ANALISIS KETERKAITAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN DENGAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)
Oleh: Yani Kusnitarini A24101067
PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ANALISIS KETERKAITAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN DENGAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh: Yani Kusnitarini A24101067
PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
SUMMARY YANI KUSNITARINI. Analysis of Relationship between Agricultural Land Conversion and Regional Development, and its Affacting Factors (Case Study of Tangerang Town, Banten). Under supervision of Kukuh Murtilaksono and Dyah Retno Panuju. Tangerang as one of the Jakarta hinterlands, adjacent to Bogor, Depok and Bekasi representing region which is very dynamic in land use change. The countiguous location to Jakarta cause regional economic of Tangerang grows very fast. The development of Jakarta that has been growing very fast need to expand industrial location, settlement and other facilities. The expansion is affecting the dynamic of its hinterland, such as Tangerang. This research aim to analyse pattern and rate of agricultural land conversion,
regional development
correlation between
agricultural land
conversion and regional development and identify factors affecting agricultural land conversion in Tangerang town. Research located at Tangerang town, Province of Banten, which consist, of 13 municipalites and 104 villages. Shift Share Analysis (SSA), skalogram analysis, principle component analysis
(PCA),
correlation
analysis,
multivariate
regression
(Stepwise
Regression) and spatial analysis were applied in this research. In the period of 1991 to 2005, land use of Tangerang town shifted from agricultural land to urban area. Agricultural land, especially rice field, up land, forest land and water body converted to urban land use, even forest have been converted 100%. Regional hierarchy of Tangerang town could be grouped into three classes. Hierarchy I represented the highest level of regional development and consisted of 16 villages (15.38%), such as Cibodasari, Cipondoh, Sukarasa. Hierarchy II represented second level of regional development, and consist of 31 villages (29.81%) such as Cikokol, Jatake, Tajur etc. Hierarchy III represented relatively lowest level of regional development which consisted of 54 villages (54.81%) such as Cipete, Cibodas, and Jurumudi. Hierarchy I would be center of services
for other regions. Regional hierarchy that is formed centripetal pattern is the highest hierarchy (hierarchy I) and surrounded by lower hierarchy. There were positive correlation between distance to school and rate of field shift, distance to economic facility and upland change acreage of village and water body change. On the other side, there were negative correlation between distance to economic facility and up land change, economic facility and water body change. It was indicatied that the higher regional developed the higher agricultural land converted. Factors affecting agricultural land conversion in Tangerang town were past land uses (acreage of rice field, urban area, up land, and forest of 1991), distance to governance center, distance to school, distance to economic faciliy, distance to health facility, education facility, health facility, and prosperity level.
RINGKASAN YANI KUSNITARINI. Analisis Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Perkembangan Wilayah dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Kota Tangerang, Banten). Di bawah bimbingan Kukuh Murtilaksono dan Dyah Retno Panuju. Tangerang sebagai salah satu hinterland Jakarta, selain Bogor, Depok dan Bekasi merupakan wilayah yang telah banyak mengalami perubahan penggunaan lahan. Faktor kedekatan jarak dari Jakarta menyebabkan Tangerang mengalami pertumbuhan perekonomian yang relatif cepat. Perkembangan Kota Jakarta yang sangat pesat mengakibatkan semakin berkurangnya lahan untuk lokasi industri, pemukiman dan lainnya. Akibatnya pertumbuhan perekonomian beralih ke daerah-daerah disekitarnya termasuk ke daerah Tangerang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola dan laju konversi lahan pertanian, tingkat perkembangan wilayah, keterkaitan antara konversi lahan pertanian dengan perkembangan wilayah serta faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kota Tangerang. Penelitian dilakukan di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Yang terdiri dari 13 kecamatan dan 104 desa/kelurahan. Penelitian didasarkan pada data primer dan data sekunder. Penarikan contoh data primer dilakukan terhadap 30 titik lokasi. Sedangkan data sekunder mencakup seluruh unit desa/kelurahan di Kota Tangerang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis shift share (SSA), analisis skalogram, analisis komponen utama (PCA), analisis korelasi, analisis regresi berganda (stepwise regression) dan analisis spasial. Perubahan penggunaan lahan yang ada di Kota Tangerang dari tahun 1991 sampai 2005, cenderung ke arah penggunaan lahan untuk perkotaan. Penggunaan lahan untuk sawah, tegalan, air dan hutan semuanya mengalami konversi bahkan untuk hutan telah terkonversi 100%. Hirarki wilayah di Kota Tangerang dikelompokkan menjadi tiga hirarki, hirarki I merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi, dari 104 desa yang ada, 16 desa (15.38%) masuk dalam hirarki ini, desa-desa tersebut misalnya
Desa Cibodasari, Cipondoh, Sukarasa. Hirarki II merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan sedang, ada 31 desa (29.81%) yang masuk dalam hirarki II, desa-desa tersebut misalnya Desa Cikokol, Jatake, Tajur. Sedangkan hirarki III merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan rendah, desa-desa yang masuk dalam hirarki III ada 54 desa (54.81%) misalnya Desa Cipete, Cibodas, dan Jurumudi. Hirarki I menjadi pusat pelayanan bagi wilayah lain. Pola hirarki wilayah yang terbentuk cenderung memusat, yaitu hirarki tertinggi (hirarki I) dikelilingi hirarki lebih rendah. Hubungan antara indikator perkembangan wilayah dengan perubahan penggunaan lahan ditunjukkan oleh keterkaitan positif antara indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan dengan differential shift sawah, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi dengan perubahan luas tegalan, luas desa dengan differential shift air. Keterkaitan negatif ditunjukan oleh keterkaitan antara indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi dengan perubahan luas tegalan, indeks fasilitas ekonomi dengan perubahan luas air. Ada indikasi semakin meningkatnya perkembangan wilayah menyebabkan semakin banyak lahan pertanian yang dikonversi ke penggunaan lain (non pertanian). Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kota Tangerang terdiri dari penggunaan lahan tahun awal (luas lahan sawah, perkotaan, tegalan, air dan hutan pada tahun 1991), indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan, indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, indeks fasilitas pendidikan, indeks fasilitas kesehatan, dan indeks kesejahteraan.
LEMBAR PENGESAHAN Judul
:
ANALISIS KETERKAITAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN DENGAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)
Nama
:
Yani Kusnitarini
NRP
:
A24101067
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono
Ir. Dyah Retno Panuju
NIP. 131 861 468
NIP. 132 158 766
Mengetahui, Dekan
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. NIP. 130 422 698
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 18 Januari 1983. Merupakan anak ke empat dari empat bersaudara pasangan Kamilin Hadi Sudiarto dan Dasih. Penulis besar di daerah Cilacap dan mulai masuk ke jenjang pendidikan pada tahun 1989 yaitu di SD Negeri 1 Karang Putat, Kecamatan Nusawungu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dan berhasil menyelesaikannya selama 6 tahun. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 1 Nusawungu, dan lulus dari SMU Negeri 1 Kroya pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) yaitu pada Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten mata pelajaran Geomorfologi dan Analisis Lanskap pada tahun akademik 2003-2004.
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum wr.wb. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul “Analisis Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Perkembangan Wilayah dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Institut Pertanian Bogor. Sejak awal hingga akhir penyusunan karya tulis ini, penulis banyak menerima dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, dan Ir Dyah Retno Panuju selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu dan memberikan saran, kritik dan petunjuk selama persiapan, pelaksanaan sampai dengan penyusunan tulisan ini. 2. Dr. Ir. Baba Barus selaku dosen penguji, yang telah bersedia menjadi dosen penguji, dan bersedia memberi masukan dan saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Prof. Dr. Ir. Santun RP. Sitorus selaku pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama masa studinya. 4. Papa, mama, yang telah membesarkan dan mendidik penulis dan Mba Iin, Mas Fuad dan Mba Linda yang telah mendukung, memperhatikan dan menyayangi penulis.
5. Teman-teman tanah angkatan ’38, yang telah bersama selama empat tahun lebih. 6. Teman-teman di Lab. fisika dan konservasi tanah dan air : Nyit2, Yayah, Liya, Patme, Rika Setyo, Ike, Opy, Ana, Eko, Bekhi, dan Dani atas kebersamaan dan kekompakannya. 7. Teman-teman di Lab. bangwil : End’, Nengky, Opi, Meilin, E’na, Ine, Riya, Dimaz, Heru, dan Tatank yang telah banyak membantu penulis. 8. Teman-teman kostan Radar 47 atas kebersamaan, persaudaraannya selama ini yang selalu berbagi suka dan duka bersama. Penulis menyadari bahwa penyusunan karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran menuju kesempurnaan. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis dan semua orang yang memerlukannya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum wr.wb.
Bogor, Februari 2006
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………………….
vi
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………
vii
PENDAHULUAN Latar Belakang……………….......…………………………… ……...
1
Tujuan ……………………………….......…………………………....
3
TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Perkembangannya ………….......……………………...
4
Konversi Lahan …………………….......……………………………..
6
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ...........................
10
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian ……………………………….......…......................
14
Data dan Sumber Data ....……………………….......……………….
14
Metode Penelitian ………………………….......…………………….
14
Teknik Analisis Shift Share Analiysis (SSA) ........................................................
18
Analisis Komponen Utama (PCA) ............................................
19
Analisis Skalogram .....................................................................
21
Analisis Korelasi ........................................................................
25
Analisis Regresi Berganda .........................................................
25
Analisis Spasial ...........................................................................
27
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Administrasi Pemerintahan ………….......……………….
29
Topografi .............................................................................................
32
Penggunaan lahan ……………………………….......………………
32
Kependudukan …………………………………........……………….
33
Perekonomian ……………………………………….......…………...
34
Sarana dan Prasarana ...........................................................................
35
HASIL DAN PEMBAHASAN Hirarki Perkembangan Wilayah Desa di Kota Tangerang ..................
37
Dinamika Konversi Lahan Pertanian di Kota Tangerang ...................
45
Keterkaitan Antara Perkembangan Wilayah dengan Konversi Lahan Pertanian ........................................................................................
53
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian .........
59
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan …………………........…………………………………..
64
Saran ………………….......………………………………………….
65
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
66
LAMPIRAN…………………………………………………………………
68
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman Teks
1. Identifikasi Variabel, Sumber Data dan Teknik Analisis untuk Setiap Butir Penelitian ..........................................................................................
16
2. Peubah yang Digunakan pada Setiap Kelompok Indeks untuk Analisis Skalogram ..........................................................................
23
3. Simbol dan Peubah yang Digunakan dalam Analisis Multiple Regression ..................................................................................
27
4. Pemekaran Wilayah Kecamatan Kota Tangerang .....................................
30
5. Pemanfaatan lahan di Kota Tangerang .......................................................
32
6. Luas Wilayah, Jumlah Rumah Tangga, Penduduk, Rata-Rata Anggota Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk per Km2 di Kota Tangerang Tahun 2003 ................................................................................................
34
7. Kriteria Pengelompokan Hirarki Wilayah Berdasarkan Indeks Perkembangan Desa ..................................................................................
38
8. Rata-rata dan Koefisien Keragaman indeks yang Digunakan Setiap Hirarki Wilayah ........................................................................................
43
9. Penggunaan Lahan Tahun 1991, 2005 dan Perubahannya ........................
48
10. Rata-Rata dan CV Nilai Differential Shift setiap Kecamatan di Kota Tangerang ....................................................................................
51
11. Rata-rata dan Koefisien Keragaman Nilai Differential Shift pada Tiap Hirarki Wilayah ………….........…………………………......
53
12. Identifikasi Peubah yang Berkorelasi Terhadap Respon ..........................
56
13. Persamaan dan Parameter Regresi ............................................................
60
14. Identifikasi Peubah Penting yang Berperan Terhadap Respon .................
61
Nomor
Halaman Lampiran
1. Hasil Analisis Skalogram ........................................................................
70
2. Desa-Desa yang Masuk dalam Setiap Hirarki ..........................................
72
3. Hasil Analisis Shift Share Penggunaan Lahan di Kota Tangerang ..........
73
4. Korelasi Antara Jenis Penggunaan Lahan dengan Indeks Hirarki Wilayah ....................................................................................................
76
5. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Pertambahan/Pengurangan Luas Area Sawah (t1 – t0) …………………………………...……...........……
77
6. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Pertambahan/Pengurangan Luas Area Perkotaan (t1 – t0) …………………………….…..........……….….
77
7. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Pertambahan/Pengurangan Luas Area Tegalan (t1 – t0) …………………………………………...……….
78
8. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Area Sawah t1 (Tahun 2005) .............................................................................................
78
9. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Area Perkotaan t1 (Tahun 2005) …………………………………………………...….…....
79
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman Teks
1. Bagan Alir Tahap Analisis Data ...................................................................
17
2. Peta Batas Wilayah Kecamatan di Kota Tangerang....................................... 31 3. Peta Hirarki Wilayah Desa-Desa di Kota Tangerang …………................... 40 4. Peta Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 1991 ................................. 46 5. Peta Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 2005 ................................. 47 6. Grafik Deskripsi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1991-2005 Secara Agregat di Kota Tangerang ............................................................
49
7. Grafik Proyeksi Variabel Antara Dua Faktor ..............................................
55
8. Grafik Proyeksi Cases Antara Dua Faktor ..................................................
55
Lampiran 1. Peta Pengambilan Titik Contoh .................................................................
69
PENDAHULUAN
Latar Belakang Konversi lahan adalah suatu proses perubahan penggunaan lahan dari bentuk penggunaan tertentu menjadi penggunaan lain. Misalnya perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian, perubahan lahan sawah menjadi permukiman, ataupun perubahan penggunaan lahan untuk permukiman menjadi industri. Proses perubahan penggunaan lahan akan terjadi terus-menerus dan tidak dapat dihindari lagi. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya kebutuhan lahan untuk permukiman, industri, perkantoran, jalan raya, dan infrastruktur lain untuk menunjang tuntutan perkembangan masyarakat. Meningkatnya sarana perhubungan, pemusatan penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial, tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang tinggi merupakan indikasi berkembangnya suatu wilayah. Perkembangan ini akan diikuti oleh banyaknya pembangunan seperti gedung-gedung baik itu untuk industri, perkantoran ataupun untuk perumahan serta pembangunan fasiltas-fasilitas penunjang lainnya. Hal ini mengakibatkan kebutuhan lahan meningkat, sehingga semakin banyak lahan pertanian yang akan dikonversikan. Upaya pengembangan yang selalu terjadi, cenderung membawa perubahan ke penggunaan non pertanian. Penggunaan sumberdaya lahan akan mengarah kepada penggunaan yang secara ekonomi lebih menguntungkan yaitu ke arah penggunaan yang memberikan penerimaan keuntungan ekonomi yang paling tinggi. Penggunaan lahan untuk sawah merupakan salah satu penggunaan lahan yang mempunyai nilai land rent rendah dibandingkan dengan penggunaan lain. Hal tersebut menjadi salah satu alasan banyak terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan lain.
Menurut Panuju (2004), rata-rata di seluruh wilayah di Jabodetabek pertumbuhan sektor pertanian terus mengalami penurunan. Kabupaten Bekasi dan Tangerang yang menjadi salah satu pusat sawah beririgasi teknis di Pantura pun memiliki pertumbuhan sektor pertanian yang terus menurun. Dapat dinyatakan bahwa sektor pertanian bukan primadona dan bukan sektor yang diminati sebagai aktifitas ekonomi masyarakat bagi penduduk di wilayah Jabodetabek. Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dengan Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) merupakan salah satu contoh kawasan yang direncanakan ditata secara formal melalui KEPRES (Panuju, 2004). Pengembangan kawasan tersebut harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Menurut Djakapermana (2004) telah terjadi peningkatan penggunaan lahan untuk permukiman di Jabodetabek pada tahun 1992 hingga 2001 sebesar 10 persen. Pada kurun waktu yang sama, telah terjadi pula pengurangan luasan kawasan lindung hingga 16 persen. Secara keseluruhan terjadi penyimpangan sebesar 20 persen terhadap arahan penggunaan lahan pada Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabek. Tangerang sebagai salah satu hinterland Jakarta, selain Bogor, Depok dan Bekasi merupakan wilayah yang telah banyak mengalami perubahan penggunaan lahan. Faktor kedekatan jarak dari Jakarta menyebabkan Tangerang mengalami pertumbuhan perekonomian yang relatif cepat. Perkembangan kota Jakarta yang sangat pesat mengakibatkan semakin berkurangnya lahan untuk lokasi industri, permukiman dan lainnya. Akibatnya pertumbuhan perekonomian beralih ke daerah-daerah di sekitarnya termasuk ke daerah Tangerang. Ashari (2003) menyatakan bahwa, selama tahun 1990-1993 di Pulau Jawa telah terjadi konversi lahan pertanian ke non pertanian seluas 52.772 Ha atau rata-rata 18.257 Ha per tahun. Jawa Barat mengalami konversi lahan terbesar yaitu 27.688,9 Ha. Lahan
yang terkonversi selanjutnya digunakan untuk permukiman 52,22 persen, industri 26,44 persen, perkantoran 5,80 persen, dan sisanya untuk penggunaan lainnya. Perkembangan wilayah Kota Tangerang yang sangat pesat menuntut adanya
area
lahan
yang
luas
untuk
kegiatan
pembangunan.
Sebagai
konsekuensinya banyak lahan yang telah dan akan dikonversikan untuk kegiatan tersebut. Perubahan penggunaan lahan pertanian dipengaruhi oleh banyak faktor, baik itu faktor pendorong internal petani itu sendiri maupun faktor eksternal akibat mekanisme pasar maupun sistem kelembagaan. Dalam penelitian ini dikaji faktor-faktor yang menyebabkan proses konversi lahan. Mengingat sangat terbatasnya penelitian tentang penggunaan lahan di daerah Tangerang dibandingkan Bogor, Depok dan Bekasi, maka dipilih Kota Tangerang sebagai wilayah penelitian.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya konversi lahan pertanian dan pengaruhnya terhadap perkembangan wilayah serta faktorfaktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kota Tangerang yang dirinci sebagai berikit : 1. Menganalisis pola dan laju konversi lahan pertanian 2. Menganalisis tingkat perkembangan wilayah 3. Menganalisis
keterkaitan
antara
konversi
lahan
pertanian
dengan
perkembangan wilayah 4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konversi lahan pertanian.
TINJAUAN PUSTAKA
Wilayah dan Tingkat Perkembangannya Jayadinata (1999) mendefinisikan wilayah dalam pengertian geografis sebagai kesatuan alam yaitu alam yang serba sama, atau homogen, atau seragam, kesatuan manusia, yaitu masyarakat serta kebudayaannya yang serba sama yang mempunyai ciri (kekhususan) yang khas, sehingga wilayah tersebut dapat dibedakan dari wilayah lain. Menurut Rustiadi dan Anwar (2000), wilayah adalah satu satuan atau unit geografis dengan batas-batas tertentu, dimana bagianbagiannya (sub wilayah) satu sama lain tergantung secara fungsional. Dari pengertian di atas dapat dikatakan pengertian wilayah bersifat relatif yaitu tidak ada batasan yang luas. Oleh karena itu, pembagian wilayah tergantung dari tujuan analisis wilayah tersebut. Dalam konsep wilayah nodal, maka wilayah ditafsirkan sebagai sel hidup yang mengandung inti dan plasma. Inti adalah pusat atau kutub yang berfungsi sebagai pusat konsentrasi tenaga kerja, lokasi industri, dan jasa serta pasar bahan mentah. Sedangkan plasma adalah wilayah belakang (hinterland) yang berfungsi sebagai pemasok tenaga kerja, pemasok bahan mentah, serta pasar dari industri dan jasa. Pertumbuhan penduduk, meningkatnya sarana perhubungan, menurunnya secara relatif sektor pertanian sebagai penopang kehidupan masyarakat petani di perdesaan dan daya tarik kota menyebabkan terjadinya arus urbanisasi dari desa ke kota atau dari daerah belakang atau plasma ke pusat-pusat atau inti. Disisi lain dengan adanya ketersediaan infrastruktur di pusat atau di inti, tenaga kerja yang berlimpah menyebabkan banyak industri bertumbuh di pusat dan wilayah
pinggiran kota inti. Adanya perbedaan pertumbuhan wilayah dalam lingkup suatu negara, maka dalam suatu kawasan lebih luas akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu (1). wilayah maju; (2). wilayah sedang berkembang; (3). wilayah belum berkembang; dan (4). wilayah tidak berkembang. Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya berfungsi sebagai pusat pertumbuhan, biasanya terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial. Selain itu juga dicirikan oleh tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang juga tinggi. Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Wilayah yang belum berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah baik secara absolut, maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini masih didiami oleh tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah. Selain itu wilayah ini belum mempunyai aksesibilitas yang baik terhadap wilayah lain. Struktur ekonomi wilayah ini masih didominasi oleh sektor primer dan biasanya belum mampu membiayai pembangunan secara mandiri. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal : (a). wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam maupun potensi lokal, sehingga secara alami sulit sekali berkembang dan mengalami pertumbuhan; dan (b). wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi baik sumberdaya alam atau lokal maupun keduanya, tetapi tidak dapat berkembang dan
tumbuh karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Wilayah ini dicirikan oleh tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tidak memiliki infrastruktur yang lengkap dan tingkat aksesibilitas yang rendah. Wilayah yang memiliki sumberdaya yang berlimpah, namun tidak berkembang dicirikan oleh tingkat kebocoran wilayah yang tinggi, dimana manfaat tertinggi dari manfaat sumberdaya alam tersebut dinikmati oleh wilayah lainnya.
Konversi Lahan Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (Sitorus, 2004). Hardjowigeno et al. (1999), mendefinisikan lahan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklik yang berbeda di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh manusia di masa lalu dan sekarang, yang semuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang. Sementara itu, menurut Arsyad (1989), penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil dan spirituil. Penggunaan lahan dibagi ke dalam dua kelompok utama yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas
penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut, seperti penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang dan lain sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan atas penggunaan kota dan desa (permukiman), industri, rekreasi, dan pertambangan (Arsyad, 1989). Sedangkan Barlowe (1986), membagi penggunaan lahan menjadi (1). lahan permukiman; (2). lahan industri dan perdagangan; (3). lahan bercocok tanam; (4). lahan peternakan dan penggembalaan; (5). lahan hutan; (6). lahan mineral atau pertambangan; (7). lahan rekreasi; (8) lahan pelayanan jasa; (9). lahan transportasi; dan (10). lahan tempat pembuangan. Barlowe (1986), berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pola penggunaan lahan adalah (1). faktor-faktor fisik dan biologis; serta (2). faktor ekonomi dan institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuhan, hewan, dan kependudukan. Faktor ekonomi dicirikan oleh hukum pertanahan yang berlaku di masyarakat, sosial politik dan ekonomi masyarakat. Konversi lahan merupakan suatu proses konversi lahan oleh manusia dari pengggunaan tertentu menjadi penggunaan lain yang dapat bersifat sementara maupun permanen. Konversi lahan yang bersifat permanen lebih besar dampaknya dari pada konversi lahan sementara. Konversi lahan pertanian ke non pertanian bukan hanya fenomena fisik, yaitu berkurangnya luasan lahan melainkan suatu fenomena dinamis yang menyangkut aspek sosial-ekonomi kehidupan masyarakat (Nasoetion dan Winoto, 1995). Sedangkan menurut Saefulhakim (1994), konversi lahan merupakan bentuk peralihan dari penggunaan
lahan sebelumnya ke penggunaan yang lain. Sifat dari luas lahan adalah tetap (fixed), sehingga adanya konversi lahan tertentu akan mengurangi atau menambah penggunaan lahan lainnya. Konversi lahan tersebut terjadi karena adanya sifat kompetitif hasil dari pilihan manusia. Proses konversi lahan pada dasarnya dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perubahan yang dimaksud tercermin dengan adanya (1). pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan perkapitanya; serta (2). adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam ke aktivitas sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa). Di dalam hukum ekonomi pasar, konversi lahan berlangsung dari aktifitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi. Land rent dapat diartikan sebagai nilai keuntungan bersih dari aktivitas pemanfaatan lahan persatuan luas lahan dan waktu tertentu (Rustiadi, 2001). Ketersediaan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit terutama lahan sawah sehingga upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan semakin bermasalah. Hasil sensus pertanian menunjukkan bahwa penyebab penyempitan lahan sawah di Jawa antara lain konversi lahan sawah menjadi lahan non pertanian terutama untuk pembangunan kawasan permukiman. Konversi lahan ini, terutama Jawa sebagai gudang pangan nasional, menyebabkan gangguan yang serius dalam pengadaan pangan nasional. Konversi lahan sawah
yang tidak terkendali juga akan menyebabkan penurunan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian dan perdesaan serta hilangnya aset pertanian bernilai tinggi (Irawan et al., 2001). Jawa Barat mengalami konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah terbesar pada periode 1994/1995 - 1998/1999 yaitu 41.436 Ha (rata-rata 10.359,08 Ha per tahun) atau 87,09% total konversi di Pulau Jawa. Tingginya laju konversi lahan sawah di Jawa Barat pada saat itu khususnya di wilayah Karawang dan Bekasi (Pantura), diduga karena sedang giat-giatnya dilakukan pembangunan untuk keperluan industri. Dari luasan konversi di Jawa Barat tersebut, 77,91% diantaranya digunakan untuk keperluan pembangunan kawasan industri. Dengan memperbandingkan antara wilayah perkotaan dan perdesaan dari total konversi lahan sawah tersebut, sebagian besar terjadi di perdesaan yaitu 33.502,6 Ha (61,17%), sedangkan di perkotaan seluas 21.278,1 Ha (38,83%). Wilayah perdesaan mengalami konversi lebih besar karena secara spasial sebagian lahan sawah memang berada di wilayah perdesaan, sehingga besaran absolut lahan sawah yang terkonversi otomatis juga lebih besar walaupun proporsi lahan terkonversi terhadap total lahan mungkin lebih kecil. Untuk keperluan pengembangan wilayah, pemerintah (Pemda) cenderung melakukan pemekaran wilayah ke arah luar kota (perdesaan). Biasanya cara yang ditempuh adalah dengan membangun permukiman serta berbagai sarana dan prasarana. Setelah wilayah tersebut cukup berkembang, banyak pendatang yang akhirnya bergabung serta bermukim di daerah tersebut. Konsekuensi berikutnya adalah muncul aktivitas baru yang menuntut penyediaan lahan untuk kegiatan non pertanian yang banyak menggunakan lahan sawah (Ashari, 2003).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Perubahan struktur ruang/penggunaan lahan dapat terjadi karena investasi pemerintah ataupun investasi swasta. Investasi swasta perlu mendapat ijin/persetujuan pemerintah baik keberadaannya maupun lokasinya, sehingga pemerintah
dapat
mengandalkan/mengarahkan
struktur
tata
ruang
atau
penggunaan lahan tersebut ke arah yang dianggap paling menguntungkan atau mempercepat tercapainya sasaran pembangunan. Sasaran pembangunan dapat berupa peningkatan pendapatan masyarakat, penambahan lapangan kerja, pemerataan pembangunan di dalam wilayah, tercapainya struktur perekonomian yang lebih kokoh, tetap terjaganya kelestarian lingkungan, dan memperlancar arus pergerakan orang dan barang ke seluruh wilayah termasuk ke wilayah tetangga (Tarigan, 2002). Menurut Barlowe (1986), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran lahan diantaranya adalah karakteristik fisik alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologis, dan faktor kelembagaan. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan adalah populasi penduduk, perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, pendapatan dan pengeluaran, selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan nilai-nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia. Kebutuhan akan lahan yang sangat besar mengakibatkan banyak terjadinya konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian. Saefulhakim (1996) menerangkan tentang peranan karakteristik wilayah dalam menentukan laju konversi lahan pertanian, dapat diuraikan sebagai berikut : (1). Produktivitas lahan yang tinggi sangat menentukan perkembangan perumahan, sementara lahan-lahan
yang kurang produktif kurang diminati dalam pengembangan perumahan; (2). areal perumahan berkembang pada daerah-daerah pertanian yang mempunyai jarak yang dekat dengan ibukota provinsi. Perkembangan perumahan ini berbanding lurus dengan panjang dan kualitas jalan yang ada di wilayah pertanian yang bersangkutan; (3). jumlah penduduk (bukan kepadatan penduduk) berkorelasi nyata positif dengan luas areal sawah yang berarti bahwa pertanian pada dasarnya merupakan culture-basic farming system dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan lokal; (4). laju konversi lahan berkaitan erat dengan fragmentasi kepemilikan lahan pertanian, semakin tinggi laju alih guna lahan pertanian ke non pertanian; dan (5). laju konversi lahan pertanian sangat ditentukan oleh tingkat pengkotaan (spatial urbanization) yang mencirikan bahwa konversi lahan pertanian sangat erat kaitannya dengan proses urbanisasi dan/atau transformasi struktur perekonomian wilayah ke arah industrialisasi. Saefulhakim dan Nasution (1995) memaparkan beberapa faktor yang berperan penting yang dapat menyebabkan proses konversi lahan pertanian ke non pertanian, yaitu: 1. Perkembangan standar tuntutan hidup. Hal ini berhubungan dengan nilai land rent yang mampu memberikan perkembangan standar tuntutan hidup sang petani. 2. Fluktuasi harga pertanian. Menyangkut aspek fluktuasi harga-harga komoditas yang dapat dihasilkan dari pembudidayaan sawah (misalnya padi dan palawija). 3. Struktur biaya produksi pertanian. Biaya produksi dan aktivitas budidaya lahan sawah yang semakin mahal akan cenderung memperkuat proses
konversi lahan. Salah satu faktor pendorong meningkatnya biaya produksi ini adalah berkaitan dengan skala usaha. 4. Teknologi.
Terhambatnya perkembangan
teknologi intensifikasi pada
penggunaan lahan yang memiliki tingkat permintaan yang terus meningkat akan mengakibatkan proses ekstensifikasi yang lebih dominan. Proses ekstensifikasi dari penggunaan lahan akan terus mendorong proses konversi lahan. 5. Aksesibilitas. Perubahan sarana dan prasarana transportasi yang berimplikasi terhadap
meningkatnya
aksesibilitas
lokal,
akan
lebih
mendorong
perkembangan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian. 6. Resiko dan ketidakpastian. Aktivitas pertanian dengan tingkat resiko ketidakpastian yang tinggi akan menurunkan nilai harapan dari tingkat produksi, harga dan keuntungan. Hal ini menimbulkan nilai land rent menjadi lebih rendah. Dengan demikian, penggunaan lahan yang mempunyai resiko dan ketidakpastian yang lebih tinggi akan cenderung dikonversikan ke penggunaan lain yang tingkat resiko dan ketidakpastian lebih rendah. 7. Lahan sebagai asset. Pandangan ini (walaupun tanpa pemanfaatan) lebih memperumit permasalahan sebagai akibat potensi produksi, kelangkaan dan aksesibilitasnya sama sekali tidak melibatkan usaha manusia secara pribadi (milik pribadi penguasa lahan). Sistem kepemilikan atas dasar keperansertaan untuk saat ini “tidak ada”, maka fenomena spekulan lahan yang mengkonversikan lahan pertanian ke penggunaan lain yang tidak jelas peruntukannya.
Menurut hasil penelitian Suryani (2001), konversi lahan khususnya areal sawah di wilayah Jabotabek disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (1) perpindahan penduduk; (2) lapangan kerja; (3) fasilitas pelayanan publik. Sedangkan perubahan pengunaan areal permukiman disebabkan oleh (1) perpindahan penduduk; (2) pekerjaan; dan (3) sarana kesehatan.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Penelitian di lapangan dilaksanakan di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Sedangkan untuk pengolahan data dilakukan di Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung mulai bulan Maret sampai dengan Agustus 2005.
Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari survai ke lapangan (Kota Tangerang) untuk mengecek penggunaan lahan terkini dengan menggunakan alat GPS. Sedangkan data sekunder merupakan data Peta Penggunaan Lahan hasil klasifikasi citra Landsat 1991 dan 2001 hasil penelitian Rustiadi et al. (2003), serta data PODES (Potensi Desa) tahun 2003. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Position System), serta komputer dengan program Arc-View 3.2, Statistica 6.0, Microsoft Excel, dan Microsoft Word.
Metode Penelitian
Tahap Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap-tahapan penelitian tersebut secara umum sebagai berikut :
1.
Tahap Persiapan. Pada tahap ini dilakukan pemilihan topik penelitian, pengumpulan literatur, pembuatan proposal, serta pencarian data-data yang diperlukan dalam penelitian serta pemilihan metode yang digunakan untuk analisis data.
2.
Pengumpulan dan Tabulasi Data. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data Podes tahun 2003 dan Peta Penggunaan Lahan hasil klasifikasi citra landsat tahun 1991 dan 2001 hasil penelitian Rustiadi et al. Pada tahun 2003. Tabulasi digunakan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca.
3.
Survai Lapang. Dilakukan untuk mengetahui keadaan pengunaan lahan sekarang. Survai tersebut dilakukan dengan melihat penggunaan lahan di lapang yang ada sekarang dan dibandingkan dengan Peta Penggunaan Lahan Tahun 2001. Contoh yang diamati sebanyak 30 titik dimana pemilihan titik tersebut dilakukan secara acak. Peta Penggunaan Lahan tersebut kemudian diperbaiki sehingga diperoleh Peta Penggunaan Lahan Tahun 2005. Sebaran titik contoh disampaikan pada peta (Gambar Lampiran 1).
4.
Permodelan. Dilakukan untuk menyusun model-model yang terkait dengan tujuan penelitian. Dalam permodelan juga dilakukan pemilihan variabel yang digunakan untuk analisis. Pemilihan model dilakukan sejak penyusunan proposal dan terus diperbaiki sesuai dengan perkembangan data yang dikoleksi. Model yang direncanakan tersebut kemudian direvisi kembali untuk disesuaikan dengan data yang diperoleh.
5.
Perumusan Hasil Analisis. Merupakan tahapan pemilihan bahan untuk penyusunan laporan.
6.
Penulisan Laporan. Merupakan hasil dari kegiatan selama penelitian yang berupa karya ilmiah. Identifikasi variabel, sumber data dan teknik analisis untuk setiap tujuan
penelitian dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan untuk tahapan-tahapan kegiatan dalam analisis data secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 1 : Identifikasi Variabel, Sumber Data dan Teknik Analisis untuk Setiap Butir Penelitian No
Tujuan penelitian
Variabel
Sumber Data
Analisis yang Digunakan
1
Analisis pola dan laju konversi lahan pertanian
Perubahan luas lahan
-Shift Share Analysis (SSA) -Analisis spasial
2
Analisis tingkat perkembangan wilayah Analisis keterkaitan antara konversi lahan pertanian dengan perkembangan wilayah
Infrastruktur wilayah
Peta Penggunaan Lahan hasil klasifikasi citra Landsat 1991 dan 2001 (Rustiadi et al. 2003) Data PODES
-Laju konversi lahan -Indeks perkembangan wilayah
Data hasil analisis tujuan 1 dan 2
-Analisis korelasi --principle component Analysis (PCA)
Analisis faktorfaktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian
-Perubahan penggunan lahan -Indeks perkembangan wilayah
-Data hasil analisis tujuan 1 dan 2 -Data pengunaan lahan
Analisis regresi berganda (stepwise)
3
4
Analisis skalogram
Peta Penggunaan Lahan 2001
Peta Penggunaan Lahan 1991
Podes
survai lapang/ GPS
Analisis Skalogram
Peta Penggunaan Lahan 2005
Tabel penggunaan lahan pada dua titik tahun
Perkembangan wilayah
Analisis Regresi
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan
Visualisasi Spasial perubahan penggunaan lahan
Analisis Shift Share dan Analisis Komponen utama
Struktur penggunaan lahan
Analisis korelasi
Keterkaitan antara perkembangan wilayah dan pola perubahan penggunaan lahan
Gambar 1. Bagan Alir Tahap Analisis Data
Keterangan: = data yang digunakan = analisis = hasil analisis
Teknik Analisis
Shift Share Analysis (SSA) Shift Share Analysis digunakan untuk menganalisis intensitas perubahan penggunaan lahan, yang didekomposisikan menjadi tiga komponen penyusun laju pertumbuhan yaitu komponen share, komponen propotional shift, dan komponen differential shift. Analisis Shift Share mempunyai rumus matematik sebagai berikut:
⎤ ⎡ X . j ( t1) X ..(t1) ⎤ ⎡ Xij (t1) X . j (t1) ⎤ ⎡ X .. ( t 1 ) − 1⎥ + ⎢ − − SSA = ⎢ ⎥ +⎢ ⎥ ⎦ ⎣ X . j (t 0 ) X ..(t 0 ) ⎦ ⎣ Xij (t 0 ) X . j (t 0 ) ⎦ ⎣ X .. ( t 0 ) A
B
A = komponen share B = komponen propotional shift C = komponen differential shift X.. = nilai total aktifitas dalam total wilayah X.j = nilai total untuk penggunaan lahan ke-j Xij = nilai total di wilayah ke-j untuk penggunaan lahan ke-i t1 = titik tahun akhir t0 = titik tahun awal
C
Hasil analisis shift share menjelaskan kinerja suatu aktifitas di suatu sub wilayah dan membandingkan dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari tiga komponen hasil analisis, yaitu: 1.
komponen laju pertumbuhan total (komponen regional share). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah.
2.
komponen pergeseran proposional (komponen propotional shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktifitas dalam wilayah.
3.
komponen pergeseran diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan atau ketakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub wilayah lain.
Analisis Komponen Utama/ Principle Component Analysis (PCA) Analisis komponen utama merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk
memperkecil
dimensi
variabel
yang
diamati
dengan
jalan
mentransformasikan variabel asal (X) ke variabel baru (W) yang saling bebas satu sama lain (Drapper dan Smith, 1992). Prinsip dasar PCA adalah menentukan faktor-faktor (komponen utama) dengan dimensi yang lebih kecil dari variabel aslinya, tetapi masih dapat menerangkan sebagian besar keragaman variabel aslinya.
Variabel baru (W) ini disebut sebagai komponen utama yang merupakan hasil tranformasi variabel asli. Dalam model matrik dapat dinotasikan sebagai berikut : W = Ax dimana : A = matrik yang melakukan transformasi terhadap variabel asal sehingga diperoleh vektor komponen utama W. x = vektor variabel asal Komponen utama merupakan kombinasi linier terbobot dari variabel asal yang dapat menerangkan keragaman data terbesar. Komponen utama pertama dapat ditulis sebagai berikut : W1 = a11X1 + a11X2 + … + ap1Xp dimana a1 adalah vektor ciri yang bersesuaian dengan akar ciri terbesar yang memberikan keragaman terbesar. Komponen utama kedua dan ke-j ditulis sebagai berikut : W1 = a12X1 + a22X2 + … + ap2Xp Wj = a1jX1 + a2jX2 + … + apjXp dimana aj adalah vektor ciri yang bersesuaian dengan akar ciri terbesar ke-j yang bersifat ortogonal, ai’aj = 0 untuk i ≠ j. Pemilihan variabel baru yang akan diambil untuk menerangkan keragaman dapat ditetapkan berdasarkan beberapa konsep. Menurut Drapper dan Smith (1992) hanya variabel yang mempunyai akar ciri yang lebih besar dari satu yang diambil sebagai variabel. Sedangkan menurut Morrison (1976, dalam Drapper dan
Smith, 1992), variabel baru yang diambil harus dapat menerangkan keragaman dari variabel tak bebas paling tidak 75 persen. Analisis PCA ini menggunakan 20 variabel, variabel-variabel tersebut adalah indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan (X1), indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan (X2), indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi (X3), indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan (X4), indeks aksesibilitas ke fasilitas lain (X5), indeks fasilitas ekonomi (X6), indeks fasilitas pendidikan (X7), indeks fasilitas kesehatan (X8), indeks fasilitas sosial lain (X9), indeks kesejahteraan (X10), indeks luas wilayah (X11), selisih sawah (X12), selisih urban (X13), selisih tegalan (X14), selisih air (X15), selisih hutan (X16), differential shift sawah (X17), differential shift urban (X18), differential shift tegalan (X19), dan differential shift air (X20).
Analisis Skalogram Analisis skalogram digunakan untuk menentukan hirarki wilayah. Dalam metode skalogram, seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh setiap unit wilayah didata dan disusun untuk membangun suatu indeks. Metode skalogram ini bisa digunakan dengan menuliskan jumlah fasilitas yang dimiliki oleh setiap wilayah atau menuliskan ada atau tidaknya fasilitas tersebut di suatu wilayah tanpa memperhatikan jumlah atau kuantitasnya. Tahapan dalam penyusunan analisis skalogram adalah sebagai berikut : (1). Menyusun fasilitas sesuai dengan penyebaran dan jumlah fasilitas di dalam unit-unit wilayah, (2). Khusus untuk fasilitas yang menandakan jarak harus dibuat invers jarak akan berkorelasi positif dengan fasilitas yang lain sehingga apabila suatu wilayah tersebut dekat dengan pusat dari suatu wilayah akan memiliki nilai invers jarak paling besar walaupun sebenarnya jarak wilayah tersebut dengan pusat wilayah paling dekat, (3). Semua
nilai fasilitas dirasiokan terhadap luas di setiap wilayah sehingga didapatkan penyebaran fasilitas di setiap wilayah sehingga didapatkan penyebaran fasilitas di wilayah tersebut, (4). Semua nilai harus distandarisasikan dahulu sehingga nilai tersebut memiliki satuan yang sama dengan persamaan standarisasi Zi = Xi – Xmin S dimana: Zi
= nilai standar
Xi
= nilai indeks fasilitas ke-i
S
= galat baku
(5). Mengelompokkan fasilitas-fasilitas yang sama/mempunyai kemiripan sifat ke dalam suatu kelompok indeks, misalnya indeks fasilitas ekonomi, indeks fasilitas kesehatan, indeks kesejahteraan dan lain sebagainya, (6). Menjumlahkan seluruh fasilitas yang ada dalam suatu kelompok indeks secara horisontal, (7). Membagi masing-masing kelompok indeks tersebut dengan jumlah penyusun setiap kelompok, (8). Menjumlahkan seluruh indeks secara horizontal untuk menentukan indeks perkembangan suatu wilayah (total indeks), (9). Mengitung nilai rata-rata (average) dan standar deviasi (st-dev) dari total indeks tersebut. Model untuk menentukan nilai indeks perkembangan wilayah desa-desa adalah sebagai berikut : IPDj =
n
∑ Ι'
ij
i
Ιij − Ιi min Dimana = Ι ' ij = SDi IPDj
= indeks perkembangan wilayah ke-j
Iij
= nilai (skor) indeks perkembangan ke-i wilayah ke-j
Ι 'ij
= nilai (skor) indeks perkembangan ke-i terkorelasi (terstandarisisi) wilayah ke-j
Ιi min
= nilai (skor) indeks perkembangan ke-i terkecil (minimum)
SDi
= standar deviasi indeks perkembangan ke-i Penentuan tingkat perkembangan wilayah dibagi menjadi tiga, yaitu
apabila rata-rata indeks perkembangan lebih dari satu atau sama dengan (1 x stdev) + rata-rata maka masuk ke dalam tingkat perkembangan wilayah tinggi. Apabila nilai indeks perkembangan kurang dari rata-ratanya maka masuk ke dalam tingkat perkembangan rendah dan apabila diantara keduanya berarti masuk ke dalam tingkat perkembangan sedang. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pembobotan untuk fasilitas-fasilitas yang ada atau semua fasilitas dianggap mempunyai pengaruh yang sama terhadap perkembangan wilayah. Variabelvariabel yang digunakan dalam analisis skalogram dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Variabel yang Digunakan pada Setiap Kelompok Indeks untuk Analisis Skalogram Kelompok Indeks Fasilitas ekonomi
Fasilitas pendidikan
Variabel yang Digunakan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 1. 2. 3. 4. 5.
Lahan untuk bangunan industri Lahan untuk bangunan lainnya (perkantoran, pertokoan) Banyaknya peralatan pertanian Banyaknya transportasi air Jumlah Toko/Warung/Kios Jumlah Supermarket/Pasar Swalayan/Toserba Restoran/Rumah Makan/Kedai Makanan Minuman Jumlah Hotel/Penginapan Jumlah Industri Kerajinan Jumlah Bank Jumlah koperasi Jumlah Perusahaan Peternakan Jumlah TK negeri dan swasta Jumlah SD negeri dan swasta dan yang sederajat Jumlah SLTP Negeri dan swasta dan yang sederajat Jumlah SMU dan SMK negeri dan swasta
Jumlah Akademi/PT negeri dan yang sederajat
Jumlah Variabel 12
8
Tabel 2. Lanjutan Kelompok Indeks
Variabel yang Digunakan
Aksesibilitas ke fasilitas lain
6. Jumlah Sekolah Luar Biasa negeri dan swasta 7. Jumlah pondok pesantren dan Madrasah Diniyah 8. Jumlah lembaga ketrampilan 1. Jumlah fasilitas pengobatan 2. Jumlah fasilitas penyedia obat 3. Jumlah tenaga medis 1. Jumlah tempat peribadatan 2. Jumlah Perpustakaan 3. Jumlah tempat hiburan 4. Jumlah lapangan terbuka/alun-alun/taman bermain, 5. Jumlah fasilitas komunikasi 1. Jarak dari kantor desa/kelurahan ke kantor kecamatan yang membawahi 2. Jarak dari kantor desa/kelurahan ke kantor kabupaten/kota yang membawahi 3. Jarak dari Kantor desa/kelurahan ke Ibukota kabupaten/kota lain terdekat 1. Jarak ke TK terdekat 2. Jarak ke SD terdekat 3. Jarak ke SLTP terdekat 4. Jarak ke SMU 5. Jarak ke SMK terdekat 1. Jarak dari desa/kelurahan ke rumah sakit 2. Jarak dari desa/kelurahan ke rumah sakit bersalin/rumah Bersalin 3. Jarak dari desa/kelurahan ke poliklinik/balai pengobatan 4. Jarak dari desa/kelurahan ke puskesmas 5. Jarak dari desa/kelurahan ke puskesmas pembantu 6. Jarak dari desa/kelurahan ke tempat praktek dokter 7. Jarak dari desa/kelurahan ke tempat praktek bidan 8. Jarak dari desa/kelurahan ke posyandu 9. Jarak dari desa/kelurahan ke polindes 10. Jarak dari desa/kelurahan ke apotik 11. Jarak dari desa/kelurahan ke pos obat desa 12. Jarak dari desa/kelurahan ke toko khusus obat/jamu 1. Jarak terdekat ke bioskop, 2. Jarak kr rumah bilyard, 3. Jarak ke pub/diskotik/karaoke 4. Jarak pertokoan terdekat 5. Jarak pasar terdekat 1. Jarak ke kantor pos 2. Jarak pos polisi terdekat
Tingkat Kesejahteraan
1. 2.
Luas wilayah
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 1.
Fasilitas pendidikan Fasilitas kesehatan Fasilitas sosial lain
Aksesibilitas ke pusat pemerintahan
Aksesibilitas ke fasilitas pendidikan Aksesibilitas ke fasilitas kesehatan
Aksesibilitas ke fasilitas ekonomi
Jumlah keluarga prasejahtera dan sejahtera I Banyaknya penduduk Desa/Kelurahan yang tidak mempunyai pekerjaan Jumlah keluarga permukiman kumuh Jumlah surat miskin yang dikeluarkan desa/kelurahan Jumlah keluarga yang menerima "kartu sehat" setahun terakhir Jumlah keluarga menggunakan listrik PLN dan non PLN Jumlah keluarga yang berlangganan telpon Jumlah keluarga yang mempunyai pesawat TV Jumlah rumah permanen Luas Desa/Kelurahan (Ha) Total variabel yang digunakan
Jumlah Variabel
3 5
3
5
12
5
2 9
1 65
Analisis Korelasi Analisis korelasi merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara dua variabel sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam melihat ada atau tidaknya hubungan sebab-akibat antara variabel tersebut. Di dalam analisis korelasi sederhana, sifat keeratan hubungan antara dua variabel diidentifikasi berkorelasi positif, negatif, atau tidak berkorelasi. Dua variabel akan berkorelasi positif jika mempunyai kecenderungan yang searah, misalnya kenaikan variabel x yang diikuti oleh kenaikan variabel y, dan akan berkorelasi negatif jika kecenderungan variabelnya berlawanan. Sedangkan jika perubahan variabel x tidak mempengaruhi variabel y dan sebaliknya, maka keduanya dinyatakan tidak berkorelasi. Koefisien korelasi yang menyatakan besarnya hubungan antara dua variabel dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut : rxy =
nΣΧiΥi − [(ΣΧi )(ΣΥi )]
[nΣXi
2
][
− (ΣXi) 2 nΣYi 2 − (ΣYi) 2
]
dimana: n = ukuran populasi xi = nilai variabel x untuk anggota populasi ke-i yi = nilai variabel y untuk anggota populasi ke-i Analisis Regresi Berganda (Stepwise Regression Analysis)
Analisis regresi digunakan untuk membuat model pendugaan terhadap nilai suatu parameter, dari parameter-parameter (variabel penjelas) lain yang diamati. Analisis regresi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komputer dengan program Statistica. Metode analisis yang digunakan adalah
stepwise regression. Prinsip dasar stepwise regression adalah mengurangi banyaknya variabel di dalam persamaan dengan cara menyusupkan variabel satu demi satu sampai diperoleh persamaan regresi yang paling baik. Urutan penyisipan ditentukan dengan mengggunakan koefesien korelasi parsial sebagai ukuran pentingnya variabel yang masih diluar persamaan. Variabel yang berkorelasi dengan respon dipilih dan dihitung dengan persamaan regresi, kemudian diuji nyata atau tidak yaitu dengan membandingkan antara F-parsial setiap variabel dengan F-tabel. Pengujian ini sangat menentukan apakah variabel yang bersangkutan dipertahankan atau dikeluarkan dari persamaan (Draper dan Smith, 1992). Persamaan (model) yang akan dihasilkan adalah : Y = A1X1 + A2X2 + … + AnXn dimana: Y
= dependent variable (variabel tujuan)
Xi = independent variable ke-i (variabel penduga), untuk i = 1, 2, 3, … Ai = koefisien regresi vaeriabel ke-i Dalam analisis multiple regression ini digunakan lima variabel sebagai respon (Y) dan enam belas variabel penduga yang mempengaruhi respon (X). Variabel-variabel beserta simbol yang digunakan dalam analisis regresi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Simbol dan Variabel yang Digunakan dalam Analisis Multiple Regression Simbol Y11 Y21 Y31 Y12 Y22 X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16
Nama Variabel Perubahan luas area sawah (t1 – t0) Perubahan luas area urban (t1 – t0) Perubahan luas area tegalan (t1 – t0) Area sawah t1 (tahun 2005) Area urban t1 (tahun 2005) Indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan Indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan Indeks aksesibilitas ke fasiltias ekonomi Indeks aksesibilitas ke fasilitas lain Indeks fasilitas ekonomi Indeks fasilitas pendidikan Indeks fasilitas kesehatan Indeks fasilitas sosial lain Indeks Kesejahteraan Luas wilayah Luas area sawah t0 (tahun 1991) Luas area urban t0 (tahun 1991) Luas area tegalan t0 (tahun 1991) Luas area air t0 (tahun 1991) Luas area hutan t0 (tahun 1991)
Analisis Spasial
Analisis spasial digunakan untuk melihat pola perubahan luas lahan secara spasial. Untuk analisis spasial digunakan software Arc view 3.2. Peta yang digunakan pada analisis ini yaitu Peta Penggunaan Lahan Tahun 1991 dan Tahun 2005. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2005 diperoleh dari Peta Penggunaan Lahan Tahun 2001 yang telah di perbaiki melalui survai lapang dengan GPS (Global Positioning System).
Survai lapang dilakukan untuk mengetahui keadaan pengunaan lahan terkini. Survai tersebut dilakukan dengan melihat penggunaan lahan di lapang yang ada sekarang dan dibandingkan dengan Peta Penggunaan Lahan Tahun 2001. Contoh yang digunakan ada 30 titik dimana pemilihan titik tersebut dilakukan secara acak. Peta penggunaan lahan tersebut kemudian diperbaiki sehingga diperoleh Peta Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 2005.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak dan Administrasi Pemerintahan
Secara geografis Kota Tangerang terletak pada posisi 106º 36’ - 106º 42’ Bujur Timur (BT) dan 6º 6’ - 6º Lintang Selatan (LS). Letak Kota Tangerang sangat strategis karena berada di antara DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang. Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi), Kota Tangerang merupakan salah satu daerah penyangga DKI Jakarta. Posisi tersebut mengakibatkan pertumbuhan yang pesat. Pesatnya pertumbuhan dipercepat pula dengan keberadaan Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang sebagian arealnya termasuk wilayah administrasi Kota Tangerang. Bandara tersebut membuka peluang bagi pengembangan kegiatan perdagangan dan jasa secara luas. Kota Tangerang terbentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 2 tahun 1993 tentang Pembentukan Kota Tangerang. Sebelumnya Kota Tangerang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tangerang dengan status wilayah Kota Administratif Tangerang berdasarkan peraturan pemerintah nomor 50 tahun 1981. Secara administratif batas-batas wilayah Kota Tangerang adalah sebagai berikut: Utara
: Kabupaten Tangerang (Kecamatan Teluknaga dan Sepatan)
Selatan : Kabupaten Tangerang (Kecamatan Curug, Serpong, dan Pondok Aren) Barat
: Kabupaten Tangerang (Kecamatan Pasar Kemis dan Cikupa)
Timur
: DKI Jakarta (Jakarta Barat dan Jakarta Selatan)
Luas wilayah Kota Tangerang adalah 17.729,746 Ha, termasuk luas Bandara Soekarno-Hatta sebesar 1.816,0 Ha. Pada mulanya wilayah kota ini terdiri atas 6 (enam) kecamatan yaitu Kecamatan Tangerang, Jatiuwung, Batuceper, Benda, Cipondoh, dan Ciledug. Untuk lebih mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintahan dan pemanfaatan serta pengendalian pemanfaatan ruang wilayah, kecamatan-kecamatan tersebut dimekarkan menjadi 13 (tiga belas) kecamatan yang terdiri atas Kecamatan Tangerang, Karawaci, Jatiuwung, Cibodas, Periuk, Batuceper, Neglasari, Benda, Cipondoh, Pinang, Ciledug, Karang Tengah, dan Larangan. Pemekaran kecamatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 2. Seiring dengan pemekaran wilayah kecamatan, wilayah kelurahan dan desa yang ada mengalami pemekaran pula. Bila sebelumnya di Kota Tangerang hanya tercatat 20 kelurahan dan 37 desa, maka setelah pemekaran kini menjadi 87 kelurahan dan 17 desa. Pemekaran dan peningkatan status sejumlah desa menjadi kelurahan bertujuan untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Tabel 4. Pemekaran Wilayah Kecamatan di Kota Tangerang No 1
Kecamatan Lama Ciledug
2
Cipondoh
3
Tangerang
4
Jatiuwung
5
Batuceper
6
Benda
Baru Ciledug Karang Tengah Larangan Cipondoh Pinang Tangerang Karawaci Jatiuwung Cibodas Periuk Batuceper Neglasari Benda
Keterangan Dimekarkan menjadi 3 kecamatan Dimekarkan menjadi 2 kecamatan Dimekarkan menjadi 2 kecamatan Dimekarkan menjadi 3 kecamatan Dimekarkan menjadi 2 kecamatan Tidak dimekarkan
Sumber: PMA-PMDN Kota Tangerang, www.Kota Tangerang.go.id, 2005.
Gambar 2. Peta Batas Wilayah Kecamatan di Kota Tangerang
Topografi
Wilayah Kota Tangerang rata-rata berada pada ketinggian 10 - 30 meter di atas permukaan laut (dpl). Bagian Utara memiliki rata-rata ketinggian 10 meter dpl, sedangkan bagian Selatan memiliki ketinggian 30 meter dpl. Bagian Selatan mencakup wilayah Kecamatan Ciledug yang meliputi Kelurahan Cipadu Jaya, Larangan Selatan, Paninggilan Selatan, Paninggilan Utara, Parung Serab, Tajur dan Kelurahan Sudimara Pinang (Kecamatan Cipondoh). Dilihat dari kemiringan lerengnya, sebagian besar Kota Tangerang mempunyai tingkat kemiringan lereng ≥ 30 % dan sebagian kecil (yaitu di bagian Selatan kota) kemiringan lerengnya antara 3 – 8 % berada di Kelurahan Parung Serab, Paninggilan Selatan dan Cipadu Jaya.
Penggunaan Lahan
Kota Tangerang mempunyai luas wilayah 17.729,746 Ha. Dari luas wilayah tersebut pertumbuhan fisik kota ditunjukkan oleh besarnya kawasan terbangun kota, yaitu seluas 10.127,231 Ha (57,12 % dari luas seluruh kota). Tabel 5. Pemanfaatan Lahan di Kota Tangerang Jenis Penggunaan Lahan Permukiman Industri Perdagangan dan jasa Pertanian Bandara Soekarno-Hatta Belum terpakai Lain-lain Luas Kota Tangerang
Luas (Ha) 5.988,2 1.367,1 608,1 4.467,8 1.816,0 2.660,4 819,4 17.729,7
Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka 2003, dalam www.Kota Tangerang.go.id, 2005.
Berkaitan dengan pewilayahan (zoning) di Kota Tangerang, pusat kota ditetapkan di Kecamatan Tangerang. Kawasan pengembangan terbatas di Bagian
Utara (Kecamatan Benda, Neglasari, dan Batuceper) yang masih mengikuti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang lama. Kecamatan Batuceper dan Neglasari diarahkan untuk kegiatan pergudangan, industri dan perumahan susun. Kecamatan Benda yang wilayahnya meliputi sebagian Bandara Internasional Soekarno-Hatta diarahkan sebagai ruang terbuka hijau dan buffer (penyangga) bandara, yang masih konsisten dengan RTRW sebelumnya. Kecamatan Karawaci diarahkan untuk kegiatan perdagangan. Sedangkan Kecamatan Ciledug, Larangan, Karang Tengah dan Pinang tetap diarahkan untuk kegiatan perumahan tapi dengan penegasan yang lebih jelas antara skala menengah dan kecil. Kecamatan Jatiuwung di bagian Barat Kota Tangerang diarahkan untuk kegiatan industri dengan pengembangan terbatas, serta permukiman penunjang industri. Kawasan tersebut tidak diarahkan untuk penambahan industri baru tapi untuk perluasan kegiatan yang sudah ada.
Kependudukan
Jumlah penduduk Kota Tangerang pada tahun 2003 adalah 1.466.577 jiwa, dengan kepadatan penduduknya mencapai 8.913 jiwa per km2. Dalam kurun tahun 1998 - 2003 pertumbuhan penduduk Kota Tangerang adalah sebesar 15.76 % (3.94 % pertahun). Dengan jumlah rumah tangga sebanyak 368.858 maka ratarata jumlah anggota rumah tangga di Kota Tangerang adalah 3,98 jiwa. Sebaran penduduk Kota Tangerang terkonsentrasi di beberapa kecamatan yakni di Kecamatan Karawaci (161.371 jiwa), Cipondoh (144.367 jiwa), Cibodas (129.217 jiwa), Jatiuwung (123.045 jiwa), Larangan (127.033 jiwa), dan Tangerang (120.584 jiwa).
Tabel 6. Luas Wilayah, Jumlah Rumah Tangga, Penduduk, Rata-Rata Anggota Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk per Km2 di Kota Tangerang Tahun 2003 Kepadata Ratan rata Jumlah Kecamatan LakiPerempu penduduk anggo laki an Per km2 ta RT Ciledug 8,77 23.169 51.522 49.199 100.721 4,35 11.486 Larangan 9,40 30.270 64.691 62.342 127.033 4,20 13.518 Karang Tengah 10,47 22.437 48.730 47.399 96.129 4,28 9.178 Cipondoh 17,91 32.452 73.261 71.106 144.367 4,45 8.061 Pinang 21,59 27.049 59.440 56.591 116.031 4,29 5.374 Tangerang 15,79 27.716 62.614 57.970 120.584 4,35 7.639 Karawaci 13,48 40.145 81.317 80.054 161.371 4,02 11.976 Cibodas 9,61 33.389 65.450 63.767 129.217 3,87 13.445 Jatiuwung 14,41 43.663 63.416 59.629 123.045 2,82 8.541 Periuk 9,54 30.409 56.308 55.202 111.510 3,67 11.685 Neglasari 16,08 21.184 46.640 43.522 90.162 4,26 5.608 Batuceper 11,58 20.974 40.686 39.401 80.087 3,82 6.914 Benda 5,92 16.002 33.682 32.638 66.320 4,14 11.205 Kota Tangerang 164,54 368.858 747.757 718.820 1.466.577 3,98 8.913 Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka 2003, dalam www.Kota Tangerang.go.id, 2005 *) Tidak termasuk luas Bandara Soekarno-Hatta = 1.816,0 Ha Luas (Km2)
Rumah tangga (RT)
Penduduk
Perekonomian
Perkembangan ekonomi Kota Tangerang tidak terlepas dari situasi ekonomi nasional, karena Kota Tangerang berada pada posisi penyangga Jakarta, maka kondisi ekonomi Jakarta selalu membawa imbas pada Kota Tangerang. Sebagai daerah penyangga ibukota, wilayah ini dipersiapkan untuk kegiatan perdagangan, industri, perkembangan pusat-pusat permukiman dan menjaga keserasian pembangunan antara DKI Jakarta dengan daerah-daerah yang berbatasan langsung. Berdasarkan Kepres Nomor 54 Tahun 1989, Kota Tangerang harus mengalokasikan 3.000 Ha lahannya untuk kegiatan industri. Kegiatan industri sebagai motor utama perekonomian Kota Tangerang, sebagian besar terdapat di wilayah Kecamatan Jatiuwung, Batuceper, Tangerang dan sebagian kecil di Kecamatan Cipondoh. Kegiatan industri tersebut mayoritas berlokasi di koridor jalan Daan Mogot – Batuceper, sedangkan sebagian lagi
berlokasi di koridor sungai Cisadane – jalan Imam Bonjol – jalan M.H. Tamrin. Pendirian industri sampai akhir tahun 2001 tercatat sebanyak 1.407, terdiri dari PMA, PMDN dan Non Fasilitas. Kegiatan industri di Kota Tangerang dikategorikan sebagai Zona Industri, Kawasan Industri dan Kegiatan Industri Rumah Tangga (home industry). Sektor perdagangan di Kota Tangerang tumbuh beriringan dengan pesatnya pengembangan perindustrian dan perumahan yang ada. Sektor ini memang tumbuh pada saat terjadinya keramaian aktifitas manusia yang akhirnya menuntut tersedianya kebutuhan primer maupun sekunder manusia itu sendiri. 5.561 unit usaha perdagangan telah tumbuh di Kota Tangerang hingga di penghujung tahun 2001 dengan menguasai lahan seluas 608,1 Ha.
Sarana dan Prasarana
Kota Tangerang yang terletak di dekat Jakarta mempunyai sarana dan prasarana yang cukup lengkap. Keberadaan Bandara Soekarno-Hatta yang merupakan Bandara Internasional terbesar dan tersibuk di Indonesia telah menjadikan Kota Tangerang sebagai pintu gerbang dunia untuk kegiatan dunia usaha. Kegiatan industri dan perdagangan sebagai motor penggerak roda perekonomian Kota Tangerang, tentunya tidak akan berjalan tanpa adanya dukungan sarana perhubungan yang memadai untuk menunjang kelancaran aksesibilitas barang hasil produksi. Kondisi dan panjang jalan di Kota Tangerang yang ditetapkan dalam SK Gubernur Jawa Barat Nomor 7 Tahun 1997 adalah : jalan yang berstatus jalan negara terdapat 3 ruas sepanjang 16,85 Km, jalan
propinsi terdapat 7 ruas sepanjang 25,10 Km dan jalan kota terdapat 247 ruas sepanjang 335,26 Km. Kondisi riil jaringan jalan yang ada sebagai berikut : tingkat kerusakan ringan di bawah 30 % terdapat 104 ruas sepanjang 129,56 Km, kerusakan ringan di atas 30 % terdapat 10 ruas sepanjang 16,25 Km, dan kerusakan berat terdapat 20 ruas sepanjang 33,10 Km. Pengembangan permukiman, baik permukiman perkampungan maupun perumahan baru mengalami ledakan sejak tahun 1976 hampir di seluruh wilayah Kota Tangerang. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan sarana papan akibat bertambahnya jumlah penduduk yang disebabkan oleh tingginya angka migrasi. Tujuan para migrasi adalah bekerja di sentra-sentra kegiatan ekonomi kota Tangerang. Migran permanen umumnya komuter Jakarta yang memilih bertempat tinggal di Kota Tangerang tetapi tetap bekerja di Jakarta. Berdasarkan data hingga penghujung tahun 2001 pengembangan perumahan ini telah memanfaatkan seluas 5.988,2 Ha. Sebagian dari pemanfaatan lahan itu diperuntukan bagi pengembangan perumahan baru skala kecil, menengah dan besar yang dibangun oleh 121 perusahaan properti.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hirarki Perkembangan Wilayah Desa di Kota Tangerang
Tingkat perkembangan wilayah desa-desa di Kota Tangerang dapat dilihat dengan analisis skalogram. Analisis skalogram pada awalnya dibangun untuk mengetahui tingkat perkembangan suatu desa berdasarkan aktifitas sosial, ekonomi, serta mengidentifikasi tingkat kesejahteraan, luas wilayah dan aksesibilitas ke pusat-pusat pelayanan. Dalam analisis skalogram ini ada 65 variabel yang digunakan dalam menentukan perkembangan wilayah desa-desa di Kota Tangerang, dan variabel-variabel tersebut dikelompokkan dalam 11 indeks yaitu indeks fasilitas ekonomi, indeks fasilitas pendidikan, indeks fasilitas kesehatan, indeks fasililitas sosial lain, indeks kesejahteraan, indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, indeks aksesibilitas ke fasilitas lain, dan indeks luas wilayah. Tingkat perkembangan wilayah desa-desa ditentukan oleh indeks perkembangan desa (IPD). Semakin tinggi IPD maka semakin tinggi tingkat perkembangan wilayahnya. Sebaliknya, semakin rendah IPD berarti semakin rendah tingkat perkembangan wilayahnya. Kisaran IPD yang dihasilkan dari analisis skalogram adalah 22.25 – 6.92 (Tabel Lampiran 1). Total indeks tertinggi sebesar 22.25 dimiliki oleh Desa Cibodasari, Kecamatan Cibodas, dan terkecil sebesar 6.92 dimiliki oleh Desa Pajang, Kecamatan Benda. Hal ini mencerminkan bahwa kondisi kehidupan masyarakat di Desa Cibodasari berdasarkan variabelvariabel yang digunakan dalam menentukan IPD lebih baik dari pada desa-desa lain di Kota Tangerang. Sedangkan Desa Panjang berdasarkan variabel-variabel
yang sama, merupakan wilayah desa dengan kondisi kehidupan masyarakat yang paling rendah diantara desa-desa lain di Kota Tangerang. Desa-desa yang masuk dalam setiap hirarki dapat dilihat pada Tabel Lampiran 2. Analisis skalogram mengelompokkan desa-desa ke dalam hirarki-hirarki wilayah dengan kriteria sebagaimana disampaikan pada metode analisis. Pengelompokkan ini menghasilkan tiga hirarki wilayah yaitu hirarki I, hirarki II dan hirarki III. Hirarki I didefinisikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi, hirarki II didefinisikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan sedang, sedangkan hirarki III didefinisikan dengan tingkat perkembangan rendah. Hasil analisis skalogram, dari 104 desa yang ada di Kota Tangerang, 16 desa termasuk dalam hirarki I dengan rata-rata IPD sebesar 18.96, 31 desa masuk dalam hirarki II dengan rata-rata IPD sebesar 15.46, dan sisanya sebanyak 57 desa masuk dalam hirarki III dengan rata-rata IPD sebesar 11.64. Sedangkan untuk koefisien keragaman (CV) IPD untuk masing-masing hirarki adalah hirarki I sebesar 9.19, hirarki II sebesar 5.66 dan hirarki III sebesar 14.86 (Tabel 7).
Tabel 7. Kriteria Pengelompokkan Hirarki Wilayah Berdasarkan Indeks Perkembangan Desa (IPD) Kriteria IPD > rataan + standar deviasi IPD > rataan IPD < rataan Total
Hirarki
Jumlah desa
Rataan IPD
CV (%) IPD
I
16
18,96
9,19
II III
31 57 104
15,46 11,64 13,90
5,66 14,86 22,57
Pada dasarnya, pengelompokkan wilayah-wilayah hirarki desa ke dalam tiga hirarki wilayah bukan merupakan patokan baku. Wilayah-wilayah desa ini
dapat juga dikelompokkan ke dalam lebih dari tiga hirarki. Selain itu, kriteria pengelompokkannya pun tidak terpaku hanya berdasarkan kriteria-kriteria seperti yang ada pada Tabel 7. Banyak kriteria maupun metode-metode lain yang dapat digunakan untuk mengelompokkan wilayah desa ke dalam hirarki-hirarki wilayah. Alasan pengelompokkan desa-desa di Kota Tangerang ke dalam tiga hirarki wilayah lebih disebabkan karena pengelompokkan ini lebih umum dibandingkan apabila dikelompokkan ke dalam hirarki-hirarki wilayah yang lebih banyak. Kriteria pengelompokkan hirarki dapat dilakukan dengan beragam metode, yang menjadi penekanan adalah pengelompokkan harus dilakukan dengan prosedur tertentu untuk menghindari subyektifitas. Pengelompokkan wilayah-wilayah ke dalam hirarki-hirarki wilayah hasil analisis skalogram dapat dilihat pada peta hirarki wilayah desa-desa di Kota Tangerang (Gambar 3). Peta pada Gambar 3 menunjukan bahwa hirarki-hirarki tersebut (hirarki I, hirarki II dan hirarki III) tidak mengelompok di suatu tempat saja tetapi menyebar ke semua wilayah di Kota Tangerang. Dapat dilihat bahwa tidak semua kecamatan mempunyai pusat-pusat aktifitas atau adanya hirarki I di setiap
kecamatan
tersebut.
Penyebaran
hirarki-hirarki
wilayah
tersebut
mempunyai pola tertentu, dimana hirarki-hirarki tersebut membentuk pemusatan, yaitu hirarki I cenderung di tengah-tengah yang dikelilingi hirarki II dan kemudian diikuti oleh hirarki III. Hirarki I didefinisikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi. Dari hasil analisis skalogram menunjukan bahwa tidak semua kecamatan mempunyai desa-desa yang masuk dalam hirarki I. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Kecamatan Batuceper dan Larangan (Tabel Lampiran 2).
Gambar 3. Peta Hirarki Wilayah Kota Tangerang
Sedangkan Kecamatan Tangerang dan Karang Tengah merupakan kecamatan yang desa-desanya paling banyak masuk dalam hirarki I. Desa-desa tersebut adalah Desa Babakan, Sukasari, Tanah Tinggi, Sukaasih, Sukarasa (Kecamatan Tangerang), Karang Tengah, Karang Timur, dan Karang Mulya (Kecamatan Karang Tengah). Kecamatan Tangerang merupakan pusat pemerintahan Kota Tangerang sehingga banyak aktifitas-aktifitas pemerintahan, perekonomian, dan aktifitas lainnya yang berlangsung di wilayah ini. Selain itu desa-desa di kecamatan ini mempunyai fasilitas sosial, ekonomi, dan aksesibilitas yang lebih lengkap. Sedangkan Kecamatan Karang Tengah karena letaknya yang dekat dengan Jakarta sehingga perkembangan wilayahnya lebih pesat dibanding wilayah lain. Hirarki II merupakan wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Ada dua kecamatan di Kota Tangerang yang tidak memiliki wilayah yang masuk dalam hirarki II, yaitu Kecamatan Neglasari dan Kecamatan Karang Tengah. Kecamatan Neglasari yang wilayahnya meliputi sebagian Bandara Internasional Soekarno-Hatta sehingga perkembangannya dibatasi berdasarkan peraturan yaitu diarahkan sebagai ruang terbuka hijau dan buffer (pengaman) untuk bandara. Sedangkan untuk wilayah yang desanya paling banyak masuk dalam hirarki II adalah Kecamatan Karawaci. Desa-desa tersebut adalah Gerendeng, Karawaci Baru, Nusajaya, Cimone Jaya, dan Pasarbaru. Kecamatan Karawaci berdasarkan RTRW yang ada merupakan wilayah yang diarahkan untuk
perdagangan sehingga wilayah ini mempunyai pertumbuhan yang cepat dan sangat berpengaruh terhadap kecamatan-kecamatan lain. Hirarki III didefinisikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan rendah. Semua kecamatan di Kota Tangerang mempunyai wilayah yang masuk dalam Hirarki III. Dari 104 desa yang ada di Kota Tangerang lebih dari setengahnya (57 desa) merupakan wilayah dengan hirarki III. Banyaknya desadesa yang merupakan wilayah dengan hirarki III, menandakan bahwa penyebaran fasilitas-fasilitas yang ada cenderung memusat. Paradigma pembangunan yang selama ini dianut di Indonesia yaitu Teori Pemusatan tercermin dari sebaran hirarki tersebut. Desa-desa yang masuk hirarki III misalnya Desa Paninggilan, Padurenan, Kenanga, Sudimara Pinang, Bojong Jaya, dan Periuk Jaya. Wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi mempunyai kondisi, jumlah dan fasilitas yang lebih baik daripada wilayah dengan tingkat perkembangan lebih rendah. Tabel 8 menunjukkan bahwa indeks fasilitas-fasilitas yang ada pada hirarki I lebih besar dibandingkan dengan hirarki II dan hiaraki III, kecuali untuk indeks luas wilayah hirarki III lebih besar dari pada hirarki II. Hal ini terjadi karena luas wilayah tidak berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan wilayah. Hirarki I mempunyai nilai rata-rata indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan, aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, dan aksesibilitas ke fasilitas lain lebih besar dari pada hirarki II dan hirarki III. Semakin besar nilai rata-rata suatu indeks maka semakin besar pengaruhnya terhadap perkembangan wilayah.
Wilayah, dalam hubungannya dengan wilayah lain selalu berinteraksi satu sama lainnya dalam bentuk aktifitas-aktifitas masyarakatnya yang meliputi beragam aspek. Dalam melakukan kegiatannya, masyarakat memerlukan aksesibilitas yang baik sehingga interaksi tersebut dapat berjalan dengan lancar. Dengan demikian aksesibilitas mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan suatu wilayah, semakin tinggi tingkat aksesibilitas semakin tinggi kemudahan yang diperoleh masyarakat dalam mengakses fasilitas-fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tabel 8. Rata-rata dan Koefisien Keragaman Indeks yang Digunakan Tiap Hirarki Wilayah Indeks
Rataan
Koefisien keragaman
Hirarki I
Hirarki II
Hirarki III
Hirarki I
Hirarki II
Hirarki III
Aksesibilitas ke pusat pemerintahan
0,94
0,43
0,36
113,54
115,66
114,15
Aksesibilitas ke fasilitas pendidikan
3,43
3,11
2,75
10,45
15,59
23,35
Aksesibilitas ke fasilitas kesehatan
2,08
1,96
1,58
15,59
18,64
21,91
Aksesibilitas ke fasilitas ekonomi
2,03
2,02
1,37
25,53
21,87
38,68
Aksesibilitas ke fasilitas lain
1,52
1,42
0,60
60,34
46,49
91,21
Fasilitas ekonomi
0,71
0,53
0,40
58,81
56,54
62,03
Fasilitas pendidikan
1,32
0,91
0,55
58,44
58,37
53,17
Fasilitas kesehatan
1,98
1,51
0,81
59,57
35,75
48,61
Fasilitas sosial lain
1,53
1,02
0,67
64,80
46,90
40,96
Tingkat kesejahteraan
1,72
1,69
1,68
15,08
25,30
22,87
Luas desa (Ha)
1,71
0,87
0,89
130,68
45,69
56,39
18,96
15,46
11,64
9,19
5,66
14,86
Indeks total
Hirarki I mempunyai rata-rata indeks fasilitas ekonomi, indeks fasilitas pendidikan, indeks fasilitas kesehatan dan indeks fasilitas-fasilitas lain lebih besar dari pada hirarki II dan hirarki III. Wilayah dengan fasilitas yang kompleks dan beragam merupakan ciri wilayah yang lebih berkembang. Pada kenyataannya, hirarki I adalah wilayah perkotaan yang memang relatif lebih berkembang dari pada wilayah-wilayah atau hirarki-hirarki lainnya.
Nilai rata-rata indeks tertinggi untuk hirarki I, II dan III dimiliki oleh indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, sedangkan nilai rata-rata indeks terendah dimiliki oleh indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan. Rata-rata nilai indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan tinggi menandakan bahwa fasilitas pendidikan pada hirarki I, II dan III mudah dijangkau atau keberadaannya dekat dengan permukiman penduduk. Sedangkan nilai rata-rata indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan pada hirarki I, II, III rendah terjadi karena pusat pemerintahan biasanya
jumlahnya
hanya
satu
di
setiap
desa/kelurahan,
kecamatan,
kabupaten/kota dan ibukota kabupaten/kota, sehingga masyarakat sulit untuk menjangkau fasilitas tersebut karena keberadaannya jauh dari permukiman penduduk. Nilai koefisien keragaman total indeks perkembangan wilayah (Tabel 8) terendah yaitu pada hirarki II (5.66). Hal ini berarti, sebaran indeks-indeks hirarki pada hirarki II lebih baik dibandingkan indeks pada hirarki yang lain atau dalam arti lain bahwa indeks-indeks yang berpengaruh pada perkembangan wilayah tersebut keberadaannya tidak mengumpul di suatu tempat saja tetapi menyebar ke semua wilayah. Sedangkan koefisien keragaman terbesar pada hirarki III (14.86), yang berarti bahwa sebaran fasilitas-fasilitas yang ada pada hirarki III tidak merata ke semua wilayah. Luas desa pada hirarki I mempunyai nilai koefesien keragaman tertinggi. Hal tersebut berarti bahwa luas desa pada hirarki I tidak seragam, dimana ada desa yang mempunyai luasan yang besar dan ada pula desa yang mempunyai luasan yang kecil. Nilai koefisien keragaman terendah dimiliki oleh aksesibilitas ke fasilitas pendidikan. Hal ini berarti aksesibilitas ke fasilitas pendidikan baik atau
keberadaan fasilitas tersebut menyebar ke semua wilayah sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat. Koefisien keragaman tertinggi pada hirarki II dan III dimiliki oleh indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan. Hal ini berarti, pusat pelayanan sebarannya tidak merata ke semua wilayah dan memang pada kenyataannya pusat pemerintahan jumlahnya hanya satu di masing-masing wilayah sehingga sulit dijangkau. Koefisien keragaman terendah pada hirarki II dimiliki oleh aksesibilitas ke fasilitas pendidikan. Yang berarti aksesibilitas ke fasilitas pendidikan baik atau keberadaan fasilitas pendidikan menyebar ke semua wilayah sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat. Sedangkan untuk hirarki III koefisien keragaman tertinggi dimiliki oleh aksesibilitas ke fasilitas kesehatan. Hal ini berarti, fasilitas kesehatan pada hirarki III keberadaannya menyebar ke semua wilayah sehingga mudah dijangkau.
Dinamika Konversi Lahan Pertanian di Kota Tangerang
Selama kurun waktu 1991 hingga 2005 luas penggunaan lahan di Kota Tangerang banyak mengalami perubahan. Perubahan luas area tersebut berbedabeda antar wilayah. Ada yang mengalami peningkatan luas penggunaannya ada juga yang mengalami penurunan. Konversi lahan tersebut dapat dilihat secara visual pada Peta Penggunaan Lahan Kota Tangerang pada tahun 1991 dan tahun 2005 (Gambar 4 dan 5). Konversi lahan antara kedua tahun tersebut terlihat sangat nyata dimana perubahan tersebut didominasi oleh perubahan ke arah penggunaan untuk perkotaan (urban).
Gambar 4. Peta Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 1991
Gambar 5. Peta Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 2005
Penggunaan lahan sawah pada tahun 2005 di Timur dan Utara Kota Tangerang terlihat masih banyak. Wilayah Utara Kota Tangerang merupakan wilayah yang diperuntukan sebagai bandara udara Sukarno-Hatta sehingga berdasarkan RTRW yang ada perkembangan wilayah ini dibatasi. Penggunaan lahan yang ada lebih diperuntukan untuk penggunaan lahan yang tidak mengganggu aktifitas bandara seperti penggunaan lahan sawah. Sedangkan wilayah Timur merupakan wilayah dengan pertanian dan irigasi yang baik sehingga wilayah ini dipertahankan untuk peggunaan lahan sawah. Penggunaan lahan secara agregat di Kota Tangerang dapat dilihat pada Tabel 9. Penggunaan lahan pada tahun 1991 didominasi oleh penggunaan perkotaan. Penggunaan lahan tegalan, sawah, air dan hutan juga masih relatif banyak. Tetapi pada tahun 2005 penggunaan lahan untuk sawah, tegalan dan air mengalami penggurangan lebih dari 50%, bahkan untuk penggunaan lahan hutan mengalami perubahan sebesar 100% atau dengan kata lain penggunaan lahan untuk hutan pada tahun 2005 telah habis terkonversi. Penggunaan lahan untuk perkotaan dari tahun 1991 sampai 2005 mengalami peningkatan sebesar 31.5%. Tabel 9. Penggunaan Lahan Tahun 1991, 2005 dan Perubahannya Jenis Penggunaan Lahan Sawah Perkotaan Tegalan Air Hutan
Tahun 1991 (Ha) 2225,78 12552,99 2848,04 284,42 637,12
Tahun 2005 (Ha) 911,20 16506,51 1022,91 107,72 0,00
Perubahan (Ha) -1314,58 +3953,52 -1825,13 -176,70 -637,12
Perubahan (%) -59.1% +31.5% -64.1% -62.1% -100%
Selama tahun 1991 sampai dengan tahun 2005 terjadi peningkatan luas penggunaan lahan untuk perkotaan sebesar 3.953,52 Ha. Sedangkan untuk penggunaan lahan sawah, tegalan, air dan hutan semuanya mengalami
pengurangan luas penggunaan yaitu masing-masing sebesar : sawah (1.314,58 Ha), tegalan (182,51 Ha), air (176,69 Ha), dan hutan (637,12 Ha). Konversi lahan secara agregat di Kota Tangerang tersebut juga dapat dilihat pada grafik histogram pada Gambar 6.
Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1991-2005 2005
Luas Penggunaan (Ha)
16500 15000 1991
13500 12000 10500 9000 7500 6000 4500 3000
1991
1991
2005
2005
1500
1991 2005
1991 2005
0 saw ah
urban
tegalan
air
hutan
Jenis Penggunaan Lahan
Gambar 6. Grafik Deskriptif Konversi Lahan Tahun 1991-2005 Secara Agregat di Kota Tangerang Grafik deskripsi konversi lahan yang disampaikan pada Gambar 6 juga didukung oleh hasil analisis Shift Share (SSA). Hasil analisis menunjukkan bahwa dari lima jenis penggunaan lahan yang ada di Kota Tangerang, laju perubahan yang terjadi cenderung ke arah penggunaan lahan perkotaan. Hal ini terlihat pada nilai propotional shift hasil analisis SSA (Tabel Lampiran 3), penggunaan lahan perkotaan mempunyai nilai positif yang menandakan terjadi peningkatan, sedangkan penggunaan lahan yang lain mempunyai nilai negatif yang menandakan terjadi penurunan. Konversi lahan terbesar yaitu pada penggunaan lahan untuk hutan dengan nilai propotional shift sebesar –1.000. Hal ini berarti
terjadi pengurangan luasan hutan sebesar 100% atau dengan kata lain penggunaan lahan untuk hutan pada tahun 2005 telah habis dikonversi untuk penggunaan lainnya. Sedangkan peningkatan penggunaan lahan terbesar pada penggunaan lahan perkotaan dengan nilai propotional shift sebesar 0.304. Besarnya peningkatan penggunaan lahan untuk perkotaan terjadi karena banyaknya industri yang berkembang di wilayah ini serta letak Kota Tangerang yang srategis yaitu dekat dengan Jakarta sehingga banyak penduduk yang bermukim di wilayah ini. Sebagai konsekuensinya banyak dibangun perumahan-perumahan untuk tempat tinggal mereka dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya. Nilai rata-rata differential shift penggunaan lahan pada empat penggunaan lahan yaitu sawah, perkotaan, tegalan dan air, pada masing-masing kecamatan di Kota Tangerang menunjukkan bahwa rata-rata laju peningkatan sawah terbesar di Kecamatan Cipondoh sedangkan rata-rata laju penurunan sawah terbesar di Kecamatan Jatiuwung (Tabel 10). Untuk penggunaan lahan hutan karena hasil diferrential shift bernilai nol semua maka untuk pembahasan selanjutnya tidak digunakan lagi. Rata-rata laju peningkatan sawah terbesar terjadi di Kecamatan Cipondoh sedangkan laju penurunan terbesar terjadi di Kecamatan Jatiuwung. Besarnya laju peningkatan di Kecamatan Cipondoh terjadi karena wilayah ini memang memiliki sawah yang relatif banyak sehingga penggunaan lahan sawah dipertahankan bahkan diperluas lagi. Sedangkan Kecamatan Jatiuwung mengalami penurunan luas sawah paling besar karena wilayah ini diarahkan untuk kawasan industri dan permukiman sehingga banyak sawah yang dikonversikan.
Tabel 10. Rata-Rata dan Koefisien Keragaman Nilai Differential Shift Setiap Kecamatan di Kota Tangerang Kecamatan Batu Ceper Benda Cibodas Ciledug Cipondoh Jatiuwung Karang Tengah Karawaci Larangan Neglasari Periuk Pinang Tangerang Agregat
Sawah -0,08 0,20 -0,23 0,06 0,21 -0,41 -0,12 -0,25 -0,13 0,13 -0,28 0,08 -0,20 -1,02
Rataan Perkota Tegalan an 0,08 0,08 -0,19 0,12 0,86 -0,13 1,15 0,07 0,24 0,05 0,00 -0,18 0,35 -0,18 -0,08 -0,09 0,05 0,09 0,12 0,13 -0,10 0,09 0,13 0,05 0,51 -0,04 3,12 0,06
Air
Sawah
-0,16 -0,23 -0,02 0,00 0,02 0,00 0,00 0,15 0,00 -0,03 -0,23 -0,02 0,05 -0,47
370,94 188,58 120,02 382,86 157,60 0,00 245,09 111,65 125,33 221,49 99,80 310,20 132,07 55,84
Koefisien Keragaman Perkota Tegalan Air an 362,92 579,48 124,72 69,71 233,29 91,29 240,41 103,45 1278,79 129,26 567,81 0,00 218,12 539,19 16,23 5010,11 88,75 0,00 163,62 91,91 0,00 226,46 601,42 248,88 932,14 423,17 0,00 277,80 249,10 1188,56 153,16 404,70 91,29 254,28 374,62 592,61 27,66 665,65 160,83 7166,98 1820,17 2641,33
Rata-rata laju peningkatan terbesar untuk penggunaan lahan perkotaan terjadi di Kecamatan Ciledug sedangkan Kecamatan Benda mengalami rata-rata laju penurunan terbesar. Kecamatan Ciledug merupakan kecamatan yang ditujukan untuk pembangunan permukiman karena dilihat letaknya yang dekat dengan Jakarta sehingga wilayah ini sangat strategis untuk permukiman. Banyaknya perumahan yang dibangun di kecamatan ini menyebabkan intensifnya konversi ke penggunaan lahan untuk perkotaan. Kecamatan Neglasari merupakan kecamatan yang mempunyai laju ratarata peningkatan tegalan terbesar sedangkan Kecamatan Karang Tengah mempunyai laju rata-rata penurunan terbesar. Seperti halnya Kecamatan Ciledug yang letaknya dekat dengan Jakarta demikian juga Kecamatan Karang Tengah, karena letaknya strategis sehingga kecamatan ini dikembangkan untuk area permukiman. Sebagai akibatnya banyak penggunaan lahan tegalan yang berkonversi untuk lokasi permukiman. Kecamatan Neglasari yang letaknya dekat
dengan Bandara Sukarno-Hatta perkembangannya dibatasi, sehingga konversi lahan di wilayah ini cenderung ke arah penggunaan lahan yang tidak mengganggu aktifitas Bandara seperti penggunaan lahan untuk tegalan. Dari rata-rata laju penggunaan lahan air, diketahui peningkatan terbesar terjadi pada Kecamatan Karawaci sedangkan penurunan laju rata-rata terbesar pada Kecamatan Benda. Kecamatan Karawaci yang wilayahnya dilalui oleh sungai Cisadane kemungkinan mengalami perluasan area sungai karena terjadi erosi sehingga penggunaan lahan air mengalami peningkatan. Sedangkan Kecamatan Benda yang sebagian wilayahnya merupakan daerah rawa-rawa, hampir semua rawa tersebut telah mengalami konversi lahan menjadi pengunaan lahan lain dan sebagian besar berubah menjadi area sawah. Tabel 11 menunjukkan nilai rata-rata dan koefisien keragaman Differential Shift yang dikelompokan berdasarkan hirarki wilayah. Penggunaan lahan sawah mengalami laju penurunan pada ke tiga hirarki tersebut. Penggunaan lahan untuk sawah pada hirarki I dan hirarki II mengalami laju penurunan lebih besar dibandingkan hirarki III. Laju penurunan pada hirarki I dan II besar karena wilayah ini merupakan wilayah yang lebih berkembang, sehingga banyak dibutuhkan lahan untuk kegiatan-kegiatan pembangunan akibatnya banyak lahan sawah yang dikonversikan untuk penggunaan lain. Laju peningkatan terbesar penggunaan lahan perkotaan pada hirarki III, yang diikuti oleh hirarki I dan hirarki II. Besarnya laju peningkatan pada hirarki III terjadi karena wilayah ini merupakan daerah yang belum berkembang sehingga jika terjadi perubahan maka perubahan tersebut akan sangat terasa.
Tabel 11. Rata-rata dan Koefisien Keragaman Nilai Differential Shift pada Tiap Hirarki Wilayah Hirarki
Sawah
I II III
-0,12 -0,12 -0,04
I II III
230,07 294,27 772,19
Perkotaan Rataan 0,32 -0,09 0,37 Koefisien Keragaman (CV) 409,43 199,80 259,18
Tegalan
Air
-0,12 0,04 0,01
0,08 -0,05 -0,01
191,15 793,96 3285,76
283,44 421,04 1490,22
Penggunaan lahan tegalan pada hirarki II dan III mengalami peningkatan, sedangkan untuk Hirarki I mengalami penurunan. Penggunaan lahan air terjadi laju peningkatan untuk hirarki I, sedangkan untuk hirarki II dan III mengalami laju penurunan. Nilai koefisien keragaman differential shift sawah, tegalan dan air terkecil pada hirarki I yang berarti perubahan sawah, tegalan dan air pada hirarki I terjadi merata di semua wilayah. Sedangkan nilai koefisien keragaman tertinggi pada hirarki III, yang berarti perubahan sawah, tegalan dan air hanya terjadi di wilayah tertentu saja. Nilai koefisien keragaman differential shift penggunaan lahan perkotaan tertinggi pada hirarki I dan terkecil pada hirarki II. Hal ini berarti pada hirarki II mengalami peningkatan perkotaan merata di semua wilayah, sedangkan pada hirarki I perubahan terjadi hanya pada wilayah tertentu saja
Keterkaitan Antara Perkembangan Wilayah dengan Konversi Lahan Pertanian
Keterkaitan antara konversi lahan pertanian dengan konversi lahan pertanian dapat dilihat dengan menggunakan analisis PCA (Principle Component Analysis). Analisis PCA bertujuan untuk menentukan faktor-faktor (komponen
utama) dengan dimensi yang lebih kecil dari variabel aslinya, tetapi masih dapat menerangkan sebagian besar keragaman variabel aslinya. Hasil analisis PCA ditunjukan pada Gambar 7 dan 8. Dari Gambar 7 terlihat bahwa antara kecenderungan keragaan selisih perkotaan (X13) dan differential shift perkotaan (X18) mengelompok menjadi satu. Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan (X2), indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi (X3), indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan (X4), indeks aksesibilitas ke fasilitas lain (X5), indeks fasilitas ekonomi (X6), indeks fasilitas pendidikan (X7), indeks fasilitas kesehatan (X8), mengelompok menjadi satu. Sedangkan aksesibilitas ke pusat pemerintahan (X1), indeks fasilitas sosial lain (X9), indeks kesejahteraan (X10), indeks luas wilayah (X11), selisih sawah (X12), selisih tegalan (X14), selisih air (X15), selisih hutan (X16), differential shift sawah (X17), differential shift tegalan (X19), dan differential shift air (X20) mengelompok menjadi satu. Dengan menghubungkan Grafik pada Gambar 7 dan 8, gambar tersebut menunjukan bahwa desa-desa yang ada di kuadran 1 merupakan desa-desa sebagai pusat pelayanan. Desa-desa tersebut adalah Karang Tengah, Sukarasa, dan Cibodasari. Pada kenyataannya desa-desa tersebut merupakan desa-desa yang masuk dalam wilayah Hirarki I. Desa-desa di kuadran 3 dan 4 merupakan desadesa daerah perkotaan. Desa-desa tersebut adalah Cibodas, Paninggilan, dan Karang Mulya. Sedangkan desa-desa yang berada di kuadran 2 merupakan daerah dengan perkembangan dinamis, desa-desa tersebut misalnya Desa Nambojaya, Panunggangan dan Panunggangan Timur.
Kawasan pertanian
Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2) 1,0
X14 X16
0,5 Factor 2 : 12,15%
II
I
X12X15 X10
X4 X3 X5 X9 X6 X8
X20 X19X11 X1
0,0
X2 X17
Kawasan urban
IV
III
-0,5
X7
X18 X13 -1,0 -1,0
-0,5
Perkembangan dinamis
0,0
0,5
Factor 1 : 16,26%
1,0
Active
Pusat pelayanan
Kawasan pertanian
Gambar 7. Grafik Proyeksi Variabel Antara Dua Faktor
Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 2) Cases with sum of cosine square >= 0,00 6
4
Kawasan urban
Factor 2: 12,15%
2
Nambojaya 65 12 49 64 104 63 5103 70 53 Sukarasa 7166 82 I 18 21 54 5068 6155 60 1011 62 101 45 40 2 85 38 72 39 Panunggangan Timur 25 57 37 28 32 95 36 67 14 84 41 4 88 52 98 78 80 23 100 56 87 69 16 58 22 Karang Tengah 34 96 8477 94 75 51 29 24 Cibodasari 46 76 31 81 9079 4283 3 6 77 74 89 1 48 26 91 7330 20 86 35 99 9 27 Panunggangan 33 17
II
0
-2
-4
Paniggilan Karang Mulya
-6
Cibodas
97
III
IV
-8
-10 -8
-6
-4
perkembangan dinamis
-2
0
2
Factor 1: 16,26%
4
6
8
Pusat pelayanan
Gambar 8. Grafik Proyeksi cases Antara Dua Faktor
10
Active
Analisis korelasi dilakukan untuk melihat apakah ada hubungan antara konversi lahan pertanian dengan tingkat perkembangan wilayah. Dalam Analisis korelasi ini digunakan 20 variabel untuk mengetahui apakah ada keterkaitan antara variabel-variabel tersebut. Hasil analisis korelasi tersebut dapat dilihat pada Tabel Lampiran 4, sedangkan ringkasan hasil analisis korelasi untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Identifikasi Variabel yang Berkorelasi Terhadap Respon Variabel yang Berkorelasi
Respon Aksesibilitas ke pusat pemerintahan Aksesibilitias ke fasilitas pendidikan Aksesibilitas ke fasilitas kesehatan
Aksesibilitas ke fasilitas ekonomi
Aksesibilitas ke fasilitas lain
Indeks fasilitas ekonomi Indeks fasilitas pendidikan
Indeks fasilitas kesehatan
Indeks fasilitas sosial lain Indeks kesejahteraan Luas Desa (ha) Perubahan luas sawah Perubahan luas perkotaan
Positif Aksesibilitas ke fasilitas ekonomi Aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, aksesibilitas ke fasilitas lain, indeks fasilitas pendidikan, indeks fasilitas kesehatan, differential shift sawah Aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, aksesibilitas ke fasilitas lain, indeks fasilitas ekonomi, indeks fasilitas kesehatan, indeks fasilitas sosial lain Aksesibilitas ke pusat pemerintahan, aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, aksesibilitas ke fasilitas lain, indeks fasilitas ekonomi, indeks fasilitas pendidikan, indeks fasilitas kesehatan, indeks fasilitas sosial lain, perubahan luas tegalan Aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, indeks fasilitas ekonomi, indeks fasilitas pendidikan,indeks fasilitas kesehatan, indeks fasilitas sosial lain Aksesibilitas ke tempat kesehatan, aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, aksesibilitas ke fasilitas lain, indeks fasilitas kesehatan, indeks fasilitas sosial lain Aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, aksesibilitas ke fasilitas lain, indeks fasilitas kesehatan, indeks fasilitas sosial lain Aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, aksesibilitas ke fasilitas lain, indeks fasilitas ekonomi, indeks fasilitas pendidikan, indeks fasilitas sosial lain Aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, aksesibilitas ke fasilitas lain, indeks fasilitas ekonomi, indeks fasilitas pendidikan, indeks fasilitas kesehatan,
Negatif -
-
Differential shift sawah
-
Tingkat kesejahteraan, perubahan luas air
-
-
-
-
Indeks fasilitas ekonomi
Differential shift air
Perubahan luas perkotaan, differential shift perkotaan Perubahan luas sawah, perubahan luas tegalan, perubahan luas air, perubahan luas hutan
Differential shift sawah Differential Shift perkotaan
Tabel 12. Lanjutan Respon Perubahan luas tegalan Perubahan luas air Perubahan luas hutan Differential shift sawah Differential shift perkotaan Differential shift tegalan Differential shift air
Variabel yang Berkorelasi Positif Negatif Aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, differential Perubahan luas perkotaan, differential shift shift tegalan sawah, differential shift perkotaan Indeks fasilitas ekonomi, perubahan luas Differential shift air perkotaan, differential shift sawah, differential shift tegalan Perubahan luas perkotaan, differential shift perkotaan Aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, perubahan Aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, luas sawah, differential shift tegalan perubahan luas tegalan, perubahan luas air Perubahan luas sawah, perubahan luas Perubahan luas perkotaan tegalan, perubahan luas hutan Perubahan luas tegalan, differential shift sawah
Perubahan luas air
Luas Desa (ha), perubahan luas air
-
Indeks fasilitas ekonomi berkorelasi positif dengan indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, indeks aksesibilitas ke fasilitas lain, indeks fasilitas kesehatan, indeks fasilitas sosial lain, dan berkorelasi negatif dengan indeks kesejahteraan, dan perubahan luas air (Tabel 12). Peningkatan fasilitas ekonomi di suatu wilayah selalu dibarengi dengan peningkatan fasilitas kesehatan dan fasilitas sosial lainnya serta peningkatan aksesibilitas. Terdapat fenomena tingkat kesejahteraan menurun seiring dengan pembangunan fasilitas ekonomi. Hal ini terjadi karena fasilitas yang dibangun hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu saja. Pembangunan fasilitas ekonomi di suatu wilayah menarik penduduk untuk mencari kerja dan bermukim di daerah tersebut, sehingga berkembang daerah-daerah kumuh yang mengakibatkan kesejahteraan masyarakat yang diukur secara agregat regional menurun. Perubahan luas air mengalami penurunan karena banyak lahan yang akan dikonversikan
untuk
pembangunan
tersebut
serta
banyaknya
kawasan
permukiman kumuh yang berkembang di sekitar aliran sungai. Perubahan luas suatu area untuk penggunaan tertentu berkorelasi positif dengan nilai differential shift nya. Hal ini terjadi karena nilai differential shift
merupakan hasil dari nilai perubahan luas yang dibagi dengan nilai penggunaan sektor tersebut secara agregat. Sehingga nilai perubahan luas suatu penggunaan sejalan dengan nilai differential shift nya. Variabel yang berkorelasi positif terhadap respon perubahan luas sawah adalah differential shift sawah. Sedangkan variabel yang berkorelasi negatif adalah differential shift perkotaan dan perubahan luas perkotaan. Peningkatan area perkotaan menyebabkan banyak area sawah yang akan dikonversikan untuk penggunaan perkotaan tersebut sehingga korelasi yang terjadi adalah korelasi negatif. Variabel yang berkorelasi positif terhadap respon perubahan luas perkotaan adalah differential shift perkotaan. Sedangkan variabel yang berkorelasi negatif adalah perubahan luas sawah, perubahan luas tegalan, perubahan luas air dan perubahan luas hutan. jika perubahan luas perkotaan meningkat maka differential shift perkotaan akan meningkat. Sedangkan perubahan luas sawah, perubahan luas tegalan, perubahan luas air dan perubahan luas hutan akan menurun. Hal ini terjadi karena penggunaan lahan tersebut (sawah, tegalan, air dan hutan) akan mengalami konversi ke penggunaan perkotaan sehingga terjadi penurunan. Variabel yang berkorelasi positif terhadap respon perubahan luas tegalan adalah aksesibilitas ke fasilitas ekonomi dan differential shift tegalan. Sedangkan variabel yang berkorelasi negatif dengan respon perubahan luas tegalan adalah differential shift sawah, differential shift perkotaan dan perubahan luas perkotaan. Peningkatan penggunaan lahan perkotaan mengakibatkan terjadi penurunan luas tegalan karena banyak tegalan yang akan dikonversikan ke penggunaan tersebut,
begitu juga untuk laju peningkatan sawah, jika terjadi peningkatan sawah maka luas tegalan akan menurun.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian
Untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian digunakan analisis regresi berganda (multiple regression) dengan metode forward stepwise. Dalam analisis multiple regression ini digunakan lima variabel sebagai respon (Y) dan enam belas variabel penduga yang mempengaruhi respon (X). Hasil analisis regresi dapat dilihat pada Tabel Lampiran 5 – 9. Persamaan, R-square (R2), dan galat/simpangan (S) hasil analisis regresi dapat dilihat pada Tabel 13. R-square (R2) yang diperoleh dari hasil analisis regresi berganda dengan metode forward Stepwise, area perkotaan t1 (tahun 2005) memiliki nilai yang paling besar yaitu 0.99 dan R-square terkecil terdapat pada perubahan luas area perkotaan yaitu sebesar 0.73. Nilai R-square semakin mendekati 100 % berarti model tersebut linier. Nilai R-square yang hampir mendekati 100 % juga dapat berarti bahwa pemilihan variabel penjelas relatif tepat. Galat atau nilai simpangan (S) untuk respon area perkotaan t1 (tahun 2005) memiliki nilai yang paling kecil yaitu 0.09, sedangkan galat terbesar dimiliki oleh selisih luas area perkotaan yaitu sebesar 0.55. Dimana semakin kecil galat (S) berarti semakin kecil kesalahan yang terjadi untuk analisis ini.
Tabel 13. Persamaan dan Parameter Regresi Respon
Persamaan
Perubahan luas area sawah
Y11 = - 0.07X1 + 0.19X2 – 0.15X4 0.11X7 + 0.08X10 – 0.96X12 + 0.21X13 + 0.08X14 + 0.17X15 Perubahan luas area perkotaan Y21 = 0.06X1 - 0.13X2 – 0.10X3 + 0.11X4 + 0.12X8 + 0.50X12 0.16X13 + 0.64X14 + 0.40X16 Perubahan luas area tegalan Y31 = 0.05X2 – 0.07X3 + 0.04X7 0.11X8 + 0.08X12 + 0.08X13 0.95X14 + 0.05X15 Area sawah t1 Y12 = - 0.06X1 + 0.17X2 – 0.13 X4 – 0.10X7 + 0.08X10 + 0.65X12 0.19X13 + 0.07X14 + 0.15X15 Area perkotaan t1 Y22 = 0.02X1 - 0.03X2 + 0.01X4 + 0.02X8 - 0.01X10 + 0.11X12 + 0.90X13 + 0.14X14 + 0.09X16 Keterangan : arti kode variabel bebas X1-X16 dapat dilihat pada tabel 3
R2
S
0. 74
0. 54
0.73
0.55
0.88
0.36
0.78
0.48
0.99
0.09
Hasil analisis regresi berganda metode forward stepwise, dari 16 variabel yang digunakan sebagai variabel penduga yang diduga mempengaruhi respon menunjukkan bahwa ada 12 variabel yang berpengaruh terhadap respon, variabelvariabel tersebut adalah indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan, indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, indeks fasilitas pendidikan, indeks fasilitas kesehatan, indeks kesejahteraan, luas area sawah (tahun 1991), luas area perkotaan (tahun 1991), luas area tegalan (tahun 1991), luas area air (tahun 1991), dan luas area hutan (tahun 1991). Variabel-variabel yang berpengaruh terhadap masing-masing respon dapat dilihat pada Tabel 14. Perubahan luas area sawah. Variabel yang berperan positif adalah
indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks kesejahteraan, luas area perkotaan (1991),
luas area tegalan (1991) dan
luas area air (1991). Jika
penggunaan untuk area perkotaan, air dan tegalan pada tahun 1991 besar, maka peluang perubahan luas area sawah akan cenderung semakin besar. Sedangkan
variabel yang berperan negatif adalah indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, indeks fasilitas pendidikan, luas area sawah (1991). Jika penggunaan untuk area sawah pada tahun 1991 besar, maka peluang perubahan luas area sawah cenderung rendah, demikian pula jika terjadi peningkatan pembangunan fasilitas pendidikan dan aksesibilitas, baik itu aksesibilitas ke pusat pemerintahan maupun aksesibilitas ke fasilitas ekonomi akan menyebabkan penurunan area sawah, karena banyak area sawah yang dikonversikan sehingga laju perubahan luas area sawah akan menurun.
Tabel 14. Identifikasi Variabel Penting Yang Berperan Terhadap Respon Respon Perubahan luas area sawah
Perubahan luas area perkotaan
Perubahan luas area tegalan
Area sawah t1 (2005)
Area perkotaan t1 (2005)
Variabel berperan Positif
Negatif
Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks kesejahteraan, luas area perkotaan (1991), luas area tegalan (1991)dan luas area air (1991) Indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, indeks fasilitas kesehatan, luas area sawah (1991), luas area tegalan (1991)dan luas area hutan (1991) Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks fasilitas pendidikan, luas area sawah (1991), luas area perkotaan (1991) dan luas area air (1991) Indeks aksesibilitas ke tempat pendidikan, indeks kesejahteraan, luas area sawah (1991), luas area perkotaan (1991), luas area tegalan (1991) dan luas area air (1991)
Indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, indeks fasilitas pendidikan, luas area sawah (1991)
Indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, indeks fasilitas kesehatan, luas area sawah (1991), luas area perkotaan (1991), luas area tegalan (1991) dan luas area hutan (1991)
Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, luas area perkotaan (1991) Indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, indeks fasilitas kesehatan, luas area tegalan (1991) Indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, indeks fasilitas pendidikan, luas area perkotaan (1991)
Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks kesejahteraan
Luas area sawah tahun 2005. Variabel yang berperan positif adalah luas
area sawah (1991), luas area perkotaan (1991), luas area air (1991), luas area tegalan (1991), indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan dan indeks kesejahteraan. Fenomena ini biasa terjadi di Indonesia, dimana jika di suatu wilayah digunakan untuk area sawah maka masyarakat akan berdatangan ke daerah tersebut sehingga area perkotaan akan meningkat, sejalan dengan luas area sawah, air, tegalan sehingga tingkat kesejahteraan masyarakatnya akan membaik. Demikian pula untuk aksesibilitas ke fasilitas pendidikan akan semakin membaik. Sedangkan variabel yang berperan negatif adalah indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, indeks fasilitas pendidikan, luas area perkotaan (1991). Peningkatan aksesibilitas ke pusat pemerintahan, aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, fasilitas pendidikan dan area perkotaan di Kota Tangerang akan menurunkan luas area sawah karena banyak sawah yang akan dikonversikan untuk penggunaan tersebut. Luas area perkotaan tahun 2005. Indeks aksesibilitas ke pusat
pemerintahan,
indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, indeks fasilitas
kesehatan, luas area sawah (1991), luas area perkotaan (1991), luas area tegalan (1991) dan luas area hutan (1991)
berpengaruh positif terhadap luas area
perkotaan tahun 2005. Luas lahan sawah, tegalan dan hutan pada tahun awal besar, maka kemungkinan lahan tersebut dikonversi ke penggunaan perkotaan semakin besar. Jika luas lahan untuk penggunaan perkotaan tahun awal besar, maka kemungkinan area perkotaan meningkat semakin besar pula. Demikian juga untuk pembangunan aksesibilitas ke pusat pemerintahan, aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, dan indeks fasilitas kesehatan. Meningkatnya luas area perkotaan
menyebabkan peningkatan fasilitas kesehatan di wilayah tersebut dan peningkatan aksesibilitas. Sedangkan variabel yang berperan negatif adalah aksesibilitas ke fasilitas pendidikan dan tingkat kesejahteraan. Semakin luas area perkotaan maka fasilitas-fasilitas yang dibangun biasanya berskala besar sehingga hanya bisa dinikmati oleh orang-orang tertentu saja, akibatnya kesejahteraan masyarakat yang diukur secara agregat regional menurun.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Perubahan penggunaan lahan yang ada di Kota Tangerang dari tahun 1991 sampai 2005, cenderung ke arah penggunaan lahan untuk perkotaan. Penggunaan lahan untuk sawah, tegalan, air dan hutan semuanya mengalami konversi bahkan untuk hutan telah terkonversi 100%. Hirarki wilayah di Kota Tangerang dikelompokkan menjadi tiga hirarki, hirarki I merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi, dari 104 desa yang ada, 16 desa (15.38%) masuk dalam hirarki ini, desa-desa tersebut misalnya Desa Cibodasari, Cipondoh, Sukarasa. Hirarki II merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan sedang, ada 31 desa (29.81%) yang masuk dalam hirarki II, desa-desa tersebut misalnya Desa Cikokol, Jatake, Tajur. Sedangkan hirarki III merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan rendah, desa-desa yang masuk dalam hirarki III ada 54 desa (54.81%) misalnya Desa Cipete, Cibodas, dan Jurumudi. Wilayah yang berkembang tersebut adalah pusat pelayanan bagi wilayah lain. Pola hirarki wilayah yang terbentuk cenderung memusat, yaitu hirarki tertinggi (hirarki I) dikelilingi hirarki lebih rendah. Hubungan antara indikator perkembangan wilayah dengan perubahan penggunaan lahan ditunjukkan oleh keterkaitan positif antara indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan dengan differential shift sawah, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi dengan perubahan luas tegalan, luas desa dengan differential shift air. Keterkaitan negatif ditunjukan oleh keterkaitan antara indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi dengan perubahan luas tegalan, indeks fasilitas ekonomi dengan perubahan luas air. Hal ini bisa diartikan bahwa semakin
meningkatnya perkembangan wilayah menyebabkan semakin banyak lahan pertanian yang dikonversi ke penggunaan lain (non pertanian). Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kota Tangerang terdiri dari penggunaan lahan tahun awal (luas lahan sawah, perkotaan, tegalan, air dan hutan pada tahun 1991), indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan, indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, indeks fasilitas pendidikan, indeks fasilitas kesehatan, dan indeks kesejahteraan.
SARAN
Diperlukan penelitian lebih lanjut menggunakan peta dengan skala yang lebih detil serta penelitian dengan area wilayah yang lebih sempit sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor. Ashari. 2003. Tinjauan Tentang Alih Fungsi Lahan Sawah ke Non Sawah dan Dampaknya di Pulau Jawa. Forum Penelitian Agro Ekonomi, FAE, 21 (2). Jakarta. Hal : 83 – 95. Barlowe. 1978. Land Resources Economics (4th Edition). Prentice Hall. Inc. Englewood Cliffs. New Jersey. USA. Djakapermana, Ruchyat Deni. Rencana Penataan Ruang Jabodetabek – Punjur. 2004. Dalam Panuju, D. R.; E. Rustiadi; Janudianto; R. Maulida; J. T. Hidayat; D. Radnawati. Penataan Ruang, Pemanfaatan Ruang dan Masalah Lingkungan di Jabodetabek. Prosiding Seminar Terbatas, Suara Darmaga, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hal : 7 – 21. Draper, N. R. dan Smith, H. 1992. Analisis Regresi Terapan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hardjowigeno, S., Widiatmaka dan A. S. Yogaswara. 1999. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Irawan, Supena, Friyanto, Supriatna, Anugrah, Kirom, Rahmanto, Wiryono. 2001. Pencadangan Lahan Pertanian di Jawa. Buletin Agro Ekonomi, 1 (2). Departemen Pertanian, Jakarta. Hal : 1 – 6. Jayadinata. T. J. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan dan Perkotaan dan Wilayah. Penerbit ITB, Bandung. Nasoetion, L. I., dan J. Winoto. 1995. Masalah Alih guna Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Petanian, Jakarta. Panuju, D.R. 2004. Dinamika Sosial Ekonomi dan Pemanfaatan Ruang Jabodetabek. Dalam Panuju, D. R.; E. Rustiadi; Janudianto; R. Maulida; J. T. Hidayat; D. Radnawati. Penataan Ruang, Pemanfaatan Ruang dan Masalah Lingkungan di Jabodetabek. Prosiding Seminar Terbatas, Suara Darmaga, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal : 46 – 60. Rustiadi, E. dan A. Anwar. 2000. Permasalahan Pembangunan Wilayah Riau Menyongsong Otonomi Wilayah. Makalah Konsultasi Regional PDRB seProvinsi Riau. Tanggal 21 September 2000. Pekanbaru.
Rustiadi, E. 2001. Alih Fungsi Lahan dalam Prespektif Lingkungan Pedesaan. Makalah Lokakarya Penyusunan Kebijaksanaan dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Kawasan Pedesaan di Cibogo, Bogor. Tanggal 10-11 Mei 2001. Bogor. Saefulhakim, R S. Dan Lutfi, IN. 1995. Kebijaksanaan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi Teknis. Makalah Seminar Pengembangan Sumber Daya Lahan. PPT dan Agroklimat, Bogor. 26-27 September 1995. Saefulhakim, R. S. 1994. A Land Availability Mapping Model For Sustainable Land Use Management. Ph.D. Disertation Kyoto Univercity. Japan. . 1996. Efektivitas Kelembagaan Pengendalian Alih Guna Tanah. Laboratorium PPSL. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sitorus. 2004. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Laboratorium Perencanaan Pengembangaan Sumberdaya Lahan, Departemben Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suryani. 2001. Analisis Keterkaitan Pola Migrasi dengan Pola Penggunaan Lahan di Wilayah Jabotabek. Skripsi Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tarigan. 2002. Perencanaan Pembangunan Wilayah, Pendekatan Ekonomi dan Ruang. Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. www. Kota Tangerang.go.id. 2005. Website Resmi Pemerintah Kota Tangerang.
LAMPIRAN
Gambar Lampiran 1. Peta Pengambilan Titik Contoh
Tabel Lampiran 1. Hasil Analisis Skalogram Kecamatan
Nama Desa
Aksesi bilitas ke pusat pemer intah an
Aksesi bilitas ke fa silitas pendi dikan
Aksesi bilitas ke fa silitas keseha tan
Aksesi bilitas ke fa silitas ekono mi
Akses ibili tas ke fasili tas lain
Indek s fasilit as ekon omi
Indeks fasilita s pendid ikan
Indek s fasilit as keseh atan
Indek s fasilit as sosial lain2
Indek s kesej ahter aan
Luas Desa/ Kelur ahan (ha)
Indek s total
Hirar ki
Cibodas
Cibodasari
0,22
2,94
2,54
1,98
1,65
0,84
0,84
4,61
4,27
1,81
0,56
22,25
I
Karang Tengah
Karang Tengah
0,26
3,72
2,35
1,46
2,55
0,63
3,00
2,74
2,98
1,52
0,91
22,12
I
Karawaci
Karawaci
0,43
3,27
1,72
1,84
0,43
0,11
0,63
0,94
0,45
1,48
9,77
21,07
I
Tangerang
Sukabasa
1,59
3,61
2,18
2,79
2,55
1,69
1,57
1,58
0,71
2,06
0,58
20,91
I
Cibodas
Panunggangan Barat
0,14
3,72
2,05
1,84
0,29
0,71
1,78
4,94
0,78
1,06
2,00
19,31
I
Tangerang
Tanah Tinggi
0,48
3,25
2,51
2,45
2,55
0,42
0,69
1,79
1,99
1,89
1,11
19,12
I
Pinang
Panunggangan Utara
3,61
3,72
1,33
1,98
0,83
0,38
1,55
1,22
1,29
1,81
1,28
19,01
I
Tangerang
Babakan
0,50
3,72
1,85
2,69
1,39
0,71
2,95
0,87
1,35
1,80
1,06
18,90
I
Benda
Benda
0,33
3,72
2,28
1,43
2,55
1,30
0,96
1,29
1,18
1,78
1,58
18,40
I
Cipondoh
Cipondoh
0,29
3,29
2,00
1,51
1,38
1,35
1,67
2,01
1,59
1,49
1,49
18,07
I
Karang Tengah
Karang Timur
2,50
3,72
1,70
2,99
0,16
0,38
1,15
1,54
1,05
1,99
0,51
17,70
I
Jati Uwung
Kroncong
0,86
2,91
2,29
2,40
2,55
0,77
0,70
1,36
1,03
1,57
1,23
17,66
I
Karang Tengah
Karang Mulya
2,51
3,72
2,03
1,39
1,41
0,35
0,78
1,51
0,85
1,85
0,91
17,32
I
Ciledug
Sudimara Barat
0,11
3,72
2,10
2,07
2,14
0,74
1,04
1,83
1,25
1,59
0,62
17,21
I
Neglasari
Karang Sari
1,03
2,94
2,40
2,24
1,65
0,50
0,35
1,99
1,15
2,06
0,88
17,20
I
Periuk
Gembor
0,11
2,83
1,93
1,46
0,19
0,51
1,39
1,48
2,61
1,80
2,87
17,18
I
Larangan
Kereo Selatan
0,06
3,26
2,08
2,31
2,55
0,43
0,64
1,85
1,03
1,98
0,68
16,88
II
Karawaci
Gerendeng
0,30
3,29
2,34
2,32
0,59
1,04
1,25
2,78
1,04
1,48
0,40
16,83
II
Karawaci
Karawaci Baru
0,61
3,28
1,97
1,72
2,55
0,47
1,11
1,40
1,54
1,79
0,26
16,70
II
Tangerang
Sukasari
0,52
3,72
1,75
2,36
1,39
0,32
1,14
1,45
0,89
1,97
1,15
16,68
II
Tangerang
Sukaasih
1,03
3,72
1,98
2,18
1,69
0,20
0,60
1,87
0,46
2,55
0,23
16,53
II II
Periuk
Sangiang Jaya
0,20
2,85
1,97
2,52
0,36
0,68
0,92
2,02
2,31
1,46
0,91
16,19
Tangerang
Cikokol
0,17
2,86
2,05
1,84
2,55
0,93
0,94
1,17
0,94
1,49
1,11
16,07
II
Batuceper
Batuceper
0,92
2,86
2,09
2,05
1,33
0,58
0,64
1,09
2,07
1,60
0,83
16,05
II
Tangerang
Kelapa Indah
0,72
3,61
2,25
2,15
1,38
0,56
0,71
1,34
0,42
1,76
1,11
16,02
II
Cipondoh
Poris Plawad Indah
0,30
3,26
1,83
1,62
1,39
0,22
1,71
2,17
0,78
1,43
1,29
16,01
II
Jati Uwung
Alam Jaya
0,17
2,84
2,17
2,29
1,65
0,81
1,23
1,43
1,54
0,97
0,88
15,98
II
Karawaci
Cimone Jaya
0,48
3,29
2,05
2,54
1,65
0,41
0,66
1,11
1,85
1,49
0,44
15,97
II
Ciledug
Parung Serab
0,10
3,72
3,04
1,27
2,05
0,32
0,67
1,70
0,59
1,57
0,78
15,82
II
Cipondoh
Cipondoh Indah
0,26
3,29
1,89
1,90
1,35
0,63
1,17
1,77
0,76
1,88
0,80
15,69
II
Larangan
Cipadu
0,09
2,86
2,26
2,31
2,14
0,27
0,64
1,22
0,93
2,25
0,72
15,68
II
Karawaci
Nusajaya
0,68
3,27
1,68
2,28
1,19
0,12
1,57
0,75
1,02
2,38
0,61
15,55
II
Cibodas
Cibodas Baru
2,16
2,92
2,10
1,91
0,29
0,30
0,47
2,36
0,84
1,59
0,49
15,43
II
Pinang
Kunciran Indah
0,35
3,07
1,00
1,59
2,05
0,02
2,43
0,70
1,31
1,47
1,31
15,31
II
Ciledug
Sudimara Jaya
0,09
3,72
2,19
1,37
1,29
0,25
1,02
1,91
0,75
2,17
0,49
15,26
II
Periuk
Periuk
0,26
2,32
1,99
1,99
1,33
0,75
0,72
1,47
1,19
1,65
1,47
15,13
II
Batuceper
Kebon Besar
0,21
3,26
1,64
2,54
2,55
0,40
0,32
0,98
1,16
1,35
0,70
15,10
II
Cibodas
Jatiuwung
0,31
3,72
1,89
2,55
0,62
0,58
2,31
1,37
0,59
0,50
0,64
15,09
II
Cibodas
Uwung Jaya
0,28
2,36
2,52
1,51
0,43
0,96
0,36
2,20
1,52
1,52
1,24
14,89
II
Larangan
Larangan Utara
0,06
2,83
2,08
0,95
1,45
0,53
0,61
2,40
0,73
2,42
0,66
14,72
II
Periuk
Gebang Raya
0,20
2,84
1,79
1,91
1,45
0,36
1,05
1,63
0,91
1,09
1,47
14,70
II
Ciledug
Sudimara Timur
0,18
3,29
1,85
2,64
1,19
0,49
0,60
1,20
0,69
1,62
0,74
14,49
II
Jati Uwung
Gandasari
0,18
2,86
1,73
1,46
0,16
0,91
0,61
1,73
1,17
1,75
1,88
14,43
II
Pinang
Pinang
0,04
3,72
1,71
1,50
1,46
0,35
0,98
0,81
0,61
1,99
1,05
14,24
II
Jati Uwung
Jatake
0,29
1,57
1,70
2,44
1,54
1,05
0,38
1,51
1,01
1,55
0,93
13,97
II
Benda
Jurumudi Baru
0,10
2,82
1,16
2,32
1,30
1,25
0,42
0,83
0,49
1,99
1,27
13,96
II
Karawaci
Pasarbaru
1,86
2,96
1,93
2,34
1,19
0,38
0,20
0,67
0,35
1,72
0,31
13,93
II
Tabel Lampiran 1. Lanjutan Kecamatan
Nama Desa
Aksesi bilitas ke pusat pemer intaha n
Aksesi bilitas ke tempat pendid ikan
Aksesi bilitas ke tempat keseha tan
Aksesi bilitas ke tempat ekono mi
Akses ibilita s ke tempa t2 lain
Indek s fasilit as ekon omi
Indeks fasilita s pendid ikan
Indek s fasilit as keseh atan
Indek s fasilit as sosial lain2
Indek s kesej ahter aan
Luas Desa/ Kelur ahan (ha)
Indek s total
Hirar ki
Batuceper
Porisgaga
0,19
2,36
2,10
1,88
1,32
0,44
0,75
1,47
0,82
1,86
0,69
13,88
III
Jati Uwung
Pasir Jaya
0,14
2,28
2,58
1,06
0,29
0,75
0,64
1,07
0,64
1,07
3,32
13,85
III
Karawaci
Cimone
0,48
3,34
1,37
2,76
0,44
0,33
0,99
0,94
0,97
1,55
0,64
13,81
III
Pinang
Cipete
1,84
2,37
1,49
1,89
0,97
0,00
0,61
0,78
0,43
2,00
1,31
13,68
III
Neglasari
Mekarsari
2,11
2,48
1,58
1,89
0,25
0,83
0,45
1,46
0,62
1,19
0,80
13,66
III
Larangan
Kereo
0,11
3,26
1,90
1,87
1,38
0,49
1,05
1,31
0,75
0,93
0,62
13,64
III
Batuceper
Poris Jaya
0,18
3,72
1,80
2,16
0,27
0,64
0,90
0,68
0,38
1,70
0,99
13,43
III
Neglasari
Karang Anyar
0,48
2,90
2,07
1,03
1,33
0,51
0,46
0,85
0,93
1,35
1,51
13,43
III
Benda
Belendung
0,21
3,29
1,65
0,60
0,17
0,59
0,96
1,14
1,15
1,82
1,78
13,35
III
Ciledug
Tajur
0,09
2,55
2,17
1,12
0,79
0,83
0,42
1,99
0,90
1,61
0,87
13,33
III
Neglasari
Selapang Jaya
0,24
3,27
1,52
1,95
0,23
1,22
0,85
0,64
0,64
1,34
1,40
13,30
III
Tangerang
Buaran Indah
0,40
3,22
1,74
1,37
1,33
0,63
0,77
0,87
0,32
1,66
0,94
13,26
III
Neglasari
NeglasariI
0,71
2,87
1,67
1,69
0,52
0,33
0,74
1,04
0,91
1,40
1,35
13,23
III
Larangan
Cipadu Jaya
0,09
2,83
1,74
1,86
1,69
0,40
0,45
0,88
0,78
1,92
0,56
13,21
III
Pinang
Sudimara Pinang
0,14
3,72
1,98
1,12
0,40
0,26
0,60
1,03
1,04
1,77
0,97
13,04
III
Benda
Jurumudi
0,09
2,31
1,57
1,16
1,65
0,49
0,51
0,81
1,05
2,10
1,24
12,98
III
Ciledug
Paninggilan Utara
0,19
3,72
1,39
1,98
0,29
0,23
0,48
0,63
0,98
2,28
0,78
12,95
III
Cibodas
Cibodas
0,26
2,87
1,51
1,49
1,38
0,31
0,79
1,40
0,97
0,92
0,93
12,84
III
Karawaci
Pabuaran Tumpeng
0,30
3,26
2,09
1,99
0,22
0,60
0,86
1,24
0,54
1,29
0,38
12,76
III
Batuceper
Batusari
0,61
2,94
1,73
0,73
0,52
0,13
1,41
0,89
0,79
2,12
0,78
12,65
III
Ciledug
Sudimara Selatan
0,11
3,72
1,17
2,05
0,79
0,13
0,62
0,62
0,74
1,93
0,72
12,62
III
Periuk
Periuk Jaya
0,43
2,33
1,82
1,53
0,48
0,30
0,42
0,99
0,79
1,94
1,53
12,57
III
Pinang
Neroktog
0,11
3,29
1,75
1,50
0,36
0,45
0,85
0,48
0,98
1,60
1,17
12,54
III
Karawaci
Sukajadi
0,48
2,05
1,84
2,44
1,45
0,54
0,10
0,51
0,68
1,97
0,25
12,29
III
Ciledug
Paninggilan
0,08
2,83
1,43
1,52
1,65
0,77
0,63
0,67
0,43
1,50
0,71
12,23
III
Cipondoh
Kenanga
0,30
3,26
1,42
0,97
1,69
0,18
0,65
0,61
0,94
1,18
0,96
12,16
III
Karang Tengah
Pedurenan
0,16
2,32
1,91
1,85
0,11
0,62
0,46
1,79
0,74
1,92
0,23
12,12
III
Cipondoh
Poris Plawad Utara
0,32
3,72
1,49
0,96
0,49
0,35
0,56
0,83
0,35
1,69
1,34
12,10
III
Larangan
Larangan Indah
0,18
2,83
1,93
1,50
0,19
0,38
0,51
1,56
0,92
1,44
0,54
11,97
III
Pinang
Kunciran
0,35
3,02
1,21
1,20
1,64
0,06
0,47
0,52
0,83
1,71
0,88
11,88
III
Cipondoh
Poris Plawad
0,20
3,37
1,06
1,46
0,11
0,44
0,69
0,59
1,00
1,35
1,27
11,55
III
Cipondoh
Ketapang
0,06
3,72
1,11
1,36
0,11
0,40
1,10
0,56
0,54
1,48
1,11
11,55
III
Karawaci
Margasari
0,33
2,83
1,10
1,46
1,39
0,49
0,71
0,39
0,51
1,69
0,64
11,53
III
Batuceper
Porisgaga Baru
0,27
2,46
2,03
1,80
0,91
0,15
0,24
0,83
0,54
1,56
0,74
11,53
III
Pinang
Pakojan
0,34
2,81
1,05
1,89
0,79
0,00
0,43
0,13
0,31
2,50
1,19
11,44
III
Cipondoh
Petir
0,13
2,81
1,75
1,42
0,11
0,36
0,79
0,92
1,14
1,25
0,70
11,39
III
Karawaci
Bojongjaya
0,41
2,72
1,14
1,66
0,43
0,21
0,49
0,57
0,93
1,85
0,84
11,26
III
Karawaci
Koangjaya
0,69
2,86
1,45
1,05
1,69
0,33
0,59
0,33
0,49
1,78
0,00
11,25
III
Cipondoh
Gondrong
0,15
3,26
1,55
1,36
0,16
0,30
0,78
0,37
0,85
1,40
1,04
11,22
III
Larangan
Larangan Selatan
0,09
3,30
1,76
0,22
0,15
0,15
0,86
0,59
0,88
2,39
0,48
10,86
III
Neglasari
Kedaung Wetan
0,18
2,84
2,04
0,91
0,11
0,37
0,45
1,03
0,51
1,42
0,97
10,85
III
Karawaci
Pabuaran
0,49
2,30
1,63
1,48
0,24
0,53
0,29
1,03
0,67
1,66
0,41
10,74
III
Cipondoh
Cipondoh Makmur
0,30
2,85
1,79
0,50
0,07
0,44
0,39
1,06
0,84
1,60
0,90
10,73
III
Karang Tengah
Pondok Bahar Panunggangan Timur
0,25
2,39
1,57
1,37
0,10
0,08
0,32
0,94
0,45
2,36
0,80
10,65
III
1,86
2,36
1,01
0,76
0,79
0,00
0,07
0,35
0,20
1,72
1,31
10,43
III
Pinang Larangan
Gaga
0,10
2,31
1,53
1,45
0,29
0,32
0,20
1,04
0,80
1,49
0,62
10,16
III
Jati Uwung
Manis Jaya
0,13
1,40
1,55
1,43
0,52
0,81
0,14
0,96
0,67
1,42
1,00
10,04
III
Tabel Lampiran 1. Lanjutan Kecamatan
Nama Desa
Aksesi bilitas ke pusat pemer intaha n
Aksesi bilitas ke fasilita s pendid ikan
Aksesi bilitas ke fa silitas keseha tan
Aksesi bilitas ke fa silitas ekono mi
Akses ibilita s ke fasilit as lain
Indek s fasilit as ekon omi
Indeks fasilita s pendid ikan
Indek s fasilit as keseh atan
Indek s fasilit as sosial lain
Indek s kesej ahter aan
Luas Desa/ Kelur ahan (ha)
Indek s total
Hirar ki
Karawaci
Bugel
0,24
2,48
1,67
0,32
0,17
0,37
0,39
0,89
0,41
2,39
0,44
9,77
III
Karang Tengah
Pondok Pucung
0,24
2,35
1,59
1,42
0,18
0,38
0,31
0,61
0,37
1,85
0,43
9,74
III
Batuceper
Batujaya
0,61
1,68
1,16
1,49
0,32
0,37
0,39
0,48
0,92
1,42
0,86
9,70
III
Pinang
Panunggangan
0,35
2,83
1,01
0,90
0,02
0,01
0,45
0,52
0,69
1,63
0,98
9,38
III
Pinang
Kunciran Jaya
0,24
3,28
1,10
0,46
0,36
0,21
0,34
0,22
0,22
1,32
1,51
9,26
III
Karang Tengah
Parung Jaya
0,78
2,83
1,04
0,53
0,12
0,18
0,46
0,17
0,19
1,75
0,63
8,69
III
Karawaci
Nambojaya
0,32
0,78
1,43
1,54
0,22
0,23
0,09
0,57
0,34
2,52
0,35
8,38
III
Neglasari
Kedaung Baru
0,26
1,60
1,44
0,77
0,15
0,80
0,07
0,37
0,22
1,50
0,69
7,88
III
Karawaci
Sumur Pancing
0,22
1,65
1,13
0,88
0,18
0,37
0,06
0,31
0,23
2,32
0,21
7,57
III
Benda
Panjang
0,02
1,47
1,55
0,98
0,20
0,44
0,04
0,57
0,16
1,16
0,33
6,92
III
Tabel Lampiran 2. Desa-Desa yang Masuk dalam Setiap Hirarki
HIRARKI II
HIRARKI I
Hirarkhi
Kecamatan Ciledug Pinang Karang Tengah Cipondoh Tangerang Karawaci Jati Uwung Cibodas Benda Neglasari Periuk Ciledug Cipondoh Larangan Pinang Tangerang Karawaci Jati Uwung Cibodas Benda Periuk Batuceper Ciledug Larangan Karang Tengah Cipondoh
HIRARKI III
Pinang Tangerang Karawaci Jati Uwung Cibodas Periuk Batuceper Neglasari Benda
Nama Desa Sudimara Barat Panunggangan Utara Karang Tengah, Karang Timur, Karang Mulya Cipondoh Babakan, Tanah Tinggi, Sukarasa Karawaci Kroncong Panunggangan Barat, Cibodasari Benda Karang Sari Gembor Parung Serab, Sudimara Jaya, Sudimara Timur Poris Plawad Indah, Cipondoh Indah Kereo Selatan, Cipadu, Larangan Utara Pinang, Kunciran Indah Sukasari, Sukaasih, Cikokol, Kelapa Indah Gerendeng, Karawaci Baru, Nusajaya, Cimone Jaya, Pasarbaru Jatake, Alam Jaya, Gandasari Cibodas Baru, Uwung Jaya, Jatiuwung Jurumudi Baru Sangiang Jaya, Periuk, Gebang Raya Kebon Besar, Batuceper Tajur, Paninggilan Utara, Paninggilan, Sudimara Selatan Kereo, Larangan Selatan, Gaga, Cipadu Jaya, Larangan Indah Pedurenan, Pondok Pucung, Parung Jaya, Pondok Bahar Kenang, Gondrong, Petir, Ketapang, Cipondoh Makmur, Poris Plawad Utara, Poris Plawad Sudimara Pinang, Panunggangan, Panunggangan Timur, Kunciran, Neroktog, Kunciran Jaya, Pakojan, Cipete Buaran Indah Bojong Jaya, Cimone, Bugel, Margasari, Pabuaran Tumpeng, Koangjaya, Sumur Pancing, Sukajadi, Nambojaya, Pabuaran Manis Jaya, Pasir Jaya Cibodas Periuk Jaya Poris Jaya, Porisgaga, Porisgaga Baru, Batujaya, Batusari Karang Anyar, Neglasari, Mekarsari, Kedaung Baru, Kedaung Wetan, Selapanjang Jaya Belendung, Jurumudi, Panjang
Tabel Lampiran 3. Hasil Analisis Shift Share Penggunaan Lahan di Kota Tangerang SSA penggunaan lahan 1991-2005 0,000
Regional Share Kecamatan
Desa Propotional shift
Sawah -0,553
Perkotaan 0,304
Tegalan -0,620
Air -0,643
Hutan -1,000
Differential shift Kecamatan
Desa
Sawah
Perkotaan
Tegalan
Air
Hutan
Batuceper
Batu Jaya
-0,067
0,166
0,068
-0,357
0,000
Batuceper
Batuceper
0,093
-0,175
0,154
0,000
0,000
Batuceper
Batusari
0,449
0,031
1,001
-0,357
0,000
Batuceper
Kebon Besar
-0,319
-0,104
-0,380
-0,357
0,000
Batuceper
Poris Gaga
-0,447
-0,238
-0,228
0,000
0,000
Batuceper
Poris Gaga Baru
-0,219
0,628
0,001
0,000
0,000
Batuceper
Poris Jaya
-0,158
0,312
-0,295
0,000
0,000
Benda
Belendung
0,368
0,049
0,388
-0,357
0,000
Benda
Benda
0,411
-0,240
0,385
-0,357
0,000
Benda
Jurumudi
0,034
-0,241
-0,251
-0,357
0,000
Benda
Jurumudi Baru
0,506
-0,211
-0,005
0,000
0,000
Benda
Pajang
-0,447
-0,236
0,000
0,000
0,000
Cibodas
Cibodas
0,000
5,495
0,000
0,000
0,000
Cibodas
Cibodas Baru
-0,447
0,147
0,047
0,000
0,000
Cibodas
Cibodasari
-0,447
0,037
-0,273
0,000
0,000
Cibodas
Jatiwung
-0,394
-0,156
-0,281
0,000
0,000
Cibodas
Panunggangan Barat
0,186
0,331
-0,260
0,302
0,000
Cibodas
Uwung Jaya
-0,447
-0,178
-0,179
-0,357
0,000
Ciledug
Paninggilan
-0,025
4,250
-0,271
0,000
0,000
Ciledug
Paninggilan Utara
0,000
3,143
0,075
0,000
0,000
Ciledug
Parung Serab
0,342
-0,291
0,948
0,000
0,000
Ciledug
Sudimara barat
0,000
0,382
-0,005
0,000
0,000
Ciledug
Sudimara Jaya
0,000
0,301
-0,327
0,000
0,000
Ciledug
Sudimara Selatan
-0,131
1,096
-0,016
0,000
0,000
Ciledug
Sudimara Timur
0,039
0,101
-0,097
0,000
0,000
Ciledug
Tajur
0,298
0,722
0,076
0,000
0,000
Cipondoh
Cipondoh
0,390
0,149
0,182
0,209
0,000
Cipondoh
Cipondoh Indah
0,416
-0,146
0,200
0,000
0,000
Cipondoh
Cipondoh Makmur
-0,080
0,149
-0,095
0,000
0,000
Cipondoh
Gondrong
0,489
1,495
0,198
0,000
0,000
Cipondoh
Kenanga
-0,148
0,192
0,170
0,000
0,000
Cipondoh
Ketapang
0,513
-0,287
0,448
0,000
0,000
Cipondoh
Petir
0,000
Cipondoh
Porisplawad
Cipondoh
Porisplawad Indah
0,384
0,651
-0,189
0,000
-0,353
0,008
-0,349
0,000
0,000
0,539
0,458
-0,098
0,000
0,000
Cipondoh
Porisplawad Utara
0,000
-0,204
-0,199
0,000
0,000
Jati Uwung
Alam Jaya
-0,447
0,039
-0,380
0,000
0,000
Jati Uwung
Gandasari
-0,447
-0,170
-0,009
0,000
0,000
Jati Uwung
Jatake
-0,447
0,012
-0,258
0,000
0,000
Jati Uwung
Kroncong
-0,447
-0,063
-0,380
0,000
0,000
Jati Uwung
Manis jaya
-0,447
0,028
-0,190
0,000
0,000
Jati Uwung
Pasir jaya
-0,447
0,235
2,506
0,000
0,000
Karang Tengah
Karang Mulya
-0,447
0,923
-0,343
0,000
0,000
Karang Tengah
Karang tengah
0,000
-0,031
-0,361
0,000
0,000
Karang Tengah
Karang Timur
0,000
-0,142
-0,334
0,000
0,000
Tabel Lampiran 3. Lanjutan Differential shift Kecamatan
Desa
Karang Tengah
Parung Jaya
Karang Tengah
Sawah
Perkotaan
Tegalan
Air
Hutan
0,310
0,453
-0,065
0,000
0,000
Pondok Bahar
-0,004
1,152
0,078
0,000
0,000
Karang Tengah
Pondok pucung
-0,447
-0,237
-0,205
0,000
0,000
Karawaci
Bojong Jaya
-0,442
-0,097
1,777
1,188
0,000
Karawaci
Bugel
0,000
0,299
-0,258
0,000
0,000
Karawaci
Cimone
-0,447
-0,025
-0,307
0,000
0,000
Karawaci
Cimone Jaya
-0,447
-0,167
-0,315
0,000
0,000
Karawaci
Gerendeng
0,000
-0,246
-0,380
-0,357
0,000
Karawaci
Karawaci
-0,447
-0,253
-0,049
0,689
0,000
Karawaci
Karawaci Baru
-0,446
0,025
-0,352
0,000
0,000
Karawaci
KoangJaya
-0,438
0,298
-0,305
0,000
0,000
Karawaci
Margasari
-0,447
0,221
-0,380
0,000
0,000
Karawaci
Nambo Jaya
-0,447
-0,033
0,000
0,000
0,000
Karawaci
Nusajaya
-0,389
-0,174
-0,077
0,000
0,000
Karawaci
Pabuaran
0,000
-0,179
-0,039
0,000
0,000
Karawaci
Pabuaran Tumpeng
0,498
-0,286
-0,380
0,000
0,000
Karawaci
Pasar Baru
0,000
Karawaci
Sukajadi
Karawaci
Sumur Pancing
Larangan
cipadu
Larangan
Cipadu Jaya
Larangan
Gaga
0,140
-0,167
-0,024
0,000
0,000
Larangan
Kereo
0,000
-0,012
-0,219
0,000
0,000
Larangan
kereo Selatan
0,022
-0,212
0,976
0,000
0,000
-0,447
-0,122
-0,380
0,670
0,000
-0,200
-0,380
0,324
0,000
-0,447
-0,223
-0,380
0,000
0,000
1,380
-0,122
-0,147
0,000
0,000
-0,302
0,027
-0,053
0,000
0,000
Larangan
Larangan Utara
-0,245
-0,164
-0,203
0,000
0,000
Larangan
Larangan Indah
-0,447
-0,045
-0,205
0,000
0,000
Larangan
Larangan Selatan
0,000
1,370
-0,163
0,000
0,000
Neglasari
Karang Anyar
0,261
0,239
0,528
-0,357
0,000
Neglasari
Karang Sari
0,120
-0,127
0,008
0,394
0,000
Neglasari
Kedaung Baru
0,428
0,091
-0,053
-0,165
0,000
Neglasari
Kedaung Wetan
-0,007
0,738
0,139
-0,252
0,000
Neglasari
Mekar Sari
-0,379
-0,041
-0,128
1,832
0,000
Neglasari
Neglasari
-0,113
0,179
-0,275
-0,292
0,000
Neglasari
Selapang Jaya
0,638
-0,239
0,602
-0,357
0,000
Periuk
Gebang Raya
-0,424
-0,099
0,456
-0,357
0,000
Periuk
Gembor
-0,447
-0,274
-0,380
0,000
0,000
Periuk
Periuk
0,221
0,086
0,074
-0,357
0,000
Periuk
Periuk jaya
-0,447
0,028
-0,199
0,000
0,000
Periuk
Sangiang Jaya
-0,447
-0,183
0,461
-0,357
0,000
Pinang
Cipete
0,393
0,261
0,227
-0,357
0,000
Pinang
Kunciran
0,203
-0,113
-0,178
0,000
0,000
Pinang
Kunciran Indah
0,000
-0,179
0,352
0,000
0,000
Pinang
Kunciran Jaya
0,484
0,160
-0,039
0,000
0,000
Pinang
Neroktok
0,410
0,064
0,129
0,000
0,000
Pinang
Pakojan
0,495
-0,232
0,510
0,000
0,000
Pinang
Panunggangan
0,052
0,110
0,414
0,174
0,000
Pinang
Panunggangan Timur
0,000
-0,190
-0,035
0,000
0,000
Pinang
Panunggangan Utara
-0,026
-0,139
0,161
0,013
0,000
Pinang
Pinang
0,553
-0,150
0,035
0,000
0,000
Tabel Lampiran 3. Lanjutan Differential shift Kecamatan
Desa
Sawah
Perkotaan
Pinang
Sudimara Pinang
Tangerang
Babakan
Tangerang
Buaran Indah
Tangerang
Cikokol
Tangerang
Sukaasih
-0,434
0,009
Tangerang
Sukarasa
-0,447
-0,172
Tangerang
Sukasari
0,000
-0,305
Tangerang
Tanah Tinggi
-0,124
-0,273
Tegalan
Air
Hutan
0,542
-0,213
0,537
0,000
0,000
-0,371
5,495
2,506
0,000
0,000
0,305
-0,193
-0,004
0,000
0,000
-0,231
0,034
-0,211
0,194
0,000
0,095
0,000
0,000
-0,380
-0,101
0,000
0,000
0,000
0,000
-0,307
0,000
0,000
Tabel Lampiran 4. Korelasi Antara Jenis Penggunaan Lahan dengan Indeks Hirarki Wilayah Aksesibilitas ke pusat pemerintahan
1,00
Aksesibilitas ke fasilitas pendidikan
0,12
1,00
Aksesibilitas ke fasilitas kesehatan
-0,05
0,20
1,00
Aksesibilitas ke fasilitas ekonomi
0,21
0,24
0,27
1,00
Aksesibilitas ke fasiltias lain
0,02
0,27
0,39
0,38
1,00
-0,08
-0,01
0,39
0,27
0,22
1,00
Indeks fasilitas pendidikan
0,04
0,56
0,19
0,27
0,28
0,17
1,00
Indeks fasilitas kesehatan
0,01
0,23
0,64
0,28
0,22
0,37
0,35
Indeks fasilitas sosial lain
-0,05
0,18
0,41
0,26
0,30
0,24
0,40
0,55
1,00
0,11
-0,04
-0,07
-0,04
0,07
-0,23
-0,18
-0,11
-0,08
1,00
Luas desa (Ha)
-0,04
0,09
0,02
-0,05
-0,11
-0,02
0,08
0,01
0,01
-0,17
1,00
Perubahan luas sawah
-0,10
0,15
-0,15
-0,11
0,00
-0,12
-0,08
-0,05
-0,13
0,11
-0,07
1,00
0,09
0,02
-0,05
-0,11
0,01
0,00
0,06
0,06
0,02
-0,10
0,02
-0,45
1,00
Indeks fasilitas ekonomi
Indeks kesejahteraan
Perubahan luas perkotaan
1,00
-0,07
0,04
0,06
0,05
-0,15
-0,65
1,00
-0,07
0,03
0,00
0,09
-0,06
0,19
-0,22
-0,03
1,00
Perubahan luas hutan
0,00
0,03
0,02
0,02
-0,11
0,05
-0,05
-0,08
-0,01
0,12
-0,02
-0,10
-0,38
0,03
0,00
1,00
Differential Shift Sawah
-0,16
0,23
-0,03
-0,27
-0,04
0,04
0,10
-0,05
-0,14
-0,03
-0,02
0,25
0,03
-0,19
-0,32
-0,02
1,00
Differential Shift perkotaan
-0,07
0,10
-0,14
-0,04
-0,03
-0,09
0,16
-0,11
-0,04
-0,04
-0,05
-0,27
0,56
-0,31
0,03
-0,41
0,05
1,00
Differential Shift Tegalan
-0,07
0,10
-0,04
-0,13
-0,03
-0,13
0,02
-0,11
-0,04
0,05
0,06
-0,13
-0,05
0,20
-0,30
0,04
0,28
-0,03
1,00
0,12
0,08
-0,10
0,14
-0,06
-0,10
0,01
-0,03
-0,10
0,03
0,20
-0,05
-0,03
-0,03
0,32
0,09
-0,18
0,08
0,12
Aksesibilitas ke pusat pemerintahan
Aksesibilitas ke fasilitas pendidikan
Aksesibilitas ke fasilitas kesehatan
Aksesibilitas ke fasilitas ekonomi
Aksesibilitas ke fasilitas lain
Indeks fasilitas ekonomi
Perubahan luas sawah
Perubahan luas perkotaan
Perubahan luas tegalan
Perubahan luas air
Perubahan luas hutan
Differential shift sawah
Differential shift perkotaan
Differential Shift air
Keterangan : yang digaris bawah nyata pada α = 0.005
1,00
Differential shift air
0,00
-0,26
Differential shift tegalan
0,05
-0,05
Luas Desa (Ha)
0,06
0,18
Indeks kesejahteraan
0,22
-0,08
Indeks fasilitas sosial lain
0,11
0,01
Indeks fasilitas kesehatan
-0,17
0,00
Indeks fasilitas pendidikan
-0,06
Perubahan luas air
Perubahan luas tegalan
Tabel Lampiran 5. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Perubahan Luas Area Sawah (t1 – t0) R= ,85908680 R²= ,73803014 Adjusted R²= ,71294791 F(9,94)=29,424 p<,00000 Std.Error of estimate: ,53577 BETA
St. Err. of BETA
B 0,00
0,05
0,00
1,00
-0,96
0,07
-0,96
0,07
-14,28
0,00
Luas perkotaan 1991
0,21
0,06
0,21
0,06
3,38
0,00
Indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi
-0,15
0,06
-0,15
0,06
-2,41
0,02
Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan
0,19
0,07
0,19
0,07
2,79
0,01
Luas air 1991
0,17
0,06
0,17
0,06
2,61
0,01
Indeks fasilitas pendidikan
-0,11
0,07
-0,11
0,07
-1,66
0,10
Luas tegalan 1991
0,08
0,06
0,08
0,06
1,37
0,17
Indeks kesejahteraan
0,08
0,05
0,08
0,05
1,41
0,16
Indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan
-0,07
0,05
-0,07
0,05
-1,26
0,21
Intercpt Luas sawah 1991
St. Err. of B
t(94)
p-level
Tabel Lampiran 6. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Perubahan Luas Area Perkotaan (t1 – t0) R= ,85334336 R²= ,72819489 Adjusted R²= ,70217100 F(9,94)=27,982 p<,00000 Std.Error of estimate: ,54574 BETA
St. Err. of BETA
B 0,00
0,05
0,00
1,00
Luas tegalan 1991
0,64
0,06
0,64
0,06
10,66
0,00
Luas sawah 1991
0,50
0,06
0,50
0,06
7,85
0,00
Luas hutan 1991
0,40
0,06
0,40
0,06
7,28
0,00
Luas perkotaan 1991
-0,16
0,06
-0,16
0,06
-2,47
0,02
Indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi
0,11
0,06
0,11
0,06
1,74
0,08
Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan
-0,13
0,06
-0,13
0,06
-2,15
0,03
Indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan
0,06
0,06
0,06
0,06
1,03
0,30
Indeks fasilitas kesehatan
0,12
0,07
0,12
0,07
1,63
0,11
Indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan
-0,10
0,07
-0,10
0,07
-1,33
0,19
Intercpt
St. Err. of B
t(94)
p-level
Tabel Lampiran 7. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Perubahan Luas Area Tegalan (t1 – t0) R= ,93898575 R²= ,88169424 Adjusted R²= ,87173165 F(8,95)=88,500 p<,00000 Std.Error of estimate: ,35815 BETA
St. Err. of BETA
B 0,00
Luas tegalan 1991
-0,95
0,04
-0,95
Luas sawah 1991
0,08
0,04
0,08
Indeks fasilitas kesehatan
-0,11
0,04
Luas perkotaan 1991
0,08
Indeks fasilitas pendidikan
0,04
Indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan
St. Err. of B
t(95)
p-level
0,04
0,00
1,00
0,04
-25,77
0,00
0,04
1,87
0,06
-0,11
0,04
-2,77
0,01
0,04
0,08
0,04
1,84
0,07
0,05
0,04
0,05
0,96
0,34
-0,07
0,04
-0,07
0,04
-1,90
0,06
Luas air 1991
0,05
0,04
0,05
0,04
1,08
0,28
Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan
0,05
0,04
0,05
0,04
1,07
0,29
Intercpt
Tabel Lampiran 8. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Area Sawah t1 (Tahun 2005) R= ,88682493 R²= ,78645845 Adjusted R²= ,76601298 F(9,94)=38,466 p<,00000 Std.Error of estimate: ,48372 BETA
St. Err. of BETA
B 0,00
0,05
0,00
1,00
0,65
0,06
0,65
0,06
10,78
0,00
Luas perkotaan 1991
0,19
0,06
0,19
0,06
3,39
0,00
Indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi
-0,13
0,05
-0,13
0,05
-2,37
0,02
Intercpt Luas sawah 1991
St. Err. of B
t(94)
p-level
Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan
0,17
0,06
0,17
0,06
2,79
0,01
Luas air 1991
0,15
0,06
0,15
0,06
2,60
0,01
Indeks fasilitas pendidikan
-0,10
0,06
-0,10
0,06
-1,68
0,10
Indeks kesejahteraan
0,08
0,05
0,08
0,05
1,54
0,13
Luas tegalan 1991
0,07
0,05
0,07
0,05
1,41
0,16
Indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan
-0,06
0,05
-0,06
0,05
-1,30
0,20
Tabel Lampiran 9. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Area Perkotaan t1 (Tahun 2005) R= ,99574162 R²= ,99150138 Adjusted R²= ,99068768 F(9,94)=1218,5 p<0,0000 Std.Error of estimate: ,09650 BETA
St. Err. of BETA
B 0,00
0,01
0,00
1,00
0,90
0,01
0,90
0,01
79,79
0,00
Intercpt Luas perkotaan 1991
St. Err. of B
t(94)
p-level
Luas tegalan 1991
0,14
0,01
0,14
0,01
13,21
0,00
Luas sawah 1991
0,11
0,01
0,11
0,01
9,70
0,00
Luas hutan 1991
0,09
0,01
0,09
0,01
8,95
0,00
Indeks fasilitas kesehatan
0,02
0,01
0,02
0,01
2,30
0,02
Indeks fksesibilitas ke fasilitas pendidikan
-0,03
0,01
-0,03
0,01
-2,74
0,01
Indeks fksesibilitas ke fasilitas pemerintahan
0,02
0,01
0,02
0,01
1,98
0,05
Indeks kesejahteraan
-0,01
0,01
-0,01
0,01
-1,49
0,14
Aksesibilitas ke failitas ekonomi
0,01
0,01
0,01
0,01
1,25
0,21