FAKTOR PENENTU KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
INDA WULANDARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
FAKTOR PENENTU KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
INDA WULANDARI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. IDQAN FAHMI, M.Ec.
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2013
Inda Wulandari NRP : H151100261
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
ABSTRACT INDA WULANDARI. Determinant of Household Food Security in East Nusa Tenggara Province. Under supervision of SRI HARTOYO and YETI LIS PURNAMADEWI.
The issue of food security has become an important agenda in the economic development of the Nation. Food and nutrition are linked to the improvement of human resources, which in this case the adequacy of energi and protein can be used as an indicator of food welfare society. This study aimed to determine food consumption pattern and the factors that effect household food security in East Nusa Tenggara Province. Household consumption compared to the adequacy of energy and protein as determined by WNPG VIII in 2004. The analysis was done by using SUSENAS 2010 and other supporting data. Household food security analysis was conducted by description analysis and ordinal logistic regression analysis with the sample of 1740 household. The results of this study showed that the food consumption pattern of household in East Nusa Tenggara Province in 2010 was dominated by rice while the consumption of another caloric food source is very small. Rice is still a major source of energy and protein of the food resistant and vulnerable households in NTT. Food security status of households in East Nusa Tenggara Province was dominated by foodinsecure households in which the proportion of food insecure households is relatively higher in rural areas than in the urban population. The household of food security in the province of East Nusa Tenggara is influenced by several factors: income, household size, education, field of business of household head and raskin (cheap rice for lower income family) receiver. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression
RINGKASAN INDA WULANDARI. Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan YETI LIS PURNAMADEWI. Indonesia telah mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun 1998, namun masalah kemiskinan dan ketahanan pangan maupun gizi masih cukup besar dan beragam antar provinsi dan kabupaten (Human Development Index, UNDP 2008). Masalah ketahanan pangan telah dijadikan agenda penting dalam pembangunan ekonomi bangsa. Pangan sebagai komoditas ekonomi berperan besar pada peningkatan pertumbuhan ekonomi global maupun nasional. Berdasarkan data statistik (BPS 2009), sejak tahun 2005 sampai 2008 konsumsi energi dan protein masyarakat Indonesia terus meningkat dari angka 2.007,65 kkal/kap/hari menjadi 2.038.17 kkal/kap/hari dan untuk protein 54,65 gram/kap/hari menjadi 57,49 gram/kap/hari melebihi standar yang ditetapkan oleh Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG, 2004). Keadaan ini menunjukkan gizi masyarakat Indonesia secara kuantitas dan makro sudah mencukupi. Namun dari hasil penelitian Ariningsih (2002) ditemukan bahwa perbaikan konsumsi secara makro tidak mencerminkan pemerataan pemenuhan konsumsi gizi secara mikro. Ditataran mikro, ketahanan pangan khususnya di pedesaan atau rumah tangga petani masih lemah dan memprihatinkan. Ada tiga faktor ketahanan pangan yang harus dipenuhi sehingga dapat mendorong stabilitas pangan, yaitu : ketersediaan pangan (food availability), akses pangan (food acces) dan penyerapan pangan (food utilization) (FAO, 1996). Ketahanan pangan belum tercapai saat ketersediaan pangan saja yang terpenuhi. Ketahanan pangan akan tercapai ketika akses terhadap pangan tersebut memadai serta penyerapan pangannya dapat berlangsung secara baik. Untuk membantu mengidentifikasi ketahanan dan kerawanan pangan daerah di Indonesia, pemerintah menerbitkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009 (Food Security and Vulnerability Atlas, 2009). FSVA ini disusun untuk mengidentifikasi titik-titik rawan pangan tingkat kabupaten di Indonesia (DKP, 2009). 14 provinsi yang dimasukkan ke dalam fokus utama peningkatan produksi dalam mengatasi kerawanan pangan dalam wacana peta ketahanan dan kerawanan pangan (FSVA) salah satunya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kerap dikategorikan sebagai salah satu provinsi yang sering mengalami gangguan pangan yang disebabkan oleh kondisi wilayah baik itu menyangkut ketersediaan maupun akses pangan yang ada di wilayah tersebut. Ketersediaan lahan yang landai untuk usaha pertanian lahan basah sangat terbatas sehingga pertanian lahan kering dan gersang menjadi sangat dominan di NTT. Pada tahun 2009 tingkat produksi beras di NTT mencapai 335.236 ton sementara konsumsi beras mencapai 467.460 ton. Hal ini menunjukkan bahwa NTT mengalami defisit beras sebanyak 132.224 ton. Defisit akan kebutuhan beras yang tinggi di Provinsi NTT selama ini masih dapat dipenuhi oleh adanya program pendistribusian beras untuk masyarakat miskin atau yang sering disebut dengan Raskin. Adanya perubahan pola konsumsi pangan rumah tangga dari jagung sebagai makanan pokok kepada beras sebagai makanan bergengsi menyebabkan ketahanan pangan di NTT menuju ke keadaan
yang tidak aman. Perkembangan produksi komoditas pangan nabati di NTT dalam kurun tiga tahun terakhir terhitung 2009-2011 mengalami surplus untuk beberapa komoditas seperti jagung, ubi kayu, dan ubi jalar. Seharusnya dengan adanya surplus beberapa jenis pangan lain mengindikasikan persediaan produksi pangan dan kondisi pangan di NTT secara keseluruhan masih cukup aman. Tetapi sampai saat ini, beberapa wilayah di NTT masih masuk kedalam peta rawan pangan nasional (FSVA, 2009). Provinsi NTT dengan luas wilayah perairan yang lebih besar daripada luas wilayah daratan memiliki potensi sumberdaya alam kelautan yang dapat diandalkan dalam rangka mendukung ketersediaan pangan baik kalori maupun protein untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Kebutuhan akan sumber protein yang berasal dari laut diharapkan dapat memenuhi standar minimal protein yang telah ditetapkan. Rata-rata konsumsi kalori dan protein di Provinsi NTT tahun 2009 untuk kalori mencapai 1.971,70 kkal/ kap/ hari sedangkan untuk protein mencapai 54,12 gram/ kap/ hari. Angka kecukupan kalori yang tinggi dan pangsa pengeluaran akan pangan yang rendah dapat dijadikan acuan sebagai indikator ketahanan pangan suatu rumah tangga yang cenderung membaik. Masih rendahnya konsumsi kalori di Provinsi NTT dengan tingginya konsumsi beras di wilayah tersebut menimbulkan suatu kontradiksi. Seharusnya dengan tingginya konsumsi padi-padian dibandingkan protein di Provinsi NTT mengindikasikan bahwa ketercukupan kalori masyarakat telah terpenuhi, tapi dari data 2009 untuk konsumsi kalori di Provinsi NTT ternyata masih dibawah rata-rata yang ditetapkan oleh WNPG tahun 2004 sebesar 2.000 kkal/ kap/ hari. Berdasarkan pemaparan perumusan yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah mengkaji pola konsumsi dan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan menganalisis faktor-faktor penentu ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini menggunakan data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2010. Daerah yang menjadi analisis studi ini adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mencakup 19 kabupaten dan kota. Pendekatan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif, analisis derajat ketahanan pangan dan analisis regresi logistik ordinal. Tingkat kecukupan gizi dihitung berdasarkan konsumsi kalori dan protein yang mengacu pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004. Derajat ketahanan pangan diidentifikasi dengan dua indikator yaitu ketercukupan kalori yang dikonsumsi dengan besarnya pangsa pengeluaran makanan. Hal ini berdasarkan klasifikasi silang yang digunakan Jonsson dan Toole dalam Maxwell et. al., (2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecukupan gizi di provinsi NTT yang dihitung dari besarnya konsumsi kalori dan protein menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi kalori penduduk NTT tahun 2010 sudah berada diatas batas standar kecukupan yang ditetapkan WNPG VIII tahun 2004 yaitu sebesar 2.054,05 kkal/kap/hari. Begitu juga dengan kecukupan protein, dimana konsumsi protein penduduk NTT sudah mencapai 52,7 gram/kap/hari. Hal ini juga sudah sesuai dengan standar yang dianjurkan WNPG VIII tahun 2004 yaitu sebesar 52 gram/kap/hari, sehingga dapat dikatakan bahwa provinsi NTT secara wilayah masih dalam kondisi cukup kalori dan protein.
Pola konsumsi pangan secara keseluruhan dapat dilihat dari besarnya pengeluaran untuk masing-masing kelompok pangan. Berdasarkan pengeluaran rata-rata perkapita sebulan dan menurut kelompok pangan ternyata konsumsi pangan di NTT masih didominasi kelompok pangan sumber karbohidrat dari serealia (beras dan jagung). Beras masih menjadi pangan pokok utama bagi sebagian besar masyarakat NTT dan menjadi sumber energi utama bagi rumah tangga di pedesaan. Diantara kelompok padi-padian, beras merupakan komoditi terbanyak yang dikonsumsi masyarakat NTT yaitu mencapai 92,99 persen. Ariani (2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras, termasuk diantaranya kebijakan “Raskin”. Kebijakan ini mengakibatkan pergeseran pola konsumsi pangan pokok dari jagung atau umbiumbian ke beras. Ketahanan pangan memiliki dua indikator yang sangat penting yaitu kecukupan kalori dan pangsa pengeluaran pangan. Berdasarkan perhitungan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan kecukupan kalori, terlihat bahwa di Provinsi NTT persentase penduduk yang rawan pangan masih cukup tinggi yaitu sebesar 22,01 persen. Sementara itu rumah tangga yang tergolong tahan pangan lebih kecil yakni sebesar 20,06 persen. Rumah tangga rentan pangan di NTT mencapai proporsi yang cukup besar yakni 49,08 persen. Kelompok ini menurut kriteria yang ditetapkan merupakan kelompok yang secara ekonomi (pendekatan diproksi dari pangsa pengeluaran pangan) termasuk kelompok kurang sejahtera, namun dari sisi konsumsi energi memenuhi syarat kecukupan, hal ini terkait dengan pola konsumsi dan kebiasaan makan. Kondisi ini diperkuat dengan penelitian yang menyatakan bahwa kelompok rentan pangan mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat (khususnya beras dan umbi-umbian) relatif lebih tinggi dibanding kelompok lainnya (Saliem dkk., 2001). Umumnya pangan sumber karbohidrat memiliki kandungan energi (kkal) yang tinggi, namun demikian tingginya konsumsi pangan sumber karbohidrat pada kelompok rentan pangan tidak diikuti oleh konsumsi sumber pangan lain secara seimbang. Dari sisi gizi, untuk memperoleh kondisi tubuh yang sehat diperlukan komposisi beragam zat gizi secara cukup dan seimbang. Oleh karena itu perlu upaya penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi secara intensif. Mengingat kelompok ini secara ekonomi kurang mampu, maka upaya peningkatan pendapatan untuk mampu mengakses pangan sumber protein, vitamin dan mineral secara baik perlu lebih ditingkatkan. Karakteristik masing-masing kelompok rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan dapat memperjelas tentang kondisi ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi NTT. Beberapa karakteristik rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan seperti lapangan pekerjaan, umur KRT, jumlah anggota RT, pendidikan KRT, status pekerjaan KRT dan konsumsi kalori dan protein rumah tangga yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga. Secara agregat sumber pendapatan utama kelompok rumah tangga rentan pangan dan rawan pangan adalah dominan pada sektor pertanian masing-masing memberikan kontribusi sebesar 77 persen dan 82 persen. Sementara itu untuk rumah tangga tahan pangan, sebesar 41 persen sumber pendapatan utama berasal
dari sektor jasa keuangan, perseroan dan jasa perusahaan. Kelompok rumah tangga tahan pangan menempati proporsi terkecil untuk sumber pendapatan yang berasal dari sektor pertanian. Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh kepala rumah tangga, rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hampir 52 persen kepala rumah dengan status rumah tangga rawan pangan merupakan lulusan Sekolah Dasar. Sebaliknya untuk rumah tangga tahan pangan, persentase yang tidak lulus sekolah dasar cukup kecil. Rumah tangga tahan pangan didominasi oleh kepala rumah tangga yang lulus perguruan tinggi dengan persentase sebesar 59 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka status ketahanan panganya semakin baik. Rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan akan semakin menurun dengan meningkatnya tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Hal ini sesuai dengan penelitian Demeke dan Zeller (2010) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga maka akan semakin meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangga tersebut. Jumlah anggota rumah tangga secara absolut pada kelompok rumah tangga rawan pangan rata-rata lebih besar dibanding kelompok tahan pangan. Ada kecenderungan bahwa semakin besar jumlah anggota rumah tangga, maka semakin menurun derajat ketahanan pangan rumah tangga yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Purwantini dan Rahman (2005) dimana hasil studinya menyimpulkan bahwa besarnya jumlah anggota rumah tangga menyebabkan derajat ketahanan pangan semakin memburuk. Upaya membangkitkan kembali program Keluarga Berencana dan kelembagaan posyandu dengan berbagai penyempurnaan akan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Model regresi logistik ordinal yang dibentuk dari tujuh peubah penjelas menunjukkan ada dua peubah yang tidak signifikan yaitu umur kepala rumah tangga (dengan p-value 0,968) dan variabel daerah tempat tinggal dengan (p-value sebesar 0,390). Adapun tujuh peubah lainnya yang signifikan dengan tingkat α tertentu adalah pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, lapangan pekerjaan (pertanian dan non pertanian), pendidikan (SD, menengah dan tinggi) dan penerima raskin. Kata Kunci : Ketahanan Pangan, Rumah Tangga, Regresi Logistik Ordinal
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
Judul Tesis Nama NRP Program Studi
: Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga di ProvinsiNusa Tenggara Timur : Inda Wulandari : H151100261 : Ilmu Ekonomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Ketua
Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si
Tanggal Ujian : 24 April 2013
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr.
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis dengan judul “Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Penelitian ini menarik dilakukan untuk mengetahui bagaimana pola konsumsi pangan di NTT dan bagaimana kondisi ketahanan pangan saat ini. Tesis ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis, terutama kepada : 1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan yang bermanfaat dalam menyusun tesis ini. 2. Dr. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec. sebagai dosen Penguji Luar Komisi dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. selaku perwakilan dari Program Studi Ilmu Ekonomi. 3. Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi beserta staff jajaran Program Studi Ilmu Ekonomi. 4. Ayahanda Amir, mama, suami (Winarno), kedua anakku (annisa dan abyan) dan seluruh keluarga atas dukungan dan doa yang selama ini telah diberikan. 5. Angkatan IV reguler IE : Via, kiki, arya, airin, luken, dyah, agus dan kak santi. Penulis menyadari dengan waktu dan kemampuan yang terbatas, tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi semua pihak serta bermanfaat bagi dunia pendidikan.
Bogor, April 2013
Inda Wulandari
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pematang Siantar (Sumatera Utara) pada tanggal 1 April 1983 sebagai anak ke-empat dari pasangan H. Amir dan Hj. Iriani. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Yayasan Perguruan Keluarga pada tahun 1995, kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 2 Pematang Siantar dan lulus pada tahun 1998. Tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 2 Pematang Siantar dan lulus tahun 2001. Pendidikan sarjana diperoleh pada jurusan Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor tahun 2007. Sejak tahun 2008 penulis bekerja di bagian Tehnical Service Departement sebagai supervisor dan trainer sepeda Motor Honda di bawah Main Dealer PT Astra Honda Motor. Kesempatan melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh penulis pada tahun 2010 dengan biaya sendiri. Penulis menikah dengan Winarno SP. pada tahun 2009 dan telah dikaruniai seorang putri dan putra yang bernama Annisa Maliha Hilmi dan Abyan Malika Hakam.
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Perkembangan Produksi dan Konsumsi Padi di Indonesia ..........................
3
2.
Jumlah Kabupaten Berdasarkan Ketersediaan Pangan di Indonesia............
5
3. Pengukuran Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga .............................. 33 4.
Variabel yang digunakan dalam Model Regresi Logistik Ordinal............... 39
5.
Produksi dan Konsumsi Beras di Provinsi NTT Tahun 2010 (ton) ............. 45
6.
Produksi dan Konsumsi Jagung di Provinsi NTT Tahun 2010 (ton) ........... 46
7.
Persentase Pengeluaran Rata-rata Rumah Tangga di Provinsi NTT Tahun 2010 .................................................................................................. 54
8.
Persentase Konsumsi Pangan di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) ......... 55
9.
Kecukupan Konsumsi Protein dan Kalori di Provinsi NTT Menurut Desa dan Kota Tahun 2010 .......................................................................... 59
10. Distribusi Rumah Tangga Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT Tahun 2010 ......................................................................................... 60 11. Distribusi Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan dan Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT Tahun 2010 ........................................ 64 12. Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendidikan dan Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT Tahun 2010 .......................................................... 65 13. Karakteristik Rumah Tangga Menurut Umur dan Jumlah ART Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT Tahun 2010............................ 68 14. Rataan Konsumsi dan Protein Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT Tahun 2010 ........................................................................... 68 15. Pola Pengeluaran Pangan dan Non Pangan RT Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010 ............................................................69 16. Jumlah 12 Kabupaten Rawan Pangan dengan Persentase Tertinggi di Provinsi NTT Tahun 2009 dan 2010............................................................ 70 17. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin dan Rumah Tangga Rawan Rawan Pangan di Provinsi NTT .....................................................................72 18. Hasil Estimasi Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi NTT ..................................................................................................77 19. Hasil Estimasi Odds Ratio Logistik Ordinal Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi NTT Tahun 2010 ....................................78
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.
Halaman
Perkembangan Produksi Tanaman Padi dan Palawija di NTT Tahun 2005-2009 (ton) ...........................................................................................
7
2.
Kaitan antara Elemen dalam Sistem Ketahanan Pangan ............................. 14
3.
Kurva Engel ................................................................................................. 21
4.
Kerangka Penelitian .................................................................................... 29
5.
Produksi Tanaman Pangan di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 .................. 46
6.
Persentase Jumlah penduduk Berusia 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut lapangan Pekerjaan Utama di NTT Tahun 2010 ........................... 48
7.
Struktur PDRB di Provinsi NTT Menurut Lapangan Usaha ....................... 51
8.
Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2010 di Provinsi NTT.................................................... 52
9.
Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2009-2010 di Provinsi NTT .......................................... 53
10. Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari Menurut Kabupaten di Provinsi NTT Tahun 2010 ........................................................................... 57 11. Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Sehari Menurut Kabupaten di Provinsi NTT Tahun 2010 (gram)................................................................ 59 12. Rumah Tangga Rawan Pangan Berdasarkan Lapangan Usaha Kepala Rumah Tangga di Provinsi NTT (persen) .................................................. 63 13. Rumah Tangga Tahan Pangan Berdasarkan Status Pekerjaan Kepala RT di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) ......................................................... 66 14. Rumah Tangga Rawan Pangan Berdasarkan Status Pekerjaan Kepala RT di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) ......................................................... 67 15. Peta Persentase Rumah Tangga Rawan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 dan 2010 ..........................................................................71
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Data PDRB Perkapita Menurut Kabupaten Atas Dasar Harga Konstan (2000) Tahun 2009-2010 (ribuan rupiah) .................................................... 89
2.
Persentase Konsumsi Padi-padian di Provinsi NTT Tahun 2010 ................ 90
3.
Persentase Kecukupan Kalori di Provinsi NTT Berdasarkan Sampel Rumah Tangga Tahun 2010...................................................................................... 91
4.
Status Ketahanan Pangan Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) ................................................................................................ 92
5.
Output Pengujian Multikolinearitas ............................................................. 93
6.
Hasil Output dari Regresi Logistik Ordinal ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi NTT.............................................................................. 94
7.
Pengelompokan Persentase Rumah Tangga Rawan Pangan di Provinsi NTT ........................................................................................... 95
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia telah mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis
ekonomi tahun 1998. Proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup baik setelah mengalami krisis ekonomi yang berat. Kondisi moneter yang semakin stabil, perkembangan sosial politik di dalam negeri yang relatif kondusif serta kondisi perekonomian internasional yang membaik telah memberikan peluang bagi pemulihan kestabilan nilai rupiah dan perbaikan aktivitas ekonomi nasional, namun masalah kemiskinan dan ketahanan pangan maupun gizi nasional masih cukup besar dan beragam antar provinsi dan kabupaten di Indonesia (Human Development Index, UNDP 2008). Masalah ketahanan pangan telah dijadikan agenda penting dalam pembangunan ekonomi bangsa, karena pembangunan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari masalah ketahanan pangan. Status ketahanan pangan sering dipakai sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Pangan sebagai komoditas ekonomi berperan besar pada peningkatan pertumbuhan ekonomi global maupun nasional. Pembangunan ketahanan pangan menuju kemandirian
pangan diarahkan untuk menopang kekuatan ekonomi domestik
sehingga mampu menyediakan pangan yang cukup secara berkelanjutan bagi seluruh penduduk terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman dan terjangkau dari waktu ke waktu. Ketersediaan pangan akan menjamin stabilitas kawasan atau negara tertentu. Sebaliknya krisis penyediaan pangan akan menjadi masalah yang sangat sensitif dalam dinamika kehidupan sosial politik, sehingga ketahanan pangan dijadikan prasyarat utama bagi tercapainya ketahanan ekonomi dan politik bangsa.1 Konsep ketahanan pangan di Indonesia berdasarkan pasal 1 ayat 17 Undang-Undang Pangan nomor 7 tahun 1996 mendefenisikan bahwa ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersediannya pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, 1
Wibowo Rudi, “Penyediaan Pangan dan Permasalahannya”, dalam Wibowo Rudi (editor), Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp. 11-12.
2
bergizi merata dan terjangkau serta setiap individu dan rumah tangga memiliki akses secara fisik dan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat. Sedangkan menurut FAO (1996), ketahanan pangan merupakan situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Indonesia dalam memenuhi konsumsi masyarakatnya menghadapi tantangan yang cukup besar karena jumlah penduduknya yang cukup besar. Penduduk yang besar ini akan berdampak tidak hanya pada aspek pendidikan dan lapangan pekerjaan tapi juga yang utama terhadap pangan. Ketercukupan pangan bagi setiap individu tercermin dari kecukupan energi dan protein yang dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan dan sosial ekonomi secara terintegrasi (Moeloek, 1999). Ketersediaan dan kecukupan makanan berdampak besar terhadap kualitas sumberdaya manusia dan kelangsungan hidupnya. Derajat ketahanan pangan rumah tangga secara sederhana dapat ditentukan dengan mengevaluasi asupan energi dan protein rumah tangga. Irawan (2002) menyatakan bahwa energi dan protein digunakan sebagai indikator status gizi karena penggunaan nilai kalori (energi) dan nilai protein sudah cukup untuk menggambarkan kecukupan pangan rumah tangga karena konsumsi kalori terkait erat dengan kemampuan manusia untuk hidup secara aktif sedangkan konsumsi protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang rusak. Berdasarkan data statistik (BPS, 2009), sejak tahun 2005 sampai dengan 2008 konsumsi energi dan protein masyarakat Indonesia terus meningkat dari angka 2.007,65 kkal/kap/hari menjadi 2.038,17 kkal/kap/hari dan untuk protein 54,65 gram/kap/hari menjadi 57,49 gram/kap/hari melebihi standar yang ditetapkan oleh Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004. Keadaan ini menunjukkan gizi masyarakat Indonesia secara kuantitas dan makro sudah mencukupi. Namun dari hasil penelitian Ariningsih (2002) ditemukan bahwa perbaikan konsumsi secara makro tidak mencerminkan pemerataan pemenuhan konsumsi gizi secara mikro. Ditataran mikro, ketahanan pangan
3
khususnya di pedesaan atau rumah tangga petani masih lemah dan memprihatinkan. Dengan luas lahan yang kecil (0,3-0,5 ha) pola pertanian monokultur
dan
teknologi
budidaya
pertanian
yang
masih
tradisional
menyebabkan produksi pertanian yang dihasilkan sekedar hanya untuk bertahan hidup. Ketahanan pangan di Indonesia saat ini menunjukkan kondisi yang cenderung lebih baik. Produksi pangan mengalami peningkatan, antara lain ditunjukkan dengan peningkatan produksi padi pada kurun waktu tahun 20042009 dari 54,1 ribu ton menjadi 63,8 juta ton atau naik sebesar 5,83 persen (Kementrian Pertanian, 2010). Meskipun secara nasional sudah tercapai swasembada, tetapi masih saja terjadi kasus kerawanan pangan di sejumlah daerah. Hampir 13 persen lebih dari jumlah total penduduk Indonesia masih mengalami rawan pangan2. Ketahanan pangan nasional juga dihadapkan pada persoalan masih tingginya ketergantungan konsumsi beras dalam pola konsumsi pangan. Setiap tahunnya konsumsi beras masyarakat Indonesia mencapai 139,15 kg/kap. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai konsumen beras tertinggi di dunia, jauh melebihi Jepang (45kg), Malaysia (80kg) dan Thailand (90kg).
Tabel 1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Padi di Indonesia Penduduk Produksi Konsumsi Tahun (juta) (juta ton) (kg/kap/th) Padi 1940 75,0 5,5 86,0 1980 147,5 29,7 122,0 2010 237,6 66,5 139,0 Kenaikan 3,2 7,7 1,6 (x lipat) Sumber : BKP, 2011
Penduduk Indonesia yang berjumlah 212 juta orang membutuhkan beras untuk keperluan industri dan rumah tangga lebih dari 30 juta ton per tahun (Siswono, 2011). Kebutuhan beras tersebut akan terus meningkat sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk. Diperkirakan kenaikan jumlah penduduk sebesar 3,2 kali menyebabkan produksi pangan meningkat 7,7 kali lipat. Perkembangan
2
Kepala Badan ketahanan Pangan Prof. Dr. Ir. Achmad Suryana MS, BKP, 2011
4
konsumsi
beras
masyarakat
Indonesia
yang
terus
meningkat
dimana
peningkatanya dibarengi dengan peningkatan jumlah penduduk pada Tabel 1. Selain itu sebaran produksi pangan yang tidak menentu antar daerah turut menjadi penyebab ketimpangan pangan. Ketimpangan pangan di Indonesia terjadi antara wilayah Barat dan Timur. Di wilayah Jawa dan Sumatera sebagai basis sentra produksi pangan memberikan kontribusi sebanyak 70 persen – 80 persen bagi produksi nasional. Sementara wilayah papua dan NTT merupakan wilayah yang paling sering mengalami defisit pangan akibat masih banyak penduduk yang mengalami kerawanan pangan. Ada tiga faktor ketahanan pangan yang harus dipenuhi sehingga dapat mendorong stabilitas pangan, yaitu : ketersediaan pangan (food availability), akses pangan (food acces) dan penyerapan pangan (food utilization). Ketahanan pangan belum tercapai saat ketersediaan pangan saja yang terpenuhi. Ketahanan pangan akan tercapai ketika akses terhadap pangan tersebut memadai serta penyerapan pangannya dapat berlangsung secara baik. Apabila ketiga faktor ini terpenuhi maka kebutuhan nutrisi terjamin (status nutrisi baik). Kondisi inilah yang belum tercapai di banyak daerah di Indonesia dimana ketersediaan pangan yang memadai atau bahkan berlebih tidak disertai dengan akses pangan yang memadai. Hal ini berakibat pada penyerapan pangan yang tidak maksimal, sehingga banyak daerah di Indonesia yang belum mampu mencapai ketahanan pangan meskipun telah mencapai surplus pangan. Untuk membantu mengidentifikasi ketahanan dan kerawanan pangan daerah di Indonesia, pemerintah bekerja sama dengan Badan Ketahanan Pangan membentuk Dewan Ketahanan Pangan Nasional. DKP yang diketuai oleh Presiden RI bekerjasama dengan WFP, menerbitkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009 (Food Security and Vulnerability Atlas, 2009) yang bertujuan sebagai sarana bagi pengambil kebijakan dalam hal penentu sasaran dan memberikan rekomendasi untuk intervensi kerawanan pangan dan gizi ditingkat provinsi dan kabupaten. FSVA 2009 merupakan pemutakhiran dari Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas) yang diluncurkan pada tahun 2005. FSVA ini disusun untuk mengidentifikasi titik-titik rawan pangan tingkat kabupaten di Indonesia, mengidentifikasi penyebab kerawanan pangan di suatu
5
kabupaten dan menyediakan petunjuk dalam mengembangkan strategi mitigasi yang tepat untuk kerawanan pangan kronis (DKP, 2009). Kabupaten yang dianalisis oleh DKP ada sekitar 346 kabupaten dimana ditemukan 100 kabupaten terindikasi rawan pangan. Berdasarkan kondisi ketersediaan pangan, 64 kabupaten dari 100 kabupaten rawan pangan dikategorikan sebagai daerah surplus pangan. Hal ini menjadi suatu kontradiksi karena daerah yang surplus pangan ternyata masih menjadi daerah yang rawan pangan (FSVA, 2009). Tabel 2 menunjukkan bahwa 100 dari kabupaten rawan pangan di Indonesia ternyata 64 kabupatenya merupakan daerah surplus pangan. Tabel 2. Jumlah Kabupaten Berdasarkan Ketersediaan Pangan di Indonesia Ketersediaan Pangan Surplus Defisit Jumlah
Kabupaten Tahan Pangan 206 40 246
Kabupaten Rawan Pangan 64 36 100
Jumlah 270 76 346
Sumber : FSVA, 2009 (diolah)
Ketersediaan pangan ternyata belum cukup untuk menjamin ketahanan pangan. Selain faktor ketersediaan, akses pangan merupakan determinan penting dalam mewujudkan ketahanan pangan. Aspek tersebut akan dimiliki bila terdapat faktor kontrol terhadap pangan. Kemampuan melakukan kontrol akan tergantung pada daya beli masyarakat (Hardono dan Kariyasa, 2006). Ketersediaan pangan merupakan faktor eksternal di tingkat rumah tangga atau individu kecuali bagi pemilik sumber daya yang produktif. Apabila faktor pendapatan dianggap ceteris paribus maka daya beli akan sangat ditentukan oleh harga di pasar. Hal ini menyebabkan aspek harga sangat menentukan dalam ketahanan pangan. Ketersediaan pangan yang melimpah tidak menjamin ketahanan pangan jika daya beli masyarakat rendah (Hardono dan Kariyasa, 2006). Dinamika analisis ketahanan pangan menunjukkan bahwa ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan merupakan dua faktor penting yang menentukan dalam ketahanan pangan tingkat rumah tangga (Braun, 1995). Faktor ketersediaan pangan secara tunggal tidak menjamin ketahanan pangan rumah tangga namun diperlukan akses terhadap pangan baik yang mencakup dimensi fisik maupun ekonomi. Akses fisik terkait dengan produksi pangan di tingkat rumah tangga, sedangkan akses ekonomi
6
terkait dengan pendapatan rumah tangga dengan peubah pendapatan sebagai determinan utamanya. Swasembada pangan yang dicanangkan oleh pemerintah saat ini hanya berorientasi kepada tersedianya sumberdaya pangan yang mencukupi kebutuhan masyarakat di suatu daerah. Jika dilihat dari 100 kabupaten yang teridentifikasi rawan pangan oleh DKP, maka 94 kabupaten diantaranya berada di luar Jawa. 30 kabupaten yang termasuk prioritas I diantaranya berada di provinsi Papua, enam berada di Nusa Tenggara Timur, dan lima lainya berada di Papua Barat. Sedangkan dari 30 kabupaten yang rentan terhadap rawan pangan yang merupakan prioritas II kebanyakan berada di Kalimantan Barat (7 kabupaten), NAD (4 Kabupaten), Papua (3 kabupaten) dan NTT (5 kabupaten). Sisanya 40 kabupaten lagi masuk kedalam prioritas III. Dari 14 provinsi yang dimasukkan ke dalam fokus utama peningkatan produksi dalam mengatasi kerawanan pangan dalam wacana peta ketahanan dan kerawanan pangan (FSVA) adalah NTB, Gorontalo,
Sulawesi
Tengah,
Sulawesi
Tenggara,
Kalimantan
Tengah,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Lampung, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Maluku, NAD dan Nusa Tenggara Timur (NTT). 1.2
Perumusan masalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kerap dikategorikan sebagai salah
satu provinsi yang sering mengalami gangguan pangan yang disebabkan oleh kondisi wilayah baik itu menyangkut ketersediaan maupun akses pangan yang ada di wilayah tersebut. Ketersediaan lahan yang landai untuk usaha pertanian lahan basah sangat terbatas sehingga pertanian lahan kering dan gersang menjadi sangat dominan di NTT. Dari luas daratan, tercatat 96,74 persen merupakan lahan kering sedangkan sisanya 3,26 persen merupakan lahan basah. Dengan kondisi iklim dan topografi tersebut mengakibatkan usaha pertanian lahan basah untuk tanaman pangan menghadapi tantangan yang cukup besar. Data yang dikutip dari Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan beberapa produksi pangan seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar dan kacang-kacangan selama periode 2005-2007, walaupun ada peningkatan di tahun 2008 tapi terjadi penurunan kembali di tahun
7
2009, hal ini dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan gambaran tentang produksi pangan NTT dan kondisi konsumsi pangan menunjukkan bahwa bahan pangan NTT belum diproduksi secara optimal. Pada tahun 2009 tingkat produksi beras di NTT mencapai 335.236 ton sementara konsumsi beras mencapai 467.460 ton. Hal ini menunjukkan bahwa NTT mengalami defisit beras sebanyak 132.224 ton. Persentase tingkat konsumsi beras masyarakat NTT saat ini mencapai 82 persen. Defisit akan kebutuhan beras yang tinggi di Provinsi NTT selama ini masih dapat dipenuhi oleh adanya program pendistribusian beras untuk masyarakat miskin atau yang sering disebut dengan Raskin. Masyarakat NTT masih menganggap beras sebagai bahan makanan yang lebih bergizi ketimbang bahan pangan lokal. Mengkonsumsi beras dinilai lebih terhormat, lebih bergengsi daripada mengkonsumsi jagung dan pangan lokal lainnya3. Adanya perubahan pola konsumsi pangan rumah tangga dari jagung sebagai makanan pokok menjadi beras sebagai makanan bergengsi menyebabkan ketahanan pangan di NTT menuju ke keadaan yang tidak aman. Kehadiran beras melalui politik berasnisasi telah menggeser jagung dan pangan alternatif lainnya, bukan hanya pada tatanan
Produksi (ton)
konsumsi tapi juga produksi yang perlu diantisipasi dan diatasi. 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 2005
2006
2007
2008
Padi
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Kacang Kedelai
Kacang Hijau
Jagung
2009 Tahun Kacang Tanah
Sumber : BKPM, 2012 (diolah)
Gambar 1. Perkembangan Produksi Tanaman Padi dan Palawija di NTT Tahun 2005-2009 (ton).
3
Petrus Langoday, Kepala Badan Ketahanan Pangan & Penyuluhan Provinsi NTT : www.NTTProv.go.id , 2010
8
Pola pengeluaran rumah tangga dan PDRB per kapita secara tidak langsung dapat mempengaruhi akses ekonomi terkait pendapatan rumah tangga di Provinsi NTT. Hal ini akan berdampak pada ketahanan pangan dimana akses pangan selain ketersediaan pangan merupakan dua faktor penting yang menentukan ketahanan pangan rumah tangga (Braun, 1995). Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk adalah komposisi pengeluaran untuk pangan dan non pangan. Kesejahteraan dikatakan semakin baik apabila persentase pengeluaran untuk pangan semakin kecil dari total pengeluaran rumah tangga (BPS, 1999). Tahun 2009, rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat NTT masih lebih dominan untuk kebutuhan pangan yaitu sebesar 63,12 persen sedangkan untuk kebutuhan non pangan sebesar 36,88 persen. Umumnya rumah tangga dengan pendapatan rendah baik di wilayah perkotaan maupun pedesaaan, sebagian besar pendapatanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian dan perumahan. Perkembangan ekonomi di NTT dari tahun ke tahun akan lebih jelas diperlihatkan oleh laju pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan nilai PDRB atas dasar harga konstan. Pada tahun 2008, laju pertumbuhan ekonomi NTT mencapai 4,84 persen, dimana tahun 2009 melemah menjadi 4,29 persen tetapi meningkat kembali menjadi 5,23 persen pada tahun 2010. Peningkatan ini mengindikasikan bahwa secara umum perekonomian di NTT meningkat dibanding tahun sebelumnya, dimana kesejahteraan penduduk akan berdampak positif terhadap ketahanan pangan di NTT. Pangan dan gizi sangat terkait erat dengan upaya peningkatan sumberdaya manusia, dimana dalam hal ini kecukupan energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat gizi masyarakat di provinsi NTT. Kesejahteraan dikatakan semakin baik apabila energi dan protein yang dikonsumsi penduduk semakin meningkat sampai pada akhirnya melewati standar minimal energi (kalori) dan protein yang telah ditetapkan (Arifin, 2005). Provinsi NTT dengan luas wilayah perairan yang lebih besar daripada luas wilayah daratan memiliki potensi sumberdaya alam kelautan yang dapat diandalkan dalam rangka mendukung ketersediaan pangan baik kalori maupun protein untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Kebutuhan akan sumber protein yang berasal dari laut
9
diharapkan dapat memenuhi standar minimal protein yang telah ditetapkan. Ratarata konsumsi kalori dan protein di Provinsi NTT tahun 2009 untuk kalori mencapai 1.971,70 kkal/ kap/ hari sedangkan untuk protein mencapai 54,12 gram/ kap/ hari. Angka kecukupan kalori yang tinggi dan pangsa pengeluaran akan pangan yang rendah dapat dijadikan acuan sebagai indikator ketahanan pangan suatu rumah tangga yang cenderung membaik. Masih rendahnya konsumsi kalori di Provinsi NTT dengan tingginya konsumsi beras di wilayah tersebut menimbulkan suatu kontradiksi. Seharusnya dengan tingginya konsumsi padipadian dibandingkan protein di Provinsi NTT mengindikasikan bahwa ketercukupan kalori masyarakat telah terpenuhi, tapi dari data 2009 untuk konsumsi kalori di Provinsi NTT ternyata masih dibawah rata-rata yang ditetapkan oleh WNPG tahun 2004 sebesar 2.000 kkal/ kap/ hari. Selain itu, perkembangan produksi komoditas pangan nabati di NTT dalam kurun tiga tahun terakhir ini terhitung 2009-2011 mengalami surplus untuk komoditas jagung, ubi kayu dan ubi jalar4, hal ini jelas berbeda dengan tahun sebelumnya yaitu 2005-2009 yang mengalami penurunan produksi beberapa komoditas. Seharusnya dengan adanya surplus beberapa jenis pangan lain seperti jagung dan ubi kayu, mengindikasikan persediaan produksi pangan dan kondisi pangan di NTT secara keseluruhan masih dapat dikatakan cukup aman. Tetapi sampai saat ini, beberapa wilayah di NTT masih masuk ke dalam peta rawan pangan nasional (FSVA, DKP 2009). Hal ini merupakan suatu kondisi yang ironis, di satu sisi saat ini wilayah NTT merupakan penghasil surplus jagung dan ubi kayu namun masih terdapat daerah yang rawan pangan. Tingginya pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga dan adanya peningkatan produksi pangan selain beras pada berbagai wilayah menyebabkan perlunya mengkaji lebih dalam tentang permasalahan pola konsumsi pangan di Provinsi NTT terkait dengan kondisi ketahanan pangan rumah tangga di wilayah tersebut. Pola konsumsi pangan yang cenderung didominasi kelompok padi-padian (beras) menunjukkan pola konsumsi yang belum seimbang antara energi dan protein di Provinsi NTT. Oleh karena itu kajian 4
BPS NTT. Berita resmi Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur No. 03/07/53/Th.XIII, 1 Juli 2010
10
mengenai karakteristik pola konsumsi pangan dan faktor penentu ketahanan pangan di Provinsi NTT sangat diperlukan, hal ini untuk melihat bagaimana ketahanan pangan di NTT. Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan, maka dirumuskan beberapa hal yang akan diteliti sebagai berikut : 1.
Bagaimana pola konsumsi dan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
2.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Mengkaji pola konsumsi dan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
2.
Menganalisis faktor-faktor penentu ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
1.4
Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian maka penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut : 1.
Memberikan informasi dan data mengenai faktor-faktor yang menentukan ketahanan pangan wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
2.
Memberikan masukan kepada pemerintah dalam menentukan strategi maupun langkah nyata untuk meningkatkan ketahanan pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
3.
Dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan dalam menanggulangi kerawanan pangan di berbagai daerah rawan pangan yang memiliki ciri geografis seperti di Nusa Tenggara Timur.
11
1.5
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mencakup rumah tangga kabupaten dan kota di Provinsi
NTT. Kabupaten yang dianalisis hanya 19 kabupaten/Kota sesuai dengan data yang dianalisis dalam penelitian yaitu menggunakan data SUSENAS tahun 2010. Meskipun banyak indikator dalam penentuan ketahanan pangan, namun dalam penelitian ini perhitungan ketahanan pangan rumah tangga adalah dengan menggunakan klasifikasi silang antara ketercukupan jumlah kalori (energi) dan pangsa pengeluaran rumah tangga (Jonsson and Toole, 1991 dalam Maxwell and Frankenberger, 1992). Hal ini dilakukan karena faktor akses yang tercermin dari kemampuan rumah tangga mengkonsumsi makanan merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga. Beberapa batasan penelitian yaitu bahwa ketahanan pangan rumah tangga diklasifikasikan sebagai kondisi yang saling terkait antara pangsa pengeluaran makanan dengan ketercukupan kalori. Makanan yang dikonsumsi adalah makanan yang dikonsumsi sendiri di rumah tangga baik yang berasal dari pembelian, produksi sendiri maupun pemberian. Penelitian ini hanya mencakup batasan rumah tangga, dimana faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan hanya dilihat dari sisi ekonomi rumah tangga. Analisis ketahanan pangan dilihat dari aspek ketersediaan, akses terhadap pangan dan aspek stability yang merupakan faktor penting dalam ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Selain itu ketahanan pangan yang diteliti disesuaikan dengan data yang terdapat pada data SUSENAS NTT tahun 2010 untuk menentukan variabel yang mempengaruhi ketahanan pangan berdasarkan ke-3 indikator pilar ketahanan pangan. Analisis derajat ketahanan pangan tahun 2009 hanya dijadikan acuan sebagai pembanding untuk melihat dinamika kondisi ketahanan pangan provinsi NTT di tahun 2010.
12
13
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Teori
2.1.1
Konsep Ketahanan Pangan Defenisi ketahanan pangan berubah dari satu periode waktu ke periode
waktu berikutnya (Salim et al., 2005). Sejak tahun 1970-an ketahanan pangan mulai menjadi issue Internasional seiring terjadinya krisis pangan global (Maxwell and Frankenberger, 1992). Pada awalnya konsep ketahanan pangan sebagai terjemahan dari istilah food security yang difokuskan kepada kondisi ketersediaan pangan baik di tingkat nasional maupun internasional terutama padipadian, hal ini karena terjadi krisis pangan dunia pada waktu tahun 1972-1974. Hal inilah yang menyebabkan kebijakan ketahanan pangan di Indonesia didasarkan pada pendekatan penyediaan pangan yang lebih dikenal dengan istilah Food Availability Approach (FAA) pada masa awal orde baru (Rindayati, 2009). Pendekatan ini tidak memperhatikan aspek distribusi dan aspek akses terhadap pangan. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi yaitu jika pasokan pangan tersedia maka para pedagang dapat menyalurkan pangan secara merata dan efisien dan harga pangan akan stabil sehingga dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat. Tetapi dalam kenyataan yang terjadi walaupun ketersediaan pangan mencukupi namun sebagian masyarakat masih menderita kelaparan karena tidak memiliki akses terhadap pangan. Sehingga pendekatan ini mengalami kegagalan dalam mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan. Konsep ketahanan pangan pada tahun 1980-an mulai beralih dari konsep ketersediaan pangan kepada konsep akses pangan pada tingkat rumah tangga dan individu. Konsep ketahanan pangan lebih menekankan pada dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan hidup. International Food Policy Research Institute (IFPRI) mendefenisikan ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat.
14
Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI (1998), ketahanan pangan disepakati didefenisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersediannya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata. Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka empat hal yang menjadi perhatian dalam analisis terhadap ketahanan pangan yaitu : kecukupan, akses, keterjaminan dan waktu (Maxwell dan Frankenberger, 1992). NATIONAL, SUBNATIONAL AND COMMUNITY LEVEL Socio-economic, Political, Institutional, Cultural and Natural Envinroment
Food Economy
HOUSEHOLD
Household Livelihood Strategies, Assets & Activities
(Vulnerability contex) Population Education Macro-economy including foreign trade Policies and laws Natural resources endowment Basic services Market conditions Technology Climate Civil strife Household characteristics Livehoods systems Social institutions Cultural attitudes and gender
Food availability domestic production import capacity food stocks, food aid
Stability weather variability price fluctuations political factors, economic factors
Acces to food poverty, purchasing power, income, transport and market insfrastructure
Household Food Access
Care practices Child care Feeding practices Nutrirional knowledge Food preparation Eating habits Intra-housedhold food distribution Health and Sanitation Health care practices Hygiene, Sanitation Water quality Food safety & quality
INDIVIDUALS
Food Consumption Energy intake Nutrient intake Consumption status
Nutritional Status
Food utilization determined by: Health status
Sumber : FAO, 2010
Gambar 2. Kaitan antara Elemen dalam Sistem Ketahanan Pangan Ketahanan pangan merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability and stability), kemudahan memperoleh pangan (food accessibility), dan pemanfaatan pangan (food utilization)
(FAO,1996).
Sedangkan
menurut
framework
FAO
terbaru
(FAO,2010) bahwa ketahanan pangan tersusun atas tiga pilar utama yaitu food availability, food accessability dan stability. Ketahanan pangan terjadi manakala terdapat keseimbangan antara akses pangan nasional dan ketersediaan pangan pada tingkat harga yang terjangkau (FAO, 1996). Terwujudnya ketahanan pangan individu merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem dari berbagai level
15
(Baliwati, 2004). Gambar 2 menunjukkan bahwa terdapat banyak elemen dan indikator dalam sistem ketahanan pangan. Tingkat nasional diperkuat dengan adanya ketersediaan pangan (food availability), stabilitas (stability) dan akses untuk pangan (acces to food). Adanya ketiga faktor tersebut akan dapat mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga sehingga dapat memenuhi kebutuhan kalori dan protein yang pada gilirannya akan meningkatkan penyerapan makanan yang terlihat dari kondisi kesehatan masyarakat (individu). Indikator outcome ketahanan pangan yang direkomendasikan FAO mencakup umur harapan hidup, prevalensi anak kurang gizi, gizi buruk dan angka kematian bayi. Sedangkan indikator yang digunakan oleh FSVA berkaitan dengan tiga pilar ketahanan pangan berdasarkan konsepsi kerangka konsep ketahanan Pangan dan Gizi. Berikut indikator ketahanan pangan Indonesia sesuai tiga pilar subsistem ketahanan pangan (DKP, 2009) yaitu : 1. Ketersediaan Pangan (Food Availability) : rasio konsumsi normatif perkapita terhadap ketersediaan padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. 2. Akses Pangan : persentase penduduk hidup dibawah garis kemiskinan, persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai dan persentase RT tanpa akses listrik 3. Pemanfaatan Pangan : angka harapan hidup pada saat lahir, perempuan buta huruf, persentase RT tanpa akses ke air bersih. Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem (Maleha dan Adi Sutanto, 2006). Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan (akses) dan konsumsi pangan (DKP, 2009). Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut. Ketiga pilar ketahanan pangan tersebut yaitu : 1. Ketersediaan pangan (food availability) merupakan tersediannya pangan secara fisik di daerah, yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor atau perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produk domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan pangan. ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten
16
atau tingkat masyarakat. Ketersediaan pangan harus dikelolah sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaanya dari waktu ke waktu. Ketersediaan pangan dapat dilihat dari jumlah stok pangan yang dapat disimpan setiap tahun dan dari produksi pangan itu sendiri. 2. Akses Pangan (food accessibility) adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelima faktor tersebut. Ketersediaan pangan disuatu daerah mungkin mencukupi akan tetapi tidak semua RT memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut diatas. Akses pangan mencakup pangan secara fisik dan ekonomi, dimana ketersediaanya secara merata di semua lokasiyang membutuhkan. 3. Pemanfaatan Pangan (food utilization) merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Subsistem ini menyangkut upaya peningkatan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik. Sehingga dapat mengelolah konsumsinya secara optimal. Pemanfaatan pangan hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif. Pembangunan ketahanan pangan memerlukan keharmonisan dari ke-3 subsistem diatas, pembangunan subsistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan kesinambungan ketersediaan pangan yang berasal dari produksi dan cadangan. Pembangunan subsistem distribusi pangan bertujuan menjamin aksesibilitas pangan dan stabilitas harga pangan. Pemerintah harus bisa mengontrol agar harga pangan masih terjangkau untuk setiap individu dalam mengaksesnya, karena kecukupan ketersediaan pangan akan dirasa percuma jika masyarakat tidak mempunyai daya beli yang cukup untuk mengakses pangan.oleh
17
karena itu faktor harga pangan menjadi sangat vital perannya dalam upaya mencukupi kebutuhan konsumsi pangan. Kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan ketersediaan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan sebagai aspek-aspek utama penopang ketahanan pangan serta menghubungkan aspek-aspek tersebut dengan kepemilikan asset RT, strategi penghidupan dan lingkungan politik, sosial, kelembagaan dan ekonomi. Dengan kata lain status ketahanan pangan suatu rumah tangga atau individu ditentukan oleh interaksi dari faktor lingkungan pertanian (agro-enviromental), sosial ekonomi dan biologi bahkan faktor politik.
2.1.2
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Konsep dari ketahanan pangan sangat luas dan beragam yang meliputi
dimensi sasaran global, nasional, regional, rumah tangga dan individu serta dimensi waktu atau musim, dimensi sosial ekonomi masyarakat. Ketahanan pangan global, nasional, regional, lokal dan rumah tangga serta individu merupakan suatu rangkaian sistem hirarkis dimana ketahanan pangan nasional dan regional merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi ketahanan pangan masyarakat, rumah tangga dan individu. Ketahanan pangan individu merupakan syarat kecukupan (sufficiency condition) bagi ketahanan pangan nasional (Simatupang, 1999). Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga tahun 1996 merumuskan bahwa ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan untuk memenuhi pangan anggota keluarga dari waktu ke waktu dan berkelanjutan baik dari produksi sendiri maupun membeli dalam jumlah, mutu dan ragamnya sesuai dengan lingkungan setempat serta sosial budaya rumah tangga agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara produktif (Badan Ketahanan Pangan, 2005). Konferensi FAO tahun 1992 mencetuskan dasar-dasar ketahanan pangan yang pada intinya menjamin kecukupan ketersediaan pangan bagi umat manusia dan terjaminya setiap individu untuk dapat memperoleh pangan. Defenisi tersebut disempurnakan pada waktu International Congress of Nutrition (ICN) di Roma pada tahun 1994 dimana ketahanan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar
18
dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Dalam sidang Committee on Work Food Security tahun 1995 definisi di atas diperluas dengan menambah persyaratan harus diterima oleh budaya setempat. Defenisi tersebut dipertegas lagi pada Deklarasi Roma pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan terwujud apabila semua orang setiap saat memiliki akses secara fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat (Badan Ketahanan Pangan, 2005). Menurut Soehardjo et. al., (1986), ketahanan pangan rumah tangga dicerminkan oleh beberapa indikator, antara lain : (1) tingkat kerusakan tanaman, ternak dan perikanan, (2) penurunan produksi pangan, (3) tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga, (4) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total, (5) fluktuasi harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga, (6) perubahan kehidupan sosial, (7) keadaan konsumsi pangan berupa kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas pangan, dan (8) status gizi. Ketahanan pangan rumah tangga yang tercermin dari klasifikasi silang antara ketercukupan kalori dan pangsa pengeluaran pangan mampu dijadikan suatu indikator ketahanan pangan yang lebih baik dibandingkan indikator lain. Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al., (2000) mengklasifikasikan ketahanan pangan rumah tangga melalui perpaduan antara kecukupan pangan dengan pangsa pengeluaran. Kedua inidikator ini dinilai cukup sederhana namun mampu mempresentasikan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Klasifikasi tersebut menghasilkan empat kategori ketahanan pangan rumah tangga yaitu rumah tangga tahan pangan, rentan pangan, kurang pangan dan rawan pangan. Menurut Lukman (2011) pengaruh pangan sangat strategis karena tidak hanya menyangkut masalah ketahanan pangan maupun kedualatan pangan. pangan juga terkait ketersediaan pangan (food availability), keterjangkauan pangan (food accessibility), penerimaan pangan (food acceptability), dan lambang kesejahteraan masyarakat (people’s welfare). 2.1.3
Kerawanan Pangan Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakcukupan pangan
yang dialami oleh suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga pada waktu
19
tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat (Ariningsih dan Rahman, 2008). Kerawanan pangan terdiri dari kerawanan pangan kronis dan transien (DKP, 2009). Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pangan yang terjadi dalam jangka panjang. Adapun kerawanan pangan transien adalah ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan pangan yang bersifat sementara, misalnya bencana alam, fluktuasi curah hujan, puso, perubahan iklim, dan deforestasi hutan. Kerawanan pangan adalah salah satu dari tiga pemyebab utama masalah gizi. Penyebab lainnya adalah status kesehatan dan kondisi kesehatan lingkungan masyarakat. Ketahanan gizi yang ditunjukkan oleh status gizi merupakan tujuan akhir dari ketahanan pangan, kesehatan, dan pola pengasuhan tingkat individu. Oleh karena itu apabila terjadi kerawanan pangan di manapun, maka akan beresiko kekurangan gizi, termasuk kekurangan gizi mikro. Namun demikian tidak berarti bahwa kerawanan pangan adalah penyebab satu-satunya masalah gizi kurang tanpa mempertimbangkan faktor kesehatan, akses air bersih dan layanan kesehatan. Adanya kegagalan pasar dalam menciptakan ketahanan pangan merupakan salah satu sebab mengapa pemerintah harus turun tangan dalam mengatasi persoalan kerawanan pangan (Simatupang dan Fleming ; dalam Rindayati, 2009). Hal ini dilakukan agar kesejahteraan masyarakat dapat terpenuhi sesuai dengan amanat UU. Kegagalan pasar yang dapat menyebabkan kerawanan pangan dapat diuraikan sebagai berikuts. 1.
Kegagalan pasar dalam produksi pangan
2.
Kegagalan pasar dalam pemasaran makanan
3.
Kegagalan pasar dalam mengelolah makanan
4.
Kegagalan pasar dalam mengkonsumsi makanan.
2.1.4
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Kemiskinan tidak mudah dijabarkan maupun diukur secara persis karena
kemiskinan mengandung unsur-unsur dan juga menyangkut nilai dan persepsi yang sering kali bersifat relatif. Pengertian kemiskinan menurut BPS diartikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar baik kebutuhan dasar
20
makanan dan bukan makanan. Kebutuhan pangan maupun non pangan yang bersifat mendasar seperti sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Sedangkan kriteria kemiskinan menurut Todaro (2006) dikaitkan dengan tingkat pendapatan dan kebutuhan pokok minimum yang memungkinkan untuk hidup layak. Bila pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum maka orang tersebut dapat dikatakan miskin. Jadi tingkat pendapatan minimum merupakan batas antara keadaan miskin dan tidak miskin. Kemiskinan memiliki kaitan yang erat dengan pemenuhan kebutuhan pangan (Sudiman, 2008). Kemiskinan dapat mengakibatkan kelaparan yang selanjutnya berdampak pada gizi kurang, bahkan kematian. Sebaliknya penderita gizi kurang produktifitasnya rendah, kehilangan kesempatan sekolah, kehilangan sumberdaya karena biaya kesehatan yang tinggi. Kemiskinan dinilai dan diyakini berperan sangat penting, mendasar dan timbal balik di antara berbagai faktor penyebab masalah gizi kurang. Masalah gizi kurang akan menghambat pertumbuhan ekonomi yang pada giliranya mempercepat kemiskinan. Eratnya hubungan antara kemiskinan dan kurang gizi mengakibatkan banyak orang sering mengartikan bahwa penanggulangan masalah gizi kurang dapat dilakukan bila keadaan ekonomi sudah membaik. Mengingat pentingnya pemenuhan kebutuhan minimum bagi rakyat miskin sebagai salah satu langkah peningkatan ketahanan pangan, maka sejak tahun 2002 pemerintah melakukan kebijakan beras untuk keluarga miskin (RASKIN). Kebijakan RASKIN ini dianggap sebagai subsidi pangan terarah atau income transfer kepada keluarga miskin dalam bentuk beras. Alasan dilaksanakan program ini adalah masih banyaknya masyarakat miskin yang masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhanya yaitu makanan pokok. Orientasi RASKIN adalah lebih kepada bantuan kesejahteraan sosial bagi keluarga miskin.
2.1.5
Pola Konsumsi dan Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Meyers (1972), konsumsi berarti penggunaan langsung serta
akhir dari barang-barang atau jasa-jasa guna memenuhi kebutuhan manusia. Pola konsumsi merupakan cara mengkombinasikan elemen konsumsi dengan tingkat konsumsi secara keseluruhan (Magrabi et. al., 1991). Menurut Kyrk (1993) seperti
21
dikutip oleh Magrabi et. al., (1991) terdapat tiga cara menguraikan tingkat konsumsi yaitu : (1) dilihat dari jenis atau macam dan jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi rumahtangga, (2) dilihat dari pengelompokan penggunaan komoditi, dan (3) menurut nilai (pengeluaran) dari komoditas yang dikonsumsi. Ketahanan pangan memiliki kaitan dengan pola konsumsi yaitu dari sisi pangsa pengeluaran makanan. Hukum Engle menyatakan jika selera tidak berbeda maka
persentase
pengeluaran
untuk
makanan
akan
menurun
dengan
meningkatnya pendapatan (Nicholson, 1995). Hal ini merupakan suatu generalisasi yang mengkaitkan antara pangsa pengeluaran pangan dan pendapatan. Kondisi ini disebabkan karena makanan merupakan bahan kebutuhan pokok yang meningkat lebih lambat dibandingkan pendapatan. Hukum Engle merupakan penemuan empiris dimana para ekonom menyarankan agar proporsi pendapatan untuk makanan digunakan sebagai indikator kemiskinan. Pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total dapat dijadikan indikator tidak langsung kesejahteraan. Hubungan antara pengeluaran total dengan kebutuhan pokok (contoh makanan) dapat dilihat dalam kurva Engel. Kurva Engle yang diturunkan dari kurva kepuasan yang sama dari individu menunjukkan bahwa kebutuhan pokok, pangsa pengeluaran untuk barang akan menurun saat pendapatan meningkat. Berikut kurva Engel di Gambar 3. Kebutuhan
Sumber : Nicholson, 1995
Gambar 3 Kurva Engel Analisis pola konsumsi dan pengeluaran pangan rumah tangga telah banyak dilakukan. Analisis-analisis tersebut pada umumnya dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang berdasarkan analisis besaran nilai mutlak atau dalam bentuk proporsi (pangsa). Chernichcovsky dan Meesok (1984) dengan menggunakan data susenas menemukan bahwa pangsa pengeluaran pangan rumah
22
tangga Indonesia adalah sebesar 68 persen dimana pangsa pengeluaran tersebut lebih tinggi di pedesaan dari pada di perkotaan dan semakin rendah pada kelompok yang berpendapatan tinggi. Diantara berbagai komoditas pangan yang dikonsumsi, pangsa pengeluaran untuk beras adalah yang tertinggi (rata-rata 33.9 persen untuk Indonesia), lebih tinggi di pedesaan dari pada di perkotaan. Pangsa pengeluaran pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan. semakin besar pangsa pengeluaran untuk pangan berarti ketahanan pangan semakin berkurang (Soehardjo et. al., 1986). Penggunaan pangsa pengeluaran dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga juga digunakan oleh Jonsson et. al., (2000) dengan menggunakan klasifikasi silang antara jumlah ketercukupan kalori dan pangsa pengeluaran makanan. Kedua indikator ini dinilai sederhana namun mampu mempresentasikan tingkat ketahanan pangan rumah tangga.
2.1.6
Pendekatan Teori Permintaan dan Penawaran Suatu negara dikatakan memiliki ketahanan pangan yang baik jika antara
permintaan (demand) dan penawaran (supplay) makanan cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori nasional secara stabil dan berkelanjutan. Jika dilihat dari konsep ketahanan pangan, maka permintaan dan penawaran makanan dapat dilihat dari ketiga komponen yang dibangun dari sistem ketahanan pangan. Penawaran dapat dilihat dari adanya produksi atau ketersediaan (food availability) dan accesibility di suatu wilayah. Sedangkan permintaan dapat dilihat dari pendekatan konsumsi (food utilization) pangan. Teori permintaan didasarkan pada prilaku konsumen, hal ini didasarkan pada anggapan bahwa permintaan pasar suatu komoditas merupakan penjumlahan horizontal dari permintaan individu atau perorangan terhadap suatu komoditas tersebut (Henderson dan Quant, 1980). Winardi (1976) menyatakan bahwa permintaan adalah jumlah barang yang sanggup dibeli oleh para pembeli pada tempat dan waktu tertentu dengan harga yang berlaku saat itu. Permintaan secara umum merupakan suatu fungsi yang dipengaruhi oleh banyak variabel. Faktor terpenting yang menentukan permintaan adalah harga barang yang bersangkutan, harga barang lain, pendapatan dan selera. Perubahan
23
barang yang diminta akibat perubahan harga barang itu sendiri merupakan perubahan sepanjang kurva permintaan, sedangkan perubahan faktor-faktor lain akan menggeser kurva permintaan (Koutsoyiannis, 1976). Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan konsumen akan suatu barang. Soediyono (1983) dalam Utari (1996) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor penyebab berubahnya permintaan yaitu perubahan pendapatan konsumen, harga barang pengganti, harga barang komplementer serta cita rasa selera konsumen. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dapat dikatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan konsumen adalah : 1.
Harga merupakan tingkat kemampuan suatu barang untuk ditukarkan dengan barang lain. Permintaan konsumen terhadap suatu barang umumnya ditentukan oleh harga barang itu sendiri.
2.
Pendapatan, konsumen membayar harga barang yang dibeli dengan penghasilanya. Perubahan pendapatan dari konsumen dapat terjadi karena adanya perubahan harga (menurut teori slutzsky) atau memang benar-benar pendapatan konsumen berubah.
3.
Jumlah anggota keluarga, apabila anggota keluarga bertambah maka semakin banyak dibutuhkan bahan makanan, pakaian dan perumahan.
4.
Selera konsumen, preferensi terjadi karena adanya kemungkinan bahwa konsumen menganggap kualitas suatu barang lebih baik dari kualitas barang lain, atau karena adat-istiadat, dan kesukaan.
5.
Pendidikan, peningkatan di bidang pendidikan menjadikan seseorang untuk berpikiran lebih maju serta kesadaran akan pentingnya makanan bergizi tinggi.
Penawaran merupakan suatu kegiatan dimana sejumlah barang atau jasa ditawarkan pada konsumen di suatu pasar dengan harga tertentu dan waktu tertentu. Secara teoritis penawaran dapat diturunkan dari fungsi keuntungan produsen yang didalamnya terkandung fungsi produksi. Menurut Boediono (1989), produksi adalah suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam
24
memenuhi kebutuhan. Kegiatan menambah daya guna suatu benda dengan mengubah sifat dan bentuknya dinamakan produksi barang. Orang atau pihak yang melakukan aktivitas produksi disebut produsen. Sadono, Sukirno (2005) menyatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan diantara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang diciptakanya. Faktor-faktor produksi terdiri dari tenaga kerja, tanah, modal, dan keahlian.
2.2
Tinjauan Empiris Jayaputra (2001) meneliti tentang ketahanan pangan rumah tangga petani
di daerah kawasan pertambangan PT. Newmont Nusa Tenggara Timur. 60 unit contoh rumah tangga untuk penelitian ditentukan berdasarkan teknik penarikan contoh acak berlapis (stratified random sampling) dengan luas kepemilikan lahan sebagai stata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah tangga petani yang teridentifikasi tahan pangan di Kecamatan Jereweh (18.3%) lebih banyak dibanding dengan kecamatan sekongkang (11.7%). Faktor determinan yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani di jereweh adalah ketersediaan pangan pokok dari produksi usahatani, pendapatan dan pengetahuan pangan dan gizi. Sedangkan untuk Kecamatan Sekongkang faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan panganya adalah pendapatan dan pengetahuan pangan dan gizi. Saliem et. al., (2001) meneliti ketahanan pangan tingkat rumah tangga dan regional. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ketahanan pangan di wilayah perkotaan ternyata lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Ironisnya rumah tangga rawan pangan paling banyak terdapat pada rumah tangga dengan mata pencarian di sektor pertanian sebagai penghasil bahan pangan. Selain lapangan usaha dan status tempat tinggal di pedesaan atau perkotaan, tingkat pendapatan dan jumlah anggota rumah tangga juga berpengaruh secara nyata terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Demeke dan Zeller (2010) meneliti tentang pengaruh kondisi sosial ekonomi terhadap ketahanan pangan di pedesaan di Ethiopia dengan menggunakan data panel rumah tangga. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, gender
25
kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, tabungan dan pinjaman dari pertanian dan kepemilikan ternak. Bogale dan Shimelis (2009) meneliti tentang determinan kerawanan pangan di pedesaan Dire Dawa di Selatan Ethopia. Melalui model binary logit diperoleh hasil bahwa jumlah anggota tumah tangga, pendapatan per tahun, jumlah pinjaman yang diterima, akses irigasi, umur kepala rumah tangga, ukuran pertanian, dan jumlah ternak yang dimiliki mempunyai efek yang nyata terhadap kerawanan pangan. Rindayati (2009) meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di wilayah Provinsi Jawa Barat. Hasil analisis yang diperoleh adalah pada masa desentralisasi fiskal terdapat penurunan kinerja ketahanan pangan. Hal ini terlihat dari adanya penurunan rata-rata konsumsi energi dan protein serta terjadi peningkatan jumlah penduduk rawan pangan dan angka penderita gizi buruk meskipun secara makro regional produksi gabah meningkat yang menunjukkan kondisi ketersediaan pangan yang surplus. Hasil analisis sejalan dengan temuan Hardono dan Kariyasa (2006) yang menunjukkan bahwa ketersediaan tidak menjamin ketahanan pangan jika tidak diikuti dengan distribusi, aksesibilitas dan daya beli masyarakat yang cukup baik. TB. Purwantini et. al., (2005) meneliti tentang analisis ketahanan pangan regional dan tingkat rumah tangga (studi kasus di Provinsi Sulawesi Utara). Analisis ketahanan pangan rumah tangga dilakukan dengan mengukur derajat ketahanan pangan. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara regional status ketahanan pangan wilayah (provinsi) tergolong tahan pangan. Namun demikian masih ditemukan rumah tangga yang tergolong rawan pangan cukup tinggi. Proporsi rumah tangga rawan pangan di Sulawesi Utara pada tahun 1999 sebesar 20.8 persen dan yang termasuk tahan pangan sebesar 18.3 persen. Jumlah persentase rawan pangan di pedesaan relatif lebih tinggi dibanding perkotaan. Sebaliknya, persentase rumah tangga tahan pangan di perkotaan lebih besar dibanding di pedesaan. Oleh karena itu, prioritas perhatian untuk meningkatkan derajat ketahanan pangan perlu diarahkan kepada rumah tangga pedesaan. Nurlatifah (2011) meneliti determinan ketahanan pangan regional dan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan analisis regresi
26
data panel dan regresi logistik ordinal. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa pola konsumsi rumah tangga masih didominasi oleh beras, sedangkan bahan pangan sumber kalori lainnya masih kecil. Secara umum persentase rumah tangga tahan pangan di kabupaten/ kota mengalami peningkatan dari tahun ke tahun menuju suatu kondisi yang membaik. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa ketahanan pangan regional dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang tercermin dari rata-rata lama sekolah merupakan peubah yang memiliki elastisitas paling besar dalam meningkatkan ketahanan pangan. Penelitian ini mengacu kepada penelitian Demeke dan Zeller (2010) dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi NTT. Penelitian ini menggunakan regresi logistik ordinal untuk menganalisis faktor penentu ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
2.3
Kerangka Pemikiran Pemerintah bekerja sama dengan Badan Ketahanan Pangan membentuk
Dewan Ketahanan Pangan Nasional. DKP yang diketuai oleh Presiden RI bekerjasama dengan WFP menerbitkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009 (Food Security and Vulnerability Atlas, 2009) yang bertujuan sebagai sarana bagi pengambil kebijakan dalam hal penentu sasaran dan memberikan rekomendasi untuk intervensi kerawanan pangan dan gizi ditingkat provinsi dan kabupaten. FSVA ini disusun untuk mengidentifikasi titik-titik rawan pangan tingkat kabupaten di Indonesia, mengidentifikasi penyebab kerawanan pangan di suatu kabupaten dan menyediakan petunjuk dalam mengembangkan strategi mitigasi yang tepat untuk kerawanan pangan kronis (DKP, 2009). 14 provinsi yang dimasukkan ke dalam fokus utama peningkatan produksi dalam mengatasi kerawanan pangan dalam wacana peta ketahanan dan kerawanan pangan (FSVA) adalah NTB, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Lampung, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Maluku, NAD dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi NTT merupakan provinsi kepulauan yang memiliki 550 pulau dengan luas daratan mencapai 47.349 km persegi. Dari luas daratan tersebut tercatat 96,74 persen merupakan lahan kering sedangkan sisanya 3,26 persen
27
merupakan lahan basah. Ketersediaan lahan yang landai untuk usaha pertanian lahan basah sangat terbatas sehingga pertanian lahan kering dan gersang menjadi sangat dominan di NTT. Dengan kondisi iklim dan topografi tersebut mengakibatkan usaha pertanian lahan basah untuk tanaman pangan menghadapi tantangan yang cukup besar. Perkembangan produksi komoditas pangan nabati di NTT dalam kurun tiga tahun terakhir terhitung 2009-2011 mengalami surplus untuk komoditas jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, dan ubi jalar (BPS NTT, 2011). Seharusnya dengan adanya surplus beberapa jenis pangan lain (non beras) mengindikasikan persediaan produksi pangan dan kondisi pangan di NTT secara keseluruhan masih cukup aman. Tetapi kenyataanya Provinsi NTT yang terdiri dari 21 kabupaten/ kota, dimana 12 kabupaten/ Kota di NTT diantaranya masih masuk ke dalam wilayah paling rentan rawan pangan (FSVA, 2009). Tingginya pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga menyebabkan tingginya konsumsi padi-padian (beras) dan adanya peningkatan produksi pangan selain beras pada berbagai wilayah menyebabkan perlunya mengkaji lebih dalam tentang permasalahan pola konsumsi pangan di Provinsi NTT terkait dengan kondisi ketahanan pangan rumah tangga di wilayah tersebut. Pola konsumsi pangan yang cenderung didominasi kelompok padipadian (beras) menunjukkan pola konsumsi yang belum seimbang antara energi dan protein di Provinsi NTT. Oleh karena itu kajian mengenai karakteristik pola konsumsi pangan dan faktor apa saja yang menjadi penentu ketahanan pangan di Provinsi NTT sangat diperlukan, hal ini untuk melihat bagaimana ketahanan pangan di NTT. Berdasarkan teori yang ada dijabarkan bahwa pengeluaran untuk makanan memiliki hubungan dengan ketahanan pangan. Dimana di awal penelitian
akan
dilakukan
klasifikasi
status
ketahanan
pangan
dengan
menghubungkan antara pangsa pengeluaran makanan dengan besarnya konsumsi kalori rumah tangga. Status ketahanan pangan rumah tangga akan diklasifikasikan menjadi rawan pangan, rentan pangan, kurang pangan dan tahan pangan. Selanjutnya akan dilakukan analisis faktor penentu ketahanan pangan rumah tangga, dimana faktor penentu ketahanan pangan rumah tangga dianalisis dengan regresi logistik ordinal. Faktor penentu ketahanan pangan diproksi dari 3 pilar
28
ketahanan pangan sesuai konsep FAO (2010) dan dimodifikasi dari model studi Demeke dan Zeller (2010). Indikator ketersediaan pangan (food availability) akan diukur dari jumlah raskin yang diterima dan dikonsumsi oleh suatu rumah tangga dimana selain produksi, raskin juga merupakan variabel yang menentukan ketersediaan pangan di suatu rumah tangga di Indonesia. Variabel lapangan pekerjaan dan jumlah anggota rumah tangga merupakan proksi dari subsistem food stability, sedangkan variabel lainya seperti pendapatan, umur KRT, daerah tempat tinggal dan pendidikan KRT merupakan proksi dari subsistem acces to food (akses terhadap pangan). Variabel-variabel yang digunakan dalam menentukan keterkaitan terhadap ketahanan pangan merupakan proksi dari ke-3 pilar ketahanan pangan yang telah ditetapkan FAO. Oleh karena itu walaupun banyak indikator ketahanan pangan tetapi dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan variabel yang terkait dengan subsitem ketahanan pangan (FAO, 2010) yang disesuaikan dengan ketersediaan data yang digunakan dan penelitian sebelumnya tentang tingkat katahanan pangan rumah tangga yang dijadikan acuan dalam penelitian. Analisis yang dilakukan diharapkan dapat memberikan gambaran ketahanan pangan di Nusa Tenggara Timur dimana masalah kerawanan pangan diharapkan dapat diatasi di wilayah tersebut dan NTT menjadi daerah yang tahan pangan yang nantinya berdampak peningkatan pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. 2.4
Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan sampai terbukti melalui data yang dikumpulkan. Rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1.
Variabel umur KRT, pendidikan KRT, pendapatan KRT, sektor lapangan pekerjaan KRT dan daerah tempat tinggal diduga berpengaruh terhadap peluang ketahanan pangan rumah tangga.
2.
Jumlah anggota rumah tangga dan jumlah RASKIN yang diterima rumah tangga diduga memiliki pengaruh negatif terhadap peluang ketahanan pangan rumah tangga.
29
NTT merupakan wilayah rawan pangan sesuai FSVA 2009 Pangsa pengeluaran pangan masy. NTT masih cukup tinggi Surplus bahan pangan selain beras dengan konsumsi kalori dan protein masyarakat yang belum seimbang. Potensi sumberdaya kelautan yang masih besar.
Peningkatan Ketahanan Pangan sebagai strategi Pembangunan Ekonomi
Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Ketahanan Pangan Regional
Ketahanan Pangan Individu
Status Ketahanan Pangan
Analisis Regressi Logistik Ordinal
Food Availability Jumlah raskin
Stability Jumlah ART Lapangan pekerjaan
Acces to food Pendapatan Pendidikan KRT Umur KRT Daerah tempat tinggal
Faktor-faktor Penentu Ketahanan Pangan RT di NTT
Gambar 4. Kerangka Penelitian Keterangan :
Variabel yang tidak diteliti Variabel yang diteliti
30
31
III.
3.1
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Daerah yang menjadi analisis studi ini adalah Provinsi Nusa Tenggara
Timur yang mencakup 19 kabupaten dan kota. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari Susenas Panel tahun 2010. Data Susenas Panel yang digunakan terdiri dari kuesioner Susenas Kor yang berisi keterangan umum rumah tangga dan individu dan kuesioner Susenas Modul Konsumsi yang berisi keterangan konsumsi makanan selama seminggu yang lalu dan konsumsi non makanan selama sebulan dan setahun yang lalu. Survei tersebut meliputi rumah tangga yang sama untuk memperoleh data panel. Adapun populasi yang diteliti adalah 1740 rumah tangga di Provinsi NTT untuk daerah pedesaan dan perkotaan. Unit observasi pada penelitian ini adalah kepala rumah tangga sedangkan unit analisis pada penelitian ini adalah rumah tangga Susenas dirancang untuk mengumpulkan data sosial ekonomi penduduk dewasa, pendapatan, dan pengeluaran konsumsi. Susenas Panel Modul Konsumsi lebih dikhususkan lagi untuk memperoleh informasi pendapatan dan pengeluaran rumah tangga secara lebih terperinci. Susenas Panel dilakukan satu kali setahun yaitu pada bulan Maret dengan sampel rumah tangga yang sama. Susenas juga terdiri dari informasi yang luas mengenai karakteristik rumah tangga, kesehatan, pendidikan, dan juga terdiri dari informasi aktivitas ekonomi rumah tangga seperti pengeluaran makanan dan non makanan, dan aktivitas produksi rumah tangga seperti kepemilikan aset. Anggota rumah tangga terpilih ditanya mengenai upah sekarang, terdahulu dan pola pekerja, sejarah perkawinan, migrasi, kondisi kesehatan, penggunaan fasilitas kesehatan, dan aktivitas transfer ke dan dari keluarga, teman, dan organisasi. Survei ketersediaan fasilitas komunikasi dan kualitas infrastruktur, fasilitas kesehatan dan sekolah yang digunakan rumah tangga dilakukan seara pararel dengan survei rumah tangga sehingga dapat secara langsung dihubungkan dengan kuesioner rumah tangga. Pengambilan sampel Susenas dilakukan secara dua tahap. Tahap pertama, sampel blok sensus yang mempresentasikan sampel sampai wilayah provinsi dan dipilih secara acak dengan metode proportional to size sampling.
32
Selanjutnya, dilakukan pengambilan sampel rumah tangga untuk setiap blok sensus berdasarkan kelompok pengeluaran rumah tangga per bulan dengan metode Systematic Random Sampling. Kerangka sampel yang digunakan didasarkan pada Susenas 2010 yang secara nasional merepresentasikan survei sosial ekonomi sekitar 68.000 rumah tangga untuk seluruh Indonesia, sedangkan untuk NTT khususnya hanya 1.740 rumah tangga yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik. Dari kerangka sampel rumah tangga yang sudah ditentukan, masih ditemukan rumah tangga yang non respon sehingga jumlah rumah tangga yang ditemukan berbeda antar tahun. Data-data pendukung lainnya didapat melalui buku, artikel, jurnal yang diperoleh dari Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) IPB, perpustakaan BPS, serta makalah dari internet yang berkaitan dengan penelitian. Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi yang dihitung berdasarkan besar kalori dan protein yang dikonsumsi. Besarnya konsumsi kalori dan protein dihitung dengan mengalikan kuantitas setiap makanan yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori dan protein setiap jenis makanan, kemudian hasilnya dijumlahkan. Angka kecukupan konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) menetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita per hari masing-masing 2.000 kkal dan 52 gram protein.
3.2
Metode Analisis Pendekatan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
analisis deskriptif dan analisis model ekonometrika. Analisis ekonometrika dengan menggunakan regresi logistik ordinal (OLM) sedangkan analisis deskriptif dengan mendeskripsikan data yang ada untuk mengetahui bagaimana karakteristik pola konsumsi pangan di wilayah NTT. Regresi logistik ordinal digunakan karena variabel dependen dalam model ini merupakan variabel kualitatif bertingkat yang dibagi kedalam empat tingkat ketahanan pangan yaitu tahan, rentan, kurang dan rawan pangan. sedangkan variabel independenya adalah variabel dummy dan
33
variabel continous. Software yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengolah data tersebut adalah STATA 11. dan Microsoft Excel 2010.
3.2.1
Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan dengan mendeskripsikan dan dengan
membaca tabulasi silang antar peubah dan grafik untuk ketahanan pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Analisis ini digunakan untuk mengetahui bagaimana pola konsumsi pangan di wilayah Nusa Tenggara Timur.
3.2.2
Analisis Derajat Ketahanan Pangan Penelitian ini diidentifikasi dengan dua indikator yaitu ketercukupan
kalori yang dikonsumsi dengan besarnya pangsa pengeluaran makanan. Hal ini berdasarkan klasifikasi silang yang digunakan Jonsson dan Toole dalam Maxwell et. al., (2000). Adapun derajat ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan ketercukupan gizi dan pangsa pengeluaran terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pengukuran Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Ketercukupan Pangsa Pengeluaran Makanan kalori
Rendah < 60 %
Tinggi
60 %
Cukup > 80 %
Tahan Pangan (kategori 0)
Rentan Pangan (kategori 1)
Kurang
Kurang Pangan (kategori 2)
Rawan Pangan (kategori 3)
80 %
Sumber : Jonsson dan Toole et. al., (1991) dalam Maxwell (2000)
Pada penelitian ini yang dimaksud pangsa pengeluaran pangan adalah rasio pengeluaran untuk belanja pangan dan pengeluaran total penduduk selama sebulan. Pangsa pengeluaran pangan penduduk diperoleh dengan menggunakan data di tingkat rumah tangga kemudian dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga. Besar pangsa pengeluaran terhadap total pengeluaran diperoleh dari data Susenas. Perhitungan pangsa pengeluaran pangan pada berbagai kondisi, yaitu agregat, desa-kota, dan berbagai kelompok pendapatan penduduk menggunakan formula berikut :
34
Dimana : PF
= Pangsa pengeluaran pangan (persen)
PPt
= Pengeluaran untuk belanja pangan (Rp/bulan)
TPt
= Total pengeluaran (Rp/ bulan)
Analisis ini akan menentukan bagaimana ketahanan pangan rumah tangga di wilayah NTT yang dikategorikan kepada kategori tahan, rentan, kurang dan rawan pangan. Suatu rumah tangga dikatakan tahan pangan jika kalori yang dikonsumsi rumah tangga tersebut diatas 80 persen sedangkan pangsa pengeluaran makananya kurang dari 60 persen. Rumah tangga rentan pangan dengan jumlah konsumsi kalorinya diatas 80 persen dan pangsa pengeluaran makananya lebih besar atau sama dengan 60 persen. Dikatakan kurang pangan jika suatu rumah tangga memiliki konsumsi kalori kurang dari atau sama dengan 80 persen dan pangsa pengeluaran untuk makananya kurang dari 60 persen. Sedangkan untuk rumah tangga yang rawan pangan adalah rumah tangga dengan konsumsi kalori kurang dari atau sama dengan 80 persen dan pangsa pengeluaran untuk makananya lebih besar atau sama dengan 60 persen (Tabel 3).
3.2.3 Analisis Regresi logistik Tujuan penelitian yang kedua, yaitu mengetahui faktor-faktor penentu ketahanan pangan rumah tangga yang dianalisis dengan menggunakan model regresi logistik. Model ini digunakan untuk mengetahui variabel-variabel yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Model ini memodifikasi model yang digunakan oleh Bogale dan Shimelis (2009) serta Demeke dan Zeller (2010). Regresi logistik merupakan model regresi untuk menganalisis pengaruh variabel penjelas baik kualitatif maupun kuantitatif terhadap variabel respon yang bersifat kualitatif. Peubah respon dapat berupa data biner (hanya terdiri dari dua nilai) dan dapat juga berupa data multinom (lebih dari dua kemungkinan pilihan). Pada data yang multinom, skala pengukuranya dapat berskala nominal (tidak memiliki peringkat, hanya penggolongan saja) atau berskala ordinal (memiliki
35
peringkat
tertentu). Jika kategori dari peubah respon berskala ordinal, maka
analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi logistik ordinal atau model ordinal logit (Hosmer & Lemeshow, 1989). Fungsi regresi logistik dinyatakan dalam :
( )
[∑ *∑
] +
...............................................(3.1)
dimana : i = 1,2......,n dan j = 0,1,2,........,k
Apabila diklasifikasikan berdasarkan jenis variabel dependenya, terdapat dua tipe model logit yaitu : unordered logit model dan ordered logit model. Kedua model tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
A. Unordered Logit Model Model logit ini digunakan saat variabel dependennya merupakan pilihan yang tidak bertingkat dan tidak saling mempengaruhi satu sama lainnya. Contoh hari dalam satu minggu yaitu : Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu.
B. Ordered Logit Model Model logit ordered adalah model yang variabel dependennya merupakan pilihan bertingkat dimana pilihan yang satu lebih baik atau lebih buruk terhadap pilihan lain. Contoh terdapat empat pilihan yaitu : tidak bagus, cukup bagus, bagus, bagus sekali atau dalam ranking kejahatan rendah, sedang, tinggi. Pada penelitian ini penulis menggunakan model ordered logit karena tingkat ketahanan pangan di Provinsi NTT dibagi atas kategori tahan, rentan, kurang dan rawan pangan.
Model Regresi Logistik Ordinal Model logit ordered atau yang lebih sering disebut dengan regresi logistik ordinal (logit ordered) merupakan regresi dengan peubah respon yang bersifat kategorik dan bertingkat (ordinal). Regresi logistik ordinal digunakan untuk
36
memodelkan hubungan antara peubah respon yang berskala ordinal dengan peubah-peubah penjelasnya. Model logit tersebut adalah cumulative logit models. Pada model logit ini sifat ordinal dari respon Y dituangkan dalam peluang kumulatif sehingga cumulative logit models merupakan model yang didapatkan dengan membandingkan peluang kumulatif yaitu peluang kurang dari satu sama dengan kategori respon ke-j pada p variabel prediktor yang dinyatakan dalam
,
) dengan peluang lebih besar dari kategori respon ke-j
(
vektor x, (
). Berikut model regresi logistik ordinal secara matematis dapat
dituliskan : (
)
(
(
)
(
)
)..................................................(3.2)
Model logistik untuk data respon ordinal sering disebut sebagai model logit kumulatif. Respon dalam model logit kumulatif berupa data bertingkat yang diwakili dengan angka 1,2,3,.....,c dengan c adalah banyaknya kategori respon. Logit kumulatif untuk tiap kategori j didefenisikan sebagai : ( )
( )
................................(3.3)
( )
Model yang secara simultan menggunakan semua logit kumulatif dapat ditulis sebagai : ̂ ( )
̂ ..................................................................................(3.4)
̂
Tiap logit kumulatif memiliki intersep masing-masing. ̂
̂ adalah
estimator dengan metode maksimum likelihood untuk tiap αj dan β’. Nilai (
estimasi untuk P
) dapat diturunkan dengan transformasi inverse
fungsi logit kumulatif yang menghasilkan :
(
)
(
̂ ) ) (̂ ̂ )
(̂
.........................................................(3.5)
.......c-1
( sehingga
| )
(
( ̂
̂ ))
.....................................................(3.6)
37
(
)
(
( ̂ ( ))
) .......................................................(3.7)
Tahapan pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1.
Uji Serentak dengan Likelihood Ratio Likelihood ratio digunakan untuk menguji apakah semua variabel
independen dalam model serentak mempengaruhi variabel dependen. Pengujian statistik pada model logit berbeda dengan regresi linier biasa. Apabila pengujian statistik serentak pada regresi linier menggunakan uji F-stat, pada model logit metode yang digunakan adalah likelihood ratio. Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah : (tidak ada pengaruh seluruh variabel independen terhadap variabel dependen). (
)
Hipotesa Ho akan ditolak apabila probabilita Likelihood ratio < α dan Ho tidak akan ditolak apabila probabilita Likelihood ratio > α. 2.
Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi
yang kuat di antara variabel-variabel independen yang diikut sertakan dalam pembentukan model. Salah satu metode untuk menguji adanya multikolinearitas dalam ekonometrik adalah dengan “examination of partial correlations” atau dengan
“Tolerance
and
Variance
Inflation
(VIF)”.
Pada
pengujian
multikolinearitas dengan menggunakan “correlate varnames” dengan “rule of thumb” 0,8 atau 0,75 maka jika nilai pearson correlation antar dua variabel lebih dari itu, maka mengindikasikan bahwa kedua variabel itu memiliki hubungan yang kuat (ada multikolinearitas). Sedangkan untuk output dari VIF diindikasikan adanya multikolinearitas jika nilai VIF lebih besar dari 10 atau tolerance (1/VIF) adalah kurang dari 0,01 atau kurang. 3.
Odds Ratio Nilai Odds Ratio merupakan besaran yang digunakan untuk melihat
perbandingan masing-masing kategori dari variabel bebas dalam menerangkan
38
peubah tak bebas. Interpretasi untuk model regresi logistik ordinal dapat dilakukan dengan menggunakan nilai odds rationya. Odds ratio tersebut kemudian diinterpretasikan sebagai nilai yang menunjukkan pengaruh perubahan variabel dependen. Sebelum dilakukan langkah ini, hanya dapat diketahui arah dari pengaruh koefisien variabel dependen yang belum dapat diinterpretasikan. Misalkan untuk peubah bebas yang berskala nominal (X1 dan X2), rasio odds pada kategori Y ≤ s merupakan perbandingan antara X1 dan X2 yang dirumuskan sebagai berikut (Agresti, 1990) : (
)
(
)
(
)
(
)..............(3.8)
Dengan i = 1,2,........p (p merupakan banyaknya peubah penjelas) dan s = 1,2 ,.......S-1. Parameter β1 diartikan sebagai perubahan nilai fungsi logit yang disebabkan oleh perubahan satu unit peubah penjelas ke-i yang disebut log odds, (misalnya antara X1 dan X2) yang dinotasikan sebagai : ]
(
(
).........................................................(3.9)
Sehingga didapatkan penduga untuk rasio odds (ψ) sebagai berikut (Agresti, 1990) : ̂
(
)].......................................................................(4.0)
Untuk peubah bebas kategorik, jika odds ratio bernilai > 1, maka odds X1 lebih besar daripada odds ratio saat X2 atau dengan kata lain selalu lebih besar dari
[
[
] akan
] sehingga dapat dikatakan, saat X1 peluang
untuk Y ≤ s lebih besar daripada saat X2 . 4.
Koefisien Determinasi (R2) Goodness of Fit dengan R-square digunakan untuk melihat seberapa
besar variasi dalam variabel dependen dapat dijelaskan secara bersama-sama oleh variabel dependen, dan untuk melihat seberapa baik model dapat menjelaskan variabel dependen, maka dapat menggunakan R-square (R2). Semakin tinggi nilai R-square maka menunjukkan model semakin mampu menjelaskan variabel
39
dependen. Oleh karena itu, nilai R-square yang tinggi sangat diharapkan dalam suatu penelitian. Namun logika ekonomi tetap diutamakan dalam melihat R-square tersebut. Apabila pada data cross-section didapatkan nilai R-square rendah namun hasil pengujian Z-stat signifikan dan arahnya sesuai dengan teori ekonomi maka model tersebut dapat digolongkan sebagai model yang layak secara statistik (Gujarati, 2003). Pada model logit, penggunaan R-square masih diperdebatkan. Penggunaan R-square pada model logit dinyatakanya sebagai pseudo R-square. Pseudo R-square adalah tiruan R-square yang digunakan untuk menggantikan Rsquare biasa. Hal ini dilakukan karena tidak adanya padanan tepat yang dapat menggantikan R-square biasa. Oleh karena itu untuk menentukan kelayakan model, penelitian ini menggunakan Z-stat sebagai parameter utama, meskipun pengujian R-square akan tetap dilakukan. Berikut ini adalah variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian : Tabel 4. Variabel yang digunakan dalam Model Regressi Logistik Ordinal Variabel Label Skala Kategori Respon Y
Tingkat Ketahanan Pangan RT
Ordinal
Penjelas X1 X2 X3 X4
Pendapatan Umur KRT Jumlah anggota RT Lapangan Usaha KRT/ pekerjaan
Kontinu Kontinu Kontinu Nominal
X5
Pendidikan KRT
Nominal
X6
Jumlah raskin yang diterima
Nominal
X7
Daerah tempat tinggal
Nominal
3.3
0 = rawan 1 = kurang 2 = rentan 3 = tahan
1 = pertanian 0 = lainnya 0 = tidak lulus 1 = dasar 2 = menengah 3 = tinggi 1 = menerima 0 = tidak 0 = pedesaan 1 = perkotaan
Defenisi Peubah Operasional Batasan atau definisi operasional peubah-peubah dan istilah-istilah yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
40
1.
Rumah Tangga (RT) adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur (dalam arti mereka mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu).
2.
Anggota Rumah Tangga (ART) adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu RT, baik yang berada di rumah pada waktu pencacahan maupun sementara sedang tidak ada. ART yang telah bepergian enam bulan atau lebih, dan ART yang bepergian kurang dari enam bulan tetapi dengan tujuan pindah/ akan meninggalkan rumah enam bulan atau lebih tidak dianggap sebagai ART. Orang yang telah tinggal di RT enam bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di RT kurang dari enam bulan tetapi berniat pindah/ bertempat tinggal di RT tersebut enam bulan atau lebih dianggap sebagai ART.
3.
Kepala Rumah Tangga (KRT) adalah seorang dari sekelompok anggota rumah tangga yang bertanggung jawab atas kebutuhan sehari-hari rumah tangga atau orang yang dianggap/ ditunjuk sebagai KRT.
4.
Pengeluaran konsumsi RT sebulan adalah total nilai makanan dan bukan makanan (barang/jasa) yang diperoleh, dipakai atau dibayarkan rumah tangga sebulan untuk konsumsi rumah tangga, tidak termasuk untuk keperluan usaha rumah tangga atau yang diberikan kepada pihak/ orang lain. Untuk konsumsi makanan, yang termasuk konsumsi rumah tangga adalah yang benar-benar telah dikonsumsi selama referensi waktu survei (consumption approach), sedangkan untuk konsumsi bukan makanan konsep yang dipakai pada umumnya adalah konsep penyerahan (delivery approach) yaitu dibeli atau diperoleh dari pihak lain asalkan tujuannya untuk kebutuhan rumah tangga.
5.
Pendapatan perkapita diproksi dari pengeluaran per kapita dimana total pengeluaran rumah tangga dibagi jumlah anggota rumah tangga dalam ribuan rupiah.
6.
Rumah tangga tahan pangan merupakan rumah tangga dengan kecukupan pangan > 80 persen dari standar gizi yang dianjurkan dan pangsa pengeluaran makanan < 60 persen.
41
7.
Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan (PDRB) adalah jumlah produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas ekonomi yang terjadi di masyarakat yang diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilainya benar-benar mencerminkan jumlah produksi yang terbebas dari pengaruh harga.
8.
Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran.
9.
Pendidikan tertinggi yang ditamatkan adalah tingkat pendidikan yang dicapai seseorang setelah mengikuti pelajaran pada kelas tertinggi suatu tingkatan sekolah dengan mendapatkan tanda tamat belajar (ijazah).
10.
Lapangan usaha adalah bidang kegiatan dari pekerja/ usaha/ perusahaan/ kantor tempat seseorang bekerja.
11.
Kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar untuk makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. Menurut BPS (2008) kemiskinan merupakan kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2.100 kalori perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/ kapita/ tahun di pedesaan dan 480 kg/ kapita/ tahun di perkotaan. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas modul konsumsi.
IV. POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 4.1
Gambaran Umum Provinsi Nusa Tenggara Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur secara geografis terletak di belahan paling
selatan Indonesia dan merupakan wilayah kepulauan. Luas wilayah daratan 47.350 km2 dengan jumlah pulau sebanyak 566 pulau dimana hanya 42 pulau yang berpenghuni. Luas wilayah perairan sebesar 191.800 km2, dengan panjang garis pantai 2.699 km. Musim penghujan di Provinsi NTT relatif pendek yaitu 3-4 bulan dengan rata-rata curah hujan berkisar 800-3.000 mm per tahun. Provinsi NTT memiliki 5 kabupaten baru yang terbentuk antara tahun 2004-2010 diantaranya Kabupaten Manggarai timur, Kabupaten Nagakeo, Kabupaten Sumba Barata, Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Sabu Raijua (BPS NTT, 2010). Jumlah penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010 sebesar 4.683.827 jiwa dimana lebih dari 70 persen masyarakat NTT tinggal di pedesaaan. Komposisi penduduk di provinsi NTT menurut kelompok umur menunjukkan bahwa penduduk NTT memiliki komposisi penduduk muda yaitu jumlah penduduk usia 0-14 tahun. Tingginya persentase penduduk muda terhadap total penduduk secara keseluruhan disebabkan oleh tingginya tingkat kelahiran atau angka fertilitas (BPS Prov. NTT, 2010). Tingginya migrasi ke daerah lain terutama ke Indonesia bagian Barat menyebabkan jumlah penduduk kelompok umur di atas 20 tahun semakin berkurang. Masyarakat NTT umumnya memandang pangan secara sangat sederhana berdasarkan pengalaman mereka sehari-hari. Bagi masyarakat NTT pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh semua anggota keluarga mulai dari saat panen sampai pada musim panen berikutnya. Jika dalam rentang waktu selama 1 periode musim panen, persediaan pangan mereka mencukupi maka keadaan pangan mereka dikatakan “aman”. Jika sebaliknya, persediaan pangan mereka tidak mencukupi sampai musim panen berikutnya maka keadaan pangan mereka dikatakan “tidak aman”1. 1
Hasil kegiatan PRA (perticipatory rural appraisal) dan penelitian di Flores, Timor dan Sumba yang dilaksanakan oleh Forum Kesiapan dan Penanganan Bencana (FKPB) tahun 2001-2002.
44
4.1.1
Ketersediaan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Pengadaan pangan yang cukup dan memenuhi persyaratan gizi bagi
penduduk merupakan salah satu masalah yang memerlukan penanganan serius. Program pembangunan pertanian di bidang produksi pangan pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan produksi pangan. Dalam uraian ketersediaan pangan disini, dibatasi pada ketersediaan pangan perkapita, yaitu ketersediaan jenis pangan yang tersedia untuk dikonsumsi oleh rumah tangga, pedagang eceran, rumah makan dan sejenisnya pada periode tertentu. Data ketersediaan yang dimaksud dapat memberikan gambaran volume ketersediaan untuk individu penduduk. Beras merupakan komoditi pokok dan strategis dibanding komoditas lainnya.
Hal
ini
disebabkan
karena
masyarakat
Indonesia
umumnya
mengkonsumsi beras, tidak terkecuali di Provinsi NTT. Akibat terlalu dominan dan intensifnya kebijakan pemerintah di bidang perberasan secara berkelanjutan mulai dari industri hulu sampai industri hilir mengakibatkan pergeseran pangan pokok dari pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian ke pangan pokok nasional yaitu beras. Sejak tahun 1979, pangan pokok masyarakat NTT telah mengalami pergeseran ke arah beras. Walaupun begitu data dilapangan menunjukkan bahwa saat ini masyarakat NTT cenderung mengkonsumsi beras dan jagung dibanding bahan pangan pokok lainnya. Sebagian penduduk NTT mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok pada saat ketersediaan beras terbatas, biasanya jagung digunakan sebagai pengganti beras. Pada tahun 2010 kebutuhan konsumsi beras bagi 4,9 juta jiwa penduduk NTT adalah sekitar 530.402 ton, sedangkan produksi padi hanya sebesar 555.493 ton GKG yang hanya menghasilkan beras pangan sebesar 309.763 ton. Dengan demikian masih ada kekurangan beras untuk konsumsi penduduk NTT yakni sebanyak 220.639 ton. Untuk kekurangan produksi beras, pemerintah NTT masih mengandalkan distribusi beras bagi warga miskin atau yang disebut dengan RASKIN. Tahun 2010 pagu beras miskin untuk penduduk NTT meningkat 86.388.120 ton menjadi 94.140.900 ton (Perum Bulog, 2010). Sedangkan untuk rumah tangga sasaran (RTS) penerima raskin masih tetap seperti tahun sebelumnya yaitu sebanyak 553.670 kepala keluarga. Dimana pada tahun 2010
45
terjadi penambahan kouta kembali untuk raskin dari 13 kg menjadi 15 kg dengan harga Rp 15.000,-/ kg. Realisasi penyaluran beras miskin kepada RTS hingga bulan Juli 2010 telah mencapai 43.468.294 ton atau sekitar 82,63 persen dari total pagu, sisanya sebesar 50.672.606 ton atau sekitar 46,17 persen. Sebenarnya Provinsi NTT memiliki kemampuan untuk menyediakan pangan dengan lebih baik, jika saja didukung dengan ketersediaan sarana produksi yang baik. Tapi karena faktor geografis dan lingkungan di Provinsi NTT yang kurang mendukung terutama untuk jenis tanaman pangan seperti padi, maka untuk produksi beras sendiri, Provinsi NTT masih memerlukan bantuan distribusi dari luar wilayah NTT. Beberapa sentra produksi padi di NTT terdapat di Kabupaten Manggarat Barat, Manggarai Timur, Ngada, Rote Ndao, Kupang, Sumba Timur, Sumba Barat Daya dan Nagakeo dengan produktivitas hasil padi sawah rata-rata sebanyak 3,6 ton/ha dan padi ladang sebanyak 2,1 ton/ha. Berikut tabel produksi dan konsumsi beras di Provinsi NTT pada tahun 2010. Tabel 5. Produksi dan Konsumsi Beras di Provinsi NTT Tahun 2010 (ton) No Uraian 2010 1 2 3 4 5 6 7 8
Produksi Penggunaan GKG non pangan GKG yang diolah menjadi beras Produksi Beras Penggunaan beras non pangan Produksi beras pangan Total Konsumsi Penduduk Defisit
555.493 49.106 506.386 317.706 7.943 309.763 530.402 (220.639)
Sumber : BPS Prov. NTT
Sentra produksi jagung di Provinsi NTT terdapat dibeberapa kabupaten diantaranya Kabupaten Timor Tengah Selatan, Belu, TTU, Kupang, Sumba Barat Daya dan Sumba Timur dengan produktivitas rata-rata 2,5 ton/ha. Total konsumsi jagung penduduk NTT pada tahun 2010 hanya sebesar 102.678 ton, sedangkan produksi jagung mencapai 574.706 ton sehingga pada tahun 2010 terdapat surplus untuk produksi jagung sebesar 472.028 ton. Provinsi NTT sebenarnya mengalami surplus untuk produksi jagung selama empat tahun terakhir yaitu tahun 20072010, hanya saja untuk konsumsi jagung masyarakat NTT saat ini memang masih kurang. Jagung hanya dikonsumsi jika ketersediaan beras sudah habis, biasanya
46
jagung digunakan sebagai pengganti beras walaupun sebagian penduduk NTT memang mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok. Berikut tabel produksi dan konsumsi jagung di Provinsi NTT tahun 2010. Tabel 6. Produksi dan Konsumsi Jagung di Provinsi NTT Tahun 2010 (ton). No Uraian 2010 653.620 78.913 574.706 102.678 472.028
1 Produksi jagung (pipilan kering) 2 Penggunaan jagung non pangan 3 Produksi jagung pangan 4 Total Konsumsi Penduduk 5 Surplus Sumber : BPS Prov.NTT
Ketersediaan pangan adalah ketersediaan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber baik itu produksi pangan domestik, cadangan pemerintah dan bantuan pangan dari pemerintah atau organisasi lainnya. Jika dilihat dari produksi komoditas tanaman pangan di Provinsi NTT, selain beras dan jagung komoditas lain yang berpeluang cukup besar untuk di konsumsi adalah jenis umbi-umbian yaitu ubi kayu dan ubi jalar. Ketersediaan pangan untuk beras selama empat tahun terakhir cenderung menurun, walaupun laju penurunanya relatif kecil. Berikut produksi tanaman pangan di Provinsi NTT tahun 2007-2010 pada Gambar 5.
1,200,000
Produksi (ton)
1,000,000 800,000 600,000 505,628
577,896
607,358
555,493
400,000 200,000 0 2007 padi Kacang Tanah
2008
Tahun
Jagung Kacang Kedelai
2009 Ubi Kayu Kacang hijau
2010 Ubi jalar
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 5. Produksi Tanaman Pangan di Provinsi NTT Tahun 2007-2010
47
Jika dilihat dari produksi tahun 2007-2010 tanaman pangan di provinsi NTT, maka terdapat peningkatan yang cukup signifikan terhadap komoditas ubi kayu dan jagung. Produksi ubi kayu selama empat tahun terakhir terus meningkat di Provinsi NTT dengan produksi mencapai 1.032.538 ton pada tahun 2010. Walaupun untuk padi sendiri terdapat penurunan di tahun 2010, tapi dengan peningkatan pada jenis tanaman pangan lain maka konsumsi beras selama ini dapat dialihkan dengan diversifikasi sumber makanan baru olahan yang berasal dari ubi kayu dan jagung. Selain itu, dilihat dari luas panen dan potensi tanaman pangan lokal, yang tergarap baru sekitar 45 persen, mengindikasikan bahwa jika potensi tersebut dioptimalkan maka kemungkinan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap produksi yang tentu saja harapanya ketahanan pangan di NTT dapat tercapai. Kebijakan peningkatan produksi pangan lokal di provinsi NTT telah banyak dilaksanakan guna meningkatkan pendapatan petani pedesaan di NTT. Sejak dahulu para gubernur ketika memulai masa jabatanya, yang pertama kali dicanangkan adalah kebijakan strategis yang membantu petani agar dapat meningkatkan produksi pertanian dan pendapatanya. Diantara program tersebut adalah Program Operasi Nusa Makmur (ONM), Program Operasi Nusa Hijau (ONH), Program Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat (Gempar), Program Membangun Desa (Gerbades) dan lain-lain. Program pangan terakhir adalah program Anggur Merah yang merupakan singkatan dari anggaran pembangunan untuk mensejahterahkan rakyat. Di antara kebijakan operasional peningkatan produksi tanaman pangan lokal yang telah dilaksanakan untuk mendukung ketahanan pangan provinsi NTT yaitu program statistik pertanian tanaman pangan lokal, program intensifikasi penanaman jagung, program peta data kekeringan, program penanaman singkong unggulan lokal dan program perbanyakan benih lokal. Berbagai program diatas dirasa belum memberikan hasil yang signifikan bagi perbaikan kondisi peningkatan produksi pertanian dan pendapatan petani sehingga ketahanan pangan penduduk NTT sangat rapuh terbukti daerah ini masih mengalami rawan pangan dan gagal panen. Belum optimalnya implementasi kebijakan produksi tanaman pangan lokal di provinsi NTT disebabkan masih
48
banyaknya kendala baik itu menyangkut operasional di lapangan, kordinasi yang belum berjalan efektif, komitmen untuk keberhasilan program yang masih rendah dan kurangnya alokasi anggaran dari pengambil kebijakan, sehingga kebijakan dan program yang selama ini ada hanya menjadi dokumen para pakar dan praktisi tanpa mencapai hasil yang diharapkan. 4.1.2
Stabilitas Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Stabilitas ketahanan pangan di tingkat RT dapat dilihat dari beberapa
indikator diantaranya lapangan pekerjaan dan jumlah anggota rumah tangga. Hal ini dinilai mempengaruhi faktor ekonomi suatu rumah tangga yang terkait dengan stabilitas ketahanan pangan suatu rumah tangga. Beberapa indikator yang dapat dilihat dari subsistem stabilitas pangan seperti faktor cuaca, faktor harga, faktor politik dan faktor ekonomi, tetapi dalam hal ini penulis hanya menggunakan faktor ekonomi yang mencakup lapangan pekerjaan dan jumlah anggota rumah tangga saja. Sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk Nusa Tenggara Timur yang mayoritas tinggal di pedesaan. Sektor pertanian sangat berkaitan dengan ketahanan pangan. Tahun 2010, sebanyak 50 persen angkatan kerja di provinsi NTT melakukan aktivitas ekonomi di sektor pertanian, kecuali di kota Kupang dimana persentase penduduk yang bekerja disektor pertanian cenderung menurun (BPS Prov. NTT, 2010).
Tersier 24 %
Sekunder 11 %
Primer 65 %
Primer 65 persen
Sumber: BPS Prov.NTT (diolah)
Gambar 6. Persentase jumlah penduduk berusia 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010
49
Gambar 6 menunjukan persentase pekerjaan penduduk Nusa Tenggara Timur berdasarkan lapangan pekerjaan utama dari penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja pada tahun 2010. Sektor pertanian merupakan sektor p r i m e r yang memiliki persentase terbesar yaitu 65 persen, diikuti oleh sektor tersier dan sekunder yaitu masing-masing sebesar 24 persen dan 11 persen.
Hal
ini menunjukan bahwa sektor pertanian merupakan sektor
yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Komposisi penduduk juga merupakan hal yang penting dalam pembangunan. Komposisi penduduk secara langsung terkait dengan jumlah anggota rumah tangga di setiap keluarga. Jumlah anggota rumah tangga yang banyak dalam suatu rumah tangga dikhawatirkan dapat
menyebabkan
terhambatnya akses rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan panganya. Komposisi penduduk di Provinsi NTT menurut kelompok umur menunjukkan bahwa penduduk NTT memiliki komposisi penduduk muda yaitu jumlah penduduk usia 0-14 tahun lebih banyak dari usia penduduk lainya (BPS Prov. NTT, 2010). Tingginya persentase penduduk muda terhadap penduduk total NTT karena tingginya tingkat kelahiran di Provinsi tersebut. Beban
pembangunan
dimasa yang akan datang akan lebih kompleks apabila tingkat kelahiran tidak diantisipasi dengan baik misalnya dengan program KB. Sudah selayaknya jumlah penduduk yang besar menjadi modal pembangunan apabila ditingkatkan kualitasnya melalui pendidikan dan penyedia lapangan pekerjaan. Tapi sebaliknya jumlah penduduk yang besar yang tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan, lapangan pekerjaan yang tersedia maka akan menyebabkan tingginya angka pengangguran dan beban kehidupan di masing-masing rumah tangga.
4.1.3
Akses Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Akses pangan merupakan faktor yang menentukan tercapainya ketahanan
pangan. Meskipun di suatu daerah ketersediaan pangan mencukupi dan berlimpah namun jika tidak didukung dengan adanya akses yang baik maka ketahanan pangan tidak dapat tercapai. Faktor yang menentukan akses pangan terhadap suatu wilayah diantaranya adalah pendapatan yang tercermin dari PDRB wilayah dan tingkat pendidikan.
50
Secara makro, besaran PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja ekonomi suatu wilayah provinsi maupun kabupaten. PDRB perkapita lazim digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk yang akan berdampak pada ketahanan pangan di suatu wilayah. PDRB perkapita Provinsi NTT atas dasar harga konstan mengalami peningkatan dari tahun 2009 hingga tahun 2010. Pada tahun 2009, PDRB Provinsi NTT atas dasar harga konstan sebesar 11,921 milyar rupiah meningkat menjadi 12,532 milyar rupiah pada tahun 2010 (Lampiran 1). Peningkatan PDRB atas harga konstan (2000) tersebut secara tidak langsung memperlihatkan bahwa volume kegiatan usaha di NTT memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan PDRB per kapita disebabkan oleh karena peningkatan pendapatan lebih tinggi dari peningkatan jumlah penduduk di Provinsi NTT. Berdasarkan PDRB atas harga berlaku di Provinsi NTT maka terdapat peningkatan dari tahun 2008 hingga tahun 2010 dari 21.656 milyar rupiah menjadi 27.738 milyar rupiah dimana secara umum perekonomian NTT meningkat dibanding tahun sebelumnya. Perkembangan ekonomi di NTT dari tahun ke tahun akan lebih jelas diperlihatkan oleh laju pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan nilai PDRB atas dasar harga konstan. Pada tahun 2008, laju pertumbuhan ekonomi NTT mencapai 4,84 persen, dimana tahun 2009 melemah menjadi 4,29 persen tetapi meningkat kembali menjadi 5,23 persen pada tahun 2010. Kontribusi setiap sektor ekonomi terhadap seluruh perekonomian di Provinsi NTT dapat dilihat pada Gambar 7. Struktur perekonomian NTT tahun 2010 tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, dimana sektor-sektor yang paling dominan adalah pertanian dan jasa-jasa. Kontribusi terbesar dalam PDRB NTT tahun 2010 berasal dari sektor pertanian yakni sebesar 38,45 persen, disusul dengan sektor jasa-jasa sebesar 24,69 persen. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi sebesar 16,76 persen dengan peringkat tertinggi ke-3 setelah sektor pertanian dan jasa-jasa. Kontribusi terendah berasal dari sektor listrik, gas dan air bersih yang hanya sebesar 0,42 persen.
51
Pertanian Pertambangan 25%
Industri pengolahan
38%
Listrik,gas dan air bersih
4% 6%
bangunan/ kontruksi 17%
7%
perdagangan, hotel dan restoran
0%
1% 2%
pengangkutan dan komunikasi keuangan, persewaan dan jasa perushanaan
Sumber : BPS Prov. NTT (diolah) Gambar 7. Struktur PDRB di Provinsi NTT Menurut lapangan Usaha Tahun 2010. Besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian di Provinsi NTT mengisyaratkan bahwa sektor pertanian merupakan pilihan yang harus dikembangkan oleh pemerintah daerah NTT, walaupun sektor pertanian pada kenyataanya masih relatif sulit untuk dikembangkan peningkatan kapasitas produksinya, mengingat sektor pertanian khususnya sub sektor tanaman bahan makanan lebih banyak bergantung pada faktor musim. Sektor pertanian perlu diperhatikan dan ditingkatkan guna pembangunan di Provinsi NTT yang lebih baik. Hal ini diharapkan dapat mendukung terciptanya ketahanan pangan yang kuat di Provinsi NTT dengan tingginya kontribusi terhadap sektor pertanian. Gambaran tentang peranan sektor-sektor ekonomi terhadap pembentukan PDRB NTT tersebut memperlihatkan bahwa sampai saat ini struktur ekonomi NTT masih relatif lemah, terutama dari sisi kemampuan untuk lebih mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan luas perairan NTT yang kurang lebih 200.000 km2 diluar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ternyata penduduk NTT yang bekerja di sub sektor perikanan hanya sebesar 2,51 persen (DDA NTT, 2010), Hal ini sungguh ironis mengingat hampir seluruh luas wilayah NTT dikelilingi perairan. Oleh karena itu peningkatan sektor perikanan oleh pemerintah perlu mendapatkan perhatian yang cukup serius di wilayah NTT, mengingat potensi sumberdaya kelautan NTT masih memiliki peluang yang cukup besar untuk dikembangkan.
52
Upaya pembangunan sumberdaya manusia dapat dilakukan melalui investasi disektor pendidikan. Pendidikan diselenggarakan sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadi langkah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup warga negara. Peningkatan derajat pendidikan diprioritaskan sebagai upaya untuk mengurangi kemiskinan dan karawanan pangan. Pendidikan merupakan
salah
satu
indikator
kesejahteraan
yang
diharapkan
dapat
mencerminkan kondisi sosial ekonomi suatu rumah tangga. Masalah yang dihadapi oleh masyarakat di Provinsi NTT adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang digambarkan melalui indeks pembangunan manusia yang rendah (Human Development Index).
3%
1%
1% 2% tidak punya ijazah
10%
Tamat SD Tamat SMP 45%
11%
Tamat SMU SMK D1 dan D2 D3 D4-S3
27%
Sumber : BPS NTT dalam angka (diolah)
Gambar 8. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2010 di Provinsi NTT. Masyarakat yang memiliki pendidikan tinggi diharapkan mempunyai pengetahuan akan gizi dan konsumsi pangan yang lebih baik. Sehingga dapat meningkatkan
produktivitas
kinerja
yang
dapat
berkontribusi
dalam
pembangunan. Kualitas pendidikan di Provinsi NTT dapat dilihat dari persentase kelulusan yang ditempuh oleh masyarakat NTT. Secara umum, tingkat pendidikan penduduk di Provinsi NTT masih tergolong rendah. Hampir 45,42 persen penduduk NTT pada tahun 2010 yang berumur diatas 10 tahun tidak lulus SD dan tidak memiliki ijazah. Sedangkan penduduk yang tamat Sekolah Dasar hanya sebesar 27,37 persen (Gambar 8).
53
Jumlah kelulusan penduduk di Provinsi NTT jika dilihat dari tahun 20092010 mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini sungguh ironis. Dimana masyarakat yang tidak lulus SD jumlahnya ternyata semakin meningkat. Hal ini memperlihatkan bahwa pendidikan masyarakat NTT bukanya semakin membaik, tetapi malah semakin memburuk. Peningkatan hanya terjadi untuk lulusan D4 sampai dengan S3 yang peningkatannya cukup kecil, hanya sebesar 0,2 persen (Gambar 9). Rendahnya kualitas pendidikan di Provinsi NTT mencerminkan ketahanan pangan di wilayah NTT dalam kondisi yang tidak aman.
D4-S3 Pendidikan
D3
D1 dan D2 SMK 2010
Tamat SMU
2009
Tamat SMP Tamat SD tidak punya ijazah
Persen 0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
Sumber : BPS NTT (diolah)
Gambar 9. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2009-2010 di Provinsi NTT
4.2
Pola Konsumsi Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur Pangsa pengeluaran pangan yang merupakan suatu indikator penentu
ketahanan pangan rumah tangga masih mencapai proporsi yang cukup tinggi di Provinsi NTT. Hasil pengolahan data SUSENAS tahun 2010 di Provinsi NTT menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan untuk pedesaan sebesar 68,24 persen, hal ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah perkotaan yang hanya sebesar 54,31 persen (Tabel 7). Hal ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan masyarakat perkotaan masih lebih baik dibandingkan masyarakat pedesaan di NTT dimana mengindikasikan rendahnya tingkat kesejahteraan
54
rumah tangga di desa. Pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah NTT saat ini hasilnya masih lebih dinikmati oleh masyarakat perkotaan daripada penduduk pedesaan. Berikut pangsa pengeluaran pangan dan non pangan di Provinsi NTT atas desa-kota Tahun 2010.
Tabel 7. Persentase Pengeluaran Rata-rata Rumahtangga di Provinsi NTT Tahun 2010 No Keterangan Pangsa Pangan (%) Non Pangan (%) 1 2
Kota Desa Total NTT
54,31 68,24 66,08
45,69 31,76 33,92
Sumber : BPS, 2010 (diolah)
Pola konsumsi pangan secara keseluruhan dapat dilihat dari besarnya pengeluaran untuk masing-masing kelompok pangan. Pola konsumsi pangan yang bermutu dengan gizi seimbang adalah konsumsi pangan yang dapat menyediakan zat tenaga (energi), zat pembangun (protein) dan zat pengatur (vitamin dan mineral) dalam kuantitas yang cukup yang terdiri dari beraneka ragam pangan. Pangan yang beraneka ragam sangat penting karena kenyataanya tidak ada satu komoditas pangan yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang lengkap. Dengan konsumsi pangan yang beraneka ragam maka kekurangan zat gizi dalam satu jenis pangan akan dilengkapi oleh kandungan zat gizi dari pangan lainnya. Adanya prinsip saling melengkapi antara berbagai jenis pangan tersebut akan menjamin terpenuhinya mutu gizi seimbang dalam jumlah yang cukup. Berdasarkan pengeluaran rata-rata perkapita sebulan dan menurut kelompok pangan ternyata konsumsi pangan di NTT masih didominasi kelompok pangan sumber karbohidrat dari serealia (beras dan jagung). Beras masih menjadi pangan pokok utama bagi sebagian besar masyarakat NTT dan menjadi sumber energi utama bagi rumah tangga di pedesaan. Sebesar 24,2 persen konsumsi masyarakat NTT masih didominasi oleh padi-padian. Konsumsi padi-padian tertinggi berada di pedesaan sebesar 26,4 persen sedangkan diperkotaan konsumsi padi-padian hanya sekitar 17,4 persen (Tabel 8). Diantara kelompok padi-padian, beras merupakan komoditi terbanyak yang dikonsumsi masyarakat NTT yaitu mencapai 92,99 persen (Lampiran 2). Hal ini didukung oleh penelitian Ariningsih (2008) yang menyimpulkan bahwa beras merupakan pangan pokok utama bagi
55
sebagian besar masyarakat Indonesia dimana masih menjadi sumber energi utama bagi rumah tangga di pedesaan sementara kontribusi pangan pokok lainnya seperti jagung dan ubi kayu sangat kecil. Ariani (2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras, termasuk diantaranya kebijakan “raskin”. Kebijakan ini mengakibatkan pergeseran pola konsumsi pangan pokok dari jagung atau umbi-umbian ke beras. Berikut persentase konsumsi pangan di Provinsi NTT tahun 2010 di daerah pedesaan dan perkotaan.
Tabel 8. Persentase Konsumsi Pangan di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) Tahun 2010 No Kelompok Pangan Desa Kota Desa+Kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Padi-padian Umbi-umbian Ikan Daging Telur dan susu Sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan lemak Bahan Minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan dan Minuman jadi Tembakau dan Sirih Total
26,4 3,0 7,2 16,4 5,6 7,2 3,5 3,3 3,0 5,2 1,2 2,4 9,4 6,4 100,0
17,4 2,3 9,3 13,3 7,1 9,0 3,8 4,5 3,2 4,0 1,6 2,3 12,8 9,4 100,0
24,2 2,8 7,8 15,7 6,4 7,5 3,6 3,5 3,0 4,9 1,2 2,4 10,4 6,7 100,0
Sumber : BPS, 2010 (diolah)
Konsumsi komoditi padi-padian lainnya memiliki persentase yang sangat kecil di Provinsi NTT (Lampiran 2). Konsumsi tepung terigu di perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan di wilayah pedesaan, hal ini disebabkan banyaknya jenis makanan jadi (olahan) di perkotaan yang menggunakan tepung terigu. Perbandingan konsumsi antara penduduk perkotaan dan pedesaan di Provinsi NTT menunjukkan bahwa persentase konsumsi padi-padian di daerah pedesaan masih jauh lebih besar daripada di perkotaan. Selain beras dan jagung, komoditas yang berperan sebagai pangan pokok adalah umbi-umbian. Dari hasil tabel diatas dapat dilihat bahwa konsumsi umbi-
56
umbian masyarakat NTT masih sangat rendah baik itu di pedesaan maupun di perkotaan yaitu hanya sebesar 3 persen. Daging merupakan komoditas pangan kedua tertinggi setelah padi-padian di Provinsi NTT yaitu sebesar 15,7 persen. Sedangkan makanan dan minuman jadi merupakan kelompok pangan tertinggi ke3 yang dikonsumsi masyarakat NTT yaitu sebesar 10,4 persen. Konsumsi makanan dan minuman jadi yang terbesar terdapat di wilayah perkotaan dengan persentase sebesar 12,8 persen dibandingkan dengan pedesaan yang hanya sebesar 9,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk perkotaan lebih menyukai makanan cepat saji, hal ini terkait dengan pola hidup masyarakat perkotaan yang cenderung lebih senang dengan produk instan dan olahan. Di perkotaan dengan segala aktivitas yang padat dan cepatnya pertumbuhan pusat perbelanjaan dan restoran mengakibatkan masyarakat lebih muda mengkonsumsi makanan dan minuman jadi. Sedangkan di pedesaan masyarakat lebih memilih untuk mengolah pangan mereka sendiri. Upaya diversifikasi pangan di Indonesia tak terkecuali di Provinsi NTT dinilai kurang berhasil karena ketergantungan terhadap beras masih tinggi meskipun potensi bahan pangan lain sangat besar. Hal ini terlihat dari kecenderungan penurunan konsumsi pangan pokok lokal lainnya seperti jagung dan ubi kayu. Di sisi lain, konsumsi mie dan bahan pangan lain yang berbahan baku terigu (gandum) yang merupakan bahan pangan impor cenderung semakin meningkat. Hasil kajian
Hasibuan (2001) menyimpulkan bahwa mie instan
berpotensi sebagai makanan sumber energi kedua setelah beras, tetapi belum berkedudukan sebagai makanan sumber energi pengganti beras.
4.3
Kondisi Kecukupan Kalori dan Protein di Provinsi NTT Tingkat kecukupan gizi juga merupakan salah satu indikator untuk
menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu penduduk dengan asumsi bahwa semakin tercukupinya gizi maka semakin sejahtera. Kecukupan gizi yang lazim adalah disajikan dalam unit kalori dan protein. Norma kecukupan gizi yang digunakan di Indonesia pada umumnya adalah hasil kesepakatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004, walaupun banyak penelitian lain yang menggunakan standar angka kecukupan lainya, tetapi dalam penelitian
57
ini penulis menggunakan standar WNPG yang menetapkan angka kecukupan konsumsi pangan yang dianjurkan yaitu energi (kalori) dan protein masingmasing sebesar 2.000 kal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari. Jumlah rumah tangga sampel SUSENAS di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010 adalah sebanyak 1740 rumah tangga, dengan jumlah kabupaten sebanyak 19 kabupaten/kota. Berdasarkan data SUSENAS tahun 2010, tingkat kecukupan gizi di provinsi NTT yang dihitung dari besarnya konsumsi kalori menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi kalori penduduk NTT tahun 2010 sudah berada diatas batas standar kecukupan gizi yaitu sebesar 2.054,05 kkal/kap/hari. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dari 2.000 kkal sehingga dapat dikatakan bahwa provinsi NTT secara wilayah masih dalam kondisi cukup kalori.
Konsumsi Kalori 2399.95 2438.51 2194.19 2033.36 2251.43 2246.30 2179.78 1994.89 2152.23 2131.20 2138.92 2056.25 1986.27 2005.84 1974.35 2090.41 1984.41 2000.00 1731.06
0.00
Kabupaten Sumber : BPS, 2010 (diolah)
Gambar 10. Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari Menurut Kabupaten di Provinsi NTT Tahun 2010 (Kkal) Dilihat dari sisi rumah tangga di Provinsi NTT berdasarkan sampel rumah tangga yang dianalisis, maka jumlah rumah tangga yang jumlah kalorinya diatas 2.000 kkal hanya sebesar 47 persen sedangkan yang konsumsi kalori dibawah 2.000 kkal jauh lebih tinggi sebesar 53 persen. Persentase kecukupan kalori rumah tangga di Provinsi NTT berdasarkan jumlah sampel rumah tangga pada tahun 2010 dapat dilihat pada (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa
58
kecukupan kalori di tingkat kabupaten (provinsi) pada tahun 2010, belum tentu menjamin kecukupan kalori di tingkat rumah tangga. Tingginya jumlah rumah tangga di NTT yang konsumsi kalorinya masih dibawah 2000 kkal/kap/hari menunjukkan bahwa provinsi NTT masih belum mencukupi kalori standar yang ditetapkan WNPG VIII tahun 2004 dari sisi rumah tangga. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Ariningsih tentang konsumsi gizi (2002) yang menyatakan bahwa perbaikan konsumsi gizi secara makro ternyata tidak mencerminkan pemerataan pemenuhan konsumsi gizi secara mikro di Indonesia. Selain itu fakta juga menunjukkan bahwa walaupun di tingkat nasional dan wilayah (provinsi) memiliki status tahan pangan terjamin, namun di wilayah tersebut masih ditemukan rumah tangga rawan pangan, hal ini sesuai dengan penelitian Rachman (2004). Belum terpenuhinya konsumsi kalori sesuai standar yang ada antara lain disebabkan karena belum sadarnya masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi pangan yang sesuai dengan angka kecukupan gizi. Menurut Ariningsih (2008) kunci permasalahan rendahnya konsumsi kalori dan protein terletak pada rendahnya pendapatan rumah tangga, oleh
karena itu program-program
pemerintah hendaknya diarahkan pada program perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga, disamping peningkatan ketersediaan bahan pangan yang berkualitas serta penyuluhan tentang masalah gizi perlu terus diupayakan. Selain kecukupan kalori, kecukupan protein juga menjadi indikator kualitas pangan yang harus diperhitungkan. Berdasarkan konsumsi protein di Provinsi NTT pada tahun 2010, kecukupan protein yang dikonsumsi penduduk NTT sebesar 52,7 gram/kap/hari. Hal ini sudah sesuai dengan standar yang dianjurkan WNPG VIII tahun 2004 yaitu sebesar 52 gram/kap/hari. Perbandingan antara pedesaan dan perkotaan memperlihatkan bahwa kecukupan protein di pedesaan masih lebih rendah dibandingkan perkotaan, begitu juga dengan kecukupan konsumsi kalori di perkotaan yang masih jauh lebih tinggi dibanding dengan pedesaan (Tabel 9). Secara keseluruhan kecukupan konsumsi protein dan kalori di Provinsi NTT secara wilayah dapat dikatakan sudah memenuhi standar tapi untuk konsumsi kalori di tingkat rumah tangga sendiri, ternyata rumah tangga
59
di Provinsi NTT konsumsi kalorinya masih dibawah ketentuan yang telah ditetapkan WNPG VIII tahun 2004. Tabel 9. Kecukupan Konsumsi Protein dan Kalori di Provinsi NTT Menurut Desa dan Kota Tahun 2010. Tahun 2010 Kelompok Protein (gr) Kalori (kkal) Desa Kota Total
51,37 59,68 52,66
2.048,51 2.084,17 2.054,05
Sumber : BPS, 2010 (diolah)
Gambar 11 menunjukkan bahwa konsumsi protein per kapita sehari tiap Kabupaten di Provinsi NTT selama tahun 2010 sudah diatas standar yang ditetapkan yaitu 52 gram/kap/hari. Walaupun masih ada beberapa daerah kabupaten yang kecukupan proteinya masih dibawah rata-rata seperti Sumba barat, Sumba Timur, Kabupaten Kupang, TTS, TTU, Belu, Alor, Sikka, Ende, Rote Ndao, dan Sumba Barat Daya tetapi tidak terlalu jauh dari angka batas yang ditetapkan WNPG VIII tahun 2004. Hampir 57 persen rumah tangga di NTT kecukupan proteinya sudah diatas 52 gram/kap/hari. Hal ini memperkuat pendapat bahwa secara wilayah dan rumah tangga, provinsi NTT untuk konsumsi proteinya sudah tercukupi dan diatas rata-rata standar yang telah ditetapkan WNPG VIII tahun 2004.
Konsumsi Protein 50.6 52.0
60.9 63.9 59.1 63.5 61.3 64.3 52.4 49.1 51.1 51.149.7 51.3 49.249.2 47.1 53.0 42.6 50.1
1.0
Kabupaten
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 11. Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Sehari Menurut Kabupaten di Provinsi NTT Tahun 2010 (gram)
60
4.4
Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur Ketahanan pangan memiliki dua indikator yang sangat penting yaitu
kecukupan kalori dan pangsa pengeluaran pangan. Berdasarkan perhitungan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan kecukupan kalori, terlihat bahwa di Provinsi NTT persentase penduduk yang rawan pangan masih cukup tinggi yaitu sebesar 22,01 persen. Sementara itu rumah tangga yang tergolong tahan pangan lebih kecil yakni sebesar 20,06 persen. Tabel 10. Distribusi Rumah Tangga menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT Tahun 2010 2010 Status Rumah tangga Kota Desa Total Rawan Pangan 10,37 24,15 22,01 Kurang Pangan 14,07 7,89 8,85 Rentan Pangan 30,37 52,52 49,08 Tahan Pangan 45,19 15,44 20,06 100,00 100,00 100,00 Total Sumber: BPS, Susenas 2010 (diolah)
Rumah tangga rentan pangan di NTT mencapai proporsi yang cukup besar yakni 49,08 persen. Kelompok ini menurut kriteria yang ditetapkan merupakan kelompok yang secara ekonomi (pendekatan diproksi dari pangsa pengeluaran pangan) termasuk kelompok kurang sejahtera, namun dari sisi konsumsi energi memenuhi syarat kecukupan, hal ini terkait dengan pola konsumsi dan kebiasaan makan masyarakat NTT. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang menyatakan bahwa kelompok rentan pangan mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat (khususnya beras dan umbi-umbian) relatif lebih tinggi dibanding kelompok lainnya (Saliem dkk., 2001). Umumnya pangan sumber karbohidrat memiliki kandungan energi (kkal) yang tinggi, namun demikian tingginya konsumsi pangan sumber karbohidrat pada kelompok rentan pangan tidak diikuti oleh konsumsi sumber pangan lain secara seimbang. Dari sisi gizi, untuk memperoleh kondisi tubuh yang sehat diperlukan komposisi beragam zat gizi secara cukup dan seimbang. Oleh karena itu perlu upaya penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi secara intensif. Mengingat kelompok ini secara ekonomi kurang mampu, maka upaya peningkatan pendapatan untuk
61
mampu mengakses pangan sumber protein, vitamin dan mineral secara baik perlu lebih digalakkan. Kelompok rumah tangga kurang pangan di Provinsi NTT proporsinya relatif kecil yakni hanya 8,85 persen. Kelompok ini merupakan golongan dari sisi ekonomi relatif mampu untuk mengkonsumsi pangan, namun dari indikator gizi termasuk kurang (konsumsi kalori kurang dari syarat kecukupan). Oleh karena itu penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi, terutama tentang pola konsumsi pangan yang beragam dan seimbang perlu mendapat prioritas. Rumah tangga di perkotaan biasanya lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan non pangan meski kebutuhan kalorinya dibawah standar minimum yang dianjurkan. Hal ini diperkuat dari hasil pola konsumsi masyarakat perkotaan NTT yang cenderung ke arah instan dimana indikasi ini dapat dilihat dari meningkatnya konsumsi tepung terigu dan makanan juga minuman siap jadi di Provinsi NTT pada tahun 2010. Berdasarkan latar belakang daerah tempat tinggal, ternyata persentase rumah tangga rawan pangan di daerah pedesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan. Tahun 2010, rumah tangga rawan pangan di daerah pedesaan mencapai 24,15 sedangkan di perkotaan sebesar 10,37 persen. Sebaliknya rumah tangga yang tahan pangan di perkotaan lebih besar dibandingkan rumah tangga di pedesaan. Rumah tangga tahan pangan di perkotaan mencapai 45,19 persen sedangkan di pedesaan hanya sebesar 15,44 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi di daerah pedesaan lebih buruk dibanding di daerah perkotaan. Terbatasnya akses dan infrastruktur di pedesaan menyebabkan tingginya kerawanan pangan di pedesaan. Sebaliknya diperkotaan dengan segala fasilitas dan sarana yang ada menyebabkan tingkat rumah tangga yang tahan pangan juga cukup tinggi. Persentase rumah tangga yang rentan pangan di pedesaan ternyata lebih besar dibandingkan di perkotaan. Rumah tangga rentan pangan di pedesaan NTT mencapai 52,52 persen. Rumah tangga yang diidentifikasikan rentan pangan pada dasarnya telah memenuhi kebutuhan kalori minimum, namun secara ekonomi memiliki pangsa pengeluaran pangan yang masih besar, hal ini terkait dengan pola konsumsi dan kebiasaan makan. Biaya hidup yang lebih murah di pedesaaan
62
menjadi salah satu penyebab terpenuhinya kebutuhan kalori meski pangsa panganya masih lebih besar. Apabila hanya menggunakan indikator ekonomi (diproksi dari pangsa pengeluaran pangan) dengan kriteria apabila pangsa pengeluaran pangan tinggi (>60% pengeluaran total), maka kelompok tersebut merupakan golongan yang relatif kurang sejahtera. Dengan indikator tunggal tersebut, kelompok yang tidak tahan pangan adalah kelompok rentan pangan dan rawan pangan. Dengan kriteria tersebut, maka proporsi rumah tangga tidak tahan pangan di Provinsi NTT sekitar 71 persen, bila dibedakan kota dengan desa ternyata proporsi rumah tangga tidak tahan pangan di desa (77%) lebih tinggi dibanding didaerah kota yang mencapai 41 persen. Sementara itu bila menggunakan indikator tunggal dari kecukupan konsumsi energi (kalori), sebagai proksi dari peubah gizi maka kelompok rumah tangga dengan konsumsi kalori ≤ 80 persen dari syarat kecukupan merupakan kelompok yang tidak tahan pangan. Dengan kategori diatas, maka kelompok kurang pangan dan rawan pangan tergolong tidak tahan pangan, dengan demikian maka proporsi kelompok rumah tangga tidak tahan pangan sekitar 31 persen, bila dibedakan menurut wilayah maka proporsi rumah tangga tidak tahan pangan di desa dan di kota masing-masing sekitar 32 persen dan 24 persen. Karakteristik masing-masing kelompok rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan dapat memperjelas tentang kondisi ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi NTT. Beberapa karakteristik rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan seperti lapangan pekerjaan, umur KRT, jumlah anggota RT, pendidikan KRT, status pekerjaan KRT dan konsumsi kalori dan protein rumah tangga dapat dijadikan sebagai acuan dalam mendeskripsikan ketahanan pangan rumah tangga.
4.4.1
Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Salah satu indikator tingkat kesejahteraan yang diharapkan dapat
mencerminkan kondisi sosial ekonomi suatu rumah tangga adalah sumber pendapatan
rumah
tangga.
Sektor
lapangan
pekerjaan
rumah
tangga
mencerminkan perolehan sumber pendapatan. Sumber pendapatan juga dianggap
63
sebagai akses rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan panganya. Jika suatu rumah tangga memiliki pendapatan yang tinggi, maka diharapkan daya belinya terhadap kebutuhan akan pangan juga dapat tercukupi. Sumber penghasilan utama rumah tangga dapat didekati dengan lapangan usaha kepala rumah tangga. Secara umum, setiap rumah tangga di Indonesia dalam memenuhi kebutuhannya menganut sistem “single budget”. Kepala rumah tangga berkewajiban memenuhi kebutuhan rumah tangga sedangkan istri dan anggota rumah tangga lainnya bersifat membantu mencari nafkah. Oleh karena itu, lapangan usaha yang ditekuni kepala rumah tangga dijadikan acuan dalam penentuan kategori sektor dalam penelitian ini. Diantara penduduk yang rawan pangan pada tahun 2010 di Provinsi NTT, ternyata persentase terbesar adalah rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian yaitu sebesar 82 persen (Gambar 12). Hal ini merupakan kondisi yang sangat ironis mengingat pertanian adalah salah satu lapangan usaha yang menghasilkan bahan pangan pokok, namun rumah tangga di sektor pertanian justru merupakan rumah tangga yang rawan pangan. hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Saliem et. al., (2001) yang menyatakan bahwa di Indonesia rumah tangga rawan pangan paling banyak terdapat pada rumah tangga dengan mata pencarian di sektor pertanian sebagai penghasil bahan pangan.
4% 2%
0%
3%
Rawan Pangan
1%
Pertanian
5%
Pertambangan dan penggalian
3%
Industri pengolahan Listrik gas dan air bersih Bangunan dan kontruksi 82%
Perdagangan,hotel dan restoran Pengangkutan, transportasi dan komunikasi
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 12. Rumah Tangga Rawan Pangan Berdasarkan lapangan Usaha Kepala Rumah Tangga di Provinsi NTT (persen)
64
Dengan kondisi seperti ini dikhawatirkan banyak rumah tangga yang beralih ke sektor lain selain lapangan usaha pertanian yang memberikan pendapatan yang lebih tinggi, semisal jasa dan perdagangan walaupun dari hasil kontribusi terhadap PDRB keseluruhan di NTT menunjukkan bahwa subsektor pertanian memberikan kontribusi terbesarnya. Hal ini merupakan ancaman bagi ketahanan pangan, dimana dengan beralihnya rumah tangga pertanian ke sektor lain maka ketersediaan pangan yang merupakan penopang ketahanan pangan nasional dapat terancam keberadaanya. Selain itu bahan pangan maupun hasilhasil pertanian hanya akan bergantung kepada impor pangan dari negara lain sehingga Provinsi NTT tidak lagi memiliki kemandirian pangan. Secara agregat sumber pendapatan utama kelompok rumah tangga rentan pangan dan rawan pangan adalah dominan pada sektor pertanian masing-masing memberikan kontribusi sebesar 77 persen dan 82 persen. Sementara itu untuk rumah tangga tahan pangan, sebesar 41 persen sumber pendapatan utama berasal dari sektor jasa keuangan, perseroan dan jasa perusahaan. Kelompok rumah tangga tahan pangan menempati proporsi terkecil untuk sumber pendapatan yang berasal dari sektor pertanian. Tabel 11. menunjukkan distribusi pendapatan rumah tangga berdasarkan tingkat derajat ketahanan pangan berdasarkan lapangan pekerjaan. Tabel 11. Distribusi Rumah Tangga Menurut lapangan Pekerjaan dan Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lapangan Pekerjaan
Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik gas dan air bersih Bangunan dan kontruksi Perdagangan,hotel dan restoran Pengangkutan, transportasi dan komunikasi Keuangan,perseroan dan jasa perusahaan Lainnya Total Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah)
Derajat Ketahanan Pangan Tahan Rentan Kurang Rawan Pangan Pangan Pangan Pangan 41,64 1,31 1,64 0,66 1,31 8,52 3,61 40,66 0,66 100,00
76,84 2,37 1,87 0,12 2,74 3,86 1,49 10,46 0,25 100,00
65,25 1,42 2,84 7,80 4,26 5,67 2,84 9,93
81,94 2,78 1,67 0,28 4,17 2,78 1,39 5,00
100,00
100,00
65
4.4.2
Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh kepala rumah
tangga, rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hampir 52 persen kepala rumah dengan status rumah tangga rawan pangan merupakan lulusan Sekolah Dasar (Tabel 12). Sebaliknya untuk rumah tangga tahan pangan, persentase yang tidak lulus sekolah dasar cukup kecil yakni hanya sebesar 13,47 persen. Rumah tangga tahan pangan didominasi oleh kepala rumah tangga yang lulus SMU dengan persentase sebesar 30 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka status ketahanan panganya semakin baik. Tabel 12. Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendidikan dan Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010 No Tingkat Pendidikan 1 2 3 4 5
Tidak lulus SD SD SMP SMU Perguruan Tinggi Total
Tahan Pangan 13,47 21,56 10,78 29,64 24,55 100,00
Derajat Ketahanan Pangan Rentan Kurang Rawan Pangan Pangan Pangan 34,83 34,53 37,16 38,33 33,09 51,36 9,99 16,55 10,27 14,17 10,07 1,21 2,70 5,76 0,00 100,00 100,00 100,00
Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah)
Rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan akan semakin menurun dengan meningkatnya tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Hal ini sesuai dengan penelitian Demeke dan Zeller (2010) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga maka akan semakin meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangga tersebut. Kepala rumah tangga dengan pendidikan yang tinggi akan lebih muda mendapatkan pekerjaan sehingga akan memiliki pendapatan yang lebih baik guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendidikan akan dapat meningkatkan produktivitas yang selanjutnya dapat meningkatkan output yang akhirnya akan berdampak pada peningkatan pendapatan. Selain itu pendidikan yang tinggi juga dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai gizi dan kesehatan sehingga dapat digunakan untuk menentukan pola makan yang baik dan bergizi sehingga terhindar dari kerawanan pangan.
66
4.4.3
Status Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Status pekerjaan kepala rumah tangga juga dapat dijadikan sebagai
indikator kesejahteraan rumah tangga. Berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangga, rumah tangga dibedakan menjadi enam kategori yaitu berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap (buruh tidak dibayar), berusaha dibantu buruh tetap (buruh dibayar), buruh (karyawan/pegawai), pekerja tidak dibayar dan lainnya. Gambar 13 menunjukkan persentase rumah tangga rawan pangan berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangga. Status pekerjaan dengan berusaha dibantu buruh tidak tetap atau buruh tidak dibayar merupakan status pekerjaan dengan persentase tertinggi dalam rumah tangga rawan pangan yaitu sebesar 76 persen. Tingginya persentase tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga rawan pangan sangat beresiko dengan status kepala rumah tangga dengan status tersebut. Status pekerjaan dengan berusaha dibantu buruh tidak tetap atau buruh tidak dibayar merupakan status pekerjaan yang informal dengan ketidak pastian pekerjaan dan tidak adanya jaminan yang kuat.
Rawan Pangan Berusaha sendiri
1% 3%
9%
4%
7%
Berusaha dibantu buruh tidak tetap/ buruh tidak dibayar Berusaha dibantu buruh tetap/ buruh dibayar
76%
Buruh/karyawan/pegawai Pekerja tidak dibayar Lainnya
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 13. Rumah Tangga Rawan Pangan Berdasarkan Status Pekerjaan Kepala RT di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) Sedangkan untuk rumah tangga dengan status tahan pangan, hampir 40 persen kepala rumah tangganya memiliki status pekerjaan sebagai buruh/ karyawan/ pegawai (Gambar 14). Hal ini dapat dimaklumi karena dengan status kepala rumah tangga yang bekerja di bidang formal seperti pegawai negeri
67
maupun karyawan swasta dengan pendapatan yang tinggi dan pekerjaan yang pasti tentunya dapat menjamin kebutuhan akan pangan di masing-masing rumah tangga. Kepala rumah tangga dengan status pekerjaan seperti ini biasanya lebih
Tahan Pangan 2% 1% Berusaha sendiri
12% 40% 38% 7%
Berusaha dibantu buruh tidak tetap/ buruh tidak dibayar Berusaha dibantu buruh tetap/ buruh dibayar Buruh/karyawan/pegawai Pekerja tidak dibayar Lainnya
tahan pangan dan dapat memenuhi kebutuhan panganya dengan baik. Sumber : BPS (diolah)
Gambar 14. Rumah Tangga Tahan Pangan Berdasarkan Status Pekerjaan Kepala RT di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) 4.4.4
Umur KRT dan Jumlah Anggota Rumah Tangga Jumlah anggota rumah tangga secara absolut pada kelompok rumah
tangga rawan pangan rata-rata lebih besar dibanding kelompok tahan pangan. Ada kecenderungan bahwa semakin besar jumlah anggota rumah tangga, maka semakin menurun derajat ketahanan pangan rumah tangga yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Purwantini dan Rahman (2005) dimana hasil studinya menyimpulkan bahwa besarnya jumlah anggota rumah tangga menyebabkan derajat ketahanan pangan yang semakin memburuk. Upaya membangkitkan kembali program Keluarga Berencana dan kelembagaan posyandu dengan berbagai penyempurnaan akan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Jika dilihat dari umur kepala rumah tangga maka secara agregat umur kepala rumah tangga di provinsi NTT masih dalam usia produktif. Walaupun dari kelompok umur untuk rumah tangga tahan pangan lebih tinggi dari rawan pangan, tetapi rentang umur rumah tangga tahan pangan berkisar antara 15 tahun s/d 92 tahun. Sedangkan untuk rumah tangga rawan pangan rentang umurnya berkisar 20
68
tahun s/d 98 tahun. Berikut kategori umur dan jumlah anggota rumah tangga berdasarkan derajat ketahanan panganya dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Karakteristik Rumah Tangga Menurut Umur dan JART Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010
No
Kategori
1 2
Umur KK (th) Jumlah Anggota RT (orang)
Derajat Ketahanan Pangan Tahan Rentan Kurang Rawan Pangan Pangan Pangan Pangan 48,15 49,44 48,59 46,94 4,3 4,5 5,3 5,4
Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah)
4.4.5
Konsumsi Kalori dan Protein Sesuai rekomendasi angka kecukupan energi dan protein agar seseorang
dapat hidup sehat dan aktif menjalankan akrivitas sehari-hari secara produktif maka diwajibkan mengkonsumsi kalori dan protein sebesar 2000 kkal/kap/hari dan 52 gram/ kap/hari (WNPG, 2004). Keragaan tingkat konsumsi kalori (energi) dan protein masing-masing kelompok rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan di provinsi NTT disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Rataan Konsumsi Kalori dan Protein Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010 Derajat Ketahanan Pangan No Status Gizi Tahan Rentan Kurang Rawan Pangan Pangan Pangan Pangan 1 Konsumsi Kalori (kkal) 2418,8 2360,3 1343,9 1324,3 2 Konsumsi Protein (gram) 65,3 59,8 33,9 32,8 Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah)
Sesuai dengan kriteria yang dirumuskan bahwa kelompok rumah tangga tahan pangan dan rentan pangan merupakan kelompok rumah tangga dari sisi gizi cukup (˃80% dari syarat kecukupan), seperti terlihat pada data Tabel 14. Kedua kelompok tersebut mengkonsumsi energi dan protein melebihi angka kecukupan. Sebaliknya pada kelompok kurang pangan dan rawan pangan masing-masing mengkonsumsi energi dan protein kurang dari angka kecukupan yang direkomendasikan. Secara umum konsumsi kalori di pedesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan kecuali untuk kelompok rumah tangga rawan pangan terjadi sebaliknya. Kelompok rentan pangan diindikasikan mengkonsumsi cukup kalori dan protein walaupun dari sisi ekonomi tergolong kurang sejahtera.
69
4.4.6
Pola Pengeluaran Rumah Tangga Pangsa pengeluaran pangan rumah tangga merupakan salah satu
indikator ketahanan pangan rumah tangga (Pakpahan dkk., 1993). Pengeluaran total rumah tangga juga dapat dipandang sebagai pendekatan pendapatan rumah tangga. Oleh karena itu pemahaman pola pengeluaran (pangan dan non pangan) dapat dijadikan salah satu indikator ketahanan rumah tangga. Secara rinci pola pengeluaran rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan di NTT dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Pola Pengeluaran Pangan dan Non Pangan RT Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010 Derajat Ketahanan Pangan Wilayah Status Tahan Rentan Kurang Rawan Pangan Pangan Pangan Pangan Pangan 51,8 72,8 51,4 70,6 Desa Non Pangan 48,2 27,2 48,6 29,4 Pangan 47,6 68,1 53,4 68,3 Kota Non Pangan 52,4 31,9 46,6 34,8 Pangan 52,3 71,3 51,5 66,0 Total Non Pangan 47,7 28,7 48,5 34,0 Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah)
Sesuai dengan kategori pengelompokkan derajat ketahanan pangan maka kelompok rawan pangan dan rentan pangan adalah kelompok rumah tangga secara ekonomi (diproksi dari pola pengeluaran pangan) termasuk kurang sejahtera dalam hal ini pengeluaran panganya masih diatas 60 persen. Di desa, rata-rata pangsa pengeluaran pangan relatif lebih tinggi dibanding di kota untuk semua kelompok rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan. dengan demikina dapat dikatakan bahwa di kota kondisinya relatif lebih baik dibandingkan di desa. 4.5
Dinamika Kerawanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi NTT Dinamika ketahanan pangan di Provinsi NTT dapat dilihat dari
perbandingan kerawanan pangan antara tahun 2009 dan 2010. Berdasarkan klasifikasi silang Jonsson and Toole dalam Maxwel et. al., (2009) maka telah terjadi perubahan status kerawanan pangan pada beberapa kabupaten di Provinsi NTT. Adapun kabupaten/ kota yang masuk ke dalam 12 peringkat tertinggi tingkat kerawanan panganya dapat dilihat pada Tabel 16. Beberapa kabupaten yang awalnya di tahun 2009 masuk kedalam 12 kabupaten dengan kondisi rawan
70
pangan, tetapi pada tahun 2010 kabupaten tersebut telah keluar dari kondisi rawan pangan diantaranya Sumba Barat, Kabupaten Kupang dan Manggarai Barat. Sedangkan ada tiga kabupaten yang awalnya di tahun 2009 tidak termasuk kedalam kondisi rawan pangan, tapi pada tahun 2010 masuk kedalam peringkat 12 besar kabupaten rawan pangan di Provinsi NTT yaitu Sumba Tengah, Flores Timur dan Sumba Timur. Tabel 16. Jumlah 12 Kabupaten Rawan Pangan dengan persentase Tertinggi di Provinsi NTT Tahun 2009 dan 2010 Kabupaten Rawan Pangan No Peringkat 2009 2010 1 TTS TTS 1 2 Lembata Sikka 2 3 Sumba Barat Alor 3 4 Alor Sumba Barat Daya 4 5 Kab. Kupang Belu 5 6 Rote Ndao TTU 6 7 TTU Manggarai 7 8 Sikka Sumba Tengah 8 9 Manggarai Lembata 9 10 Manggarai barat Flores Timur 10 11 Sumba Barat Daya Sumba Timur 11 12 Belu Rote Ndao 12 Sumber : BPS, Susenas 2009 dan 2010 (diolah)
Untuk melihat dinamika perubahan kondisi tiap rumah tangga di NTT dari besarnya persentase rawan pangan, maka rumah tangga rawan pangan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu persentase rumah tangga rawan pangan (1) rendah (<30 persen), (2) sedang (15-30 persen), (3) tinggi (>30 persen) di masing-masing kabupaten/ kota. Beberapa rumah tangga rawan pangan di kabupaten Provinsi NTT yang kondisinya membaik dibanding tahun 2009 adalah kabupaten Sumba Barat, Lembata, dan Manggarai Barat. Sedangkan beberapa Kabupaten yang kondisinya memburuk dibanding tahun 2009 adalah kabupaten Sumba Timur, Flores Timur, Belu, Sikka dan Sumba Tengah. Kondisi tetap juga dialami beberapa kabupaten lainnya di Provinsi NTT, dimana dibanding tahun 2009 kondisinya masih sama yaitu masih masuk kedalam wilayah rawan pangan. Berikut gambar 15 menunjukkan bahwa terdapat daerah yang secara konsisten semakin memburuk yang ditunjukkan dengan perubahan gradasi dari warna terang ke arah yang lebih gelap.
71
01 Sumba Barat 02 Sumba Timur 03 Kab. Kupang 04 TTS 05 TTU 06 Belu 07 Alor
08 Lembata 09 Flores Timur 10 Sikka 11 Ende 12 Ngada 13 Manggarai 14 Rote Ndao
15 Manggarai Barat 16 Sumba Tengah 17 Sumba Barat Daya 18 Nagakeo 19 Kota Kupang
Gambar 15. Peta Persentase Rumah Tangga Rawan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 dan 2010
72
4.6
Hubungan Kemiskinan dan Kerawanan Pangan Kemiskinan
merupakan
masalah
yang
multidimensi
dalam
pembangunan. Kemiskinan ditandai dengan keterbelakangan dan pengangguran yang
selanjutnya
meningkat
menjadi
pemicu
ketimpangan
pendapatan,
kesenjangan antar golongan dan kerawanan pangan. Berbagai masalah pangan dan gizi disebabkan oleh kemiskinan yang dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik. Timbal balik artinya kemiskinan akan menyebabkan kekurangan gizi dan masyarakat yang kekurangan gizi akan berakibat pada kemiskinan. Provinsi NTT merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang menunjukkan tingkat kemiskinan yang masih tergolong tinggi. Provinsi NTT berada di peringkat ke tiga sebagai provinsi termiskin dengan persentasi sebesar 23,03 persen dari total populasi (BPS, 2010). Tabel 17 menunjukkan perbandingan penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan dan persentase rumah tangga yang rawan pangan di provinsi NTT tahun 2010. Besarnya jumlah penduduk miskin di pedesaan berbanding lurus dengan besarnya rumah tangga rawan pangan di pedesaan pada tahun 2010. Hal ini mengindikasikan bahwa baik penduduk miskin maupun rumah tangga rawan pangan sebagian besar memang berada di pedesaan dibandingkan dengan perkotaan.
Tabel 17. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin dan Rumah tangga Rawan Pangan di Provinsi NTT. Tahun 2010 No Uraian Penduduk Miskin RT Rawan Pangan 1 2
Desa Kota Total
25,1 13,57 23,03
24,15 10,37 22,01
Sumber BPS, (diolah)
Tingkat dan konsumsi makanan penduduk miskin tidak memenuhi kecukupan gizi sesuai standar yang ada. Dengan asupan makanan yang tidak tercukupi bagi anggota rumah tangga, maka penduduk miskin lebih rentan terhadap kerawanan pangan. Keluarga miskin dicerminkan oleh profesi atau mata pencaharian yang biasanya buruh/ pekerja kasar yang berpendidikan rendah sehingga tingkat pengetahuan pangan dan pola asuh keluarga juga kurang
73
berkualitas. Keluarga miskin juga ditandai dengan tingkat kehamilan yang tinggi karena kurangnya pengetahuan tentang keluarga berencana dan dengan adanya anggapan bahwa anak dapat menjadi tenaga kerja yang memberi tambahan pendapatan keluarga. Padahal sebaliknya banyaknya anak justru mengakibatkan besarnya beban anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga miskin. Adanya faktor kemiskinan tentu akan berdampak signifikan pada ketahanan pangan pada rumah tangga yang memiliki “multiflier effect” terhadap status gizi dan kerawanan pangan. Peningkatan ketahanan pangan pada penduduk miskin dapat diatasi dengan peningkatan ketersediaan pangan melalui peningkatan kapasitas produksi dan diversifikasi pangan. Kelembagaan juga perlu ditingkatkan dalam menjamin stok pangan guna pemenuhan kebutuhan. Salah satu program pemerintah yang saat ini sudah dilakukan dalam kaitanya mengatasi masalah kerawanan pangan pada penduduk miskin yaitu adanya program raskin. Tujuan utama program raskin yaitu (1) mengurangi beban pengeluaran RTS melalui pemenuhan sebagian kebutuhan bahan pangan dalam bentuk beras (2) Raskin adalah program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial di bidang pangan. Program raskin diharapkan dapat memberikan manfaat
nyata dalam peningkatan ketahanan pangan dan
kesejahteraan sosial rumah tangga, selain itu program raskin merupakan program trasfer energi yang kaya akan kalori sehingga dapat memperbaiki kalori keluarga miskin. Menurut Triana (2012), bahwa NTT merupakan provinsi nomor 3 terbesar penerima raskin di tahun 2010 setelah NTB dan Sulawesi Tenggara. Kebutuhan akan beras di Provinsi NTT dinilai sangat tinggi karena pada tahun 2010 saja penduduk di NTT masih kekurangan beras untuk konsumsi NTT yakni sebanyak 220.639 ribu ton (BPS, 2011) dan kekurangan ini hanya bisa dipenuhi oleh adanya pendistribusian beras untuk masyarakat miskin secara langsung atau yang sering disebut program Raskin. Menurut Fanny (2012), program raskin akan berpengaruh pada perilaku konsumsi rumah tangga karena beras murah akan mengurangi pengeluaran rumah tangga. Dengan berkurangnya pengeluaran pangan atau porsi dari pendapatan yang digunakan untuk kebutuhan pangan, maka rumah tangga diharapkan memiliki anggaran untuk investasi dan menabung.
74
V. FAKTOR PENENTU KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Penelitian ini menggunakan model regressi logistik ordinal untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Alasan utama penggunaan model ini karena adanya peubah respon yang bersifat kualitatif. Dimana peubah penjelas yang digunakan bersifat kualitatif dan kuantitatif. Regresi logistik ordinal dalam penelitian ini melibatkan peubah respon dengan empat kategori dan tujuh peubah penjelas. Hubungan antara peubah respon dan peubah penjelas bersifat serentak atau keseluruhan yaitu adanya hubungan antara seluruh variabel independen dalam model dengan variabel dependen. Struktur data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data crosssection meliputi 19 kabupaten/ kota di Provinsi NTT. Jumlah observasi dalam penelitian ini ada sekitar 1740 sampel rumah tangga. Software yang digunakan oleh penulis untuk mengolah data tersebut adalah STATA 11 dan Microsoft Excel. Variabel dependen pada model penelitian ini adalah tingkat ketahanan pangan di Provinsi NTT yang dibagi dalam kategori tahan, kurang, rentan dan rawan pangan. Variabel independenya adalah variabel pendapatan, umur_KRT, Jumlah ART, lapangan pekerjaaan (pertanian atau bukan pertanian), dummy_pendidikan 1 (SD atau bukan SD) dummy_pendidikan 2 (menengah atau bukan menengah), dummy_pendidikan 3 (perguruan tinggi atau bukan perguruan tinggi), penerima raskin (penerima atau tidak menerima) dan daerah tempat tinggal (desa atau kota).
5.1
Hasil Uji Model Pada model regresi logistik, satu-satunya asumsi yang harus dipenuhi
adalah distribusi normal pada error dari hasil estimasi. Syarat tersebut tidak memerlukan pengujian khusus dan hampir selalu terpenuhi pada semua jenis data. Meskipun begitu, tetap perlu dilakukan pengujian multikolinearitas untuk mengetahui apakah ada korelasi yang kuat antara variabel independen pada model. Pada pengujian multikolinearitas, indikasi adanya korelasi yang kuat antara variabel independen ditunjukkan dengan angka korelasi yang melebihi 0,8
76
atau 0,75. Output dari pengujian multikolinearitas pada model diperlihatkan pada Lampiran 2. Hasil output menunjukkan bahwa tidak ada angka korelasi antar variabel independen yang melebihi 0.8 sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat masalah multikolinearitas pada variabel-variabel independen dalam model. Tes Signifikansi dilakukan dengan uji serentak atau keseluruhan. LR (Likelihood Ratio) merupakan pengganti F-Statistik yang berfungsi untuk menguji apakah semua slope koefisien regresi variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen. Pada output diatas dapat dilihat bahwa dengan tingkat keyakinan sebesar 90 persen, probability LR statistik adalah 0,000 yang artinya tolak Ho. Dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada salah satu peubah bebas yang berpengaruh terhadap peubah responya (secara keseluruhan model dapat menjelaskan). Uji Goodness of fit dilakukan untuk melihat seberapa baik suatu model dapat menjelaskan hubungan antara variabel dependen dengan variabel independenya atau seberapa besar variasi dari variabel dependen dapat dijelaskan oleh model. Pada regresi logistik ordinal, parameter yang dilihat pada uji Goodness of Fit adalah Pseudo R2 yaitu R-Square tiruan yang digunakan karena tidak adanya padanan yang dapat mengganti R-Square OLS pada model logit. Pada hasil output terlihat bahwa hasil pseudo R2 adalah sebesar 0,3274 (Lampiran 5). Hal ini mengindikasikan bahwa variabel independen hanya mampu menjelaskan variabel dependen sebesar 33 persen. Atau hanya 33 persen dari variasi variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh model. Meskipun demikian, nilai pseudo-R2 yang kecil tidak membuat suatu model dianggap tidak bagus. Hal ini dikarenakan, nilai pseudo-R2 yang bernilai 0 sampai 1 bukan merupakan interpretasi yang alami melainkan tiruan untuk mengganti R-Square OLS pada model logit (Greene, 1990). Hal tersebut didukung oleh Gujarati (2003) yang berpendapat bahwa dalam model regresi logistik, hal utama yang harus diperhatikan adalah indikator signifikansi model, signifikansi variabel-variabel independen, dan arah koefisien dari variabel tersebut. Sedangkan besaran pseudoR2 tidak diutamakan. Selain itu, penggunaan data Cross section pada penelitian ini membawa implikasi nilai R-square yang rendah belum tentu menandakan bahwa model yang digunakan tidak baik. Apabila hasil pengujian Z-Stat
77
menunjukkan hasil yang signifikan serta sesuai dengan arah dari teori ekonomi, model tersebut masih dapat digolongkan sebagai model yang layak secara statistik (Gujarati, 2003).
5.2
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur Koefisien yang terdapat pada hasil output menunjukkan arah pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen. Koefisien negatif menunjukkan bahwa variabel independen berhubungan negatif dengan variabel dependen dan sebaliknya. Tanda slope positif pada koefisien menunjukkan bahwa setiap peningkatan variabel independen akan
meningkatkan ketahanan pangan di
Provinsi NTT. Sebaliknya slope negatif menunjukkan bahwa peningkatan variabel independen akan mengurangi ketahanan pangan rumah tangga di provinsi NTT. Tabel 18. Hasil Estimasi Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi NTT. Variabel Const (1) Const (2) Const (3) Pendapatan (X1) Umur KRT (X2) Jumlah ART (X3) Pekerjaan (X4) Pertanian Pendidikan (X5) SD Menengah Tinggi Raskin (X6) Menerima Daerah (X7) Perkotaan
Koefisien
SE
P> (z)
-1,696 1,328 1,901 1,21E 0,000 -0,606
0,277 0,274 0,276 9,87E 0,005 0,051
0,000 0,968 0,000
0,326
0,108
0,003
0,343 0,314 0,831
0,096 0,190 0,215
0,000 0,099 0,000
-0,190
0,103
0,065
0,179
0,208
0,390
Sumber : pengolahan data
Model regresi logistik ordinal yang dibentuk dari tujuh peubah penjelas menunjukkan ada dua peubah yang tidak signifikan yaitu umur kepala rumah
78
tangga (dengan p-value 0,968) dan variabel daerah tempat tinggal dengan (p-value sebesar 0,390). Daerah tempat tinggal diduga tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan pangan di NTT karena kelompok rumah tangga kurang pangan ternyata masih didominasi oleh penduduk perkotaan, dimana seharusnya proporsi rumah tangga kurang pangan tertinggi itu ada di wilayah pedesaan. Tujuh peubah lainnya yang signifikan dengan tingkat α tertentu adalah pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, lapangan pekerjaan (pertanian dan non pertanian), pendidikan (SD, menengah dan tinggi) dan penerima raskin. Interpretasi dari setiap koefisien dapat menggunakan nilai Odds ratio. Nilai Odds ratio didapatkan dari transformasi logit yang terdapat pada Tabel 20. Pendapatan perkapita dalam data Susenas merupakan proxy dari pengeluaran perkapita perbulan. Pendapatan berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini disebabkan dengan
adanya
peningkatan
pendapatan akan meningkatkan daya beli rumah tangga. Pada rumah tangga tahan pangan, kenaikan pendapatan perkapita perbulan 100 ribu rupiah akan meningkatkan peluang rumah tangga tahan pangan sebesar 1,000 kali. Kesimpulanya bahwa kenaikan pendapatan rumah tangga merupakan faktor yang penting untuk meningkatkan status ketahanan pangan. Tabel 19. Hasil Estimasi Odds Ratio Logistik Ordinal Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Variabel Pendapatan (X1) Umur KRT (X2) Jumlah ART (X3) Pekerjaan (X4) Pertanian Pendidikan (X5) SD Menengah Tinggi Raskin (X6) Menerima Daerah (X7) Perkotaan Sumber : pengolahan data
Koefisien
Z
Odds Ratio
1,21E 0,000 -0,606
12,27 0,04 -11,73
1,000 0,999 0,436
0,326
3,01
1,408
0,343 0,314 0,831
3,57 1,65 3,85
1,746 1,047 1,839
-0,190
-1,84
0,949
0,179
0,86
1,735
79
Jumlah anggota rumah tangga berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Koefisien jumlah anggota rumah tangga yang bertanda negatif, yang berarti bahwa semakin berkurangnya jumlah anggota rumah tangga, maka akan meningkatkan peluang ketahanan pangan, hal ini sesuai dengan hipotesis di awal penelitian. Pada rumah tangga tahan pangan, berkurangnya jumlah anggota rumah tangga sebanyak satu orang akan meningkatkan peluang ketahanan pangan rumah tangga sebesar 1,84 kali. Hal ini diduga karena dengan bertambahnya jumlah anggota rumah tangga, maka semakin besar biaya untuk pangan yang harus dikeluarkan rumah tangga. Kondisi ini sesuai dengan studi Demeke dan Zeller (2010) yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah anggota rumah tangga akan menurunkan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Lapangan pekerjaan kepala rumah tangga dibagi atas rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian dan bukan pertanian. Rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian memiliki peluang untuk meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangganya sebesar 1.408 kali dibandingkan rumah tangga non pertanian. Rumah tangga dengan KRT yang bekerja di sektor pertanian umumnya lebih tahan pangan karena mereka dapat secara langsung memenuhi kebutuhan panganya. Walaupun rumah tangga di sektor pertanian memiliki peluang untuk meningkatkan status ketahanan panganya, hal ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dan dorongan dari pemerintah baik pusat maupun daerah karena keterbatasan sarana fisik dan non fisik rumah tangga di Provinsi NTT. Kebijakan subsidi terarah seperti program raskin adalah implementasi kebijakan pangan terarah sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu program percepatan pembangunan daerah di wilayah NTT juga perlu segera dilaksanakan agar pembangunan sarana pendukung seperti infrastruktur jalan, jembatan dapat membantu akses ketersediaaan pangan di wilayah NTT. Pendidikan kepala rumah tangga mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga secara signifikan. Pendidikan KRT dibedakan menjadi empat kategori, yaitu kepala RT tidak pernah bersekolah/ tidak tamat SD, kepala RT berpendidikan SD, kepala RT berpendidikan menegah dan kepala RT
80
berpendidikan tinggi. Oleh karena itu, faktor ini terdiri atas tiga variabel bebas. Nilai odds ratio untuk pendidikan tamat SD adalah 1,746 artinya kepala RT dengan lulusan SD memiliki peluang untuk tahan pangan sebesar 1,746 kali dibanding kepala RT yang tidak tamat SD. Sedangkan variabel pendidikan menengah memiliki nilai odds ratio sebesar 1,047 yang berarti kepala RT dengan pendidikan lulusan menengah memiliki kecenderungan untuk tahan pangan sebesar 1,047 kali dibanding kepala RT yang tidak tamat SD. Nilai Odds ratio menunjukkan bahwa pada rumah tangga yang kepala RT berpendidikan tinggi akan memiliki peluang meningkatkan ketahanan pangan yang lebih baik sebesar 0,44 kali dibandingkan yang kepala RT yang tidak tamat SD. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Demeke dan Zeller (2010) yang menunjukkan bahwa pendidikan kepala rumah tangga menentukan ketahanan pangan rumah tangga. Semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga maka ketahanan pangan rumah tangganya akan semakin membaik. Dummy penerima RASKIN ternyata berpengaruh signifikan terhadap peningkatan ketahanan pangan rumah tangga. Koefisien penerima raskin bertanda negatif, yang berarti bahwa semakin meningkatnya penerimaan raskin oleh rumah tangga, maka peluang ketahanan pangan rumah tangga tersebut akan semakin berkurang. Nilai odds ratio sebesar 0,949 menunjukkan bahwa meningkanya rumah tangga
yang mendapatkan raskin maka akan mengurangi ketahanan
pangan rumah tangga sebesar 0,949 kali dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan raskin. Hal ini diduga karena peningkatan penerimaan jumlah raskin pada rumah tangga akan menyebabkan ketergantungan pangan pokok oleh rumah tangga, sehingga akan mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga tersebut. Hal ini juga didukung oleh hipotesis di awal penelitian yang menyatakan bahwa penerimaan raskin memiliki pengaruh negatif terhadap ketahanan pangan rumah tangga.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan,
maka sesuai dengan tujuan penelitian dapat disimpulkan bahwa pola konsumsi rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga masyarakat NTT pada tahun 2010 masih didominasi oleh kelompok padi-padian yaitu beras, sedangkan untuk konsumsi bahan pangan sumber kalori lainnya seperti umbi-umbian masih sangat kecil. Beras juga masih menjadi sumber utama energi dan protein rumah tangga tahan dan rentan pangan di wilayah NTT, hal ini dilihat dari besarnya jumlah konsumsi kalori dan protein masyarakat NTT secara wilayah yang sudah memenuhi standar walaupun dari sisi rumah tangga konsumsi kalorinya masih di bawah standar yang ditetapkan WNPG VIII tahun 2004. Status Ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 masih didominasi oleh rumah tangga rentan pangan dan rawan pangan dimana proporsi jumlah rumah tangga rawan pangan di pedesaan relatif lebih tinggi dari pada penduduk perkotaan. Sedangkan untuk rumah tangga yang tahan pangan lebih banyak didominasi di wilayah perkotaan. Kelompok rumah tangga tahan pangan dan rentan pangan merupakan kelompok rumah tangga dari sisi gizi cukup dimana mengkonsumsi energi dan protein melebihi angka kecukupan. Ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan, lapangan usaha kepala rumah tangga dan dummy penerima raskin.
6.2
Saran Berdasarkan hasil analisis serta kesimpulan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut : 1.
Pengetahuan tentang konsumsi pangan berimbang di Provinsi NTT perlu dilakukan agar seluruh rumah tangga di NTT mengetahui bahwa beras
82
bukan satu-satunya sumber kalori. Sumber kalori masih dapat diperoleh dari jenis pangan padi-padian lainnya seperti ubi kayu, jagung dan umbi-umbian. 2.
Pemerintah daerah masih perlu menggalakkan kembali program keluarga berencana untuk mengurangi pertambahan jumlah penduduk yang semakin besar karena peningkatan jumlah anggota rumah tangga diindikasikan mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi NTT.
3.
Kelompok rumah tangga rentan pangan dengan proporsi yang sangat tinggi di Provinsi NTT sangat perlu mendapat perhatian oleh pemerintah karena sewaktu-waktu kelompok rumah tangga ini dapat beralih menjadi kelompok rumah tangga rawan pangan, dimana kelompok rumah tangga rawan pangan jumlahnya akan semakin meningkat yang dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan dan pembangunan di Provinsi NTT.
6. 3
Saran Penelitian Lanjutan Beberapa saran penelitian lanjutan yang dapat dilakukan yaitu :
1.
Variabel-variabel bebas dalam penelitian ini masih terbatas pada variabel yang merupakan proxy dari ke-3 pilar utama ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan dan stability pangan, perlu dimasukkan beberapa variabel lainya yang berhubungan dengan kondisi geografis dari suatu wilayah misalnya curah hujan agar dapat mendukung hasil penelitian penyebab kerawanan pangan yang tidak hanya dilihat dari aspek sosial ekonomi saja.
2.
Penelitian tentang ketahanan pangan perlu dilakukan untuk beberapa daerah lainnya di Indonesia dengan kondisi wilayah yang berbeda agar diperoleh gambaran yang lebih nyata tentang kondisi ketahanan pangan antar wilayah di Indonesia yang memang berbeda antar wilayah dan antar pulau.
3.
Penelitian lebih jauh mengenai komposisi pola pangan harapan di Provinsi NTT perlu dilakukan guna mengetahui bagaimana komposisi pangan yang seimbang yang tidak hanya dilihat dari kecukupan kalori dan protein saja.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, B. 2005. Ekonomi Kelembagaan Pangan. Jakarta : Pustaka LP3ES Ariningsih, E. 2002. Perilaku Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati Sebelum dan Pada Masa Krisis Ekonomi di Jawa. Tesis. Magister Sains. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ariningsih, E. 2008. Konsumsi dan Kecukupan Energi dan Protein Rumah Tangga Perdesaan di indonesia : Analisis data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005. : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian. Ariningsih, E. dan H.P.S. Rachman. 2008. Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rawan Pangan, Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6(3): 239-255. Agresti, A. 1990. Categorical Data Analysis. New Jersey : Jhon Wiley and Sons. Ariani, M. 2004. Diversifikasi Pangan di Indonesia : Antara Harapan dan Kenyataan. Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Nasional. Badan Pusat Statistik. 1999. Neraca Bahan Makanan. BPS. Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS). 2005. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi. BPS. Jakarta. _________________________. 2009. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2009. Buku 2. Jakarta. _________________________. 2010. (SUSENAS). BPS. Jakarta
Survey
Sosial
Ekonomi
Nasional
_________________________. 2010. Nusa Tenggara Timur dalam Angka 2009. BPS. NTT. _________________________. 2010. Produk Domestik Regional Bruto 2009. BPS. Jakarta. _________________________. 2010. Statistik Tanaman Pangan. BPS. Jakarta Badan Ketahanan Pangan. 2005. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta. Suryana, A. 2012. Reflexi Pangan Rakyat : Soal Hidup atau Mati 60 Tahun kemudian. Slide. Disampaikan dalam Studium Generale dan Seminar Mahasiswa. Bogor, 26 April 2012.
84
Badan Ketahanan Pangan. 2011. Memahami Sistem Ketahanan Pangan. Jakarta ; Kementrian Pertanian. Boediono. 1989. Ekonomi Mikro, BPFE. Yogyakarta. Baliwati, Y.F. dan K. Rosita. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya. Jakarta. Bogale, A. and A. Shimelis. 2009. Houshold Level Determinants of food Insecurity in Rural Areas of Dire Dawa. African Journal of Food Agriculture Nutrition and Development 9 : 1914-1926. Braun, J.V. 1995. Employment for Poverty Reduction and Food Security. Washington DC : International Food Policy Research Institute. Briawan, D. 2004. Pengembangan Diversifikasi Pangan Pokok dalam Rangka Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Dwidjono, H. dan Darwanto. 2005. Ketahanan Pangan Berbasis Produksi dan Kesejahteraan Petani. Ilmu Pertanian Vol. 12 No 2, 152-164. Fakultas Pertanian UGM dan MMA-UGM. Yogyakarta. Demeke, A.B. and M. Zeller. 2010. Impact of Rainfall Shock on Smallholders Food Security and Vulnerability in Rural Ethiopia : Learning from Household Panel Data. http :// Econpapers.respec.org/paper/agsuhohdp. 2012. Dewan Ketahanan Pangan. 2009. Panduan Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan BKP Deptan. Jakarta. _______________________. 2009. Peta Analisis Akses Pangan Pedesaan : Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan BKP Deptan. Jakarta. _______________________. 2009. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia (FSVA). Jakarta. FAO, 1996. Food Security “ Some Macroeconomic Dimensions The State of Food and Agriculture”. Rome. FAO. FAO, 2010. Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping System, FAO-FIVIMS.http://www.fivims.org. Greene and H. William. 1990. Econometric Analysis. New York : McMilan Publishing Company. Gujarati. 2003. Basic Econometrics. 4th edition. New york. McGraw Hill.
85
Henderson, J.M and R.E. Quandt, 1980. Microeconomic Theory A mathematical Approach. Mc Graw-Hill International Book Company. London. Hardono, S.G. dan I.K. Kariyasa. 2006. Ketahanan Pangan dan Pembangunan Masyarakat dalam Kerangka Desentralisasi : Kasus Jawa Timur. Jakarta : Kerjasama Biro Penelitian Biro Perencanaan, Departemen Pertanian dan UNESCAP-CAPSA. Hosmer, D.W. and S. Lemeshow. 1989. Applied Logistic Regression : Jhon Wiley and Sons, Inc. Kanada. Irawan, B. 2002. Elastisitas Konsumsi Kalori dan Protein di Tingkat Rumah Tangga. Jurnal Agro Ekonomi 20 (1) : 25-47. Jayaputra. 2001. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani di Daerah Kawasan Pertambangan PT. Newmont NTT. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor Kementerian Pertanian. 2010. Kinerja Pembangunan Sektor Pertanian 2009. Jakarta. Koutsoyiannis, A. 1976. Theory of Economtrics: An Introductory Exposition of Econometric Methods. McMillan Press Ltd., London. Lukman, A. S. 2011. Pentingnya Lumbung Pangan Asean. Investor Daily. 9 Mei 2011. Maleha dan A. Sutanto. 2006. Kajian Konsep Ketahanan Pangan Jurnal Protein Volume 13 No 2 Tahun 2006 : 194-202. Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Palangkaraya Kalimantan Tengah dan Universitas Muhammadiya Malang. Maxwell, S. and T.R. Frankenberger. 1992. Household Food Security : Concepts, Indicators, Measurements A technical Review : UNICEF and IFAD. Newyork. Maxwell, D., C. Levin, M.A.Kiemeseu, M. Rull, S. Morris and C. Aliadeke. 2000. Urban Livelihoods and Food and Nutrition Security, in Greater Accra Ghana. Research Report No 112. Washington DC : IFPRI. Moeloek, F.A. 1999. Gizi Sebagai Basis Pengembangan Sumber Daya Manusia Menuju Indonesia Sehat 2000. Dalam Pengembangan Gizi dan Pangan dari Perspektif Kemandirian Lokal. Persatuan Peminat Pangan dan Gizi dan Center for Regional Resources Development and Community Empowerment. Jakarta.
86
Nurlatifah. 2011. Determinan Ketahanan Pangan Regional dan Rumahtangga di Provinsi Jawa Timur. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nicholson, W. 1995. Teori Mikroekonomi : Prinsip Dasar dan Perluasan. Binarupa Aksara. Jakarta. Pakpahan, A., H.P. Saliem, S.H. Suhartini dan N. Syafa’at. 1993. Penelitian tentang Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah. Monograph series No 14. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Purwantini, M. Ariani, Y. Marisa. 2005. Analisis Kerawanan Pangan Wilayah dalam Perspektif Desentralisasi Pembangunan (Kasus Provinsi Nusa Tenggara Timur). Laporan hasil Penelitian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Purwantini, T.B., H.P.S. Rachman, Y. Marisa, 2005. Analisis Ketahanan Pangan Regional dan Tingkat RT (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara). Laporan hasil penelitian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Rachman, H.P.S. 2001. Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia (Disertasi). Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Rindayati, W. 2009. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Simatupang, P. 1999. Toward Sustainable Food Security: The need for new paradigm. Makalah disampaikan dalam seminar on Agricultural Sector During The Turbelence of Economic Crisis. Lesson and Future Direction. Bogor: CASER, AARD. Simatupang, P. and Fleming. 2000. Policy Priorities to Improve Nutritional Status and Food Security in Southest Pacific Island Countries. Di dalam : Food Security in Southest Pacific Island Countries Proceeding of a workshop held ini Sydney Australia. 12-13 Desember 2010. Bogor : CGPRT Centre. Hlm : 123-144. Saliem, H.P., EM. Lokollo, M. Ariani, TB. Purwantini, Y. Marisa. 2001. Analisis Ketahanan Pangan tingkat Rumahtangga dan Regional. Laporan hasil penelitian : Pusat Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Saliem, H.P. dan T.B. Purwantini, 2005. Analisis Diversifikasi Usaha Rumah Tangga dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Penanggulangan
87
Kemiskinan. Laporan hasil penelitian, Bogor : Pusat Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Soeharjo, L.J., B.J. Harper, Deaton dan J.A. Driskel. 1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Penerbit universitas Indonesia. Jakarta. Sudiman, H. 2008. Tantangan Litbang Lintas Disiplin dalam Penanggulangan Masalah Kemiskinan, Kelaparan dan Gizi Kurang di Indonesia. 15 Januari 2008. BPPK Deptan. Halaman 1-59. Siswono. 2011. Kebijakan Sektor Pertanian di Era Globalisasi. Slide. Disampaikan dalam Diskusi Reguler Bulanan Majelis Pakar Pimpinan Kolektif Majelis Nasional KAHMI. Jakarta, 25 Januari 2011. Todaro, M.P. 2006. Pembangunan Ekonomi Jilid 1 dan 2 edisi ke-9 : Erlangga. Jakarta. UNDP. 2008. Laporan Pembangunan Manusia. Utari, I.A.P. 1996. Analisis Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani RT di Provinsi Bali. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. LIPI. Jakarta. World Bank. 2004. Mewujudkan Pelayanan Umum Basis Masyarakat Miskin. Jakarta : The World Bank.
89
Lampiran 1. Data PDRB Perkapita Menurut Kabupaten Atas Dasar Harga Konstan (2000) Tahun 2009-2010 (ribuan rupiah)
No
Kabupaten
Tahun
1
Sumba Barat
2009 284.833.614
2010 300.689.305
2
Sumba Timur
682.566.495
715.503.256
3
Kupang
969.884.266
1.009.559.914
4
TTS
915.563.193
954.254.063
5
TTU
471.674.665
498.973.627
6
Belu
974.399.443
1.022.047.575
7
Alor
409.230.966
429.126.052
8
Lembata
145.601.650
152.442.889
9
Flores Timur
590.406.007
624.823.820
10
Sikka
821.368.532
858.010.697
11
Ende
757.636.744
797.813.736
12
Ngada
382.952.040
403.877.478
13
Manggarai
562.824.316
595.465.072
14
Rote Ndao
330.535.075
347.514.765
15
Manggarai Barat
394.786.689
408.240.521
16
Sumba Barat Daya
369.056.691
385.171.150
17
Sumba Tengah
97.560.600
101.201.013
18
Nagakeo
293.953.663
307.230.579
19
Manggarai Timur
369.281.727
385.779.493
20
Sabu Raijua
136.316.617
146.970.436
21
Kota Kupang
2.122.332.805
2.296.923.513
Total NTT
11.920.601.873
12.531.629.664
90
Lampiran 2. Persentase Konsumsi Padi-padian di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010
No
Komoditi Desa
1 2 3 4 5 6 7 8
Beras Beras ketan Jagung basah Jagung pipilan Tepung beras Tepung jagung Tepung terigu Lainnya TOTAL
Sumber : BPS, diolah
94,00 0,03 0,42 5,17 0,25 0,03 0,35 0,03 100,00
Tahun 2010 Kota 92,86 0,03 0,58 3,91 0,95 0,03 1,58 0,07 100,00
Total 92,99 0,03 0,49 4,75 0,65 0,03 1,02 0,04 100,00
91
Lampiran 3. Persentase Kecukupan Kalori di Provinsi NTT berdasarkan Sampel Rumah Tangga Tahun 2010
No
Kabupaten
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Total
Sumba Barat Sumba Timur Kab. Kupang TTS TTU Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagakeo Kota Kupang
Sumber : BPS, diolah
Jumlah Sampel RT
78 79 155 184 95 137 79 45 93 112 108 60 188 43 78 32 31 32 111 1740
Jumlah RT kalori > 2000 kkal (%)
55 53 41 41 45 45 23 53 56 29 54 63 44 53 72 56 48 56 50 47
Jumlah RT Kalori < 2000 kkal (%)
45 47 59 59 55 55 77 47 44 71 46 37 56 47 28 44 52 44 50 53
92
Lampiran 4. Status Ketahanan Pangan Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) No
Kabupaten
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Sumba Barat Sumba Timur Kab. Kupang TTS TTU Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagakeo Kota Kupang Total NTT
Tahan Pangan 8,97 22,78 12,26 10,33 17,89 14,6 8,86 28,89 13,98 17,86 32,41 33,33 14,36 30,23 38,46 6,25 6,45 28,13 52,25 20,06
Rentan Pangan 69,23 54,43 53,55 48,37 50,53 48,18 35,44 48,89 58,06 33,93 46,3 48,33 61,17 46,51 52,56 68,75 58,06 43,75 18,02 49,08
Kurang Pangan 7,69 6,33 14,19 4,89 7,37 10,95 21,52 2,22 8,6 13,39 8,33 5 1,6 6,98 3,85 3,13 6,45 15,63 18,02 8,85
Rawan Pangan 14,1 16,46 20 36,41 24,21 26,28 34,18 20 19,35 34,82 12,96 13,33 22,87 16,28 5,13 21,88 29,03 12,5 11,71 22,01
Status Ketahanan Pangan Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi NTT Tahun 2009 (persen) No Kabupaten Tahan Rentan Kurang Rawan Pangan Pangan Pangan Pangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Sumba Barat Sumba Timur Kab. Kupang TTS TTU Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagakeo Kota Kupang Total NTT
9,59 20,78 6,12 6,02 25,00 22,54 24,29 10,00 14,29 29,13 37,27 32,79 18,48 42,86 18,67 3,70 21,88 46,67 49,11 21,55
47,95 57,14 61,22 40,36 41,30 54,23 35,71 40,00 79,12 40,78 37,27 52,46 58,15 28,57 65,33 77,78 59,38 40,00 18,75 48,02
6,85 9,09 7,48 8,43 10,87 8,45 7,14 10,00 0,00 10,68 10,91 6,56 5,43 4,76 0,00 74,10 3,13 6,67 21,43 10,16
35,62 12,99 25,17 45,18 22,83 14,79 32,86 40,00 6,59 19,42 14,55 8,20 17,93 23,81 16,00 11,11 15,63 6,67 10,71 20,01
93
Lampiran 5. Output Pengujian Multikolinearitas .Corr Pendapatan umur_KRT JART dummy_pekerjaan dummy_pendidikan_1 dummy_pendidikan_2 dummy_pendidikan_3 dummy_raskin dummy_desa_kota (obs=1740) Pendap~n Pendapatan umur_KRT JART dummy_peke~n dummy_pend~1 dummy_pend~2 dummy_pend~3 dummy_raskin dummy_desa~a
umur_KRT
1 -0.046 0.339 -0.363 -0.151 0.218 0.395 -0.310 0.333
Sumber : Pengolahan Data
1 -0.104 0.002 -0.090 -0.193 -0.069 -0.005 -0.032
JART
1 -0.036 0.002 0.031 0.078 -0.087 0.051
dummy
dummy
dummy
dummy
dummy
dummy
peke~n
pend~1
pend~2
pend~3
raskin
desa~a
1 0.227 -0.226 -0.372 0.274 -0.460
1 -0.371 -0.256 0.151 -0.127
1 0.189 -0.154 0.228
1 -0.241 0.276
1 -0.2435
1
94
Lampiran 6. Hasil Output dari Regresi Logistik Ordinal ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi NTT . ologit kode_kategori_ketahanan_pangan Pendapatan umur_KRT JART dummy_pekerjaan dummy_pendidikan_1 dummy_pendidikan_2 dummy_pendidik> an_3 dummy_raskin_dummy_desa~a Iteration 0:00 Iteration 1:00 Iteration 2:00 Iteration 3:00 Iteration 4:00 Iteration 5:00
log log log log log log
likelihood likelihood likelihood likelihood likelihood likelihood
=-872.08472 =-616.99171 =-588.5174 =-586.59394 =-586.57697 =-586.57696
Ordered Logistic regression
Log likelihood
tahan_pangan
Number of obs =1740 Wald chi2(8) = 324.94 Prob > chi2 = 0.000 Pseudo R2 = 0.3274
= -586.57696
Coef.
Std. Err.
Odd Ratio
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
Pendapatan
1,21E-06
9,87E-08
1,00000 12,27
0,000
1,02E-06
1,40E-06
umur_KRT
0,000220
0,005567
0,99983
0,968 -0,0106907
0,0111306
JART
-0,606002
0,051651
0,43685 -11,73
0,000 -0,7072355 -0,5047686
dummy_peke~n
0,326980
0,108508
1,40832
3,01
0,003 0,1143075
0,5396523
dummy_pend~1
0,343690
0,096282
1,74679
3,57
0,000 0,1549806
0,5323990
dummy_pend~2
0,314558
0,190753
1,04770
1,65
0,099 -0,0593100
0,6884266
dummy_pend~3
0,831939
0,215826
1,83901
3,85
0,000 0,4089278
1,2549500
dummy_raskin
-0,190316
0,103250
0,94917
-1,84
0,065 -0,3926817
0,0120505
dummy_desa~a
0,179364
0,208814
1,73539
0,86
0,390 -0,2299033
0,5886307
/cut1
-1,696761
0,2775908
-2,2408290 -1,1526930
/cut2
1,328187
0,2749825
0,7892309
1,8671430
/cut3 1,901169 Sumber : Pengolahan Data
0,2765933
1,3590560
2,4432820
0,04
95
Lampiran 7. Pengelompokan Persentase Rumah Tangga Rawan Pangan di Provinsi NTT. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kabupaten Sumba Barat Sumba Timur Kab. Kupang TTS TTU Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagakeo Kota Kupang
2009 3 1 2 3 2 1 3 3 1 2 1 1 2 2 2 1 2 1 1
2010 1 2 2 3 2 2 3 2 2 3 1 1 2 2 1 2 2 1 1
Perbandingan 2009 dengan 2010 membaik memburuk tetap (berkurang) tetap (berkurang) tetap (meningkat) memburuk tetap membaik memburuk memburuk tetap (berkurang) tetap (meningkat) tetap (meningkat) tetap (berkurang) membaik memburuk tetap (meningkat) tetap (meningkat) tetap (meningkat)
Keterangan : 1 rumah tangga rawan pangan < 15 % 2. rumah tangga rawan pangan 15 - 30 % 3. rumah tangga rawan pangan > 30 % Sumber : BPS, diolah