PERAN PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN TERHADAP KINERJA GAPOKTAN DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KABUPATEN SUBANG
HARI HERMAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peran Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan Terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan Usahatani Padi di Kabupaten Subang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2015 Hari Hermawan NIM H351120251
RINGKASAN HARI HERMAWAN. Peran Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan Usahatani Padi di Kabupaten Subang. Dibimbing oleh SUHARNO dan ANNA FARIYANTI. Pembangunan Pertanian khususnya di negara berkembang (Indonesia) tidak bisa terlepas dari wilayah perdesaan. Sebab, sebagian besar penduduk di Indonesia bermukim di perdesaan dan mayoritas masih dalam kondisi miskin (17,92 juta jiwa) dari total 28,55 juta jiwa penduduk miskin. Terciptanya kondisi kemiskinan di wilayah perdesaan, salah satunya disebabkan karena faktor sulitnya penyediaan modal. Bahkan, keterbatasan akses terhadap modal (kredit) diidentifikasi sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan, yang akhirnya aktivitas usaha agribisnis menjadi sulit berkembang dan memperoleh peningkatan laba. Bagi petani-petani yang menguasai lahan sempit, pengalokasian modal secara intensif merupakan kendala, karena sebagian besar petani tidak sanggup mendanai usahatani yang padat modal dengan dana sendiri. Keterbatasan modal menyebabkan sirkulasi kegiatan ekonomi tidak berjalan, sehingga proses akumulasi kapital juga tidak bisa terjadi. Selain itu, keterbatasan modal yang dimiliki petani mempengaruhi jumlah benih, pupuk, dan pestisida yang digunakan dalam usahataninya, sehingga dapat mempengaruhi tingkat produksi yang diharapkan. Upaya mengatasi masalah tersebut pemerintah mencanangkan Program Pembangunan Pertanian. Program Pembangunan Pertanian dirumuskan dalam tiga program, antara lain: (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan, (2) Program Pengembangan Agribisnis, dan (3) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani. Salah satu Program Pembangunan Pertanian adalah Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Program PUAP merupakan program jangka menengah, yang dicanangkan Kementerian Pertanian RI dengan memfokuskan pada pembangunan pertanian perdesaan. Langkah yang ditempuh adalah melalui pendekatan pengembangan usaha agribisnis dan memperkuat kelembagaan pertanian di perdesaan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis kinerja Gapoktan PUAP dan non PUAP, (2) menganalisis pendapatan usahatani padi petani PUAP dan non PUAP, dan (3) menganalisis hubungan kinerja Gapoktan dan pendapatan usahatani padi. Untuk menjawab tujuan peran PUAP terhadap kinerja Gapoktan, ditinjau melalui pendekatan “with and without” PUAP. Hal ini dimaksudkan sebagai perbandingan kinerja organisasi antara Gapoktan PUAP dengan Gapoktan non PUAP. Metode yang digunakan untuk menganalisis kinerja Gapoktan adalah instrumen form penilaian kinerja, di mana setiap pernyataan diberi skor menggunakan skala likert. Total skor merupakan pencerminan dari kinerja Gapoktan. Indikator dalam penilaian kinerja Gapoktan terdiri atas efektifitas organisasi, efisiensi organisasi, relevansi organisasi, dan pencapaian kemandirian keuangan organisasi. Untuk menjawab tujuan peran PUAP terhadap pendapatan usahatani padi sawah, ditinjau melalui perbandingan antara pendapatan usahatani padi pada petani PUAP dan non PUAP. Alat analisis yang digunakan adalah analisis pendapatan usahatani, R/C, B/C, MBCR dan independent sampel T test. Sedangkan untuk menjawab tujuan hubungan kinerja Gapoktan terhadap
pendapatan usahatani padi, menggunakan pendekatan analisis korelasi Pearson Product Moment (PPM). Hal ini bertujuan untuk menganalisis derajat hubungan antara variabel bebas (kinerja Gapoktan) dengan variabel terikat (pendapatan usahatani padi). Hasil analisis kinerja Gapoktan menunjukkan bahwa perbandingan skor kinerja Gapoktan PUAP dan non PUAP nampak jelas, bahwa skor kinerja Gapoktan PUAP lebih tinggi. Dengan kata lain kinerja Gapoktan PUAP lebih unggul. Demikian halnya hasil analisis pendapatan usahatani padi petani PUAP dan non PUAP, menunjukkan bahwa petani PUAP memiliki kinerja usahatani lebih tinggi, terlihat dari capaian pendapatan usahataninya lebih tinggi. Begitu juga hasil analisis R/C dan B/C yang sering digunakan sebagai ukuran efisiensi, maka dapat dikatakan bahwa usahatani padi yang dikelola oleh petani PUAP dan non PUAP, secara finansial layak dan menguntungkan Tetapi jika ditinjau dari pemakaian input produksi, kedua kelompok responden secara rata-rata belum efisien atau belum mencukupi batas pemakaian optimal, dan perlu ditambahkan untuk mencapai optimalisasi produksi padi. Terkecuali untuk faktor produksi pestisida yang digunakan oleh petani PUAP, secara jumlah pemakaian sudah mencukupi atau sudah efisien. Hasil analisis hubungan kinerja Gapoktan terhadap pendapatan usahatani padi petani anggota, menunjukkan bahwa hubungan tersebut cukup kuat dan mengindikasikan pola hubungannya searah. Hal ini bermakna semakin tinggi kinerja Gapoktan, semakin meningkat pendapatan usahatani padi petani anggota. Pelaksanaan program PUAP sangat membantu dalam peningkatan kapasitas organisasi petani maupun kapasitas petani sebagai aktor utama kegiatan usahatani padi. Peningkatan kapasitas organisasi terlihat dari adanya peningkatan kemampuan yang dimiliki oleh Gapoktan seperti membangun jejaring bisnis dengan Bank (permodalan organisasi), BUMN (benih unggul dan iptek), agen pemasaran di dalam dan luar Kabupaten Subang (beras), dan agen saprodi (input produksi). Sedangkan peningkatan kapasitas petani ditunjukkan oleh adanya kemampuan petani untuk melaksanakan akivitas usahatani kearah yang lebih produktif melalui proses adaptasi pemanfaatan teknologi. Saran yang dapat diberikan yakni untuk meningkatkan kinerja Gapoktan, hal utama yang harus diperbaiki yakni (1) modal sosial yang dimiliki petani anggota, (2) membangun jaringan (networking) untuk menjalin kerjasama, dan (3) ketegasan sikap pengurus Gapoktan dalam mengawal dan mendampingi para petani dalam hal pemanfaatan pinjaman. Upaya untuk mencapai peningkatan pendapatan usahatani, perlu adanya dukungan modal usaha yang kuat, baik modal yang bersumber dari petani maupun dari luar seperti halnya Program PUAP, yang bersifat mudah untuk diakses oleh petani baik secara administrasi maupun proses pencairannya, serta tingkat bunga yang rendah. Kinerja Gapoktan memiliki peran nyata terhadap naik turunnya tingkat pendapatan usaha tani petani anggota. Sehingga kedepannya, lembaga ini dituntut untuk lebih profesional dalam hal pengelolaan aktivitas keorganisasian, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya keuangan organisasi, serta melakukan pembinaan atau pendampingan kepada petani anggota dalam hal pengelolaan usahatani. Kata Kunci: kinerja Gapoktan, pendapatan usahatani, padi, PUAP
SUMMARY HARI HERMAWAN. The Role of Rural Agribusiness Development Program on the Performance of farmers group alliances and Rice Farming Income in Subang. Supervised by Suharno and ANNA FARIYANTI Agricultural development, especially in developing countries (Indonesia) cannot be separated from rural areas. Therefore, the majority of Indonesia's population lives in rural areas and the majority are still in poor condition (17.92 million) of the total 28.55 million poor people. The formation of poverty in rural areas is caused by the difficulty of providing capital, to name one factor. In fact, limited access to capital (credit) is identified as one of the causes of poverty, which eventually it becomes more difficult to develop agribusiness activity and to increase profits. Farmers with manage limited area, allocating intensive capital is a constraint, because most farmers cannot afford to fund capital-intensive farming by their own funds. Capital constraints led to the circulation of economic activity hampered.Capital constraints cause the circulation of economic activity hampered, so the process of capital accumulation cannot occur. In addition, the limited capital owned by farmers affects the amount of seed, fertilizer, and pesticide that are used in farming, that can affect the level of expected production. Efforts to overcome these problems have been made by the government by launching the Agricultural Development Program. Agricultural Development Program was formulated in three programs, among others: (1) Food Security Enhancement Program, (2) Agribusiness Development Program, and (3) Farmers Welfare Improvement Program. One of the Agricultural Development Programs is the Rural Agribusiness Development Program (PUAP). PUAP program is a mediumterm program, which was launched by the Ministry of Agriculture with a focus on rural agricultural development. The approach taken is through agribusiness development and strengthening institutions of agriculture in rural areas. This study aims to (1) analyze the performance Gapoktan PUAP and non PUAP, (2) analyze the income of farmers in rice farming PUAP and non PUAP, and (3) analyze the relationship between are the performance Gapoktan and rice farming income. The first goal is reviewed through approach ‘with and without’ PUAP. It is intended as a comparison of performance between Gapoktan PUAP organization with Gapoktan non PUAP. Methods used to analyze the performance of Gapoktan is the instruments of performance appraisal form, where each statement was scored using a Likert scale. The total score is a reflection of the performance Gapoktan. Indicators in the assessment of the performance of Gapoktan consist of organizational effectiveness, organizational efficiency, relevance of the organization, and the achievement of the organization's financial independence. Furthermore, analyze the role PUAP with rice farm income, through a comparison between are rice farm income to farmers PUAP and non PUAP. Methods used to analyze consist of farm income, R/C, B/C, MBCR and independent samples T test. The last, analyze the relationship between are the performance Gapoktan and rice farming income, Methods used is Pearson Product Moment (PPM). It aims to analyze the degree of correlation between the
independent variable (performance union) with the dependent variable (rice farming income). Gapoktan performance analysis results indicate that the ratio of performance scores of Gapoktan PUAP and non PUAP shows that PUAP Gapoktan performance scores higher. In other words, Gapoktan PUAP has superior performance. Similarly, the results of the analysis of the rice farming income and non PUAP PUAP farmers, show that farmers farming PUAP have higher performance, showed by higher achievement farming income. Likewise, the results of the analysis of R / C and B / C is often used as a measure of efficiency, it can be said that the rice farming managed by farmers PUAP and non PUAP, is financially feasible and profitable. But when seen from the use of production inputs, both groups of respondents the average is not efficient or optimal usage limit is not sufficient, and should be added to achieve the optimization of the production of rice. Except for input of pesticides used by farmers PUAP, in the amount of usage is sufficient or already efficient. The results of correlation analysis Gapoktan performance to rice farming income of farmers, suggest that the relationship is strong enough and indicate unidirectional relationship patterns. This is significantly higher Gapoktan performance, increasing farm income of paddy farmer members. Implementation of the PUAP is very helpful in improving the capacity of farmers' organizations and the capacity of farmers as the main actor of rice farming activities. Increased capacity of the organization can be seen from the increased capabilities of the Gapoktan to build business networks with the Bank (organizational capital), SOE (improved seed and science), the marketing agent inside and outside Subang (rice), and agency inputs (inputs). While the capacity of farmers demonstrated by the ability of farmers to carry out the activity towards more productive farming through the use of technology adaptation process. Suggestions can be made to improve the performance of Gapoktan, the main thing that must be addressed: (1) social capital owned by the farmer members, (2) networking to establish cooperation, and (3) the attitude Gapoktan firm in guarding and assisting farmers in the use of the loan. Efforts to achieve an increase in farm income, the need for a strong venture capital support, both capital sourced from farmers and from outside as well as PUAP program, which is easily accessible by both farmers and the administration of the disbursement process, as well as low interest rates. Gapoktan performance has a real impact on the level of farm income of members. So that in the future, these institutions are required to be more professional in terms of management of organizational activities, management and utilization of financial resources of the organization, as well as to provide guidance or assistance to farmer members in farm management. Keywords: performance farmers group alliences, farm income, rice, PUAP
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERAN PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN TERHADAP KINERJA GAPOKTAN DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KABUPATEN SUBANG
HARI HERMAWAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Harianto, MS
Penguji Program Studi:
Dr Amzul Rifin, SP, MA
Judul Tesis : Peran Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan Usahatani Padi di Kabupaten Subang Nama : Hari Hermawan NIM : H351120251 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Suharno, MADev Ketua
Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 29 Januari 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan, dengan judul Peran Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan Terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan Usahatani Padi di Kabupaten Subang. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Suharno, M.ADev dan Ibu Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Harianto, MS selaku dosen penguji luar komisi, Bapak Dr. Amzul Rifin, SP, MA selaku dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis, Ibu Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis, dan Ibu Dr. Ir. Dwi Rachmina, M.Si yang telah banyak memberi saran, beserta seluruh staf pengajar pada Program Studi Agribisnis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bapak Dr. Kasdi Subagyono, Bapak Ir. Rachmat Hendayana, MS, Bapak Ir. Sjahrul Bustaman, M.Sc, Bapak Ir. Ade Supriyatna, M.Si beserta staf BBP2TP, Bapak Dr. Syahyuti dari PSEKP, Kepala BPTP Jawa Barat, Kepala Pusat Pembiayaan Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian Jawa Barat, BP4K Kabupaten Subang Jawa Barat, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, Harmi Andrianyta, Muhammad Haikal Harsyaputra, Hayumi Azzahra Harsyaputri, serta seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang, dukungan dan pengorbanannya selama penulis mengikuti pendidikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2015 Hari Hermawan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 6 8 8 9
2 TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Program Bantuan Pembiayaan Usaha Agribisnis Pelaksanaan Program Bantuan Pembiayaan Usaha Agribisnis Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kinerja Organisasi Gapoktan Pendapatan Usahatani Padi
9 9 12 16 18 20 24
3 KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Kinerja Organisasi Gapoktan Konsep Pendapatan Usahatani Pengaruh Kinerja Gapoktan terhadap Pendapatan Usahatani Padi Pengaruh Kredit terhadap Pendapatan Usahatani Padi Kerangka Pemikiran Operasional
26 26 28 29 32 36
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Teknik Pengumpulan Data Metode Penentuan Sampel Tahapan Penentuan Sampel Gapoktan dan Petani Analisis Kinerja Gapoktan Analisis Pendapatan Usahatani Padi Analisis Rasio Penerimaan atas Biaya (R/C) Analisis Rasio Keuntungan atas Biaya (B/C) Analisis Marginal Benefit Cost Rasio (MBCR) Analisis Independent Sample T Test Analisis Pearson Product Moment (PPM)
37 37 37 38 40 41 42 44 46 46 47 47 48
5 GAMBARAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM PUAP Kebijakan Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan Pelaksanaan PUAP di Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat Proses Seleksi Desa dan Pemilihan Gapoktan Penerima PUAP
49 49 52 65
Sistem Penyaluran Dana BLM PUAP Kepada Petani
67
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Keragaan Atribut Kinerja Gapotan Perbandingan Kinerja Gapoktan PUAP dan Non PUAP Perbandingan Usahatani Padi antara Petani PUAP dan Non PUAP Penggunaan Input Produksi untuk Usahatani Padi Struktur Biaya Produksi dalam Usahatani Padi Pendapatan Usahatani Padi Hubungan Kinerja Gapoktan Terhadap Pendapatan Usahatani Padi
68 68 73 78 81 81 85 91 93
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
94 94 95
DAFTAR PUSTAKA
95
RIWAYAT HIDUP
114
LAMPIRAN RIWAYAT HID5
13 DAFTAR TABEL
1.
Jumlah Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan di Indonesia, tahun 20082013 2. Jumlah Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008-2011 3. Rekapitulasi nilai aset dan alokasi dana bantuan langsung masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan per usaha ekonomi produktif Gapoktan PUAP di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008-2012 4. Rekapitulasi Gapoktan, nilai aset dan alokasi dana bantuan langsung masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan per usaha ekonomi produktif di Kabupaten Subang, tahun 2008-2011 5. Jumlah petani sampel di tiap Gapoktan terpilih 6. Skala skor penilaian kinerja Gapoktan/LKM-A 7. Format dasar tabel usahatani padi 8. Interpretasi koefisien korelasi nilai r 9. Distribusi Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat PUAP, Provinsi Jawa Barat 10. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat PUAP tahun 2008 per sub sektor 11. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun 2009 per sub sektor 12. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun 2010 per sub sektor
3 4 5 5 41 44 45 49 52 53 54 55
13. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun 2011 per sub sektor 14. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun 2012 per sub sektor 15. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun 2013 per sub sektor 16. Jenis inovasi teknologi pada masing-masing komoditas 17. Perkembangan dana bantuan langsung masyarakat PUAP tahun 2008 di Provinsi Jawa Barat, per 31 Desember 2011 18. Perkembangan dana bantuan langsung masyarakat 2009 di Provinsi Jawa Barat, per 31 Desember 2011 19. Distribusi responden menurut golongan umur 20. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan formal 21. Distribusi responden menurut pengalaman bertani 22. Distribusi responden menurut luas lahan usahatani padi 23. Distribusi responden menurut status kepemilikan lahan 24. Distribusi responden menurut jumlah tanggungan keluarga 25. Distribusi responden menurut pekerjaan utama 26. Distribusi responden menurut jumlah pinjaman/kredit 27. Hasil uji validasi aspek efektivitas organisasi 28. Hasil uji validasi aspek efisiensi organisasi 29. Hasil uji validasi aspek relevansi organisasi 30. Hasil uji validasi aspek pencapaian kemandirian keuangan organisasi 31. Hasil uji reliabilitas 32. Skoring terhadap kinerja Gapoktan sampel 33. Komparasi penggunaan input produksi berdasarkan kuantitas 34. Rekomendasi pupuk padi sawah di Kecamatan Ciasem dan Patokbesi 35. Penggunaan pupuk oleh responden pada usahatani padi sawah 36. Penggunaan rata-rata tenaga kerja pada responden petani PUAP dan non PUAP per hektar 37. Struktur biaya rata-rata dan pendapatan usahatani padi petani PUAP dan non PUAP per hektar, Kabupaten Subang, Jawa Barat. 38. Hasil analisis korelasi kinerja Gapoktan dengan pendapatan usahatani padi petani anggota
56 57 58 60 62 62 69 69 70 71 71 72 72 73 74 75 76 77 77 78 81 83 83 85 86 93
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sebaran LKM-A di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008-2011 Alur pendampingan dan pembinaan Gapoktan/poktan PUAP Pengaruh kredit terhadap kombinasi penggunaan input dan peningkatan output Pengaruh kredit terhadap kombinasi penggunaan input dan pendapatan usahatani padi Kerangka pemikiran penelitian Alur Petani Peminjam dengan Gapoktan Struktur LKM-A Tahap Awal Berdiri Perkembangan Struktur LKMA di Jawa Barat
4 18 34 35 37 59 64 64
9.
Alur usulan dan penetapan desa, gapoktan, dan pengurus
67
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Karakteristik Gapoktan Contoh Penerima PUAP Karakteristik Gapoktan Contoh Non Penerima PUAP Hasil Analisis Usahatani Padi Petani PUAP Hasil Analisis Usahatani Padi Petani Non PUAP Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pendapatan Usahatani Padi Hasil Analisis Person Product Moment Terhadap Hubungan Kinerja Gapoktan dengan Pendapatan Usahatani Padi 7. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Benih pada Usahatani Padi Petani Sampel 8. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk Urea pada Usahatani Padi Petani Sampel 9. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk TSP pada Usahatani Padi Petani Sampel 10. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk NPK pada Usahatani Padi Petani Sampel 11. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk Organik pada Usahatani Padi Petani Sampel 12. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Tenaga Kerja pada Usahatani Padi Petani Sampel
102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Pertanian khususnya di negara berkembang (Indonesia) tidak bisa terlepas dari wilayah perdesaan. Sebab, sebagian besar penduduk di Indonesia bermukim di perdesaan dan mayoritas masih dalam kondisi miskin (17,92 juta jiwa) dari total 28,55 juta jiwa penduduk miskin (BPS 2013). Faktor penyebab kerentanan wilayah perdesaan antara lain karena lokasinya yang jauh dari pusat kota/pembangunan. Hal ini dicirikan oleh terbatasnya infrastruktur ekonomi, sedikitnya kesempatan kerja di luar pertanian (non-farm), jauh dari pasar, sulit mendapatkan akses ke sumber permodalan dan teknologi, serta organisasi tani yang masih lemah (Yustika 2013; Hendayana et al. 2009). Kondisi tersebut tidaklah mungkin menyelenggarakan pembangunan di negara berkembang tanpa melibatkan wilayah perdesaan. Bahkan, pembangunan di negara berkembang harus melihat wilayah perdesaan sebagai fokus dan target pembangunan. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan di negara berkembang dapat dilihat dari perkembangan di wilayah perdesaan sendiri. Bila mayoritas penduduk di perdesaan bisa melakukan mobilitas sosial-ekonomi (pembangunan), maka dapat disimpulkan pembangunan di negara berkembang telah menjangkau sebagian warga negaranya, demikian sebaliknya (Yustika 2013). Wilayah perdesaan di negara berkembang biasanya dideskripsikan sebagai tempat bagi orang-orang bekerja di sektor pertanian (70% dari 20,65 juta jiwa), dimana masyarakat petani mencukupi hidup sendiri (swasembada) (Kementerian Pertanian 2010a). Lebih lanjut, upaya komersialisasi pertanian sering kali tidak selalu akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Hal ini disebabkan sifat dari komersialisasi pasar yang meletakkan petani dalam posisi subordinat. Di mana setiap upaya modernisasi (komersialisasi) pertanian justru meletakkan petani dalam posisi yang selalu kalah. Keuntungan ekonomi pertanian justru lebih banyak jatuh pada pemilik modal atau pedagang yang relatif memiliki posisi tawar lebih tinggi dibandingkan dengan petani. Posisi pemilik modal (tuan tanah, industri pengolahan, pedagang) yang relatif tinggi bukan hanya disebabkan oleh adanya penetrasi pasar, tetapi juga disumbangkan oleh karakteristik produk pertanian yang cepat rusak. Sehingga petani tidak mungkin menahan produk tersebut untuk sementara waktu demi mendongkrak harga. Persoalan ini sebenarnya bisa diatasi apabila terdapat fasilitas penyimpanan yang memungkinkan petani menyimpan barang tanpa menimbulkan kerusakan. Tetapi mustahil dilakukan karena petani tidak memiliki modal untuk membeli fasilitas tersebut. Pada akhirnya petani berhadapan dengan kendala-kendala kelembagaan, teknologi, dan alam (Soetomo 1997). Ditambah lagi, sebagian besar pengeluaran pemerintah justru lebih tercurah ke daerah-daerah perkotaan dan berbagai sektor ekonomi, seperti sektor-sektor manufaktur modern dan sektor komersial (Todaro dan Smith 2006). Bertitik tolak dari uraian tersebut, salah satu persoalan paling rumit di wilayah perdesaan adalah penyediaan modal. Bahkan, keterbatasan akses terhadap modal (kredit) diidentifikasi sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan
2 (Akpalu 2012). Permasalahan permodalan ini dapat berasal dari: (1) jumlah permodalan yang ada, (2) terbatasnya akses kepada sumber permodalan, (3) terbatasnya pengetahuan akan jenis-jenis modal, dan (4) kemampuan di dalam menentukan serta menyusun proposal usaha pertanian sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh permodalan usaha (Soekartawi 1996). Bagi petani-petani yang menguasai lahan sempit, pengalokasian modal secara intensif merupakan kendala, karena sebagian besar petani tidak sanggup mendanai usahatani yang padat modal dengan dana sendiri (Syukur et al. 2000). Keterbatasan modal menyebabkan sirkulasi kegiatan ekonomi tidak berjalan sehingga proses akumulasi kapital juga tidak bisa terjadi. Ditambah lagi, fasilitasi bantuan modal yang diluncurkan pemerintah belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh petani. Hal ini disebabkan karena lembaga permodalan formal yang ditunjuk untuk menyalurkannya dirasakan tidak sepenuhnya berpihak kepada petani, bunga yang terlalu tinggi, jaminan persayaratan yang tidak bisa dipenuhi petani, proses pencairan yang memakan waktu sangat lama, birokrasi yang bertele-tele, dan pelayanan yang tidak ramah (Nurmanaf et al. 2006). Akibat keterbatasan dana dan persyaratan kredit yang memberatkan bagi sebagian petani, sehingga tidak seluruh petani bisa mendapatkan kredit dari program pemerintah tersebut. Petani yang tidak memeroleh kredit, mengandalkan sumber pembiayaan produksi dari modal pinjaman ke tetangga atau tengkulak/rentenir dengan bunga yang lebih tinggi. Akibatnya akan merugikan petani karena memeroleh keuntungan yang lebih kecil (Yustika 2013). Berbekal situasi seperti itu, pada tahun 2008 pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian, meluncurkan suatu program yang dinamakan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). PUAP bergerak dari aspek fasilitasi modal usaha. Modal usaha ini kemudian disebut dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Konsep dana BLM dalam PUAP sebagai dana stimulan atau tambahan modal usaha untuk petani “miskin” di perdesaan. Adapun tujuan jangka panjangnya yakni untuk menunjang pembentukan modal dan meningkatkan produksi, serta pendapatan usahatani dalam koridor pengembangan agribisnis perdesaan. Bahkan lebih luas lagi untuk menumbuhkembangkan lembaga ekonomi di perdesaan yakni Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A). Dana PUAP sebagian besar dialokasikan untuk komoditas tanaman pangan, utamanya komoditas padi. Di tingkat petani, padi merupakan salah satu komoditi yang mempunyai prospek cerah guna menambah pendapatan para petani. Sehingga memberi motivasi tersendiri bagi petani untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan produksinya, dengan harapan agar pada saat panen usaha memperoleh hasil penjualan tinggi guna memenuhi kebutuhannya. Sedangkan di tingkat nasional, padi merupakan salah satu komoditas utama pertanian, karena padi merupakan kebutuhan pokok penduduk. Komoditi ini tumbuh hampir di seluruh daerah di Indonesia. Mengingat pentingnya komoditi ini sebagai bahan makanan pokok, kiranya pengembangan komoditi padi membutuhkan perhatian khusus. Pelaksanaan kegiatan PUAP menyalurkan dana BLM sebesar Rp. 100 juta kepada setiap Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) di 10.000 desa per tahun. Sehingga setiap tahunnya Gapoktan yang menerima dana BLM pasti berbeda. Dana tersebut dimaksudkan sebagai fasilitasi bantuan modal usaha untuk
3 penguatan modal pada usaha budidaya (tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perkebunan) dan usaha non budidaya (industri rumah tangga, pedagang kecil dan aktivitas lain berbasis pertanian) Fungsi Gapoktan dalam PUAP sebagai organisasi atau kelembagaan tani dalam penyaluran dan pemanfaatan dana PUAP untuk bantuan modal usaha bagi anggota. Selain itu berperan sebagai media dalam menumbuhkan tingkat keswadayaan masyarakat petani, meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha bagi penerima dana BLM PUAP. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pelaksanaan PUAP, baik dilihat dari sisi Gapoktan sebagai kelembagaan tani maupun dari sisi pencapaian kesejahteraan anggota, maka Gapoktan didampingi oleh tenaga Penyuluh Pendamping dan Penyelia Mitra Tani (PMT). Disamping mendapatkan pembinaan baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Melalui pelaksanaan PUAP, diharapkan Gapoktan dapat menjadi lembaga ekonomi yang dimiliki dan dikelola petani, serta bisa dikatakan sebagai kelembagaan yang mempunyai pengaruh terhadap peningkatan tarap ekonomi (kesejahteraan) antar pelakunya. Pelaksanaan PUAP dimulai tahun 2008 sampai dengan akhir tahun 2013, secara nasional sudah 47.673 Gapoktan yang menerima dana BLM PUAP, dengan dana yang tersalur sebesar Rp. 4,7 Trilyun. Jenis usaha produktif yang dikembangkan dalam Program PUAP beserta alokasi penggunaan dananya mencakup: (a) kegiatan budidaya (on-farm) di bidang tanaman pangan (Rp. 696,83 milyar), hortikultura (Rp. 164,43 milyar), perkebunan (Rp. 139,21 milyar), dan peternakan (Rp. 271,16 milyar), dan (b) kegiatan non budidaya (off-farm) di bidang industri rumah tangga pertanian, pemasaran hasil pertanian skala mikro (bakulan, dll) dan usaha lain berbasis pertanian (Rp. 347,85 milyar) (Direktorat Pembiayaan Pertanian 2013). Data jumlah Gapoktan penerima dana PUAP secara nasional disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan di Indonesia, tahun 2008-2013 Uraian
2008 10.542
2009 9.884
Jumlah Gapoktan Jumlah Penyaluran Dana 1,053 0,988 (Trilyun) Sumber: Direktorat Pembiayaan Pertanian (2013)
Tahun 2010 2011 8.587 9.110
2012 6.050
2013 3.500
47.673
0,858
0,605
0,350
4,765
0,911
Total
Data Gapoktan pada Tabel 1, menunjukkan jumlahnya semakin menurun, ini artinya pelaksanaan PUAP selama enam tahun berjalan, hampir menjangkau sebagian besar desa miskin yang ada di 33 provinsi. Sehingga harapannya setelah selesainya PUAP ini, seluruh desa berkategori miskin sudah mendapatkan dana BLM PUAP. Selain itu kedepannya, desa-desa yang awalnya berkategori miskin, diharapkan sudah mengalami pengembangan kearah yang lebih baik, diantaranya tumbuh dan berjalannya unit usaha produktif, memiliki dana abadi untuk permodalan usahatani, adanya peningkatan kesejahteraan petani, sampai dengan tumbuh dan berkembangnya kelembagaan ekonomi tani di perdesaan yang mapan yakni Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A). Pelaksanaan PUAP di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008 sampai dengan tahun 2011, sudah 2.703 Gapoktan dari 24 kabupaten yang menerima dana BLM PUAP,
4 dengan dana tersalur sebesar Rp. 270,3 milyar. Selama empat tahun berjalan, alokasi dana PUAP proporsi terbesar yakni untuk tanaman pangan, selanjutnya untuk perkebunan, hortikultura, peternakan, dan yang terakhir untuk kegiatan non budidaya (off farm) yang terbagi atas pengolahan hasil, pemasaran hasil dan usaha lainnya berbasis pertanian. Data jumlah Gapoktan penerima dana PUAP di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008-2011 Tahun 2008 2009 2010 2011
Jumlah Pelaksana Program PUAP Kab./ Kota 21 22 24 24 Jumlah
Kec. 225 276 376 472
Desa/ Gapoktan 621 702 686 694 2.703
Dana PUAP (Rp. Milyar) 62,1 70,2 68,6 69,4 270,3
Realisasi Dana PUAP (%) Tan. Pangan 31,89 35,38 30,81 32,69 130,77
Horti
Nak
Bun
10,36 9,79 10,02 10,05 40,22
15,26 10,04 2,06 9,12 36,48
6,61 10,39 15,73 10,91 43,64
OffFarm 35,88 34,40 41,36 37,21 148,85
Sumber: BPTP Jawa Barat (2012)
Gapoktan pelaksana PUAP lingkup Jawa Barat, dari tahun 2008-2011 sudah berhasil menumbuhkembangkan LKM-A. Data sebaran LKM-A disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Sebaran LKM-A di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008-2011 Sumber: BPTP Jawa Barat (2012)
Pada Gambar 1, terlihat Kabupaten Subang berhasil menumbuhkembangkan LKM-A sebanyak 40 unit (27,97%). Jumlah ini mengungguli kabupaten lainnya, seperti Tasikmalaya 21 unit (14,68%), dan Bandung Barat 19 unit (13,29%). Sementara sisanya terpencar di beberapa kabupaten lingkup Provinsi Jawa Barat. Adapun jenis usaha produktif yang dikembangkan beserta distribusi alokasi penggunaan dananya, disajikan pada Tabel 3.
5 Tabel 3. Rekapitulasi nilai aset dan alokasi dana bantuan langsung masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan per usaha ekonomi produktif Gapoktan PUAP di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008-2012 Tahun
2008 2009 2010 2011 Jumlah
Nilai aset Yang Dikelola sd Juni 2012 (Rp. milyar) 35,91 27,76 34,40 29,98 128,05
Usaha Budidaya/on-farm (Rp. milyar) Tan. Pangan
Hortikultura
Perkebunan
Peternakan
9,00 6,10 15,19 11,51 41,82
1,29 2,29 4,84 1,36 9,78
0,52 0,48 2,80 0,09 3,89
3,35 3,97 6,61 5,31 19,22
Non Budidaya /off-farm (Rp. milyar)
Jumlah (Rp. milyar)
6,81 6,92 9,44 7,51 30,67
20,97 19,77 38,87 25,77 105,38
Sumber: BPTP Jawa Barat (2012)
Pelaksanaan PUAP di Kabupaten Subang (2008-2011), jumlah Gapoktan penerima dana PUAP mencapai 208 Gapoktan. Data rekapitulasi Gapoktan beserta nilai Aset yang dikelola disajikan pada Tabel 4. Kabupaten Subang memiliki potensi pertanian, salah satunya adalah komoditas padi, dengan produktivitas mencapai 6 – 7,5 ton/ha. Dengan demikian, proporsi dana PUAP sebagian besar dialokasikan untuk komoditas padi. Tabel 4. Rekapitulasi Gapoktan, nilai aset dan alokasi dana bantuan langsung masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan per usaha ekonomi produktif di Kabupaten Subang, tahun 2008-2011 Tahun
Jumlah Gapoktan
2008 2009 2010 2011 Jumlah
35 57 44 72 208
Nilai aset Yang Dikelola sd Juni 2012 (Rp. milyar) 8,65 4,60 5,07 7,86 26,18
Usaha Budidaya/on-farm (Rp. milyar) Tan. Pangan
Hortikultura
Perkebunan
Peternakan
1,74 2,91 1,49 2,81 8,95
0,21 0,48 0,21 0,42 1,32
0,03 0,44 0,08 0,00 0,55
0,34 0,96 0,72 1,15 3,17
Non Budidaya /off-farm (Rp. milyar) 1,08 1,71 1,89 2,52 7,20
Sumber: BPTP Jawa Barat (2012)
Pembiayaan pertanian melalui fasilitasi modal usaha dari dana BLM PUAP diduga berperan terhadap keberhasilan pengembangan agribisnis di perdesaan berbasis usahatani padi yang ada dilokasi penelitian, dalam hal ini di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Adapun indikator keberhasilan tersebut dilihat dari kinerja organisasi Gapoktan dan peningkatan pendapatan usahatani bagi petani contoh penerima/pemanfaat dana BLM PUAP. Mengapa demikian, karena peningkatan kinerja organisasi Gapoktan dan peningkatan pendapatan merupakan komponen penting dari indikator keberhasilan pelaksanaan PUAP. Selain itu merupakan efek multiplier yang diharapkan dari pemberian tambahan modal usaha atau modal kerja bagi petani miskin. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis kinerja Gapoktan dan menganalisis capaian hasil (outcome) terhadap pendapatan usahatani petani anggota berbasis komoditas padi.
6 Perumusan Masalah Penelitian Pertanian memiliki fungsi dan peran strategis bagi masyarakat dan pemerintah, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Pertanian tidak sekedar menghasilkan bahan pangan, tetapi juga memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi masyarakat. Saat ini, makna pertanian tidak hanya mencakup pada aspek produksi usaha tani (on-farm) semata, tetapi juga mencakup kegiatan luar usaha tani yang terkait dengan produksi, baik yang berada di hulu maupun di hilir (off-farm), serta aktivitas penunjang yang mendukung penuh seluruh kegiatan pertanian. Namun, ketika berbicara tentang petani, maknanya tidak lepas dari kegiatan produksi usaha tani, karena sebagian besar petani kita masih berkutat pada on-farm, yang bertujuan untuk menghasilkan komoditas pertanian bagi pemenuhan kebutuhan pangan, pakan, serta energi. Melihat tingkat pendapatan petani yang relatif lebih rendah daripada para pelaku sektor ekonomi lainnya, akibatnya tingkat kemiskinan di sektor ini masih relatif tinggi. Terdapat beberapa faktor penyebab rendahnya tingkat pendapatan dan tingginya tingkat kemiskinan di sektor pertanian, yaitu: (1) rendahnya kepemilikan dan penguasaan lahan, (2) rendahnya produktivitas usaha tani, (3) rendahnya harga produk di tingkat petani, (4) rendahnya pendidikan dan keterampilan petani, serta (5) minimnya akses petani terhadap sumber pembiayaan (permodalan). Inti dari beberapa bermasalahan tersebut, yakni petani memiliki keterbatasan penguasaan modal untuk menjalankan aktivitas usahataninya. Modal dalam usahatani diklasifikasikan sebagai bentuk kekayaan, baik berupa uang maupun barang yang digunakan untuk menghasilkan sesuatu secara langsung maupun tidak langsung dalam suatu proses produksi (Hanafie 2010). Secara ekonomi modal adalah barang-barang yang bernilai ekonomi yang digunakan untuk menghasilkan tambahan kekayaan ataupun untuk meningkatkan produksi. Dalam perusahaan, modal adalah seluruh kekayaan yang digunakan dalam usaha. Modal digunakan untuk menghasilkan barang-barang konsumsi atau barang-barang modal. Pembentukan modal bertujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani, serta menunjang pembentukan modal lebih lanjut. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sumber permodalan usahatani para petani didapatkan dari: (1) modal sendiri yang relatif terbatas, dan (2) meminjam dana dari para tengkulak dan atau lembaga keuangan informal lainnya yang beroperasi di wilayah perdesaan. Lebih lanjut, Daniel (2002) menyampaikan bahwa modal usahatani yang dimaksud adalah keseluruhan biaya-biaya dalam pengadaan bibit, pupuk, obatobatan, upah tenaga kerja, transport, penyusutan alat dan pajak tanah. Kecukupan modal mempengaruhi ketepatan dalam penggunaan input produksi secara tepat waktu sehingga hasil padi optimal. Sebaliknya keterbatasan modal yang dimiliki petani mempengaruhi jumlah faktor produksi (benih/varietas unggul baru, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja) yang digunakan petani dalam usahatani, dengan kata lain petani menjadi lemah dalam penerapan inovasi teknologi. Untuk mengatasi dan menyelesaikan permasalahan tersebut (petani kurang modal), pemerintah menetapkan program jangka menengah yang fokus pada pembangunan pertanian perdesaan. Salah satunya ditempuh melalui pendekatan mengembangkan usaha agribisnis dan memperkuat kelembagaan pertanian di
7 perdesaan. Pendekatan ini diwujudnyatakan dengan fasilitasi tambahan modal kerja atau pembiayaan usahatani melalui dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Pada intinya program PUAP merupakan suatu upaya penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan melalui pengembangan usaha agribisnis perdesaan. Upaya pengembangan usaha agribisnis tersebut ditempuh melalui penguatan modal petani sebagai “entry point”. Sedangkan upaya penguatan modal petani dilakukan melalui penyaluran dana BLM PUAP sebesar 100 juta rupiah per desa yang disalurkan kepada petani miskin. Penyaluran dana BLM PUAP tersebut dilaksanakan melalui Gapoktan yang harus dibentuk di setiap desa lokasi PUAP. Dana tersebut diharapkan dapat berkembang dan dikelola Gapoktan sebagai dana awal bagi pembentukan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A), sehingga rumah tangga tani miskin secara berkelanjutan mudah mengakses dana tersebut sebagai tambahan modal usaha. Pelaksanaan program PUAP yang kegiatannya melalui fasilitasi bantuan tambahan modal usaha, diharapkan upaya pengembangan usaha agribisnis di perdesaan dapat tercipta. Filosofinya, baiknya kinerja organisasi petani di perdesaan dalam hal ini Gapoktan, dan didukung dengan adanya tambahan modal usaha, akan mendorong usahatani padi petani anggota ke arah yang lebih produktif. Indikasinya terlihat dari meningkatknya kemampuan petani dalam pemenuhan kebutuhan input produksi, serta mengadopsi teknologi anjuran (rekomendasi). Sehingga secara normatif produksi akan meningkat. Ketika produksi meningkat diikuti dengan peningkatan kualitas, akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan. Akan tetapi, program pemerintah semacam ini menimbulkan sejumlah masalah moral hazard, karena: (1) sebagian petani menganggap bahwa program pemerintah bersifat bantuan, sehingga tidak perlu dikembalikan, (2) sebagian kelompok tani penerima program didirikan secara mendadak, sehingga kurang memiliki pengalaman yang baik, (3) pembagian dana program yang hanya terbatas pada anggota kelompok tani penerima bantuan. Fakta ini menunjukan bahwa pendanaan semacam ini prakteknya sangat membantu, tetapi efektifitasnya perlu kita tunggu dan kita amati terus menerus, dengan pembinaan dan pengawasan yang sustainable oleh komponen baik dari tingkat paling bawah (kelompok tani) sampai tingkat atas (pemerintah). Kabupaten Subang hingga kini tersisa 114 desa yang belum tersentuh program bantuan PUAP, dari jumlah itu seluruhnya telah diusulkan guna menerima bantuan PUAP. Sehingga diharapkan, seluruh desa yang ada di Kabupaten Subang bisa menerima bantuan Program PUAP. Salah satu output keberhasilan Program PUAP adalah terbentuknya Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) yang berbadan hukum koperasi. Di Kabupaten Subang pengelolaan dana PUAP oleh Gapoktan dibantu oleh Unit Permodalan Gapoktan (UPG) sebagai salah satu unit usaha otonom di bawah koordinasi dan wewenang Gapoktan. UPG dikelola oleh seorang manager yang diangkat oleh Gapoktan sesuai kesepakatan dengan kriteria yang telah ditentukan sesuai dengan kebutuhan dalam mengelola administrasi keuangan di UPG. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, bahwa Kabupaten Subang telah berhasil menumbuhkembangkan LKM-A sebanyak 40 unit (27,97%), jumlah tersebut mengungguli kabupaten lainnya yang ada di Provinsi Jawa Barat. Serta jika ditinjau dari kelengkapan
8 organisasinya sudah baik, seperti SDM pengelola, jenis pembukuan lengkap, AD/ART, asset kelembagaan, dan administrasi. Pengembangan permodalan dari Program PUAP sangat bervariasi, mulai tahun pertama penyaluran dana (2008) sampai dengan sekarang (2014). Banyak kelompok tani yang sudah bisa mengembangkan dana menjadi dua kali lipat dari bantuan permodalan awal, tetapi masih ada juga yang berkutat dengan proses pengembalian dana awal bantuan. Hal ini, disebabkan karena mekanisme pengembalian dana pinjaman anggota ini bervariasi, mulai dari pengembalian harian, mingguan, bulanan dan jatuh tempo atau bayar panen (yarnen). Pendanaan pada sektor on-farm pengembaliannya relatif lambat karena sebagian besar menggunakan pola yarnen, sedangkan pendanaan pada sektor off-farm relatif lebih cepat dengan pola pengembalian harian, mingguan, dan bulanan. Berbagai macam mekanisme pengelolaan dana PUAP yang diserahkan pada mekanisme musyawarah Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) membuat progress program PUAP ini di masing-masing Gapoktan bermacam-macam. Semoga fasilitasi pemerintah menjadikan trigger buat para petani, sehingga petani dan pertanian di Indonesia lebih maju dan berkembang. Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengungkap seberapa besar peran atau kontribusi program PUAP terhadap kinerja Gapoktan dan pendapatan usahatani padi yang dikelola oleh petani penerima dana PUAP dilokasi penelitian. Untuk melihat besarnya peran tersebut, dilakukan pendekatan with and without PUAP. Hal ini dimaksudkan untuk membandingkan antara kinerja Gapoktan penerima PUAP dengan non penerima PUAP. Pendekatan tersebut dilakukan juga pada usahatani padi petani anggota yang sudah menerima dan tidak menerima PUAP, dengan fokus terhadap tingkat pendapatan usahatani padi. Selanjutnya, melihat seberapa besar derajat keeratan hubungan antara kinerja Gapoktan terhadap pendapatan usahatani padi petani anggota. Beranjak dari uraian perumusan masalah, pertanyaan penelitian yang ingin ditemukan jawabannya dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana kinerja Gapoktan PUAP dan non PUAP? 2. Bagaimana pendapatan usahatani padi petani PUAP dengan non PUAP, serta apakah ada perbedaan yang signifikan? 3. Bagaimana hubungan kinerja Gapoktan terhadap pendapatan usahatani padi? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Menganalisis kinerja Gapoktan PUAP dan non PUAP. 2. Menganalisis pendapatan usahatani padi petani PUAP dan non PUAP. 3. Menganalisis hubungan kinerja Gapoktan terhadap pendapatan usahatani padi petani anggota. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan informasi pentingnya keberadaan modal dalam aktitivitas usaha agribisnis, utamanya di perdesaan. Selain itu penelitian mampu memberikan rekomendasi bagi pemerintah
9 pusat maupun daerah, dalam menentukan langkah dan kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan di perdesaan, serta untuk mempertahankan keberlanjutan program pembiayaan pertanian dalam koridor program pemberdayaan petani. Selain itu, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca sebagai tambahan pengetahuan maupun informasi untuk melaksanakan studi yang relevan di masa mendatang. Ruang Lingkup Penelitian 1. 2.
3.
4.
5.
Penelitian dilakukan di Kecamatan Patok Besi dan Ciasem, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, pada Gapoktan penerima dana PUAP maupun non PUAP, dimana usaha simpan pinjamnya sudah berjalan. Unit analisis dalam penelitian ini terdiri atas Gapoktan dan petani anggota yang berusahatani padi sawah. Unit analisis Gapoktan diperlukan untuk menjawab tujuan pertama, yakni pengukuran terhadap kinerja Gapoktan, sedangkan unit analisis petani anggota diperlukan untuk menjawab tujuan kedua, yakni menganalisis pendapatan usahatani padi serta untuk menganalisis apakah ada perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok tersebut. Sehingga dalam penelitian ini dibatasi pada penilaian kinerja Gapoktan dan pendapatan usahatani padi, baik PUAP maupun Non PUAP. Untuk mengkaji peran PUAP terhadap kinerja Gapoktan, dapat dilihat melalui pendekatan with and without PUAP. Artinya perbandingan kinerja organisasi antara Gapoktan PUAP dengan Gapoktan non PUAP. Alat analisis yang digunakan dalam mengukur kinerja Gapoktan menggunakan instrumen form penilaian kinerja, di mana setiap pernyataan diberi skor menggunakan skala likert. Total skor merupakan pencerminan dari kinerja Gapoktan itu sendiri. Atribut penilaian kinerja Gapoktan, diadaptasi dari pedoman penilaian Gapoktan PUAP dari Kementerian Pertanian (2010b), Syahyuti (2012), dan Yustika (2013), yang semuanya diintegrasikan menjadi satu instrumen untuk penilaian kinerja Gapoktan dalam penelitian ini. Untuk mengkaji peran PUAP terhadap pendapatan usahatani padi sawah, dapat dilihat melalui perbandingan antara pendapatan usahatani padi pada petani PUAP dan non PUAP. Alat analisis yang digunakan adalah analisis pendapatan usahatani, R/C, B/C, MBCR dan uji beda sampel tidak berhubungan (independent sampel T test). Untuk mengkaji hubungan kinerja Gapoktan terhadap pendapatan usahatani padi, menggunakan pendekatan analisis korelasi Pearson Product Moment (PPM). Hal ini bertujuan untuk menganalisis derajat hubungan antara variabel bebas (kinerja Gapoktan) dengan variabel terikat (pendapatan usahatani padi).
2 TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Program Bantuan Pembiayaan Usaha Agribisnis Pembiayaan merupakan salah satu komponen strategis dalam revitalisasi pertanian. secara gasir besar, kebijakan pembiayaan pertanian mencakup dua hal, yaitu: (1) kebijakan pembiayaan pembangunan pertanian yang memprioritaskan
10 anggaran untuk sektor pertanian dan sektor pendukungnya, dan (2) kebijakan pertanian yang mudah di akses masyarakat (Departemen Pertanian 2005). Konteks kebijakan pemerintah, pembiayaan pertanian diwujudnyatakan dengan ketersediaan anggaran pembangunan dan penyediaan sistem insentif untuk mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani. Seperti yang diungkapkan oleh Prasetyo dan Joko (2009), pembiayaan pertanian merupakan bagian dana nasional maupun internasional yang digunakan untuk membiayai kegiatan produksi dan investasi disektor pertanian. Alat utama kebijakan pertanian diwujudkan melalui anggaran belanja pemerintah (fiskal) di sektor pertanian. Seperti yang diketahui, tanpa adanya pembiayaan atau permodalan yang memadai pada aktivitas usaha agribisnis, tidak mungkin dapat melakukan pengembangan usaha dan memperoleh peningkatan laba (Mirza 2000; Moeler dan Thorsen 2000) Pembiayaan pertanian, pada intinya pemerintah ikut serta dalam kegiatan perekonomian, sehingga tidak adanya ekternalitas yang merugikan banyak pihak. Mengingat pemerintah sebagai salah satu pelaku ekonomi (rumah tangga pemerintah), memiliki fungsi penting dalam perekonomian, yaitu berfungsi sebagai stabilisasi, alokasi, dan distribusi. Fungsi-fungsi pemerintah adalah sebagai berikut: (1) fungsi stabilisasi, yakni fungsi pemerintah dalam menciptakan kestabilan ekonomi, sosial politik, hukum, pertahanan, dan keamanan, (2) fungsi alokasi, yakni fungsi pemerintah sebagai penyedia barang dan jasa publik seperti pembangunan jalan raya, gedung sekolah, penyediaan fasilitas penerangan, dan telepon, dan (3) fungsi distribusi, yakni fungsi pemerintah dalam pemerataan atau disribusi pendapatan masyarakat. Kebijakan pembiayaan pertanian yakni pemerintah melakukan intervensi pembiayaan non pasar (non market) dalam bentuk pembiayaan langsung. Pembiayaan langsung sering dikategorikan sebagai kredit program, dan erat kaitannya untuk pemecahan masalah dalam hal kekurangan modal usaha. Masalah kekurangan modal adalah salah satu ciri penting bagi setiap negara yang memulai proses pembangunan. Kekurangan modal tidak hanya menghambat kecepatan pembangunan ekonomi yang dapat dilaksanakan tetapi dapat menyebabkan kesulitan negara tersebut untuk melepaskan dari kemiskinan. Berdasarkan pengalaman selama beberapa dekade, pemerintah telah melakukan intervensi di pasar kredit cenderung langsung, biasanya mengambil bentuk yang diarahkan pada alokasi pinjaman, subsidi bunga dan kepemilikan negara atas bank. Pada tahun 1970, misalnya, bank sentral di Indonesia diberikan hampir 200 jalur kredit, banyak yang ditujukan untuk kegiatan pertanian, dan sebagian besar yang disubsidi. Di Thailand selama tahun 1970 dan 1980 pemerintah mewajibkan semua bank untuk meningkatkan persentase pinjaman dari total portofolio pinjaman bank kepada petani. Selain di beberapa negara seperti Filipina, segmen utama dari sistem keuangan perdesaan melekat pada program produksi tanaman. Di negara-negara lain seperti Mesir dan Brazil upaya kredit bersubsidi sangat besar, hal ini dilakukan atas dasar untuk mengkompensasi petani akibat terjadinya distorsi lain dalam perekonomian, seperti mengkontrol harga makanan atau meningkatkan nilai suku bunga (Coffey 1998). Sehingga dapat disimpulkan, kebijakan dan peraturan tersebut (kredit program) dapat mempengaruhi keuntungan dan perkembangan sistem pertanian (Hardie et al. 2004; Goetz dan Zilberman 2007).
11 Pemerintah banyak melakukan program-program bantuan modal salah satunya yakni Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPMMandiri). Selain pemerintah, badan usaha juga membantu dalam masalah kekurangan modal seperti bank, koperasi, BUMN seperti PLN dan lain-lain1. Smith and Smith (2004) dan Xiaoping (2011) menyatakan modal usaha (individu dan lembaga yang membuat investasi modal usaha) menjadi pendorong pengembangan usaha. Menurut Ashari (2009) secara umum program bantuan kredit atau modal untuk sektor pertanian berasal dari dua sumber, yaitu: (1) dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) seperti Bimas, KUT, Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3), Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA); dan (2) Project bantuan asing baik yang berupa hubungan bilateral seperti second Kennedy Round (SKR) maupun kerjasama multilateral seperti Program Peningkatan Pendapatan Petani/nelayan Kecil (P4K). Adapun tujuan dari pembiayaan agribisnis yaitu dalam rangka mengatasi keterbatasan akses petani terhadap permodalan, lemahnya kapasitas kelembagaan petani, dan terbatasnya infrastruktur pertanian, maka sebagai anggaran pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian dialokasikan dalam bentuk belanja bantuan sosial untuk pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, penanggulangan kemiskinan dan penanganan bencana di bidang pertanian. Terkait dengan penanggulangan kemiskinan dan penanggulangan bencana, Kementerian Pertanian menyalurkan belanja bantuan sosial dalam bentuk barang kepada kelompok tani, sedangkan untuk pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial disalurkan belanja bantuan sosial melalui transfer uang dan/atau transfer barang kepada kelompok tani, agar mampu secara mandiri dan bersama-sama meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing produk pertanian yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani. Pembiayaan pertanian berupa kredit, memiliki peran yang strategis dalam pembangunan pertanian dan perdesaan. Hal ini telah mendorong pemerintah untuk menjadikannya sebagai instrumen kebijakan penting (Ashari 2009). Dalam tataran konseptual, menurut Tampubolon (2002) kredit dianggap mampu memutuskan “lingkaran setan” kemiskinan di perdesaan. Kredit dapat memfasilitasi transfer daya beli sementara dari satu individu atau organisasi kepada individu atau organisasi yang lain. Hal senada juga dipaparkan Jehangir et al. (2002). Menurutnya, kredit adalah penting untuk penggunaan modal kerja, modal tetap dan konsumsi yang baik. Kredit adalah elemen kunci dalam modernisasi pertanian. Tidak hanya itu menghilangkan hambatan finansial tetapi juga mempercepat laju adopsi teknologi baru. Penggunaan modal dan adopsi teknik-teknik modern untuk produksi, yang telah menjadi sumber utama pertumbuhan output pertanian, memerlukan akses ke pasar kredit untuk pembiayaan pertanian. Sehingga dengan pasokan kredit yang optimal diharapkan dapat meningkatkan kemampuan petani dalam membeli 1
http://27acintya08dhika95.wordpress.com/kebijakan-pemerintah-dalam-bidang-ekonomi/ Unduh tgl: 25-10-2013, jam 08:36
12 saprodi, yang selanjutnya berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas usahatani. Mengingat urgensi kredit ini, maka dalam proses perencanaan program pembangunan pertanian, aspek permodalan merupakan salah satu faktor penting yang selalu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Oleh karena itu pemberian kredit program biasanya sejalan atau dijadikan sebagai unsur pelancar bagi program pembangunan pertanian lainnya. Pelaksanaan Program Bantuan Pembiayaan Usaha Agribisnis Pembiayaan pertanian yang bersumber dari kredit program tidak bisa dilepaskan dari sejarah pembangunan pertanian. Pengalaman menunjukkan peranan kredit pertanian sangat penting dalam pembangunan sektor pertanian. Kredit merupakan salah satu faktor pendukung utama pengembangan adopsi teknologi usahatani. Kredit pertanian bukan sekedar faktor pelancar pembangunan pertanian akan tetapi berfungsi pula sebagai satu titik kritis pembangunan pertanian (critical point of development) (Syukur et al. 1998). Lebih lanjut Syukur et al. (1999) mengungkapkan peran kredit sebagai pelancar pembangunan pertanian antara lain: (1) membantu petani kecil dalam mengatasi keterbatasan modal dengan bunga relatif ringan, (2) mengurangi ketergantungan petani pada pedagang pelantara dan pelepas uang, sehingga bisa berperan dalam memperbaiki struktur dan pola pemasaran hasil pertanian, (3) mekanisme transfer pendapatan untuk mendorong pemerataan, dan (4) insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi pertanian. Sementara sebagai simpul kritis pembangunan, kredit berfungsi efektif untuk menunjang perluasan dan penyebaran adopsi teknologi. Menurut Soentoro et al. (1992) perkembangan kredit program pemerintah untuk sektor pertanian tidak dapat dipisahkan dengan program intensifikasi pertanian dan program peningkatan ekonomi perdesaan. Agenda dari program tersebut adalah untuk mencapai swasembada beras nasional. Dari upaya tersebut lahirlah Program Bimas yang keberhasilannya sangat ditunjang oleh keberadaan program kredit pertanian. Pendampingan pendanaan yang lebih populer dengan Kredit Bimas, dimaksudkan untuk mempercepat adopsi teknologi budidaya padi, yaitu dengan memberi bantuan pendanaan untuk pengadaan bibit unggul, pupuk, pestisida, dan biaya hidup (cost of living) yang bertujuan meningkatkan produktivitas usahatani padi. Melihat sejarahnya, menurut Ashari (2009); Andin et al. (1992); Supadi dan Sumedi (2004); Sagala (2010) bahwa perkembangan pembiayaan pertanian pertama kali dengan nama Bimbingan Masal (BIMAS). Bimas merupakan program yang berorientasi pada pembangunan pertanian secara umum dan swasembada beras. Program ini merupakan bimbingan yang berhubungan dengan aplikasi ilmu dan teknologi dalam rangka mencapai hasil yang optimal. Tujuan dibentuknya program tersebut adalah untuk meningkatkan produksi, penggunaan teknologi baru dalam usahatani dan peningkatan produksi pangan secara nasional. Lebih lanjut Ashari (2009); Supadi dan Sumedi (2004); Sagala (2010) memaparkan Kredit Bimas yang dikelola oleh BRI mulai diimplementasikan tahun 1967/1970. Keadaan ini memotivasi BRI untuk membangun BRI Unit Desa yang dimulai dengan empat unit Pilot Proyek di Yogyakarta. Dana kredit disediakan dari subsidi pemerintah (BI) pada tingkat bunga 3 persen per tahun,
13 sementara tingkat bunga BRI sebesar 12 persen. Total Kredit Bimas yang disalurkan sejak dari mulai program dilaksanakan (1967/70) sampai musim tanam (1984/85) mencapai Rp.636,7 milyar dengan total nasabah 28.847 petani. Selama periode 1970-1975 jumlah pinjaman yang dilunasi tepat waktu sebesar 80 persen, sementara sejak 1976 dan selanjutnya hanya 57% yang dibayar kembali. Faktor yang turut berkontribusi terhadap tingginya tunggakan karena adanya program “pengampunan hutang” yang membangun ekspektasi diantara petani nasabah bahwa suatu hari tidak harus dibayar. Memang dengan program Bimas skala nasional, pemerintah memiliki cerita sukses berupa swasembada produksi padi pada tahun 1984, walaupun tahun 1983 program Bimas diakhiri. Pada tahun 1985, program Kredit Usaha Tani (KUT) diintroduksikan. KUT merupakan salah satu dari program lanjutan dengan dana kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Target utama program ini yaitu petani yang telah mengembalikan 100 persen pinjaman program Bimas, dengan tingkat bunga 3%. KUT disediakan untuk petani yang belum memiliki kemampuan menyediakan kebutuhan yang diperlukan untuk usahatani dari sumber pembiayaan sendiri, dengan tingkat bunga 12%. KUT disalurkan melalui kantor cabang BRI ke Koperasi Unit Desa (KUD), kemudian didistribusikan pada para petani anggota KUD. Sejalan dengan perkembangannya dari tahun ke tahun ternyata pola demikian banyak menemui kesulitan terutama dalam penyaluran kredit. Hal ini diakibatkan tunggakan pada musim sebelumnya sangat tinggi dan fakta menunjukkan bahwa banyak kredit yang tidak sampai pada petani miskin akibat sangat rendahnya tingkat pengembalian. Kredit melalui KUT sangat besar yang meningkat dari Rp. 300 miliar per tahun (sebelum krisis ekonomi mencapai Rp. 8 triliun pada musim tanam 1998/1999) (Supadi dan Sumedi 2004; Ashari 2009; Soentoro et al. 1992) Menurut Supadi dan Sumedi (2004); Ashari (2009), bahwa sejak program KUT diaplikasikan, besarnya pembayaran kembali hanya sekitar 25 persen. Tingkat bunga yang ditetapkan berubah, yaitu sebesar 14 persen pada tahun 19851995. Setelah sepuluh tahun berjalan akhirnya pada tahun 1995 KUT mengalami perubahan dari pemerintah dengan mencanangkan skim kredit KUT pola khusus. Tingkat bunga diturunkan menjadi 10,5 persen pada tahun 1995-1998/1999. Lebih lanjut Supadi dan Sumedi (2004); Ashari (2009), menyatakan bahwa pada pola ini, kelompok tani langsung menerima dana dari Bank pelaksana bukan melalui KUD. Sepanjang perkembangan sistem baru tersebut, ternyata terjadi penunggakan yang besar dibeberapa daerah dikarenakan anjloknya harga gabah yang diterima petani, faktor bencana alam, dan penyimpangan yang terjadi dalam proses penyaluran serta pemanfaatan dana tersebut. Salah satunya adalah pengalihan dana KUT yang seharusya untuk usahatani kemudian dialihkan untuk keperluan konsumsi rumah tangga atau pembiayaan anak sekolah. KUT berakhir seiring dengan UU No.23/1999 yang melarang BI untuk menyalurkan KLBI. Total KUT yang telah disalurkan sampai tahun 1999 mencapai sebanyak Rp. 8 triliun. KUT menghadapi permasalahan berupa tingkat pengembalian yang hanya 25%. Ashari (2009); Sagala (2010) menyebutkan program yang selanjutnya adalah penguatan modal dengan nama Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Program KKP diperkenalkan pada bulan Oktober 2000 sebagai pengganti KUT dengan plafond Rp. 2,08 triliun untuk paket tanaman padi, palawija, perkebunan, tebu,
14 peternakan, perikanan dan perdagangan. Menurut Ashari (2009), aturan pada KKP kembali pada keikutsertaan bank yang berhadapan dengan peluang resiko (executing) menjadikan bank sangat berhati-hati dan menghindari individuindividu dan organisasi yang masih memiliki tunggakan KUT dan mempunyai riwayat buruk di masa lalu. Tingkat bunga masih disubsidi, dan dengan beberapa modifikasi kredit tersebut masih eksis. Lebih lanjut Ashari (2009) memaparkan bahwa tingkat bunga yang ditetapkan dalam program KKP terbagi atas: 12% untuk tanaman pangan dan 16% untuk peternakan, perkebunan dan perikanan. KKP ditujukan untuk: (1) intensifikasi tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu), dan (2) pengadaan pangan. KKP intinya untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dan pendapatan petani yang sasarannya untuk fasilitasi modal usahatani. Target dari KKP adalah kelompok tani dan koperasi. Bank pelaksana adalah BUMN seperti BRI, Bank Agro, Bukopin, Bank Mandiri, dan Bank Pembangunan Daerah. Skim program ini pengaturannya adalah melalui Bank pelaksana yang disalurkan melalui koperasi dan atau kelompok tani yang selanjutnya disalurkan kepada anggotanya langsung. Pada tahun 2006 sudah disalurkan sekitar Rp. 4,98 triliun. Maksimum pinjaman per petani (BRI) adalah Rp. 15 juta dengan maksimum kepemilikan lahan 2 ha dan periode pinjaman 12 bulan. Dalam perkembangannya KKP ini sejak tahun 2007 diubah nomenklaturnya menjadi KKP-Energi. Hingga tahun 2008 (posisi Juni), telah disalurkan sekitar Rp. 6,30 triliun. Dari total dana yang disalurkan tersebut penyerapan yang terbesar digunakan untuk pengembangan budidaya tebu, disusul untuk pengembangan peternakan serta pengembangan padi, jagung dan kedelai. Pengajuan untuk memperoleh dana tersebut dilakukan melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Pengajuan ini dapat berbentuk proposal usaha yang selanjutnya dilakukan pemberian kredit. Sementara itu, menurut Ashari (2009) hasil evaluasi yang pernah dilakukan Kementerian Pertanian dan Japan International Coorporation Agency/JICA (2006), Non Performing Loan (NPL) pada Juni 2006 adalah untuk tanaman pangan (6,07%), tebu (0,02%), peternakan (4,03%), perikanan (14,001%), dan pengadaan barang (3,01%). Kendala dalam KKP adalah adanya kehati-hatian ekstra dari bank yang masih trauma dengan kasus KUT sehingga pencairan dana relatif lambat, terbatasnya agunan yang dimiliki petani, dan terbatasnya avalis/guarantor kredit di pasar finansial. Upaya untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam berusaha, Ashari (2009) menyebutkan pemerintah melalui Kementerian Pertanian tahun 2001 mengeluarkan kebijakan baru berupa program fasilitas Bantuan Langsung Tunai (BLM). Program ini diarahkan untuk kegiatan ekonomi produktif, bantuan sarana dan prasarana dasar yang mendukung kegiatan sosial ekonomi, bantuan pengembangan sumberdaya manusia untuk mendukung penguatan kelompok masyarakat dan unit pengelola keuangan dan bantuan sistem pelaporan untuk mendukung pelestarian hasil-hasil kegiatan sosial ekonomi produktif. Pada tahun 2002, Kementerian Pertanian juga meluncurkan program yang disebut Proyek Pembangunan Agribisnis berbasis Komunitas (PPABK) melalui Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM). BPLM merupakan design ulang dari BLM dalam konteks desentralisasi yaitu pengelolaan di tingkat kabupaten/kota dengan melibatkan penyuluhan pertanian dalam peningkatan
15 kapasitas petani dalam kredit, seleksi group dan monitoring (Supadi dan Sumedi, 2004). Pada tahun 2003, dengan adanya Program Pemberdayaan Masyarakat Agribisnis melalui Penguatan Modal Kelompok, BPLM lebih difokuskan untuk lebih menitikberatkan pada penguatan modal dalam kelompok tani (Poktan), meneruskan pola perguliran modal dan memperkuat modal kelompok. Program ini untuk mempromosikan kepemilikan dari kelompok dengan menekan pada kontribusi anggota dalam memajukan bisnis, memperkuat monitoring dan menyarankan Dinas dan mitra pembangunan lainnya seperti universitas, NGO serta pihak swasta untuk terlibat (Supadi dan Sumedi 2004). Periode selanjutnya adalah program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM-LUEP). DPM-LUEP merupakan dana talangan tanpa bunga dari APBN yang harus dikembalikan oleh penerima dana tersebut ke kas negara setiap akhir tahun. Tujuan penyelenggaraan kegiatan DPM-LUEP adalah: (1) melakukan pembelian dalam rangka menjaga stabilitas harga gabah/beras yang diterima petani minimal sesuai HPP, (2) mendekatkan petani dan atau kelompok tani terhadap pasar melalui kerjasama dengan LUEP, (3) menumbuhkembangkan dan menggerakkan kelembagaan usaha ekonomi di perdesaan, dan (4) memperkuat posisi daerah dalam ketahanan pangan wilayah. Program DPMLUEP dilaksanakan di sebagian besar provinsi, terutama di provinsi sentra produksi padi. Jumlah provinsi yang mendapatkan DPM selalu meningkat setiap tahun yaitu dari 15 provinsi (2003) menjadi 27 provinsi (2007) (Ashari 2009). Lebih lanjut Kementerian Pertanian meluncurkan Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3). SP3 merupakan skim program untuk meningkatkan akses petani pada fasilitas kredit/pembiayaan dari bank pelaksana melalui mekanisme bagi risiko (risk sharing) antara bank pelaksana dengan pemerintah. Diharapkan dengan SP3 ini dapat membantu kemudahan akses petani pada layanan perbankan melalui jasa penjaminan bagi petani/kelompok tani skala usaha mikro, kecil dan menengah yang tidak mempunyai agunan yang cukup. Pada SP3 ini lima bank pelaksana yang ikut berpartisipasi adalah Bank Mandiri, Bank Syariah, Bank Bukopin, Bank Jatim, dan Bank NTB. Total kredit yang disalurkan bank pelaksana hingga April 2008 tercatat Rp. 421 milyar lebih, dengan jumlah nasabah petani/peternak yang terlayani sebanyak 6.445 subsektor perkebunan mendominasi penyerapan SP3 dengan total dana Rp. 207 milyar dengan 3.818 nasabah. Dengan adanya program penjaminan kredit pemerintah dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR), maka pada akhir tahun 2008, SP3 diintegrasikan dan dileburkan ke dalam KUR tersebut. Pada tahun 2008, melalui adanya kepemimpinan baru di pemerintahan, maka pemerintah melalui Kementerian Pertanian mencanangkan program jangka menengah yang diberi nama Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). PUAP merupakan program terobosan Kementerian Pertanian untuk penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja di perdesaan, sekaligus mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah pusat dan daerah serta antar subsektor. PUAP merupakan bagian dari pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri), yang dikoordinasikan oleh kantor Menko Kesejahteraan Rakyat (Ashari 2009; Sagala 2010; Hermawan dan Hendayana 2012; Kementerian Pertanian 2010a).
16 Program PUAP menyediakan fasilitasi dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Dana BLM ini sebagai tambahan modal usaha untuk mendukung gabungan kelompok tani (Gapoktan). Sasarannya adalah petani anggota, pemilik, penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani. Disamping itu, dengan fasilitasi modal melalui PUAP ini diharapkan mendukung terbentuknya Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) (Kementerian Pertanian 2010a). Keberadaan LKM-A menjadi salah satu solusi dalam mengelola keuangan dan pembiayaan sektor pertanian, utamanya untuk agribisnis berskala kecil di perdesaan (Hermawan dan Andrianyta 2012; Hendayana et al. 2009). Menurut Ashari (2009), lembaga ini yang nantinya berperan menyalurkan pinjaman modal usahatani akan dapat mengatasi keterbatasan modal, karena jasanya relatif kecil sehingga mengurangi ketergantungan petani kepada pelepas uang (rentenir). Lebih lanjut, Hermawan dan Andrianyta (2012) menyatakan tambahan modal usahatani secara normatif akan meningkatkan kemampuan petani menggunakan teknologi sehingga mendorong peningkatan produksi usahatani, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan usahatani, bahkan lebih luas lagi terhadap kesejahteraan petani. Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP) yang dimulai sejak tahun 2008, merupakan terobosan Kementerian Pertanian. Program ini bertujuan untuk: (1) mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui penumbuhan dan pengembangan kegiatan agribisnis di perdesaan sesuai dengan potensi wilayah, (2) meningkatkan kemampuan pelaku usaha agribisnis, pengurus Gapoktan, Penyuluh dan Penyelia Mitra Tani (PMT), (3) memberdayakan kelembagaan tani dan ekonomi perdesaan untuk pengembangan kegiatan usaha agribisnis, dan (4) meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra lembaga keuangan dalam rangka akses permodalan (Kementerian Pertanian 2010a). Adapun sasaran yang ingin dicapai dari pelaksanaan program PUAP, diantaranya: (1) berkembangnya usaha agribisnis di 10.000 desa miskin/tertinggal sesuai dengan potensi pertanian desa, (2) berkembangnya 10.000 Gapoktan/Poktan yang dimiliki dan dikelola oleh petani, (3) meningkatnya kesejahteraan rumah tangga tani miskin, petani/peternak (pemilik dan atau penggarap) skala kecil, buruh tani, dan (4) berkembangnya usaha pelaku agribisnis yang mempunyai usaha harian, mingguan, maupun musiman. Pada dasarnya program PUAP mengemban misi memberdayakan masyarakat perdesaan secara partisipatif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, PUAP merupakan bagian dari pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPMMandiri), yang dikoordinasikan oleh kantor Menko Kesejahteraan Rakyat. PNPM Mandiri ini adalah program pemberdayaan masyarakat yng ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesempatan kerja khususnya di wilayah perdesaan. Kegiatan tahap pertama program PUAP adalah melaksanakan pendidikan dan pelatihan (Diklat) terpadu dari Kementerian Pertanian. Pada tahap ini terdiri dari tiga aspek yaitu diklat kepemimpinan, diklat kewirausahaan dan diklat
17 manajemen. Diklat kepemimpinan diberikan kepada ketua kelompok dan anggota gabungan kelompok tani (Gapoktan) dalam mengelola dan mengarahkan para petani yang menjadi anggota kelompok. Diklat kewirausahaan meliputi pengembangan keterampilan usaha pengolahan hasil tani agar menjadi produk yang bisa memberikan nilai tambah bagi petani tersebut. Selain itu diklat ini juga mengembangkan sikap kreatif dan inovatif yang bisa menumbuhkan ide-ide peluang usaha yang lain bagi petani. Selanjutnya, Diklat Manajemen diberikan kepada pengurus Gapoktan dalam menerapkan prinsip manajemen (planing, organising, actuating, dan controling) pada setiap operasional organisasi Gapoktan. Adapun dana hibah yang digulirkan pada program PUAP ini merupakan sarana untuk menunjang program tersebut agar berjalan dengan baik. Dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) ditujukan untuk memberikan modal kepada kelompok tani. Arus sirkulasi perputaran uang diharapkan dapat berputar secara merata kepada setiap anggota kelompok tani. Dengan dana yang diberikan ini diharapkan Gapoktan atau Poktan memiliki Unit Usaha Otonom yang dikelola secara mandiri dan bertanggungjawab. Untuk mengendalikan pelaksanan PUAP dan membina Gapoktan di setiap propinsi dan kabupaten dibentuk Tim Pembina Propinsi, Tim Teknis Kabupaten, Tim Teknis Kecamatan dan Komite Pengarah Desa. Di setiap desa lokasi PUAP ditempatkan pula Penyuluh Pendamping yang bertugas mendampingi Gapoktan dalam melaksanakan PUAP. Disamping itu di setiap kabupaten/kota lokasi PUAP ditempatkan pula Penyelia Mitra Tani (PMT) yang umumnya telah memiliki pengalaman dalam mengembangkan lembaga keuangan mikro. Penempatan PMT tersebut diharapkan dapat membantu Gapoktan dalam mengelola dana BLMPUAP yang disalurkan sehingga dapat berkembang dan mengarah pada terbentuknya LKM-A. Dalam organisasi Tim Pembina Propinsi, BPTP ditempatkan sebagai Sekretariat PUAP Propinsi yang salah satu tugasnya memfasilitasi penyaluran disamping melaksanakan fungsi kesekretariatan lainnya, dana Biaya operasional Penyeliaan (BOP) dan ATK bagi PMT. Pelaksanaan program PUAP secara substansi terdapat tiga kegiatan pokok yang harus dilaksanakan yaitu: (1) pengembangan kelembagaan Gapoktan, (2) pengembangan kelembagaan LKM yang dikelola Gapoktan, dan (3) pengembangan usaha agribisnis yang dilakukan petani miskin peserta PUAP. Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut Gapoktan memiliki peranan kunci. Untuk mendapatkan dana BLM-PUAP Gapoktan harus mempersiapkan berbagai dokumen yang diperlukan sesuai dengan tata cara pelaksanaan PUAP yang dirumuskan oleh Kementerian Pertanian. Disamping itu Gapoktan harus menyalurkan dana BLM-PUAP kepada petani miskin, mengembangkan dana BLM PUAP yang disalurkan, membentuk kelembagaan LKM, dan memfasilitasi pengembangan usaha agribisnis yang dilakukan petani peserta PUAP kearah yang lebih produktif. Adapun jenis usaha agribisnis yang didorong kearah yang lebih produktif mencakup: (a) kegiatan budidaya (on-farm) di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan; dan (b) kegiatan non budidaya (offfarm) di bidang industri rumah tangga pertanian, pemasaran hasil pertanian skala mikro (bakulan, dll) dan usaha lain berbasis pertanian (Kementerian Pertanian 2012).
18 Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Gapoktan pelaksana Program PUAP merupakan organisasi petani di perdesaan yang dibentuk secara musyawarah dan mufakat untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha, dengan anggotanya terdiri dari petani (pemilik dan atau penggarap), buruh tani dan rumah tangga tani miskin di perdesaan. Gapoktan dibentuk atas dasar: (1) kepentingan yang sama diantara para anggotanya, (2) berada pada kawasan usahatani yang menjadi tanggung jawab bersama para anggotanya, (3) mempunyai kader pengelola untuk menggerakan para petani, (4) memiliki pemimpin yang diterima petani lainnya, (5) mempunyai kegiatan yang dirasakan manfaatnya, dan (6) adanya motivasi dari tokoh masyarakat setempat. Pedoman pembinaan Gapoktan berdasarkan Permentan No 273/Kpts/OT.160/4/2007, yakni diarahkan pada penerarapan sistem agribisnis dan peningkatan peran serta petani (Direktorat Pembiayaan Pertanian 2013). Gapoktan PUAP sebagai suatu organisasi, wajib memiliki: (1) AD/ART, yang disusun berdasarkan kesepakatan anggota, (2) struktur kepengurusan. sebelum dana Rp 100 juta disalurkan, pengurus (ketua Gapoktan) dibekali ilmu dan pengetahuan tentang PUAP melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh Badan Penyuluhan dan Penembangan Sumberdaya Manusia Pertanian (BPPSDMP), (3) Komite Pengawas Desa (KPD) memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai pengarah, tempat konsultasi dan pengawasan, dan (4) tim pembina dan pendamping dari Dinas atau Badan Penyuluhan baik dari provinsi maupun kabupaten, BPTP, PMT dan PP (Kementerian pertanian 2013). MENTERI PERTANIAN TIM PUAP PUSAT BPTP
Tim Pembina Provinsi Tim Teknis Kabupaten/Kota
Penyelia Mitra Tani
Gapoktan/Poktan
Penyuluh Pendamping
Tim Teknis Kecamatan
Usaha Produktif
Gambar 2. Alur pendampingan dan pembinaan Gapoktan/poktan PUAP Sumber: Kementerian Pertanian (2013)
Prinsip penumbuhan/penguatan kelembagaan Gapoktan/Poktan PUAP mencakup: (1) kebutuhan: ditumbuh kembangkan di lokasi potensial yang petaninya memerlukan dukungan fasilitasi permodalan, (2) fleksibel: harus disesuaikan dengan kondisi dan budaya setempat, (3) partisipatif: melibatkan
19 petani, mengakomodasi aspirasi petani, dan mampu membangun rasa kepedulian dan kepemilikan serta proses melalui bekerja bersama, (4) akomodatif: mengedepankan pemenuhan kebutuhan anggota, (5) penguatan: mampu mendorong terjadinya penguatan kapasitas kelembagaan kelompok tani, (6) kemitraan: melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam setiap kegiatan, (7) keberlanjutan: kemampuan organisasi untuk tetap terus berjalan, meskipun sudah tidak ada campur tangan lembaga atau aparat pemerintah dan swasta yang mendukungnya (Hendayana 2011). Pola pendampingan dan pembinaan Gapoktan/Poktan PUAP ditunjukan pada Gambar 2. Terkait dengan kepengurusan Gapoktan, berdasarkan PERMENTAN nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007, bahwa pegurus Gapoktan yang terdiri atas Ketua, Sekretaris dan Bendahara adalah petani anggota yang dipilih dalam rapat anggota berdasarkan AD/ART. Untuk menjalankan fungsi organisasi PUAP, masingmasing pengurus Gapoktan PUAP mempunyai tugas sebagai berikut: 1.
Ketua
Mengkoordinasikan, mengorganisasikan serta bertanggung jawab penuh terhadap seluruh kegiatan PUAP, dengan rincian sebagai berikut: 1. Melaksanakan hasil keputusan rapat anggota, 2. Memimpin rapat pengurus yang dihadiri pengurus poktan, komite pengarah dan penyuluh endamping, 3. Menanda tangani surat menyurat dan dokumen pelaksanaan PUAP (RUB) dan dokumen yang terkait dengan pencairan dana PUAP, 4. Mewakili Gapoktan dalam pertemua dengan pihak lain, 5. Mengkoordinasikan pelaporan dan pertanggung jawaban dana, 6. Memimpin organisasi dan administrasi Gapoktan PUAP. 2.
Sekretaris
Bertugas melaksanakan administrasi kegiatan Gapoktan PUAP, dengan rincian sebagai berikut: 1. Membuat dan memelihara notulen rapat, berita acara, serta dokumen PUAP lainnya, 2. Menyelenggarakan surat menyurat dan pengarsipannya, 3. Menyelenggarakan administrasi dokumen RUB, RUK, RUA, dan kegiatan organisasi lainnya, 4. Menyususn laporan bulanan dan laporan tahunan kegiatan Gapoktan. 3.
Bendahara
Bertugas menangani seluruh kegiatan administrasi keuangan Gapoktan baik penyaluran maupun pengelolaan dana PUAP, dengan rinci sebagai berikut: 1. Melaksanakan penarikan/pencairan dana sesuai dengan jadwal pemanfaatan oleh anggota, 2. Menyalurkan dana BLM PUAP sesuai dengan RUB, RUK dan RUA dan atau jadwal pemanfaatan dana yang diusulkan anggota, 3. Membukukan setiap penyaluran dana PUAP kepada anggota,
20 4. 5.
Menyimpan dan memelihara arsip pembukuan dana PUAP, Menyusun laporan bulanan dan laporan tahunan keuangan Gapoktan PUAP. Kinerja Organisasi Gapoktan
Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Jika dilihat dari asal katanya, kata kinerja adalah terjemahan dari kata performance, yang menurut The Scribner-Bantam English Dictionary, terbitan Amerika Serikat dan Canada (1979), berasal dari kata “to perform” dengan beberapa ”entries” yaitu: (1) melakukan, menjalankan, melaksanakan (to do or carry out, execute), (2) memenuhi atau melaksanakan kewajiban suati niat atau nazar (to discharge of fulfill; as vow), (3) melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab (to execute or complete an understanding), dan (4) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin (to do what is expected of a person machine). Pemahaman tentang kinerja (perfomance) memperlihatkan sampai sejauh mana sebuah organisasi, baik pemerintah, swasta, organisasi laba ataupun nirlaba, menafsirkan tentang kinerja sebagai suatu pencapaian yang relevan dengan tujuan organisasi. Kinerja organisasi merupakan pencapaian hasil (outcome) pada level atau unit analisis organisasi. Kinerja pada level organisasi ini terkait dengan tujuan organisasi, rancangan organisasi, dan manajemen organisasi. Pada konteks ini, hasil dinyatakan bahwa kinerja merupakan catatan hasil yang diproduksi (dihasilkan) atas fungsi pekerjaan tertentu atau aktivitas-aktivitas selama periode waktu tertentu. Pengertian kinerja juga terkait dengan produktivitas dan efektivitas. Produktivitas merupakan hubungan antara jumlah barang dan jasa yang dihasilkan dengan jumlah tenaga kerja, modal, dan sumberdaya yang digunakan dalam produksi itu (Sudarmanto 2009). Secara umum, konsep kinerja organisasi didasarkan pada gagasan bahwa organisasi adalah asosiasi sukarela dari aset produktif, termasuk manusia, sumberdaya fisik dan modal, untuk tujuan mencapai tujuan bersama. Sebagai konsekwensinya, esensi dari kinerja adalah penciptaan nilai. Selama nilai yang diciptakan dengan menggunakan aset, maka kontribusinya sama atau lebih besar dari nilai yang diharapkan oleh petani, aset akan terus tersedia untuk organisasi dan organisasi akan terus eksis. Oleh karena itu, penciptaan nilai, seperti yang didefinisikan oleh penyedia sumberdaya, adalah kriteria kinerja utama secara keseluruhan untuk setiap organisasi (Carton dan Hofer 2010). Lusthaus et al. (2002) mengemukakan bahwa setiap organisasi harus berusaha memenuhi tujuannya dengan pengeluaran yang diterima dari sumberdaya sambil menjamin keberlanjutan jangka panjang. Berarti tugas atau pekerjaan dilakukan secara efektif dan efisien dan tetap relevan dengan stakeholder (pemangku kepentingan). Itulah kinerja organisasi yang harus menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut: (a) bagaimana organisasi efektif dalam bergerak kearah pemenuhan misinya (misalnya: efektivitas program utama, efektivitas harapan klien, efektivitas tanggungjawab fungsional, dan efektivitas memberikan layanan yang bermanfaat), (b) bagaimana organisasi efektif dalam
21 memenuhi misinya (misalnya: persepsi efisiensi prosedur kerja/layanan, mengacu kepada perbandingan biaya produk dan layan, dan peregangan alokasi keuangan), (c) apakah organisasi masih terus relevansinya dari waktu ke waktu (misalnya: adaptasi visi misi, pertemuan stakeholder, kebutuhan beradaptasi dengan lingkungan, dan keberlanjutan dari waktu ke waktu), (d) apakah organisasi secara finansial layak (misalnya: orgaisasi memiliki beberapa sumber dana, sumber pendanaan yang dapat dipercaya dari waktu ke waktu, dan bantuan dana dikaitkan dengan pertumbuhan atau perubahan yang dicapai), dan (e) seberapa baik kinerja organisasi. Pengertian yang dikemukan oleh Lusthaus et al. (2002) tersebut menggambarkan pemahaman kinerja dari asumsi organisasi dan asumsi proses, karena selain menekankan hasil kerja yang diukur dari organisasi sebagai kinerja, juga mempertanyakan bagian-bagian dari proses yang dilaksanakan dalam sebuah organisasi dan memberi penilaian hasil terhadap bagian-bagian proses orgaisasi bila pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab. Berbagai definisi kinerja organisasi yang dikemukakan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja organisasi ialah hasil yang ditunjukkan oleh sebuah organisasi atau tingkat pencapaian pelaksanaan tugas suatu organisasi dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi tersebut. Dengan demikian dapat diketahui bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam kinerja organisasi terdiri atas: (1) hasil-hasil atau evaluasi fungsi pekerjaan, (2) faktorfaktor yang berpengaruh terhadap prestasi karyawan/pegawai seperti motivasi, kecakapan, persepsi peranan, dan sebagainya, (3) pencapaian tujuan organisasi, serta periode waktu tertentu. Untuk mengetahui seberapa besar capaian kinerja dari suatu organisasi, maka perlu dilakukan evaluasi atau penilaian kepada organisasi tersebut. Menurut Wahyuni (2003), pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun suatu proses. Lebih lanjut Robertson dalam Mahmudi (2005) menyatakan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditentukan, termasuk informasi atas efisiensi penggunaan sumberdaya dalam menghasilkan barang atau jasa, kualitas barang atau jasa, perbandingan hasil kerja dengan target dan efektifitas tindakan dalam mencapai tujuan. Pengukuran kinerja sangat ditentukan oleh tujuan yang ideal untuk dicapai, sehingga dalam tahapan pengukurannya harus aktual/nyata dengan mengidentifikasinya terlebih dahulu ke dalam komponen operasional. Kinerja organisasi dapat dilihat dari visi dan misi yang ada, kinerja proses dapat dilihat dari prosedur standar operasional, dan kinerja pegawai dapat dilihat dari petunjuk kerja manual yang ada. Sehingga penggambaran visi dan misi dari suatu organisasi harus mampu menjelaskan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dalam suatu organisasi yang dirumuskan dalam sebuah tugas pokok dan fungsi serta akan menjadi satuan kerja dalam menciptakan aktivitas atau kegiatan pekerja atau pegawai. Dengan demikian kinerja lebih diorientasikan pada pekerjaan itu sendiri dalam memberikan hasil, dampak, dan manfaat bagi masyarakat maupun bagi pegawai itu sendiri.
22 Lusthaus et al. (2002) mengemukakan komponen utama kinerja adalah memahami dengan baik kinerja organisasi melalui pemahaman pencapaian tujuan dengan kesesuaian tujuannya (efektivitas), dan menggunakan sumberdaya yang relatif sedikit dalam melakukannya (efisiensi). Dalam kontek tersebut laba hanya salah satu dari berbagai indikator kinerja sebagai penilaian kinerja. Selanjutnya, Lusthaus et al. (2002) mengidentifikasi beberapa hal dalam organisasi yang berhubungan dengan kinerja, meliputi: (a) kinerja dalam kaitannya dengan efektivitas, (b) kinerja dalam kaitannya dengan efisiensi, (c) kinerja dalam kaitannya dengan relevansi yang sedang berlangsung, dan (d) kinerja dalam kaitannya dengan viabilitas keuangan. Syahyuti (2012) memaparkan dalam hasil penelitiannya bahwa terdapat empat pendekatan atau empat indikator pokok dalam melakukan pengukuran kinerja, sebagai berikut: (1) Kinerja organisasi (organizational performance) yang diukur dari pencapaian utama (major achievements), tingkat produktifiktas organisasi, efisiensi dalam mencapai misinya, perbandingan antara biaya dengan produksi, produktifiktas anggota, efisiensi administrasi, ketersediaan dan dukungan keuangan, dan kemampuan memperoleh keuntungan sepanjang waktu. (2) Kemampuan organisasi tumbuh di lingkungannya (the enabling environment and organizational performance) yang mencakup lingkungan teknologi dan ekologi, geografi, clients organisasi, donor organisasi, penerima manfaat organisasi (beneficiaries), kebijakan, tata peraturan (legislation), pengaturan (regulations), serta tata hukum. (3) Motivasi organisasi (organizational motivation) dengan menganalisis secara mendalam sejarah organisasi, misi organisasi, kultur organisasi (the organizations culture), serta sistem insentif dan penghargaan (incentive and reward system). (4) Kapasitas organisasi (organizational capacity) yakni kekuatan dan kelemahan strategi kepemimpinan (strategic leadership) dalam organisasi, manajemen keuangan, struktur keorganisasian, sarana dan prasarana yang dimiliki organisasi, sistem perekrutan (following systems) serta proses atau dimensi sumberdaya manusia, program dan manajemen pelayanan, manajemen proses, dan hubungan antar organisasi (inter-organizational linkanges). Hal ini senada dengan pernyataan Yustika (2013), bahwa kinerja organisasi bisa dilihat dari dua indikator, yakni efisiensi dan efektivitas. Efisiensi mendeskripsikan seberapa baik pengorganisasian pemanfaatan sumberdaya dalam memproduksi pelayanan, yakni sebuah hubungan antara kombinasi aktual dan optimal dari input yang digunakan untuk memproduksi sejumlah output yang sudah ditetapkan (given bundle of output). Sedangkan efektivitas adalah derajat kesanggupan sebuah sistem untuk mencapai tujuan program melalui kebijakan yang telah ditentukan. Dalam praktiknya, efektivitas berkaitan dengan sejumlah aspek preferensi yang berbeda dari keterkaitan pelayanan dengan tujuan hasil program. Tujuan-tujuan dari program itu antara lain: (1) aksesibilitas atau keterjangkauan (aspek-aspek semacam kesanggupan, representasi di antara kelompok-kelompok yang menjadi prioritas, dan keterjangkauan fisik), (2) kesesuaian (menyocokkan pelayanan dengan kebutuhan masyarakat/client), dan
23 (3) kualitas (proses pertemuan standar yang dibutuhkan atau timbulnya kegagalan pelayanan). Setyarini et al. (2010) menambahkan, analisis efektivitas organisasi Gapoktan sebagai lembaga alternatif permodalan masyarakat, dilihat dari persepsi masyarakat petani khususnya anggota Gapoktan. Persepsi yang bisa digali yakni persepsi terhadap kemudahan mekanisme pengajuan kredit, ketepatan penyaluran kredit, pelayanan, besaran kredit yang diberikan, lama waktu pencairan kredit dan tingkat bunga yang ditetapkan, dilihat dari jangkauan nasabah, perkembangan jumlah nasabah, kredit yng disalurkan, dan tabungan yang berhasil dihimpun. Lebih lanjut, Ishak dan Astuti (2012) memaparkan dalam hasil penelitiannya terkait evaluasi kinerja Gapoktan dalam pengelolaan LKM-A. Ada tiga aspek yang dilihat, diantaranya adalah aspek organisasi, aspek pengelolaan LKM-A, dan aspek kinerja pengelolaan LKM-A. Total skor membedakan kelas Gapoktan dalam pengelolaan LKM-A. Gapoktan Pemula memiliki skor antara 0100, Gapoktan Madya antara 101-200, sedangkan Gapoktan Utama antara 201300. Hasil pengamatan di lima Gapoktan, terdapat tiga Gapoktan masuk ke dalam kelas utama, diantaranya Gapoktan Mesra Jaya (skor 211), Sekar wangi (skor 216), dan Flamboyan Raya (skor 221). Sedangkan dua Gapoktan lainnya masuk ke dalam kelas Madya, diantaranya Gapoktan Wira Tani (skor 179) dan Karya (skor 179). Adapun indikator dan parameter-parameter yang digunakan dalam penelitian Ishak dan Astuti (2012), dalam melakukan penilaian kinerja Gapoktan mengacu pada Kementerian Pertanian (2010b), sebagai berikut: (1) aspek organisasi, meliputi: sudah mempunyai dan memiliki AD/ART Gapoktan, ada pemisahan antara pengurus Gapoktan dan pengelolaan LKM-A, rencana kerja Gapoktan ada, rapat anggota secara berkala, penyelenggaraan RAT, dan Gapoktan sudah berbadan hukum, (2) aspek pengelolaan LKM-A, meliputi: penyaluran untuk usaha pertanian, pembiayaan untuk petani miskin, pengendalian penyaluran dana, pencatatan dan pembukuan, analisa kelayakan usaha anggota, pelaporan, pembinaan usaha anggota (penggunaan sesuai sasaran), mekanisme insentif dan sanksi, dan sarana dan prasarana LKM-A, dan (3) aspek kinerja pengelolaan LKM-A, meliputi: modal keswadayaan Gapoktan, simpanan sukarela, asset yang dikelola, total pinjaman kepada anggota, dan tingkat pembiayaan bermasalah. Terkait dengan pencapaian hasil/kinerja organisasi Gapoktan, yakni salah satu indikator utamanya ialah berdirinya LKM-A. Pendirian LKM-A paling lambat tiga tahun setelah Gapoktan mendapatkan dana Rp 100 juta. LKM-A ini merupakan unit otonom Gapoktan dan memiliki manajemen yang terpisah dari Gapoktan. Bentuk usaha lembaga ini mencakup pelayanan jasa pinjaman/kredit dan penghimpunan dana masyarakat yang terkait dengan persyaratan pinjaman atau bentuk pembiayaan lainnya (Hendayana et al. 2009; Hermawan dan Andrianyta 2012; Kementerian Pertanian 2013). Berdasarkan PERMENTAN Nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007, bahwa kriteria Gapoktan penerima bantuan PUAP adalah antara lain: (1) memiliki SDM yang mampu mengelola usaha agribisnis, (2) mempunyai struktur kepengurusan yang atif, dan (3) dimiliki dan dikelola oleh petani. Untuk kepentingan keberlanjutan program PUAP, maka Gapoktan berfungsi sebagai executing dalam penyaluran dana BLM PUAP. Selain itu kinerja Gapoktan dapat dilihat dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD dan ART). Dikarenakan angaran dasar merupakan aturan dasar yang mengatur masalah-masalah vital yang
24 harus ada pada awal organisasi tersebut terbentuk, seperti landasan organisasi, perangkat-perangkat organisasi, peran dan fungsi organisasi, tujuan organisasi dan keuangan organisasi. Intinya pada anggaran dasar akan dikupas tuntas segala permasalahan terkait definisi dan hal-hal mendasar yang menjadi acuan dalam sebuah organisasi. Sudangkan anggaran rumah tangga yaitu sebuah peraturan yang digunakan pada saat pelaksanaan lebih mengarah kepada teknis maupun tata cara pelaksanaan kegiatan dasar pada sebuah organisasi, seperti wewenang ketua, pembubaran, syarat-syarat keanggotaan, dan lain-lain. Selayaknya suatu organisasi, Gapoktan haruslah mempunyai catatan-catatan tertulis terntang segala aktivitas organisasi yang tertata rapi. Secara garis besar, jati diri dan aktivitas Gapoktan sudah tertuang dalam AD/ART. Adapun fungsi AD/ART yaitu merupakan landasan kerja dan landasan gerak dalam mewujudkan visi dan misinya. AD/ART merupakan undang-undang dasar dalam setiap organisasi. AD/ART memuat semua peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan dan dipatuhi oleh suatu organisasi. Ad/ART dibuat dan ditentukan oleh orangorang yang berkecimpung dalam organisasi tersebut. Pendapatan Usahatani Padi Pendapatan adalah hasil dari usahatani, yaitu hasil kotor (bruto) dengan produksi yang dinilai dengan uang, kemudian dikurangi dengan biaya produksi dan pemasaran sehingga diperoleh pendapatan bersih usahatani (Mubyarto 1994). Sedangkan menurut Mosher (1987), pendapatan di bidang pertanian adalah produksi yang akan dinyatakan dalam bentuk uang setelah dikurangi dengan biaya selama kegiatan usahatani. Produksi dinyatakan dalam bentuk fisik (output) yang dihasilkan melalui proses biologis dari hewan ataupun tumbuhan. Ditambahkan oleh Hendriksen (1993), bahwa konsep dasar pendapatan adalah merupakan proses arus, yaitu penciptaan barang dan jasa oleh perusahaan selama jarak waktu tertentu. Selain itu Prayitno dan Arsyad (1997), menambahkan bahwa pendapatan petani dari usahataninya dapat diperhitungkan total penerimaan yang berasal dari nilai pengeluaran. Nilai pengeluaran ini terdiri atas: (1) pengeluaran untuk input, misalnya bibit, pupuk, pestisida, (2) pengeluaran untuk upah tenaga kerja luar dan keluarga, (3) pengeluaran untuk pajak, iuran air, bunga kredit. Menurut Soekartawi (2003), menyatakan bahwa pendapatan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) pendapatan kotor, yaitu pendapatan yang diterima dari seluruh hail penjualan barang dan produksi, (2) pendaptan bersih, yaitu selisih antara pendapatan kotor dengan pengeluaran atau biaya produksi. Selanjutnya Soedarsono (1995) menyatakan pendapatan yang diterima petani dari suatu hasil produksi adalah total penerimaan dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Menurut Soeharjo dan Patong (1973) bahwa pendapatan usahatani merupakan selisih antara biaya yang dikeluarkan dengan penerimaan yang diperoleh. Tujuan utama dari analisis pendapatan adalah menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Analisis pendapatan usahatani sangat bermanfaat bagi petani untuk mengukur tingkat keberhasilan usahanya. Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua keterangan pokok, yaitu keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran selama jangka waktu tertentu. Penerimaan merupakan total nilai produk yang dihasilkan dari hasil perkalian
25 antara jumlah produk yang dihasilkan dengan harga dari produk tersebut. Sedangkan pengeluaran atau biaya merupakan semua pengorbanan sumberdaya ekonomi dalam satuan uang yang diperlukan untuk menghasilkan suatu output dalam satu periode peroduksi. Penerimaan usahatani dapat terbentuk tiga hal, yakni: (1) hasil penjualan tunai (seperti tanaman pangan, ternak, ikan, dan lain sebagainya), (2) produk yang dikonsumsi keluarga petani, dan (3) kenaikan hasil inventaris selisih nilai akhir tahun dengan nilai akhir tahun (Prihartono 2009). Sementara itu, pengeluaran usahatani meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap (variabel). Bentuk pengeluaran dalam usahatani berupa pengeluaran tunai dan pengeluaran yang diperhitungkan. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran yang dibayarkan menggunakan uang tunai, seperti biaya pengadaan sarana produksi usahatani dan pembayaran upah tenaga kerja luar keluarga, sedangkan pengeluaran yang diperhitungkan adalah pengeluaran yang digunakan untuk memperhitungkan nilai pendapatan kerja petani apabila nilai kerja keluarga diperhitungkan (Prihatono 2009). Terkait penelitian terhadap PUAP, serangkaian studi yang dilaksanakan di beberapa wilayah Indonesia telah menghasilkan bukti-bukti empiris menunjang peran PUAP terhadap peningkatan produksi dan pendapatan usahatani. Menelaah dampaknya terhadap produksi, sebagai contoh diperoleh bukti bahwa dengan adanya dana BLM PUAP, petani sawah terbantu untuk pengadaan pembelian pupuk, bibit, sewa traktor, maupun membayar upah tenaga kerja. Sehingga penanganan pertanian bisa tepat waktu dan dosis. Terlaksananya kegiatan produksi tepat waktu dan dosis dapat meningkatkan produktivitas usahatani padi (Suanggana 2011). Hal senada juga dipaparkan Nursyamsiah (2010). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa usahatani padi yang dikelola oleh petani setelah adanya tambahan modal usaha dari PUAP, menyebabkan produktivitas padi yang dihasilkan per hektar lebih banyak 333,6 kg dibanding dengan petani non penerima PUAP. Disamping itu, serangkaian penelitian tersebut juga memberikan bukti-bukti akan adanya hubungan yang kuat antara tambahan modal melalui PUAP dengan peningkatan pendapatan usahatani. Penelitian Maria (2009); Prihartono (2009); Sagala (2010); Suyadi et al. (2012); Widya (2012); Nursyamsiah (2010); Erna et al. (2014), disebutkan bahwa pemberian bantuan tambahan modal pada usahatani padi melalui program PUAP memberikan pengaruh positif dan nyata terhadap peningkatan produksi dan pendapatan usahatani. Peningkatan rata-rata pendapatan mencapai 12,86% – 65,8%. Hal ini sejalan dengan teori Suwadjono (2005), yang mengungkapkan bahwa pendapatan suatu usaha tergantung dari modal yang dimiliki. Jika modal besar maka hasil produksi tinggi sehingga pendapatan yang didapat juga tinggi. Begitu sebaliknya, jika modal kecil maka hasil produksi rendah sehingga pendapatan yang diperoleh rendah. Dari teori tersebut terbukti bahwa pendapatan dipengaruhi oleh modal yang dimiliki. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dimaknai bahwa pelaksanaan PUAP berbasis fasilitasi bantuan modal kerja pada dasarnya dapat memberikan dampak positif bagi petani, utamanya dalam mendukung peningkatan kinerja kelembagaan ekonomi petani serta mampu meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani di perdesaan. Namun demikian, kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah diharapkan selayaknya tidak menciptakan ketergantungan petani akan hal bantuan
26 atau subsidi. Sudah seharusnya benar-benar dilaksanakan dan dimanfaatkan dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab oleh semua pihak yang terkait, sehingga tujuan yang sudah ditetapkan dapat tercapai, utamanya hal kemandirian dan pemberdayaan petani, serta upaya peningkatan usahatani kearah yang lebih produktif.
3 KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Kinerja Organisasi Gapoktan Setiap organisasi akan berusaha untuk mencapai tujuannya yang disesuaikan dengan sumberdaya yang dimilikinya. Kinerja organisasi yang baik (good performance) adalah apabila semua bagian organisasi bekerja secara benar, efektif, dan efisien, untuk mencapai tujuan tersebut. Pelaksanaan Program PUAP, selain melalui fasilitasi bantuan modal usaha atau modal kerja, juga menerapkan metode pendampingan dan pelatihan kepada pegurus dan anggota Gapoktan. Secara operasional, pelatihan dan pendampingan ini melibatkan Penyuluh Pertanian (PP) dan Penyelia Mitra Tani (PMT). Penyuluh petanian bertindak sebagai fasilitator agar Gapoktan mampu mengambil keputusan sendiri, dengan jalan membantu: (1) mengidentifikasi potensi wilayah, (2) mengidentifikasi dan menganalisa pasar, (3) mengidentifikasi potensi usaha, (4) mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan, dan (5) pengambilan keputusan di tingkat Poktan dan Gapoktan (Kementerian Pertanian 2011). Sedangkan Penyelia Mitra Tani (PMT) lebih difokuskan untuk mendorong tumbuhnya lembaga ekonomi perdesaan dari unit simpan pinjam (USP) menjadi lembaga keuangan mikro agribisnis (LKM-A). PMT bersama Penyuluh Pertanian (PP) melakukan pertemuan dalam rangka pembinaan dengan Gapoktan. Selain itu PMT berkewajiban pula untuk melakukan pertemuan regular dengan PP untuk membantu memecahkan masalah di tingkat Gapoktan dan memantau usaha agribisnis Gapoktan (Kementerian Pertanian 2012). Kemampuan komunikasi yang sinergis dari PMT dan PP, melalui sarana pelatihan-pelatihan merupakan salah satu kunci keberhasilan Gapoktan beserta anggotanya, dalam proses diseminasi dan alih teknologi spesifik lokasi. Ke depan, tugas PMT dan PP lebih berorientasi untuk memfasilitasi Gapoktan dengan pemangku kepentingan seperti: (1) mendorong kerjasama kemitraan antara unit lembaga keuangan mikro Gapoktan dengan bank atau lembaga keuangan, (2) mendorong kerjasama kemitraan antara Gapoktan dengan mitra usaha, (3) menyiapkan Penyelia Swadaya (PS) dan manajer LKM-A, dan (4) membantu Gapoktan untuk mendapatkan fasilitasi dasar hukun (legalitas) dengan menggunakan Undang-Undang Koperasi. Upaya peningkatan kinerja organisasi Gapoktan pelaksana PUAP yang dilakukan saat ini, melalui pertemuan kelompok. Berdasarkan AD/ART Gapoktan PUAP, kegiatan pertemuan kelompok direncanakan setiap bulan atau triwulan dengan tujuan pertemuan untuk mendapatkan pengembalian/pemberian pinjaman, pemupukan modal dari anggota, pelatihan pengelolaan keuangan, pembentukan LKM-A dan usaha ekonomi produktif dengan fasilitator PMT dan PP. Disamping
27 itu, mendapatkan tambahan pelatihan dan pendampingan PTT Padi dari BPTP, Dinas Pertanian (POPT dan PBT) dan PP. Materi pertemuan kelompok sesuai dengan Petunjuk Teknis (Juknis) antara lain: (1) teknik pengolahan tanah yang disesuaikan dengan tipologi lahan dan komoditi yang akan ditanam, (2) penanaman dengan memilih benih atau bibit yang baik, jarak tanam yang tepat, jumlah bibit per lubang yang sesuai, (3) pemupukan dengan memperhatikan daya dukung tanah, keadaan tanaman, tepat jenis dan dosis yang spesifik lokasi, tepat waktu pemberian didasarkan pada fase pertumbuhan dan sifat pupuk, (4) pengelolaan air didasarkan pada kebutuhan tanaman akan air, cara dan waktu yang tepat, ketersediaan sumber air dan jumlah air, (5) pengendalianan OPT didasarkan pada prinsip PHT dengan melakukan tindakan pencegahan dan mengembangkan musuh alami serta aplikasi kimiawi secara bijaksana, dan (6) penanganan panen dan pasca panen dilakukan dengan cara yang tepat dan benar dengan mempertimbangkan kemasakan biji, ketepatan dalam penggunaan alat panen, pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan sehingga mampu mengurangi senjang hasil (Ditjen Tanaman Pangan 2013). Lebih lanjut Ditjen Tanaman Pangan (2013) memaparkan bahwa pengawalan dan Pendampingan SL-PTT dilakukan oleh peneliti BPTP didukung oleh peneliti UK/UPT Lingkup Badan Litbang Pertanian, guna meningkatkan pemahaman dan akselerasi adopsi PTT dengan menjadi narasumber pada pelatihan, penyebaran informasi, melakukan uji adaptasi varietas unggul baru, demplot, dan supervisi penerapan teknologi. Sementara pengawalan dan pendampingan oleh penyuluh adalah kegiatan yang dilakukan guna meningkatkan penerapan teknologi spesifik lokasi sesuai rekomendasi BPTP dan secara berkala hadir di lokasi khususnya lokasi LL dalam rangka pemberdayaan kelompok tani sekaligus memberikan bimbingan kepada kelompok dalam penerapan teknologi. Pemberdayaan kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan, akan memiliki dampak positif, diantaranya: (1) petani yang sebelumnya menjual gabah menjadi petani yang menjual produknya dalam bentuk beras, (2) dengan menjual beras keuntungan petani akan meningkat jika dibandingkan dengan menjual dalam bentuk gabah, karena harga beras relatif lebih stabil dibanding harga gabah, (3) dengan adanya peningkatan pendapatan petani maka akan terjadi pula perbaikan dalam pengelolaan tanaman padinya, terutama dalam hal mutu bibit dan dosisi pupuk yang lebih baik, sehingga gairah berproduksi padi akan lebih meningkat, (4) dengan meningkatnya gairah berproduksi dan dengan teknologi yang tepat guna maka produksi padi akan meningkat, (5) apabila ditiap kelompok tani memiliki penggilingan padi mini dan petani sudah minded menjual beras maka data produksi beras di tingkat kelompok tani akan mendekati realita, mudah didapat dan pada gilirannya data produksi beras nasional akan lebih valid, (6) hasil keuntungan dari jasa pengeringan gabah dan penggilingan padi menjadi beras merupakan sumber penguatan modal di tingkat kelompok tani (Poktan), (7) Poktan yang semakin kuat dan legal akan memudahkan mengakses pada sumbersumber permodalan utamanya yang diperuntukkan program UKM, (8) dengan semakin bertambahnya modal usaha di tingkat Poktan tersbut akan menumbuhkan berbagai kegiatan ekonomi baru di perdesaan, dan (9) dengan tumbuh dan berkembangnya kegiatan ekonomi di perdesaan maka akan menambah lapangan kerja di perdesaan dan dapat mengurangi laju urbanisasi.
28 Pelaku agribisnis ini adalah organisasi kelompok tani padi yang pada umumnya berbentuk Gapoktan. Kegiatannya meliputi seluruh aspek pengelolaan usahatani padi, aspek permodalan, penyediaan saprodi, dan pemasaran hasil. Setelah unit usaha simpan pinjam yang dikelola Gapoktan berubah menjadi lembaga usaha agribisnis dalam wadah kegiatan LKM-A maka penggerak utama industri perberasan terletak pada LKM-A yang didukung dana dari perbankan atau sumber dana lain yang memiliki keberpihakan. Untuk melihat peran PUAP terhadap kinerja organisasi Gapoktan dilakukan pengukuran terhadap atribut kinerja Gapoktan. Atribut yang digunakan untuk mengukur kinerja Gapoktan dalam penelitian ini, yakni mengintegrasikan atribut kinerja dari Syahyuti (2012), Yustika (2013) dan Kementerian Pertanian (2010b). Dimana atribut kinerja Gapoktan terdiri atas: (1) aspek efektivitas organisasi, (2) aspek efisiensi organisasi, (3) aspek kesesuaian (appropriateness), dan (4) aspek pencapaian (outcome) kemandirian keuangan organisasi. Lingkup Ke empat atribut tersebut didalamnya meninjau aspek organisasi, aspek manajemen keuangan, dan aspek kinerja pengelolaan usaha simpan pinjam/LKM-A. Konsep Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani adalah pendapatan yang berasal dari kegiatan usahatani setiap tahun (Makeham dan Malcolm 1991). Pendapatan usahatani adalah keuntungan yang diperoleh petani dengan mengurangkan biaya yang dikeluarkan selama proses produksi dengan penerimaan usahatani. Tujuan utama dari analisis pendapatan adalah menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani adalah luas usahatani, efisiensi kerja, dan efisiensi produksi. Luas usahatani yang sempit dapat mengakibatkan produksi per satuan luas yang tinggi tidak dapat tercapai. Sementara efisiensi kerja dan efisiensi produksi yang tinggi menyebabkan pendapatan petani semakin tinggi. Menurut (Soekartawi et al. 1986), penerimaan usahatani adalah suatu nilai produk total dalam jangka waktu tertentu, baik untuk dijual maupun untuk dikonsumsi sendiri. Penerimaan ini mencakup semua produk yang dijual, konsumsi rumah tangga petani, untuk pembayaran dan yang disimpan. Pengeluaran atau biaya usahatani merupakan nilai penggunaan sarana produksi dan lain-lain yang dibebankan pada produk yang bersangkutan. Selain biaya tunai yang harus dikeluarkan ada pula biaya yang diperhitungkan, yaitu nilai pemakaian barang dan jasa yang dihasilkan dari usaha itu sendiri. Biaya yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani kalau modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan. Menurut Hernanto dalam Ferdiansyah (2004) biaya produksi dalam usahatani dapat dibedakan berdasarkan: 1. Berdasarkan jumlah output yang dihasilkan terdiri dari : a. Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi, misalnya: pajak tanah, sewa tanah, penyusutan alatalat bangunan pertanian, dan bunga pinjaman.
29 b. Biaya variabel adalah biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah produksi, misalnya : pengeluaran untuk benih, pupuk, obat-obatan, dan biaya tenaga kerja. 2. Berdasarkan yang langsung dikeluarkan dan diperhitungkan terdiri atas: a. Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai. Biaya tetap misalnya: pajak tanah dan bunga pinjaman, sedangkan biaya variabel misalnya pengeluaran untuk benih, pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja luar keluarga. Biaya tunai ini berguna untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki oleh petani. b. Biaya tidak tunai (diperhitungkan) adalah biaya penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan milik sendiri (biaya tetap), dan tenaga kerja dalam keluarga (biaya variabel). Biaya tidak tunai ini melihat bagaimana manajemen suatu usahatani. Pendapatan usahatani yang diterima seorang petani dalam satu tahun berbeda dengan pendapatan yang diterima petani lainnya. Perbedaan pendapatan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor ini ada yang masih dapat diubah dalam batasan-batasan kemampuan petani dan ada faktor yang tidak bisa diubah yaitu iklim dan tanah. Pendapatan yang besar tidak selalu menunjukkan efisiensi yang tinggi, karena ada kemungkinan pendapatan yang besar itu diperoleh dari investasi yang berlebihan. Oleh karena itu, analisis pendapatan usahatani selalu diikuti dengan pengukuran efisiensi. Ukuran efisiensi pendapatan dapat dihitung melalui perbandingan penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan (R/C) yang menunjukkan berapa penerimaan yang diterima petani untuk setiap biaya yang dikeluarkan petani dalam proses produksi. Untuk melihat peran PUAP terhadap pendapatan usahatani padi, dilakukan dengan membandingkan tingkat keuntungan yang diperoleh antara usahatani padi pada petani PUAP dengan petani non PUAP. Pengaruh Kinerja Gapoktan terhadap Pendapatan Usahatani Padi Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi. Kinerja juga dapat dikatakan sebagai perilaku berkarya, penampilan, atau hasil karya. Karena itu kinerja merupakan bentuk yang multidimensional, sehingga cara mengukurnya sangat bervariasi tergantung dari banyak faktor. Kelembagaan petani di perdesaan memiliki peran yang strategis dalam peningkatan pemberdayaan masyarakat desa dalam hal ini para petani. Kelembagaan merupakan himpunan norma-norma dan tindakan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok kehidupan bersosial masyarakat, dan membentuk piranti sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia ketika bersosialisasi dalam masyarakat. Kelembagaan didefinisikan sebagai aturan-aturan sosial, kesepakatan (conventions), dan elemen lain dari struktur kerangka kerja interaksi sosial (Bardhan 1989). Namun kelembagaan bisa pula dimaknai sebagai regulasi perilaku yang secara umum diterima oleh anggota-anggota kelompok sosial, untuk perilaku spesifik dalam situasi yang khusus, baik yang bisa diawasi sendiri maupun dimonitor oleh otoritas luar (external authority) (Rutherford 1994).
30 Manig (1991) mencatat bahwa kelembagaan merefleksikan sistem nilai dan norma dalam masyarakat, tetapi nilai dan norma itu bukanlah kelembagaan itu sendiri. North (1994) memaknai kelembagaan sebagai aturan-aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia (human devised) untuk membangun struktur interaksi politik, ekonomi, dan sosial. Dalam pengertian yang kurang lebih sama, Yeager (1999) secara ringkas menjelaskan kelembagaan sebagai aturan main (rules of the game) dalam masyarakat. Aturan main tersebut mencakup regulasi yang memapankan masyarakat untuk melakukan interaksi. Kelembagaan dapat mengurangi ketidakpastian yang inheren dalam interaksi manusia melalui penciptaan pola perilaku (Pejovich 1995). Kelembagaan merupakan unsur terpenting dari pencapaian kemajuan ekonomi di suatu negara. Kondisi geografis yang baik, sumberdaya alam yang melimpah, teknologi yang memadai, dan penduduk yang bermutu sangat mungkin menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Namun semua itu tidak bisa menjadi pemicu kesejahteraan apabila tidak dipandu dengan sistem kelembagaan ekonomi yang baik. Inilah yang terjadi dibanyak negara berkembang, sehingga seluruh potensi ekonominya menjadi mubazir dan terjerembab dalam keterbelakangan atau kemiskinan yang terus menerus. Menurut Ikhsan (2000), kelembagaan memiliki sumbangan yang penting dalam pembangunan ekonomi mengingat adanya kegagalan pasar sebagai akibat mahalnya informasi dan pelaku pasar tidak menggunakan semua informasi yang diperoleh atau tidak mampu diperoleh. Ketidaksempurnaan informasi dan keterbatasan kapasitas untuk mengolah informasi akan mempengaruhi biaya transaksi yang mendasari pembentukan kelembagaan. Biaya transaksi muncul akibat informasi mahal dan asimetris. Biaya yang muncul bukan hanya untuk menjamin terjadinya transaksi, melainkan juga biaya monitoring dan penegakan. Pelaku ekonomi yang menguasai informasi dapat dengan mudah meraih keuntungan karena kelembagaan merupakan modal sosial yang sebagaimana faktor produksi lain seperti modal, tenaga kerja, dan teknologi, serta human capital ikut menentukan tingkat output atau kesejahteraan dari suatu negara. Kasus dalam sektor finansial merupakan salah satu contoh tentang bagaimana pentingnya kelembagaan dalam pembangunan ekonomi. Masalah-masalah ketidaksempurnaan informasi ini muncul hampir di setiap kegiatan ekonomi selama terdapat potensi kegagalan mekanisme pasar yang diakibatkan oleh eksternalitas produksi, eksistensi barang publik, ketidaksempurnaan pasar, hidden action dan hidden type, dan unforeseen contingencies. Jadi, kelembagaan hadir bukan untuk meniadakan (mekanisme) pasar, tetapi memastikan pasar berjalan dengan rambu-rambu yang jelas sehingga seluruh pelaku ekonomi memeroleh akses yang sama dan kepastian dalam berusaha. Lebih eksplisit, Acemoglu dan Robinson (2012) menyebutkan bahwa kelembagaan merupakan sumber penting yang menentukan suatu negara/bangsa gagal atau maju perekonomiannya. Negara yang kelembagaannya mapan atau inklusif (inclusive economic institutions) cenderung kinerja ekonominya bagus. Negara ini ditandai antara lain oleh adanya kelembagaan hak kepemilikan privat yang aman, sistem hukum yang tidak bias, dan penyediaan layanan publik yang luas. Kelembagaan yang memiliki kinerja yang baik (good perfomance) dicirikan oleh tiga hal berikut (Acemoglu 2003): Pertama, pemaksaan terhadap hak
31 kepemilikan (enforcement of property right). Adanya hak kepemilikan di dalam masyarakat akan memberikan insentif bagi individu untuk melakukan kegiatan ekonomi, misalnya investasi. Kedua, membatasi tindakan-tindakan para politisi, elite, dan kelompok-kelompok berpengaruh lainnya yang berupaya memeroleh keuntungan ekonomi tanpa prosedur yang benar, seperti perilaku mencari rente (rent-seeking behavior). Ketiga, memberi kesempatan yang sama (equal opportunity) bagi semua individu untuk mengerjakan aktivitas ekonomi/investasi, khususnya dalam meningkatkan kapasitas individu (human capital) maupun berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif. Pengembangan kelembagaan yang baik dapat memberikan peranan yang lebih besar dan seimbang bagi semua unsur yang terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan. Menurut Peters (2000) terdapat dua jenis perubahan kelembagaan yaitu: (1) pengembangan internal (institutionalization) melalui empat faktor yaitu otonomi (dapat mengimplementasikan keputusanya sendiri), kemampuan beradaptasi dengan adanya perubahan dari lingkunganya, kompleksitas (kapasitas institusi dalam membangun struktur internal yang dapat memenuhi tujuan), dan koherensi (kapasitas institusi untuk dapat mengelola beban kerja dan mengembangkan prosedur kerja), dan (2) perubahan dalam nilai dan struktur, yang meliputi perubahan isi dan atau kandungan dari institusi dan apa yang dipercaya/dianut oleh institusi. Secara praktikal, aturan main (kelembagaan) yang tersedia dalam kegiatan ekonomi akan menentukan seberapa efisien hasil ekonomi yang didapatkan, sekaligus menentukan seberapa besar distribusi ekonomi yang diperoleh oleh masing-masing partisipan. Pada kontek ini bisa dikatakan kelembagaan mempunyai pengaruh terhadap pencapaian ekonomi. Sementara itu, dalam jangka waktu tertentu, pencapaian ekonomi yang diperoleh partisipasinya akan menentukan pandangan terhadap aturan main yang digunakan saat ini. Bila dipandang kelembagaan sekarang tidak efisien, misalnya gagal mencapai pertumbuhan ekonomi maupun kedap dalam membagi kesejahteraan antarpelakunya, maka hasrat untuk mengubah kelembagaan (institusional change) dipastikan akan terjadi. Chang (2011) juga memberikan penjelasan bahwa program pembangunan ekonomi bisa mengubah kelembagaan melalui beberapa pintu berikut. Pertama, peningkatan kesejahteraan akibat pertumbuhan ekonomi menciptakan permintaan terhadap kelembagaan yang lebih bermutu, misalnya permintaan kelembagaan politik yang lebih transparan dan akuntabel. Kedua, kesejahteraan yang lebih baik juga memicu terwujudnya kelembagaan menjadi lebih terjangkau, dan Ketiga, pembangunan ekonomi menciptakan agen-agen perubahan baru (new agen of change). Pernyataan Chang (2011), Acemoglu (2003), dan Ikhsan (2000) yang sudah diuraikan sebelumnya, jika dilihat benang merahnya, senada layaknya pelaksanaan PUAP, yakni menghendaki adanya perubahan dalam kelembagaan petani di perdesaan, tercapainya efektivitas dan efisiensi kelembagaan, sehingga mampu meminimalisir biaya transaksi, dan pada akhirnya berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan antar pelaku utamanya (petani). Kelembagan petani yang ada saat ini berbentuk Gapoktan, didalamnya terdiri atas petani-petani yang terhimpun dalam poktan-poktan. Sama halnya dengan konsep kelembagaan yang sudah diuraikan sebelumnya, dimana dalam Gapoktan, adanya aturan main (rules
32 of the game), dengan demikian individu-individu petani diikat oleh masyarakat melalui norma-norma dan nilai-nilai, sehingga petani cenderung bertindak secara kolektif dibandingkan secara pribadi (Prasad 2003). Dalam konsep PUAP, Gapoktan ini berspesialisasi sebagai lembaga keuangan untuk menyediakan kredit kepada masyarakat tani “miskin” di perdesaan (rumah tangga petani perdesaan yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar) agar terjadi perubahan kehidupan ekonomi yang lebih baik. Implementasinya, Gapoktan berperan sebagai lembaga keuangan informal, bukan hanya sekedar menyediakan uang (cash) untuk keperluan transaksi, tetapi kadang-kadang memberikan bantuan dalam bentuk barang (in-kind) seperti input produksi. Dengan karakter yang fleksibel, biasanya lembaga keuangan infromal ini memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup di wilayah perdesaan. Lebih lajut, kehadiran Gapoktan di perdesaan mencoba menjawab keterbatasan aksesibilitas masyarakat tani utamanya terhadap sumber permodalan. Mengingat lembaga formal dan semi-formal memiliki ciri penting yang tertuang dalam bentuk sistem kontrak (contract system). Kontrak tersebut berisi tentang hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, misalnya persyaratan agunan (collateral), model pembayaran (repayment), dan sanksi (punishment) apabila salah satu pihak ingkar terhadap kesepakatan. Sebaliknya lembaga keuangan informal bersifat sangat cair, hubungan antara kreditor dan debitor bersifat personal, dan nyaris tidak ada persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Bahkan, mekanisme kredit sama sekali tidak menggunakan sistem kontrak, karena biasanya tidak ada persyaratan agunan maupun sanksi. Dengan karakteristik yang dimiliki Gapoktan sebagai lembaga keuangan informal, biasanya lebih mudah diterima oleh masyarakat perdesaan. Menurut Kasryno (1984), kelembagaan kredit informal sangat berkembang dalam masyarakat perdesaan akibat belum terjangkaunya pelayanan kredit dari lembaga keuangan formal (bank) bagi sebagian besar masyarakat tani di perdesaan, terutama petani kecil dan buruh tani yang selalu memerlukan kredit dengan pelayanan yang terjangkau oleh petani. Sejalan dengan format penumbuhan Gapoktan menjadi kelembagaan tani di perdesaan sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor: 273/Kpts/OT.160/4/2007, maka Gapoktan penerima BLM PUAP harus menunjukkan bahwa lembaga ini mampu mengelola dan mengembangkan usahataninya menjadi lembaga ekonomi ataupun lembaga keuangan mikro agribisnis. Kemudian lembaga ini menjadi salah satu unit usaha dalam Gapoktan sehingga dapat mengelola dan melayani pembiayaan bagi petani anggota secara berkelanjutan. Gapoktan diharapkan dapat berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi, pemasaran produk pertanian dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani. Tujuan utama pembentukan dan pemberdayaan Gapoktan adalah untuk memperkuat kelembagaan petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah kepada petani akan terfokus dengan sasaran yang jelas (Kementerian Pertanian 2011). Pengaruh Kredit terhadap Pendapatan Usahatani Padi Modal merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting keberadaannya dalam usahatani padi. Keterbatasan modal masih menjadi
33 permasalahan yang sering dihadapi oleh rumahtangga petani, dan kebutuhan modal usahatani akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya harga input pertanian, seperti benih, pupuk, obat-obatan dan upah tenaga kerja. Sumber modal untuk usahatani padi terdiri atas modal sendiri dan modal dari luar (kredit). Menurut Mosher (1987), kredit merupakan salah satu faktor pelancar pembangunan pertanian. untuk meningkatkan hasil produksi, petani membutuhkan modal yang besar supaya dapat menggunakan teknologi usahatani secara optimal. Namun, adopsi teknologi pada umumnya relatif mahal dan petani kecil tidak mampu untuk membiayai teknologi tersebut, akibatnya pemanfaatan teknologi pertanian sangat rendah. Oleh sebab itu dengan pemberian kredit perdesaan diharapkan akan mempercepat produksi pertanian dan produktivitas, dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani. Tambahan modal yang berasal dari pinjaman/kredit akan dapat mengembangkan kegiatan petani dalam usahataninya. Terhadap program dana BLM PUAP, petani dapat memandangnya sebagai volume effect, yaitu pinjaman petani untuk memperbesar modal tetap (fixed cost). Hal ini berarti petani akan mampu mengadakan input produksi (benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja) kearah yang lebih baik (sesuai rekomendasi). Sehingga akan menambah kemampuannya dalam melakukan aktivitas usahatani. Dengan demikian, kemungkinan kemampuan untuk meningkatkan produksi juga semakin lebih tinggi, begitu juga halnya dengan tingkat pendapatan yang diperoleh dalam usahatani padi. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian, dalam memberikan penawaran (supply) tambahan modal kepada petani, bermaksud untuk menghasilkan produksi usahatani yang dikelolanya lebih baik (meningkat). Dengan kata lain, mendorong usaha agribisnis kearah yang lebih produktif. Hal ini berdasarkan anggapan bahwa rendahnya produksi yang dicapai oleh petani selama ini, karena rendahnya tingkat pemilikan uang tunai (modal) oleh petani, yang digunakan untuk membeli input produksi. Selama penggunaan input itu masih berada pada tingkat produksi rata-rata yang meningkat, maka input itu masih dapat ditingkatkan sampai produk rata-rata mulai menurun dan produk marjinal lebih besar dari nol, yaitu di daerah pada tingkat usaha yang rasional. Beberapa penelitian mengenai dampak kredit diantaranya adalah hasil penelitian Biswanger dan Khandker (1995) yang menunjukkan bahwa dampak pemberian kredit formal di perdesaan India mampu meningkatkan pendapatan dan produktivitas. Pitt dan Khandker (1998) menyimpulkan bahwa program kredit telah berdampak meningkatkan taraf hidup keluarga miskin di Bangladesh. Pemberian kredit berdampak positif pada tingkat individu maupun rumah tangga seperti partisipasi sekolah anak, kepemilikan asset, penyediaan tenaga kerja, penggunaan alat kontrasepsi dan fertilitas. Sedangkan hasil penelitian Khandker dan Faruqee (2000) yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan bahwa pemberian kredit skala kecil secara signifikan mampu berperan dalam penanggulangan kemiskinan dan memiliki kontribusi dalam mengurangi tingkat kerentanan (vulnerability) terhadap kemiskinan. Jadi dengan kata lain ada korelasi yang cukup erat antara pemberian kredit dan penurunan tingkat kemiskinan. Kredit yang diambil oleh rumah tangga petani digunakan untuk produksi dan konsumsi. Kredit dapat meningkatkan konsumsi langsung yaitu rumah tangga petani dapat memenuhi kebutuhan konsumsi lebih banyak, dan secara tidak
34 langsung dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui penggunaan konsumsi yang diperlukan untuk mempertahankan kekuatan fisik seseorang. Kredit digunakan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan yang pada gilirannya membantu meningkatkan konsumsi. Oleh karena itu, konsumsi dapat mengukur manfaat dari kredit, yang merupakan indikator kesejahteraan jangka pendek. Pengaruh tambahan modal usahatani/kredit disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4. Pada Gambar 3, menunjukkan bahwa kondisi sebelum adanya tambahan modal/kredit untuk usahatani padi sawah, responden mengalami keterbatasan modal usahatani, yang ditunjukkan oleh kurva garis anggaran awal (Isocost C1). Kurva garis anggaran merupakan kurva yang menunjukkan berbagai titik pada garis kendala anggaran. Kurva tersebut mengindikasi kombinasi konsumen atau trade-off antara dua barang. Pada kondisi tersebut, responden menggunakan kombinasi input produksi X11 dan X21, sehingga titik keseimbangan konsumsi responden atas input produksi terjadi pada titik E1. Pada titik keseimbangan E1, responden menghasilkan output sebesar Q1 yang ditunjukkan oleh kurva indiferen/isokuan Q1. Kuantitas Input X1
C2
Expansion Path
E2 X12
E1
X11
Q2 C1 Q1
0
X21
Kuantitas Input X2
X22
Gambar 3. Pengaruh kredit terhadap peningkatan output
kombinasi
penggunaan
input
dan
Sumber: Gaspersz (2011)
Selanjutnya, kondisi yang berbeda setelah adanya tambahan modal/kredit untuk usahatani. Hal ini menyebabkan kemampuan responden atas kuantitas modal (anggaran) menjadi bertambah atau lebih tinggi. Sehingga menyebabkan bergesernya kurva garis anggaran ke kanan (Isocost C2). Pada kondisi ini, responden mencoba memaksimum kepuasannya, responden ingin dapat mencapai kurva indeferen setinggi mungkin. Pada Gambar 3 dapat ditunjukkan, jika responden membeli kombinasi input produksi pada garis anggaran yang berpotongan dengan kurva indeferen/isokuan Q2. Sehingga terjadi titik keseimbangan baru yang ditunjukkan oleh titik E2. Pada titik keseimbangan E2, kombinasi input produksi yang digunakan adalah X12 dan X22. Kombinasi input produksi ini, kuantitasnya lebih tinggi dibanding kuantitas input produksi
35 sebelumnya (X11 dan X21) pada titik keseimbangan E1. Peningkatan penggunaan input produksi dapat menyebabkan meningkatnya hasil produksi/output sebesar Q2. Jika semua titik keseimbangan (E1 dan E2) dihubungkan, maka akan terdapat kurva jalur perluasan produksi (expansion path curve). Kurva expansion path ini menghubungkan titik-titik keseimbangan produsen yang menunjukkan kombinasi input dengan biaya terendah (least cost combination) untuk setiap tingkat output yang diproduksi dengan asumsi harga-harga input tetap/konstan. Terjadinya peningkatan produksi yang ditunjukkan pada Gambar 3, kemudian akan menyebabkan peningkatan pendapatan usahatani. Kondisi terjadinya peningkatan pendapatan usahatani, disebabkan adanya pengaruh dari peningkatan kuantitas pemakaian input produksi, disajikan pada Gambar 4. Pada Gambar 4, terlihat kondisi pengaruh kredit terhadap peningkatan pendapatan, melalui adanya penggunaan kombinasi input produksi yang meningkat. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, bahwa kombinasi input produksi X11X22 dititik keseimbangan E1 (kondisi sebelum ada kredit), responden menghasilkan output sebesar Q1 dengan capaian tingkat pendapatan sebesar Y1. Kemudian setelah adanya tambahan modal usahatani, kuantitas modal/anggaran usahatani yang dimiliki responden menjadi bertambah. Pada kondisi ini responden akan mengoptimalkan input produksi yang digunakan untuk usahatani, terlihat adanya penambahan input produksi dari X11X22 menjadi X12X22. Penambahan input produksi tersebut, menyebabkan terjadinya peningkatan produksi sebesar Q2. Dengan demikian, produksi/output yang meningkat (Q1 menjadi Q2), berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan (Y1 menjadi Y2). Output (Q)/ Income (Y)
E2
Q2 ; Y2
Y2 Q1 ; Y1 E1 Y1
0
X11 X21
Kuantitas Input X
X12 X22
Gambar 4. Pengaruh kredit terhadap pendapatan usahatani padi
kombinasi
penggunaan
input
dan
Sumber: Gaspersz (2011)
Berdasarkan Gambar 3 dan Gambar 4, esensinya adalah tambahan modal/kredit menyebabkan adanya peningkatan penggunaan input produksi. Penggunaan input yang meningkat akan meningkatkan hasil produksi, dan akhirnya akan berimplikasi terhadap peningkatan pendapatan usahatani. Sehingga menyebabkan pergeseran kurva fungsi produksi. Perubahan fungsi produksi akan mengakibatkan perubahan titik keseimbangan rumah tangga petani (keseimbangan antara fungsi produksi dengan kurva indiferens/fungsi konsumsi akan berubah),
36 dan mencapai keseimbangan yang baru (yang lebih tinggi dibandingkan dengan keseimbangan awal). Kerangka Pemikiran Operasional Salah satu masalah yang dihadapi negara Indonesia sekarang ini adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang dilakukan melalui pembangunan diberbagai bidang. Hal ini nampak semakin digalakkannya pembangunan di bidang pertanian utamanya sub sektor pangan. Salah satu sub sektor pangan adalah usahatani padi. Petani padi dalam melakukan proses produksi untuk menghasilkan output, diperlukan biaya pengeluaran-pengeluran yang digunakan dalam mempertahankan kelangsungan proses produksi tersebut. Dalam usahatani padi diharapkan adanya peningkatan pendapatan sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan petani padi pada khususnya, karena salah satu ukuran kesejahteraan masyarakat adalah dengan peningkatan pendapatannya. Namun dalam kenyataannya, petani sering kali dihadapkan pada persoalan permodalan untuk keperluan usahataninya, serta lemahnya kelembagaan tani yang ada di perdesaan. Mengingat salah satu persoalan yang paling rumit di wilayah perdesaan adalah penyediaan modal usaha. Keterbatasan modal menyebabkan sirkulasi kegiatan ekonomi tidak berjalan. Sebaliknya tanpa ada perputaran aktivitas ekonomi proses akumulasi kapital juga tidak bisa terjadi. Dari situasi seperti ini para perumus kebijakan pembangunan perdesaan akhirnya meluncurkan berbagai kebijakan program kredit mikro sebagai instrumen pengembangan kelembagaan sektor finansial di perdesaan. Salah satu kebijakan tersebut yakni dengan meluncurkan program PUAP. Kegiatan Program PUAP diantaranya memberikan pelatihan dan pendampingan, tujuannya adalah sebagai upaya peningkatan kapasitas kinerja organisasi petani, atau disebut Gapoktan. Melalui langkah ini diharapkan Gapoktan menjadi lembaga ekonomi di perdesaan yang mumpuni. Kinerja Gapoktan PUAP harus menunjukkan bahwa lembaga ini mampu mengelola dan mengembangkan usahataninya menjadi lembaga ekonomi yang melayani pembiayaan bagi petani anggota secara berkelanjutan. Kegiatan berikutnya memberikan fasilitasi tambahan modal usaha/modal kerja. Hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas petani utamanya dalam penguasaan modal usahatani. Sehingga petani mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan input produksi. Kondisi ini akan mempengaruhi tingkat produksi. Filosofinya ketika kebutuhan input produksi tercukupi, maka produksi akan mencapai titik optimum. Secara normatif semakin meningkat produksi yang dihasilkan, selanjutnya pendapatan juga akan semakin meningkat. Ketika kondisi pendapatan usahatani meningkat, maka kemungkinan kemampuan untuk membayar kredit atau mengembalikan pinjaman (hutang pokok + jasa) ke Gapoktan akan lancar dan tepat waktu. Dengan demikian dana BLM PUAP yang ada di kas Gapoktan akan abadi bahkan terus bertambah, pada akhirnya pembiayaan untuk usahatani di perdesaan yang dikelola oleh Gapoktan akan terus terjaga. Untuk melihat pengaruh akibat adanya pelaksanaan Program PUAP terhadap kinerja Gapoktan dan pendapatan usahatani padi, disajikan dalam kerangka operasional penelitian (Gambar 5).
37 Program PUAP Peran PUAP terhadap: Kinerja Gapoktan Pendapatan Usahatani Petani Aggota
Atribut Kinerja Gapoktan: Efektivitas organisasi Efisiensi organisasi Relevansi (kesesuaian) organisasi Pencapaian (outcome) Keuangan organisasi
Pendapatan Usahatani: Total Revenue (TR) Total Cost (TC) Total Fix Cost (TFC) Total Variabel Cost (TVC) Harga jual output (Pq) Jumlah Output (Q) Harga input (Px) Jumlah input (X)
Implikasi Kebijakan
Gambar 5. Kerangka pemikiran penelitian
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan Kabupaten Subang dilakukan secara sengaja, atas dasar pertimbangan bahwa Gapoktan pelaksana program PUAP di Kabupaten Subang telah mampu menumbuhkembangkan 40 LKM-A. Sehingga dipandang lebih unggul dibandingkan Gapoktan-Gapoktan yang ada di kabupaten lainnya lingkup Jawa Barat. Hal ini diasumsikan Gapoktan-Gapoktan yang ada di Kabupaten Subang mampu mengelola atau menjaga perguliran dana BLM PUAP, memiliki usaha ekonomi produktif yang sudah berkembang berbasis agribisnis padi, sekaligus mampu melakukan penguatan kelembagaan ekonomi di perdesaan. Disamping itu, Kabupaten Subang merupakan salah satu sentra produksi padi di Jawa Barat, dan sebagian besar usahatani padi yang dikelola petani anggota Gapoktan memiliki tingkat produktivitas mencapai 5,6 – 7,6 ton/ha, dengan total luas lahan sawah berkisar 180 – 246 ha. Adapun pengumpulan data dilakukan pada April – Juni 2014. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder, baik berupa data kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh melalui indepth study ke petani yang berusahatani padi. Pengumpulan data dari petani melalui wawancara secara langsung dengan menggunakan kuesioner yang
38 telah dipersiapkan. Selanjutnya melakukan indepth study ke Gapoktan. Pengumpulan data dari Gapoktan melalui pendekatan diskusi kelompok terfokus (FGD) dengan pengurus Gapoktan. Selain itu untuk melengkapi informasi data penelitian, dilakukan juga FGD dengan penyuluh lapangan, Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan Kehutanan dan Ketahanan Pangan (BP4KKP) Kabupaten Subang, serta Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, Badan Litbang Pertanian, dan Instansi Terkait lainnya. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah paling penting dalam penelitian, kerana tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Dalam usaha pengumpulan data serta keterangan yang diperlukan, penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut: 1.
Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh kedua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan. Sedangkan menurut Sugiyono (2008) mengungkapkan wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Metode wawancara dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara tertutup dan terbuka. Metode wawancara tertutup yakni responden diminta menjawab pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner. Dimana isi pertanyaan dalam kuisioner sudah terdapat pilihan jawaban, sehingga responden menjawab dengan memilih diantara jawaban yang sudah ada. Sementara metode wawancara terbuka yakni responden diminta pendapat tentang pengalaman dan perspektif terkait dengan karakteristik responden, aktivitas usahatani padi, pemanfaatan pinjaman/kerdit, dan pemasaran hasil. Dalam proses wawancara, peneliti akan mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang akan dikemukakan oleh responden. 2.
Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data, dimana peneliti melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan (Riduwan 2004). Metode observasi sering kali diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada subyek penelitian. Teknik observasi sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik hendaknya dilakukan pada subyek yang secara aktif mereaksi terhadap obyek. Observasi adalah bagian dalam pengumpulan data. Observasi berarti mengumpulkan data langsung dari lapangan. Adapun menurut Prastowo (2010) mengartikan obesrvasi adalah sebagai pengamatan dalam pencatatan secara
39 sistematik terhadap suatu gelaja yang tampak pada objek penelitian. Sedangkan menurut Nasution (2003), observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Adapun kriteria yang hendak diperhatikan oleh observeser antara lain: 1) Memliki pengetahuan yang cukup terhadap obyek yang hendak diteliti, 2) Pemahaman tujuan umum dan tujuan khusus penelitian yang dilaksanakannya, 3) Penentuan cara dan alat yang dipergunakan dalam mencatat data, 4) Penentuan kategori pendapatan gejala yang diamati, 5) Pengamatan dan pencatatan harus dilaksanakan secara cermat dan kritis, 6) Pencatatan setiap gejala harus dilaksanakan secara terpisah agar tidak saling mempengaruhi, 7) Pemilikan pengetahuan dan keterampilan terhadap alat dan cara mencatat hasil observasi. Pada dasarnya teknik observasi digunakan untuk melihat dan mengamati perubahan fenomena–fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang yang kemudian dapat dilakukan perubahan atas penilaian tersebut, bagi pelaksana observaser untuk melihat obyek moment tertentu, sehingga mampu memisahkan antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan. (Margono 2007). Observasi dalam penelitian ini menggunakan observasi terbuka. Dalam proses pengumpulan data, dinyatakan kegiatan yang sebenarnya kepada sumber data, bahwa sedang dilakukan penelitian. Jadi responden yang diteliti mengetahui sejak awal sampai akhir tentang aktivitas penelitian. Oleh karena itu fakta atau fenomena yang akan diobservasi adalah terkait unsur kinerja Gapoktan, yaitu efektivitas organisasi, efisiensi organisasi, relevansi (kesesuaian) organisasi, dan pencapaian kemandirian keuangan organisasi. 3.
Focus Group Discussion (FGD)
FGD adalah suatu metode riset, Irwanto (1988) mendefinisikan sebagai “suatu proses pengumpulan informasi mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok”. Dengan kata lain FGD merupakan proses pengumpulan informasi bukan melalui wawancara, bukan perorangan, dan bukan diskusi bebas tanpa topik spesifik. Metode FGD termasuk metode kualitatif. Seperti metode kualitatif lainnya (direct observation, indepthe interview, dsb) FGD berupaya menjawab jenis-jenis pertanyaan how and why, bukan jenis-jenis pertanyaan what and how many yang khas untuk metode kuantitatif (survei, dsb). FGD dan metode kualitatif lainnya sebenarnya lebih sesuai dibandingkan metode kuantitatif untuk suatu studi yang bertujuan “to generate theories and explanations” (Morgan and Kruger 1993). Tujuan umum FGD adalah mengembangkan pemahaman mengenai dampak sosial ekonomi pelaksanaan Program PUAP. Untuk mencapai tujuan itu dimanfaatkan secara ektensif data kuantitatif yang berlingkup makro dari berbagai sumber. FGD merupakan salah satu metode untuk memperoleh infromasi kuantitatif-mikro dan sesuai dengan tujuan penelitian ini, karena pendekatan FGD memungkinkan memperoleh informasi yang (1) bersifat kualitatif yang bermutu dalam waktu yang relatif singkat, mengenai dampak pelaksanaan Program PUAP,
40 (2) bersifat lokal dan sensitif, dan (3) diyakini tidak dapat diperoleh memalui pendekatan survei dan wawancara individu. 4.
Dokumentasi
Dokumen merupakan rekaman yang sifatnya tertulis atau film dan isinya merupakan peristiwa yang telah berlalu. Jadi, dokumen bukanlah catatan peristiwa yang terjadi saat ini dan masa yang akan datang, namun catatan masa lalu. Datadata yang dikumpulkan dengan teknik dokumentasi cenderung merupakan data sekunder. Dokumentasi merupakan benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen harian, dan sebagainya. Adapun pengambilan data dokumentasi yang diperlukan terdiri atas pelaksanaan PUAP, perkembangan asset Gapoktan, dan realisasi dana PUAP. Metode Penentuan Sampel Untuk menjawab tujuan pertama, dipilih sampel Gapoktan. Gapoktan sampel terdiri atas dua group Gapoktan, yakni Gapoktan yang sudah menerima dana PUAP (tahun 2008-2010), selajutnya disebut Gapoktan PUAP, dan Gapoktan yang belum menerima dana PUAP, selanjutnya disebut Gapoktan Non PUAP. Pemilihan sampel Gapoktan dilakukan secara purposive sampling (secara sengaja), atas pertimbangan bahwa: (1) Gapoktan memiliki usaha ekonomi produktif berbasis padi, (2) unit simpan pinjam sudah berjalan, (3) asset atau permodalannya sudah mengalami perkembangan, dan (4) aktivitas organisasi masih berjalan. Jumlah Gapoktan yang dipilih pada masing-masing group, sebanyak tiga Gapoktan. Sehingga total Gapoktan sampel dalam penelitian ini sebanyak enam Gapoktan. Untuk menjawab tujuan kedua, dipilih sampel petani anggota dari masingmasing group Gapoktan. Petani sampel terdiri atas petani yang sudah menerima dana PUAP, selanjutnya disebut petani PUAP, dan petani yang belum menerima dana PUAP, selanjutnya disebut petani non PUAP. Pemilihan sampel petani dilakukan secara purposive sampling (secara sengaja), berdasarkan kriteria: (1) petani yang berusahatani padi, (2) petani yang sudah menerima dana pinjaman/kredit dari Gapoktan, (3) petani anggota yang berperan aktif dalam kegiatan organisasi Gapoktan, dan (4) petani yang mengalokasikan dana pinjaman/kredit untuk membeli input produksi. Jumlah populasi petani anggota berdasarkan kriteria tersebut, terpilih 44 orang pada Gapoktan PUAP dan 43 orang pada Gapoktan Non PUAP. Penentuan jumlah sampel dari populasinya untuk masing-masing group, dihitung berdasarkan rumus yang dikemukakan Yamane (1967), yaitu: [1] Keterangan: n = Jumlah sampel N = Jumlah Populasi d2 = Presisi (ditetapkan 10% dengan tingkat kepercayaan 95%)
41 Berdasarkan perhitungan di atas, maka jumlah petani padi yang dijadikan sampel penelitian untuk masing-masing group sebanyak 30 orang. Di samping itu, penentuan jumlah petani padi di tiap Gapoktan terpilih dilakukan secara proporsional (proportionate random sampling). Menurut Riduwan dan Kuncoro (2011), alokasi proporsional tersebut adalah: [2] Keterangan: ni = Jumlah petani sampel dari Gapoktan terpilih ke-i Ni = Jumlah seluruh petani sampel dari Gapoktan terpilih ke-i N = Jumlah petani seluruh Gapoktan terpilih n = Jumlah petani sampel semua Gapoktan terpilih. Berdasarkan perhitungan persamaan 2, maka diperoleh jumlah petani sampel untuk masing-masing Gapotan seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah petani sampel di tiap Gapoktan terpilih No.
Nama Gapoktan
Kode Gapoktan
Kecamatan
Desa
Jumlah Anggota
Jumlah Petani Padi
Jumlah Sampel
Gapoktan PUAP 1 Saluyu Utama (2008) 2 Mitra Tani (2008) 3 Mitra Tani (2010)
A B C
Ciasem Ciasem Patok Beusi
Ciasem Tengah Sukahaji Tambak Jati
50 35 60 Jumlah
15 7 22 44
10 5 15 30
Gapoktan Non PUAP 1 Jaya Laksana 2 Warga Tani 3 Makmur Tani
X Y Z
Ciasem Ciasem Patok Beusi
Ciasem Hilir Pinang Sari Ranca Bango
60 31 45 Jumlah
15 14 14 43
10 10 10 30
Tahapan Penentuan Sampel Gapoktan dan Petani 1.
2.
3. 4.
Tahapan penentuan sampel Gapoktan dalam penelitian ini, sebagai berikut: Mengumpulkan data Gapoktan-Gapoktan yang sudah menerima dana BLM PUAP. Data tersebut bersumber dibeberapa instasi seperti Pusat Pembiayaan, BPTP Jabar, dan BBP2TP. Data yang terkumpul, diidentifikasi dan dipilah berdasarkan Gapoktan yang telah berhasil menumbuhkembangkan LKM-A, Hasil dari identifikasi data Gapoktan yang sudah membentuk LKM-A, selanjutnya dipilah lagi berdasarkan nilai perkembangan asset atau kepemilikan modal LKM-A, persentase tingkat perkembangan modal LKMA dari modal awal (Rp. 100 juta), persentase modal keswadayaan yang dimiliki Gapoktan, (indikatornya persentasi melebihi 50% dari dana awal (100juta), itu yang diambil, Setelah terpilih beberapa Gapoktan/LKM-A, kemudian ditentukan indikator berikutnya, yakni Gapoktan yang usaha ekonomi produktifnya berbasis padi, Dari data beberapa Gapoktan terpilih yang berbasis padi, dipilah kembali dengan pertimbangan tingkat persentasi capaian produktivitas dan luas lahan
42 garapan yang dikelola Gapoktan. Gapoktan yang dipilih yakni Gapoktan yang memiliki garapan lahan padi lebih luas dan mempunyai tingkat produktivitas tertinggi, 5. Selanjutnya data yang terpilih, diverifikasi dengan kondisi eksisting dilapangan. Proses verifikasi melalui pendekatan Focus Group Discution (FGD) dengan melibatkan tokoh kunci yang terdiri atas penyuluh pendamping (PPL), Penyelia Mitra Tani (PMT), Kepala Desa, dan Dinas Pertanian Kabupaten dan Kecamatan. Adapun pengambilan sampel Gapoktan pada tahap ini, yakni selain mempertimbangkan indikator yang sudah disampaikan sebelumnya, juga lebih menekankan pada aktivitas berjalannya sistem ke organisasian, seperti rutinitas rapat anggota, rapat tahunan, rutinitas simpan pinjam, keaktifan para pengurus dan anggota, sejauh mana kekuatan modal sosial para aktor yang bermain di Gapoktan. Serta mempelajari kelengkapan dokumen-dokumen yang dimiliki Gapoktan yang mengacu pada Pedum PUAP. Tahapan penentuan sampel petani dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Langkah awal yang dilakukan yakni dengan melihat daftar petani yang sudah menerima pinjaman/kredit dari Gapoktan, dari data-data tersebut dipilih petani yang berusahatani padi, 2. Data petani yang terpilih, kemudian dipilah kembali dengan menerapkan indikator petani yang mengalokasikan dana pinjaman/kredit tersebut untuk membeli input produksi. Tahap ini melalui pendekatan dengan melihat jurnal atau buku besar Gapoktan, atau menanyakan langsung kepada pengurus Gapoktan dan Kelompok Tani, serta menelusuri informasi pada kios-kios penjual saprodi yang berada diwilayah domisili petani sampel, 3. Selanjutnya memilih petani peminjam yang berperan aktif dalam kegiatan keorganisasian, hal ini dimaksudkan untuk menggali sejauhmana pengetahuan petani terhadap Gapoktannya, dan perspektif petani anggota terhadap kinerja Gapoktan dalam mengelola dan mengembangkan modal Gapoktan, usaha produktif Gapoktan, dan bagaimana aturan main keorganisasian Gapoktan. Analisis Kinerja Gapoktan Untuk menjawab tujuan pertama, dilakukan penilaian atau skoring terhadap kinerja Gapoktan PUAP. Penilaian kinerja merupakan penentuan secara periodik efentifitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang ditetapkan sebelumnya. Karena organisasi pada dasarnya dijalankan oleh manusia, maka penilaian kinerja sesungguhnya merupakan penilaian atau perilaku manusia dalam melaksanakan peran yang petani mainkan dalam organisasi. Skoring Gapoktan didasarkan pada keragaan kinerja Gapoktan. Dalam penelitian ini penilaian kineja Gapoktan ditinjau dari 4 (empat) atribut kinerja Gapoktan. Keempat atribut tersebut adalah efektifitas organisasi, efisiensi
43 organisasi, relevansi organisasi, dan pencapaian kemandirian keuangan organisasi. Atribut kinerja tersebut yang dijadikan sebagai instrumen dalam penggalian datadata yang dibutuhkan dalam penelitian. Berikut dikemukaan panduan (guide) dalam penggalian data-data yang dibutuhkan dalam penelitian. Selanjutnya dari guide tersebut dituangkan kedalam kuesioner. Guide tersebut diantaranya: (1) Aspek Efektivitas organisasi bergerak maju menuju misi dan tujuannya sendiri: 1. Bagaimana kinerja organisasi dalam hal pencapaian utama (major achievements), tingkat produktifitas organisasi dalam kaitannya dengan misi dan nilai-nilai dalam organisasi, dan daya guna produk-produknya (utilization of results)? 2. Bagaimana kinerja staf/pengurus dalam hal pelayanan (clients served), dan kualitas pelayanan/produk? 3. Bagaimana kinerja pelayanan, misalnya bagaimana dukungan terhadap komunitas riset, dan transfer teknologi? (2) Aspek Efisiensi organisasi dalam menuju misinya: 1. Bagaimana perbandingan antara biaya yang telah dikeluarkan dibagi jasa yang dihasilkan (rate costs/services)? 2. Bagaimana produktivitas anggota? 3. Bagaimana sistem administrasi yang dijalankan? (3) Aspek Relevansi (kesesuaian) organisasi sepanjang waktu: 1. Bagaimana adaptasi dari misi utamanya ketika terjadi perubahan kondisi? 2. Bagaimana kebutuhan stakeholders dapat dipenuhi? 3. Bagaimana daya adaptasi organisasi terhadap perubahan lingkungannya? (4) Aspek Pencapaian (outcome) Keuangan dalam organisasi: 1. Bagaimana diversifikasi sumber pendanaan digali? 2. Bagaimana kemampuan organisasi untuk menghasilkan uang/pendanaan sendiri? 3. Bagaimana kemampuan untuk selalu memperoleh keuntungan sepanjang waktu? Keseluruhan indikator dianalisis menggunakan sistem pemberian skor penilaian, yang kemudian diuraikan secara deskriptif. Penentuan skor tersebut menggunakan skala Likert. Skala terbesar adalah 3 (tiga) untuk jawaban yang paling mendukung, dan skala terendah adalah 1 (satu) untuk jawaban yang kurang mendukung. Maksud dari jawaban yang mendukung adalah adanya kesesuaian antara kondisi yang seharusnya (harapan) dengan kondisi yang terjadi (eksisting) pada Gapoktan sampel. Misalnya kondisi yang diharapkan pada Gapoktan sampel, yakni sudah memiliki asset atau perkembangan modal >80% setelah tiga tahun berjalan, dalam hal ini usaha simpan pinjam pada Gapoktan sampel, jika sesuai maka diberi skala 3, tetapi jika belum atau <50% maka diberi skala 1. Berdasarkan perolehan skor dari responden, selanjutnya ditentukan rentang skala atau selang untuk menentukan kinerja Gapoktan. Selang diperoleh dari selisih total skor tertinggi dengan total skor minimal, kemudian dibagi jumlah kategori jawaban, rumusnya sebagai berikut (Umar 2005):
44
𝑆𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔 =
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛
[3]
Berdasarkan perhitungan persamaan 3, maka diperoleh rentang skala tiap kategori penilaian. Skala rentang penilaian yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Skala skor penilaian kinerja Gapoktan/LKM-A Kategori Penilaian Kinerja
Interpretasi
Rentang Skala
A B C
Baik Cukup Kurang
234 – 300 168 – 233 100 – 167
Selain itu, dilakukan pula dengan: (1) mempelajari dokumen-dokumen penting, berupa gambar-gambar, tujuan organisasi, AD/ART, dokumen simpan pinjam, laporan tahunan, laporan keuangan (financial reports), serta jasa yang ditawarkan/disediakan organisasi, (2) mengidentifikasi fasilitas yang dimiliki, berupa gedung, kios usaha, dan berbagai prasarana lainnya, dan (3) mempelajari dinamika sosialnya secara umum, yaitu bagaimana sikap petani ketika berinteraksi (siapa yang hadir, siapa yang tidak), proses pengambilan keputusan, sifat relasi dengan organisasi, dan bagaimana pekerjaan atau apa paradigma utamanya. Pengertian penilaian kinerja yang dikemukakan di atas tidak semata didasarkan pada penilaian buruk tidaknya pengurus Gapoktan dalam melaksanakan tugasnya untuk kemudian diambil tindakan organisasi. Tetapi penilaian kinerja dapat menjadi proses pembelajaran bagi organisasi dan pihak manajemen agar dapat menentukan langkah-langkah strategis untuk mengarahkan aktivitas organisasi, memperbaiki tindakan-tindakan manajemen, dan terus melakukan penilaian untuk melakukan adaptasi terhadap proses manajemen dan mengarahkannya kepada tujuan penting organisasi Analisis Pendapatan Usahatani Padi Penerimaan usahatani merupakan nilai produksi yang diperoleh dari produk total dikalikan dengan harga jual di tingkat petani. Jumlah total disini menggambarkan hasil penjualan produk yang akan dijual juga hasil penjualan produk sampingan. Pengeluaran atau biaya usahatani adalah nilai penggunaan sarana produksi dan lain-lain yang mungkin diperoleh dengan membeli, sehingga pengeluaran atau biayanya berbentuk tunai tetapi ada pula sarana produksi yang digunakan itu berasal dari hasil usahatani sendiri, sehingga pada keadaan demikian pengeluaran atau biaya itu merupakan nilai yang diperhitungkan. Biaya tunai merupakan pengeluaran tunai usahatani yang dilakukan oleh petani sendiri. Pengeluaran tunai usahatani ini secara umum meliputi biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap adalah biaya untuk sarana produksi yang dipakai proses produksi yang tidak langsung mempengaruhi jumlah produksi dan sifat penggunaannya tidak habis terpakai dalam satu kali proses produksi. Biaya variabel adalah biaya untuk sarana produksi yang dipakai dalam proses produksi yang langsung mempengaruhi jumlah produksi dan sifat penggunaannya habis terpakai dalam satu kali proses produksi.
45 Pendapatan usahatani padi didapatkan dengan menghitung selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya selama proses produksi. Perhitungan analisis pendapatan usahatani padi, dituangkan dalam format dasar tabel usahatani seperti yang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Format dasar tabel usahatani padi Komponen
Jumlah
Satuan (kg/liter/HOK)
Harga/satuan (Rp)
Nilai (Rp)
A. Biaya (cost) Benih Pupuk Pestisida Tenaga Kerja Sewa lahan Iuran air/pompa Biaya lainnya: Total Biaya B. Penerimaan (revenue) Produksi Harga Total Penerimaan C. Pendapatan kotor D. Hutang (risk premium) E. Pendapatan Bersih R/C B/C MBCR
Dalam perhitungan pendapatan usahatani menggunakan model persamaan sebagai berikut: π = TR –TC dengan ketentuan: TR = Pq . Q TC = TFC + TVC = TFC + ∑Pxi . Xi sehingga, π = Pq . Q – (TFC + ∑Pxi . Xi) keterangan: π = keuntungan/pendapatan TR = Total Revenue (total penerimaan) TC = Total Cost (total biaya) TFC = Total Fix Cost (total biaya tetap) TVC = Total Variabel Cost (total biaya variabel) Py = harga jual output Y = jumlah output yang diproduksi Pxi = harga input ke-i Xi = jumlah penggunaan input ke-i i = 1,2,3, ... n
[4]
[5]
46 Berdasarkan persamaan 4, maka untuk melihat peran tambahan modal usaha (kredit) terhadap tingkat pendapatan usahatani padi petani anggota, dilakukan dengan cara membandingkan tingkat pendapatan petani PUAP dengan petani non PUAP. Sehingga untuk menghitung pengaruh adanya kredit melalui pendekatan dengan rumus sebagai berikut: ∆π = π1-π2 ∆π π1 π2
[6]
= pengaruh terhadap pendapatan = tingkat pendapatan usahatani padi petani PUAP = tingkat pendapatan usahatani padi petani non PUAP Analisis Rasio Penerimaan atas Biaya (R/C)
Analisis rasio penerimaan atas biaya (R/C) merupakan salah satu cara untuk mengetahui perbandingan antara penerimaan dan biaya yang dikeluarkan. Rasio penerimaan atas biaya mencerminkan seberapa besar pendapatan yang diperoleh setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan dalam usahatani. Untuk menghasilkan tingkat kelayakan usahatani padi petani PUAP dan non PUAP (Soekartawi 2006), digunakan rumus sebagai berikut: R C
=
Total Penerimaan (TR ) Total Biaya (TC )
=
PxY TFC +TVC
[7]
Sementara itu, dalam mengukur tingkat kelayakan usahatani padi maka terdapat kriteria penilaian dari hasil perhitungan R/C tersebut, yaitu : a. Apabila nilai R/C > 1, maka usahatani tersebut dikatakan menguntungkan karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan lebih besar dari satu rupiah. b. Apabila nilai R/C = 1, maka usahatani tersebut dikatakan impas karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar satu rupiah juga. c. Apabila nilai R/C < 1, maka usahatani tersebut dikatakan tidak menguntungkan karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan lebih kecil dari satu rupiah. Analisis Rasio Keuntungan atas Biaya (B/C) Analisis rasio keuntungan atas biaya (B/C) merupakan salah satu cara untuk mengetahui perbandingan antara keuntungan dan biaya yang dikeluarkan. Menurut Soekartawi (2006), analisis benefit-cost ratio (B/C) ini pada prinsipnya sama saja dengan analisis revenue-cost ratio (R/C), hanya saja pada analisis B/C ini data yang diperhitungkan adalah besarnya manfaat dari proyek (PUAP) yang dilaksanakan dalam proses produksi usahatani. Secara teoritis manfaat ini dihitung dengan rumus sebagai berikut:
B Keuntungan (π) = C Total Biaya (TC)
[8]
47 Sementara itu, dalam mengukur tingkat keuntungan usahatani maka terdapat kriteria penilaian dari hasil perhitungan B/C rasio tersebut, yaitu : a. Apabila nilai B/C > 1, artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan lebih besar dari satu rupiah. b. Apabila nilai B/C = 1, artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan sebesar satu rupiah juga. c. Apabila nilai B/C < 1, artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan lebih kecil dari satu rupiah. Analisis Marginal Benefit Cost Rasio (MBCR) Untuk mengungkap peran BLM PUAP terhadap pendapatan usahatani, dilakukan melalui telaahan struktur pembiayaan dan penerimaan usahatani dengan membandingkan kondisi pendapatan usahatani padi petani PUAP dengan petani non PUAP. Dengan pendekatan tersebut kemudian dihitung rasio tambahan modal terhadap tambahan pendapatan usahatani, dengan analisis Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR) (Swastika, 2004). Secara matematis dirumuskan sebagai berikut: MBCR =
If1 − If2 TC1 − TC2
[9]
Dimana: If1 = Pendapatan petani PUAP (Rp) If2 = Pendapatan petani non PUAP (Rp) TC1 = Total biaya petani PUAP (Rp) TC2 = Total biaya petani non PUAP (Rp) Kaidah keputusannya, semakin besar nilai MBCR yang diperoleh semakin besar peran tambahan modal terhadap pendapatan usahatani padi. Analisis Independent Sample T Test Langkah selanjutnya, dilakukan uji beda sampel tidak berhubungan (independent sampel T test). Uji beda ini dapat disebut juga sebagai Uji-t. Uji-t digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata antara pendapatan usahatani padi pada petani PUAP dengan petani Non PUAP. Uji-t ini merupakan uji hipotetis dengan selang kepercayaan 95%. Hipotesis : H0: μ1=μ2 Hasil pendapatan petani yang sudah menerima tidak berbeda dengan hasil pendapatan petani yang belum menerima dana PUAP H1: μ1≠μ2 Hasil pendapatan petani yang sudah menerima berbeda dengan hasil pendapatan petani yang belum menerima dana PUAP Dimana H0 merupakan hipotesis awal dan H1 merupakan hipotesis alternatif. Hipotesis alternatif μ1≠μ2 menyatakan bahwa μ1<μ2 atau μ1>μ2. Dalam penelitian ini jumlah dua kelompok sampel (n1 dan n2) adalah sama, maka rumus uji beda sampel yang digunakan adalah independent sampel t-test sparated varian, sebagai berikut:
48
t=
𝑋1 − 𝑋2
dimana: = Rata-rata sampel 1 X1 X2
= Rata-rata sampel 2
S2 N
= Varian populasi = jumlah data
𝑆2 𝑆2 𝑛1 + 𝑛2
[10]
X1 n X2 n
Varian populasi (S2) dihitung dengan rumus:
S2 =
𝑋12 −
( 𝑋1 )2 ( 𝑋2 )2 2 + 𝑋 − 2 𝑁1 𝑁2 𝑁1 + 𝑁2 − 2
[11]
Kriteria Uji: a. Jika thitung > ttabel atau nilai signifikan ≤ 0,05, berarti Ho ditolak (terima H1), maka perbedaannya signifikan. b. Jika thitung ≤ ttabel atau nilai signifikan > 0,05, berarti Ho diterima (tolak H1), maka perbedaannya tidak signifikan. Analisis data akan dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 19. Hasil pengolahan data kemudian dianalisis dan diinterpretasikan secara deskriptif. Analisis Pearson Product Moment (PPM) Menganalisis hubungan variabel kinerja Gapoktan (X) terhadap variabel pendapatan usahatani padi petani anggota (Y), menggunakan analisis korelasi. Analisis korelasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu korelasi Pearson Product Moment (PPM). Korelasi ini dikemukakan oleh Karl Pearson tahun 1900. Keguanaannya untuk mengetahui derajat hubungan antara variabel bebas (independent) dengan variabel terikat (dependent). Sebelum mengkorelasikan kedua variabel tersebut, yang harus diperhatikan yakni jenis data dari kedua variabel tersebut. Variabel kinerja Gapoktan jenis datanya ordinal, sementara variabel pendapatan usahatani jenis datanya rasio. Kedua variabel ini tidak bisa langsung dikorelasikan, mengingat teknik analisis korelasi PPM termasuk teknik statistik parametrik yang menggunakan data interval dan ratio. Dengan demikian, data ordinal dari variabel kinerja Gapoktan ditransformasi terlebih dahulu menjadi data interval. Tujuan mentransformasi data ordinal tersebut adalah agar data mengikuti sebaran normal (Riduwan dan Kuncoro 2011). Data ordinal sebenarnya adalah data kualitatif atau bukan angka sebenarnya. Proses mengubah data ordinal ke data interval dapat menggunakan bantuan metode suksesif interval (Method of Succesive Interval/MSI) (Kuncoro 2003 dan Sekaran 2003). Menurut Ali (2011) pengertian Method of Succesive
49 Interval/MSI adalah metode penskalaan untuk menaikkan skala pengukuran ordinal ke skala pengukuran interval. Analisis PPM memiliki persyaratan lainnya yang harus dipenuhi, misalnya: data dipilih secara acak (random), datanya berdistribusi normal, data yang dihubungkan berpola linier, dan data yang dihubungkan mempunyai pasangan yang sama sesuai dengan subjek yang sama. Kalau salah satu tidak terpenuhi persyaratan tersebut analisis korelasi tidak dapat dilakukan. Rumus koefisien korelasi PPM adalah sebagai berikut (Riduwan dan Kuncoro 2011): rxy =
n( XY) − ( X) . ( Y) {n.
X 2 − ( X)2 } . {n.
[12]
Y 2 − ( Y)2 }
Korelasi PPM dilambangkan (r) dengan ketentuan nilai r tidak lebih dari harga (-1 ≤ r ≤ +1). Apabila nilai r = -1 artinya korelasinya negatif sempurna, r = 0 artinya tidak ada korelasi, dan r = +1 berarti korelasinya sangat kuat. Sedangkan arti harga r akan diinterpretasikan seperti disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Interpretasi koefisien korelasi nilai r Interval Koefisien 0,80 – 1,000 0,60 – 0,799 0,40 – 0,599 0,20 – 0,399 0,00 – 0,199 Sumber: Riduwan (2005)
Tingkat Hubungan Sangat Kuat Kuat Cukup Kuat Rendah Sangat Rendah
Besar kecilnya sumbangan variabel X terhadap Y dapat ditentukan dengan rumus koefisien determinan sebagai berikut: KP = r2 x 100%
[13]
Dimana: KP = Nilai Koefisien Determinan r = Nilai Koefisien Korelasi Analisis data akan dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 19. Hasil pengolahan data kemudian dianalisis dan diinterpretasikan secara deskriptif.
5 GAMBARAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM PUAP Kebijakan Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan Pengembangan Usaha Agribisnis di Perdesaan yang selanjutnya di sebut PUAP adalah bagian pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) melalui bantuan modal usaha dalam menumbuhkembangkan usaha agribisnis sesuai potensi pertanian desa sasaran. Peluncuran PUAP merupakan perwujudan perhatian pemerintah untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran yang jumlahnya relatif masih tinggi di
50 Indonesia. Secara struktural Dana BLM PUAP merupakan bagian dari PNPMMandiri, yakni program pemberdayaan masyakarat yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesempatan kerja (Kementerian Pertanian 2010a). Skala agribisnis yang dikembangkan berbasis perdesaan, yakni kawasan yang secara komparatif memiliki keunggulan sumberdaya alam dan kearifan lokal (endogeneous knowledge) khususnya pertanian dan keanekaragaman hayati. Pelaku agribisnis adalah petani. Petani dimaksud adalah perorangan, warga negara Indonesia beserta keluarganya atau korporasi yang mengelola usaha di bidang pertanian meliputi usaha hulu, usahatani, agroindustri, pemasaran dan jasa penunjang (Kementerian Pertanian 2010a). PUAP, intinya bertujuan untuk mendorong pemberdayaan masyarakat pertanian. Pemberdayaan Masyarakat Pertanian adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agribisnis sehingga secara mandiri mampu mengembangkan diri dan dalam melakukan usaha secara berkelanjutan. Karena pembinaan ditujukan pada organisasi petani, maka orientasinya adalah kelompok tani yang bergabung ke dalam wadah Gapoktan. Kelompok Tani (Poktan) diartikan sebagai kumpulan petani/peternak yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota (Kementerian Pertanian 2013). Adapun Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) PUAP merujuk pada kumpulan beberapa Kelompok Tani yang bergabung dan bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha dalam menjalankan usaha produktifnya. Usaha Produktif adalah segala jenis usaha ekonomi yang dilakukan oleh petani/kelompok tani di perdesaan dalam bidang agribisnis yang mempunyai transaksi hasil usaha harian, mingguan, bulanan, musiman maupun tahunan (Kementerian Pertanian 2010a). Fasilitasi Dana PUAP bagi masyarakat sifatnya adalah bantuan langsung masyarakat atau dikenal dengan istilah BLM. Dalam konteks PUAP, bantuan langsung masyarakat (BLM) yaitu dana bantuan sosial untuk petani/kelompok tani guna pengembangan usaha agribisnis di perdesaan yang disalurkan melalui Gapoktan dalam bentuk modal usaha (Kementerian Pertanian 2010a, Ashari 2009, Hendayana 2011). Perencanaan kegiatannya dilakukan melalui mekanisme pengajuan Rencana Usaha Bersama (RUB), yakni rencana usaha untuk pengembangan agribisnis yang disusun oleh Gapoktan berdasarkan kelayakan usaha dan potensi desa. Peluncuran Program PUAP oleh Kementerian Pertanian, memiliki tujuan sebagai berikut (Kementerian Pertanian 2010a): (a) Mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui penumbuhan dan pengembangan kegiatan usaha agribisnis di perdesaan sesuai dengan potensi wilayah, (b) Meningkatkan kemampuan pelaku usaha agribisnis, Pengurus Gapoktan, Penyuluh dan Penyelia Mitra Tani, (c) Memberdayakan kelembagaan petani dan ekonomi perdesaan untuk pengembangan kegiatan usaha agribisnis, (d) Meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra lembaga keuangan dalam rangka akses ke permodalan.
51 Sasaran Program PUAP ini adalah mendorong berkembangnya usaha agribisnis di desa-desa miskin yang lokasinya terjangkau, sesuai dengan potensi pertanian desa; Mendorong berkembangnya 10.000 Gapoktan/Poktan yang dimiliki dan dikelola oleh petani; Meningkatnya kesejahteraan rumah tangga tani miskin, petani/peternak (pemilik dan/atau penggarap) skala kecil, buruh tani; dan Berkembangnya usaha agribisnis petani yang mempunyai siklus usaha harian, mingguan, maupun musiman. Pola dasar PUAP dirancang untuk meningkatkan keberhasilan penyaluran dana BLM PUAP kepada Gapoktan dalam mengembangkan usaha produktif petani dalam mendukung 4 (empat) sukses Kementerian Pertanian yaitu: (1) swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) diversifikasi pangan, (3) nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan (4) peningkatan kesejahteraan petani (Kementerian Pertanian 2013). Untuk pencapaian tujuan tersebut di atas, komponen utama pola dasar pengembangan PUAP adalah (1) keberadaan Gapoktan, (2) keberadaan Penyuluh Pendamping dan Penyelia Mitra Tani sebagai pendamping, (3) pelatihan bagi petani, pengurus Gapoktan, dll, dan (4) penyaluran dana BLM kepada petani (pemilik dan atau penggarap), buruh tani dan rumah tangga tani. Adapun strategi dasar yang dikembangkan dalam PUAP, adalah: (1) pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan PUAP, (2) optimalisasi potensi agribisnis di desa miskin yang terjangkau, (3) fasilitasi modal usaha bagi petani kecil, buruh tani dan rumah tangga tani miskin, dan (4) penguatan kelembagaan Gapoktan (Kementerian Pertanian 2013). Strategi operasional yang menyertai peluncuran PUAP, pada intinya memuat beberapa kegiatan, yaitu: Pertama, pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan PUAP dilaksanakan melalui: pelatihan bagi petugas pembina dan pendamping PUAP, rekrutmen dan pelatihan bagi Penyuluh dan PMT, pelatihan bagi pengurus Gapoktan, dan pendampingan bagi petani oleh penyuluh dan PMT. Kedua, mengoptimalkan potensi agribisnis di desa miskin yang terjangkau dilaksanakan melalui: identifikasi potensi desa, penentuan usaha agribisnis (hulu, budidaya dan hilir) unggulan, dan penyusunan serta pelaksanaan RUB berdasarkan usaha agribisnis unggulan. Ketiga, fasilitasi modal usaha bagi petani kecil, buruh tani dan rumah tangga tani miskin kepada sumber permodalan dilaksanakan melalui: (1) Penyaluran BLM PUAP kepada pelaku agribisnis melalui Gapoktan, (2) Pembinaan teknis usaha agribisnis dan alih teknologi, dan (3) fasilitasi pengembangan kemitraan dengan sumber permodalan lainnya. Keempat, penguatan kelembagaan Gapoktan dilaksanakan melalui: (1) Pendampingan Gapoktan oleh Penyuluh Pendamping, (2) Pendampingan oleh PMT di setiap Kabupaten/Kota, dan (3) Fasilitasi peningkatan kapasitas Gapoktan menjadi lembaga ekonomi yang dimilki dan dikelola petani. Secara operasional, terdapat sembilan tahapan yang dilalui dalam penyelenggaraan PUAP. Kesembilan tahapan itu memiliki ruang lingkup sebagai berikut (Kementerian Pertanian 2013): (1) Identifikasi dan verifikasi Desa calon lokasi serta Gapoktan penerima BLM PUAP, (2) Identifikasi, verifikasi dan penetapan Desa dan Gapoktan penerima BLM PUAP,
52 (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Pelatihan bagi fasilitator, penyuluh pendamping, pengurus Gapoktan, Rekrutmen dan pelatihan bagi PMT, Sosialisasi dan Koordinasi Kegiatan PUAP, Pendampingan, Penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), Pembinaan dan Pengendalian, Pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Pelaksanaan PUAP di Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat
Dinamika Penyebaran dan Pemanfaatan BLM per Sub Sektor Provinsi Jawa Barat menjadi sasaran nasional penyebaran dana BLM PUAP. Sampai tahun 2013, Provinsi ini menerima dana BLM PUAP untuk periode yang keenam kalinya sejak 2008. Total Gapoktan yang sudah menerima dana PUAP sebanyak 3.613 dari 131 kabupaten/kota, dengan dana yang sudah tersalur sebanyak Rp. 361,3 milyar. Distribusi Gapoktan penerima dana BLM PUAP disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Distribusi Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat PUAP, Provinsi Jawa Barat No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Kabupaten/Kota Bandung Bandung Barat Bekasi Bogor Ciamis Cianjur Cirebon Garut Indramayu Karawang Kota Banjar Kota Bogor Kota Cimahi Kota Cirebon Kota Depok Kota Sukabumi Kota Tasikmalaya Kuningan Majalengka Purwakarta Subang Sukabumi Sumedang Tasikmalaya Jumlah
2008 17 56 20 25 29 42 35 35 35 35 6 5 8 1 33 81 20 35 49 35 19 621
Jumlah Gapoktan Penerima Dana BLM PUAP 2009 2010 2011 2012 2013 28 53 41 48 22 31 34 22 12 7 15 21 13 15 8 23 26 25 47 21 23 18 53 74 7 101 91 70 14 10 34 58 72 62 15 28 58 26 52 23 28 22 29 60 35 23 25 36 36 14 6 7 6 10 11 8 3 6 6 2 1 7 7 7 8 2 1 2 6 1 7 11 13 17 16 29 19 38 65 12 79 33 36 25 9 15 35 22 29 35 57 44 72 6 3 37 14 28 29 16 60 50 24 13 5 58 40 42 16 17 702 686 694 641 269
Total 209 162 92 167 204 328 276 222 209 169 25 32 14 22 16 24 58 196 264 156 217 172 187 192 3.613
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Dana BLM-PUAP digunakan untuk anggota Gapoktan yang sudah mempunyai usaha, sehingga pengembalian dan kesinambungan program ini akan lebih terjamin. Berikut dikemukakan keragaan dana BLM PUAP yang terjadi pada setiap tahun di Provinsi Jawa Barat, sejak 2008 – 2013 (Tabel 10 – 15).
53 Penggunaan dana BLM-PUAP untuk Gapoktan penerima tahun 2008 di Jawa Barat, sebagian besar digunakan untuk usaha on-farm tanaman pangan seperti padi, kedelei, jagung, kacang tanah, sebesar 30,29%, diikuti dengan usaha Peternakan 12,21% (domba, ayam, bebek dan sapi), komoditas hortikultura 8,74% (cabe, tomat, buah-buahan), Perkebunan 1,97% (kakao, karet, lada), dan usaha di bidang off-farm (pemasaran, kerajinan, industri rumah tangga) 46,793%. Pada tahun 2008, jumlah Gapoktan yang menerima BLM PUAP tercatat 621 desa di 21 kabupaten/kota. Setiap desa mendapat dana BLM 100 juta rupiah, sehingga untuk tahun 2008 provinsi ini memperoleh dana BLM sebesar 62,1 milyar rupiah. Kabupaten paling banyak menerima dana BLM PUAP adalah Kabupaten Bandung Barat dan paling sedikit yaitu Kota Tasikmalaya. Jumlah Gapoktan yang menerima dana BLM PUAP tahun 2009 jumlahnya lebih banyak dibandingkan tahun 2008, yakni 702 Gapoktan berbanding 621 Gapoktan. Dana yang tersalurkan pada tahun 2009 sebesar Rp. 70,2 milyar. Distribusinya tiap wilayah kabupaten berkisar antara Rp. 200 juta hingga Rp. 10,1 milyar. Bedanya dengan tahun 2008 adalah ada penambahan satu wilayah penerima dana BLM PUAP pada tahun 2009, yakni masuknya Kota Cimahi (6 Gapoktan). Penyebaran dana penerima BLM PUAP per sub sektor tahun 2008 di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat PUAP tahun 2008 per sub sektor No.
Kabupaten/ Kota
Jumlah Desa/ Gapoktan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Bandung Bandung Barat Bekasi Bogor Ciamis Cianjur Cirebon Garut Indramayu Karawang Kuningan Majalengka Purwakarta Subang Sukabumi Sumedang Tasikmalaya Kota Banjar Kota Depok Kota Tasikmalaya Kota Sukabumi Jumlah Rata-rata
17 56 20 25 29 42 35 35 35 35 33 81 20 35 49 35 19 6 5 1 8 621 30
Realisasi Dana PUAP (%)
Realisasi BLM PUAP (RP.- 000)
Tan. Pangan
1.700.000 5.600.000 2.000.000 2.500.000 2.900.000 4.200.000 3.500.000 3.500.000 3.500.000 3.500.000 3.300.000 8.100.000 2.000.000 3.500.000 4.900.000 3.500.000 1.900.000 600.000 500.000 100.000 800.000 62.100.000 2.957.143
7,74 12,90 78,61 43,46 3,46 13,96 72,62 10,32 10,87 63,36 34,23 32,79 16,49 46,16 41,79 53,53 16,47 9,59 60,68 7,00 0,00 636,03 30,29
Horti 14,35 12,46 1,50 23,31 2,06 10,35 3,06 8,14 14,19 3,99 4,51 8,98 4,33 6,15 13,19 8,34 9,25 8,86 26,49 0,00 0,00 183,51 8,74
Kebun
Ternak
Off Farm
0,00 0,87 3,04 9,33 2,41 2,36 0,00 3,06 0,43 0,17 0,98 0,94 1,41 13,16 0,77 2,06 0,21 0,17 0,00 0,00 0,00 41,37 1,97
17,44 0,45 7,79 9,46 20,37 11,74 14,06 14,71 7,23 6,69 38,11 5,70 7,80 0,97 10,17 17,90 38,48 7,02 4,35 16,00 0,00 256,44 12,21
60,47 73,32 9,06 14,44 71,70 61,59 10,26 63,77 67,28 25,79 22,17 51,59 69,97 33,56 34,08 18,17 35,59 74,36 8,48 77,00 100 − 46,79
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Untuk alokasi dana BLM PUAP, hampir sama dengan Gapoktan penerima PUAP tahun 2008, usaha yang dilakukan dari dana BLM-PUAP tersebut masih
54 didominasi oleh usaha on-farm tanaman pangan yaitu sebesar 35,381%, hortikultura 7,884%, Perkebunan 6,523%, dan peternakan 7,403%, sedangkan kegiatan off-farm nya 42,809 % (Tabel 11). Tabel 11. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun 2009 per sub sektor No.
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Bandung Bandung Barat Bekasi Bogor Cianjur Ciamis Cirebon Garut Indramayu Karawang Kuningan Majalengka Purwakarta Subang Sukabumi Sumedang Tasikmalaya Kota Banjar Kota Cimahi Kota Depok Kota Sukabumi Kota Tasikmalaya Jumlah Rata-rata
Jumlah Desa/ Gap. 28 31 15 23 101 23 34 28 28 23 29 79 15 57 37 60 58 6 6 8 2 11 702 32
Realisasi BLM PUAP (RP.- 000) 2.800.000 3.100.000 1.500.000 2.300.000 10.100.000 2.300.000 3.400.000 2.800.000 2.800.000 2.300.000 2.900.000 7.900.000 1.500.000 5.700.000 3.700.000 6.000.000 5.800.000 600.000 600.000 800.000 200.000 1.100.000 70.200.000 3.213.636
Realisasi Dana PUAP Tan. Pangan 7,40 20,08 46,99 49,23 20,40 22,07 73,69 15,01 45,98 76,43 36,23 15,89 20,08 48,27 45,03 34,24 17,92 42,59 14,15 25,27 27,15 74,28 778,38 35,38
Horti 13,75 11,47 2,71 7,95 5,61 5,33 2,99 5,90 1,07 0,87 6,77 0,95 5,75 6,29 15,15 8,61 16,38 8,44 5,71 25,49 11,38 4,88 173,45 7,88
Kebun 1,71 0,00 0,21 0,00 2,46 24,68 11,03 11,06 0,36 0,00 0,05 0,25 1,22 9,92 5,00 18,73 1,38 11,45 15,38 7,88 13,93 6,81 143,51 6,52
Ternak 24,84 5,61 9,06 17,71 2,67 1,63 0,59 2,25 4,68 7,04 23,60 3,16 11,63 1,52 2,28 2,02 41,36 1,21 0,00 0,00 0,00 0,00 162,86 7,40
Off Farm 52,30 62,84 41,03 25,11 68,86 46,29 11,70 65,78 47,91 15,66 33,35 79,75 61,32 34,00 32,54 36,40 22,96 36,31 64,76 41,36 47,54 14,03 − 42,81
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Untuk penyaluran dana BLM PUAP tahun 2010, jumlah Gapoktan yang menerima dana tersebut relatif lebih sedikit dari tahun 2009, yakni 686 Gapoktan berbanding 702 Gapoktan. Jumlah dana yang tersalur sebesar Rp. 68,6 milyar. Namun sebaran kabupatennya mencapai seluruh wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, yakni 24 Kabupaten. Pada tahun 2010, ada penambahan Gapoktan penerima dana BLM PUAP yakni di Kota Bogor (10 Gapoktan) dan Kota Cirebon (1 Gapoktan). Kabupaten paling banyak menerima dana BLM PUAP adalah Kabupaten Cianjur (Rp. 9,1 milyar) dan paling sedikit yaitu Kota Cirebon (Rp. 100 juta). Alokasi penggunaan dana BLM PUAP, polanya hampir sama dengan tahun 2008 dan 2009 yaitu masih didominasi oleh sub sektor tanaman pangan sebesar 30,452%, diikuti oleh usaha hortikultura 9,507, Perkebunan 1,311%, sub sektor Peternakan 16,078% dan off-farm 41,612%. Penyebaran dana BLM PUAP per sub sektor pada Gapoktan tahun 2010 disajikan pada Tabel 12. Jumlah Gapoktan yang menerima dana BLM PUAP tahun 2011, bertambah delapan Gapoktan, relatif lebih banyak dari tahun 2010 Penambahan penerima dana ini terjadi pada Kota Bogor dan Kota Cirebon. Distribusi dana BLM PUAP terbesar yakni Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Subang, masing-
55 masing berjumlah Rp. 72 milyar, sedangkan distribusi dana terkecil yakni Kota Depok sebesar Rp. 100 juta. Tabel 12. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun 2010 per sub sektor No.
Kabupaten/ Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Bandung Bandung Barat Bekasi Bogor Cianjur Ciamis Cirebon Garut Indramayu Karawang Kuningan Majalengka Purwakarta Subang Sukabumi Sumedang Tasikmalaya Kota Banjar Kota Bogor Kota Cirebon Kota Cimahi Kota Depok Kota Sukabumi Kota Tasikmalaya Jumlah Rata-rata
Jumlah Desa/ Gap. 53 34 21 26 91 18 58 58 22 25 19 33 35 44 14 50 40 7 10 1 6 2 6 13 686 29
Realisasi BLM PUAP (RP.- 000) 5.300.000 3.400.000 2.100.000 2.600.000 9.100.000 1.800.000 5.800.000 5.800.000 2.200.000 2.500.000 1.900.000 3.300.000 3.500.000 4.400.000 1.400.000 5.000.000 4.000.000 700.000 1.000.000 100.000 600.000 200.000 600.000 1.300.000 68.600.000 2.862.500
Realisasi Dana PUAP (%) Tan. Pangan 21,27 21,14 55,90 38,80 17,70 38,16 45,34 18,41 55,05 56,67 37,22 45,00 27,73 27,73 29,69 38,19 30,00 41,83 19,28 0,00 5,33 5,00 39,07 30,00 739,49 30,81
Horti 11,41 15,06 4,49 15,11 6,88 4,09 6,89 10,59 4,73 12,22 3,34 17,00 7,07 7,07 9,76 10,74 12,00 2,55 9,78 0,00 4,00 48,00 5,86 14,00 240,64 10,03
Kebun 1,56 0,46 1,11 0,50 0,77 0,64 1,67 2,88 0,00 0,00 1,03 10,00 0,54 0,54 2,58 3,96 10,00 8,32 1,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,00 49,54 2,06
Ternak 26,06 10,38 9,21 27,38 6,50 32,04 24,31 13,33 9,75 1,83 38,19 20,00 19,11 19,11 3,41 20,70 10,00 14,47 25,81 0,00 12,46 7,50 16,10 5,00 377,64 15,74
Off Farm 39,70 52,97 29,29 18,22 68,16 25,07 21,79 54,80 30,48 29,28 20,22 8,00 45,55 45,55 54,56 26,41 38,00 32,82 44,14 100 78,21 39,50 38,97 49,00 − 41,36
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Alokasi penggunaan dana BLM PUAP tahun 2011, masih didominasi oleh sub sektor tanaman pangan sebesar 31,35%, diikuti oleh usaha hortikultura 10,15%, Perkebunan 2,07%, sub sektor Peternakan 15,32%., dan off-farm 41,11%. Sebaran penggunaan dana PUAP Tahun 2011 disajikan pada Tabel 13. Pada tahun 2012, jumlah Gapoktan yang menerima BLM PUAP tercatat 641 desa di 21 wilayah kabupaten/kota. Jumlah penerima dana BLM tahun 2012 relatif lebih sedikit dibanding tiga tahun sebelumnya, yakni 641 Gapoktan berbanding 702 Gapoktan di tahun 2009, 686 Gapoktan di tahun 2010, dan 694 Gapoktan di tahun 2011. Namun masih lebih banyak jika dibanding tahun 2008 (621 Gapoktan) dan tahun 2013 (269 Gapoktan). Dana yang disalurkan pada tahun 2012 sebesar Rp. 64,1 milyar. Distribusi tiap wilayah kabupaten berkisar antara Rp. 700 juta hingga Rp. 74 milyar. Tiga wilayah yang paling banyak menerima dana BLM PUAP adalah Kabupaten Ciamis (Rp. 74 milyar), diikuti Kabupaten Kuningan (Rp. 65 milyar) dan Kabupaten Cirebon (Rp. 62 milyar). Sedangkan wilayah yang paling sedikit menerima dana BLM PUAP adalah Kota Cirebon dan Kota Sukabumi, masingmasing menerima dana sebesar Rp. 700 juta rupiah.
56 Tabel 13. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun 2011 per sub sektor No,
Kabupaten/ Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Bandung Bandung Barat Bekasi Bogor Cianjur Ciamis Cirebon Garut Indramayu Karawang Kuningan Majalengka Purwakarta Subang Sukabumi Sumedang Tasikmalaya Kota Banjar Kota Bogor Kota Cirebon Kota Cimahi Kota Depok Kota Sukabumi Kota Tasikmalaya Jumlah Rata-rata
Jumlah Desa/ Gap. 41 22 13 25 70 53 72 26 29 36 38 36 22 72 28 24 42 6 11 7 2 1 1 17 694 54,5
Realisasi BLM PUAP (RP,- 000) 4.100.000 2.200.000 1.300.000 2.500.000 7.000.000 5.300.000 7.200.000 2.600.000 2.900.000 3.600.000 3.800.000 3.600.000 2.200.000 7.200.000 2.800.000 2.400.000 4.200.000 600.000 1.100.000 700.000 200.000 100.000 100.000 1.700.000 69.400.000 5,383,238
Realisasi Dana PUAP (%) Tan, Pangan 23,27 21,14 55,9 40,8 17,7 40,16 46,34 18,41 55,05 58,67 37,22 40,00 27,73 27,73 29,69 38,19 30,00 41,83 23,28 0 5,33 5,00 39,07 30,00 752,51 31,35
Horti 11,41 15,06 4,49 15,11 6,88 4,09 6,89 10,59 4,73 10,22 3,34 15,00 7,07 7,07 9,76 12,74 12,00 2,55 12,78 0 4 48,00 5,86 14,00 243,64 10,15
Kebun 1,56 0,46 1,11 0,5 0,77 0,64 1,67 2,88 0 0 1,03 10,00 0,54 0,54 2,58 3,96 10,00 8,32 1 0 0 0 0 2,00 49,56 2,07
Ternak 26,06 10,38 9,21 25,38 6,5 30,04 23,31 13,33 9,75 1,83 38,19 25,00 19,11 19,11 3,41 20,7 10,00 14,47 20,81 0 12,46 7,50 16,1 5,00 367,65 15,32
Off Farm 37,7 52,97 29,29 18,22 68,16 25,07 21,79 54,8 30,48 29,28 20,22 10,00 45,55 45,55 54,56 24,41 38,00 32,82 42,14 100 78,21 39,50 38,97 49,00 41,11
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Seperti halnya terjadi pada empat tahun sebelumnya, dana BLM PUAP yang didistribusikan tahun 2012, pemanfaatannya masih didominasi oleh sub sektor tanaman pangan yakni sebesar 29,43%, diikuti oleh usaha hortikultura 8,05%, Perkebunan 1,84%, dan Peternakan 13,97%. Sementara untuk sub sektor off-farm semebsar 34,22%. Sebaran penggunaan dana PUAP Tahun 2012 disajikan pada Tabel 14. Jumlah Gapoktan yang menerima dana BLM PUAP tahun 2013 jumlahnya paling sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya, yakni hanya berjumlah 269 Gapoktan. Hal ini mengindikasi bahwa desa yang masuk dalam kategori desa miskin di Provinsi Jawa Barat, sudah mulai habis dengan kata lain sudah terbagi semua. Terlihat dari lima wilayah yakni Kota Banjar, Kota Cimahi, Kota Depok, Kota Sukabumi, dan Kota Tasikmalaya sudah tidak mendapatkan alokasi dana BLM PUAP tahun 2013, artinya di lima kabupaten tersebut, desa miskin sudah tidak ada. Sehingga dari 24 kabupaten lingkup Jawa Barat, pada tahun 2013, wilayah yang mendapatkan dana BLM PUAP berjumlah 19 kabupaten/kota. Distribusi tiap wilayah kabupaten berkisar antara Rp. 300 juta hingga Rp. 35 milyar. Kabupaten paling banyak menerima dana BLM PUAP adalah Kabupaten Indramayu dan Purwakarta, masing-masing menerima Rp. 35 milyar. Sedangkan yang paling sedikit yaitu Kabupaten Subang dan Kota Bogor, masingmasing menerima Rp. 300 juta.
57 Tabel 14. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun 2012 per sub sektor No.
Kabupaten/ Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Bandung Bandung Barat Bekasi Bogor Cianjur Ciamis Cirebon Garut Indramayu Karawang Kuningan Majalengka Purwakarta Subang Sukabumi Sumedang Tasikmalaya Kota Bogor Kota Cirebon Kota Sukabumi Kota Tasikmalaya Jumlah Rata-rata
Jumlah Desa/ Gap. 48 12 15 47 14 74 62 52 60 36 65 25 29 6 29 13 16 8 7 7 16 641 30,52
Realisasi BLM PUAP (RP.- 000) 4.800.000 1.200.000 1.500.000 4.700.000 1.400.000 7.400.000 6.200.000 5.200.000 6.000.000 3.600.000 6.500.000 2.500.000 2.900.000 600.000 2.900.000 1.300.000 1.600.000 800.000 700.000 700.000 1.600.000 64,100,000 2.670.833
Realisasi Dana PUAP (%) Tan. Pangan 26,27 28,14 59,90 41,80 17,70 38,16 45,34 18,41 55,05 56,67 37,22 40,00 27,73 27,73 29,69 38,19 30,00 19,28 0,00 39,07 30,00 706,35 29,43
Horti 14,41 17,06 6,49 15,11 6,88 4,09 6,89 10,59 4,73 12,22 3,34 15,00 7,07 7,07 9,76 10,74 12,00 9,78 0,00 5,86 14,00 193,09 8,05
Kebun 1,56 0,46 2,11 2,50 0,77 0,64 1,67 2,88 0,00 0,00 1,03 10,00 0,54 0,54 2,58 3,96 10,00 1,00 0,00 0,00 2,00 44,24 1,84
Ternak 23,06 8,38 8,21 25,38 6,50 32,04 24,31 13,33 9,75 1,83 38,19 25,00 19,11 19,11 3,41 20,70 10,00 25,81 0,00 16,10 5,00 335,22 13,97
Off Farm 34,70 45,97 23,29 15,22 68,16 25,07 21,79 54,80 30,48 29,28 20,22 10,00 45,55 45,55 54,56 26,41 38,00 44,14 100 38,97 49,00 34,22
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Untuk Alokasi dana BLM PUAP tahun 2013, sebaran penggunaan dana terbesar masih untuk pembiayaan sub sektor tanaman pangan, yakni sebesar 28,60%, diikuti oleh usaha hortikultura 8,09%, Perkebunan 2,09%, Peternakan 13,01%., dan off-farm 27,38%. Sebaran penggunaan dana PUAP Tahun 2013 disajikan pada Tabel 15. Tidak semua Gapoktan mengalami peningkatan dana, tergantung permasalahan yang timbul dan cara mengatasinya. Gapoktan mendapatkan dana BLM PUAP dalam pelaksanaannya menghadapi banyak permasalahan, baik berasal dari internal maupun eksternal Gapoktan; diantaranya sebagai berikut: (a) masih banyak anggota Gapoktan beranggapan, bahwa BLM PUAP identik dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang tidak dikembalikan, (b) beberapa SDM Gapoktan kurang memadai dalam pengelolaan BLM PUAP, (c) aksesbilitas wilayah kerja PMT dan Penyuluh pendamping (PP) relatif rendah, tidak seimbang dengan luas wilayah dan jumlah Gapoktan binaannya, (d) terbatasnya dana untuk mendukung pelaksanaan rapat Koordinasi PUAP secara berkala, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Untuk melihat kinerja Gapoktan dalam mengelola dana BLM PUAP, perkembangan jumlah petani yang menerima, dan adopsi teknologi perlu dibandingkan antara Gapoktan berhasil dan kurang berhasil.
58 Tabel 15. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun 2013 per sub sektor No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kabupaten/ Kota Bandung Bandung Barat Bekasi Bogor Cianjur Ciamis Cirebon Garut Indramayu Karawang Kuningan Majalengka Purwakarta Subang Sukabumi Sumedang Tasikmalaya Kota Bogor Kota Cirebon Jumlah Rata-rata
Jumlah Desa/ Gap. 22 7 8 21 10 7 15 23 35 14 12 9 35 3 16 5 17 3 7 269 11.21
Realisasi BLM PUAP (RP.- 000) 2.200.000 700.000 800.000 2.100.000 1.000.000 700.000 1.500.000 2.300.000 3.500.000 1.400.000 1.200.000 900.000 3.500.000 300.000 1.600.000 500.000 1.700.000 300.000 700.000 26.900.000 1.120.833
Realisasi Dana PUAP (%) Tan. Pangan 29,27 33,14 59,90 44,80 22,70 40,16 45,34 21,41 57,05 56,67 39,22 45,00 32,73 35,73 35,69 38,19 30,00 19,28 0,00 686,28 28,60
Horti 18,41 20,06 7,49 16,11 8,88 6,09 6,89 12,59 6,73 12,22 3,34 12,00 7,07 10,07 13,76 10,74 12,00 9,78 0,00 194,23 8,09
Kebun 1,56 0,46 3,11 2,50 2,77 1,64 1,67 2,88 0,00 0,00 4,03 8,00 2,54 1,54 2,58 3,96 10,00 1,00 0,00 50,24 2,09
Ternak 20,06 8,38 7,21 22,38 9,50 32,04 24,31 16,33 9,75 1,83 36,19 27,00 19,11 18,11 3,41 20,70 10,00 25,81 0,00 312,12 13,01
Off Farm 30,70 37,97 22,29 14,22 56,16 20,07 21,79 46,80 26,48 29,28 17,22 8,00 38,55 34,55 44,56 26,41 38,00 44,14 100 27,38
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Perspektif Pemanfaatan Dana BLM PUAP A. Penyaluran/Distribusi Dana BLM pada Anggota Gapoktan Berdasarkan Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Rencana Usaha Bersama (RUB) disusun oleh GAPOKTAN berdasarkan Rencana Usaha Kelompok (RUK) dan Rencana Usaha Anggota (RUA). Penyusunan RUB oleh Gapoktan harus memperhatikan kelayakan usaha produktif petani, yaitu: (1) budidaya di sub sektor tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan, dan (2) usaha non budidaya meliputi usaha industri rumah tangga pertanian, pemasaran skala kecil/bakulan, dan usaha lain berbasis pertanian. Tahapan penyusunan RUB adalah sebagai berikut: bila dana BLM-PUAP sudah masuk ke rekening Gapoktan, kewajiban pertama pengurus Gapoktan mengumumkan kepada semua anggota, bahwa dana sudah masuk rekening. Selanjutnya melakukan pertemuan untuk membuat skedul untuk penyaluran dana tersebut. Kebijakan penyaluran untuk Propinsi Jawa Barat Tahun 2008 sampai dengan 2013 adalah sama yaitu dengan tahap I sebesar 30%, tahap II 30% dan tahap III sebesar 40%. Kebijakan pencairan dana BLM-PUAP harus diketahui dan ditanda tangani oleh Ketua Tim Tekis kabupaten/Kota. Besarnya dana BLM yang didistribusikan kepada anggota tergantung kepada RUA (Rencana Usaha Anggota). Karena dana BLM-PUAP ini hanya diperuntukan bagi anggota rumah tangga tani yang miskin, maka pinjaman tidak melebihi Rp. 2 juta. Mekanisme penyaluran dananya yaitu setiap anggota tani mengisi formulir isian (RUA) sesuai kebutuhan yang ditanda tangani oleh anggota tani dan
59 diketahui oleh penyuluh pendamping dan ditandatangani oleh Ketua Kelompok Tani (Poktan). Penyuluh pendamping dan ketua Poktan melakukan evaluasi terhadap kelayakan RUA tersebut. Bila sudah layak usulannya sesuai dengan usaha yang dilakukan, selanjutnya Poktan melakukan rekapitulasi untuk segera diajukan ke Gapoktan. RUK disusun oleh kelompok tani anggota gapoktan berdasarkan RUA. Penyusunan RUA harus memperhatikan hasil identifikasi potensi agribisnis yang dilakukan oleh Penyuluh Pendamping mencakup: (a) usaha budidaya di sub sektor tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan, dan (b) usaha non budidaya meliputi usaha industri rumah tangga pertanian, pemasaran skala kecil/bakulan, dan usaha lain berbasis pertanian (tanaman pangan/hortikultura/ peternakan/ perkebunan). RUK diajukan oleh kelompok tani kepada pengurus Gapoktan meliputi: (a) rincian nama petani anggota, (b) usaha produktif sesuai dengan Pedum PUAP, (c) volume usaha dan biaya, serta (d) nilai usaha dan ditandatangani petani anggota. Setelah semua dokumen persyaratan lengkap, sesuai dan syah, barulah dana BLM PUAP dicairkan oleh Gapoktan melalui bendahara kepada ketua Poktan. Langkah selanjutnya, Poktan mendistribusikan kembali kepada para petani anggota. Besarnya dana BLM PUAP yang diterima oleh masing-masing petani anggota disesuaikan dengan RUA. Selama penggunaan dana BLM PUAP, pengurus Gapoktan beserta Poktan melakukan pengawasan dan pendampingan petani anggota (peminjam) dalam hal pemanfaatannya, hal ini dimaksudkan untuk menghindari penyelewengan dana. Begitu juga dalam hal pengembalian pinjaman tersebut, sebelum batas akhir pinjaman (jatuh tempo), petani sudah diingatkan oleh pengurus Gapoktan dan Poktan untuk melakukan pembayaran tepat waktu. Para petani (peminjam) melakukan pembayaran (hutang pokok + bunga) kepada Poktan, selanjutnya Poktan yang akan menyetorkan kepada Gapoktan. Besarnya bunga pinjaman disepakati dan diputuskan dalam rapat anggota, umumnya antara 1,5% – 2% per bulan, dari bunga ini nantinya dialokasikan untuk penggajikan pengurus Gapoktan, kas Gapoktan, dan SHU peminjam. Alur petani peminjam dengan Gapoktan dapat dilihat pada Gambar 4. KETUA GAPOKTAN
BENDAHARA USP/LKM A
SEKRETARIS
POKTAN
POKTAN
POKTAN
POKTAN
PETANI
PETANI
PETANI
PETANI
Gambar 6. Alur Petani Peminjam dengan Gapoktan Sumber: Kementerian Pertanian (2013)
POKTAN
PETANI
60 B. Pemanfaatan BLM oleh Petani Anggota dalam Menerapkan Teknologi Penyaluran dana BLM-PUAP pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan usaha agribisnis yang dilakukan oleh petani peserta PUAP agar pendapatan petani meningkat dan keluar dari kemiskinan. Untuk mendorong pengembangan usaha agribisnis yang dilakukan petani, maka diperlukan inovasi teknologi agribisnis yang mampu meningkatkan produktivitas secara signifikan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan kegiatan diseminasi teknologi yang dapat dilakukan melalui pelatihan, pembuatan demplot, distribusi leaflet, brosur dsb, terutama untuk komoditas pertanian yang banyak diusahakan oleh petani peserta PUAP. Kegiatan diseminasi teknologi yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pelatihan teknologi usaha agribisnis bagi PPL pendamping dan petani peserta PUAP, 2. Pembuatan demplot teknologi usaha agribsnis di kecamatan lokasi PUAP, 3. Distribusi benih VUB teknologi agribisnis di Kecamatan lokasi PUAP, 4. Distribusi juknis dan leaflet teknologi usaha agribisnis di kecamatan lokasi PUAP. Kegiatan fasilitasi dilakukan dengan cara pendampingan teknologi yang dilakukan PUAP yang terintegrasi dengan SL-PTT, FEATI dan Prima Tani. Pendampingan teknologi dilakukan terhadap 4 komoditas yaitu padi sawah, kedelei, padi gogo dan kacang tanah. Materi pendampingan teknologi yaitu penerapan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada masing-masing komoditas disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Jenis inovasi teknologi pada masing-masing komoditas Padi 1. Varietas Unggul Baru (VUB) 2. Benih berlabel dan bermutu 3. Pupuk organik 4. Cara tanam legowo 2 5. Pemupukan anorganik spesifik lokasi 6. Pemberian pupuk Urea berdasarkan BWD 7. Pengendalian OPT berdasarkan konsep PHT 8. Bibit muda < 21 hss 9. Jumlah bibit 2-3 per lubang 10. Pengairan berselang 11. Penyiangan dengan lalandak/gasrok 12. Panen tepat waktu
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Inovasi Teknologi Kedele Padi Gogo Varietas Unggul 1. Benih bermutu dan Pengolahan tanah berlabel Pembuatan saluran 2. Seed treatment drainase 3. Pemberian pupuk Pengendalian OPT organik berdasarkan konsep 4. Cara tanam legowo PHT 2 Pemupukan 5. Tanam benih mak 5 berimbang butir/lubang Pemberian bahan 6. Pemupukan organik anorganik spesifik Pengaturan lokasi pemberian air 7. Pengendalian OPT Panen tepat waktu berdasarkan PHT 8. Panen tepat waktu, dan segera dirontog Tanam cara mozaik (dalam satu hamparan 3 varietas)
Kacang tanah 1. Varietas Unggul 2. Pengolahan tanah 3. Pembuatan saluran drainase dan pembumbunan 4. Pengendalian OPT berdasarkan konsep PHT 5. Pemupukan berimbang 6. Pemberian bahan organik 7. Pengaturan pemberian air 8. Panen tepat waktu
61 Melalui kegiatan Pengkajian dan peragaan, anggota/petani penerima BLM-PUAP menerima bimbingan dari penyuluh pendamping dengan melihat contoh langsung di lapangan. Disamping itu juga ada kegiatan display varietas yang dilakukan oleh SL-PTT bersinergi dengan kegiatan PUAP, sehingga saling melengkapi dan petani dapat mengetahui dan memilih varietas mana yang disukai dan sesuai dengan lahan usahataninya. Tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan produktivitas dari masing-masing komoditas yang dikelola oleh petani sebagai usahanya, juga agar komponen teknologi PTT lebih spesifik lokasi (sesuai kondisi setempat) dan untuk mempercepat transfer teknologi oleh petugas lapang ke petani sebagai pengguna teknologi (Irawan dan Nurawan 2010). C. Peranan Dana BLM PUAP Terhadap Penguatan Modal Sesuai pedum Gapoktan penerima BLM adalah Gapoktan yang dibentuk dan dibina oleh Dinas atau Badan terkait, dan anggota tani yang mendapatkan adalah petani yang miskin, tidak bankable, sulit akses ke bank, tetapi aktif di dalam oraganisasi Gapoktan. Sasaran PUAP itu sendiri adalah petani-petani gurem, yang sebelumnya sudah mempunyai usaha baik on-farm maupun off-farm di bidang pertanian. Adanya BLM-PUAP ini kapasitas produksi lebih dapat ditingkatkan dan usahanya dapat berjalan dengan lebih lancar lagi. Hal ini terbukti dari GapoktanGapoktan penerima BLM-PUAP Tahun 2008, modalnya makin menguat dan bertambah. Dari total Rp. 62,1 milyar dana BLM PUAP yang disalurkan tahun 2008 telah berkembang menjadi Rp. 68,39 milyar pada Desember 2011, atau meningkat sekitar 10,13%. Peningkatan tertinggi terjadi di Kabupaten Bandung yakni sebesar 37,06%. Sementara yang terkecil bahkan minus terjadi di Kabupaten Cianjur (-0,97%), hal ini diakibatkan adanya dana yang masih tertunggak di petani. Proporsi peningkatan paling tinggi terjadi di Kabupaten Bandung, diikuti Ciamis dan Kota Tasikmalaya. Perkembangan dana BLM PUAP pada Gapoktan 2008 disajikan pada Tabel 17. Berbeda dengan kondisi Gapoktan penerima dana tahun 2008, untuk Gapoktan penerima dana tahun 2009 di masing-masing kabupaten/kota perkembangan dananya lebih cepat, mengingat untuk Gapoktan penerima dana tahun 2009 ini lebih terencana dan persiapannya lebih matang, dengan kata lain sudah ada pembelajaran dari tahun sebelumnya. Terlihat dari sudah terbitnya kelengkapan materi baik pedoman umum, juklak maupun juknis untuk pendampingan kepada Gapoktan 2009 sebelum dana ditranfer ke rekening Gapoktan. Sehingga para pengurus Gapoktan mengetahui aturan main dan tatacara pengelolaan dana BLM PUAP ini. Dana BLM PUAP di tiap kabupaten telah mengalami perkembangan. Hal itu ditunjukkan oleh besaran nilai Dana BLM PUAP pada tahun buku 2011. Dari total Rp. 70,2 milyar dana BLM PUAP yang disalurkan tahun 2009 telah berkembang menjadi Rp. 92,7 milyar pada Desember 2011, atau meningkat sekitar 32,06%. Peningkatan ini relatif lebih besar jika dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 10,13% berbanding 32,06%. Proporsi peningkatan paling tinggi terjadi di Kabupaten Sumedang (61,92%) dan terkecil Kabupaten Kuningan (6,66%). Kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 18.
62
Tabel 17. Perkembangan dana bantuan langsung masyarakat PUAP tahun 2008 di Provinsi Jawa Barat, per 31 Desember 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Kabupaten/Kota Bandung Bandung Barat Bekasi Bogor Ciamis Cianjur Cirebon Garut Indramayu Karawang Kuningan Majalengka Purwakarta Subang Sukabumi Sumedang Tasikmalaya Kota Banjar Kota Depok Kota Tasikmalaya Kota Sukabumi Jumlah
Jumlah Desa/ Gapoktan 17 56 20 25 29 42 35 35 35 35 33 81 20 35 49 35 19 6 5 1 8 621
Realisasi BLM PUAP (Rp. 000) 1.700.000 5.600.000 2.000.000 2.500.000 2.900.000 4.200.000 3.500.000 3.500.000 3.500.000 3.500.000 3.300.000 8.100.000 2.000.000 3.500.000 4.900.000 3.500.000 1.900.000 600.000 500.000 100.000 800.000 62.100.000
Perkembangan Dana s/d 2011 (Rp. 000) 2.330.140 6.322.865 2.155.663 2.715.155 3.733.423 4.159.258 3.811.726 4.321.622 3.850.000 3.547.817 3.450.000 8.251.000 2.366.958 3.931.157 5.251.757 3.760.295 2.209.059 660.588 545.255 122.762 895.327 68.391.827
Peningkatan (%) 37,06 12,91 7,78 8,61 28,74 -0,97 8,91 23,47 10,00 1,37 4,54 1,86 18,34 12,32 7,18 10,41 16,27 10,09 9,05 22,76 11,91 10,13
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Tabel 18. Perkembangan dana bantuan langsung masyarakat 2009 di Provinsi Jawa Barat, per 31 Desember 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19 20. 21. 22.
Kabupaten/Kota Bandung Bandung Barat Bekasi Bogor Cianjur Ciamis Cirebon Garut Indramayu Karawang Kuningan Majalengka Purwakarta Subang Sukabumi Sumedang Tasikmalaya Kota Banjar Kota Cimahi Kota Depok Kota Sukabumi Kota Tasikmalaya Jumlah
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Jumlah Desa/ Gapoktan 28 31 15 23 101 23 34 28 28 23 29 79 15 57 37 60 58 6 6 8 2 11 702
Realisasi BLM PUAP (Rp. 000) 2.800.000 3.100.000 1.500.000 2.300.000 10.100.000 2.300.000 3.400.000 2.800.000 2.800.000 2.300.000 2.900.000 7.900.000 1.500.000 5.700.000 3.700.000 6.000.000 5.800.000 600.000 600.000 800.000 200.000 1.100.000 70.200.000
Perkembangan Dana s/d 2011 (Rp. 000) 3.500 000 4.301.817 1.841.980 3.000.000 11.179.000 3.580.938 4.969.687 3.371.552 3.600.000 3.540.325 3.093.000 8.693.575 2.427.495 8.639.490 4.845.625 9.715.436 7.963.197 964.860 758.425 1.200.202 271.752 1.250.000 92.708.356
Peningkatan (%) 25.00 38.77 22.80 30.43 10.68 55.69 46.17 20.41 28.57 53.93 6.66 10.05 61.83 51.57 30.96 61.92 37.30 60.81 26.40 50.03 35.88 13.64 32,06
63 D. Pembentukan dan Perkembangan LKM-A Tujuan pembentukan LKM-A adalah mengenalkan dan membiasakan anggota untuk menabung dan berlaku produktif, menyediakan kebutuhan modal, membudayakan pengelolaan ekonomi rumah tangga dengan tertib, membangun sikap hidup hemat, cermat dan bijaksana dalam penggunaan uang serta membangun jiwa wirausaha. Sesuai pedum, bahwa pembentukan LKM-A baru dapat dilaksanakan pada tahun ketiga, dimana tahun pertama merupakan usaha simpan pinjam, tahun kedua Unit Permodalan Gapoktan (UPG). Pada dasarnya pembentukan LKM-A yang sesunguhnya di dalam Gapoktan tidaklah mudah, mengingat pengurus Gapoktan masih disibukan dengan berbagai adimistrasi dalam Gapoktan itu sendiri. LKM-A sendiri dibentuk oleh Gapoktan, dan kedudukannya sama dengan seksi-seksi lainnya yang mendukung Gapoktan dalam hal pengelolaan dana. Seperti yang sudah dikemukakan dilatar belakang, bahwa Gapoktan penerima dana BLM PUAP tahun 2008 -2011 lingkup Provinsi Jawa Barat, sudah berhasil menumbuhkembangkan LKM-A sebanyak 151 LKM-A dari 2.703 desa (Gambar 1), jumlah ini masih sangat sedikit, hanya 5,3% pertumbuhannya. Jika dilihat dari peraturan yang ada di Pedum PUAP, idealnya pada tahun ketiga, Gapoktan penerima dana BLM PUAP seharusnya sudah membentuk LKM-A. Berititik tolak dari uraian tersebut, menurut Hermawan dan Andrianyta (2012) bahwa faktor yang menghambat tumbuh dan berkembangnya LKM-A terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup beberapa aspek, antara lain pengurus belum mencapai realisasi penyaluran dana, penggalangan dana belum berjalan dengan baik, penguasaan sistem pembukuan masih lemah. Ditambah pula pencairan dana ke petani yang dilakukan oleh Gapoktan terlambat, Gapoktan masih kurang memahami cara pembuatan laporan/pengisian blangko laporan yang tersedia dan lembaga keuangan mikro, meskipun bimbingan telah diberikan. Faktor internal yang juga menghambat yakni ketua poktan tidak membagikan dana seluruhnya ke anggota karena takut anggotanya tidak mau membayar bahkan ada pengurus Gapoktan yang beranggapan jika LKM-A terbentuk maka peran dari Gapoktan itu sendiri akan hilang. Disamping itu kurangnya keterampilan atau keahlian dalam hal pembukuan yang sesuai dengan standar lembaga keuangan resmi. Di sisi lain, faktor eksternal yang dihadapi meliputi beberapa aspek diantaranya terdapat pemahaman yang salah terhadap dana BLM PUAP. Sebagai contoh ada kecenderungan masyarakat/petani saat ini menganggap apapun bentuk bantuan adalah gratis (tidak perlu dikembalikan seperti halnya BLT). Lagipula, terdapat penjadwalan ulang Rencana Usaha Anggota (RUA) dalam penggunaan dana oleh petani dan masalah jarak yang jauh diikuti oleh sarana transportasi yang kurang memadai sehingga pembinaan Penyelia Mitra Tani (PMT) menjadi terkendala. Upaya pemecahan masalah tersebut membutuhkan peran aktif dari berbagai pihak, terutama pemerintah khususnya Kementerian Pertanian. Oleh sebab itu, perlu diambil langkah-langkah dalam rangka perbaikan program ke depan. Langkah-langkah perbaikan diantaranya adalah mempercepat waktu pengajuan usulan penerima program dari tahun sebelum pelaksanaan, atau memperpendek proses seleksi calon penerima bantuan sehingga pencairan
64 bantuan dapat dilakukan lebih cepat sesuai dengan masa tanam petani. Selanjutnya, melaksanakan pemantauan secara berkelanjutan melalui kunjungan dan laporan dari lapangan, mengevaluasi pelaporan penyaluran dana secara berkala. Langkah berikutnya adalah melaksanakan pembinaan dan pendampingan terhadap Gapoktan pelaksana program PUAP khususnya dalam rangka menumbuhkembangkan LKM-A. Selanjutnya adalah memberikan pembinaan dan meluruskan paradigma petani anggota dan pengurus Gapoktan tentang dana PUAP bukanlah BLT meningkatkan peran penyuluh lapangan dan PMT dalam pengelolaan dana, realisasi dana, pelaporan keuangan, serta pendampingan teknologi. Tidak kalah penting adalah mengedepankan penguatan kelembagaan kelompok tani melalui beragam kegiatan bersama dalam seluruh rangkaian baik apresiasi LKM-A maupun apresiasi teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan PUAP dan peningkatan keterampilan di bidang teknologi yang berkaitan dengan usaha produktif di lokasi PUAP. Diawal berdirinya LKM-A di Jawa Barat memiliki aturan main sebagai berikut: (1) LKM-A berasal dari unit otonom simpan pinjam yang berada pada Gapoktan, (2) pengelola LKM-A dipilih dalam rapat anggota diwakili oleh pengurus Poktan dan Gapoktan, (3) pengelola LKM-A tidak boleh dirangkap oleh pengurus Gapoktan, dan (4) struktur LKM-A ditentukan dalam rapat anggota.Gapoktan membuat surat penunjukan tentang pengelolaan LKM-A. Adapun LKM-A tahap pembentukan awal seperti yang disajikan pada Gambar 7 dan perkembangannya pada Gambar 8. MANAJER
KASIR
ADMINISTRASI PEMBUKUAN
Gambar 7. Struktur LKM-A Tahap Awal Berdiri Sumber: Kementerian Pertanian (2013) MANAJER
KASIR
SEKSI PENGGALANGAN DANA
SEKSI ADMINISTRASI PEMBUKUAN
Gambar 8. Perkembangan Struktur LKMA di Jawa Barat Sumber: Kementerian Pertanian (2013)
SEKSI ADMINISTRASI PEMBUKUAN
65 Model pengelolan LKM-A di Jawa Barat ada dua bentuk yaitu: (1) cara konvensional, memakai jasa bunga (90%), dan (2) cara syariah, memakai sistem bagi hasil (10%). Biaya operasional terdiri dari: (1) biaya administrasi (ATK), (2) honor pengelola, dan (3) biaya lainnya. Keseluruhan biaya pengeluaran didapat dari Gapoktan. Profil LKM-A di Jawa Barat umumnya mengikuti arahan ketua Tim Pembina Provinsi/Kabupaten yaitu: (a) organisasi: Manejer, kasir dan pembukuan atau manejer, kasir, pembiayaan, pembukuan dan penggalangan dana, (b) SDM: sudah mendapat pembekalan LKM-A, (c) ruang dan perangkat adm (ATK, mesin tik, atau komputer, dll), (d) melakukan penggalangan dana: Sosialisasi ke Poktan/anggota, perantau dan pihak lainnya, (e) menghimpun dana awal (Iuran pokok dan Iuran wajib). Anggota punya buku tabungan, Anggota/pendiri diarahkan untuk mempunyai simpanan khusus di LKM-A untuk meningkatkan rasa memiliki, (f) rapat anggota dilakukan secara berkala, (g) Penyertaan dana PUAP Rp 100 juta di pindahkan/ transfer dari Gapoktan ke LKM-A, (h) adminstrasi keuangan telah memiliki Buku Jurnal, Buku besar , Kartu pembantu (sebanyak jenis usaha), Rekening LKM-A di Bank, dan (i) penyaluran dana PUAP ke petani (syaratnya anggota Gapoktan, RUA, permohonan pinjaman melalui ketua poktan, kuitansi, jangka waktu pinjaman paling lama 10 bulan, pengembalian secara bulanan atau yarnen). Proses Seleksi Desa dan Pemilihan Gapoktan Penerima PUAP Dasar pemilihan desa PUAP berdasarkan indikator desa miskin dan tertinggal serta berbasis pertanian. Desa miskin yang dimaksud adalah desa yang secara ekonomi pendapaan per kapitanya per tahun berada di bawah standar minimum pendapatan per kapita nasional dan infrastruktur desa yang sangat terbatas. Selain itu, hal yang terpenting dalam penentuan desa PUAP yakni belum adanya program strategis dari pemerintah pada desa tersebut seperti Prima Tani, Feati, SLPTT, Gernas Kakao, dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan supaya jangan terjadi tumpang tindih antar program dan untuk pemerataan dalam penerapan program strategis pemerintah. Kegiatan identifikasi desa dilaksanakan sesuai prosedur/juklak yang sudah ditetapkan oleh TIM PUAP Pusat. Adapun kriteria dan penentuan desa calon lokasi PUAP diantaranya: (1) desa berbasis pertanian, diutamakan desa miskin, (2) memiliki Gapoktan yang sudah aktif, dan (3) desa yang belum pernah memperoleh dana BLM PUAP. Penentuan jumlah desa calon lokasi PUAP per kabupaten/kota, dengan pertimbangan yaitu: (1) jumlah desa yang belum mendapatkan PUAP, (2) jumlah alokasi desa PUAP yang telah direalisasikan sebelumnya, (3) alokasi dana pendukung untuk pembinaan yang disediakan oleh kabupaten/kota, dan (4) adanya potensi integrasi lokasi desa dengan program/kegiatan lainnya. Kriteria dalam penentuan Gapoktan calon penerima dana BLM PUAP diantaranya memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengelola usaha agribisnis, mempunyai kepengurusan yang aktif dan dikelola oleh petani, dan pengurus Gapoktan adalah petani, bukan Kepala Desa/Lurah atau Sekretaris Desa/Sekretaris Lurah. Gapoktan yang akan diusulkan sebagai calon penerima dana BLM PUAP, diketahui oleh Kepala Desa dan Kepala Balai Penyuluhan
66 Kecamatan (BPK). Pada setiap desa calon lokasi PUAP, akan ditetapkan satu Gapoktan penerima dana BLM PUAP. Tahapan pengusulan desa, Gapoktan dan pengurus calon pnerima BLM PUAP dapat melalui Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk, aspirasi masyarakat, dan Unit Kerja Eselon I Lingkup Kementerian Pertanian. Adapun tahapannya sebagai berikut: 1. Tim Teknis Kecamatan melakukan identifikasi dan verifikasi desa, Gapoktan, dan pengurus calon penerima BLM PUAP, mengacu kepada kriteria yang sudah ditetapkan, 2. Hasil identifikasi dan verifikasi desa, Gapoktan dan Pengurus oleh Tim Teknis Kecamatan selanjutnya diusulkan kepada Tim Teknis Kabupaten/Kota, kemudian diteruskan kepada Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk, untuk diusulkan kepada Tim PUAP pusat, 3. Desa, Gapoktan dan pengurus calan penerima BLM PUAP yang disampaikan melalui aspirasi masyarakat dan Unit Kerja Eselon I lingkup Kementerian Pertanian diusulkan langsung kepada Tim PUAP Pusat. Penetapan desa, Gapoktan, dan pengurus penerima dana BLM PUAP sebagai berikut: 1. Tim PUAP Pusat melakukan sinkronisasi terhadap usulan dari Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk, aspirasi masyarakat dan Unit Kerja Eselon 1 lingkup Kementerian Pertanian, 2. Tim PUAP Pusat melakukan verifikasi terhadap usulan desa, Gapoktan, dan pengurus calon penerima dana BLM PUAP 2014 menjadi Daftar Nominatif Sementara (DNS) PUAP, 3. DNS desa, Gapoktan, dan pengurus calon penerima dana BLM PUAP tersebut oleh Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian disampaikan kepada Tim Teknis PUAP Kabupaten/Kota melalui Tim Pembina PUAP Provinsi untuk diverifikasi yang meliputi Desa, Gapoktan, dan Pengurus (Ketua, Sekretaris dan Bendahara) Gapoktan, 4. Tim Teknis Kabupaten/Kota menyampaikan hasil verifikasi DNS berikut kelengkapan dokumen bagi Gapoktan yang telah memenuhi persyaratan Pembina PUAP Provinsi c.q Sekretariat Tim Pembina PUAP Provinsi, dan 5. Berdasarkan hasil verifikasi Tim PUAP Pusat, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian atas nama Menteri Pertanian menetapkan Gapoktan Penerima dana BLM PUAP dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Pertanian. Adapun mekanisme usulan dan penetapan desa, Gapoktan, dan pengurus Gapoktan calon penerima dana BLM PUAP disajikan pada Gambar 9.
67
Gambar 9. Alur usulan dan penetapan desa, gapoktan, dan pengurus Sumber: Kementerian Pertanian (2013)
Sistem Penyaluran Dana BLM PUAP Kepada Petani Sistem penyaluran dana BLM PUAP dari Gapoktan kepada petani diatur dalam Anggarn Dasar/Anggaran Rumah Tangga Anggota (AD/ART) yang merupakan hasil kesepakatan bersama atara pengurus Gapoktan, Penyuluh Pertanian sebagai pendamping, dan petani. Setelah terdaftar dan memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai anggota, maka petani anggota Gapoktan telah berhak meminjam dana BLM PUAP sebagai modal usahatani dari Gapoktan. Syarat dan ketentuan untuk memperoleh pinjaman dana BLM PUAP harus dipenuhi dan dilengkapi oleh petani. Jika syarat pinjaman tidak dapat dipenuhi, maka petani tidak berhak untuk memperoleh pinjaman.
68 Syarat untuk memperoleh pinjaman dana BLM PUAP di Gapoktan sampel, yaitu: (1) terdaftar sebagai anggota, (2) memenuhi kewajiban sebagai anggota, (3) foto kopi KTP/Kartu Keluarga, (4) pas photo 3x4, (5) akad qirat (kredit) bermaterai 6.000, (6) surat pernyataan, dan (7) Rencana Usaha Anggota (RUA). Adapun prosedur peminjaman dana BLM PUAP di Gapoktan sampel, adalah sebagai berikut: 1. Anggota waib mengisi formulir permohonan (menggunakan materai 6.000) melalui pengurus kelompok tani asalnya, 2. Apabila permohonan dikabulkan tim kredit, anggota tersebut menyerahkan jaminan sesuai pinjamannya, 3. Anggota beserta penjamin 3 orang, terdiri atas 2 orang tokoh masyarakat, dan 1 orang saksi dari keluarga, ketiganya harus menandatangani akte perjanjian pinjaman dihadapan panitia kredit, 4. Peminjam dikenakan jasa pinjaman sebesar 2% per bulan, 5. Tenggang waktu pinjaman (jangka waktu pinjaman 4 bulan atau satu musim tanam). Secara operasioal penyaluran dana BLM PUAP kepada petani anggota, sepenuhnya merupakan kebijakan dari Gapoktan. Kebijakan yang diterapkan oleh Gapoktan merupakan hasil musyawarah dengan seluruh petani anggota. Kebijakan penyaluran dana BLM PUAP untuk masing-masing Gapoktan sangat bervariatif. Bagi Gapoktan PUAP yang menjadi sampel seperti Gapoktan Saluyu Utama dan Mitra Tani (PUAP 2008), pembagian pinjaman kepada seluruh anggota yakni secara merata sebesar Rp. 1 juta, sementara Gapoktan Mitra Tani (PUAP 2010) sebesar Rp. 2 juta. Hal ini sebagai upaya untuk mencegah terjadinya konflik internal antara pengurus dengan petani anggota, dan kecemburuan sosial diantara sesama petani anggota. Sedangkan kebijakan penyaluran pinjaman/kredit yang diterapkan oleh Gapoktan non PUAP, yakni berdasarkan skala usaha petani anggota atau luas lahan garapan. Bagi petani anggota yang menggarap lahan sawah seluas satu hektar, akan berbeda jumlah pinjaman yang diterima oleh petani yang menggarap lahan sawah dengan luasan kurang dari satu hektar. Kebijakan lainnya, terkait pimjaman yakni reward and punishment. Bagi petani yang tingkat pengembalian pinjaman lancar, maka pinjaman pada musim tanam berikutnya flapon pinjamannya akan dinaikkan. Namun sebaliknya, jika tidak lancar atau bahkan macet, maka petani tersebut akan kena sanksi sosial, seperti tidak akan diberikan pinjaman atau bentuk bantuan lainnya, bahkan akan dikeluarkan dari keanggotaan Gapoktan.
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Responden yang dijadikan objek penelitian ini terbagi menjadi kelompok aksi (responden yang telah mendapatkan pinjaman dana bergulir PUAP) dan kelompok kontrol (responden yang belum mendapatkan pinjaman dana bergulir PUAP) di dua kecamatan yang berbeda. Deskripsi karakteristik responden dilihat dari beberapa kriteria antara lain Usia, tingkat pendidikan, lama pengalaman
69 bertani, luas kepemilikan lahan, status kepemilikan lahan, dan jumlah tanggungan keluarga dan status pekerjaan utama. 1.
Usia Responden
Berdasarkan kriteria usia, petani sampel dibagi menjadi tiga kelompok usia yaitu kelompok usia 21-40 tahun, kelompok 41-60 tahun, dan kelompok usia 6180 tahun. Distribusi responden dari masing-masing kelompok usia disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Distribusi responden menurut golongan umur Usia 21-40 41-60 61-80 Jumlah
Petani PUAP Frekuansi 7 23 0 30
% 23,33 76,67 0,00 100,00
Petani Non PUAP Frekuensi % 19 63,33 10 33,33 1 3,33 30 100,00
Tabel 19, menunjukkan bahwa petani PUAP sebagian besar berada pada rentang usia 41-60 tahun (76,67%), dimana rentang usia tersebut masuk kedalam usia produktif. Pada fase ini umumnya petani sangat responsif dan terbuka terhadap berbagai informasi dari luar yang sifatnya untuk perbaikan dalam usahatani. Berbeda dengan petani sampel non PUAP, mendominasi pada rentang usia muda (21-40). Fase usia ini, secara psiologis masih taraf belajar, dan kecendrungan untuk menolak informasi dari luar masih tinggi. Petani umumnya dalam melakukan kegiatan usahatani masih melanjutkan pola turun temurun dari orang tuanya sebagai petani. Selain itu, didalam sampel petani Non PUAP terdapat responden yang berusia lanjut dan tergolong bukan usia produktif. Fase usia ini, umumnya dalam melakukan usahatani cenderung mengaplikasikan yang sudah dia dapat dari dulu. Sulit untuk melakukan pembaharuan atau mengadopsi teknologi yang baru. 2.
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan yang banyak ditempuh oleh responden umumnya setingkat sekolah dasar (SD) dan SLTP. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari SD dan SLTP masih sedikit ditempuh oleh responden. Hanya sebagian kecil dari petani yang mengenyam pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Gambaran umum tingkat pendidikan responden disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan formal Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SLTP SLTA Jumlah
Petani PUAP Frekuensi % 0 0,00 16 53,33 10 33,33 4 13,33 30 100,00
Petani Non PUAP Frekuensi % 0 0,00 18 60,00 8 26,67 4 13,33 30 100,00
70 Tabel 20, dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden hanya memiliki jenjang pendidikan pada tingkat SD. Hal ini terlihat pada responden grup petani PUAP memiliki persentase sebesar 63,33% dan kelompok petani Non PUAP memiliki persentase 60% pada tingkat pendidikan SD. Sedangkan responden yang tamatan SLTP pada kelompok petani PUAP sebesar 33,33%, dan pada kelompok petani Non PUAP sebesar 26,67%. Sementara untuk tamatan SLTA, kedua kelompok memiliki persentase yang sama yakni sebesar 13,33%. Secara umum pendidikan responden pada kedua grup adalah tamat SD. Rendahnya tingkat pendidikan responden menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia petani belum memadai di dalam pengembangan agribisnis dan akses kesempatan kerja di luar pertanian. 3.
Lama Pengalaman Bertani
Hasil wawancara melalui kuesioner dengan para responden dapat disampaikan bahwa sebagian besar responden berpengalaman usahatani padi lebih dari 15 (lima belas) tahun. Lamanya pengalaman bertani ini terbagi atas 70% untuk kelompok petani PUAP dan 50% untuk kelompok petani Non PUAP. Sedangkan sisanya tersebar pada pengalaman bertani kurang dari 15 (lima belas) tahun. Pengalaman bertani dari responden disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Distribusi responden menurut pengalaman bertani Pengalaman Bertani (Tahun) <5 6 - 10 11 - 15 >15 Jumlah
Petani PUAP Frekuensi % 0 0,00 4 13,33 5 16,67 21 70,00 30 100,00
Petani Non PUAP Frekuensi % 1 3,33 5 16,67 9 30,00 15 50,00 30 100,00
Lamanya pengalaman bertani sangat menentukan dalam menjalankan aktivitas usahatani. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat adaptasi terhadap berbagai perubahan lingkungan dan perubahan iklim untuk mempertahankan keberlangsungan aktivitas pertanian petani. 4.
Luas Lahan Usahatani
Lahan merupakan modal utama dalam produksi pertanian di perdesaan, utamanya untuk usahatani padi. Rata-rata luas lahan sawah untuk usahatani padi yang digarap oleh petani PUAP maupun petani Non PUAP, yakni memiliki luasan berkisar satu hektar, dan umumnya berstatus lahan milik pribadi. Namun komposisinya berbeda, pada kelompok petani PUAP, lahan yang lebih dominan digarap oleh responden memiliki luasan satu hektar, sementara pada petani Non PUAP lahan yang dominan digarap memiliki luas berkisar 0,6-0,7 hektar. Secara lebih rinci, distribusi petani responden menurut luas lahan usahatani padi disajikan pada Tabel 22.
71 Tabel 22. Distribusi responden menurut luas lahan usahatani padi Luas Lahan (Ha) 0,5 0,6 – 0,7 0,8 – 0,9 1 Jumlah
5.
Petani PUAP Frekuensi % 0 0,00 11 36,67 0 0,00 19 63,33 30 100,00
Petani Non PUAP Frekuensi % 3 10,00 17 56,67 0 0,00 10 33,33 30 100,00
Status Kepemilikan Lahan
Proporsi satus kepemilikan lahan, baik pada kelompok petani PUAP maupun Non PUAP adalah sama, sebanyak 93,33% responden memiliki lahan sawah yang digarap berstatus milik pribadi. Sama halnya untuk proporsi lahan sawah dengan sistem bagi hasil, pada kedua kelompok petani yang melakukan bagi hasil masing-masing memiliki persentase sebesar 6,67%. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, penguasaan sumberdaya lahan pertanian bagi petani pada kelompok petani PUAP maupun non PUAP, menunjukkan adanya indikasi kuatnya akses lahan bagi petani di Kabupaten Subang (Kecamatan Ciasem dan Patok Besi). Status kepemilikan dari responden disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Distribusi responden menurut status kepemilikan lahan Status Kepemilikan Lahan Pribadi Bagi Hasil Sewa Jumlah
Petani PUAP Frekuensi % 28 93,33 2 6,67 0 0,00 30 100,00
Petani Non PUAP Frekuensi % 28 93,33 2 6,67 0 0,00 30 100,00
Tabel 23, menunjukkan bahwa petani sampel pada kedua grup sebagian besar adalah petani pemilik. Sehingga petani secara mandiri dapat mengelola lahannya untuk usahatani, utamanya petani tidak perlu terbebani oleh biaya sewa lahan. Mengingat biaya sewa lahan akan menjadi biaya tambahan bagi petani di dalah usahataninya, karena akan mengurangi pendapatan petani. 6.
Jumlah Tanggungan Keluarga
Jumlah tanggungan keluarga dapat mengukur tingkat kemampuan petani dalam menghidupi keluarganya secara layak dari hasil usahataninya. Dengan luas lahan usahatani yang biasanya relatif tetap maka besarnya tanggungan keluarga menjadi faktor yang akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga petani tersebut. Distribusi jumlah tanggungan keluarga (termasuk kepala keluarga) petani responden kelompok Petani PUAP dan Non PUAP disajikan pada Tabel 24. Terlihat bahwa sebagain besar jumlah tanggungan keluarga di kedua kelompok tersebut berada di kisaran jumlah tanggungan 4-5 orang, yakni sebesar 66,67% untuk kelompok petani PUAP dan 80% untuk kelompok petani Non PUAP. Kondisi ini merupakan salah satu ciri yang menonjol pada petani di perdesaan adalah ukuran keluarga yang relatif besar. Jumlah anak cenderung banyak, karena anak dinilai bukan sebagai aset (investasi), tetapi sebagai sumber
72 faktor produksi (tenaga kerja) untuk menambah pendapatan keluarga. semakin banyak jumlah tanggungan keluarga akan memperkecil pendapatan per kapita, karena dengan besarnya jumlah anggota keluarga akan menyebabkan biaya pengeluaran semakin meningkat. Hal ini menyebabkan petani di perdesaan sulit untuk keluar dari kemiskinan. Tabel 24. Distribusi responden menurut jumlah tanggungan keluarga Jumlah Tanggungan (orang) 2–3 4–5 Jumlah
7.
Petani PUAP Frekuensi % 10 33,33 20 66,67 30 100,00
Petani Non PUAP Frekuensi % 6 20,00 24 80,00 30 100,00
Status Pekerjaan Utama
Pekerjaan utama responden pada kedua grup petani sebagian besar bertumpu pada aktivitas pertanian. Responden melakukan aktivitas usahatani padi sudah lebih dari 15 tahun (turun temurun). Kondisi ini didukung oleh beberapa hal, diantaranya yaitu: (1) tanaman pangan khususnya padi merupakan komoditas utama di daerah responden, (2) kesesuaian kondisi wilayah untuk tumbuhnya komoditas padi, sehingga petani yang mengalami perubahan atau penurunan hasil panen dapat diminimalisir, (3) didukung oleh adanya hasil penelitian dari instansi penelitian komoditas padi baik pemerintah maupun perusahaan BUMN, sebut saja Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat, Balai Besar Penelitian Padi dan PT Syang Hiang Sri (SHS). Sehingga hal tersebut mendorong sebagian besar petani responden untuk mengusahakan komoditas ini, dan menjadikannya sebagai pekerjaan utamanya dan (4) jika dikaitkan dengan jenjang pendidikan yang dimiliki petani, sebagian responden hanya menempuh pendidikan formal sampai SD, hal ini yang menyebabkan petani tidak berkeinginan untuk mencari pekerjaan lain di luar sektor pertanian. Data distribusi responden menurut pekerjaan utama disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Distribusi responden menurut pekerjaan utama Pekerjaan Utama Bertani Padi PNS Wiraswasta Jumlah
Petani PUAP Frekuensi % 30 100,00 0 0,00 0 0,00 30 100,00
Petani Non PUAP Frekuensi % 27 90,00 1 3,33 2 6,67 30 100,00
Namun, petani PUAP maupun petani non PUAP, rata-rata responden hampir semua memiliki pekerjaan sampingan, seperti: beternak (domba, ayam, itik), jual krupuk, berdagang/warung, budidaya (jamur merang, ikan hias) buruh pabrik, buruh tani, tengkulak, kios pupuk. Hal ini dilakukan para petani sebagai strategi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari rumah tangganya, selama menunggu waktu panen padi. Strategi ini dapat disebut juga sebagai strategi coping (startegi bertahan hidup).
73 8.
Nilai Pinjaman/Kredit Anggota
Jumlah pinjaman/kredit dapat membantu kemampuan petani untuk mencukupi kebutuhan secara layak dalam menjalankan aktivitas usahataninya. Besar kecilnya jumlah pinjaman/kredit usahatani, menjadi faktor yang akan mempengaruhi tingkat kemampuan petani utamanya dalam membeli input produksi. Distribusi jumlah jumlah pinjaman/kredit pada Petani PUAP dan Non PUAP disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Distribusi responden menurut jumlah pinjaman/kredit Jumlah Pinjaman (Rp) 2.000.000 1.000.000 Jumlah
Petani PUAP Frekuensi % (orang) 15 50,00 15 50,00 30 100,00
Petani Non PUAP Frekuensi % (orang) 14 46,67 16 53,33 30 100,00
Berdasarkan Tabel 26, jika dilihat dari rata-rata jumlah pinjaman/kredit baik petani PUAP maupun non PUAP hampir sama. Namun yang membedakan yakni sumber pinjaman/kredit tersebut. Petani PUAP mendapat pinjaman/kredit untuk usahatani bersumber dari Gapoktan. Bunga/jasa pinjaman/kredit yang diterapkan oleh Gapoktan PUAP sebesar 10 persen per musim tanam. Sedangkan petani non PUAP mendapatkan pinjaman/kredit dari kios atau tengkulak. Hal ini disebabkan karena kemampuan Gapoktan non PUAP atas permodalan untuk usaha simpan pinjam masih rendah. Bunga/jasa yang diterapkan oleh kios/tengkulak sangat tinggi, yakni sebesar 20 persen per musim tanam. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab pendapatan bersih usahatani petani non PUAP lebih rendah dari pada petani PUAP. Keragaan Atribut Kinerja Gapotan Setiap organisasi akan berusaha untuk mencapai tujuannya yang disesuaikan dengan sumber daya yang dimilikinya. Kinerja organisasi yang baik (good performance) adalah apabila semua bagian organisasi bekerja secara benar, efektif, dan efisien, untuk mencapai tujuan tersebut. Kinerja merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output) individu maupun kelompok dalam suatu aktivitas tertentu yang diakibatkan oleh kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar serta keinginan untuk berprestasi. Kinerja organisasi ialah hasil yang ditunjukkan oleh sebuah organisasi atau tingkat pencapaian pelaksanaan tugas suatu organisasi dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi tersebut. Komponen utama kinerja adalah memahami dengan baik kinerja organisasi melalui pemahaman pencapaian tujuan dengan kesesuaian tujuannya (efektivitas), dan menggunakan sumberdaya yang relatif sedikit dalam melakukannya (efisiensi). Dalam kontek tersebut laba hanya salah satu dari berbagai indikator kinerja sebagai penilaian kinerja. Lebih lanjut, keragaan dalam organisasi yang berhubungan dengan kinerja, meliputi: (a) kinerja dalam kaitannya dengan efektivitas, (b) kinerja dalam kaitannya dengan efisiensi, (c) kinerja dalam
74 kaitannya dengan relevansi yang sedang berlangsung, dan (d) kinerja dalam kaitannya dengan viabilitas keuangan atau pencapaian kemandirian keuangan organisasi. 1.
Efektifitas Organisasi
Efektivitas adalah derajat kesanggupan sebuah sistem untuk mencapai tujuan program melalui kebijakan yang telah ditentukan. Dalam praktiknya, efektivitas berkaitan dengan sejumlah aspek preferensi yang berbeda dari keterkaitan pelayanan dengan tujuan hasil program. Tujuan-tujuan dari program itu antara lain: (1) aksesibilitas/keterjangkauan (aspek-aspek semacam kesanggupan, representasi di antara kelompok-kelompok yang menjadi prioritas, dan keterjangkauan fisik), (2) kesesuaian (menyocokkan pelayanan dengan kebutuhan masyarakat/client), dan (3) kualitas (proses pertemuan standar yang dibutuhkan atau timbulnya kegagalan pelayanan). Analisis efektivitas organisasi Gapoktan sebagai lembaga alternatif permodalan masyarakat, dilihat dari Perspektif masyarakat petani khususnya anggota Gapoktan. Perspektif yang bisa digali yakni Perspektif terhadap kemudahan mekanisme pengajuan kredit, ketepatan penyaluran kredit, pelayanan, besaran kredit yang diberikan, lama waktu pencairan kredit dan tingkat bunga yang ditetapkan, dilihat dari jangkauan nasabah, perkembangan jumlah nasabah, kredit yng disalurkan, dan tabungan yang berhasil dihimpun. Perspektif tersebut kemudian diuraikan kedalam beberapa parameter. Parameter-parameter ini sebagai acuan dalam proses penggalian data penelitian yang berhubungan dengan atribut efektifitas organisasi, dimana parameter-parameter tersebut dilakukan uji validasi. Hasil uji validasi untuk indikator kinerja Gapoktan yang dilihat dari aspek efektivitas organisasi, disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Hasil uji validasi aspek efektivitas organisasi No.
Indikator
1. Jumlah asset yang dikelola Gapoktan 2. Akumulasi Peningkatan asset 3. Penyaluran dana PUAP untuk petani anggota 4. Penyaluran dana PUAP untuk usahatani padi 5. Gapoktan melaksanakan RAT tepat waktu 6. Gapoktan melaksanakan pertemuan rutin anggota 7. Gapoktan memiliki LKM-A dan berbadan hukum 8. Unit usaha produktif yang dikembangkan Gapoktan 9. Operasional unit usaha produktif yang dikembangkan 10. Pengambil keputusan dalam penyaluran pinjaman 11. Waktu pencairan pinjaman anggota 12. Nilai pinjaman maksimal yang disalurkan Gapoktan 13. Jumlah petani yang melakukan pinjaman ulang 14. Frekuensi pinjaman setiap anggota 15. Gapoktan melaksanakan pembinaan kepada anggota 16. Gapoktan menyalurkan pinjaman tepat waktu 17. Kecukupan nilai pinjaman yang disalurkan Gapoktan 18. Besaran pinjaman yang dapat disetujui Gapoktan 19. Sarana dan prasarana yang dimiliki Gapoktan 20. Aksesibilitas lokasi kantor Gapoktan Nilai r-tabel=0,304 (df=58 dan selang kepercayaan 95%)
Nilai r-hitung 0,893 0,893 0,893 0,702 0,988 0,860 0,893 0,697 0,860 0,546 0,860 0,988 0,893 0,860 0,926 0,893 0,860 0,893 0,926 0,621
Validitas Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
75 Penggalian data efektivitas organisasi ditinjau melalui perspektif bagaimana kinerja organisasi dalam hal pencapaian utama (major achievements), tingkat produktivitas organisasi dalam kaitannya dengan misi dan nilai-nilai dalam organisasi, dan daya guna produk-produknya (utilization of results), bagaimana kinerja staf/pengurus dalam hal pelayanan (clients served), dan kualitas pelayanan/produk, dan bagaimana kinerja pelayanan, misalnya bagaimana dukungan terhadap komunitas riset, dan transfer teknologi. Hasil pengujian validasi pada Tabel 27, untuk masing-masing indikator pada aspek efektifitas organisasi, seluruh r-hitung menunjukkan lebih besar dari rtabel (0,304) pada selang kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh pernyataan dalam kuisioner adalah signifikan dan dapat dinyatakan valid. 2.
Efisiensi Organisasi
Efisiensi mendeskripsikan seberapa baik pengorganisasian pemanfaatan sumberdaya dalam memproduksi pelayanan, yakni sebuah hubungan antara kombinasi aktual dan optimal dari input yang digunakan untuk memproduksi sejumlah output yang sudah ditetapkan (given bundle of output). Penggalian data efisiensi organisasi ditinjau melalui perspektif bagaimana perbandingan biaya yang telah dikeluarkan dibagi jasa yang dihasilkan, bagaimana produktivitas anggota, dan bagaimana sistem administrasi organisasi yang dijalankan. Dari beberapa perspektif tersebut kemudian diuraikan kedalam beberapa parameter. Parameter-parameter ini sebagai acuan dalam proses penggalian data penelitian yang berhubungan dengan atribut efisiensi organisasi, dimana parameter-parameter tersebut dilakukan uji validasi. Hasil uji validasi untuk indikator kinerja Gapoktan yang dilihat dari aspek efisiensi organisasi, disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Hasil uji validasi aspek efisiensi organisasi No. 1. 2. 3. 4.
Indikator
Gapoktan melakukan pencatatan dan pembukuan Mekanisme/presedur pengajuan pinjaman Gapoktan melakukan survey kepada calon peminjam Gapoktan melakukan pengawasan pemanfaatan dana pinjaman oleh anggota 5. Persyaratan yang diterapkan Gapoktan dalam pinjaman 6. Ketersediaan dana yang dimiliki Gapoktan untuk pinjaman anggota 7. Kriteria yang diterapkan Gapoktan dalam penentuan nilai pinjaman anggota 8. Capaian produksi usahatani anggota setelah dapat pinjaman 9. Capaian pendapatan usahatani anggota setelah dapat pinjaman 10. Pemahaman anggota terhadap tugas dan fungsi masing-masing pengurus Gapoktan Nilai r-tabel=0,304 (df=58 dan selang kepercayaan 95%)
Nilai r-hitung 0,977 0,443 0,751 0,909
Validitas Valid Valid Valid Valid
0,565 0,751
Valid Valid
0,970
Valid
0,970 0,970 0,970
Valid Valid Valid
Hasil pengujian validasi pada Tabel 28, untuk masing-masing indikator pada aspek efisiensi organisasi, seluruh r-hitung menunjukkan lebih besar dari rtabel (0,304) pada selang kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh pernyataan dalam kuisioner adalah signifikan dan dapat dinyatakan valid.
76 3.
Relevansi (kesesuaian) Organisasi
Relevansi adalah tingkat kesesuaian antara sesuatu yang diinginkan atau yang diharapkan (expectation) dengan kondisi yang ada atau yang dicapai (existing). Relevansi dapat juga dimaknai kesesuaian keberadaan sesuatu pada tempatnya atau yang diinginkan. Relevansi dalam organisasi yakni kesesuaian dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang dilakukan sepanjang waktu. Penggalian data relevansi organisasi melalui perspektif bagaimana adaptasi dari misi utamanya ketika terjadi perubahan kondisi, bagaimana kebutuhan stakeholders dapat dipenuhi, dan bagaimana daya adaptasi organisasi terhadap perubahan lingkungannya. Dari beberapa perspektif tersebut kemudian diuraikan kedalam beberapa parameter. Parameter-parameter ini sebagai acuan dalam proses penggalian data penelitian yang berhubungan dengan atribut relevansi organisasi. Parameter-parameter tersebut dilakukan uji validasi. Hasil uji validasi untuk indikator kinerja Gapoktan yang dilihat dari aspek relevansi organisasi, disajikan pada Tabel 29. Tabel 29. Hasil uji validasi aspek relevansi organisasi No.
Indikator
1. 2. 3.
Gapoktan sebagai media konsultasi dan pembelajaran anggota Gapontan melakukan transparansi keuangan Gapoktan menerapkan punishment bagi anggota yang kredit macet 4. Gapoktan menerapkan reward bagi anggota yang disiplin dalam pengembalian pinjaman 5. Gapoktan sebagai media untuk pemenuhan kebutuhan modal usahatani anggota Nilai r-tabel=0,304 (df=58 dan selang kepercayaan 95%)
Nilai r-hitung 0,314 0,790 0,846
Validitas Valid Valid Valid
0,788
Valid
0,788
Valid
Hasil pengujian validasi pada tabel 29, untuk masing-masing indikator pada aspek relevansi organisasi, seluruh r-hitung menunjukkan lebih besar dari rtabel (0,304) pada selang kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh pernyataan dalam kuisioner adalah signifikan dan dapat dinyatakan valid. 4.
Pencapaian Kemandirian Keuangan Organisasi
Kemandirian keuangan organisasi menunjukkan kemampuan organisasi dalam membiayai sendiri kegiatan keorganisasian, pembangunan, dan pelayanan kepada anggotanya. Kemandirian keuangan organisasi ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan organisasi dibandingkan dengan pendapatan organisasi yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman. Kemandirian keuangan organisasi juga menggambarkan tingkat partisipasi petani anggota dalam pengembangan organisasi. Penggalian data pencapaian kemandirian keuangan organisasi dapat melalui perspektif bagaimana diversifikasi sumber pendanaan organisasi digali, bagaimana kemampuan organisasi untuk menghasilkan modal atau pendanaan sendiri, dan bagaimana kemampuan untuk selalu memperoleh keuntungan sepanjang waktu. Dari beberapa perspektif tersebut kemudian diuraikan kedalam beberapa parameter. Parameter-parameter ini sebagai acuan dalam proses
77 penggalian data penelitian yang berhubungan dengan atribut pencapaian kemandirian keuangan organisasi. Parameter-parameter tersebut dilakukan uji validasi. Hasil uji validasi untuk indikator kinerja Gapoktan yang dilihat dari aspek pencapaian kemandirian keuangan organisasi, disajikan pada Tabel 30. Hasil pengujian validasi pada Tabel 30, untuk masing-masing indikator pada aspek pecapaian kemandirian keuangan organisasi, seluruh r-hitung menunjukkan lebih besar dari r-tabel (0,304) pada selang kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh pernyataan dalam kuisioner adalah signifikan dan dapat dinyatakan valid. Tabel 30. Hasil uji validasi aspek pencapaian kemandirian keuangan organisasi No.
Indikator
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Gapoktan membuat program tabungan bagi anggota Gapoktan membuat program iuran pokok dan wajib bagi anggota Gapoktan memiliki modal awal (modal keswadayaan) Gapoktan memiliki sumber modal dari pihak luar Gapoktan memiliki anggota yang berinvestasi ke organisasi Gapoktan memiliki kerjasama dengan pihak lain dalam memperbesal modal (finansial) organisasi 7. Gapoktan memfasilitasi pemasaran hasil anggota 8. Gapoktan memiliki kerjasama dengan pihak lain dalam melengkapi fasilitas (saprodi) organisasi 9. Tingkat bunga pinjaman yang diterapkan Gapoktan 10. Capaian pelayanan usaha simpan pinjam Gapoktan 11. Gapoktan menginvestasikan sebagian modal atau keuntungan di Bank 12. Gapoktan memiliki perkembangan jumlah anggota Nilai r-tabel=0,304 (df=58 dan selang kepercayaan 95%)
Nilai r-hitung 0,993 0,993 0,368 0,993 0,368 0,993
Validitas Valid Valid Valid Valid Valid Valid
0,993 0,993
Valid Valid
0,368 0,993 0,850
Valid Valid Valid
0,834
Valid
Lebih lanjut, dilakukan pengujian reliabilitas. Pengujian reliabilitas tujuannya mengetahui kestabilan suatu alat ukur. Pada penelitian ini, uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan pendekatan internal consistency reliability yang menggunakan koefisien Alpha Cronbach. Hal ini untuk mengidentifikasi seberapa baik item-item dalam kuisioner berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Wijaya (2011), mengemukakan bahwa sebuah faktor dinyatakan reliabel/andal jika koefisien Alpha lebih besar dari 0,6. Sebagaimana uji validitas, uji reliabilitas juga dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 17. Adapun hasil pengujian reliabilitas selengkapnya disajikan pada Tabel 31. Tabel 31. Hasil uji reliabilitas No. 1. 2. 3. 4.
Indikator Efektifitas Organisasi Efisiensi Organisasi Relevansi Organisasi Pencapaian Kemandirian Keuangan Organisasi
Alpha 0,974 0,947 0,703 0,949
Reliabilitas Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel
Hasil uji reliabilitas yang disajian pada tabel 21, seluruh indikator dalam pernyataan kuisioner memiliki nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,6, artinya semua data yang dikumpulkan melalui instrumen penelitian adalah reliabel/andal.
78 Hal ini dapat dikatakan juga bahwa terjadinya kesalahan ukur dalam kuisioner yang diisi oleh responden adalah cenderung rendah. Perbandingan Kinerja Gapoktan PUAP dan Non PUAP Penilaian kinerja Gapoktan ditinjau dari empat atribut kinerja organisasi, sebagaimana yang sudah dikemukakan sebelumnya. Hasil penilaian memfokuskan pada explorasi bagaimana perspektif responden tentang kinerja Gapoktan, dimana responden merupakan petani anggota dari Gapoktan tersebut. Hasil penilaian terhadap kinerja Gapoktan PUAP dan non PUAP disajikan pada Tabel 32. Tabel 32. Skoring terhadap kinerja Gapoktan sampel No. 1. 2. 3. 4.
Atribut Kinerja Gapoktan
Efektifitas Organisasi Efisiensi Organisasi Relevansi Organisasi Pencapaian Kemandirian Keuangan Organisasi Jumlah Skor Kelas Gapoktan: Baik (Skor: 234 – 300) Cukup (Skor: 168 – 233) Kurang (Skor: 100 – 167)
Skor A 95 46 22 39
Gapoktan PUAP B 98 42 20 48
C 120 57 26 81
X 76 28 16 46
Gapoktan Non PUAP Y 66 28 17 46
202
208
284
166
157
170
Cukup (B)
Cukup (B)
Baik (A)
Kurang (C)
Kurang (C)
Baik (B)
Z 74 34 16 46
Pada Tabel 32, perbandingan skor kinerja Gapoktan PUAP dan non PUAP nampak jelas, bahwa skor kinerja Gapoktan PUAP lebih tinggi. Dengan kata lain kinerja Gapoktan PUAP lebih unggul. Berdasarkan hasil observasi, hal ini disebabkan karena tingginya modal sosial yang melekat dalam kehidupan para petani anggota. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Lesmana et al. (2009). Menurutnya, modal sosial yang dimiliki petani anggota, berpengaruh terhadap pengembangan kinerja kelembagaan tani. Sehingga potensi dampak negatif selama menjalankan aktivitas keorganisasian secara relatif dapat dikurangi. Maksud dari modal sosial khususnya dalam konteks masyarakat petani dalam penelitian ini adalah hubungan kerjasama yang berupa kerelaan untuk saling berbagi dan saling menjaga keberlangsungan fasilitas umum, seperti kas Gapoktan dan asset atau sarana serta prasarana pertanian yang dimiliki Gapoktan. Selain itu, terungkap beberapa hal yang menyebabkan Gapoktan PUAP memiliki kinerja sangat baik, diantaranya: (1) pengurus Gapoktan maupun petugas pendamping (PMT dan Penyuluh) sudah mendapatkan pembelajaran dari pelaksanaan PUAP tahun sebelumnya, (2) Gapoktan sudah terbentuk terlebih dahulu sebelum adanya program, dan memiliki modal keswadayaan yang kuat, (3) adanya hubungan yang solid dan sinergi antara petani anggota dengan pengurus, (4) transparansi dalam pengelolaan modal (pemasukan dan pengeluaran) termasuk keuntungan yang diperoleh organisasi, (5) kesadaran yang tinggi dari aktor-aktor yang bermain didalam Gapoktan untuk mewujudkan organisasi petani di perdesaan yang mandiri, berkembang, dan mampu mensejahterakan para pelakunya, (6) sikap pengurus yang tegas dalam mengawal dan mendampingi para petani dalam hal pemanfaatan pinjaman, (7) membangun jaringan (networking)
79 dalam rangka menjalin kerjasama dengan pihak luar, baik untuk memperkuat permodalan, sarana produksi, informasi teknologi, maupun pemasaran hasil produksi, serta (8) diterapkannya reward dan punishment yang jelas bagi pengurus dan anggota dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan modal (bantuan dana BLM PUAP). Kedelapan hal tersebut, dapat dijadikan sebagai pembelajaran serta referensi bagi Gapoktan lainnya, dalam upaya peningkatan kinerja organisasi. Menurut Suprapto (2012) bahwa keberhasilan Gapoktan pelaksana PUAP disebabkan beberapa faktor antara lain: (1) Gapoktan memiliki struktur organisasi, AD/ART dan rencana kerjanya mengacu pada Pedoman Umum, Juklak dan Juknis PUAP serta berbadan hukum; (2) Anggota penerima dana BLM PUAP dipilih secara selektif oleh pengurus Gapoktan; (3) Adanya kerjasama Gapoktan dengan pemangku kepentingan dalam upaya peningkatan produktivitas dan pendapatan petani dan (4) Tim Pembina Provinsi, Tim Teknis Kabupaten/Kota, Penyelia Mitra Tani dan Penyuluh Pendamping mempunyai kepedulian dan tanggung jawab terhadap Program PUAP. Sementara penyebab ketidakberhasilan Gapoktan ialah: (1) Kurangnya kemampuan pengurus Gapoktan dalam memfasilitasi dan mengelola modal usaha anggota; (2) Adanya persepsi dari anggota bahwa pinjaman dana PUAP tidak perlu dikembalikan, karena merupakan Bantuan Langsung Tunai (BLT); (3) Dana pinjaman tidak digunakan sesuai dengan Rencana Usaha Anggota, melainkan untuk kebutuhan lain; (4) Seleksi dan verifikasi Rencana Usaha Bersama oleh Tim Teknis kurang memperhatikan kelayakan usahatani/usaha anggota dan (5) Kurangnya pembinaan dan pendampingan oleh Penyelia Mitra Tani dan Penyuluh Pendamping kepada Gapoktan. Lebih lanjut, keunggulan kinerja Gapoktan PUAP yakni tidak terlepas dari unit usaha produktif yang dikembangkan oleh Gapoktan PUAP. Secara deskriptif dapat dijelaskan unit usaha produktif tersebut, yang menentukan kinerja Gapoktan PUAP di lokasi penelitian, sebagai berikut: a) Unit Usaha Produksi atau Budidaya Unit usaha produksi merupakan lembaga yang langsung mengorganisir para petani anggota dalam mengembangkan usahataninya. Dengan adanya program PUAP, kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan sudah berjalan aktif sesuai dengan fungsinya, pertemuan kelompok sudah terjadwal dengan baik, administrasi organisasi sudah tertata dengan baik dan program kerja kelompok sudah ada. b) Unit Usaha Sarana Produksi Unit usaha sarana produksi seperti kios saprodi sangat diperlukan dalam berusahatani padi sawah. Dengan adanya kios saprodi yang dikelola oleh Gapoktan, petani merasa terbantu. Jika ada petani anggota yang memerlukan sarana produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida, petani dapat membeli saprodi tersebut dengan harga yang lebih murah, serta tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi, yang kesemuanya itu dapat membebani biaya produksi. Disini petani sangat diuntungkan, sehingga dapat meminimalisir biaya transaksi petani dalam menjalankan aktivitas usahataninya.
80 c)
Unit Usaha Jasa Alsintan Unit usaha jasa alsintan merupakan unit usaha yang diperlukan untuk pelayanan jasa penyewaan alat dan mesin pertanian. Setelah adanya PUAP, unit usaha ini terbentuk dan dikelola oleh Gapoktan, dimana uang sewanya akan menambah modal Gapoktan. Sebelum adanya unit usaha ini, petani anggota dalam penggunaan alsintan harus menyewa dari petani lain atau tengkulak yang juga memiliki alsintan, dan tentunya harganya relatuf lebih mahal. d) Unit Usaha Pemasaran Hasil Pertanian Sebelum adanya unit usaha ini, umumnya petani memasarkan hasil pertaniannya masih menjual sendiri ke tengkulak atau pedagang pengumpul yang masuk ke desa untuk membeli hasil panennya. Setelah terbentuknya unit usaha ini, petani mengumpulkan hasil panennya melalui Gapoktan, dan Gapoktan membelinya dengan harga yang lebih tinggi. Selanjutnya Gapoktan memasarkan sendiri ke pasar, baik yang ada di dalam maupun luar Kabupaten Subang. Melalui kegiatan ini Gapoktan menerima keuntungan yang lebih tinggi, karena langsung melakukan transaksi dengan penjual di pasar (tanpa pelantara). e) Unit Usaha Permodalan/Usaha Simpan Pinjam (USP) Unit usaha ini sangat diperlukan untuk menunjang jalannya aktivitas usahatani padi sawah. Dengan adanya PUAP, Gapoktan dituntut untuk menumbuhkembangkan LKM-A. Lembaga ini yang menyediakan sumber permodalan petani anggota. Modal yang dipinjamkan kepada petani berbentuk uang. Pelunasan peminjaman dibayar setelah produksi petani terjual. Sebelum petani menerima uang dari penjualan padinya, terlebih dahulu dipotong dengan jumlah hutang (pokok + bunga), agar uang yang telah dipinjamkan kepada petani lunas. Melalui USP, Gapoktan mendapatkan keuntungan dari bunga pinjaman, yang pada ahkirnya dapat menambah modal Gapoktan. f) Unit Usaha Penangkaran Bibit Padi Unit usaha ini awalnya dibentuk untuk mencukupi bibit unggul bagi petani anggota. Namun seiring berjalannya waktu, benih yang dihasilkan oleh Gapoktan mampu menjadi benih unggul yang bersertifikat. Sekaligus membuat ketertarikan dari pihak luar untuk membeli bahkan menjalin kerja sama. Salah satu perusahaan BUMN yang sudah melakukan kerjasama perbenihan dengan Gapoktan yakni PT. Syang Hiang Sri (SHS). Melalui unit usaha ini Gapoktan mendapatkan keuntungan ganda, diantaranya keuntungan dari sisi pemasaran hasil produksi benih sudah jelas, dan keuntungan dari sisi keuangan (finansial), sehinngga penguatan modal Gapoktan sangat terjaga. g) Unit Usaha Pascapanen/Pengolahan Hasil Penumbuhan unit usaha ini sangat penting karena akan menekan kehilangan hasil panen, meningkatkan nilai tambah produk dan memperlancar hasil pertanian yang diproduksi petani sesuai dengan kebutuhan pasar. Setelah adanya unit usaha ini Gapoktan menjual produk akhirnya sudah dalam bentuk beras dan sudah dibubuhi label Gapoktan. Untuk mendukung unit usaha ini, Gapoktan sudah melengkapinya dengan mesin penggilingan padi, lantai jemur dengan mesin pemanas uap, serta gudang penyimpanan. Produk ahkir yang disediakan Gapoktan cukup bervariatif, mulai dari kemasan beras
81 ukuran 5 kg, 25 kg, dan 50 kg. Melalui kegiatan ini Gapoktan mampu mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi, sehingga menambah modal Gapoktan. Perbandingan Usahatani Padi antara Petani PUAP dan Non PUAP Perbandingan usahatani digunakan untuk melihat seberapa besar perbandingan tingkat pemakaian input dan biaya produksi serta penerimaan, dan pendapatan yang diperoleh masing-masing petani, baik petani PUAP maupun non PUAP. Hasil perbandingan tersebut digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh adanya tambahan dana PUAP terhadap pendapatan petani padi. Penggunaan Input Produksi untuk Usahatani Padi Sarana produksi merupakan input yang dibutuhkan dalam menjalankan suatu usahatani. Jenis sarana produksi yang digunakan antara petani PUAP dengan Non PUAP pada dasarnya adalah sama, tetapi berbeda dalam hal kuantitas dan kualitas, seperti halnya benih. Petani PUAP sebagian besar menggunakan benih berlabel atau benih unggul . Sarana produksi yang digunakan umumnya terdiri dari lahan, benih, pupuk (urea, TSP/SP36, NPK, Organik, ZPT, Limbah Jamur), obat-obatan (Furadan, Altarek, Elsan, Agroxon, Antrakol, Ponstan, Pestisida Nabati, Perangsang Daun), dan Tenaga Kerja. Komparasi penggunaan input produksi antara petani PUAP dan non PUAP disajikan pada Tabel 33. Tabel 33. Komparasi penggunaan input produksi berdasarkan kuantitas Komponen Input Produksi Lahan Benih Pupuk Pestisida Tenaga Kerja
Satuan Ha Kg Kg Liter Hok
Jumlah Penggunaan Input Produksi Petani non Perbedaan Petani Petani PUAP PUAP PUAP dan non PUAP 26,82 23,57 3,25 16,83 16,33 0,50 1.063,26 775,09 288,17 15,00 9,00 6,00 66,07 55,24 10,83
Berikut dikemukakan keragaan penggunaan input produksi yang terjadi pada setiap komponen input produksi. Penggunaan Lahan Luas lahan yang digarap oleh kedua grup responden rata-rata kurang dari 1 Ha. Petani PUAP rata-rata penguasaan luas lahan 0,89 Ha. Sedangkan petani non PUAP rata-rata pengguasaan luas lahan sekitar 0,79 Ha. Secara rata-rata penguasaan luas lahan untuk usahatani padi antara petani PUAP dengan petani non PUAP hampir sama, hanya selisih 0,11 Ha. Penguasaan sumberdaya lahan pertanian bagi petani PUAP maupun non PUAP relatif cukup luas. Hal ini menunjukkan adanya indikasi kuatnya akses lahan bagi petani. Luasnya lahan pertanian yang digarap oleh responden mengakibatkan keluaran output hasil pertaniannya juga akan lebih banyak dan layak untuk diusahakan.
82 Penggunaan Benih Varietas benih yang digunakan oleh responden petani PUAP dan non PUAP adalah varietas ciherang dan mekongga. Idealnya jumlah benih yang digunakan adalah sekitar 20 -25 kg per hektar (Purwono dan Purnamawati, 2007). Namun rata-rata penggunaan benih yang digunakan oleh responden lebih sedikit, hal ini dikarenakan responden menerapkan pola tanam model SRI, sehingga dipandang lebih efisien dalam penggunaan benih per hektar. Petani PUAP, rata-rata menggunakan benih per Ha lebih banyak dan berlabel, dibandingkan dengan petani non PUAP. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, murahnya harga benih yang dijual oleh Gapoktan membuat petani menggunakan lebih banyak benih untuk ditebar. Harga yang lebih murah ini menyebabkan petani PUAP cenderung merasa aman untuk menggunakan benih lebih banyak, dengan harapan akan menghasilkan bibit yang lebih baik. Harga yang ditawarkan Gapoktan untuk benih berlabel yakni Rp. 10.000 per kg. Harga ini lebih murah dibandingkan dengan harga di kios. Kios menawarkan benih berlabel dengan harga Rp. 12.000 per kg, sedangkan benih yang tidak berlabel harganya berkisar antara Rp. 5.000 hingga Rp. 6.000 per kg. Petani non PUAP, rata-rata menggunakan benih per Ha lebih sedikit, dan benih yang tidak berlabel. Berdasarkan hasil wawancara, petani non PUAP terpaksa menggunakan benih yang tidak berlabel dan petani non PUAP tidak memiliki kecukupan modal dalam membeli benih berlabel. Petani non PUAP memperoleh benih tersebut dari kios, dimana harganya lebih mahal, sehingga petani non PUAP menggunakan benih tidak berlabel untuk berusahatani padi, karena harganya lebih murah. Penggunaan Pupuk Takaran pupuk yang digunakan untuk memupuk satu jenis tanaman akan berbeda untuk masing-masing jenis tanah, hal ini dapat dipahami karena setiap jenis tanah memiliki karakteristik dan susunan kimia tanah yang berbeda. Oleh karena itu anjuran (rekomendasi) pemupukan harus dibuat lebih rasional dan berimbang berdasarkan kemampuan tanah menyediakan hara dan kebutuhan hara tanaman itu sendiri, sehingga efisiensi penggunaan pupuk dan produksi meningkat tanpa merusak lingkungan akibat pemupukan yang berlebihan. Dari uraian di atas terlihat bahwa pemakaian pupuk secara berimbang sampai saat ini masih merupakan pilihan yang paling baik bagi Petani dalam kegiatan usahanya untuk meningkatkan pendapatan. Percepatan peningkatan produksi pangan harus dilaksanakan secara konsepsional melalui program sosialisasi yang terpadu. Panduan kalender tanam terpadu (KATAM), yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian, rekomendasi pemakaian pupuk untuk komoditas padi sawah di Kecamatan Ciasem dan Patokbeusi, Kabupaten/Kota Subang, terdiri atas pupuk tunggal dan pupuk majemuk. Pupuk Tunggal diantaranya pupuk urea (275 – 300 kg/ha), TSP/SP36 (25 – 75 kg/ha), KCL (30 – 50 kg/ha). Sedangkan pupuk majemuk diantaranya NPK (150 – 225 kg/ha) dan urea (225 – 250 kg/ha). Rekomendasi pemakaian pupuk berdasarkan KATAM di Kecamatan Ciasem dan Patokbeusi disajikan pada Tabel 34.
83 Keragaan pemupukan yang diterapkan oleh responden yaitu dengan menambahkan pupuk organik, sehingga dosis yang seharusnya dipakai berdasarkan KATAM adalah Urea (275 kg/ha), TSP/SP-36 (25 kg/ha), dan pupuk organik (2 ton/ha). Sedangkan jika memakai pupuk majemuk, komposisi NPK (150 kg/ha) ditambah Urea (255 kg/ha). Tabel 34. Rekomendasi pupuk padi sawah di Kecamatan Ciasem dan Patokbesi Rekomendasi Pupuk (Kg/ha) Pupuk Tunggal Pupuk Majemuk Urea TSP/SP-36 KCL NPK Urea Tanpa bahan organik 300 75 50 225 225 Kompos Jerami 2 ton/ha 280 75 0 225 255 Pupuk organik 2 ton/ha* 275 25 30 150 250 Sumber: Kementerian Pertanian (2014) Sumber Bahan Organik
Namun kondisi dilokasi penelitian, penggunaan pupuk oleh petani responden petani PUAP maupun non PUAP sangat bervariasi, artinya ada yang melebihi dan kurang dari dosis yang sudah dianjurkan. Penggunaan dosis yang melebihi antara lain penggunaan pupuk TSP/SP-36. Sedangkan untuk yang dosis pupuknya masih kurang antara lain penggunaan pupuk Urea, NPK dan organik. Penggunaan pupuk oleh responden di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Penggunaan pupuk oleh responden pada usahatani padi sawah Jenis Pupuk Urea TSP/SP-36 NPK 15-15-15 Organik
Jumlah Pemakaian Pupuk (kg/ha) Petani PUAP Petani non PUAP 200,00 167,00 168,33 107,41 137,93 108,62 556,00 350,00
Dosis Pemupukan Kurang Lebih Kurang Kurang
Semua responden, baik petani PUAP maupun non PUAP menggunakan pupuk Urea sebagai pupuk dasar maupun pupuk susulan satu dan dua. Pemupukan biasanya dilakukan antara 2 hingga 3 kali selama musim tanam. Responden di lokasi penelitian, pupuk yang digunakan antara lain Urea, TSP/SP36, NPK, Organik. serta pupuk tambahan lainnya seperti ZPT dan limbah jamur. Pada petani PUAP, walaupun penggunaan pupuk Urea, NPK dan organik dosisnya belum mencukupi, namun secara rata-rata hampir mendekati dari dosis yang dianjurkan. Sebut saja pupuk urea kurang 75 kg/ha, pupuk NPK/SP-36 kurang 12,07, dan organik kurang 1.444 kg/ha. Lain halnya dengan petani non PUAP, untuk ketiga pupuk tersebut pemakaiannya betul-betul jauh dari dosis yang dianjurkan. Dengan kata lain lag-nya cukup besar, misalnya dosis Urea kurang 108 kg/ha, pupuk NPK kurang 41,38, dan pupuk organik kurangnya 1.650 kg/ha. Jika dibandingkan antara petani PUAP dan non PUAP dalam hal pemakaian pupuk, terlihat jelas petani PUAP menggunakan pupuk dengan dosis yang lebih banyak. Hal ini mengindikasi, adanya peran tambahan modal PUAP terhadap usahatani padi pada petani PUAP, dalam hal pemakaian pupuk per hektarnya. Sedangkan jika dilihat dari sisi dosis pemupukan yang kurang, hal ini disebabkan karena tambahan modal PUAP untuk usahatani padi memang masih kecil, artinya masih jauh untuk menutupi kebutuhan biaya usahatani padi per
84 hektar. Sedangkan untuk pemakaian pupuk TSP/SP-36, baik petani PUAP maupun non PUAP, keduanya mengaplikasikan pupuk tersebut melebihi dosis yang dianjurkan. Hal ini disebabkan, adanya asumsi dari petani responden bahwa dengan tercukupinya pupuk TSP/SP-36 bahkan lebih, akan menyebabkan jumlah anakan dan bulir padi lebih banyak, serta hasil kualitas gabahnya menjadi lebih bagus. Mengingat fungsi dasar dari pupuk TSP/SP-36 adalah untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Penggunaan Obat-obatan Pada Gapoktan sampel, semua petani anggota sebenarnya sudah dianjurkan untuk tidak menggunakan obat-obatan atau pestisida, karena penggunaan yang berlebihan dapat merusak ekosistem alam. Utama petani PUAP, petani PUAP sudah mendapatkan pembelajaran dari program SL-PTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tananan Terpadu) dan SL-PHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu). Melalui kedua program tersebut, sebenarnya petani sudah didorong untuk berusahatani kearah pertanian organik, yakni pertanian yang lebih ramah lingkungan atau Good Agriculture Practise (GAP). Namun kembali lagi, jika kita memperhatikan karakteristik dasar SDM petani, cenderung menggunakan cara-cara yang sebelumnya petani pakai dan diyakini dapat mengatasi semua persoalan dalam kegiatan usahatani. Yang terpenting bagi petani, bagaimana caranya bisa menghasilkan panen yang bagus. Maka tidak heran, ketika ada serangan OPT (organisme pengganggu tanaman), petani langsung mengambil tindakan yang petani anggap cukup efektif dan efisien, yakni dengan menyemprot. Intensitas penyemprotan pun disesuaikan dengan banyak tidaknya serangan OPT, jika banyak maka semakin sering pula petani akan melakukan penyemprotan. Terutama pada musim tanam 2013/2014, dimana terjadinya perubahan yang sangat ekstrim terhadap iklim, sehingga menuntut petani untuk melakukan adaptasi. Hasil wawancara dengan responden, bagi petani PUAP dalam menghadapi banyaknya serangan OPT pada musim tanam 2013/2014. Petani PUAP sering melakukan penyemprotan, hampir 8 hingga 10 kali penyemprotan. Berbeda dengan petani non PUAP, yang melakukan penyemprotan 5 hingga 6 kali penyemprotan. Jika dilihat dari dosis yang digunakan untuk penyemprotan, pada petani PUAP maupun non PUAP untuk satu kali semprot pada luasan satu hektar adalah sama saja, karena pada dasarnya petani mematuhi aturan pakai yang tertera pada botol atau kemasan pestisida tersebut. Namun yang membedakan adalah frekuensi penyemprotan untuk satu kali musim tanam. Banyaknya frekuensi penyemprotan yang dilakukan oleh petani PUAP disebabkan oleh adanya tambahan modal. Petani PUAP dengan mudah meminjam ke Gapoktan. Lain halnya dengan petani non PUAP, melakukan penyemprotan dengan frekuensi lebih sedikit bukan karena ingin hemat, tapi lebih dibatasi oleh faktor modal usaha, sehingga uang untuk membeli obat-obatan sangat kurang. Bagi petani non PUAP, dalam melakukan adaptasi terhadap serangan OPT, petani non PUAP menunggu banyak dulu serangan, barulah dilakukan penyemprotan. Namun sebenarnya petani non PUAP ingin melakukan hal yang sama seperti petani PUAP, karena jika menunggu banyak serangan, dampaknya banyak tanaman yang rusak, dan akhirnya hasil panen pun menjadi berkurang.
85 Penggunaan Tenaga Kerja Penggunaan tenaga kerja menjadi suatu hal yang penting, karena tenaga kerja inilah yang akan melakukan kegiatan usahatani, mulai dari persemaian, pengolahan lahan, penanaman, penyiangan, pemupukan, pemberantasan hama, serta panen dan pascapanen. Penggunaan tenaga kerja dalam analisis usahatani menggunakan satuan tenaga kerja Hari Orang Kerja (HOK). Sehingga apabila tenaga kerja yang digunakan adalah perempuan, maka harus dikonversikan terlebih dahulu. Upah yang diterima tenaga kerja wanita adalah Rp. 20.000 dan upah yang diterima tenaga kerja pria adalah Rp. 40.000, sehingga 1 HKP = 0,7 HKW (Hari Kerja Wanita), dan 1 HKP = 1 HOK. Penggunaan tenaga kerja pada responden petani PUAP dan non PUAP disajikan pada Tabel 36. Tabel 36. Penggunaan rata-rata tenaga kerja pada responden petani PUAP dan non PUAP per hektar Kegiatan Pengolahan Tanah 1. Traktor 2. Meratakan pematang Penanaman Penyiangan Pemupukan Pengendalian OPT Panen (bawon) Perontokan (power trasher) Jumlah
Petani PUAP Jumlah Nilai 1 unit 5,27 hok Borongan 20,60 hok 5,20 hok 21 hok Borongan 1 unit -
626.667 210.667 700.000 824.000 208.000 840.000 4.262.222 808.333 8.479.889
Petani non PUAP Jumlah Nilai 1 unit borongan borongan 17,37 hok 4,10 hok 13,77 hok Borongan 1 unit -
551.667 253.833 149.333 694.667 164.000 550.667 3.460.000 716.667 6.640.833
Keseluruhan penggunaan tenaga kerja antara petani PUAP dan non PUAP memiliki perbedaan dalam hal jumlah penggunaan HOK. Petani PUAP menggunakan tenaga kerja lebih banyak dari petani non PUAP, terlihat dari biaya yang dikeluarkan oleh petani PUAP lebih banyak dibanding petani non PUAP. Hal ini disebabkan: (1) penguasaan luas lahan yang digarap oleh petani PUAP lebih luas, dan (2) ketersediaan modal untuk membayar tenaga kerja. Penguasaan luas lahan dan besarnya modal yang dimiliki petani, akan berpengaruh terhadap permintaan tenaga kerja. Pada umumnya pertanian skala kecil akan menggunakan tenaga kerja yang berasal dari anggota rumah tangga secara optimal. Namun, dalam skala yang lebih besar, pasar tenaga kerja juga mulai dikenal, meskipun harga tenaga kerja di sini masih bersifat informal. Sifat informal di sini berkaitan dengan kondisi bahwa pola kontrak kerja tidak mengikuti aturan formal yang berlaku, namun disesuaikan dengan situasi dan kondisi dalam masyarakat yang bersangkutan. Struktur Biaya Produksi dalam Usahatani Padi Input produksi yang digunakan dalam proses usahatani padi merupakan komponen biaya tunai. Biaya tunai adalah biaya yang benar-benar harus dikeluarkan oleh petani selama satu musim tanam. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, komponen-komponen tersebut terdiri atas biaya pembelian benih, pupuk, obat-obatan, upah tenaga kerja, serta biaya lainnya seperti pajak bumi dan
86 bangunan (PBB), iuran desa, iuran air/pompa/ulu-ulu, dan hutang (pokok+bunga) kepada Gapoktan. Rekap keragaan struktur pembiayaan usahatani padi antara petani PUAP dan non PUAP disajikan pada Tabel 37. Secara keseluruhan analisis pendapatan usahatani padi pada petani PUAP dan non PUAP dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4 . Tabel 37. Struktur biaya rata-rata dan pendapatan usahatani padi petani PUAP dan non PUAP per hektar, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Uraian A. Biaya 1. Benih 2. Pupuk 3. Pestisida 4. Tenaga Kerja 5. Biaya lainnya: 5.1. PBB 5.2. Iuran Desa 5.3. Iuran air/ulu-ulu Total Biaya (TC) B. Penerimaan Produksi (kg/ha) Total Penerimaan (TR) C. Pendapatan kotor (TR-TC) D. Hutang (risk premium) E. Pendapatan Bersih (π) R/C B/C MBCR
Petani PUAP Fisik Nilai (kg/liter/HOK) (Rp)
Petani non PUAP Fisik Nilai (kg/liter/HOK) (Rp)
16,83 1.063,26** 15,00** 66,07**
168.333 1.613.203 1.669.800 8.479.889
16,33 775,09 9,00 55,24
127.913 1.343.032 814.767 6.540.833
-
50.000 75.000 100.000 12.156.225
-
50.000 75.000 100.000 9.051.545
5.190,00
4.000 20.760.000 11.708.455 1.898.667 9.809.788 2,29 1,08
6.657,00
4.200 27.959.400 15.803.175 1.590.000 14.213.175 2,30 1,17 1,42
** Signifikan pada taraf kepercayaan 95%
Pada Tabel 37, petani PUAP dan non PUAP terlihat adanya perbedaan untuk masing-masing komponen pembiayaan input produksi, Hal ini disebabkan petani PUAP memiliki kapasitas modal usahatani lebih tinggi, sehingga mendorong petani PUAP untuk melakukan proses adaptasi pemanfaatan teknologi, seperti menanam bibit unggul, pemupukan dosis seimbang, obatobatan, menggunakan mesin traktor untuk pengolahan tanah, pompa air, dan mesin panen (power trasher). Nam (2011) menyebutkan proses adaptasi yang dilakukan petani PUAP sebagai mekanisme self insurance, hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan peluang rata-rata hasil pertanian semakin baik. Lain halnya dengan petani non PUAP, pembiayaan untuk usahatani padi sangat terbatas sesuai dengan kemampuannya. Penerimaan usahatani padi berasal dari jumlah produksi padi yang dihasilkan, dikali dengan rata-rata harga yang berlaku atau diterima oleh petani. Sehingga besar kecilnya penerimaan petani, dipengaruhi oleh tingkat produksi yang dihasilkan dan harga jual. Untuk produksi padi, petani PUAP menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibandingkan petani non PUAP. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, penyebab produksi padi petani PUAP lebih tinggi yakni petani PUAP memiliki kapasitas modal usahatani lebih tinggi. Hal ini mendorong petani PUAP untuk melakukan proses adaptasi pemanfaatan teknologi, seperti menanam bibit unggul, pemupukan dosis seimbang, obat-obatan, menggunakan mesin traktor untuk pengolahan tanah, pompa air, dan mesin panen (power
87 trasher), dan proses adaptasi yang dilakukan petani PUAP sebagai mekanisme self insurance. Selanjutnya jika dikaitkan dengan karakteristik responden, misalnya usia responden, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, penguasaan lahan, dan status kepemilikan lahan. Secara bersama-sama karakteristik tersebut dapat mempengaruhi tingkat pendapatan usahatani. Namun pengaruhnya tidak secara langsung, melainkan melalui proses aktifitas usahatani, yang diawali dengan adanya tambahan modal usaha dari program PUAP, kemudian dilanjutkan adanya proses adaptasi pemanfaatan teknologi. Responden petani PUAP didominasi oleh usia produktif. Pada fase ini umumnya petani PUAP sangat responsif dan terbuka terhadap berbagai informasi dari luar yang sifatnya untuk perbaikan dalam usahatani. Lain halnya dengan petani non PUAP. Begitu juga dengan tingkat pendidikan, asumsinya semakin tinggi tingkat pendidikan petani, menyebabkan tingkat pemahaman dan tingkat kesadaran terhadap informasi baru semakin tinggi, sehingga proses adaptasi pemanfaatan teknologi semakin mudah untuk diaplikasikan. Selanjutnya pengalaman bertani, asumsinya pengalaman bertani yang telah didapatkan bertahun-tahun, sangat menentukan dalam menjalankan aktivitas usahatani. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat adaptasi terhadap berbagai perubahan lingkungan dan perubahan iklim untuk mempertahankan keberlangsungan aktivitas pertanian petani (Seo dan Mendolsohn 2008). Karakteristik penguasaan dan status kepemilikan lahan, asumsinya luasnya lahan pertanian yang digarap oleh responden mengakibatkan keluaran output hasil pertaniannya juga akan lebih banyak dan layak untuk diusahakan. Hal ini selaras dengan hasil studi dari Chinvanno et al. (2008), melaporkan bahwa sebagai upaya untuk mempertahankan produktivitas hasil pertanian dan secara finansial layak untuk diusahakan, para petani umumnya menggarap lahan sawah yang lebih luas. Para petani menggunakan sumberdaya yang ada dalam rumah tangga petani untuk menyewa lahan, jika lahan sawah yang petani miliki terlalu sempit (<0,5 ha). Tingkat produksi padi petani PUAP mencapai 6.657 kg/ha gabah kering panen, sementara petani non PUAP mencapai 5.190 kg/ha, terjadi selisih sebesar 28,26%. Begitu juga dengan harga, harga yang diterima oleh petani PUAP sebesar Rp. 4.200, karena hasil petani dibeli oleh Gapoktan. Gapoktan sengaja membeli dengan harga lebih tinggi dari harga kios dan tengkulak, tujuannya untuk membantu petani anggota mendapatkan keuntungan yang lebih besar, disamping untuk membantu dari segi pemasaran hasil bagi petani anggota. Petani PUAP memperoleh penerimaan total lebih tinggi dibanding petani non PUAP, yakni sebesar 34,68%. Sehingga diketahui penerimaan petani PUAP sebesar Rp. 27,9 juta, sedangkan petani non PUAP sebesar Rp. 20,7 juta, terjadi selisih 34,68%. Selanjutnya, jika memperhatikan hasil analisis R/C pada Tabel 37, menunjukkan bahwa usahatani padi pada kedua group responden secara finansial masuk kategori layak. Terbuktikan dari Hasil analisis R/C pada kedua group petani responden memiliki nilai diatas satu (R/C > 1). Artinya usahatani tersebut dikatakan menguntungkan karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan lebih besar dari satu rupiah. Pemaknaan lain, nilai R/C petani PUAP adalah 2,30, artinya setiap pengeluaran atau biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 100 ribu, akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 230 ribu. Sedangkan nilai R/C petani non PUAP adalah 2,29, artinya setiap biaya yang
88 dikeluarkan sebesar Rp. 100 ribu, akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 229 ribu. Antara petani PUAP dan non PUAP terdapat selisi penerimaan sebesar 0,44%. Analisis R/C dapat digunakan juga untuk mengetahui apakah penggunaan biaya dalam kegiatan usahatani padi yang dilakukan oleh kedua grup responden efisien atau tidak. Tabel 26 menunjukkan bahwa nilai R/C pada petani PUAP sebesar 2,30 dan petani non PUAP 2,29. Hasil R/C kedua grup responden lebih besar dari pada 1 (R/C>1), berarti kedua grup responden dalam hal penggunaan biaya produksi padi dapat dikatakan efiesien. Namun demikian, petani PUAP lebih efisien karena memiliki nilai R/C yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan, petani PUAP menghasilkan tingkat produksi yang lebih tinggi atas biaya total yang sudah dialokasikan. Sehingga keuntungan yang didapatkan juga lebih besar. Selain itu dipengaruhi oleh harga jual produk yang diperoleh oleh petani PUAP lebih tinggi. Harga jual produk akan mempengaruhi total penerimaan (TR). Usahatani padi dapat dikatakan semakin efisien secara ekonomis jika usahatani tersebut semakin menguntungkan. Lebih lanjut, hasil analisis B/C pada kedua group responden memiliki nilai diatas 1 (B/C>1), artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan lebih besar dari satu rupiah. Pemaknaan kata lain, nilai B/C petani PUAP sebesar 1,17, artinya setiap biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 100 ribu, akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 117 ribu. Sedangkan nilai B/C petani non PUAP sebesar 1,08, artinya setiap biaya yang dikeluarkan untuk usahatani padi sebesar Rp. 100 ribu, akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 108 ribu. Antara petani PUAP dan non PUAP terdapat selisih keuntungan sebesar 8,33%. Berdasarkan hasil analisis R/C dan B/C tersebut, bahwa usahatani padi pada petani PUAP maupun non PUAP di Kabupaten Subang adalah menguntungkan dan bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan rumah tangga petani. Sehingga dapat dimaknai bahwa bagi petani padi di Kabupaten Subang, pada dasarnya petani memiliki kinerja usahatani padi yang baik, dan apabila petani mendapatkan suntikan modal usaha, secara normatif akan menunjukkan kinerja usahatani yang lebih baik lagi. Sejatinya menurut Swastika (2004), jika tambahan modal yang diberikan pada suatu wilayah dengan indikator kelayakan usaha seperti R/C dan B/C, hasilnya masuk kategori layak dan menguntungkan, maka dapat dikatakan tambahan modal tersebut, menjadi bermanfaat secara nyata, yang akhirnya berimplikasi terhadap peningkatan pendapatan usahatani yang dikelola. Hasil analisis Marjinal Benefit Cost Ratio (MBCR) diperoleh nilai 1,42. Nilai ini bermakna bahwa setiap ada tambahan modal sebesar Rp. 100 ribu yang bersumber dari dana PUAP, akan memberikan manfaat (benefit) sebesar Rp. 142 ribu terhadap pendapatan usahatani. Sehingga kegiatan usahatani padi yang dilakukan petani PUAP secara finansial lebih menguntungkan. Selanjutnya hasil analisis uji-t terhadap kuantitas pemakaian input produksi pada usahatani padi petani sampel. Dalam hal pemakaian benih untuk usahatani padi petani sampel, menunjukkan bahwa Fhitung untuk penggunaan benih dengan Equal Variances Assumed adalah 0,417 dan Pvalue = 0,521 lebih besar dari nilai α = 0,05 (0,521 > 0,05), maka keputusan terima H0. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah pemakaian benih petani PUAP sama dengan petani non
89 PUAP. Sama halnya dengan hasil T Test yang menggunakan asumsi equal variance, dengan melihat thitung atau Pvalue. Hasil thitung = 0,569 dengan Pvalue = 0,571. Nilai tersebut lebih besar dari nilai α = 0,05 (0,571 > 0,05), yang artinya pemakaian benih antara petani PUAP dengan petani non PUAP secara kuantitas adalah sama. Hal ini nyata, asumsinya jika jumlah pemakaian benih per satuan hektar dengan jarak tanam atau teknologi yang sama, dalam aktivitas usahatani padi pada petani sampel, maka secara kuantitas akan sama. Namun perbedaan akan terlihat pada kualitas benih yang digunakan oleh petani sampel, seperti benih berlabel dan tidak berlabel. Seluruh Petani PUAP yang menjadi sampel menggunakan benih berlabel (100%). Benih berlabel ini harganya lebih mahal, sehingga berpengaruh terhadap jumlah biaya yang dialokasikan untuk benih lebih tinggi. Sedangkan petani non PUAP, masih menggunakan benih yang tidak berlabel (43,33%). Pemakaian pupuk dalam proses usahatani padi akan mempengaruhi produksi, dan pada akhirnya mempengaruhi pendapatan petani. Pemupukan dilakukan untuk menambah zat-zat makanan bagi tanaman. Jenis pupuk yang digunakan untuk usahatani padi pada petani sampel yakni Urea, TSP, NPK, dan pupuk organik. Banyak faktor yang mempengaruhi kuantitas pemakaian pupuk untuk usahatani, misalnya luas tanam, karena semakin besar luas tanam maka akan semakin banyak jumlah pupuk yang dgunakan. Selain itu, dalam kegiatan pemupukan diperlukan modal untuk pembelian pupuk dan upah tenaga kerja. Keterbatasan modal menyebabkan petani sebagai pengambil keputusan berusaha menekan biaya produksi seminimal mungkin agar diperoleh keuntungan yang maksimal. Berikut akan diuraikan hasil analisis uji-t terhadap tingkat pemakaian pupuk pada petani sampel. Hal ini untuk mengetahui apakah diantara petani PUAP dengan non PUAP secara kuantitas pemakaian pupuknya sama atau berbeda. Hasil analisis uji-t terhadap tingkat pemakaian pupuk, seperti pupuk urea pada usahatani padi petani sampel, dapat diketahui bahwa perbandingan pemakaian pupuk urea pada usahatani padi petani PUAP dan non PUAP secara kuantitas adalah berbeda nyata. Secara statistik dengan melihat Equal Variances Assumed menunjukkan nilai Fhitung untuk pemakaian pupuk urea adalah 6,960, dengan Pvalue = 0,011 lebih kecil dibandingkan nilai α = 0,05 (0,011 < 0,05). Selain itu, nilai t-hitung (2,660) lebih besar dibandingkan nilai t-tabel (2,021), dengan P-value = 0,010 lebih kecil dibandingkan nilai α = 0,05 (0,010 < 0,05), maka keputusannya tolak Ho. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan pupuk urea pada usahatani padi petani PUAP berbeda nyata dengan penggunaan pupuk urea pada usahatani padi petani Non PUAP. Adanya perbedaan kuantitas pada pemakaian pupuk urea untuk usahatani petani sampel yakni frekuensi pemupukan. Berdasarkan hasil wawancara, petani PUAP melakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk urea mencapai tiga sampai dengan empat kali pemupukan. Selain itu lahan sawah yang digarap oleh petani PUAP secara ratarata lebih luas, sehingga berkontribusi terhadap tingginya jumlah pemakaian pupuk tersebut. Pemakaian pupuk TSP/SP36 pada usahatani padi petani sampel, dapat diketahui bahwa secara variasi adalah sama, terlihat dari nilai Fhitung=1,180 dan Pvalue=0,282 lebih besar dari nilai α = 0,05 (0,282 > 0,05). Sedangkan secara kuantitas, pemakaian pupuk TSP antara petani PUAP dengan petani non PUAP
90 adalah berbeda nyata, terlihat dari nilai Thitung = 6,050 lebih besar dari nilai Ttabel = 2,021 (6,050 > 2,021) dan nilai Pvalue=0,000 lebih kecil dari nilai α = 0,05 (0,000 < 0,05), maka keputusan tolak H0 dan disimpulkan cukup bukti yang menyatakan bahwa penggunaan jumlah pupuk TSP petani PUAP tidak sama dengan petani Non PUAP pada taraf kepercayaan 95%. Variasi maksudnya jenis-jenis kegiatan yang dilakukannya pemupukan, selama menjalankan usahatani padi, seperti persemaian, penanaman, pengolahan tanah,dan lain-lain. Sedangkan kuantitas yakni jumlah pupuk yang digunakan pada setiap jenis kegiatan usahatani padi. Pemakaian pupuk NPK pada usahatani padi petani PUAP dan non PUAP, dapat diketahui bahwa secara variasi adalah sama, terlihat dari nilai Fhitung=0,097 dan Pvalue=0,756 lebih besar dari nilai α = 0,05 (0,756 > 0,05), maka keputusan terima H0. Sedangkan secara kuantitas, pemakaian pupuk TSP antara petani PUAP dengan petani non PUAP adalah berbeda nyata, terlihat dari nilai Thitung = 2,169 lebih besar dari nilai Ttabel = 2,021 (2,169 > 2,021) dan nilai Pvalue=0,034 lebih kecil dari nilai α = 0,05 (0,034 < 0,05), maka keputusan tolak H0. dan disimpulkan cukup bukti yang menyatakan bahwa penggunaan jumlah pupuk NPK petani PUAP tidak sama dengan petani Non PUAP pada taraf kepercayaan 95%. Perbedaan kuantitas ini, mengindikasi adanya perbedaan dalam hal pemberian pupuk NPK oleh petani sampel. Perbedaan tersebut disebabkan oleh frekuensi pemupukan. Pemakaian pupuk Organik pada usahatani padi petani PUAP dan non PUAP dapat diketahui bahwa secara variasi adalah sama, terlihat dari nilai Fhitung=2,547 dan Pvalue=0,116 lebih besar dari α = 0,05 (0,116 > 0,05), maka keputusan diterima H0. Sedangkan secara kuantitas, pemakaian pupuk Organik antara petani PUAP dengan petani non PUAP adalah berbeda nyata, terlihat dari nilai Thitung = 6,541 lebih besar dari nilai Ttabel = 2,021 (6,541 > 2,021) dan nilai Pvalue=0,000 lebih kecil dari nilai α = 0,05 (0,000 < 0,05), maka keputusan tolak H0, dan disimpulkan cukup bukti yang menyatakan bahwa penggunaan jumlah pupuk Organik petani PUAP tidak sama dengan petani Non PUAP pada taraf kepercayaan 95%. Selanjutnya, hasil analisis uji-t terhadap tingkat pemakaian pestisida. Untuk pemakaian pestisida pada usahatani padi petani PUAP dan non PUAP dapat diketahui bahwa secara variasi adalah berbeda nyata, terlihat dari nilai Fhitung=18,448 dan Pvalue=0,000 lebih kecil dari α = 0,05 (0,000 > 0,05), maka keputusan tolak H0. Sedangkan secara kuantitas, pemakaian pestisida antara petani PUAP dengan petani non PUAP adalah berbeda nyata, terlihat dari nilai Thitung = 6,771 lebih besar dari nilai Ttabel = 2,021 (6,771 > 2,021) dan nilai Pvalue=0,000 lebih kecil dari nilai α = 0,05 (0,000 < 0,05), maka keputusan tolak H0, dan disimpulkan cukup bukti yang menyatakan bahwa penggunaan jumlah pestisida antara petani PUAP dengan petani Non PUAP tidak sama pada taraf kepercayaan 95%. Perbedaan ini disebabkan oleh frekuensi penyemprotan yang dilakukan oleh petani PUAP lebih sering, karena intensitas serangan hama lebih tinggi serta adanya dukungan pinjaman modal usahatani dari Gapoktan. Selain itu, petani PUAP menggunakan pestisida yang paten atau lebih bagus kualitasnya untuk membasmi HPT, yang harga lebih mahal. Sehingga berpengaruh terhadap total biaya yang dialokasikan untuk pemakaian pestisida menjadi lebih tinggi, dibandingkan dengan petani non PUAP. Lain halnya dengan petani non PUAP, pembiayaan untuk usahatani padi sangat terbatas sesuai dengan kemampuannya.
91 Pemakaian tenaga kerja pada usahatani padi petani PUAP dan non PUAP dapat diketahui bahwa secara variasi adalah sama, terlihat dari nilai Fhitung=0,939 dan Pvalue=0,337 lebih besar dari α = 0,05 (0,337 > 0,05), maka keputusan diterima H0. Sedangkan secara kuantitas, pemakaian tenaga kerja antara petani PUAP dengan petani non PUAP adalah berbeda nyata, terlihat dari nilai Thitung = 5,902 lebih besar dari nilai Ttabel = 2,021 (5,902 > 2,021) dan nilai Pvalue=0,000 lebih kecil dari nilai α = 0,05 (0,000 < 0,05), maka keputusan tolak H0, dan disimpulkan cukup bukti yang menyatakan bahwa penggunaan jumlah tenaga kerja pada usahatani padi petani PUAP tidak sama dengan petani Non PUAP pada taraf kepercayaan 95%. Dari beberapa perbedaan yang sudah diuraikan sebelumnya, maknanya adalah bahwa tambahan modal PUAP, dapat mempengaruhi struktur pembiayaan usahatani petani PUAP. Dengan kata lain, Program PUAP mampu meningkatkan kemampuan petani dalam pemenuhan kebutuhan input produksi per satu hektarnya untuk usahatani padi. Pendapatan Usahatani Padi Pendapatan usahatani padi dapat diketahui dengan cara mengurangkan jumlah penerimaan dengan jumlah biaya. Berdasarkan Tabel 37, besarnya pendapatan usahatani padi pada petani PUAP setelah menerima tambahan dana BLM PUAP mencapai Rp. 14,2 juta, nilai ini merupakan pendapatan bersih, artinya sudah dikurangi oleh hutang (risk premium) karena petani mendapatkan pinjaman modal BLM PUAP dari Gapoktan. Besarnya rata-rata hutang adalah Rp. 1.590.000. Besarnya hutang tersebut dihitung dari hutang pokok (Rp. 1.500.000) ditambah jasa 1,9% selama 4 bulan. Sedangkan pendapatan usahatani padi pada petani non PUAP mencapai Rp. 9,8 juta. Nilai ini pun merupakan pendapatan bersih, artinya sudah dikurangi oleh hutang (risk premium) karena petani mendapatkan pinjaman modal usaha dari kios/tengkulak. Besarnya rata-rata hutang adalah Rp. 1.898.667. Secara matematis perhitungan hutangnya sama saja, yang membedakan adalah besarnya bunga yang diterima oleh petani non PUAP. Besarnya bunga yang diterima petani non PUAP yakni sebesar 20% per musim tanam. Setelah pendapatan masing-masing kelompok responden dikurangi hutang, pendapatan bersih yang diperoleh petani PUAP menunjukkan hasil yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan petani non PUAP, perbedaannya mencapai 44,89%. Hal ini selaras dengan pendapat Widya (2012) dan Suandi et al. (2012). Menurutnya, PUAP mampu menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 7,67%. Selanjutnya Suandi et al. (2012) menyatakan program PUAP melalui manajemen sumberdaya Gapoktan berpengaruh positif terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Kondisi ini menunjukkan adanya dampak positif program PUAP terhadap pendapatan petani penerima manfaat dana BLM PUAP. Beberapa hal yang membuat pendapatan usahatani padi pada petani PUAP dan non PUAP memiliki perbedaan yang nyata, dengan kata lain pendapatan usahatani padi petani non PUAP lebih kecil, diantaranya adalah: (1) modal usahatani dimana petani non PUAP memiliki keterbatasan modal usaha, sehingga didalam pemakaian input produksi per satu hektar tidak optimal (jauh dibawah anjuran), akhirnya berpengaruh terhadap produksi padi, (2) harga jual seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa harga jual yang diterima oleh petani non
92 PUAP lebih rendah, hanya Rp. 4.000 per kg, dan harga ini ditetapkan oleh kios/tengkulak. Petani non PUAP tidak mempunyai posisi tawar yang kuat dalam hal harga, begitu juga dalam hal pemasaran hasil, karena petani non PUAP sudah terikat kontrak dengan kios/tengkulak atas hutangnya, jadi petani non PUAP harus menjual hasil panennya ke kios atau tengkulak, (3) bunga hutang dari petani non PUAP melakukan pinjaman/kredit kepada kios/tengkulak, dimana kios/tengkulak menetapkan bunga yang sangat tinggi. Bunga yang ditetapkan oleh kios/tengkulak sebesar 20% per musim tanam, dan (4) informasi harga saprodi tidak sempurna dimana petani non PUAP tidak mendapatkan harga saprodi yang pasti dari kios. petani tidak diberitahu sejak awal harga-harga tersebut, harga baru diinformasikan ketika petani akan membayar hutang saprodi ke kios. Pada saat panen, petani menjual hasil panennya ke kios. Pendapatan yang diterima petani adalah sisa dari hasil penjualan yang sudah dipotong terlebih dahulu atas hutang saprodi. Terungkap pula dampak Program PUAP terhadap sosial ekonomi petani di daerah penelitian. Dampak sosial Program PUAP sebagai berikut: (1) bertambahnya wawasan petani karena mendapatkan pendidikan informal tentang kegiatan simpan pinjam di Gapoktan, (2) meningkatnya frekuensi interaksi antar petani karena setiap bulan diadakan pertemuan di balai desa atau kantor Gapoktan. Sehingga petani dapat sering berkomunikasi dan berdiskusi untuk mencari solusi tentang masalah yang petani hadapi dalam berusahatani, (3) terjadinya konflik antar pengurus Gapoktan karena timbul rasa saling curiga tentang jumlah dana BLM PUAP yang masih ada di kas Gapoktan, dan (4) timbulnya rasa was-was kepada petani peminjam dana BLM PUAP karena adanya isu tentang tuntutan penjara yang akan dikenakan bagi petani yang belum mengembalikan pinjaman BLM PUAP. Sedangkan dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh Program PUAP terhadap petani di daerah penelitian adalah sebagai berikut: (1) petani dapat memperoleh bantuan pinjaman BLM PUAP untuk mengatasi keterbatasan modal usahatani yang dimiliki para petani, (2) prosedur dan syarat pinjaman tidak terlalu menyulitkan petani jika dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya, seperti Bank, CU, dan lain-lain, (3) petani dapat memperoleh pinjaman dengan tingkat bunga yang cukup rendah, yaitu 2% per bulan, (4) para petani tidak lagi terikat dengan tengkulak yang pada umumnya memberikan pinjaman dengan bunga yang cukup tinggi, dan (5) mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga secara mandiri, seperti biaya sekolah anak, merenovasi rumah, membuka usaha baru (warung/dagang), memiliki kendaraan pribadi (motor), kelengkapan rumah (televisi, radio), dan adanya kemampuan menabung atau menghemat. Hasil analisis uji-t terhadap tingkat pendapatan usahatani padi petani sampel, dapat diketahui bahwa perbandingan pendapatan usahatani padi pada petani PUAP dan non PUAP adalah berbeda nyata. Nilai Fhitung untuk pendapatan usahatani dengan Equal Variances Assumed adalah 8,184, dengan Pvalue = 0,006 lebih kecil dibandingkan nilai α = 0,05 (0,006 < 0,05). Selain itu, hasil t-hitung (6,366) lebih besar dibandingkan t-tabel (2,021), dengan P-value = 0,000 lebih kecil dibandingkan nilai α = 0,05 (0,000 < 0,05), maka keputusannya tolak Ho, dan disimpulkan cukup bukti yang menyatakan bahwa hasil pendapatan usahatani padi petani PUAP dengan petani non PUAP berbeda nyata dan signifikan pada taraf kepercayaan 95%.
93 Hubungan Kinerja Gapoktan Terhadap Pendapatan Usahatani Padi Tingkat kinerja Gapoktan (Tabel 32), berkorelasi positif terhadap tingkat pendapatan usahatani padi (Tabel 37). Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa adanya hubungan yang erat antara kinerja Gapoktan terhadap pendapatan usahatani padi petani anggota. Berikut ini disajikan hasil analisis Person Product Moment (PPM), mengenai keeratan hubungan antara kinerja Gapoktan terhadap tingkat pendapatan usahatani padi petani anggota (Tabel 38). Tabel 38. Hasil analisis korelasi kinerja Gapoktan dengan pendapatan usahatani padi petani anggota Kinerja Pendapatan Gapoktan Usahatani Kinerja Gapoktan Pendapatan Usahatani
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 60 0,441** 0,000 60
0,441** 0,000 60 1 60
** Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed)
Berdasarkan Tabel 38, korelasi product moment antara variabel kinerja Gapoktan dengan pendapatan usahatani padi petani anggota, nilai korelasinya adalah positif 0.441. Besarnya nilai korelasi menunjukkan bahwa korelasi antara kinerja Gapoktan dan pendapatan usahatani padi berada dalam kategori “Cukup Kuat”. Sementara nilai positif mengindikasikan pola hubungan antara kinerja Gapoktan dengan pendapatan usahatani padi adalah searah . Hal ini bermakna semakin tinggi kinerja Gapoktan, dapat menyebabkan meningkatnya pendapatan usahatani padi petani anggota. Dengan demikian rangkaian kegiatan dalam sistem agribisnis digerakkan oleh berbagai kelembagaan. Peranan kelembagaan dalam sistem agribisnis sangat menentukan keberhasilan pertanian pada umumnya, dan pengembangan usahatani khususnya. Menurut Pakpahan (2000), kelembagaan merupkan hal yang strategis yang akan mengatur interdependensi antar manusia. Sumberdaya alam, manusia, modal dan teknologi merupakan syarat keharusan, tetapi tidak memenuhi syarat kecukupan dari upaya pembangunan. Tersedianya perangkat kelembagaan merupakan syarat kecukupan,karena dengan adanya perangkat ini sumberdaya dapat dialokasikan dan dimobilisasi secara optimum. Hasil uji signifikansi, diperoleh nilai r-hitung sebesar 0,000. Nilai r-hitung lebih kecil dari nilai α = 0,05 (0,000 < 0,05). Keputusan tolak Ho, dan disimpulkan cukup bukti yang menyatakan bahwa kinerja Gapoktan berpengaruh nyata dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan usahatani padi petani anggota pada taraf kepercayaan 95%. Lebih lanjut, besarnya kontribusi variabel kinerja Gapoktan (X) terhadap pendapatan usahatani padi petani anggota (Y), dihitung koefisien penentu (coefficient of determination) dengan menggunakan kaidah persamaan 9. Jika nilai koefisien korelasi (r) = 0,441, maka nilai KP sebesar 19,45%. Maknanya adalah kontribusi kinerja Gapoktan (X) terhadap naik/turunnya pendapatan usahatani padi petani anggota (Y) adalah sebesar 19,45%, sedangkan sisanya 80,55% ditentukan oleh variabel lain. Variabel
94 lainnya yang diduga kuat dalam mempengaruhi pendapatan usahatani padi adalah variabel-variabel yang berhubungan erat dalam kegiatan usahatani itu sendiri, seperti benih, pupuk, pestisida, dll. Hasil analisis dapat dimaknai bahwa PUAP mampu berperan meningkatkan kinerja Gapoktan, serta secara tidak langsung mampu meningkatkan pendapatan usahatani padi para anggotanya. Sebagai sebuah organisasi, Gapoktan merupakan wadah yang membuat aturan main. Sehubungan dengan hal itu, menurut Juraemi (2004) bahwa berusahatani hanya bisa berhasil apabila ditunjang oleh perangkat kelembagaan terkait dengan kinerja yang baik. Lebih lanjut Sivachithappa (2013) memaparkan, dampak langsung dari adanya pembiayaan pertanian melalui tambahan modal usaha (kredit), yakni: (1) bergeraknya atau berkembangnya organisasi keswadayaan masyarakat, serta (2) meningkatnya status sosial dan ekonomi para pelakunya (petani), yang dicirikan adanya peningkatan keterampilan kewirausahaan (increased entrepreneurial skills), peningkatan akses kredit (increased access to credit), kemapanan dalam bisnis (establishment of businesses), dan perubahan pola konsumsi (changes in consumption patterns). Dari pemaparan tersebut, mengindikasi bahwa paket pelaksanaan PUAP, memberikan peran nyata terhadap peningkatan kinerja Gapoktan PUAP dan pendapatan usahatani padi petani PUAP.
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Program PUAP sangat berperan terhadap peningkatan kinerja Gapoktan. Terlihat dari perbandingan antara kinerja Gapoktan PUAP dengan Gapoktan non PUAP, menunjukkan kinerja Gapoktan PUAP yang lebih tinggi. Kinerja Gapoktan ditinjau dari empat atribut penilaian kinerja, diantaranya efektifitas organisasi, efisiensi organisasi, relevansi organisasi, dan pencapaian kemandirian keuangan organisasi. Nilai dari ke empat atribut tersebut, secara rata-rata masuk kategori baik. Pendapatan petani PUAP maupun non PUAP, secara finansial masuk kategori layak dan menguntungkan. Namun demikian, usahatani padi yang dikelola petani PUAP tetap menunjukkan tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Selain itu, dilihat dari ukuran efisiensi yakni analisis R/C dan B/C, menunjukkan program PUAP mampu berperan terhadap peningkatan efisiensi dalam usahatani padi bagi petani PUAP, terlihat hasil analisis R/C dan B/C usahatani padi petani PUAP nilainya lebih tinggi dibanding petani non PUAP. Lebih lanjut, berdasarkan hasil analisis MBCR, dapat dikatakan PUAP mampu memberikan manfaat/benefit yang nyata terhadap peningkatan pendapatan usahatani padi. Ditinjau dari hasil analisis uji-t pada taraf kepercayaan 95 persen, diperoleh hasil bahwa pendapatan usahatani petani PUAP dan non PUAP memiliki perbedaan yang nyata (signifikan). Hal ini mengindikasi bahwa usahatani yang dilakukan oleh petani PUAP lebih menguntungkan dan lebih efisien. Hubungan antara kinerja Gapoktan dengan pendapatan usahatani padi petani anggota, mempunyai pola hubungan searah dan signifikan. Artinya apabila kinerja Gapoktan semakin baik maka pendapatan usahatani padi petani anggota juga akan
95 mengalami peningkatan. Esensinya, program PUAP mampu meningkatkan kapasitas aktor pelaksana program, baik terhadap aktivitas organisasi petani maupun kinerja usahatani padi petani anggota. Hal ini sesuai dengan tujuan dari program PUAP yakni pengembangan kapasitas. Saran Untuk meningkatkan kinerja Gapoktan, hal utama yang harus perbaiki yakni: (1) modal sosial yang dimiliki petani anggota. Modal sosial ini berpengaruh terhadap pengembangan kinerja kelembagaan tani. Sehingga potensi dampak negatif selama menjalankan aktivitas keorganisasian secara relatif dapat dikurangi, (2) jaringan (networking) untuk menjalin kerjasama, baik dengan lembaga keuangan formal, lembaga pemasaran, dan lembaga penelitian, dan (3) ketegasan sikap pengurus Gapoktan dalam mengawal dan mendampingi para petani dalam hal pemanfaatan pinjaman. Upaya untuk mencapai peningkatan pendapatan usahatani, perlu adanya dukungan modal usahatani yang kuat. Modal usahatani ini bersumber dari petani sendiri melalui menabung, arisan, dan diversifikasi usaha. Sedangkan modal dari luar seperti halnya Program PUAP, yang bersifat mudah untuk diakses oleh petani baik secara administrasi maupun proses pencairannya, serta tingkat bunga yang rendah. Hubungan antara kinerja Gapoktan dengan pendapatan usahatani sangat erat. Sehingga kedepannya, lembaga ini dituntut untuk lebih profesional dalam hal pengelolaan aktivitas keorganisasian, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya keuangan organisasi, dan melakukan pembinaan atau pendampingan kepada petani anggota dalam hal pengelolaan usahatani. Selain itu, Gapoktan dituntut untuk mampu mensejahterakan para anggotanya, baik secara ilmu pengetahuan maupun finansial (permodalan).
DAFTAR PUSTAKA Acemoglu D. 2003. Root causes: a historical approach to assessing the role of institutions in economic development. J Finance and Development. 40(2):27-33. Acemoglu D, Robinson JA. 2012. Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty. London (GB): Profile Books. Akpalu W. 2012. Access to microfinance and intra household business decision making: implication for efficiency of female owned enterprises in Ghana. J Sociol Econom. 41(1):513-518. Ali SM. 2011. Dasar-Dasar Metode Statistika untuk Penelitian. Bandung (ID): Pustaka Setia. Ashari. 2009. Optimalisasi kebijakan kredit program sektor pertanian di Indonesia. AKP. 7(1):21-42. [BPTP Jawa Barat] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. 2013. Laporan Perkembangan Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Tahun 2008 sampai 2011 di Jawa Barat. Bandung (ID): BPTP Jawa Barat.
96 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, September 2013 [Internet]. [diunduh 2014 Apr 7]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=23¬ab=1 Bardhan P. 1989. Alternative Approaches to the Theory of Institutions in Economic Development. Di dalam: Pranab Bardhan, editor. The Economic Theory of Agrarian Institutions. Oxford (GB): Clarendon Pr. Biswanger P dan Khandker SR. 1995. The impact of formal finance on rural economy of India. J Develop Stud. 32(2):232–262. Carton RB, Hofer CW. 2010. Measuring Organizational Performance: Metrics for Entrepreneurship and Strategic Management Research Massachusetts 01060. [tempat tidak diketahui] (US): Edward Elgar Publishing, Inc. Chang H. 2011. Institutions and economic development: theory, policy and history. J Instution Econom, 7(4):473-498. Chinvanno S, Souvannalath S, Lersupavithnapa B, Kerdsuk V dan Thuan N. 2008. Strategies for Managing Climate Risks in The Lower Mekong River Basin: A Place-Based Approach. In Climate Change And Adaptation. Leary N, Adejuwon J, Barros V, Burton I, Kulkarni J dan Lasco R, editor. Earthscan (GB): London. hlm 333–350. Coffey E. 1998. Agricultural Finance: Getting The Policies Rigth. Rome (IT): FAO dan GTZ. Daniel M. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta (ID): Penerbit Bumi Aksara. [Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005-2009. Jakarta (ID): Departemen Pertanian. [Dirjentan] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2013. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. [Dirjen Pembiayaan] Direktorat Jenderal Pembiayaan Pertanian. 2013. Laporan penyaluran dana PUAP 2012. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Prasarana dan Sarana Pertanian. Kementerian Pertanian. Erna K, Kirya IK, Yulianthini NN. 2014. Pengaruh dana pengembangan usaha agribisnis perdesaan terhadap pendapatan anggota kelompok simantri. J Bisma Universitas Pendidikan Ganesha, Jurusan Manajemen. 2(1):33-42. Ferdiansyah H. 2004. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Kentang (Kasus di Desa Argamukti Kec. Argapura Kab. Majalengka, Jawa Barat). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gaspersz V. 2011. Ekonomi Manajerial: Landasan Analisis dan Strategi Bisnis Untuk Manajemen Perusahaan dan Industri. Bogor (ID): Vinchristo Publication. Goetz RU, Zilberman D. 2007. The economics of land-use regulation in the presence of an externality: a dynamic approach. optimal control applications and methods. 28(2):21-43. Hanafie R. 2010. Peran Modal Dalam Pengembangan Pertanian. Buku Pengantar Ekonomi Pertanian. Yogyakarta (ID): Andi Yogakarta.
97 Hardie IW, Parks PJ, Van Kooten GC. 2004. Land Use Decision and Policy at The Intensive and Extensive Margins.Tietenberg T dan Folmer H, editor. International Yearbook of Environmental and Resource Economics 2004/2005. London (GB): Edward Elgar. hlm 101-139. Hendayana R, Bustaman S, Sunandar N, Jamal, E. 2009. Petunjuk Pelaksanaan Pembentukan dan Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis. Bogor (ID): Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Hendayana R. 2011. Dibalik Kisah Sukses PUAP dalam Buku Menggerakkan Petani Melalui Dinamika Kelompok, Penguatan Modal, serta Penerapan dan Pendampingan Teknologi. Bogor (ID): Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Hendriksen SJ. 1993. Teori Akuntansi. Jakarta (ID): Erlangga. Hermawan H, Andrianyta H. 2012. Lembaga keuangan mikro agribisnis: terobosan penguatan kelembagaan dan pembiayaan di perdesaan. AKP. 10(2):143-158. Hermawan H, Hendayana R. 2012. Peran bantuan langsung masyarakat melalui PUAP terhadap struktur pembiayaan dan pendapatan usahatani. Petani dan Pembangunan Pertanian. Seminar Nasional; 2011 Okt 12; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Ikhsan M. 2000. Reformasi institusi dan pembangunan ekonomi. Jurnal Demokrasi dan HAM. 1(2):30-58. Irawan B, Nurawan A. 2010. Petunjuk Teknis PUAP tahun 2010 spesifik Jawa Barat. Bandung (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Irwanto. 1998. Focus Group Discussion. Jakarta (ID): Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat. Ishak A, Astuti UP. 2012. Evaluasi kinerja gapoktan dan persepsi petani terhadap lembaga keuangan mikro agribisnis (LKM-A) pada gapoktan penerima dana blm-PUAP di kota Bengkulu. Petani dan Pembangunan Pertanian. Seminar Nasional; 2011 Okt 12; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jehangir WA, Ashfaq M, Ali A, Sarwar N. 2002. Use of credit for poverty reduction by small farmers. Pakistan Journal of Applied Sciences. 2(7): 777-780. Juraemi. 2004. Hubungan antara kinerja kelembagaan dengan keragaan sistem agribisnis pada perusahaan inti rakyat perkebunan kelapa sawit. JEPP. 1(2):33-40. Kasryno F. 1984. Kerangka Analisa Ekonomi Pembangunan Pedesaan. Di dalam Faisal Kasryno, editor. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta (ID): PSEKP.
98 Kementerian Pertanian. 2010a. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Jakarta: (ID): Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian. 2010b. Petunjuk Teknis Pemeringkatan (Rating) Gapoktan PUAP Menuju LKM-A. Jakarta: (ID): Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian. 2011. Petunjuk Teknis Penyuluh Pendamping. Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) 2011. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian. 2012. Petunjuk Teknis Penyelia Mitra Tani (PMT). Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) 2012. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) 2013. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian. 2014. Kalender Tanam Terpadu Komoditas Padi Sawah dan Palawija Spesifik Lokasi. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. Khandker SR dan Faruqee RR. 2000. The Impact of Farm Credit in Pakistan. Pakistan (IN): World Bank. Kuncoro M. 2003. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Lesmana D, Asslamiyah F. 2009. Efektivitas program prima tani dalam pengembangan kelembagaan tani. JEPP. 6(2):40-48. Lusthaus C, Adrien MH, Anderson G, Carden F, Montalvan GP. 2002. Organizational Asessment: A Framework for Improving Performance. Canada: International Development Research Centre. Mahmudi. 2005. Manajemen Kinerja Sektor Pelayanan Publik. Yogyakarta (ID): BPFE. Makeham JP, Malcolm RL. 1991. Manajemen Usahatani Daerah Tropis. Jakarta (ID): LP3ES. Manig W. 1991. Rural Social and Economic Structures and Social Development. Di dalam: Windfried Maning, editor. Stability and Change in Rural Institutions in North Pakistan. Volume 85. Socio-economic Studies on Rural Development. Alano. Aachen. Margono S. Drs. 2007. Metologi Penelitian Pendidikan Komponen MKDK. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Mariah. 2009. Pengaruh Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat Terhadap Pendapatan dan Efisiensi Usahatani Padi Sawah di Kabupaten Penajen, Paser. Mirza T. 2000. Kredit Usaha Tani: Antara Harapan dan Kenyataan. Usahawan. Ed ke-5, Volume ke-29. Jakarta. Moeler MT, Thorsen BJ. 2000. A Dynamic Agricultural Household Model With Uncertain Income and Irriversible on Indivisible Invesment Under Credit Constrains [Internet]. [diunduh 2013 Jun 21]. Tersedia pada: http://ideas.respec.org/p/adh/narheu/2000-7.html. Morgan DL dan Kruger RA. 1993. When to Use Focus Group and Why. Di dalam: Morgan DL, editor. Successful Focus Groups, pp. Mosher AT. 1987. Getting Agriculture Moving (Menggerakkan dan Membangun Pertanian). Krisnandhi S, Bahrin S, penerjemah. Jakarta (ID): CV. Yasaguna.
99 Nam GB. 2011. Modelling Farmers Decisions on Integrated Soil Nutrient Management in Sub Sahara Afrika: A Multinomial Logit Analysis in Cameroon. Afrika (tZA): International Institute of Tropical Agriculture. Nasution. 2003. Metode Research. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara. North D.C. 1994. Economic Performance Through Time. The American Economic Review. Issue 3, Volume 84, hlm 359-368. Nurmanaf A, Hastuti EL, Ashari, Friyatno S, Budi W. 2006. Analisis sistem pembiayaan mikro dalam mendukung usaha pertanian di perdesaan. AKP. 5(2):99-109. Bogor (ID): PSEKP. Nursyamsiah T. 2010. Pengaruh Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Terhadap Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nuryana M (2012). Program Evaluation. Kementerian Sosial [Internet]. [diunduh 2013 Jun 24]. Tersedia pada: www.kemsos.go.id/modules.php?nama=Downloads&d. Pakpahan A. 2000. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi. Di dalam: Evolusi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Seminar Nasional Patanas, Bogor, Indonesia. Bogor (ID): PSEKP. Pejovich S. 1995. Economic Analysis of Institutions and Systems. Netherlands (NL): Kluwer Academic Publishers. Dordrecht. Peters, BG. 2000. Institutional theory : Problem and prospects. Political Science, No. 69. Institute for advances studies Vienna. Pitt MM dan Khandker SR. 1998. The impact of group based credit program on poor households in Bangladesh: Do the gender of participants matter?. Journal of Political Economy. 206(5):106-122. Prasad BC. 2003. Instutional economics and economic development: the theory of property rights, economic development, good governance and the environment. International Journal of Social Economics. 30(6):741-762. Prasetyo T, Joko TP. 2009. Modal dan Produk Pembiayaan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis. Di Dalam: Membangun Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis. Semarang (ID): BPTP Jawa Tengah. Prastowo A. 2010. Menguasai Teknik-Teknik Koleksi Data Penelitian Kualitatif. Yogyakarta (ID): Diva Press. Prayitno H, Arsyad L. 1997. Petani Desa dan Kemiskinan. Yogyakarta (ID): BPFE. Prihartono MK. 2009. Dampak program pengembangan agribisnis perdesaan terhadap kinerja gapoktan dan pendapatan anggota Gapoktan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Riduwan. 2004. Metode Riset. Jakarta (ID): Rineka Cipta Riduwan. 2005. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti Pemula. Cetakan ke-1. Bandung (ID): CV Alfabeta. Riduwan, Kuncoro EA. 2011. Cara Mudah Menggunakan dan Memaknai Path Analysis (Analisis Jalur). Bandung (ID): CV Alfabeta. Rutherford M. 1994. Institutions in Economic: The Old and The New Institutionalism. Cambridge (GB): Cambridge University Press.
100 Sagala. 2010. Dampak program pengembangan usaha agribisnis perdesaan (puap) terhadap pendapatan petani [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sekaran U. 2003. Research Methods for Business: Skill Building Approach, Fourth Edition. New York (US): John Wiley and Sons Inc. Seo SN, Mendelsohn R. 2008. Climate Change Impact on Latin American Farmland Value: The Role of Farm Type. Setyarini PD, Hubeis M, Kadarisman D. 2010. Evaluasi kinerja lembaga keuangan mikro swamitra mina dengan pendekatan balanced scorecard. Jurnal Manajemen Industri Kecil Menengah. 5(1):80-89. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sivachithappa, K. 2013. Impact of micro finance on income generation and livelihood of members of self help groups – a case study of mandya district, india. Journal Social and Behavioral Sciences. 91 (10):228-240. Smith RL, Smith JK. 2004. Entrepreneurial Finance. New York (US): John Wiley and Son Inc. Soedarsono H. 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta (ID): LP3ES. Soeharjo A, Patong D. 1973. Sendi-sendi Pokok Ilmu Usahatani. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisa Fungsi Cobb-Douglass. Jakarta (ID): PT. Raja Grafindo Persada. Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Jakarta (ID): UI Press. Soekartawi, Soeharjo A, Dillon JL, Haedaker JB. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Perkembangan Petani Kecil. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Soentoro, Supriyati, Jamal E. 1992. Sejarah Perkreditan Pertanian Subsektor Tanaman Pangan Dalam Perkembangan Perkreditan di Indonesia. Andin H. Taryoto, Abunawan M., Soentoro, dan Hermanto, editor. Monograph Series. Nomor 3. Bogor (ID): PSEKP. Soetomo G. 1997. Kekalahan Petani Miskin: Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian. Yogyakarta (ID): Kanisius. Suandi Y, Darmayanti, Yulismi. 2012. Model pengembangan usaha agribisnis perdesaan pada usahatani padi sawah di kecamatan sekernan Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi. Jurnal Penelitian Universitas Jambi. 14(2):25-34. Suanggana A. 2011. Pengaruh program pengembangan usaha agribisnis perdesaan (PUAP) terhadap pendapatan usahatani padi [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sudarmanto. 2009. Kinerja dan Pengembangan Kompetensi Sdm (Teori, Dimensi Pengukuran dan Implementasi Dalam Organisasi. Yogyakarta (ID): Kanisius. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung (ID): Penerbit Alfabeta. Supadi, Sumedi. 2004. Tinjauan umum kebijakan kredit pertanian. Icaserd Working Paper. Nomor 25, 2004 Jan. Bogor (ID): PSEKP. Suprapto A. 2012. Pokok-pokok bahasan terhadap pelaksanaan PUAP. Workshop PUAP; 2012 Agu 8; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): BBP2TP.
101 Suwadjono. 2005. Teori Akuntansi Perekayasa Pelaporan Keuangan. Edisi 3. Yogyakarta (ID): BPFE. Suyadi D, Remi SS, Muljarijadi B. 2012. Pengaruh pemberian bantuan tambahan modal usahatani melalui program pengembangan usaha agribisnis perdesaan (PUAP) terhadap peningkatan pendapatan usahatani. Jurnal Agribisnis. 10(2):20-30. Swastika DKS. 2004. Beberapa teknik analisis dalam penelitian dan pengkajian teknologi pertanian. JPPTP. 7(1):90-103; Januari 2001. Syahyuti. 2012. Kelemahan konsep dan pendekatan dalam pengembangan organisasi petani: analisis kritis terhadap Permentan No.273 Tahun 2007. AKP. 10(2), 119-142. Syukur M, Sumaryanto, Sumedi, 1998. Kinerja Kredit Pertanian dan Alternatif Penyempurnaannya untuk Pengembangan Pertanian. T. Sudaryanto, I. W. Rusastra dan Erizal Jamal, editor. Monograph series Nomor 20. Bogor (ID): PSEKP. Syukur M, Sumaryanto, Saptana, Nurmanaf AR, Wiryono B, Anugrah IS, Sumedi. 1999. Kajian skim kredit usahatani menunjang pengembangan IPPadi 300 di Jawa Barat. Bogor (ID): PSEKP. Syukur M, Mayrowani H, Sunarsih, Marisa Y, Fauzi M, Sutopo. 2000. Peningkatan Peranan Kredit dalam Menunjang Agribisnis di Perdesaan [Laporan Hasil Penelitian]. Bogor (ID): PSEKP. Tampubolon SMH. 2002. Kredit Untuk Petani. Di dalam: Harianto, R. Pambudy, Tungkot S, dan Burhanudin, editor. Suara dari Bogor Sistem dan Usaha Agribisnis: Kacamata Sang Pemikir. Bogor (ID): Pusat Studi Pembangunan IPB dan USESE Fondation. hlm 116-119. Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Ed ke-9, Jilid 1. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Umar H. 2005. Metode Penelitian Untuk skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Wahyuni S. 2003. Kinerja kelompok tani dalam sistem usahatani padi dan metode pemberdayaannya. Jurnal Litbang Pertanian. 22(1):1-8. Widya TA. 2012. Analisis dampak pelaksanaan program pengembangan usaha agribisnis perdesaan (PUAP) [Tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Wijaya T. 2011. Step by Step Cepat Menguasai SPSS 19. Yogyakarta (ID): Penerbit Cahaya Atma. Xiaoping S. 2011. Improve the investment and financing environment and promote sustainable development of agriculture in shandong province, china. Management Science and Engineering. 5(4): 50-53. Yamane T. 1967. Elementary Sampling Theory. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs. Yeager T.J. 1999. Institutions, Transition Economies, and Economic Development. Political Economy of Global Interdependence. London (GB): Oxford pr. Yustika AE. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga.
102 Lampiran 1. Karakteristik Gapoktan Contoh Penerima PUAP Parameter
Profil Gapoktan
Nama Gapoktan Kabupaten Kecamatan Desa Ketua Sekretaris Bendahara Terima PUAP Jumlah Kelompok Jumlah Anggota Nilai Pinjaman (kredit) untuk anggota
: : : : : : : : : : :
Saluyu Utama Subang Ciasem Ciasem Tengah Nanung Jamhuri Muhidin Satori 2008 5 Kelompok Tani 50 Orang Rp. 1 Juta (untuk pemerataan pinjaman)
Rp. 229.154.000
Mitra Tani Subang Ciasem Sukahaji Ade Saeful Komar Wuryantoro H. Ibrohim 2008 7 Kelompok Tani 51 Orang Rp. 1 Juta (untuk pemerataan dan mengantisipasi kredit macet jika diberikan pinjaman terlalu banyak) Rp. 193.060.000
Mitra Tani Subang Patok Besi Tambak Jati Manaf HP Muid Muhidin Ibnu Mas’ud 2010 11 Kelompok Tani 540 Orang Rp. 2 Juta (jika petani lancar dan jujur maka untuk peminjaman berikutnya dinaikkan flaponnya s/d Rp. 33,5 Juta) Rp. 180.000.000
Nilai Aset yang dikelola s/d Mei 2014 Unit Usaha Otonom Gapoktan
: :
1. 2.
1. 2.
1. 2.
Jasa Iuran Pokok Iuran Wajib Usaha Petani Anggota
: : : :
1,5 % per bulan 1. Padi 2. Hortikultura, 3. Palawija
1,5 % per bulan 1. Padi 2. Budidaya Jamur Merang 3. Hortikultura
Kendala Gapoktan
:
Sarana & Prasaranan Gapoktan
:
1. Dana Rp. 100 Juta untuk digulirkan ke petani anggota kurang 2. Sulit menaikkan flapond pinjaman, saat ini baru mampu s/d Rp. 1,5 juta (bagi petani yang lancar pengembaliannya pada periode pinjaman sebelumnya) 3. Pemasaran hasil padi Kantor sekretariat: Rumah Ketua Gapoktan Fasilitas: Plang Nama Gapoktan, Struktur Organisasi, Buku administrasi Lainnya: -
1. Mental petani anggota kurang bagus, hampir 5% anggota terlambat bayar (kredit macet) karena ada anggapan dari peminjam bahwa BLM seperti BLT yang tidak perlu dikembalikan, dan mereka saling memprovokasi. 2. Pemasaran hasil padi Kantor sekretariat: Rumah Ketua Gapoktan Fasilitas: Plang Nama Gapoktan, Struktur Organisasi, Buku administrasi Lainnya: -
Kerjasama
:
-
-
Simpan Pinjam Menjual Saprodi (benih & Pupuk)
Simpan Pinjam Penjualan Saprodi (Benih & Pupuk)
Simpan Pinjam Penjualan Saprodi (Benih & Pupuk) 3. Pengolahan & Pemasaran Hasil 4. Jasa Alsintan 1,5% per bulan Rp. 100.000 Rp. 20.000 1. Padi 2. Hortikultura 3. Ternak (Kambing, ayam) 4. Bakulan 5. Palawija Tidak ada
Kantor sekretariat: Bangunan sendiri (terpisah dari rumah ketua) Fasilitas: Komputer PC, Printer, Kursi, Meja, Plang Nama Gapoktan, Lemari Arsip, Struktur Organisasi, Buku Administrasi Lainnya: Memiliki Gudang Beras, Lantai Jemur Uap, dan Penggilingan Beras SHS: perbenihan padi
103 Lampiran 2. Karakteristik Gapoktan Contoh Non Penerima PUAP Parameter Nama Gapoktan Kabupaten Kecamatan Desa Ketua Sekretaris Bendahara Terima PUAP Jumlah Kelompok Jumlah Anggota Nilai Pinjaman (kredit) untuk anggota Nilai Aset yang dikelola s/d Mei 2014 Unit Usaha Otonom Gapoktan
Profil Gapoktan : : : : : : : : : : :
Jaya Laksana Subang Ciasem Ciasem Hilir Waryo H. Amin Sultoni 7 Kelompok Tani 70 Orang Rp. 500 ribu
Makmur Tani Subang Patokbeusi Ranca Bango Dadang Hasan Wahyudin 4 Kelompok Tani 41 Orang Rp. 500 ribu
Warga Tani Subang Ciasem Pinang Sari Nurdin Aan Dedi Suhardi 8 Kelompok Tani 117 Orang Rp. 500 ribu
:
Rp. 55.360.000
Rp. 75.850.000
Rp. 51.750.000
:
1. 2.
1. 2.
1. 2.
3.
Simpan Pinjam Menjual Saprodi (benih & Pupuk) Pengolahan & pemasaran hasil
3.
Simpan Pinjam Penjualan Saprodi (Benih & Pupuk) Pengolahan & pemasaran hasil
Jasa Iuran Pokok Iuran Wajib Usaha Petani Anggota
: : : :
1,5 % per bulan 1. Padi 2. Hortikultura, 3. Krupuk
1,5 % per bulan 1. Padi 2. Budidaya Jamur Merang 3. Ternak (kambing, ayam) 4. Bakulan 1. Gapoktan kurang modal, sulit menaikkan flapond pinjaman, saat ini baru mampu meminjamkan s/d Rp. 500 ribu. 2. Pemasaran hasil padi
Kendala Gapoktan
:
1. Gapoktan kurang modal, sulit menaikkan flapond pinjaman, saat ini baru mampu meminjamkan s/d Rp. 500 ribu. 2. Pemasaran hasil padi
Sarana & Prasaranan Gapoktan
:
Kantor sekretariat: Rumah Ketua Gapoktan Fasilitas: Plang Nama Gapoktan, Struktur Organisasi, Buku administrasi Lainnya: -
Kantor sekretariat: Rumah Ketua Gapoktan Fasilitas: Struktur Organisasi, Buku administrasi Lainnya: -
Kerjasama
:
-
-
Simpan Pinjam Jasa Alsintan
1,5% per bulan 1. Padi 2. Budidaya Jamur Merang
1. Gapoktan kurang modal, sulit menaikkan flapond pinjaman, saat ini baru mampu meminjamkan s/d Rp. 500 ribu. 2. Pemasaran hasil padi Kantor sekretariat: Rumah Ketua Gapoktan Fasilitas: Plang Nama Gapoktan, Struktur Organisasi, Buku administrasi Lainnya: -
104 Lampiran 3. Hasil Analisis Usahatani Padi Petani PUAP
Komponen A. Biaya (cost ) Benih Pupuk 1) Urea 2) TSP/SP36 3) NPK 4) Organik 5) ZPT/PPC 6) Lainnya Total Biaya Pupuk Pestisida 1) Insektisida, Fungisida 2) Herbisida Jumlah Biaya Pestisida Tenaga Kerja 1) Pengolahan Tanah 1. Traktor 2. Meratakan Pematang 2.1. Upah Harian 2.2. Borongan Jumlah Biaya Pengolahan Tanah 2) Tanam 3) Penyiangan 4) Pemupukan 5) Pengendalian OPT 6) Panen (bawon) 7) Perontokan (Power Thresher) Jumlah Biaya Tenaga Kerja Biaya Lainnya 1) PBB 2) Iuran Desa 3) Iuran air/pompa/ulu-ulu Jumlah Biaya Lainnya Total Biaya (TC) B. Total Penerimaan (TR) C. Pendapatan kotor (TR-TC) D. Hutang (risk premium ) E. Pendapatan Bersih R/C B/C
Jumlah
Satuan
Harga/satuan (Rp)
Nilai (Rp)
16.83
Kg
10,000
168,333
200.00 168.33 137.93 556.00 1.00 -
Kg Kg Kg Kg Kg
1,850 2,200 2,400 600 208,235
370,000 370,333 331,034 333,600 208,235 1,613,203
15.00 1.00
Liter Liter
98,697.78 189,333
1,480,467 189,333 1,669,800
1.00
Unit
626,667
626,667
5.27 0.00
HOK 0
40,000 0
1.00 Borongan 20.60 HOK 5.20 HOK 21.00 HOK 1,066 Kg 1.00 Unit
700,000 40,000 40,000 40,000 4,000 808,333
1 per musim 1 per musim 1 per musim
50,000 75,000 100,000
6,657
Kg per musim
4,200
210,667 0 837,333 700,000 824,000 208,000 840,000 4,262,222 808,333 8,479,889 50,000 75,000 100,000 225,000 12,156,225 27,959,400 15,803,175 1,590,000 14,213,175 2.30 1.17
105 Lampiran 4. Hasil Analisis Usahatani Padi Petani Non PUAP
Komponen A. Biaya (cost ) Benih Pupuk 1) Urea 2) TSP/SP36 3) NPK 4) Organik 5) ZPT/PPC 6) Lainnya (bekas jamur) Total Biaya Pupuk Pestisida 1) Insektisida, Fungisida 2) Herbisida Jumlah Biaya Pestisida Tenaga Kerja 1) Pengolahan Tanah 1. Traktor 2. Meratakan Pematang 2.1. Upah Harian 2.2. Borongan Jumlah Biaya Pengolahan Tanah 2) Tanam 3) Penyiangan 4) Pemupukan 5) Pengendalian OPT 6) Panen (bawon) 7) Perontokan (Power Thresher) Jumlah Biaya Tenaga Kerja Biaya Lainnya 1) PBB 2) Iuran Desa 3) Iuran air/pompa/ulu-ulu Jumlah Biaya Lainnya Total Biaya (TC) B. Total Penerimaan (TR) C. Pendapatan kotor (TR-TC) D. Hutang (risk premium ) E. Pendapatan Bersih R/C B/C
Jumlah
Satuan
Harga/satuan (Rp)
Nilai (Rp)
16.33
Kg
7,833
127,913
166.67 107.41 108.62 350.00 1.00 1.00
Kg Kg Kg Kg Liter Kg
1,850 2,300 2,400 600 174,750 142,222
308,333 247,037 260,690 210,000 174,750 142,222 1,343,032
9.00 1.00
Liter Liter
80,574 89,600
725,167 89,600 814,767
1.00
Unit
551,667
551,667
0.00 HOK 1.00 Borongan
253,833
1.00 Ceblokan 17.37 HOK 4.10 HOK 13.77 HOK 865 Kg 1.00 Unit
149,333 40,000 40,000 40,000 4,000 716,667
253,833 805,500 149,333 694,667 164,000 550,667 3,460,000 716,667 6,540,833
1 per musim 1 per musim 1 per musim
50,000 75,000 100,000
5,190
Kg per musim
4,000
50,000 75,000 100,000 225,000 9,051,545 20,760,000 11,708,455 1,898,667 9,809,788 2.29 1.08
106 Lampiran 5. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pendapatan Usahatani Padi Group Statistics Keanggotaan_ Petani Pendapatan_UT_Padi
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
PUAP
30
14213175.00
2906796.094
530705.930
NON PUAP
30
9809788.09
2212570.956
403958.341
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference
F Pendapatan_ Equal variances UT_Padi assumed Equal variances not assumed
8.184
Sig. .006
t
Sig. (2-tailed)
df
Mean Difference
Std. Error Difference
Lower
Upper
6.366
58
.000
4245577.700
666956.614
2910518.984
5580636.416
6.366
54.159
.000
4245577.700
666956.614
2908499.974
5582655.426
107 Lampiran 6.
Hasil Analisis Person Product Moment Terhadap Hubungan Kinerja Gapoktan dengan Pendapatan Usahatani Padi
108 Lampiran 7.
Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Benih pada Usahatani Padi Petani Sampel Group Statistics
Keanggotaan Benih
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
PUAP
30
16.83
2.780
.508
NonPUAP
30
16.33
3.925
.717
109 Lampiran 8.
Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk Urea pada Usahatani Padi Petani Sampel Group Statistics
Keanggotaan Urea
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
PUAP
30
200.00
45.486
8.305
NonPUAP
30
166.67
51.417
9.387
110 Lampiran 9.
Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk TSP pada Usahatani Padi Petani Sampel Group Statistics
Keanggotaan TSP
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
PUAP
30
168.3333
33.43376
6.10414
NonPUAP
30
96.6667
55.60534
10.15210
111 Lampiran 10. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk NPK pada Usahatani Padi Petani Sampel Group Statistics Keanggotaan NPK
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
PUAP
30
133.33
46.113
8.419
NonPUAP
30
105.00
54.694
9.986
112 Lampiran 11. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk Organik pada Usahatani Padi Petani Sampel Group Statistics Keanggotaan Organik
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
PUAP
30 463.3333
268.43523
49.00934
NonPUAP
30
173.44548
31.66667
81.6667
113 Lampiran 12. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Tenaga Kerja pada Usahatani Padi Petani Sampel Group Statistics Keanggotaan TenagaKerja
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
PUAP
30
66.07
7.969
1.455
NonPUAP
30
55.24
7.734
1.412
114
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 17 September 1977 dari ayah H. Sa’ad dan Ibu Hj. Atjah Hadijah. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Pendidikan formal penulis diawali di SD Negeri Sindang Rasa Bogor, dari tahun 1984 – 1990. Kemudian penulis melanjutkan studi di SLTP Negeri 3 Ciomas Bogor dan lulus tahun 1993. Pada tahun 1996, penulis lulus dari SLTA PGRI 1 Bogor. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Universitas Djuanda Bogor, pada Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2001. Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister di Institut Pertanian Bogor, Program Studi Magister Sains Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada tahun 2012 melalui beasiswa Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Pada tahun 2001, penulis bekerja sebagai staf pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP) Bogor di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia Pada tahun 2005 sampai dengan sekarang, penulis bekerja sebagai peneliti pada Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) Bogor di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Penulis menikah dengan Harmi Andrianyta pada 22 Januari 2006. Dikaruniai dua orang anak. Anak pertama Muhammad Haikal Harsyaputra, lahir pada tanggal 3 April 2008, dan anak kedua Hayumi Azzahra Harsyaputri, lahir pada tanggal 15 Mei 2013. Selama mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister Sains Agribisnis, penulis telah mempublikasikan sebuah artikel yang berjudul “Peran Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan Terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan Usahatani Padi di Kabupaten Subang”. Artikel tersebut diterbitkan pada Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (JPPTP) BBP2TP Volume 18 Nomor 1 Tahun 2015 (terakreditasi dengan SK No. 280/AU1/P2MBI/05/2010, tanggal 6 Mei 2010). Penulis merupakan anggota Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) dan Himpunan Mahasiswa Wirausaha Pascasarjana (HIMAWIPA) IPB.