ANALISIS KONDISI YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN KLASTER UMKM PENGOLAHAN PALA DI DESA DRAMAGA, KABUPATEN BOGOR
NEFA FADHILAH
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kondisi yang Mempengaruhi Pembentukan Klaster UMKM Pengolahan Pala di Desa Dramaga adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013 Nefa Fadhilah NIM H34090028
ABSTRAK NEFA FADHILAH. Analisis Kondisi yang Mempengaruhi Pembentukan Klaster UMKM Pengolahan Pala di Desa Dramaga. Dibimbing oleh LUKMAN M. BAGA. Industri pengolahan pala di Desa Dramaga merupakan salah satu sentra potensial yang dapat dikembangkan menjadi sebuah klaster. Pendekatan klaster dianggap sangat strategis untuk meningkatkan daya saing UMKM. Melalui pendekatan klaster, UMKM dapat melakukan peningkatan kapasitas internal dan kondisi eksternalnya dalam menghadapi tantangan yang ada secara bersama-sama. Selain itu, modal sosial yang merupakan aset tak berwujud juga diperlukan dalam pendekatan klaster untuk menumbuhkan rasa kepercayaan dan kebersamaan antar UMKM. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis karakteristik UMKM pengolahan pala dan mengkaji faktorfaktor yang berpengaruh dalam pembentukan klaster UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga. Data diolah dan dianalisis dengan metode kuantitatif untuk melihat aspek finansial dalam industri pengolahan pala. Sedangkan metode kualitatif menggunakan analisis deskriptif dengan skala Likert untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan klaster di Desa Dramaga. Klaster UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga termasuk ke dalam klaster yang tidak aktif. Karakteristik dari klaster yang tidak aktif adalah rendahnya interaksi antar UMKM dan kurangnya modal sosial yang ada. Persaingan antar UMKM di Desa Dramaga sangat tinggi sehingga menyebabkan lingkungan bisnis tidak sehat. Faktor utama pembentuk klaster industri di Desa Dramaga adalah faktor kondisi dan faktor industri terkait serta pendukung. Kata kunci : klaster industri, modal sosial, UMKM pengolahan pala ABSTRACT NEFA FADHILAH. Analysis of Condition that Affecting the Formation of Nutmeg Processing Small Medium Enterprises (SMEs) Cluster in Dramaga, Bogor. Supervised by LUKMAN M. BAGA. Nutmeg processing Small Medium Enterprises (SMEs) in Dramaga is one of potential center that can be developed as an industry cluster. Cluster approach is considered very strategic to improve the competitiveness of SME’s themselves because it can increase the internal capacity and helps to face external challenges collectively. In addition, social capital factor is intangible assets that consist of trust and solidarity which can support the cluster approach. The purpose of this research are to analyze the characteristics of SMEs nutmeg processing and to analyze the factors that influence the formation of nutmeg processing SME’s cluster in Dramaga. This research was processed by quantitative methods to look at the financial aspects of the business profitability nutmeg processing. The qualitative methods used descriptive analysis by Likert scale to look at the factors that influence the formation of cluster in Dramaga. Nutmeg processing SME’s in Dramaga is non active. The characteristic of non active clusters is less interacted between SME’s member and low social capital factor. Furthermore, the competition between SME’s member is high so that caused unhealthy competition. Based
on the assessment of the respondents with Likert scale, factor conditions and factors related industries and supporting industries have the strongest influence in the formation of an industrial cluster in Dramaga. Keywords : industry cluster, nutmeg processing SMEs, and social capital
NEFA FADHILAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Analisis Kondisi yang Mempengaruhi Pembentukan Klaster UMKM Pengolahan Pala di Desa Dramaga. Nama : Nefa Fadhilah NRP : H34090028
Disetujui oleh
Ir. Lukman M. Baga, MA. Ec. Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS. Ketua Departemen Agribisnis
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah karunia dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 sampai Februari 2013 ini ialah klaster industri, dengan judul Analisis Kondisi yang Mempengaruhi Pembentukan Klaster UMKM Pengolahan Pala di Desa Dramaga, Kabupaten Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec. selaku dosen pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh pelaku UMKM pengolahan pala yang ada di Desa Dramaga yaitu Bapak Bahrudin, Ibu Hafsah, Ibu Oneng, Bapak Idris, Bapak Memed, dan pengusaha pala lainnya selaku responden yang telah memberikan waktu luangnya serta informasi untuk pengumpulan data, Ibu Awi selaku perwakilan Kantor Desa Dramaga yang telah memberikan perizinan serta informasi mengenai industri pengolahan pala di Desa Dramaga, Bapak Suwandi selaku seksi manajemen usaha dan pengembangan SDM Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Bogor yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih kepada teman satu bimbingan, sahabat-sahabat Agribisnis 46, serta teman-teman HIMABALA (Himpunan Mahasiwa Bandar Lampung) atas dukungan dan semangat yang diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua serta seluruh keluarga atas perhatian, doa, dan dukungan yang tiada hentinya dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Mei 2013 Nefa Fadhilah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
7
Ruang Lingkup Penelitian
7
TINJAUAN PUSTAKA
7
Pengembangan UMKM dengan Pendekatan Klaster
7
Peluang Bisnis Pengolahan Buah Pala
9
Pengolahan Buah Pala sebagai Bahan Makanan dan Minuman KERANGKA PEMIKIRAN
11 16
Kerangkat Pemikiran Teoritis
12
Kerangka Pemikiran Operasional
23
METODE PENELITIAN
26
Waktu dan Tempat Penelitian
26
Jenis dan Sumber Data
26
Teknik Pengumpulan Data
26
Metode Pengolahan dan Analisis Data
26
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
29
Kondisi Umum Kabupaten Bogor
29
Kondisi Umum Desa Dramaga
31
HASIL DAN PEMBAHASAN
33
Karakteristik UMKM Pengolahan Pala di Desa Dramaga
33
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Klaster
40
Skema Klaster Industri Pengolahan Pala
45
SIMPULAN DAN SARAN
48
Simpulan
48
Saran
49
DAFTAR PUSTAKA
49
LAMPIRAN
52
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Data potensi produksi pala wilayah Jawa Barat tahun 2011 Karakteristik klaster UKM di Indonesia Kriteria UMKM Karakteristik-karakteristik utama dari UMI, UK, dan UM Kebutuhan bahan baku dan bahan penolong dalam pembuatan manisan pala setiap minggu Kebutuhan bahan baku dan bahan penolong dalam pembuatan sirup pala setiap minggu Nilai keuntungan rata-rata dan R/C rasio manisan pala dalam satu kali produksi (per minggu) Nilai keuntungan dan R/C rasio sirup pala dalam satu kali produksi (per minggu) Skala penilaian pada faktor kondisi Skala penilaian pada faktor industri terkait dan pendukung Skala penilaian pada faktor permintaan Skala penilaian pada faktor strategi, struktur, dan persaingan perusahaan Skala penilaian pada faktor modal sosial Pelaku dan peran pengembangan klaster pala
2 4 14 15 35 36 39 39 41 42 43 43 44 47
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8
Skema hasil olahan bagian-bagian buah pala Jaringan bisnis klaster dari sisi penawaran dan permintaan Model bintang 5 klaster UMKM pengolahan pala berdaya saing Kerangka operasional analisis kondisi yang mempengaruhi pembentukan klaster UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga Lapangan pekerjaan utama di Kabupaten Bogor tahun 2010 Luas perkebunan rakyat tahun 2010 Bentuk kerja sama yang diinginkan oleh UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga Skema klaster industri pengolahan pala
10 19 22 25 29 30 40 46
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Profil industri pengolahan pala di Desa Dramaga Penjualan rata-rata pengusaha manisan pala Biaya variabel rata-rata pengusaha manisan pala Biaya tetap rata-rata pengusaha manisan pala Nilai keuntungan rata-rata dan R/C rasio pengusaha manisan pala Analisis keuntungan sirup pala di Desa Dramaga Variabel-variabel yang mempengaruhi pembentukan klaster Perhitungan skor penilaian sikap responden pengusaha UMKM Pala terhadap faktor kondisi oleh 10 responden
52 52 52 53 53 53 54 57
9 Perhitungan skor penilaian sikap responden pengusaha UMKM Pala terhadap faktor permintaan oleh 10 responden 10 Perhitungan skor penilaian sikap responden pengusaha UMKM Pala terhadap faktor strategi, struktur, dan persaingan perusahaan oleh 10 responden 11 Perhitungan skor penilaian sikap responden pengusaha UMKM Pala terhadap faktor industri terkait dan pendukung oleh 10 responden 12 Perhitungan skor penilaian sikap responden pengusaha UMKM Pala terhadap faktor modal sosial oleh 10 responden 13 Riwayat hidup
58
58 59 60 61
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia sejak dahulu telah dikenal sebagai salah satu pusat penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Tanaman seperti lada, cengkeh, pala, kayu manis, jahe, kapulaga, jintan, kemiri dan sebagainya tersedia dengan melimpah. Rempah-rempah merupakan tumbuhan yang memiliki aroma dan rasa yang kuat. Biasanya rempah-rempah digunakan sebagai pengawet atau penambah rasa dalam masakan. Hal inilah yang menyebabkan negara lain seperti Portugis, Spanyol, Belanda hingga Inggris ingin menguasai kekayaan alam Indonesia. Pada zaman prakolonial, rempah-rempah merupakan barang dagangan paling berharga yang setara dengan emas karena selain digunakan untuk penyedap rasa, rempah-rempah juga dapat digunakan sebagai pengobatan. Saat ini, kebutuhan rempah-rempah terus berkembang salah satunya buah pala yang dapat diolah menjadi panganan yang nikmat dan berkhasiat. Buah pala (Myristica fragrans Houtt) adalah tanaman rempah asli Indonesia yang sangat melimpah dan memiliki nilai ekonomis. Bagian tanaman pala yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi adalah biji buah dan fulinya yang digunakan sebagai bahan industri minuman, makanan, farmasi dan kosmetik. Sebanyak 60% kebutuhan buah pala di dunia dipenuhi oleh Indonesia dan sisanya dipenuhi dari negara lain seperti Grenada, India, Srilangka dan Papua New Guinea. Perkembangan volume ekspor biji pala Indonesia selama 5 (lima) tahun terakhir (2005–2009) mengalami fluktuasi. Ekspor terendah pada tahun 2008 sebesar 12 942 ton dengan nilai US$50 187 000 dan tertinggi pada tahun 2006 sebesar 16 702 ton dengan nilai US$47 775 0001. Selain sebagai komoditas ekspor, kebutuhan dalam negeri juga cukup tinggi yang dapat dilihat dari luas perkebunan rakyatnya. Pengusahaan tanaman pala di Indonesia merupakan pertanaman rakyat dan sudah sejak lama diusahakan. Tanaman perkebunan relatif terbatas di Kabupaten Bogor. Pengelolaan usaha tanaman perkebunan di Kabupaten Bogor dibagi menjadi dua yaitu perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Perkebunan besar dikelola oleh perusahaan swasta dan perusahaan negara sedangkan perkebunan rakyat dikelola oleh masyarakat tani. Jumlah perkebunan rakyat tersebar di 40 kecamatan dengan komoditi karet, kopi, pala, cengkeh, kelapa, vanili, aren, tanaman obat dan lain-lain. Tanaman perkebunan ini secara keseluruhan terdapat pada lahan yang berlereng sehingga proses erosi dan penurunan kesuburan tanah menjadi kendala utama. Pada tahun 2010, luas areal tanaman pala adalah 100 657 ha dengan jumlah produksi 16 229 ton (Deptan 2012). Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah penghasil buah pala terbesar di Indonesia yang memiliki luas lahan 4 849 ha dengan total produksi 775 ton dan produktivitas 336 kg/ha
1
http://ditjenbun.deptan.go.id/images/PDF/Pedum2012/perluasnpala.pdf [Diakses Tanggal 12 November 2012]
2
(Disbun Jabar 2010). Data potensi komoditas pala di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Data potensi produksi pala wilayah Jawa Barat tahun 2011a No Nama Daerah Luasb 1. Kabupaten Bogor 700 2. Sukabumi 1 792 3. Cianjur 370 4. Purwakarta 114 5. Subang 23 6. Garut 13 7. Tasikmalaya 161 8. Ciamis 116 9. Kuningan 336 Jumlah 3 625 a Sumber : Disbun Jabar (2012)2; bLuas (ha)
Tabel 1 memperlihatkan bahwa Kabupaten Bogor merupakan daerah kedua yang memiliki potensi pala terbesar di Jawa Barat setelah Sukabumi yaitu sebesar 700 ha. Kabupaten Bogor sangat potensial untuk mengembangkan komoditas pala, oleh karena itu di daerah Bogor banyak terdapat pelaku industri pengolahan pala dalam skala mikro. Daging buah pala yang merupakan bagian terbesar dari hasil panen buah pala merupakan suatu potensi bahan baku yang sangat besar untuk dimanfaatkan. Upaya pemanfaatan daging buah pala diantaranya untuk pembuatan manisan pala, sirup pala, selai pala, dodol pala, dan lain-lain. Namun, pengolahan buah pala yang umumnya dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Bogor adalah pengolahan menjadi manisan atau sirup pala karena cukup mudah untuk dilakukan. Salah satu sentra penghasil manisan pala terbesar di daerah Bogor adalah Desa Dramaga. Menurut keterangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, telah banyak bantuan yang dilakukan untuk mengembangkan sentra UMKM ini seperti dana stimulan dan bantuan alat-alat produksi. Bantuan lainnya juga datang dari IPB, Dinas KUMKM, Perbankan, BUMN, dan Kantor Desa Dramaga yang melihat bisnis ini sebagai industri potensial untuk dikembangkan. Rasa manisan pala yang khas dan tidak mudah ditemui di setiap daerah menjadikan makanan ini sebagai pilihan untuk bingkisan oleh-oleh khas daerah Bogor. Manisan pala di beberapa daerah bahkan telah menjadi salah satu pilihan makanan ringan yang disajikan pada saat perayaan hari-hari besar seperti lebaran dan tahun baru dengan permintaan yang terus meningkat. Sebagian besar pelaku usaha manisan pala di Desa Dramaga merupakan usaha rumah tangga yang telah diwariskan secara turun temurun. Kegiatan pengolahan daging buah pala pun semakin berkembang di Desa Dramaga, karena saat ini telah dilakukan pengolahan buah pala dalam bentuk sirup. Karena 2
http://www.disbun.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/452 [2012]
3
itu, pemberdayaan usaha kecil ini perlu ditingkatkan agar dapat menjadi komoditi ekspor Indonesia mengikuti ekspor biji, fuli, dan minyak pala. Kegiatan produksinya yang mudah dan tidak memerlukan teknologi khusus sangat cocok untuk diterapkan masyarakat di Desa Dramaga yang berada dekat dengan bahan baku buah pala. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh usaha mikro, kecil, dan menengah seperti yang dilakukan di Desa Dramaga. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan sektor yang sangat berpengaruh dan memiliki kekuatan strategis untuk mempercepat pembangunan daerah sebuah negara. Hal ini didukung dengan tingkat kontribusi UMKM terhadap penyerapan tenaga kerja sebesar 97.24% dari total serapan nasional dan memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar Rp4 303.6 triliun atau 57.94%. Pada tahun 2011, UMKM telah mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 101 722 458 orang yang mengalami peningkatan sebesar 2 320 683 atau 2.33% dari tahun 20103. Besarnya kontribusi sektor ini, menunjukkan bahwa UMKM mempunyai kemampuan untuk memperkuat struktur perekonomian nasional. Karakteristik UMKM yang unik dengan fleksibilitas tinggi dan pendirian yang mudah dibandingkan Usaha Besar (UB) merupakan keunggulan bagi UMKM. UMKM di Indonesia dalam pelaksanaanya masih menghadapi banyak tantangan. Penelitian Mulyati et al (2009) menyatakan bahwa upaya pengembangan UMKM di Bogor banyak mengalami permasalahan yang terkait dengan faktor internal (modal, SDM, lemahnya jaringan usaha, dan kemampuan penetrasi pasar) dan faktor eksternal (iklim usaha yang belum kondusif, terbatasnya sarana dan prasarana, implikasi otonomi daerah, dan perdagangan bebas). Karena itu, untuk mengatasi keterbatasan internal dan eksternal yang ada dapat menggunakan pendekatan klaster untuk mengetahui keunggulan pada area maupun jenis produk. Menurut Hartanto (2004), strategi pembentukan klaster memiliki banyak manfaat jika diterapkan di Indonesia. Adapun manfaat klaster adalah memberikan pengaruh publikasi yang lebih kuat sehingga para pembeli dalam jumlah besar akan lebih mudah untuk datang, bahan baku lebih mudah diperoleh dalam harga yang lebih murah, dan pemerintah akan lebih fokus khususnya dalam penyediaan infrastruktur serta insentif lainnya. Adanya pembentukan klaster juga mendorong terjadinya alih teknologi serta berkumpulnya tenaga kerja terampil di wilayah tertentu. Kajian Porter (1990) menyatakan bahwa klaster adalah konsentrasi geografis perusahaan dan institusi yang saling berhubungan pada sektor tertentu. Pada umumnya, suatu klaster beranggotakan perusahaan penghasil produk, pemasok bahan baku dan bahan penolong, pemasok komponen, mesin-mesin, penyedia jasa, lembaga keuangan serta perusahaan lain yang bergerak dalam industri terkait. Hasil penelitian-penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa klaster industri merupakan salah satu pendekatan atau strategi yang dapat digunakan dalam peningkatan daya saing industri khususnya UMKM. Pengembangan konsep klaster terbukti berhasil meningkatkan daya saing berbagai negara di 3
http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=file&id=318:datausaha-mikro-kecil-menengah-umkm-dan-usaha-besar-ub-tahun-2010-2011&Itemid=93 [Diakses tanggal 10 April 2013]
4
dunia seperti industri telekomunikasi di Finlandia, peralatan bedah di Pakistan, industri pakaian di Italia, industri mebel di Indonesia, industri mobil di Detroit dan lain-lain. Hartanto (2004) menyatakan bahwa pengembangan klaster UMKM sangat tepat jika diterapkan di Indonesia karena selain Indonesia memiliki jumlah UMKM yang sangat banyak, juga memiliki sektor unggulan yang berbeda di setiap wilayah. Perumusan Masalah Pada tahun 2011, terdapat 1 300 unit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Kabupaten Bogor dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 22 260 orang. Akan tetapi, jumlah UMKM tersebut menurun karena pada tahun 2012 UMKM yang terdaftar menjadi sebanyak 1 218 yang tersebar di 40 kecamatan (KUMKM Kabupaten Bogor 2013). Jumlah UMKM yang menurun menandakan tumbuh dan matinya bisnis rakyat tersebut sangat rentan terjadi. Pelaku UMKM mudah dalam mendirikan bisnisnya dan mudah pula untuk menutup bisnisnya karena ketidakmampuan bersaing dengan industri yang lebih besar. Melalui pendekatan klaster diharapkan UMKM mampu bertahan dan mengembangkan kegiatan usahanya (Hartanto 2004). Kajian Porter (1990) menunjukkan bahwa klaster mulai terbentuk dari UMKM yang mengelompok di suatu wilayah. Namun, terkadang UMKM tersebut tidak menyadari adanya keterkaitan antar mereka yang dapat digolongkan sebagai sebuah klaster. Penelitian Mulyati et al (2009) menyebutkan sebanyak 100% responden UMKM alas kaki di Kota Bogor tidak mengetahui arti klaster. Hal inilah yang menjadi kendala, karena fungsi klaster yang meningkatkan daya saing UMKM tersebut tidak terlaksana.
Lokasi
a
Tabel 2 Karakteristik klaster UMKM di Indonesiaa Sebagian besar terpencil
UKM
Hanya sedikit yang layak
Produk Pasar
Komoditi regional Pasar regional Pasar pengganti Pasar yang sempit Teknologi rendah
Teknologi Sumber: JICA (2011)4
Tabel 2 memperlihatkan bahwa secara umum karakteristik klaster UMKM di Indonesia adalah berlokasi di daerah terpencil dan hanya memiliki sedikit UMKM yang layak. Produk yang dihasilkan adalah komoditi regional 4
http://www.smecda.com/kajian/files/hslkajian/KAJIAN%20EFEKTIVITAS%20MODEL%20P ENUMBUHAN%20KLASTER%20BISNIS%20UKM/bab_2.pdf [Diakses tanggal 12 November 2012]
5
sedangkan pasar yang dilayani adalah pasar regional, biasanya bagi produkproduk pengganti, dan berada dalam pasar yang sempit. Teknologi yang digunakan adalah teknologi tradisional. Sentra UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga terjadi secara alami dan terbentuk hanya karena adanya keserupaan (commonality). Jumlah pelaku UMKM yang ada di Desa Dramaga tidak banyak tetapi memiliki kontribusi yang besar dalam memproduksi pengolahan daging buah pala, khususnya untuk manisan pala. Namun, jumlah produksi yang besar tidak diikuti dengan keterkaitan antar industri pendukungnya (stakeholder). Hal ini menyebabkan daya saing UMKM pengolahan pala menjadi rendah sedangkan beberapa ahli menyatakan bahwa sentra yang tumbuh secara alami umumnya dapat dikelompokkan sebagai klaster yang potensial untuk dikembangkan. Sebuah perusahaan atau UMKM yang memiliki daya saing tinggi dicirikan oleh sejumlah aspek internal dan aspek eksternal perusahaan tersebut. Aspek internal perusahaan meliputi SDM (pekerja dan pemilik usaha), ketersediaan dan penguasaan teknologi, serta organisasi dan manajemen. Perusahaan dengan daya saing tinggi cenderung memiliki pekerja dan pengusaha dengan keahlian/pendidikan tinggi (Tambunan 2009). Jumlah pengusaha UMKM di Desa Dramaga didominasi oleh lulusan sekolah dasar. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya kinerja atau daya saing UMKM di Desa Dramaga. Selain itu, ketersedian dan penguasaan teknologi di Desa Dramaga sangat rendah. Hal ini dapat dilihat pada pemakaian alat-alat produksi yang masih sederhana sehingga mempengaruhi tingkat produktivitas mereka. Indikator daya saing UMKM lainnya adalah memiliki organisasi dan manajemen yang baik sehingga dapat menghasilkan inovasi. Kunci utama dari daya saing adalah inovasi, UMKM harus bisa menyiapkan tenaga kerja terdidik, modal yang cukup, teknologi, membangun jaringan kerja dengan pihak lain, khususnya lembaga R&D atau universitas, bank, dan pemerintah. Dengan kata lain, untuk bisa melakukan inovasi agar dapat unggul dalam persaingan, sebuah perusahaan tidak bisa menerapkan suatu sistem organisasi dan manajemen yang sederhana (Tambunan 2009). Sementara, sebagian besar UMKM, khususnya usaha mikro dan kecil di Indonesia termasuk UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga tidak menerapkan sistem organisasi dan manajemen yang umum diterapkan di dalam dunia bisnis modern. UMKM di Desa Dramaga mengerjakan semua kegiatannya baik produksi, pengadaan bahan baku, pemasaran, adminstrasi, dan pembukuan dengan cara sangat sederhana bahkan masih ada pelaku UMKM yang tidak melakukan pencatatan keuangan sama sekali. Tambunan (2009) membagi aspek eksternal yang menyangkut kinerja perusahaan/UMKM ke dalam volume produksi, pangsa pasar, dan orientasi pasar (melayani hanya pasar domestik atau juga pasar luar negeri), atau diversifikasi pasar (terkonsentrasi pada pasar tertentu atau menyebar ke pasar di banyak wilayah). Jadi, UMKM berdaya saing tinggi dicirikan oleh (1) tren yang meningkat dari laju pertumbuhan volume produksi; (2) pangsa pasar (dalam negeri maupun atau luar negeri) yang terus meningkat; (3) melayani tidak hanya pasar domestik tetapi juga melakukan ekspor; dan (4) tidak hanya melayani pasar lokal tetapi pasar nasional (untuk kasus pasar domestik) dan tidak hanya melayani pasar di satu negara saja tetapi juga banyak di negara lainnya (untuk
6
kasus ekspor). Saat ini, UMKM di Desa Dramaga belum melakukan pemasaran ekspor. Pemasaran yang dilakukan umumnya pada pasar domestik yang dekat di wilayah sekitar saja (pasar lokal) sehingga menyebabkan daya saingnya rendah. UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga jarang sekali melakukan pertemuan dengan perusahaan sejenisnya dalam lingkungan yang sama sehingga kesempatan bertukar informasi dan pengalaman menjadi hilang. Seharusnya UMKM tersebut dapat melakukan kerja sama pengembangan produk untuk mengembangkan pasar bersama. Namun yang terjadi, UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga cenderung memandang perusahaan sejenis di daerahnya sebagai pesaing, bukan sebagai mitra kolaborasi potensial. Karena itu, pendekatan klaster menjadi penting karena klaster berupaya untuk menghilangkan persaingan di wilayah sendiri untuk meraih daya saing nasional dan global. Terkait permasalahan tersebut, karakteristik UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga perlu dikaji untuk melakukan langkah strategis selanjutnya dalam menganalisis kondisi faktor-faktor pembentuk klaster. Pendekatan klaster merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan daya saing UMKM. Di beberapa negara, strategi pengembangan industri dengan pendekatan klaster telah terbukti mampu menunjukkan kemampuannya secara berkesinambungan dalam meningkatkan dan mempertahankan daya saing, menghasilkan nilai tambah yang lebih besar, bahkan dapat memperluas pangsa ekspornya. Selain itu, Daryanto (2007) menyatakan bahwa melalui pendekatan klaster kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada suatu industri akan memiliki keterkaitan yang erat dengan kegiatan di sektor lain baik keterkaitan ke belakang maupun ke depan (backward and forward linkages). Untuk itu, diperlukan suatu skema keterkaitan industri pengolahan pala agar dapat mengetahui kinerja klaster yang dapat dibentuk. Bila klaster industri pengolahan pala dapat dilakukan dengan baik, maka kesejahteraan para pelaku usahanya terutama UMKM dapat ditingkatkan.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dengan adanya penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi karakteristik UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga. 2. Menganalisis kondisi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan klaster UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga. 3. Merekomendasikan skema keterkaitan klaster pengolahan pala di Desa Dramaga.
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini, yaitu: 1. Bagi pembaca, dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai pengembangan UMKM di Indonesia dengan pendekatan klaster.
7
2. Bagi UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga dan lingkungan sekitar, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk mengembangkan UMKM berdaya saing yang dapat meningkatkan taraf hidup pembangunan desa setempat. 3. Bagi masyarakat, dapat dijadikan sebagai sumber informasi awal dalam pengembangan UMKM dengan pendekatan klaster. 4. Bagi pemerintah, dapat dijadikan salah satu referensi dan kajian studi lapang untuk meningkatkan kinerja UMKM saat ini dengan pendekatan klaster.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan daya saing UMKM dengan pendekatan klaster pada UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga, Kabupaten Bogor. Ruang lingkup penelitian ini berdasarkan pada diamond model yang dirumuskan oleh Porter yaitu (1) faktor kondisi (factor condition), (2) faktor permintaan (demand conditions), (3) faktor industri terkait dan pendukung (related and supporting industries), dan (4) faktor strategi, struktur, dan persaingan perusahaan (firm strategy, structure and rivalry). Selain itu, ditambahkan pula faktor modal sosial (social capital) sebagai penentu daya saing. Kelima faktor tersebut diharapkan dapat menjelaskan faktor-faktor penentu daya saing yang menumbuhkembangkan UMKM yang ada di Desa Dramaga menjadi suatu klaster yang berdaya saing.
TINJAUAN PUSTAKA Penelitian dengan topik pengembangan UMKM melalui pendekatan klaster industri bukanlah suatu hal yang baru karena telah banyak diterapkan di beberapa daerah dengan komoditi yang beragam. Selain itu, penelitian yang membahas komoditi pala juga telah sering dilakukan, seperti pengolahan buah pala menjadi manisan dan sirup hingga industri minyak pala untuk menjadi minyak atsiri. Karena itu, penelitian ini juga menggunakan beberapa laporan penelitian terdahulu sebagai referensi dan pedoman. Referensi yang digunakan berasal dari jurnal, artikel ilmiah laporan penelitian, tesis, skripsi, dan disertasi. Berdasarkan referensi yang telah dibahas, maka dapat diperoleh kesimpulan atas beberapa konsep yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini. Pengembangan UMKM dengan Pendekatan Klaster Perkembangan dunia yang terjadi belakangan ini mengarah pada era globalisasi dan perdagangan bebas. Hal ini menyebabkan perubahan yang cepat dan memberikan pengaruh luas dalam perekonomian nasional maupun internasional yang berdampak pada semakin kuatnya persaingan. Agar suatu
8
sektor ekonomi dapat bertahan dan berkembang dalam situasi persaingan saat ini, maka perlu memiliki daya saing yang tinggi. Salah satu strategi peningkatan sektor agribisnis yang dipandang relatif tepat untuk meningkatkan daya saing adalah melalui pendekatan klaster dengan diamond model. Sistem dari diamond model menciptakan suatu lingkungan yang mendukung kelompok industri baik hubungan horizontal maupun vertikal. Model diamond yang dijelaskan oleh Porter merupakan kerangka pikir yang sering digunakan oleh peneliti sebelumnya untuk melihat fakor-fakor penentu dalam pembentukan klaster. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyati et al (2009) adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan UMKM alas kaki di Kota Bogor dengan metode diamond Porter. Tujuan penelitian tersebut adalah menganalisis karakteristik klaster UMKM alas kaki dan menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi pengembangan klaster UMKM alas kaki di Kota Bogor. Data diolah dan dianalisis dengan analisis deskriptif dan analisis multivariat yaitu analisis komponen utama. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa klaster yang berada di Kota Bogor termasuk ke dalam klaster tidak aktif. Hal ini dicirikan dengan kurangnya interaksi antar anggota yang intensif dan keterkaitan antara industri terkait maupun industri pendukung masih rendah. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap pengembangan klaster UMKM adalah modal sosial (X5) dan kondisi permintaan (X2). Hasil penelitian lain dilakukan oleh Handayani et al (2012) yang melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang memengaruhi daya saing industri mebel agar dapat diambil kebijakan yang dapat digunakan untuk meningkatkan daya saing industri mebel Indonesia khususnya Jawa Tengah di pasar luar negeri. Penelitian ini menggunakan PLS (Partial Least Square) sebagai tools untuk menguji model diamond Porter ditambah variabel modal sosial dan menganalisa faktor-faktor yang memengaruhi daya saing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi daya saing di klaster Mulyoharjo adalah faktor kondisi, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, serta strategi perusahaan. Sedangkan untuk Klaster Senenan adalah faktor kondisi, peran pemerintah, kesempatan dan modal sosial. Handayani et al (2011) dalam penelitiannya menggunakan model diamond sebagai kerangka pikir untuk menganalisis pertumbuhan suatu klaster. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Structural Equation Modelling. Sampel dalam penelitian adalah para pengusaha batik yang terdapat dalam Klaster Kampoeng Batik Kauman, Klaster Kampung Wisata Pesindon, dan Klaster Batik Jenggot. Hasil penenelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 faktor yang sama-sama mempengaruhi pertumbuhan Klaster Kampoeng Batik Kauman, Klaster Kampung Wisata Pesindon, dan Klaster Batik Jenggot. Ketiga faktor tersebut adalah keberadaan industri pendukung dan terkait, strategi dan persaingan usaha, serta peran dari pemerintah. Diantara ketiga faktor tersebut, faktor yang paling berpengaruh untuk pertumbuhan klaster adalah terdapatnya strategi dan persaingan usaha. Selain ketiga faktor tersebut, pertumbuhan Klaster Kampoeng Batik Kauman, Klaster Kampung Wisata Pesindon, dan Klaster Kampung Batik Jenggot dipengaruhi pula oleh kondisi permintaan. Selain klaster yang bergerak pada bidang kerajinan, Indonesia juga memiliki banyak klaster makanan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Sulaeman (2006) mengenai pengembangan agribisnis komoditi
9
rumput laut melalui model klaster bisnis. Kunci sukses agribisnis rumput laut adalah apabila (1) dilakukan dengan model pengembangan klaster bisnis yang utuh, dimana UKM dan koperasi ada dan sekaligus berperan di dalamnya (2) dibantu secara serius oleh pemerintah, terutama yang menyangkut izin penggunaan pantai dan akses ke sumber permodalan. Pengembangan UMKM dengan pendekatan klaster juga dikaji dalam penelitian Perindustrian RI (2009) yang menyusun strategi dan kebijakan pengembangan klaster industri pengolahan buah. Adapun visi dan arah pengembangan industri pengolahan buah dari Departemen Perindustrian RI adalah untuk mewujudkan industri pengolahan buah yang berdaya saing. Hal tersebut dilakukan dengan misi (1) memperluas tingkat permintaan buah olahan, (2) mengembangkan efektifitas supply chain, (3) melakukan pembinaan dan bimbingan terhadap industri pengolahan buah, dan (4) mengembangkan pasar dalam negeri dan ekspor. Visi dan misi tersebut diharapkan dapat meningkatkan jaringan kerjasama antar kelompok usaha kecil, menengah, dan besar industri pengolahan buah serta terbentuknya kelembagaan usaha industri pengemasan dan pengolahan buah. Peluang Bisnis Pengolahan Buah Pala Tanaman pala (Myristica fragrans houtt) adalah tanaman asli Indonesia yang berasal dari pulau Banda. Tanaman ini merupakan tanaman keras yang dapat berumur panjang hingga lebih dari 100 tahun. Tanaman pala tumbuh dengan baik di daerah tropis, selain di Indonesia terdapat pula di Amerika, Asia dan Afrika. Negara Indonesia dikenal dengan beberapa jenis pala, yaitu: (1) Myristica fragrans, yang merupakan jenis utama dan mendominasi jenis lain dalam segi mutu maupun produktivitas. Tanaman ini merupakan tanaman asli pulau Banda. (2) M. argenta Warb, lebih dikenal dengan nama Papuanoot asli dari Papua, khususnya di daerah Kepala Burung. Tumbuh di hutan-hutan, mutunya di bawah pala Banda. (3) M. scheffert Warb, terdapat di hutan-hutan Papua. (4) M. speciosa, terdapat di Pulau Bacan. Jenis ini tidak mempunyai nilai ekonomi dan (5) M. succeanea, terdapat di Pulau Halmahera. Jenis ini tidak mempunyai nilai ekonomi5. Nurdjanah (2007) menyatakan bahwa kegiatan budi daya buah pala dan pengolahannya merupakan salah satu industri bisnis yang menguntungkan. Hal ini disebabkan oleh tingkat persaingan dalam perniagaan tanaman pala masih rendah, sedangkan harga pala di pasaran semakin meningkat setiap tahunnya. Permintaannya yang begitu tinggi baik di dalam negeri maupun di luar negeri, belum mampu dipenuhi oleh produsen industri pala yang ada. Misalnya, permintaan di daratan Eropa yang memiliki tren meningkat karena olahan biji pala sangat digemari disana untuk dijadikan bumbu dan rempah-rempah. Bahkan, potensi buah pala juga dapat bersaing dengan cengkeh dan teh sehingga menjadikan komoditi ini memiliki peluang bisnis yang besar. Harga pala yang 5
http://pascapanen.litbang.deptan.go.id/assets/media/publikasi/juknis_pala.pdf [Diakses Tanggal 12 November 2012]
10
cukup mahal bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk menjadikan buah pala sebagai pendongkrak ekonomi Indonesia setelah kopi, sawit, cengkeh, dan teh. Penelitian Lusianah (2009), menyatakan terdapat 3 bagian buah pala yang bernilai ekonomis tinggi. Pertama, daging buah yang berwarna keputihan, bagian ini dapat diolah menjadi berbagai makanan dan minuman yang memiliki cita rasa yang khas. Daging buah pala lebih banyak dimanfaatkan oleh pelaku industri olahan pala di dalam negeri untuk memenuhi permintaan domestik. Berikutnya adalah fuli, sebagian orang menyebutnya dengan bunga pala. Fuli banyak digunakan sebagai bumbu masakan atau diekstrak sarinya menjadi bahan baku kosmetika dan parfum. Bagian terakhir adalah biji yang berwarna kecoklatan, pada bagian ini paling banyak dimanfaatkan. Bagian ini dapat dihaluskan menjadi beragam bumbu masak, parfum, kosmetik, minyak atsiri, bahan pengawet dan lain-lain. Biji pala dan fuli merupakan bagian dari buah pala yang memiliki permintaan tertinggi untuk kebutuhan ekspor. Berikut adalah pohon industri dari seluruh bagian buah pala yang dapat dilihat pada Gambar 1.
Daging buah
Buah Pala Fuli
Biji
Produk Umur Pengguna Manisan------------------6-7 bulan-------------Industri makanan Salad buah--------------4-5 bulan--------------Industri makanan Sirup----------------------6-7 bulan-------------Industri makanan Jeli------------------4-5 dan 6-7 bulan---------Industri makanan Selai----------------------6-7 bulan--------------Industri makanan Chutney------------------6-7 bulan--------------Industri makanan
Minyak fuli------------4-5 bulan--------------Industri makanan Bungkil-----------------4-5 bulan-------Industri makanan/ternak Oleoresin---------------4-5 bulan---------------Industri makanan Mentega fuli-----------4-5 bulan---------------Industri kosmetik
Tempurung-------------------------------9-12 bulan----------------Industri kimia
Daging Biji
Minyak pala-----------4-5 bulan------------Industri makanan Bungkil-----------------4-5 bulan------------Industri makanan Oleorosin--------------4-5 bulan-------------Industri makanan Mentega pala----------4-5 bulan-------------Industri kosmetika
Gambar 1 Skema hasil olahan bagian-bagian buah pala (Rismunandar 1990)
Penelitian Nurdjanah (2007), menyatakan hampir semua bagian buah pala mengandung senyawa kimia yang bermanfaat bagi kesehatan, diantaranya dapat membantu mengobati masuk angin, insomnia (gangguan susah tidur), bersifat stomakik (memperlancar pencernaan dan meningkatkan selera makan), karminatif (memperlancar buang angin), antiemetik (mengatasi rasa mual mau muntah), nyeri haid, rematik dan lain-lain.
11
Lusianah (2009) menjelaskan bahwa buah pala sebagai salah satu komoditas perkebunan penghasil devisa negara perlu terus didorong peningkatannya baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Prospek pengembangan komoditi pala untuk masa depan cukup baik, mengingat berapa hal yang mendukungnya seperti: a. Sebagai salah satu komoditas penghasil minyak atsiri, minyak pala sangat berpeluang untuk dikembangkan mengingat penggunaannya masih terbuka luas dengan berkembangnya industri makanan, obatobatan, aromaterapi, dan lain sebagainya. b. Permintaan pasar dunia akan pala setiap tahun terus meningkat, tidak kurang dari 60% kebutuhan pala dunia didatangkan dari Indonesia. c. Lahan potensial untuk pengembangan tanaman pala masih tersedia cukup luas. Dengan potensi sumberdaya alam yang besar serta umur tanaman pala yang relatif masih muda atau tanaman belum menghasilkan masih cukup luas, di samping dimilikinya potensi kesesuaian lahan (lingkungan), maka di masa mendatang Indonesia dapat menjadi produsen utama pala dunia. d. Penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa merupakan pasar dalam negeri yang potensial bagi produsen pala. Hal ini perlu diantisipasi sedini mungkin supaya pala lokal tidak kalah bersaing dengan pala dari luar negeri. Adanya kecenderungan industri skala kelompok tani/rumah tangga antara lain karena investasi dan biaya produksi lebih rendah, lebih efisien, lebih fleksibel, dan dapat melayani permintaan pasar baru. e. Buah pala Indonesia lebih disukai oleh pasar dunia karena mempunyai beberapa kelebihan dibanding buah pala dari negara lain, kelebihannya antara lain rendemen minyaknya yang tinggi dan memiliki aroma yang khas. Berdasarkan kondisi diatas, pengusahaan pala di Indonesia mempunyai prospek untuk ditingkatkan. Upaya pengembangan pala yang dilaksanakan kiranya harus memenuhi kualitas yang telah menjadi standar dunia sehingga pala Indonesia mempunyai daya saing yang lebih baik bila dibandingkan dengan negara produsen lainnya.
Pengolahan Pala sebagai Bahan Makanan dan Minuman Daging buah pala merupakan bagian terbesar dari buah pala segar yaitu sekitar 80%, namun baru sebagian kecil saja yang sudah dimanfaatkan, sebagian besar hanya dibuang sebagai limbah pertanian. Daging buah pala berpotensi untuk diolah menjadi berbagai produk pangan. Berbagai produk yang sudah dikenal antara lain manisan pala, sirup pala, selai, dodol dan sebagainya. Pengolahan daging buah pala menjadi produk pangan akan meningkatkan nilai ekonomi daging buah pala yang selama ini hanya merupakan limbah. Buah pala yang akan diolah menjadi produk olahan pala dapat dengan mudah diperoleh oleh para pengrajin/pengusaha. Karena buah pala tidak mengenal musiman, maka relatif mudah diperoleh. Para penjual buah pala biasanya langsung datang ke pasar terdekat di daerah pengrajin, bahkan penjualan ada yang diantar sampai
12
ke depan rumah pengrajin/pengusaha. Dilihat dari ketersediaannya, bahan penolong juga mudah diperoleh oleh para pengrajin/pengusaha di pasar-pasar tradisional (Nurdjanah 2007). Studi pengembangan industri pala di pedesaan (studi kasus di Kabupaten Bogor) oleh lembaga penelitian IPB (1990) dilakukan dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Bogor mempunyai potensi bahan baku buah pala cukup besar. Akan tetapi, pengolahan buah pala terbatas pada pembuatan manisan sehingga perlu dicari alternatif bentuk pengolahan lain untuk tujuan diversifikasi produk. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan lengkap mengenai potensi buah pala di Kabupaten Bogor serta untuk mengkaji kemungkinan pengembangan industri yang mengolah pala menjadi produk olahan sirup. Bila produk manisan pala ini dapat dikembangkan di pedesaan, maka akan menambah lagi satu spektrum lapangan kerja dari bahan baku buah pala dengan memanfaatkan daging buah pala. Strategi pengembangan industri pertanian pengolahan buah pala ini ditujukan untuk menyelamatkan hasil panen, meningkatkan secara maksimum daya manfaat, memberikan nilai tambah yang optimum bagi produsen pala sehingga dapat meningkatkan pendapatan, meningkatkan devisa negara (bila dapat diekspor), dan meningkatkan daya serap tenaga kerja dengan membuka spektrum lapangan kerja yang luas dan beragam. Pola pengembangan industri dengan bahan baku buah pala dewasa ini hendaknya didasarkan pada beberapa aspek diantaranya adalah skala usaha, pilihan teknologi, perkembangan industri hilir, dan penyediaan peralatan khusus. Untuk industri kecil (industri rumahan) pala ini, pola pengembangan hendaknya dilakukan di pusat-pusat produksi buah pala dan dikelola oleh petani atau koperasi. Pengolahan daging buah pala perlu dikembangkan ke dalam produkproduk lain disamping manisan yang telah ada. Produk-produk makanan seperti jeli, selai, sirup, chutney, dan sebagainya perlu mendapatkan perhatian dalam usaha diversifikasi pengolahan pala. Apabila jumlah dan mutunya memadai, produk-produk daging buah pala ini mungkin dapat dijadikan komoditas ekspor.
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini adalah bagaimana meningkatkan daya saing UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga. Untuk meningkatkan daya saing dari UMKM tersebut dibutuhkan suatu strategi kompetitif seperti strategi pembentukan klaster. Fenomena pengelompokan industri atau klaster bukanlah suatu hal yang baru, banyak negara maju dan negara berkembang yang telah sukses dalam pemanfaatan strategi tersebut. Contohnya Negara Inggris dengan industri bioteknologiya, Jerman bergerak dalam industri kendaraan, produk permesinan, dan software, Italia dengan klaster industri tekstil (fashion) yang menjadikan Negara Italia sebagai ikon pusat mode dunia, Malaysia dengan klaster industri elektronika di Penang, manufaktur sepatu di Brazil, Meksiko, dan India serta klaster industri dari negara
13
lainnya. Indonesia sendiri cukup unggul untuk industri mebel, produk kulit dan tekstil, pengolahan logam, dan lain-lainnya. Konsep klaster dianggap sangat tepat untuk diterapkan oleh UMKM di Indonesia karena proses konglomerasi antara UMKM yang ada dapat meningkatkan daya saingnya. Konsep klaster tersebut dapat ditunjang dengan teori diamond Porter dimana terdapat beberapa faktor yang dapat diidentifikasi untuk melihat daya saing suatu industri. Konsep pembentukan klaster menggunakan diamond Porter juga telah banyak dikembangkan oleh banyak peneliti di dunia dan terbukti dapat mengatasi permasalahan UMKM yang ada. Karena itu, penelitian ini menjelaskan secara deduktif apakah pengolahan daging buah pala dapat menerapkan konsep klaster untuk meningkatkan daya saingnya. Teori diamond Porter pada penelitian ini digunakan untuk melihat faktor apa yang paling berpengaruh dalam pembentukan klaster UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga.
Pengembangan Pengolahan Buah Pala oleh UMKM Definisi dan Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) diatur berdasarkan UU Nomor 20 tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah. Berikut kutipan dari isi UU 20/20086. a. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. b. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. c. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini. Kriteria jumlah karyawan berdasarkan jumlah tenaga kerja merupakan suatu tolak ukur yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menilai usaha kecil atau besar. Jumlah tenaga kerja yang harus dipenuhi oleh masingmasing usaha adalah sebagai berikut: 1) Usaha mikro dengan tenaga kerja 1-4 orang; 2) Usaha kecil dengan tenaga kerja 5-19 orang; 3) Usaha menengah dengan tenaga kerja 20-99 orang; 4) Usaha besar dengan tenaga kerja lebih dari
6
http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=129 [ Diakses tanggal 15 Desember 2011]
14
100 orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam kriteria UMKM dalam Tabel 3. Tabel 3 Kriteria UMKMa Kriteria No Uraian Asset Omzet 1. Usaha Mikro Maks Rp50 juta Maks Rp300 juta 2. Usaha Kecil > Rp50 juta – > Rp300 juta – Rp500 juta Rp2.5 miliar 3. Usaha > Rp500 juta – > Rp2.5 miliar – Menengah Rp10 miliar Rp50 miliar a Sumber: UU No 20/2008 dan BPS (2012)
Tenaga kerja 1-4 orang 5-19 orang 20-99 orang
Karakteristik UMKM di Indonesia Ciri umum UMKM yang ada di Indonesia adalah hampir setengah dari sektor ekonomi UMKM hanya menggunakan kapasitas usahanya sebesar 60% atau kurang. Penyebabnya antara lain karena kelemahan perencanaan usaha dan terbatasnya visi pengusaha kecil karena kebanyakan sekedar ikut-ikutan berusaha. Lebih dari setengah usaha kecil dan menengah tersebut tidak dapat berkembang karena berkutat dalam skala industri itu saja. Selain itu, masalah utama yang dihadapi oleh sektor ekonomi UMKM sangat kompleks dan berbeda sesuai tahap perkembangan usahanya. Pada masa persiapan, masalah yang dihadapi adalah masalah permodalan dan kemudahan usaha. Selanjutnya pada tahap pengenalan usaha, sektor usaha tersebut menghadapi persoalan pemasaran, permodalan, dan hubungan usaha. Namun pada tahap peningkatan usaha, persoalan utama sektor tersebut adalah masalah permodalan dan pengadaan bahan baku. Latar belakang atau motivasi pengusaha dalam melakukan usahanya juga dapat menjadi karakteristik bagi UMKM yang membedakannya dengan UB (Usaha Besar). Sebagian besar pengusaha UMKM melakukan kegiatan usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Selain itu, terlihat banyak faktor keluarga yang masih dominan untuk menurunkan kegiatan usahanya kepada generasi selanjutnya dikarenakan merasa telah dibekali dengan keahlian. Beberapa pengusaha UMKM juga telah berpikir realistis untuk memanfaatkan peluang bisnis yang ada dengan pangsa pasar yang aman dan besar. Perbedaan mendasar antara UMKM dengan UB adalah status badan hukumnya. Seluruh kelompok UB jelas telah memiliki badan hukum sedangkan UMKM masih banyak yang belum memiliki badan hukum (Tambunan 2009). UMKM tidak saja berbeda dengan UB, tetapi di dalam kelompok UMKM itu sendiri terdapat beberapa perbedaan karakteristik antara usaha mikro (UMI), usaha kecil (UK), dan usaha menengah (UM) yang dapat mudah dilihat seharihari pada UMKM di Indonesia. Aspek-aspek itu termasuk orientasi pasar, profil dari pemilik usaha, sifat dari kesempatan kerja di dalam perusahaan, sistem organisasi dan manajemen yang diterapkan di dalam usaha, derajat mekanisme di dalam proses produksi, sumber-sumber dari bahan baku dan modal, lokasi
15
tempat usaha, hubungan-hubungan eksternal, dan derajat dari keterlibatan wanita sebagai pengusaha. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik-karakteristik utama dari UMI, UK, dan UMa No
UMI
UK
UM
Beroperasi di sektor informal; usaha tidak terdaftar; tidak/ jarang bayar pajak Dijalankan oleh pemilik; tidak menerapkan pembagian tenaga kerja internal (ILD), manajemen dan struktur organisasi formal (MOF), sistem pembukuan formal (ACS) Kebanyakan menggunakan anggota-anggota keluarga tidak dibayar
Beberapa beroperasi di sektor formal; beberapa tidak terdaftar; sedikit yang bayar pajak Dijalankan oleh pemilik; tidak ada ILD, MOF, ACS
Semua di sektor formal, terdaftar, dan bayar pajak
Beberapa memakai tenaga kerja (TK) yang digaji
Pola/sifat dari proses produksi
Derajat mekanisasi sangat rendah/umumnya manual; tingkat teknologi sangat rendah
Beberapa memakai mesin-mesin terbaru
5
Orientasi pasar
Umumnya menjual ke pasar lokal untuk kelompok berpendapatan rendah
Banyak yang menjual ke pasar domestik dan ekspor, dan melayani kelas menengah ke atas
6
Profil ekonomi dan sosial dari pemilik usaha Sumbersumber dari bahan baku dan modal Hubunganhubungan eksternal
Pendidikan rendah dan dari rumah tangga (RT) miskin; motivasi utama: survival
Banyak berpendidikan baik dan dari RT nonmiskin; banyak yang bermotivasi bisnis/mencari profit Beberapa memakai bahan baku impor dan punya akses ke kredit formal Banyak yang punya akses ke programprogram pemerintah dan punya hubunganhubungan bisnis dengan UB (termasuk PMA)
Semua memakai TK di gaji; semua memiliki sistem perekrutan formal Banyak yang punya derajat mekanisasi yang tinggi/punya akses terhadap teknologi tinggi Semua menjual ke pasar domestik dan banyak yang ekspor, dan melayani kelas menengah ke atas Sebagian besar berpendidikan baik dan dari RT makmur; motivasi utama: profit
Wanita pengusaha
Rasio dari wanita terhadap pria sebagai pengusaha sangat tinggi
Formalitas
2
Organisasi dan manajemen
3
Sifat dan kesempatan kerja
4
7
8
9
a
Aspek
1
Kebanyakan menggunakan bahan baku lokal dan uang sendiri Kebanyakan tidak punya akses ke program-program pemerintah dan tidak punya hubungan-hubungan bisnis dengan UB
Rasio dari wanita terhadap pria sebagai pengusaha cukup tinggi
Banyak yang mempekerjakan manajer profesional dan menerapkan ILD,MOF, dan ACS
Banyak yang memakai bahan baku impor dan punya akse ke kredit formal Sebagian besar punya akses ke programprogram pemerintah dan punya hubunganhubungan bisnis dengan UB (termasuk PMA) Rasio dari wanita terhadap pria sebagai pengusaha sangat rendah
Sumber: Tambunan (2009: 5)
Peningkatan Daya Saing UMKM dengan Konsep Klaster Konsep Daya Saing dalam UMKM Daya saing adalah suatu konsep yang umum digunakan dalam dunia ekonomi, yang biasanya merujuk kepada komitmen terhadap persaingan pasar
16
dalam perusahaan-perusahaan dan keberhasilan dalam persaingan internasional dalam kasus negara-negara. Seiring dengan semakin mengglobalnya perekonomian dunia dan persaingan bebas, daya saing telah menjadi satu dari konsep-konsep kunci bagi perusahaan-perusahaan, negara-negara, dan wilayahwilayah untuk bisa berhasil dalam partisipasinya di dalam globalisasi dan perdagangan bebas dunia (Cho dan Moon 2003). Man et all (2002) dalam Tambunan (2009) menggunakan konsep daya saing untuk membuat suatu model konseptual dalam menghubungkan karakteristik-karakteristik dari manajer atau pemilik UMKM dan kinerja perusahaan jangka panjang. Model konseptual untuk daya saing UMKM tersebut terdiri atas 4 elemen: skop daya saing perusahaan, kapabilitas dari organisasi perusahaan, kompetensi pengusaha/pemilik usaha, dan kinerja. Selain itu, Tambunan (2009) juga merumuskan 3 aspek penting yang mempengaruhi daya saing UMKM, yakni (1) faktor-faktor internal perusahaan; (2) lingkungan eksternal; dan (3) pengaruh dari pengusaha/pemilik usaha. Pengaruh dari pengusaha tersebut ditangani dengan pendekatan kompetensi dari sebuah proses atau perspektif perilaku. Pengukuran daya saing UMKM dapat dibedakan menjadi daya saing produk dan daya saing perusahaan. Daya saing dari produk terkait erat dengan tingkat daya saing dari perusahaan yang menghasilkan produk tersebut. Indikator-indikator yang umum digunakan untuk mengukur daya saing sebuah produk adalah pangsa ekspor per tahun, volume/laju pertumbuhan ekspor per tahun, pangsa pasar dalam negeri per tahun, volume/laju pertumbuhan produksi per tahun, nilai/harga produk, diversifikasi pasar luar negeri (1 negara versus banyak negara), diversifikasi pasar domestik (lokal versus nasional), dan kepuasan konsumen. Indikator-indikator yang terkait dengan ekspor merupakan sumber utama informasi mengenai tingkat daya saing yang berlaku dari suatu produk, yang juga bisa diterapkan terhadap UMKM yang melakukan ekspor. Seperti yang dinyatakan oleh Long (2003) bahwa kemampuan UMKM melakukan ekspor mencerminkan daya saing globalnya (Tambunan 2009). Pada UMKM, daya saing perusahaan sangat ditentukan oleh peran dari pemilik usahanya yang merupakan penggerak utama perusahaan. Ini artinya, kreativitas, spirit kewirausahaan, dan jiwa inovatif dari pengusaha yang didukung oleh keahlian dari para pekerjanya adalah sumber utama peningkatan daya saing UMKM. Agar pengusaha dan pekerjanya bisa berperan secara optimal, paling tidak ada 5 prasyarat utama yang harus dipenuhi, yakni mereka memiliki sepenuhnya pendidikan, moral, teknologi, informasi, dan input krusial lainnya. Semua itu harus mereka miliki sesuai kebutuhan yang sifatnya tidak statis, tetapi dinamis mengikuti 3 perkembangan utama yang akan terus berkembang, yakni perubahan pasar (terutama permintaaan atau selera konsumen dan tekanan persaingan), perubahan ekonomi (nasional dan global), kemajuan teknologi, dan penemuan material-material baru untuk produksi (Tambunan 2009). Klaster untuk Peningkatan Daya Saing UMKM Menurut Taufik (2008) telah dikemukakan mengenai definisi dan jenis klaster dari beberapa ahli, diantaranya adalah: 1) Porter (1990) mendefinisikan klaster sebagai sekumpulan perusahaan dan lembaga-lembaga terkait di bidang
17
tertentu yang berdekatan secara geografis dan saling terkait karena “kebersamaan (commonalities) dan komplementaritas”. 2) Munnich et al (1999) mendefinisikan klaster sebagai konsentrasi geografis dari perusahaan dan industri yang saling berkompetisi, komplementer, atau saling terkait yang melakukan bisnis satu dengan lainnya dan atau memiliki kebutuhan serupa akan kemampuan, teknologi, dan infrastruktur. 3) OECD (2000) mendefinisikan klaster sebagai kumpulan/kelompok bisnis dan industri yang terkait melalui suatu rantai produk umum, ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa, atau penggunaan teknologi yang serupa atau saling komplementer. 4) Deperindag (2000) mendefinisikan klaster sebagai kelompok industri dengan focal/core industri yang saling berhubungan secara intensif dan membentuk partnership, baik dengan supporting industry maupun related industry. Tiga ciri klaster industri (Lyon dan Atherton 2000) dalam Taufik (2008): 1. Komonalitas/keserupaan/kebersamaan/kesatuan (Commonality) yaitu bahwa bisnis-bisnis yang beroperasi dalam bidang-bidang “serupa” atau terkait satu dengan lainnya dengan fokus pasar bersama atau suatu rentang aktivitas bersama. 2. Konsentrasi (Concentration) yaitu bahwa terdapat pengelompokan bisnis-bisnis yang dapat dan benar-benar melakukan interaksi. 3. Konektivitas (Connectivity) yaitu bahwa terdapat organisasi yang saling terkait/interconnected/linked/interdependent organizations dengan beragam jenis hubungan yang berbeda. Menurut Lestari (2008) beberapa kajian menunjukkan beragam definisi dan jenis-jenis klaster. Porter misalnya, membagi klaster menurut adopsi teknologi anggotanya ke dalam (1) klaster teknologi (kelompok dengan sadar menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi modern) dan (2) klaster knowhow (anggota kelompok menggunakan pengalaman dan pengetahuan turuntemurun). Technical Assistance Asian Development Bank (TAADB) membagi klaster menurut dinamika anggotanya menjadi (1) klaster dinamis (viable) dan (2) klaster tidur (dormant). Sedangkan literatur-literatur lainnya kebanyakan membagi klaster menjadi (1) klaster regional (lebih menitik beratkan pada pengelompokkan usaha dalam satu wilayah dengan batasan yang jelas, atau (2) klaster bisnis (menitikberatkan pada jejaring kerjasama antar perusahaan untuk saling berbagi kompetensi dan sumberdaya). Kementerian Negara Koperasi dan UKM sendiri menggunakan pembagian yang terakhir ini. Pengembangan klaster industri dapat digunakan untuk mengembangkan industri yang bersifat luas (broad base) dan terfokus pada jenis-jenis produk yang berpeluang memiliki daya saing internasional yang tinggi di pasar domestik dan global. Lingkup geografis klaster industri dapat sangat bervariasi, terentang dari satu desa saja atau salah satu jalan di daerah perkotaan sampai mencakup sebuah kecamatan atau provinsi. Sebuah klaster industri dapat juga melampaui batas negara menjangkau beberapa negara tetangga (misalnya Batam, Singapura, dan Malaysia). Pendekatan klaster dapat meningkatkan daya saing dan menciptakan kekuatan industri nasional dalam bentuk saling ketergantungan, keterkaitan, dan saling menunjang. Pengembangan klaster industri dapat digunakan untuk mengembangkan industri yang bersifat luas dan terfokus (spesialisasi) pada jenis-jenis produk yang berpeluang memiliki daya saing internasional yang
18
tinggi di pasar domestik dan pasar global. Dengan demikian, secara teoritis pendekatan klaster mampu memberi bingkai dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan program pengembangan sektor industri manufaktur nasional yang lebih jelas dan terarah. Walaupun pengertian klaster atau disebut juga sentra sudah lama dikenal, namun pentingnya bagi perkembangan dan pertumbuhan industri, khususnya industri skala kecil dan menengah (IKM) mulai menjadi salah satu topik akademis yang menarik didiskusikan. Hal ini didasari oleh pengalaman dari klaster-klaster IKM di beberapa negara di Eropa Barat. Khususnya Negara Italia pada subsektor-subsektor seperti sepatu, tas kulit, mebel, makanan, dan alat-alat musik dimana mereka dominan dan terkonsentrasi di lokasi-lokasi tertentu membentuk klaster-klaster. Pada dekade 1970-an dan 1980-an, saat industriindustri skala besar di Inggris, Jerman, dan Italia mengalami stagnasi atau kelesuan, ternyata IKM yang membuat produk-produk tradisonal tersebut mengalami pertumbuhan yang pesat dan bahkan mampu mengembangkan pasar ekspor mereka, dan menyerap banyak tenaga kerja. Pengalaman ini menunjukkan bahwa IKM di klaster/sentra dapat berkembang lebih pesat, lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan pasar, dan dapat meningkatkan produksinya dibandingkan IKM yang beroperasi secara sendiri-sendiri di luar klaster. Menurut Scorsone (2002) dalam Nugroho (2011) klaster UMKM yang berbasis pada komunitas publik memiliki manfaat baik bagi UMKM itu sendiri maupun bagi perekonomian di wilayahnya. Bagi UMKM, klaster membawa keuntungan sebagai berikut : a. Lokalisasi ekonomi Melalui klaster, dengan memanfaatkan kedekatan lokasi, UMKM yang menggunakan input (informasi, teknologi atau layanan jasa) yang sama dapat menekan biaya perolehan dalam penggunaan jasa tersebut. Misalnya pendirian pusat pelatihan di klaster akan memudahkan akses UMKM pelaku klaster tersebut. b. Pemusatan tenaga kerja Klaster akan menarik tenaga kerja dengan berbagai keahlian yang dibutuhkan klaster tersebut sehingga memudahkan UMKM pelaku klaster untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerjanya dan mengurangi biaya pencarian tenaga kerja. c. Akses pada pertukaran informasi dan patokan kinerja UMKM yang tergabung dalam klaster dapat dengan mudah memonitor dan bertukar informasi mengenai kinerja supplier dan nasabah potensial. Dorongan untuk inovasi dan teknologi akan berdampak pada peningkatan produktivitas dan perbaikan produk. d. Produk komplemen Karena kedekatan lokasi, produk dari satu pelaku klaster dapat memiliki dampak penting bagi aktivitas usaha UMKM yang lain. Di samping itu, kegiatan usaha yang saling melengkapi ini dapat bergabung dalam pemasaran bersama. Sedangkan keberhasilan klaster dapat dilihat dari beberapa faktor penentu kekuatan klaster antara lain: (1) spesialisasi, (2) kapasitas penelitian dan pengembangan, (3) pengetahuan dan keterampilan, (4) pengembangan sumber
19
daya manusia, (5) jaringan kerjasama dan modal sosial, (6) kedekatan dengan pemasok, (7) ketersediaan modal, (8) jiwa kewirausahaan, serta (9) kepemimpinan dan visi bersama (Rosenfeld 1997) dalam Panduan Pengembangan Klaster Industri oleh Nugroho (2011). Proses penerapan strategi klaster terhadap pengembangan UMKM di Indonesia perlu terlebih dahulu dipilih dari sentra-sentra UMKM yang ada, sentra-sentra mana yang akan dibantu pengembangannya dengan menggunakan strategi tersebut. Kriteria pemilihan bisa didasarkan pada prospek pasar di dalam negeri atau ekspor, potensi kesempatan kerja yang dapat diciptakan, dan intensitas penggunaan sumber daya lokal. Selain itu, diperlukan juga pemahaman terhadap jaringan bisnis dari klaster-klaster tersebut, yakni relasi mereka dengan pemasok bahan baku dan input-input lain, pensuplai mesin dan peralatanya, pasar, dan relasi mereka dengan pengusaha-pengusaha besar, universitas, bank, pemerintah, dan lembaga lainnya. Jaringan klaster bisnis dapat dilihat pada Gambar 2. (Tambunan 2001 : 127-130)
Sisi Penawaran
Sisi Permintaan
Pemasok bahan baku Pensuplai Mesin dan Alat Produksi
Pedagang
Klaster UMKM
Konsumen
Perusahaan Besar (Subcontracting)
Bank SDM Lembaga-lembaga pendukung: -Pemerintah -Universitas -LSM -Perusahaan besar, dll
Gambar 2 Jaringan bisnis klaster dari sisi penawaran dan permintaan (Tambunan 2001)
Pembentukan Klaster Kajian literatur mengenai klaster menunjukkan beberapa faktor pembentuk klaster. Sayangnya kajian-kajian ini belum menunjukkan faktor dominan bagi pengembangan klaster. Secara umum, beberapa faktor yang memicu pembentukan klaster adalah (1) adanya permintaan lokal yang unik (seperti batik, anyaman bambu untuk peralatan rumah tangga, dan lainnya), (2) telah adanya industri diseputar wilayah tersebut yang output/bahan sisanya menjadi bahan baku bagi klaster, adanya industri yang berhubungan, atau telah adanya klaster yang berhubungan yang membuka peluang, (3) karena perilaku perusahaan/individu yang inovatif, (4) karena hasil kajian perguruan tinggi, (5)
20
adanya kejadian yang membuka peluang, dan lain-lain. Rangsangan ini jika terus dilanjutkan terutama jika ada dukungan dari institusi lokal dan atau persaingan lokal yang sehat akan membuat klaster terus tumbuh (KUMKM 2008). Pertumbuhan klaster akan menciptakan spesialisasi pemasok, kebutuhan pengumpulan dan berbagi informasi, munculnya institusi lokal untuk mendukung pelatihan, penelitian dan infrastruktur, serta munculnya identitas klaster di kawasan regional/nasional. Klaster industri mempunyai sifat dinamis dan perkembangannya mempunyai siklus yang dapat dikenali. Rosenfeld (2002) mengklasifikasikan siklus perkembangan klaster menjadi 4 tahapan, yaitu: (i) klaster embrio, yaitu klaster pada tahapan awal perkembangan; (ii) klaster tumbuh, yaitu klaster yang mempunyai ruang untuk perkembangan lebih lanjut; (iii) klaster dewasa, yaitu klaster yang stabil atau akan sulit untuk lebih berkembang, serta (iv) klaster menurun, yaitu klaster yang sudah mencapai puncak dan sedang mengalami penurunan. Pada klaster embrio, pemerintah dan perantara mempunyai peran penting dalam peningkatan kerjasama dan berfungsi sebagai broker informasi. Namun pada klaster dewasa dan klaster menurun, peningkatan keterbukaan dan inovasi juga diperlukan untuk mencegah bahaya lock-in wilayah. Selain membantu menjaga daya saing klaster tradisional, peningkatan keterbukaan dan inovasi dapat menjadi titik awal kemajuan pengembangan industri baru. Beberapa bentuk intervensi diperlukan di setiap tahapan siklus, namun intensitas dan cara penyampaiannya yang perlu penyesuaian (Wibowo 2011). Karakteristik Klaster di Indonesia Pembentukan klaster secara teoritis disebabkan dua hal yaitu (1) faktor sejarah dan (2) faktor bentukan/manipulasi. Dua faktor ini akan membentuk dua jenis klaster yaitu klaster dewasa dan klaster baru. Klaster dewasa biasanya terbentuk ketika sebuah daerah/kota memiliki banyak pengrajin pada kota tersebut. Kemunculan klaster industri dimulai ketika muncul pihak yang bersedia menjadi pemasok input khusus bagi klaster tersebut. Jika klaster dewasa muncul secara “alami”, maka kemunculan klaster bentukan terjadi karena kesengajaan pemerintah atau institusi lain yang berkeinginan untuk membentuk sebuah klaster. Klaster-klaster bentukan sering disebut sebagai klaster baru karena pendiriannya cenderung lebih muda usianya dibandingkan klaster tradisional yang ada saat ini. Secara umum klaster di Indonesia masih berupa sentra UMKM. Sentra UMKM terdiri dari sekumpulan industri skala kecil dan menengah yang terkonsentrasi pada suatu lokasi yang sama serta telah berkembang cukup lama. Sentra UMKM mencerminkan suatu jenis klaster yang paling sederhana dan berkembang secara alamiah tanpa intervensi dari pemerintah. Klaster-klaster ini pada umumnya berkembang di wilayah pedesaan, merupakan kegiatan tradisional masyarakat yang telah dilakukan secara turun-temurun, serta memiliki komoditi yang spesifik. Jenis klaster yang ada sangat beragam, antara lain klaster kerajinan, makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, kulit dan produk kulit, kimia dan produk kimia, bahan bangunan, peralatan, dan sebagainya.
21
Konsep Klaster dengan Teori Diamond Porter Nugroho (2011) dalam Panduan Pengembangan Klaster Industri, sebagaimana dirumuskan oleh Porter terdapat 4 faktor penentu atau dikenal dengan nama diamond (berlian) model yang mengarah kepada daya saing industri, yaitu: (1) faktor input (input condition), (2) kondisi permintaan (demand condition), (3) industri pendukung dan terkait (related and supporting industries), serta (4) strategi perusahaan dan pesaing (context for firm and strategy): a. Faktor input Faktor input dalam analisis Porter adalah variabel-variabel yang sudah ada dan dimiliki oleh suatu klaster industri seperti sumber daya manusia (human resource), modal (capital resource), infrastruktur fisik (physical infrastructure), infrastruktur informasi (information infrastructure), infrastruktur ilmu pengetahuan dan teknologi (scientific and technological infrastructure), infrastruktur administrasi (administrative infrastructure), serta sumber daya alam. Semakin tinggi kualitas faktor input ini, maka semakin besar peluang industri untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas. b. Kondisi permintaan Kondisi permintaan menurut diamond model dikaitkan dengan sophisticated and demanding local customer. Semakin maju suatu masyarakat dan semakin tinggi permintaan pelanggan dalam negeri, maka industri akan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas produk atau melakukan inovasi guna memenuhi keinginan pelanggan lokal yang tinggi. Namun, dengan adanya globalisasi menyebabkan kondisi permintaan tidak hanya berasal dari lokal tetapi juga bersumber dari luar negeri. c. Industri pendukung dan terkait Adanya industri pendukung dan terkait akan meningkatkan efisiensi dan sinergi dalam klaster. Sinergi dan efisiensi dapat tercipta terutama dalam transaction cost, sharing teknologi, informasi maupun skill tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh industri atau perusahaan lainnya. Manfaat lain industri pendukung dan terkait adalah akan terciptanya daya saing dan produktivitas yang meningkat. d. Strategi perusahaan dan pesaing Strategi perusahaan dan pesaing dalam diamond model juga penting karena kondisi ini akan memotivasi perusahaan atau industri untuk selalu meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan dan selalu mencari inovasi baru. Dengan adanya persaingan yang sehat, perusahaan akan selalu mencari strategi baru yang cocok dan berupaya untuk selalu meningkatkan efisiensi. Selain keempat faktor tersebut, Porter menambahkan dua faktor tambahan yang berasal dari luar klaster yaitu peran pemerintah dan peluang. Secara grafis, keenam model Porter bersifat dinamis dan komprehensif karena mencakup tidak hanya kondisi faktor, sebagaimana sebagian besar model tradisional, tetapi juga mencakup variabel penting lainnya secara simultan. Karena itu, di samping keempat faktor tersebut ditambahkan pula faktor modal sosial (social capital) sebagai penentu daya saing. Kelima faktor tersebut diharapkan dapat
22
menjelaskan faktor-faktor penentu daya saing yang menumbuhkembangkan klaster UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga. Model tersebut dinamakan ”model bintang lima klaster UMKM pengolahan pala berdaya saing” seperti disajikan pada Gambar 3. Model kompetitif dengan bentuk bintang ini merupakan model replikatif dari peneliti sebelumnya yaitu “The Five Stars Competitiveness Footwear of SME’s Cluster”.
Gambar 3 Model bintang lima klaster UMKM pengolahan pala berdaya saing Dimodifikasi dari (Mulyati et al 2009)
Pada Gambar 3 terdapat modifikasi suatu teori diamond Porter yang ditambahkan modal sosial sebagai suatu pendekatan yang memengaruhi pengembangan UMKM dalam pendekatan klaster. UMKM memiliki potensi yang besar dalam pengembangan modal sosial. Pendekatan klaster dianggap strategis untuk proses penumbuhan kembali modal sosial, peningkatan kapasitas internal UMKM, dan upaya penggalangan tindakan bersama untuk menghadapi tantangan dari pihak luar yang semakin dinamis. Modal sosial merupakan aset tak berwujud dimana terdapat hubungan sosial yang lebih menekankan pada rasa kepercayaan dan kebersamaan anggotanya. Modal sosial dapat menjadi pemecahan masalah yang efektif bagi masyarakat masa kini. Melalui modal sosial UMKM dapat membentuk jaringan horizontal yang akan memunculkan kondisi saling menguntungkan karena akan terjadi kerjasama dan koordinasi yang lebih baik (Mulyati et al 2009). Tinggi rendahnya ketersediaan atau peranan modal sosial di dalam klaster disebabkan oleh beberapa faktor baik faktor indogen yaitu budaya, agama maupun faktor eksogen seperti halnya kondisi ekonomi, kebijakan pemerintah, dan tingkat persaingan industri melalui pasar yang semakin terbuka di dunia. Penelitian Steinfield (2002) menjelaskan bahwa keberhasilan kelompok bisnis (klaster) tergantung pada eksploitasi modal sosial, adanya kedekatan yang memungkinkan kesempatan interaksi, pertukaran pengetahuan, dan kepercayaan yang timbul dari hubungan perdagangan serta mengurangi transaksi biaya 7. 7
http://repository.library.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/726/D_902005007_BAB%20II. pdf?sequence=3 [Diakses tanggal 11 April 2013]
23
Kerangka Pemikiran Operasional Produk UMKM pada umumnya sangat padat karya dengan basis sumberdaya lokal sehingga pelaku yang menggeluti industri ini banyak dan menyebar. Hal yang sama dialami oleh masyarakat Desa Dramaga yang memiliki potensi buah pala yang melimpah di Kabupaten Bogor sehingga mendorong banyak masyarakat setempat untuk melakukan pengolahan lebih lanjut agar mendapatkan nilai tambah. Tidak adanya barrier to entry pada aktivitas bisnis ini, baik dari aspek teknologi, investasi, perlindungan hak intelektual, dan manajemen, maka sangat mudah bagi masyarakat untuk menggeluti aktivitas bisnis pengolahan pala. Namun, kemudahan dalam pelaksanaan UMKM tersebut tidak diikuti dengan daya saingnya. Skala usaha yang relatif kecil menyebabkan UMKM sulit untuk bersaing dengan skala usaha besar dalam aktivitas bisnis yang sama secara individual. Salah satu pendekatan terintegrasi yang dipandang sesuai untuk pengembangan UMKM adalah melalui pendekatan kelompok serta membangun jaringan usaha yang saling terkait. Pendekatan pengembangan aktivitas usaha UMKM secara berkelompok ini dikenal dengan istilah sentra atau klaster, dimana beberapa UMKM melakukan kegiatan usaha yang sejenis. Pengembangan UMKM dengan pendekatan klaster terbukti memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang. Untuk kasus UMKM di Indonesia dengan karakter dan kondisinya yang ada maka pengembangan sistem bisnis berbasis klaster menjadi pilihan untuk meningkatkan daya saingnya. Melalui sistem klaster, akses UMKM terhadap sumberdaya fisik dan sumberdaya alam meningkat, kapasitas produksi meningkat, akses pasar meningkat, dan efisiensi usaha meningkat sebagai dampak dari aktivitas usaha yang saling bersinergi. Langkah awal penelitian ini adalah mengidentifikasi fenomena yang terjadi di Desa Dramaga dimana terdapat kelimpahan bahan baku buah pala dengan pelaku industri yang terlibat merupakan skala UMKM. Pada tahap identifikasi fenomena ini akan membawa pada tahap selanjutnya dalam perumusan masalah yang menyebabkan daya saing UMKM pengolahan pala masih rendah. Tahap perumusan masalah ini berfungsi untuk mengerucutkan pada strategi yang harus dilakukan oleh UMKM dalam meningkatkan daya saingnya yaitu dengan pendekatan klaster yang bekerja secara kolektif. Di dalam pendekatan klaster diperlukan identifikasi karakteristik UMKM dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan klaster UMKM pengolahan pala. Identifikasi karakteristik klaster UMKM menggunakan analisis deskriptif yang ditinjau dari aspek nonfinansial (produksi, pemasaran, sumber daya manusia (SDM)), aspek sosial ekonomi dan dampak lingkungan serta aspek finansial (modal, investasi, manajemen keuangan, sumber pendanaan), sedangkan untuk melihat tingkat keuntungan dalam usaha pengolahan pala digunakan analisis keuntungan dan R/C rasio. Identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan klaster UMKM dilakukan dengan analisis diamond Porter yaitu faktor kondisi, faktor permintaan, faktor strategi, struktur, dan persaingan perusahaan, faktor industri terkait dan pendukung serta ditambah dengan faktor modal sosial. Peran pemerintah dan kesempatan tidak dijadikan variabel pengukuran karena peneliti lebih mengutamakan 4 determinan pokok yang saling berkaitan dalam klaster
24
yang menentukan perkembangan dan daya saing usaha. Peran pemerintah dan kesempatan merupakan faktor eksternal yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap suatu klaster. Untuk modal sosial, perannya sangat penting dalam sebuah klaster karena dapat menciptakan hubungan sosial dan bisnis dalam rangka membangun keuntungan bersama. Klaster akan menciptakan modal sosial dan meningkatkan daya saing usaha dengan membentuk kerja sama berdasarkan kepercayaan. Hal ini memungkinkan organisasi tersebut melakukan gerakan bersama dan mengembangkan lembaga bersama yang akan menguntungkan anggota klaster8. Menurut JICA dalam Lestari (2008), UMKM/sentra perlu memiliki unsur perekat atau modal sosial jika ingin berhasil tumbuh menjadi klaster dinamis. Modal sosial ini dibentuk oleh faktor perilaku seperti kemauan dan kebiasaan untuk bekerjasama, berkelompok, dan kemauan berkomitmen pada tujuan bersama jangka panjang. Modal sosial dapat membentuk jaringan horizontal yang akan memunculkan kondisi saling menguntungkan karena akan terjadi kerjasama dan koordinasi yang lebih baik. Karena itu, pembentukan dan konsolidasi modal sosial menjadi unsur inti dalam penguatan klaster. Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis tersebut, peneliti juga merumuskan kerangka pemikiran operasional ke dalam beberapa tahapan untuk mempermudah proses pelaksanaan penelitian. Adapun kerangka pemikiran operasional penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
8
http://repository.library.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/726/D_902005007_BAB%20II. pdf?sequence=3 [Diakses tanggal 11 April 2013]
25
Fenomena - Buah pala merupakan komoditas potensial di wilayah Kabupaten Bogor - Mayoritas pelaku usaha pengolahan pala adalah skala kecil (UMKM)
Permasalahan Daya saing UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga rendah
Tujuan Pendekatan klaster untuk mengembangkan daya saing UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga
Identifikasi karakteristik UMKM pengolahan pala
Analisis karakteristik UMKM pengolahan
pala dengan analisis deskriptif yaitu : 1.
2.
1. Aspek nonfinansial (produksi, pemasaran, Sumber Daya Manusia (SDM), sosial ekonomi dan dampak lingkungan) Analisis deskriptif 2. Aspek finansial (modal, manajemen keuangan, sumber pendanaan) analisis deskriptif profitabilitas analisis keuntungan, R/C rasio
Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan klaster UMKM pengolahan pala
Analisis kondisi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan klaster UMKM pengolahan pala berdasarkan modifikasi teori diamond Porter dengan skala Likert yang diuraikan secara deskriptif. Faktor-faktor berpengaruh yaitu: 1. Faktor input 2. Kondisi permintaan 3. Struktur, strategi, dan persaingan perusahaan 4. Industri pendukung dan terkait 5. Modal sosial
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan klaster UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga
Kesimpulan dan rekomendasi skema keterkaitan klaster pengolahan pala
Gambar 4 Kerangka operasional analisis kondisi yang mempengaruhi pembentukan klaster UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga
26
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian Pengumpulan data dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2013. Lokasi penelitian berada di Desa Dramaga, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan pada seluruh UMKM pengolaha pala yang ada di wilayah tersebut. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) pada suatu kelompok sentra industri usaha pengolahan pala dan sirup pala. Lokasi ini dipilih berdasarkan informasi dari Dinas KUMKM dan BPS Kabupaten Bogor mengenai daerah penghasil manisan pala terbesar di Bogor.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan beberapa metode, yaitu: 1) wawancara dengan pihak UMKM manisan pala dan pihak terkait untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan, 2) observasi dengan melakukan pengumpulan data secara langsung di lapangan untuk beberapa waktu, 3) kuesioner dengan penyusunan pertanyaan-pertanyaan yang disebarkan kepada responden yang berhubungan dengan penelitian. Gabungan beberapa metode ini diharapkan mampu mengurangi bias. Selain itu, juga digunakan sebagai proses verifikasi terhadap data yang didapatkan. Data sekunder diperoleh dari internet, jurnal, buku bacaan, dan data-data dari dinas terkait seperti Badan Pusat Statistik, Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Bogor.
Teknik Pengumpulan Data Populasi penelitian ini adalah industri pengolahan pala yang ada di kawasan Pasar Dramaga yang melakukan proses produksi sendiri. Populasi ini sekaligus sebagai sampel penelitian. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sensus dengan mengambil seluruh populasi yang ada yaitu 9 pengusaha UMKM manisan pala dan 1 pengusaha sirup pala di Desa Dramaga. Alasan menggunakan penelitian sensus karena populasi yang ada jumlahnya sangat kecil. Peneliti sebaiknya mempertimbangkan untuk menginvestigasi seluruh elemen populasi, jika elemen populasi relatif sedikit dan variabilitas setiap elemen relatif tinggi (heterogen). Sensus juga lebih banyak dilakukan jika penelitian dimaksudkan untuk menjelaskan karakteristik setiap elemen dari populasi (Nurhayati 2011)
Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif meliputi analisis deskriptif
27
terhadap aspek nonfinansial (produksi, pemasaran, SDM, sosial ekonomi dan dampak lingkungan) yang dapat menggambarkan karakteristik UMKM. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengkaji aspek finansial pengolahan pala yang meliputi analisis keuntungan dan analisis R/C rasio. Pada metode kualitatif dilakukan analisis deskriptif untuk melihat karakteristik dari klaster UMKM dari aspek nonfinansial dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan klaster UMKM pengolahan pala. Variabel yang diteliti menggunakan model diamond Porter yaitu faktor-faktor yang memengaruhi daya saing UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga. Pengolahan data kuesioner menggunakan analisis deskriptif dengan melakukan skoring untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan klaster UMKM pengolahan pala. Pengolahan data dilakukan menggunakan Microsoft Office Excel. Analisis Keuntungan Pada metode kuantitatif digunakan analisis keuntungan yaitu selisih antara penerimaan atau pendapatan dan pengeluaran berupa total biaya keseluruhan. Analisis ini digunakan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari usaha yang dilakukan. Rumus yang digunakan sebagai berikut (Bachtiar dan Fatah 2004). Keuntungan = Total penjualan (P) - Total biaya produksi (B) Kriteria: P>B, usaha pembuatan manisan atau sirup pala menguntungkan P=B, usaha pembuatan manisan atau sirup pala tidak untung tidak rugi P
1, usaha pembuatan manisan dan sirup pala menguntungkan R/C = 1, usaha pembuatan manisan dan sirup pala tidak untung dan tidak rugi R/C < 1, usaha pembuatan manisan dan sirup pala rugi Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah metode analisis sederhana yang bertujuan untuk mempermudah penafsiran dan penjelasan dengan analisis tabel, grafik, atau diagram. Analisis deskriptif ini digunakan sebagai pendukung untuk menambah dan mempertajam analisis yang dilakukan, membantu memahami masalah yang diteliti serta memberikan gambaran umum tentang suatu fenomena yang terjadi. Analisis deskriptif pada penelitian bertujuan untuk melihat atau
28
mencermati hubungan antara variabel dependen dengan variabel-variabel independennya sehingga dapat menggambarkan karakteristik dari sebuah sampel ataupun populasi yang teramati. Pada penelitian ini, skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial yang telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya disebut sebagai variabel penelitian. Variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel dengan menggunakan skala Likert. Indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang disusun menjadi pernyataan (Sugiyono 2011). Pada penelitian ini terdapat 5 variabel utama, berdasarkan teori dari diamond Porter dan dari masing-masing variabel tersebut diuraikan kembali ke dalam beberapa indikator variabel. Untuk faktor kondisi terdiri dari 15 indikator variabel, faktor permintaan (demand condition) terdiri dari 10 indikator variabel, strategi perusahaan dan pesaing (context for firm and strategy) dapat diuraikan menjadi 7 indikator variabel, serta industri pendukung dan terkait (related and supporting industries) terdiri dari 8 indikator variabel. Untuk modal sosial terdiri dari 6 indikator variabel (Lampiran 7). Faktor kesempatan dan pemerintah tidak dijadikan variabel penentu daya saing, dengan pertimbangan pada penelitian memprioritaskan 4 determinan pokok yang berpengaruh secara langsung dalam menentukan daya saing. Instrumen penelitian dengan skala Likert dibuat dalam bentuk checklist dengan pilihan SS = Sangat setuju diberi skor 5, ST = Setuju diberi skor 4, RG = Ragu-ragu diberi skor 3, TS = Tidak setuju diberi skor 2, dan STS = Sangat tidak setuju diberi skor 1. Kemudian dengan teknik pengumpulan data angket, maka instrumen tersebut diberikan kepada seluruh responden pengusaha pengolah pala di Desa Dramaga untuk mengungkapkan penilaiannya terhadap faktor-faktor yang berpengaruh pada pembentukan klaster industri. Setelah seluruh responden mengisi kuesioner tersebut, maka data akan dianalisis dengan menghitung rata-rata jawaban berdasarkan skoring setiap jawaban dari responden. Jumlah skor ideal (kriterium) untuk seluruh item dilihat berdasarkan jumlah responden (10 orang) dikali dengan jawaban tertinggi yaitu 5 dan jumlah pertanyaan di setiap variabel. Contohnya untuk menghitung variabel kondisi terdiri dari 15 indikator variabel, maka skoring yang dilakukan adalah 5x15x10=750 (nilai skor maksimum). Jumlah skor yang diperoleh dari penelitian pada faktor kondisi adalah 513. Jadi berdasarkan data itu, maka tingkat persetujuan pada faktor kondisi adalah (513:750)x100% = 68.4% dari yang diharapkan (100%). Selanjutnya, dilakukan perhitungan untuk nilai rentang skala dengan rumus = [(nilai skor tertinggi – nilai skor terendah) : 5] -1, angka 5 merupakan kategori pilihan dan nilai 1 sebagai angka pengurang. Setelah melakukan perhitungan rentang skala maka peneliti dapat mengkategorikan setiap faktor tersebut ke dalam kategori sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, atau sangat tidak setuju.
29
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kondisi Umum Kabupaten Bogor Secara geografis Kabupaten Bogor terletak antara 6º18′ 6º47’10 Lintang Selatan dan 106º23’45- 107º 13’30 Bujur Timur, yang berdekatan dengan Ibukota Negara sebagai pusat pemerintahan. Kabupaten Bogor mempunyai luas wilayah 298 838 304 ha. Wilayah ini berbatasan dengan, sebelah Utara: Kabupaten Tangerang (Provinsi Banten), Kabupaten/Kota Bekasi, dan Kota Depok; sebelah Barat: Kabupaten Lebak (Provinsi Banten); sebelah Timur: Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Purwakarta; sebelah Selatan: Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur; sebelah Tengah: Kotamadya Bogor. Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor pada tahun 2010 adalah sebanyak 4 771 932 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 2 452 562 jiwa dan perempuan sebanyak 2 319 370 jiwa. Jumlah tersebut mendiami wilayah seluas 266 382 ha sehingga rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten Bogor adalah 17.91 jiwa per ha9.
30
20 15
25.88
24.22
25
24.96
21.91
19.06
16.44
15.46 9.75
10 5 0.77
0.84
4.43 0.18 0.2
17.24
10.57
Tahun 2009 Tahun 2010
4.8 1.58 1.71
0 Sektor Sektor Sektor Sektor Sektor Sektor Sektor Sektor Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Keterangan : Sektor 1 : Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan Sektor 2 : Pertambangan dan Peggalian Sektor 3 : Industri Sektor 4 : Listrik, Gas, dan Air Minum Sektor 5 : Konstruksi Sektor 6 : Perdagangan, Rumah Makan, dan Jasa Akomodasi Sektor 7 : Transportasi, Pergudangan, dan Komunikasi Sektor 8 : Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan Sektor 9 : Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perseorangan
Gambar 5 Lapangan pekerjaan utama di Kabupaten Bogor tahun 2010 (BPS Kabupaten Bogor 2011)
9
http://www.bogorkab.go.id/potensi-daerah/kependudukan/ [Diakses tanggal 10 April 2013]
30
Gambar 5 menjelaskan tentang lapangan pekerjaan utama, pada tahun 2010 sektor 6 yaitu perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi memiliki nilai terbanyak sebesar 24.96%. Selanjutnya, diikuti oleh sektor 3 yang bergerak dalam bidang industri sebesar 24.22% dan sektor 1 yaitu pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan sebesar 15.46%. Sektor industri yang menempati urutan kedua dalam lapangan pekerjaan utama di Kabupaten Bogor menandakan bahwa jumlah industri yang begitu besar pada daerah ini sehingga memberikan nilai tambah bagi penduduk dan daerah setempat. Jumlah industri yang besar di Kabupaten Bogor dapat dilihat dari jumlah UMKM yang selalu meningkat setiap tahunnya sehingga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. Kondisi pertanian Kabupaten Bogor terdiri dari pertanian tanaman pangan, sayuran dan hortikultura serta perkebunan. Tanaman perkebunan relatif terbatas di Kabupaten Bogor dan kegiatan pengelolaan usahanya dibagi menjadi 2 yaitu perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Perkebunan besar dikelola oleh perusahaan swasta dan perusahaan negara sedangkan perkebunan rakyat dikelola oleh masyarakat tani. Jumlah perkebunan negara sebanyak 4 kebun dengan komoditi teh dan sawit yang dikelola satu perusahaan BUMN yaitu PTPN VIII. Jumlah perkebunan swasta sebanyak 17 kebun dengan komoditi karet, teh, pala, dan kopi. Lokasinya tersebar di Kecamatan Jasinga, Cigudeg, Nanggung, Leuwiliang, Rancabungur, Ciawi, Cisarua, Megamendung, Cigombong, Rumpin, Tamansari, Citeureup, Sukajaya dan Tenjo. Untuk buah pala sendiri, Kabupaten Bogor memiliki luas perkebunan rakyat yang potensial yaitu terbesar keempat setelah kelapa, karet, dan kopi yang dapat dilihat pada Gambar 6.
Cengkeh
136.47
Pala
458.65
Karet
1,715.84
Kelapa
8,950.20
Kelapa Hibrida
42
Aren
121.8
Kopi
896.94
Teh
51
Kapulaga
48
Lada
12.76 0
2000
4000
6000
8000
Gambar 6 Luas perkebunan rakyat (ha) tahun 2010 (BPS Kabupaten Bogor 2011)
10000
31
Kondisi Umum Desa Dramaga
Keadaan Alam dan Geografis Desa Dramaga Desa Dramaga meliputi 3 dusun, 6 RW, dan 22 RT, mempunyai luas 120.5 ha dengan topografi dataran yang terdiri dari sawah dan ladang (12 ha), perumahan dan pekarangan (98 ha), kuburan (3 ha), empang (3 ha), industri (1.5 ha), dan tanah wakaf (3 ha). Batas-batas wilayah sebelah Timur Desa Dramaga adalah Desa Margajaya dan Ciherang, sebelah Selatan dan Barat dengan Desa Sinarsari, dan sebelah Utara dengan Desa Babakan. Letak Desa Dramaga dari pusat pemerintahan cukup strategis yaitu dari pusat kecamatan: 0.5 km, ibukota Kabupaten Bogor (Cibinong): 40 km, ibukota Kotamadya Bogor (Bogor): 28 km, ibukota Provinsi Jawa Barat (Bandung): 120 km, dan ibukota Negara Republik Indonesia (Jakarta): 60 km. Berdasarkan keadaan alam dan geografis tersebutlah kegiatan industri di Desa Dramaga berjalan dengan baik, khususnya karena letak geografisnya yang sangat strategis dekat dengan pusat pemerintahan dan pusat keramaian (pasar desa). Keadaan Penduduk dan Mata Pencaharian Jumlah penduduk Desa Dramaga adalah 10 997 orang (3 025 kepala keluarga) yang terdiri dari 5 761 orang (52.39%) laki-laki dan 5 236 orang (47.61%) perempuan. Jika dibandingkan luas wilayah, kepadatan penduduk adalah 91 orang/ha. Mayoritas dari penduduk Desa Dramaga bekerja sebagai wiraswasta atau pedagang dengan jumlah sebanyak 2 675 orang. Sisanya sebagai karyawan yaitu pegawai negeri sipil 430 orang, ABRI 2 orang, dan bergerak di bidang swasta 825 orang. Selanjutnya, penduduk yang bekerja sebagai petani 8 orang, buruh tani 10 orang, pensiunan 42 orang, pemulung 3 orang, dan bergerak di bidang jasa 20 orang. Tingginya jumlah penduduk yang bermata pencaharian sebagai wiraswasta atau pedagang menandakan bahwa daerah ini cukup maju untuk kegiatan perdagangan. Hal ini disebabkan kedekatannya dengan pasar daerah yaitu Pasar Dramaga. Pasar ini menjual berbagai kebutuhan untuk masyarakat dimulai dari berbagai jenis makanan, bahan pokok, souvenir, hingga toko-toko perlengkapan lainnya untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, di sepanjang jalan pasar tersebut juga terdapat beberapa toko makanan yang menjual manisan buah dan sayur sebagai oleh-oleh seperti manisan pala, manisan pepaya, manisan pare, manisan mangga, manisan wortel, manisan salak, dan manisan buah lainnya. Akan tetapi, jumlah manisan buah yang paling banyak diproduksi adalah manisan buah pala, baik manisan pala kering maupun pala basah. Saat ini, pengolahan daging buah pala mulai dikembangkan dalam bentuk lainnya yaitu menjadi sirup pala. Keadaan Umum Industri Pengolahan Pala di Desa Dramaga Desa Dramaga merupakan salah satu penghasil manisan pala terbesar di Kabupaten Bogor (menurut Dinas KUMKM Kabupaten Bogor). Pengusaha manisan pala di Desa Dramaga sudah ada sejak zaman Belanda. Mereka hanya membuat manisan pala hanya pada waktu tertentu (menjelang hari raya dan jika ada hajatan). Pengusaha industri pengolahan pala di Desa Dramaga terpusat di
32
sekitar Pasar Dramaga sebanyak 10 orang yang tersebar di RT 01/RW 04 sebanyak 1 orang, RT 03/RW 03 sebanyak 2 orang, RT 03/RW 04 sebanyak 3 orang, RT 04/RW 03 sebanyak 3 orang, dan RT 05/RW 03 sebanyak 1 orang (Lampiran 1). Saat ini industri manisan pala merupakan mata pencaharian pokok bagi 9 orang pengusaha tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Namun untuk Ibu Wida Winingsih, Beliau melakukan pengolahan lain terhadap buah pala yaitu menjadi sirup pala. Usaha ini baru digelutinya selama 2 tahun dan merupakan usaha sampingannya selain bekerja sebagai salah satu pegawai di kantor Desa Dramaga. Beberapa pelaku industri pengolahan pala di Desa Dramaga telah melakukan kegiatan usahanya sejak tahun 1970-an. Mereka mengakui kegiatan mengolah manisan buah pala dilakukan secara turun temurun yang diwariskan dari orang tua mereka sebelumnya. Menurut Bapak Bahruddin yang telah melakukan pengolahan buah pala selama 32 tahun, kegiatan industri yang Beliau lakukan karena melihat potensi buah pala yang banyak di daerah Kabupaten Bogor dan belum termanfaatkan. Semenjak itu keluarga besar Bapak Bahruddin mulai menggeluti jenis usaha ini dimulai dari saudara kandungnya yaitu kakak dan adiknya serta diikuti oleh anak dan istrinya. Dalam pengembangan industri manisan buah pala masih banyak terdapat kendala. Menurut keterangan salah satu narasumber yaitu Ibu Oneng, awalnya dalam proses pemasaran juga masih sulit dilakukan karena masih banyak orang-orang yang belum tahu dan merasa asing dengan buah pala. Namun, seiring berjalannya waktu orang-orang mulai menyukai rasanya ditambah manfaat yang begitu besar bagi kesehatan tubuh menjadikan manisan buah pala selalu laris manis di pasaran. Umumnya rantai pemasaran yang dilakukan oleh pengrajin manisan pala tersebut sangat pendek dan telah dirintis sejak lama karena mereka memiliki pelanggannya masing-masing. Biasanya pemasaran dilakukan di daerah Bogor, Cianjur, Bandung, hingga Sumatera. Berapapun jumlah produksi manisan pala yang mereka hasilkan akan terjual habis di pasaran karena jumlah permintaannya selalu meningkat dan belum dapat dicukupi oleh pengrajin di sekitar. Permintaan akan terus meningkat disaat Hari Raya Lebaran, Imlek, maupun tahun baru sehingga para pengusaha membutuhkan banyak tenaga kerja. Peluang ini, bahkan dimanfaatkan oleh pedagang musiman yang turut andil dalam melakukan kegiatan produksi manisan buah pala di saat-saat hari besar tersebut. Ketersediaan buah pala sebagai bahan baku awalnya sangat mudah didapat karena tumbuh subur di lereng Gunung Salak yang berbuah sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Hal ini mendukung ketersediaan bahan baku industri manisan pala sehingga para pengusaha dapat mempertahankan profesi tersebut, bahkan menjadi mata pencaharian sebagian penduduk Desa Dramaga. Namun, eksploitasi bahan baku yang begitu besar tidak diikuti dengan peremajaan kembali tanaman tersebut sehingga saat ini bahan baku menjadi sulit didapatkan. Ketersediaan buah pala di daerah Bogor terus menurun sehingga harus mencari hingga ke luar daerah Bogor, padahal permintaannya selalu meningkat. Pengusaha manisan pala harus bersaing dalam mendapatkan bahan baku buah pala utuh dengan pengelola minyak pala yang hanya memerlukan biji dan fulinya.
33
Melihat perkembangan usaha dan penyerapan tenaga kerja industri manisan pala tersebut, berbagai bantuan dari pemerintah maupun universitas salah satunya adalah IPB telah banyak dilakukan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor telah banyak memberikan bantuan baik berupa dana stimulan, peralatan, serta pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan keterampilan usaha pengrajin manisan pala. IPB sendiri melalui LPPM telah banyak melakukan pembinaan kepada UMKM yang ada sekitar lingkar kampus dalam, khususnya Desa Dramaga yang berspesialisasi terhadap manisan pala. Bantuan dari lembaga-lembaga di luar desa ini telah banyak dirasakan manfaatnya oleh beberapa pengusaha manisan pala, khusunya pengusaha manisan pala yang masih dalam skala kecil. Selain itu, baik dari Disperindag maupun IPB sering mengikutsertakan pengusaha pada pameran di berbagai tempat untuk mempromosikan produk asli dari daerah Bogor tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik UMKM Pengolahan Pala di Desa Dramaga Profil Responden UMKM Pengolahan Pala Desa Dramaga merupakan salah satu sentra UMKM manisan pala terbesar di daerah Bogor. Sentra ini sudah ada sejak tahun 1970-an. Usaha manisan pala di wilayah survei berlangsung secara turun temurun sampai sekarang dan cenderung sebagai usaha rumah tangga. Sebagian rumah tangga menjadikan usaha ini sebagai usaha pokok dan sebagian lagi menjadikannya sebagai usaha tambahan. Beberapa alasan pengusaha manisan pala menekuni usahanya antara lain adalah tersedianya sumber bahan baku, keterampilan dikuasai, harganya baik dan pasar yang sudah terjamin. Selain itu, ada juga pengusaha yang menyatakan melakukan usaha ini karena tidak ada usaha lain. Keterampilan membuat manisan pala diperoleh dengan belajar sendiri dari orang tua, tetangga, dan atau mengikuti pelatihan yang diadakan oleh lembaga dan instansi terkait. Kegiatan usaha pembuatan manisan pala dapat dilakukan oleh pria maupun wanita. Hasil penelitian yang dilakukan di Desa Dramaga, pengelola dan tenaga kerja pada usaha pembuatan manisan pala ini umumnya wanita atau ibu rumah tangga. Dari 10 pengusaha yang disurvei sebanyak 7 unit usaha dikelola oleh perempuan dan 3 lainnya dikelola oleh laki-laki. Latar belakang pendidikan responden didominasi oleh lulusan SD yaitu sebesar 60% (6 pengusaha). Responden sebanyak 20% (2 pengusaha) berlatar belakang pendidikan SLTP dan sisanya sebanyak 20% (2 pengusaha) dapat menempuh pendidikan terakhirnya di SMK. Profil industri pengolahan pala di Desa Dramaga dapat dilihat pada Lampiran 1. Dilihat dari kepemilikan usaha, seluruhnya merupakan usaha milik sendiri, dan umumnya belum memiliki badan hukum. Tenaga kerja yang terlibat berasal dari dalam dan luar keluarga. Tenaga kerja dari dalam keluarga umumnya sebagai pengelola dan tenaga pemasaran. Tenaga kerja dari luar keluarga merupakan tenaga kerja harian atau tenaga kerja borongan. Pengelolaan usaha
34
ini masih dilakukan masing-masing secara terpisah, tidak dalam satu kelompok, serta belum pernah dilakukan kemitraan dengan pihak lain. Melalui wawancara yang dilakukan, para pengusaha manisan pala menyatakan bahwa kelompok usaha pernah dibentuk namun tidak berjalan dengan baik karena tidak adanya transparansi dari ketua kelompok tersebut. Sebagian besar pengusaha manisan pala di Desa Dramaga telah berusia diatas 50 tahun yaitu sebesar 70% dan sisanya sebanyak 30% masih berusia produktif berkisar antara 30-50 tahun. Hal ini menandakan bahwa pengolahan manisan pala tidak memerlukan tenaga yang besar, cukup ketekunan, dan kemampuan mengorganisir usahanya. Sebagian besar responden yang diwawancarai tidak melakukan kegiatan produksinya sendiri tetapi telah mempekerjakan orang lain sehingga mereka hanya mengawasi kegiatan usaha produksinya, membeli bahan baku, dan pemasaran. Namun, bagi usaha yang masih sangat kecil pemilik masih ikut turun tangan dalam kegiatan produksi yang ringan. Satu siklus produksi, biasanya para pengusaha manisan pala melakukannya selama seminggu sekali dengan total produksi berkisar 7 ton. Selain menjual produk manisan pala, pengusaha juga menjual biji dan fuli sebagai hasil samping. Harga jual biji dan fuli per kilogram lebih besar dibandingkan manisan pala, namun jumlahnya jauh lebih kecil karena biji dan fuli hanya sebesar 13% dari seluruh bagian buah pala (Nurdjanah 2007). Analisis Aspek Nonfinansial Aspek yang dibahas dalam aspek nonfinansial adalah aspek produksi, aspek pemasaran, aspek sumber daya manusia (SDM), serta aspek sosial ekonomi dan dampak lingkungan. Aspek Produksi Aspek produksi merupakan aspek yang penting dalam menentukan kualitas produk yang akan dihasilkan. Produk utama yang dihasilkan oleh pengusaha yang mengolah daging buah pala di Desa Dramaga adalah manisan pala basah, manisan pala kering, dan sirup pala. Sebanyak 90% (9 pengusaha) melakukan pengolahan buah pala menjadi manisan, sisanya sebesar 10% (1 pengusaha) melakukan pengolahan lain dengan daging buah pala menjadi sirup pala yang merupakan inovasi dalam pemanfaatan daging buah pala. Bahan baku buah pala cukup mudah didapatkan karena berasal dari sekitar daerah Kabupaten Bogor yaitu Gunung Salak, Tamansari, Ciapus dan daerah lainnya yang masih dapat dijangkau dari Desa Dramaga. Bahan baku tersebut biasanya diantarkan langsung oleh penjual ke lokasi responden sehingga pengusaha manisan dan sirup pala tidak perlu mengeluarkan tambahan biaya distribusi. Namun, bagi pengusaha manisan pala dalam skala besar ketersediaan bahan baku pala ini cukup menjadi kendala karena buah pala dalam jumlah yang banyak lebih dari 1 ton menjadi barang yang langka pada periode tertentu. Salah satu penyebabnya adalah faktor cuaca yang tidak menentu. Beberapa responden menyatakan tidak dapat memproduksi manisan pala karena tidak mendapatkan bahan baku dalam jumlah yang cukup untuk skala produksinya. Akan tetapi, untuk skala usaha yang masih kecil kebutuhan bahan baku pala tidak menjadi kendala karena masih tersedia untuk memenuhi skala produksi.
35
Secara umum, kapasitas produksi setiap pengusaha manisan pala basah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan produksi manisan pala kering. Jumlah produksi setiap pengrajin manisan pala basah berkisar antara 2 - 300 kg setiap minggunya dengan rata-rata produksi 136 kg sedangkan untuk manisan pala kering berkisar antara 10 – 2 200 kg dengan rata-rata produksi 640 kg. Hal ini disebabkan karena permintaan pasar terhadap manisan pala basah lebih rendah, produk tidak tahan lama, dan harga jualnya yang rendah dibandingkan manisan pala kering dan penjualan biji serta fuli utuh. Pembuatan manisan pala basah ini, biasanya masih dilakukan untuk memenuhi pesanan konsumen saja. Selain itu, proses pembuatannya juga lebih mudah dibandingkan manisan pala kering. Teknologi pengolahan daging buah pala dalam membuat manisan pala basah, manisan pala kering, dan sirup pala selama ini masih dilakukan secara sederhana. Keterampilan para pengrajin manisan pala lebih banyak didasarkan pada pengalaman sendiri sedangkan untuk pengolahan sirup pala masih tergolong ke dalam usaha yang baru dalam tahap perkenalan. Proses pembuatan manisan pala basah adalah perendaman buah pala mentah, pengupasan dan pembentukan, pencucian, perendaman dengan air gula, dan pengepakan. Untuk proses pembuatan manisan pala kering hampir sama dengan pala basah, hanya saja setelah dilakukan perendaman dengan air gula kemudian dilakukan pengeringan dengan gula kering (dijemur), pengovenan, dan pengepakan. Berikut adalah kebutuhan bahan baku dan bahan penolong pembuatan manisan pala yang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Kebutuhan bahan baku dan bahan penolong dalam pembuatan manisan pala setiap minggua No Kebutuhan setiap minggu Jenis bahan Kisaran harga belib Kisaran Rata-rata 1. Buah pala 200-60 000 butir 15 989 butir 120-200/butir 2. Gula pasir 12-2 000 kg 790.2 kg 9 200-10 000/kg 3. Garam 0.2-24 kg 6.24 kg 1 500-2 000/ kg 4. Natrium bisulfit 0.0-6 kg 1.78 kg 12 000/kg 5. Pewarna 0.15-5 ons 1.38 ons 20 000/ons 6. Plastik 0.3-75 kg 21.03 kg 25 000/kg 7. 0.5-8 tabung 3.83 tabung Gas elpiji 15 000/tabung kecil kecil kecil a Sumber: Data primer; b Kisaran harga beli (Rp)
Tabel 5 memperlihatkan bahwa bahan baku utama dalam pembuatan manisan pala adalah buah pala utuh yang dihitung dengan butir bukan per kilogram. Pengusaha manisan pala membutuhkan buah pala yang utuh agar dapat dilakukan proses pembentukan dengan mudah. Selanjutnya, bahan penolong dalam manisan pala adalah gula, garam, Natrium bisulfit (NaSO3), plastik pembungkus, dan gas elpiji. Untuk bahan penolong, tidak ada kesulitan dalam pencariannya, namun sedikit kendala yang dihadapi adalah harga dari
36
bahan penolong gula yang fluktuatif. Selanjutnya, untuk bahan baku dan bahan penolong dalam pembuatan sirup pala dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Kebutuhan bahan baku dan bahan penolong dalam pembuatan sirup pala setiap minggua No. Jenis bahan Kebutuhan setiap minggu Hargab 1. Buah pala 2. Gula 3. Botol plastik 4. Air 5. Gas elpiji a Sumber: Data primer; bHarga (Rp)
30 kg 18 kg 100 buah 2 galon 1 tabung kecil
30 000 165 600 140 000 26 000 15 000
Bahan baku pembuatan sirup pala adalah buah pala. Akan tetapi, buah pala yang digunakan biasanya adalah buah pala yang tidak utuh (butir) karena tidak memerlukan pembentukan seperti manisan pala. Biasanya pengolah sirup pala mendapatkan bahan bakunya berupa sisa patahan yang gagal dibentuk oleh pengrajin manisan untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Pengusaha sirup pala yaitu Ibu Wida telah melakukan kerja sama dengan pembuat manisan pala. Biasanya Ibu Wida menggunakan hasil patahan dari sisa manisan pala yang dilakukan Ibu Hafsah dengan kisaran 5 kg setiap harinya atau 30 kg dalam 1 minggu (0.05% total patahan buah pala yang gagal dibentuk Ibu Hafsah). Namun, jika pengusaha tidak menggunakan butir pala secara utuh, pengusaha sirup pala tidak mendapatkan hasil sampingannya berupa biji dan fuli utuh yang memiliki nilai jual cukup tinggi. Aspek Pemasaran Industri UMKM manisan pala di Desa Dramaga melakukan strategi pemasarannya secara sederhana. Seluruh pengusaha manisan pala tersebut telah memiliki pembeli yang tetap untuk produksi mereka. Rantai pemasaran yang mereka miliki umumnya pendek yaitu menyalurkan kepada distributor/agen atau langsung ke konsumen. Daerah pemasaran yang dilakukan adalah Bandung, Cianjur, Kota Bogor, hingga ke Sumatera. Biasanya para pengusaha menerima pesanan dari agen-agen tersebut dan tanpa dibebani oleh biaya distribusi karena agen tersebut langsung mengambil di tempat. Biaya yang ditetapkan oleh pengusaha manisan pala yang menjual langsung kepada agen di tempat produksi berkisar Rp20 000-Rp25 000/kg. Namun, ada juga responden sebanyak 10% (1 orang) yang menerima pengiriman ke tempat yang masih dekat misalnya ke Cianjur dan biaya distribusi yang ditetapkan oleh produsen sebesar Rp100 000Rp150 000. Mayoritas penjualan produk manisan pala dibeli oleh pasar lokal. Hanya beberapa saja responden yang mencoba memasarkan ke pasar ekspor seperti Malaysia, Thailand, Jepang, dan Singapura sebanyak 10% (1 responden). Salah satu responden menyatakan ada beberapa tawaran untuk melakukan pemasaran hingga ke pasar ekspor, namun mereka belum dapat memenuhinya karena
37
permintaan domestik sendiri sangat tinggi. Selain itu, sebanyak 70% melakukan kegiatan promosi melalui pameran, leaflet, surat kabar, dan hanya sebanyak 30% yang melakukan kegiatan promosi hanya dari mulut ke mulut. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM) Tenaga kerja yang digunakan dalam industri manisan pala di Desa Dramaga dikelompokkan dalam 2 jenis yaitu tenaga kerja tetap dan tenaga kerja tidak tetap. Biasanya tenaga kerja tetap merupakan tenaga kerja keluarga ataupun luar keluarga yang memiliki jam kerja yang tetap sedangkan tenaga kerja tidak tetap merupakan tenaga kerja harian yang tergantung jumlah produksi dan berada di lingkungan sekitar. Sebanyak 80% responden menyatakan bahwa tenaga kerja mudah untuk didapatkan di sekitar lokasi usaha. Sisanya masing-masing 10% menjawab sulit dan agak sulit dalam mencari tenaga kerja disebabkan mereka sudah dalam skala usaha yang besar sehingga membutuhkan tenaga kerja yang banyak dan harus memiliki keterampilan sesuai yang dipersyaratkan. Tenaga kerja yang digunakan dalam proses pembuatan manisan pala terdiri dari pengupasan dan pembentukan menjadi bunga atau bintang. Pekerjaan ini biasanya dilakukan sebagai pekerjaan tambahan ibu rumah tangga dan boleh dibawa pulang ke rumah, hasilnya dapat diserahkan pada sore hari. Biasanya upah yang didapatkan berkisar antara Rp25 000 - Rp30 000. Proses selanjutnya adalah penggulaan yang dilakukan langsung di tempat produksi manisan pala. Untuk proses penjemuran atau pengovenan biasanya dilakukan oleh pria karena pekerjaannya membutuhkan lebih banyak tenaga. Proses terakhir adalah packing yang biasanya dilakukan oleh tenaga kerja wanita. Untuk pekerjaan tersebut biasanya dilakukan oleh tenaga kerja tetap dengan upah Rp30 000. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan Adanya usaha pengolahan pala memberikan lapangan pekerjaan bagi penduduk sekitar. Menurut hasil wawancara dengan responden, tenaga kerja yang terserap pada satu unit usaha ini berkisar antara 2-39 orang. Rata-rata tenaga kerja yang ada merupakan orang sekitar lingkungan sehingga dengan adanya usaha tersebut dapat meningkatkan pendapatan penduduk serta mengurangi pengangguran. Khususnya untuk tenaga kerja wanita yaitu ibu-ibu, keberadaan usaha ini sangat membantu perekonomian mereka dalam membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tenaga kerja ibu rumah tangga biasa dipilih untuk melakukan pengupasan dan pembentukkan buah pala. Biasanya tenaga kerja ibu-ibu membawa pulang tugas mereka ke rumah dan akan menyerahkannya di sore hari sehingga dapat dikerjakan dengan santai sambil mengurus anak. Berkembangnya usaha pengolahan pala juga turut mendorong berkembangnya usaha yang berkaitan dengan usaha ini, baik usaha hulu khususnya petani atau pedagang buah pala dan pemasok kebutuhan bahan penolong serta usaha hilir yaitu pedagang manisan buah dan makanan ringan, sebagai penyedia oleh-oleh bagi wisatawan. Selain itu, usaha pengolahan pala juga memberikan peluang usaha kepada industri minyak pala atau untuk industri pengolah lainnya yang memanfaatkannya dalam bentuk biji dan fulinya.
38
Keberadaan suatu kegiatan di suatu tempat atau daerah akan memberikan dampak terhadap lingkungan sekitar tempat kegiatan tersebut berlangsung. Pengaruh yang ditimbulkan dapat bersifat positif maupun negatif. Unit usaha pengolahan pala dapat dikatakan relatif tidak mencemari lingkungan. Limbah yang dihasilkan berupa buangan dari air cucian buah pala dan air sisa rendaman buah pala. Limbah cair ini dibuang ke selokan atau ke sungai dalam jumlah yang relatif kecil. Melalui keterangan dari responden yang diwawancarai yaitu pelaku usaha pengolahan pala dan penduduk sekitar lokasi, tidak pernah terjadi keluhan masyarakat terhadap keberadaan usaha pembuatan manisan dan sirup pala ini. Analisis Aspek Finansial Sebanyak 70% pengusaha pengolahan pala menggunakan modal sendiri dalam melakukan kegiatan usahanya. Hal ini mereka lakukan karena merasa bunga pinjaman yang diberikan oleh lembaga perbankan maupun nonbank terasa berat. Sebanyak 10% pengusaha lainnya memenuhi kebutuhan modal usaha pembuatan manisan pala dengan menggunakan modal sendiri dan fasilitas kredit yang diberikan oleh bank dengan bunga sebesar 1.2% per bulan. Sebanyak 10% responden lainnya menyatakan seluruh pemenuhan kebutuhan modalnya berasal dari pinjaman yaitu dari bank, KUD, arisan, dan kerjasama dengan sesama pengusaha yang memiliki modal lebih besar. Sisanya sebanyak 10% responden mendapatkan permodalan dalam kegiatan usahanya melalui dana hibah dari pemerintah sebesar Rp15 000 000 untuk mengelola produk sirup pala. Bagi pengusaha yang modal kerjanya meminjam dari sesama pengusaha atau dari pedagang, pembayaran dilakukan setelah diperoleh hasil penjualan produk manisan pala. Hasil pengamatan di wilayah survei menunjukkan bahwa pengusaha manisan pala yang relatif maju adalah mereka yang memiliki persediaan modal kerja yang lebih dari satu kali periode produksi atau cukup untuk satu bulan kerja. Di antara pengusaha pala yang tergolong maju ada yang pernah memperoleh pinjaman dari bank. Salah satunya usaha manisan pala yang dilakukan oleh Bapak H.Idris yang memiliki modal usaha hingga 200 juta sehingga dapat dikatakan sebagai usaha yang paling berkembang di Desa Dramaga. Pelaku UMKM di Desa Dramaga memiliki akses untuk permodalan cukup besar. Seluruh responden yang diwawancarai menyatakan pernah ditawarkan pinjaman modal baik dari lembaga perbankan maupun nonbank dengan jaminan tertentu seperti sertifikat tanah atau BPKB kendaraan, namun hanya sedikit dari mereka yang mau dan mampu memanfaatkan fasilitas tersebut. Alasan utama para pelaku usaha manisan pala tidak memanfaatkan pinjaman tersebut adalah karena bunga yang harus dibayar cukup tinggi dan mereka takut mengalami risiko gagal bayar. Selain itu, untuk manajemen keuangan hanya beberapa saja yang melakukan pencatatan keuangan sederhana yaitu sebanyak 5 pelaku usaha. Lima pelaku usaha lainnya tidak memiliki pencatatan keuangan karena mereka menjalankan bisnisnya dengan intuisi semata berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan, tanpa panduan bisnis yang baik dan benar. Nilai rata-rata modal yang dimiliki oleh pengusaha pala adalah Rp35 850 000 dengan kisaran modal antara Rp500 000 hingga Rp200 000 000. Biaya modal tersebut digunakan untuk memenuhi proses produksi yaitu biaya variabel yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya bahan penolong, biaya tenaga kerja
39
harian, serta biaya tetap berupa biaya penyusutan peralatan produksi, listrik, air, dan lainnya. Pada industri manisan dan sirup pala bahan baku utama adalah buah pala. Bahan penolong untuk manisan pala terdiri dari gula, garam, NaSO3, pewarna makanan, plastik pengemas, dan gas elpiji. Bahan penolong untuk sirup pala adalah, gula, botol plastik, air, dan gas elpiji. Berikut adalah analisis keuntungan dan R/C rasio pengolahan buah pala yang dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Nilai keuntungan rata-rata dan R/C rasio manisan pala dalam satu kali produksi (per minggu)a Uraian Nilaib Biaya variabel rata-rata 12 344 822 Biaya tetap rata-rata 660 606 Total biaya produksi rata-rata 13 005 428 Penjualan rata-rata 20 135 667 Keuntungan rata-rata 7 130 239 R/C Rasio 1.55 a Sumber: Data primer; bNilai (Rp)
Menurut Tabel 7 biaya variabel rata-rata pada manisan pala memiliki nilai Rp12 344 822 yang terdiri dari biaya bahan baku rata-rata sebesar Rp3 197 778, biaya tenaga kerja harian rata-rata Rp600 000, dan biaya bahan penolong ratarata sebesar Rp8 547 044.44 (Lampiran 3). Sedangkan biaya tetap rata-rata terdiri dari rataan biaya-biaya berikut yaitu, penyusutan biaya investasi sebesar Rp70 328, biaya tenaga kerja tetap sebesar Rp566 677, dan biaya listrik serta lain-lain sebesar Rp23 611 (Lampiran 4). Total biaya produksi rata-rata pengusaha manisan pala di Desa Dramaga adalah Rp13 055 428. Nilai penerimaan didapatkan dari hasil penjualan manisan pala basah, manisan pala kering, dan fuli beserta bijinya (Lampiran 2). Setelah didapatkan total produksi rata-rata dan penjualan rata-rata, maka keuntungannya dapat dihitung dengan mengurangkan nilai penjualan dengan total biaya produksi sehingga rata-rata nilai pendapatan atau keuntungan yang dimiliki oleh pengusaha manisan pala di Desa Dramaga adalah Rp7 130 239 (Lampiran 5). Selanjutnya, untuk analisis keuntungan dan R/C rasio pada sirup pala dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Nilai keuntungan dan R/C rasio sirup pala dalam satu kali produksi (per minggu)a Uraian Nilaib Biaya variabel 441 000 Biaya tetap 53 229 Total biaya produksi 494 229 Penjualan 700 000 Keuntungan 205 771 R/C Rasio 1.42 a b Sumber: Data primer; Nilai (Rp)
40
Menurut Tabel 8 biaya variabel pada pembuatan sirup pala adalah buah pala, gula, botol plastik, air, dan gas elpiji sebesar Rp441 000. Untuk biaya tetap terdiri dari biaya tenaga kerja tetap, penyusutan biaya investasi berupa mesin press, panci, dan kompor, serta biaya listrik, dan hal lainnya. Nilai penerimaan pada penjualan sirup pala sebesar Rp700 000. Setiap minggunya pengusaha sirup pala dapat menghasilkan 100 botol dengan harga Rp7 000 per botol dalam kemasan 300 ml. Setelah mendapatkan nilai produksi dan penjualannya, maka nilai keuntungan dapat ditentukan yaitu sebesar Rp205 711. Untuk nilai R/C rasio pada manisan pala adalah 1.55 dan sirup pala adalah 1.42. Nilai R/C rasio manisan pala lebih besar dibandingkan sirup pala karena proses produksi pada manisan pala lebih rumit sehingga keuntungan yang dihasilkan juga lebih banyak dibandingkan usaha sirup pala. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Klaster Hasil survei melalui penyebaran kuesioner menyatakan bahwa seluruh responden (100%) tidak mengetahui tentang klaster industri. Padahal mereka berada dalam mekanisme klaster industri yang terkumpul dan berkelompok menjadi satu satuan usaha dalam pengolahan buah pala yaitu pengusaha manisan dan sirup pala. Sebanyak 30% responden (3 pengusaha) yang merupakan industri dalam skala yang lebih besar menyatakan tidak menginginkan adanya kelompok usaha sebagai suatu klaster. Mereka memiliki sifat individualisme yang cukup tinggi karena telah merasa mandiri. Akibatnya, pengusaha manisan pala dalam skala lebih besar cenderung tidak pernah melakukan kemitraan dengan pengusaha UMKM di sekitarnya. Sedangkan untuk mayoritas UMKM lainnya yaitu sebesar 70% menginginkan adanya kegiatan bersama dalam melakukan usahanya. Asalkan terdapat transparansi dari setiap individu pelaku UMKM, bukan sekedar pemanfaatan oleh beberapa pihak saja. Jika dilakukan pembentukan klaster industri di wilayah penelitian, maka 50% (5 responden) menginginkan klaster industri terbentuk berdasarkan pembelian bahan baku. Sekitar 30% (3 pengusaha) menginginkan terbentuknya klaster industri berdasarkan pembelian bahan baku dan kegiatan pemasaran bersama. Sisanya sebanyak 20% (2 responden) menginginkan bentuk kerjasama klaster dalam pelatihan proses produksi. Bentuk kerja sama yang diinginkan oleh UMKM pengolahan pala dapat di lihat pada Gambar 7.
Pembelian bahan baku dan pemasaran Bentuk kerja sama yang diinginkan oleh UMKM pengolahan pala
Pelatihan proses produksi Pembelian bahan baku 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%
Gambar 7 Bentuk kerja sama yang diinginkan oleh UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga. Diolah dari (Data primer 2013)
41
Penilaian responden terhadap kondisi UMKM saat ini perlu diidentifikasi lebih lanjut untuk mengetahui faktor apa saja yang paling berpengaruh dalam pembentukan klaster di Dramaga. Data mengenai penilaian responden terhadap faktor-faktor yang membentuk klaster dilakukan dengan penyebaran kuesioner dengan skala Likert. Berikut akan diuraikan kelima faktor yang mempengaruhi pembentukan klaster UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga. Faktor Kondisi Faktor input atau bahan baku perlu mendapat perhatian bagi pengembangan produk makanan olahan baik dari sisi kuantitas atau kertersediaan maupun kualitas bahan baku. Saat ini, bahan baku buah pala sebagian besar di pasok dari wilayah Gunung Salak dan Desa Ciherang. Ketersediaan bahan baku tersebut masih dapat memenuhi permintaan industri makanan olahan berbahan baku pala di Desa Dramaga. Namun, pada beberapa kasus di Desa Dramaga seperti UMKM dengan skala yang lebih besar, ketersediaan bahan baku buah pala dapat menjadi kendala karena faktor cuaca dan persaingan dengan pengelola minyak pala. Bahkan, seringkali ketika terjadi peningkatan permintaan, industri-industri dalam skala rumahan ini belum mampu memenuhi kebutuhan pasar. Untuk menjaga rantai pasokan bahan baku tersebut, perlu ada terobosan-terobosan baru melalui riset untuk menuju intensifikasi produksi bahan baku. Sementara itu, dilihat dari input sumber daya manusia, keberadaan industri rumah tangga (UMKM) penghasil produk makanan olahan menjadi kelebihan dan aset di Desa Dramaga. Lokasi industri rumah tangga yang tersebar di hampir semua lokasi akan menciptakan tantangan bagi pengembangan klaster makanan di Desa Dramaga, terkait dengan upaya mengintegrasikan industri makanan olahan menjadi satu industri besar yang saling terkait, baik dari sisi pemanfaatan input maupun pemasaran hasil produk. Hasil perhitungan melalui penyebaran kuesioner yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa faktor kondisi merupakan faktor utama yang mempengaruhi pembentukan klaster di Desa Dramaga. Perhitungan nilai total skor pada faktor kondisi adalah 552 dari total skor maksimumnya 750. Menurut penilaian responden, faktor kondisi memiliki persentase sebesar 69.8% sebagai faktor pembentuk klaster. Tabel 9 Skala penilaian pada faktor kondisia Kategori penilaian Rentang skala Sangat tidak setuju 150-269 Tidak setuju 270-389 Ragu-ragu 390-509 Setuju 510-629 Sangat setuju 630-750 a Sumber : Diolah penulis (2013)
Tabel 9 menunjukkan nilai skor 552 berada pada rentang skala 510-629 pada kategori setuju (Lampiran 8). Mayoritas responden menyatakan setuju
42
apabila faktor kondisi sebagai pembentuk klaster di Desa Dramaga. Hal ini semakin diperkuat ketika dilakukan wawancara mendalam dan terbuka kepada responden yang mengungkapkan hal yang sama untuk membentuk klaster dari faktor kondisi yaitu kerja sama dalam pembelian bahan baku dan pelatihan proses teknologi produksi (Gambar 7). Faktor Industri Terkait dan Pendukung Faktor yang memiliki nilai tertinggi kedua adalah faktor industri terkait dan pendukung dengan nilai persentase sebesar 68%. Faktor ini memiliki total skor nilai sebesar 272. Tabel 10 Skala penilaian pada faktor industri terkait dan pendukunga Kategori penilaian Sangat tidak setuju Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat setuju a Sumber : Diolah penulis (2013)
Rentang skala 80-143 144-207 208-271 272-335 336-400
Nilai skor 272 pada Tabel 10 berada pada rentang skala 272-355 di dalam kategori setuju (Lampiran 11). Faktor industri terkait dan pendukung merupakan faktor yang patut dipertimbangkan karena keterlibatan suatu industri terkait atau pendukung sangat penting untuk menunjang kinerja suatu klaster. Faktor ini dianggap memudahkan Desa Dramaga dalam pembentukan klaster karena berada di wilayah yang strategis yaitu dekat dengan pusat keramaian Pasar Dramaga, IPB sebagai lembaga pendukung, dan pusat pemerintahan seperti Kantor Desa Dramaga, Kantor Kecamatan Dramaga, serta koperasi. Selain itu, adanya lembaga pendukung lainnya seperti Dinas Perdagangan Kabupaten Bogor semakin mempermudah UMKM pengolahan pala dalam mengembangkan bisnisnya baik dalam keperluan modal, pemasaran, pelatihan dan hal lainnya. Dibutuhkan peningkatan peranan koperasi sebagai lembaga pemerintah yang terdapat di desa, terutama dalam penyediaan gula dan pemasaran produk (menggantikan peranan pedagang perantara). Faktor Permintaan Faktor permintaan berpengaruh sebesar 65.8% sebagai faktor pembentuk klaster. Faktor ini memiliki total nilai skor sebesar 329 (Lampiran 9). Nilai skor 329 pada Tabel 11 berada pada rentang skala 260-339 pada kategori ragu-ragu. Hal ini dikarenakan pada faktor permintaan tidak menimbulkan banyak kesulitan. Menurut penjelasan sebagian besar responden, untuk jumlah permintaan, sumber permintaan, dan kegiatan pemasaran dapat dilakukan dengan baik.
43
Tabel 11 Skala penilaian pada faktor permintaana Kategori penilaian Sangat tidak setuju Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat setuju a Sumber : Diolah penulis (2013)
Rentang skala 100-179 180-259 260-339 340-419 420-500
Permasalahan utama yang dihadapi hanya pada permintaan luar negeri saja yang belum dapat dipenuhi. Pelaku usaha pengolahan pala masih fokus untuk memenuhi permintaan dalam negeri yang cukup tinggi dan mereka belum berani mengambil risiko untuk mengembangkan pasar ekspor. Permintaan domestik untuk manisan pala cukup tinggi karena para pelaku usaha telah membangun jaringan pemasarannya sejak lama sehingga telah memiliki pelanggan tetap dengan rantai pemasaran yang pendek langsung ke konsumen akhir atau distributor. Namun perluasan pasar di luar Jawa Barat harus ditingkatkan untuk menjangkau pasar nasional bukan hanya pasar lokal saja. Faktor Strategi, Struktur, dan Persaingan Perusahaan Faktor strategi, struktur, dan persaingan perusahaan memberikan pengaruh dalam pembentukan klaster di Desa Dramaga sebesar 60%. Faktor ini memiliki total skor nilai sebesar 210 (Lampiran 10). Nilai skor 210 pada Tabel 12 berada pada rentang skala 182-237 pada kategori ragu-ragu.
Tabel 12 Skala penilaian pada faktor strategi, struktur, dan persaingan perusahaana Kategori penilaian Rentang skala Sangat tidak setuju 70-125 Tidak setuju 126-181 Ragu-ragu 182-237 Setuju 238-293 Sangat setuju 294-350 a
Sumber : Diolah penulis (2013)
Faktor strategi, struktur, dan persaingan usaha tidak terlalu dipertimbangkan dalam pembentukan klaster di Desa Dramaga karena persaingan yang ada antar UMKM tersebut masih sangat tinggi dan jaringan kerja sama yang dilakukan antar UMKM tidak intensif. Persaingan seharusnya merupakan salah satu komponen yang dibutuhkan untuk menumbuhkan klaster yang sehat (Porter 1990). Namun, hal ini akan berbalik merugikan jika persaingan tersebut diarahkan untuk saling mematikan antar anggota lainnya sehingga menciptakan lingkungan bisnis yang tidak sehat, bukan pada dorongan
44
untuk melakukan inovasi berkelanjutan, meningkatkan daya saing, dan menjaga kepentingan bersama yang lebih jauh. Selain itu, struktur perusahaan yang dilakukan masih sangat sederhana. Manajemen usaha dan manajemen keuangan belum dilakukan secara terarah oleh pelaku UMKM. Hal ini dapat disebabkan oleh tingkat pendidikan responden yang rendah sehingga pemikirannya masih terbatas dan tidak terbuka. Pengusaha kecil cenderung enggan menanggung risiko akibat perubahan. Peran BDS (Business Development Service) menjadi penting di sini, untuk menjaga pengusaha yang bersedia bekerja sama mengadopsi perubahan untuk menjadi contoh berhasil (show case) bagi pengusaha lain di dalam sentra. Faktor Modal Sosial Modal sosial merupakan aset intangible (tidak berwujud) berupa rasa kepercayaan dan kebersamaan antar anggota UMKM. Faktor modal sosial merupakan faktor yang penting dalam mengembangkan suatu kerja bersama yang tidak hanya mengedepankan keuntungan semata tetapi lebih melihat pada arah kerja sama antar pelaku UMKM untuk meningkatkan skala usahanya. Namun pada kenyataannya, nilai modal sosial di Desa Dramaga hanya mampu berkontribusi sebesar 59% sebagai faktor pembentuk klaster. Nilai ini merupakan nilai terkecil diantara faktor lainnya yaitu 177. Rentang nilai modal sosial dapat dilihat pada Tabel 13 berada dalam rentang skala 156-203 pada kategori ragu-ragu (Lampiran 12). Tabel 13 Skala penilaian pada faktor modal sosiala Kategori penilaian Sangat tidak setuju Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat setuju a Sumber : Diolah penulis (2013)
Rentang skala 60-107 108-155 156-203 204-251 252-298
Nilai modal sosial masing-masing pelaku UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga masih sangat kecil. Sebagian besar pelaku pengusaha pala lebih menyukai untuk melakukan kegiatan usahanya secara mandiri, khususnya untuk pelaku usaha dalam skala menengah. Rasa kebersamaan mereka masih sangat rendah karena lebih mengutamakan keuntungan individu saja dan masih menganggap UMKM yang lain sebagai pesaing bukan mitra bisnis yang saling menguntungkan. Diperlukan kegiatan bersama di luar aktivitas bisnis seperti pengajian, arisan, atau perkumpulan lainnya yang dapat meningkatkan nilai modal sosial.
45
Skema Klaster Industri Pengolahan Pala Klaster industri adalah sejumlah perusahaan dan lembaga yang terkonsentrasi pada suatu wilayah, serta saling berhubungan dalam bidang yang khusus, dan mendukung persaingan. Klaster industri dapat dipandang sebagai suatu sistem. Para pelaku (stakeholders) dalam suatu klaster industri biasanya dikelompokkan menjadi industri inti, pemasok, pendukung, terkait, dan pembeli. Salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan klaster industri adalah keterlibatan banyak pihak yang menunjang aktivitas klaster. Industri terkait yang terlibat dalam klaster pengolahan pala adalah lembaga pendidikan, pemerintah, asosiasi, lembaga keuangan, LSM, koperasi, dan lembaga lainnya yang dapat menunjang kegiatan aktivitas klaster. Desa Dramaga dapat bekerja sama hingga lintas daerah untuk menunjang aktivitas bisnisnya. Melalui pembentukan sistem klaster UMKM di Desa Dramaga diharapkan dapat mendorong desa lainnya di Kabupaten Bogor untuk berspesialisasi pada produk tertentu sesuai dengan keahliannya. Namun sebuah klaster tidak akan berhasil, jika dua syarat berikut ini tidak terpenuhi. Pertama, kerja sama antar sesama UMKM di dalam klaster itu harus kuat dalam produksi, pengadaan bahan baku, pemasaran, inovasi, dan lain-lain. Hal ini sangat penting karena banyak klaster industri kecil di Indonesia yang dari dulu hingga sekarang ini tidak berkembang, walaupun ada bantuan dari pemerintah dalam bentuk pengadaan UPT dan laboratorium. Hal ini disebabkan tidak adanya kerja sama antar pengusaha di klaster-klaster tersebut, karena masing-masing pengusaha berjalan sendiri. Mereka berada dalam klaster hanya karena mereka penduduk di desa yang sama tetapi tidak memfungsikan klaster seperti seharusnya, yakni menciptakan keuntungan ekonomi aglomerasi. Untuk mengembangkan jaringan kerjasama internal ini, diperlukan bantuan dari pihak luar, yaitu pemerintah atau universitas setempat. Kedua, klaster tersebut harus menjalin kerja sama yang kuat dengan semua yang berkepentingan dengan pengembangan klaster itu, seperti lembagalembaga pemerintah, perguruan tinggi, bank, UB, dan lainnya. Banyak sentra UMKM di Indonesia tidak mempunyai jaringan kerja eksternal dengan misalnya bank setempat, UB, dan universitas setempat. Tidak akan ada artinya sebuah klaster, jika tidak memiliki jaringan kerja eksternal dengan stakeholder tersebut. Jadi dalam program pengembangan klaster UMKM, sasaran utamanya adalah pengembangan teknologi, SDM, inovasi, pengembangan subcontracting dengan industri besar, promosi dan pemasaran, pengembangan jaringan kerja internal dan eksernal. UMKM yang ada di Desa Dramaga merupakan salah satu sentra pengolahan pala yang aktif. Walaupun jumlahnya sedikit, namun kontribusinya cukup besar karena tidak banyak yang bergerak dalam bidang tersebut. Hal inilah yang menyebabkan UMKM pengolahan pala potensial untuk dikembangkan sebagai sebuah klaster sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukannya perlu dikaji. Adapun implikasi setelah mengkaji faktor-faktor pembentuk klaster adalah dapat membentuk suatu skema klaster industri pengolahan pala yang dapat dilihat pada Gambar 8.
46
Forum daya saing Working group Fasilitator klaster
Pemerintah
Biji Pala Faktor Input Bahan baku (Budidaya tanaman pala) Bahan penolong (gula, garam, Natrium bisulfit, dll) Alat dan mesin produksi
Lembaga pendidikan
Koperasi
Konsumen
Fuli Eksportir
Pasar LN
Distributor
Pasar DN
Klaster Industri Pengolahan Pala Daging
Daging buah : Manisan, sirup, selai, Jeli, permen, dll (Industri makanan) Lembaga Keuangan
Asosiasi
Gambar 8 Skema klaster industri pengolahan pala Dimodifikasi dari (Departemen Perindustrian 2009)
Industri inti pada klaster di Desa Dramaga adalah pengolahan daging buah pala dalam bentuk manisan dan sirup pala. Namun, industri inti ini masih dapat dikembangkan dalam olahan makanan lainnya seperti permen jeli, selai, dodol pala dan lain-lain. Selanjutnya, industri pemasok yang terlibat adalah industri hulu atau penyedia faktor input seperti pengadaan bahan baku (budidaya tanaman pala), pengadaan bahan penolong (gula, garam, pewarna makanan, Natrium bisulfit, gas elpiji), dan pengadaan alat-alat produksi serta komponen pendukung lainnya dalam pengolahan pala. Industri terkait dalam klaster dapat ditinjau berdasarkan pohon industrinya. Selain pengolahan daging buah pala, industri terkait dalam klaster ini adalah industri pengolahan biji pala yang terdiri dari 3 bagian yaitu fuli, daging biji, dan tempurung. Pengolahan fuli dan daging biji pala dapat menghasilkan minyak fuli, bungkil, oleoresin, mentega fuli, minyak pala, dan mentega pala yang dapat dimanfaatkan untuk industri makanan dan industri kosmetik. Sedangkan pengolahan tempurung biji pala dapat dimanfaatkan untuk industri kimia. Tentunya dalam mengembangkan keterkaitan industri ini diperlukan lembagalembaga seperti universitas dan lembaga R&D untuk memberikan penelitian dan pelatihan bagi pelaku UMKM. Stakeholder dalam industri pala dapat di lihat pada Tabel 14.
47
Tabel 14 Pelaku dan peran pengembangan klaster palaa Pelaku Peran Industri hulu (kelompok tani pala, - Melakukan budidaya untuk menjamin penyedia bahan penolong, dan alat kontinuitas bahan baku buah pala dalam produksi) memenuhi keperluan pengolahan industri - Penyedia bahan penolong dan alat produksi dapat dicari di sekitar daerah produksi karena pengolahan industri pala berada dekat dengan Pasar Dramaga Pemerintah (Dinas Perindustrian dan - Sebagai fasilitator untuk Perdagangan Kabupaten Bogor, Dinas mempertemukan pelaku klaster (forum KUMKM Kabupaten Bogor, Kantor daya saing), menyediakan infrastruktur, Kecamatan Dramaga, Kantor Desa menetapkan kebijakan, dan regulasi Dramaga) yang mendukung program klaster Industri besar (Industri yang terkait - Penyedia informasi, pemberi dana, dan dengan pengelolaan pala untuk penyedia pasar yang potensial untuk diversifikasi produk) UMKM pengolahan pala Perguruan tinggi (IPB) - Sebagai lembaga dinamisator untuk melakukan riset aplikatif dan menyediakan pekerja terampil Lembaga keuangan (bank maupun non - Sumber dana bagi kelangsungan bisnis bank) pengolahan pala berupa pemberian pinjaman untuk investasi dan modal kerja Koperasi dan BDS (Business - Sebagai lembaga pendamping dan Development Services) pemonitor kerja pada pihak-pihak yang terlibat di dalam klaster serta untuk pengembangan ide dan strategi klaster a
Sumber : Diolah penulis (2013)
Pengembangan klaster di suatu daerah membutuhkan dukungan dari semua pelaku, masyarakat daerah, dan berbagai lembaga terkait. Upaya ini juga membutuhkan proses yang berlanjut. Secara umum pengembangan klaster membutuhkan dukungan 3 pilar utama yaitu pemerintah, industri, dan perguruan tinggi. Pemerintah sebagai fasilitator memiliki peran yang penting khususnya pemerintah daerah. Selain regulasi, peran pemerintah daerah yang penting adalah mendorong terbentuknya asosiasi industri dan BDS. Pemerintah daerah juga dituntut berperan mempertemukan pelaku klaster di wilayahnya dengan institusi lain yang berperan penting. Diantaranya yang paling dibutuhkan adalah kalangan perbankan, investor, asosiasi tenaga kerja, dan asosiasi profesi (Hartanto 2004). Adanya asosiasi industri akan memudahkan pelaku usaha dalam menyampaikan aspirasinya sehingga dapat mendorong kerja sama dan menghilangkan kompetisi internal. Sedangkan BDS, merupakan badan independen yang berfungsi sebagai pendamping dan pemonitor dari aspirasi atau permasalahan yang dialami oleh UMKM dan pelaku klaster lainnya. BDS ini dapat berasal dari kalangan perguruan tinggi, lembaga penelitian atau
48
perusahaan yang berpengalaman dalam industri pengolahan pala, dimungkinkan juga lembaga koperasi yang mempunyai pengalaman di bidang terkait (Sulaeman 2006). Selain itu, dibutuhkan juga peningkatan peranan koperasi sebagai lembaga pemerintah yang terdapat di desa, terutama dalam penyediaan gula dan pemasaran produk (menggantikan peranan pedagang perantara). Peran perguruan tinggi dalam pengembangan klaster amat krusial. Perguruan tinggi dan lembaga riset lainnya diharapkan mampu meyediakan riset pengembangan bagi industri di dalam klaster. Riset ini baik dalam hak produk pemasaran, maupun proses produksi yang dapat meningkatkan daya saing. Perguruan tinggi juga dapat mendidik tenaga kerja untuk menggapai kualifikasi tertentu. Arah pengembangan perguruan tinggi harus disesuaikan dengan pola pengembangan industri yang ada. Contohnya pada IPB, melalui kerja sama dengan Fakultas Teknologi Pertanian dapat meneliti tentang industri pengolahan pala untuk mengembangkan diversifikasi produk berdasarkan pohon industri pala sehingga seluruh bagian buah pala dapat dimanfaatkan. Hubungan perguruan tinggi dan industri sangatlah erat. Perguruan tinggi menyediakan hasil riset aplikatif dan tenaga kerja terampil bagi industri. Sebaliknya industri menyediakan informasi khususnya menyangkut kebutuhan industri atas riset dan tenaga kerja serta menyediakan dana bagi perguruan tinggi. Untuk mendorong hubungan muatualisme yang lebih kuat di antara industri dengan perguruan tinggi diperlukan fasilitasi pemerintah. Pemda perlu memfasilitasi forum lintas pelaku khususnya untuk membangun komunikasi dengan perguruan tinggi dalam hal ini IPB. Dengan demikian arah pengembangan klaster menjadi terjaga dan berkelanjutan. Pola kerja sama antara pemerintah, IPB, dan industri pengolahan pala sendiri akan dapat terpetakan dan memiliki peran yang jelas. Intensitas hubungan dan interdependensinya akan mendorong klaster berkembang lebih dinamis.
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN 1. Desa Dramaga memiliki potensi untuk dijadikan sebagai klaster UMKM pengolahan pala. Aspek nonfinansial menunjukkan kegiatan produksi dan pemasaran masih dilakukan secara sederhana. Pada aspek SDM, tenaga kerja mudah untuk didapatkan karena berasal dari sekitar lokasi. Keberadaan usaha pengolahan pala memberikan dampak yang baik bagi aspek sosial ekonomi karena memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Selain itu, keberadaan usaha pengolahan pala tidak menimbulkan dampak yang buruk bagi lingkungan karena limbahnya tidak menganggu. Aspek finansial menunjukkan bahwa sumber modal didominasi oleh modal sendiri, manajemen keuangan yang dilakukan sebatas pencatatan keuangan sederhana. Jika dilihat melalui analisis keuntungannya, usaha manisan pala memiliki nilai keuntungan Rp7 130 239 dengan R/C rasio 1.55 dan sirup pala
49
memiliki rata-rata nilai keuntungan Rp205 771 dengan R/C rasio 1.42 sehingga usaha ini layak dijalankan karena menguntungkan. 2. UMKM pengolahan pala di Desa Dramaga termasuk ke dalam klaster tidak aktif. Hal ini dicirikan dengan tidak adanya interaksi antar anggota yang intensif karena modal sosial yang dimiliki sangat rendah. Tingkat persaingan yang ada begitu tinggi. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan klaster industri adalah faktor kondisi dengan nilai skor 552 (69.6%) serta faktor industri terkait dan pendukung dengan nilai skor 272 (68%). 3. Implikasi setelah mengkaji faktor-faktor tersebut adalah dapat merekomendasikan skema klaster yang memiliki keterkaitan industri hulu hingga hilir berupa subsistem agribisnis terpadu. Skema klaster terpadu tersebut dapat dikaji berdasarkan pohon industri pala yang ada. Terbentuknya suatu klaster membutuhkan peranan dari berbagai pihak yang saling mendukung dan terkait untuk meningkatkan daya saing UMKM.
SARAN Saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan beberapa hal berikut: 1. Menganalisis lebih lanjut terkait faktor-faktor pembentuk klaster industri dengan ruang lingkup teori serta wilayah yang lebih luas sehingga dapat menciptakan klaster industri yang aktif karena saling terkait. 2. Pengembangan klaster UMKM pengolahan pala perlu memperhatikan faktor modal sosial untuk meningkatkan hubungan kerja sama antar UMKM sehingga dapat membangun persaingan yang positif. 3. Diperlukan tindakan atau implementasi yang nyata dalam menciptakan suatu klaster industri baik dari pemerintah, perguruan tinggi dalam hal ini IPB, dan industri pengolahan pala sendiri untuk menciptakan klaster yang dinamis.
DAFTAR PUSTAKA Bachtiar Y, Fatah MA. 2004. Membuat Aneka Manisan Buah. Jakarta (ID): AgroMedia. Hlm 72-76 [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2013. Kabupaten Bogor dalam Angka 2012. Bogor (ID): BPS [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2012. [Internet] [diunduh Tanggal 10 April 2013]. Tersedia pada http://www.bogorkab.go.id/potensi-daerah/pertanian/ Cho DS, Moon HC. 2003. From Adam Smith To Michael Porter: Evolusi Teori Daya Saing. Jakarta (ID): Salemba Empat. Hlm 74. Daryanto A. 2007. Peningkatan Daya Saing Industri Peternakan. Jakarta (ID): PT.Permata Wacana Lestari (PWL)
50
Departemen Perindustrian. 2009. Buku II Pengembangan Klaster Industri Prioritas Industri Berbasis Agro Tahun 2010-2014. Jakarta (ID) : Dinas Perindustrian Departemen Perindustrian. 2009. Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Prioritas Industri Kecil dan Menengah Tertentu Tahun 2010-2014. Buku 6 Pengembangan Klaster Industri Prioritas untuk Periode 5 tahun ke depan. Jakarta (ID) : Dinas Perindustrian. Handayani NU, Jati PA, Susanty A. 2011. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Klaster Batik Pekalongan (Studi Kasus pada Klaster Batik Kauman, Pesindon, dan Jenggot). Didalam : Metris, Vol. 12 No. 2, September 2011: 71 – 82. [diunduh Tanggal 10 November 2012]. Tersedia pada http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/122117182_14113287.pdf Faktor-Faktor yang Handayani NU, Pratama AI, Santoso H. 2012. Memengaruhi Peningkatan Daya Saing Klaster Mebel di Kabupaten Jepara. Jurnal Teknik Industri, Vol 13 No.1 Februari 2012: 22-30 Hartanto A. 2004. Strategi Clustering dalam Industrialisasi Indonesia. Yogyakarta (ID): Andi. [Kemenkop dan UKM RI] Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Menurut UU No.20 Tahun 2008 Tentang UMKM. [diunduh Tanggal 15 Desember 2012]. Tersedia pada http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&i d=129 [Kemenkop dan UKM RI] Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. 2008. Kajian Efektivitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis. Jakarta (ID): KUKM Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya KUKM Lestari S. 2008. Efektivitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis. [diunduh Tanggal 13 November 2012]. Tersedia pada http://www.smecda.com/kajian/files/Jurnal_3_2008/02_Lestari.pdf [LP IPB] Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. 1990. Studi Pengembangan Industri Pala di Pedesaan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor). Bogor (ID): Fateta IPB Lusianah. 2009. Strategi dan Prospek Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak Pala dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Bogor. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor [Menegristek] Mentri Negara Riset dan Teknologi. 2000. Manisan Buah. [diunduh Tanggal 12 November 2012]. Tersedia pada: http://www.warintek.ristek.go.id/pangan/buah%20dan%20sayursayuran/manisan_buah.pdf Mulyati H, Putri EIK, Widyastutik. 2009. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan Klaster UMKM Alas Kaki Kota Bogor Berdaya saing. Jurnal Manajemen dan Agribisnis, Vol 7 no.1 Maret 2010: 16 – 25. Nugraha BP. Panduan Pengembangan Klaster Industri. Di dalam: Nugraha BP. Panduan Penyusunan Kerangka dan Agenda Pengembangan Klaster Industri. Pusat Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi. [diunduh
51
Tanggal 13 November 2012]. Tersedia pada http://forum.gin.web.id/download/Panduan_SID/klaster_industri.pdf Nurdjanah N. 2007. Teknologi Pengolahan Pala. [diunduh Tanggal 12 November 2012]. Tersedia pada http://pascapanen.litbang.deptan.go.id/assets/media/publikasi/juknis_pala. pdf Nurhayati M. 2011. Modul 7 Metode Penelitian Pemilihan Data (Sampel Penelitian). Jakarta (ID): Pusat Pengembangan Bahan Ajar UMB. Porter ME. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York (US): The Free Pr. Rismunandar. 1990. Budidaya dan Tataniaga Tanaman Pala. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung (ID): Alfabeta. Sulaeman S. 2006. Pengembangan Agribisnis Komoditi Rumput Laut Melalui Model Klaster Bisnis. Jakarta (ID): KUMKM Tambunan TH. 2001. Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang Kasus Indonesia. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia. Tambunan TH. 2009. UMKM di Indonesia. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia Taufik T. 2008. Diskusi Pengembangan Klaster Industri di Indonesia. Di dalam: Taufik T. Apa itu klaster Industri? [Internet]. [diunduh Tanggal 15 Desember 2012]. Tersedia pada http://klaster industri.blogspot.com/2008/12/apa-itu-klaster-industri.html Tasrifin M. 2011. KUMKM Modul 6 Pengembangan Sentra dan Produk Unggulan UMKM [internet]. [diunduh Tanggal 16 Desember 2012]. Tersedia pada http://tasrifin.dosen.narotama.ac.id/files/2011/05/ModulKUMKM-6-Pengembangan-Sentra-Produk-Unggulan-UMKM.pdf Wibowo Y. 2011. The Design of Sustainable Seaweed Industry Cluster Development Model [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
52
Lampiran 1 Profil industri pengusaha pala di Desa Dramagaa No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. a
Nama
Bahruddin Hafsah Memed Yeti Resni Rosi H.Idris Wida H.Odah Oneng
Alamat (RT/ RW)
L/ P
Umur (thn)
Tingkat pendidikan
Lama usaha (thn)
04/03 04/03 03/03 04/03 05/03 03/04 01/04 03/03 03/04 03/04
L P L P P P L P P P
53 51 83 46 48 52 60 30 63 64
SMP SD SMP SMK SD SD SD SMK SD SD
32 24 42 25 14 37 32 3 32 32
Modal
28 000 000 26 000 000 500 000 50 000 000 20 000 000 10 000 000 200 000 000 15 000 000 6 000 000 3 000 000
Volume produksi (minggu) Sirup Manisan pala pala (kg) (botol) 1200 700 12 2500 600 500 900 100 300 200 -
Sumber : Data primer (2013)
Lampiran 2 Penjualan rata-rata pengusaha manisan palaa Responden Bahrudin Yeti Rosi Resni Odah Idris Memed Hafsah Oneng Total penjualan Rata-rata penjualan a
Manisan pala basah 3 200 000 4 800 000 0 1 700 000 850 000 3 300 000 36 000 1 650 000 0 15 536 000
Jumlah Penjualan Manisan pala kering 20 000 000 46 200 000 9 500 000 10 000 000 5 000 000 14 000 000 220 000 12 600 000 4 200 000 121 720 000
1 726 222 .22 Total penjualan rata-rata (a)
Biji dan fuli 8 125 000 19 110 000 2 000 000 3 250 000 1 755 000 6 500 000 75 000 2 500 000 650 000 43 965 000
13 524 444.44
4 885 000 20 135 667
Sumber : Data primer (2013)
Lampiran 3 Biaya variabel rata-rata pengusaha manisan palaa Responden Bahrudin Yeti Rosi Resni Odah Idris Memed Hafsah Oneng Total Rata-Rata Harga satuan (Rp) Nilai (Rp) a
Buah pala (butir)
Gula (kg)
25 000 60 000 9 000 10 000 5000 20 000 200 11 500 3200 143 900 15 988.9 200 3 197 778
1800 2000 500 800 300 900 12 650 150 7 112 790.2
Garam (kg) 10 24 1.8 4 2 8 0.2 5 1.2 56.2 6.24
Uraian NaSo3 Pewarna (kg) makanan (ons) 2.7 2 6 5 0.8 1 1 1 0.5 0.5 2 1.5 0 0.15 2.5 1 0.5 0.3 16 12.45 1.78 1.38
10 000 2 000 12 000 7 902 222 12 489 21 333 Total biaya variabel rata-rata (b)
Sumber : Data primer (2013)
20 000 27 667
Plastik bungkus (kg) 30 75 15 18 9 21 0.3 15 6 189.3 21.03 25 000 525 833
Gas (tabung kecil) 6 8 3 4 2 5 0.5 4 2 34.5 3.83
TK harian (org)* 5 33 8 12 8 10 1 24 3 104 12
15 000 25 000 57 500 600 000 12 344 822
53
Lampiran 4 Biaya tetap rata-rata pengusaha manisan palaa Responden Bahrudin Yeti Rosi Resni Odah Idris Memed Hafsah Oneng TOTAL BIAYA Rata-Rata biaya a
Biaya penyusutan 103 819.44 110 763.89 44 305.56 40 798.61 18 263.89 156 111.11 15 833.33 100 000 43 055.56
Jumlah Biaya (Rp) TK tetap 750 000 900 000 300 000 450 000 300 000 900 000 300 000 900 000 300 000
Biaya listrik dll 40 000 50 000 20 000 25 000 10 000 30 000 5 000 25 000 7 500
632 951.39
5 100 000
212 500
566 667
23 611 660 606
70 328 Total biaya tetap rata-rata (c)
Sumber : Data primer (2013)
Lampiran 5 Nilai keuntungan rata-rata dan R/C rasio pengusaha manisan pala Keterangan Jumlah (Rp) Total penjualan 20 135 667 Total biaya produksi rata 13 005 428 Keuntungan rata-rata 7 130 239 R/C rasio 1.55
Lampiran 6 Analisis keuntungan pengusaha sirup pala di Desa Dramaga Uraian PENJUALAN Sirup pala TOTAL PENJUALAN BIAYA USAHA Biaya Tetap Biaya tenaga kerja tetap Biaya penyusutan investasi Biaya listrik dll Total Biaya Tetap Biaya Variabel Buah pala TK harian Gula Air Botol plastik Gas elpiji Total Biaya Variabel TOTAL BIAYA USAHA
Jumlah
Sumber: Data primer 2013
Total
100 botol
7 000
700 000
1 orang
25 000
25 000 18 229 10 000 53 229
30 kg 2 orang 18 kg 2 galon 100 buah 1 tabung kecil
1 000 25 000 10 000 13 000 1 400 15 000
30 000 50 000 180 000 26 000 140 000 15 000 441 000 494 229 205 771 1.42
Keuntungan R/C Rasio a
Jumlah Penerimaan dan Biaya Harga satuan (Rp)
54
Lampiran 7 Variabel-variabel yang mempengaruhi pembentukan klaster 1. Variabel dasar yang mempengaruhi faktor kondisi Dimensi Variabel Indikator Sumber daya alam : 1. Bahan baku tersedia dalam jumlah yang cukup menggambarkan kondisi dan mudah diperoleh sumber daya alam yang 2. Kualitas bahan baku sesuai dengan permintaan ada dalam memenuhi dan selera konsumen. kebutuhan bahan baku 3. Harga bahan baku yang digunakan sesuai. 4. Ketepatan waktu pengiriman bahan baku oleh pemasok 5. Keterbukaan pemasok dalam menerima masukan dari pengusaha pala Sumber daya manusia: menggambarkan kebutuhan tenaga kerja yang diinginkan oleh UMKM
6. Pekerja memiliki keterampilan sesuai dengan yang dipersyaratkan. 7. Tenaga kerja mudah diperoleh karena berasal dari sekitar lokasi usaha. 8. Pekerja mampu menghasilkan produk sesuai dengan target perusahaan (produktivitas yang tinggi). 9. Adanya program pelatihan atau magang untuk meningkatkan ketrampilan pekerja. 10.Upah tenaga kerja sesuai dengan UMR.
Sumber daya modal : 11.Faktor modal tidak menjadi kendala dalam menggambarkan sumber pengembangan usaha. permodalan dan 12.Pemanfaatan sistem pinjaman oleh UMKM oleh pemanfaatannya pihak ketiga (bank, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya) untuk meningkatkan usahanya Teknologi produksi : Menggambarkan ketersediaan alat produksi yang menunjang aktivitas UMKM
13.Jumlah alat dan mesin produksi yang digunakan sudah memadai. 14.Alat-alat atau mesin produksi yang digunakan sudah modern
Lokasi : menggambarkan 15.Kestrategisan letak klaster saat ini terhadap letak dari klaster pihak-pihak yang terkait (pasar grosir dan pusat terhadap pihak-pihak keramaian) terkait *Sumber: Handayani et al (2011)
Referensi
Woodward dan Guimares 2009*
Mulyati et al 2009
Mulyati et al 2009 Woodward dan Guimares 2008* Woodward dan Guimares 2008 *
Djamhari 2006*
55
2. Variabel dasar yang mempengaruhi faktor permintaan Dimensi Sumber permintaan
Variabel Indikator 1. Permintaan untuk pasar lokal/domestik tinggi 2. Permintaan untuk pasar luar negeri/ekspor tinggi Jumlah permintaan 3. Setiap tahunnya, terjadi peningkatan yang cukup signifikan atas permintaan dari dalam negeri terhadap produk olahan pala 4. Setiap tahunnya, terjadi peningkatan yang cukup signifikan atas permintaan dari luar negeri terhadap produk olahan pala Pengembangan pasar 5. UMKM mampu mampu mendorong terjadinya pasar pasar baru untuk produk olahan pala yang dihasilkan melalui peningkatan kualitas dan inovasi 6. Informasi pasar sangat memengaruhi produksi UMKM 7. Pelaku UMKM menggunakan pameran, surat kabar, atau leaflet untuk memperluas jaringan pasar 8. Kerjasama pemasaran diprlukan untuk memperkuat keterkaitan antar pelaku UMKM dengan industri 9. Pangsa produk sudah pasti sehingga tidak susah lagi untuk mencari konsumen 10. Rantai pemasarannya umumnya pendek dan sudah dirintis sejak lama *Sumber: Handayani et al (2011)
Referensi Woodward dan Guimares 2008* Woodward dan Guimares 2009*
Mulyati et al 2009
3. Variabel dasar yang mempengaruhi faktor strategi, struktur, dan persaingan perusahaan Dimensi Strategi perusahaan: srategi yang dijalankan oleh perusahaan untuk memenangkan persaingan
Variabel Indikator 1. Adanya jaringan internal atau kerja sama diantara industri sejenis 2. UMKM melakukan jaringan internal dengan bagian hulu seperti pemasok bahan baku, bahan penolong, dan alat-alat produksi 3. Terdapat jaringan internal antara pelaku UMKM dengan bagian hilir seperti distributor, agen, dan konsumen Persaingan usaha: tinggi 4. Terjadi persaingan yang sangat ketat antar rendahnya persaingan UMKM yang terjadi dalam 5. Iklim persaingan antar UMKM sangat tinggi industri pengolahan buah sehingga menciptakan lingkungan bisnis pala yang kurang sehat di dalam klaster Struktur usaha: struktur 6.Manajemen usaha sudah baik dengan yang sedang dijalankan dilakukan pembagian kerja UMKM atau keadaan 7. Manajemen keuangan telah dilakukan dengan UMKM saat ini baik, ada pencatatan keuangan yang memudahkan UMKM *Sumber: Handayani et al (2011)
Refrensi
Mulyati al 2009
et
Woodward dan Guimares 2009* Porter 1990
56
4. Variabel dasar yang mempengaruhi faktor industri pendukung dan terkait Dimensi Variabel Indikator Keterlibatan lembaga terkait 1. Adanya keterlibatan pemerintah atau instansi dan pendukung untuk terkait dalam pendampingan, pemasaran, dan meningkatkan kinerja pembiayaan UMKM. klaster 2. Kerjasama dengan Perguruan Tinggi maupun lembaga penelitian sangat menguntungkan bagi pengembangan UMKM. 3. Adanya keterlibatan asosiasi dalam pengembangan UMKM. 4. Adanya keterlibatan koperasi dalam pengembangan UMKM 5. Adanya keterlibatan pihak perbankan maupun non perbankan dalam pembiayaan UMKM. 6. Adanya keterlibatan universitas dalam penemuan baru (invention) maupun aplikasi teknologi dari penelitian. 7. UMKM dapat melakukan sistem hutangan untuk membeli bahan baku, bahan penolong, atau alat produksi 8. Masyarakat setempat sangat mendukung pengembangan UMKM sehingga tercipta simbiosis mutualisme, UMKM dengan mudah memperoleh sumber daya tenaga kerja.
Referensi
Mulyati al 2009
et
5. Variabel dasar yang mempengaruhi faktor modal sosial Dimensi Variabel Indikator Peranan modal sosial dalam 1. Kegiatan produksi adalah untuk mencapai meningkatkan kesejahteraan bersama, tidak hanya pengembangan klaster keuntungan semata tetapi dapat memberikan manfaat kepada masyarakat. 2. Kegiatan produksi tidak menghasilkan dampak negatif yang merugikan masyarakat banyak. 3. Adanya kegiatan bersama selain usaha bisnis yang dilakukan oleh pelaku UMKM seperti diselenggarakannya pengajian atau arisan bersama. 4. Adanya forum bersama (rembuk klaster) diantara pelaku UMKM. 5. Kerjasama dalam pembiayaan menguntungkan UMKM. 6. Adanya transparansi dan kejujuran merupakan kunci utama dalam pengembangan klaster.
Referensi
Mulyati al 2009
et
57
Lampiran 8 Perhitungan skor penilaian sikap responden pengusaha UMKM pala terhadap faktor kondisi oleh 10 responden No 1. 2. 3. 4. 5 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
15.
a
Indikator variabel Bahan baku tersedia dalam jumlah yang cukup dan mudah diperoleh Kualitas bahan baku sesuai dengan permintaan dan selera konsumen. Harga bahan baku yang digunakan sesuai. Ketepatan waktu pengiriman bahan baku oleh pemasok Keterbukaan pemasok dalam menerima masukan dari pengusaha pala Pekerja memiliki keterampilan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Tenaga kerja mudah diperoleh karena berasal dari sekitar lokasi usaha Pekerja mampu menghasilkan produk sesuai dengan target perusahaan (produktivitas yang tinggi). Adanya program pelatihan atau magang untuk meningkatkan ketrampilan pekerja Upah tenaga kerja sesuai dengan UMR Jumlah alat dan mesin produksi yang digunakan sudah memadai Alat-alat atau mesin produksi yang digunakan sudah modern Faktor modal tidak menjadi kendala dalam pengembangan usaha. Pemanfaatan sistem pinjaman oleh UMKM oleh pihak ketiga (bank, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya) untuk meningkatkan usahanya Kestrategisan letak klaster saat ini terhadap pihak-pihak yang terkait Total Skor Persentase Kategori
Total Skor 26 40 38 30 40 40 37 40 30 39 38 29 34 21
40 522 69.6% Setuju
Sumber : Data primer (2013)
Keterangan: Nilai skor tertinggi : 15x5x10 = 750 Nilai skor terendah : 15x1x10 = 150 Dimana: 15 = jumlah indikator variabel 5 dan 1 = skor tertinggi dan terendah 10 = jumlah responden Nilai selang : [(750-150) /5] -1 = 119
Skala penilaian : Kategori Penilaian Sangat tidak setuju Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat setuju
Dimana : 750 = skor maksimum, 150 = skor minimum, 5 = kategori pilihan (skor 1,2,3,4,5), dan 1= angka pengurang)
Rentang Skala 150-269 270-389 390-509 510-629 630-750
58
Lampiran 9 Perhitungan skor penilaian sikap responden pengusaha UMKM pala terhadap faktor permintaan oleh 10 responden No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
a
Indikator variabel Permintaan untuk pasar lokal/domestik tinggi Permintaan untuk pasar luar negeri/ekspor tinggi Setiap tahunnya, terjadi peningkatan yang cukup signifikan atas permintaan dari dalam negeri Setiap tahunnya, terjadi peningkatan yang cukup signifikan atas permintaan dari luar negeri Selalu melakukan inovasi dan peningkatan kualitas produk Informasi pasar sangat memengaruhi produksi UMKM Pelaku UMKM menggunakan pameran, surat kabar, atau leaflet untuk memperluas jaringan pasar Kerjasama pemasaran diperlukan untuk memperkuat keterkaitan antar pelaku UMKM dengan industri Pangsa pasar produk sudah pasti sehingga tidak susah lagi untuk mencari konsumen Rantai pemasaran umumnya pendek dan sudah dirintis sejak lama Total Skor Persentase Kategori
Total skor 39 16 39 16 42 35 30 36 38 38 329 65.8% Ragu- ragu
Sumber: Data primer 2013
Keterangan Skala penilaian: Nilai skor tertinggi : 10x5x10 = 500 Nilai skor terendah : 10x1x10 = 100 Kategori Penilaian Dimana: 10 = jumlah indikator variabel Sangat tidak setuju 5 dan 1 = skor tertinggi dan terendah Tidak setuju 10 = jumlah responden Ragu-ragu Nilai selang : [(500-100) /5] -1 = 79 Setuju Dimana : Sangat setuju 500 = skor maksimum, 100 = skor minimum 5=kategori pilihan(skor 1,2,3,4,5)dan 1=angka pengurang
Rentang Skala 100-179 180-259 260-339 340-419 420-500
Lampiran 10 Perhitungan skor penilaian sikap responden pengusaha UMKM pala terhadap faktor strategi, struktur, dan persaingan perusahaan oleh 10 respondena No. 1. 2.
Indikator variabel Adanya jaringan internal atau kerja sama diantara industri sejenis Terdapat jaringan internal antara pelaku UMKM dengan bagian hulu seperti pemasok bahan baku, bahan penolong, dan mesin-mesin 3. Terdapat jaringan internal antara pelaku UMKM dengan bagian hilir seperti distributor, agen, dan konsumen 4. Persaingan harga tidak ketat antar pelaku UMKM 5. Iklim persaingan baik sehingga menciptakan lingkungan bisnis yang sehat 6. Manajemen usaha sudah baik dengan dilakukan pembagian kerja 7. Manajemen keuangan telah dilakukan dengan baik, ada pencatatan keuangan yang memudahkan UMKM Total Skor Persentase Kategori a Sumber: Data primer 2013
Total skor 26 28 29 27 28 40 32 210 60% Ragu-ragu
59
Keterangan: Skala penilaian : Nilai skor tertinggi : 7x5x10 = 350 Kategori Penilaian Rentang Skala Nilai skor terendah : 7x1x10 = 70 Sangat tidak setuju 70-125 Dimana: 7 = jumlah indikator variabel Tidak setuju 126-181 5 dan 1 = skor tertinggi dan terendah Ragu-ragu 182-237 10 = jumlah responden Setuju 238-293 Nilai selang : [(350-70) /5] -1 = 79 Sangat setuju 294-350 Dimana : 350 = skor maksimum, 70 = skor minimum, 5 = kategori pilihan (skor 1,2,3,4,5) dan 1= angka pengurang
Lampiran 11 Perhitungan skor penilaian sikap responden pengusaha UMKM pala terhadap faktor industri terkait dan pendukung oleh 10 respondena No. 1.
Indikator variabel Adanya keterlibatan pemerintah atau instansi terkait dalam pendampingan, pemasaran, dan pembiayaan UMKM 2. Kerjasama dengan Perguruan Tinggi maupun lembaga penelitian sangat menguntungkan bagi pengembangan UMKM 3. Adanya keterlibatan asosiasi dan BDS dalam pengembangan UMKM 4. Adanya keterlibatan koperasi dalam pengembangan UMKM 5. Adanya keterlibatan universitas dalam penemuan baru (invention) maupun aplikasi teknologi dari penelitian 6. Adanya keterlibatan pihak perbankan maupun non perbankan dalam pembiayaan UMKM 7. UMKM bisa melakukan sistem hutangan untuk membeli bahan baku, bahan penolong, atau alat produksi 8. Masyarakat setempat sangat mendukung pengembangan UMKM sehingga tercipta simbiosis mutualisme, UMKM dengan mudah memperoleh sumber daya tenaga kerja Total Skor Persentase Kategori a Sumber: Data primer 2013
Total skor 37 39 26 24 33 36 32 45
272 68% Setuju
Keterangan: Skala penilaian : Nilai skor tertinggi : 8x5x10 = 400 Kategori Penilaian Rentang Skala Nilai skor terendah : 8x1x10 = 80 Sangat tidak setuju 80-143 Dimana: 8 = jumlah indikator variabel Tidak setuju 144-207 5 dan 1 = skor tertinggi dan terendah Ragu-ragu 208-271 10 = jumlah responden Setuju 272-335 Nilai selang : [(400-80) /5] -1 = 63 Sangat setuju 336-400 Dimana : 400 = skor maksimum, 80 = skor minimum, 5 = kategori pilihan (skor 1,2,3,4,5) dan 1= angka pengurang
60
Lampiran 12 Perhitungan skor penilaian sikap responden pengusaha UMKM pala terhadap faktor modal sosial oleh 10 Respondena No. 1.
Indikator variable Kegiatan produksi adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama, tidak hanya keuntungan semata tetapi dapat memberikan manfaat kepada masyarakat 2. Kegiatan produksi tidak menghasilkan dampak negatif yang merugikan masyarakat banyak 3. Adanya kegiatan bersama selain usaha bisnis yang dilakukan oleh pelaku UMKM seperti diselenggarakannya pengajian atau arisan bersama 4. Adanya forum bersama (rembuk klaster) diantara pelaku UMKM 5. Kerjasama dalam pembiayaan antar UMKM 6. Adanya transparansi dan kejujuran merupakan kunci utama dalam pengembangan klaster Total Skor Persentase Kategori a Sumber: Data primer 2013
Total skor 42
40 24
24 20 27 177 59% Ragu-ragu
Keterangan: Skala penilaian : Nilai skor tertinggi : 6x5x10 = 300 Kategori Penilaian Rentang Skala Nilai skor terendah : 6x1x10 = 60 Sangat tidak setuju 60-107 Dimana: 6 = jumlah indikator variabel Tidak setuju 108-155 5 dan 1 = skor tertinggi dan terendah Ragu-ragu 156-203 10 = jumlah responden Setuju 204-251 Nilai selang : [(300-60) /5] -1 = 47 Sangat setuju 252-298 Dimana : 300 = skor maksimum, 60 = skor minimum, 5 = kategori pilihan (skor 1,2,3,4,5) dan 1= angka pengurang
61
Lampiran 13 Riwayat Hidup
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 26 Februari 1991 dari ayah M.Fatchi, SE dan ibu Neti Sunarti. Penulis adalah putri kelima atau putri bungsu dari 5 bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bandar Lampung dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen angkatan 46. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa organisasi kampus yaitu pada tahun 2009-2010 menjadi Penyiar Agri FM Radio IPB, Bulan Mei 2011 menjadi pengajar pada BEM FEM SOUL (Solidarity of Our Children) di SD yang ada di Desa Cihideung Udik. Bulan April hingga November 2013 penulis tergabung dalam English Community of FEM (ECF). Penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi mahasiswa daerah Lampung. Selain itu, pada tingkat kuliah pertama, ketiga, hingga saat ini penulis mendapatkan beasiswa PPA IPB. Penulis juga aktif mengikuti berbagai organisasi yang diadakan dikampus seperti pada kegiatan Olimpiade Mahasiswa IPB pada tahun 2010 menjadi staf medis. Selain itu, pada tahun 2013 penulis pernah mengikuti penelitian dari lembaga KOMPAS sebagai surveyor dalam pembangunan daerah Jawa Barat.