ANALISIS JANGKAUAN PELAYANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT di INDONESIA
OLEH PRIANTO DANIEL SIHOMBING H14104075
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
PRIANTO DANIEL SIHOMBING. Analisis Jangkauan Pelayanan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia (dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO). Sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) berperan signifikan dibandingkan usaha besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional maupun lokal, dan tahan terhadap berbagai krisis ekonomi. Namun sektor tersebut belum berkembang secara optimal, karena sebagian besar (60%) UMKM masih menghadapi berbagai permasalahan yang cukup substansial, terutama mengenai permodalan dan informasi mengenai pinjaman modal dari lembaga perbankan (Depkeu, 2008). Lembaga keuangan yang selama ini telah banyak berperan dalam pembiayaan dan pengembangan sektor UMKM adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Oleh karena itu, peningkatan jangkauan pelayanan BPR merupakan suatu hal yang penting dalam mendorong perekonomian dari sektor UMKM. Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Mengetahui kondisi jangkauan pelayanan (outreach) yang dimiliki oleh BPR dalam menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat khususnya UMKM. (2) Mengkaji upaya-upaya apa saja yang dilakukan BPR dalam memperluas jangkauan pelayanan (outreach) dan berbagai kendala yang dihadapi dalam melaksanakan hal tersebut. (3) Mengkaji pengaruh jangkauan pelayanan terhadap index kinerja. Penelitian ini menggunakan data sekunder, dan data primer. Data sekunder diperoleh dari Bank Indonesia (BI), Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Keuangan (Depkeu), Departemen Koperasi (Depkop), jurnal dan referensi lain yang relevan. Untuk data primer diperoleh dari hasil survey yang dilakukan oleh InterCAFE pada tahun 2008 kepada 826 unit BPR responden. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari jumlah rekening, jumlah plafon kredit, dan rasio-rasio keuangan yang terdiri dari cost to client (CTC), LDR, ROA, ROE, BOPO, profit margin (PM), yield gap (YG), cash ratio (CR), funding expenses ratio (FER), cost of fund ratio (COF), write-off ratio (WOR), operating expenses ratio (OER), other expenses ratio (OTER), NPL, CAR, KAP, cost per borrower (CPB) dan average outstanding loan size (AOLS). Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistika deskriptif dan PCA. Analisis statistika deskriptif digunakan untuk mengetahui kondisi jangkauan pelayanan BPR, dan upaya serta hambatan dalam meningkatkan jangkauan pelayanan BPR. Analisis PCA digunakan untuk mengkaji pengaruh jangkauan pelayanan terhadap kinerja suatu BPR. Hasil analisis yang diperoleh memperlihatkan sebagian besar (94%) BPR masih berfokus kepada sektor UMKM, terutama di daerah sekitar BPR berlokasi. Hal ini didukung oleh fakta, yang memperlihatkan BPR mengutamakan (61,9%) debitur yang berada satu Kota/Kab dengan BPR berlokasi. Kredit tersebut, pada umumnya digunakan untuk modal kerja (58,69%) disektor perdagangan (41,16%). Ini mengindikasikan BPR ikut berperan serta dalam mengembangkan perekonomian di wilayah sekitar.
Berdasarkan kelompok modal inti yang dimiliki oleh BPR, terdapat perbedaan karakteristik antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Dimana BPR sedang dan besar akan meningkatkan jangkauan nasabahnya di luar wilayah satu Kota/Kab BPR berlokasi. Namun hal itu tidak mempengaruhi fokus pelayanan BPR sedang dan besar terhadap sektor UMKM, dikarenakan BPR sedang dan besar tetap sebagian besar menyalurkan dananya kepada kepada kredit mikro yang digunakan untuk modal kerja di sektor perdagangan. BPR dalam menjalankan usahanya berusaha meningkatkan jangkauan pelayanannya kepada masyarakat, karena peningkatan jangkauan pelayanan ini salah satu faktor yang akan meningkatkan profit BPR. Hasil temuan menunjukkan, peningkatan jangkauan pelayanan pada umumnya dilakukan dengan cara pemasaran intensif (61,7%), dan proses pelayanan yang dipercepat(30,4%). Upaya ini sering terkendala oleh kurangnya permodalan, produktifitas SDM, dan kurangnya inovasi pelayanan yang dimiliki oleh BPR. Selain itu, peningkatan jangkauan pelayanan sering terkendala oleh tingginya tingkat persaingan yang bersifat monopolistic competition. Hasil analisis yang diperoleh selain menunjukkan kondisi jangkauan pelayanan BPR, dan upaya serta hambatan dalam meningkatkan jangkauan pelayanan BPR. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa jangkauan pelayanan berpengaruh terhadap kinerja BPR. Hal ini diperlihatkan dengan termasuknya jangkauan pelayanan sebagai komponen pembentuk index kinerja. Walaupun jangkauan pelayanan sebagai komponen pembentuk index kinerja, tetapi pengaruhnya terhadap index kinerja tidak terlalu signifikan. Terlihat dengan kecilnya nilai loading factor yang dimiliki oleh jangkauan pelayanan sebesar -0,135. Artinya jangkauan pelayanan BPR yang besar belum tentu menunjukkan kinerja BPR yang baik. Fakta tersebut, digambarkan pada Tabel 5.4 yang memperlihatkan pada BPR sedang dengan kinerja buruk dan BPR kinerja sedang pada BPR besar memiliki jangkauan pelayanan paling luas. Berdasarkan hasil analisis diatas, terjadi fenomena karakteristik jangkauan pelayanan (outreach) BPR yang sangat beragam di Indonesia, terutama berdasarkan kelompok modal inti. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, sehingga BPR bisa terus meningkatkan perannya terhadap sektor UMKM. Namun dalam usaha tersebut, diperlukan kehati-hatian BPR dalam menjaga financial sustainability, agar BPR kedepan dapat terus berkembang dan tidak vailid.
ANALISIS JANGKAUAN PELAYANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT di INDONESIA
Oleh PRIANTO DANIEL SIHOMBING H 14104075
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2008
Prianto Daniel Sihombing H14104075
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Serang, Banten pada tanggal 14 Juli 1986. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari keluarga Bapak Robinson Sihombing dan Ibu Elseria Sihotang. Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Margahayu XII dari tahun 1992 sampai tahun 1998. Pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Margahayu. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 6 Bandung dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Ilmu Ekonomi, Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan, diantaranya sebagai Komisi Pelayanan Siswa (KPS) PMK IPB dari tahun 2004-2006. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kepanitian interen maupun eksteren kampus.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa melimpahkan kasih dan berkatNya pada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Adapun Judul dari Skripsi ini adalah Analisis Jangkauan Pelayanan BPR di Indonesia. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak memperoleh dukungan dari beberapa pihak. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan terma kasih kepada : 1. Nunung Nuryartono, Ph.D. selaku dosen pembimbing skripsi yang memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Dedi Budiman Hakim, Ph.D. selaku dosen penguji utama yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan, kritik dan ilmu yang bermanfaat untuk penyempurnaan skripsi ini. 3. Tanti Novianti, M.Si selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa untuk penyempurnaan skripsi ini. 4. Seluruh staff InterCAFE yaitu Iman Sugema, Ph.D; Noer Azam Achsani, Ph.D; Nunung Nuryartono, Ph.D; Dedi Budiman Hakim, Ph.D; Syamsul H. Pasaribu, M.Si; Jaenal Effendi, M.Ag; Toni Bachtiar, M.Si; Toni Irawan, M.EcApp; Triana Anggraeni, M.Sc; Nuning Kusumowardhani, M.Si; Ade Holis, SE; Nilam, SE; Heni Sulistyowati, SE. 5. Kedua orangtua penulis yaitu R. Sihombing dan Elseria R. Sihotang, dan adekku Eben atas dukungan, doa, kasih sayang, bimbingan dan perhatian yang telah dicurahkan selama ini.
6. Kakak-kakak mentor Kak“Ester, Kak“Linda, Kak“Gerna, Mba Sita, dan Mba Luluk yang selama ini selalu memberikan dorongan dan motivasi untuk melangkah lebih maju dari sebelumnya. 7. Sahabat-sahabat terbaik Abi, Mario, Roma, dan Tere yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi untuk melangkah dan berjuang lebih gigih. Terimakasih atas semua kebersamaan dan keceriaan yang yang tak terlupakan yang kita jalani bersama. 8. Teman satu bimbingan Rizki, Fickry, Azis, Imeh, dan Rista terima kasih atas semangat, dukungan, dan perjuangan selama proses penyusunan skripsi. 9. Teman-teman penulis Maya, Denny, Dika, Efful, Bagus, Anwar, Sonce, Dao, Irwan, Della, Fitri, dan seluruh IE angkatan 41. Serta semua temanteman di orenz. Terima kasih atas semangat, dukungan dan bantuan selama proses penyusunan skripsi. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga hasil dari skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2008
Prianto Daniel Sihombing H14104075
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
ix
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .......................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ...............................................................................
3
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................
4
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................
5
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................
5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) ...............................................
6
2.2. Perkembangan BPR ...............................................................................
7
2.3. Produk Pelayanan BPR ..........................................................................
9
2.4. Indikator Kinerja BPR............................................................................
11
2.4.1. Financial Sustainability ............................................................ 2.4.2. Outreach..................................................................................... a. Worth to clients ...................................................................... b. Cost to clients ......................................................................... c. Depth ..................................................................................... d. Breadth ................................................................................... e. Length ..................................................................................... f. Scope .......................................................................................
12 12 13 13 13 14 14 14
2.4.3. Impact.........................................................................................
15
2.5. Variabel Indikator Kinerja BPR .............................................................
15
2.6. Penelitian Terdahulu ..............................................................................
16
2.7. Kerangka Pemikiran ...............................................................................
22
2.8. Hipotesa Penelitian ................................................................................
24
III. METODELOGI PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data ...........................................................................
25
3.2. Metode Analisis .....................................................................................
26
3.2.1. Analisis Statistika Deskriptif ......................................................
26
3.2.2. Principal Component Analisis (PCA) ........................................
27
3.1. Keterbatasan Penelitian ..........................................................................
29
IV. JANGKAUAN PELAYANAN 4.1. Gambaran Umum ...................................................................................
30
4.2. Visi Pengembangan BPR .......................................................................
31
4.3. Jangkauan Wilayah Pelayanan ...................................................
33
4.4. Fokus Penyaluran Kredit ........................................................................
38
4.4.1. Fokus Berdasarkan Plafon.......................................................
42
4.4.2. Fokus Berdasarkan Penggunaan .........................................................
43
4.4.3. Fokus Berdasarkan Sektor Ekonomi ...................................................
47
4.5. Perluasan dan Hambatan Jangkauan Pelayanan.....................................
49
4.5.1. Faktor Internal ............................................................................
50
4.5.2. Faktor Eksternal .........................................................................
55
V. JANGKAUAN PELAYANAN dan INDEK KINERJA BPR 5.1. Indikator Kinerja BPR........................................................................... .
58
5.2. Variabel Pembentuk Index Kinerja BPR ...............................................
60
5.3. Index Kinerja BPR .................................................................................
63
5.4. Hubungan antara Jangkauan Pelayanan dan Index Kinerja ...................
66
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ...........................................................................................
68
5.2. Saran.......................................................................................................
69
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
70
LAMPIRAN .................................................................................................
72
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
2.1 Perkembangan Jumlah Kantor BPR 2001 sd Mei 2008............................
7
2.2 Penelitian Terdahulu ................................................................................. 20 4.1 Fokus Penyaluran kredit Berdasarkan Plafon .......................................... 43 5.1 Korelasi Variabel Kinerja dengan BOPO ................................................ 60 5.2 Component Matrik Nilai Loading Faktor ................................................ 62 5.3 KMO dan Bartlett’s test ........................................................................... 64 5.4 Karakteristik BPR Berdasarkan Modal Inti dan Index Kinerja ............... 65
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
2.1
Perkembangan Proposi BPR Berdasarkan Jumlah Asset ..................
8
2.2
Kerangka Pemikiran ..........................................................................
23
4.1
Fokus Pelayanan BPR pada UMKM ................................................
30
4.2
Pengembangan Ekonomi Wilayah ....................................................
31
4.3
Jangkauan Wilayah Nasabah Berdasarkan Kota/Kab, Propinsi, dan Luar propinsi .....................................................................................
32
4.4
BPR Memiliki Kantor Cabang Berdasarkan Strata...........................
33
4.5
BPR Memiliki Kantor Kas Berdasarkan Strata .................................
34
4.6
Jangkauan Wilayah Nasabah Tabungan Berdasarkan Kota/Kab, Propinsi, dan Luar Propinsi ...............................................................
35
4.7
Urutan Pioritas Penghimpunan Dana ...............................................
36
4.8
Cara BPR dalam Meningkatkan Kredit ............................................
37
4.9
Pioritas Utama BPR dalam Menganalisa Kelayakan Kredit Nasabah Lama ...................................................................................
4.10
38
Pioritas Utama BPR dalam Menganalisa Kelayakan Kredit Nasabah Baru ....................................................................................
39
4.11
Rata-rata jumlah nasabah berdasarkan Penggunaan .........................
41
4.12
Penggunaan Kredit Potong Gaji ........................................................
42
4.11
Jumlah Nasabah Berdasarkan Penggunaan Per Propinsi ..................
42
4.12
Rata-rata nasabah berdasarkan penggunaan 2006-2007 ...................
43
4.13
Proposi Jumlah Nasabah Berdasarkan Sektor Ekonomi ...................
44
4.14
Proposi Jumlah Nasabah Berdasarkan Sektor Ekonomi per Prov ....
45
4.15
Rata-rata Jumlah Nasabah Berdasarkan Sektor Ekonomi per Strata
46
4.16
Persentase BPR yang Memperoleh Program Linkage ......................
48
4.17
Rata-rata Rasio NPL berdasarkan Strata ...........................................
49
4.18
Upaya Memperluas Pelayanan BPR .................................................
50
4.19
Rata-rata Jumlah SDM Berdasarkan Pendidikan per Stratra ............
51
4.20
BPR yang melakukan Inovasi Produk...............................................
52
4.21
BPR yang melakukan Pelayanan Payment Point ..............................
52
4.22
Pesaing BPR dalam menyalurkan Kredit ..........................................
53
4.14
Keberadaan PBI yang menghambat Penyaluran Kredit ....................
54
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Tabel Outreach sebagia Indikator kinerja ...............................................
72
2. Tabel Financial Sustainabilty sebagai Indikator kinerja .........................
73
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) di Indonesia merupakan sektor usaha yang harus mendapatkan perhatian khusus dan komitmen yang kuat dari berbagai pihak. Hal ini dikarenakan, sektor UMKM berperan signifikan dibandingkan usaha besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional maupun lokal, serta tahan terhadap berbagai krisis ekonomi. Selain itu, sektor UMKM mencakup 99,1 persen dari keseluruhan kegiatan usaha yang ada di Indonesia dan mampu menyerap hampir 97,32 persen (91,75 juta) tenaga kerja pada tahun 2007 (Departemen Koperasi, 2008). Namun sektor UMKM tersebut belum berkembang secara optimal, karena sebagian besar (60%) UMKM masih menghadapi berbagai permasalahan yang cukup substansial, terutama mengenai permodalan dan informasi mengenai pinjaman modal dari lembaga perbankan (Depkeu, 2008). Kesulitan UMKM dalam permodalan dan mengakses pinjaman dari lembaga keuangan, dikarenakan struktur modal awal yang berasal dari modal sendiri, beroperasi secara informal, dan tidak memiliki catatan cash flow keuangan yang baik, serta perencanaan usaha tidak dirumuskan terlebih dahulu. Adanya lembaga keuangan yang fokus terhadap sektor UMKM merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung percepatan pengembangan sektor UMKM. Lembaga keuangan yang selama ini telah banyak berperan dalam pengembangan sektor UMKM adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Perkembangan penghimpunan dana maupun penyaluran kredit BPR cenderung memiliki trend yang positif dari tahun ke tahun, baik dari jumlah nasabah maupun total dana yang dihimpun atau yang disalurkan oleh BPR. Rata-rata peningkatan jumlah nasabah dan total dana yang dihimpun selama tiga tahun terakhir sebesar 6,32 persen dan 19,18 persen, sedangkan rata-rata peningkatan untuk penyaluran dana sebesar 1,33 dan 18,42 persen. Sebagian besar kredit tersebut disalurkan pada jenis penggunaan modal kerja yang mencapai 52,5 persen. Posisi kredit selanjutnya ditempati oleh jenis penggunaan kredit konsumsi dan kredit investasi yang masing-masing sebesar 40,8 persen dan 6,7 persen (Bank Indonesia, 2007). Peningkatan jumlah debitur dan total kredit yang disalurkan oleh BPR kepada masyarakat, ternyata sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di sekitar wilayah BPR maupun nasional. Ini terlihat dari peningkatan pertumbuhan kredit modal kerja dari 10,01 persen pada tahun 2006 menjadi 13,51 persen pada tahun 2007 yang diiringi dengan pertumbuhan sumbangan UKM terhadap PDB sebesar 18,76 persen, dan peningkatan penyerapan tenaga kerja dari 89,54 juta menjadi 91,75 juta tenaga kerja. Peningkatan jangkauan pelayanan (outreach) BPR kepada sektor UMKM merupakan hal yang penting dalam rangka memajukan perekonomian Indonesia. Menurut Zeller dan Meyer (2002) lembaga keuangan mikro dalam memperluas outreach-nya terhadap UMKM, ditentukan oleh kemampuan lembaga tersebut dalam menjaga financial sustainability. Sehingga lembaga keuangan tersebut mempunyai positive multiplier effect terhadap perkembangan perekonomian mulai dari sekitar
lingkungan lembaga keuangan tersebut hingga lingkungan nasional. Ketiga hal tersebut merupakan indikator kinerja suatu lembaga keuangan mikro yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, dan lebih dikenal sebagai The Triangle of Microfinance. Outreach mengacu pada jumlah nasabah yang dilayani BPR dengan memperhatikan kualitas produk yang ditawarkan, dan financial sustainability (stabilitas keuangan) mengacu pada kesehatan BPR yang dapat dilihat dari kemampuan untuk memperoleh pendapatan yang dapat menutupi opportunity cost dari input dan asset yang ada. Serta impact (dampak) mengacu pada kontribusi BPR dalam lingkungan tempat BPR beroperasi, baik berupa kontribusi positif maupun negatif (Zeller dan Meyer, 2002). Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian mengenai karakteristik dan faktor-faktor yang mendorong jangkaun pelayanan suatu BPR penting untuk dilakukan. Hal ini diharapkan agar mampu mengoptimalkan peran dan kontribusi BPR sebagai lembaga keuangan Mikro.
1.2 Perumusan Masalah BPR merupakan salah satu komponen kunci utama dalam memajukan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal ini terlihat dengan proposi kredit BPR untuk kredit mikro, kecil, dan menengah (MKM) pada tahun 2007 yang lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya, sebesar 99,97 persen. Sebagian besar (52,5%) kredit tersebut digunakan untuk modal kerja para nasabah, yang berdampak terhadap peningkatan perkembangan UMKM yang pada gilirannya menciptakan lapangan kerja baru dan mengurangi pengangguran (Bank Indonesia, 2007). Oleh karena itu
diperlukan upaya lebih untuk meningkatkan peranan BPR terhadap memajukan sektor UMKM, melalui perluasan outreach dalam penyaluran dan penghimpunan dana oleh BPR kepada masyarakat khususnya sektor UMKM. Berdasarkan deskripsi di atas, maka permasalahan yang dapat di angkat antara lain: 1. Bagaimanakah kondisi jangkauan pelayanan (outreach) yang di miliki oleh BPR dalam menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat khususnya UMKM? 2. Upaya-upaya apa saja yang dilakukan BPR dalam memperluas jangkauan pelayanan (outreach) kepada masyarakat khususnya UMKM dengan mempertahankan kualitas kredit dan kendala apa yang dihadapi dalam melaksanakan hal tersebut? 3. Apakah jangkauan pelayanan mempengaruhi index kinerja suatu BPR?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Memahami outreach yang dimiliki oleh BPR dalam menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat khususnya UMKM. 2. Mengkaji upaya-upaya apa saja yang dilakukan BPR dalam memperluas jangkauan pelayanan (outreach) dan berbagai kendala yang dihadapi dalam melaksanakan hal tersebut. 3. Mengkaji pengaruh jangkauan pelayanan terhadap index kinerja dan kinerja
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak-pihak yang berwenang sebagai suatu pertimbangan dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan dalam sektor perbankan dalam hal ini BPR. Secara khusus penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jangkauan pelayanan BPR terhadap masyarakat khususnya UMKM. Akhir kata, semoga penelitian ini bermanfaat bagi para pembaca baik bagi mahasiswa maupun kalangan akademisi lainnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ini hanya ditekankan kepada indikator outreach untuk memperluas pelayanan dalam penghimpunan dan penyaluran dana terhadap masyarakat khususnya nasabah UMKM yang dimiliki oleh BPR. Peningkatan jangkauan pelayanan tersebut berperan dalam memajukan sektor UMKM, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun dalam perluasan jangkauan pelayanan, BPR harus tetap menjaga sustainability-nya, agar BPR dapat terus berkembang.
II. TINJAUN PUSTAKA
2.1 Sejarah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Semenjak masa kolonial Belanda di abad ke-19, telah ada Lembaga Perkreditan Rakyat dalam bentuk Lumbung Desa, Bank Desa, Bank Tani dan Bank Dagang Desa. Awal pembentukan lembaga tersebut, bertujuan untuk membantu masyarakat kecil yang terjerat oleh rentenir yang memberikan kredit dengan bunga yang tinggi. Pasca kemerdekaan Indonesia, pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto 1988) melalui Keputusan Presiden RI No. 38 dan Undang-Undang No.7 tentang Perbankan tahun 1992 (UU No.7/1992 tentang Perbankan). Kebijakan tersebut memberikan ijin kepada Lembaga Keuangan Bukan Bank yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dapat menyesuaikan kegiatan usahanya sebagai bank. Selain itu, dinyatakan juga lembaga keuangan kecil lainnya yang dipersamakan dengan itu diberikan status sebagai BPR dengan memenuhi persyaratan dan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Namun tidak semua lembaga keuangan dapat dikukuhkan sebagai BPR karena terdapat beberapa lembaga keuangan yang tidak memenuhi persyaratan menjadi BPR pada batas waktu yang ditentukan. Selanjutnya seluruh lembaga yang telah dikukuhkan menjadi BPR tersebut, wajib tunduk terhadap seluruh ketentuan-
ketentuan yang di atur dalam Undang-Undang Perbankan dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesian sebagai otoritas pengawas Bank.
2.2 Perkembangan BPR Perkembangan BPR menunjukkan peningkatan yang pesat, yang ditandai dengan meningkatnya jumlah dan jaringan kantor BPR. Peningkatan jumlah kantor BPR memiliki trend yang positif dari tahun ke tahun, dengan rata-rata peningkatan jumlah kantor BPR selama enam tahun sebesar 3,46 persen. Data akhir Mei 2008 menunjukkan bahwa jumlah kantor BPR adalah sebanyak 3.289, yang terdiri dari 1.811 Kantor Pusat (KP), 686 buah Kantor Cabang (KC), dan 792 buah Kantor Kas.
Tabel 2.1 Perkembangan Jumlah Kantor BPR 2001 s.d. Mei 2008
Des. 2002 Des. 2003 Des. 2004 Des. 2005 Des. 2006 Des. 2007 Mei 2008
Jumlah Jumlah Jumlah Kantor Kantor Kantor Pusat Cabang Kas Total 2.141 140 466 2.747 2.141 140 1.018 3.299 2.158 163 1.186 3.507 2.009 311 790 3.110 1.880 477 791 3.169 1.817 642 791 3.250 1.811 686 792 3.289
Sumber : Bank Indonesia 2008
Tabel 2.1 memperlihatkan selama lima tahun terakhir terjadi penurunan jumlah BPR dari 2.141 unit BPR pada bulan Desember 2002 menjadi 1.811 unit BPR pada bulan Mei 2008, akan tetapi penurunan tersebut tidak menghalangi peningkatan jangkauan pelayanan BPR terhadap sektor UMKM. Hal ini, terlihat dengan semakin
meningkatnya jumlah kantor BPR dan jumlah kredit modal kerja yang disalurkan BPR kepada sektor UMKM, yang mengalami pertumbuhan sebesar 20,83 persen per Mei 2008 (Bank Indonesia, 2008). Industri BPR yang saat ini berjumlah 1.811 unit, dalam perjalanannya berkembang dengan kondisi yang beragam. Terdapat BPR yang sampai saat ini memiliki total aset tertinggi hingga Rp. 1.164 triliun, di sisi lain terdapat BPR yang mampu bertahan dengan volume usaha hanya sebesar Rp. 11,63 juta. Mayoritas BPR (61,29%) di Indonesia memiliki aset yang berada pada kisaran Rp. 1 hingga 10 miliar, dan sekitar 4,20 persen BPR lainnya memiliki asset di bawah Rp. 1 miliar (Bank Indonesia, 2008).
Sumber : Bank Indonesia, 2008
Gambar 2.1 Perkembangan Proposi Jumlah BPR Berdasarkan Asset
Berdasarkan Gambar 2.1 terlihat bahwa BPR selama enam tahun terakhir mengalami perkembangan asset yang cukup baik. Hal ini terlihat dari semakin berkurangnya proposi BPR yang memiliki asset di bawah Rp 5 Milliar, dari 76 persen total BPR pada tahun 2003 menjadi hanya 38 persen dari total BPR. Kondisi serupa juga terlihat pada penyebaran modal inti BPR, masih terdapat 44,71 persen BPR yang beroperasi dengan modal inti kurang dari Rp. 1 miliar, sementara itu terdapat BPR dengan modal inti mencapai Rp. 161,66 miliar. Mayoritas BPR (52,38%) memiliki modal inti yang berada pada range Rp. 1 hingga 10 miliar. Sedikit berbeda dengan sebaran aset dan modal inti, rata-rata (52,32%) BPR memiliki modal disetor sebesar kurang dari Rp. 1 miliar (Bank Indonesia, 2008). Hasil Laporan Kuawartal I 2008 (Bank Indonesia, 2008), dilihat dari aspek keuangan Loan to Deposit Ratio (LDR) BPR mencapai sekitar 81,25 persen dengan pertumbuhan kredit per Mei mencapai 24,30 persen. Untuk NPL BPR, walaupun masih cukup tinggi risiko kredit BPR menunjukkan perbaikan dengan turunnya rasio NPL gross menjadi 7,46 persen dari 9,34 persen per Mei 2008. Selain nilai NPL BPR, secara umum kinerja BPR sampai dengan bulan Mei 2008 mengalami perkembangan yang cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh indikator rentabilitas yakni ROA dan ROE berada pada 3,74 persen dan 25,11 persen.
2.3 Produk Pelayanan BPR Produk pelayanan yang umum diberikan oleh BPR kepada masyarakat berbentuk tabungan, dan kredit. Bank Indonesia untuk jenis pelayanan kredit,
membagi dalam 3 kategori, yaitu berdasarkan plafon, berdasarkan penggunaan, dan berdasarkan sektor ekonomi. Berikut ini diuraikan secara ringkas 3 kategori tersebut : a. Berdasarkan Plafon Plafon adalah nilai nominal kredit yang diberikan BPR kepada debitur. Kredit berdasarkan plafon terdiri dari: 1. Kredit Mikro
: sampai dengan Rp 50 juta
2. Kredit Kecil
: di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta
3. Kredit Menengah
: di atas Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 milyar
b. Berdasarkan Penggunaan Kredit berdasarkan penggunaan adalah tujuan penggunaan kredit oleh debitur. Kredit berdasarkan penggunaan terdiri dari kredit modal kerja, investasi, dan konsumsi. Kredit modal kerja adalah kredit yang di peruntukkan untuk modal kerja debitur; kredit investasi adalah kredit yang diperuntukkan untuk pembelian barang modal dan jasa debitur; kredit konsumsi diperuntukkan untuk keperluan konsumsi berupa barang atau jasa. c. Berdasarkan ekonomi Kredit berdasarkan sektor ekonomi dirinci atas : 1. Pertanian Kredit yang diberikan kepada bidang usaha pertanian dalam arti luas, seperti perkebunan, perikanan, peternakan, termasuk pula usaha-usaha di bidang perburuan dan sarana pertanian.
2. Perindustrian Kredit yang diberikan kepada bidang usaha yang mengubah bentuk/ mengolah menjadi barang baru baik dikerjakan dengan mesin, tenaga manusia, maupun lainnya seperti industri kecil. Termasuk pula dalam sektor ini jasa-jasa seperti reparasi dan pengangkutan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari sektor industri bersangkutan. 3. Perdagangan, Restoran, dan Penginapan Kredit yang diberikan kepada bidang usaha yang bergerak dibidang perdagangan barang, rumah makan dan penginapan. 4. Jasa-Jasa Kredit yang diberikan kepada usaha yang bergerak dibidang pemberian jasa untuk membangun dan memperbaiki gedung, rumah tempat tinggal, pasar dan sebagainya, baik untuk disewakan maupun untuk dijual. Termasuk pula dalam sektor ini adalah usaha dibidang pengangkutan, jasa sosial masyarakat seperti hiburan dan kebudayaan, kesehatan, penyelenggaraan kursus-kursus dan pendidikan serta jasa lainnya seperti bengkel. 5. Lain-lain Kredit yang diberikan kepada usaha yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu bidang usaha di atas (1-4), misalnya sektor ekonomi dari kredit konsumsi berupa keperluan akan perumahaan, kendaraan, dan alat-alat rumah tangga.
2.4 Indikator Kinerja BPR Kinerja lembaga keuangan mikro menurut Zeller dan Meyer (2002) diklasifikasikan dalam tiga kategori indikator penilaian yang disebut sebagai segitiga keuangan mikro (The Triangle of Microfinance). Ketiga indikator kinerja tersebut adalah stabilitas keuangan (financial sustainability), keterjangkauan BPR (outreach), dan dampak keberadaan BPR dalam sebuah lingkungan (impact). Suatu lembaga keuangan mikro harus dapat memenuhi ketiga indikator tersebut jika ingin dikatakan memiliki kinerja yang baik. Pencapai ketiga hal tersebut secara bersamaan perlu didukung oleh adanya inovasi kelembagaan yang mencakup berbagai aspek, dan dukungan kebijakan pemerintah. Berikut ini diuraikan secara ringkas indikatorindikator turunan dari the Triangle of Microfinance : 2.4.1
Financial Sustainabiltiy Menurut
InterCAFE
(2008)
indikator
stabilitas
keuangan
(financial
sustainability) mengacu pada profitabilitas dan efisiensi BPR sebagai lembaga keuangan mikro. Profitabilitas berarti bahwa kesehatan suatu LKM dapat diindikasikan oleh kemampuan LKM tersebut dalam memperoleh pendapatan yang dapat menutupi opportunity cost dari input dan asset yang ada. Di samping itu, LKM juga harus efisien yang ditunjukkan dengan produktivitas. 2.4.2
Outreach Menurut Schreiner (1999), outreach (jangkauan pelayanan) mengacu pada
jumlah nasabah yang dilayani dengan memperhatikan kualitas produk yang ditawarkan. LKM memiliki dua pendekatan dalam meningkatkan outreach yang dimilikinya, yaitu the proverty approach dan the self-sustainabilty approach. The
proverty approach adalah peningkatan outreach suatu LKM yang ditargetkan kepada masyarakat menengah ke bawah yang tidak bankabel untuk dibiayai oleh perbankan. Pendekatan the proverty approach dalam pelaksanaannya memerlukan bantuan dari para donasi untuk menutupi selisih antara keuntungan dengan biaya. The selfsustainabilty approach adalah peningkatan outreach yang ditargetkan kepada masyarakat menengah ke bawah yang bankable untuk dibiayai oleh perbankan. Kedua pendekatan tersebut digambarkan oleh 6 aspek outreach, yaitu worth (manfaat), cost (biaya), depth (kedalaman), breadth (luas), length (jangka waktu), dan scope (cakupan). The proverty approach memiliki ciri narrow breadth, short length, dan limited scope. Sedangkan the self-sustainabilty approach memiliki ciri wide breadth, long length, dan ample scope. a. Worth to clients (Nilai/manfaat bagi nasabah) Nilai outreach dapat didefinisikan sebagai willingness to pay para nasabah. Worth to clients tergantung pada beberapa faktor seperti akad (kontrak) kredit hingga kendala dan peluang yang dihadapi nasabah. Worth to clients relatif sulit untuk diukur karena tergantung pada dua sisi yang berbeda yaitu manfaat subjektif yang diterima dari kontrak kredit serta tidak diketahuinya apa yang akan terjadi tanpa kehadiran lembaga keuangan mikro (LKM). b. Cost to clients (Biaya yang dikeluarkan nasabah) Cost to clients merupakan jumlah biaya harga/bunga (price costs) dan biaya transaksi (transaction costs). Dalam hal ini, biaya bunga dan fee merupakan bagian dari price costs dan merupakan pendapatan bagi LKM. Sedangkan biaya transaksi merupakan non-price costs yang terdiri dari a) non cash opportunity costs seperti
waktu yang diperlukan untuk pengajuan kredit, dan b) pengeluaran tunai tidak langsung (indirect cash expenses) seperti biaya untuk transportasi, dokumen, konsumsi dan pajak yang diperlukan untuk menggunakan kontrak kredit. c. Depth (Kedalaman) Depth (kedalaman) merupakan manfaat yang diperoleh masyarakat secara umum. Hanya saja, relatif sulit mengukur depth melalui pendapatan dan kesejahteraan. Pengukuran yang lebih sederhana dapat dilihat dari pendekatan tidak langsung seperti jenis kelamin, lokasi, edukasi, etnis, tipe rumah dan akses terhadap layanan publik.
Bagi UMK, kriteria ini disesuaikan misalnya berdasarkan asset
maupun omset usaha, status kepemilikan, jumlah dan kualitas tenaga kerja. d. Breadth (Luas) Breadth mengandung pengertian jumlah nasabah. Indikator ini sangat erat kaitannya dengan kendala anggaran yang dimiliki LKM. Hal ini dikarenakan bahwa selain dapat meningkat profitabilitas LKM, perluasaan jangkauan operasional maupun nasabah akan membawa konsekuensi pada penambahan biaya. e. Length (Jangka waktu) Length menunjukkan jangka waktu (time frame) dari supply microfinance. Pengukuran length relatif sulit karena hal tersebut terjadi di masa depan. Salah satu proxy yang dapat diaplikasikan adalah profit. Hal ini dikarenakan profit merupakan sinyal bahwa LKM memiliki kemampuan untuk mendapatkan sumberdaya. f. Scope (Cakupan) Scope adalah jumlah berbagai kontrak financial yang ada di LKM. Dalam hal ini, scope dapat dibagi dalam dua hal, yaitu untuk produk pinjaman dan simpanan.
Bagi produk pinjaman, scope juga dapat dilihat dari pinjaman individu dan pinjaman kelompok. Untuk kontrak simpanan, Scope juga dibedakan berdasarkan berbagai skema. 2.4.3
Impact Menurut Hulme (2000) impact mengacu pada kontribusi BPR dalam
lingkungan tempat BPR beroperasi. Kontribusi ini bisa berupa kontribusi positif maupun negatif. Kontribusi positif di antaranya adalah bagaimana LKM memberdayakan nasabah dan para debitur melalui alokasi dana yang diberikan kepada debitur.
2.5 Variabel Indikator Kinerja BPR Yaron (1994) mengemukakan bahwa penilaian kinerja LKM dipengaruhi oleh dua indikator, yaitu financial susitanibilty dan outreach. Kedua indikator tersebut dicerminkan oleh variabel rasio-rasio keuangan yang mencerminkan evaluasi kinerja di masa lalu. Berdasarkan CGAP (2003), rasio-rasio yang umumnya digunakan untuk menggambarkan financial susitanibilty LKM pada prinsipnya dapat dibagi dalam 4 (empat)
indikator
utama
yang
mencerminkan:
Sustainability/profitability
(keberlanjutan), Assets/Liability management, Portfolio quality dan Efficiency /productivity. Sedangkan rasio-rasio yang umum digunakan untuk menggambarkan outreach adalah rasio-rasio yang mempengaruhi penurunan dan peningkatan jumlah nasabah.
Berdasarkan penyesuaian antara rasio yang terdapat dalam CGAP dengan keadaan Indonesia, diperoleh 18 rasio yang dapat mempengaruhi kinerja suatu BPR. Kedelapan belas rasio tersebut, disajikan pada lampiran satu dan dua.
2.6 Penelitian Terdahulu Peneletian
yang
dilakukan
oleh
InterCAFE
(2008),
menunjukkan
pengelompokkan BPR bisa dilakukan berdasarkan tiga indikator, yaitu Modal Inti (Monti), Modal Disetor (Modis), dan Aset. Hal ini dikarenakan ketiga indikator tersebut dapat menunjukkan ukuran suatu BPR. Modal inti terdiri dari modal disetor ditambahkan dengan agio, dana setoran modal, modal sumbangan, cadangan umum, cadangan tujuan, laba ditahan setelah diperhitungkan pajak, laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak. Lalu hasil penjumlahan tersebut dikurangi dengan goodwill, disagio, rugi tahun-tahun lalu, dan rugi tahun berjalan di luar pajak tangguhan (deferred tax). Modal disetor adalah modal yang telah disetor secara riil dan efektif oleh pemiliknya serta telah disetujui oleh Bank Indonesia. Bagi BPR yang berbadan hukum Koperasi, modal disetor terdiri atas simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai Perkoperasian. Didalam komponen modal disetor tidak termasuk pengakuan modal yang dipesan (subscribed capital stock) yang berasal dari piutang pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang berlaku.
Aktiva atau aset adalah hak klaim atas kekayaan perusahaan baik yang terlihat maupun tidak terlihat. Dalam konteks industri perbankan, aktiva yang paling dominan adalah aktiva produktif seperti pinjaman atau kredit. Pinjaman atau kredit ini akan menjadi sumber utama penerimaan lembaga perbankan. Secara akuntansi, aktiva dimasukkan dalam laporan neraca dengan saldo normal debit. Ketiga indikator tersebut, memiliki korelasi yang kuat dan statistically significant. Selain itu, keeratan hubungan ketiganya juga relatif stabil antar waktu, karena koefisien korelasi tidak banyak berbeda. Berdasarkan hal tersebut, pengelompokkan BPR dapat menggunakan salah satu dari ketiga indikator tersebut, tetapi pada penelitian ini hanya mengelompokkan BPR berdasarkan modal inti. Hal ini dikarenakan modal inti lebih sulit untuk berfluktuatif dibandingkan dengan kategori lain karena modal inti perubahan nilainya dibawah pengawasan Bank Indonesia. Hasil pengelompokan BPR tersebut, membagi BPR ke dalam tiga kelompok, yaitu BPR kecil untuk BPR dengan modal inti kurang dari Rp 1 Milyar sebanyak 783 unit BPR (44,34%), BPR sedang untuk BPR dengan modal inti lebih Rp 1 Milyar sampai dengan Rp 10 Milyar sebanyak 931 unit BPR (52,72%), dan BPR besar untuk BPR dengan modal inti lebih dari Rp 10 Milyar sebanyak 52 unit BPR (2.97%). Pembagian menjadi tiga kategori tersebut, didasarkan pada percentil dan kuartil dari jumlah BPR, serta kaidah statistika mengenai kententuan kecukupan sample dalam setiap kategori.
Gaul (2008) mengungkapkan jangkauan pelayanan (outreach) 329 lembaga keuangan mikro dari 23 negara, berpengaruh dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah, melalui pemberian kredit yang digunakan untuk menambah modal buat usaha dan modal untuk membuka usaha baru. Jangkauan pelayanan tersebut dicerminkan oleh jumlah nasabah kredit maupun tabungan yang dimiliki oleh suatu LKM. Selain itu, Gaul mengurutkan dari 329 LKM menjadi 100 LKM yang memiliki peningkatan jangkauan pelayanan yang besar dan baik. Urutan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah rekening suatu LKM saja, tetapi juga berdasarkan jumlah kredit yang disalurkan, tingkat persaingan, pertumbuhan kredit, perkembangan asset, tingkat effisiensi, dan produktifitas SDM. Penelitian lain yang dilakukan oleh Grace dan Stephen (2007) pada Microbanking Bulletin. Melihat indikator Outreach suatu LKM yang disalurkan kepada masyarakat menengah ke bawah, tidak hanya berdasarkan jumlah rekening saja, tetapi juga berdasarkan total kredit dan membagi jumlah rekening dan total kredit ke dalam kategori menurut sektor ekonomi. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Segrado (2005) di Banque Du Caire (BdC) Mesir, skema yang diberikan kepada usaha mikro berupa skema perorangan. Jumlah pinjaman pertama debitur maksimum sampai US$ 490, sedangkan untuk pinjaman kedua dan seterusnya, jumlah pinjaman maksimum hingga US$ 735. Jenis penggunaan pinjaman adalah untuk modal kerja, dengan suku bunga yang diterapkan adalah 16 persen flat per tahun. Jangka waktu kredit yang diberikan berkisar antara 4-12 bulan, tergantung kesepakatan atau kesanggupan debitur, dengan sistem pembayaran angsuran bulanan. Premis dasar dari bisnis pinjaman BdC bahwa
setiap orang adalah bankable sepanjang orang tersebut memiliki kartu identitas dan melengkapi persyaratan lain yang diperlukan. Target klien BdC adalah usaha mikro di bidang jasa, manufaktur, atau perdagangan yang sudah berjalan minimal satu tahun. Tipe pemasaran produk ini adalah dari mulut ke mulut atau kunjungan langsung bagian kredit kepada usaha mikro yang berada di wilayah kerjanya. Pengusaha mikro pada umumnya tidak memiliki pembukuan usaha dan 99 persen kliennya tidak memiliki sejarah kredit formal. Risiko kredit untuk pinjaman pertama dikurangi dengan jumlah pinjaman awal yang kecil. Pinjaman pertama hanya tergantung pada pada reputasi dan karakter dari debitur potensial yang dievaluasi oleh bagian kredit dan supervisor setelah berdiskusi dengan supplier debitur atau dengan tetangganya. Debitur juga harus menyertakan surat pernyataan bahwa pinjaman ini akan benar-benar digunakan untuk tujuan bisnis. Dokumentasi yang diminta adalah fotokopi kartu identitas, tagihan listrik (jika tersedia), dan surat izin usaha (jika terdaftar sebagai usaha formal). Selain itu diminta pula tanda tangan keluarga (biasanya pasangan) sebagai penjamin yang akan bertanggung jawab ketika debitur default. Proses persetujuan kredit ada di bawah otoritas bagian kredit dan supervisor, hal ini dilakukan untuk mempercepat proses pencairan, bahkan proses pencairan ini bisa dilakukan dalam waktu 10 menit. Tetapi hal ini tentu saja didukung oleh sistem akuntansi dan IT network yang bagus. Hal yang menarik adalah dalam masyarakat Mesir, reputasi pribadi adalah sangat penting dan kohesi sosialnya juga kuat. Merupakan hal yang prestisius jika seseorang bisa meminjam dari bank. Ini artinya bahwa seseorang akan
berusaha untuk menghindari default dalam pinjamannya dan surat perjanjiannya pun akan ditulis dengan sangat serius. Luzzy dan Webber (2006) melakukan studi perbandingan mengenai kinerja 42 lembaga keuangan mikro, yang digambarkan dengan sebuah index kinerja suatu BPR. Hal ini dapat dilakukan, karena index yang diperoleh merupakan hasil dari setiap observasi yang dilakukan. Luzzy dan Webber membangun index kinerja tersebut, dengan menggunakan metode Factor Analisis, yaitu Principal Component Analisis (PCA).
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu No
Nama
Tahun
1
Tim InterCAFE
2008
2
Gaul
2008
3
Grace Stephen
dan 2007
Periode Metode Data 2006SFA, 2007 Logit, Analisis Deskriptif
2007
20062007
Hasil
-membagi BPR ke dalam tiga kelompok, yaitu BPR kecil untuk BPR dengan modal inti kurang dari Rp 1 Milyar, BPR sedang untuk BPR dengan modal inti lebih Rp 1 Milyar sampai Rp 10 Milyar, BPR besar untuk BPR dengan modal inti lebih dari Rp 10 Milyar. -pembagian berdasarkan percentil dan kuartil dari jumlah BPR. Analisis -lembaga keuangan Deskriptif mikro berpengaruh dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah, melalui pemberian kredit yang digunakan untuk menambah modal buat usaha dan modal untuk membuka usaha baru. -outreach dilihat berdasarkan besarnya jumlah nasabah -32 LKM diurutkan berdasarkan outreach dan faktor yang mempengaruhi outreach. Analisis melihat Outreach tidak Deskriptif hanya berdasarkan jumlah nasabah saja. Tetapi juga berdasarkan total kredit dan jumlah
4
Segrado
2005
5
Luzzy Webber
dan 2006
20042005
2005
nasabah kredit berdasarkan sektor ekonomi. Analisis - skema yang diberikan Deskriptif kepada usaha mikro berupa skema perorangan yang digunakan untuk modal kerja. Tipe pemasaran produk ini adalah dari mulut ke mulut atau kunjungan langsung AO kepada usaha mikro yang berada di wilayah kerjanya. -Pengusaha mikro pada umumnya tidak memiliki pembukuan usaha dan 99 persen kliennya tidak memiliki sejarah kredit formal. Faktor -Index kinerja yang Analisis: dibangun PCA menggambarkan kinerja BPR secara utuh. - Index yang diperoleh dapat membandingkan kinerja antara satu LKM dengan LKM lainnya.
2.7 Kerangka Pemikiran Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan suatu lembaga keuangan mikro (LKM) yang berpengaruh terhadap pengembangan perekonomian yang berbasis masyarakat menengah ke bawah. Hal ini dikarenakan sebagian besar fokus penyaluran kreditnya untuk sektor UMKM yang memiliki pengaruh terhadap perekonomian dan tahan terhadap berbagai krisis. Kemampuan suatu BPR dalam mempertahankan peranannya terhadap sektor UMKM ditentukan kinerja yang dimiliki BPR tersebut. Suatu BPR dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik, apabila dapat memenuhi indikator stabilitas keuangan (financial susitanibilty), jangkauan pelayanan (outreach), dan impact secara bersamaan. Hal ini dikarenakan ketiga indikator variabel tersebut saling berkaitan satu sama lain. Namun penelitian ini hanya ditekankan pada indikator jangkauan pelayanan (outreach) BPR. Jangkauan pelayanan BPR menjadi sesuatu hal yang penting, karena dengan semakin luasnya jangkauan pelayanan BPR akan mendorong perkembangan sektor UMKM sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran dan memajukan perekonomian. Hal ini dapat digambarkan dari visi pengembangan, jangkauan wilayah, dan fokus penyaluran kredit suatu BPR. Serta melihat hambatan apa saja yang sering dialami oleh BPR dalam memperluas jangkauan pelayanan, dan pengaruh jangkauan pelayanan terhadap kinerja BPR yang dicerminkan oleh index kinerja. Sehingga jangkauan pelayanan BPR ke depan dapat ditingkatkan. Secara garis besar kerangka penelitian ini tersaji pada Gambar 2.2.
BPR
Lembaga Keuangan
Kinerja
Financial Sustainability
Outreach
Visi Pengembangan
Jangkauan Wilayah Pelayanan
Hambatan dan Upaya Meningkatkan Outreach
Impact
Fokus Penyaluran Kredit
Indeks Kinerja Jangkauan Pelayanan BPR
Implikasi Kebijakan Gambar 2.2 Kerangka pemikiran
2.8 Hipotesa Penelitian Berdasarkan teori dan konsep yang relevan serta hasil penelitian terdahulu tentang jangkauan pelayanan (outreach) BPR, maka dapat diberikan jawaban sementara atas permasalahan yang ada. Hipotesis pertama, dengan kondisi BPR yang terus berkembang, maka terjadi fenomena karakteristik jangkauan pelayanan (outreach) BPR di Indonesia. Kedua, terjadinya fenomena karakteristik jangkauan pelayanan (outreach) BPR disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal dari BPR itu sendiri. Ketiga, outreach yang mengacu pada jumlah nasabah berpengaruh terhadap kinerja maupun index kinerja, dan jangkauan pelayanan dipengaruhi oleh variabel rasio-rasio.
III. METODELOGI PENELITIAN
3.1
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer, dan data sekunder. Data primer diperoleh dari survei yang dilakukan oleh InterCAFE, dan penulis ikut terlibat dalam pengambilan data tersebut. Pengambilan data dilakukan pada bulan April hingga Mei 2008 kepada responden yang dipilih berdasarkan metodologi penarikan contoh (sampling) tertentu. Metode yang digunakan dalam pengambilan contoh dalam penelitian ini, yaitu Quota sampling dan Stratified sampling. Quota sampling bertujuan untuk mengklasifikasikan populasi berdasarkan kriteria tertentu, kemudian memberikan kuota untuk masing-masing kriteria, sehingga sampel yang digunakan menggambarkan karakteristik keseluruhan BPR. Stratified sampling bertujuan membagi ke dalam kelompok-kelompok yang relatif homogen berdasarkan kriteria tertentu dan sample dipilih secara acak dari masing-masing kelompok (Juanda, 2007). Total responden yang dijadikan sample dalam penelitian ini berjumlah 867 unit BPR, yang merupakan 50 persen dari total BPR yang ada di Indonesia. Data tersebut digunakan untuk mengklarifikasi dan menggali informasi yang lebih mendalam mengenai jangkauan pelayanan BPR. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber antara lain studi literatur, Bank Indonesia (BI), Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Keuangan (Depkeu), Departemen Koperasi (Depkop), jurnal dan
referensi lain yang relevan. Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah data tahunan meliputi penghimpunan dan penyaluran dana BPR, dan data rasio-rasio perbankan tahun 2007.
3.2 Metode Analisis Secara umum metode yang digunakan dalam menganalisis data pada penelitian ini adalah metode analisis deskritif, dan analisis komponen utama (AKU). Metode analisis deskritif untuk menjawab pertanyaan pertama dan kedua dalam perumusan masalah, sedangkan analisis komponen utama untuk menjawab pertanyaan ketiga dalam perumusan masalah. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007, dan SPSS 15. 3.2.1 Analisis Statistika Deskriptif Metode
ini
merupakan
metode
statistik
yang
digunakan
untuk
menggambarkan data yang telah dikumpulkan. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode ini sehingga dapat diperoleh gambaran karakteristik responden, serta faktor yang berpengaruh terhadap jangkauan pelayanan (outreach) BPR. Data dapat disajikan dalam bentuk tabulasi (seperti tabulasi tunggal dan tabulasi silang), charts dan diagram. Metode tabulasi silang (cross-tabulation) adalah metode statistik yang merangkum data dengan dua atau lebih variabel secara bersamaan atau sekaligus. Terkadang, metode ini juga menggunakan cara deskriptif sederhana untuk melihat apakah ada hubungan antara dua buah
variabel. Tabulasi silang ini biasanya
menggunakan tabel yang didalamnya terdapat dua atau lebih masing-masing
variababel bebas dan tak bebas. Setiap sel pada tabel ini berisi jumlah responden yang memberikan sebuah kombinasi informasi yang lebih spesifik. Oleh karenanya, setiap sel mengandung sebuah tabulasi silang tunggal (single cross tabulation).
Pada
intinya, penggunaan metode ini adalah untuk memberikan solusi dari suatu masalah dengan menampilkan kombinasi dari variabel dan menganalisis antara kedua variabel bebas dan tak bebas. Penggunaan metode tabulasi silang seringkali dijumpai dalam penelitian karena metode ini mudah untuk dimengerti bagi kebanyakan orang yang memiliki keterbatasan pengertian dalam ilmu hitung. Selain itu metode ini juga dapat digunakan untuk berbagai jenis tipe data baik berupa data nominal, ordinal, interval maupun rasio. Dengan demikian, tabulasi silang dapat digunakan jika salah satu variabel bersifat kualitatif dan lainnya kuantitatif ataupun jika keduanya bersifat kualitatif dan sebaliknya. 3.2.2 Principal Component Analysis (PCA) Jollife (2003) menerangkan analisis komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA) pertama kali diperkenalkan oleh Pearson pada tahun 1901, dan selanjutnya dikembangkan oleh Hotteling pada tahun 1993, Rao pada tahun 1964, dan yang lainnya. PCA merupakan teknik analisis multivariabel (menggunakan banyak variabel) yang dilakukan untuk tujuan ortogonalisasi dan penyederhanaan
variabel.
Analisis
ini
merupakan
teknik
statistik
yang
mentransformasikan secara linier satu set variabel ke dalam variabel baru dengan ukuran lebih kecil namun representatif dan tidak saling berkorelasi (ortogonal). PCA dalam studi ini menghasilkan suatu indeks kinerja BPR yang dibangun dari berbagai
rasio-rasio keuangan BPR. Analisis ini dapat digunakan sebagai analisis antara maupun analisis akhir. Sebagai analisis antara, PCA bermanfaat untuk menghilangkan multicollinearity atau untuk mereduksi variabel yang berukuran besar ke dalam variabel baru yang berukuran sederhana. Untuk analisis akhir, PCA umumnya digunakan untuk mengelompokkan variabel-variabel penting dari suatu bundel variabel besar untuk menduga suatu fenomena, sekaligus memahami struktur dan melihat hubungan antar variabel. Pada dasarnya PCA adalah analisis yang mentransformasikan data sejumlah p ke dalam struktur data baru sejumlah k dengan jumlah k < p. Perhitungan dengan PCA memerlukan beberapa pertimbangan, yang sekaligus menggambarkan adanya kendala dan tujuan yang ingin dicapai dari hasil analisis PCA. Di dalam PCA akan dihitung vektor pembobot yang secara matematis ditujukan untuk memaksimumkan keragaman dari kelompok variabel baru (yang sebenarnya merupakan fungsi linier peubah asal) atau memaksimumkan jumlah kuadrat korelasi antar PCA dengan variabel asal. Persamaan umumnya adalah:
dimana persamaan tersebut diperoleh dari matriks berikut:
X adalah variable asal,
adalah vector pembobot, dan Y adalah komponen utama.
Hasil analisis komponen-komponen utama antara lain nilai akar ciri, proporsi dan kumulatif akar ciri, nilai pembobot atau sering disebut factor loading, loading serta factor scores. Vektor pembobot merupakan parameter yang menggambarkan peran (hubungan) setiap variabel dengan komponen utama ke-i, sedangkan loading menggambarkan besarnya korelasi antara variabel asal dengan komponen ke-i. Nilai loading diperoleh dengan persamaan:
dimana
menggambarkan besarnya korelasi antara variabel asal dengan komponen
utama k-i,
merupakan nilai pembobot utama k-i, dan
adalah ciri komponen ke-i.
3.3 Keterbatasan Penelitian Penelitian
ini
memiliki
beberapa
keterbatasan,
dikarenakan
adanya
keterbatasan waktu, dana, dan sumber data yang dimiliki oleh penulis. Sehingga dalam penelitian ini tidak membahas pengaruh jangkauan pelayanan BPR terhadap perkembangan sektor UMKM berdasarkan propinsi. Selain hal tersebut, index kinerja yang dibangun dalam penelitian ini hanya pada tahun 2007 saja, dan hanya berfokus terhadap pengaruh jangkauan pelayanan kepada kinerja BPR.
IV. JANGKAUAN PELAYANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT
4.1 Gambaran Umum Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang saat ini berjumlah 1.811 unit BPR, memiliki kondisi yang sangat beragam. Terdapat BPR yang sampai saat ini memiliki total aset tertinggi hingga Rp. 1.164 triliun, di sisi lain terdapat BPR yang mampu bertahan dengan volume usaha hanya sebesar Rp. 11,63 juta. Mayoritas BPR (61,29%) di Indonesia memiliki aset yang berada pada kisaran Rp. 1 hingga 10 miliar, dan sekitar 4,20 persen BPR lainnya memiliki asset di bawah Rp. 1 miliar (Bank Indonesia, 2008). Kondisi serupa juga terlihat pada penyebaran modal inti BPR, masih terdapat 44,71 persen BPR yang beroperasi dengan modal inti kurang dari Rp. 1 miliar, sementara itu terdapat BPR dengan modal inti mencapai Rp. 161,66 miliar. Mayoritas BPR (52,38%) memiliki modal inti yang berada pada range Rp. 1 hingga 10 miliar. Sedikit berbeda dengan sebaran aset dan modal inti, rata-rata (52,32%) BPR memiliki modal disetor sebesar kurang dari Rp. 1 miliar (Bank Indonesia, 2008). Keberagaman yang terjadi di industri BPR, akan menimbulkan karakteristik jangkauan pelayanan yang berbeda antara satu BPR dengan BPR lainnya. Untuk memudahkan pemotretan karakteristik jangkauan pelayanan BPR, dilakukan
pengelompokkan BPR berdasarkan hasil penelitian InterCAFE (2008) mengenai penyusunan stratifikasi industri BPR. Hasil pengelompokan BPR tersebut, membagi BPR ke dalam tiga kelompok, yaitu BPR kecil untuk BPR dengan modal inti kurang dari Rp 1 milyar sebanyak 783 unit BPR (44,34%), BPR sedang untuk BPR dengan modal inti lebih Rp 1 milyar sampai dengan Rp 10 milyar sebanyak 931 unit BPR (52,72%), dan BPR besar untuk BPR dengan modal inti lebih dari Rp 10 milyar sebanyak 52 unit BPR (2,97%). Pembagian menjadi tiga kategori tersebut, didasarkan pada modal inti yang dimiliki setiap BPR, percentil dan kuartil dari jumlah BPR, serta kaidah statistika mengenai kecukupan populasi dalam setiap kategori. Jumlah BPR yang digunakan sebagai sample untuk data primer pada penelitian ini, untuk BPR kecil sebanyak 361 unit BPR, untuk BPR sedang sebanyak 477 unit BPR, dan untuk BPR besar sebanyak 29 unit BPR. Pengambilan sample tersebut, berdasarkan metode Quota sampling dan metode Stratified sampling. Hal ini dilakukan agar sampel yang digunakan dapat menggambarkan keseluruhan karakteristik BPR.
4.2 Visi Pengembangan BPR Berdasarkan Undang-Undang Kebanksentralan No. 23 tahun 1999, dan diperbaiki menjadi Undang-Undang Kebanksentralan No. 4 tahun 2004, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan lembaga perbankan yang pembiayaannya berfokus kepada sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Menurut hasil
survey yang dilakukan oleh InterCAFE (2008) menunjukkan bahwa BPR di setiap kelompoknya hingga saat ini masih tetap berfokus kepada sektor UMKM, ini ditunjukkan dengan rata-rata diatas 90 persen dari total responden BPR disetiap kelompok berfokus dalam pengembangan sektor UMKM di sekitar wilayah BPR. Fokus terbesar terhadap sektor UMKM terdapat pada BPR kecil, sebesar 95,5 persen.
Gambar 4.1 Fokus Pelayanan BPR pada UMKM
Walaupun sektor UMKM memiliki karakteristik tidak bankable untuk dibiayai oleh sektor perbankan, dikarenakan sektor UMKM memiliki keterbatasan dalam agunan, pendidikan, dan administrasi pengelolaan usaha. Sektor UMKM bagi BPR merupakan pangsa pasar yang potensial, karena UMKM merupakan sektor yang kekurangan akan modal dan tidak dapat dipenuhi oleh Bank Umum. Hal ini disebabkan Bank Umum memiliki persyaratan kredit yang rumit terutama masalah agunan, dibandingkan dengan BPR. Selain itu, BPR dalam menjalankan usahanya
tidak menjadi terkendala dalam memperoleh profit dari kredit sektor UMKM, sehingga setiap kelompok BPR yang ada saat ini ikut berkontribusi dalam pengembangan perekonomian daerah terutama di sekitar tempat BPR beroperasi.
Gambar 4.2 Pengembangan Ekonomi Wilayah
4.3 Jangkauan Wilayah Pelayanan Pengembangan pelayanan BPR fokus kepada sektor UMKM terutama di sekitar lokasi BPR beroperasi, dapat dibuktikan secara empirik dari hasil survey yang menunjukkan sebagian besar BPR (61,9%) memfokuskan penyaluran dananya kepada nasabah di satu Kab/Kota dengan lokasi BPR (Gambar 4.3). Faktor yang mendorong BPR untuk melakukan penyaluran kredit di luar wilayah satu Kab/Kota dengan lokasi BPR, hanya dikarenakan letaknya yang berada di perbatasan antara satu propinsi dengan propinsi lainnya, dan adanya kedekatan antara nasabah dengan pengurus atau pemilik BPR. Letak BPR yang berbatasan antara satu propinsi dengan propinsi lain,
pada umumnya diakibatkan adanya pemekaran wilayah secara administratif, seperti daerah Banten.
Gambar 4.3 Gambar Jangkauan Wilayah Nasabah Berdasarkan Kab/Kota, Propinsi, dan Luar Propinsi Walaupun sebagian besar BPR menyalurkan dananya di sekitar wilayah BPR, tetapi setiap kelompok BPR memiliki karakteristik yang berbeda dalam menjangkau nasabah satu kabupaten/kota, satu propinsi, maupun luar propinsi dengan lokasi BPR. Berdasarkan hasil survey yang digambarkan pada Gambar 4.3, sebagian besar (78,4%) BPR kecil akan lebih memfokuskan diri untuk menjangkau nasabah yang terletak satu kabupaten/kota dengan lokasi BPR, dibandingkan dengan BPR pada kelompok lainnya. Apabila BPR telah mengalami perkembangan terhadap modal inti yang dimilikinya, maka BPR akan mulai menjangkau para nasabah yang berada dalam satu propinsi dan luar propinsi, dengan tetap melayani para nasabah yang ada di daerah sekitar lokasi BPR.
Peningkatan pelayanan BPR terhadap wilayah satu propinsi dan luar propinsi, disebabkan oleh adanya ekspansi usaha BPR dengan semakin meningkatnya jaringan kantor cabang dan kas bagi kelompok yang lebih besar. Hal ini, terlihat dari peningkatan jangkauan pelayanan terhadap nasabah yang berlokasi satu propinsi dengan BPR diiringi dengan makin besarnya kepemilikan BPR terhadap kantor cabang dan kantor kas (Gambar 4.4, dan Gambar 4.5).
Gambar 4.4 BPR Memiliki Kantor Cabang Berdasarkan Kelompok
Berdasarkan Gambar 4.4, 45,65 persen BPR besar memiliki kantor cabang, sedangkan BPR kecil hanya 8,8 persen yang memiliki kantor cabang. Kondisi jaringan kantor kas menunjukkan perkembangan yang lebih menggembirakan dibandingkan dengan jaringan kantor cabang yang dimiliki oleh BPR. Kondisi ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya BPR yang memiliki kantor kas dibandingkan dengan kantor cabang, terlihat dari keseluruhan BPR sampel yang memiliki kantor cabang hanya 15,80 persen, sedangkan 33,30 persen BPR sample memiliki kantor kas
(Gambar 4.4 dan Gambar 4.5). Selain itu, kepemilikan kantor kas lebih merata antara kelompok BPR yang satu dengan kelompok lainnya. Besar kepemilikan kantor kas berdasarkan urutan kelompoknya yaitu 26,27 persen untuk BPR kecil, 36,87 persen untuk BPR sedang, dan 55,56 persen untuk BPR besar.
Gambar 4.5 BPR Memiliki Kantor Kas Berdasarkan Kelompok
Pengaruh kantor cabang dan kas terhadap jangkauan wilayah pelayanan BPR, dikarenakan adanya peraturan Bank Indonesia yang mengatur tata letak lokasi kantor cabang dan kas. Bank Indonesia hanya mengijinkan membuka kantor cabang di luar wilayah administratif dan satu propinsi dengan BPR tersebut beroperasi, sedangkan kantor kas hanya diijinkan dibuka dalam satu wilayah administratif kantor cabang dan kantor pusat BPR tersebut beroperasi. Hal ini mengindikasikan semakin banyak suatu BPR memiliki kantor cabang, semakin mampu BPR tersebut dalam menjangkau nasabah di wilayah administratifnya. Apabila suatu BPR semakin banyak memiliki kantor kas mengindikasikan semakin mampu menjangkau wilayah nasabah di daerah
tingkat satu atau daerah tingkat dua dalam satu wilayah administratif kantor cabang atau kantor pusat BPR tersebut beroperasi. Jangkauan wilayah BPR berdasarkan penghimpunan dana, keadaannya tidak jauh berbeda dengan penyaluran dana. Hasil survey menunjukkan sebagian besar (70,1%) BPR kecil akan lebih memfokuskan diri kepada daerah satu Kab/Kota dengan lokasi BPR dalam penghimpunan dananya. Jika BPR mengalami perkembangan dalam modal inti (kelompok), BPR akan mulai memfokuskan diri kepada para nasabah yang berlokasi satu propinsi dengan BPR, tanpa mengabaikan pelayanan terhadap nasabah yang berdomisili di wilayah satu Kab/Kota dengan BPR (Gambar 4.6).
Gambar 4.6 Jangkauan Wilayah Nasabah Tabungan Berdasarkan Kab/Kota, Propinsi, Luar Propinsi
Fokus penghimpunan dana ini sangat dipengaruhi oleh kredit yang diberikan oleh BPR. Hal ini terlihat dari peningkatan jangkauan penyaluran kredit di satu wilayah propinsi dengan lokasi BPR, diiringi dengan peningkatan penghimpunan dana di satu wilayah propinsi dengan lokasi BPR (Gambar 4.5, dan Gambar 4.6). Hubungan ini disebabkan adanya ketentuan BPR yang mewajibkan setiap nasabah yang ingin meminjam kepada BPR harus memiliki tabungan di BPR tersebut. Kondisi tersebut mengindikasikan BPR memprioritaskan target pasar yang potensial dalam penghimpunan dananya. Selain itu, peningkatan penghimpunan dana juga di dorong oleh deposito para rekan bisnis dan pengurus BPR. Fakta ini terlihat dari hasil survey yang menunjukkan BPR dalam menghimpun dananya lebih mempioritaskan target pasar yang potensial dan rekan bisnis atau pengurus BPR, seperti yang dijelaskan lebih rinci pada Gambar 4.7 dibawah ini.
Gambar 4.7 Urutan Pioritas Penghimpunan Dana BPR
4.4 Fokus Penyaluran Kredit BPR dalam meningkatkan penyaluran kreditnya kepada masyarakat melalui dua cara, yaitu penyaluran kredit dengan fokus kepada nasabah lama (deepening outreach) dan penyaluran kredit dengan fokus kepada nasabah baru (broadening outreach). Mekanisme dari deepening outreach dilakukan berdasarkan riwayat pinjaman (track record) dari nasabah, sedangkan broadening outreach berdasarkan upaya BPR dalam memperluas pangsa pasarnya. Hasil survey menunjukkan ternyata sumber pertumbuhan kredit selama satu tahun terakhir sebagian besar (53%) berasal dari penyaluran kredit yang fokus kepada nasabah lama (Gambar 4.8).
Gambar 4.8 Cara BPR dalam Meningkatkan Portofolio Pinjaman
Gambar 4.8 memperlihatkan hanya BPR sedang saja yang melakukan fokus terhadap perluasan pangsa pasar dalam penyaluran kreditnya, sedangkan BPR pada kelompok lainnya lebih memilih untuk melakukan fokus terhadap nasabah lama dalam penyaluran kreditnya, terutama pada BPR besar. Hal ini dikarenakan
penyaluran kredit kembali terhadap nasabah lama, berdasarkan analisis kelayakan kredit (faktor 6C) relatif lebih aman. Adapun faktor dalam 6C yang menjadi prioritas utama bagi BPR dalam menganalisa kelayakan kredit bagi calon nasabah baru maupun lama adalah karakter (Gambar 4.9 dan Gambar 4.10). Karakter merupakan hal yang utama, karena sebagian besar nasabah BPR memiliki karakteristik yang tidak bankable untuk dibiayai oleh sektor perbankan, dan BPR menganggap bahwa moral calon debitur akan sangat berpengaruh terhadap tingkat pengembalian dari pembayaran angsuran kredit.
Gambar 4.9 Pioritas Utama BPR dalam Menganalisa Kelayakan Kredit Nasabah Lama Gambar 4.9 memperlihatkan pertimbangan BPR dalam penyaluran kredit kepada nasabah lama, selain berdasarkan karakter nasabah (67,67%). BPR dalam memberikan kredit juga berdasarkan pada kapasitas (13,12%) dan perputaran uang (10,54%) yang dimiliki oleh nasabah. Kapasitas dan perputaran uang nasabah menjadi salah satu faktor penting yang diperhatikan oleh BPR, karena
menggambarkan kemampuan nasabah dalam memperoleh pendapatan dari usaha maupun pekerjaan yang dimilikinya, dan kemampuan nasabah dalam menutupi segala keperluan sehari-hari. Hal ini dilakukan, agar BPR memiliki keyakinan kepada debitur dalam melakukan pembayaran angsuran kredit dengan baik dan tepat waktu. Pertimbangan BPR dalam penyaluran kredit terhadap nasabah baru, tidak jauh berbeda dengan kondisi pertimbangan BPR dalam penyaluran kredit terhadap nasabah lama (Gambar 4.10). Akan tetapi dalam penyaluran kredit terhadap nasabah baru, BPR juga memperhatikan faktor agunan (5,89%) yang dimiliki oleh nasabah selain faktor karakter (77,60%), kapasitas (7,85%), dan perputaran uang (5,37%). Faktor ini disebabkan, kurangnya informasi mengenai karakter yang dimiliki calon nasabah baru, sehingga karakter tidak dapat sepenuhnya digunakan sebagai jaminan terhadap tingkat pengembalian dari pembayaran angsuran kredit.
Gambar 4.10 Pioritas Utama BPR dalam Menganalisa Kelayakan Kredit Nasabah Baru
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) membagi dalam tiga kategori dalam fokus penyaluran kreditnya, yaitu berdasarkan plafon, penggunaan, dan sektor ekonomi (sektoral). Penjelasan mengenai jangkauan pelayanan BPR setiap kategori tersebut, dipaparkan sebagai berikut: 4.4.1. Fokus Berdasarkan Plafon Berdasarkan plafon kredit, kredit dibagi 3 jenis kredit yaitu kredit mikro untuk pinjaman kurang dari Rp 50 juta, kredit kecil untuk pinjaman diatas Rp 50 juta sampai Rp 500 juta, kredit menengah untuk pinjaman diatas Rp 500 juta sampai Rp 5 milyar. Saat ini Industri BPR, menyalurkan kredit sebagian besar untuk kredit Mikro, Kecil, dan Menengah (MKM). Hal ini ditunjukkan dengan sangat kecilnya penyaluran kredit besar pada tahun 2007, sebesar Rp 47.256.278 ribu atau 0,23 persen dari keseluruhan kredit yang disalurkan oleh BPR. Sedangkan kredit Mikro, Kecil, dan Menengah memperoleh proposi sebesar 69,88 persen, 24,43 persen, dan 5,46 persen dari keseluruhan kredit yang disalurkan oleh BPR. Hal ini mengindikasikan bahwa BPR lebih banyak menjangkau debitur Mikro dibandingkan yang lainnya, yang dapat dilihat pada Tabel 4.1 bahwa sebesar 2.483.679 ribu nasabah atau 97,64 persen dari keseluruhan nasabah yang dilayani oleh BPR adalah debitur mikro.
Tabel 4.1 Fokus Penyaluran Kredit BPR Berdasarkan Plafon Tahun 2007 dalam ribuan
Rekening Nasabah %
Total Kredit % Total Kredit/jumlah rek %
Mikro
Kecil
Menengah
Besar
Jumlah
2.483.679 97,64 14.352.335.01
59.355 2,33 5.018.073.80
870 0,03 1.122.241.79
8 0 47.256.27
2.543.912 100 20.539.906.89
2
9
1
8
0
69,88
24,43
5,46
0,23
100
5778,66 0,08
84543,41 1,16
1289933,09 17,7
5907034,7 5 81,06
7287289,91 100
Sumber: BI 2007,diolah
Berdasarkan Tabel 4.1 tersebut terlihat pula bahwa BPR akan lebih banyak menjangkau nasabah, apabila dana tersebut disalurkan kepada jenis kredit mikro. Fakta ini ditunjukkan dengan kecilnya proporsi dana yang disalurkan per nasabah kepada jenis kredit mikro sebesar 0,08 persen, dibandingkan dengan proporsi dana yang disalurkan per nasabah kepada jenis kredit kecil hingga besar. 4.4.2. Fokus Berdasarkan Penggunaan. Berdasarkan penggunaannya, kredit dibagi menjadi 3 yaitu kredit modal kerja, investasi, dan konsumsi. Menurut data Bank Indonesia dari tahun 2005-2007, sebagian besar debitur BPR (58,7%-62,2%) menggunakan kredit tersebut untuk tujuan modal kerja. Proporsi selanjutnya digunakan untuk tujuan konsumtif (35,9%38,4%) dan investasi (1,9%-2,7%). Hal ini dijelaskan secara rinci pada Gambar 4.11.
Sumber: BI, 2007 diolah
Gambar 4.11 Jumlah Nasabah BPR Berdasarkan Penggunaan Peningkatan kredit konsumsi dari tahun 2006 ke tahun 2007, dikarenakan adanya salah satu strategi yang digunakan untuk mengurangi resiko kredit yaitu dengan mekanisme pembayaran potong gaji. Mekanisme tersebut membuat BPR sudah memiliki kepastian pengembalian kredit dari nasabah setiap bulannya dibandingkan dengan jenis kredit lainnya. Walaupun terjadi peningkatan kredit konsumsi dari tahun ke tahunnya, tidak mengurangi peranan BPR terhadap sektor UMKM. Hal ini dikarenakan sistem pembayaran potong gaji dalam kredit konsumsi, komposisinya cukup besar yang digunakan untuk modal usaha/kerja (Gambar 4.12).
Gambar 4.12 Penggunaan Kredit Sistem Potong Gaji
Nasabah yang dilayani oleh BPR sebagian besar terkonsentrasi di daerah Pulau Jawa, terutama di Propinsi Jateng, Jabar, dan Jatim (Gambar 4.13). Hal ini dikarenakan sebaran UMKM yang merupakan pangsa pasar BPR sebagian besar (70%) berada di Pulau Jawa (Depkop, 2008).
Gambar 4.13 Jumlah Nasabah Berdasarkan Penggunaan Per Propinsi
Berdasarkan Gambar 4.13, di setiap propinsi sebagian besar menyalurkan kreditnya untuk modal kerja, dan BPR pada Propinsi Jatim memiliki jangkauan pelayanan yang paling luas (76,07%) untuk jenis kredit modal kerja. Jangkauan pelayanan yang luas untuk jenis penggunaan kredit konsumsi dimiliki oleh propinsi DKI sebesar (74,56%), sedangkan jenis kredit investasi mengalami jangkauan pelayanan paling kecil di setiap propinsi. BPR berdasarkan kelompok modal intinya memiliki karakteristik yang berbeda, dimana semakin besar strata BPR pada tahun 2007 akan semakin berkurang jangkauan pelayanannya terhadap jenis kredit untuk penggunaan modal kerja dan akan semakin meningkat jangkauan pelayanannya terhadap kredit konsumsi. Hal ini berbeda dengan kondisi pada tahun 2006, dimana pada strata sedang memiliki jangkauan pelayanan yang lebih besar pada kredit modal kerja dibandingkan dengan strata lainnya, dan BPR strata kecil dan besar memiliki jangkauan nasabah yang besar pada jenis kredit Investasi dan konsumsi. Hal ini dijelaskan secara rinci pada Gambar 4.14.
Gambar 4.14 Rata-Rata Nasabah Berdasarkan Penggunaan 2006-2007
4.4.3. Fokus berdasarkan Sektor Ekonomi Berdasarkan sektor ekonomi, kredit yang disalurkan oleh BPR dibagi menjadi 4 jenis kredit yaitu kredit sektor pertanian, sektor perindustrian, sektor perdagangan, sektor jasa-jasa, dan sektor lainnya. Selama tahun 2005-2006, sebagian besar dana kredit BPR disalurkan kepada debitur di sektor perdagangan (Gambar 4.15). Hal ini dikarenakan sektor perdagangan memiliki perputaran uang yang baik dan lebih stabil dibandingkan dengan sektor lainnya. Namun, sektor tersebut mengalami penurunan debitur yang cukup signifikan dari 44,72 persen pada tahun 2006 menjadi 41,16 persen pada tahun 2007. Penurunan ini dikarenakan peningkatan kredit lainnya dari 38,16 persen menjadi 40,66 persen, yang merupakan kredit konsumsi. Hal ini disebabkan adanya salah satu strategi yang digunakan untuk mengurangi resiko, yaitu mekanisme pembayaran potong gaji. Proposi berikutnya diikuti oleh sektor pertanian (10,20%), jasa-jasa (6,61%) dan perindustrian (1,37%), yang mengalami peningkatan proposi setiap tahunnya, seperti yang digambarkan pada Gambar 4.15.
Gambar 4.15 Proposi Jumlah Nasabah Berdasarkan Sektor Ekonomi
Debitur yang dilayani oleh BPR berdasarkan sektor ekonomi, terkonsentrasi pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Jangkauan pelayanan yang besar pada setiap propinsinya pada sektor perdagangan atau sektor lainnya, dengan propinsi Jabar untuk jangkauan pelayanan paling luas pada sektor perdagangan dan propinsi DKI untuk sektor lainnya (Gambar 4.16)
Gambar 4.16 Gambar Proposi Nasabah Berdasarkan Sektor Ekonomi
BPR dalam penyaluran kredit untuk sektor ekonomi pun memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, jika dilihat berdasarkan modal inti. BPR dengan strata modal inti kecil dan besar memiliki jangkauan pelayanan yang besar untuk sektor perdagangan sebesar 45 persen dan 40 persen. Sedangkan BPR dengan strata modal inti sedang lebih mengutamakan jangkauan nasabah kredit pada sektor perdagangan dan lainnya secara merata sebesar 31 persen
dan 32 persen. Hal ini menunjukkan bahwa jangkauan pelayanan suatu BPR dalam menyalurkan kredit berdasarkan sektor ekonomi tidak ditentukan oleh besarnya modal inti yang dimiliki oleh BPR tersebut (Gambar 4.17).
Gambar 4.17 Rata-Rata Jumlah Nasabah Berdasarkan Sektor Ekonomi
4.5 Perluasan dan Hambatan Jangkauan Pelayanan BPR Apabila dibandingkan dengan Bank Umum, dapat dikatakan bahwa perkembangan BPR dewasa ini belum sepesat Bank Umum, baik dalam aspek kelembagaan maupun keuangan. Hal ini tidak terlepas dari beberapa permasalahan seperti terbatasnya sumber daya manusia dan manajemen, permodalan, kurangnya kepercayaan masyarakat, lemahnya jaringan (networking) serta belum optimalnya fungsi pengawasan dan pembinaan oleh otoritas yang berwenang.
Beberapa permasalahan di atas merupakan hal yang umum dijumpai dalam upaya mengembangkan jangkauan pelayanan BPR, yang secara sistematis dapat dijelaskan sebagai berikut : 4.5.1
Faktor Internal
a. Permodalan dan Sumber Pendanaan BPR umumnya memiliki modal yang relatif kecil dan sulit untuk menambah modal apabila diperlukan, karena beberapa hal seperti terbatasnya kemampuan finansial pemilik yang sangat terbatas. BPR juga mengalami kesulitan akses keuangan untuk memenuhi kebutuhan dana dalam rangka pengembangan usaha maupun penanggulangan kesulitan likuiditas. Walaupun, hampir 53,02 persen seluruh sampel BPR memperoleh pinjaman dari Bank atau lembaga keuangan lain. Hal ini dikarenakan pada umumnya digunakan hanya untuk menjaga likuiditas BPR dan tidak bersifat program linkage (bekerjasama) dengan Bank Umum, sehingga suku bunga yang harus dibayarkan tersebut cukup memberatkan biaya operasional BPR. Fakta ini terlihat hanya 35,40 persen sampel BPR yang menggunakan linkage program dalam memenuhi kekurangan modal dalam mengembangkan penyaluran kreditnya. Alasan utama BPR kesulitan untuk bekerjasama dengan Bank Umum, adalah rendahnya tingkat kesehatan BPR dan lemahnya posisi tawar-menawar dengan Bank Umum. BPR sampel yang memperoleh program linkage dengan Bank Umum atau lembaga keuangan lain yang terletak pada BPR kecil sebesar 28,5 persen, BPR sedang sebesar 40,7 persen, dan BPR besar sebesar 39,13 persen. Hal yang menarik untuk disimak, BPR sedang lebih banyak memperoleh bantuan program
linkage dibandingkan dengan BPR besar dan kecil. Persentase BPR yang memperoleh bantuan program linkage digambarkan secara lebih jelas pada Gambar 4.18.
Gambar 4.18 Persentase BPR Memperoleh Bantuan Program Linkage
BPR
sampel
yang
memperoleh
bantuan
program
linkage,
mengindikasikan memiliki tingkat kesehatan yang lebih baik dibandingkan BPR sampel lainnya. Hal ini pun didukung dari data survey, yang menunjukkan semakin besar jumlah BPR yang menerima program linkage disetiap kelompoknya, semakin kecil rata-rata NPL yang dimiliki setiap kelompok tersebut, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.18 dan Gambar 4.19.
Gambar 4. 19 Rata-rata Rasio NPL BPR b. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia (SDM) merupakan hal yang penting dalam memperluas jangkauan pelayanan BPR, karena upaya yang dilakukan BPR dalam memperluas jangkauan pelayanannya membutuhkan SDM yang handal. Sebagian besar upaya yang dilakukan BPR dalam memperluas jangkauan pelayanan dengan cara pemasaran intensif (61,7%) dan proses yang dipercepat (30,4%). Mekanisme dalam pemasaran intensif menggunakan rekomendasi dari nasabah lama yang memiliki riwayat pinjaman yang baik, keluarga, maupun dari tokoh masyarakat.
Gambar 4.20 Upaya Memperluas Jangkauan Pelayanan BPR Namun, upaya yang direncanakan tersebut belum dapat dilaksanakan optimal oleh BPR. Hal ini dikarenakan BPR rata-rata memiliki Sumber daya manusia (SDM) yang rendah produktifitasnya. Hal ini terlihat pada Gambar 4.19, dari BPR sampel yang disurvey sebagian besar rata-rata SDM BPR merupakan lulusan SMA.
Gambar 4.19 Rata-Rata Jumlah SDM Berdasarkan Pendidikan Tiap Kelompok
Gambar 4.19 menjelaskan pendidikan pegawai tiap kelompok BPR sebagian besar didominasi oleh lulusan SMA dan S1. Keadaan ini tidak ada perbedaan antara kondisi umum dengan kelompok yang dimiliki oleh BPR. BPR dalam meningkatkan produktifitas, pada umumnya melakukan pelatihan secara berkala maupun insidentil kepada karyawannya. c. Inovasi di bidang Pemasaran Hasil survey menunjukkan sebagian besar (57,74%) BPR tidak mampu mengembangkan produk-produk baru yang inovatif (Gambar 4.20), yang mampu meningkatkan daya saing dengan lembaga keuangan berskala besar dan dengan LKM lainnya. Hal ini disebabkan karena umumnya LKM memiliki kualitas SDM yang rendah, dan dana yang terbatas untuk membiayai kegiatan riset dan pengembangan pasar.
Gambar 4.20 BPR yang Melakukan Inovasi Produk
Sebagian besar (35,40%) inovasi pelayanan produk tersebut dalam bentuk Payment Point secara online. Kemampuan BPR dalam melakukan inovasi pelayanan tersebut, karena adanya bantuan teknologi dari BPR maupun lembaga lain dengan persyaratan yang ringan dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Gambar 4.21 BPR yang Melakukan Pelayanan Payment Point
4.5.2. Faktor Eksternal a. Persaingan Persaingan yang dihadapi oleh BPR berasal dari sesama BPR maupun dari Bank Umum dan lembaga keuangan lainnya. Hasil survey menunjukkan pesaing utama BPR dalam menyalurkan dan menghimpun dana adalah sesama BPR (42 persen), kemudian Bank Umum seperti BRI (15 persen) dan Bank Umum Lainnya (19 persen), serta lembaga keuangan lainnya 24 persen.
Lembaga Keuangan Lainnya 24%
Bank Umum Lainnya 19%
Bank Umum 34%
BPR 42% BRI 15%
Gambar 4.22 Pesaing BPR dalam Menyalurkan Kredit Sebagian besar (69 persen) BPR yang ada di Indonesia berada di pulau jawa dan sisanya (31 persen) tersebar diluar pulau jawa. Menurut penelitian Rahmadani (2008), penetrasi pasar yang di Pulau Jawa rata-rata berbentuk pasar monopolistic competition (Monopoli yang kompetitif) yang dicirikan dengan nilai CR4 kurang dari 40 persen dan HHI kurang dari 1000 persen. Artinya, pelaku industri BPR di pulau jawa mudah keluar dan masuk. Serta memiliki jenis pelayanan yang sama antara satu BPR dengan lainnya, sehingga BPR perlu untuk melakukan inovasi produk dalam meningkatkan jangkauan pelayanannya. Selain itu, Bank Umum sangat gencar memasuki pasar mikro. Bank Umum dengan memiliki jaringan luas, berteknologi tinggi, mempunyai bagian riset dan pengembangan dengan jumlah modal yang besar. Hal ini membuat BPR pada saat ini makin sulit untuk mengembangkan jangkauan pelayanannya terhadap masyarakat.
b. Peraturan Bank Indonesia Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagai salah satu lembaga keuangan di Indonesia, pengawasan dan pengaturannya dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Berdasarkan hasil survey yang dilakukan, secara umum peraturan Bank Indonesia dirasakan tidak ada yang menghambat dalam pengembangan jangkauan pelayanan BPR, justru mendukung dalam pengembangan BPR (Gambar 4.23).
Gambar 4.23 Keberadaan PBI yang Menghambat Penyaluran Kredit Penyaluran Kredit Namun, jika dilihat berdasarkan strata semakin besar strata dirasakan peraturan PBI makin menghambat dalam perkembangan BPR, khususnya mengenai PPAP, dan pembukaan kantor cabang dan kas. Hal ini dikarenakan BPR dengan modal inti yang sangat besar pada umumnya memiliki kemampuan dalam segi asset dan modal maupun SDM dalam menjangkau nasabah di luar propinsi. Namun PBI hanya mengijinkan pelayanan pada satu wilayah propinsi BPR tersebut beroperasi.
V. KINERJA dan JANGKAUAN PELAYANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT
5.1 Indikator Kinerja BPR Yaron (1994) mengemukakan bahwa kinerja lembaga keuangan mikro ditentukan oleh dua indikator, yaitu financial sustainability dan outreach. Pernyataan ini, diperkuat oleh Zeller dan Mayer (2002) yang menyatakan bahwa lembaga keuangan mikro dapat dikatakan baik, jika BPR dapat memenuhi financial susitanibilty, outreach, dan impact secara bersamaan. Kedua pernyataan tersebut berindikasi, apabila suatu LKM memiliki stabilitas keuangan yang semakin baik, ia akan mampu lebih banyak menjangkau nasabah UMKM, sehingga LKM tersebut akan memiliki pengaruh terhadap perkembangan ekonomi di wilayah sekitar BPR beroperasi. Kedua indikator kinerja LKM tersebut pada umumnya dicerminkan oleh variabel rasio-rasio keuangan dan jumlah nasabah yang dimilikinya. Berdasarkan penyesuaian antara rasio yang terdapat pada CGAP (2003) dengan Bank Indonesia (BI), terdapat 18 variabel rasio yang menggambarkan financial sustainability dan outreach yang sesuai dengan keadaan di Indonesia. Variabel rasio tersebut antara lain rasio Cost to Client (CTC), Average Outsanding Loan Size (AOLS), Cost per Borrower (CPB), LDR, ROE, ROA, BOPO, Profit Margin (PM), Cash Ratio (CR), Yield Gap (YG), Funding Expenses Ratio (FER), Cost of Fund Ratio (COF), Write off Ratio (WOR), Operating Expenses Ratio (OER), NPL, CAR, Kap. Selain rasio-
rasio tersebut, berdasarkan studi literature yang dilakukan, maka pada penelitian ini menambahkan variabel jumlah rekening kredit sebagai variabel kinerja BPR. Hal ini dikarenakan suatu BPR akan makin besar jangkauan pelayanan kepada nasabah, apabila BPR tersebut memiliki kinerja yang makin baik. Membangun index kinerja menjadi suatu hal yang penting, karena index merangkum keseluruhan variabel indikator kinerja suatu LKM dalam sebuah skor untuk setiap unit observasi (dalam penelitian ini BPR). Sehingga kita dapat membandingkan kinerja antara suatu BPR terhadap BPR lainnya baik dalam hal financial sustainability maupun outreach. Namun dalam membangun index tersebut, terlebih dahulu menentukan satu variabel sebagai brenchmark. Variabel yang dipilih sebagai brenchmark tersebut dapat menggambarkan secara umum keseluruhan rasiorasio yang menggambarkan financial sustainability dan outreach (kinerja) suatu LKM (Carla et al, 2006). Hasil penelitian Luzzy dan Webber, et.al (2005) menunjukkan variabel rasio Operational Self-Sufficiency (OSS) sangat berpengaruh terhadap kinerja suatu LKM. Hal ini dikarenakan OSS dapat mengukur apakah pendapatan LKM dapat memenuhi semua biaya dan pengeluaran. Berarti jika LKM semakin mampu menutupi semua biaya dan pengeluaran, menunjukkan LKM tersebut semakin efisien dan efektif, sehingga BPR memiliki kemampuan yang lebih luas dalam menjangkau nasabah dan berdampak terhadap perekonomian wilayah sekitar maupun nasional. Apabila disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, variabel rasio OSS memiliki kesamaan karakteristik dengan rasio BOPO.
5.2 Variabel Pembentuk Index Kinerja BPR Variabel-variabel financial sustainability dan outreach tidak semuanya berpengaruh signifikan terhadap pembentukkan index kinerja suatu BPR. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemilihan variabel yang dapat menggambarkan kinerja suatu BPR melalui uji korelasi antara semua variabel indikator kinerja BPR dengan variabel brenchmark (BOPO), dan uji nilai loading factor. Hasil yang diperoleh dari uji korelasi, terdapat 13 variabel yang memiliki korelasi yang signifikan dengan variabel BOPO, variabel-variabel tersebut antara lain:
Tabel 5.1 Korelasi Variabel Kinerja dengan BOPO Corelation No Nama Rasio Coefisien 1 Cost to Client -.246(**) 2 LDR .090(**) 3 ROA -.563(**) 4 ROE -.438(**) 5 Profit Margin -.956(**) 6 Yield Gap .087(**) 7 Current Ratio .085(**) Funnding Expenses 8 Ratio .172(**) Operating Expenses 9 Ratio .503(**) 10 Other Expenses Ratio .480(**) 11 NPL .549(**) 12 KAP .503(**) 13 Jumlah rekening kredit -.074(**) Keterangan: **signifikan 2 talied
Nilai koefisien korelasi variabel rasio profit margin yang makin mendekati angka satu, menunjukkan variabel rasio profit margin semakin memiliki korelasi yang signifikan dengan variabel brenchmark (BOPO). Tanda negatif menunjukkan arti yang berlawanan arah dengan BOPO, artinya jika semakin kecil nilai rasio BOPO akan semakin besar nilai yang dimiliki oleh rasio profit margin. Untuk nilai koefisien variabel rasio LDR yang mendekati angka nol, menunjukkan variabel tersebut memiliki korelasi yang kurang signifikan dengan variabel brenchmark (BOPO). Tanda positif menunjukkan arti yang searah dengan BOPO, artinya jika semakin kecil nilai rasio BOPO, maka akan semakin kecil pula nilai yang dimiliki oleh rasio LDR. Begitupun dengan variabel rasio-rasio lainnya, akan mengikuti arti dari kedua rasio yang telah dijelaskan sebelumnya. Variabel–variabel tersebut belum dapat sepenuhnya digunakan sebagai variabel pembentuk index kinerja suatu BPR. Hal ini dikarenakan variabel yang telah diperoleh dari hasil uji korelasi, harus memiliki nilai loading factor yang baik (≥ 0.1) pada komponen yang pertama. Loading factor yang baik pada komponen yang pertama merupakan hal yang penting, karena komponen pertama merupakan yang dapat menggambarkan karakteristik index kinerja BPR dari variabel-variabel tersebut (Carla et al, 2006). Hasil nilai loading factor dari variabel yang memiliki korelasi signifikan dengan BOPO, diperoleh sebagai berikut:
Tabel 5.2 Component Matrix Nilai Loading Faktor 1 pm bopo roa npl oter kap oer roe ctc yg fer ldr cr Jumlah rek kredit
Loading Faktor 2 3
-0.836 0.816 -0.799 0.761 0.757 0.737 0.726 -0.673
0.202 -0.2 0.126 -0.224 0.51 -0.27 0.539 0.13
0.164 -0.192
-0.102
0.825 -0.749 0.46 -0.426
0.376 -0.455 -0.228 0.553 -0.301
0.4
0.333 -0.184 0.412 -0.173
-0.135 -0.143 Extraction Method: Principal Component Analysis.
4
-0.144 -0.148 -0.111
0.101 0.359 0.203 -0.744 0.544
Berdasarkan Tabel 5.2, memperlihatkan terdapat beberapa variabel yang tidak terdapat pada komponen satu yang menggambarkan karakteristik index dari variabel tersebut, yaitu yg, ldr, dan cr. Selain itu, terdapat satu variabel (ctc) yang tidak dapat memenuhi persyaratan nilai loading factor. Variabel-variabel tersebut tidak akan digunakan sebagai variabel pembentuk index kinerja BPR, dan hanya variabel sisanya saja yang digunakan sebagai variabel pembentuk index kinerja BPR. Sebagian besar variabel pembentuk index kinerja BPR dapat menggambarkan karakteristik dari kinerja BPR dengan baik. Hal ini dikarenakan variabel-variabel tersebut, memiliki nilai loading factor rata-rata diatas 0.6.
5.3 Index Kinerja BPR Variabel pembentuk index kinerja BPR tersebut, di proses dengan PCA sehingga di peroleh index tunggal dari setiap BPR observasi. Arti dari nilai index yang diperoleh menunjukkan semakin kecil nilai index suatu BPR menggambarkan semakin baik kinerja yang dimiliki oleh suatu BPR tersebut. Hal ini dikarenakan sebagian besar variabel pembentuk kinerja BPR, dicerminkan oleh rasio yang memiliki karakteristik semakin kecil nilai rasio variabel semakin baik kinerja yang dimiliki oleh BPR tersebut. Setiap index kinerja BPR dapat atau tidaknya menggambarkan variabel indikator kinerja BPR, dapat diketahui berdasarkan nilai uji KMO dan Bartlet test. Dimana KMO dan Bartlet test menggambarkan informasi yang dapat diberikan oleh index mengenai variabel kinerja suatu BPR. Carla et al (2006) menyatakan Barlet nilai test yang signifikan dan nilai uji KMO lebih besar daripada 0.6, index yang diperoleh dari PCA dapat menggambarkan informasi dari variabelvariabel pembentuk kinerja BPR. Hasil yang diperoleh dari KMO dan Barlet pada penelitian ini sebesar 0.654, berarti index yang kita peroleh dari PCA sudah dapat memberikan informasi terhadap variabel-variabel kinerja BPR (Tabel 5.3). Tabel 5.3 KMO and Bartlett's Test Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. Bartlett's Test of Sphericity
Approx. Chi-Square Df Sig.
.654 18114.127 45 .000
Tahapan selanjutnya adalah mengelompokkan BPR-BPR menjadi 3 (tiga) kelompok, pengolompokkan ini berdasarkan percentil dari nilai index yang dimiliki oleh setiap BPR. Secara relatif dapat dikatakan bahwa BPR yang berada dikelompok satu merupakan kelompok BPR yang memiliki kinerja baik sedangkan kelompok tiga terdiri dari BPR dengan kinerja tidak baik (Tabel 5.4).
Tabel 5.4 Karakteristik BPR Berdasarkan Pengelompokkan Kinerja dan Modal Inti Strata
N 107
BPR Kecil
267 409 439
BPR 315 Sedang 177 42 BPR Besar
7 3
Kategori BPR Kinerja Baik BPR Kinerja Sedang BPR Kinerja Buruk BPR Kinerja Baik BPR Kinerja Sedang BPR Kinerja Buruk BPR Kinerja Baik BPR Kinerja Sedang BPR Kinerja Buruk
roa roe bopo pm fer oer oter npl kap Jmlh_Nsbh Mean Mean Mean Mean Mean Mean Mean Mean Mean Mean 0.05
0.42
0.78
0.18
0.08
0.25
0.25
0.04
0.03
666
0.03
0.20
0.87
0.11
0.10
0.32
0.32
0.08
0.05
664
-0.08
-0.21
1.47
-0.48
0.13
0.51
0.52
0.29
0.20
504
0.05
0.56
0.73
0.21
0.09
0.24
0.24
0.04
0.03
1613
0.03
0.25
0.84
0.12
0.10
0.30
0.30
0.09
0.05
1523
-0.02
-0.06
1.19
-0.21
0.13
0.41
0.43
0.21
0.13
1692
0.04
0.90
0.74
0.20
0.09
0.19
0.21
0.05
0.03
11324
0.02
0.12
0.86
0.10
0.08
0.24
0.26
0.18
0.12
12736
0.01
0.03
0.94
0.03
0.21
0.52
0.57
0.17
0.13
11035
5.4 Hubungan antara Jangkauan Pelayanan dan Index Kinerja Berdasarkan hasil olahan yang telah dibahas pada subbab sebelumnya, menunjukkan jangkauan pelayanan dalam hal ini jumlah rekening kredit BPR berpengaruh terhadap kinerja suatu BPR. Hal ini terlihat dari signifikan variabel jumlah rekening kredit terhadap variabel brenchmark yaitu BOPO, dan digunakannya variabel jumlah rekening kredit sebagai variabel pembentuk index. Akan tetapi, variabel jumlah rekening kredit tidak memiliki pengaruh yang kuat terhadap index kinerja BPR. Tercermin dengan kecilnya nilai loding factor yang dimiliki jumlah rekening kredit pada Tabel 5.2, sehingga jangkauan pelayanan BPR yang besar ditentukan oleh kemampuan BPR tersebut dalam menjaga sustainability. Tabel 5.4 menjelaskan secara umum bahwa indikator variabel financial sustainability yang baik akan membuat suatu BPR kinerjanya makin baik, yang dapat membuat BPR tersebut memiliki kemampuan yang cukup besar dalam menjangkau masyarakat dalam produknya. BPR tersebut akan memperlihatkan karakteristik yang berbeda, apabila di potret berdasarkan kelompok modal inti dan kelompok kinerja BPR. BPR sedang dan besar memiliki karakteristik jangkauan pelayanan yang menarik untuk diperhatikan, dimana BPR sedang dengan kinerja buruk memiliki proporsi jangkauan pelayanan luas, begitu pula dengan BPR besar dengan kinerja menengah. Apabila diperhatikan kembali kepada rasio-rasio pembentuk indek, jangkauan pelayanan yang luas tersebut dapat diindikasikan sebagian besar nasabahnya merupakan nasabah yang bermasalah. Hal ini terlihat dengan besarnya nilai BOPO dan NPL yang dimiliki oleh BPR tersebut, dengan
kata lain BPR tersebut dalam memperluas jangkauan pelayanannya tidak memperhatikan aspek-aspek sustainability yang dapat membuat BPR tersebut kedepannya mengalami vailid. Temuan lainnya yang menarik untuk diperhatikan, adalah nilai rasio BOPO bukan penentu paling utama dari index kinerja BPR. Hal ini terlihat dari adanya BPR yang memiliki rasio BOPO yang rendah, dan modal inti yang sedang dan besar, tapi tergolong pada BPR dengan kinerja menengah dan buruk. Faktor yang menyebabkan hal tersebut dikarenakan rasio lain pembentuk index kinerja memiliki nilai yang buruk. Artinya setiap variabel rasio memiliki pengaruh terhadap penentuan kinerja BPR, walaupun yang digunakan brenchmark dalam pembentukkan index kinerja tersebut adalah BOPO. Besarnya pengaruh suatu variabel rasio dan jumlah nasabah terhadap index kinerja ditentukan oleh besar nilai loading faktor yang dimiliki oleh variabel rasio tersebut. Selain hal tersebut, Tabel 5.4 memperlihatkan pula BPR kecil yang ada saat ini terkonsentrasi pada kinerja yang buruk. Hal ini dicirikan dengan tingginya nilai BOPO dan NPL yang dimiliki oleh BPR tersebut. Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah berbagai aturan yang disamakan dengan BPR besar. Oleh karena itu, diperlukan perbedaan kebijakan antar kelompok BPR, agar BPR kecil dapat berkembang menjadi BPR yang lebih besar. Serta diperlukan adanya bimbingan dan pengawasan dari Bank Indonesia, agar BPR dapat mencapai rasio BOPO antara 0.7-0.8, sehingga memiliki kinerja yang baik.
VI. KESIMPULAN dan SARAN
6.1 Kesimpulan 1. Kondisi BPR yang terus berkembang, maka terjadi fenomena karakteristik jangkauan pelayanan (outreach) BPR yang sangat beragam di Indonesia. Hal ini lebih tercermin apabila dilakukan pengelompokkan berdasarkan modal inti. 2. Hambatan dan upaya meningkatkan pelayanan jangkauan pelayanan selain dipengaruhi oleh faktor internal juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, terutama persaingan dari sesama BPR dan bank umum. 3. Jangkauan pelayanan berpengaruh terhadap index kinerja, tetapi pengaruh tersebut tidak terlalu signifikan. Hal ini dikarenakan kecilnya nilai loading factor yang dimiliki oleh jangkauan pelayanan. 4. Jangkauan pelayanan sangat dipengaruhi oleh variaabel-variabel rasio financial sustainability. Hal ini terlihat pada Table 5.4, umumnya dengan semakin baiknya indikator financial sustainability akan semakin meningkatkan jangkauan pelayanan.
6.2 Saran 1. Bank Indonesia perlu melakukan kebijakan yang mendorong peningkatan jangkauan pelayanan terhadap sektor UMKM dengan tetap menjaga kesehatan industry perbankan BPR, melalui pembedaan kebijakan bagi setiap kelompok BPR. 2. BPR
dalam
meningkatkan
jangkauan
pelayanannya
harus
tetap
memperhatikan sustainable yang dimilikinya, agar BPR tersebut dapat terus menjalankan usahanya di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Bank
Indonesia. 2006. http:/www.bi.go.id. [ 28 Maret 2008].
“Cetak
Biru
Bank
Perkreditan
Rakyat”.
Bank Indonesia. 2006. Statistik Perbankan Indonesia Bank Indonesia. 2007. Statistik Perbankan Indonesia. Bank Indonesia. 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Carla, et al. 2005. Assesing The Relative Poverty of Microfinance Client : A CGAP Operational Tool. International Food Policy Research Institute Washington DC, USA. CGAP. 2003. Definition of Selected Financial Term, Ratios, and Adjustments for Microfinance. The World Bank Group, USA. Cohen, 2002. Making Microfinance More Client-Led. Journal of International Development. Vol 14. No. 335-350 Departemen Koperasi. 2008. Statistik Usaha Mikro Kicel Menengah Indonesia. Gaul, S. 2008. Mix Asia 100 Ranking of Microfinance institution. Microfinance Information Exchange. Asian Development Bank. Mandaluyong City, Phil Grace, D and Stephen. 2007. Middle is not a four-Letter World. MicroBanking Bulletin, Issue 14, Spring. Gujarati, D.N. 1995. Basic Econometrics. Third edition. McGraw-Hill International Edition, Economic Series. Hulme, D. 2000. Impact Assessment Methodhologies for Microfinance. Journal World Development. Vol 28, No. 1, pp 79-98. Intercafe. 2008. Pemetaan Profil BPR dalam Rangka Penyusunan Stratifikasi Industri BPR. Bogor. Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian (Ekonomi dan Bisnis). Lembaga Penerbit Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jollife, I. T. 2002. Principal Component Analysis. Second edition. Springer, New York. Luzzy, F. and S. Webber. 2006. Measuring the Performance of Microfinance Intitution. University Geneva
Scheiner, 1999. Aspect of Outreach A Framework for Disscusion of The Sosial Benefits of Microfinance. Washington University, USA. Segrado, C. 2007. The Involvement of Commercial Bank in Miicrofinance; The Egyptian Experience. Trino University. Carolina, USA Svesson, E. 2007. Microfinance, Financial System and Economic Growth. Lund University. Carolina, USA Yaron, J. 1994. What Makes Rural Finance Institutions Succesful?. The World Bank Research Observer, Vol 9, No.1. Zeller, M. and R. Meyer. 2002. The Triangle of Microfinance. The Johns Hopkins University Press Baltimore and London.