DAMPAK POLA JARINGAN JALAN TERHADAP TATA GUNA LAHAN Studi Kasus Pusat Kota Bandar Lampung Ida Bagus Ilham Malik Dosen Teknik Sipil Universita Bandar Lampung, Mahasiswa S3 di the University of Kitakyushu, Jepang Penerima Beasiswa Monbukagakusho MEXT 2015 Email:
[email protected] /
[email protected]
Abstract The pattern of the road network and land-use planning, have an influence on the condition of the real land use in the city. Land use plans often follow condition that was already there. Meanwhile, existing land use following the shape of the road network. This condition happens in the city center, in the city of Bandar Lampung. City center, according to the spatial plan, has a function as a business district. However, the function of this region as a center of economic activity has happened before is governed by the land-use plan. Therefore, the function of the economic region is influenced by the pattern of the existing road network in the city center. Thus, if the government wants to make city centers for economic activity, or the central government office, or residential areas, could begin to form a pattern of a functioning road network in accordance with the land use plan. Keywords: Road network, Land use, City center, Bandar Lampung City
PENDAHULUAN Kondisi pusat kota cenderung padat dan crowded. Hal ini disebabkan oleh banyaknya bangunan komersial dengan berbagai jenis aktivitas, termasuk juga adanya permukiman yang memang memiliki kecenderungan untuk mendekati pusat kota. Tata guna lahan memiliki korelasi dengan fungsi ruang dan juga jaringan jalan yang ada di lokasi tersebut. Karena itu menjadi hal yang cukup menarik untuk mengetahui hubungan antara pola jaringan jalan dengan kondisi tata guna lahan di pusat kota. Karena dengan mengetahui hubungan antara keduanya, pemerintah kota dimanapun dapat mengambil pengalaman yang dialami oleh Kota Bandar Lampung agar dapat menjadi kota yang lebih baik. Sebab harus diakui bahwa pada saat ini kondisi Kota Bandar Lampung, terutama pusat kotanya, mencerminkan kondisi yang tidak tertata, sehingga muncul kesan bahwa pusat kota tidak diurusi oleh Pemerintah Kota. Padahal, banyak program yang dijalankan oleh pemerintah kota untuk kawasan pusat kota. Tidak semuanya melakukan hal yang bersifat teknis, bahkan juga kebijakan yang bersifat non teknis juga sudah dilakukan. Namun hasilnya tampaknya masih jauh dari harapan. Karena terbukti, pusat kota Bandar Lampung saat ini dalam kondisi yang padat, tidak nyaman, crowded dan bahkan mencerminkan adanya slum areas. Tentu saja ada kontribusi pola jaringan jalan terhadap bentukan kondisi ruang seperti itu. Karena itu dibutuhkan telaah atau kajian yang memadai untuk mengetahui apakah pola jaringan jalan ini memiliki kontribusi terhadap bentukan ruang pusat kota semacam itu. Tentu saja kontribusi salahsatu hal ini memiliki pengaruh besar pada tata guna lahan yanga da di lokasi tersebut. Tanpa adanya pola jaringan jalan yang baik maka akan sulit bagi pemerintah kota untuk menghasilkan fungsi ruang pusat kota yang juga dalam kondisi baik. Karena pengaruh jalan sangat
1 / 10
besar terhadap pengembangan tata guna lahan. Bahkan bukan hanya pola jaringan jalan, status jalan juga sangat besar pengaruhnya, seperti lebar jalan dan kondisi jalannya. Karena itu dibutuhkan telaah yang memadai, yang baik, agar dapat mengetahui kondisi yang ada dengan baik, dan dapat diambil pelajaran dan analisa agar dapat membenahinya dan menjadi contoh bagi kota-kota lain yang belum mengalami masalah yang serupa dengan kondisi yang ada di Pusat Kota Bandar Lampung. Tujuan Mengetahui kondisi pola jaringan jalan dan fungsinya serta pengaruhnya terhadap tata guna lahan yang ada di lokasi tersebut. Batasan Masalah Studi ini dilakukan di Kota Bandar Lampung, tepatnya di pusat kota yaitu Kecamatan Tanjungkarang Pusat. Daerah studi ini dibagi menjadi 7 kawasan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Pembagian ini berdasarkan pola jaringan jalan yang mengelilinginya. Hal ini dipilih untuk memudahkan analisa yang ingin dilakukan pada studi ini.
(Sumber: Google Map, 1 Juli 2016, 20.07 Waktu Jepang)
Gambar 1. Gambar kawasan pusat kota yang menjadi objek studi (7 kawasan)
LANDASAN TEORI Pola jaringan jalan dan juga penetapan fungsi tata guna lahan yang ditetapkan oleh pemerintah, menimbulkan dampak pada kondisi yang ada di lapangan. Kondisi ini menghasilkan persoalan yang lebih kompleks, apalagi kebijakan pemerintah hanya dalam posisi di level peruntukan lahan. Adapun perijinan pembangunan yang diberikan, tidak mampu dijalankan dengan baik. Sebagai bukti dari hasl tersebut adalah adanya kondisi pemanfaatan ruang yang tidak optimal, termasuk upaya menjaga, merawat dan memperbaiki ruang, tidak dilakukan juga oleh pemerintah. Meskipun, ada banyak program dan kegiatan serta
2 / 10
kebijakan dijalankan untuk pusat kota, namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan atau direncanakan dalam dokumen pembangunan pusat kota. Perilaku lalulintas dan tata guna lahan mempengaruhi kondisi yang ada di pusat kota. Jaringan jalan yang banyak dilalui oleh kendaraan, diselingi dengan banyaknya simpang, akan mengundang munculnya kegiatan ekonomi (muf architecture/art, 2013). Apalagi jika simpang yang ada dalam posisi yang saling berdekatan sehingga menghasilkan banyak blok dan kondisi jalan ada sebagian yang diperuntukkan sebagai areal parkir. Sehingga tentu saja hasilnya adalah munculnya berbagai macam kegiatan ekonomi yang menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan perdagangan dan jasa. Dan hal ini juga berkaitan dengan perilaku perjalanan dan pengendara, yang saling mempengaruhi dengan penggunaan tata ruang kawasan. Jadi fungsi kawasan, terutama kawasan perdagangan dan jasa sangat dipengaruhi oleh pola jaringan dan fungsinya, serta tata guna lahan dan peruntukannya (VTPI, 2016).
Travel behaviour
Land use
Amount and type of walking, cycling, public transit and automobile travel
Impervious surface coverage, greenspace, public service cost
Economic, social and environmental impacts Consumer costs, public service cost, physical fitness, crashes, pollution emissions, etc. Sumber; VTPI, 2016 Gambar 2. Hubungan dan Pengaruh Travel Behavior dan Land use.
Setiap pemerintah kota memiliki keinginan untuk menjadikan pusat kota sebagai pusat ekonomi. Meskipun ada juga pemerintah yang mendesain pusat kota sebagai pusat pemerintahan saja, sementara pusat kegiatan ekonomi dan bisnis dipilih di lokasi lain. Kasus Kota Bandar Lampung, pusat pemerintah berada berdampingan dengan pusat ekonomi. Sehingga Tanjungkarang Pusat ini bisa dikatakan sebagai pusat ekonomi bagi kota. Karena itu pola jaringan jalan yang ada di pusat kota secara tidak langsung sudah mendukung kegiatan ekonomi. Tentang bagaimana kondisinya dan analisanya akan dibahas pada bagian lain. Namun pusat kota dapat menjadi pusat kegiatan ekonomi hanya karena pola jaringan jalan (yang mempengaruhi lalu lintas kota) dan pola peruntukan lahan memang mendukung hal tersebut (NACTO, tanpa tahun)
3 / 10
KONDISI EKSISTING DAN ANALISA Kondisi yang ada saat ini akan memberikan gambaran pada kita bahwa pola jaringan jalan mempengaruhi perkembangan kawasan. Apalagi, kebijakan pemerintah seringkali datang belakangan. Artinya, ketika suatu kawasan sudah terbentuk menjadi kawasan ekonomi, maka secara otomatis ketika pemerintah menyusun rencana tata ruang akan menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan ekonomi. Jadi, kondisi yang ada di lapangan / existing, selalu menjadi dasar pemerintah menyusun rencana tata ruang. Padahal seringkali kondisi yang ada di lapangan tidak tepat dan bahkan bisa saling melemahkan antara satu sama lain akibat adanya “rebutan penggunaan lahan” antar pihak. Regulasi seringkali melegalkan sesuatu yang keliru di lapangan sebagai imbas dari keraguan pemerintah mengaturnya dengan anggapan bahwa lahan tersebut milik masyarakat sehingga pemerintah tidka memiliki kekuatan untuk mengaturnya. Kawasan 1 Kawasan ini pada dasarnya adalah perbukitan, yaitu Bukit Gunung Sari. PT KAI mengklaim lahan ini adalah lahan milik perusahaan karena berdekatan dengan Stasiun Tanjung Karang. Namun masyarakat sudah berpuluh tahun menghuni daerah ini sehingga kawasan ini pun penuh dengan permukiman penduduk.
Sumber gambar: google map, 2016
Jika kita perhatikan, daerah ini terdiri dari kawasan residential 80%, komersial 12% dan institusional (masjid dan kantor): 8%. Jaringan jalan mengeliling kawasan. Namun lalu lintas utama berada di Jalan Teuku Umar dan Jalan Kotaraja. Disitulah lokasi kawasan komersial terbangun. Bagian dari kawasan lainnya menjadi kawasan permukiman penduduk dan cenderung padat. Kepadatan ini bisa dipahami melalui sudut pandang kemilikan lahan. Karena lahan tersebut tidak dikuasai oleh masyarakat, akhirnya mereka berbagi pakai lahan dengan masyarakat lainnya.
Gambar 3. Kawasan 1: Kondisi pemanfaatan lahan dan jaringan jalan
Mana yang bisa dibangun, maka akan mereka bangun, dengan lebar lahan yang tidak terlalu besar, karena ada pemahaman bahwa lahan ini harus dipakai bersama sehingga nantinya akan dikuasai bersama, tidak lagi dikuasai oleh perusahaan negara (dalam hal ini PT KAI). Dan kesadaran dan kesepahaman ini sudah dipegang sejak lama oleh masyarakat setempat.
4 / 10
Kawasan 2 Lokasi kawasan 2 berada diseberang kawasan 1. Kawasan 2 berjejeran dengan kantor PT KAI dan berada disepanjang jalan utama kota yaitu Jalan Teuku Umar. Sehingga sepanjang lahan yang ada, berkembang menjadi kawasan komersial.
Sumber: Googlemap, 2016 Gambar 4. Kawsan 2, Kondisi pemanfaatan lahan dan jaringan jalan
Jika kita perhatikan pada Gambar 4 terlihat bahwa 45% lahan yang ada berfungsi sebagai kawasan komersial. Sementara sisanya yaitu 52% berfungsi sebagai kawasan permukiman. Kawasan institusional 3%. Status lahan yang ada di kawasan 2 sama dengan kawasan 1 yaitu diklaim oleh PT KAI sebagai aset perusahaan. Namun karena berdekatan dengan kantor perusahaan yaitu Subdivre 3.2. Tanjungkarang, sebagian lahan dapat diamankan. Rumah toko/ruko yang dibangun dikawasan tersebut. Jaringan jalan tidak menjadikan areal ini sebagai kawasan perdagangan sepenuhnya.
Penyebabnya, jalan tersebut dijadikan jalan lingkungan dan lahan tersebut tidak diijinkan menjadi kawasan komersial oleh pihak PT KAI sebagai pihak yang mengklaim sebagai pemilik. Kawasan 3 Kawasan 3 bersinggungan dengan stasiun. Namun bukan diareal pintu masuknya. Kawasan ini berada disamping stasiun yang dibatasi oleh pagar. Namun areal ini dilalui oleh dua jalan dengan lalu lintas tinggi dan jalur angkutan kota yaitu Jalan Pemuda dan Jalan Hayam Wuruk yang sudah dipenuhi dengan kegiatan perdagangan dan jasa. Jika kita perhatikan kawasan 3 ini, sekitar 30% lahan berfungsi sebagai kawasan komersial dan 10 persen sebagai kawasan institusional. Kawasan ini juga memiliki satus yang sama dengan daerah sekitarnya yaitu diklaim sebagai lahan milik PT KAI. Karena itu tidak ada pembangunan apapun yang leluasa dilakukan oleh masyarakat kecuali rumah/hunian tempat tinggal. Karena itu kawasan ini penuh dengan permukiman. Adapun bangunan komersial yang dibangun di lokasi ini adalah bangunan besar yang mendapatkan ijin dari PT KAI. Karena investasi mall dan rumah toko di area ini sangat besar, maka mengabaikan status lahan menjadi hal yang sangat tidak aman. Dan daerah ini sebagin berkembang menjadi kawasan perdagangan dan jasa karema dilalui oleh lalu lintas oleh masyarakat.
5 / 10
Sumber: Googlemap, 2016 Gambar 5. Kawasan 3, Kondisi pemanfaatan lahan dan jaringan jalan
Daerah ini secara bertahap menjadi kawasan perdagangan dan jasa dengan kehadiran beberapa mall / pusat perbelanjaan seperti Mall Chandra dan Ramayana Department Store. Dan pada saat ini sepanjang jalan utama sudah banyak dipenuhi oleh kegiatan perdagangan dan jasa. Sementara bagian dalam kawasan telah menjadi kawasan permukiman yang relative padat bahkan cenderung slum. Hal ini membutuhkan penanganan yang baik, seperti soal status lahan, pemanfaatan lahan dan peruntukan lahan. Jika salah dalam penentuannya maka daerah ini benar-benar akan menjadi slum area. Jika pihak PT KAI merasa dan memiliki bukti bahwa lahan ini adalah lahan milik negara melalui perusahaan BUMN, maka sebaiknya PT KAI membuat masterplan dalam pemanfaatan lahannya yang kemudian diajukan kepada pemerintah kota. Sehingga pemerintah kota memiliki dasar untuk menghentikan pengajuan ijin mendirikan bangunan diatas lahan milik PT KAI ini. Transaksi jual beli juga dapat dilarang atau ditolak oleh pemerintah kota.
Kawasan 4 Kawasan 4 adalah kawasan perdagangan jasa utama di Kota Bandar Lampung. Kawasan ini sering disebut sebagai Kawasan Pasar Tengah (pasteng). Seluruh kegiatan ekonomi kota berawal dari kawasan ini. Kawasan Pasteng adalah kawasan yang melahirkan munculnya kawasan ekonomi lain dibeberapa kawasan perdagangan dan jasa di Kota Bandar Lampung. Jika kita lihat kondisi yang ada di kawasan pasar tengah ini sudah dipenuhi dengan kegiatan komersial. Meskipun masih tetap ada kawasan permukimannya namun jumlahnya sangat kecil dan hal itu merupakan bagian dari kawasan komersial. Maksudnya adalah permukiman tersebut adalah tempat tinggal pemilik toko yang ada di daerah tersebut. Setidaknya merekalah yang pertamakali membuka dan menjadikannya sebagai kawasan perdagangan dan jasa. Mereka sudah tinggal secara turun temurun di daerah ini. Dan tentu saja sulit untuk dilakukan transaksi jual beli terhadap permukiman yang ada di kawasan ini, karena akses tempat tinggal dengan jalan sangat tidak access-able. Sehingga memang pemilik lama yang sudah turun temurun yang tinggal / menetap di kawasan ini. Ini untuk konteks permukimannya.
6 / 10
Sumber: Googlemap, 2016 Gambar 6. Kawasan 4: Kondisi pemanfaatan lahan dan jaringan jalan
Jika kita perhatikan, kawasan ini terbagi menjadi kawasan komersial 82% dan kawasan permukiman 15%. Openspace 3%. Ruas jalan banyak yang membelah kawasan ini dan semuanya adalah ruas jalan aktif dan termasuk jalan utama kota, meskipun melintasi blokblok bangunan. Pemerintah lalu menjadikan ruas jalan utama yang melintasi setiap blok sebagai salahsatu jalan yang boleh parkir dibadan jalan (on street parking). Akhirnya ruas jalan ini menjadi jalan utama yang fungsinya dikurangi. Kawasan 4 adalah kawasan utama kota, yang diapit oleh 4 ruas jalan utama yang padat dengan lalu lintas yaitu Jalan RA Kartini, Jalan Kotaraja, Jalan Raden Intan dan Jalan Katamso.
Sehingga kawasan ini menjadi kawasan strategis untuk menjadi kawasan perdagangan dan jasa. Ditambah dengan banyaknya ruas jalan lain sehingga, pada awalnya, menyebabkan banyak tundaan perjalanan yang menarik pertumbuhan bangunan perdagangan dan jasa di areal ini. Kawasan 5 Kawasan 5 masih bersinggungan dengan rel kereta api (KA). Sehingga untuk status lahannya masih diklaim sebagai tanah milik perusahaan negara (BUMN) ini. Jika kita lihat, kawasan komersial bersinggungan dengan jalan utama. Sama seperti yang dialami oleh kawasan lain, kawasan 5 ini berkembang seiring dengan adanya jalan utama yang mengelilingi kawasan yaitu Jalan Raden Intan, Jalan Pemuda dan Jalan Hayam Wuruk. Setidaknya 25% lahan kawasan adalah kawasan komersial, 4% kawasan institusional, dan sisanya adalah kawasan permukiman (71%). Jika juga kita perhatikan, daerah yang bersinggungan rel KA sama sekali hanya berfungsi sebagai kawasan permukiman. Padahal pada sisi kanan dan kiri rel KA terdapat jalan inspeksi yang juga telah berfungsi sebagai jalan umum. Namun tentu saja distribusi kendaraan yang melintas tidak akan terbagi ke jalan ini. Bagi pengendara, melalui jalan utama meskipun macet tetap menjadi pilihan yang paling baik. Lahan yang tidak lalui oleh lalu lintas berkembang menjadi pemukiman yang padat dan cenderung slum.
7 / 10
(Sumber: google map, 2016) Gambar 7. Kawasan 5, kondisi pemanfaatan lahan dan jaringan jalan
Sama seperti yang dialami oleh kawasan sebelumnya yang masuk dalam katagori status quo karena lahan pada dasarnya adalah milik PT KAI, maka pihak PT KAI segera mengajukan masterplan kepada pemerintah terkait dengan rencana pemanfaatan lahan yang akan dilakukan terhadap tanah milik perusahaan ini. PT KAI selaku pemilik tanah memiliki kewajiban secara etika pemamfaatan lahan agar kondisi pusat kota dapat menjadi lebih tertib di masa yang akan datang. Kepemilikan tanah yang berbeda dengan penggunanya ini memiliki resiko pada munculnya masalah kota di masa yang akan datang, dalam berbagai hal. Dan ini harus diantisipasi sesegera mungkin.
Kawasan 6 Kawasan 6 adalah kawsan yang memiliki objek komersial yang sangat terkenal di Kota Bandar Lampung yaitu Pasar Bambu Kuning. Sejarah telah mencatat bahwa pasar ini adalah pasar yang paling dikenal dan menjadi referensi belanja bagi banyak masyarakat, baik masyarakat setempat maupun dari luar daerah. Keberadaannya mirip dengan Pasar Tanah Abang yang ada di Jakarta, meskipun kondisi bangunannya masih belum dibenahi mengikuti tuntutan perkembangan arsitektur dan kenyamanan pengunjung. Jika kita perhatikan, kawasan ini terdiri dari kawasan komersial hingga 35%, dan kawasan openspace-nya 5%. Sisanya adalah kawasan permukiman. Jaringan jalan utama yang mengitasi kawasan ini adalah Jalan Raden Intan, Imam Bonjol dan Jalan Agus Salim. Namun kawasan komersial lebih banyak menumpuk disekitar Pasar Bambu Kuning karena fokus kegiatan ekonomi memang hanya di Bambu Kuning. Artinya, sulit bagi bangunan lain yang ada disekitarnya untuk bersaing dengan keberadaan pasar ini. Sehingga bangunan komersial lainnya hanya Sumber: google map, 2016 mengisi fungsi komersial lainnya. Gambar 8. Kawasan 6, kondisi pemanfaatan lahan dan jaringan jalan
8 / 10
Keberadaan ruas jalan lainnya tidak menjadikan kawasan ini menjadi penuh dengan kegiatan komersial, meskipun kawasan ini berada di psuat kota. Tetap saja kegiatan ekonomi hanya berkembang dan terus maju di bagian kawasan yang dilintasi oleh lalu lintas dengan volume yang besar. Diluar jalan utama, meskipun kawasan tersebut berada di pusat kota, tetap akan berkembang hanya sebagai permukiman. Kawasan 7 Kawasan ini adalah kawasan yang bersinggungan dengan pusat kota, terutama bersinggungan dengan Jalan RA Kartini. Seperti yang kita lihat, meskipun kawasan ini juga dilalui oleh Jalan Agus Salim, salahsatu jalan utama kota, hanya daerah yang sangat dekat dengan pusat kota yang berkembang menjadi kawasan komersial. Kawasan ini terdiri dari 8% sebagai kawasan komersial, openspace mencapai 4%, sisanya adalah kawasan permukiman. Permukiman menjadi lebih mendominasi kawasan ini karena ruas jalan yang mengisi ruang kawasan bukan jalan yang (sumber: Google map, 2016) banyak dilalui oleh kendaraan yang melintas, Gambar 9. Kawasan 7, kondisi namun mayoritas hanya pemanfaatan lahan dan jaringan jalam kendaraan untuk kegiatan setempat saja Dengan demikian akhirnya kawasan ini hanya berkontribusi sedikit pada aktivitas komersial di pusat kota. Karena itu dibutuhkan perencanaan yang lebih baik terkait dengan pengembangan pusat kota ini agar dapat memberikan kontribusi sebesarbesarnya pada kemajuan ekonomi kota. Analisa Pemaparan diatas memberikan gambaran tentang kondisi yang ada di kawasan studi, tentang bagaimana pola jaringan jalan mempengaruhi fungsi tata guna lahan. Dari telaah tersebut dapat dikatakan bahwa kawasan komersial hanya dapat berkembang apabila dilintasi oleh jaringan jalan utama yang memiliki kepadatan lalu lintas yang tinggi. Kemacetan lalu lintas karena ada banyak simpang dan mulai bermunculan kegiatan komersial menjadikan pusat kota berkembang menjadi kawasan komersial penting bagi Bandar Lampung. Karena itu, traffic calm, sebagaimana salahsatu karakteristik smart growth city (bukan smart city), memiliki dampak pada perkembangan ekonomi daerah dan kawasan. Jika kita lihat pada Tabel 1, persentase kawasan permukiman lebih mendominasi pemanfaatan ruang di pusat kota. Data ini menunjukkan bahwa Tanjungkarang Pusat sebagai kawasan perdagangan dan jasa masih belum efektif 9 / 10
memanfaatkan secara maksimal ketersediaan lahan yang ada. Keterbatasan ruang di kawasan pusat kota yang disebabkan oleh tingginya harga lahan, seharusnya menjadikan pusat kota ini efisien dan optimal dalam memanfaatkannya sebagai kawasan ekonomi. Kawasan 1 2 3 4 5 6 7 Rata2
Tabel 1. Distribusi pemanfaatan ruang di pusat kota (%) Persentase Persentase Persentase komersial (%) institusional (%) permukiman (%) 12 8 80 45 3 52 30 10 60 82 15 25 4 71 35 60 8 88 33,9 3,5 60,9
Persentase openspace (%) 3 5 4 1,7
Tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi pemanfaatan lahan secara keseluruhan di pusat kota masih belum menggambarkan kondisi kawasan ekonomi yang ideal. Seperti yang disajikan bahwa kawasan komersial hanya menempati 33,9% luas lahan yang ada. Sisanya terdiri dari bangunan non komersial. Selain itu, hanya ada 1,7% saja openspace (dalam berbagai varian) yang ada di pusat kota. Tentu saja, daerah ini membutuhkan penataan ulang secara total, agar pemanfaatan lahannya dapat lebih terdistribusi secara optimal lagi. PENUTUP Pemerintah harus sesegera mungkin mengambil kebijakan terkait dengan pemanfaatan lahan di pusat kota. Keberadaan jaringan jalan yang ada serta lalu lintasnya membutuhkan penataan ulang agar dapat menjadikan pusat kota sebagai pusat kegiatan ekonomi dalam skala yang lebih besar lagi. Kawasan pusat kota harus dapat dibangun dengan prinsip central business district (CBD) yang berkelanjutan. Sehingga masa depan ekonomi kota dapat lebih optimal, bahkan maksimal lagi, di masa yang akan datang. REFERENSI Muf architecture/arc, 2013, strategic themes, Dalston, London. Available at: http://www.muf.co.uk/strategic-themes-dalston NACTO, tanpa tahun, National association of City Transportation Official: Urban street design guide. Availbale at: http://nacto.org/publication/urban-streetdesign-guide/street-design-elements/lane-width/ VTPI, 2016, Evaluating transportation land use impact, considering the impacts, benefits and costs of different land use development pattern, original published by Todd Alexander Litman (1995-2015). Available at: http://www.vtpi.org/landuse.pdf www.googlemap.com
10 / 10