ANALISIS KINERJA KELEMBAGAAN AGRIBISNIS DAN EFISIENSI TEKNIK USAHATANI PADI (Kasus Petani Binaan Lembaga Pertanian Sehat, Kab. Bogor, Jawa Barat)
Oleh : Amir Mutaqin A08400033
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ii
ANALISIS KINERJA KELEMBAGAAN AGRIBISNIS DAN EFISIENSI TEKNIK USAHATANI PADI (Kasus Petani Binaan Lembaga Pertanian Sehat, Kab. Bogor, Jawa Barat)
Oleh : Amir Mutaqin A08400033
SKRIPSI Sebagai Salah satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ii
RINGKASAN AMIR MUTAQIN. Analisis Kinerja Kelembagaan Agribisnis dan Efisiensi Teknik Usahatani Padi (Kasus Petani Binaan Lembaga Pertanian Sehat, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Dibawah Bimbingan EKA INTAN KUMALA P. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji upaya mewujudkan metode alternatif dalam budidaya pertanian. Sehingga biaya yang dikeluarkan oleh petani bisa ditekan dengan hasil yang tetap optimal. Salah satu alternatif yang mulai dicoba saat ini adalah memanfaatkan sumberdaya yang tersedia di alam, yang bisa diolah sendiri oleh petani, menjadi pupuk atau pestisida alami atau yang pepuler dengan istilah pertanian organik. Selain biayanya murah, kualitas produk yang dihasilkan tetap terjaga bahkan memiliki keunggulan terbebas dari bahan kimia. Lembaga Pertanian Sehat (LPS) adalah salah satu lembaga pemberdayaan petani yang berupaya mengembangkan teknologi ramah lingkungan dan membangun kelembagaan agribisnis yang mendukung petani binaannya. Permasalahan yang muncul dari upaya tersebut adalah sejauh mana kelembagaan tersebut telah mendukung aktivitas usahatani petani kecil, apakah petani sudah mampu
menyerap
masukan-masukan
teknologi
yang
diupayakan
untuk
menggantikan teknik budidaya konvensional, dan apakah teknik usahatani petani sudah efisien ? Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penelitian ini ditujukan untuk (1) Mengkaji keragaan dan kinerja kelembagaan agribisnis padi sehat pada petani binaan LPS. (2) Mengkaji aplikasi teknologi yang dilakukan di tingkat petani binaan LPS. (3) Menganalisis efisiensi teknik dari proses produksi usahatani padi sehat petani binaan LPS. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif untuk tujuan pertama dan kedua dan metode kuantitatif untuk menganalisis tingkat efisiensi teknik dengan program Front.41. Data yang dipakai berupa data sekunder dari laporan LPS dan literatur lain serta data primer yang didapat dari hasil wawancara. Unit analisis dari penelitian ini adalah LPS, kelompok tani dan petani binaan LPS di Kabupaten Bogor yang dipilih secara purposive dan proporsional. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah keragaan dari kelembagaan agribisnis yang dibangun oleh LPS telah memenuhi kelengkapan sistem agribisnis
iii
yang terdiri dari, (1) subsistem agribisnis hulu, yakni seluruh proses yang menghasilkan dan memperdagangkan sarana produksi pertanian primer ; (2) subsistem agribisnis budidaya/usahatani
yakni kegiatan produksi untuk
menghasilkan komoditas pertanian primer; (3) subsistem agribisnis hilir, yakni mengolah
produk
primer
menjadi
produk
olahan
beserta
kegiatan
perdagangannya; dan (4) subsistem jasa penunjang, yakni kegiatan yang menyediakan jasa bagi ketiga subsistem di atas seperti infrastruktur, transportasi, perkreditan, penelitian dan pengembangan, pendidikan pelatihan, dan lain-lain. Akan tetapi, apabila dilihat dari kepentingan petani, subsistem hulu dan hilir masih kurang mendukung. Hal itu dikarenakan pertama, dari sisi hulu, petani masih menjadikan pupuk kimia menjadi input utama. Sementara itu produksi dan distribusi pupuk kimia secara umum dilakukan dan dikendalikan oleh pihak luar. Keberadaan koperasi Gapoktan ataupun peran ketua kelompok tani baru sekedar pengecer yang tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan supply barang dan harganya. Kedua, dari sisi hilir, pengolahan produk primer menjadi produk olahan berupa beras SAE masih terbatas bagi beberapa kelompok di kecamatan Cigombong saja. Sementara hasil panen sebagian besar kelompok di luar Kecamatan Cigombong, sebanyak delapan kelompok, dijual ke penggilingan dalam bentuk GKP, selain untuk kebutuhan sendiri. Ada kesamaan pemahaman antar kelompok tani tentang usaha penerapan teknologi baru yang tepat seperti yang diajarkan oleh LPS seperti dalam pengolahan lahan, penanaman dan pemeliharaannya. Namun dalam praktiknya terjadi perbedaan antar kelompok tani binaan terutama dalam penanaman, baik dalam jarak tanam, jenis varietas ataupun jumlah bibit per lubangnya; dan dalam pemupukan, berbeda dalam jumlah dosis dan jenis pupuk yang dipakai. Efisiensi teknik petani binaan LPS tergolong tinggi, dengan rata-rata 80 persen, dan sebarannya berbeda-beda antar kelompok tani. Kelompok tani dengan kinerja bagus menunjukkan selang tingkat efisiensi anggotanya relatif kecil. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh kelompok tani yang menentukan tingkat efisiensi teknik petani anggotanya. Pada beberapa kelompok tani, dinamika kelompok mulai menurun dan hal itu berpengaruh nyata pada tingkat produksi dan efisiensi teknik rata-rata kelompok.
iv
Judul
Nama NRP
: Analisis Kinerja Kelembagaan Agribisnis dan Efisiensi Teknik Usahatani Padi (Kasus Petani Binaan Lembaga Pertanian Sehat, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). : Amir Mutaqin : A08400033
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Eka Intan Kumala P., MS NIP 131 918 659
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP 131 124 019
v
Tanggal Kelulusan : PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL : ANALISIS KINERJA KELEMBAGAAN AGRIBISNIS DAN EFISIENSI TEKNIK USAHATANI PADI (KASUS PETANI BINAAN LEMBAGA PERTANIAN SEHAT, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT) ADALAH KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SUMBER INFORMASI YANG BERASAL ATAU DIKUTIP DARI KARYA YANG DITERBITKAN MAUPUN TIDAK DITERBITKAN DARI PENULIS LAIN TELAH DISEBUTKAN DALAM TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM DAFTAR PUSTAKA DI BAGIAN AKHIR SKRIPSI INI.
Bogor, 1 April 2008
Amir Mutaqin A08400033
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Temanggung pada tanggal 16 April 1982 yang merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Asrori dan siti Munawaroh. Pendidikan formal ditempuh dari SDN Soborejo 2 (1988-1994), kemudian melanjutkan ke MTsN SMPN 2 Pringsurat (1994-1997) dan SMUN 2 Temanggung (1997-2000). Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2000. Selama kuliah penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan seperti, Lembaga Studi Islam Fakultas Pertanian, Badan Kerohanian Islam Mahasiswa dan organisasi ekstra kampus Gerakan Mahasiswa Pembebasan. Perkuliahan diselesaikan penulis pada semester delapan dan dinyatakan lulus dalam ujian skripsi yang diselenggarakan pada bulan Maret 2008 oleh Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dengan judul skripsi
‘Analisis Kinerja Kelembagaan Agribisnis dan
Efisiensi Teknik Usahatani Padi (Kasus Petani Binaan Lembaga Pertanian Sehat, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)’.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji hanyalah milik Allah SWT semata. Dialah yang telah mengutus Rasulullah SAW dengan membawa Islam sebagai satu-satunya Dien yang diridhoi-Nya. Semoga rahmat dan salam tetap Dia limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi, keluarganya, sahabatnya, orangorang yang memperjuangkan risalah-Nya. Skripsi ini berjudul Analisis Kinerja Kelembagaan Agribisnis dan Efisiensi Teknik Usahatani Padi (Kasus Petani Binaan Lembaga Pertanian Sehat, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Penelitian ini ditujukan untuk (1) Mengkaji keragaan dan kinerja kelembagaan agribisnis padi pada petani binaan LPS. (2) Mengkaji aplikasi teknologi yang dilakukan di tingkat petani binaan LPS. (3) Menganalisis efisiensi teknik dari proses produksi usahatani padi petani binaan LPS. Penulis menyadari selesainya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan banyak pihak, baik institusi maupun pihak lain yang terkait secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati serta rasa hormat yang teramat dalam, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan. Akhirnya dengan sangat terbuka penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menambah perbendaharaan dan perbaikan terhadap tulisan ini, karena tulisan ini hanyalah karya manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap semoga tulisan sederhana ini bermanfaat.
Bogor, April 2008
Penulis
viii
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas petunjuk, pertolongan dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Eka Intan Kumala P., MS sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan dan bantuan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 2. Dr. Ir. Isang Gonarsyah sebagai Dosen Pembimbing Skripsi pertama atas pelajaran yang dapat penulis ambil dari proses skripsi selama ini. 3. Ir. Sutara H, M.Sc. sebagai Dosen Pembimbing Akademik 4. A. Faroby Faletehan, SP, ME dan Etriya, SP, MM selaku dosen penguji utama dan penguji dari komdik dalam sidang skripsi. 5. Staf sekretariat EPS, terutama Mba Pini Wijayanti, SP dan Pak Basir S, terima kasih atas bantuan dan kebaikannya. 6. Bapak Ir. Syamsudin. M.Si, Bapak Casdimin, SP dan semua staff Lembaga Pertanian Sehat yang telah memberikan kesempatan, bantuan dan fasilitas kepada penulis untuk melakukan penelitian. 7. Para ketua dan anggota Kelompok Tani Sehat yang telah bersedia memberi informasi kepada penulis sebagai bahan penelitian ini. 8. Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, Nenek, Adik, Mertua dan semuanya yang tidak pernah membuat penulis merasa pesimis menghadapi semua permasalahan yang ada 9. Istriku Rika Rizkawati dan Si kecil ’Wadon Ayu Sholehah’ Imtiyazah Labiqoh yang telah menjadi motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 10. Teman-teman sehidup, Harun, Dimin, Aji, Mas AWW, Mas Aris, Asep, Mas Elvin, Mas Chusnul, Mas Hasan, Jamil, El Jundi, Ihsan, Samsul, Dwi C. Rikza, Renato&Kafi, anak NC, MJ, BS, eks Annur, Arroya dll. Terima kasih atas semua bantuan, semangat dan kebersamaan selama ini. 11. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
i
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
Halaman
1.1. Latar Belakang .................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ..........................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian ..............................................................................
7
1.4. Manfaat dan Kegunaan Penelitian ....................................................
7
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................
8
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelembagaan ....................................................................................
9
2.1.1. Definisi Kelembagaan ............................................................
9
2.1.2. Manfaat Kelembagaan ............................................................
10
2.1.3. Kapasitas dan Kinerja Kelembagaan ....................................
13
2.2. Usahatani ..........................................................................................
14
2.3. Prinsip-Prinsip Dasar dalam Teori Produksi .....................................
16
2.4. Tinjauan Mengenai Pertanian Organik .............................................
17
2.5. Tinjauan Penelitian Sebelumnya ......................................................
20
III. KERANGKA ANALISIS 3.1. Kerangka Teoritis .............................................................................
24
3.1.1. Konsep Kelembagaan .............................................................
24
3.1.2. Konsep Agribisnis ..................................................................
26
3.1.3. Efisiensi Teknik ......................................................................
27
3.2. Kerangka Operasional ......................................................................
29
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................
32
4.2. Pemilihan Sampel .............................................................................
32
4.3. Pengumpulan Data ...........................................................................
32
4.4. Pengolahan Data ...............................................................................
33
4.5. Metode Analisis Data ........................................................................
33
V. GAMBARAN UMUM 5.1. Lembaga Pertanian Sehat Dompet Dhuafa Republika .....................
37
5.1.1. Sejarah Lembaga ....................................................................
37
ii
5.1.2. Aktivitas Lembaga ..................................................................
38
5.1.3. Produk Lembaga Pertanian Sehat ...........................................
41
5.2. Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) .....................................
43
5.2.1. Tujuan Program.......................................................................
43
5.2.2. Komponen Program ................................................................
43
5.2.3. Wilayah Kerja P3S..................................................................
44
5.3. Pemberdayaan Agribisnis Padi Kabupaten Bogor.............................
45
5.3.1. Deskripsi Lokasi .....................................................................
45
5.3.2. Program-Program Pemberdayaan di Kab. Bogor....................
47
VI. KERAGAAN DAN KINERJA KELEMBAGAAN AGRIBISNIS USAHATANI PADI 6.1. Kelembagaan Permodalan dan ..........................................................
52
6.2. Kelembagaan Penyediaan Input ........................................................
55
6.3. Penerapan Teknologi Petani dan Kelembagaan di tingkat Petani.................................................................................................
57
6.4. Pemanenan dan Kelembagaan Borongan Panen................................
65
6.5. Kegiatan Penanganan Pasca Panen dan Kelembagaan Pengolahan ........................................................................................
67
6.6. Kelembagaan Pemasaran dan Distribusi............................................
69
VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI TEKNIK 7.1. Analisis Fungsi Produksi ...................................................................
70
7.2. Analisis Efisiensi Teknik ...................................................................
74
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan ........................................................................................
79
8.2. Saran...................................................................................................
79
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
81
LAMPIRAN.................................................................................................
84
iii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel.1. Kandungan Zat Gizi Beras Organik Per 100 Gram ......................
3
Tabel 2. Pemakaian Input Pupuk dan Pestisida Sampel Anggota Kelompok Tani Binaan Lembaga Pertanian Sehat. ........................................
5
Tabel 3. Kegiatan Penanganan Pasca Panen di Kelompok Tani Binaan Lembaga Pertanian Sehat..............................................................
6
Tabel 4. Enam Bidang Kegiatan Pokok Lembaga Pertanian Sehat ............
39
Tabel 5. Produk Unggulan Lembaga Pertanian Sehat ................................
42
Tabel 6. Data Kelompok Tani Peserta Program Pemberdayaan Petani Sehat Cluster Kabupaten Bogor..............................................................
46
Tabel 7. Data Sebaran Luasan Lahan Garapan Kelompok Tani Program Pemberdayaan Petani Sehat, Cluster Kabupaten Bogor.
47
Tabel 8. Subsidi Dan Upah Tenaga Kerja Langsung..................................
48
Tabel 9. Silabus Umum Materi Pembinaan Petani Sehat 2006 ..................
49
Tabel 10. Pengelolaan Modal Petani Melalui Sistem Tabungan Tani ..........
55
Tabel 11. Teknologi Pembenihan yang Diterapkan di Setiap Kelompok Tani..............................................................................
60
Tabel 12. Teknologi Pengolahan Lahan yang Diterapkan di Setiap Kelompok Tani..............................................................................
64
Tabel 13. Dosis Rata-Rata Pemakaian Pupuk dan Pestisida Nabati Kelompok Tani..............................................................................
65
Tabel 14. Perlakuan dan Sistem Pemanenan yang Dilaksanakan Petani ......
66
Tabel 15. Hasil Estimasi Untuk Parameter Fungsi Produksi .......................
70
Tabel 16. Deskripsi Statistik Efisiensi Teknik Petani anggota Kelompok Tani Binaan LPS .........................................................
76
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Keterkaitan Sistem Agribisnis.....................................................
27
Gambar 2. Kerangka Operasional PenelitIan................................................
31
Gambar 3. StruKtur Organisasi Lembaga Pertanian Sehat...........................
41
Gambar 4. Peta Lokasi Program Pemberdayaan Petani Sehat Cluster Kabupaten Bogor, Jawa Barat.....................................................
46
Gambar 5. Rantai Kelembagaan Penyediaan Pupuk Kimia Bagi Petani Binaan Lembaga Pertanian Sehat................................................
56
Gambar 6. Tingkat Efisiensi Teknik Masing-Masing Petani Binaan LPS...
75
Gambar 7. Distribusi Tingkat Efisiensi Teknik Pada Usahatani Padi Sehat Petani Binaan LPS ......................................................................
76
Gambar 8. Perbandingan Rata-Rata Tingkat Efisiensi Teknik Dan Rata-Rata Produksi Antar Kelompok Tani Binaan LPS ..............................
77
i
1
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pertanian bagi Indonesia adalah sektor yang sangat penting dan berpengaruh, baik secara ekonomi, sosial, bahkan politik. Hal itu terkait pada penyediaan kebutuhan pangan pokok, terutama pada komoditas padi sebagai komoditas pangan utama. Hampir seluruh penduduk negeri ini tergantung pada padi sebagai makanan pokoknya. Padi menjadi komoditas yang sangat strategis dari beberapa aspek. Oleh karena itu, kapasitas produksi padi nasional menjadi salah satu permasalahan yang menonjol. Upaya untuk meningkatkan produksi padi dapat ditempuh dengan dua pendekatan, yaitu : ekstensifikasi dengan membuka lahan sawah baru di daerahdaerah tertentu, terutama luar Jawa; dan intensifikasi, berupa kebijakan dan caracara tertentu untuk meningkatkan produktivitas lahan yang sudah ada. Dalam upaya intensifikasi pertanian, revolusi hijau adalah terobosan yang sangat fenomenal dan berpengaruh sangat besar. Revolusi hijau telah mengubah pertanian tradisional menjadi pertanian modern yang serba instan dan mekanik. Mulai dari rekayasa genetis pada benih, penggunaan bahan-bahan kimia sintetis, sampai mekanisasi pertanian dan industri pasca panen, yang berpacu mengejar produksi maksimum sebagai tuntutan terhadap kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Konsep revolusi hijau di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimbingan Massal adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya
2
swasembada beras. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disebut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil produksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Gerakan ini berhasil mengantarkan Indonesia pada swasembada beras. Intensifikasi pertanian dengan input besar-besaran berupa bahan kimiawi, secara langsung atau tidak langsung, akan mempengaruhi lingkungan. Menurut Wijonarko (1998), pengaruh itu bisa berupa : Pertama, perubahan sumber daya alami berupa : kehilangan bahan organik tanah; ketergantungan pada pupuk tambahan khususnya pupuk N, P, dan K; dan pemberian pupuk N yang berlebihan juga berkorelasi positif dengan munculnya hama. Kedua, konsekuensi biologis yaitu dampak terhadap keseimbangan populasi makhluk hidup lain yang ada di dalam sistem tersebut, terutama berkaitan dengan ketersediaan inang atau hubungan antara predator dan mangsanya. Ketiga, interaksi dengan sekitar, karena tanpa pengelolaan yang baik, potensi polusi yang ditimbulkan dari sektor pertanian juga tidak kecil walau tidak sebesar sektor industri. Secara ekonomi, menurut Setiawan (2005), revolusi hijau telah menciptakan ketergantungan petani yang "permanen" terhadap bibit, pupuk, pestisida, teknologi, kredit, sarana dan input produksi yang serba dari luar. Hal ini tidak memandirikan dan bahkan semakin melemahkan posisi tawar petani di hadapan pihak lain. Pembangunan pertanian Orde Baru malah menyuburkan "proletarisasi" yang mendorong arus urbanisasi serta buruh migran. Akibatnya, petani kian sulit berusaha, susah memenuhi kebutuhan hidup, tidak mampu menyekolahkan anak, tidak menjangkau biaya kesehatan, sulit mendapat rumah
3
yang layak, dan seterusnya. Oleh karena itu, menjadi petani dianggap tidak lagi menarik hati, bahkan bagi keturunan petani sekalipun. Untuk mengatasi masalah tersebut dibutuhkan metode alternatif dalam budidaya pertanian agar biaya yang dikeluarkan oleh petani bisa ditekan dengan hasil yang tetap optimal. Salah satu alternatif yang mulai dicoba saat ini adalah memanfaatkan sumberdaya yang tersedia di alam, yang bisa diolah sendiri oleh petani, menjadi pupuk atau pestisida alami atau yang pepuler dengan istilah pertanian organik. Selain biayanya murah, kualitas produk yang dihasilkan tetap terjaga bahkan memiliki keunggulan terbebas dari bahan kimia. Menurut Laporan Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur (2004) dalam Maryana (2006), beras organik mengandung berbagai zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh diantaranya kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar air dan kadar abu. Prosentase karbohidrat lebih tinggi daripada kadar protein dan kadar lemak. Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Beras Organik Per 100 Gram No. Parameter Pengujian Hasil Pemeriksaan 1. Kadar Air 11,7 % 2. Kadar Abu 0,36% 3. Kadar Lemak 0,24% 4. Kadar Karbohidrat 75,99% 5. Kadar Protein 6,27% Sumber : Dinas Pertanian Kab. Cianjur, 2004 dalam Maryana, 2006
Teknik pertanian organik inipun tidak bisa langsung diadopsi oleh petani. Sehingga untuk mencapai pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, yaitu mengubah pola tanam dan perilaku petani dari konvensional ke sistem bertani sehat, perlu dilakukan pembinaan secara bertahap dan berkesinambungan ke arah pertanian yang minimal berbasis bertani bebas pestisida. Perubahan-
4
perubahan
secara
bertahap
dapat
dilakukan
dengan
membimbing
dan
mengenalkan kepada petani untuk penggunaan sarana produksi yang aman, bijak, berbahan lokal dan harga terjangkau dengan proses bio-teknologi maupun rendah bahan kimia melalui pola pertanian terpadu yang berwawasan ramah lingkungan. Apabila ditinjau dari sudut pandang yang lebih luas, maka transformasi teknologi
tersebut
mengharuskan
adanya
perubahan
pula
pada
sistem
agribisnisnya. Atau dengan kata lain, diperlukan adanya kelembagaan agribisnis yang mampu mendukung perubahan teknologi tersebut efisien secara teknis maupun sosial dan ekonomi. Apa yang dilakukan oleh Lembaga Pertanian Sehat, Dompet Dhuafa Republika (LPS-DDR) menarik untuk dijadikan kajian terkait dengan upayanya untuk menjadi kelembagaan pendukung pengembangan pertanian alternatif. Misi LPS untuk mengembangkan teknologi-teknologi sarana produksi pertanian yang menggunakan bahan baku lokal, murah, sehat dan ramah lingkungan; merakit teknologi sistem pertanian terpadu dan berkelanjutan yang berbasis pada potensi sumberdaya alam lokal dan kompetensi; pemberdayaan petani kecil atau dhuafa; serta penanganan dan pemasaran hasil panen, akan menghasilkan programprogram dan dinamika penerapan di lapangan yang dapat dijadikan pembelajaran baru. 1.2 Perumusan Masalah Aspek teknis budidaya pertanian bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dalam pertanian. Apalagi kalau dihubungkan dengan kondisi sebagian besar petani di negara ini yang merupakan petani kecil yang memiliki masalah multikomplek di lapangan, antara lain : lahan yang terbatas, kesuburan lahan
5
menurun, harga saprotan yang tinggi, permodalan terbatas, SDM dan keahlian yang rendah, serta harga panen yang fluktuatif, disamping itu indeks nilai tukar petani (terms of trade) terhadap barang industri dan jasa semakin menurun yang mengindikasikan kehidupan petani semakin tidak sejahtera. Penyediaan input produksi yang murah dan terjamin jumlahnya menjadi bagian dari kebutuhan petani yang sering terabaikan. Input produksi yang dibutuhkan petani kebanyakan masih ditangani oleh pihak luar yang tidak bisa mentoleransi keterbatasan modal petani karena prinsip yang dikedepankan adalah prinsip ekonomi. Proses usahatani di tingkat petani juga tidak lepas dari permasalahan keterbatasan pemahaman dalam teknik usahatani yang efisien. Selain itu, di sektor penanganan dan pemasaran hasil usahatani, petani belum mampu memberi nilai tambah yang lebih terhadap produknya. Beberapa permasalahan tadi menjadi mata rantai permasalahan yang selama ini dihadapi oleh sebagian besar petani padi. Hal itu memerlukan penanganan yang menyeluruh melalui program-program dalam kerangka yang lebih luas dan sistematis. Tabel 2. Pemakaian Input Pupuk dan Pestisida Sampel Anggota Kelompok Tani Binaan Lembaga Pertanian Sehat Kelompok Tani Pemakaian Pupuk Silih ManungLisung Harapan Maju Tunas dan Pestisida (%) Asih
Urea 100 SP 36 100 KCl 0 Phonska 0 P Organik 100 Pestisida Kimia 0 Pestisida Nabati 17 (PASTI) Sumber : diolah dari data primer
gal jaya
Kiwari
Maju
Jaya
Mekar
100 100 40 0 100 0
100 100 0 0 100 0
100 100 75 0 100 0
100 100 0 100 100 0
100 67 100 83 100 0
0
40
75
100
100
6
Mengubah sistem, bukan berarti melakukan perubahan secara total teknik dan pola perilaku yang sudah berjalan, namun diharapkan ajakan, bimbingan dan penggunaan teknologi serta saprotan yang aman dan murah mampu diserap dan diaplikasikan oleh pelaku/petani secara bertahap di lapangan. Penanganan masalah – masalah yang dihadapi oleh petani saat ini dan ke depan harus melalui program-program yang menyentuh langsung, berbasis sumber daya lokal bersifat membangun kemandirian, berteknologi mudah dan murah sehingga mudah diadopsi oleh mereka, dan dilaksanakan secara holistik, yaitu mengoptimalkan agrosistem secara produktif dan alami (LPS, 2005). Mengharapkan perubahan dan perbaikan sistem pertanian secara top down dengan program-program nasional dari pemerintah bisa menjadi sangat lama dan belum tentu sesuai dengan kondisi dan kebutuhan petani yang lebih spesifik. Oleh karena itu, sangat menguntungkan apabila ada inisiatif nyata dari masyarakat untuk mempercepat perubahan tersebut dengan menghadirkan kelembagaan agribisnis yang dibutuhkan dan lebih spesifik. Tabel 3. Kegiatan Penanganan Pasca Panen di Kelompok Tani Binaan Lembaga Pertanian Sehat Gabah Yang Status Produk Akhir Kelompok Tani Dijual ke Penggilingan Penggilingan Silih Asih GKP Mitra LPS Beras SAE Manunggal Jaya GKP Mitra LPS Beras SAE Lisung Kiwari GKP Mitra LPS Beras SAE Harapan Maju GKP Mitra LPS Beras SAE Maju Jaya GKP Bukan Mitra GKP Tunas Mekar GKP Mitra Kelompok Beras Curah Sumber : diolah dari data primer Dompet Dhuafa Republika, sebagai salah satu lembaga pemberdayaan masyarakat, melalui Lembaga Pertanian Sehat (LPS-DDR)-nya, sejak 1999
7
hingga saat ini, telah memulai mengembangkan pertanian organik (sehat) melalui program pengembangan dan penelitian produk sarana pertanian, pengembangan produk ‘beras sehat’, yaitu beras bebas pestisida kimia, dan pembinaan petani melalui Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) kepada Kelompok Tani Sehat (KTS). Hasil pengamatan sementara menunjukkan petani binaan LPS masih memakai pupuk kimia sebagai input produksinya. Permasalahan yang kemudian muncul adalah dari mana dan berapa harga yang dibayar petani untuk memperolehnya. Sementara fakta lainnya adalah sebagian kelompok binaan LPS juga masih menjual hasil panennya dalam bentuk produk primer berupa gabah kering panen. Kelembagaan pengolahan dan pemasaran produk ‘padi sehat’ LPS belum mampu menangani semua produksi petani. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji hal sebagai berikut : 1. Bagaimana keragaan dan kinerja kelembagaan agribisnis padi sehat pada petani binaan LPS ? 2. Bagaimana aplikasi teknologi yang dilakukan di tingkat petani binaan LPS ? 3. Bagaimanakah efisiensi teknik dari proses produksi usahatani padi sehat petani binaan LPS ? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis beberapa hal yang terkait dengan kelembagaan agribisnis padi sehat oleh LPS-DDR, yaitu : 1. Mengkaji keragaan dan kinerja kelembagaan agribisnis padi sehat pada petani binaan LPS
8
2. Mengkaji aplikasi teknologi yang dilakukan di tingkat petani binaan LPS 3. Menganalisis efisiensi teknik dari proses produksi usahatani padi sehat petani binaan LPS 1.4 Manfaat dan Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi dalam upaya mewujudkan sistem alternatif agribisnis padi yang tepat dan arif serta semoga dapat dijadikan masukan bagi perbaikan yang terus lilakukan oleh LPSDDR untuk mencapai tujuannya. Secara khusus, penelitian ini menjadi pembelajaran dan tambahan informasi bagi penulis tentang dunia pertanian, utamanya intensifikasi pertanian, kelembagaan pertanian dan pertanian organik.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini hanya mencakup ruang lingkup kasus kelembagaan pertanian organik LPS-DDR. Lebih spesifik lagi penelitian ini lebih menitikberatkan kajian kelembagaan agribisnis dan aspek teknik produksi. Penelitian ini tidak mengkaji permasalahan kelembagaan pertanian secara umum ataupun sistem agribisnis secara lebih luas.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelembagaan 2.1.1. Definisi Kelembagaan Menurut Mubyarto (1989), yang dimaksud lembaga (institution) adalah organisasi atau kaidah-kaidah, baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu baik dalam kegiatan-kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu. Lembaga-lembaga dalam masyarakat ada yang berasal dari adat kebiasaan mereka turun-temurun tetapi ada pula yang baru diciptakan baik dari dalam maupun mengadopsi dari luar. Kelembagaan ditinjau dari sudut organisasi merupakan sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya. Dipandang dari sudut individu, kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya. Dari dua sudut pandang tersebut, menurut Saptana et.al. (2003), model kelembagaan agribisnis beras yang akan dikembangkan harus ada muatan kolektif melalui organisasi kelompok yang akan mengatur bagaimana kelembagaan tersebut dapat memiliki kontrol dan akses terhadap sumberdaya dalam rangka pengembangan agribisnis beras. Di sisi lain pengembangan agribisnis beras akan berhasil kalau ada insentif individu dalam memasuki bisnis perbesaran. Dari sudut pandang individu, adanya semangat kewirausahaan akan
10
menghasilkan daya inovasi dan kreasi tinggi yang diperlukan sebagai energi dalam menghasilkan beras berkualitas sesuai permintaan pasar dan preferensi konsumen. Kelembagaan dapat berupa adat istiadat, tradisi, aturan-aturan, atau hukum formal yang mengatur hubungan antar individu dalam suatu masyarakat terhadap sumberdaya. Kelembagaan inilah yang mengatur siapa yang boleh berpartisipasi dalam mengambil keputusan, mengatur siapa memperoleh apa dan berapa banyak. Kelembagaan menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Implikasinya adalah kelembagaan inilah yang menentukan distribusi pendapatan dalam suatu masyarakat. Dalam hal peningkatan produksi padi, kelembagaan pasar dan bukan pasar seperti Bimas memegang peranan penting dalam alokasi dan distribusi sumberdaya manfaat. 2.1.2. Manfaat Kelembagaan Mengingat pentingnya kelembagaan dalam mengatur sumberdaya dan distribusi manfaat, maka unsur kelembagaan ini perlu memperoleh perhatian khusus dalam analisis atau upaya peningkatan potensi desa untuk menunjang pembangunan desa. Dalim (1990) menambahkan bahwa kelembagaan pedesaan ini dapat berupa kelembagaan penguasaan tanah, kelembagaan hubungan kerja dan kelembagaan perkreditan. Petani dan juga ekonomi desa sangat terbantu oleh kelembagan yang ada karena kelembagaan mengatur saling hubungan antar para pemilik input dalam menghasilkan output ekonomi desa dan kelembagaan pula yang mengatur distribusi dari output tersebut. Interdependensi tersebut misalnya usaha petani dalam memperoleh pendapatan dengan menghasilkan dan meningkatkan produksi
11
pertanian. Dia harus berhubungan dan tergantung dengan pemilik lahan garapannya, penyedia input usahataninya, penyalur kredit untuk modalnya, penyuluh yang membina dia bahkan para pedagang yang akan membeli hasil budidayanya. Beberapa fakta yang diuraikan oleh Dalim (1990) tentang dampak kelembagaan pemilikan tanah menunjukkan adanya perbedaan produktivitas antara status pemilikan tanah sendiri, bagi hasil dan sewa. Faktor kepemilikan tersebut mempengaruhi perilaku petani dalam berbudidaya, yaitu dalam pengalokasian sumberdaya input yang dihubungkan dengan risiko usaha yang akan ditanggung sesuai status kepemilikan tanah. Petani yang menggarap tanah sendiri akan lebih nyaman dan tidak ragu mengalokasikan sumberdaya input untuk tanah mereka sendiri karena risiko kegagalan yang akan mereka tanggung hanyalah kegagalan panen itu sendiri. Begitu pula dalam sistem bagi hasil jangka panjang. Sementara bagi penyewa lahan, mereka harus berpikir lebih panjang untuk mengalokasikan sumberdaya input, karena selain risiko gagal panen mereka juga harus menanggung biaya sewa sebagai tanggungan. Sehigga minimalisasi biaya bisa menjadi pilihan bagi mereka. Kelompok tani juga menjadi instrumen kelembagaan yang memiliki peran cukup strategis sebagai wadah kerjasama yang berdaya guna. Kelompok tani diharapkan mampu menampilkan dirinya sebagai suatu sistem sosial mengintegrasikan berbagai unsur
yang
atau komponen fungsional struktural yang
diperlukan bagi penyelesaian tugasnya sebagai piranti pengolahan input dari lingkungan menjadi output yang memang harus dihasilkan. Dari pendekatan kesisteman, menurut Dalim (1990), kelompok tani dapat dipandang sebagai suatu
12
kesatuan sosial mandiri yang berintegrasi dengan lingkungannya, baik untuk mempertahankan hidupnya maupun untuk menyatakan identitasnya dalam karyakarya (perilaku) yang dilakukannya. Transaksi tenaga kerja dikatakan sebagai suatu bentuk hubungan kerja apabila ada suatu ketentuan yang mengikat buruh tani untuk bekerja pada seorang pemilik tanah atau pemberi pinjaman dalam waktu yang lama, biasana beberapa musim. Dalam hubungan kerja ini tingkat upah lebih rendah dari upah yang berlaku. Hubungan kerja ini akan semakin berkembang dan tingkat upah yang dibayar akan semain rendah, sejalan dengan makin meningkatnya angka pengangguran dan angka setengah pengangguran, atau sangat terbatasnya kesempatan kerja d luar sektor pertanian, disertai dengan distribusi penguasaan tanah yang timpang serta mobilitas tenaga kerja yang sangat terbatas (Kasryno, 1984). Dalim (1990) menambahkan dengan adanya hubungan kerja, buruh tani semakin terjamin dengan adanya pekerjaan yang tersedia, dan bagi petani pemberi pekerjaan, merasa terjamin dengan adanya buruh ang dapat dipercayai. Dalam keadaan lapangan kerja yang saangat terbatas, buruh tani didorong untuk bekerja dengan berpestasi, kalau tidak, hubungan kerja ini dapat diputuskan oleh pihak pemberi pekerjaan. Kelembagaan perkreditan yang membantu petani dalam masalah prmodalan memiliki pengaruh yang signifikan dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Seperti hasil penelitian Hasan dkk. (1979) tentang program intensifikasi padi sawah di Kabupaten Aceh Besar melalui paket kredit Bimas ternyata telah meningkatkan perekonomian petani khususnya dan masyarakat
13
pada umumnya baik ditinjau dari segi peningkatan produksi maupun dari segi perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan. Peningkatan ini masih dapat ditingkatkan lebih jauh lagi apabila semua paket kredit Bimas tersebut digunakan sepenuhnya untuk meningkatkan produksi semata-mata (bukan untuk konsumtif). Tujuan pertama, yang dicetuskan pertama kali pada saat dimulainya program Bimas 1964, ternyata dapat tercapai, hal ini terbukti dari semakin meningkatnya penggunaan teknologi baru dalam usaha tani dan peningkatan produksi pangan secara nasional. Dalam perjalanannya, program Bimas dan kelembagaan kredit petani mengalami banyak perubahan dan modifikasi yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebijakan. Pada tahun 1985, kredit Bimas dihentikan dan diganti dengan Kredit Usaha Tani (KUT) yang kemudian juga mengalami perubahan dan modifikasi lebih lanjut. Pada
hakekatnya
program
pengembangan delivery systems
Bimas
menggunakan
pendekatan
dan receiving systems. Guna memperkuat
delivery sistems dibentuklah Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai lembaga penyaluran kredit kepada petani. Adapun pengembangan program Intensifikasi Khusus (Insus) dan Supra Insus, yang merupakan program intensifikasi dengan pendekatan kelompok satu hamparan, dilaksanakan dalam rangka pengembangan receiving systems (Suryana, 2001). 2.1.3. Kapasitas dan Kinerja Kelembagaan Menurut Mackay et al. (1998) dalam Syahyuti (2004), kapasitas kelembagaan diindikasikan dengan kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri. Kemampuan tesebut diukur dari lima aspek, yaitu :
14
strategi kepemimpinan yang dipakai (strategic leadership), perencanaan program (program planning), manajemen dan pelaksanaannya (management and execution), alokasi sumberdaya yang dimiliki (resource allocation), dan hubungan dengan pihak luar yaitu terhadap cliens, partners, government policy makers, dan external donors. Kinerja
kelembagaan
didefinisikan
sebagai
kemampuan
suatu
kelembagaan untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien dan menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan pengguna (Peterson, 2003 dalam Syahyuti, 2004). Ada dua hal untuk menilai kinerja kelembagaan yaitu produknya sendiri berupa jasa atau material, dan faktor manajemen yang membuat produk tersebut bisa dihasilkan. Lebih jauh Syahyuti (2004) merinci dari Mackay et al. (1998), terdapat tiga hal pokok yang harus diperhatikan dalam memahami kinerja kelembagaan yaitu keefektifan kelembagaan dalam mencapai tujuan-tujuannya, efisiensi penggunaan sumberdaya, dan keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan para kelompok kepentingan di luarnya. Terkesan disini bahwa kalkulasi ekonomi merupakan prinsip yang menjadi latar belakangnya. untuk keefektifan dan efisiensi misalnya dapat digunakan analisis kuantitatif sederhana misalnya dengan membuat rasio antara perolehan yang seharusnya dengan yang aktual tercapai, serta rasio biaya dengan produktivitas. 2.2 Usahatani Mosher (1968) dalam Mubyarto (1989) mendefinisikan usahatani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian seperti tubuh, tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang
15
telah dilakukan atas tanah itu, sinar matahari, bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah dan sebagainya. Usahatani dapat berupa bercocok tanam atau memelihara ternak. Berkaitan dengan pendefinisian Mosher di atas dan fakta pertanian di Indonesia, maka menurut penjelasan Mubyarto (1989), ada perbedaan yang amat besar antara keadaan pertanian rakyat (usahatani) dan perkebunan. Tidah hanya dalam
luasnya
usaha,
tetapi
juga
dalam
tujuan
produksi
dan
cara
mengusahakannya. Itulah sebabnya dikenal ilmu pengelolaan perkebunan (estate management), di samping ilmu usahatani (farm management). Jadi usahatani tidak dapat diartikan sebagai perusahaan tetapi suatu cara hidup (way of life) dan perkebunan adalah perusahaan. Petani
akan
bertindak
sesuai
dengan
prinsip
ekonomi
yaitu
memperhitungkan antara hasil yang diharapkan diterima pada waktu panen (penerimaan) dengan pengorbanan (biaya) yang harus dikeluarkannya. Hasil yang diperoleh petani pada saat panen disebut produksi, dan biaya yang dikeluarkannya disebut biaya produksi. Penghitungan yang cermat akan menghasilkan aktivitas usahatani yang bagus atau kita sebut sebagai usahatani yang produktif dan efisien. Usahatani yang produktif berarti usahatani itu produktivitasnya tinggi. Pengertian produktivitas ini sebenarnya merupakan penggabungan antara konsepsi efesiensi usaha (fisik) dengan kapasitas tanah. Efisiensi fisik mengukur banyaknya hasil produksi (output) yang dapat diperoleh dari satu kesatuan input (Mubyarto, 1989) Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah gambaran bahwa dalam proses usahatani, petani bertindak sebagai pengelola yang melakukan aktivitas
16
manajemen terhadap sumberdaya yang dia kelola. Manajemen yang dilakukan petani tidak harus kompleks dan tertulis tetapi dia akan melakukan perhitunganperhitungan ekonomi dan keuangan terkait dengan keputusan-keputusan yang akan dia ambil. Keputusan tersebut berkenaan dengan pengalokasian sumberdaya yang dia kelola sebagai faktor produksi untuk mencapai usahatani yang produktif dan efisien. Faktor produksi dalam pertanian yaitu tanah, modal dan tenaga kerja, di samping petani sebagai pengelola atau manajer usahatani. 2.3. Prinsip-Prinsip Dasar Dalam Teori Produksi Pertanian Teori produksi secara umum dimulai dengan pemikiran, kita memiliki sejumlah lahan (ruang), manajemen, tenaga kerja dan modal. Pada keadaan atau waktu tertentu, kita dapat menghasilkan sejumlah produk maksimum dari sumberdaya-sumberdaya di atas. Hubungan input dengan output secara teknis ini oleh ahli ekonomi disebut fungsi produksi. Menurut Mubyarto (1989), fungsi produksi adalah suatu fungsi yang menunjukkan hubungan antara hasil produksi fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input). Dalam bentuk matematika sederhana fungsi produksi dituliskan sebagai : Y = f (x1, x2 ............. xn ) di mana
Y = adalah hasil produksi fisik x1 .............. xn = faktor-faktor produksi
Secara konvensional, faktor produksi terdiri dari tanah, tenaga kerja dan modal. Di samping itu, ada yang memasukkan manajemen dan kelembagaan sebagai input yang diperhitungkan dalam fungsi produksi. Pada keadaan tertentu, pengetahuan dan teknologi diasumsikan sebagai faktor spesifik atau dapat diidentifikasikan.
17
Ada dua pendekatan teori produksi dalam melakukan usahatani. Pendekatan pertama seperti yang dijelaskan Sukartawi (1987), bahwa dalam melakukan usaha pertanian, pengusaha harus berfikir bagaimana ia harus mengalokasikan input seefisien mungkin untuk dapat memperoleh produksi (output) yang maksimal. Dalam ilmu ekonomi, pendekatan ini disebut dengan pendekatan mamaksimumkan keuntungan (profit maximization). Akan tetapi, yang sering terjadi adalah petani menghadapi kendala keterbatasan biaya dalam usahataninya. Sehingga mereka berusaha memaksimalkan hasil produksi dengan memperhatikan kendala biaya produksi yang terbatas. Usaha ini mereka lakukan dengan prisip pendekatan kedua yaitu minimalisasi biaya (cost minimalization). 2.4. Tinjauan Mengenai Pertanian Organik dan Padi Sehat Definisi Pertanian Organik Pertanian organik (organic farming) merupakan sistem pertanian yang menjaga keselarasan kegiatan pertanian dengan lingkungan dengan pemanfaatan prose salami secara maksimal. Tidak menggunakan pupuk tetapi
sedapatnya memanfaatkan
limbah
organik
buatan dan pestisida, yang dihasilkan
oleh
kegiatan pertanian itu sendiri, sehingga sering juga disebut sebagai pertanian daur ulang. Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan sintetis (Karama, 2002). Sementara itu Orgnic Farming Reaserch Fundation (OFRF, 2000 dalam Dimyati 2002), merumuskan pertanian organik adalah sebagai berikut : “Organic farming system do not use toxic chemical pesticides or fertilzers. Instead, they are based on the development of biological deversity and the replanishment of soil fertility”.
18
Pertanian organik didasarkan pada penggunaan input off-farm secara minimal dan praktek
pengelolaan
yang
mengembalikan,
menjaga
dan
memperkaya
keharmonisan ekologis. Pedoman utama untuk produksi organik adalah menggunakan bahan-bahan dan praktik-praktik yang memperkaya keseimbangan ekologis sistem-sistem alamiah dan yang mengintegrasikan bagian-bagian sistem pertanian menjadi sebuah kesatuan ekologis. Oleh karena itu, menurut Partohardjono (2002), sistem pertanian organik merupakan suatu pendekatan sistem produksi secara menyeluruh yang mendorong keberlanjutan agroekosistem yang meliputi keanekaragaman hayati secara fungsifungsi biologis dalam sistem. Dalam sistem pertanian organik dihindari penggunaan bahan-bahan agrokimia sintetis eksternal serta produk rekayasa genetik tanaman secara transgenik. Berangkat dari konsep tersebut sistem ini dikembangkan secara alamiah dengan memahami fungsi-fungsi dan proses biologis yang berlangsung di alam secara biologis. Prinsip Ekologi Pertanian Organik Beberapa prinsip ekologi dalam penerapan pertanian organik dapat dipilahkan sebagai berikut : 1. Memperbaiki kondisi tanah sehingga menguntungkan pertumbuhan tanaman, terutama pengelolaan bahan organik dan meningkatkan kehidupan biologi tanah 2. Optimalisasi ketersediaan dan keseimbangan daur hara, melalui fiksasi nitrogen, penyerapan hara, penambahan dan daur pupuk dari luar usaha tani
19
3. Membatasi kehilangan hasil panen akibat aliran panas, udara dan air dengan cara mengelola iklim makro, pengelolaan air dan pencegahan erosi. 4. Membatasi kehilangan hasil panen akibat hama dan penyakit dengan melaksanakan usaha preventif melalui perlakuan aman 5. Pemanfaatan sumber genetik (plasma nutfah) yang saling mendukung dan bersifat sinergisme dangan cara mengkombinasikan fungsi keragaman sistem pertanaman terpadu Prinsip di atas dapat diterapkan pada berbagai macam teknologi dan strategi pengembangan. Masing-masing prinsip tersebut memiliki pengaruh yang berbeda terhadap produktivitas, keamanan, kemalaran (continuity) dan identitas masing-masing usahatani, tergantung pada kesempatan dan pembatasan faktor lokal (kendala sumberdaya) dan dalam banyak hal sangat tergantung pada permintaan pasar. Gambaran Umum Komoditas Beras Organik Beras organik adalah beras yang dihasilkan dari budidaya padi secara organik atau tanpa masukan bahan kimia baik pupuk maupun pestisida. Sehingga beras organik terbebas dari residu pupuk kimia dan pestisida kimia yang membahayakan manusia. Keunggulan utama beras organik dibanding beras biasa adalah relatif aman untuk dikonsumsi (Andoko, 2002). Selain itu rasa nasi lebih empuk dan pulen. Begitu juga dengan warnanya yang lebih putih serta daya tahan nasi lebih lama dua kali lipat beras biasa yang hanya mampu bertahan 12 jam sebelum kemudian basi.
20
Beras Sehat Persyaratan dan kendala-kendala yang ada di lapangan untuk mencapai kondisi yang ideal dalam pertanian organik bagi sebagian besar petani dirasakan sangat berat. Petani di Indonesia telah mengadopsi pertanian konvensional selama lebih kurang 25 tahun dan sebagian besar lahan pertanian beserta ekosistemnya khususnya di Pulau Jawa telah terkena pencemaran bahan kimia yang berasal dari pupuk kimia dan pestisida, sebagai akibat dari penggunaan pupuk dan pestisida yang tidak bijaksana dan terus menerus (LPS, 2005). Beras sehat adalah produk organik antara yang dihasilkan dari usahatani padi dengan mengeliminasi penggunaan pestisida, karena dampak yang ditimbulkan jauh lebih luas dan lebih berbahaya dibandingkan pupuk kimia yang dampaknya tidak secara langsung kepada pemakai. Sehingga diharapkan bahan pangan yang dihasilkan oleh petani secara pelan-pelan akan mulai bebas dari residu pestisida dan aman untuk dikonsumsi serta memiliki nilai tambah. 2.5 Tinjauan Penelitian Sebelumnya Penelitian yang akan dilakukan kali ini adalah dalam ruang lingkup pertanian padi sehat, yang dapat disetarakan dengan pertanian organik, dan tentang masukan teknologi baru pada kegiatan usahatani. Untuk itu perlu ditinjau penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan ruang lingkup penelitian yang dilakukan saat ini. Telah banyak penelitian yang dilakukan dalam rangka mengkaji seputar usahatani padi organik. Rahmani (2000), Nainggolan (2001) maupun Maryana (2006) telah melakukan penelitian pada tiga daerah yang berbeda, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah;
21
Kecamatan Tempuran, Kabupaten Kerawang, Propinsi Jawa Tengah; dan Kecamatan Cikalong, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat. Ketiga penelitian tersebut menggunakan metode analisis usahatani. Dan dapat disimpulkan bahwa berusahatani padi secara organik
memberikan pendapatan yang lebih besar
daripada usahatani padi secara an-organik. Meskipun, dari sisi produktivitas, usahatani padi an-organik lebih besar daripada usahatani padi organik. Penelitian
Kusumah
(2004),
dengan
melakukan
analisis
perbandingan usahatani dan pemasaran antara padi organik dan padi an-organik di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat, juga memberikan informasi yang sama. Hal itu disebabkan karena biaya produksi dalam usahatani padi organik lebih rendah daripada usahatani padi anorganik. Selain itu, harga output berupa gabah atau beras organik lebih mahal daripada gabah atau beras an-organik. Apabila dilihat dari status kepemilikan lahan, penelitian Maryana (2006), memberikan hasil bahwa petani pemilik memiliki pendapatan lebih besar daripada petani penggarap baik yang berusahatani secara organik ataupun an-organik. Namun apabila dibandingkan masing-masing, pendapatan petani pemilik usahatani padi organik lebih besar daripada petani pemilik usahatani an-organik. Begitupun pendapatan petani penggarap usahatani padi organik lebih besar daripada petani penggarap dengan usahatani an-organik (tabel 4). Adapun mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan usahatani padi secara umum, adalah saluran pemasaran, status petani (organik atau an-organik), dan status kepemilikan lahan.
22
Herdiansyah (2005) dalam penelitian yang dilakukan di Desa Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat, untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi sistem usahatani padi organik dalam kesimpulannya menjelaskan bahwa berdasarkan analisis Logistic Regression Model atau fungsi logit variabel-variabel yang berpengaruh nyata tehadap kemauan petani dalam mengadopsi sistem usahatani padi organik terdiri atas (1) variabel tingkat pendidikan, (2) variabel sumber informasi, (3) variabel biaya pupuk, (4) variabel biaya tenaga kerja. Semua variabel tersebut berpengaruh nyata pada taraf α 10 persen. Penelitian lain yang berkaitan dengan penerapan teknologi baru adalah Pribadi (2006), dan Yuliarmi (2002) yang menganalisis faktor penentu adopsi teknologi Sawit Dupa dan teknologi pemupukan berimbang pada usahatani padi. Keduanya memakai medel logit untuk menilai persepsi petani tentang faktorfaktor yang berpengaruh terhadap adopsi teknologi. Penelitian pertama yang dilaksanakan pada usahatani padi pasang surut di propinsi Kalimantan Selatan menyimpulkan bahwa ketersediaan modal dan risiko produksi padi varietas unggul berpengaruh nyata. Pendapatan dari usahatani padi tersebut juga berpengaruh nyata pada petani transmigran. Sedang pada petani lokal faktor lain yang berpengaruh adalah besarnya jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, umur dan luas lahan. Adapun dalam penelitian kedua, harga gabah, biaya pupuk dan luas lahan berpengaruh nyata pada taraf 1 persen, 5 persen dan 10 persen. Buana (1997), menganalisis tingkat adopsi budidaya sawah di Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara, dengan pendekatan koefisien peringkat Spearman. Hasilnya, bahwa tingkat adopsi petani berada pada peringkat sedang. Petani telah
23
melaksanakan budidaya sawah tetapi belum sepenuhnya sesuai dengan anjuran penyuluh. Karakteristik internal berupa pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan dan tingkat pendapatan menunjukkan hubungan yang nyata. Sementara itu, Lian (1987), melakukan penelitian yang hampir mirip dengan penelitian ini. Penelitian tersebut menganalisis tentang pengaruh teknologi terhadap efisiensi ekonomi dan distribusi pendapatan di Kabupaten Subang. Perubahan teknologi tersebut berupa : (1) penggunaan air irigasi dan perbaikan saluran drainasi, (2) penggunaan traktor menggantikan tenaga manusia dan ternak, (3) penggunaan varietas padi unggul Cisadane, dan (4) peningkatan dosis pupuk. Model yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb Douglas dan analisis efisiensinya didapat dengan rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM). Kesimpulannya, proses adopsi yang diwakili dengan perbandingan data tahun 1981 dan tahun 1986, adalah belum efisien. Beberapa penelitian yang diuraikan di atas telah mengakaji perbandingan produksi padi organik dan non organik dari sisi pendapatan petani dan produktivitas hasil; pengaruh kelembagaan kepemilikan lahan terhadap tingkat pendapatan
petani padi organik dan non organik; faktor-faktor yang
mempengaruhi adopsi sistem usahatani baru;
serta pengaruh teknologi baru
terhadap efisiensi ekonomi dan distribusi. Penelitian ini brmaksud menambah hasil kajian baru tentang pengaruh intervensi kelembagaan terhadap terciptanya kelembagaan agribisnis alternatif, perubahan aplikasi teknologi di tingkat petani dan pengaruhnya terhadap tingkat efisiensi teknik.
24
III. KERANGKA ANALISIS
3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Konsep Kelembagaan Menurut Mubyarto (1989), yang dimaksud lembaga (institution) adalah organisasi atau kaidah-kaidah, baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu baik dalam kegiatan-kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu. Lembaga-lembaga dalam masyarakat ada yang berasal dari adat kebiasaan mereka turun-temurun tetapi ada pula yang baru diciptakan baik dari dalam maupun mengadopsi dari luar. Kelembagaan ditinjau dari sudut organisasi merupakan sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya. Dipandang dari sudut individu, kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya. Dari dua sudut pandang tersebut, menurut Saptana et.al. (2003), model kelembagaan agribisnis beras yang akan dikembangkan harus ada muatan kolektif melalui organisasi kelompok yang akan mengatur bagaimana kelembagaan tersebut dapat memiliki kontrol dan akses terhadap sumberdaya dalam rangka pengembangan agribisnis beras. Di sisi lain pengembangan agribisnis beras akan berhasil kalau ada insentif individu dalam memasuki bisnis perbesaran. Dari sudut pandang individu, adanya semangat kewirausahaan akan menghasilkan daya inovasi dan kreasi tinggi yang diperlukan sebagai energi dalam menghasilkan beras berkualitas sesuai permintaan pasar dan preferensi konsumen.
25
Pakpahan (1989) mengemukakan kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama: (1) Batas yurisdiksi; (2) Hak kepemilikan; dan (3) Aturan representasi. Batas yurisdiksi berarti hak hukum atas (batas wilayah kekuasaan) atau (batas otoritas) yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna keduaduanya. Penentuan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu organisasi atau masyarakat
ditentukan
oleh
batas
yurisdiksi.
Oleh
karena
itu
dalam
mengembangkan kelembagaan dalam rangka pengembangan agribisnis perberasan harus jelas batas yurisdiksinya, sebagai ilustrasi apakah kelompok tani yang akan dilibatkan didasarkan atas kelompok hamparan, domisili ataukah satu-kesatuan layanan daerah irigasi. Konsep property atau pemilikan sendiri muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligations) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingan terhadap sumberdaya (Pakpahan, 1990 dalam Saptana et.al., 2003). Tidak seorangpun yang dapat menyatakan hak milik tanpa pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Sementara itu, aturan representasi (rule of representations) mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya. Dipandang dari segi ekonomi, aturan representasi mempengaruhi ongkos membuat keputusan. Ongkos transaksi yang tinggi dapat menyebabkan output tidak bernilai untuk diproduksi. Oleh karena itu, perlu dicari mekanisme representasi yang efisien sehingga dapat menurunkan ongkos transaksi (Saptana et.al., 2003).
26
3.1.2. Konsep Agribisnis Agribisnis (adapula yang menyebutnya agrobisnis) merupakan suatu cara lain untuk melihat pertanian sebagai suatu sistem bisnis yang terdiri dari beberapa subsistem yang terkait satu sama lain. Dalam agribisnis dikenal konsep agribisnis sebagai suatu sistem dan agribisnis sabagai suatu usaha (perusahaan). Disamping itu dikenal azas-azas dalam pengembangan agribisnis suatu komoditas, seperti yang dikemukakan oleh (Sudaryanto dan Hadi, 1993; Hadi et al.,1994 dalam Saptana et.al., 2003). Beberapa azas yang perlu diterapkan dalam pengembangan agribisnis, antara lain adalah : terpusat, efisien, menyeluruh dan terpadu dan kelestarian lingkungan. Definisi yang lengkap dari pengertian agribisnis oleh Davis and Golberg (1957) dalam Saptana et.al. (2003), yaitu : "Agribisnis included all operations involved in the manufacture and distribution of farm suplies; production operations on the farm; the storage, processing and distribution of farm commodities made from them, trading (whosaler, retailers), consumers to it, all non farm firm and institution serving them.." Dengan demikian, suatu sistem agribisnis yang lengkap merupakan suatu gugusan industri (industrial cluster) yang terdiri dari empat subsistem, yaitu (1) subsistem agribisnis hulu (upstream agribusiness) yakni seluruh industri yang menghasilkan dan memperdagangkan sarana produksi pertanian primer, seperti industri pembibitan/pembenihan, industri agro-kimia, industri agro-otomotif, agri-mekanik dan lain lain; (2) subsistem agribisnis budidaya/usahatani (on-farm agribusiness) yakni kegiatan yang menggunakan sarana produksi untuk menghasilkan komoditas pertanian primer (farm product); (3) subsistem agribisnis hilir (downstream agribusiness)
27
yakni industri yang mengolah industri primer menjadi produk olahan beserta kegiatan perdagangannya; dan (4) subsistem jasa penunjang (supporting system agribusiness) yakni kegiatan yang menyediakan jasa bagi ketiga subsistem di atas seperti infrastruktur, transportasi (fisik, normatif), perkreditan, penelitian dan pengembangan, pendidikan pelatihan, kebijakan pemerintah, dan lain-lain. Secara sederhana sistem agribisnis dapat dilihat pada Gambar 1. Subsistem Hulu (upstream agribusiness)
Subsistem Usahatani (on-farm agribusiness)
Subsistem penunjang (supporting agribusiness)
Subsistem Hilir (downstream agribusiness) Gambar 1. Keterkaitan dalam Sistem Agribisnis
3.1.3. Efisiensi Teknik Efisiensi
teknik
mengacu
kepada
pencapaian
maksimum
dari
kemungkinan tingkat produksi untuk tiap kombinasi penggunaan input yang digunakan. didefinisikan sebagai rasio dari produksi aktual dari suatu perusahaan (atau petani) pada tingkat teknik kemungkinan produksi maksimum. Maksimum produksi disini dihitung dari frontier. Efisiensi teknis disini menyatakan kemungkinan peningkatan produksi tanpa meningkatkan ongkos atau tanpa pengaturan kembali kombinasi input yang digunakan. Suatu usaha dikatakan tidak efisien jika gagal untuk mencapai produksi maksimum apabila menggunakan sejumlah input yang ada (Farrell, 1957 dalam Utama, 2003)
28
Fungsi produksi stochastik frontier secara spesifik meliputi fungsi produksi untuk data cross-sectional yang mempunyai dua
random efek dan
komponen yang lain untuk in-efisensi teknik. Model ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Yi = xiβ + (Vi - Ui)
,i=1,...,N,
dimana ; Yi
= produksi (atau logaritma dari produksi) dari usaha ke i.
Xi
= transformasi dari jumlah faktor produksi ke i
β
= p arameter penduga yang belum diketahui
Vi
= kesalahan acak dari model
Ui
= variabel acak yang merepresentasikan inefisiensi teknik dari sampel usahatani ke i
Karakteristik yang cukup penting dari model produksi frontier untuk mengestimasi efisiensi teknik adalah adanya pemisahan dampak dari shok variabel eksogenus terhadap output dengan kontribusi variasi dalam bentuk efisiensi teknik (Giannakes et.al., 2003 dalam Sukiyono,2004). Yang
berarti
metode
ini
dapat
digunakan
untuk
mengestimasi
ketidakefisienan suatu proses produksi tanpa mengabaikan kesalahan baku dari modelnya. Hal ini dimungkinkan karena kesalahan baku dalam model, E, terdiri dari dua kesalahan baku yang keduanya terdistribusi secara bebas (normal) dan sama untuk setiap observasi dimana yang pertama adalah tipikal kesalahan baku yang ada dalam suatu model (V) dan yang lain untuk merepresentasikan
29
ketidakefisienan (U) dan E = V - U (Giannakes et.al., 2003 dalam Sukiyono, 2004). Secara ekonometrik, efisiensi teknik suatu usahatani tertentu, TEi, didefinisikan sebagai rasio dari rata-rata produksi usahatani ke i yang memiliki ui positif, serta pada tingkat korbanan input tertentu ( xi ) dengan rata-rata produksi jika ui = 0. Maka efisiensi teknik usahatani ke i dapat dirumuskan sebahai berikut:
TEi = exp( -ui )
Prediksi efisiensi teknik dari usahatani ke i memerlukan variabel acak yang tak terobservasi ui yang akan diperkirakan dari sampel yang diambil. Nilai ekspektasi µi dimana variabel acak adalah Ei = vi - ui dan dengan asumsi ui mempunyai distribusi setengah normal atau eksponensial. 3.2. Kerangka Operasional Aktivitas usahatani yang dilakukan di tempat penelitian diasumsikan melibatkan tiga komponen yang saling berinteraksi. Komponen yang pertama adalah petani sebagai manajer usahatani. Petani memiliki kemampuan berupa akses terhadap sumberdaya atau input, penguasaan teknologi dan faktor kelembagaan di level petani. Kemampuan tersebut digunakan petani untuk menjalankan aktivitas usahataninya. Komponen yang kedua adalah sumberdaya atau input itu sendiri. Komponen input ini menjadi awal terjadinya berbagai proses usahatani padi. Proses-proses yang masuk dalam kajian ini adalah budidaya, panen serta pemasaran dan distribusi sampai pada tahap tertentu. Adapun komponen yang
30
terakhir adalah komponen kelembagaan. Sesuai dengan tinjauan tentang ruang lingkup kelembagaan di atas, komponen ini memberikan peran penting dalam kelancaran proses usahatani. Kelembagaan tersebut meliputi kelembagaan permodalan, pengadaan input, kelembagaan pendampingan dan penyuluhan serta kelembagaan pemasaran dan distribusi. Salah satu dampak dari kinerja kelembagaan terhadap aktivitas usahatani adalah dalam perbaikan praktik budidaya. Dalam upaya meningkatkan pendapatan usahatani, baik dengan meningkatkan produktivitas ataupun mengurangi biaya produksi, kelembagaan akan mengintroduksikan teknologi baru kepada petani. Teknologi baru tersebut dapat berupa pengetahuan manajemen, perbaikan ataupun masukan input baru atau juga perbaikan teknik budidaya. Untuk mendekati pengaruh dari masukan teknologi baru tersebut akan dilakukan analisis terhadap aplikasi penerapan teknologi di tingkat petani dan analisis efisiensi teknik dalam proses produksi. Masuknya peran kelembagaan dalam proses agribisnis usahatani padi yang dilakukan petani akan dikaji dan dianalisis dalam hal keragaan dan kinerja kelembagaan agribisnis yang terbentuk. Apakah kelembagaan agribisnis padi yang dibangun LPS dan petani binaannya sudah maksimal dari sisi kelengkapan subsistem dan perannannya dalam mendukung usahatani petani. Analisis
terhadap
aplikasi
teknologi
diharapkan
mengkasilkan
rekomendasi yang tepat bagi petani dalam perbaikan teknik dan LPS dalam mengevaluasi antivitas pendampingan usahataninya. Sedangkan Hasil Analisis terhadap keragaan dan kinerja kelembagaan diharapkan menjadi rekomendasi bagi LPS dalam membangun kelembagaan agribisnis padi yang lebih baik.
31
P
Keterbatasan Akses Hulu
E
Kinerja Klp. Tani
T
A
N
I
Aplikasi teknologi belum tepat
Keterbatasan akses Hilir
Lahan Panen
Budidaya
Pemasaran &Distribusi
Input Lain
Pendampingan & Penyuluhan
Pemasaran & Distribusi
Pengadaan Input
Permodalan K E L E M B A G A A N (L P S)
Kelengkapan Kelembagaan Agribisnis
Analisis Keragaan dan Kinerja Kelembagaan
Rekomendasi Perbaikan Kinerja Kelembagaan Agribisnis
Perbaikan Aplikasi Teknologi
Analisis Aplikasi Teknologi Petani
Analisis Efisiensi Teknik
Rekomendasi Perbaikan Aplikasi Teknologi
Gambar 3. Kerangka Operasional Penelitain
32
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi pengambilan data dari penelitian ini adalah lokasi binaan Lembaga Pertanian Sehat di Kecamatan Cigombong, Cijeruk dan Ciburuy, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Pertimbangan penentuan lokasi penelitian adalah karena pada lokasi tersebut terdapat kelompok tani binaan Lembaga Pertanian Sehat dengan taraf keterbinaan yang berbeda, ada yang sudah lama dan mendekati adopsi yang sempurna dari setiap masukan yang diberikan oleh LPS dan ada yang masih baru. Penelitain ini dilaksanakan pada bulan Desember 2007 sampai dengan bulan Maret 2008. 4.2. Pemilihan Sampel Unit analisis dalam penelitian ini adalah Lembaga Pertanian Sehat (LPS), kelompok tani dan para petani anggota kelompok tani binaan LPS. Pemilihan LPS sebagai unit analisis dilakukan secara sengaja. Kelompok tani yang dibina oleh LPS berjumlah 16 kelompok, berdasarkan pertimbangan keaktifan, tingkat adopsi masukan LPS dan lama pembinaannya maka dipilih enam kelompok tani secara sengaja bedasarkan masukan dari narasumber dari LPS. Sampel untuk petani diambil sebanyak 32 petani dari total petani anggota kelompok tani binaan LPS yang mencapai 148 orang. Sampel petani diambil dari enam kelompok tani yang dipilih secara proporsional. 4.3. Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Data yang
33
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diambil langsung dari petani melalui teknik wawancara langsung. Pengambilan data primer dilakukan dengan teknik survei yaitu suatu cara pengambilan data melalui sampel dari suatu populasi dengan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data pokok (Singarimbun dan Effendi, 1989). Sedangkan data sekunder diperoleh melalui wawancara dengan narasumber yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan penelitian dan dari laporan-laporan Lembaga Pertanian Sehat ataupun dari literatur yang relevan. 4.4 Pengolahan Data Pengolahan data untuk analisis kuantitatif yang berhubungan dengan permasalahan pertama dan kedua dioleh secara manual dan disajikan dalam bentuk tabulasi dan keterangan penjelas. Adapun data yang berhubungan dengan analisis fungsi produksi deolah dengan program statistik regresi dan efisiensi teknik diolah dengan menggunakan program Frontier versi 4.1, yaitu program komputer untuk menghitung tingkat efisiensi teknik setiap petani. Sedangkan data kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden dan narasumber terkait akan disajikan secara deskriptif untuk menambah kejelasan analisis yang ada. 4.5. Metode Analisis Data Metode analisis data disesuaikan dengan data yang diperoleh. Langkahlangkah dalam analisis data ini dilakukan sebagai berikut : Analisis deskripsi umum Menggambarkan tentang profil organisasi Lembaga Pertanian Sehat dan gambaran umum petani binaan LPS di Kabupaten Bogor yang menjadi objek
34
penelitian. Pada bagian ini juga disertai gambaran umum wilayah dimana para petani tinggal. Analisis Deskripsi Kinerja Kelembagaan dan Aplikasi Teknologi di Tingkat Petani Menggambarkan kondisi kelembagaan yang ada pada setiap subsistem usahatani dan aplikasi teknologi yang dilakukan oleh petani dalam melaksanakan setiap tahap usahataninya. Analisis ini akan diperjelas dengan tabel-tabel yang mendukung. Analisis Fungsi Fungsi produksi untuk usahatani padi sehat pada anggota kelompok tani binaan LPS di Kabupaten Bogor diasumsikan mempunyai bentuk Cobb-douglass dengan memasukkan variable dummy yang diprediksikan mempengaruhi efisiensi masing-masing perusahaan atau petani. Variabel dummy yang dimasukkan dalam model penelitian ini adalah terhadap jenis varietas (Var = 1 apabila petani menggunakan varietas Situbagendit, dan Var = 0 apabila memakai yang lainnya) karena dari data yang ada 56 persen petani memakai varietas yang sama yaitu Situbagendit dan rata-rata produktivitas dari benih tersebut tertinggi dibanding varietas lainnya. Variabel dummy yang kedua adalah terhadap penggunaan sistem tanam legowo (ST = 1) dan caplak atau bukan legowo (ST=0). Seperti dikaji dalam bab sebelumnya, anjuran LPS adalah pemakaian sistem legowo, tetapi 53 persen petani tidak melaksanakannya dan ada yang karena alasan efisiensi teknis. Rumus persamaan fungsi produksinya menjadi sebagai berikut :
35
ln (Yi) = β0 + β1 ln (BENIHi) + β2 ln (TKi) + β3 ln (UREAi) + β4 ln (SP 36i) + β5 ln(KCli) + β6 ln (Phonska) + β7 (P. ORGANIKi) + β8 ln(PASTIi) + β9 ln(Lahani) + δ10 (Var) + δ11 (ST) + (Vi - Ui) dimana : i
= petani ke i
Y
= nilai produksi per ha (kg)
BENIH
= jumlah benih padi yang digunakan (gram)
TK
= jumlah tenaga kerja yang dicurahkan (HOK)
UREA
= jumlah pupuk Urea yang dipakai (kg)
TSP
= jumlah pupuk TSP yang dipakai (kg)
KCl
= jumlah pupuk KCl yang dipakai (kg)
Phonska
= jumlah pupuk NPK Phonska yang dipakai (kg)
P.ORGANIK = jumlah pupuk organik yang dipakai (kg) PASTI
= jumlah pestisida nabati yang dipakai (liter)
Lahan
= luas lahan yang ditanami petani (ha)
D1
= Variabel dummy untuk jenis varietas (Var = 1 apabila petani menggunakan varietas Situbagendit, dan Var = 0 apabila memakai yang lainnya)
D2
= Variabel dummy untuk sistem tanam ( ST = 1 apabila legowo dan ST = 0 apabila selainnya)
Vi
= kesalahan acak model dan
Ui
= variable acak yang merepresentsikan inefisiensi teknik dari sempel usahatani ke i
Efisiensi dan inefisiensi teknik usahatani padi ke i diprediksi dengan menggunakan persamaan yang diturunkan dari fungsi produksi stokastik frontier sebagai berikut : TEi = exp( -ui ) Dimana efisiensi ini dapat diperkirakan dengan rumus sebagai berikut :
36
- µ /σ ) [1 -1 Φ(σ - Φ(- µ /σ ) ]exp {-µ *
TEi = E(exp(-ui)|Ei) =
*
*
*
*
i
*
+ 0,5 σ*2
}
=
σv2 - σu2 dimana : Ei = vi ui , µi = σv2 - σu2 –
σv2 x σu2 dan σ = σv2 + σu2 *2
Hasil penghitungan yang didapat adalah tingkat efisiensi teknik setiap individu petani yang diobservasi. Hasil itu kemudian dianalisis secara individu sebagai petani binaan LPS dan secara kelompok sebagai dampak kinerja kelompok tani terhadap tingkat efisiensi teknik anggotanya. Penyajian data dalam bentuk diagram ataupun tabel yang dapat memperjelas informasi yang akan disampaikan.
37
V. GAMBARAN UMUM
5.1. Lembaga Pertanian Sehat Dompet Dhuafa Republika 5.1.1. Sejarah Lembaga Pada awalnya LPS-DDR berbentuk Laboratorium Pengendalian Biologi DD-Republika yang beroperasi mulai bulan Juni 1999 di Desa Cibanteng, Darmaga Kab. Bogor, laboratorium ini bertugas untuk mengembangkan dan memproduksi biopestisida NPV (nuclear polyhedrosis virus) yang ramah lingkungan.
Produk biopestisida yang berbahan aktif virus patogen serangga
hama tersebut, merupakan yang pertama kali diproduksi di Indonesia dengan nama :VIR-L, VIR-X dan VIR-H. Selain itu dari perluasan program tahun 2000, juga telah dikembangkan dan dibuat pupuk organik OFER dan pestisida nabati PASTI berbahan aktif akar tuba. Pada tahun 2002 Laboratorium Pengendalian Biologi berubah nama menjadi Usaha Pertanian Sehat, hal ini berkaitan erat dengan upaya pengembangan
pemasaran
produk-produk
yang
dihasilkan
Laboratorium
sebelumnya. Pusat kegiatan UPS berada di Ds Pasir Buncir, Caringin Bogor, satu komplek dengan Ternak Domba Sehat (TDS) Dompet Dhuafa Republika. Pemisahan laboratorium dan usaha dilakukan pada awal tahun 2003 menjadi LPS yang berada di JAS dan UPS yang berada di jejaring aset reform. Kemudian menginjak awal tahun 2004 Laboratorium Pertanian Sehat dan Usaha Pertanian Sehat disatukan kembali menjadi Lembaga Pertanian Sehat di bawah koordinasi Jejaring Aset Reform (JAR) Dompet Dhuafa.
38
5.1.2. Aktivitas Lembaga Latar belakang aktivitas LPS adalah (LPS, 2005), pertama, untuk mencapai pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan yaitu merubah pola tanam dan perilaku petani dari konvensional ke sistem bertani sehat dengan melakukan pembinaan secara bertahap dan berkesinambungan ke arah pertanian yang minimal berbasis bertani bebas pestisida.
Perubahan-perubahan secara
bertahap dapat dilakukan dengan membimbing dan mengenalkan kepada petani untuk menggunakan sarana produksi yang aman, bijak, berbahan lokal dan harga terjangkau dengan proses bio-teknologi maupun rendah bahan kimia melalui pola pertanian terpadu yang berwawasan ramah lingkungan. Kedua, petani kecil sebagai kaum dhuafa/mustahik mayoritas di Indonesia memiliki masalah yang multikomplek di lapangan antara lain : lahan yang terbatas, kesuburan lahan menurun, harga saprotan yang tinggi, permodalan terbatas, SDM dan skill yang rendah, serta harga panen yang fluktuatif, disamping itu indeks nilai tukar petani (term of trade) terhadapa barang industri dan jasa semakin menurun yang mengindikasikan kehidupan petani semakin tidak sejahtera.
Hal itu memerlukan penanganan yang holistik melalui program-
program yang bersifat pemberdayaan dan berkelanjutan. LPS DDR menetapkan beberapa misinya untuk mewujudkan program dan fungsi-fungsinya, yaitu (LPS, 2005), pertama, meneliti, mengembangkan dan merakit teknologi-teknologi sarana produksi pertanian yang menggunakan bahan baku lokal, murah, sehat dan ramah lingkungan. Kedua, merakit teknologi sistem pertanian terpadu dan berkelanjutan yang berbasis pada potensi sumberdaya alam lokal dan kompetensi petani mustahik/penerima manfaat secara langsung. Ketiga,
39
menjadi pusat pelatihan, pengkaderan dan percontohan sistem pertanian sehat terpadu, yang digunakan sebagai sarana pelatihan, pengkaderan dan studi wisata pertanian alami bagi petani dan masyarakat secara luas. Tabel 4. Enam Bidang Kegiatan Pokok Lembaga Pertanian Sehat No. 1.
Bidang Pokok Penelitian Dan Pengembangan Sarana Produksi Pertanian Sehat
• • • •
2.
Pelayanan Informasi Teknologi Sistem Pertanian Sehat Terpadu
• • •
3.
Pembangunan Pusat Pelatihan Pertanian Sehat Terpadu
• • •
4.
5.
6.
Pelatihan Dan Bina Kader Pertanian Sehat
Produksi Dan Pemasaran Sarana Dan Hasil Pertanian Sehat
Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S)
Sumber : Profil LPS, 2005
• • • • • • • • • • • •
Garis Besar Kegiatan Penelitian dan perakitan sarana produksi pertanian sehat yang tepat guna Pelaksanaan uji coba efektivitas produk melalui demonstrasi plot (demplot) Uji laboratorium dan standarisasi saprotan sehat/organik Membantu proses standarisasi dan sertifikasi produk pertanian sehat bagi petani binaan dan umum Pelayanan studi pustaka tentang pertanian organik secara terpadu dan berkelanjutan Kerjasama kegiatan pertanian sehat dengan dengan dinasdinas/pihak swasta terkait baik tingkat daerah maupun nasional (pelatihan, seminar, workshop) Penyusunan buku panduan, modul pelatihan dan brosurbrosur tentang pertanian organik dan pertanian terpadu Membangun sarana fisik dan wisata pertanian terpadu (kantor, laboratorium, ruang dan mess pelatihan, ruang produksi ,workshop) Budidaya tanaman secara organik: padi, sayuran, buahbuahan, tanaman obat dan tanaman pengendali hama Peternakan terpadu skala usaha, meliputi: sapi pedaging, domba garut, ayam kampung dengan pengolahan kompos dan biogas serta perikanan darat Budidaya jamur shimeji/tiram organik skala usaha Kegiatan magang bagi petani dhuafa dan masyarakat secara umum Bimbingan penelitian & konsultasi teknologi pertanian sehat bagi mahasiswa (S1, S2 dan S3) dan pelaku agribisnis Pembentukan dan pembinaan kelompok tani sehat (KTS) Pelatihan manajemen dan budidaya pertanian sehat Pengkaderan petani inovator untuk pertanian sehat Kerjasama dengan berbagai lembaga pemerintah atau swasta dalam upaya sosialisasi saprotan dan teknologi. Produksi sarana pertanian & sayuran organik /padi bebas pestisida bekerjasama dengan KT/ petani. Melakukan kegiatan bisnis saprotan sehat dan membentuk jaringan pemasaran hasil pertanian sehat yang kuat dan tangguh. Penyediaan lahan garapan beserta subsidi sarana produksi dalam jangka waktu tertentu. Pendampingan kegiatan usaha pertanian sehat Transfer teknologi produk-produk pertanian sehat kepada KT untuk diproduksi secara mandiri
40
Keempat, melatih dan membina kader pertanian sehat melalui: program pelatihan petani/ kelompok tani (KT) terpadu, penelitian mahasiswa, magang dan konsultasi pelaku agribisnis. Kelima, membina kemandirian dan menjalin kemitraan usaha dengan para petani dalam bidang kegiatan produksi dan pemasaran sarana produksi pertanian sehat berskala home industri dan produkproduk pangan/sayuran organik yang menguntungkan dan memberikan dampak ekonomi dan kesehatan secara langsung bagi petani maupun masyarakat secara umum. Keenam, mensosialisasikan dan melakukan kegiatan agribisnis bidang saprotan dan produk-produk pertanian sehat dan turunannya yang memiliki nilai tambah, kompetitif, halal dan thoyib.
Berdasarkan misi yang telah ditetapkan, maka Lembaga Pertanian Sehat (LPS) memiliki 6 bidang pokok kegiatan yang secara garis besar dibagi menjadi beberapa sub-kegiatan sebagai mana Tabel 4. Untuk menjalankan enam kegiatan tersebut LPS memiliki struktur organisasi sebagai mana Gambar 3.
41
Direktur LPS
Manajer Operasional Administrasi & Keuangan
Sekretaris & Humas
DIVISI Produksi & Perakitan
DIVISI Litbang Pelatihan Pembinaan Petani
DIVISI Pemberdayaan Petani
DIVISI Distribusi & Pemasaran
DIVISI Technical Supporting
Kelompok Tani Binaan Gambar 3. Struktur Organisasi Lembaga Pertanian Sehat
5.1.3. Produk Lembaga Pertanian Sehat Lembaga Pertanian Sehat dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga penelitian dan pengembangan teknologi saprotan sehat yang tepat guna telah menghasilkan beberapa produk unggulan yang menggunakan bahan baku lokal, mudah diperoleh dan berdaya saing serta dapat diproduksi secara mandiri oleh petani. Jenis-jenis produk dan program yang telah dihasilkan oleh LPS sampai dengan tahun 2004 adalah sebagai berikut:
42
Tabel 5. Produk Unggulan Lembaga Pertanian Sehat No. Jenis Produk/Program Biopestisida generasi ke-2 yaitu VIREXI (generasi VIR-X) dan 1. VITURA (generasi VIR-L) Pupuk Organik Cair BIO MENTARI berbahan baku slury dari 2. fermentasi biogas (BIO-MENTARI = produk biologi hasil fermentasi dan mampu lestari Pestisida Nabati PASTI yang berbahan aktif ekstrak biji mimba 3. (Azadirachta indica) Pupuk kompos OFER (Organic Fertilizer) yang terbuat dari limbah kotoran sapi, jerami/hijauan dan arang sekam dan diolah dengan proses 4. fermentasi dan Media TUMBUH dan TOP SOIL sebagai media semai dan tanam organik Program P3S, yaitu Program Pemberdayaan Petani Sehat bagi petani 5. mustahik melalui penyediaan lahan garapan, subsidi saprotan sehat dan pembinaan serta pelatihan BERAS SEHAT yaitu beras bebas pestisida yang diproduksi dengan 6. teknologi ramah lingkungan oleh kader petani sehat yang ikut serta dalam program P3S Program Pelatihan Budidaya Pertanian Sehat dengan materi teknis 7. produksi tanaman padi, sayuran dan pengendalian hama/penyakitnya secara alami serta pembuatan kompos. BENIH CAP PETANI, yaitu benih padi berlabel biru hasil penangkaran 8. Kel.Tani Silih Asih bekerjasama dengan LPS dalam pengadaan benih induk (breder seed) Teknologi Pengendalian Penyakit Tungro Pada Padi yaitu berupa 9. petunjuk teknis cara mengendalikan penyakit tungro yang mudah. Bio-Insektisida yaitu nematoda untuk mengendalikan ulat penggerek 10. pada padi dan Miko-Insektisida, jamur patogen Bauveria Bassiana untuk hama wereng dan serangga secara umum. Sumber : Profil LPS, 2005 Dari beberapa produk barang yang dihasilkan oleh LPS, pestisida nabati PASTI, pupuk kompos OFER dan beras sehat SAE sudah dipasarkan oleh devisi pemasaran melalui agen-agen yang menjadi mitra atau sesuai permintaan. Sementara benih unggul yang diproduksi lebih banyak dipakai oleh petani binaannya melalui jalur pemasaran koperasi gabungan kelompok tani Lisung Kiwari di Desa Ciburuy.
43
5.2. Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) 5.2.1. Tujuan Program Tiga tujuan umum dari program pemberdayaan LPS adalah, pertama, tercapainya kemandirian material komunitas petani sasaran. Melalui paket program P3S, diharapakan para petani sasaran dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil usaha taninya sehingga akan mendorong peningkatan pendapatan dan kesejahteraan ekonominya. Kedua, Tercapainya kemandirian intelektual komunitas petani sasaran. Paket P3S juga mendorong para petani untuk meningkatkan sikap, sifat dan perilaku intelektualitasnya sehingga akan muncul pribadi-pribadi petani yang kritis dan peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Ketiga, Tercapainya kemandirian manajemen komunitas petani sasaran. Selain mandiri dalam hal ekonomi/material dan intelektual, paket P3S juga mendorong para petani sasaran untuk dapat mandiri secara manajerial sehingga dapat melakukan fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengontrolan usaha taninya secara profesional 5.2.2. Komponen Program Sebagai program pertanian yang mencoba melakukan proses perbaikan yang integralistik dan bersifat kontinu, maka paket program P3S dilengkapi dengan komponen program pendukung, yaitu : 1. Pembiayaan Usaha Tani Berbasis Syariah dengan paket yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan, paket yang sedang dilaksanakan untuk beberapa cluster P3S antara lain: paket Murabahah, Qordul Hasan
44
dan bahkan ada juga paket bantuan Cuma-Cuma (hibah) tapi dengan syarat konstruktif. 2. Peningkatan Kapasitas SDM Petani melalui paket pelatihan teknologi pertanian sehat dan juga pembinaan untuk manajemen usaha tani dan penguatan aspek spiritual para petani sasaran 3. Pembentukkan dan Pengembangan Kelembagaan Petani, antara lain dengan penginisiasian lumbung tani sehat (LTS). Bahkan untuk LTS di Cluster Kab. Bogor telah mulai merintis untuk pengembangan usaha komunitas melalui pengadaan saprotan dan pengolahan beras petani binaan. 4. Pembangunan Jaringan dan Sinergi dengan Stakeholders lainnya, hal ini didasarkan bahwa pembangunan pertanian merupakan tanggung jawab bersama untuk itu petani didorong untuk dapat akses terhadap saluran informasi baik yang datang dari instansi pemerintah, swasta ataupun yang lainnya sehingga dapat mempercepat proses kemandirian para petani sasaran. 5.2.3. Wilayah Kerja Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) Pembinaan petani oleh LPS yang berada di bawah program P3S telah mencakup 3 daerah kerja (cluster), yaitu cluster Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang meliputi 3 Kecamatan, Cijeruk, Cigombong dan Caringin; cluster Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan yang berada di Kecamatan Muara Telang; dan cluster Kabupaten Bantul, DIY tepatnya di Kecamatan Jetis.
45
5.3. Pemberdayaan Agribisnis Padi Sehat Kabupaten Bogor 5.3.2. Deskripsi Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada kelompok tani binaan Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) LPS DD di Cluster Rintisan Kabupaten Bogor yang berada di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Cigombong, Caringin dan Cijeruk. Tiga kecamatan tersebut masuk dalam wilayah kerja Dinas Pertanian Kabupaten Bogor untuk UPTD Caringin, namun demikian tidak semua desa yang ada dalam tiga kecamatan tersebut masuk sebagai anggota program. Hanya desadesa terpilih saja yang dimasukkan dalam program P3S ini, tentunya melalui pertimbangan yang matang dan proses seleksi yang ketat.
Gambar 4. Peta Lokasi Program Pemberdayaan Petani Sehat Cluster Kabupaten Bogor, Jawa Barat Secara geografis, lokasi tiga kecamatan program P3S Kabupaten Bogor berbatasan langsung dengan, sebelah utara dengan Kota Bogor, sebelah selatan dengan Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, sebelah timur dengan Taman Nasional Gunung Pangrango dan sebelah Barat dengan Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor. Jumlah total desa yang terlibat dalam proses pemberdayaan P3S Kabupaten Bogor mencapai sembilan (9) desa dengan luasan lahan program
46
yang cukup variatif. Sedangkan jumlah petani yang terlibat langsung dalam kegiatan P3S ini mencapai jumlah 149 petani yang tergabung dalam 16 KT (Kelompok Tani). Karakteristik umum petani peserta program P3S Kabupaten Bogor dapat dilihat dari aspek pendidikan, umur, pendapatan dan penguasaan lahan garapan. Berdasarkan data hasil survei kelayakan mitra tani tahun 2005 diketahui bahwa sebagian besar petani berpendidikan hanya sampai sekolah dasar (SD) yakni mencapai 83.3 persen. Adapun kisaran umur petani P3S adalah antara 30 sampai 60 tahun dengan jumlah sebanyak 87.5 persen dengan tingkat pendapatan cukup rendah yakni rata-rata Rp. 300.000/bulan. Dari segi kepemilikan lahan, umumnya para petani peserta adalah tuna kisma (tidak memiliki lahan garapan sendiri) kalaupun memiliki hanya berkisar 0.1-0.2 Ha (LPS, 2006). Tabel 6. Data Kelompok Tani Peserta Program Pemberdayaan Petani Sehat Cluster Kabupaten Bogor No. Kelompok Jml. KT Desa Kecamatan Kabupaten Tani* 1 Silih Asih 14 Petani Ciburuy Cigombong Bogor 2 Tunas Inti 10 Petani Ciburuy Cigombong Bogor 3 Lisung Kiwari 11 Petani Ciburuy Cigombong Bogor 4 Manunggal Jaya 11 Petani Ciburuy Cigombong Bogor 5 Saung Kuring 10 Petani Ciburuy Cigombong Bogor 6 Lembur Kuring 08 Petani Cisalada Cigombong Bogor 7 Harapan Maju 09 Petani Pasir Jaya Cigombong Bogor 8 Nurul Mazroah 08 Petani Pasir Jaya Cigombong Bogor 9 Waluya 10 Petani Tugu Jaya Cigombong Bogor 10 Tumeka 08 Petani Ciderum Caringin Bogor 11 Maju Jaya 10 Petani Muara Jaya Caringin Bogor 12 Bersaudara 07 Petani Pasir Buncir Caringin Bogor 13 Wanti Asih 10 Petani Cibalung Cijeruk Bogor 14 Mekar Sejahtera 08 Petani Cipelang Cijeruk Bogor 15 Sugih Mukti 10 Petani Cibalung Cijeruk Bogor 16 Barokah 05 Petani Cibalung Cijeruk Bogor Sumber : Laporan akhir Tahun Program Pemberdayaan Petani Sehat, 2006 (LPS)
47
5.3.2. Program-Program Pemberdayaan di Kabupaten Bogor 1. Pemberian Subsidi Pengadaan Lahan Pertanian Masalah utama petani di wilayah program adalah masalah kepemilikan lahan, untuk itu salah satu paket bantuan program P3S adalah dengan pengadaan lahan (sewa) untuk petani sasaran program. Setelah kelompok tani yang memenuhi syarat terbentuk, selanjutnya adalah kegiatan penyewaan lahan garapan untuk masing-masing peserta. Luasan lahan yang disewakan rata-rata seluas 2500 m2 untuk setiap petani atau 2.5 Ha untuk setiap kelompok. Petani disewakan sawah selama satu tahun dengan harga sewa Rp. 4,000,000,-/Ha.
Untuk 16
kelompok tani dengan 149 anggota, tim telah berhasil menyewakan sawah kurang lebih 40 Ha. Namun pada praktiknya, tidak semua anggota memperoleh pembagian luas lahan 2500 m2. Hal ini karena tidak semua lahan yang disewakan terletak pada satu hamparan yang luas. Tabel 7. Data Sebaran Luasan Lahan Garapan Kelompok Tani Program Pemberdayaan Petani Sehat, Cluster Kabupaten Bogor Kelompok Tani Luas Desa Kecamatan Kabupaten Lahan (m2) Silih Asih 36.570 Ciburuy Cigombong Bogor Tunas Inti 27.400 Ciburuy Cigombong Bogor Lisung Kiwari 27.850 Ciburuy Cigombong Bogor Manunggal Jaya 27.000 Ciburuy Cigombong Bogor Saung Kuring 25.000 Ciburuy Cigombong Bogor Lembur Kuring 21.000 Cisalada Cigombong Bogor Harapan Maju 25.900 Pasir Jaya Cigombong Bogor Nurul Mazroah 19.500 Pasir Jaya Cigombong Bogor Waluya 28.600 Tugu Jaya Cigombong Bogor Tumeka 24.319 Ciderum Caringin Bogor Maju Jaya 32.499 Muara Jaya Caringin Bogor Bersaudara 15.301 Pasir Buncir Caringin Bogor Wanti Asih 26.600 Cibalung Cijeruk Bogor Mekar Sejahtera 19.500 Cipelang Cijeruk Bogor Sugih Mukti 27.200 Cibalung Cijeruk Bogor Barokah 13.500 Cibalung Cijeruk Bogor Total Lahan 39.980 Sumber : Laporan akhir Tahun Program Pemberdayaan Petani Sehat, 2006 (LPS)
48
2. Pemberian Subsidi Biaya Olah Lahan Pertanian dan Sarana Produksi Pertanian Selain paket pengadaan lahan, petani program juga mendapatkan paket bantuan berupa biaya garap langsung untuk proses pengolahan lahan berupa uang tunai yang jumlahnya ditentukan berdasarkan standar yang berlaku dan luasan sawah yang digarap oleh petani. Subsidi sarana produksi dan upah tenaga kerja langsung hanya diberikan pada satu musim tanam, selanjutnya dari hasil panen dan tabungan mereka dapat mengadakan sendiri sarana produksi dan modal kerja bercocok tanam.
Upah tenaga kerja langsung diberikan untuk kegiatan
pengolahan lahan sampai dengan pemanenan. Tabel 8. Subsidi Dan Upah Tenaga Kerja Langsung No. 1 2 a b c d*
e 3 a b c d e f g h
Realisasi Subsidi Luasan Lahan Sarana Produksi Benih Padi Pestisida Nabati (PASTI) Pupuk Organik Padat/Kompos NPK Majemuk Plus NPK Super NPK Phonska/Kujang Urea Tenaga Kerja Langsung Sewa Traktor/Bajak Tanah Meluruskan Galengan/Mopok Semai Tandur/Tanam Memupuk Dasar Memupuk Susulan Pengendalian Hama & Penyakit Tenaga Panen Biaya lain-lain/Pengangkutan Total Biaya Kerja
Subsidi per Ha Satuan 10,000 m2 25 5 1250 150 100 200 50 600,000 300,000 150,000 450,000 200,000 200,000 150,000 550,000 200,000 2,800,000
Kg Liter Kg Kg Kg Kg Kg 1 Paket 24 HOKP 12 HOKP 45 HOKW 16 HOKP 16 HOKP 12 HOKP 44 HOK 16 HOKP
Ket. : * Masing-masing petani hanya mendapatkan 1 jenis pupuk NPK sebagai sarana uji coba
Sumber : Laporan akhir Tahun Program Pemberdayaan Petani Sehat, 2006 (LPS)
49
Subsidi sarana produksi yang diberikan adalah : pupuk NPK, pupuk kompos, pestisida nabati, benih dan lahan seluas rata-rata 2500 m2 yang disewakan selama satu tahun (dua musim tanam).
Pemberian subsidi sarana
produksi pertanian diberikan dalam bentuk barang yang pengadaannya dilakukan oleh tim LPS. Untuk menghindari terjadinya penyimpangan dalam pendistribusian paket program, pendamping diberi tanggung jawab untuk melakukan kontrol terhadap seluruh proses distribusi. 3. Pelatihan Pengenalan dan Implementasi Teknologi Pertanian Kegiatan pelatihan dilakukan sebelum musim tanam tiba.
Pelatihan
bertujuan untuk memberikan informasi dan transfer teknologi pertanian sehat sehingga dapat diterapkan di lapangan. Materi pelatihan terdiri dari : kegiatan bercocok tanam PTT (Pola Tanam Terpadu) dengan teknik legowo dan penggunaan bibit muda, pelatihan teknik dan praktik pembuatan kompos dengan memanfaatkan limbah ternak dan limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk pupuk serta teknik dan praktik pembuatan pestisida nabati sebagai pengendali hama tanaman. Tabel 9. Silabus Umum Materi Pembinaan Petani Sehat 2006 No. Materi Umum Frekuensi Waktu 1 Teknologi Pupuk Alami Insidental 2 Teknologi Pestisida Nabati Insidental 3 Manajemen Penguatan KT Insidental 4 Motivasi diri Per-minggu/Per-bulan Sumber : Laporan akhir Tahun Program Pemberdayaan Petani Sehat, 2006 (LPS)
4. Proses Kegiatan Pendampingan Budidaya Petani Varietas padi yang ditanam petani sangat beragam dan semuanya merupakan varietas unggul yang memiliki sifat beras yang baik. Untuk beras dengan sifat pulen ditanam padi dengan varietas IR-64, Situbagendit, Bondoyudo
50
dan Ciherang sedangkan untuk memperoleh beras yang wangi diperoleh dari varietas padi Sintanur, Pandan Wangi, Pandan Putri dan Situ Patenggang. Selama dalam proses budidaya padi, proses pendampingan selalu dilakukan, baik yang bersifat rutin pertemuan kelompok ataupun yang tidak rutin berupa kunjungan ke lokasi pertanaman maupun kunjungan ke rumah-rumah petani. Pendampingan rutin dilakukan melalui pertemuan kelompok setiap satu minggu sekali secara bergiliran. Untuk 16 kelompok tani binaan didampingi oleh tiga orang pendamping program dan dua orang PPS dan PPL. Proses transfer teknologi tepat guna dalam budidaya padi ramah lingkungan disampaikan melalui pertemuan kelompok. Selain pemberian materi mengenai teknologi tepat guna, juga dilakukan penggalian hambatan-hambatan yang dihadapi oleh petani baik itu mengenai kegiatan program maupun mengenai kondisi pertanaman untuk dicarikan solusinya. Dalam setiap pertemuan juga diarahkan untuk meningkatkan dinamika dalam kelompok untuk proses pembelajaran mengeluarkan pendapat bagi petani. Selain materi tersebut juga disampaikan mengenai aturan-aturan yang telah disepakati selama kegiatan program berlangsung, misalnya mengenai kewajiban menabung 40 persen dari hasil panen. 5. Penginisiasian dan Pengembangan Kelembagaan Petani Program (LTS) Untuk menjaga agar program ini dapat senantiasa berjalan secara berkelanjutan maka dibutuhkan strategi untuk tetap menjaga keberlangsungannya. Maka dibuat kesepakatan bahwa setiap petani wajib menabung sebanyak 40 persen dari hasil panennya. Pada awalnya tabungan tersebut akan digunakan untuk menyediakan sewa lahan pada tahun berikutnya. Kegiatan menabung para
51
petani dikoordinasi oleh lembaga Lumbung Tani Sehat (LTS) yang akan melakukan kolekting tabungan dan pencatatan secara teratur. Tabungan petani yang disimpan dalam LTS sudah dalam bentuk uang, dalam hal ini LTS bekerjasama dengan mitra penggilingan Gapoktan Silih Asih.
Gabah kering
panen (GKP) tabungan petani akan dijual ke mitra sebagai bahan baku beras SAE. Hal ini dilakukan karena LTS belum mempunyai fasilitas untuk pengolahan gabah petani.
52
VI. KERAGAAN DAN KINERJA KELEMBAGAAN AGRIBISNIS USAHATANI PADI SEHAT
6.1. Kelembagaan Permodalan Akibat meredupnya KUD, organisasi ekonomi yang kemudian muncul dan berkembang di pedesaan umumnya adalah penjual saprodi, pedagang pembeli gabah petani dan pengolah hasil pertanian seperti usaha Rice Milling Unit (RMU). Organiasi tadi pada umumnya dikendalikan secara perorangan dan hanya sedikit yang dikelola secara kolektif atau mengikuti pola koperasi. Cara kerja mereka umumnya didasarkan pada dua ciri, yang pertama, mengikuti pola hubungan jual beli. Kedua, mengikuti pola hubungan patronase yang didasarkan pada ikatan kepercayaan personal antara "Sang Patron" dan "Klien"-nya. Sang patron umumnya adalah para penguasa tanah atau pemilik kapital di pedesaan, sedangkan klien adalah petani kecil (berlahan sempit) dan petani tak bertanah (Pranadji, 2003). “Hilangnya” KUD di pedesaan menyebabkan terjadinya “kekosongan kelembagaan”, terutama kelembagaan ekonomi. Hal serupa terjadi di lokasi penelitian. Tidak ada kelembagaan pertanian yang berpihak pada kepentingan kolektif dalam membantu masalah permodalan, penyediaan dan penyaluran saprodi sampai pada pengolahan hasil produksi mereka. Oleh karena itulah, keberadaan LPS dengan program P3S-nya menjadi tumpuan bagi mereka untuk terbangunnya kelembagaan yang lebih bagus dan mengakar. Namun itu semua membutuhkan waktu dalam berproses, seperti apa yang terjadi di lapangan, belum semua sisi kebutuhan petani tertangani oleh kelembagaan yang dibangun LPS.
53
Begitupun kelembagaan yang dibangun LPS bersama kelompok taninya, belum semuanya diikuti sepenuhnya oleh petani anggotanya. Dan dari jangkauan program, apa yang diprakarsai oleh LPS baru terbatas pada kelompok tani binaan saja, belum menjadi kelembagaan pedesaan yang menjadi bagian dari kehidupan ekonomi masyarakat desa secara keseluruhan. Peran kelembagaan LPS dalam pengadaan permodalan dan pengadaan saprodi yang pertama adalah memberikan bantuan modal sewa lahan selama satu tahun dan biaya produksi selama satu musim (lihat tabel 5. dan tabel 6.). LPS dengan mitranya, kelompok tani yang mereka bentuk, mampu menyalurkan dana sehingga sampai pada orang dan pemakaian yang tepat. Tidak adanya kebocoran dan penyimpangan dana tersebut karena adanya kontrol yang ketat dari pendamping yang sengaja ditunjuk oleh LPS. Hal itu yang kurang terjadi pada program bantuan atau pinjaman modal yang selama ini ada, tidak ada kerjasama antara lembaga permodalan dengan pendamping lapang. Karena pada faktanya KUD dengan dinas terkait pendamping lapang adalah organ yang berbeda. Untuk
mengelola
permodalan
petani,
LPS
membentuk
sebuah
kelembagaan yang bernama Lumbung Tani Sehat (LTS). Ada dua kegiatan pokok dalam kelembagaan LTS, yaitu
kegiatan simpanan atau tabungan tani dan
pengolahan produk gabah menjadi beras kepala bebas pestisida atau beras SAE (dibahas dalam sub bab kelembagaab panen). Tabungan tani diambil dari 40 persen hasil panen dalam bentuk Gabah Kering Panen yang di setor ke LTS dan dikonversi dalam rupiah sesuai harga yang berlaku. Kegunaan tabungan adalah untuk simpanan sewa lahan tahun berikutnya dan biaya produksi usahatani berupa pembelian saprodi dan biaya lainnya.
54
Kelembagaan tabungan tani di kelompok tani di desa Ciburuy dan Pasir Jaya melibatkan penggilingan padi mitra LPS di desa Ciburuy, yang menerima dan mengelola gabah petani, dan pendamping dari LPS yang mendata dan memegang keuangannya. Sementara ketua kelompok tani hanya membantu kedua pihak tadi agar petani mau menyetorkan gabah ke LTS di penggilingan. Berbeda halnya dengan penarikan tabungan tani di kelompok Maju Jaya dan Tunas Mekar, ketua kelompok menjadi mitra langsung bagi pendamping LPS dalam menarik dan menampung tabungan dari petani. Di kedua kelompok terakhir, panen dari petani langsung dikoordinir oleh ketua kelompok ke penggilingan mitra mereka masing-masing –tapi bukan mitra LPS untuk mengelola LTS. Empat puluh persen gabah tabungan petani langsung di jual ke penggilingan tersebut, dan uangnya langsung dipegang ketua untuk dilaporkan ke pendamping sebagai tabungan petani. Dari hasil panen itu petani tinggal terima bersih enam puluh persen dalam bentuk uang dan atau beras. Untuk menarik tabungan guna keperluan modal usahatani di kelompok tani desa Pasir Jaya dan Ciburuy juga dilayani oleh penggilingan langsung, yang bekerja sama dengan koperasi Gapoktan Lisung Kiwari, atau pendamping. Karena lokasi yang agak jauh dari penggilingan di desa Ciburuy, anggota kelompok tani Harapan Maju, desa Pasir Jaya ada yang menarik tabungan hanya dalam bentuk uang dan belanja saprodinya di lakukan di toko saprodi yang lebih dekat dengan lahan mereka. Sedangkan di kelompok tani Maju Jaya dan Tunas Mekar dilayani langsung oleh ketua kelompok masing-masing, termasuk dalam pengadaan saprodinya.
55
Tabel 10. Pengelolaan Modal Petani Melalui Sistem Tabungan Tani Kelompok Tabungan Pendapatan Asal Biaya Asal Biaya Tani Tani (TT) Petani (PP) Sewa Lahan Produksi Silih Asih 40% TP 60% TP TT TT & PP Manunggal Jaya 40% TP 60% TP TT TT & PP Lisung Kiwari 40% TP 60% TP TT TT & PP Harapan Maju 40% TP 60% TP TT TT & PP Maju Jaya 65% TP 35% TP TT (30% TP) TT (35 TP) Tunas Mekar 40% PB 60% PB TT TP - PB Ketarangan : TP = Total Panen dalam bentuk GKP, PB = Panen Bersih (TP – Biaya Produksi)
Sumber : diolah dari data primer
Dalam perkembangan terakhir, sistem penghitungan tabungan tani berbeda-beda antar kelompok. Di empat kelompok dari kecamatan Cigombong menerapkan sistem 40 persen dari total panen ditabung untuk sewa lahan dan biaya usahatani dan sisanya dibawa petani sebagai hasil panen. Sementara di kelompok tani Maju Jaya sudah menerapkan sistem baru yaitu 30 persen dari total panen ditabung untuk sewa lahan, 35 persen ditabung untuk pembiayaan usahatani dan 35persen dibawa pulang oleh petani sebagai hasil. Adapun di kelompok tani Tunas Mekar, pembiayaan usahatani musim panen terkhir dibayar dari hasil panen tersebut, baru setelah total panen dipotong dengan pemakaian biaya usahataninya, diambil tabungan 40 persen cadangan sewa lahan. Dari semua kelompok tani tersebut berlaku bahwa sisa tabungan tani dapat diambil atau dipakai untuk keperluan lain dan kekurangan pembiaayaan karena kurangnya tabungan tani musim panen terakhir akan diambil dari tabungan musim panen berikutnya. 6.2. Kelembagaan Penyediaan Input Penyediaan dan penyaluran pupuk kimia bagi anggota kelompok tani di desa Ciburuy melibatkan kelembagaan koperasi Gapoktan Lisung Kiwari. Petani mengambil langsung barang ke koperasi. Di Kelompok Tani Harapan Maju melibatkan kelembagaan penjual pengecer dan ada juga yang ke koperasi
56
Gapoktan. Koperasi Gapoktan belum bisa menjangkau semua kelompok tani diluar desa Ciburuy, apalagi yang berada di luar kecamatan Cigombong, seperti di kelompok tani Maju Jaya dan Tunas Mekar, penyediaan dan penyaluran pupuk dikoordinir langsung oleh ketua kelompok yang barangnya diperoleh dari toko penyedia saprotan terdekat. Harga yang diperoleh petani relatif sama untuk semua jenis pupuk dari jalur tersebut. Kelembagaan yang terlibat dalam penyediaan pupuk kimia di atas kelembagaan koperasi Gapoktan, pedagang pengecer ataupun ketua kelompok tani adalah kelembagaan toko penyalur, kelembagaan distributor atau pedagang besar baru kemudian kelembagaan pabrik pupuk. Dapat dilihat bahwa kelembagaan penyalur langsung pupuk kimia kepada petani minimal berada pada tingkat ke empat dari rantai kelembagaan yang ada. Hal itu berarti bahwa pada subsistem penyediaan input berupa pupuk kimia masih tergantung, dari sisi supply dan harganya, kepada empat tingkat dari rantai penyediaan yang ada. PABRIK PUPUK
DISTRIBUTOR
PENYALUR
PENGECER
KETUA KT
KOP. GAPOKTAN
P E T A N I Gambar 5. Rantai Kelembagaan Penyediaan Pupuk Kimia Bagi Petani Binaan Lembaga Pertanian Sehat
57
Adapun dalam penyediaan benih padi, petani relatif lebih mandiri karena didukung oleh keberadaan koperasi Gapoktan sebagai penyalur dan produsen benih bersertifikat pengembangan dari LPS. Sehingga harga dan ketersediaannya pun terjangkau dan terjamin. Bahkan kelompok tani Tunas Mekar mampu menyediakan sendiri benih unggul dengan melakukan peranakan sendiri dari benih unggul varietas Situbagendit yang semula berasal dari bantuan LPS. Produksi input lain berupa pupuk kompos, pestisida nabati dan produk input organik lainnya di tangani oleh devisi tersendiri. Beberapa dari hasilnya sudah dipasarkan ke masyarakat umum melalui devisi pemasarannya. Adapun yang terkait dengan kebutuhan petani binaannya terhadap produk tersebut, LPS melalui devisi pendampingannya telah berhasil mengajarkan proses pembuatan beberapa input yang dianggap penting bagi petani. Sehingga untuk kebutuhan pupuk organik dan pestisida nabati sudah dapat dibuat sendiri atau kolektif dalam kelompok tani masing-masing. 6.3. Penerapan Teknologi Petani Dan Kelembagaan Di Tingkat Petani Kelembagaan di tingkat petani yang eksis di pedesaan Jawa Barat terbatas pada kelembagaan yang menangani pengaturan air irigasi, yaitu kelembagaan P3A Mitra Cai. Sedangkan kelembagaan kelompok tani ada yang aktif dan ada yang sudah tidak aktif lagi. Dinamika kelompok terbatas pada media transfer teknologi, membantu dalam pengaturan air irigasi, melakukan pengolahan tanah dengan traktor dengan cara terkoordinir, dan membantu serta turut menagnani programprogram pembangunan pertanian di desanya (Saptana, et.al., 2003). Program P3S yang dilaksanakan oleh LPS telah berhasil memperluas peran kelompok tani yang semula statis atau bahkan tidak ada, seperti hasil kajian
58
Saptana, et.al. (2003). Selain apa yang telah dijelaskan di atas, hasil kajian di tempat penelitian menunjukkan peran kelompok tani yang cukup besar dalam mendukung para petani anggotanya dalam memperoleh akses terhadap permodalan dan lahan, serta mempermudah distribusi saprotan yang dilakukan secara terkoordinir. Kelompok tani juga menjadi wadah yang efektif bagi para petani dalam memecahkan masalah bersama serta dalam berkomunikasi dengan pihak luar terutama dengan LPS. Seperti yang dilakukan oleh kelompok tani Tunas Mekar yang memotong sebagian penghasilan anggota kelompoknya untuk membantu pengembalian modal anggota kelompok lain yang gagal panen akibat gangguan alam. Bahkan kelompok tani peserta program P3S, LPS di Desa Muara Jaya dan Ciderum, Kecamatan Caringin, telah mampu mengelola permodalan bersama secara baik. Hal itu ditunjukkan dengan kemampuan mereka memanajemen “tabungan tani” dari anggotanya dalam satu tahun, sehingga jatah tabungan untuk sewa lahan mereka mengalami surplus dan dapakai untuk menambah lahan sewaan yang kemudian diberikan kepada petani lain yang belum memiliki lahan garapan. Hal itu menunjukkan prestasi kelembagaan kelompok tani tersebut dalam mewujudkan masyarakat komonitas dengan mengutamakan hubungan personal pada pola ekonomi partikularistik. Yaitu lebih melihat manusia dengan hubungan sosialnnya daripada barang, jasa atau uangnya (gemeinschaft). Sementara itu, kelembagaan tenaga kerja yang berlangsung di lokasi penelitian adalah kelembagaan upahan harian dan borongan. Upahan untuk tenaga kerja tambahan pengolahan lahan, penanaman dan penyiangan. Sedangkan sistem borongan berlaku untuk pemanenan dan khusus di kelompok tani Tunas Mekar
59
pembajakan menggunakan traktor juga memakai sistem borongan. Tidak ada kelembagaan bawon di sini. Adapun aplikasi teknologi yang dilaksanakan oleh petani dapat dijadikan parameter dalam mengkaji pengaruh faktor kelembagaan, baik kelembagaan kelompok tani maupun kelembagaan lain yang ada terutama kelembagaan pendampingan dan penyuluhan. Untuk menggambarkan kinerja kelembagaan kelompok tani maka dapat dilakukan perbandingan antar kelompok dalam aplikasi teknologi yang dilaksanakan oleh petani anggotanya. Dalam penelitian ini tidak diuraikan secara detail semua proses budidaya yang dilaksanakan oleh petani, namun hanya pada penerapan teknologi yang menggambarkan adanya peran faktor kelembagaan. Persemaian Persemaian dilakukan sekitar 25 hari sebelum masa tanam, persemaian dilakukan pada lahan yang sama atau berdekatan dengan petakan sawah yang akan ditanami, hal ini dilakukan agar bibit yang sudah siap dipindah, waktu dicabut dan akan ditanam mudah diangkut dan tetap segar. Bila lokasi jauh maka bibit yang diangkut dapat stress bahkan jika terlalu lama menunggu akan mati. Benih yang dibutuhkan untuk ditanam pada lahan seluas satu hektar menurut anjuran LPS sebanyak 8-15 Kg, namun petani mamakai rata-rata hampir tiga kali lipatnya, antara 33-41 kg/ha. Sedangkan bila dirata-rata per kelompok berkisar antara 34,9-41 kg/ha. Kelompok dengan rata-rata pemakaian benih tertinggi adalah kelompok Harapan Maju. Sedangkan benih yang digunakan ada tujuh varietas yaitu Pandan Wangi, Cibogo, IR64, Banjar, Gilirang, Situbagendit Dan Bandayadha.
60
Tabel 11. Teknologi Pembenihan yang Diterapkan di Setiap Kelompok Tani Aktivitas Kelompok Tani Silih Manung- Lisung Harapan Maju Tunas pembenihan Asih
Jumlah rata-rata benih 33.51 per ha (kg) Varetas benih (%) Banjar 17 Bandayudha Cibogo 33 Gilirang IR64 17 Pandan Wangi 33 Situbagendit Asal benih (%) Petani 17 Kelompok tani Koperasi Gapoktan 83 Sumber : diolah dari data primer
gal jaya
Kiwari
Maju
Jaya
Mekar
35.44
34.90
40.38
41.19
37.34
20 80
20 80
50 50
67 33
100
100
20 80
25 75
100
100 -
Hampir semua petani dari lima kelompok tani memakai benih yang disediakan oleh koperasi gapoktan Lisung Kiwari yang berada di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, hanya 10 persen yang memakai dari petani sendiri atau petani lain. Adapun khusus kelompok tani Tunas Mekar di Desa Ciderum, Kecamatan Caringin, melakukan penangkaran bibit unggul dari varietas Situbagendit sendiri untuk kebutuhan anggota kelompoknya. Pangolahan lahan Dalam pengolahan lahan tidak ada perbedaan nyata antar petani binaan, mereka semua menerapkan teknologi olah lahan yang relatif sama. Pengolahan lahan dimulai dari tahap pemopokan, yaitu memperbaiki galengan dan parit, sebelum lahan dibajak. Pembajakan sendiri mencakup pembajakan --pembalikan tanah-- dan penggaruan dengan bantuan alat traktor atau bajak tenaga ternak. Secara umum petani sebenarnya memilih memakai traktor dalam proses bembajakan karena efisiensi biaya. Biaya pembajakan menggunakan traktor rata-
61
rata perhari kerja sebesar seratus duapuluh lima ribu rupiah yang kurang lebih setara dengan tiga hari kerja bajak ternak. Sementara ongkos bajak ternak sendiri adalah limapuluh ribu rupiah per hari. Di tambah lagi petani juga harus mengeluarkan minimal rokok dan kopi setiap hari kerjanya. Namun, kendala yang dihadapi petani dalam memanfaatkan traktor adalah keterbatasan jumlah traktor yang tidak mampu memenuhi semua permintaan petani dan kendala kondisi lahan. Ada lahan-lahan tertentu yang dari lokasi atau kondisi tanahnya tidak bisa di bajak dengan traktor. Khusus untuk petani di Kelompok Maju Jaya, baru mulai musim tanam 2008 mereka atau di lokasi mereka memiliki traktor, sebelumnya mereka memakai ternak. Pada saat pembajakan lahan, harus disertai dengan pencangkulan dilanjutkan dengan penyorongan guna meratakan tanah dan memastikan jerami kering, atau yang sudah dibusukkan, masuk ke dalam tanah. Lama proses pencangkulan biasanya mengikuti lamanya pembajakan. Proses selanjutnya adalah penggarukan atau pembuatan alur tanam. Teknologi penggarukan ini adalah teknologi baru yang didapatkan oleh petani dari pembinaan LPS. Sebelum dibina oleh LPS mereka tidak melakukan penggarukan, hasilnya, tanaman mereka tidak teratur. Peggarukan ini bertujuan mengatur jarak tanam dan merapikan tanaman. Manfaat dari teknologi baru ini selain memudahkan dalam proses penanaman dan penyiangan, jumlah anakan vegetatif dari bibit yang ditanam juga semakin banyak. Penanaman dan Pemeliharaan Satu paket dengan penggarukan, teknologi baru yang di dapat petani dari proses pembinaan LPS adalah dalam pengaturan jarak tanam memakai sistem
62
legowo dan jumlah bibit perlubang yang ditanam. Sistem legowo adalah pemberian jarak antar beberapa baris tanaman, tujuannya untuk mengatur pengairan, memaksimalkan pertumbuhan anakan vegetatif bibit padi dan mempermudah penanggulangan gulma dan hama lainnya. Teknologi ini tidak semuanya dapat deterapkan oleh petani karena kendala petakan lahan yang kecil atau kondisi pengairan yang tidak mendukung. Menurut ketua kelompok tani Tunas Mekar, kelompokknya tidak menerapkan sistem legowo ini karena kondisi pengairan mereka yang tidak besar, sehingga tanpa sistem legowo pun, pengairan mereka sudah terjaga, atau istilah mereka macakmacak, tidak tergenang. Selain itu, penerapan sistem ini menambah tenaga kerja. Untuk mengganti itu, mereka memakai sistem jarak tanam caplak dengan jarak baris tanam yang diperlebar. Dilihat dari hasilnya, menurut dia, penggantian teknonogi itu cukup efisien. Kendala lain adalah dalam pengaturan jumlah bibit per lubangnya. Anjuran dari LPS adalah satu sampai dua bibit per lubang. Namun dalam praktiknya jumlah bibit yang mereka tanam menurut penuturan petani berkisar antara dua sampai tiga per lubang. Hal itu dilakukan dengan karena mereka menghadapi serangan hama keong mas yang memakan bibit anakan mereka. Sehingga lebih aman kalau mereka melebihkan bibit yang mereka tanam. Namun apabila dilihat dari pemakaian binih per satuan luas yang mereka pakai, jumlah itu masih belum setara dengan banyaknya benih. Ada satu alasan yang dalam penelitian ini belum bisa ditelusuri secara langsung yaitu, jumlah bibit sebenarnya yang ditanam oleh buruh tanam.
63
Sistem penanaman yang di pakai oleh petani binaan LPS adalah sistem tapin atau tanam pindah, tidak ada petani yang memakai sistem tanam benih langsung atau tabela. Kelembagaan kerja penanaman pada lokasi penelitain adalah memakai buruh tanam wanita secara upahan. Kemungkinan terjadi kesalahan informasi antara buruh tanam dengan penyuluh dari LPS dan petani sangat besar. Hal itu dikarenakan para buruh tanam tidak mendapatkan penyuluhan dari LPS dan dari fakta di lapangan, petani binaan LPS juga kurang memperhatikan pemahaman buruh tanam mereka tentang jumlah ideal bibit per lubang. Hal ini mungkin bisa menjadi perhatian khusus bagi LPS ataupun pateni agar teknologi baru yang diperkenalkan LPS kepeda petani efektif terlaksana. Penyiangan dilakukan petani sebanyak dua kali salama satu musim tanam, hanya tiga persen petani yang melakukannya sekali. Penyiangan pertama dilaksanakan pada kisaran umur 20 sampai 30 hari sementara penyiangan kedua pada umur 35 sampai 60 hari. Seperti dalam penanaman, tenaga penyiangan pada umumnya adalah wanita dengan sistem upahan. Waktu penyiangan sangat bervariasi antar petani, bukan antar kelompok. Begitu pula dalam pelaksanaan pemupukan,
terutama
pupuk
kimia.
Ada
kesamaan
dalam
frekuensi
pemupukannya, yaitu dua kali setelah penanaman, namun waktu pelaksanaannya bervariasi antar petani. Sementara dalam hal pemakaian jenis pupuk, perbedaan nyata terjadi antar kelompok. Semua responden dari tiga kelompok tani di Desa Ciburuy, kecamatan Cigombong hanya memakai pupuk kemia berupa Urea dan SP 36 saja, hanya dua orang petani dari kelompok tani Manunggal Jaya yang memakai tambahan KCl. Berbeda dengan kelompok tani Harapan Maju, Desa Pasir Jaya, Kecamatan
64
Cigombong, mereka memakai ketiga jenis pupuk tersebut, hanya satu orang petani yang tidak memakai KCl. Dinamika antar kelompok tani semakin terlihat jelas apabila kita membandingkan pula pemakaian pupuk kimia di dua kelompok lainnya di Kecamatan Caringin. Kelompok tani Maju Jaya, Desa Muara Jaya, semua anggota kolompuknya yang tersurvei serempak memakai pupuk Urea, SP 36 dan Phonska yang mengandung unsur NPK. Sedangkan kelompok tani Tunas Mekar, Desa Ciderum, sebagian besar anggotanya memakai semua jenis pupuk kimia berupa Urea, SP 36, KCl dan Phonska. Namun apabila dilihat dari pengaturan dosis pemupukan, takarannya sangat bervariasi antar petani. Tabel 12. Teknologi Pengolahan Lahan yang Diterapkan di Setiap Kelompok Tani Kelompok Tani Aplikasi Teknologi Silih Asih
Manung- Lisung Harapan gal jaya Kiwari Maju
Maju Jaya
Tunas Mekar
Alat Pembajakan (%) Traktor 50 100 60 83 Ternak 50 40 100 100 17 Sistem Jarak Tanam (%) Legowo 33 80 60 75 33 Caplak 67 20 40 25 67 100 Jarak tanam (%) 20 x 20 cm 33 20 20 75 60 25 x 12,5 cm 50 60 20 25 x 20 cm 20 20 25 20 100 30 x 15 cm 17 40 20 Pemakaian Input (%) Urea 100 100 100 100 100 100 SP 36 100 100 100 100 100 67 KCl 0 40 0 75 0 100 Phonska 0 0 0 0 100 83 P Organik * 100 100 100 100 100 100 Pestisida Nabati 17 0 40 75 100 100 *) Yang termasuk sebagai pupuk organik adalah pupuk kandang ataupun jerami yang dimasukkan kembali ke lahan saat pengolahan lahan, baik yang dikompos atau tanpa pengolahan.
Sumber : diolah dari data primer
65
Dalam penentuan dosis pemupukan di setiap kelompok sangat beragam. Selain dalam masalah pengukuran jumlah benih, dalam hal pemupukan juga terlihat belum adanya keseragaman antar anggota dan antar kelompok. Begitu pula dalam pemberian pestisida nabati. Secara umum sebenarnya tanaman petani tidak ada serangan hama. Oleh karena itu sebagian petani dari kelompok tani di desa Ciburuy tidak memberikan pestisida pada tanaman padi mereka. Namun, di kelompok lain, seperti masih menjadi kebiasaan tanpa melihat kebutuhan akan pemakaian pestisida tersebut, apakah perlu atau tidak. Hal itu mungkin dikarenakan petani dapat membuat sendiri pestisida nabati tanpa pengeluaran biaya yang berarti. Akan tetapi, apabila dilihat dari sisi efisiensi, hal itu merugikan. Tabel 13. Dosis Rata-Rata Pemakaian Pupuk dan Pestisida Nabati Kelompok Tani Kelompok Urea SP 36 KCl Phonska P.ORG PASTI Tani (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (L) Silih Asih Manunggal Jaya Lisung Kiwari Harapan Maju Maju Jaya Tunas Mekar
142.03 164.71 144.62 204.62 155.95 155.87
119.42 72.82 96.68 70.77 57.65 32.67
0.00 12.09 0.00 41.02 0.00 34.84
0.0 0.0 0.0 0.0 43.47 55.40
2910.38 2724.67 2551.62 3123.08 3324.15 3081.75
0.67 0.00 1.22 2.42 3.84 3.88
Ketetangan : P.ORG = pupuk organik, PASTI = pestisida nabati
Sumber : diolah dari data primer 6.4. Pemanenan Dan Kelembagaan Borongan Panen Dalam menentukan masa panen, petani di semua kelompok sudah mengerti bahwa hasil padi yang bagus saat dipanen adalah ketika padi sudah menguning dan merunduk sementara daunnya masih hijau. Waktu pemanenan di kelompok-kelompok tani binaan LPS tidak serempak dikarenakan waktu tanam yang berbeda pula, hal itu sengaja dilakukan untuk mengurangi risiko fluktuasi harga gabah dan menjaga pasokan gabah untuk bahan baku beras SAE kontinu.
66
Sistem pemanenan di lokasi penelitian ini tidak memakai sistem bawon seperti yang dilaksanakan di daerah lain, tetapi memakai sistem borongan. Panen tidak dilakukan sendiri melainkan oleh pemborong yang memang berprofesi kerja seperti itu. Jumlah pemborong tergantung luas lahan dan berasal dari petani padi lain atau memang sekedar buruh borong panen. Penghitungan nilai borongan yang berlaku sekarang adalah 150 rupiah per kilogram gabah kering panen dan ditambah biaya angkut ke jalan atau tempat penggilingan sebasar 50 rupiah per kilogram untuk lahan yang jaraknya jauh dari jalan atau penggilingan. Tabel 14. Perlakuan dan Sistem Pemanenan yang Dilaksanakan Petani Perlakuan Panen Penerapan Penentuan panen Gabah kuning, daun masih hijau Cara panen Poto ng bawah Alat panen yang digunakan Sabit biasa Sistem panen Borongan Besar borongan Rp. 150,-/kg GKP Cara perontokan Digebot tanpa tirai Jumlah bantingan 5 – 7 kali Besar genggaman Satu genggaman – lebih besar Penampian Tidak dilakukan Sumber : diolah dari data primer Kelemahan dari sistem borongan ini adalah “kejar cepat” selesai, sehingga petani juga tidak bisa menjamin penggebotan dilakukan dengan sempurna agar semua gabah rontok dari tangkainya. Risiko dari sistem ini tentunya nilai rendemen gabah yang berkurang apabila perontokan tidak sempurna. Karena sistem borongan ini pula sehingga tidak dapat didapat informasi yang valid dari petani tentang jumlah bantingan dan besar genggaman dalam setiap penggebotan. Padahal besar kecilnya genggaman dan jumlah bantingan menentukan besar kecilnya rendemen. Ketidak-valid-an informasi ini menggambarkan bahwa petani belum memperhatikan faktor ini, dan disarankan kedepannya petani mengontrol aktivitas pemanenan ini agar diperoleh rendemen yang lebih besar.
67
Ditambah lagi teknik pemanenan yang dilakukan menggunakan alat potong sabit biasa –tidak sabit khusus yang bergerigi—dan dipotong bawah. Bagi pemanen, potong bawah lebih mudah dan cepat dalam pemotongan dan lebih enak dalam penggebotannya kerena tidak terlalu membunggkuk. Akan tetapi kualitas bantingannya akan lebih efektif yang dipotong tengah apalagi bila dipotong atas memakai ani-ani. Dalam penggebotan, pemanen memakai alat penggebotan dari kayu tanpa tirai, sehingga kemungkinan gabah tercecer dan bercampur dengan rontokan daun lebih besar dibanding memakai tirai. 6.5. Kegiatan Penanganan Pasca Panen Dan Kelembagaan Pengolahan Hampir semua petani di enam kelompok yang diteliti menjual langsung hasil panennya dalam bentuk gabah kering panen. Sehingga tidak ada nilai tambah dari hasil panen mereka. Hanya sebagian petani dikelompok tani Harapan Maju dan kelompok tani yang berada di desa Ciburuy tidak menjual gabahnya dan menyimpannya dalam bentuk gabah kering giling untuk cadangan konsumsi mereka. Gabah tersebut mereka jumur di penggilingan juga atau di lokasi sekitar rumah mereka. Alas pengeringan di pengilingan adalah lantai semen, sementara di rumah memakai alas terpal. Di kolompok tani Maju Jaya, semua petani menjual hasil panennya dalam bentuk gabah kering panen, sehingga tidak ada yang melakukan penjemuran ataupun penyimpanan. Hal itu disebabkan karena penghitungan hasil panen, agar diketahui nilai tabungan petani, dilakukan di penggilingan yang terletak jauh dari desa mereka. Mesipun hal itu menjadi cara yang sistematis bagi kelompok untuk dapat menarik tabungan tani dari setiap anggotanya.
68
Pengolahan lebih lanjut menjadi beras, terhadap beras petani, dilakukan di penggilingan di desa Ciburuy yang dijadikan mitra oleh LPS untuk memproduksi beras sehat kepala berlabel beras SAE yang kemudian dipasarkan oleh LPS. Bahan baku gabah bebas pestisida di ambil diri kelompok tani dari desa Ciburuy dan Pasir Jaya, dalam bentuk tabungan tani dan gabah bagian petani yang dijual petani. Apabila masih kurang biasanya penggilingan membeli gabah dari kelompok tani Tunas Mekar. Di kelompok tani Tunas Mekar, gabah dari petani diolah menjadi beras curah biasa oleh penggilingan mitra kelompok (Lihat Tabel 3). Nilai tambah dari pengolahan ini, baik di kelompok tani di desa Ciburuy dan Pasir Jaya ataupun di kelompok tani Tunas Mekar, akan dibagi ke petani dengan penghitungan yang sudah disepakati. Sementara itu, di Kelompok Maju Jaya hasil panen petani langsung dijual ke penggilingan dalam bentuk gabah kering panen, tanpa tahap pengolahan lebih lanjut oleh petani dan karena penggilingan tempat menjual hasil panennya bukanlah mitra kelompok. Sehingga bagi kelompok ini tidak ada nilai tambahan dari pengolahan hasil panen mereka. 6.6. Kelembagaan Pemasaran dan Distribusi Pemasaran hasil produksi padi yang ditangani oleh Devisi Pemasaran dan Distribusi LPS hanya hasil panen yang telah diolah menjadi beras SAE. Sementara hasil panen sebagian besar kelompok di luar Kecamatan Cigombong, sebanyak delapan kelompok, dijual ke penggilingan dalam bentuk GKP, selain untuk kebutuhan sendiri. Sehingga potensi pendapatan dari nilai tambah pengolahan beras sehat masih belum terkelola secara optimal. Karena belum
69
maksimalnya sektor pengolahan, penjualan beras SAE pada tahun 2007 mencapai 88,318 ton atau mencapai 74 persen dari target 120 ton Selain menyalurkan produk Beras SAE, devisi tersebut menangani penjualan produk saprotan organik yang diproduksi oleh LPS berupa pupuk organik (OFER), pestisida nabati (PASTI) ataupun Virus pembasmi hama.. Sementara penjualan saprodi buatan LPS juga masih pada skala terbatas, OFER sebesar 58,596 ton, PASTI 644 Botol dan VIR 4.074 Dus selama satu tahun.
70
VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI TEKNIK
7.1. Analisis Fungsi Produksi Perhitungan dari fungsi produksi padi dapat dilihat pada Tabel 15. Dari pandangan statistik semata-mata, garis regresi yang ditaksir mencocokkan data sebesar 79 persen. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai R2 sebesar 0,79, yang berarti bahwa 79 persen dari total variasi produksi padi ditentukan oleh model. Hasil perhitungan fungsi produksi didapat bahwa diantara faktor-faktor produksi yang diduga hanya variabel tenaga kerja yang memiliki hubungan yang positif dan berpengaruh nyata pada taraf α satu persen terhadap produksi. Sedangkan variabel dummy yang diduga kuat mempengaruhi tingkat efisiensi produksi, yaitu variabel jenis varietas dan sistem jarak tanam, keduanya berpengaruh nyata dan positif terhadap produksi, masing-masing pada taraf α satu dan lima persen. Sementara itu, faktor-faktor yang lain tidak berpengaruh nyata terhadap produksi. Tabel 15. Hasil Estimasi Untuk Parameter Fungsi Produksi Variabel Koeffisien standard-error 1.999 Konstanta 0.926 0.142 Ln Benih (Kg) 0.069 0.279 Ln TK (HOK) 1.208*** 0.088 Ln Urea (Kg) -0.111 0.051 Ln SP 36 (Kg) 0.007 0.031 Ln KCl (Kg) -0.0034 0.043 Ln Phonska (Kg) 0.033 0.247 Ln P. Organik (Ton) 0.216 0.025 Ln PASTI (Ltr) -0.007 0.171 Ln Luas Lhn (Ha) -0.0005 0.094 Varietas Dummy 0.350*** 0.081 Sistem tanam dummy 0.204** 2 R 0.79 *, ** dan *** : beda nyata pada taraf 10 persen, 5 persen dan 1 persen
Sumber : diolah dari data primer
71
Analisis Pengukuran Variabel benih Hasil uji statistik untuk variabel benih menunjukkan nilai positif tetapi tidak berpengaruh nyata secara statistik sampai pada taraf α 10 persen. Hasil analisis sebelumnya memang telah menunjukkan bahwa pemakaian pupuk oleh petani tidak tepat sesuai anjuran LPS. Bahkan mereka melebihi anjuran mencapai dua kali lipatnya. Analisis Pengukuran Tenaga Kerja Variabel tenaga kerja adalah gabungan dari penggunaan tenaga kerja pria, tenaga kerja wanita dan tenaga kerja mesin atau ternak untuk pembajakan yang semuanya dikonversi dalam satuan tenaga kerja pria. Input tenaga kerja berpengaruh nyata pada taraf α satu persen dan bernilai positif. Dari data kelompok yang ada menunjukkan rata-rata pemakaian tenaga kerja berkorelasi positif dengan rata-rata produksi per kelompok. Alokasi tenaga kerja yang paling besar ada pada pengolahan lahan. Kemungkian yang bisa ditaksir dari sini adalah, penyiapan kondisi lahan dengan lebih baik mampu memberikan hasil yang positif. Selain itu, perbedaan pemakaian tenaga kerja yang mencolok terdapat pada aktivitas penanaman. Penanaman bisa membutuhkan alokasi tenaga kerja lebih besar, selain karena kondisi lahan, salah satunya adalah dalam menghitung jumlah bibit yang pas untuk setiap lubang. Karena jumlah bibit per lubang berpengaruh pada hasil produksi. Analisis Pengukuran Variabel Pupuk Secara alamiah, tanaman padi membutuhkan unsur hara dari tanah dan pada kondisi tertentu membutuhkan tambahan dari luar. Pupuk menjadi suplemen tanah yang lazim dipakai. Namun dalam kasus usahatani padi sehat petani binaan
72
LPS, input pupuk yang berkoefisien positif sesuai dengan persamaan adalah pupuk SP-36, Phonska dan dan pupuk organik saja, masing-masing sebesar 0,007, 0,033, dan 0,216, itupun dengan standar eror yang tinggi, sehingga secara statistik tidak berpengaruh nyata. Sementara pupuk urea dan KCl bernilai negatif dan tidak signifikan. Hasil ini menunjukkan kesesuaian dengan visi pertanian sehat yang secara bertahap mengurangi masukan kimiawi. Sementara itu, tidak berpengaruhnya pupuk organik dapat dianalisis disini adalah karena dalam penelitian ini tidak dibedakan antara masukan pupuk kandang, kompos yang diolah dari jerami atau jerami yang dibusukkan tanpa pengolahan. Ketiga masukan tersebut, dalam penelitian ini dimasukkan dengan pembobotan sama yaitu perkiraan berat pada kenyataan barangnya. Analisis Pengukuran Variabel Pestisida Nabati Nilai koefisien pestisida nabati negatif dan tidak berbeda nyata dengan nol. Hal tersebut dapat disebabkan karena peran pestisida adalah dalam rangka mengendalikan hama pengganggu tanaman padi agar tidak mempangaruhi produksi. Ketika hama pengganggu tidak ada, maka peran pestisida menjadi tidak ada. Alasan utama petani yang memakai pestisida adalah prefentif, karena kondisi tanaman padi pada musim yang disurvei secara umum tidak terkena serangan hama. Oleh karena itu juga, sebagian besar petani tidak memakai pestisida karena tidak adanya serangan hama. Analisis Pengukuran Variabel Lahan Pengaruh luas lahan yang diukur ternyata tidak nyata terhadap produksi, dapat dikarenakan pertama, kondisi lahan yang berbeda-beda baik dari faktor
73
kesuburan, lokasi maupun faktor lainnya. Ada pembagian kelas-kelas dalam menilai kondisi lahan. Kelas satu berarti paling bagus, karena dari kesuburannya dan biasanya juga terletak dekat sumber pengairan, dan memiliki tekstur bagus. Semakin besar kelas tanah semakin jelek kondisinya. Dari sisi ini, sangat rasional apabila dalam pemberian bantuan oleh LPS kepada petani menjadikan kondisi lahan sebagai pertimbangan keadilan. Petani yang mendapat lahan dengan kelas satu akan mendapat luasan yang lebih kecil dari petani yang mendapat lahan dengan kelas lebih besar. Sehingga hasil panen pedi petani tidak terpengaruh dengan perbedaan luas lahannya. Penyebab kedua yang bisa menyebabkan luas lahan menjadi tidak berpengaruh nyata adalah dikarenakan kecilnya luasan lahan yang digarap petani. Rata-rata luas lahan mereka (yang digarap dengan bantuan dari program P3S LPS) adalah sebesar 0,237 m2. Hal itu berpengaruh pada masalah pembulatan atau pengkonversian ke dalam ukuran 1 (satu) hektar dalam perhitungan. Petani yang mendapatkan luas lahan yang kecil akan mendapatkan lahan dalam petakan yang semakin sedikit, sementara petani yang luas lahannya lebih besar, kemungkinan memiliki petakan lebih banyak. Sehingga ketika dikonversi dalam ukuran 1 ha, rata-rata produksi mereka yang berlahan sempit menjadi lebih besar daripada petani yang mendapat lahan lebih luas dan lebih banyak petakannya. Analisis Pengaruh Variabel Dummy Variabel dummy yang dimasukkan dalam model penelitian ini adalah terhadap jenis varietas (Var = 1 apabila petani menggunakan varietas Situbagendit, dan Var = 0 apabila memakai yang lainnya) karena dari data yang ada 56 persen petani memakai varietas yang sama yaitu Situbagendit, dan rata-rata
74
produktivitas dari benih tersebut tertinggi dibanding varietas lainnya. Variabel dummy yang kedua adalah terhadap penggunaan sistem tanam legowo (ST = 1) dan caplak atau bukan legowo (ST=0). Seperti dikaji dalam bab sebelumnya, anjuran LPS adalah pemakaian sistem legowo, tetapi 53 persen petani tidak melaksanakannya. Dampak yang diberikan secara statistik sesuai dugaan semula, karena variabel jenis varietas bernilai positif dan nyata pada α satu persen, begitu pula variabel sistem tanam bernilai positif dan nyata pada α lima persen. Selain itu, kedua variabel tersebut penting karena berpengaruh nyata pada fungsi produksi dengan memberi nilai R2 lebih besar, yaitu sebesar 79 persen. 7.2. Analisis Efisiensi Teknik Efisiensi
teknik
mengacu
kepada
pencapaian
maksimum
dari
kemungkinan tingkat produksi untuk tiap kombinasi penggunaan input yang digunakan. didefinisikan sebagai rasio dari produksi aktual dari suatu perusahaan (atau petani) pada tingkat teknik kemungkinan produksi maksimum. Efisiensi teknik disini menyatakan kemungkinan peningkatan produksi tanpa meningkatkan ongkos atau tanpa pengaturan kembali kombinasi input yang digunakan. Suatu usaha dikatakan tidak efisien jika gagal untuk mencapai produksi maksimum apabila menggunakan sejumlah input yang ada (Farrell, 1957 dalam Utama, 2003) Hasil perhitungan γ adalah 0,9999 dan secara statistik berbeda nyata pada taraf satu persen. Ini menunjukkan bahwa variasi dari kesalahan pengganggu yang dikarenakan efisiensi teknik adalah sebesar 99,99 persen.
Berarti bahwa
perbedaan antara produksi sesungguhnya dengan kemungkinan produksi maksimum lebih dikarenakan adanya perbedaan in-efisiensi teknik dari peda
75
stokastik frontier. Adapun perhitungan σ2 adalah 0,088 secara statistik berbeda nyata pada taraf α satu persen, nilai ini menunjukkan bahwa variasi produksi padi yang disumbangkan oleh efisiensi teknis adalah sebesar 8,8 persen. 1.20 1.00
Nilai
0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Petani
Gambar 6. Tingkat Efisiensi Teknik Masing-Masing Petani Binaan LPS
Hasil perhitungan nilai efisiensi teknik petani anggota kelompok tani binaan LPS menunjukkan nilai rata-rata efisiensi teknik sebesar 0.80, yang berarti praktik usahatani petani 80 persen mendekati efisien. Lebih rinci dari perhitungan tersebut adalah tingkat efisiensi terendah adalah 42,6 persen dan tertinggi adalah 99,8 persen. Dari analisis data, seperti disajikan dalam Gambar 05. dan Gambar 06., detemukan 16 persen dari petani beroperasi dengan efisiensi teknik dibawah 60 persen, 28 persen pada tingkat 60-80 persen, selebihnya, 56 persen dari petani beroperasi pada tingkat efisiensi diatas 80 persen. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat efisiensi teknik petani binaan LPS relatif cukup tinggi.
76
15 13
Frekuensi
11 9 7
14
5 3 4
1 -1
5
4
4
1 0.4-0.5
0.5-0.6
0.6-0.7
0.7-0.8
0.8-0.9
0.9-1.0
Efisiensi Teknik
Gambar 7. Distribusi Tingkat Efisiensi Teknik Pada Usahatani Padi Sehat Petani Binaan LPS
Perbedaan tingkat efisiensi teknik yang dicapai oleh petani ini mengindikasikan tingkat penguasaan dan aplikasi teknologi berusahatani padi yang berbeda-beda. Tingkat penguasaan yang berbeda di samping disebabkan oleh atribut yang melekat pada petani, seperti tingkat pendidikan dan umur, juga disebabkan oleh faktor lainnya seperti kurangnya mengikuti penyuluhan. Tabel 16. Deskripsi Statistik Efisiensi Teknik Petani anggota Kelompok Tani Binaan LPS Kelompok Tani Rata-rata Minimum Maksimum Range Silih Asih Manunggal Jaya Lisung Kiwari Harapan Maju Maju Jaya Tunas Mekar
0.582 0.895 0.822 0.671 0.859 0.942
0.428 0.767 0.650 0.414 0.674 0.882
0.763 0.999 0.935 0.919 0.964 0.984
0.335 0.233 0.286 0.505 0.290 0.101
Sumber : diolah dari data primer Analisis fakta lebih lanjut menunjukkan bahwa tingkat perbedaan dalam aplikasi teknologi disebabkan tidak hanya oleh tingkat penguasaan teknologi
77
budidaya padi dan kemampuan untuk mendapat dan membeli input produksi setiap petani. Tetapi juga disebabkan oleh perbedaan dalam pemakaian input dan perbedaan penerapan teknologi yang dipengaruhi oleh kelembagaan kelompok tani. Hal itu sangat jelas terlihat dengan melihat perbedaan penerapan teknologi setiap kelompok tani yang dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya. Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa keputusan dalam penerapan teknologi dan pemakaian input produksi sangat dipengaruhi oleh kelompok masing-masing. Kelompok tani Tunas Mekar dapat dikatakan kelompok yang paling mampu mempengaruhi tingkat efisiensi teknik anggotanya ditunjukkan dengan rentang jarak tingkat efisiensi minimum dan maksimum yang relatif kecil. Itu berarti
0.80
1
0.60 0.94
0.86
6. 976 0.67
2
0.58
3
0.40
Efisiensi Teknik
4
6.902
1.00
4.623
5
0.82
1.20
5.003
6
0.89
1.40
5.810
7
3.851
Produksi (Ton)
kelompok tersebut mampu menstandarisasi aplikasi teknologi anggotanya.
0.20 0.00
0 S. Asih
M. Jaya
L. Kiwari
H. Maju
Maju J.
T. Mekar
Kelompok Tani : : Produksi
: : Efisiensi Teknik
Gambar 8. Perbandingan Rata-Rata Tingkat Efisiensi Teknik Dan Rata-Rata Produksi Antar Kelompok Tani Binaan LPS
Gambar 8 menunjukkan perbandingan antara rata-rata hasil panen dan tingkat teknologi teknik setiap kelompok tani. Kelompok yang memiliki tingkat
78
efisiensi teknik tertinggi adalah kelompok Tunas Mekar yaitu 94 persen, dan ratarata produksinya sebesar 6.902 kg/ha, sementara kelompok tani Maju Jaya yang memiliki tingkat efisiensi teknik lebih rendah dari pada kelompok tani Manunggal Jaya ataupun Tunas Mekar yaitu masing-masing sebesar 86 persen, 89 persen dan 94 persen, namun rata-rata produksinya tertinggi dari kelompok tani yang lain. Hal itu sangat mungkin karena efisiensi teknik hanya mempengaruhi 8,8 persen dari produksi. Meski begitu, tingkat efisiensi teknik tetap berkorelasi dengan tingkat produksi, seperti halnya pada kelompok dengan tingkat efisiensi terkecil yaitu sebesar 64 persen, yaitu kelompok tani Silih Asih, rata-rata produksinya juga paling kecil dari kelompok lain, sebesar 3.851 kg/ha.
79
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan 1. a. Lembaga Pertania Sehat telah melaksanakan semua fungsi dari empat subsistem agribisnis padi sehat. b. Subsistem agribisnis hulu padi sehat dalam penyediaan input pupuk kimia masih tergantung pada kelembagaan dari luar LPS. c. Subsistem agribisnis hilir padi sehat dalam pengolahan dan pemasaran hasil usahatani padi sehat belum bisa dilaksanakan sepenuhnya oleh jejaring kelembagaan LPS. 2. Penerapan teknologi budidaya padi sehat oleh petani binaan LPS belum sepenuhnya sesuai dengan anjuran LPS dan tidak seragam antar petaninya. 3. a. Faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi sehat petani binaan LPS adalah tenaga kerja, begitu pula variabel dummy berupa jenis varietas dan sistem jarak tanam juga berpengaruh positif dan nyata. b. Tingkat efisiensi teknik rata-rata petani binaan LPS cukup tinggi dengan pengaruh terhadap variasi pruduksi cukup besar. 8.2. Saran 1. a. Lembaga Pertanian Sehat perlu merumuskan produk baru berupa pupuk organik yang mampu mensubtitusi pupuk kimia atau teknologi budidaya padi yang tidak memerlukan masukan pupuk kimia agar petani tidak tergantung pada pihak luar dalam penyediaan dan harga pupuk kimia. b. Kerjasama pengolahan produk besar SAE perlu diperluas dengan mitra lain agar produk beras bebas pestisida yang dihasilkan petani semuanya
80
mendapatkan nilai tambah yang lebih tinggi. 2. Harus ditinjau kembali efektifitas teknologi budidaya yang dianjurkan LPS kepada petani dan faktor penerimaan dari petani sehingga teknologi yang dilaksanakan petani benar-benar tepat. 3. Perlu diefektifkan kembali program pendampingan dan dinamika kelompok tani agar tingkat efisiensi teknik petani tetap tinggi dan merata antar anggota.
81
DAFTAR PUSTAKA
Andoko, Agus. 2002. Budidaya Padi Secara Organik. Penebar Swadaya. Jakarta Buana, Tjandra. 1997. Adopsi Teknologi budidaya Padi Sawah Bagi Petani Penduduk Asli di Sekitar Pemukiman Transmigrasi (Kasus Kecamatan Lambuya, Kendari). Tesis. Program Pascasarjana, institut Pertanian Bogor. Bogor. Coelli, T.J., 1996. A Guide to FRONTIER Version 4.1: A Computer Program for Stochastic Frontier Production and Cost Function Estimation. CEPA, Department of Econometrics, University of New England Armidale. Australia Dalim, Yeniwarti. 1990. Pengaruh Faktor Kelembagaan Dalam Peningkatan Produktivitas Padi di Sumatera Barat. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Debertin, David L. 1986. Agricultural Peoduction Economics. Macmillan Publishing Company. New York Dimyati, Ahmad. 2002. Dukungan Penelitian Dalam Pengembangan Hortikultura Organik. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pertanian Organik. Puslitbang Perkebunan (BALITTRO), Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta, Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (MAPORINI). Jakarta Direktorat Jenderal Bina Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2005. Revitalisasi Pertanian Melalui Agroindustri Perdesaan., Departemen Pertanian. Jakarta
Herdiansyah, Irwan. 2006. Analisis Aspek Ekonomi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Sistem Usahatani Padi Organik (Studi Kasus Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hasan, Hamzah. 1979. Pengaruh Kredit Bimas Terhadap Peningkatan Produksi Padi dan Penyerapan Tenaga Kerja (Kasus Kabupaten Aceh Besar). Laporan Penelitan. Unv. Syah Kuala, Banda Aceh. Irawan, Bambang. 2004. Kelembagaan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Makalah Workshop Prima Tani. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Karama, A. Syarifuddin. Perkembangan Pertanian Organik di indonesia. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pertanian Organik. Puslitbang Perkebunan (BALITTRO), Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta, Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (MAPORINI). Jakarta. Kusumah, Suryani Jaya. 2004. Analisis Perbandingan Usahatani dan Pemasaran Antara Padi organik dan Anorganik (Kasus Kelurahan Mulyaharja,
82
Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Ekstensi Manajemen Agribisnis, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lembaga Pertanian Sehat – Dompet Dhuafa Republika. 2005. Profil Organisasi Lembaga Pertanian Sehat.. Bogor Lembaga Pertanian Sehat – Dompet Dhuafa Republika. 2006. Laporan Akhit Tahun Program Pemberdayaan Petani Sehat. Bogor Lian, Muchtar. 1987. Pengaruh Teknologi Terhadap Efisiensi Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Petani Padi di Kabupaten Subang (Studi Kasus Desa Citra jaya dan Tanjung Sari, Kecamatan Binong). Tesis. Program Pascasarjana, institut Pertanian Bogor. Bogor. Maryana, Rina. 2006. Analisis Pendapatan Petani dan Marjin Pemasaran Beras Organik (Studi Kasus Kecamatan Cikalong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Edisi Keempat. LP3ES. Jakarta Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta Nianggolan, S. S. 2001. Analisis Sistem Usahatani Beras Organik di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rohmani, Dina. 2000. Analisis Sistem Usahatani Padi Organik. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pribadi, Yanuar. 2002. Analisis Produksi dan Faktor Penentu adopsi Teknologi Sawit Dupa Pada Usahatani Padi di Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan. Tesis. Program Pascasarjana, institut Pertanian Bogor. Bogor. Partohardjono, Soetjipto. 2002. Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan dalam Kaitannya Dengan Sistem Pertanian Organik. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pertanian Organik. Puslitbang Perkebunan (BALITTRO), Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta, Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (MAPORINI). Jakarta. Pranadji, Tri. 2003. Reformasi Kelembagaand dan Kemandirian Perekonomian Pedesaan (Kajian pada Kasus Agribisnis Padi Sawah). Makalah Seminar Nasional Peluang Indonesia Untuk Mencukupi Sendiri Kebutuhan beras Nasionalnya. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Saptana, dkk. 2003. Kinerja Kelembagaan Agribisnis Beras di Jawa Barat. Makalah Seminar Penyusunan Profil Investasi Dan Pengembangan Agribisnis Beras di Jawa Barat. Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat. Bandung Syahyuti. 2004. Model kelembagaan Penunjang Pengembangan Pertanian di Lahan Lebak. Makalah Workshop Nasional Pengembangan Lahan Rawa Lebak, Balittra, Banjarbaru dan Kandangan, Kalimantan Selatan
83
Setiawan, Usep. 2005. Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan. http://www.freelists.org/archives/ppi/01-2005/msg00298.html. (diakses tanggal 30 November 2007) Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi (Ed). 1989. Metode Penelitian Sorvei. LP3ES. Jakarta. Singh, Sanjay Kumar dan Anand Venkatesh. 2002. Indian Journal of Transport Management 27(3): 374-391. Comparing Efficiency across State Transport Undertakings: A Production Frontier Approach. India Sukiyono, Ketut. 2004. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 6, No. 2, Hlm. 104-110. Analisis Fungsi Produksi dan Efisiensi Teknik : Aplikasi Fungsi Produksi Frontier Pada Usahatani Cabai di Kec. Selupu Rejang, Kab. Rejang Lebong. Jakarta Suryana, Ahmad dan Sudi Mardianto (Ed). 2001. Bunga Rampai Ekonomi Beras. LPEM FEUI. Jakarta Utama, Satria Putra. 2003. Jurnal Akta agrosia Vol. 6 No.2 hlm 67-74 Jul-Des. Kajian Effisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah pad Petani Peserta Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) Di Sumatera Barat. Wijonarko, Arman. 1998. Swasembada Beras Dan Dampak Ekologisnya. Dimensi. Vol. 1. No. 1 Juni 1998 8 Yuliarmi. 2006. Analisis Produksi dan Faktor Penentu adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang Pada Usahatani Padi. Tesis. Program Pascasarjana, institut Pertanian Bogor. Bogor.
84
LAMPIRAN