Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Nusa Tenggara Timur Food Security and Vulnerability Atlas of Nusa Tenggara Timur
2010 N
K
A
N
GA N
A DEW
PEMERINTAH PROVINSI
Nusa Tenggara Timur
ET N AHANA
P
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Nusa Tenggara Timur 2010
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur Dewan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian World Food Programme
Copyright @ 2010 Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dewan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian and World Food Programme (WFP) All rights reserved. No part of this publication may be reproduced or transmitted, in any form or by any means, without permissions.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Nusa Tenggara Timur Food Security and Vulnerability Atlas of Nusa Tenggara Timur 2010
Published by: Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dewan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian and World Food Programme (WFP) Cover Design/Lay Out: Ratna Wardhani
ISBN: 978-602-99789-0-2 Size: 210 mm x 297 mm No. of Pages: 215
WFP Disclaimer The Boundaries and names shown and the designations used on the maps in this book do not imply official endorsment or acceptance by the United Nations.
GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR
SAMBUTAN
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa patut di persembahkan kepadaNya atas tuntunan dan penyertaanNya sehingga kita masih terus diberikan kesempatan untuk berbuat sesuatu yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat di wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tercinta ini khususnya dalam upaya peningkatan kondisi ketahanan pangan dan gizi masyarakat. Saya menyambut gembira dan menghargai kerja keras dari Dewan Ketahanan Pangan provinsi NTT bekerjasama dengan United Nations World Food Programme (WFP) dengan diluncurkannya Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan provinsi NTT Tahun 2010 (Food Security and Vulnerability Atlas/FSVA) pada Peringatan Hari Pangan Sedunia Tingkat provinsi NTT bulan Oktober 2010. Atlas ini menggambarkan kondisi ketahanan dan kerentanan pangan provinsi NTT pada tingkat kecamatan dengan menggunakan 13 (tiga belas) indikator ketersediaan pangan, akses pangan, pemanfaatan pangan dan kerentanan terhadap kerawanan pangan transien. Atlas ini telah disempurnakan dengan menambahkan hasil dari semua analisis termasuk peta komposit yang merupakan penggabungan seluruh indikator ketahanan pangan kronis dan diterjemahkan dalam edisi 2 (dua) bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Inggris. Upaya bersama ini menyediakan informasi terkini tentang berbagai dimensi ketahanan pangan di provinsi NTT dan mengidentifikasi wilayah-wilayah yang membutuhkan perhatian segera secara tematis dan geografis. Masalah peningkatan ketahanan pangan merupakan salah satu prioritas Pembangunan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu. Sejalan dengan hal tersebut di provinsi NTT permasalahan ini juga merupakan salah satu dari 8 (delapan) Agenda Pembangunan dengan Spirit Anggur Merah (Anggaran Untuk Mensejahterakan Rakyat). Peta ini menggambarkan suatu tantangan kompleks dalam mencapai ketahanan pangan bagi seluruh masyarakat di provinsi NTT. Kecamatan-kecamatan prioritas membutuhkan intervensi multi-sektor untuk mengurangi tingkat kemiskinan, memperbaiki tingkat pendidikan dan menangani masalah gizi pada anak-anak. Hal penting lainnya adalah intervensi-intervensi untuk mengurangi dampak kekeringan yang berkepanjangan, deforestasi hutan dan degradasi yang tinggi pada lahan pertanian.
Penerbitan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan ini diharapkan dapat menjadi arah dan pedoman dalam penyusunan program, strategi dan kegiatan pada setiap tahapan yang dapat menuntaskan permasalahan pangan dan gizi secara lebih luas dan berkesinambungan oleh seluruh pemangku kepentingan terkait dalam payung Dewan Ketahanan Pangan provinsi NTT, mengingat penuntasan masalah yang bersifat multi dimensional ini tidak dapat dilakukan secara terpisah, namun harus dalam satu koordinasi yang tepat, cepat, terarah, menyeluruh dan berkesinambungan. Akhirnya, semoga Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan yang telah dibuat ini dapat bermanfaat di dalam meningkatkan kondisi ketahanan pangan di provinsi NTT ke depan oleh seluruh pemangku kepentingan terkait demi mewujudkan ketahanan pangan yang lebih tangguh di masa mendatang.
Kupang, 25 Agustus 2011 GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR
DRS. FRANS LEBU RAYA
KATA PENGANTAR Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) selalu berupaya menuntaskan permasalahan pangan dan gizi yang sering terjadi di wilayah ini. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan provinsi NTT (Food Security and Vulnerability Atlas/FSVA) diharapkan dapat menjadi suatu langkah awal untuk memantapkan prioritas strategi dan kebijakan yang penting dilakukan untuk mengatasi permasalahan kerawanan pangan kronis dan mengurangi resiko terhadap kerawanan pangan transien. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan provinsi NTT dibuat dalam suatu tatanan kerjasama yang sangat baik antara Pemerintah Provinsi NTT dengan United Nations World Food Programme (WFP) melalui koordinasi Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi NTT. Atlas ini menyajikan informasi yang akurat dan lengkap tentang kondisi ketahanan dan kerentanan pangan pada seluruh wilayah di provinsi ini. Atlas ini menyediakan analisis situasi ketahanan pangan pada tingkat kecamatan yang digambarkan dalam 3 dimensi yaitu Ketersediaan Pangan, Akses Pangan, dan Pemanfaatan Pangan. Peta ini juga menyajikan analisis mengenai kerentanan terhadap bencana alam untuk kesiapsiagaan bencana yang lebih baik. Rekomendasi dan strategi penanganan kerawanan pangan tersedia untuk masing-masing kabupaten. Besar harapan kami peta ini dapat membawa suatu perubahan yang berarti dalam upaya peningkatan ketahanan pangan dan gizi oleh seluruh pemangku kepentingan baik Pemerintah dan Non Pemerintah. Upaya-upaya penanganan masalah ketahanan pangan dan gizi melalui koordinasi Dewan Ketahanan Pangan Provinsi NTT diharapkan dapat secara efektif menangani permasalahan dan prioritas penanganan sebagaimana di tunjukkan oleh peta. Penyusunan peta dalam 2 bahasa (Bahasa Indonesia dan Inggris) ini merupakan penyempurnaan dari peta yang telah diluncurkan pada bulan Oktober 2010. Peta ini telah memuat peta komposit ketahanan pangan yang merupakan gabungan dari 9 indikator ketahanan pangan kronis. Pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada WFP Indonesia dan WFP Kupang atas komitmen, dukungan dan kerjasama yang intensif dalam upaya penyusunannya sehingga peta ini dapat diluncurkan tepat pada waktunya. Juga kepada semua pihak terkait yang telah berperan aktif terhadap penyusunan peta ini, yaitu Tim Pengarah dan Tim Teknis Provinsi NTT serta unit Ketahanan Pangan di kabupaten.
Pada akhirnya kami berharap peta ini dapat bermanfaat demi tercapainya kondisi ketahanan pangan dan gizi di Provinsi NTT yang semakin lebih baik, dan saran untuk penyempurnaannya sangat kami perlukan.
M
SI
PE
N VI
Kupang, 25 Agustus 2011 KEPALA BADAN KETAHANAN PANGAN DAN PENYULUHAN PROVINSI NTT Sekretaris Ketahanan Pangan INTAH PRDewan O ER Provinsi Nusa Tenggara Timur,
UR
NUS
BADAN KETAHANAN PANGAN DAN PENYULUHAN
IR. NICOLAUS BALA NUHAN
I NG G A R A T
M
A
TE
PENGANTAR Sejak Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dan United Nations World Food Programme (WFP) bersama-sama mengembangkan Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas-FIA) tahun 2005 yang telah mengidentifikasi 100 wilayah prioritas yang rentan terhadap kerawanan pangan, WFP menyambut gembira untuk melakukan analisa lebih lanjut sebagai respon terhadap ketertarikan dan antusiasme yang tinggi dari pemangku kepentingan di tingkat nasional dan provinsi. Dengan demikian, telah diputuskan bersama bahwa peta tingkat nasional akan diperbaharui secara berkala dan peta tingkat provinsi akan dikembangkan di seluruh provinsi sebagai suatu alat untuk mengarahkan perencanaan provinsi dalam konteks desentralisasi di Indonesia. Pada tingkat nasional, DKP dan WFP telah memperbaharui Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) pada tahun 2009, yang diluncurkan secara resmi oleh Presiden Republik Indonesia pada tahun 2010. Peta tersebut menunjukan bahwa disamping terlihat perubahan positif pada akses terhadap fasilitas kesehatan, angka harapan hidup dan angka kurang gizi pada anak balita, akan tetapi tingkat kerentanan terhadap kerawanan pangan secara mendasar masih bervariasi antar wilayah di Indonesia, dengan konsentrasi wilayah kerawanan pangan yang lebih tinggi di Indonesia bagian timur. Kami sangat gembira dengan hasil analisa ketahanan pangan tahun 2010 yang merupakan wujud dari hasil kerjasama yang erat antara WFP, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Di provinsi NTT, pemangku kepentingan tingkat provinsi dan kabupaten dari berbagai sektor menunjukan komitmen kuat dalam memahami metodologi FSVA dan mengaplikasikannya dengan mengembangkan FSVA provinsi. FSVA provinsi ini merupakan hasil dari upaya bersama dan hubungan yang makin kuat. Hasil peta ini mengidentifikasi kecamatan-kecamatan rentan yang terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu yang membutuhkan perhatian lebih besar untuk mengatasi kerawanan pangan kronis. Walaupun produksi serealia memadai, akan tetapi prevalensi stunting pada balita masih menunjukan bahwa masalah kesehatan masyarakat berada pada tingkat buruk. Perubahan iklim juga merupakan tantangan lain bagi ketahanan pangan. Dampak pola hujan yang tidak menentu dan deforestasi pada pertanian makin memperburuk situasi di wilayah-wilayah yang rentan terhadap kerawanan pangan. Peta provinsi menunjukan bahwa hutan di provinsi NTT berada dalam situasi ancaman yang serius dan beberapa wilayah mengalami penurunan curah hujan. Upaya bersama diperlukan untuk mendukung penduduk yang rentan dalam mengatasi dampak dan beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Harga pangan telah meningkat secara signifikan di seluruh dunia, yang mendorong bukan hanya penduduk miskin tetapi juga penduduk yang hampir miskin jatuh pada situasi rawan pangan. Sangat penting bagi para pengambil kebijakan dan keputusan untuk memahami potensi dampak harga pangan yang tinggi terhadap penduduk rentan dalam perencanaan intervensi yang tepat. Peta provinsi ini memberikan sebuah fakta mendasar yang baik untuk perencanaan program dan penentuan target intervensi. Peta ini menyediakan analisis situasi ketahanan pangan di provinsi dan memberikan rekomendasi sebagai dasar pengembangan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG) di provinsi NTT. Kami berharap bahwa peta ini akan memberikan kontribusi untuk pemahaman yang lebih baik tentang situasi ketahanan dan kerentanan pangan di provinsi NTT dan dapat digunakan sebagai alat untuk mengembangkan kebijakan dan program daerah untuk menjamin ketahanan pangan bagi seluruh masyarakat di provinsi NTT.
Coco Ushiyama Perwakilan & Direktur United Nations World Food Programme, Indonesia
UCAPAN TERIMA KASIH Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Provinsi NTT tahun 2010 ini tidak mungkin dapat diselesaikan dan diluncurkan tepat pada waktunya tanpa dukungan dan perhatian secara pribadi dari Drs. Frans Lebu Raya, Gubernur Nusa Tenggara Timur sebagai Ketua Dewan Ketahanan Pangan Provinsi NTT dan Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Provinsi NTT sebagai Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Provinsi NTT. Drs. Nicolaus Bala Nuhan, Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKP2) Provinsi NTT, telah memberikan kepemimpinan yang sangat baik dalam setiap tahap penyelesaian atlas ini. Perhatian dan inspirasi yang terus-menerus oleh Dr. Ir. Tjuk Eko Hari Basuki, M.St, Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan – Badan Ketahanan Pangan Pusat. Terimakasih terutama ditujukan kepada Sylvia Peku Djawang, SP, MM dari BKPP Provinsi NTT, dan Keigo Obara, Dedi Junadi dan Ha’i Raga Lawa dari United Nations World Food Programme (WFP) Indonesia untuk analisis dan persiapan hingga buku ini dapat dipublikasikan. Peran serta dari berbagai instansi pemerintah dan institusi non pemerintah, juga masukanmasukan dari kabupaten merupakan hal yang sangat patut dihargai. Terima kasih untuk dukungan dana dari AusAID.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
ix
DAFTAR ISI
KONTRIBUTOR
xv
RINGKASAN EKSEKUTIF BAB 1
BAB 2
xvii
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Dasar Pemikiran 1.2 Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi 1.3 Indikator yang Digunakan dalam FSVA Provinsi
1 1 2 5
KETERSEDIAAN PANGAN 2.1 Produksi 2.2 Rasio Konsumsi Normatif Per Kapita Terhadap Produksi Pangan 2.3 Tantangan Utama Pemenuhan Kecukupan
9 9 16 17
BAB 3
AKSES TERHADAP PANGAN DAN PENGHIDUPAN 3.1 Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan 3.2 Tingkat Pengangguran Terbuka 3.3 Akses Terhadap Infrastruktur Dasar (Jalan dan Listrik) 3.4 Strategi untuk Pengurangan Kemiskinan, Peningkatan Akses Terhadap Pangan dan Penghidupan
19 19 22 23 26
BAB 4
29 29 30 31 32 32 35
PEMANFAATAN PANGAN 4.1 Konsumsi Pangan 4.2 Akses terhadap Fasilitas Kesehatan 4.3 Penduduk dengan Akses Kurang Memadai ke Air Bersih 4.4 Perempuan Buta Huruf 4.5 Status Gizi 4.6 Dampak dari Status Kesehatan
BAB 5 KERENTANAN TERHADAP KERAWANAN PANGAN TRANSIEN 5.1 Bencana Alam 5.2 Fluktuasi Curah Hujan 5.3 Daerah Puso 5.4 Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan 5.5 Deforestasi Hutan BAB 6 KERENTANAN TERHADAP KERAWANAN PANGAN KRONIS BERDASARKAN ANALISIS KETAHANAN PANGAN KOMPOSIT
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
39 39 40 41 41 42 45
xi
Daftar Tabel Tabel 1.1 Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 2.6 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5 Tabel 4.1 Tabel 4.2
Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 6.1 Tabel 6.2 Tabel 6.3
Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT, 2010 Produksi Serealia Pokok dan Umbi-umbian, 2000-2009 Produksi Padi (2005-2009) (Ton) Produksi Jagung (2005-2009) (Ton) Produksi Ubi Kayu (2005-2009) (Ton) Produksi Ubi Jalar (2005-2009) (Ton) Produksi Total Serealia per tahun dan Laju Pertumbuhan Produksi untuk periode 2005-2009 (Ton) Jumlah dan Persentase Populasi di Bawah Garis Kemiskinan Jumlah Kecamatan yang memiliki Lebih Dari 30% Penduduk Hidup di Bawah Garis Kemiskinan tahun 2008 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), 2007-2009 (%) Persentase Desa yang Tidak Dapat Dilalui Kendaraan Roda Empat Persentase Rumah Tangga tanpa Akses ke Listrik Konsumsi Kalori dan Protein per Kapita per Hari pada Tiga Golongan Terbawah dari Golongan Pengeluaran Bulanan per Kapita Persentase Rumah Tangga dengan Akses yang Terbatas ke Air Bersih dan Persentase Desa dengan Akses Terbatas ke Sarana Pelayanan Kesehatan Persentase Perempuan Buta Huruf Persentase Underweight dan Stunting pada Balita Angka Harapan Hidup Ringkasan Tabel Bencana Alam yang Terjadi di Provinsi NTT dan Kerusakannya selama Periode 1990-2009 Perbandingan Area Puso Padi dan Jagung terhadap Luas Area Tanam Padi dan Jagung Tahun 2007-2009 Kecamatan yang Paling Rentan Berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit Faktor Penentu Utama Kerawanan Pangan per Prioritas Faktor Penentu Utama Kerawanan Pangan dan Strategi Intervensi
6 10 13 13 14 15 15 20 20 22 24 25 30 31
32 34 35 40 42 46 49 51
Daftar Gambar Gambar 1.1 Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 5.1 Gambar 6.1
xii
Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi Produksi Serealia Pokok dan Umbi-umbian, 2000 - 2009 Total Luas Panen Serealia dan Umbi-umbian di NTT (ha), 2000 - 2009 Produksi Padi 2005 - 2009 Produksi Jagung 2005 - 2009 Produksi Ubi Kayu 2005 - 2009 Produksi Ubi Jalar 2005 - 2009 Proyeksi Penduduk NTT menurut Pulau dan Provinsi, tahun 2005 - 2015 Sumber Pendapatan Utama menurut Klasifikasi Sektoral Moda Transportasi di NTT Bencana Alam yang Terjadi di NTT per Kabupaten selama Periode 1990 – 2009 Jumlah Kecamatan yang Rentan pada Prioritas 1 berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
3 10 10 11 11 12 12 17 21 25 40 48
Gambar 6.2 Gambar 6.3 Gambar 6.4
Jumlah Kecamatan yang Rentan pada Prioritas 2 berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit Jumlah Kecamatan yang Rentan pada Prioritas 3 berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit Kerangka Kerja Penyebab dan Jenis Intervensi untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan
48 48 50
Daftar Peta Peta 1.1 Peta 1.2 Peta 1.3 Peta 1.4 Peta 1.5 Peta 1.6 Peta 2.1 Peta 3.1 Peta 3.2 Peta 3.3 Peta 4.1 Peta 4.2 Peta 4.3 Peta 4.4 Peta 4.5 Peta 5.1 Peta 5.2 Peta 5.3 Peta 5.4 Peta 5.5 Peta 6.1
Peta Indeks Daratan Sumba dan Sabu Raijua Peta Indeks Kabupaten Kupang dan Rote Ndao Peta Indeks Kabupaten TTS, TTU dan Belu Peta Indeks Kabupaten Manggarai Barat s/d Ende Peta Indeks Kabupaten Sikka dan Flores Timur Peta Indeks Kabupaten Lembata dan Alor Rasio Konsumsi Normatif Per Kapita terhadap Produksi Bersih Serealia Penduduk Hidup di Bawah Garis Kemiskinan Desa yang Tidak Bisa Dilalui Kendaraan Roda Empat Rumah Tangga tanpa Akses terhadap Listrik Desa dengan Akses ke Fasilitas Kesehatan > 5 km Rumah Tangga tanpa Akses ke Air Bersih Perempuan Buta Huruf Berat Badan Anak (< 5 Tahun) di Bawah Standar Angka Harapan Hidup Penyimpangan Curah Hujan Dari 1997 - 2007 di Musim Kemarau Dibandingkan dengan Rata-rata 30 Tahun Penyimpangan Curah Hujan Dari 1997 - 2007 di Musim Hujan Dibandingkan dengan Rata-rata 30 Tahun Daerah Puso Padi Daerah Puso Jagung Peta Deforestasi di NTT untuk Periode 2003-2006 Peta Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Provinsi NTT
A-1 A-3 A-5 A-7 A-9 A-11 A-13 A-15 A-17 A-19 A-21 A-23 A-25 A-27 A-29 A-31 A-33 A-35 A-37 A-39 A-41
Daftar Lampiran Lampiran 1.1 Lampiran 1.2 Lampiran 2.1 Lampiran 3.1 Lampiran 4.1 Lampiran 5.1 Lampiran 6.1
Lampiran 6.2
Daftar Kecamatan dalam Analisis Komposit Catatan Teknis mengenai Small Area Estimation (SAE) Indikator Ketersediaan Pangan Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 1997 – 2007 Principal Component Analysis (PCA-Analisis Komponen Utama) dan Cluster Analysis (Analisis Kelompok) : Untuk Analisa Hubungan Antar Indikator Ketahanan Pangan Peringkat Kecamatan Berdasarkan Indikator Individu dan Kelompok Prioritas Ketahanan Pangan Komposit
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
B-1 B-2 B-10 B-21 B-32 B-43 B-54
B-58
xiii
KONTRIBUTOR
Tim Pengarah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi NTT (Ketua) Kepala Bidang Ketersediaan dan Kerawanan Pangan BKPP Provinsi NTT (Sekretaris) Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi NTT (Anggota) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT (Anggota) Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT (Anggota) Kepala BPS Provinsi NTT (Anggota) Kepala BAPPEDA Provinsi NTT (Anggota) Kepala BMKG Provinsi NTT (Anggota) Kepala BPBD Provinsi NTT (Anggota)
Tim Pelaksana
1. Sylvia Peku Djawang, SP, MM (BKPP NTT) 2. Saiful, SKM (Dinas Kesehatan NTT) 3. Ir. Marselina I. Goetha (BPS NTT) 4. S. Handayani (BPS NTT) 5. Drs. Purwanto (BMKG Kupang) 6. Apolinaris Geru, SP. MSi (BMKG Kupang) 7. Rodi Yunus, SSi (BMKG Kupang) 8. Jemmy E. Mella, SE (BPBD NTT) 9. Esron M. Elim, SE, Msi (BAPPEDA NTT) 10. Ir. Made Sudirta (BKPP NTT) 11. Keigo Obara (WFP) 12. Dedi Junadi (WFP) 13. Ha’i Raga Lawa (WFP)
Unit Ketahanan Pangan Kabupaten
1. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kupang 2. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten TTS 3. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten TTU 4. Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Belu 5. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Alor 6. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Lembata 7. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten Flores Timur 8. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten Sikka 9. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Ende 10. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Ngada
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
xv
11. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Nagekeo 12. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Manggarai 13. Badan Bimas Ketahanan Pangan Kabupaten Sumba Timur 14. Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sumba Barat 15. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Sumba Barat Daya 16. Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sumba Tengah 17. Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Manggarai Barat 18. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Rote Ndao Kabupaten TTU 19. Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Manggarai Timur 20. Dinas Pertanian, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sabu Raijua
xvi
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
RINGKASAN EKSEKUTIF
1.
LATAR BELAKANG
Untuk dapat melaksanakan intervensi yang terkait dengan ketahanan pangan dan gizi, Pemerintah Indonesia masih terus meningkatkan sarana untuk penentuan target intervensi sasaran secara geografis. Dengan dukungan dari World Food Programme (WFP) yang memiliki pengalaman di bidang analisis dan pemetaan ketahanan pangan, maka pada tahun 2003 Dewan Ketahanan Pangan (DKP), yang diketuai oleh Presiden Republik Indonesia, dengan sekretariat DKP yang berada di Badan Ketahanan Pangan (BKP), bekerjasama dengan WFP dalam pembuatan Peta Kerawanan Pangan (FIA) tingkat nasional. FIA yang pertama dibuat dan diluncurkan tahun 2005 dan mencakup 265 kabupaten di 30 provinsi. Lebih dari US$ 32 juta telah dialokasikan oleh pemerintah untuk 100 kabupaten yang rawan pangan dan intervensi dimulai tahun 2006-2007. Atlas yang kedua, dengan judul baru “Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA)” yang mencakup 346 kabupaten di 32 provinsi, diluncurkan oleh Presiden Republik Indonesia dan Menteri Pertanian pada tanggal 24 Mei 2010, dan kegiatan ini telah terintegrasi dalam rencana tahunan dan alokasi anggaran tahunan pemerintah. Sejak 2003, WFP telah memberikan dukungan teknis dan anggaran untuk pembuatan dan penerapan FIA dan FSVA. Walaupun FIA nasional 2005 dan FSVA nasional 2009 berhasil mengungkap perbedaan tingkat ketahanan dan kerentanan pangan dan gizi tingkat kabupaten di Indonesia, namun belum ada alat yang dapat digunakan untuk menganalisa dan mengklasifikasikan ketahanan dan kerentanan pangan pada tingkat kecamatan. FSVA tingkat provinsi telah dikembangkan di NTT sebagai suatu alat yang baru yang dipergunakan oleh perencana dan pengambil keputusan dalam mengidentifikasi kecamatan-kecamatan rentan yang membutuhkan perhatian khusus dalam hal intervensi ketahanan pangan dan gizi.
2.
TUJUAN FSVA PROVINSI
Seperti halnya FSVA nasional 2009, FSVA provinsi menyediakan sarana bagi pengambilan kebijakan dalam hal penentuan sasaran dan memberikan rekomendasi untuk intervensi kerawanan pangan dan gizi di tingkat kabupaten dan kecamatan. Berdasarkan analisa 13 indikator yang terkait dengan ketahanan pangan yang berasal dari data sekunder dari periode 2007-2009, serta Analisis Ketahanan Pangan Komposit (berdasarkan komposit 9 indikator), FSVA dapat menjawab tiga pertanyaan kunci terkait ketahanan dan kerawanan pangan yaitu: Di mana daerah yang paling rawan ketahanan pangannya (per kabupaten, kecamatan); Berapa banyak penduduk (perkiraan penduduk); dan Mengapa mereka paling rawan (penentu utama untuk kerawanan pangan)?.
3.
TEMUAN UTAMA FSVA PROVINSI
3.1 Ketersediaan Pangan •
Hasil pertanian sedikit meningkat (laju peningkatan sekitar 1,9% per tahun selama 2000-2008) dan menurun sebesar 1,1% pada tahun 2009. Produksi padi, jagung, ubi kayu dan kacang tanah
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
xvii
meningkat, sedangkan produksi ubi jalar dan kacang kedelai menurun. Pada umumnya, mayoritas daerah di NTT merupakan daerah swasembada/surplus pangan dalam hal produksi serealia, dan ketersediaan pangan pada tingkat provinsi memadai. •
3.2
Akan tetapi, terdapat 43 kecamatan dari 280 kecamatan yang mengalami kekurangan serealia.
Akses terhadap Pangan
•
Akses terhadap pangan untuk penduduk miskin merupakan gabungan dari kemiskinan, kurangnya pekerjaan tetap, pendapatan tunai yang rendah dan tidak tetap serta terbatasnya daya beli masih merupakan tantangan yang besar. Pada tahun 2009, terdapat lebih dari 1 juta orang (23,31%) hidup di bawah garis kemiskinan provinsi.
•
Sejak tahun 2005, seluruh kabupaten telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinannya pada tahun 2009, kecuali kabupaten Ende dan Rote Ndao.
•
Pada tahun 2009, penduduk miskin terkonsentrasi di 6 kabupaten (Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, TTS dan Rote Ndao). Dari 20 kabupaten, terdapat 12 kabupaten yang tingkat kemiskinannya masih lebih tinggi dari rata-rata provinsi, dan kabupaten Sumba Tengah memiliki persentase penduduk miskin tertinggi (35,83%).
•
Untuk tingkat kecamatan, perbedaan tingkat kemiskinan lebih jelas. Dari 280 kecamatan, 143 kecamatan memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi dari rata-rata provinsi. Di antara 143 kabupaten tersebut, 93 kecamatan memiliki lebih dari 30% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan provinsi.
•
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada tahun 2009 mengalami penurunan hampir 1% dibandingkan tahun 2007.
•
Lebih dari 14% desa di NTT tidak memiliki akses jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan roda empat sepanjang tahun.
•
Hampir 60% rumah tangga di NTT tidak memiliki akses listrik. Seluruh kabupaten memiliki akses listrik yang terbatas (≥ 30%).
3.3 Pemanfaatan Pangan dan Situasi Gizi •
Pada tahun 2009, rata-rata asupan energi harian adalah 1.972 kkal, lebih rendah dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) nasional dan asupan protein sebesar 54,13 gram, yang sudah melampaui AKG nasional. Namun demikian, untuk tiga golongan pengeluaran terendah hanya memiliki asupan 1.779 kkal/kapita/hari atau kurang, dan proporsi makanan mereka kurang secara kuantitatif dan tidak seimbang secara kualitatif.
•
Secara provinsi, 85% desa memiliki akses ke fasilitas kesehatan terdekat kurang dari 5 km, dan angka ini meningkat secara signifikan jika dibandingkan 5 tahun terakhir (67,2%).
•
Secara provinsi, 34,16% rumah tangga tidak memiliki akses terhadap air minum yang layak. Akses terendah terdapat di kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur, Kupang, TTS dan Sabu Raijua.
•
Pada tahun 2008, angka perempuan buta huruf provinsi sebesar 14,66%. Angka perempuan buta huruf tertinggi terdapat di kabupaten Sumba Barat Daya (32%), Sumba Tengah (30%), Sumba Barat (26%), Belu (22%) dan TTS (22%). Pada tingkat kecamatan, terdapat 51 dari 280 kecamatan memiliki perempuan buta huruf sedikitnya 20%.
•
Berdasarkan RISKESDAS 2007, angka underweight pada balita (gabungan dari kurang gizi kronis dan akut) provinsi adalah 33,6%, angka tersebut belum mencapai target MDG dan merupakan masalah
xviii
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
kesehatan masyarakat yang masih berada pada tingkat sangat buruk. Terdapat perbedaan pencapaian yang cukup besar antar kabupaten dimana 8 kabupaten mempunyai prevalensi underweight di atas prevalensi provinsi. Pada tingkat kecamatan, 140 dari 280 kecamatan mempunyai prevalensi underweight sangat tinggi (≥30%). Tingkat prevalensi underweight tertinggi terdapat di kabupaten di Pulau Timor, Sikka, Manggarai dan Rote Ndao. •
Berdasarkan RISKESDAS 2007, prevalensi provinsi untuk kurang gizi kronis (stunting) adalah 46,7%, angka ini tergolong sangat tinggi untuk masalah kesehatan masyarakat. Pada tingkat kabupaten, 13 kabupaten memiliki prevalensi yang sangat tinggi ((≥40%) dan 1 kabupaten lainnya memiliki prevalensi yang tinggi (30-39%). Pada tingkat kecamatan, 125 dari 280 kecamatan memiliki prevalensi stunting yang sangat tinggi. Tingkat prevalensi stunting tertinggi terdapat di kabupaten TTU, TTS, Rote Ndao, Manggarai Barat dan Kupang.
•
Angka rata-rata harapan hidup di provinsi NTT pada tahun 2008 adalah 66 tahun. Delapan dari 20 kabupaten memiliki angka harapan hidup lebih dari 66 tahun. Pada tingkat kecamatan, 74 dari 280 kecamatan memiliki angka harapan hidup 70 tahun atau lebih.
3.4 Daerah yang rawan yang memerlukan prioritas lebih tinggi (Di mana, Berapa Banyak, dan Mengapa?) •
Analisis Ketahanan Pangan Komposit digunakan untuk menjawab ketiga pertanyaan di atas dengan memetakan 280 kecamatan yang memiliki data lengkap untuk 9 indikator terkait ketahanan pangan kronis. Di antara 280 kecamatan tersebut, ditetapkan 135 kecamatan dengan prioritas yang lebih tinggi yang terdiri dari 38 kecamatan Prioritas 1, 31 kecamatan Prioritas 2, dan 66 kecamatan Prioritas 3, dengan jumlah penduduk sekitar 1,96 juta orang. 145 kecamatan lainnya dikelompokkan menjadi Prioritas 4-6. Perhatian yang lebih besar perlu diberikan kepada kecamatan yang termasuk dalam Prioritas 1-3.
•
Terdapat 38 kecamatan Prioritas 1, 17 kecamatan berada di TTS, 7 kecamatan di TTU, 5 kecamatan di Belu, 3 kecamatan di Kupang, 2 kecamatan masing-masing di Sabu Raijua dan Sikka, dan 1 kecamatan masing-masing di Manggarai dan Sumba Barat, dengan jumlah penduduk sekitar 447 ribu orang. Tingkat kerentanan terhadap kerawanan pangan terutama disebabkan karena tingginya angka kemiskinan, tingginya angka underweight pada balita, tidak ada akses listrik, tidak ada akses terhadap air bersih dan tidak ada akses jalan kendaraan roda empat. • Dari 31 kecamatan di Prioritas 2, 19 kecamatan di Sumba Timur, 8 kecamatan di Sumba Barat Daya dan 4 kecamatan di Sumba Tengah, dengan jumlah penduduk sekitar 473 ribu orang. Faktor penentu utama kerentanan pangan di Prioritas 2 adalah: tidak ada akses listrik, tingginya angka kemiskinan, rendahnya angka harapan hidup, tidak ada akses air bersih dan tidak ada akses kendaraan roda empat.
•
Terdapat 66 kecamatan Prioritas 3, 13 kecamatan di TTS, 11 kecamatan masing-masing di Kupang dan TTU, 10 kecamatan di Belu, 7 kecamatan di Rote Ndao, 5 kecamatan masing-masing di Sumba Barat dan Manggarai, 3 kecamatan di Sabu Raijua dan 1 kecamatan di Sikka, dengan jumlah penduduk sekitar 1 juta orang. Kerentanan terhadap tingkat kerawanan pangan pada Prioritas 3 terutama disebabkan karena tingginya angka underweight pada balita, tidak ada akses listrik, tidak ada akses kendaraan roda empat, rendahnya angka harapan hidup dan tidak ada akses air bersih.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
xix
Peta Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Provinsi NTT
25
50 Km
Nagekeo
Manggarai
10°0'0"S
Alor
Lembata
Manggarai Timur
Manggarai Barat
Sumba Barat Daya
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
® 0
122°0'0"E
8°0'0"S
120°0'0"E
Kupang
Legenda/Legend: Prioritas 1 Kecamatan/ Priority 1 Sub-districts Prioritas 2 Kecamatan/ Priority 2 Sub-districts Prioritas 3 Kecamatan/ Priority 3 Sub-districts Prioritas 4 Kecamatan/ Priority 4 Sub-districts Prioritas 5 Kecamatan/ Priority 5 Sub-districts Prioritas 6 Kecamatan/ Priority 6 Sub-districts Daerah Perkotaan/Tidak ada Data Urban Area/No Data Batas Kabupaten/ District Boundary 120°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
Rote Ndao
122°0'0"E
124°0'0"E
Timor Tengah Selatan
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG DAN DASAR PEMIKIRAN
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari 20 kabupaten dan 1 kota dengan total penduduk sebesar 4.679.316 jiwa. NTT terdiri dari 1.192 pulau namun hanya 42 pulau yang berpenghuni, yang terbentang antara 8º – 12º Lintang Selatan dan 118º – 125º Bujur Timur, dengan luas daratan seluruhnya 48.718,1 km2. Secara klimatologi, NTT merupakan daerah semi arid dengan curah hujan rendah. Musim basah atau hujan biasanya cukup singkat sekitar 3 sampai 4 bulan dengan rata-rata curah hujan tahunan terendah 800 mm dan tertinggi 3.000 mm. Perekonomian provinsi NTT tergantung pada pertanian yang menyumbang 39,62% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Tingkat pertumbuhan ekonomi NTT adalah 4,2% pada tahun 2009 sementara pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun yang sama mencapai 6,1%. Indeks Pembangunan Manusia provinsi NTT meningkat secara bertahap dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun tingkat pendapatan rendah dan prevalensi kekurangan gizi yang tinggi menempatkan NTT pada peringkat 31 dari 33 provinsi. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih sangat banyak hal yang harus dilakukan oleh pemerintah dan para stakeholder dalam melakukan pembaharuan. Menindaklanjuti Peta Kerawanan Pangan (FIA) nasional tahun 2005, edisi kedua Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan (FSVA) nasional yang mencakup 346 kabupaten dari 32 provinsi yang dikembangkan pada tahun 2009 oleh Dewan Ketahanan Pangan Nasional (DKP) dan Badan Ketahanan Pangan (BKP) provinsi bekerjasama dengan United Nations World Food Programme (WFP). FSVA nasional 2009 diluncurkan secara resmi oleh Presiden Indonesia pada bulan Mei 2010 dan dijadikan sebagai alat yang penting dalam melakukan pentargetan wilayah kabupaten yang paling rawan untuk intervensi ketahanan pangan dan gizi. Pemerintah Indonesia mengalokasikan dana lebih dari 323 milyar atau $US 32 juta untuk 100 kabupaten yang paling rawan yang teridentifikasi pada FIA nasional 2005. Pemerintah juga merencanakan mengalokasi dana untuk intervesi ketahanan pangan dan gizi berdasarkan FSVA nasional 2009. Dari 100 kabupaten prioritas pertama di Indonesia pada FIA nasional 2005, 10 diantaranya adalah kabupaten-kabupaten di provinsi NTT. Beberapa intervensi dari berbagai sumber dana telah dilakukan pada kabupaten tersebut. Pada FSVA nasional 2009, jumlah kabupaten di NTT yang termasuk dalam 100 kabupaten prioritas pertama menurun menjadi 6 kabupaten. Perhatian dan dukungan secara terus menerus masih sangat dibutuhkan demi mempercepat pencapaian kondisi yang lebih baik pada masa yang akan datang. Walaupun FIA nasional 2005 dan FSVA nasional 2009 berhasil mengungkap perbedaan tingkat ketahanan dan kerentanan pangan dan gizi tingkat kabupaten di Indonesia, namun belum ada alat yang dapat digunakan untuk menganalisa dan mengklasifikasikan ketahanan dan kerentanan pangan pada tingkat kecamatan. FSVA tingkat provinsi telah dikembangkan pada 12 provinsi prioritas sebagai suatu alat yang baru yang dipergunakan oleh perencana dan pengambil keputusan dalam mengidentifikasi kecamatan-kecamatan rentan yang membutuhkan perhatian khusus dalam hal intervensi ketahanan pangan dan gizi. DKP nasional, BKP provinsi dan seluruh BKP kabupaten di masing-masing provinsi mengembangkan FSVA provinsi dalam kerja sama dengan WFP dan dengan bantuan teknis dari berbagai instansi seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
1
Pada tahun 2010, provinsi NTT terdiri dari 20 kabupaten, 1 kota dan 287 kecamatan yang terdiri dari 283 kecamatan pedesaan dan 4 kecamatan perkotaan. Dari 20 kabupaten ini, ada 5 kabupaten baru hasil pemekaran tahun 2007-2009 yaitu kabupaten Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah (dari kabupaten Sumba Barat), kabupaten Manggarai Timur (dari kabupaten Manggarai), kabupaten Nagekeo (dari kabupaten Ngada) dan kabupaten Sabu Raijua (dari kabupaten Kupang). Serupa dengan FIA nasional 2005 dan FSVA nasional 2009, wilayah perkotaan tidak diikutsertakan dalam FSVA provinsi, sebab ketahanan pangan perkotaan perlu dianalisa secara terpisah yang mungkin akan menjadi pertimbangan dimasa depan. Selanjutnya, 3 kecamatan pedesaan tidak dianalisa karena merupakan kecamatan baru yang dibentuk tahun 2010, yaitu kecamatan Amfoang Tengah di Kabupaten Kupang, Solor Selatan di Flores Timur, dan Katikutana Selatan di Sumba Tengah (Lampiran 1.1). Sehingga di dalam peta ini hanya menunjukkan analisis situasi ketahanan pangan pada 280 kecamatan di 20 kabupaten. Peluncuran FIA nasional 2005 ternyata masih menyebabkan kesalahpahaman mengenai pengertian pemeringkatan kabupaten “rawan pangan”. Kata kerawanan pangan (food insecurity) diindikasikan secara langsung bahwa kabupaten-kabupaten peringkat bawah adalah kabupaten yang semua penduduknya rawan pangan. Oleh karena itu, pada peta nasional tahun 2009 diberi judul “Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia - Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA)” untuk menghindari kesalahpahaman pengertian tersebut. Perubahan nama Peta Kerawanan Pangan (FIA) menjadi Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) dilakukan dengan pertimbangan untuk memperjelas pengertian mengenai konsep ketahanan pangan berdasarkan tiga dimensi ketahanan pangan (ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan) dalam semua kondisi bukan hanya pada situasi kerawanan pangan saja. FSVA juga bertujuan untuk mengetahui berbagai penyebab kerawanan pangan secara lebih baik atau dengan kata lain kerentanan terhadap kerawanan pangan, bukan hanya kerawanan pangan itu sendiri.
1.2 KERANGKA KONSEP KETAHANAN PANGAN DAN GIZI Pada World Food Summit (1996), ketahanan pangan didefinisikan sebagai: ”Ketahanan pangan terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat”. Pada FSVA provinsi 2010, analisis dan pemetaan dilakukan berdasarkan pada pemahaman mengenai ketahanan dan kerentanan pangan dan gizi seperti yang tercantum dalam Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi (Gambar 1.1). a.
Ketahanan Pangan
Di Indonesia, Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan mengartikan Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Seperti FIA pertama dan FSVA nasional 2009, FSVA provinsi dibuat berdasarkan tiga pilar ketahanan pangan: (i) ketersediaan pangan; (ii) akses terhadap pangan; dan (iii) pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah, yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor/perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan pangan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat.
2
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
T E R PA PA R T E R H A D A P G O N C A N G A N D A N B E N C A N A
Gambar 1.1: Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi
Status Gizi/ Kematian Tingkat Individu
Status Kesehatan/ Penyakit
Asupan Makanan Individu
Kerangka Kerja Ketersediaan Pangan/ Pasar Pelayanan Dasar dan Infrastruktur Politik, Ekonomi, Kelembagaan, Keamanan, Sosial, Budaya, Gender, Lingkungan
Kondisi Agro-ekologikal/ Musim
Akses Pangan Rumah Tangga
Pola Asuh/ Praktek Kesehatan
Kondisi Kesehatan dan Higiene
Tingkat Rumah Tangga (RT)
Dampak Penghidupan
Produksi Pangan Rumah Tangga, pemberian, pertukaran, penghasilan tunai, pinjaman, tabungan, kiriman
Strategi Penghidupan
Modal/Aset Alam, Fisik, Manusia, Ekonomi, Sosial
Tingkat RT/ Masyarakat Aset Penghidupan
Sumber: WFP, Januari 2009
Akses Pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas. Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga, dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses pengolahannya serta kondisi higiene, budaya atau kebiasaan pemberian makan terutama untuk individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu (pertumbuhan, kehamilan, menyusui dll), dan status kesehatan masing-masing anggota rumah tangga. Produksi dan ketersediaan pangan yang cukup di tingkat nasional dan provinsi tidak secara otomatis menjamin ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu. Pangan mungkin tersedia dan dapat diakses namun sebagian anggota rumah tangga mungkin tidak mendapat manfaat secara maksimal apabila kelompok ini tidak memperoleh distribusi pangan yang cukup, baik dari segi jumlah maupun keragaman atau apabila kondisi tubuh mereka tidak memungkinkan penyerapan makanan karena penyiapan makanan yang tidak tepat atau karena sedang sakit.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
3
Kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan sebagai aspek-aspek utama penopang ketahanan pangan serta menghubungkan aspek-aspek tersebut dengan kepemilikan aset rumah tangga, strategi penghidupan, dan lingkungan politik, sosial, kelembagaan dan ekonomi. Dengan kata lain, status ketahanan pangan suatu rumah tangga, atau individu ditentukan oleh interaksi dari faktor lingkungan pertanian (agro-environmental), sosial ekonomi dan biologi dan bahkan faktor politik. Kerawanan pangan dapat bersifat kronis atau sementara/transien. Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan jangka panjang atau yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor strukural, yang tidak dapat berubah dengan cepat, seperti iklim setempat, jenis tanah, sistem pemerintah daerah, kepemilikan lahan, hubungan antar etnis, tingkat pendidikan, dll. Kerawanan pangan sementara adalah ketidakmampuan jangka pendek atau sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor dinamis yang berubah dengan cepat seperti penyakit infeksi, bencana alam, pengungsian, berubahnya fungsi pasar, tingkat besarnya hutang, perpindahan penduduk (migrasi) dll. Kerawanan pangan sementara yang terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan menurunnya kualitas penghidupan rumah tangga, menurunnya daya tahan, dan bahkan bisa berubah menjadi kerawanan pangan kronis. b.
Ketahanan gizi
Ketahanan gizi didefinisikan sebagai “akses fisik, ekonomi, lingkungan dan sosial terhadap asupan makanan seimbang, air layak minum, kesehatan lingkungan, pelayanan kesehatan dasar dan pendidikan dasar”. Ini berarti bahwa ketahanan gizi membutuhkan kombinasi dari komponen makanan dan nonmakanan. Ketahanan gizi yang ditunjukkan oleh status gizi merupakan tujuan akhir dari ketahanan pangan, kesehatan dan pola pengasuhan tingkat individu. Kerawanan pangan adalah salah satu dari 3 penyebab utama masalah gizi. Penyebab utama lainnya adalah status kesehatan dan kondisi kesehatan lingkungan masyarakat, dan pola pengasuhan. Oleh karena itu, di manapun terjadi kerawanan pangan, maka akan beresiko kekurangan gizi, termasuk kekurangan gizi mikro. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa kerawanan pangan adalah penyebab satu-satunya masalah kurang gizi, tanpa mempertimbangkan faktor kesehatan dan pola asuh seperti kurangnya akses ke air layak minum, sanitasi, fasilitas dan pelayanan kesehatan, rendahnya kualitas pola asuh dan pemberian makan anak serta tingkat pendidikan ibu, dll. c.
Kerentanan
Kerentanan terhadap kerawanan pangan mengacu pada suatu kondisi yang dapat membuat suatu masyarakat yang beresiko rawan pangan menjadi rawan pangan. Tingkat kerentanan individu, rumah tangga atau kelompok masyarakat ditentukan oleh tingkat keterpaparan mereka terhadap faktor-faktor resiko/goncangan dan kemampuan mereka untuk mengatasi situasi tersebut baik dalam kondisi tertekan maupun tidak.
1.3
INDIKATOR YANG DIGUNAKAN DALAM FSVA PROVINSI
Kerawanan pangan merupakan isu multi-dimensional yang memerlukan analisis dari berbagai parameter tidak hanya produksi dan ketersediaan pangan saja. Meskipun tidak ada cara spesifik untuk mengukur ketahanan pangan, kompleksitas ketahanan pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan pada tiga dimensi yang berbeda namun saling berkaitan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan oleh rumah tangga dan pemanfaatan pangan oleh individu.
4
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
Indikator yang dipilih dalam FSVA provinsi ini berkaitan dengan tiga pilar ketahanan pangan tersebut berdasarkan konsepsi Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi. Disamping itu, pemilihan indikator juga tergantung pada ketersediaan data pada tingkat kecamatan. Indikator yang digunakan untuk FSVA provinsi tertera pada Tabel 1.1. Tim Asistensi FSVA Pusat untuk pengembangan FSVA provinsi sepakat untuk menggunakan seluruh 13 indikator FSVA nasional 2009 untuk FSVA provinsi. Angka kematian bayi (Infant Mortality Rate - IMR) yang digunakan dalam FIA nasional 2005 dikeluarkan dari FSVA nasional 2009 dan FSVA provinsi karena ketidaktersediaan data. Data kurang gizi kronis (pendek/stunting) pada balita diambil dari data Pemantauan Status Gizi (PSG) provinsi NTT tahun 2009. Akan tetapi, data tersebut tidak dimasukkan ke dalam analisis ketahanan pangan komposit, tetapi tetap dianalisis dan dijelaskan dalam laporan secara deskriptif. FSVA provinsi ini dikembangkan dengan menggunakan 9 indikator ketahanan pangan kronis dan 4 indikator ketahanan pangan sementara/transien. Peta komposit ketahanan dan kerentanan pangan dihasilkan dengan mengkombinasikan 9 indikator ketahanan pangan kronis dengan menggunakan Principal Component Analysis dan Analisis Kelompok (Cluster Analysis). Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari BKP, Dinas Kesehatan dan Dinas Pertanian tingkat provinsi dan kabupaten serta publikasi dari BPS, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) provinsi, dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) provinsi serta Kementerian Kehutanan. Data yang digunakan untuk analisa ini berasal dari data tahun periode tahun 2007-2009. Beberapa indikator merupakan data individu, sedangkan indikator yang lain merupakan data rumah tangga atau masyarakat. Teknik Small Area Estimation (SAE) digunakan untuk beberapa indikator untuk mengestimasi data tingkat kecamatan dengan menggunakan data tingkat kabupaten dan desa berdasarkan petunjuk teknis dari BPS pusat dan beberapa ahli. Catatan teknis mengenai metodologi SAE dan aplikasinya dalam FSVA provinsi dapat dilihat pada lampiran 1.2. Peta komposit yang dikembangkan dari indikator-indikator tersebut hanya mengindikasikan situasi ketahanan pangan secara umum di suatu kecamatan. Pada kecamatan yang tahan pangan, sebagaimana diperlihatkan pada peta komposit, tidak berarti bahwa semua desa dan rumah tangga dalam kecamatan tersebut tahan pangan. Hal ini juga berlaku untuk daerah-daerah yang rawan pangan. Peta-peta dibuat dengan menggunakan pola warna yang seragam yaitu gradasi warna merah dan hijau. Gradasi warna merah menunjukkan variasi tingkat kerawanan pangan dan gradasi warna hijau menggambarkan kondisi yang lebih baik. Pada kedua kelompok warna tersebut, warna yang semakin tua menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dalam hal ketahanan atau kerentanan terhadap kerawanan pangan. Klasifikasi data pada peta untuk indikator individu sama dengan yang digunakan pada FIA nasional 2005 dan FSVA nasional 2009, kecuali data berat balita di bawah standar (underweight) yang menggunakan batas klasifikasi masalah kesehatan masyarakat dari Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2005) yang juga digunakan dalam FSVA nasional 2009. Index peta 1.1 sampai 1.5 merupakan daftar kabupaten dan kecamatan yang digunakan dalam analisis peta ini.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
5
Tabel 1.1: Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT, 2010 Indikator
Definisi dan Perhitungan
Sumber Data
Ketersediaan Pangan 1. Rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih ‘padi + jagung + ubi kayu + ubi jalar’
1.
Data rata-rata produksi bersih tiga tahun (2007-2009) padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar pada tingkat kecamatan dihitung dengan menggunakan faktor konversi standar. Untuk rata-rata produksi bersih ubi kayu dan ubi jalar dibagi dengan 3 (faktor konversi serealia) untuk mendapatkan nilai yang ekivalen dengan serealia. Kemudian dihitung total produksi serealia yang layak dikonsumsi.
2.
Ketersediaan bersih serealia per kapita per hari dihitung dengan membagi total ketersediaan serealia kecamatan dengan jumlah populasinya (data penduduk pertengahan tahun 2008).
3.
Data bersih serealia dari perdagangan dan impor tidak diperhitungkan karena data tidak tersedia pada tingkat kecamatan.
4.
Konsumsi normatif serealia/hari/kapita adalah 300 gram/ orang/hari.
5.
Kemudian dihitung rasio konsumsi normatif perkapita terhadap ketersediaan bersih serealia per kapita. Rasio lebih besar dari 1 menunjukkan daerah defisit pangan dan daerah dengan rasio lebih kecil dari 1 adalah surplus untuk produksi serealia.
Badan Ketahanan Pangan dan Badan Pusat Statistik Provinsi dan Kabupaten, (data 2007-2009)
Akses Pangan dan Matapencaharian 2. Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan
Nilai rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan-kebutuhan konsumsi pangan dan non pangan yang dibutuhkan oleh seorang individu untuk hidup secara layak. Dihitung dengan metode Small Area Estimation (SAE).
SUSENAS KOR 2007-2009, SUSENAS MODUL 2008, PODES (Potensi Desa) 2008, BPS
3. Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai
Lalu-lintas antar desa yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat sepanjang tahun.
PODES (Potensi Desa) 2008, BPS
4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik
Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap listrik dari PLN dan/atau non PLN, misalnya generator. Dihitung dengan metode SAE.
SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS
5. Persentase desa dengan jarak lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan
Persentase desa dengan jarak lebih dari 5 kilometer dari fasilitas kesehatan (rumah sakit, klinik, puskesmas, dokter, juru rawat, bidan yang terlatih, paramedik, dan sebagainya).
PODES (Potensi Desa) 2008, BPS
6. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih
Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses ke air minum yang berasal dari air leding/PAM, pompa air, sumur atau mata air yang terlindung. Dihitung dengan metode SAE.
SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS
7. Perempuan Buta Huruf
Persentase perempuan di atas 15 tahun yang tidak dapat membaca atau menulis. Dihitung dengan metode SAE.
SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS
8. Berat badan balita di bawah standar (Underweight)
Anak di bawah lima tahun yang berat badannya kurang dari -2 Standar Deviasi (-2 SD) dari berat badan normal pada usia dan jenis kelamin tertentu (Standar WHO 2005).
Pemantauan Status Gizi (PSG) 2009, Dinas Kesehatan NTT
9. Angka harapan hidup pada saat lahir
Perkiraan lama hidup rata-rata bayi baru lahir dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas sepanjang hidupnya. Dihitung dengan metode SAE.
SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS
Pemanfaatan Pangan
6
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
Indikator
Definisi dan Perhitungan
Sumber Data
Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Transien 10. Bencana alam
Data bencana alam yang terjadi di NTT dan kerusakannya selama periode 1990 – 2009.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 2010
11. Penyimpangan Curah Hujan
1.
Data rata-rata tahunan curah hujan pada musim hujan dan kemarau selama 10 tahun terakhir (1997-98 sampai 2007-08) dihitung.
2.
Kemudian dihitung persentase dari perbandingan nilai ratarata 10 tahun terhadap nilai normal rata-rata 30 tahun (19712000).
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) NTT, 2010
12. Persentase daerah puso
Persentase dari daerah ditanami padi dan jagung yang rusak akibat kekeringan, banjir dan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Sensus Pertanian (SP) BPS, 20072009
13. Deforestasi hutan
Deforestasi adalah perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi non hutan. Angka deforestasi hutan berdasarkan analisis citra satelit Landsat pada tahun 2002/2003 dan 2005/2006.
Penghitungan Deforestasi Indonesia tahun 2008, Departemen Kehutanan
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
7
BAB 2 KETERSEDIAAN PANGAN
Ketersediaan Pangan adalah ketersediaan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber, baik itu produksi pangan domestik, perdagangan pangan dan bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan oleh produksi pangan di wilayah tersebut, perdagangan pangan melalui mekanisme pasar di wilayah tersebut, stok yang dimiliki oleh pedagang dan cadangan pemerintah, dan bantuan pangan dari pemerintah atau organisasi lainnya. Produksi pangan tergantung pada berbagai faktor seperti iklim, jenis tanah, curah hujan, irigasi, komponen produksi pertanian yang digunakan, dan bahkan insentif bagi para petani untuk menghasilkan tanaman pangan. Pangan meliputi produk serealia, kacang-kacangan, minyak nabati, sayur-sayuran, buah-buahan, rempah, gula, dan produk hewani. Karena porsi utama dari kebutuhan kalori harian berasal dari sumber pangan karbohidrat, yaitu sekitar separuh dari kebutuhan energi per orang per hari, maka yang digunakan dalam analisa kecukupan pangan yaitu karbohidrat yang bersumber dari produksi pangan pokok serealia, yaitu padi, jagung, dan umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar) yang digunakan untuk memahami tingkat kecukupan pangan pada tingkat kabupaten maupun kecamatan.
2.1 PRODUKSI Pemerintah Daerah provinsi NTT telah mempromosikan produksi pertanian dan mengadopsi beberapa parameter perlindungan untuk para petani. Pertanian (termasuk peternakan, kehutanan dan perikanan) telah berkontribusi sekitar 40% pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi NTT dalam 4 tahun terakhir. Angka pertumbuhan sektor pertanian berkisar antara 0,95 - 4,95% selama tahun 2000-2007 dan 3,84% pada tahun 2008. Walaupun sektor pertanian memiliki kontribusi terbesar pada PDRB, namun laju pertumbuhannya paling rendah dibandingkan dengan sektor lain yang memiliki kontribusi yang cukup besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yaitu sektor jasa dan perdagangan (kontribusi terhadap PDRB masing-masing sebesar 24,12% dan 16,09%). Beras, jagung dan ubi kayu merupakan makanan pokok penduduk di provinsi NTT yang menyumbang hampir 70% pada produksi tanaman pangan pokok di NTT. Keseluruhan produksi serealia pokok dan umbi-umbian meningkat selama sepuluh tahun terakhir. Namun, produksi menurun pada tahun 2005 dan 2007 (lihat Tabel 2.1 dan Gambar 2.1). Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan luas tanam (Gambar 2.2) dan produktivitas. Produksi padi meningkat sebesar 32% pada periode yang sama, sedangkan produksi jagung dan ubi kayu meningkat masing-masing sebesar 21% dan 9%. Selain itu pergeseran pola konsumsi masyarakat dari non beras ke beras merangsang petani untuk menanam padi.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
9
Tabel 2.1: Produksi Serealia Pokok dan Umbi-umbian, 2000 - 2009 Serealia
2000
2001
2002
2003
Jagung
527.230
553,298
548,904
Padi
461.413
448,001
448,732
Ubi Jalar
156.394
147,056
133,066
Ubi Kayu
836.056
778,423
789,619
2008
2009
Rata-rata 10 Tahun
2004
2005
2006
2007
566,123
622,811
552,440
582,965
514,360
673,112
638,899
578,014
509,419
552,205
461,007
511,911
505,628
577,893
607,359
508,357
85,165
126,406
99,748
111,005
102,375
107,316
103,635
117,217
808,004 1,041,279
891,783
938,010
794,121
928,974
913,053
871,932
Sumber: BPS, 2009, Statistik Pertanian
Gambar 2.1: Produksi Serealia Pokok dan Umbi-Umbian, 2000 - 2009 1,200,000
Produksi (Ton)
1,000,000 800,000 600,000 ,
Jagung 400,000
Padi Ubi Jalar
200,000
Ubi Kayu
0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 2.2: Total Luas Panen Serealia dan Umbi-umbian di NTT (ha), 2000 - 2009 300,000
Luas Panen (ha)
250,000
200,000
150,000
Padi Jagung
100,000
Ubi Jalar Ubi Kayu
50,000
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Pada tahun 2009, total produksi serealia dan umbi-umbian mencapai 607.359 ton padi, 638.899 ton jagung, 913.053 ton ubi kayu dan 103.635 ton ubi jalar. Produksi tahun 2009 lebih tinggi jika dibandingkan dengan produksi rata-rata tahunan 10 tahun terakhir kecuali produksi ubi jalar. Padi
Analisa data BPS terhadap produksi padi tahunan per kabupaten di provinsi NTT untuk lima tahun terakhir (2005 – 2009) dapat dilihat pada Tabel 2.2. dan Gambar 2.3.
10
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
Gambar 2.3: Produksi Padi 2005 - 2009 400,000 350,000
Produks si (Ton)
300,000 250,000 200,000
Sumba Timor
150,000
Flores
100,000
Alor
50,000
Rote Ndao
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 2.3 menunjukan bahwa produksi padi meningkat di seluruh pulau di NTT selama lima tahun terakhir. Peningkatan secara signifikan terjadi di pulau Flores, Rote Ndao dan Timor. Pada tingkat kabupaten, peningkatan signifikan terjadi di kabupaten Kupang, Belu, Ngada, Rote Ndao dan Sikka, sedangkan penurunan produksi padi terjadi di kabupaten Manggarai Barat. Sentra produksi padi di NTT berada di pulau Flores (kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur). Produksi padi di pulau Flores sebesar 341.441 ton pada tahun 2009 yang menyumbang 56% terhadap total produksi padi di provinsi NTT. Jagung
Sejak dahulu kala, jagung sudah menjadi makanan pokok penduduk NTT, karena jagung sangat cocok dengan iklim dan kondisi tanah setempat. Pada tahun 2009, produksi jagung mencapai 638.899 ton, meningkat sebesar 15,8% dari produksi tahun 2005 (Gambar 2.4). Meningkatnya produktivitas dari 2,3 ton per hektar di tahun 2005 menjadi 2,6 ton per hektar di tahun 2009 dan meningkatnya luas penanaman jagung memberikan kontribusi terhadap keseluruhan peningkatan produksi ini. Daerah sentra produksi jagung di NTT berada di pulau Timor dan kabupaten Sumba Barat Daya. Gambar 2.4: Produksi Jagung 2005 - 2009 400,000 350,000
Produks si (Ton)
300,000 250,000 200,000
Sumba
150,000
Timor Flores
100,000
Alor Rote Ndao
50,000 2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
11
Ubi Kayu
NTT merupakan salah satu provinsi sentra produksi ubi kayu di Indonesia. Ubi kayu merupakan tanaman bahan pangan yang dapat dikonsumsi dalam bentuk ubi kayu segar, gaplek dan tapioka/tepung ubi kayu. Pada tahun 2009, produksi ubi kayu mencapai 913.053 ton, yang memberikan sumbangan 40,3% pada total produksi sereal di NTT. Produksi ubi kayu meningkat sebesar 2,3% selama 5 tahun terakhir. Namun, tingkat produksi berfluktuasi pada periode yang sama dan produktivitas menurun dari 10,3 ton per hektar menjadi 10,2 ton per hektar. Dengan demikian, peningkatan produksi lebih dipicu oleh peningkatan luas penanaman ubi kayu dari (86.464 hektar pada tahun 2005 menjadi 89.154 hektar pada tahun 2009). Daerah sentra produksi ubi kayu di NTT berada di pulau Timor, kabupaten Sikka dan Flores Timur di pulau Flores dan kabupaten Sumba Barat Daya di pulau Sumba (Gambar 2.5). Gambar 2.5: Produksi Ubi Kayu 2005 - 2009 600,000
WƌŽĚƵŬƐƐŝ;dŽŶͿ
500,000 400,000 300,000
Sumba Timor
200,000
Flores Alor
100,000
Rote Ndao
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Ubi Jalar
Ubi jalar merupakan salah satu komoditi yang cukup luas diproduksi di NTT. Produksi ubi jalar tingkat provinsi mengalami sedikit peningkatan (3,7%) pada periode 2005-2009 (Gambar 2.6). Akan tetapi, produksi ubi jalar cenderung mengalami penurunan untuk hampir seluruh kabupaten pada periode yang sama, kecuali di Gambar 2.6: Produksi Ubi Jalar 2005 - 2009 60,000
Produks si (Ton)
50,000 40,000
Sumba
30,000
Timor Flores
20,000
Alor 10,000
Rote Ndao
2005
2006
2007
dĂŚƵŶ
12
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
2008
2009
kabupaten Alor dan Sumba Barat Daya yang menunjukkan peningkatan signifikan pada tahun 2009. Sentra produksi ubi jalar berada di kabupaten TTS, Sikka, Manggarai, dan Sumba Barat Daya. Tabel 2.6 menunjukkan bahwa 13 dari 16 kabupaten/kota mengalami peningkatan produksi total serealia yang berbeda-beda pada periode 2009 dibandingkan dengan produksi tahun 2005 dengan peningkatan sebesar 4,06% di TTS dan 84,14% di Kupang. Pada periode yang sama, 3 kabupaten mengalami penurunan produksi total serealia yaitu kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur, dan Manggarai Barat. Tabel 2.2: Produksi Padi (2005 - 2009) (Ton) Kabupaten
No
Padi 2005
2006
2008
2007
2009
1
Sumba Barat
69,071
73,972
71,920
17,402
20,093
2
Sumba Timur
23,543
30,410
26,720
37,369
32,621
3
Kupang
16,659
36,458
31,524
38,666
37,493
4
TTS
11,970
13,745
12,895
12,175
12,301
5
TTU
18,707
23,468
21,538
25,707
29,191
6
Belu
10,775
18,331
16,660
20,053
23,661
7
Alor
8,107
7,426
8,451
14,210
9,262
8
Lembata
7,933
7,597
6,707
8,444
8,413
9
Flores Timur
15,048
15,351
14,657
19,910
22,538
10
Sikka
18,506
20,978
22,466
21,748
31,783
11
Ende
18,950
15,478
13,954
27,304
23,391
12
Ngada
41,824
35,744
41,364
39,773
37,805
13
Manggarai
104,650
115,699
123,572
55,099
61,320
14
Rote Ndao
24,064
30,364
22,744
43,315
45,215
15
Manggarai Barat
71,059
66,238
70,097
58,000
53,116
16
Sumba Barat Daya*)
-
-
-
32,151
38,297
17
Sumba Tengah*)
-
-
-
15,012
16,796
18
Nagekeo*)
-
-
-
31,532
40,407
19
Manggarai Timur*)
-
-
-
59,305
62,666
20
Sabu Raijua*)
21
Kota Kupang Total NTT Total Indonesia
-
-
-
-
-
142
652
359
718
986
461,006
511,911
505,628
577,896
607,359
54,151,000
54,455,000
57,157,000
60,325,925
64,398,890
*) Kabupaten pemekaran Sumber: Badan Ketahanan Pangan dan Badan Pusat Statistik Provinsi dan Kabupaten (data 2007-2009)
Tabel 2.3: Produksi Jagung (2005-2009) (Ton) Kabupaten
No
Jagung 2005
2006
2007
2008
2009
1
Sumba Barat
75,305
64,988
58,283
16,401
12,980
2
Sumba Timur
25,582
22,703
17,496
29,938
12,103
3
Kupang
35,662
44,744
58,788
64,871
62,820
4
TTS
135,398
160,013
111,882
154,868
147,307
5
TTU
44,367
46,798
53,039
48,540
56,744
6
Belu
63,533
78,082
82,120
96,883
79,721
7
Alor
16,820
8,522
11,708
16,051
17,150
8
Lembata
15,900
17,492
13,893
20,054
24,402
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
13
Tabel 2.3 (lanjutan): Produksi Jagung (2005-2009) (Ton) Kabupaten
No 9
Jagung 2005
2006
2008
2007
2009
Flores Timur
29,839
21,329
21,266
28,576
30,768
10
Sikka
20,982
28,192
22,450
27,064
32,301
11
Ende
10,903
7,950
7,689
8,963
13,480
12
Ngada
27,315
30,769
26,493
26,059
21,455
13
Manggarai
23,437
27,125
14,036
12,777
7,780
14
Rote Ndao
15
Manggarai Barat
16 17
9,675
10,643
8,841
11,543
12,413
15,651
12,350
5,291
23,126
10,612
Sumba Barat Daya*)
-
-
-
44,419
59,066
Sumba Tengah*)
-
-
-
9,595
7,022
18
Nagekeo*)
-
-
-
14,950
16,779
19
Manggarai Timur*)
-
-
-
17,337
12,770
20
Sabu Raijua*)
21
Kota Kupang Total NTT Total Indonesia
-
-
-
-
-
2,071
1,265
1,085
1,099
1,229
552,439
582,964
514,360
673,112
638,899
12,524,000
11,609,000
13,287,000
16,317,252
17,629,748
*) Kabupaten pemekaran Sumber: Badan Ketahanan Pangan dan Badan Pusat Statistik Provinsi dan Kabupaten (data 2007-2009)
Tabel 2.4: Produksi Ubi Kayu (2005-2009) (Ton) Kabupaten
No
Ubi Kayu 2005
2006
2008
2007
2009
1
Sumba Barat
131,678
151,896
92,129
13,855
13,220
2
Sumba Timur
27,114
24,735
20,085
22,949
22,197
3
Kupang
4
TTS
35,025
47,626
52,768
56,930
62,897
153,896
186,044
145,223
269,387
141,440
5
TTU
74,981
62,602
6
Belu
103,611
140,843
50,893
62,069
93,384
118,109
129,481
98,947
7
Alor
30,705
24,654
8
Lembata
24,459
33,210
28,283
28,237
38,351
22,020
25,314
32,239
9
Flores Timur
52,584
42,889
42,327
51,416
59,278
10
Sikka
68,769
52,320
58,188
60,757
101,453
11
Ende
26,051
30,743
14,371
17,261
32,013
12
Ngada
32,252
30,038
29,319
18,652
19,867
13
Manggarai
56,900
57,654
66,041
23,243
32,031
14
Rote Ndao
1,485
1,318
2,052
2,914
2,639
15
Manggarai Barat
70,495
49,340
50,304
61,805
56,522
16
Sumba Barat Daya*)
-
-
-
40,977
58,411
17
Sumba Tengah*)
-
-
-
4,874
4,730
18
Nagekeo*)
-
-
-
22,167
19,532
19
Manggarai Timur*)
-
-
-
14,560
21,438
20
Sabu Raijua*)
-
-
-
-
-
21
Kota Kupang Total NTT Total Indonesia
1,778
2,099
2,009
2,126
2,464
891,783
938,010
794,121
928,974
913,053
19,231,000
19,986,000
19,988,000
20,056,340
22,039,145
*) Kabupaten pemekaran Sumber: Badan Ketahanan Pangan dan Badan Pusat Statistik Provinsi dan Kabupaten (data 2007-2009)
14
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
Tabel 2.5: Produksi Ubi Jalar (2005-2009) (Ton) Ubi Jalar
Kabupaten
No
2005
2006
2008
2007
2009
1
Sumba Barat
7,291
14,715
10,995
862
1,649
2
Sumba Timur
3,223
3,691
4,242
3,494
3,008
3
Kupang
2,155
2,994
3,565
8,619
1,596
4
TTS
19,436
19,427
17,260
34,945
32,671
5
TTU
11,358
13,449
9,139
6,000
4,988
6
Belu
4,761
10,852
10,903
7,043
5,217
7
Alor
1,184
1,283
2,864
2,242
3,447
8
Lembata
4,099
3,295
1,971
2,085
1,662
9
Flores Timur
2,112
1,617
1,382
1,557
1,930
10
Sikka
6,180
5,944
12,668
6,683
12,878
11
Ende
1,077
1,366
1,077
2,034
1,255
12
Ngada
11,553
8,270
5,007
3,474
2,801
13
Manggarai
16,837
17,975
15,332
9,969
9,061
14
Rote Ndao
509
497
913
1,492
1,378
15
Manggarai Barat
7,704
5,560
4,986
7,092
5,742
16
Sumba Barat Daya*)
-
-
-
1,655
5,831
17
Sumba Tengah*)
-
-
-
883
242
18
Nagekeo*)
-
-
-
4,246
4,152
19
Manggarai Timur*)
-
-
-
2,864
4,004
20
Sabu Raijua*)
-
-
-
-
-
21
Kota Kupang Total NTT Total Indonesia
269
70
71
78
122
99,748
111,006
102,375
107,316
103,635
1,857,000
1,854,000
1,886,000
1,963,502
2,057,913
*) Kabupaten pemekaran Sumber: Badan Ketahanan Pangan dan Badan Pusat Statistik Provinsi dan Kabupaten (data 2007-2009)
Tabel 2.6: Produksi Total Serealia per tahun dan Laju Pertumbuhan Produksi untuk periode 2005 - 2009 (Ton) No
Kabupaten
Produksi Total Serealia 2005
2006
2007
2008
2009
Laju Pertumbuhan 2005 - 2009
1
Sumba Barat
283,345
305,571
233,327
48,520
47,942
-15.88
2
Sumba Timur
79,462
81,539
68,543
93,750
69,929
-12.00
3
Kupang
89,501
131,822
146,645
169,086
164,806
84.14
4
TTS
320,700
379,229
287,260
471,375
333,719
4.06
5
TTU
149,413
146,317
134,609
142,316
184,307
23.35
6
Belu
182,680
248,108
227,792
253,460
207,546
13.61
7
Alor
56,816
41,885
51,306
60,740
68,210
20.05
8
Lembata
52,391
61,594
44,591
55,897
66,716
27.34
9
Flores Timur
10
Sikka
99,583
81,186
79,632
101,459
114,514
14.99
114,437
107,434
115,772
116,252
178,415
55.91
11
Ende
56,981
55,537
37,091
55,562
70,139
23.09
12
Ngada
112,944
104,821
102,183
87,958
81,928
44.14
13
Manggarai
201,824
218,453
218,981
101,088
110,192
4.58
14
Rote Ndao
35,733
42,822
34,550
59,264
61,645
72.52
15
Manggarai Barat
164,909
133,488
130,678
150,023
125,992
-23.60
16
Sumba Barat Daya*)
-
-
-
119,202
161,605
-
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
15
Tabel 2.6 (lanjutan): Produksi Total Serealia per tahun dan Laju Pertumbuhan Produksi untuk periode 2005 - 2009 (Ton) No
Kabupaten
Produksi Total Serealia 2005
2006
2007
Laju Pertumbuhan 2005 - 2009
2009
2008
17
Sumba Tengah*)
-
-
-
30,364
28,790
-
18
Nagekeo*)
-
-
-
72,895
80,870
-
19
Manggarai Timur*)
-
-
-
94,066
100,878
-
20
Sabu Raijua*)
-
-
-
-
-
-
Kota Kupang
21
Total NTT Total Indonesia
4,260
4,086
3,524
4,021
4,801
19.40
2,004,977
2,143,891
1,916,484
2,287,298
2,262,946
12.87
87,763,000
87,904,000
92,318,000
98,663,019
106,125,696
20.92
*) Kabupaten pemekaran Sumber: Badan Ketahanan Pangan dan Badan Pusat Statistik Provinsi dan Kabupaten, (data 2007-2009)
2.2
RASIO KONSUMSI NORMATIF PER KAPITA TERHADAP PRODUKSI PANGAN
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa indikator ketersediaan pangan yang digunakan dalam analisis ketahanan pangan komposit adalah konsumsi normatif per kapita terhadap produksi pangan. Rasio tersebut menunjukkan apakah suatu wilayah mengalami surplus produksi serealia dan umbi-umbian. Perhitungan produksi pangan tingkat kecamatan dilakukan dengan menggunakan data rata-rata produksi tiga tahunan (2007–2009) untuk komoditas padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar karena sumber energi utama dari asupan energi makanan berasal dari serealia dan umbi-umbian. Pola konsumsi pangan di Indonesia menunjukkan bahwa hampir 50% dari kebutuhan total kalori berasal dari serealia dan umbi-umbian. Data produksi bersih rata-rata dari komoditi padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar dihitung dengan menggunakan faktor konversi baku. Untuk produksi bersih rata-rata ubi kayu dan ubi jalar agar setara dengan beras, maka harus dikalikan dengan 1/3 (1 kg beras atau jagung ekuivalen dengan 3 kg ubi kayu dan ubi jalar dalam hal nilai kalori). Kemudian dihitung total produksi serealia yang layak dikonsumsi. Ketersediaan bersih serealia per kapita dihitung dengan membagi total ketersediaan serealia kecamatan dengan jumlah penduduk (data penduduk pertengahan tahun 2008). Data bersih serealia dari perdagangan dan impor tidak diperhitungkan karena data tersebut tidak tersedia di tingkat kecamatan. Berdasarkan profil konsumsi Indonesia, konsumsi normatif serealia/hari/kapita adalah 300 gram. Kemudian dihitung konsumsi normatif per kapita terhadap rasio produksi (Lampiran 2.1: Indikator ketersediaan pangan). Peta 2.1 menggambarkan bahwa sebagian besar kecamatan di provinsi NTT adalah swasembada dalam produksi pangan serealia yang ditunjukkan oleh gradasi kelompok warna hijau, sedangkan daerah-daerah yang defisit ditunjukkan dengan gradasi kelompok warna merah. Kondisi iklim, kelayakan tanah, berulangnya bencana alam (kekeringan, banjir, dan lain sebagainya) merupakan faktor kendala lain yang menyebabkan ketidakmampuan daerah-daerah defisit tersebut dalam mencapai swasembada produksi tanaman serealia. 15% atau 43 dari 280 kecamatan di provinsi NTT mengalami defisit ketersediaan pangan. Diantaranya, 24 kecamatan defisit tinggi, 5 kecamatan defisit sedang dan 14 kecamatan lainnya defisit rendah. 85% atau 237 kecamatan di provinsi ini memiliki ketersediaan pangan yang cukup dengan rasio di bawah 1. Penyebab defisitnya ketersediaan serealia di beberapa kecamatan tersebut, meliputi: (1) ketersediaan lahan untuk bercocok tanam kurang dibandingkan dengan kepadatan penduduk, khususnya kecamatan kota (2) produktivitas lahan yang rendah karena kondisi lahan umumnya lahan kering dan kritis, (3) terjadinya kekeringan berkepanjangan, (4) peralihan dari tanaman pangan ke tanaman perkebunan seperti jambu mete dan lahan didominasi oleh tanaman perkebunan, (5) sistem usaha tani yang masih berpindah-pindah
16
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
(tebas dan bakar) dan subsisten. Jelas bahwa ketersediaan pangan yang cukup merupakan suatu prasyarat yang mutlak untuk ketahanan pangan, namun demikian prasyarat tersebut belum cukup untuk menjamin ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan individu.
2.3
TANTANGAN UTAMA PEMENUHAN KECUKUPAN
Peningkatan produktivitas tanaman pangan di tingkat petani relatif stagnan, karena terbatasnya kemampuan produksi, penurunan kapasitas kelembagaan petani, kualitas penyuluhan pertanian yang jauh dari memadai, serta menurunnya investasi pada infrastruktur pedesaan. Semakin terbatasnya kapasitas produksi pangan provinsi, disebabkan oleh: (i) menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat kerusakan lingkungan; (ii) semakin terbatas dan tidak pastinya ketersediaan air untuk produksi pangan akibat kerusakan hutan; (iii) minimnya prasarana pengairan, (iv) kerusakan tanaman yang disebabkan oleh kekeringan maupun banjir semakin tinggi ; (v) masih tingginya proporsi kehilangan hasil panen pada proses produksi, penanganan hasil panen dan pengolahan pasca panen; dan (vi) penyimpangan iklim. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi di NTT menjadi tantangan lain yang perlu dihadapi dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Tahun 2015 penduduk provinsi NTT diperkirakan akan mencapai 5.1 juta jiwa (Gambar 2.7). Gambar 2.7: Proyeksi Penduduk NTT menurut Pulau dan Provinsi, tahun 2005 - 2015 6,000,000
Popu ulasi
5,000,000
4,000,000
Sumba
3,000,000
Timor Flores
2,000,000
Alor Rote Ndao
1,000,000
Provinsi
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun
Strategi untuk meningkatkan ketersediaan pangan
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi NTT 2009 – 2013, ditetapkan beberapa program yang terkait ketersediaan pangan yaitu: 1. Ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian; 2. Pengembangan agro-industri; 3. Pengembangan kelembagaan agribisnis; 4. Peningkatan penerapan teknologi pertanian/perkebunan; 5. Pemberdayaan penyuluh pertanian/perkebunan lapangan; 6. Peningkatan kesejahteraan petani;
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
17
7. Peningkatan ketahanan pangan pertanian/perkebunan (termasuk pengembangan pangan lokal); 8. Budidaya perikanan dan pengembangan sistem penyuluhan perikanan (termasuk pengembangan perikanan tangkap); 9. Peningkatan produksi dan teknologi peternakan; pencegahan dan penanggulangan penyakit ternak; dan 10. Pembangunan dan pengelolaan jaringan irigasi, sumber daya air dan jaringan pengairan lainya.
18
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
BAB 3 AKSES TERHADAP PANGAN DAN PENGHIDUPAN
Akses terhadap pangan merupakan salah satu dari 3 pilar ketahanan pangan dan salah satu indikator kunci yang digunakan dalam menganalisa FIA nasional 2005, FSVA nasional 2009 dan FSVA provinsi. Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, stok, pembelian, barter, hadiah/pemberian, pinjaman dan bantuan pangan. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas. Akses pangan tergantung pada daya beli rumah tangga yang ditentukan oleh penghidupan rumah tangga tersebut. Penghidupan terdiri dari kemampuan rumah tangga, modal/aset (sumber daya alam, fisik, sumber daya manusia, ekonomi dan sosial) dan kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar – penghasilan, pangan, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. Rumah tangga yang tidak memiliki sumber penghidupan yang memadai dan berkesinambungan, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi tidak berkecukupan, tidak stabil dan daya beli menjadi sangat terbatas, yang menyebabkan tetap miskin dan rentan terhadap kerawanan pangan. Secara global, penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah US$ 1,25 (Purchasing Power Parity/PPP) per hari menurut Bank Dunia, di kelompokkan sebagai penduduk miskin. Pemerintah Indonesia menggunakan garis kemiskinan nasional untuk keperluan perencanaan sebesar 204,896 rupiah/orang/bulan untuk daerah perkotaan dan 161.831 rupiah/orang/hari untuk daerah pedesaan pada tahun 2008, sedangkan pada tahun 2009, garis kemiskinan untuk daerah perkotaan sebesar 222.123 rupiah/orang/bulan dan 179.834 rupiah/ orang/hari untuk daerah pedesaan. Berdasarkan harga komoditi pokok di provinsi, garis kemiskinan provinsi sebesar 199.006 rupiah/orang/bulan untuk daerah perkotaan dan 126.746 rupiah/orang/hari untuk daerah pedesaan pada tahun 2008, dan 218.796 rupiah/orang/bulan untuk daerah perkotaan dan 142.478 rupiah/ orang/hari untuk daerah pedesaan digunakan pada tahun 2009 oleh pemerintah NTT. Semakin besar jumlah penduduk miskin di suatu provinsi atau kabupaten maka akses terhadap pangan akan semakin rendah dan angka kerawanan pangan akan semakin tinggi.
3.1 PENDUDUK DI BAWAH GARIS KEMISKINAN Pada dekade yang lalu, Pemerintah provinsi NTT telah melakukan upaya yang berarti untuk mengurangi tingkat kemiskinan di NTT. Pada tahun 2008 jumlah penduduk miskin NTT yang sebesar 25,65 % menurun menjadi 23,31 % di tahun 2009 (Tabel 3.1). Ini berarti bahwa lebih dari satu juta orang penduduk hidup di bawah garis kemiskinan di NTT pada tahun 2009. Tingkat kemiskinan lebih tinggi di pulau Sumba (kabupaten Sumba Tengah, Sumba Timur, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya), kabupaten Rote Ndao dan TTS. Data tingkat kecamatan mengenai persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan provinsi menunjukkan perbedaan tingkat kemiskinan yang jelas antar kecamatan (Lampiran 3.1 dan Peta 3.1). Dari 280 kecamatan, terdapat 93 kecamatan (33%) di 13 kabupaten memiliki persentase kemiskinan lebih dari 30%, sedangkan 7 kabupaten lainnya tidak memiliki kecamatan dengan persentase kemiskinan lebih dari 30% yaitu kabupaten Belu, Flores Timur, Sikka, Ngada, Nagekeo, Manggarai Timur dan Sabu Raijua
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
19
Tabel 3.1: Jumlah dan Persentase Populasi di Bawah Garis Kemiskinan 2009
2008
Kabupaten
No
Jumlah (‘000)
%
Jumlah (‘000)
%
1
Sumba Barat
38.38
37.85
36.33
35.39
2
Sumba Timur
81.09
37.14
76.56
34.68
3
Kupang
95.63
26.95
90.03
24.16
4
TTS
130.77
33.55
123.42
31.14
5
TTU
55.17
27.74
50.62
24.96
6
Belu
82.74
19.69
77.14
17.47
7
Alor
43.18
25.14
39.22
22.84
8
Lembata
28.84
29.24
26.96
26.39
9
Flores Timur
29.26
13.21
24.84
11.04
10
Sikka
45.90
17.34
40.46
15.35
11
Ende
57.48
24.87
51.71
23.01
12
Ngada
19.43
15.49
17.30
13.54
13
Manggarai
137.78
28.57
66.89
25.76
14
Rote Ndao
38.83
36.58
37.30
34.09
15
Manggarai Barat
48.28
25.05
45.92
22.96
16
Sumba Barat Daya
88.65
36.45
86.27
34.27
17
Sumba Tengah
21.49
38.65
20.77
35.83
18
Nagekeo
16.77
14.53
15.60
13.03
19
Manggarai Timur*)
-
-
58.98
25.51
20
Sabu Raijua*) Total NTT Total Indonesia
-
-
-
-
1,098.30
25.65
1,013.10
23.31
34,963.30
15.42
32,529.90
14.15
*) Kabupaten pemekaran Sumber: SUSENAS KOR 2007-2009, SUSENAS MODUL 2008, PODES (Potensi Desa) 2008, BPS
(Tabel 3.2). Seluruh kecamatan di kabupaten Sumba Barat Daya dan Rote Ndao, 5 dari 6 kecamatan di kabupaten Sumba Barat, dan 17 dari 22 kecamatan di kabupaten Sumba Timur memiliki persentase kemiskinan di atas 30%. Oleh karena itu, kabupaten-kabupaten ini harus memprioritaskan program penanggulangan kemiskinan. Tabel 3.2: Jumlah Kecamatan yang Memiliki Lebih Dari 30% Penduduk Hidup di Bawah Garis Kemiskinan tahun 2008 Kabupaten
No
Total Kecamatan
Jumlah kecamatan yang memiliki 30% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan
%
1
Sumba Barat
6
5
83
2
Sumba Timur
22
17
77
3
Kupang
23
7
30
4
TTS
32
22
69
5
TTU
24
8
33
6
Belu
24
0
-
7
Alor
17
4
24
8
Lembata
9
4
44
9
Flores Timur
18
0
-
10
Sikka
21
0
-
11
Ende
20
4
20
12
Ngada
9
0
-
20
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
Tabel 3.2 (lanjutan): Jumlah Kecamatan yang Memiliki Lebih Dari 30% Penduduk Hidup di Bawah Garis Kemiskinan tahun 2008 Kabupaten
No
Total Kecamatan
Jumlah kecamatan yang memiliki 30% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan
%
13
Manggarai
9
4
44
14
Rote Ndao
8
8
100
15
Manggarai Barat
7
1
14
16
Sumba Barat Daya
8
8
100
17
Sumba Tengah
4
1
25
18
Nagekeo
7
0
-
19
Manggarai Timur
6
0
-
20
Sabu Raijua
6
0
-
280
93
33
Total NTT
Sumber: SUSENAS KOR 2007-2009, SUSENAS MODUL 2008, PODES (Potensi Desa) 2008, BPS
Gambar 3.1 menggambarkan dengan jelas tentang dominasi sektor pertanian sebagai sumber pendapatan masyarakat. Disamping pendapatan yang diperoleh dari hasil panen tanaman pangan, peternakan dan perkebunan juga merupakan sumber pendapatan signifikan kedua dan ketiga di banyak wilayah di NTT. Dengan produktifitas pertanian yang cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir, penguasaan lahan yang kecil dan curah hujan yang tak menentu, berdampak kurang menguntungkan pada masyarakat yang bergantung pada produksi tanaman pangan (dilahan sendiri ataupun di lahan dengan sistem bagi hasil) sebagai sumber pendapatan utama. Hal–hal tersebut di atas mengakibatkan banyak dari mereka yang jatuh di bawah atau berada disekitar garis kemiskinan.
Gambar 3.1: Sumber Pendapatan Utama menurut Klasifikasi Sektoral
Sabu Raijua Manggarai Timur Nagekeo Sumba Tengah Sumba Barat Daya Manggarai Barat Rote Ndao Manggarai Ngada Ende Sikka Flores Timur
Pertanian
Lembata
Pertambangan dan Penggalian
Alor
Industri Pengolahan
Belu
Perdagangan Besar/Eceran
TTU
Angkutan, Pergudangan, Komunikasi
TTS
Jasa
Kupang
Lainnya
Sumba Timur Sumba Barat 82%
84%
86%
88%
90%
92%
94%
96%
98%
100%
Sumber: PODES 2008, BPS
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
21
3.2
TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA
Sumber utama data ketenagakerjaan adalah Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS). Sejak tahun 2005, SAKERNAS dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Februari dan Agustus. Dalam rangka menyesuaikan dengan konsep baru dari Organisasi Tenaga Kerja International (ILO), maka konsep status ketenagakerjaan dan pengangguran terbuka telah di perluas sejak SAKERNAS tahun 2001. Total angkatan kerja adalah penduduk usia 15 tahun atau lebih yang pada minggu lalu bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran (sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu usaha). Konsep pengangguran terbuka saat ini mencakup penduduk yang aktif mencari pekerjaan, penduduk yang sedang mempersiapkan usaha/pekerjaan baru, penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan serta penduduk yang tidak aktif mencari pekerjaan dengan alasan sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) adalah perbandingan total pengangguran terbuka dibagi dengan jumlah angkatan kerja. Tabel 3.3: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), 2007 - 2009 (%) No
Kabupaten
2007
2009
2008
1
Sumba Barat
3.93
3.82
3.57
2
Sumba Timur
2.97
2.34
3.18
3
Kupang
3.72
2.79
2.29
4
TTS
3.24
3.88
1.04
5
TTU
2.83
2.99
2.17
6
Belu
3.13
3.13
1.06
7
Alor
4.28
2.88
2.07
8
Lembata
3.10
2.76
2.29
9
Flores Timur
6.30
4.94
4.92
10
Sikka
3.41
4.92
3.08
11
Ende
2.33
3.14
3.70
12
Ngada
2.66
3.98
1.84
13
Manggarai
1.75
2.49
2.67
14
Rote Ndao
3.67
5.02
4.19
15
Manggarai Barat
1.54
2.75
2.27
16
Sumba Barat Daya*)
-
1.59
2.02
17
Sumba Tengah*)
-
2.93
1.11
18
Nagekeo*)
-
3.23
1.27
19
Manggarai Timur*)
-
-
0.12
20
Sabu Raijua*)
21
Kota Kupang Total NTT
-
-
-
14.14
11.99
12.05
3.72
3.73
2.85
*) Kabupaten pemekaran Sumber: BPS, Sakernas, 2007 - 2009
Tabel 3.3 menunjukkan bahwa pada tingkat provinsi, TPT tidak mengalami perubahan, masih berada pada kisaran di atas 3% selama tahun 2007-2008, tetapi telah terjadi penurunan yang signifikan sekitar 0,8% dari 3,7% pada tahun 2008 ke 2,9% pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan angka kemiskinan yang terjadi secara perlahan-lahan, peningkatan upah buruh sebagai hasil dari pertumbuhan ekonomi memiliki beberapa dampak positif terhadap situasi TPT tingkat provinsi selama tahun 20072009.
22
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
Tingkat pengangguran bervariasi antar kabupaten. Dibandingkan dengan tingkat pengangguran provinsi pada tahun 2009, tingkat pengangguran yang tertinggi terdapat di kabupaten Flores Timur (4,9 %), diikuti oleh kabupaten Rote Ndao (4,2%) dan Ende (3,7%). Pengangguran terendah di kabupaten Manggarai Timur (0,1%).
3.3 AKSES TERHADAP INFRASTRUKTUR DASAR (JALAN DAN LISTRIK) Kurangnya akses terhadap infrastruktur menyebabkan kemiskinan lokal dimana masyarakat tinggal di daerah terisolir atau terpencil dengan kondisi geografis yang sulit dan ketersediaan pasar yang buruk, sehingga kurang memiliki kesempatan ekonomi dan pelayanan jasa yang memadai. Kelompok miskin ini masih kurang mendapatkan akses terhadap program pembangunan pemerintah. Investasi pada infrastruktur – khususnya infrastruktur transportasi (jalan, pelabuhan, bandara, dan lain-lain), listrik, infrastuktur pertanian (irigasi), dan fasilitas pendidikan dan kesehatan – dapat sepenuhnya mengubah suatu wilayah sehingga menciptakan landasan pertumbuhan ekonomi dan partisipasi yang lebih besar dari masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Pembangunan infrastruktur provinsi NTT memainkan peran kunci dalam menciptakan pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan. Perekonomian NTT tumbuh selama tiga tahun terakhir (2005 – 2008) rata-rata 4,7% per tahun dan pendapatan per kapita mencapai Rp 4.469.837 (angka sementara). Pada sektor pertanian, faktor yang menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah adalah rendahnya harga komoditas pertanian di tingkat petani/produsen (farm gate price) di daerah pedesaan dibandingkan dengan harga di perkotaan untuk komoditas dengan kualitas yang sama (komoditas belum dirubah atau diproses). Rendahnya harga komoditas pertanian di tingkat petani merupakan akibat dari tingginya biaya transportasi untuk pemasaran hasil pertanian dari desa surplus. Biaya transportasi akan lebih tinggi pada moda transportasi selain moda kendaraan bermotor – melewati jalan setapak dan jalan kecil dengan tenaga manusia atau hewan, misalnya pada daerah yang tidak memiliki akses jalan yang memadai. Dalam sebuah kajian cepat terhadap penyebab kemiskinan di lima kabupaten di Indonesia, masyarakat desa di daerah terpencil mengeluhkan tingginya biaya transportasi sebagai penyebab utama kemiskinan. Harga komoditas pertanian di tingkat petani yang lebih menguntungkan akan menyebabkan tingkat pendapatan yang baik pula bagi masyarakat petani. Namun pendapatan yang lebih tinggi bagi penduduk pedesaan terpencil itu sendiri belumlah cukup. Hal ini masih perlu didukung dengan akses terhadap pelayanan jasa, dan investasi infrastruktur agar dapat lebih menjamin kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat pertanian. Dengan pengembangan akses jalan, maka guru–guru dapat lebih bersemangat untuk mengajar di sekolah–sekolah di pedesaan miskin, yang pada gilirannya juga dapat meningkatkan sumber daya manusia di wilayah miskin tersebut. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dapat menjangkau petani pedesaan dalam menyediakan bantuan teknis dan informasi lainnya. Masyarakat pedesaan dapat menjangkau pusat kesehatan lebih baik, sehingga angka kematian anak dapat dikurangi. Manfaat pembangunan akses jalan di pedesaan yang berpenduduk miskin akan sangat dirasakan dalam peningkatan aspek sosial maupun ekonomi penduduk desa tersebut. Keterbelakangan infrastruktur menghalangi laju perkembangan dari suatu wilayah. Infrastruktur yang lebih baik akan menarik investasi yang lebih besar pada berbagai sektor, hal itu akan memberikan daya dorong terhadap penghidupan berkelanjutan. Akses jalan memberikan akses yang lebih baik ke pasar bagi para produsen, penjual dan pembeli. Akses juga merupakan penghubung yang penting terhadap pusat
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
23
pertumbuhan suatu daerah. Jalan memungkinkan orang untuk mengakses lebih baik terhadap pelayanan dasar lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya yang sangat penting untuk memperbaiki standar kehidupan. Daerah yang terhubungkan dengan baik oleh jalan akan menerima dukungan infrastruktur lain yang memperkuat penghidupan masyarakat. Di provinsi NTT, lebih dari 14% desa tidak dapat dijangkau oleh kendaraan roda 4 pada musim tertentu. Peta 3.2 memperlihatkan bahwa konektifitas jalan untuk kendaraan roda 4 masih sangat terbatas di beberapa kabupaten, khususnya di sebagian besar Manggarai Barat, Manggarai Timur, Ende, Alor dan Sikka (Tabel 3.4). Situasi pada tingkat kecamatan disajikan pada Lampiran 3.1 dan Peta 3.2. Tabel 3.4: Persentase Desa yang Tidak Dapat Dilalui Kendaraan Roda Empat No
Kabupaten
% Desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat
1
Sumba Barat
9.43
2
Sumba Timur
12.82
3
Kupang
10.73
4
TTS
5
TTU
4.05
6
Belu
12.98
7
Alor
27.43
8
Lembata
9
8.75
9.30
Flores Timur
11.95
10
Sikka
18.13 22.07
11
Ende
12
Ngada
13
Manggarai
12.86
14
Rote Ndao
1.25
15
Manggarai Barat
16
Sumba Barat Daya
17
Sumba Tengah
13.95
18
Nagekeo
10.75
19
Manggarai Timur
45.61
20
Sabu Raijua
7.45
38.84 9.38
4.76
Total NTT
14.81
Total Indonesia
13.88
Sumber: SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS
Gambar 3.2 menunjukan bahwa jalan merupakan moda transportasi utama di provinsi NTT. Akan tetapi ada beberapa kabupaten seperti Sikka dan Sabu Raijua dimana moda transportasi air masih menjadi bagian penting dari moda transportasinya. Kurang memadainya kualitas jalan atau bahkan tidak tersedianya akses jalan menunjukan bahwa pelayanan pembangunan oleh pemerintah jarang menjangkau daerah tersebut. Data yang akurat untuk moda tranportasi air belum tersedia, sehingga kami tidak dapat menggunakan transportasi air sebagai salah satu indikator akses infrastruktur. Akses listrik merupakan suatu indikator pendekatan yang baik untuk melihat tingkat kesejahteraan ekonomi dan peluang penghidupan pada suatu daerah. Akses listrik di tingkat rumah tangga memberikan peluang bagi kondisi kehidupan yang lebih baik. Pada tingkat nasional, 91,5% rumah tangga di Indonesia memiliki akses listrik. Akan tetapi, hanya 61,3% rumah tangga yang memiliki akses listrik di provinsi NTT, terendah diantara 33 provinsi di Indonesia. Tabel 3.5 menunjukan bahwa akses rumah tangga terhadap listrik
24
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
rendah khususnya di kabupaten Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, dan TTS. Situasi pada tingkat kecamatan disajikan pada Lampiran 3.1 dan Peta 3.3.
Gambar 3.2: Moda Transportasi di NTT NTT Sabu Raijua Manggarai Timur Nagekeo Sumba Tengah Sumba Barat Daya Manggarai Barat Rote Ndao Manggarai Ngada Ende Sikka Flores Timur Lembata Alor Belu TTU
Jalan dan Air
TTS
Air
Kupang
Jalan
Sumba Timur Sumba Barat 0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Sumber: PODES 2008, BPS
Tabel 3.5: Persentase Rumah Tangga Tanpa Akses ke Listrik No
Kabupaten
% Tanpa Akses ke Listrik
1
Sumba Barat
69.86
2
Sumba Timur
66.03
3
Kupang
65.26
4
TTS
81.39
5
TTU
60.89
6
Belu
70.37
7
Alor
59.51
8
Lembata
51.16
9
Flores Timur
37.16
10
Sikka
52.02
11
Ende
37.45
12
Ngada
39.70
13
Manggarai
64.55
14
Rote Ndao
64.34
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
25
Tabel 3.5 (lanjutan): Persentase Rumah Tangga Tanpa Akses ke Listrik No
Kabupaten
% Tanpa Akses ke Listrik
15
Manggarai Barat
74.95
16
Sumba Barat Daya
88.66
17
Sumba Tengah
84.60
18
Nagekeo
63.38
19
Manggarai Timur
65.86
20
Sabu Raijua
58.37
Total NTT
59.43
Total Indonesia
7.62
Sumber: SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS
3.4
STRATEGI UNTUK PENGURANGAN KEMISKINAN, PENINGKATAN AKSES TERHADAP PANGAN DAN PENGHIDUPAN
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) provinsi NTT 2009 – 2013 menetapkan agenda khusus untuk penanggulangan kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan merupakan upaya lintas sektor dan lintar kewenangan sehingga program penanggulangan kemiskinan merupakan program lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Prioritas program terkait adalah sebagai berikut: 1. Program – program terkait Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PKMS); 2. Program terkait ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian; 3. Program terkait pengembangan kelembagaan agribisnis; 4. Program terkait pengembangan industri non pertanian; 5. Program terkait revitalisasi institusi ekonomi; 6. Program terkait peningkatan derajat kesehatan masyarakat; 7. Program terkait peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat; 8. Program terkait penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun; 9. Program terkait pendidikan non formal; 10. Program terkait peningkatan kualitas angkatan kerja, penciptaan kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja; dan 11. Program terkait pemberdayaan perempuan pedesaan. Sementara program untuk pembangunan infrastruktur termasuk: 1. Pembangunan dan pemeliharaan sarana prasarana dan fasilitas perhubungan (termasuk jalan dan jembatan); 2. Pembangunan dan pengembangan energi listrik dan mineral; dan 3. Pembangunan infrastuktur pedesaan. Diharapkan dari program-program tersebut di atas dapat tercapai indikator program seperti menurunnya persentase penduduk miskin dari 25,65 % pada tahun 2008 menjadi maksimal 16,4% pada tahun 2013. Seluruh strategi penanggulangan kemiskinan harus secara terintegrasi dan melibatkan masyarakat miskin dalam upaya pengentasan kemiskinan sehingga kemampuan dan keberdayaan mereka dapat meningkat. Terbukti bahwa dengan melibatkan dan membangun keberdayaan masyarakat dapat menjadi sangat efektif dalam upaya pengentasan kemiskinan. Sistim keamanan sosial yang kuat dan terstruktur, baik dalam bentuk
26
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
bantuan sosial langsung tunai bagi mereka yang sangat rentan atau sistem keamanan sosial berdasarkan program pemberdayaan masyarakat miskin terpadu dan terarah perlu dikembangkan serta diperkuat. Adaptasi terhadap perubahan iklim (Climate Change Adaptation) akan menjadi salah satu faktor kunci yang menjamin kesinambungan perbaikan akses pangan dan penghidupan rumah tangga yang tergolong miskin dan rentan. Petani kecil harus dilindungi dari gagal panen yang disebabkan oleh anomali iklim melalui inisiatif perlindungan sosial yang inovatif. Diversifikasi matapencaharian akan meningkatkan ketahanan keluarga rentan terhadap segala goncangan. Sebuah rumah tangga akan dapat menanggulangi dengan lebih baik jika mereka memiliki lebih dari satu jenis sumber pendapatan. Umumnya, telah diamati bahwa rumah tangga rentan menggunakan strategi penanganan masalah yang kurang tepat selama masa sulit, dan sulit untuk diubah. Hal ini terutama disebabkan oleh kurangnya sumber pendapatan ke-2 di luar matapencaharian utama. Semua program diversifikasi matapencaharian yang direncanakan secara matang dapat menjawab tantangan ini, dengan demikian meningkatkan kemampuan rumah tangga untuk meningkatkan standar hidup mereka tanpa menggunakan strategi penanganan yang keliru.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
27
BAB 4 PEMANFAATAN PANGAN
Pilar ketiga dari ketahanan pangan adalah pemanfaatan pangan. Pemanfaatan pangan meliputi: a) Pemanfaatan pangan yang bisa di akses oleh rumah tangga; dan b) kemampuan individu untuk menyerap zat gizi - pemanfaatan makanan secara efisien oleh tubuh. Pemanfaatan pangan oleh rumah tangga tergantung pada: (i) fasilitas penyimpanan dan pengolahan makanan dimiliki oleh rumah tangga; (ii) pengetahuan dan praktek yang berhubungan dengan penyiapan makanan, pemberian makan untuk balita dan anggota keluarga lainnya yang sedang sakit atau sudah tua dipengaruhi oleh pengetahuan yang rendah dari ibu dan pengasuh, adat/kepercayaan dan tabu; (iii) distribusi makanan dalam keluarga; dan (iv) kondisi kesehatan masing-masing individu yang mungkin menurun karena penyakit, higiene, air dan sanitasi yang buruk dan kurangnya akses ke fasilitas kesehatan dan pelayanan kesehatan. Bab ini menggambarkan data tentang pola konsumsi pangan penduduk. Karena terbatasnya data pada tingkat kabupaten, maka penjelasan dibatasi hanya pada tingkat provinsi. Analisa dan peta untuk indikator lainnya (akses terhadap fasilitas kesehatan, air bersih, perempuan buta huruf, dampak terhadap kesehatan dan gizi) untuk tingkat kecamatan, akan disajikan dalam bagian berikutnya.
4.1 KONSUMSI PANGAN Konsumsi pangan yang disajikan pada FSVA ini menunjukkan tingkat asupan energi penduduk yang dinyatakan dalam energi (Kkal) per kapita per hari, dan asupan protein dinyatakan dalam gram per kapita per hari. Konsumsi pangan dihitung berdasarkan pengeluaran untuk makanan dalam rumah tangga selama sebulan dari sampel yang di survei setiap tahun. Pola Konsumsi Pangan
Pada tabel 4.1 rata-rata asupan energi harian pada tahun 2009 adalah 1.972 Kkal/kapita/hari, ini berarti lebih rendah dari Angka Kecukupan Gizi nasional (AKG nasional adalah 2.000 Kkal). Asupan protein sebesar 54,13 gram/kapita/hari, melampaui AKG nasional (52 gram). Asupan energi menurun sebesar 3% dan asupan protein meningkat sebesar 2% dibandingkan SUSENAS 2002. Pada tingkat individu, data 2009 menunjukan adanya peningkatan yang signifikan pada konsumsi pangan di semua golongan Pengeluaran Bulanan per Kapita (Monthly Per Capita Expenditure (MPCE), termasuk tiga golongan terendah. Tabel 4.1 menunjukan peningkatan konsumsi pangan pada tiga golongan terendah, untuk energi yang bervariasi antara 6% dan 22%, dan antara 11% dan 36% untuk protein. Namun, untuk asupan energi dan protein dari 3 golongan MPCE terendah masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan AKG nasional, dan lebih rendah dari angka rata-rata nasional dan provinsi. Semakin rendah MPCE, semakin besar tingkat kekurangan energi dan protein. Tingkat kekurangan energi bervariasi antara 11% di golongan terendah ke-3 (MPCE 3) dan 32% di golongan terendah ke-1 (MPCE 1), sementara kekurangan protein bervariasi antara 12% dan 29%. Hal ini menunjukan bahwa penduduk golongan terendah ke-1 (MPCE 1) mengkonsumsi hanya 68% dari AKG nasional untuk energi dan 71% dari AKG nasional untuk protein.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
29
Tabel 4.1: Konsumsi Kalori dan Protein per Kapita per Hari pada Tiga Golongan Terbawah dari Golongan Pengeluaran Bulanan per Kapita Golongan Pengeluaran Bulanan per Kapita
Kelompok Makanan
MPCE 1 (< Rp 100,000)
Padi-padian Umbi-umbian
MPCE 2 MPCE 3 ( Rp 100,000 - 149,999) ( Rp 150,000 - 199,999)
Rata-rata Provinsi
Rata-rata Nasional
Kalori
Protein (g)
Kalori
Protein (g)
Kalori
Protein (g)
Kalori
Protein (g)
Kalori
Protein (g)
1,083.69
26.65
1,140.83
27.77
1,231.36
29.52
1,285.45
30.74
1,042.68
24.49
23.65
0.16
54.30
0.39
77.30
0.55
63.70
0.45
54.60
0.40
Ikan
7.84
1.25
11.94
1.93
21.81
3.51
35.79
5.93
46.31
7.64
Daging
0.69
0.04
16.60
0.86
18.39
0.98
32.84
1.83
24.67
1.47
Telur dan susu
0.22
0.01
4.18
0.27
6.61
0.39
25.80
1.52
36.56
2.18
Sayuran
64.71
5.50
59.31
4.91
65.54
5.38
67.66
5.46
43.63
3.00
Kacang-kacangan
27.54
1.71
36.49
2.24
34.51
2.23
52.68
3.52
50.60
4.58
Buah-buahan
10.18
0.10
26.19
0.27
32.70
0.34
35.45
0.37
40.27
0.41
Minyak dan lemak
71.64
0.15
110.93
0.36
149.48
0.42
174.85
0.42
232.88
0.44
Minuman
66.32
0.92
72.92
0.92
92.20
1.26
104.74
1.30
105.57
1.01
Bumbu-bumbuan
0.25
0.01
0.72
0.02
1.31
0.05
4.03
0.16
15.46
0.67
Makanan lain
2.27
0.05
8.46
0.19
12.67
0.28
22.50
0.48
49.94
1.03
Makanan jadi
9.26
0.24
21.01
0.59
35.16
0.97
66.23
1.95
218.39
5.75
1,368.26
36.79
1,563.88
40.72
1,779.04
45.88
1,971.72
54.13
1,961.56
53.07
% perubahan jika dibandingkan SUSENAS 2002
22%
36%
15%
23%
6%
11%
-3%
2%
-1%
-2%
% AKG nasional*
68%
71%
78%
78%
89%
88%
99%
104%
98%
102%
Total
*AKG Nasional: 2,000 Kkal dan 52 gram protein/orang/hari Sumber: SUSENAS 2009, SUSENAS 2002
Asupan dari tiga golongan MPCE terendah ini tidak hanya kekurangan energi dan protein, tetapi juga tidak seimbang secara kualitas dengan proporsi terbesar (74-81%) dari total energi berasal dari serealia dan umbi-umbian, dibandingkan dengan rata-rata provinsi (68%) dan nasional (53%). Sumber protein utama berasal dari serealia dan umbi-umbian (66-73%), sedangkan angka rata-rata nasional adalah 46%. Konsumsi pangan hewani (ikan, daging, telur, susu) yang mengandung zat gizi berkualitas lebih tinggi, khususnya protein, vitamin dan mineral, pada tiga golongan ini hanya mencapai 4-11% dari total asupan energi, sedangkan rata-rata provinsi dan nasional adalah 16% dan 13%. Dengan demikian, perlu usaha untuk memperbaiki asupan energi dan protein pada tiga golongan MPCE terendah. Disamping itu, perlu penyuluhan gizi untuk masyarakat tentang pentingnya bahan pangan selain serealia dan umbi-umbian dan perlunya meningkatkan konsumsi makanan lain selain serealia dan umbiumbian.
4.2
AKSES TERHADAP FASILITAS KESEHATAN
Menurut Profil Kesehatan tahun 2009, provinsi NTT memiliki 31 rumah sakit umum, 300 puskesmas dan 2 rumah sakit khusus. Jadi setiap puskesmas rata-rata melayani 15.598 orang pada tahun 2009. Angka berkisar antara 33.301 orang per puskesmas di kabupaten Sumba Barat Daya dan 9.096 orang per puskesmas di kabupaten Alor.
30
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
Secara keseluruhan telah terjadi peningkatan akses terhadap fasilitas kesehatan yang signifikan di provinsi NTT. Ada sekitar 485 dokter di seluruh puskesmas yang ada (tidak termasuk dokter gigi), dan setiap dokter rata-rata melayani 9.650 pasien/tahun. Angka berkisar antara 23.175 pasien per dokter di kabupaten Rote Ndao dan 4.091 pasien per dokter di kabupaten Sumba Tengah. Tabel 4.2 menunjukan 84,6% desa memiliki akses ke fasilitas kesehatan terdekat dengan jangkauan sekitar 5 km. Akses di kabupaten Sumba Timur, TTS, TTU, Manggarai Barat dan Sumba Barat Daya lebih sulit, dimana kurang dari 80% desa memiliki akses kesehatan dalam jangkauan sekitar 5 km. Di kabupaten Kupang, Sumba Tengah, Sabu Raijua dan Rote Ndao, lebih dari 90% desa memiliki akses ke fasilitas kesehatan dalam jangkauan sekitar 5 km. Akses lebih bervariasi pada tingkat kecamatan (Lampiran 4.1 dan Peta 4.1). Tabel 4.2: Persentase Rumah Tangga dengan Akses yang Terbatas ke Air Bersih dan Persentase Desa dengan Akses Terbatas ke Sarana Pelayanan Kesehatan No
Kabupaten
Rumah Sakit**
Puskesmas** Dokter**
% desa dengan akses % rumah tangga dengan yang sangat terbatas akses yang sangat terbatas ke fasilitas kesehatan ke sumber air bersih yang (>5 Km)*** aman (>5 Km)****
1
Sumba Barat
2
6
16
11.32
42.13
2
Sumba Timur
2
17
37
23.08
47.92
3
Kupang
1
23
23
8.47
48.26
4
TTS
1
26
40
25.42
44.38
5
TTU
2
15
26
20.23
21.23
6
Belu
4
21
32
11.06
32.48
7
Alor
1
20
36
17.71
36.04
8
Lembata
3
9
16
19.38
16.05
9
Flores Timur
1
18
17
10.62
7.19
10
Sikka
3
19
30
10.63
34.25
11
Ende
1
23
46
16.43
10.08
12
Ngada
1
10
14
17.02
2.70
13
Manggarai
2
15
25
15.00
22.55
14
Rote Ndao
1
12
5
-
34.77
15
Manggarai Barat
-
12
35
26.45
39.71
16
Sumba Barat Daya
1
8
12
27.91
8.60
17
Sumba Tengah
-
6
15
7.29
14.45
18
Nagekeo
-
7
14
11.83
12.62
19
Manggarai Timur
-
17
28
14.91
35.58
20
Sabu Raijua*)
*)
6
*)
9.52
40.21
21
Kota Kupang
6
10
18
-
-
Total NTT Total Indonesia
32
300
485
15.34
34.16
1,319
8,234
11,810
11.83
20.17
Sumber: *) Kabupaten pemekaran; ** Profil kesehatan, Dinas Kesehatan NTT 2009; *** PODES 2008, BPS; **** SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS
4.3
PENDUDUK DENGAN AKSES KURANG MEMADAI KE AIR BERSIH
Berdasarkan pada Tabel 4.2 di atas, sebanyak 34,2 % rumah tangga di NTT tidak mempunyai akses terhadap air layak minum (sumur terlindung/sumur bor/mata air, air ledeng dan air hujan). Kabupaten yang memiliki akses sangat terbatas adalah kabupaten Kupang (48,3% tanpa akses), Sumba Timur (47,9%), TTS (44,4%), Sumba Barat (42,1%) dan Sabu Raijua (40,2%). Kabupaten yang mempunyai akses sangat baik terhadap air bersih adalah kabupaten Ngada, Flores Timur dan Sumba Barat Daya.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
31
Pada tingkat kecamatan, sekitar separuh kecamatan yang lebih dari 30% rumah tangga di kecamatan tersebut tidak memiliki akses air bersih (Lampiran 4.1 dan Peta 4.2).
4.4
PEREMPUAN BUTA HURUF
Kemampuan untuk membaca pada kaum perempuan terutama ibu dan pengasuh anak sangat berpengaruh terhadap status kesehatan dan gizi, dan menjadi hal yang sangat penting dalam pemanfaatan pangan. Studi di berbagai negara menunjukan bahwa tingkat pendidikan dan kesadaran ibu dapat menjelaskan situasi gizi anak-anak di negara-negara berkembang. Hal ini sudah terbukti secara global bahwa kekurangan gizi berkaitan erat dengan tingkat pendidikan ibu. Tabel 4.3 menunjukkan persentase perempuan buta huruf di setiap kabupaten, dimana di provinsi NTT secara total terdapat 14,7 % perempuan buta huruf. Angka perempuan buta huruf tertinggi terdapat di kabupaten Sumba Barat Daya, dimana 1 diantara 3 perempuan adalah buta huruf, Sumba Tengah sebesar 29,6%, Sumba Barat 26,4%, Belu 21,7% dan TTS 21,7%. Sedangkan, angka buta huruf terendah terdapat di pulau Flores yaitu di kabupaten Ngada (6,9%), Manggarai Barat (8,9%) dan Nagekeo (7,6%), dan di kabupaten Alor (7,5%). Pada tingkat kecamatan, ada 51 dari 280 kecamatan dengan persentasi perempuan buta huruf lebih dari 20% (Lampiran 4.1 dan Peta 4.3). Tabel 4.3: Persentase Perempuan Buta Huruf No
Kabupaten
% Perempuan Buta Huruf
1
Sumba Barat
26.42
2
Sumba Timur
17.32
3
Kupang
15.26
4
TTS
21.65
5
TTU
15.22
6
Belu
21.73
7
Alor
7.52
8
Lembata
11.10
9
Flores Timur
15.81
10
Sikka
10.01
11
Ende
11.26
12
Ngada
13
Manggarai
13.59
14
Rote Ndao
11.47
15
Manggarai Barat
16
Sumba Barat Daya
31.91
17
Sumba Tengah
29.62
18
Nagekeo
19
Manggarai Timur
15.02
20
Sabu Raijua
12.24
Total NTT
14.66
Total Indonesia
10.93
6.86
8.86
7.59
Sumber: SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS
4.5
STATUS GIZI
Ketahanan pangan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi status kesehatan dan gizi. Status gizi anak ditentukan oleh asupan makanan dan penyakit yang dideritanya. Status gizi anak balita diukur dengan 3 indikator yaitu:
32
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
1. Gizi kurang dan buruk/underweight (berat badan berdasarkan umur -BB/U- dengan Zscore kurang dari -2 dari median menurut referensi WHO 2005, yang mengacu kepada gabungan dari kurang gizi akut dan kronis); 2. Pendek/stunting (tinggi badan berdasarkan umur -TB/U- dengan Zscore kurang dari -2 dari median menurut referensi WHO 2005, yang mengacu kepada kurang gizi kronis jangka panjang); dan 3. Kurus/wasting (berat badan berdasarkan tinggi badan -BB/TB- dengan Zscore kurang dari -2 dari median menurut referensi WHO 2005, yang mengacu kepada kurang gizi akut atau baru saja mengalami kekurangan gizi). WHO mengklasifikasikan masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat di suatu negara, provinsi atau kabupaten berdasarkan tingkat underweight, stunting dan wasting sebagai berikut: Klasifikasi
Stunting
Wasting
< 10%
< 20%
< 5%
Kurang
10-19%
20-29%
5-9%
Buruk
20-29%
30-39%
10-14%
≥ 30%
≥ 40%
≥ 15%
Baik
Sangat Buruk
Underweight
Data stunting tetap ditampilkan pada Tabel 4.4 sebagai tambahan informasi untuk menjelaskan dampak kerawanan pangan kronis. Dinas Kesehatan Provinsi NTT melaksanakan Pemantauan Status Gizi (PSG) pada tingkat kecamatan dengan mengacu pada Petunjuk Nasional Kementerian Kesehatan RI di seluruh kabupaten/kota, minus kabupaten Sabu Raijua yang merupakan kabupaten pemekaran baru pada tahun 2009. PSG juga tidak dilakukan di 12 kecamatan di kabupaten TTS, 4 kecamatan di TTU, 2 kecamatan masing-masing di kabupaten Sumba Timur, Ende dan Alor, dan di Ngada dan Lembata masing-masing 1 kecamatan. Menurut hasil PSG 2009 menunjukkan prevalensi status gizi untuk gizi buruk dan gizi kurang (total underweight) pada balita sebesar 31,9%, yang menunjukan masalah kesehatan masyarakat berada pada tingkat ‘sangat buruk’ (kategori tertinggi) menurut klasifikasi WHO. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) dilakukan tahun 2007 dan 2010 oleh Departemen Kesehatan. Pada tahun 2007, prevalensi underweight pada balita adalah 33,6% dan 29,2% pada tahun 2010 di provinsi NTT. Hal ini mengindikasikan penurunan prevalensi underweight secara bertahap. Namun situasi ini masih menggambarkan masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat tingkat buruk (tinggi). Prevalensi tingkat kabupaten dan kecamatan tidak tersedia pada RISKESDAS 2010. Tabel 4.4 menunjukan bahwa berdasarkan data RISKESDAS 2007, 12 dari 15 kabupaten memiliki prevalensi underweight balita yang sangat tinggi (atau ‘sangat buruk’, ≥30%). Kabupaten-kabupaten tersebut adalah kabupaten Sumba Barat, Kupang, TTS, TTU, Belu, Alor, Lembata, Sikka, Ende, Manggarai, Rote Ndao and Manggarai Barat dan 3 kabupaten (Sumba Timur, Flores Timur and Ngada) memiliki prevalensi tinggi (20-29%). Pada tingkat kecamatan, menurut hasil PSG 2009, 50% kecamatan memiliki prevalensi yang sangat buruk/ kritis, 31% kecamatan memiliki prevalensi tingkat buruk, 15% kecamatan memiliki prevalensi kurang; dan hanya 4% atau 9 kecamatan memiliki prevalensi rendah (baik). Ini berarti bahwa lebih dari 96% kecamatan di NTT memiliki tingkat prevalensi underweight kurang - sangat buruk (Lampiran 4.1 dan Peta 4.4).
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
33
Kecamatan dengan prevalensi underweight pada balita tertinggi berada di kabupaten Kupang yaitu Takari (58%), Kupang Timur (55,3%) dan Kupang Tengah (50,2%), di kabupaten Belu yaitu Malaka Tengah (52,6%), Nanaet Dubesi (51,9), Wewiku (51,1%), Kobalima Timur (49,4%) dan Sasita Mean (48,4%), di kabupaten TTU yaitu Biboki Utara (51,7%) dan di kabupaten Sikka yaitu Mapitara (47,1%). Sedangkan kecamatan dengan prevalensi underweight pada balita terendah berada di kabupaten Sumba Timur yaitu Rindi (3,1%), Kahaungu Eti (7,3%) dan Pinupahar (8,3%), di kabupaten Sumba Barat yaitu Wanokaka (3,3%), Loli (6.3%) dan Lamboya (6,7%), dan di kabupaten Rote Ndao yaitu Rote Barat (8,8%), Rote Selatan (9%), Lobalain (10,2%) dan Rote Barat Laut (10,5%). Menurut data terbaru RISKESDAS, malnutrisi kronis (stunting) lebih prevalen pada anak usia dini di provinsi NTT. Secara keseluruhan, prevalensi stunting provinsi adalah 58,4% pada tahun 2010, menunjukan bahwa kesehatan masyarakat berada pada tingkat yang sangat buruk menurut kategori WHO. Pada tingkat kabupaten, menurut data RISKESDAS 2007, 14 diantara 15 kabupaten mempunyai prevalensi stunting pada tingkat sangat buruk (≥40%) dan 1 kabupaten memiliki tingkat prevalensi buruk (30-39%). Tidak ada kabupaten yang memiliki tingkat prevalensi kurang (20-29%) ataupun tingkat prevalensi yang baik (<20%) (Tabel 4.4). Terdapat 12 kabupaten memiliki tingkat prevalensi underweight dan stunting yang sangat buruk (kabupaten Sumba Barat, Kupang, TTS, TTU, Belu, Alor, Lembata, Sikka, Ende, Rote Ndao, Manggarai Barat dan Manggarai). Tabel 4.4: Persentase Underweight dan Stunting pada Balita No
Kabupaten
Berat Badan di Bawah Standard Anak (<5 tahun) (Underweight)
Tinggi Badan di Bawah Standard Anak (<5 tahun) (Stunting)
1
Sumba Barat
30.30
49.10
2
Sumba Timur
24.70
42.30
3
Kupang
37.90
51.40
4
TTS
40.20
57.00
5
TTU
37.50
59.60
6
Belu
33.90
43.40
7
Alor
31.60
48.30
8
Lembata
31.00
40.90
9
Flores Timur
29.80
40.80
10
Sikka
36.70
49.60
11
Ende
33.60
42.20
12
Ngada
26.60
46.80
13
Manggarai
37.30
38.30
14
Rote Ndao
40.80
54.20
15
Manggarai Barat
30.10
52.20
16
Sumba Barat Daya*)
-
-
17
Sumba Tengah*)
-
-
18
Nagekeo*)
-
-
19
Manggarai Timur*)
-
-
20
Sabu Raijua*)
-
-
Total NTT
33.60
46.70
Total Indonesia (Riskesdas, 2010)
18.00
35.60
*) Kabupaten pemekaran Sumber: Riskesdas 2007, DEPKES
34
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
4.6
DAMPAK DARI STATUS KESEHATAN
Angka harapan hidup merupakan dampak dari status kesehatan dan gizi. Rata-rata angka harapan hidup di provinsi NTT adalah 66 tahun. Angka harapan hidup tertinggi terdapat di kabupaten Sikka (68,4), dan terendah terdapat di kabupaten Sumba Timur (61,6) (Tabel 4.5). Pada tingkat kecamatan, terdapat 74 dari 280 kecamatan yang memiliki angka harapan hidup 70 tahun atau lebih (Lampiran 4.1 dan Peta 4.5). Tabel 4.5: Angka Harapan Hidup No
Kabupaten
Angka Harapan Hidup (tahun)
1
Sumba Barat
64.48
2
Sumba Timur
61.62
3
Kupang
65.02
4
TTS
66.60
5
TTU
67.71
6
Belu
65.30
7
Alor
66.25
8
Lembata
66.34
9
Flores Timur
67.51
10
Sikka
68.40
11
Ende
64.41
12
Ngada
66.93
13
Manggarai
66.89
14
Rote Ndao
67.22
15
Manggarai Barat
65.99
16
Sumba Barat Daya
63.11
17
Sumba Tengah
62.42
18
Nagekeo
63.27
19
Manggarai Timur
66.89
20
Sabu Raijua
65.02
Total NTT
65.57
Total Indonesia
68.16
Sumber: SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS
Strategi untuk memperbaiki status gizi dan kesehatan kelompok rentan
Masalah gizi kronis (stunting) masih tetap tinggi di provinsi NTT. Masalah gizi kronis merupakan akibat kurang optimalnya pertumbuhan janin dan bayi di usia dua tahun pertama kehidupannya, terutama karena gabungan dari kurangnya asupan gizi, paparan terhadap penyakit yang tinggi serta pola pengasuhan yang kurang tepat. Semua faktor ini dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, yang akhirnya dapat menyebabkan meningkatnya beban penyakit dan kematian pada balita. Kurang gizi, terutama stunting pada usia dini, dapat menghambat perkembangan fisik dan mental yang akhirnya mempengaruhi prestasi dan tingkat kehadiran di sekolah. Anak yang kurang gizi lebih cenderung untuk masuk sekolah lebih lambat dan lebih cepat putus sekolah. Dampak ke masa depannya adalah mempengaruhi potensi kemampuan mencari nafkah, sehingga sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Anak kurang gizi yang mengalami peningkatan berat badan cepat pada masa remaja dan dewasa akan cenderung menderita penyakit kronik terkait gizi (kecing manis, tekanan darah tinggi dan penyakit jantung koroner). Dampak jangka panjang, oleh kurang gizi pada masa anak-anak juga menyebabkan rendahnya tinggi badan dan pada ibu-ibu dapat melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), yang akhirnya menyebabkan terulangnya lingkaran masalah ini pada generasi selanjutnya.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
35
Untuk menurunkan tingginya angka stunting, maka intervensi gizi harus segera direncanakan dan dilakukan secara efektif pada semua tingkat, mulai dari rumah tangga sampai tingkat provinsi dan nasional. Untuk mencegah dan mengatasi masalah kekurangan gizi secara efektif, perlu prioritas untuk kelompok rentan gizi, memahami penyebab kurang gizi adalah multidimensi, intervensi yang tepat dan efektif untuk mengatasi penyebabnya, dan meningkatkan komitmen serta investasi dalam bidang gizi. Berikut ini adalah rekomendasi untuk mengatasi masalah gizi: 1.
Fokus pada kelompok rentan gizi, termasuk: a.
Anak usia di bawah dua tahun. Usia dua tahun pertama di dalam kehidupan adalah usia yang paling kritis sehingga disebut “jendela peluang (window of opportunity)” karena mencegah kurang gizi pada usia ini akan sangat berarti untuk kelompok ini pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Meskipun kerusakan sudah terjadi dan seharusnya dihindari sejak mulai kehamilan (yaitu selama 9 bulan) sampai usia 24 bulan, kerentanan anak terhadap penyakit dan resiko kematian masih tetap tinggi di usia lima tahun pertama. Itulah sebabnya banyak intervensi kesehatan dan gizi yang difokuskan pada anak bawah lima tahun. Intervensi kesehatan dan gizi harus memprioritaskan anak bawah dua tahun, dan anak bawah lima tahun jika sumber daya memungkinkan.
b.
Anak-anak kurang gizi ringan. Kelompok ini memiliki resiko lebih tinggi untuk meninggal karena meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Anak yang terdeteksi kurang gizi seharusnya dirawat dengan tepat untuk mencegah mereka menjadi gizi buruk.
c.
Ibu hamil dan menyusui karena kelompok ini memerlukan kecukupan gizi bagi pertumbuhan dan perkembangan janin, dan untuk menghasilkan ASI (air susu ibu) untuk bayi mereka.
d.
Kurang gizi mikro untuk semua kelompok umur, terutama pada anak-anak, ibu hamil dan menyusui. Kekurangan gizi mikro pada semua kelompok umur cukup tinggi disebabkan karena asupan karbohidrat yang tinggi, rendahnya asupan protein (hewani, sayur dan buah), serta makanan yang berfortifikasi. Pada kondisi ini biasanya tingkat stunting pada balita juga cukup tinggi.
2.
Perencanaan dan penerapan intervensi multi-sektoral untuk mengatasi TIGA penyebab dasar kekurangan gizi (pangan, kesehatan dan pengasuhan).
Satu sektor saja (sektor kesehatan atau pendidikan atau pertanian) tidak dapat mengatasi masalah gizi secara efektif karena masalah tersebut adalah multi sektor. a. Intervensi langsung dengan manfaat langsung terhadap gizi (terutama melalui Sektor Kesehatan):
36
•
Memperbaiki gizi dan pelayanan ibu hamil, terutama selama 2 trimester pertama usia kehamilan: makan lebih sering, beraneka ragam dan bergizi; minum pil besi atau menggunakan suplemen gizi mikro tabur (Sprinkle) setiap hari; dan memeriksakan kehamilan sekurangnya 4 kali selama periode kehamilan.
•
Promosi menyusui ASI selama 0-24 bulan: inisiasi menyusui dini segera sesudah bayi lahir; menyusui ASI eksklusif sampai 6 bulan pertama, melanjutkan pemberian ASI sampai 24 bulan; dan melanjutkan menyusui walaupun anak sakit.
•
Meningkatkan pola pemberian makanan tambahan untuk anak usia 6-24 bulan: mulai pemberian makanan tambahan sejak anak berusia 7 bulan; pemberian makanan lebih sering, jumlah sedikit, beraneka ragam dan bergizi (pangan hewani, telur, kacang-kacangan, polong-polongan, kacang tanah, sayur, buah dan minyak); dan hindari pemberian jajan yang tidak sehat.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
b.
•
Pemantauan berat dan tinggi badan bayi 0-24 bulan atau jika sumber daya memungkinkan, untuk anak 0-59 bulan secara teratur, untuk mendeteksi kurang gizi secara dini sehingga bisa dilakukan intervensi sedini mungkin. Meningkatkan komunikasi mengenai berat badan anak, cara mencegah dan memperbaiki kegagalan berat dan tinggi anak dengan keluarga.
•
Mengatasi masalah kurang gizi akut pada balita dengan menyediakan manajemen berbasis fasilitas dan masyarakat berdasarkan pedoman dari WHO/UNICEF dan Departemen Kesehatan.
•
Memperbaiki asupan gizi mikro: promosi garam beryodium; penganekaragaman asupan makanan; fortifikasi makanan; pemberian pil besi untuk ibu hamil; pemberian vitamin A setiap 6 bulan sekali untuk anak 6-24 bulan (atau anak 6-59 bulan jika alokasi anggaran mencukupi), serta ibu menyusui dalam jangka waktu 1 bulan setelah melahirkan atau masa nifas; dan pemberian obat cacing.
•
Mengintensifkan kegiatan penyuluhan atau pendidikan informasi kesehatan dan gizi (IEC) baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan bermacam-macam media (media massa, pengeras suara di mushola, perayaan hari besar dll.) untuk menjangkau tidak hanya ibu dan pengasuh anak, tetapi juga kepala desa, pemuka desa, pemuka agama, para suami dan anggota keluarga lain, remaja putri, guru, tenaga penyuluh dan penyedia pelayanan masyarakat.
Intervensi tidak langsung dengan manfaat tidak langsung terhadap gizi (terutama melalui sektor di luar kesehatan) •
Promosi pemanfaatan pekarangan: dengan cara menanam sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan; memelihara unggas (ayam, bebek); dan memelihara ikan.
•
Mobilisasi kepemimpinan berbasis masyarakat dari kepala desa, pemuka agama, PKK, kelompok tani dan lain-lain, untuk terlibat dalam intervensi gizi terutama keterlibatan pada saat pendidikan higiene dan gizi.
•
Memperbaiki kualitas air minum: meningkatkan akses terhadap sumber air bersih untuk rumah tangga dan sekolah-sekolah; promosi minum air matang sebagai ganti air mentah; membuat tangki penampung air untuk menyimpan air hujan; dan meminta anak untuk membawa air minum ke sekolah untuk penghilang rasa dahaga.
•
Memperbaiki higiene dan sanitasi: mencuci tangan sebelum makan dan setelah dari toilet; memperbaiki sistem pembuangan limbah; dan pembuangan sampah/limbah yang tepat dan benar.
•
Meningkatkan status kaum perempuan: meningkatkan pendidikan kaum perempuan, memperbaiki pengetahuan/kemampuan pengasuhan dan pemberian makan anak; meningkatkan pembagian tanggung jawab suami dan anggota keluarga dalam pengasuhan dan pemberian makan anak.
•
Memperkuat kapasitas pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten dalam hal merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi intervensi gizi.
Perlu dipahami bahwa intervensi tidak langsung ini hanya bersifat melengkapi intervensi langsung, bukan pengganti intervensi gizi langsung.
3.
Prioritas dan peningkatan investasi serta komitmen dalam hal gizi untuk mengatasi masalah gizi
Dampak ekonomi akibat kekurangan gizi pada anak-anak adalah sangat tinggi. Kekurangan gizi pada anak akan menyebabkan hilangnya produktivitas pada masa dewasa, dan tingginya biaya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Ada beberapa macam bentuk dari malnutrisi pada masa anak-
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
37
anak yang dapat menyebabkan hilangnya produktivitas mereka pada masa dewasa yang berkaitan dengan rendahnya kemampuan kognitif. Kekurangan energi-protein berkonstribusi sebesar 10% dari hilangnya produktivitas pada masa dewasa, kekurangan zat besi (anemia) berkontribusi sebesar 4% dan kekurangan zat yodium sebesar 10%. Malnutrisi pada masa anak-anak juga berpotensi menyebabkan hilangnya produktivitas tenaga kerja kasar.
Investasi di bidang gizi merupakan salah satu jenis intervensi pembangunan yang paling efektif dari segi biaya, karena memiliki rasio manfaat-biaya yang tinggi, bukan hanya untuk individu, tetapi juga pembangunan negara yang berkelanjutan, sebab intervensi ini dapat melindungi kesehatan, mencegah kecacatan dan dapat memacu produktivitas ekonomi dan menjaga kelangsungan hidup.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) provinsi NTT 2009–2013 menetapkan program terkait pembangunan bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan perempuan sebagai berikut: a.
b.
c.
Pendidikan: 1.
Penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun; dan
2.
Pendidikan non formal.
Kesehatan: 1.
Program perbaikan gizi masyarakat;
2.
program pencegahan dan pemberantasan penyakit;
3.
Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat;
4.
Program lingkungan sehat; dan
5.
Program pendidikan kesehatan.
Pemberdayaan perempuan, anak dan pemuda: 1.
Program keserasian kebijakan peningkatan kualitas anak dan perempuan;
2.
Program peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan; dan
3.
Program peningkatan peran perempuan pedesaan.
Diharapkan dari program-program tersebut di atas dapat tercapai indikator program yaitu : •
Menurunnya persentase buta huruf dari 11,5% (2007) menjadi 5% (2013);
•
Menurunnya status gizi buruk dari 6,7% menjadi 4,1% dan gizi kurang dari 30,1% menjadi 25,8%; dan
•
Meningkatkan Umur Harapan Hidup (UHH) dari 65 tahun menjadi 68,5 tahun.
38
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
BAB 5 KERENTANAN TERHADAP KERAWANAN PANGAN TRANSIEN Kerentanan terhadap bencana alam dan goncangan mendadak lainnya dapat mempengaruhi ketahanan pangan suatu wilayah baik sementara ataupun dalam jangka waktu panjang. Ketidak-mampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan secara sementara dikenal sebagai kerawanan pangan sementara (transient food insecurity). Bencana alam atau bencana teknologi yang terjadi tiba-tiba, bencana yang terjadi secara bertahap, perubahan harga atau goncangan terhadap pasar, epidemik penyakit, konflik sosial dan lain-lain dapat menyebabkan terjadinya kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan sementara dapat berpengaruh terhadap satu atau semua dimensi ketahanan pangan seperti ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan/atau pemanfaatan pangan. Kerawanan pangan sementara dapat juga dibagi menjadi dua sub-kategori: menurut siklus, dimana terdapat suatu pola yang berulang terhadap kondisi rawan pangan, misalnya, “musim paceklik” yang terjadi dalam periode sebelum panen, dan sementara, yang merupakan hasil dari suatu goncangan mendadak dari luar pada jangka pendek seperti kekeringan atau banjir. Konflik sipil juga termasuk dalam kategori goncangan sementara walaupun dampak negatifnya terhadap ketahanan pangan yang disebabkan oleh konflik dapat berlanjut untuk jangka waktu yang lama. Dengan kata lain, kerawanan pangan sementara dapat mempengaruhi orang-orang yang berada pada kondisi rawan pangan kronis dan juga orang-orang yang terjamin pangannya pada keadaan normal. Di dalam bab ini kerawanan pangan dianalisa dari segi lingkungan hidup. Faktor lingkungan dan kemampuan masyarakat untuk mengatasi goncangan sangat menentukan apakah suatu negara atau wilayah dapat mencapai ketahanan pangan. Tinjauan ketahanan pangan dan gizi dari sudut pandang lingkungan hidup meliputi perhatian terhadap pengelolaan tanah, konservasi dan pengelolaan air, konservasi keanekaragaman hayati, peningkatan teknologi pra-panen, pelestarian lingkungan hidup dan pengelolaan hutan. Deforestasi hutan melalui eksploitasi sumber daya alam, fluktuasi curah hujan, persentase daerah “puso” dan persentase daerah yang terkena banjir dan tanah longsor, merupakan beberapa indikator yang di gunakan dalam bab ini untuk menjelaskan kerawanan pangan sementara di provinsi NTT.
5.1
BENCANA ALAM
Penyebab utama kerawanan pangan transien adalah bencana alam. Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan terhadap bencana alam di dunia, menurut Center for Research on the Epidemiology Disasters (CRED) yang mencatat kejadian besar bencana alam di dunia. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penganggulangan Bencana (BNPB), lebih dari 370 kejadian bencana alam terjadi di provinsi NTT selama periode tahun 1990-2009, yang telah menyebabkan lebih dari 3.000 orang meninggal dunia (Tabel 5.1). Tsunami pada tanggal 12 Desember 1992 di kabupaten Sikka, Ngada, Ende dan Flores Timur telah menyebabkan lebih dari 2.400 orang meninggal dunia. Gambar 5.1 menunjukan bencana alam yang terjadi di tiap kabupaten di provinsi NTT pada periode 1990-2009. Bencana alam lebih sering terjadi di kabupaten Manggarai, TTU, Belu dan Sikka.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
39
Tabel 5.1: Ringkasan Tabel Bencana Alam yang Terjadi di provinsi NTT dan Kerusakannya selama Periode 1990 – 2009 Kejadian
# Kejadian
Meninggal
Terluka
Rumah Hancur Berat
Rumah Rusak
Lahan Pertanian (Ha)
Banjir
99
64
2,549
3,328
11,995
3,652
Banjir dan Tanah Longsor
13
122
136
950
836
3,155
Tanah Longsor
41
10
2
426
58
481
7
138
2,889
27,169
23,506
25
Gempa Bumi Kekeringan
7
-
-
-
-
70,740
Kebakaran
57
6
2
357
3
-
Epidemi
18
133
5,909
-
-
-
Angin Topan
99
30
19
3,048
888
447
Gelombang Pasang
28
5
-
1,088
669
4
Letusan Gunung Api
5
-
-
-
-
-
2
2,422
-
18,000
-
-
376
2,930
11,506
54,366
37,955
78,504
Gempa Bumi dan Tsunami Total Sumber: BNPB (http://dibi.bnpb.go.id)
Gambar 5.1: Bencana Alam yang Terjadi di NTT per Kabupaten selama Periode 1990 – 2009
35
Kejadian n
30 25 20 15 10 5
ur Manggarai Timu
Nagekeo
Sumba Tengah
at Manggarai Bara
Rote Ndao
ai Manggara
Ngada
Sumba Barat Daya
Kabupaten
Ende
Sikka
ur Flores Timu
Lembata
or Alo
Belu
TTU
TTS
Kupang
Sumba Timu ur
Sumba Bara at
0
Sumber: BNPB (http://dibi.ntbprov.go.id)
5.2 FLUKTUASI CURAH HUJAN Variabilitas iklim secara langsung mempengaruhi berbagai aspek dari ketahanan pangan, khususnya dalam hal ketersediaan pangan dan distribusi pangan. Peristiwa bencana alam seperti kekeringan, banjir, dan badai berkaitan dengan karakteristik dan fluktuasi curah hujan. Kekeringan dan banjir disebabkan oleh besarnya variasi curah hujan yang diterima oleh setiap wilayah geografis. Variasi curah hujan di NTT sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik global, regional, synoptik maupun lokal. Faktor global antara lain adalah fenomena El Niño, La Niña, dan Dipole Mode; faktor regional antara lain Sirkulasi Monsun, Madden Julian Oscillation (MJO), dan suhu muka laut perairan Indonesia; faktor synoptik antara lain Low Pressure Area (LPA) dan Siklon Tropis; serta faktor lokal antara lain ketinggian tempat, posisi bentangan suatu pulau, sirkulasi angin darat dan angin laut, serta tutupan lahan suatu wilayah.
40
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
Pengaruh dari iklim yang ekstrim pada musim hujan menyebabkan banjir dan longsor, dan pada musim kemarau menyebabkan kekeringan. Iklim juga dapat menyebabkan perkembangan organisme pengganggu tanaman (OPT) secara eksplisit. Dengan adanya banjir, kekeringan dan OPT dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak sempurna dan dapat menyebabkan gagal panen. Dua peta disajikan untuk menggambarkan persentase penyimpangan curah hujan periode 10 tahun terakhir (1997-2007) terhadap normalnya (rata-rata curah hujan 30 tahun, periode 1971-2000) di seluruh provinsi NTT untuk musim kemarau (April sampai September) dan musim hujan (Oktober sampai Maret) (Lampiran 5.1, Peta 5.1 dan Peta 5.2). Beberapa wilayah NTT memiliki curah hujan di bawah normal (BN) jika dibandingkan rata-rata 30 tahun pada musim kemarau pada periode 1997-2007 (ditunjukkan dalam warna merah pada Peta 5.1). Daerah yang memiliki curah hujan di bawah normal (BN), diantaranya: sebagian kecil Rote Ndao, Kupang, TTS dan Belu, bagian timur TTU, sebagian kecil Sumba Timur, Sumba Barat Daya, Manggarai, Manggarai Barat dan Ngada, sebagian besar Manggarai Timur dan Ende, bagian timur Lembata, bagian barat Sikka dan sebagian kecil Flores Timur. Selama musim hujan, sebagian besar Sumba Barat, Sumba Tengah, Sumba Timur, Manggarai, Ende, Manggarai Timur dan Flores Timur mengalami penurunan intensitas hujan (Peta 5.2). Berdasarkan Peta 5.1 dan 5.2, maka daerah yang mengalami penurunan curah hujan di musim kemarau dan musim hujan adalah sebagian kecil Sumba Timur, Sumba Barat Daya, Manggarai, Manggarai Timur dan Ende. Dengan adanya kecenderungan penurunan curah hujan di beberapa wilayah NTT, maka variasi curah hujan akan tidak menguntungkan bagi pertanian yang berkelanjutan.
5.3 DAERAH PUSO Daerah puso didefinisikan sebagai suatu daerah produksi pangan yang rusak karena disebabkan oleh bencana alam (banjir, kekeringan, longsor) dan/atau penularan hama oleh organisme penggangu tanaman (OPT). Produksi dan produktivitas tanaman pangan sangat di pengaruhi oleh kondisi iklim dan cuaca. Kegiatan budidaya tanaman sebaiknya mempertimbangkan kondisi tersebut dengan menggunakan informasi prakiraan perubahan musim, iklim dan cuaca. Tabel 5.3 menunjukan perbandingan area puso padi dan jagung dibandingkan dengan luas tanam pada tahun 2007 – 2009. Luas area puso padi yang lebih rendah tercatat pada tahun 2008 (4,7%) dan 2009 (2,2%) dibandingkan tahun 2007 (11,3%). Pada tahun 2009, kerusakan tanaman padi tertinggi terdapat di kabupaten Sumba Timur (29.4%) diikuti kabupaten Flores Timur (26.2%), Rote Ndao (21.6 %), Lembata (16.6%) dan Kupang (16.3%). Pada periode yang sama kerusakan tanaman (puso) jagung yang lebih rendah tercatat pada tahun 2008 (4,5%) dan 2009 (3,1%) dibandingkan tahun 2007 (23,9%). Pada tahun 2007, persentase kerusakan tanaman jagung tertinggi terjadi di kabupaten Manggarai (79,4%), diikuti kabupaten Nagekeo (61,9%) dan Manggarai Timur (51,5%).
5.4 PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN Dalam hubungannya dengan perubahan iklim, mungkin keprihatinan dan permasalahan yang paling serius bagi provinsi NTT adalah pengaruh perubahan iklim terhadap pertanian dan ketahanan pangan
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
41
Tabel 5.2:
Perbandingan Area Puso Padi dan Jagung terhadap Luas Area Tanam Padi dan Jagung Tahun 2007 - 2009 Kabupaten
No
Padi
Jagung
2007
2008
2009
2007
2008
2009
4.22
12.29
1
Sumba Barat
3.80
1.05
0.54
7.71
2
Sumba Timur
29.38
6.71
3.07
46.61
7.87
2.53
3
Kupang
16.28
8.69
1.92
17.04
11.52
2.75
4
TTS
0.77
15.90
0.34
31.06
1.90
1.25
5
TTU
1.59
0.93
0.11
9.20
2.88
5.27
6
Belu
4.98
5.13
0.87
14.84
6.77
8.37
7
Alor
6.53
10.16
7.67
9.36
10.63
1.06
8
Lembata
16.61
1.48
0.91
33.09
2.69
0.50
9
Flores Timur
26.18
10.10
6.55
30.25
9.86
0.62
10
Sikka
12.41
1.04
2.57
25.69
1.70
0.95
11
Ende
14.84
11.95
1.32
14.54
13.36
3.80
12
Ngada
9.49
1.03
0.10
20.20
0.29
-
13
Manggarai
3.15
0.52
0.21
79.35
0.04
-
14
Rote Ndao
21.64
0.72
0.87
12.72
3.94
3.43
15
Manggarai Barat
10.53
10.06
0.82
24.78
3.33
-
16
Sumba Barat Daya
11.96
2.00
11.58
8.17
4.73
10.75
17
Sumba Tengah
1.56
2.96
8.41
12.34
0.32
1.20
18
Nagekeo
19
Manggarai Timur
20
Sabu Raijua
12.39
Total NTT
11.25
12.11
-
-
61.88
-
0.27
4.12
5.02
0.27
51.53
3.29
2.77
1.82
3.43
38.30
0.87
0.19
4.73
2.17
23.85
4.53
3.11
Sumber: Sensus Pertanian (SP) BPS, 2007-2009
rumah tangga. Perubahan iklim meningkatkan presipitasi, evaporasi, surface water run-off dan kelembaban tanah. Pada akhirnya hal-hal tersebut akan berdampak pada pertanian dan ketahanan pangan rumah tangga. Suatu model simulasi dampak perubahan iklim terhadap pangan (Goddard Institute of Space Studies, UK Meteorological Office) menunjukan bahwa perubahan iklim akan mengurangi kesuburan tanah sebesar 2% sampai 8%, dimana diperkirakan hasil panen padi menurun sebesar 4% dan jagung 50% per tahun.
5.5 DEFORESTASI HUTAN Indonesia merupakan salah satu negara mega biodiversiti yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia dan Australia serta daratan wallacea (misalnya, pembagian daerah bio-geografi untuk kelompok kepulauan Indonesia yang dipisahkan oleh samudera mulai dari benua Asia sampai dengan Australia). Kepulauan Wallacea terletak antara Sundaland (Peninsula Malaya, Sumat era, Kalimantan, Jawa, dan Bali) ke barat, dan dekat Oseania termasuk Australia dan Papua Nugini ke selatan dan timur. Total wilayah Wallacea adalah 347.000 km². Indonesia memiliki hutan tropis ketiga terluas di dunia sehingga sangat penting peranannya sebagai bagian dari paru-paru bumi serta menstabilisasi iklim global. Pengelolaan hutan di Indonesia dilaksanakan melalui penetapan hutan untuk kepentingan fungsi konservasi, hutan lindung, hutan budidaya dan kawasan hutan. Luas kawasan hutan Indonesia termasuk daratan dan perairan dihitung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan serta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Luasnya diperkirakan sebesar 137,09 juta ha, terdiri atas 3,39 juta ha kawasan konservasi perairan, 20,14 juta ha kawasan hutan konservasi, 31,6 juta ha hutan lindung dan 81,95 ha hutan produksi.
42
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
Ketergantungan masyarakat terhadap hutan masih cukup tinggi terutama masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan akan lahan pertanian dan sumber penghidupan lainnya. Di provinsi NTT, 73 desa dari total 2.738 desa (2,67%) berada di dalam kawasan hutan dan 769 desa (28,09%) berada di tepi kawasan hutan. Pada kelompok desa yang berada di dalam kawasan hutan, terdapat 72 desa (98,63%) yang mempunyai mata pencaharian utama dari sektor pertanian. Sedangkan pada kelompok desa lainnya, sumber mata pencaharian ini terdapat pada 757 desa (98,44%). Sejalan dengan perkembangan ekonomi regional, berbagai aktifitas pembangunan telah menyebabkan perubahan penggunaan lahan. Perubahan penutupan lahan pada kawasan hutan berjalan dengan cepat yang dapat menyebabkan menurunnya kondisi hutan dan berkurangnya luas hutan. Laju deforestasi seluruh daratan Indonesia selama periode 2003-2006 adalah sebesar 1,17 juta ha/tahun. Pada periode yang sama laju deforestasi di provinsi NTT adalah sebesar 131.316 ha/tahun, di mana menempatkan NTT sebagai provinsi ketiga yang memiliki laju deforestasi tertinggi diantara 33 provinsi di Indonesia, setelah provinsi Kalimantan Timur dan Riau. Laju deforestasi di NTT ini meliputi deforestasi di dalam kawasan hutan sebesar 56.872 ha/tahun dan 74.444 ha/tahun di luar kawasan hutan (Peta 5.5). Penyebab berkurangnya hutan adalah kebakaran hutan, pembukaan hutan untuk permukiman, pertambangan dll. Data deforestasi hutan yang digunakan di dalam atlas ini diperoleh berdasarkan analisis citra satelit Landsat pada tahun 2002/2003 dan 2005/2006. Dengan angka laju deforestasi sebesar kira-kira 131.316 ha/tahun, maka ancaman terhadap hutan-hutan di provinsi NTT masih mengkhawatirkan. Deforestasi hutan akan memberi dampak terhadap ketahanan pangan penduduk miskin pedesaan yang hidup di dalam atau di dekat kawasan hutan dan yang bergantung pada keanekaragaman hayati dan habitat alam untuk penghidupannya karena hutan merupakan sumber utama dari buah-buahan, tumbuhan obat, dan tumbuhan yang dapat dimakan. Masyarakat pedesaan yang paling miskinlah yang pertama dan paling menderita bilamana habitat-habitat tersebut dirusak atau dimusnahkan. Dari segi kelangsungan lingkungan hidup, maka degradasi hutan akan memberi dampak terhadap sumber air. Erosi tanah sebagai akibat dari pembersihan lapisan penutup tanah akan menyebabkan sedimentasi/endapan pada jalan air, yang dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap kegiatan di hilir atau dataran rendah. Kekurangan air juga akan mempengaruhi sistem pertanian, perikanan dan pengoperasian bendungan. Rehabilitasi hutan dan lahan mutlak perlu dilakukan untuk mengurangi laju degradasi hutan. Strategi untuk Ketahanan Pangan Berkelanjutan
Daerah yang sekarang ini dalam kondisi tahan pangan mungkin tidak selamanya berada dalam kondisi tahan pangan apabila strategi dan upaya yang dilakukan oleh petani dan pengambil kebijakan tidak berkelanjutan dari segi lingkungan. Selain itu, dampak bencana juga dapat menyebabkan suatu daerah mengalami kemunduran beberapa tingkat, apabila daerah tersebut tidak memiliki kesiapsiagaan terhadap bencana yang memadai. Strategi berikut direkomendasikan untuk seluruh kabupaten yang rentan di provinsi NTT berkaitan untuk mencapai ketahanan pangan berkelanjutan. a.
Reboisasi dan memperlambat deforestasi: Seluruh kabupaten di provinsi NTT harus memulai sebuah rencana komprehensif untuk memperlambat deforestasi dan regenerasi hutan yang telah terdegradasi. Wilayah pesisir harus berkonsentrasi pada regenerasi mangrove. Sebagai akibat dari perubahan iklim, provinsi NTT diharapkan memiliki hari hujan lebih rendah, tapi kadang-kadang dengan intensitas curah hujan tinggi. Kabupaten dengan tutupan vegetasi sangat sedikit akan memiliki bahaya banjir bandang meningkat dan tanah longsor.
b.
Pembangunan Daerah Aliran Sungai (DAS): Seluruh kabupaten di provinsi NTT diharapkan memiliki rencana pembangunan DAS yang terintegrasi untuk meningkatkan kualitas tanah dan
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
43
manajemen perairan. Pada satu sisi, hal ini akan meningkatkan produktivitas tanah dengan naiknya hasil panen sedangkan di sisi yang lain, penggunaan teknik lokal yang tepat akan menciptakan pertanian yang berkelanjutan bagi penghidupan masyarakat. c.
Kesiapsiagaan bencana dan rencana kontinjensi: Kabupaten-kabupaten yang sering mengalami kejadian bencana harus menyusun rencana kontinjensi tingkat masyarakat dan membentuk kelembagaan dan struktur badan penanggulangan bencana untuk pengurangan resiko bencana.
d.
Sistem kesiapsiagaan dini dan kewaspadaan: Sistem kesiapsiagaan dan kewaspadaan yang inovatif untuk pangan dan gizi perlu dibentuk di seluruh kabupaten yang rawan bencana untuk mengidentifikasi resiko secara cepat dan mengambil langkah-langkah perbaikan untuk mitigasi dampak bencana yang terjadi di masa mendatang.
e.
Mengintegrasi masalah perubahan iklim ke semua kebijakan dan program: pemerintah pada semua tingkatan, lembaga PBB dan LSM lainnya harus menjamin bahwa semua kebijakan dan program yang dibangun mereka untuk Indonesia harus menitikberatkan kepada tantangan perubahan iklim. Lembaga-lembaga tersebut juga harus menjamin bahwa kebijakan dan program mengenai perubahan iklim harus pro-rakyat miskin agar mereka dapat lepas dari kemiskinan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) provinsi NTT 2009-2013 menetapkan agenda pembangunan terkait kebencanaan dan kehutanan. Agenda yang di tetapkan adalah sebagai berikut: a.
Agenda khusus: Pembangunan daerah rawan bencana dengan program-program sebagai berikut: 1.
Program pencegahan dini dan penanggulangan korban bencana alam;
2.
Program koordinasi penganggulangan masalah kebencanaan; dan
3.
Program pengembangan data dan informasi kebencanaan.
Selain program-program di atas, pemerintah juga telah membentuk BPBD untuk tingkat provinsi dan tingkat kabupaten di hampir seluruh kabupaten/ kota. b.
Agenda terkait perlindungan hutan dengan program sebagai berikut: 1.
Program rehabilitasi hutan dan lahan termasuk untuk menurunkan tingkat degradasi hutan dan jumlah lahan kritis;
2.
Perlindungan dan konservasi sumber daya hutan termasuk upaya pencegahan kebakaran hutan;
3.
Program pembinaan dan penertiban industri hasil hutan termasuk untuk menurunkan illegal logging dan over eksploitasi terhadap hasil hutan; dan
4.
Program perencanaan dan pengembangan hutan.
44
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
BAB 6 KERENTANAN TERHADAP KERAWANAN PANGAN KRONIS BERDASARKAN ANALISIS KETAHANAN PANGAN KOMPOSIT Sebagaimana disebutkan di dalam Bab 1, bahwa kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan kronis secara komposit ditentukan berdasarkan 9 indikator yang berhubungan dengan ketersediaan pangan, akses pangan dan penghidupan, serta pemanfaatan pangan dan gizi, yang dijelaskan secara rinci pada Bab Dua, Tiga dan Empat. Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan komposit (Peta 6.1) dibuat melalui Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) dan Analisis Kelompok (Cluster Analysis). Data underweight tingkat kabupaten dari Riskesdas 2007 digunakan dalam analisa komposit, karena data PSG tidak lengkap untuk seluruh kecamatan yang ada. Peta komposit menjelaskan kepada kita bahwa kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan suatu kecamatan disebabkan oleh kombinasi dari berbagai dimensi kerawanan pangan. Kemudian, dengan melihat seluruh peta individu maka kita dapat mengidentifikasi penyebab utama kondisi kerawanan dan kerentanan pangan di suatu kecamatan. Harus disebutkan bahwa penyebab kerawanan dan kerentanan pangan antar satu wilayah dengan wilayah lainnya bervariasi, dengan demikian cara penyelesaiannya juga berbeda. Peta dan laporan ini membantu kita untuk memahami perbedaan dan kesamaan dasar di antara kecamatan, dan dengan demikian akan membantu para pembuat kebijakan untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menangani isu-isu paling kritis yang relevan untuk daerah mereka. Berdasarkan hasil analisis PCA dan Analisis Kelompok, maka 135 kecamatan masuk dalam kelompok Prioritas 1-3 dan 145 kecamatan lainnya masuk dalam kelompok Prioritas 4-6. Oleh karena itu, peta komposit menggambarkan 135 kecamatan prioritas dalam kelompok gradasi warna merah yaitu merah tua (Prioritas 1), merah (Prioritas 2) dan merah muda (Prioritas 3). Kelompok warna merah tua menunjukkan kecamatan - kecamatan yang harus mendapat prioritas khusus dalam peningkatan ketahanan pangan dan penanganan masalah kerawanan pangan. Pemetaan ini menggambarkan tingkat kemungkinan terjadinya kerawanan pangan. Dengan kata lain, kecamatan-kecamatan yang berwarna merah memiliki tingkat resiko kerawanan pangan yang lebih besar dibandingkan kecamatan lainnya sehingga memerlukan perhatian segera. Meskipun demikian, kecamatan-kecamatan yang berada di prioritas 1 (warna merah tua) tidak berarti semua penduduknya berada dalam kondisi rawan pangan. Sebaliknya juga pada kecamatan-kecamatan di Prioritas 6 (warna hijau tua) tidak berarti bahwa semua penduduknya tahan pangan. Tabel 6.1 menunjukkan 135 kecamatan yang paling rentan berdasarkan indeks ketahanan pangan komposit. Dari 135 kecamatan tersebut, sebagian besar berada di pulau Timor, Sabu Raijua, Sumba, Rote Ndao dan Flores yang termasuk dalam prioritas utama masalah rawan pangan. Gambar 6.1 memperlihatkan bahwa kecamatan-kecamatan yang paling rentan terhadap kerawanan pangan Prioritas 1 terdapat di kabupaten TTS (17 kecamatan), TTU (7 kecamatan), Belu (5 kecamatan), Kupang (3 kecamatan), Sabu Raijua (2 kecamatan), Sikka (2 kecamatan), Sumba Barat (1 kecamatan) dan Manggarai (1 kecamatan).
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
45
Lampiran 6.2 menunjukkan bahwa faktor penentu utama kecamatan-kecamatan dengan kerentanan yang lebih tinggi terhadap kerawanan pangan dan termasuk kategori Prioritas 1 adalah: (1) tingginya jumlah penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, (2) tingginya prevalensi underweight pada anak balita, (3) rendahnya akses terhadap listrik, (4) tanpa akses air bersih, dan (5) tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda 4 (Tabel 6.2). Dari 31 kecamatan yang rentan terhadap rawan pangan yang merupakan Prioritas 2 seperti yang terlihat pada Gambar 6.2, semuanya berada di Pulau Sumba yaitu Sumba Timur (19 kecamatan), Sumba Barat Daya (8 kecamatan) dan Sumba Tengah (4 kecamatan). Lampiran 6.2 menunjukkan bahwa faktor penentu utama kecamatan-kecamatan pada Prioritas 2 adalah: (1) rendahnya akses terhadap listrik, (2) tingginya jumlah penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, (3) rendahnya angka harapan hidup, (4) tanpa akses air bersih dan (5) tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda 4 (Tabel 6.2). Tabel 6.1: Kecamatan yang Paling Rentan berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit Kabupaten
Kecamatan
Prioritas
Kabupaten
Kecamatan
Prioritas
Belu
Kobalima
1
Timor Tengah Utara
Biboki Tanpah
1
Belu
Kobalima Timur
1
Timor Tengah Utara
Bikomi Selatan
1
Belu
Malaka Tengah
1
Timor Tengah Utara
Bikomi Tengah
1
Belu
Nanaet Dubesi
1
Timor Tengah Utara
Bikomi Utara
1
Belu
Rinhat
1
Timor Tengah Utara
Insana Barat
1
Kupang
Semau
1
Timor Tengah Utara
Insana Fafinesu
1
Kupang
Semau Selatan
1
Timor Tengah Utara
Mutis
1
Kupang
Takari
1
Sumba Barat Daya
Kodi Bangedo
2
Manggarai
Satarmese Barat
1
Sumba Barat Daya
Kodi
2
Sabu Raijua
Hawu Mehara
1
Sumba Barat Daya
Kodi Utara
2
Sabu Raijua
Sabu Barat
1
Sumba Barat Daya
Wewewa Selatan
2
Sikka
Mapitara
1
Sumba Barat Daya
Wewewa Barat
2
Sikka
Waiblama
1
Sumba Barat Daya
Wewewa Timur
2
Sumba Barat
Wanokaka
1
Sumba Barat Daya
Wewewa Utara
2
Timor Tengah Selatan
Amanatun Utara
1
Sumba Barat Daya
Loura
2
Timor Tengah Selatan
Amanuban Selatan
1
Sumba Tengah
Katikutana
2
Timor Tengah Selatan
Amanuban Timur
1
Sumba Tengah
Umbu Ratu Nggay Barat
2
Timor Tengah Selatan
Fatukopa
1
Sumba Tengah
Umbu Ratu Nggay
2
Timor Tengah Selatan
Fatumnasi
1
Sumba Tengah
Mamboro
2
Timor Tengah Selatan
Kokbaun
1
Sumba Timur
Lewa
2
Timor Tengah Selatan
Kuan Fatu
1
Sumba Timur
Nggaha Ori Angu
2
Timor Tengah Selatan
Mollo Barat
1
Sumba Timur
Lewa Tidahu
2
Timor Tengah Selatan
Mollo Selatan
1
Sumba Timur
Katala Hamu Lingu
2
Timor Tengah Selatan
Mollo Tengah
1
Sumba Timur
Tabundung
2
Timor Tengah Selatan
Noebana
1
Sumba Timur
Pinupahar
2
Timor Tengah Selatan
Nunbena
1
Sumba Timur
Paberiwai
2
Timor Tengah Selatan
Oenino
1
Sumba Timur
Karera
2
Timor Tengah Selatan
Polen
1
Sumba Timur
Matawai La Pawu
2
Timor Tengah Selatan
Santian
1
Sumba Timur
Kahaungu Eti
2
Timor Tengah Selatan
Tobu
1
Sumba Timur
Mahu
2
Timor Tengah Selatan
Toianas
1
Sumba Timur
Ngadu Ngala
2
46
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
Tabel 6.1 (lanjutan): Kecamatan yang Paling Rentan berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit Kabupaten
Kecamatan
Kabupaten
Prioritas
Kecamatan
Prioritas
Sumba Timur
Pahunga Lodu
2
Rote Ndao
Pantai Baru
3
Sumba Timur
Wula Waijelu
2
Rote Ndao
Rote Timur
3
Sumba Timur
Rindi
2
Rote Ndao
Rote Barat
3
Sumba Timur
Umalulu
2
Sabu Raijua
Raijua
3
Sumba Timur
Pandawai
2
Sabu Raijua
Sabu Timur
3
Sumba Timur
Kambata Mapambuhang
2
Sabu Raijua
Sabu Liae
3
Sumba Timur
Haharu
2
Sikka
Bola
3
Belu
Malaka Barat
3
Sumba Barat
Lamboya
3
Belu
Weliman
3
Sumba Barat
Laboya Barat
3
Belu
Malaka Timur
3
Sumba Barat
Loli
3
Belu
Laen Manen
3
Sumba Barat
Kota Waikabubak
3
Belu
Rai Manuk
3
Sumba Barat
Tana Righu
3
Belu
Tasifeto Barat
3
Timor Tengah Selatan
Mollo Utara
3
Belu
Kakuluk Mesak
3
Timor Tengah Selatan
Kota Soe
3
Belu
Raihat
3
Timor Tengah Selatan
Amanuban Barat
3
Belu
Lasiolat
3
Timor Tengah Selatan
Batu Putih
3
Belu
Lamaknen
3
Timor Tengah Selatan
Kuatnana
3
Kupang
Nekamese
3
Timor Tengah Selatan
Noebeba
3
Kupang
Amarasi
3
Timor Tengah Selatan
Kualin
3
Kupang
Amarasi Barat
3
Timor Tengah Selatan
Kolbano
3
Kupang
Amarasi Selatan
3
Timor Tengah Selatan
Kie
3
Kupang
Amarasi Timur
3
Timor Tengah Selatan
Kot’Olin
3
Kupang
Amabi Oefeto
3
Timor Tengah Selatan
Amanatun Selatan
3
Kupang
Sulamu
3
Timor Tengah Selatan
Boking
3
Kupang
Fatuleu Barat
3
Timor Tengah Selatan
Nunkolo
3
Kupang
Amfoang Utara
3
Timor Tengah Utara
Miomaffo Barat
3
Kupang
Amfoang Barat Laut
3
Timor Tengah Utara
Musi
3
Kupang
Amfoang Timur
3
Timor Tengah Utara
Miomaffo Timur
3
Manggarai
Langke Rembong
3
Timor Tengah Utara
Noemuti
3
Manggarai
Ruteng
3
Timor Tengah Utara
Naibenu
3
Manggarai
Wae Rii
3
Timor Tengah Utara
Insana
3
Manggarai
Cibal
3
Timor Tengah Utara
Insana Utara
3
Manggarai
Reok
3
Timor Tengah Utara
Insana Tengah
3
Rote Ndao
Rote Barat Daya
3
Timor Tengah Utara
Biboki Selatan
3
Rote Ndao
Rote Barat Laut
3
Timor Tengah Utara
Biboki Utara
3
Rote Ndao
Lobalain
3
Timor Tengah Utara
Biboki Anleu
3
Rote Ndao
Rote Tengah
3
66 kecamatan pada Prioritas 3 berada di TTS (13 kecamatan), Kupang (11 kecamatan), TTU (11 kecamatan), Belu (10 kecamatan), Rote Ndao (7 kecamatan), Sumba Barat (5 kecamatan), Manggarai (5 kecamatan), Sabu Raijua (3 kecamatan) dan Sikka (1 kecamatan). Faktor penentu utama kecamatan-kecamatan pada Prioritas 3 adalah: (1) tingginya prevalensi underweight pada balita, (2) rendahnya akses terhadap listrik, (3) tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda 4, (4) rendahnya angka harapan hidup, (5) tanpa akses air bersih (Lampiran 6.2 dan Tabel 6.2).
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
47
Gambar 6.1: Jumlah Kecamatan yang Rentan pada Prioritas 1 berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit 2
1 1
2 3
5
7 17
Sumba Barat
Sabu Raijua
Kupang
TTS
TTU
Belu
Sikka
Manggarai
Gambar 6.2: Jumlah Kecamatan yang Rentan pada Prioritas 2 berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit
8
Sumba Barat Daya Sumba Tengah 19
Sumba Timur
4
Gambar 6.3: Jumlah Kecamatan yang Rentan pada Prioritas 3 berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit 7
5 3
5
1
11 10
11
13
Sumba Barat
Sabu Raijua
Kupang
TTS
TTU
Belu
Sikka
Manggarai
Rote Ndao
Lampiran 6.2 secara jelas menyoroti indikator-indikator yang menjadi karakteristik situasi di suatu kecamatan. Warna sel menunjukkan penggolongan relatif pentingnya suatu atau lebih indikator yang signifikan pada suatu kecamatan tertentu. Misalnya, faktor penentu utama kerentanan terhadap kerawanan pangan di kecamatan Mollo Barat, di kabupaten TTS yang berada pada kelompok Prioritas 1 adalah rendahnya akses terhadap pangan dan penghidupan (disebabkan oleh tingginya jumlah penduduk miskin, rendahnya akses terhadap jalan dan listrik) dan rendahnya angka harapan hidup saat lahir.
48
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
Tabel 6.2: Faktor Penentu Utama Kerawanan Pangan per Prioritas Faktor Penyebab Prioritas 1
Prioritas 2
1. Kemiskinan
1. Tanpa akses terhadap listrik
2. Underweight pada balita
2. Kemiskinan
3. Tanpa akses terhadap listrik
3. Rendah Angka harapan hidup
4. Tanpa akses ke air bersih
4. Tanpa akses ke air bersih
5. Desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda 4
5. Desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda 4
Prioritas 3
Prioritas 4
1. Underweight pada balita
1. Desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda 4
2. Tanpa akses terhadap listrik
2. Tanpa akses ke air bersih
3. Desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda 4
3. Tanpa akses terhadap listrik
4. Rendah Angka harapan hidup
4. Rendah Angka harapan hidup
5. Tanpa akses ke air bersih
5. Kemiskinan
Prioritas 5
Prioritas 6
1. Tanpa akses ke air bersih
1. Desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda 4
2. Rendah Angka harapan hidup
2. Kemiskinan
3. Underweight pada balita
3. Rendah Angka harapan hidup
4. Kemiskinan
4. Tanpa akses ke air bersih
5. Desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda 4
5. Underweight pada balita
Sedangkan untuk kecamatan Bikomi Tengah, di kabupaten TTU, faktor penentu utamanya juga adalah karena rendahnya akses pangan dan penghidupan (tingginya jumlah penduduk miskin dan akses terhadap listrik yang rendah) dan rendahnya angka harapan hidup saat lahir. Demikian juga, meskipun kecamatan Rote Selatan di kabupaten Rote Ndao berada pada kelompok ‘kecamatan Prioritas 5’, yang berwarna hijau yang menunjukkan situasi ketahanan pangan yang lebih baik, namun beberapa indikator masih harus diperhatikan antara lain akses terhadap listrik dan masalah kemiskinan. Dengan overlaying peta kerentanan terhadap kerawanan pangan kronis dan peta kerentanan terhadap kerawanan pangan sementara, kita dapat melihat daerah-daerah yang saling tumpang tindih (overlap). Daerah-daerah ini direkomendasikan untuk membuat rencana kontijensi (contingency plan) untuk mengurangi dampak bencana alam terhadap ketahanan pangan dengan melibatkan masyarakat. Karena faktor penentu utama kerawanan pangan adalah berbeda-beda, maka cara penanggulangannya juga akan berbeda-beda pada setiap kabupaten dan kecamatan. Sebuah kerangka kerja yang menyeluruh tentang penyebab dan jenis intervensi untuk meningkatkan ketahanan pangan digambarkan pada Gambar 6.4. Strategi peningkatan ketahanan pangan perlu dilakukan melalui pendekatan jalur ganda (twin-track approaches) yaitu: 1.
Pendekatan jangka pendek: Membangun ekonomi berbasis pertanian dan pedesaaan untuk menyediakan lapangan kerja dan pendapatan;
2.
Pendekatan jangka menengah dan panjang: Memenuhi pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui pendekatan pemberdayaan dengan melibatkan partisipasi dan peran aktif seluruh pemangku kepentingan.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
49
Gambar 6.4:
Kerangka Kerja Penyebab dan Jenis Intervensi untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan
Masalah akses pangan: Daya beli terbatas karena kemiskinan, terbatasnya kesempatan kerja, variabilitas harga pangan yang tinggi
Menciptakan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur, kesempatan berpenghasilan, membangun dan menguatkan jaringan pengaman sosial, padat karya pangan/tunai.
Masalah sarana: Ketiadaan atau terbatasnya akses terhadap air, listrik dan jalan
Membangun infrastruktur dasar (jalan, listrik, air bersih).
Meningkatkan akses pangan rumah tangga dan kemandirian menghadapi goncangan/shock
Pembangunan pertanian dan pedesaan Masalah Ketersediaan Pangan: Jumlah peduduk lebih besar dibandingkan dengan kemampuan produksi
Meningkatkan kapasitas produksi pangan kabupaten.
Masalah Kesehatan dan Gizi: Balita dengan Berat Badan di Bawah Standar
- Meningkatkan status gizi dan kesehatan anak usia 0-23 bulan, ibu hamil, dan keluarga. - Menguatkan pelayanan kesehatan dan gizi di puskesmas dan Posyandu. - Memperbaiki pola pengasuhan dan pemberian makan anak. - Meningkatkan pendidikan perempuan.
50
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
Meningkatkan status kesehatan dan gizi
Tabel 6.3: Faktor Penentu Utama Kerawanan Pangan dan Strategi Intervensi Kabupaten Sumba Barat
Strategi Peningkatan Pangan dan Gizi Akses terhadap listrik perlu mendapat perhatian pemerintah untuk ditingkatkan sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi produktif. Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga), bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu saja tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Hal lain yang perlu mendapat prioritas adalah rendahnya tingkat pendidikan perempuan. Program pendidikan, baik formal (program pendidikan 9 tahun, pendidikan gratis) dan pendidikan non-formal (Kejar Paket A, B dan Bimbingan Masyarakat) perlu diperhatikan dan dilaksanakan. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Tanpa akses terhadap listrik • Kemiskinan • Underweight pada balita • Perempuan buta huruf • Rendahnya harapan hidup saat lahir
Sumba Timur
Akses terhadap listrik dan pelayanan kesehatan perlu mendapat perhatian pemerintah untuk ditingkatkan sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi produktif. Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga), bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu saja tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Tanpa akses ke listrik • Kemiskinan • Underweight pada balita • Rendahnya angka harapan hidup pada saat lahir • Akses rendah ke fasilitas kesehatan
Kupang
Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Pembangunan dan rehabilitasi sarana prasarana seperti jalan dan listrik perlu terus ditingkatkan. Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi produktif. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Underweight pada balita • Tanpa akses terhadap listrik • Kemiskinan • Tanpa akses penghubung yang memadai • Rendahnya angka harapan hidup pada saat lahir
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
51
Tabel 6.3 (lanjutan): Faktor Penentu Utama Kerawanan Pangan dan Strategi Intervensi Kabupaten Timor Tengah Selatan
Strategi Peningkatan Pangan dan Gizi Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi produktif. Pembangunan dan rehabilitasi sarana prasarana seperti jalan dan listrik perlu terus ditingkatkan. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Tanpa akses terhadap listrik • Underweight pada balita • Kemiskinan • Rendahnya angka harapan hidup pada saat lahir • Tanpa akses penghubung yang memadai
Timor Tengah Utara
Pembangunan akses listrik dan pelayanan kesehatan yang memadai perlu terus ditingkatkan. Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi produktif. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Tanpa akses terhadap listrik • Underweight pada balita • Kemiskinan • Rendahnya angka harapan hidup pada saat lahir • Akses rendah ke fasilitas kesehatan
Belu
Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Pembangunan dan rehabilitasi sarana prasarana seperti jalan dan listrik perlu terus ditingkatkan. Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi produktif. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Underweight pada balita • Tanpa akses terhadap listrik • Rendahnya angka harapan hidup pada saat lahir • Tanpa akses penghubung yang memadai • Kemiskinan
Alor
Pembangunan dan rehabilitasi sarana prasarana seperti jalan dan listrik perlu terus ditingkatkan. Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.
52
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
Tabel 6.3 (lanjutan): Faktor Penentu Utama Kerawanan Pangan dan Strategi Intervensi Kabupaten Alor
Strategi Peningkatan Pangan dan Gizi Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi produktif. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Tanpa akses terhadap listrik • Underweight pada balita • Tanpa akses penghubung yang memadai • Kemiskinan • Rendahnya angka harapan hidup pada saat lahir
Lembata
Akses listrik dan jalan yang memadai perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah perlu memperluas akses terhadap listrik dan jalan agar dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi produktif. Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga), bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu saja tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Tanpa akses terhadap listrik • Kemiskinan • Underweight pada balita • Tanpa akses penghubung yang memadai
Flores Timur
Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga), bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu saja tetapi juga kepada bapakbapak, remaja putri dan kakek-nenek. Pembangunan dan rehabilitasi sarana prasarana seperti jalan dan listrik perlu terus ditingkatkan. Dari sektor pertanian, peningkatan produksi perlu terus ditingkatkan baik melalui usaha intensifikasi, ekstensifikasi dan peningkatan sarana prasarana pertanian. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Underweight pada balita • Tanpa akses terhadap listrik • Tanpa akses penghubung yang memadai • Produksi makanan pokok yang kurang memadai • Rendahnya angka harapan hidup pada saat lahir
Sikka
Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu saja tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Akses listrik dan jalan yang memadai perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah perlu memperluas akses terhadap listrik dan membangun atau merehabilitasi fasilitas jalan agar dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Sikka memiliki rasio konsumsi normatif per kapita yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan produksi bersih serelianya, hal ini menunjukkan rendahnya kecukupan pangan pokok karena kekurangan produksi pangan. Beberapa upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan kapasitas produksi terutama melalui upaya peningkatan produktifitas. Sejalan dengan hal tersebut, promosi konsumsi makanan lokal yang ada juga perlu digalakkan.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
53
Tabel 6.3 (lanjutan): Faktor Penentu Utama Kerawanan Pangan dan Strategi Intervensi Kabupaten
Strategi Peningkatan Pangan dan Gizi
Sikka
Intervensi utama pelu dilakukan dalam: • Underweight pada balita • Tanpa akses terhadap listrik • Tanpa akses penghubung yang memadai • Produksi makanan pokok yang kurang memadai
Ende
Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu saja tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Akses jalan yang memadai perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah perlu membangun atau merehabilitasi fasilitas jalan agar dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi produktif. Dari sektor pertanian, peningkatan produksi perlu terus ditingkatkan baik melalui usaha intensifikasi, ekstensifikasi dan peningkatan sarana prasarana pertanian. Sektor lain yang perlu mendapat perhatian adalah akses pengubung yang memadai. Pemerintah perlu membangun atau merehabilitasi fasilitas jalan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Underweight pada balita • Tanpa akses penghubung yang memadai • Kemiskinan • Produksi makanan pokok yang kurang memadai • Rendahnya angka harapan hidup pada saat lahir
Ende
Pemerintah perlu memperhatikan perluasan akses listrik bagi seluruh rumah tangga dan jalan bagi seluruh desa yang ada. Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu saja tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Tanpa akses terhadap listrik • Underweight pada balita • Rendahnya angka harapan hidup pada saat lahir • Tanpa akses penghubung yang memadai
Manggarai
Akses listrik dan jalan yang memadai perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah perlu memperluas akses terhadap listrik dan membangun atau merehabilitasi fasilitas jalan agar dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi produktif. Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dan tidak hanya terbatas kepada ibu-ibu saja tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Tanpa akses ke listrik • Kemiskinan • Tanpa akses penghubung yang memadai • Rendahnya angka harapan hidup pada saat lahir • Underweight pada balita
54
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
Tabel 6.3 (lanjutan): Faktor Penentu Utama Kerawanan Pangan dan Strategi Intervensi Kabupaten Rote Ndao
Strategi Peningkatan Pangan dan Gizi Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi produktif. Akses listrik yang memadai perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah perlu memperluas akses terhadap listrik agar dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian dari Pemda. Pemda perlu menggerakan kembali peran Posyandu, PKK, Bidan Desa, serta lembaga-lembaga pelayanan kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Pendidikan mengenai kesehatan dan gizi perlu diintensifkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai macam sarana komunikasi dan tidak hanya terbatas pada ibu-ibu saja, akan tetapi juga mencakup bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Kemiskinan • Tanpa akses ke listrik • Rendahnya angka harapan hidup saat lahir • Underweight pada balita
Manggarai Barat
Akses listrik dan jalan yang memadai perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah perlu memperluas akses terhadap listrik dan membangun atau merehabilitasi fasilitas jalan agar dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dan tidak hanya terbatas kepada ibu-ibu saja tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi produktif. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Tanpa akses ke listrik • Tanpa akses penghubung yang memadai • Underweight pada balita • Kemiskinan • Rendahnya angka harapan hidup pada saat lahir
Sumba Tengah
Akses listrik dan jalan yang memadai perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah perlu memperluas akses terhadap listrik dan membangun atau memperbaiki jalan agar dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian dari Pemda. Pemda perlu menggerakan kembali peran Posyandu, PKK, Bidan Desa, serta lembaga-lembaga pelayanan kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Pendidikan mengenai kesehatan dan gizi perlu diintensifkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai macam sarana komunikasi dan tidak hanya terbatas pada ibu-ibu saja, akan tetapi juga mencakup bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi produktif. Hal lain yang perlu mendapat prioritas adalah rendahnya tingkat pendidikan perempuan. Program pendidikan, baik formal (program pendidikan 9 tahun, pendidikan gratis) dan pendidikan non-formal (Kejar Paket A, B dan Bimbingan Masyarakat) perlu diperhatikan dan dilaksanakan. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Tanpa akses ke listrik • Underweight pada balita • Kemiskinan • Tanpa akses penghubung yang memadai • Perempuan buta huruf
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
55
Tabel 6.3 (lanjutan): Faktor Penentu Utama Kerawanan Pangan dan Strategi Intervensi Kabupaten Sumba Barat Daya
Strategi Peningkatan Pangan dan Gizi Akses yang cukup terhadap listrik dan jalan yang perlu di tingkatkan secara signifikan. Upaya pemerintah untuk memperluas cakupan pelayanan listrik dan membangun/ memperbaiki jalan perlu terus dilanjutkan. Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi produktif. Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dan tidak hanya terbatas kepada ibu-ibu saja tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Hal lain yang perlu mendapat prioritas adalah rendahnya tingkat pendidikan perempuan. Program pendidikan, baik formal (program pendidikan 9 tahun, pendidikan gratis) dan pendidikan non-formal (Kejar Paket A, B dan Bimbingan Masyarakat) perlu diperhatikan dan dilaksanakan. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Tanpa akses ke listrik • Kemiskinan • Underweight pada balita • Tanpa akses penghubung yang memadai • Perempuan buta huruf Akses terhadap listrik perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah perlu memperluas akses terhadap listrik agar dapat memenuhi kebutuhan penduduk.
Nagekeo
Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Tanpa akses terhadap listrik • Rendah angka harapan hidup pada saat lahir • Underweight pada balita
Manggarai Timur
Akses terhadap jalan dan listrik perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah perlu membangun membangun/ merehabilitasi jalan dan memperluas akses terhadap listrik agar dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi produktif. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Tanpa akses ke listrik • Tanpa akses penghubung yang memadai • Underweight pada balita • Kemiskinan
Sabu Raijua
Akses terhadap listrik dan air bersih perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah perlu membangun membangun/ merehabilitasi sarana air bersih dan memperluas akses terhadap listrik agar dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Sabu Raijua memiliki rasio konsumsi normatif per kapita yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan produksi bersih serelianya, hal ini menunjukkan rendahnya kecukupan pangan pokok karena kekurangan produksi pangan. Beberapa upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan kapasitas
56
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
Tabel 6.3 (lanjutan): Faktor Penentu Utama Kerawanan Pangan dan Strategi Intervensi Kabupaten Sabu Raijua
Strategi Peningkatan Pangan dan Gizi produksi terutama melalui upaya peningkatan produktifitas. Sejalan dengan hal tersebut, promosi konsumsi makanan lokal yang ada juga perlu digalakkan. Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu sendiri melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi produktif. Intervensi utama perlu dilakukan dalam: • Tanpa akses terhadap listrik • Produksi makanan pokok yang kurang memadai • Kemiskinan • Tanpa akses ke air bersih • Rendahnya angka harapan hidup pada saat lahir
Perbandingan dengan FSVA nasional 2009
Indikator-indikator ketahanan pangan kronis yang digunakan di FSVA nasional 2009 juga diterapkan pada FSVA provinsi. Namun demikian ada beberapa perbedaan dalam hal sumber data dan analisis seperti dijelaskan dibawah ini. • Tingkat analisis pada FSVA nasional 2009 adalah di tingkat kabupaten, sementara FSVA provinsi memberikan hasil analisis pada tingkat kecamatan. Oleh karena itu, FSVA provinsi berfungsi sebagai alat yang penting untuk pengambilan keputusan pada tingkat kabupaten. • Pada FSVA nasional 2009, data ketersediaan pangan (konsumsi per kapita normatif dan ketersediaan) berasal dari periode tahun 2005 - 2007. Sedangkan di FSVA provinsi, data tersebut tersedia untuk periode tahun 2007-2009. • Seperti dijelaskan dalam Bab 1, Teknik Small Area Estimation diterapkan untuk menghitung indikator kemiskinan, akses listrik, akses terhadap air, perempuan buta huruf dan harapan hidup untuk mengestimasi data pada tingkat kecamatan. • Pada FSVA nasional 2009, kabupaten yang berada dalam peringkat 100 terendah dikategorikan sebagai kabupaten prioritas. Pada FSVA provinsi, jumlah kecamatan pada masing-masing kelompok prioritas ditentukan oleh analisis kelompok (Cluster Analysis). Oleh karena itu, meskipun indikator yang sama digunakan dalam FSVA nasional dan FSVA provinsi, hasilnya harus dibandingkan secara cermat.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
57
DAFTAR PUSTAKA
BAPPENAS (2007). Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Badan Pusat Statistik (BPS) (2011). Proyeksi Penduduk Provinsi NTT per Kabupaten 2005-2015. Badan Pusat Statistik (BPS) (2011). NTT Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik (BPS) (2010). Statistik Pertanian 2009. Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Programme (2005). Peta Kerawanan Pangan Indonesia (FIA) 2005. Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Programme (2010). Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia (FSVA) 2009. Dinas Kesehatan NTT (2009). Profil Kesehatan Provinsi NTT. Elbers, C. J.O. Lanjouw, and P. Lanjouw (2000). “Micro-Level Estimation of Welfare”. Policy Research Department Working Paper 2911. Washington, DC: World Bank. Fay, R E. and Herriot, R.A. (1979). Estimates of income for small place and application of James-Stein procedures to census data. Journal of the American Statistical Association 74, 269-277. Kementerian Kesehatan (2008). Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Kementerian Kesehatan (2010). Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2009. Kementerian Kehutanan (2008). Penghitungan Deforestasi Indonesia. Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (2008). Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan. Morrison, D. F. (1976). Multivariate Statistical Methods. Pemerintah Provinsi NTT (2009). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi NTT Tahun 2009-2013. World Food Programme (2009). Emergency Food Security Assessment Handbook. Edisi ke-2. World Health Organization (WHO) (2007). World Health Report 2007.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
xxi
DAFTAR SINGKATAN
AKG BKP BMKG BNPB BPBD BPS DEPKES DKP FIA FSVA IPB IPM LSM MDG MPCE NTT PDRB PCA PKK PNPM PODES Posyandu Puskesmas PPP PSG RISKESDAS RPJMD SAE SAKERNAS SUSENAS TPT TTS TTU UNICEF WFP WHO
Angka Kecukupan Gizi Badan Ketahanan Pangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Badan Nasional Penanggulangan Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Badan Pusat Statistik Departemen Kesehatan Dewan Ketahanan Pangan Peta Kerawanan Pangan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Institut Pertanian Bogor Indeks Pembangunan Manusia Lembaga Swadaya Masyarakat Millennium Development Goals Pengeluaran Bulanan per Kapita Nusa Tenggara Timur Produk Domestik Regional Bruto Analisis Komponen Utama Pemberdayaan & Kesejahteraan Keluarga Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Survei Potensi Desa Pos Pelayanan Terpadu Pusat Kesehatan Masyarakat Paritas Daya Beli Pemantauan Status Gizi Riset Kesehatan Dasar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Estimasi Daerah Kecil Survei Angkatan Kerja Nasional Survei Sosial Ekonomi Nasional Tingkat Pengangguran Terbuka Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara United Nations Children Fund Badan Pangan Dunia Badan Kesehatan Dunia
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTT
xxiii
Food Security and Vulnerability Atlas of Nusa Tenggara Timur 2010
Government of Nusa Tenggara Timur Food Security Council Ministry of Agriculture World Food Programme
GOVERNOR NUSA TENGGARA TIMUR
MESSAGE
From the Governor of Nusa Tenggara Timur Praise to God Almighty for the guidance and given opportunity for us to work for the community of Nusa Tenggara Timur (NTT) Province to improve food and nutrition security. I warmly welcome and appreciate the hard work of NTT Provincial Food Security Council in collaboration with the United Nations World Food Programme (WFP) on the development of Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) of NTT Province and its socialization during the World Food Day celebration in NTT, October 2010. The Atlas describes food security and vulnerability in the province at sub-district level using 13 indicators of food availability, access, utilization and vulnerability to transient food insecurity. The Atlas has been finalized by having a complete analysis report in English and Bahasa Indonesia with composite map which is a combination of all chronic food security indicators. This joint effort provides us with updated information on different dimensions of food security in the province and identifies thematic and geographic areas which require urgent attention. Food security is one of national development priorities in Indonesia. In NTT Province, it is also one of the eight provincial development priorities under the slogan of ‘Anggur Merah’ or ‘Budget for Prosperity’. The Atlas illustrates a complex challenge in attaining food security for all communities in the province. The prioritized sub-districts require multi-sectoral interventions to reduce high level of poverty, improve educational level and address child malnutrition. The interventions to mitigate the impact of prolonged dry season, deforestation and high degradation of farming land are also important. This Provincial Food Security and Vulnerability Atlas will be widely used to guide the formulation of the programs, food and nutrition problems in the province. Provincial Food Security Council will facilitate the process with relevant stakeholders as food security is a multi dimensional issue. Finally, I hope this FSVA will benefit the effort of all partners and stakeholders to improve food and nutrition security in NTT province.
Kupang, 25 August 2011 GOVERNOR OF NUSA TENGGARA TIMUR PROVINCE
DRS. FRANS LEBU RAYA
MESSAGE From the Head of Food Security and Extension Office The Government of Nusa Tenggara Timur (NTT) Province has made a continuous effort to tackle longstanding problems of food and nutrition in the region. This Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) of NTT Province is expected to provide a key reference for prioritizing strategies and policies to overcome chronic food insecurity problems and to mitigate the risks of transient food insecurity. Provincial Food Security and Vulnerability Atlas of NTT Province was developed through very close collaboration between the Government of NTT Province and the United Nations World Food Programme (WFP), through the coordination of Provincial Food Security Office. The Atlas presents accurate and comprehensive information on food security and vulnerability situation in all areas in the province. The Atlas provides sub-district level analysis of the food security situation in the province on the basis of three key dimensions of food security - availability, access and utilization. The Atlas also analyses vulnerability to natural disasters for better preparedness. Recommended strategies are provided for each district. It is our big hope that this Atlas can bring a significant positive change in improving the effort to improve food security and nutrition by all stakeholders, both government and non government. The effort will be systematically coordinated by the NTT Food Security Council to effectively address the issues which are prioritized in the Atlas. This bilingual Atlas is a complete version of the previously launched Atlas in October 2010. This Atlas includes a composite food security map which is analyzed from 9 chronic food security indicators. We would like to extend our thanks and high appreciation to WFP Indonesia and WFP Kupang for the commitment, support and intensive cooperation in the process of the development of the Atlas. The Atlas could not have been completed without active participation of the Steering Committee and Technical Working Group which consist of various agencies in the province and districts and led by Food Security Office. Ultimately, we hope that this Atlas will be useful for the achievement of better food and nutrition security of all communities in NTT Province, and suggestions for the improvements are highly appreciated.
Kupang, 25 August 2011
SI
PE
Secretariat of NTT Food Security Council N VI
M
HEAD OF NTT FOODRSECURITY EXTENSION OFFICE INTAH PRAND O E
UR
NUS
BADAN KETAHANAN PANGAN DAN PENYULUHAN
IR. NICOLAUS BALA NUHAN I M
A
TE
NG G A R A T
PREFACE Since the Food Security Council of Indonesia and the United Nations World Food Programme (WFP) jointly developed the first 2005 Food Insecurity Atlas which identified 100 priority areas vulnerable to food insecurity, WFP has been pleased to further respond to the growing interest and enthusiasm in undertaking further analysis by our national and provincial stakeholders. As such, it was jointly decided that the national level Atlas will be periodically updated and that the provincial Atlases will be replicated in all provinces as a tool to guide provincial planning in the decentralized context of Indonesia. At the national level, the Food Security Council and the WFP updated the Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) in 2009, which was officially launched by the President of Indonesia in 2010. The Atlas showed that while positive changes are observed in the access to health facilities, life expectancy and underweight among under-five children, the levels of vulnerability to food insecurity still vary substantially by geographic region within Indonesia, with a higher concentration of food insecurity in the eastern parts of Indonesia. We are pleased now to showcase the result of an extended partnership between the WFP and the national and local governments in 2010 on food security analysis. In NTT Province, provincial and district stakeholders in different sectors showed strong commitment in learning the methodologies of FSVA and applied them in developing Provincial FSVA. This Provincial Atlas is the outcome of our strengthening relationship and collaborative efforts. The results identified vulnerable sub-districts concentrated in certain areas which require higher attention to address chronic food insecurity. While cereal production is sufficient, the prevalence of stunting is still ranked at very high level of public health significance in most sub-districts. Climate change also poses an additional challenge to food security. The expected impacts of more erratic rain patterns and deforestation on agriculture further deteriorate the areas vulnerable to food insecurity. The Provincial Atlas shows that the forests in the NTT Province are under serious threat and some areas experienced decreasing rainfall. Collaborative efforts are required to support vulnerable communities to mitigate the impact and adapt to the change. Across the world, food prices have been increasing significantly, pushing not only the poor but also the near-poor population into food insecurity. It is highly important for policy and decision makers to understand potential impact of high food prices on vulnerable communities for appropriate responses. The Provincial Atlas will provide a good evidence base for planning and targeting of the responses.
The Atlas provides an analysis of the food security situation in the province and draw upon recommendations which lays the groundwork for the development of the Provincial Food and Nutrition Action Plan in the NTT Province. It is our strong desire that this Atlas will contribute to a better understanding of food security and vulnerability in the province and it will be incorporated as a tool to develop regional policies and programmes to ensure food security for all communities in the province.
Coco Ushiyama Representative and Country Director United Nations World Food Programme, Indonesia
ACKNOWLEDGMENTS
The Food Security and Vulnerability Atlas of NTT province 2010 could not have been completed without the personal interests and support of H.E. Drs. Frans Lebu Raya, the Governor of Nusa Tenggara Timur Province, as the Executive Chairman of NTT Provincial Food Security Council, the Economic and Development Assistant of Provincial Secretary as the Chairman of NTT Provincial Food Security Council. Drs. Nicolaus Bala Nuhan, Head of NTT Provincial Food Security Office provided excellent leadership at all stages of the Atlas development. Consistent attention and inspiration were provided by Dr. Ir. Tjuk Eko Hari Basuki, M.St, Director of Food Availability and Vulnerability Centre of Central Food Security Agency. Much of the credit for undertaking the analysis and bringing out this publication goes to Ir. Sylvia Peku Djawang, SP, MM of NTT Provincial Food Security and Extension Office and Keigo Obara, Dedi Junadi, Ha’i Raga Lawa of the United Nations World Food Programme Indonesia. The active role of a wide range of government and non government institutions together with the rich inputs from the district officials remain particularly appreciated. The support from AusAID is highly acknowledged.
TABLE OF CONTENTS
CONTRIBUTORS
xv
EXECUTIVE SUMMARY
xvii
CHAPTER 1 INTRODUCTION 1.1 Background and Rationale 1.2 Food and Nutrition Security Conceptual Framework 1.3 Indicators Used for the Provincial FSVA CHAPTER 2 FOOD AVAILABITY 2.1 Production 2.2 Ratio of Per capita Normative Consumption to Production 2.3 Main Challenges for Adequacy Fulfillment CHAPTER 3 FOOD AND LIVELIHOOD ACCESS 3.1 Population Below Poverty Line 3.2 Open Unemployment Rate (OUR) 3.3 Access to Basic Infrastructure (Electricity and Road) 3.4 Strategies for Reducing Poverty, Improving Access to Food and Livelihood CHAPTER 4 FOOD UTILIZATION 4.1 Food Consumption 4.2 Access to Health Facilities 4.3 Population with Limited Access to Improved Drinking Water 4.4 Female Illiteracy 4.5 Nutritional Status 4.6 Health Outcome CHAPTER 5 VULNERABILITY TO TRANSIENT FOOD INSECURITY 5.1 Natural Disasters 5.2 Rainfall Fluctuation 5.3 Damaged Areas 5.4 Climate Change and Food Security 5.5 Deforestation CHAPTER 6 VULNERABILITY TO CHRONIC FOOD INSECURITY BASED ON COMPOSITE FOOD SECURITY ANALYSIS
1 1 2 4
9 9 16 16 19 19 21 22 25 27 27 28 29 30 30 32 37 37 37 39 40 40
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
43
xi
List of Tables Table 1.1 Table 2.1 Table 2.2 Table 2.3 Table 2.4 Table 2.5 Table 2.6 Table 3.1 Table 3.2 Table 3.3 Table 3.4 Table 3.5 Table 4.1 Table 4.2 Table 4.3 Table 4.4 Table 4.5 Table 5.1 Table 5.2 Table 6.1 Table 6.2 Table 6.3
Indicators Used for the Food Security and Vulnerability Atlas of NTT Province, 2010 Production of Major Cereals and Tubers, 2000 – 2009 (Tons) Production of Paddy (2005 – 2009) (Tons) Production of Maize (2005 – 2009) (Tons) Production of Cassava (2005 – 2009) (Tons) Production of Sweet Potato by District (2005 – 2009) (Tons) Total Cereal Production by Year and Production Growth Rate for the Period of 2005-2009 (Tons) Number and Percentage of Population Below Poverty Line Number of Sub-districts With More Than 30% People Below Poverty Line in 2008 Open Unemployment Rate (OURs), 2007 – 2009 Percentage of Villages Without Access to Four Wheeled vehicle Percentage of Households Without Access to Electricity Per Capita per Day Calorie and Protein Consumption among Three Lowest Monthly per Capita Expenditure (MPCE) Classes Percentage of Households with Limited Access to Improved Drinking Water and Percentage of Villages with Limited Access to Community Health Center Female Illiteracy Rate Percentage of Underweight and Stunted Under Five Years Children Life Expectancy Summary of Natural Disasters which Occurred in NTT Province during 1990 – 2009 and Estimated Caused Damage Proportion of Paddy and Maize Damaged Areas among Total Paddy and Maize Cultivated Areas during 2007 – 2009 Higher Vulnerable Sub-districts Based on Composite Food Security Analysis Main Determinants of Food Insecurity per Priority Main Determinants of Food Insecurity and Recommended Interventions by District
6 9 12 13 14 14 15 20 20 22 23 24 28 29 30 32 33 38 39 43 47 48
List of Figures Figure 1.1 Figure 2.1 Figure 2.2 Figure 2.3 Figure 2.4 Figure 2.5 Figure 2.6 Figure 2.7 Figure 3.1 Figure 3.2 Figure 5.1 Figure 6.1
xii
Food and Nutrition Security Conceptual Framework Production of Major Cereals and Tubers, 2000 – 2009 (Tons) Total Cereals and Tubers Harvested Areas in NTT (ha), 2000 – 2009 Paddy Production in NTT by Island, 2005 – 2009 Maize Production in NTT by Island, 2005 – 2009 Cassava Production in NTT by Island, 2005 – 2009 Sweet Potato Production in NTT by Island, 2005 – 2009 NTT Population Projection According to Island and Province, Year 2005 – 2015 Main Income Sources According to Sectoral Classification Modes of Transportation in NTT Province Natural Disasters which Occurred in NTT Province between 1990 – 2009
3 10 10 10 11 12 12 17
Number of Vulnerable Sub-districts of Priority 1 based on Composite Food Security Analysis
45
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
21 24 38
Figure 6.2 Figure 6.3 Figure 6.4
Number of Vulnerable Sub-districts of Priority 2 based on Composite Food Security Analysis Number of Vulnerable Sub-districts of Priority 3 based on Composite Food Security Analysis Framework of the Causes and the Type Interventions to Improve Food Security
46 46 47
List of Map Map 1.1 Map 1.2 Map 1.3 Map 1.4 Map 1.5 Map 1.6 Map 2.1 Map 3.1 Map 3.2 Map 3.3 Map 4.1 Map 4.2 Map 4.3 Map 4.4 Map 4.5 Map 5.1 Map 5.2 Map 5.3 Map 5.4 Map 5.5 Map 6.1
Index Map of Sumba and Sabu Raijua Islands Index Map of Kupang and Rote Ndao Districts Index Map of TTS, TTU and Belu Districts Index Map of Manggarai Barat to Ende District Index Map Sikka and Flores Timur Districts Index Map of Lembata and Alor Districts Ratio of Per Capita Normative Consumption to Net Cereal Production Population Living Below Poverty Line Villages not Accessible by Four Wheel Vehicle Households without Access to Electricity Households with Access to Health Facilities > 5 km Households without Access to Clean Water Female Illiteracy Underweight Children (< 5 years) Life Expectancy Rainfall Deviation (%) during 1997-2007 in Dry Season compared to 30 Years Average Rainfall Deviation (%) during 1997-2007 in Wet Season compared to 30 Years Average Damaged Paddy Area Damaged Maize Area Map of Deforestation in NTT during 2003 - 2006 Period Vulnerability to Food Insecurity Map of NTT
A-1 A-3 A-5 A-7 A-9 A-11 A-13 A-15 A-17 A-19 A-21 A-23 A-25 A-27 A-29 A-31 A-33 A-35 A-37 A-39 A-41
List of Annexes Annex 1.1 Annex 1.2 Annex 2.1 Annex 3.1 Annex 4.1 Annex 5.1 Annex 6.1 Annex 6.2
List of Sub-districts in Composite Analysis Technical Note on Small Area Estimation (SAE) Food Availability Indicator Food Access Indicators Health and Nutrition Indicators Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007 Principal Component Analysis and Cluster Analysis: analyzing relationships among food security indicators Ranking of sub-districts Based on Individual Indicators and Composite Food Security Priority Group
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
B-1 B-2 B-10 B-21 B-32 B-43 B-54 B-58
xiii
CONTRIBUTORS
Steering Committee
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Head of Food Security and Extension Office, NTT Province (Chairman) Head of Food Availability and Insecurity section, Food Security and Extension Office, NTT Province (Secretary) Head of Agriculture and Plantation Office, NTT Province (Member) Head of Health Office, NTT Province (Member) Head of Forestry Office, NTT Province (Member) Head of Statistics Bureau, NTT Province (Member) Head of Development Planning Board/ BAPPEDA Office, NTT Province (Member) Head of Meteorology, Climatology and Meteorology/ BMKG Office, NTT Province (Member) Head of Disaster Management Board/ BPBD Office, NTT Province (Member)
Technical Working Group
1. Sylvia Peku Djawang, SP, MM (BKPP NTT) 2. Saiful, SKM (Health Office NTT) 3. Ir. Marselina I. Goetha (BPS NTT) 4. S. Handayani (BPS NTT) 5. Drs. Purwanto (BMKG Kupang) 6. Apolinaris Geru, SP, MSi (BMKG Kupang) 7. Rodi Yunus, SSi (BMKG Kupang) 8. Jemmy E. Mella, SE (BPBD NTT) 9. Esron M. Elim, SE, Msi (BAPPEDA NTT) 10. Ir. Made Sudirta (BKPP NTT) 11. Keigo Obara (WFP) 12. Dedi Junadi (WFP) 13. Ha’i Raga Lawa (WFP)
District Food Security Offices
1. Agriculture and Forestry Office, Kupang District 2. Agriculture and Food Security Office, TTS District 3. Food Security and Agriculture Extension Office, TTU District 4. Food Security and Agriculture Extension Office, Belu District 5. Food Security and Agriculture Extension Office, Alor District 6. Food Security and Agriculture Extension Office, Lembata District 7. Food Security and Agriculture Extension Office, Flores Timur District 8. Food Security and Agriculture Extension Office, Sikka District 9. Food Security and Agriculture Extension Office, Ende District 10. Food Security and Agriculture Extension Office, Ngada District
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
xv
11. Food Security and Agriculture Extension Office, Nagekeo District 12. Food Security and Agriculture Extension Office, Manggarai District 13. Food Security Board, Sumba Timur District 14. Food Security and Agriculture Extension Office, Sumba Barat District 15. Food Security and Agriculture Extension Office, Sumba Barat Daya District 16. Food Security and Agriculture Extension Office, Sumba Tengah District 17. Agriculture, Plantation and Forestry Office, Manggarai Barat District 18. Food Security and Agriculture, Fisheries and Forestry Extension Office, Rote Ndao District 19. Food Security and Agriculture Extension Office, Manggarai Timur District 20. Agriculture, Forestry, Fisheries and Marine Office, Sabu Raijua District
xvi
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
EXECUTIVE SUMMARY
1.
BACKGROUND
There has been a constant need for the Government of Indonesia to improve geographical targeting of more vulnerable areas for food and nutrition security related interventions. Recognizing World Food Programme (WFP) expertise in food security analysis and mapping, in 2003 the Food Security Council (FSC), chaired by the President of Indonesia, whose Secretariat is the Food Security Agency (FSA), collaborated with WFP to develop the national Food Insecurity Atlas (FIA) for Indonesia. The first FIA was developed and launched in 2005 and covered 265 rural districts in 30 provinces. More than US $32 million were allocated by the government to 100 districts identified as food insecure and interventions began in 2006-2007. The second atlas, with a new title “Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA)” covering 346 rural districts in 32 provinces, was launched by the President of Indonesia and Minister of Agriculture on 24 May 2010 and it has already been fully integrated into annual government work plans and budgetary allocations. WFP has been providing technical and financial support towards the development and implementation of the FIA and FSVA since 2003. While the national FIA 2005 and FSVA 2009 successfully uncovered the district level disparity of food security and vulnerability in the country, there was no tool to analyze and classify food security and vulnerability at the sub-district level. The provincial FSVA have been developed in NTT as a new tool for planners and decision makers to identify vulnerable sub-districts which require special attention for food and nutrition interventions.
2.
OBJECTIVE OF THE PROVINCIAL FSVA
Like the national FSVA 2009, provincial FSVA serves as an important tool for decision making in targeting and developing recommendations for responding to food and nutrition insecurity at the district and sub-district levels. Analyzed 13 indicators related to food security based on officially issued secondary data of the period 20072009, and composite 9 of them to derive a Composite Food Security Analysis allow the provincial FSVA to answer three key questions related to food security and its vulnerability: Where are the higher vulnerable to food insecurity (by district, sub-district); How Many are they (estimated population); and Why are they higher vulnerable (main determinants for food insecurity)?.
3.
KEY FINDINGS OF THE PROVINCIAL FSVA
3.1
Food availability
•
Agricultural output is slightly increased (about 1.9% per year during 2000-2008) and decreased by 1.1% in 2009. Rice, maize, cassava and groundnuts production were increased, while production of sweet potato and soybean reduced. Most rural sub-districts of NTT province are self-sufficient in cereal production, and cereal availability at the provincial level is adequate.
•
However, out of 280 rural sub-districts, 43 sub-districts were cereal deficit.
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
xvii
3.2
Food access
•
Limited access to food for the poor as a result of combination of poverty, lack of stable employment, low and irregular cash income and limited purchasing power remained a greater challenge. In 2009, more than 1 million people (23.31%) lived below the provincial poverty line.
•
Since 2005, all districts have been able to reduce the poverty rate, but two districts (Ende and Rote Ndao) have not.
•
In 2009, poverty was concentrated in six districts (Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, TTS and Rote Ndao). Out of 20 districts, 12 districts had a poverty level higher than the provincial average, with Sumba Tengah having the highest proportion of poor people (35.83%).
•
More pronounced differences exist between sub-districts. Out of 280 sub-districts, 143 sub-districts had poverty rates higher than the provincial average. Among them, 93 sub-districts had more than 30% of people living below the provincial poverty line.
•
The Open Unemployment Rate (OUR) in 2009 decreased by nearly 1% from 2007.
•
More than 14% of the villages in the province were not accessible by four-wheeled vehicles.
•
Nearly 60% of households in the province did not have access to electricity. The access was limited in all districts.
3. 3 Food Utilization and the Nutritional Situation •
In 2009, the average daily energy intake was 1,972 kcal, lower than national Recommended Daily Allowance (RDA) and the protein intake was 54.13 grams, surpassed the national RDA. However, the lowest three expenditure classes consumed only 1,779 kcal/capita/day or less, and their diet remained quantitatively inadequate and qualitatively imbalanced.
•
Overall, 85% of villages had access to the nearest health facilities located within 5 km, which significantly improved during the last five years (67.2%).
•
On average, 34.16% of households did not have access to improved drinking water. The poorest access was in Sumba Barat, Sumba Timur, Kupang, TTS and Sabu Raijua districts.
•
Overall, in 2008, female illiteracy rate in the provincial was 14.66%. The highest illiteracy rate was in Sumba Barat Daya (32%), Sumba Tengah (30%), Sumba Barat (26%), Belu (22%), and TTS (22%) districts. At the sub-district level, 51 out of 280 sub-districts had an illiteracy rate of 20% or more.
•
According to the Basic Health Research (RISKESDAS) conducted in 2007, the provincial rate of underweight (mixed chronic and acute malnutrition) was 33.6%, which have not met the MDG goal and still was a very high level of public health significance. Huge disparities between regions remained with 8 districts having underweight rates higher than the provincial rate. By sub-district, 140 out of 280 sub-districts had a very high prevalence of underweight (≥ 30%). Higher underweight was found in districts in Timor Island, Sikka, Manggarai and Rote Ndao districts.
•
According to the Basic Health Research (RISKESDAS) conducted in 2007, the provincial prevalence of stunting (chronic malnutrition) was 46.7%, ranked at a very high level of public health significance. In total, 13 districts had a very high prevalence (≥ 40%), and another one districts had a high prevalence (30%-39%). The latest RISKESDAS conducted in 2010 shows increased stunting rate in the province (58.4%).
•
The average life expectancy in the province was 66 years in 2008, eight out of 20 districts had the life expectancy of 66 or more years. At the sub-district level, 74 out of 280 sub-districts had the life expectancy of 70 or more years.
xviii
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
3.4
Areas of higher vulnerability required higher priority (Where, How Many and Why?)
•
Composite Food Security Analysis was conducted to answer these three questions by clustering and mapping 280 sub-districts which had complete datasets of all nine indicators related to chronic food insecurity. Among them, 135 sub-districts are ranked as higher priority: 38 of Priority 1, 31 of Priority 2 and 66 of Priority 3, with a total estimated population of 1.96 million people. The remaining 145 sub-districts are classified as Priorities 4-6. Higher attention should be paid to sub-districts of Priorities 1-3.
•
The 38 sub-districts in the Priority 1 are concentrated in TTS district (17), TTU (7), Belu (5), Kupang (3), Sabu Raijua (2), Sikka (2), Manggarai (1) and Sumba Barat (1), with approximately 447 thousand people. Their vulnerability to food insecurity is mainly attributed to poverty, high underweight rate among children under-five, and limited access to electricity, clean water and roads.
•
The 31 sub-districts in the Priority 2 are concentrated in Sumba Timur (19), Sumba Barat Daya (8) and Sumba Tengah (4), with approximately 473 thousand people. The main determinants for their vulnerability are: limited access to electricity, poverty, low life expectancy, and limited access to clean water and roads.
•
66 sub-districts in the Priority 3 are concentrated in TTS (13), Kupang (11), TTU (11), Belu (10), Rote Ndao (7), Sumba Barat (5), Manggarai (5), Sabu Raijua (3) and Sikka (1) with approximately 1 million people. Their vulnerability to food insecurity is mainly attributed to high underweight rate among children under-five, limited access to electricity and roads, low life expectancy and limited access to clean water.
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
xix
Vulnerability to Food Insecurity Map of NTT Province
120°0'0"E
25
50 Km
Nagekeo
Manggarai
10°0'0"S
Alor
Lembata
Manggarai Timur
Manggarai Barat
Sumba Barat Daya
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
® 0
122°0'0"E
8°0'0"S
Kupang
Legenda/Legend: Prioritas 1 Kecamatan/ Priority 1 Sub-districts Prioritas 2 Kecamatan/ Priority 2 Sub-districts Prioritas 3 Kecamatan/ Priority 3 Sub-districts Prioritas 4 Kecamatan/ Priority 4 Sub-districts Prioritas 5 Kecamatan/ Priority 5 Sub-districts Prioritas 6 Kecamatan/ Priority 6 Sub-districts Daerah Perkotaan/Tidak ada Data Urban Area/No Data Batas Kabupaten/ District Boundary 120°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
Rote Ndao
122°0'0"E
124°0'0"E
Timor Tengah Selatan
CHAPTER 1 INTRODUCTION
1.1
BACKGROUND AND RATIONALE
Nusa Tenggara Timur (NTT) Province which consists of 1 urban and 20 rural districts is a home to a population of 4,679,316 people. The province consists of 1,192 islands among which 42 are inhabited. Geographically, the islands lie between 8º – 12º South Latitude and 118º – 125º East Longitude, with a total land area of 48,718.1 km². Climatologically, the province belongs to the semi-arid areas with low rainfall. Wet or rainy season usually lasts short for approximately 3 to 4 months with the lowest average annual rainfall of 800 mm and highest of 3,000 mm. The economy of the province relies on agriculture which accounts for 39.62% of Gross Regional Domestic Product (GRDP). Provincial economic growth rate was 4.2% in 2009 while national rate achieved 6.1% in the same year. The Human Development Index of the province has improved gradually for the past few years. However, low level of income and high prevalence of under nutrition ranked the province as 31st out of 33 provinces. These conditions indicate that there is still much to be done by the government and all stakeholders to work harder for making improvement. Following the national Food Insecurity Atlas (FIA) in 2005, the second edition of the national Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) which covers 346 rural districts of 32 provinces was developed in 2009 by the national Food Security Council (FSC) and provincial Food Security Offices (FSOs) in collaboration with the United Nations World Food Programme (WFP). The national FSVA 2009 was officially launched by the President of Indonesia in May 2010 and has proven to be an important tool for refining the geographical targeting of the most vulnerable districts for food security and nutrition related interventions. The Government of Indonesia allocated more than Rp. 323 billion (US$ 32 million) to 100 higher vulnerable districts identified by the national FIA 2005. Similarly, the Government is planning the allocation of budget for food security and nutrition interventions based on the national FSVA 2009. Among the 100 priority districts in Indonesia in the national FIA 2005, 10 districts were in NTT province. A number of programme were implemented in these districts since 2006, the number of 100 priority districts in the province reduced to 6 districts in the national FSVA 2009. Continuous attention is required to accelerate the progress. While the national FIA 2005 and FSVA 2009 successfully uncovered the disparity of food security and vulnerability at district level, there was no tool to analyze and classify food security and vulnerability at the sub-district level. The national FSC, provincial FSO and WFP collaborated in analyzing food security situation at sub-district level to further analyze the hotspots. All district FSOs actively participated in the process and technical support was provided from various agencies such as Ministry of Agriculture, Ministry of Health, National Statistics Bureau (BPS) and Bogor Agriculture University (IPB). The final output of this collaboration is this Provincial Food Security and Vulnerability Atlas. As of 2010, NTT province counts 1 urban and 20 rural districts, which consist of 4 urban and 283 rural sub-districts, respectively. The 20 rural districts include 5 new districts, which were separated from existing districts during the period 2007–2009, namely Sumba Barat Daya and Sumba Tengah districts (from Sumba Barat district), Manggarai Timur districts (from Manggarai district), Nagekeo district (from Ngada district) and Sabu Raijua district (from Kupang district).
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
1
Similar to the national FIA 2005 and FSVA 2009, urban districts are not included in the provincial FSVA, as urban food security requires a separate analysis. This will possibly be considered in the future. In addition, 3 rural sub-districts are not analyzed because they were newly created in 2010, namely Amfoang Tengah in Kupang district, Solor Selatan in Flores Timur district and Katikutana Selatan in Sumba Tengah district (Annex 1.1). Therefore, the maps depict the food security situation in 280 sub-districts in 20 rural districts. The term “food insecurity” in the first FIA 2005 might have created a misunderstanding on the definition of the district ranking. It seems to be interpreted directly that in a district in the lowest rank, all the people were food insecure. The second national atlas with a new title “Food Security and Vulnerability of Indonesia (FSVA)” refers to the title of national atlas and aims to avoid such a misunderstanding. The FSVA extends the understanding of the food security concept based on its three dimensions (food availability, access to food and utilization of the food) to any circumstance rather than only in a food insecure situation. The FSVA is also meant to better address various determinants of food insecurity, or in other words, the vulnerability to food insecurity, rather than only food insecurity itself.
1.2 FOOD AND NUTRITION SECURITY CONCEPTUAL FRAMEWORK At the World Food Summit (1996), food security was defined as: ”Food security exists when all people, at all times, have physical, social and economic access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs, and food preferences for an active and healthy life”. In the provincial FSVA 2010, the analysis and mapping is based on an understanding of food and nutrition security and vulnerability highlighted in the Food and Nutrition Security Conceptual Framework (Figure 1.1). a.
Food Security
In Indonesia, Food Law No.7, 1996 defined Food Security as a condition when all people in the households have sufficient food at all times, represented as sufficient quantity and quality of food in safe and achievable conditions. Like the first FIA and the national FSVA 2009, provincial FSVA is based on three pillars of food security: (i) food availability; (ii) food access; and (iii) food utilization. Food availability is the physical presence of food in the area of concern through all forms of domestic production, commercial imports and food aid. Food availability is determined by food production in the area, traded food brought into the area through market mechanisms, stock held by traders and in government reserves, and transfers by the government and/or food aid agencies. Food availability might be aggregated at the national, regional, district or community level. Food access is a household’s ability to acquire adequate amounts of food, through one or a combination of own home production and stocks, purchases, barter, gifts, borrowing and food aid. Food may be available in the area but not accessible to certain households if they cannot acquire a sufficient quantity or diversity of food through these mechanisms. Food utilization refers to households’ use of the food to which they have access, and individuals’ ability to absorb and metabolize the nutrients – the conversion efficiency of the body. Food utilization includes the way in which food is stored, processed and prepared, including water and cooking fuel used, and hygiene conditions, feeding practices (particularly for individuals with special food needs), the sharing of food within the household according to the needs (growth, pregnancy, lactation, etc.), and the health status of each household member.
2
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
EXPOSURE TO SHOCKS AND HAZARDS
Figure 1.1 Food and Nutrition Security Conceptual Framework
Nutrition Status/ Mortality Individual level Health Status/ Disease
Individual Food Intake
Context/ framework Food Availability/ Markets Basic Services and Infrastructure Political, Economical, Institutional, Security, Social, Cultural, Gender, Environment Agro-ecological Conditions/ Climate
Household Food Access
Care/ Health Practices
Health and Hygiene Conditions
HH level Livelihood Outcomes
HH Food Production, Gifts, Exchange, Cash Earnings, Loan, Savings, Transfers
Livelihood Strategies
Natural Physical Human Economic Social Capital/Assets
Community/ HH level Livelihood Assets
Source: WFP, January 2009
Sufficient national-level and provincial food production and availability do not guarantee food security at household and individual levels. Food may be available and accessible but certain household members may not benefit fully if they do not receive an adequate share of the food in terms of quantity and diversity, or if their bodies are unable to absorb food because of poor food preparation or sickness. The food security conceptual framework considers food availability, food access and food utilization as core determinants of food security, and links these to households’ asset endowments, livelihood strategies, and to the political, social, institutional and economic environment. In other words, the food security status of any household or individual is typically determined by the interaction of a broad range of agro-environmental, socio-economic and biological factors, and to some extent, political factors. Food insecurity can be chronic or transitory. Chronic food insecurity is a long term or persistent inability to meet minimum food requirements and is usually associated with structural, underlying contextual factors that do not change quickly, such as local climate, soil type, local governance system, public infrastructure, land tenure, inter-ethnic relations, education level, etc. Transitory food insecurity is a short-term or temporary inability to meet minimum food requirements which is mostly associated with dynamic factors that can change quickly such as infectious diseases, natural disasters, displacement, change of market functioning, level of indebtedness, migration, etc. Repeated transitory food insecurity can lead to the depletion of a household’s livelihoods, degraded resilience and chronic food insecurity.
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
3
b. Nutrition Security
Nutrition security is defined as “physical, economic, environmental and social access to balanced diet, safe drinking water, environmental hygiene, primary health care and primary education”. This implies that there is a combination of food and non-food components in nutrition security. Nutrition security manifested in nutritional status is the ultimate outcome of food security, health and care practices at the individual level. Food insecurity is one amongst three underlying causes of malnutrition. The other two causes are health status, public health environment, and care practices. Therefore, wherever there is food insecurity, there is a risk of malnutrition, including micronutrient deficiencies. It should not be assumed that food insecurity is the sole cause of malnutrition without considering possible health and care causal factors such as lack of access to clean drinking water, sanitation, health facilities and health care, inadequate child care and feeding practices, poor maternal education, etc. c. Vulnerability
Vulnerability to food insecurity refers to a full range of factors that place people at risk of becoming food insecure. The degree of vulnerability of individuals, households or groups of people is determined by their exposure to the risk factors and their ability to cope with or withstand stressful situations.
1.3
INDICATORS USED FOR THE PROVINCIAL FSVA
Food insecurity is a multi-dimensional issue which needs an analysis of various parameters rather than relying on food production and availability alone. While there is no single, direct measure of food security, the complexity of food security can be simplified by focusing on three distinct but interrelated dimensions: aggregated food availability, household food access, and individual food utilization. Indicators selected for the provincial FSVA are related to three food security pillars, based on their interrelation as indicated in the Food and Nutrition Security Conceptual Framework, and depend on data availability at the sub-district level of the province. Indicators used for the provincial FSVA are presented in Table 1.1. The National Technical Assistance Team of the provincial FSVA agreed to use all 13 indicators used in the national FSVA 2009 for the provincial FSVA. Infant Mortality Rate (IMR) which was used in the national FIA 2005 was excluded from the national FSVA 2009 and provincial FSVA, due to the lack of data. Data on chronic malnutrition (stunting) among under-five years old children is derived from the recent Nutrition Status Survey (PSG, 2009) of NTT Province. However, this data is not used for composite food security analysis. It is analyzed and described only in the narrative report. The provincial FSVA has been developed by using 9 chronic food security indicators and 4 transitory food security indicators. The composite food security and vulnerability map is produced by combining all 9 chronic food security indicators using the Principal Component Analysis and Cluster Analysis. All data is collected from secondary sources by district and provincial food security, health and agriculture offices and from publications of the provincial and district BPS, provincial Disaster Management Agency (BPBD), Meteorology, Climatology and Geophysical Agency (BMKG) and Ministry of Forestry. All data used for the analysis in the provincial FSVA are primarily for the period of 2007-2009. Some indicators are at the individual level, whereas others are either at the household- or community level. Small Area Estimation (SAE) technique is applied for some indicators to estimate sub-district level data, using the data at district- and village level and technical guidance from BPS and IPB. A technical note on the SAE methodology and its application to the
4
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
provincial FSVA is presented in Annex 1.2. The composite map derived from these indicators is only indicative of the overall food security situation in sub-districts. A food secure sub-district as indicated in the composite map does not necessarily mean that all the villages therein are food secure. The same is true for the food insecure areas. The maps are produced using a uniform colour pattern in shades of red and green. The shades of red denote various degrees of food insecurity while shades of green depict a relatively better status. In both colours, the darker shades indicate higher degrees of food security or vulnerability to food insecurity. The thresholds in the maps for individual level indicators are the same as in the national FIA 2005 and FSVA 2009, except for the thresholds of child underweight where the World Health Organization’s thresholds for public health significance (WHO, 2005) were applied for national FSVA 2009 and provincial FSVA. Index Maps 1.1 to 1.5 list districts and sub-districts included in the analysis and mapping.
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
5
Table 1.1: Indicators Used for the Food Security and Vulnerability Atlas of NTT Province, 2010 Indicator
Definition and Computation
Data Source
Food Availability 1.
Per capita normative consumption to net ‘rice + maize + cassava + sweet potato’ availability ratio
1.
District level triennium average (2007-2009) net production of rice and maize was first calculated by using standard conversion factors. For cassava and sweet potato, production was divided by three (cereal equivalent factor) to transform it into a cereal equivalent. Total cereal production available for human consumption was then calculated.
2.
Per capita daily net cereal availability was then computed by dividing the total sub-district cereal availability by its population (population data for mid-2008).
3.
Net import and trade of cereal were not considered, as data at the sub-district level was not available.
4.
Normative cereal consumption/capita/day was taken as 300 grams/ person/day.
5.
The ratio of per capita normative consumption to per capita net cereal availability was computed. Ratio from ‘1’ and above shows food deficit area while less than ‘1’ indicates a cereal surplus area.
Provincial and District Food Security Office and BPS (2007-2009)
Food and Livelihoods Access 2.
Percentage of people below poverty line
The Indonesian rupiah value of the monthly per capita expenditure required to fulfill a minimum standard of food and non-food basic consumption. SAE was applied.
SUSENAS CORE 2007-2009, SUSENAS MODULE 2008, PODES (Village Potential) 2008, BPS
3.
Percentage of villages with inadequate connectivity
Percentage of villages whose inter-village roads that are not accessible by four-wheeled vehicles.
PODES (Village Potential) 2008, BPS
4.
Percentage of households without access to electricity
Percentage of households who do not have access to electricity from state and/or non-state sources, namely generators. SAE was applied.
SUSENAS CORE 2007-2009, PODES 2008, BPS
Food Utilization 5.
Percentage of villages located more than 5 km away from health facilities
The percentage of villages located more than five kilometres away from a health facility (hospital, clinic, community health centre, doctor, nurse, trained midwife, paramedic, etc.).
PODES 2008, BPS
6.
Percentage of households without access to improved drinking water
Percentage of households who do not have access to tap water, protected wells/boreholes, or protected spring water. SAE was applied.
SUSENAS CORE 2007-2009, PODES 2008, BPS
7.
Female Illiteracy
Percent of females above 15 years who cannot read or write. SAE was applied.
SUSENAS CORE 2007-2009, PODES 2008, BPS
8.
Children underweight
Children under five whose weights are less than -2 Standard Deviation (-2 SD) from their age and gender specific reference weights (2005 WHO Standards).
Nutrition Status Survey (PSG, 2009), Provincial Health Office
9.
Life expectancy at birth
The average numbers of years that a newborn infant would live if the mortality pattern at the time of birth prevails throughout the child’s life. SAE was applied.
SUSENAS CORE 2007-2009, PODES 2008, BPS
Vulnerability to Transient Food Insecurity 10. Natural disasters
6
Natural disasters which occurred in NTT province between 1990 and 2009 and estimated caused damage.
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
National Disaster Management Agency (BNPB), 2010
Table 1.1 (contd): Indicators Used for the Food Security and Vulnerability Atlas of NTT Province, 2010 Indicator 11. Rainfall deviation
Definition and Computation 1.
Last 10 years’ (1997-98 to 2007-08) annual average rainfall during dry and rainy season was first computed.
2.
The percent difference between 10 years average and the 30 years normal average (1971-2000) was then calculated.
Data Source Meteorological, Climatology and Geophysics Agency NTT, 2010
12. Percentage of damaged area
Percentage of paddy and maize area damaged by drought, flood, pest infestation.
Agriculture Census (SP) BPS, 20072009
13. Deforestation
Deforestation is the change of landcover from forest type to non forest type. Deforestation rate based on the analysis of Landsat satellite imagery during 2002/2003 and 2005/2006 periods.
Deforestation Calculation in Indonesia 2008, Ministry of Forestry
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
7
CHAPTER 2 FOOD AVAILABILITY
Food availability is the physical presence of food in the area of concern through all forms of domestic production, commercial imports and food aid. Food availability is determined by food production in the area, traded food brought into the area through market mechanisms, stocks held by traders and in government reserve and transfers by the government and/or food aid agencies. Food production depends on various factors such as climate, soil type, rainfall, irrigation, agricultural production inputs and technologies, and also incentives for farmers to produce food crops. Food crops include cereals, tubers, pulses, nuts and oil seeds, vegetables, fruit, spices, sugar and animal products. Because the major portion of daily calorie intake (about half of the total energy requirement per person per day) is supplied by carbohydrates, the analysis of food production focuses on cereals (rice, maize) and tubers (cassava, sweet potato). This analysis gives insight into the level of food sufficiency at the district and sub-district level.
2.1
PRODUCTION
The government of NTT province has been promoting agricultural production and has adopted several protection measures for its farmers. Agriculture (including livestock, forestry and fisheries) has been contributing around 40% of the Gross Regional Domestic Product (GRDP) of NTT province over the past four years. The sector grew at an annual rate of around 0.95 – 4.95% during the period 2000 – 2007 and 3.84% in 2008. Although the agricultural sector contributed most to GRDP, the growth rate of the sector has been the lowest in comparison with other high contribution sectors, such as trade and services (contribution to GRDP was 24.4% and 16.09% respectively). Rice, maize and cassava are the primary staples in NTT province and make up close to 70% of total crop production in the province. The overall production of cereals and tubers increased during the period 2000 - 2009. However, the production decreased in 2005 and 2007 (Table 2.1. and Figure 2.1). The increase was attributed mainly to expanded harvested area (Figure 2.2) and increased productivity. Rice production increased by 32% during the same period, while maize and cassava production increased by 21% and 9% respectively. The shifting of consumption patterns from non-rice to rice has stimulated farmers to produce rice. Table 2.1: Production of Major Cereals and Tubers, 2000 - 2009 (Tons) 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
10 years average
Maize
527,230
553,298
580,900
583,355
622,812
552,439
582,964
514,360
673,112
638,899
582,937
Paddy
461,413
448,001
468,012
509,419
552,205
461,006
511,911
505,628
577,896
607,359
510,285
103,635
117,369
913,053
885,648
Cereal
Sweet Potato 156,394
147,056
133,063
836,056
778,423
873,157
Cassava
126,406
99,748
111,006
102,375
107,316
861,620 1,041,280
891,783
938,010
794,121
928,974
86,692
Source: BPS, 2010, Agriculture Statistics
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
9
Figure 2.1: Production of Major Cereals and Tubers, 2000-2009 (Tons) 1,200,000
Produ uction (Ton)
1,000,000 800,000 600,000 ,
Maize 400,000
Paddy Sweet Potato
200,000
Cassava
0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Year
In 2009, total cereal- and tuber production reached 607,359 tons of paddy, 638,899 tons of maize, 913,053 tons of cassava and 103,635 tons of sweet potato. Production in 2009 was higher than the average annual production figures during the period 2000 - 2009, except for sweet potato. Figure 2.2: Total Cereals and Tubers Harvested Areas in NTT (ha), 2000 - 2009 300,000
Harvested areas (ha)
250,000
200,000
150,000
Paddy Maize
100,000
Sweet Potato
50,000
Cassava
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Year
Figure 2.3: Paddy Production in NTT by Island, 2005 - 2009 400,000 350,000
Production n (Ton)
300,000 250,000 200,000
Sumba Timor
150,000
Flores
100,000
Alor
50,000
Rote Ndao
2005
2006
2007 Year
10
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
2008
2009
Paddy
District level annual paddy production in NTT province during the period 2005 – 2009 has been analyzed and is presented in Table 2.2 and Figure 2.3. Figure 2.3 shows that paddy production increased in all islands in NTT. The increase is particularly significant in Flores, Rote Ndao and Timor islands. At the district level, a significant increase is seen in Kupang, Belu, Ngada, Rote Ndao and Sikka districts, while production decreased in Manggarai Barat. The main rice production areas are Flores island (Manggarai, Manggarai Barat and Manggarai Timur districts). Paddy production in Flores island amounted to 341,441 tons in 2009, which accounted for 56% of total paddy production of NTT province in that year. Maize
Traditionally, maize has been the staple crop in NTT, since maize is suitable for the local climate and soil condition. In 2009, maize production reached 638,899 tons, showing an increase of 15.8% from the production in 2005 (Figure 2.4). Increased productivity from 2.3 tons/hectare in 2005 to 2.6 tons/hectare in 2009 and an expansion of the planted area contributed to this overall production increase. Main production districts of maize are on Timor and Sumba islands (Sumba Barat Daya district). Figure 2.4: Maize Production in NTT by Island, 2005 - 2009 400,000 350,000
Production (Ton)
300,000 250,000 200,000
Sumba
150,000
Timor Flores
100,000
Alor Rote Ndao
50,000 2005
2006
2007
2008
2009
Year
Cassava
NTT province is one of the main production centers of cassava in Indonesia. People in NTT province consume cassava in various forms: fresh, dried and milled. In 2009, cassava production reached 913,053 tons which accounted for 40.3% of total cereal production in the province in that year. The production increased by 2.3% during the period 2005 - 2009. However, the production level fluctuated during this period and the productivity decreased from 10.3 tons/hectare to 10.2 tons/hectare. Therefore, the increase in production is likely attributed to the expansion of the planted area (86,464 hectares in 2005 to 89,154 hectares in 2009). The main production districts of cassava are on Timor (all districts), Flores (Sikka and Flores Timur districts) and Sumba islands (Sumba Barat Daya district) (Figure 2.5). Sweet Potato
Sweet potato is one of the widely produced commodities in NTT. Overall, production at province level increased slightly (3.7%) during the period 2005-2009 (Figure 2.6). However, the production decreased in most districts, except for Alor and Sumba Barat Daya districts, which marked a sharp increase in 2009. The production districts of sweet potato are TTS, Sikka, Manggarai, and Sumba Barat Daya.
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
11
Figure 2.5: Cassava Production in NTT by Island, 2005 - 2009 600,000
WƌŽĚƵĐƚŝŽŶ;dŽŶͿ
500,000 400,000 300,000
Sumba Timor
200,000
Flores Alor
100,000
Rote Ndao
2005
2006
2007
2008
2009
Year
Figure 2.6: Sweet Potato Production in NTT by Island, 2005 - 2009 60,000
Productio on (Ton)
50,000 40,000
Sumba
30,000
Timor Flores
20,000
Alor 10,000
Rote Ndao
2005
2006
2007
2008
2009
zĞĂƌ
Table 2.6 indicates that 13 out of 16 urban- and rural districts increased total cereal production during the period 2005 - 2009, ranging from 4.06% in TTS to 84.14% in Kupang. Total cereal production decreased in 3 districts namely Sumba Barat, Sumba Timur and Manggarai Barat. Table 2.2: Production of Paddy (2005 – 2009) (Tons) District
No
2006
2007
2008
2009
1
Sumba Barat
69,071
73,972
71,920
17,402
20,093
2
Sumba Timur
23,543
30,410
26,720
37,369
32,621
3
Kupang
16,659
36,458
31,524
38,666
37,493
4
TTS
11,970
13,745
12,895
12,175
12,301
5
TTU
18,707
23,468
21,538
25,707
29,191
6
Belu
10,775
18,331
16,660
20,053
23,661
7
Alor
8,107
7,426
8,451
14,210
9,262
8
Lembata
7,933
7,597
6,707
8,444
8,413
9
Flores Timur
15,048
15,351
14,657
19,910
22,538
Sikka
18,506
20,978
22,466
21,748
31,783
10
12
Paddy 2005
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
Table 2.2 (contd): Production of Paddy (2005 – 2009) (Tons) District
No
Paddy 2005
2006
2007
2008
2009
18,950
15,478
13,954
27,304
23,391
35,744
41,364
39,773
37,805
115,699
123,572
55,099
61,320
30,364
22,744
43,315
45,215
66,238
70,097
58,000
53,116
-
-
-
32,151
38,297
-
-
-
15,012
16,796
Nagekeo*)
-
-
-
31,532
40,407
Manggarai Timur*)
-
-
-
59,305
62,666
11
Ende
12
Ngada
41,824
13
Manggarai
104,650
14
Rote Ndao
24,064
15
Manggarai Barat
71,059
16
Sumba Barat Daya*)
17
Sumba Tengah*)
18 19 20
Sabu Raijua*)
21
Kota Kupang Total NTT Total Indonesia
-
-
-
-
-
142
652
359
718
986
461,006
511,911
505,628
577,896
607,359
54,151,000 54,455,000
57,157,000
60,325,925
64,398,890
*) New district Source: Provincial and District Food Security Office and BPS (2007-2009)
Table 2.3: Production of Maize (2005 - 2009) (Tons) District
No
Maize 2005
2006
2008
2007
2009
1
Sumba Barat
75,305
64,988
58,283
16,401
12,980
2
Sumba Timur
25,582
22,703
17,496
29,938
12,103
3
Kupang
35,662
44,744
58,788
64,871
62,820
4
TTS
135,398
160,013
111,882
154,868
147,307
5
TTU
44,367
46,798
53,039
48,540
56,744
6
Belu
63,533
78,082
82,120
96,883
79,721
7
Alor
16,820
8,522
11,708
16,051
17,150
8
Lembata
15,900
17,492
13,893
20,054
24,402
9
Flores Timur
29,839
21,329
21,266
28,576
30,768
10
Sikka
20,982
28,192
22,450
27,064
32,301
11
Ende
10,903
7,950
7,689
8,963
13,480
12
Ngada
27,315
30,769
26,493
26,059
21,455
13
Manggarai
23,437
27,125
14,036
12,777
7,780
14
Rote Ndao
9,675
10,643
8,841
11,543
12,413
15
Manggarai Barat
15,651
12,350
5,291
23,126
10,612
16
Sumba Barat Daya*)
-
-
-
44,419
59,066
17
Sumba Tengah*)
-
-
-
9,595
7,022
18
Nagekeo*)
-
-
-
14,950
16,779
19
Manggarai Timur*)
-
-
-
17,337
12,770
20
Sabu Raijua*)
-
-
-
-
-
21
Kota Kupang Total NTT Total Indonesia
2,071
1,265
1,085
1,099
1,229
552,439
582,964
514,360
673,112
638,899
12,524,000
11,609,000
13,287,000
16,317,252
17,629,748
*) New district Source: Provincial and District Food Security Office and BPS (2007-2009)
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
13
Table 2.4: Production of Cassava (2005 - 2009) (Tons) District
No.
Cassava 2005
2006
2008
2007
2009
131,678
151,896
92,129
13,855
13,220
Sumba Timur
27,114
24,735
20,085
22,949
22,197
Kupang
35,025
47,626
52,768
56,930
62,897
TTS
153,896
186,044
145,223
269,387
141,440
TTU
74,981
62,602
50,893
62,069
93,384
6
Belu
103,611
140,843
118,109
129,481
98,947
7
Alor
30,705
24,654
28,283
28,237
38,351
8
Lembata
24,459
33,210
22,020
25,314
32,239
9
Flores Timur
52,584
42,889
42,327
51,416
59,278
10
Sikka
68,769
52,320
58,188
60,757
101,453
11
Ende
26,051
30,743
14,371
17,261
32,013
12
Ngada
32,252
30,038
29,319
18,652
19,867
13
Manggarai
56,900
57,654
66,041
23,243
32,031
14
Rote Ndao
15
Manggarai Barat
16 17
1
Sumba Barat
2 3 4 5
1,485
1,318
2,052
2,914
2,639
70,495
49,340
50,304
61,805
56,522
Sumba Barat Daya*)
-
-
-
40,977
58,411
Sumba Tengah*)
-
-
-
4,874
4,730
18
Nagekeo*)
-
-
-
22,167
19,532
19
Manggarai Timur*)
-
-
-
14,560
21,438
20
Sabu Raijua*)
21
Kota Kupang Total NTT Total Indonesia
-
-
-
-
-
1,778
2,099
2,009
2,126
2,464
891,783
938,010
794,121
928,974
913,053
19,231,000
19,986,000
19,988,000
20,056,340
22,039,145
*) New district Source: Provincial and District Food Security Office and BPS (2007-2009)
Table 2.5: Production of Sweet Potato (2005 - 2009) (Tons) District
No.
14
Sweet Potato 2005
2006
2008
2007
2009
1
Sumba Barat
7,291
14,715
10,995
862
1,649
2
Sumba Timur
3,223
3,691
4,242
3,494
3,008
3
Kupang
2,155
2,994
3,565
8,619
1,596
4
TTS
19,436
19,427
17,260
34,945
32,671
5
TTU
11,358
13,449
9,139
6,000
4,988
6
Belu
4,761
10,852
10,903
7,043
5,217
7
Alor
1,184
1,283
2,864
2,242
3,447
8
Lembata
4,099
3,295
1,971
2,085
1,662
9
Flores Timur
2,112
1,617
1,382
1,557
1,930
10
Sikka
6,180
5,944
12,668
6,683
12,878
11
Ende
1,077
1,366
1,077
2,034
1,255
12
Ngada
11,553
8,270
5,007
3,474
2,801
13
Manggarai
16,837
17,975
15,332
9,969
9,061
14
Rote Ndao
15
Manggarai Barat
16
Sumba Barat Daya*)
509
497
913
1,492
1,378
7,704
5,560
4,986
7,092
5,742
-
-
-
1,655
5,831
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
Table 2.5 (contd): Production of Sweet Potato (2005 - 2009) (Tons) No.
Sweet Potato
District
2005
2006
2008
2007
2009
17
Sumba Tengah*)
-
-
-
883
242
18
Nagekeo*)
-
-
-
4,246
4,152
19
Manggarai Timur*)
-
-
-
2,864
4,004
20
Sabu Raijua*)
21
Kota Kupang Total NTT Total Indonesia
-
-
-
-
-
269
70
71
78
122
99,748
111,006
102,375
107,316
103,635
1,857,000
1,854,000
1,886,000
1,963,502
2,057,913
*) New district Source: Provincial and District Food Security Office and BPS (2007-2009)
Table 2.6 Total Cereal Production by Year and Production Growth Rate for the Period of 2005-2009 by District (Tons) No
District
Total Cereal Production 2005
2006
2007
Production Growth Rate 2005 - 2009
2009
2008
1
Sumba Barat
283,345
305,571
233,327
48,520
47,942
-15,88
2
Sumba Timur
79,462
81,539
68,543
93,750
69,929
-12,00
3
Kupang
89,501
131,822
146,645
169,086
164,806
84,14
4
TTS
320,700
379,229
287,260
471,375
333,719
4,06
5
TTU
149,413
146,317
134,609
142,316
184,307
23,35
6
Belu
182,680
248,108
227,792
253,460
207,546
13,61
7
Alor
56,816
41,885
51,306
60,740
68,210
20,05
8
Lembata
52,391
61,594
44,591
55,897
66,716
27,34
9
Flores Timur
10
Sikka
99,583
81,186
79,632
101,459
114,514
14,99
114,437
107,434
115,772
116,252
178,415
55,91
11
Ende
56,981
55,537
37,091
55,562
70,139
23,09
12
Ngada
112,944
104,821
102,183
87,958
81,928
44,14
13
Manggarai
201,824
218,453
218,981
101,088
110,192
4,58
14
Rote Ndao
35,733
42,822
34,550
59,264
61,645
72,52
15
Manggarai Barat
164,909
133,488
130,678
150,023
125,992
-23,60
16
Sumba Barat Daya*)
-
-
-
119,202
161,605
-
17
Sumba Tengah*)
-
-
-
30,364
28,790
-
18
Nagekeo*)
-
-
-
72,895
80,870
-
19
Manggarai Timur*)
-
-
-
94,066
100,878
-
20
Sabu Raijua*)
-
-
-
-
-
-
21
Kota Kupang Total NTT Total Indonesia
4,260
4,086
3,524
4,021
4,801
19,40
2,004,977
2,143,891
1,916,484
2,287,298
2,262,946
12,87
87,763,000
87,904,000
92,318,000
98,663,019
106,125,696
20,92
*) New district Source: Provincial and District Food Security Office and BPS, (2007-2009)
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
15
2.2
RATIO OF PER CAPITA NORMATIVE CONSUMPTION TO PRODUCTION
As mentioned in the previous chapter, the food availability indicator used for the composite food security analysis is the ratio of per capita normative food consumption to food production. The ratio shows whether an area is self-sufficient in terms of cereal and tuber production. For the calculation of food production at the sub-district level production data of three consecutive years (2007 – 2009) for rice, maize, cassava and sweet potato were used to calculate the average annual production for each crop, because the main energy source of food energy intake comes from cereals and tubers. Food consumption patterns in Indonesia showed that nearly 50% of the total calorie needs comes from cereal and tubers. The net average annual production of cassava and sweet potato was converted into cereal equivalents by dividing the production quantities by 3 (1 kg of cereals is equivalent to 3 kg of tubers in terms of calorific value). Then, total average annual cereal equivalent production was calculated. Net total average annual cereal equivalent production per capita for a specific sub-district was calculated by dividing the total average annual cereal equivalent production in that sub-district by its population number estimated in 2008. Based on the Indonesian consumption profile, the normative cereal consumption per capita per day is 300 gram. Then the ratio of per capita normative consumption to production was calculated (Annex 2.1: Food availability indicator). Map 2.1 illustrates that the majority of sub-districts in NTT province were food self-sufficient in cereal and tuber production, which is indicated by the green gradations, while the deficit areas are indicated by red gradations. Climatic conditions, land suitability and recurrent natural disasters (drought, flood, etc) were factors which constrained the ability of these deficit sub-districts to achieve self-sufficiency in cereal and tuber production. 15% or 43 out of 280 rural sub-districts in NTT province were found to be deficit in cereal and tuber production. Among them, 24 sub-districts were high deficit, 5 sub-districts were medium deficit, and the remaining 14 sub-districts were low deficit. 85% or 237 sub-districts in the province were self-sufficient in cereal and tuber production with the ratio of per capita normative food consumption to food production below 1. The potential reasons for cereal and tuber production deficiency included: (1) relatively small cultivation area available per capita due to population density, particularly in urbanized areas; (2) dry and critical land condition, resulting in very low productivity per hectare; (3) prolonged drought; (4) shifting of food crop cultivation to cash crop cultivation, such as cashew nut; (5) farming system based on continuously reclaiming new agricultural land through slash and burn technique and (6) subsistence farming and lack of means and incentives to increase production. Although it is recognized that adequate food availability in a particular area is an absolute prerequisite for food security in that area, this prerequisite is not enough to guarantee food security at the household and individual level.
2.3
MAIN CHALLENGES FOR ADEQUACY FULFILMENT
The increase of crop productivity has been relatively stagnant, due to limited production capacity (given natural and climate conditions), declining institutional capacity at the community level, inadequate quality of agricultural extension services and declining investment in rural infrastructure. Other challenges to increasing crop production in NTT province include: (i) decreased land quality and fertility due to environmental damage; (ii) increasingly limited and uncertain water availability for crop production due to deforestation; (iii) limited irrigation infrastructure; (iv) damages caused by increased droughts and floods; (v) a high proportion of harvest loss in processes of production, yield handling and post harvest processing; and (vi) increasingly unpredictable weather due to climate change.
16
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
The high population growth rate in NTT is another challenge in fulfilling food needs. The population of NTT is predicted to reach 5.1 million people by 2015 (Figure 2.7). Figure 2.7: NTT Population Projection According to Island and Province, Year 2005 – 2015
6,000,000
Popula ation
5,000,000
4,000,000
Sumba
3,000,000
Timor Flores
2,000,000
Alor Rote Ndao
1,000,000
Province
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Year
Strategies for improving food availability
In the Regional Medium Term Development Plan (RPJMD) of NTT province 2009 – 2013, the programmes related to food availability include: 1. Agriculture extensification and intensification; 2. Development of agro-industry; 3. Development of agribusiness institutions; 4. Improvement of agriculture/plantation technology applications; 5. Empowerment of agriculture/plantation field extension officers; 6. Increase of farmer’s welfare; 7. Increase of agriculture/plantation food security (including development of local food production); 8. Fish farming and development of fishing education system (including catchments fishery); 9. Increase livestock production and technology; disease control and prevention; and 10. Development and management of irrigation, water resources and canals.
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
17
CHAPTER 3 FOOD AND LIVELIHOOD ACCESS
Food access is one of the three pillars of food security. It is one of the key indicators used in analyzing the national FIA 2005, national FSVA 2009 and this provincial FSVA. Food access is a household’s ability to acquire an adequate amount of food, through one or a combination of own home production, stocks, purchases, barter, gifts, borrowing and food aid. Food may be available but not accessible to certain households if they cannot acquire a sufficient quantity or diversity of food through these mechanisms. Food access depends on household purchasing power which is determined by households’ livelihoods. Livelihoods comprise the household’s capabilities, capitals/assets (natural, physical, human, economic and social) and activities required to secure basic needs - income, food, shelter, health and education. Those who do not have sustainable and adequate livelihoods, which in turn lead to inadequate and stable income and limited purchasing power, remain poor and vulnerable to food insecurity. Globally, individuals who live below the World Bank’s US$ 1.25 Purchasing Power Parity (PPP) per day are categorized as poor people. In Indonesia, the government uses the national poverty line for planning purposes. In 2009, the national poverty line for urban areas was Rp 222,123/person/month and Rp 179,835 for rural areas (Rp 204,896 and Rp 161,831 in 2008 respectively). With reference to the prices of basic commodities in the province, the government of NTT uses the NTT provincial poverty line. In 2009, the NTT provincial poverty line was Rp 218,796/person/month for urban area and 142,478 for rural area (Rp 199,006 and Rp 126,746 in 2008 respectively). The larger the number of poor people in a region, the lower the access to food and the higher the food insecurity.
3.1 POPULATION BELOW THE POVERTY LINE During the last decade, the government of NTT province has made substantial efforts towards reducing poverty in the province. The percentage of people living below the poverty line in NTT reduced from 25.65% in 2008 to 23.31% in 2009 (Table 3.1). However, still more than 1 million people were living below the poverty line in NTT in 2009. Relatively higher poverty rates (compared to the overall provincial poverty rate) were found in Sumba Tengah, Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Rote Ndao and TTS districts. The sub-district level data on the percentage of people living below the provincial poverty line shows more pronounced differences between the sub-districts (Annex 3.1. and Map 3.1). Out of 280 sub-districts, 93 sub districts (33%) in 13 districts had poverty rates above 30%, while other 7 districts did not have a sub-district with poverty rate above 30%. These districts include Belu, Flores Timur, Sikka, Ngada, Nagekeo, Manggarai Timur and Sabu Raijua (Table 3.2). All sub-districts in Sumba Barat Daya and Rote Ndao districts, 5 out of 6 sub-districts in Sumba Barat district, and 17 out of 22 sub-districts in Sumba Timur district had poverty rates above 30%. Poverty alleviation efforts should prioritize these sub-districts. Figure 3.1 shows a clear dominance of the agricultural sector as peoples’ source of income in NTT province. Apart from the income derived from crop harvest, livestock and plantation emerged as the second and third significant sources of income in many parts of the province. With agricultural productivity remained stagnant in recent years,
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
19
limited cultivated farming land and erratic rainfall in province, the people dependant on crop production (on their own land or shared cropping basis) as the major source of income are adversely affected, resulting in many of them either falling below or hovering around the poverty line. Table 3.1: Number and Percentage of Population Below Poverty Line 2009
2008
District
No
Number (‘000)
%
Number (‘000)
%
1
Sumba Barat
38.38
37.85
36.33
35.39
2
Sumba Timur
81.09
37.14
76.56
34.68
3
Kupang
95.63
26.95
90.03
24.16
4
TTS
130.77
33.55
123.42
31.14
5
TTU
55.17
27.74
50.62
24.96
6
Belu
82.74
19.69
77.14
17.47
7
Alor
43.18
25.14
39.22
22.84
8
Lembata
28.84
29.24
26.96
26.39
9
Flores Timur
29.26
13.21
24.84
11.04
10
Sikka
45.90
17.34
40.46
15.35
11
Ende
57.48
24.87
51.71
23.01
12
Ngada
19.43
15.49
17.30
13.54
13
Manggarai
137.78
28.57
66.89
25.76
14
Rote Ndao
38.83
36.58
37.30
34.09
15
Manggarai Barat
48.28
25.05
45.92
22.96
16
Sumba Barat Daya
88.65
36.45
86.27
34.27
17
Sumba Tengah
21.49
38.65
20.77
35.83
18
Nagekeo
16.77
14.53
15.60
13.03
19
Manggarai Timur*)
-
-
58.98
25.51
20
Sabu Raijua*) Total NTT Total Indonesia
-
-
-
-
1,098.30
25.65
1,013.10
23.31
34,963.30
15.42
32,529.90
14.15
*) New district Source: SUSENAS CORE 2007-2009, SUSENAS MODULE 2008, PODES (Village Potential) 2008, BPS
Table 3.2: Number of Sub-districts With More Than 30% People Below Poverty Line in 2008 No
District
Total Sub-District
Number of sub-districts with more than 30% people below poverty line
%
1
Sumba Barat
6
5
83
2
Sumba Timur
22
17
77
3
Kupang
23
7
30
4
TTS
32
22
69
5
TTU
24
8
33
6
Belu
24
0
-
7
Alor
17
4
24
8
Lembata
9
4
44
9
Flores Timur
18
0
-
10
Sikka
21
0
-
11
Ende
20
4
20
12
Ngada
9
0
-
13
Manggarai
9
4
44
14
Rote Ndao
8
8
100
20
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
Table 3.2 (contd): Number of Sub-districts With More Than 30% People Below Poverty Line in 2008 No
Number of sub-districts with more than 30% people below poverty line
Total Sub-district
District
%
15
Manggarai Barat
7
1
14
16
Sumba Barat Daya
8
8
100
17
Sumba Tengah
4
1
25
18
Nagekeo
7
0
-
19
Manggarai Timur
6
0
-
20
Sabu Raijua Total NTT
6
0
-
280
93
33
Figure 3.1: Main Income Sources According to Sectoral Classification Sabu Raijua Manggarai Timur Nagekeo Sumba Tengah Sumba Barat Daya Manggarai Barat Rote Ndao Manggarai Ngada Ende Sikka
Agriculture
Flores Timur Lembata
Mining and Quarrying
Alor
Industry
Belu
Retail
TTU
Transportation, Warehousing, Communication
TTS
Services
Kupang
Others
Sumba Timur Sumba Barat 82%
84%
86%
88%
90%
92%
94%
96%
98%
100%
Source: PODES 2008, BPS
3.2 OPEN UNEMPLOYMENT RATE (OUR) The main source of manpower data is the National Labour Force Survey (SAKERNAS). Since 2005, Sakernas has been conducted twice a year, in February and August. In order to adapt to the International Labour Organization’s (ILO) new concept, both employment status and open unemployment have been extended since the 2001 SAKERNAS. The total labour force represent people aged 15 and over, who were working; temporarily absent from work but having jobs; and those who did not have work and were looking for work, in the previous week. Open unemployment now consists of the population who was looking for work, population who was establishing a new business/firm/establishment, population who was feeling hopeless of getting a job, and population who has made arrangements to start working but not has actually started yet. The total Open Unemployment Rate (OUR) is the ratio of total open unemployment over total labour force. Table 3.3 shows that at the province level, the OUR remained unchanged at slightly above 3% during 20072008, but reduced significantly by around 0.8% from 3.7% in 2008 to 2.9% in 2009. This suggests that the gradually reducing poverty and rising real wages as a result of the economic growth had some positive effects on the employment situation at the province level during 2007-2009. Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
21
Table 3.3: Open Unemployment Rate (OUR), 2007 - 2009 No
District
2007
2009
2008
1
Sumba Barat
3.93
3.82
3.57
2
Sumba Timur
2.97
2.34
3.18
3
Kupang
3.72
2.79
2.29
4
TTS
3.24
3.88
1.04
5
TTU
2.83
2.99
2.17
6
Belu
3.13
3.13
1.06
7
Alor
4.28
2.88
2.07
8
Lembata
3.10
2.76
2.29
9
Flores Timur
6.30
4.94
4.92
10
Sikka
3.41
4.92
3.08
11
Ende
2.33
3.14
3.70
12
Ngada
2.66
3.98
1.84
13
Manggarai
1.75
2.49
2.67
14
Rote Ndao
3.67
5.02
4.19
15
Manggarai Barat
1.54
2.75
2.27
16
Sumba Barat Daya*)
-
1.59
2.02
17
Sumba Tengah*)
-
2.93
1.11
18
Nagekeo*)
-
3.23
1.27
19
Manggarai Timur*)
-
-
0.12
20
Sabu Raijua*)
21
Kota Kupang Total NTT
-
-
-
14.14
11.99
12.05
3.72
3.73
2.85
*) New district Source: BPS, SAKERNAS, 2007 - 2009
Disparities in unemployment remained high between regions. In 2009, in comparison with provincial OUR, the highest OUR was found in Flores Timur district (4.9 %), followed by Rote Ndao (4.2%) and Ende districts (3.7%). The lowest OUR was in Manggarai Timur district (0.1%).
3.3 ACCESS TO BASIC INFRASTRUCTURE (ELECTRICITY AND ROAD) Lack of access to infrastructure results in “localized poverty”, where people living in isolated/remote areas with geographical difficulties and poor market linkages lack of both economic opportunities and adequate levels of service delivery. These poor people have no, or limited, access to government development programmes. Investments in infrastructure, particularly transportation infrastructure (roads, ports, airports, etc.), electricity, agricultural infrastructure (irrigation), educational and health facilities, can completely transform any area, thus creating the basis for economic growth and greater participation of people living in remote areas. Infrastructure development in NTT province played a key role in creating growth and reducing poverty. The economy of NTT growth in the last three years (2005 – 2008) by 4.7% per year and per capita income reached Rp 4,467,837 (preliminary figure). In the agriculture sector, one reason for low incomes is the low farm gate prices in rural areas compared with the urban price for the same goods of the same quality (not yet transformed or processed). Farm gate prices are low as a result of high real transport costs for rural marketable surpluses. Transport costs are even higher for any transport methods other than motor vehicle-over tracks and trails by human porters or animals, for example, in
22
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
areas without roads. In a rapid assessment of causes of poverty in five Indonesian districts, villagers in isolated areas identified high transport costs as a major cause of poverty. Higher farm gate prices mean higher incomes for people in agriculture. But higher incomes for isolated rural populations are not enough. It should be supported by access to services and infrastructure investments to guarantee better welfare for the farming communities. With improved road access, teachers might be more willing to staff poor rural schools, increasing human capital in these poor regions. Agricultural extension workers would be able to reach farmers, providing technical know-how and advice to increase productivity. Rural villagers could reach health stations, and child mortality might be reduced. The multiplier effects of improved road access in villages will be reflected in the villagers’ improved economic and social capitals. Under-development of infrastructure hinders the growth rate of a region. Better infrastructure will attract greater investments in all sectors, thus giving power for sustainable livelihoods. Road access provides greater market access to producers, sellers and buyers. Road access will give more opportunities to people to access basic services such as education, health and so on, which will contribute towards better living standards. Well-connected regions with roads will also receive other infrastructure support which will strengthen the communities’ livelihoods. Table 3.4: Percentage of Villages Without Access to Four Wheeled Vehicle No
District
% of villages which were not accessible by four-wheeled vehicles
1
Sumba Barat
9.43
2
Sumba Timur
12.82
3
Kupang
10.73
4
TTS
5
TTU
4.05
6
Belu
12.98
7
Alor
27.43
8
Lembata
9
8.75
9.30
Flores Timur
11.95
10
Sikka
18.13 22.07
11
Ende
12
Ngada
13
Manggarai
12.86
14
Rote Ndao
1.25
15
Manggarai Barat
16
Sumba Barat Daya
17
Sumba Tengah
13.95
18
Nagekeo
10.75
19
Manggarai Timur
45.61
20
Sabu Raijua
7.45
38.84 9.38
4.76
Total NTT
14.81
Total Indonesia
13.88
Source: SUSENAS CORE 2007-2009, PODES 2008, BPS
In NTT province, more than 14% of the villages were not accessible by four-wheeled vehicles at certain times of the year. Map 3.2 depicts the percentage of villages without access to four-wheeled vehicle roads. It shows that the accessibility by four-wheeled vehicles was particularly inadequate in Manggarai Barat, Manggarai Timur, Ende, Alor and Sikka districts (Table 3.4). The sub-district level data is presented in Annex 3.1 and Map 3.2.
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
23
Figure 3.2: Modes of Transportation in NTT Province by District NTT Sabu Raijua Manggarai Timur Nagekeo Sumba Tengah Sumba Barat Daya Manggarai Barat Rote Ndao Manggarai Ngada Ende Sikka Flores Timur Lembata Alor Belu TTU
Road and waterway
TTS
Waterway
Kupang
Road
Sumba Timur Sumba Barat 0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Source: PODES 2008, BPS
Figure 3.2 shows that road travel is the main mode of transport in NTT province. However, there are several districts such as Sabu Raijua, Belu, TTS, Sikka, Sumba Timur, Sumba Barat, Manggarai Timur, Manggarai Barat and Kupang where waterways also form a significant part of the transportation mode. Poor quality roads – or even no roads at all – also mean that government services seldom enter the region. Due to lack of available and reliable data on water transportation, this indicator was not used as an indicator for infrastructure access. Table 3.5: Percentage of Households Without Access to Electricity No
24
District
% Without Access to Electricity
1
Sumba Barat
69.86
2
Sumba Timur
66.03
3
Kupang
65.26
4
TTS
81.39
5
TTU
60.89
6
Belu
70.37
7
Alor
59.51
8
Lembata
51.16
9
Flores Timur
37.16
10
Sikka
52.02
11
Ende
37.45
12
Ngada
39.70
13
Manggarai
64.55
14
Rote Ndao
64.34
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
Table 3.5 (contd): Percentage of Households Without Access to Electricity No
District
% Without Access to Electricity
15
Manggarai Barat
74.95
16
Sumba Barat Daya
88.66
17
Sumba Tengah
84.60
18
Nagekeo
63.38
19
Manggarai Timur
65.86
20
Sabu Raijua
58.37
Total NTT
59.43 7.62
Total Indonesia Source: SUSENAS CORE 2007-2009, PODES 2008, BPS
Access to electricity is a good indicator of economic welfare and livelihood opportunities for a region. Electricity access at household level provides opportunities for better living conditions. At national level, 91.5% of the households in Indonesia have access to electricity. In NTT province, however, only 61.3% of the households have access to electricity, which is the lowest among 33 provinces in Indonesia. Table 3.5 shows that households’ access to electricity was particularly low in Sumba Barat Daya, Sumba Tengah and TTS districts. The sub-district level data is presented in Annex 3.1 and Map 3.3.
3.4 STRATEGIES FOR REDUCING POVERTY, IMPROVING ACCESS TO FOOD AND LIVELIHOOD In the Regional Mid Term Development Plan (RPJMD) of NTT province 2009 – 2013, a special agenda was set for poverty reduction. It is stressed that since poverty reduction is a multi-sector and cross-authorities’ effort, it should become a programme involving various technical offices. The related programme priorities are: 1.
Programme related to people with social welfare problem;
2.
Programme related to agriculture extensification and intensification;
3.
Programme related to development of agribusiness institution;
4.
Programme related to the development of non-agriculture industry;
5.
Programme related to economy institution revitalization;
6.
Programme related to improvement of community health status;
7.
Programme related to improvement of community health services;
8.
Programme related to completion of 9 years compulsory basic education;
9.
Programme related non-formal education;
10. Programme related to the improvement of labour force quality, creation of employment opportunities and labour protection; and 11. Programme related to rural women empowerment. The programmes for infrastructure development include: 1.
Development and maintenance of transportation facilities and infrastructure (including roads and bridges);
2.
Development of electricity and mineral energy; and
3.
Development of rural infrastructure.
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
25
The expected outcomes of the above 2008 to maximum 16.4% in 2013.
programmes include a decrease of the poverty rate from 25.65% in
All poverty reduction strategies will have to be integrated and poor communities must be engaged in poverty reduction efforts so that their capacities are enhanced. Evidence shows that involving and building the capacity of communities is extremely effective in poverty alleviation efforts. A robust and structured social security system, either in the form of direct cash social assistance for those who are vulnerable or a social security system based on integrated and effective poor community empowerment programme, needs to be established or strengthened. Climatic Change Adaptation will be one of the key factors that will guarantee sustainable improvements in food and livelihood access of the vulnerable households. Smallholder farmers should be protected from harvest losses as a result of climatic shocks through innovative social protection initiatives. Livelihood diversification will enhance the resilience of vulnerable households against any shocks. These households will be able to cope better if they have more than one source of income. Mostly, it has been observed that vulnerable households adopt negative coping strategies during adverse times, many of which are irreversible. This is mainly due to lack of secondary sources of income beyond their principal livelihoods. Any well thought out livelihood diversification programme can address this challenge, thereby enhancing households’ ability to improve their living standards without adopting any harmful strategies.
26
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
CHAPTER 4 FOOD UTILIZATION
The third pillar or dimension of food security is food utilization. Food utilization refers to: a) households’ use of the food to which they have access; and b) individuals’ ability to absorb nutrients – the conversion efficiency of food by the body. Food utilization by households depends on: (i) the facilities they have for food storage and processing; (ii) their knowledge and practices in relation to food preparation, the feeding of young children and other dependent individuals including sick and elderly people which may be impaired by low education of mothers and care givers, cultural beliefs and taboos; (iii) how food is shared within the household; and (iv) the state of health of each individual which may be impaired by disease, poor hygiene, water, sanitation, lack of access to health facilities and health care. This chapter shows food consumption pattern of population. Due to non-availability of data at the district level, explanations are limited to the provincial level. Analysis and maps of the other selected indicators (access to health facilities, improved drinking water, female illiteracy, and health and nutrition outcome) for the sub-district level are presented in the subsequent sections.
4.1 FOOD CONSUMPTION Food consumption presented in the provincial FSVA indicates the level of energy intake of the population which is expressed in energy (Kcal) per person per day, and protein intake expressed in grams per peson per day. Food consumption was calculated based on monthly expenditure on food at household level of the annually surveyed representative sample. Food Consumption Pattern
In Table 4.1, the average daily energy intake in 2009 was calculated at 1,972 kcal/person/day, slightly lower than the national Recommended Daily Allowance (RDA, set at 2,000 kcal). The protein intake was 54.13 gram/person/day, surpassed the national RDA (set at 52 gram). Energy intakes reduced by 3% and protein intakes increased by 2% as compared with that in SUSENAS 2002. At individual level, significantly improved food consumption was reported in 2009 in all the Monthly Per Capita Expenditure (MPCE) groups, including the three lowst classes. Among the three lowest groups presented in Table 4.1, the level of increase varied between 6% and 22% for energy, and between 11% and 36% for protein. However, both energy and protein intakes of the three lowest MPCE groups were much lower than the national RDA, the national average and the provincial average. The lower the MPCE, the higher the deficit of energy and protein was seen. The level of energy deficit varied between 11% in the 3rd lowest group (MPCE 3) and 32% in the first lowest groups (MPCE 1), while the protein deficit was between 12% and 29%, respectively. This means that people in the first lowst group (MPCE 1) consumed only 68% of national recommended daily energy allowance and 71% of national recommended daily protein allowance.
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
27
Table 4.1: Per Capita per Day Calorie and Protein Consumption among Three Lowest Monthly per Capita Expenditure (MPCE) Classes Montlhy Percapita Expenditure Class (MPCE) MPCE 1 (< Rp 100,000)
Food Groups
MPCE 2 MPCE 3 ( Rp 100,000 - 149,999) ( Rp 150,000 - 199,999)
Provincial Average
Calorie
Protein (g)
Calorie
Protein (g)
Calorie
Protein (g)
Calorie
1,083.69
26.65
1,140.83
27.77
1,231.36
29.52
1,285.45
23.65
0.16
54.30
0.39
77.30
0.55
63.70
Fish
7.84
1.25
11.94
1.93
21.81
3.51
Meat
0.69
0.04
16.60
0.86
18.39
0.98
Cereals Tubers
Eggs and Milk
National Average
Protein (g)
Calorie
Protein (g)
30.74
1,042.68
24.49
0.45
54.60
0.40
35.79
5.93
46.31
7.64
32.84
1.83
24.67
1.47
0.22
0.01
4.18
0.27
6.61
0.39
25.80
1.52
36.56
2.18
Vegetables
64.71
5.50
59.31
4.91
65.54
5.38
67.66
5.46
43.63
3.00
Legumes
27.54
1.71
36.49
2.24
34.51
2.23
52.68
3.52
50.60
4.58
Fruits
10.18
0.10
26.19
0.27
32.70
0.34
35.45
0.37
40.27
0.41
Oil and Fats
71.64
0.15
110.93
0.36
149.48
0.42
174.85
0.42
232.88
0.44
Beverages
66.32
0.92
72.92
0.92
92.20
1.26
104.74
1.30
105.57
1.01
Spices
0.25
0.01
0.72
0.02
1.31
0.05
4.03
0.16
15.46
0.67
Mics.food items
2.27
0.05
8.46
0.19
12.67
0.28
22.50
0.48
49.94
1.03
Prepared food
9.26
0.24
21.01
0.59
35.16
0.97
66.23
1.95
218.39
5.75
1,368.26
36.79
1,563.88
40.72
1,779.04
45.88
1,971.72
54.13
1,961.56
53.07
% Change as compared with SUSENAS 2002
22%
36%
15%
23%
6%
11%
-3%
2%
-1%
-2%
The level of meeting the national RDA*
68%
71%
78%
78%
89%
88%
99%
104%
98%
102%
Total
*National RDA: 2,000 Kcal and 52 gram of protein/person/day Source: SUSENAS 2009, SUSENAS 2002
The diets of these three lowest MPCE groups were not only energy- and protein deficient, but also qualitatively imbalanced with a relatively large proportion (74-81%) of total energy intake being provided by cereals and tubers, as compared with the provincial (68%) and national average (53%). Similarly, the major source of proteins in their diets still came from cereals and tubers (66-73%), whereas the national average was 46% in the same year. The consumption of animal foods (fish, meat, egg, milk), which contain better quality nutrients, especially protein, vitamins and minerals, consisted only 4-11% of total energy intake, while the provincial and national average were 16% and 13% respectively. Concequently, additional assistance is still required to improve the energy intake and protein of the three lowest MPCE groups. At the same time, nutrition education for population on the importance of foods other than cereals and tubers and the need to increase the consumption of these foods should be intensified.
4.2 ACCESS TO HEALTH FACILITIES According to NTT Province Health Profile 2009, NTT had 31 public hospitals, 300 community health centers (puskesmas) and 2 special hospitals. This means that each puskesmas served 15,598 people on average in 2009. It ranged from 33,301 people per puskesmas in Sumba Barat Daya district and 9,096 people per puskesmas in Alor District. In NTT province, overall access to health facilities improved significantly. There were 485 doctors in all pusksesmas (excluding dentist), with each doctor serving 9,650 patients on average. It varied from 23,175 people in Rote Ndao district and 4,091 people in Sumba Tengah.
28
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
Table 4.2 shows that 84.6% of the villages in the province had access to health facilities located within 5 km. The poorest access was in Sumba Timur, TTS, TTU, Manggarai Barat, and Sumba Barat Daya, where less than 80% of the villages had access to health facilities located within 5 km. In Kupang, Sumba Tengah, Sabu Raijua and Rote Ndao districts, more than 90% of villages had access to health facilities located within 5 km. However, the figure varies at sub-district level (Annex 4.1 and Map 4.1). Tabel 4.2: Percentage of Households with Limited Access to Improved Drinking Water and Percentage of Villages with Limited Access to Community Health Center District
No
Hospital**
Community Percentage of Villages with Doctors** limited access to Community Health Center** Health Center (> 5 Km)***
Percentage of Households with limited access to improved drinking water****
1
Sumba Barat
2
6
16
11.32
42.13
2
Sumba Timur
2
17
37
23.08
47.92
3
Kupang
1
23
23
8.47
48.26
4
TTS
1
26
40
25.42
44.38
5
TTU
2
15
26
20.23
21.23
6
Belu
4
21
32
11.06
32.48
7
Alor
1
20
36
17.71
36.04
8
Lembata
3
9
16
19.38
16.05
9
Flores Timur
1
18
17
10.62
7.19
10
Sikka
3
19
30
10.63
34.25
11
Ende
1
23
46
16.43
10.08
12
Ngada
1
10
14
17.02
2.70
13
Manggarai
2
15
25
15.00
22.55
14
Rote Ndao
1
12
5
-
34.77
15
Manggarai Barat
-
12
35
26.45
39.71
16
Sumba Barat Daya
1
8
12
27.91
8.60
17
Sumba Tengah
-
6
15
7.29
14.45
18
Nagekeo
-
7
14
11.83
12.62
19
Manggarai Timur
-
17
28
14.91
35.58
20
Sabu Raijua*)
-
6
-
9.52
40.21
21
Kota Kupang
6
10
18
-
-
Total NTT Total Indonesia
32
300
485
15.34
34.16
1,319
8,234
11,810
11.83
20.17
*) New district Source: **Health Profile, Provincial Health Office, 2009; *** PODES 2008, BPS; **** SUSENAS CORE 2007-2009, PODES 2008, BPS
4.3 POPULATION WITH LIMITED ACCESS TO IMPROVED DRINKING WATER As presented in the Table 4.2, 34.2% of the households in NTT did not have access to improved drinking water (protected well/borehole/spring water, tap water, and rain water). The districts having the poorest access were Kupang (48.3% without access), Sumba Timur (47.9%), TTS (44.4%), Sumba Barat (42.1%) and Sabu Raijua (40.2%). The better access was reported in Ngada, Flores Timur and Sumba Barat Daya districts. At the sub-district level, more than 30% of its households did not have access to improved drinking water in around half of all sub-districts (Annex 4.1 and Map 4.2).
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
29
4.4 FEMALE ILLITERACY Women’s literacy, especially mothers and care givers of young children is well known to influence the health and nutritional status, and hence is a very important determinant of food utilization. Studies worldwide have shown that the basic mother’s level of education and awareness explains the nutritional situation of children in developing countries. It has been proven globally that under-nutrition is strongly correlated with mother’s educational level. Table 4.3 shows the proportion of illiterate females in each district, with a total of 14.7% in NTT province. The highest illiteracy rate was found in Sumba Barat Daya district where one in every three women were illiterate, followed by Sumba Tengah district (29.6%), Sumba Barat (26.4%) and TTS (21.7%). The lowest illiteracy rate was found on Flores island, in districts such as Ngada (6.9%), Manggarai Barat (8.9%) and Nagekeo (7.6%), as well as on Alor island (7.5%). The illiteracy situation at the sub-district level is shown in Annex 4.1 and Map 4.3. Table 4.3: Female Illiteracy Rate No
District
Female Illiteracy
1
Sumba Barat
26.42
2
Sumba Timur
17.32
3
Kupang
15.26
4
TTS
21.65
5
TTU
15.22
6
Belu
21.73
7
Alor
7.52
8
Lembata
11.10
9
Flores Timur
15.81
10
Sikka
10.01
11
Ende
11.26
12
Ngada
13
Manggarai
13.59
14
Rote Ndao
11.47
15
Manggarai Barat
16
Sumba Barat Daya
31.91
17
Sumba Tengah
29.62
18
Nagekeo
19
Manggarai Timur
15.02
20
Sabu Raijua
12.24
Total NTT
14.66
Total Indonesia
10.93
6.86
8.86
7.59
Source: SUSENAS CORE 2007-2009, PODES 2008, BPS
4.5 NUTRITIONAL STATUS Food security is one of determinants contributing to good health and nutritional status of people. The nutritional status of a child is an outcome of what the child eats as well as diseases she/he is suffering from. Nutrition status of young children aged under-five years old is measured by 3 indicators: 1.
30
Underweight (a weight-for-age ratio of less than -2 z-scores of the median of the 2005 World Health Organization-WHO reference, which refers to mixed acute and chronic malnutrition);
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
2. Stunting (a height-for-age ratio of less than -2 z-scores of the median of the 2005 WHO reference, which refers to persistent, long term, chronic malnutrition); and 3. Wasting (a weight-for-height ratio of less than -2 z-scores of the median of the 2005 WHO reference, which refers to acute or recent malnutrition). The WHO classifies the level of public health significance of nutritional situation in a certain country, region or district according to the level of underweight, stunting and wasting as follows: Classification
Underweight
Stunting
Wasting
< 10%
< 20%
< 5%
Poor
10-19%
20-29%
5-9%
Serious (high)
20-29%
30-39%
Acceptable
Critical (very high)
≥ 30%
≥ 40%
10-14% ≥ 15%
Stunting prevalence is presented in Table 4.4 as additional information to explain the impact of chronic food insecurity. In 2009, the Nutritional Status Survey (PSG) was conducted by NTT Provincial Health Office at the sub-district level, in accordance with National Guidelines from the Ministry of Health. The survey was conducted in all sub-districts of the province, except for the following sub-districts: all sub-districts in Sabu Raijua (this is a new district since 2009), 12 sub-districts in TTS, 4 sub-districts in TTU, 2 sub-districts each in Sumba Timur, Ende, Alor districts, 1 sub-district each in Ngada and Lembata districts . The results of the PSG 2009 show that the prevalence of severe and moderate underweight (total underweight) among under-five children was 31.9%, which is ranked as ‘critical’ (the highest category) level of public health significance, according to the WHO classification. Ministry of Health’s Basic Health Research (RISKESDAS) was conducted in 2007 and 2010. The prevalence of underweight among under-five children in NTT province was 33.6% in 2007 and 29.2% in 2010. This indicates that the prevalence of underweight decreased gradually. However, the situation is still ranked at serious (high) level of public health significance. District and sub-district prevalence is not available from RISKESDAS 2010 research. Table 4.4 shows that according to RISKESDAS 2007 data, 12 out of 15 districts had very high (or ‘critical’, ≥30%) prevalence of underweight among under-five children. These districts include Sumba Barat, Kupang, TTS, TTU, Belu, Alor, Lembata, Sikka, Ende, Manggarai, Rote Ndao and Manggarai Barat and 3 districts (Sumba Timur, Flores Timur and Ngada) had high level (20-29%) prevalence. At sub-district level, according to the PSG 2009, 50% of all sub-districts that were included in the survey had a very high/critical level of total underweight among under-five children (≥30%), 31% had a high/serious level (30-39%), 15% had a lower, but still significant level (20-29%), and only 4% or 9 sub-districts had an acceptable level (<20%). This means that more than 96% of all sub-districts that were included in the survey had poor–critical underweight level in the province. (Annex 4.1 and Map 4.4). The sub-districts with the highest level of prevalence of underweight were found in Kupang district i.e. Takari (58%), Kupang Timur (55.3%) and Kupang Tengah (50.2%), in Belu district i.e. Malaka Tengah (52.6%), Nanaet Dubesi (51.9), Wewiku (51.1%), Kobalima Timur (49.4%) and Sasita Mean (48.4%), in TTU district i.e. Biboki Utara (51.7%) and in Sikka district i.e. Mapitara sub-district (47.1%). Meanwhile, the sub-districts with
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
31
the lowest prevalence were in Sumba Timur district i.e., Rindi (3.1%), Kahaungu Eti (7.3%) and Pinupahar (8.3%), in Sumba Barat district i.e. Wanokaka (3.3%), Loli (6.3%) and Lamboya (6.7%) and in Rote Ndao district i.e. Rote Barat (8.8%), Rote Selatan (9%), Lobalain (10.2%) and Rote Barat Laut (10.5). According to the latest Ministry of Health’s Basic Health Research (RISKESDAS), chronic malnutrition (stunting) is widely prevailing among young children in the province. Overall, provincial prevalence of stunting was 58.4% in 2010, ranked at a very high (critical) level of public health significance according to the WHO classification. According to RISKESDAS 2007 data at the district level, 14 out of 15 districts had a very high /critical level of stunting prevalence (≥40%) and 1 district had a high/serious level (30-39%). No district had a poor (20-29%) or acceptable level (<20%) (Table 4.4). 12 districts have a very high/ ciritical level of both underweight and stunting rates (Sumba Barat, Kupang, TTS, TTU, Belu, Alor, Lembata, Sikka, Ende, Rote Ndao, Manggarai Barat and Manggarai districts). Table 4.4: Percentage of Underweight and Stunted Under Five Years Children No
District
Children (< 5 yrs) Underweight
Children (< 5 yrs) Stunting
1
Sumba Barat
30,30
49,10
2
Sumba Timur
24,70
42,30
3
Kupang
37,90
51,40
4
TTS
40,20
57,00
5
TTU
37,50
59,60
6
Belu
33,90
43,40
7
Alor
31,60
48,30
8
Lembata
31,00
40,90
9
Flores Timur
29,80
40,80
10
Sikka
36,70
49,60
11
Ende
33,60
42,20
12
Ngada
26,60
46,80
13
Manggarai
37,30
38,30
14
Rote Ndao
40,80
54,20
15
Manggarai Barat
30,10
52,20
16
Sumba Barat Daya*)
-
-
17
Sumba Tengah*)
-
-
18
Nagekeo*)
-
-
19
Manggarai Timur*)
-
-
20
Sabu Raijua*)
-
-
Total NTT
33,60
46,70
Total Indonesia
18,40
36,80
*) New district Source: Riskesdas 2007, MoH
4.6 HEALTH OUTCOME Life expectancy is an outcome of health and nutrition status. In NTT province, the average of life expectancy was 66 years. The highest life expectancy was reported in Sikka district (68.4) and the lowest was in Sumba Timur district (61.6) (Table 4.5). At the sub-district level, 74 out of 280 sub-districts had the life expectancy of 70 years or more (Annex 4.1 and Map 4.5).
32
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
Table 4.5: Life Expectancy No
District
Life Expectancy (year)
1
Sumba Barat
64.48
2
Sumba Timur
61.62
3
Kupang
65.02
4
TTS
66.60
5
TTU
67.71
6
Belu
65.30
7
Alor
66.25
8
Lembata
66.34
9
Flores Timur
67.51
10
Sikka
68.40
11
Ende
64.41
12
Ngada
66.93
13
Manggarai
66.89
14
Rote Ndao
67.22
15
Manggarai Barat
65.99
16
Sumba Barat Daya
63.11
17
Sumba Tengah
62.42
18
Nagekeo
63.27
19
Manggarai Timur
66.89
20
Sabu Raijua
65.02
Total NTT
65.57
Total Indonesia
68.16
Source: SUSENAS CORE 2007-2009, PODES 2008, BPS
Strategies for improving health and nutirion status of nutritionally vulnerable groups
Chronic malnutrition (stunting) remains at very high level in NTT province. Chronic malnutrition is resulted from poor fetal growth and reduced growth in the first two years of life, mainly due to a combination of inadequate nutrient intake, high disease exposure and poor caring practices. It causes irreversible damages, leads to substantial increases of under-five mortality and the overall disease burden. Early undernutrition, especially stunting, leads to reduced physical and mental development during young ages, which subsequently affects school performance and attendance. Undernourished children are more likely to start school later and drop out earlier. This devastating impact on early development adversely affects their income earning potential for life, making it very difficult to rise out of poverty. In addition, undernourished children who put on weight rapidly at later stages of childhood and adolescence are more likely to develop chronic diseases (diabetes, hypertension and coronary heart disease) related to nutrition. The long-term damage caused by early childhood undernutrition also includes shorter adult height and low birth weight babies born to women, which perpetuates the problem in the next generation. To reduce high rates of stunting, nutrition interventions should be planned and implemented urgently and more effectively at all levels, from household to provincial and national levels. To effectively prevent and treat different forms of undernutrition, it is important that nutritionally vulnerable groups are prioritized, underlying multi-dimensional causes are understood, appropriate and effective interventions to address identified causes are selected, and commitment and investment in nutrition is increased.
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
33
The following nutrition strategies are recommended: 1.
Focus on nutritionally vulnerable groups, including: a.
Children younger than two years of age. The first two years of life which are most critical are know as “window of opportunity” because preventing undernutrition at this age benefits children and society throughout the rest of their life. Although most damage is done and should be prevented from conception (i.e. 9 months) to 24 months of age, children’s vulnerability to diseases and risk of death remains high during first five years. That’s why many health and nutrition interventions focus on all under-fives. Health and nutrition interventions should prioritize under two years children, and if resources permit, under five years children.
b.
Moderately malnourished children. They have a higher risk of dying due to increased susceptibility to infections. The detected moderately malnourished children should be properly treated to prevent from becoming severely malnourished.
c.
Pregnant and lactating women because they have greater nutritional needs for fetal growth and development, and for producing breast milk for their infants.
d. Micronutrient deficiencies among people of all age groups, especially young children, pregnant and lactating women. Micronutrient deficiencies are assumed to be widespread in the population due to heavily carbohydrate-based diets, low intake of proteins (animals, vegetables, and fruits) and fortified foods. In this context, stunting is usually widely prevalent. 2.
Plan and implement multi-sectoral interventions to address THREE underlying causes (food, health and care related) of undernutrition.
A single sector alone (health or education or agriculture) cannot effectively address multi-faceted causes of the problem. a.
34
Direct interventions with direct benefits for nutrition (mostly through Health Sector): •
Improving maternal nutrition and care, especially during the second half of pregnancy: frequent, diversified and nutritious meals; daily taking iron tablets or multiple micronutrient powder (Sprinkle); and at least 4 ante-natal care check-ups during a pregnancy.
•
Promoting breastfeeding during 0-24 months: initiation of breastfeeding as soon as after birth; exclusive breastfeeding up to first six months; continued breastfeeding up to 24 months; and continued breastfeeding during child’s sickness.
•
Improving complementary feeding of 6-24 months children: start complementary feeding from 7th month; frequent small, diversified and nutritious meals (animal foods, eggs, bean, peas, peanuts, vegetables, fruits, oil); and avoiding unhealthy snacks.
•
Regular monitoring weight and height of 0-24 months or 0-59 months children, if resources permit, early detected malnutrition for timely intervention. Enhance communication with families on child’s weight, ways to prevent and correct weight and height failure.
•
Facility-based and community-based management of acute malnutrition among under-five children according to WHO/UNICEF and MoH guidelines.
•
Improving micronutrient intake: promoting iodized salt; diversified diet; fortified foods; iron tablets for pregnant women; semi-annual vitamin A supplementation for 6-24 months children (or 6-59 months if resources permit), and lactating mothers within 1st month after birth; and de-worming.
•
Intensifying health and nutrition information-education-communication (IEC) on these direct and indirect interventions, by using various channels (mass media, village loudspeakers, village
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
events, etc.) to address not only mothers and caregivers, but also village and religius leaders, husbands and other family members, adolescents, teachers, extension workers and community service providers. b.
Indirect intervention with indirect benefits for nutrition (mostly through non-health sectors) •
Promoting homestead agriculture: home gardening of vegetables, fruits, beans, peanuts; small animal husbandry (chicken, ducks); and fish pond.
•
Mobilizing community-based leaderships of village head, religion leaders, women’s association, farmers’ association, etc. in nutrition interventions, particularly in hygiene and nutrition education.
•
Improving drinking water: increasing access to improved water sources at households and schools; promoting the drinking of boiled water instead of raw water; constructing water tanks to collect water during rainy seasons; and encouraging students to bring drinking water to school to prevent thirst.
•
Improving hygiene and sanitation: hand washing before meals and after toilets; improving sewage system; and proper waste/excretion disposal.
•
Improving women’s status: increasing female education, improving knowledge/skills on child care and feeding; enhancing shared responsibility of husbands and other family members in child care and feeding.
•
Strengthening capacities of the related provincial and district officials in planning, implementing, monitoring and evaluating nutrition interventions. It should be emphasized that the indirect interventions are complementary to, but should not substitute for direct nutrition interventions.
3.
Prioritize and increase investment in nutrition and commitment to solve nutrition problems
The economic costs of child undernutrition are very high. Child undernutrition leads to losses in adult productivity and high health care and education cost. There are various forms of childhood malnutrition that cause productivity losses in adulthood associated with lower cognitive ability. Protein-energy malnutrition is associated with a 10% loss, iron deficiency anemia with a 4% loss, and iodine deficiency with a 10% loss in adult productivity. Childhood malnutrition also leads to productivity losses in manual labor.
Investments in nutrition are among the most cost-effective development interventions, because very high benefit-to-cost ratios, not only for individuals, but also for sustainable growth of countries, because they protect health, prevent disability, boost economic productivity and save lives.
Regional Mid Term Development Plan (RPJMD) of NTT Province 2009–2013. The RPJMD includes a programme related to education, health development and women empowerment, which consists of the following aspects: a.
b.
Education: 1.
Completion of compulsory 9 years basic education; and
2.
Non-formal education.
Health: 1.
Community nutrition rehabilitation programme;
2.
Disease prevention and eradication programme;
3.
Health promotion and community empowerment programme;
4.
Healthy environment programme; and
5.
Health education programme.
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
35
c.
Empowerment of women, children and youngsters 1.
Programme for policy synchronization focusing on increasing the quality of life of children and women;
2.
Programme to improve the quality of life and protection of women; and
3.
Programme to increase the role of rural women.
The expected outcomes of the above programmes are: •
Reduction of illiteracy rate from 11.5% (2007) to 5% (2013);
•
Reduction of severe malnutrition rates from 6.7% to 4.1% and moderate malnutrition rates from 30.1% to 25.8%; and
•
Increase of life expectancy from 65 years to 68.5 years.
36
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
CHAPTER 5 VULNERABILITY TO TRANSIENT FOOD INSECURITY Vulnerability to natural disasters and other shocks can influence food security temporarily or for an extended period. The inability to meet food needs for a temporary period is known as transient food insecurity. A sudden natural or technological disaster, a slow onset disaster, price or market shocks, health epidemics, civil conflicts etc. can all lead to transient food insecurity. Transient food insecurity can affect one or all dimensions of food security, that is food availability, food access and/or food utilization. Transient food insecurity is sometimes divided into two sub-categories: cyclical, where there is a regular pattern to food insecurity, for example the “lean season” that occurs in the period just before harvest; and temporary, which is the result of a short-term, exogenous shock such as a drought or flood. Civil conflict is also a temporary shock, although the negative impact on food security due to conflict often continues over extended periods of time. In other words, transient food insecurity affects not just those who are chronically food insecure, but also others who are food secure in normal times. In this chapter food insecurity is analyzed from an environmental perspective. Environmental factors and people’s ability to cope with a shock eventually determine whether a country or a region will be able to achieve food security. The environmental perspective of food and nutrition security will involve attention to soil management, water harvesting and management, conservation of biodiversity and improved post-harvest technology, environmental protection and forest management. Deforestation, over-exploitation of natural resources, rainfall fluctuation and the percentage of areas affected by floods and landslides are some of the indicators used in this section to explain transient food insecurity in NTT province.
5.1 NATURAL DISASTERS The main causes of transient food insecurity are natural disasters. Indonesia is one amongst the most natural disaster prone countries in the world, according to the Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED) which record major natural disasters in the world. According to the National Disaster Management Agency (BNPB), more than 370 natural disaster events occurred in the province during the period of 1990 - 2009, which caused 3,000 deaths (Table 5.1). The tsunami of 12 December 1992 in Sikka, Ngada, Ende, and Flores Timur districts caused more than 2,400 deaths. Natural disasters which affected each district in NTT province during 1990 - 2009 are presented in Figure 5.1. Natural disasters most frequently occurred in Manggarai, TTU, Belu and Sikka districts.
5.2 RAINFALL FLUCTUATION Climate variability directly influences many facets of food security, particularly food availability and food distribution. Almost all natural disaster events, including droughts, floods and windstorms, are connected with characteristics and fluctuation of rainfall. Both droughts and floods are caused by large variations in the total rainfall received in each geographical division. Rainfall variation in Indonesia is influenced by some global, regional, synoptic or local factors. Global factors can include El Niño, La Niña and Dipole Mode, while the regional factors
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
37
Tabel 5.1: Summary of Natural Disasters Which Occurred in NTT Province During 1990 – 2009 and Estimated Caused Damage # Events
Events
Deaths
Severe Damaged Houses
Injured
Light Damaged Houses
Rice Field (Ha)
Flood
99
64
2,549
3,328
11,995
3,652
Flood and Landslides
13
122
136
950
836
3,155
Landslides
41
10
2
426
58
481
Earthquake
7
138
2,889
27,169
23,506
25
Drought
7
-
-
-
-
70,740
Fire
57
6
2
357
3
-
Epidemic
18
133
5,909
-
-
-
Typhoon
99
30
19
3,048
888
447
Surge
28
5
-
1,088
669
4
Volcano Eruption
5
-
-
-
-
-
Earthquake and Tsunami
2
2,422
-
18,000
-
-
376
2,930
11,506
54,366
37,955
78,504
Total Source: BNPB (http://dibi.bnpb.go.id)
Figure 5.1: Natural Disasters Which Occurred in NTT Province Between 1990-2009
35 30
Event
25 20 15 10 5
ur Manggarai Timu
Nagekeo
Sumba Tengah
at Manggarai Bara
Rote Ndao
ai Manggara
Ngada
Ende
Sumba Barat Daya
District
Sikka
Flores Timu ur
Lembata
or Alo
Belu
TTU
TTS
Kupang
Sumba Timu ur
Sumba Bara at
0
Source: BNPB (http://dibi.nttprov.go.id)
are monsoon circulation, Madden Julian Oscillation (MJO) and the sea surface temperature in Indonesia Sea; synoptic factor include Low Pressure Area (LPA) and Tropical Cyclone. The local factors can include elevation, island position, the circulation of land and sea breezes and the land cover of certain areas. The extreme climate causes floods during the rainy season and in the dry season it causes drought. The climate could also favour the development of pest infestation (OPT) in an explicit manner. The occurrence of flood, drought and pest infestation adversely affects crop growth and may lead to crop failure. Two maps are presented to describe the percentage of rainfall deviation of the 10 years (1997-2007) against the average monsoon rainfall based on the 30 years normal rainfall data (1971-2000) across NTT province during the dry season (April to September) and rainy season (October to March) (Annex 5.1, Map 5.1 and Map 5.2).
38
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
Some areas in NTT province experienced below normal rainfall, compared with the 30 years average rainfall data during the dry season in the period 1997-2007 (red shade in Map 5.1). These areas included some parts of Rote Ndao, Kupang, TTS and Belu, east part of TTU, some parts of Sumba Timur, Sumba Barat Daya, Manggarai, Manggarai Barat and Ngada, most of Manggarai Timur and Ende, east part of Lembata, west part of Sikka and some parts of Flores Timur. During the rainy season, most of Sumba Barat, Sumba Tengah, Sumba Timur, Manggarai, Ende, Manggarai Timur and Flores Timur experienced decreasing rainfall (Map 5.2). Some areas will be expected to experience decreased rainfall intensity in both dry and rainy seasons, particularly some parts of Sumba Timur, Sumba Barat Daya, Manggarai, Manggarai Timur and Ende. These findings are presented in Map 5.1 and 5.2. As major parts of the province are faced with the trend of decreasing rainfall, rainfall variation would be unfavourable for sustainable agriculture.
5.3 DAMAGED AREAS A damaged area is defined as one suffering decreased crop production due to natural disasters (floods, droughts, landslides) and/or pest infestation. The production and productivity of food crops are influenced by climatic and weather conditions. The crop cultivation activity should consider these conditions by using forecast information on seasonality, climate and weather changes. Table 5.2: Proportion of Paddy and Maize Damaged Areas Among Total Paddy and Maize Cultivated Areas During 2007 - 2009 District
No
Paddy
Maize
2007
2008
2009
2007
2008
2009
1
Sumba Barat
3.80
1.05
0.54
7.71
4.22
12.29
2
Sumba Timur
29.38
6.71
3.07
46.61
7.87
2.53
3
Kupang
16.28
8.69
1.92
17.04
11.52
2.75
4
TTS
0.77
15.90
0.34
31.06
1.90
1.25
5
TTU
1.59
0.93
0.11
9.20
2.88
5.27
6
Belu
4.98
5.13
0.87
14.84
6.77
8.37
7
Alor
6.53
10.16
7.67
9.36
10.63
1.06
8
Lembata
16.61
1.48
0.91
33.09
2.69
0.50
9
Flores Timur
26.18
10.10
6.55
30.25
9.86
0.62
10
Sikka
12.41
1.04
2.57
25.69
1.70
0.95
14.84
11.95
1.32
14.54
13.36
3.80
9.49
1.03
0.10
20.20
0.29
-
11
Ende
12
Ngada
13
Manggarai
3.15
0.52
0.21
79.35
0.04
-
14
Rote Ndao
21.64
0.72
0.87
12.72
3.94
3.43
15
Manggarai Barat
10.53
10.06
0.82
24.78
3.33
-
16
Sumba Barat Daya
11.96
2.00
11.58
8.17
4.73
10.75
17
Sumba Tengah
18
Nagekeo
19
Manggarai Timur
20
Sabu Raijua Total NTT
11.25
1.56
2.96
8.41
12.34
0.32
1.20
12.11
-
-
61.88
-
0.27
4.12
5.02
0.27
51.53
3.29
2.77
12.39
1.82
3.43
38.30
0.87
0.19
4.73
2.17
23.85
4.53
3.11
Source: Agriculture Census (SP) BPS, 2007-2009
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
39
The proportion of damaged paddy and maize fields among the respective cultivated areas during the period 2007 – 2009 is presented in Table 5.3. In 2007, the overall proportion of damaged paddy fields was 11.3%. The highest proportion of damaged paddy fields was found in Sumba Timur district (29.4%), followed by Flores Timur (26.2%), Rote Ndao (21.6 %), Lembata (16.6%) and Kupang districts (16.3%). A lower overall proportion of damaged paddy fields was recorded in 2008 (4.4%) and 2009 (2.2%). Looking at maize fields, in 2007, the overall proportion of damaged maize fields was 23.9%. The highest proportion of damaged maize fields was found in Manggarai district (79.4%), followed by Nagekeo (61.9%) and Manggarai Timur districts (51.5%). A lower overall proportion of damaged maize fields was recorded in 2008 (4.5%) and 2009 (3.1%).
5.4 CLIMATE CHANGE AND FOOD SECURITY In relation to climate change, perhaps the largest concern for NTT province is its impact on households’ food security and agriculture. Climate change is altering precipitation, evaporation, surface water run-off and soil moisture levels. These in turn will have effects on agriculture and thus households’ food security. A model simulating the impacts of climate change on crops (Goddard Institute of Space Studies, UK Meteorological Office) demonstrates that climate change will likely reduce soil fertility by 2% to 8%, resulting in projected decreases of paddy yield by 4% and maize yield by 50% per year.
5.5
DEFORESTATION
Indonesia is one of the mega biodiversity countries in the world that is located in the biological diversity track of the Asian and Australian continents and Wallacea (i.e. a bio-geographical designation for a group of Indonesian islands separated by deep water straits from the Asian and Australian continental shelves). The islands of Wallacea lie between Sundaland (the Malay Peninsula, Sumatra, Borneo, Java, and Bali) to the West, and Near Oceania including Australia and New Guinea to the South and East. The total land area of Wallacea is 347,000 km². Indonesia has the third highest area of tropical forest in the world and plays a key role as a lung of the earth as well as contributing towards stabilizing the global climate. The forest management in Indonesia is carried out through the determination of forest and its conservation function, protected area and cultivated area. The total area of the country’s forested areas, including land and marine conservation, was calculated based on the Forestry Minister’s Decision on the Appointment of forest and marine conservation areas and the Forest Map Governance Agreement (TGHK). It was estimated at approximately 137.09 million ha, and consisted of 3.39 million ha of marine conservation, 20.14 million ha of land conservation area, 31.6 million of protected area and 81.95 million ha of cultivated area. The dependency of people on the forest is still quite high, particularly amongst people who live in or near the forests and who require agricultural land to meet their livelihood needs. In NTT province, 73 villages out of a total of 2,738 villages (2.67%) were located in forest areas and another 769 villages (28.09%) were located near forests. Among the villages in forest areas, agricultural activities constituted the main income source in 72 villages (98.63%); among the villages near forests, agricultural activities constituted the main income source in almost 757 villages (98.44%). In line with the expanding regional economy, various activities have caused changes in land utilization. Land cover change in forest areas has occurred, quickly leading to deteriorated forest conditions and decreased forest areas.
40
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
In average, 1.17 million ha was deforested every year during 2003-2006 in Indonesia. During the same period 131,316 ha/year was deforested in NTT, third highest deforestation rate among 33 provinces in Indonesia, after Kalimantan Timur and Riau provinces. The deforestation rate in NTT covered 56,872 ha/year in forest area and 74,444 ha/year outside forest area (the areas shown under Other Use) (Map 5.5). Much of the forest loss was due to forest fires, forest conversion for agriculture using slash and burning techniques, conversion of forested land into settlement, mining activity, etc. The deforestation data was based on the analysis of Landsat satellite imagery during the 2002/2003 and 2005/2006 periods. With a high deforestation rate, NTT’s forests are under serious threat. The loss of forest cover will impact on food security of the rural poor who live in, or near, forest areas and depend on the forests’ biodiversity and natural products for their livelihoods because the forest is their major source of fruits, medicinal plants and edible plants. The poorest rural people are likely to suffer first and most when those habitats are degraded or impoverished. From an environmental sustainability perspective, forest degradation will also impact on water resources. Soil erosion as a result of ground cover clearance will lead to sedimentation of waterways that may have a negative impact on activities in downstream or lowland areas. Water shortages will also affect agricultural systems, fisheries and dam operations. Forest and land rehabilitation must be carried out to reduce the degradation rate of forest. Strategies for Sustainable Food Security
An area that is currently enjoying food security situation may not remain food secure forever unless strategies and practices that are adopted by farmers and policy makers are environmentally sustainable. Moreover, impact of disasters could also pull back a region many steps, if the area does not have enough disaster preparedness. The following strategies are recommended for all vulnerable districts of NTT province in order to achieve sustainable food security. a.
Reforestation and slowing down deforestation: All districts in the province should embark upon a comprehensive plan for slowing down deforestation and regeneration of currently earmarked degraded forests. Coastal areas should concentrate on mangrove regeneration. As a result of climate change, NTT province is expected to have lower rainfall days, but sometimes with higher rainfall intensity. Districts with very little vegetative cover will have the danger of increased flash floods and landslides.
b.
Watershed developments: All districts in the province should plan for integrated watershed development projects for improved soil and water management. On one hand, the measures will enhance land productivity for higher crop yield, and on the other hand, use of appropriate indigenous techniques will create a more sustainable agricultural livelihood for the people.
c.
Disaster preparedness and contingency planning: The districts that frequently experience disasters should prepare community level contingency plans and put necessary structures and institutions in place for greater disaster risk reduction.
d.
Early warning and surveillance system: Innovative food and nutrition early warning and surveillance system need to be put in place in all disaster prone districts for timely identification of risks and undertaking corrective measures to mitigate possible impacts of any impending disaster.
e.
Mainstreaming climate change issues in all policies and projects: the government at all levels; UN and other NGOs should ensure that all the policies and programmes developed by them for Indonesia adequately address the challenges of climate change. Agencies also must ensure that the policies and programmes addressing climate change are pro-poor in nature for them to be successful.
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
41
Regional Mid Term Development Plan (RPJMD) of NTT Province 2009 –2013. The RPJMD includes an agenda related to disaster management and forestry, which consists of the following aspects: a. Special agenda: Development of disaster prone areas with the following programmes:
1.
Programme for early prevention and management of natural disaster victims;
2.
Programme for disaster management coordination; and
3.
Programme for gathering disaster data and information.
In addition to the above programmes, the provincial government has established a Provincial Disaster Management Board (BPBD) withdistrict level representations in most districts/municipalities.
b. Agenda related to forest protection with the following programmes: 1.
Programme for forest- and land rehabilitation including the reduction of the forest- and land degradation level;
2.
Protection and conservation of forest resources including prevention of forest fires;
3.
Programme for educating and managing forest products including the reduction of illegal logging and over-exploitation; and
4.
Programme for forest planning and development.
42
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
CHAPTER 6 VULNERABILITY TO CHRONIC FOOD INSECURITY BASED ON COMPOSITE FOOD SECURITY ANALYSIS As mentioned in Chapter One, the composite vulnerability to chronic food insecurity was determined based on nine indicators detailed in Chapter Two, Three and Four, which are related to food availability, food access and livelihoods, and food utilization and nutrition. The vulnerability map of composite food insecurity (Map 6.1) was made by the Principal Component Analysis (PCA) and Cluster Analysis. Due to unavailability PSG data in all sub-districts, district level underweight data of Riskesdas 2007 was used in the composite anlaysis. The composite maps tell us whether a sub-district is vulnerable to food insecurity due to a combination of various food security related factors. Then, by looking at all individual maps, one can identify main characteristics of food insecurity and vulnerability in a sub-district. It should be mentioned that characteristics of food insecurity and vulnerability vary between the regions, and hence the solution for attaining food security will also differ. The maps and report help us to understand the basic differences and similarities between sub-districts, and therefore will help decision makers to take appropriate steps to address the most critical issues relevant in their areas. 135 priority sub-districts are selected as Priority 1-3 while 145 sub-districts as Priority 4-6 based on the result of the PCA and Cluster Analysis. Therefore, the composite map illustrates these 135 sub-districts in dark red shades (Priority 1), red shades (Priority 2) and light red shades (Priority 3). The darker shades imply sub-districts that need higher priority in handling food insecurity problems and improve food security. The mapping only highlights the likely prevalence of food insecurity in relative terms. In other words, the sub-districts in red shades have higher food insecurity level and need immediate attention. However, it should be explained that a sub-district shown in dark red (Priority 1) does not mean that all people living there are food insecure. Similarly, a sub-district in green (Priority 6) does not mean that all people living there are food secure. Table 6.1 shows 135 higher vulnerable sub-districts based on the composite food insecurity (Priorities 1-3). Most parts of Timor island, Sabu Raijua, Sumba, Rote Ndao and part of Flores islands are among these top 135 priority sub-districts in terms of their vulnerability to food insecurity. Table 6.1: Higher Vulnerable Sub-districts Based on Composite Food Security Analysis District
Sub-district
District
Priority
Sub-district
Priority
Belu
Kobalima
1
Sikka
Waiblama
1
Belu
Kobalima Timur
1
Sumba Barat
Wanokaka
1
Belu
Malaka Tengah
1
Timor Tengah Selatan
Amanatun Utara
1
Belu
Nanaet Dubesi
1
Timor Tengah Selatan
Amanuban Selatan
1
Belu
Rinhat
1
Timor Tengah Selatan
Amanuban Timur
1
Kupang
Semau
1
Timor Tengah Selatan
Fatukopa
1
Kupang
Semau Selatan
1
Timor Tengah Selatan
Fatumnasi
1
Kupang
Takari
1
Timor Tengah Selatan
Kokbaun
1
Manggarai
Satarmese Barat
1
Timor Tengah Selatan
Kuan Fatu
1
Sabu Raijua
Hawu Mehara
1
Timor Tengah Selatan
Mollo Barat
1
Sabu Raijua
Sabu Barat
1
Timor Tengah Selatan
Mollo Selatan
1
Sikka
Mapitara
1
Timor Tengah Selatan
Mollo Tengah
1
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
43
Table 6.1 (contd): Higher Vulnerable Sub-districts Based on Composite Food Security Analysis District
Sub-district
Priority
District
Sub-district
Priority
Timor Tengah Selatan
Noebana
1
Belu
Weliman
3
Timor Tengah Selatan
Nunbena
1
Belu
Malaka Timur
3
Timor Tengah Selatan
Oenino
1
Belu
Laen Manen
3
Timor Tengah Selatan
Polen
1
Belu
Rai Manuk
3
Timor Tengah Selatan
Santian
1
Belu
Tasifeto Barat
3
Timor Tengah Selatan
Tobu
1
Belu
Kakuluk Mesak
3
Timor Tengah Selatan
Toianas
1
Belu
Raihat
3
Timor Tengah Utara
Biboki Tanpah
1
Belu
Lasiolat
3
Timor Tengah Utara
Bikomi Selatan
1
Belu
Lamaknen
3
Timor Tengah Utara
Bikomi Tengah
1
Kupang
Nekamese
3
Timor Tengah Utara
Bikomi Utara
1
Kupang
Amarasi
3
Timor Tengah Utara
Insana Barat
1
Kupang
Amarasi Barat
3
Timor Tengah Utara
Insana Fafinesu
1
Kupang
Amarasi Selatan
3
Timor Tengah Utara
Mutis
1
Kupang
Amarasi Timur
3
Sumba Barat Daya
Kodi Bangedo
2
Kupang
Amabi Oefeto
3
Sumba Barat Daya
Kodi
2
Kupang
Sulamu
3
Sumba Barat Daya
Kodi Utara
2
Kupang
Fatuleu Barat
3
Sumba Barat Daya
Wewewa Selatan
2
Kupang
Amfoang Utara
3
Sumba Barat Daya
Wewewa Barat
2
Kupang
Amfoang Barat Laut
3
Sumba Barat Daya
Wewewa Timur
2
Kupang
Amfoang Timur
3
Sumba Barat Daya
Wewewa Utara
2
Manggarai
Langke Rembong
3
Sumba Barat Daya
Loura
2
Manggarai
Ruteng
3
Sumba Tengah
Katikutana
2
Manggarai
Wae Rii
3
Sumba Tengah
Umbu Ratu Nggay Barat
2
Manggarai
Cibal
3
Sumba Tengah
Umbu Ratu Nggay
2
Manggarai
Reok
3
Sumba Tengah
Mamboro
2
Rote Ndao
Rote Barat Daya
3
Sumba Timur
Lewa
2
Rote Ndao
Rote Barat Laut
3
Sumba Timur
Nggaha Ori Angu
2
Rote Ndao
Lobalain
3
Sumba Timur
Lewa Tidahu
2
Rote Ndao
Rote Tengah
3
Sumba Timur
Katala Hamu Lingu
2
Rote Ndao
Pantai Baru
3
Sumba Timur
Tabundung
2
Rote Ndao
Rote Timur
3
Sumba Timur
Pinupahar
2
Rote Ndao
Rote Barat
3
Sumba Timur
Paberiwai
2
Sabu Raijua
Raijua
3
Sumba Timur
Karera
2
Sabu Raijua
Sabu Timur
3
Sumba Timur
Matawai La Pawu
2
Sabu Raijua
Sabu Liae
3
Sumba Timur
Kahaungu Eti
2
Sikka
Bola
3
Sumba Timur
Mahu
2
Sumba Barat
Lamboya
3
Sumba Timur
Ngadu Ngala
2
Sumba Barat
Laboya Barat
3
Sumba Timur
Pahunga Lodu
2
Sumba Barat
Loli
3
Sumba Timur
Wula Waijelu
2
Sumba Barat
Kota Waikabubak
3
Sumba Timur
Rindi
2
Sumba Barat
Tana Righu
3
Sumba Timur
Umalulu
2
Timor Tengah Selatan
Mollo Utara
3
Sumba Timur
Pandawai
2
Timor Tengah Selatan
Kota Soe
3
Sumba Timur
Kambata Mapambuhang
2
Timor Tengah Selatan
Amanuban Barat
3
Sumba Timur
Haharu
2
Timor Tengah Selatan
Batu Putih
3
Belu
Malaka Barat
3
Timor Tengah Selatan
Kuatnana
3
44
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
Table 6.1 (contd): Higher Vulnerable Sub-districts Based on Composite Food Security Analysis District
Sub-district
Priority
District
Sub-district
Priority
Timor Tengah Selatan
Noebeba
3
Timor Tengah Utara
Miomaffo Timur
3
Timor Tengah Selatan
Kualin
3
Timor Tengah Utara
Noemuti
3
Timor Tengah Selatan
Kolbano
3
Timor Tengah Utara
Naibenu
3
Timor Tengah Selatan
Kie
3
Timor Tengah Utara
Insana
3
Timor Tengah Selatan
Kot’Olin
3
Timor Tengah Utara
Insana Utara
3
Timor Tengah Selatan
Amanatun Selatan
3
Timor Tengah Utara
Insana Tengah
3
Timor Tengah Selatan
Boking
3
Timor Tengah Utara
Biboki Selatan
3
Timor Tengah Selatan
Nunkolo
3
Timor Tengah Utara
Biboki Utara
3
Timor Tengah Utara
Miomaffo Barat
3
Timor Tengah Utara
Biboki Anleu
3
Timor Tengah Utara
Musi
3
Figure 6.1 shows that the most vulnerable sub-districts to food insecurity of Priority 1 are located in TTS (seventeen sub-districts), TTU (seven sub-districts), Belu (five sub-districts), Kupang (three sub-districts), Sabu Raijua (two sub-districts), Sikka (two sub-districts), Sumba Barat (one sub-district) and Manggarai (one sub-district). Figure 6.1: Number of Vulnerable Sub-districts of Priority 1 Based on Composite Food Security Analysis 2 5
1 1
2 3
7 17
Sumba Barat
Sabu Raijua
Kupang
TTS
TTU
Belu
Sikka
Manggarai
Annex 6.2 indicates that main determinants of the sub-districts with higher vulnerability to food insecurity and ranked as Priority I are: (1) high population living below poverty line, (2) high prevalence rate of underweight among children under-five, (3) limited access to electricity, (4) limited access to clean water, and (5) village that can not be accessed by four-wheeled vehicles (Table 6.2). Among 31 sub-districts vulnerable to food insecurity and ranked as Priority 2 presented in Figure 6.2, all are located Sumba island: Sumba Timur (nineteen sub-districts), Sumba Barat Daya (eight sub-districts) and Sumba Tengah (four sub-districts). Annex 6.2 indicates that the main determinants of the sub-districts ranked as Priority 2 are: (1) limited access to electricity, (2) high population living below poverty line, (3) low life expectancy, (4) limited access to clean water, and (5) village that can not be accessed by four-wheeled vehicles (Table 6.2). 66 sub-districts in Priority 3 located in TTS (thirteen sub-districts), Kupang (eleven sub-districts), TTU (eleven sub-districts), Belu (ten sub-districts), Rote Ndao (seven sub-districts), SumbaBarat (five sub-districts), Manggarai (five sub-districts), Sabu Raijua (three sub-districts) and Sikka (one sub-district).
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
45
Figure 6.2: Number of Vulnerable Sub-districts of Priority 2 Based on Composite Food Security Analysis
8
Sumba Barat Daya Sumba Tengah 19
Sumba Timur
4
Figure 6.3: Number of Vulnerable Sub-districts of Priority 3 Based on Composite Food Security Analysis 7
5 3
5
1
11 10
11
13
Sumba Barat
Sabu Raijua
Kupang
TTS
TTU
Belu
Sikka
Manggarai
Rote Ndao
The main determinants of sub-districts ranked as Priority 3 are: (1) high prevalence of underweight among children under-five, (2) limited access to electricity, (3) village that can not be accessed by four-wheeled vehicles, (4 ) low life expectancy at birth, and (5) limited access to clean water (Annex 6.2 and Table 6.2). The annex 6.2 clearly highlights the indicators that characterize the situation in a sub-district. Shaded cells denote the higher relative importance of certain indicator(s) for a certain sub-district. For example, the main determinants for vulnerability to food insecurity in Mollo Barat sub-district in TTS district which is ranked as Priority I, were low access to food and livelihood (due to high rate of population living below poverty line, low access to road and electricity) and low life expectancy at birth. As for Bikomi Tengah sub-district in TTU district, main determinants were also low access to food and livelihood (a high number of poor people and low electricity access rate) and low life expectancy at birth. Similarly, although Rote Selatan sub-district in Rote Ndao district is in the ‘sub-district of Priority 5’, with a green color which indicates a better food security situation, attention is still required to address issues of electricity access and poverty. By overlaying the vulnerability map of chronic food insecurity and the vulnerability maps of transitory food insecurity, we can see the overlapping areas. These areas are recommended to develop contingency plans to mitigate the impact of natural disasters on food security by closely involving the vulnerable communities.
46
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
Table 6.2: Main Determinants of Food Insecurity per Priority Causes Priority 1
Priority 2
1. Poverty
1. Without access to electricity
2. Underweight among children under-five
2. Poverty
3. Without access to electricity
3. Low life expectancy
4. Without access to clean water
4. Without access to clean water
5. Without access to roads usable by four-wheeled vehicles
5. Without access to roads usable by four-wheeled vehicles
Priority 3
Priority 4
1. Underweight among children under-five
1. Without access to roads usable by four-wheeled vehicles
2. Without access to electricity
2. Without access to clean water
3. Without access to roads usable by four-wheeled vehicles
3. Without access to electricity
4. Low life expectancy
4. Low life expectancy
5. Without access to clean water
5. Poverty
Priority 5
Priority 6
1. Without access to clean water
1. Without access to roads usable by four-wheeled vehicles
2. Low life expectancy
2. Poverty
3. Underweight among children under-five
3. Low life expectancy
4. Poverty
4. Without access to clean water
5. Without access to roads usable by four-wheeled vehicles
5. Underweight among children under-five
Since the determinants of food insecurity are different, solutions will also vary by district and sub-district. An overall framework of the causes and the type interventions to improve food security is given in Figure 6.4. Figure 6.4:
Food access problems: Limited purchasing power due to poverty, limited employment opportunities, high food prices
Facility problems: No or limited water, road, electricity access
Framework of the Causes and the Type Interventions to Improve Food Security Create job and income opportunities, establish and strengthen social safety nets and insurance systems, food/cash for work.
Improved household's food access and resilience to shocks
Build and rehabilitate basic infrastructure (road, electricity, clean water) Enhanced agriculture and rural development
Food availability problems: Population number is higher than production capacity
Health and Nutrition Problems: Underweight among under five children
Increase district capacity in food production
- Improve nutrition status and health of 0-23 months children, pregnant women, and family. - Strengthen health and nutrition services in Puskesmas and Posyandu. - Improve child care and feeding practices. - Increase female education.
Improved health and nutrition status
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
47
Food security improvement strategies need to be implemented through twin-track approaches: 1.
Immediate approach: Development of agricultural and rural-based economies to provide employment and income;
2.
Medium to longer term approach: Provide food for the poor and food insecure communities through an empowerment approach supporting active participation of villagers and various stakeholders.
Table 6.3: Main Determinants of Food Insecurity and Recommended Interventions by District District Sumba Barat
Determinants and Recommended Interventions Access to electricity requires particular attention from the local government to fulfil the needs of the population. The population living below poverty line need to be handled optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people themselves, through community empowerment and productive economic development. The high rate of underweight among under-five children requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers but also fathers, adolescent girls, grandparents etc. Another focus of attention is the low female education level. Education programmes, both formal (nine-year education programmes, free education) and informal education (Chase Package A, B, and community guidance) need to be considered and implemented. Key interventions are needed in: • Without access to electricity • Poverty • Underweight among children under-five • Female illiteracy • Low life expectancy at birth
Sumba Timur
Access to electricity and health services require particular attention from the local government to fulfil the needs of the population. The population living below poverty line need to be handled optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people themselves, through community empowerment and productive economic development. The high rate of underweight among under-five children requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers but also fathers, adolescent girls, grandparents etc. Key interventions are needed in: • Without access to electricity • Poverty • Underweight among children under-five • Low life expectancy at birth • Low access to health facilities
Kupang
The high rate of underweight among under-five children requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers but also fathers, adolescent girls, grandparents etc. Construction and rehabilitation of insfrastructure such as roads and electricity needs to be increased. The population living below poverty line need to be handled optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people themselves, through community empowerment and productive economic development.
48
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
Table 6.3 (contd): Main Determinants of Food Insecurity and Recommended Interventions by District District
Determinants and Recommended Interventions
Kupang
Key interventions are needed in: • Underweight among children under-five • Without access to electricity • Poverty • Without adequate connection access • Low life expectancy at birth
Timor Tengah Selatan
A high rate of underweight among under-five children requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc. The population living below poverty line need to be handled optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people themselves, through community empowerment and productive economic development. Construction and rehabilitation of insfrastructure such as roads and electricity needs to be increased. Key interventions are needed in: • Without access to electricity • Underweight among children under-five • Poverty • Low life expectancy at birth • Without adequate connection access
Timor Tengah Utara
Development of adequate access to electricity and health facilities also needs to be continuously improved. A high rate of underweight among under-five children requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc. The population living below poverty line need to be handled optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people themselves, through community empowerment and productive economic development. Key interventions are needed in: • Without access to electricity • Underweight among children under-five • Poverty • Low life expectancy at birth • Low access to health facilities
Belu
The high rate of underweight among under-five children requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers but also fathers, adolescent girls, grandparents etc. Construction and rehabilitation of insfrastructure such as roads and electricity needs to be increased. The population living below poverty line need to be handled optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people themselves, through community empowerment and productive economic development. Key interventions are needed in: • Underweight among children under-five • Without access to electricity • Low life expectancy at birth • Without adequate connection access • Poverty
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
49
Table 6.3 (contd): Main Determinants of Food Insecurity and Recommended Interventions by District District Alor
Determinants and Recommended Interventions Construction and rehabilitation of instrastructure such as roads and electricity needs to be increased. The high rate of underweight among under-five children requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers but also fathers, adolescent girls, grandparents etc. The population living below poverty line need to be handled optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people themselves, through community empowerment and productive economic development. Key interventions are needed in: • Without access to electricity • Underweight among children under-five • Without adequate connection access • Poverty • Low life expectancy at birth
Lembata
Adequate electricity and road access is area to be focused. Government needs to increase electricity extension and road construction to meet the population need. The population living below poverty line need to be handled optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people themselves, through community empowerment and productive economic development. A high rate of underweight among children under five requires particular attention from the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to a better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc. Key interventions are needed in: • Without access to electricity • Poverty • Underweight among children under-five • Without adequate connection access
Flores Timur
A high rate of underweight among children under five requires particular attention from the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to a better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc. Construction and rehabilitation of insfrastructure such as roads and electricity needs to be increased. Increasing food production should be promoted through intensification, diversification, as well as extension, to ensure the communities’ needs are fully met and household food security is improved. Key interventions are needed in: • Underweight among children under-five • Without access to electricity • Without adequate connection access • Insuffcient staple food production • Low life expectancy at birth
Sikka
The high rate of underweight among under-five children requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers but also fathers, adolescent girls, grandparents etc. Adequate electrity and connection accesses are also areas of focus. Government needs to extend electricity access and build or rehabilitate road facilities to meet the needs of the population.
50
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
Table 6.3 (contd): Main Determinants of Food Insecurity and Recommended Interventions by District District Sikka
Determinants and Recommended Interventions Sikka has per capita normative consumption higher than its net cereal production which indicates low staple food self-sufficiency due to food production shortages. Efforts should be made to increase production capacity, especially through increasing productivity. In parallel, consumption of locally available foods should be promoted. Key intervensions are needed in: • Underweight among children under-five • Without access to electricity • Without adequate connection access • Insufficient staple food production
Ende
The high rate of underweight among under-five children requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers but also fathers, adolescent girls, grandparents etc. Adequate connection accesses is also areas of focus. Government needs to build or rehabilitate road facilities to meet the needs of the population. The population living below poverty line need to be handled optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people themselves, through community empowerment and productive economic development. Increasing food production should be promoted through intensification, diversification, as well as extension, to ensure the communities’ needs are fully met and household food security is improved. Another area to be focused is adequate connection accesses. Government needs to build or rehabilitate road facilities to meet the needs of the population. Key interventions are needed in: • Underweight among children under-five • Without adequate connection access • Poverty • Insufficient staple food production • Low life exceptancy at birth
Ngada
Government also needs to focus on extending the electricity access to all households and road access to all villages. A high rate of underweight among under-five children requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to a better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc. Key interventions are needed in: • Without access to electricity • Underweight among children under-five • Low life expectancy at birth • Without adequate connection access
Manggarai
Adequate electrity and connection accesses are also areas of focus. Government needs to extend electricity access and build or rehabilitate road facilities to meet the needs of the population. The population living below poverty line need to be handled optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people themselves, through community empowerment and productive economic development. A high rate of underweight among under-five children requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to a better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc.
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
51
Table 6.3 (contd): Main Determinants of Food Insecurity and Recommended Interventions by District District
Determinants and Recommended Interventions
Manggarai
Key interventions are needed in: • Without access to electricity • Poverty • Without adequate connection access • Low life expectancy at birth • Underweight among children under-five
Rote Ndao
The population living below poverty line need to be handled optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people themselves, through community empowerment and productive economic development. Adequate access to electricity is one of area to be focused. Government have to extend electricity services to all households to improve their livelihoods. A high rate of underweight among children under five requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to a better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc. Key interventions are needed in: • Poverty • Without access to electricity • Low life expectancy at birth • Underweight among children under-five
Manggarai Barat
Adequate access to electricity and connection still need to be improved. Government has to extend electricity services and construct or rehabilitate roads to fullfil the need of populations to improve their livelihoods. A high rate of underweight among children under five requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to a better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc. The population living below poverty line need to be handled optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people themselves, through community empowerment and productive economic development. Key interventions are needed in: • Without access to electricity • Without adequate connection acces • Underweight among children under-five • Poverty • Low life expectancy at birth
Sumba Tengah
Adequate access to electricity and road are area to be focused. Government have to extend electricity services to all households and build/rehabilitate roads to improve their livelihoods. A high rate of underweight among under-five children requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to a better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc. The population living below poverty line need to be handled optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people themselves, through community empowerment and productive economic development. Another focus of attention is the low female education level. Education programmes, both formal (nine-year education programmes, free education) and informal education (Chase Package A, B, and community guidance) need to be considered and implemented.
52
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
Table 6.3 (contd): Main Determinants of Food Insecurity and Recommended Interventions by District District
Determinants and Recommended Interventions
Sumba Tengah
Key interventions are needed in: • Without access to electricity • Underweight among children under-five • Poverty • Without adequate connection access • Female illiteracy
Sumba Barat Daya
Adequate access to electricity and road need to be significantly improved. Government efforts to extend electricity services coverage and build or construct/ rehabilitate roads should be continued. The population living below poverty line need to be handled optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people themselves, through community empowerment and productive economic development. A very high rate of underweight among under-five children requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to a better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc. Another focus of attention is the low female education level. Education programmes, both formal (nine-year education programmes, free education) and informal education (Chase Package A, B, and community guidance) need to be considered and implemented. Key interventions are needed in: • Wihout access to electricity • Poverty • Underweight among children under five • Without adequate connection access • Female illiteracy
Nagekeo
Access to electricity requires particular attention from the local government. Government needs extend electricity access to fulfil the needs of the population. A high rate of underweight among children under five requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to a better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc. Key interventions are needed in: • Wihout access to electricity • Low life expectanty at birth • Underweight among children under five
Manggarai Timur
Access to electricity and roads requires particular attention from the local government. Government needs extend electricity and road access to fulfil the needs of the population. A high rate of underweight among children under five requires particular attention of the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to a better quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc. The population living below poverty line need to be handled optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people themselves, through community empowerment and productive economic development. Key interventions are needed in: • Wihout access to electricity • Without adequate connection access • Underweight among children under-five • Poverty
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
53
Table 6.3 (contd): Main Determinants of Food Insecurity and Recommended Interventions by District District Sabu Raijua
Determinants and Recommended Interventions Access to electricity and clean water requires particular attention from the local government. Government needs extend electricity and clean water access to fulfil the needs of the population. Sabu Raijua has per capita normative consumption higher than its net cereal production which indicates low staple food self-sufficiency due to food production shortages. Efforts should be made to increase production capacity, especially through increasing productivity. In parallel, consumption of locally available foods should be promoted. The population living below poverty line need to be handled optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people themselves, through community empowerment and productive economic development. Key interventions are needed in: • Wihout access to electricity • Insufficient staple food production • Poverty • Without access to clean water • Low life expectancy at birth
Comparison with National FSVA 2009
The same indicators for chronic food security in national FSVA 2009 were applied in provincial FSVA. However, the following difference in data source and analysis should be noted. • The level of analysis is at district level in aational FSVA 2009, while Provincial FSVA provides sub-district level results. Therefore, provincial FSVA serves as an important tool for decision making of district level stakeholders. • In national FSVA 2009, the data on food availability (per capita normative consumption and availability) was available for the period of 2005–2007. In provincial FSVA, the data is available for the period of 2007–2009. • As mentioned in Chapter 1, Small Area Estimation technique is applied for poverty, access to electricity, access to water, female illiteracy and life expectancy to disaggregate the data at district level to sub-district level. • In national FSVA, the districts ranked in the lowest 100 are categorized as priority districts. In provincial FSVA, the number of sub-districts in each priority group is determined by cluster analysis. Therefore, although the same indicators are used in national and provincial FSVAs, the results need to be compared with caution.
54
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
REFERENCES
BAPPENAS (2007). National Action Plan for Food and Nutrition 2006-2010. Elbers, C. J.O. Lanjouw, and P. Lanjouw (2000), “Micro-Level Estimation of Welfare”. Policy Research Department Working Paper 2911. World Bank. Fay, R E. and Herriot, R.A.(1979). “Estimates of income for small place and application of James-Stein procedures to census data”. Journal of the American Statistical Association 74, 269-277. FSC and WFP (2005). Food Insecurity Atlas of Indonesia (FIA) 2005. FSC and WFP (2010). Food Security and Vulnerability Atlas of Indonesia (FSVA) 2009. Ministry of Health (2008). Basic Health Research (RISKESDAS) 2007 Report. Ministry of Health (2010). Basic Health Research (RISKESDAS) 2009 Report. Ministry of Forestry (2008). Calculation on Deforestation in Indonesia. Ministry of Forestry and BPS (2008). Identification of Villages Located in Forest Area. Morrison, D. F.(1976). Multivariate Statistical Methods. NTT Provincial Government (2009). NTT Province Medium Development Plan for 2009-2013. Provincial Statistics Office (BPS) (2011). NTT District Population Projection for 2000-2015. Provincial Statistics Office (BPS (2011). NTT in Figures 2010. Provincial Statistics Office (BPS)(2010). Agriculture Statistics 2009. Provincial Health Office (2009). NTT Province Health Profile. WFP (2009). Emergency Food Security Assessment Handbook. 2nd Edition. WHO (2007). World Health Report 2007.
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
xxi
ACRONYMS
BPS BMKG BNPB BPBD FIA FSC FSO FSVA GRDP IMR IPB HDI NGO MDG MOH MPCE NTT OUR PCA PKK PNPM PODES Posyandu Puskesmas PPP PSG RDA RISKESDAS RPJMD SAE SAKERNAS SUSENAS TTS TTU UNICEF WFP WHO
Central Bureau of Statistics Meteorological, Climatology and Geophysics Agency National Disaster Management Board Provincial/District Disaster Management Board Food Insecurity Atlas Food Security Council Food Security Office Food Security and Vulnerability Atlas Gross Regional Domestic Product Infant Mortality Rate Bogor Agriculture Institute Human Development Index Non Government Organization Millennium Development Goals Ministry of Health Monthly per Capita Expenditure Nusa Tenggara Timur Open Unemployment Rate Principal Component Analysis Family Welfare and Empowerment National Poverty Reduction Programme through Community Empowerment National Village Potential Statistics Integrated Health Post Community Health Center Purchasing Power Parity Nutrition Status Observation Survey Recommended Daily Allowance National Basic Health Research Regional Medium Term Development Plan Small Area Estimation National Labour Force Survey National Socio-Economic Survey Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara United Nations Children Fund United Nations World Food Programme United Nations World Health Organization
Food Security and Vulnerability Atlas of NTT
xxiii
Peta /Maps
Peta 1.1 / Map 1.1 Peta Indeks Daratan Sumba dan Sabu Raijua / Index Map of Sumba and Sabu Raijua Islands Sumba Barat Daya
Sumba Tengah 8
3 2 1
18 14
5 6
4
7 12
16
39
17
13 9
11
10
Sumba Barat
37 15 19
36
21 22
Kecamatan / Sub-district
Sumba Barat Daya 1 2 3 4 5 6 7 8
Kodi Bangedo Kodi Kodi Utara Wewewa Selatan Wewewa Barat Wewewa Timur Wewewa Utara Loura
Sumba Barat 9 10 11 12 13 14
Lamboya Wanokaka Laboya Barat Loli Kota Waikabubak Tana Righu
Sumba Tengah 15 16 17 18
Katikutana Umbu Ratu Nggay Barat Umbu Ratu Nggay Mamboro
35
38
20
34
28 23 27
24
Kode / Code
Sumba Timur
40
25
33 29 31
26
Kode / Code
Kecamatan / Sub-district
30
32
Sabu Raijua
Sumba Timur 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Lewa Nggaha Ori Angu Lewa Tidahu Katala Hamu Lingu Tabundung Pinupahar Paberiwai Karera Matawai La Pawu Kahaungu Eti Mahu Ngadu Ngala Pahunga Lodu Wula Waijelu Rindi Umalulu Pandawai Kambata Mapambuhang Kota Waingapu Kambera Haharu
44 42
41
43
46 45
Kode / Code
Kecamatan / Sub-district
Sabu Raijua 40 41 42 43 44 45 46
Kanatang Raijua Sabu Barat Hawu Mehara Sabu Timur Sabu Liae Sabu Tengah
Peta / Map
A-1
Peta 1.2 / Map 1.2 Peta Indeks Kabupaten Kupang dan Rote Ndao / Index Map of Kupang and Rote Ndao Districts
Kode / Code
Kecamatan / Sub-district 77
Rote Ndao 47 48 49 50 51 52 53 54
75
Rote Barat Daya Rote Barat Laut Lobalain Rote Tengah Rote Selatan Pantai Baru Rote Timur Rote Barat
76
Kupang
Semau Semau Selatan Kupang Barat Nekamese Kupang Tengah Taebenu Amarasi Amarasi Barat Amarasi Selatan Amarasi Timur Kupang Timur Amabi Oefeto Timur Amabi Oefeto Sulamu Fatuleu Fatuleu Tengah Fatuleu Barat Takari Amfoang Selatan Amfoang Barat Daya Amfoang Utara Amfoang Barat Laut Amfoang Timur
70
68
69
Kota Kupang
66
65
67
59
55
64 60
56
TTS
72
71
Kupang 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77
73 74
57 58
62
61 63
53
52 50 48 54
49
51
47
Rote Ndao
Peta / Map
A-3
Kode / Code
Kecamatan / Sub-district
Timor Tengah Selatan 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104
Mollo Utara Fatumnasi Tobu Nunbena Mollo Selatan Polen Mollo Barat Mollo Tengah Kota Soe Amanuban Barat Batu Putih Kuatnana Amanuban Selatan Noebeba Kuan Fatu Kualin Amanuban Tengah Kolbano Oenino Amanuban Timur Fautmolo Fatukopa Kie Kot’olin Amanatun Selatan Boking Nunkolo
Timor Tengah Utara 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Noebana Santian Amanatun Utara Toianas Kokbaun Miomaffo Barat Miomaffo Tengah Musi Mutis Miomaffo Timur Noemuti
Kode / Code
Peta 1.3 / Map 1.3 Peta Indeks Kabupaten TTS, TTU dan Belu / Index Map of TTS, TTU and Belu Districts
Kecamatan / Sub-district
Timor Tengah Utara 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128
Bikomi Selatan Bikomi Tengah Bikomi Nilulat Bikomi Utara Naibenu Noemuti Timur Kota Kefamenanu Insana Insana Utara Insana Barat Insana Tengah Insana Fafinesu Biboki Selatan
155
Biboki Tanpah Biboki Moenleu Biboki Utara Biboki Anleu Biboki Feotleu Malaka Barat Rinhat Wewiku Weliman Malaka Tengah Sasita Mean Botin Leobele Io Kufeu Malaka Timur Laen Manen Rai Manuk Kobalima Kobalima Timur Tasifeto Barat Kakuluk Mesak Nanaet Dubesi Atambua Atambua Barat Atambua Selatan Tasifeto Timur Raihat Lasiolat Lamaknen Lamaknen Selatan
151
132
126
118 117
113
144
129
126 125
142 143
123
116
141
110 79
99
136
107 108
78
96
97
85
105 89
94
98
86 87
Kupang
138
134
109 83
82
140
139
135 137
80
84
145
121
115
81
146
128
127
122
112 111
149
131
120 114
eu
147
130
154
157
133
124
119
153
150
152
TT
Belu 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157
156
148
91
90
92
103
102
100
88
106
104
101 95
TTS
93
Peta / Map
A-5
Peta 1.4 / Map 1.4 Peta Indeks Kabupaten Manggarai Barat s/d Ende / Index Map of Manggarai Barat to Ende Districts Manggarai Manggarai Barat
Manggarai Timur
173
Ngada
179
159
164 163
158 158
162
170
186
172 171 169
168
176
178
167
165
161
184
174
166
175
183 181
Kecamatan / Sub-district
Manggarai Barat 158 159 160 161 162 163 164
Komodo Boleng Sano Nggoang Lembor Welak Kuwus Macang Pacar
Manggarai 165 166 167 168 169 170 171 172 173
Satarmese Satarmese Barat Langke Rembong Ruteng Wae Rii Lelak Rahong Utara Cibal Reok
Kode / Code
Kecamatan / Sub-district
Manggarai Timur 174 175 176 177 178 179
Borong Kota Komba Elar Sambi Rampas Poco Ranaka Lamba Leda
Ngada 180 181 182 183 184 185 186 187 188
Aimere Jerebuu Bajawa Golewa Bajawa Utara Soa Riung Riung Barat Wolomeze
Kode / Code
189
203
190 197
Kecamatan / Sub-district
201
214
209
205
Sikka 206
207
208 210
204
200
Kode / Code
Kecamatan / Sub-district
Ende Mauponggo Keo Tengah Nangaroro Boawae Aesesa Selatan Aesesa Wolowae
Ende 196 197 198 199 200 201 202 203 204
202
191
Nagekeo 189 190 191 192 193 194 195
199
196
192
182
213
198
193
185
212
215
195
188
180
Kode / Code
211
194
187
160 158
Ende
Nagekeo
177
Nangapanda Pulau Ende Maukaro Ende Ende Selatan Ende Timur Ende Tengah Ende Utara Ndona
205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215
Ndona Timur Wolowaru Wolojita Lio Timur Kelimutu Ndori Maurole Kotabaru Detukeli Detusoko Wewaria
Peta / Map
A-7
Peta 1.5 / Map 1.5 Peta Indeks Kabupaten Sikka dan Flores Timur / Index Map of Sikka and Flores Timur Districts Kode / Code
Kecamatan / Sub-district
Sikka 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236
Paga Mego Tanawawo Lela Bola Doreng Mapitara Talibura Waigete Waiblama Kewapante Hewokloang Kangae Palue Koting Nelle Nita Magepanda Alok Alok Barat Alok Timur
241 243
Wulanggitang Titehena Ilebura Tanjung Bunga Lewolema Larantuka Ile Mandiri Demon Pagong Solor Barat Solor Timur Adonara Barat Wotan Ulumado Adonara Tengah Adonara Timur Ile Boleng Witihama Kelubagolit Adonara
254 242
247
229 238
253
248
Lembata 237 239
233 235
Ende
230 219
245
225 234
217
216
251
246 223
232
252
249 250
244
236
218
Flores Timur 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254
240
226
231 228
Flores Timur
224
227
220
221
222
Sikka
Peta / Map
A-9
Peta 1.6 / Map 1.6 Peta Indeks Kabupaten Lembata dan Alor / Index Map of Lembata and Alor Districts
276 277 263 259
275 279
266
269 260
267
261
271 270
274
265 268
257 255
272
273
262
258
Flores Timur
280 278
264
Lembata
Alor
256
Kode / Code
Kecamatan / Sub-district
Kecamatan / Sub-district
Alor
Lembata 255 256 257 258 259 260 261 262 263
Kode / Code
Nagawutung Wulandoni Atadei Ile Ape Ile Ape Timur Lebatukan Nubatukan Omesuri Buyasuri
264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280
Pantar Pantar Barat Pantar Timur Pantar Barat Laut Pantar Tengah Alor Barat Daya Mataru Alor Selatan Alor Timur Alor Timur Laut Pureman Teluk Mutiara Kabola Alor Barat Laut Alor Tengah Utara Pulau Pura Lembur
Peta / Map
A-11
Peta 2.1 / Map 2.1 Rasio Konsumsi Normatif Per Kapita terhadap Produksi Bersih Serealia / Ratio of Per Capita Normative Consumption to Net Cereal Production
120°0'0"E
® 25
50 Km
Nagekeo
Manggarai Sumba Barat Daya
Alor
Lembata
Manggarai Timur
Manggarai Barat
10°0'0"S
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
0
122°0'0"E
8°0'0"S
Kupang
Timor Tengah Selatan
Legenda/Legend: Rasio Konsumsi-Produksi/Ratio of Consumption To Production >= 1.50 (Defisit Tinggi/ High Deficit) 1.25 - 1.50 (Defisit Sedang/ Moderate Deficit) 1.00 - 1.25 (Defisit Rendah/ Low Deficit) 0.75 - 1.00 (Surplus Rendah/ Low Surplus) 0.50 - 0.75 (Surplus Sedang/ Moderate Surplus) < 0.50 (Surplus Tinggi/ High Surplus) Daerah Perkotaan/Tidak ada Data Urban Area/No Data Batas Kabupaten/ District Boundary 120°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
Rote Ndao
Sumber Data: Badan Ketahanan Pangan dan Badan Pusat Statistik Provinsi dan Kabupaten, 2007-2009 Data Source: Provincial and District Food Security 122°0'0"E Agencies and BPS, 2007-2009
124°0'0"E
Peta / Map
A-13
Peta 3.1 / Map 3.1 Penduduk Hidup di Bawah Garis Kemiskinan / Population Living Below Poverty Line
25
50 Km
Manggarai Barat
10°0'0"S
Alor
Lembata
Manggarai Timur Nagekeo
Manggarai Sumba Barat Daya
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
® 0
122°0'0"E
8°0'0"S
120°0'0"E
Kupang
Legenda/Legend:
Timor Tengah Selatan
% Penduduk / % of Population >= 35 25 - < 35 20 - < 25 15 - < 20 10 - < 15 0 - < 10 Daerah Perkotaan/Tidak ada Data Urban Area/No Data Batas Kabupaten/ District Boundary
Rote Ndao
Sumber Data: SUSENAS KOR 2007-2009, SUSENAS MODUL 2008, Potensi Desa-PODES 2008 (BPS)
120°0'0"E 122°0'0"E Data Source: SUSENAS CORE 2007-2009, SUSENAS MODULE 2008, Village Potentials-PODES 2008 (BPS) Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
124°0'0"E
Peta / Map
A-15
Peta 3.2 / Map 3.2 Desa yang Tidak Bisa Dilalui Kendaraan Roda Empat / Villages not Accessible by Four Wheel Vehicle
120°0'0"E
25
50 Km
Manggarai Barat
10°0'0"S
Alor
Lembata
Manggarai Timur Nagekeo
Manggarai Sumba Barat Daya
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
® 0
122°0'0"E
8°0'0"S
Kupang
Legenda/Legend:
Timor Tengah Selatan
% Desa/ % of Villages >= 30 25 - <30 20 - <25 15 - <20 10 - <15 0 - <10 Daerah Perkotaan/Tidak ada Data Urban Area/No Data Batas Kabupaten/ District Boundary
Rote Ndao
Sumber Data: Potensi Desa-PODES 2008 (BPS)
120°0'0"E Data Source: Village Potentials-PODES 2008 (BPS) Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
122°0'0"E
124°0'0"E
Peta / Map
A-17
Peta 3.3 / Map 3.3 Rumah Tangga tanpa Akses terhadap Listrik / Households without Access to Electricity
25
50 Km
Manggarai Barat
10°0'0"S
Alor
Lembata
Manggarai Timur Nagekeo
Manggarai Sumba Barat Daya
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
® 0
122°0'0"E
8°0'0"S
120°0'0"E
Kupang
Legenda/Legend:
Timor Tengah Selatan
% Rumah Tangga/ % of Households >= 50 40- <50 30 - <40 20 - <30 10 - <20 <10 Daerah Perkotaan/Tidak ada Data Urban Area/No Data Batas Kabupaten/ District Boundary
Rote Ndao
Sumber Data: SUSENAS KOR 2007-2009, Potensi Desa-PODES 2008 (BPS)
120°0'0"E 122°0'0"E Data Source: SUSENAS CORE 2007-2009, Village Potentials-PODES 2008 (BPS) Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
124°0'0"E
Peta / Map
A-19
Peta 4.1 / Map 4.1 Desa dengan Akses ke Fasilitas Kesehatan > 5 km / Households with Access to Health Facilities > 5 km
120°0'0"E
25
50 Km
Manggarai Barat
10°0'0"S
Alor
Lembata
Manggarai Timur Nagekeo
Manggarai Sumba Barat Daya
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
® 0
122°0'0"E
8°0'0"S
Kupang
Legenda/Legend:
Timor Tengah Selatan
% Desa/ % of Villages >= 60 50 - 60 40 - 50 30 - 40 20 - 30 <20 Daerah Perkotaan/Tidak ada Data Urban Area/No Data Batas Kabupaten/ District Boundary
Rote Ndao
Sumber Data: Potensi Desa-PODES 2008 (BPS)
120°0'0"E Data Source: Village Potentials-PODES 2008 (BPS) Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
122°0'0"E
124°0'0"E
Peta / Map
A-21
Peta 4.2 / Map 4.2 Rumah Tangga tanpa Akses ke Air Bersih / Households without Access to Clean Water
25
50 Km
Manggarai Barat
10°0'0"S
Alor
Lembata
Manggarai Timur Nagekeo
Manggarai Sumba Barat Daya
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
® 0
122°0'0"E
8°0'0"S
120°0'0"E
Kupang
Legenda/Legend:
Timor Tengah Selatan
% Rumah Tangga/ % of Households >= 70 60 - 70 50 - 60 40 - 50 30 - 40 < 30 Daerah Perkotaan/Tidak ada Data Urban Area/No Data Batas Kabupaten/ District Boundary
Rote Ndao
Sumber Data: SUSENAS KOR 2007-2009, Potensi Desa-PODES 2008 (BPS)
120°0'0"E 122°0'0"E Data Source: SUSENAS CORE 2007-2009, Village Potentials-PODES 2008 (BPS) Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
124°0'0"E
Peta / Map
A-23
Peta 4.3 / Map 4.3 Perempuan Buta Huruf / Female Illiteracy
25
50 Km
Nagekeo
Manggarai
10°0'0"S
Alor
Lembata
Manggarai Timur
Manggarai Barat
Sumba Barat Daya
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
® 0
122°0'0"E
8°0'0"S
120°0'0"E
Kupang
Legenda/Legend:
Timor Tengah Selatan
% Perempuan Buta Huruf/ % of Female Illiteracy >= 40 30 - <40 20 - <30 10 - <20 5 - <10 <5 Daerah Perkotaan/Tidak ada Data Urban Area/No Data Batas Kabupaten/ District Boundary 120°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
Rote Ndao
Sumber Data: SUSENAS KOR 2007-2009, Potensi Desa-PODES 2008 (BPS) 122°0'0"E Data Source: SUSENAS CORE 2007-2009, Village Potentials-PODES 2008 (BPS)
124°0'0"E
Peta / Map
A-25
Peta 4.4 / Map 4.4 Berat Badan Anak (< 5 Tahun) di Bawah Standar / Underweight Children (< 5 years)
120°0'0"E
25
50 Km
Manggarai Barat
10°0'0"S
Alor
Lembata
Manggarai Timur Nagekeo
Manggarai Sumba Barat Daya
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
® 0
122°0'0"E
8°0'0"S
Kupang
Timor Tengah Selatan
Legenda/Legend: % Balita/ % Children Under 5 >= 30 (Sangat Buruk/ Critical) 20 - <30 (Buruk/ Serious) 10 - < 20 (Kurang/ Poor) < 10 (Baik/ Acceptable) Daerah Perkotaan/Tidak ada Data Urban Area/No Data Batas Kabupaten/ District Boundary
Rote Ndao
Sumber Data: Pemantauan Status Gizi-PSG 2009 (Dinas Kesehatan NTT)
120°0'0"E 122°0'0"ENTT) Data Source: Monitoring of Nutrition Status-PSG (Provincial Health Office Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
124°0'0"E
Peta / Map
A-27
Peta 4.5 / Map 4.5 Angka Harapan Hidup / Life Expectancy
25
50 Km
Nagekeo
Manggarai
10°0'0"S
Alor
Lembata
Manggarai Timur
Manggarai Barat
Sumba Barat Daya
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
® 0
122°0'0"E
8°0'0"S
120°0'0"E
Kupang
Legenda/Legend:
Timor Tengah Selatan
Harapan Hidup (tahun) / Life Expectancy (years) < 58 58 - <61 61 - <64 64 - <67 67 - <70 >= 70 Daerah Perkotaan/Tidak ada Data Urban Area/No Data Batas Kabupaten/ District Boundary 120°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
Rote Ndao
Sumber Data: SUSENAS KOR 2007-2009, Potensi Desa-PODES 2008 (BPS) 122°0'0"E Data Source: SUSENAS CORE 2007-2009, Village Potentials-PODES 2008 (BPS)
124°0'0"E
Peta / Map
A-29
Peta 5.1 / Map 5.1 Penyimpangan Curah Hujan dari 1997-2007 di Musim Kemarau dibandingkan dengan Rata-rata 30 tahun / Rainfall Deviation (%) during 1997-2007 in Dry Season compared to 30 Years Average
25
50 Km
Manggarai Barat
10°0'0"S
Alor
Lembata
Manggarai Timur Nagekeo
Manggarai Sumba Barat Daya
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
® 0
122°0'0"E
8°0'0"S
120°0'0"E
Kupang
Timor Tengah Selatan
Legenda/Legend: % Deviasi/ Deviation < 85 (Bawah Normal/ Below Normal) 85 - 115 (Normal) > 115 (Atas Normal/ Upper Normal) Daerah Perkotaan/Tidak ada Data Urban Area/No Data Batas Kabupaten/ District Boundary
Rote Ndao
Sumber Data: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika-BMKG Provinsi NTT, 2010
120°0'0"E 122°0'0"E Data Source: Meteorological, Climatology and Geophisic Agency-BMKG NTT Province, 2010 Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
124°0'0"E
Peta / Map
A-31
Peta 5.2 / Map 5.2 Penyimpangan Curah Hujan dari 1997-2007 di Musim Hujan dibandingkan dengan Rata-rata 30 tahun / Rainfall Deviation (%) during 1997-2007 in Wet Season compared to 30 Years Average
25
50 Km
Manggarai Barat
10°0'0"S
Alor
Lembata
Manggarai Timur Nagekeo
Manggarai Sumba Barat Daya
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
® 0
122°0'0"E
8°0'0"S
120°0'0"E
Kupang
Timor Tengah Selatan
Legenda/Legend: % Deviasi/ Deviation < 85 (Bawah Normal/ Below Normal) 85 - 115 (Normal) > 115 (Atas Normal/ Upper Normal) Daerah Perkotaan/Tidak ada Data Urban Area/No Data Batas Kabupaten/ District Boundary
Rote Ndao
Sumber Data: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika-BMKG Provinsi NTT, 2010
120°0'0"E 122°0'0"E Data Source: Meteorological, Climatology and Geophisic Agency-BMKG NTT Province, 2010 Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
124°0'0"E
Peta / Map
A-33
Peta 5.3 / Map 5.3 Daerah Puso Padi / Damaged Paddy Area
25
50 Km
Manggarai Barat
10°0'0"S
Alor
Lembata
Manggarai Timur Nagekeo
Manggarai Sumba Barat Daya
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
® 0
122°0'0"E
8°0'0"S
120°0'0"E
Kupang
Legenda/Legend:
Timor Tengah Selatan
% Daerah / % of Area >= 15 10 - < 15 5 - < 10 3-<5 1-<3 <1 Daerah Perkotaan/Tidak ada Data Urban Area/No Data Batas Kabupaten/ District Boundary
Rote Ndao
Sumber Data: Sensus Pertanian 2009 (BPS)
120°0'0"E Data Source: Agriculture Cencus 2009 (BPS) Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
122°0'0"E
124°0'0"E
Peta / Map
A-35
Peta 5.4 / Map 5.4 Daerah Puso Jagung / Damaged Maize Area
25
50 Km
Manggarai Barat
10°0'0"S
Alor
Lembata
Manggarai Timur Nagekeo
Manggarai Sumba Barat Daya
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
® 0
122°0'0"E
8°0'0"S
120°0'0"E
Kupang
Legenda/Legend:
Timor Tengah Selatan
% Daerah / % of Area >= 15 10 - < 15 5 - < 10 3-<5 1-<3 <1 Daerah Perkotaan/Tidak ada Data Urban Area/No Data Batas Kabupaten/ District Boundary
Rote Ndao
Sumber Data: Sensus Pertanian 2009 (BPS)
120°0'0"E Data Source: Agriculture Cencus 2009 (BPS) Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
122°0'0"E
124°0'0"E
Peta / Map
A-37
Peta 5.5 / Map 5.5 Peta Deforestasi di NTT untuk Periode 2003-2006 / Map of Deforestation in NTT during 2003-2006 Period
120°0'0"E
25
50 Km
Manggarai Barat
10°0'0"S
Alor
Lembata
Manggarai Timur Nagekeo
Manggarai Sumba Barat Daya
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
® 0
122°0'0"E
8°0'0"S
Kupang
Timor Tengah Selatan
Rote Ndao
Legenda/Legend: Areal Deforestasi/ Deforestation Area Batas Kabupaten/ District Boundary
Sumber Data: Penghitungan Deforestasi Indonesia 2003-2006, Departemen Kehutanan, 2008
120°0'0"E 122°0'0"E of Forestry, 2008 Data Source: Calculation of Deforestation in Indonesia 2003-2006, Ministry Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
124°0'0"E
Peta / Map
A-39
Peta 6.1 / Map 6.1 Peta Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Provinsi NTT / Vulnerability to Food Insecurity Map of NTT Province
120°0'0"E
25
50 Km
Nagekeo
Manggarai
10°0'0"S
Alor
Lembata
Manggarai Timur
Manggarai Barat
Sumba Barat Daya
124°0'0"E
Sikka Ngada
Flores Timur Timor Tengah Utara
Ende
Sumba Tengah Sumba Timur
Belu
Sumba Barat
Kota Kupang Sabu Raijua
10°0'0"S
8°0'0"S
® 0
122°0'0"E
8°0'0"S
Kupang
Timor Tengah Selatan
Legenda/Legend: Prioritas 1 Kecamatan/ Priority 1 Sub-districts Prioritas 2 Kecamatan/ Priority 2 Sub-districts Prioritas 3 Kecamatan/ Priority 3 Sub-districts Prioritas 4 Kecamatan/ Priority 4 Sub-districts Prioritas 5 Kecamatan/ Priority 5 Sub-districts Prioritas 6 Kecamatan/ Priority 6 Sub-districts Daerah Perkotaan/Tidak ada Data Urban Area/No Data Batas Kabupaten/ District Boundary 120°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
Rote Ndao
122°0'0"E
124°0'0"E
Peta / Map
A-41
Lampiran /Annexes
Lampiran 1.1: Daftar Kecamatan dalam Analisis Komposit Annex 1.1: List of Sub-districts in Composite Analysis No
Kabupaten/ District
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Sumba Barat Sumba Timur Sabu Raijua Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah
18 19 20 21
Sumba Barat Daya Nagekeo Manggarai Timur Kota Kupang Total
Jumlah Kecamataan saat ini/ Sub-districts
Jumlah Kecamatan Yang Dianalisa / Sub-district in composite analysis
Jumlah Kecamatan Yang Tidak Dianalisa / Not analysed subdistrict
Nama Kecamatan Yang Tidak Dianalisa / Name of not analysed sub-district
6 22 6 24 32 24 24 17 9 19 21 20 9 9 8 7 5
6 22 6 23 32 24 24 17 9 18 21 20 9 9 8 7 4
0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1
Amfoang Tengah Solor Selatan Katikutana Selatan
8 7 6 4
8 7 6 0
0 0 0 4
Alak, Maulafa, Oebobo, Kelapa Lima
287
280
7
Alasan / Reason
Pemekaran baru / New sub-district
Pemekaran baru / New sub-district
Pemekaran baru / New sub-district
Perkotaan / urban sub-districts
Lampiran / Annex
B-1
Lampiran 1.2: Catatan Teknis mengenai Small Area Estimation (SAE)
Annex 1.2: Technical Note on Small Area Estimation (SAE)
1. Pendahuluan
1. Introduction
Catatan teknis ini menyediakan informasi mengenai latar belakang metode Small Area Estimation (SAE). Metode ini digunakan untuk mengestimasi beberapa indikator yang digunakan dalam pengembangan FSVA provinsi pada tingkat kecamatan.
This technical note provides background information about Small Area Estimation (SAE), the method used to produce the estimates of some variables used in the Provincial FSVA at sub-district level.
SAE merupakan suatu metode matematika yang menggunakan modeling untuk mengestimasi karakteristik suatu data sosial ekonomi yang memiliki tingkat agregasi tinggi (provinsi atau kabupaten) ke tingkat agregasi yang lebih rendah (tingkat kecamatan atau desa) karena terbatasnya ketersediaan data primer pada tingkat agregasi rendah. Kebutuhan terhadap metode SAE telah meningkat secara signifikan selama kurun waktu 10 tahun terakhir dan metode ini telah digunakan dan di akui secara internasional. Di Indonesia, metode SAE telah digunakan Bank Dunia dan SMERU untuk menghitung Peta Kemiskinan/Poverty Map (2000) serta pengembangan Peta Gizi (Nutrition Map) oleh BPS dan WFP (2006).
SAE is a mathematical technique to disaggregate data for certain socio-economic indicators at a higher/bigger level (provincial or district) to a lower level (sub-district or village level) when primary data collection at the lower level is impossible and/or quality is unreliable with high standard errors. The requirement for the SAE is significantly increasing during the last 10 years and its application nowadays is internationally accepted. In Indonesia, the SAE was applied by the Word Bank/SMERU Poverty Map (2000) and WFP/BPS Nutrition Map (2006).
Untuk FSVA provinsi, metode SAE menjadi hal yang sangat penting karena beberapa indikator hanya tersedia pada tingkat kabupaten untuk beberapa indikator seperti angka kemiskinan, angka harapan hidup dan perempuan buta huruf.
For Provincial FSVA, SAE is an important technique since reliable information is available only at district level for the some variables needed such as poverty, life expectancy and female illiteracy.
Metode SAE digunakan untuk mengagregasi data dari beberapa indikator di bawah ini: • Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan; • Persentase rumah tangga tanpa akses listrik; • Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih; • Perempuan Buta Huruf; dan • Angka harapan hidup pada saat lahir.
SAE technique was applied to dissagregate the data for the following indicators: • Percentage of people below poverty line; • Percentage of households without access to electricity; • Percentage households without access to improved drinking water; • Percentage of female illiteracy; and • Life expectancy at birth.
Metode SAE tidak digunakan untuk menghitung indikator dibawah ini karena indikator-indikator tersebut telah tersedia pada tingkat kecamatan: • Rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih ‘padi + jagung + ubi kayu + ubi jalar’; • Persentase desa tanpa akses penghubung yang memadai; • Persentase desa dengan jarak lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan; • Berat badan balita di bawah standar (Underweight); • Frekuensi bencana alam; • Penyimpangan curah hujan; • Persentase daerah puso; dan • Deforestasi hutan.
SAE technique was NOT applied for the following indicators, as the data was available at sub-district level: • Ratio of per capita normative consumption to net ‘rice + maize + cassava + sweet potato’ availability; • Percentage of villages with inadequate connectivity; • Percentage of villages located more than 5 km away from health facilities; • The prevalence of underweight children under-five years of age; • Frequency of natural disasters; • Rainfall deviation; • Percentage of damaged area; and • Deforestation.
2. Metodologi
2. Methodology
Kajian ini menggunakan metode yang dikembangkan oleh Fay Herriot (1997) dan Elbers et.al (2002), karena metode ini menyediakan aplikasi interaktif yang efisien yang memungkinkan
The study utilizes the methodology developed by Fay and Herriot (1979) and Elbers et.al (2002) because the method provides an efficient interactive application which enables to combine informa
Lampiran / Annex
B-2
untuk menggabungkan informasi dari berbagai sumber data yang relevan dan memiliki kelengkapan informasi seperti survei. Survei, walaupun tidak dapat mengestimasi data pada tingkatan rendah akan tetapi dapat menyediakan cakupan informasi yang luas contohnya mengenai pengeluaran atau pendapatan. Di sisi lain, sensus walaupun hanya memuat informasi yang terbatas akan tetapi dapat menyediakan data mengenai karakteristik dasar untuk setiap populasi individu sehingga dapat mengestimasi sampai pada tingkat administrasi yang paling rendah. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam kajian ini menggabungkan kelebihan dari data survei dan data sensus.
tion from various relevant surveys and complete enumeration data such as census. The survey, even though it is unable to estimate the data at lower level, provides a wider range of information such as expenditure and income. The census, on the other hand, although it collects limited information, provides data on basic characteristics of individual population that enables estimation until the lowest level of administrative areas. Therefore, the method utilized in this study combines the strength of both survey and census data.
3. Dataset
3. Dataset
Model SAE menggunakan 3 sumber data yaitu:
The following three data sources are used for the SAE:
•
Survei Sosial Ekonomi (SUSENAS) KOR Juli 2007, Juli 2008 dan Juli 2009: untuk menyediakan data tentang karakteristik individu dan rumah tangga. Beberapa variabel atau karakteristik individu dan rumah tangga tersebut selanjutnya digunakan sebagai variabel penjelas (explanatory variables) atau variabel terikat (dependent variable) dalam model. Kombinasi kedua jenis variabel tersebut digunakan untuk mengembangkan model. Jumlah sampel SUSENAS KOR adalah sekitar 270.000 rumah tangga yang ditujukan untuk estimasi kabupaten/kota. Jumlah sampel masing-masing kabupaten/kota berbeda-beda.
• Socioeconomic Survey (SUSENAS) CORE July 2007, July 2008 and July 2009 is to provide data on individual and household characteristics. Some variables were utilized as explanatory variables or dependent variables, for developing the models. The total sample of SUSENAS Core is about 270,000 households; estimation is possible to the district level. The sample also varies by district.
•
SUSENAS Modul Konsumsi Juli 2008: untuk menyediakan data tentang rata-rata pengeluaran makanan dan rata-rata konsumsi kalori/protein per kapita yang digunakan sebagai variabel target (target variable). Jumlah sampel SUSENAS Modul adalah sekitar 270,000 rumah tangga untuk seluruh Indonesia. Jumlah sampel masing-masing kabupaten/ kota dan provinsi berbeda-beda. Estimasi ditujukan sampai tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
• SUSENAS Consumption Module July 2008 is to provide data on average food expenditure and average calorie/protein consumption per capita served as target variables. The total sample of the survey is about 270,000 households throughout the country; the sample varies by district and province. The estimation is possible to the district and province level.
•
Potensi Desa (PODES) 2008: untuk menyediakan data pada tingkat masyarakat (desa/ kelurahan) yang digunakan sebagai informasi mengenai lokasi (locational information). PODES mencakup seluruh desa di seluruh Indonesia. Khusus PODES 2008 ditujukan untuk persiapan Sensus Penduduk 2010.
• Village Potential (PODES) 2008 is to provide community (i.e., village) data, used to identify socalled locational effects. PODES covers all villages throughout the country. The PODES 2008 is applied for the preparation of Population Cencus (SP) 2010.
4. Prosedur
4. Procedures
Proses analisis SAE untuk FSVA provinsi melalui beberapa tahapan di bawah ini:
The process for running the SAE for the Provincial FSVA is carried out in accordance with the following steps: 1. Developing Beta model (see equation (2)); 2. Calculating locational effects (3); 3. Calculating variance of estimators (4); 4. Preparing ech term residual to run Alpha model (6); and 5. Developing GLS estimate model.
1. 2. 3. 4. 5.
Pengembangan Beta model (lihat persamaan (2)); Penghitungan locational effects (3); Pernghitungan keragaman estimator (variance of estimators) (4); Penyiapan ech Tsisa residual untuk menghasilkan Alpha Model (6); dan Pengembangan GLS estimate model.
Lampiran / Annex
B-3
(1)
ln ych = E [ln ych / xch] + μch
dimana
c : h : ych : xch :
(1) ln
subscript untuk cluster c (desa) subscript untuk rumah tangga-h pada cluster c besaran indikator y pada rumah tangga-h dan cluster c karakteristik rumah tangga pada rumah tangga-h dalam cluster c
Aproksimasi linear dari model (1) kemudian ditulis seperti berikut: (2) ln
ych = xchâ + μch juga disebut sebagai Beta model
dimana merupakan variabel residu (disturbance terms).
ych = E [ln ych / xch] + μch
where
c h ych xch
: : : :
cluster c (village) household h in cluster c value of indicator for household h and cluster c socio-economic characteristic of household h in cluster c
The linear approximation of model (1) can be expressed as follows:
ych = xchâ + μch (Beta model) where μch is disturbance terms. (2) ln
Data SUSENAS tidak menyediakan informasi mengenai lokasi (locational information). Dengan kata lain, variabel residu seperti pada persamaan 2 diatas, memerlukan informasi mengenai variabel lokasi. Persamaan dibawah ini digunakan untuk mengestimasi efek dari lokasi:
SUSENAS data does not provide locational information. In other words, disturbance terms as shown in equation (2), includes locational variables needing to be identified. The following formula is used to estimate locational effects:
(3) μch = ηc + εch
(3) μch = ηc + εch
Di sini ηc adalah komponen cluster kecamatan dan εch adalah komponen desa/kelurahan. Secara rata-rata, pada tingkat desa, variabel residu (disturbance terms) menggunakan persamaan sebagai berikut:
Here ηc is cluster components and εch is household components. On the average at village level, distribution terms can be expressed as follows:
(4) μc. = ηc + εc. maka
(4) μc. = ηc + εc. , and then
E[μc2] = ση2 + var (εc.) = ση2 + τc2
E[μc2] = ση2 + var (εc.) = ση2 + τc2
Diasumsikan ηc dan εch berdistribusi normal dan independen satu sama lain. Elbers et.al (2002) memberi suatu estimasi keragaman dari distribusi locational effect:
In the above equation ηc and εch are assumed to be normally distributed and independent of each other. Following Elbers et al (2002), the estimated variance of locational effects can be expressed as follows:
(5)
var(Vˆ K )
¦ [a c var(P c. ) b c var(Wˆ c )] c
(5)
var(Vˆ K )
¦ [a c var(P c. ) b c var(Wˆ c )] c
Ketika locational effect ηc tidak ada, persamaan (3) kemudian menjadi μch = + εch. Akan tetapi, ini biasanya asumsi yang tidak realistik. Sesuai dengan Elbers et.al (2002), sisa residual εch dapat dijelaskan dengan suatu model logistik yang meregresikan transformasi εch dengan karakteristik rumah tangga (h):
In the absence of locational effect, ηc, equation (3) becomes simpler, μch = + εch. However, this is normally an unrealistic assumption. Following Elbers et al (2002) residual εch can be explained by a logistic model that regresses transformed εch with household characteristics:
ª e ch º ln « » (6) ¬« A e ch ¼»
ª e ch º ln « » (6) ¬« A e ch ¼»
Z Tch Dˆ rch juga disebut Alpha model.
Dimana A ekuivalen dengan 1.05*max{εch }. 2
Estimator variansi untuk εch dapat dihitung dengan: Vˆ H,ch
(7)
ª AB( B) º ª AB º ˆ » « B » Var (r ) « ¬ ¼ «¬ ( B) »¼
(Alpha model)
Here A is set as A= 1.05*max{εch 2}.
Estimated variance of εch can be calculated using the following equation: Vˆ H,ch
Z Tch Dˆ rch
(7)
ª AB( B) º ª AB º ˆ » « B » Var (r ) « ¬ ¼ «¬ ( B) »¼
Lampiran / Annex
B-4
Dalam persamaan model (2) metode OLS digunakan untuk mengestimasi parameter model dengan asumsi klasik bahwa sisaan bersifat homocedasticity. Persamaan model (7) dapat mengindikasikan pengingkaran asumsi penggunaan OLS dalam model (2), sehingga diperlukan regresi GLS. Dalam GLS variance-covariance matrix merupakan suatu diagonal block matrix.
In the model equation (2), OLS method is used to estimate the parameters of the model with the classical assumption that “residual” is a homocedasticity nature. The model equations (7) indicate the denial assuming the use of OLS in model (2), necessitating GLS regression. In GLS variance-covariance matrix is a diagonal block matrix.
Seluruh proses analisis dan simulasi untuk indikator FSVA ini menggunakan paket program yang pernah digunakan untuk poverty mapping yaitu Povmap.Exe/PovmapPacker.Exe.
All analysis and simulation process utilized a software package for poverty mapping (Povmap.Exe/ PovmapPacker.Exe).
Tabel 1: Daftar variabel yang digunakan untuk mengagregasi data untuk setiap indikator
Table 1: List of variables used to dissaggregate data for each indicator
Nama Variabel dari kuesioner
Sumber Data
A. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Hubungan anggota keluarga dengan Kepala rumah tangga Tingkat pendidikan Kepala rumah tangga Lapangan pekerjaan Kepala rumah tangga Sumber penerangan Status penguasaan bangunan tempat tinggal Jenis atap terluas (beton, genteng, seng, asbes) Jenis dinding terluas (tembok, kayu, bambu) Fasilitas tempat buang air besar Jumlah Kepala Keluarga pengguna listrik Ketinggian dari permukaan laut Wilayah desa berada dalam/sekitar/luar hutan Jumlah pasar dengan bangunan permanent/tidak permanen
13. Jumlah minimarket/restoran/toko,dll 14. Jumlah Rumah Tangga yang menggunakan telepon
Podes 08 Podes 08
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Head of household status in relation with other household members Education level of the head of household Occupation type of head of household Lighting source Home ownership status Main Roof Material (concrete, pentile, zinc, asbestos) Main Wall Material (brick, wood, bamboo) Latrine facilities Number of household using electricity Elevation from sea level Rural areas in/or around the outside forest Number of marketplace consist of permanent or non permanent building within the village 13. Number of minimarket/restaurant/shops/etc. 14. Number of household using telephone
Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Podes 08 Podes 08 Podes 08 Podes 08 Podes 08 Podes 08
B. Percentage of households without access to improved drinking water Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Podes 08 Podes 08 Podes 08
C. Perempuan Buta Huruf 1. Umur 2. Dapat membaca dan menulis 3. Hubungan anggota keluarga dengan Kepala rumah tangga
Data Source
A. Percentage of households without access to electricity Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Podes 08 Podes 08 Podes 08 Podes 08
B. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih 1. Sumber air minum (air bersih = air kemasan/ air isi ulang/leding meteran/leding eceran/ sumur bor,pompa/sumur terlindung) 2. Sumber penerangan 3. Status penguasaan bangunan tempat tinggal 4. Fasilitas tempat buang air besar 5. Jumlah Kepala Keluarga pengguna listrik 6. Ketinggian dari permukaan laut 7. Wilayah desa berada dlm/sekitar/luar hutan
Variable name and questioner
1. Source of drinking water (clean water = bottled water/water refill/ crane retail /borehole, pump/protected well) 2. Lighting source 3. Home ownership status 4. Latrine facilities 5. Number of household using electricity 6. Elevation from sea level 7. Rural areas in/or around the outside forest
Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Podes 08 Podes 08 Podes 08
C. Female Illiteracy Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli
1. Age 2. Able to read and write 3. Head of household status in relation with other household members
Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July
Lampiran / Annex
B-5
Tabel 1 (lanjutan): Daftar variabel yang digunakan untuk mengagregasi data untuk setiap indikator Nama Variabel dari kuesioner
Sumber Data
C. Perempuan Buta Huruf 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Tingkat pendidikan Kepala rumah tangga Lapangan pekerjaan Kepala rumah tangga Sumber penerangan Status penguasaan bangunan tempat tinggal Jenis atap terluas (beton, genteng, seng, asbes) Jenis dinding terluas (tembok, kayu, bambu) Fasilitas tempat buang air besar Jumlah Kepala Keluarga pengguna listrik Ketinggian dari permukaan laut
Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Modul 08 Juli Susenas Modul 08 Juli Susenas Modul 08 Juli Susenas Modul 08 Juli Podes 08 Podes 08
E. Angka harapan hidup pada saat lahir Umur saat perkawinan pertama Jumlah anak kandung dilahirkan, lahir hidup Jumlah anak kandung dilahirkan, masih hidup Jumlah anak kandung dilahirkan, sdh meninggal Penolong kelahiran pertama Penolong kelahiran terakhir Berapa kali mendapat imunisasi
Variable name and questioner
Data Source
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Education level of the head of household Main jobs field of the head of household Lighting source Home ownership status Main Roof Material (concrete, pentile, zinc, asbestos) Main Wall Material (brick, wood, bamboo) Latrine facilities Number of household using electricity Elevation from sea level
Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Podes 08 Podes 08
D. Percentage of people below poverty line
1. Jenjang pendidikan yg pernah/sedang diduduki 2. Jenis kelamin 3. Hubungan anggota keluarga dengan Kepala rumah tangga
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
List of variables used to dissaggregate data for each indicator
C. Female Illiteracy Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Podes 08 Podes 08
D. Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan
Jumlah anggota rumahtangga Apakah melakukan kegiatan smg terakhir Apakah punya pekerjaan/usaha, sementara tidak bekerja Lapangan usaha utama Status/kedudukan dalam pekerjaan utama Rata-rata pengeluaran makanan/kapita/bulan Rata-rata konsumsi kalori/kapita/bulan Rata-rata konsumsi protein/kapita/bulan Rata-rata pengeluaran non makanan/kpt/bln Proporsi penduduk/Kepala Keluarga bekerja di pertanian Jumlah keluarga penerima ASKESKIN 1 tahun yang lalu
Table 1 (contd):
1. Education level 2. Gender 3. Head of household status in relation with other household members 4. Number of family member 5. Whether has activities over the last 7 days 6. Wheter has any job/businesses while not working 7. Main business field 8. Position in the main job 9. Average food expenditure/capita/month 10. Average calorie consumption/capita/month 11. Average protein consumption/capita/month 12. Average non food expenditure/capita/month 13. Proportion of people/head of household working in agriculture 14. Number of household received ASKESKIN one year ago
Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Module 08 July Susenas Module 08 July Susenas Module 08 July Susenas Module 08 July Podes 08 Podes 08
E. Life Expectancy at birth Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli Susenas Kor 07,08,09 Juli
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Age at first marriage Number of children born, alive Number of children born, still alive Number of children born, passed away First birth attendant Last birth attendant Number of completed immunization
Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July Susenas Core 07,08,09 July
Lampiran / Annex
B-6
5. Hasil dan Realibilitas
5. The Results and Realibility
Sampling Error dan Non Sampling Error dalam Survei
Sampling Error and Non Sampling Error in Surveys
Ada beberapa kesalahan (Error) dapat terjadi dalam kegiatan survei, seperti: • Sampling Error: kesalahan karena metode sampling yang digunakan untuk mengestimasi nilai populasi yang besar; • Non Sampling Error: kesalahan karena faktor dari luar seperti kesalahan dalam pencatatan data, laporan yang salah dll.
The following errors can arise in the data from surveys: • Sampling error: errors arises from the use of sampling method to estímate values in a larger population; • Non Sampling error: errors arises from other factors such as mistake in recording, misreporting etc.
Kesalahan sampling (sampling error) dari sensus yang lengkap seharusnya tidak ada (nol), karena umumnya sampling error dan non sampling error terjadi di sampling survei. Keseimbangan antara error keduanya perlu dipertimbangkan dalam mendesain sebuah survei terutama dalam penentuan besarnya sampel sehingga dapat menggambarkan populasi. Kenaikan besaran sampel akan menurunkan sampling error tetapi sebaliknya akan memperbesar non sampling error karena besarnya kemungkinan kesalahan manusia (human error).
The sampling error of a complete census should be zero, whereas both sampling error and nonsampling error can arise in sampling surveys. The balance between two errors should be considered in designing a survey, especially in the determination of sample size in order to describe the population. The increase in sample size will reduce sampling errors but instead will increase non-sampling errors due to a greater possibility of human errors.
Standard Error
Standard Errors
Seperti yang dijelaskan pada poin 4-Prosedur, salah satu teknik statistik yang disebut “bootstrapping” digunakan untuk meningkatkan akurasi hasil estimasi. Sebagian besar metode bootstrap menggunakan model yang telah diestimasi pada tahap pertama. Prosedur ini digunakan untuk pengambilan berulang komponen random yang berbeda untuk mem-bootstrap dependent variables.
As presented in 4. Proceddure, a statistical technique called ‘bootstrapping’ was used to improve the accuracy of the estimation. Most of the bootstrap procedure used the models that have been estimated in the first stage. The procedure was applied for different random components to bootstrap dependent variables.
Variabel yang dibootstrap adalah variabel dependent atau variabel indikator yang diestimasi seperti persentase rumah tangga yang tidak ada akses listrik dan persentase rumah tangga tanpa air bersih. Penduga untuk nilai Standard Error yang merupakan indikator untuk Sampling Error diperoleh dari nilai standard deviasi dari indikator seluruh kemungkinan sampel yang disimulasi.
The bootstrap variables are the dependent variables or estimated indicator variables such as the percentage of households with no access to electricity, the percentage of households without clean water. Standard Error estimator was obtained from the standard deviation of all possible indicators of the simulated samples.
Tabel 2 dibawah ini menunjukkan beberapa contoh dari range standard error dari beberapa indikator di 4 provinsi.
Table 2 below shows some examples of the range of standard errors of some indicators in 4 provinces.
Lampiran / Annex
B-7
Tabel 2: Jumlah Kecamatan berdasarkan Range Standard Error (2 SD) Provinsi/Kabupaten/Kota
Table 2: Number of Sub-districts by the Range of Standard Error (2 SD)
Range Standard Error < 20%
20 % - 40%
Indikator: Persentase rumah tangga tanpa akses listrik (Daerah Pedesaan/Perkotaan)
20 % - 40%
> 40%
Sumatera Selatan 8 18 18 12 18 11 11 10 13 16 2 0 2 4 3
3 0 3 5 3 0 4 9 7 0 5 2 1 1 2
0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1
Indikator: Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih (Daerah Pedesaan/Perkotaan) Kalimantan Selatan 01. Tanah Laut 02. Kota Baru 03. Banjar 04. Barito Kuala 05. Tapin 06. Hulu Sungai Selatan 07. Hulu Sungai Tengah 08. Hulu Sungai Utara 09. Tabalong 10. Tanah Bumbu 11. Balangan 71. Banjarmasin 72. Banjar Baru
Range of Standard Error < 20%
Indicator: Percentage of households without access to electricity (Rural /Urban Areas)
Sumatera Selatan 01. Ogan Komering Ulu 02. Ogan Komering Ilir 03. Muara Enim 04. Lahat 05. Musi Rawas 06. Musi Banyuasin 07. Banyuasin 08. Ogan Komering Ulu Selatan 09. Ogan Komering Ulu Timur 10. Ogan Ilir 11. Empat Lawang 71. Palembang 72. Prabumulih 73. Pagar Alam 74. Lubuk Linggau
Province/District
> 40%
01. Ogan Komering Ulu 02. Ogan Komering Ilir 03. Muara Enim 04. Lahat 05. Musi Rawas 06. Musi Banyuasin 07. Banyuasin 08. Ogan Komering Ulu Selatan 09. Ogan Komering Ulu Timur 10. Ogan Ilir 11. Empat Lawang 71. Palembang 72. Prabumulih 73. Pagar Alam 74. Lubuk Linggau
8 18 18 12 18 11 11 10 13 16 2 0 2 4 3
3 0 3 5 3 0 4 9 7 0 5 2 1 1 2
0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1
Indicator: Percentage of households without access to electricity (Rural/Urban Areas) Kalimantan Selatan
9 3 12 13 10 9 10 7 10 4 6 0 0
0 17 7 4 2 2 1 3 2 6 2 0 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
01. Tanah Laut 02. Kota Baru 03. Banjar 04. Barito Kuala 05. Tapin 06. Hulu Sungai Selatan 07. Hulu Sungai Tengah 08. Hulu Sungai Utara 09. Tabalong 10. Tanah Bumbu 11. Balangan 71. Banjarmasin 72. Banjar Baru
9 3 12 13 10 9 10 7 10 4 6 0 0
0 17 7 4 2 2 1 3 2 6 2 0 1
Lampiran / Annex
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
B-8
Tabel 2 (lanjutan): Jumlah Kecamatan berdasarkan Range Standard Error (2 SD) Provinsi/Kabupaten/Kota
Table 2 (contd): Number of Sub-districts by the Range of Standard Error (2 SD)
Range Standard Error < 20%
20 % - 40%
Province/District
> 40%
Indikator: Perempuan Buta Huruf (Daerah Perkotaan/Perkotaan)
Indicator: Female Illiteracy (Rural/Urban Areas)
Sumatera Selatan
Sumatera Selatan
01. Ogan Komering Ulu 02. Ogan Komering Ilir 03. Muara Enim 04. Lahat 05. Musi Rawas 06. Musi Banyuasin 07. Banyuasin 08. Ogan Komering Ulu Selatan 09. Ogan Komering Ulu Timur 10. Ogan Ilir 11. Empat Lawang 71. Palembang 72. Prabumulih 73. Pagar Alam 74. Lubuk Linggau
2 1 3 1 0 1 1 0 1 1 0 11 1 1 4
1 2 0 0 0 0 3 2 1 2 1 5 3 1 3
1 3 2 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0
0 1 1 1 1 3 1 1 1 2 0 5 0
3 0 2 2 1 1 1 4 2 1 1 0 5
0 0 1 1 0 2 0 0 1 1 0 0 0
20 % - 40%
> 40%
2 1 3 1 0 1 1 0 1 1 0 11 1 1 4
1 2 0 0 0 0 3 2 1 2 1 5 3 1 3
1 3 2 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0
0 1 1 1 1 3 1 1 1 2 0 5 0
3 0 2 2 1 1 1 4 2 1 1 0 5
0 0 1 1 0 2 0 0 1 1 0 0 0
Kalimantan Selatan
Kalimantan Selatan 01. Tanah Laut 02. Kota Baru 03. Banjar 04. Barito Kuala 05. Tapin 06. Hulu Sungai Selatan 07. Hulu Sungai Tengah 08. Hulu Sungai Utara 09. Tabalong 10. Tanah Bumbu 11. Balangan 71. Banjarmasin 72. Banjar Baru
01. Ogan Komering Ulu 02. Ogan Komering Ilir 03. Muara Enim 04. Lahat 05. Musi Rawas 06. Musi Banyuasin 07. Banyuasin 08. Ogan Komering Ulu Selatan 09. Ogan Komering Ulu Timur 10. Ogan Ilir 11. Empat Lawang 71. Palembang 72. Prabumulih 73. Pagar Alam 74. Lubuk Linggau
Range of Standard Error < 20%
01. Tanah Laut 02. Kota Baru 03. Banjar 04. Barito Kuala 05. Tapin 06. Hulu Sungai Selatan 07. Hulu Sungai Tengah 08. Hulu Sungai Utara 09. Tabalong 10. Tanah Bumbu 11. Balangan 71. Banjarmasin 72. Banjar Baru
Catatan: Daerah urban/rural berdasarkan desa/kelurahan dalam kecamatan, jadi jumlah kecamatan urban/rural adalah tidak selalu sama.
Note: Local urban/rural based on villages in the sub district, the number of sub-district urban/rural is not always the same.
Nilai dari standard error untuk beberapa indikator yang diestimasi, secara umum dapat diterima (acceptable) baik di daerah perkotaan (urban) maupun daerah pedesaan (rural), dimana sebagian besar berada di bawah 20%. Relatif sebagian kecil kecamatan berada pada kisaran 20-40%, dan beberapa diatas 40%.
The standard error values for the estimated indicators are generally acceptable for both urban and rural areas, which are mostly in range below 20%. Relatively a small number of sub-districts had between 20-40%, and a few had above 40%.
Lampiran / Annex
B-9
Lampiran 2.1: Indikator Ketersediaan Pangan Annex 2.1: Food Availability Indicator
No
Kecamatan/ Sub-district
Produksi Rata-rata Padi/ Average Paddy Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Jagung / Average Maize Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Ubi Kayu & Ubi Jalar/ Average Cassava & Sweet Potato Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Total Serealia Pokok/ Total Penduduk/ Total Major Cereal Total Population Production (2008) 2007-2009 (Ton)
Produksi Bersih Serealia per Kapita per Hari/ Net Cereal Production per Kapita per Day (g)
Rasio Konsumsi Normatif terhadap Produksi Bersih Peringkat/ per Kapita/ Rank Normative Consumption to Net Per Capita Production Ratio
Sumba Barat 1 2 3 4 5 6
Lamboya Wanokaka Laboya Barat*) Loli Kota Waikabubak Tana Righu
1,722.19 2,118.78 5,524.27 2,916.47 340.66
1,995.15 1,550.73 2,101.21 1,624.24 4,854.94
1,333.93 1,481.15 1,489.20 1,059.45 757.40
5,051.28 5,150.66 9,114.68 5,600.16 5,953.00
22,481 13,460 0 25,974 27,662 16,947
616 1,048 961 555 962
0.49 0.29 0.49 0.31 0.54 0.31
183 96 183 112 205 111
3,526.21 1,855.82 2,403.45 1,097.78 1,086.22 817.45 471.11 820.26 763.85 218.56 431.66 739.00 2,832.18 597.58 546.45 1,472.27 1,089.99 152.77 725.34 1,440.06 68.51
491.04 1,853.57 180.80 354.71 1,022.61 439.55 447.00 729.25 755.78 1,062.16 3,122.40 912.80 1,877.86 688.42 1,562.33 1,199.89 1,395.47 903.23 1,203.98 976.85 462.43
190.68 841.41 96.98 181.46 295.95 940.43 549.87 761.18 709.90 571.43 733.85 597.22 578.17 213.61 270.83 454.54
4,207.93 4,550.80 2,681.23 1,633.95 2,404.78 2,197.43 1,467.98 2,310.70 2,229.52 1,852.14 3,554.06 2,385.65 5,307.26 1,864.17 2,322.39 2,943.00 2,940.01
15,151 8,930 6,664 3,690 8,639 6,660 5,264 7,069 5,790 7,858 3,842 4,830 11,818 6,790 8,915 15,348 15,105
761 1,396 1,102 1,213 763 904 764 896 1,055 646 2,534 1,353 1,230 752 714 525 533
0.39 0.21 0.27 0.25 0.39 0.33 0.39 0.33 0.28 0.46 0.12 0.22 0.24 0.40 0.42 0.57 0.56
147 47 85 65 146 120 144 121 95 174 5 51 64 153 162 216 212
59.82
427.26
383.16 298.09 125.67 198.77 169.79
1,439.17 2,227.41 2,542.58 729.71 656.88
3,809 30,918 29,866 5,658 7,945
1,035 197 233 353 227
0.29 1.52 1.29 0.85 1.32
101 257 254 234 256
Sumba Timur 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Lewa Nggaha Ori Angu Lewa Tidahu Katala Hamu Lingu Tabundung Pinupahar Paberiwai Karera Matawai La Pawu Kahaungu Eti Mahu Ngadu Ngala Pahunga Lodu Wula Waijelu Rindi Umalulu Pandawai Kambata Mapambuhang Kota Waingapu Kambera Haharu Kanatang
Lampiran / Annex
B-10
Lampiran 2.1 (lanjutan): Indikator Ketersediaan Pangan Annex 2.1 (contd): Food Availability Indicator
No
Kecamatan/ Sub-district
Produksi Rata-rata Padi/ Average Paddy Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Jagung / Average Maize Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Ubi Kayu & Ubi Jalar/ Average Cassava & Sweet Potato Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Total Serealia Pokok/ Total Populasi/ Total Major Cereal Total Population Production (2008) 2007-2009 (Ton)
Produksi Bersih Serealia per Kapita per Hari/ Net Cereal Production per Kapita per Day (g)
Rasio Konsumsi Normatif terhadap Produksi Bersih Peringkat/ per Kapita/ Rank Normative Consumption to Net Per Capita Production Ratio
Sabu Raijua 29 30 31 32 33 34
Raijua Sabu Barat Hawu Mehara Sabu Timur Sabu Liae Sabu Tengah*)
697.60 30.61 129.68 69.67 -
32.47 4,586.23 361.79 742.84 210.94 -
122.52 17.45 -
32.47 5,406.35 392.40 872.52 298.06 -
9,247 28,745 16,816 15,891 10,512 0
10 515 64 150 78 150
31.18 0.58 4.69 1.99 3.86 1.99
279 219 270 261 269 262
Kupang 35 36 37 38 39 40
Semau Semau Selatan Kupang Barat Nekamese Kupang Tengah Taebenu
92.21 255.52 1,028.51 129.92 2,522.42 275.35
2,375.84 3,237.86 1,732.82 1,419.64 4,182.46 1,695.41
148.69 273.78 80.99 1,526.70 1,369.89 328.55
2,616.75 3,767.17 2,842.32 3,076.25 8,074.77 2,299.31
6,430 4,842 14,972 9,782 28,995 11,610
1,115 2,132 520 862 763 543
0.27 0.14 0.58 0.35 0.39 0.55
81 12 218 125 145 211
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
Amarasi Amarasi Barat Amarasi Selatan Amarasi Timur Kupang Timur Amabi Oefeto Timur Amabi Oefeto Sulamu Fatuleu Fatuleu Tengah Fatuleu Barat Takari Amfoang Selatan Amfoang Barat Daya Amfoang Utara
245.15 235.95 537.40 88.56 5,970.90 219.69 49.84 663.56 157.69 58.62 511.17 1,281.86 886.32 940.60 841.31
1,657.56 2,021.02 2,339.71 3,742.68 1,798.38 3,379.65 11.66 361.23 4,096.10 221.84 306.60 6,881.34 2,513.10 340.29 2,008.39
2,073.16 1,862.95 2,313.13 104.38 608.02 241.27 0.40 1,352.52 1,734.11 77.32 21.99 2,342.47 413.21 201.82 929.31
3,975.88 4,119.92 5,190.24 3,935.62 8,377.29 3,840.62 61.90 2,377.31 5,987.90 357.78 839.76 10,505.68 3,812.63 1,482.71 3,779.01
15,688 15,005 10,642 7,157 40,641 14,392 7,539 15,206 22,658 5,677 8,875 19,409 14,200 4,082 8,630
694 752 1,336 1,507 565 731 22 428 724 173 259 1,483 736 995 1,200
0.43 0.40 0.22 0.20 0.53 0.41 13.34 0.70 0.41 1.74 1.16 0.20 0.41 0.30 0.25
167 152 54 34 198 157 275 227 159 259 246 38 156 104 66
Lampiran / Annex
B-11
Lampiran 2.1 (lanjutan): Indikator Ketersediaan Pangan Annex 2.1 (contd): Food Availability Indicator
No
Kecamatan/ Sub-district
Produksi Rata-rata Padi/ Average Paddy Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Jagung / Average Maize Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Ubi Kayu & Ubi Jalar/ Average Cassava & Sweet Potato Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Total Serealia Pokok/ Total Populasi/ Total Major Cereal Total Population Production (2008) 2007-2009 (Ton)
Produksi Bersih Serealia per Kapita per Hari/ Net Cereal Production per Kapita per Day (g)
Rasio Konsumsi Normatif terhadap Produksi Bersih Peringkat/ per Kapita/ Rank Normative Consumption to Net Per Capita Production Ratio
Kupang 56 57
Amfoang Barat Laut Amfoang Timur
1,032.16 2,202.83
1,131.72 1,374.87
474.55 503.69
2,638.43 4,081.38
9,053 7,202
798 1,553
0.38 0.19
136 30
71.70 748.61 1,808.87 113.57 348.99 121.96 987.77 2,711.35 15.66 30.93 106.81 253.43 177.22 2.53 9.62 -
6,581.92 3,403.30 8,020.36 4,474.01 1,609.62 1,426.26 8,665.28 3,326.98 9,023.65 4,708.34 6,243.29 4,438.79 3,420.58 4,559.30 9,886.76 8,825.49 7,547.07 6,734.62
2,792.08 3,685.70 9,225.45 1,075.52 199.80 319.33 3,209.64 1,070.24 2,736.74 5,104.93 5,030.96 1,246.02 264.18 2,102.23 6,176.57 2,687.56 5,361.67 3,951.92
9,445.71 7,837.61 19,054.68 5,663.10 2,158.41 1,745.58 11,996.88 5,384.99 14,471.73 9,828.93 11,305.18 5,684.81 3,791.57 6,914.97 16,240.55 11,515.58 12,918.37 10,686.54
27,367 16,986 9,452 5,235 20,659 13,487 7,584 6,411 36,637 35,193 11,977 14,411 34,558 11,296 18,312 18,863 14,903 18,703 9,981 29,364 7,384 5,127 21,724 10,904 18,111
946 1,264 2,527 1,150 780 131 934 1,232 1,147 1,471 1,642 1,045 555 1,898 1,515 1,452 3,246 1,617
0.32 0.24 0.24 0.32 0.12 0.26 0.38 0.38 2.30 0.32 0.24 0.32 0.26 0.26 0.20 0.18 0.29 0.54 0.16 0.20 0.20 0.20 0.21 0.09 0.19
113 58 58 58 6 78 141 6 264 115 63 115 79 79 39 23 97 204 15 31 31 31 42 4 26
Timor Tengah Selatan 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82
Mollo Utara Fatumnasi Tobu Nunbena Mollo Selatan Polen Mollo Barat Mollo Tengah Kota Soe Amanuban Barat Batu Putih Kuatnana Amanuban Selatan Noebeba Kuan Fatu Kualin Amanuban Tengah Kolbano Oenino Amanuban Timur Fautmolo Fatukopa Kie Kot’Olin Amanatun Selatan
Lampiran / Annex
B-12
Lampiran 2.1 (lanjutan): Indikator Ketersediaan Pangan Annex 2.1 (contd): Food Availability Indicator
No
Kecamatan/ Sub-district
Produksi Rata-rata Padi/ Average Paddy Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Jagung / Average Maize Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Ubi Kayu & Ubi Jalar/ Average Cassava & Sweet Potato Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Total Serealia Pokok/ Total Populasi/ Total Major Cereal Total Population Production (2008) 2007-2009 (Ton)
Produksi Bersih Serealia per Kapita per Hari/ Net Cereal Production per Kapita per Day (g)
Rasio Konsumsi Normatif terhadap Produksi Bersih Peringkat/ per Kapita/ Rank Normative Consumption to Net Per Capita Production Ratio
Timor Tengah Selatan 83 84 85 86 87 88 89
Boking Nunkolo Noebana Santian Amanatun Utara Toianas Kokbaun
39.68 16.10 11.68 -
3,432.68 5,511.35 1,819.67 7,644.45 1,364.47 -
2,441.78 2,752.60 1,252.76 3,220.39 2,591.18 -
5,874.46 8,303.63 1,252.76 1,819.67 10,880.95 3,967.34 -
16,701 14,023 5,082 6,576 19,835 11,224 3,221
964 1,622 675 758 1,503 968 -
0.31 0.18 0.44 0.40 0.20 0.31 0.20
27 25 171 151 35 110 35
1,546.02 3,594.73 1,360.00 6,851.10 1,363.77 7,723.38 1,006.05 1,173.80 -
7,165.96 2,139.23 989.94 623.19 16,213.82 4,379.09 3,434.57 2,592.42 2,025.80 9,015.99 3,422.44 801.27 3,639.72 16,406.15 4,900.22 6,249.93 2,980.95 1,738.71 6,357.73 913.51
14,774 5,355 6,115 6,376 11,228 11,061 7,993 7,166 4,759 5,711 5,373 3,782 35,727 18,595 8,525 8,703 8,984 5,518 9,406 4,328
1,329 1,094 444 268
0.23 0.27 0.68 1.12 0.08 0.28 0.25 0.30 0.26 0.07 0.17 0.52 1.07 0.12 0.19 0.15 0.33 0.35 0.16 0.52
55 88 225 245 2 89 71 105 72 1 20 190 240 8 28 13 119 124 18 194
Timor Tengah Utara 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109
Miomaffo Barat Miomaffo Tengah Musi Mutis Miomaffo Timur Noemuti Bikomi Selatan Bikomi Tengah Bikomi Nilulat Bikomi Utara Naibenu Noemuti Timur Kota Kefamenanu Insana Insana Utara Insana Barat Insana Tengah Insana Fafinesu Biboki Selatan Biboki Tanpah
574.31 757.06 324.45 60.08 3,271.24 709.49 705.71 252.04 1,209.79 1,512.23 485.13 129.63 517.79 630.24 0.63 12.53 526.16 1,994.11 89.02
5,045.63 1,382.17 665.49 563.11 9,347.85 2,309.60 2,728.86 2,592.42 1,773.76 955.10 1,910.20 316.14 2,146.32 8,164.98 3,263.94 6,249.30 2,968.42 1,212.55 3,189.82 824.49
3,956 1,085 1,177 991 1,166 4,325 1,745 580 279 2,417 1,575 1,967 909 863 1,852 578
Lampiran / Annex
B-13
Lampiran 2.1 (lanjutan): Indikator Ketersediaan Pangan Annex 2.1 (contd): Food Availability Indicator Produksi Rata-rata Ubi Kayu & Ubi Jalar/ Average Cassava & Sweet Potato Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Total Serealia Pokok/ Total Populasi/ Total Major Cereal Total Population Production (2008) 2007-2009 (Ton)
Produksi Bersih Serealia per Kapita per Hari/ Net Cereal Production per Kapita per Day (g)
Rasio Konsumsi Normatif terhadap Produksi Bersih Peringkat/ per Kapita/ Rank Normative Consumption to Net Per Capita Production Ratio
Produksi Rata-rata Padi/ Average Paddy Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Jagung / Average Maize Production 2007-2009 (Ton)
Biboki Moenleu Biboki Utara Biboki Anleu Biboki Feotleu
2,136.48 2,237.49 1,710.30 1,656.29
1,171.64 2,051.62 2,297.46 716.71
1,493.04 2,403.86 -
3,308.12 5,782.15 6,411.63 2,372.99
6,687 10,106 14,839 3,983
1,355 1,568 1,184 1,632
0.22 0.19 0.25 0.18
49 29 70 24
114 115 116 117 118 119 120 121
Malaka Barat Rinhat Wewiku Weliman Malaka Tengah Sasita Mean Botin Leobele Io Kufeu
1,072.76 293.62 50.62 525.22 2,238.81 67.16 -
5,646.13 7,061.52 5,799.06 4,495.48 5,210.94 8,103.52 -
408.77 4,447.87 1,706.18 523.89 1,803.55 2,533.18 -
7,127.66 11,803.02 7,555.86 5,544.59 9,253.29 10,703.85 -
21,885 14,521 19,725 19,710 36,872 26,292 0 0
892 2,227 1,049 771 688 1,115 -
0.34 0.13 0.29 0.39 0.44 0.27 0.27 0.27
129 14 108 161 175 98 98 98
122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137
Malaka Timur Laen Manen Rai Manuk Kobalima Kobalima Timur Tasifeto Barat Kakuluk Mesak Nanaet Dubesi Atambua Atambua Barat Atambua Selatan Tasifeto Timur Raihat Lasiolat Lamaknen Lamaknen Selatan
14.70 303.52 1,056.44 509.49 873.80 129.46 36.05 2,372.84 1,091.17 118.43 1,303.82 -
1,618.07 3,519.23 2,905.73 9,195.20 4,806.07 1,009.80 611.76 3,083.73 4,231.56 2,579.47 6,099.05 -
1,324.58 1,313.05 4,002.55 3,193.94 5,604.50 567.86 344.90 2,678.12 1,509.64 627.99 6,588.51 -
2,957.35 5,135.80 7,964.72 12,898.63 11,284.36 1,707.12 992.72 8,134.69 6,832.37 3,325.90 13,991.38 -
11,080 11,596 13,516 24,089 0 21,591 21,825 0 45,290 0 0 20,626 14,451 6,668 22,158 0
731 1,213 1,614 1,467 1,432 214 60 1,081 1,295 1,367 1,730 -
0.41 0.25 0.19 0.20 0.20 0.21 1.40 1.40 5.00 5.00 5.00 0.28 0.23 0.22 0.17 0.17
123 61 19 40 40 76 244 76 272 272 272 91 57 53 16 16
No
Kecamatan/ Sub-district
Timor Tengah Utara 110 111 112 113 Belu
Lampiran / Annex
B-14
Lampiran 2.1 (lanjutan): Indikator Ketersediaan Pangan Annex 2.1 (contd): Food Availability Indicator
Kecamatan/ Sub-district
No
Produksi Rata-rata Padi/ Average Paddy Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Jagung / Average Maize Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Ubi Kayu & Ubi Jalar/ Average Cassava & Sweet Potato Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Total Serealia Pokok/ Total Populasi/ Total Major Cereal Total Population Production (2008) 2007-2009 (Ton)
Produksi Bersih Serealia per Kapita per Hari/ Net Cereal Production per Kapita per Day (g)
Rasio Konsumsi Normatif terhadap Produksi Bersih Peringkat/ per Kapita/ Rank Normative Consumption to Net Per Capita Production Ratio
Alor 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154
Pantar Pantar Barat Pantar Timur Pantar Barat Laut Pantar Tengah Alor Barat Daya Mataru Alor Selatan Alor Timur Alor Timur Laut Pureman Teluk Mutiara Kabola Alor Barat Laut Alor Tengah Utara Pulau Pura Lembur
455.08 473.99 548.26 604.67 944.70 385.98 73.17 380.62 457.94 509.19 174.99 211.75 65.84 352.90 229.32 15.77 388.02
1,344.33 541.04 905.59 772.96 957.96 782.82 271.78 570.22 585.08 577.82 378.60 1,031.64 575.20 2,282.76 627.38 279.93 702.60
1,098.88 309.13 848.29 309.45 147.07 769.85 263.90 963.27 920.81 925.07 292.22 795.86 299.84 1,795.76 671.53 52.21 479.11
2,898.29 1,324.16 2,302.14 1,687.07 2,049.74 1,938.65 608.85 1,914.11 1,963.82 2,012.08 845.80 2,039.25 940.88 4,431.42 1,528.23 347.90 1,569.73
8,198 6,055 11,474 4,302 9,500 19,426 5,867 9,067 6,847 7,970 3,129 41,478 7,101 19,707 10,944 5,518 3,904
969 599 550 1,074 591 273 284 578 786 692 741 135 363 616 383 173 1,102
0.31 0.50 0.55 0.28 0.51 1.10 1.06 0.52 0.38 0.43 0.41 2.23 0.83 0.49 0.78 1.74 0.27
109 186 207 92 187 242 238 193 139 168 155 263 232 182 230 258 86
987.96 856.58 1,554.81 13.28 6.61 642.99 384.13 72.10 111.46
1,232.73 1,261.76 1,869.20 2,206.07 666.64 1,302.84 1,533.68 3,398.23 3,663.83
663.79 1,370.99 2,310.10 1,140.93 205.30 658.81 1,157.59 926.04 601.82
2,884.48 3,489.33 5,734.10 3,360.27 878.55 2,604.64 3,075.41 4,396.37 4,377.11
8,457 8,052 7,275 11,258 5,217 8,055 27,421 17,268 19,359
934 1,187 2,159 818 461 886 307 698 619
0.32 0.25 0.14 0.37 0.65 0.34 0.98 0.43 0.48
114 69 11 132 224 122 237 164 180
Lembata 155 156 157 158 159 160 161 162 163
Nagawutung Wulandoni Atadei Ile Ape Ile Ape Timur Lebatukan Nubatukan Omesuri Buyasuri
Lampiran / Annex
B-15
Lampiran 2.1 (lanjutan): Indikator Ketersediaan Pangan Annex 2.1 (contd): Food Availability Indicator
No
Produksi Rata-rata Ubi Kayu & Ubi Jalar/ Average Cassava & Sweet Potato Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Total Serealia Pokok/ Total Populasi/ Total Major Cereal Total Population Production (2008) 2007-2009 (Ton)
Produksi Bersih Serealia per Kapita per Hari/ Net Cereal Production per Kapita per Day (g)
Rasio Konsumsi Normatif terhadap Produksi Bersih Peringkat/ per Kapita/ Rank Normative Consumption to Net Per Capita Production Ratio
Produksi Rata-rata Padi/ Average Paddy Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Jagung / Average Maize Production 2007-2009 (Ton)
Wulanggitang Titehena Ilebura Tanjung Bunga Lewolema Larantuka Ile Mandiri Demon Pagong Solor Barat Solor Timur Adonara Barat Wotan Ulumado Adonara Tengah Adonara Timur Ile Boleng Witihama Kelubagolit Adonara
2,639.71 1,722.01 444.29 1,156.70 872.78 619.46 1,501.22 345.49 684.39 201.31 374.73 162.06 217.79 205.72 12.30 173.87 158.61 94.30
1,558.13 2,074.38 306.61 886.19 659.55 1,295.43 699.02 730.87 3,603.95 1,407.45 490.71 674.35 103.51 1,200.59 2,599.25 3,288.70 1,817.12 987.84
2,604.78 1,347.57 407.83 1,089.99 871.56 1,080.82 675.82 921.56 817.21 693.93 145.12 816.36 118.44 1,335.50 1,229.56 1,945.24 320.41 115.43
6,802.62 5,143.96 1,158.74 3,132.88 2,403.89 2,995.72 2,876.07 1,997.92 5,105.55 2,302.69 1,010.56 1,652.76 439.74 2,741.82 3,841.11 5,407.81 2,296.14 1,197.57
13,057 11,864 6,230 11,584 8,275 33,882 9,256 4,367 12,962 14,514 11,545 8,056 11,477 26,699 14,480 14,538 10,276 9,873
1,427 1,188 510 741 796 242 851 1,253 1,079 435 240 562 105 281 727 1,019 612 332
0.21 0.25 0.59 0.40 0.38 1.24 0.35 0.24 0.28 0.69 1.25 0.53 2.86 1.07 0.41 0.29 0.49 0.90
44 68 223 154 137 251 128 62 90 226 252 200 266 239 158 102 185 236
Paga Mego Tanawawo Lela Bola Doreng Mapitara Talibura Waigete
1,570.04 1,726.31 807.40 549.72 553.17 449.94 571.09 2,350.91 657.11
1,268.94 2,223.31 808.37 1,754.23 705.97 740.66 1,183.56 1,034.93 1,992.58
811.86 1,986.62 1,343.22 3,786.85 1,409.07 917.31 1,615.37 1,959.86 1,615.14
3,650.83 5,936.24 2,958.99 6,090.80 2,668.21 2,107.91 3,370.02 5,345.70 4,264.83
15,706 14,799 11,384 12,019 11,709 10,960 6,459 18,558 19,507
637 1,099 712 1,388 624 527 1,429 789 599
0.47 0.27 0.42 0.22 0.48 0.57 0.21 0.38 0.50
181 93 169 50 179 215 43 143 188
Kecamatan/ Sub-district
Flores Timur 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 Sikka 182 183 184 185 186 187 188 189 190
Lampiran / Annex
B-16
Lampiran 2.1 (lanjutan): Indikator Ketersediaan Pangan Annex 2.1 (contd): Food Availability Indicator
No
Kecamatan/ Sub-district
Produksi Rata-rata Padi/ Average Paddy Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Jagung / Average Maize Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Ubi Kayu & Ubi Jalar/ Average Cassava & Sweet Potato Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Total Serealia Pokok/ Total Populasi/ Total Major Cereal Total Population Production (2008) 2007-2009 (Ton)
Produksi Bersih Serealia per Kapita per Hari/ Net Cereal Production per Kapita per Day (g)
Rasio Konsumsi Normatif terhadap Produksi Bersih Peringkat/ per Kapita/ Rank Normative Consumption to Net Per Capita Production Ratio
Sikka 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202
Waiblama Kewapante Hewokloang Kangae Palue Koting Nelle Nita Magepanda Alok Alok Barat Alok Timur
1,261.32 293.28 255.77 174.11 163.82 139.07 1,226.17 2,162.89 0.00 4.75 14.65
710.24 1,109.77 975.53 2,434.13 627.23 1,437.14 1,145.47 1,723.03 810.31 220.30 577.66 541.88
1,537.94 554.19 428.91 795.40 1,404.03 1,693.20 1,070.32 1,833.55 714.44 408.89 254.65 487.84
3,509.50 1,957.24 1,660.21 3,403.64 2,031.26 3,294.17 2,354.86 4,782.75 3,687.65 629.19 837.07 1,044.36
6,758 13,085 8,378 16,124 10,227 5,705 6,423 22,400 12,020 29,758 14,267 28,888
1,423 410 543 578 544 1,582 1,004 585 841 58 161 99
0.21 0.73 0.55 0.52 0.55 0.19 0.30 0.51 0.36 5.18 1.87 3.03
46 229 210 197 221 45 83 191 134 271 260 267
Nangapanda Pulau Ende Maukaro Ende Ende Selatan Ende Timur Ende Tengah Ende Utara Ndona Ndona Timur Wolowaru Wolojita Lio Timur Kelimutu Ndori
884.87 1,120.47 448.82 16.07 76.73 81.33 873.38 401.89 547.95 624.97 272.81
1,174.31 18.25 656.09 700.08 48.69 25.99 5.76 20.67 274.91 268.11 366.61 456.34 309.24 640.51 232.24
1,994.23 239.20 283.10 458.44 57.20 31.14 11.43 53.92 159.38 166.66 283.88 293.93 660.81 355.97 183.43
4,053.41 257.45 2,059.66 1,607.34 121.97 57.13 17.19 74.59 511.02 516.10 1,523.88 1,152.16 1,518.00 1,621.45 688.48
19,756 8,743 6,580 16,998 20,819 16,102 25,293 17,668 12,755 5,127 16,929 6,137 7,859 7,996 5,297
562 81 858 259 16 10 2 12 110 276 247 514 529 556 356
0.53 3.72 0.35 1.16 18.69 30.86 161.16 25.94 2.73 1.09 1.22 0.58 0.57 0.54 0.84
199 268 127 247 276 278 280 277 265 241 250 220 214 203 233
Lampiran / Annex
B-17
Ende 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217
Lampiran 2.1 (lanjutan): Indikator Ketersediaan Pangan Annex 2.1 (contd): Food Availability Indicator Produksi Rata-rata Ubi Kayu & Ubi Jalar/ Average Cassava & Sweet Potato Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Total Serealia Pokok/ Total Populasi/ Total Major Cereal Total Population Production (2008) 2007-2009 (Ton)
Produksi Bersih Serealia per Kapita per Hari/ Net Cereal Production per Kapita per Day (g)
Rasio Konsumsi Normatif terhadap Produksi Bersih Peringkat/ per Kapita/ Rank Normative Consumption to Net Per Capita Production Ratio
Produksi Rata-rata Padi/ Average Paddy Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Jagung / Average Maize Production 2007-2009 (Ton)
Maurole Kotabaru Detukeli Detusoko Wewaria
1,538.95 1,289.31 826.60 1,486.27 2,211.27
614.25 674.14 751.23 949.09 757.03
205.09 374.95 404.69 448.62 577.27
2,358.29 2,338.41 1,982.52 2,883.97 3,545.58
10,335 11,252 6,944 14,433 17,572
625 569 782 547 553
0.48 0.53 0.38 0.55 0.54
178 196 140 208 206
Aimere Jerebuu Bajawa Golewa Bajawa Utara Soa Riung Riung Barat Wolomeze
330.78 107.56 312.73 4,165.04 2,388.70 9,472.27 1,237.47 4,395.90 1,436.90
1,701.06 371.33 2,278.65 6,490.33 1,599.89 5,533.98 1,188.57 1,033.25 2,306.77
2,237.05 192.57 471.23 1,089.50 535.35 1,160.59 1,071.19 1,164.84 610.35
4,268.89 671.46 3,062.62 11,744.88 4,523.94 16,166.84 3,497.23 6,594.00 4,354.01
14,864 7,992 32,930 34,827 8,309 11,947 14,388 7,795 4,998
787 230 255 924 1,492 3,707 666 2,318 2,387
0.38 1.30 1.18 0.32 0.20 0.08 0.45 0.13 0.13
138 255 248 118 37 3 172 10 9
19,444.20 3,871.65 11,140.34 4,795.10 3,170.69 4,727.98
4,994.03 199.15 2,688.69 235.86 381.50 1,659.85
2,438.26 657.06 5,659.54 1,350.50 185.07 5,992.07
26,876.49 4,727.85 19,488.57 6,381.45 3,737.25 12,379.90
63,637 0 54,420 70,387 25,130 0 0 37,756 30,959
1,157 238 759 696 271 1,096
0.26 0.26 1.26 0.40 0.43 0.40 0.40 1.11 0.27
73 73 253 148 166 148 148 243 87
Kecamatan/ Sub-district
No
Ende 218 219 220 221 222 Ngada 223 224 225 226 227 228 229 230 231
Manggarai 232 233 234 235 236 237 238 239 240
Satarmese Satarmese Barat*) Langke Rembong Ruteng Wae Rii Lelak*) Rahong Utara*) Cibal Reok
Lampiran / Annex
B-18
Lampiran 2.1 (lanjutan): Indikator Ketersediaan Pangan Annex 2.1 (contd): Food Availability Indicator
Kecamatan/ Sub-district
No
Produksi Rata-rata Padi/ Average Paddy Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Jagung / Average Maize Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Ubi Kayu & Ubi Jalar/ Average Cassava & Sweet Potato Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Total Serealia Pokok/ Total Populasi/ Total Major Cereal Total Population Production (2008) 2007-2009 (Ton)
Produksi Bersih Serealia per Kapita per Hari/ Net Cereal Production per Kapita per Day (g)
Rasio Konsumsi Normatif terhadap Produksi Bersih Peringkat/ per Kapita/ Rank Normative Consumption to Net Per Capita Production Ratio
Rote Ndao 241 242 243 244 245 246 247 248
Rote Barat Daya Rote Barat Laut Lobalain Rote Tengah Rote Selatan Pantai Baru Rote Timur Rote Barat
3,474.38 4,105.56 4,454.45 4,238.67 336.69 2,582.03 2,443.23 226.14
886.74 3,266.17 729.41 486.11 483.61 927.81 1,567.73 1,283.49
10.94 100.96 138.52 121.79 299.38 102.83 35.59
4,372.05 7,472.69 5,322.38 4,846.58 1,119.68 3,612.68 4,010.96 1,545.23
18,710 20,717 20,233 7,757 5,244 12,335 16,238 10,112
640 988 721 1,712 585 802 677 419
0.47 0.30 0.42 0.18 0.51 0.37 0.44 0.72
176 107 160 22 189 135 170 228
4,887.17 3,406.13 5,304.50 14,005.24 4,643.29 6,300.80 2,420.07
789.33 384.02 979.88 3,304.84 1,132.26 3,151.38 1,720.27
2,000.64 87.21 2,632.93 6,662.82 1,932.56 4,952.60 1,436.59
7,677.14 3,877.37 8,917.32 23,972.91 7,708.11 14,404.78 5,576.93
36,738 15,045 24,654 47,070 19,037 39,455 27,963
573 706 991 1,395 1,109 1,000 546
0.52 0.42 0.30 0.21 0.27 0.30 0.55
195 163 106 48 82 103 209
4,367.00 2,756.05 1,334.62 806.57
523.85 2,656.37 2,753.44 2,194.36
1,311.80 717.02 369.66 1,085.74
6,202.65 6,129.44 4,457.72 4,086.67
20,380 15,745 11,023 13,003
834 1,067 1,108 861
0.36 0.28 0.27 0.35
130 94 84 126
2,260.90 3,130.22 3,089.33 4,554.02
2,136.18 4,084.73 4,551.36 2,779.91
1,802.33 1,450.07 1,359.60 1,359.23
6,199.40 8,665.01 9,000.29 8,693.16
33,223 28,628 46,431 19,899
511 829 531 1,197
0.59 0.36 0.56 0.25
222 131 213 67
Manggarai Barat 249 250 251 252 253 254 255
Komodo Boleng Sano Nggoang Lembor Welak Kuwus Macang Pacar
Sumba Tengah 256 257 258 259
Katikutana Umbu Ratu Nggay Barat Umbu Ratu Nggay Mamboro
Sumba Barat Daya 260 261 262 263
Kodi Bangedo Kodi Kodi Utara Wewewa Selatan
Lampiran / Annex
B-19
Lampiran 2.1 (lanjutan): Indikator Ketersediaan Pangan Annex 2.1 (contd): Food Availability Indicators
Kecamatan/ Sub-district
No
Produksi Rata-rata Padi/ Average Paddy Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Jagung / Average Maize Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Rata-rata Ubi Kayu & Ubi Jalar/ Average Cassava & Sweet Potato Production 2007-2009 (Ton)
Produksi Total Serealia Pokok/ Total Populasi/ Total Major Cereal Total Population Production (2008) 2007-2009 (Ton)
Produksi Bersih Serealia per Kapita per Hari/ Net Cereal Production per Kapita per Day (g)
Rasio Konsumsi Normatif terhadap Produksi Bersih Peringkat/ per Kapita/ Rank Normative Consumption to Net Per Capita Production Ratio
Sumba Barat Daya 264 265 266 267
Wewewa Barat Wewewa Timur Wewewa Utara Loura
2,429.51 3,588.98 207.82 438.16
15,630.80 6,599.53 1,767.08 3,210.96
7,911.52 2,363.83 294.16 663.15
25,971.83 12,552.34 2,269.07 4,312.27
41,518 49,326 10,721 31,465
1,714 697 580 375
0.18 0.43 0.52 0.80
21 165 192 231
1,546.32 236.91 2,541.22 3,388.17 192.46 12,342.05 953.32
626.29 321.31 4,063.48 3,504.31 1,525.62 3,000.83 934.27
595.10 653.16 3,247.91 2,707.04 259.13 212.52 219.48
2,767.71 1,211.38 9,852.61 9,599.52 1,977.20 15,555.40 2,107.08
21,616 13,048 20,131 33,888 6,638 32,144 4,993
351 254 1,341 776 816 1,326 1,156
0.86 1.18 0.22 0.39 0.37 0.23 0.26
235 249 52 142 133 56 75
8,388.52 5,582.80 4,297.31 2,954.07 8,871.69 5,852.19
3,758.58 1,541.40 1,869.42 1,580.44 1,121.34 3,389.49
979.92 1,583.41 901.78 558.99 1,528.98 1,206.13
13,127.01 8,707.61 7,068.52 5,093.50 11,522.01 10,447.80
55,195 45,760 30,758 25,009 56,274 30,823
652 521 630 558 561 929
0.46 0.58 0.48 0.54 0.53 0.32
173 217 177 202 201 117
Nageleo 268 269 270 271 272 273 274
Mauponggo Keo Tengah Nangaroro Boawae Aesesa Selatan Aesesa Wolowae
Manggarai Timur 275 276 277 278 279 280
Borong Kota Komba Elar Sambi Rampas Poco Ranaka Lamba Leda
Lampiran / Annex
B-20
Lampiran 3.1: Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan Annex 3.1: Food Access Indicators
Kecamatan/ Sub-district
No
Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan / People Below Poverty Line (%)
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Listrik/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Desa tanpa Akses ke Jalan/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Sumba Barat 1 2 3 4 5 6
Lamboya Wanokaka Laboya Barat*) Loli Kota Waikabubak Tana Righu
40.42 37.01 41.62 33.88 20.69 39.48
257 236 263 217 98 252
50.95 41.34 68.63 78.88 72.88 75.08
91 52 170 239 200 222
22.22 10.00 25.00 0.00 0.00 9.09
209 167 213 1 1 165
Lewa Nggaha Ori Angu Lewa Tidahu Katala Hamu Lingu Tabundung Pinupahar
31.63 36.07 36.68 34.35 28.55 28.60
203 230 235 221 171 173
73.02 73.72 70.67 72.13 65.65 67.66
204 212 185 196 152 161
0.00 12.50 0.00 0.00 30.00 33.33
1 180 1 1 229 235
Paberiwai Karera Matawai La Pawu Kahaungu Eti Mahu Ngadu Ngala Pahunga Lodu Wula Waijelu Rindi Umalulu Pandawai Kambata Mapambuhang Kota Waingapu Kambera Haharu Kanatang
38.61 37.22 39.31 42.17 54.31 56.90 34.34 37.25 40.63 35.39 39.49 47.40 20.46 22.22 40.77 28.72
248 238 250 264 278 279 220 239 258 226 253 276 92 106 261 174
73.79 56.66 70.66 72.30 71.26 69.83 72.29 73.77 74.43 70.79 76.87 75.36 11.85 15.27 46.90 45.37
216 111 184 199 190 175 198 215 220 186 232 226 1 2 73 64
28.57 14.29 0.00 0.00 66.67 40.00 0.00 0.00 0.00 10.00 0.00 16.67 14.29 0.00 14.29 20.00
225 186 1 1 274 250 1 1 1 167 1 201 186 1 186 204
Sumba Timur 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Lampiran / Annex
B-21
Lampiran 3.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan Annex 3.1 (contd): Food Access Indicators
Kecamatan/ Sub-district
No
Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan / People Below Poverty Line (%)
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Listrik/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Desa tanpa Akses ke Jalan/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Sabu Raijua 29 30 31 32 33 34
Raijua Sabu Barat Hawu Mehara Sabu Timur Sabu Liae Sabu Tengah
28.10 19.02 27.28 21.40 26.12 19.56
166 73 157 104 147 78
63.75 56.29 56.77 73.32 70.21 71.23
138 109 112 208 176 188
0.00 16.67 0.00 0.00 0.00 0.00
1 201 1 1 1 1
33.02 42.40 22.56 26.67 20.48 20.51 24.02 29.01 20.19 29.14 22.57 34.98 38.39 31.32 27.15 27.89 30.77 27.51 26.04 31.99 22.25
213 266 114 150 94 95 132 179 87 180 115 223 247 200 156 163 196 158 146 207 108
48.76 47.38 45.48 50.00 40.64 32.50 37.50 31.88 36.67 62.48 28.45 70.37 69.39 35.02 67.92 70.39 69.28 72.95 73.38 78.40 81.31
84 77 65 86 49 29 42 25 41 134 17 181 174 37 163 182 173 203 211 238 253
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 40.00 14.29 0.00 60.00 25.00 0.00 0.00 27.27 100.00 0.00
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 250 186 1 269 213 1 1 221 277 1
Kupang 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
Semau Semau Selatan Kupang Barat Nekamese Kupang Tengah Taebenu Amarasi Amarasi Barat Amarasi Selatan Amarasi Timur Kupang Timur Amabi Oefeto Timur Amabi Oefeto Sulamu Fatuleu Fatuleu Tengah Fatuleu Barat Takari Amfoang Selatan Amfoang Barat Daya Amfoang Utara
Lampiran / Annex
B-22
Lampiran 3.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan Annex 3.1 (contd): Food Access Indicators
No
Kecamatan/ Sub-district
Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan / People Below Poverty Line (%)
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Listrik/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Desa tanpa Akses ke Jalan/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Kupang 56 57
Amfoang Barat Laut Amfoang Timur
19.94 20.66
82 96
75.10 78.36
223 236
0.00 0.00
1 1
23.72 17.54 20.31 20.12 32.83 33.94 40.70 35.93 14.90 37.33 44.81 45.85 40.97 46.29 35.27 40.01 36.66 48.41 38.20 17.56 18.72 23.36 43.07 40.33 33.20
126 58 89 84 211 219 260 229 40 241 272 274 262 275 224 254 233 277 246 59 69 123 268 256 214
86.77 83.32 82.27 81.29 80.68 82.86 81.30 80.29 62.58 71.24 79.39 80.38 79.59 78.30 80.64 82.36 63.75 83.75 71.43 65.98 64.79 65.35 83.77 85.28 75.24
273 260 254 251 249 258 252 243 136 189 241 246 242 234 247 256 138 263 192 153 146 150 264 269 225
7.69 0.00 25.00 0.00 0.00 0.00 40.00 33.33 0.00 0.00 14.29 14.29 0.00 0.00 0.00 0.00 45.45 0.00 14.29 0.00 0.00 0.00 27.27 0.00 15.38
157 1 213 1 1 1 250 235 1 1 186 186 1 1 1 1 260 1 186 1 1 1 221 1 198
Timor Tengah Selatan 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82
Mollo Utara Fatumnasi Tobu Nunbena Mollo Selatan Polen Mollo Barat Mollo Tengah Kota Soe Amanuban Barat Batu Putih Kuatnana Amanuban Selatan Noebeba Kuan Fatu Kualin Amanuban Tengah Kolbano Oenino Amanuban Timur Fautmolo Fatukopa Kie Kot’Olin Amanatun Selatan
Lampiran / Annex
B-23
Lampiran 3.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan Annex 3.1 (contd): Food Access Indicators
No
Kecamatan/ Sub-district
Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan / People Below Poverty Line (%)
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Listrik/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Desa tanpa Akses ke Jalan/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Timor Tengah Selatan 83 84 85 86 87 88 89
Boking Nunkolo Noebana Santian Amanatun Utara Toianas Kokbaun
35.60 30.52 42.38 45.80 28.80 29.17 31.28
228 193 265 273 175 181 198
78.35 76.24 79.35 82.29 80.31 83.33 82.36
235 230 240 255 244 261 257
0.00 11.11 25.00 0.00 0.00 0.00 0.00
1 172 213 1 1 1 1
Miomaffo Barat Miomaffo Tengah Musi Mutis Miomaffo Timur Noemuti Bikomi Selatan Bikomi Tengah Bikomi Nilulat Bikomi Utara Naibenu Noemuti Timur Kota Kefamenanu Insana Insana Utara
33.88 37.76 40.14 25.54 26.79 27.56 29.97 28.82 30.32 28.88 22.58 26.59 11.93 23.69 28.03
217 244 255 143 151 159 186 176 190 177 116 149 19 125 164
72.94 68.23 66.28 65.29 54.07 67.23 65.38 62.38 64.24 61.27 63.37 61.26 23.81 53.16 63.79
202 166 155 148 99 159 151 133 144 128 137 127 5 98 141
8.33 40.00 0.00 0.00 0.00 9.09 0.00 12.50 0.00 11.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
159 250 1 1 1 165 1 180 1 172 1 1 1 1 1
Insana Barat Insana Tengah Insana Fafinesu Biboki Selatan Biboki Tanpah
29.33 31.62 33.21 23.64 24.77
183 202 215 124 136
62.28 65.28 61.28 68.58 66.38
132 147 129 169 156
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
1 1 1 1 1
Timor Tengah Utara 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109
Lampiran / Annex
B-24
Lampiran 3.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan Annex 3.1 (contd): Food Access Indicators
Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan / People Below Poverty Line (%)
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Listrik/ Households without Access to Electricity (%)
Biboki Moenleu Biboki Utara Biboki Anleu Biboki Feotleu
37.52 14.29 30.36 22.55
243 34 191 113
66.24 71.86 68.18 70.27
154 193 165 178
14.29 0.00 0.00 0.00
186 1 1 1
114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131
Malaka Barat Rinhat Wewiku Weliman Malaka Tengah Sasita Mean Botin Leobele Io Kufeu Malaka Timur Laen Manen Rai Manuk Kobalima Kobalima Timur Tasifeto Barat Kakuluk Mesak Nanaet Dubesi Atambua Atambua Barat
16.80 20.46 16.18 14.84 20.15 22.80 18.98 23.99 27.64 26.90 28.06 16.87 22.75 15.64 17.81 15.85 11.26 12.56
52 92 49 39 86 119 72 130 160 152 165 54 118 45 63 47 11 22
80.64 68.77 75.64 73.33 59.78 73.33 68.24 71.29 43.81 70.53 74.35 86.70 85.25 89.58 86.87 85.25 24.07 26.29
248 172 227 210 121 209 167 191 59 183 219 272 267 276 274 268 6 11
0.00 10.00 33.33 0.00 0.00 55.56 60.00 28.57 0.00 11.11 11.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
1 167 235 1 1 267 269 225 1 172 172 1 1 1 1 1 1 1
132 133 134 135 136 137
Atambua Selatan Tasifeto Timur Raihat Lasiolat Lamaknen Lamaknen Selatan
11.89 17.89 23.22 20.31 22.12 24.01
18 64 121 89 105 131
25.28 62.51 73.75 73.26 72.89 70.27
9 135 213 207 201 177
0.00 25.00 0.00 0.00 11.11 62.50
1 213 1 1 172 272
No
Kecamatan/ Sub-district
Peringkat / Rank
Desa tanpa Akses ke Jalan/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Timor Tengah Utara 110 111 112 113 Belu
Lampiran / Annex
B-25
Lampiran 3.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan Annex 3.1 (contd): Food Access Indicators
Kecamatan/ Sub-district
No
Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan / People Below Poverty Line (%)
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Listrik/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Desa tanpa Akses ke Jalan/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Alor 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154
Pantar Pantar Barat Pantar Timur Pantar Barat Laut Pantar Tengah Alor Barat Daya Mataru Alor Selatan Alor Timur Alor Timur Laut Pureman Teluk Mutiara Kabola Alor Barat Laut Alor Tengah Utara Pulau Pura Lembur
24.83 22.36 24.96 22.22 24.83 20.71 19.06 27.02 30.45 31.68 35.39 15.56 18.12 25.92 28.94 24.55 32.78
137 109 140 106 137 99 74 153 192 205 226 44 65 144 178 134 210
60.67 63.79 60.24 58.24 61.24 72.08 73.22 45.25 48.37 46.61 50.24 40.32 42.19 45.85 48.39 50.37 52.13
125 142 123 115 126 194 205 62 82 70 87 46 57 68 83 90 93
45.45 0.00 36.36 14.29 30.00 50.00 14.29 42.86 20.00 0.00 100.00 0.00 0.00 21.05 14.29 100.00 0.00
260 1 244 186 229 263 186 256 204 1 277 1 1 208 186 277 1
37.45 39.00 23.77 28.21 29.61 18.37 22.97 31.44 32.32
242 249 127 167 185 67 120 201 209
61.70 59.55 59.74 46.46 47.38 59.09 48.27 55.89 45.85
130 119 120 69 76 118 80 106 67
7.69 8.33 30.77 0.00 0.00 6.67 13.33 5.00 10.53
157 159 233 1 1 155 185 153 170
Lembata 155 156 157 158 159 160 161 162 163
Nagawutung Wulandoni Atadei Ile Ape Ile Ape Timur Lebatukan Nubatukan Omesuri Buyasuri
Lampiran / Annex
B-26
Lampiran 3.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan Annex 3.1 (contd): Food Access Indicators
Kecamatan/ Sub-district
No
Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan / People Below Poverty Line (%)
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Listrik/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Desa tanpa Akses ke Jalan/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Flores Timur 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181
Wulanggitang Titehena Ilebura Tanjung Bunga Lewolema Larantuka Ile Mandiri Demon Pagong Solor Barat Solor Timur Adonara Barat Wotan Ulumado Adonara Tengah Adonara Timur Ile Boleng Witihama Kelubagolit Adonara
15.01 15.66 13.36 14.37 12.00 9.93 12.68 14.04 17.73 13.19 11.86 14.96 10.36 11.86 12.89 13.45 12.67 11.79
42 46 30 35 20 7 24 33 61 27 15 41 8 15 25 32 23 14
55.46 55.59 52.32 45.82 42.13 16.13 26.27 27.26 25.07 48.12 39.03 41.52 42.39 26.49 27.60 28.46 32.82 27.24
102 103 94 66 55 3 10 15 8 79 45 53 58 13 16 18 30 14
0.00 0.00 0.00 35.71 0.00 0.00 0.00 33.33 22.22 10.53 43.75 8.33 41.67 5.26 0.00 0.00 0.00 0.00
1 1 1 242 1 1 1 235 209 170 258 159 255 154 1 1 1 1
Paga Mego Tanawawo Lela Bola Doreng Mapitara Talibura Waigete
20.23 17.38 21.12 10.41 20.66 18.15 20.12 19.91
88 57 101 9 96 66 84 81
70.29 73.24 74.27 41.31 56.24 56.14 58.24 54.24
179 206 218 51 108 107 116 100
37.50 50.00 50.00 0.00 0.00 42.86 0.00 0.00
246 263 263 1 1 256 1 1
20.73
100
57.80
113
11.11
172
Sikka 182 183 184 185 186 187 188 189 190
Lampiran / Annex
B-27
Lampiran 3.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan Annex 3.1 (contd): Food Access Indicators
No
Kecamatan/ Sub-district
Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan / People Below Poverty Line (%)
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Listrik/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Desa tanpa Akses ke Jalan/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Sikka 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202
Waiblama Kewapante Hewokloang Kangae Palue Koting Nelle Nita Magepanda Alok Alok Barat Alok Timur
23.92 18.74 19.63 19.22 15.87 13.03 13.34 15.22 17.25 7.34 12.20 9.68
128 70 79 77 48 26 28 43 56 3 21 6
58.35 52.96 50.29 47.29 46.83 46.86 47.29 21.90 55.65 31.70 32.93 33.55
117 97 89 74 71 72 74 4 104 24 31 35
0.00 0.00 0.00 0.00 75.00 0.00 0.00 8.33 0.00 28.57 0.00 20.00
1 1 1 1 276 1 1 159 1 225 1 204
Nangapanda Pulau Ende Maukaro Ende Ende Selatan Ende Timur Ende Tengah Ende Utara Ndona Ndona Timur Wolowaru Wolojita Lio Timur Kelimutu Ndori
14.43 28.58 16.87 21.33 16.19 13.36 11.63 20.35 28.40 27.73 30.20 36.66 43.87 27.07 27.72
36 172 54 103 50 30 12 91 169 162 188 233 269 154 161
38.41 40.39 48.77 30.23 33.35 32.28 32.19 33.29 40.85 44.76 28.84 29.24 30.31 32.16 36.28
44 47 85 22 34 28 27 33 50 60 19 21 23 26 40
11.11 100.00 0.00 27.78 0.00 0.00 0.00 0.00 35.71 33.33 6.67 0.00 25.00 12.50 0.00
172 277 1 224 1 1 1 1 242 235 155 1 213 180 1
Ende 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217
Lampiran / Annex
B-28
Lampiran 3.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan Annex 3.1 (contd): Food Access Indicators
Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan / People Below Poverty Line (%)
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Listrik/ Households without Access to Electricity (%)
Maurole Kotabaru Detukeli Detusoko Wewaria
22.36 24.72 26.31 31.18 14.43
109 135 148 197 36
35.34 40.63 42.19 33.12 35.85
Aimere Jerebuu Bajawa Golewa Bajawa Utara Soa Riung Riung Barat Wolomeze
25.98 17.77 6.69 16.35 11.86 14.73 18.62
145 62 2 51 15 38 68
10.60 16.82
24.94 25.34 17.64 28.48 30.55 31.30 29.27 36.19 33.41
Kecamatan/ Sub-district
No
Desa tanpa Akses ke Jalan/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
38 48 56 32 39
0.00 64.29 30.77 12.50 35.29
1 273 233 180 241
38.03 50.27 24.54 34.64 28.87 26.42 41.67
43 88 7 36 20 12 54
8.33 37.50 0.00 4.76 14.29 0.00 8.33
159 246 1 152 186 1 159
10 53
47.92 45.32
78 63
0.00 0.00
1 1
139 142 60 170 194 199 182 231 216
55.70 68.09 52.12 44.99 63.76 73.75 75.76 76.62 78.36
105 164 92 61 140 214 229 231 237
36.84 15.79 0.00 0.00 0.00 0.00 30.00 3.70 20.00
245 200 1 1 1 1 229 151 204
Peringkat / Rank
Ende 218 219 220 221 222 Ngada 223 224 225 226 227 228 229 230 231
Manggarai 232 233 234 235 236 237 238 239 240
Satarmese Satarmese Barat*) Langke Rembong Ruteng Wae Rii Lelak*) Rahong Utara*) Cibal Reok
Lampiran / Annex
B-29
Lampiran 3.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan Annex 3.1 (contd): Food Access Indicators
Kecamatan/ Sub-district
No
Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan / People Below Poverty Line (%)
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Listrik/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Desa tanpa Akses ke Jalan/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Rote Ndao 241 242 243 244 245 246 247 248
Rote Barat Daya Rote Barat Laut Lobalain Rote Tengah Rote Selatan Pantai Baru Rote Timur Rote Barat
37.26 34.68 32.30 35.29 30.29 32.88 44.77 37.17
240 222 208 225 189 212 271 237
68.72 67.79 52.85 75.75 72.26 56.44 60.23 62.24
171 162 95 228 197 110 122 131
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.50
1 1 1 1 1 1 1 180
21.20 29.99 22.54 25.01 24.25 31.67 22.69
102 187 111 141 133 204 117
73.99 75.12 80.87 70.87 72.13 80.35 90.31
217 224 250 187 195 245 277
43.75 22.22 58.33 33.33 54.55 22.22 38.46
258 209 268 235 266 209 249
19.16 29.44 19.19 77.60
75 184 76 280
83.44 93.36 85.36 88.66
262 279 270 275
0.00 45.45 0.00 11.11
1 260 1 172
42.78 38.03 31.90 39.41
267 245 206 251
74.75 77.41 91.96 97.51
221 233 278 280
0.00 27.27 0.00 0.00
1 221 1 1
Manggarai Barat 249 250 251 252 253 254 255
Komodo Boleng Sano Nggoang Lembor Welak Kuwus Macang Pacar
Sumba Tengah 256 257 258 259
Katikutana Umbu Ratu Nggay Barat Umbu Ratu Nggay Mamboro
Sumba Barat Daya 260 261 262 263
Kodi Bangedo Kodi Kodi Utara Wewewa Selatan
Lampiran / Annex
B-30
Lampiran 3.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan Annex 3.1 (contd): Food Access Indicators
No
Kecamatan/ Sub-district
Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan / People Below Poverty Line (%)
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Listrik/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Desa tanpa Akses ke Jalan/ Households without Access to Electricity (%)
Peringkat / Rank
Sumba Barat Daya 264 265 266 267
Wewewa Barat Wewewa Timur Wewewa Utara Loura
44.12 40.69 36.57 30.69
270 259 232 195
83.26 85.37 84.38 85.24
259 271 265 266
0.00 30.00 0.00 0.00
1 229 1 1
Mauponggo Keo Tengah Nangaroro Boawae Aesesa Selatan Aesesa Wolowae
13.34 6.37 7.57 28.36 9.33 11.76 18.95
28 1 4 168 5 13 71
66.82 65.34 66.60 64.12 52.94 48.32 58.19
158 149 157 143 96 81 114
25.00 25.00 15.38 0.00 0.00 0.00 0.00
213 213 198 1 1 1 1
22.55 23.92 23.22 27.07 19.81 20.09
112 129 121 154 80 83
60.38 55.37 64.36 68.39 67.28 70.29
124 101 145 168 160 180
66.67 41.18 28.57 18.18 60.71 37.50
274 254 225 203 271 246
Nageleo 268 269 270 271 272 273 274
Manggarai Timur 275 276 277 278 279 280
Borong Kota Komba Elar Sambi Rampas Poco Ranaka Lamba Leda
Lampiran / Annex
B-31
Lampiran 4.1: Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi Annex 4.1: Health and Nutrition Indicators
Kecamatan/ Sub-district
No
Perempuan Buta Huruf / Female Peringkat / Rank Illiteracy (%)*
Angka Harapan Hidup/ Life Expectancy (Tahun / year)*
Peringkat / Rank
Berat Badan Balita di bawah Standar/ Underweight Children < 5 yrs (%)**
Peringkat / Rank
Desa dengan Jarak 5 km dari Fasilitas Kesehatan/ Villages > 5 km from Health Facilities (%)***
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Air Bersih/ Households without Access to Clean Drinking Water (%)*
Peringkat / Rank
Sumba Barat 1 2 3 4 5 6
Lamboya Wanokaka Laboya Barat*) Loli Kota Waikabubak Tana Righu
25.88 26.42 25.67 26.48 26.48 27.05
265 266 264 267 267 270
61.77 64.78 60.36 62.87 73.08 64.02
66 97 56 75 261 93
6.70 3.30 41.10 6.30 22.60 11.60
4 2 213 3 70 15
0.00 40.00 0.00 0.00 0.00 18.18
1 243 1 1 1 182
49.32 50.67 39.79 62.40 11.02 40.09
259 263 193 274 46 196
Lewa Nggaha Ori Angu Lewa Tidahu Katala Hamu Lingu Tabundung Pinupahar
16.51 14.32 15.37 16.47 12.55 13.65
207 146 185 206 103 125
66.25 66.12 54.54 44.96 64.80 65.94
123 121 12 2 100 118
24.30 12.10 18.80 12.10 31.80 8.30
81 17 43 17 134 6
12.50 25.00 16.67 40.00 40.00 16.67
137 197 164 243 243 164
53.94 62.56 58.35 48.53 32.50 26.28
270 275 272 257 148 113
Paberiwai Karera Matawai La Pawu Kahaungu Eti Mahu Ngadu Ngala Pahunga Lodu Wula Waijelu Rindi Umalulu Pandawai Kambata Mapambuhang Kota Waingapu Kambera Haharu Kanatang
12.33 14.18 13.51 16.26 14.90 16.38 11.52 13.73 12.94 13.39 16.60 15.67 17.58 15.56 18.61 14.12
102 143 120 202 172 204 91 129 108 118 209 197 214 196 221 141
65.80 64.99 65.30 65.29 56.67 46.32 65.73 64.54 65.59 65.99 65.79 56.11 66.30 54.92 67.08 56.61
115 101 104 103 27 4 113 95 106 119 114 22 126 13 153 25
12.50 41.30 34.90 7.30 12.50 22.90 25.00 28.20 3.10 28.60 17.60 13.20 17.60 17.90 13.30 20.00
19 214 168 5 19 74 88 106 1 111 33 24 33 37 25 50
28.57 28.57 33.33 22.22 50.00 60.00 0.00 0.00 25.00 0.00 28.57 33.33 14.29 12.50 28.57 20.00
215 215 228 193 257 274 1 1 197 1 215 228 146 137 215 185
23.79 33.40 34.42 43.39 35.84 45.35 42.45 38.76 31.87 29.21 39.68 40.83 53.03 46.98 53.75 51.67
103 154 160 227 173 247 220 186 144 132 192 204 266 255 269 264
Sumba Timur 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Lampiran / Annex
B-32
Lampiran 4.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi Annex 4.1 (contd): Health and Nutrition Indicators
Kecamatan/ Sub-district
No
Perempuan Buta Huruf / Female Peringkat / Rank Illiteracy (%)*
Angka Harapan Hidup/ Life Expectancy (Tahun / year)*
Peringkat / Rank
Berat Badan Balita di bawah Standar/ Underweight Children < 5 yrs (%)**
Peringkat / Rank
Desa dengan Jarak 5 km dari Fasilitas Kesehatan/ Villages > 5 km from Health Facilities (%)***
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Air Bersih/ Households without Access to Clean Drinking Water (%)*
Peringkat / Rank
Sabu Raijua 29 30 31 32 33 34
Raijua Sabu Barat Hawu Mehara Sabu Timur Sabu Liae Sabu Tengah
15.83 14.46 12.65 13.62 13.81 13.09
198 155 105 123 134 111
66.94 66.97 66.73 65.63 66.41 56.48
147 149 140 107 129 24
-
253 253 253 253 253 253
0.00 22.22 10.00 0.00 0.00 12.50
1 193 128 1 1 137
37.50 71.86 35.48 23.35 40.00 42.36
179 279 171 101 194 219
14.58 13.71 14.00 16.46 14.34 14.34 13.04 16.75 16.23 12.82 13.70 13.27 13.15 14.34 14.97 14.34 15.19 12.71 12.32 13.66 14.34
161 128 138 205 147 147 110 211 201 107 127 117 113 147 177 147 184 106 101 126 147
67.23 58.38 66.32 66.88 67.22 66.30 66.96 66.50 66.52 65.66 66.36 66.14 55.40 65.72 66.49 57.86 66.01 66.69 66.47 65.85 65.36
158 40 127 145 157 125 148 135 136 110 128 122 15 112 134 33 120 137 133 116 105
40.70 27.30 23.70 25.70 50.20 31.30 33.80 22.30 36.40 18.30 55.30 34.00 21.70 38.70 29.30 32.50 38.00 58.00 32.40 30.30 33.70
208 99 80 89 241 132 154 67 180 38 246 157 62 194 121 140 191 247 139 129 151
25.00 50.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.69 50.00 14.29 0.00 0.00 0.00 0.00 30.00 0.00 0.00 0.00
197 257 1 1 1 1 1 1 1 1 115 257 146 1 1 1 1 225 1 1 1
41.00 42.34 41.94 56.25 46.85 46.88 75.00 28.13 33.33 37.52 44.06 63.33 65.35 68.77 38.75 41.24 45.34 37.49 50.02 58.94 46.26
205 218 213 271 253 254 280 125 153 180 233 276 277 278 185 208 246 178 261 273 252
Kupang 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
Semau Semau Selatan Kupang Barat Nekamese Kupang Tengah Taebenu Amarasi Amarasi Barat Amarasi Selatan Amarasi Timur Kupang Timur Amabi Oefeto Timur Amabi Oefeto Sulamu Fatuleu Fatuleu Tengah Fatuleu Barat Takari Amfoang Selatan Amfoang Barat Daya Amfoang Utara
Lampiran / Annex
B-33
Lampiran 4.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi Annex 4.1 (contd): Health and Nutrition Indicators
No
Kecamatan/ Sub-district
Perempuan Buta Huruf / Female Peringkat / Rank Illiteracy (%)*
Angka Harapan Hidup/ Life Expectancy (Tahun / year)*
Peringkat / Rank
Berat Badan Balita di bawah Standar/ Underweight Children < 5 yrs (%)**
Peringkat / Rank
Desa dengan Jarak 5 km dari Fasilitas Kesehatan/ Villages > 5 km from Health Facilities (%)***
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Air Bersih/ Households without Access to Clean Drinking Water (%)*
Peringkat / Rank
Kupang 56 57
Amfoang Barat Laut Amfoang Timur
14.34 13.14
147 112
66.42 63.74
130 88
33.70 36.30
151 177
0.00 0.00
1 1
45.00 40.00
241 194
Timor Tengah Selatan 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
Mollo Utara Fatumnasi Tobu Nunbena Mollo Selatan Polen Mollo Barat Mollo Tengah Kota Soe Amanuban Barat
21.51 21.74 21.51 21.81 22.10 19.48 20.28 22.88 21.51 23.54
239 252 239 254 255 223 232 259 239 261
71.80 72.04 53.60 60.80 72.61 70.99 56.94 56.69 72.31 71.75
241 246 9 59 257 225 30 28 252 238
32.60 30.70 22.60 19.00 28.90
141 130 253 253 253 70 253 253 44 116
0.00 50.00 50.00 25.00 42.86 60.00 40.00 50.00 0.00 0.00
1 257 257 197 250 274 243 257 1 1
33.23 36.71 38.85 40.28 40.66 44.29 42.28 43.29 32.79 41.12
151 177 187 197 201 235 216 225 149 206
68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82
Batu Putih Kuatnana Amanuban Selatan Noebeba Kuan Fatu Kualin Amanuban Tengah Kolbano Oenino Amanuban Timur Fautmolo Fatukopa Kie Kot’Olin Amanatun Selatan
21.63 19.85 21.06 21.78 21.51 23.65 21.51 20.10 21.11 19.98 21.51 21.51 22.68 21.51 19.71
250 226 236 253 239 262 239 230 237 229 239 239 258 239 224
71.82 60.06 71.26 59.19 71.38 71.42 72.94 72.33 70.85 73.01 51.45 41.03 72.08 71.78 71.08
243 53 230 44 232 234 259 253 221 260 8 1 247 239 227
37.00 41.30 34.20 34.20 23.50 39.60 42.30 21.80 29.00 34.50 -
185 253 214 159 253 159 78 199 219 63 253 253 117 164 253
14.29 0.00 30.00 16.67 28.57 14.29 45.45 9.09 57.14 60.00 0.00 50.00 18.18 12.50 7.69
146 1 225 164 215 146 252 125 273 274 1 257 182 137 115
43.73 39.39 45.01 44.40 43.78 53.13 31.25 36.25 42.86 53.18 50.13 52.36 39.36 41.27 44.85
229 191 242 237 230 267 140 174 223 268 262 265 190 209 240
Lampiran / Annex
B-34
Lampiran 4.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi Annex 4.1 (contd): Health and Nutrition Indicators
No
Kecamatan/ Sub-district
Perempuan Buta Huruf / Female Peringkat / Rank Illiteracy (%)*
Angka Harapan Hidup/ Life Expectancy (Tahun / year)*
Peringkat / Rank
Berat Badan Balita di bawah Standar/ Underweight Children < 5 yrs (%)**
Peringkat / Rank
Desa dengan Jarak 5 km dari Fasilitas Kesehatan/ Villages > 5 km from Health Facilities (%)***
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Air Bersih/ Households without Access to Clean Drinking Water (%)*
Peringkat / Rank
Timor Tengah Selatan 83 84 85 86 87 88 89
Boking Nunkolo Noebana Santian Amanatun Utara Toianas Kokbaun
21.41 18.90 22.20 21.57 21.66 21.51 21.51
238 222 256 249 251 239 239
70.40 71.63 59.96 62.60 71.49 70.61 63.25
213 236 52 72 235 217 82
29.90 42.20 30.00 34.00 36.90
124 218 253 253 127 157 184
16.67 0.00 50.00 50.00 25.00 42.86 33.33
164 1 257 257 197 250 228
45.50 43.38 45.33 41.28 35.69 38.39 40.29
249 226 245 210 172 182 198
14.64 14.35 14.54 14.79 15.44 14.96 14.52 14.64 13.99 13.77 15.10 13.56 14.64 14.64 14.16 14.82 14.64 14.26 13.80 15.40
162 153 160 170 195 176 159 162 137 131 182 122 162 162 142 171 162 144 133 194
78.85 63.76 65.71 69.08 78.63 78.97 64.01 57.53 57.88 60.30 61.25 47.27 77.98 78.73 77.88 64.79 66.82 64.61 78.22 64.52
279 89 111 190 277 280 92 32 34 55 61 6 275 278 274 98 142 96 276 94
20.80 43.00 35.60 37.20 33.30 34.60 41.50 35.80 44.00 45.60 20.80 37.10 42.50 43.40 37.30 33.60 32.30
55 222 171 253 187 146 166 253 216 173 227 232 55 186 221 224 188 253 148 137
16.67 20.00 0.00 75.00 9.09 0.00 50.00 37.50 0.00 33.33 0.00 0.00 0.00 7.69 60.00 28.57 0.00 33.33 37.50 50.00
164 185 1 279 125 1 257 239 1 228 1 1 1 115 274 215 1 228 239 257
22.39 20.32 21.24 22.10 19.62 18.32 19.29 21.29 20.13 21.27 22.39 21.28 16.36 22.86 25.95 28.28 26.40 28.44 19.88 18.29
98 88 91 96 82 77 79 95 87 93 99 94 67 100 108 127 114 129 86 75
Timor Tengah Utara 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109
Miomaffo Barat Miomaffo Tengah Musi Mutis Miomaffo Timur Noemuti Bikomi Selatan Bikomi Tengah Bikomi Nilulat Bikomi Utara Naibenu Noemuti Timur Kota Kefamenanu Insana Insana Utara Insana Barat Insana Tengah Insana Fafinesu Biboki Selatan Biboki Tanpah
Lampiran / Annex
B-35
Lampiran 4.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi Annex 4.1 (contd): Health and Nutrition Indicators
No
Kecamatan/ Sub-district
Perempuan Buta Huruf / Female Peringkat / Rank Illiteracy (%)*
Angka Harapan Hidup/ Life Expectancy (Tahun / year)*
Peringkat / Rank
Berat Badan Balita di bawah Standar/ Underweight Children < 5 yrs (%)**
Peringkat / Rank
Desa dengan Jarak 5 km dari Fasilitas Kesehatan/ Villages > 5 km from Health Facilities (%)***
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Air Bersih/ Households without Access to Clean Drinking Water (%)*
Peringkat / Rank
Timor Tengah Utara 110 111 112 113
Biboki Moenleu Biboki Utara Biboki Anleu Biboki Feotleu
13.47 14.64 14.46 14.64
119 162 156 162
66.87 77.76 77.47 46.10
144 273 272 3
33.60 51.70 23.60
148 242 253 79
28.57 0.00 33.33 0.00
215 1 228 1
19.24 25.07 27.77 26.88
78 105 124 117
Malaka Barat Rinhat Wewiku Weliman Malaka Tengah Sasita Mean Botin Leobele Io Kufeu Malaka Timur Laen Manen Rai Manuk Kobalima Kobalima Timur Tasifeto Barat Kakuluk Mesak Nanaet Dubesi Atambua Atambua Barat Atambua Selatan Tasifeto Timur Raihat Lasiolat Lamaknen Lamaknen Selatan
16.36 17.76 16.00 18.23 18.35 13.15 19.93 20.13 23.46 18.53 16.54 13.94 20.81 22.62 19.80 18.56 16.09 21.02
203 215 199 217 218 114 228 231 260 219 208 135 233 257 225 220 200 234
68.39 69.02 68.70 68.30 69.71 69.18 55.55 55.46 70.19 68.75 69.05 69.97 58.15 69.00 69.79 54.04 69.52 55.51
175 187 180 174 200 192 18 16 211 182 188 205 39 186 203 11 195 17
44.70 44.50 51.90 41.90 52.40 49.20 34.60 45.60 41.00 18.70 40.60 40.90 50.00 44.60 40.10 52.80 35.90 29.00
231 229 243 217 244 239 166 232 210 42 207 209 240 230 203 245 174 117
6.25 15.00 0.00 14.29 11.76 55.56 40.00 0.00 0.00 0.00 11.11 12.50 50.00 12.50 0.00 75.00 0.00 0.00
108 157 1 146 136 272 243 1 1 1 134 137 257 137 1 279 1 1
17.91 45.13 32.15 31.85 49.42 26.04 27.24 25.29 27.76 33.47 34.70 44.44 42.26 30.09 38.59 35.29 22.19 25.24
73 243 147 143 260 110 120 107 123 155 164 238 215 136 184 166 97 106
21.02 19.93 17.52 17.52
234 227 213 212
56.05 69.78 69.08 69.97
21 202 189 206
33.70 43.30 43.80 46.40
151 223 226 236
0.00 0.00 0.00 0.00
1 1 1 1
26.24 42.82 34.71 33.87
111 222 165 157
18.04 16.60
216 210
67.29 56.65
161 26
40.10 36.50
203 181
0.00 0.00
1 1
32.13 33.24
146 152
Belu 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137
Lampiran / Annex
B-36
Lampiran 4.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi Annex 4.1 (contd): Health and Nutrition Indicators
Kecamatan/ Sub-district
No
Perempuan Buta Huruf / Female Peringkat / Rank Illiteracy (%)*
Angka Harapan Hidup/ Life Expectancy (Tahun / year)*
Peringkat / Rank
Berat Badan Balita di bawah Standar/ Underweight Children < 5 yrs (%)**
Peringkat / Rank
Desa dengan Jarak 5 km dari Fasilitas Kesehatan/ Villages > 5 km from Health Facilities (%)***
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Air Bersih/ Households without Access to Clean Drinking Water (%)*
Peringkat / Rank
Alor 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154
Pantar Pantar Barat Pantar Timur Pantar Barat Laut Pantar Tengah Alor Barat Daya Mataru Alor Selatan Alor Timur Alor Timur Laut Pureman Teluk Mutiara Kabola Alor Barat Laut Alor Tengah Utara Pulau Pura Lembur
6.86 6.86 7.01 6.13 6.53 7.11 6.07 7.63 6.85 6.28 6.33 6.86 6.86 6.86 6.45 6.89 5.93
25 25 32 8 15 35 7 45 24 9 10 25 25 25 12 30 4
71.37 71.64 61.77 62.93 62.39 72.79 61.70 72.09 72.58 71.97 58.43 72.27 47.18 72.09 71.81 64.80 58.53
231 237 65 78 71 258 64 248 256 244 41 250 5 249 242 99 42
21.90 33.20 28.70 35.70 39.60 38.30 38.80 43.50 27.70 19.70 28.10 36.50 30.20 35.50 40.20
65 145 112 253 172 199 193 196 225 100 253 48 103 181 128 170 205
27.27 14.29 27.27 14.29 10.00 30.00 14.29 14.29 50.00 12.50 50.00 0.00 0.00 5.26 21.43 0.00 16.67
212 146 212 146 128 225 146 146 257 137 257 1 1 104 192 1 164
38.45 43.92 40.39 41.24 45.38 28.18 30.28 43.79 41.73 33.66 36.28 42.31 40.77 28.85 29.97 30.24 31.29
183 232 199 207 248 126 138 231 212 156 175 217 202 131 135 137 142
9.64 10.74 11.53 11.23 9.40 9.66 10.74 9.18 10.74
78 85 92 89 77 79 85 73 85
67.03 66.46 67.46 67.55 59.47 67.33 67.77 66.76 67.25
150 132 165 167 45 163 169 141 160
24.70 19.50 21.00 23.10 20.90 18.50 23.20 22.80
84 46 59 76 253 58 40 77 73
15.38 8.33 38.46 7.14 12.50 20.00 53.33 15.00 5.26
161 120 242 111 137 185 271 157 104
18.21 19.88 19.88 16.72 17.28 19.47 18.31 19.83 12.01
74 84 84 68 72 80 76 83 50
Lembata 155 156 157 158 159 160 161 162 163
Nagawutung Wulandoni Atadei Ile Ape Ile Ape Timur Lebatukan Nubatukan Omesuri Buyasuri
Lampiran / Annex
B-37
Lampiran 4.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi Annex 4.1 (contd): Health and Nutrition Indicators
Kecamatan/ Sub-district
No
Perempuan Buta Huruf / Female Peringkat / Rank Illiteracy (%)*
Angka Harapan Hidup/ Life Expectancy (Tahun / year)*
Peringkat / Rank
Berat Badan Balita di bawah Standar/ Underweight Children < 5 yrs (%)**
Peringkat / Rank
Desa dengan Jarak 5 km dari Fasilitas Kesehatan/ Villages > 5 km from Health Facilities (%)***
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Air Bersih/ Households without Access to Clean Drinking Water (%)*
Peringkat / Rank
Flores Timur 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181
Wulanggitang Titehena Ilebura Tanjung Bunga Lewolema Larantuka Ile Mandiri Demon Pagong Solor Barat Solor Timur Adonara Barat Wotan Ulumado Adonara Tengah Adonara Timur Ile Boleng Witihama Kelubagolit Adonara
15.38 15.38 15.38 15.38 14.11 15.38 15.38 15.02 13.62 14.37 15.08 14.72 13.97 15.10 13.23 15.38 15.38 14.52
186 186 186 186 140 186 186 179 124 154 181 169 136 183 116 186 186 158
70.39 70.78 59.92 69.57 60.28 71.22 70.97 60.76 70.44 69.89 70.02 70.65 58.13 70.04 70.88 70.06 71.39 59.73
212 220 51 196 54 228 224 58 214 204 207 219 38 208 222 210 233 49
83.00 26.70 15.00 36.00 20.00 74.00 49.00 34.30 28.70 69.30 71.30 29.00 25.70 11.00 37.30 66.00 8.70 26.30
252 94 28 175 50 251 238 161 112 249 250 117 89 13 188 248 7 93
10.00 16.67 20.00 14.29 28.57 0.00 0.00 16.67 16.67 15.79 6.25 8.33 0.00 5.26 0.00 7.69 0.00 71.43
128 164 185 146 215 1 1 164 164 162 108 120 1 104 1 115 1 278
4.92 7.38 7.65 6.44 7.23 8.05 4.83 6.24 8.14 7.62 7.25 8.14 8.65 8.00 8.14 8.14 6.23 7.03
11 18 20 14 16 22 10 13 23 19 17 23 30 21 23 23 12 15
5.85 7.93 7.17 8.91 8.42 7.84 7.81 8.93 8.36
2 51 39 68 60 48 47 71 59
73.17 73.57 59.53 74.03 73.42 64.99 63.17 74.01 73.81
262 264 46 269 263 102 81 268 267
39.20 41.00 36.70 28.40 32.60 36.00 47.10 33.90 38.70
198 210 183 107 141 175 237 155 194
25.00 40.00 0.00 0.00 0.00 0.00 25.00 16.67 22.22
197 243 1 1 1 1 197 164 193
42.77 34.17 38.38 20.54 29.66 27.38 30.37 48.75 46.25
221 158 181 89 134 122 139 258 251
Sikka 182 183 184 185 186 187 188 189 190
Paga Mego Tanawawo Lela Bola Doreng Mapitara Talibura Waigete
Lampiran / Annex
B-38
Lampiran 4.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi Annex 4.1 (contd): Health and Nutrition Indicators
No
Kecamatan/ Sub-district
Perempuan Buta Huruf / Female Peringkat / Rank Illiteracy (%)*
Angka Harapan Hidup/ Life Expectancy (Tahun / year)*
Peringkat / Rank
Berat Badan Balita di bawah Standar/ Underweight Children < 5 yrs (%)**
Peringkat / Rank
Desa dengan Jarak 5 km dari Fasilitas Kesehatan/ Villages > 5 km from Health Facilities (%)***
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Air Bersih/ Households without Access to Clean Drinking Water (%)*
Peringkat / Rank
Sikka 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202
Waiblama Kewapante Hewokloang Kangae Palue Koting Nelle Nita Magepanda Alok Alok Barat Alok Timur
8.06 6.01 6.49 7.67 5.84 6.72 7.93 11.32 7.20 8.91 9.30 8.91
54 6 14 46 1 22 50 90 40 68 76 68
61.61 74.56 63.44 63.77 73.64 63.66 61.20 74.18 73.65 72.30 62.93 61.86
63 271 86 90 265 87 60 270 266 251 77 67
44.30 34.50 34.30 33.90 28.70 28.40 28.10 30.80 39.70 26.10 34.90 27.10
228 164 161 155 112 107 103 131 201 92 168 98
33.33 12.50 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 16.67 20.00 0.00 0.00 0.00
228 137 1 1 1 1 1 164 185 1 1 1
47.39 27.11 28.29 29.39 25.99 26.25 27.29 43.04 44.74 44.25 45.33 45.88
256 119 128 133 109 112 121 224 239 234 244 250
Nangapanda Pulau Ende Maukaro Ende Ende Selatan Ende Timur Ende Tengah Ende Utara Ndona Ndona Timur Wolowaru Wolojita Lio Timur Kelimutu Ndori
8.04 7.13 8.22 7.58 8.46 9.95 9.95 15.03 10.03 5.91 6.71 8.24 8.31 8.43 8.25
53 37 55 43 62 80 80 180 82 3 18 56 58 61 57
66.84 67.32 66.69 67.03 66.90 49.99 56.37 55.65 67.51 65.65 67.72 67.43 65.88 67.18 57.20
143 162 139 151 146 7 23 19 166 109 168 164 117 154 31
32.33 34.33 21.88 37.80 22.70 26.76 27.04 17.78 32.79 40.36 29.85 24.76 36.36 38.85
138 163 253 64 190 72 95 97 36 143 206 123 85 179 197
16.67 0.00 20.00 16.67 0.00 0.00 0.00 0.00 7.14 16.67 0.00 16.67 0.00 25.00 0.00
164 1 185 164 1 1 1 1 111 164 1 164 1 197 1
16.92 15.98 16.92 14.36 13.28 12.29 11.29 13.28 8.92 10.48 8.29 9.27 8.29 9.29 10.29
71 64 70 58 54 52 47 54 31 43 27 34 28 35 42
Ende 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217
Lampiran / Annex
B-39
Lampiran 4.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi Annex 4.1 (contd): Health and Nutrition Indicators
Kecamatan/ Sub-district
No
Perempuan Buta Huruf / Female Peringkat / Rank Illiteracy (%)*
Angka Harapan Hidup/ Life Expectancy (Tahun / year)*
Peringkat / Rank
Berat Badan Balita di bawah Standar/ Underweight Children < 5 yrs (%)**
Peringkat / Rank
Desa dengan Jarak 5 km dari Fasilitas Kesehatan/ Villages > 5 km from Health Facilities (%)***
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Air Bersih/ Households without Access to Clean Drinking Water (%)*
Peringkat / Rank
Ende 218 219 220 221 222
Maurole Kotabaru Detukeli Detusoko Wewaria
7.03 7.20 6.34 10.45 9.22
33 41 11 83 74
65.64 66.45 67.21 67.18 66.30
108 131 156 155 124
39.78 31.89 28.52 28.70
253 202 135 109 112
33.33 28.57 46.15 8.33 41.18
228 215 254 120 249
9.80 8.95 10.48 9.31 10.02
37 32 43 36 39
Ngada 223 224 225 226 227 228 229
Aimere Jerebuu Bajawa Golewa Bajawa Utara Soa Riung
6.71 6.57 7.44 6.47 6.71 7.58 6.71
19 17 42 13 19 44 19
68.72 68.49 68.29 68.28 67.24 68.51 68.05
181 176 173 172 159 177 170
20.20 22.10 20.60 10.60 19.20 12.80 24.40
52 66 53 12 45 22 82
16.67 25.00 0.00 23.81 28.57 14.29 0.00
164 197 1 196 215 146 1
2.71 2.95 2.59 2.62 2.95 2.95 2.80
5 7 3 4 7 7 6
230 231
Riung Barat Wolomeze
7.09 5.93
34 5
68.83 55.99
183 20
41.00 -
210 253
33.33 25.00
228 197
2.52 2.38
2 1
Manggarai 232 233 234 235 236 237
Satarmese Satarmese Barat*) Langke Rembong Ruteng Wae Rii Lelak*)
14.30 12.02 13.78 13.73 13.55 11.65
145 100 132 130 121 94
70.94 59.60 71.07 72.03 72.34 53.97
223 48 226 245 254 10
19.70 18.30 12.70 31.30 22.90 15.00
48 38 21 132 74 28
26.32 47.37 0.00 7.14 6.25 0.00
211 256 1 111 108 1
26.88 23.63 26.42 19.61 24.51 21.24
118 102 115 81 104 92
238 239 240
Rahong Utara*) Cibal Reok
13.21 11.70 11.87
115 95 98
57.88 71.78 72.41
35 240 255
19.60 20.80 24.60
47 55 83
10.00 7.41 10.00
128 114 128
21.23 15.99 26.75
90 65 116
Lampiran / Annex
B-40
Lampiran 4.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi Annex 4.1 (contd): Health and Nutrition Indicators
Kecamatan/ Sub-district
No
Perempuan Buta Huruf / Female Peringkat / Rank Illiteracy (%)*
Angka Harapan Hidup/ Life Expectancy (Tahun / year)*
Berat Badan Balita di bawah Peringkat / Peringkat / Standar/ Rank Rank Underweight Children < 5 yrs (%)**
Desa dengan Jarak 5 km dari Fasilitas Kesehatan/ Villages > 5 km from Health Facilities (%)***
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Air Bersih/ Households without Access to Clean Drinking Water (%)*
Peringkat / Rank
Rote Ndao 241 242 243 244 245 246 247 248
Rote Barat Daya Rote Barat Laut Lobalain Rote Tengah Rote Selatan Pantai Baru Rote Timur Rote Barat
12.62 11.80 11.93 11.56 13.01 10.68 10.79 11.80
104 96 99 93 109 84 88 96
70.05 70.61 70.50 69.67 55.27 69.65 70.57 61.45
209 218 215 199 14 198 216 62
12.00 10.50 10.20 13.30 9.00 11.00 12.90 8.80
16 11 10 25 9 13 23 8
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
1 1 1 1 1 1 1 1
38.86 34.50 34.40 40.63 39.28 36.59 32.93 31.26
188 162 159 200 189 176 150 141
8.53 8.87 8.89 8.52 8.87 9.26 9.04
64 65 67 63 65 75 72
69.25 58.99 68.86 68.56 57.98 68.52 69.78
193 43 184 179 36 178 201
24.91 33.67 42.38 18.64 28.52 26.07 36.33
87 150 220 41 110 91 178
25.00 0.00 25.00 38.10 27.27 18.52 46.15
197 1 197 241 212 184 254
43.67 44.33 34.42 40.81 41.29 35.34 34.61
228 236 161 203 211 167 163
33.25 32.55 31.79 31.78
280 279 277 276
63.42 63.35 63.00 62.67
85 84 79 73
29.70 32.00 33.30 33.00
122 136 146 144
16.67 45.45 36.36 11.11
164 252 238 134
10.85 9.14 9.98 8.64
45 33 38 29
25.64 28.14 28.08 32.46
263 272 271 278
63.33 63.92 63.09 62.31
83 91 80 70
26.90 24.90 29.90 38.10
96 86 124 192
0.00 0.00 8.33 25.00
1 1 120 197
12.35 15.51 10.26 15.22
53 63 41 59
Manggarai Barat 249 250 251 252 253 254 255
Komodo Boleng Sano Nggoang Lembor Welak Kuwus Macang Pacar
Sumba Tengah 256 257 258 259
Katikutana Umbu Ratu Nggay Barat Umbu Ratu Nggay Mamboro
Sumba Barat Daya 260 261 262 263
Kodi Bangedo Kodi Kodi Utara Wewewa Selatan
Lampiran / Annex
B-41
Lampiran 4.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi Annex 4.1 (contd): Health and Nutrition Indicators
No
Kecamatan/ Sub-district
Perempuan Buta Huruf / Female Peringkat / Rank Illiteracy (%)*
Angka Harapan Hidup/ Life Expectancy (Tahun / year)*
Peringkat / Rank
Berat Badan Balita di bawah Standar/ Underweight Children < 5 yrs (%)**
Peringkat / Rank
Desa dengan Jarak 5 km dari Fasilitas Kesehatan/ Villages > 5 km from Health Facilities (%)***
Peringkat / Rank
Rumah Tangga tanpa Akses ke Air Bersih/ Households without Access to Clean Drinking Water (%)*
Peringkat / Rank
Sumba Barat Daya 264 265 266 267
Wewewa Barat Wewewa Timur Wewewa Utara Loura
28.48 29.60 26.69 29.74
273 274 269 275
61.96 59.91 61.99 62.85
68 50 69 74
13.90 21.40 45.70 45.70
27 61 234 234
0.00 15.00 0.00 8.33
1 157 1 120
16.83 15.28 15.24 15.27
69 62 60 61
Mauponggo Keo Tengah Nangaroro Boawae Aesesa Selatan Aesesa Wolowae
7.97 7.12 6.96 7.88 6.73 6.54 7.16
52 36 31 49 23 16 38
58.12 59.55 56.89 69.59 68.88 69.30 60.54
37 47 29 197 185 194 57
16.70 27.90 21.30 17.70 27.80 22.50 20.70
30 102 60 35 101 69 54
0.00 16.67 7.69 15.00 20.00 16.66 0.00
1 164 115 157 185 163 1
11.72 16.30 13.70 13.88 11.44 10.04 12.05
49 66 56 57 48 40 51
15.00 14.95 14.04 14.95 14.48 14.95
178 173 139 173 157 173
62.91 66.69 67.05 68.25 69.10 71.23
76 138 152 171 191 229
16.70 17.30 29.20 29.90 22.30 28.10
30 32 120 124 67 103
9.52 5.88 33.33 0.00 10.71 25.00
127 107 228 1 133 197
35.46 28.73 35.46 35.46 32.07 42.19
168 130 168 168 145 214
Nageleo 268 269 270 271 272 273 274
Manggarai Timur 275 276 277 278 279 280
Borong Kota Komba Elar Sambi Rampas Poco Ranaka Lamba Leda
Lampiran / Annex
B-42
Lampiran 5.1: Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 1997 - 2007 Annex 5.1: Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007 Akumulasi Curah Hujan Okt-Mar / Rainfall Accumulation Oct-Mar No
Kecamatan / Sub-district
30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Akumulasi Curah Hujan Apr-Sep / Rainfall Accumulation Apr-Sep 30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Sumba Barat 1 2 3 4 5 6
Lamboya Wanokaka Laboya Barat*) Loli Kota Waikabubak Tana Righu
1,369.00 1,336.00 1,423.00 1,480.00 1,698.00 1,461.00
1,127 1,280 1,349 1,395 1,566 1,349
82.32 95.84 94.77 94.28 92.20 92.34
406 343 440 454 665 455
369 344 433 441 642 441
90.77 100.32 98.43 97.14 96.51 96.94
1,577.00 1,423.00 1,499.00 1,484.00 1,844.00 1,733.00 1,230.00 1,283.00 1,813.00 1,105.00 1,280.00 1,309.00 724.00 1,237.00 648.00 892.00 801.00 1,102.00 716.00 969.00 1,321.00 885.00
1,982 1,551 1,553 1,549 1,582 1,507 1,132 1,006 1,558 946 1,009 1,151 600 1,127 504 753 691 1,044 695 838 1,326 858
125.70 109.00 103.63 104.36 85.80 86.99 92.05 78.41 85.94 85.64 78.84 87.94 82.89 91.09 77.77 84.39 86.25 94.78 97.12 86.50 100.39 96.93
442 370 450 431 459 444 275 378 434 261 374 325 213 298 171 226 167 328 156 218 407 229
432 351 421 403 413 395 339 266 384 243 269 325 147 326 120 181 182 308 196 227 384 245
97.65 94.91 93.66 93.42 89.96 88.92 123.44 70.25 88.50 92.96 71.80 99.89 69.14 109.49 69.99 80.29 109.20 94.04 125.41 104.17 94.28 106.83
Sumba Timur 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Lewa Nggaha Ori Angu Lewa Tidahu Katala Hamu Lingu Tabundung Pinupahar Paberiwai Karera Matawai La Pawu Kahaungu Eti Mahu Ngadu Ngala Pahunga Lodu Wula Waijelu Rindi Umalulu Pandawai Kambata Mapambuhang Kota Waingapu Kambera Haharu Kanatang
Lampiran / Annex
B-43
Lampiran 5.1 (lanjutan): Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 1997 - 2007 Annex 5.1 (contd): Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007 Akumulasi Curah Hujan Okt-Mar / Rainfall Accumulation Oct-Mar No
Kecamatan / Sub-district
30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Akumulasi Curah Hujan Apr-Sep / Rainfall Accumulation Apr-Sep 30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Sabu Raijua 29 30 31 32 33 34
Raijua Sabu Barat Hawu Mehara Sabu Timur Sabu Liae Sabu Tengah
1,201.00 1,129.00 1,185.00 1,086.00 1,189.00 1,135.00
1,113 1,092 1,115 1,015 1,124 1,094
92.67 96.75 94.09 93.48 94.50 96.40
303 259 275 143 264 252
277 235 249 124 230 226
91.27 90.91 90.68 86.40 87.29 89.75
1,301.00 1,247.00 1,307.00 1,358.00 1,439.00 1,429.00 1,451.00 1,160.00 1,421.00 1,287.00 1,583.00 1,305.00 1,427.00 1,472.00 1,131.00 1,471.00 1,412.00 1,273.00 1,276.00 1,342.00 1,400.00
1,342 1,232 1,336 1,423 1,504 1,602 1,609 1,371 1,586 1,479 1,956 1,529 1,698 1,775 1,286 1,692 1,649 1,527 1,468 1,516 1,269
103.18 98.83 102.25 104.77 104.55 112.14 110.88 118.18 111.60 114.93 123.56 117.17 118.97 120.58 113.69 115.03 116.82 119.97 115.04 112.96 90.62
211 198 205 209 130 206 180 188 206 261 232 279 235 236 164 251 251 306 277 256 184
202 187 195 199 148 198 172 225 199 255 233 276 232 235 134 253 254 314 291 258 137
95.61 94.35 94.94 95.13 113.92 96.25 95.51 119.58 96.51 97.70 100.39 98.83 98.84 99.77 81.98 100.72 101.27 102.55 105.19 100.75 74.44
Kupang 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
Semau Semau Selatan Kupang Barat Nekamese Kupang Tengah Taebenu Amarasi Amarasi Barat Amarasi Selatan Amarasi Timur Kupang Timur Amabi Oefeto Timur Amabi Oefeto Sulamu Fatuleu Fatuleu Tengah Fatuleu Barat Takari Amfoang Selatan Amfoang Barat Daya Amfoang Utara
Lampiran / Annex
B-44
Lampiran 5.1 (lanjutan): Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 1997 - 2007 Annex 5.1 (contd): Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007 Akumulasi Curah Hujan Okt-Mar / Rainfall Accumulation Oct-Mar No
Kecamatan / Sub-district
30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Akumulasi Curah Hujan Apr-Sep / Rainfall Accumulation Apr-Sep 30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Kupang 56 57
Amfoang Barat Laut Amfoang Timur
1,339.00 1,250.00
1,376 1,456
102.78 116.45
226 293
208 335
92.00 114.37
1,345.00 1,195.00 1,181.00 1,227.00 1,232.00 1,061.00 1,229.00 1,232.00 1,319.00 1,175.00 1,197.00 1,108.00 993.00 1,149.00 1,096.00 1,050.00 1,025.00 1,068.00 1,033.00 805.00 1,028.00 810.00 1,037.00 1,046.00 945.00
1,559 1,688 1,662 1,550 1,502 1,393 1,513 1,535 1,625 1,417 1,445 1,406 1,109 1,384 1,340 1,207 1,359 1,311 1,351 1,023 1,294 1,028 1,298 1,261 1,155
115.91 141.26 140.74 126.34 121.91 131.28 123.11 124.58 123.19 120.61 120.68 126.94 111.73 120.46 122.30 114.94 132.59 122.76 130.74 127.09 125.88 126.94 125.20 120.58 122.17
449 359 369 336 369 355 340 389 357 438 354 374 387 376 376 370 343 367 344 233 353 252 359 365 340
420 459 458 383 402 381 354 386 477 298 355 336 344 353 350 347 276 350 297 328 333 332 344 356 326
93.50 127.98 124.19 114.10 108.94 107.40 104.06 99.14 133.61 68.12 100.18 89.89 88.89 93.76 93.01 93.91 80.55 95.49 86.28 140.85 94.26 131.78 95.82 97.43 95.97
Timor Tengah Selatan 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82
Mollo Utara Fatumnasi Tobu Nunbena Mollo Selatan Polen Mollo Barat Mollo Tengah Kota Soe Amanuban Barat Batu Putih Kuatnana Amanuban Selatan Noebeba Kuan Fatu Kualin Amanuban Tengah Kolbano Oenino Amanuban Timur Fautmolo Fatukopa Kie Kot’Olin Amanatun Selatan
Lampiran / Annex
B-45
Lampiran 5.1 (lanjutan): Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 1997 - 2007 Annex 5.1 (contd): Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007 Akumulasi Curah Hujan Okt-Mar / Rainfall Accumulation Oct-Mar No
Kecamatan / Sub-district
30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Akumulasi Curah Hujan Apr-Sep / Rainfall Accumulation Apr-Sep 30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Timor Tengah Selatan 83 84 85 86 87 88 89
Boking Nunkolo Noebana Santian Amanatun Utara Toianas Kokbaun
974.00 1,007.00 974.00 950.00 899.00 930.00 911.00
1,209 1,252 1,220 1,177 1,087 1,126 1,068
124.10 124.37 125.27 123.86 120.88 121.08 117.18
364 360 341 359 415 406 434
364 357 343 360 331 381 393
99.98 99.12 100.64 100.15 79.74 93.91 90.57
1,315.00 1,129.00 1,156.00 1,197.00 1,125.00 1,011.00 1,074.00 1,123.00 1,118.00 1,094.00 1,032.00 959.00 1,086.00 854.00 911.00 1,073.00 974.00 1,011.00
2,226 1,533 1,630 1,758 1,431 1,295 1,332 1,429 1,457 1,396 1,275 1,201 1,324 888 996 1,323 1,138 1,226
169.31 135.74 141.03 146.89 127.16 128.06 123.99 127.27 130.29 127.57 123.56 125.27 121.89 104.03 109.28 123.32 116.79 121.23
488 297 312 369 254 287 196 253 262 243 220 314 132 119 157 184 185 214
693 431 450 511 364 356 313 364 380 354 315 356 280 193 223 307 253 310
142.01 144.96 144.09 138.61 143.45 124.20 159.65 143.84 145.04 145.64 143.02 113.32 212.40 161.80 141.81 166.95 136.90 144.90
896.00 943.00
842 1,125
93.93 119.31
75 281
121 327
160.97 116.31
Timor Tengah Utara 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107
Miomaffo Barat Miomaffo Tengah Musi Mutis Miomaffo Timur Noemuti Bikomi Selatan Bikomi Tengah Bikomi Nilulat Bikomi Utara Naibenu Noemuti Timur Kota Kefamenanu Insana Insana Utara Insana Barat Insana Tengah Insana Fafinesu
108 109
Biboki Selatan Biboki Tanpah
Lampiran / Annex
B-46
Lampiran 5.1 (lanjutan): Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 1997 - 2007 Annex 5.1 (contd): Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007 Akumulasi Curah Hujan Okt-Mar / Rainfall Accumulation Oct-Mar No
Kecamatan / Sub-district
30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Akumulasi Curah Hujan Apr-Sep / Rainfall Accumulation Apr-Sep 30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Timor Tengah Utara 110 111 112 113
Biboki Moenleu Biboki Utara Biboki Anleu Biboki Feotleu
915.00 883.00 948.00 915.00
961 1,051 984 1,058
105.01 119.03 103.81 115.68
144 153 155 185
196 203 112 228
136.24 132.74 72.26 123.24
Malaka Barat Rinhat Wewiku Weliman Malaka Tengah Sasita Mean Botin Leobele Io Kufeu Malaka Timur Laen Manen
905.00 950.00 924.00 901.00 886.00 903.00 896.00 915.00 909.00 903.00 913.00 916.00 983.00 910.00 1,114.00 920.00 941.00 933.00 1,553.00 1,111.00 1,078.00 1,039.00 1,244.00 1,038.00
1,051 1,190 1,095 1,041 1,000 1,046 1,029 1,076 1,065 1,048 1,081 1,084 1,234 1,073 1,053 1,097 1,122 1,103 1,688 1,588 1,498 1,392 1,579 1,392
116.12 125.27 118.46 115.55 112.92 115.84 114.89 117.56 117.12 116.04 118.37 118.29 125.52 117.89 94.53 119.28 119.28 118.19 108.71 142.89 138.98 134.01 126.92 134.09
527 493 469 526 583 493 518 454 420 431 317 378 299 176 406 251 197 191 316 195 204 212 232 223
523 472 459 509 547 484 501 455 427 437 330 396 334 240 174 297 241 228 215 255 270 272 230 284
99.21 95.70 97.91 96.80 93.81 98.17 96.70 100.18 101.77 101.48 104.22 104.74 111.74 136.11 42.79 118.36 122.15 119.37 68.10 131.00 132.49 128.47 98.94 127.40
Belu 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137
Rai Manuk Kobalima Kobalima Timur Tasifeto Barat Kakuluk Mesak Nanaet Dubesi Atambua Atambua Barat Atambua Selatan Tasifeto Timur Raihat Lasiolat Lamaknen Lamaknen Selatan
Lampiran / Annex
B-47
Lampiran 5.1 (lanjutan): Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 1997 - 2007 Annex 5.1 (contd): Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007 Akumulasi Curah Hujan Okt-Mar / Rainfall Accumulation Oct-Mar No
Kecamatan / Sub-district
30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Akumulasi Curah Hujan Apr-Sep / Rainfall Accumulation Apr-Sep 30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Alor 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154
Pantar Pantar Barat Pantar Timur Pantar Barat Laut Pantar Tengah Alor Barat Daya Mataru Alor Selatan Alor Timur Alor Timur Laut Pureman Teluk Mutiara Kabola Alor Barat Laut Alor Tengah Utara Pulau Pura Lembur
826.00 810.00 832.00 804.00 822.00 855.00 868.00 875.00 922.00 889.00 913.00 851.00 851.00 851.00 856.00 849.00 868.00
896 859 908 843 881 954 972 984 1,068 1,003 1,052 956 956 957 959 940 973
108.45 106.03 109.10 104.81 107.16 111.63 112.03 112.51 115.88 112.81 115.18 112.36 112.32 112.41 111.99 110.75 112.14
156 135 157 132 140 177 176 182 198 182 194 188 189 192 183 171 177
162 135 166 143 161 178 181 193 221 197 218 178 177 178 178 172 180
104.02 100.20 105.62 108.33 114.87 100.31 102.63 105.99 111.75 108.09 112.46 94.54 93.89 92.61 97.22 100.53 101.90
647.00 739.00 938.00 723.00 721.00 696.00 598.00 894.00 759.00
651 724 1,062 673 694 724 578 986 743
100.56 98.03 113.18 93.06 96.29 103.97 96.63 110.29 97.83
100 112 142 110 110 106 71 137 133
107 124 165 108 113 115 95 102 121
106.91 110.96 116.26 98.43 103.14 108.32 133.93 74.25 91.32
Lembata 155 156 157 158 159 160 161 162 163
Nagawutung Wulandoni Atadei Ile Ape Ile Ape Timur Lebatukan Nubatukan Omesuri Buyasuri
Lampiran / Annex
B-48
Lampiran 5.1 (lanjutan): Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 1997 - 2007 Annex 5.1 (contd): Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007 Akumulasi Curah Hujan Okt-Mar / Rainfall Accumulation Oct-Mar No
Kecamatan / Sub-district
30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Akumulasi Curah Hujan Apr-Sep / Rainfall Accumulation Apr-Sep 30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Flores Timur 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181
Wulanggitang Titehena Ilebura Tanjung Bunga Lewolema Larantuka Ile Mandiri Demon Pagong Solor Barat Solor Timur Adonara Barat Wotan Ulumado Adonara Tengah Adonara Timur Ile Boleng Witihama Kelubagolit Adonara
1,296.00 1,069.00 796.00 1,475.00 1,190.00 1,000.00
104.78 99.36 106.53 78.34 87.15 97.66
1,065.00 1,014.00 654.00 810.00 906.00 855.00 916.00 760.00 753.00 769.00 799.00 821.00
1,358 1,062 848 1,156 1,037 977 990 983 727 862 907 883 824 763 725 741 778 786
Paga Mego Tanawawo Lela Bola Doreng Mapitara Talibura Waigete
923.00 1,006.00 1,022.00 1,071.00 879.00 1,005.00 1,069.00 1,567.00 1,028.00
933 1,043 1,089 1,019 917 1,014 1,062 1,417 1,031
92.92 96.92 111.18 106.43 100.06 103.31 89.99 100.38 96.23 96.36 97.37 95.68
259 193 131 163 168 198 175 171 96 156 161 160 136 121 113 118 129 141
249 184 114 169 162 164 159 159 78 143 150 185 141 136 122 128 135 142
96.10 95.20 87.09 103.87 96.21 82.64 90.96 92.77 81.13 91.87 93.39 115.85 103.88 112.32 107.80 108.78 104.44 101.03
101.12 103.68 106.54 95.19 104.35 100.91 99.35 90.42 100.33
301 288 288 294 216 230 245 278 227
261 269 325 258 263 261 257 248 258
86.71 93.28 112.94 87.79 121.76 113.28 104.90 89.05 113.86
Sikka 182 183 184 185 186 187 188 189 190
Lampiran / Annex
B-49
Lampiran 5.1 (lanjutan): Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 1997 - 2007 Annex 5.1 (contd): Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007 Akumulasi Curah Hujan Okt-Mar / Rainfall Accumulation Oct-Mar No
Kecamatan / Sub-district
30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Akumulasi Curah Hujan Apr-Sep / Rainfall Accumulation Apr-Sep 30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Sikka 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202
Waiblama Kewapante Hewokloang Kangae Palue Koting Nelle Nita Magepanda Alok Alok Barat Alok Timur
1,319.00 775.00 844.00 803.00 1,035.00 940.00 894.00 1,029.00 915.00 792.00 848.00 857.00
1,281 847 895 866 1,030 954 924 1,121 828 872 904 904
97.12 109.26 106.07 107.80 99.51 101.50 103.32 108.91 90.49 110.09 106.63 105.46
254 184 200 193 272 242 220 279 166 198 210 209
224 266 264 265 235 260 262 348 128 211 221 260
88.22 144.61 131.95 137.12 86.50 107.33 118.97 124.73 77.22 106.75 105.24 124.31
Nangapanda Pulau Ende
796.00 974.00 1,011.00 1,043.00 852.00 1,033.00 1,023.00 998.00 1,049.00 1,076.00 1,084.00 1,058.00 741.00 1,101.00 1,076.00
939 1,050 1,040 1,049 778 1,047 1,038 1,028 1,067 1,078 1,148 1,095 527 1,089 1,136
118.00 107.76 102.82 100.59 91.26 101.36 101.49 103.02 101.72 100.19 105.88 103.49 71.16 98.87 105.62
296 349 339 378 341 373 366 353 405 413 616 467 300 419 597
241 256 268 285 196 297 298 287 348 338 585 423 184 325 566
81.54 73.46 78.92 75.37 57.55 79.55 81.40 81.41 85.93 81.95 94.97 90.56 61.27 77.65 94.73
Ende 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217
Maukaro Ende Ende Selatan Ende Timur Ende Tengah Ende Utara Ndona Ndona Timur Wolowaru Wolojita Lio Timur Kelimutu Ndori
Lampiran / Annex
B-50
Lampiran 5.1 (lanjutan): Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 1997 - 2007 Annex 5.1 (contd): Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007 Akumulasi Curah Hujan Okt-Mar / Rainfall Accumulation Oct-Mar No
Kecamatan / Sub-district
30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Akumulasi Curah Hujan Apr-Sep / Rainfall Accumulation Apr-Sep
Deviasi / Deviation (%)
30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Ende 218 219 220 221 222
Maurole Kotabaru Detukeli Detusoko Wewaria
1,096.00 1,054.00 1,162.00 1,328.00 1,272.00
1,097 1,051 1,107 1,191 1,262
100.12 99.68 95.27 89.71 99.24
209 224 408 482 306
184 199 268 263 299
88.21 88.80 65.57 54.52 97.86
Aimere Jerebuu Bajawa Golewa Bajawa Utara Soa Riung Riung Barat Wolomeze
722.00 1,402.00 1,838.00 1,734.00 1,663.00 1,206.00 791.00 1,381.00 1,279.00
715 1,422 2,203 1,615 1,955 1,284 861 1,601 1,425
98.99 101.41 119.84 93.16 117.59 106.49 108.88 115.96 111.45
124 485 725 617 660 256 248 385 367
123 437 558 580 520 190 197 344 315
99.27 90.03 76.98 94.00 78.72 74.25 79.55 89.28 85.86
544.00 589.00 1,864.00 2,168.00 2,033.00 1,831.00 2,112.00 2,608.00 1,342.00
768 761 1,812 2,366 2,003 1,668 2,112 2,765 1,130
141.16 129.26 97.22 109.15 98.52 91.10 100.02 106.03 84.22
376 382 749 1.209 797 933 860 955 250
366 371 677 1.024 738 804 803 980 179
97.41 97.10 90.45 84.68 92.59 86.19 93.41 102.60 71.67
Ngada 223 224 225 226 227 228 229 230 231
Manggarai 232 233 234 235 236 237 238 239 240
Satarmese Satarmese Barat*) Langke Rembong Ruteng Wae Rii Lelak*) Rahong Utara*) Cibal Reok
Lampiran / Annex
B-51
Lampiran 5.1 (lanjutan): Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 1997 - 2007 Annex 5.1 (contd): Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007 Akumulasi Curah Hujan Okt-Mar / Rainfall Accumulation Oct-Mar No
Kecamatan / Sub-district
30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Akumulasi Curah Hujan Apr-Sep / Rainfall Accumulation Apr-Sep 30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
Rote Ndao 241 242 243 244 245 246 247 248
Rote Barat Daya Rote Barat Laut Lobalain Rote Tengah Rote Selatan Pantai Baru Rote Timur Rote Barat
1,275.00 1,250.00 1,451.00 1,388.00 1,318.00 1,067.00 1,104.00 1,268.00
1,326 1,349 1,364 1,308 1,248 962 970 1,327
104.03 107.92 93.99 94.26 94.72 90.15 87.86 104.67
146 128 191 185 175 135 160 143
139 130 150 150 151 145 129 139
95.33 101.92 78.77 81.13 86.08 107.74 80.91 97.52
901.00 1,575.00 1,575.00 1,444.00 2,063.00 2,260.00 2,275.00
852 1,417 1,412 1,392 1,869 2,111 2,094
94.57 89.96 89.62 96.42 90.58 93.40 92.02
327 581 783 689 942 1.274 825
305 549 553 628 845 1.047 931
93.33 94.51 70.57 91.21 89.73 82.19 112.88
665.00 510.00 -
546 504 526 358
82.13 103.16 -
1.725 1.554 1.580 1.363
1.584 1.500 1.550 1.169
91.82 98.09 -
1,594.00 1,602.00 1,665.00 1,630.00
1,482 1,487 1,538 1,519
93.00 92.85 92.39 93.22
571 559 629 592
554 541 607 573
96.98 96.85 96.53 96.85
Manggarai Barat 249 250 251 252 253 254 255
Komodo Boleng Sano Nggoang Lembor Welak Kuwus Macang Pacar
Sumba Tengah 256 257 258 259
Katikutana Umbu Ratu Nggay Barat Umbu Ratu Nggay Mamboro
Sumba Barat Daya 260 261 262 263
Kodi Bangedo Kodi Kodi Utara Wewewa Selatan
Lampiran / Annex
B-52
Lampiran 5.1 (lanjutan): Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 1997 - 2007 Annex 5.1 (contd): Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007 Akumulasi Curah Hujan Okt-Mar / Rainfall Accumulation Oct-Mar No
Kecamatan / Sub-district
Akumulasi Curah Hujan Apr-Sep / Rainfall Accumulation Apr-Sep
30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Deviasi / Deviation (%)
30 tahun/ years Normal
10 tahun/ years (1997/982007/08)
Wewewa Barat Wewewa Timur Wewewa Utara Loura
1,637.00 1,914.00 1,481.00 1,285.00
1,432 1,516 1,383 1,029
87.45 79.22 93.40 80.11
963 758 465 333
688 626 451 319
71.48 82.62 97.01 95.71
Mauponggo Keo Tengah Nangaroro Boawae Aesesa Selatan Aesesa Wolowae
1,026.00 1,121.00 1,425.00 1,121.00 1,112.00 650.00 972.00
1,006 1,183 1,248 1,297 1,229 819 1,073
98.09 105.56 87.59 115.67 110.51 125.96 110.38
516 390 385 229 331 120 309
472 359 357 244 303 166 273
91.38 91.98 92.75 106.39 91.57 138.26 88.32
1,417.00 1,437.00 2,187.00 2,258.00 2,781.00 1,898.00
1,052 1,366 2,986 2,263 2,541 1,961
74.21 95.06 136.54 100.21 91.36 103.30
572 495 742 745 936 519
433 412 861 675 767 544
75.64 83.14 116.07 90.58 81.97 104.85
Deviasi / Deviation (%)
Sumba Barat Daya 264 265 266 267 Nageleo 268 269 270 271 272 273 274
Manggarai Timur 275 276 277 278 279 280
Borong Kota Komba Elar Sambi Rampas Poco Ranaka Lamba Leda
Lampiran / Annex
B-53
Lampiran 6.1 Principal Component Analysis (PCA-Analisis Komponen Utama) dan Cluster Analysis (Analisis Kelompok): Untuk Analisa hubungan antar indikator ketahanan pangan
Annex 6.1
Salah satu bidang ilmu statistik yang disebut analisis multivariat atau analisis peubah ganda menyediakan beberapa teknik untuk menganalisis data multi dimensi yang dapat menggambarkan hubungan antara berbagai variabel/indikator dari ketahanan pangan. Analisis Komponen Utama (PCA) dan Analisis Kelompok adalah analisis multivariate yang digunakan untuk menganalisa hubungan antar indikator-indikator ketahanan pangan dan mengidentifikasi kecamatan-kecamatan dengan tingkat kerentanan yang lebih tinggi terhadap kerawanan pangan.
A domain of statistics called multivariate analysis offers several techniques for multi-dimensional data analysis in order to capture the essence of the relationship among various indicators of food security. Principal Component Analysis (PCA) and Cluster Analysis are the multivariate analysis used for analyzing relationship among food security indicators and identifying sub-districts with higher vulnerability to food insecurity.
1. Analisis Komponen Utama (PCA)
1. Principal Component Analysis (PCA)
Metode ini bertujuan untuk mengindentifikasi dan menggambarkan hubungan mendasar antar variabel dengan menciptakan indikator baru (disebut ‘faktor’ atau ‘komponen utama’) yang menggambarkan hubungan antar variabel. Satu analisis PCA dapat diaplikasikan untuk indikator-indikator ketahanan pangan secara umum (mencakup ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan).
The objective of PCA is to identify and describe the underlying relationships amongst the variables by creating new indicators (called ‘factors’ or ‘principal components’) that capture the essence of the associations between variables. A single PCA can be applied to food security indicators in general (covering food availability, access, utilization).
Misalkan ada beberapa variabel yang berhubungan dengan ketahanan pangan, PCA sangat penting dalam proses seleksi untuk pereduksian data. Sebuah seri variabel yang mengukur kategori tertentu (misalnya akses pangan) dikonversi ke dalam komponen utama yang menggambarkan hubungan antar variabel asal. Setiap komponen utama kemudian menjadi indikator baru yang mewakili rangkuman “terbaik” hubungan linear antar variabel asal. PCA menghasilkan komponen utama sebanyak variabel asal. Namun, kontribusi setiap komponen utama dalam menjelaskan keragaman antar kecamatan yang ditemukan akan makin berkurang dari komponen pertama hingga komponen terakhir. Akibatnya, serangkaian komponen utama yang terpilih akan menjelaskan sebagian besar matrix keragaman sehingga komponen utama dengan kemampuan menjelaskan yang kecil dapat dikeluarkan dari analisa. Proses ini akan menghasilkan jumlah komponen yang lebih sedikit dari jumlah indikator tanpa banyak kehilangan informasi data asal.
Suppose one has several variables relevant to food security, PCA is essentially a process of data reduction. A series of variables measuring a particular category (e,g, food access) are optimized into principal components capturing the essence of the relationships among initial variables. Each principal component is thus a new indicator that represents the “best” summary of the linear relationship among the initial variables. PCA yields as many principal components as there are initial variables. However, the contribution of each principal component in explaining the total variance found amongst sub-districts will progressively decrease from the first principal component to the last. As a result, a limited set of principal components explain the majority of the matrix variability and principal components with little explanatory power can be removed from the analysis. The result is data reduction with relatively little loss of information.
Secara umum skor komponen utama (PCj) didefinisikan sebagai kombinasi linear terboboti dari peubah asal.
PCj = a1jX1 + a2jX2 + … + apjXp
Banyaknya komponen utama terpilih tergantung pada besarnya persentase keragaman kumulatif yang dijelaskan oleh tiap komponen utama. Morrison (1976) menyatakan bahwa persentase keragaman kumulatif harus menjelaskan 75% atau lebih dari total keragaman.
Principal Component Analysis and Cluster Analysis: analyzing relationships among food security indicators
In general, the score of principal component (PCj) is defined as weighted linear combination of the original indicator.
PCj = a1jX1 + a2jX2 + … + apjXp
The number of principal components selected depends on the cumulative percentage of variance explained by each principal component. Morrison (1976) suggests that cumulative percentage of variance should explain 75% or more of total variance.
2. Analisis Kelompok (Cluster Analysis)
2. Cluster Analysis
Analisis kelompok adalah metode analisis multivariat untuk mengelompokkan obyek menjadi kelompok yang relatif lebih homogen yang di sebut ‘cluster’ dengan menghitung jarak antar titik tengah data. Hasil akhir analisis adalah untuk mendapatkan cluster-cluster dengan karakteristik obyek yang lebih mirip.
Cluster analysis is a multivariate analysis method to group the objects into relatively homogenenous groups called ‘clusters’ by measuring the distance between data points. The final result of the analysis is to obtain the clusters with similar characteristics of objects.
Kelompok kecamatan prioritas ditentukan dengan menggunakan dua teknik analisis multivariat di atas. Langkah-langkah analisis lebih rinci dijelaskan di bawah ini.
Priority sub-districts are determined using above two multivariate analysis techniques. The detailed analysis procedures are described as below. Lampiran / Annex
B-54
1. Persiapan analisis data
1. Data preparation
• Semua indikator pada awalnya dibuat “unidirectional’ – semakin besar nilainya, semakin tinggi tingkat kerawanannya. • Melakukan standarisasi data dengan mengggunakan Z-skor. Z-skor dihitung dengan cara mengurangi rata-rata nilai indikator yang terkait di sebuah kecamatan dan kemudian dibagi dengan standar deviasi dari indikator tersebut. Angka Z-skor bisa positif atau negatif; angka rata-rata selalu ‘nol’ dan standar deviasi Z-skor selalu ‘satu’.
• All indicators were first made unidirectional – the larger the value, the higher the vulnerability. • The data was then standardized using the Z-score. Z-scores are computed by subtracting the mean of an indicator from the individual value pertaining to a sub-district and then dividing it by the standard deviation of the indicator. The Z-score value could be both positive as well as negative; the mean should be always ‘zero’ and the standard deviation of the Z-scores should be always ‘one’. 2. Determine the number of principal components by PCA
2. Penentuan jumlah komponen utama dengan menggunakan PCA.
• The PCA was run with the Z-scores. As Table 1 below shows, the first Principal Component (PC1) has significant contribution in describing the variance of information in the original data (25.1%), followed by second Principal Component (PC2) (14.8%) and third Principal Component (PC3) (13.1%). The cumulative percentage of variance reaches a satisfactory level (89.2%) when 7 components were involved.
• PCA dijalankan dengan menggunakan Z-skor. Seperti terlihat pada tabel 1 di bawah ini, komponen utama pertama (PC1) paling besar kontribusinya dalam menjelaskan keragaman (informasi) data asal yaitu sebesar 25,1%, diikuti komponen utama kedua (PC2) (14,8%) dan komponen utama ketiga (PC3) (13,1%). Persentase keragaman kumulatif mencapai tingkat yang memuaskan (89,2%) ketika 7 komponen dimasukan dalam analisis.
Tabel 1. Analisis Eigen untuk Komponen Matrix Table 1. Eigen Analysis of the Correlation Matrix PC1
PC2
PC3
PC4
PC5
PC6
PC7
PC8
PC9
Eigenvalue
2.2610
1.3362
1.1810
1.0211
0.8323
0.7654
0.6295
0.5375
0.4361
Proportion
0.251
0.148
0.131
0.113
0.092
0.085
0.070
0.060
0.048
Cumulative
0.251
0.400
0.531
0.644
0.737
0.822
0.892
0.952
1.000
Variabel/Variable
PC1
PC2
PC3
PC4
PC5
PC6
PC7
PC8
Electricity_Z
-0.167
0.081
-0.568
0.464
-0.447
0.380
0.254
-0.135
0.030
Water_Z
0.477
-0.129
-0.077
-0.070
0.173
0.232
0.578
0.565
-0.086
Illiteracy_Z
0.538
-0.043
-0.002
-0.069
-0.040
0.228
-0.159
-0.279
0.739
Poverty_Z
0.008
-0.515
0.810
0.427
0.141
0.516
-0.271
-0.031
-0.215
Road_Z
0.443
0.116
-0.324
-0.346
-0.071
0.216
-0.345
-0.236
-0.583
Health_Z
0.081
-0.428
-0.576
0.232
0.249
-0.399
-0.361
0.255
0.091
Underweight_Z
0.237
0.545
0.186
0.396
-0.228
-0.043
-0.398
0.493
-0.003
Life_Exp2_Z
0.213
-0.446
0,207
-0.061
-0.759
-0.346
0.065
0.033
-0.094
NCPR_Z
0.388
0.131
0.108
0.509
0.232
-0.396
0.301
-0.467
-0.204
PC9
Lampiran / Annex
B-55
3. Melakukan pengelompokan komponen dengan Analisis Kelompok.
3. Grouping of components by Cluster Analysis
6 cluster terbentuk dari hasil Analisis Kelompok. Cluster 1 (38 kecamatan), Cluster 2 (31 Kecamatan), Cluster 3 (66 Kecamatan), Cluster 4 (40 Kecamatan), Cluster 5 (56 Kecamatan), dan Cluster 6 (49 Kecamatan). Dan perlu dicatat bahwa Cluster tidak menunjukkan tingkat prioritas pada proses ini (Tabel 2 dan Tabel 3).
As a result of cluster analysis, 6 clusters were formed. Cluster 1 includes 38 sub-districts, Cluster 2 includes 31 sub-districts, Cluster 3 includes 66 sub-districts, Cluster 4 includes 40 sub-districts, Cluster 5 includes 56 sub-districts and Cluster 6 includes 49 sub-districts. It should be noted that clusters do not indicate priority level at this stage of the process (Table 2 and Table 3).
Tabel 2. Analisis Kelompok dari Observasi Table 2. Cluster Analysis of Observations Number of observations
Within cluster sum of squares
Average distance from centroid
Maximum distance from centroid
Cluster1
66
212.2960
1.6538
3.4640
Cluster2
38
137.6250
1.8206
3.8986
Cluster3
31
184.6860
2.3279
4.0480
Cluster4
56
463.4080
2.1808
15.4649
Cluster5
40
171.4010
1.9539
3.6122
Cluster6
49
140.1440
1.6004
3.4063
4. Menentukan tingkat prioritas dari cluster.
4. Determine the priority level of clusters
Cluster Centroids dihitung untuk setiap komponen utama (PC1 – PC7) berdasarkan hasil Analisis Kelompok. Komponen utama pertama (PC1) yang paling besar kontribusinya dalam menjelaskan keragaman data (25,1%) menjadi dasar dalam menghitung tingkat kerentanan cluster. Dengan kata lain, semakin besar cluster centroid PC1 menunjukan semakin tinggi tingkat kerentanan terhadap kerawanan pangan. Tabel 4 di bawah ini menunjukan cluster centroids PC1 diurutkan dari yang terbesar hingga terkecil.
Cluster centroids are calculated for each principal component (PC1 to PC7) based on the result of cluster analysis. The first principal component (PC1) which accounts for the highest variance of the data (25.1%) was selected as a primary means of measuring the vulnerability level of the clusters. In other words, the larger cluster centroid of PC1 indicates higher vulnerability to food insecurity. Table 4 below shows the cluster centroids of PC1 in descending order.
Tabel 3. Titik Tengah Cluster Table 3. Cluster Centroids Kelompok/ Cluster4
Kelompok/ Cluster1
Kelompok/ Cluster2
PC1
0.7423
1.4424
1.2832
-0.9238
0.2024
-2.0398
PC2
1.1572
0.0485
-1.2390
0.2266
-0.8254
-0.3975
PC3
0.0404
0.0684
-0.9223
-0.4478
1.0298
0.1472
PC4
-0,0499
0.1421
-1.0581
0.4321
1.0078
-0.6901
PC5
0.2064
-1.0182
0.4188
0.3623
0.1556
-0.2945
PC6
0.2564
-0.7565
0.3730
-0.4542
0.6583
-0.0130
PC7
0.0942
-0,2454
0.5972
0.2123
-0.3748
-0.2511
Variabel/Variable
Kelompok/ Cluster3
Kelompok/ Cluster5
Kelompok/ Cluster6
Lampiran / Annex
B-56
Tabel 4. Cluster Centroid komponen utama 1 (PC1) diurutkan dari yang terbesar hingga terkecil Table 4. Cluster Centroid of Principal Component 1 (PC1) in descending order Kelompok / Cluster
Cluster Centroid
2
1.4424
3
1.2832
1
0.7423
5
0.2024
4
-0.9238
6
-2.0398
Akhirnya, 6 cluster akan dibuat peringkatnya yaitu dari prioritas 1 hingga prioritas 6 berdasarkan cluster centroids PC1. Tabel 5 merangkum centroid PC1 dan jumlah kecamatan di tiap kelompok prioritas.
Finally, 6 clusters were ranked from priority 1 to priority 6 based on the cluster centroids of PC1. Table 5 summarises the centroid of PC1 and the number of sub-districts for each priority group.
Tabel 5. Centroid PC1 dan Jumlah Kecamatan pada tiap Kelompok Prioritas Table 5. The centroid of PC1 and the Number of Sub-districts for each Priority Group Kelompok / Cluster
Skor PC1 / PC1 Score
1
2
1.4424
38
2
3
1.2832
31
3
1
0.7423
66
4
5
0.2024
40
5
4
-0.9238
56
6
6
-2.0398
49
Prioritas / Priority
#Kecamatan / # Sub-districts
Lampiran / Annex
B-57
Lampiran 6.2: Peringkat Kecamatan Berdasarkan Indikator Individu dan Kelompok Prioritas Ketahanan Pangan Komposit Annex 6.2: Ranking of Sub-districts Based on Individual Indicators and Composite Food Security Priority Group .DEXSDWHQ 'LVWULFW 6XPED%DUDW 6DEX5DLMXD 6DEX5DLMXD .XSDQJ .XSDQJ .XSDQJ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ J 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK8WDUD 7L 7LPRU7HQJDK8WDUD 7 K 8W 7LPRU7HQJDK8WDUD 7LPRU7HQJDK8WDUD 7LPRU7HQJDK8WDUD 7LPRU7HQJDK8WDUD 7LPRU7HQJDK8WDUD %HOX %HOX %HOX %HOX %HOX 6LNND 6LNND 0DQJJDUDL 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU
1R
.HFDPDWDQ 6XEGLVWULFW :DQRNDND 6DEX%DUDW +DZX0HKDUD 6HPDX 6HPDX6HODWDQ 7DNDUL )DWXPQDVL 7REX 1XQEHQD 0ROOR6HODWDQ 3ROHQ 0ROOR%DUDW 0ROOR7HQJDK $PDQXEDQ6HODWDQ .XDQ)DWX 2HQLQR $PDQXEDQ7LPXU )DWXNRSD 1RHEDQD 6DQWLDQ $PDQDWXQ8WDUD 7RLDQDV .RNEDXQ 0XWLV %LN %LNRPL6HODWDQ L6 O W %LNRPL7HQJDK %LNRPL8WDUD ,QVDQD%DUDW ,QVDQD)DILQHVX %LERNL7DQSDK 5LQKDW 0DODND7HQJDK .REDOLPD .REDOLPD7LPXU 1DQDHW 'XEHVL 0DSLWDUD :DLEODPD 6DWDUPHVH%DUDW /HZD 1JJDKD2UL$QJX /HZD7LGDKX .DWDOD+DPX/LQJX 7DEXQGXQJ 3LQXSDKDU 3DEHULZDL
5DQN$YDL
5DQN3RY
5DQN5RDG
5DQN(OHF
5DQN+HDOWK 5DQN:DWHU
5DQN)OLW
5DQN8
5DQN/LIH
1' 1' 1' 1' 1' 1' 1' 1' 1' 1' 1' 1' 1' 1'
3HQGXGXN 3RSXODWLRQ
Lampiran / Annex
3ULRULWDV 3ULRULW\
B-58
Lampiran 6.2 (lanjutan): Peringkat Kecamatan Berdasarkan Indikator Individu dan Kelompok Prioritas Ketahanan Pangan Komposit Annex 6.2 (contd): Ranking of sub-districts Based on Individual Indicators and Composite Food Security Priority Group .DEXSDWHQ 'LVWULFW 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED 7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED7HQJDK 6XPED7HQJDK J 6XPED7HQJDK 6XPED7HQJDK 6XPED%DUDW'D\D 6XPED%DUDW'D\D 6XPED%DUDW'D\D 6XPED%DUDW'D\D 6XPED%DUDW'D\D 6XPED%DUDW'D\D 6XPED%DUDW'D\D 6XPED%DUDW'D\D 6 E % W 6XPED%DUDW 6XPED%DUDW 6XPED%DUDW 6XPED%DUDW 6XPED%DUDW 6DEX5DLMXD 6DEX5DLMXD 6DEX5DLMXD .XSDQJ .XSDQJ .XSDQJ .XSDQJ .XSDQJ .XSDQJ .XSDQJ .XSDQJ .XSDQJ .XSDQJ .XSDQJ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ
1R
.HFDPDWDQ 6XEGLVWULFW .DUHUD 0DWDZDL/D3DZX .DKDXQJX(WL 0DKX 1JDGX1JDOD 3DKXQJD/RGX :XOD:DLMHOX 5LQGL 8PDOXOX 3DQGDZDL .DPEDWD0DSDPEXKDQJ +DKDUX .DWLNXWDQD 8PEX5DWX1JJD\%DUDW JJ \ 8PEX5DWX1JJD\ 0DPERUR .RGL%DQJHGR .RGL .RGL8WDUD :HZHZD6HODWDQ :HZHZD%DUDW :HZHZD7LPXU :HZHZD8WDUD /RXUD / /DPER\D E /DER\D%DUDW /ROL .RWD:DLNDEXEDN 7DQD5LJKX 5DLMXD 6DEX7LPXU 6DEX/LDH 1HNDPHVH $PDUDVL $PDUDVL %DUDW $PDUDVL6HODWDQ $PDUDVL7LPXU $PDEL2HIHWR 6XODPX )DWXOHX%DUDW $PIRDQJ8WDUD $PIRDQJ%DUDW/DXW $PIRDQJ7LPXU 0ROOR8WDUD .RWD6RH
5DQN$YDL
5DQN3RY
5DQN5RDG
5DQN(OHF
5DQN+HDOWK 5DQN:DWHU
5DQN)OLW
5DQN8
5DQN/LIH
1' 1' 1'
3HQGXGXN 3RSXODWLRQ
Lampiran / Annex
3ULRULWDV 3ULRULW\
B-59
Lampiran 6.2 (lanjutan): Peringkat Kecamatan Berdasarkan Indikator Individu dan Kelompok Prioritas Ketahanan Pangan Komposit Annex 6.2 (contd): Ranking of Sub-districts Based on Individual Indicators and Composite Food Security Priority Group .DEXSDWHQ 'LVWULFW 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU 7HQJDK 6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK8WDUD 7LPRU7HQJDK8WDUD 7LPRU7HQJDK8WDUD J 7LPRU7HQJDK8WDUD 7LPRU7HQJDK8WDUD 7LPRU7HQJDK8WDUD 7LPRU7HQJDK8WDUD 7LPRU7HQJDK8WDUD 7LPRU7HQJDK8WDUD 7LPRU7HQJDK8WDUD 7LPRU7HQJDK8WDUD %HOX %HOX % O %HOX %HOX %HOX %HOX %HOX %HOX %HOX %HOX 6LNND 0DQJJDUDL 0DQJJDUDL 0DQJJDUDL 0DQJJDUDL 0DQJJDUDL 5RWH1GDR 5RWH1GDR 5RWH1GDR 5RWH1GDR 5RWH1GDR 5RWH1GDR 5RWH1GDR
1R
.HFDPDWDQ 6XEGLVWULFW $PDQXEDQ%DUDW %DWX3XWLK .XDWQDQD 1RHEHED .XDOLQ .ROEDQR .LH .RW 2OLQ $PDQDWXQ6HODWDQ %RNLQJ 1XQNROR 0LRPDIIR%DUDW 0XVL 0LRPDIIR7LPXU 1RHPXWL 1DLEHQX ,QVDQD ,QVDQD8WDUD ,QVDQD7HQJDK %LERNL6HODWDQ %LERNL8WDUD %LERNL$QOHX 0DODND%DUDW :HOLPDQ 0DODND7LPXU 0 O N 7L /DHQ0DQHQ 5DL0DQXN 7DVLIHWR%DUDW .DNXOXN0HVDN 5DLKDW /DVLRODW /DPDNQHQ %ROD /DQJNH5HPERQJ 5XWHQJ :DH5LL &LEDO 5HRN 5RWH%DUDW'D\D 5RWH%DUDW/DXW /REDODLQ 5RWH7HQJDK 3DQWDL%DUX 5RWH7LPXU 5RWH%DUDW
5DQN$YDL
5DQN3RY
5DQN5RDG
5DQN(OHF
5DQN+HDOWK 5DQN:DWHU
5DQN)OLW
5DQN8
5DQN/LIH
1' 1' 1'
3HQGXGXN 3RSXODWLRQ
Lampiran / Annex
3ULRULWDV 3ULRULW\
B-60
Lampiran 6.2 (lanjutan): Peringkat Kecamatan Berdasarkan Indikator Individu dan Kelompok Prioritas Ketahanan Pangan Komposit Annex 6.2 (contd): Ranking of sub-districts Based on Individual Indicators and Composite Food Security Priority Group .DEXSDWHQ 'LVWULFW .XSDQJ .XSDQJ .XSDQJ .XSDQJ .XSDQJ 7LPRU7HQJDK6HODWDQ 7LPRU7HQJDK8WDUD 7LPRU7HQJDK8WDUD %HOX %HOX %HOX %HOX %HOX %HOX $ORU $ORU $ORU $ORU $ORU $ORU 6LNND 6LNND 6LNND 6LNND 6LNN 6LNND (QGH 0DQJJDUDL 0DQJJDUDL 0DQJJDUDL%DUDW 0DQJJDUDL%DUDW 0DQJJDUDL%DUDW 0DQJJDUDL%DUDW 0DQJJDUDL%DUDW 0DQJJDUDL%DUDW 0DQJJDUDL 7LPXU 0DQJJDUDL7LPXU 0DQJJDUDL7LPXU 0DQJJDUDL7LPXU 0DQJJDUDL7LPXU 0DQJJDUDL7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU 6XPED7LPXU 6DEX5DLMXD .XSDQJ
1R
.HFDPDWDQ 6XEGLVWULFW $PDEL2HIHWR7LPXU )DWXOHX )DWXOHX7HQJDK $PIRDQJ 6HODWDQ $PIRDQJ%DUDW'D\D $PDQXEDQ7HQJDK 0LRPDIIR7HQJDK %LERNL0RHQOHX :HZLNX 6DVLWD0HDQ %RWLQ/HREHOH ,R.XIHX 7DVLIHWR7LPXU /DPDNQHQ6HODWDQ 3DQWDU $ORU%DUDW'D\D $ORU6HODWDQ $ORU7LPXU 3XUHPDQ 3XODX3XUD 3DJD 0HJR 7DQDZDZR 'RUHQJ 3 O 3DOXH 3XODX(QGH 6DWDUPHVH 5DKRQJ8WDUD .RPRGR 6DQR1JJRDQJ /HPERU :HODN .XZXV 0DFDQJ3DFDU %RURQJ .RWD.RPED (ODU 6DPEL5DPSDV 3RFR5DQDND /DPED/HGD .RWD:DLQJDSX .DPEHUD .DQDWDQJ 6DEX7HQJDK .XSDQJ%DUDW
5DQN$YDL
5DQN3RY
5DQN5RDG
5DQN(OHF
5DQN+HDOWK 5DQN:DWHU
5DQN)OLW
5DQN8
5DQN/LIH
1' 1'
3HQGXGXN 3RSXODWLRQ
Lampiran / Annex
3ULRULWDV 3ULRULW\
B-61
Lampiran 6.2 (lanjutan): Peringkat Kecamatan Berdasarkan Indikator Individu dan Kelompok Prioritas Ketahanan Pangan Komposit Annex 6.2 (contd): Ranking of Sub-districts Based on Individual Indicators and Composite Food Security Priority Group .DEXSDWHQ 'LVWULFW .XSDQJ .XSDQJ .XSDQJ 7LPRU 7HQJDK 6HODWDQ 7LPRU7HQJDK8WDUD 7LPRU7HQJDK8WDUD 7LPRU7HQJDK8WDUD %HOX %HOX $ORU $ORU $ORU $ORU $ORU $ORU $ORU $ORU $ORU $ORU $ORU /HPEDWD /HPEDWD /HPEDWD /HPEDWD / E W /HPEDWD /HPEDWD 6LNND 6LNND 6LNND 6LNND 6LNND 6LNND 6LNND 6LNND 6LNND 6LNND 6LNND 6LNND (QGH (QGH (QGH (QGH (QGH (QGH (QGH
1R
.HFDPDWDQ 6XEGLVWULFW .XSDQJ7HQJDK 7DHEHQX .XSDQJ7LPXU )DXWPROR %LNRPL1LOXODW 1RHPXWL7LPXU %LERNL)HRWOHX $WDPEXD%DUDW $WDPEXD6HODWDQ 3DQWDU%DUDW 3DQWDU7LPXU 3DQWDU%DUDW/DXW 3DQWDU7HQJDK 0DWDUX $ORU7LPXU/DXW 7HOXN0XWLDUD .DEROD $ORU%DUDW/DXW $ORU7HQJDK8WDUD /HPEXU 1DJDZXWXQJ :XODQGRQL ,OH$SH ,OH$SH7LPXU 2 2PHVXUL L %X\DVXUL 7DOLEXUD :DLJHWH .HZDSDQWH +HZRNORDQJ .DQJDH .RWLQJ 1HOOH 1LWD 0DJHSDQGD $ORN $ORN%DUDW $ORN7LPXU (QGH7LPXU (QGH7HQJDK (QGH8WDUD :RORZDUX :RORMLWD /LR7LPXU 1GRUL
5DQN$YDL
5DQN3RY
5DQN5RDG
5DQN(OHF
5DQN+HDOWK 5DQN:DWHU
5DQN)OLW
5DQN8
5DQN/LIH
1' 1' 1'
3HQGXGXN 3RSXODWLRQ
Lampiran / Annex
3ULRULWDV 3ULRULW\
B-62
Lampiran 6.2 (lanjutan): Peringkat Kecamatan Berdasarkan Indikator Individu dan Kelompok Prioritas Ketahanan Pangan Komposit Annex 6.2 (contd): Ranking of sub-districts Based on Individual Indicators and Composite Food Security Priority Group .DEXSDWHQ 'LVWULFW (QGH 0DQJJDUDL 5RWH1GDR 0DQJJDUDL %DUDW 1DJHNHR 1DJHNHR 7LPRU7HQJDK8WDUD %HOX /HPEDWD /HPEDWD /HPEDWD )ORUHV7LPXU )ORUHV7LPXU )ORUHV7LPXU )ORUHV7LPXU )ORUHV7LPXU )ORUHV7LPXU )ORUHV7LPXU )ORUHV7LPXU )ORUHV7LPXU )ORUHV7LPXU )ORUHV7LPXU )ORUHV7LPXU )ORUHV7LPXU )O )ORUHV7LPXU 7L )ORUHV7LPXU )ORUHV7LPXU )ORUHV7LPXU )ORUHV7LPXU 6LNND (QGH (QGH (QGH (QGH (QGH (QGH (QGH (QGH (QGH (QGH (QGH 1JDGD 1JDGD 1JDGD 1JDGD J
1R
.HFDPDWDQ 6XEGLVWULFW 'HWXVRNR /HODN 5RWH6HODWDQ %ROHQJ %RDZDH :RORZDH .RWD.HIDPHQDQX $WDPEXD $WDGHL /HEDWXNDQ 1XEDWXNDQ :XODQJJLWDQJ 7LWHKHQD ,OHEXUD 7DQMXQJ%XQJD /HZROHPD /DUDQWXND ,OH0DQGLUL 'HPRQ3DJRQJ 6RORU%DUDW 6RORU7LPXU $GRQDUD%DUDW :RWDQ8OXPDGR $GRQDUD7HQJDK $G $GRQDUD7LPXU 7L ,OH%ROHQJ :LWLKDPD .HOXEDJROLW $GRQDUD /HOD 1DQJDSDQGD 0DXNDUR (QGH (QGH6HODWDQ 1GRQD 1GRQD7LPXU .HOLPXWX 0DXUROH .RWDEDUX 'HWXNHOL :HZDULD $LPHUH -HUHEXX %DMDZD *ROHZD
5DQN$YDL
5DQN3RY
5DQN5RDG
5DQN(OHF
5DQN+HDOWK 5DQN:DWHU
5DQN)OLW
5DQN8
5DQN/LIH
1' 1'
3HQGXGXN 3RSXODWLRQ
Lampiran / Annex
3ULRULWDV 3ULRULW\
B-63
Lampiran 6.2 (lanjutan): Peringkat Kecamatan Berdasarkan Indikator Individu dan Kelompok Prioritas Ketahanan Pangan Komposit Annex 6.2 (contd): Ranking of Sub-districts Based on Individual Indicators and Composite Food Security Priority Group .DEXSDWHQ 'LVWULFW 1JDGD 1JDGD 1JDGD 1JDGD 1JDGD 1DJHNHR 1DJHNHR 1DJHNHR 1DJHNHR 1DJHNHR
1R
.HFDPDWDQ 6XEGLVWULFW %DMDZD8WDUD 6RD 5LXQJ 5LXQJ %DUDW :RORPH]H 0DXSRQJJR .HR7HQJDK 1DQJDURUR $HVHVD6HODWDQ $HVHVD
5DQN$YDL
5DQN3RY
5DQN5RDG
5DQN(OHF
5DQN+HDOWK 5DQN:DWHU
5DQN)OLW
5DQN8
5DQN/LIH
1'
3HQGXGXN 3RSXODWLRQ
3ULRULWDV 3ULRULW\
Catatan / Note: Peringkat rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan serealia / Rank of Ratio Per capita normative consumption to cereal availability Rank Avai: Peringkat penduduk hidup di bawah garis kemiskinan / Rank of people below poverty line Rank Pov: Rank Road: Peringkat desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai / Rank of villages with inadequate connectivity Peringkat rumah tangga tanpa akses listrik / Rank of households without access to electricity Rank Elec: Rank Health: Peringkat desa dengan jarak lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan / Rank of villages located more than 5 km away from Health facilities Rank Water: Peringkat rumah tangga tanpa akses ke air bersih / Rank of households without access to improved drinking water Peringkat perempuan buta huruf / Rank of female Illiteracy Rank Flit: Peringkat berat badan balita di bawah standar / Rank of underweight rate of under 5 children Rank U5: Peringkat angka harapan hidup pada saat lahir / Rank of Life Expectancy at birth Rank Life: Penduduk/Population: Jumlah penduduk berdasarkan BPS Kabupaten 2008 / Population number based on district BPS 2008 Pertama, seluruh indikator individu disusun peringkatnya berdasarkan nilai masing-masing, peringkat yang lebih tinggi menunjukkan tingkat kerawanan yang semakin tinggi. Peringkat ini kemudian disusun menurut kelompok komposit untuk menunjukkan faktor utama yang menyebabkan peringkat kecamatan pada setiap prioritas / All individual indicators are first ranked according to their values, showing higher ranks to higher degree of vulnerability. These ranks are then sorted by composite grouping to demonstrate the major factors responsible for the composite rank of each sub-district within each priority.
Lampiran / Annex
B-64
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) 2010 merupakan hasil kerjasama antara Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) Provinsi NTT dengan United Nations World Food Programme (WFP). FSVA provinsi NTT mencakup 280 kecamatan di 20 kabupaten serta merupakan konsolidasi berbagai aspek yang terkait dengan ketahanan pangan, seperti: ketersediaan pangan, akses dan distribusi pangan, serta gizi dan kesehatan. FSVA provinsi menyediakan sarana bagi pengambil kebijakan dalam hal penentuan sasaran dan memberikan rekomendasi untuk intervensi kerawanan pangan dan gizi di tingkat kabupaten dan kecamatan. Berdasarkan analisa 13 indikator yang terkait dengan ketahanan pangan untuk periode 2007-2009, serta analisis komposit (berdasarkan komposit 9 indikator), FSVA dapat menjawab tiga pertanyaan kunci terkait ketahanan dan kerentanan pangan yaitu: Di mana daerah yang paling rawan ketahanan pangannya (per kabupaten, kecamatan); Berapa banyak penduduk (perkiraan penduduk); dan Mengapa mereka paling rawan (penentu utama untuk kerawanan pangan)?. Laporan FSVA provinsi ini tersedia dalam 2 pilihan bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
The collaboration between Provincial Food Security and Extension Office (FSO) NTT and the United Nations World Food Programme (WFP) brings us the Provincial Food Security & Vulnerability Atlas (FSVA) of Nusa Tenggara Timur (NTT) Province 2010. Provincial FSVA covering 280 sub-districts in 20 rural districts that consolidated many variables of the food security aspects such as food availability, food access and distribution, and health and nutrition. Provincial FSVA serves as an important tool for decision making in targeting and developing recommendations for responding to food and nutrition insecurity at the district and sub-districts levels. Analyzed 13 indicators related to food security for the period of 2007-2009, and composite analysis of 9 them allow the FSVA to answer three key questions on food security and its vulnerability: Where are the higher vulnerable to food insecurity (by district, sub-district); How Many are they (estimated population); and Why are they higher vulnerable (main determinants for food insecurity)?. The provincial FSVA are available in bilingual (Bahasa Indonesia and English).
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Bidang Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Jl. Polisi Militer, Kupang Nusa Tenggara Timur Indonesia Tel. : (62) 380 - 833 281 Fax. : (62) 380 - 833 159
PEMERINTAH PROVINSI
Nusa Tenggara Timur
World Food Programme (WFP) Vulnerability, Analysis and Mapping (VAM) Jl. S.K. Lerik no. 15 Walikota - Kupang Nusa Tenggara Timur Indonesia Tel. : (62) 380 - 833 467/ 833 469 Fax. : (62) 380 - 820 707