ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung)
ENDANG WAHYUNI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Permasalahan Tata Ruang dengan Kinerja Perkembangan Wilayah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor , Oktober 2006 Endang Wahyuni Nrp A 253050064
ABSTRAK ENDANG WAHYUNI. Analisis Keterkaitan Permasalahan Tata Ruang dengan Kinerja Perkembangan Wilayah (Studi Kasus Kota Bandar Lampung). Dibimbing oleh H.R. Sunsun Saefulhakim dan Yayat Supriatna. Berbagai permasalahan penataan ruang di Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung yang disusun tahun 2004 belum memiliki kontribusi positif terhadap penyelesaian permasalahan tata ruang. Hal ini kemungkinan disebabkan karena terjadi inkonsistensi dalam penataan ruang. Penelitian ini mencoba untuk melihat konsistensi penataan ruang serta kaitannya dengan kinerja perkembangan wilayah. Metode yang digunakan untuk melihat konsistensi penyusunan RTRW dengan pedoman adalah analisis tabel pembandingan dilanjutkan dengan analisis logika verbal. Untuk mengetahui apakah penyusunan RTRW sudah memperhatikan kesinergian dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context) dilakukan map overlay dilanjutkan dengan analisis logika verbal. Untuk mengetahui kinerja perkembangan wilayah dilakukan Principal Components Analysis (PCA) dilanjutkan dengan analisis Spatial Durbin Model. Metode ini merupakan pengembangan dari model regresi sederhana yang telah mengakomodasikan fenomena -fenomena autokorelasi spasial, baik dalam variabel tujuan maupun dalam variabel penjelasnya. Selanjutnya untuk mengetahui keterkaitan konsistensi, permasalahan tata ruang dan kinerja perkembangan wilayah digunakan analisis logika verbal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyusunan RTRW di Kota Bandar Lampung, sekitar 79% telah mengacu kepada pedoman yang berlaku. Dokumen tersebut mendapat legalitas hukum melalui Perda No 4 Tahun 2004. Berbagai permasalahan penataan ruang menunjukkan inkonsistensi yang relatif besar dalam pelaksanaa n dan pengendalian. Faktor eksternal relatif tetap. Menurut pedoman, dengan kondisi tersebut RTRW tidak perlu direvisi, tetapi perlu meningkatkan sosialisasi kepada seluruh stakeholder, melengkapi aspek-aspek yang belum diatur ke dalam rencana sektoral serta menjadikannya sebagai pedoman pembangunan. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa inkonsistensi dalam penataan ruang menyebabkan berbagai permasalahan yang berakibat pada menurunnya kinerja perkembangan wilayah. Demikian juga penataan ruang yang tidak memperhatikan konstelasi dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context) menyebabkan kinerja perkembangan yang buruk. Kondisi ini berlaku secara umum, sehingga konsistensi dalam penataan ruang menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka optimalisasi pencapaian tujuan penataan ruang. Model empirik perkembangan wilayah menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh signifikan (nyata) dan elastis adalah variabel yang terkait dengan aspek lingkungan sekitar, baik berbatasan langsung maupun dalam radius tertentu. Sedangkan faktor pendorong perkembangan wilayah adalah ketersediaan prasarana dasar (jalan kota/lokal, air bersih dan telepon) dan kondisi fisik wilayah dengan karakteristik landai da n air tanah produktifitas sedang. Kondisi ini berimplikasi pada mekanisme penganggaran bahwa untuk meningkatkan kinerja perkembangan wilayah harus memperhatikan faktor-faktor pendorong tersebut dan yang lebih utama adalah upaya peningkatan kerjasama dan koordina si dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Co operation ).
ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung)
ENDANG WAHYUNI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
:
Nama NIM
: :
Analisis Keter kaitan Permasalahan Tata Ruang dengan Kiner ja Perkembangan Wilayah (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) Endang Wahyuni A 253050064
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr Ketua
Ir. Yayat Supriatna, MURP Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 29 September 2006
Ta nggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya atas ridho-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2006 ini adalah penataan ruang, dengan judul Analisis Keterkaitan Permasalahan Tata Ruang dengan Kinerja Perkembangan Wilayah (studi kasus Kota Bandar Lampung). Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr dan Ir. Yayat Supriatna, MURP selaku komisi pembimbing. 2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, beserta segenap staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Perencanaan Wilayah. 3. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi. 4. KOMJEN Sjacroedin ZP selaku Gubernur Lampung dan Dr. Ir. Harris Hasyim, MA selaku Kepala Bappeda Provinsi Lampung, atas ijin, nasehat, dukungan dan segala bentuk perhatian yang selalu diberikan. 5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis. 6. Sahabat-sahabat PWL, baik kelas khusus maupun reguler angkatan 2005 atas segala dukungan dan kerjasamanya. 7. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Akhirnya, terima kasih yang setinggi-tingginya atas dukungan, doa dan pengertian dari suami, anak-anak dan orang tua tercinta. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2006 Endang Wahyuni
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 17 Juni 1975 sebagai anak pertama dari pasangan Sadiman dan Supriati. Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Xaverius Pringsewu (Lampung) dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikannya pada Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Penulis menamatkan pendidikan pada Januari Tahun 1998. Tahun 1999, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil dan ditempatkan pada Bappeda Provinsi Lampung Bidang F isik dan P rasarana Wilayah sampai saat ini. Pada tahun 2005, penulis memperoleh beasiswa program 13 bulan dari Pusat Pembinaan Pendidikan dan Latihan Perencanaan, Bappenas untuk melanjutkan pendidikan S2 di IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. Saat ini penulis telah menikah dengan Ahmad Su’udi, ST, MT dan dikaruniai satu bidadari cantik bernama An-N isaa Ahmad dan satu jagoan manja yang bernama Deva Ahmad.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………………. viii DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………. ix DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….
x
PENDAHULUAN Latar Belakang ………………………………….………………..…......
1
Perumusan Masalah ………………….…..…..........................................
3
Tujuan Penelitian ……………………………………………………...... 9 TINJAUAN PUSTAKA Kota ………………………………….…………………………..…......
10
Penataan Ruang …..………………….…..…........................................... 11 Penataan Ruang Wilayah Kota ………………………….......................
12
Manajemen Kota di Negara Berkembang ..……………………….……. 17 Ketimpangan Pembangunan ……………...…………………………….
18
Analisa Spasial …………………………....……………………………. 19 Sistem Informasi Geografis ……………….……………………………. 20
KERANGKA BERFIKIR METODE PENELITIAN Ruang Lingkup …………………………………………………………. 27 Pengumpulan Data ….……………….……………………………........
36
Analisis Proses Penyusunan RTRWK Bandar Lampung ….................... 37 Analisis Konsistensi RTRW dalam Inter-Regional Context …..............
38
Analisis Kinerja Perkembangan Wilayah …............………....................
39
Principal Components Analysis ..…..........................………................... 43 Spatial Durbin Model ................…..........................………....................
44
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Keadaan Umum Kota Bandar Lampung …..………………………........ 47 Penataan Ruang Kota Bandar Lampung ………………….....................
49
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsistensi Penyusunan Tata Ruang dengan Pedoman yang Berlaku ....
52
Konsistensi proses penyusunan dengan pedoman …………………...
52
Konsistensi inter-regional context ………………………....………...
53
Konsistensi proses pertumbuhan ekonomi ................….…..…………
57
Konsistensi rencana penanganan lingkungan kota …......….………… 58 Konsistensi dalam Pemanfaatan Ruang ……….…………......................
61
Konsistensi dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang ….......….............. 64 Analisis Perkembangan Wilayah ……………………………………….. 72 Indeks komposit perkembangan wilayah ………….…………..……... 72 Indeks komposit prasarana dasar kota ………………………..……...
75
Indeks komposit fisik wilayah ………………………………..……...
76
Model perkembangan w ilayah ……….…………………………........
78
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan …. ……………………………………….………………...
84
Saran ……….... ……………………………………….………………... 86
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
1
Keterangan nomor dan nama desa .............................................…….....
35
2
Rancangan tabel analisis proses penyusunan RTRW ................…….....
32
3
Variabel infrastruktur dasar kota..............................................................
40
4
Variabel fisik wilayah ..............................................................................
40
5
Variabel perkembangan wilayah .............................................................
41
6
Rancangan tabel PCA …....................................................…..………....
43
7
Rancangan contiguity matrix W terhadap ketetanggaan .....…………....
46
8
Jumlah dan kepadatan penduduk perkelurahan di Kota Bandar Lampung .………….................................................................................
9
48
Matriks analisis proses perencanaan tata ruang Kota Bandar Lampung..................................................................................................
52
10 Kriteria peninjauan kembali (Keputusan Menteri Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002) ….......................................................................
69
DAFTAR GAMBAR
1
Sudut Kota Tanjung Karang Bandar Lampung ................….....……….
5
2
Sudut Kota Telukbetung Bandar Lampung ................………….…..….
6
3
Eksploitasi Gunung Kunyit ..........................................................…..….
7
4
Konversi Gunung Camang-1 ............................................................…...
7
5
RTRW dalam sistem perencanaan pembangunan ....…..…........….........
15
6
Kerangka berfikir ……………………………………….……..……......
25
7
Perbandingan proses penataan ruang ……..………..……...…..………..
26
8
Peta jaringan jalan Kota Bandar Lampung ………….........…...………..
31
9
Peta hidrologi bagian wilayah Kota Bandar Lampung …………..……..
32
10 Peta geologi bagian wilayah Kota Bandar Lampung …………..………
33
11 Peta kelas lereng bagian wilayah Kota Bandar Lampung …………..…
34
12 Peta administrasi Kota Bandar Lampung …………..……..…..………..
36
13 Kerangka proses tujuan pertama ..............................…..……………….
37
14 Kerangka proses tujuan kedua ............................................…………….
38
15 Kerangka proses tujuan ketiga ............................................…………….
39
16 Bagan alir tujuan ketiga ......................................................…………….
40
17 Peta kesesuaian rencana TGT Kota Bandar Lampung dengan
55
Kabupaten Lampung Selatan .................................................................. 18 Kawasan kumuh di Telukbetung .............................................................
58
19 Lingkup pengendalian pemanfaatan ruang ..............................................
66
20 Struktur kelembagaan BKPRD................................................................
67
21 Plot of eigenvalues perkembangan wilayah ............................................
73
22 Scutter plot perkembangan wilayah ......................................................... 73 23 Peta pola spasial perkembangan wilayah ................................................
74
24 P eta P ola spasial prasarana dasar ............................................................. 76 25 Peta P ola spasial fisik wilayah ................................................................
77
DAFTAR LAMPIRAN
Tabel Lampiran 1
Data perkembangan wilayah ........................................
91
Tabel Lampiran 2
Hasil PCA perkembangan wilayah …………………...
96
Tabel Lampiran 3
Data prasarana dasar kota …………………………….
100
Tabel Lampiran 4
Keterangan kelompok pelanggan PDAM ……………. 102
Tabel Lampiran 5
Data fisik wilayah …………………………………….
Tabel Lampiran 6
Keterangan geologi bagian wilayah Kota Bandar
103
Lampung .......................................................................
106
Tabel Lampiran 7
Regresi perkembangan wilayah ………………………
109
Tabel Lampiran 8
Matriks analisis proses perencanaan tata ruang
Tabel Lampiran 9
Kota Bandar Lampung ………………………………..
111
Model-model perkembangan wilayah ……………......
120
Tabel Lampiran 10 Matriks hubungan konsistensi penataan ruang dengan kinerja perkembangan wilayah ………………………
121
Tabel Lampiran 11 Matriks pengendalian pemanfaatan ruang
122
Gambar Lampiran 1 Diagram penyusunan RTRW Kota …………………..
123
Teks Lampiran 1
Keterangan score perkembangan wilayah ……………
124
Teks Lampiran 2
Keterangan score prasarana dasar ……………………. 127
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembangunan daerah seyogyanya dilakukan melalui penataan ruang secara lebih terpadu dan terarah, agar sumberdaya yang terbatas dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Salah satu upaya untuk mencapai hal tersebut adalah melalui keterpaduan dan keserasian pembangunan dalam matra ruang yang tertata secara baik. Untuk itu dibutuhkan penataan ruang, baik dalam proses perencanaan, pema nfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang sebagai satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan, dan dilaksanakan secara terpadu, sinergi serta berkelanjutan. Perencanaan tata ruang merupakan proses penyusunan rencana tata ruang wilayah yang mencakup wilayah administratif/pemerintahan (seperti provinsi, kabupaten dan kota) dan atau wilayah fungsional/kawasan (seperti Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan lindung, kawasan perkotaan, dan kawasan perdesaan) yang tercermin dalam Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang melalui penatagunaan tanah, sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang tercermin dalam dokumen
pengendalian
pemanfaatan
ruang
yang mengatur
mekanisme
pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang berdasarkan mekanisme perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, pemberian kompensasi, mekanisme pelaporan, mekanisme pemantauan, mekanisme evaluasi dan mekanisme pengenaan sanksi. Penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah kota yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan, efisien dalam pola alokasi investasi yang bersinergi dan dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Menurut Rustiadi et al. (2004) , penataan ruang memiliki tiga urgensi, yaitu (a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisiensi); (b) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan, dan keadilan) , dan (c) keberlanjutan (prinsip sustainability ).
2 Tujuan lain dari penataan ruang adalah untuk mengatur hubungan antara berbagai kegiatan dengan fungsi ruang guna tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Dengan kata lain penataan ruang diharapkan dapat mengefisienkan pembangunan dan meminimalisasi konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang kawasan perkotaan secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang perkotaan serta pengembangan
infrastruktur
pendukung
yang
dibutuhkan
untuk
mengakomodasikan kegiatan sosial ekonomi yang diinginka n (Budiharjo, 1997) . Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak di ujung Tenggara Pulau Sumatera dan merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera dari arah Jawa. Kondisi ini menjadikan ibukota Provinsi Lampung tersebut memiliki peran yang sangat strategis, baik dalam skala nasional, regional maupun provinsi. Secara nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah (P P) Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) Kota Bandar Lampung ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional dan salah satu dari tiga kawasan andalan yang ada di Provinsi Lampung. Dalam skala provinsi, selain berfungsi sebagai pusat pemerintahan Provinsi Lampung, K ota Bandar Lampung ditetapkan sebagai Pusat Pelayanan Primer bagi wilayah-wilayah sekitarnya di wilayah Provinsi Lampung. Dengan peran-peran tersebut diharapkan kota ini dapat memberikan pelayanan yang optimal, baik bagi penghuni setempat maupun bagi kawasan-kawasan disekitarnya. Kondisi tersebut dimungkinkan dengan adanya dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung yang pertama kali disusun pada tahun 1994 dan disusun kembali pada tahun 2003 serta mendapat legalitas hukum melalui Perda No 4 Tahun 2004. P ada kenyataannya, selama kurun waktu tersebut sampai saat ini telah terjadi berbagai permasalahan dalam penataan ruang. Dengan kata lain RTRW yang ada kurang mampu memberikan kontribusi penyelesaian terhadap berbagai permasalahan kota, antara lain berupa kemiskinan penduduk kota, kemacetan, konversi lahan, kesemrawutan, kekumuhan, dan keterbatasan open space. Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan bahwa tujuan penataan ruang di Kota Bandar Lampung belum tercapai secara optimal. Kondisi ini kemungkinan disebabkan karena terjadi inkonsistensi dalam penataan ruang, baik dalam aspek
3 perencanaan, aspek pemanfatan maupun dalam aspek pengendalian pemanfaatan ruang. Konsistensi dalam aspek perencanaan dapat dilihat pada proses teknis penyusunan RTRW dikaitkan dengan pedoman/ketentuan yang berlaku. Konsistensi dalam pemanfaatan ruang terlihat dari kesesuaian antara aktivitas penggunaan ruang dengan RTRW. Sementara perkembangan wilayah dipengaruhi adanya kekuatan untuk perubahan (forces of changes) yang diidentifikasi diakibatkan oleh perbedaan karakteristik fisik wilayah dan konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota. Infrastruktur dasar kota merupakan urat nadi kehidupan suatu wilayah/kota dan keberadaannya sangat diperlukan untuk memacu pertumbuhan wilayah dan mendorong pertumbuhan wilayah secara optimal, sehingga sangat berperan dalam menentukan kinerja perkembangan suatu wilayah. Sebagai ilustrasi adalah suatu kawasan terisolasi, dengan adanya kebijakan pemerintah membangun infrastruktur dasar (air bersih, jalan, listrik dan telepon), maka dengan sendirinya di kawasan tersebut akan tumbuh dan berkembang be rbagai aktivitas, baik permukiman maupun aktivitas komersial yang dapat dibangun oleh swasta maupun masyarakat. Perumusan Masalah Penataan ruang merupakan kerangka yang menentukan peluang dan batasan dalam pembangunan, sehingga pelaksanaan kegiatan pemba ngunan seharusnya mengacu pada rencana tata ruang, yang di dalamnya memuat strategi optimasi untuk mencapai tujuan dan mem perhatikan kendala -kendala dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Dengan demikian rencana tata ruang dimaksud dapat dijadikan sebagai acuan dan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan. Dalam perjalanannya, sebagaimana kota pada umumnya, Bandar Lampung menghadapi berbagai permasalahan penataan ruang. Permasalahan tersebut antara lain meliputi: Kemiskinan Berbagai permasalahan dan ketimpangan dalam pembangunan disebabkan karena tingginya laju pertumbuhan penduduk di perkotaan yang tidak diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja. Kondisi ini menyebabkan peningkatan jumlah
4 pengangguran dan diperburuk lagi dengan situasi perekonomian nasional yang sedang terpuruk, banyak hal yang pada waktu situasi normal tidak terasa menjadi beban, saat ini dirasakan sebagai beban yang sangat berat. Jika dibanding sebelum krisis pertengahan Juli 1997, jumlah pengangguran saat ini mengalami peningkatan yang cukup tajam, tingkat pendapatan masyarakat mengalami penurunan dan sektor riil belum sepenuhnya berjalan normal. Kemiskinan merupakan sumber berbagai permasalahan di Kota Bandar Lampung. Konversi lahan Berdasarkan data pemberian ijin pengambilan air tanah bagi industri yang dikeluarkan Dinas Pertambangan Tahun 2004 dan 2005, menunjukkan banyaknya kasus konversi lahan dari rencana peruntukan sebagaimana ditetapkan dalam RTRW Kota Bandar Lampung. Konversi lahan terjadi baik dari aktivitas non industri (permukiman, komersial dan jasa) menjadi industri maupun sebaliknya. Kondisi tersebut menunjukkan terjadinya inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang. Penurunan kualitas sarana prasarana dasar permukiman Peningkatan jumlah penduduk di kawasan perkotaan berimplikasi terhadap peningkatan jumlah per umahan dan permukiman yang menuntut pemenuhan kebutuhan sarana prasarana dasar permukiman. Permasalahan yang sering terjadi di samping keterbatasan pendanaan untuk pengadaan sarana prasarana dasar permukiman tersebut adalah sarana penunjang yang sudah tersedia seringkali belum dimanfaatkan sepenuhnya dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan sarana prasarana yang sudah dibangun (Marquez dan Maheepala , 1996). Kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas sarana prasarana dasar permukiman di perkotaan. Kriminalitas Peningkatan kejadian kriminalitas di Kota Bandar Lampung disebabkan antara lain: (1) peningkatan jumlah penggangguran akibat keterbatasan lapangan kerja dan tuntutan akan tenaga kerja yang terampil dan profesional; (2) tuntutan hidup yang semakin mempersulit keadaan masyarakat miskin kota; (3) gaya hidup
5 masyarakat perkotaan yang cenderung ‘egoisme’, sehingga ‘tingkat kepedulian’ dan ‘empati’ masyarakat terhadap sesama semakin menurun. Keadaan lingkungan fisik perkotaan (urban setting ) yang kurang memadai (kesemrawutan tata ruang) Permasalahan pertanahan di Kota Bandar Lampung yang semakin rawan disebabkan karena keterbatasan lahan, sementara tuntutan pemenuhan kebutuhan lahan semakin meningkat secara cepat. Hal ini menyebabkan semakin tingginya nilai lahan. Akibatnya kawasan-kawasan terbuka atau kawasan konservasi dikonversi untuk aktivitas yang secara ekonomi jauh lebih menguntungkan, yaitu aktivitas komersial dan jasa. Dalam penggunaan ruang, kawasan-kawasan ini berorientasi pada maksimalisasi keuntungan finansial dan kurang memperhatikan aspek sosial, seperti pembangunan lahan parkir bagi konsumennya, sehingga di kawasan tersebut sangat rentan dengan berbagai permasalahan. Salah satu contoh adalah masalah kemacetan lalu lintas di pusat perbelanjaan Bambu Kuning Plaza.
Gambar 1 Sudut kota Tanjung Karang - Bandar Lampu ng
Di pihak lain, harga lahan yang tidak terjangkau masyakat kelas bawah merangsang golongan ini untuk menempati kawasan-kawasan ilegal (squater
6 area) seperti sempadan sungai, sempadan jalan, sempadan rel kereta api dan kawasan ilegal lainnya sebagai tempat tinggal. Bahkan muncul kecenderungan hadirnya kawasan-kawasan kumuh (slum area) di berbagai sudut pusat kota.
Gambar 2 Sudut kota Telukbetung - Bandar Lampung
Keterbatasan open space Orientasi pembangunan untuk mengejar maksimalisasi keuntungan ekonomi menyebabkan pembangunan yang dilaksanakan cenderung mengutamakan pembangunan fisik dan kurang memperhatikan aspek lingkungan. Kondisi ini menyebabkan bangunan-bangunan tumbuh dan berkembang tanpa kendali, padat tanpa arah yang jelas serta mengindikasikan kurangnya aspek perencanaan, sehingga kota menjadi semakin tidak bersahabat dengan lingkungan (Budiharjo, 1995). Keberadaan ruang terbuka ’open space’, khususnya ruang terbuka hijau proporsinya semakin menurun terhadap luas wilayah karena pembangunan lebih diprioritaskan untuk aktivitas ekonomi. Menurut Patmore, dari berbagai studi diketahui bahwa penyediaan ruang terbuka hijau dapat menurunkan laju kenakalan remaja dan diyakini pula dapat mengurangi ketegangan akibat sistem industri serta bermanfaat bagi kestabilan mental dan kejiwaan masyarakat kota (Wahyuni, 1998).
7
Gambar 3 Eksploitasi Gunung Kunyit
Eksploitasi gunung atau bukit saat ini marak terjadi di Kota Bandar Lampung seperti terlihat pada Gunung Kunyit dan Gunung Camang yang terletak di pusat kota. Kedua bukit hijau tersebut saat ini kondisinya semakin gundul akibat aktivitas penambangan batu kapur di Gunung Kunyit oleh swasta dan masyarakat lokal serta pengerukan tanah di Gunung Camang yang dilakukan oleh swasta.
Gambar 4 Konversi Gunung Camang
8 Tanah hasil pengerukan di Gunung Camang selanjutnya digunakan untuk reklamasi pantai di sepanjang tepi jalan Yos Sudarso Telukbetung yang masih berlangsung sampai saat ini, sementara gunung yang telah dikepras tersebut dikonversi untuk pembangunan perumahan. Kondisi ini menyebabkan pusat kota yang semula masih cukup asri dengan adanya beberapa kawasan hijau, dalam perkembangannya akan menjadi kawasan gersang akibat padatnya kawasan terbangun Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan bahwa penataan ruang yang ada belum mampu menjawab berbagai permasalahan yang terjadi. Kondisi tersebut kemungkinan disebabkan karena adanya inkonsistensi, baik dalam proses perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang. Dari beberapa uraian diatas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung sudah mengacu pada pedoman dan ketentuan teknis yang berlaku? Pedoman pokok penyusunan RTRW: Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; Peraturan Pemerintah (PP ) Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN); Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kepmenkimpraswil) Nomor 327/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang; Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2001 tentang Penataan Ruang Wilayah Provinsi Lampung. 2. Apakah proses penyusunan rencana tata ruang selain berbasis wilayah administratif juga memperhatikan aspek kawasan fungsional dalam konteks keterkaitan dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context)? Konsep
regional
planning,
yaitu
merencanakan
wilayah
dengan
memperhatikan konst elasi wilayah tersebut dengan wilayah sekitarnya, serta memiliki basis dimensi spasial yang jelas. Dengan konsep ini walaupun kedua wilayah tidak memenuhi skala ekonomi (economic of scale), tetapi dengan bekerjasama (silaturahmi) antar wilayah dapat memenuhi skala ekonomi tersebut.
9 3. Bagaimana hubungan antara konsistensi penataan ruang, konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota dan kondisi/karakteristik fisik wilayah terhadap kinerja perkembangan wilayah?
Tujuan Penelitian 1. Menganalisis konsistensi penyusunan Rencana Tata R uang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung dikaitkan dengan pedoman dan ketentuan yang berlaku. 2. Menganalisis konsistensi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek keserasian tata ruang dengan wilayah sekitarnya (konsistensi perencanaan Inter-Regional Context). 3. Menganalisis
implikasi konsistensi
penataan
ruang
terhadap
kinerja
perkembangan wilayah serta faktor -faktor pendorong perkembangan wilayah.
10
TINJAUAN PUSTAKA
Kota What is a city but its people. Itulah kata bijak William Shakespeare mengenai gambaran sebuah kota. Sebuah kota sudah tentu merupakan gambaran orang-orang yang berdomisili di dalamnya. Bagaimana orang-orang yang tinggal didalamnya, maka itulah sebenarnya wajah kota. Kota adalah kumpulan orangorang yang berdomisili dalam jangka waktu lama maupun sementara. Sebuah kota tidak akan nyaman jika orang-orangnya tidak menciptakan kenyamanan bagi lingkungannya. Kota yang baik dan berkesan adalah kota-kota dimana masyarakatnya memberikan kenyamanan terhadap eksistensi lingkungannya. Jadi dengan membicarakan kenyamanan berarti sebuah kota adalah kumpulan nilainilai yang dianut masyarakatnya (Budiharjo, 1997) . Fungsi kota sebagai pusat pelaya nan (service center) membawa konsekuensi areal kota akan dipenuhi oleh kegiatan-kegiatan komersial dan sosial, selain kawasan perumahan dan permukiman. Pembangunan ruang kota bertujuan untuk: (1) Memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat berusaha dan tempa t tinggal, baik dalam kualitas maupun kuantitas; (2) Memenuhi kebutuhan akan suasana kehidupan yang memberikan rasa aman, damai, tenteram dan sejahtera. (Budiharjo, 1997). Berkenaan dengan hal tersebut pembangunan kota harus ditujukan untuk lebih meningkatkan produktif itas yang selanjutnya akan dapat mendorong sektor perekonomian. Namun dalam pengembangannya, tentu perlu diperhatikan ketersediaan sumberdaya, sehingga perlu dicermati efisiensi pemanfaatan sumberdaya maupun efisiensi pelayanan prasarana dan sarana kota. Pembangunan perkotaan dilaksanakan dengan mengacu pada pengembangan investasi yang berwawasan lingkungan, sehingga tidak membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan tidak merusak kekayaan budaya daerah. Selain itu juga diharapkan untuk selalu mengarah kepada terciptanya keadilan yang tercermin pada pemerataan kemudahan dalam memperoleh penghidupan perkotaan, baik dari segi prasarana dan sarana maupun dari lapangan pekerjaan.
11 Penataan Ruang Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri tidak terbatas. Bila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terjadi inefisiensi dalam pemanfaatan ruang dan penurunan kualitas ruang serta dapat mendorong kearah adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta kelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang dan estetika lingkungan. Oleh karena pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan, pengaturan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Seiring dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan pembangunan, baik ditingkat pus at maupun tingkat daerah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian pemanfaatan ruang tidak bertentangan dengan rencana tata ruang yang sudah ditetapkan (Sastrowihardjo et al., 2001). Dalam konteks pembangunan wilayah, perencanaan penataan ruang dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi atau upaya pemerintah untuk menuju keterpaduan pembangunan melalui kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang guna menstimulasi sekaligus mengendalikan pertum buhan dan perkembangan pemanfaatan ruang suatu wilayah. Hal ini dipandang strategis mengingat bahwa kondisi aktual pemanfaatan ruang di suatu wilayah pada dasarnya merupakan gambaran hasil akhir dari interaksi antara aktivitas kehidupan manusia dengan alam lingkungannya, baik direncanakan maupun tidak direncanakan. Jika tidak direncanakan, maka sejalan dengan pertumbuhan pembangunan, laju pertumbuhan penduduk, serta aktivitas masyarakat yang semakin dinamis, pemanfaatan sumberdaya akan cenderung mengikuti suatu mekanisme yang secara alamiah akan mengejar maksimalisasi ekonomi, namun eksploitatif dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada. Mekanisme tersebut menciptakan iklim kompetisi yang pada akhirnya akan menggeser aktivitas yang intensitas pemanfaatan ruangnya lebih rendah dengan aktivitas lain yang lebih produktif. Meskipun mekanisme alamiah tersebut dapat saja menciptakan efisiensi secara ekonomi, namun belum tentu sejalan dengan
12 pencapaian tujuan dari pembangunan. Belum lagi jika harus dikaitkan dengan masalah polarisasi kemampuan yang berkembang di masyarakat dalam menikmati pemerataan manfaat pembangunan (Sastrowihardjo e t al., 2001).
Penataan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota Menurut UU 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang dide finisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan
serta
memelihara
kelangsungan
hidupnya. Sedangkan
wilayah
didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Lebih lanjut pengertian wilayah terbagi menjadi dua, yaitu wilayah yang batas dan sistemnya ditentuka n berdasarkan aspek administratif disebut wilayah pemerintahan dan wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional disebut kawasan. Dengan demikian penyusunan RTRW harus memperhatikan aspek administratif dan kawasan fungsional. Kawasan terbagi menjadi dua, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung meliputi hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan kawasan sekitar waduk/danau, sungai, sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dan kawasan rawan bencana. Kawasan budidaya adalah kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan pariwisata, kawasan tempat pertahanan keamanan. Kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah kabupaten/kota (kecuali kawasan tertentu), koordinasi penyusunan rencana tata ruang diselenggarakan oleh gubernur. Selanjutnya bagian dari masing-masing kawasan dipadukan dan menjadi dasar dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. Selain berdasarkan kawasan fungsional, sesuai dengan amanat Pasal 19, 20 dan 21, maka penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota mengacu pada rencana tata ruang
13 yang lebih tinggi, dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Provinsi (UU 24 Tahun 1992). Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang merupakan kebijakan dinamis yang mengakomodasikan aspek kehidupan pada suatu kawasan, dimana setiap keputusan merupakan hasil kesepakatan berbagai pihak sebagai bentuk kesinergian kepentingan. Menurut UU tersebut, penataan ruang disusun berasaskan: (a) Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. (b) keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan ruang dalam wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang. Adapun yang dimaksud struktur pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk lingkungan secara hierarkis dan saling berhubungan satu dengan lainnya, sedangkan yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah tata guna tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya dalam wujud penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, air, udara dan sumberdaya alam lainnya. Rencana tata ruang merupakan produk kebijakan koordinatif dari berbagai pihak yang berkepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat, sehingga penyusunannya harus bertolak pada data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku (Sastrowihardjo e t al., 2001). RTRW kabupaten/kota menurut UU 24 Tahun 1992 merupakan pedoman yang digunakan untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar sektor secara komprehensif, terpadu dan berkelanjutan, serta menjadi pedoman dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan. Penatagunaan tanah merupakan bagian dari penataan ruang yang meliputi pengaturan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dengan mengacu pada RTRW, maka langkah-langkah dalam penatagunaan tanah meliputi kegiatankegiatan penyerasian penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan RTRW yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Sastrowihardjo et al., 2001). Oleh karena itu, kebijakan yang harus dirumuskan adalah bagaimana
14 mewujudkan penggunaan tanah yang pada saat ini tidak sesuai dengan rencana tata ruang menjadi sesuai dan serasi dengan rencana tata ruang. Terkait dengan perencanaan, penyusunan RTRW diharapkan dapat mengakomodasikan perencanaan.
berbagai
RTRW
perubahan
kabupaten/kota
dan
perkembangan
disusun
berdasarkan
di
wilayah perkiraan
kecenderungan dan arahan perkembangannya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa depan sesuai dengan jangka waktu perencanaannya. Tujuan dari perencanaan tata ruang wilayah adalah mewujudkan ruang wilayah yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan, efisien dalam alokasi investasi, bersinergi dan dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Sasaran dari perencanaan tata ruang wilayah (Perda Nomor 5 Tahun 2001 tentang RTRW Provinsi Lampung) adalah: a. Terkendalinya pembangunan di wilayah, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat; b. Terciptanya keserasian antara kawasan lindung dan kawasan budidaya; c. Tersusunnya rencana dan keterpaduan program-program pembangunan di wilayah; d. Terdorongnya minat investasi masyarakat dan dunia usaha di wilayah; e. Terkoordinasinya pembangunan antar wilayah dan antar sektor pembangunan. Fungsi dari rencana tata ruang wilayah (Perda Nomor 5 Tahun 2001 tentang RTRW Provinsi Lampung) adalah: §
Sebagai matra keruangan dari pembangunan daerah;
§
Sebagai dasar kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di daerah;
§
Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkembangan antar wilayah dan antar kawasan serta keserasian antar sektor ;
§
Sebagai alat untuk mengalokasikan investasi yang dilakukan pemerintah, masyarakat dan swasta;
§
Sebagai pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan;
§
Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang dan pemberian izin lokasi. Gambar 5 menunjukkan bahwa RTRW kabupaten/kota disusun dengan
memperhatikan RTRW provinsi. Selanjutnya RTRW kabupaten/kota dan Rencana
15 Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) kabupaten/kota menjadi dasar dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kabupaten/kota. Selain itu RTRW kabupaten/kota perlu dirinci dalam rencana yag lebih detail, yaitu Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Teknik Ruang (RTR).
RPJP NASIONAL
RPJP PROVINSI
RPJP KAB/KOT
RTRW NASIONAL
RTRW KWS TERTENTU NASIONAL
RTRW PROVINSI
RTRW KWS TERTENTU PROVINSI
RTRW KAB/KOTA
RTRW KWS TERTENTU KAB/KOTA
RDTR KAWASAN
RPJM PROVINSI
RPJM KAB/KOTA
RENCANA TEKNIK RUANG (RTR)
Keterangan: = Produk yang saat ini belum tersedia, tetapi dimungkinkan tersedia Sumber: RTRW Provinsi Lampung tahun 2000 Gambar 5 RTRW dalam sistem perencanaan pembangunan
Pemanfaatan ruang adalah rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang. Dengan kata lain pemanfaatan ruang
16 merupakan usaha memanifestasikan rencana tata ruang ke dalam bentuk programprogram pemanfaatan ruang oleh sektor-sektor pembangunan yang secara teknis didasarkan pada pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumberdaya alam lainnya, misalnya hutan, perkebunan dan pertambangan. Di dalam pemanfaatan ruang tersebut, batas-batas fisik tanah diatur dan dimanfaatkan secara jelas oleh penatagunaan tanah. Dari usaha pemanfaatan ruang ini diharapkan dapat tercapai keseimbangan lingkungan serta mencerminkan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Tujuan pemanfaatan ruang adalah pemanfaatan ruang secara berdaya guna dan berhasil guna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan secara berkelanjutan melalui upaya-upaya pemanfaatan sumberdaya alam didalamnya secara berdaya guna dan berhasil guna, keseimbangan antar wilayah dan antar sektor, pencegahan kerusakan fungsi dan tatanan serta peningkatan kualitas lingkungan hidup (PP 47 Tahun 1997). Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap melalui penyiapan program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang yang akan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik secara sendirisendiri maupun bersama-sama, sesuai dengan rencana tata ruang ya ng telah ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui kegiatan pengawasan dan penertiba n pemanfaatan ruang. Untuk
menjamin
penataan
ruang
dapat
terlaksana
dan
mampu
mengakomodasi kepentingan stakeholder, diperlukan peranserta aktif masyarakat dalam penataan ruang, baik dalam proses perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini sesuai dengan amanat UU 24 Tahun 1992 dan ditindaklanjuti dengan PP 69 Tahun 1996 serta diperjelas dengan Permendagri No 9 Tahun 1998 tentang Bentuk dan Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Perencanaan partisipatif dalam penataan ruang merupakan suatu proses pengambilan keputusan yang sistematis dengan menggunakan berbagai informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber dan melibatkan berbagai stakeholder dalam proses perencanaan tata ruang serta keseluruhan proses manajemen dalam suatu siklus manajemen.
17 Menurut PP 47 Tahun 1997 tentang RTRWN, kawasan andalan didefinisikan sebagai bagian dari kawasan budidaya yang diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya. P usat Kegiatan Nasional (PKN) didefinisikan sebagai kota yang mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan internasional, pusat ekonomi perkotaan (jasa & industri) nasional dan simpul transportasi yang melayani nasional dan atau beberapa provinsi. Pusat Kegiatan Wilayah/Regional (PKW/PKR) adalah kota sebagai pusat aktivitas ekonomi perkotaan (jasa dan industri) regional dan simpul transportasi yang melayani provinsi dan beberapa Kabupaten di sekitarnya. Manajemen Kota di Negara Berkembang Kemurnian konsep manajemen kota adalah mengkompilasi berbagai isu perkotaan dalam kaitannya dengan masalah kelembagaan, untuk dapat menghasilkan suatu strategi yang tepat dan tanggap terhadap struktur pelaksanaan yang terintegrasi dalam suatu manajemen kota. Pengujian proses manajemen kota harus dilihat sebagai provision infrastruktur. Hal ini tidak akan hanya mendukung perkembangan ekonomi, tetapi juga distribusi spasial dari pertumbuhan kota (McGill, 1998). Arti sebenarnya dari manajemen kota adalah: •
Perencanaan untuk menyediaka n dan memelihara infrastruktur serta pelayanan kota.
•
Memberikan keyakinan bahwa pemerintah kota dalam keadaan baik secara organisasional maupun finansial. Substansi esensi dari manajemen kota adalah:
•
Pengembangan lokasi yang efisien
•
Tersedianya air bersih
•
Sanitasi yang baik
•
Jalanan yang terpelihara
•
Penertiban/minimalisasi permukiman ilegal
•
Pelayanan kesehatan dasar dan pendidikan.
18 Keluaran-keluaran tersebut harus dapat dirasakan dampaknya oleh masyarakat, misalnya berkurangnya kemiskinan dan tercapainya kondisi lingkungan yang semakin baik. Hal inilah yang saat ini menjadi fokus dari program manajemen kota (McGill,1998).
Ketimpangan Pembangunan Menurut Anwar (2005), beberapa hal yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah adalah: 1) perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam (resource endowment); 2) perbedaan demografi; 3) perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital); 4) perbedaan potensi lokasi; 5) perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6) perbedaan dari aspek potensi pasar. Faktor-faktor di atas menyebabkan perbedaan karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1) wilayah maju; 2) wilayah sedang berkembang; 3) wilayah belum berkembang; dan 4) wilayah tidak berkembang. Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan, dan sekaligus pasar yang potensial. Ciri lain adalah tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang tinggi serta struktur ekonomi yang secara relatif didominasi oleh sektor industri, jasa dan komersil. Wilayah yang sedang berkembang dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, ka rena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Wilayah belum berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah, baik secara absolut maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini masih didiami oleh tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah dengan tingkat pendidikan yang juga relatif rendah. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal, yaitu: 1) wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam maupun potensi lokasi sehingga secara alamiah sulit berkembang dan mengalami pertumbuhan; b) wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi, baik sumberdaya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya
19 tetapi tidak dapat berkembang karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Wilayah ini dicirikan oleh tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tida k memiliki infrastruktur yang lengkap, dan tingkat aksesibilitas yang rendah (Anwar, 2005). Indikator lain dalam perkembangan wilayah adalah tingkat interaksi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Wilayah yang lebih berkembang pada dasarnya mempunya i tingkat interaksi yang lebih tinggi dibanding daerah lain yang belum berkembang. Interaksi ini sendiri terjadi karena adanya faktor aksesibilitas daerah itu ke daerah lain. Kemudahan akses ini menjadi faktor yang cukup penting dalam mendukung perkembanga n suatu wilayah. Wilayah dengan akses yang lebih baik akan menyebabkan tingkat interaksi yang tinggi dengan wilayah lain sehingga menjadi lebih cepat berkembang. Faktor lain yang mendorong perkembangan wilayah adalah lokasinya, terutama terhadap pusat ekonomi atau pemerintahan. Lokasi yang berdekatan dengan pusat umumnya akan lebih terpacu perkembangannya, dan umumnya akan sangat terpegaruh oleh pusat dibanding wilayah-wilayah yang relatif lebih jauh dan akan lebih berkembang menjadi hinterland yang menyangga wilayah pusat (Anwar, 2005).
Analisa Spasial Berbeda dengan ahli geografi yang memandang spasial sebagai segala hal yang menyangkut lokasi atau tempat dan menekankan pada bagaimana mendeskripsikan fenomena spasial yang dikaji tanpa harus mendalami permasalahan sosial ekonomi yang ada di dalamnya, analisis spasial lebih terfokus pada kegiatan investigasi pola -pola dan berbagai atribut atau gambaran di dalam studi kewilayahan dan dengan menggunakan permodelan berbagai keterkaitan untuk meningkatkan pema haman dan prediksi atau peramalan. Lebih lanjut, Haining (Rustiadi et al., 2004) mendefinisikan analisa pasial sebagai sekumpulan teknik-teknik untuk pengaturan spasial dari kejadian-kejadian tersebut. Kejadian geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilainilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi, baik
20 berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi-lokasi geografis obyek-obyek dimana atribut-atribut melekat di dalamnya. Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis, tujuan analisis spasial adalah : 1. Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruangan geografis (termasuk deskripsi pola) secara cermat da n akurat. 2. Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi. 3. Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadiankejadian di dalam ruang geografis. Para perencana dapa t menggunakan sebuah model sebagai alat untuk mempermudah melakukan analisis spasial. Dengan pendekatan sebuah model akan mempermudah penggambaran dalam menganalisis suatu obyek serta kejadian untuk tujuan diskripsi, penjelasan, peramalan dan untuk keperluan perencanaan. Model spasial adalah model yang digunakan untuk mengolah data spasial dan data atribut/variabel. Menurut Wegener, terdapat tiga kategori model spasial, yaitu model skala, model konseptual dan model matematik. Model skala adalah model yang merepresentasikan kondisi fisik yang sebenarnya, seperti data ketinggian. Model konseptual adalah model yang menggunakan pola -pola aliran dari komponen-komponen sistem yang diteliti dan menggambarkan hubungan antar kedua komponen tersebut. Model matematik digunakan dalam model konseptual yang merepresentasikan beberapa komponen dan interaksinya dengan hubungan matematik (Wegener, 2001).
Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasiinformasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Menurut Aronoff, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan
21 dalam menganalisis data yang bereferensi geografis, yaitu masukan, keluaran, manajemen data (penyimpanan da n pemanggilan data) serta analisis dan manipulasi data (Prahasta , 2005). SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu dengan SIG pengguna dapat membawa, meleta kkan dan menggunakan data yang menjadi miliknya sendiri kedalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta, 2005). Teknologi SIG akan mempermudah para perencana dalam mengakses data, menampilkan informasi-informasi geografis terkait dengan substansi perencanaan dan meningkatkan keahlian para perencana serta masyarakat dalam menggunakan sistem informasi spasial melalui komputer. SIG dapat membantu para perencana dan pengambil keputusan dalam memecahkan masalah-masalah spasial yang sangat kompleks. Salah satu contoh aplikasi SIG adalah dalam Sistem Pendukung Keputusan (DSS). Dalam sistem ini SIG digunakan untuk mengevaluasi skenario pertumbuhan/perkembangan kota. DSS akan mengevaluasi pelaksanaan Tata Guna Tanah (TGT) dan infrastruktur serta memberikan alternatif solusi terbaik untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi (Marquez, 1996). Salah satu metode dalam SIG adalah teknik tumpang tindih (overlay). Jika pengolahan data dilakukan secara manual, pengguna harus bekerja dengan beberapa peta analog dan beberapa informasi atribut yang diperlukan. Selanjutnya pengguna dapat menganalisis kedua data (peta dan data atribut) untuk kemudian memplotkan hasil akhirnya kedalam peta. Untuk tumpang tindih (overlay) peta juga dapat dilakukan hal yang sama. Beberapa kelemahan dari proses tersebut adalah selain membutuhkan waktu yang relatif lama, tingkat ketelitian dan akurasinya sangat bergantung pada kemampuan dan ketelitian penggunanya dalam melakukan proses olah data tersebut. Dengan teknologi SIG, pengguna memerlukan data spasial dan atribut dalam bentuk digital, sehingga prosesnya dapat dilakukan dengan cepat dengan tingkat ketelitian cukup baik dan prosesnya
22 dapat diulang kapan saja, oleh siapa saja, dan hasilnya dapat disajikan dalam berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna.
23
KERANGKA BERFIKIR
Menurut UU 24 Tahun 1992, penataan ruang didefinisikan sebagai rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tujuan dari pe nataan ruang wilayah adalah terwujudnya pemanfaatan ruang yang berkualitas, berdaya guna dan berhasilguna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan melalui upaya -upaya optimalisasi
dan
efisiensi
dalam
penggunaan
ruang,
kenyamanan
bagi
penghuninya, peningkatan produktifitas kota, sehingga mampu mendorong sektor perekonomian
wilayah
dengan
tetap
memperhatikan
aspek
kesinergian,
keberkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sebagai salah satu kota dengan peran strategis Pusat Kegiatan Nasional (PKN), perkembangan fisik ruang Kota Bandar Lampung relatif lebih cepat dibandingkan wilayah di sekitarnya . Dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, yaitu mencapai angka 1,57% pertahun (Provin si 1,02% pertahun) berdampak pada peningkatan kebutuhan dan konflik dalam penggunaan lahan untuk berbagai aktivitas kota, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran penggunaan ruang-ruang kota. Permasalahan yang sering terjadi adalah ketersediaan lahan/ruang kota yang semakin terbatas untuk menampung aktivitas dan fasilitas perkotaan. Akibat selanjutnya dari permasalahan tersebut adalah semakin meningkatnya permasalahan kemacetan, berkembang kawasan-kawasan kumuh, kesemrawutan tata ruang, konversi lahan dan keterbatasan open space akibat menjamurnya bangunan-bangunan komersil dan sebagainya merupakan sebagian dari permasalahan fisik keruangan Kota Bandar Lampung. Berbagai permasalahan tersebut menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam penggunaan ruang kota. Sebagai salah satu contoh adalah akibat kemacetan akan terjadi inefisiensi bagi pengguna jalan dari sisi waktu, biaya (kendaraan menjadi cepat rusak), psikologis, penurunan kualitas lingkungan akibat polusi bahan bakar dan sebagainya, yang pada akhirnya akan menimbulkan berbagai kerugian, baik kerugian finansial maupun non finansial. Jika permasalahan tersebut tidak segera dicarikan alternatif solusi terbaik, maka kota akan semakin tidak efisien dalam
24 memberikan pelayanan kepada penghuninya, serta akan terjadi penurunan kualitas lingkungan. Kota bukan lagi menjadi hunian yang nyaman dan akan semakin tidak bersahabat dengan lingkungan. Dalam jangka panjang inefisiensi ini akan dapat menurunkan kinerja perkembangan wilayah. Penurunan kinerja yang terjadi secara terus menerus akan mengarah pada kehancuran dan kematian wilayah tersebut. Kemungkinan penurunan kinerja perkembangan wilayah akan diperparah dengan permasalahan kesenjangan/disparitas wilayah yang semakin mengemuka di Kota Bandar Lampung. Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan bahwa tujuan penataan ruang di Kota Bandar Lampung belum tercapai secara optimal atau dengan kata lain penataan ruang belum berjalan secara optimal. Kemungkinan penyebab maupun akar permasalahan dari kondisi tersebut dapat berasal dari sisi perencanaan, pemanfaatan maupun dari sisi pengendalian. Dalam penelitian ini kajian akan difokuskan pada sisi perencanaan, khususnya terkait dengan substansi dokumen perencanaan Kajian penelitian difokuskan pada tiga tujuan, yaitu pertama, mengetahui konsistensi penyusunan rencana tata ruang Kota Bandar Lampung, dikaitkan dengan pedoman penyusunan dan ketentuan yang berlaku. Analisis yang digunakan untuk tujuan ini adalah analisis pembandingan tabel dilanjutkan dengan analisis logika verbal. Dari analisis ini akan diperoleh informasi apakah penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung sudah sesuai/mengacu pa da ketentuan/pedoman yang berlaku. Kedua, mengetahui konsistensi rencana tata ruang Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek keserasian tata ruang dengan wilayah sekitarnya (InterRegional Context). Analisis yang digunakan adalah map overlay yang dilanjutka n dengan analisis logika verbal. Dari analisis ini akan diperoleh informasi apakah perencanaan ruang Kota Bandar Lampung sudah memperhatikan aspek kawasan fungsional dan kesinergian dengan ruang sekitarnya (konsistensi perencanaan Inter-Regional context). Ketiga, mengetahui keterkaitan antara konsistensi penataan ruang dengan kinerja perkembangan wilayah, serta kaitan antara kinerja perkembangan wilayah dengan konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota dan kondisi fisik wilayah.
25 Penataan Ruang Kota Bandar Lampung
Perencanaan
Pemanfaatan
Pengendalian
Permasalahan (Kekumuhan, Kesemrawutan, Konversi Lahan & Keterbatasan Openspace)
Berbagai Permasalahan Inefisiensi
Penataan Ruang Belum Optimal
Tata Guna Tanah (TGT) Aktual
Dokumen RTRW
Kajian Dokumen RTRW
Analisis Kesesuaian Penyusunan dengan Pedoman
Analisis Konsistensi dgn Wilayah sekitar (InterRegional Context)
• Analisis Konsistensi Pemanfaatan Ruang • Analisis Perkemb. Wilayah (Infrastr. Dasar Kota & Fisik Wilayah)
Kesimpulan Penataan Ruang • • •
Kesesuaian dengan Pedoman Konsistensi Perencanaan Inter-Regional Context Konsistensi Pemanfaatan Ruang & Implikasi Terhadap Kinerja Perkembangan Wilayah
Gambar 6 Kerangka berfikir
26 Peranan infrastruktur dasar kota dalam penataan ruang adalah untuk memacu pertumbuhan wilayah dan mendorong pertumbuhan wilayah secara optimal. Analisis yang digunakan adalah map overlay, analisis logika verbal, PCA dan Spa tial Durbin Model. Dari analisis pertama dan kedua yang dilakukan, dapat disimpulkan apakah dokumen RTRW Kota Bandar Lampung sudah cukup representatif untuk menjadi sebuah dokumen perenca naan. Jika belum konsisten/sesuai, maka akan disusun rekomendasi sebagai bahan masukan jika Pemda akan melakukan revisi RTRW. Sedangkan jika sudah cukup representatif, maka jika terjadi penyimpangan dalam pemanfaatan ruang atau berbagai permasalahan dalam penataan ruang, kemungkinan hal tersebut bukan lagi disebabkan oleh kesalahan dokumen perencanaan, melainkan kemungkinan dari aspek pengendalian penataan ruangnya. Untuk mengetahui hal tersebut, diperlukan penelitian lanjutan oleh pihak lain.
Konsistensi
Vs
Ruang yang teratur, bersinergi, efisien & berkualitas
Percepatan Perkembangan Wilayah
Inkonsistensi
Konflik penggunaan ruang, kesemrawutan & inefisiensi
Penurunan Kualitas Ruang
Kelumpuhan/ Kematian wilayah
Gambar 7 Perbandingan proses penataan ruang
27
METODE PENELITIAN
Ruang Lingkup Dalam penelitian ini ada dua aspek yang ruang lingkupnya perlu dispesifikasikan, yaitu ruang lingkup materi dan ruang lingkup wilayah. Ruang lingkup materi Menurut UU 24 Tahun 1992, penataan ruang terdiri dari proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Mengingat adanya berbagai keterbatasan, terutama keterbatasan data dan waktu, maka dalam penelitian ini kajian difokuskan pada aspek perencanaan, khususnya proses teknis penyusunan RTRW. Adapun data yang digunakan dalam penelitian, seluruhnya bersumber dari data skunder. Kajian penelitian difokuskan pada tiga analisis dengan masingmasing batasan studi sebagai berikut: Pertama, analisis konsistensi proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung dikaitkan dengan pedoman penyusunan dan ketentuan yang berlaku, yang meliputi: UU 24 Tahun 1992; PP 47 Tahun 1997; Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002; Perda 5 Tahun 2001. Adapun pedoman teknis penyusunan yang digunakan adalah Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002. Menurut kepmen tersebut, proses teknis penyusunan RTRW Kota meliputi: 1. Penentuan arah pengembangan Ø Tinjauan terhadap batas wilayah perencanaan Ø Tinjauan terhadap aspek ekonomi, sosial, budaya, daya dukung dan daya tampung lingkungan serta fungsi pertahanan keamanan. Ø Tinjauan terhadap faktor -faktor determinan, yaitu UU 24/1992, RTRWN, RTRWP, Propeda Provinsi, Propeda Kota dan Rencana Sektoral. 2. Identifikasi potensi dan masalah pembangunan Ø Perkembangan sosial kependudukan Ø Prospek pertumbuhan ekonomi Ø Daya dukung fisik dan lingkungan Ø Daya dukung prasarana dan fasilitas perkotaan
28 3. Perumusan RTRW Kota Bandar Lampung Ø Perumusan visi, misi dan tujuan pembangunan kota Ø Perkiraan kebutuhan pengembangan Ø Perumusan RTRW 4. Penetapan RTRW Ø Penetapan Perda Ø Penambahan substansi dalam Perda (pedoman perijinan, pedoman pengawasan dan pedoman penertiban) Kedua, analisis konsistensi penyusunan rencana tata ruang Kota Bandar Lampung dengan wilayah sekitarnya untuk melihat keserasian dan kesinergian pemanfaatan ruang. Analisis yang dig unakan adalah map overlay antara peta rencana pemanfaatan ruang Kota Bandar Lampung dengan peta rencana pemanfaatan ruang Kabupaten Lampung Selatan. Ketiga, analisis keterkaitan antara konsistensi penataan ruang dengan kinerja perkembangan wilayah di kota Bandar Lampung, serta keterkaitan antara perkembangan wilayah dengan konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota dan kondisi/karakteristik fisik wilayah. Untuk mengidentifikasi kondisi fisik wilayah dilakukan overlay antara peta administrasi Kota Bandar Lampung dengan peta hidrologi, kemiringan tanah dan peta geologi. Variabel-variabel yang digunakan dalam analisis ketiga meliputi: a. Variable -variabel ukuran perkembangan wilayah Pembangunan dan pengembangan berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa inggris, yaitu development dan sering digunakan dalam hal yang sama atau saling dipertukarkan penggunaannya. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari nol atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, tetapi melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada hanya kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas (menekankan pada proses meningkatkan dan memperluas). Sebagai contoh dalam hal pengembangan masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki kapasitas, namun perlu ditingkatkan
29 kapasitasnya (Rustiadi et al., 2004). Dalam penelitian ini, makna pembangunan diasumsikan sama dengan perkembangan. UNDP mende finisikan pembangunan sebagai proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk dengan tujuan akhir adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Parameter kesejahteraan masyarakat diukur dari Inde ks Pembangunan Manusia (Human Development Index) dengan variabel tingkat pendidikan, angka harapan hidup dan daya beli. Paradigma pembangunan manusia mencakup 2 sisi (Rustiadi et al., 2004), yaitu: •
Formasi kapabilitas manusia (perbaikan taraf kesehatan, pendidikan & keterampilan)
•
Pemanfaatan kapabilitas untuk kegiatan yang bersifat produktif, cultural, social dan politik.
Kedua aspek tersebut diperlukan secara berimbang. Indikator kinerja pembangunan wilayah dari aspek tujuan pembangunan (Rustiadi et al., 2004) meliputi: •
Growth (pertumbuhan, produktifitas & efisiensi) = tujuan ekonomi
•
Equity (pemerataan, kea dilan dan keberimbangan) = tujuan sosial
•
Sustainability (keberlanjutan) = lingkungan Mengingat variabel-variabel tersebut sulit diperoleh sampai unit desa (unit
analisis terkecil dalam penelitian ini), maka dilakukan berbagai pendekatanpendekatan untuk mengukur kinerja perkembangan wilayah dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi, sosial, budaya , dan lingkungan. Dari berbagai pendekatan tersebut, maka yang digunakan sebagai indikator perkembangan wilayah dalam penelitian ini meliputi: •
Fisik Ruang Ø Luas wilayah (Ha) Ø Luas kawasan budidaya (Ha) Ø Luas kawasan terbangun (Ha)
•
Ekonomi Ø Jumlah keluarga (KK) Ø Jumlah keluarga miskin (KK)
30 Ø Jumlah penerimaan daerah (APD) (rupiah) Ø Jumlah pengeluaran daerah (rupiah) Ø Jumlah industri (unit) Ø Jumlah pasar (unit) Ø Jumlah mini market/super market (unit) Ø Jumlah warung/toko (unit) Ø Jumlah restoran (unit) Ø Jumlah bank (unit) Ø Jumlah KUD (unit) Ø Jumlah hotel (unit) •
Sosial Ø Jumlah penduduk (jiwa) Ø Jumlah keluarga penerima kartu sehat (KK) Ø Jumlah korban kriminalitas meninggal (jiwa) Ø Jumlah korba n kriminal luka -luka (jiwa) Ø Jumlah sarana pendidikan (TK, SD, SLTP, SLTA dan PT/Akademi)(unit) Ø Jumlah sarana kesehatan (RS, puskesmas, poliklinik, praktek dokter, praktek bidan) (unit) Ø Jumlah sarana ibadah (masjid, langgar/surau, gereja, pura, vihara) (unit)
•
Budaya Ø Jumlah sarana hiburan (bioskop, diskotik, alun-alun, tempat penyewaan VCD, dan rumah bilyard). (unit)
•
Trasportasi Ø Jumlah pelabuhan (unit) Ø Jumlah stasiun kereta api (unit) Ø Jumlah terminal (unit)
b. Variabel-variabel infrastruktur dasar k ota Peranan infrastruktur dasar kota dalam penataan ruang adalah untuk mendorong pertumbuhan wilayah secara optimal. Semakin tinggi ketersediaan infrastruktur dasar kota merupakan indikasi semakin baiknya perkembangan suatu
31 wilayah. Variabel infrastruktur dasar kota yang digunakan dalam penelitian ini adalah infrastruktur esensial dalam percepatan perkembangan wilayah: •
Panjang jalan (nasional, provinsi, kabupaten, dan lokal) (hektometer)
•
Jumlah pelanggan listrik (KK)
•
Jumlah pelanggan air bersih (KK)
•
Jumlah pelanggan telepon (KK)
Gambar 8 Peta jaringan jalan Kota Bandar Lampung
c. Variabel fisik wilayah Variabel fisik wilayah yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Hidrologi Menurut Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451 K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penentuan Debit Pengambilan Air Bawah Tanah, air bawah tanah didefinisikan sebagai semua air yang terdapat dalam lapisan mengandung air di bawah permukaan tanah, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah. Akuifer atau lapisan pembawa air didefinisikan sebagai lapisan batuan jenuh air dibawah permukanan tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air dalam jumlah cukup dan ekonomis . Karakteristik akuifer adalah sifat dasar dari hidraulik suatu akuifer, diantaranya nilai keterusan, nilai kelu lusan, nilai koefisien
32 simpanan. Produktifitas akuifer didefinisikan sebagai kemampuan akuifer menghasilkan air bawah tanah dalam jumlah tertentu. Klasifikasi produktifitas air bawah tanah menurut Kepmen tersebut adalah sebagai ber ikut: Ø Air tanah langka atau akuifug atau lapisan kebal air adalah suatu lapisan kedap air yang tidak mampu mengandung dan meneruskan air. Ø Akuifer produktif atau akuitar atau lapisan lambat air adalah suatu lapisan sedikit lulus air yang tidak mampu melepaskan air dalam arah mendatar, tetapi melepaskan air cukup berarti ke arah vertikal. Ø Akuifer dengan produktifitas rendah atau akuiklud atau lapisan kedap air adalah suatu lapisan jenuh air yang mengandung air tetapi tidak mampu melepaskannya dalam jumlah berarti.
Gambar 9 Peta hidrologi bagian wilayah Kota Bandar Lampung
Ø Akuifer dengan produktifitas sedang atau akuifer bocor adalah akuifer yang dibatasi di bagian atasnya oleh lapisan lambat air dan di bagian bawahnya oleh lapisan kedap air; muka air bawah tanah pada akuifer ini disebut muka pisometrik yang mempunyai tekanan lebih besar dari tekanan udara luar. Ø Akuifer dengan produktifitas sedang dan menyebar luas atau akuifer tertekan atau akuifer artois adalah akuifer yang dibatasi di bagian atas dan
33 bawahnya oleh lapisan kedap air; muka air bawah tanah pada akuifer ini disebut muka pisometrik yang mempunyai tekanan lebih besar dari tekanan udara luar. Ø Akuifer dengan produktifitas tinggi adalah akuifer yang dibatasi di bagian atasnya oleh muka air bertekanan sama dengan tekanan udara luar (1 atmosfer) dan di bagian bawahnya oleh lapisan kedap air; muka air bawah tanah pada akuifer ini disebut muka air preatik. 2. Geologi Keterangan geologi secara lebih rinci terdapat dalam Tabel Lampiran 6. Ø Aluvium (Ha) Ø Batuan granit tak terpisahkan (Ha) Ø Endapan gunung api muda (Ha) Ø Formasi campang (Ha) Ø Formasi lampung (Ha) Ø Formasi tarahan (Ha) Ø Sekis way galih (Ha)
Gambar 10 Peta geologi bagian wilayah Kota Bandar Lampung
3. Kelerangan Ø 0– 2% Ø 2% – 20 %
34 Ø 20% – 40 % Ø > 40 %
Gambar 11 Peta kelas lereng bagian wilayah Kota Bandar Lampung
Ruang lingkup wilayah Penelitian ini dilaksanakan di wilayah administratif Kota Bandar Lampung, mencakup seluruh kecamatan yang ada, yaitu 13 kecamatan dan 98 desa/kelurahan. Unit analisis terkecil yang digunakan dalam penelitian ini adalah desa/kelurahan. Secara geografis Kota Bandar Lampung berada pada posisi 50°20’ - 50°30’ LS dan 105°28’ - 105°37’ BT dengan luas wilayah daratan 19.220 Ha. Batas-batas administratif Kota Bandar Lampung a dalah: •
Sebelah utara
: Kecamatan Natar (Kabupaten Lampung Selatan).
•
Sebelah selatan
: Teluk Lampung.
•
Sebelah timur
: Kecamatan Tanjung Bintang (Kab. Lampung Selatan)
•
Sebelah barat
: Kecamatan Gedung Tataan dan Padang Cermin (Kabupaten Lampung Selatan).
35 Tabel 1 Keterangan nomor urut dan nama desa/kelurahan Kecamatan Telukbetung Brt
Telukbetung Sel
Panjang
Tj Karang Timur
Telukbetung Utr
Tj Karang Pusat
Nomor Ds/Kel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Nama Desa/Kel Sukamaju Keteguhan Kota Karang Perwata Bakung Kuripan Negri Olok Gading Sukajaya Gedung Pakuon Talang Pesawahan Telukbetung Kangkung Bumi Waras Pecohraya Sukaraja Geruntang Ketapang Way Lunik Srengsem Panjang Selatan Panjang Utara Pidada Way Laga Way Gubak Karang Maritim Rawa Laut Kota Baru Tanjung Agung Kebon Jeruk Sawah Lama Sawah Brebes Jaga Baya I Kedamaian Tanjung Raya Tanjung Gading Campang Raya Kupang Kota Gunung Mas Kupang Teba Kupang Raya Pahoman Sumur Batu Gulak Galik Pengajaran Sumur Putri Batu Putu Durian Payung Gotong Royong
Kecamatan
Tj Karang Barat
Kemiling
Kedaton
Rajabasa
Tanjung Seneng
Sukarame
Sukabumi
Sumber : Bappeda Kota Bandar Lampung tahun 2003
Nomor Ds/Kel 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98
Nama Desa/Kel Enggal Pelita Palapa Kaliawi Kelapa Tiga Tanjung Karang Gunung Sari Pasir Gintung Penengahan Susunan Baru Sukadana Ham Suka Jawa Gedung Air Segala Mider Gunung Terang Sumber Agung Kedaung Pinang Jaya Beringin Raya Sumber Rejo Kemiling Permai Langkapura Sukamenanti Sidodadi Surabaya Per Way Halim Kedaton Labuan Ratu Kampung Baru Sepang Jaya Rajabasa Raya Gedung Meneng Rajabasa Rajabasa Jaya Labuhan Dalam Tanjung Seneng Way Kandis Per Way Kandis Sukaram e W Halim Permai Gunung Sulah Way Dadi Harapan Jaya Jagabaya II Jagabaya III Tanjung Baru Kalibalok Kencn Sukabumi Indah Sukabumi
36
Gambar 12 Peta administrasi Kota Bandar Lampung
Pengumpulan Data Seluruh data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder. Sumber data untuk masing-masing tujuan adalah sebagai berikut: •
Konsistensi penyusunan RTRW dengan pedoman yang berlaku. Seluruh pedoman penyusunan RTRW diperoleh di Bappeda Provinsi Lampung. Dokumen RTRW Kota Bandar Lampung beserta Perda No 4/2004 tentang RTRW Kota Bandar Lampung diperoleh dari Bappeda Kota Bandar Lampung.
•
Konsistensi RTRW Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek keserasian dengan ruang wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context). Peta rencana pemanfaatan ruang Kota Bandar Lampung diperoleh dari Bappeda Kota Bandar Lampung, sedangkan peta rencana pemanfaatan ruang Kabupaten Lampung Selatan diperoleh dari Bappeda Kabupaten Lampung Selatan.
•
Implikasi konsistensi penataan ruang terhadap kinerja perkembangan wilayah serta faktor -faktor pendorong perkembangan wilayah (prasarana dasar kota dan kondisi fisik wilayah). Data perkembangan wilayah diperoleh dari PODES 2005, sedangkan data prasarana dasar kota diperoleh dari PDAM Way Rilau dan P ODES 2005. Data kondisi fisik wilayah berupa peta kemiringan tanah dan peta hidrologi diperoleh dari Bappeda Kota Bandar Lampung, sedangkan peta geologi diperoleh dari P3G Bandung.
37 Analisis Proses Penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung Untuk mengetahui kesesuaian antara proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung dengan pedoman penyusunan dan ketentuan yang berlaku dilakukan analisis pe mbandingan tabel proses penyusunan dengan pedoman. Dari hasil analisis tersebut akan diketahui konsistensi proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung. Jika konsisten, maka akan dilakukan analisis logika verbal untuk menghasilkan suatu kesimpulan. Jika hasil analisis menunjukkan inkonsisten, maka akan dilakukan analisis logika verbal untuk menghasilkan suatu saran dan rekomendasi untuk mencari solusi terbaik.
Pengumpulan Dokumen RTRW Kota Bandar Lampung & Pedoman Penyusunan RTRWK
Dokumen RTRW Kota Bandar Lampung
Pedoman Penyusunan • • •
Teknis Penyusunan RTRW
•
UU 24/1992 PP 47/1997 KEPMEN KIMPRASWIL 327/2002 PERDA 5/2001
Analisis Pembandingan
Ya
Sesuai Pedoman?
Tidak
Analisis Logika Verbal
Analisis Logika Verbal
Kesimpulan
Saran/Rekomendasi
Gambar 13 Kerangka proses tujuan pertama
38 Tabel 2 Rancang an tabel analisis proses penyusunan RTRW No
Aspek
Ketentuan
Pelaksanaan
Keterangan
Prosentase
1 2 3 4
Analisis Konsistensi RTRW dalam Inter-Regional Context Untuk mengetahui konsistensi rencana pemanfaatan ruang Kota Bandar Lampung dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context) dilakukan dengan menggunakan metode tumpang tindih (map overlay) antara peta rencana pemanfaatan ruang Kota Bandar Lampung dengan peta rencana pemanfaatan ruang Kabupaten Lampung Selatan. Alat kontrol yang digunakan dalam melihat konsistensi tersebut adalah peta rencana pemanfaatan ruang Provins i Lampung.
Peta Rencana TGT Kota BDL Data Peta
Peta Rencana TGT Kab Lamsel Peta Rencana TGT Prov Lampung Overlay Peta
Analisis Logika Verbal
Ya
Konsisten?
Kesimpulan
Tidak Saran/Rekomendasi
Gambar 14 Kerangka proses tujuan kedua
Dari hasil Map Overlay tersebut akan terlihat kesinergian rencana tata ruang Kota Bandar Lampung dengan ruang sekitarnya serta teridentifikasi apakah penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung sudah memperhatikan aspek kawasan
39 fungsional. Analisis regional antara Kota Bandar Lampung dengan wilayah sekitarnya dilakukan dengan menggunakan analisis logika verbal. Analisis Kinerja Perkembangan Wilayah Untuk mengetahui implikasi konsistensi penataan ruang terhadap kinerja perkembangan wilayah dilakukan dengan analisis logika verbal. Peta Kemiringan Data Peta
Peta Geologi Peta Hidrologi
Data Prasarana Dasar Kota Overlay Peta Konfigurasi Ruang Prasarana Dasar Kota
Data Perkembangan Wilayah
Karakteristik Fisik Tiap Unit Ruang
PCA
Variabel2 Indikator Perkembangan Wil
Indeks Komposit Prasarana Dasar & Kondisi Fisik Wilayah
PCA Indeks Komposit Perkembangan Wilayah
Spatial Durbin Model
Faktor-Faktor Dominan yang Mempengaruhi Kinerja Perkembangan Wilayah Gambar 15 Kerangka proses tujuan ketiga
Lebih lanjut kinerja perkembangan wilayah akan dipengaruhi oleh adanya dorongan/kekuatan untuk perubahan (forces of change) yang diidentifikasi disebabkan karena aspek kondisi fisik wilayah (hasil overlay) dan konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota (McGill, 1998).
40 Kinerja Perkembangan Wilayah
Konsistensi Penataan Ruang
Y2 Y1
X1
X2 Konfigurasi Ruang Prasarana Dasar Kota
Karakteristik Fisik Wilayah
Gambar 16 Bagan alir tujuan ketiga Tabel 3 Variabel infrastruktur dasar kota ASPEK
VARIABEL
Infrastruktur dasar kota ↑
INDIKATOR
UNIT SATUAN
∑ rumah tangga ∑ pelanggan listrik
∑PL/ ∑RT ↑
KK
∑ pelanggan telepon
∑PT/∑RT ↑
KK
∑ pelanggan PDAM
∑PPDAM/∑RT ↑
KK
panjang jalan
rasio panjang /luas wilayah ↑ rasio panjang /∑ penduduk
Hk/Ha Hk/Jiwa
Tabel 4 Variabel fisik wilayah ASPEK hidrologi
Geologi
kelerengan
VARIABEL
INDIKATOR
UNIT SATUAN
air tanah langka (x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
akuifer produktif (x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
akuifer produktifitas rendah (x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
akuifer produktifitas sedang (x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
akuifer produktif sedang & menyebar luas(x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
akuifer produktif tinggi (x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
aluvium (x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
batuan granit tak terpisahkan (x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
endapan gunung api muda (x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
formasi campang (x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
formasi lampung (x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
formasi tarahan (x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
sekis way galih (x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
0 – 2% (x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
2% – 20% (x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
20% – 40% (x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
> 40% (x)
luas (x) /luas wilayah
Ha
41 Tabel 5 Variabel perkembangan wilayah ASPEK fisik ruang ↑
VARIABEL luas wilayah luas kawasan budidaya ↑ luas kawasan terbangun ↑
ekonomi ↑
∑ keluarga miskin ↓ ∑ penerimaan daerah ↑ ∑ pengeluarn daerah ↑ ∑ industri ↑
sosial ↑
budaya ↑
transportasi ↑
INDIKATOR Aktual
Standar
rasio luas budidaya/luas wilayah ↑ rasio terbangun/budidaya ↑
UNIT SATUAN
0,7
Hektar
0,6
Hektar
rasio ∑ keluarga miskin/RT ↓ rasio (penerimaan total-pengeluaran rutin)/penerimaan total ↑
KK Rupiah
∑ warung/toko ↑
rasio ∑ industri desa/ ∑ industri total ↑ 1/250 ∑ wartok/1.000 pdd
Unit/Jiwa
∑ mini/ supermarket ↑
∑ minimarket/1.000 pdd
1/30.000
Unit/Jiwa
∑ pasar ↑
∑ pasar/1.000 pdd
1/120.000
Unit/Jiwa
∑ restauran ↑
∑ restaurant/1.000 pdd
1/30.000
Unit/Jiwa
∑ bank ↑
∑ bank/1.000 pdd
1/480.000
Unit/Jiwa
∑ KUD ↑
∑ KUD/1.000 pdd
1/120.000
Unit/Jiwa
∑ hotel ↑
∑ hotel/1.000 pdd
1/480.000
Unit/Jiwa
∑ korban kriminalitas ↓
∑ korban per desa/∑ krban total ↓
∑ TK ↑
∑ TK/1.000 pdd
1/1.000
Unit/Jiwa
∑ SD ↑
∑ SD/1.000 pdd
1/1.600
Unit/Jiwa
∑ SLTP ↑
∑ SLTP/1.000 pdd
1/4.800
Unit/Jiwa
∑ SLTA ↑
∑ SLTA/1.000 pdd
1/4.800
Unit/Jiwa
∑ Akademi/PT ↑
∑ Ak/PT/1.000 pdd
1/1.000.000
Unit/Jiwa
∑ KK penerima K sehat ↑
rasio ∑ KK penerima kartu sehat/∑KK ↑
∑ rumah sakit ↑
∑ RS/1.000 pdd
1/240.000
Unit/Jiwa
∑ puskesmas ↑
∑ puskes/1.000 pdd
1/120.000
Unit/Jiwa
∑ poliklinik ↑
∑ polik/1.000 pdd
1/30.000
Unit/Jiwa
∑ praktek dokter ↑
∑ praktek dokter/1.000 pdd
1/5000
Unit/Jiwa
∑ praktek bidan ↑
∑ praktek bidan/1.000 pdd
1/3.000
Unit/Jiwa
∑ masjid ↑
∑ masjid/1.000 pdd
1/1.750
Unit/Jiwa
∑ langgar/surau ↑
∑ surau/1.000 pdd
1/300
Unit/Jiwa
∑ gereja ↑
∑ gereja/1.000 pdd
1/1.750
Unit/Jiwa
∑ pura ↑
∑ pura/1.000 pdd
1/1.750
Unit/Jiwa
∑ vihara ↑
∑ vihara/1.000 pdd
1/1.750
Unit/Jiwa
∑ bioskop ↑
∑ bioskop/1.000 pdd
1/30.000
Unit/Jiwa
∑ diskotik ↑
∑ diskotik/1.000 pdd
1/30.000
Unit/Jiwa
∑ alun-alun ↑
∑ alun2/1.000 pdd
1/2.500
Unit/Jiwa
∑ tempat sewa VCD ↑
∑ tempat sewa /1.000 pdd
1/30.000
Unit/Jiwa
∑ rumah bilyard ↑
∑ rmh bilyard/ 1.000 pdd
1/30.000
Unit/Jiwa
∑ pelabuhan ↑
1/1.000.000
Unit/Jiwa
∑ stasiun KA ↑
1/1.000.000
Unit/Jiwa
∑ terminal ↑
1/1.000.000
Unit/Jiwa
Keterangan : Variabel ↑ menyebabkan aspek ↑ (kinerja perkembangan wilayah ↑) Sumber: Kepmen PU No 378/KPTS/1987
Unit
Jiwa
KK
42 Dari indikator -indikator tersebut, selanjutnya dapat dihitung score dengan pendekatan sebagai berikut:
Yi =
Xi − Xb Xb
Yi
: Score relatif terhadap standar
Xi
: Rasio aktual (per 1000 penduduk)
Xb
: Rasio menurut standar
Yi ≥ -1
Untuk mengetahui hubungan antara kinerja perkembangan wilayah dengan konfigurasi spasial prasarana dasar kota dan kondisi fisik wilayah digunakan metode regresi. Asumsi regresi standar antara lain: •
Antar sampel harus independent (saling bebas)
•
Antar variabel penjelas harus independent (saling bebas) Mengingat data yang digunakan adalah data hasil survey (tanpa memberi
perlakuan), maka dalam data tersebut sangat potensial terjadi multicollinearity, sehingga struktur data yang dihasilkan akan menjadi bias. Untuk menghindari terjadinya hal tersebut, maka dilakukan Principal Components Analysis (PCA). Mengingat variabel yang akan diukur memiliki dimensi lokasi, maka berlaku hukum geografi dan ilmu wilayah (teori lokasi), bahwa ada keterkaitan antar wilayah (spasial) yang mempengaruhi pola hubungan antara kedua variabel. Dengan menggunakan ilustrasi dalam proses pemupukan, bahwa regresi sederhana hanya sahih digunakan dalam penelitian percobaan laboratorium dimana perlakuan pemupukan antara tanaman di suatu pot hasilnya akan berbeda dengan perlakuan pemupukan di pot lain. Hal ini karena kejadian dalam suatu pot hanya dipengaruhi oleh perlakuan dalam pot tersebut dan tidak saling berpengaruh terhadap kejadian di pot lain. Kondisi berbeda akan ditemukan di lapangan, yaitu jika di suatu areal sawah dilakukan pemupukan, maka tanaman pada sawah yang memiliki aliran air sama dan terletak dibawahnya akan menjadi subur karena adanya pengaruh/faktor aliran antar lokasi. Dengan kata lain kejadian di suatu tempat tidak hanya dipengaruhi oleh peristiwa di tempat tersebut, tetapi juga dipengaruhi oleh kejadian di tempat lain. Untuk kasus seperti ini, regresi
43 sederhana menjadi kurang sahih untuk digunakan, sehingga regresi yang dapat digunakan adalah Spatial Durbin Model. Principal Components Analysis (PCA) Teknik analisis ini mentransformasikan secara linier satu set peubah ke dalam peubah baru yang lebih sederhana dengan ukuran lebih kecil representatif dan ortogonal (tidak saling berkorelasi) (Saefulhakim, 2005). Format data untuk PCA dapat disusun membentuk matriks yang berukuran n x p, dengan n : unit sample (jumlah desa) dan p ; jumlah peubah (kolom). Analisis komponen utama ini dilakukan sampai diperoleh nilai PC Score terbaik, yaitu: PC Score g\dengan nilai akar ciri (eigenvalues) diatas 65% ; jumlah faktor-faktor baru yang diperoleh pada tabel factor loading dibawah lima; dan kore lasi antar variabel- variabel asal dengan faktor -faktor baru pada factor loading dapat diinterpretasikan secara logis. Tabel 6 Rancangan tabel PCA Desa
Variabel Perkembangan Desa
Infrastruktur Dasar Kota
Variabel Karakteristik Fisik Wilayah
Persamaan umum PCA adalah: Yk = ak 1X1 + ak 2X2 + ak 3X3 + … + ak pXp Adapun maksud dari analisis komponen utama ini adalah untuk mengelompokkan variabel- variabel menjadi beberapa kelompok. Ada dua tujuan dasar dari PC, yaitu: •
Ortogonalisasi Variabel: mentransformasikan suatu struktur data dengan variabel- variabel yang saling berkorelasi menjadi struktur data baru dengan variabel- variabel baru (yang disebut sebagai Komponen Utama atau Faktor) yang tidak saling berkorelasi.
•
Penyederha naan Variabel: banyaknya variabel baru yang dihasilkan, jauh lebih sedikit dari pada variabel asalnya, tapi total kandungan informasinya (total ragamnya) relatif tidak berubah (Saefulhakim, 2005).
44 Hasil PCA antara lain: Ø Akar ciri (eigen value) merupakan suatu nilai yang menunjukkan keragaman dari peubah komponen utama dihasilkan dari analisis, semakin besar nilai eigen value, maka semakin besar pula keragaman data awal yang mampu dijelaskan oleh data baru. Ø Proporsi dan komulatif akar ciri, nilai pembobot (eigen vector) merupakan parameter yang menggambarkan hubungan setiap peubah dengan komponen utama ke -i. Ø Component score adalah nilai yang menggambarkan besarnya titik-titik data baru dari hasil komponen utama dan digunakan setelah PCA. Ø PC loading menggambarkan besarnya korelasi antar variable pertama dengan komponen ke-i. PC scores ini yang digunakan jika terjadi analisis lanjutan setelah PCA. Factor Loadings (L α) adalah sama dengan Factor Score Coefficients (Cα ) kali Eigenvalue Faktor atau Komponen Utamanya (λ α). Dari proses olah kinerja perkembangan wilayah dengan PCA, dihasilkan indeks komposit yang meliputi: •
Indeks komposit untuk kinerja pembangunan wilayah
•
Indeks komposit untuk prasarana dasar kota
•
Indeks komposit untuk kondisi fisik wilayah Hasil analisis PCA digunakan untuk menduga parameter model hubungan
antara kinerja perkembangan wilayah dengan konfigurasi ruang prasarana dasar kota dan kondisi fisik wilayah. Teknik yang digunakan untuk menganalisis tujuan tersebut adalah analisis Spatial Durbin Model (LeSage, 1999). Spatial Durbin Model Prinsip dasar Spatial Durbin Model hampir sama dengan regresi berbobot (weighted regression), dengan variabel yang menjadi pembobot adalah faktor lokasi. Kedekatan dan keterkaitan antar lokasi ini menyebabkan munculnya fenomena ‘autokorelasi spasial’. Spatial Durbin Model merupakan pengembangan dari model regresi sederhana yang telah mengakomodasikan fenomena-fenomena autokorelasi spasial, baik dalam variabel tujuan maupun dalam variabel penjelasnya. Misalnya untuk mengetahui tingkat perkembangan di suatu wilayah
45 selain dipengaruhi variabel bebas (hasil olah PCA) juga dipengaruhi oleh variabel lain, yaitu hubungan spasial. Data yang digunakan untuk variabel bebas (x) berasal dari komponen utama hasil pengolahan PCA. Representasi faktor lokasi pada Spatial Durbin Model dalam bentuk matriks kedekatan yang disebut dengan contiquity matrix (LeSage, 1999) . Perhitungan contiguity matrix untuk mengetahui hubungan perkembangan wilayah dengan konfigurasi ruang prasarana dasar kota dan karakteristik fisik wilayah dalam penelitian ini didasarkan pada 2 (dua) aspek, yaitu: •
Ketetanggaan (batas wilayah) Jika kedua wilayah berdekatan/bertetanggaan, maka keterkaitan antar kedua wilayah tersebut relatif tinggi. Untuk suatu fasilit as tertentu, kedua wilayah dapat memanfaatkan secara bersama -sama, misalnya penggunaan SLTP. Dengan kata lain bahwa aktivitas /peristiwa di suatu tempat akan dipengaruhi oleh kejadian di tempat lain.
•
Kebalikan jarak (centroid) Semakin besar nilai jarak antara kedua wilayah, maka semakin kecil keterkaitan antar wilayah (berbanding terbalik), sehingga interaksi antar wilayah relatif berkurang. Untuk karakteristik fisik wilayah, wilayah yang bertetanggaan akan memiliki karakteristik fisik alamiah hampir sama yang dimungkinkan karena adanya kemiripan prose alamiah.
Pendekatan rumus kinerja perkembangan wilayah: Y2 = α + (Σ kρ 4kWk)Y2 + βX1 + (Σ kρ 1kWk)X1 + γX2 + (Σ kρ 2kWk)X2 + µX3 + (Σ kρ 3kWk)X3 + ε Y2
:
Variabel kinerja perkembangan wilayah
α
:
Parameter konstanta regresi
ρ4
:
Parameter koefisien kontiguitas spasial kinerja perkembangan wilayah
W1
:
Matriks
kontiguitas
antar
wilayah
desa/kelurahan
berdasarkan
ketetanggaan batas administrasi • Jika kedua wilayah berbatasan langsung, maka diberi angka 1; • Jika ke dua wilayah tidak berbatasan langsung atau wilayah tersebut berbatasan dengan dirinya sendiri, maka diberi angka 0.
46 W2
:
Matriks
kontiguitas
antar
wilayah
desa/kelurahan
berdasarkan
kebalikan jarak antar centroid wilayah administratif β
:
Parameter koefisien infrastruktur dasar kota
ρ1
:
Parameter koefisien kontiguitas spasial infrastruktur dasar kota
k
:
Variabel sampel (desa/kelurahan)
X1
:
Variabel infrastruktur dasar kota
γ
:
Parameter koefisien karakteristik fisik wilayah
ρ2
:
Parameter koefisien kontiguitas spasial karakteristik fisik
X2
:
Variabel karakteristik fisik wilayah
µ
:
Parameter koefisien konsistensi pemanfaatan ruang
ρ3
:
Parameter koefisien kontiguitas spasial konsistensi pemanfaatan ruang
X3
:
Variabel konsistensi pemanfaatan ruang
Tabel 7 Rancangan Contiguity Matrix W terhadap ketetanggaan
Wil A Wil B Wil C Wil D Wil E Wil F
Wil A
Wil B
Wil C
Wil D
Wil E
Wil F
0
1
1
0
0
0
0 0 0 0 0
47
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Keadaan Umum Kota Bandar Lampung Secara administratif Kota Bandar Lampung dibentuk pada tanggal 17 Juni 1983 sebagai bagian dari wilayah kota dalam pembentukan Keresidenan Provinsi Lampung yang ditetapkan berdasarkan PP No 3 Tahun 1964. Semula kota ini terdiri dari 4 kecamatan 30 kelurahan, namun dalam perkembangannya telah terjadi beberapa kali pemekaran wilayah. Terakhir dengan ditetapkannya Perda Kota Bandar Lampung No 4 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Kecamatan dan Kelurahan, Kota Bandar Lampung ditetapkan terdiri dari 13 Kecamatan dengan 98 kelurahan. Kota Bandar Lampung mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam lima tahun terakhir. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari fungsi Kota Bandar Lampung dalam konteks pertumbuhan wilayah Provinsi Lampung sebagai pusat pemerintahan provinsi, pusat perdagangan regional, pusat pelayanan transportasi regional, pusat pendidikan dan kebudayaan regional, pusat industri maritim dan pengolah bahan baku pertanian, serta pusat penyediaan energi dan telekomunikasi. Jumlah penduduk pada tahun 2005 tercatat sebanyak 788.337 jiwa yang terdiri dari laki-laki berjumlah 393.061 jiwa dan perempuan berjumlah 395.276 jiwa. Tingkat kepadatan rata-rata di Kota Bandar Lampung adalah 42 jiwa/ha dengan distribusi yang sangat sangat ber variasi dari yang relatif rendah yaitu Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling (2 jiwa per ha) sampai yang relatif tinggi, yaitu Kelurahan Kelapa Tiga Kecamatan Tanjung Karang Pusat (553 jiwa per ha). Wilayah dengan kepadatan tinggi didominasi oleh wilayah yang berlokasi di pusat kota , sedangkan wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk rendah didominasi oleh wilayah yang berlokasi di pinggiran kota. Tabel 8 menunjukkan bahwa jumlah penduduk dan tingkat kepadatan penduduk di Kota Bandar Lampung tidak merata dan sangat bervariasi, bukan hanya antar kecamatan, tetapi juga antar kelurahan yang terdapat dalam kecamatan yang sama. Kondisi ini berpotensi menimbulkan terjadinya ketimpangan dalam percepatan pembangunan antar wilayah.
48 Tabel 8 Jumlah dan kepadatan penduduk perkelurahan di Kota Bandar Lampung Kecamatan Telukberung Barat
Telukbetung Selatan
Panjang
Tanjung Karang T imur
Telukbetung Utara
Tanjung Karang Pusat
Kelurahan Sukamaju Keteguhan Kota Karang Perwata Bakung Kuripan Negri Olok Gading Sukajaya Gedung Pakuon Talang Pesawahan Telukbetung Kangkung Bumi Waras Pecohraya Sukaraja Geruntang Ketapang Way Lunik Srengsem Panjang Selatan Panjang Utara Pidada Way Laga Way Gubak Karang Maritim Rawa Laut Kota Baru Tanjung Agung Kebon Jeruk Sawah Lama Sawah Brebes Jaga Baya I Kedamaian Tanjung Raya Tanjung Gading Campang Raya Kupang Kota Gunung Mas Kupang Teba Kupang Raya Pahoman Sumur Batu Gulak Galik Pengajaran Sumur Putri Batu Putu Durian Payung Gotong Royong Enggal Pelita Palapa Kaliawi Kelapa Tiga T anjung Karang Gunung Sari Pasir Gintung Penengahan
Σ Penduduk (Jiwa)
Luas wilayah (Ha)
Kepadatan (Jw/Ha)
4,249 8,483 14,301 3,842 5,706 4,636 4,359 4,236 4,181 7,913 11,242 4,643 12,079 17,239 5,116 10,209 6,797 4,370 9,370 7,571 11,998 12,679 10,878 6,503 3,023 8,781 5,298 11,647 7,021 5,424 5,815 7,334 2,783 14,375 5,772 2,924 8,695 10,410 3,709 11,158 3,424 4,835 7,882 7,082 5,747 4,597 4,108 9,480 5,467 5,282 5,537 4,317 13,373 11,606 3,814 2,888 5,055 6,382
639 364 56 23 107 34 109 627 36 46 63 19 30 73 83 79 110 124 150 456 106 112 318 433 546 105 51 103 22 23 12 30 17 128 54 105 960 44 104 66 17 76 78 72 116 92 93 98 38 64 23 30 42 21 28 21 30 40
7 24 256 168 54 137 40 7 117 173 179 245 403 237 62 130 62 36 63 17 114 114 35 16 6 84 104 114 320 236 485 245 164 113 107 28 10 237 36 170 202 64 102 99 50 50 45 97 144 83 241 144 319 553 137 138 169 160
49 Tabel 8 Lanjutan Kecamatan Tanjung Karang Barat
Kemiling
Kedaton
Rajabasa
Tanjung Seneng
Sukarame
Sukabumi
Kelurahan
Σ Penduduk (Jiwa)
Luas wilayah (Ha)
2,804 2,388 14,385 10,647 14,436 7,178 3,027 1,035 3,050 13,020 12,767 11,403 8,715 6,369 11,230 10,339 12,018 13,242 17,388 7,630 11,829 6,078 8,587 16,883 4,578 6,131 11,287 5,481 5,970 17,851 8,052 9,271 15,696 7,924 13,599 8,281 5,681 7,220 7,203 10,019
338 954 82 131 225 201 498 577 195 711 703 713 228 38 86 84 92 497 312 155 138 227 328 319 319 227 312 307 319 403 120 97 348 376 104 103 140 125 271 271
Susunan Baru Sukadana Ham Suka Jawa Gedung Air Segala Mider Gunung Terang Sumber Agung Kedaung Pinang Jaya Beringin Raya Sumber Rejo Kemiling Permai Langkapura Sukamenanti Sidodadi Surabaya Perumnas Way Halim Kedaton Labuan Ratu Kampung Baru Sepang Jaya Rajabasa Raya Gedung Meneng Rajabasa Rajabasa Jaya Labuhan Dalam Tanjung Seneng Way Kandis Perumnas Way Kandis Sukarame Way Halim Permai Gunung Sulah Way Dadi Harapan Jaya Jagabaya II Jagabaya III Tanjung Baru Kalibalok Kencana Sukabumi Indah Sukabumi
Kepadatan (Jw/Ha) 9 3 176 82 65 36 7 2 16 19 19 16 39 168 131 124 131 27 56 50 86 27 27 53 15 28 37 18 19 45 68 96 46 22 131 81 41 58 27 37
Sumber : PODES 2005
Penataan Ruang Kota Bandar Lampung RTRW Kota Bandar Lampung Sesuai amanat UU 24 Tahun 1992, pada tahun 1994 Pemeritah Kota Bandar Lampung menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung dan disusun kembali pada tahun 2003 serta mendapat legalitas hukum melalui Perda Nomor 4 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung Tahun 2005-2015.
50 Dengan posisi yang sangat strategis membawa konsekuensi kota ini memiliki peranan yang sangat strategis , baik dalam skala nasional sebagaimana diamanatkan dalam PP 47 Tahun 1997 tentang RTRWN maupun dalam skala provinsi sebagaimana tertuang dalam Perda Nomor 5 Tahun 2001 tentang Penataan Ruang Wilayah Provinsi Lampung, yaitu peran sebagai salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Kawasan Andalan Nasional. Dalam perannya sebagai PKN membawa konsekuensi bahwa Kota Bandar Lampung dituntut untuk mampu memberikan pelayanan transportasi yang memadai dan mampu berperan sebagai transhipment point berbagai moda angkutan lintas regional, nasional dan internasional. Hal ini didukung oleh berba gai rencana pengembangan dalam sistem transportasi regional. Rencana pembangunan jembatan Selat Sunda yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera akan memperlancar aliran pergerakan penumpang dan barang. Pelabuhan Panjang dilengkapi dengan sistem angkutan antar moda yang memiliki akses terhadap seluruh wilayah di Provinsi Lampung dan Sumatera Bagian Selatan. Gugusan jaringan kereta api Trans Sumatera menjadi salah satu alternatif sarana pergerakan antar moda. Adanya rencana pembangunan jalan tol ke arah palembang akan turut mendukung kelancaran aksesibilitas tersebut. Dalam perannya sebagai kawasan andalan, Kota Bandar Lampung dituntut untuk mampu menjadi stimulan perkembangan wilayah-wilayah disekitarnya, artinya
kebijakan-kebijakan
pembangunan
diarahkan
untuk
mewujudkan
kesinergian pembangunan dan mampu mendistribusikan hasil-hasil pembangunan kepada kawasan-kawasan sekitarnya (spreed effect), bukan menghisap potensi sekitarnya
(backwash
effect) yang
hanya
akan
menimbulkan berbagai
permasalahan ketimpangan pembangunan Selain mempertegas dua peran nasional tersebut, dalam RTRW Provinsi Lampung disebutkan peran Kota Bandar Lampung sebagai pusat pelayanan primer bagi kawasan-kawasan disekitarnya. Prioritas pengembangan/penanganan Kota Bandar Lampung berdasarkan kebijakan Provinsi Lampung adalah sebagai pusat pemerintahan, jasa, perdagangan, pariwisata, pendidikan, pelayanan, pelabuhan dan industri.
51 Strategi pengembangan kawasan andalan Kota Bandar Lampung yang ditetapkan Pemerintah Provinsi Lampung (Dokumen Rencana Kawasan Andalan Kota Bandar Lampung dan Sekitarnya) dalam keterkaitan dengan perannya sebagai pusat pelayanan primer adalah: 1. Berorientasi pada kegiatan jasa, perdagangan, perbankan, pariwisata, pendidikan, riset dan industri yang ramah lingkungan. 2. Pengembangan pelabuhan panjang dan Pelud Radin Inten II. 3. Keterpaduan pengembangan Kota Bandar Lampung dan kota satelit. 4. Pengembangan Bandar Lampung Waterfront City yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pariwisata dan jasa. 5. Pengembangan prasarana ekonomi yang selaras dengan prasarana pemenuhan kebutuhan pokok warga kota. 6. Orientasi sebagai pusat pelayanan regional yang dipersiapkan menghadapi tantangan globalisasi.
Visi Kota Bandar Lampung Tahun 2020 adalah ‘Kota Berbudaya, Nyaman dan Berkelanjutan (BERNYALA)’. Berbudaya adalah suatu kondisi dan sikap masyarakat yang menjunjung tinggi nilai agama, moral/etika, hukum dan budaya yang didukung oleh imtaq (iman dan taqwa) serta iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Nyaman adalah sutau kondisi dimana masyarakat merasa aman, tertib dan sejahtera. Berkelanjutan adalah suatu kondisi yang menjamin kontinyuitas pengelolaan
sumberdaya
bertanggungjawab.
manusia
dan
sumberdaya
alam
secara
52
HASIL PEMBAHASAN
Konsistensi Penyusunan Tata Ruang dengan Pedoman yang Berlaku Konsistensi proses penyusunan dengan pedoman Menurut Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002, terdapat empat tahapan yang harus dilakukan dalam proses teknis penyusunan RTRW Kota , yaitu penentuan arah pengembangan, identifikasi potensi dan masalah pembangunan, perumusan RTRW Kota Bandar Lampung dan penetapan RTRW Kota Bandar Lampung. Dengan menggunakan prosentase perhitungan tingkat konsistensi antara teknis penyusunan RTRW dengan pedoman tersebut serta dengan menggunakan kriteria sesuai (lebih dari sama dengan 75%), kurang sesuai (50% 74%) dan tidak sesuai (kurang dari 50%) diketahui bahwa terdapat ketidaksempurnaan dalam penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung, khususnya pada tiga tahap pertama. Analisis pembandingan tabel dapat dilihat dalam tabel 8. Tabel 9 Matriks analisis proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung NO
ASPEK/ KOMPONEN
PENJELASAN KOMPONEN
EKSISTING RENCANA
KETERANGAN
Penentuan arah pengembangan
Batas perencanaan, tinjauan SOSEKBUD HANKAN & daya dukung lingkungan
Sesuai
Ada sebagian ketentuan dalam pedoman yang tidak dijadikan rujukan dalam penyusunan RTRW.
78
Identifikasi potensi dan masalah pembangunan
Mengidentifikasi berbagai potensi dan masalah pembangunan dalam wilayah perencanaan
Kurang Sesuai
Syarat paripurna sebuah kajian tidak didasarkan seluruh syarat item dalam pedoman
53
Perumusan RTRW Kota Bandar Lampung
Merupakan pengejawantahan dari tujuan pengembangan serta perkiraan kebutuhan pengembangan
Sesuai
Ada sebagian ketentuan dalam pedoman yang tidak dijadikan rujukan dalam penyusunan RTRW.
84
Penetapan RTRW Kota Bandar Lampung
Untuk mengoperasionalkan RTRW, dokumen RTRW ditetapkan dalam bentuk Perda
Sesuai
RTRW Kota Bandar Lampung mendapat legalitas hukum melalui Perda 4/2004 tentang RTRW Kota Bandar Lampung 2005-2015
100
Prosentase Total
NILAI (%)
79
53 Analisis proses penyusunan secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel Lampiran 8. Gambar Lampiran 1 menunjukkan substansi yang belum diakomodir dalam penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung dan menyebabkan berbagai permasalahan penataan ruang. Walaupun terdapat ketidaksempurnaan dalam proses penyusunan RTRW, secara keseluruhan proses teknis penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung 79% sudah mengacu pada pedoman teknis yang berlaku. Kendati tidak 100%, angka 79% dapat dikatakan sudah cukup memenuhi kriteria. Dalam kurun waktu berjalan, kontribusi 21% ketidaksempurnaan penyusunan tersebut ternyata menimbulkan permasalahan yang cukup besar dan menjadi kendala dalam upaya percepatan perkembangan Kota Bandar Lampung. Sebagai contoh adanya ketidaksempurnaan
dalam
mengidentifikasi
kependudukan yang hanya didasarkan pada
potensi
perkembangan
sosial
satu item (tingkat pertumbuhan
penduduk) dari empat item yang ditetapkan (ukuran keluarga, budaya dan pergerakan penduduk) menyebabkan rencana yang dihasilkan hanya didasarkan aspek tertentu saja dan tidak mengkaji semua aspek yang notabene sangat mempengaruhi kehidupan kota. Sementara rencana tata ruang adalah dokumen publik yang komprehensif dan mengatur semua aspek kehidupan yang menggunakan ruang. Kondisi tersebut menyebabkan rencana tata ruang yang dihasilkan menjadi tidak aspirasi/sesuai dengan perubahan dan kebutuhan kota. Konsistensi inter-regional context Dalam UU 24 Tahun 1992 pasal 1 dan 7 serta Kepmen Kimpraswil 327/KPTS/M/2002 diamanatkan bahwa penyusunan RTRW didasarkan pada aspek administratif dan kawasan fungsional serta keserasian dengan wilayah sekitarnya. Satu-satunya wilayah administratif yang berbatasan langsung dengan Kota Bandar Lampung adalah Kabupaten Lampung Selatan. Dari hasil overlay antara peta RTRW Kota Bandar Lampung dengan RTRW Kabupaten Lampung Selatan dengan kontrol RTRW Provinsi Lampung, menunjukkan bahwa terdapat wilayah kosong dan wilayah yang tumpang tindih (overlap) diantara Peta RTRW Kota Bandar Lampung dengan RTRW Lampung Selatan. Kondisi tersebut
54 menunjukkan bahwa sistem informasi spasial belum memadai, mengingat sebenarnya wilayah-wilayah tersebut secara aktual tidak dijumpai di lapangan. Adapun lokasi ruang yang tidak bertuan tersebut berada disekitar kelurahan sebagai berikut: •
Pada Kelurahan Rajabasa Jaya, berdasarkan RTRW Provinsi ditetapkan untuk penggunaan lahan pertanian lahan kering.
•
Kelurahan Harapan Jaya & Sukarame, berdasarkan RTRW Provinsi ditetapkan untuk penggunaan lahan pertanian lahan kering.
•
Kelurahan Campang Raya yang ditetapkan sebagai kawasan pengembangan pertanian lahan kering.
Sedangkan kawasan overlap adalah: •
Sumber Agung, berdasarkan RTRW Kota Bandar Lampung ditetapkan sebagai kawasan lindung, berdasarkan RTRW Kabupaten Lampung Selatan ditetapkan sebagai kawasan palawija, sedangkan berdasarkan RTRW Provinsi ditetapkan sebagai kawasan lindung. Semestinya pada saat penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung melibatkan Pemda Kabupaten Lampung Selatan untuk mengecek kebenaran batas wilayah serta mencapai kesinergian dalam alokasi pemanfaatan ruang. Kondisi yang terjadi saat ini akan mengancam keberadaan hutan di wilayah overlap tersebut, karena baik di wilayah yang tepat overlap maupun diwilayah-wilayah sekitarnya ditetapkan sebagai kawasan budidaya palawija. Kecenderungan yang selama ini sering terjadi adalah aktivitas budidaya merambah ke kawasan hutan, sehingga kadang keberadaan hutan semakin terkonversi.
•
Kemiling Permai dan Rajabasa Raya, berdasarkan RTRW Kota Bandar Lampung ditetapkan sebagai kawasan perumahan, kebun campuran dan kawasan pendidikan. Menurut RTRW Kabupaten Lampung Selatan ditetapkan sebagai hutan produksi. Sedangkan berdasarkan RTRW Provinsi Lampung ditetapkan sebagai hutan lindung dan kawasan perkotaan.
•
Rajabasa Raya, menurut RTRW Kota Bandar Lampung ditetapkan sebagai kawasan permukiman dan kebun campuran. Berdasarkan RTRW Kabupaten
55 Lampung Selatan ditetapkan sebagai lahan kering dan hutan produksi tetap. Sedangkan berdasarkan RTRW Provinsi ditetapkan sebagai kawasan perkotaan. •
Kelurahan Harapan Jaya, berdasarkan RTRW Kota Bandar Lampung ditetapkan sebagai kebun campuran dan permukiman. Berdasarkan RTRW Kabupaten Lampung Selatan ditetapkan sebagai kawasan lahan kering. Sedangkan berdasarkan RTRW Provinsi Lampung ditetapkan sebagai kawasan lahan kering dan perkotaan.
Gambar 17 Peta kesesuaian rencana TGT Kota Bandar Lampung dengan Kabupaten Lampung Selatan
Keberadaan lahan kosong (tidak be rtuan) dan lahan overlap (menjadi bagian dua wilayah administratif) merupakan keadaan yang tidak dapat diabaikan. Untuk itu perlu segera dilakukan upaya koordinasi antara dua wilayah yang berbatasan, yaitu Kota Bandar Lampung dengan Kabupaten Lampung Selatan untuk membahas kepastian batas wilayah dan membuat sistem pemetaan yang sesuai antara batas wilayah aktual dengan pemetaannya. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka akan menjadi kendala dalam optimasi kinerja penataan ruang, terutama dalam proses pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Keberadaan wilayah-wilayah tersebut juga berpotensi menimbulkan konflik,
56 seperti konflik tata batas yang terjadi antara Kabupaten Lampung Timur dengan Kota Metro. Koordinasi dan kerjasama dengan wilayah sekitarnya dalam pelaksanaan pembangunan merupakan salah satu amanat UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun tujuan dari kerjasama antar daerah adalah untuk mewujudkan efektifitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pembangunan. Tanpa kerjasama dan koordinasi antar daerah, wilayah-wilayah perbatasan akan mengalami kinerja perkembangan yang semakin tertinggal dari wilayah lainnya di pusat kota. Ketertinggalan salah satu wilayah menurut Hukum Minimum Lybie justru akan menjadi kendala dalam perkembangan wilayah secara keseluruhan. Dalam jangka panjang ketertinggalan satu wilayah ini akan mengancam eksistensi wilayah dengan kinerja perkembangan baik. Untuk itu sebenarnya keberimbangan pembangunan sangat penting untuk dilaksanakan, sehingga pencapaian kinerja pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat lebih optimal (Saefulhakim, 2006). Keberimbangan dapat dicapai melalui kerjasama, koordinasi dan memperhatikan kesinergian ruang kawasan sekitarnya (InterRegional Context). Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa kinerja perkembangan wilayahwilayah yang terletak di perbatasan relatif lebih tertinggal daripada kawasan lainnya. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung tidak didasarkan pada kesinergian dengan ruang sekitarnya. Kurangnya koordinasi dan kerjasama antar wilayah menyebabkan munculnya berbagai permasalahan tersebut. Selain itu proses penyusunan RTRW tidak memperhatikan rencana tata ruang pada hierarki yang lebih tinggi, yaitu RTRW Provinsi. Kondisi ini terlihat dari wilayah yang menurut RTRW Provinsi diperuntukkan sebagai fungsi lindung, pada RTRW Kota Bandar Lampung diperuntukkan untuk kawasan pengembangan terbatas. Keadaan ini merupakan indikasi inkonsistensi dalam penataan ruang dan melanggar amanat UU 24 Tahun 1992. Lebih lanjut sampai saat ini belum ada Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Fungsional antara Kota Bandar Lampung dengan Kabupaten Lampung
57 Selatan, sehingga penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung hanya didasarkan pada aspek administratif internal Kota Bandar Lampung.
Konsistensi prospek pertumbuhan ekonomi Dalam identifikasi dan masalah pembangunan aspek prospek pertumbuhan ekonomi dari empat syarat yang harus ditinjau berdasarkan Kepmen Kimpraswil Nomor 327/KPTS/M/2002 yaitu faktor ketenagakerjaan, PDRB dalam lima tahun terakhir, kegiatan usaha/produksi persektor pembangunan serta perkembangan penggunaan tanah & produktifitasnya, penyusunan RTRW hanya memenuhi 3 syarat, sedangkan 1 syarat tidak terpenuhi adalah perkembangan penggunaan lahan dan produktifitasnya. Inkonsistensi ini menyebabkan perencanaan yang dihasilkan tidak mampu mengakomodasi perkembangan ekonomi di wilayah perencanaan. Kondisi ini berdampak pada terjadinya kemiskinan di kawasan kota. Berdasarkan data PODES telah terja di peningkatan jumlah masyarakat miskin (prasejahtera dan sejahtera 1) dari 54.446 (34,87%) pada tahun 2002 meningkat menjadi 80.919 (48,58%) pada tahun 2005. Indikator keluarga prasejahtera yang digunakan dalam PODES adalah keluarga yang belum memenuhi salah satu atau lebih syarat, yaitu: (1) dapat makan dua kali sehari atau lebih; (2) mempunyai pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan; (3) lantai rumah bukan tanah; dan (4) bila anaknya sakit dibawa berobat ke sarana/petugas kesehatan. Sedangkan indikator Keluarga Sejahtera Tahap I adalah keluarga yang sudah memenuhi syarat, yaitu: (1) dapat makan dua kali sehari atau lebih; (2) sudah mempunyai pakaian yang berbeda untuk keperluan yang berbeda; (3) lantai rumah bukan terbuat dari tanah; (4) sudah sadar membawa anaknya yang sakit ke sarana/petugas kesehatan. Dari besarnya angka kemiskinan masyarakat kota serta dengan melihat indikator diatas menunjukkan kondisi yang sangat kontras jika dikaitkan dengan peran strategis Kota Bandar Lampung. Peningkatan jumlah masyarakat miskin ini disebabkan karena pertumbuhan penduduk di perkotaan relatif cepat dan tidak diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja. Kondisi ini menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan di kota yang merupakan sumber berbaga i permasalahan di Kota Bandar Lampung.
58 Konsistensi rencana penanganan lingkungan kota Sesuai Pedoman Penyusunan sebagaimana tertuang dalam Kepmen Kimpraswil No 327KPTS/M/2002, rencana penanganan lingkungan kota mencakup
aspek
rencana
pengembangan
lingkungan
yang
dikonversi,
diremajakan dan diresettlement. Ketentuan ini terkait dengan upaya penanganan kawasan kumuh (slum area) dan kawasan ilegal (squater area) di pusat kota. Namun hal ini tidak terakomodasi atau diatur dalam RTRW Kota Bandar Lampung. Sementa ra di Kota Bandar Lampung, khususnya Kawasan Teluk Betung merupakan pusat kota lama (kota tua) sebelum pusat kota berpindah ke Tanjung Karang, sehingga kawasan ini memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi tentang terbentuknya Provinsi Lampung. Kendati sampai saat ini kawasan tersebut masih digunakan untuk berbagai aktivitas, khususnya perekonomian, namun kota yang memiliki nilai sejarah pembentukan Provinsi Lampung tersebut kondisi fisiknya sangat kumuh dan tidak teratur.
Gambar 18 Kawasan kumuh di Telukbetung
Inkonsistensi dalam aspek tersebut berimplikasi pada tidak adanya upaya penanganan maupun pedoman untuk pemanfaatan ruang kawasan kumuh
59 perkotaan. Dipihak lain permasalahan pertanahan di Kota Bandar Lampung semakin rawan akibat keterbatasan lahan ditambah semakin meningkatkan angka kemiskinan di kota, sementara tuntutan pemenuhan kebutuhan lahan semakin meningkat secara cepat. Kondisi ini menyebabkan kawasan-kawasan kumuh di pusat kota lama tersebut semakin bertambah kumuh dan terjadi penurunan kualitas penggunaan ruang yang berdampak pada keadaan lingkungan fisik perkotaan (urban setting) yang kurang memadai. Berdasarkan data PODES menunjukkan adanya peningkatan jumlah bangunan kumuh dari 1.423 pada tahun 2002 meningkat drastis menjadi 6.632 unit pada tahun 2005. Adapun permukiman kumuh menurut PODES adalah lingkungan hunian dengan indikator: (1) banyaknya rumah yang tidak layak huni, (2) banyaknya saluran pembuangan limbah yang macet; (3) penduduk/bangunan sangat padat; (4) banyaknya penduduk yang membuang air besar tidak di jamban; (5) biasanya berada di areal marginal (seperti di tepi sungai, pinggir rel kereta api). Rumah tidak layak huni adalah rumah yang dibuat dari bahan bekas/sampah (seperti potongan triplek, lembaran plastik sisa, dan sebagainya) yang menurut parameter kesehatan tidak cocok untuk bertempat tinggal, termasuk rumah gubuk. Kawasan-kawasan kumuh di Kota Bandar Lampung antara lain berlokasi di Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Teluk Betung Barat serta kawasan kumuh di belakang Terminal Sukaraja yang merupakan kompleks kota lama. Harga lahan yang tidak terjangkau masyakat kelas bawah merangsang golongan ini untuk menempati kawasan-kawasan ilegal seperti sempadan sungai, sempadan jalan, sempadan rel kereta api dan kawasan tegangan listrik untuk tempat tinggal. Walaupun data PODES menunjukkan penurunan jumlah kawasan ilegal dari 1.743 unit bangunan pada tahun 2003 turun menjadi 1.708 pada tahun 2005, namun permasalahan ini berdampak pada urban setting yang kurang memadai dan sangat mengganggu citra Kota Bandar Lampung sebagai kota dengan slogan TAPIS BERSERI. Selain dampak fisik keruangan, permasalahan tersebut berdampak pada terganggunya kinerja pemerintah karena masyarakat yang menempati kawasan-kawasan ilegal tersebut pada akhirnya mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya dan menuntut penerbitan sertifikat. Contoh kasus seperti yang terjadi pada tanggal 17 Juni dan 14 Agustus 2006 lalu, ratusan masyarakat
60 pesisir Teluk Lampung berunjuk rasa kepada Pemda Kota Bandar Lampung, menuntut tanah tempat tinggalnya segera disertifikatkan (Republika, 2006). Dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin kota dan bangunan kumuh, kedepan wilayah ini akan terus mengalami kemunduran. Dari hasil analisis perkembangan wilayah, ternyata kawasan yang pe rnah menjadi pusat kota ini hanya masuk dalam kategori perkembangan sedang. Jika tidak segera dilakukan antisipasi untuk penanganannya, dikhawatirkan kawasan ini akan terus mengalami kemunduran/degradasi, kelumpuhan atau bahkan kematian, sehingga menjadi kota mati. Untuk menghindari hal tersebut, perlu segera dicarikan upaya solutif dengan mengacu pada Pedoma n Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002 antara lain melalui revitalisasi. Menurut pedoman penyusunan tersebut, terdapat substansi pengelolaan kawasan kota yang didalamnya mengatur pengembangan kawasan baru, kawasan yang dikonversi, diremajakan dan ditata kembali (resettlement). Kegiatankegiatan tersebut dapat dilakukan melalui upaya revitalisasi, yaitu upaya untuk mendaur ulang (recycle) lahan kota yang ada dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (revitalisasi) yang pada awalnya pernah ada, namun telah memudar. Dengan kata lain revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Adapun tujuan revitalisasi adalah memberikan kehidupan kota yang produktif yang akan mampu memberikan kontribusi positif pada kehidupan sosial budaya, terutama kehidupan ekonomi kota (Danisworo, URDI Vol 13). Proses revitalisasi suatu kawasan mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik ruang kota, namun tidak untuk jangka panjang, sehingga tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi
(economic revitalization) yang meruju k pada
aspek sosial budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena pemanfaatan ruang yang produktif dan optimal merupakan prasyarat terbentuknya sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang
61 langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota. Mekanisme tersebut tidak dilakukan dalam RTRW Kota Bandar Lampung.
Konsistensi dalam Pemanfaatan Ruang Berdasarkan
kajian
konsistensi
proses
teknis
penyusunan
RTRW
menunjukkan bahwa proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung masih konsisten dengan pedoman yang berlaku. Namun kondisi di lapangan menunjukkan bahwa terjadi berbagai permasalahan dalam penataan ruang. Selanjutnya kemungkinan inkonsistensi dalam penataan ruang ada pada tahap pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Berbagai permasalahan inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang terjadi di Kota Bandar Lampung. Inkonsistensi tersebut antara lain adalah: Konversi lahan Permasalahan
konversi
lahan
terkait
dengan
inkonsistensi
dalam
pengklasifikasian legenda peta yang digunakan dalam RTRW Kota Bandar Lampung. Menurut UU 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Pasal 22 disebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota merupakan Penjabaran dari Rencana Tata Ruang Provinsi. Hal tersebut menunjukkan bahwa produk RTRW Kota harus mengacu pada RTRW Provinsi, termasuk dalam pengklasifikasian peta rencana pemanfatan ruang minimal harus mengacu pada Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, atau merinci dan mengembangkan sistem
klasifikasi
pemanfaatan
ruang
dengan
tetap
mengacu
pada
peristilahan/klasifikasi pemanfaatan ruang dalam RTRW Provinsi Lampung. Dari sistem klasifikasi yang digunakan dalam peta Rencana Pemanfaatan Ruang Kota Bandar
Lampung
terlihat
bahwa
telah
terjadi
inkonsistensi
dalam
pengklasifikasian jenis penggunaan lahan yang tidak mengacu pada RTRW Provinsi Lampung. Kondisi tersebut selain menunjukkan inkonsistensi dalam penataan ruang, baik terhadap UU 24 Tahun 1992 maupun terhadap Perda No 5/2001, juga menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam pemanfaatan ruang. Kondisi ini disebabkan karena adanya perbedaan interpretasi para stakeholders akibat
62 perbedaan pengklasifikasian peta dalam RTRW Provinsi dengan RTRW Kota Bandar Lampung. Dengan menggunakan pendekatan data Pemberian Ijin Pengambilan A ir Tanah Untuk Industri yang dikeluarkan Dinas Pertambangan Kota Bandar Lampung Tahun 2004 dan 2005 (masing-masing berlaku dua tahun), menunjukkan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam pemanfaatan ruang dari rencana yang telah ditetapkan. Penyimpangan dari peruntukan lahan non industri terkonversi menjadi industri antara lain terjadi di kelurahan-kelurahan sebagai berikut: •
Campang Raya, kawasan yang dialokasikan untuk pengembangan terbatas pada kenyataannya digunakan untuk industri.
•
Bagian dari Kawasan Srengsem yang dialokasikan sebagai kawasan lindung, pada kenyataannya digunakan untuk aktivitas industri, yaitu PT. Tambang Batubara Bukit Asam dan Tanjung Enim Lestari P&P (Pabrik PULP).
•
Kupang Kota, kawasan yang dialokasikan untuk permukiman pada kenyataannya diberikan ijin/rekomendasi mengambil air tanah untuk industri, yaitu PT Tirta Investama dan PT Prabu Tirta Jaya Lestari.
•
Garuntang,
kawasan
yang
dialokasikan
untuk
permukiman,
pada
kenyataannya digunakan untuk industri pabrik karet, yaitu PT Garuntang. •
Kelurahan Sukaraja, kawasan yang dialokasikan untuk permukiman, pada kenyataannya diijinkan beroperasi industri PT Vista Grain, sebuah industri yang bergerak dibidang pabrik pakan.
•
Kelurahan Rajabasa Raya, kawasan yang dialokasikan untuk permukiman, pada kenyataannya digunakan untuk industri PT Way Kandis (pabrik karet).
•
Kelurahan Kedamaian terdapat PT Golden Sari, sebuah industri yang bergerak dibidang industri kimia (zat pemanis) berlokasi pada lahan campuran. Inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang tersebut telah menimbulkan
berbagai permasalahan dalam pemanfaatan ruang. Antara lain adalah terciptanya lingkungan perkotaan yang tidak nyaman akibat pencemaran industri-industri yang berada tidak pada peruntukannya, khususnya di lingkungan permukiman. Kondisi ini cukup meresahkan warga dan menjadikan kota sebagai tempat hunian yang tidak nyaman bagi warganya. Beberapa kejadian yang cukup menjadi issue
63 hangat dan pemberitaan di beberapa media adalah terjadinya pencemaran sungai Dadap di Kedamaian oleh PT Golden Sari. Pencemaran ini sudah berlangsung cukup lama, yaitu sejak tahun 2000 dan sangat meresahkan serta merugikan masyarakat sekitarnya (Trans Sumatera Post, 2 Agustus 2004). Inkonsistensi lainnya adalah konversi kawasan lindung menjadi kawasan budid aya. Menurut ketentuan dalam Lampiran V Perda 4/2004 tentang RTRW Kota Bandar Lampung disebutkan bahwa kawasan perbukitan di pusat kota seperti Gunung Kunyit dan Gunung Camang ditetapkan sebagai kawasan hutan kota dan resapan air dengan rekomendasi penghentian penambangan. Pada kenyataannya kawasan yang merupakan salah satu paru-paru kota, kondisinya saat ini semakin gundul akibat aktivitas penambangan batu kapur di Gunung Kunyit oleh swasta dan masyarakat lokal serta pengerukan tanah di Gunung Camang yang dilakukan oleh swasta. Tanah hasil pengerukan di Gunung Camang selanjutnya digunakan untuk reklamasi pantai di sepanjang tepi jalan Yos Sudarso Telukbetung yang masih berlangsung sampai saat ini, sementara gunung yang telah dikepras tersebut dikonversi untuk pembangunan perumahan. Kondisi ini menyebabkan pusat kota yang semula masih cukup asri dengan adanya beberapa kawasan hijau, perkembangan ke depan akan menjadi kawasan gersang akibat padatnya kawasan terbangun. Selain itu berkurangnya kawasan-kawasan resapan air akan berdampak pada musibah musiman, yaitu kekeringan dimusim kemarau dan akan terjadi banjir pada musim hujan. Selain itu hilangnya ruang-ruang hijau kota menyebabkan kota semakin tidak bersahabat, polusi udara dan potensial meningkatkan ’penyakit psikologis’. Menurut Wakil Walikota Bandar Lampung, maraknya aktivitas pengeprasan bukit disebabkan lemahnya aspek pengendalian dan kinerja pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut (Lampost, 2006). Sementara jika dicermati lahan-lahan kosong yang belum termanfaatkan dan berpotensi untuk pengembangan di Kota Bandar Lampung masih cukup tersedia, sehingga Pemerintah Kota Bandar Lampung tidak perlu mengambil kebijakan reklamasi ataupun pengeprasan bukit. Salah satu contoh adalah Kelurahan Sumur Putri yang dalam RTRW dialokasikan untuk permukiman dan kebun campuran, prosentase lahan terbangun baru mencapai sekitar 14%.
64 Masalah keterbatasan lahan juga dapat dilakukan dengan intensifikasi dalam penggunaan
lahan,
yaitu
mengubah
paradigma/orientasi
pelaksanaan
pembangunan dari horisontal kearah vertikal, sehingga penggunaan ruang dapat semakin optimal dan efisien. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada dasarnya reklamasi pantai belum diperlukan di Kota Bandar Lampung. Jika aktivitas reklamasi dipaksakan untuk tetap dilakukan, maka yang terjadi adalah kerusakan lingkungan di kawasan sekitarnya. Selain itu terjadi protes keras dari berbagai elemen masyarakat terhadap tindakan reklamasi yang terus berlangsung sampai saat ini. Berbagai pihak merasa aktivitas reklamasi akan lebih banyak memberikan kerugian daripada manfaatnya bagi masyarakat (Tempo Interaktif, 2004). Konsistensi dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang mengindikasikan inkonsistensi dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang. Menurut Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002 pengendalian pemanfaatan ruang wilayah diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang berdasarkan mekanisme perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, pemberian kompensasi, mekanisme pelaporan, mekanisme pemantauan, mekanisme evaluasi dan mekanisme pengenaan sanksi. Adapun tujuan dari pengendalian pemanfaatan ruang (Supriatna, 2006) adalah: Ø Menjamin tercapainya konsistensi pemanfaatan ruang yang telah diteta pkan fungsinya. Ø Memastikan pemanfaatan ruang sudah sesuai denagn rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Ø Prasyarat pengendalian dapat berjalan efektif dan efisien, sehingga produk perencanaan kawasannya dapat disusun dengan baik, berkualitas, informatif dan akurat terhadap praktek-praktek pemanfaatan ruang di daerah. Sifat pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan dalam bentuk arahan kebijakan (Supriatna, 2006) antara lain untuk: 1. Mengarahkan pembangunan Ø Membuat ketentuan yang bersifat preventif dalam bentuk pengendalian pemanfaatan ruang dengan kebijakan pengendalian pembangunan fisik,
65 pengendalian dalam perijinan, pengawasan rencana lahan/lokasi, kebijakan insentif dan disinsentif. Ø Membuat ketentuan yang bersifat kuratif (pemulihan) dalam bentuk penegakan aturan atau hukum yang mengatur pembangunan perkotaan atau kawasan, disertai pemberian sanksi atau denda jika terjadi penyimpangan. 2. Mendorong pembangunan Ø Membuat ketentuan yang bersifat kuratif, yaitu dengan menjadikan rencana tata ruang kota sebagai pedoman bagi setiap pelaku pembangunan untuk melaksanakan rencana kegiatannya. Selain itu untuk mendorong terjadinya proses pertumbuhan kawasan atau pengembangan kota perlu diberikan adanya kebijakan insentif disinsentif terhadap setiap pelaku dalam mengembangkan investasinya atau disediakannya pengembangan infrastruktur oleh pemerintah kota untuk merangsang terjadinya kegiatan pembangunan. Tingkat konsistensi dalam pengendalian pemanfaatan ruang belum dapat diukur karena sampai saat ini Pemerintah Kota Bandar Lampung belum meyusun dokumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kota. Tetapi inkonsistensi dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat diduga disebabkan karena: Ø Pemberian ijin (IMB, SITU, ijin prinsip, ijin lokasi & IPB) tidak sesuai dengan RTRW. Ø Siste m informasi spasial belum memadai. Dalam peta RTRW relatif sulit untuk memperoleh informasi batas-batas koordinat setiap peruntukan lahan, didukung keterbatasan jumlah benchmark menyebabkan tingkat kesulitan yang tinggi untuk mengetahui, memantau serta mengevaluasi kesesuaian ketepatan lokasi di lapangan dengan peta rencana. Hal ini menunjukkan pentingnya sistem informasi geografis dalam penataan ruang, terutama untuk monitoring dan evaluasi pemanfaatan ruang (Wegener, 2001). Ø Kurangnya sosialisasi RTRW menyebabkan masyarakat sering tidak mengetahui peruntukan lahan sesuai RTRW. Kondisi ini menyebabkan masyarakat tidak sadar jika terjadi penyimpangan penggunaan lahan di
66 wilayah sekitarnya. Hal ini berimplikasi pada lemahnya mekanisme pelaporan terhadap penyimpangan RTRW. Ø RTRW tidak dibreakdown kedalam rencana yang lebih detail, sehingga aspek pengawasan dan pemantauan menjadi sulit dilakukan. Ø Lemahnya koordinasi antar institusi maupun kinerja BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah).
Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Meknisme Perijinan (BKPRD)
Pengawasan Pemanfaatan Ruang (BKPRD)
Penertiban Pemanfaatan Ruang (Bawasda, Biro Hukum, Tim Penyelidik Polri & Kejaksaan)
RTRW
Pemanfaatan
Laporan Perubahan Pemanfaatan Ruang
Evaluasi Rencana Pemanfaatan Ruang
Sanksi Administratif
Sanksi Pidana
Sanksi Perdata Pemantauan Penyimpangan Pemanfaatan Ruang
Gambar 19 Lingkup pengendalian pemanfaatan ruang Kelembagaan penataan ruang diatur dalam Kepmendagri No 147 Tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang selanjutnya disebut Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). BKPRD mengadakan pertemuan minimal 3 bulan sekali untuk membahas issue-issue penataan ruang didaerah serta rekomendasi alternatif kebijakan penataan ruang. Hasil pertemuan tersebut dilaporkan kepada kepala daerah untuk digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan. Selanjutnya kepala daerah melaporkan hasil pertemuan tersebut kepada pejabat diatasnya, yaitu bupati/walikota kepada gubenur dan gubernur kepada menteri dalam negeri.
67 Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) 1. Keanggotaan: Penanggungjawab : kepala daerah Ketua
: wakil kepala daerah
Ketua harian
: sekretaris daerah
Sekretaris
: kepala bappeda
Wakil sekretaris
: kepala dinas yang mengurus tata ruang
Anggota
: dinas/instansi terkait, sesuai kebutuhan daerah
BKPRD
Sekretariat
Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang
Kelompok Kerja Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Gambar 20 Struktur kelembagaan BKPRD
2. Tugas Ø Merumuskan berbagai kebijakan penyelenggaraan penataan ruang dengan memperhatikan penataan ruang pada hierarki diatas maupun dibawahnya. Ø Mengkoordinasikan penyusunan rencana tata ruang. Ø Mengkoordinasikan penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan sesuai dengan kewenangannya. Ø Mengintegrasikan dan memaduserasikan rencana tata ruang dengan rencana tata ruang pada hierarki diatas maupun dibawahnya, rencana tata ruang kawasan tertentu dan rencana tata ruang kawasan sekitarnya. Ø Memaduserasikan rencana pembangunan jangka menengah dan tahunan yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dengan rencana tata ruang Ø Melaksanakan kegiatan pengawasan yang meliputi pelaporan, evaluasi dan pemantauan penyelengga raan pemanfaatan ruang. Ø Memberikan rekomendasi penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Ø Memberikan rekomendasi perijinan tata ruang.
68 Ø Mengoptimalkan peranserta masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Ø Mengembangkan
informasi
penataan
ruang
untuk
kepentingan
penggunaan lahan di jajaran pemerintah, masyarakat dan swasta. Ø Menyosialisasikan dan menyebarluaskan informasi penataan ruang. Ø Mengkoordinasikan penanganan dan penyelesaian masalah atau konflik yang timbul dalam penyelenggaraan penataan ruang yang menjadi kewenangannya dan memberikan pengarahan serta saran pemecahannya. Ø Memberikan rekomendasi guna memecahkan masalah atau konflik pemanfaatan ruang yang menjadi kewenangannya. Ø Melaksanakan fasilitasi, supervisi dan koordinasi dengan dinas/instansi di wilayahnya, hierarki dibawahnya, masyarakat dan dunia usaha berkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang. Ø Memadukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dengan ruang hierarki dibawahnya maupun dengan wilayah sekitarnya. Ø Melakukan evaluasi tahunan atas kinerja penataan ruang Ø Menjabarkan petunjuk kepala daerah berkenaan dengan pelaksanaan fungsi dan kewajiban koordinasi penyelenggaraan penataan ruang Ø Menyampaikan laporan pelaksanaan tugas BKPRD secara berkala kepada kepala daerah. Permasalahan inkonsistensi, baik dalam tahap perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang ini pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan inefisiensi yang berdampak pada penurunan kinerja perkembangan wilayah. Permasalahan inkonsistensi dalam penataan ruang tidak hanya terjadi di Kota Bandar Lampung. Hal yang sama juga terjadi di beberapa kota besar di Indonesia, salah satunya adalah Kota Bandung. Bandung yang tempo dulu adalah diskripsi penuh romantisme yang memanja dan mempesonakan penghuninya, sehingga dikenal dengan sebutan ’Paris van Java’, saat ini berubah menjadi sebuah kota yang merepresentasikan ketidaktertiban, ketidaknya manan, serta setumpuk persoalan yang makin lama makin besar tentang tidak jelasnya arah pembangunan kota yang sudah berusia nyaris 2 abad sejak resmi didirikan.
69 Menurut Zulkaidi, berbagai permasalahan di Kota Bandung disebabkan karena terjadinya inkonsistensi dalam penataan ruang dan kurangnya responsivitas kebijakan RTRW dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat. Pendapat senada diungkapkan Prabatmodjo bahwa permasalahan di Kota Bandung disebabkan karena belum adanya konsistensi dalam kebijakan penataan ruang di Kota Bandung (Pikiran Rakyat, 2004). Untuk mengatasi permasalahan penataan ruang dan mengantisipasi dampak lanjut dari inkonsistensi penataan ruang diatas, maka dapat dilakukan upaya perbaikan/penyempurnaan penataan ruang. Upaya yang dilakukan dapat mengacu pada Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002. Tabel 10 Kriteria peninjauan kembali
RTR
Tipologi Sah
Simpangan Tidak Sah
Kecil
Besar
I
¥
¥
II
¥
¥
III
¥
¥
IV
¥
¥
Faktor Eksternal Tetap
Berubah
¥ ¥
V
¥
¥
VI
¥
¥
VII
¥
¥
VIII
¥
¥
¥ ¥ ¥ ¥ ¥ ¥
Sumber : Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002
Dari kriteria dalam tabel 10 dan dengan melihat kondisi penataan ruang Kota Bandar Lampung dapat disimpulkan bahwa Penataan Ruang Kota Bandar Lampung mengacu pada kriteria ke IV dengan ciri: 1. RTRW sah Proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung 79% sudah mengacu pada pedoman yang berlaku. RTRW Kota Bandar Lampung mendapat legalitas hukum melalui Perda Nomor 4 Tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandar Lampung, sehingga dapat dikatakan sah.
70 2. Simpangan besar Simpangan yang terjadi selama kurun waktu dari sejak disusun (2003) dan ditetapkan (2004) sampai tahun 2005 menunjukkan bahwa simpangan yang terjadi antara rencana dengan kondisi aktual rela tif besar atau tidak sesuai dengan ketentuan dalam RTR, walaupun kondisi RTR sendiri telah memenuhi prosedur dan ketentuan penyusunannya. 3. Faktor eksternal relatif tetap Faktor eksternal yang harus diperhatikan dalam penyusunan/peninjauan kembali RTRW adalah: •
Adanya perubahan dan atau penyempurnaan peraturan dan/rujukan sistem penataan ruang.
•
Adanya perubahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang dan/atau sektoral kawasan
perkotaan
yang
berdampak
pada
pengalokasian
kegiatan
pembangunan yang memerlukan ruang berskala besar. •
Adanya ratifikasi kebijaksanaan global yang mengubah paradigma sistem pembangunan dan pemerintahan serta paradigma perencanaan tata ruang.
•
Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat dan seringkali radikal dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam meminimalkan kerusakan lingkungan.
•
Adanya bencana alam yang cukup besar, sehingga mengubah struktur dan pola pemanfaatan ruang dan memerlukan relokasi kegiatan budidaya maupun lindung yang ada demi pembangunan pasca bencana. Menurut Kepmen tersebut, untuk kriteria ini tidak perlu dilakukan
pemutakhiran RTRW karena rencana masih sah dan tidak terjadi perubahan eksternal, namun karena permasalahannya adalah terjadinya simpangan pada pemanfaatan dan pengendalian, maka aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah: 1.
Penyusunan aturan atau rencana sektoral untuk menambahkan atau menyempurnakan aspek-aspek yang belum dibahas dalam RTRW, misalnya Pedoman atau Rencana Revitalisasi Kota Lama.
71 2.
RTRW Kota Bandar Lampung perlu didetailkan dalam rencana yang lebih rinci, seperti Rencana Detail Tata Ruang Kota (RTRWK) dan Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK). Hal yang perlu diperhatikan dalam pendetailan rencana tata ruang adalah efisiensi dalam pemanfaatan ruang dengan mengubah paradigma pembangunan dari horisontal kearah vertikal.
3.
Penyempurnaan/peningkatan
pe manfaatan
RTR
sebagai
acuan
pembangunan, baik dalam penyusunan rencana pembangunan lima tahunan (RPJM) maupun dalam rencana pembangunan tahunan, khususnya dalam mekanisme penganggaran. 4.
Peningkatan diseminasi rencana tata ruang kepada seluruh stakeholder, baik pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat luas, sehingga RTRW dapat menjadi dokumen yang memiliki kekuatan untuk mengikat secara eksternal (pedoman bagi masyarakat dalam pemanfaatan ruang kota) dan internal (pengendali bagi setiap kebijakan program pembangunan).
5.
Peningkatan pemanfaatan RTRW sebagai dokumen acuan dalam forum Rapat Koordinasi Pembangunan.
6.
Penyempurnaan kegiatan pemantauan dan pelaporan secara kontinyu terhadap program pembangunan dan implementasi ruang. Untuk itu, perkuatan kelembagaan BKPRD dan koordinasi antar dinas/instansi perlu terus ditingkatkan demi terwujudnya konsistensi dan kesinergian penataan ruang.
7.
Penyempurnaan
kegiatan
evaluasi
terhadap
pelaksanaan
program
implementasi ruang dan perizinan. Hal yang perlu diperhatikan adalah memperbaiki sistim informasi spasial. Dengan menggunakan sistem ini, mekanisme perijinan akan lebih mudah mengacu pada rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Demikian juga dalam proses evaluasi, akan lebih mudah melihat penyimpangan-penyimpangan dari rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
72 Analisis Perkembangan Wilayah Analisis PCA perkembangan wilayah Dengan menggunakan kriteria [Factor Loading] > 0,65, hasil PCA dari 38 variabel perkembangan wilayah, terdapat 8 variabel yang memiliki pengaruh nyata terhadap pembentukan variabel baru. Kedelapan variabel tersebut dapat dirumuskan dalam tiga indeks komposit, yaitu: 1. Indeks perkembangan aktivitas ekonomi & transportasi wilayah (F1PW) Pengaruh terbesar dalam indeks ini adalah aktivitas ekonomi dan transportasi, dengan penciri utama variabel warung, restoran, bank, hotel dan stasiun. Semua variabel berkorelasi positif, artinya peningkatan pada satu variabel akan menyebabkan peningkatan pada variabel lainnya. Hal ini cukup logis mengingat keberadaan restoran akan memicu tumbuhnya warung disekitarnya. 2. Indeks perkembangan fisik ruang wilayah (F2PW) Penciri utama indeks ini adalah variabel kawasan terbangun, yaitu rasio luas kawasan terbangun terhadap luas kawasan budidaya. 3. Indeks perkembangan aktivitas pendidikan wilayah (F3PW) Penciri utama indeks ini adalah keberadaan fasilitas pendidikan, yaitu variabel SLTP dan SLTA. Semua variabel berkorelasi positif, artinya jika jumlah fasilitas SLTP pada suatu wilayah bertambah, maka dalam wilayah tersebut juga akan dibangun fasilitas SLTA.
Dari 38 variabel perkembangan wilayah, yang paling nyata variasi spasialnya hanya dipengaruhi oleh aspek ekonomi, fisik ruang, pendidikan dan transportasi. Aspek budaya tidak berpengaruh secara nyata. Variasi spasial dari aspek fisik keruangan yang paling berpengaruh adalah luasan kawasan terbangun. Variasi spasial dari aspek ekonomi yang paling berpengaruh adalah keberadaan warung, restoran, bank & hotel. Variasi spasial dari aspek sosial yang paling berpengaruh adalah keberadaan sarana pendidikan, yaitu SLTP dan SLTA. Variasi spasial dari aspek transportasi yang paling berpengaruh adalah keberadaan stasiun.
73 Plot of Eigenvalues 4.5 4.0 3.5
Value
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Number of Eigenvalues
Gambar 21 Plot of eigenvalues perkembangan wilayah
Dari plot eigenvalues dapat diketahui bahwa terdapat empat faktor yang memiliki slope curam. Kecuraman tersebut menunjukkan semakin besar keragaman data awal yang mampu dijelaskan oleh data baru.
Kinerja Perkembangan Wilayah (Hasil PCA)
0.70 0.60 0.50 0.40
T B
T B
B a r a t
S e l a t a
P a n j a n g
n
0.30 0.20
T B
T K
U t a r a
0
5
10 15 20 25
t
g
n
R
T
B a s a
S e n e n
S u k a r a m
S u k a b u m
g
e
i
P u s a t
r
0.00
K e d a t o
T K
T K T i m u
0.10
B a r a
K e m il i n
30 35 40
45 50
55 60 65
70 75
80 85 90 95
Desa/Kelurahan
Gambar 22 Scutter plot perkembangan wilayah
Gambar 22 menunjukkan variasi kinerja perkembangan wilayah dari 98 kelurahan yang ada di Kota Bandar Lampung. Gambar tersebut menunjukkan
74 disparitas yang cukup mencolok antar kelurahan, walaupun kelurahan tersebut berada dalam satu kecamatan.
Gambar 23 Peta pola spasial perkembangan wilayah
Gambar 23 menunjukkan kinerja perkembangan wilayah yang dihasilkan dari analisis PCA dengan menggunakan kriteria indeks perkembangan wilayah baik (faktor score = 0,5), indeks perkembangan wilayah sedang (faktor score 0,25 - 0,5), dan indeks perkembanga n wilayah kurang ( faktor score = 0,25). Dalam gambar tersebut wilayah-wilayah dengan kinerja perkembang pesat adalah Kelurahan-kelurahan Pesawahan, Rawa Laut, Palapa, Tanjung Karang dan Gedung Meneng. Hal tersebut dapat dipahami mengingat wilayah Gedung Meneng dan sekitarnya merupakan pusat pendidikan bagi Provinsi Lampung. Pada wilayah ini terdapat berbagai fasilitas pendidikan mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi, baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) serta beberapa Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Keberadaan fasilitas ini merangsang tumbuhnya berbagai aktivitas lain yang berkontribusi terhadap percepatan perkembangan wilayah. Percepatan kinerja perkembangan keempat kelurahan lainnya dapat dipahami mengingat kelurahan tersebut berlokasi di pusat kota yang merupakan pusat berbagai aktivitas. Untuk wilayah-wilayah dengan kinerja perkembangan kurang didominasi oleh wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lampung Selatan,
75 yaitu Kelurahan-kelurahan Sukamaju, Keteguhan, Batuputu, Kedaung, Pinang Jaya, Rajabasa Raya, Way Laga dan Srengsem. Sebenarnya wilayah-wilayah tersebut cukup potensial untuk berkembang, seperti Kelurahan Rajabasa Raya, selain kemudahan askesibilitas ke berbagai tujuan, lokasinya yang berdekatan dengan Bandara Raden Inten, kawasan ini juga berdekatan dengan pusat pendidikan di Provinsi Lampung (negeri dan berbagai perguruan tinggi swasta). Permasalahan yang terjadi adalah kurangnya koordinasi dan kerjasama untuk mensinergikan atau sebagai upaya percepatan perkembangan wilayah. Tanpa koordinasi, wilayah perbatasan akan menjadi wilayah ‘konflik’ atau ‘terabaikan’ yang jauh dari sentuhan pembangunan. Dengan menerapkan konsep regional planning, yaitu merencanakan wilayah dengan memperhatikan konstelasi wilayah tersebut dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context) serta memiliki basis spasial yang jelas. Dengan konsep ini, walaupun kedua wilayah tidak memenuhi skala ekonomi (economic of scale), tetapi dengan bekerjasama (silaturahmi), wilayah tersebut dapat memenuhi skala ekonomi tersebut. Prasarana Dasar Kota Dengan menggunakan kriteria [Factor Loading] > 0,65, hasil PCA dari 15 variabel indikator prasarana dasar wilayah, terdapat 7 variabel yang memiliki pengaruh nyata terhadap variabel baru. Ketujuh variabel tersebut dapat dirumuskan dalam dua indeks komposit, yaitu: 1. Indeks perkembangan prasarana dasar wilayah (F1PD) Penciri utama indeks ini adalah variabel rasio jalan kota terhadap luas wilayah yang merupakan indikator aksesibilitas wilayah, rasio jalan lokal terhadap jumlah penduduk, tingginya layanan PDAM pada kelompok pertama dan ketiga serta banyaknya jumlah pelanggan telepon. 2. Indeks perkembangan jalan nasional wilayah (F2PD) Penciri utama indeks ini adalah jalan nasional, baik rasio terhadap luas wilayah maupun terhadap jumlah penduduk. Kedua variabel berkorelasi positif, artinya penurunan pada satu variabel akan menyebabkan penurunan pada variabe l lainnya.
76 Dari 15 variabel prasarana dasar, yang paling nyata variasi spasialnya dipengaruhi oleh prasarana jalan, air bersih dan telepon. Aspek listrik tidak berpengaruh secara nyata. Variasi spasial dari prasarana jalan yang paling berpengaruh adalah keberadaan prasarana jalan nasional, kota dan lokal. Variasi spasial dari prasarana PDAM yang paling berpengaruh adalah jumlah pelanggan air bersih yang berasal dari kelompok I dan III. Gambar 24 menunjukkan ketersediaan prasarana dasar yang dihasilkan dari analisis PCA dengan menggunakan kriteria indeks prasarana dasar baik (faktor score = 0,5), indeks prasarana dasar sedang (faktor score 0,25 - 0,5), dan indeks prasarana dasar kurang ( faktor score = 0,25). Jika dikaitkan dengan kinerja perkembangan wilayah menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang memiliki kinerja perkembangan baik ternyata memiliki prasarana dasar kota yang baik pula. Walaupun tidak semua wilayah dengan prasarana baik memiliki kinerja perkembangan wilayah yang baik pula. Secara spasial, ketersediaan prasarana dasar terakumulasi di pusat kota.
Gambar 24 Peta pola spasial prasarana dasar
Fisik wilayah Dengan menggunakan kriteria [Factor Loading] > 0,65, hasil PCA dari 17 variabel kondisi fisik wilayah, terdapat 12 variabel yang memiliki pengaruh nyata
77 terhadap variabel baru. Keduabelas variabel tersebut dapat dirumuskan dalam tiga indeks komposit, yaitu: 1. Indeks keterjalan & kelangkaan air tanah (F1FW) Penciri utama indeks ini adalah kondisi hidrologi air tanah langka, formasi geologi alluvium dan formasi campang dengan kelerengan lebih dari 40%. Semua variabel penciri berkorelasi positif, artinya secara umum di wilayah penelitian jika semakin besar wilayah dengan kondisi hidrologi air tanah langka, akan semakin besar pula formasi alluvium dan formasi campang serta semakin besar pula wilayah dengan kelerengan lebih dari 40%. 2. Indeks kelandaian & persebaran air tanah produktifitas sedang (F2FW) Penciri utama indeks ini adalah kondisi hidrologi akuifer produktifitas sedang dan menyebar luas, formasi endapan gunung api muda dan formasi lampung serta kelerengan 0-2% dan 2-20%. 3. Indeks air tanah produktifitas rendah (F3FW) Penciri utama indeks ini adalah kondisi hidrologi akuifer denga n produktifitas rendah, dengan formasi batuan granit tak terpisahkan dan formasi tarahan. Ketiga variabel penciri tersebut berkorelasi positif.
Gambar 25 Peta pola spasial fisik wilayah
78 Untuk 3 variabel fisik wilayah lainnya merupakan variabel yang tidak nyata (relative homogen, tidak ada keragaman) disetiap wilayah penelitian. Jikapun terdapat variasi, hal tersebut lebih disebabkan faktor galat/eror. Gambar 25 menunjukkan karakteristik fisik wilayah yang dihasilkan dari analisis PCA dengan menggunakan kriteria indeks karakteristik fisik wilayah baik (faktor score = 0,5), indeks karakteristik fisik wilayah sedang (faktor score 0,25 - 0,5), dan indeks karakteristik fisik wilayah kurang ( faktor score = 0,25). Model Perkembangan Wilayah Indeks komposit yang dihasilkan dari olah PCA tersebut selanjutnya digunakan sebagai variabel dalam analisis Spatial Durbin Model, yang menghasilkan 3 model matematis untuk mengukur kinerja perkembangan suatu wilayah, yaitu:
Model Perkembangan Aktivitas Ekonomi Wilayah Ln[F1PW] = -3,877 - 10,399 W2Ln[F1PW] + 5,526 W2Ln[F1PD] - 3,259 W2Ln[F3FW] + 1,678 W1Ln[F1PW] + 1,312 W2Ln[F2FW] + 0,536 W1Ln[F3FW] + 0,449 Ln[F1FW] Urutan penting faktor penentu perkembangan aktivitas ekonomi di suatu wilayah. a. Variabel nyata dan elastis 1. W2Ln[F1PW] adalah perkembangan aktivitas ekonomi dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 100% dan elastisitas 10,399%, artinya jika perkembangan aktivitas ekonomi dalam radius tertentu meningkat 1% akan menyebabkan peningkatan perkembangan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut sebesar 10,399%. Koefisien bernilai negatif, artinya perkembangan aktivitas ekonomi dalam radius tertentu menjadi faktor penghambat dalam perkembangan aktivitas ekonomi suatu wilayah. Dengan kata lain jika perkembangan aktivitas ekonomi dalam radius tertentu lebih baik dari wilayah tersebut, maka aktivitas ekonomi akan bergeser ke wilayah dalam radius tertentu. 2. W2Ln[F1PD] adalah ketersediaan prasarana dasar jalan, air bersih dan telepon dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 99,4% dengan
79 elastisitas 5,526%. Koefisien bernilai positif, artinya peningkatan ketersediaan
prasarana
dasar
akan
menyebabkan
peningkatan
perkembangan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut. Hal ini cukup logis karena
kelengkapan
prasarana
dasar
di
wilayah
sekitar
akan
mempengaruhi percepatan perkembangan suatu wilayah. 3. W2Ln[F3FW] adalah ketersediaan air tanah produktifitas rendah dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 3,259% dan koefisien bernilai negatif. 4. W1Ln[F1PW] adalah perkembangan aktivitas ekonomi di wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 1,678% dan koefisien positif. Hal ini dapat dimengerti karena perkembangan aktivitas ekonomi di suatu wilayah akan dapat ‘merangsang’ kawasan-kawasan disekitarnya untuk turut berkembang. 5. W2Ln[F2FW] adalah kelandaian dan ketersediaan air tanah produktifitas sedang di wilayah dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 97,7%, elastisitas 1,312% dengan koefisien positif. b. Variabel nyata dan tidak elastis 1. W1Ln[F3FW] adalah karakteristik kondisi air tanah produktifitas rendah pada wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 98,6% dan koefisien bernilai positif. 2. Ln[F1FW] adalah kondisi fisik wilayah dengan karakteristik terjal dan kelangkaan air tanah dengan tingkat kepastian 97,7% dan koefisien positif. Namun pengaruh fisik wilayah ini bersifat tidak elastis, artinya peningkatan faktor fisik wilayah 1% hanya akan mempengaruhi peningkatan perkembangan aktivitas ekonomi 0,449%. c) Variabel tidak nyata dan tidak elas tis Ø Faktor fisik ruang, perkembangan aktivitas pendidikan dan ketersediaan prasarana dasar perkotaan tidak berpengaruh secara nyata dalam peningkatan kinerja perkembangan aktivitas ekonomi suatu wilayah. Ø Faktor-faktor lain yang menentukan perkembangan aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah masih cukup banyak, tetapi 54% masih dapat diterangkan oleh model ini.
80 Model Perkembangan Fisik Ruang Wilayah (Land Use) Ln[F2PW] = 8,915 - 7,012 W2Ln[F2PW] + 3,449 W2Ln[F1PD] - 1,671 W2Ln[F2FW] + 1,53 W1Ln[F2PW] - 0,858 W1Ln[F1PD ] + 0,457 W1Ln[F1PW] + 0,365 Ln[F1PD ] - 0,264 Ln [F3FW] - 0,253 Ln[F1FW] + 0,175 Ln[F2FW]
Urutan penting faktor penentu perkembangan fisik ruang disuatu wilayah a. Variabel nyata dan elastis 1. W2Ln[F2PW] adalah perkembangan fisik ruang terbangun dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 99,8%, elastisitas 7,012 dan koefisien bernilai negatif. 2.
W2Ln[F1PD]
adalah perkembangan prasarana dasar (jalan, air bersih dan
telepon) dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 93,6%, elastisitas 3,449% da n koefisien bernilai positif. 3. W2Ln[F2FW] adalah kelandaian dan ketersediaan air tanah produktifitas sedang dan menyebar luas dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 99,1%, elastisitas 1,671 dan koefisien bernilai negatif. 4. W1Ln[F2PW] adalah perkembangan fisik ruang terbangun di wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 1,53% dan koefisien bernilai positif. b. Variabel nyata dan tidak elastis 1. W1Ln[F1PD ] adalah perkembangan prasarana dasar (jalan, telepon dan air bersih) wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 94,2% dan koefisien bernilai negatif. 2. W1Ln[F1PW] adalah perkembangan aktivitas ekonomi wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 97,3% dan koefisien bernilai positif. Hal ini cukup logis mengingat perkembangan aktivitas ekonomi akan memicu perkembangan fisik ruang, tetapi keduanya tidak dapat berada dalam satu lokasi secara bersama. 3. Ln[F1PD] adalah ketersediaan prasarana dasar wilayah (jalan, air bersih dan telepon) dengan tingkat kepastian 99,8% dan koefisien positif. Artinya ketersediaan prasarana dasar merupakan pemicu peningkatan ruang terbangun dalam suatu wilayah. Hal senada diungkapkan McGill bahwa pengujian proses manajemen kota harus dilihat sebagai provision
81 infrastructur, karena keberadaan infrastruktur tidak hanya mendukung perkembangan wilayah, tetapi juga distribusi spasial dari perkembangan kota (McGill, 1998). 4. Ln[F3FW] adalah kondisi fisik dengan karakter air tanah produktifitas rendah dengan tingkat kepastian 96,7% dan koefisien negatif. Artinya kawasan dengan karakteristik tersebut menjadi penghambat pelaksanaan fisik ruang terbangun. 5. Ln[F1FW] adalah kawasan dengan karakter terjal dan kelangkaan air tanah dengan tingkat kepastian 98,9% dan koefisien bernilai negatif. 6. Ln[F2FW] adalah kondisi fisik wilayah dengan karakteristik landai dan persebaran air tanah produktifitas sedang dengan tingkat kepastian 95,1% dan koefisien positif. Hal ini cukup logis mengingat pembangunan fisik ruang akan lebih mudah dan murah serta memiliki resiko yang lebih kecil jika di bangun pada wilayah dengan topografi yang relatif landai dan ketersediaan airnya mudah. c. Variabel tidak nyata dan tidak elastis 1. Faktor-faktor yang tidak disebutkan diatas mempunyai pengaruh yang tidak nyata terhadap perkembangan fisik ruang di suatu wilayah. 2. Faktor-faktor lain yang menentukan perkembangan fisik ruang dalam suatu wilayah cukup banyak, tetapi 54% masih dapat diterangkan oleh model ini. Model Perkembangan Aktivitas Pendidikan Wilayah Ln[F3PW] = 22,291 - 8,34 W2Ln[F3PW] - 4,884 W2Ln[F1PD] - 2,802 W2Ln[F3FW] + 2,801 W2Ln[F1FW] + 1,343 W1Ln[F3PW] - 0,208 Ln[F2PD] + 0,142 Ln[F2FW] Urutan penting faktor penentu perkembangan fisik ruang di suatu wilayah a. Variabel nyata dan elastis 1. W2Ln[F3PW] adalah perkembangan aktivitas pendidikan dalam satu radius dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 8,34% dan koefisien bernilai negatif.
82 2. W2Ln[F1PD ] adalah ketersediaan prasarana jalan, air bersih dan telepon dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 99,6%, elastisitas 4,884% dan koefisien negatif. 3. W2Ln[F3FW] adalah kondisi wilayah dengan karakteristik air tanah produktifitas rendah di wilayah dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 2,802% dan koefisien bernilai negatif. 4. W2Ln[F1FW] adalah kondisi wilayah dengan karakteristik terjal dan kelangkaan air tanah di wilayah dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 96,9%, elastisitas 2,801% dan koefisien bernilai positif. 5. W1Ln[F3PW] adalah perkembangan aktivitas pendidikan di wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 1,343% dan koefisien bernilai positif. b. Variabel nyata dan tidak elastis 1.
Ln[F2PD ] adalah
keberadaan jalan nasional dengan tingkat kepastian 96,5%
dan koefisien bernilai negatif, artinya bahwa keberadaan jalan nasional menjadi penghambat dalam perkembangan aktivitas pendidikan di suatu wilayah. 2.
Ln[F2FW]
adalah kondisi wilayah dengan karakteristik landai dan
persebaran air tanah produktifitas sedang dengan tingkat kepastian 98,2% dan koefisien positif. c. Variabel tidak nyata dan tidak elastis 1. Faktor-faktor selain tersebut diatas tidak memiliki pengaruh nyata terhadap perkembangan pendidikan di suatu wilayah. 2. Faktor-faktor lain yang menentukan perkembangan aktivitas pendidikan dalam suatu wilayah cukup banyak, tetapi 35% dapat diterangkan oleh model ini. Gambaran rinci mengenai model perkembangan wilayah dapat dilihat dalam Tabel Lampiran 9. Hasil analisis PCA perkembangan wilayah menunjukkan bahwa wilayah dengan kinerja perkembang baik adalah Kelurahan-kelurahan Gedung Meneng (pusat pendidikan), Pesawahan, Rawa Laut, Palapa dan Tanjung Karang (pusat
83 kota). Wilayah-wilayah tersebut berada di pusat Kota Bandar Lampung dan merupakan wilayah yang relatif tidak memiliki permasalahan tata ruang. Wilayahwilayah dengan kinerja perkembangan sedang memiliki permasalahan yang cukup kompleks, terutama untuk kawasan yang berada di pusat kota. Wilayah dengan kinerja perkembangan rendah didominasi oleh wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lampung Selatan, yaitu Kelurahan-kelurahan Sukamaju, Keteguhan, Pinang Jaya, Rajabas a Raya, Way Laga dan Srengsem. Pada wilayahwilayah tersebut terjadi inkonsistensi dalam penataan ruang, khususnya terkait dengan Inter-Regional Context, kondisi fasilitas dan prasarana dibawah standar yang ditetapkan serta issue wilayah pinggiran tersebut tidak diakomodir dalam penyusunan RTRW (Gambar Lampiran 1). Lemahnya aspek pengendalian ditunjukkan dalam Tabel Lampiran 11. Dari ketiga model empirik perkembangan wilayah menunjukkan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh signifikan (nyata) dan elastis terhadap variabel tujuan (kinerja perkembangan wilayah) didominasi oleh variabel yang terkait dengan kondisi sekitarnya, baik ketetanggaan (W1) maupun jarak sentroid (W2). Kondisi ini menunjukkan bahwa konsep kerjasama dan koordinasi dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Cooperation) menjadi faktor yang sangat penting untuk diperhatikan (Inferensi generalism) dalam setiap kegiatan pembangunan dalam rangka optimasi pencapaian tujuan pembangunan dan peningkatan
kinerja
perkembangan
wilayah.
Temuan
tersebut
juga
mengindikasikan pentingnya Inter-Regional Co operation dalam skala yang lebih luas, misalnya antar Kabupaten/Kota, khususnya Kota Bandar Lampung terkait dengan perannya sebagai PKN, Kawasan Andalan serta pusat pelaya nan primer bagi wilayah di sekitarnya. Pentingnya kerjasama merupakan salah satu amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan Pemerintahan. Menurut ketentuan tersebut, kerjasama yang bersifat lintas kabupaten/kota merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi dengan melibatkan seluruh kabupaten yang bersangkutan. Untuk membuktikan pentingnya kerjasama antar kabupaten maupun antar provinsi secara empirik diperlukan penelitian lebih lanjut.
84
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Berdasarkan analisis RTRW Kota Bandar Lampung, dapat disimpulkan beberapa temuan sebagai berikut: Ø Dari aspek proses penyusunan, RTRW Kota Bandar Lampung relatif telah sesuai dan mengacu pada pedoman yang berlaku (79%). Ø Dari aspek legalitas, RTRW Kota Bandar Lampung telah sah dan mendapat legalitas hukum melalui Perda 4 Tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandar Lampung. Ø Dari aspek pemanfaatan ruang telah terjadi penyimpangan yang relatif besar terhadap rencana yang telah ditetapka n. Ø Faktor eksternal (tidak terjadi perubahan kebijakan penataan ruang maupun bencana yang menyebabkan perubahan struktur tata ruang) relatif tetap. 2. Dalam proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung ditemukan hal-hal sebagai berikut: Ø Penyusunan RTRW belum memperhatikan keserasian dan koordinasi dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context), yaitu Kabupaten Lampung Selatan, RTR kawasan fungsional maupun RTR pada hierarki yang lebih tinggi, yaitu RTRW Provinsi Lampung. Ø Dari analisis model perkembangan wilayah menunjukkan bahwa aspek ketetanggaan sangat menentukan kinerja perkembangan suatu wilayah, karena aspek ketetanggaan (berbatasan langsung maupun dalam radius tertentu) sangat mendominasi dan berpengaruh dalam setiap model perkembangan wilayah. 3. Dari analisis permodelan perkembangan wilayah, ditemukan hal-hal berikut: Ø Terdapat tiga model matematis perkembangan wilayah, yaitu model perkembangan aktivitas ekonomi dan transportasi, model perkembangan
85 fisik ruang wilayah dan model perkembangan aktivitas pe ndidikan wilayah. Ø Variabel yang nyata dan elastis untuk setiap model perkembangan wilayah seluruhnya terkait dengan aspek wilayah sekitar, baik ketetanggaan maupun jarak centroid . Dalam penelitian ini dengan menggunakan unit analisis kelurahan sudah menunjukkan pentingnya kerjasama untuk meningkatkan perkembangan wilayah. Oleh sebab itu kerjasama perlu dikembangkan dalam skala yang lebih luas (kabupaten/kota), khususnya Kota Bandar Lampung, mengingat kota tersebut memiliki peran yang sanga t strategis skala nasional, regional maupun provinsi. 4. Studi menunjukkan bahwa terdapat konsistensi dalam penataan ruang di Kota Bandar Lampung, tetapi terjadi inkonsistensi dalam pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Inkonsistensi tersebut menyebabkan berbagai permasalahan keruangan yang berakibat menurunnya kinerja perkembangan wilayah. Dari hasil studi perkembangan wilayah, terdapat faktor pendorong perkembangan wilayah, yaitu: a) Ketersediaan prasarana dasar (jalan kota/lokal, air bersih dan telepon). Konsekuensi logis dari kesimpulan tersebut terkait dengan mekanisme anggaran, bahwa ketiga aspek tersebut dapat dijadikan skala prioritas dalam
percepatan
pembangunan
suatu
kawasan
dengan
skenario
dipercepat. Sebaliknya untuk kawasan dengan skenario diperlambat pembangunannya, maka ketiga sektor tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk mengendalikan pesatnya perkembangan wilayah. b) Kondisi fisik wilayah yang baik, yaitu dengan karakteristik landai dan air tanah produktifitas sedang. Hal ini cukup logis karena perkembangan wilayah memerlukan berbagai kemudahan termasuk kemudahan sistem pergerakan dan kemudahan ketersediaan air. Sedangkan faktor penghambat perkembangan wilayah adalah ketersediaan jalan nasional di tingkat lokal (kelurahan). Oleh karena itu dalam jangka panjang ke depan perlu diupayakan supaya pembangunan jalan nasional diarahkan di pinggiran kota (ring road).
86 Saran 1. Berdasarkan Kepmen Kimpraswil Nomor 327/KPTS/M/2002, maka butir temuan kesimpulan pertama merekomendasikan bahwa Pemerintah Kota Bandar Lampung perlu segera mengambil langkah-langkah sebagai berikut: Ø Meningkatkan sosialisasi RTRW kepada seluruh stakeholder, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Ø Menyusun dokumen pendamping RTRW untuk melengkapi aspek-aspek yang belum diatur secara jelas serta menyusun dokumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kota Bandar Lampung. Ø RTRW perlu didetailkan dalam rencana yang lebih rinci, yaitu RDTR dan RTR dengan tetap memperhatikan efisiensi dalam pemanfataan ruang. Ø RTRW harus menjadi dokumen yang memiliki kekuatan untuk mengikat secara eksternal (pedoman bagi masyarakat dalam pemanfaatan ruang kota)
dan
internal
(pengendali
bagi
setiap
kebijakan
program
pembangunan). 2. Dari butir temuan 2 dan 3 memberikan konsekuensi pentingnya kerjasama antar daerah. Artinya untuk mencapai efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan pembangunan serta peningkatan kinerja perkembangan wilayah diperlukan kerjasama dan koordinasi dengan wilayah sekitarnya, baik yang bertetangga maupun yang berada dalam satu radius tertentu (jarak centroid ). Implikasi dari hal tersebut adalah: Ø Dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembangunan perlu memperhatikan keterkaitan dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context). Ø Pemerintah Provinsi Lampung perlu segera menyusun dan menetapkan Rencana Tata Ruang (RTR) kawasan fungsional yang bersifat lintas kabupaten/kota, khususnya antara Kota Bandar Lampung de ngan Kabupaten Lampung Selatan. Ø Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui model empirik pentingnya kerjasama dalam wilayah yang lebih luas (Kota Bandar Lampung dengan kabupaten disekitarnya, atau Provinsi Lampung dengan provinsi di sekitarnya).
87 Ø Perlu dilakukan pengkajian efektifitas cakupan kawasan kerjasama serta bidang-bidang yang perlu dikerjasamakan, khususnya dalam satu radius untuk menghasilkan model optimasi perkembangan wilayah. 3. Penataan ruang memiliki implikasi terhadap perkembangan wilayah, sehingga konsistensi
dalam
penataan
ruang,
baik
dalam
aspek
perencanaan,
pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Salah satu upayanya adalah mengembangkan dan mensosialisasikan penggunaan sistem informasi spasial, baik dalam aspek perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1992. Undang-undang Penataan Ruang. Jakarta. . 2002. Pedoman Penyusunan Penataan Ruang Daerah. Jakarta. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Anwar, E. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Bogor. P4WPress. Aronoff, S. 1989. Geografic Information System: Management Perspective. Ottawa, Canada. WDL Publications. Budiharjo, Eko. 1997. Tata Ruang Perkotaan . Bandung. PT Alumni. Budiharjo, Eko. 1995. Pendekatan Sistem dalam Tata Ruang dan Pembangunan Daerah untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional. Yogyakarta. Gajahmada University Press. Danisworo, M. Revitalisasi Kawasan Kota . Jakarta. Info URDI Vol 13. LeSage, James P (1999). The Theory and Practice of Spatial Econometrics. http://www.econ.utoledo.edu. Marquez LO and Maheepala S. 1996. An Object-Oriented Approach to the Integrated Planning of Urban Development and Utility Services. Environ. and Urban Systems Vol. 20 No 4/5:pp.303-312. McGill, R. 1998. Urban Management in Developing Countries. Cities Vol 13 No 6:pp.405-471. Prahasta, E. 2005. Sistem Informasi Geografis: Tutorial ArcView . Bandung. Informatika Bandung. Rustiadi, E dan Saefulhakim, S. & Panuju, D.R. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor. Saefulhakim, S. 2006. Arah dan Isyu Strategis Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Dalam Perspektif Ekonomi Wilayah: Bogor. Fakultas Pertanian IPB. Saefulhakim, S. 2005. Principal Components Analysis (PCA) dan Factor Analysis (FA): Bogor. Fakultas Pertanian IPB. Sastrowihardjo, M dan Napitupulu, H. 2001. Kebijakan Pertanahan dan Pembangunan . Jakarta. Pusdiklat BPN. Supriatna, Y. 2006. Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang ‘Konsepsi dan Pengukuran Kinerja’. Jakarta. Bappenas.
Wahyuni, E. 1998. Kajian Analisis Penghijauan Kota dalam Penanganan Degradasi Lingkungan. Semarang. UNDIP. Wegener, M. 2001. New Spatial Plannin g Models. JAG Vol 3 issue 3.
Media Massa Lampung Post, 8 Agustus 2006. Bapedalda Harus Bertindak Tegas. Pikiran Rakyat, 24 Desember 2004. Menanti Konsistensi Penataan Ruang Kota . Republika, 27 Juli 2006. Ratusan Warga Pesisir Teluk Lampung Demo . Trans Sumatera Post, 2 Agustus 2004. BLH Bandar Lampung Teliti Sampel Limbah PT Golden Sari. Tempo Interaktif, 6 Juni 2004. Buntut Proyek Reklamasi, Walikota Lampung Digugat.
DIAGRAM PENYUSUNAN KOTA RTRW KOTA (Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002)
Dokumen: • UU 24/92 • PP 47/97 ttg RTRWN • Perda 5/2001 ttg RTRWP Dokumen Pembangunan:
Rumusan kondisi yang akan datang
• Propeda/Renstra Provinsi Lampung • Propeda/Renstra Kota Bandar Lampung • Rencana sektoral Identifikasi Permasalahan Pembangunan Kota 1. Perkembangan sosial kependudukan* • Tingkat pertumbuhan penduduk • Ukuran keluarga* • Budaya/aktivitas sosial penduduk* • Pola pergerakan penduduk* 2. Prospek pertumbuhan ekonomi* • Ketenagakerjaan • PDRB • Kegiatan usaha • Perkembangan penggunaan tanah & produktivitasnya* 3. Daya dukung fisik dan lingkungan* • Kondisi tata guna tanah • Kondisi bentang alam kawasan • Letak geografis • Sumberdaya air • Kondisi lingkungan (topografi & pola drainase) • Sensitivitas terhadap lingkungan, bencana alam & kegempaan • Status & nilai tanah • Ijin lokasi 4. Daya dukung prasarana & fasilitas kota* • Jenis infrastruktur perkotaan • Jangkauan pelayanan • Jumlah penduduk yang terlayani • Kapasitas pelayanan
1. Perkiraan kebutuhan & peluang pengembangan KotaBandar Lampung Evaluasi kinerja RTRW Kota Bandar Lampung 1994-2004
Analisis Teknis 1. Tinjauan terhadap batas wilayah perencanaan 2. Kebijakan pembangunan 3. Sektoral & perekonomian 4. Kependudukan 5. Daya dukung fisik & lingkungan 6. Daya dukung prasarana & fasilitas kota
Formulasi Visi, Misi & Tujuan Pembangunan Kota
Ø Perkiraan kebutuhan pengembangan kependudukan. Ø Perkiraan kebutuhan pengembangan ekonomi perkotaan* Ø Perkiraan kebutuhan fasilitas sosial & ekonomi perkotaan Ø Perkiraan kebutuhan pengembangan lahan perkotaan (ekstensifikasi, intensifikasi & perkiraan ketersediaan lahan bagi pengembangan) Ø Perkiraan kebutuhan sarana & prasarana kota 2. Perkiraan hubungan fungsional kawasan kota
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRW ) 1. Pengelolaan kawasan lindung 2. Pengelolaan kawasan budidaya* 3. Pengelolaan kawasan perkotaan & kawasan tertentu* 4. Rencana Pengelolaan TGT, TGA, TGU dan SDA lainnya* 5. Pengembangan sistem kegiatan pemban gunan & pusat -pusat pelayanan permukiman perkotaan * 6. Pentahapan & prioritas pengembangan untuk perwujudan struktur pemanfaatan ruang kota*
Penetapan RTRW Kota Bandar Lampung(Perda) Ø Penetapan substansi rencana Ø Pedoman perijinan pemanfaatan ruang Ø Pedoman pemberian kompensasi, serta pemberian insentive & pengenaan disinsentive. Ø Pedoman pengawasan (pelaporan, pemantauan & evaluasi) & penertiban (termasuk pengenaan sanksi) pemanfaatan ruang.
TEKNIS INPUT
Gambar Lampiran 1 Diagram Penyusunan RTRW Kota
* Permasalahan dalam penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung
Tabel Lampiran 2 Hasil PCA Perkembangan Wilayah
Eigenvalues (Perkembangan Wilayah.sta) Extraction: Principal components Eigenvalue % Total Cumulative Cumulative variance Eigenvalue
%
1
3.74
9.83
3.74
9.83
2
3.33
8.76
7.06
18.59
3
3.03
7.98
10.10
26.57
4
2.16
5.70
12.26
32.27
Plot of Eigenvalues 4.5 4.0 3.5
Value
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Number of Eigenvalues
Communalities (Perkembangan Wilayah.sta)
Factor Loadings (Varimax normalized) (Perkembangan Wilayah.sta)
Extraction: Principal components
Extraction: Principal components
Rotation: Varimax normalized
(Marked loadings are > .700000)
From 1 From 2 From 3 From 4 Multiple
Factor Factor Factor Factor
Factor Factors Factors Factors R-Square
1
2
3
4
0.02
0.30
0.05
0.02
0.17
0.73
-0.08
0.24
-0.18
-0.42
-0.10
0.45
0.03
0.00
-0.05
0.52
St Industri
0.03
-0.42
0.04
-0.03
0.56
St Pasar
0.17
0.11
0.02
0.23
0.69
St Supermarket
0.52
0.10
0.45
0.29
0.56
0.65
St Warung
0.65
-0.34
-0.10
0.10
0.58
0.58
0.73
St Restoran
0.72
0.24
-0.03
0.02
0.71
0.72
0.73
0.81
St Bank
0.84
0.01
-0.11
0.11
0.00
0.00
0.00
0.09
0.37
St KUD
-0.03
-0.01
0.03
-0.30
St Hotel
0.45
0.45
0.46
0.55
0.75
St Hotel
0.67
0.08
0.08
-0.30
St Penerima KS
0.01
0.41
0.42
0.43
0.53
St Penerima KS
-0.11
-0.63
0.03
-0.10
St KKM
0.00
0.00
0.03
0.04
0.17
St KKM
0.01
0.03
-0.18
0.07
St KKL
0.00
0.01
0.01
0.04
0.24
St KKL
-0.06
-0.06
-0.03
0.19
St TK
0.00
0.28
0.43
0.53
0.66
St TK
0.04
0.53
0.39
-0.31
St SD
0.01
0.01
0.38
0.38
0.48
St SD
-0.10
-0.03
0.60
-0.09
St SLTP
0.01
0.04
0.57
0.57
0.69
St SLTP
-0.08
0.18
0.73
-0.02
St SLTA
0.00
0.09
0.62
0.62
0.76
St SLTA
0.06
0.29
0.73
-0.01
St PT
0.00
0.04
0.05
0.05
0.47
St PT
0.04
0.21
0.09
0.04
St RS
0.01
0.11
0.11
0.12
0.32
St RS
-0.12
0.31
0.03
-0.10
St Puskes
0.01
0.09
0.09
0.15
0.41
St Puskes
-0.10
0.28
-0.01
-0.24
St Poli
0.11
0.22
0.24
0.45
0.59
St Poli
0.33
-0.34
0.11
-0.47
St DokPrak
0.08
0.20
0.35
0.40
0.61
St DokPrak
0.29
0.34
0.39
0.23
St BidPrak
0.01
0.15
0.15
0.25
0.35
St BidPrak
-0.09
0.37
0.08
-0.32
St Masjid
0.07
0.23
0.44
0.66
0.68
St Masjid
0.27
-0.39
0.46
-0.47
St Surau
0.04
0.25
0.35
0.38
0.50
St Surau
0.19
-0.46
0.32
0.17
St Gereja
0.00
0.15
0.18
0.19
0.36
St Gereja
0.06
0.38
-0.19
-0.11
St Pure
0.01
0.01
0.01
0.04
0.25
St Pure
-0.07
-0.05
-0.08
0.16
St Vihara
0.00
0.09
0.10
0.13
0.50
St Vihara
0.05
0.30
-0.04
0.20
St Bioskop
0.02
0.03
0.10
0.18
0.47
St Bioskop
0.13
0.13
-0.25
0.28
St Diskotik
0.02
0.03
0.03
0.08
0.67
St Diskotik
0.13
0.11
0.01
-0.24
St Alun²
St Kabud
0.00
0.09
0.09
0.09
0.16
St Kabud
St Terbangun
0.03
0.57
0.57
0.63
0.63
St Terbangun
St Kel Miskin
0.03
0.21
0.22
0.42
0.51
St Kel Miskin
St Penerimaan
0.00
0.00
0.00
0.28
0.41
St Penerimaan
St Industri
0.00
0.18
0.18
0.18
0.41
St Pasar
0.03
0.04
0.04
0.09
St Supermarket
0.27
0.29
0.49
0.57
St Warung
0.42
0.54
0.55
St Restoran
0.52
0.58
St Bank
0.71
St KUD
0.02
0.07
0.29
0.29
0.50
St Alun²
-0.14
-0.22
0.47
-0.06
St Penyewaan VCD 0.01
0.04
0.05
0.44
0.57
St Penyewaan VCD 0.09
0.16
0.11
0.63
St Rmh Bilyard
0.14
0.14
0.14
0.27
0.61
St Rmh Bilyard
0.37
-0.06
0.07
0.35
St Pelabuhan
0.01
0.02
0.02
0.08
0.42
St Pelabuhan
0.12
0.08
-0.03
0.24
St Stasiun
0.56
0.57
0.60
0.62
0.81
St Stasiun
0.75
-0.10
-0.17
-0.14
St Terminal
0.01
0.04
0.08
0.08
0.44
St Terminal
-0.11
0.18
-0.19
0.04
Expl.Var
3.64
3.33
2.77
2.52
Prp.Totl
0.10
0.09
0.07
0.07
Bobot
0.30
0.27
0.23
0.21
Factor Score Coefficients (Perkembangan Wilayah.sta) Rotation: Varimax normalized Extraction: Principal components
Factor St Kabud
Factor Factor
Factor
1
2
3
4
0.00
0.09
0.01
0.00
St Terbangun
0.04
0.22
-0.04
0.07
St Kel Miskin
-0.05
-0.14
0.00
0.19
St Penerimaan
0.00
-0.01
0.01
0.21
St Industri
0.01
-0.13
0.02
0.00
St Pasar
0.04
0.03
0.02
0.09
St Supermarket
0.13
0.01
0.17
0.13
St Warung
0.18
-0.11
-0.04
0.03
St Restoran
0.20
0.07
-0.03
-0.01
St Bank
0.23
0.00
-0.05
0.02
St KUD
0.00
0.00
-0.01
-0.12
St Hotel
0.19
0.03
-0.01
-0.13
St Penerima KS
-0.03
-0.19
0.02
-0.02
St KKM
0.00
0.01
-0.06
0.02
St KKL
-0.02
-0.02
0.00
0.08
St TK
0.01
0.16
0.11
-0.12
St SD
-0.04
-0.02
0.22
0.00
St SLTP
-0.04
0.04
0.27
0.03
St SLTA
0.00
0.07
0.26
0.03
St PT
0.01
0.06
0.03
0.01
St RS
-0.03
0.10
0.00
-0.05
St Puskes
-0.02
0.09
-0.02
-0.10
St Poli
0.10
-0.10
0.01
-0.18
St DokPrak
0.06
0.09
0.14
0.10
St BidPrak
-0.02
0.12
0.00
-0.13
St Masjid
0.08
-0.12
0.15
-0.16
St Surau
0.04
-0.15
0.13
0.10
St Gereja
0.02
0.12
-0.09
-0.06
St Pure
-0.02
-0.02
-0.02
0.06
St Vihara
0.01
0.09
-0.01
0.07
St Bioskop
0.04
0.04
-0.08
0.09
St Diskotik
0.04
0.04
-0.01
-0.10
St Alun²
-0.05
-0.07
0.18
0.01
St Penyewaan VCD
0.01
0.03
0.07
0.26
St Rmh Bilyard
0.09
-0.03
0.04
0.14
St Pelabuhan
0.03
0.02
0.00
0.09
St Stasiun
0.22
-0.03
-0.09
-0.08
St Terminal
-0.03
0.06
-0.07
0.00
Factor Scores (Perkembangan Wilayah.sta) Rotation: Varimax normalized Extraction: Principal components
1
2
3
4
0.84
-3.26
0.40
-0.51
-0.51
-1.26
-0.77
0.42
-0.40
-0.91
-0.58
0.28
-0.55
-0.71
-1.15
0.73
-0.69
-0.84
-0.29
-0.30
-0.46
-0.48
-0.14
0.39
-0.24
-1.72
-0.58
0.13
-0.25
-1.48
-0.57
0.14
-0.37
0.19
0.08
1.73
-0.70
0.57
-0.47
0.33
0.83
1.38
0.05
2.36
1.11
0.03
-0.90
2.42
Kinerja Perkembangan Wilayah (Hasil PCA)
0.70 Factor Factor Factor Factor
IKE1 0.60 IKE2 IKE3 IKE4 IKET 0.20 0.00 0.28 0.34 0.19 0.03 0.50 0.05
0.38
0.13
0.52
0.25
0.45
0.15
0.49
0.27
0.03 0.40 0.01
0.49
0.08
0.58
0.28
0.47
0.19
0.38
0.25
0.04 0.30 0.07
0.53
0.21
0.51
0.31
0.30
0.15
0.46
0.23
0.06 0.20 0.05
0.34
0.16
0.46
0.24
0.66
0.24
0.77
0.41
0.01 0.10 0.19
0.74
0.17
0.50
0.34
0.89
0.24
0.89
0.54
0.63
0.11
0.90
0.45
0.06
0.30
-1.72
0.68
0.23 0.00 0.10
-0.22
-0.09
-0.71
0.71
0.07
0.69 0 5 0.61
-0.56
-0.17
0.24
0.54
0.03
0.59
0.26
0.54
0.34
-0.25
1.15
-0.96
0.83
0.06
0.85
0.10
0.59
0.40
-0.56
-0.59
-0.34
1.84
0.03
0.51
0.19
0.79
0.35
-0.79
-0.49
1.07
0.47
0.00
0.53
0.37
0.53
0.34
-0.71
-0.52
-0.74
1.53
0.01
0.53
0.13
0.73
0.33
-0.56
-0.99
-0.68
-0.47
0.03
0.44
0.14
0.34
0.23
-0.63
0.85
-1.23
-0.03
0.02
0.79
0.07
0.43
0.32
0.58
0.12
-0.50
1.17
0.16
0.65
0.16
0.66
0.40
0.58
-0.17
-0.16
0.47
0.16
0.59
0.21
0.53
0.37
-0.73
-1.47
0.50
-0.07
0.01
0.34
0.30
0.42
0.25
-0.54
-2.80
0.18
0.24
0.03
0.09
0.25
0.48
0.19
-0.71
-1.16
0.80
0.15
0.01
0.40
0.33
0.46
0.28
0.54
1.39
5.90
0.06
0.16
0.89
1.00
0.45
0.61
-0.16
0.81
0.67
0.54
0.08
0.78
0.32
0.54
0.42
-0.07
0.20
0.35
0.99
0.09
0.67
0.28
0.63
0.40
-0.43
0.06
-0.12
1.21
0.04
0.64
0.21
0.67
0.37
-0.17
0.15
0.95
0.91
0.07
0.66
0.35
0.61
0.41
-0.57
0.10
-0.01
0.59
0.03
0.65
0.23
0.55
0.35
-0.03
-0.80
1.08
2.48
0.09
0.47
0.37
0.91
0.43
-0.52
0.46
-0.77
0.03
0.03
0.72
0.13
0.44
0.32
1.15
0.59
0.21
-1.16
0.23
0.74
0.26
0.21
0.37
1.39
0.16
0.76
-2.26
0.26
0.66
0.33
0.00
0.33
-0.22
-0.44
-0.33
-0.69
0.07
0.54
0.19
0.30
0.27
-0.05
0.52
0.72
0.68
0.09
0.73
0.32
0.57
0.41
0.33
1.94
-1.29
-1.00
0.13
1.00
0.06
0.24
0.38
-0.26
0.44
-0.62
-0.06
0.06
0.71
0.15
0.42
0.33
0.21
1.53
-1.12
-1.78
0.12
0.92
0.08
0.09
0.32
0.59
1.37
-0.41
-1.26
0.17
0.89
0.18
0.19
0.37
0.35
0.77
0.08
-1.29
0.14
0.78
0.24
0.19
0.34
-0.13
1.23
0.96
-0.56
0.08
0.86
0.35
0.33
0.41
0.11
0.91
-0.52
-1.86
0.11
0.80
0.16
0.08
0.30
-0.50
-1.91
0.63
-1.13
0.03
0.26
0.31
0.22
0.20
-0.65
-2.15
1.92
-0.67
0.02
0.21
0.48
0.31
0.23
0.23
1.01
0.11
0.49
0.12
0.82
0.24
0.53
0.42
0.33
0.54
0.92
-0.30
0.13
0.73
0.35
0.38
0.40
0.01 0.57 0.33 10 15 20 25 30 0.14 0.57 0.33
0.70 0.60 0.50 35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85 0.4090
Desa/Kelurahan 0.30 0.20 0.10 0.00 1
1.11
0.07
3.19
0.33
0.23
0.64
0.65
0.50
0.49
0.74
0.14
0.74
0.11
0.18
0.65
0.33
0.46
0.40
0.78
1.39
1.45
0.55
0.19
0.90
0.42
0.54
0.51
-0.22
0.94
-1.11
-0.22
0.07
0.81
0.09
0.39
0.34
1.57
0.48
-1.76
1.10
0.28
0.72
0.00
0.65
0.41
3.13
-1.22
1.09
2.93
0.47
0.39
0.37
1.00
0.54
7.58
-1.01
-1.53
-1.52
1.00
0.43
0.03
0.14
0.45
1.13
0.22
0.40
-0.58
0.23
0.67
0.28
0.32
0.38
-0.49
0.41
0.22
0.01
0.04
0.71
0.26
0.44
0.35
-0.51
1.28
0.38
-1.07
0.03
0.87
0.28
0.23
0.36
-0.18
-2.91
-0.48
-0.16
0.07
0.07
0.17
0.40
0.16
0.24
0.99
-0.08
0.35
0.12
0.82
0.22
0.50
0.41
-0.14
0.61
0.17
0.27
0.08
0.74
0.25
0.49
0.38
-0.56
0.40
-0.11
0.05
0.03
0.70
0.22
0.44
0.34
0.25
0.65
0.15
-1.29
0.12
0.75
0.25
0.19
0.34
-0.44
0.14
1.28
-1.01
0.04
0.65
0.40
0.24
0.33
0.28
-2.81
-0.05
-2.16
0.13
0.09
0.22
0.02
0.12
-0.70
-0.62
1.21
-1.68
0.01
0.51
0.39
0.11
0.25
-0.55
0.55
-0.61
-0.34
0.03
0.73
0.15
0.37
0.32
-0.34
0.30
-0.10
0.02
0.05
0.69
0.22
0.44
0.34
-0.21
0.20
0.15
-0.84
0.07
0.67
0.25
0.27
0.31
-0.56
-0.30
-0.43
0.47
0.03
0.57
0.17
0.53
0.31
-0.76
0.63
-0.08
0.06
0.00
0.75
0.22
0.45
0.35
-0.34
0.20
-0.44
0.59
0.05
0.67
0.17
0.55
0.35
-0.31
0.38
-0.18
0.80
0.06
0.70
0.21
0.59
0.38
-0.67
0.26
-0.56
-0.14
0.01
0.68
0.16
0.41
0.31
-0.70
0.53
-0.40
0.44
0.01
0.73
0.18
0.52
0.35
-0.33
0.17
-0.80
-0.34
0.05
0.66
0.13
0.37
0.30
-0.58
-0.38
0.06
-0.08
0.02
0.55
0.24
0.42
0.30
-0.40
0.10
-0.87
-0.14
0.05
0.65
0.12
0.41
0.30
-0.34
-1.07
-0.51
-1.16
0.05
0.42
0.16
0.21
0.21
0.77
1.27
1.17
1.03
0.19
0.87
0.38
0.63
0.51
-0.29
0.37
-0.86
-0.41
0.06
0.70
0.12
0.36
0.31
-0.30
-0.95
0.95
-1.07
0.06
0.44
0.35
0.23
0.27
-0.52
0.09
0.68
-0.73
0.03
0.64
0.32
0.29
0.32
-0.27
0.27
0.08
-0.55
0.06
0.68
0.24
0.33
0.33
-0.73
0.61
0.44
-1.81
0.01
0.74
0.29
0.09
0.29
-0.46
0.65
-0.42
-1.42
0.04
0.75
0.17
0.16
0.29
-0.07
0.23
-0.83
-0.12
0.09
0.67
0.12
0.41
0.32
-0.42
0.45
-0.22
-0.06
0.04
0.71
0.20
0.42
0.34
-0.30
0.13
-0.17
-0.71
0.06
0.65
0.21
0.30
0.30
-0.26
0.11
-0.58
-0.41
0.06
0.65
0.15
0.36
0.30
-0.30
0.65
0.36
-0.80
0.06
0.75
0.28
0.28
0.34
-0.40
0.06
-1.04
0.35
0.05
0.64
0.09
0.50
0.31
0.66
0.75
-0.22
0.79
0.17
0.77
0.20
0.59
0.43
0.29
-0.52
0.25
1.14
0.13
0.53
0.26
0.66
0.38
0.23
-0.22
-0.15
0.36
0.12
0.58
0.21
0.50
0.35
0.29
0.24
-0.86
-0.64
0.13
0.67
0.12
0.31
0.31
-0.44
0.69
0.14
-0.44
0.04
0.76
0.25
0.35
0.35
-0.79
-3.26
-1.76
-2.26
7.58
1.94
5.90
2.93
0.00
0.00
0.00
0.00
1
1
1
1
0.84
0.40
0.84
-0.51
-0.51
-0.77
-0.51
0.42
-0.40
-0.58
-0.40
0.28
-0.55
-1.15
-0.55
0.73
-0.69
-0.29
-0.69
-0.30
-0.46
-0.14
-0.46
0.39
-0.24
-0.58
-0.24
0.13
-0.25
-0.57
-0.25
0.14
-0.37
0.08
-0.37
1.73
-0.70
-0.47
-0.70
0.33
0.83
0.05
0.83
2.36
1.11
-0.90
1.11
2.42
0.06
-1.72
0.06
0.68
-0.22
-0.71
-0.22
0.71
-0.56
0.24
-0.56
0.54
-0.25
-0.96
-0.25
0.83
-0.56
-0.34
-0.56
1.84
-0.79
1.07
-0.79
0.47
-0.71
-0.74
-0.71
1.53
-0.56
-0.68
-0.56
-0.47
-0.63
-1.23
-0.63
-0.03
0.58
-0.50
0.58
1.17
0.58
-0.16
0.58
0.47
-0.73
0.50
-0.73
-0.07
-0.54
0.18
-0.54
0.24
-0.71
0.80
-0.71
0.15
0.54
5.90
0.54
0.06
-0.16
0.67
-0.16
0.54
-0.07
0.35
-0.07
0.99
-0.43
-0.12
-0.43
1.21
-0.17
0.95
-0.17
0.91
-0.57
-0.01
-0.57
0.59
-0.03
1.08
-0.03
2.48
-0.52
-0.77
-0.52
0.03
1.15
0.21
1.15
-1.16
1.39
0.76
1.39
-2.26
-0.22
-0.33
-0.22
-0.69
-0.05
0.72
-0.05
0.68
0.33
-1.29
0.33
-1.00
-0.26
-0.62
-0.26
-0.06
0.21
-1.12
0.21
-1.78
0.59
-0.41
0.59
-1.26
0.35
0.08
0.35
-1.29
-0.13
0.96
-0.13
-0.56
0.11
-0.52
0.11
-1.86
-0.50
0.63
-0.50
-1.13
-0.65
1.92
-0.65
-0.67
0.23
0.11
0.23
0.49
0.33
0.92
0.33
-0.30
1.11
3.19
1.11
0.33
0.74
0.74
0.74
0.11
0.78
1.45
0.78
0.55
-0.22
-1.11
-0.22
-0.22
1.57
-1.76
1.57
1.10
3.13
1.09
3.13
2.93
7.58
-1.53
7.58
-1.52 -0.58
1.13
0.40
1.13
-0.49
0.22
-0.49
0.01
-0.51
0.38
-0.51
-1.07
-0.18
-0.48
-0.18
-0.16
0.24
-0.08
0.24
0.35
-0.14
0.17
-0.14
0.27
-0.56
-0.11
-0.56
0.05
0.25
0.15
0.25
-1.29
-0.44
1.28
-0.44
-1.01
0.28
-0.05
0.28
-2.16
-0.70
1.21
-0.70
-1.68
-0.55
-0.61
-0.55
-0.34
-0.34
-0.10
-0.34
0.02
-0.21
0.15
-0.21
-0.84
-0.56
-0.43
-0.56
0.47
-0.76
-0.08
-0.76
0.06
-0.34
-0.44
-0.34
0.59
-0.31
-0.18
-0.31
0.80
-0.67
-0.56
-0.67
-0.14
-0.70
-0.40
-0.70
0.44
-0.33
-0.80
-0.33
-0.34
-0.58
0.06
-0.58
-0.08
-0.40
-0.87
-0.40
-0.14
-0.34
-0.51
-0.34
-1.16
0.77
1.17
0.77
1.03
-0.29
-0.86
-0.29
-0.41
-0.30
0.95
-0.30
-1.07
-0.52
0.68
-0.52
-0.73
-0.27
0.08
-0.27
-0.55
-0.73
0.44
-0.73
-1.81
-0.46
-0.42
-0.46
-1.42
-0.07
-0.83
-0.07
-0.12
-0.42
-0.22
-0.42
-0.06
-0.30
-0.17
-0.30
-0.71
-0.26
-0.58
-0.26
-0.41
-0.30
0.36
-0.30
-0.80
-0.40
-1.04
-0.40
0.35
0.66
-0.22
0.66
0.79
0.29
0.25
0.29
1.14
0.23
-0.15
0.23
0.36
0.29
-0.86
0.29
-0.64
-0.44
0.14
-0.44
-0.44
1.00 0.80 0.60
F2
0.40 0.20 0.00 -0.20 0 -0.40 -0.60 -0.80
95
5
9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89 93 97
-0.80
F4
1
F3
Series1
-0.40
Factor Factor
F3
Factor
-0.40
0.02
4 0.02
0.05
0.02
0.02
0.30
0.02
0.73
-0.08
0.24
0.17
-0.08
0.17
0.24
0.73
0.24
-0.42
-0.10
0.45
-0.18
-0.10
-0.18
0.45
-0.42
0.45
0.00
-0.05
0.52
0.03
-0.05
0.03
0.52
0.00
0.52
-0.42
0.04 -0.03
0.03
0.04
0.03
-0.03
-0.42
-0.03
0.11
0.02
0.23
0.17
0.02
0.17
0.23
0.11
0.23
0.10
0.45
0.29
0.52
0.45
0.52
0.29
0.10
0.29
-0.34
-0.10
0.10
0.65
-0.10
0.65
0.10
-0.34
0.10
0.24
-0.03
0.02
0.72
-0.03
0.72
0.02
0.24
0.02
0.01
-0.11
0.11
0.84
-0.11
0.84
0.11
0.01
0.11
-0.01
0.03 -0.30
-0.03
0.03
-0.03
-0.30
-0.01
-0.30
0.08
0.08 -0.30
0.67
0.08
0.67
-0.30
0.08
-0.30
-0.63
0.03 -0.10
-0.11
0.03
-0.11
-0.10
-0.63
-0.10
0.03
-0.18
0.07
0.01
-0.18
0.01
0.07
0.03
0.07
-0.06
-0.03
0.19
-0.06
-0.03
-0.06
0.19
-0.06
0.19
0.53
0.39 -0.31
0.04
0.39
0.04
-0.31
0.53
-0.31
-0.03
0.60 -0.09
-0.10
0.60
-0.10
-0.09
-0.03
-0.09
0.18
0.73 -0.02
-0.08
0.73
-0.08
-0.02
0.18
-0.02
0.29
0.73 -0.01
0.06
0.73
0.06
-0.01
0.29
-0.01
0.21
0.09
0.04
0.04
0.09
0.04
0.04
0.21
0.04
0.31
0.03 -0.10
-0.12
0.03
-0.12
-0.10
0.31
-0.10
0.28
-0.01 -0.24
-0.10
-0.01
-0.10
-0.24
0.28
-0.24
-0.34
0.11 -0.47
0.33
0.11
0.33
-0.47
-0.34
-0.47
0.34
0.39
0.23
0.29
0.39
0.29
0.23
0.34
0.23
0.37
0.08 -0.32
-0.09
0.08
-0.09
-0.32
0.37
-0.32
-0.39
0.46 -0.47
0.27
0.46
0.27
-0.47
-0.39
-0.47
-0.46
0.32
0.19
0.32
0.19
0.17
-0.46
0.17
0.17
-0.19 -0.11
0.06
-0.19
0.06
-0.11
0.38
-0.11
-0.08
0.16
-0.07
-0.08
-0.07
0.16
-0.05
0.16
0.30
-0.04
0.20
0.05
-0.04
0.05
0.20
0.30
0.20
0.13
-0.25
0.28
0.13
-0.25
0.13
0.28
0.13
0.28
0.11
0.01 -0.24
0.13
0.01
0.13
-0.24
0.11
-0.24
-0.22
0.47 -0.06
-0.14
0.47
-0.14
-0.06
-0.22
-0.06
0.16
0.11
0.63
0.09
0.11
0.09
0.63
0.16
0.63
-0.06
0.07
0.35
0.37
0.07
0.37
0.35
-0.06
0.35
0.08
-0.03
0.24
0.12
-0.03
0.12
0.24
0.08
0.24
-0.10
-0.17 -0.14
0.75
-0.17
0.75
-0.14
-0.10
-0.14
0.18
-0.19
-0.11
-0.19
-0.11
0.04
0.18
0.04
0.04
-0.40
-0.40
F4
0.38 -0.05
F3
3 0.05
F4
2 0.30
-0.80
Scatter Plot Cattel & Varimax
0.70
Scatter Plot Cattel & Varimax
0.70 0.60
3.00 2.00
0.50
1.00
0.40
F2
0.00 -2.00
0.00 -1.00
2.00
4.00
6.00
8.00
Series1
0.30 0.20
-2.00
0.10
-3.00 -4.00
0.00 F1
1
5
Scatter Plot Cattel & Varimax
0.70 0.60
3.00 2.00
0.50
1.00
0.40
F2
0.00 -2.00
0.00 -1.00
2.00
4.00
6.00
8.00
Series1
0.20
-2.00
0.10
-3.00 -4.00
0.00 F1
1
Scatter Plot Cattel & Varimax 7.00 6.00 5.00 4.00 F3
3.00 2.00
Series1
1.00 0.00 -4.00
-3.00
-2.00
-1.00 -1.000.00
1.00
2.00
3.00
-2.00 -3.00 F2
Scatter Plot Cattel & Varimax 4.00 3.00 2.00
F4
1.00 Series1 0.00 -4.00
-2.00
0.30
0.00 -1.00
2.00
4.00
-2.00 -3.00 F3
Scatter Plot Cattel & Varimax
6.00
8.00
5
Scatter Plot Cattel & Varimax 7.00 6.00 5.00 4.00
F3
3.00 2.00
Series1
1.00 0.00 -2.00
-1.000.00
2.00
4.00
-2.00 -3.00 F1
6.00
8.00
7.00 6.00 5.00 4.00
F3
3.00 2.00
Series1
1.00 0.00 -2.00
-1.000.00
2.00
4.00
6.00
8.00
-2.00 -3.00 F1
Scatter Plot Cattel & Varimax 4.00 3.00 2.00
F4
1.00 Series1 0.00 -2.00
0.00 -1.00
2.00
4.00
6.00
8.00
-2.00 -3.00 F1
Scatter Plot Cattel & Varimax 1.2 1
F4
0.8 0.6
Series1
0.4 0.2 0 0
0.2
0.4
0.6 F2
0.8
1
1.2
F1 & F2 Cattel & Varimax Loading 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 Series1 0.00 -0.20 0
5
10
15
20
25
30
35
40
-0.40 -0.60 -0.80 F1
F2 & F3 Cattel & Varimax Loading 0.80 0.60 0.40 0.20
Series1
0.00 -0.80
-0.60
-0.40
-0.20
0.00 -0.20
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
-0.40 F2
F3 & F4 Cattel & Varimax Loading 0.80 0.60 0.40 0.20 Series1 0.00 -0.40
-0.20
0.00 -0.20
0.20
-0.40 -0.60 F3
0.40
0.60
0.80
F1 & F3 Cattel & Varimax Loading 0.80 0.60 0.40 0.20
Series1
0.00 -0.40
-0.20
0.00 -0.20
0.20
0.40
-0.40 F1
0.60
0.80
1.00
F1 & F3 Cattel & Varimax Loading 0.80 0.60 0.40 0.20
Series1
0.00 -0.40
-0.20
0.00 -0.20
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
-0.40 F1
F1 & F4 Cattel & Varimax Loading 0.80 0.60 0.40 0.20 Series1 0.00 -0.40
-0.20
0.00 -0.20
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
-0.40 -0.60 F1
F2 & F4 Cattel & Varimax Loading 0.80 0.60 0.40 0.20 Series1 0.00 -0.80
-0.60
-0.40
-0.20
0.00 -0.20
0.20
-0.40 -0.60 F2
0.70
0.40
0.60
0.80
1.00
0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 1
5
9
13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89 93 97
0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 1
5
9
13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89 93 97
Tabel Lampiran 3 Data prasarana dasar kota
Kecamatan
Kelurahan
Luas Wil (Ha)
Telukbetung Barat Sukamaju Keteguhan Kota Karang Perwata Bakung Kuripan Negri Olok Gading Sukajaya Telukbetung Selatan Gedung Pakuon Talang Pesawahan Telukbetung Kangkung Bumi Waras Pecohraya Sukaraja Geruntang Ketapang Way Lunik Panjang Srengsem Panjang Selatan Panjang Utara Pidada Way Laga Way Gubak Karang Maritim Tanjung Karang Timur Rawa Laut Kota Baru Tanjung Agung Kebon Jeruk Sawah Lama Sawah Brebes Jaga Baya I Kedamaian Tanjung Raya Tanjung Gading Campang Raya Telukbetung Utara Kupang Kota Gunung Mas Kupang Teba Kupang Raya Pahoman Sumur Batu Gulak Galik Pengajaran Sumur Putri Batu Putu Tanjung Karang Pusat Durian Payung Gotong Royong Enggal Pelita
Panjang Jalan (hm) Σ Pddk Σ RT (Jiwa) Nas Prov Kota Lkl
Pelanggan PDAM (KK) I
II
III
IV
Pel Pel List Telp V (KK) (KK)
639
4,249
1170
0 3,037
241
1,876
2
76
251
3
0
812
364
8,483
1183
0
619
2,505
381
7
18
81
0
0
984
28 74
56
14,301
2921
0
550
1,438
0
9
87
594
7
0
2650
429 65
23
3,842
963
0
0
636
62
5
97
251
16
0
802
107
5,706
1214
0
0
1,036
1,678
4
38
144
0
0
871
70
34
4,636
976
0
0
21
879
4 127
152
2
0
907
492
109
4,359
1045
0
0
2,015
3,356
0
7
17
1
0
920
78
627
4,236
1206
0
0
5,552
1,721
0
0
0
0
0
620
12
36
4,181
927
0
398
577
86
2
14
41
3
0
862
139
46
7,913
1756
455
393
705
125
0
76
211
10
0
1422
719
63
11,242
2495 1,061
291
1,951
0
15 206
455
363
0
2271
1622
19
4,643
933
692
0
1,241
21
5
23
299
179
0
858
662
30
12,079
2333
391
0
752
0
20
20
492
264
0
1563
1423
73
17,239
2995
822
192
1,876
407
15
66
428
154
0
2456
1198
83
5,116
1016
0
525
1,640
26
3
22
316
20
0
925
498
79
10,209
2161
739 1,030
1,015
79
9
21
210
39
0
1794
1124
110
6,797
1496
530
16
555
644
2
25
295
24
0
1126
374
124
4,370
983 1,635
0
1,781
22
1
2
21
1
0
798
98
150
9,370
1982 3,545
40
584
672
8
11
75
12
0
1764
694
456
7,571
1849
830
0
0
2,017
0
0
0
0
0
1387
109
106
11,998
2554 1,003
0
1,842
447
4
29
238
14
0
2005
224
112
12,679
2761 1,376
0
2,452
0
6
58
280
49
1
2174
748
318
10,878
2303 1,833
0
672
929
2
27
110
9
0
1979
432
433
6,503
1570
0 1,024
1,911
1,975
0
0
0
0
0
920
85
546
3,023
624
0
885
3,498
500
0
0
0
0
0
136
10
105
8,781
1868 1,653
0
0
367
0
0
0
0
0
877
86
51
5,298
924
472
3,560
82
3
41
466
32
0
924
238
103
11,647
2351
0 1,078
3,556
1,036
5
70
715
43
0
2351
896
22
7,021
1200
0
337
1,258
0
6
14
320
27
0
800
800
23
5,424
1123
0
0
492
0
9
13
314
17
0
1123
360
12
5,815
1146
0
0
876
0
8
13
246
21
0
1139
762
30
7,334
1403
0
0
1,549
0
8
7
343
6
0
1386
799
17
2,783
500
0
0
524
0
5
28
591
81
0
500
506
128
14,375
2762
872
209
4,584
872
3
28
473
31
0
2562
435
54
5,772
1240
0
980
1,688
58
0
4
221
6
0
1118
900
105
2,924
616
0
448
1,141
0
0
11
146
6
0
458
248
960
8,695
1583
0 3,830
2,698
1,319
0
0
0
0
0
1485
80
44
10,410
2035
1,683
198
2 197
747
31
0
2035
1221
225
190
0
678 1,127
104
3,709
0
501
358
3
12
124
3
0
678
271
66
11,158
2134
143
0
1,126
27
0
25
298
54
0
2134
927
17
3,424
710
24
0
1,176
0
0
4
60
5
0
710
284
76
4,835
819
0 1,117
3,455
286
0
68
533
73
0
819
512
78
7,882
1631
502
0
2,865
0
2
54
587
30
0
1631
1224
72
7,082
1492
576
0
1,317
165
2
94
363
17
0
1477
210
116
5,747
1185 1,405
0
2,639
394
1
32
188
5
0
1161
948
92
4,597
773
0
0
2,501
259
3
54
293
12
0
618
96
93
4,108
820
0
0
1,544
389
0
0
0
0
0
164
0
98
9,480
1722
202
0
2,724
202
3
72
435
56
0
1692
703
38
5,467
1237
387
249
1,684
120
1
64
422
36
0
1212
489
64
5,282
1141
9
330
3,404
28
2
22
327
51
0
1141
1047
23
5,537
1009
382
115
864
0
10
12
353
31
0
951
1132
Tabel Lampiran 3 Lanjutan
Kecamatan
Kelurahan
Luas Wil (Ha)
Palapa 30 Kaliawi 42 Kelapa Tiga 21 Tanjung Karang 28 Gunung Sari 21 Pasir Gintung 30 Penengahan 40 Tanjung Karang Barat Susunan Baru 338 Sukadana Ham 954 Suka Jawa 82 Gedung Air 131 Segala Mider 225 Gunung Terang 201 Kemiling Sumber Agung 498 Kedaung 577 Pinang Jaya 195 Beringin Raya 711 Sumber Rejo 703 Kemiling Permai 713 Langkapura 228 Kedaton Sukamenanti 38 Sidodadi 86 Surabaya 84 Perumnas Way Halim 92 Kedaton 497 Labuan Ratu 312 Kampung Baru 155 Sepang Jaya 138 Rajabasa Rajabasa Raya 227 Gedung Meneng 328 Rajabasa 319 Rajabasa Jaya 319 Tanjung Seneng Labuhan Dalam 227 Tanjung Seneng 312 Way Kandis 307 Perumnas Way Kandis 319 Sukarame Sukarame 403 Way Halim Permai 120 Gunung Sulah 97 Way Dadi 348 Harapan Jaya 376 Sukabumi Jagabaya II 104 Jagabaya III 103 Tanjung Baru 140 Kalibalok Kencana 125 Sukabumi Indah 271 Sukabumi 271
Sumber : PODES 2005
Panjang Jalan (hm) Σ Pddk Σ RT (Jiwa) Nas Prov Kota Lkl
Pelanggan PDAM (KK) I
II
III
IV
Pel Pel List Telp V (KK) (KK)
4,317
807
261
111
1,525
39
1
8
272
111
0
798
536
13,373
2774
280
0
810
0
9
67
558
69
0
2472
225
11,606
2245
340
0
1,004
0
2
46
493
101
0
2133
783
3,814
766
279
0
1,132
0
2
15
375
287
0
752
324
2,888
620
130
0
389
148
3
7
47
389
0
620
344
5,055
1119
529
0
576
139
11
22
240
89
0
1054
838
6,382
1330
229
0
1,390
183
5 105
360
5
0
1265
704
2,804
606
0
0
6,596
130
0
2
44
1
0
484
20
2,388
518
0
0
4,839
1,200
0
2
8
0
0
466
78
14,385
3411
682
0
1,852
101
10 149 1035
28
0
2750
2500
10,647
2161
673
0
3,486
336
12 118
603
23
0
2100
1050
14,436
3020
569
0
3,763
1,838
7 136
620
28
0
740
275
7,178
1395
0
0
4,134
660
0
4
258
2
0
1255
1046
3,027
760
0
0
4,486
2,266
0
0
0
0
0
608
0
1,035
237
0
0
3,339
845
0
0
0
0
0
80
0
3,050
682
134
0
2,772
0
0
1
3
0
0
205
0
13,020
2886
0
0
7,033
4,676
4
31 1508
24
0
2600
300
12,767
2544 2,136
0
8,381
1,456
4
73
369
29
0
2000
1500
11,403
4343
414
0
4,411
1,831
0 902
390
6
0
3560
0
8,715
1505 1,061
0
3,955
714
1
64
254
16
0
700
600
6,369
1408
0
0
1,562
164
2
59
212
2
0
1056
142
11,230
2319
882
0
3,543
167
0
68
511
16
0
1250
600
10,339
2519
0
0
3,167
10
3
28
410
16
0
1879
430
12,018
2628 1,406
0
4,815
68
1 1839 643
22
0
2323
250
13,242
2530 1,485
0
9,140
2,856
1
21
121
2
0
1352
68
17,388
4357 1,832
0
4,113
1,653
0
18
304
3
0
4357
320
7,630
2416
898
0
2,767
953
0
5
5
0
0
1526
1358
11,829
2345
587
0
1,983
267
0
0
6
0
0
2336
319
6,078
1353 1,310
0
2,554
1,098
0
0
0
0
0
880
70
8,587
1311 1,431
0
3,240
2,952
0
3
111
10
0
1311
1143
16,883
2934 1,111
528
0
2,621
2,066
0
0
0
0
0
2673
4,578
809
155
0
3,044
1,011
0
0
0
0
0
631
9
6,131
1356
489
0
3,008
862
0
0
0
0
0
1095
403
11,287
2956
10
0
3,046
2,697
0
0
0
0
0
2453
1600
5,481
1045
0
0
2,546
2,435
0
0
0
0
0
815
40
5,970
1213
0
0
5,893
131
0 257
323
7
0
995
401
17,851
3741
350
0
7,313
1,219
0
0
0
0
0
3216
3000
8,052
1828
0
0
5,030
1,267
2
10
849
108
0
1370
400
9,271
1834
0
0
3,141
653
2
31
152
0
0
1834
475
15,696
3173
651
0
5,916
3,128
0
1
384
0
0
3075
317
7,924
1747
0
0
4,677 13,538
0
0
0
0
0
850
200
13,599
2859
0
8
2,854
1,642
1
13
131
28
0
2133
2149
8,281
2036
0
207
1,854
2,223
0
0
347
16
0
1907
1215
5,681
1375
0 1,171
694
177
0
1
159
60
0
1250
750
7,220
1535
892
756
1,840
1,849
0
0
0
0
0
1436
1200
7,203
1563
189 1,483
2,241
2,588
0
0
0
0
0
1432
750
10,019
2148
0 1,566
1,855
969
0
0
0
0
0
1988
2050
Tabel Lampiran 5 Data fisik wilayah KECAMATAN Telukbetung Barat
KELURAHAN
Sukamaju Keteguhan Kota Karang Perwata Bakung Kuripan Negri Olok Gading Sukajaya Telukbetung Selatan Gedung Pakuon Talang Pesawahan Telukbetung Kangkung Bumi Waras Pecohraya Sukaraja Geruntang Ketapang Way Lunik Panjang Srengsem Panjang Selatan Panjang Utara Pidada Way Laga Way Gubak Karang Maritim Tanjung Karang Timur Rawa Laut Kota Baru Tanjung Agung Kebon Jeruk Sawah Lama Sawah Brebes Jaga Baya I Kedamaian Tanjung Raya Tanjung Gading Campang Raya Telukbetung Utara Kupang Kota Gunung Mas Kupang Teba Kupang Raya Pahoman Sumur Batu Gulak Galik Pengajaran Sumur Putri Batu Putu Tanjung Karang Pusat Durian Payung Gotong Royong Enggal Pelita
Luas
A
B
C
D
E
F
a
b
c
d
e
f
g
0-2 2-2O 20-40 >40
639
0 416
0 223
0
0
0
0
0
0 219 420
0
223
17
325
74
364
0 230
0 102
32
0
0
0
0
0
80 284
0
152
0
193
19
56
0
0
0
56
0
0
0
0
0
0
56
0
0
56
0
0
0
23
0
0
0
20
3
0
0
0
0
0
23
0
0
21
2
0
0
107
0
23
0
11
74
0
0
0
0
0
15
92
0
9
39
58
0
34
0
29
0
0
5
0
0
0
23
0
0
11
0
5
6
16
7
109
0
0
0
0 109
0
0
0
26
0
12
71
0
18
88
3
0
627
0
2
0
0 625
0
0
0
620
0
0
7
0
0
559
68
0
36
0
0
0
0
36
0
0
0
20
0
4
13
0
6
30
0
0
46
0
0
0
0
46
0
0
0
21
0
6
18
0
14
32
0
0
63
0
0
0
41
22
0
0
0
0
0
55
8
0
63
0
0
0
19
0
0
0
2
17
0
0
0
0
0
19
0
0
19
0
0
0
30
0
0
0
29
1
0
0
0
0
0
30
0
0
30
0
0
0
73
0
0
0
33
40
0
0
0
11
0
62
0
0
66
7
0
0
83
0
0
0
0
83
0
0
0
81
0
2
0
0
9
74
0
0
79
0
0
0
56
23
0
0
0
0
0
79
0
0
55
24
0
0
110
0
0
11
53
46
0
0
0
12
0
41
57
0
34
71
5
0
124
0
0
86
22
16
0
0
0
0
0
5 119
0
37
87
0
0
150
0
0
88
62
0
0
0
0
0
0
3 147
0
136
14
0
0
456
456
0
0
0
0
0 154
0
0 114
0 152
35
123
0
228
104
106
87
0
0
19
0
0
17
0
0
0
9
25
55
50
0
30
27
112
22
0
0
90
0
0
0
0
0
0
18
49
45
94
0
18
0
318
154
0 143
21
0
0
0
0
0
0
0 318
0
81
58
179
0
433
2
0 431
0
0
0
0
0
0
0
0 433
0
24
338
71
0
546
0
0 545
0
1
0
0
16
0
0
0 530
0
119
181
125
120
105
105
0
0
0
0
0
52
0
0
0
0
53
0
53
0
8
44
51
0
0
0
0
43
8
0
0
51
0
0
0
0
12
39
0
0
103
0
0
0
0
4
99
0
0
103
0
0
0
0
42
50
11
0
22
0
0
0
0
0
22
0
0
22
0
0
0
0
22
0
0
0
23
0
0
0
0
2
21
0
0
23
0
0
0
0
19
0
4
0
12
0
0
0
0
1
11
0
0
12
0
0
0
0
12
0
0
0
30
0
0
0
0
0
30
0
0
30
0
0
0
0
30
0
0
0
17
0
0
0
0
0
17
0
0
17
0
0
0
0
17
0
0
0
128
0
0
0
0
66
62
0
0
124
0
0
4
0
43
80
4
0
54
0
0
0
0
0
54
0
0
54
0
0
0
0
30
23
1
0
105
0
0
0
0
32
73
0
0
101
0
0
4
0
20
53
32
0
960
0
12 901
0
47
0
0
35
84
0 102 527 213
139
568
83
170
44
0
0
0
0
44
0
0
0
37
0
0
7
0
1
43
0
0
104
0
0
0
0 104
0
0
0
86
0
18
0
0
27
77
0
0
66
0
0
0
0
66
0
0
0
66
0
0
0
0
0
66
0
0
17
0
0
0
0
17
0
0
0
16
0
1
0
0
4
13
0
0
76
0
0
0
0
68
8
0
0
76
0
0
0
0
30
46
0
0
78
0
0
0
0
78
0
0
0
78
0
0
0
0
0
78
0
0
72
0
0
0
0
72
0
0
0
72
0
0
0
0
0
72
0
0
116
0
0
0
0 116
0
0
0
116
0
0
0
0
0
116
0
0
92
0
1
0
0
91
0
0
0
92
0
0
0
0
0
67
25
0
93
0
54
0
0
39
0
0
0
93
0
0
0
0
2
72
19
0
98
0
4
0
0
94
0
0
0
98
0
0
0
0
26
67
5
0
38
0
0
0
0
38
0
0
0
38
0
0
0
0
29
9
0
0
64
0
0
0
0
64
0
0
0
64
0
0
0
0
61
3
0
0
23
0
0
0
0
23
0
0
0
23
0
0
0
0
23
0
0
0
Tabel Lampiran 5 Lanjutan KECAMATAN
Tanjung Karang Barat
Kemiling
Kedaton
Rajabasa
Tanjung Seneng
Sukarame
Sukabumi
Sumber : PODES 2005
KELURAHAN
Luas
Palapa 30 Kaliawi 42 Kelapa Tiga 21 Tanjung Karang 28 Gunung Sari 21 Pasir Gintung 30 Penengahan 40 Susunan Baru 338 Sukadana Ham 954 Suka Jawa 82 Gedung Air 131 Segala Mider 255 Gunung Terang 201 Sumber Agung 498 Kedaung 577 Pinang Jaya 195 Beringin Raya 711 Sumber Rejo 703 Kemiling Permai 713 Langkapura 228 Sukamenanti 38 Sidodadi 86 Surabaya 84 Perumnas Way Halim 92 Kedaton 497 Labuan Ratu 312 Kampung Baru 155 Sepang Jaya 138 Rajabasa Raya 227 Gedung Meneng 328 Rajabasa 319 Rajabasa Jaya 319 Labuhan Dalam 227 Tanjung Seneng 312 Way Kandis 307 Perumnas Way Kandis319 Sukarame 403 Way Halim Permai 120 Gunung Sulah 97 Way Dadi 348 Harapan Jaya 376 Jagabaya II 104 Jagabaya III 103 Tanjung Baru 140 Kalibalok Kencana 125 Sukabumi Indah 221 Sukabumi 271
A
B
C
D
E
F
a
b
c
d
e
f
g
0-2
2-2O 20-40 >40
0
0
0
0
30
0
0
0
30
0
0
0
0
29
1
0
0
0
0
0
0
42
0
0
0
42
0
0
0
0
12
17
13
0
0
0
0
0
21
0
0
0
21
0
0
0
0
9
11
1
0
0
0
0
0
28
0
0
0
28
0
0
0
0
28
0
0
0
0
0
0
0
12
9
0
0
21
0
0
0
0
21
0
0
0
0
0
0
0
16
14
0
0
30
0
0
0
0
19
11
0
0
0
0
0
0
0
40
0
0
40
0
0
0
0
20
20
0
0
0
0
0
0 338
0
0
0
338
0
0
0
0
0
338
0
0
0 621
0
0 333
0
0
0
954
0
0
0
0
0
762
76
116
0
0
0
0
81
1
0
0
82
0
0
0
0
2
70
10
0
0
0
0
0
87
44
0
0
131
0
0
0
0
0
124
7
0
0
11
0
0
62 181
0
0
204
0
51
0
0
53
194
8
0
0
15
0
0
1 185
0
0
162
0
39
0
0
109
92
0
0
0 453
0
0
45
0
0
0
498
0
0
0
0
0
343
142
13
0 573
0
0
4
0
0
0
577
0
0
0
0
0
383
84
111
0
14
0
0 181
0
0
0
195
0
0
0
0
0
162
33
0
0 321
0
0 390
0
0
0
711
0
0
0
0
0
600
107
4
0
0
0
0 703
0
0
0
703
0
0
0
0
0
703
0
0
0
0
0
0 437 276
0
0
713
0
0
0
0
0
713
0
0
0
0
0
0 140
88
0
0
228
0
0
0
0
0
228
0
0
0
1
0
0
0
37
0
0
22
0
16
0
0
0
38
0
0
0
21
0
0
0
65
0
0
34
0
52
0
0
51
26
9
0
0
33
0
0
0
51
0
0
27
0
57
0
0
82
2
0
0
0
92
0
0
0
0
0
0
0
0
92
0
0
92
0
0
0
0 497
0
0
0
0
0
0
0
0 497
0
0
296
201
0
0
0 312
0
0
0
0
0
0
0
0 312
0
0
191
121
0
0
0 155
0
0
0
0
0
0
0
0 155
0
0
11
144
0
0
0 138
0
0
0
0
0
0
0
0 138
0
0
82
56
0
0
0 212
0
0
0
15
0
0
34
0 193
0
0
0
227
0
0
0 260
0
0
0
68
0
0
27
0 301
0
0
76
252
0
0
0
0
0
0
0 319
0
0
316
0
3
0
0
0
319
0
0
0 319
0
0
0
0
0
0
0
0 319
0
0
84
235
0
0
0 227
0
0
0
0
0
0
0
0 227
0
0
165
62
0
0
0 312
0
0
0
0
0
0
0
0 312
0
0
312
0
0
0
0 307
0
0
0
0
0
0
0
0 307
0
0
307
0
0
0
0 319
0
0
0
0
0
0
0
0 319
0
0
319
0
0
0
0 337
66
0
0
0
0
0
0
0 403
0
0
383
20
0
0
0 120
0
0
0
0
0
0
0
0 120
0
0
120
0
0
0
0
51
0
0
1
45
0
0
5
0
92
0
0
93
0
4
0
0 348
0
0
0
0
0
0
0
0 348
0
0
348
0
0
0
0 376
0
0
0
0
0
0
0
0 376
0
0
376
0
0
0
0
0
0
0
0 104
0
0
104
0
0
0
0
104
0
0
0
0
20
0
0
15
68
0
0
45
0
58
0
0
87
16
0
0
0
0
0
0
60
80
0
0
138
0
2
0
0
140
0
0
0
0
50
0
0
75
0
0
0
42
0
83
0
0
73
52
0
0
0 205
16
0
0
0
0
0
9
0 212
0
0
87
134
0
0
18 253
0
0
0
0
0
0
0 194
0
77
54
208
9
0
0
Tabel Lampiran 6 Keterangan geologi bagian wilayah Kota Bandar Lampung Satuan
Umur
Litologi
Tebal
Keterangan
Aluvium Batuan Granit Tak Terpisahkan Endapan Gunung Api Muda
Holosen
Bongkah, Kerikil, Pasir, Lanau, Lumpur dan Lempung
-
Plistosen & Holosen
Mencapai beberapa ratus meter
Busur Gunung Api benua menghasilkan kerucut-kerucut yang mencolok dan kegiatan solfatara.
Formasi Campang
PaleosenOligosen Awal
Lava andesit-basal, breksi dan tuf. Lava, kelabu kehitaman, afanitik dan porfiritik dgn fenokris plagioklas & augit dalam massadasar (komponen penyusun yang dominan) kaca gunung api &/felspar mikrolit. Terdapat sedikit olivine didalam basal. Breksi, kelabu kehitaman, terpilah buruk, kepingan menyudut batuan gunung api berukuran kerakal sampai bongkahan. Tuf, tuf batuan & tuf kacuk. Tuf batuan: kelabu kekuningan, kecoklatan, terutama terdiri dari lava, kaca gunung api dan bahan karbonan dalam massadasar tufan. Tuf kacuk: putih kusam sampai kelabu, terpilah buruk, kepingan lava menyudut membundar tanggung, oksida besi dan bahan karbonan dalam massadasar tuf pasiran. Perselingan batu lempung, serpih, kalkarenit, tuf dan breksi. Batu lempung, kelabu kehitaman, padat dan berlapis baik ebal 5-10 cm, perlapisan sejajar dan menggelombang. Serpih, hitam-kelabu kecoklatan, padat dan berlapis baik 5-10 cm, perlapisan internal. Kalkarenit, kelabu kecoklatan, berlapis baik dan terkekarkan, memperlihatkan struktur perlapisan menggelombang internal dan bersusun. Kalsilutit, kelabu kehitaman, berlapis baik tabal 2-15 cm, perlapisan sejajar. Tuf, kehijauan-putih kemerahan, berbutir halus, padat dan setempat terkersikan (terkelupas/tersilikonkan, banyak kuarsa/masam).
1000-1500 m
Diendapkan dilingkungan turbidit (kekeruhan) di laut, ditepi pantai sampai daerah keg iatan gunung api. Terlipat kuat dengan sumbu barat laut-tenggara, kemiringan berkisar 250-700. Ditafsirkan diendapkan bersamaan waktu dengan formasi tarahan dan termasuk satuan gunung api efusiva. Nama ini diusulkan oleh Andi Mangga drr (1988).
Tabel Lampiran 6 Lanjutan Satuan
Umur
Formasi Lampung
PlioPlistosen
Formasi Tarahan
PaleosenOligosen Awal
Litologi Breksi, kelabu kehitaman, polimik, terpilah buruk, berbutir kasar -ukuran bongkah terdiri dari batu gamping, sekis (batuan metamorfik) & van silika, menyudut-menyudut tanggung, karbonat mengisi kekar kekar. Breksi, hitam kehijauan, polimik kepingan-kepingan sekis menyudut-menyudut tanggung, rijang merah & hijau & batu camping di dalam massadasar pasiran, setempat terkersikan. Kepingan berukuran kerakal sampai bongkahan. Satuan ini berubah menjadi: Konglomerat, kelabu kehitaman, polimik, terpilah buruk, kepingan rijang merah dan hijau dengan basal berukuran kerakal-bongkah, membundar-membundar tanggung. Batu pasir, kelabu kehijauan, padat, terpilah buruk, batir-butir rijang merah, basal dan lain-lain, memperlihatkan struktur perlapisan bersusun. Batu lanau, kelabu kehijauan, padat. Tuf riolit-dasit & vulkanoklastika tufan. Tuf berbatu apung, kelabu kekuningan sampai putih kelabu, berbutir sedang-kasar, terpilah buruk, terutama terdiri dari batuapung & keratan batuan. Tuf, putih sampai putih kecoklatan, riolitan, setempat gunung api, nisbi keras terkekarkan. Batupasir tufan; putih kusam kekuningan, berbutir halus-sedang, terpilah buruk, membundar tanggung, sebagian berbatu apung, agak lunak. Sering memperlihatkan struktur silang-siur, umumnya bersusunan dasit Tuf dan breksi dikuasai oleh sisipan tufit. Tuf, ungu dan hijau muda, nisbi pejal tetapi terkekarkan & khas tarabak (bekas gesekan) mengandung struktur ”mata ikan”.
Tebal
Keterangan
200 m
Diendapkan dilingkungan terestrial-fluviar, air payau. Nama lama tuf Lampung (Bemmelen, 1949). Menindih tak selaras satuan-satuan yang lebih tuan dan ditindih tak selaras oleh endapan kuarter, menjemari dengan formasi kasal, dari lajur busurbelakang dan setempat dengan formasi terbanggi.
-
Diendapkan dilingkungan benua (?), mungkin busur gunung api, magmatisma ada kaitannya dengan penunjaman, secara regional dapat dikorelasikan dengan formasi kikim.
Tabel Lampiran 6 Lanjutan Satuan
Umur
Litologi
Tebal
Breksi, kelabu kekuningan kecoklatan, keras terpilah buruk, terdidi dari kepingan lava andesit menyudut, batu lempung dan batu lanau.Setempat terkersikan. Tufit, putih, berbutir sangat halus, padat dan berlapis baik tebal 5-20 cm. Sekis Way Galih (Kompleks Gunung Kasih)
Paleozoikum Runtuhan sedimen-malihan & batuan beku-malih. Sekis terdiri dari dua jenis: sekis kuarsa-mika grafit & sekis amfibol. Semua ditafsirkan sebagai sedimen malih & kemudian sebagai batuan gunung api malih. Warna tergantung pada minerologinya, sekis mika dikuasai oleh biotit serisit dengan pengubah grafit. Sekis basa, hijau sampai hijau kehitaman, dikuasai oleh amfibol & klorit. Kesekisan pemalihan, menembus kuat, tanpa sejarah pencenanggaan sekunder yang jelas. Kesekisan berarah 1300 tetapi setempat berubah menjadi 700-80 0, miring curam kearah timurlaut-barat daya atau utara.
Tidak diketahui (>100 m)
Keterangan Ditafsirkan sebagai sisa busur gunungapi paleogen yang tersingkap. Keberadannya seringkalis disebutkan sebagai bukti penunjaman di sepanjang Parit Sunda yang terus berlangsung. Nama formasi ini diusulkan oleh Andi Mangga drr (1988). Satuan yang termalihkan secara regional. Dianggap sebagai bagian dari inti batuan malih sumatera. Metarmorfisma berkadar rendah sampai menengah fasies sekis hijau, mungkin meningkat ke fasies epidotamfibolit. Runtuhan ini ditemukan disentuhan tektonik, sungkup (?) dengan formasi menanga yang berumur kapur & jelas sekali diterobos oleh pluton sulan. Pluton berkaitan dengan penunjaman, berupa granitoid busur gunung api atau tepi benua. Hasil penyelidikan geokimia batuan pluton memastikan adanya penempatan busur gunung api. Hasil penyelidikan geokimia & geokronologi menunjukkan adanya tepi benua yang ada hubungannya dengan penunjaman lajur granitoid berumur kapur akhir diseluruh Sumatera bagian selatan. Busur plutonik ini terpusat disepanjang zona sistem sesar Sumatera.
Catatan : Lembar Tanjung karang hampir seluruhnya (80%) terletak didalam lajur busur magma, disudut timur laut meluas ke lajur busur-belakang. Sumber : Pusat Penelitian dan Pemetaan Geologi (P3G) Bandung
Tabel Lampiran 7 Regresi perkembangan wilayah Perkembangan aktivitas ekonomi Regression Summary for Dependent Variable: Ln-F1PW (Olahan.sta) R= .73169120 R²= .53537202 Adjusted R²= .46977748 F(12,85)=8.1618 p<.00000 Std.Error of estimate: .27438 Koefisien Intercept W1-F1PW W1-F1PD Ln-F2PW W2-F1PW W2-F1PD W2-F3FW W2-F2FW W1-F3FW Ln-F1FW Ln-F1PD Ln-F2FW W1-F1FW
-3.877 1.678 -0.111 -0.113 -10.399 5.526 -3.259 1.312 0.536 0.449 0.15 -0.11 -0.27
Std.Err. of B 2.369 0.277 0.391 0.095 1.948 1.967 0.869 0.569 0.213 0.194 0.12 0.08 0.22
t(85) -1.637 6.068 -0.284 -1.192 -5.337 2.809 -3.751 2.307 2.518 2.314 1.27 -1.28 -1.22
Tingkat Kesalahan 0.105 0.000 0.777 0.237 0.000 0.006 0.000 0.023 0.014 0.023 0.21 0.21 0.23
Yi = -3,877 + 1,678 W1F1PW -10,399 W2F1PW + 5,526 W2F1PD + 0,449 LnF1FW + 1,312 W2F2FW + 0,536 W1F3FW - 3,259 W2F3FW
Perkembangan fisik ruang Regression Summary for Dependent Variable: Ln-F2PW (Olahan.sta) R= .73223547 R²= .53616878 Adjusted R²= .46438538 F(13,84)=7.4693 p<.00000 Std.Error of estimate: .27539 Koefisien
Std.Err.
t(85)
of B
Tingkat Kesalahan
Intercept
8.915
3.795
2.349
0.021
W1-F2PW
1.530
0.340
4.497
0.000
Ln-F1PD
0.365
0.114
3.196
0.002
Ln-F1PW
-0.137
0.092
-1.495
0.139
Ln-F2PD
0.124
0.081
1.528
0.130
W1-F1PW
0.457
0.203
2.247
0.027
W2-F2PW
-7.012
2.248
-3.119
0.002
W1-F1PD
-0.858
0.447
-1.919
0.058
Ln-F1FW
-0.253
0.098
-2.589
0.011
Ln-F3FW
-0.264
0.122
-2.165
0.033
W2-F2FW
-1.671
0.620
-2.693
0.009
Ln-F2FW
0.175
0.088
1.995
0.049
W2-F1PD
3.449
1.837
1.878
0.064
W2-F3FW
0.702
0.585
1.199
0.234
Yi = 8,915 + 0,457 W1F1PW + 1,530 W1F2PW - 7,012 W2F2PW + 0,365 LnF1PD - 0,858 W1F1PD + 3,449 W2F1PD - 0,253 LnF1FW + 0,175 LnF2FW - 1,671 W2F2FW - 0,264 LnF3FW
Tabel Lampiran 7 Lanjutan Perkembangan aktivitas pendidikan Regression Summary for Dependent Variable: Ln-F3PW (Olahan.sta) R= .61011786 R²= .37224380 Adjusted R²= .28361939 F(12,85)=4.2002 p<.00004 Std.Error of estimate: .29524 Koefisien
Std.Err.
t(85)
of B Intercept
Tingkat Kesalahan
22.291
5.353
4.164
0.000
W1-F3PW
1.343
0.302
4.447
0.000
Ln-F2PD
-0.208
0.097
-2.144
0.035
W2-F3PW
-8.340
1.923
-4.338
0.000
W2-F3FW
-2.802
0.622
-4.508
0.000
W2-F2PW
-0.972
1.392
-0.698
0.487
W2-F1PD
-4.884
1.659
-2.944
0.004
Ln-F2FW
0.142
0.059
2.405
0.018
W1-F1PD
0.555
0.403
1.379
0.172
W2-F2PD
-1.809
1.145
-1.581
0.118
W2-F1FW
2.801
1.280
2.188
0.031
Ln-F1FW
-0.272
0.176
-1.549
0.125
Ln-F1PD
-0.141
0.121
-1.160
0.249
Yi = 22,291 + 1,343 W1F3PW - 8,34 W2F3PW - 4,884 W2F1PD - 0,208 LnF2PD + 2,801 W2F1FW + 0,142 LnF2FW - 2,802 W2F3FW
Tabel L ampiran 8 Matriks analisis proses pe nyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) Kota Bandar Lampung Dasar Pedoman : Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor 327/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan NO 1
ASPEK/KOMPONEN
PENJEL ASAN KOMPONEN
KETERANGAN
PENILAIAN (%)
Penentuan arah pengembangan Tinjauan terhadap batas wilayah perencanaan Tinjauan terhadap aspek: a. Ekonomi b. Sosial c. Budaya d. Daya dukung dan daya tampung lingkungan e. Fungsi pertahanan keamanan Tinjauan terhadap faktor-faktor determinan: a. UU 24/92 b. RTRWN c. RTRWP d. Propeda Provinsi e. Propeda Kota f. Rencana Sektoral
Wilayah perencanaan adalah batas administrative daerah kota.
Sesuai
Batas administrative Kota Bandar Lampung
100
Diatur dlm Pasal 1
Kurang sesuai
Syarat paripurna sebuah kajian hanya didasarkan pada 3 item (ekonomi, sosial, daya dukung & daya tampung lingkungan) dari syarat 5 item dalam pedoman.
UU 24/92 Ø Penataan ruang berdasarkan aspek administrative dan kawasan fungsional (inter regional context)
Kurang sesuai
Penyusunan rencana tidak memperhatikan keserasian dengan wilayah sekitarnya (RTRW Lampung Selatan) (hanya 1 dari 2 syarat pedoman)
RTRWN (PP47/97): Ø Peran PKN Ø Kawasan andalan nasional.
Kurang sesuai
Rencana berdasarkan PKN dan tidak kawasan andalan (1 dari 2 syarat pedoman).
50
Hanya ttg PKN
RTRWP (Perda 5/01): Ø Kawasan Perkotaan Ø Pusat Pelayanan Primer bagi wilayah sekitarnya
Kurang sesuai
Kebijakan keruangan RTRWP diadop dalam RTRWK, tetapi rencana RTRWK tidak mengacu pada RTRWP dalam alokasi penggunaan ruang
50
Tidak mjd dasar Perda
Sesuai Sesuai
Renstra Provinsi & kota, rencana sektoral menjadi aspek tinjauan dalam penyusuna n RTRW Kota Bandar Lampung.
100 100
Sesuai
60
75 50
100
Identifikasi potensi dan masalah pembangunan Perkembangan sosial kependudukan
SUBSTANSI PERDA
78
Berdasarkan Renstra Prov Lampung Berdasarkan Renstra Kota Bandar Lampung Berdasarkan Rencana Sektoral 2
EKSISTING RENCANA
53 • • •
Σ & Tingkat pertumbuhan pddk Ukuran keluarga Budaya/aktivitas sosial penduduk
Tidak sesuai
Memenuhi 1 item (tingkat pertumbuhan penduduk) dari 4 syarat item yang ditetapkan.
25
Tabel Lampiran 8 Lanjutan NO
ASPEK/KOMPONEN
Prospek pertumbuhan ekonomi
Daya dukung fisik & lingkungan
PENJELASAN KOMPONEN
• • • • • • • • • • •
Daya dukung prasarana dan fasilitas perkotaan
3
Perumusan RTRW Kota Bandar Lampung Perumusan visi, misi dan tujuan pembangunan kota Perkiraan kebutuhan pengembangan (dirinci sampai unit pelayanan/ tingkat kel urahan).
• • • • • •
(tradisi) Pola pergerakan penduduk Ketenagakerjaan PDRB Kegiatan usaha Perkembangan penggunaan tanah dan produktivitasnya Kondisi tata guna tanah Kondisi bentang alam kawasan Letak geografis Sumberdaya air Kondisi lingkungan yang tergambarkan dari kondisi topografi dan pola drainase Sensitivitas kawasan terhadap lingkungan, bencana alam dan kegempaan. Status dan nilai tanah Ijin lokasi. Jenis infrastruktur perkotaan Jangkauan pelayanan. Jumlah penduduk yang terlayani Kapasitas pelayanan
EKSISTING RENCANA
KETERANGAN
PENILAIAN (%)
Sesuai
Memenuhi 3 item (ketenagakerjaan, PDRB, kegiatan usaha) dari 4 syarat item yang ditetapkan.
75
Sesuai
Memenuhi 7 item dari 8 syarat item yang ditetapkan (kealfaan pada status dan nilai tanah).
85
Syarat paripurna sebuah kajian hanya didasarkan pada 1 item (jenis infrastruktur) dari 4 syarat item yang ditetapkan.
25
Tidak sesuai
SUBSTANSI PERDA
Diatur
84 Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan • Perkiraan kebutuhan pengembangan kependudukan (jumlah, distribusi & kepadatan). • Perkiraan kebutuhan pengembangan ekonomi perkotaan (regional, kota & lokal). • Perkiraan kebutuhan fasilitas sosial dan ekonomi perkotaan
Sesuai Sesuai Kurang sesuai Sesuai
‘Kota Berbudaya, Nyaman dan Berkelanjutan (BERNYALA)’ Klasifikasi proyeksi tidak dirinci sampai unit pelayanan.
100 90 100
Diatur
50
Diatur
100
Diatur
Tabel Lampiran 8 Lanjutan NO
ASPEK/KOMPONEN
PENJELASAN KOMPONEN
•
•
Perumusan RTRW Pengelolaan kawasan lindung
Pengelolaan kawasan budidaya (ukuran, fungsi serta karakter suatu kegiatan dalam wujud kepadatan dan ketinggian bangunan dan
(pendidikan (SD s/d PT), kesehatan (RSU kelas A-D, puskesmas pembantu), rekreasi/olahraga (kota-lokal). Perkiraan kebutuhan pengembangan lahan perkotaan (kebutuhan ekstensifikasi, intensifikasi & perkiraan ketersediaan lahan untuk pengembangan). Perkiraan kebutuhan prasarana dan sarana perkotaan (transportasi, telepon, listrik, gas, air bersih, drainase, limbah & sampah).
EKSISTING RENCANA
KETERANGAN
PENILAIAN (%)
Sesuai
100
SUBSTANSI PERDA
Diatur
Sesuai 100
63 Kawasan lindung • Kawasan res apan air & kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan dibawahnya. • Sempadan pantai, sungai, sekitar danau & waduk, sekitar mata air, & kawasan terbuka hijau kota termasuk jalur hijau. • Cagar alam/pelestarian alam & suaka margasatwa. • Taman hutan raya & taman wisata alam lainnya. • Kawasan cagar budaya. • Kawasan rawan letusan gunung berapi, rawan gempa, rawan tanah longsor, rawan gelombang pasang & rawan banjir. Perumahan & Permukiman (kepadatan & ketinggian bangunan). Perdagangan, jasa penginapan atau perhotelan
Sesuai Tidak sesuai
Memenuhi semua syarat pedoman
100
Diatur dalam pasal 27 & Lampiran II
Memenuhi syarat pedoman.
78 100
Diatur (Lampiran I & III)
Pengelolaan kawasan perdagangan berdasarkan ukuran & karakter kegiatan
33
Tabel Lampiran 8 Lanjutan NO
ASPEK/KOMPONEN distribusi pusat-pusat pelayanan perkotaan skala regional sampai lokal sampai akhir tahun rencana)
Pengelolaan kawasan perkotaan & kawasan tertentu Pengelolaan kawasan perkotaan (intensitas penanganan)
Pengelolaan kawasan tertentu
PENJELASAN KOMPONEN
EKSISTING RENCANA
Industri tanpa pencemaran
Sesuai
Pendidikan, kesehatan, peribadatan, rekreasi dan atau olahraga serta fasilitas sosial lainnya Perkantoran pemerintahan & niaga Terminal angkutan jalan raya, stasiun, pelabuhan & bandara Pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan Taman pemakaman umum dan taman makam pahlawan. Tempat pembuangan sampah akhir.
Sesuai Sesuai Kurang sesuai Sesuai Sesuai Tidak sesuai
KETERANGAN Digambarkan secara spasial dalam peta pemanfaatan ruang Digambarkan secara spasial dalam peta pemanfaatan ruang Dari 3 sistem perangkutan di Bandar Lampung (jalan, KA & laut), hanya digambarkan terminal & stasiun. Dalam peta pemanfaatan ruang diklasifikasikan sebagai lahan campuran. TPU sudah ditentukan lokasi dan ukurannya dan terpetakan secara spasial Lokasi TPA dan luasan belum ditentukan.
PENILAIAN (%) 100 100 100 66 100 100 0 50
Rencana penanganan lingkungan Kota Rencana pengembangan lingkungan/kawasan baru, yang dikonversi,diremajakan & resettlement. Kawasan yang dikembangkan dengan metode konsolidasi tanah perkotaan, guided land development, dll. Rencana jaringan pergerakan & atau utilitas kawasan yang akan diperbaiki. Rencana jaringan pergerakan & atau utilitas kawasan yang akan diperbaharui. Arahan kepdatan bangunan Dirinci untuk setiap kawasan peruntukan Arahan ketinggian bangunan Dirinci sampai unit lingkungan/kawasan Disesuaikan dengan kebutuhan pengelolaan kawasan tertentu dengan
0 Tidak sesuai
Tidak diatur dalam RTRW
0
Tidak sesuai
Tidak diatur dalam RTRW
0
Tidak sesuai
Tidak diatur dalam RTRW
0
Tidak sesuai
Tidak diatur dalam RTRW
0
Sesuai
100
Kurang sesuai
Diatur dalam RTRW, tetapi tidak dirinci sampai unit lingkungan
50
-
Tidak ada kawasan tertentu di Kota Bandar Lampung
-
SUBSTANSI PERDA
Tabel Lampiran 8 Lanjutan NO
ASPEK/KOMPONEN
Rencana Pengelolaan TGT, TGA, TGU dan SDA lainnya
Pengembangan sistem kegiatan pemba ngunan & sistem pusat -pusat pelayanan permukiman perkotaan
PENJELASAN KOMPONEN tetap menjamin keserasiannya dengan pengelolaan kawasan perkotaan lainnya. Pengaturan penguasaan, penggunaan & pemanfaatan TGT perkotaan serta bentuk penanganannya (kawasan yang dipercepat atau dibatasi perkembangannya) Pengaturan penguasaan, penggunaan & pemanfaatan TGA bagi pemenuhan kebutuhan kegiatan kawasan-kawasan fungsional di wilayah kota sampai dengan zonasi pengelolaan & pemanfaatan sumberdaya air perkotaan. Pengaturan penguasaan, penggunaan & pemanfaatan TGU sampai dengan penetapan zonasi pengelolaan & pemanfaatan ruang udara. Pengelolaan tata guna sumber daya alam lainnya (hayati & non hayati) Pengembangan & distribusi penduduk (jumlah, kepadatan dan distribusi penduduk). Rencana sistem pusat pelayanan perkotaan (sebaran pusat -pusat pelayanan perkotaan (fungsi primer dan skunder)(perdagangan, pendidikan, pelayanan kesehatan, rekreasi dan olahraga) Rencana sistem jaringan transportasi, meliputi: • Jalan raya (arteri primer, arteri skunder, kolektor skunder, terminal & trayek angkutan)
EKSISTING RENCANA
KETERANGAN
PENILAIAN (%)
Tidak sesuai
Pengaturan penguasaan, penggunaan & pemanfaatan tanah perkotaan tidak secara tegas diatur dalam RTRW.
0 0
Tidak sesuai
Pengaturan penguasaan, penggunaan & pemanfaatan tata guna air perkotaan tidak secara tegas diatur dalam RTRW.
0
Tidak sesuai
Pengaturan penguasaan, penggunaan & pemanfaatan tata guna udara tidak secara tegas diatur dalam RTRW.
0
Tidak sesuai
Mekanisme pengelolaan sumberdaya hayati & non hayati tidak diatur dalam RTRW.
0
Sesuai
68 100
Sesuai
100
43 Kurang sesuai
1 syarat (trayek angkutan) dari 5 syarat tidak dipenuhi.
80
SUBSTANSI PERDA
Tabel Lampiran 8 Lanjutan NO
ASPEK/KOMPONEN
PENJELASAN KOMPONEN Rencana sistem jaringan transportasi, meliputi: • Jalan raya (arteri primer, arteri skunder, kolektor skunder, terminal & trayek angkutan) • Angkutan kereta api (jaringan jalan & stasiun) • Angkutan laut (pelabuhan laut, jalur pelayaran) • Angkutan sungai, danau dan penyeberangan (pelabuhan sungai, danau & penyeberangan serta jalur pelayaran sungai) • Angkutan udara (bandara dan jalur aman terbang). Rencana sistem jaringan utilitas, meliputi:
EKSISTING RENCANA
KETERANGAN
PENILAIAN (%)
SUBSTANSI PERDA
43 Kurang sesuai
1 syarat (trayek angkutan) dari 5 syarat tidak dipenuhi.
80
Kurang sesuai
Hanya tergambar dalam peta & tidak ada penjelasan/kajian ilmiah. Tidak ada penjelasan dalam RTRW.
50
Tidak sesuai -
0
Tidak terdapat angkutan sungai dan bandara di Kota Bandar Lampung.
28
Jaringan telepon (stasiun telepon otomat, saluran primer, rumah kabel sampai saluran skunder). Jaringan listrik (bangunan pembangkit, gardu induk ekstra tinggi, gardu induk, saluran udara tegangan ekstra tinggi, saluran udara tegangan tinggi & jaringan transmisi menengah) Sistem jaringan gas (pabrik gas dan saluran jaringan gas)
Tidak sesuai
Memenuhi 1 (stasiun telepon) dari 4 syarat dalam pedoman.
25
Tidak diatur secara jelas
Tidak sesuai
Tidak dibahas dalam RTRW
0
Tidak diatur secara jelas
Tidak sesuai
Tidak dibahas dalam RTRW
0
Tidak diatur secara jelas
Sistem penyediaan air bersih (bangunan pengambil air baku, saluran/pipa transmisi air baku, instalasi produksi, pipa transmisi air bersih utama, pipa transmisi air bersih skunder, bak penampung, pipa distribusi utama & pipa distribusi skunder).
Tidak sesuai
Tidak ada pembahasan (diskriptif/spasial) tentang air bersih, kecuali tempat pengambilan air baku (1 dari 8 syarat pedoman)
12
Tidak diatur secara jelas
Tabel Lampiran 8 Lanjutan NO
ASPEK/KOMPONEN
Pentahapan & prioritas pengembangan untuk perwujudan struktur pemanfaatan ruang kota
4
Penetapan RTRW Kota Bandar Lampung Penambahan sustansi dalam Perda
PENJELASAN KOMPONEN
EKSISTING RENCANA
Sistem pembuangan air hujan (saluran primer, skunder & waduk penampungan) Saluran pembuangan air limbah (saluran primer, skunder, bangunan pengolah & waduk penampung) Sistem persampahan (tempat pembuangan akhir, bangunan pengolahansampah & penampungan sementara).
Sesuai
Kawasan prioritas pengembangan (contoh: kawasan yang memiliki nilai strategis terhadap perkembangan wilayah, kawasan terbelakang, kawasan kritis/rawan bencana, kawasan perbatasan antar negara ataupun kawasan lindung) Pentahapan terkait dengan siapa, melakukan apa, dimana, mengapa, kapan dan bagaimana melaksanakannya, yang tertuang dalam matriks indikasi program.
KETERANGAN
PENILAIAN (%)
Rencana sistem drainase sudah tergambar dalam peta RTRW.
100
Tidak diatur secara jelas
Tidak sesuai
Memenuhi 1 (bangunan pengolah) dari 4 syarat pedoman.
25
Tidak diatur secara jelas
Tidak sesuai
Memenuhi 1 (penampungan sementara) dari 3 syarat pedoman.
33
Tidak diatur secara jelas
Sesuai
Kurang sesuai
Dibahas dalam RTRW
83 100
Terdapat 2 ( pelaksana & mengapa dilaksanakan) dari 6 syarat tidak terpenuhi.
65
RTRW Kota Bandar Lampung mendapat legalitas hukum melalui Perda 4/2004 tentang RTRW Kota Bandar Lampung 2005-2015.
100
Diatur dalam pasal 12
100 Untuk mengoperasionalkan RTRW, dokumen RTRW ditetapkan dalam bentuk Perda. Pedoman perijinan pemanfaatan ruang (pedoman pemberian ijin lokasi). Pedoman pemberian kompensasi, serta pemberian insentive dan pengenaan disinsentive. Pedoman pengawasan (pelaporan, pemantauan & evaluasi) & penertiban (termasuk pengenaan sanksi) pemanfaatan ruang.
SUBSTANSI PERDA
Sesuai Sesuai
100
Sesuai
100
Sesuai
100
Keterangan Tabel Lampiran 8 RTRW Kota Bandar Lampung hanya mengacu 79% dari substansi Pedoman Penyusunan RTRW. • Penentuan arah pengembangan hanya mengacu 78% dari substansi pedoman. • Identifikasi potensi dan masalah pembangunan mengacu 53% dari substansi pedoman. • Perumusan RTRW Kota Bandar Lampung mengacu 84% dari substansi pedoman. • Penetapan RTRW mengacu 100% dari substansi pedoman.
Tabel Lampiran 9 Model-model perkembangan wilayah NO 1
JENIS MODEL Perkembangan Aktivitas Ekonomi (Ln[F1PW])
W2Ln[F1PW] W2Ln[F1PD] W2Ln[F3FW] W1Ln[F1PW] W2Ln[F2FW] W1Ln[F3FW] Ln[F1FW]
2
Perkembangan Fisik Ruang Wilayah (Ln[F2PW])
W2Ln[F2PW] W2Ln[F1PD] W2Ln[F2FW] W1Ln[F2PW] W1Ln[F1PD] W1Ln[F1PW] Ln[F1PD] Ln[F3FW] Ln[F1FW] Ln[F2FW]
3
Perkembangan Aktivitas Pendidikan (Ln[F3PW])
W2Ln[F3PW] W2Ln[F1PD] W2Ln[F3FW] W2Ln[F1FW] W1Ln[F3PW] Ln[F2PD] Ln[F2FW]
FAKTOR BERPENGARUH Perkembangan aktifitas ekonomi dalam radius tertentu ketersediaan pra sarana dasar jalan, air bersih dan telepon dalam radius tertentu Ketersediaan air tanah produktifitas rendah dalam radius tertentu Perkembangan aktifitas ekonomi di wilayah tetan gga Kelandaian dan ketersediaan air tanah produktifitas sedang di wilayah dalam radius tertentu Karakteristik kondisi air tanah produktifitas rendah pada wilayah tetangga Kondisi fisik wilayah dengan karakteristik terjal dan kelangkaan air tanah
SIFAT Nyata, elastis & negatif Nyata, elastis & positif
Perkembangan fisik ruang terbangun dalam radius tertentu Perkembangan prasarana dasar (jalan, air bersih dan telepon) dalam radius tertentu Kelandaian dan ketersediaan air tanah produktifitas sedang dan menyebar luas dalam radius tertentu Perkembangan fisik ruang terbangun di wilayah tetangga Perkembangan prasarana dasar (jalan, telepon dan air bersih) wilayah tetangga Perkembangan aktifitas ekonomi wilayah tetangga Prasarana dasar wilayah (jalan, air bersih dan telepon) Kondisi air tanah produktifitas rendah Kondisi fisik terjal dan kelangkaan air tanah Kondisi fisik landai dan air tanah produktifitas sedang
Nyata, elastis & negatif Nyata, elastis & positif
Perkembangan aktifitas pendidikan dalam radius tertentu Ketersediaan prasarana jalan, air bersih dan telepon dalam radius tertentu Kondisi wilayah dengan karakteristik air tanah produktifitas rendah di wilayah dalam radius tertentu Kondisi wilayah dengan karakteristik terjal dan kelangkaan air tanah di wilayah dalam radius tertentu Perkembangan aktifitas pendidikan wilayah tetangga Keberadaan jalan nasional Kondisi wilayah dengan karakteristik landai dan persebaran air tanah produktifitas sedang
Nyata, elastis & negatif Nyata, elastis & negatif Nyata, elastis & negatif
Nyata, elastis & negatif Nyata, elastis & positif Nyata, elastis & positif Nyata & positif Nyata & positif
Nyata, elastis & negatif Nyata, elastis & positif Nyata & negatif Nyata & positif Nyata & positif Nyata & negatif Nyata & negatif Nyata & positif
Nyata, elastis & positif Nyata, elastis & positif Nyata & negatif Nyata & positif
Tabel Lampiran 10 Matriks hubungan konsistensi penataan ruang dengan kinerja perkembangan wilayah NO
KATEGORI PERKEMBANGAN WILAYAH
KELURAHAN
PERMASALAHAN TATA RUANG
1
BAIK
Pesawahan; Gedung Meneng; Rawa Laut; Palapa; Tanjung Karang
2
SEDANG
Kota Karang; Perwata; Kuripan; Gedung Pakuon; Talang; Telukbetung; Kangkung; Bumi Waras; Pecohraya; Sukaraja; Geruntang; Ketapang; Way Lunik; Panjang Selatan; Panjang Utara; Pidada; Karang Maritim; Kota Baru; Tanjung Agung; Kebon Jeruk; Sawah Lama; Sawah Brebes; Jaga Baya I; Kedamaian; Tanjung Raya; Tanjung Gading; Campang Raya; Kupang Kota; Gunung Mas; Kupang Teba; Kupang Raya; Pahoman; Sumur Batu; Gulak Galik; Pengajaran; Durian Payung; Gotong Royong; Enggal; Pelita; Kaliawi; Kelapa Tiga; Gunung Sari; Pasir Gintung; Penengahan; Susunan Baru; Suka Jawa; Gedung Air; Segala Mider; Gunung Terang; Sumber Agung; Beringin Raya; Sumber Rejo; Kemiling Permai; Langkapura; Sukamenanti; Sidodadi; Surabaya; Perumnas Way Halim; Kedaton; Labuan Ratu; Kampung Baru; Sepang Jaya; Rajabasa; Rajabasa Jaya; Labuhan Dalam; Tanjung Seneng; Way Kandis; Perumnas Way Kandis; Perumnas Way Kandis; Sukarame; Way Halim Permai; Gunung Sulah; Way Dadi; Harapan Jaya; Jagabaya II; Jagabaya III; Tanjung Baru; Kalibalok Kencana; Sukabumi Indah; Sukabumi.
1. Konversi penggunaan lahan dari peruntukan dalam RTRW (lemahnya aspek pengendalian) karena permasalahan dalam mekanisme perijinan,khususnya lemahnya sistem informasi spasial. 2. Dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang menyebabkan terjadinya ’penyimpangan legal’. 3. RTRW tidak mengatur pengelolaan kawasan, terutama yang mengalami degradasi. 4. Kawasan pusat kota (kumuh, macet & urban sprawl)
3
KURANG
Sukamaju; Keteguhan; Pinang Jaya; Bakung; Negri Olok Gading; Sukajaya; Sumur Putri; Batu Putu; Batu Putu; Sukadana Ham; Kedaung; Rajabasa Raya; Way Laga; Way Gubak; Srengsem.
1. Inkonsistensi batas wilayah dengan Lampung Selatan 2. Penyusunan TR tidak melibatkan Lampung Selatan, sehingga pembangunan ’daerah perbatasan’ tidak sinergis. 3. Ketersediaan fasilitas dan prasarana dasar dibawah standar Kepmen PU 378/KPTS/1987. 4. RTRW tidak mengatur skenario pengembangan kawasan tersebut.
Sumber : Hasil analisis
-
Tabel Lampiran 11 Matriks pengendalian pemanfaatan ruang NO 1
KOMPONEN Pengawasan
MEKANISME Perijinan
KETERANGAN IMB, SITU, Ijin Prinsip, Ijin Lokasi & IPB
Mekanisme pemberian insentif dan disinsentif Mekanisme pemberian kompensasi Mekanisme pelaporan
Belum diatur dan belum berjalan Belum diatur dan belum berjalan Tertulis atau lisan dari seluruh stakeholder
Pemantauan
Konsistensi antara rencana dengan pemanfaatan
Evaluasi
2
Penertiban
Administratif Perdata Pidana
PERMASALAHAN Ø Pemberian ijin tidak sesuai RTRW. Ø Mekanisme & instrumen perijinan tidak jelas. Ø Sistem informasi spasial belum memadai (tidak jelas batas -batas koordinat setiap peruntukan lahan), didukung minimnya jumlah benchmark, sehingga sulit untuk mengetahui kesesuaian ketepatan lokasi di lapangan dengan peta. Ø RTRW tidak dibreakdown dalam rencana yang lebih detail, sehingga semakin sulit melihat konsistensi RTRW (makro) dengan eksisting wilayah yang akan dikeluarkan ijinnya. Ø Kurangnya sosialisasi RTRW, sehingga masyarakat sering tidak mengetahui jika ijin yang dimiliki tidak sesuai dengan peruntukannya. Ø Kurangnya koordinasi antar instansi yang berwenang dalam penerbitan ijin (lemahnya kinerja kelembagaan BKPRD). Ø Masyarakat cenderung ’malas’ mengurus perijinan karena birokrasi terlalu panjang dengan biaya tinggi dan mekanisme yang tidak pasti.
Ø Belum adanya mekanisme pelaporan yang kelas, khususnya oleh stakeholder Ø Kurangnya sosialisasi RTRW, sehingga masyarakat sering tidak mengetahui telah terjadi inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang Ø Laporan dari masyarakat biasanya hanya ditampung & tidak ditindaklanjuti. Ø Sistem informasi spasial belum memadai, sehingga pemantauan konsistensi penataan ruang menjadi sulit dilaksanakan. Ø Setiap unit pemantau tidak menjalankan fungsi dan perannya dengan baik. Ø Kurangnya koordinasi dalam kelembagaan BKPRD. Ø Kelemahan sistem informasi spasial didukung RTRW tidak di breakdown dalam rencana yang lebih detail meyebabkan semakin sulit melihat penyimpangan di lapangan. Ø Kelembagaan BKPRD tidak berjalan optimal dan tidak melaksanakan amanat Kepmendagri No 147 Tahun 2004. Ø Lemahnya kelembagaan penertiban Ø Lemahnya supremasi hukum, khususnya terhadap penyimpanganpenyimpangan legal.