V. FAKTOR PENENTU KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Penelitian ini menggunakan model regressi logistik ordinal untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Alasan utama penggunaan model ini karena adanya peubah respon yang bersifat kualitatif. Dimana peubah penjelas yang digunakan bersifat kualitatif dan kuantitatif. Regresi logistik ordinal dalam penelitian ini melibatkan peubah respon dengan empat kategori dan tujuh peubah penjelas. Hubungan antara peubah respon dan peubah penjelas bersifat serentak atau keseluruhan yaitu adanya hubungan antara seluruh variabel independen dalam model dengan variabel dependen. Struktur data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data crosssection meliputi 19 kabupaten/ kota di Provinsi NTT. Jumlah observasi dalam penelitian ini ada sekitar 1740 sampel rumah tangga. Software yang digunakan oleh penulis untuk mengolah data tersebut adalah STATA 11 dan Microsoft Excel. Variabel dependen pada model penelitian ini adalah tingkat ketahanan pangan di Provinsi NTT yang dibagi dalam kategori tahan, kurang, rentan dan rawan pangan. Variabel independenya adalah variabel pendapatan, umur_KRT, Jumlah ART, lapangan pekerjaaan (pertanian atau bukan pertanian), dummy_pendidikan 1 (SD atau bukan SD) dummy_pendidikan 2 (menengah atau bukan menengah), dummy_pendidikan 3 (perguruan tinggi atau bukan perguruan tinggi), penerima raskin (penerima atau tidak menerima) dan daerah tempat tinggal (desa atau kota).
5.1
Hasil Uji Model Pada model regresi logistik, satu-satunya asumsi yang harus dipenuhi
adalah distribusi normal pada error dari hasil estimasi. Syarat tersebut tidak memerlukan pengujian khusus dan hampir selalu terpenuhi pada semua jenis data. Meskipun begitu, tetap perlu dilakukan pengujian multikolinearitas untuk mengetahui apakah ada korelasi yang kuat antara variabel independen pada model. Pada pengujian multikolinearitas, indikasi adanya korelasi yang kuat antara variabel independen ditunjukkan dengan angka korelasi yang melebihi 0,8
76
atau 0,75. Output dari pengujian multikolinearitas pada model diperlihatkan pada Lampiran 2. Hasil output menunjukkan bahwa tidak ada angka korelasi antar variabel independen yang melebihi 0.8 sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat masalah multikolinearitas pada variabel-variabel independen dalam model. Tes Signifikansi dilakukan dengan uji serentak atau keseluruhan. LR (Likelihood Ratio) merupakan pengganti F-Statistik yang berfungsi untuk menguji apakah semua slope koefisien regresi variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen. Pada output diatas dapat dilihat bahwa dengan tingkat keyakinan sebesar 90 persen, probability LR statistik adalah 0,000 yang artinya tolak Ho. Dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada salah satu peubah bebas yang berpengaruh terhadap peubah responya (secara keseluruhan model dapat menjelaskan). Uji Goodness of fit dilakukan untuk melihat seberapa baik suatu model dapat menjelaskan hubungan antara variabel dependen dengan variabel independenya atau seberapa besar variasi dari variabel dependen dapat dijelaskan oleh model. Pada regresi logistik ordinal, parameter yang dilihat pada uji Goodness of Fit adalah Pseudo R2 yaitu R-Square tiruan yang digunakan karena tidak adanya padanan yang dapat mengganti R-Square OLS pada model logit. Pada hasil output terlihat bahwa hasil pseudo R2 adalah sebesar 0,3274 (Lampiran 5). Hal ini mengindikasikan bahwa variabel independen hanya mampu menjelaskan variabel dependen sebesar 33 persen. Atau hanya 33 persen dari variasi variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh model. Meskipun demikian, nilai pseudo-R2 yang kecil tidak membuat suatu model dianggap tidak bagus. Hal ini dikarenakan, nilai pseudo-R2 yang bernilai 0 sampai 1 bukan merupakan interpretasi yang alami melainkan tiruan untuk mengganti R-Square OLS pada model logit (Greene, 1990). Hal tersebut didukung oleh Gujarati (2003) yang berpendapat bahwa dalam model regresi logistik, hal utama yang harus diperhatikan adalah indikator signifikansi model, signifikansi variabel-variabel independen, dan arah koefisien dari variabel tersebut. Sedangkan besaran pseudoR2 tidak diutamakan. Selain itu, penggunaan data Cross section pada penelitian ini membawa implikasi nilai R-square yang rendah belum tentu menandakan bahwa model yang digunakan tidak baik. Apabila hasil pengujian Z-Stat
77
menunjukkan hasil yang signifikan serta sesuai dengan arah dari teori ekonomi, model tersebut masih dapat digolongkan sebagai model yang layak secara statistik (Gujarati, 2003).
5.2
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur Koefisien yang terdapat pada hasil output menunjukkan arah pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen. Koefisien negatif menunjukkan bahwa variabel independen berhubungan negatif dengan variabel dependen dan sebaliknya. Tanda slope positif pada koefisien menunjukkan bahwa setiap peningkatan variabel independen akan
meningkatkan ketahanan pangan di
Provinsi NTT. Sebaliknya slope negatif menunjukkan bahwa peningkatan variabel independen akan mengurangi ketahanan pangan rumah tangga di provinsi NTT. Tabel 18. Hasil Estimasi Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi NTT. Variabel Const (1) Const (2) Const (3) Pendapatan (X1) Umur KRT (X2) Jumlah ART (X3) Pekerjaan (X4) Pertanian Pendidikan (X5) SD Menengah Tinggi Raskin (X6) Menerima Daerah (X7) Perkotaan
Koefisien
SE
P> (z)
-1,696 1,328 1,901 1,21E 0,000 -0,606
0,277 0,274 0,276 9,87E 0,005 0,051
0,000 0,968 0,000
0,326
0,108
0,003
0,343 0,314 0,831
0,096 0,190 0,215
0,000 0,099 0,000
-0,190
0,103
0,065
0,179
0,208
0,390
Sumber : pengolahan data
Model regresi logistik ordinal yang dibentuk dari tujuh peubah penjelas menunjukkan ada dua peubah yang tidak signifikan yaitu umur kepala rumah
78
tangga (dengan p-value 0,968) dan variabel daerah tempat tinggal dengan (p-value sebesar 0,390). Daerah tempat tinggal diduga tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan pangan di NTT karena kelompok rumah tangga kurang pangan ternyata masih didominasi oleh penduduk perkotaan, dimana seharusnya proporsi rumah tangga kurang pangan tertinggi itu ada di wilayah pedesaan. Tujuh peubah lainnya yang signifikan dengan tingkat α tertentu adalah pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, lapangan pekerjaan (pertanian dan non pertanian), pendidikan (SD, menengah dan tinggi) dan penerima raskin. Interpretasi dari setiap koefisien dapat menggunakan nilai Odds ratio. Nilai Odds ratio didapatkan dari transformasi logit yang terdapat pada Tabel 20. Pendapatan perkapita dalam data Susenas merupakan proxy dari pengeluaran perkapita perbulan. Pendapatan berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini disebabkan dengan
adanya
peningkatan
pendapatan akan meningkatkan daya beli rumah tangga. Pada rumah tangga tahan pangan, kenaikan pendapatan perkapita perbulan 100 ribu rupiah akan meningkatkan peluang rumah tangga tahan pangan sebesar 1,000 kali. Kesimpulanya bahwa kenaikan pendapatan rumah tangga merupakan faktor yang penting untuk meningkatkan status ketahanan pangan. Tabel 19. Hasil Estimasi Odds Ratio Logistik Ordinal Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Variabel Pendapatan (X1) Umur KRT (X2) Jumlah ART (X3) Pekerjaan (X4) Pertanian Pendidikan (X5) SD Menengah Tinggi Raskin (X6) Menerima Daerah (X7) Perkotaan Sumber : pengolahan data
Koefisien
Z
Odds Ratio
1,21E 0,000 -0,606
12,27 0,04 -11,73
1,000 0,999 0,436
0,326
3,01
1,408
0,343 0,314 0,831
3,57 1,65 3,85
1,746 1,047 1,839
-0,190
-1,84
0,949
0,179
0,86
1,735
79
Jumlah anggota rumah tangga berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Koefisien jumlah anggota rumah tangga yang bertanda negatif, yang berarti bahwa semakin berkurangnya jumlah anggota rumah tangga, maka akan meningkatkan peluang ketahanan pangan, hal ini sesuai dengan hipotesis di awal penelitian. Pada rumah tangga tahan pangan, berkurangnya jumlah anggota rumah tangga sebanyak satu orang akan meningkatkan peluang ketahanan pangan rumah tangga sebesar 1,84 kali. Hal ini diduga karena dengan bertambahnya jumlah anggota rumah tangga, maka semakin besar biaya untuk pangan yang harus dikeluarkan rumah tangga. Kondisi ini sesuai dengan studi Demeke dan Zeller (2010) yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah anggota rumah tangga akan menurunkan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Lapangan pekerjaan kepala rumah tangga dibagi atas rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian dan bukan pertanian. Rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian memiliki peluang untuk meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangganya sebesar 1.408 kali dibandingkan rumah tangga non pertanian. Rumah tangga dengan KRT yang bekerja di sektor pertanian umumnya lebih tahan pangan karena mereka dapat secara langsung memenuhi kebutuhan panganya. Walaupun rumah tangga di sektor pertanian memiliki peluang untuk meningkatkan status ketahanan panganya, hal ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dan dorongan dari pemerintah baik pusat maupun daerah karena keterbatasan sarana fisik dan non fisik rumah tangga di Provinsi NTT. Kebijakan subsidi terarah seperti program raskin adalah implementasi kebijakan pangan terarah sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu program percepatan pembangunan daerah di wilayah NTT juga perlu segera dilaksanakan agar pembangunan sarana pendukung seperti infrastruktur jalan, jembatan dapat membantu akses ketersediaaan pangan di wilayah NTT. Pendidikan kepala rumah tangga mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga secara signifikan. Pendidikan KRT dibedakan menjadi empat kategori, yaitu kepala RT tidak pernah bersekolah/ tidak tamat SD, kepala RT berpendidikan SD, kepala RT berpendidikan menegah dan kepala RT
80
berpendidikan tinggi. Oleh karena itu, faktor ini terdiri atas tiga variabel bebas. Nilai odds ratio untuk pendidikan tamat SD adalah 1,746 artinya kepala RT dengan lulusan SD memiliki peluang untuk tahan pangan sebesar 1,746 kali dibanding kepala RT yang tidak tamat SD. Sedangkan variabel pendidikan menengah memiliki nilai odds ratio sebesar 1,047 yang berarti kepala RT dengan pendidikan lulusan menengah memiliki kecenderungan untuk tahan pangan sebesar 1,047 kali dibanding kepala RT yang tidak tamat SD. Nilai Odds ratio menunjukkan bahwa pada rumah tangga yang kepala RT berpendidikan tinggi akan memiliki peluang meningkatkan ketahanan pangan yang lebih baik sebesar 0,44 kali dibandingkan yang kepala RT yang tidak tamat SD. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Demeke dan Zeller (2010) yang menunjukkan bahwa pendidikan kepala rumah tangga menentukan ketahanan pangan rumah tangga. Semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga maka ketahanan pangan rumah tangganya akan semakin membaik. Dummy penerima RASKIN ternyata berpengaruh signifikan terhadap peningkatan ketahanan pangan rumah tangga. Koefisien penerima raskin bertanda negatif, yang berarti bahwa semakin meningkatnya penerimaan raskin oleh rumah tangga, maka peluang ketahanan pangan rumah tangga tersebut akan semakin berkurang. Nilai odds ratio sebesar 0,949 menunjukkan bahwa meningkanya rumah tangga
yang mendapatkan raskin maka akan mengurangi ketahanan
pangan rumah tangga sebesar 0,949 kali dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan raskin. Hal ini diduga karena peningkatan penerimaan jumlah raskin pada rumah tangga akan menyebabkan ketergantungan pangan pokok oleh rumah tangga, sehingga akan mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga tersebut. Hal ini juga didukung oleh hipotesis di awal penelitian yang menyatakan bahwa penerimaan raskin memiliki pengaruh negatif terhadap ketahanan pangan rumah tangga.