ANALISIS EFISIENSI TEKNIS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH PENDEKATAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) DESA KERTAWINANGUN KECAMATAN KANDANGHAUR KABUPATEN INDRAMAYU
SKRIPSI
HANNY STEPHANIE H34080151
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
RINGKASAN
HANNY STEPHANIE. Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) Desa Kertawinangun Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Dibawah bimbingan AMZUL RIFIN). Peningkatan jumlah penduduk Indonesia berdampak pada peningkatan permintaan tanaman pangan. Padi adalah sumber makanan pokok penduduk Indonesia. Karena itu dibutuhkan peningkatan produksi padi. Penilaian terhadap efisiensi teknis dapat menjadi salah satu analisis awal untuk menyusun kebijakan peningkatan produksi. Padi sawah adalah sistem budidaya yang paling banyak dikembangkan di Indonesia. Provinsi Jawa Barat adalah daerah penghasil padi dengan Kecamatan Kandanghaur sebagai salah satu sentra produksinya. Desa Kertawinangun adalah satu-satunya penghasil padi di Kecamatan Kandanghaur yang menggunakan irigasi teknis pada seluruh lahan padi sawahnya. Selain itu, pada tahun 2010 produktivitasnya menempati kedua tertinggi di Kecamatan Kandanghaur. Penelitian ini dilakukan di Desa Kertawinangun pada Februari 2012. Penelitian ini menggunakan data envelopment analysis (DEA), Rank Spearman, dan gambar scatter untuk menganalisis efisiensi teknis dan hubungannya dengan karaterisik decision making unit (DMU). Penilaian analisis efisiensi teknis dan pendapatan dilakukan pada perbandingan seluruh varietas dan pervarietas. Varietas yang dianalisis adalah Ciherang, Denok, dan Mekongga. Analisis pendapatan menggunakan pendekatan pendapatan tunai, rasio R/C, dan pendapatan bersih usahatani. Hasil efisiensi teknis petani padi sawah Desa Kertawinangun sebesar 0,712. Sedangkan pada varietas Ciherang nilai efisiensinya sebesar 0, 877, Denok sebesar 0,780, dan Mekongga sebesar 0,705. Terdapat hubungan berbanding lurus antara nilai efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas dengan nilai efisiensi teknis perbandingan pervarietas. Berdasarkan uji korelasi, disimpulkan tidak ada hubungan antara nilai efisiensi teknis dengan karakteristik decision making unit. Analisis pendapatan menunjukan pendapatan tunai petani di Desa Kertawinangun sebesar Rp.10.856.226, sedangkan varietas Ciherang sebesar Rp.9.804.923, Denok sebesar Rp.13.219.161, dan Mekongga sebesar Rp.16.732.697. Pendapatan tunai yang positif menunjukan usahatani di desa tersebut menguntungkan. Analisis hubungan antara nilai efisiensi dengan rasio R/C menunjukan adanya hubungan berbanding lurus. Sedangkan pada analisis hubungan efisiensi dengan pendapatan perhektar, hanya pendapatan perhektar dengan efisiensi perbandingan seluruh varietas dan varietas Mekongga yang memiliki hubungan. Saran yang diberikan bagi penelitian selanjutnya adalah Hasil penelitian ini menunjukan adanya hubungan negative antara karakeristik responden dengan nilai efisiensi. Hal ini dapat menjadi bahan kajian penelitian lain baik pada lokasi dan alat analisis yang sama maupun berbeda. Tidak adanya hubungan antara karakterisktik responden dengan nilai efisiensi dapat memunculkan penelitian selanjutnya yang membahas factor lain yang mungkin mempengaruhi, seperti kemampuan manajerial maupun entrepreneurship. Penelitian selanjutnya yang menggunakan DEA sebagai alat analisis memasukan variabel pestisida sebagai salah satu variabel masukan (input)nya.
ANALISIS EFISIENSI TEKNIS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH PENDEKATAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) DESA KERTAWINANGUN KECAMATAN KANDANGHAUR KABUPATEN INDRAMAYU
HANNY STEPHANIE H34080151
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi
Nama NIM
: Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) Desa Kertawinangun Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu : Hanny Stephanie : H34080151
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Amzul Rifin, SP, MA NIP. 19750921 200012 1 001
Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) Desa Kertawinangun Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2012
Hanny Stephanie H34080151
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Cirebon tanggal 11 September 1990. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara pasangan Bapak Gatot Sudirman dan Ibu Reni Robiyah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Tulung Agung III Kabupaten Indramayu tahun 2002. Tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikan menangah pertama di SMPN 2 Sukagumiwang Kabupaten Indramayu. Pendidikan menengah atas diselesaikan di SMAN 1 Sindang Kabupaten Indramayu tahun 2008. Penulis diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2008. Selama mengikuti pendidikan, penulis mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu pada program Super Motivasi, Beasiswa angkatan 13 IPB “ASTAGA”, dan beasiswa Peningkatan Potensi Akademik. Selama kuliah penulis juga aktif di Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas kasihNya kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul “Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) Desa Kertawinangun Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu” dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini bertujuan menganalisis efisiensi teknis dari usahatani padi sawah, hubungan antara efisiensi teknis dengan karakteristik responden, dan hubungan antara efisiensi teknis dengan pendapatan perhektar di Desa Kertawinangun. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak dalam rangka pembangunan agribisnis padi sawah di Indonesia khususnya di Kabupaten Indramayu. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi bahan masukan maupun referensi bagi penelitian selanjutnya.
Bogor, Juli 2012 Hanny Stephanie
UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama proses penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. Amzul Rifin, SP, MA., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, waktu dan kesabaran yang diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 2.
Ir. Harmini, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, waktu dan bimbingan selama penulis di Departemen Agribisnis.
3.
DR.Ir. Suharno, MAdev selaku penguji utama yang telah memberikan banyak masukan dan saran yang membangun kepada penulis.
4.
Anita Primaswari Widhiani, SP, M.Si., selaku penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan banyak masukan dan saran yang membangun kepada penulis.
5.
Seluruh dosen pengajar dan staf kependidikan Departemen Agribisnis yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama kegiatan perkuliahan.
6.
Orang tua tercinta, Bapak Gatot Sudirman dan Ibu Reni Robiyah serta Kakak Richard, Terry Melany, dan Rishe Rosalinda, Kakak Ipar Sri Rahayu dan Ridwan Santoso, dan keponakan M.Rayhan Rizki R. Terima kasih atas dukungan baik moril maupun materil, cinta kasih, semangat, dan doa yang diberikan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik.
7.
Pihak Kantor Desa Kertawinangun, atas waktu, dan informasi yang diberikan.
8.
Keluarga Bapak Akhmad yang memberikan berbagai kemudahan serta informasi bagi penulis selama penelitian.
9.
Teman-teman terbaik saya, Pitaloka Purnamasari dan Siti Rohmah. Terima kasih selalu menguatkan saya disaat kritis.
10. Teman sejak TPB, Ivo Rosita, Tia Oktaviani, dan Trisna Demiyati. Terima kasih selalu membantu tanpa pamrih. 11. Sutiantono Darmaji, yang banyak membantu penulis mengatasi berbagai masalah teknis dan atas sema dukungan yang diberikan selama ini. 12. Teman satu pembimbing skripsi dan pembahas seminar, Liska Andrini Tatilu.
13. Teman kelompok belajar Amelia, Arifah Qurotu Aina, Asmayanti, Herawati, Shafiyyatul Ghina, dan Mizani Adlina Puteri atas bantuannya selama menempuh studi di Departemen Agribisnis. 14. Teman DPM FEM, Angietha Puteri Prameswari, Bintan Badriatul Ummah, dan Indah Riski yang telah mengajarkan banyak hal dalam berorganisasi. 15. Semua teman-teman Agribisnis 45 yang bersama-sama berbagi ilmu, pengalaman, serta suka dan duka selama menempuh pendidikan di Departemen Agribisnis,
Bogor, Juli 2012 Hanny Stephanie
I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Indonesia memiliki jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa (BPS, 2010).
Peningkatan jumlah penduduk akan mengakibatkan peningkatan jumlah permintaan tanaman pangan terutama padi menyebabkan diperlukan upaya peningkatan produksi padi. Peningkatan produksi padi dapat dilakukan dengan meningkatkan luas produksi atau peningkatan produktivitas. Salah salah satu alternatif yang dapat dilakukan sebagai upaya peningkatan produksi adalah melalui peningkatan produktivitas. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya introduksi teknologi dan peningkatan efisiensi. Introduksi teknologi dapat dilakukan dengan pengadaan program-program pertanian oleh pemerintah seperti program intensifikasi, BIMAS, dan lain sebagainya. Berdasarkan laporan penelitian Brazdik (2006) petani di daerah Jawa Barat, program intenfikasi pertanian BIMAS memiliki dampak peningkatan produksi yang berbeda-beda sehingga untuk meningkatkan produksi diperlukan berbagai formulasi dan penyesuaian dengan karakteristik petani di suatu daerah. Daryanto, et al. (2002) dalam Brazdik (2006) juga menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara efisiensi teknis dengan partisipasi petani program intensifikasi pertanian sehingga program intensifikasi gagal meningkatkan efisiensi teknis petani di Jawa Barat.
Penelitian Dhungana et al.
(2004)
menyatakan di negara berkembang, inovasi teknologi dan atau introduksi teknologi baru yang lebih efisien dibutuhkan untuk meningkatkan produksi, akan tetapi terdapat masalah seperti cultural constrains yang menyebabkan teknologi tersebut tidak dapat diterapkan. Karena itu peningkatan atau perbaikan efisiensi usahatani menjadi alternatif untuk meningkatkan produksi padi. Data pada BPS tahun 2010 pada tanaman pangan menunjukan bahwa luas area panen dan jumlah produksi padi menempati urutan pertama. Padi sawah adalah salah satu sistem budidaya padi yang paling banyak dikembangkan di Indonesia.
Produksi padi sawah nasional tahun 2003 hingga 2010 terus 1
mengalami peningkatan, namun peningkatannya tidak terlalu signifikan, yaitu antara 0,1 hingga 5,5 persen.
Produksi dan produktivitas padi berdasarkan
provinsi di Indonesia dapat terlihat pada tabel 1. Provinsi Jawa Barat adalah salah satu lumbung padi nasional. Sebagai sentra penghasil padi nasional, Provinsi Jawa Barat memiliki peran penting dalam menjaga pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri. Provinsi Jawa Barat tahun 2003 hingga 2010 memiliki kontribusi sekitar 16 hingga 17 persen dari total produksi padi sawah nasional (BPS 2012) 1. Tahun 2005 hingga 2010 produktivitas provinsi ini berada diatas rataan produktivitas nasional akan tetapi masih dibawah produktivitas beberapa provinsi lain seperti Jawa Timur. Kabupaten Indramayu tahun 2005 hingga 2009 adalah kabupaten yang memiliki luas tanam dan produksi padi sawah terbesar di Provinsi Jawa Barat. Jumlah produksi pada rentang tahun yang sama menyumbang sekitar 11 persen dari total produksi padi sawah Jawa Barat dan merupakan daerah penghasil terbesar padi di Jawa Barat. Informasi luas dan produktivitas padi sawah di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada tabel 2.
1
[BPS]. 2012. Tabel Luas Panen, Produksi, Produktivitas Padi Seluruh Provinsi 2005-2010. http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?eng=0 (diakses 4 Januari 2012)
2
Tabel 1. Luas Panen dan Produksi Padi Sawah Menurut Provinsi di Indonesia 2009-2010 No.
Provinsi
Luas Panen (ha) 2009 2010 *)
Produksi (Ton) 2009 2010 *)
1
Nangroe Aceh Darussalam 352.006 347.966 1.539.448 2 Sumatera Utara 718.583 702.403 3.382.066 3 Sumatera Barat 432.147 450.368 2.088.055 4 Riau 127.522 131.263 478.343 5 Kepulauan Riau 131 375 403 6 Jambi 127.981 124.577 556.007 7 Sumatera Selatan 679.243 690.25 2.945.914 8 Kepulauan Bangka Belitung 2.793 3.975 9.733 9 Bengkulu 120.882 121.877 484.594 10 Bandar Lampung 506.596 528.328 2.487.314 11 DKI Jakarta 1.974 2.015 11.013 12 Jawa Barat 1.825.346 1.905.080 10.924.508 13 Banten 332.776 368.009 1.740.951 14 Jawa Tengah 1.663.024 1.734.647 9.380.495 15 DI Yogyakarta 105.613 106.907 662.368 16 Jawa Timur 1.787.354 1.842.445 10.758.398 17 Bali 149.269 151.208 876.692 18 Nusa Tenggara Barat 316.12 329.594 1.653.811 19 Nusa Tenggara Timur 127.896 111.652 464.703 20 Kalimantan Barat 331.922 334.452 1.131.806 21 Kalimantan Tengah 133.065 146.964 420.407 22 Kalimantan Selatan 444.391 417.944 1.823.652 23 Kalimantan Timur 92.383 96.156 421.605 24 Sulawesi Utara 103.887 107.52 522.566 25 Gorontalo 47.733 45.37 256.217 26 Sulawesi Tengah 201.877 195.603 929.791 27 Sulawesi Selatan 853.676 877.458 4.293.918 28 Sulawesi Barat 60.731 72.127 298.79 29 Sulawesi Tenggara 87.274 99.829 377.677 30 Maluku 18.545 17.779 83.764 31 Maluku Utara 10.631 12.825 39.753 32 Papua 24.176 24.661 91.986 33 Papua Barat 9.531 8.969 34.475 Sumber : BPS dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Keterangan : *) Angka sementara
1.571.130 3.422.734 2.188.709 507.37 1.202 537.505 3.041.034 14.069 491.901 2.623.849 11.164 11.271.677 1.915.995 9.859.955 646.816 11.126.704 867.185 1.620.666 405.509 1.159.012 451.762 1.683.163 450.789 554.031 252.243 912.372 4.337.946 352.512 429.15 77.532 48.503 95.964 32.904
3
Tabel 2. Produksi dan Luas Panen Padi Sawah Menurut Kabupaten dan Kota di Jawa Barat Tahun 2005-2006 No
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Jumlah
Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasik Kota Banjar
Produksi (Ton) Tahun 2008 2009 477.344 493.779 619.987 734.011 672.368 723.695 379.399 419.542 643.981 705.711 634.810 695.905 580.452 668.237 311.728 338.129 417.724 507.377 491.336 561.173 380.243 412.422 1.006.927 1.290.035 974.552 1.098.210 194.382 209.751 1.075.933 1.058.267 563.511 618.113 169.647 214.702 7.492 7.112 19.998 22.687 12.547 10.635 2.643 3.565 9.930 5.481 4.441 4.585 3.915 2.993 64.656 80.772 37.222 37.679 9.757.168 10.924.508
Luas Panen(hektar) Tahun 2008 2009 81.415 82.697 113.211 124.284 120.268 127.527 64.123 68.741 106.336 110.845 103.119 111.494 96.531 105.464 53.424 57.967 73.007 85.538 89.026 94.960 66.676 69.362 179.330 218.392 167.539 182.200 35.062 36.059 180.930 179.251 101.513 104.823 30.600 35.877 1.273 1.269 3.495 3.625 2.244 1.810 464 624 1.798 913 753 788 668 504 11.829 14.222 6.260 6.110 1.690.864 1.825.346
Sumber: Diperta Jabar (2011) 2
2
www.diperta.jabarprov.go.id. Produksi dan Luas Panen Padi Sawah Menurut Kabupaten dan Kota di Jawa Barat. Diakses tanggal 24 Maret 2011
4
Kecamatan Kandanghaur adalah salah satu sentra penghasil padi di Provinsi Jawa Barat (Diperta Jabar 2010) 3. Seluruh petani padi di Kecamatan Kadanghaur membudidayakan padi dengan menggunakan sawah (lahan basah). Hal ini dikarenakan adanya saluran irigasi yang baik sehingga menunjang petani untuk melakukan hal tersebut. Selain itu, padi sawah memiliki produksi yang lebih tinggi dan membutuhkan perawatan dan penggunaan faktor produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan padi kering atau padi gogo. Selain itu, padi sawah lebih tahan terhadap hama dan penyakit. Faktor-faktor tersebut menyebabkan petani di Kecamatan Kandanghaur membudidayakan padi sawah. Desa Kertawinangun adalah salah satu desa di Kecamantan Kandanghaur yang memiliki luas sawah 480 hektar atau 7,79 persen dari total luas sawah di Kecamatan Kandanghaur. Berdasarkan tabel 3, terlihat bahwa petani padi sawah di Desa Kertawinangun berdasarkan sumber pengairan yang digunakan adalah satu-satunya desa di Kecamatan Kandanghaur yang seluruh area persawahannya menggunakan irigasi secara teknis. Hal ini berdampak kepada produktivitas padi di desa tersebut menjadi kedua tertinggi dibandingakan dengan desa lain di Kecamatan Kandanghaur. Terlihat pada tabel 4 bahwa Desa Kertawinangun memiliki hasil panen dan produktivitas padi sawah yang tinggi. Tahun 2010 produktivitas padi sawah menurun dibandingkan dengan desa lain.
Tahun
sebelumnya Desa Kertawinangun menempati posisi produktivitas tertinggi dibandingkan dengan desa lainnya. Keseragaman sumber pengairan dan letak kawasan persawahan yang ada disuatu daerah menyebabkan Desa Kertawinangun dijadikan objek penelitian efisiensi teknis padi sawah menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis. Hal ini disebabkan kesamaan sumber perngairan dan letak lahan yang berada dalam satu hamparan menunjukan bahwa seluruh responden yang diamati memiliki faktor produksi berupa karakteristik lahan yang sama.
3
http://www.diperta.jabarprov.go.id/. Data Produksi dan Produktivitas Padi Sawah Provinsi Jawa Barat. Diakses tanggal 24 Maret 2011.
5
Tabel 3. Luas Areal Pesawahan menurut Jenis Pengairan di Kecamatan Kandanghaur Tahun 2010 Irigasi Tadah Irigasi Setengah Sederhana Jumlah No Desa Teknis Hujan Teknis (hektar) (hektar) (hektar) (hektar) (hektar) 1 Curug 427,8 17,1 0 0 444,9 2
Pranti
293,7
6,3
0
0
300
3
Wirakanan
374,3
132,5
0
0
506,8
4
Karang Mulya
0
92
131
124
347
5
Karanganyar
120
146,2
360,2
0
626,4
6
Wirapanjunan
40,5
82,2
81,2
40,1
244
7
Perean Girang
272
611
124
0
1007
8
Bulak
196
204,7
119,7
0
520,4
9
Ilir
285
200
110,1
0
595,1
10
Soge
386,1
0
37
0
423,1
11
Eretan Wetan
0
4,4
64,7
3,1
72,2
12
Eretan Kulon
250
116,4
0
0
366,4
13
Kertawinangun
472,5
0
0
0
472,5
3117,9
1612,8
1027,9
167,2
5925,7
Jumlah
Sumber : Koordinator Statistik Kecamatan Kandanghaur (2011) dalam BPS (2011)
6
Tabel 4. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Di Kecamatan Kandanghaur Tahun 2010
1
Curug
Luas Panen (hektar) 525
2
Pranti
300
3.333,8
5,30
3
Wirakanan
990
5.306,4
5,40
4
Karang Mulya
465
2.425,0
5,20
5
Karanganyar
1.358
6.036,3
4,40
6
Wirapanjunan
420
1.911
4,60
7
Perean Girang
1.900
8.502,5
4,50
8
Bulak
1.170
5.423
4,60
9
Ilir
1.270
5.880,1
4,60
10
Soge
860
4.558,0
5,30
11
Eretan Wetan
105
449,4
4,30
12
Eretan Kulon
614
3.070,0
5,00
13
Kertawinangun
934
5.001,6
5,40
10.911
4,9
57.619,5
No
Desa
Total
Produksi (Ton) 5.722,5
Produktivitas (Ton/hektar) 5,50
Sumber : UPTD Pertanian dan Peternakan Kecamatan Kandanghaur (2011) - Data Versi UPTD Pertanian dan Peternakan Kecamatan Kandanghaur (dalam BPS 2011)
1.2.
Rumusan Masalah Kabupaten Indramayu adalah kabupaten penghasil padi sawah dengan luas
panen terbesar di Provinsi Jawa Barat.
Tren yang saat ini terjadi di daerah
Kabupaten Indramayu adalah pemilik lahan sawah kurang berminat untuk menjalankan usahatani padi sawah dikarenakan beberapa alasan, diantaranya: (1) Semakin tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam mengusahakan padi membuat pemilik lahan tidak tertarik untuk menggarap lahannya sendiri. (2) Degradasi lahan akibat over exploited mengakibatkan kesuburan lahan semakin berkurang.
(3) Semakin tergantungnya usahatani padi dengan pemberian
masukan (input) seperti pupuk dan pestisida yang mengakibatkan semakin besarnya biaya yang harus dikeluarkan. (4) Semakin tidak menentunya cuaca 7
meningkatkan risiko yang dihadapi, dan lain sebagainya sehingga pemilik lahan sulit mencapai economics of scale dari usahanya. Meskipun terdapat pemilik lahan yang enggan menggarap lahannya, namun terdapat pula petani yang mau menggarap lahan orang lain dengan sistem sewa, bagi hasil, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukan masih adanya keinginan petani untuk mengembangkan usaha padi sawah di daerah tersebut. Terdapat hipotesis bahwa petani pemilik lahan enggan mengusahakan lahannya sendiri dikarenakan luasan lahan yang dimiliki tidak terlalu besar sehingga apabila pemilik lahan memutuskan untuk menggarap lahannya sendiri maka besarnya biaya yang harus dikeluarkan tidak sebanding dengan besarnya pendapatan yang diperoleh.
Karena itu, bagi pemilik lahan akan lebih
menguntungkan menyewakan lahannya kepada orang lain dan mendapatkan pendapatan tetap dari sewa lahan tersebut kemudian mengusahakan modalnya keusaha lain yang dapat memberikan penghasilan yang lebih tinggi. Sedangkan hipotesis mengenai penyebab masih adanya petani yang tertarik untuk menjadi petani penggarap adalah petani tersebut menggarap luasan yang mendekati atau mencapai economics of scale sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan pendapatan yang diperoleh. Penelitian mengenai efisiensi teknis dilakukan untuk mengetahui sebaran efisiensi teknis relatif dari responden yang menjadi objek pengamatan. Pendekatan Data Envelopment Analysis digunakan dikarenakan pendekatan ini lebih sederhana dibandingkan pendekatan analisis lain seperti stochastic frontier approach.
Pendekatan
Data
Envelopment
Analysis
dianggap
dapat
menggambarkan capaian efisiensi teknis relatif dari daerah pengamatan meskipun tidak menggunakan banyak asumsi dan pembatasan seperti pada pendekatan stochastic frontier approach.
Selain itu, telah banyak penelitian yang
menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis untuk menganalisis efisiensi teknis relatif pada komoditas pertanian. Faktor pendapatan yang diperoleh petani perlu dijadikan objek penelitian untuk mengetahui kemampuan usahatani yang dijalankan dalam menghasilkan keuntungan. Selain itu, terdapat analisis rasio R/C yang menganalisis hubungan 8
antara keduanya. Terdapat hipotesis bahwa responden yang mencapai efisiensi teknis belum tentu menjadi responden yang memiliki pendapatan perhektar yang tertinggi. Terdapat kemungkinan adanya keragaman varietas yang digunakan petani. Karena itu, selain menganalisis secara general seluruh varietas yang ada di desa pengamatan, diperlukan juga adanya analisis pada lingkup pengamatan yang lebih kecil, yaitu pengamatan pervarietas, baik pada analisis efisiensi maupun pendapatan perhektar. Berdasarkan permasalahan tersebut, rumusan masalah yang akan diteliti adalah: 1) Bagaimana tingkat efisiensi teknis petani padi sawah perbandingan seluruh varietas dan pervarietas di Desa Kertawinangun pada musim kering tahun 2011 dengan pendekatan Data Envelopment Analysis? 2) Apakah ada hubungan antara nilai efisiensi teknis perbandingan pervarietas dengan karakteristik responden di Desa Kertawinangun. 3) Bagaimana pendapatan petani padi sawah seluruh varietas dan pervarietas di Desa Kertawinangun pada musim kering tahun 2011? 4) Bagaimana hubungan antara efisiensi teknis dengan pendapatan perhektar petani padi sawah perbandingan seluruh varietas dan pervarietas di Desa Kertawinangun pada musim kering tahun 2011? 1.3.
Tujuan Penelitian 1) Menganalisis efisiensi teknis petani padi sawah di Desa Kertawinangun berdasarkan perbandingan seluruh varietas dan pervarietas pada musim kering tahun 2011 menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis. 2) Menganalisis hubungan antara nilai efisiensi teknis pervarietas dengan karakteristik responden di Desa Kertawinangun. 3) Menganalisis pendapatan seluruh varietas dan pervarietas petani padi sawah di Desa Kertawinangun pada musim kering tahun 2011. 4) Mengetahui hubungan antara efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas dan pervarietas dengan pendapatan perhektar petani padi sawah di Desa Kertawinangun pada musim kering tahun 2011. 9
1.4.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para pengambil
kebijakan dalam menentukan kebijakan pengembangan padi sawah sehingga produksi padi nasional dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri tanpa menekan produsen. Selain itu, diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat mengubah cara pandang petani mengenai pentingnya efisiensi dalam menentukan keuntungan suatu usahatani. Penelitian ini juga dapat memberikan gambaran kepada petani mengenai hubungan antara efisiensi teknis yang dicapai dengan pendapatan perhektar yang diperoleh.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan pada ruang lingkup Desa Kertawinangun,
Kabupaten Indramayu dengan komoditi padi sawah. Analisis pendapatan yang dilakukan hanya pendapatan yang bersumber dari usahatani padi sawah dan dalam ruang lingkup satu musim tanam. Penelitian dibatasi pada petani yang memiliki daerah usahatani berada dalam satu hamparan sehingga faktor produksi lahan, cuaca, dan faktor produksi lain yang digunakan dapat diasumsikan sama. Nilai efisiensi yang dihasilkan dari penelitian ini hanya berlaku pada usahatani yang termasuk ke dalam responden dan dengan menggunakan data musim kering tahun 2011. Tidak menutup kemungkinan ada petani lain diluar responden yang dapat menjalankan usahatani dengan lebih efisien dari petani yang dijustifikasi sebagai petani paling efisien dalam penelitian ini.
10
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Tinjauan Pustaka Mengenai Usahatani Usahatani adalah suatu bentuk kombinasi penggunaan masukan (input)
(modal, tenaga kerja, lahan) yang sengaja diusahakan oleh seseorang maupun suatu badan untuk menghasilkan suatu produk pertanian dalam arti luas. Usahatani dapat diartikan sebagai bagian dari suatu sistem agribisnis yang bergerak dibidang budidaya pertanian. Metode yang sering digunakan untuk menganalisis usahatani adalah analisis rasio R/C atau rasio antara penerimaan dan biaya.
Nilai R/C rasio
digunakan dalam analisis usahatani dengan menggambarkan tingkat efisiensi suatu usahatani berdasarkan rasio antara variabel biaya yang dikeluarkan dan pendapatan yang diterima. Kelebihan dari analisis ini adalah memiliki model yang sederhana sehingga memudahkan penulis untuk menggunakannya. Kekurangan dari analisis ini adalah masih terdapat banyak faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi dari usahatani tersebut namun tidak termasuk ke dalam variabel yang dipertimbangkan. Contoh factor yang tidak dipertimbangkan adalah kesamaan karakteristik lahan, penggunaan factor produksi, dan lain sebagainya.
Selain itu, apabila usahatani dikategorikan tidak efisien, model
tersebut tidak dapat mendeskripsikan variabel apa saja yang menyebabkan usahatani tersebut tidak efisien sehingga tidak dapat memberikan referensi kepada pihak yang terkait untuk membuat perbaikan agar efisiensinya meningkat. Kelebihan dari analisis efisiensi dengan pendekatan Data Envelopment Analysis adalah dapat memberikan referensi kuantitas penggunaan factor produksi yang seharusnya digunakan. Akan tetapi, kelemahan dari Data Envelopment Analysis adalah sangat rentan terhadap data pencilan yang dimasukkan ke dalam model. Metode R/C hanya dapat menunjukan rasio yang petani terima berdasarkan biaya yang dikeluarkan, akan tetapi tidak dapat menggambarkan apakah petani dengan R/C tersebut adalah petani yang paling efisien dan pemilihan variabel masukan (input) yang digunakan telah tepat. Selain itu, rasio R/C menggunakan sistem yang kurang adil. Misalkan ada dua usahatani yang 11
dibandingkan.
Usahatani pertama memiliki luas lahan seluas 0,2 hektar.
Sedangkan usahatani kedua memiliki luas lahan lima hektar.
Terdapat
kemungkinan usahatani dengan luasan lahan lebih besar memiliki rasio R/C yang rendah, dikarenakan penggunaan factor produksi dalat lebih rendah Karena mencapai skala ekonomis.
2.2.
Tinjauan Pustaka Mengenai Efisiensi Efisiensi adalah salah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan suatu
keluaran (output) tertentu dengan menggunakan sejumlah masukan (input) tertentu secara optimal. Efisiensi dari suatu usaha memiliki kaitan yang erat antara masukan (input) yang digunakan dengan keluaran (output) yang dihasilkan. Variabel keluaran (output) pada usahatani yang sering digunakan adalah pendapatan dan hasil produksi.
Variabel pendapatan diperoleh dari hasil
perkalian antara produksi dengan harga jual produk. Variabel masukan (input) yang digunakan adalah faktor produksi seperti pupuk, benih, tenaga kerja, lahan, irigasi, menajemen, dan lain sebagainya.
2.3.
Tinjauan Pustaka Mengenai DEA Pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) adalah salah satu metode
frontier nonparametric untuk mengukur efisiensi kinerja dengan menggunakan banyak masukan (input) dan keluaran (output) pada usaha yang memiliki masukan (input) dan keluaran (output) yang sama dengan pembobotan pada variabel yang digunakan.
DEA mengukur efisiensi relatif dari setiap responden yang
selanjutnya disebut dengan decision making unit relatif dari sebuah usaha ketika usaha berada disekitar kurva hasil pengolahan efisiensi frontiernya. DMU yang berada pada kurva frontier dikatakan sebagai DMU yang mencapai efisiensi relatif jika dibandingkan dengan DMU lain dalam model tersebut.
Kelebihan
dari DEA dibandingkan dengan alat analisis linear programming ataupun alat analisis efisiensi parsial adalah DEA dapat menunjukan tingkat efisiensi relatif setiap DMU terhadap DMU lain yang lebih efisien dan dapat mengindikasikan DMU yang tidak efisien (Sudaryanto 2006; Abidin dan Endri 2009). 12
Metode Data Envelopment Analysis dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi dari suatu perusahaan. Metode ini dapat juga dapat diterapkan pada usaha lain yang memiliki karakteristik masukan (input) dan keluaran (output) yang sejenis dari banyak usaha yang diamati. Metode ini merupakan metode analisis noparametrik yang menghasilkan production frontier. Kelebihan dari penggunaan Data Envelopment Analysis adalah tidak membutuhkan banyak asumsi dalam bentuk fungsional untuk menspesifikasi hubungan antara masukan (input) dan keluaran (output) sehingga membutuhkan lebih
sedikit
variabel
dibandingkan
dengan
frontier
approach,
tidak
membutuhkan asumsi distribusi untuk menentukan inefisiensi ( Krascachat 2004). Kelemahan dari DEA adalah tidak mengukur kesalahan dari model (Fraser dan Hone 2001). Pendekatan Data Envelopment Analysis dapat menggunakan data primer maupun data sekunder.
Data primer dapat
menjadi sumber data seperti
penelitian Dhungana et al.(2004) dan Krascachat (2004). Data sekunder dapat digunakan sebagai sumber data seperti pada penelitian, Lee (2005), Putri dan Lukviarman (2008), Abidin dan Endri (2009).
Analisis efisiensi usahatani
menggunakan data primer yang dikumpulkan dengan maksud untuk digunakan dalam penelitian. Data primer lebih baik digunakan karena skala pengamatan yang terbatas sehingga diharapkan dengan penggunaan data primer dapat menghasilkan simpulan yang relevan dengan fakta dilapangan. Variabel yang digunakan dalam menggunakan Data Envelopment Analysis adalah variabel yang dianggap penulis memiliki peran penting dalam mementukan efisiensi dari usaha yang diteliti. DEA adalah model yang hanya memperhatikan variabel yang dimasukkan ke dalam model sehingga ketepatan penulis dalam menentukan variabel yang digunakan menjadi sangat mempengaruhi simpulan yang dihasilkan. Diperlukan keahlian dan ketepatan penggunaan variabel-varabel baik masukan (input) maupun keluaran (output) agar hasil yang didapatkan dapat dipertanggungjawabkan. Penelitian efisiensi teknis menggunakan Data Envelopment Analysis pada usahatani padi di Thailand menggunakan beberapa variabel sebagai masukan 13
(input) dalam model, yaitu jumlah pupuk, total penggunaan tenaga kerja, luas tanam, kapital yang digunakan, dan total biaya masukan (input) lain selain yang dijadikan variabel masukan (input) pada model, sedangkan keluaran (output) yang digunakan adalah total produksi padi (Krascachat 2004). Sedangkan penelitian efisiensi teknis padi di Nepal (Dhungana et al. 2004) menggunakan pembagian sesi berdasarkan kelompok sosiekonomi, pencatatan masukan (input) dan keluaran (output), serta sesi mengenai risiko yang dihadapi.
Variabel yang
digunakan adalah usia pemilik lahan, jenis kelamin, persentase tenaga kerja dalam keluarga, risiko yang dihadapi, hasil panen, lahan, bibit, tenaga kerja mesin, pupuk, pengeluaran lain, biaya sewa lahan, harga bibit, upah perpekerja, biaya sewa tenaga kerja mesin, pupuk, dan masukan (input) lain. Penelitian efisiensi perusahaan kertas di beberapa negara di dunia menggunakan total penjualan sebagai variebel keluaran (output) dan total pengeluaran operasi serta pengeluaran bunga sebagai variabel masukan (input) (Lee 2005). Metode penarikan simpulan dalam DEA adalah DEA menarik kurva envelop dari DMU yang memiliki efisiensi relatif paling tinggi dalam model. Kemudian posisi efisiensi dari setiap DMU dimasukan ke dalam kurva sehingga terlihat efisiensi relatif dari setiap DMU terhadap DMU yang dijadikan dasar pengambilan keputusan efisiensi relatif. Dengan adanya penempatan posisi setiap DMU dalam kurva envelop, dapat disimpulkan DMU yang berada pada posisi garis kurva envelop adalah DMU yang telah efisien menurut model tersebut, sedangkan DMU yang berada dibawah kurva envelop adalah DMU yang masih belum mencapai efisiensi relatif dalam model.
2.4.
Penelitian Terdahulu Terdapat berbagai macam metode yang dapat digunakan untuk
menganalisis efisiensi dari suatu model, termasuk untuk efisiensi usahatani. Penelitian Sugiarti (2003) menggunakan R/C rasio dalam menganalisis efisiensi dari usahatani. Usahatani yang memiliki nilai rasio lebih dari satu dikatakan sebagai usahatani yang telah efisien.
Sedangkan Dumaria (2003) melakukan
penelitan yang bertujuan mengetahui faktor yang mempengaruhi produksi nenas. 14
Penelitian ini menggunakan perbandingan nilai produk marginal (NPM) dengan biaya korbanan marginal (BKM) untuk menganalisis tingkat efisiensi dari masingmasing faktor produksi. Faktor produksi yang diduga mempengaruhi usahatani nenas adalah faktor sosiokultiral seperi usia petani dan pengalaman, biaya tetap seperti lahan, dan biaya variabel seperti pupuk, bibit, dan sebagainya. Nilai dari faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi usahatani kemudian dianalisis menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas dan OLS (ordinary least square) untuk menduga koefisien dari fungsi produksi. Hasil persamaan regresi kemudian dianalisis untuk mendapatkan t-hitung, F hitung, dan nilai R2. Metode lain yang digunakan untuk menganalisis efisiensi pada usahatani adalah metode B/C rasio (Yuningsih 1999).
Penelitian ini menggunakan
pengelompokan pada petani berdasarkan luas lahan yang diusahakan kemudian membandingkan tingkat efisiensi usahatani dari kelompok petani dengan pengusahaan skala besar dan skala kecil. Pendekatan DEA dapat digunakan untuk menganalisis kinerja efisiensi teknis pada perbankan (Putri dan Lukviarman 2008; Abidin dan Endri 2009). Pendekatan DEA digunakan sebagai alat benchmarking atau kinerja dari beberapa unit yang akan dianalisis (decision making unit) yang telah memiliki standardisasi variabel masukan (input)
dan keluaran (output) sehingga setap unit dapat
dibandingkan kinerjanya. Meskipun sektor pertanian memiliki variabel masukan (input) dan keluaran (output) yang relatif sulit untuk distandardisasi namun telah terdapat beberapa penelitian yang menggunakan pendekatan DEA untuk mengukur kinerja efisiensi dari unit yang akan dianalisis (decision making unit) pada sektor pertanian. Beberapa penelitian yang menggunakan DEA pada sektor pertanian adalah Fraser dan Hone (2001), Dhungana et al. (2004), Sarker dan De (2004), Lee (2005), dan Brazdik (2006), Aman dan Haji (2011). Penelitian efisiensi padi di Nepal oleh Dhungana et al. (2004) dilakukan pada daerah yang memiliki topologi, kesamaan karakteristik tanah, irigasi, dan lingkungan yang sama, diusahakan oleh pemiliknya, menghadapi pasar masukan (input) dan keluaran (output) yang sama, sehingga dapat dibangingkan tingkat efisiensi yang dihasilkan. 15
Penelitian efisiensi teknis yang menggunakan Data Envelopment Analysis dapat menggunakan Tobit regression untuk mengetahui variabel yang mempengaruhi inefisiensi suatu DMU seperti pada penelitian Dhungana et al. (2004), Krascachat (2004, 2007), Brazdik (2006), Javed (2008), dan Aman (2011). Sedangkan Fernandez (2001) menggunakan Bootstrap regression method untuk menentukan faktor yang mempengaruhi efisiensi produksi.
16
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis adalah suatu alur berpikir yang digunakan
oleh penulis berdasarkan teori maupun konsep yang telah ada sebagai acuan dalam menjalankan penelitian. Penelitian ini menggunakan konsep usahatani, teori produksi, dan teori efisiensi produksi.
3.1.1. Konsep Efisiensi Usahatani Efisiensi dapat diartikan bagaimana suatu usaha mengalokasikan sumber daya yang dimiliki untuk menghasilkan keluaran (output) yang optimal. Efisiensi juga dapat diartikan sebagai kemampuan suatu usaha mengalokasikan masukan (input) yang lebih sedikit dibandingkan usaha lain untuk menghasikan keluaran (output) yang sama atau mengalokasikan masukan (input) yang sama untuk menghasilkan keluaran (output) yang lebih tinggi. Konsep efisiensi pada suatu usahatani dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Suatu usahatani dapat dikatakan efisien apabila telah efisien secara teknis, secara alokatif, ataupun secara ekonomis.
Suatu usahatani dikatakan
efisien secara teknis apabila kombinasi masukan (input) yang digunakan dan keluaran (output) yang dihasilkan berada disepanjang kurva produksi. Sedangkan dikatakan efisien secara alokatif apabila petani dapat memperoleh keuntungan dari usahataninya.
Sedangkan suatu usahatani dikatakan efisien secara ekonomis
apabila kombinasi masukan (input) yang digunakan dan keluaran (output) yang dihasilkan dapat mencapai efisiensi teknis dan alokatif. Pengetahuan mengenai efisiensi dari usahatani yang dilakukan perlu diketahui oleh petani agar petani dapat berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya denan menggunakan masukan (input) yang paling optimal. Masalah yang terjadi dalam pengukuran efisiensi usahatani adalah kurangnya catatan yang dibuat oleh petani sehingga petani sendiri sulit untuk menilai efisiensi yang telah dicapai. Selama ini petani hanya mengandalkan ingatan mengenai laporan arus dana yang telah dilakukan (Soekartawi 1995). 17
3.1.2. Konsep Data Envelopment Analysis Cooper (2002) menyatakan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) adalah suatu pendekatan evaluasi kinerja dari suatu kegiatan yang menggunakan satu atau lebih masukan (input) untuk menghasilkan satu atau lebih keluaran (output). Kegiatan yang diamati dalam DEA sering disebut dengan decision making unit (DMU). Pendekatan DEA menggunakan pembobotan yang bersifat fixed pada seluruh masukan (input) dan keluaran (output) dari setiap DMU yang dievaluasi. Pendekatan DEA memiliki model matematika dengan virtual masukan (input) dan keluaran (output), dan vi sebagai bobot masukan (input), dan ur sebagai bobot keluaran (output), Virtual masukan (input) = v1x1o+…+vmxmo
(3.1)
Virtual keluaran (output)= u1y1o+…+usyso
(3.2)
Pembobotan dilakukan dengan menggunakan linear programming untuk memaksimumkan rasio dari,
(3.3)
Terdapat kemungkinan pembobotan optimal pada setiap DMU berbeda sehingga pembobotan pada DEA merupakan turunan dari data yang dimiliki ataupun dianggap sama. Misalkan diasumsikan terdapat m masukan (input) dan s keluaran (output) pada DMU X, maka matriks X (m x n) adalah:
(3.4) 3.1.3. Konsep CCR Model CCR model adalah salah satu pengembangan dari Data Envelopment Analysis. CCR model diambil dari nama penemunya. CCR model menggunakan prinsip constan return to scale dari variabel masukan (input) yang digunakan untuk menghasilkan keluaran (output) yang dikeluarkan. CCR model mengukur 18
efisiensi dari setiap DMU pada suatu waktu tertentu dengan n optimalisasi. Misalkan DMUj dibandingkan dengan DMUo ( o = 1, 2, …, n), maka fractional programming dengan pembobotan masukan (input) vi (i = 1, …, m), dan pembobotan keluaran (output) ur (r = 1, …, s) adalah,
(FPo) max
(3.5)
Subject to
)
v1, v2, …, vm ≥ 0
(3.6) (3.7)
Pembatasan kurang dari satu menunjukan rasio antara virtual keluaran (output) dan virtual masukan (input) harus lebih kecil atau kurang dari satu untuk setiap DMU. Pembatasan ini akan menyebabkan nilai objektif maksimal * =1. Sedangkan bentuk linear programming (LPo) dari CCR model adalah:
(LPo) max
=
1y1o+…+ syso
subject to v1x1o+…+ vmxmo 1y1j+…+ sysj ≤ v1x1j+…+
(3.8) (3.9)
vmxmj
(3.8)
(j = 1, …, n) V1, V2, …., Vm ≥ 0 1,
2, …,
s≥
0
(3.9) (3.10)
3.1.4. Konsep Biaya Usahatani Biaya dalam usahatani dapat diklasifikasikan menjadi biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap dapat didefinisikan sebagai biaya yang jumlahnya relatif tetap tanpa tergantung pada jumlah keluaran (output) yang dihasilkan. Sedangkan biaya variabel dapat diartikan sebagai biaya yang besarnya bervariasi sesuai dengan jumlah keluaran (output) yang dihasilkan. Konsep biaya dalam analisis usahatani perlu dilakukan beberapa penyesuaian terutama apabila dilakukan analisis parsial pada usahatani yang lebih dari satu macam komoditi yang diusahakan. Misalkan pada tanaman tumpang sari 19
jagung dengan kedelai. Pengaplikasian sejumlah pupuk tidak dapat dipastikan digunakan sebagi masukan (input) bagi produksi tanaman padi atau kedelai, sehingga dalam kasus seperti ini jumlah fisik menjadi tidak penting sehingga lebih baik menggunakan besaran nominal yang dikeluarkan untuk tanaman tersebut. Konsep biaya dalam analisis usahatani juga dapat menggunakan analisis finansial dan analisis ekonomi. Analisis finansial adalah analisis yang menggunakan harga yang sebenarnya dikeluarkan oleh petani, sedangkan analisis ekonomi adalah analisis yang digunakan dengan menggunakan harga bayangan atau shadow price (Soekartawi 1995). Terdapat juga konsep biaya berdasarkan jenis pengeluaran yang dilakukan, yaitu konsep biaya tunai. Biaya tunai adalah biaya yang secara tunai dikeluarkan oleh usahatani untuk membeli faktor produksi baik barang maupun jasa yang digunakan dalam usahataninya. Hal yang perlu diingat adalah pada biaya tunai, besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membayar pinjaman maupun bunga tidak termasuk (Soekartawi 1995). 3.1.5. Konsep Pendapatan Usahatani Pendapatan dalam mengukur suatu usahatani dapat dilakukan dengan menggunakan arus uang tunai.
Akan tetapi arus uang tunai tidak dapat
mencerminkan keadaan yang sebenarnya karena terutama pada petani yang subsisten maupun semisubsisten masih banyak pendapatan yang tidak berupa uang tunai (Soekartawi et al. 1986). Fick (1975) dalam Soekartawi et al. (1986) menyatakan penilaian produk usahatani yang subsisten menggunakan nilai pasar sulit digunakan apabila produk tersebut tidak diperdagangkan dipasar setempat sehingga penulis dapat menggunakan harga pasar ditempat lain ataupun harga barang substitusi berdasarkan kadar gizi yang setara. Harga pasar yang umumnya digunakan adalah harga jual bersih ditingkat petani karena dianggap lebih dapat menggambarkan besaran yang diperoleh oleh petani. Pengukuran pendapatan usahatani dalam penelitian ini menggunakan konsep pendapatan tunai usahatani. Hal ini disebabkan saat ini sebagian besar petani di daerah pengamatan menganggap bertani adalah sumber pendapatan dan menjadi sebuah bisnis. Analisis pendapatan perhektar usahatani, pendapatan yang 20
digunakan adalah pendapatan kotor usahatani.
Pendapatan kotor mencakup
semua produk yang dijual ke pasar, digunakan sebagai konsumsi rumah tangga petani, digunakan usahatani untuk pakan ternak maupun sebagai bibit pada masa tanam selanjutnya, digunakan sebagai alat pembayaran, maupun sebagai inventori yang disimpan di gudang. (Soekartawi et al. 1986). Konsep lain yang dapat dijadikan alat ukur pendapatan petani adalah pendapatan tunai petani (farm net cash receipt). Pengukuran ini dilakukan dengan nilai bersih dari pengurangan antara penerimaan tunai dengan pengeluaran tunai. Sama halnya seperti pada biaya tunai, pada penerimaan tunai, penerimaan yang berasal dari pinjaman tidak termasuk kedalam penerimaan tunai (Soekartawi et al. 1986).
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Peningkatan jumlah penduduk Indonesia mengakibatkan kebutuhan akan
pangan semakin meningkat. Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki permintaan pangan yang besar. Beras adalah makanan pokok yang sangat penting bagi sebagian besar penduduk indonesia sehingga diperlukan peningkatan produksi untuk mengimbangi peningkatan jumlah penduduk. produksi
dapat
dilakukan
meningkatkan produktivitas.
dengan
meningkatkan
areal
Peningkatan
tanam
ataupun
Keterbatasan lahan mengakibatkan pilihan
peningkatan produktivitas menjadi lebih mungkin diusahakan. Salah satu cara meningkatkan produktivitas adalah dengan meningkatkan efisiensi. Kabupaten Indramayu adalah salah satu sentra penghasil beras Provinsi Jawa Barat yang memiliki luas areal tanam yang luas namun produktivitas yang dihasilkan masih dibawah rataan produktivitas nasional. Hal ini menjadi latar belakang dilakukannya analisis efisiensi dari petani padi sawah di daerah sentra beras Kabupaten Indramayu, yaitu Desa Kertawinangun. Faktor produksi yang digunakan dalam usahatani padi sawah di daerah tersebut adalah lahan, tenaga kerja, modal, dan manajemen. Lahan yang digunakan dapat berupa lahan sewa dan lahan milik sendiri. Tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja mesin 21
pada saat pengolahan tanah berupa traktor dan pekerjaan usahatani lain dikerjakan oleh tenaga kerja manusia.
Modal yang digunakan berupa benih, pupuk,
insektisida, pestisida, saprodi, gudang, dan lain sebagainya. Sedangkan faktor produksi manajemen adalah faktor produksi yang lebih bersifat kualitatif. Berdasarkan faktor produksi yang dapat dikuantitatifkan dan keluaran (output) yang dihasilkan dari usahatani, penelitian ini menganalisis nilai efisiensi relatif dari setiap usahatani yang dijadikan decision making unit dengan menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA).
Dengan
menggunakan DEA berdasarkan efisiensi relatif dari model DMU yang ada, maka dapat diketahui nilai efisiensi teknis dari setiap usahatani. Pendapatan adalah salah satu faktor yang penting untuk diketahui. Seseorang dapat menjadi tertarik untuk mengusahakan suatu usaha apabila usaha tersebut mampu memberikan hasil yang positif. Karena itu, diperlukan suatu analisis pendapatan untuk mengetahui besarnya pendapatan rata-rata yang diperoleh dari usahatani padi sawah di Desa Kertawinangun. Analisis pendapatan yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan beberapa pendekatan. Pendekatan yang digunakan dalam analisis pendapatan pada penelitian ini adalah analisis pendapatan tunai rata-rata di Desa Kertawinangun, rasio R/C total, dan analisis pendapatan perhektar bersih. Analisis pendapatan tunai perhektar untuk rata-rata seluruh decision making unit di Desa Kertawinangun yang selanjutnya disebut dengan pendapatan tunai perhektar Desa Kertawinangun menjadi indikator pertama pada analisis pendapatan. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui besarnya kemampuan usahatani untuk menghasilkan uang tunai.
Faktor yang menjadi
pertimbangan digunakannya pendekatan ini adalah analisis uang tunai meskipun tidak menggunakan biaya diperhitungkan, namun menurut penulis cukup untuk menggambarkan pendapatan petani di daerah pengamatan.
Selain itu, pada
umumnya petani menganggap pendapatan yang mereka peroleh sebesar pendapatan tunai yang mereka peroleh. Hampir sebagian besar petani decision making unit tidak menganggap pendapatan mereka sebesar pendapatan yang telah dikurangi dengan biaya diperhitungkan.
Karena itu, digunakan analisis 22
pendapatan tunai untuk mengetahui pendapatan perhektar rata-rata decision making unit di Desa Kertawinangun. Analisis pendapatan tunai perhektar dilakukan pada pengamatan seluruh varietas dan pada masing-masing varietas. Analisis pendapatan tunai perhektar dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui besaran pendapatan tunai perhektar yang diusahakan di desa pengamatan, tanpa memperhitungkan varietas. Hal ini dapat berguna bagi pembaca yang ingin mengetahui secara umum besaran pendapatan tunai perhektar decision making unit di Desa Kertawinangun. Selain itu, dapat menjadi referensi bagi investor yang ingin mengusahakan padi sawah di daerah tersebut. Analisis pendapatan tunai rata-rata pervarietas dilakukan dengan menghitung pendapatan tunai rata-rata perhektar pada decision making unit dengan varietas Ciherang, Denok, dan Mekongga. Meskipun sebenarnya terdapat varietas SMC dan Kintani 1 yang diusahakan di Desa Kertawinangun, namun kedua varietas tersebut hanya digunakan oleh satu decision making unit sehingga tidak dapat dihitun rataannya. Analisis pendapatan tunai perhektar untuk setiap varietas dilakukan dengan tujuan memberikan gambaran lebih rinci mengenai pendapatan yang diperoleh usahatani di daerah pengamatan. Analisis ini juga dilakukan untuk mengetahui apakah ada varietas yang lebih menonjol dibandingkan dengan varietas lain, baik dari segi penerimaan, biaya, maupun pendapatan tunai yang dihasilkan. Analisis pendapatan kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis rasio R/C. Rasio R/C adalah salah satu analisis yang sering digunakan sebagai indikator capaian efisiensi dari suatu usaha.
Hal yang membedakan
indikator efsiensi pada data envelopment analysis dan rasio R/C adalah data envelopment analysis menekankan pada kombinasi masukan (input) yang digunakan dan keluaran (output) yang dihasilkan, sedangkan pada rasio R/C, harga dari masukan (input) dan keluaran (output) juga mempengaruhi hasilnya. Penelitian ini menggunakan rasio R/C total. Artinya, rasio R/C yang ada pada penelitian ini menunjukan besarnya rasio antara pendapatan total dengan biaya total. Nilai dari rasio R/C yang diperoleh masing-masing decision making unit 23
pada penelitian ini kemudian akan dibandingkan dengan nilai efisiensi teknis yang dicapai. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah dengan menggunakan dua alat ukur efisiensi, maka terdapat hubungan yang berbanding lurus. Selain itu, dapat terlihat apakah decision making unit yang mampu mencapai efisiensi teknis berdasarkan data envelopment analysis juga merupakan decision making unit yang mencapai rasio R/C yang besar. Analisis pendapatan ketiga yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis pendapatan bersih perhektar. Analisis ini dilakukan pada setiap decision making unit. Hasil dari analisis ini kemudian dibandingkan dengan nilai efisiensi teknis yang diperoleh, sehingga dapat terlihat hubungan antara nilai efisiensi dengan pendapatan perhektar yang diperoleh decision making unit.
Alasan
penulis menggunakan analisis pendapatan bersih perhektar (tidak seperti analisis pendapatan perhektar rata-rata yang menggunakan analisis pendapatan tunai) adalah karena tujuan dari analisis ini mengetahui hubungan antara efisiensi dan pendapatan. Apabila penulis menggunakan analisis pendapatan tunai, terdapat kemungkinan
decision
making
unit
yang
mengusahakan
usahataninya
menggunakan lahan pribadi akan mencapai pendapatan perhektar yang lebih tinggi mengingat biaya sewa lahan menjadi biaya tunai terbesar yang dikeluarkan decision making unit di daerah pengamatan. Karena itu, agar hasil perbandingan yang dilakukan lebih objektif, penulis menggunakan pendapatan bersih pehektar pada analisis ini. Berdasarkan uraian diatas, alur kerangka pemikiran konseptual dari penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.
24
Peningkatan jumlah penduduk
Peningkatan kebutuhan pangan pokok
Peningkatan permintaan padi
Perbedaan Karakteristik Varietas
Diperlukan peningkatan produksi padi
Efisiensi Pendekatan data envelopment analysis di Desa Kertawinangun
Seluruh Varietas
Ciherang
Denok
Mekongga
Analisis Pendapatan dan Rasio R/C
Usahatani efisien Saran perbaikan efisiensi usahatani Usahatani tidak efisien Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Padi Sawah di Desa Kertawinangun Tahun 20111
25
IV METODE PENELITIAN 4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Kertawinangun, Kecamatan Kandanghaur,
Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Kandanghaur adalah salah satu sentra produksi padi di Jawa Barat, dan Provinsi Jawa Barat sebagai sentra beras nasional.
Penelitian dilakukan sejak bulan Januari 2012 hingga Juni 2012.
Penelitian menggunakan data panen musim kedua tahun sebelumnya (tahun 2011) dengan pertimbangan panen yang akan datang memiliki risiko produksi yang sangat tinggi sehingga dikhawatirkan akan terjadi penurunan produksi.
4.2.
Data dan Instrumentasi Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian penulis.
Data primer diperoleh dengan cara
melakukan wawancara kepada petani decision making unit dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Pertanyaan yang diajukan mencakup identitas petani, faktor produksi yang digunakan, dan biaya serta pendapatan yang diperoleh petani dari usahatani padi sawahnya baik yang dijual maupun yang tidak. Data primer digunakan sebagai masukan yang kemudian digunakan untuk dianalisis menggunakan alat analisis yang ditentukan. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan bukan untuk menjawab penelitian penulis.
Data sekunder diperoleh dari dinas ataupun kementerian
terkait yang digunakan sebagai salah satu sumber penentuan lokasi penelitian. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data luas tanam, produksi, dan produktivitas padi nasional dari Kementerian Pertanian, data luas tanam, produksi, dan produktivitas padi Provinsi Jawa Barat dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, dan data Kecamatan Kandanghaur dalam angka dari BPS Kabupaten Indramayu. Data sekunder dalam penelitian ini digunakan dalam menentukan lokasi penelitian. 26
4.3.
Definisi Operasional
Tabel 5. Definisi Variabel dan Unit Pengukuran Variabel Usia Usia Usahatani Lama pendidikan formal Lahan
Unit Tahun Tahun
Definisi Usia dari petani j yang menjalankan usahatani Usia usahatani padi sawah j yang dijalankan
Tahun
Lama petani j mengikuti pendidikan formal
m2
Benih Harga benih
kg/m2 Rupiah/kg
Tenaga kerja dalam keluarga Tenaga kerja luar keluarga Tenaga kerja mesin Upah tenaga kerja dalam keluarga Upah tenaga kerja luar keluarga Upah tenaga kerja mesin
Jam Kerja
Luasan lahan yang diusahakan untuk usahatani padi sawah j Jumlah benih yang digunakan oleh usahatani j Biaya yang dikeluarkan usahatani padi sawah j untuk membeli benih Jumlah jam kerja tenaga kerja dalam keluarga yang digunakan dalam usahatani padi sawah j
Sewa lahan
Rupiah/musim tanam Rupiah/musim tanam
Biaya pengadaan irigasi Biaya pengadaan saprodi Hasil panen Pendapatan Hasil Panen
Jam Kerja Jam Kerja Rupiah/HOK
Rupiah/HOK
Rupiah
Jumlah jam kerja tenaga kerja luar keluarga yang digunakan dalam usahatani padi sawah j Jumlah jam kerja tenaga kerja mesin yang digunakan dalam usahatani padi sawah j Biaya yang dikeluarkan untuk membayar tenaga kerja dalam keluarga yang digunakan usahatani padi sawah j Biaya yang dikeluarkan untuk membayar tenaga kerja manusia luar keluarga yang digunakan usahatani padi sawah j Biaya yang dikeluarkan untuk membayar tenaga kerja mesin yang digunakan usahatani padi sawah j Biaya sewa lahan yang dikeluarkan oleh usahatani padi sawah j untuk menyewa sawah Biaya pengadaan irigasi yang dikeluarkan usahatani padi sawah j untuk pengadaan irigasi
Rupiah
Total biaya yang dikeluarkan usahatani padi sawah j untuk inventarisasi saprodi padi sawah
kg GKG Rupiah
Jumlah hasil panen usahatani padi sawah ke i Hasil perkalian antara seluruh hasil panen padi dengan harga gabah yang diterima oleh petani 27
Variabel adalah konsep yang memiliki variasi nilai (Soekartawi et al. 1984). Variabel dan unit pengukuran yang digunakan pada data primer dalam penelitian ini terdapat pada tabel 5. Variabel yang didefinisikan dalam bagian ini adalah variabel yang digunakan pada kuisioner penulis.
4.4.
Metode Pengambilan Decision making unit Metode pengambilan decision making unit dilakukan secara purposive.
Penelitian sengaja mengambil decision making unit petani yang mengusahakan lahan yang berada di suatu hamparan tertentu di Desa Kertawinangun, Kabupaten Indramayu.
Hal ini dilakukan untuk keseragaman variabel masukan (input)
seperti karakteristik lahan, topologi, sistem pengairan, dan cuaca. Keseragaman hamparan menjadi sangat penting karena penelitian ini adalah penelitian mengenai efisiensi. Peneltian mengenai efisiensi menuntut standardisasi variabel-variabel yang digunakan, terutama variabel yang memiliki pengaruh terhadap produksi.
4.5.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Data primer yang digunakan dianalisis secara kuantitatif dengan
menggunakan Data Envelopment Analysis untuk mengukur efisiensi teknis relatif dari berbagai usahatani yang dijadikan sebagai decision making unit. Data yang terkumpul dari setiap decision making unit akan diolah menggunakan software DEAP 2.1. keluaran (output) dari software tersebut akan menunjukan tingkat efisiensi relatif dari setiap decision making unit terhadap responen lain dalam usahatani yang diteliti.
Penulis menggunakan Microsoft Excel 2007 untuk
mengolah data pada analisis pendapatan, baik pada rasio R/C, biaya, penerimaan, maupun pendapatan perhektar.
Penulis juga menggunakan SPSS 16 untuk
menganalisis hubungan antara karakteristik responden dengan nilai efisiensi teknis menggunakan pengujian Rank Spearman.
28
4.5.1. Analisis Efisiensi Teknis Pendekatan efisiensi teknis yang digunakan adalah Data Envelopment Analysis. Pendekatan ini digunakan karena sederhana dan tidak membutuhkan banyak variabel. Asumsi constant return to scale dan input oriented digunakan karena pengamatan ini hanya dilakukan pada satu periode waktu, sehingga kemungkinan adanya perubahan-perubahan faktor produksi sebagai akibat dari perkembangan waktu dapat diabaikan. Waktu satu musim tanam padi sawah tergolong singkat (sekitar 100 hari) memperbesar kemungkinan tidak ada perbedaan teknologi yang mempengaruhi usahatani selama musim tanam. Penelitian ini menggunakan input oriented karena variabel masukan (input) adalah vatiabel yang lebih mudah dikontrol oleh decision making unit (Javed 2008). Analisis multistage digunakan untuk meminimalisasi adanya kesalahan sebagai akibat dari tidak dihitungnya kesalahan pada hasil perhitungan. Hal ini sesuai dengan yang direkomendasikan dalam Cooper et al. (2002) untuk tidak menggunakan analisis satu stage.
4.5.2. Analisis Hubungan Nilai Efisiensi Teknis dengan Karakteristik Decision making unit Hubungan analisis antara nilai efisiensi teknis yang dicapai decision making unit pada perbandingan varietas dengan karakteristik decision making unit dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan, signifikansi, dan tren yang ada pada kedua varaibel yang dibandingkan.
Variabel karakteristik decision
making unit yang dibahas adalah adalah lama pendidikan formal, usia, pengalaman bertani, dan status kepemilikan lahan. Pemilihan variabel ini sesuai dengan penelitian Fernandez dan Nuthall (2001) yang juga menganalisis hubungan antara efisiensi teknis penndekatan Data Envelopment Analysis dengan karakteristik dari decision making unit yang menjaid objek penelitian. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Fernandez dan Nuthall (2001) adalah alat analisis hubungan yang digunakan. Fernandez dan Nuthall (2001) menggunakan bootstrap regression sedangkan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah SPSS 16 dan Microsoft Office 2007. 29
Hal pertama yang dilakukan adalah pengujian hubungan dan signifikansi hubungan antara kedua variabel yang dibandingkan. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan alat analisis SPSS 16. Pendekatan yang dilakukan adalah menggunakan pengujian Rank Spearman.
Penulis memutuskan untuk
menggunakan pendekatan ini atas dasar pengujian Rank Spearman membutuhkan asumsi skala pengukuran dari kedua variabel yang dianalisis mencapai skala ordinal. Variabel nilai efisiensi teknis menurut penulis termasuk ke dalam skala ordinal sehingga pengujian hubungan menggunakan Rank Spearman dianggap tepat untuk diaplikasikan pada penelitian ini.
Variabel yang diuji hubungan
dengan analisis antara nilai efisiensi teknis pervarietas adalah nilai efisiensi teknis decision making unit pada perbandingan seluruh varietas, pendidikan formal, usia, dan pengalaman bertani.
Variabel status kepemilikan lahan tidak digunakan
dalam perbandingan karena skala pengukurannya tidak mencapai ordinal. Nilai dari Rank Spearman dilambangkan dengan rs. Pengujian Rank Spearman menggunakan dua variabel, yang dinotasikan dengan variabel X dan variabel Y. Masing-masing variabel diurutkan sesuai dengan urutan tertentu, dengan aturan nilai terendah (satu) untuk observasi dengan nilai terkecil dan nilai n untuk observasi dengan nilai terbesar. Apabila terdapat observasi yang bernilai sama, maka nilai urutan yang digunakan adalah nilai rata-ratanya. Nilai rs dapat dinotasikan sebagai berikut:
rs =
(4.1)
Dimana,
x2 =
(4.2)
y2 =
(4.3)
keterangan: tx = banyaknya observasi sama pada variabel X untuk rank tertentu 30
ty = banyaknya observasi sama pada variabel Y untuk rank tertentu di = perbedaan rank X dan rank Y pada observasi ke-i i = observasi ke-i, untuk i =1,2, ..., n ∑ = jumlahkan untuk seluruh kasus angka sama Secara umum, interpretasi dari nilai rs adalah sebagai berikut: 1) Bila nilai│rs│= 0, berarti kedua variabel tidak berkorelasi. 2) Bila nilai │rs│= 1, berarti kedua variabel berkorelasi sempurna. 3) Semakin tinggi nilai │rs│, berarti semakin kuat hubungan kedua variabel. 4) Tanda positif pada rs, menunjukkan bahwa kedua variabel berkorelasi searah, yakni apabila variabel X semakin tinggi maka variabel Y akan cenderung semakin tinggi pula, atau sebaliknya. 5) Tanda negatif pada rs menunjukkan bahwa kedua variabel berkorelasi berlawanan arah, yakni apabila variabel X semakin tinggi maka variabel Y akan cenderung semakin rendah, atau sebaliknya.
Secara deskriptif nilai rs dapat dikategorikan secara subyektif, namun biasanya analisis bisnis mengategorikan nilai rs menjadi lima kategori berikut ini:Bila, 0<│r s│<0,2, maka kedua variabel dikategorikan berkorelasi sangat lemah. 1) Bila, 0,2≤│r s│≤0,4, maka kedua variabel dikategorikan berkorelasi lemah. 2) Bila, 0,4≤│r s│<0,6, maka kedua variabel dikategorikan berkorelasi sedang. 3) Bila, 0,6≤│r s│<0,8, maka kedua variabel dikategorikan berkorelasi kuat. 4) Bila, 0,8≤│r s│<1, maka kedua variabel dikategorikan berkorelasi sangat kuat.
Hal kedua yang dilakukan adalah menggunakan gambar scatter untuk mengetahui tren yang terdapat pada hubungan antara dua variabel yang diamati. Meskipun pada output dari pengujian Rank Spearman telah memperlihatkan 31
hubungan antara kedua variabel (berbanding lurus atau berbanding terbalik) akan tetapi hasil tersebut tidak dapat menunjukan posisi dari masing-masing unit pengamatan.
Karena itu, digunakan gambar scatter untuk mengetahui posisi
pemetaan masing-masing decision making unit pada pemetaannya dan garis tren yang dihasilkan.
Manfaat dari penggunaan gambar scatter adalah dapat
membantu mengetahui posisi masing-masing usahatani dan melihat penyebaran dari data-data yang ada. Analisis ini digunakan pada tren antara nilai efisiensi teknis pervarietas dengan nilai efisiensi teknis decision making unit pada perbandingan seluruh varietas, pendidikan formal, usia, dan pengalaman bertani.
4.5.3. Analisis Pendapatan Usahatani Analisis pendapatan usahatani membahas penerimaan, pengeluaran, dan pendapatan usahatani.
Analisis pendapatan usahatani dilakukan dengan
pendokumentasian seluruh penerimaan dan pengeluaran dari usahatani yang dijalankan pada musim yang menjadi objek pengamatan. Analisis pendapatan yang digunakan untuk menunjukan kemampuan petani di daerah penelitian menghasilkan keuntungan dilakukan dengan menggunakan analisis pendapatan tunai. Penerimaan tunai adalah total nilai dari hasil perkalian antara total produksi yang dijual dan harga jual yang diterima decision making unit. Pengeluaran usahatani yang digunakan adalah pengeluaran tunai, yaitu pengeluaran yang secara nominal dikeluarkan oleh decision making unit untuk membeli barang dan jasa dalam menjalankan usahatani, seperti pengeluaran untuk membeli pupuk, membayar tenaga kerja, dan lain sebagainya. Pendapatan adalah selisih antara total penerimaan dengan total pengeluaran. Analisis pendapatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis pendapatan tunai usahatani. Analisis ini menjadi menjadi alat ukur kemampuan usahatani menghasilkan uang tunai. Secara matematis, pendapatan tunai usahatani dapat dituliskan sebagai berikut:
FNCF = FR – FP
(4.4)
32
Keterangan: FNCF
= Pendapatan tunai usahatani (farm net cash flow)
FR
= Penerimaan tunai usahatani (farm receipt)
FP
= Pengeluaran tunai usahatani (farm payment)
Penelitian ini menggunakan analisis pendapatan tunai pada bagian analisis pendapatan rata-rata baik pada seluruh varietas maupun pada setiap varietasnya. Penulis memutuskan untuk menggunakan analisis pendapatan tunai dibandingkan dengan analisis pendapatan bersih dikarenakan berdasarkan hasil perhitungan, apabila menggunakan analisis pendapatan bersih, maka total pendapatan yang diperoleh rata-rata decision making unit di daerah tersebut sangat rendah. Hal ini disebabkan besarnya biaya diperhitungkan yang dikeluarkan oleh decision making unit. Biaya diperhitungkan yang terbesar yang dikeluarkan oleh decision making unit adalah biaya opportunity cost lahan dan penyusutan. Karena itu, penulis memutuskan menggunakan analisis pendapatan tunai usahatani untuk menunjukan kemampuan petani di daerah pengamatan menghasilkan uang tunai dari usahatani yang dijalankan.
4.5.4. Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya Analisis rasio penerimaan dan biaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio R/C ( Revenue/ Cost Ratio). Rasio R/C adalah salah satu analisis yang dapat digunakan untuk mengetahui kelayakan dari suatu usaha yang dilakukan. Rasio R/C dilakukan dengan membandingkan antara total penerimaan usahatani dengan total biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang dan jasa dalam menjalankan kegiatan usahatani pada waktu yang diamati. Penelitian ini menggunakan rasio R/C total. Secara matematis, rasio R/C total dapat dituliskan sebagai berikut:
(4.5)
33
Keterangan : TI
= Penerimaan total (total income)
TFE
= Pengeluaran total (total farm expenses)
Hal yang menjadi ukuran efisiensi usahatani dengan menggunakan nilai rasio R/C adalah nilai dari rasio R/C. Apabila nilai rasio R/C lebih besar dari satu maka usahatani tersebut dikatakan telah mencapai efisiensi.
Nilai rasio R/C
menunjukan bahwa usahatani mendapatkan keuntungan dari setiap satuan usaha yang dikeluarkan. Misalkan nilai efisiensi dari usahatani X adalah 1,5. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap satu satuan usaha yang dikeluarkan oleh usahatani akan menghasilkan keluaran (output) sebesar 1,5. Penelitian ini menggunakan analisis rasio R/C total. Pendapatan (revenue) yang digunakan adalah total pendapatan yang diperoleh dari hasil panen, baik yang dijual maupun digunakan untuk membayar faktor produksi ataupun dikonsumsi petani.
Selain itu, biaya yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan total biaya usahatani. Total biaya yang digunakan meliputi biaya tunai dan biaya diperhitungkan. 4.5.5. Analisis Hubungan Efisiensi Teknis dengan Pendapatan perhektar Analisis pendapatan perhektar pada bab yang membahas hubungan antara nilai efisiensi teknis dengan pendapatan perhektar menggunakan nilai pendapatan bersih perhektar yang diperoleh masing-masing decision making unit. Awalnya penulis menggunakan analisis pendapatan tunai perhektar untuk dibandingkan dengan nilai efisiensi teknis yang dicapai.
Akan tetapi berdasarkan hasil
perhitungan, terlihat adanya gap yang besar antara decision making unit yang menggunakan lahan sewa dan decision making unit dengan lahan pribadi. Decision making unit dengan lahan sewa memiliki pendapatan perhektar yang lebih kecil dibandingkan denga decision making unit dengan lahan milik sendiri. Hal ini disebabkan besarnya biaya sewa lahan yang ada di daerah tersebut.
34
Decision making unit yang menggunakan lahan sendiri jelas lebih tinggi pendapatan tunai yang diperolehnya. Menurut Soekartawi (1986), analisis arus uang tunai termasuk penting untuk mengukur penampilan usahatani, akan tetapi pengukuran tersebut tidak menggambarkan keadaan sebenarnya.
Hal ini disebabkan dalam usahatani,
terdapat banyak biaya tidak tunai yang dikeluarkan terutama pada usahatani yang subsisten atau semisubsisten. Soekartawi (1986) mengajukan konsep pendapatan kotor usahatani (gross farm income) yang didefinisikan sebagai nilai produk total dari suatu usahatani dan mencakup produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga usahatani, digunakan oleh usahatani baik sebagai bibit pada masa tanam berikutnya ataupun sebagai pakan ternak, digunakan sebagai alat pembayaran, ataupun untuk disimpan. Nilai pendapatan kotor dikurangi dengan pengeluaran total disebut dengan pendapatan bersih. Karena itu, pada analisis pendapatan perhektar yang dibandingkan dengan efisiensi teknis yang diperoleh, pendapatan yang digunakan adalah pendapatan bersih, bukan pendapatan tunai. Analisis pendapatan bersih menggunakan pendapatan kotor dan biaya atau pengeluaran total (total farm expenses).
Definisi dari penerimaan kotor
adalah nilai dari perkalian antara total produksi dengan harga produk. Definisi dari biaya total adalah biaya yang dikeluarkan secara tunai dan total biaya diperhitungkan. Secara matematis, pendapatan perhektar decision making unit data dituliskan sebagai berikut:
FNI = GFI - TFE
(4.6)
Keterangan: FNI = Pendapatan bersih (farm net income) GFI = Pendapatan kotor (gross farm income) TFE = Pengeluaran total (total farm expenses) Pengeluaran yang termasuk kedalam pengeluaran total adalah biaya tunai, tidak tunai, dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli faktor produksi berupa barang maupun jasa yang dikeluarkan decision making unit secara tunai. Contoh dari biaya tunai untuk membeli faktor 35
produksi berupa barang adalah pembelian pupuk, benih, pestisidan, dan perlengkapan pembenihan.
Contoh dari biaya tunai untuk membeli faktor
produksi berupa jasa adalah biaya sewa lahan pada decision making unit dengan status kepemilikan lahan sewa, tenaga kerja luar keluarga, dan tenaga kerja mesin untuk pengolahan traktor. Biaya tidak tunai adalah biaya yang dikeluarkan oleh usahatani untuk membeli faktor produksi berupa barang maupun jasa namun tidak menggunakan uang tunai sebagai alat pembayarannya. Contoh dari biaya tidak tunai adalah upah tenaga kerja panen. Terdapat sistem bagian hasil panen yang digunakan untuk pembayaran upah panen. Salah satu nisbah yang banyak digunakan adalah nisbah 10:7. Interpretasi dari nisbah ini adalah dari setiap 100 kg padi yang dipanen, maka buruh panen mendapatkan upah panen sebesar 17 kg. Kelemahan dari penelitian ini adalah masih belum mampu menggambarkan secara detil mengenai biaya tidak tunai yang dikeluarkan petani. Hal ini disebabkan pada saat pengumpulan data sebagian besar pengamatan tidak dapat mengingat besarnya biaya tidak tunai yang dikeluarkan. Selain itu, besar kemungkinan biaya tidak tunai yang dibeluarkan tercampur dengan pengeluaran rumah tangga usahatani sehingga sangat sulit dipisahkan.
Contoh dari biaya tidak tunai yang sulit
dipisahkan dengan pengeluaran rumah tangga usahatani adalah biaya untuk upah makan buruh tani. Terdapat banyak pengamatan yang memberikan upah berupa makanan maupun minuman untuk buruh tani yang bekerja. Akan tetapi sangat sulit dihitung besarnya pengeluaran ini karena disatukan dengan pengeluaran rumah tangga usahatani untuk biaya makan keluarga petani. Biaya diperhitungkan adalah biaya yang sebenarnya dikeluarkan oleh decision making unit namun tidak secara tunai. Sebagian besar decision making unit tidak memperhitungkan biaya ini. Contoh dari biaya diperhitungkan adalah biaya sewa lahan pada decision making unit yang menggunakan lahan milik pribadi dan biaya penyusutan faktor produksi. Hal yang perlu diperhatikan pada biaya diperhitungkan pada perhitungan pendapatan bersih adalah biaya tenaga kerja dalam keluarga tidak termasuk ke dalam biaya total.
Selain itu, biaya
diperhitungkan yang digunakan adalah biaya penyusutan
biaya penyusutan 36
diukur dengan menggunakan metode garis lurus. Secara matematis, metode garis lurus dapat dinotasikan dengan:
(4.7)
Nilai harga beli diperoleh dengan menanyakan harga yang diperoleh responden saat membeli peralatan yang digunakan dalam usahatani. Peralatan yang digunakan diantaranya cangkul, parang, dan penyemprot.
Nilai sisa
diperoleh dengan menanyakan apakah peralatan tersebut terdapat kemungkinan dijual apabila sudah tidak digunakan lagi. Umur ekonomis diperoleh dengan menanyakan lama menggunakan peralatan tersebut hingga kahirnya memutuskan untuk membeli peralatan baru.
37
V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1.
Keadaan Wilayah Penelitian Kertawinangun adalah satu dari 13 desa di Kecamatan Kandanghaur,
Kabupaten Indramayu.
Desa ini terletak pada ketinggian tiga meter diatas
permukaan air laut dengan curah hujan 2.000 mm/tahun. Suhu rataan harian desa ini adalah 30 oC. Luas wilayah Desa Kertawinangun adalah 5,68 km2 terdiri atas 0,0795 km2 area pemukiman, 0,445 km2 lahan persawahan dengan irigasi teknis, dan sisanya digunakan untuk lahan pemakaman, pekarangan, perkantoran, dan prasarana umum.
Desa Kertawinangun memiliki batas administratif sebagai
berikut: Sebelah Utara: Desa Eretan Kulon, Kecamatan Kandanghaur Sebelah Selatan: Desa Soge, Kecamatan Kandanghaur Sebelah Timur: Desa Eretan Wetan, Kecamatan Kandanghaur Sebelah Barat: Desa Eretan Kulon, Kecamatan Kandanghaur
5.2.
Gambaran Umum Penduduk dan Matapencaharian Desa Kertawinangun memiliki jumlah penduduk 5.514 jiwa pada tahun
2010 yang terdiri atas 2.908 jiwa penduduk laki-laki dan 2.606 jiwa penduduk perempuan dengan kepadatan penduduk 106 jiwa perkm2 (Kantor Desa Kertawinangun 2011).
Berdasarkan usia dan jenis kelamin, penduduk Desa
Kertawinngun dapat dikelompokkan seperti pada tabel 6. Berdasarkan data total penduduk pada buku Profil Desa Kertawinangun dan hasil perhitungan manual pada data penduduk berdasarkan usia pada buku yang sama terdapat perbedaan jumlah penduduk. Terdapat kemungkinan ada kesalahan penulisan pada salah satu data ataupun terdapat kesalahan penulis dalam membaca data profil desa dikarenakan pendokumentasiannya dilakukan menggunakan tulisan tangan dan alat tulis pensil.
Berdasarkan komposisi penduduk Desa Kertawinangun
berdasarkan usia dan jenis kelamin, terlihat bahwa sebagian besar penduduk berada pada usia produktif (16-55 tahun).
38
Tabel 6. Komposisi Penduduk Desa Kertawinangun Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Tahun 2010 Jenis Kelamin Usia (tahun) Pria (Jiwa) Persentase (%) Perempuan (Jiwa) Persentase (%) 0-15 16-55 >56 Total
792
28,08
782
27,12
1.651
58,53
1.663
57,68
378
13,40
438
15,19
2.821
100
2.883
100
Sumber: Kantor Desa Kertawinangun 2011, diolah
Komposisi penduduk Desa Kertawinangun berdasarkan matapencaharian dan jenis kelamin, sebagian besar penduduk baik pria maupun wanita bekerja sebagai buruh tani.
Penduduk desa menjadi buruh tani lepas dengan sistem
borongan dengan mematok harga tertentu untuk berbagai jenis kegiatan bertani. Terdapat kemungkinan ada perhitungan ganda pada tabel 7 karena terdapat penduduk yang memiliki pekerjaan ganda, misalnya sebagai TNI yang juga mengolah sawah sehingga dapat dikatakan sebagai seorang petani. Berdasarkan pengelompokan kepala keluarga (KK) Desa Kertawinangun tahun 2010 memiliki total 1.664 KK dengan 1.464 anggota keluarga petani, sedangkan jumlah keluarga buruh tani sebanyak 602 keluarga. Data menunjukan sektor utama matapencaharian penduduk Desa Kertawinangun adalah petanian. Pendapatan perkapita dari sektor pertanian tahun 2010 untuk setiap keluarga pertanian adalah Rp.12.455.295. Tidak terdapat keterangan lebih lanjut mengenai definisi dari pendapatan perkapita dari sektor pertanian yang dilakukan oleh Kantor Desa Kertawinangun. Proses penilaian ataupun pengumpulan data serta pengolahan data mengenai pendapatan perkapita dari sektor pertanian untuk setiap keluarga pertanian juga tidak diketahui lebih lanjut. Interpretasi penulis, definisi dari pendapatan perkapita dari sektor pertanian untuk setiap keluarga pertanian adalah nilai nominal rata-rata yang diperoleh setiap keluarga yang mengusahakan pertanian atau matapencahariannya dari sektor pertanian.
39
Tabel
7.
Komposisi Penduduk Desa Kertawinangun Berdasarkan Matapencaharian dan Jenis Kelamin Tahun 2010 Jenis Kelamin Matapencaharian Pria Persentase Perempuan Persentase (Orang) (%) (Orang) (%) Petani 119 10,09 100 8,83 Buruh Tani
481
40,80
750
66,25
Pegawai Negeri Sipil
10
0,85
14
1,24
Pedagang Keliling
15
1,27
20
1,77
6
0,51
0
0,00
332
28,16
0
0,00
5
0,42
0
0,00
0,00
50
4,42
Peternak Montir Dokter Swasta Pembantu rumah Tangga TNI
1
0,08
0
0,00
Pensiunan PNS/TNI/Polri
1
0,08
0
0,00
5
0,42
4
0,35
0
0,00
1
0,09
9
0,76
1
0,09
145
12,30
139
12,28
50
4,24
53
4,68
1179
100
1132
100
Pengusaha kecil dan menengah Dukun kampung terlatih Guru Swasta Karyawan Swasta Pedagang Total
Sumber: Kantor Desa Kertawinangun 2011, diolah
5.3.
Karakteristik Decision Making Unit Jumlah decision making unit yang diwawancarai dalam penelitian ini
sebanyak 73 orang. Terdapat beberapa decision making unit yang memiliki lahan yang terfragmentasi di beberapa lokasi namun masih terdapat dalam satu hamparan yang menjadi objek penelitian. Terdapat beberapa decision making unit yang mengolah lahan yang terfragmentasi dalam cakupan penelitian dengan menanam varietas yang sama, sehingga penulis mengasumsikan beberapa lahan terfragmentasi yang diolah oleh satu decision making unit dianggap sebagai satu decision making unit dengan satu decision making unit. Penulis mengasumsikan 40
satu fragmen lahan yang ditanami satu jenis varietas merupakan satu decision making unit . Sedangkan asumsi yang digunakan pada decision making unit yang melakukan budidaya pada beberapa lahan terfragmentasi dalam cakupan penelitian dengan varietas yang berbeda disetiap fragmen lahannya sebagai satu decision making unit dengan beberapa decision making unit. Fragmen lahan yang dianggap sebagai decision making unit tersendiri adalah fragmen dengan varietas yang berbeda. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa varietas memiliki pengaruh terhadap produktivitas dan memiliki karakteristik seperti kebutuhan hara, ketahanan hama dan penyakit, dan lain sebagainya yang berbeda, sehingga penulis tidak dapat mengasumsikan beberapa fragmen dengan varietas yang berbeda sebagai satu decision making unit sehingga pada penelitian ini terdapat 73 decision making unit yang diwawancara, dengan 77 decision making unit. Alasan terdapat decision making unit yang mengolah lahan yang terfragmentasi adalah karena sebagian besar decision making unit hanya petani penggarap dengan sistem sewa sehingga mereka tidak dapat memastikan mendapatkan lahan yang berada dalam satu hamparan. Simpulan yang diambil dari pernyataan para decision making unit yang menggunakan satu varietas meskipun lahannya terfragmentasi diantaranya: (a) meningkatkan efisiensi. Decision making unit hanya cukup mengkalkulasikan luas lahannya dan menghitung kebutuhan dari masukan (input) yang harus disediakan. Apabila membudidayakan lebih dari varietas, terdapat kemungkinan reponden harus mengeluarkan tenaga lebih untuk memperhitungkan inventori yang harus dikeluarkan. (b) memudahkan menghitung pendapatan bersih. (c) memudahkan dalam proses penjualan. Hal ini disebabkan setiap varietas memiliki karakteristik yang berbeda sehingga terdapat kemungkinan pasar memiliki harga yang berbeda. Terdapat beberapa alasan decision making unit membudidayakan lebih dari satu varietas dalam satu musim tanam, diantaranya: (a) coba-coba, pada alasan ini decision making unit mengatakan mencoba varietas baru dan pada akhirnya akan membandingkan hasilnya untuk menjadi referensi pada musim tanam selanjutnya. Decision making unit tidak dapat mengandalkan hasil panen decision making unit lain karena setiap decision making unit memiliki 41
karakteristik tersendiri dalam mengelola usahataninya, sehingga decision making unit perlu merasa harus langsung menguji hasil dari suatu varietas. (b) mengikuti varietas yang digunakan oleh petani sekitar lahan. Misalkan decision making unit X mengolah lahan yang dikelilingi petani yang menggunakan padi B. Meskipun decision making unit X lebih menyukai padi A, akan tetapi pada akhirnya petani X mengikuti petani lain menanam padi B. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terkena hama dan penyakit karena perbedaan varietas. (c) adanya perjanjian dengan pemilik lahan. Misalkan pemilik lahan menghendaki lahannya ditanami padi varietas tertentu dikarenakan alasan tertentu misalnya sejarah lahan. Hal ini menyebabkan petani penggarap mengikuti varietas sesuai dengan yang diinginkan pemilik lahan. Karakteristik decision making unit yang akan dibahas meliputi jenis kelamin, usia, lama bertani padi sawah, lama pendidikan formal, matapencaharian utama, status kepemilikan lahan garapan, dan sumber modal usahatani. Matapencaharian utama didefinisikan sebagai pekerjaan yang dianggap menjadi sumber penghasilan utama decision making unit. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat 58 dari 73 decision making unit atau sebanyak 79,46 persen decision making unit mengatakan bahwa mereka tidak memiliki pekerjaan lain selain bertani. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki keahlian lain selain bertani. Berdasarkan usia pada kategori decision making unit yang menyatakan bertani sebagai matapencaharian utama, hanya terdapat satu decision making unit yang berusia tidak produktif (diatas 65 tahun) dengan rataan pengalaman bertani 22 tahun. Meskipun banyak decision making unit yang masih berusia produktif, namun mereka hanya menggantungkan pendapatan dari bertani dengan alasan bertani adalah satu-satunya keahlian yang dimiliki.
Banyaknya pengalaman
menjadi petani juga menjadikan decision making unit menjadikan bertani sebagai sumber penghasilannya. Berdasarkan lama menempuh pendidikan, decision making unit rata-rata menempuh pendidikan formal selama 6,5 tahun dengan 22 decision making unit yang menempuh pendidikan dibawah enam tahun, sehingga mereka tidak memiliki cukup banyak pilihan untuk mencari pekerjaan lain. Kedekatan dengan 42
dunia pertanian sejak kecil membuat mereka merasa bertani adalah jalan hidupnya meskipun memiliki pendapatan yang tidak pasti.
Berdasarkan usia, rataan
decision making unit berusia 44 tahun, dengan pengalaman bertani 22 tahun sehingga mereka menjadi lebih memilih bertani sebagai satu-satunya pekerjaan yang dimiliki. Terdapat 15 dari 73 decision making unit atau sebanyak 20,54 persen decision making unit memiliki pekerjaan lain selain bertani. Meskipun memiliki pekerjaan lain, sebagian besar decision making unit menganggap bertani adalah matapencaharian utama. Hal ini disebabkan besarnya penghasilan yang diperoleh dari bertani.
Selain itu terdapat beberapa decision making unit yang tidak
memiliki penghasilan tetap dari pekerjaan diluar bertani sehingga menganggap bertani adalah matapencaharian utama. Hanya terdapat lima decision making unit yang menganggap bertani bukan matapencaharian utama. Alasan kelima decision making unit menyatakan bertani bukan matapencaharian utama karena mereka mendapatkan penghasilan tetap setiap periode tertentu dari pekerjaannya, ataupun mereka mendapatkan pendapatan yang besar dari pekerjaan lain selain bertani. Data decision making unit yang memiliki pekerjaan lain selain bertani terdapat pada tabel 8. Usia rataan decision making unit yang memiliki pendapatan lain diluar usahatani adalah 43 tahun dengan rataan lama bertani 22 tahun, dan seluruh decision making unit masih berada pada usia produktif. Masih produktifnya usia decision making unit dapat menjadi penunjang sehingga decision making unit masih dapat menjalankan beberapa pekerjaan dalam waktu yang sama. Berdasarkan lama menempuh pendidikan formal, rataan yang diperoleh adalah 7,66 tahun dengan rincian delapan decision making unit menempuh pendidikan lebih dari 12 tahun yang memiliki pekerjaan sebagai TNI dan guru (baik PNS maupun honorer), satu decision making unit tidak menempuh pendidikan formal dan bekerja sebagai pedagang, dan enam decision making unit bekerja sebagai pedagang, supir, dan tukang servis.
43
Tabel 8. Sebaran Decision Making Unit Berdasarkan Jenis Pekerjaan Selain Bertani Tahun 2010 Pekerjaan Selain Bertani Jumlah Decision Making Persentase (%) Unit Tukang Servis
1
6,67
Guru Honorer
3
20
PNS
2
13,33
Pedagang
7
46,67
Supir
1
6,67
TNI
1
6,67
Jumlah
15
100
Sumber: Kantor Desa Kertawinangun 2011, diolah
Berdasarkan luasan lahan, terdapat 34 decision making unit yang menggarap lahan dibawah satu hektar.
Meskipun luasan yang digarap tidak
terlalu besar, akan tetapi decision making unit merasa mendapatkan keuntungan karena sebagian besar menggarap lahan pribadi sehingga apabila gagal panen tidak dibebankan untuk membayar sewa lahan. Hanya dua decision making unit yang menggarap lahan diatas lima hektar, dan hanya terdapat satu decision making unit yang menggarap lahan diatas lima hektar dan milik sendiri. Sebagian besar decision making unit yang menggarap lahan antara satu hingga lima hektar menggarap lahan yang terfragmentasi di beberapa tempat namun masih dalam satu hamparan yang menjadi area pengamatan.
Hal ini dikarenakan terdapat
decision making unit yang hanya menjadi petani penggarap sehingga ketika menyewa tanah tidak dapat memastikan mendapat lahan yang berada disatu area. Terdapat dua cara pembayaran sewa yang ada di daerah pengamatan, yaitu sistem biaya sewa yang telah ditentukan sebelumnya, yang berkisar sembilan hingga dua belas juta rupiah untuk lahan seluas 0,7 hektar selama satu tahun. Sistem bayar yang lain adalah 2. 500 kg gabah untuk luasan dan masa sewa yang sama. Apabila terjadi gagal panen, maka decision making unit memiliki hutang kepada 44
pemilik lahan dengan menggunakan harga gabah pada saat decision making unit membayar. Berdasarkan sumber modal usahatani, sebagian besar decision making unit tidak menggantungkan dari satu sumber modal saja. Kurang dari sepuluh decision making unit hanya memiliko satu sumber.
Rataan modal yang dibutuhkan
decision making unit untuk menjalankan usahatani sebesar lima juta rupiah untuk lahan 0,7 hektar. Meskipun tidak terdapat akses terhadap lembaga perbankan di desa, petani dapat mengakses lembaga bank di desa lain yang berjarak sekitar 5 km dari desa tersebut, sehingga terdapat beberapa petani yang dapat mengakses perbankan sebagai sumber modal. Berdekatannya desa pengamatan dengan desa lain di tepi pantai menyebabkan petani yang memiliki akses ke KUD Mina sehingga meskipun bukan nelayan, namun petani tetap mendapat akses modal dari KUD tersebut.
5.4.
Teknik Budidaya Teknik budidaya yang direkomendasikan oleh Departemen Pertanian
adalah teknik budidaya dengan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Pengelolaan tanaman terpadu menjadi salah satu strategi peningkatan produktivitas dengan penerapan teknologi yang sesuai dengan sumber daya pertanian yang tersedia di suatu daerah. Komponen dalam PTT terdiri atas teknologi dasar dan teknologi pilihan. Komponen teknologi dasar pada PTT adalah: (1) Penggunaan varietas unggul. (2) Benih bermutu dan berlabel. (3) Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah. (4) Pengendalian hama dan penyakit terpadu (HPT).
Komponen teknologi pilihan dalam PTT terdiri atas: (1)
Penanaman bibit umur muda dengan jumlah bibit satu hingga tiga bibit perlubang. (2) Peningkatan populasi tanaman. (3) Penggunaan bahan organik seperti kompos atau pupuk kandang. (4) Pengairan dan pengeringan berselang. (5) Pengendalian gulma. (6) Panen tepat waktu. (7) Perontokan gabah sesegera mungkin (BBP2TP 2008). Teknik budidaya yang digunakan decision making unit belum menerapkan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT).
Decision making unit 45
mengandalkan kebiasaan bertani yang dilakukan. Salah satu hal yang diduga menyebabkan hal ini adalah kurangnya kedekatan antara penyuluh dengan decision making unit.
Menurut keterangan decision making unit, penyuluh
pertanian memiliki peran yang minim dalam membimbing dan memberikan informasi secara merata kepada decision making unit sehingga sebagian besar decision making unit kurang mengetahui perkembangan terkini mengenai teknik budidaya padi sawah. Selain itu faktor usia dan latar belakang pendidikan juga menjadi faktor pendukung sikap subsisten dari decision making unit yang diamati. Contoh hal yang membuat petani menjadi tidak percaya terhadap penyuluh adalah kejadian pada sekitar tahun 2006. Penyuluh pertanian memperkenalkan padi sawah jenis baru yaitu padi hibrida dan terdapat beberapa decision making unit yang tertarik untuk membudidayakan. Akan tetapi muncul masalah seperti gagal panen, banyaknya hama dan penyakit yang menyerang, tingginya biaya produksi, dan rendahnya harga beras di pasaran. Sekitar tahun 2008, penyuluh pertanian mengintroduksi padi varietas Ciherang, akan tetapi setelah beberapa musim tanam padi tersebut rentan terhadap hama dan penyakit, selain itu anakannya memiliki kualitas yang menurun dari hasil panen sebelumnya sehingga sebagian decision making unit enggan menggunakan bibit ini. Berbagai masalah yang muncul menyebabkan decision making unit merasa inferior dengan penyuluh pertanian sehingga saat ini sebagian besar decision making unit mereasa enggan untuk berkonsultasi dengan penyuluh pertanian. Selain itu, selama sekitar satu bulan pengamatan, terlihat penyuluh pertanian tidak melakukan pendekatan ataupun penyuluhan terhadap petani di daerah penelitian. Berdasarkan kegiatan budidaya yang digunakan oleh decision making unit, secara garis besar kegiatan budidaya dapat dikelompokkan menjadi kegiatan persemaian, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.
a.
Persemaian Kegiatan yang dilakukan decision making unit pada saat persemaian adalah menyediakan lahan untuk menjadi lahan persemaian.
Sebagian
decision making unit belum melakukan kegiatan persemaian seperti yang 46
dianjurkan dalam PTT. Terdapat beberapa decision making unit yang masih belum melakukan pemilihan benih bernas 4. Luas persemaian yang digunakan oleh decision making unit disesuaikan dengan jumlah benih yang hendak disemai. Idealnya luasan area pembibitan adalah empat persen dari luasan area tanam. Biaya yang dikeluarkan oleh decision making unit dalam masa pembibitan meliputi biaya pengolahan lahan sebelum pembibitan, pembelian ajir dan plastik untuk isolasi lahan pembibitan, dan biaya pembelian bibit. Bibit yang digunakan decision making unit adalah bibit varietas Ciherang, Denok, Mekongga, SMC, dan Kintani 1. Decision making unit masih belum menggunakan bibit sesuai dengan yang dianjurkan dalam PTT. Decision making unit
telah menggunakan bibit unggul seperti varietas
Ciherang dan Mekongga, akan tetapi sebagian besar decision making unit masih belum menggunakan bibit berlabel. Lebih dari 90 persen decision making unit mengatakan bahwa bibit yang digunakan pada musim kering tahun 2011 adalah bibit hasil panen sebelumnya.
Akan tetapi terdapat
kemungkinan bibit yang digunakan bukan berasal dari bibit yang ditanam sendiri pada musim tanam pertama. Terdapat beberapa petani yang membeli dari petani lain.
Tidak lebih dari sepuluh decision making unit yang
mengatakan pada musim kering tahun 2011 menggunakan bibit baru yang dibeli dari toko. Decision making unit lebih menyukai membeli dari petani lain dengan alasan harga yang lebih murah dibandingkan harus membeli dari toko.
Decision making unit mengatakan harga bibit adalah sekitar
Rp.50.000/5 kg bibit. Jumlah penggunaan bibit yang digunakan decision making unit berkisar antara 10-21,43 kg/ha. Sebagian besar decision making unit menggunakan bibit dibawah yang dianjurkan oleh PTT, yaitu 20 kg/ha. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan dana yang dimiliki oleh decision making unit.
Berdasarkan penggunaan bibit, decision making unit dapat
dikelompokkan seperti pada tabel 9.
4
Benih yang tenggelam dalam air
47
Tabel 9. Petani Padi Sawah Desa Kertawinangun Menurut Bibit yang Digunakan pada Musim Kering Tahun 2011 Varietas Ciherang
Jumlah Petani
Alasan Menggunakan Varietas 16 Varietas dari pemerintah
Denok
39 Menghasilkan beras yang harga jualnya tinggi
Mekongga
20 Tahan penyakit
SMC
1 Mencoba
Kintani 1
1 Mencoba
b.
Persiapan Lahan Kegiatan persiapan lahan yang dilakukan oleh decision making unit adalah pengolahan lahan. Pengolahan lahan biasanya dilakukan dua minggu sebelum lahan ditanami. Seluruh decision making unit menggunakan bantuan traktor untuk mengolah lahannya. Hal ini dikarenakan pengolahan tanah dengan traktor menurut decision making unit paling efisien dibandingkan menggunakan tenaga hewan ataupun manusia. Biaya yang dikeluarkan untuk pengolahan lahan dengan traktor adalah Rp.400.000-500.000 untuk lahan seluas 0,7 hektar. Berdasarkan PTT, disarankan ketika pengolahan lahan dilakukan juga pembenaman bahan organik seperti pupuk kandang sebanyak 2 Ton/ha maupun kompos jerami sebanyak 5 Ton/ha. Tidak ada decision making unit yang melakukan pembenaman bahan organik dengan alasan menambah biaya yang harus dikeluarkan. Selain itu, sulit untuk mendapatkan bahan organik dalam jumlah yang banyak.
c.
Penanaman Penanaman dilakukan pada saat usia pembibitan sekitar 20 hingga 30 hari. Hal ini lebih lama dari yang disarankan dalam PTT, yaitu kurang dari 21 hari setelah sebar (HSS). Seluruh decision making unit menggunakan tenaga kerja manusia dengan sistem borongan untuk melakukan kegiatan penanaman. Sistem borongan berarti penggarap membayar sejumlah tertentu 48
kepada sekelompok buruh tani untuk menyelesaikan pekerjaan. Biaya tanam yang dikeluarkan oleh decision making unit berkisar Rp.400.000-800.000 untuk luasan 0,7 hektar.
Terdapat dua macam sistem penanaman yang
digunakan decision making unit , yaitu sistem tegalan dan sistem legowo. Sistem tegalan lebih banyak digunakan decision making unit karena beberapa alasan, diantaranya: (1) Decision making unit merasa tidak ada perbedaan menggunakan legowo maupun tegalan. (2) Decision making unit tidak mau membayar upah buruh tani lebih mahal. Hal ini dikarenakan buruh tani meminta bayaran lebih mahal untuk sistem tanam legowo. (3) Sistem legowo dianggap sulit sehingga sedikit buruh tani yang mau menerapkannya. sistem tegalan yang banyak digunakan oleh petani adalah tegalan dengan jarak tanam 27 x 30 cm dengan dua hinggga empat bibit perlubang tanam. Decision making unit memilih untuk menggunakan lebih dari satu bibit perlubang tanam untuk mengantisipasi serangan hama sehingga mengurangi kemungkinan kerugian untuk melakukan penyiangan. Sistem legowo yang digunakan oleh decision making unit adalah legowo 3:1 dan legowov 4:1.
Kurang dari lima decision making unit
menggunakan sistem legowo.
Terdapat decision making yang telah
menggunakan legowo adalah decision making unit yang memiliki hubungan baik dengan petani di desa lain dan memiliki wawasan yang lebih terbuka sehingga mau mengaplikasikan sistem legowo dalam budidayanya. Akan tetapi sistem legowo yang diterapkan masih belum sesuai dengan yang seharusnya. Seluruh decision making unit yang menggunakan legowo salah dalam menerapkan arah legowonya. Menurut decision making unit, hal ini dikarenakan buruh tani menginginkan menanam seperti itu, sehingga meskipun mengetahui kesalahan tersebut, petani penggarap tidak dapat melakukan banyak perubahan.
d.
Perawatan Kegiatan perawatan yang dilakukan oleh decision making unit meliputi pemupukan, pengaturan irigasi, penyiangan, pemberesan pematang, 49
dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman. Berdasarkan pengamatan, meskipun di daerah pengamatan terdapat masyarakat yang membudidayakan ternak, akan tetapi tidak ada decision making unit yang menggunakan pupuk organik ataupun kompos dalam usahataninya. Hal ini dikarenakan menurut decision making unit, aplikasi jauh lebih mudah menggunakan pupuk anorganik.
Selain itu apabila harus menggunakan pupuk organik seperti
limbah hewan maupun limbah tanaman, pupuk hijau, dan lain sebagainya membutuhkan jumlah yang besar (sekitar dua Ton perhektar) dan sulit bagi decision making unit untuk mendapatkan limbah sebanyak itu dalam waktu singkat. Pupuk anorganik yang digunakan oleh decision making unit adalah pupuk Urea, TSP, dan pupuk Posca. Terdapat decision making unit yang menggunakan ketiga pupuk tersebut, Namun terdapat pula decision making unit yang hanya menggunakan dua dari tiga pupuk yang ada. Jadi, terdapat decision making unit yang menggunakan kombinasi antara pupuk Urea, TSP, dan Posca, decision making unit yang menggunakan pupuk Urea dan TSP, dan decision making unit yang menggunakan pupuk Urea dan Posca. Takaran yang digunakan oleh setiap decision making unit sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan decision making unit menggunakan takaran sesuai dengan perkiraan decision making unit. Terdapat pula decision making unit yang menggunakan pupuk sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki decision making unit. Berdasarkan wawancara, tidak ada decision making unit yang mengikuti anjuran pengaplikasian pupuk yang diberikan oleh pemerintah ataupun yang disarankan oleh penyuluh lapang. Pemupukan pertama dilakukan pada 15-20 hari setelah tanam (HST) padi.
Pemupukan dilakukan bersamaan dengan penyiangan tanaman.
Pemupukan kedua dilakukan antara 30-35 HST. Tidak ada decision making unit yang melakukan pemupukan sesuai dengan kebutuhan tanaman, misalnya dengan menggunakan indikator bagan warna daun (BWD) seperti yang dianjurkan PTT. Seluruh decision making unit menggunakan dosis \setengah dari seluruh pupuk yang direncanakan diaplikaiskan pada setiap 50
pemupukan. Decision making unit mencampur pupuk sebelum ke sawah agar memudahkan
pengaplikasian
dan
penyebaran
yang
merata.
Cara
pengaplikasian pupuk adalah menyebarkan pupuknya di sawah dengan perkiraan sebaran yang merata. Kegiatan pemberesan pematang disesuaikan dengan kebutuhan. Decision making unit yang menggarap luasan lahan dibawah satu hektar dan memiliki pekerjaan lain atau berusia diatas 55 tahun umumnya menggunakan tenaga kerja tambahan dengan upah antara Rp.40.000-60.000/hari/pekerja. Menurut decision making unit, dibutuhkan sekitar dua orang untuk mengerjakan pemberesan pematang pada lahan seluas 0,7 ha selama setengah hari. Kegiatan pengendalian HPT dapat dilakukan dengan menggunakan pestisida maupun secara manual. Seluruh decision making unit menngunakan pestisida pada lahannya. Intensitas penggunaan pestisida sangat bervariasi, mulai dari satu hingga lebih dari sepuluh kali. Variasi intensitas pestisida dipengaruhi kebutuhan decision making unit. Akan tetapi terdapat decision making unit yang merasa belum aman jika tidak sering menggunakan pestisida sehingga mengaplikasikan pestisida hampir setiap minggu. Decision making unit juga melakukan pengendalian hama secara manual, seperti misalnya melakukan grabagan untuk menekan populasi tikus. Grabagan dilakukan secara berkelompok secara bergilir dengan cara mengairi lubang tikus sehingga tikus keluar dari sarangnya.
Tikus yang
keluar dari sarang kemudian dibunuh oleh petani. Pengendalian lain yang secara manual adalah pengendalian gulma. Terdapat decision making unit menggunakan buruh tani wanita untuk mencabuti gulma yang ada di area penanaman.
Upah buruh wanita yang dibayarkan berkisar Rp.25.000-
50.000/hari/orang.
e.
Pemanenan Terdapat tiga sistem panen yang digunakan decision making unit, yaitu tebasan, gebod, dan grabag.
Sistem tebasan adalah sistem petani 51
menjual padi yang belum dipanen dengan suatu kisaran harga tertentu. Petani tidak perlu menanggung biaya pemanenan.
Terdapat beberapa decision
making unit yang menggunakan sistem ini. Decision making unit memilih menggunakan sistem tebasan karena merasa hasil panennya kurang menguntungkan apabila dipanen sendiri sehingga merasa sistem tebasan adalah lebih baik digunakan. Sistem gebod adalah sistem yang menggunakan banyak tenaga kerja untuk pemanenan. Petani menggunakan sistem bagi hasil 10:7, artinya dari hasil panen tersebut, 10 bagian dari hasil panen menjadi hak petani, dan tujuh bagian hak buruh panen. Terdapat decision making unit yang merasa sistem gebod lebih menguntungkan dan merugikan.
Penggunaaan sistem gebod
dianggap merugikan karena terdapat kemungkinan banyak butir padi pada batangnya sehingga hasilnya kurang maksimal. Selain itu, decision making unit berpendapat bahwa sistem gebod lebih mahal dibandingkan sistem grabag.
Alasan ini membuat decision making unit lebih memilih
menggunakan sistem grabag.
Sedangkan decision making unit yang
menganggap sistem gebod lebih menguntungkan karena menggunakan banyak tenaga pemanen dapat memberi hasil yang lebih tinggi karena pemanen merasa bertanggung jawab untuk mendapatkan hasil yang lebih tinggi, karena semakin banyak hasil panen yang diperoleh, maka akan semakin besar bagian yang akan diterima. Sistem grabag adalah sistem yang menggunakan bantuan mesin perontok biji.
Decision making unit menggunakan sistem ini karena
membutuhkan sedikit tenaga kerja dan harga yang lebih murah. Harga untuk menggunakan mesin grabag berkisar Rp.400.000-500.000 untuk lahan seluas 0,7 ha. Kelemahan dari sistem ini adalah hanya dapat digunakan pada musim kering, karena mesin dapat masuk ke area sawah.
52
VI ANALISIS EFISIENSI TEKNIS
Analisis efisiensi teknis yang digunakan adalah pendekatan Data Envelopment Analysis. Data yang digunakan adalah data berdasarkan musim kering tahun 2011. Variabel keluaran (output) yang digunakan adalah hasil panen berupa gabah kering giling (Y). Variabel masukan (input) yang digunakan adalah pupuk (X1), bibit (X2), tenaga kerja luar keluarga (X3), tenaga kerja dalam keluarga (X4), tenaga kerja mesin (X5), dan luasan lahan (X6). Nilai variabel X1 didapatkan dari kalkulasi seluruh penggunaan pupuk selama masa tanam. Hal ini dikarenakan decision making unit menggunakan kombinasi pupuk yang beragam sehingga nilai pupuk yang digunakan adalah akumulasinya. Akumulasi dilakukan untuk menghindari adanya nilai nol pada salah satu jenis pupuk yang menyebabkan data tidak dapat diolah. Variabel lain seperti usia decision making unit, usia usahatani, lama menempuh pendidikan formal, jenis kelamin, status kepemilikan lahan, biaya sewa lahan, struktur biaya usahatani, dan besaran pendapatan perhektar tidak digunakan dalam model.
Variabel yang tidak
digunakan dalam analisis efisiensi digunakan sebagai penjelas dari hasil olahan efisiens teknis. Terdapat salah satu variabel yang merupakan salah satu faktor produksi yaitu pestisida yang diduga mempengaruhi hasil usahatani akan tetapi tidak dimasukan ke dalam analisis efisiensi teknis oleh penulis. Hal ini disebabkan empat faktor.
Pertama, pada saat pengumpulan data, penulis tidak dapat
memperoleh data kuantitas penggunaan pestisida dari seluruh decision making unit. Kedua, decision making unit lebih mengingat nominal yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan pengaplikasian pestisida.
Ketiga, pada kasus beberapa
decision making unit yang dapat mengingat kuantitas penggunaan pestisida yang digunakan, data yang diperoleh sangat beragam. Keempat, berdasarkan data yang dikumpulkan dari decision making unit, jenis pestisida yang digunakan sangat beragam baik jenisnya maupun satuan pengukurannya.
Misalnya terdapat
decision making unit yang menggunakan pupuk cair dengan satuan liter, pupuk padat dengan satuan kilogram, dan lain sebagainya. 53
Berdasarkan hasil pengumpulan data, data yang paling lengkap yang diperoleh adalah data harga dari pestisida yang digunakan. Penulis memutuskan untuk tidak memasukan variabel harga pestisida karena dikahawatirkan hal tersebut akan membiaskan hasil pengamatan. Efisiensi teknis hanya berfokus pada penggunaan masukan (input) sedangkan pada variabel harga pestida, terdapat banyak faktor lain yang mempengaruhi.
Karena itu, pestisida tidak
dimasukkan kedalam variabel pada data envelopment analysis, akan tetapi tetap diperhitungkan sebagai variabel biaya pada analisis pendapatan. Penelitian ini menganalisis efisiensi teknis seluruh decision making unit dan efisiensi teknis berdasarkan varietas benih yang digunakan oleh decision making unit. Analisis efisiensi teknis berdasarkan varietas benih yang digunakan oleh decision making unit hanya dilakukan pada varietas Ciherang, Denok, dan Mekongga. Hal ini dikarenakan Kintani 1 dan SMC hanya digunakan oleh satu decision making unit sehingga tidak dapat dibandingkan.
6.1.
Analisis Efisiensi Teknis
6.1.1. Analisis Efisiensi Teknis Seluruh Varietas Analisis ini dilakukan pada 77 decision making unit dengan menggunakan data seperti pada lampiran 1. Data pada lampiran 1 yang digunakan hanya data hasil panen sebagai keluaran (output) (Y), dan variabel masukan (input) yang digunakan adalah pupuk (X1), bibit (X2), tenaga kerja luar keluarga (X3), tenaga kerja dalam keluarga (X4), tenaga kerja mesin (X5), dan luasan lahan (X6). Data lain yang terdapat pada lampiran 1 digunakan dalam memberikan penjelasan hasil keluaran dari nilai efisiensi teknis usahataninya. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan data keseluruhan decision making unit dengan seluruh varietas yang dibudidayakan. Varietas adalah salah satu faktor yang memiliki dampak terhadap produksi dan setiap varietas memiliki karakteristik yang berbeda. Perbedaan varietas dapat menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat efisiensi yang dapat dicapai.
Penilaian efisiensi terhadap
keseluruhan varietas dilakukan dangan mengasumsikan variabel lain seperti karakteristik lahan, cuaca, dan masukan
(input) lain yang digunakan dapat 54
terstandardisasi. Hal lain yang mendukung pengukuran efisiensi teknis dengan menggunakan varietas yang berbeda adalah berdasarkan keterangan dari decision making unit yang mengatakan varietas-varietas yang digunakan oleh decision making unit yang diamati tidak memiliki rentang perbedaan yang besar dari sisi penggunaan masukan (input) maupun keluaran yang dihasilkan. Hasil efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas terlihat pada gambar 2. Berdasarkan olahan menggunakan software DEAP 2.1, terdapat 12 decision making unit yang mencapai efisiensi teknis di Desa Kertawinangun pada musim kering tahun 2011. making unit.
Terdapat variasi varietas yang digunakan oleh decision
Varietas yang masuk ke dalam usahatani yang efisien adalah
varietas Denok, Kintani 1, SMC, dan Mekongga.
Gambar 2. Efisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah Desa Kertawinangun, Kabupaten Indramayu Tahun 2011 Berdasarkan
gambar
2,
terdapat
decision
making
unit
yang
membudidayakan varietas Ciherang, namun tidak ada yang mencapai efisiensi teknis.
Hal ini sesuai dengan pendapat para decision making unit yang
mengatakan bahwa varietas Ciherang sebenarnya kurang sesuai untuk dibudidayakan di daerah tersebut. Sebelum tahun 2011 hampir seluruh decision 55
making unit membudidayakan varietas Ciherang. Akan tetapi pada tahun 20092010, hampir seluruh decision making unit yang membudidayakan varietas Ciherang mengalami gagal panen. Karena itu, pada musim kering tahun 2011 sebagian besar decision making unit mencoba benih varietas lain seperti Denok, Mekongga, Kintani, dan SMC. Alasan masih ada decision making unit yang membudidayakan varietas Ciherang adalah varietas tersebut yang dianjurkan pemerintah dan adanya bantuan benih varietas Ciherang.
Meskipun terdapat
pembagian benih dari pemerintah, hanya sedikit decision making unit yang mau menggunakan benih tersebut dengan alasan trauma menggunakan varietas Ciherang. Diduga hal yang menyebabkan terdapat beberapa varietas yang mencapai efisiensi teknis adalah karakteristik varietas-varietas tersebut yang tidak jauh berbeda. Berdasarkan wawancara dengan decision making unit, decision making unit mengatakan produktivitas dari varietas Denok dan Mekongga tidak jauh berbeda, begitu juga dengan kebutuhan masukan (input).
Sedangkan untuk
varietas SMC dan Kintani 1, berdasarkan wawancara dengan decision making unit yang menggunakan varietas tersebut, decision making unit ini baru pertama kali menggunakan varietas tersebut dan menyamaratakan pemberian masukan (input) baik untuk varietas SMC, Kintani 1, maupun untuk varietas lain yang dibudiadayakan. Hasil efisiensi teknis dari decision making unit di Desa Kertawinangun terlihat merata. Hal ini dikarenakan terdapat banyak masukan (input) yang sudah standar kuantitasnya digunakan oleh decision making unit sehingga hasil akhir yang diperoleh tidak terlalu berbeda jauh. Terdapat kemungkinan hanya terdapat beberapa penggunaan variabel masukan (input) yang memiliki sebaran yang luas. Diduga variabel yang memiliki sebaran yang luas adalah penggunaan pupuk. Sedangkan variabel yang memiliki masukan (input) yang cukup terstandardisasi adalah tenaga kerja. Variabel pupuk diduga memiliki sebaran yang lebar sehingga tidak terstandardisasi. Hal ini disebabkan secara umum, terdapat tiga jenis pupuk yang digunakan oleh decision making unit, yaitu pupuk Urea, TSP, dan Posca. Seluruh 56
decision making unit menggunakan pupuk Urea dengan kuantitas yang sangat bervariasi untuk setiap hektarnya.
Sedangkan untuk kedua pupuk lain, tidak
semua decision making unit menggunakan pupuk tersebut.
Seluruh decision
making unit menggunakan minimal dua jenis pupuk, yaitu kombinasi antara Urea dengan salah satu dari TSP atau Posca. Terdapat juga beberapa decision making unit yang menggunakan ketiga pupuk tersebut. Perbedaan penggunaan pupuk dan kuantitas yang digunakan diduga mempengaruhi hasil yang diperoleh dan menjadikan variabel pupuk sebagai salah satu variabel yang tersebar sehingga mempengaruhi nilai efisiensi teknis yang dicapai. Variabel yang menjadi masukan (input) dengan kuantitas standar diantaranya penggunaan tenaga kerja mesin traktor untuk mengolah lahan. Karena menggunakan mesin dan hanya ada sedikit traktor untuk mengolah lahan, maka waktu pengerjaan dan biaya menjadi standar bagi decision making unit di daerah tersebut.
Selain itu karena tenaga penggerak utama berupa mesin,
sehingga produktivitas dari mesin itu sendiri dapat lebih terstandardisasi. Variabel masukan (input) lain yang memiliki standar adalah penggunaan tenaga kerja untuk penanaman.
Seluruh decision making unit menggunakan
sistem borongan untuk tenaga kerja yang mengerjakan penanaman. Sebenarnya decision making unit tidak terlalu memperhatikan kuantitas tenaga kerja yang digunakan karena berapapun tenaga kerja yang bekerja, decision making unit hanya membayar sejumlah tertentu sesuai dengan perjanjian. Akan tetapi variabel ini menjadi standar karena pada kenyataannya hanya ada beberapa kelompok buruh tanam.
Setiap kelompok memiliki jumlah anggota tertentu yang akan
bekerja untuk menanam padi.
Jumlah anggota kelompok buruh tani untuk
pekerjaan penanaman berkisar antara 15 hingga 25 orang. Karena itu, meskipun penggarap lahan tidak membatasi standar penggunaan tenaga kerja penanaman, akan tetapi kelompok buruh tani penanam padi telah membuat standar jumlah kelompok tersendiri sehingga pada akhirnya penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan penanaman menjadi lebih terstandar.
Usahatani yang membutuhkan
lebih banyak buruh tani adalah usahatani yang menggunakan sistem tanam jajar legowo. Hal ini dikarenakan menurut buruh tani, sistem tanam jajar legowo lebih 57
sulit diterapkan sehingga membutuhkan tenaga kerja lebih banyak.
Terdapat
kurang dari sepuluh decision making unit yang menggunakan sistem jajar legowo. Penggunaan tenaga kerja panen juga menjadi variabel masukan (input) yang memiliki standar tersendiri. Meskipun tidak ada aturan untuk menyamakan penggunaan tenaga kerja, akan tetapi hanya terdapat tiga sistem panen di daerah tersebut, sistem pertama adalah sistem grabag. Sistem ini banyak digunakan oleh decision making unit dengan alasan biaya yang murah. Sistem ini lebih hemat baik dari segi penggunaan tenaga kerja maupun upah tenaga kerja panen dibandingkan dengan sistem gebod. Sistem kedua adalah sistem gebod. Sistem gebod lebih padat tenaga kerja dibandingkan dengan sisten grabag.
Hal ini
dikarenakan pada sistem gebod, seluruh kegiatan sejak memotong batang padi hingga merontokkan biji padi dilakukan secara manual sehingga sangat padat tenaga kerja.
Sedangkan pada sistem grabag, tenaga kerja manusia yang
digunakan hanya untuk memotong batang padi dan perapihan hasil panennya, sedangkan yang merontokkan biji padi dilakukan oleh mesin grabag. Berdasarkan sebaran nilai efisiensi teknis yang diperoleh seluruh decision making unit seperti pada tabel 10, sekitar 50 persen decision making unit memiliki capaian efisiensi teknis dibawah 0,75. Hal ini berarti masih banyak decision making unit yang perlu mengevaluasi usahataninya dan mencari penyebab tinggginya inefisiensi. Hal ini juga dapat menjadi referensi dan menunjukan masih terdapat kemungkinan untuk meningkatkan produksi maupun memperbaiki kombinasi penggunaan masukan (input) oleh decision making unit sehingga dapat mencapai efisiensi teknis.
Diharapkan decision making unit yang belum
mencapai efisiensi teknis dapat belajar dari decision making unit yang telah mencapai efisiensi teknis untuk dapat membantu usahataninya agar dapat mencapai tingkat efisiensi teknis. Hasil dari efisiensi teknis usahatani padi sawah ini memiliki rataan 0,712. Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Brazdik (2006) yang menganalisis efisiensi teknis di Jawa Barat maka dapat disimpulkan nilai efisinsi teknis relatif yang diperoleh berada pada kisaran yang sama. Terdapat banyak perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Brazdik (2006). Brazdik 58
(2006) menggunakan data panel selama enam musim tanam berupa data sekunder dari Kementerian Pertanian.
Hal yang menarik pada Brazdik (2006) adalah
penulis menetapkan decision making unit yang tersebar. Karakteristik decision making unit yang menjadi bahan pengamatan heterogen, baik ketinggian, sarana dan prasarana, dan sebagainya.
Brazdik (2006) juga melakukan eliminasi
terhadap beberapa data yang dianggap menjadi pencilan sehingga dapat menyebabkan kesalahan pada hasilnya. Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih mendekati nilai efisiensi relatif di daerah yang diamati karena penulis menggunakan berbagai variabel seperti karakteristik lahan, pengairan, dan lokasi yang berada di tempat yang sama sehingga lebih tepat untuk dibandingkan. Selain itu data yang digunakan berupa data primer sehingga lebih rinci dan akurat karena bersumber langsung dari decision making unit yang melakukan usahataninya. Tidak ada pengeliminasian data pencilan pada perhitungan efisiensi teknis dalam penelitian ini.
Tabel 10.
Sebaran Decision Making Unit Berdasarkan Tingkat Pencapaian Efisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah di Desa Kertawinangun Tahun 2011 Nilai Efisiensi Jumlah Decision Making Unit Persentase (%) (Orang) 0 < x ≤ 0,1 2 2,6 0,1 < x ≤ 0,2
0
0,0
0, 2 < x ≤ 0,3
1
1,3
0, 3 < x ≤ 0,4
2
2,6
0, 4 < x ≤ 0,5
3
3,9
0, 5 < x ≤ 0,6
11
14,3
0, 6 < x ≤ 0,7
19
24,7
0, 7 < x ≤ 0,8
15
19,5
0, 8 < x ≤ 0,9
5
6,5
0, 9 < x ≤ 1
19
24,7
Jumlah
77
100
59
Dibandingkan dengan penelitian lain yang menganalisis efisiensi teknis padi di negara lain, hasil efisiensi teknis relatif di Desa Kertawinangun yang dilakukan penulis berada pada nilai rata-rata yang relatif sama.
Penelitian
efisiensi teknis padi yang dilakukan di negara lain yang dibandingkan dalam hal ini adalah penelitian Krasachat (2004) yang menganalisis efisiensi teknis padi sawah di Thailand sebesar 0,77, dan Dhungana et al. (2004) yang menganalisis efisiensi teknis padi di Nepal dengan nilai rata-rata efisiensi 0,76. Penelitian yang dilakukan penulis memiliki beberapa kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Krasachat (2004) dan Dhungana et al. (2004). Seluruh penelitian ini berusaha mengamati usahatani yang memiliki karakteristik yang homogen. Karakteristik yang diperhatikan adalah kesamaan karakteristik lahan seperti topografi, curah hujan, dan tipe lahan. Pengambilan decision making unit dengan karakteristik yang sama dilakukan dengan tujuan agar nilai efisiensi teknis yang dihasilkan dapat mendekati kenyataan dilapangan. Hal lain yang dilakukan untuk menghasilkan nilai efisiensi yang baik juga digunakan data primer dengan harapan adanya kesalahan data karena penggunaan data sekunder dapat diminimalisasi. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian efisiensi teknis padi pada Dhungana et al. (2004) dan Krasachat (2004) adalah kedua penelitian tersebut tidak menggunakan perbandingan pada varietas yang sama. Kedua penelitian tersebut lebih mengutamakan persamaan faktor produksi seperti karakertistik petani dan karakteristik lahan.
Kedua penelitian tersebut mengabaikan
kemungkinan adanya pengaruh perbedaan varietas yang digunakan terhadap capaian efisiensi. Karena itu, dapat dikatakan penelitian ini memiliki kelebihan memperhatikan adanya kemungkinan varietas mempengaruhi nilai efisiensi sehingga melakukan analisis efisiensi pada setiap varietasnya. Perbedaan lain antara penelitian ini dibandingkan dengan Dhungana et al. (2004) dan Krasachat (2004) adalah penelitian ini tidak memasukan variabel pestisida seperti yang telah dijelaskan pada awal bab ini. Akan tetapi penulis berpikiran bahwa penulis lebih tepat untuk tidak menggunakan variabel pestisida dibandingkan dengan memasukan variabel pestisida sebagai nilai dari perkalian 60
antara nominal harga dengan kuantitas pestisida.
Penelitian Dhungana et al.
(2004) dan Krasachat (2004) menggunakan variabel harga dari pestisida yang digunakan usaatani sebagai salah satu variabel masukan (input). 6.1.2. Analisis Efisiensi Teknis Varietas Ciherang Analisis efisiensi teknis padi sawah varietas Ciherang dilakukan pada 16 decision making unit. Data yang diolah terdapat pada lampiran 1. Data pada lampiran 1 yang digunakan hanya data hasil panen sebagai keluaran (output) (Y), dan variabel masukan (input) yang digunakan adalah pupuk (X1), bibit (X2), tenaga kerja luar keluarga (X3), tenaga kerja dalam keluarga (X4), tenaga kerja mesin (X5) dan luasan lahan (X6) pada decision making unit yang menggunakan varietas Ciherang. Data lain yang terdapat pada lampiran 1 digunakan dalam memberikan penjelasan hasil keluaran dari nilai efisiensi teknis usahataninya. Penilaian terhadap efisiensi teknis berdasarkan varietas dilakukan berdasarkan asumsi setiap varietas memiliki karakteristik tersendiri, seperti kebutuhan masukan (input) yang diberikan, kerentanan terhadap hama dan penyakit, produktivitas, dan lain sebagainya.
Penilaian efisiensi pervarietas
dilakukan dengan tujuan mendapatkan keterangan nilai efisiensi teknis dari decision making unit yang menggunakan variabel-variabel yang semakin terstandardisasi. Penilaian ini juga dilakukan untuk menguji hipotesis terdapat kemungkinan ada decision making unit yang tidak mencapai efisiensi teknis ketika dibandingkan seluruh varietas namun masih mencapai efisiensi teknis ketika dibandingkan dengan decision making unit lain dengan varietas yang sama. Hasil olahan efisiensi teknis usahatani padi sawah varietas Ciherang terdapat pada gambar 3. Berdasarkan hasil olahan software DEAP 2.1, diperoleh 7 dari 16 decision making unit mencapai efisiensi teknis varietas Ciherang. Meskipun tidak ada decision making unit yang mencapai efisiensi pada perbandingan seluruh varietas, terlihat bahwa apabila dibandingkan antarvarietas Ciherang, rataan efisiensi yang dicapai justru lebih besar dari rataan perbandingan efisiensi seluruh varietas. Nilai rataan dari efisiensi teknis varietas Ciherang adalah 0,877, dengan capaian efisiensi terendah 0,6. Berdasarkan karakteristik decision making unit, 61
tidak terlihat terdapat suatu pola tertentu pada decision making unit yang mencapai efisiensi teknis perbandingan varietas Ciherang.
Dilihat baik dari
karakteristik usia, pengalaman bertani, pendidikan, maupun status kepemilikan lahan, decision making unit yang mencapai efisiensi teknis pada varietas ini tersebar, mulai dari yang berusia muda dengan pengalaman bertani sepuluh tahun hingga decision making unit yang menghabiskan setengah dari hidupnya untuk bertani. Berdasarkan tingkat pendidikan, tidak ada pola decision making unit yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan memiliki efisiensi teknis yang lebih tinggi.
Gambar 3. Efisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah Varietas Ciherang Desa Kertawinangun, Kabupaten Indramayu Tahun 2011 Terdapat hipotesis nilai efisiensi teknis yang dicapai decision making unit juga dipengaruhi oleh karakteristik petani. Karena itu, pembahasan selanjutnya mencoba memaparkan mengenai nilai efisiensi dan karakteristik decision making unit. Karakteristik decision making unit yang mencapai efisiensi teknis pada perbandingan varietas Ciherang dapat dilihat pada tabel 11. Berdasarkan tabel 1, decision making unit pertama yang mencapai efisiensi teknis pada perbandingan varietas Ciherang berusia diatas 40 tahun dengan 62
pengalaman bertani lebih dari 20 tahun. Efisiensi teknis mampu dicapai decision making unit ini meskipun tidak menempuh pendidikan formal. Diduga decision making unit ini dapat mencapai efisiensi teknis pada perbandingan varietas Ciherang karena produktivitas decision making unit ini diatas rata-rata produktivitas varietas Ciherang.
Selain itu, dilihat dari penggunaan masukan
(input), decision making unit ini menggunakan variabel pupuk, tenaga kerja dalam keluarga, tenaga kerja luar keluarga, dan tenaga kerja mesin dibawah rataan penggunaan masukan (input) seluruh decision making unit yang membudidayakan varietas Ciherang. Hanya variabel masukan (input) bibit yang digunakan decision making unit ini yang penggunaannya diatas rataan penggunaan masukan (input) dalam varietas Ciherang.
Tabel 11. Karakteristik Decision Making Unit yang Mencapai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Ciherang di Desa Kertawinangun Tahun 2011 Usia (Tahun)
Pengalaman Bertani (Tahun)
Lama Pendidikan Formal (Tahun)
Efisiensi Seluruh Varietas
No
DMU
Jenis Kelamin
1
2
1
45
20
0
0,74
2
34
1
85
70
0
0,981
3
37
0
40
20
3
0,695
4
46
0
50
5
16
0,941
5
54
1
32
4
14
0,764
6
73
1
28
10
6
0,972
7
74
1
55
42
0
0,773
Keterangan: 1= Laki-laki; 0= Perempuan
Meskipun berusia diatas 80 tahun dengan pengalaman bertani lebih dari 50 tahun, decision making unit kedua dapat mencapai efisiensi teknis.
Seperti
decision making unit pertama, decision making unit ini tidak menempuh pendidikan formal. Produktivitas dari hasil decision making unit ini diatas ratarata dibandingkan dengan decision making unit lain yang membudidayakan varietas Ciherang. Hal ini dapat menjadi faktor yang mengakibatkan decision 63
making unit ini mencapai efisiensi teknis pada varietas Ciherang. Dilihat dari penggunaan masukan (input), decision making unit ini menggunakan tenaga kerja baik dalam keluarga maupun luar keluarga lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata decision making unit varietas Ciherang. tidak turun langsung untuk mengerjakan berbagai pekerjaan yang biasanya juga dikerjakan oleh penggarap lahan menyebabkan decision making unit ini menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang lebih sedikit dibandingkan dengan decision making unit lain. Hal ini disebabkan usia decision making unit yang diatas 80 tahun sehingga decision making unit lebih mempercayakan kegiatan usahataninya untuk dilakukan oleh tenaga kerja luar keluarga. Berdasarkan penggunaan tenaga kerja luar keluarga, decision making unit ini menggunakan tenaga kerja luar keluarga dibawah ratarata varietas Ciherang disebabkan beberapa hal, diantaranya decision making unit ini menggunakan herbisida sehingga decision making unit ini tidak melakukan kegiatan pengendalian gulma secara manual. Meskipun menggunakan tenaga kerja lebih sedikit, diduga usahatani decision making unit ini memiliki produktivitas yang tinggi dikarenakan tingginya intensitas pemberian pestisida sehingga tetap menjaga tanamannya dari serangan hama dan penyakit. Berdasarkan tabel 1, decision making unit ketiga yang mencapai efisiensi teknis perbandingan varietas Ciherang berusia 40 tahun, dengan pengalaman bertani 20 tahun. produktivitasnya
Dilihat dari produktivitas, decision making unit ini
berada
dibawah
rata-rata
decision
making
unit
yang
membudidayakan varietas Ciherang. Diduga decision making unit ini mampu mencapai efisiensi teknis perbandingan varietas dikarenakan penggunaan tenaga kerja baik dalam keluarga maupun luar keluarga yang rendah. Pengaplikasian pestisida dari decision making unit ini lebih rendah dibandingkan dengan decision making unit kedua. Rendahnya penggunaan tenaga kerja dan pemberian pestisida diduga mengakibatkan produktivitas dari usahataninya dibawah rata-rata. Pembudidaya yang berusia 50 tahun dengan pengalaman bertani selama lima tahun menjadi decision making unit keempat yang mencapai efisiensi teknis. Bagi decision making unit ini bertani bukanlah pekerjaan utama, dan pekerjaan bertani baru dijalankan setelah menikah dengan seorang petani.
Karena itu 64
decision making unit ini hanya memiliki pengalaman bertani selama lima tahun. pekerjaan lain yang dimiliki decision making unit ini menyebabkan decision making unit tidak turun langsung untuk menjalankan usahataninya. Hal yang dilakukan decision making unit ini sebagai petani penggarap hanyalah mengatur buruh tani untuk mengolah lahan garapannya. Produktivitas dari usahatani decision making unit keempat yang mencapai efisiensi teknis berada dibawah produktivitas rata-rata varietas Ciherang. Meskipun begitu, decision making unit ini menggunakan bibit, pupuk, dan tenaga kerja dalam keluarga yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata decision making unit varietas Ciherang. Berdasarkan hasil wawancara, decision making unit ini memutuskan untuk menggunakan pupuk dibawah rata-rata adalah karena pengetahuan decision making unit yang luas. Diduga decision making unit ini memiliki pengetahuan yang lebih luas dikarenakan lama pendidikan formal yang ditempuh dan pekerjaan decision making unit mempengaruhi sikap decision making unit dalam mengambil keputusan. Pupuk adalah salah satu variabel yang banyak digunakan secara berlebihan oleh decision making unit lain dengan alasan agar hasil yang diperoleh lebih tinggi, sedangkan bibit digunakan berlebih dengan alasan agar tidak kekurangan saat penyiangan. Meskipun decision making unit lain berpikiran demikian, decision making unit ini mengatakan bahwa penggunaan pupuk secara berlebihan tidak baik bagi usahataninya dan tidak berdampak signifikan sehingga decision making unit tersebut menggunakan dosis yang rendah.
Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga jelas lebih rendah karena
decision making unit banyak tidak turun langsung membantu kegiatan usahataninya. Petani berusia 32 tahun dengan pengalaman bertani empat tahun menjadi decision making unit kelima yang mencapai efisiensi teknis varietas Ciherang. Produktivitas dari decision making unit ini berada diatas rata-rata produktivitas varietas Ciherang.
Produktivitas yang tinggi dengan menggunakan masukan
(input) seperti pupuk, bibit, dan tenaga kerja mesin dibawah rata-rata decision making unit lain yang membudidayakan varietas Ciherang membuat decision making unit ini mampu mencapai efisiensi teknis. Diduga decision making unit 65
ini memiliki produktivitas yang tinggi meskipun penggunaan masukan (input) rendah karena tingginya intensitas penggunaan tenaga kerja manusia. Meskipun penggunaan masukan (input) seperti bibit dan pupuk rendah, akan tetapi dengan perawatan oleh manusia maka dapat mengahasilkan produksi yang tinggi. Kecilnya luasan lahan yang diusahakan dapat menjadi faktor yang menyebabkan dapat intensifnya perawatan yang dilakukan oleh petani penggarap sehingga produksinya dapat tinggi. Pembudidaya berusia 28 tahun dengan pengalaman bertani 10 tahun menjadi decision making unit keenam yang mencapai efisiensi teknis varietas Ciherang. Produktivitas decision making unit ini tertinggi dibandingkan decision making unit pembudidaya varietas Ciherang. Penggunaan tenaga kerja manusia dibawah rata-rata penggunaan decision making unit lain menunjang decision making unit ini mencapai efisiensi teknis. Diduga hal ini yang mempengaruhi decision making unit ini dapat mencapai efisiensi teknis. Petani berusia 55 tahun, dengan pengalaman bertani 40 tahun menjadi responden terakhir yang mencapai efisiensi teknis varietas Ciherang di Desa Kertawinangun.
Berdasarkan
produktivitas,
decision
making
unit
ini
produktivitasnya berada sedikit diatas produktivitas rata-rata decision making unit varietas Ciherang.
Penggunaan seluruh variabel kecuali tenaga kerja mesin
dibawah rata-rata decision making unit lain diduga mempengaruhi decision making unit mencapai efisiensi teknis. 6.1.3. Analisis Efisiensi Teknis Varietas Denok Analisis efisiensi teknis padi sawah varietas Denok dilakukan dengan 39 decision making unit. Data yang diolah seperti pada lampiran 1. Data pada lampiran 1 yang digunakan hanya data hasil panen sebagai keluaran (output) (Y), dan variabel masukan (input) yang digunakan adalah pupuk (X1), bibit (X2), tenaga kerja luar keluarga (X3), tenaga kerja dalam keluarga (X4), tenaga kerja mesin (X5) dan luasan lahan (X6) pada decision making unit yang menggunakan varietas Denok.
Data lain yang terdapat pada lampiran 1 digunakan dalam
memberikan penjelasan hasil keluaran dari nilai efisiensi tekn is usahataninya. 66
Hasil olahan efisiensi teknis pada varietas Denok terlihat pada gambar 4. Berdasarkan gambar tersebut terlihat 10 dari 39 decision making unit mencapai efisiensi teknis. Decision making unit yang mencapai efisiensi teknis memiliki karakteristik yang beragam, baik dilihat dari segi usia, pengalaman bertani, maupun pendidikan.
Gambar 4. Efisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah Varietas Denok Desa Kertawinangun, Kabupaten Indramayu Tahun 2011 Terdapat hipotesis nilai efisiensi teknis yang dicapai Decision Making Unit juga dipengaruhi oleh karakteristik petani. Karena itu, pembahasan selanjutnya mencoba memaparkan mengenai nilai efisiensi dan decision making unit. Karakteristik decision making unit yang mencapai efisiensi teknis pada perbandingan varietas Denok dapat dilihat pada tabel 12. Pembudidaya pertama yang mencapai efisiensi teknis berusia 34 tahun dengan pengalaman bertani tiga tahun. Pendidikan formal selama 12 tahun. Hasil panen decision making unit ini berada diatas rata-rata hasil panen decision making unit yang membudidayakan varietas Denok.
Selain tingginya hasil panen,
decision making unit ini juga didukung dengan penggunaan masukan (input) bibit dibawah rata-rata penggunaan masukan (input) oleh decision making unit lain yang membudidayakan varietas Denok.
Hal ini diduga menjadi faktor yang 67
mendukung decision making unit ini dapat mencapai efisiensi teknis varietas Denok. Petani kedua yang mencapai efisiensi teknis berusia 28 tahun dengan lama bertani empat tahun. Lama pendidikan formal yang ditempuh decision making unit ini adalah 12 tahun.
Seperti decision making unit pertama, hasil panen
decision making unit ini diatas rata-rata hasil panen decision making unit pembudidaya veriates Denok.
Perbedaannya adalah decision making unit ini
menggunakan pupuk, bibit, dan tenaga kerja dalam keluarga dibawah rata-rata pembudidaya Denok.
Tabel 12. Karakteristik Decision Making Unit yang Mencapai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Denok di Desa Kertawinangun Tahun 2011 No
DMU
Jenis Kelamin
Usia (Tahun)
Pengalaman Bertani (Tahun)
Lama Pendidikan Formal (Tahun)
Efisiensi Seluruh Varietas
1
1
1
40
20
0
1
2
3
1
35
15
9
1
3
7
1
42
25
0
1
4
12
1
60
9
1
1
5
14
1
60
50
0
1
6
15
1
39
20
5
0,980
7
21
1
34
3
12
0,919
8
22
1
28
4
12
1
9
62
1
50
30
6
1
10
72
0
32
15
6
0,966
Keterangan: 1= Laki-laki; 0= Perempuan
6.1.4. Analisis Efisiensi Teknis Varietas Mekongga Analisis efisiensi teknis padi sawah varietas Mekongga dilakukan pada 20 decision making unit. Data yang diolah terdapat pada lampiran 1. Data pada lampiran 1 yang digunakan hanya data hasil panen sebagai keluaran (output) (Y), dan variabel masukan (input) yang digunakan adalah pupuk (X1), bibit (X2), tenaga kerja luar keluarga (X3), tenaga kerja dalam keluarga (X4), tenaga kerja 68
mesin (X5) dan luasan lahan (X6) pada decision making unit yang menggunakan varietas Mekongga. Data lain yang terdapat pada lampiran 1 digunakan dalam memberikan penjelasan hasil keluaran dari nilai efisiensi teknis usahataninya. Hasil olahan efisiensi teknis pengolahan efisiensi teknis pada varietas Mekongga terlihat pada gambar 5.
Berdasarkan gambar tersebut terlihat empat
dari 20 decision making unit mencapai efisiensi teknis. Seluruh decision making unit yang mencapai efisiensi teknis pada varietas Mekongga berusia diatas 40 tahun dengan pengalaman bertani diatas 20 tahun. Decision making unit yang mencapai efisiensi teknis varietas Mekongga menempuh pendidikan formal paling lama sembilan tahun. Terdapat tiga decision making unit yang mencapai efisiensi teknis baik keseluruhan varietas maupun dalam varietas Mekongga.
Berdasarkan
keseluruhan perbandingan pervarietas, dapat disimpulkan bahwa decision making unit yang mencapai efisiensi teknis pada perbandingan seluruh varietas akan mencapai efisiensi teknis pada perbandingan pervarietasnya. Decision making unit pertama yang mencapai efisiensi teknis varietas Mekongga adalah decision making unit yang berusia 55 tahun dengan pengalaman bertani 40 tahun. Diantara decision making unit yang mencapai efisiensi varietas Mekongga, decision making unit ini adalah satu-satunya decision making unit yang tidak menempuh pendidikan formal. Decision making unit ini masih belum mencapai efisiensi teknis pada perbandingan seluruh varietas.
Produktivitas
decision making unit ini berada dibawah rata-rata produktivitas pembudidaya varietas Mekongga. Besarnya luasan lahan yang digarap dapat menjadi faktor yang menyebabkan decision making unit ini dapat mencapai efisiensi teknis. Selain itu, penggunaan pupuk, tenaga kerja dalam keluarga, dan tenaga kerja mesin yang lebih rendah dibandingkan dengan decision making unit yang membudidayakan varietas Mekongga dapat semakin menunjang decision making unit ini untuk dapat mencapai efisiensi teknis varietas Mekongga.
Decision
making unit ini dapat mencapai penggunaan tenaga kerja manusia yang lebih rendah karena luasan lahan yang digarap lebih besar dari lima hektar. Hal ini
69
menyebabkan ketika dirata-rata perhektar, maka penggunaan tenaga kerja manusia bisa lebih rendah.
Gambar 5.
Efisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah Varietas Mekongga Desa Kertawinangun, Kabupaten Indramayu Tahun 2011
Terdapat hipotesis nilai efisiensi teknis yang dicapai Decision Making Unit juga dipengaruhi oleh karakteristik petani. Karena itu, pembahasan selanjutnya mencoba memaparkan mengenai nilai efisiensi dan decision making unit. Karakteristik decision making unit yang mencapai efisiensi teknis pada perbandingan varietas Mekongga dapat dilihat pada tabel 13.
Tabel 13. Karakteristik Decision Making Unit yang Mencapai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Mekongga di Desa Kertawinangun Tahun 2011 No
DMU
Jenis Kelamin
1
59
1
2
64
3 4
Usia (Tahun)
Pengalaman Bertani (Tahun)
Lama Pendidikan Formal (Tahun)
Efisiensi Seluruh Varietas
63
51
6
1
0
40
25
2
1
69
1
55
40
0
0,815
75
1
47
23
9
1
Keterangan: 1= Laki-laki; 0= Perempuan
70
Decision making unit pertama yang mencapai efisiensi teknis adalah decision making unit dengan usia 63 tahun dengan pengalaman bertani 23 tahun. Decision making unit ini menempuh pendidikan formal hingga tamat sekolah dasar atau pendidikan lain yang sederajat. Produktivitas dari usahatani decision making unit ini paling tinggi dibandingkan dengan decision making unit lain yang mencapai efisiensi tertinggi. Decision making unit ini juga ditunjang dengan penggunaan tenaga kerja yang lebih hemat dibandingkan dengan rata-rata pembudidaya Mekongga, baik tenaga kerja dalam keluarga, luar keluarga, maupun tenaga kerja mesin. Hal yang menyebabkan decision making unit ini dapat menggunakan tenaga kerja lebih sedikit adalah penggunaan herbisida yang mengurangi penggunaan tenaga manusia untuk pengendalian gulma serta panen yang menggunakan sistem grabag yang menghemat tenaga kerja manusia. Decision making unit kedua yang mencapai efisiensi teknis adalah decision making unit berusia 40 tahun dengan pengalaman bertani lebih dari 20 tahun.
Pendidikan formal ditempuh decision making unit selama dua tahun.
Produktivitas usahataninya berada diatas rata-rata pembudidayas varietas Mekongga. Hanya variabel bibit sebagai masukan (input) yang digunakan oleh decision making unit dan berada dibawah rata-rata decision making unit pembudidaya Mekongga. Faktor yang menyebabkan decision making unit ini menggunakan tenaga kerja manusia diatas rataan penggunaan decision making unit dengan varietas Mekongga adalah decision making unit ini melakukan pengendalian gulma secara manual dengan tenaga kerja manusia. Selain itu, decision making unit mengaplikasikan pestisida msepuluh kali sehingga membutuhkan tenaga kerja lebih banyak. Decision making unit ketiga yang mencapai efisiensi teknis adalah decision making unit berusia 55 tahun dengan pengalaman bertani lebih dari 20 tahun. Pendidikan formal tidak ditempuh decision making unit ini. Produktivitas usahataninya berada diatas rata-rata pembudidayas varietas Mekongga. Hanya variabel bibit sebagai masukan (input) yang digunakan oleh decision making unit dan berada dibawah rata-rata decision making unit pembudidaya Mekongga. Faktor yang menyebabkan decision making unit ini menggunakan tenaga kerja 71
manusia diatas rataan penggunaan decision making unit dengan varietas Mekongga adalah decision making unit ini melakukan pengendalian gulma secara manual dengan tenaga kerja manusia.
Selain itu, decision making unit
mengaplikasikan pestisida msepuluh kali sehingga membutuhkan tenaga kerja lebih banyak. Decision making unit keempat yang mencapai efisiensi teknis adalah decision making unit yang berusia 47 tahun dengan pengalaman bertani selama 23 tahun. Decision making unit ini adalah satu-satunya decision making unit yang bertempat tinggal di luar Desa Kertawinangun. Lama pendidikan formal yang ditempuh oleh decision making unit ini paling lama dibandingkan dengan decision making unit lain yang mencapai efisiensi teknis varietas Mekongga. Karena itu, meskipun pengalaman bertani decision making unit ini paling rendah dibanding decision making unit lain yang mencapai efisiensi teknis, decision making unit ini tetap dapat mencapai skala efisien. Produktivitas usahataninya diatas rata-rata decision making unit yang mencapai efisensi teknis varietas Mekongga. Selain tingginya produksi, usahataninya juga ditunjang dengan penggunaan bibit, tenaga kerja luar keluarga, dan tenaga kerja mesin dibawah rata-rata penggunaan decision making unit lain yang mencapai efisiensi teknis pada varietas Mekongga. Alasan utama decision making unit ini menggunakan bibit dibawah rata-rata adalah petani lain yang bertani disekitar lahan decision making unit memiliki kecenderungan menggunakan bibit secara berlebih sehingga akhirnya banyak bibit yang terbuang. Decision making unit ini memanfaatkan kelebihan bibit dari petani lain sehingga dapat menekan biaya bibit yang seharusnya dikeluarkan. 6.2.
Analisis Hubungan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Seluruh Varietas dengan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Setiap Varietas Analisis hubungan antara nilai efisiensi teknis perbandingan seluruh
varietas dengan nilai efisiensi teknis perbandingan pervarietas dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan antara nilai efisiensi yang dicapai decision making unit
ketika
dibandingkan
dengan
seluruh
varietas
dan
perbandingan
antarvarietasnya. Analisis ini dilakukan atas temuan adanya decision making unit 72
yang tidak mencapai efisiensi teknis pada perbandingan seluruh varietas namun ketika dibandingkan dengan decision making unit lain yang mengusahakan varietas yang sama decision making unit tersebut mencapai efisiensi teknis. Pengujian adanya hubungan antara nilai efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas dengan nilai efisiensi decision making unit tersebut saat dibandingkan dengan varietasnya dilakukan menggunakan uji Rank Spearman. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui keeratan hubungan, arah hubungan yang terjadi, dan signifikansi dari hubungan antara kedua variabel yang dibandingkan. Pengujian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara (a) nilai efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas dengan nilai efisiensi teknis perbandingan varietas Ciherang, (b) nilai efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas dengan nilai efisiensi teknis perbandingan varietas Denok, dan (c) nilai efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas dengan nilai efisiensi teknis perbandingan varietas Mekongga. Hasil pengujian Rank Spearman ditampilkan pada tabel 14.
Tabel 14. Hasil Analisis Hubungan antara Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Seluruh Varietas dengan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan pervarietas Padi Sawah menggunakan Rank Spearman di Desa Kertawinangun Musim Kering Tahun 2011 Korelasi Rank Spearman
Hubungan Efisiensi Teknis Perbandingan Seluruh Varietas dengan
Nilai
Interpretasi
Perbandingan Varietas Ciherang Perbandingan Varietas Denok Perbandingan Varietas Mekongga
0,88 0 0,92 3 0,93 2
Korelasi Sangat Erat Korelasi Sangat Erat Korelasi Sangat Erat
Signifikansi Arah Korelasi
Nilai
Interpretasi
Positif
0,000
Signifikan
Positif
0,000
Signifikan
Positif
0,000
Signifikan
Berdasarkan tabel 11, terlihat bahwa nilai korelasi Rank Spearman dari ketiga perbandingan lebih besar dari 0,800. Hal ini menunjukan bahwa hubungan antara nilai efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas dengan nilai efisiensi teknis perbandingan pervarietas memiliki keeratan yang sangat kuat.
Arah 73
korelasi yang positif menunjukan bahwa terdapat hubungan berbanding lurus antara nilai efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas dengan nilai efisiensi teknis perbandingan pervarietas. Nilai signifikansi dari ketiga pengujian yang bernilai 0,000 menunjukan bahwa hubungan antara nilai efisiensi teknis perbandingan selurh varietas dengan nilai efisiensi teknis perbandingan pervarietas signifikan. Hasil pengujian signifikansi dari hubungan antara nilai efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas dengan nilai efisiensi teknis perbandingan pervarietas yang signifikan menjadi dasar dilakukannya analisis lebih lanjut terhadap tren yang ada pada masing-masing perbandingan.
Analisis tren
dilakukan untuk mengetahui pemetaan masing-masing decision making unit pada gambar hubungan antara efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas dengan nilai efisiensi teknis perbandingan pervarietas.
6.2.1. Analisis Hubungan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Seluruh Varietas dengan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Ciherang Hubungan tren antara nilai efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas dengan nilai efisiensi dengan perbandingan varietas Ciherang terlihat pada gambar 6. berdasarkan gambar 6, terlihat bahwa nilai efisiensi teknis yang diperoleh pada perbandingan varietas Ciherang tersebar pada selang efisiensi 0,6-1,0. Tren hubungan antara nilai efisiensi teknis pada perbandingan seluruh varietas dengan nilai efisiensi teknis pada perbandingan pervarietas meningkat seperti terlihat pada gambar 6. Hal ini sesuai dengan hasil dari pengujian Rank Spearman yang dilakukan. Dapat disimpulkan bahwa decision making unit yang mencapai efisiensi teknis pada perbandingan seluruh varietas akan mencapai efisiensi teknis juga pada perbandingan pervarietas. Selain itu, terlihat bahwa ada decision making unit yang tidak mencapai efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas akan tetapi mencapai efisiensi teknis ketika dibandingkan dalam varietas yang sama.
74
Gambar 6. Gambar Hubungan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Seluruh Varietas dengan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Ciherang di Desa Kertawinangun 2011 6.2.2. Analisis Hubungan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Seluruh Varietas dengan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Denok Hubungan antara nilai efisiensi teknis seluruh varietas dengan nilai efisiensi teknis varietas Denok terlihat pada gambar 7. Tren hubungan antara nilai efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas dengan nilai efisiensi teknis perbandingan varietas Denok berbanding lurus. Hal ini sesuai dengan hubungan hasil pengujian menggunakan Rank Spearman. Terdapat satu decision making unit yang menjadi pencilan pada varietas Denok. Decision making unit tersebut berada pada kuartil bawah baik pada perbandingan seluruh varietas maupun perbandingan varietas Denok. Berdasarkan gambar 7 terlihat bahwa terdapat decision making unit yang tidak mencapai efisiensi teknis pada perbandingan seluruh varietas dapat mencapai efisiensi teknis pada perbandingan varietas. Pola ini sama seperti yang terlihat pada varietas Ciherang.
75
Gambar 7.
Gambar Hubungan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Seluruh Varietas dengan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Denok di Desa Kertawinangun Tahun 2011
6.2.3. Analisis Hubungan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Seluruh Varietas dengan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Mekongga Hubungan antara nilai efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas dengan nilai efisiensi teknis perbandingan varietas Mekongga terlihat pada gambar 8. Terdapat kesamaan hubungan antara efisiensi perbandingan seluruh varietas dengan efisiensi teknis perbandingan antara varietas pada perbandingan varietas Ciherang, Denok, dan Mekongga. Tren hubungan antara efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas dengan perbandingan antarvarietas berbanding lurus. Hal ini sesuai dengan tren berdasarkan pengujian Rank Spearman. Arti dari tren ini adalah decision making unit yang memperoleh nilai efisiensi teknis yang tinggi pada perbandingan seluruh varietas maka ketika dibandingkan kedalam varietas, maka nilai efisiensi teknisnya akan tinggi pula.
Decision
making unit yang mencapai efisiensi teknis pada perbandingan selurh varietas akan mencapai efisiensi teknis pada perbandingan antarvarietas.
Selain itu,
terdapat decision making unit yang tidak mencapai efisiensi teknis pada
76
perbandingan seluruh varietas akan tetapi mampu mencapai efisiensi teknis ketika dibandingkan dalam varietasnya.
Gambar 8.
6.3.
Gambar Hubungan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Seluruh Varietas dengan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Mekongga di Desa Kertawinangun 2011
Analisis Hubungan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan pervarietas dengan Karakteristik Decision making unit Analisis hubungan antara nilai efisinsi teknis perbandingan masing-masing
varietas dengan karakteristik decision making unit dilakukan untuk mengetahui apakah
terdapat
pola
tertetu
pada
decision
making
unit
berdasarkan
karakteristiknya. Manfaat dari mengetahui adanya pola tertentu pada hubungan antara nilai efisiensi teknis dengan karaktersitik decision making unit adalah sebagai referensi dalam menentukan saran bagi pengembangan kebijakan agribisnis padi sawah dimasa yang akan datang.
Karakteristik decision making
unit menjadi faktor yang perlu diperhatikan karena sifat-sifat tertentu dari petani akan mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan saat menjalankan usahataninya. 77
Karakteristik decision making unit yang dianalisis adalah lama pendidikan formal, usia, pengalaman bertani, dan status kepemilikan lahan.
Dasar
digunakannya karakteristik lama pendidikan formal yang ditempuh decision making unit adalah adanya dugaan bahwa lama pendidikan formal yang ditempuh memiliki hubungan dengan nilai efisiensi yang dicapai. Diduga latar belakang pendidikan mempengaruhi keputusan petani dalam menjalankan usahatani sehingga decision making unit yang menempuh pendidikan formal lebih tinggi akan mencapai nilai efisiensi teknis yang tinggi. Hal ini disebabkan banyaknya pendidikan formal akan membuka wawasan decision making unit untuk menjalankan usahanya lebih baik dibandingkan dengan decision making unit yang menempuh pendidikan formal yang lebih singkat. Diduga variabel usia decision making unit akan memiliki hubungan dengan nilai efisiensi teknis. Faktor usia diperkirakan memiliki hubungan dengan pengalaman usahatani.
Hal ini didasari sebagian besar decision making unit
mengusahakan usahatani padi sawah sejak menginjak usia belasan tahun. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan decision making unit yang berusia lebih tua memiliki pengalaman bertani lebih banyak. Pengalaman bertani menjadi penting karena akan berpengaruh terhadap sikap petani. Keputusan yang dapat dipengaruhi oleh sikap petani diantaranya keputusan untuk menggunakan faktor produksi tertentu baik kuantitas maupun kualitas. Penggunaan faktor produksi pada akhirnya akan mempengaruhi nilai efisiensi yang dicapai.
Karena itu,
diduga variabel usia memiliki hubungan dengan nilai efisiensi teknis yang dicapai. Faktor pengalaman bertani diduga memiliki hubungan dengan nilai efisiensi teknis yang dicapai.
Pengalaman bertani membantu petani dalam
menjalankan usahataninya. Petani dengan pengalaman bertani yang baik akan memiliki pengetahuan yang lebih baik jika dihadapkan dengan situasi yang sulit pada usahataninya dibandingkan dengan petani yang belum berpengalaman. Pengetahuan yang dimiliki dapat membantu petani untuk lebih stabil dalam mencapai efisiensi teknis.
Karena itu, diduga variabel pengalaman bertani
memiliki hubungan dengan nilai efisiensi teknis yang dicapai. 78
Faktor status kepemilikan lahan diduga memiliki hubungan dengan nilai efisiensi teknis yang dicapai. Terdapat kemungkinan decision making unit yang menggunakan lahan sewa lebih termotivasi untuk mencapai efisiensi dan mendapatkan keuntungan dikarenakan adanya beban untuk membayar sewa lahan. Nilai efisiensi teknis yang digunakan untuk diuji hubungan dengan variabel karakteristik decision making unit adalah nilai efisiensi teknis perbandingan setiap varietas.
Hal ini didasarkan pada asumsi setiap varietas
memiliki karakteristik tersendiri sehingga terdapat kemungkinan decision making unit memiliki preferensi tersendiri terkait varietas yang digunakan. Selain itu, ruang lingkup yang lebih sempit pada perbandingan pervarietas diharapkan dapat menunjukan hubungan yang lebih mendekati kenyataan dilapangan. Variabel karakteristik decision making unit yang diduga memiliki hubungan dengan nilai efisiensi yang dicapai kemudian diuji dengan Rank Spearman.
Pengujian ini bertujuan mengetahui adanya hubungan, tingkat
keeratan, arah hubungan, dan signifikansi kedua variabel. Terdapat satu variabel yang tidak diuji dengan Rank Spearman, yaitu variabel status kepemilikan lahan. Hal ini disebabkan status kepemilikan lahan tidak mencapai skala ordinal sehingga tidak dilakukan pengujian Rank Spearman. Hasil pengujian hubungan nilai efisiensi teknis perbandingan varietas dengan karakteristik decision making unit disajikan pada tabel 15. Berdasarkan pengujian Rank Spearman, terlihat hubungan keeratan antara nilai efisiensi teknis perbandingan varietas dengan karakteristik decision making unit tergolong lemah. Hal ini terlihat dari nilai koefisien korelasi Rank Spearman yang lebih rendah dari 0,400. Selain itu, berdasarkan nilai signifikansi, tidak ada perbandingan yang signifikan diantara seluruh variabel yang dibandingkan. Diduga terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tidak ada hubungan antara pendidikan formal yang ditempuh dengan nilai efisiensi teknis yang dicapai.
Faktor yang diduga menyebabkan tidak adanya hubungan antara
efisiensei teknis dengan pendidikan formal yang ditempuh adalah tidak ada atau sangat sedikit bagian dari pendidikan formal yang memuat pelajaran mengenai bertani. Hal ini mengakibatkan pada akhirnya pengetahuan mengenai bertani 79
diperoleh decision making unit tidak diperoleh dari pendidikan formal, melainkan dari sumber lain. Tabel 15. Hasil Analisis Hubungan antara Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Seluruh Varietas dengan Karakteristik Decision making unit di Sawah di Desa Kertawinangun Musim Kering Tahun 2011 Korelasi Rank Signifikansi Spearman Arah Hubungan Korelasi Nilai Interpretasi Nilai Interpretasi Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Ciherang dengan Pendidikan Formal Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Ciherang dengan Usia Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Ciherang dengan Pengalaman Bertani Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Denok dengan Pendidikan Formal Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Denok dengan Usia Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Denokdengan Pengalaman Bertani Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Mekongga dengan Pendidikan Formal Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Mekongga dengan Usia Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Mekongga dengan Pengalaman Bertani
0,006 Keeratan Sangat Lemah
Negatif
0,982 Tidak Signifikan
0,051 Keeratan Sangat Lemah 0,074 Keeratan Sangat Lemah
Positif
0,852 Tidak Signifikan
Positif
0,785 Tidak Signifikan
0,028 Keeratan Sangat Lemah
Negatif
0,862 Tidak Signifikan
0,175 Keeratan Sangat Lemah 0,154 Keeratan Sangat Lemah
Negatif
0,287 Tidak Signifikan
Negatif
0,349 Tidak Signifikan
0,062 Keeratan Sangat Lemah
Negatif
0,794 Tidak Signifikan
0,231 Keeratan Lemah
Negatif
0,327 Tidak Signifikan
0,195 Keeratan Sangat Lemah
Negatif
0,410 Tidak Signifikan
80
Variabel usia adalah salah satu variabel yang memiliki hubungan dengan karakteristik decision making unit lain.
Misalnya pada decision making unit
dengan usia diatas 60 tahun. Terdapat kemungkinan decision making unit tersebut memiliki pengalaman bertani yang lama namun hanya menempuh pendidikan formal beberapa tahun, bahkan terdapat banyak decision making unit pada kategori ini tidak menempuh pendidikan formal. Karena itu, besar kemungkinan variabel usia tidak memiliki hubungan dengan nilai efisiensi teknis yang diperoleh. Hal yang diduga menyebabkan tidak adanya hubungan antara nilai efisiensi teknis dengan pengalaman bertani adalah perbedaan dari pola pikir decision making unit. Secara umum, terdapat tiga pola pikir decision making unit yang dilihat oleh penulis saat pengumpulan data. Pola pikir pertama adalah sikap ingin tahu. Pola pikir ini dimiliki baik decision making unit yang berpengalaman maupun yang belum memiliki banyak pengalaman.
Decision making unit yang telah memiliki banyak pengalaman
bertani umumnya berusia diatas 30 tahun. Decision making unit dengan tipe ini menyadari meskipun telah memiliki banyak pengalaman, akan tetapi terus terjadi perkembangan mengenai teknologi padi sawah sehingga mereka mau belajar dan terus mencari tahu. Sedangkan decision making unit dengan pengalaman bertani yang masih tergolong muda merasa perlu mengetahui banyak hal agar dapat menjalankan usahataninya dengan baik.
Decision making unit ini memiliki
semangat belajar yang tinggi dan cenderung untuk menerima dan mencari informasi dari pelbagai sumber. Terdapat kemungkinan kedua decision making unit tipe ini mencapai efisiensi teknis yang tinggi. Pola pikir kedua adalah pada decision making unit yang sudah memiliki pengalaman bertani cukup lama.
Decision making unit yang memiliki
pengalaman betani cukup lama umumnya berusia diatas 30 tahun.
Lamanya
pengalaman yang dimiliki justru membuat decision making unit tersebut merasa sudah berada pada tahap nyaman pada usahataninya sehingga tidak berusaha mencari tahu kebaruan dari usahatani padi sawah yang dilaksanakan. Karena itu,
81
meskipun memiliki pengalaman bertani yang lama, decision making unit ini memiliki kemungkinan besar untuk tidak mencapai efisiensi teknis. Pola pikir ketiga adalah baik pada decision making unit yang memiliki pengalaman bertani maupun belum.
Terdapat decision making unit yang
menganggap usahatani adalah jalan hidup sehingga tidak memperhatikan efisiensi maupun keuntungan yang harus dicapai. lebih banyak decision making unit yang telah berusia lanjut yang memiliki pola pikir seperti ini. Keberagaman pola pikir pada decision making unit dengan pengalaman bertani dapat menjadi penyebab tidak adanya hubungan antara nilai efisiensi dengan pengalaman bertani.
Hal yang perlu diingat pada saat menganalisis
hubungan karakteristik decision making unit adalah setiap karakteristik tertentu memiliki hubungan dengan karakteristik yang lain sehingga sulit untuk dipisahkan analisis persatu karakteristik tertentu. Karakteristik decision making unit status kepemilikan lahan tidak dapat diuji hubungannya dengan nilai efisiensi teknis dikarenakan skala pengukuran tidak mencapai ordinal. Karena itu, hubungan status kepemilikan lahan dengan nilai efisiensi teknis dibahas dengan menggunakan hasil dari gambar scatter. Karakterisik lama pendidikan formal, usia, dan pengalaman decision making unit tidak dianalisis menggunakan gambar scatter dikarenakan berdasarkan hasil pengujian Rank Spearman, tidak ada signifikansi hubungannya.
6.3.1. Analisis Hubungan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Ciherang dengan Status Kepemilikan Lahan Hubungan tren antara nilai efisiensi teknis perbandingan varietas Ciherang dengan status kepemilikan lahan ditampilkan pada gambar 9. Analisis hubungan antara nilai efisiensi teknis varietas dengan status kepemilikan lahan tidak dibuat garis analisis tren karena nilai pada status kepemilikan lahan tidak menunjukan suatu tingkatan tertentu.
Lebih dari 50 persen decision making unit
membudidayakan varietas Ciherang pada lahan milik pribadi. Decision making unit yang membudidayakan pada lahan sendiri umunya membudidayakan pada lahan seluas 0,7 hektar. Sedangkan decision making unit yang membudidayakan 82
padi pada lahan pribadi dan lahan sewa mengusahakan usahatani padi lebih dari satu hektar.
Keterangan: Nilai Status Kepemilikan Lahan 0 = Milik Pribadi 1 = Lahan Sewa 2 = Lahan Milik Pribadi dan Sewa
Gambar 9. Gambar Hubungan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Ciherang dengan Status Kepemilikan Lahan di Desa Kertawinangun 2011 6.3.2. Analisis Hubungan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Denok dengan Status Kepemilikan Lahan Hubungan tren antara nilai efisiensi teknis perbandingan varietas Denok dengan status kepemilikan lahan ditampilkan pada gambar 10. Analisis hubungan antara nilai efisiensi teknis varietas dengan status kepemilikan lahan tidak dibuat garis analisis tren karena nilai pada status kepemilikan lahan tidak menunjukan suatu
tingkatan
tertentu.
Hampir
50
persen
decision
making
unit
membudidayakan varietas Denok pada lahan milik pribadi. Decision making unit yang membudidayakan pada lahan sendiri umunya membudidayakan pada lahan 83
seluas 0,7 hektar. Sedangkan decision making unit yang membudidayakan padi pada lahan pribadi dan lahan sewa mengusahakan usahatani padi lebih dari satu hektar.
Keterangan: Nilai Status Kepemilikan Lahan 0 = Milik Pribadi 1 = Lahan Sewa 2 = Lahan Milik Pribadi dan Sewa
Gambar 10. Gambar Hubungan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Denok dengan Status Kepemilikan Lahan di Desa Kertawinangun 2011 6.3.3. Analisis Hubungan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Mekongga dengan Status Kepemilikan Lahan Hubungan tren antara nilai efisiensi teknis perbandingan varietas Mekongga dengan status kepemilikan lahan ditampilkan pada gambar 11. Analisis hubungan antara nilai efisiensi teknis varietas dengan status kepemilikan lahan tidak dibuat garis analisis tren karena nilai pada status kepemilikan lahan tidak menunjukan suatu tingkatan tertentu. Hampir 50 persen decision making unit membudidayakan varietas Mekongga pada lahan milik pribadi. Decision 84
making unit yang membudidayakan pada lahan sendiri umunya membudidayakan pada lahan seluas 0,7 hektar.
Sedangkan decision making unit yang
membudidayakan padi pada lahan pribadi dan lahan sewa mengusahakan usahatani padi lebih dari satu hektar.
Keterangan: Nilai Status Kepemilikan Lahan 0 = Milik Pribadi 1 = Lahan Sewa 2 = Lahan Milik Pribadi dan Sewa
Gambar 11. Gambar Hubungan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Denok dengan Status Kepemilikan Lahan di Desa Kertawinangun 2011
85
VII ANALISIS PENDAPATAN
Analisis pendapatan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi penerimaan, biaya, dan pendapatan dari usahatani padi sawah pada decision making unit di Desa Kertawinangun pada musim kering tahun 2011. Analisis pendapatan dilakukan pada seluruh varietas dan analisis pendapatan pada setiap varietas. Analisis pendapatan seluruh decision making unit pervarietas dilakukan untuk membandingkan apakah ada varietas tertentu yang memiliki pendapatan yang lebih menonjol dibandingkan dengan varietas lain ataupun dengan seluruh varietas.
7.1.
Penerimaan Usahatani Padi Sawah Penerimaan usahatani yang dianalisis adalah penerimaan tunai dari hasil
perkalian antara total produksi padi dalam bentuk gabah kering giling dengan harga jual yang diterima petani. Harga jual yang diterima oleh decision making unit bervariasi. Variasi harga jual decision making unit dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) Perbedaan waktu menjual. (2) Perbedaan tempat tujuan menjual. (3) Perbedaan varietas. Meskipun perbedaan varietas mempengaruhi harga jual, akan tetapi tidak semua harga jual varietas berbeda. Varietas Denok dan Mekongga memiliki harga jual yang tidak terlalu berbeda sehingga terkadang decision making unit yang membudidayakan kedua varietas tersebut mencampur hasil panennya.
Hasil panen rataan seluruh decision making unit adalah 7,3
Ton/hektar. Harga yang diterima decision making unit berkisar antara Rp.3.5006.200/kg.
Penerimaan rata-rata decision making unit perhektar adalah
Rp.34.157.664.
7.2.
Biaya Usahatani Padi Sawah Komponen biaya usahatani yang digunakan dalam penelitian ini adalah
biaya tunai. Biaya tunai adalah biaya yang secara tunai dikeluarkan oleh decision making unit untuk membeli barang maupun jasa yang digunakan sebagai faktor produksi pada usahatani yang dijalankan. Contoh dari biaya tunai adalah petani 86
membayar upah buruh panen dengan sejumlah nominal tertentu. Biaya tunai yang dikeluarkan meliputi biaya pembelian faktor produksi berupa barang seperti benih, perlengkapan pembibitan, pupuk, dan pestisida. Sedangkan biaya tunai yang dikeluarkan untuk pembelian faktor produksi berupa jasa seperti pengolahan lahan dengan traktor, tenaga kerja, irigasi, dan sewa lahan. Biaya tunai yang dikeluarkan untuk mengusahakan padi sawah seluas satu hektar pada musim tanam 2011 dapat terlihat pada tabel 16.
Tabel 16. Biaya Tunai Usahatani Padi Sawah (perhektar) di Desa Kertawinangun Musim Kering 2011 Komponen Biaya Harga (Rupiah) Bibit
184.323
Perlengkapan Pembibitan
80.734
Pupuk
492.972
Pupuk
509.923
Pupuk
472.871
Pestisida
1.623.212
Sewa Lahan
8.815.018
Tenaga Kerja Luar Keluarga
2.791.194
Pongolahan Tanah
685.529
Biaya tunai pertama yang dikeluarkan usahatani untuk membeli faktor produksi berupa benih. Benih diperoleh decision making unit dengan membeli dari petani lain. Decision making unit yang menggunakan varietas Ciherang memperoleh benih dari hasil pembagian pemerintah yang disalurkan melalui Gapoktan. Harga benih yang dibeli decision making unit pada seluruh varietas adalah Rp.10.000 untuk satu kilogram benihnya.
Rata-rata pengeluaran untuk
membeli bibit pada decision making unit di Desa Kertawinangun adalah Rp.184.323 untuk luasan lahan satu hektar. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa decision making unit rata-rata menggunakan bibit sebanyak 18,4 kg/ha. Bibit tersebut digunakan untuk penanaman dan penyulaman. 87
Biaya tunai kedua yang dikeluarkan usahatani untuk membeli faktor produksi berupa perlengkapan pembibitan. Perlengkapan pembibitan yang dibeli meliputi plastik dan bambu ajir.
Plastik dan bambu ajir digunakan untuk
melindungi area pembibitan dari serangan hama tikus.
Besarnya biaya yang
dikeluarkan untuk membeli plastik adalah Rp.20.000/kilogram, sedangkan harga dari bambu adalah Rp.10.000/buah. Rata-rata decision making unit mengeluarkan Rp.80.734 untuk area pembibitan. Kombinasi yang digunakan untuk pembibitan adalah tiga kilogram plastik dan dua buah bambu. Biaya tunai ketiga yang dikeluarkan decision making unit untuk faktor produksi adalah pembelian pupuk. Terdapat tiga jenis pupuk yang digunakan decision making unit di Desa Kertawinangun. Pupuk yang digunakan adalah pupuk Urea, TSP, dan Posca.
Lebih dari 50 persen decision making unit
menggunakan kombinasi antara Urea dengan salah satu dari TSP atau Posca. Hanya sebagian kecil decision making unit yang menggunakan ketiga pupuk tersebut pada usahataninya. Rata-rata decision making unit menggunakan baik pupuk Urea, TSP, maupun Posca lebih dari 100 kg/ha. Terdapat perbedaan harga beli decision making unit pada ketiga pupuk tersebut. Perbedaan harga yang diterima disebabkan perbedaan tempat pembelian. Selain itu, perbedaan tersebut juga dapat diakibatkan adanya perbedaan cara bayar. Decision making unit yang memperoleh harga pupuk rendah umumnya membayar secara tunai. Sedangkan decision making unit yang mendapatkan harga lebih tinggi biasanya membayar dengan sistem angsuran atau dengan sistem bayar ketika panen. Pupuk pertama yang digunakan adalah Urea. Harga Urea yang diterima bervariasi antara Rp.150.000-250.000/100 kg.
Pengeluaran rata-rata untuk
membeli Urea pada usahatani seluas satu hektar adalah senilai Rp.492.972. Pupuk kedua yang digunakan adalah pupuk TSP. Pengeluaran rata-rata decision making unit untuk pupuk TSP pada lahan seluas satu hektar adalah Rp.509.923. Pupuk ketiga yang digunakan oleh decision making unit adalah pupuk Posca. Decision making unit rata-rata mengeluarkan Rp.472.871 untuk pengaplikasian pada lahan seluas satu hektar.
88
Biaya tunai keempat dikeluarkan decision making unit untuk membeli faktor produksi berupa pestisida. Terdapat banyak sekali jenis dan dosis yang digunakan decision making unit pada faktor produksi ini.
Intensitas
pengaplikasiannya juga sangat beragam. Terdapat decision making unit yang hanya melakukan satu kali pengaplikasian pestisida, namun ada pula decision making unit yang melakukan pengaplikasian pestisida lebih dari sepuluh kali selama musim tanam.
Rata-rata pengeluaran decision making unit untuk
mengaplikasikan faktor produksi berupa pestisida pada lahan seluas satu hektar adalah Rp.1.623.212. Pengeluaran decision making unit untuk membeli pestisida adalah pengeluaran tunai terbesar untuk membeli faktor produksi berupa barang. Sedangkan apabila dibandingkan secara keseluruhan biaya tunai, pengeluaran pesitsida menjadi pengeluaran tunai ketiga terbesar setelah sewa lahan dan tenaga kerja. Biaya tunai yang dikeluarkan oleh decision making unit untuk pembelian faktor produksi berupa jasa sewa lahan menjadi biaya terbesar dalam pengeluaran tunai. Terdapat dua sistem sewa lahan yang ada di Desa Kertawinangun. Sistem pertama adalah sewa dengan harga tetap. Harga sewa untuk lahan seluas 0,7 hektar berkisar Rp.4.000.000-7.000.000.
Sistem kedua adalah sistem bayar
dengan hasil panen berupa 2.500 kg padi. Meskipun biaya sewa lahan pada sistem kedua menggunakan barang, berdasarkan wawancara, umumnya decision making unit membayar berupa nominal dari 2.500 kg padi dengan menggunakan harga pada saat membayar. Karena itu, meskipun terdapat decision making unit yang menggunakan sistem sewa kedua, biaya sewa lahan tetap termasuk ke dalam biaya tunai. Besarnya rata-rata pengeluaran untuk sewa lahan satu hektar adalah Rp.8.815.018. Biaya tunai kedua terbesar yang dikeluarkan decision making unit adalah untuk jasa tenaga kerja. Besarnya biaya ini adalah Rp.2.791.194 untuk lahan seluas satu hektar. Pekerjaan yang memiliki biaya tenaga kerja yang tinggi adalah penanaman dan pemanenan. Meskipun intensitasnya hanya satu kali dalam satu musim tanam, akan tetapi kedua kegiatan tersebut sangat padat karya sehingga memiliki pengeluaran yang besar. 89
Biaya tunai paling sedikit yang dikeluarkan decision making unit untuk membeli jasa berupa pengolahan lahan dengan traktor. Seluruh decision making unit menggunakan jasa traktor untuk mengolah lahannya, dengan kisaran harga Rp.400.000-500.000 untuk lahan seluas 0,7 hektar.
Adanya perbedaan harga
tersebut diantaranya disebabkan adanya perbedaan karakteristik lahan dan lokasi lahan.
7.3.
Pendapatan Tunai Usahatani Padi Sawah Desa Kertawinangun Analisis pendapatan tunai usahatani padi sawah di Desa Kertawinangun
tahun 2011 terlihat pada tabel 17. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa penerimaan tunai petani perhektar sebesar Rp.26.588.111.
Setelah dikurangi
dengan pengeluaran tunai usahatani, pendapatan perhektar rata-rata decision making unit adalah Rp.10.856.226. Pendapatan tunai tersebut menunjukan ratarata pendapatan decision making unit di Desa Kertawinangun. Pendapatan yang positif menunjukan bahwa usahatani padi sawah yang dijalankan di Desa Kertawinangun menguntungkan.
90
Tabel 17. Pendapatan Tunai Usahatani (perhektar) Padi Sawah di Desa Kertawinangun Musim Kering Tahun 2011 Keterangan Nilai (Rupiah) Persentase (%) Penerimaan Tunai Penjualan Padi Sawah
26.588.111
100
184.323
1,17
80.734
0,51
Pengolahan lahan dengan traktor
685.529
4,36
Urea
492.972
3,15
TSP
509.923
3,24
Posca
472.871
3,01
Pestisida
1.623.212
10,32
Tenaga kerja luar keluarga
2.791.194
17,74
Sewa lahan
8.816.770
56,04
72.356
0,46
15.731.885
100
Biaya Tunai Benih Persiapan pembibitan
Irigasi Total BiayaTunai
Pendapatan Tunai (Penerimaan – Total Biaya Tunai)
7.4.
10.856.226
Pendapatan Tunai Usahatani Padi Sawah Varietas Ciherang Desa Kertawinangun Analisis pendapatan tunai usahatani padi sawah varietas Ciherang di Desa
Kertawinangun tahun 2011 terlihat pada tabel 18. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa penerimaan tunai petani perhektar sebesar Rp.24.708.511. Setelah dikurangi dengan pengeluaran tunai, pendapatan perhektar yang diterima decision making unit yang mengusahakan padi sawah varietas Ciherang sebesar Rp.9.804.923. Terlihat bahwa hasil pendapatan tunai perhektar rata-rata petani yang mengusahakan varietas Ciherang memiliki pendapatan yang lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan perhektar tunai rata-rata seluruh varietas. Hal ini sejalan dengan pengakuan decision making unit bahwa keuntungan usahatani varietas Ciherang tidak sebesar mengusahakan varietas lain. Hal ini disebabkan hasil produksi varietas Ciherang yang berada dibawah hasil varietas lain. 91
Meskipun mendapatkan hasil yang lebih rendah, masih terdapat decision making unit yang mengusahakan varietas Ciherang dengan alasan varietas ini adalah varietas yang dianjurkan oleh pemerintah. Selain itu, terdapat beberapa decision making unit yang mengatakan sudah lama menggunakan varietas Ciherang sehingga akan tetap menggunakan varietas ni meskipun ada varietas lain yang digunakan decision making unit lain yang produksinya lebih tinggi.
Tabel 18. Pendapatan Tunai Usahatani (perhektar) Padi Sawah Varietas Ciherang di Desa Kertawinangun Tahun 2011 Keterangan Nilai (Rupiah) Persentase (%) Penerimaan Tunai Penjualan Padi Sawah
24.708.511
100
184.821
1,24
97.349
0,65
Pengolahan lahan dengan traktor
691.964
4,64
Urea
504.599
3,39
TSP
597.313
4,01
Posca
489.172
3,28
Pestisida
1.455.045
9,76
Tenaga kerja luar keluarga
2.796.023
18,76
Sewa lahan
8.015.873
53,78
71.429
0,48
14.903.588
100
Pendapatan Tunai (Penerimaan Tunai – Total Biaya Tunai)
9.804.923
Biaya Tunai Benih Persiapan pembibitan
Irigasi Total BiayaTunai
7.5.
Pendapatan Tunai Usahatani Padi Sawah Varietas Denok Desa Kertawinangun Analisis pendapatan tunai usahatani padi sawah varietas Denok di Desa
Kertawinangun tahun 2011 terlihat pada tabel 19. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa penerimaan tunai petani perhektar sebesar Rp.27.409.407. Setelah 92
dikurangi dengan pengeluaran tunai, pendapatan perhektar yang diterima decision making unit yang mengusahakan padi sawah varietas Denok sebesar Rp. 13.219.161. Pendapatan perhektar varietas Denok lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan perhektar seluruh varietas dan pada varietas Ciherang Hal ini dipengaruhi penerimaan perhektar yang diterima decision making unit. Pendapatan yang positif menunjukan bahwa usahatani padi sawah dengan varietas Denok yang dijalankan di Desa Kertawinangun menguntungkan. Tabel 19. Pendapatan Tunai Usahatani (perhektar) Padi Sawah Varietas Denok di Desa Kertawinangun Tahun 2011 Keterangan Nilai (Rupiah) Persentase (%) Penerimaan 27.409.407
100
179.853
1,17
73.260
0,48
Pengolahan lahan dengan traktor
675.824
4,40
Urea
514.927
3,35
TSP
503.827
3,28
Posca
472.581
3,08
Pestisida
1.623.212
11,07
Tenaga kerja luar keluarga
2.810.583
18,30
Sewa lahan
8.354.037
54,39
73.260
0,48
15.360.373
100
Penjualan Padi Sawah Biaya Tunai Benih Persiapan pembibitan
Irigasi Total BiayaTunai
Pendapatan Tunai (Penerimaan – Total Biaya Tunai)
7.6.
13.219.161
Pendapatan Tunai Usahatani Padi Sawah Varietas Mekongga Desa Kertawinangun Analisis pendapatan tunai usahatani padi sawah varietas Mekongga di
Desa Kertawinangun tahun 2011 terlihat pada tabel 20.
Berdasarkan tabel
tersebut, terlihat bahwa penerimaan tunai petani perhektar sebesar Rp.1.169.745. 93
Setelah dikurangi dengan pengeluaran tunai, pendapatan perhektar yang diterima decision making unit yang mengusahakan padi sawah varietas Mekongga sebesar Rp.16.732.697. Varietas Mekongga sangat menonjol pada penerimaan perhektar yang lebih besar dibandingkan varietas lain.
Hal ini disebabkan rata-rata
usahatani memiliki produksi dan harga yang tinggi. Pendapatan decision making unit yang membudidayakan varietas Mekongga bernilai positif menunjukan bahwa usahatani padi sawah dengan varietas Denok yang dijalankan di Desa Kertawinangun menguntungkan. Tabel 20. Pendapatan Tunai Usahatani (perhektar) Padi Sawah Varietas Mekongga di Desa Kertawinangun Tahun 2011 Keterangan Nilai (Rupiah) Persentase (%) Penerimaan Penjualan Padi Sawah
31.169.745
100
196.786
1,18
83.378
0,50
Pengolahan lahan dengan traktor
696.429
4,17
Urea
450.714
2,70
TSP
406.667
2,43
Posca
467.647
2,80
Pestisida
1.532.160
9,17
Tenaga kerja luar keluarga
2.708.998
16,22
10.091.837
60,41
71.429
0,43
16.706.043
100
Pendapatan Tunai (Penerimaan – Total Biaya Tunai)
16.732.697
Biaya Tunai Benih Persiapan pembibitan
Sewa lahan Irigasi Total BiayaTunai
94
VIII ANALISIS HUBUNGAN EFISIENSI TEKNIS DAN PENDAPATAN Analisis hubungan efisiensi dan pendapatan yang dibahas dalam penelitian ini adalah perbandingan antara nilai efisiensi teknis dengan rasio dari R/C. Selain itu, penelitian ini juga mengamati hubungan antara nilai efisiensi teknis yang dicapai baik pada perbandingan seluruh varietas maupun perbandingan pervarietas dengan pendapatan perhektar yang diperoleh decision making unit. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah decision making unit yang mencapai efisiensi teknis juga menjadi decision making unit yang ditinjau baik dari sisi rasio R/C maupun pendapatan perhektarnya tertinggi. Penelitian ini menggunakan analisis pendapatan untuk dibandingkan dengan nilai efisiensi teknis yang diperoleh decision making unit.
Penulis
menggunakan analisis pendapatan dengan pertimbangan pendapatan decision making unit dapat menunjukan besaran nilai bersih yang diterima decision making unit. Penulis tidak menggunakan analisis penerimaan decision making unit karena penerimaan hanya fungsi perkalian antara hasil produksi dengan harga jual yang diterima. Sedangkan pada analisis pendapatan, faktor biaya yang dikeluarkan oleh decision making unit juga dipertimbangkan. Tujuan dari dibandingkannya antara nilai efisiensi teknis yang diperoleh decision making unit dengan pendapatan adalah untuk mengetahui apakah decision making unit yang mencapai efisiensi teknis merupakan decision making unit yang pendapatan perhektarnya tertinggi.
Apabila menggunakan analisis penerimaan, terdapat kemungkinan
decision making unit dengan hasil panen tertinggi memiliki penerimaan tertinggi. Sedangkan apabila menggunakan analisis pendapatan perhektar, dapat lebih menggambarkan kesejahteraan yang dicapai oleh decision making unit.
8.1.
Analisis Hubungan Efisiensi Teknis dengan Rasio R/C Analisis rasio R/C adalah salah satu analisis yang dapat digunakan sebagai
parameter efisiensi teknis dari suatu usaha. Perbedaan antara analisis rasio R/C dengan analisis efisiensi teknis adalah pada nilai yang digunakan. Analisis rasio 95
R/C menggunakan nilai kuantitas dan harga dari variabel baik masukan (input) maupun keluaran (output).
Sedangkan analisis efisiensi teknis hanya
menggunakan nilai dari kuantitas baik variabel masukan (input) maupun keluaran (output). Analisis hubungan antara efisiensi teknis dengan rasio R/C berdasarkan pengujian Rank Spearman terlihat pada lampiran 2. Berdasarkan lampiran 2, terlihat bahwa nilai korelasi antara kedua variabel berhubungan positif dengan keeratan sedang dan signifikan. Hal ini telihat dari nilai koefisien korelasi yang bernilai 0,436.
Keeratan hubungan sedang terjadi sebagai dampak dari
menyebarnya data kedua variabel. Sedangkan signifikansi antara kedua variabel terlihat pada nilai signifikansi sebesar 0,000 sehingga dapat disimpulkan kedua variabel memiliki hubungan yang signifikan.
Korelasi positif dapat diartikan
bahwa ada hubungan berbanding lurus antara nilai efisiensi teknis dengan rasio R/C. Hubungan antara Efisiensi Teknis dengan Rasio R/C terlihat pada gambar 12. Secara keseluruhan, berdasarkan gambar 12 terlihat bahwa tren hubungan antara efisiensi teknis dengan rasio R/C pada decision making unit di Desa Kerwawinangun pada musim kering tahun 2011 berbanding lurus, meskipun terdapat banyak decision making unit yang menyimpang dari garis persamaan trennya. Tren berbanding lurus pada hasil pengolahan scatter ini sesuai dengan hasil pengujian Rank Spearman. Data yang tersebar dari garis trennya dapat menjadi penjelas mengapa nilai koefisien korelasi Rank Spearman pada analisis hubungan ini terkategorikan sedang. Berdasarkan gambar 12, terlihat bahwa ada dua decision making unit yang memiliki nilai yang berada jauh dari decision making unit lain. Decision making unit pertama memiliki nilai efisiensi teknis dan rasio R/C yang rendah. Decision making unit kedua memiliki nilai efisiensi teknis yang rendah akan tetapi nilai rasio R/Cnya berada diatas rata-rata nilai rasio R/C seluruh decision making unit. Hal yang menarik pada gambar 12 adalah seluruh decision making unit yang mencapai efisiensi teknis bukanlah decision making unit yang memiliki nilai rasio R/C tertinggi. Decision making unit yang mencapai rasio R/C tertinggi justru decision making unit yang tidak mencapai efisiensi teknis. 96
Decision making unit yang memiliki nilai efisiensi teknis dan rasio R/C rendah disebabkan decision making unit tersebut memiliki penerimaan yang rendah dan biaya yang tinggi. Penerimaan decision making unit rendah karena produksinya jauh dibawah decision making unit lain, ditambah dengan harga jual yang diterima rendah.
Sedangkan dari struktur biaya, decision making unit
memiliki biaya sewa lahan yang tinggi. Hal tersebut dapat menyebabkan rasio R/C yang diperolehnya rendah. Sedangkan hal yang membuat nilai efisiensi teknisnya rendah kemungkinan adalah rendahnya hasil produksinya.
Gambar 12.
Gambar Hubungan Efisiensi Teknis dengan Rasio R/C di Desa Kertawinangun 2011
Decision making unit yang memiliki nilai efisiensi rendah akan tetapi memiliki R/C tinggi disebabkan rendahnya struktur biaya yang dimiliki dan tingginya penerimaan yang dperoleh. Decision making unit memiliki struktur biaya yang rendah karena menggunakan masukan (input) yang harganya tidak terlalu tinggi.
Tingginya penerimaan disebabkan besarnya harga jual yang
diterima oleh decision making unit. Karena itu, meskipun secara teknis tidak efisien, namun decision making unit ini tetap memiliki rasio R/C yang tinggi. 97
Decision making unit yang mencapai rasio R/C tertinggi memiliki hasil panen yang besar dengan harga yang tinggi. Selain itu decision making unit tersebut memiliki struktur biaya yang rendah sehingga rasio R/Cnya dapat tinggi. Decision making unit tersebut dapat memiliki struktur biaya yang rendah karena menggunakan faktor masukan (input) yang memiliki harga yang tidak terlalu tinggi dan berusaha mengurangi pengeluaran untuk penambahan masukan (input) yang dianggap tidak terlalu berdampak kepada usahataninya. Alasan decision making unit menggunakan masukan (input) yang memiliki harga yang rendah adalah adanya keterbatasan modal. Menurut decision making unit, peningkatan penerimaan sebagai akibat dari penggunaan masukan (input) yang berharga tinggi tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan peningkatan biaya yang dikeluarkan.
Karena itu, decision making unit mengurangi
penggunaan masukan (input) seperti penggunaan pestisida secara berlebihan dan penggunaan tenaga kerja luar keluarga yang berlebihan. Decision making unit ini hanya melakukan penyemprotan pestisida sebanyak dua kali menggunakan pestisida yang memiliki harga dibawah rata-rata pestisida yang digunakan decision making unit lain. Pengurangan biaya lain adalah penggunaan herbisida untuk membasmi gulma sehingga decision making unit tidak perlu mengeluarkan biaya membayar tenaga kerja untuk pemberantasan gulma secara manual. Diduga penggunaan faktor masukan (input) yang minimalis guna mengurangi biaya produksi mempengaruhi hasil dari usahataninya sehingga decision making unit tersebut meskipun dari segi struktur biaya rendah, akan tetapi tidak dapat mencapai efisiensi teknis.
8.2.
Analisis Hubungan Efisiensi Teknis dan Pendapatan perhektar Analisis hubungan antara nilai efisiensi teknis dengan pendapatan
perhektar dilakukan pada perbandingan seluruh varietas dan pervarietasnya. Analisis perbandigan seluruh varietas dilakukan untuk mendapatkan generalisasi gambaran mengenai hubungan yang ada. Sedangkan analisis perbandingan antar varietas dilakukan dengan tujuan mengetahui hubungan yang ada pada ruang lingkup yang lebih sempit. Analisis ini dilakukan dengan menguji hubungan 98
antara nilai efisiensi teknis dengan pendapatan perhektar menggunakan pengujian Rank Spearman dan gambar scatter.
Hasil pengujian menggunakan Rank
Spearman disajikan pada tabel 21. Berdasarkan tabel 21, terlihat bahwa nilai koefisien korelasi Rank Spearman pada hubungan perbandingan efisiensi teknis dengan pendapatan perhektar berbeda-beda.
Pengujian terhadap hubungan antara efisiensi teknis
perbandingan seluruh varietas dengan pendapatan perhektar menunjukan adanya hubungan yang kuat. Hal ini terlihat dari nilai koefisien korelasi Rank Spearman sebesar 0,650.
Nilai koefisien yang positif menunjukan adanya hubungan
berbanding lurus antara kedua variabel.
Sedangkan nilai signifikansi sebesar
0,000 menunjukkan adanya signifikansi pada hubungan tersebut.
Tabel 21.
Hasil Analisis Hubungan antara Nilai Efisiensi Teknis dengan Pendapatan perhektar menggunakan Rank Spearman Padi Sawah di Desa Kertawinangun Musim Kering Tahun 2011 Korelasi Rank Signifikansi Spearman Hubungan Pendapatan Arah perhektar dengan Korelasi Nilai Interpretasi Nilai Interpretasi
Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Seluruh Varietas Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Ciherang Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Varietas Denok Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan
0,650 Keeratan Kuat
Positif
0,000 Signifikan
0,172 Keeratan Sangat Lemah 0,068 Keeratan Sangat Lemah 0,525 Keeratan Sedang
Positif
0,524 Tidak Signifikan
Negatif
0,682 Tidak Signifikan
Positif
0,018 Signifikan
Hasil pengujian hubungan nilai efisiensi teknis perbandingan varietas Ciherang dan Denok dengan pendapatan perhektar menunjukan tidak ada signifikansi diantara kedua perbandingan tersebut.
Hal ini terlihat dari nilai
signifikansinya yang besar, yaitu 0,524 dan 0,682 pada masing-masing pengujian. Sedangkan hasil pengujian hubungan efisiensi teknis perbandingan varietas 99
Mekongga dengan pendapatan perhektar menunjukan adanya signifikansi diantara kedua variabel. Signifikansi ini terlihat dari nilai signifikansi pada hasil pengujian Rank Spearman sebesar 0,018.
Hubungan antara efisiensi teknis perbandingan
varietas Mekongga tergolong sedang dengan hubungan positif.
Hal ini
dijustifikasi dari nilai koefisien Rank Spearman sebesar 0,525. Interpretasi dari nilai koefisien yang positif adalah adanya hubungan berbanding lurus antara nilai efisiensi teknis perbandingan varietas Mekongga dengan pendapatan perhektar. Berdasarkan pengujian Rank Spearman terdapat dua hubungan antara efisiensi teknis dengan pendaatan perhektar yang signifikan. Karena itu, kedua hubungan ini kemudian akan dibahas lebih lanjut dengan menggunakan bantuan dari gambar scatter untuk mengetahui pemetaan dari masing-masing decision making unit pada setiap perbandingan.
8.2.1. Analisis Hubungan Efisiensi Teknis dan Pendapatan perhektar Perbandingan Seluruh Varietas Hubungan antara nilai efisiensi teknis yang dicapai decision making unit dengan pendapatan perhektar pada perbandingan seluruh varietas dapat terlihat pada gambar 13. Berdasarkan gambar 13 terlihat bahwa decision making unit memiliki pendpatan perhektar yang tersebar antara Rp.-10.000.000-40.000.000. Sedangkan decision making unit yang mencapai efisiensi teknis berada pada selang pendapatan perhektar antara Rp.1.000.000-40.000.000.
Berdasarkan
gambar 13 terlihat bahwa tren hubungan antara nilai efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas dengan pendapatan perhektar decision making unit berbanding lurus. Tren ini sesuai dengan hubungan antara kedua variabel pada pengujian Rank Spearman. Hal ini menunjukan bahwa secara umum dapat dikatakan semakin tinggi nilai efisiensi teknis yang dicapai, maka akan semakin tinggi pendapatan perhektar yang dapat diperoleh.
Meskipun secara umum dapat
disimpulkan seperti itu, namun berdasarkan gambar 13 terlihat bahwa tidak seluruh decision making unit yang mencapai efisiensi teknis menjadi decision making unit dengan pendapatan perhektar tertinggi.
100
Terdapat beberapa decision making unit terlihat memiliki posisi hubungan yang menonjol. Respoden pertama adalah decision making unit dengan nilai efisiensi teknis dan pendapatan perhektar yang rendah, dengan nilai keduanya mendekati nol. Decision making unit kedua adalah decision making unit dengan efisiensi teknis dibawah 0,2 namun memiliki pendapatan perhektar antara Rp.10.000.000-20.000.000. Decision making unit ketiga yang menarik perhatian adalah decision making unit dengan nilai efisiensi antara 0,2-0,4 dan pendapatan perhektar negatif atau mengalami kerugian.
Gambar 13.
Gambar Hubungan Nilai Efisiensi Teknis dengan Pendapatan perhektar Usahatani Padi Sawah Perbandingan Seluruh Varietas di Desa Kertawinangun 2011
Decision making unit pertama dan kedua memiliki persamaan pendapatan perhektar dan efisiensi yang rendah. Berdasarkan karakteristik decision making unit, keduanya memiliki beberapa kesamaan, diantaranya berusia diatas 55 tahun dengan pengalaman bertani diatas 30 tahun.
Persamaan lain adalah kedua
decision making unit tidak pernah menempuh pendidikan formal. Hal yang perlu diingat pada penilaian capaian efisiensi adalah kombinasi dari masukan (input) yang digunakan dan keluaran (output) yang dihasilkan. Sedangkan pada pendapatan perhektar, seluruh faktor produksi baik masukan 101
(input) maupun keluaran (output) dikalikan dengan harga dari masing-masing faktor tersebut. Hal ini dapat menjadi penjelasan mengapa ada decision making unit yang capaian efisiensinya lebih tinggi akan tetapi memiliki pendapatan perhektar yang lebih rendah. Decision making unit yang memiliki pendapatan perhektar negatif memiliki harga jual padi dan hasil produksi yang rendah. Decision making unit mengatakan padi di lahannya rebah saat panen sehingga hanya sebagian padi yang dapat dipanen. Selain itu, decision making unit menjual padinya saat panen raya sehingga harga padi yang diterima rendah. Rendahnya produksi yang dihasilkan adalah salah satu kejadian yang sangat jarang ditemui pada musim tanam yang diamati. Decision making unit mengetahui risiko rendahnya harga yang dihadapi akan tetapi tetap menjual saat panen raya dikarenakan kebutuhan akan uang tunai. Faktor yang diduga mempengaruhi ada decision making unit yang memiliki nilai efisiensi dibawah 0,2 akan tetapi pendapatan perhektarnya diatas Rp.10.000.000 adalah sistem tebas yang digunakan decision making unit. Decision making unit tersebut menggunakan sistem tebas karena memperkirakan ushataninya akan merugi apabila memanen sendiri. Menurut decision making unit, ssaat akan panen, terlihat padi yang dihasilkan mlainya tidak sebanyak seharusnya, sehingga dikhawatirkan hanya akan menambah pengeluaran apabila melakukan pemanenan sendiri. Karena itu, decision making unit memutuskan untuk menjual padinya dengan sistem tebas.
Sistem tebas dihargai sebesar
Rp.20.000.000 untuk lahan seluas 0,7 hektar.
Sebenarnya keuntungan yang
diperoleh decision making unit lebih dari ini karena decision making unit tidak perlu menanggung biaya panen yang cukup besar. Seluruh decision making unit yang mencapai efisiensi teknis memiliki pendapatan perhektar yang berbeda-beda, bahkan memiliki selang yang lebar. Meskipun nilai efisiensi mencapai 1,00, namun pendapatan perhektar setiap decision making unit berbeda, bahkan memiliki selang nilai yang cukup besar. Selain itu, decision making unit dengan pendapatan hektar yang sama belum tentu memiliki capaian efisiensi teknis yang sama. misalnya pada decision making unit
102
yang memiliki pendapatan perhektar tertinggi. Nilai efisiensi dari decision making unit terseebut berbeda-beda. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan adanya decision making unit yang mencapai efisiensi akan tetapi memiliki pendapatan perhektar terendah dibandingkan decision making unit lain yang mencapai efisiensi. Diduga faktor yang menyebabkan rendahnya pendapatan perhektar meskipun usahataninya mencapai efisien adalah harga jual yang diterima, lebih tingginya harga masukan (input), dan perbedaan harga sewa lahan. Hal yang menarik dari decision making unit yang mencapai efisiensi adalah decision making unit yang memperoleh pendapatan perhektar terendah bukanlah decision making unit yang memiliki harga jual padi terendah. Decision making unit tersebut memiliki struktur biaya yang besar terutama pada biaya pemberian pestisida sehingga pendapatan perhektar yang diperoleh menjadi lebih sedikit dibanding yang lain. Decision making unit yang pendapatan perhektar terkecil memiliki biaya sewa lahan yang hampir dua kali lebih besar dibandingkan dengan decision making unit lain dan harga jual padi yang hampir 50 persen lebih rendah dibandingkan dengan decision making unit yang pendapatan perhektarnya terbesar.
Hal tersebut dapat
menjelaskan adanya decision making unit yang mencapai efisiensi teknis akan tetapi memiliki pendapatan perhektar yang relatif rendah. Usahatani yang mencapai pendapatan perhektar terbesar dikelola oleh satu decision making unit.
Decision making unit tersebut diduga dapat memiliki
pendapatan perhektar tertinggi karena luasnya lahan usahatani yang diusahakan lebih dari lima hektar. Decision making unit tersebut adalah decision making unit yang mengelola lahan terluas pada penelitian ini. Faktor lain yang menunjang decision making unit tersebut adalah harga padi yang diterimanya, berada diatas rata-rata harga padi yang diterima oleh decision making unit sehingga mendukung decision making unit tersebut mendapatkan pendapatan perhektar tertinggi.
103
8.2.2. Analisis Hubungan Nilai Efisiensi Teknis dengan Pendapatan perhektar Perbandingan Varietas Mekongga Hubungan efisiensi teknis perbandingan varietas Mekongga dengan pendapatan perhektar terlihat pada gambar 14. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa nilai efisiensi dan pendapatan perhektar decision making unit tersebar. Meskipun seperti itu, tren hubungan antara efisiensi teknis dengan pendapatan perhektar varietas Mekongga sama dengan tren pada perbandingan seluruh varietas, yaitu berbanding lurus. Tren ini sesuai dengan hasil pengujian menggunakan Rank Spearman. Sama seperti perbandingan seluruh varietas, tidak semua decision making unit yang mencapai efisiensi teknis mendapatkan pendapatan perhektar tertinggi. Berdasarkan gambar 14 terlihat terdapat decision making unit yang mencapai efisiensi teknis dan memiliki pendapatan perhektar tertinggi. Hal lain yang pada gambar 14 adalah pada capaian efisiensi yang sama, decision making unit memiliki pendapatan perhektar yang tersebar pada selang yang lebar. Hal ini terjadi juga pada hubungan antara nilai efisiensi teknis perbandingan seluruh varietas. Hal yang menarik pada gambar 14 adalah terlihat ada decision making unit yang memiliki nilai efisiensi teknis dibawah 0,2 akan tetapi berada pada posisi kedua tertinggi pada pendapatan perhektar. Hal ini menunjukan bahwa decision making unit yang memiliki nilai efisiensi tinggi tidak selalu memiliki pendapatan perhektar tertinggi. Berdasarkan pendapatan perhektar, dari empat decision making unit yang mencapai efisiensi teknis, hanya dua decision making unit yang berada diatas garis tren. Hal ini menunjukan tingginya pencapaian tingkat efisiensi teknis tidak selalu diikuti dengan tingginya pendapatan perhektar.
104
Gambar 14.
Gambar Hubungan Nilai Efisiensi Teknis dengan Pendapatan perhektar Usahatani Padi Sawah Perbandingan Varietas Mekongga di Desa Kertawinangun 2011
105
IX KESIMPULAN DAN SARAN 9.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan, kesimpulan yang
diperoleh adalah: 1) Tingkat efisiensi teknis petani padi sawah di Desa Kertawinangun pada musim kering tahun 2011 berkisar 0,712. Sedangkan pada varietas Ciherang sebesar 0, 877, Denok sebesar 0,780, dan Mekongga sebesar 0,705. 2) Tidak terdapat hubungan antara nilai efisiensi teknis perbandingan varietas dengan karakteristik decision making unit. 3) Pendapatan tunai perhektar usahatani padi sawah di Desa Kertawinangun musim kering tahun 2011 sebesar Rp10.856.226. Pendapatan tunai varietas Ciherang sebesar Rp.9.804.923, Denok sebesar Rp.13.219.161, dan Mekongga sebesar Rp.16.732.697. 4) Terdapat hubungan berbanding lurus antara nilai efisiensi yang dicapai dengan pendapatan perhektar usahatani padi sawah di Desa kertawinangun pada musim kering tahun 2011.
9.2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat disampaikan diantaranya:
1) Hasil penelitian ini menunjukan adanya hubungan negative antara karakeristik responden dengan nilai efisiensi. Hal ini dapat menjadi bahan kajian penelitian lain baik pada lokasi dan alat analisis yang sama maupun berbeda. 2) Tidak adanya hubungan antara karakterisktik responden dengan nilai efisiensi dapat memunculkan penelitian selanjutnya yang membahas factor lain yang mungkin
mempengaruhi,
seperti
kemampuan
manajerial
maupun
entrepreneurship. 3)
Penelitian selanjutnya yang menggunakan DEA sebagai alat analisis memasukan variabel pestisida sebagai salah satu variabel masukan (input)nya. 106
DAFTAR PUSTAKA [BBPT] Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Padi. Bogor: BBP2TP. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Penduduk Indonesia Menurut Provinsi: Jakarta: BPS RI. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Indramayu. 2011. Kecamatan kandanghaur dalam angka. Indramayu: BPS Kabupaten Indramayu. [DJP]
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2010. http://www.deptan.go.id/ditjentan/. Data Produksi, Produktivitas Padi Sawah Nasional. Diakses tanggal 24 Maret 2011.
[Dinas Pertanian Tanaman Pangan] http://www.diperta.jabarprov.go.id/. Dearah Sentra Penghasil Padi Provinsi Jawa Barat. Diakses tanggal 24 Maret 2011. Abidin
Z, Endri. 2009. Kinerja efisiensi teknis bank pembangunan daerah: pendekatan data envelopment analysis. Jurnal Akuntansi dan Keuangan 11(1): 21-29.
Aman M, Haji J. 2011. Determinants of technical efficiency of rose cut flower industries in Oroma Region, Ethiopia. Journal of Economics and Sustainable Development 2(6):81-88. Brazdik F. 2006. Non-parametric analysis of technical efficiency: Factors affecting efficiency of West Java Rice Farms. Working Paper series. Charles University, Center for Economic Research and Graduate Education, Academy of Sciences of the Chzech Republic Economics Institute. Coelli TJ, Rao DSP., O’Donell CJ., Battese GE. 2005. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Second edition. New York: Springer. Cooper WW, Seiford LM., Tone K. 2002. Data Envelopment Analysis, A Comprehensive Text with Models, Application, References and DEASolver Software. Moscow: Kluwer Academic Publisher. Dhungana BR, Peter LN, Gilbert V, Nartea. 2004. Measuring the economic inefficiency of Nepalese rice farms using data envelopment analysis. The Australian Journal of Agricultural and Resource Economics 48(2):347369. 107
Dumaria E. 2003. Analisis efisiensi usahatani nenas di Desa Tambakan, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fernandez MDP, Nuthall PL. 2001. Farmer’s goal and efficiency in the production of sugar cane :the Phillipine case. Research Report. Farm and Horticultural Management Group, Lincoln University. Fraser I, Hone P. 2001. Farm level efficiency and productivity measurement using panel data: wool production in South West Victoria. The Australian Journal of Agricultural and Resource Economics 45(2):215-232. Javed MI, Adil SA, Javed MS. 2008. Efficiency analysis of rice wheat system in Punjab, Pakistan. Pak. J. Agri. Sci 45(3):95-100. Krasachat W. 2003. Technical efficiencies of rice farms in Thailand: a non paramentric approach. Di dalam 2003 Hawaiian International Conference on Business. Proceeding of Seminar. Hanolulu, 18-21 juni 2003. Hawaiian International Conference on Business. Halaman 1-15. Krasachat W. 2004. Technical efficiencies of rice farms in Thailand: a non paramentric approach. The Journal of American Academy of Business Cambridge: 64-69. Krasachat W. 2007. Economics efficiency of feedlot cattle farms in Thailand. Di dalam Tropentag 2007 Conference on International Agricultural Research for Development . Proceeding of Seminar; Gottingen, 9-11 Oktober 2007. Gottingen: university of Kassel-Witzenhausen and University of Gottingen. Halaman 1-4. Krasachat W. 2009. Technical efficiency of shrimp farms in Thailand under good agricultural practice system. Di dalam Tropentag 2009 Conference on International Research on Food Security, Natural Resource Management and Rural Development. University of Hammburg, 6-8 Oktober 2009. University of Hammburg: University of Hammburg, halaman 1-4. Lee jun-Yen. 2005. Using DEA to measure efficiency in forest and paper companies. Forest Products Journal 55(1):58-66. Putri VR, Lukviarman N. 2008. Pengukuran kinerja bank komersial dengan pendekatan efisiensi: studi terhadap perbankan go-public di Indonesia. JAAI 12(1):37-52. Sarker D, De S. 2004. Non parametric approach to study of farm efficiency in agriculture. Journal of Contemporary Asia 34(2).
108
Soekartawi, Soeharjo A, Dillon JL, Hardaker JB. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengambangan Petani Kecil. UI Press: Jakarta. Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. UI Press: Jakarta. Sudaryanto B. 2006. Analisis efisiensi kinerja pengelolaan tempat pelelangan ikan (TPI) dengan Data Envelopment Analysis (DEA): studi di Kabupaten Pati dan Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Empirika 19(2). Yuningsih Y. 1999. Analisis optimalisasi pendapatan usahatani pada keragaman jenis usaha petani nenas (studi kasus petani nenas di Desa Bunihayu, Kecamaan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
109
LAMPIRAN
110
Lampiran 1 Tabel Data Hasil Penelitian Efisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah Desa Kertawinangun, Kabupaten Indramayu Tahun 2011 Decision making unit
Varietas
Panen (Ton)
Pupuk (kg)
Bibit (kg)
TK LK (Jam)
TK DK (Jam)
TKM (Jam)
Luas (ha)
Efisiensi
pendapatan bersih/hektar (Rupiah/hektar)
10
21
90
1.472
228
8
2,1
1
8.470.238
8,25
4,5
22,5
1.185
213
12
1,1
0,74
8.160.646
30
17,5
30
6.144
240
40
3,5
1
20.069.284
CIHERANG
6
9
15
1.224
204
12
1,1
0,567
13.824.762
5
DENOK
8
8
40
1.500
207
16
1,4
0,554
15.975.714
6
DENOK
2,5
3
20
884
184
8
0,7
0,338
(7.419.286)
7
DENOK
26
60
40
211
2.552
32
2,8
1
25.459.643
8
DENOK
10
9,5
24
1.680
246
32
1,4
0,685
11.785.714
9
DENOK
6,5
4
15
1.076
245
8
0,7
0,848
28.071.837
10
CIHERANG
5,5
5
15
1.020
213
8
0,7
0,722
25.513.660
1
DENOK
2
CIHERANG
3
DENOK
4
111
11
DENOK
10
12
20
1.435
238
16
1,4
0,734
7.191.224
12
DENOK
20
12
40
630
218
32
2,8
1
23.269.286
13
DENOK
2
2
5
630
218
4
0,4
0,454
14.500.000
14
DENOK
30
15
50
2.110
228
40
3,5
1
18.400.476
15
DENOK
42
28
70
3.810
218
56
4,9
0,98
38.496.429
16
KINTANI 1
4,6
2
5
690
218
4
0,4
1
38.298.429
17
SMC
75
50
125
6.450
218
100
8,8
1
38.298.429
18
MEKONGGA
15
7,5
30
2.165
278
24
2,1
0,838
11.374.762
19
MEKONGGA
18
16
60
1.990
218
32
2,8
0,706
9.711.786
20
DENOK
16,5
12
45
2.345
283
24
2,1
0,765
22.626.667
21
DENOK
7
6
10
1.080
238
8
0,7
0,919
31.657.143
22
DENOK
28
12
48
2.930
258
32
2,8
1
37.188.571
23
DENOK
15
13,5
36
2.100
243
24
2,1
0,718
22.383.377
24
DENOK
2,7
1,5
10
773
243
4
0,4
0,698
26.295.714
25
MEKONGGA
2,7
1,5
10
773
243
4
0,4
0,698
16.810.000
112
26
DENOK
5
3
10
1.223
298
8
0,7
0,689
11.125.060
27
DENOK
2,7
2
5
645
298
4
0,4
0,606
16.942.857
28
DENOK
4
5
10
890
228
8
0,7
0,54
8.946.786
29
DENOK
20
10
50
3.335
234
40
3,5
0,795
18.210.286
30
DENOK
20
25
50
3.035
256
40
3,5
0,631
15.708.929
31
MEKONGGA
9
8
25
1.494
235
16
1,4
0,63
17.520.238
32
DENOK
10
8
20
1.500
283
16
1,4
0,721
16.744.048
33
CIHERANG
4
4,5
15
865
240
8
0,7
0,535
14.328.571
34
CIHERANG
37,2
32,6
111,5
3.668
233
44
3,8
0,981
10.354.675
35
MEKONGGA
2,5
2
5
645
218
4
0,4
0,561
15.464.286
36
MEKONGGA
12
12
45
2.055
249
24
2,1
0,562
11.493.492
37
CIHERANG
22,5
17,5
75
3.005
208
40
3,5
0,695
15.896.000
38
DENOK
4
3,5
10
975
198
8
0,7
0,539
12.221.429
39
CIHERANG
2,7
3
5
820
163
4
0,4
0,638
12.907.143
40
CIHERANG
2
3
5
712
206
4
0,4
0,443
7.133.333
113
41
DENOK
12
12
30
2.010
239
24
2,1
0,608
15.103.175
42
MEKONGGA
12
7,5
51
2.025
229
24
2,1
0,571
6.121.163
43
MEKONGGA
1,5
2,5
8
650
221
4
0,4
0,332
2.904.286
44
DENOK
6
4
10
1.205
279
8
0,7
0,774
28.862.857
45
CIHERANG
4
3
15
905
227
8
0,7
0,535
14.653.571
46
CIHERANG
5
2
10
1.045
163
8
0,7
0,941
14.942.262
47
DENOK
2,5
2
10
666
250
4
0,4
0,552
13.186.190
48
DENOK
10
6
30
1.512
158
16
1,4
0,708
25.355.714
49
DENOK
4,5
3
10
910
231
8
0,7
0,634
4.742.619
50
MEKONGGA
4,2
5,5
15
1.005
238
8
0,7
0,547
6.986.000
51
DENOK
5
3
15
1.200
218
8
0,7
0,667
17.469.388
52
DENOK
6,4
9
30
1.038
249
12
1,0
0,615
10.267.233
53
CIHERANG
2,6
1,5
5
690
246
4
0,4
0,717
12.788.571
54
CIHERANG
3,5
2
5
685
241
4
0,4
0,764
8.261.905
55
DENOK
5,2
4
10
1.070
193
8
0,7
0,7
14.277.619
114
5
5
10
975
168
8
0,7
0,683
10.227.041
3,5
12
30
1.332
163
16
1,4
0,244
(598.212)
DENOK
0,12
3
7,5
621
163
4
0,3
0,035
(941.069)
59
MEKONGGA
28,8
23
60
2.790
193
32
2,8
1
22.674.286
60
MEKONGGA
20
18
40
2.814
251
32
2,8
0,761
19.565.833
61
MEKONGGA
6
5
15
830
273
8
0,7
0,807
25.713.333
62
DENOK
51,3
27
90
4.210
208
72
6,2
1
18.957.175
63
DENOK
18
12
30
2.220
233
24
2,1
0,896
27.826.667
64
MEKONGGA
17,5
14
5
2.375
268
28
1,8
1
9.379.660
65
DENOK
5
4
10
890
228
8
0,7
0,679
11.452.381
66
MEKONGGA
0,5
2,8
10
905
228
8
0,7
0,073
16.400.000
67
MEKONGGA
20
24
60
2.750
233
32
2,8
0,695
8.952.976
68
DENOK
39,9
28
105
3.740
228
56
4,9
0,911
21.669.041
69
MEKONGGA
50
40
200
6.100
236
80
7,0
0,815
16.629.457
70
DENOK
2
2
5
685
211
4
0,4
0,439
8.063.810
56
CIHERANG
57
MEKONGGA
58
115
8
6
20
1.490
231
16
1,4
0,605
11.825.357
DENOK
21
15
45
2.310
253
24
2,1
0,966
31.173.810
73
CIHERANG
14
12
30
1.382
163
16
1,4
0,972
30.387.857
74
CIHERANG
15
12
30
1.860
223
24
2,1
0,773
26.336.349
75
MEKONGGA
21
7,5
45
1.950
221
24
2,1
1
20.196.667
76
MEKONGGA
4,5
3
10
880
221
8
0,7
0,64
17.538.095
77
CIHERANG
4,8
3,5
17
885
248
8
0,7
0,643
17.407.143
Rataan
12,97
10,62
31,76
1.711,44
257,98
19,84
1,74
0,70
16.599.634
Tertinggi
75,00
60,00
200,00
6.450,00
2.552,00
100,00
8,80
1,00
38.496.429
Terendah
0,12
1,50
5,00
211,00
158,00
4,00
0,30
0,04
(7.419.286)
71
MEKONGGA
72
Keterangan: TK DK: tenaga kerja dalam keluarga TKM: tenaga kerja mesin TK LK: tenaga kerja luar keluarga
116
Lampiran 2 Hasil Pengolahan Hubungan Nilai Efisiensi Teknis Perbandingan Seluruh Varietas dengan Rasio R/C di Desa Kertawinangun 2011 menggunakan Rank Spearman Correlations dea Rank Spearman's rho
dea
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed) N pndptn
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
pndptn
1.000
.650**
.
.000
77
77
.650**
1.000
.000
.
77
77
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
117
iii