkan independent random sampling. Secara statistik asosiasi tersebut dapat diuji. Persaman untuk area yang diuji :
T * ij =
Ti .T. j T ..
27
Persamaan chi square: n
X =∑ 2
i =1
m
∑
(T
ij
− Tij*
)
2
Tij
j =1
Persamaan Cramer”s V :
x2 T ..M
V = Keterangan: Ti = Jumlah baris ke-i
Tj = Jumlah kolom ke-j T.. = Total-total marjinal Tij = klas i =1,2…n pada peta B (baris) dan klas j = 1,2…m pada peta A (kolom) M = minimum (n-1, m-1)
Koefisien Kappa
Koefisien Kappa digunakan untuk menilai tingkat kesesuaian 2 data / peta dengan jumlah klas yang sama. Kappa mengukur sejumlah kesesuaian antar atribut, dan mengkoreksi untuk menduga sejumlah kesesuaian. Kappa melihat hanya pada klas kategori dalam prinsip diagonal matriks proporsi. Nilai koefisien Kappa berada antara 0 (mengindikasikan tidak ada korelasi) sampai 1 (sangat berkorelasi). Persamaan Koefisien Kappa :
n
K=
n
∑ Pii − ∑ qii i =1
i =1
n
1 − ∑ q ii i −1
Keterangan:
ΣPii = Total persesuaian yang diobservasi Σqii = Total persesuaian karena perubahan n
= Jumlah klas yang dimatchingkan
28
3.3.4. Persepsi masyarakat.
Persepsi masyarakat terhadap RTRW diketahui dengan menyebarkan kuisioner kepada responden mengenai penggunaan lahan yang konsisten dan inkonsisten dengan RTRW dan melakukan wawancara langsung kepada pelaku/ pengguna lahan baik yang penggunaannya konsisten dan inkonsisten dengan RTRW. 1. Kuisioner. Penyebaran kuisioner ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan kepedulian responden terhadap konsistensi RTRW yang terjadi di lingkungan mereka. Lokasi penyebaran kuisioner berada pada 4 kecamatan yang setiap kecamatan diwakili oleh satu kelurahan. Kelurahan yang dipilih adalah kelurahan yang terjadi inkonsistensi penggunaan lahan yang arealnya cukup luas. Responden berjumlah 37 responden yang terdiri dari 5 strata. Jumlah responden pada setiap strata ditentukan secara proporsional yaitu LSM 2 responden, PNS 5 responden, mahasiswa 5 responden, pelajar 5 responden, dan kepala rumah tangga 20 responden. Data yang akan diperoleh dari kuisioner berupa jawaban pertanyaan tertutup (jawaban yang sudah disediakan lebih dahulu) dan jawaban pertanyaan terbuka (jawaban yang diberikan sifatnya bebas, sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh penjawab, tanpa ada suatu batasan tertentu). Kemudian jawaban
pertanyaan
terbuka
dikategorikan
terlebih
dahulu
atau
dikelompokkan sehingga tiap kelompok berisi jawaban yang lebih kurang sejenis. 2. Wawancara langsung dengan responden. Wawancara langsung dilakukan kepada responden sebagai pelaku yang melakukan konsistensi dan inkonsistesi pemanfaatan ruang terhadap RTRW. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui alasan-alasan responden dalam menggunakan lahannya saat ini. Wawancara dengan responden dibagi atas 2 bagian yaitu: a. Pelaku konsistensi adalah orang yang membangun atau melakukan kegiatan kerja/usaha sesuai dengan arahan Rencana Tata Ruang. Setiap pelaku konsistensi diwakili oleh 3 orang responden yang dipilih secara acak. Misal: rumah yang berada di kawasan perumahan yang sesuai
29
dengan rencana tata ruang akan diwakili oleh 3 orang responden (pemilik lahan). b. Pelaku inkonsistensi adalah orang yang membangun atau melakukan kegiatan kerja/usaha tidak sesuai dengan arahan Rencana Tata Ruang. Setiap pelaku inkonsistensi diwakili oleh 3 orang responden yang dipilih secara acak. Misal: rumah yang dibangun di lahan kering (RTRW) akan diwakili oleh 3 orang responden (pemilik lahan). Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sehingga jumlah responden bukan menjadi pertimbangan pokok, namun lebih ditekankan pada pendalaman serta kedalaman dan kecukupan informasi (representative). Penelitian kualitatif digunakan dikarenakan studi ini membahas persepsi pada kelompok-kelompok tersebut. Hasil – hasil kuisioner kemudian dideskripsikan. Pendeskipsian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang menyangkut pada keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian sehingga dapat menentukan dan melaporkan keadaan sekarang. Dengan tujuan utama menggambarkan sifat suatu keadaan yang sebenarnya pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Gay 1976, diacu dalam Sevilla CG 1993).
30
IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Kota Palu 4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi
Kota Palu secara administratif termaksud dalam bagian dari wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Secara geografis daerah ini terletak antara 1190 45’00” hingga 121o 01’ 00” BT dan 0o 36’ hingga 0o 56’ LS. Secara fisik administrasi kota Palu mempunyai luas 395.60 km2 atau sekitar 39 560 Ha, dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara
: Berbatasan dengan Kabupaten Donggala dan Teluk Palu
Sebelah Timur
: Berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong dan Donggala
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Donggala Sebelah Barat
: Berbatasan dengan Kabupaten Donggala
Secara administrasi pemerintahan, kota Palu terdiri atas 4 wilayah kecamatan yaitu kecamatan Palu Barat (5
747 Ha)
, kecamatan Palu Utara (8 969
Ha), kecamatan Palu Selatan (6 135 Ha) dan wilayah kecamatan Palu Timur (18 655 Ha) (Gambar 1). Kelurahan yang tercakup dalam wilayah administrasi kota Palu disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Wilayah Administrasi Kota Palu. No 1
Kecamatan Palu Timur
Desa Besusu barat, Besusu tengah, Besusu timur, Lasoani, Layana indah, Poboya, Talise, Tondo
2
Palu Selatan
Birobuli Selatan, Birobuli Utara, Kawatuna, Lolu Selatan, Lolu Utara, Palupi, Pengawu, Petobo, Tanamodindi, Tawanjuka, Tatura selatan, Tatura utara
3
Palu Barat
Balaroa, Baru, Boyaoge, Buluri, Donggala kodi, Duyu, Kamonji, Lere, Nunu, Silae, Siranindi, Tipo, Ujuna, Watusampu.
4
Palu Utara
Baiya, Kayumalue Ngapa, Kayumalue Pajeko, Lambara, Mamboro, Panau, Pantoloan,Taipa
Sumber : Peta Administrasi Kota Palu
31
PETA ADMINISTRASI KOTA PALU KETERANGAN :
Palu Barat Palu Selatan Palu Timur Palu Utara Jalan Sungai
N
W
E
S
5
0
5
Kilometers
Sumber : Bappeda Kota Palu
Gambar 3. Peta wilayah administrasi kota Palu
32
Ibukota Kota Palu terletak di Kecamatan Palu Selatan dan jarak dari Kota Palu ke Ibukota Kecamatan lainnya adalah : 1. Kecamatan Palu Timur
: 3,0 Km
2. Kecamatan Palu Utara
: 21,0 Km
3. Kecamatan Palu Selatan : 2,0 Km 4. Kecamatan Palu Barat
: 4,5 Km
4.1.2. Suhu dan Keadaan Iklim
Sebagaimana dengan daerah-daerah lain di Indonesia, Kota Palu. memiliki dua musim, yaitu musim panas dan musim hujan. Musim kering terjadi antara bulan April - September, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Oktober-Maret. Hasil pencatatan suhu udara pada Stasiun Udara Mutiara Palu tahun 2005 menunjukkan suhu udara maximum tertinggi terjadi pada bulan Maret dan Oktober (28.10°C) dan suhu udara maximum terendah terjadi pada bulan Februari (25.4°C). Suhu rata-rata bulanan tahun 2005 adalah 24.12 oC. Kelembaban udara yang dicatat pada stasiun yang sama berkisar antara 70 - 82 persen. Kelembaban udara rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Mei mencapai 82 %, sedangkan kelembaban udara rata-rata terendah terjadi pada bulan Maret yaitu 70 % (BPS 2006). Curah hujan rata-rata tahunan yang tercatat pada stasiun Mutiara Palu tahun 2003, 2004, dan 2005 berturut-turut adalah 2.30 mm, 3.30 mm, dan 3.22 mm. Curah hujan tertinggi pada tahun 2005 terjadi pada bulan Juni yaitu 6.5 mm. Sementara itu curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari yang hanya mencapai 0.6 mm. Sementara itu kecepatan angin rata-rata yaitu 4.08 knots dan kecepatan angin maksimum mencapai 5 knots (BPS 2006). 4.1.3. Kependudukan
Hasil registrasi tahun 2005 menunjukkan bahwa jumlah penduduk mencapai 297 873 jiwa. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka tingkat kepadatan penduduk juga mengalami peningkatan. Hingga akhir tahun 2005 kepadatan penduduk tercatat 33.16 jiwa/Ha, dengan luas wilayah Kota Palu
33
39 506 Ha. Bila dilihat jumlah penduduk pada tingkat kecamatan, ternyata Kecamatan Palu Barat merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi, sedangkan
Kecamatan
Palu
Utara
merupakan
wilayah
yang
terjarang
penduduknya. Komposisi atau struktur umur penduduk di Palu menunjukkan bahwa terdapat 29 persen penduduk masih di bawah 15 tahun. Dengan melihat perbandingan jumlah penduduk yang berusia non produktif dengan penduduk usia produktif dapat diketahui besarnya angka ketergantungan pada tahun 2003 yaitu sebesar 46,24. Artinya bahwa setiap 100 orang penduduk usia produktif (15-64 tahun) menanggung sebanyak kurang lebih 46 orang penduduk usia tidak produktif ( 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas). Pembangunan dibidang ekonomi diarahkan pada sektor industri dengan didukung oleh sektor pertanian yang tangguh. Perkembangan di sektor pertanian menjadi lebih penting lagi disebabkan jumlah penduduk yang berusaha di bidang pertanian masih sangat besar. Tanaman padi dan palawija terdiri dari komoditas padi, jagung, kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar. Sedangkan tanaman sayur-sayuran yang diusahakan masyarakat di kota Palu adalah bawang merah, petsai, tomat, bawang daun, ketimun, kacang-kacangan, lombok, terung, bayam dan kangkung. Dari jenis komoditas yang termaksuk dalam kelompok ini, komoditas padi dan jagung yang memiliki areal panen yang cukup luas dan dapat berproduksi yang lebih besar dibandingkan dengan komoditas lainnya. Padi sawah memiliki produksi gabah 686 ton tahun 2005. 4.2 Kecamatan Palu Timur
Kecamatan Palu timur terletak di tengah-tengah Kota Palu dan terletak memanjang dari Barat ke Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: -
Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Palu Utara
-
Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Donggala
-
Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Palu Selatan
-
Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Palu Barat dan teluk Palu.
34
Kemajuan pembangunan di kecamatan Palu Timur dicerminkan oleh peningkatan kuantitas dan kualitas bangunan fisik seperti jumlah bangunan rumah tempat tinggal dengan kategori permanen jumlahnya semakin banyak dari tahun ke tahun. 4.2.1
Penduduk
Penduduk di Kecamatan Palu Timur pada akhir tahun 2005 tercatat sejumlah 67.864 jiwa. Dengan kepadatan penduduk 364 orang per km persegi. Laju pertumbuhan penduduk di kecamatan Palu Timur sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kelahiran dan kematian, serta faktor migrasi yang masuk maupun yang keluar dari wilayah ini. 4.2.2
Pertanian
Kecamatan Palu Timur sebagian wilayahnya merupakan wilayah perkotaan, sehingga potensi bidang pertanian relatif kecil. Wilayah potensi pada sub sektor tanaman pangan hanya terdapat pada dua kelurahan yaitu kelurahan Poboya dan kelurahan Lasoani. Pada sektor peternakan, masih dijumpai populasi ternak besar dan ternak kecil seperti sapi, kuda, kambing, dan domba pada hampir semua kelurahan. Sedangkan untuk ternak unggas juga masih ditemui pada semua kelurahan. 4.2.3
Industri
Kriteria yang digunakan dalam menentukan klasifikasi industri oleh Badan Pusat Statistik adalah jumlah tenaga kerja yang digunakan. Adapun pembagian tersebut adalah: 1. Industri besar jumlah tenaga kerja 100 orang atau lebih 2. Industri sedang jumlah tenaga kerja 20-99 orang 3. Industri kecil jumlah tenaga kerja 5-19 orang, dan 4. industri kerajinan rumah tangga jumlah tenaga kerja lebih kecil atau sama dengan 4 orang. Berdasarkan kriteria tersebut maka industri yang terdapat di kecamatan Palu Timur adalah semua golongan industri tersebut, dimana tercatat 6 industri besar, 8 industri sedang, 316 industri kecil, dan 70 industri kerajinan rumah tangga.
35
4.2.4
Perdagangan
Pasar merupakan pusat perdagangan dimana terjadi transaksi barang dan jasa antara penjuan dan pembeli. Dari 8 kelurahan yang ada di kecamatan Palu Timur, 1 kelurahan diantaranya yang memiliki sarana pemasaran berupa pasar desa yang aktivitasnya berlangsung setiap hari. Disamping pasar, pada setiap kelurahan juga terdapat warung/kios yang merupakan temapt-tempat pelayanan kebutuhan pokok sehari-hari. Keberadaan warung/kios hampir merata pada setiap kelurahan. Perdagangan tumbuh pesat di Kecamatan ini. Hal terlihat dari jumlah toko tahun 2004 sebanyak 774 toko dan meningkat menjadi 966 toko pada tahun 2005. demikian pula kios/warung dari 2 204 kios/warung menjadi 2 982 kios/warung (BPS 2006). Pada Kecamatan ini juga terdapat satu mal dan beberapa swalayan besar. 4.3 Kecamatan Palu Selatan
Kecamatan Palu Selatan terletak pada bagian selatan wilayah Kota Palu dan terletak memenjang dari barat ke timur dengan batas-batas sebagai berikut: -
Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Palu Timur.
-
Sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Parigi kabupaten Parigi Moutong.
-
Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Biromaru dan kecamatan Marawola kabupaten Donggala.
4.3.1
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Palu Barat.
Penduduk
Penduduk di Kecamatan Palu selatan pada akhir tahun 2005 tercatat sejumlah 109 609 jiwa. Dengan kepadatan penduduk 1 780 orang per km persegi. Laju pertumbuhan penduduk di kecamatan Palu Timur sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kelahiran dan kematian, serta faktor migrasi yang masuk maupun yang keluar dari wilayah ini. 4.3.2
Pertanian
Kecamatan Palu selatan sebagian wilayahnya merupakan wilayah perkotaan, sehingga potensi bidang pertanian yang dimiliki relatif kecil. Tanaman
36
pangan hanya terdapat pada dua kelurahan yaitu kelurahan petobo dan kelurahan Kawatuna. Pada sektor peternakan, masih dijumpai populasi ternak besar seperti sapi dihampir semua kelurahan kecuali kelurahan Tatura Utara dan Lolu Utara dan ternak kecil seperti kambing pada semua kelurahan. Sedangkan untuk ternak unggas seperti ayam buras juga masih ditemui pada semua kelurahan. 4.3.3
Industri
Berdasarkan kriteria yang digunakan BPS maka industri yang terdapat di kecamatan Palu selatan adalah tergolong kedalam industri kecil dan kerajinan rumah tangga. Seperti penggilingan padi, penggilingan kopi, penggilingan/ pemarut kelapa, dan pembuatan anyaman. 4.3.4
Perdagangan
Dari 12 kelurahan di kecamatan Palu Selatan, hanya 2 kelurahan yang memiliki sarana pemasaran berupa pasar kelurahan yang aktivitasnya berlangsung setiap hari. Disamping pasar, pada setiap kelurahan juga terdapat warung/kios yang merupakan tempat-tempat pelayanan kebutuhan pokok sehari-hari. Keberadaan warung/kios hampir merata pada setiap kelurahan. 4.4 Kecamatan Palu Barat
Kecamatan Palu Barat terletak pada bagian barat wilayah Kota Palu dan terletak memanjang dari timur ke barat dengan batas-batas sebagai berikut: -
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Donggala dan Teluk Palu.
-
Sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Palu Timur dan Kecamatan Palu Selatan.
4.4.1
-
Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Palu Selatan.
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Donggala.
Penduduk
Penduduk di Kecamatan Palu barat pada akhir tahun 2005 tercatat sejumlah 89 073 jiwa. Dengan kepadatan penduduk 1 550 orang per km persegi. Laju pertumbuhan penduduk di kecamatan Palu barat sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kelahiran dan kematian, serta faktor migrasi yang masuk maupun yang keluar dari wilayah ini.
37
4.4.2
Pertanian
Kecamatan Palu barat sebagian kecil wilayahnya merupakan wilayah perkotaan. Di Kecamatan ini masih terdapat areal sawah yang cukup luas. Dari 14 kelurahan di kecamatan ini, terdapat 4 kelurahan yang areal sawahnya masih berproduksi yaitu kelurahan Duyu, Boyaoge, Nunu, dan kelurahan Donggala kodi. Pada sektor peternakan, masih dijumpai populasi ternak besar seperti sapi dihampir semua kelurahan kecuali kelurahan Ujuna dan Kamonji dan ternak kecil seperti kambing juga di hampir semua kelurahan kecuali kelurahan Kamonji dan Baru. Sedangkan untuk ternak unggas seperti ayam buras juga masih ditemui pada semua kelurahan. 4.4.3
Industri
Kegiatan Industri di kecamatan Palu Barat tidak begitu menonjol. Hal ini dikerenakan tidak adanya industri besar di Kecamatan ini. Berdasarkan kriteria yang digunakan BPS maka industri yang terdapat di kecamatan Palu barat adalah tergolong kedalam industri kecil dan kerajinan rumah tangga. Seperti penggilingan padi, penggilingan kopi, penggilingan/ pemarut kelapa, dan pembuatan anyaman. 4.4.4
Perdagangan jasa
Dari 14 kelurahan di Kecamatan Palu Barat, 4 kelurahan yang memiliki sarana pemasaran berupa pasar kelurahan yang aktivitasnya berlangsung setiap hari. Disamping pasar, pada setiap kelurahan juga terdapat warung/kios yang merupakan tempet-tempat pelayanan kebutuhan pokok sehari-hari. Keberadaan warung/kios hampir merata pada setiap kelurahan. Di Kecamatan Palu Barat kegiatan perdagangan dan jasa cukup baik. Hal ini terlihat dari terdapat beberapa pusat perbelanjaan seperti swalayan, toko elektoronik, dan toko pakaian serta kegiatan jasa berupa kegiatan-kegiatan perbankan dan dealer mobil dan motor. 4.5 Kecamatan Palu Utara
Kecamatan Palu Utara terletak pada bagian utara wilayah Kota Palu dan terletak mamenjang dari selatan ke utara dengan batas-batas sebagai berikut:
38
-
Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Tawaili Kabupaten Donggala.
-
Sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Tawaili Kabupaten Donggala.
4.5.1
-
Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Palu Timur.
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi.
Penduduk
Penduduk di Kecamatan Palu utara pada akhir tahun 2005 tercatat sejumlah 35 655 jiwa. Dengan kepadatan penduduk 398 orang per km persegi. Laju pertumbuhan penduduk di kecamatan Rasio jenis kelamin dikecamatan ini sebesar 102, menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki dan penduduk perempuan di kecamatan ini hampir seimbang 4.5.2
Pertanian
Kecamatan Palu utara secara fisik wilayahnya tidak berhubungan langsung dengan pusat kota Palu. Lahan-lahan pertanian di wilayah kecamatan ini cukup luas. Namun dibanding tahun sebelumnya, tahun 2005 terjadi penurunan luas dan jumlah panen hasil pertanian. Pada sektor peternakan, kecamatan ini masih lebih banyak populasi ternak besar seperti sapi dibandingkan kecamatan lain. Populasi sapi dan kambing di kecamatan ini terdapat di semua kelurahan. Sedangkan untuk ternak unggas seperti ayam buras dan ayam ras juga ditemui hampir pada semua kelurahan kecuali kelurahan Kayumalue Pajeko. 4.5.3
Perdagangan
Dari 8 kelurahan di Kecamatan Palu Utara, 4 kelurahan diantaranya yang memiliki sarana pemasaran berupa pasar kelurahan yang aktivitasnya berlangsung setiap minggu. Disamping pasar, pada setiap kelurahan juga terdapat warung/kios yang merupakan temapt-tempat pelayanan kebutuhan pokok sehari-hari. Keberadaan warung/kios hampir merata pada setiap kelurahan. Pasar modern seperti pasar swalayan tidak terdapat di kecamatan ini.
39
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu (1999-2009)
Berdasarkan perencanaan tata ruang wilayah yang dikeluarkan tahun 1998 wilayah Kota Palu diarahkan untuk 12 jenis penggunaan lahan yaitu: hutan lindung seluas 7 443.84 Ha atau 20.24% dari total luas wilayah Kota Palu, hutan suaka alam 3 588.92 Ha (9.77%), hutan produksi terbatas 1 209.36 Ha (3.29%), kawasan industri 2 978.72 Ha (8.54%), kawasan perkantoran pemerintah 379.04 Ha (1.10 %), kawasan pertambangan 22.77 Ha (0.06%), sawah 315.68 Ha (0.86%), kebun/tegalan 782.72 Ha (1.64%), permukiman dan fasilitas penunjang 11 962.03 Ha (32.62%), perdagangan dan jasa sekitar 586.12 Ha (1.61%), perikanan 23.08 Ha (0.06%) dan peternakan 7 388.08 Ha (20.19%). Sebaran masing-masing penggunaan lahan tersebut menurut kecamatan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Luas dan Proporsi penggunaan lahan dalam RTRW di setiap Kecamatan No
Klasifikasi
Luas (Ha)
Palu
Palu
Palu
Palu
Timur
Barat
Selatan
Utara
45.36
-
%
%
1
Hutan Lindung
7 443.8
20.24
35.39
19.24
2
1 209.4
3.29
-
-
3
Hutan Produksi Terbatas Hutan Suaka Alam
3 588.9
9.77
55.02
-
44.98
-
4
Kawasan Industri
2 978.7
8.54
25.27
-
-
74.73
5
379.0
1.10
39.68
17.35
42.97
-
0.06 100.00
-
-
-
7
Kaw. Perkantoran Pemerintah Kawasan Pertambangan Sawah
315.7
0.86
-
78.83
21.17
-
8
Kebun/tegalan
782.7
1.64
-
-
9
11962.0
32.62
23.46
26.99
27.53
22.01
10
Permukiman dan Fas. Penunjang Perdagangan dan Jasa
586.2
1.61
36.19
16.74
19.23
27.84
11
Perikanan
23.0
0.06
-
-
100.00
-
12
Peternakan
7388.0
20.19
49.73
6.23
17.46
26.59
6
22.7
- 100.00
- 100.00
Sumber: Hasil analisis
40
Tabel 3 menunjukkan bahwa, pemanfaatan ruang terbesar diarahkan untuk permukiman dan fasilitas penunjang yaitu 11 962 Ha atau 32.62% dari total wilayah kota Palu. Dari luas tersebut 26.99% diantaranya berada di kecamatan Palu Barat, 23.46% di kecamatan Palu Timur, 27.53% di kecamatan Palu Selatan dan 22.01% di kecamatan Palu Utara. Sebaran luas tersebut menunjukkan bahwa rencana pengembangan permukiman dan fasilitas penunjang cukup seimbang di tiap kecamatan. Tetapi jika dibandingkan dengan luas wilayah masing-masing kecamatan, proporsi luas lokasi yang diarahkan untuk pemukiman dan sarana
41
2
8
4
1 12
9
3
6
10 5
7 11
PETA RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA PALU PERIODE 1999-2009
Utara
Barat
Timur
Selatan
5
0
5
KETERANGAN : 1 Hutan Lindung 2 Hutan Produksi Terbatas 3 Hutan Suaka Alam 4 Kawasan Industri 5 Kawasan Perkantoran Pemerintah 6 Kawasan Pertambangan 7 Sawah 8 Kebun/tegalan 9 Pemukiman dan Fas. Penunjang 10 Perdagangan dan Jasa 11 Perikanan 12 Peternakan
Sumber : Hasil analisis
PS. PERENCANAAN WILAYAH
Kilometer
IPB BOGOR
Gambar 4 . Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu penunjang cukup bervariasi, yang
terbesar berada di kecamatan Palu Barat
(58.48%), kemudian berturut-turut Palu Selatan (33.20%), Palu Utara (29.15%) dan Palu Timur (22.81%). Di kecamatan Palu Barat dan Palu Utara arahan lokasi untuk permukiman dan fasilitas penunjang memanjang di sepanjang garis pantai,
42
Palu Timur sebagian di sepanjang garis pantai sedangkan Palu Selatan tidak berada di garis Pantai (Gambar 4). Tabel 4. Proporsi RTRW dibandingkan dengan luas Kecamatan No 1 2 3 4 5 6
Klasifikasi Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Hutan Suaka Alam Kawasan Industri Kaw. Perkantoran Pemerintah Kawasan Pertambangan
Palu Timur
Palu Barat
Palu Selatan
Palu Utara
(12344.56 Ha)
(5544.8 Ha)
(9950.44 Ha)
(9062.24 Ha)
21.34 %
25.83 %
33.94 %
-
13.35%
-
-
13.35 %
16.00 %
-
16.22 %
6.38 %
-
-
25.70 %
1.22 %
1.19 %
1.64 %
-
0.19 %
-
-
-
7
Sawah
-
4.49 %
0.67 %
-
8
Kebun/tegalan
-
-
-
6.66 %
22.81 %
58.42 %
33.20 %
29.15 %
1.72 %
1.77 %
1.14 %
1.80 %
-
-
0.23 %
-
29.76 %
8.30 %
12.96 %
21.67 %
9 10 11
Permukiman dan Fas. Penunjang Perdagangan & Jasa Perikanan
12 Peternakan
Sumber: Hasil analisis Tabel 4 memperlihatkan bahwa kawasan yang diarahkan untuk hutan lindung hanya terdapat di tiga kecamatan yaitu kecamatan Palu Timur, kecamatan Palu Barat, dan kecamatan Palu Selatan sedangkan di kecamatan Palu Utara tidak ada kawasan yang direncanakan untuk hutan lindung. Hal ini disebabkan kawasan dengan kelerengan > 40% hanya sebesar 1.11% dari luas administrasi kecamatan Palu Utara (Tabel 5) serta didukung letaknya yang menyebar di beberapa lokasi (Gambar 4). Menurut Kepress Nomor 32 tahun 1990, kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahnya sebagai pengatur tata air,
43
pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Salah satu kriteria hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40%. Tabel 5. Sebaran kelas lereng menurut kecamatan. Kecamatan
Proporsi kelas lereng (%) 0-8
8'-15
15-25
25-40
>40%
Palu Barat
44.27
1.64
17.38
15.92
20.79
Palu Selatan
48.79
16.65
2.58
21.07
10.91
Palu Timur
55.11
18.65
2.62
17.32
6.3
Palu Utara
76.99
13.36
0.13
8.41
1.11
Sumber : Hasil Analisis.
44
Palu Utara
Pa lu
Ba ra t
Palu Timur
Palu Selatan
PETA KELAS LERENG KOTA PALU
KETERANGAN : N
W
0 - 8% 8 - 15% 15 - 25% 25- 40% > 40 %
E
S
0
Sumber : Hasil analisis
5 Kilometers
PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR
Gambar 4. Peta Kelas Lereng Kota Palu
45
Tabel 6. Proporsi RTRW berdasarkan kelas kelerengan di kota Palu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kelas RTRW
0-8 6.80 5.92 88.50 100
Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Hutan Suaka Alam Kawasan Industri Kaw. Perkantoran Pemerintah Kaw Pertambangan Sawah Kebun/tegalan Permukiman dan Fas. Penunjang Perdagangan dan Jasa Perikanan Peternakan
Kelas lereng (%) 8 -15 15 - 25 25 - 40 44.81 31.750 4.35 40.30 19.20 45.81 11.50 -
100 100 77.29
10.41
87.73
12.27
100 100 52.83
24.37
10.67 10.59
> 40 55.19 16.80 29.07 -
-
1.63
-
-
7.90
4.31
Sumber: Hasil analisis Hasil analisis/superimpose peta RTRW dengan peta kelas lereng menunjukkan bahwa kawasan yang diarahkan dalam RTRW untuk hutan lindung sekitar 44.81% berada pada kelerengan 25-40 % dan sekitar 55.19 % berada pada kelerengan >40 %. Hutan suaka alam sekitar 45.81% berada pada kelerengan 25-40% (Tabel 6). Hutan lindung dan hutan suaka alam termaksud di dalam kawasan lindung yang berfungsi sebagai kawasan resapan air dan kawasan yang memberikan
perlindungan
bagi
kawasan
bawahan
lainnya
dan
cagar
alam/pelestarian alam, dan suaka margasatwa. Sedangkan untuk kawasan hutan produksi terbatas sekitar 40.30% berada pada kelerengan 25-40%. Salah satu kriteria kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi adalah kawasan/lokasi dengan kelerangan 0–40% (landai sampai dengan agak curam). Untuk perkantoran pemerintah dan perdagangan dan jasa direncanakan pada kawasan yang relatif datar yaitu pada kelas kelerengan 0-8%. Sedangkan kawasan permukiman dan fasilitas penunjang berada pada kelerengan 0-15%. Berdasarkan kelas kelerengan, perencanaan tersebut sudah sesuai dengan kriteria kelerengan untuk permukiman yaitu <15%. Kelerengan Sawah dan kebun/tegalan yaitu untuk sawah 0-8% dan kebun/tegalan yaitu berkisar 0-25%. Hal ini sudah sesuai dengan kriteria kelerengan untuk lahan basah dan lahan kering yaitu < 40% (Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan).
46
5.2. Penggunaan Lahan Kota Palu
Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2006 terdapat 13 bentuk penggunaan lahan yaitu hutan lindung, kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan produksi
terbatas,
kawasan
industri,
kawasan
perkantoran
pemerintah,
kebun/tegalan, sawah, kawasan permukiman, perdagangan dan jasa, perikanan, dan peternakan. Dari peta penggunaan lahan tersebut, diketahui bahwa penggunaan lahan yang mempunyai proporsi paling besar adalah kebun/tegalan (42.38%) dan hutan lindung (20.23 %). Sedangkan sisanya merupakan bentuk penggunaan lahan yang lain. Perdagangan Perikanan, 0.14% dan Jasa, 0.23%
Pemukiman, 10.36%
Peternakan, 0.22% Hutan Lindung, 20.23% Kawasan Hutan
Sawah, 3.11%
Suaka alam, 9.84% Kawasan Hutan produksi, 13.00%
Kebun/tegalan, 42.38% Kawasan Pertambangan, 0.001%
Kaw Perkantoran Pemerintah, 0.32%
Kawasan Industri, 0.17%
Gambar 5. Proporsi penggunaan lahan Kota Palu Tahun 2006 Hutan yang dimiliki Kota Palu berada di semua wilayah kecamatan. Sedangkan hutan lindung berada di semua kecamatan di Kota Palu kecuali Kecamatan Palu Utara. Hutan suaka alam dan hutan produksi terbatas saat ini kondisinya berupa hutan (sesuai dengan arahan RTRW). Dari luas administrasi kota Palu, kebun/tegalan yang terluas berada di wilayah Kecamatan Palu Timur (6 355.48 Ha) dan Kecamatan Palu Utara (6 803.16 Ha) (Tabel 7). Permukiman dominan berada di wilayah Palu Timur dan Palu Selatan dengan luas masing – masing 1 103.92 Ha dan 1 431.76 Ha. Sedangkan di wilayah Palu Barat dan Palu Utara luasnya relatif lebih kecil yaitu 804.6 Ha dan 451.84 Ha.
47
Tabel 7. Luas Penggunaan lahan tahun 2006 di setiap Kecamatan No
Klasifikasi
1 2
7
Hutan lindung Hutan suaka alam Hutan produksi terbatas Kaw Industri Kaw perkantoran Kaw pertambangan Sawah
8
Kebun/tegalan
3 4 5 6
9
Pemukiman Perdagangan dan 10 jasa 11 Perikanan 12 Peternakan Sumber: Hasil analisis
Palu Timur 2734.6 1960.3
Kecamatan (Ha) Palu Palu Barat Selatan 1021.7 3376.8 1264.9
Total Palu luas % Utara - 7133.1 19.45 - 3225.2 8.79
-
-
- 1157.5 1157.5
3.16
7.4 17.3
4.1 4.3
1.4 90.9
9.8 4.6
22.7 117.1
0.06 0.32
-
0.3
-
-
0.3
0.00
74.7
179.6
545.4
324.3
3.06
6355.5
3453.8
1203.9
840.6
1124 19856. 3189.8 6857.1 2 1431.8 451.8 3928.1
23.1
26.8
20.4
7.6
77.9
0.21
19.6 5.9
4.8 0.6
1.3 5.2
-
25.7 11.7
0.07 0.03
54.13 10.71
Lokasi-lokasi yang berupa kebun dan tegalan di wilayah kecamatan Palu barat umumnya berada jauh dari pusat kota (aksesibilitas rendah) tetapi dekat dengan permukiman penduduk. Demikian pula halnya dengan kebun dan tegalan di wilayah Palu Utara. Baik di wilayah Palu Barat maupun di wilayah Palu Utara. lokasi yang digunakan untuk kebun dan tegalan umumnya relatif datar. Hal ini terlihat dari lokasi-lokasi yang mengikuti garis pantai atau sekitar 20-50 m dari pesisir pantai (Gambar 6). Pusat Kota merupakan pusat kegiatan perdagangan dan jasa dan perkantoran (Gambar 6). Pusat Kota Palu dominan berada di wilayah Kecamatan Palu Timur, Kecamatan Palu Selatan, dan Kecamatan Palu Barat. Untuk wilayah kecamatan Palu Utara sendiri tidak dikategorikan ke dalam pusat Kota Palu. Hal ini dikarenakan lokasi Palu Utara yang tidak berhubungan langsung secara fisik dengan tiga kecamatan lainnya (Gambar 6). Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Palu masih cukup luas. Hal ini terlihat dari proporsi hutan dan kebun/tegalan yang bila dijumlahkan masih mempunyai proporsi diatas 50 % dari luas wilayah Kota Palu (Gambar 5). Kondisi ini tentu
48
sangat mendukung Undang –undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 29 ayat 2 yang menyatakan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota.
3
3
7
13
Pusat Kota
1
11 7
2
1
5
4
8
6
PETA PENGGUNAAN LAHAN KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH
Utara
Barat
Timur
Selatan
5
0 Kilometers
5
10
4
KETERANGAN : 1
Hutan Lindung
2
Hutan Produksi Terbatas
3
Hutan Suaka Alam
4
Kawasan Perkantoran
5
Kawasan Industri
6
Sawah
7
Kebun/tegalan
8
Pemukiman & Fas Penunjang
9
Perdagangan & Jasa
10
Perikanan
11
Peternakan
12
Kaw Pertambangan
13
Tubuh Air
Sumber : Hasil analisis
PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR
Gambar 6 . Peta Penggunaan Lahan Kota Palu Tahun 2006
49
5.3. Analisis konsistensi RTRW Kota Palu
Analisis konsistensi RTRW kota Palu dilakukan dengan tabulasi silang antara peta RTRW dengan peta penggunaan lahan tahun 2006 dan peta penggunaan lahan tahun 1998 (Gambar 7). Hasil tabulasi silang berupa nilai Cramer’s V dan nilai koefisien Kappa disajikan pada Tabel 8. Hasil lengkap tabulasi silang disajikan pada lampiran 1. Tabel 8. Hasil tabulasi silang RTRW dengan peta penggunaan lahan Nilai Tabulasi Silang
Cramer’s V
Koefisien Kappa
RTRW vs Penggunaan lahan tahun 2006
0.53
0.52
RTRW vs Penggunaan lahan tahun 1998
0.5
0.5
0.57
0.64
Penggunaan lahan tahun 2006 vs Penggunaan lahan tahun 1998
Hasil tabulasi silang yang diperoleh dari hasil crosstab dengan prinsip diagonal
berdasarkan jumlah kelas yang sama antara peta RTRW dan peta
penggunaan lahan tahun 2006 diperoleh nilai Cramer's V = 0.53 dan nilai Kappa koefisien = 0.52 (Lampiran 1). Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa antara kedua peta terdapat penyimpangan sekitar 48%, yang berarti bahwa penggunaan lahan yang konsisten dan inkonsisten terhadap RTRW hampir seimbang. Sedangkan hasil tabulasi silang antara peta RTRW dan peta penggunaan lahan tahun 1998 diperoleh nilai Cramer's V = 0.50 dan Kappa koefisien = 0.50. Nilai Cramer’s V dan koefisien Kappa hasil tabulasi silang antara RTRW dan penggunaan lahan tahun 2006 relatif sama dengan nilai Cramer’s V dan Koefiseien Kappa hasil tabulasi silang antara RTRW dengan penggunaan lahan tahun 1998.
50
9
1 3
7
8
5 2
6
4
Peta Penggunaan Lahan Kota Palu Tahun 1989
W
3 4 5 6
E
7 8 9
S
0
KETERANGAN 1 2
N
Hutan Kantor Kebun/tegalan Lahan Kosong Permukiman Sawah Semak Belukar Perikanan Tubuh Air
1
Sumber : Hasil analisis
5 Kilometers
PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR
Gambar 7. Peta Penggunaan Lahan Kota Palu Tahun 1989
51
Walaupun penyimpangan terhadap RTRW antara penggunaan lahan 1998 dan 2006 relatif sama, hasil tabulasi silang antara Peta penggunaan lahan 1998 dan Peta Penggunaan Lahan tahun 2006 menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan 1998 ke 2006 cukup besar dengan nilai Cramer's V = 0.57 dan nilai Kappa koefisien = 0.64 (Lampiran 2). Kedua nilai tersebut menunjukkan bahwa antara kelas peruntukkan lahan pada kedua peta tersebut lebih dari 57% sama/sesuai. Dengan kata lain penggunaan lahan tahun 2006 lebih dari 57% masih sesuai dengan kondisi tahun 1998 (belum terjadi perubahan / pembangunan). Untuk melihat berbagai bentuk konsistensi yang terjadi di wilayah kota Palu dilakukan tabulasi silang ketiga peta (peta RTRW, penggunaan lahan tahun 2006, dan penggunaan lahan tahun 1998). Hasil tabulasi silang secara ringkas disajikan pada Tabel 9. Dari Hasil tabulasi silang / overlay dapat diketahui 5 bentuk konsistensi penggunaan lahan yaitu lokasi yang konsisten terbagi atas lokasi yang sangat konsisten dan lokasi yang konsisten tidak sengaja. Sedangkan lokasi yang inkonsisten terbagi atas inkonsisten tanpa sengaja, inkonsisten sengaja, dan sangat tidak konsisten. Gambar 8 memperlihatkan penggunaan lahan yang konsisten dan tidak konsisten terhadap RTRW. Lokasi yang konsisten yaitu lokasi yang di dalam pemanfaatan saat ini sesuai dengan arahan RTRW. seperti lokasi yang diarahkan untuk hutan lindung pada tahun 2006 tetap berfungsi sebagai hutan lindung. Demikian pula lokasi yang diarahkan untuk permukiman dan industri pada saat ini digunakan untuk permukiman dan industri (Foto 1 dan Foto 2).
Foto. 1. Lokasi yang diarahkan untuk Foto 2. Lokasi industri. Bangunan industri yang tidak terpakai permukiman
52
Tabel 9 merupakan matriks peta penggunaan lahan tahun 1998 dan peta penggunaan lahan tahun 2006 terhadap RTRW tahun 1999-2009. Dari Tabel tersebut dapat disimpulkan: 1.
Lokasi yang sangat konsisten yaitu lokasi-lokasi yang penggunaan
lahannya tahun 2006 sesuai dengan penggunaan lahan tahun 1998 dan RTRW. Lokasi-lokasi ini berada pada posisi diagonal dari matriks Tabel 9 pada tahun 1998 dan bernilai nol (0,00) pada posisi diagonal pada Tabel 10. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan luas antara tahun 1998 dan tahun 2006. Berdasarkan persyaratan tersebut maka penggunaan lahan yang sangat konsisten berada pada penggunaan lahan untuk kawasan hutan, kebun/tegalan, dan sawah. Kawasan yang diperuntukkan untuk hutan lindung seluas 7 375.6 Ha (Tabel 9) kondisinya tahun 1998 berupa hutan, demikian juga hutan suaka alam dan hutan produksi terbatas. Ketiga peruntukkan ini jika dilihat pada Tabel 10 matriks diagonal bernilai nol (0,00). Dengan kata lain lokasi yang diperuntukkan dalam RTRW untuk ke 3 kelas hutan tersebut kondisinya sudah berupa hutan pada tahun 1998 dan kondisinya tetap sama pada tahun 2006. Hutan suaka alam dan hutan produksi terbatas 100% masih berupa hutan tahun 1998 sampai tahun 2006. Kawasan yang dialokasikan untuk kebun/tegalan (RTRW) seluas 782.72 Ha ternyata 579.3 Ha sudah berupa kebun/tegalan pada tahun 1998 dan masih sama pada tahun 2006. Pada Tabel 9, posisi temu kebun/tegalan pada RTRW dan penggunaan lahan bernilai positif (0.00) artinya bahwa pada penggunaan lahan (kebun/tegalan) tahun 1998 dan 2006 tidak terjadi perubahan. Kawasan persawahan merupakan contoh lain lokasi yang sesuai dengan RTRW. Hasil wawancara yang dilakukan dengan pemilik sawah mengenai alasan menggunakan lahan tersebut untuk sawah adalah karena lahan tersebut sangat subur untuk tanaman terutama padi (Foto 3). Namun kondisi ini kurang didukung dengan kondisi air memadai. Kurangnya air untuk pertanian di lokasi ini menuntut masyarakat harus melakukan sistem pembagian air (bergilir).
53
Tabel 9. Proporsi Luas Penggunaan lahan tahun 1998 dan 2006 terhadap RTRW Hutan Lindung
Klasifikasi RTRW
Ha 1998 7375,7
2006 7375,6
Kawasan Hutan Suaka alam
Kawasan Hutan produksi
1998
2006
1998
2006
3588,9
3588,9 1209,4
Kaw Hutan Lindung Kaw Hutan Suaka alam
7443,68
Hutan produksi Terbatas
1209,36
1209.2
Kawasan Industri
2978,72
1598,0
3588,92
Kaw Perkantoran Pemerintah
2006
151,7
46,4
379,04
782,72
Kebun/tegalan
1998
13,0
2006
Kawa Pertambangan Ha 1998 2006
13,0
203,5
203,4
315,68
Sawah Permukiman Perdagangan dan Jasa Peternakan
1998
Kaw Perkantoran Pemerintah
22,77
Pertambangan
Perikanan
Kawasan Industri
11962,03 586,12
13,04 1,16
23,08 7388,04
3591,0
3325,7
76,36
103,4
0,28
Kebun/ tegalan
Sawah
Pemukiman
1998 67,8
2006 67,8
1998
2006
1101,3
2698.2
120,9
220,4
7,3
7,6
111,9
109,3
2,0
2,00
251,7
250,9
2,8
2,476
579,4
579,3
136,9
123,1
130,6
138,9
47,9
53,4
8203,6 337.0
7905.0 326,4
742,4 5,8
742.0 5,8
2891,2 243,3
3119,1 218,8
21,2
8,1
1,8
15.0
3671,6
3858
100,8
112,8
24,5
24,5
1998
Sumber : Hasil analisis
54
2006
Perdag gan & 1998
Tabel 10. Luas lahan yang berubah tahun 1998 sampai tahun 2006 Klasifikasi RTRW
Hutan Lindung
Kaw Hutan Suaka alam
Kawasan Hutan prod terbatas
Kawasan Industri
Kaw Perkantoran Pemerintah
Kaw Pertambangan
Kebun/ tegalan
Sawa h
Pemuki man
Perdagangan & Jasa
Perikanan
Peternakan
Ha Kaw Hutan Lindung Kawasan Hutan Suaka alam Kawasan Hutan produksi Terbatas Kawasan Industri
0.0
0.0 0.0 0.0 -1598.0
-105.3
Kaw Perkantoran Pemerintah
0.0
Kawasan Pertambangan Kebun/tegalan
99.5
0.2
3.1
-2.56
0.0
-0.8
3.8
0.0 0.0
Kawasan Pemukiman Perdagangan dan Jasa
13.0 1.2
Perikanan
0.1
27.00
0.3
-13.8
8.3
5.5
0.3
-298.6
-0.48
227.8
42.5
-20.3
-10.4
0.0
-24.5
33.8
0.0
-13.0 -265.3
3.1
0.0
Sawah
Peternakan
1596.9
186.2
13.1 0.0
11.9
8.6
0.0 67.2
Sumber : Hasil Analisis
55
Peta Konsistensi Pola Pemanfaatan Ruang dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu
KETERANGAN : N
W
Sangat Konsisten Konsisten Sengaja Inkonsisten tanpa sengaja Inkonsisten Sengaja Sangat tidak konsisten
E
S
5
0
5
Sumber : Hasil analisis
Kilometer PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR
Gambar 8. Peta Konsistensi pemanfaatan ruang terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu.
56
Menurut responden, lahan yang mereka miliki bisa panen sampai 3 kali setahun jika kondisi air memungkinkan. Namun sekarang hanya bisa 1-2 kali setahun. Jika waktunya tidak mendapatkan giliran air mereka menggunakan lahan mereka untuk menanaman tanaman yang tidak membutuhkan banyak air untuk proses pertumbuhannya seperti lombok. Foto 4
memperlihatkan lahan yang
konsisten untuk sawah yang digunakan untuk sawah. Tampak tanaman padi tumbuh subur di daerah ini. Dari hasil wawancara dengan semua responden (37 responden) mengenai pengetahuan mereka terhadap RTRW ternyata tidak satupun responden yang mengetahui lokasi yang mereka gunakan diperuntukkan untuk apa dalam RTRW.
Foto 3. Tanahnya cukup subur 2.
Foto 4. Padi yang tumbuh subur
Konsisten sengaja adalah penggunaan lahan tahun 2006 yang sesuai
dengan arahan RTRW tetapi berbeda dengan penggunaan lahan tahun 1998. Dengan kata lain. perubahan lahan yang terjadi mengarah ke RTRW. Pada Tabel 9 lokasi yang diperuntukkan untuk sawah. kawasan permukiman. perdagangan dan jasa. dan peternakan terjadi peningkatan (bernilai positif). Ini artinya bahwa lokasi-lokasi yang penggunaan lahannya (1998) tidak sesuai dengan RTRW ternyata selama selang waktu 1998-2006 penggunaan lahannya sesuai dengan RTRW. Lokasi yang diperuntukkan untuk permukiman terjadi peningkatan menjadi 227.84 Ha. Artinya bahwa pada penggunaan lahan untuk permukiman terjadi peningkatan jumlah permukiman penduduk berupa berubahnya areal sawah menjadi permukiman. Sedangkan kawasan sawah (RTRW) pada Tabel 9 bernilai positif lebih dari 1 artinya bahwa luas penggunaan lahan tahun 1998 terjadi peningkatan dari yang sudah ada pada tahun 1998. Luas penggunaan lahan sawah
57
tahun 1998 yaitu 130.60 Ha dan pada tahun 2006 menjadi 138.92 Ha (Tabel 8). Artinya bahwa luas sawah juga meningkat sebesar 8.32 Ha (138.92-130.60) pada rentang waktu 1998 sampai 2006 (Tabel 9). 3.
Inkonsisten tanpa sengaja yaitu apabila bentuk penggunaan lahan tahun
1998 dan 2006 sama tetapi tidak sesuai dengan RTRW. Bentuk ini terlihat pada penggunaan lahan yang diperuntukkan dalam RTRW pada tahun 1998 berupa kebun/tegalan dan pada tahun 2006 masih berupa kebun/tegalan atau sawah. Misal: lokasi yang diperuntukkan untuk permukiman yang berupa kebun/tegalan masih seluas 7 750 Ha (Tabel 10). Dengan kata lain selama selang waktu 19982006 tidak terjadi perubahan sesuai dengan yang direncanakan dalam RTRW. Kebun/tegalan yang berada di lokasi hutan lindung merupakan salah satu contoh inkonsistensi tanpa sengaja. Kebun/tegalan yang berada di lokasi ini merupakan kebun/tegalan milik masyarakat yang berada di dusun Salena Keluruhan Buluri. Dusun ini merupakan tempat tinggal baru masyarakat yang tinggal di 3 gunung di lokasi hutan lindung. Masyarakat pada dusun ini mengandalkan hasil pertanian mereka untuk kebutuhan hidup sehari-hari seperti jagung dan ubi (Foto 5). Sedangkan tanaman seperti vanila mereka jual ke pasar. Tanaman-tanaman tersebut tumbuh subur di lokasi ini. Masyarakat di dusun ini sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Dalam bertani mereka menggunakan sistem bertanam nomaden. Mereka membuka lahan-lahan baru dengan cara membakar hutan dan membiarkan lahan yang lama menghutan kembali (foto 6).
Foto 5. tanaman ubi masyarakat
Foto 6. Bekas ladang masyarakat yang dibiarkan menghutan.
58
Pada Foto 7 dan Foto 8 terlihat ladang-ladang masyarakat berada pada lereng-lereng yang terjal dengan kemiringan > 45%. Tentu hal ini cukup berbahaya bukan hanya karena dapat mengakibatkan longsor tetapi juga karena dusun ini berada di daerah bawahnya. Selain itu lokasi ini merupakan sumber mata air PDAM kota Palu untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat di kelurahan Buluri.
Foto 8. Ladang masyarakat.
Foto 7. Ladang masyarakat Tanggapan
responden
yang
diperoleh
dari
kuisioner
mengenai
pemanfaatan lokasi ini cukup beragam. Responden yang menyatakan setuju lokasi ini tetap diperuntukkan untuk hutan lindung berasal dari LSM 1 responden, Kepala Rumah Tangga (KRT) 9 responden, PNS 2 responden. mahasiswa 2 responden, dan pelajar 4 responden. Sedangkan responden yang menyatakan setuju lokasi tersebut dikembangkan untuk kebun masyarakat yaitu LSM 1 responden, KRT 3 responden, PNS 3 responden, mahasiswa 2 responden, dan pelajar 1 responden. Sisanya menyatakan setuju lokasi tersebut dikembangkan menjadi industri (terdiri dari KRT 8 responden dan Mahasiswa 1 responden) (Lampiran 4) dengan alasan dapat mengurangi pengangguran. 4.
Inkonsisten sengaja yaitu penggunaan lahan yang pada tahun 1998 sesuai
dengan RTRW tetapi pada tahun 2006 berubah menjadi bentuk penggunaan lahan yang lain. Tabel 9 menunjukkan luas penggunaan lahan yang berbeda pada tahun 1998 dan 2006 berdasarkan RTRW. Hasil dari Tabel 9 yang bernilai negatif menunjukkan bahwa terjadi penurunan pada suatu penggunaan lahan. Sedangkan yang bernilai positif menunjukkan bahwa terjadi penambahan luas penggunaan
59
lahan pada suatu bentuk penggunaan lahan. Seperti Kawasan permukiman menunjukkan nilai 27.00 artinya sekitar 27 Ha lokasi yang diperuntukkan untuk permukiman dan fasilitas penunjang digunakan untuk perkantoran pemerintah. Namun luasan ini tidak terkelompok dalam satu lokasi tetapi menyebar. Lokasilokasi tersebut digunakan sebagai kantor-kantor kelurahan dan kantor polisi. Kawasan industri (RTRW) menunjukkan nilai -105.36 artinya bahwa sekitar 105.36 Ha lahan yang tahun 1998 berupa industri dan diperuntukkan untuk kawasan industri dalam RTRW telah berubah menjadi bentuk penggunaan lain (bernilai positif). Perubahan tersebut berupa kawasan industri menjadi peternakan ayam, kebun/tegalan, dan permukiman. Kawasan yang diperuntukkan untuk persawahan selama kurun waktu tahun 1998 – 2006 seluas ± 5.50 Ha (Tabel 9) telah menjadi permukiman. Hasil wawancara dengan pemilik rumah di lokasi ini umumnya mempunyai alasan yang sama yaitu membangun rumah di lokasi ini karena lokasi ini cukup datar dan berada dekat dengan pusat kota. Lokasi ini cukup dekat dengan pusat perdagangan yaitu pasar inpres (sekitar 2 km) dengan kondisi jalan yang sangat baik. Selain lokasi ini sebagian sudah menjadi permukiman (Foto 9). lokasi yang dekat dengan jalan sebagian telah menjadi ruko (Foto 10). Dari hasil wawancara dengan semua responden mengenai pengetahuan mereka terhadap RTRW ternyata tidak satupun responden yang mengetahui lokasi yang mereka gunakan diperuntukkan untuk apa dalam RTRW. Sedangkan tanggapan responden yang diperoleh dari kuisioner mengenai pemanfaatan lokasi ini cukup beragam. Dari 37 responden. yang menyatakan setuju lokasi ini tetap dikembangkan untuk sawah sekitar 45.94% yang berasal dari LSM 2 responden, KRT 7 responden, PNS 1 responden, mahasiswa 4 responden, dan pelajar 3 responden; responden yang menyatakan
60
Foto 9. Areal sawah mulai berubah menjadi permukiman
Foto 10. Lokasi yang dekat jalan sebagian menjadi ruko
setuju lokasi tersebut dikembangkan untuk pemukiman sekitar 40.54% yaitu KRT 10 responden, PNS 2 responden. mahasiswa 1 responden, dan pelajar 1 responden. Sisanya sekitar 13.51% menyatakan setuju lokasi tersebut dikembangkan menjadi perdagangan dan jasa (Lampiran 4). 5.
Lokasi yang sangat tidak konsisten merupakan penggunaan lahan yang
tidak sama antara penggunaan lahan tahun 1998, RTRW, dan penggunaan lahan tahun 2006. Penggunaan lahan ini dapat dilihat pada Tabel 9 yaitu nilai pada posisi selain diagonal dan bernilai positif. Misal: Kawasan industri (RTRW) pada tahun 1998 berupa hutan sekitar 1598.04 (Tabel 8), namun selang waktu 1998 sampai 2006 berubah menjadi kebun/tegalan sekitar 1596.92 Ha (Tabel 9). Berikut adalah lokasi yang diperuntukkan untuk industri. Tampak sebagian masih berupa tegalan masyarakat dan beberapa bagian berupa industri (Foto 11 dan 12).
Foto 11. Kebun masyarakat
Foto 12. Industri.
Kawasan permukiman yang digunakan untuk peternakan ayam di Kelurahan Birobuli Utara merupakan contoh lain lokasi yang sangat inkonsisten. Sebelum berubah menjadi peternakan sebelumnya kawasan ini berupa kebun/tegalan masyarakat. Dengan kata lain perubahannya tidak menuju ke RTRW tetapi ke bentuk penggunaan lain. Hasil Wawancara dengan pemilik peternakan ayam yang berada di lokasi ini yaitu dari 3 responden yang diwawancarai 2 responden memberikan alasan karena sebelumnya lokasi ini sudah terdapat peternakan. Sedangkan satu responden memberikan alasan karena selain dekat dengan kota juga dekat dengan tempat tinggal. Setiap peternakan
61
ayam menternakan lebih dari 100 ekor bahkan sampai 7000 ekor (foto 13). Hasil dari peternakan ini cukup memuaskan. Setiap peternakan bisa menghasilkan minimal 5 rak telur per hari (foto 14). Dari hasil wawancara, semua responden telah mengetahui lahan yang mereka gunakan diperuntukkan untuk apa dalam RTRW. Hal ini dikarenakan masyarakat yang membuka usaha di lokasi ini umumnya mempunyai hubungan persaudaraan.
Foto 13. Peternakan ayam di lokasi Foto 14. Hasil peternakan yang siap di pasarkan. permukiman Adapun tanggapan responden yang diperoleh dari kuisioner mengenai pemanfaatan lokasi ini hampir seragam. Semua responden menyatakan tidak setuju lokasi tersebut menjadi peternakan kecuali dari KRT 3 responden dan 1 responden dari pelajar yang menyatakan setuju lokasi tersebut dikembangkan menjadi peternakan dengan alasan dapat menambah penghasilan masyarakat. Hal ini disebabkan karena kegiatan tersebut dapat menimbulkan polusi udara (bau) dan cukup dekat dengan pusat kota (Lampiran 4). Wawancara juga dilakukan dengan responden yang bermukim di kawasan yang diperuntukkan untuk kawasan perikanan (RTRW). Lokasi wawancara ini dekat dengan Sungai Palu dan berada di daerah bawah (sekitar 2 m dari permukaan air sungai (Foto 15). Alasan utama para responden menggunakan lahan tersebut untuk permukiman yaitu karena harga lahan di lokasi tersebut dapat dijangkau. Sedangkan alasan lain yaitu karena dekat dengan kota.
Foto 16
memperlihatkan lokasi yang diperuntukkan untuk kawasan perikanan berada di lokasi yang elevasinya lebih rendah. Tampak sebagian besar telah menjadi rumah penduduk. Dari hasil wawancara dengan semua responden mengenai pengetahuan
62
mereka terhadap RTRW ternyata tidak satupun responden yang mengetahui lokasi yang mereka gunakan diperuntukkan untuk apa dalam RTRW. Sedangkan tanggapan responden yang diperoleh dari kuisioner mengenai pemanfaatan lokasi ini terbagi 2 kelompok yaitu responden yang setuju dikembangkan untuk kawasan perikanan sekitar 43.24% (LSM 2 responden, PNS 4 responden, mahasiswa 5 responden, dan siswa 5 responden) dan responden yang setuju dikembangkan untuk permukiman sekitar 56.76% (KRT 20 responden dan PNS 1 responden) (Lampiran 4).
Foto 15. Permukiman di lokasi perikanan
Foto 16. Jalan menurun menuju lokasi perikanan
Peta konsistensi pola pemanfaatan ruang dengan Rencana Tata Ruang menunjukkan bahwa : 1. Kawasan yang sangat konsisten dominan berada di bagian Timur Kota Palu. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut merupakan kawasan yang ditetapkan dalam RTRW menjadi kawasan lindung yaitu hutan lindung dan hutan suaka alam. Kawasan Permukiman dan perdagangan/jasa juga termaksud dalam kawasan-kawasan yang sangat konsisten. Hal ini dikarenakan pada kawasan tersebut sudah didukung dengan fasilitas dan utilitas seperti kondisi jalan, PDAM, dan penerangan jalan yang baik. 2. Kawasan yang konsisten sengaja menyebar di bagian timur, selatan dan barat kota Palu. Hal ini dikarenakan adanya perkembangan/perubahan penggunaan lahan yang menuju kepada RTRW. Artinya pada kawasan-kawasan tertentu RTRW yang disusun oleh pemerintah sudah dapat mengakomodasi /memprediksi perubahan yang akan terjadi di masyarakat. Perubahan ini juga didukung dengan sudah membaiknya kondisi jalan.
63
3. Kawasan yang inkonsisten tidak sengaja mendominasi di bagian utara dan bagian barat Kota Palu. Hal ini dikarenakan RTRW direncanakan di atas penggunaan lahan yang berbeda sebelumnya. Artinya bahwa pada kawasankawasan tersebut belum terjadinya pembangunan sesuai dengan arahan RTRW. Masyarakat masih mengandalkan lahan mereka sebagai sumber penghasilan (masalah ekonomi). 4. Kawasan yang inkonsistensi sengaja dominan berada di bagian Barat Kota Palu khususnya pada kawasan yang diperuntukkan untuk hutan lindung. Hal ini dikarenakan adanya masyarakat yang tinggal didalam kawasan hutan lindung. Masyarakat membuka hutan untuk bertani dengan sistem nomaden 5. Kawasan yang sangat tidak konsisten dominan berada di bagian timur dan utara Kota Palu. Hal ini dikarenakan masyarakat pada kawasan-kawasan tersebut masih mengandalkan pertanian sebagai sumber pengahsilan mereka. Sehingga lahan-lahan yang berupa hutan atau semak digunakan untuk kebun/tegalan padahal dalam RTRW direncanakan untuk jenis penggunaan lahan yang lain seperti industri dan peternakan. Berdasarkan Tabel 11 diketahui konsistensi pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut: bahwa kawasan lindung yang diarahkan untuk hutan lindung dan hutan suaka alam yang kondisinya masih berupa hutan masing –masing 99.09 % dan 100% dari luas yang direncanakan dalam RTRW. Sedangkan kawasan yang diarahkan untuk permukiman dan fasilitas penunjang sekitar 26.42% yang digunakan untuk permukiman dan fasilitas penunjang. Lokasi yang diarahkan untuk sawah dalam RTRW sekitar 83.00% digunakan untuk sawah. Lokasi yang inkonsisten dengan RTRW yaitu jika penggunaannya tidak sesuai dengan arahan RTRW seperti lokasi yang diarahkan menjadi permukiman pada saat ini digunakan sebagai peternakan. Pada Tabel 10 terlihat wilayah yang dalam RTRW diarahkan untuk hutan lindung sebesar 7 443.68 Ha ternyata sekitar 0.91 % berupa kebun/tegalan. Sedangkan pada area yang ditetapkan sebagai kawasan industri sebesar
2 978.72 Ha ternyata 0.25 % adalah permukiman
penduduk. Area yang telah ditetapkan menjadi sawah sebesar 316.37 Ha ternyata sekitar 16.90% berupa permukiman.
64
Tabel 11. Proporsi Penggunaan lahan tahun 2006 terhadap RTRW Klasifikasi umum Penataan Ruang Kawasan Lindung
Klasifikasi RTRW Jenis Penggunaan lahan
Luas (Ha)
Kaw Hutan Lindung
7443.68
Kawasan Hutan Suaka Alam
3588.92
Kawasan Hutan produksi Kawasan Industri KawPerkantoran Pemerintah
Kawasan Budidaya
Penggunaan Lahan tahun 2006 (%)
1209.36
Kebun/ tegalan
782.72
Sawah
315.68
Peternakan
Kawasan Hutan prod Tbs
Kawasan Industri
Sawah
Kawasan Permuki man
Perdagan gan dan Jasa
90.58
7.40
0.25
0.10
28.84
0.53
66.20
0.99
Kebun/ tegalan
Perikan an
Peterna kan
0.91 100.00 100.00 1.56 3.44
10.87 25.99
0.11
586.12
0.20
23.08
89.13
0.88
38.99
44.01
16.90
0.10
65.64
6.28
26.42
0.36
0.24
55.70
0.99
37.33
5.77
0.01
35.18 45.01
0.10
74.01
11962.03
7388.04
Kawasan Perkantoran Pemerintah
99.09
379.04 22.77
Perikanan
Kaw Hutan SA
2978.72
Kawasan Pertambangan
Kawasan Pemukiman Perdagangan dan Jasa
Hutan Lindung
52.22
0.07
64.82 0.33
1.53
0.91
Sumber : Hasil Analisis
65
Menurut Marisan (2002). faktor-faktor penting yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW adalah faktor infrastruktur dan penggunaan lahan. Pada daerah Kota Palu inkonsistensi terjadi disebabkan karena penggunaan lahan atau karena keinginan masyarakat pemilik dengan alasan sebagai sumber penghasilan. Foto 17 dan foto 18 memperlihatkan kawasan yang diarahkan untuk permukiman dan fasilitas penunjang saat ini digunakan untuk peternakan ayam.
Foto17. Peternakan ayam yang berada di kaw. permukiman di Kel Tondo.
Foto18. Lokasi peternakan ayam yang dekat dengan jalan utama
Pada beberapa lokasi yang diarahkan dalam RTRW saat ini kondisinya masih alami (belum ada pembangunan). Dengan kata lain lokasi tersebut masih mendukung untuk dikembangkan sesuai dengan arahan RTRW. Seperti lokasi yang diarahkan untuk permukiman dan fasilitas penunjang masih berupa sawah dan kebun (Foto 19 dan foto 20).
Foto. 19. Kawasan permukiman masih berupa sawah.
Foto 20. Kawasan permukiman masih berupa kebun.
Pengetahuan masyarakat terhadap Rencana Tata Ruang Kota Palu masih sangat minim. Dari semua strata responden hanya 1 responden dari PNS yang
66
telah memahami Rencana Tata Ruang Kota Palu (Lampiran 3). Hal ini mengakibatkan respon responden terhadap inkonsistensi RTRW yang terjadi di lingkungan sekitarnya sangat rendah. Hanya 2 responden dari kepala rumah tangga dan mahasiswa yang mengetahui adanya inkonsistensi pemanfaatan ruang. Tanggapan responden terhadap penggunaan lahan mereka. apakah akan merujuk ke RTRW. Ternyata hanya 7 responden yang akan merujuk ke RTRW yaitu 5 responden dari KRT dan 2 responden dari PNS. Responden yang lain menyatakan tidak akan merujuk ke RTRW dengan alasan tidak mengetahui lahan mereka direncanakan untuk apa dalam RTRW (Lampiran 3). Kurangnya sosialisasi RTRW dari pemerintah daerah mengakibatkan pengetahuan responden sangat minim. Hal ini didukung dengan belum terealisasinya standar pelayanan minimal yang dilakukan pemerintah dalam penyusunan RTRW Kota Palu, yaitu Setiap kecamatan harus memiliki papan informasi tata ruang wilayahnya berupa peta dan papan pengumuman dan disediakan di setiap halaman Kantor Camat. Pada Kota Palu, semua halaman kantor kecamatan belum ditemui adanya papan informasi tata ruang wilayah (Gambar 21,22,23,24).
Foto. 21. Kantor Camat Palu Utara.
Foto 22. Kantor Camat Palu Selatan.
67
Gambar 23. Kantor Camat Palu Barat
Gambar 24. Kantor Camat Palu Timur
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu, jika dilihat dari segi kelerengan sudah sesuai dengan pedoman penyusunan rencana tata ruang kawasan perkotaan yang dikeluarkan oleh Departeman Permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jendral Penataan Ruang. Tetapi jika dilihat dari penggunaan lahan tahun 1998 (sebelum RTRW disusun), beberapa peruntukkan lahan direncanakan di atas penggunaan lahan yang berbeda. Misal: lokasi yang diperuntukkan untuk kawasan industri telah terdapat kebun/tegalan dan tempat tinggal penduduk. Pada kawasan hutan lindung di kelurahan Buluri terdapat 1 dusun. Hal ini mengindikasikan adanya tekanan penduduk pada kawasan hutan lindung yang dapat berakibat pada terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang pada kawasan hutan lindung terutama karena belum adanya upaya-upaya pengendalian. Masalah kependudukan baik kuantitas maupun kualitas berpengaruh penting terhadap lingkungan. Makin besar jumlah penduduk yang memanfaatkan lahan pertanian semakin besar juga kebutuhan akan sumberdaya lahan sehingga tekanan terhadap sumberdaya lahan juga meningkat. Menurut Feri (2007) untuk mengatasi semakin kuatnya tekanan terhadap lahan yang saat ini digunakan maka perlakuan terhadap manusianya dapat dilakukan melalui pengurangan jumlah petani sawah/kebun dengan membuka atau mengembangkan sektor kehutanan dalam bentuk kehutanan berbasis masyarakat (Community Based Forest Development Social Forestry). Salah satu bentuk kebijakannya adalah dengan pemberian insentif langsung kepada masyarakat yang ada di dalam kawasan lindung. Salah satu contoh positif dalam pengelolaan kawasan lindung dan mengurangi ketergantungan penduduk terhadap lahan antara
68
lain meningkatkan keragaman mata pencaharian dengan jalan memberikan keterampilan teknis kepada masyarakat. Sistim ladang berpindah (nomaden) yang dilakukan oleh masyarakat adalah salah satu penyebab terbentuknya semak belukar di kawasan hutan lindung. Setelah hutan dibuka dengan jalan dibakar lahan tersebut kemudian ditanami 1 - 2 kali atau setelah tidak produktif lagi maka lahan tersebut akan ditinggalkan begitu saja. Oleh karena itu sosialisasi sangat perlu dilakukan khususnya mengenai dampak dan fungsi kawasan tersebut. Seperti sosialisasi untuk menggunakan lahan – lahan yang lebih datar untuk bertani atau menggunakan teras untuk lahan berlereng. Salah satu fungsi utama hutan lindung adalah sebagai daerah resapan air untuk mencegah banjir dan pengisian air tanah. Oleh karena itu menurut Feri (2007).
salah
mengamankan
satu
konsep
dan
strategi
pengembangan
wilayah
yaitu
wilayah resapan air. Untuk mewujudkan pembangunan yang
sesuai dengan arahan pemanfaatan ruang yang sudah ditetapkan diperlukan tindakan pengendalian pemanfaatan ruang. antara lain : •
Setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan harus didasari pendekatan ekosistem atau dengan perkataan lain pembangunan yang berwawasan lingkungan (sustainable development) tidak meninggalkan keberadaan masyarakat setempat (community based development) dan tetap memberikan peluang pertumbuhan ekonomi regional (regional economic development).
•
Untuk kegiatan budidaya (seperti kebun, sawah, dan permukiman) yang ditemukan di kawasan yang diarahkan sebagai kawasan lindung terdapat dua pilihan tindakan pengendalian yang dapat dilakukan : -
Kegiatan budidaya dapat terus dijalankan. dengan catatan kegiatan tersebut memperhatikan kaidah-kaidah keberlanjutan lingkungan dan tidak mencemari lingkungan. baik dalam proses maupun setelah menghasilkan produk.
-
Kegiatan budidaya tidak dapat dilanjutkan. terutama jika kegiatan budidaya tersebut terbukti telah melanggar kaidah keberlanjutan dan mencemari lingkungan. Bentuk-bentuk pelanggaran antara lain adalah pembukaan lahan secara besar-besaran. sehingga mengakibatkan erosi.
69
Dari hasil wawancara langsung dan kuisioner di atas menunjukkan sosialisasi RTRW kota Palu masih sangat rendah. baik pada responden pelaku penggunaan lahan maupun responden (masyarakat) di sekitarnya. Kondisi ini mengindikasikan penggunaan lahan yang dilakukan masyarakat tidak berdasarkan rencana tata ruang dari pemerintah daerah. Kondisi ini hampir sama dengan kota Bandung, dimana menurut hasil penelitian Karyoedi (2006) di kota Bandung pengembangan lahan dan properti cenderung terjadi secara spontanitas ketimbang dipandu oleh dokumen Rencana Kota (RTRW).
70
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Pola pemanfaaatan Ruang Kota Palu tahun 2006 sekitar 48% tidak konsisten terhadap Rencana Tata Ruang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Cramer’s V = 0,53 dan nilai koefisien kappa = 0.52. Penggunaan lahan yang sangat konsisten dengn RTRW adalah kawasan hutan produksi terbatas dan kawasan hutan suaka alam. Sedangkan penggunaan lahan yang sangat inkonsisten adalah kawasan perikanan. 2. Rencana Tata Ruang Kota Palu (RTRW) dilihat dari segi kelerengan sudah baik (sesuai pedoman penyusunan RTRW Kota). 3. Konsistensi penggunaan lahan dikategorikan dalam 5 kelas yaitu sangat konsisten, konsisten sengaja, inkonsisten tanpa sengaja, inkonsisten sengaja, sangat tidak konsisten.Dari 5 kelas konsistensi tersebut diketahui bahwa konsistensi penggunaan lahan disebabkan dari segi: - Perencanaan. Konsistensi terjadi karena perencanaan sesuai dengan penggunaan lahan saat RTRW disusun dan inkonsistensi terjadi karena perencanaan dilakukan diatas penggunaan lahan yang berbeda. -
Penggunaan lahan. Konsistensi dan inkonsistensi terjadi karena kemauan masyarakat sebagai pemilik lahan.
4. Kondisi ekonomi masyarakat ternyata sangat mempengaruhi inkonsistensi yang terjadi di Kota Palu. Hal ini dikarenakan masyarakat yang masih mengandalkan alam sebagai sumber penghasilan (masalah ekonomi). 5. Kurangnya sosialisasi Rencana Tata Ruang mengakibatkan pengetahuan masyarakat terhadap rencana tata ruang wilayah masih sangat minim. Hal ini mengakibatkan kepedulian terhadap inkonsistensi yang terjadi di lingkungan sekitar hampir tidak ada.
71
6.2. Saran
1. Dalam Penyusunan RTRW Kota Palu perlu diketahui kondisi ekonomi masyarakat, data fisik seperti peta tanah yang lebih detil, dan trend penggunaan lahan kota Palu. 2. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat secara rutin sehingga masyarakat pada setiap strata dan usia mengetahui pembangunan yang terjadi di wilayah Kota Palu. Hal ini penting agar masyarakat dapat ikut berpartisipasi menjaga kekonsitensinan RTRW Kota Palu. 3. Perlunya dilakukan penelitian lanjutan berkaitan dengan persepsi dan tingkat partisipasi masyarakat dalam skala yang lebih detil sehingga diperoleh informasi yang lebih akurat mengenai peran masyarakat dalam perencanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah.
72
DAFTAR PUSTAKA
Asngari, P.S. 1984. Persepsi Direktur penyuluh Tingkat keresidenan dan Kepala Penyuluh Pertanian terhadap peranan dan fungsi lembaga media Peternakan di Negara Bagian Texas.AS. Media Peternakan 9(2). Atash F, Beheshtiha Y.S.S. 1998. New Towns and Their Practical Challenges: The Experience of Poulad Shahr in Iran. Habitat ITNL Vol. 22 (1). Barus B, Wiradistra U.S. 2000. Sistem Informasi geografi (Sarana Manajemen Sumberdaya). ITSL Faperta IPB. Bintarto 2007. Sangsi pidana perlu dipertegas dan dimasukkan dalam RUU-PR. http:www.pu.go.id [11 Agustus 2007]. Bonham, Charter 1998. Geographic Information System For Geoscientist (Modeling with GIS). New York: Pergamon.. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Kota Palu Dalam Angka 2005. Propinsi Sulawesi Tengah. Dai F.C, Lee CF, Zhang XH. 2001. GIS-based geo-enviromental evaluation for urban land – use planning: a case study. Engineering Geology. No. 61. Dardak A.H. 2006. Kebijakan Penataan Ruang Dalam Pengelolaan kawasan rawan Bencana Longsor. Lokakarya Ditjen Penataan Ruang Dep. PU dan Badan Kejuruan Sipil PII. [Jakarta 7 Maret 2006]. Dyah AW. 1983. Persepsi staf pengajar dan Tugas Pimpinan Perguruan Tinggi tentang Pengabdian Masyarakat [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Erwina. 2005. Analisis Persepsi dan Paertisipasi Masyarakat Terhadap Kualitas Lingkungan di Daerah Pesisir: Kasus di Kelurahan Marunda, Jakarta Utara [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Feri T. 2007. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Keterkaitannya dengan Fluktuasi Debit Sungai Di Sub Das Antokan Provinsi Sumatera Barat [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Haryanto B. 2003. Sistem Pengarsipan dan Metode Akses. Bandung: Informatika. Iqbal M, Sumaryanto. 2007. Dasar pemikiran strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian bertumpu pada partisipasi masyarakat. Analisis kebijakan pertanian. Vol. (2). Karyoedi M. 1995. Aspek Legal dalam Penataan Ruang. Perencanan Wilayah dan Kota. No.17.
73
Kombaitan B. 1992. Pertumbuhan Kawasan Pinggiran Kota dan Perubahan Panjang Perjalanan. Perencanan Wilayah dan Kota. No. 4. Marisan M. 2006. Analisis Inkonsistensi Tata Ruang Dilihat Dari Aspek Fisik Wilayah: Kasus Kabupaten dan Kota Bogor [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Martokusumo W. 2006. Revitalisasi dan Rancang Kota : beberapa catatan dan konsep penataan kawasan berkelanjutan. Perencanaan Wilayah dan Kota 17 (1). Meyer WB, Turner BL, 1994. Changes in Land Use and Land Cover: A global perspective. UK: Cambridge Univ. Press. No.537.p. Prahasta E. 2005. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Informatika. Rustiadi. 2001. Alih fungsi lahan dalam perpektif lingkungan perdesaan. Lokakarya Penyusunan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Kawasan Perdesaan. Bogor 10-11 Mei 2001. Rustiadi, Safulhakim S, Panuju DR. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Faperta IPB, in press. Savitri A, 2007. Kajian pemanfaatan ruang dalam kaitannya dengan resiko banjir di Kabupaten Bandung [thesis]. Institut Pertanian Bogor. Sevilla CG. 1993. Pengantar Metode Penelitian. UI-Press Sitorus 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Tarsito. Syahyuti 2006. Kebijakan Lahan Abadi Untuk Pertanian Sulit di Wujudkan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Vol.4(2). Sudadi U, Baskoro DPT, Munibah K, Barus B, Darmawan. 1991. Kajian pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap aliran sungai dan penurunan kualitas lahan di sub-DAS Ciliwung hulu dengan pendekatan model simulasi hidrologi. Fakultas Pertanian IPB. Tarigan R. 2004. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara. Thoha, M. 1983. Perilaku organisasi : Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Rajawali. Tjallingii S.P. 2000. Ecology on the edge: Landscape and ecology between town and country. Alterra, Green World Research. Landscape and Urban Planning. No 48.
74
Wahyuni E. 2006. Analisis keterkaitan permasalahan tata ruang dengan kinerja perkembangan wilayah (studi kasus kota Bandar lampung) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wiradisastra US. 1989. Metodologi Evaluasi Lahan dalam Hubungan sistem Informasi Sumberdaya Lahan. Lokakarya Sistem Informasi Lahan Untuk Perencanaan Tata Ruang; Yogyakarta 24-25 Desember 1989. Yulida R. 2002. Partisipasi Petani terhadap Program Sistem Pertanian Terpadu [thesis]. Institut Pertanian Bogor. Yusri A. 1999. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani terhadap kredibilitas penyuluh pertanian. [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Perundang-undangan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Peraturan Pemerintah (PP) No. 47/1997, Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Keputusan Mentri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kepmenkimpraswil) 327/2002, Tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang.
75
Lampiran 1. Hasil Cross tabulasi Peta RTRW dan peta penggunaan lahan tahun 2006. Cross-tabulation of RTRW (columns) against Penggunaan Lahan(rows) 0 1 2 3 4 5 ----------------------------------------------------------0 | 1849442 2 24 24 146 0 1 | 1 165618 0 0 0 0 2 | 0 78124 0 0 0 0 3 | 0 28936 0 0 0 0 4 | 1 0 215 0 0 0 5 | 0 0 6 311 0 2 6 | 0 0 0 0 0 0 7 | 0 0 5513 50 0 3234 8 | 199 1706 56736 2498 0 3233 9 | 12 0 3615 6268 0 1332 10 | 1 0 77 94 0 8 11 0 0 0 0 358 0 1 0 0 75 0 0 0 1 128 0 0 0 0 0 -----------------------------------------------------------Total | 1849784 274386 66261 9245 504 7809
6 7 8 9 10 11 -----------------------------------------------------------0 | 0 834 23 0 86 1 1 | 0 4469 0 0 5743 0 2 | 0 0 0 0 8 0 3 | 1 0 0 0 0 0 4 | 0 300 29 0 0 0 5 | 0 2584 19 0 6 0 6 | 0 1 0 0 0 0 7 | 0 18549 145 0 613 0 8 | 615 132977 1783 101 87029 205639 9 | 0 69932 5460 374 2814 46 10 | 0 1062 707 0 0 0 11 | 0 282 2 0 0 0 12 | 0 215 0 0 0 0 13 | 0 0 0 0 0 4 -----------------------------------------------------------Total | 616 231205 8168 475 96299 205690
12 13 Total -----------------------------0 | 0 2 | 1850584 1 | 0 0 | 175831 2 | 0 0 | 78132 3 | 0 0 | 28937 4 | 0 26 | 571 5 | 0 0 | 2928 6 | 0 6 | 7
76
7 8 9 10 11 12 13 Total
| 0 0 | 28104 | 28 15 | 492559 | 5618 234 | 95705 | 0 0 | 1949 | 0 0 | 642 | 0 0 | 290 | 0 10139 | 10271 -----------------------------| 5646 10422 | 2766510
Chi Square =10218398.00000 df = 169 Cramer's V = 0.5330
Proportional Crosstabulation 0 1 2 3 4 5 -----------------------------------------------------------0 | 0.6685 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000 1 | 0.0000 0.0599 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 | 0.0000 0.0282 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 3 | 0.0000 0.0105 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 4 | 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 5 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 6 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 7 | 0.0000 0.0000 0.0020 0.0000 0.0000 0.0012 8 | 0.0001 0.0006 0.0205 0.0009 0.0000 0.0012 9 | 0.0000 0.0000 0.0013 0.0023 0.0000 0.0005 10 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 11 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000 12 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 13 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 -----------------------------------------------------------Total | 0.6686 0.0992 0.0240 0.0033 0.0002 0.0028 6 7 8 9 10 11 -----------------------------------------------------------0 | 0.0000 0.0003 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 1 | 0.0000 0.0016 0.0000 0.0000 0.0021 0.0000 2 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 3 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 4 | 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 5 | 0.0000 0.0009 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 6 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 7 | 0.0000 0.0067 0.0001 0.0000 0.0002 0.0000 8 | 0.0002 0.0481 0.0006 0.0000 0.0315 0.0743 9 | 0.0000 0.0253 0.0020 0.0001 0.0010 0.0000 10 | 0.0000 0.0004 0.0003 0.0000 0.0000 0.0000 11 | 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 12 | 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 13 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 -----------------------------------------------------------Total | 0.0002 0.0836 0.0030 0.0002 0.0348 0.0743 12 13 Total -----------------------------0 | 0.0000 0.0000 | 0.6689
77
1 | 0.0000 0.0000 | 0.0636 2 | 0.0000 0.0000 | 0.0282 3 | 0.0000 0.0000 | 0.0105 4 | 0.0000 0.0000 | 0.0002 5 | 0.0000 0.0000 | 0.0011 6 | 0.0000 0.0000 | 0.0000 7 | 0.0000 0.0000 | 0.0102 8 | 0.0000 0.0000 | 0.1780 9 | 0.0020 0.0001 | 0.0346 10 | 0.0000 0.0000 | 0.0007 11 | 0.0000 0.0000 | 0.0002 12 | 0.0000 0.0000 | 0.0001 13 | 0.0000 0.0037 | 0.0037 -----------------------------Total | 0.0020 0.0038 | 1.0000
Kappa Index of Agreement (KIA) -----------------------------Using penggunaan lahan_ as the reference image... Category --------
KIA -------
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
0.9981 0.9355 -0.0245 -0.0034 -0.0002 -0.0021 -0.0002 0.6290 0.0007 0.0037 -0.0361 -0.0803 -0.0020 0.9871
Using RTRW as the reference image... Category KIA -------------0 0.9994 1 0.5767 2 -0.0291 3 -0.0106 4 -0.0002 5 -0.0008 6 -0.0000 7 0.0708 8 0.0490 9 0.7797 10 -0.0007 11 -0.0002 12 -0.0001 13 0.9727 Overall Kappa
0.5214
78
Lampiran 2. Hasil Cross-tabulation antara peta RTRW (kolom) dan peta penggunaan lahan tahun 1998(baris) 0 1 2 3 4 5 -----------------------------------------------------------0 | 1849448 2 8 21 0 0 1 | 1 165618 0 0 0 0 2 | 6 28947 0 0 0 0 3 | 1 78124 0 0 0 0 4 | 0 0 0 0 0 0 6 | 95 1695 54212 2457 146 6216 8 | 0 0 0 0 0 0 9 | 87 0 9153 6701 358 1431 10 | 0 0 0 0 0 0 12 | 104 0 2771 66 0 159 13 | 42 0 117 0 0 3 -----------------------------------------------------------Total | 1849784 274386 66261 9245 504 7809
6 7 8 9 10 11 -----------------------------------------------------------0 | 0 481 48 51 0 27 1 | 0 0 0 0 1 0 2 | 0 3006 140 0 49431 1594 3 | 0 0 0 0 8 11577 4 | 0 36 0 0 0 0 6 | 616 121626 2105 366 8785 79980 8 | 0 531 0 52 0 1 9 | 0 56306 5615 0 3122 23848 10 | 0 11 0 0 0 0 12 | 0 8361 215 0 1187 69057 13 | 0 40847 45 6 33765 19606 -----------------------------------------------------------Total | 616 231205 8168 475 96299 205690
12 13 Total -----------------------------0 | 0 0 | 1850086 1 | 0 5 | 165625 2 | 4951 426 | 88501 3 | 0 0 | 89710 4 | 0 0 | 36 6 | 27 4320 | 282646 8 | 0 409 | 993 9 | 668 2125 | 109414 10 | 0 0 | 11 12 | 0 989 | 82909 13 | 0 2148 | 96579 -----------------------------Total | 5646 10422 | 2766510
Chi Square = 7026239.50000 df = 130 Cramer's V = 0.5040
79
Proportional Crosstabulation 0 1 2 3 4 5 -----------------------------------------------------------0 | 0.6685 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 1 | 0.0000 0.0599 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 | 0.0000 0.0105 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 3 | 0.0000 0.0282 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 4 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 6 | 0.0000 0.0006 0.0196 0.0009 0.0001 0.0022 8 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 9 | 0.0000 0.0000 0.0033 0.0024 0.0001 0.0005 10 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 12 | 0.0000 0.0000 0.0010 0.0000 0.0000 0.0001 13 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 -----------------------------------------------------------Total | 0.6686 0.0992 0.0240 0.0033 0.0002 0.0028
6 7 8 9 10 11 -----------------------------------------------------------0 | 0.0000 0.0002 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 1 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 | 0.0000 0.0011 0.0001 0.0000 0.0179 0.0006 3 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0042 4 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 6 | 0.0002 0.0440 0.0008 0.0001 0.0032 0.0289 8 | 0.0000 0.0002 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 9 | 0.0000 0.0204 0.0020 0.0000 0.0011 0.0086 10 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 12 | 0.0000 0.0030 0.0001 0.0000 0.0004 0.0250 13 | 0.0000 0.0148 0.0000 0.0000 0.0122 0.0071 -----------------------------------------------------------Total | 0.0002 0.0836 0.0030 0.0002 0.0348 0.0743
12 13 Total -----------------------------0 | 0.0000 0.0000 | 0.6687 1 | 0.0000 0.0000 | 0.0599 2 | 0.0018 0.0002 | 0.0320 3 | 0.0000 0.0000 | 0.0324 4 | 0.0000 0.0000 | 0.0000 6 | 0.0000 0.0016 | 0.1022 8 | 0.0000 0.0001 | 0.0004 9 | 0.0002 0.0008 | 0.0395 10 | 0.0000 0.0000 | 0.0000 12 | 0.0000 0.0004 | 0.0300 13 | 0.0000 0.0008 | 0.0349 -----------------------------Total | 0.0020 0.0038 | 1.0000
Kappa Index of Agreement (KIA) -----------------------------Using eksisting 1998_rs as the reference image... Category --------
KIA -------
80
0 1 2 3 4 6 8 9 10 12 13
0.9990 1.0000 -0.0245 -0.0034 -0.0002 0.0020 -0.0030 -0.0002 -0.0361 -0.0020 0.0185
Using rtrw-cmp1_rs as the reference image... Category --------
KIA -------
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
0.9995 0.5784 -0.0330 -0.0335 -0.0000 0.0000 1.0000 0.0000 -0.0004 -0.0412 -0.0000 0.0000 -0.0309 0.1774
Overall Kappa
0.5042
81
Lampiran 3. Hasil Cross tabulasi Peta eksistng 1998 dan peta penggunaan lahan tahun 2006. Cross-tabulation of eksisting 1998_rs (columns) against pengg_13_rs (rows) 0 1 2 3 4 6 -----------------------------------------------------------0 | 1849872 0 95 1 0 238 1 | 0 165620 5811 0 0 4074 2 | 0 0 0 78132 0 0 3 | 0 0 28936 0 0 1 4 | 0 0 0 0 0 2345 6 | 80 0 47638 11577 16 201180 8 | 0 0 0 0 0 258 9 | 129 0 5250 0 20 57678 10 | 0 0 0 0 0 7 12 | 0 0 261 0 0 11380 13 | 4 5 426 0 0 4051 14 | 1 0 19 0 0 336 15 | 0 0 24 0 0 1093 16 | 0 0 41 0 0 5 -----------------------------------------------------------Total | 1850086 165625 88501 89710 36 282646
8 9 10 12 13 Total -----------------------------------------------------------0 | 0 126 0 1 251 | 1850584 1 | 0 326 0 0 0 | 175831 2 | 0 0 0 0 0 | 78132 3 | 0 0 0 0 0 | 28937 4 | 0 537 0 38 8 | 2928 6 | 163 64385 11 75733 91776 | 492559 8 | 0 360 0 0 24 | 642 9 | 416 28781 0 3303 128 | 95705 10 | 0 0 0 0 0 | 7 12 | 0 11595 0 2671 2197 | 28104 13 | 410 2149 0 1038 2188 | 10271 14 | 0 209 0 6 0 | 571 15 | 4 796 0 31 1 | 1949 16 | 0 150 0 88 6 | 290 ----------------------------------------------------------Total | 993 109414 11 82909 96579 | 2766510
Chi Square = 8868488.00000 df = 130 Cramer's V = 0.5662
82
Proportional Crosstabulation 0 1 2 3 4 6 -----------------------------------------------------------0 | 0.6687 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 1 | 0.0000 0.0599 0.0021 0.0000 0.0000 0.0015 2 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0282 0.0000 0.0000 3 | 0.0000 0.0000 0.0105 0.0000 0.0000 0.0000 4 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0008 6 | 0.0000 0.0000 0.0172 0.0042 0.0000 0.0727 8 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 9 | 0.0000 0.0000 0.0019 0.0000 0.0000 0.0208 10 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 12 | 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0041 13 | 0.0000 0.0000 0.0002 0.0000 0.0000 0.0015 14 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 15 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0004 16 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 -----------------------------------------------------------Total | 0.6687 0.0599 0.0320 0.0324 0.0000 0.1022
8 9 10 12 13 Total -----------------------------------------------------------0 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 | 0.6689 1 | 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0636 2 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0282 3 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0105 4 | 0.0000 0.0002 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0011 6 | 0.0001 0.0233 0.0000 0.0274 0.0332 | 0.1780 8 | 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0002 9 | 0.0002 0.0104 0.0000 0.0012 0.0000 | 0.0346 10 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0000 12 | 0.0000 0.0042 0.0000 0.0010 0.0008 | 0.0102 13 | 0.0001 0.0008 0.0000 0.0004 0.0008 | 0.0037 14 | 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0002 15 | 0.0000 0.0003 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0007 16 | 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0001 ----------------------------------------------------------Total | 0.0004 0.0395 0.0000 0.0300 0.0349 | 1.0000
Kappa Index of Agreement (KIA) -----------------------------Using pengg_13_rs as the reference image... Category --------
KIA -------
0 1 2 3 4
0.9988 0.9382 -0.0330 -0.0335 -0.0000
83
6 8 9 10 12 13 14 15 16
0.3411 -0.0004 0.2719 -0.0000 0.0671 0.1846 0.0000 0.0000 0.0000
Using eksisting 1998_rs as the reference image... Category --------
KIA -------
0 1 2 3 4 6 8 9 10 12 13
0.9997 1.0000 -0.0291 -0.0106 -0.0011 0.6493 -0.0002 0.2366 -0.0000 0.0223 0.0190
Overall Kappa
0.6464
84
Lampiran 4. Pengetahuan Responden tentang RTRW No 1 2
Pertanyaan Apakah Saudara mengetahui tentang/mendengar istilah RTRW Apakah Saudara pernah melihat dokumen RTRW Kota Palu
Jika "ya" dari mana Saudara melihatnya
Jika "ya" kapan saudara melihat dokumen RTRW Kota Palu tersebut 3
Apakah saudara sudah memahami dokumen RTRW
4
Apakah Saudara mengetahui manfaat RTRW
5
6
7
8
9 1 0
1 1
Apakah saudara akan merujuk ke RTRW jika akan menggunakan lahan milik sendiri? Apakah Saudara pernah berperan serta dalam perumusan Rencana Tata Ruang Kota Palu? Apakah Saudara ingin berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan/tata ruang yang dilakukan pemerintah ? Pernahkah Saudara mengetahui lahan yang digunakan/dibangun (oleh orang lain) tidak sesuai dengan RTRW? jika jawaban no 8 “ya” Apakah ada teguran dari Pemda jika jawaban no 9 "ya", apakah teguran ini diindahkan oleh pemiliknya Menurut Saudara apakah yang menyebabkan terjadinya inkonsistensi (ketidaksesuaian) Penggunaan Lahan dengan Rencana Tata Ruang Kota Palu
Respon
KRT 5
PNS 4
M siswa 2
Tidak
15
1
3
Ya
1
1
1
19
4
4
Ya
Tidak Mendengar dari pertemuan resmi Media masa dan elektronik Melalui saudara /teman/ kerabat Sebulan yg lalu Setahun yang lalu lainnya…. Ya Tidak Ya Tidak Tidak peduli ya tidak
LSM 2
2
Siswa 5
5
1
1
2 1 1
2
20 4 15 1 5 14
tidak peduli
1
Pernah
1
1
1
1 4 2 3
5 2 3
5 2 3
2 3
Tidak pernah
2
19
5
5
5
Ya Tidak
1 1
17 2
4 1
5
2 3
tidak peduli Ya Tidak
1 2
tidak peduli
1 18
5
1 4
5
1
Ya Tidak
1
Ya Tidak Tidak tahu dengan RTRW
2
15
Proses Alam
1
1
1
4
1
ketidakpedulian
5
5
3
lainnya.
85
Lampiran 5. Tanggapan Responden terhadap konsistensi RTRW No
Lokasi
1
Hutan lindung => kebun
2
3
4
5
6
7
Pemukiman => peternakan
Sawah => pemukiman
Respon
LSM
KRT
PNS
Msiswa
Pelajar
Rasio
Tetap kebun
1
3
3
2
1
27.03%
Hutan lindung Industri
1
9 8
2
2 1
4
48.65% 24.32%
1
10.81%
Tetap untuk peternakan Pemukiman Kaw pendidikan Tidak peduli
2
Menjadi sawah
2
Pemukiman Perdagangan dan jasa Perdagangan Tetap menjadi dan jasa => perdagangan dan jasa Permukiman Permukiman Tetap untuk Perkantoran Perkantoran => Pemerintah Permukiman Permukiman Tetap untuk Industri Permukiman Kaw Industri => Sawah permukiman Tegalan Tidak peduli Kaw Tetap untuk kawasan Perikanan perikanan => Permukiman pemukiman
3 16
5 2
5
4
86.49% 5.41% 2.70%
7
1
4
3
45.95%
10 3
2 2
1
2
40.54% 13.51%
1
9
3
1
5
51.35%
1
11
2
4
1 1 1 1
15 5
5
4 1
1
8 6 2
3 2
48.65% 5
81.08% 18.92% 1 43.24% 4 37.84% 5.41% 2.70% 10.81%
5
43.24%
3 1 1
4 2
4 20
5
1
56.76%
86