ANALISIS KEBERHASILAN PROGRAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOMODITI KARET TERHADAP KINERJA USAHATANI DI KECAMATAN JASINGA KAB BOGOR
SKRIPSI
SALLY WULANDARI H34076137
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ANALISIS KEBERHASILAN PROGRAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOMODITI KARET TERHADAP KINERJA USAHATANI DI KECAMATAN JASINGA KAB BOGOR
SKRIPSI
SALLY WULANDARI H34076137
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
RINGKASAN SALLY WULANDARI. Analisis Keberhasilan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet Terhadap Kinerja Usahatani di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan YUSALINA). Salah satu komoditas perkebunan unggulan yang dimiliki oleh Indonesia adalah tanaman karet. Indonesia merupakan negara dengan luas kebun karet terbesar di dunia, yakni seluas 3.433.000 Ha, dengan rata-rata produktivitas sebesar 1.004 Kg/Ha/Tahun. Salah satu daerah penghasil karet alam di Jawa Barat adalah Kabupaten Bogor. Kecamatan Jasinga merupakan sentra produksi karet rakyat terbesar di Kabupaten Bogor. Pengolahan bahan olah karet di Kecamatan Jasinga mempunyai potensi untuk terus dikembangkan. Keterbatasan pengetahuan petani dan sarana pasca panen menjadi salah satu kendala dalam pengolahan bahan olah karet yang dihadapi oleh sebagian besar petani karet di Kecamatan Jasinga. Hal tersebut dibuktikan dengan rendahnya mutu dan kualitas hasil bahan olah karet yang dihasilkan oleh petani karet di Kecamatan Jasinga. Untuk meningkatkan kualitas dan mutu karet yang dihasilkan oleh petani, maka Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Pertanian (Dirjen P2HP), Kementerian Pertanian melalui Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor mengadakan sebuah program, yakni Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Setelah Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet berjalan selama satu tahun, diperlukan evaluasi untuk menilai keberhasilan dari program yang telah dilakukan oleh pemerintah terhadap petani karet di Kecamatan Jasinga. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji gambaran pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet serta untuk mengkaji kinerja usahatani penerima bantuan dibandingkan dengan petani non penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Metode penelitian yang digunakan adalah probability sampling dengan metode pengambilan sampel adalah metode sensus, dengan jumlah responden sebanyak 43 orang. Data primer diperoleh dari wawancara dengan responden dan pihak instansi terkait dengan menggunakan pedoman kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi atau lembaga yang terkait. Data yang diperoleh kemudian di tabulasi dan di analisis dengan analisis deskriptif, analisis usahatani untuk mengetahui tingkat pendapatan dari petani penerima bantuan program dan petani non penerima bantuan program. Hasil penelitian berdasarkan analisis deskriptif bahwa status usahatani karet petani penerima bantuan adalah pekerjaan utama (81,40%) sebagian besar petani penerima bantuan berusia antara 35-44 tahun (58,14%), berpendidikan SD/sederajat (69,77%), mempunyai pengalaman bertani karet 16-20 tahun (25,58%), mempunyai luas lahan karet antara 1-2 Ha (44,19%), dan status kepemilikan lahan adalah milik sendiri (62,79%). Pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet di Kecamatan Jasinga berjalan dengan baik. Penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet terdiri dari tiga kelompok tani, yakni kelompok tani Mandiri, Binangkit dan Kuningsari. Masing-masing kelompok tani mendapatkan alat pasca panen berupa hand mangel, timbangan gantung, mangkok lateks, pisau sadap dan loyang. Adanya Program Pengembangan Agribisnis
Komoditi Karet di Kecamatan Jasinga ini membawa dampak yang sangat positif pada usahatani karet yang ada pada kelompok tani penerima bantuan. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan kualitas sheet yang dihasilkan oleh petani, dari sheet asalan menjadi sheet dengan kualitas 3. Peningkatan mutu dan kualitas tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan pada pendapatan petani penerima bantuan program, yaitu bertambahnya nilai jual sheet yang dihasilkan dari Rp 4.500,- menjadi Rp 7.500,- per kilogram. Berdasarkan hasil kinerja usahatani, petani karet penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet mampu menghasilkan mutu dan kualitas sheet dengan kualitas 3 yang rata-rata harga jualnya adalah Rp 7.500,- per kilogram. Petani penerima bantuan program pun memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan petani karet non penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Pendapatan atas biaya tunai dari petani penerima bantuan program adalah sebesar Rp 16.511.500,dan pendapatan atas biaya total adalah sebesar Rp 16.273.100,-. Nilai R/C rasio atas biaya tunai adalah 2,01 dan R/C atas biaya total adalah 1,98. Berdasarkan analisis tersebut diperoleh beberapa rekomendasi yaitu diperlukan pelatihan dan penelitian mengenai teknik pasca panen karet yang baik. Terutama mengenai proses pembekuan, penggilingan, pencucian dan pengeringan lateks. Diperlukan penerapan teknologi modern misalnya: mekanisasi pertanian, penerapan kawasan agropolitan atau penerapan integrated farming. Petani karet yang belum tergabung dengan kelompok tani diharapkan bisa bergabung dengan kelompok tani. Untuk meningkatkan perkembangan kelompok tani, diperlukan upaya penyuluhan dan pelatihan yang lebih intensif dari pihak BP3K atau BP4K.
ANALISIS KEBERHASILAN PROGRAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOMODITI KARET TERHADAP KINERJA USAHATANI DI KECAMATAN JASINGA KAB BOGOR
SKRIPSI
SALLY WULANDARI H 34076137
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi
: Analisis Keberhasilan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet Terhadap Kinerja Usahatani di Kecamatan Jasinga Kab Bogor
Nama
: Sally Wulandari
NIM
: H34076137
Disetujui, Pembimbing
Dra. Yusalina, M.Si NIP. 19650115 199003 2 001
Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul ”Analisis Keberhasilan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet terhadap Kinerja Usahatani di Kecamatan Jasinga Kab Bogor” adalah karya sendiri dan belum diajukan berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor,
Juni 2012
Sally Wulandari H34076137
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 06 Januari 1986 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Drs Darmawan Adhi dan Yanti Heryanti. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di Taman KanakKanak Perwari Ciamis pada tahun 1990. Pendidikan dasarnya diselesaikan pada tahun 1998 di Sekolah Dasar (SD) Negeri Galuh II Ciamis. Penulis lalu melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri I Ciamis dan lulus pada tahun 2001. Tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri I Ciamis dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswi pada Program Diploma III Manajemen Agribisnis, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi pada Program Sarjana Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan eksternal kampus, yaitu sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor periode tahun 2006-2007, anggota Association bfor Agriculture and Community Empowerment (ASPECT) dan staf redaksi DETAK Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI). Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Pertanian dan Kehutanan, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.
KATA PENGANTAR Teriring salam dan doa selalu penulis panjatkan sebagai rasa syukur atas nikmat dan hidayah yang telah diberikan Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan kasih saying-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Keberhasilan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet terhadap Kinerja Usahatani di Kecamatan Jasinga Kab Bogor. Penulisan skripsi ini adalah sebagai suatu syarat untuk memenuhi kelulusan pada Departemen Agribisnis. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji gambaran pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor dan dampak terhadap kinerja usahatani yang ada di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan bagi pihak-pihak dan instansi yang terkait dengan pelaksanaan program pengembangan agribisnis komoditi karet di Kabupaten Bogor. Skripsi ini sangat bermanfaat bagi penulis sebagai salah satu mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir pada Program Sarjana Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini merupakan hasil maksimal yang dapat diselesaikan oleh penulis selama mengikuti pembelajaran dalam kegiatan kuliah maupun tugas akhir ini. Penulis menyadari bahwa masih terdapat keterbatasan dan kendala yang dihadapi dalam skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memang membutuhkan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Bogor, Juni 2012
Sally Wulandari H34076137
UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada : 1.
Dra Yusalina, M.Si sebagai dosen pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, saran dan pengarahan selama proses penyusunan skripsi ini.
2.
Dr.Ir. Anna Farianty, M.Si selaku dosen penguji utama dan dosen evaluator pada kolokium yang telah memberikan berbagai saran dan masukan untuk penulis dalam upaya memaksimalkan penulisan skripsi ini.
3.
Ir. Netti Tinaprilla, MSi sebagai perwakilan dari komisi akademik yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat untuk kesempurnaan skripsi ini.
4.
Ayahanda tercinta atas segala didikan dan nasehatnya kepada penulis serta Ibunda atas perhatian, kepercayaan, kasih sayang dan doa tulus yang selalu membuat penulis menjadi lebih baik serta adik-adikku untuk doanya.
5.
Edwin Ertiansyah sebagai pembahas pada seminar hasil penulis, dengan segala kritik dan saran yang bermanfaat untuk kesempurnaan skripsi ini.
6.
Bapak Enjen sebagai ketua kelompok tani penerima bantuan Program untuk informasi dan bantuan yang diberikan selama penelitian.
7.
Ir. Prasetiowati dan Ir. Cahyo Prayitno sebagai Kepala Bidang Perkebunan dan Kepala Seksi Pengelolaan Hasil dan Pemasaran Distanhut Kab Bogor yang memberikan banyak informasi serta masukan dalam skripsi ini.
8.
Sahabat-sahabatku Ratna Khodijah, Andita Rahmawati, Dwi Novianti Lestari, Arie Fahmiyati, Annisa Febriani, dan Dwi Antoro atas doa dan bantuan serta semangat yang begitu besar.
9.
Kakak-kakak ku Indri Wulandari, Lenny Sulistianty, Ine Prestiani, Mira Apriani, Asti Yayuk Wahyuni atas semua dukungan, semangatnya.
10. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Bogor,
Juni 2012
Sally Wulandari
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................
vi
I
PENDAHULUAN ................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................ 1.3 Tujuan ................................................................................ 1.4 Kegunaan ........................................................................... 1.5 Ruang Lingkup ...................................................................
1 1 7 10 10 11
II
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 2.1 Agribisnis Karet di Indonesia ............................................. 2.2 Industri Pengolahan Karet Alam Indonesia ........................ 2.3 Konsep Pemberdayaan Masyarakat ...................................... 2.4 Pengembangan Ekonomi Lokal ............................................ 2.5 Konsep Kelembagaan dan Peran Kelembagaan..................... 2.6 Kelompok Tani .................................................................... 2.7 Penelitian Terdahulu ............................................................
11 11 13 14 15 17 19 20
III
KERANGKA PEMIKIRAN .................................................... 3.1 Kerangka Teoritis ................................................................ 3.1.1 Sumberdaya Ekonomi Lokal ...................................... 3.1.2 Sistem Agribisnis .................. .................................... 3.1.3 Kelembagaan dalam Agribisnis .................................. 3.1.4 Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet ... 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .........................................
23 23 23 23 25 27 28
IV
METODE PENELITIAN ......................................................... 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................... 4.2 Jenis dan Sumber Data ......................................................... 4.3 Metode Pengumpulan Data dan Penarikan Sampel ............... 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................. 4.4.1 Analisis Deskriptif ....................................................... 4.4.2 Analisis Pendapatan .................................................... 4.4.3 Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (Rasio R/C) .................................................................. 4.5 Batasan Operasional ............................................................
31 31 32 32 34 34 36 36 36
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...................... 5.1 Gambaran Wilayah Kabupaten Bogor .................................. 5.2 Keadaan Umum, Geografis dan Iklim Kecamatan Jasinga .... 5.3 Karakteristik Petani Responden .......................................... 5.3.1 Status Usahatani Karet ................................................
38 38 41 44 45
V
i
VI
5.3.2 Usia Petani ................................................................. 5.3.3 Pendidikan Petani ....................................................... 5.3.4 Pengalaman Bertani Karet ........................................... 5.3.5 Luas Lahan Petani Responden ..................................... 5.3.6 Status Kepemilikan Lahan Petani . ...............................
46 46 47 48 49
PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOMODITI KARET ....................................... 6.1 Mekanisme Penyaluran Bantuan ......................................... 6.2 Tanggapan Petani Penerima Bantuan ...................................
50 50 53
VII ANALISIS KINERJA USAHATANI DAN PENDAPATAN PETANI KARET DI KECAMATAN JASINGA .................... 7.1 Analisis Kinerja Usahatani ................................................... 7.1.1 Penggunaan Input ...................................................... 7.1.1.1 Pupuk ............................................................ 7.1.1.2 Koagulan (Asam Semut).................................. 7.1.1.3 Tenaga Kerja .................................................. 7.2 Analisis Pendapatan Usahatani ............................................ 7.2.1 Analisis Usahatani Karet Petani Penerima Bantuan Program ........................................................ 7.2.2 Analisis Usahatani Karet Petani Non Penerima Bantuan Program ........................................................
55 55 56 57 58 58 59 59 61
VIII KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 8.1 Kesimpulan ........................................................................ 8.2 Saran ...................................................................................
63 63 64
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
65
LAMPIRAN .......................................................................................
68
ii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Pendapatan Domestik Bruto Atas Harga Berlaku (Milyar Rp) pada Tahun 2005-2009 ............................................................
1
2. Pendapatan Domestik Bruto Atas Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha (Milyar Rupiah) Tahun 2005-2009 ................
2
3. Persentase Perkebunan Karet Rakyat di Negara Produsen Utama Dunia Pada Tahun 2008 ...............................................
3
4. Luas Lahan Perkebunan Karet Rakyat di Indonesia Menurut Jenis Tanaman Pada Tahun 2005-2009 .....................................
3
5. Produksi Komoditi Perkebunan di Indonesia menurut Jenis Tanaman pada Tahun 2005-2009 .............................................
4
6. Luas Kebun, Produksi dan Konsumsi Karet di Indonesia Tahun 2001-2008 ....................................................................
4
7. Luas Tanaman Menghasilkan dan Produksi Karet di Pulau Jawa dan Status Penggunaan Lahan Tahun 2008.............
5
8. Perkembangan Jumlah Produksi Sheet Basah yang Dihasilkan Oleh Petani di Kec Jasinga Kab Bogor Tahun 2009-2010 ........
9
9. Perbandingan Pembangunan Ekonomi Lokal (PEL) dan Pembangunan Terpusat serta Kaitannya dengan Kebijakan Sektor Publik ...........................................................................
16
10. Sebaran Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor menurut Sensus Penduduk Tahun 2010 ..................................................
39
11. Pemanfaatan Lahan di Kecamatan Jasinga Tahun 2011 ...........
43
12. Jumlah Penduduk Kecamatan Jasinga Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian Tahun 2010 .................................................
44
13. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Status Usahatani Karet Di Kecamatan Jasinga Tahun 2011.......
45
14. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Usia di Kecamatan Jasinga Tahun 2011 ................................................
46
15. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Pendidikan di Kecamatan Jasinga Tahun 2011 ................................................
iii
47
16. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Berusahatani Karet di Kecamatan Jasinga Tahun 2011 ..................................
48
17. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Luas Lahan di Kecamatan Jasinga Tahun 2011 ................................................
48
18. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Status Lahan di Kecamatan Jasinga Tahun 2011 ................................................
49
19. Perbaikan Mutu Sheet dan Harga Jual yang Diterima Petani Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet Tahun 2009-2010 ...........................
53
20. Rata-rata Penggunaan Input Usahatani Karet per Hektar per Tahun yang dilakukan Petani Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet di Kec Jasinga .......
56
21. Rata-rata Penggunaan Input Usahatani Karet per Hektar per Tahun yang dilakukan Petani Non Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet di Kec Jasinga .............................................................................
56
22. Analisis Pendapatan Sheet pada Petani Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet per Hektar per Tahun di Kec Jasinga .............................................
60
23. Analisis Pendapatan Sheet pada Petani Non Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet per Hektar per Tahun di Kec Jasinga .............................................
iv
61
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Produk Hasil Olahan Getah Karet/ Lateks di Indonesia ............
13
2. Sistem Agribisnis ....................................................................
24
3. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Keberhasilan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet terhadap Kinerja Usahatani di Kec Jasinga Kab Bogor ...........................
v
30
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Rakyat Propinsi Jawa Barat Menurut Komoditas dan Keadaan Tanaman...........
69
2. Penyusutan Alat-Alat Pasca Panen Petani Karet Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet Dengan Metode Garis Lurus ....................................................
71
3. Penyusutan Alat-Alat Pasca Panen Petani Karet Non Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet Dengan Metode Garis Lurus ....................................................
72
vi
I. PENDAHULUAN I.1
Latar Belakang Pertanian dipandang sebagai sektor yang strategis untuk dikembangkan,
karena kondisi alam Indonesia sangat menunjang untuk menghasilkan produk pertanian. Pertanian merupakan sektor unggulan dan memiliki potensi yang besar dalam perekonomian nasional Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang ditujukan untuk mengetahui seberapa besar peranan kontribusi yang diberikan oleh suatu produk terhadap pendapatan nasional. Sektor pertanian memberikan kontribusi yang cukup besar dalam PDB nasional. (Tabel 1). Tabel 1. Pendapatan Domestik Bruto Atas Harga Berlaku (Milyar Rp) pada Tahun 2005-2009 Tahun Sektor
2005
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel Restoran Pengangkutan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa – Jasa Produk Domestik Bruto
2006
2007
2008
2009
364.169,89
433.233,45
541.593,60
731.291,66
858.252,80
309.014,45
366.521,05
441.007,91
543.364,09
591.531,67
760.361,67
919.539,64
1.068.654,08
1.380.732,57
1.480.905,94
26.694,32
30.355,17
34.725,61
40.847,34
46.823,11
195.111,80 431.620,12
251.132,36 501.542,61
305.216,27 589.352,30
419.322,50 692.119,77
554.982,62 750.605,20
180.585,78
231.524,45
264.264,45
312.454,41
352.407,72
230.523,16
269.121,81
305.214,78
368.130,03
404.116,54
276.204,08 2.774.281,76
336.259,80 3.339.216,20
399.299,73 3.949.321,85
483.771,76 4.954.029,41
573.818,70 513.44147
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009
Sektor pertanian terbagi ke dalam beberapa subsektor. Salah satunya adalah subsektor tanaman perkebunan. Komoditas perkebunan mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan dan banyak diperlukan oleh pasar domestik dan pasar internasional. Subsektor perkebunan menempati urutan kedua setelah tanaman pangan dalam kontribusi Produk Domestik Bruto (Tabel 2).
1
Tabel 2. Pendapatan Domestik Bruto Atas Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha (Milyar Rupiah) Tahun 2005-2009 Tahun Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan a. Tanaman Pangan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan
Keterangan Sumber
2007
2008*
2009**
2005
2006
253.163,68
262.402,81
271.509,43
284.620,87
296.369,03
125.801,85 39.810,09 32.346,45 17.176,69 38.745,66
129.548,26 41.318,50 33.430,62 16.686,49 41.419,81
133.888,45 43.199,32 34.220,07 16.548,61 43.652,68
142.000,64 44.785,65 35.425,43 16.543,43 45.866,92
148.691,86 45.887,21 36.743,56 16.793,78 48.253,72
: * Angka Sementara ** Angka Sangat Sementara : Badan Pusat Statistik, 2010
Subsektor perkebunan umumnya berkembang di wilayah pedesaan, marginal dan kadang terpencil. Subsektor perkebunan mempunyai peranan yang strategis dalam pengembangan wilayah di daerah pedesaan dan terpencil tersebut. Keberadaan subsektor perkebunan telah memberi kontribusi yang signifikan pada pertumbuhan wilayah, dimana perkebunan tersebut berada. Berkembangnya berbagai industri pendukung perkebunan, sektor jasa transportasi, konstruksi dan perdagangan tidak terlepas dari multiplier effect pembangunan perkebunan di wilayah tersebut. Peranan subsektor perkebunan dalam perekonomian nasional adalah melalui kontribusi dalam pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja pertumbuhan ekonomi, sumber devisa, pengentasan kemiskinan, konservasi lingkungan serta penerimaan ekspor dan pajak (Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, 2008). Salah satu komoditas perkebunan unggulan yang dimiliki oleh Indonesia adalah tanaman karet. Karet merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa negara. Hal tersebut didukung dengan data yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penghasil karet nomor tiga di dunia setelah Thailand dan Malaysia (Tabel 3).
2
Tabel 3. Persentase Perkebunan Karet Rakyat di Negara Produsen Utama Dunia Pada Tahun 2008 Negara India Indonesia Malaysia Thailand Vietnam
Luas Kebun Karet (000 Ha) 650,50 3.433,89 1.247,51 2.675,66 619,34
Pangsa Produksi Dunia (%) 8,07 27,89 10,26 30.66 6,06
Kebun Karet Rakyat (%) 89,86 85,13 95,15 95,06 49,91
Produktivitas (Kg/Ha/Tahun) 1.896,48 1.004,20 1.430,31 1.706,46 1.660,89
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009
Tabel 3 menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara dengan luas kebun karet terbesar di dunia, yakni seluas 3.433.000 Ha, dengan rata-rata produktivitas sebesar 1.004 Kg/Ha/Tahun. Produksi karet nasional Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand, yakni sebesar 27,9 persen dan luas kebun karet rakyat di Indonesia sebesar 85 persen. Berdasarkan kondisi tersebut, Indonesia berpeluang untuk menjadi negara penghasil karet terbesar di dunia. Karet alam (Hevea brasiliensis) merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet serta pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009). Luas areal tanaman karet di Indonesia menempati urutan kedua tertinggi setelah kelapa sawit dibandingkan dengan produk komoditas perkebunan unggulan lainnya (Tabel 4). Tabel 4. Luas Lahan Perkebunan Rakyat di Indonesia menurut Jenis Tanaman pada Tahun 2005-2009 (Ribu Ha) Komoditi Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Karet 512,40 513,20 514,07 515,80 526,40
Kelapa Sawit 3.593,43 3.748,50 4.101,77 4.451,85 4.520,68
Coklat 85,79 101,02 106,25 98,84 102,96
Kopi 52,90 53,67 52,50 58,32 58,98
Teh 81,71 78,44 77,65 78,90 75,71
Sumber : Badan Pusat Statistik 2010
Tabel 4 menunjukan bahwa luas lahan tanaman karet terus meningkat dari tahun 2005 sampai dengan 2009. Rata–rata peningkatan luas lahan tanaman karet adalah sebesar kurang lebih 307.920 Ha setiap tahunnya. Luas lahan yang terus meningkat tentunya akan berpengaruh terhadap jumlah produksi karet alam tersebut (Tabel 5).
3
Tabel 5. Produksi Komoditi Perkebunan di Indonesia menurut Jenis Tanaman pada Tahun 2005-2009 (Ton) Komoditi Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Karet
Kelapa Sawit
432.221 554.634 578.486 586.081 640.787
Coklat
10.119.061 10.961.756 11.437.986 12.477.752 12.954.662
55.127 67.200 68.600 62.913 63,628
Kopi 24.809 28.900 24.100 28.074 28.448
Teh 128.154 115.436 116.501 114.689 112.761
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010
Tabel 5 menunjukkan bahwa produksi nasional karet meningkat setiap tahunnya, dengan rata-rata peningkatan sebesar 558,441 Ton. Adanya peningkatan tersebut didorong oleh semakin luasnya lahan tanaman karet pada Tabel 4. Peningkatan luas lahan perkebunan karet di Indonesia disebabkan oleh banyaknya pembukaan lahan baru dan konversi tanaman perkebunan lain menjadi tanaman karet. Hal ini terjadi pada perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Nilai ekspor karet yang tinggi mempunyai kontribusi besar dalam perekonomian negara. Permintaan karet dunia yang terus mengalami peningkatan akan menjadi peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan karet sebagai komoditi ekspor unggulan (Tabel 6). Tabel 6. Luas Kebun, Produksi dan Konsumsi Karet di Indonesia Tahun 2001-2008 Tahun Ket Luas Areal (000) Ha Produksi (000) ton Pangsa Pasar Dunia (%) Ekspor (000) ton Nilai (Miliar US$) Produksi Domestik (000) ton
Trend
2005
2006
3.279,00
3.309,00
3.414,00
3.433,00
0,38
2.271,00
2.637,00
2.765,00
2.751,00
8,14
26,25
27,20
27,85
27,87
3,28
2.023,80
2.286,00
2.406,70
2.295,50
6,92
2.582,50
4320,70
4.868,70
6.056,60
35,05
221,00
355,00
391,00
414,00
17,82
2007
2008
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 (Diolah)
Tabel 6 menjelaskan bahwa nilai ekspor karet cenderung mengalami kenaikan dengan laju pertumbuhan rata-rata pertahun adalah sebesar 35,05 persen. Sama halnya dengan pertumbuhan ekspor, produksi karet domestik pun
4
mengalami kenaikan dengan laju pertumbuhan rata-rata adalah sebesar 17,82 persen. Naiknya laju pertumbuhan rata-rata pertumbuhan karet pertahun mengindikasikan bahwa peluang ekspor karet dalam perdagangan dunia masih terbuka lebar. Peluang ekspor karet alam Indonesia pada masa yang akan datang masih tetap cerah. Indonesia berpotensi untuk menjadi negara pemasok utama karet dalam perdagangan karet dunia mengingat dua negara pemasok utama lainnya (Malaysia dan Thailand) sudah tidak mampu lagi meningkatkan produksinya karena keterbatasan lahan pengembangan (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2010). Berdasarkan posisi yang cukup strategis tersebut, karet diharapkan menjadi salah satu penggerak kebangkitan ekonomi melalui peningkatan produksi yang akan meningkatkan ekspor karet. Strategi optimalisasi ekspor karet dinilai tepat, mengingat tingginya harga komoditi karet di pasar internasional. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah penghasil karet, dengan luas areal sebesar 44.825 Ha tanaman menghasilkan dan produksi rata-rata sebanyak 65.826 ton (Tabel 7). Jawa Barat mempunyai luas areal paling besar dan memiliki angka produksi tertinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya yang ada di Pulau Jawa. Tabel 7. Luas Tanaman Menghasilkan (TM) dan Produksi Perkebunan Karet di Pulau Jawa Menurut Provinsi dan Status Penggunaan Lahan Tahun 2008 (*) Perkebunan Rakyat
Perkebunan Negara
Perkebunan Swasta
Jumlah Total
Provinsi Jawa Barat Banten Jawa Tengah Jawa Timur Total
Keterangan Sumber
Luas TM
Produksi
27,74
44,86
65,83
3,50
5,20
19,60
17,09
26,24
4,20
6,91
23,51
33,75
13,73
20,72
4,27
6,42
18,00
27,15
55,82
81,95
29,09
46,27
105,94
143,81
Luas TM
Produksi
Luas TM
Produksi
Luas TM
5,35
4,68
22,35
33,42
17,18
15,02
10,32
1,09
1,56
6,67
5,94
18,65
0
0
27,04
20,94
Produksi
: * Angka Sementara : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009
Karet alam merupakan bahan baku berbagai jenis produk diantaranya adalah ban, sarung tangan karet, balon dan kasur busa (Tim PS, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa karet alam merupakan salah satu komoditas penting dalam perekonomian dunia. Pentingnya karet sebagai komoditas internasional didukung
5
oleh produksi karet yang dilakukan oleh berbagai negara produsen karet alam, diantaranya adalah Thailand, Indonesia, Malaysia, India, Vietnam, dan China. Teknik penyadapan dan penanganan pasca panen yang dilakukan akan berpengaruh pada kualitas dari sheet yang dihasilkan. Hal ini akan memberikan pengaruh yang baik terhadap harga jual yang diterima oleh petani karet. Sejauh ini teknik penyadapan, penanganan pasca panen serta pengelolaan hasil dan pemasaran hasil dari petani karet belum dilakukan secara optimal sehingga harga jual yang diterima oleh petani sangat rendah. Salah satu daerah penghasil karet alam di Jawa Barat adalah Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Kecamatan Jasinga merupakan sentra produksi karet rakyat di Kabupaten Bogor. Pengolahan bahan olah karet di Kecamatan Jasinga mempunyai potensi untuk terus dikembangkan, baik dalam bentuk lump ataupun RSS. Keterbatasan pengetahuan petani dan sarana pasca panen menjadi salah satu kendala dalam pengolahan bahan olah karet yang dihadapi oleh sebagian besar petani karet di Kecamatan Jasinga. Hal tersebut dibuktikan dengan rendahnya mutu dan kualitas hasil bahan olah karet yang dihasilkan oleh petani karet di Kecamatan Jasinga. Bertani karet merupakan mata pencaharian utama di Kecamatan Jasinga. Usahatani karet merupakan usaha yang dilakukan turun temurun di Kecamatan Jasinga. Jumlah kepala keluarga di Kecamatan Jasinga adalah sebanyak 22.138 kk, 4.218 kk diantaranya bermatapencaharian sebagai petani karet. (Statistik Kecamatan Jasinga, 2009). Luas lahan perkebunan karet rakyat di Kecamatan Jasinga adalah seluas 735,82 Ha, dengan produksi sebanyak 1318,90 ton bahan mentah dan 263,78 ton hasil olahan. Rata–rata produktivitas tanaman karet rakyat di Kecamatan Jasinga adalah 0,55 ton/Ha (Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab Bogor, 2010) . Untuk meningkatkan kualitas dan mutu karet yang dihasilkan oleh petani, maka Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Pertanian (Dirjen P2HP), Kementrian Pertanian melalui Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor mengadakan sebuah program, yakni Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet.
6
1.2
Perumusan Masalah Upaya pengembangan potensi sumberdaya ekonomi lokal yang berbasis
komoditi unggulan telah sejak lama dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat lokal, baik dalam bentuk bantuan dana maupun sarana produksi. Titik berat program tersebut lebih banyak diarahkan pada pemberdayaan masyarakat dan masih bersifat proyek dari pemerintah pusat, sehingga pada umumnya program-program tersebut tidak berkelanjutan setelah masa proyek berakhir (Hariyoga et al, 2006). Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya pemanfaatan sumberdaya dan sumberdana untuk menggerakkan ekonomi lokal dengan meningkatkan peran swasta, baik dunia usaha maupun masyarakat terkait dengan agribisnis karet secara utuh dan saling berhubungan satu sama lain. Komoditi karet sebagai salah satu produk unggulan dari Kabupaten Bogor yang mempunyai potensi untuk terus dikembangkan. Kecamatan Jasinga mempunyai luas lahan pertanian yang relatif luas serta keadaan agroekosistem yang mendukung untuk pengembangan komoditi karet. Kondisi ini pada dasarnya menjadi peluang pemerintah maupun masyarakat setempat untuk mengembangkan sektor pertanian di daerah tersebut. Kecamatan Jasinga merupakan sentra penghasil karet terbesar di Kabupaten Bogor (Lampiran 1). Pengusahaan budidaya karet oleh para petani di Kecamatan Jasinga dilakukan pada lahan yang sempit (12 Hektar) maupun lahan yang luas (≥ 2 Hektar). Kegiatan usahatani dan pasca panen karet yang dilakukan oleh petani di Kecamatan Jasinga telah berlangsung secara turun temurun dan menjadi mata pencaharian utama di Kecamatan Jasinga. Keterbatasan sarana dan prasarana pasca panen karet menjadi salah satu masalah dalam upaya pengembangan komoditi ini. Adanya keterbatasan sarana dan prasarana tersebut berakibat pada mutu dan kualitas hasil yang didapatkan petani dalam melakukan pengolahan sheet karet. Kegiatan usahatani karet yang dilakukan adalah menanam dan memelihara tanaman karet sampai usia tanaman berumur lima tahun. Setelah tanaman berumur lima tahun, maka petani dapat menyadap getah karet. Penyadapan karet dilakukan setiap hari pada pagi hari. Alat yang dibutuhkan untuk menyadap karet adalah
7
pisau sadap dan mangkok lateks. Umumnya petani menggunakan batok kelapa sebagai mangkok penampung lateks. Setelah lateks terkumpul, maka lateks tesebut dituang ke dalam loyang untuk proses pembekuan. Loyang yang digunakan petani adalah jerigen air yang dibelah dua sama panjang. Alat-alat tersebut sebetulnya tidak layak untuk digunakan dalam proses penyadapan dan pasca panen karet, karena akan mempengaruhi kualitas sheet basah yang dihasilkan.
Untuk memperbaiki hal tersebut, maka Direktorat Jenderal
Pangelolaan Hasil dan Pemasaran Kementerian Pertanian memberikan bantuan berupa alat pasca panen untuk memperbaiki kualitas hasil yakni Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet merupakan Program yang
diselenggarakan
oleh
Kementerian
Pertanian,
Direktorat
Jenderal
Pengelolaan Hasil dan Pemasaran Hasil Pertanian. Program Pengembangan Agribisnis ini merupakan serangkaian dari kegiatan-kegiatan yang terintegrasi dari pasca panen hingga pemasaran hasil. Salah satu bentuk kegiatan dari program Pengembangan
Agribisnis
adalah
Kegiatan
Pengembangan
Agroindustri
Perdesaan, Sub Kegiatan Pengembangan Pasca Panen, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan yang diwujudkan dalam pemberian bantuan berupa alat pasca panen karet. Mekanisme pemberian bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet adalah pemberian bantuan berupa alat pasca panen karet untuk pengolahan bahan olah karet. Pemberian bantuan alat pasca panen ini diberikan pada kelompok tani karet yang telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Kementrian Pertanian. Tujuan utama dari Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet adalah untuk meningkatkan mutu dan kualitas bahan olah karet yang dihasilkan oleh anggota kelompok tani penerima bantuan, sehingga pendapatan anggota kelompok tani penerima bantuan dapat meningkat. Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet merupakan salah satu program pada bidang pasca panen yang menitikberatkan proses pengolahan bahan olah karet pada perkebunan karet rakyat. Sejauh ini, bahan olah karet yang mampu dihasilkan oleh sebagian besar petani karet di Kecamatan Jasinga adalah dalam bentuk sheet basah. Sheet basah merupakan bahan olah karet yang terbuat
8
dari lateks segar yang telah mengalami proses pembekuan dan diproses melalui penggilingan oleh hand mangel. Adapun bantuan yang diberikan pada kelompok petani penerima bantuan adalah satu unit hand mangel, 43 buah loyang, satu unit timbangan gantung, 43 buah pisau sadap dan 43 buah mangkok lateks. Untuk hand mangel dan timbangan gantung, penggunaannya secara bersama-sama oleh seluruh anggota kelompok tani. Untuk pisau sadap, loyang dan mangkok lateks, seluruh anggota kelompok tani mendapatkannya dan penggunaan bantuan tersebut digunakan secara pribadi atau masing-masing. Untuk melihat keberhasilan program tersebut, diperlukan monitoring dan evaluasi untuk perbaikan dan saran pada tahun yang akan datang. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengukur tingkat keberhasilan program adalah dengan mengukur kinerja usahatani yang terjadi setelah program berlangsung. Keberhasilan usahatani tersebut salah satunya bias dilihat dari pendapatan dan jumlah produksi sheet yang dihasilkan oleh petani karet. Sejauh ini hasil dari kegiatan usahatani karet yang dilakukan oleh petani di Kecamatan Jasinga adalah sheet asalan. Sheet asalan adalah sheet yang kurang memenuhi standar pasar yang dibutuhkan. Harga rata-rata yang diterima oleh petani untuk sheet asalan ini adalah Rp 4.500,- per Kg. Dari 43 orang penerima bantuan program diperoleh data rata-rata jumlah produksi yang dihasilkan oleh petani sebelum dan sesudah program berlangsung. Tabel 8 menjelaskan perkembangan jumlah produksi sheet yang ada di Kecamatan Jasinga Kab Bogor Tabel 8. Perkembangan Jumlah Produksi Sheet basah yang dihasilkan oleh petani di Kec Jasinga Kab Bogor Tahun 2009-2010 Tahun Rata-Rata Jumlah Produksi (Kg) 2009 219.000 2010 328.500 Sumber : Data Kelompok Tani, 2011 (Diolah)
Tabel 8 menjelaskan adanya perkembangan yang cukup signifikan pada rata-rata jumlah produksi yang dihasilkan oleh petani penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Hal tersebut diduga karena dengan adanya pemberian bantuan Program Pengembangan Agribisnis telah memperbaiki kualitas hasil sheet yang dihasilkan petani.
9
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana gambaran pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor? 2) Bagaimana kinerja usahatani petani penerima bantuan dibandingkan petani non penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor ?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini
adalah : 1) Mengkaji pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor. 2) Mengkaji kinerja usahatani petani penerima bantuan dibandingkan dengan petani non penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor.
1.4
Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian yang akan dilaksanakan ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dengan program Pengembangan Agribisnis, antara lain: 1) Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi kepuasan petani pada dinas terkait sehingga dapat menjadi pertimbangan dinas pemberi bantuan dalam menentukan kebijakan. 2) Memberikan tambahan literatur berupa sumbangan perbendaharaan ilmu pengetahuan, khususnya bagi para peneliti yang akan meningkatkan pengetahuannya dalam bidang Pengembangan Agribisnis, terutama yang berbasis pada potensi komoditi unggulan agribisnis perkebunan. 3) Bagi penulis, proses dan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai media pembelajaran dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh.
10
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini hanya mengkaji pada subsistem pasca panen, dimana objek
yang akan diteliti adalah petani yang mengusahakan pengolahan bahan olah karet sampai produk sheet basah dan yang menerima bantuan program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Hal ini dikarenakan bantuan yang diberikan pemerintah pada petani karet di Kecamatan Jasinga adalah alat pasca panen karet. Kajian lain yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah komponen peningkatan mutu dan kualitas hasil melalui pelaksanaan program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet Kabupaten Bogor di Kecamatan Jasinga, yaitu dengan menganalisis pelaksanaan program dan kepuasan petani terhadap bantuan program yang diberikan.
11
II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Agribisnis Karet di Indonesia Tanaman karet (Hevea brasiliensis) berasal dari Brazil. Negara tersebut
mempunyai iklim dan hawa yang sama dengan Indonesia. Tanaman karet termasuk dalam divisio Spermatophyta, sub divisio Angiospermae, kelas dycotyledonae, ordo Euphorbiaceae, genus Hevea. Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 1-600 meter di atas permukaan laut, dengan suhu harian antara 25-300C dan pH tanah untuk tanaman karet berkisar antara 5-6. (Tim Penebar Swadaya, 1994). Tanaman karet mempunyai tiga fase, yakni tanaman belum menghasilkan (TBM), Tanaman Menghasilkan (TM ) dan Tanaman Tua Rusak (TTR). Pada fase TBM, tanaman karet berusia 0-5 tahun, tanaman tersebut belum bisa disadap getahnya. Fase TM tanaman karet adalah fase produktif tanaman, dimana tanaman sudah bisa disadap getahnya. Umur tanaman pada fase TM adalah 6-30 tahun. Setelah karet berusia lebih dari 30 tahun, maka tanaman memasuki fase TTR, dimana tanaman sudah tidak bisa disadap (sadap mati). Pada fase tersebut biasanya tanaman ditebang dan diambil kayunya. Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa dari tanaman karet mencapai 25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Di beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring ke arah timur. Hal ini disebabkan oleh perkembangan tanaman karet yang mengikuti arah sinar matahari. Batang tanaman karet mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks. Semakin rendah letak tanaman karet, maka akan semakin banyak getah yang dihasilkan. Kondisi tanah yang paling baik untuk tempat hidup karet adalah tidak berbatu-batu dan terdapat pengaliran air tanah yang baik, karena air tidak boleh tergenang. Di Indonesia tanaman karet disadap untuk diambil getahnya. Getah tersebut kemudian diolah menjadi lembaran atau yang dikenal dengan sheet. Sheet merupakan bahan baku untuk berbagai industri.
12
2.2
Industri Pengolahan Karet Alam Indonesia Ragam produk karet yang dihasilkan dan diekspor Indonesia masih
terbatas. Umumnya masih didominasi produk primer (raw material) dan produk setengah jadi. Sebagian besar bahan olah karet (bokar) yang berasal dari perkebunan diolah menjadi karet remah (crumb rubber) dengan kodifikasi SIR (Standard Indonesian Rubber) yang terdiri dari SIR 5, SIR 10, SIR 20, SIR 3CV, SIR 3L dan SIR 3F. Selain itu, bokar diolah dalam bentuk lateks pekat dan sheet yang terdiri dari smoked sheet dan unsmoked sheet. Pada lateks jenis sheet, yang paling banyak diproduksi adalah jenis smoked sheet dengan kodifikasi RSS (Ribbed Smoked Sheet). Berbagai produk yang dihasilkan dari karet dapat dilihat secara rinci pada Gambar 1. Industri Peralatan Kesehatan
Lateks Pekat
Bahan olah
Unsmoked Sheet
Sheet
Smoked Sheet SIR 5 SIR 10 SIR 20 SIR 3CV SIR 3L SIR 3F
Karet Remah
Minyak Biji Karet Getah Karet (Lateks)
Industri tas, sepatu dan alat rumah tangga
Industri sabun, minyak cat
Biji Karet
Industri Kerajinan Tangan
Kayu Karet
Industri Furniture, Pulp
Gambar 1. Produk Hasil Olahan Getah Karet/Lateks di Indonesia Sumber : Ditjen Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2007
13
Apabila diolah lebih lanjut, karet remah dapat dijadikan berbagai produk, diantaranya adalah ban, sepatu, bola, balon, dot susu, perlak, karpet dan pelampung. Produk lanjutan dari lateks adalah berbagai alat kesehatan dan laboratorim, diantaranya adalah pipet, selang, stetoskop, dan sarung tangan. Hasil sampingan dari tanaman karet adalah kayu yang berasal dari kegiatan peremajaan kebun karet tua yang sudah tidak menghasilkan karet. Kayu karet dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan rumah, kayu api, arang ataupun kayu gergajian untuk rumah tangga (Furniture) serta bahan baku dalam industri bubur kertas (Pulp). Hasil sampingan lain dari tanaman karet adalah biji karet yang dapat diolah menjadi kerajinan tangan, minyak cat dan makanan ternak (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Kementrian Perindustrian dan Perdagangan, 2007).
2.3 Konsep Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat terutama di pedesaan tidak cukup hanya dengan upaya meningkatkan produktivitas atau modal saja, tetapi harus diikuti pula dengan perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat, mendukung berkembangnya potensi masyarakat melalui peningkatan peran terhadap empat akses yaitu: akses sumberdaya, akses teknologi, akses pasar dan akses sumber pembiayaan. Dari empat akses ini, disamping menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memfasilitasinya, juga diperlukan peran aktif dari kelompok-kelompok masyarakat di desa untuk membentuk usaha bersama atas kepentingan bersama (Wayan et al, 2000). Menurut Suharto (2004), pemberdayaan merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Pemberdayaan sebagai suatu tujuan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
14
Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Konsep pemberdayaan masyarakat secara mendasar berarti menempatkan masyarakat
beserta
institusi-institusinya
sebagai
kekuatan
dasar
bagi
pengembangan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Menghidupkan kembali berbagai pranata ekonomi masyarakat untuk dihimpun dan diperkuat sehingga dapat berperan sebagai lokomotif bagi kemajuan ekonomi merupakan keharusan untuk dilakukan. Ekonomi rakyat akan terbangun bila hubungan sinergis dari berbagai pranata sosial dan ekonomi yang ada di dalam masyarakat dikembangkan kearah terbentuknya jaringan ekonomi rakyat. Selain itu juga diharapkan tidak saja dituntut untuk dapat mendayagunakan dan menghasilkan potensi sumber daya lokal untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, tetapi juga terlindunginya hak-hak rakyat dalam pengelolaan sumberdaya lokal sesuai dengan kepentingan ekonomi dan sosialnya.
2.4
Pengembangan Ekonomi Lokal Menurut Krisnamurthi (2002), pembangunan ekonomi lokal adalah suatu
proses pembangunan yang dilaksanakan di tingkat lokal untuk kepentingan masyarakat lokal dan dilakukan terutama oleh anggota masyarakat itu sendiri. Pembangunan ekonomi lokal menjadi alternatif pilihan kebijakan pembangunan yang lebih bersifat pembangunan ekonomi lokal. Adapun perbandingan antara pembangunan ekonomi lokal dan pembangunan ekonomi terpusat dapat dilihat pada Tabel 9.
15
Tabel 9. Perbandingan Pembangunan Ekonomi Lokal (PEL) dan Pembangunan Terpusat serta Kaitannya dengan Kebijakan Sektor Publik.
No
Variabel
1
Tanggung Jawab
2
Tujuan
3
Sarana
4
5
6
Target
Pembangunan Ekonomi Lokal
Pembangunan Ekonomi Terpusat
Sektor publik bertanggung Sektor publik bertanggung jawab untuk menciptakan jawab dalam memberikan lingkungan ekonomi dan sosial arahan bagi investasi swasta yang kondusif bagi investasi sehingga dapat mendorong swasta. perkembangan ekonomi yang diharapkan. Sektor publik ditujukan untuk Sektor publik ditujukan untuk menciptakan manfaat langsung mendorong pertumbuhan dan ekspansi pengeluaran publik. kepada kelompok masyarakat yang paling membutuhkan. Sumberdaya sektor publik Sumberdaya publik menjadi merupakan sarana untuk sarana untuk mengakomodasi memastikan agar kepentingan sektor swasta. perkembangan ekonomi yang spesifik dapat dicapai. Target kegiatan publik Target kegiatan pada diarahkan langsung kepada pertumbuhan sektoral kelompok tertentu yang Target kegiatan sepenuhnya membutuhkan. mengikuti kriteria efisiensi Target kegiatan publik adalah kegiatan yang dimiliki oleh masyarakat lokal
Lokasi Kegiatan
Desentralisasi kegiatan
Fokus Kegiatan
Menekankan pada penciptaan kesempatan kerja yang sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja lokal
Lokasi kegiatan dipilih yang paling ekonomis dengan dukungan sarana yang paling baik Menekankan pada kompetisi kesempatan kerja berdasarkan keahlian dan keterampilan
Sumber: Krisnamurthi, 2002
Pengembangan ekonomi yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif termasuk dalam menghadapi pasar global adalah kegiatan ekonomi yang mutlak dikembangkan dengan berbasiskan sumberdaya alam (resource based economy), terutama yang berbasiskan sumberdaya alam pertanian (Damanhuri,
2000).
Kondisi
tersebut
diharapkan
dapat
mendukung
pengembangan agribisnis maupun agroindustri menjadi leading sector (core) dalam proses pembangunan, termasuk kaitannya dengan pemberdyaan ekonomi rakyat.
16
Menurut Syaukat dan Hendrakusumaatmadja (2003), Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) merupakan kerjasama seluruh komponen masyarakat di suatu daerah (lokal) untuk mencapai partumbuhan ekonomi berkelanjutan yang akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan kualitas hidup seluruh masyarakat di dalam komunitas. Keberhasilan program PEL sangat ditentukan oleh motivasi pemerintah pusat atau daerah dalam merencanakan, memformulasikan dan mengimplementasikan program-program otonomi daerah. Konsep dasar dari PEL adalah suatu proses dimana pemerintah setempat (Local governments) mengatur sumber-sumber daya setempat dan menciptakan pola kemitraan dengan sektor swasta atau sektor publik untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru dan merangsang aktivitas ekonomi pada suatu wilayah ekonomi (Blakely, 1994). Pengembangan ekonomi lokal erat kaitannya dengan pemberdayaan sumberdaya
manusia,
lembaga
dan
lingkungan
sekitarnya.
Untuk
mengembangkan ekonomi lokal tidak cukup hanya dengan meningkatkan kemampuan sumberdaya manusianya, tetapi juga diperlukan adanya lembaga yang terlatih untuk mengelola sumberdaya manusia yang sudah maju, dan memerlukan lingkungan yang kondusif untuk memungkinkan lembaga ekonomi lokal tersebut berkembang. Pengembangan ekonomi lokal melalui pengembangan lembaga kemitraan semua stakeholders (pemerintah, dunia usaha dan masyarakat) tentunya membutuhkan kemampuan komunikasi diantara semua lembaga yang bersangkutan, dalam menjamin kesinambungan mitra kerja dan mitra usaha. Untuk selanjutnya, komunikasi multi arah menjadi kebutuhan dasar dalam pengembangan lembaga kemitraan tersebut.
2.5
Konsep Kelembagaan dan Peran Kelembagaan Menurut Mubyarto (1989), yang dimaksud dengan lembaga adalah
organisasi atau kaidah-kaidah baik formal maupun informal yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu dalam kegiatan-kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Nasution (2002), kelembagaan mempunyai pengertian sebagai wadah dan sebagai norma. Lembaga atau institusi adalah seperangkat aturan, prosedur
norma perilaku
individual dan
sangat
penting
artinya
bagi
17
pengembangan pertanian. Pada dasarnya kelembagaan mempunyai dua pengertian yaitu kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi personal dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki (Hayami dan Kikuchi, 1987 dalam Baga, 2009). Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan aturan, baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak serta tanggung jawabnya. Kelembagaan sebagai organisasi biasanya merujuk pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintah, koperasi, bank dan sebagainya. Suatu kelembagaan (institution) baik sebagai aturan main maupun sebagai suatu organisasi, dicirikan oleh adanya tiga komponen utama (Pakpahan, 1990 dalam Nasution, 2002) yaitu : 1. Batas Kewenangan (Jurisdictional Boundary) Batas kewenangan merupakan batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh seseorang atau pihak tertentu terhadap sumberdaya, factor produksi serta barang dan jasa. Dalam suatu organisasi batas kewenangan menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi tersebut. 2. Hak kepemilikan (Property Right) Konsep property right selalu mengandung makna social yang berimplikasi ekonomi. Konsep property right atau hak kepemilikan muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) dari semua masyarakat peserta yang diatur oleh suatu peraturan yang menjadi pegangan, adat dan tradisi atau consensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan hak milik atau penguasaan bila tidak ada pengesahan dari masyarakat sekarang. Pengertian tersebut mengandung dua implikasi, yakni hak seseorang adalah kewajiban orang lain dan hak yang tercermin dalam kepemilikan (ownership) adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya. 3. Aturan Representasi (Rule of Representation) Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya tehadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam
18
proses pengambilan keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi ditentukan oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat terhadap anggota dalam organisasi tersebut. Terkait dengan komunitas perdesaan, maka terdapat beberapa unit-unit sosial (kelompok, kelembagaan dan organisasi) yang merupakan aset untuk dapat dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Pengembangan kelembagaan di tingkat local dapat dilakukan dengan system jejaring kerjasama yang setara dan saling menguntungkan. Menurut Sumarti, dkk (2008), kelembagaan di perdesaan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu : pertama, lembaga formal seperti pemerintah desa, BPD, KUD dan lain–lain. Kedua, kelembagaan tradisional atau lokal. Kelembagaan ini merupakan kelembagaan yang tumbuh dari dalam komunitas itu sendiri yang sering memberikan “asuransi terselubung” bagi kelangsungan hidup komunitas tersebut. Kelembagaan tersebut biasanya berwujud nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan cara-cara hidup yang telah lama hidup dalam komunitas seperti kebiasaan tolong-menolong, gotong royong, simpan pinjam, arisan, lumbung paceklik dan lain sebagainya. Keberadaan lembaga di perdesaan memiliki fungsi yang mampu memberikan “energi sosial” yang merupakan kekuatan internal masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka lembaga di perdesaan yang saat ini memiliki kesamaan dalam karakteristik tersebut dapat dikatakan lembaga kelompok tani. Peran kelembagaan sangat penting dalam mengatur sumberdaya dan ditribusi manfaat. Untuk itu unsur kelembagan perlu diperhatikan dalam upaya peningkatan potensi desa guna menunjang pembangunan desa. Dengan adanya kelembagaan petani dan ekonomi desa sangat terbantu dalam hal mengatur silang hubungan antar pemilik input dalam menghasilkan output ekonomi desa dan dalam mengatur distribusi dari output tersebut.
2.6
Kelompok Tani Menurut Departemen Pertanian (2008), kelompok tani diartikan sebagai
kumpulan orang-orang tani atau petani yang terdiri dari petani dewasa (pria atau wanita), maupun petani taruna (pemuda atau pemudi) yang terkait secara informal
19
dalam suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama, kesamaan
kepentingan,
kesamaan
kondisi lingkungan (sosial,
ekonomi,
sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota.
2.7
Penelitian Terdahulu Dalam penelitian Lestari (2010), mengemukakan bahwa konsumsi karet
alam dunia terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh berkembangnya industri-industri yang berbahan baku karet alam. Sama halnya dengan
penelitian Priyohutomo
(2010),
peneliti mengemukakan bahwa
produktivitas karet alam Indonesia masih rendah yang menyebabkan ekspor karet alam Indonesia berfluktuasi. Penelitian ini mengkaji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor karet ala mini menggunakan alat analisis model log ganda dan metode OLS. Variabel dependen yang digunakan adalah volume ekspor karet alam Indonesia serta variabel independennya meliputi volume produksi karet alam domestik, volume konsumsi karet alam domestik, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, volume ekspor bulan sebelumnya, harga karet alam domestik, harga karet alam dunia dan harga karet alam sintesis. Hasil penelitian dari penelitian tersebut adalah variabel yang berpengaruh signifikan adalah volume produksi domestik, volume konsumsi domestik dan harga karet sintesis. Volume produksi domestik menjadi satu-satunya variabel yang bersifat elastis terhadap volume ekspor karet alam Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Sunandar (2007) dan Pratama (2010), menunjukkan bahwa tingkat produksi karet alam Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya. Peran penting kebijakan pemerintah dalam input adalah pemberian subsidi pupuk dan output sangat membantu petani karet alam dalam meningkatkan daya saing. Penelitian ini menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Analisis Kebijakan. Hasil analisis ini menujukkan bahwa pengusahaan komoditi tanaman karet mempunyai daya saing. Dengan adanya daya saing tersebut, menunjukkan bahwa karet alam masih mempunyai keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Ekspor terbanyak yang dilakukan Indonesia untuk Bahan Olah Karet (Bokar) adalah SIR (Standard
20
Indonesian Rubber) yang merupakan spesifikasi teknis yang dibuat dari koagulump lateks. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Model Regresi Logistik Biner dan analisis pendapatan usahatani. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam menentukan jenis bahan olah karet secar signifikan adalah jumlah anggota keluarga petani, luas lahan yang dimiliki, keanggotaan petani dalam kelompok tani, keberadaan PPL serta variabel harga koagulump yang diterima oleh petani. Widhyastuti (2006) dan Firwiyanto (2008), menggunakan alat analisis yang sama dalam penelitiannya yaitu metode Importance Performance Analysis (IPA). Penelitian yang mengkaji tentang Evaluasi Program Pelaksanaan PIR serta tingkat pendapatan dan tingkat kepuasan peternak terhadap pelaksanaan kemitraan ayam broiler. Atribut penetapan denda sortasi merupakan atribut dengan nilai terendah. Hasil penelitian menunjukan tingkat pendapatan yang diperoleh peternak mitra lebih kecil dibandingkan dengan peternak mandiri tetapi cukup sepadan bagi peternak yang tidak memiliki modal. Berdasarkan hasil IPA dan CSI diketahui nilai sebesar 74 persen. Hal ini menandakan bahwa secara keseluruhan peternak mitra merasa puas terhadap kinerja atribut kemitraan yang dilaksanakan perusahaan inti. Penelitian yang dilakukan oleh Syahid (2005), tentang pengembangan ekonomi lokal melalui pengembangan kelompok tani ternak itik di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian ini menunjukkan bahwa diperlukan langkah strategis dalam pengembangan ekonomi lokal melalui pengembangan kelompok tani ternak itik. Kajian ini juga bertujuan untuk mengkonstruksikan konsep pemberdayaan yang sesuai bagi seluruh komunitas dan kelompok tani dalam pengelolaan potensi sumberdaya lokal. Kegiatan dan proses pemberdayaan yang dilakukan ternyata belum menunjukkan keberdayaan masyarakat petani. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi warganya. Penelitian tentang program pengembangan pertanian (Primatani), dalam hal ini dilakukan oleh Nur Yulistia (2009), yang menganalisis pendapatan dan efisiensi produksi usahatani belimbing dewa peserta Primatani Di Kota Depok, menyatakan bahwa adanya program primatani dalam pengembangan belimbing
21
dewa ternyata tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pendapatan petani peserta primatani. Hal ini terlihat dari pendapatan atas biaya tunai dan biaya total yang lebih besar diperoleh petani non peserta primatani dibandingkan petani peserta primatani. Namun demikian, usahatani belimbing dewa yang dilakukan Di Kota Depok selama ini sudah menguntungkan bagi para petani, analisis ini terlihat dari nilai R/C rasio pada petani primatani maupun non primatani yang lebih besar dari satu. Konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Persamaannya adalah mengkaji suatu program pemerintah, dalam hal ini adalah Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet terhadap masyarakat yang ada di suatu desa yang berbeda. Perbedaannya adalah penelitian ini mengkaji bagaimana pelaksanaan program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet dengan melihat bagaimana keberhasilan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor.
22
III. 3.1
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran untuk menguraikan nalar dan pola pikir dalam upaya
menjawab tujuan penelitian. Uraian pemaparan mengenai hal yang berkaitan dan relevan dengan penelitian. Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini membahas konsep sumberdaya ekonomi lokal, sistem agribisnis,kelembagaan dalam agribisnis, pendapatan usahatani dan program pengembangan agribisnis komoditi karet. Alat hitung yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendapatan usahatani. 3.1.1 Sumberdaya Ekonomi Lokal Sumberdaya ekonomi lokal yang dimiliki oleh suatu daerah pada dasarnya merupakan potensi yang dihasilkan dari suatu daerah. Pengembangan potensi lokal ini menjadi sebuah peluang ketika diterapkannya kebijakan tentang otonomi daerah. Pengembangan wilayah dalam ruang lingkup otonomi daerah juga harus didasarkan atas keunggulan komparatif suatu wilayah sesuai dengan potensi dan kendala bio-fisik (tanah, agroklimat) dan sosial ekonominya. Kecamatan Jasinga sebagai salah satu daerah penanaman karet memiliki keunggulan tersendiri untuk terus mengembangkan karet sebagai potensi lokal yang ada di kecamatan tersebut. Sebagai produk unggulan yang menjadi salah satu pendukung pembangunan kecamatan, sumberdaya ini menjadi penting untuk terus dikembangkan baik dari segi produksi maupun kegiatan pemasarannya.
3.1.2
Sistem Agribisnis Istilah sistem (system) berasal dari bahasa Yunani, systema yang berarti,
yaitu :(1) suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian dan (2) hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen secara teratur. Jadi istilah systema mengandung arti sebagai bagian keseluruhan atau komponen atau himpunan yang saling berhubungan satu sama lain secara teratur menjadi satu kesatuan menjadi satu kesatuan yang terpadu sesuai dengan mekanismenya (Rahim dan Diah, 2008).
23
Agribisnis adalah sebagai bentuk modern dari pertanian primer, paling sedikit
mencakup
empat
subsistem,
yakni:
susbsistem
agribisnis
hulu
(upstreamagribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan dan perdagangan sarana produksi pertanian primer (seperti industri pupuk, obatobatan, bibit/benih, alat dan mesin pertanian, dan lain-lain); subsistem usahatani (on-farm agribusiness); subsistem agribisnis hilir (downstream agribusiness) (Saragih,2010). Agribisnis ini membentuk suatu sistem yang simultan dan memiliki keterkaitan yang erat antara keempat subsistem tersebut. Sektor agribisnsis menurut Saragih (2010) adalah sebagai bentuk modern dari pertanian primer, paling sedikit mencakup empat subsistem, yakni: subsistem agribisnis
hulu
(upstream agribusiness),
yaitu
kegiatan ekonomi yang
menghasilkan dan perdagangan sarana produksi pertanian primer (seperti industry pupuk, obat-obatan,bibit/benih, alat dan mesin pertanian, dan lain-lain) ; subsistem usahatani (on-farm agribusiness) atau disebut sebagai sector pertanian primer; subsistem agribisnis hilir (downstream agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan, baik yang siap untuk dimasak atau siap untuk disaji atau siap untuk dikonsumsi beserta kegiatan perdagangannya di pasar domestic dan internasional; dan subsistem jasa layanan pendukung seperti lembaga keuangan dan pembiayaan, transportasi, penyuluhan dan layan informasi agribisnis, penelitian dan pengembangan, kebijakan pemerintah, asuransi agribisnis dan lain-lain. Secara sederhana sistem agribisnis dapat dilihat pada Gambar 2.
Subsistem Agribisnis Hulu
Subsistem Usahatani
Subsistem Pengolahan
Subsistem Pemasaran
Subsistem Jasa dan penunjang
Gambar 2. Sistem Agribisnis Sumber : Saragih (2010) 24
Agribisnis ini menunjukkan adanya keterkaitan vertical antar-subsistem agribisnis serta keterkaitan horizontal dengan system atau subsistem lain di luar seperti jasa-jasa (financial dan perbankan, transportasi, perdagangan, pendidikan, dan lainnya) (Saragih,2010). Sistem agribisnis ini pada dasarnya merupakan bentuk pertanian, industry dan jasa secara saling terkait (sinergis) dan menyeluruh (utuh/sebagai suatu sistem). 3.1.3
Kelembagaan dalam Agribisnis Kelembagaan agribisnis dapat berupa kelompok tani. Kelompok tani ini
yang kemudian menjalin kemitraan dengan pihak luar sebagai badan organisasi perkumpulan petani. Menurut Keputusan Menteri Pertanian nomor 940 tahun 1997, kemitraan usaha pertanian merupakan suatu bentuk kerjasama usaha diantara perusahaan dan kelompok mitra di bidang usaha pertanian. Kemitraan merupakan suatu bentuk kerjasama yang mengacu pada terbentuknya keseimbangan, keselarasan dan keterampilan yang didasari oleh sikap saling percaya antara kedua pihak yang bermitra yaitu perusahaan dan kelompok, dimana adanya hubungan kemitraan ini akan terwujud hubungan saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling memperkuat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kerjasama dalam bentuk kemitraan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, adanya jaminan jumlah suplai, meningkatkan kualitas produksi, meningkatkan kualitas kelompok mitra, meningkatkan usaha, menciptakan kelompok mitra yang mandiri. Kemitraan yang banyak dilakukan oleh petani adalah dengan adanya bentuk kelembagaan
agribisnis.
Menurut Baga
(2009), pada dasarnya
kelembagaan mempunyai dua pengertian, yaitu : kelembagaan sebgai suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi personal dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki. Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan perlindungan hak-hak serta tanggung jawabnya. Menurut Saptana (2006) membagi proses terbentuknya kelembagaan menjadi dua, yaitu kelembagaan yang tumbuh secara alamiah dan kelembagaan yang sengaja dibentuk dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu. Ciri 25
kelembagaan yang tumbuh secara alamiah adalah terbentuk karena adanya kebutuhan masyarakat, berlangsung dalam kurun waktu yang lama, bersifat in formal dan umumnya tidak tertulis. Kelembagaan yang sengaja dibentuk memiliki ciri adanya inisiasi dalam proses pembentukannya, sifatnya lebih formal adan umumnya bersifat tertulis (rumusan tujuan, tata tertib yang berlaku dan rumusan kerja sama antara pelaku. Pembangunan kelembagaan merupakan suatu proses untuk memperbaiki kemampuan suatu lembaga (institution) dalam menggunakan sumberdaya yang tersedia, berupa manusia (human) maupun dana (financial) secara efektif. Keefektifan suatu lembaga tergantung pada lokasi, aktivitas dan teknologi yang digunakan oleh suatu lembaga. Konsep keefektifan (effectiveness) diartikan sebagai kemampuan suatu lembaga dalam mendefinisikan seperangkat standar dan menyesuaikannya dengan tujuan operasionalnya (Baga, 2009). Keberadaan kelembagaan agribisnis dalam bentuk kelompok tani memberikan peran yang sangat berarti bagi petani. Kelompok tani ini menjadi organisasi kerjasama petani untuk berhubungan dengan pihak luar misalnya perusahaan mitra untuk meningkatkan pendapatan. Selain itu, kelompok tani ini menjadi tempat untuk mengadopsi penerapan teknologi ditingkat petani. Keberadaan kelembagaan harus memberikan manfaat bagi anggotanya yaitu melalui kinerjanya. Kinerja dapat diartikan sebagai sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan. Jhon Witmore dalam Coaching for Performance (1997:104), menyatakan kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan. Kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional. Menurut Cascio (1992 :267), penilaian kinerja adalah sebuah gambaran atau deskripsi yang sistematis tentang kekuatan dan kelemahan yang terkait dari
26
seseorang atau suatu kelompok1. Kinerja mengenai keberadaan kelembagaan agribisnis ini adalah bentuk manfaat yang diberikan dari kelembagaan tersebut terhadapa anggotanya, dalam hal ini adalah bentuk kelompok tani yang keberadaannya
seberapa
efektif
terhadap
produkivitas
dan
pendapatan
anggotannya.
3.1.4 Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet merupakan salah satu program yang dilakukan oleh Kementrian Pertanian (Kementan) yang baru dilakukan pada tahun 2009 hingga sekarang. Salah satu tujuan utamanya adalah meningkatkan penanganan pasca panen, dengan mengurangi tingkat kehilangan hasil. Penerapan program tersebut, diharapkan petani dapat meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya dalam penanganan pasca panen karet dengan baik dan benar, yakni sesuai dengan kaidah Good Handling Practise (GHP) melalui pembinaan yang terarah, intensif dan berkelanjutan (Dirjen P2HP,2008). Bentuk bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada petani adalah alat pasca panen karet yang terdiri atas hand mangel, timbangan gantung, mangkok lateks, loyang, dan pisau sadap. Bantuan tersebut didistribusikan pada beberapa kelompok, sesuai dengan proposal dan Rencana Usaha Kelompok (RUK) yang diajukan pada lingkup Dinas Pertanian Kabupaten/Kota. Sasaran dari program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet adalah kelompok tani yang mempunyai usaha pasca panen karet, pengolahan karet dan atau pemasaran hasil karet, dengan ketentuan sebagai berikut : a.
Mempunyai pengurus aktif (minimal ketua, sekretaris, bendahara) dan aturan organisasi yang dibuktikan dengan Berita Acara pembentukan kelompok tani, dengan disetujui oleh anggotanya, dan usahanya telah berjalan.
b.
Tidak termasuk dalam daftar kredit macet atau kredit bermasalah serta tidak termasuk dalam dalam daftar hitam Bank Indonesia
1
Anonim. Penilaian Kinerja. www.google.com//search//penilaian kinerja//wikipedia// html (15 Februari 2010).
27
c.
Mengusahakan penanganan pasca panen karet, pengolahan dan atau pemasaran komoditas strategis yang telah ditetapkan Departemen Pertanian yang mempunyai potensi dan prospek pasar yang jelas.
d.
Mempunyai proposal kegiatan dan rencana penggunaan anggaran untuk mengembangkan penanganan pasca panen, pengolahan, dan atau pemasaran karet
e.
Lolos seleksi dan disetujui oleh tim teknis Dinas lingkup pertanian Kabupaten/Kota
f.
Bersedia mengikuti petunjuk/pembinaan dari Dinas lingkup pertanian Kabupaten/Kota
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Kecamatan Jasinga merupakan salah satu sentra pengembangan produksi karet di Kabupaten Bogor yang mempunyai jumlah produksi dan lahan budidaya yang lebih banyak dibandingkan beberapa kecamatan lainnya di Kabupaten Bogor (Lampiran 1). Hingga saat ini wilayah Kecamatan Jasinga, sebagai sentra produksi di Kabupaten Bogor belum mampu memberikan kontribusi untuk memenuhi permintaan pasar karena masih rendahnya mutu sheet yang dihasilkan oleh petani. Adanya kemajuan teknologi akan memungkinkan kualitas sheet yang dihasilkan petani akan meningkat. Karet merupakan salah satu komoditas yang dikembangkan di Kab Bogor sebagai potensi lokal pertanian daerah pembudidayaannya masih dinilai sangat sedikit dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan lainnya. Karet memiliki nilai ekonomis tinggi apabila penanganan pasca panen dilakukan dengan baik dan mengolahnya menjadi sheet yang memenuhi standar kualifikasi pasar yang diinginkan. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kab Bogor dalam mengembangkan komoditi karet sebagai potensi lokal diharapkan meningkatkan produk unggulan tersebut baik dari segi produksi maupun pemasarannya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pemberian bantuan alat pasca panen karet. Pelaksanaan program melalui pemberian bantuan alat pasca panen diharapkan dapat meningkatkan kegiatan pasca panen karet yang merupakan salah satu mata pencaharian utama para petani responden. Secara tidak langsung adanya
28
peningkatan kegiatan produksi ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan para petani karet Dalam pelaksanaannya, pihak pelaksana program juga melakukan kegiatan monitoring dan penyuluhan kepada para petani karet di Kecamatan Jasinga. Dalam kegiatan pasca panen ini dianalisis dari berbagai faktor yang mendukung, terutama penggunaan input seperti peralatan dan tenaga kerja. Analisis pendapatan usahatani dalam penelitian ini sebagai gambaran untuk mengukur seberapa besar tingkat keberhasilan program pengembangan agribisnis komoditi karet di Ketingkat kepuasan penerima bantuan. Dari hasil analisis ini diharapkan bisa dijadikan sebagai gambaran umum pelaksanaan program pengembangan agribisnis komoditi karet di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor yang bisa dirumuskan menjadi kebijakan yang mungkin dilakukan oleh pelaksana teknis program tersebut, yaitu Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Secara sistematis, kerangka berpikir operasional pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
29
Kualitas bahan olah karet di Kab Bogor belum optimal Usaha perbaikan kualitas bahan olah karet sebagai potensi ekonomi lokal
Kementerian Pertanian bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab Bogor Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet
Pemberian bantuan alat pasca panen karet
Analisis pendapatan usahatani sebagai indikator keberhasilan usahatani
Pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet Gambaran pelaksanaan program Mekanisme penyaluran bantuan Tanggapan petani
Pendapatan Usahatani Variabel : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pupuk Koagulan (asam semut) Pajak lahan Tenaga kerja Ember penampung Cincin mangkuk Talang sadap
Rekomendasi Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Keberhasilan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet terhadap Kinerja Usahatani di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor.
30
IV. METODE PENELITIAN 4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor Jawa Barat, tepatnya di
Kecamatan Jasinga. Pemilihan lokasi ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa Kecamatan Jasinga merupakan salah satu daerah budidaya karet terbesar di Kabupaten Bogor. Kondisi agroekosistem, infrastruktur serta kondisi perkebunan karet menjadi salah satu daya dukung Kecamatan Jasinga untuk terus mengembangkan agribisnis karet. Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet masih berjalan hingga saat ini termasuk untuk wilayah kecamatan lainnya, baik dalam tahap pembinaan, pemberian bantuan maupun dalam kegiatan monitoring dan evaluasi. Program pengembangan agribisnis pada dasarnya merupakan bentuk lain dari beberapa program pemerintah dalam mengembangkan potensi suatu daerah, hal ini menjadi salah satu pertimbangan dalam batasan penelitian ini yang hanya menganalisis pelaksanaan program pengembangan agribisnis karet yang dilakukan di Kecamatan Jasinga. Sumber dana yang digunakan dalam Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet ini berasal dari APBN Tahun 2009, yakni Direktorat Jenderal Pengelolaan Hasil dan Pemasaran-Kementrian Pertanian melalui Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Program Pengembangan Agribisnis ini berakhir pada tahun anggaran 2009 dan terus dievaluasi sampai tahun 2010. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan pada tahun 2011, pada saat evaluasi Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet telah selesai proses monitoring dan evaluasi. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang baik dan representatif dari program dan lokasi yang akan diteliti.
31
4.2
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua data berdasarkan
sumbernya, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara pengamatan secara langsung di lokasi penelitian serta wawancara yang dilakukan secara terstruktur dari responden yang menjadi peserta dari program tersebut, data yang relevan dengan evaluasi Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet, serta hasil wawancara terhadap instansi terkait di Kabupaten Bogor maupun yang lainnya sesuai dengan kerangka yang telah ditetapkan sebelumnya. Data primer juga diperoleh melalui hasil pengisisan kuesioner yang ditujukan kepada petani penerima bantuan. Data sekunder diperoleh dengan membaca dan menganalisis berbagai dokumen, arsip, buku maupun bentuk data lainnya yang diperoleh melalui berbagai sumber yang memang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan topik penelitian, seperti Direktorat Jenderal Pengelolaan Hasil dan Pemasaran, Litbang, Dinas Pertanian dan kehutanan Kabupaten Bogor, Biro Pusat Statistik, artikel, internet, buku dan literatur lainnya yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. . 4.3
Metode Pengumpulan Data dan Penarikan Sampel Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan instansi terkait, yaitu
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor merupakan dinas penyelenggaran Program Pengembangan Agribisnis di tingkat Kabupaten. Wawancara dengan petani penerima bantuan program dipandu dengan kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Kuesioner yang digunakan berisi pertanyaan mengenai pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis di lapangan, dalam hal ini adalah di tingkat petani, tingkat kepuasan dan kepentingan petani dalam pelaksanan program yang telah dilakukan. Petani yang menjadi responden pada penelitian ini adalah petani penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Pemilihan petani responden ini diperoleh dari daftar nama petani yang merupakan anggota
32
kelompok tani penerima bantuan program. Informasi petani diperoleh dari kelompok tani maupun instansi terkait. Penarikan sampel dilakukan dengan metode sensus atau sampel total, karena anggota populasi relatif kecil dan seluruh populasi menjadi responden penelitian. Metode tersebut digunakan atas dasar kondisi para petani responden yang memperoleh bantuan program, juga berdasarkan pertimbangan syarat yang harus dipenuhi oleh para petani peserta program dari total petani yang menjadi sampling frame sebanyak 75 orang. Sampel diambil sebanyak 43 orang petani yang menjadi peserta program diambil secara sengaja dari sampling frame yang ada. Jumlah populasi petani penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Karet adalah 43 orang petani. Sebagai pembanding, yaitu petani non penerima bantuan diambil lima orang. Pengambilan sampel ini dilakukan secara sengaja dan berdasarkan kemudahan akses para petani responden baik terhadap informasi pelaksanaan program maupun informasi lainnya dalam kegiatan budidaya karet. Selain itu, hal ini dilakukan berdasarkan hasil koordinasi dengan pihak kelompok tani Mandiri yang ada di Kecamatan Jasinga maupun atas dasar kemampuan petani dalam menyediakan sarana produksi lain yang memang diperlukan. Berdasarkan metode ini sampel dapat langsung dipilih di lokasi penelitian saat penelitian dilakukan dengan syarat sampel memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Kriteria sampel petani penerima anggota adalah petani yang mendapatkan bantuan alat pasca panen dari program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Analisis data yang lainnya juga digunakan sebagai pendukung dalam penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari berbagai pihak yang berkompeten dan berhubungan dengan pelaksanaan program, seperti bagian penelitian dan evaluasi Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, maupun Unit Pelaksana Teknis (UPT) pertanian yang ada di Kecamatan Jasinga. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Desk Study; cara ini dilakukan dengan mengumpulkan informasi dari berbagai literatur maupun data-data sekunder yang diperlukan dan terkait dengan maksud penelitian, baik dari laporan-laporan, hasil penelitian, surat kabar, artikel maupun majalah serta hasil survei awal di lapang yang telah dilakukan.
33
b) Interview (wawancara); cara ini digunakan untuk memperoleh pendapat, pandangan seseorang maupun informasi secara tertulis dari responden maupun pihak-pihak terkait lainnya terhadap pelaksanaan program. c) Observasi (pengamatan langsung); digunakan untuk memperoleh informasi secara akurat yang dilakukan para petani dalam program pengembangan agribisnis komoditi karet di lokasi penelitian.
4.4
Metode Pengolahan dan Analisis Data Menurut Nazir (1983), kegiatan menganalisis data merupakan bagian yang
sangat penting dalam metode ilmiah, hal ini karena dengan adanya analisis data. Data tersebut akan memiliki makna dan arti yang bermanfaat dalam memberikan informasi maupun dukungan lainnya dalam mencari dan memberikan alternatif penyelesaian masalah yang di bahas dalam penelitian termasuk dalam menguji hipotesis. Analisis data yang dikumpulkan dari sampling pada lokasi penelitian dikelompokkan menjadi dua yaitu data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif, data tersebut selanjutnya disajikan baik dalam bentuk uraian maupun tabulasi. Data yang diolah dan dianalisis dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif dianalisis secara deskriptif yang bertujuan untuk melihat pelaksanaan program pengembangan agribisnis komoditi karet apakah dapat dilakukan dengan baik dan peningkatan kesejahteraan petani. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Office Excel dan Minitab 14.
4.4.1
Analisis Deskriptif Dalam menggambarkan pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis
Komoditi Karet digunakan analisis deskriptif yang didukung dengan data-data kualitatif. Dengan demikian dapat dijelaskan mekanisme pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet pada tingkat kelompok di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor.
34
4.4.2
Analisis Pendapatan Analisis pendapatan dalam kegiatan usahatani ini didukung oleh data
dalam penerimaan usahatani, kemudian dianalisis tingkat pendapatan yang diperoleh dengan mempertimbangkan besaran penerimaan dan biaya. Penerimaan usahatani pada dasarnya merupakan perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual yang ada, secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut: TRi =
=1
Yi . Pyi
Dimana: TRi : Total Penerimaan Yi : Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani Py : Harga y Penggunaan biaya dalam suatu kegiatan usahatani akan di analisis melalui perhitungan biaya yang merupakan hasil perkalian antara jumlah input yang digunakan dengan harga input yang berlaku. Secara matematik perhitungan biaya ini dapat dirumuskan sebagai berikut: TCi = ∑ =1 Xi . Pxi Dimana: TCi : Total Biaya Xi : Input yang digunakan dalam suatu usahatani Px : Harga x Setelah besarnya penerimaan dan biaya di analisis, maka pada tahap selanjutnya akan di analisis tingkat pendapatan yang diperoleh. Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan biaya (Soekartawi, 2002). Secara matematik analisis ini dapat dirumuskan sebagai berikut: π = TRi-TCi Kriteria yang digunakan dalam analisis pendapatan ini adalah: TR > TC TR = TC TR < TC
: Usaha yang dijalankan memberikan keuntungan : Usaha yang dijalankan impas (Break Event Point) : Usaha yang dijalankan mengalami kerugian
Menurut Soekartawi (2002), terdapat banyak manfaat yang dapat diperoleh dari analisis usahatani, diantaranya adalah:
35
a) Data produktivitas dapat dipakai sebagai ukuran apakah produktivitas yang diperoleh itu sudah cukup tinggi, sedang atau masih rendah. b) Data pendapatan usahatani dapat dipakai sebagai ukuran untuk melihat apakah usahatani itu menguntungkan atau merugikan dan sampai seberapa besar keuntungan atau kerugian tersebut. c) Data sebaran penggunaan input dapat dipakai untuk memberikan informasi bagaimana alokasi input dan berapa besar biaya yang di alokasikan pada masing-masing input.
4.4.3
Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (Rasio R/C) Rasio R/C menunjukkan sebeerapa besar penerimaan yang diperoleh dari
setiap biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan uasahatani. Jika nilai rasi R/C >1, maka penerimaan lebih besar dari setiap unit biaya yang dikeluarkan. Hal ini berarti usahatani tersebut menguntungkan. Jika nilai rasio R/C <1, maka penerimaan yang diperoleh lebih kecil dari unit biaya yang dikeluarkan dan usahatani yang dilakukan tidak menguntungkan. Secara matematis, rasio R/C dapat dirumuskan sebagai berikut : Penerimaan total Rasio R/C =
4.5
Biaya total
Batasan Operasional Variabel-variabel yang digunakan dalam menganalisis tingkat produksi
sheet dan pendapatan usahatani karet, baik untuk petani peserta program maupun non peserta program di wilayah penelitian antara lain adalah: a. Luas lahan garapan adalah luas areal usahatani karet yang diusahakan dalam satuan hektar (ha). b. Tenaga kerja adalah tenaga kerja yang digunakan dalam kegiatan produksi sheet, baik yang berasal dari dalam keluarga maupun dari luar keluarga yang dinyatakan dalam satuan Hari Orang Kerja (HOK). Biaya tenaga kerja dianalisis berdasarkan tingkat upah per HOK yang berlaku di wilayah penelitian.
36
c. Produksi total adalah hasil pengolahan lateks menjadi sheet yang diukur dalam satuan kilogram (kg). d. Produktivitas adalah produksi total karet yang dibagi oleh luas lahan (kg/ha). e. Biaya tetap merupakan biaya yang tidak tergantung pada banyaknya produksi komoditi karet yang dihasilkan dan dinyatakan dalam satuan Rupiah (Rp). f. Biaya variabel merupakan biaya yang dikeluarkan dalam pembelian sarana produksi yang jumlahnya akan berubah sesuai dengan perubahan produksi usahatani yang dihasilkan dan dinayatakan dalam satuan Rupiah (Rp). g. Biaya total adalah semua jenis pengeluaran dalam usahatani karet, baik yang tunai maupun yang diperhitungkan dan dinyatakan dalam satuan Rupiah (Rp). h. Biaya penyusutan merupakan biaya yang dikeluarkan karena adanya penyusutan alat-alat pertanian yang dihitung dengan metode garis lurus dan diperoleh dari nilai pembelian dibagi periode produksi serta umur ekonomis alat-alat pertanian dan dihitung dengan menggunakan satuan Rupiah (Rp). i. Biaya tunai adalah biaya faktor produksi untuk kegiatan usahatani karet yang dibayarkan petani secara tunai dan dinyatakan dalam satuan Rupiah (Rp). j. Biaya diperhitungkan merupakan biaya faktor produksi milik sendiri maupun dari bantuan program yang digunakan dalam usahatani karet. Biaya ini pada dasarnya tidak dibayarkan secara tunai, namun hanya diperhitungkan untuk melihat pendapatan petani bila faktor produksi yang dimiliki sendiri dibayar dan dinyatakan dalam satuan Rupiah (Rp). k. Harga produk adalah harga jual rata-rata sheet bogor ditingkat petani dalam setiap kali panen dan diukur dalam satuan Rupiah per buah (Rp./kg). l. Penerimaan usahatani karet merupakan nilai produksi total komoditi karet dalam satu kali panen yang dikalikan dengan harga jual sheet yang diterima petani dan menggunakan satuan Rupiah (Rp). m. Pendapatan atas biaya tunai merupakan selisih antara penerimaan usahatani dan biaya tunai usahatani karet dalam satuan Rupiah (Rp). n. Pendapatan atas biaya total merupakan selisih antara penerimaan usahatani dan biaya total usahatani karet dalam satuan Rupiah (Rp).
37
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Gambaran Wilayah Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Barat yang memiliki potensi besar dalam sektor pertanian. Berdasarkan data geografis, wilayah Kabupaten Bogor teletak diantara 6°18’0” – 6°47’10” Lintang Selatan (LS) dan 106°23’45” – 107°13’30” Bujur Timur (BT). Wilayah sebelah utara Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kab/Kota Bekasi. Wilayah sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur serta Kabupaten Purwakarta. Wilayah sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur serta bagian tengah berbatasan dengan Kota Bogor. Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas ± 298.838,304 Ha. Secara administratif Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan dan 428 desa/kelurahan, 3.768 Rukun Warga dan 14.951 Rukun Tetangga. Jumlah kecamatan sebanyak 40 kecamatan tersebut merupakan jumlah kumulatif setelah adanya hasil pemekaran lima kecamatan pada tahun 2005, yaitu Kecamatan Leuwisadeng, Kecamatan Tanjungsari, Kecamatan Cigombong, Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Tajurhalang. Keadaan alam di Kabupaten Bogor cukup potensial untuk pertanian dan pendistribusian hasil pertanian karena wilayahnya merupakan jalur tranportasi antar kota maupun antar provinsi serta berbatasan langsung dengan Ibukota Republik Indonesia, Jakarta. Kabupaten Bogor memiliki tipe morfologi tanah yang bervariasi, dari dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian selatan. Sekitar 29,28 persen berada pada ketinggian 15-100 meter di atas permukaan laut (dpl), 42,62 persen berada pada ketinggian 100-500 meter dpl, 19,53 persen berada pada ketinggian 500-1000 meter dpl, 8,43 persen berada pada ketinggian 1000-2000 meter dpl dan 0,22 persen berada pada ketinggian 2000-2500 meter dpl. Tabel 10 memaparkan komposisi penduduk di Kabupaten Bogor pada Tahun 2010 adalah sebanyak 4.763.209 jiwa.
38
Tabel 10. Sebaran Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor menurut Sensus Penduduk Tahun 2010 No Jenis Kelamin Jumlah (orang) 1 Laki-Laki 2.446.251 2 Perempuan 2.316.958 Jumlah 4.763.209 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011
Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor dengan 11,07 persen dari jumlah penduduk di Provinsi Jawa Barat, yaitu 43.021.826 jiwa dan merupakan jumlah penduduk terbesar diantara kabupaten/kota lain di Jawa Barat. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2010 lebih tinggi daripada jumlah penduduk pada tahun 2009 yaitu sebanyak 4.477.296 jiwa, atau meningkat sebanyak 285.913 jiwa. Kondisi ini disebabkan oleh tingginya pertumbuhan penduduk alami dan migrasi yang masuk ke Kabupaten Bogor. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor selama 10 tahun terakhir (2000-2010) adalah sebesar 3,13 persen. Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan yang strategis dalam pembangunan di Kabupaten Bogor. Hal tersebut tertuang dalam misi kedua Kabupaten Bogor yaitu “Meningkatnya Perekonomian Daerah yang Berdaya Saing dengan titik berat pada Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan yang berbasis Perdesaan”. Misi tersebut bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis perdesaan dengan sasaran meningkatnya produksi,
produktivitas,
distribusi
dan
konsumsi
pangan
daerah
serta
berkembangnya agribisnis pertanian, perikanan, peternakan dan agribisnis hasil perkebunan. Strategi dan arah kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam pencapaian tujuan dan sasaran misi tersebut adalah dengan cara meningkatkan ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis perdesaan beserta sasarannya. Hal tersebut diwujudkan dengan merancang lima strategi pembangunan yang menitikberatkan pada pertanian yakni : 1) intensifikasi komoditas pangan daerah; 2) ekstensifikasi komoditas pangan daerah; 3) peningkatan sistem agribisnis dan aquabisnis; 4) mengembangkan sentra komoditas unggulan; dan 5) meningkatkan pembangunan infrastruktur perdesaan.
39
Pertanian di Kabupaten Bogor terdiri dari pertanian tanaman pangan, sayuran, hortikultura serta perkebunan. Tanaman pangan padi menyebar hampir di semua kecamatan, dengan variasi luasan yang berbeda. Umumnya padi sawah menyebar di wilayah tengah dan utara, dimana daerah tersebut sudah tersedia irigasi yang memadai. Daerah tersebut yakni Kecamatan Rumpin, Cigudeg, Sukajaya, Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea, Caringin, Jonggol, Sukamakmur dan Cariu. Tanaman padi gogo menyebar hanya di beberapa kecamatan dalam luasan yang terbatas. Produktivitas tanaman padi sawah berkisar antara 4-5 ton per Ha, sedangkan produktivitas padi gogo berkisar antara 3-4 ton per Ha. Produktivitas ini masih bisa ditingkatkan dengan memperbaiki kondisi lingkungan seperti menekan bahaya banjir serta perbaikan manajemen ushatani. Perbaikan manajemen usahatani dapat dilakukan dengan cara melakukan pemberian pupuk tepat dosis dan waktu, penyediaan modal, sarana dan prasarana serta penyediaan sarana pasca panen yang optimal. Komoditas tanaman pangan lainnya seperti jagung dan kedelai pun menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Bogor. Tanaman jagung terdapat di Kecamatan Dramaga, Cisarua, Megamendung, Cileungsi, Kelapanunggal, Rancabungur, Cibinong, Ciseeng, Gunung Sindur dan Rumpin. Untuk tanaman kedelai, hanya terdapat di beberapa kecamatan saja diantaranya adalah Kecamatan Tamansari, Kemang, Rancabungur, dan Megamendung. Daerah pertanian hortikultur seperti sayur dan buah mengalami hal yang serupa dengan pertanian tanaman pangan, yang membedakan adalah konsentrasi komoditas tertentu hanya menyebar pada wilayah tertentu, seperti manggis yang banyak dikembangkan di wilayah barat, seperti Kecamatan Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng, Cigudeg dan Jasinga. Tanaman buah nanas banyak dikembangkan di wilayah tengah seperti di Kecamatan Caringin, Cijeruk dan Cigombong. Sayuran banyak dikembangkan di wilayah atas yang memiliki kondisi bentang alam berupa dataran tinggi, seperti Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua. Pertanian hortikultur lainnya yang terus dikembangkan oleh Kabupaten Bogor adalah pertanian hortikultur tanman hias. Wilayah penghasil tanaman hias adalah Kecamatan Tamansari, Cijeruk, Ciawi, Megamendung, Tajurhalang,
40
Gunung Sindur dan Bojong Gede. Dengan beragamnya tanaman hias di Kabupaten Bogor yang menyebar di Kecamatan-Kecamatan tersebut, maka tidak heran apabila Kabupaten Bogor dijadikan salah satu pusat produksi dan pemasaran tanaman hias terbesar di Provinsi Jawa Barat. Tanaman perkebunan relatif terbatas di wilayah Kabupaten Bogor. Berdasarkan pengelolaan usahanya, perkebunan dibagi menjadi dua, yaitu perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Perkebunan besar dikelola oleh perusahaan negara ataupun swasta, sedangkan perkebunan rakyat dikelola sepenuhnya oleh masyarakat tani setempat. Jumlah perkebunan negara di Kabupaten Bogor berjumlah tiga kebun, yakni Kebun Cikasungka, Kebun Gunung Mas dan Kebun Cianten dengan komoditas yang ditanami adalah kelapa sawit, teh dan kina. Perkebunan besar negara dikelola oleh BUMN PT. Perkebunan Nusantara VIII. Jumlah perkebunan besar swasta di Kabupaten Bogor berjumlah 18 kebun dengan komoditi yang ditanami antara lain adalah karet, teh, pala, coklat, kopi dan pinang. Perkebunan rakyat tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Bogor, dengan komoditi yang ditanami antara lain adalah karet, kopi, cengkeh, kelapa, vanili, aren, pala dan tanaman obat. Komoditi perkebunan unggulan Kabupaten Bogor adalah pala, cengkeh, kopi, kelapa dan karet. Secara umum, tanaman perkebunan di Kabupaten Bogor ditanam pada lahan yang berkategori kelas tiga, dengan kendala utama pada kelerengan. Kendala tersebut menyebabkan adanya degradasi lahan melalui proses erosi dan penurunan kesuburan lahan. Berkaitan dengan sisi luasan kawasan yang dapat dikembangkan untuk tanaman perkebunan relatif tebatas yakni dengan total luas lahan sekitar 27.000 Ha. Adanya potensi tersebut, pemerintah daerah setempat menganjurkan bahwa bentuk usaha perkebunan dalam skala besar tidak dianjurkan. Bentuk usaha ynag dianjurkan adalah skala kecil dan bekerjasama dengan usaha perkebunan besar yang sudah ada. Tingginya alih fungsi lahan di Kabupaten Bogor merupakan alasan yang tak kalah penting dalam anjuran pemerintah daerah Kabupaten Bogor mengenai pembukaan usaha perkebunan tersebut.
41
5.2
Keadaan Umum, Geografis dan Iklim Kecamatan Jasinga Kecamatan Jasinga merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor
yang memiliki potensi dalam pengembangan komoditas perkebunan. Luas Kecamatan Jasinga adalah 10.848 Hektar dengan jumlah penduduk sebanyak 97.235 jiwa. Jarak dengan ibukota kabupaten cukup jauh, yakni 64 kilometer dengan akses transportasi sudah cukup baik. Kecamatan Jasinga ini merupakan kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Rangkasbitung Provinsi Banten. Jarak tempuh ke Kabupaten Rangkasbitung relatif lebih dekat apabila dibandingkan dengan jarak tempuh ke ibukota kabupaten. Akses transportasi yang sudah cukup baik dengan wilayah lainnya terutama dengan Kota Bogor dan Kabupaten Rangkasbitung telah memberikan suatu gambaran yang dapat mendukung kegiatan perekonomian masyarakat setempat. Kondisi jalan dan infrastruktur yang ada juga telah mendukung kegiatan sehari-hari dan mobilitas masyarakat Kecamatan Jasinga. Kecamatan Jasinga memiliki suhu rata-rata tiap bulan sebesar 260 C dengan suhu terendah 21,80 C dan suhu tertinggi adalah sebesar 30,4 0 C. Kelembaban udara di Kecamatan Jasinga adalah sebesar 70% dengan curah hujan sebesar 1.561,3 mm/tahun dan jumlah hari hujan sebanyak 125 hari. Hujan dalam satu tahun. Secara umum kondisi topografi wilayah Kecamatan Jasinga adalah berbukit-bukit dengan ketinggian 207 meter diatas permukaan laut. Lahan di wilayah Kecamatan Jasinga sebagian besar didominasi oleh tanaman perkebunan dan kehutanan seperti karet, manggis atau sengon dan sisanya adalah persawahan dengan jenis tingkat kelerengan datar, landai dan curam. Tingkat kelerengan yang datar dan landai ditanami dengan jenis tanaman pertanian dan kebun campuran seperti padi, sengon, manggis dan karet. Tingkat kelerengan yang curam digunakan untuk tanaman kopi arabika. Cara penanaman yang umumnya dilakukan oleh petani di Kecamatan Jasinga adalah polikultur atau tanaman keras yang ditumpangsarikan dengan tanaman semusim. Kondisi agroekosistem yang ada di Kecamatan Jasinga memberikan gambaran peluang yang cukup baik dalam pengembangan usaha perkebunan maupun bentuk usahatani lainnya. Sebagian besar wilayah yang ada di Kecamatan Jasinga merupakan daerah perbukitan, wilayah ini memiliki potensi yang cukup baik khususnya dalam
42
pemanfaatan lahan untuk wilayah perkebunan karet, manggis, kopi, maupun rempah-rempah. Keberadaan lahan untuk wilayah perkebunan ini merupakan milik Perhutani dan pihak swasta, namun sudah beberapa tahun ini kurang dimanfaatkan dengan baik, sehingga banyak dimanfaatkan untuk perkebunan rakyat dengan pemberian hak garap kepada para petani setempat. Wilayah yang dimanfaatkan untuk perkebunan rakyat dan swasta sendiri mencapai 3.326 Hektar atau sekitar 30,66 persen. Kondisi ini menggambarkan bahwa Kecamatan Jasinga memiliki potensi yang dapat dikembangkan dalam bidang perkebunan, terutama dalam mengembangkan kegiatan perekonomian masyarakat setempat. Tabel 11 memberikan gambaran secara lengkap pemanfaatan lahan yang ada di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Tabel 11. Pemanfaatan Lahan di Kecamatan Jasinga Tahun 2010 Pemanfaatan Lahan
Luas Lahan (Ha)
Perumahan, pemukiman dan Pekarangan Tanah sawah Perkebunan rakyat dan swasta Kolam Sungai Jalan Kabupaten Pemakaman Umum Perkantoran Lapangan Olah Raga Tanah Peribadatan Tanah Bangunan Pendidikan Total
2.545,56 3.024,63 3.326,00 354,61 453,56 1.078,65 29,92 1,25 1,89 15,93 16,00 10.848,00
Persentase (%) 23,46 27,88 30,66 3,26 4,18 9,94 0,27 0,01 0,01 0,15 0,15 100,00
Sumber: Data Kependudukan Kecamatan Jasinga, 2011
Berdasarkan Tabel 11 menunjukkan bahwa selain memiliki potensi untuk pengembangan kegiatan perkebunan rakyat dan swasta, Kecamatan Jasinga juga memiliki luasan lahan yang banyak dimanfaatkan untuk lahan sawah yang mencapai 3.024,63 Hektar atau 27,88 persen dari total luas lahan di Kecamatan Jasinga. Jika dilihat dari jenis mata pencaharian penduduk setempat, sebagian besar masyarakat Kecamatan Jasinga pencaharian sebagai petani yang mencapai 667 orang atau sekitar 13,74 persen dari seluruh jumlah penduduk Kecamatan
43
Jasinga berdasarkan jenis mata pencaharian. Pekerjaan sebagai petani maupun peternak pada masyarakat setempat tentunya dipengaruhi oleh kondisi alam maupun lingkungan sekitar yang memang mendukung kegiatan pertanian dan peternakan, terutama dalam bidang perkebunan yang selama ini terus dikembangkan
dalam
meningkatkan
kegiatan
perekonomian
masyarakat.
Sementara sebagian yang lainnya bermata pencaharian sebagai pedagang maupun pengrajin dan wiraswasta. Tabel 12 berikut menyajikan secara lengkap jumlah penduduk Kecamatan Jasinga berdasarkan mata pencaharian masyarakat setempat. Tabel 12. Jumlah Penduduk Kecamatan Jasinga Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian Tahun 2010 N0. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jenis Mata Pencaharian Jumlah (orang) Petani dan peternak 667 Pedagang / Warung 571 Pegawai negeri 81 ABRI dan POLRI 3 Pensiunan dan Purnawirawan 7 Pengusaha 6 Wiraswasta 442 Pengrajin 547 Tukang Bangunan /Kayu /Batu 33 Penjahit 22 Tukang Las 2 Tukang Ojek 281 Jasa Bengkel 7 Pengemudi Angkot 47 Seniman 2 Tukang Pangkas Rambut' 2 Buruh / Jasa 1.681 Lainnya 455 Jumlah 4.856 Sumber: Data Kependudukan Kecamatan Jasinga, 2011
5.3
Persentase (%) 13,74 11,76 1,67 0,06 0,14 0,12 9,10 11,26 0,68 0,45 0,04 5,79 0,14 0,97 0,04 0,04 34,62 9,37 100,00
Karakteristik Petani Responden Responden dalam penelitian ini adalah petani karet yang mendapatkan
bantuan program
Pengembangan
Agribisnis
Komoditi Karet.
Beberapa
karakteristik responden yang dianggap penting meliputi usia petani, pendidikan petani, pengalaman bertani karet, luas lahan yang diusahakan, status kepemilikan dan status usaha. Karakteristik responden yang dianggap penting tersebut dipilih
44
karena dianggap mempengaruhi dalam pelaksanaan usahatani karet terutama dalam melakukan teknik pascapanen yang berpengaruh pada pengolahan sheet. 5.3.1
Status Usahatani Karet Petani responden yang ada di Kecamatan Jasinga sebagian besar
menganggap bahwa usahatani yang selama ini dijalankan merupakan bentuk mata pencaharian utama, terdapat 81,40 persen atau 35 orang petani responden yang menganggap bahwa usahatani karet ini merupakan mata pencaharian utama. Sisanya yang mencapai 18,60 persen atau sekitar delapan orang menganggap bahwa usahatani karet ini merupakan bentuk usaha sampingan. Petani responden yang merupakan penerima bantuan program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet juga menganggap bahwa usahatani karet yang selama ini dijalankan merupakan mata pencaharian utamanya. Besarnya antusiasme petani dalam mengembangkan usahatani karet dan menjadikan usaha ini sebagai mata pencaharian utama, dikarenakan mereka beranggapan bahwa usaha ini telah dilakukan secara turun-temurun dan menguntungkan bagi mereka, terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tabel 13 menyajikan jumlah petani responden berdasarkan kriteria status usahatani yang dijalankan.
Tabel 13. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Status Usahatani Karet, di Kecamatan Jasinga Tahun 2011 Persentase (%) Status Usahatani Jumlah Responden (orang) Pekerjaan Utama 35 81,40 Pekerjaan Sampingan 8 19,60 Total 43 100.00 Petani responden yang menganggap usahatani karet sebagai mata pencaharian utama juga memiliki pekerjaan sampingan seperti berdagang, buruh tani maupun bentuk usaha sampingan lainnya. Hal ini dilakukan sebagai tambahan pendapatan bagi keperluan keluarga maupun sebagai tambahan untuk membeli sarana produksi yang dibutuhkan diluar usahatani yang selama ini dijalankan. Tabel 13 juga menginformasikan bahwa seluruh petani yang menjadi peserta program menganggap bahwa usahatani karet merupakan mata pencaharian utama, hal ini juga menjadi pendukung dalam memenuhi salah satu syarat yang memang telah ditentukan oleh pihak pelaksana program. Bentuk mata pencaharian utama 45
ini diharapkan dapat lebih menstimulus para petani yang menjadi peserta program untuk terus aktif dalam kegiatan budidaya karet maupun dalam upaya memperoleh hasil produksi karet yang lebih baik. 5.3.2
Usia Petani Usia petani dapat berpengaruh pada pola pikir dan kemampuan fisik dalam
bekerja. Umumnya petani yang berusia muda memiliki kemampuan fisik yang lebih tinggi dan pola pikir yang dinamis dibandingkan dengan petani yang usianya sudah tua. Berdasarkan kriteria usia petani dari responden yang ada, maka dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu terdiri dari usia 25-34 tahun, 35-44 tahun, 45-54 tahun dan 55-64 tahun. Secara lengkap, jumlah petani responden dari masing-masing kelompok usia dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Usia di Kecamatan Jasinga Tahun 2011 Kelompok Usia Jumlah Petani Persentase (tahun) (orang) (%) 25-34 9 20,93 35-44 25 58,14 45-44 8 18,60 55-64 1 2,33 Jumlah 43 100,00 Berdasarkan Tabel 14, terlihat bahwa sebagian besar petani responden penerima bantuan program Pengembangan Agribisnis Komoditas Karet sebagian besar berusia
35-44
tahun,
yaitu
sebesar
58,14
persen.
Kondisi ini
menggambarkan bahwa sebagian besar usia para petani responden merupakaan usia yang produktif dalam menjalankan kegiatan usahataninya. Usia produktif ini pada dasarnya mempunyai implikasi yang lebih baik dalam kegiatan usahatani karet, kondisi tersebut juga didukung oleh adanya bantuan berupa sarana produksi maupun bentuk monitoring dan penyuluhan yang dilakukan oleh pihak pelaksana program (Dinas Pertanian dan Kehutanan) baik dalam kegiatan budidaya maupun dalam kegiatan pengolahan hasil panen.
46
5.3.3
Pendidikan Petani Pendidikan berpengaruh pada kemampuan petani dalam menerima
pengetahuan dan keterampilan mengelola usahatani karet. Tingkat pendidikan yang ada pada petani responden akan berpengaruh pada penyerapan teknologi dan ilmu pengetahuan. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan kepada para petani responden di Kecamatan Jasinga, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani responden sebagian besar adalah Sekolah Dasar (SD). Tabel 15 menyajikan informasi tingkat pendidikan para petani responden.
Tabel 15. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Pendidikan di Kecamatan Jasinga Tahun 2011 Tingkat Pendidikan <SD SD / Sederajat SMP / Sederajat SMA / Sederajat Total
Jumlah Petani Responden (Orang) Persentase (%) 5 11,63 30 69,77 7 16,28 1 2,33 43 100,00
Berdasarkan Tabel 15, tingkat pendidikan petani responden di dominasi dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD)/sederajat. Jumlah petani mengenyam pendidikan SD/sederajat berjumlah 30 orang atau 69,77 persen dari jumlah totalnya. Kondisi ini diperkirakan karena kelemahan para keluarga petani dalam hal biaya pendidikan. Namun sudah beberapa tahun ini kesadaran terhadap pendidikan mulai diperhatikan dengan baik oleh masyarakat setempat. Tingkat pendidikan petani menjadi hal yang penting terutama kaitannya dengan transformasi teknologi. Walaupun mayoritas hanya lulusan SD/sederajat, tetapi petani tersebut sudah melakukan kegiatan usahatani karet dengan baik, hal ini dilihat dari keuntungan yang diperoleh. Keberhasilan petani-petani tersebut saat ini tidak terlepas dari peran serta adanya penyuluhan dari Dinas Pertanian dan Kehutanan serta bimbingan dari kelompok tani yang sudah ada.
5.3.4
Pengalaman Bertani Karet Pengalaman berusahatani merupakan salah satu faktor pendukung dalam
mengelola usahatani karet secara tepat. Dengan adanya pengalaman yang memadai, maka biaya produksi, resiko dan ketidakpastian dalam usahatani dapat
47
dikurangi dan perolehan produksi dapat ditingkatkan. Sebagian besar petani yang menjadi responden mempunyai pengalaman berusahatani yang lebih dari lima tahun, hal ini karena kegiatan usahatani karet di Kecamatan Jasinga telah dilakukan secara turun temurun. Tabel 16 menunjukkan jumlah petani responden berdasarkan pengalamannya dalam usahatani karet.
Tabel 16. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Berusahatani Karet di Kecamatan Jasinga Tahun 2011 Pengalaman Berusahatani (Tahun) 1-5 6-10 11-15 16-20 > 20 Total
Jumlah Responden (Orang) 4 7 6 11 15 43
Presentase (%) 9,30 16,28 13,95 25,58 34,88 100,00
Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar petani responden mempunyai pengalaman berusahatani karet selama lebih dari 20 tahun yaitu sebesar 34,88 persen dari jumlah total petani responden. Hal ini dikarenakan usahatani karet telah dibudidayakan secara turun-temurun di Kecamatan Jasinga. Umumnya petani responden telah melakukan usahatani karet sejak usia 12 sampai 13 tahun.
5.3.5
Luas Lahan Petani Responden Luasan lahan yang digarap oleh setiap petani responden merupakan salah
satu faktor pendukung kegiatan budidaya karet. Luas lahan yang dimiliki oleh petani karet di Kecamatana Jasinga bervariasi. Umumnya tanaman karet di Kecamatan Jasinga ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim. Tabel 17 memberikan gambaran jumlah petani karet berdasarkan kriteria luas lahan yang dimiliki.
48
Tabel 17. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Luas Lahan di Kecamatan Jasinga Tahun 2011 Luas Lahan (Ha) Jumlah Responden (orang) Persentase (%) <1 18 41.86 1-2 19 44.19 2,1-3 3 6.98 3,1-4 1 2.33 4,1-5 0 0.00 >5 2 4.65 Total 43 100,00 Tabel 17 menunjukkan bahwa sebagian besar petani responden memiliki luas lahan karet seluas 1-2 Hektar, yaitu sebanyak 19 orang atau 44,19 persen dari jumlah total responden. Rata-rata petani karet memiliki luas lahan 1,5 Hektar, dengan populasi tanaman sebanyak 500 pohon per Hektar.
5.3.6
Status Kepemilikan Lahan Petani Tabel 18 menunjukkan bahwa jumlah petani responden yang memiliki
status lahannya sebagai lahan milik sendiri sebanyak 27 orang atau 62,79 persen dari total jumlah responden. Petani yang mempunyai lahan warisan adalah sebanyak delapan orang atau 18,60 persen dari jumlah total. Status lahan milik sendiri ini terdiri dari pembelian maupun dari warisan. Sisanya sebanyak delapan orang melakukan usahatani karet dengan status kepemilikan lahan sewa dan pinjam pakai. Pinjam pakai lahan ini bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan di areal kawasan Hutan Lindung Haur Bentes yakni sebanyak 16,28 persen. Tabel 18. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Status Lahan di Kecamatan Jasinga Tahun 2011 Status Lahan Jumlah Responden (orang) Persentase (%) Milik Sendiri Pribadi 27 62,79 Warisan 8 18,60 Sewa Pinjam pakai Total
1
2,33
7 43
16,28 100,00
49
VI. PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOMODITI KARET
6.1
Mekanisme Penyaluran Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet ini dilakukan untuk
meningkatkan mutu hasil bahan olah karet yang dihasilkan oleh petani sebagai salah satu produk unggulan Kabupaten Bogor, terutama dalam mengembangkan potensi lokal yang ada di Kabupaten Bogor. Tujuan utama dari Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet adalah meningkatkan penanganan pasca panen karet untuk meningkatkan kualitas hasil. Dengan adanya penanganan panen yang optimal dan pasca panen yang baik, maka akan mendorong peningkatan pendapatan petani serta terpenuhinya kebutuhan industri. Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet ini merupakan program yang diselenggarakan oleh Kementrian Pertanian yang dilaksanakan oleh pelaksana teknis di tingkat kabupaten/kota, dalam hal ini adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet dilaksanakan pada daerah-daerah yang berpotensi untuk pengembangan usahatani karet, terutama dalam pengolahan bahan olah karet. Tahap awal yang dilakukan adalah dengan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait yaitu Kementerian Pertanian serta Dinas Pertanian dan Kehutanan di Kabupaten Bogor. Selanjutnya adalah dengan melakukan sosialisasi kepada daerah terpilih, dalam hal ini adalah para petani karet yang ada di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor. Sosialisasi ini dilakukan dalam upaya menilai dan menganalisis potensi komoditi lokal yang akan dikembangkan, sosialisasi ini juga dilakukan dalam upaya melihat kesiapan para petani sebagai peserta program. Hasil identifikasi dan verifikasi menetapkan kelompok tani yang akan menjadi peserta program dengan kepemilikan lahan dan pengalaman berusahatani yang berbeda. Selanjutnya, menentukan besarnya bantuan yang akan diberikan, dan tahap pelaksanaan program. Bentuk bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan program ini adalah paket alat pasca panen karet, yang terdiri atas hand mangel, loyang, timbangan gantung, mangkok lateks dan pisau sadap. Penggunaan hand mangel dan timbangan adalah 50
digunakan secara bersama-sama, artinya seluruh anggota kelompok tani dapat menggunakan alat tersebut dan kepemilikannya dimiliki secara bersama. Untuk loyang, pisau sadap dan mangkok lateks, penggunaan dan kepemilikannya secara pribadi, artinya alat-alat tersebut diberikan pada masing-masing anggota kelompok tani dan digunakan secara pribadi. Dalam upaya menjaga keberlangsungan program ini, terutama dalam melihat daya dukung agroekosistem yang ada di sentra karet Kabupaten Bogor, maka pihak Kementerian Pertanian menetapkan bahwa lokasi yang akan digunakan harus mempunyai beberapa persyaratan, (Pedoman Umum Kegiatan Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet, 2008) diantaranya adalah: 1) Dilaksanakan di sentra produksi karet yang sudah mendapatkan rekomendasi dari Balai Tanaman Industri (Balitri). 2) Lokasi pengolahan bahan olah karet berada dalam satu kawasan proses produksi sheet dan kebun yang saling berdekatan. Dalam Pedoman Umum Kegiatan Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet disebutkan bahwa petani penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditas Karet mempunyai persyaratan tersendiri yang harus dilaksanakan, persayaratan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Mempunyai pengurus aktif (minimal ketua, sekretaris, bendahara) dan aturan organisasi yang dibuktikan dengan Berita Acara pembentukan kelompok tani, dengan disetujui oleh anggotanya, dan usahanya telah berjalan. 2) Tidak termasuk dalam daftar kredit macet atau kredit bermasalah serta tidak termasuk dalam dalam daftar hitam Bank Indonesia 3) Mengusahakan penanganan pasca panen karet, pengolahan dan atau pemasaran komoditas strategis yang telah ditetapkan Departemen Pertanian yang mempunyai potensi dan prospek pasar yang jelas. 4) Mempunyai proposal kegiatan dan rencana penggunaan anggaran untuk mengembangkan penanganan pasca panen, pengolahan, dan atau pemasaran karet 5) Lolos seleksi dan disetujui oleh tim teknis Dinas lingkup pertanian Kabupaten/Kota
51
6) Bersedia mengikuti petunjuk/pembinaan dari Dinas lingkup pertanian Kabupaten/Kota Dalam pelaksanaan program ini para petani memperoleh penyuluhan baik dari Dinas Pertanian dan Kehutanan maupun dari Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Namun demikian, kurangnya pengawasan dan pembinaan lebih lanjut menyebabkan kurang terdatanya kegiatan pengolahan produksi sheet yang dilakukan oleh petani karet di Kecamatan Jasinga, termasuk kelompok tani penerima bantuan program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, nampak bahwa kegiatan pengolahan sheet belum terlaksana dengan cukup baik, salah satunya adalah dalam hal kebersihan. Pada dasarnya program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet bertujuan untuk meningkatkan kegiatan perekonomian masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumberdaya lokal, dalam hal ini adalah komoditi karet. Kegiatan Pengembangan Agribisnis merupakan kegiatan dari Kementerian Pertanian yang telah ada sejak tahun 2007. Setiap tahun, Kementerian Pertanian mengadakan program Pengembangan Agribisnis yang dimulai sejak bulan Mei tahun 2007 dengan komoditi yang berbeda di setiap tahunnya. Proses penyaluran bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan memilih kelompok tani Mandiri, Kuning Sari dan Binangkit sebagai penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Sebelumnya, Dinas Pertanian dan Kehutanan melakukan seleksi Calon Petani Calon Lahan (CP/CL) untuk petani penerima bantuan program dengan dibantu oleh Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabuaten Bogor. Pihak yang melaksanakan penyaluran bantuan ini adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan dengan rekomendasi dari Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Dengan adanya bantuan ini menjadi awal peningkatan mutu dan kualitas hasil olahan sheet bagi para petani karet yang ada di Kecamatan Jasinga. Peningkatan kualitas ini dapat terlihat dari perbaikan mutu dari kualitas sheet yang dihasilkan. Hal ini terbukti dengan perbaikan kualitas sheet yang dihasilkan oleh petani. Sebelum adanya bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi
52
Karet, sheet yang dihasilkan oleh petani adalah sheet asalan yang harga jualnya adalah Rp 3.500-4500,- per kg. Setelah adanya bantuan program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet, petani mampu menghasilkan sheet 3 yang harga jualnya adalah Rp 6000-7500,- per kg. Dengan adanya perbaikan mutu tersebut, maka pendapatan yang diterima oleh petani relatif meningkat (Tabel 19) Tabel 19. Perbaikan Mutu Sheet Karet dan Harga Jual yang Diterima Petani Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet Tahun 2009-2010 Tahun Mutu Sheet Harga Jual (Rp) Keterangan 2009 Asalan 3.500-4500 Sebelum adanya Program 2010 3 6000-7500 Setelah adanya program Sumber: Kelompok Tani, 2011 (diolah) Hasil pengamatan di lokasi penelitian selama program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet berjalan, menunjukkan bahwa pada dasarnya para petani karet menunjukkan respon yang positif dengan adanya program pemerintah ini. Petani karet sudah mengelola dan melaksanakan kegiatan pengolahan sheet karet setelah bantuan program disalurkan. Salah satu faktor yang selama ini menjadi kendala bagi para petani adalah dalam hal pengadaan modal. Selain itu, kondisi cuaca yang tidak dapat diprediksi menjadi hal yang dirasakan kurang baik, karena dengan adanya hujan, maka lateks yang dihasilkan dari kebun akan tercampur dengan air hujan. Hal ini akan berpengaruh pada sheet yang dihasilkan. Bantuan Program Pengembangan Agribisnis ini terdiri atas dua bagian, yaitu bantuan untuk perorangan dan bantuan yang dapat dikelola bersama di kelompok tani. Bantuan yang diberikan untuk perorangan adalah pisau sadap, Loyang dan mangkok lateks sedangkan bantuan bersama adalah satu unit hand mangel batik dan polos serta timbangan gantung. Untuk
hand mangel dan
timbangan gantung, alat tersebut disimpan di ketua kelompok tani dengan penggunaan secara bersama-sama. Para anggota kelompok tani penerima bantuan dapat menggunakan alat tersebut tanpa batasan waktu.
6.2
Tanggapan Petani Penerima Bantuan Bantuan yang diberikan dibagikan kepada seluruh anggota kelompok tani
yang ada. Pada pelaksanaannya Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet ini mendapat sambutan yang baik dari para petani, terutama dengan adanya
53
bantuan yang berhubungan dengan pengembangan pasca panen karet sebagai mata pencaharian utama para petani di Kecamatan Jasinga. Antusiasme petani penerima bantuan program ini dikarenakan masih terbatasnya alat pasca panen atau alat produksi karet yang masih belum memadai di tingkat petani. Umumnya mereka memiliki loyang dari jerigen minyak tanah yang dibelah dua, pisau sadap yang umurnya sudah lama serta mangkok lateks sederhana yang terbuat dari batok kelapa. Alat-alat tersebut tidak memberikan hasil yang optimal pada pengolahan pasca panen karet yang dilakukan oleh petani. Dengan adanya bantuan pemerintah ini, petani mendapatkan perbaikan mutu dan kualitas untuk pengembangan usaha pasca panen karet di tingkat petani. Selama program berlangsung, petani merasa kurang adanya pembinaan pada program yang telah dijalankan oleh Kementerian Pertanian ini. Dinas teknis yang seharusnya memberikan penyuluhan adalah Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Peternakan Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Kurangnya penyuluhan ini terjadi karena kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Hal ini juga terjadi karena pada tahap awal program ini dilakukan untuk menstimulus para petani untuk dapat meningkatkan kegiatan produksi sheet nya. Oleh karena itu, informasi teknologi dan penggunaan bantuan tidak tersalurkan pada petani secara merata. Namun, petani tetap antusias dalam melakukan pengembangan pasca panen karet karena bantuan yang disalurkan merata pada seluruh petani penerima bantuan program. Pada dasarnya program ini merupakan langkah awal yang dilakukan Kementerian Pertanian, melalui Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam upaya mengembangkan kegiatan perekonomian masyarakat setempat melalui pemanfaatan komoditi unggulan yang ada di Kecamatan Jasinga. Antusias petani terlihat ketika diadakan penyuluhan dan pembinaan dari pihak Dinas Pertanian dan Kehutanan tentang bagaimana memanfaatkan potensi lokal yang ada. Petani juga memperoleh banyak informasi tentang kegiatan pemasaran dan pengolahan sheet yang benar guna meningkatkan harga jual. Kegiatan pemasaran dilakukan dengan menjual sheet yang telah dihasilkan ke beberapa pasar yang dituju, diantaranya adalah PT Vulkanin Jaya yang berlokasi di Kota Bogor serta H. Arjawi yang berlokasi di Kabupaten Lebak, Banten.
54
VII ANALISIS KINERJA USAHATANI DAN PENDAPATAN PETANI KARET DI KECAMATAN JASINGA
7.1
Analisis Kinerja Usahatani Kinerja usahatani karet dikaji untuk mengetahui gambaran umum
mengenai usahatani karet pada petani anggota dan non anggota kelompok tani penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Analisis mengenai keragaan usahatani dilakukan untuk mengidentifikasi beberapa hal diantaranya mengenai penggunaan input produksi karet dan output yang dihasilkan pada usahatani karet.
7.1.1
Penggunaan Input Penggunaan input akan berpengaruh terhadap produksi sheet karet yang
dihasilkan. Semakin banyak input yang digunakan, maka biaya produksi juga akan meningkat. Terdapat beberapa faktor input pada usahatani karet, diantaranya adalah pupuk, koagulan (asam semut) dan tenaga kerja. Rata - rata biaya yang dikeluarkan oleh petani anggota per hektar dalam satu tahun adalah Rp
16,413,500,- per hektar per tahun. Biaya terbesar yang
dikeluarkan oleh petani adalah untuk tenaga kerja Rp 8.988.500/hektar. Biaya tersebut sudah termasuk pupuk kandang, NPK dan KCl. Mahalnya harga pupuk merupakan faktor utama besarnya biaya yang dikeluarkan oleh petani. Untuk mengetahui mengenai rata–rata penggunaan input yang digunakan oleh petani karet penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet dapat dilihat pada Tabel 20.
55
Tabel 20. Rata - rata Penggunaan Input Usahatani Karet per Hektar per Tahun yang dilakukan Petani Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet di Kec Jasinga Uraian Satuan Harga/satuan Jumlah Nilai (Rp) (Rp/satuan) 1. Pupuk a. Pupuk Kandang Karung 10.000 600 6.000.000 b. Urea Kg 2.500 435 1.087.500 c. KCL Kg 2.000 397 794.000 d. NPK Kg 3.000 369 1.107.000 Sub Total Pupuk 8.988.500 2. Koagulan Liter 45 5.000 225.000 (Asam Semut) 3. Tenaga Kerja Orang 20.000 360 7.200.000 Grand Total 16.413.500 Petani karet non penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet menggunakan input yang sama dengan petani anggota. Input produksi yang digunakan adalah pupuk, koagulan (asam semut) dan tenaga kerja. Rata - rata biaya yang dikeluarkan oleh petani karet non penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet dalam satu tahun disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Rata - rata Penggunaan Input Usahatani Karet per Hektar per Tahun yang dilakukan Petani Non Penerima Bantuan Program PengembanganAgribisnis Komoditi Karet di Kec Jasinga Jumlah Nilai (Rp) Uraian Satuan Harga/satuan (Rp/satuan) 1. Pupuk a. Pupuk Kandang Karung 10.000 600 6.000.000 b. Urea Kg 2.500 435 1.087.500 c. KCL Kg 2.000 397 794.000 d. NPK Kg 3.000 369 1.107.000 Sub Total Pupuk 8.988.500 2. Koagulan 45 5.000 225.000 (Asam Semut) 225.000 3. Tenaga Kerja 20.000 360 7.200.000 7.200.000 Grand Total 16.413.500
56
7.1.1.1 Pupuk Produktivitas karet sangat dipengaruhi oleh pupuk yang digunakan oleh petani. Penggunaan dosis pupuk harus tepat, sebab jika penggunaannya berlebihan akan mengurangi produksi getah yang dihasilkan oleh tanaman karet. Pupuk yang digunakan oleh petani penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet dalam membudidayakan karet adalah pupuk kandang, Urea, KCl dan NPK. Pupuk kandang yang digunakan petani anggota rata - rata 600 karung/hektar; pupuk Urea 435 kilogram/hektar; pupuk KCl 397 kilogram/hektar dan pupuk NPK 369 kilogram/hektar. Dosis yang sama juga digunakan oleh petani non Penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Tanaman tahunan seperti karet membutuhkan dosis pupuk yang jauh lebih banyak daripada tanaman hortikultura seperti sayuran. Pupuk kandang didapatkan dari penjual pupuk yang terletak dekat dari lahan petani, pupuk kandang yang digunakan berasal dari campuran beberapa kotoran ternak seperti ayam, kambing, dan sapi. Harga pupuk kandang per karungnya adalah Rp 10.000,00/karung. Pupuk kimia yang digunakan petani karet anggota dan non anggota berasal dari toko saprodi yang ada di pasar Jasinga. Harga pupuk kimia tersebut bermacam–macam, diantaranya adalah pupuk urea: Rp 2.500,00 per kilogram; pupuk KCl: Rp 2.000,00 per kilogram; dan pupuk NPK: Rp 3.000,00 per kilogram. Menurut Susila (2006) pada tanah mineral dengan tingkat kandungan P dan K sedang, pupuk yang digunakan dalam budidaya karet diantaranya adalah Urea: 118 kilogram/hektar, SP36: 311 kilogram/hektar dan KCl: 112 kilogram/hektar. Sedangkan petani selain menggunakan Urea dan KCl, juga menggunakan NPK. Untuk kedepannya diharapkan Dinas Pertanian atau pihak lain yang berkompeten (akademisi) bisa melakukan uji tanah, sehingga bisa didapatkan rekomendasi pemupukan yang tepat. Dengan didapatkannya rekomendasi pemupukan yang tepat, diharapkan petani bisa menggunakan pupuk dengan lebih efektif dan efisien.
57
7.1.1.2 Koagulan (Asam Semut) Koagulan merupakan larutan ammonia 20 persen yang berfungsi sebagai pembeku lateks. Getah lateks yang baru disadap harus segera dibekukan dengan menggunakan koagulan (asam semut). Pembekuan lateks merupakan tahapan proses yang sangat penting dalam pengolahan sheet karet. Pembekuan yang baik akan mempengaruhi pada saat penggilingan dan pengeringan sheet yang berdampak pada kualitas sheet yang dihasilkan. Rata-rata penggunaan koagulan (asam semut) untuk satu hektar tanaman karet adalah sebesar 45 Liter. Harga koagulan (asam semut) ini adalah Rp 5.000,- per Liter. Kekeras bekuan dari sheet basah dipengaruhi oleh jumlah pembeku atau koagulan (asam semut) yang ditambahkan, kepekatan lateks kebun, dan lamanya proses pembekuan. Kekeras bekuan yang dihasilkan harus berada pada kondisi yang optimal, karena bekuan sheet basah yang terlalu keras akan sulit digiling. Sulitnya penggilingan akan berdampak pada banyaknya waktu dan biaya yang akan terbuang.
7.1.1.3 Tenaga Kerja Faktor produksi yang dapat mempengaruhi produktivitas karet berikutnya adalah tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja juga harus tepat jumlahnya, jika terlalu banyak menjadi tidak efisien karena biasanya pekerja akan lebih banyak berinteraksi daripada bekerja. Tenaga kerja akan berpengaruh terhadap biaya variabel usahatani karet, biaya tenaga kerja didapatkan dengan menghitung Hari Orang Kerja (HOK) dikalikan dengan upah harian per HOK. Tenaga kerja yang digunakan dalam proses budidaya tanaman karet adalah tenaga kerja pria dengan biaya Rp 20.000,- per hari. Penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan usahatani karet memiliki peranan yang cukup baik. Komponen ini menjadi salah satu komponen dengan biaya yang relatif tinggi dalam kegiatan usahatani karet. Hasil analisis dan wawancara di lokasi penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja yang digunakan oleh para petani berasal dari keluarga. Peranan tenaga kerja dalam budidaya karet tentunya akan sangat mendukung upaya menjaga dan meningkatkan produksi getah karet atau lateks.
58
7.2
Analisis Pendapatan Usahatani Analisis pendapatan yang dibahas pada bab berikut ini meliputi dua
bagian, yaitu analisis pendapatan usahatani petani penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet dan analisis usahatani petani non penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Hal ini dilakukan untuk menilai bagaimana tingkat keberhasilan program Pengembangan Agribisnis yang telah dilakukan oleh pemerintah ditinjau dari segi pendapatan. Analisis pendapatan ini membahas beberapa hal diantaranya adalah perimaan usahatani, biaya usahatani, pendapatan atas biaya tunai, pendapatan atas biaya total, R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total.
7.2.1
Analisis Usahatani Karet Petani Penerima Bantuan Program Usahatani karet yang dianalisis adalah selama satu tahun, petani penerima
bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet mendapatkan penerimaan dari hasil olahan sheet yang berupa sheet basah. Rata-rata produktivitas per hektar per musim karet adalah 1.411 kilogram/hektar. Harga jual sheet basah dengan kualitas sheet 3 rata-rata adalah Rp 7.500,- per kilogram. Rata-rata penerimaan petani penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet per hektar per tahun adalah Rp 32.925.000 per hektar per tahun. Biaya tunai yang dikeluarkan petani penerima bantuan diantaranya untuk membeli pupuk kandang, pupuk kimia, koagulan (asam semut) dan membayar upah tenaga kerja. Rata–rata biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani penerima bantuan adalah Rp 16.413.500 per hektar per tahun. Biaya tebesar digunakan untuk pembelian pupuk kandang dan membayar tenaga kerja. Biaya diperhitungkan terdiri dari biaya pajak lahan dan biaya penyusutan alat. Biaya pajak lahan dibayar satu kali dalam satu tahun. Penyusutan alat terdiri dari penyusutan dari ember penampung, cincin mangkuk dan talang sadap. Perhitungan mengenai penyusutan alat pertanian petani karet penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet terdapat pada Lampiran 3. Adapun untuk analisis pendapatan karet petani penerima bantuan Program Pengembangan Agrisnis Komoditi Karet terdapat pada Tabel 22.
59
Tabel 22. Analisis Pendapatan Sheet pada Petani Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet per Hektar per Tahun di Kec Jasinga Uraian
Satuan
Harga Satuan (Rupiah)
Volume Nilai (Rupiah)
Penerimaan Usahatani A
Sheet Basah
Kilogram
7.500
4.390
Total Penerimaan B
32.925.000 32.925.000
Biaya Usahatani Biaya Tunai 1.Pupuk
B1
a. Pupuk Kandang
Karung
10.000
600
6.000.000
b. Urea
Kilogram
2.500
435
1.087.500
c. KCL
Kilogram
2.000
397
794.000
d. NPK
Kilogram
3.000
369
1.107.000
2. Koagulan (Asam Semut)
Liter
45
5000
225.000
3. Tenaga Kerja
Orang
20.000
360
7.200.000
Total Biaya Tunai
16.413.500
Biaya diperhitungkan B2
1.
Pajak Lahan
2.
Penyusutan Alat
215.000
1
215.000
23.400
1
23.400 238.400
Total Biaya Diperhitungkan
16.651.900
C
Total Biaya Usahatani (B1+B2)
D
Pendapatan Atas Biaya Tunai (A-B1)
16.511.500
E
Pendapatan Atas Biaya Total (A-C)
16.273.100
F
R/C Atas Biaya Tunai (A/B1)
2,01
H
R/C Atas Biaya Total (A/C)
1,98
Pendapatan petani terdiri dari pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Besarnya pendapatan petani karet atas biaya tunai adalah Rp 16,511,500,- per hektar, sedangkan besarnya pendapatan petani atas biaya total Rp 16,273,100,- per hektar. Untuk mengetahui efisiensi usahatani dapat dicari dengan rasio penerimanan terhadap biaya (R/C rasio). R/C rasio juga terbagi menjadi dua jenis, yaitu R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total. Nilai R/C rasio atas biaya tunai adalah 2,01 artinya setiap pengeluaran satu satuan biaya tunai akan menghasilkan penerimaan sebesar 2,01 satuan penerimaan. Nilai R/C atas biaya total sebesar 1,98 artinya setiap pengeluaran satu satuan biaya total akan menghasilkan penerimaan sebesar 1,98 satuan penerimaan.
60
7.2.2
Analisis Usahatani Karet Petani Non Penerima Bantuan Berdasarkan analisis usahatani karet non penerima bantuan Program
Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet, diperoleh data bahwa jumlah produksi sheet yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan petani penerima bantuan program. Hal ini dikarenakan bantuan alat pasca panen yang diberikan pada petani penerima bantuan program memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap hasil produksi sheet dan kualitas sheet yang dihasilkan. Petani non penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet hanya mampu menghasilkan sheet dengan mutu sheet asalan yang rata-rata dihargai Rp 4,500 per kilogram. Rincian mengenai usahatani karet pada petani non penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet pada Tabel 23. Tabel 23.
Analisis Pendapatan Sheet pada Petani Non Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet per Hektar per Tahun di Kec Jasinga Uraian
Satuan
Harga Satuan (Rupiah)
Volume
4.500
3.825
Nilai (Rupiah)
Penerimaan Usahatani A
Sheet Basah
Kilogram
Total Penerimaan B
17.212.500 17.212.500
Biaya Usahatani Biaya Tunai 1.Pupuk
B1
a. Pupuk Kandang
Karung
b. Urea c. KCL
10.000
600
6.000.000
Kilogram
2.500
435
1.087.500
Kilogram
2.000
397
794.000
d. NPK
Kilogram
3.000
369
1.107.000
2. Koagulan (Asam Semut)
Liter
45
5000
225.000
3. Tenaga Kerja
Orang
20.000
360
7.200.000
Total Biaya Tunai
16.413.500
Biaya diperhitungkan B2
1. Pajak Lahan 2. Penyusutan Alat Total Biaya Diperhitungkan
118.000
1
36.900
1
118.000 36.900 154.900
C
Total Biaya Usahatani (B1+B2)
D
Pendapatan Atas Biaya Tunai (A-B1)
16.568.400
E
Pendapatan Atas Biaya Total (A-C)
F
R/C Atas Biaya Tunai (A/B1)
1,05
H
R/C Atas Biaya Total (A/C)
1,04
799.000 644.100
61
Pada Tabel 23 menunjukkan analisis pendapatan usahatani petani karet non penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Berdasarkan hasil perhitungan, rata–rata biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani non penerima bantuan adalah sama dengan petani penerima bantuan program yaitu sebesar Rp 16.413.500,- per hektar. Biaya tunai terbesar dikeluakan untuk pembelian pupuk kandang dan pembayaran tenaga kerja. Rata-rata biaya yang diperhitungkan berupa pajak lahan dan penyusutan alat adalah sebesar Rp 154.900,- per hektar. Nilai penyusutan alat pada petani non penerima bantuan program bernilai lebih kecil dibandingkan dengan petani penerima bantuan program. Hal ini dikarenakan petani non penerima bantuan program harus membeli pisau sadap, sedangkan petani penerima bantuan program mempunyai pisau sadap yang diperoleh dari bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Variabel – variabel biaya tersebut akan mempengaruhi nilai R/C rasio. Nilai R/C rasio dibedakan menjadi R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total. Perbandingan antara nilai R/C rasio petani non anggota dengan petani anggota adalah lebih kecil petani non anggota. Hal ini dikarenakan mutu dari kualitas sheet yang dihasilkan sangat jauh dari petani penerima bantuan program. Petani penerima bantuan program mampu menghasilkan sheet dengan kualitas 3 yang mempunyai nilai jual rata-rata adalah sebesar Rp 7.500 per kilogram, sedangkan petani non penerima bantuan
program hanya mampu
menghasilkan sheet dengan kualitas asalan yang mempunyai nilai jual rata-rata adalah Rp 4.500 per kilogram. Nilai R/C rasio atas biaya tunai pada petani non penerima bantuan adalah sebesar 1,05 artinya setiap satu satuan biaya tunai yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar 1,05 satuan penerimaan. Sedangkan, nilai R/C rasio atas biaya totalnya adalah 1,04 artinya setiap satu satuan biaya total yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar 1,54 satuan penerimaan.
62
VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Program
Pengembangan Agribisnis
Komoditi Karet
dilaksanakan
di
Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Program ini merupakan Program yang diselenggarakan oleh Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Pengelolaan Hasil dan Pemasaran Hasil Pertanian. Program Pengembangan Agribisnis ini merupakan serangkaian dari kegiatan-kegiatan yang terintegrasi dari pasca panen hingga pemasaran hasil. Pelaksana teknis dari Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet ini adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Bentuk dari pelaksanaan program pemerintah ini adalah pemberian bantuan berupa alat pasca panen karet pada kelompok tani yang telah ditetapkan. Kelompok tani yang mendapatkan bantuan Program Pengembangan Agribisnis berjumlah tiga kelompok tani, yaitu kelompok tani Mandiri, Kuning Sari dan Binangkit. Bantuan yang diberikan pada masingmasing kelompok tani alat pasca panen karet yang terdiri atas satu unit hand mangel, loyang, timbangan gantung, pisau sadap dan mangkok lateks. 2. Berdasarkan hasil kinerja usahatani, petani karet penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet mampu menghasilkan mutu dan kualitas sheet dengan kualitas 3 yang rata-rata harga jualnya adalah Rp 7.500,per kilogram. Petani penerima bantuan program pun memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan petani karet non penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Pendapatan atas biaya tunai dari petani penerima bantuan program adalah sebesar Rp 16.511.500,- dan pendapatan atas biaya total adalah sebesar Rp 16.273.100,-. Nilai R/C rasio atas biaya tunai adalah 2,01 dan R/C atas biaya total adalah 1,98. Petani non penerima bantuan hanya mampu menghasilkan sheet dengan kualitas asalan yang rata-rata harga jualnya adalah Rp 4.500,- per kilogram. Pendapatan atas biaya tunai dari petani non penerima bantuan program adalah sebesar Rp 799.000,- dan pendapatan atas biaya total adalah sebesar Rp
63
644.100,-. Nilai R/C rasio atas biaya tunai adalah 1,05 dan R/C atas biaya total adalah 1,04. 8.2 Saran Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, saran yang dapat diberikan penulis adalah:
1.
Berdasarkan analisis usahatani karet, diperlukan pelatihan dan penelitian mengenai teknik pasca panen karet yang baik. Terutama mengenai proses pembekuan, penggilingan, pencucian dan pengeringan lateks. Diperlukan penerapan teknologi modern misalnya: mekanisasi pertanian, penerapan kawasan agropolitan atau penerapan integrated farming. Dengan banyaknya
anggota
kelompok
tani
penerima
bantuan
yang
membudidayakan kambing, kotoran dan air seni kambing dapat dijadikan pupuk kandang, sehingga biaya untuk pembelian pupuk kandang dapat ditekan. 2.
Petani karet yang belum tergabung dengan kelompok tani diharapkan bisa bergabung dengan kelompok tani yang telah terdaftar pada Dinas Pertanian dan Kehutanan, hal ini dimaksudkan untuk kemudahan dalam mendapatkan akses teknologi, modal dan pasar.
3.
Untuk meningkatkan perkembangan kelompok tani, diperlukan upaya penyuluhan dan pelatihan yang lebih intensif dari pihak BP3K atau BP4K. Pertemuan harus lebih intensif dari satu bulan sekali menjadi satu minggu sekali. Dengan demikian permasalahan-permasalahan yang menjadi kendala petani karet di Kecamatan Jasinga dapat diatasi.
64
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Luas Kebun, Produksi dan Konsumsi Karet di Indonesia Tahun 2001-2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Sektor Restoran Tahun 2004-2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik Pusat Jakarta. Baga, L. M.,Yanuar,R., K.,Feryanto W.,Aziz, K. 2009. Koperasi dan Kelembagaan Agribisnis [Diktat Perkuliahan]. Bogor : Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Istitut Pertanian Bogor. Blakely, E. J. Planning Local Economic Development. Theory and Practice. Second Edition. London: Sage Publications, Inc. 1989/1994. http://bappenas.go .id/node/71/1142/kemitraan-bagi-pengembanganekonomi-lokal-kpel%C3. Diakses: Selasa, 12 Mei 2009. Damanhuri, D. S. 2000. Paradoks Pembangunan Ekonomi Indonesia dan Perspektif Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Sektor Pertanian dan Perikanan. Bogor: IPB Pers. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2009. Petunjuk Teknis Kegiatan Bantuan Sosial Pembangunan Pengolahan Hasil dan Pemasaran. Bogor: Dinas Pertanian dan Kehutanan. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2009. Potensi dan Peluang Pengembangan Pertanian dan Kehutanan. Bogor: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor 2009. Statistik Perkebunan Semester II Tahun 2009. Bogor: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Direktorat Jenderal Pengolahan Hasil dan Pemasaran. Departemen Pertanian. 2010. Pedoman Umum Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan Pengolahan Hasil dan Pemasaran. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengolahan Hasil dan Pemasaran. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian. 2009. Karet Rakyat di Negara Produsen Utama Dunia Tahun 2008. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia. Departemen Perindustrian. 2007. Produk Hasil Olahan Getah Karet/ Lateks. Jakarta: Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kima. Departemen Perindustrian.
65
Departemen Pertanian. 2008. Peraturan Menteri Pertanian No 16. OT. 140/2/ 2008. Jakarta: Deptan RI Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Sumarno Z, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Basic Econometric. Krisnamurthi, B. 2002. Strategi Pembangunan Ekonomi Rakyat dalam Kerangka Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor: Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor. Komarudin. 2009. Pengaruh Program Local Economic Resources Development Komoditi Nenas terhadap Produksi dan Pendapatan Petani di Desa Cipelang Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor : Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Lestari, A. 2010. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia. [Skripsi]. Bogor: Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertania. Institute Pertanian Bogor. Mintarti N. 2008. Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Komoditas Kelapa di Kabupaten Pacitan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian Edisi Ketiga. Jakarta : LP3ES. Nugraha. 2010. Analisis Efisiensi Produksi dan Pendapatan Usahatani Brokoli [Skripsi]. Bogor : Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Nasdian, F. 2003. Pengantar Pengembangan Masyarakat. Diktat Kuliah Komukasi Pembangunan. Institut Pertanian Bogor. Nasution, M. 2002. Pengembangan Kelembagaan Koperasi untuk Agroindustri. Bogor: IPB Press. Tidak dipublikasikan. Rachmina, D dan Burhanuddin. 2008. Panduan Penulisan Proposal dan Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Rahim, Abd. dan Diah. 2008. Pengantar, Teori dan Kasus Ekonomika Pertanian. Jakarta : Penebar Swadaya. Saptana. 2006. Pengembangan Kelembagaan Kemitraan Usaha Hortikultura di Sumatera Utara, Jawa Barat dan Bali. Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian. Saragih, B. 2010. Suara Agribisnis Kumpulan Pemikiran Bungaran Saragih. Jakarta: PT. Permata Wacana Lestari.
66
Soeharjo, A dan Dahlan Patong. 1973. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor : IPB Press. Suharto E. 2004. Pendampingan Sosial Dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin: Konsepsi dan Strategi. http://www.policy.hu/suharto/modul_a/ makindo_32.htm. Diakses: Sabtu, 23 Mei 2009. Sunandar, Iwan. 2007. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Perusahaan Komoditi Tanaman Karet Alam (Hevea Brasiliensis) Kasus di Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan. [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Susila, D. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Tahunan. Bogor: Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Syahid M. 2005. Pengembangan Ekonomi Lokal Melalui Pengembangan Kelompok Tani Ternak Itik, Kasus Desa Pematang Hambawang, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Syaukat dan Hendrakusumaatmadja. 2003. Pembangunan Ekonomi Berbasis Lokal. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Tim Penebar Swadaya. 1994. Budidaya Karet. Jakarta: Penebar Swadaya. Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Wayan. 2000. Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otonomi Daerah. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Balitbang Deptan. Widhyastuti, 2006. Evaluasi Pelaksanaan PIR Pada PT Indosawit Subur (Kasus PIR di Pabrik Minyak Kelapa Sawit Buatan, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau) [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Yulistia, N. 2009. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Belimbing Dewa Peserta Primatani Di Kota Depok, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
67
LAMPIRAN
68
Lampiran 2. Penyusutan Alat-Alat Pasca Panen Petani Karet Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet dengan Metode Garis Lurus Peralatan pertanian
Umur Pemakaian (tahun)
Jumlah
Ember Penampung
5
1
2
1 1
Cincin Mangkuk Talang Sadap
2 Jumlah
Nilai awal 30,000
Penyusutan
Penyusutan per Tahun
Nilai akhir
5,400
1,080
3,000
15,000
6,750
3,375
1,500
25,000
11,250
5,625
2,500
23,400
10,080
7,000
70,000
69
Lampiran 3. Penyusutan Alat-Alat Pasca Panen Petani Karet Non Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet dengan Metode Garis Lurus Peralatan pertanian
Umur Pemakaian (tahun)
Ember Penampung Cincin Mangkuk Pisau Sadap
5
Talang Sadap Jumlah
Jumlah
Nilai awal
Penyusutan
Penyusutan per Tahun
1
30,000
5,400
1,080
2
1
15,000
6,750
3,375
10
1
150,000
2
1
25,000 220,000
13,500 11,250 36,900
1,350 5,625 11,430
Nilai akhir 3,000 1,500 15,000 2,500 22,000
70