BAB IV
ANALISIS HUBUNGAN AKTIVITAS MENONTON TELEVISI DENGAN PERILAKU KEAGAMAAN MASYARAKAT DI KECAMATAN KARIMUNAWA KABUPATEN JEPARA
4.1. AKTIVITAS
MENONTON
TELEVISI
MASYARAKAT
KARIMUNJAWA Televisi sebagai media pada dasarnya memang bebas nilai tetapi ketika dihubungkan dengan pengaruh yang ditimbulkan dari media, maka bisa terlihat korelasi yang jelas antara media yang dipakai dengan output yang dihasilkan. Kehadiran televisi sedikit banyak memberikan pengaruh baik itu positif pada perkembangan informasi dan ilmu pengetahuan maupun negatif yang dapat mengancam peran orang tua dalam sebuah keluarga. Dengan televisi masyarakat mendapat psikologi tatanan baru dalam waktu senggang yang langsung hadir di rumah mereka. Akibatnya televisi bagai anak pertama dalam keluarga (serba menjadi pusat perhatian). Media televisi atau yang biasa disebut “kotak ajaib” merupakan media elektronik yang paling banyak dimiliki, diminati dan diperhatikan oleh masyarakat Karimunjawa. Ini terlihat dengan jumlah kepemilikan televisi pada masyarakat Karimunjawa dibanding alat elektronik yang lain. Televisi sudah menjadi kebutuhan bahkan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Alasan mereka memilih media ini adalah sifatnya yang audio-visual (suara
53
dan gambar). Selain itu barang ini bukan merupakan barang yang mewah lagi bagi masyarakat Karimunjawa.1 Disamping itu, dari media televisi sendiri sebenarnya sudah mengandung faktor-faktor yang sangat menarik perhatian masyarakat untuk dihadapkan pada benda yang satu ini. Diantaranya adalah televisi dapat menyampaikan berbagai macam pesan (message) kepada masyarakat luas dalam waktu yang serempak, sekaligus dilengkapi dengan gambar hidup yang bagi pemirsanya akan mempermudah menangkap makna pesan, menyajikan informasi yang menarik dan aktual yang dapat memberikan pandangan dan wawasan yang luas. Satu hal yang tidak dapat ditinggalkan oleh masyarakat Karimunjawa dari televisi adalah unsur hiburannya yang terdiri dari berbagai macam hiburan (musik, film, sinetron, komedi dan sebagainya). Walaupun mayoritas masyarakat Karimunjawa bekerja sebagai nelayan tetapi kehidupan mereka digolongkan dalam keluarga yang kecukupan atau sejahtera. Terbukti, dengan rumah yang permanen, perabotan rumah tangga yang tergolong lengkap (termasuk televisi), dan lorong-lorong jalan yang sudah beraspal. Faktor
ketersediaan
tempat,
jumlah
pesawat
televisi
dan
penempatannya menjadi sebuah persoalan penting bagi masyarakat Karimunjawa. Bagi keluarga dengan rumah yang terbatas jumlah ruangruangannya serta hanya memiliki satu pesawat televisi tentu sangat terbatas
1
Observasi tanggal 15-22 Oktober 2004
54
pula pilihan dalam menentukan lokasi untuk meletakkan dan menonton televisi. Dengan keterbatasan itu, salah satu pilihan adalah dengan menempatkan televisi di sebuah ruang yang menjadi pusat kegiatan atau stand berkumpulnya keluarga, yang biasanya memiliki ukuran lebih luas dari ruang yang lain, misalnya ruang keluarga yang sekaligus mengemban berbagai fungsi --- sebagai area sosial, ruang makan, ruang istirahat dan lainlain. Mereka menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ajang untuk saling mengakrabkan diri dengan sesama anggota keluarga. Mereka yang mempunyai rumah besar / luas, biasanya ada ruangan khusus. Namun, bagi yang mempunyai rumah kecil (ruang yang terbatas), mereka tetap menempatkan televisi di ruang yang dianggap paling strategis, yakni ruang tamu.2 Hal ini sesuai dengan pernyataan bapak Nur Aksan3 bahwa biasanya masyarakat
Karimunjawa
menempatkan
televisi
di
ruang
keluarga.
Sedangkan menurut salah seorang guru di “Kampus Orange” Karimunjawa, Muslimin4 melihat bahwa televisi ditempatkan sesuai dengan keadaan rumah masing-masing keluarga. Seperti ungkapan berikut: “Sesuai dengan keadaan rumah, misalnya rumahnya kecil ya ditaruh diruang yang pantes untuk menempatkan TV, kalau rumahnya
2
Observasi tanggal 15-22 Oktober 2004
3
Wawancara tanggal 19 Oktober 2004
4
Wawancara tanggal 20 Oktober 2004
55
istilahnya sekat-sekat banyak sekali istilahnya agak luas biasanya ada ruang tersendiri ada ruang santai ruang keluarga”. Inayah5, salah seorang aktivis di Dukuh Mrican juga menandaskan mengenai keberadaan televisi di masyarakat Karimunjawa. “Sebagian besar mempunyai semua per rumah.cuma satu dua aza yang ngga punya. Di ruang tamu, ya ada yang di ruang keluarga. Tapi kebanyakan di ruang tamu. Kalau di sini mulau lampu nyala mulai jam enam sampe jam setengah dua belas. Kalau siang ngga nyala. Kalau malam saja. Banyak yang bikin lebih gaya, dari di TV pakaian gini, model gini masyarakat pasti ada perubahan, apalagi anak-anak sekarang, apa yang dilihat akan ditiru, walau anak-anak pulau tapi sudah seperti anak kota.” Kecenderungan masyarakat Karimunjawa menonton televisi erat kaitannya dengan minat, selera dan perhatian pada salah satu acara yang ada pada televisi itu sendiri, karena hanya dengan minat dan perhatianlah akan terjadi proses menyimak / menonton, walaupun sebenarnya terjadi ketidaksamaan pada subyek (individu / penonton) mengenai obyek (acara televisi). Pernyataan Roedi Hofmann bahwa televisi terbagai dalam 5 (lima) fungsi, yakni pengawasan situasi masyarakat dan dunia (sebagai informasi), menghubungkan satu dengan yang lain (sebagai pengawasan), menyalurkan kebudayaan, hiburan, karena berkat hiburan manusia menjai lebih segar untuk kegiatan-kegiatan lain dan pengerahan masyarakat untuk bertindak dalam keadaan darurat. Pernyataan tersebut bisa berfungsi secara maksimal atau tidak televisi bagi masyarakat Karimunjawa.
5
Wawancara tanggal 20 Oktober 2004
56
Ternyata, fenomena yang ada menunjukkan bahwa masyarakat Karimunjawa menjadikan televisi hanya sebagai hiburan saja, meskipun ada beberapa masyarakat yang memfungsikan televisi sebagai sarana informasi dan pendidikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 4.1.1. Faktor kebutuhan Kebutuhan akan pentingnya ilmu pengetahuan dan informasi mendorong mereka untuk menonton televisi. Seperti telah dikatakan oleh bapak Muslimin, bahwa motivasi masyarakat dalam menonton itu bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan. “Bermacem-macem aspek ya untuk pendidikan ada, untuk pengetahuan informasi, untuk keagamaan juga ada. Karena terbukti misalnya yang diikuti biasanya Liputan 6 itu termasuk berita-berita aktual, untuk misalnya yang lain untuk siraman rohani itu juga bisa diikuti karena itu untuk yang di SCTV biasanya ada kultum.” 4.1.2. Faktor ekonomi Kondisi perekonomian masyarakat Karimunjawa sebagaimana yang
dikatakan,
bahwasanya
rata-rata
pendapatan
penduduk
Karimunjawa sudah berada di atas garis kemiskinan (cukup) dan bisa dikatakan sebagai masyarakat sejahtera, walau tidak bisa dipungkiri masih ada sebagian penduduk yang miskin. Dengan banyaknya masyarakat yang memiliki televisi, maka bagi mereka yang tidak memiliki dapat dengan mudah menonton televisi di rumah saudara maupun tetangga terdekatnya.6
6
Observasi tanggal 15-22 Oktober 2004
57
Sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Nur Hamid7, tokoh masyarakat Dukuh Mrican mengenai kepemilikan televisi. “Kadose nggih meh gadah sedoyo mriki TV. Nek kulo niku paling nggih setengah jam nonton TV niku pun marem.” 4.1.3. Faktor situasi dan kondisi Situasi dan kondisi ini sangat berpengaruh sekali terhadap masyarakat Karimunjawa untuk dapat menonton televisi. karena hanya pada saat tertentu saja mereka dapat menikmati siaran televisi di rumah. Hal ini disebabkan kondisi pelistrikan yang menggunakan diesel. Biasanya diesel ini hidup mulai pukul 18.00 – 00.00 atau sesuai dengan kondisi diesel masing-masing dukuh. Diesel yang bertenaga besar biasanya dapat hidup sampai pagi, sekitar puul 03.00 dinihari. Sebagian kecil saja masyarakat yang menggunakan bantuan aki, kebanyakan mereka keluarga menengah ke atas.8 Rata-rata masyarakat Karimunjawa menonton televisi sekitar 5 – 6 jam yang dimulai setelah diesel hidup atau setelah melaksanakan shalat maghrib bahkan setelah mereka pulang dari mengaji atau menjalankan ibadah-ibadah keagamaan yang lain. Seperti
penuturan
bapak
keterbatasan menonton televisi, bahwa:
7
Wawancara tanggal 21 Oktober 2004
8
Observasi tanggal 15-22 Oktober 2004
9
Wawancara tanggal 20 Oktober 2004
Muslihun9
mengenai
alasan
58
“Karena pengaruh listrik, siangnya karena tidak ada listrik. Itu kurang lebih sekitar 5 – 6 jam setiap malam mulai maghrib.” Faktor keterbatasan ini juga ditambahkan oleh bapak Muslimim bahwa: “Dalam sehari untuk wilayah kami kayaknya bisa dihitung mulai jam 6, jam 6 nggak karena anak-anak yang kecil-kecil itu pada ngaji, belajar, mungkin sekitar 2 jam. Karena apa? untuk 2 jam biasanya untuk saluran listrik tenaga diesel kecil itu hidupnya mulai jam setengah enam sampai jam setengah sepuluh.” 4.1.4. Faktor pengetahuan Tingkat pendidikan masyarakat Karimunjawa yang relatif rendah menjadikan tidak maksimalnya fungsi televisi yang ada. Sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Muslihun: “Sebagian besar sebagai hiburan, kadang ya sebagian kecil sebagai sarana pendidikan tapi itu bukan tujuan utama, disamping itu juga sebagai media informasi.” Selain itu Khoirul Anam10 menambahkan mengenai fungsi televisi di Karimunjawa, bahwa televisi hanya sebagai hiburan, untuk unsur pendidikan mereka tidak begitu minat, ini terutama yang digemari ya film-film perang, sinetron. Faktor ini diperkuat oleh pernyataan bapak Nur Hamid: “Nek TV niku paling nggih kangge hiburan. Ten mriki hiburane nopo, mung TV. Kangge nopo tah nek mboten kangge hiburan.”
10
Wawancara tanggal 22 Oktober 2004
59
Dengan demikian, motivasi masyarakat Karimunjawa dalam menonton televisi sebagian besar murni sebagai hiburan, padahal masih ada fungsi-fungsi lain seperti sebagai sarana informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan lain-lain. Dalam menonton televisi, biasanya masyarakat Karimunjawa juga melakukan kegiatan yang lain, baik secara pribadi maupun kelompok. Misalnya, membaca, belajar, mengerjakan PR, tugas kantor,makan, bermain, bekerja, mengobrol / “ngerumpi” bahkan tidur. Hal inilah yang dialami oleh masyarakat Karimunjawa yang melakukan kegiatan lain bersamaan dengan kegiatannya menonton televisi. Meskipun ada juga yang dengan sengaja membagi waktunya untuk berhadapan dengan pesawat televisi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak Abdurrohman11 : “Nek kulo ngeten niki nggih kalih ngomong, bungkusi akar bahar, ager-ager ngeten niki.” Menurut Muslimin ada juga mereka yang menyempatkan untuk benarbenar menonton televisi tidak sekedar menjadi sambilan. “Untuk saya sendiri kalo nonton TV biasanya sambil mengerjakan sesuatu misalnya untuk mengerjakan tugas-tugas dari kantor, trus ada juga yang terfokus khusus melihat untuk film itu biasanya saya terfokus untuk menyempatkan diri sebagai hiburan, rileks, terfokus ke nonton tidak ada sambilan sama sekali.” Bapak Salamak12 juga menambahkan:
11
Wawancara tanggal 19 Oktober 2004
12
Wawancara tanggal 21 Oktober 2004
60
“Biasanya ibu-ibu itu nonton sambil ngerumpi, membicarakan tentang kehidupannya
atau
permasalahan-permasalahan
yang
dihadapi,
khususnya sebagai sarana curhat.” Melihat fenomena tersebut, aktivitas menonton televisi bagi masyarakat Karimunjawa tidak sekedar menjadi suatu kewajiban yang harus memfokuskan mata pada satu sasaran tapi juga bisa multifungsi, bahkan beralih fungsi sesuai dengan keadaan dari para penontonnya. Keadaan seperti inilah yang menjadikan mereka tidak mampu memahami maupun menerima acara / siaran televisi dengan baik, maka diantara mereka tidak terjadi perubahan sikap yang mampu merubah perilaku khususnya perilaku keagamaan.
4.2. PERILAKU KEAGAMAAN MASYARAKAT KARIMUNJAWA Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendirian, karena ada sekian banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, mulai dari kebutuhan beragama, berpakaian, makan, minum dan masih banyak lagi. Berbagai pengalaman pada tiap manusia terhadap sifat-sifat dan nilainilai agama sebagaimana sandaran hidupnya, tidak terbatas pada faktor-faktor psikologis maupun sosiologis. Namun penting untuk menciptakan perilaku sebagai suatu kenyataan dalam pergaulan hidup sesama manusia maupun hubungan dengan Tuhannya yang selanjutnya dapat menghantarkan kepada manusia dalam memahami, menerima serta melaksanakan ajaran agama dengan landasan iman dan tauhid yang mantap.
61
Manusia dalam mencapai kemajuan hidupnya juga dituntut untuk memiliki pegangan hidup yang kuat agar tidak terombang-ambing menghadapi arus modernisasi dan globalisasi seperti sekarang ini. Pegangan yang dimaksud adalah agama, yang mampu memberi petunjuk dan bimbingan untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akherat. Dalam Islam sejak lahir manusia memiliki potensi / fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama yang selalu mentaati norma-norma agama yang berlaku dalam lingkungannya. Hal ini perlu adanya bimbingan dan peran orang tua untuk membentuk tingkah laku sesuai dengan normanorma yang ada. Masyarakat
adalah
sekumpulan
orang
yang
hidup
saling
berdampingan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Perilaku yang diperlihatkan seseorang diatasi oleh macam-macam tata cara agar dapat harmonis dengan lingkungannya dan tidak menimbulkan masalah pada dirinya sendiri maupun lingkungan dimana ia tinggal. Tata cara kehidupan, mengandung arti bahwa tingkah laku seseorang diatur oleh keharusan-keharusan untuk memperlihatkan suatu tingkah laku dan batas-batas yang memberi petunjuk apa yang tidak boleh dan tidak baik dilakukan. Jadi seseorang diharapkan mengetahui, dapat memperlihatkan suatu tingkah laku sesuai dengan keharusan dan batas-batas yang digariskan dalam lingkungan hidupnya.
62
Semakin banyaknya pengalaman yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran agama) akan semakin banyak unsur agama, maka sikap, tingkah laku dan cara menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama. Mayoritas masyarakat Karimunjawa adalah beragama Islam yang terdiri dari berbagai suku, ras dan budaya yakni Jawa, Mandar, Bugis, Button, Madura. Dengan keanekaragaman suku tersebut, tidak menjadikan suatu perpecahan baik dalam kegiatan keagamaan maupun kemasyarakatan. Masyarakat
Karimunjawa
tetap
rukun,
bersatu
padu
tanpa
mempermasalahkan darimana sukunya. Sesuai dengan pernyataan Inayah mengenai sistem keagamaan di Karimunjawa khususnya Dukuh Mrican. “Mayoritas di sini agama Islam, ya ada sih sedikit banyak tapi cuman pendatang yang Kristen. Ada yang lain di sini banyak ada suku Bugis, Mandar, Madura, Jawa ngumpul di sini semua suku-suku. Toleransi dalam agama sangat rukun karena mayoritas suku lain juga Islam. Pengajian-pengajiuan ibu-ibu, remaja, kayak yasinan, tahlilan gitu.” Kemudian Muslimin juga menambahkan dan dikhususkan di lingkungannya yakni di dukuh Nyamplungan, bahwa: “Untuk agama di wilayah kami yaitu di Nyamplungan mayoritas beragama Islam tidak ada yang lain, karena lingkup satu dukuh yakni Nyamplungan.dibawah makan Sunan Nyamplungan. Untuk sepengetahuan kami untuk masalah kerukunan sangatlah baik sekali karena didominasi dengan bukti-bukti yang kuat misalnya masih terikatnya kegotong-royongan, misalnya contoh lagi pendirian rumah itu masih rata-rata istilahnya kalau orang jawa mengatakan sambatan, terus untuk yang segi keagamaan mayoritas tidak ada masalah.” Sebagaimana pernyataan Bapak Nur Aksan mengenai sistem kerukunan di masyarakat dengan bermacam-macam suku :
63
“Mboten beda-bedakaken mriku suku Buton, Bugis, Jawa mboten, nggih sami”. Seperti juga yang diungkapkan oleh bapak Nur Hamid: “Sukunipun ten mriki kathah Maduro, Bugis, Mandar, Jawa, kathah ten mriki. Rukun sedoyo, berbeda suku rukun sedoyo.” Kerukunan masyarakat Karimunjawa sangat kuat. Walaupun terdiri dari berbagai macam suku, kerukunan baik dalam beribadah maupun kemasyarakatan tetap terjalin sangat dinamis tanpa membeda-bedakan asal usul mereka. Ini membuktikan bahwa dari perbedaan suku, ras maupun asalusul tidak menjadikan kerukunan diantara mereka tergoyahkan dan dengan tetap memegang teguh norma-norma keagamaan. Menurut teori keberagamaan yang disampaikan oleh Glock & Stark, ada 5 (lima) macam dimensi keberagamaan. Pertama, dimensi kenyakinan, dimana seseorang berpegang teguh pada pandangan ketuhanan dan mengakui keberadaanNya. Kedua, praktek agama yang terdiri atas praktek ritual keagamaan dan ketaatan. Ketiga, pengalaman yang mengandung pengharapan-pengharapan tertentu. Keempat, pengetahuan agama yang mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan mengenai dasar-dasar kenyakinan suatu agama dan kelima, pengamalan atau konsekuensi yang mengacu pada identifikasi akibat-akibat kenyakinan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang.
64
Di lapangan data menunjukkan bahwa, wujud perilaku keagamaan masyarakat Karimunjawa sangat tinggi. Mereka tetap berpegang teguh pada norma-norma agama, melakukan ibadah dengan tekun, rutin dengan mengharap ridloNya. Mereka yakin bahwa selain kehidupan dunia ada kehidupan akherat yang lebih kekal. Meskipun berbeda suku, mereka menganut aliran agama yang sama yakni Ahlussunah Wal Jama’ah. Jadi ritual-ritual keagamaan yang ada di masyarakat Karimunjawa relatif sama. Shalat merupakan ibadah yang merupakan kunci dari segala ibadah. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh hadits, shalat adalah tiang agama, apabila shalatnya baik, tekun, khusyu, maka ia akan mengokohkan agamanya, sebaliknya, jika shalatnya rusak, maka rusak pula agamanya. Masyarakat Karimunjawa dalam melaksanakan shalat pun demikian, begitu khusyu’ dan mengusahakan untuk melaksanakannya dengan tepat waktu. Selain ibadah sholat, mereka juga melakukan atau mengadakan pengajian, tahlilan, manakiban, IPNU, IPPNU, kajian keagamaan, kerja bakti, dan ronda malam. Sore hari, anak-anak diharuskan mengaji baik di rumah bapak kyai / ustadz maupun di musholla. Sehabis shalat sholat maghrib pun anak-anak mengaji lagi. Tidak ada dominasi kepemimpinan pada masyarakat Karimunjawa. Dari suku manapun, selama mereka memiliki keteladanan maupun pengetahuan yang luas, jadilah ia sebagai seorang pemimpin / imam maupun ulama’ bagi masyarakat Karimunjawa.
65
Bapak Muslimin mengatakan bahwa : “Untuk kegiatan masyarakat sini macam-macam, untuk kegiatan remaja masjid yaitu ada semacam khol untuk Sunan Nyamplungan setiap tahun pada bulan Suro, untuk segi kepemudaan itu ada semacam Dewandaru Funs Club yang mengkaji selain bidang-bidang umum juga bidang keagamaan. Untuk yang masyarakat ya ada pengajian-pengajian umum, yasinan untuk muslimat maupun bapakbapak.” Juga seperti yang disampaikan oleh ibu Sumarni13 : “Wonten pengajian, nggih kempalan nopo, kerja bhakti nggih wonten.” Dengan semakin banyaknya kegiatan keagamaan di masyarakat Karimunjawa ini setidaknya bertujuan untuk memperbaiki sikap mental terhadap kepribadian masyarakat dan juga untuk menambah wawasan mereka berupa ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan agama. Di
samping
itu,
sebagian
besar
masyarakat
Karimunjawa
melaksanakan ibadah keagamaan khususnya shalat di musholla / masjid. Jarang sekali yang melaksanakan di rumah. Hal ini membuktikan bahwa perilaku keagamaan khususnya pelaksanaan shalat masyarakat Karimunjawa sangatlah khusyu’ meskipun berada di daerah kepulauan terpencil, yakni Karimunjawa.
13
Wawancara tanggal 23 Oktober 2004
66
4.3. HUBUNGAN
AKTIVITAS
MENONTON
TELEVISI
DENGAN
PERILAKU KEAGAMAAN MASYARAKAT KARIMUNJAWA. Perilaku masyarakat pada umumnya berhubungan erat dengan kehidupan yang ada di lingkungannya. Masyarakat akan sangat mudah untuk dipengaruhi atau terpengaruh oleh lingkungan yang ada di sekitarnya. Seperti pada pandangan behaviorisme yang mengisyaratkan bahwa perilaku agama erat kaitannya dengan stimulus lingkungan seseorang. Jika keagamaan dapat menimbulkan respon terhadap diri seseorang, maka akan muncul dorongan untuk berperilaku agama. Sebaliknya, jika stimulus tidak ada, maka tertutup kemungkinan bagi orang untuk berperilaku agama. Jadi perilaku agama menurut aliran behaviorisme bersifat kondisional (tergantung kondisi yang diciptakan lingkungan). Data di lapangan menunjukkan bahwa, ketaatan beragama masyarakat Karimunjawa ketika diuji dengan kehadiran televisi ternyata tidak tergoyahkan. Artinya, menarik dan sebagus apapun acara di televisi mereka tetap mengutamakan ibadah (shalatnya). Sebagian besar masyarakat Karimunjawa menjalankan ibadah di masjid / musholla terdekat, jarang sekali yang di rumah. Ini menandakan bahwa masyarakat Karimunjawa menyadari bahwa dengan shalat berjama’ah di masjid / musholla selain akan mendapatkan pahala 27 (dua puluh tujuh) derajat, mereka dapat bersilaturrahmi (berkumpul) dengan masyarakat yang lain.
67
Bagi masyarakat yang melaksanakan shalat di rumah, mereka tetap khusyu’ menjalankannya. Karena bagaimanapun keadaannya, selama waktu ibadah (shalat) tiba, kebanyakan dari mereka memilih mematikan televisi. Dengan waktu menonton televisi yang terbatas ---yang dimulai setelah diesel hidup atau setelah menyelesaikan shalat Isya’--- , perhatian masyarakat Karimunjawa dalam menonton televisi tidak ada. Ketika proses perhatian ini tidak dimiliki atau tidak ada, maka untuk memahami bahkan menerima acara yang telah dikemas oleh stasiun televisi pun relatif rendah bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada pula perubahan sikap maupun perubahan perilaku masyarakat dengan hadirnya televisi Masyarakat Karimunjawa dapat dengan mudah membagi waktu ibadah dengan waktu shalat. Bagi mereka waktu shalat, ibadah, mengaji dan kegiatan keagamaan lainnya adalah hal penting yang tidak dapat ditinggalkan. Mengenai waktu menonton televisi mereka seusaikan dengan keadaan dan kebutuhan masing-masing. Mereka menonton televisi setelah semua kegiatan keagamaan terselesaikan. Konsekuensi inilah yang selalu dipegang dan ditaati oleh masyarakat Karimunjawa, meskipun sekarang ini mereka “berperang” melawan arus modernisasi dan kemajuan elektronik. Mengenai keberadaan televisi ketika dihadapkan dengan waktu ibadah tiba bapak Nur Aksan menyatakan: “Mriki mboten mempengaruhi nopo-nopo. Nonton TV, selesai sholat maghrib nembe mulai nonton. Menawi rinten kan jarang wonten.
68
Mriki menawi sholat wonten masjid, jarang sing ten griyo. Nek waktu sholat nggih sholat, TV nggih dipateni” Bagaimana pendapat Bapak Muslihun mengenai keberadaan televisi di tengah-tengah masyarakat Karimunjawa tersebut dapat disimak dari pernyataannya sebagai berikut: “TV bagi mereka merupakan suatu hiburan tidak terlalu berlebihan, kenapa? Saya lihat waktu ngaji sampai jam berapa pun waktu ngaji mereka tetap tidak pengaruh dengan keadaan TV” Hal ini perkuat dengan pernyataan bapak Muslimin, bahwa : “Biasanya untuk anak-anak itu biasanya yang setara anak-anak murid sekolah dilarang betul menonton televisi, karena anak-anak mulai jam setengah enam sampai jam tujuh bahkan sampai setengah delapan mereka baru pulang mengaji jadi lihatnya TV mulai jam 8 (delapan), untuk jam 9 (sembilan) keatas mulai jarang karena listrik sebentar lagi mati. Dan untuk Keberadaan TV sangkut pautnya dengan agama itu menurut kami tidak ada masalah karena untuk pancaran TV di wilayah kami agaknya kurang bagus. Untuk yang distel umumnya itu yang jernih. Tidak ada istilahnya kata-kata acara ini, itu. Karena sesuai antenanya yang pas.” Bapak
Nur
Hamid
juga
menambahkan
bagaimana
tindakan
masyarakat ketika dihadapkan pada menonton televisi disaat waktu ibadah tiba. Berikut pernyataannya: “Waktunipun ibadah nggih ibadah, nonton TV niku rak sak bare ibadah nek wonten wektu sing selo nek mboten wonten nggih kulo jarang nonton kok. Nek mriki nek masalah TV niku masalah pengaruh niku kadose nggih boten wonten lha wong lare nggih ngaos sedoyo, nek masalah delok TV niku kadose nggih kathah sing delok tapi nggih sedelok ngonten. Nek nonton tv nggih nonton tv wektune ibadah nggih ibadah wonten musholla”
69
Ditambah
oleh
pernyataan
ibu
Sumarni,
bahwa
masyarakat
Karimunjawa menonton televisi mulai jam 8 setelah menunaikan shalat Isya’dan setelah anak-anak pulang dari mengaji di Musholla / Masjid. Dari beberapa pernyataan di atas menunjukkan bahwa, jauh dekatnya tempat ibadah dengan tempat
menonton televisi pada
masyarakat
Karimunjawa rata-rata tidak ada masalah, ibadah tetap nomor satu. Apapun yang ada dihadapan mereka ---meskipun sesuatu yang bagus dan menarik--termasuk televisi, keimanan mereka tidak akan goyah. Mereka tetap melaksanakan ibadah shalat sesuai dengan waktunya. Ini menandakan tingkat ketaatan ibadah masyarakat Karimunjawa sangat tinggi meskipun ada faktor “pengganggu / penghambat” diantara mereka. Hal ini juga didukung dengan kondisi penerangan yang terbatas di Karimunjawa ---menggunakan diesel--- sehingga waktu menonton televisi pun terbatas / sempit dan waktu ibadah lebih banyak. Selain itu, motivasi mereka yang hanya menjadikan televisi sebagai hiburan. Jadi, hal ini mengakibatkan mereka dapat dengan mudah membagi waktu mereka antara ibadah dengan aktivitasnya dalam menonton televisi.