ANALISIS KINERJA FISKAL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Oleh : LAELATI NURFITRIANI H14080067
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN
LAELATI NURFITRIANI. Analisis Kinerja Fiskal dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketahanan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. (dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI). Pembangunan suatu negara banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari segi keamanan, politik maupun dari adanya isu ketahanan pangan. Masalah ketahanan pangan menjadi perhatian bagi setiap negara baik negara maju maupun negara yang masih berkembang. Keadaan ketahanan pangan amat erat kaitannya dengan kemiskinan. Ketahanan pangan dan kemiskinan merupakan dua sisi mata uang, dimana karena miskin maka tidak dapat mencapai keadaaan tahan pangan dan sebaliknya karena tidak tahan pangan maka menyebabkan kemiskinan. Indonesia dalam Millenium Development Goals (MDGs) berupaya dalam menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya dia bawah US$ 1 per hari dan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya pada tahun 2015 sebagai upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan. Pemberlakuan desentralisasi fiskal pada awal tahun 2001 membuat adanya perubahan dalam sistem yang dianut Indonesia dari sistem sentralistik menjadi sistem desentralistik. Pelaksanaan otonomi daerah merupakan implementasi UU No. 22 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang telah dirubah menjadi UU No. 34 dan UU No 33 Tahun 2004 yang berada di daerah kabupaten/kota. Dalam pelaksanannya desentralisasi fiskal memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah dalam mengelola potensi yang terdapat di daerah asalnya. Perubahan pola anggaran yang diberikan dapat berpengaruh terhadap kinerja fiskal yang terjadi di suatu daerah. Kinerja fiskal dapat dilihat dari Derajat Otonomi Fiskal (DOF) dan posisi fiskal yang dihitung dari besarnya kapasitas fiskal terhadap kebutuhan fiskal. Selama periode 2003-2010 Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami peningkatan dalam transfer dana dari pusat maupun pengeluaran pemerintah daerah. Dengan adanya desentralisasi fiskal terjadi kebebasan oleh pemerintah daerah untuk mengelola sumber-sumber keuangan dan peningkatan sarana publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, dengan penetapan desentralisasi fiskal yang berpengaruh dalam kinerja fiskal diharapkan juga dapat berpengaruh dalam upaya peningkatan ketahanan pangan. Penelitian ini mempunyai tiga tujuan. Pertama, mengkaji kinerja fiskal pasca penetapan otonomi daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kedua, mengkaji keterkaitan antara derajat otonomi fiskal dan ketahanan pangan yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ketiga, mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan pada penerapan otonomi daerah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder penggabungan data time series delapan tahun tahun 2003-2010 dan cross section 15 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dianalisis dalam model regresi data panel dengan metode Fixed Effect, dan uji korelasi antara derajat otonomi fiskal dengan ketahanan pangan dengan alat analisis yang digunakan adalah Eviews 6 dan Ms. Excel.
Hasil penelitian menggunakan analisis deskriptif menunjukkan bahwa DOF dilihat dari rasio PAD terhadap total penerimaan daerah yang ada di setiap kabupaten/kota masih memiliki kriteria sangat kurang yaitu berkisar antara 0-10% di setiap kabupaten/kota. Sedangkan posisi fiskal menunjukkan terdapat beberapa daerah memiliki posisi fiskal yang kuat. Kota Kupang merupakan daerah dengan posisi fiskal paling kuat karena merupakn sentra perekonomian dan pemerintahan yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Uji korelasi antara Derajat Otonomi Fiskal dengan ketahanan pangan menunjukkan hasil yang positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa fiskal daerah yang semakin terdesentralisasi berkorelasi positif dengan penduduk yang tidak tahan pangan. Hasil penelitian dengan menggunakan metode regresi data panel menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan adalah Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), pendapatan per kapita, luas lahan panen dan jumlah produksi padi. Namun dalam lima variabel tersebut terdapat dua variabel yang tidak sesuai dengan hipotesis awal yaitu DAU dan luas lahan panen. Ketidaksesuain DAU disebabkan pengalokasian DAU lebih banyak digunakan untuk belanja pegawai dibandingkan dengan belanja modal yang memiliki manfaat langsung untuk masyrakat. Sedangkan luas lahan panen dikarenakan banyaknya jumlah lahan kritis yang ada di NTT yang menyebabkan kurang berkembangnya sektor pertanian sehingga produktivitas pertanian semakin kecil yang berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat sebagai sektor utama mata pencaharian penduduk. Berlakunya desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan kinerja fiskal yang diikuti dengan peningkatan ketahanan pangan. Adanya hubungan yang positif antara derajat otonomi fiskal dan jumlah penduduk yang tidak tahan pangan membuat pemerintah harus mengkaji kebijakan-kebijakan yang berperan langsung dalam upaya peningkatan ketahanan pangan. Pemerintah daerah juga diharapkan dapat mengalokasikan sumber penerimaan seperti DAU dan pengeluaran pemerintah kepada kebutuhan masyarakat langsung. Sehingga adanya peningkatan sumber penerimaan dari pemerintah pusat dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah dapat berupaya meningkatkan kemampuan dan kemandirian daerah dalam menggali potensi pendapatan asli daerah, peningkatan pendapatan perkapita dan jumlah produksi padi dalam upaya peningkatan ketahanan pangan. Keterbatasan dalam penelitian yaitu ketahanan pangan yang diukur dengan jumlah penduduk tidak tahan pangan yang mengkonsumsi kalori dibawah 2100 kkal/kapita/hari dengan unit pengamatan dalam kabupaten dan kota.
ANALISIS KINERJA FISKAL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Oleh : LAELATI NURFITRIANI H14080067
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama
: Laelati Nurfitriani
Nomor Registrasi Pokok
: H14080067
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Kinerja Fiskal dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketahanan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Wiwiek Rindayati NIP. 1962 0816 198701 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dedi Budiman Hakim Ph.D NIP. 1964 1022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, April 2012
Laelati Nurfitriani H14080067
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Laelati Nurfitriani lahir pada tanggal 16 April 1990 di Jakarta. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Ayahanda Rahlan Damhudi dan Ibunda Etty Herawti. Jenjang pendidikan penulis dilalui dari TK Aisyah 49, SDN 08 Pagi Jakarta dan SLTP N 99 Jakarta, lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 21 Jakarta Timur dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi setelah menerima Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis mendapatkan beasiswa Karya Salemba Empat selama dua periode tahun 2010-2012. Selama penulis menjalani studi, penulis aktif dibeberapa kepanitiaan baik pada tingkat kampus maupun fakultas. Selain itu, penulis juga aktif di organisasi Himpro HIPOTESA FEM IPB.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang berkat rahmat dan rahin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Kinerja Fiskal dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketahanan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dapat diselesaikan berkat semangat, bimbingan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Pahlawan yang luar biasa Ayah dan Ibu yang telah memberikan semangat, dukungan, perhatian, kasih sayang dan doa yang tiada henti kepada penulis selama ini. 2. Ibu Dr. Wiwiek Rindayati selaku pembimbing skripsi, yang telah memberikan perhatian, bimbingan dan saran baik secara teoritis maupun secara teknis serta memberikan pembelajaran yang berguna dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik. 3. Ibu Dr. Yeti Lis Purnama Dewi selaku dosen penguji utama atas saran, kritik, dan masukan yang sangat membantu dan berarti dalam proses perbaikan skripsi ini. 4. Ibu Ir. Dewi Ulfah Wardani MSi selaku penguji komisi pendidikan atas saran, kritik, dan masukan yang berarti tentang tata cara penulisan demi menyempurnakan penulisan skripsi ini. 5. Keluarga tercinta: kakak (Fajar Purnama Putra) dan adik (Faradila Zahara) yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dukungan serta doanya yang tiada henti. 6. Segenap dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan pembelajaran dalam disiplin ilmu yang bermanfaat bagi kemajuan belajar saya. 7. Segenap Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi yang dengan sabar membantu segala proses administrasi terkait.
8. Teman-teman Ilmu Ekonomi 45 (Tere, Nisa, April, Tika, Retno) serta teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu- persatu yang telah memberi banyak kenangan dan bantuan selama ini. 9. Keluarga terbaik penghuni Pondok Putri Rahmah lantai dua, Sarah, Ririn, Rivi, Ningrum, Ka Vitria, Diska, Fiqa, Ipit, Ika, Yuni, Muti, Ka Ratna atas semua dukungan, keceriaan, persahabatan dan kekeluargaannya selama ini. 10. Teman-teman satu bimbingan Risma, Fajar, Asep dan Sinta atas semangat dan dukungannya. 11. Yayasan Karya Salemba Empat sebagai pemberi beasiswa selama dua periode yang telah membantu dalam memenuhi kebutuhan materi dalam penelitian ini. 12. Rudy Kusdiantara atas semangat dan dukungannya serta sahabat penulis (Rizka Permana Putri dan Ria Tristya Amalia) dalam dukungan dan doa selama ini. 13. Semua pihak yang telah membantu penyelesain skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka dalam saran dan kritik dan pertanyaan-pertanyaan mengenai skripsi ini. Akhir kata penulis mengharapkan semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang berkaitan.
Bogor, April 2012
Laelati Nurfitriani H14080067
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL ....................................................................................................x DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xii
I.
PENDAHULUAN ............................................................................................1 1.1 Latar Belakang ..........................................................................................1 1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................7 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................9 1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................................9 1.5 Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................10
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................11 2.1 Konsep dan Pengertian Desentralisasi ....................................................11 2.2 Konsep Desentralisasi Fiskal ..................................................................12 2.3 Konsep Kinerja Fiskal .............................................................................16 2.4 Kebijakan Fiskal Untuk Pembangunan Ekonomi ...................................19 2.5 Konsep dan Indikator Ketahanan Pangan ...............................................22 2.6 Peranan Pemerintah.................................................................................25 2.7 Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah ......................................................27 2.8 Penelitian Terdahulu................................................................................29 2.9 Kerangka Pemikiran ................................................................................34 2.10 Hipotesis Penelitian.................................................................................35 III. METODE PENELITIAN ................................................................................37 3.1 Jenis dan Sumber Data.............................................................................37 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................38 3.3 Metode Analisis .......................................................................................38 3.3.1 Metode Analisis Deskriptif ............................................................38 3.3.2 Metode Analisis Regresi Panel Data..............................................41
3.4 Pengujian Model ......................................................................................44 3.4.1 Uji Chow Test ...............................................................................44 3.4.2 Uji Hausmant Test ........................................................................45 3.4.3 Koefisien Determinasi (R2) ...........................................................46 3.4.4 Uji F ..............................................................................................46 3.4.5 Uji T ..............................................................................................47 3.5 Uji Pelanggaran Asumsi ..........................................................................47 3.5.1 Multikolinearitas ...........................................................................48 3.5.2 Autokorelasi ..................................................................................48 3.5.3 Heteroskedastsitas .........................................................................49 3.5.4 Uji Normalitas ..............................................................................49 IV. GAMBARAN UMUM ...................................................................................51 4.1 Kondisi Umum ........................................................................................51 4.1.1 Geografis .......................................................................................51 4.1.2 Topografi dan Klimatologi ............................................................51 4.2 Keadaan Perekonomian ...........................................................................52 4.3 Kondisi Fiskal Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur .......53 4.4 Kondisi Ketahanan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur ...............56 4.4.1 Produksi .........................................................................................57 4.4.2 Akses Terhadap Pangan .................................................................59 4.4.3 Konsumsi dan Pengeluaran Rumah Tangga ..................................61 V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..............................................65 5.1 Kinerja Fiskal ..........................................................................................65 5.1.1 Analisa Derajat Otonomi Fiskal .....................................................65 5.1.2 Analisa Posisi Fiskal ......................................................................68 5.2 Keterkaitan Derajat Otonomi Fiskal dengan Ketahanan Pangan ............70 5.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketahanan Pangan ............................72 5.3.1 Pengujian Model Terbaik ...............................................................72 5.3.2 Evaluasi Model...............................................................................74 5.3.3 Dana Alokasi Umum ......................................................................76 5.3.4 Pendapatan Asli Daerah .................................................................78 5.3.5 Pengeluaran Pemerintah .................................................................79
5.3.6 Pendapatan Perkapita .....................................................................81 5.3.7 Banyaknya Fasilitas Kesehatan ......................................................82 5.3.8 Luas Lahan Panen ..........................................................................83 5.3.9 Jumlah Produksi Padi .....................................................................84 5.4.10 Pendidikan Tamat SMP.................................................................85 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................87 6.1 Kesimpulan ..............................................................................................87 6.2 Saran.........................................................................................................88
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................90
LAMPIRAN ..........................................................................................................93
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.1 Persentse penduduk miskin dan garis kemiskinan di beberapa provinsi .........4 3.1 Jenis dan sumber data penelitian .....................................................................37 3.2 Kerangka Identifikasi Autokorelasi ................................................................49 4.1 Perkembangan PDRB NTT .............................................................................52 4.2 Produktivitas tanaman padi di berbagai provinsi tahun 2006- 2010 (Ku/Ha). ...........................................................................................................................57 4.3 Persentase rumah tangga dengan akses yang sangat terbatas terhadap sarana pelayanan kesehatan tahun 2007 .....................................................................61 5.1 Kriteria Derajat Otonomi Fiskal......................................................................66 5.2 Rata-rata Perkembangan Derajat Otonomi Fiskal Kabupaten/Kota Tahun 2003-2010 .......................................................................................................66 5.3 Rata-rata Kapasitas Fiskal dan Kebutuhan Fiskal Kabupaten/Kota Tahun 2003-2010 .......................................................................................................69 5.4 Uji Hausman Test ............................................................................................73 5.5 Hasil Pengujian Fixed Effect Model ...............................................................73 5.6 Hasil Uji Normalitas model ketahanan pangan ...............................................74 5.7 Realisasi pengeluaran Provinsi NTT tahun 2006-2010 (Ribu Rupiah) ..........80
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
2.1 Kerangka Pemikiran ........................................................................................34 4.1 Peta Kerentanan Rawan Pangan Nusa Tenggara Timur .................................56 4.2 Rata-rata konsumsi kalori dan protein tahun 1996, 1999, 2002 dan 2005 (%) ...........................................................................................................................62 4.3 Persentase rata-rata pengeluaran per kapita penduduk NTT menurut kelompok barang tahun 2010 ...........................................................................................64 5.1 Trend Derajat Otonomi Fiskal, PAD terhadap total penerimaan(%) ..............67 5.2 Perbandingan PAD dan DAU tahun 2003-2010 .............................................71 5.3 Alokasi DAU terhadap belanja pegawai dan belanja modal tahun 2003-2010 ...........................................................................................................................76
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1 Hasil Pehitungan Derajat Otonomi Fiskal Kabupaten/Kota Tahun 2003-2010 ...........................................................................................................................94 2 Hasil Perhitungan Kapasitas Fiskal dan Kebutuhan Fiskal Kabupaten/Kota Tahun 2003-2010 ..............................................................................................95 3 Korelasi Ketahanan Pangan dengan Derajat Otonomi Fiskal ...........................97 4 Hasil Pemilihan Model Terbaik ........................................................................98 5 Hasil Estimasi Pengujian Fixed Effect Model ................................................100 6 Hasil Pengujian Normalitas ...........................................................................101 7 Hasil Pengujian Heteroskedastisitas ...............................................................101
1
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia memiliki jumlah penduduk sekitar 230 juta dengan beraneka
ragam budaya, sosio-ekonomi dan letak geografis menduduki peringkat 107 dari 177 negara untuk Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index tahun 2008). Keadaan perekonomian pasca krisis ekonomi tahun 1998 menimbulkan permasalahan kemiskinan, kerawanan pangan dan gizi yang cukup besar antar provinsi dan kabupaten di Indonesia. Permasalahan ini mendorong Indonesia untuk menandatangani World Food Summit (1996) dan Millennium Declaration (2000), sebagai upaya untuk memperkuat tujuan dari Millennium Development Goals (MDGs), yaitu menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah US$ 1 per hari dan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya pada tahun 2015 (FSVA, 2009). Kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan dua sisi mata uang, dimana karena miskin maka tidak dapat mencapai keadaan tahan pangan dan sebaliknya karena keadaan tidak tahan pangan maka menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks yang membutuhkan intervensi multi sektoral secara terintegrasi dan terkoordinasi. Kebutuhan dasar berupa pangan merupakan hak setiap manusia untuk dapat tercukupi pemenuhannya. Masalah pangan adalah masalah yang kompleks yang membutuhkan perhatian lebih karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Ketahanan pangan dapat menjadi tolak ukur suatu negara dalam menciptakan stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan nasional. Kondisi
2
terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga dapat tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, kemudahan akses dalam menjangkau, dan merata keseluruh masyarakat. Kebutuhan pemenuhan pangan menyebabkan terjadinya disintegrasi bangsa sehingga pencapaian kondisi ketahanan pangan harus diperjuangkan. Menurut Saliem (2004) pengelolaan ketahanan pangan diperlukan baik ditingkat nasional, daerah maupun ditingkat rumah tangga sehingga dapat meminimalisir kerawanan pangan yang terjadi. Kerawanan pangan yang terjadi di beberapa daerah menunjukkan adanya pola konsumsi gizi yang kurang merata di beberapa daerah terutama daerah yang sulit diakses dalam transportasi. Ketimpangan
pemerataan
pendistribusiaan
bahan
pangan
menyebabkan
masyarakat di daerah tertinggal kurang mengkonsumsi pola pangan yang dianjurkan dalam pemenuhan gizi yang seimbang. Selain itu pemenuhan kebutuhan dan akses pangan yang buruk dapat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia. Undang-Undang pangan No 7 tahun 1996 telah mengatur kecukupan dan ketersediaan pangan yang dimaksudkan untuk kesejahteraan masyarakat. Selain itu UU ini juga mengatur pemenuhan pangan dari mulai produksi, pengelolaan hingga penyaluran pangan kepada masyarakat. Menurut standar norma gizi Widya Karya Pangan dan Gizi VIII tahun 2004 yaitu ketersediaan energi dibutuhkan sebesar 2200 kkal per kapita per hari dan ketersediaan protein sebesar 57 gram per kapita per hari. Dalam kenyataannya ketersediaan energi dan protein itu belum dapat dipenuhi secara maksimal yang disebabkan sulitnya menjangkau akses dari setiap individu rumah tangga dan kendala ekonomi. Saat ini kecukupan konsumsi
3
energi yang direkomendasikan sebesar 2000 kkal per kapita per hari dan kecukupan konsumsi protein adalah 52 gram per kapita per hari (Rindayati, 2009). Keadaan ketahanan pangan dapat menggunakan perhitungan kemiskinan dengan pendekatan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan ditetapkan 2100 kilo kalori perhari sebagai batas kemiskinan (TNP2K, 2012). Kondisi ekonomi yang tidak mapan membawa dampak terhadap ketidakmampuan dalam menyediakan kebutuhan pangan yang cukup bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Ketahanan pangan memiliki keterkaitan dengan penduduk miskin yang memiliki keterbatasan dalam akses pangan baik dari segi konsumsi maupun segi pengeluaran untuk bahan pangan. Pemerintah melakukan upaya dengan melakukan pemetaan wilayah rawan pangan di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengentasan daerah rawan pangan sehingga dapat mempermudah akses perbaikan daerah tersebut. Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi sebelah timur Indonesia yang terindikasi memiliki tingkat ketahanan pangan yang rendah. Ketahanan pangan dapat dilihat dari ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan tingkat konsumsi pangan. Dalam analisis Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (2009) terdapat 65 kabupaten yang memiliki 30 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan nasional. NTT merupakan provinsi yang memiliki jumlah kabupaten terbanyak ketiga setelah Papua dan Maluku yaitu sebanyak 7 kabupaten yang memiliki 30 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
4
Tabel 1.1 Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan di Beberapa Provinsi
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Jawa Tengah Nusa Tenggara Timur Maluku Papua Indonesia Sumber : BPS, 2010
2009
2010
% Penduduk (Rp) Garis Miskin Kemiskinan 21.8 261.898 17.72 182.515 23.31 156.191 28.23 199.596 37.53 246.225 14.15 200.262
% Penduduk (Rp) Garis Miskin Kemiskinan 20.98 278.389 16.56 192.435 23.03 175.308 27.74 226.030 36.8 259.128 13.33 211.726
Dalam tabel 1.1 diperlihatkan bahwa tingkat kemiskinan di NTT menempati urutan ketiga dibandingkan provinsi lainnya, namun dilihat dari garis kemiskinan NTT memiliki nilai terendah yaitu sebesar Rp 175.308 yang masih jauh dibandingkan rata-rata nasional sebesar Rp 211.726 dan penurunan persentase penduduk miskin hanya sebesar 0,28 persen dari tahun 2009 ke 2010, yang tergolong kecil dibandingkan penurunan persentase jumlah penduduk miskin di provinsi lainnya. Sebagian besar wilayah Indonesia bagian timur kurang cocok untuk lahan pertanian pangan. Keadaan geografis yang kurang mendukung dan iklim yang semi arid membuat wilayah NTT didominasi oleh lahan kering, sehingga berdampak pada tingkat ketahanan pangan daerah. Selain pemetaan wilayah strategi lain yang digunakan pemerintah adalah dengan melakukan pemberlakuan kebijakan desentralisasi fiskal yang juga pemberlakukan otonomi daerah yang terjadi mulai awal tahun 2001. Peraturan yang berkaitan dengan desentralisasi fiskal terdapat pada Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang No 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Kedua UU tersebut
5
telah dirubah menjadi Undang-Undang No 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No 33 Tahun 2004. Dalam pelaksaannya desentralisasi fiskal memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah dalam mengelola potensi yang terdapat di daerah asalnya. Kebijakan fiskal pada dasarnya merupakan instrumen pemerintah yang penting dalam sistem perekonomian. Dalam sisi penerimaan, terjadi peningkatan dana transfer oleh pemerintah daerah yang bisa digunakan dalam pemenuhan kebutuhan belanja masyarakat. Sedangkan dari sisi pengeluarannya, pemerintah daerah dapat menggunakan anggaran yang ada dalam menyediakan barang dan jasa publik sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat sehingga terjadi efisiensi dalam pembelanjaan daerah. Selain itu pemberlakuan desentralisasi fiskal dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah masing-masing. Pemberlakuan desentralisasi fiskal diharapkan agar pemerintah daerah lebih efektif
dan mapan dalam peningkatan pelayanan publik, peningkatan
perekonomian, dan perluasan lapang kerja yang akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemberlakuan Undang-undang No. 25 tahun 1999 diteruskan melalui Keputusan Presiden nomor 181 tahun 2000 tentang Dana Alokasi Umum (DAU) daerah provinsi dan kabupaten/kota tahun anggaran 2001 telah ditetapkan besarnya DAU untuk masing-masing kota/kabupaten. Jumlah DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Selain DAU, pemerintah pusat juga memberikan transfer kepada pemerintah daerah
6
berupa DAK (Dana Alokasi Khusus) untuk pemenuhan kebutuhan yang tidak bisa dilengkapi oleh DAU. Penerapan desentralisasi fiskal berdampak pada peningkatan sumber daya fiskal yang signifikan. Tantangan lain yang dihadapi NTT adalah rendahnya kapasitas fiskal, meskipun pengeluaran perkapita NTT (meliputi pengeluaran pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah pusat) berada pada tingkat menengah dalam perbandingan dengan provinsi lain, namun PDRB perkapitanya adalah yang paling rendah di Indonesia. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di NTT berhasil melakukan perbaikkan dalam komposisi pengeluaran pemerintah dengan mengalokasikan lebih banyak sumber daya di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Hal ini harus dibarengi dengan peningkatan
kualitas
pelayanan
publik
dan
kapasitas
perekonomian.
Perekonomian NTT relatif belum berkembang dan sumber daya alam yang sangat sedikit yang menyebabkan meningkatnya ketergantungan NTT pada transfer DAU dan DAK. Peningkatan ini terlihat dari komposisi pada penerimaan provinsi yang meningkat dari 83 persen pada tahun 2003 menjadi 86 persen di tahun 2007. Kontribusi PAD yang meskipun terus meningkat namun kontribusinya masih kecil pada anggaran (Analisa Pengeluaran Publik NTT, 2007). Lemahnya perekonomian daerah, tingginya kemiskinan, serta faktor iklim dan geografis yang cukup sulit membutuhkan keseriusan pemerintah daerah NTT untuk memanfaatkan sumber-sumber keuangan daerahnya secara optimal. Pentingnya rencana strategis dalam perspektif daerah dan pembelanjaan sumbersumber keuangan yang di transfer oleh pemerintah pusat secara efektif merupakan upaya dalam perbaikan kesejahteraan kehidupan masyarakat.
7
1.2
Perumusan Masalah Pemberlakuan desentralisasi fiskal yang diterapkan di Provinsi Nusa
Tenggara Timur dapat meningkatkan kinerja fiskal dan menggali potensi daerah secara optimal. Kinerja fiskal dapat dilihat dari derajat otonomi fiskal dan posisi fiskal. Hal ini dapat memberikan gambaran tentang kinerja fiskal yang ada di suatu daerah dengan melihat kontribusi dari PAD dan PDRB terhadap perekonomian daerah. Kurangnya kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah menyebabkan lemahnya tingkat kreativitas pemerintah daerah dalam menyelesaikan dan menghadapai tantangan kedepan. Kesiapan pemerintah daerah dalam melaksanakan sistem desentralisasi fiskal berupa penerimaan dana transfer dari pemerintah pusat menuntut adanya upaya dalam perbaikan anggaran yang digunakan. Selain itu pengoptimalan sumber – sumber keuangan lain seperti PAD yang merupakan indikator kemandirian daerah sangat diperlukan untuk menggali potensi-potensi yang ada di daerah seoptimal maungkin. Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai indikator kemandirian suatu daerah masih relatif kecil kontribusinya dari total penerimaan di NTT. Pertumbuhan PAD dalam kurun waktu 2003-2007 tidak dapat mengimbangi pertumbuhan sumber daya fiskal pemerintah daerah NTT. Meskipun jumlahnya meningkat sebanyak 29 persen pada periode 2003-2007, namun kontribusinya terhadap total penerimaan dapat dikatakan hampir tidak mengalami perubahan, hanya menyumbang sekitar 7 persen terhadap total penerimaan. Kondisi yang riil terjadi dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah masih rendahnya keadaan ketahanan pangan yang diperlihatkan dengan jumlah
8
penderita gizi buruk yang ada sebanyak 4.991 kasus pada tahun 2010 (NTT onlinenews, 2011) dan masih banyaknya kabupaten di NTT yang memiliki daerah rawan pangan yang tinggi yaitu sebanyak 6 kabupaten dari 15 kabupaten. Penurunan status gizi masyarakat mempunyai dampak terhadap kualitas sumber daya manusia sebagai penggerak perekonomian daerah. Tingginya kualitas sumber daya manusia mampu menciptakan produktivitas kerja yang lebih baik dan
berdampak
pada
peningkatan
pendapatan
masyarakat.
Peningkatan
pendapatan masyarakat dapat berdampak pada peningkatan perekonomian daerah yang bisa dilihat dari kontribusi PAD sebagai sumber penerimaan lokal yang mencermikan kemandirian suatu daerah dalam membiayai keuangan pemerintah daerahnya sendiri. Peningkatan dana transfer dari pusat berupa DAU dan PAD setiap tahunnya nyatanya masih membuat NTT berada dalam tingkat ketahanan pangan yang rendah. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian secara mendalam yang mengkaji kinerja fiskal daerah dan faktor – faktor yang memengaruhi ketahanan pangan di provinsi Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan pada uraian latar belakang, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana kinerja fiskal pasca penetapan otonomi daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur? 2. Bagaimana keterkaitan antara derajat otonomi fiskal dan ketahanan pangan yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur? 3. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan pada penerapan otonomi daerah?
9
1.3 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal terhadap ketahanan pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengkaji kinerja fiskal pasca penetapan otonomi daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2. Mengkaji keterkaitan derajat otonomi fiskal dengan ketahanan pangan yang terjadi Provinsi Nusa Tenggara Timur. 3. Mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan pada penerapan otonomi daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 1.4
Kegunaan dari penelitian ini adalah: Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi : 1. Pemerintah, sebagai bahan informasi dalam pengelolaan kebijakan fiskal yang
berkaitan
dengan
ketahanan
pangan
dalam
peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mencari kebijakan yang efektif dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap ketahanan pangan. 2.
Bagi peneliti berikutnya, sebagai sumber informasi dan refrensi tambahan bagi penelitian yang akan datang, khususnya penelitian yang terkait dengan masalah kinerja fiskal dan ketahanan pangan.
10
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Analisis penelitian ini meliputi ketahanan pangan dengan pendekatan
jumlah penduduk tidak tahan pangan yang mengkonsumsi kalori di bawah 2100 kkal/kapita/hari dalam menganalisis ketahanan pangan rumah tangga.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Konsep dan Pengertian Desentralisasi Desentralisasi (otonomi daerah) adalah penyerahan wewenang oleh
pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah otonom yang menghasilkan pemerintahan lokal yang bergerak secara aktif dalam upaya mengurus kepentingan masyarakat didaerahnya menurut aspirasi dan kepentingan daerah itu sendiri. Peraturan mengenai ini telah ditetapkan dalam UU No 22 tahun 1999 yang berisi tentang pemerintahan daerah dan UU No 25 tahun 1999 yang berisi tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Desentralisasi menitikberatkan pada partisipasi aktif masyarakat dalam mengelola keuangan daerah dan pengambilan keputusan yang bertujuan dalam pembangunan daerah itu sendiri (Irdhania, 2009). Pada dasarnya pemberlakuan kebijakan desentralisasi untuk daerah otonom merupakan salah satu langkah dalam perbaikan sistem sentralistik yang telah berlaku selama ini. Pemerintah pusat diberikan wewenang kebebasan dalam mengurus kebutuhan domestik sehingga pemerintah pusat dapat lebih fokus dalam menghadapi isu-isu global dan merumuskan kebijakan makro nasional yang lebih bersifat strategis. Daerah otonom dapat mengembangkan kreativitas dalam proses pemberdayaan dengan kapabilitas yang mampu menghadapi berbagai masalah domestik. Selain itu desentralisasi merupakan tindakan nyata pemerintah pusat dalam penyerahan kepercayaan kepada daerah otonom yang dianggap mandiri dalam mencari solusi bagi daerahnya. Penyerahan kewenangan dari pemerintah kepada daerah membuka peluang daerah dalam menggali potensi yang terdapat didaerahnya. Pengelolaan potensi
12
yang ada berupa pengelolaan sarana dan prasarana, keuangan, dan kebijakankebijakan yang sesuai dengan tujuan pembangunan daerah (Irdhania, 2009). Pengambilan
keputusan
diserahkan
kepada
daerah
yang
bertujuan
menyejahterakan masyarakat berdasarkan anggaran yang sudah ditetapkan. Pada garis besarnya konsep desentralisasi dapat dibedakan menjadi tiga bagian besar, yaitu : desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal. Ketiganya saling berkaitan erat satu sama lain, dan semestinya dilaksanakan bersama-sama agar berbagai tujuan otonomi daerah seperti peningkatan kualitas pelayanan publik tidak terbengkalai (Elmi, 2002). 2.2
Konsep Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal didefinisikan sebagai pelimpahan kewenangan di
bidang penerimaan yang sebelumnya tersentralisasi baik secara administrasi dan pemanfaatannya diatur dan dilakukan oleh pemerintah pusat. Dengan pelimpahan sebagian kewenangan terhadap sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah, diharapkan daerah dapat melakukan tugas, pelayanan publik dan meningkatkan investasi yang produktif di daerahnya (Elmi, 2002). Penetapan desentralisasi fiskal yang diberlakukan ini dikarenakan pemerintah pusat menganggap bahwa pemerintah daerah mempunyai keunggulan lebih dalam mengelola keuangan daerahnya dengan memperhatikan potensipotensi yang ada di daerahnya. Pemerintah daerah dapat mengetahui secara langsung kebutuhan yang sesuai dengan masyarakatnya. Transfer dana yang dilakukan oleh pemerintah pusat mendorong kegiatan ekonomi yang lebih cepat sehingga meningkatkan kestabilan kondisi ekonomi daerah.
13
Desentralisasi fiskal memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut : (1) mengurangi peran dan tanggung jawab diantara pemerintah pada semua tingkat; (2) memperhitungkan bantuan atau transfer antar pemerintah; (3) memperkuat sistem
penerimaan
daerah/lokal
dan
merumuskan
jasa-jasa
lokal;
(4)
memprivatisasi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); serta (5) menyediakan suatu jaringan pengaman bagi fungsi redistribusi. Oleh karena itu keberhasilan dari desentralisasi fiskal juga dapat dinilai dari sejauh mana fungsi-fungsi diatas tersebut telah dilaksanakan (Irdhania, 2009). Tujuan umum program desentralisasi fiskal Indonesia adalah untuk membantu : (1) meningkatkan alokasi nasional dan efisiensi operasional pemerintah daerah; (2) memenuhi aspirasi daerah, memperbaiki struktur fiskal secara keseluruhan, dan memobilisasi pendapatan daerah dan kemudian nasional; (3) meningkatkan akuntabilitas, meningkatkan transparansi, dan mengembangkan partisipasi konstituen dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah; (4) mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintah daerah, memastikan pelaksanaan pelayanan dasar masyarakat di seluruh Indonesia, dan mempromosikan sasaransasaran efisiensi pemerintah; (5) memperbaiki kesejahteraan sosial rakyat Indonesia (Abimanyu, 2009). Alasan yang mendasari pemikiran bahwa pengelolaan keuangan negara secara terdesentralisasi lebih baik dibanding dengan pengelolaan secara sentralistik adalah karena akan terjadi efisiensi dalam pengalokasian sumber daya. Desentralisasi membuat pemerintah lebih responsif terhadap aspirasi dan preferensi kebutuhan masyarakat dibanding dengan pemerintah terpusat (Lin and Liu, 2000; Kerk and Garry, 1997; Rao, 2000; Smoke, 2001; Ebel and Yilmz,
14
2002; Rindayati, 2009). Hipotesis serupa juga disampaikan oleh Tiebout, yang dikenal dengan Tiebout Hypotesis yaitu untuk barang publik yang memungkinkan perbedaan permintaan antar daerah maka efisiensi alokasi sumber daya akan lebih baik jika produksi barang tersebut dilakukan secara terdesentralistik (Stiglitz, 2000; Rindayati, 2009). Inti dari kebijakan desentralisasi fiskal adalah adanya pola transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sistem ini sangat penting karena pengeluaran pemerintah daerah sebagian besar yaitu dua pertiganya berasal dari dana transfer pemerintah pusat. Dana transfer dari pemerintah pusat diperoleh berdasarkan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah. Terdapat tiga jenis transfer antar pemerintah yang dinyatakan dalam Undang-Undang No 25 tahun 1999, yaitu: (1) Bagi Hasil; (2) Dana Alokasi Umum; dan (3) Dana Alokasi Khusus (Departemen Dalam Negeri, 2002 b; Rindayati, 2009). Pola penyaluran bantuan pemerintah pusat berbentuk block grant, sehingga perencanaan program, implementasi dan monitoring serta evaluasi dilakukan pada pemeritah daerah. Bentuk block grant dalam kerangka desentralisasi fiskal berupa Dana Alokasi Umum (DAU) (Simanjuntak, 2001; Ritonga, 2002; Mawardi dan Sumarto, 2003; Rindayati, 2009). UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah ( fiscal needs) dengan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU
15
digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada (Hasugian, 2006). Selain DAU, pemerintah daerah juga mendapatkan DAK yang fungsinya juga hampir sesuai dengan DAU. Dana Alokasi Khusus adalah alokasi dari APBN kepada provinsi, kabupaten atau kota tertentu yang digunakan dalam kegiatan khusus yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Komposisi DAK lebih kecil dibandingkan dengan DAU. DAK dimaksudkan untuk membiayai kebutuhan kebutuhan khusus seperti prioritas nasional, kejadian-kejadian bahaya lainnya yang tidak dapat dibayai dengan menggunakan DAU (Departemen Dalam Negeri, 2002 b) (Rindayati, 2009). Kaitan desentralisasi fiskal dengan ketahanan pangan terjadi melalui dua jalur yaitu (1) desentralisasi – partisipasi/ pemberdayaan/ tata kelola – ketahanan pangan, dan (2) desentralisasi – pelayanan publik/ investasi yang lebih memihak kaum miskin/ petani – ketahanan pangan (Rao, 2000; Braun and Grote, 2002; Vazques and McNab, 2001; Wasylenko, 1987; Rindayati, 2009). Jalur pertama, menunjukkan bahwa desentralisasi memungkinkan civil society berpartisipasi aktif dalam proses kebijakan dengan meningkatkan transparansi dan predictability dari pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan oleh masyarakat akan berpengaruh terhadap proses pembangunan sehingga akan berdampak pada peningkatan perekonomian dan peningkatan ketahanan pangan. Jalur kedua, desentralisasi akan membuat pemerintah dengan rakyat lebih dekat sehingga pemerintah daerah lebih tahu kebutuhan masyarakatnya. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pelayanan publik yang lebih
16
baik yang berdampak pada peningkatan perekonomian daerah dan peningkatan kinerja ketahanan pangan (Rindayati, 2009). 2.3
Konsep Kinerja Fiskal Dalam pelaksanaan kebijakan fiskal daerah, perencanaan dan penganggaran
pembangunan dalam peningkatan ketahanan pangan sebagian besar menjadi kewenangan pemerintah daerah bersama masyarakat. Peran pemerintah daerah bersama masyarakat diharapkan lebih besar karena pemerintah daerah dianggap lebih tahu dalam mengatasi permasalahan secara lebih spesifik berdasarkan potensi dan keunggulan serta keanekaragaman sumber daya (Situmorang, 2009). Kebijakan fiskal terdiri dari kinerja fiskal yang meliputi sejumlah konsep yang saling berhubungan. Konsep-konsep tersebut adalah kapasitas fiskal (fiscal capacity), kebutuhan fiskal (fiscal need), upaya fiskal (fiscal effort), dan tingkat kinerja fiskal (fiscal performance level). Dalam hal ini, kemampuan suatu daerah (jurisdiksi) untuk menjalankan tugas fiskalnya sangat ditentukan oleh posisi fiskal dari daerah tersebut, dimana posisi fiskal ditentukan oleh kapasitas fiskal relatif terhadap kebutuhan fiskalnya yakni besarnya pengeluaran yang diperlukan untuk menyediakan layanan publik ( public service) (Nanga, 2005). Kapasitas fiskal mengukur besarnya penerimaan yang dapat dihasilkan juridiksi apabila tarif pajak standar tersebut diterapkan terhadap basis pajak. Dengan kata lain, kapasitas fiskal dapat diartikan sebagai kemampuan dari suatu juridiksi untuk meningkatkan penerimaan untuk membiayai pengeluaran atau layanan publik yang menjadi tanggungannya (Boadway dan Wildasin, 1988; Nanga, 2005). Kebutuhan fiskal mengukur besarnya pengeluaran di daerah yang diperlukan untuk menjamin tingkat kinerja atau layanan standar. Nilai
ini
17
dihitung dari jumlah penduduk yang menjadi sasaran dengan biaya yang diperlukan untuk menyediakan tingkat layanan standar. Konsep kebutuhan fiskal menunjukkan jumlah fiskal yang dibutuhkan daerah dalam menjalankan pembangunan baik untuk pengeluaran rutin dan pembangunan daerah agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah (Nanga, 2005). Secara teori kebutuhan fiskal bukan ditentukan oleh penerimaan daerah namun justru sebaliknya, yaitu penerimaan daerahlah yang dipengaruhi oleh kebutuhan daerah (Rindayati, 2009) Apabila suatu juridiksi dengan kapasitas fiskal yang tinggi dihadapkan dengan kebutuhan fiskal yang rendah, maka dapat dikatakan bahwa juridiksi tersebut memiliki posisi fiskal yang kuat dan sebaliknya (Musgrave and Musgrave, 1984; Nanga, 2005). Posisi fiskal yang kuat dapat dikatakan bahwa kapasitas fiskal lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan fiskalnya. Dalam kondisi juridiksi memiliki ‘strong fiscal position’, maka suatu tingkat layanan standar (standar level of services) dapat disediakan dengan suatu rasio penerimaan pajak terhadap basis pajak yang rendah atau suatu tingkat upaya pajak standar akan menghasilkan suatu tingkat layanan yang lebih tinggi relatif terhadap kebutuhan. Apabila kondisi sebaliknya yang terjadi, maka suatu upaya pajak atau fiskal yang tinggi mungkin diperlukan hanya untuk menyediakan suatu tingkat kinerja yang bersifat substandard (Nanga, 2005). Upaya fiskal merupakan upaya yang dilakukan pemerintah yang berkaitan dengan kinerja keuangan daerah. Upaya fiskal didefinisikan sebagai rasio antara penerimaan aktual di dalam juridiksi yang dihasilkan dengan menerapkan tarif pajak terhadap apa yang dapat ditingkatkan dengan menerapkan tarif pajak
18
standar (Nanga, 2005). Upaya fiskal berhubungan dengan indeks kinerja fiskal yang menunjukkan apabila indeks kinerja fiskal yang semakin tinggi menunjukkan bahwa daerah yang bersangkutan memiliki upaya fiskal yang semakin besar yang berarti pula memiliki posisi fiskal yang semakin kuat. Dengan demikian posisi fiskal dapat dihitung atau didefinisikan sebagi : (1) rasio antara kapasitas fiskal dengan kebutuhan fiskal dan atau (2) rasio antara tingkat kinerja fiskal dengan upaya fiskal (Nanga, 2005). Berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Badan Libang Depdagri dan Fisipol UGM (1991), maka derajat desentralisasi fiskal tersebut adalah sebagai berikut: 1. 0,00 % - 10%
: sangat kurang
2. 10,1% - 201%
: kurang
3. 20,1% - 30%
: cukup
4. 30,1% - 40%
: baik
5. 40,1% - 50%
: sangat baik
6. >50%
: memuaskan
Kemandirian fiskal daerah merupakan salah satu aspek yang sangat penting dari otonomi daerah secara keseluruhan. Menurut Mardiasmo (1999) disebutkan bahwa manfaat adanya kemandirian fiskal adalah: 1. Mendorong peningkatan partisipasi prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan serta akan mendorong pemerataan hasil – hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya serta potensi yang tersedia di daerah.
19
2. Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang lebih rendah yang memiliki informasi yang lebih lengkap. (Thesaurianto, 2007). Kemandirian fiskal daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) seperti pajak daerah, retribusi dan lain-lain. Karena itu otonomi daerah dan pembangunan daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai kemandirian fiskal yang efektif. Ini berarti bahwa pemerintah daerah secara finansial harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD seperti pajak, retribusi dan sebagainya. Untuk mengukur derajat kemandirian fiskal daerah / derajat otonomi fiskal daerah yaitu menggunakan rasio antara PAD dengan total penerimaan APBD pada tahun yang sama, tidak termasuk transfer dari pemerintah pusat (Radianto, 1997; Thesaurianto, 2007) Keadaan fiskal daerah yang terdiri atas penerimaan dan pengeluaran daerah akan memengaruhi kinerja perekonomian daerah berupa PDRB, penyerapan tenaga kerja serta produksi, dan ketahanan pangan. Kinerja perekonomian akan memengaruhi ketahanan pangan. Kondisi ketahanan pangan akan memengaruhi kinerja fiskal karena kapasitas fiskal daerah akan dipengaruhi oleh kondisi masyarakatnya. Keadaan masyarakat dengan daya beli rendah akan menghasilkan pendapatan pajak daerah yang rendah pula sehingga akan menghasilkan kinerja fiskal yang rendah (Situmorang, 2009). 2.4
Kebijakan Fiskal Untuk Pembangunan Ekonomi Kebijakan Fiskal diberlakukan pemerintah sebagai sarana fasilitasi dalam
penstabilan anggaran keuangan. Kebijakan fiskal berperan dalam memacu laju
20
pertumbuhan daerah sebagai dasar pembangunan nasional. Dalam Jhingan (2000) menyebutkan kebijakan fiskal sebagai sarana menggalakkan pembangunan ekonomi bermaksud mencapai tujuan berikut : (1) untuk meningkatkan laju investasi; (2) untuk mendorong investasi optimal secara sosial; (3) meningkatkan kesempatan kerja; (4) untuk meningkatkan stabilitas ekonomi ditengah ketidakstabilan internasional; (5) untuk menanggulangi inflasi; dan (6) untuk meningkatkan dan mendistribusikan pendapatan nasional (Rindayati, 2009). Dalam hal ini kebijakan fiskal merujuk kepada ukuran-ukuran fiskal yang komplek seperti pajak, subsidi dan pengeluaran pemerintah untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi. Dengan mengontrol antara 15 sampai 50 persen dari GDP, pemerintah merupakan kekuatan utama dalam menggerakkan perekonomian dibanyak negara berkembang. Jadi berdasarkan volume, kebijakan fiskal berpengaruh secara substansial pada semua lingkaran ekonomi. Kebijakan fiskal memengaruhi kegiatan perekonomian melalui : (1) alokasi dari sumber anggaran terhadap berbagai kegiatan yang merupakan pengeluaran publik, (2) bentukbentuk pembiayaan dalam pengeluaran pemerintah dan (3) keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah (Todaro, 2000; Musgrave and Peggy, 1989; Jhingan, 2000; Rindayati, 2009). Tantangan dalam penerapan desentralisasi fiskal tidak hanya dalam penentuan strategi pembiayaan yang tepat tetapi juga kepada masalah pengendalian defisit anggaran. Defisit anggaran merupakan penyebab utama ketidakseimbangan makroekonomi, dan mengurangi defisit anggaran merupakan komponen utama pada kebanyakan program penyesuaian. Secara prinsip pengurangan defisit anggaran dapat dilakukan melalui dua hal : (1) dapat
21
dikurangi melalui pengeluaran anggaran, dan (2) peningkatan pendapatan pemerintah. Walaupun kedua pendekatan tersebut digunakan secara bersamaan, penekanan diberikan kepada pendekatan pertama karena alasan sebagai berikut : 1.
Pengurangan pengeluaran anggaran lebih mudah, lebih substansial dan lebih cepat pengurangannya dibandingkan meningkatkan pajak serta peningkatan pajak pendapatan sering memerlukan perubahan dalam sistem pajak dan aturan mengenai pajak yang memakan waktu.
2.
Tujuan utama dari program penyesuaian secara struktural adalah dalam arti luas mengurangi aturan negara dalam perekonomian dan menyiapkan insentif untuk meningkatkan produksi serta peningkatan pajak untuk mengelola tingkat pengeluaran yang ada akan bertentangan dengan tujuan dari program penyesuaian struktural (Jhingan, 2000; Todaro, 2000). Dampak dari pengurangan defisit anggaran dan pengaruhnya terhadap
ketahanan pangan dapat dikaji lebih lanjut melalui : (1) pengurangan tenaga kerja di sektor publik dan upah, (2) pengurangan investasi publik, (3) pengurangan subsidi dan (4) pengurangan / pemotongan pelayanan publik. Kebijakan fiskal dengan pengurangan pengeluaran publik akan mempengaruhi ekonomi pangan dan ketahanan pangan melalui pengaruh pada harga dan volume dari penawaran dan permintaan tenaga kerja, kredit, komoditi yang dipasarkan dan menyebabkan perubahan dalam infrastruktur sosial dan ekonomi. Penekanan khusus pada pendapatan rumah tangga, permintaan pangan dan produksi pangan. Arah dan intensitas dari pengaruh tersebut tergantung pada pendekatan terhadap pengeluaran untuk publik, kondisi sosial dan ekonomi suatu negara, kerangka
22
waktu dan pada suksesnya program penyesuaian yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi (FAO, 1997 ; Rindayati, 2009). 2.5
Konsep Ketahanan dan Indikator Ketahanan Pangan Ketahanan pangan merupakan fenomena yang kompleks, mencakup banyak
aspek dan faktor terkait yang luas. Istilah ketahanan pangan muncul pada tahun 1974 ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia. Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan atas keamanan (safety), distribusi yang merata dan kemampuan membeli. Pada World Food Summit (1996), ketahanan pangan terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat (FSVA, 2009). Ketahanan pangan merupakan pilar utama suatu negara dalam perencanaan pembangunan. Ketahanan pangan merupakan jalan yang strategis dalam memacu perekonomian. Hal ini dikarenakan tidak ada satu negara pun di dunia yang tidak memerlukan pangan. Kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan sebagai aspek-aspek utama penopang ketahanan pangan serta menghubungkan aspekaspek tersebut dengan kepemilikan aset rumah tangga, strategi penghidupan, dan lingkungan politik, sosial, kelembagaan dan ekonomi. Dengan kata lain, status ketahanan pangan suatu rumah tangga atau individu ditentukan oleh interaksi dari
23
faktor lingkungan pertanian (agro-environmental), sosial ekonomi dan biologi dan bahkan faktor politik (FSVA, 2009). Soeharjo (1995), berpendapat bahwa konsep ketahanan pangan dapat diterapkan pada berbagai tingkatan : global, nasional hingga tingkat rumah tangga atau individu. Disebutkan pula bahwa situasi ketahanan pangan antar tingkatan tersebut dapat saling dukung. Hardiansyah et al (1998) berpendapat bahwa karena tidak setiap rumah tangga atau individu mempunyai akses terhadap proses produksi pangan dengan terbatasnya pemilikan lahan pertanian, untuk mencapai ketahanan pangan rumah tangga, dibutuhkan dukungan ketersediaan pangan di tingkat lokal dan nasional. Sedangkan, Simatupang (1999) lebih melihat hubungan antara ketahanan pangan di tingkat global, nasional hingga rumah tangga atau individu sebagai suatu sistem hirarkis (hierarchial system) (Saliem, 2004). Pentingnya ketahanan pangan ditunjukkan oleh Timmer (1996) dalam Amang dan Sawit (2001) yang menyimpulkan dari studinya untuk kasus Indonesia,
Jepang,
mempertahankan
dan
proses
Inggris
bahwa
pertumbuhan
tidak
ekonomi
satupun tanpa
negara terlebih
dapat dahulu
memecahkan masalah ketahanan pangan. Untuk Indonesia perekonomian beras terbukti secara signifikan merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 1960an. Ketahanan pangan merupakan isu multi-dimensional yang memerlukan analisis dari berbagai parameter tidak hanya produksi dan ketersediaan pangan saja. Meskipun tidak ada cara yang spesifik untuk mengukur ketahanan pangan, kompleksitas ketahanan pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan
24
pada tiga dimensi yang berbeda namun saling berkaitan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan oleh tumah tangga dan pemanfaatn pangan oleh individu (FSVA, 2009). Untuk mengukur ketahanan pangan baik secara mikro dan makro dapat dicerminkan oleh beberapa indikator tergantung dari tujuan dan kepentingan dari penelitian yang dijalankan serta ketersediaan data (Rindayati, 2009). Indikator-indikator ketahanan pangan tersebut diantaranya adalah : (1) produksi pangan baik tingkat rumah tangga, wilayah, regional, nasional; (2) tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga, wilayah, regional, nasional; (3) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumah tangga; (4) fluktuasi harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga; (5) keadaan konsumsi pangan; (6) status gizi; (7) angka indeks ketahanan pangan rumah tangga; (8) angka rasio antara stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan wilayah; (9) skor Pola Pangan Harapan (PPH) untuk tingkat ketersediaan dan konsumsi; (10) kondisi keamanan pangan; (11) keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat; (12) tingkat cadangan pangan pemerintah dibanding perkiraan kebutuhan; (13) kemampuan untuk stok pangan; (14) indeks diversifikasi pangan (indeks herfindahl, indeks simpson, indeks entropy); dan (15) indeks kemandirian pangan (Saliem et al., 2005; Ariani et al., 2007; Rindayati, 2009). Keadaan ketahanan pangan harus didukung dengan ketersediaanya dana yang cukup (negara dan rumah tangga) untuk memenuhi kebutuhan pangan. Ketersediaan dana menentukan tingkat konsumsi bahan pangan baik dilihat dari konsumsi kalori maupun konsumsi protein. Kalori dan protein dibutuhkan tubuh dalam proses pengembangan organ fisik maupun non fisik. Kebutuhan akan kalori
25
dan protein digunakan dalam mengatasi kondisi rawan pangan yang dibutuhkan dalam ketahanan pangan nasional. Dalam usia produktif antara usia 19-29 tahun angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan per orang per hari adalah, untuk pria energi yang dibutuhkan 2550 kkal dan protein 60 gr, sedangkan untuk wanita energi yang dibutuhkan sebesar 1900 dan protein 50 gr. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat kecukupan gizi yang sesuai produktivitas akan optimal. Ketersediaan bahan pangan di suatu daerah bisa menjadi penyebab suatu daerah menjadi rawan pangan yang berpengaruh dalam pembangunan nasional. Suatu wilayah yang dikatakan rawan pangan dapat dilihat dari ketersedian bahan pangan dan kemudahan dalam mengakses bahan pangan tersebut. 2.6
Peranan Pemerintah Desentralisasi memberi peranan terhadap fungsi dan wewenang pemerintah.
Peranan pemerintah dalam hal ini adalah melakukan upaya fiskal dengan menggali potensi fiskal sebagai sumber penerimaan daerah dan pembelanjaan barang publik. Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Dalam model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah yang dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, presentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan
26
prasarana. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas. Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran
untuk
aktivitas
sosial
seperti
halnya
program
kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan masyarakat dan sebagainya (Santosa, 2005). Wagner dalam teori yang disebut hukum Wagner mengemukakan teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Wagner menerangkan mengapa peran pemerintah menjadi semakin besar, yang terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya. Wagner mendasarkan pandangannya pada suatu teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. Formulasi hukum Wagner ialah sebagai berikut : PkPP1 < PkPP2 < ... < PkPPn PPK1 dimana:
PPK2
PPKn
PkPP = pengeluaran pemerintah per kapita PPK = pendapatan per kapita, yaitu GDP atau jumlah penduduk 1,2,..,n = jangka waktu (tahun)
Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan program yang memerlukan keterlibatan segenap unsur satu lapisan masyarakat. Peran pemerintah dalam
27
pembangunan adalah sebagai katalisator dan fasilitator tentu membutuhkan berbagai sarana dan fasilitas pendukung, termasuk anggaran belanja dalam rangka terlaksananya pembangunan yang berkesinambungan. Pengeluaran tersebut sebagian digunakan untuk administrasi pembangunan dan sebagian lain untuk kegiatan
pembangunan
di
berbagai
jenis
infrastruktur
yang
penting.
Pembelanjaan-pembelanjaan tersebut akan meningkatkan pengeluaran agregat dan mempertinggi tingkat kegiatan ekonomi (Santosa, 2005). Kebijakan fiskal yang berarti penggunaan pajak, subsidi, pinjaman masyarakat, pengeluaran masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan stabilisasi dapat digunakan sebagai faktor pendorong dalam kegiatan perekonomian daerah. Khususnya dalam pengalokasian anggaran belanja pemerintah yang digunakan dalam peningkatan ketahanan pangan. 2.7
Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah Pertumbuhan ekonomi daerah pada dasarnya menggunakan konsep-konsep
pertumbuhan ekonomi secara agregat. Perbedaan pokok antara analisis pertumbuhan ekonomi nasional dengan pertumbuhan ekonomi daerah menurut Ricardson (2001) adalah titik berat dalam analisis perpindahan faktor. Analisis untuk suatu negara dapat diasumsikan dengan perekonomian tertutup, namun untuk daerah asumsi tersebut tidak berlaku. Daerah bersifat terbuka, karena kemungkinan masuk dan keluarnya arus perpindahan tenaga kerja dan modal sangat besar. Hal ini memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional dan sebaliknya (Rindayati, 2009).
28
Konsep yang bisa digunakan untuk menggambarkan pendapatan daerah adalah produk domestik regional bruto (PDRB) yaitu nilai tambah bruto atau gross value added (output dikurangi intermediate cost) dari seluruh sektor perekonomian di suatu daerah. Pada tingkat nasional pertumbuhan ekonomi diukur dari laju nilai produk domestik bruto (PDB) dan pada daerah merupakan laju dari nilai PDRB yang merupakan ukuran dasar dari penampilan performansi perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Nilai PDRB suatu daerah adalah penjumlahan dari PDRB beberapa sektor perekonomian yang ada pada daerah tersebut (Rindayati, 2009). Peningkatan perekonomian daerah bisa dilihat dari peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan indikator dalam kemandirian daerah dalam menjalankan perekonomiannya. Pendapatan asli daerah terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Dari sisi penawaran agregat pertumbuhan ekonomi daerah didasarkan pada pendekatan fungsi produksi agregat yang merupakan fungsi dari teknologi, kapital (modal fisik dan finansial) dan tenaga kerja (Dornbusch and Fischer, 1989; Rindayati, 2009). Dalam Todaro (2000) menjelaskan adanya teori pertumbuhan baru / endogenous, pertumbuhan output dipengaruhi oleh teknologi, kapital dan modal manusia yang menyatu dengan ilmu pengetahuannya. Secara matematis dapat dirumuskan yaitu : Y(t)
= T(t)K(t)L(t)..............................................................................(2.1)
dimana : Y
= tingkat output daerah (PDRB)
29
2.8
T
= tingkat teknologi yang digunakan
K
= kapital / modal fisik dan finansial
L
= modal manusia beserta ilmu pengetahuan yang dikuasai
Penelitian Terdahulu Wiwiek Rindayati (2009), dalam disertasi “Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat”. Hasil dari penelitian ini adalah desentralisasi fiskal membawa perubahan struktur penerimaan dan struktur pengeluaran pemerintah. Penerimaan daerah mengalami peningkatan secara signfikan. Peningkatan terjadi pada semua komponen PAD, bagi hasil maupun dana alokasi dari pusat. Nilai kenaikan pajak dan retribusi daerah secara relatif menurun hal ini dikarenakan adanya peningkatan penerimaan dari pos DAU yang kontribusinya relarif besar. Sehingga walaupun secara absolut PAD meningkat, namun secara relatif share terhadap penerimaan daerah menurun dari 15 persen menjadi 13 persen. Komponen dana transfer dari pemerintah pusat berupa dana Subsidi Daerah Otonom (SDO) masa sebelum desentralisasi fiskal dan Dana Alokasi Umum (DAU) masa desentralisasi fiskal mengalami peningkatan sangat besar. Desentralisasi fiskal diharapkan membawa perubahan pada peningkatan kemandirian daerah yang tercermin pada kontribusi PAD, namun pada saat ini masih belum bisa terealisasi karena peranan daerah belum optimal dalam menggali sumber-sumber PAD baru terutama dari sumber peningkatan laba usaha daerah (BUMN) yang relatif masih kecil. Andros MP Hasugian (2006) dalam skripsi “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja keuangan yang ditunjukkan dengan tingkat kemandirian lebih baik ketika sebelum
30
desentralisasi fiskal sedangkan laju pengurangan kemiskinan lebih cepat pada masa desentralisasi fiskal. Peranan mekanisme transfer terhadap tingkat kemandirian menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan satu persen rasio DAU terhadap penerimaan maka akan menurunkan tingkat rasio PAD terhadap penerimaan sebesar 0,02 persen. Demikian juga dengan variabel dummy desentralisasi fiskal yang negatif dan signifikan yang artinya rasio PAD terhadap penerimaan relatif lebih kecil pada masa desentralisasi fiskal. Hasil penelitian analisis regresi dengan metode panel data yang menganalisis pengaruh dari penerimaan daerah berupa DAU, PAD, bagi hasil terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa dana transfer berupa DAU tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan. Tetapi variabel dummy negatif dan signifikan, yang artinya persentase penduduk miskin pada masa desentralisasi fiskal relatif lebih kecil. Hal ini menandakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memang berpihak pada kemiskinan. Annisa Irdhania (2009) dalam skripsi “Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian dan Potensi Keuangan Kabupaten Bogor”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang positif dan nyata secara statistik terhadap komponen PDRB, yaitu konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah. Konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah meningkat selama masa desentralisasi fiskal. Jadi, secara keseluruhan penerapan desentralisasi fiskal diduga memberikan pengaruh yang positif pada kinerja perekonomian.
Artinya
setelah
diterapkan
desentralisasi
fiskal,
kinerja
perekonomian Kabupaten Bogor mengalami peningkatan yang signifikan.
31
Variabel pendapatan disposable, populasi, dan total penerimaan keuangan pemerintah daerah memberikan kontribusi dengan nilai elastisitas yang positif dan nyata secara statistik terhadap kinerja perekonomian. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh negatif dan nyata secara statistik terhadap penerimaan retribusi Kabupaten Bogor, sedangkan dana transfer dipengaruhi secara positif dan nyata. Jika dikaitkan dengan kinerja perekonomian, penurunan pada retribusi ini akan membawa efek yang positif terhadap kinerja perekonomian Kabupaten Bogor. Penerapan desentralisasi fiskal tidak memengaruhi variabel potensi keuangan lainnya secara signifikan. Variabel pendapatan per kapita, jumlah kamar hotel, suku bunga, total pengeluaran keuangan pemerintah, dan jumlah penduduk miskin mempengaruhi potensi keuangan Kabupaten Bogor dengan nilai elastisitas yang positif dan nyata secara statistik. Marius Masri (2010) dalam tesis “Analisis Pengaruh Kebijakan Fiskal Regional terhadap Inflasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Periode 2001-2008)”. Hasil perhitungan yang diperoleh, belanja pegawai dan belanja operasional berpengaruh positif dan signifikan pada α = 5% terhadap inflasi, sedangkan belanja modal dan dummy reformasi desentralisasi fiskal berpengaruh positif dan signifikan pada α 1% terhadap inflasi. Belanja pemerintah dapat memengaruhi inflasi, sehingga peneliti menyarankan agar belanja pemerintah diprioritaskan untuk kepentingan publik seperti belanja modal atau investasi karena dapat meningkatkan output barang dan jasa sehingga dapat menjaga stabilitas harga. Sedangkan belanja pegawai dan belanja operasional digunakan untuk kepentingan operasional kegiatan dan program pemerintah.
32
Nurlatifah (2011) dalam tesis “ Determinan Ketahanan Pangan Regional dan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Timur”. Hasil yang diperoleh, terjadi pangsa pengeluaran pangan yang diimbangi dengan kenaikan konsumsi kalori masyarakat yang menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan perhitungan ketahanan pangan rumah tangga dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan kecukupan kalori, terlihat bahwa persentase penduduk yang rawan pangan relatif cukup besar walaupun dari tahun ketahun mengalami penurunanan. Rata-rata lama sekolah berpengaruh secara signifikan positif terhadap persentase rumah tangga yang memiliki ketahanan pangan. Infrastruktur merupakan salah satu akses pangan yanga akan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Hasil pengolahan regresi logistik ordinal menyatakan dari delapan variabel penjelas ada satu variabel penjelas yang tidak signifikan yaitu gender kepala rumah tangga. Sedangkan umur kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, daerah tempat tinggal rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan perkapita dan penerimaan beras miskin berpengaruh signifikan dalam penentuan ketahanan pangan rumah tangga. Muana Nanga (2005) dalam jurnal ilmiah Ranggagading dengan judul “ Potret Kinerja Fiskal Kabupaten/Kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Pelaksanaan Otda”. Hasil yang diperoleh dari analisis ini menunjukkan bahwa kondisi fiskal daerah dalam hal ini kabupaten/kota di Indonesia setelah pelaksanaan otonomi daerah ternyata menjadi lebih baik (better-off). Kondisi ini dapat dilihat dari indeks posisi fiskal yang lebih baik dimana sebelum otonomi daerah (1999) sebagian besar provinsi memiliki indeks posisi fiskal kabupaten/
33
kota yang rendah namun setelah OTDA hal ini terjadi justru sebaliknya dimana sebagian besar provinsi telah memiliki posisi fiskal yang lebih baik. Boyke T.H. Situmorang (2009) dalam jurnal Pembangunan yang berjudul “ Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Ketahanan Pangan dan Kemiskinan di Provinsi Sumatra Utara”. Hasil dari penelitian ini adalah faktor-faktor yang memengaruhi (1) kinerja fiskal daerah adalah (a) pajak daerah dan bagi hasil, pajak dipengaruhi oleh PDRB dan kebijakan fiskal daerah (b) pengeluaran rutin dipengaruhi oleh PAD, (c) pengeluaran pembangunan di sektor pertanian dan transportasi
dipengaruhi
oleh
DAU;
sedangkan
(2)
faktor-faktor
yang
memengaruhi kinerja kemiskinan dipedesaan dan perkotaan adalah (a) harga jual beras, (b) PDRB, dan (c) jumlah pengangguran. Kebijakan non fiskal daerah justru memberikan perngaruh yang lebih baik bila berkaitan dengan usaha untuk mengurangi kemiskinan. Pendidikan menjadi salah satu faktor penting untuk menstimulus kehidupan masyarakat menjadi lebih berkualitas. Perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu dengan penelitian ini terletak pada penambahan variabel seperti DAU, PAD dan pengeluaran pemerintah yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan dengan menggunakan metode ekonometrika yaitu analisis data panel dan diikuti dengan analisis deskriptif perhitungan kinerja fiskal yang dilihat dari derajat otonomi fiskal, posisi fiskal dan korelasi antara derajat otonomi fiskal dan ketahanan pangan disetiap kabupaten/kota pada tahun 2003-2010 di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
34
2.9
Kerangka Pemikiran UU No 32 dan No 33 Tahun 2004 tentang desentralisasi fiskal pada tahun 2001
Desentralisasi fiskal membawa perubahan dalam kinerja fiskal daerah dan memengaruhi kondisi ketahanan pangan
Kinerja fiskal dan faktor yang memengaruhi ketahanan pangan
Deskriptif : Derajat otonomi fiskal, posisi fiskal daerah dan korelasi derajat otonomi fiskal dengan ketahanan pangan
Kuantitatif: Faktorfaktor yang memengaruhi ketahanan pangan
Implikasi kebijakan yang diterapkan dalam upaya peningkatan ketahanan pangan yang terjadi di Nusa Tenggara Timur
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Dari kerangka pemikiran dapat dijelaskan bahwa penerapan desentralisasi fiskal dapat membawa perubahan bagi kinerja keuangan daerah yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kinerja fiskal dapat dilihat dari peranan DAU, PDRB, PAD, dan pengeluaran pemerintah. Sedangkan potensi ketahanan pangan dapat dilihat dari jumlah penduduk tidak tahan pangan yang mengkonsumsi kalori di bawah 2100 kkal/kapita/hari, pendapatan perkapita, ketersediaan pangan yang dilihat dari jumlah produksi padi dan luas lahan panen, banyaknya
fasilitas
kesehatan
dan
pendidikan.
Diharapkan
dengan
diberlakukannya desentralisasi fiskal pada awal tahun 2001 pemerintah daerah
35
dapat mengelola keuangan menjadi lebih optimal dan kondisi ketahanan pangan dapat tercapai. 2.10 Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah jawaban sementara yang diambil untuk menjawab permasalahan yang ada yang diajukan oleh peneliti yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris. Berdasarkan hal itu hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut : 1.
Dana Alokasi Umum yang merupakan kinerja fiskal berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan di NTT tahun 2003-2010.
2.
Pendapatan Asli Daerah yang merupakan kinerja fiskal berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan di NTT tahun 2003-2010.
3.
Pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan di NTT tahun 2003-2010.
4.
Pendapatan perkapita berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan di NTT tahun 2003-2010.
5.
Kesehatan yang dilihat dari banyaknya fasilitas kesehatan yang tersedia berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan di NTT tahun 20032010.
6.
Luas lahan panen berpengaruh berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan di NTT tahun 2003-2010.
7.
Jumlah produksi padi berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan di NTT tahun 2003-2010.
8.
Jumlah penduduk berpendidikan tamat SMP berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan di NTT tahun 2003-2010.
36
9.
Ketahanan pangan dengan pendekatan jumlah penduduk tidak tahan pangan berkorelasi negatif dengan derajat otonomi fiskal.
37
III. 3.1
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data
sekunder merupakan data yang dikumpulkan secara tidak langsung oleh peneliti yang biasanya sudah berupa file yang sudah dipublikasikan oleh suatu lembaga atau instansi yang terkait. Rincian data yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan dalam tabel 3.1 Tabel 3.1 Jenis dan sumber data penelitian No
Jenis Data
Sumber
1.
Dana Alokasi Umum (000) menurut kabupaten/kota Tahun 2003-2010
BAPPENAS
2.
Pendapatan Daerah Regional Bruto (Jutaan rupiah) menurut kabupaten/kota Tahun 2003-2010
BPS
3..
Pendapatan Asli Daerah (000) menurut kabupaten/kota Tahun 2003-2010
BPS
4.
Pengeluaran Pemerintah (000) menurut kabupaten/kota Tahun 2003-2010
BPS
5.
Pendapatan per kapita (rupiah) menurut kabupaten/kota Tahun 2003-2010
BPS
6.
Banyaknya fasilitas kesehatan (unit) menurut kabupaten/kota Tahun 2003-2010
BPS
7.
Luas Lahan Panen (Ha) menurut kabupaten/kota Tahun 2003-2010
BPS
8.
Jumlah Produksi Padi (Ton) menurut kabupaten/kota Tahun 2003-2010
BPS
9.
Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang ditamatkan (%) menurut kabupaten/kota Tahun 2003-2010
BPS
10. Jumlah Penduduk Tidak Tahan kabupaten/kota Tahun 2003-2010
Pangan
menurut
BPS
Data yang bersumber dari BPS berasal dari data NTT dalam angka dari tahun 2003-2010 dan Statistik Ekonomi Keuangan daerah kabupaten dan kota
38
Indonesia dari tahun 2003-2010. Sedangkan data BAPPENAS diperoleh dari Tim Koordinasi Penyusunan Kebijakan Perencanaan Pemantauan dan Evaluasi (TKPKP2E). Tinjauan pustaka yang digunakan diperoleh dari berbagai sumber informasi terkait seperti karya ilmiah, laporan keuangan daerah, jurnal-jurnal yang berkaitan, skripsi, tesis dan berbagai berita yang terkait. Data sekunder menggunakan deret waktu (time series) untuk kurun waktu 2003-2010 dan data kerat lintang (cross section) yang meliputi 15 kabupaten/kota di NTT. 3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menjadikan Provinsi Nusa Tenggara Timur berdasarkan
kabupaten/kota sebagai unit analisis. Lokasi NTT yang merupakan wilayah timur Indonesia yang memiliki beberapa permasalahan dalam ketahanan pangan dan kinerja
fiskal
membuat
masih
bisa
dikembangkannya
potensi
kinerja
perekonomian dan ketahanan pangan daerah. 3.3
Metode Analisis Metode analisis yang digunakan mencakup metode analisis deskriptif dan
analisis kunatitatif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan bantuan Ms. Excel dan program Eviews 6.1. 3.3.1 Metode Analisis Deskriptif Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif untuk menjelaskan kondisi ketahanan pangan dan kinerja fiskal kabupaten dan kota yang ada di NTT. Analisis deskriptif adalah metode – metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna (Walpole, 1993). Statistika deskriptif memberikan informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih sederhana
39
dan ringkas sehingga diperoleh penjelasan dan penafsiran yang dibutuhkan dalam menjawab permasalahan yang diajukan. Penyusunan tabel, grafik, dan diagram dan besaran-besaran nilai lain di berbagai sumber terkait termasuk dalam kategori statistika deskriptif ini. Kinerja fiskal dapat dijelaskan dari posisi fiskal yang mencakup kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal dan derajat otonomi fiskal yang menjelaskan keadaan fiskal yang terdapat di setiap kabupaten/kota. Dalam perhitungan kinerja fiskal ada beberapa hal yang akan digunakan proksi sebagai pendekatan untuk mengukur sejumlah konsep yang digunakan dalam studi kinerja fiskal dan posisi fiskal daerah ini, perhitungan ini mengacu pada jurnal Muara Nanga (2005) sebagai berikut : 1.
Derajat otonomi fiskal / derajat kemandirian fiskal daerah diukur dengan menggunakan ukuran seperti
rasio penerimaan yang terdiri atas
pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah. Apabila hasil PAD terhadap total penerimaan daerah tinggi, berarti derajat otonomi fiskal daerah tinggi, dan hal sebaliknya berlaku. 2.
Kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity), Cj, diukur dengan menggunakan formula sebagai berikut : Cj = PDRBj / POPj SFC dimana; PDRBj = produk domestik regional bruto dari seluruh kabupaten/kota dari provinsi yang diteliti. POPj
= jumlah penduduk dari kabupaten/kota di provinsi
40
SFC
= standar kapasitas fiskal, yang dihitung dengan formula sebagai berikut ∑ PDRB
SFC =
∑ POP dimana;
∑ PDRB = jumlah PDRB dari seluruh kabupaten/kota dari provinsi yang diteliti ∑ POP
=
jumlah penduduk dari seluruh kabupaten/kota
dari provinsi yang diteliti, 3.
Kebutuhan fiskal daerah (fiscal needs) Nj, diukur menggunakan formula sebagai berikut : Nj = TPEKj / POPj SFN dimana;
TPEKj
=
total pengeluaran ( pengeluaran rutin ditambah
pengeluaran pembangunan) dari kabupaten/kota dari provinsi yang diteliti. SFN
= standar kebutuhan fiskal, yang dihitung dengan
formula sebagai berikut : ∑ TPEK
SFN =
∑ POP dimana;
∑ TPEK
= jumlah pengeluaran dari seluruh kabupaten/kota
provinsi yang diteliti. Untuk melihat hubungan linier antara variabel derajat otonomi fiskal dan ketahanan pangan digunakan koefisien korelasi. Walpole (1993) merumuskan analisis korelasi dengan formula:
41
݊ ∑ ݕݔ− ሺ∑ݔሻሺ∑ݕሻ r=
[ ݊ ∑ ݔଶ − ሺ∑ݔሻଶ ] [ ݊ ∑ ݕଶ − ሺ∑ݕሻ²] -1 ≤ r ≤ 1
dimana: r
= koefisien korelasi
n
= banyaknya jumlah data (n-tahun) Jika r semakin mendekati angka 1 atau -1 maka korelasi yang terjadi akan
semakin kuat baik positif maupun negatif. Sebaliknya jika semakin mendekati 0 korelasi yang terjadi semakin lemah. 3.3.2 Metode Analisis Regresi Panel Data Dalam suatu penelitian terdapat beberapa hambatan mengenai ketersedian data. Kecukupan data merupakan salah satu syarat untuk mewakili variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Analisis data panel adalah suatu metode mengenai penggabungan dari data antar waktu (time series) dengan data antar individu (cross section). Penggabungan ini dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih banyak sehinga pendugaannya lebih tepat. Menurut Baltagi (1995), penggunaan data panel memiliki beberapa keuntungan di bandingkan dengan analisis data cross section atau analisis data time series saja. Beberapa keunggulan dari penggunaan data panel antara lain : 1. Memberikan data yang informatif, lebih bervariasi, menambah derajat bebas, lebih efisien dan mengurangi kolinearitas antar variabel. 2. Memungkinkan analisis terhadap sejumlah permasalahan ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab oleh analisis data time series ataupun cross section saja.
42
3. Memperhitungkan derajat heterogenitas yang lebih besar yang menjadi karakteristik dari individual antar waktu. 4. Adanya fleksibilitas yang lebih tinggi dalam memodelkan perbedaan perilaku antar individu dibandingkan data cross section. 5. Dapat menjelaskan dynamic adjustment secara lebih baik. Dalam model data panel menggunakan data time series dengan persamaan: Yt= β0 + β1 Xt + µ t ; t= 1,2,..,T………….............…………….........……(3.1) Dimana T adalah banyaknya data time series Sedangkan model panel data dalam data cross section dengan persamaan : Yi= β0 + β1 Xi + µ i ; i= 1,2,..,N……….............………………........……(3.2) Dimana N adalah banyaknya data cross section Sehingga penggabungan data time series dan data cross section dalam model panel data menghasilkan persamaan : Yit= β0 + β1 Xit + µ it..................................................................................(3.3) Dalam model data panel dikenal dengan tiga macam pendekatan yang terdiri dari pendekatan kuadrat terkecil (pooled least square), pendekatan efek tetap (fixed effect), dan pendekatan efek acak (random effect). Pengolahan data panel memiliki tiga kriteria pembobotan yang berbeda yaitu No Weighting (semua observasi diberi bobot yang sama), Cross Section Weights (GLS dengan menggunakan estimasi varians residual cross section, digunakan apabila ada asumsi bahwa terdapat cross section heteroskedasticity), dan SUR (GLS dengan menggunakan covariance matrix cross section). Metode ini mengoreksi baik heteroskedastisitas maupun autokorelasi antar unit cross section (Hasugian, 2006)
43
Penelitian ini melihat pengaruh kinerja fiskal dengan variabel DAU, pengeluaran pemerintah, PAD dan pendapatan perkapita, sedangkan pengaruh ketahanan pangan dengan variabel jumlah penduduk tidak tahan pangan yang mengkonsumsi kalori di bawah 2100 kkal/kapita/hari, banyaknya fasilitas kesehatan, jumlah penduduk berpendidikan tamat SMP, produksi pertanian yang dilihat dari produksi beras, dan luas lahan panen di Provinsi NTT. Kombinasi atau pooling menghasilkan 120 observasi dengan fungsi persamaan data panelnya sebagai berikut : LN MISKINit= β0+ β1 LN DAUit+ β2 LN PADit + β3 LN PEMit+ β4 LN PPit+ β5 LN BFKit + β6 LN LAHANit + β7 LN PRODit
+
β8 SMPit
+
µit……………......................................................................................…(3.4) Dimana : LN MISKIN
= Logaritma natural jumlah penduduk tidak tahan pangan yang mengkonsumsi kalori di bawah kebutuhan dasar sebesar 2100 kkal/kapita/hari (Ribu jiwa).
LN DAU
= Logaritma natural Dana Alokasi Umum (000).
LN PAD
= Logaritma natural Pendapatan Asli Daerah (000).
LN PEM
= Logaritma natural pengeluaran pemerintah (000).
LN PP
= Logaritma natural pendapatan perkapita (Rupiah).
LN BFK
= Logaritma natural banyaknya fasilitas kesehatan (Unit).
LN LAHAN
= Logaritma natural luas lahan panen (Ha).
LN PROD
= Logaritma natural jumlah produksi beras (Ton).
SMP
= banyaknya penduduk berpendidikan tamat SMP (persen)
β0 β 1, β2, β3
=
Intersep
= Koefisien regresi variabel bebas
44
µ it
= Komponen error
i
= 1,2,3,..15 (data cross section Kabupaten/Kota di NTT)
t
= 1,2,3,...8 (data time series 2003-2010)
Dalam penelitian ini DAU, PAD, pengeluaran pemerintah, pendapatan perkapita, banyaknya fasilitas kesehatan, luas lahan panen, jumlah produksi padi dan pendidikan tamat SMP memiliki pengaruh terhadap ketahanan pangan di NTT tahun 2003-2010 menggunakan asumsi Fixed Effect Model (FEM) dengan koefisien slope konstan tetapi intersep bervariasi antar individu. 3.4
Pengujian Model Pemilihan model dilakukan dengan pengujian terhadap parameter yang telah
diestimasi. Untuk menentukkan model terbaik dapat dilakukan dengan Uji Chow Test dan Uji Hausmant Test. Untuk mengukur validitas dari suatu persamaan maka dilakukan pengujian orde pertama atau orde kedua. Pengujian orde pertama meliputi uji koefisien determinasi (R2), uji t, dan uji F. Sedangkan orde kedua adalah uji penyimpangan yang meliputi uji autokorelasi, uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas dan uji kenormalan. 3.4.1 Uji Chow Test Pengujian ini digunakan untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square atau Fixed Effect. Asumsi yang terjadi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan saja setiap unit cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0: Model PLS (Restricted) H1: Model Fixed Effect (Unrestricted)
45
dasar penolakan terhadap hipotesa nol tersebut adalah dengan menggunakan F Statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow: (RRSS-URSS) / (N-1) CHOW = URRSS / (NT – N – K) .........................................................(3.5) Dimana: RRSS = Restricted Residual Sum Square (merupakan Sum of Square Residual yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode pooled least square / common intercept). URSS = Unrestricted Residual Sum Square (merupakan Sum of Square Residual yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode fixed effect). N
= jumlah data cross section
T
= jumlah data time series
K
= jumlah variabel penjelas Pengujian ini mengikuti distribusi F statistik yaitu FN-1,
NT-N-K.
Jika nilai
CHOW Statistics (F Stat) hasil pengujian lebih besar dari F tabel, maka cukup bukti bagi kita untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga model yang akan kita gunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya. 3.4.2 Uji Hausmant Test Pengujian ini dilakukan untuk memilih apakah model yang digunakan fixed effect atau random effects. Pengujian dilakukan terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara regresor dan efek individu. Hausmant (1978) menyajikan bentuk uji hipotesis nol dimana Xit dan αi tidak berkorelasi dan hipotesis alternatif untuk kondisi yang sebaliknya.
46
Dalam pengujian ini dilakukan dengan menggunakan hipotesa sebagai berikut: H0 : E(τi / xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat H1 : E(τi / xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat Dasar penolakan yang digunakan statistik Hausmant dan membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausmant dirumuskan dengan : H = (βREM – βFEM )’(MFEM –MREM)-1 (βREM – βFEM ) ~ χ2 (k)................(3.6) dimana : M
: matriks kovarians untuk parameter β
k
: degrees of freedom
apabila nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed effects, begitu juga sebaliknya. 3.4.3 Koefisien Determinasi (R2) Untuk menjelaskan presentase variasi total peubah tidak bebas yang disebabkan oleh peubah bebas yang digunakan pengujian R2 . Nilai R2 berkisar dari nol sampai satu (0 ≤ R2 ≥ 1 ). Jika nilainya 0 maka tidak ada hubungan antara peubah bebas dengan tidak bebas. Namun jika nilainya mendekati 1, maka terdapat hubungan yang erat antara peubah bebas dengan peubah tidak bebas. 3.4.4 Uji F Dalam menganalisis model, dilakukan pengujian model secara keseluruhan menggunakan statistik uji-F. Jika signifikan maka dapat menjelaskan keragaman Y, sehingga dilanjutkan dengan pengujian statistik uji-T. Untuk uji F hipotesis diuji adalah : H0 = β1= β2=…= βk= 0
47
H1 = minimal ada satu parameter dugaan (βi) yang tidak sama dengna nol (paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas). Pengujian uji-F ini dilihat dari nilai probabilitas F-statistiknya. Jika P-Value menunjukkan besaran yang kurang dari taraf nyata yang digunakan (α), dapat disimpulkan tolak H0, yang artinya minimal ada satu parameter dugaan yang tidak sama dengan nol (paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas). 3.4.5 Uji T Uji t digunakan untuk melihat keabsahan dari hipotesis yang telah diberikan dan membuktikan bahwa koefisien regresi dalam model secara statistik bersifat signifikan atau tidak. Untuk uji T hipotesis yang diuji adalah : H0 = βj = 0 H1 = βj ≠ 0 ; j = 1,2, ..., k Pengujian uji-T ini dilihat dari probabilitas t-statistiknya. Jika probabilitas tstatistik menunjukkan nilai yang kurang dari derajat kepercayaan yang digunakan (α), maka dapat dikatakan tolak H0 yang berarti peubah bebas berpangaruh nyata terhadap peubah tidak bebas dalam model dan begitu pula sebaliknya, jika H0 diterima maka peubah bebas tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas pada tingkat signifikansi tertentu. 3.5
Uji Pelanggaran Asumsi Uji pelanggaran asumsi dilakukan untuk memenuhi persyaratan pada model
yang akan digunakan. Setelah melakukan pemilihan model terbaik menggunakan
48
uji Hausmant test maka dapat melakukan uji pelanggaran terhadap asumsi yang digunakan di dalam model. 3.5.1 Multikolinearitas Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara variabel-variabel independen dalam persamaan regresi berganda. Jika nilai R2 yang diperoleh tinggi (antara 0,7 hingga 1) tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang nyata pada taraf uji tertentu dan tanda koefisien regresi dugaan tidak sesuai teori maka model yang digunakan berhubungan dengan masalah multikolinearitas. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi multikolinearitas dapat diatasi dengan memberi perlakuan cross section weights, sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu (t-statistik maupun F hitung) menjadi signifikan. 3.5.2 Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antara serangkaian individu yang diteliti yang diurut menurut waktu (time series) atau ruang (cross section). Dalam hal ini autokorelasi sering menimbulkan masalah yang serius sehingga menyebabkan varians residual yang diperoleh lebih rendah, sehingga R2 terlalu tinggi dan pengujian hipotesis t statistik dan F statistik menjadi tidak menyakinkan. Uji yang sering digunakan untuk mendeteksi apakah pada data yang diamati terjadi autokorelasi atau tidak maka menggunakan uji Durbin Watson dengan membandingkan DW statistiknya dengan DW tabel. Untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan metode Generalized Least Square dalam estimasi model (Gujarati, 2004). Adapun kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam tabel 3.2.
49
Tabel 3.2 Kerangka identifikasi autokorelasi Nilai Durbin-Watson DW < 1,10 1,10 < DW < 1,54 1,55 < DW < 2,46 2,46 < DW < 2,90 DW > 2,91 Sumber : Firdaus, 2004
Kesimpulan Ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Tidak ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Ada autokorelsi
3.5.3 Heteroskedastisitas Bila dalam suatu model dijumpai adanya masalah heteroskedastisitas maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Untuk mengetahui adanya
pelanggaran
asumsi
heteroskedastisitas
digunakan
uji
White
Heteroscedasticity yang diperoleh dalam program Eviews. Nilai estimasi parameter dalam model regresi diasumsikan bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate). Hal ini menyebabkan var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua residual atau error mempunyai varian yang sama, yang disebut dengan homoskedastisitas. Menurut Gujarati (2003) bahwa masalah heteroskedastisitas nampaknya menjadi lebih biasa dalam data cross section dibandingkan data time series. 3.5.4 Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel dependen dan variabel independen, mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang terbaik adalah yang terdistribusi secara normal atau mendekati normal. Hipotesis yang digunakan adalah, H0
: error term menyebar normal
H1
: error term tidak menyebar normal
50
Uji normalitas diaplikasikan dengan melakukan tes Jarque Bera, jika nilai probabilitas yang diperoleh lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka terima H0 yang berarti error term dalam model sudah menyebar normal.
51
IV. 4.1
GAMBARAN UMUM
Kondisi Umum
4.1.1 Geogafis Nusa Tenggara Timur adalah salah provinsi yang terletak di sebelah timur Indonesia. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di selatan khatulistiwa pada posisi 8˚-12˚ Lintang Selatan dan 118 ˚-125˚ Bujur Timur. Batas-batas wilayah : • Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Flores • Sebelah Selatan dengan Samudera Hindia • Sebelah Timur dengan Negara Timor Leste • Sebelah Barat dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat NTT merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 566 pulau, 432 pulau diantaranya sudah mempunyai nama dan sisanya sampai saat ini belum mempunyai nama. Luas wilayah daratan 47.349,90 km² atau 2,49%
luas
Indonesia dan luas wilayah perairan ± 200.000 km² diluar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indoneisia (ZEEI). Penelitian ini hanya dilakukan terhadap 15 kabupaten dan kota, dengan alasan ke lima belas kabupaten ini merupakan penggabungan dari beberapa pemekaran kabupaten ke kabupaten induk. NTT melakukan pemekaran daerah dari tahun 2001 hingga tahun 2010. 4.1.2 Topografi dan Klimatologi Dari aspek topografi sebagian besar wilayah NTT berupa gunung dan bukit, sedangkan dataran rendah hanya sebagian kecil. Sampai dengan tahun 2009, luas lahan sawah di NTT hanya 3,73 persen selebihnya lahan kering, seperti hutan,
52
kebun, industri, padang rumput, pekarangan, rawa, tambak, kolam, tanah kering yang sementara tidak diusahakan, serta tanah kering lainnya. Seperti pada umumnya di wilayah Indonesia, musim yang terjadi di NTT yaitu musim kemarau dan musim hujan. Walaupun demikian mengingat NTT dekat dengan Australia, arus angin yang banyak mengandung uap air dari Asia dan Samudra Pasifik sampai diwilayah NTT kandungan uap airnya sudah berkurang yang mengakibatkan hari hujan di NTT lebih sedikit dibandingkan yang dekat dengan Asia. 4.2
Keadaan Perekonomian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator
yang digunakan untuk melihat kondisi perekonomian suatu wilayah. Pada tahun 2010 besaran PDRB Provinsi NTT atas dasar harga berlaku sebesar Rp 27.71 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan 2000 sebesar Rp 12.53 triliun. PDRB per kapita penduduk NTT atas dasar harga konstan 2000 mencapai Rp 2.68 juta lebih tinggi dibandingkan tahun 2009 (Rp 2.59 juta). Selanjutnya pada semester 1 tahun 2011, PDRB NTT atas dasar harga berlaku mencapai nilai 14.86 triliun rupiah atau meningkat 14,31 persen dari semester 1 tahun sebelumnya. Kenaikkan ini didukung dari pertumbuhan kegiatan ekonomi dan dengan adanya perubahan harga-harga dipasar yang cenderung meningkat (BPS, 2011). Tabel 4.1 Perkembangan PDRB NTT Uraian PDRB ADHB (Triliun Rp) PDRB ADHK (Triliun Rp) PDRB per Kapita ADHK ( Juta Rp) Pertumbuhan Ekonomi (%) Keterangan : *) Data tidak tersedia Sumber : BPS Provinsi NTT
2009 24.16 11.92 2.59 4,29
2010 27.71 12.53 2.86 5,13
Semester 1 2011 14.86 6.38 *) 5,85
53
Sektor tersier seperti sektor jasa tumbuh sebesar 7,52 persen yang mengalami percepatan sebesar 12,87 persen. Sektor perdagangan mengalami pertumbuhan 7,28 dengan percepatan 10,76 persen. Namun sebaliknya sektor pertanian yang hanya tumbuh sebesar 2,66 persen mengalami perlambatan sebesar -1,24 persen yang disebabkan adanya perubahan iklim sehingga mengubah jadwal musim tanam. Semua komponen ini mendukung perekonomian NTT tumbuh sebesar 5,85 persen pada semester 1 tahun 2011. Saat ini perekonomian NTT mengalami pergeseran dari dominasi sektor pertanian ke sektor jasa yang terus mengalami peningkatan cukup signifikan. Pada semester pertama 2011 kontribusi sektor jasa mencapai 32 persen dan kontribusi sektor pertanian sebesar 35 persen. Peningkatan penerimaan dari sektor jasa membantu sumbangan terhadap PDRB dalam perekonomian. Selain sektor jasa, sektor yang cukup berperan dalam sumbangan PDRB adalah perdagangan yang memberikan kontribusi sebesar 16 persen. Pada semester 1 2011 sebagian besar PDRB digunakan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga yaitu sebesar 72,69 persen. Sedangkan konsumsi pemerintah memberikan kontribusi sebesar 22,24 persen. Komponen PDRB mengalami pertumbuhan yang didukung dari konsumsi pemerintah sebesar 12,16 persen, modal tetap bruto sebesar 6,93 persen, impor barang dan jasa sebesar 6,25 persen, konsumsi rumah tangga sebesar 5,34 persen, konsumsi lembaga swasta nirlaba sebesar 5,06 persen dan ekspor barang dan jasa sebesar 0,59 persen (BPS, 2011). 4.3
Kondisi Fiskal Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Kebijakan fiskal bagi provinsi NTT memiliki kontribusi penting bagi
pendorong (stimulus) pertumbuhan ekonomi. Ketergantungan sektor swasta
54
terhadap anggaran belanja pemerintah, baik provinsi maupun pemerintah pusat belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Peran anggaran pemerintah terhadap perekonomian NTT tercermin dari share konsumsi pemerintah terhadap struktur pembentukan angka PDRB di NTT. Melalui alokasi belanja modal, belanja barang dan jasa yang disalurkan oleh berbagai instansi terkait, anggaran pemerintah di transmisikan kepada sektor-sektor usaha sebagai salah satu trigger aktivitas perekonomian. Pada tahun 2010, terjadi peningkatan baik dari sisi pendapatan maupun belanja. Penerimaan mengalami peningkatan sebesar 0,05% dibandingkan tahun 2009 menjadi Rp 1.08 triliun dari Rp 1.02 triliun dengan alokasi terbesar masih tetap bersumber dari dana perimbangan, yaitu dana alokasi umum sebesar sekitar 75 persen. Pos pendapatan asli daerah sebesar Rp 298.15 miliar, dengan porsi terbesar berasal dari penerimaan pajak daerah. Pemerintah daerah masih memiliki ketergantungan
yang
tinggi
terhadap
bantuan
pemerintah
pusat.
Dana
perimbangan masih memberikan kontribusi yang besar untuk mengisi celah fiskal (fiscal gap) dalam share pos pendapatan daerah. Peningkatan penerimaan pemerintah daerah juga diikuti dengan peningkatan pengeluaran daerah baik dari segi belanja pemerintah maupun pembiayaan pemerintah. Dalam segi belanja pemerintah terjadi peningkatan sebesar 0,11 persen dan dari segi pembiayaan pemerintah mengalami kenaikan sebesar 1,27 persen. Dengan adanya peningkatan baik dari segi penerimaan maupun segi pengeluaran pemerintah, kinerja keuangan dapat dilakukan seoptimal mungkin dengan pemberdayaan sumber-sumber dana untuk perbaikan infrastruktur. Infrastrukutur berperan sebagai sarana pembangunan daerah yang akan
55
meningkatkan kegiatan perekonomian. Peningkatan anggaran yang diberikan setiap tahun seharusnya dapat dibarengi dengan peningkatan kinerja dan perbaikan taraf hidup. Hal ini berkaitan dengan alokasi dana yang digunakan oleh pemerintah daerah sebagai bentuk tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah pusat. Pengalokasian dana akan lebih produktif apabila dikembangkan pada sektor-sektor riil yang berdampak langsung terhadap masyarakat sehingga pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi dengna baik. Peningkatan transfer terjadi pada DAU dan DBH, kecuali terjadi penurunan pada DAK pada tahun 2010 sebesar 6,97 persen. Penerimaan DBH masih didominasi dari penerimaan pajak sebesar Rp 482.209 juta sedangkan DBH yang bersumber dari kekayaan alam hanya sekitar Rp 9.895 juta yang terjadi pada tahun 2011. Penerimaan DBH yang bersumber dari kekayaan alam cenderung sedikit. Hal ini disebabkan wilayah NTT yang kurang mempunyai sumber daya alam. Kekayaan alam NTT berasal baik dari sektor migas maupun sektor non migas sumbangannya tidak terlalu banyak terhadap penerimaan daerah. NTT memiliki kecenderungan untuk meningkatkan sektor peternakan karena didukung dengan keadaan alam yaitu tersedianya padang sabana. Namun potensi ini tidak termanfaatkan dengan baik akibat kurangnya produktivitas peternak dan keadaan iklim yang kurang mendukung. DAK yang diberikan oleh pemerintah pusat dikhususkan guna membiayai program-program yang memberikan kontribusi terhadap prioritas-prioritas pembangunan nasional. Perkembangan kontribusi dari masing-masing sektor pembangunan tidak terlepas dari sektor-sektor utama dalam peningkatan PDRB daerah. Sedangkan Dana Bagi Hasil (DBH) penerimaan yang bersumber dari
56
pajak (pada tingkat nasional) dan sumber daya alam yang dibagikan diantara pemerintah pusat dan pemerintah-pemerintah daerah berdasarkan rasio yang telah disepakati di dalam peraturan perundang-undangan. 4.4
Kondisi Ketahanan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Peristiwa kekurangan pangan dan kelaparan di NTT terkadang hanya dilihat
dalam konteks ketidakcukupan pangan akibat sebab-sebab alamiah. NTT adalah salah satu provinsi termiskin di Indonesia, fenomena kelaparan atau rawan pangan terjadi hampir setiap tahun sebagai pertanda kemiskinan yang kronis (Sura, 2010). Dari 15 kabupaten dan kota yang terdapat di provinsi NTT enam diantaranya terindikasi memiliki ketahanan pangan yang sangat rentan sehingga dilakukan prioritas untuk penanggulan daerah rawan pangan.
Gambar 4.1 Peta Kerentanan Rawan Pangan Nusa Tenggara Timur Sumber : FSVA, 2009
Dalam
gambar
4.1
diperlihatkan
adanya
perbedaan
warna
yang
menunjukkan tingkat kerawanan pangan disetiap daerah. Setiap warna
57
menunjukkan prioritas daerah yang memiliki tingkat kerawanan pangan dari yang tertinggi hingga terendah. Keenam kabupaten yang terindikasi daerah rawan pangan yang sangat tinggi adalah Sumba Barat(199), Sumba Timur(200), Kupang(201), Timur Tengah Selatan (202), Manggarai(211), dan Manggarai Barat(213). Keenam kabupaten tersebut masuk kedalam peringkat 30 besar kabupaten yang paling rentan berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan Komposit. Kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan yang kronis secara komposit ditentukan
berdasarkan
sembilan
indikator
yang
berhubungan
dengan
ketersediaan pangan, akses pangan dan penghidupan, serta pemanfaatan pangan dan gizi. 4.4.1 Produksi Sektor pertanian masih menjadi sektor yang dominan dalam pembentukkan struktur perekonomian di Provinsi NTT. Namun, selama lima tahun terakhir peranan sektor pertanian cenderung menurun yang disebabkan karena lahan garapan yang semakin sempit, persoalan kekeringan atau pasokan air yang tidak menentu. Keadaan iklim sekarang yang tidak menentu menyebabkan adanya perubahan musim tanam yang berpengaruh pada tingkat produksi yang dihasilkan. Tabel 4.2 Produktivitas tanaman padi di berbagai Provinsi tahun 2006-2010 (Ku/Ha) Provinsi Aceh Jawa Tengah NTT Maluku Papua Indonesia Sumber : BPS, 2012
2006 42,11 52,2 29,55 35,94 34,33 46,2
2007 42,51 53,38 30,32 37,21 35,58 47,05
2008 42,61 55,06 30,75 39,61 35,05 48,94
2009 43,32 55,65 31,27 37,21 35,58 47,05
2010 42,11 52,2 31,80 35,94 34,33 46,2
58
Dalam tabel 4.2 terlihat tingkat produktivitas tanaman padi diberbagai provinsi. Perkembangan produktivitas tanaman padi setiap tahunnya mengalami peningkatan. NTT merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan ketiga ternyata memiliki produktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan Papua dan Maluku yang menempati urutan pertama dan kedua. Hal ini dapat dilihat dari data yang menunjukkan bahwa tingkat produktivitas padi di NTT hanya mencapai 31,80 (Ku/Ha) masih jauh dibawah produksi Indonesia pada tahun 2010. Data statistik menunjukkan luas panen padi lima tahun terakhir mengalami fluktuasi. Terjadi penurunan yang cukup signifikan dari tahun 2009 ke tahun 2010. Pada tahun 2009 luas panen padi sebesar 3,3 persen dan mengalami penurunan yang cukup tajam sebesar -10,06 persen. Keadaan ini sejalan dengan kerusakan tanaman padi yang dipengaruhi oleh faktor iklim. Hujan yang berkepanjangan selama tahun 2010 mengakibatkan kerusakan tanaman padi seluas 24 ribu hektar atau meningkat hampir 6 (enam) kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 4 ribu hektar. Akibat kerusakan ini terjadi penurunan produksi dari 5,09 persen pada tahun 2009 menjadi -8,53 persen pada tahun 2010. Melihat fenomena perubahan iklim yang terjadi saat ini, diperlukan upaya kerja keras untuk memecahkan persoalan pencapaian produksi padi. Pada umumnya petani NTT masih mengandalkan hujan sebagai sumber pengairan yang utama. Penggunaan infrastruktur berupa sistem irigasi belum optimal digunakan sebagai penggunaan teknologi untuk peningkatan produksi padi. Pemberdayaan lahan kritis menjadi lahan yang produktif membuat masalah ketersediaan lahan untuk garapan menjadi salah satu solusi yang tepat. Pada tahun 2009, untuk luas lahan kritis di NTT telah mencapai 1.313.897 ha atau 27,74
59
persen dari total luas wilayah 4.735.000 ha. Kerusakan ini disebabkan eksploitasi terhadap sumberdaya lahan semakin intensif, tanpa diikuti tindakan rehabilitasi dan pelestarian. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki lahan kritis adalah dengan melakukan penanaman pohon dan melibatkan teknologiteknologi yang sesuai dengan struktur geografis dan karakteristik wilayah yang sesuai. 4.4.2 Akses Terhadap Pangan Akses terhadap pangan adalah salah satu dari tiga pilar indikator ketahanan pangan. Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, stok, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan. Ketersediaan pangan disuatu daerah tidak menjamin ketersediaan pangan di dalam suatu rumah tangga. Menurut FSVA (2009), akses pangan tergantung pada daya beli rumah tangga yang ditentukan oleh penghidupan rumah tangga tersebut. Penghidupan rumah tangga terdiri dari kemampuan rumah tangga, modal/aset (sumber daya alam, fisik, sumber daya manusia, ekonomi dan sosial) dan kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan hidup dasar seperti penghasilan, pangan, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. Pemerintah Indonesia yang mengacu pada kriteria BPS menggunakan standar kebutuhan dasar sebagai batas kemiskinan. Semakin besar jumlah penduduk miskin di suatu provinsi atau kabupaten maka akses terhadap pangan akan semakin rendah dan angka kerawanan pangan akan semakin tinggi (FSVA, 2009). Berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh FSVA NTT menempati peringkat ketiga setelah Papua dan Maluku dalam jumlah kabupaten-kabupaten
60
yang memiliki 30 persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan NTT merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam menanggulangi tingkat kerawanan pangan daerah maupun rumah tangga. Selain itu, salah satu penyebab adanya “kemiskinan lokal” adalah dimana masyarakat yang tinggal di daerah
atau terpencil tidak mempunyai akses
infrastruktur baik jalan maupun akses pasar. Masyarakat kesulitan dalam mengakses kebutuhan pangan yang terletak jauh dari tempat tinggal mereka. Akses jalan yang baik mendukung pendistribusian pangan yang lancar kesetiap kabupaten yang ada di NTT. Kemudahan dalam akses jalan memudahkan pemerintah untuk mengurangi tingkat kerawanan pangan daerah yang disebabkan terisolirnya suatu daerah akibat kendala infrastruktur jalan. Peningkatan perbaikan akses jalan tumbuh setiap tahunnya. Pada tahun 2008 panjang jalan baik mencapai 803.95 km dan meningkat pada tahun 2009 menjadi 867.54 km. Keterbelakangan infrastruktur dapat menghalangi laju perkembangan dari suatu wilayah. Infrastruktur yang baik akan berpengaruh terhadap invesatsi yang akan dikembangkan di suatu daerah sehingga akan memberikan penghidupan yang layak bagi masyarakat. Akses jalan memberikan akses yang lebih baik ke pasar yang akan memudahkan produsen untuk memasarkan hasil produksi kepada penjual dan pembeli. Akses jalan juga merupakan salah satu sarana terpenting dalam menghubungkan pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang berguna untuk memperbaiki standar kehidupan.
61
Kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan kualitas manusia dalam peningkatan produktivitas. Tingkat kesehatan yang baik dapat didukung dengan pelayanan kesehatan yang memadai sebagai sarana penunjang. Tabel 4.3 Persentase rumah tangga dengan akses yang sangat terbatas terhadap sarana pelayanan kesehatan tahun 2007 (%) Provinsi
Aceh Jawa Tengah NTB NTT Maluku Papua
Rumah Sakit
Puskesmas
33 34 13 25 18 17
311 117 134 253 142 83
Dokter
365 295 153 269 35 54
% RT akses sangat terbatas terhadap fasilitas kesehatan (>5 km) 10.8 2.00 3.80 14.20 10.40 12.70
Sumber : FSVA, 2009 Tabel 4.3 memperlihatkan jumlah pelayanan kesehatan diberbagai provinsi. NTT merupakan provinsi yang memiliki jumlah pelayanan kesehatan yang relatif banyak bila dibandingkan dengan Papua dan Maluku. Namun dalam persentase akses terhadap fasilitas kesehatan (>5 km), NTT merupakan provinsi yang memiliki tingkat keterbatasan akses yang lebih tinggi yaitu sebesar 14,20 persen dibandingkan dengan provinsi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan pelayanan kesehatan yang baik apabila tidak diimbangi dengan kemudahan akses maka akan kurang menunjukkan perubahan dalam kualitas kesehatan masyarakat. 4.4.3 Konsumsi dan Pengeluaran Rumah Tangga Konsumsi pangan menurut FSVA ini menunjukkan tingkat asupan energi penduduk yang dinyatakan dalam energi (kkal) per kapita per hari, dan asupan protein dinyatakan dalam gram per kapita per hari. Konsumsi pangan dihitung berdasarkan pengeluaran untuk makanan dalam rumah tangga selama sebulan dari
62
sampel yang di survei tiap tahun (FSVA, 2009). Tingkat konsumsi penduduk terhadap bahan makanan mencermikan keadaan gizi yang dialami oleh masyarakat. Apabila semua zat makanan atau gizi dipenuhi maka setiap orang mempunyai peluang untuk mendapatkan keadaan gizi yang layak. Keragaman dalam mengkonsumsi bahan makanan merupakan salah satu upaya pemenuhan gizi. Pemenuhan kebutuhan kalori yang baik bukan hanya terdapat dalam beras saja tetapi bisa dengan konsumsi umbi-umbi yang juga mengandung nilai kalori yang dibutuhkan oleh tubuh. Saat ini paradigma masyarakat masih terbatas dalam konsumsi beras sebagai makanan pokok utama, padahal pemerintah telah mencanangkan diversifikasi pangan sebagai upaya pengurangan kebutuhan konsumsi beras. Upaya ini dilakukan pemerintah sebagai salah satu cara mengatasi kerawanan pangan yang terjadi akibat adanya ketergantungan dalam mengkonsumsi beras. 80 70 60 50 40 30 20 10 0
1996 1999 2002
2005
Gambar 4.2 Rata-rata konsumsi kalori dan protein tahun 1996, 1999, 2002 dan 2005 (%).
Dalam gambar 4.2 diperlihatkan bahwa konsumsi penduduk terhadap kebutuhan kalori bertumpu pada konsumsi padi-padian dibandingkan konsumsi ubi-ubian. Konsumsi padi-padian sebesar 66,1 persen pada tahun 2005 sedangkan
63
konsumsi untuk ubi-ubian hanya sebesar 6,21 persen. Konsumsi ubi-ubian masih jauh tertinggal dibandingkan konsumsi padi-padian. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi beras masih sangat tinggi. Begitu pula dengan konsumsi protein yang memiliki porsi sangat kecil dalam pemenuhan gizi masyarakat. Konsumsi protein yang terdiri dari ikan, daging dan telur memiliki nilai yang rendah dalam pemenuhan gizi individu. Konsumsi ikan hanya sebesar 1,61 persen, daging 1,71 dan telur hanya sebesar 0,45 persen. Sebagian besar masyarakat hanya mengkonsumsi padi-padian sebagai sumber karbohidrat utama tanpa diimbangi dengan sumber protein lainnya baik dari protein hewani maupun dari protein nabati. Tingkat kesejahteraan suatu masyarakat secara ekonomi dapat digambarkan dengan besaran pendapatan/penghasilannya. Pendekatan yang dapat dipakai untuk mengetahui tingkat pendapatan masyarakat dapat dilihat dengan mengukur besaran pengeluaran konsumsi rumah tangga baik makanan maupun non makanan. Pola konsumsi masyarakat dapat berubah sesuai dengan proporsi pengeluaran yang digunakan untuk pembelian bahan makanan maupun non makanan. Pengeluaran rata-rata perkapita sebulan adalah hasil bagi antara total pengeluaran konsumsi seluruh penduduk selama satu bulan dengan jumlah penduduk. Pengeluaran rata-rata perkapita di NTT masih didominasi pengeluaran antara 200.000 - 299.999. Kondisi ekonomi yang memburuk dan tingkat inflasi yang tinggi dapat mempengaruhi pola konsumsi karena adanya penurunan standar hidup. Bagi penduduk yang berpendapatan rendah pengeluaran untuk konsumsi makanan lebih diprioritaskan.
64
Sebagian besar penduduk NTT menggunakan pengeluarannya untuk
makanan. Rata-rata pengeluaran per kapita kapita penduduk naik sebesar 3,8 persen pada tahun 2010 untuk kelompok kelompok bukan makanan dibanding tahun 2009.
bukan makanan 41%
makanan 59%
Gambar 4.3 Persentase rata-rata pengeluaran per kapita penduduk NTT menurut kelompok barang tahun 2010.
Dalam gambar 4.3 diperlihatkan bahwa pengeluaran untuk bahan makanan
masih mendominasi yaitu sebesar 59 persen dan pengeluaran bukan makanan sebesar 41 persen. Besarnya pola konsumsi masyarakat sangat dipengaruhi oleh besarnya tingkat pendapatan rumah tangga. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi masyarakat untuk bahan non pangan. Hal ini dapat menunjukkan meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Besarnya porsi pengeluaran terhadap konsumsi produk makanan maupun non makanan dapat berdampak pada tingkat inflasi yang terjadi di suatu provinsi. Semakin besar konsumsi produk produk non makanan ternyata berdampak pula pada bobot inflasi komoditi non makanan terhadap perhitungan inflasi Provinsi NTT.
65
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1
Kinerja Fiskal Dalam analisis ini kinerja fiskal dilihat dari derajat otonomi fiskal dan posisi
fiskal. Derajat otonomi fiskal di lihat dari rasio PAD terhadap total penerimaan sedangkan posisi fiskal dilihat dari rasio kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal. Dalam sisi penerimaan keuangan pemerintah daerah NTT banyak mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah dana yang di transfer oleh pemerintah pusat dalam bentuk DAU. Efisiensi dan efektifitas pengalokasian DAU atau transfer dana lainnya menjadi kunci indikator suatu kebijakan desentralisasi mencapai tujuan yang diharapkan. Peningkatan efektivitas penggunaan anggaran daerah dapat dilihat dari sisi pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk membiayai
program-program
yang
telah
dirancang
untuk
peningkatan
pembanguanan daerah dan ketahanan pangan pada khususnya. Alokasi pengeluaran pemerintah dalam membiayai kebutuhan dasar dalam peningkatan ketahanan pangan wilayah maupun rumah tangga menjadi indikator yang penting untuk melihat dana yang terserap pada pos-pos yang telah diberikan berjalan dengan lancar. 5.1.1 Analisa Derajat Otonomi Fiskal Untuk menghitung derajat otonomi fiskal, dapat digunakan rasio antar Pendapatan Asli Daerah terhadap total penerimaan daerah. Semakin besar rasio PAD terhadap total penerimaan daerah, maka dapat dikatakan bahwa daerah tersebut memiliki derajat otonomi fiskal yang tinggi. Sebaliknya, apabila nilai rasio kecil, maka dapat dikatakan bahwa daerah tersebut memiliki derajat otonomi fiskal yang rendah.
66
Untuk mengukur kriteria derajat otonomi fiskal suatu daerah secara kualitatif, seperti dikutip dari Thesaurianto (2007) dapat digunakan kriteria yang dikembangkan oleh tim litbang Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Fisipol UGM. Kriteria tersebut adalah: Tabel 5.1 Kriteria Derajat Otonomi Fiskal Rasio PAD
Penilaian
0 – 10
Sangat Kurang
10,01 - 20
Kurang
20,01 - 30
Sedang
30,01 - 40
Cukup
40,01 - 50
Baik
>50
Sangat Baik
Sumber: Thesaurianto (2007)
Dari hasil perhitungan derajat otonomi fiskal di setiap kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (lampiran 1) secara umum memiliki proporsi PAD yang relatif kecil dalam total penerimaan daerah. Tabel 5.2 Rata-rata Perkembangan Derajat Otonomi Fiskal Kabupeten/Kota Tahun 2003-2010 (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kabupaten/Kota Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timur Tengah Selatan Timur Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Kota Kupang
Sumber : Lampiran 1 (diolah)
Rata-rata 0.34 0.31 0.43 0.35 0.21 0.30 0.26 0.16 0.20 0.28 0.27 0.27 0.43 0.22 0.46
67
Secara rata-rata, dalam rentang waktu 8 tahun, nilai rasio PAD ini adalah sebesar 0.30 persen. Dari kriteria yang telah disebutkan pada tabel 5.2 kabupaten/kota di NTT memiliki derajat otonomi fiskal yang sangat kurang. Beberapa kabupaten/kota memiliki nilai derajat yang lebih baik diatas rata-rata daerah yaitu kabupaten Kupang, Manggarai dan Kota Kupang.
5.43 4.98
4.74
4.44
4.32 3.89
2003
2004
2005
2006
2007
4.04
2008
4.05
2009
2010
Gambar 5.1 Trend Derajat Otonomi Fiskal, PAD terhadap total penerimaan (%) Sumber: BPS, diolah
Gambar 5.1 diatas terlihat meskipun secara trend derajat otonomi fiskal sampai tahun 2010 ini menunjukkan kecenderungan peningkatan, namun nilai proporsi PAD tersebut masih secara umum dibawah 10 persen yang menunjukkan kategori sangat kurang karena berkisar antara 0-10 persen. Pada tahun 2004 rasio PAD menempati posisi tertinggi dengan nilai 5,43 persen. Hal ini dipicu dibeberapa kabupaten/kota di NTT rasio PAD mengalami peningkatan yaitu kabupaten Sumba Timur (meningkat dari 0.28% menjadi 0.36%), Kupang (meningkat dari 0.64% menjadi 0.70%), Timur Tengah Utara (meningkat dari 0.17% menjadi 0.23%), Flores Timur (meningkat dari 0.15% menjadi 0.23%) dan Kota Kupang (meningkat dari 0.34% menjadi 0.63%). Namun secara keseluruhan rasio PAD tertinggi masih dimiliki oleh Kota Kupang. Hal ini disebabkan Kota
68
Kupang adalah ibukota NTT yang merupakan sentra perekonomian dan pemerintahan yang ada di NTT. Perekonomian di Kota Kupang didukung juga dengan adanya penyediaan infrastrukutur yang memadai seperti akses jalan, bangunan pemerintahan dan pendidikan serta sarana pelayanan kesehatan yang baik. Dalam perkembangannya, sangat penting bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan upaya penerimaan dari hasil daerah itu sendiri seperti peningkatan basis pajak daerah dibandingkan dengan mengandalkan dana transfer dari pemerintah pusat. Karena nilai PAD yang besar menunjukkan kemandirian daerah tersebut dalam menggali potensi perekonomian yang ada. Dalam peraturannya nilai transfer dari pemerintah pusat akan terus disempurnakan dan dilokasikan pada kesesuaian kebutuhan dan kapasitas fiskal daerah. 5.1.2 Analisa Posisi Fiskal Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas fiskalnya dapat ditentukan dari posisi fiskal dari daerah tersebut. Posisi fiskal dapat dijelaskan dari kapasitas fiskal relatif terhadap kebutuhan fiskalnya. Kapasitas fiskal diperlukan untuk menjamin tingkat kinerja atau layanan standar yang diberikan pemerintah. Sedangkan kebutuhan fiskal diperlukan untuk melihat jumlah fiskal yang dibutuhkan daerah dalam menjalankan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Posisi fiskal yang kuat dapat dijelaskan apabila kapasitas fiskal lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan fiskalnya. Posisi fiskal dapat menjelaskan seberapa besar kinerja keuangan daerah dalam membiayai program – program yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Program – program yang telah dicanangkan pemerintah akan berjalan dengan baik
69
apabila di dukung dengan kondisi fiskal yang kuat sehinggat tujuan dalam pembangunan daerah yaitu menyejahterakan masyarakat dapat tercapai. Tabel 5.3 Rata-rata Kapasitas Fiskal dan Kebutuhan Fiskal Kabupaten/Kota Tahun 2003-2010 (%) No
Kabupaten/Kota
1 Sumba Barat 2 Sumba Timur 3 Kupang 4 Timur Tengah Selatan 5 Timur Tengah Utara 6 Belu 7 Alor 8 Lembata 9 Flores Timur 10 Sikka 11 Ende 12 Ngada 13 Manggarai 14 Rote Ndao 15 Kota Kupang Sumber: Lampiran 2 (diolah)
Kapasitas fiskal
4.24 7.50 7.76 5.34 5.48 5.29 5.41 3.36 6.24 7.11 7.56 6.15 4.52 6.85 17.12
Kebutuhan Fiskal
4.70 7.78 6.18 4.65 7.23 4.90 8.15 11.65 6.69 5.50 6.85 7.28 4.08 8.07 6.22
Selisih Kapasitas Fiskal dengan Kebutuhan Fiskal -0.46 -0.28 1.58 0.69 -1.75 0.39 -2.74 -8.29 -0.45 1.61 0.71 -1.13 0.44 -1.22 10.9
Dalam tabel 5.3 diperlihatkan nilai dari kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal di masing-masing kabupaten/kota. Posisi fiskal dapat dilihat dari selisih antara kapasitas fiskal dengan kebutuhan fiskal. Apabila nilai dari selisih tersebut semakin besar maka posisi fiskal di daerah tersebut kuat dan sebaliknya. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa terdapat beberapa kabupaten yang memiliki posisi fiskal yang kuat diantaranya adalah Kabupaten Kupang, Timur Tengah Selatan, Belu, Sikka, Ende, Manggarai, dan Kota Kupang. Kota Kupang menempati posisi fiskal paling kuat diantara daerah lainnya. Hal ini disebabkan Kota Kupang merupakan pusat perekonomian di NTT. Perekonomian Kota Kupang yang juga merupakan ibukota provinsi membuat daerah ini sebagai pusat perekonomian dan pusat pemerintah. Kota Kupang didukung dengan pelayanan kebutuhan dasar yang memadai seperti akses jalan
70
yang baik, infrastruktur dalam hal pendidikan dan kesehatan. Sektor yang cukup berperan dalam peningkatan penerimaan daerah di Kota Kupang adalah sektor tersier yang terdiri sektor industri barang dan jasa. Share yang diberikan oleh sektor ini sebesar 32 persen dalam menyumbang nilai PDRB. 5.2
Keterkaitan Derajat Otonomi Fiskal dengan Ketahanan Pangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan indikator kemandirian daerah
karena merupakan suatu pengoptimalan keuangan yang berada di daerah. PAD dapat dilihat dari kontribusi dari pajak maupun dari retribusi yang di pungut oleh pemerintah daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD terhadap pembiayaan pemerintah, mengindikasikan bahwa kemampuan daerah semakin besar dan mengurangi
ketergantungan
terhadap
dana
transfer
dari
pusat.
Dalam
kenyataannya PAD yang terdapat di provinsi NTT masih sangat kecil kontribusinya terhadap pembiayaan pemerintah. Share yang cukup besar dalam pembiayaan pemerintah daerah masih di dominasi dana transfer dari pusat yaitu DAU. Derajat otonomi fiskal yang dilihat dari rasio antara PAD dengan total penerimaan menunjukkan bahwa di seluruh kabupaten di NTT masih memiliki derajat otonomi yang sangat kurang yaitu hanya berkisar 0.30 persen. Dengan kecilnya kontribusi PAD terhadap pembiayaan pemerintah maka mengindikasi bahwa PAD masih belum dapat diandalkan dalam dalam upaya peningkatan ketahanan pangan. Ketahanan pangan dalam hal ini menggunakan pendekatan jumlah penduduk tidak tahan pangan yang mengkosumsi kalori dibawah 2100 kkal/kapita/hari. Hal ini tercermin dari analisis korelasi yang menunjukkan bahwa antara ketahanan pangan dengan derajat otonomi fiskal terjadi hubungan korelasi
71
positif pada taraf nyata 10 persen. Kontribusi derajat otonomi fiskal dengan ketahanan pangan sebesar 0,402 (Lampiran 3). Derajat otonomi fiskal yang terjadi di NTT hanya berkisar 0.30 persen yang mempunyai kriteria sangat kurang, sehingga dengan derajat otonomi fiskal yang ada masih menunjukkan angka penduduk yang tidak tahan pangan meningkat. Apabila suatu daerah mempunyai nilai derajat otonomi fiskal yang tinggi maka suatu daerah tersebut dapat dikatakan mandiri sehingga mampu membiayai program – program pemerintah khususnya dalam peningkatan ketahanan pangan. 7000000000 6000000000 5000000000 4000000000 DAU
3000000000
PAD
2000000000 1000000000 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 5.2 Perbandingan PAD dan DAU tahun 2003 – 2010.
Dalam gambar 5.2 ditunjukkan bahwa penerimaan daerah masih sangat didominasi oleh DAU dan sumber pembiayaan belanja barang publik masih mengandalkan DAU dibandingkan dengan PAD. PAD sebagai indikator kemandirian daerah pada hakikatnya masih belum dapat diandalkan untuk membiayai program – program pemerintah khususnya peningkatan ketahanan pangan. Ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana transfer dari pusat membuat kurangnya optimalisasi pemerintah daerah dalam mengelola potensi
72
keuangan yang ada di daerah sehingga kontribusi PAD dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan masih kurang. Berdasarkan hasil pembahasan di atas maka hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan hipotesis awal. Dari hasil analisis yang dilakukan bahwa derajat otonomi fiskal tidak menunjukkan hubungan yang negatif dengan tingkat ketahanan pangan yang dilihat dari jumlah penduduk tidak tahan pangan. Hal ini dikarenakan PAD yang merupakan proksi dari derajat otonomi fiskal masih menunjukkan kriteria yang sangat kurang sehingga dalam penerimaan dana oleh pemerintah daerah masih mengandalkan DAU sebagai sumber penerimaan. 5.3
Faktor – Faktor yang Memengaruhi Ketahanan Pangan Pengolahan data menggunakan bantuan software Eviews 6 yang berguna
untuk melakukan pengujian model data panel yang meliputi pengujian penyimpangan asumsi klasik, pengujian kriteria statistik, dan pengujian hipotesis. Untuk menjaga agar Ordinary Least Square (OLS) menghasilkan estimator yang baik pada model regresi maka digunakan pengujian penyimpangan asumsi klasik. Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh variabel independent kedalam variabel dependent maka digunakan pengujian kriteria statistik. Sedangkan pengujian hipotesis digunakan untuk menguji atas jawaban sementara terhadap rumusan masalah dalam penelitian (Masri, 2010). 5.3.1 Pengujian Model Terbaik Sebelum melakukan estimasi maka diperlukan pengujian data untuk pengujian model terbaik. Pengujian Uji Chow Test digunakan untuk menentukkan model terbaik yang akan digunakan antara PLS dan Fixed Effect Model. Pengujian
73
uji Hausman dilakukan untuk menentukan model terbaik yang akan digunakan antara Fixed Effect dan Random Effect. Hipotesis yang digunakan adalah H0 : E(τi / xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat H1 : E(τi / xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausmant dan membandingkannya dengan Chi square. Tabel 5.4 Uji Hausman Test Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic 55.080530
Chi-Sq. d.f. 8
Prob. 0.0000
Sumber : Lampiran 4
Dari hasil yang diperoleh dengan menggunakan uji Hausman nilai Probabilitas yang diperoleh sebesar 0.000. Apabila nilai p-value (0.000) < α 5% maka tolak H0, sehingga model yang lebih baik digunakan adalah model Fixed Effect. Hasil estimasi menggunakan model Fixed Effect dijelaskan dalam tabel sebagai berikut : Tabel 5.5 Hasil pengujian Fixed Effect Model Variable LNDAU LNPAD LNPEM LNPP LNBFK LNLAHAN LNPROD SMP C R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) R-squared Sum squared resid
Coefficient Std. Error t-Statistic 0.103011 0.058329 1.766025 -0.120287 0.045014 -2.672235 -0.011240 0.053895 -0.208553 -0.095103 0.056205 -1.692086 -0.024966 0.039582 -0.630747 0.247249 0.093200 2.652901 -0.155729 0.090103 -1.728339 -0.006127 0.006025 -1.016890 12.96995 0.752211 17.24244 Weighted Statistics 0.983282 Mean dependent var 0.979490 S.D. dependent var 0.269122 Sum squared resid 259.3204 Durbin-Watson stat 0.000000 Unweighted Statistics 0.843487 Mean dependent var 8.048031 Durbin-Watson stat
Sumber : Lampiran 5 Catatan : *) Signifikan pada taraf nyata 10 persen
Prob. *0.0805 *0.0088 0.8352 *0.0938 0.5297 *0.0093 *0.0871 0.3117 0.0000 29.11639 14.28927 7.025397 1.330176
11.04994 2.393406
74
5.3.2 Evaluasi Model Berdasarkan hasil pengolahan data pada Tabel 5.5, nilai probabilitas pada Fstat sama dengan 0,000 lebih kecil dari 0,05, sehingga dikatakan terdapat minimal satu variabel yang berpengaruh nyata dalam model. Nilai koefisien determinasi (R-squared) yang diperoleh sebesar 98,30 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar 98,30 persen keragaman ketahanan pangan dapat dijelaskan oleh variabel - variabel bebasnya, sedangkan sisanya sebesar 1,7 persen mampu dijelaskan oleh faktor - faktor di luar model. Penggunaan
panel
data
dapat
mengabaikan
pelanggaran
asumsi
multikolinearitas. Hal ini dikarenakan dengan penggabungan data cross section dan time series yang dapat mengurangi kolinearitas. Selain itu model ini memiliki R-squared yang tinggi yaitu sebesar 0,98 dan Uji-F yang nyata yaitu sebesar 0,000. Dalam model yang meliputi 8 variabel independent terdapat 3 variabel yang tidak signifikan yaitu pengeluaran pemerintah, banyaknya fasilitas kesehatan dan jumlah penduduk berpendidikan tamat SMP. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam pengolahan data tidak terjadi pelanggaran asumsi multikolinearitas. Tabel 5.6 Hasil Uji Normalitas model ketahanan pangan Model Ketahanan Pangan Sumber : Lampiran 6
Jarque-Bera 1.911008
Probability 0,384618
Pada hasil uji normalitas (Tabel 5.6) probabilitas Jaque Bera lebih besar daripada taraf nyata yang digunakan (0,384618 > 0,05). Berdasarkan hal tersebut maka sudah cukup bukti residual dalam model ini sudah dinyatakan menyebar normal. Pada uji autokorelasi dapat dilihat dari nilai Durbin Watson yang diperoleh. Nilai Durbin Watsonstat yang diperoleh dari hasil pengolahan data adalah sebesar 1,33. Hasil estimasi yang telah dilakukan tidak dapat menentukan
75
ada tidaknya autokorelasi. Hasil nilai Dw sebesar 1,33 dalam kerangka identifikasi autokorelasi menunjukkan hasil tidak dapat ditentukan. Namun dalam pendekatan fixed effect tidak mensyaratkan persamaan terbebas dari masalah autokorelsi, sehingga asumsi adanya autokorelasi dapat diabaikan (Firdaus, 2004). Sedangkan untuk melihat asumsi heteroskedastisitas (Lampiran 7), dapat dilihat dari nilai Sum Square Residual pada Weighted Statistics (7,025397) lebih kecil dari Sum Square Residual pada Unweighted Statistics (8,048031). Berdasarkan hal ini, maka dapat dikatakan bahwa model ini terindikasi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas. Untuk menghilangkan heteroskedastisitas ini adalah dengan memberi perlakuan cross section weight dan whiteheteroskedastisity-consistent covarianve. Sehingga dapat disimpulkan masalah heteroskedastisitas sudah dapat teratasi, karena dalam mengetimasi model telah menggunakan
metode
GLS
(generalized
least
square)
dengan
white
heteroscedastisity sebagai pembobot (Gujarati, 2003). Dalam menganalisis uji T dapat diinterpretasi menggunakan nilai probabilitas t-statistik yang diharapkan dapat mendekati nilai nol. Apabila nilai probabilitasnya semakin kecil maka akan semakin cukup bukti untuk menyatakan bahwa variabel bebas yang digunakan signifikan terhadap variabel tak bebasnya. Signifikansi dari variabel bebas ini ditunjukkan dengan lebih kecilnya probabilitas daripada taraf nyata yang digunakan yaitu taraf 10 persen (0,1). Selain itu yang harus diperhatikan adalah pada nilai koefisien apakah sesuai dengan hipotesis awal yang telah dirumuskan.
76
5.3.3 Dana Alokasi Umum Hasil regresi menunjukkan bahwa koefisien DAU berpengaruh positif dan signifikan, yang artinya setiap kenaikan satu persen DAU akan menaikan jumlah penduduk tidak tahan pangan sebesar 0,103011 persen. Hasil dari pengujian ini tidak sesuai dengan hipotesis awal yang diajukan. Pengaruh pemberian DAU terhadap suatu daerah dimaksudkan sebagai sumber penerimaan bagi daerah dalam mengembangkan kinerja perekonomiannya. Pengalokasian DAU berperan penting dalam kerangka pemerataan kemampuan dalam menyediakan sarana publik di daerah. Setiap daerah memiliki keunggulan dalam sumber daya alam hal ini juga akan berdampak pada ketidakmerataan sumber penerimaan yang berasal dari dana bagi hasil. DAU dialokasikan sesuai dengan potensi yang ada di daerah masing-masing.
Apabila
suatu
daerah
memiliki
potensi
kecil
namun
kebutuhannya besar maka pengalokasian DAU juga besar, dan sebaliknya.
100% 90% 80% 70% 60% Belanja Modal
50%
Belanja Pegawai
40%
DAU
30% 20% 10% 0% 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 5.3 Alokasi DAU terhadap belanja pegawai dan belanja modal Tahun 2003-2010 Sumber: BPS, (diolah)
77
Dalam gambar 5.3 diperlihatkan alokasi DAU terhadap pengeluaran pemerintah daerah. Jumlah penerimaan transfer DAU sangat berkaitan dengan total pengeluaran pemerintah. Hal ini disebabkan sumber pendapatan pemerintah daerah NTT masih bergantung pada jumlah transfer DAU dibandingkan dengan sumber pendapatan lainnya seperti PAD. Terhitung pada tahun 2003 hingga 2010 alokasi DAU lebih banyak digunakan untuk total pengeluaran belanja pegawai dibandingkan dengan belanja modal. Dalam setiap kabupaten/kota di NTT, belanja pegawai masih dominan. Belanja pegawai dipergunakan untuk membiayai gaji pegawai dan administrasi pemerintahan lainnya. Belanja modal yang secara langsung dapat dinikmati oleh masyarakat menempati urutan kedua dalam hal pengeluaran pemerintah. Komponen belanja modal hakekatnya digunakan unutk membiayai program dan kegiatan pembangunan yang manfaatnya dinikmati oleh masyarakat. Karena itu semakin besar pengeluaran belanja modal akan memberi manfaat yang semakin besar bagi masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Belanja modal terdiri dari belanja gedung dan bangunan, dan belanja jalan, irigasi dan jaringan lainnya. Apabila sumber penerimaan yaitu DAU banyak dikeluarkan untuk belanja modal dalam hal ini adanya peningkatan sarana pelayanan publik maka dampak dari pemberian transfer DAU akan berpengaruh langsung terhadap masyarakat. Peningkatan penyediaan pelayanan publik seperti perbaikan jalan, penyediaan gedung sekolah dan sarana kesehatan, serta perbaikan sistem irigasi untuk mendukung produktivitas tanaman pangan yang disediakan oleh pemerintah dapat meningkatan kinerja perekonomian daerah. Kinerja perekonomian daerah dapat berdampak pada produktivitas masyarakat
yang
akan
meningkatkan
pendapatan
masyarakat.
Fokus
78
pengalokasian dana terhadap peningkatan ketahanan pangan yang didukung dengan penyediaan fasilitas kebutuhan dasar masyarakat menjadi penting dikarenakan dengan kondisi NTT yang terjadi saat ini. 5.3.4 Pendapatan Asli Daerah Hasil regresi menunjukkan bahwa koefisien Pendapatan Asli Daerah berpengaruh negatif dan siginifikan, artinya bahwa setiap kenaikan 1 (satu) persen PAD maka akan menurunkan jumlah penduduk tidak tahan pangan sebesar 0,120287 persen. Sehingga peningkatan PAD berpengaruh nyata terhadap pengurangan penduduk tidak tahan pangan. PAD digunakan sebagai indikator tingkat kemandirian daerah untuk memperoleh sumber pembiayaan dari kemampuan daerah itu sendiri. PAD diperoleh dari hasil pemungutan pajak daerah, retribusi dan keuntungan dari investasi pemerintah daerah. PAD merupakan penerimaan langsung yang diberikan masyarakat kepada pemerintah daerah. Jumlah penduduk NTT yang tergolong besar merupakan potensi tersendiri dalam meningkatkan PAD yang bersumber dari pajak daerah. Pajak daerah merupakan komponen terbesar dalam struktur PAD di provinsi Nusa Tenggara Timur. Semakin besar pajak yang diberikan masyarakat kepada pemerintah mengindikasikan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat. Peningkatan PAD yang terjadi setiap tahun menunjukkan bahwa pemerintah daerah telah berupaya untuk meningkatkan kemandirian daerah dengan memanfaatkan potensi yang ada di daerah. Pengurangan penduduk tidak tahan pangan yang disebabkan peningkatan PAD mengindikasikan bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk menghasilkan keuangan dengan memanfaatkan potensi yang ada di daerahnya baik dari peningkatan pajak maupun dari
79
keuntungan perusahaan daerah. Masyarakat yang berusaha mandiri dengan mengandalkan potensi yang ada untuk peningkatan kesejahteraan akan mampu meningkatkan ketahanan pangan daerah. 5.3.5 Pengeluaran Pemerintah Hasil regresi menunjukkan bahwa koefisien pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif
tetapi tidak signifikan. Dalam hal ini pengeluaran
pemerintah merupakan salah satu dari kinerja fiskal selain dari penerimaan pemerintah. Pembiayaan pengeluaran pemerintah daerah berasal dari APBD yang sangat bergantung dari besaran dana perimbangan. Efisiensi dan efektivitas pengeluaran pemerintah dapat dilihat dari penggunaan anggaran dan kemampuan menyerap dana yang ada untuk mencapai target
pembangunan
melalui
realisasi
berbagai
proyek
dan
program
pembangunan. Persoalan efisiensi dan efektivitas pengeluaran menjadi penting ketika setiap tahun anggaran yang diberikan oleh pemerintah pusat terjadi peningkatan namun proyek – proyek pembangunan tidak terealisasi. Dalam periode 2003 – 2010, pengeluaran pemeritah di tingkat daerah di NTT meningkat sebesar 41,09 persen. Perubahan ini terjadi karena penambahan jumlah transfer DAU dan DAK dari pemerintah pusat. Peningkatan penerimaan ini berdampak pada semakin meningkatnya pengeluaran pemerintah dalam membiayai dana – dana pembangunan dan belanja pemerintahan. Pembiayaan program – program pemerintah yang berdampak pada kebutuhan langsung masyarakat dapat berpengaruh pada kondisi ketahanan pangan di masyarakat. Pemerintah dapat berperan aktif dalam upaya pengalokasian dana – dana yang diperlukan dalam permasalahan yang ada di daerah tersebut.
80
Tabel 5.7 Realisasi pengeluaran Provinsi NTT Tahun 2006-2010 ( RibuRupiah) Pengeluaran
2006
2007
2008
2009
2010
Belanja Tak Langsung
2 033 691 330
2 680 218 917
3 291 961 642
4 070 534 772
4 866 632 618
1. Belanja Pegawai
1 717 223 298
2 268 204 039
2 799 282 308
3 432 979 054
4 010 304 899
Belanja Langsung
2 530 771 452
3 080 749 595
3 339 665 736
3 668 444 227
3 482 403 768
1. Belanja Pegawai
352 135 318
461 063 524
336 199 840
386 326 589
393 769 804
2. Belanja Barang & Jasa
867 145 126
1 047 484 100
1 169 920 738
1 354 335 665
1 357 399 713
1 311 491 008
1 572 201 971
1 803 545 158
1 927 781 973
1 731 234 251
900 967 982
1 117 927 251
873 437 310
930 840 907
57 874 356
5 465 430 764
6 878 895 763
7 505 064 688
8 669 819 906
8 406 910 742
3. Belanja Modal
Pembiayaan Daerah Total
Sumber: BPS
Dalam tabel 5.7 diperlihatkan bahwa terjadi kenaikan dalam tingkat pengeluaran pemerintah walaupun pada tahun 2010 mengalami penurunan sebesar tiga persen. Data memperlihatkan bahwa alokasi pengeluaran pemerintah didominasi dengan belanja pegawai yang menempati urutan pertama, belanja modal diurutan kedua dan belanja barang dan jasa diurutan ketiga. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir antara 2008 hingga 2010, setengah dari pengeluaran total NTT dibelanjakan untuk gaji pegawai. Hampir pada setiap tahunnya belanja pegawai mengalami peningkatan pengeluaran. Pada tahun 2009 ke 2010 belanja pegawai mengalami kenaikan sebesar 16,81 persen. Komponen belanja modal ditujukan untuk membiayai program dan kegiatan pembangunan yang manfaatnya dapat langsung diterima masyarakat banyak. Oleh karena itu semakin besar pengeluaran belanja modal maka akan semakin besar pula manfaat yang diterima masyarakat. Dalam kurun waktu 2008 hingga 2009 kenaikan belanja modal hanya sedikit mengalami kenaikan yaitu sebesar 1,3 persen sedangkan pada tahun 2010 mengalami penurunan yang cukup tajam sekitar 10,19 persen. Sedikitnya anggaran yang dibelanjakan pemerintah pada
81
belanja modal tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Walaupun sebagian besar belanja modal dialokasikan untuk perbaikan infrastruktur seperti jalan, irigasi dan jaringan lainnya yaitu sekitar 79,67 persen namun jumlah dana yang diterima relatif kecil dibandingkan dengan belanja untuk pegawai. Belanja untuk sektor yang strategis meliputi sektor kesehatan, pendidikan dan infrastruktur merupakan ujung tombak dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ketiga bidang ini terkait langsung dengan pelayanan kebutuhan dasar publik dan memiliki dampak sosial yang tinggi. Peningkatan ketahanan pangan tidak terlepas dari ketiga bidang yang krusial ini. Ketidakmampuan penduduk yang tidak tahan pangan dalam mengakses sarana publik yang penyediaannya terbatas oleh pemerintah ini membuat tingkat ketahanan pangan wilayah dan rumah tangga tidak berubah secara signifikan. 5.3.6 Pendapatan Perkapita Hasil regresi menunjukkan bahwa koefisien pendapatan perkapita berpengaruh negatif dan signifikan, artinya setiap kenaikan 1 (satu) persen pendapatan perkapita maka akan menurunkan jumlah penduduk tidak tahan pangan sebesar 0,095103 persen. Peningkatan pendapatan perkapita yang terjadi setiap tahun memiliki dampak yang positif dalam peningkatan ekonomi masyarakat. Perubahan perekonomian masyarakat mempunyai arah terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pula. Apabila pendapatan tinggi maka kualitas gizi juga akan tinggi, kualitas gizi tinggi maka kualitas kesehatan penduduk juga tinggi. Hal ini berdampak pada peningkatan produktivitas kerja yang akhirnya meningkatkan pendapatan.
82
Peningkatan pendapatan berdampak pada pengalokasian keuangan untuk pengeluaran bahan makanan maupun bukan bahan makanan. Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang maka akan semakin kecil tingkat konsumsi bahan makanan dan semakin besar tingkat konsumsi bahan bukan makanan. Hal ini dapat diindikasikan adanya peningkatan kesejahteraan dalam suatu masyarakat. Peningkatan pendapatan ini juga bepengaruh terhadap kemudahan akses untuk menjangkau kebutuhan pangan. Sehingga peningkatan ketahanan pangan masyarakat dalam suatu daerah dapat meningkat. 5.3.7 Banyaknya Fasilitas Kesehatan Hasil regresi menunjukkan bahwa koefisien banyaknya fasilitas kesehatan berpengaruh negatif namun tidak signifikan. Banyaknya fasilitas kesehatan digunakan untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhan dasar yaitu kesehatan. Peningkatan jumlah fasilitas kesehatan dapat mendorong terjadinya peningkatan kesehatan penduduk yang akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja. Namun hal itu tidak berpengaruh secara siginifikan saat akses terhadap kesehatan banyak mengalami kendala. Keadaan fasilitas kesehatan yang tidak memadai dan jumlah fasilitas yang hanya terbatas pada daerah yang lebih maju seperti di Kota Kupang yang memiliki akses fasilitas kesehatan yang lebih memadai dibandingkan dengan kabupaten – kabupaten di daerah NTT. Selain itu tingkat pendapatan masyarakat yang rendah dirasa kurang dalam mendapatkan akses kesehatan. Walaupun setiap tahun terjadi peningkatan pendapatan perkapita namun peningkatan pendapatan tersebut tidak dibarengi dengan kemampuan dalam mengakses kebutuhan pelayanan kesehatan. Sebagian besar pendapatan penduduk NTT masih didominasi untuk pengeluaran bahan
83
makanan dibandingkan dengan kebutuhan dasar lainnya. Peningkatan fasilitas kesehatan yang dibarengi dengan peningkatan pendapatan masyarakat dapat meningkat tingkat kesejahteraan masyarakat dan dapat berdampak terhadap ketahanan pangan masyarakat dalam akses kebutuhan kesehatan. 5.3.8 Luas Lahan Panen Hasil regresi menunjukkan bahwa koefisien luas lahan panen berpengaruh positif dan signifikan, artinya setiap kenaikan 1 (satu) persen luas lahan panen maka akan menaikkan jumlah penduduk tidak tahan pangan sebesar 0,247249 persen. Lahan merupakan salah satu komponen penting dalam meningkatkan hasil produksi bahan pangan baik dalam bidang pertanian maupun dalam bidang peternakan. Ketidaksesuaian hasil pengolahan dengan hipotesis awal disebabkan kondisi lahan yang terdapat di daerah NTT yang pada umumnya kering dan juga didukung dengan faktor iklim yang kering dengan curah hujan yang sedikit. Keadaan ini membuat lahan menjadi tidak memadai untuk diolah sehingga kurang dapat meningkatkan jumlah produktivitas bahan pangan. Apabila lahan yang tersedia tidak menunjukkan produktivitas yang baik maka akan kurang berpengaruh dalam peningkatan pendapatan masyarakat sehingga kondisi penduduk tahan pangan belum tercapai. NTT merupakan salah satu daerah yang memiliki jumlah lahan kritis yang cukup besar. Pada tahun 2010 jumlah lahan kritis di NTT mencapai angka 799.134 hecktar (BPS, 2011). Lahan kritis merupakan lahan yang mengalami kerusakan karena penggunaan lahan yang melebihi kapasitas produksinya sehingga kesuburan tanah dan kemampuan produksinya menurun sampai tingkat marginal. Penambahan lahan kritis ini juga didukung dengan pembakaran dalam
84
sistem pertanian tanpa mempertimbangkan keseimbangan lingkungan dan penambahan jumlah populasi yang membutuhkan ketersediaan lahan untuk perumahan. Dalam hasil pengolahan data, luas lahan panen signifikan terhadap jumlah penduduk tidak tahan pangan. Hal ini dikarenakan lahan merupakan sarana dalam pengembangan sektor primer yang memang diketahui sebagai sumber mata pencaharian utama penduduk NTT. Penduduk NTT yang masih bergantung dengan kondisi alam dalam pengembangan sektor primer seperti pertanian dan peternakan
dalam
meningkatkan
perekonomian
daerah
membutuhkan
ketersediaan lahan yang memadai untuk peningkatan kesejahteraan hidup dengan meningkatkan kinerja perekonomian di bidang pertanian. Selain itu tingkat kepemilikan lahan yang kecil yang dimiliki oleh petani dan sebagian besar dimiliki oleh pemilik modal untuk membuka usaha diluar pertanian seperti pengembangan sektor industri juga berperan dalam peningkatan jumlah penduduk tidak tahan pangan. 5.3.9 Jumlah Produksi Padi Hasil regresi menunjukkan bahwa koefisien jumlah produksi padi berpengaruh negatif dan positif, artinya setiap kenaikan 1 (satu) persen jumlah produksi padi maka akan menurunkan jumlah penduduk tidak tahan pangan sebesar 0,155729 persen. Jumlah produksi padi mengalami keadaan yang fluktuatif setiap tahunnya. Hal ini tidak dipungkiri adanya faktor luar seperti curah hujan dan tingkat kesuburan tanah. Perkembangan produksi padi NTT pada 10 tahun terakhir meningkat rata-rata 2,6 persen. Produksi padi pada tahun 2009 berada di titik puncak. Namun peningkatan produksi padi itu masih jauh dari
85
kebutuhan konsumsi beras masyarakat NTT. Pada tahun 2011 NTT masih terdapat kekurangan produksi beras sebesar 226.790 ton (BPS, 2011). Peningkatan produksi pangan khususnya padi yang sebagian besar masih dikonsumsi oleh masyarakat berdampak pada peningkatan ketahanan pangan. Peningkatan produksi padi dapat diikuti dengan peningkatan pendapatan penduduk yang diperoleh dari sektor primer khususunya pertanian. Peningkatan pendapatan juga berperan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam mengkonsumsi kebutuhan pokoknya. Apabila kebutuhan pokok dalam konsumsi bahan makanan dapat dipenuhi maka keadaan ketahanan pangan rumah tangga dapat tercapai. 5.3.10 Pendidikan Tamat SMP Hasil
regresi
menunjukkan
bahwa
koefisien
jumlah
penduduk
berpendidikan tamat SMP berpengaruh negatif namun tidak signifikan. Hasil pengolahan untuk jumlah penduduk yang tamat SMP tidak signifikan dalam pengurangan jumlah penduduk tidak tahan pangan hal ini berkaitan dengan tingkat pekerja yang bekerja di berbagai sektor seperti sektor primer maupun sektor tersier. Rancangan kebijakan pemerintah yang mewajibkan penduduk untuk mengikuti program wajib belajar sembilan tahun diharapkan dapat meningkatkan tingkat pendidikan yang akan berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas para pekerja. Dalam kenyataanya tingkat pendidikan yang diperoleh memberikan sumbangan untuk banyaknya pengangguran. Dalam data yang diperoleh dari BPS (2011) tingkat pengangguran tertinggi masih didominasi pada pendidikan tamat SMA (26,53), SMP (24,55 %) dan SD (25,94 %). Data menunjukkan bahwa
86
tingkat pendidikan tamat SMP menempati urutan kedua dalam tingkat pengangguran. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan tamat SMP masih kurang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan jumlah penduduk tidak tahan pangan. Selain itu dalam komposisi pekerja yang ada di sektor primer yang merupakan sektor utama penduduk NTT masih didominasi dengan penduduk tamatan SD yang memperoleh nilai sebesar 49,40 persen dan SMP 18,87 persen. Hasil tersebut menjelaskan bahwa komposisi pekerja yang berada di sektor primer masih didominasi oleh pekerja tamatan SD sehingga peningkatan produktivitas pekerja menjadi kurang meningkat secara maksimal. Pendidikan yang diterima juga berpengaruh terhadap pengetahuan yang diterima mengenai kondisi ketahanan pangan yang ada. Banyaknya penduduk yang memiliki pendidikan diatas 9 tahun diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pentingnya mencapai keadaan kondisi tahan pangan yang ada. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi tingkat kesadaran dalam perbaikan status tahan pangan yang ada.
87
VI. 6.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1.
Kinerja fiskal yang dilihat dari derajat otonomi fiskal dan posisi fiskal menunjukkan bahwa kabupaten/kota di provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki derajat otonomi fiskal dan posisi fiskal yang rendah. Derajat otonomi fiskal yang ada di setiap kabupaten dan kota hanya sekitar 0,30 persen yang menunjukkan kriteria sangat kurang. Kota Kupang merupakan daerah yang memiliki derajat otonomi fiskal dan posisi fiskal yang relatif tinggi dibandingkan daerah lainnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
2.
Keterkaitan antara derajat otonomi fiskal dengan ketahanan pangan menunjukkan korelasi yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa dengan peningkatan derajat otonomi fiskal memiliki hubungan yang positif dengan jumlah penduduk tidak tahan pangan. Ketidaksesuaian hasil dengan hipotesis awal ini dikarenakan derajat otonomi fiskal yang ada masih sangat kurang yaitu berkisar 0,30 persen di setiap kabutapaten/kota.
3.
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa variabel-variabel yang memengaruhi ketahanan pangan adalah Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), pendapatan perkapita, luas lahan panen, dan produksi padi. Namun terdapat dua variabel yang tidak sesuai dengan hipotesis awal yaitu DAU dan luas lahan. Variabel DAU tidak sesuai hipotesis awal dikarenakan pengalokasian anggaran yang bersumber dari penerimaan DAU banyak dialokasikan untuk kebutuhan belanja pegawai dibandingkan dengan belanja modal. Sedangkan luas lahan panen tidak
88
sesuai teori disebabkan banyaknya luas lahan kritis yang terdapat di NTT sehingga produktivitas tanaman pangan kurang optimal. 6.2
Saran Adapun saran dalam penelitian ini adalah :
1.
Dari hasil penelitian derajat otonomi fiskal dan posisi fiskal yang masih menunjukkan kinerja yang rendah maka diharapkan pemerintah daerah dapat melakukan kebijakan – kebijakan yang tepat dalam upaya meningkatkan kinerja fiskal yang ada.
2.
Keterkaitan antara derajat otonomi fiskal dan ketahanan pangan masih menunjukkan korelasi yang positif, maka dari itu dibutuhkan kebijakan yang tepat sasaran dalam upaya menurunkan jumlah penduduk tidak tahan pangan. Pengoptimalan sumber-sumber keuangan yang berasal dari daerah merupakan potensi yang besar dalam upaya peningkatan ketahanan pangan.
3.
Dari hasil penelitian yang diperoleh variabel PAD, pendapatan per kapita dan jumlah produksi padi menunjukkan hasil yang signifikan dan sesuai dengan hipotesis awal terhadap ketahanan pangan. Berdasarkan hal ini maka diperlukan peningkatan PAD, pendapatan perkapita dan jumlah produksi padi untuk meningkatkan ketahanan pangan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah penyediaan sarana infrastruktur yang merata diseluruh daerah agar kinerja perekonomian dapat berjalan lancar sehingga peningkatan PAD, pendapatan masyarakat dan peningkatan jumlah produksi padi dapat lebih meningkatkan ketahanan pangan.
4.
Model ekonometrika yang digunakan dalam penelitian ini masih belum spesifik untuk menggambarkan keadaan ketahanan pangan secara langsung.
89
Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan data sehingga ruang lingkup penelitian pun terbatas. Maka dari itu untuk penelitian selanjutnya diharapkan adanya pengembangan model yang menggunakan variabel pembeda untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat sehingga dapat menggambarkan ketahanan pangan yang lebih baik di provinsi NTT.
90
DAFTAR PUSTAKA Abbas, G. (et,al). 2001. Manajemen Otonomi Daerah : Birokrasi Ekonomi Sosial; editor, Luthfi Pattimura. Jakarta: Lembaga Studi Komunikasi Pembangunan Indonesia (LSKPI) Abimanyu, A dan Megantara A. 2009. Era Baru Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Anonim. 2008. Analisis Tentang Tingkat Efisiensi Dan Efektifitas Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pembangunan Daerah Di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang: Balitbangda Provinsi NTT Kerja Sama CV. Trimitra Binatama. Antara. 2009. Analisa Pengeluaran Publik Nusa Tenggara Timur. Antara, Nusa Tenggara Timur. http://www.antarantt.org/wp-content/uploads/2009/06/ntt-peabahasa.pdf [21 Februari, 2012]. Arifin, B. 2007. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian. Edisi Kesatu. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Badan Pusat Statistik. 2002. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2003. Jakarta : Badan Pusat Statistik. __________________. 2004. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2004/2005. Jakarta : Badan Pusat Statistik. __________________. 2005. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2006. Jakarta : Badan Pusat Statistik. __________________. 2006. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2007. Jakarta : Badan Pusat Statistik. __________________. 2007. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2008. Jakarta : Badan Pusat Statistik. __________________. 2008. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2009. Jakarta : Badan Pusat Statistik. __________________. 2009. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2010. Jakarta : Badan Pusat Statistik. __________________. 2010. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2011. Jakarta : Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2008. Analisis dan Perhitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2012. Data Sosial Kependudukan Provinsi NTT. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
91
__________________. 2012. Statistik Daerah Provinsi NTT. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Baltagi, B. H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Third Edition. New York : McGraw Hill Companies Inc. Sidik, M , Dr. B Raksaka Mahi, Dr.Robert A Simanjuntak, Dr. Bambang Brodjonegoro. 2002. Dana Alokasi Umum, Konsep, Hambatan & Prospek di Era Otonomi Daerah. Jakarta: Buku Kompas. Elmi, B. 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonom. Jakarta: UI-Press. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta : Bumi Aksara. FSVA. 2009. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian RI dan WFP Gujarati, D. N. 2004. Basic Econometrics. Fourth Edition. New York : McGraw Hill Companies, Inc. Hasugian, A. 2006. Dampak Desentralisasi terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Irdhania, A. 2009. Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Dan Potensi Keuangan Kabupaten Bogor. [Skripsi] Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Jamal, E., Sadra D.K, Saptana. 2006. Penguatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Wilayah sebagai Basis Ketahanan Pangan Nasional. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Juanda, B. 2009. Ekonometrika : Pemodelan dan Peramalan . Bogor: IPB Press. Masri, M. 2010. Analisis Pengaruh Kebijakan Fiskal Regional Terhadap Inflasi Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Periode 2001 – 2008). [Tesis] Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Nanga, M. 2005. Potret Kinerja Fiskal Kabupaten/Kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Pelaksanaan OTDA. Ranggagading 5(1): 67-75. Nurlatifah. 2011. Determinan Ketahanan Pangan Regional Dan Rumah Tangga Di Provinsi Jawa Timur. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nicholson, W. 1995. Teori Mikroekonomi: Prinsip Dasar dan Perluasan. Edisi Kelima. Jakarta: Binarupa Aksara. Obor,
H. 2011. Kasus Gizi Buruk Masih Tinggi. Jakarta. http://www.nttonlinenews.com/ntt/index.php?option=com_content&view=
92
article&id=9426%3Akasus-gizi-burukmasihtinggi&catid=34%3Anasional&Itemid=56. [26 Maret, 2012]. Rindayati, W. 2009. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Saliem, HP., A. Purwanto, G.S.Hardono, T.B. Purwantini, Y. Supriyatna, Y.Marisa dan Waluyo. 2004. Manajemen Ketahanan Pangan Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian. Saliem, H.P., M. Ariani, Y. Marisa dan T. Bastuti. 2002. Analisis Kerawanan Pangan Wilayah dalam Perspektif Desentralisasi Pembangunan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Santosa B.P. dan Rahayu R.P. 2005. Analisis Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Dalam Upaya Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Kediri. Dinamika Pembangunan 2(1): 9-18. Sinaga, BM. dan H.Siregar. 2005. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah di Indonesia. Bogor: Direktorat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Situmorang H.T Boyke, Harianto, Tambunan M, Kusnadi N. 2009. Dampak Kebijakan Fiskal Daerah Terhadap Ketahanan Pangan dan Kemiskinan di Provinsi Sumatra Utara. Bogor: IPB. Sura, YB (et,al). 2010. Keamanan Pangan, Pembangunan dan Pemiskinan di Nusa Tenggara Timur: studi kasus Desa Oelnasi, Kabupaten Kupang. Journal of NTT Studies 2(1): 008-030. Syamsuddin, H. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah : Desentralisai, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan. Jakarta: LIPI Press. Thesaurianto, K. 2007. Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah Terhadap Kemandirian. [Tesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. TNP2K. 2011. Definisi dan Ukuran Kemiskinan. TNP2K, Jakarta. http://tnp2k.go.id/index.php?option=com_k2&view=item&layout=item&i d=358 [20 Maret 2012]. Todaro, M.P. 2006. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Edisi Kesembilan. Jakarta: Erlangga. Walpole, E. Ronald.1993. Pengantar Statistika Edisi Ketiga. Bambang Sumantri [penerjemah]. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Introduction to Statistics.
93
LAMPIRAN
94
Lampiran 1. Perkembangan Derajat Otonomi Fiskal Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2003 -2010 (%) No Kabupaten / Kota 1 Sumba Barat 2 Sumba Timur 3 Kupang 4 Timur Tengah Selatan 5 Timur Tengah Utara 6 Belu 7 Alor 8 Lembata 9 Flores Timur 10 Sikka 11 Ende 12 Ngada 13 Manggarai 14 Rote Ndao 15 Kota Kupang Sumber: BPS, diolah
2003 0.32 0.28 0.64 0.61 0.17 0.31 0.28 0.14 0.15 0.25 0.27 0.26 0.37 0.33 0.34
2004 0.35 0.36 0.70 0.60 0.23 0.30 0.33 0.15 0.23 0.26 0.29 0.28 0.35 0.39 0.63
2005 0.35 0.29 0.31 0.48 0.17 0.29 0.38 0.12 0.16 0.27 0.31 0.26 0.36 0.18 0.51
2006 0.31 0.36 0.42 0.28 0.18 0.27 0.30 0.17 0.18 0.36 0.27 0.28 0.33 0.15 0.47
2007 0.28 0.29 0.44 0.21 0.19 0.27 0.18 0.14 0.18 0.21 0.25 0.25 0.39 0.18 0.45
2008 0.24 0.30 0.36 0.21 0.14 0.30 0.22 0.21 0.25 0.30 0.25 0.22 0.43 0.19 0.41
2009 0.45 0.31 0.29 0.16 0.17 0.25 0.18 0.18 0.24 0.29 0.21 0.30 0.47 0.14 0.42
2010 0.42 0.30 0.29 0.26 0.42 0.38 0.19 0.15 0.23 0.31 0.29 0.33 0.73 0.21 0.48
95
Lampiran 2. Perkembangan Kapasitas Fiskal dan Kebutuhan Fiskal Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 20032010 1.1 Kapasitas Fiskal (%) No Kabupaten / Kota 1 Sumba Barat 2 Sumba Timur 3 Kupang 4 Timur Tengah Selatan 5 Timur Tengah Utara 6 Belu 7 Alor 8 Lembata 9 Flores Timur 10 Sikka 11 Ende 12 Ngada 13 Manggarai 14 Rote Ndao 15 Kota Kupang Sumber: BPS, diolah
2003 65 118 125 82 97 75 82 53 94 106 112 88 71 109 274
2004 66 120 128 82 88 73 79 54 95 110 114 87 72 99 269
2005 67 121 127 84 83 74 81 54 96 112 117 89 70 100 260
2006 66 114 115 83 82 82 85 52 99 112 119 98 71 108 254
2007 67 113 112 83 81 80 86 52 97 110 118 103 70 105 266
2008 66 113 108 83 82 83 86 52 96 111 119 100 69 109 268
2009 66 112 107 83 84 80 86 51 95 112 122 99 69 109 271
2010 60 114 134 78 79 105 82 47 97 103 111 94 66 105 247
96
1.2 Kebutuhan Fiskal (%) No Kabupaten / Kota 1 Sumba Barat 2 Sumba Timur 3 Kupang 4 Timur Tengah Selatan 5 Timur Tengah Utara 6 Belu 7 Alor 8 Lembata 9 Flores Timur 10 Sikka 11 Ende 12 Ngada 13 Manggarai 14 Rote Ndao 15 Kota Kupang Sumber: BPS, diolah
2003 54 92 70 58 93 59 102 142 72 56 84 78 41 0 73
2004 83 139 111 89 129 92 167 213 115 92 130 134 44 0 122
2005 83 134 103 78 115 85 146 214 112 90 111 120 63 155 110
2006 81 133 104 80 123 80 143 184 114 99 114 113 61 184 109
2007 74 127 86 79 129 85 122 212 115 93 116 120 77 188 102
2008 35 135 118 78 126 82 135 205 121 102 129 83 80 201 107
2009 88 127 100 72 116 67 126 183 114 95 113 148 77 163 102
2010 111 121 108 69 105 85 114 156 104 85 90 147 86 154 81
97
Lampiran 3. Korelasi Ketahanan Pangan dengan Derajat Otonomi Fiskal Covariance Analysis: Ordinary Date: 05/06/12 Time: 23:29 Sample: 1 120 Included observations: 120 Correlation t-Statistic
Probability JUMLAH_PENDUDUK _TIDAK_TAHAN_PAN GAN
DERAJAT_OTONOMI_ FISKAL t-hit p-value
JUMLAH_PE DERAJAT_OT NDUDUK_MI ONOMI_FISKA SKIN L
1.000000 ---------
0.402964 4.782814 0.0000
1.000000 ---------
98
Lampiran 4. Hasil Pemilihan Model Terbaik 1.3 Menggunakan Uji Chow Test Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
Cross-section F Cross-section Chi-square
20.344280 164.428573
d.f.
Prob.
(14,97) 14
0.0000 0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: LNMISKIN Method: Panel Least Squares Date: 04/21/12 Time: 22:42 Sample: 2003 2010 Periods included: 8 Cross-sections included: 15 Total panel (balanced) observations: 120 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNDAU LNPEM LNPAD LNPP LNBFK LNLAHAN LNPROD SMP C
0.417768 -0.504367 0.286768 -0.046050 0.477283 -0.390562 0.415821 -0.043974 8.521355
0.207616 0.266352 0.204969 0.158777 0.137391 0.282528 0.283267 0.022338 2.882653
2.012211 -1.893616 1.399083 -0.290032 3.473900 -1.382385 1.467946 -1.968585 2.956080
0.0466 0.0609 0.1646 0.7723 0.0007 0.1696 0.1449 0.0515 0.0038
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.394572 0.350937 0.529590 31.13163 -89.31657 9.042664 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
11.04994 0.657349 1.638610 1.847671 1.723511 0.860813
99
1.4 Menggunakan Uji Hausmant Test Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Test Summary
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
55.080530
8
0.0000
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.216364 -0.088430 -0.073773 -0.058973 0.123245 0.118794 0.011760 -0.020564
0.002592 0.002223 0.000792 0.007314 0.001662 0.007892 0.006669 0.000092
0.7433 0.0430 0.0000 0.1241 0.0001 0.0047 0.0017 0.0701
Cross-section random
Cross-section random effects test comparisons: Variable LNDAU LNPAD LNPEM LNPP LNBFK LNLAHAN LNPROD SMP
Fixed 0.199689 -0.183851 0.058914 -0.190480 -0.031403 0.369662 -0.244065 -0.003149
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LNMISKIN Method: Panel Least Squares Date: 04/15/12 Time: 09:23 Sample: 2003 2010 Periods included: 8 Cross-sections included: 15 Total panel (balanced) observations: 120 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNDAU LNPAD LNPEM LNPP LNBFK LNLAHAN LNPROD SMP
12.64356 0.199689 -0.183851 0.058914 -0.190480 -0.031403 0.369662 -0.244065 -0.003149
2.192086 0.135373 0.129712 0.154824 0.154494 0.105476 0.215176 0.207979 0.017253
5.767820 1.475107 -1.417377 0.380523 -1.232930 -0.297723 1.717950 -1.173504 -0.182518
0.0000 0.1434 0.1596 0.7044 0.2206 0.7666 0.0890 0.2435 0.8556
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.846193 0.811309 0.285543 7.908880 -7.102287 24.25732 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
11.04994 0.657349 0.501705 1.035974 0.718674 2.437367
100
Lampiran 5. Hasil Estimasi Pengujian Metode Fixed Effect Dependent Variable: LNMISKIN Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 04/15/12 Time: 09:22 Sample: 2003 2010 Periods included: 8 Cross-sections included: 15 Total panel (balanced) observations: 120 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section weights (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNDAU LNPAD LNPEM LNPP LNBFK LNLAHAN LNPROD SMP C
0.103011 -0.120287 -0.011240 -0.095103 -0.024966 0.247249 -0.155729 -0.006127 12.96995
0.058329 0.045014 0.053895 0.056205 0.039582 0.093200 0.090103 0.006025 0.752211
1.766025 -2.672235 -0.208553 -1.692086 -0.630747 2.652901 -1.728339 -1.016890 17.24244
0.0805 0.0088 0.8352 0.0938 0.5297 0.0093 0.0871 0.3117 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.983282 0.979490 0.269122 259.3204 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
29.11639 14.28927 7.025397 1.330176
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.843487 8.048031
Mean dependent var Durbin-Watson stat
11.04994 2.393406
101
Lampiran 6. Uji Normalitas 14
Series: Standardized Residuals Sample 2003 2010 Observations 120
12 10 8 6 4 2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
4.63e-19 -0.030195 0.686488 -0.512005 0.242975 0.268711 2.694421
Jarque-Bera Probability
1.911008 0.384618
0 -0.4
-0.2
-0.0
0.2
0.4
0.6
Lampiran 7. Uji Heteroskedastisitas 3
2
1
0
-1
-2 25
50
75
Standardized Residuals
100