HUBUNGAN MINAT, MOTIF DAN POLA MENONTON SINETRON DI TELEVISI DENGAN PERILAKU HEDONIS REMAJA (Kasus SMA Negeri dan Swasta Kota Bogor)
ANDARU WYAKTI KINATHIK PINASTHIKA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Hubungan Minat, Motif dan Pola Menonton Sinetron di Televisi dengan Perilaku Hedonis Remaja (Kasus SMA Negeri dan Swasta Kota Bogor)” belum pernah diajukan pada perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun untuk tujuan memperoleh gelar akademik tertentu. Saya juga menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Juni 2010
Andaru Wyakti K P I34062343
ABSTRACT ANDARU WYAKTI KINATHIK PINASTHIKA. Relationship of Watching Soap Operas Patterns, Motives and Interests on TV with Hedonic Teenage Behavior. Under direction of AMIRUDDIN SALEH. Television is one of the preferred mass media society. Television show an interesting and colorful pictures. Television produce a sound like a reality. One type of television show is a soap opera. Soap operas aired everyday and have highest rating among others. Based on social learning theory, the audience copying something of what they saw. Today, the soap opera always displays the glamour and violence. Results of previous studies show that tha violence affects to teenage aggressiveness. Therefore, this study examines the relationship between soap operas and teenage behavior. The purpose of this study is to determine the interests, motives and patterns of watching soap operas on television with the hedonic teenage behavior. This research had done by quantitative survey using a descriptive correlational design. Respondents were students from the SMA Negeri 2, SMA Negeri 3, SMA Bina Bangsa Sejahtera and SMA Budi Mulia in Bogor that had selected by proportional stratified random sampling technique. Instrumentation used was a questionnaire. It tested for validity and reliability with validity test Pearson product moment correlation and reliability test split half coefficient. Research conducted after the test questionnaire. Data processed by the frequency distribution table and the mean scores, chi-square analysis and Spearman rank correlation test with SPSS for Windows version 17,0. Teenages had low interest and motives of watch soap operas, and medium patterns of watch soap operas. Teenage hedonic behavior was low. Interests and motives to watch soap operas had a highly significant relationship (p<0,01) with a pattern of watching soap operas, except for personal motives relationship with the intensity of watching had correlated significantly (p<0,05). Watch soap operas pattern was not correlated significantly (p>0,05) with teenage hedonic behavior, except for relations with the intensity of behavior had a real relationship with laziness (p<0,05). Keywords: mass media, television, soap opera, hedonic behavior, teenage
RINGKASAN ANDARU WYAKTI KINATHIK PINASTHIKA. Hubungan Minat, Motif dan Pola Menonton Sinetron di Televisi dengan Perilaku Hedonis Remaja. Di bawah bimbingan AMIRUDDIN SALEH. Televisi adalah salah satu jenis media massa audio visual. Televisi menampilkan gambar dan mengeluarkan suara sehingga banyak orang yang menyukai televisi daripada media massa lainnya. Salah satu jenis tayangan televisi adalah sinetron. Setiap hari, televisi menayangkan sinetron dengan judul sinetron yang berbeda. Beberapa tema sinetron yang sedang disukai yaitu kekerasan, pornografi, kemewahan dan gaya hidup hedonis. Gaya hidup yaitu pola atau cara individu hidup dan menghabiskan waktu sehari-hari. Gaya hidup atau perilaku hedonis yaitu gaya hidup atau perilaku yang selalu ingin bersenangsenang serta sangat menghindari penderitaan. Hal ini cenderung tidak menghiraukan perasaan orang lain atau selfish. Contoh gaya hidup hedonis yaitu boros atau konsumtif, suka berpesta atau menghabiskan waktu untuk selalu bersenang-senang dan malas bekerja keras. Remaja adalah individu yang sedang berproses untuk mendapatkan jati diri. Proses ini bergantung pada lingkungan. Salah satu lingkungan remaja adalah media. Televisi, khususnya sinetron, dapat mempengaruhi gaya hidup remaja agar dapat diterima dan diakui lingkungannya. Sifat tayangan sinetron yaitu berseri, artinya setiap hari selalu ada kelanjutan cerita atau kontinyu. Kekontinyuan ini sama seperti “pupuk” dalam pikiran remaja. Sinetron memborbardir remaja dengan tayangan hedonis sehingga remaja melakukan copying terhadap tayangan tersebut. Hal ini dapat dipengaruhi oleh minat, motif dan pola menonton sinetron oleh remaja. Penelitian dilaksanakan dengan beberapa tujuan. Tujuan penelitian ini antara lain (1) mengetahui minat, motif dan pola menonton sinetron di televisi oleh remaja, (2) mengetahui perilaku hedonis remaja dan (3) menganalisis hubungan minat, motif dan pola menonton sinetron di televisi dengan perilaku hedonis remaja. Penelitian ini dilaksanakan di empat Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Bogor, yaitu SMA Bina Bangsa Sejahtera, SMA Negeri 2, SMA Negeri 3
v
dan SMA Budi Mulia. Pemilahan lokasi ini dilakukan secara sengaja, didasarkan pada akses alat transportasi dan jarak lokasi penelitian dengan mall. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif ini menggunakan desain survei deskriptif korelasional. Populasi dalam penelitian ini meliputi jumlah siswa SMA Bina Bangsa Sejahtera, SMA Negeri 2, SMA Negeri 3 dan SMA Budi Mulia, yaitu 3.014 orang. Jumlah responden yang diambil sebanyak 96 orang. Responden dipilih dengan teknik proportional stratified random sampling, yaitu kelas X dan kelas XI. Data yang dikumpulkan untuk penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan kuesioner dan pertanyaan tambahan yang tidak terstruktur untuk menunjang data namun tidak keluar dari koridor kuesioner. Sebelum digunakan untuk penelitian, kuesioner diuji validitas dan reliabilitasnya. Pengujian kuesioner dilakukan di SMA Kesatuan Bogor. Uji validitas dilakukan dengan uji validitas korelasi product moment Pearson dengan program SPSS for Windows versi 17,0. Berdasarkan 73 pernyataan yang diajukan, terdapat 23 pernyataan mempunyai hasil uji validitas lebih kecil dari rtabel (rα0,05;df 28=0,361
untuk minat, motif dan pola menonton sinetron di televisi dan rα0,05;df25=
0,381 untuk perilaku hedonis remaja). Seluruh pernyataan yang tidak valid tersebut diganti dengan pernyataan yang lebih mudah dimengerti oleh responden. Uji Reliabilitas instrumen dilakukan dengan menggunakan uji koefisien reliabilitas teknik belah dua dengan membagi butir pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi belahan genap dan belahan ganjil. Pengujian ini dilakukan dengan program SPSS for Windows versi 17,0. Nilai reliabilitas yang diperoleh untuk minat menonton program sinetron di televisi adalah 0,841, motif menonton program sinetron di televisi adalah 0,658 dan perilaku gaya hidup hedonis remaja 0,894. Nilai koefisien reliabilitas ini menunjukkan bahwa kuesioner sudah reliabel dan dapat digunakan untuk penelitian. Responden mempunyai minat dan motif menonton sinetron yang tergolong rendah. Pada umumnya, responden menonton sinetron untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan (motif diversiti). Pola menonton sinetron responden tergolong sedang dengan tingkat keseringan tergolong sedang serta durasi dan banyaknya judul sinetron yang ditonton tergolong rendah. Perilaku hedonis
vi
remaja tergolong rendah dengan kecenderungan berperilaku hura-hura dan malas bekerja keras yang lebih tinggi daripada perilaku konsumtif. Minat dan motif menonton sinetron mempunyai hubungan yang sangat nyata dengan pola menonton sinetron, kecuali untuk hubungan motif personal dengan intensitas menonton yang berhubungan nyata. Pola menonton sinetron tidak berhubungan nyata dengan perilaku hedonis remaja, hanya hubungan intensitas dengan perilaku malas bekerja keras yang mempunyai hubungan nyata. Kata kunci: media massa, televisi, sinetron, perilaku hedonis, remaja
HUBUNGAN MINAT, MOTIF DAN POLA MENONTON SINETRON DI TELEVISI DENGAN PERILAKU HEDONIS REMAJA (Kasus SMA Negeri dan Swasta Kota Bogor)
ANDARU WYAKTI KINATHIK PINASTHIKA I34062343
Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama Mahasiswa
: Andaru Wyakti Kinathik Pinasthika
Nomor Induk Mahasiswa : I34062343 Judul
: Hubungan Minat, Motif dan Pola Menonton Sinetron di Televisi dengan Perilaku Hedonis Remaja (Kasus SMA Negeri dan Swasta Kota Bogor)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS NIP. 19611113 198811 1 001 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Pengesahan: __________________
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, skripsi berjudul “Hubungan Minat, Motif dan Pola Menonton Sinetron di Televisi dengan Perilaku Hedonis Remaja (Kasus SMA Negeri dan Swasta Kota Bogor)” dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu
syarat
untuk
mendapatkan
gelar
sarjana
Sains
Komunikasi
dan
Pengembangan Masyarakat. Remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa. Pada masa ini remaja sangat bergantung pada lingkungan. Salah satu lingkungan remaja adalah media. Pesatnya perkembangan media komunikasi didorong oleh kebutuhan manusia akan informasi. Televisi adalah salah satu media komunikasi massa yang disukai banyak orang. Berbagai tayangan disajikan televisi untuk memenuhi kebutuhan penontonnya. Para ahli komunikasi dan peneliti mengatakan bahwa tayangan yang mengandung unsur kekerasan mempengaruhi tindakan kriminal penonton. Hal ini terjadi karena adanya perilaku copying penonton terhadap tayangan televisi. Tayangan sinetron saat ini kerap menayangkan gaya hidup atau perilaku hedonis. Gaya hidup hedonis adalah pola hidup yang selalu ingin bersenang-senang
dan
menghindari
penderitaan.
Perilaku
hedonis
ini
menyebabkan remaja malas bekerja keras dan hanya ingin bersenang-senang. Penelitian ini dilaksanakan dengan tiga tujuan. Tujuan-tujuan tersebut antara lain untuk mengetahui perilaku, motif dan minat menonton sinetron di televisi oleh remaja; mengetahui perilaku hedonis remaja; dan menganalisis hubungan minat, motif dan pola menonton program sinetron di televisi dengan perilaku hedonis para remaja. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam penulisan karya ilmiah ke depannya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi khalayak banyak.
Bogor, Juni 2010 Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan syukur kepada Allah SWT telah memberi rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain: 1. Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah sabar dalam membimbing dan memberi masukan serta membagi ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. 2. Ir. Richard W. E. Lumintang, MSEA sebagai dosen penguji utama yang telah bersedia meluangkan waktu pada sidang skripsi penulis. 3. Dr. Ir. Anna Fatchiya, MSi sebagai dosen penguji dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah bersedia meluangkan waktu pada sidang skripsi penulis. 4. Ir. Said Rusli, MA sebagai pembimbing akademik yang telah memberi dukungan dalam penulisan skripsi. 5. Ratna Megawangi, Ph.D dan Dr. Ir. Dwi Hastuti, MSc sebagai dosen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen atas waktu untuk berdiskusi serta masukannya dalam penulisan skripsi ini. 6. Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si dan Mbak Vera atas waktu untuk berdiskusi dan masukannya dalam penulisan skripsi ini. (@Ibu Ninuk: Saya ingat katakata Ibu di facebook ’jangan bosan belajar sebelum bisa’.. Ehmm yummy..) 7. Ayahku, Bapak Budi, serta kedua adikku, Ema dan Indu yang tak pernah berhenti memberi kasih sayang serta semangat dan dukungan dalam penulisan skripsi ini. (Skripsi ini aku persembahkan untuk Ibu (alm.), Bapak, Ema, Adri (alm.) dan Indu ) 8. Kepala sekolah SMA Kesatuan yang telah mengijinkan penulis melakukan uji kuesioner juga Bapak Edi, Ibu Diana dan Bapak Andi serta siswa-siswi SMA Kesatuan yang telah membantu dalam uji kuesioner.
xi
9. Bapak Sabar sebagai kepala sekolah SMA Bina Bangsa Sejahtera yang telah mengijinkan penulis melakukan penelitian serta Bapak Edi sebagai Wakil Kepala Sekolah yang telah membantu penulis melakukan penelitian. 10. Kepala sekolah SMA Negeri 2 Bogor yang telah mengijinkan penulis melakukan penelitian serta Ibu Eni sebagai Wakil Kepala Sekolah yang telah membantu penulis melakukan penelitian. 11. Kepala sekolah SMA Negeri 3 Bogor yang telah mengijinkan penulis melakukan penelitian serta Ibu Elvita sebagai guru Bimbingan Konseling (BK) yang telah membantu penulis melakukan penelitian. 12. Kepala sekolah SMA Budi Mulia Bogor yang telah mengijinkan penulis melakukan penelitian juga Ibu Cecilia dan Ibu Ester sebagai guru Bimbingan Konseling (BK) serta Bapak Budi sebagai staf Tata Usaha yang telah membantu penulis melakukan penelitian. 13. Tante Endah, Tante Ida, Tante Fatimah, Pakdhe Pur, Om Bambang, Om Tri, Tante Feni, Om Edi, Tante Feni, Om Nur, Om Hendro dan keluarga besarku lainnya yang selalu mendoakan dan memberi semangat, dukungan serta keceriaan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 14. Mbak Icha, Mbak Maria dan Mabk Dini yang telah membantu dalam hal administrasi, juga “Ibu Dokis” dan pegawai perpustakaan LSI yang telah membantu dalam mencari buku, skripsi dan tesis untuk literatur. 15. Asri KPM 43 atas semangat, waktu untuk berdiskusi dan curhat dan Bedhil KPM 43 yang telah membagi ilmunya. (@Asri: Ayolah kita segera lulus, kemudian kerja dan sekolah S2! @Bedhil: Makasih ya Bedhil atas ilmu SPSS-nya. Tenang aja, ilmunya aku turunkan ke yang lain kog..) 16. Kak Rusdi, Vio, Ryan dan Amel, teman-teman satu bimbingan yang telah memberi semangat dan mengingatkan agar segera menyelesaikan penulisan skripsi ini. (@Kak Rusdi dan Vio: Terima kasih ya atas waktu untuk diskusinya.. @Amel: Ayo Mel, semangat ngolah datanya, biar bisa segera nyusul aku dan Ryan. ) 17. Bambel, Irfan, Adha, Dewi, Rey, Molen, Demul, Come, Indri, Nova, Yuli, Aero, Ipung, Vani dan teman-teman KPM 43 lainnya atas semangat dan keceriaannya. (@Bambel: Makasih ya Singarimbun-nya.. )
xii
18. Mbak Aan, Mbak Elqy dan Tike serta teman kostan Wisma Gardenia atas semangat dan keceriaannya. 19. Tsamrul Fuad yang telah memberi semangat dan merekomendasikan KPM sebagai mayor. 20. Harri dan Ardhita juga Fika, Nanda dan Zoe yang telah menjadi teman diskusi dalam penulisan skripsi ini serta memberi semangat dan keceriaan di saat jenuh. 21. Mustakim, Indah dan Mengguk yang selalu memberi dukungan, semangat dan keceriaan. 22. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Bogor, Juni 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 13 November 1987. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Dwi Budi Prasetyo dan Ibu Eko Rahayu Ningsih (alm). Sejak memasuki usia sekolah, penulis tinggal di Cepu, Jawa Tengah. Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA I Cepu (2002-2005). Pada tahun 2005-2006, penulis menjadi mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi di Universitas Pakuan (UNPAK). Kemudian pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama di perguruan tinggi, penulis aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA). Pada tahun 2007-2008, penulis menjadi staf Departemen Sosial dan Lingkungan Hidup BEM FEMA Kabinet Laskar Pelangi. Selama menjadi staf, penulis mengikuti beberapa kepanitiaan. Beberapa kepanitiaan yang diikuti penulis yaitu Bukti Cinta Lingkungan (BCL), Communication and Community Development Expo (Commnex) 2008, Ecology Sport Event (E’Spent), Indonesian Ecology Expo (INDEX) 2008, Masa Perkenalan Fakultas (MPF) Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB, dan lain-lain. Selain itu, penulis juga menjadi ketua program kerja Desa Mitra Fakultas Ekologi Manusia (SAMI SAENA). Pada tahun 2008-2009, penulis menjadi ketua Departemen Sosial dan Lingkungan Hidup BEM FEMA Kabinet HEROIC dan mengikuti kepanitiaan Indonesian Ecology Expo (INDEX) 2009.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xviii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................
1
1.1 Latar Belakang .................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah .........................................................................
5
1.3 Tujuan ..............................................................................................
5
1.4 Kegunaan .........................................................................................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................
7
2.1 Televisi .............................................................................................
7
2.1.1 Pengertian dan Karakteristik Televisi ......................................
7
2.1.2 Peran dan Fungsi Televisi ........................................................
8
2.1.3 Jenis Tayangan Televisi dan Pengaruhnya bagi Penonton ......
11
2.2 Sinetron ........................................................................................... .
13
2.3 Minat, Motif dan Pola Menonton Sinetron di Televisi ................ ....
16
2.4 Perilaku Hedonis ............................................................................. .
19
2.5 Remaja .............................................................................................
21
2.6 Hubungan Minat, Motif dan Pola Menonton Sinetron di Televisi dengan Perilaku Hedonis Remaja ....................................................
24
2.7 Kerangka Pemikiran .........................................................................
25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...............................................
28
3.1 Desain Penelitian ..............................................................................
28
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ...........................................................
28
3.3 Populasi dan Sampel ........................................................................
29
3.4 Data dan Instrumentasi .....................................................................
30
3.5 Definisi Operasional .........................................................................
31
3.6 Pengumpulan Data ............................................................................
33
3.7 Validitas dan Reliabilitas Instrumentasi............................................
34
3.8 Analisis Data ................................................................................... .
35
xv
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................
36
4.1 Gambaran Umum Lokasi .................................................................
36
4.1.1 Gambaran Umum Sekolah Menengah Atas Bina Bangsa Sejahtera.................................................................................. .
36
4.1.2 Gambaran Umum Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Bogor . .
36
4.1.3 Gambaran Umum Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Bogor . .
38
4.1.4 Gambaran Umum Sekolah Menengah Atas Budi Mulia ........
38
4.2 Karakteristik Individu ......................................................................
39
4.2.1 Jenis Kelamin ..........................................................................
40
4.2.2 Tingkat Pendidikan .................................................................
40
4.2.3 Tingkat Prestasi .......................................................................
41
4.2.4 Tingkat Ekonomi .....................................................................
42
4.3 Minat Menonton Sinetron .................................................................
43
4.3.1 Kesukaan terhadap Sinetron ..................................................
43
4.3.2 Ketertarikan terhadap Sinetron ................................................
44
4.4 Motif Menonton Sinetron .......................................................
44
4.4.1 Motif Kognitif …………………………………………………
45
4.4.2 Motif Diversiti ……………………………………….…........
45
4.4.3 Motif Personal ………………………………………………...
45
4.5 Pola Menonton Sinetron ...................................................................
46
4.5.1 Intensitas Menonton Sinetron .................................................
47
4.5.2 Durasi Menonton Sinetron ......................................................
47
4.5.3 Jumlah Sinetron yang Ditonton ..............................................
47
4.6 Perilaku Hedonis Remaja ..................................................................
48
4.6.1 Perilaku Konsumtif ................................................................
49
4.6.2 Perilaku Hura-Hura .................................................................
49
4.6.3 Perilaku Malas Bekerja Keras …...……..……………...…….
50
4.7 Hubungan Karakteristik Individu dengan Minat dan Motif Menonton Sinetron di Televisi ....................................................
50
4.8 Hubungan Minat dan Motif Menonton Sinetron dengan Pola Menonton Sinetron di Televisi ……………………………...…….
52
4.9 Hubungan Pola Menonton Sinetron di Televisi dengan Perilaku Hedonis Remaja …………………………………..............……….
54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………….
57
5.1 Kesimpulan ……………………………………..………...………
57
xvi
5.2 Saran .................................................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
58
LAMPIRAN ............................................................................................
61
.
DAFTAR TABEL Halaman 1. Distribusi populasi dan sampel responden ......................................
29
2.
Distribusi responden menurut karakteristik individu .....................
40
3. Rataan skor minat responden dalam menonton sinetron ……….....
43
4.
Rataan skor motif responden dalam menonton sinetron ................
44
5. Rataan skor pola menonton sinetron responden ..............................
46
6.
48
Rataan skor perilaku hedonis responden ........................................
7. Hubungan karaktersistik individu dengan minat dan motif menonton sinetron..........................................................................
50
8. Hubungan minat dan motif dengan pola menonton sinetron ..........
53
9. Hubungan pola menonton sinetron dengan perilaku hedonis remaja …….. ...................................................................................
55
10. Matriks alokasi waktu penelitian ....................................................
62
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Jadwal rencana penelitian ...............................................................
62
2. Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner ....................................
63
3. Hasil uji crosstab chi-square hubungan jenis kelamin dengan minat, motif dan pola menonton sinetron serta perilaku hedonis remaja untuk keseluruhan SMA..... .................................................
66
4. Hasil uji crosstab chi-square hubungan jenis kelamin dengan minat dan motif menonton sinetron untuk SMA Negeri .................
71
5. Hasil uji crosstab chi-square hubungan jenis kelamin dengan minat dan motif menonton sinetron untuk SMA Swasta ………….
73
6.
Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan tingkat pendidikan, tingkat prestasi dan tingkat ekonomi dengan minat dan motif menonton sinetron untuk keseluruhan SMA ................................. .
75
Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan tingkat pendidikan, tingkat prestasi dan tingkat ekonomi dengan minat dan motif menonton sinetron untuk SMA Negeri ........................................... .
76
8. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan tingkat pendidikan, tingkat prestasi dan tingkat ekonomi dengan minat dan motif menonton sinetron untuk SMA Swasta ........................................... .
77
9. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan minat dan motif menonton sinetron dengan pola menonton sinetron untuk keseluruhan SMA ............................................................................ .
78
10. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan minat dan motif menonton sinetron dengan pola menonton sinetron untuk SMA Negeri ............................................................................................. .
79
11. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan minat dan motif menonton sinetron dengan pola menonton sinetron untuk SMA Swasta .............................................................................................
80
12. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan tingkat pendidikan dengan pola menonton sinetron untuk keseluruhan SMA ..............
81
7.
13. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan pola menonton sinetron dengan perilaku hedonis remaja untuk keseluruhan SMA… 82 14. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan pola menonton sinetron dengan perilaku hedonis remaja untuk SMA Negeri .........
83
15. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan pola menonton sinetron dengan perilaku hedonis remaja untuk SMA Swasta ........
84
16. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku hedonis remaja untuk keseluruhan ………..……..
85
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan media massa dipengaruhi oleh kebutuhan manusia akan informasi atau hiburan. Banyak jenis media massa yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu radio, surat kabar dan televisi. Televisi menampilkan berbagai gambar yang menarik dan suara yang dapat menjelaskan gambar tersebut. Para penikmat televisi tidak harus dapat membaca dan mendengarkan dengan baik, karena media ini menampilkan gambar yang dapat menjelaskan apa yang ingin disampaikan. Kemudahan dalam memenuhi kebutuhan informasi dan hiburan inilah yang membuat masyarakat lebih suka menonton televisi daripada media lain. Ada beberapa program dalam televisi, yaitu berita, kuis, infotainment, reality show dan sinetron. Setiap program tersebut mempunyai tujuan dan sasaran masing-masing. Berita menayangkan berbagai informasi terkini mengenai ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Pada umumnya sasaran berita adalah remaja sampai orang tua. Penonton kuis biasanya diminta untuk menjawab pertanyaan dan bila benar maka penonton mendapatkan hadiah berupa uang atau benda berharga lainnya. Program infotainment menayangkan berita selebritis terkini. Program televisi ini lebih cenderung pada penayangan gosip selebritis dan dapat digunakan untuk mendulang popularitas bagi selebritis terkait. Reality show sama halnya dengan infotainment. Program televisi selanjutnya yaitu sinetron. Sinetron cenderung bertujuan memenuhi kebutuhan akan hiburan. Sinetron adalah salah satu program televisi yang sangat digandrungi penonton. Sinetron mempunyai alur cerita yang panjang dan ditayangkan hampir setiap hari. Kemudahan dalam memenuhi kebutuhan terhadap televisi membuat penonton tetap setia untuk menonton program televisi. Salah satu program televisi yang sangat berpengaruh terhadap karakter atau sikap individu yaitu sinetron (Megawangi, 2004). Menurut para peneliti, terjadi adanya imitasi yang dilakukan anak-anak atau remaja terhadap tayangan televisi (Apollo & Ancok, 2003). Hal ini sesuai dengan Social Learning Theory oleh Albert Bandura. Teori ini secara
2
umum menjelaskan bahwa anak-anak akan dengan mudah meniru perilaku apa yang sering ditonton. Menonton sinetron secara kontinyu secara tidak langsung dapat membentuk pola pikir individu sesuai dengan yang diberikan oleh sinetron tersebut. Persepsi dan sikap terhadap sesuatu yang ditayangkan televisi terbentuk dalam diri penonton dan penonton pun merefleksikannya berupa perilaku. Penonton akan menganggap bahwa yang ada di televisi adalah suatu hal yang benar dan patut dicontoh. Tanpa adanya filterisasi yang kuat dan penanaman moral, agama dan nilai-nilai sosial yang kuat, remaja akan terjerumus di dalamnya. Guntarto (2004) mengatakan bahwa aktivitas menonton televisi berkontribusi pada gagalnya penyambungan antar sel neuron terutama pada anak usia 1-3 tahun. Kagagalan penyambungan ini karena efek televisi seperti, cahaya yang kuat dan berwarna-warni serta perubahan alur yang cepat. Sinetron televisi merupakan sumber penghasilan terbesar bagi industri pertelevisian dengan mengutamakan rating daripada isi ceritanya (Haryatmoko, 2007). Haryatmoko (2007) mengutarakan bahwa terdapat beberapa adegan yang mendongkrak rating sinetron, antara lain: 57% adegan sinetron atau film remaja/dewasa adalah adegan seks, dua persen adalah adegan telanjang, 10% kata cabul dan kata-kata kasar, 18% ciuman, 12% perkosaan, dan satu persen seks menyimpang. Sementara itu, adegan yang sesuai moralitas (seperti menolong teman dan menghormati orang tua) tidak lebih dari 14 persen. Dampak langsung dari tayangan televisi adalah pengimplementasian gaya hidup yang tertuang dalam adegan televisi atau film berupa seks bebas di kalangan remaja, “pamer” aurat tubuh, pornografi/porno aksi, premanisme, tawuran, adu domba dan lain-lain yang dikemas dengan rapih dan dituangkan dalam bentuk sinetron atau film yang ada. Jika tayangan ini dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama dan secara terusmenerus maka akan berdampak pada gaya hidup remaja. Menurut Dunixi (2009), gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia dalam aktivitas, minat, opini dan dimensi diri, yaitu prinsip, status dan aksi. Ada beberapa bentuk gaya hidup, yaitu industri gaya hidup, iklan gaya hidup, public relations dan jurnalisme gaya hidup, gaya hidup mandiri, dan gaya hidup hedonis (Dunixi, 2009). Industri gaya hidup dan iklan gaya hidup menggunakan industri penampilan dan iklan sebagai “kiblat” gaya hidupnya. Public relations dan
3
jurnalisme gaya hidup menggunakan selebriti sebagai model atau contoh gaya hidup untuk konsumen (masyarakat). Gaya hidup mandiri membebaskan individu menentukan pilihan secara bertanggung jawab agar dapat tercipta inovasi yang kreatif. Gaya hidup hedonis merupakan pola hidup mencari kesenangan tanpa bekerja keras. Gaya hidup hedonis adalah pola hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi merupakan tujuan utama dalam hidup (Wikipedia, 2009). Pelaku gaya hidup ini menganggap bahwa bersenang-senang, pesta-pora dan hurahura merupakan tujuan utama hidup, tidak peduli itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Pelaku menganggap hidup ini hanya sekali sehingga merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. Hidup dijalani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Beberapa contoh gaya hidup hedonis
yaitu
tidak
menghargai
waktu,
hidup
mewah,
berfoya-foya,
mengutamakan diri sendiri (selfish), free sex dan hamil di luar nikah (Marjohan, 2009). Menurut Dunixi (2009), clubbing juga termasuk dalam gaya hidup hedonis. Clubbing merupakan istilah dalam pergaulan remaja, yaitu suasana dunia malam yang bernuansa bebas, ekspresif, modern, teknologis, hedonis dan konsumeristik. Sidqi (2009) mengutarakan bahwa fenomena saat ini yang berhubungan dengan remaja terkait gaya hidup hedonis yaitu tempat-tempat hiburan malam seperti diskotik, pub dan cafe. Narkotika dan obat-obatan yang terlarang juga tak luput dari sebuah fenomena remaja saat ini. Remaja banyak yang terlena akan tugas utama yang diembannya. Aksi sebuah media massa yang sudah menjamur di kalangan masyarakat umum turut ikut campur. Tontonan yang bersifat vulgar dan seronok melatarbelakangi hal-hal tersebut. Keluarga adalah lingkungan sosial terkecil dan terdekat dengan individu. Keluarga, terutama orang tua, berperan dalam mendidik anaknya. Bagaimana anak tersebut dididik sangat menentukan perilaku anak saat dewasa nanti. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Megawangi (2004) bahwa keluarga adalah salah satu microsystem yang paling mempengaruhi perilaku anak karena anak ada di dalamnya sejak lahir. Segala perilaku orang tua atau keluarga mempengaruhi kepribadian anak. Microsystem adalah lingkungan paling dekat dan berinteraksi langsung dengan individu secara intensif. Peer group atau pertemanan dan media
4
adalah contoh lain dari microsystem. Megawangi (2004) menyatakan bahwa secara tidak langsung pertemanan mempengaruhi individu dalam mengonsumsi dan memanfaatkan media. Pengakuan terhadap lingkungan sekitar di luar keluarganya mendorong individu untuk mengikuti semua aturan yang seakan-akan telah disepakati agar dapat masuk dalam kelompok tertentu. Di sudut lain, media membentuk pola pikir individu yang sesuai dengan tayangan dalam media. Marjohan (2009) mengatakan bahwa ada beberapa faktor ekstrinsik gaya hidup hedonisme. Keluarga dan kerabat adalah penyebab utama generasi hedonis. Keluarga sebagai lingkungan sosial individu terkecil dan terdekat mempengaruhi sikap dan perilaku individu. Keluarga dan kerabat yang pro terhadap hedonisme, senang mengajari anak untuk menikmati hidup berdasarkan materi dan tidak peduli dengan aspek spiritual. Selain itu, menurut Marjohan (2009), individu dapat menyerap gaya hedonisme dari bacaan atau film yang ditontonnya. Bacaan seperti majalah dan tabloid, serta film yang menjunjung tinggi hedonisme dapat mempengaruhi pola pikir individu sehingga mempunyai gaya hidup hedonis. Namun hal ini juga dipengaruhi oleh karakteristik individu, seperti jenis kelamin, usia, pendidikan dan waktu luang. Remaja Kota Bogor adalah individu yang aktif dan sangat tertarik dengan hal baru. Asrori (2009) menyebut masa remaja sebagai masa terjadinya krisis identitas. Remaja sedang mencari jati dirinya. Pada masa ini, remaja menjadi terlalu percaya diri dan cenderung menentang orang tua. Remaja lebih percaya kepada teman sebayanya dan bersedia melakukan apa saja agar diakui dalam lingkungan pertemanannya. Kuswandono (2003) menyatakan bahwa daya pikat hidup hedonis sangat luar biasa dan mudah mempengaruhi remaja. Remaja cenderung memilih gaya hidup yang serba enak, mewah, malas bekerja keras dan selalu ingin bersenang-senang sehingga menimbulkan sikap apatis. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa media massa mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perilaku penonton. Besarnya kekuatan televisi terutama sinetron berhubungan dengan perilaku penonton dalam kehidupan sehari-hari. Remaja sangat diharapkan dapat meneruskan perjuangan bangsa. Masa peralihan sekaligus masa pencarian jati diri ini berhubungan erat dengan lingkungan terutama keluarga, media dan pertemanan dalam mengambil
5
sikap. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih lanjut mengenai hubungan perilaku, motif dan minat menonton program sinetron di televisi dengan perilaku hedonis remaja.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai hubungan minat, motif dan pola menonton sinetron di televisi dengan perilaku hedonis remaja. Oleh karena itu, perumusan masalah yang dikaji adalah: 1. Seperti apa minat, motif dan pola menonton sinetron di televisi oleh remaja? 2. Seperti apa perilaku hedonis remaja? 3. Seberapa jauh hubungan minat, motif dan pola menonton sinetron di televisi dengan perilaku hedonis remaja?
1.3 Tujuan Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan. Berdasarkan perumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini antara lain: 1. Mengetahui minat, motif dan pola menonton sinetron di televisi oleh remaja. 2. Mengetahui perilaku hedonis remaja. 3. Mengetahui hubungan minat, motif dan pola menonton sinetron di televisi dengan perilaku hedonis remaja.
1.4 Kegunaan Hubungan minat, motif dan pola menonton program sinetron di televisi dengan perilaku hedonis remaja perlu mendapat perhatian khusus oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat berguna: 1. Bagi Akademisi Hasil penelitian berjudul “Hubungan Minat, Motif dan Pola Menonton Sinetron di Televisi dengan Perilaku Hedonis Remaja” dapat digunakan untuk memahami hubungan minat, motif dan pola menonton sinetron dengan perilaku hedonis remaja. Selain itu, diharapkan dapat memberi sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu komunikasi, khususnya komunikasi massa.
6
2. Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam mengontrol perilaku menonton televisi bagi remaja sebagai generasi penerus bangsa. 3. Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan untuk membuat aturan atau kebijakan mengenai program televisi yang ditayangkan di stasiun televisi, khususnya sinetron, agar televisi dapat menjalankan fungsinya dengan benar.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Televisi 2.1.1 Pengertian dan Karakteristik Televisi Terdapat berbagai macam media massa, seperti radio, surat kabar, televisi, film. Televisi adalah media massa yang paling diminati (Kotler & Keller, 2006). Televisi adalah media yang paling kuat daya tariknya. Televisi menyajikan berbagai program acara yang dapat dilihat, didengar, cepat dan hidup seperti melihat peristiwa tersebut secara langsung. Acara tersebut juga dapat disaksikan di rumah sambil santai dan nyaman. Televisi berasal dari kata “tele” dan “visi.” Wahyudi dalam Suharto (2006) mengatakan bahwa “tele” berasal dari bahasa Yunani, yang artinya jauh. Sedangkan “visi” berasal dari bahasa latin, yang berarti penglihatan. Televisi adalah media massa yang mengeluarkan suara dan gambar serta dilihat pada jarak jauh. Dilihat dari stimulasi alat indera, Ardianti dan Erdinaya dalam Suharto (2006) mengutarakan karakteristik televisi, antara lain: 1. Audio visual. Televisi adalah media massa audio visual. Penonton dapat mendengar sekaligus melihat gambar yang ditayangkan televisi secara bersamaan. 2. Berpikir dengan gambar. Pengarah acara harus dapat berpikir dalam gambar agar acara yang ditayangkan dalam televisi menarik. Proses berpikir dalam gambar ini meliputi dua tahap. Tahap pertama yaitu visualisasi, yaitu menerjemahkan kata-kata menjadi gambar. Tahap kedua yaitu penggambaran, yaitu merangkai gambar-gambar agar dapat membentuk makna tertentu. 3. Pengoperasian lebih kompleks. Pengoperasian televisi melibatkan orang banyak dari berbagai divisi yang saling berkaitan. Haryatmoko (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga karakteristik televisi. Pertama, pesan media ini dapat sampai kepada pemirsanya tanpa memerlukan bimbingan atau petunjuk. Kedua, pesan itu sampai tanpa memerlukan pemikiran.
8
Ketiga, televisi tidak memberikan pemisahan bagi para pemirsanya, artinya siapa saja dapat menyaksikan siaran televisi. Ketiga karakteristik televisi ini dapat berakibat baik bila pesan yang disampaikan adalah pesan-pesan yang baik dan bermoral. Sebaliknya, dapat menjadi bahaya besar ketika televisi menyiarkan program-program yang amoral, seperti kekerasan dan kriminalitas. Sayangnya, justru dewasa ini film-film yang disiarkan televisi umumnya sarat dengan kemewahan, kekerasan dan kriminalitas. Demi menarik pemirsa sebanyak mungkin, para pemilik media berlomba-lomba menayangkan kekerasan dan amoralitas yang lebih banyak di layar televisi.
2.1.2 Peran dan Fungsi Televisi Menurut Jahja dan Irvan (2006), ada lima jenis media massa yang disebut dengan The Big Five of Mass Media, yaitu televisi, film, radio, majalah dan koran. Semua media masa ini saling melengkapi dalam fungsi sosial dan fungsi individu. Fungsi sosial bersifat sosiologis, sedangkan fungsi individu bersifat psikologis. Fungsi sosial media massa yaitu pengawasan lingkungan, korelasi antar bagian dalam masyarakat, sosialisasi atau pewarisan dan hiburan. Fungsi individu yaitu pengawasan atau pencarian informasi, mengembangkan konsep diri, fasilitasi hubungan sosial, substitusi dalam hubungan sosial, membantu melegakan emosi, sarana pelarian dari ketegangan dan keterasingan, dan bagian dari kehidupan rutin. Hofmann (1999) menyatakan bahwa fungsi televisi bukan lagi sebagai sarana pendidikan dan tidak seharusnya sebagai sarana promosi perdagangan. Peranan televisi digambarkannya dengan lima fungsi televisi antara lain : 1. Pengawasan situasi masyarakat dan dunia. Televisi berfungsi untuk mengamati kejadian di dalam masyarakat dan kemudian melaporkannya sesuai dengan kenyataan yang ada. 2. Menghubungkan satu dengan yang lain. Televisi dapat menghubungkan satu peristiwa dangan peristiwa lain dan menampilkannya sehingga khalayak dapat mengambil kesimpulan sendiri tanpa didekte. 3. Menyalurkan kebudayaan. Peran televisi tidak hanya untuk memperkenalkan kebudayaan, tapi juga mengembangkan kebudayaan.
9
4. Hiburan. Hiburan merupakan rekreasi. Khalayak dapat segar kembali dan siap memulai aktivitasnya setelah menonton televisi. 5. Pengerahan masyarakat untuk bertindak dalam keadaan darurat. Televisi dapat membantu pemerintah untuk melancarkan gerakan rakyat, seperti program KB, flu burung dan lain-lain. Hofmann (1999) juga mengutarakan teori-teori lain yang menekankan salah satu aspek yang dianggap penting dalam televisi, antara lain: 1. Teori pengatur agenda. Teori ini mengutamakan isi siaran atau tema yang ditayangkan. Televisi menampilkan tema-tema yang bervariasi untuk dibicarakan khalayak kemudian khalayak bebas untuk menentukan opininya sendiri. Namun terkadang televisi tidak menampilan tema tertentu sehingga sering luput dari perhatian khalayak. 2. Teori pengatur jadwal harian. Teori ini menekankan bahwa menonton televisi sebagai jadwal harian. Hal ini dipengaruhi oleh suasana yang diciptakan televisi, misalnya kemewahan. Menurut teori ini televisi dipandang sebagai penyebab mengapa khalayak mengatur jadwal hariannya. Kegiatan harian orang yang setiap hari menghabiskan waktu dengan menonton televisi berbeda dengan kegiatan orang yang tidak pernah menonton televisi. 3. Teori komunikasi antarpribadi yang tidak langsung. Televisi merupakan tayangan atau siaran, bukan komunikasi antarpribadi. Namun, siaran dalam televisi itu terbentuk dari komunikasi antarpribadi atau pekerjaan tim. Menurut teori ini, televisi yang baik adalah televisi yang mengandung banyak unsur komunikasi antarpribadi. 4. Teori kegunaan dan keuntungan. Televisi mempunyai kegunaan dan menguntungkan khalayak. Kebutuhan khalayak terpenuhi dangan menonton televisi, atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan teori ini, terdapat dua kegunaan televisi, yaitu “ritual” dan “instrumental.” Kebiasaan khalayak menonton televisi membentuk struktur sehingga mirip dengan ritual keagamaan yang dibentuk khalayak sendiri. Atas dasar itu, muncul istilah prime time, yaitu waktu utama yang digunakan khalayak untuk menonton televisi. Kedua, yaitu “instrumental.” Khalayak mempunyai
10
tujuan tersendiri dalam menonton televisi, misalnya untuk menikmati acara tertentu, santai, dan menghibur diri. Jika dihubungkan, kegiatan instrumental lama-kelamaan menjadi “ritual.” Menurut teori ini, para pemirsa yang mengatur sendiri jadwal menonton televisi sesuai kebutuhannya. McQuail (2003) menjelaskan bahwa terdapat lebih dari 30 fungsi televisi terhadap anak. Namun kemudian menggolongkannya ke dalam lima golongan besar, yaitu: 1. Menghibur (entertaining or emotional functions). Terdapat tiga fungsi dalam golongan ini, yaitu untuk relaksasi, menghabiskan waktu dan orientasi fantasi. Anak usia 3-15 tahun mengatakan bahwa program yang ditayangkan televisi bagus, lucu dan menarik serta dapat melihat apa yang tidak terjadi di kehidupan nyata. 2. Informasi (informative or cognitive functions). Anak golongan usia 3-6 tahun dan 7-15 tahun mengatakan bahwa dengan televisi dapat melihat sesuatu yang terjadi dalam dunia nyata, belajar, menemukan yang terjadi di belahan dunia lain dan mendapatkan ide serta gagasan baru. Mereka menonton karena ingin mengetahui bagaimana melakukan sesuatu, televisi menampilkan yang baik dan buruk, dan ingin mencoba segala sesuatu. 3. Fungsi sosial (social functions). Alasan anak usia 3-6 tahun dan 7-15 tahun menonton televisi yaitu seperti berada di dalam televisi dan mengalami kejadian tersebut, mendapatkan teman dan dapat berdiskusi mengenai tayangan tersebut. Fungsi ini berkaitan dengan identifikasi hubungan dan sebagai topik pembicaraan. Alasan anak usia lebih dari 15 tahun adalah ingin tahu seperti yang orang lain tahu dan merasakan apa yang ingin dikatakan tentang dunia. Fungsi ini berkaitan dengan status dan komitmen sosial. Selain itu, alasan anak-anak menonton televisi karena dapat bertemu dengan orang lain di waktu yang sama, dapat merasa aman dan merasa melakukan sesuatu seperti yang ada di
tayangan televisis.
Menurutnya, televisi dapat menghubungkannya dengan orang lain, memberi rasa aman, aksi, tidak merasa sendiri dan mempunyai status. 4. Fungsi non-sosial (non-social or escapist functions). Televisi dapat dijadikan sebagai pelarian dan keluar dari lingkungan sekitar.
11
5. Konsumsi (mode of consumption or medium level functions). Televisi mempunyai gambar dan suara serta dapat ditonton atau dikonsumsi di rumah.
2.1.3 Jenis Tayangan Televisi dan Pengaruhnya bagi Penonton Jahja dan Irvan (2006) mengemukakan bahwa terdapat empat kategori tayangan televisi. Keempat kategori tersebut yaitu drama, non-drama, informasi dan iklan. Jenis drama adalah film dan sinetron. Jenis non-drama meliputi acaraacara variety show, reality show, kuis, musik dan bentuk hiburan lain selain drama. Kategori informasi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu Public Service Announcement (PSA), infotainment dan pendidikan masyarakat. Jenis PSA meliputi film dokumenter, berita, siaran olah raga dan tayangan informasi umum. Kategori yang terakhir, iklan, meliputi dua jenis yaitu iklan layanan masyarakat dan iklan komersial. Menurut Pratiwi dalam Suharto (2006), tayangan apapun yang disajikan oleh televisi dianggap penonton sebagai hiburan. Hal ini sesuai dengan the play theory of information. Labib (2002) menyatakan bahwa kekuatan media terutama televisi sering menciptakan imitasi di kalangan masyarakat, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Anak-anak sering melompat-lompat dan bergaya seperti terbang untuk menirukan gerakan Superman atau Batman. Remaja masa kini juga sering menirukan kata-kata gaul yang diperkenalkan oleh televisi dalam kehidupan sehari-harinya. Labib (2002) menggolongkan penonton televisi secara demografi atas dasar seks (laki-laki dan perempuan), usia (dewasa, remaja dan anak-anak), pendidikan, agama, suku dan kebangsaan, serta status sosial ekonomi. Menurutnya, golongan anak-anak adalah usia 0-9 tahun, remaja 10-17 tahun dan dewasa usia 18-65 tahun. Suharto (2006) menyatakan bahwa terdapat tiga bagian acara televisi yang sesuai dengan fungsi dan peranannya, yaitu : 1. Pendidikan. Program acara ini berisi tayangan yang dapat menambah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan penonton. 2. Informasi. Program acara ini berisi tayangan yang dapat memberi informasi seperti, berita, pesan, fakta, opini, kritik dan saran kepada penonton.
12
3. Hiburan. Program acara ini berisi tayangan yang dapat menghibur, berupa film, sinetron, drama, kuis dan lain-lain. Hasil penelitian oleh Budiman dan Abdullah (2000) mengenai aktivitas menonton televisi dalam keluarga, yaitu: 1. Menonton televisi membawa kebersamaan dan keakraban di antara anggota keluarga. Misalnya kegiatan santap bersama sambil menonton televisi untuk mempererat jalinan komunikasi interpersonal di dalam keluarga. 2. Menonton televisi dapat membawa pengaruh yang bersifat destruktif terhadap komunikasi interpersonal di dalam keluarga. 3. Televisi menjadi sarana yang digunakan untuk mengontrol orang lain, yaitu operasi kekuasaan di sekitar aktivitas menonton televisi. 4. Aktivitas menonton televisi dapat mempererat jalinan komunikasi nonverbal, misalnya bersantai, saling bersentuhan atau hubungan fisik antara orang tua dan anak. 5. Menonton televisi menjadi praktik pendisiplinan orang lain. Orang tua umumnya membatasi pilihan program televisi yang boleh ditonton oleh anak. 6. Televisi sebagai background atau noise untuk memecahkan rasa sepi atau menemani kesendirian. Mar’at dalam Effendy (2006) menyatakan bahwa acara televisi umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi dan perasaan para penontonnya. Baik pengaruh negatif maupun positif. Salah satu pengaruh psikologis televisi adalah menghipnotis, sehingga penonton dapat menangis atau tertawa sesuai dengan tayangan televisinya. Menurut Haryatmoko (2007), televisi menggunakan berbagai teknik untuk menarik perhatian penonton. Bahkan hal ini membuat penonton tidak bisa membedakan yang benar, palsu, simulasi, maupun riil. Televisi adalah kotak ajaib yang menghibur dan secara tidak langsung membentuk budaya ringan. Lama kelamaan, televisi menjadi pedoman tingkah laku manusia, yang diperbolehkan, dianggap biasa, keharusan, baik maupun buruk. Hal ini sejalan dengan pendapat Jahja dan Irvan (2006) bahwa televisi merupakan agama kedua. Menurut Guntarto (2004), tayangan televisi mempunyai dampak yang positif bila dikonsumsi dengan bijak. Ia berpendapat bahwa televisi mempunyai enam
13
manfaat. Menurutnya, televisi dapat membantu memahami dunia sekitar, televisi sebagai “jendela dunia.” Selain itu, televisi juga dapat membantu proses belajar baca tulis dan melek visual. Kemudian, ia juga berpendapat bahwa televisi dapat memperluas wawasan atau membuka cakrawala dengan informasinya yang aktual. Manfaat televisi yang keempat yaitu memperkaya pengalaman hidup. Televisi menambah pengetahuan dan meningkatkan kreativitas. Pemilihan program televisi yang tepat dapat pula menunjang pendidikan di sekolah. Terakhir adalah televisi dapat menghubungkan dengan dunia luar.
2.2 Sinetron Sinetron adalah salah satu program tayangan televisi yang dapat memenuhi kebutuhan akan hiburan.
Wirodono (2006) menyatakan bahwa sinetron
merupakan kependekan dari sinema elektronik. Pada prinsipnya, sinetron tidak berbeda dengan sinema celluloid, layar lebar atau bioskop. Perbedaan dari tiap jenis sinema tersebut terletak pada segi teknis dan karakter peralatannya. Menurut Labib (2002), sinetron merupakan wacana atau teks audio visual yang memuat gambaran realitas sosial virtual dari realitas sosial nyata. Labib (2002) membagi jenis sinetron berdasarkan episode dan ceritanya. Menurut episodenya, terdapat empat kategori jenis sinetron, yaitu sinetron seri, sinetron serial, sinetron mini seri dan sinetron lepas. Sinetron seri yaitu sinetron yang memiliki rangkaian cerita atau gambar yang berturut-turut dengan banyak episode. Perbedaan sinetron seri dan sinetron serial yaitu pada hubungan sebab akibat antar episode. Sinetron seri tidak memiliki hubungan sebab akibat setiap episodenya sedangkan pada sinetron serial memiliki hubungan sebab akibat. Kategori sinetron menurut jenis ceritanya yaitu drama dan laga. Sinetron drama dibagi menjadi tiga bagian, yaitu drama keluarga, komedi situasi dan misteri. Sinetron laga dibagi menjadi dua bagian, yaitu laga misteri kolosal dan laga drama. Sinetron drama keluarga adalah sinetron drama yang mengangkat masalah-masalah keluarga dengan pemeran seluruh anggota keluarga. Sinetron drama komedi situasi yaitu sinetron yang menciptakan suasana lucu dan mengajak penonton untuk tertawa. Sinetron drama misteri yaitu sinetron yang mengangkat masalah misteri atau menciptakan situasi yang mencekam. Sinetron laga misteri
14
kolosal yaitu sinetron laga dengan tema misteri dan menggunakan pemeran dalam jumlah yang besar. Sinetron laga drama yaitu sinetron yang banyak menceritakan dan mengisahkan perkelahian sebagai menu utama dengan mengangkat tema drama dan setting masa kini. Menurut Kuswandi dalam Nurfalah (2007), terdapat beberapa alasan mengapa sinetron disukai oleh penontonnya. Alasan tersebut antara lain: 1. Isi pesan dalam sinetron sesuai dengan realita sosial penonton. 2. Isi pesan dalam sinetron mengandung cerminan tradisi luhur dan budaya masyarakat. 3. Isi pesan dalam sinetron lebih banyak mengangkat permasalahan atau persoalan yang terjadi dalam kehidupan. Labib (2002) mengatakan bahwa terdapat enam karakteristik sinetron drama. Sinetron drama mengangkat permasalahan orang ekonomi kelas atas sebagai jalan untuk menawarkan imajinasi tentang kekayaan. Selain itu, sinetron drama juga mengangkat masalah-masalah yang terkait dengan percintaan. Sinetron drama memaksimalkan visualisasi verbal untuk memancing imajinasi pemirsa. Sinetron drama tidak mempedulikan unsur logika cerita yang lemah asalkan mampu “menjual mimpi.” Sinetron drama tidak jarang menawarkan nilai-nilai sosial yang berbeda dengan nilai sosial Indonesia karena mengopi sinetron luar negeri. Sinetron drama membesar-besarkan konflik secara berlebihan sebagai daya tarik sinetron. Tayangan sinetron yang beredar sekarang ini cenderung mengajarkan nilai kekerasan, ketidaksopanan pada orang yang lebih tua, kebiasaan hidup boros atau glamour, yang sebaiknya tidak diikuti masyarakat. Menurut Jahja dan Irvan (2006), stasiun televisi diwajibkan melakukan sensor secara internal sebelum sinetron ditayangkan dan melakukan penyesuaian dengan pangsa pemirsa dan jam tayang yaitu prime time. Namun hal ini tidak diperhatikan ketika berbicara mengenai rating. Pemilihan jenis tayangan sinetron ini dipengaruhi oleh posisi tawar stasiun televisi terhadap production house. Diberhentikannya tayangan tersebut ditentukan dengan rating. Rating merupakan pendapatan keuntungan perusahaan. Rating sinetron ditentukan oleh jumlah penonton yang menonton sinetron tersebut. Jahja dan Irvan (2006) menjelaskan bahwa tidak adanya batasan
15
tayangan tersebut karena pihak televisi tidak mau mengambil resiko bila tidak ada perusahaan yang memasang iklan dan kehilangan penonton. Rating sebagai ukuran popularitas sinetron mempengaruhi banyaknya iklan yang masuk. Iklan yang masuk merupakan pemasukan utama televisi. Sehingga tidak mengherankan bila tayangan televisi, dalam hal ini sinetron, tidak mengandung pesan moral yang baik demi keuntungan yang melimpah. Tayangan sinetron saat ini sering menampilkan kemewahan dan pesta pora. Menurut Albertus (2008), hal ini dapat menghanyutkan penonton dalam modernisasi yang tidak terkontrol. Sinetron menawarkan gaya hidup yang berlebihan (materialistis dan hedonistis). Tayangan ini melupakan derita orang miskin sehingga mendorong penonton mengikuti tayangan tersebut dan selalu berpesta (konsumeristis). Sinetron yang menayangkan gaya hidup seperti ini menyebabkan banyak orang kesepian, kehilangan harga diri dan tuli suara hati. Tidak sedikit pula sinetron yang menayangkan pornografi. Haryatmoko (2007) mendefinisikan pornografi sebagai representasi eksplisit berupa gambar, tulisan, lukisan atau foto dari aktivitas seksual yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan kepada publik. Tayangan pornografi berdampak negatif bagi penontonnya. Haryatmoko (2007) mengatakan bahwa terdapat dampak negatif dari pornografi, yaitu depersonalisasi tubuh dan tidak ada tuntutan kebenaran. Tayangan pornografi menghilangkan kepribadian tubuh. Tubuh seakan-akan merupakan objek umum dan lumrah untuk diperlihatkan kepada khalayak ramai. Gambar sudah menampilkan semuanya, tak perlu menafsirkan dengan kata-kata. Secara tidak langsung, gambar pornografi tidak mengajak penonton untuk berpikir atau
menafsirkan
sesuatu,
tidak
ada
proses
mengolah
informasi,
mengendapkannya kemudian berpikir kritis. Gambar memberikan semua yang ingin diketahui tanpa perenungan (berpikir). Penonton hanya diminta untuk langsung menelan apa yang ada agar nafsunya terangsang. Selanjutnya, aspek yang ditampilkan sinetron adalah kekerasan. Haryatmoko (2007) mengutarakan pendapatnya bahwa program yang berisi kekerasan tidak mempertimbangkan aspek pendidikan, etis dan efek traumatis penonton. Berdasarkan tipe dunia, terdapat tiga jenis kekerasan, yaitu kekerasan dokumen, kekerasan fiksi dan kekerasan simulasi. Kekerasan dokumen merupakan
16
kekerasan pada dunia riil. Kekerasan dokumen merupakan kekerasan yang dapat dipahami dengan mata telanjang yang terjadi di dunia nyata. Kekerasan fiksi merupakan kekerasan pada dunia komik, kartun atau film. Kekerasan ini dapat memberi efek trauma terutama pada anak sebagai konsumen komik dan kartun terbanyak. Kekerasan simulasi adalah kekerasan yang ada di dunia virtual, misalnya pada video game atau permainan on-line. Kekerasan jenis ini memberi efek puas dan senang menghancurkan lawan. Ketiga jenis kekerasan ini termasuk dalam kekerasan simbolik. Terlalu menekankan pada suatu hal yang tidak penting mendorong penonton jauh dari informasi yang penting. Tayangan kekerasan simbolis pada media dapat menghambat pencerdasan publik dan pencerdasan masyarakat. Selain kekerasan simbolik, terdapat juga kekerasan estetik. Menurut Haryatmoko (2007), kekerasan estetik yaitu horor regresif, horor transgresif dan gambar simbol. Horor regresif merujuk pada selera seni terhadap kekerasan. Horor transgresif berusaha menampilkan kekerasan dalam konfigurasi seni yang belum dieksplorasi atau terlarang bahkan tabu. Gambar simbol menampilkan kekerasan dengan cara yang halus sehingga tampak indah. Megawangi (2004) mengungkapkan tiga dampak kekerasan dalam media. Dampak tersebut antara lain adalah meningkatnya perilaku agresif, mengurangi kepekaan terhadap penderitaan korban dan kekerasan, serta meningkatkan rasa takut sehingga ada perasaan bahwa dunia ini berbahaya.
2.3 Minat, Motif dan Pola Menonton Sinetron di Televisi Subiakto dalam Suharto (2006) menyatakan bahwa jumlah stasiun televisi yang ditonton, saat menonton, motif menonton dan minat menonton adalah faktor yang mempengaruhi pola menonton tayangan televisi. Minat (interest) merupakan keinginan seseorang mengenai suatu objek, peristiwa atau topik tertentu dan memperhatikannya secara terus-menerus. Minat remaja terhadap sinetron dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Chaplin (2008) mendefinisikan interest (perhatian, minat, kepentingan) sebagai suatu sikap yang berlangsung terusmenerus yang membentuk pola perhatian seseorang sehingga aktivitas, pekerjaan atau objek itu berharga atau berarti bagi individu.
17
Hurlock dalam Suharto (2006) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi minat remaja terhadap televisi, yaitu: 1. Prestasi akademik. Siswa yang pandai memandang bahwa menonton televisi adalah suatu hal yang percuma. 2. Penerimaan sosial. Semakin remaja tersebut diterima, perhatian terhadap televisi semakin rendah. 3. Kepribadian. Remaja yang introvert lebih banyak menonton televisi daripada remaja yang extrovert. Remaja yang extrovert lebih banyak menghabiskan waktu luangnya bersama teman-temannya. Minat menonton televisi dipengaruhi oleh prestasi akademik, penerimaan sosial dan kepribadian. Menurut Hurlock dalam Apollo dan Ancok (2003), anakanak yang hubungan perkawinan orang tua bahagia akan mempersepsikan rumah sebagai tempat yang membahagiakan dalam hidup. Sebaliknya, hubungan keluarga yang buruk akan membuat suasana keluarga yang tidak menyenangkan. Faktor lain yang mempengaruhi pola menonton adalah motif. Chaplin (2008) mendefinisikan motif (motive) sebagai suatu dorongan (drive) di dalam individu yang membangkitkan, memelihara dan mengarahkan tingkah laku menuju pada tujuan atau sasaran tertentu. Definisi motif menurut Kooniz dalam Polii (2003) adalah suatu keadaan dari dalam yang memberi kekuatan, yang menggiatkan atau yang menggerakkan dan mengerahkan atau menyalurkan perilaku ke arah tujuan tertentu. Menurutnya, konsep motif adalah sama dengan need. Need (kebutuhan, keperluan) menurut Chaplin (2008) adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh individu dan harus terpenuhi. Motif berbeda dengan motivasi. Chaplin (2008) mengartikan motivasi (motivation) sebagai satu peubah penyelang (ikut campur) yang digunakan untuk menimbulkan faktor tertentu di dalam individu, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan dan menyalurkan tingkah laku menuju suatu sasaran. Blumler dalam Polii (2003) membagi motif menjadi tiga kategori, yaitu: 1. Motif kognitif. Motif ini timbul karena kebutuhan akan informasi. 2. Motif diversiti. Motif ini timbul karena adanya kebutuhan untuk lepas dari tekanan atau kebutuhan akan hiburan.
18
3. Motif personal atau identity. Motif ini timbul karena adanya kebutuhan untuk memperkuat sesuatu yang penting dalam kehidupan atau khalayak sendiri. Pola menonton televisi adalah suatu tindakan menonton televisi yang telah rutin dilakukan sehingga membentuk pola tertentu. Sadiman dalam Suharto (2006) mengutarakan bahwa pola menonton televisi meliputi frekuensi dan intensitas menonton televisi. Kemudian hal ini mempengaruhi perilaku sesuai dengan hukum law of repetition. Frekuensi merupakan tingkat keseringan penonton menonton tayangan televisi, khususnya sinetron. Menurut laporan penelitian Smith seperti yang dikutip oleh Tucher dalam Apollo dan Ancok (2003), rata-rata perilaku menonton televisi dalam keluarga adalah 3-4 jam setiap hari. DeFleur
dalam
Daisiwan
(2007)
menyebutkan
lima
faktor
yang
mempengaruhi pola penggunaan televisi, yaitu usia, jenis kelamin, kemampuan mental, status sosial dan penggunaan media masa lain. Pernyataan ini didukung oleh McQuail (2003), yang menyatakan bahwa usia mempengaruhi pemilihan program televisi dan frekuensi menonton televisi. Hal ini berhubungan dengan uses and gratification (kebutuhan akan televisi) penonton. Penelitian Apollo dan Ancok (2003) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal kecenderungan agresivitas antara remaja laki-laki dan remaja perempuan. Remaja laki-laki lebih agresif
daripada remaja perempuan. Kemudian, penelitian
menunjukkan bahwa pendidikan yang tinggi mempengaruhi pola menonton televisi. Orang yang berpendidikan lebih rendah semakin sering menonton televisi. Selain itu, salah satu fungsi menonton televisi adalah menghabiskan waktu. Semakin banyak waktu luang maka semakin sering menonton televisi. Penelitian oleh Singer yang dikutip oleh Tucher dalam Apollo dan Ancok (2003) menyatakan bahwa anak-anak dan remaja lebih banyak menghabiskan waktu menonton televisi daripada bermain. Kemudian Lowery dan DeFleur dalam Daisiwan (2007) menyebutkan tiga hal yang dapat digunakan sebagai alat ukur identifikasi perilaku anak dan remaja menonton sinetron di televisi, yaitu: 1. Pilihan program acara dalam satu hari serta program acara yang paling disukai.
19
2. Total waktu yang digunakan untuk menonton sinetron. 3. Frekuensi menonton sinetron. Hasil survai yang dilakukan oleh Suprihadi yang dikutip Jahja dan Irvan (2006) menyatakan bahwa umumnya orang tua memberlakukan pembatasan terhadap anak untuk menonton televisi pada waktu/jam menonton, bukan pada jenis tayangan yang boleh ditonton. Beberapa alasan orang tua membebaskan anak menonton televisi adalah agar anak betah di rumah, agar anak terhibur, dan orang tua percaya pada sensor pihak televisi. Orang tua yang melakukan pendampingan dalam menonton pun cenderung menonton bersama, bukan memberi penjelasan tentang tayangan yang ditonton. Hal ini sejalan dengan pendapat Soedarsono (1999), bahwa rumah (keluarga) tidak hanya sekedar tempat untuk tinggal bersama-sama satu atap. Soedarsono (1999) menegaskan bahwa rumah (keluarga) selayaknya juga harus menciptakan suasana yang harmonis dan bahagia sehingga penghuninya betah untuk tinggal. Pernyataan ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Apollo dan Ancok (2003) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap keharmonisan keluarga dengan kecenderungan agresivitas remaja. Persepsi terhadap keharmonisan keluarga berkorelasi negatif dengan kecenderungan agresivitas remaja. Hasil penelitian Tucher dalam Apollo dan Ancok (2003) yaitu remaja yang menonton televisi pada tingkat rendah ternyata lebih sehat secara fisik, emosi lebih stabil, imajinatif, santai, aktif secara fisik, dapat mengontrol diri, cerdas, bermoral, berpendidikan, religius dan lebih percaya diri daripada remaja yang sering menonton televisi. Mereka tidak banyak mempunyai masalah psikologis.
2.4 Perilaku Hedonis Menurut Engel et al. dalam Polii (2003), gaya hidup (life style) adalah pola atau cara bagaimana orang hidup dan menghabiskan waktu serta uang. Menurut Sediaoetama dalam Polii (2003), gaya hidup keluarga mencakup berbagai konsep, termasuk konsep penggunaan waktu. Setiap orang mempunyai waktu 24 jam setiap hari. Penggunaan waktu tersebut tergantung oleh masing-masing orang, apakah 24 jam itu akan digunakan seluruhnya secara efisien atau hanya sebagian saja sedangkan sisanya digunakan untuk suatu hal yang tidak berguna.
20
Sanjur dalam Polii (2003) menyatakan bahwa terdapat beberapa peubah yang membentuk gaya hidup. Peubah-peubah tersebut antara lain adalah penyediaan materi, sifat situasi, kerangka ide budaya, sifat-sifat psikologis dan kesehatan. Menurut Nugraheni dalam Dunixi (2009), ada dua faktor yang mempengaruhi gaya hidup individu, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhinya yaitu sikap, pengalaman dan pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif dan persepsi. Selain faktor internal, terdapat faktor eksternal. Faktor eksternalnya yaitu kelompok referensi, keluarga, kelas sosial dan kebudayaan. Hedonisme adalah paham sebuah aliran filsafat Yunani. Hedonisme berasal dari bahasa Yunani yaitu hedone yang berarti kesenangan. Dalam sejarah filsafat Yunani kuno, tokoh yang pertama kali memperkenalkan aliran hedonisme adalah Democritus (400-370 SM). Paham ini memandang bahwa kesenangan adalah tujuan pokok dalam kehidupan, kesenangan fisik dianggap sebagai perangsang perkembangan intelek manusia (Marjohan, 2009). Aristippus (435-366 SM), pengikut Socrates, mengajarkan bahwa kesenangan merupakan satu-satunya yang ingin dicari manusia dan dapat diperoleh dari panca indera. Epicurus (341-270 SM), tokoh masa Hellenisme, mengajarkan bahwa hedonisme (kesenangan) sebagai sumber norma yang meliputi pleasure jasmaniah dan ketenangan jiwa. Menurutnya, hedonisme adalah menghilangkan kerisauan jiwa. Paham ini bertujuan untuk menghindari kesengsaraan dan menikmati kebahagiaan sebanyakbanyaknya dalam kehidupan di dunia. Menurut Kuswandono (2003), pada saat itu hedonisme mempunyai arti positif. Penganut paham ini menjalani berbagai praktek seperti puasa, hemat dan lain-lain untuk mendapat kebahagiaan sejati. Namun pada masa kekaisaran Romawi, paham ini berubah menjadi negatif. Kebahagiaan dipahami sebagai kenikmatan. Kebahagiaan adalah kesenangan jasmani dan rohani, sedangkan kenikmatan adalah kesenangan jasmani saja. Kedangkalan makna ini berkembang sampai saat ini. Hedonisme memandang bahwa kesenangan hidup dan kenikmatan materi adalah tujuan utama (Marjohan, 2009). Rakhmat (2005) mengatakan bahwa hedonisme adalah salah satu paham filsafat etika, memandang manusia sebagai makhluk yang bergerak untuk
21
memenuhi
kepentingan
dirinya,
mencari
kesenangan
dan
menghindari
penderitaan. Menurut Schwartz dalam Yurliani (2007), hedonisme adalah nilai yang mengarahkan individu untuk mencapai kesenangan atau menikmati hidup, seperti royal dan konsumtif. Nilai hedonisme menurut penelitian yang dilakukan oleh Chalida Fachruddin adalah gaya hidup boros dan suka foya-foya (Yuliani, 2007). Jeremy Bentham dalam Zubair (2009) menawarkan konsep hedonistic calculus. Hedonistic calculus adalah cara menghitung rasa senang dan sakit dengan tujuh unsur, yaitu: 1. Intensity, kuat-lemahnya rasa sakit dan senang. 2. Duration, panjang-pendeknya waktu berlakunya rasa sakit dan senang. 3. Certainty, kepastian timbulnya rasa tersebut. 4. Propincuity, dekat atau jauhnya waktu terjadinya perasaan sakit dan senang. 5. Pecundity, kemungkinan rasa sakit dan senang diikuti oleh perasaan yang sama. 6. Purity, tidak bercampurnya dengan perasaan yang berlawanan. 7. Extent, jumlah orang yang terkena perasaan itu. Albertus (2008) menyatakan bahwa konsumerisme, materialisme dan hedonisme adalah tiga hal yang berjalan beriringan. Orang yang menganggap bahwa hidup untuk bersenang-senang (hedonis) akan memenuhi semua kebutuhan yang diinginkannya (materialisme). Kemudian perilaku ini dalam jangka waktu yang lama akan membentuk sikap boros (konsumerisme). Semua ini berakar pada keinginan yang tidak dikendalikan. Contoh perilaku yang selalu ingin bersenangsenang sesuai dengan kehendak hati yaitu menggunakan waktu luang untuk berfoya-foya atau kegiatan tidak bermanfaat lainnya. Bahkan memungkinkan melakukan tindakan kriminal jika pelaku tidak dapat menahan nafsunya.
2.5 Remaja Pada umumnya remaja didefinisikan sebagai masa transisi antara masa anak dan masa dewasa atau masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa yaitu yang berjalan antara umur 12-21 tahun (Kristiono, 2008). Stanley Hall dalam Santrock (2003) mengatakan bahwa usia remaja berada pada rentang usia 12-23 tahun. Sedangkan rentang usia remaja menurut Elizabeth Hurlock dalam Bachtiar
22
(2004) adalah 13-21 tahun. Menurut Monks et al. dalam Asrori (2009), remaja adalah individu yang berusia 12-21 tahun, kemudian membaginya menjadi remaja awal usia 12-15 tahun, remaja tengah usia 15-18 tahun dan remaja akhir usia 1821 tahun. Kwee Soen Liang dalam Bachtiar (2004) memberi rentang usia remaja pada laki-laki yaitu 19-23 tahun dan rentang usia pada perempuan 18-21 tahun. Menurut Ackhir dalam Polii (2003), remaja adalah seseorang yang sedang mengalami perkembangan pesat menuju kedewasaan dan berusia antara 12-19 tahun. Chaplin (2008) mendefinisikan remaja sebagai periode antara pubertas dan kedewasaan, biasanya usia 12-21 tahun untuk perempuan dan 13-22 tahun untuk laki-laki. Ciri-ciri remaja dikemukakan oleh Soekanto dalam Polii (2003), yaitu: 1. Perkembangan fisik yang cepat. 2. Mempunyai keinginan yang kuat untuk melakukan interaksi sosial dengan orang yang lebih dewasa. 3. Mempunyai keinginan yang kuat untuk mendapatkan kepercayaan dari orang yang lebih dewasa walaupun rasa tangung jawabnya masih belum matang. 4. Mulai memikirkan kehidupan secara mandiri, baik sosial dan ekonomi, dengan menginginkan kebebasan dari pengawasan yang ketat. 5. Adanya perkembangan intelektual untuk mendapatkan identitas diri. 6. Menginginkan sistem kaidah dan nilai yang serasi dengan kebutuhan atau keinginan yang tidak selalu sama dengan sistem dan nilai yang dianut. Arifin (2009) mendefinisikan masa remaja sebagai masa yang sulit bagi individu (remaja) dan orang tua. Remaja mengalami perubahan fisik yang luar biasa, baik secara fisik maupun seksualitasnya. Pada masa remaja, remaja mulai menyampaikan kebebasan dan haknya untuk mengemukakan pendapatnya. Pada masa ini juga remaja lebih mudah dipengaruhi teman-temannya dan cenderung menentang dan menantang orang tuanya. Remaja merasa terlalu percaya diri dan emosi yang meningkat membuatnya sukar menerima nasihat orang tua. Remaja mengalami variasi kejiwaan yang dapat berubah setiap saat. Suatu saat remaja terlihat pendiam, mengasingkan diri dengan yang lain, namun pada saat yang lain remaja terlihat senang dan berseri-seri. Menurut Santrock (2003), hal ini adalah biasa dan normal dialami remaja. Selain emosi, perkembangan seksual remaja
23
juga mempengaruhi rasa ingin tahu mengenai seks dan perilaku seksual. Santrock (2003) mengatakan bahwa rasa ingin tahu seksual dan bangkitnya birahi adalah normal dan sehat. Rasa ingin tahu seksual dan birahi ini kemudian menimbulkan bentuk-bentuk perilaku seksual. Zaweya (2009) mendefinisikan masa remaja sebagai masa pencarian identitas. Atau biasa disebut krisis identitas. Pengaruh lingkungan dan teman sebaya mempengaruhi pola perilaku remaja. Remaja lebih banyak berkaca pada sesuatu di luar dirinya sehingga bergantung pada lingkungan dan teman sebaya. Marcia dalam Asrori (2009) menyatakan bahwa terdapat empat status identitas pada remaja, yaitu identity diffusion, identity foreclosure, identity moratorium dan identity achievement. Santrock (2003) menjelaskan bahwa setiap status identitas tersebut didasari oleh krisis (eksplorasi) dan komitmen. Identity diffusion atau difusi identitas adalah istilah untuk remaja yang belum pernah mengalami krisis sehingga tidak mencoba untuk mengeksplorasi atau membuat komitmen. Remaja tidak menunjukkan adanya minat terhadap kedua hal tersebut. Identity foreclosure atau membuka identitas adalah istilah yang digunakan untuk remaja yang telah membuat komitmen namun belum pernah mengalami krisis. Biasa terjadi pada remaja yang diasuh dengan pola pengasuhan otoriter. Identity moratorium adalah istilah yang dipakai untuk remaja yang sedang mengalami krisis namun tidak mempunyai komitmen. Identity achievement atau pencapaian identitas adalah istilah untuk remaja yang telah melewati krisis dan telah membuat komitmen. Menurut Zaweya (2009), remaja hedonis tidak suka diminta untuk bekerja keras. Mereka murung dan tidak bersemangat jika diminta untuk bekerja keras. Bila melihat barang yang bagus namun tidak dapat memilikinya, mereka akan stress dan depresi. Uniknya, remaja hedonis selalu mengetahui kapan dan di mana akan diadakan pesta atau kegiatan bersenang-senang sejenisnya. Bila mempunyai waktu luang, ia cenderung menghabiskan waktunya dengan bersenang-senang namun tidak bermanfaat karena hanya mengikuti nafsunya. Oleh karena itu, remaja hedonis tidak pernah absen dalam bersenang-senang. Hurlock dalam Suharto (2006) menyatakan beberapa pola perilaku sosial pada masa anak-anak sampai dewasa, yaitu: (1) hasrat akan penerimaan sosial, (2) empati, (3) sikap ramah dan (4) meniru. Remaja ingin diterima di lingkungannya.
24
Jika hasrat ini kuat, remaja terdorong menyesuaikan diri sesuai dengan tuntutan sosial lingkungannya. Remaja dapat melakukan copying (meniru) orang yang diterima baik oleh kelompok sosial tertentu. Remaja berinteraksi dengan sekitarnya menggunakan kemampuan empatinya untuk mengerti posisi dan apa yang dirasakan orang lain. Selain itu remaja bersedia melakukan sesuatu bersama orang lain. Masa remaja adalah masa yang labil dan mengkhawatirkan. Di satu sisi, remaja adalah masa belajar menuju dewasa, dan di sisi lain masa remaja adalah masa tidak mendapat kepercayaan penuh karena masih dianggap anak-anak. Meskipun begitu, remaja tetap harus menjalaninya dengan baik. Menurut Kristiono (2008) secara psikologis, remaja diharapkan dapat menerima keadaan fisiknya dan dapat memanfaatkannya secara efektif, dapat memperoleh kebebasan emosional dari orang tua, mampu bergaul lebih matang dengan kedua jenis kelamin, mengetahui dan menerima kemampuan sendiri dan memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma.
2.6 Hubungan Minat, Motif dan Pola Menonton Sinetron di Televisi dengan Perilaku Hedonis Remaja Blumler dalam Purwatiningsih (2004) menyatakan bahwa (1) komunikasi berguna (utility), (2) konsumsi media diarahkan oleh motif (intentionality), (3) perilaku media mencerminkan kepentingan (selectivity) dan (4) khalayak sebenarnya kapala batu (stubborn). Pernyataan tersebut menyatakan bahwa khalayak mengkonsumsi media didasarkan oleh motif tertentu. McQuail (2003) mengutarakan tiga model teori dasar yang dapat menjelaskan belajar dan imitasi (copying) terhadap media, yaitu teori pembelajaran sosial, teori efek utama dan model pembelajaran pengembangan sosial. Model teori yang sering digunakan adalah teori pembelajaran sosial. Menurut model teori ini, pengalaman sangat mempengaruhi pembentukkan perilaku terhadap suatu hal. Hasil studi yang dilakukan oleh Apollo dan Ancok (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara intensitas menonton televisi berisi kekerasan dengan kecenderungan agresivitas remaja. Intensitas menonton televisi berisi kekerasan berkorelasi positif dengan kecenderungan agresivitas remaja. Hubungan pola menonton sinetron dengan
25
perilaku hedonis juga dapat diduga seperti kecenderungan agresivitas seperti di atas. Rakhmat (2005) menekankan bahwa pengaruh televisi terhadap penerimaan pesan oleh penonton tidak sama. Hal ini dibatasi oleh tiga instinct, yaitu: 1. Instinct selective attention, penonton akan menyeleksi sendiri acara yang disukai. 2. Instinct selective perception, penonton membuat persepsi mengenai pesan yang disampaikan sesuai dengan norma, logika dan nilai yang dipahaminya. 3. Instinct selective retention, penonton mengingat hal-hal yang menurutnya perlu diingat dan sesuai dengan daya ingatnya. Peubah yang menghalangi atau ikut campur tangan, berasal dari kemampuan individu untuk melakukan pembedaan di antara perangsang-perangsang. Kesadaran intuitif mengenai kebenaran langsung atau keyakinan yang serta merta mengenai sesuatu.
2.7 Kerangka Pemikiran Televisi adalah media massa yang paling banyak dikonsumsi dan disukai masyarakat. Daya tarik televisi terletak pada tampilan gambar yang dapat bergerak dan suara yang dikeluarkannya. Selain itu, televisi menyajikan berbagai pilihan program yang dapat dipilih penonton hanya dengan mengoperasikan remote control. Kemudahan lainnya yaitu penonton hanya duduk di depan layar kaca untuk mengetahui pesan yang disampaikan program yang dipilihnya. Salah satu program acara televisi adalah sinetron. Sinetron merupakan salah satu program acara yang diminati berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Beberapa tema sinetron antara lain percintaan, persahabatan, keluarga, kekerasan dan pembunuhan. Sinetron menggunakan berbagai teknik untuk menarik perhatian penonton. Sinetron umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi dan perasaan para penontonnya. Bahkan hal ini membuat penonton tidak bisa membedakan yang benar, palsu, simulasi maupun riil. Pembentukan sikap atau perilaku ini dipengaruhi oleh perilaku menonton televisi. Perilaku menonton televisi yang dilakukan secara teratur dan berulang-ulang ini membentuk pola menonton
26
televisi. Pola menonton televisi membentuk perilaku terhadap suatu obyek, peristiwa atau topik tertentu. Selain itu, motif dan minat menonton juga membentuk perilaku terhadap suatu objek, peristiwa atau topik tertentu. Minat menonton sinetron: Ketertarikan Kesukaan Karakteristik individu: 1. Jenis kelamin 2. Tingkat Pendidikan 3. Tingkat Prestasi 4. Tingkat ekonomi
Pola menonton sinetron: Intensitas Durasi Jumlah Judul Sinetron Motif menonton sinetron: Kognitif Diversiti Personal
Perilaku hedonis remaja:
Konsumtif Hura-hura (sering ke tempat hiburan) Malas bekerja keras
Lingkungan sosial: 1. Keluarga 2. Teman sebaya 3. Tetangga rumah 4. Media lain Keterangan:
berhubungan tidak dikaji
Gambar 1 Kerangka pemikiran Gambar 1 menjelaskan bahwa pola menonton sinetron diduga berhubungan dengan perilaku hedonis remaja. Pola menonton sinetron juga diduga berhubungan dengan motif dan minat menonton sinetron. Kemudian motif dan minat menonton sinetron dipengaruhi oleh karakteristik individu. Lingkungan sosial diduga juga berhubungan dengan pola menonton sinetron namun tidak dikaji dalam penelitian ini. Karakteristik individu merupakan karakteristik demografis, yaitu suatu ciri yang ada pada atribut masing-masing diri individu. Minat dan motif menonton sinetron merupakan karakteristik psikografis, yaitu suatu ciri yang mempengaruhi individu terhadap sesuatu secara psikologis.
27
Karakteristik individu diduga berhubungan dengan motif dan minat menonton sinetron di televisi. Karakteristik individu tersebut meliputi jenis kelamin, pendidikan, prestasi dan sosial ekonomi. Motif menonton sinetron terdiri dari tiga indikator, yaitu motif kognitif, motif diversiti dan motif personal. Motif kognitif timbul karena kebutuhan akan informasi. Motif diversiti timbul karena adanya kebutuhan untuk lepas dari tekanan atau kebutuhan akan hiburan. Motif personal atau identity timbul karena adanya kebutuhan untuk memperkuat sesuatu yang penting dalam kehidupan atau khalayak sendiri. Pola menonton sinetron di televisi diduga berkorelasi dengan perilaku hedonis remaja. Pola menonton sinetron tersebut dilihat dari intensitas dan durasi menonton televisi serta pilihan sinetron. Perilaku hedonis remaja dapat diukur dari perilaku konsumtif, sering ke tempat hiburan dan malas bekerja keras. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat disusun hipotesis sebagai berikut: H1= Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan minat menonton sinetron di televisi. H2= Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan motif menonton sinetron di televisi. H3= Terdapat hubungan nyata antara minat menonton sinetron di televisi dengan pola menonton sinetron di televisi. H4= Terdapat hubungan nyata antara motif menonton sinetron di televisi dengan pola menonton sinetron di televisi. H5= Terdapat hubungan nyata antara pola menonton sinetron di televisi dengan perilaku hedonis remaja.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif ini menggunakan desain survei deskriptif korelasional.
Penelitian ini
menggambarkan karakteristik
individu serta
hubungannya dengan motif dan minat menonton tayangan sinetron di televisi. Selain itu, penelitian ini juga menggambarkan hubungan motif dan minat menonton tayangan sinetron di televisi dengan pola menonton tayangan sinetron di televisi serta hubungan pola menonton sinetron di televisi dengan perilaku hedonis remaja.
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama empat bulan yaitu Maret sampai Juni 2010. Pada bulan pertama yaitu Maret 2010, peneliti melakukan prasurvai dan menyusun proposal penelitian yang kemudian diseminarkan pada akhir bulan Maret 2010. Pada April 2010, peneliti melakukan studi lapang di lokasi yang telah ditentukan. Pada bulan ketiga dan keempat, Mei dan Juni 2010, peneliti melakukan penulisan laporan dan ujian skripsi. Penelitian dilaksanakan di empat Sekolah Menengah Atas di kota Bogor, yaitu dua SMA negeri dan dua SMA swasta. Sekolah tersebut yaitu SMA Negeri 2, SMA Negeri 3, SMA Budi Mulia dan SMA Bina Bangsa Sejahtera. Pemilihan lokasi dilakukan dengan cara sengaja (purposive), didasarkan pada akses alat transportasi dan jarak lokasi penelitian dengan pusat perbelanjaan. SMA Negeri 2 Bogor berada di daerah Jalan Baru, Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. SMA Negeri 2 Bogor berada di daerah perumahan dan dekat dengan Yogya Mall. SMA Negeri 3 Bogor berada di Jalan Pakuan, Kelurahan Baranang Siang, Kecamatan Bogor Timur. SMA Negeri 3 Bogor berdekatan dengan Toko Buku Gramedia, Swalayan Giant, Swalayan Ada, Pizza Hut dan lain-lain. SMA Budi Mulia terletak di Jalan Juanda, Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah. SMA Budi Mulia merupakan SMA swasta di bawah Dinas Pendidikan yang berada di dekat Kebun Raya Bogor dan ramai kendaraan
29
umum. SMA Bina Bangsa Sejahtera berada di Jalan Raya Kampus IPB, Kelurahan Margajaya, Kecamatan Bogor Barat.
3.3 Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini meliputi jumlah siswa SMA Bina Bangsa Sejahtera, SMA Negeri 2, SMA Negeri 3 dan SMA Budi Mulia, yaitu 3.014 siswa. Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah siswa kelas X dan kelas XI di keempat SMA tersebut, yaitu sejumlah 1.938 siswa. Tabel 1. Distribusi populasi dan sampel responden SMA Populasi total Populasi Sasaran (kelas) (siswa) (siswa) SMA Bina Bangsa Sejahtera Kelas X 174 174 Kelas XI 161 161 Kelas XII 155 SMA Negeri 2 Bogor Kelas X 281 281 Kelas XI 337 337 Kelas XII 379 SMA Negeri 3 Bogor Kelas X 249 249 Kelas XI 247 247 Kelas XII 324 SMA Budi Mulia Kelas X 240 240 Kelas XI 249 249 Kelas XII 218 Jumlah 3014 1938 Sumber: Disdik Kota Bogor (2010)
Sampel (siswa) 9 8 14 17 12 12 12 12 96
Teknik yang digunakan untuk memilih sampel adalah proportional stratified random sampling. Nazir (2005) mendefinisikan stratified random sampling sebagai teknik pengambilan sampel dengan memisahkan elemen-elemen populasi dalam
kelompok-kelompok
(strata)
kemudian
dipilih
secara
random.
Pengelompokan didasarkan pada kelas pendidikan responden, yaitu kelompok kelas X dan kelas XI. Dari tiga kelas yang ada di masing-masing SMA dipilih kelas X dan kelas XI. Kelas XII tidak dipilih dengan pertimbangan bahwa kelas tersebut menempuh Ujian Nasional. Jumlah sampel yang diambil sebagai responden adalah lima persen dari populasi sasaran, yaitu 96 responden. Distribusi populasi dan sampel penelitian tersaji pada Tabel 1. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja, sehingga dianggap homogen. Menurut Prasetyo dan Jannah (2005), jika populasi sampel homogen dan
30
berjumlah ribuan maka penentuan jumlah sampelnya dapat menggunakan rumus Slovin. Secara lengkap, rumus slovin tersaji sebagai berikut:
Keterangan: N = jumlah populasi n = jumlah sampel e = nilai kritis
Jumlah sampel menggunakan rumus Slovin dengan nilai kritis 10% untuk populasi tersebut adalah sekitar 95 responden. Oleh karena itu penentuan jumlah responden sebanyak lima persen dianggap sudah dapat memenuhi batas minimal responden yang seharusnya diteliti.
3.4 Data dan Instrumentasi Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner yang disebarkan dan diisi oleh responden. Selain itu, data primer yang didapat juga berasal dari jawaban atas pertanyaan tambahan (pertanyaan tidak tersruktur) yang diajukan kepada responden namun masih dalam koridor kuesioner. Data sekunder dalam penelitian ini adalah berupa data mengenai alamat serta jumlah SMA negeri dan swasta beserta siswanya di Kota Bogor yang diperoleh dari kantor Dinas Pendidikan Kota Bogor. Data sekunder lainnya berupa informasi mengenai profil keempat SMA yang menjadi tempat penelitian. Instrumentasi yang digunakan dalam penelitian berupa kuesioner. Kuesioner terdiri dari pertanyaan tertutup, pertanyaan terbuka dan pernyataan. Kuesioner yang disebar dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama berisi pertanyaan tentang karakteristik atau identitas individu. Bagian dua berisi pertanyaan tentang pola menonton program sinetron di televisi. Bagian ketiga berisi pertanyaan atau pernyataan tentang minat menonton program sinetron di televisi. Bagian keempat berisi pertanyaan atau pernyataan tentang motif menonton program sinetron di televisi. Bagian kelima berisi pertanyaan atau pernyataan tentang perilaku gaya hidup hedonis remaja.
31
3.5 Definisi Operasional 1. Karakteristik individu: a.
Jenis kelamin: identitas alami responden yang dikategorikan dalam dua kelompok, laki-laki dan perempuan, dengan skala nominal.
b.
Tingkat pendidikan: jenjang kelas di sekolah formal responden yang dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu kelas X dan kelas XI. Diukur dengan skala ordinal.
c.
Tingkat prestasi: kejuaraan yang diraih oleh responden sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga penelitian dilaksanakan, baik akademik maupun non-akademik. Diukur dengan skala rasio kemudian diubah menjadi skala ordinal dan dibedakan menjadi tiga kategori yaitu, tinggi, sedang dan rendah. Kategori rendah untuk responden yang tidak pernah mendapat prestasi sejak SMP hingga penelitian dilaksanakan, kategori sedang untuk responden yang mendapat satu sampai dua kejuaraan, kemudian responden yang mendapat tiga sampai enam kejuaraan dikategorikan tinggi.
d.
Tingkat
ekonomi:
didapatkan
dengan
menggunakan
pendekatan
pendapatan dan pengeluaran responden selama satu bulan. Pendekatan pengeluaran diukur dengan banyaknya uang yang dihabiskan untuk kepentingan transportasi, makan, jajan, pakaian/aksesoris, hiburan dan pulsa. Selain pengeluaran, tingkat ekonomi juga diukur dengan pendekatan pendapatan yang berasal dari orang tua, bekerja sendiri dan sumber lain seperti pemberian nenek dan saudara. Indikator ini ukur dengan skala rasio dan kemudian diubah menjadi skala ordinal menjadi kategori tinggi, sedang dan rendah. Pengeluaran atau pendapatan dengan selang Rp 400.000,00 - Rp 550.000,00 dikategorikan rendah, Rp 572.000,00 – Rp
750.000,00
dikategorikan
sedang
dan
Rp
758.000,00
–
Rp 4.050.000,00 dikategorikan tinggi. 2. Minat menonton sinetron adalah keinginan dan perhatian penonton dalam menonton sinetron yang diukur dengan kesukaan dan ketertarikan responden terhadap sinetron. Data yang diperoleh diukur dalam skala ordinal. Kategori minat menonton sinetron terdiri dari sangat tinggi, tinggi, rendah dan sangat
32
rendah. Nilai rataan skor 1-1,75 dikategorikan sangat rendah, 1,76-2,50 rendah, 2,51-3,25 tinggi dan 3,26-4 sangat tinggi. 3. Motif menonton sinetron adalah dorongan atas kebutuhan penonton dalam menonton sinetron. Motif ini yaitu (a) motif kognitif, (b) diversiti dan (c) personal. Motif kognitif adalah dorongan atau kebutuhan akan informasi. Motif diversiti adalah dorongan atau kebutuhan akan hiburan. Motif personal adalah dorongan atau kebutuhan untuk
menguatkan
identitas pribadi.
Masing-masing data yang diperoleh diukur dalam skala ordinal dan dikelompokkan dalam empat kategori yaitu tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Nilai rataan skor 1-1,75 dikategorikan sangat rendah, 1,76-2,50 rendah, 2,51-3,25 sedang dan 3,26-4 tinggi. 4. Pola menonton sinetron adalah tindakan penonton dalam menonton sinetron yang dilakukan secara terus-menerus sehingga membentuk pola tertentu. Indikator dari pola menonton sinetron ada tiga, yaitu intensitas, durasi dan jumlah judul sinetron. (a) Intensitas menonton sinetron merupakan tingkat keseringan responden menonton sinetron dalam
satu
minggu. Intensitas
menonton sinetron ditentukan dengan satuan kali menggunakan skala rasio. Kemudian diolah menjadi skala ordinal dan dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu, tinggi, sedang dan rendah. Responden yang menonton sinetron satu sampai dua kali dalam seminggu dikategorikan rendah, tiga kali dikategorikan sedang dan dikategorikan tinggi bila menonton empat sampai tujuh kali dalam seminggu. (b) Durasi menonton sinetron merupakan lamanya responden menonton sinetron setiap satu hari. Durasi menonton sinetron ditentukan dengan satuan jam menggunakan skala rasio. Kemudian data yang diperoleh dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Responden yang menonton selama kurang atau sama dengan satu jam dikategorikan rendah, antara satu jam sampai dua jam dikategorikan sedang dan antara dua sampai sepuluh jam adalah tinggi. (c) Jumlah judul sinetron merupakan banyaknya judul sinetron yang ditonton oleh responden. Banyaknya judul sinetron diukur dengan skala rasio, kemudian diubah menjadi skala ordinal dan dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Responden yang hanya menonton satu judul sinetron dikategorikan rendah, dua judul sinetron dikategorikan sedang dan tiga sampai
33
lima judul dikategorikan tinggi. Nilai rataan skor untuk masing-masing indokator yaitu 1,00-1,67 dikategorikan rendah, 1,68-2,33 sedang dan 2,343,00 tinggi. 5. Perilaku hedonis adalah tindakan yang bersifat keduniawian. Perilaku hedonis remaja diukur dengan tiga indikator, yaitu konsumtif, hura-hura (sering ke tempat hiburan) dan malas bekerja keras. (a) Konsumtif merupakan perilaku ingin memiliki barang-barang yang digunakan orang lain meskipun sebenarnya responden tidak membutuhkannya. (b) Hura-hura (sering ke tempat hiburan) merupakan perilaku yang cenderung ingin selalu bersenangsenang dan bernuansa glamour, misalnya sering pergi ke pusat perbelanjaan, kafe, club atau diskotik dan lain-lain. (c) Malas bekerja keras merupakan perilaku enggan menjalankan kewajiban dan selalu menuntut hak, misalnya bolos sekolah, tidak mengerjakan tugas, menyontek dan lain-lain. Masingmasing data yang diperoleh diukur dalam skala ordinal. Kemudian dikategorikan ke dalam empat kategori, yaitu tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Nilai rataan skor 1-1,74 dikategorikan sangat rendah, 1,76-2,50 rendah, 2,56-3,25 sedang dan 3,26-4 tinggi.
3.6 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan untuk penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan kuesioner dan pertanyaan tambahan yang tidak terstruktur untuk menunjang data namun tidak keluar dari koridor kuesioner. Sebelum digunakan untuk penelitian, kuesioner diuji validitas dan reliabilitasnya. Pengujian kuesioner dilakukan di SMA Kesatuan. Pemilihan lokasi pengujian kuesioner dilakukan secara purposive karena SMA Kesatuan dianggap dapat mewakili seluruh sampel yang diteliti. Sekolah Menengah Atas Kesatuan adalah salah satu SMA swasta favorit di Kota Bogor dan terletak di daerah pusat kota namun agak pinggir. Selain itu, siswa SMA Kesatuan beranekaragam sehingga dianggap dapat mewakili sampel yang diteliti. Menurut Singarimbun dan Effendi (2006) uji kuesioner dapat dilakukan kepada minimal 30 responden. Dalam penelitian ini, uji kuesioner diberikan kepada 30 siswa, masingmasing 15 siswa dari kelas X dan kelas XI SMA Kesatuan. Bila setelah diuji
34
terdapat pertanyaan atau pernyataan yang tidak valid dan tidak reliabel maka pertanyaan atau pernyataan tersebut diganti. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan pendekatan teoritis dan pendekatan lapang. Pendekatan teoritis diperoleh dari buku-buku, hasil penelitian atau pemikiran yang telah diterbitkan seperti jurnal ilmiah, skripsi atau tesis. Pendekatan lapang diperoleh dari buku untuk menentukan metode penelitian dan data dari Kantor Dinas Pendidikan Kota Bogor untuk mengetahui seluruh alamat serta jumlah SMA negeri dan swasta beserta siswanya di Kota Bogor serta informasi mengenai profil keempat SMA yang menjadi tempat penelitian.
3.7 Validitas dan Reliabilitas Instrumentasi Menurut Singarimbun dan Effendi (2006), validitas menunjukkan sejauh mana alat pengukur mengukur sesuatu yang ingin diukur. Pengujian ini dapat dilakukan dengan uji validitas korelasi product moment Pearson dengan program SPSS for Windows versi 17,0. Pengujian dilakukan kepada 30 responden yang dapat mewakili seluruh sampel. Dari 73 pernyataan yang diajukan, terdapat 23 pernyataan mempunyai hasil uji validitas lebih kecil dari rtabel (rα0,05;df
28=0,361
untuk minat, motif dan pola menonton sinetron di televisi dan rα0,05;df25= 0,381 untuk perilaku hedonis remaja). Ada tiga pernyataan yang tidak valid pada bagian motif menonton program sinetron di televisi, yaitu pernyataan nomor 15, 16, dan 17. Ada 20 pernyataan yang tidak valid pada bagian perilaku gaya hidup hedonis remaja, yaitu pernyataan nomor 3, 4, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 19, 23, 24, 25, 26, 28, 31, 33, 35, 37, dan 41. Seluruh pernyataan yang tidak valid tersebut diganti dengan pernyataan yang lebih mudah dimengerti oleh responden. Singarimbun dan Effendi (2006) menyatakan bahwa reliabilitas atau keterandalan merupakan kecocokan instrumen sebagai alat ukur. Terdapat lima teknik dalam menguji indeks reliabilitas, salah satunya adalah dengan teknik belah dua. Teknik ini berguna untuk menguji reliabilitas pertanyaan atau pernyataan berbentuk skala ordinal yang mempunyai hubungan satu sama lain. Uji Reliabilitas instrumen dilakukan dengan menggunakan uji koefisien reliabilitas teknik belah dua dengan membagi butir pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi belahan genap dan belahan ganjil. Pengujian ini dilakukan dengan program SPSS
35
for Windows versi 17,0. Setelah dilakukan uji kuesioner kepada 30 responden, nilai reliabilitas yang diperoleh untuk minat menonton program sinetron di televisi adalah 0,841, motif menonton program sinetron di televisi adalah 0,658 dan perilaku gaya hidup hedonis remaja 0,894. Nilai koefisien reliabilitas ini menunjukkan bahwa kuesioner sudah reliabel dan dapat digunakan untuk penelitian. Hasil pengolahan uji kuesioner ini dapat dilihat di Lampiran 2.
3.8 Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara statistik. Analisis statistik deskripstif yang digunakan untuk menggambarkan masing-masing peubah adalah tabel distribusi frekuensi dan rataan skor, berupa frekuensi, persentase, persentil, kuartil, rataan dan total rataan skor (Siegel, 1986). Selang masing-masing kelas rataan skor ditentukan dengan rumus range Spearman, yaitu:
Dalam penelitian ini, analisis statistik inferensia dilakukan dengan chi square dan uji korelasi rank Spearman yang diolah menggunakan komputer dengan program SPSS for Windows versi 17,0. Chi square digunakan untuk menguji hubungan karakteristik responden dengan minat menonton sinetron di televisi dan karakteristik responden dengan motif menonton sinetron di televisi (Wahana Komputer, 2010). Uji korelasi rank Spearman digunakan untuk menguji hubungan minat menonton sinetron di televisi dengan pola menonton sinetron di televisi, hubungan motif menonton sinetron di televisi dengan pola menonton sinetron di televisi dan hubungan pola menonton sinetron di televisi dengan perilaku hedonis remaja (Priyatno, 2009).
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi 4.1.1 Sekolah Menengah Atas Bina Bangsa Sejahtera Sekolah Menengah Atas Bina Bangsa Sejahtera (SMA BBS) terletak di jalan Raya Darmaga Km. 7 Kelurahan Marga Jaya, Bogor Barat. SMA Swasta di bawah Dinas Pendidikan ini berdiri tahun 1995. SMA BBS menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan penambahan materi Al-Qur’an dan Hadits dengan sistem responsi serta penggalian Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL). Pendekatan belajar yang digunakan adalah pendekatan active learning dengan kegiatan pembelajaran berupa contextual teaching and learning, stadium general, audio-video presentation serta praktek dan studi lapang. Selain itu, siswa SMA BBS diwajibkan melaksanakan beberapa kegiatan kerohanian selama KBM, antara lain shalat dhuha, tadarus, kajian tafsir, pembacaan asmaul husna, shalat dzuhur berjama’ah dan shalat jumat bagi siswa laki-laki. Beberapa prestasi yang telah diraih SMA BBS selama dua tahun terakhir antara lain: 1. Juara Musikalisasi Puisi Se-Jabodetabek. 2. Juara Futsal, baik Tingkat Kota dan Provinsi serta menjuarai peringkat II tingkat Nasional. 3. Finalis berturut lomba Penelitian Bahaya Narkoba. 4. Juara II Baca Berita. 5. Juara III Olimpiade Marketing Se-Jawa Barat, DKI dan Banten. 6. Juara III Festival Akustik Se-Jawa Barat, DKI dan Banten. 7. Juara I Liga Pendidikan Indonesia.
4.1.2 Gambaran Umum Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Bogor Pada awalnya SMA Negeri 2 Bogor didirikan dengan nama SMA Negeri Bogor dan hanya satu-satunya Sekolah Menengah Atas di Bogor dengan menempati lokasi di Jalan Ir. Djuanda 16 Bogor. Sekolah ini memiliki tiga jurusan yaitu: "Paket A" (jurusan Ilmu Bahasa), "Paket B" (jurusan Ilmu Pasti dan
37
Alam), dan "Paket C" (jurusan Ilmu Sosial). Sejak Bulan Agustus 1958, SMA Negeri Bogor dipecah menjadi dua sekolah yaitu: 1. SMA Negeri 1 Bogor di bawah kepemimpinan Bapak Khusaeri sebagai Kepala Sekolahnya, dengan spesialis "Paket A"(jurusan ilmu bahasa) dan "Paket C" (jurusan ilmu sosial). 2. SMA Negeri 2 Bogor di bawah kepemimpinan Bapak R. Yatmo sebagai Kepala Sekolahnya, dengan spesialis "Paket B" (ilmu pasti alam). Lokasi SMA Negeri 1 Bogor dan SMA Negeri 2 Bogor sama-sama di Jalan Ir. Djuanda No.16 Bogor (sekarang SMA Negeri 1 Bogor) dengan waktu belajar bergantian antara ke dua SMA Negeri tersebut tiga hari pagi dan tiga hari siang. Akibat terjadinya perubahan kurikulum 1968, menyebabkan SMA Negeri 1 Bogor dan SMA Negeri 2 Bogor harus memiliki semua jurusan, sehingga SMA Negeri 2 Bogor lokasi belajarnya di beberapa tempat (karena tidak cukup menempati satu lokasi) yaitu di Paledang (sekarang SMP Negeri 7 Bogor), Jalan Pakuan (sekarang SMA Negeri 3 Bogor), Jalan Ciremai Ujung (sekarang SMP Negeri 3 Bogor). Pada masa kepemimpinan Bapak Duyeh Effendi, BA. lokasi SMA Negeri 2 dipindahkan ke sebuah gedung tua kosong peninggalan sekolah China bernama Chen Chung di Jalan Mantarena no. 9. Akhir masa pimpinan Kepala Sekolah Bapak Yusuf selesai pembuatan gedung baru di Jalan Keranji Ujung no.1 Budi Agung Bogor, namun kepindahan penuh ke Budi Agung dilakukan pada masa kepemimpinan Bapak Drs. H. Zainal Abidin sehingga SMA Negeri 2 Bogor memiliki dua lokasi yaitu di Jalan Mantarena No. 9 untuk kegiatan pembelajaran kelas XII dan Jalan Keranji Ujung No. 1 Budi Agung untuk semua urusan kegiatan administrasi sekolah dan kegiatan pembelajaran kelas X dan kelas XI. Sampai sekarang tempat belajar SMA Negeri 2 Bogor masih menempati dua lokasi yaitu Jalan Mantarena no. 9 dan Jalan Keranji Ujung No. 1 Budi Agung Bogor. SMA Negeri 2 Bogor melaksanakan program Rintisan SMA Bertaraf Internasional (RSBI). SMA Negeri 2 Bogor menambah masing-masing dua jam pelajaran pada mata pelajaran Fisika, Biologi, Kimia dan Ekonomi serta menambah 1 jam pelajaran mata pelajaran Geografi. Mulai tahun pelajaran 2009/2010, SMA Negeri 2 Bogor melakukan uji coba proses pembelajaran dengan
38
sistem Moving Class. Apabila sistim ini lebih efektif maka sistem ini akan dilanjutkan, apabila kurang efektif maka sistem ini akan ditinjau kembali.
4.1.3 Gambaran Umum Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Bogor Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 terletak di jalan Pakuan No. 4, Bogor. SMA Negeri 3 merupakan salah satu dari tiga SMA yang menerapkan program RSBI pada tahun pelajaran 2010/2011. Visi SMA Negeri 3 adalah menjadi yang terbaik di Jawa Barat pada tahun 2013 dan mampu berkompetisi di dunia internasional. Misi SMA Negeri 3 adalah membentuk manusia Indonesia menjadi warga negara yang baik dan mampu bersaing di forum internasional. Proses belajar mengajar yang digunakan oleh SMA Negeri 3 adalah dengan pendekatan Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menarik (PAIKEM) baik bagi siswa maupun guru. Proses pembelajaran menggunakan dwibahasa (bilingual) untuk semua mata pelajaran kecuali bahasa Indonesia. Khusus pada mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggris didampingi oleh dua orang guru (team teaching) yang ahli di bidangnya. Sumber belajar yang digunakan bervariasi, antara lain: literatur, jurnal, media pembelajaran, internet, interaktif dan software pembelajaran. Untuk mengembangkan pengalaman belajar, siswa diberi kesempatan untuk mengalami secara langsung melalui studi lapang dan kegiatan studi wisata yang sejalan dengan tujuan pembelajaran, diantaranya kunjungan ke IPB, ITB, pabrik, pusat kesenian Sunda dan lain-lain. SMA Negeri 3 menyediakan kelas remedial teaching bagi siswa yang membutuhkan dan kelas akselerasi bagi siswa yang mempunyai nilai raport SMP semester satu sampai lima minimal 80 dan IQ lebih besar dari 130.
4.1.4 Gambaran Umum Sekolah Menengah Atas Budi Mulia Sekolah Menengah Atas Budi Mulia (SMA Budi Mulia) terletak di jalan Kapten Muslihat No. 22, Paledang, Bogor Tengah, Jawa Barat. Letak SMA Budi Mulia berdekatan dengan sekolah setingkat lainnya yaitu SMA Regina Pacis dan SMA Negeri 1 Bogor, yaitu sekitar 0,5 kilometer. SMA Budi Mulia diselenggarakan oleh Yayasan Budi Mulia di jalan Gunung Sahari Selatan, Kemayoran, Jakarta Pusat. SMA Budi Mulia merupakan sekolah Swasta di bawah
39
Dinas Pendidikan. SMA yang dibuka pada tahun 1988 ini mempunyai status disamakan dengan akreditasi A. Proses pembelajaran SMA Budi Mulia berbasis lingkungan hidup Green School dan bernuansa keagamaan. SMA Budi Mulia merupakan sekolah dengan berbudaya disiplin. Beberapa prestasi yang pernah diraih antara lain: 1. Juara 1 Lomba Desain Nasional. 2. Juara 1 Lomba Cheer Leaders Jabodetabek. 3. Juara 1 Lomba Modern Dance Jabodetabek. 4. Juara 1 Lomba Paduan Suara Se-Bogor. 5. Juara 1 Lomba Cheer Leaders Se-Bogor. 6. Juara 1 Festival Band Kota Bogor 7. Juara 1 dan Juara 2 Lomba Nyanyi Solo Se-Bogor. 8. Juara 1 dan Juara 3 Lomba Akuntasi Kota Bogor. 9. Juara 1 dan Juara 3 Bola Basket Putra Se-Bogor. 10. Juara 2 Leader Challenge Jabodetabek 11. Juara 2 Speech Contest Kota Bogor. 12. Juara 2 Lomba Pidato Se-Kota Bogor. 13. Juara 2 Lomba Modern Dance Kota Bogor. 14. Juara 3 Graphic Design Competition Se-Jabodetabek. 15. Juara 3 Lomba Biologi Kota Bogor. 16. Juara 3 Lomba Bahasa Inggris Kota Bogor. 17. Juara 3 Lomba Akustik Seni Sunda Kota Bogor. 18. Juara 3 Bola Basket Putri Se-Bogor.
4.2 Karakteristik Individu Karakteristik individu adalah identitas yang dimiliki individu dan berbeda satu sama lain. Responden dalam penelitian ini adalah siswa kelas X dan kelas XI di SMA Bina Bangsa Sejahtera, SMA Negeri 2 Bogor, SMA Negeri 3 Bogor dan SMA Budi Mulia. Total seluruh responden adalah 96 siswa. Dalam penelitian ini, karakteristik individu terdiri dari jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat prestasi dan tingkat ekonomi. Sebaran responden menurut karakteristik individu tersaji dalam Tabel 2.
40
Tabel 2. Distribusi responden menurut karakteristik individu Karakteristik Individu
SMA Negeri Jumlah Persentase (orang) (%)
Jenis Kelamin Laki-Laki 17 Perempuan 38 Tingkat Pendidikan Kelas X 26 Kelas XI 29 Tingkat Prestasi Rendah 18 Sedang 22 Tinggi 15 Tingkat Ekonomi Rendah 24 Sedang 15 Tinggi 16
SMA Swasta Jumlah Persentase (orang) (%)
Jumlah (orang)
Total Persentase (%)
31,00 69,00
12 29
29,30 70,70
29 67
30,20 69,80
47,30 52,70
21 20
51,30 48,70
47 49
49,00 51,00
32,30 40,40 27,30
16 17 8
39,00 41,50 19,50
34 39 23
35,40 40,60 24,00
43,70 27,30 29,00
8 20 13
19,50 48,70 31,80
32 35 29
33,30 36,50 30,20
4.2.1 Jenis Kelamin Hasil penelitian terhadap jenis kelamin ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu laki-laki dan perempuan. Dari Tabel 2 terlihat bahwa di SMA Negeri responden berjenis kelamin laki-laki berjumlah 31,00% sedangkan jenis kelamin perempuan 69,00%. Jumlah responden laki-laki di SMA Swasta sebanyak 29,30% dan 70,70% untuk responden perempuan. Jumlah responden perempuan lebih banyak dua kali lipat daripada jumlah responden laki-laki. Perbedaan jumlah ini dipengaruhi oleh jumlah siswa laki-laki dan perempuan di masing-masing SMA, yaitu jumlah siswa perempuan lebih banyak daripada jumlah siswa laki-laki. Selain itu, siswa perempuan lebih terbuka dibandingkan siswa laki-laki. Hal ini terlihat pada ketersediaan siswa dalam mengisi kuesioner saat penelitian dilakukan.
4.2.2 Tingkat Pendidikan Dalam penelitian ini, pendidikan adalah jenjang kelas di sekolah formal responden saat penelitian dilaksanakan yang dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu kelas X dan kelas XI (kelas I dan II SMA). Pada Tabel 2 terlihat bahwa jumlah responden kelas X dan kelas XI adalah sama, yaitu 49% siswa kelas X dan 51% siswa kelas XI. Demikian pula untuk jumlah siswa kelas X dan kelas XI, baik SMA Negeri maupun Swasta. Jumlah siswa kelas X dan kelas XI yaitu 47,30% dan 52,70% untuk SMA Negeri serta 51,30% dan 48,70% untuk SMA
41
Swasta. Hal ini dikarenakan pengambilan jumlah responden untuk masing-masing kelas dilakukan secara proporsional yaitu sebanyak lima persen.
4.2.3 Tingkat Prestasi Tingkat prestasi dalam penelitian ini adalah kejuaraan yang pernah diraih oleh responden, baik akademik maupun non-akademik, sejak masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Penentuan masa kejuaraan, yaitu sejak SMP hingga SMA, ditentukan secara sengaja karena masa remaja dimulai sejak masa SMP (yaitu remaja awal) kemudian SMA (yaitu remaja tengah). Sebaran data responden berdasarkan tingkat prestasi didapatkan dengan membagi data yang diperoleh ke dalam tiga kelas yaitu tinggi, sedang dan rendah (Tabel 2). Tabel 2 memperlihatkan bahwa paling banyak responden dari SMA Negeri, yaitu sebanyak 40,40%, mencapai tingkat sedang. Begitu juga dengan responden terbanyak di SMA Swasta yaitu sebanyak 41,50% memiliki tingkat prestasi yang sedang pula. Baik responden dari SMA Swasta maupun Negeri, sebagian besar mendapat kejuaraan sejak SMP sebanyak satu sampai dua kejuaraan. Persentase jumlah responden dari SMA Negeri yang mencapai tingkat prestasi tinggi lebih banyak daripada responden dari SMA Swasta. Prestasi yang paling banyak diraih oleh responden dari SMA Negeri adalah enam kejuaraan, sedangkan untuk SMA Swasta hanya empat. Penelitian ini membagi jenis prestasi menjadi dua jenis, yaitu prestasi akademik dan non-akademik. Berdasarkan hasil penelitian, prestasi yang paling banyak diraih oleh responden adalah prestasi akademik, baik dari SMA Negeri maupun Swasta. Prestasi akademik yang paling banyak diraih oleh responden dari SMA Negeri antara lain juara kelas I (19,80%), II (19,80%) dan III (15,63%), sedangkan prestasi non-akademiknya adalah di bidang seni (10,42%) dan ekstrakurikuler (9,38%) yaitu Palang Merah Remaja (PMR) dan paskibra. Prestasi akademik yang paling banyak diraih oleh responden dari SMA Swasta adalah juara kelas III (19,61%) dan sains (4%) sedangkan prestasi non-akademiknya adalah di bidang olahraga (13,73%) dan ekstrakurikuler (17,65%) yaitu paskibra. Secara keseluruhan SMA, prestasi yang paling banyak diraih adalah prestasi akademik yang diraihnya di kelas, yaitu juara I (15%), juara II (17,01%) dan juara III (17,01%). Prestasi non-akademik yang paling banyak diraih keseluruhan SMA
42
di bidang non-akademik yaitu di bidang ekstrakurikuler (11,57%), seni (10,21%) dan olahraga (7,50%).
4.2.4 Tingkat Ekonomi Tingkat ekonomi dalam penelitian ini diukur dengan pendekatan pendapatan dan pengeluaran. Pendapatan yaitu sejumlah uang yang diterima responden selama satu bulan yang berasal dari orang tua, bekerja sendiri, dan sumber lainnya seperti pemberian dari nenek dan saudara. Dalam penelitian ini, pengeluaran yaitu sejumlah uang yang digunakan responden untuk keperluan membeli pulsa, makan, jajan, pakaian/aksesoris, hiburan, berlibur, dan transportasi. Sebaran data responden berdasarkan tingkat ekonomi didapatkan dengan membagi data yang diperoleh ke dalam tiga kelas yaitu tinggi, sedang dan rendah (Tabel 2). Dari Tabel 2 tersebut terlihat bahwa mayoritas responden dari SMA Negeri bertingkat ekonomi rendah (43,70%), sedangkan pada tingkat sedang dan tinggi cenderung sama. Sebagian besar responden dari SMA Swasta berekonomi sedang cenderung tinggi. Meskipun berasal dari keluarga menengah ke atas, tingkat ekonomi responden dari SMA Swasta paling banyak adalah sedang (48,70%). Hal ini dikarenakan responden membawa bekal dari rumah sehingga tidak sering membeli makan di sekolah. Selain dari orang tuanya, responden dari SMA Negeri mendapatkan uang saku dari bekerja sendiri (2,67%) dengan berjualan pulsa dan sumber lain (2,89%), yaitu dari pemberian saudara serta nenek. Begitu pun dengan responden dari SMA Swasta, selain dari orang tuanya juga mendapat uang saku dari bekerja sendiri (1,94%) yaitu berjualan pulsa dan sumber lain (0,54%) yaitu modeling dan gereja. Seluruh responden, baik dari SMA Negeri maupun Swasta, menggunakan sebagian besar uangnya untuk tranportasi (23,64%), jajan (18,05%), membeli pakaian (12,66%) dan pulsa (12,11%). Responden dari SMA Swasta menggunakan sebagian besar uangnya untuk transportasi (23,50%), jajan (18,23%) dan membeli pulsa (13,65%). Responden dari SMA Negeri menggunakan sebagian besar uangnya untuk transportasi (23,75%), jajan (17,90%) dan membeli pakaian (13,86%). Hal ini sesuai dengan salah satu ciri-ciri remaja yang diungkapkan oleh Soekanto dalam Polii (2003) bahwa remaja mulai memikirkan kehidupan secara mandiri terutama dalam hal ekonomi.
43
4.3 Minat Menonton Sinetron Minat menonton sinetron dalam penelitian ini adalah keinginan dan perhatian penonton dalam menonton sinetron. Minat menonton sinetron meliputi kesukaan dan ketertarikan responden terhadap sinetron. Rataan skor dari minat responden dalam menonton sinetron tertera pada Tabel 3. Total rataan skor yang terlihat pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa responden dari SMA Negeri mempunyai minat menonton sinetron yang rendah, dengan rataan skor 1,91. Minat menonton sinetron untuk responden dari SMA Swasta juga rendah, yaitu dengan rataan skor 2,38. Dilihat dari masing-masing nilai rataan skornya, responden dari SMA Swasta mempunyai minat menonton sinetron yang lebih tinggi daripada responden dari SMA Negeri. Hal ini dikarenakan responden dari SMA Negeri tidak mempunyai banyak waktu untuk menonton sinetron serta lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar. Secara keseluruhan responden mempunyai minat menonton sinetron yang rendah pula yaitu dengan rataan skor 2,11. Tabel 3. Rataan skor minat responden dalam menonton sinetron Rataan Skor* Minat Menonton Sinetron SMA Negeri SMA Swasta Keseluruhan SMA Kesukaan 2,03 2,51 2,23 Ketertarikan 1,71 2,15 1,90 Total Rataan Skor 1,91 2,38 2,11 Keterangan: *1-1,75=sangat rendah; 1,76-2,50=rendah; 2,51-3,25=tinggi; 3,26-4=sangat tinggi
4.3.1 Kesukaan terhadap Tayangan Sinetron Kesukaan terhadap tayangan sinetron adalah seberapa besar tingkat kesukaan responden terhadap sinetron yang ditontonnya. Dari Tabel 3 terlihat bahwa rataan skor responden dari SMA Negeri adalah 2,03 sedangkan dari SMA Swasta adalah 2,51. Dapat dikatakan bahwa responden dari SMA Negeri adalah rendah sedangkan responden dari SMA Swasta adalah tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa responden dari SMA Swasta lebih menyukai menonton sinetron dibandingkan dengan responden dari SMA negeri. Kesukaan ini didasarkan pada theme song dan cerita sinetron tersebut. Berdasarkan isi pesannya, sinetron disukai karena sesuai dengan realita sosial dan mengangkat permasalahan yang terjadi dalam kehidupan (Kuswandi dalam Nurfalah, 2007). Total rataan skor untuk kesukaan keseluruhan SMA adalah 2,23. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesukaannya adalah rendah.
44
4.3.2 Ketertarikan terhadap Tayangan Sinetron Ketertarikan terhadap tayangan sinetron adalah tingkat ketertarikan responden terhadap sinetron yang ditontonnya. Tingkat ketertarikan responden dari SMA Negeri adalah sangat rendah sedangkan dari SMA Swasta adalah rendah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3, rataan skor ketertarikan untuk responden dari SMA Swasta adalah 2,15 dan 1,71 untuk responden dari SMA Negeri. Total rataan skor ketertarikan untuk keseluruhan SMA adalah 1,90 sehingga dikatakan rendah. Sama halnya dengan kesukaan terhadap tayangan sinetron, ketertarikan terhadap tayangan sinetron oleh responden dari SMA Swasta lebih tinggi dibandingkan dengan responden dari SMA Negeri. Hal ini didasarkan pada ketertarikan responden terhadap pemain sinetron dan ketertarikan responden terhadap dunia hiburan (sinetron). Perbedaan ini dipengaruhi oleh penerimaan pesan oleh penonton yaitu instinct selective attention (Rakhmat, 2005).
4.4 Motif Menonton Sinetron Motif menonton sinetron merupakan dorongan atas kebutuhan penonton dalam menonton sinetron. Motif menonton sinetron diukur dengan tiga peubah, yaitu (a) motif kognitif, (b) diversiti dan (c) personal. Masing-masing dibagi menjadi empat kelas seperti yang tersaji dalam Tabel 4 dan penentuan tingkatan tersebut dengan rataan skor. Tabel 4. Rataan skor motif responden dalam menonton sinetron Rataan Skor* Motif Menonton Sinetron SMA Negeri SMA Swasta Keseluruhan SMA Kognitif 2,14 2,29 2,20 Diversiti 2,53 2,72 3,06 Personal 2,07 2,17 2,11 Total Rataan Skor 2,36 2,52 2,43 Keterangan: *1-1,75=sangat rendah; 1,76-2,50=rendah; 2,51-3,25=sedang; 3,26-4=tinggi
Tabel 4 menjelaskan bahwa motif menonton sinetron bagi SMA Negeri adalah rendah sedangkan SMA Swasta adalah sedang, yaitu dengan rataan skor 2,36 dan 2,52. Hasil penelitian mengenai motif ini sejalan dengan minat menonton sinetron. Responden dari SMA Swasta mempunyai lebih banyak waktu untuk menonton sinetron, terutama pada waktu utama (prime time) dan sore hari. Hal ini sesuai dengan teori kegunaan dan keuntungan sebagai aspek penting dalam
45
televisi (Hoffman, 1999). Responden dari SMA Negeri menggunakan waktu di luar jam sekolah untuk les tambahan. Secara keseluruhan, motif menonton sinetron bagi seluruh responden adalah rendah, yaitu dengan rataan skor 2,43.
4.4.1 Motif Kognitif Motif kognitif adalah dorongan atau kebutuhan akan informasi. Peubah ini mengukur seberapa tinggi motif kognitif remaja dalam menonton sinetron. Tabel 4 menjelaskan bahwa rataan skor motif kognitif dalam menonton sinetron bagi responden dari SMA Negeri adalah 2,14 dan 2,29 untuk responden dari SMA Swasta. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat motif kognitif untuk SMA Negeri maupun Swasta tergolong rendah. Motif kognitif untuk keseluruhan SMA juga rendah yaitu dengan nilai rataan skor 2,20. Mayoritas responden memenuhi kebutuhan akan informasi mengenai politik, berita selebriti maupun gaya hidup atau mode dengan menonton berita dan infotainment serta membaca majalah atau surat kabar.
4.4.2 Motif Diversiti Motif diversiti adalah dorongan atau kebutuhan akan hiburan. Peubah ini mengukur seberapa tinggi motif diversiti responden dalam menonton sinetron. Pada umumnya, penonton televisi menikmati sinetron sebagai hiburan. Sesuai dengan Tabel 4, motif diversiti untuk responden dari SMA Negeri adalah 2,53 dan untuk SMA Swasta adalah 2,72. Sehingga dapat dikatakan bahwa motif diversiti bagi responden dari SMA Negeri maupun Swasta adalah sedang. Rataan skor untuk keseluruhan SMA adalah 3,06. Rataan ini tergolong sedang. Dibandingkan dengan jenis motif lainnya, motif diversiti mempunyai rataan skor yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa responden memanfaatkan sinetron sebagai media hiburan. Menurut Hofmann (1999), McQuail (2003) dan Suharto (2006) hasil penelitian ini sesuai dengan salah satu fungsi televisi, yaitu sebagai hiburan.
4.4.3 Motif Personal Motif personal adalah dorongan atau kebutuhan untuk menguatkan identitas pribadi. Motif personal mengukur seberapa tinggi kebutuhan akan penguatan identitas diri. Tabel 4 menjelaskan bahwa rataan skor untuk responden dari SMA
46
Negeri adalah rendah, yaitu dengan skor 2,07. Skor untuk responden di SMA Swasta adalah 2,17 dan dapat dikategorikan rendah pula. Secara keseluruhan, motif personal responden terhadap sinetron adalah rendah (2,11). Siswa menghabiskan banyak waktunya di sekolah dan mengerjakan tugas serta les sehingga mereka menguatkan identitasnya sebagai pelajar. Sekolah negeri yang dijadikan sebagai tempat penelitian adalah dua dari tiga sekolah yang menerapkan Rintisan SMA Bertaraf Internasional (RSBI), dan salah satu dari lokasi penelitian ini juga menyelenggarakan program akselerasi.
4.5 Pola Menonton Sinetron Pola menonton sinetron adalah tindakan menonton sinetron yang dilakukan secara terus-menerus sehingga membentuk pola tertentu. Pola menonton sinetron diukur dengan mengukur peubah intensitas menonton sinetron, durasi menonton sinetron dan jumlah sinetron yang ditonton. Rataan skor yang menggambarkan pola menonton sinetron disajikan pada Tabel 5. Rataan skor ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Tabel 5. Rataan skor pola menonton sinetron responden Rataan Skor* Pola Menonton Sinetron SMA Negeri SMA Swasta Intensitas 1,44 2,20 Durasi 1,46 1,93 Jumlah sinetron 1,35 1,93 Total Rataan Skor 1,55 2,30 Keterangan: *1,00-1,67= rendah; 1,68-2,33=sedang; 2,34-3,00=tinggi
Keseluruhan SMA 1,76 1,66 1,60 1,87
Berdasarkan Tabel 4, total rataan skor pola menonton untuk di SMA Negeri tergolong rendah (1,55) sedangkan
untuk di SMA Swasta tergolong sedang
(2,30). Ketersediaan waktu luang dan minimnya kegiatan sehari-hari mendorong responden untuk menonton sinetron. Kegiatan ini didukung oleh perilaku keluarga terhadap sinetron. Keluarga yang melakukan pendampingan cenderung menonton sinetron bersama. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Budiman dan Abdullah (2000), yaitu menonton televisi membawa kebersamaan dan keakraban serta mempererat jalinan komunikasi. Secara keseluruhan, pola menonton sinetron untuk seluruh SMA adalah sedang (1,87).
47
4.5.1 Intensitas Menonton Sinetron Intensitas menonton sinetron merupakan tingkat keseringan responden menonton sinetron dalam satu minggu. Tabel 5 memperlihatkan bahwa intensitas menonton sinetron untuk responden dari SMA Negeri adalah rendah (1,44). Rataan skor untuk responden di SMA Swasta adalah 2,20 sehingga dapat dikatakan tergolong sedang. Secara keseluruhan, responden mempunyai intensitas menonton sinetron yang sedang (1,76). Responden memiliki intensitas menonton sinetron yang rendah, yaitu satu sampai dua kali menonton sinetron dalam satu minggu. Hal ini dikarenakan responden menghabiskan enam hari dalam seminggu di sekolah dan keperluan lainnya. Salah satu teori yang menekankan aspek terpenting dari televisi adalah teori pengatur jadwal harian (Hofmann, 1999). Hanya 18,75% dari keseluruhan SMA yang menggunakan sinetron sebagai pengatur jadwal harian. Responden tersebut menonton sinetron sinetron lima sampai tujuh kali dalam satu minggu.
4.5.2 Durasi Menonton Sinetron Durasi menonton sinetron merupakan waktu dalam jam yang biasa digunakan responden untuk menonton sinetron setiap satu hari atau setiap satu kali menonton sinetron. Tabel 5 menunjukkan bahwa durasi menonton sinetron bagi responden dari SMA Negeri adalah rendah dan untuk SMA Swasta adalah sedang, yaitu dengan rataan skor 1,46 dan 1,93. Durasi menonton sinetron bagi keseluruhan SMA adalah rendah (1,66). Setiap satu kali menonton televisi, responden menggunakan waktunya sebanyak 15 menit sampai satu jam untuk menonton sinetron. Hal ini karena responden lebih menyukai menonton acara gosip dan musik di televisi daripada sinetron dalam waktu yang lama. Sinetron pada umumnya bercerita mengenai realitas kehidupan sehari-hari dan dapat ditebak alur ceritanya sehingga responden sering mengganti saluran dengan acara lainnya.
4.5.3 Jumlah Sinetron yang Ditonton Jumlah sinetron yang ditonton merupakan banyaknya judul sinetron yang ditonton oleh responden. Jumlah judul sinetron yang ditonton untuk responden dari SMA Negeri tergolong rendah (1,35) dan Swasta tergolong sedang (1,93).
48
mayoritas responden dari SMA Negeri menonton satu judul sinetron sedangkan dari SMA Swasta menonton dua judul sinetron. Secara keseluruhan SMA, jumlah judul yang sering ditonton tergolong rendah (1,60), yakni hanya satu judul saja. Setiap satu judul sinetron masa kini umumnya ditayangkan hampir setiap hari. Oleh karena itu responden merasa cukup mengikuti hanya satu judul sinetron saja. Judul sinetron yang paling banyak ditonton oleh responden dari SMA Negeri adalah Cinta Fitri (27,28%), Safa dan Marwah (19,70) dan Kemilau Cinta Kamila (15,15%). Responden dari SMA Swasta paling banyak menonton sinetron berjudul Cinta Fitri (30,11%), Mawar Melati (17,21%) dan Safa dan Marwah (9,68%). Secara keseluruhan SMA, mayoritas responden menonton sinetron berjudul Cinta Fitri (29%), Safa dan Marwah (13,84%) dan Mawar Melati (13,21%). Sinetron yang paling banyak ditonton oleh responden ini menurut episodenya merupakan sinetron serial karena mempunyai hubungan sebab akibat, sedangkan menurut jenis ceritanya adalah sinetron drama keluarga karena mengangkat permasalahan keluarga dengan pemeran seluruh anggota keluarga. Haryatmoko (2007) menyatakan bahwa adegan yang mendongkrak rating sinetron adalah seks, ciuman, perkosaan, kata-kata kasar, adegan telanjang dan seks menyimpang. Mengacu pada pernyataan tersebut, berdasarkan hasil penelitian ini judul sinetron yang menjadi favorit adalah sinetron drama keluarga dan remaja bernuansa percintaan dan persaingan.
4.6 Perilaku Hedonis Remaja Perilaku hedonis adalah tindakan yang bersifat keduniawian. Perilaku hedonis remaja diukur dengan tiga indikator, yaitu (a) perilaku konsumtif, (b) perilaku hura-hura dan (c) perilaku malas bekerja keras. Masing-masing indikator tersebut dibagi menjadi empat kelas, yaitu sangat rendah, rendah, tinggi dan sangat tinggi seperti yang tertera di Tabel 6. Tabel 6. Rataan skor perilaku hedonis responden Rataan Skor* SMA Negeri SMA Swasta Keseluruhan SMA Konsumtif 2,09 2,18 2,13 Hura-hura 2,10 2,31 2,19 Malas bekerja keras 2,13 2,25 2,18 Total Rataan Skor 2,11 2,25 2,17 Keterangan: *1-1,75=sangat rendah; 1,76-2,50=rendah; 2,51-3,25=sedang; 3,26-4=tinggi Perilaku Hedonis
49
Berdasarkan rataan skor tersebut, dapat dikatakan bahwa responden mempunyai perilaku hedonis yang rendah. Perilaku hedonis untuk responden dari SMA Negeri, SMA Swasta maupun secara keseluruhan SMA mempunyai selisih rataan skor yang sangat tipis. Rataan skor untuk responden dari SMA Negeri 2,11, dari SMA Swasta 2,25 dan secara keseluruhan SMA adalah 2,17.
4.6.1 Perilaku Konsumtif Dalam penelitian ini, perilaku konsumtif merupakan perilaku ingin memiliki barang-barang yang digunakan orang lain meskipun sebenarnya responden tidak membutuhkannya. Rataan skor perilaku konsumtif untuk responden dari SMA Negeri dan Swasta adalah 2,09 dan 2,18 dengan total rataan skor 2,13. Dapat dikatakan bahwa perilaku konsumtif responden dari SMA Negeri, Swasta maupun keseluruhan adalah rendah. Responden menyisakan uangnya untuk ditabung dan menggunakan uangnya sesuai dengan kebutuhan serta mengecek harga terlebih dahulu sebelum membelinya.
4.6.2 Perilaku Hura-hura Perilaku hura-hura merupakan perilaku yang cenderung ingin selalu bersenang-senang dan bernuansa glamour, misalnya sering pergi ke pusat perbelanjaan, kafe, club atau diskotik dan lain-lain. Sama halnya dengan perilaku konsumtif, perilaku hura-hura untuk responden dari SMA Negeri dan Swasta adalah rendah, dan secara keseluruhan juga tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari rataan skor perilaku hura-hura untuk responden dari SMA Negeri dan Swasta serta keseluruhannya masing-masing adalah 2,10; 2,31; dan 2,19. Dari rataan skor tersebut, responden dari SMA Swasta mempunyai rataan yang paling tinggi di antara semuanya. Hal ini dikarenakan responden lebih senang berkumpul dengan teman-temannya dan bersenang-senang seperi pergi ke pusat perbelanjaan, nonton di bioskop, berkumpul dengan teman di J.Co atau Starbuck. Bahkan responden memberanikan diri pergi ke diskotik meskipun belum berumur 18 tahun agar dapat berkumpul bersama teman-temannya. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri remaja yang diungkapkan oleh Soekanto dalam Polii (2003), yaitu remaja mempunyai keinginan yang kuat untuk berinteraksi dengan orang yang lebih dewasa.
50
4.6.3 Perilaku Malas Bekerja Keras Malas bekerja keras merupakan perilaku enggan menjalankan kewajiban dan selalu menuntut hak atau melanggar kewajibannya, misalnya bolos sekolah, tidak mengerjakan tugas, menyontek dan lain-lain. Sebagai pelajar, kewajiban responden adalah belajar dengan tekun dan mengerjakan tugas sekolah. Masingmasing rataan skor perilaku malas bekerja keras untuk responden dari SMA Negeri dan Swasta adalah 2,13 dan 2,25. Hal ini tergolong rendah untuk masingmasing SMA. Secara keseluruhan, responden berperilaku malas bekerja keras dalam tingkat yang rendah (2,18). Responden adalah siswa yang rajin ke sekolah, mengikuti proses belajar-mengajar, datang dan pulang sekolah tepat waktu serta selalu mengerjakan tugas.
4.7 Hubungan Karakteristik Individu dengan Minat dan Motif Menonton Sinetron di Televisi Minat dan motif menonton sinetron berhubungan dengan kerakteristik individu. Minat menonton sinetron meliputi kesukaan dan ketertarikan. Motif menonton sinetron meliputi motif kognitif, diversiti dan personal. Karakteristik individu meliputi jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat prestasi dan tingkat ekonomi. Hasil penelitian mengenai hubungan karakteristik individu dengan minat dan motif menonton sinetron berdasarkan nilai koefisien korelasinya tersaji dalam tabel 7. Tabel 7. Hubungan ksaraktersistik individu dengan minat menonton sinetron KoNilai Koefisien Korelasi Sekolah rela- Minat Menonton Motif Menonton Sinetron Karakteristik si Sinetron Individu uji Kesuka Keterta Kognitif Diversiti Personal an rikan Jenis Kelamin 0,068 0,237 0,354* 0,228 0,040 2 SMA Tingkat Pendidikan rs Negeri -0,041 0,005 0,132 0,212 0,181 Tingkat Prestasi rs -0,009 -0,170 0,158 0,102 0,257 -0,162 -0,096 -0,068 -0,251 0,151 Tingkat Ekonomi rs 2 Jenis Kelamin 0,261 0,433* 0,258 0,352 0,334 SMA Tingkat Pendidikan rs 0,117 0,137 0,143 0,285 0,170 Swasta -0,354* -0,037 -0,210 -0,320* -0,128 Tingkat Prestasi rs Tingkat Ekonomi rs 0,172 0,290 0,415** 0,263 0,259 2 0,097 0,268 0,246 0,193 0,136 Keseluru Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan rs 0,027 0,075 0,117 0,214* 0,261* han -0,176 -0,159 0,000 -0,075 0,109 Tingkat Prestasi rs SMA rs 0,051 0,166 0,140 -0,009 0,079 Tingkat Ekonomi Keterangan: *berhubungan nyata pada α 0,05;
2 =koefisien Chi-Square; rs=koefisien rank-Spearman
51
Tabel 7 mamperlihatkan bahwa untuk SMA Negeri terdapat hubungan negatif yang tidak nyata (p>0,05) antara tingkat ekonomi dengan kesukaan dan ketertarikan terhadap sinetron. Semakin tinggi tingkat ekonomi responden dari SMA Negeri maka semakin rendah tingkat kesukaan dan ketertarikan terhadap sinetron. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di SMA Swasta. Tingkat ekonomi responden dari SMA Swasta berhubungan positif dengan tingkat kesukaan dan ketertarikan terhadap sinetron. Tabel 7 juga mamperlihatkan bahwa untuk SMA Negeri terdapat hubungan negatif yang tidak nyata (p>0,05) antara tingkat prestasi dengan kesukaan dan ketertarikan terhadap sinetron dan untuk SMA Negeri, tingkat prestasi berhubungan negatif dan nyata dengan kesukaan dan berhubungan negatif dengan ketertarikan. Semakin tinggi tingkat prestasi responden dari SMA Negeri dan Swasta maka semakin rendah minat menonton sinetron. Responden bersaing secara sehat untuk meningkat prestasinya sehingga minat terhadap sinetron pun rendah karena lebih menyukai kegiatan yang menunjang prestasinya. Tabel 7 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, karakteristik individu tidak berhubungan nyata dengan minat menonton sinetron. Tingkat prestasi berhubungan negatif atau berhubungan terbalik dengan minat menonton sinetron, namun hubungan ini tidak nyata. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hurlock dalam Suharto (2006) bahwa tingkat prestasi mempunyai hubungan negatif dengan minat remaja terhadap televisi. Semakin tinggi tingkat prestasi, semakin rendah minat menonton sinetron. Dalam penelitian ini, tingkat prestasi berhubungan negatif dengan minat menonton sinetron namun hubungan tersebut tidak nyata (p<0,05). Secara keseluruhan, hipotesis pertama yang berbunyi “terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan minat menonton sinetron di televisi,” ditolak. Berbeda dengan dengan minat menonton sinetron, hanya tingkat ekonomi saja yang berhubungan dengan motif menonton sinetron untuk responden dari SMA Negeri. Tingkat ekonomi responden dari SMA Negeri berhubungan negatif dengan motif kognitif dan motif diversiti dalam menonton sinetron. Responden yang bertingkat ekonomi tinggi memenuhi kebutuhan akan hiburan dengan membaca majalah dan media cetak lain, sehingga motif diversiti dalam menonton sinetron semakin rendah. Lalu untuk responden dari SMA Swasta, sama seperti minat menonton sinetron, bahwa hanya tingkat prestasi saja yang berhubungan negatif dengan motif menonton sinetron dan hanya motif diversiti yang
52
berhubungan nyata negatif (p<0,05). Semakin tinggi tingkat prestasi responden dari SMA Swasta maka motif diversiti dalam menonton sinetron semakin rendah. Responden bersaing secara sehat untuk meningkat prestasinya sehingga minat terhadap sinetron pun rendah karena lebih tertarik dengan kegiatan yang menunjang prestasinya Pada Tabel 7 tersebut terlihat bahwa tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang nyata (p<0,05) dengan motif diversiti dan personal yaitu dengan nilai korelasi 0,214 dan 0,261. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka motif diversiti dan personal dalam menonton sinetron semakin meningkat. Begitu juga, semakin rendah tingkat pendidikan maka motif diversiti dan personal dalam menonton sinetron juga semakin rendah. Data yang didapatkan di lapangan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka tingkat kesulitan mata pelajaran makin tinggi sehingga responden membutuhkan hiburan yang lebih banyak yang dalam penelitian ini adalah hiburan terhadap sinetron. Tabel 7 juga memperlihatkan bahwa karakteristik individu tidak berhubungan dengan motif kognitif responden dalam menonton sinetron. Responden memenuhi kebutuhan akan informasinya dengan menonton berita dan gosip serta membaca majalah dan informasi dari internet. Dengan demikian, hipotesis kedua yang berbunyi “terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan motif menonton sinetron,” diterima hanya untuk hubungan tingkat pendidikan dengan motif diversiti dan personal.
4.8 Hubungan Minat dan Motif Menonton Sinetron dengan Pola Menonton Sinetron di Televisi Minat dan motif menonton sinetron berhubungan dengan pola menonton sinetron di televisi. Minat menonton sinetron meliputi kesukaan dan ketertarikan. Motif menonton sinetron meliputi motif kognitif, diversiti dan personal. Dan pola menonton televisi meliputi intensitas dan durasi menonton sinetron serta jumlah judul sinetron yang ditonton. Hasil penelitian mengenai hubungan minat dan motif dengan pola menonton sinetron berdasarkan nilai korelasi rank Spearman tersaji dalam Tabel 8. Terlihat pada Tabel 8 bahwa ketertarikan menonton sinetron oleh responden dari SMA Negeri dan Swasta mempunyai hubungan yang nyata (p<0,05) dan positif dengan jumlah sinetron yang ditonton. Semakin tinggi tingkat ketertarikan dalam menonton sinetron maka jumlah sinetron yang ditonton semakin banyak.
53
Ketertarikan ini didasarkan pada artis yang menjadi tokoh utama. Responden dari SMA Swasta mempunyai ketertarikan menonton sinetron yang lebih tinggi daripada responden dari SMA Negeri. Begitu pula, responden dari SMA Swasta mempunyai lebih banyak jumlah judul sinetron yang ditonton dibandingkan dengan responden dari SMA Negeri. Tabel 8. Hubungan minat dan motif dengan pola menonton sinetron Nilai Koefisien Korelasi rank Spearman (rs) Pola Menonton Sinetron Sekolah Peubah Jumlah Intensitas Durasi Sinetron SMA Minat Menonton Sinetron Kesukaan 0,450** 0,291* 0,292* Negeri Ketertarikan 0,365** 0,134 0,306* Motif Menonton Sinetron Kognitif 0,265 0,254 0,271* Diversiti 0,369** 0,204 0,238 Personal 0,059 0,141 0,241 SMA Minat Menonton Sinetron 0,358* 0,437** 0,373* Swasta Kesukaan Ketertarikan 0,163 0,242 0,312* Motif Menonton Sinetron Kognitif 0,252 0,522** 0,364* Diversiti 0,339* 0,583** 0,540** Personal 0,092 0,282 0,281 Keselu Minat Menonton Sinetron Kesukaan 0,601 ** 0,457** 0,433** ruhan Ketertarikan 0,498 ** 0,382** 0,446** SMA Motif Menonton Sinetron Kognitif 0,391 ** 0,394** 0,402** Diversiti 0,477 ** 0,409** 0,421** Personal 0,233 * 0,296** 0,340** Keterangan: *berhubungan nyata pada α 0,05 **berhubungan sangat nyata pada α 0,01
Tabel 8 memperlihatkan bahwa minat menonton sinetron berhubungan sangat nyata (p<0,01) dengan pola menonton sinetron. Semakin tinggi minat menonton sinetron maka pola menonton pun semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Subiakto dalam Suharto (2006) bahwa minat menonton televisi mempengaruhi pola menonton tayangan televisi. Dengan demikian hipotesis ketiga yang berbunyi “terdapat hubungan nyata antara minat menonton sinetron dengan pola menonton sinetron” diterima. Motif diversiti dalam menonton sinetron untuk responden dari SMA Negeri berhubungan sangat nyata (p<0,01) dengan intensitas menonton sinetron. Semakin rendah kebutuhan akan hiburan dalam menonton sinetron maka semakin rendah pula tingkat keseringan dalam menonton sinetron. Responden yang membutuhkan
54
sinetron untuk menghibur dirinya maka akan sering menonton sinetron tersebut. Responden dari SMA Swasta mempunyai motif diversiti yang berhubungan nyata (p<0,05) dengan intensitas menonton sinetron serta berhubungan sangat nyata dengan durasi dan jumlah sinetron yang ditonton. Responden yang membutuhkan sinetron sebagai media hiburan maka akan sering dan lebih lama menonton sinetron tersebut serta mempunyai lebih banyak judul yang ditonton. Hubungan yang nyata antara motif menonton sinetron dengan pola menonton sinetron terlihat pada Tabel 8. Motif menonton sinetron yang terdiri dari motif kognitif, diversiti dan personal mempunyai hubungan yang sangat nyata (p<0,01) dengan pola menonton sinetron kecuali untuk hubungan motif personal dan intensitas menonton sinetron yang mempunyai hubungan nyata (p<0,05). Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Subiakto dalam Suharto (2006) bahwa pola menonton tayangan televisi dipengaruhi oleh motif menonton. Dengan demikian, hipotesis keempat yang berbunyi “terdapat hubungan nyata antara motif dan pola menonton sinetron” diterima. DeFleur dalam Daisiwan (2007) mengutarakan bahwa jenis kelamin mempengaruhi pola penggunaan televisi. Dalam penelitian ini, jenis kelamin berhubungan nyata (p<0,05) dengan pola menonton. Kemudian, jenis kelamin juga berhubungan nyata (p<0,05) dengan jumlah judul sinetron yang ditonton dan berhubungan sangat nyata (p<0,01) dengan durasi menonton sinetron, namun tidak berhubungan nyata dengan intensitas menonton sinetron (Lampiran 3). Menurut hasil penelitian Apollo dan Ancok (2003), tingkat pendidikan mempengaruhi pola menonton televisi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berhubungan nyata (p<0,05) dengan jumlah judul sinetron yang ditonton dan pola menonton sinetron (Lampiran 12).
4.9 Hubungan Pola Menonton Sinetron di Televisi dengan Perilaku Hedonis Remaja Pola menonton meliputi intensitas dan durasi menonton sinetron serta jumlah judul sinetron yang ditonton. Pola menonton sinetron diduga berhubungan dengan perilaku hedonis remaja. Dalam penelitian ini, perilaku hedonis remaja meliputi perilaku konsumtif, hura-hura dan malas bekerja keras. Hasil penelitian
55
mengenai hubungan pola menonton sinetron dengan perilaku hedonis remaja berdasarkan nilai korelasi rank Spearman tersaji dalam Tabel 9. Tabel 9. Hubungan pola menonton sinetron dengan perilaku hedonis remaja Sekolah Nilai Koefisien Korelasi rank Spearman (rs) Perilaku Hedonis Pola Menonton Sinetron Malas Bekerja Konsumtif Hura-hura Keras Intensitas -0,282* -0,153 0,180 SMA Durasi -0,124 -0,187 0,120 Negeri Jumlah Sinetron 0,180 0,120 0,079 Intensitas 0,000 -0,11 0,187 SMA Durasi -0,061 0,107 0,328* Swasta Jumlah Sinetron -0,192 0,055 0,204 Intensitas -0,142 -0,002 0,203* Keselu Durasi -0,084 0,009 0,138 ruhan Jumlah Sinetron -0,099 0,012 0,105 SMA Keterangan: *berhubungan nyata pada α 0,05
Tabel 9 memperlihatkan bahwa intensitas menonton sinetron responden dari SMA Negeri berhubungan negatif dan nyata (p<0,05) dengan perilaku konsumtif. Semakin sering menonton sinetron maka semakin rendah perilaku konsumtif responden. Responden menonton sinetron di rumahnya masing-masing. Semakin sering manonton sinetron maka responden semakin jarang pergi ke luar rumah dan berbelanja dengan berlebihan. Kemudian untuk responden dari SMA Swasta, durasi menonton sinetron berhubungan nyata positif (p<0,05) dengan perilaku malas bekerja keras. Semakin lama menonton sinetron maka semakin sedikit kegiatan yang dikerjakannya karena malas beranjak dari depan televisi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Apollo dan Ancok (2003) mengenai agresivitas remaja yaitu terdapat hubungan yang nyata (p<0,05) antara intensitas menonton televisi berisi kekerasan dengan kecenderungan agresivitas remaja. Responden yang melihat tayangan kekerasan lebih sering akan menirukan adegan tersebut. Sama halnya dengan sinetron. Sinetron yang menampilkan perilaku hedonis dann kemewahan dapat membuat penonton menirukan perilaku tersebut. Secara keseluruhan, penelitian ini menghasilkan bahwa intensitas menonton sinetron tidak berhubungan nyata (p<0,05) dengan perilaku hedonis remaja. Sinetron yang menjadi favorit adalah sinetron drama keluarga, bukan sinetron yang menampilkan perilaku hedonis dan kemewahan. Tabel 9 memperlihatkan bahwa intensitas dan pola menonton sinetron mempunyai hubungan yang nyata (p<0,05) dengan perilaku malas bekerja keras.
56
Semakin sering individu menonton sinetron maka perilaku malas bekerja keras pun meningkat, responden semakin malas belajar dan mengerjakan tugasnya. Pola menonton sinetron berhubungan negatif dengan perilaku konsumtif remaja. Pola menonton sinetron yang tinggi mendorong responden untuk tetap tinggal di rumah menikmati sinetron tersebut sehingga waktu untuk ke luar rumah sedikit dan perilaku konsumtif pun rendah. dengan demikian, hipotesis kelima yang berbunyi “terdapat hubungan nyata antara pola menonton sinetron dengan perilaku hedonis remaja,” diterima hanya untuk hubungan intensitas dan pola menonton sinetron dengan perilaku malas bekerja keras. Menurut Marjohan (2009), gaya hidup hedonis dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, pendidikan dan waktu luang. Seperti yang tertera pada Lampiran 3, jenis kelamin berhubungan nyata (p<0,05) dengan perilaku konsumtif dan tidak berhubungan nyata dengan perilaku hura-hura, malas bekerja keras maupun perilaku hedonis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang nyata (p<0,05) antara pola menonton sinetron dengan perilaku hedonis remaja. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh lingkungan sosial lain. Lingkungan sosial tersebut meliputi keluarga, teman sebaya, tetangga rumah dan media massa lain yang dalam penelitian ini tidak dikaji.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini antara lain: 1. Minat menonton sinetron responden rendah, dengan tingkat kesukaan terhadap sinetron yang lebih besar daripada ketertarikannya. Begitupun, motif menonton tergolong rendah, yang umumnya untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan (motif diversiti). Pola menonton sinetron responden tergolong sedang dengan intensitas yang tergolong sedang serta durasi dan banyaknya judul sinetron yang ditonton yang rendah. 2. Perilaku hedonis remaja tergolong rendah dengan kecenderungan berperilaku hura-hura dan malas bekerja keras yang lebih tinggi daripada perilaku konsumtif. 3. Minat dan motif menonton sinetron berhubungan sangat nyata dengan pola menonton sinetron, kecuali motif personal berhubungan nyata dengan intensitas menonton. Pola menonton sinetron tidak berhubungan nyata dengan perilaku hedonis remaja, hanya intensitas berhubungan nyata dengan perilaku malas bekerja keras.
5.2 Saran Terkait dengan hasil penelitian serta kesimpulan di atas, beberapa saran yang dapat disampaikan antara lain: 1. Media massa tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan. Akademisi perlu meneliti lebih lanjut mengenai efek media komunikasi massa, khususnya televisi. 2. Keluarga terutama orang tua perlu mengontrol penggunaan televisi terutama dalam mengonsumsi sinetron oleh remaja. Pengontrolan ini terutama dilakukan dalam hal intensitas penggunaan televisi.
DAFTAR PUSTAKA Albertus. 2008. “Melawan Konsumerisme, Materialisme dan Hedonisme.” http://agung.st-albertus.sch.id/wp-content/uploads/2008/11/melawankonsumerisme.doc [diakses 17 Januari 2010]. Apollo, Ancok D. 2003. “Hubungan Antara Intensitas Menonton Tayangan Televisi Berisi Kekerasan, Persepsi terhadap Keharmonisan Keluarga, Jenis Kelamin, dan Tahap Perkembangan dengan Kecenderungan Agresivitas Remaja.” Sosiohumanika. Vol. 16A No. 3, September 2003, Hal. 529-544. Arifin S. 2009. “Perkembangan Masa Remaja.” http://www.ipin4u.esmartstudent. com/psiko.htm [diakses 17 Januari 2010]. Asrori A. 2009. “Psikologi Remaja, Karakteristik dan Permasalahannya.” http:// netsains.com/2009/04/psikologi-remaja-karakteristik-dan-permasalahannya/ [diakses 17 Januari 2010]. Bachtiar A. 2004. Cinta Remaja: Mengungkap Pola dan Perilaku Cinta Remaja. Yogyakarta: Indiebooks. Budiman C, Abdullah I. 2000. “Organisasi Ruang, Waktu dan Selera dalam Konsumsi Televisi.” Sosiohumanika. Vol 13 No. 1, Januari 2000, Hal. 2943. Chaplin JP. 2008. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Daisiwan NL. 2007. “Hubungan antara Tayangan Sinetron Remaja dengan Sikap Konsumtif Remaja.” [skripsi] Bogor: Institut Pertanian Bogor. Dinas Pendidikan Kota Bogor. 2010. ‘Rekapitulasi Jumlah Siswa SMA Negeri/Swasta Kota Bogor Tahun Pelajaran 2009/2010’. Disdik Kota Bogor: Bogor. Dunixi. 2009. “Gaya Hidup Hedonis Remaja Modern.” http://blog.dunixi.com /?p=191 [diakses 16 Desember 2009]. Effendy OU. 2006. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. Guntarto B. 2004. “Media dan Pendidikan Karakter Anak,” [makalah seminar Membangun Bangsa Melalui Pendidikan Karakter Anak sejak Usia Dini]. Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Bogor. Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Kanisius. Hofmann R. 1999. Dasar-Dasar Apresiasi Program Televisi: Menjadikan Televisi Budaya Rakyat. Jakarta: Grasindo.
59
Jahja RS, Irvan M. 2006. Menilai Tanggung Jawab Sosial Televisi. Depok: Piramedia. Kotler P, Keller KL. 2006. Marketing Management 12th Edition. New Jersey: Prentice Hall. Kristiono. 2008. “Perkembangan psikologi Remaja.” http://kristiono.wordpress. com/2008/04/23/perkembangan-psikologi-remaja/ [diakses 15 Januari 2010]. Kuswandono. 2003. “Hedonisme dan Mentalitas Instan.” http://www.suara merdeka.com/harian/0312/05/kha2.htm [diakses 16 Desember 2009]. Labib M. 2002. Potret Sinetron Indonesia: Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial. Jakarta: Tiga Books Division. Marjohan. 2009. “Pelajar Korban Gaya Hidup Hedonisme.” http://enewsletter disdik.wordpress.com/2009/04/18/pelajar-korban-gaya-hidup-hedonismee/ [diakses 16 Desember 2009]. McQuail D. 2003. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London: Sage Publications Ltd. Megawangi R. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation. Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Nirfitria JW. 2006. “Pengaruh Film Remaja terhadap Perubahan Sikap Remaja Desa dalam Dimensi Gaya Hidup.” [skripsi] Bogor: Institut Pertaniajn Bogor. Nurfalah F. 2007. “Pengaruh Tayangan Sinetron Religius terhadap Perilaku Beragama Ibu Rumah Tangga Muslimah (di Desa Kedung Jaya dan Desa Tuk Kecamatan Kedawung Kabupaten Cirebon).” [tesis] Bogor: Institut Pertanian Bogor. Polii HJ. 2003. “Gaya Hidup, Pola Aktivitas, Pola Makan dan Status Gizi Remaja SMU di Bogor.” [tesis] Bogor: Institut Pertanian Bogor. Prasetyo B, Jannah LM. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo. Priyatno D. 2009. Lima Jam Belajar Olah Data dengan SPSS 17. Yogyakarta: Andi. Purwatiningsih SD. 2004. “Motif Menonton Berita Kriminal di Televisi dan Pemenuhan Kebutuhan Informasi Audiens (Kasus pada Khalayak Penonton Televisi di Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat).” [tesis] Bogor: Institut Pertanian Bogor.
60
Rakhmat J. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Santrock JW. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. [terjemahan, Adelar SB, Saragih S]. Jakarta: Erlangga. Sidqi A. 2009. “Apatis dan Hedonis adalah Kebudayaan Mahasiswa?” http:// ahmadsidqi.wordpress.com/2009/02/10/apatis-dan-hedonis-adalahkebudayaan-mahasiswa/ [diakses 16 Desember 2009]. Siegel S. 1986. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. [Terjemahan, Zanzawi S, Landung S, Peter H]. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Singarimbun M, Effendi S. 2006. Metode Penelitian Survai Edisi Revisi. Jakarta: LP3ES. Soedarsono S. 1999. Penyemaian Jati Diri: Strategi Membentuk Pribadi, Keluarga dan Lingkungan menjadi Bangsa yang Profesional, Bermoral dan Berkarakter. Jakarta: Elex Media Komputindo. Suharto A. 2006. “Hubungan Pola Menonton Berita Kriminal di Televisi dengan Perilaku Remaja (Kasus SLTPN 175 Jakarta dan SMPN 1 Dramaga Bogor).” [skripsi] Bogor: Institut Pertanian Bogor. Wahana Komputer. 2010. Seri Panduan Praktis: SPSS 17 untuk Pengolahan Data Statistik. Yogyakarta: Andi. Wikipedia. 2009. “Hedonisme.” http://id.wikipedia.org/wiki/Hedonisme [diakses 16 Desember 2009]. Wirodono S. 2006. Matikan TV-mu! Yogyakarta: Resist Book. Yurliani R. 2007. Kecenderungan Hedonisme pada Masyarakat Melayu Medan dengan Masyarakat Melayu Tanjung Pura. [skrpsi] Medan : Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/download/fk/132316966.pdf [diakses 15 Desember 2010]. Zaweya. 2009. “Remaja Hedonis.” http://www.zaweya.co.cc/2009/06/remajahedonis.html [diakses 21 januari 2010]. Zubair AC. 2009. “Tinjauan Moral dan Kultural terhadap Hedonisme di Kalangan Generasi Muda.” http://www.pdfdownload.org/pdf2html/pdf2html.php?url= http%3A%2F%2Ffilsafat.ugm.ac.id%2Fdownloads%2Fartikel%2Fhedonism e.pdf&images=yes [diakses 16 Desember 2009].
LAMPIRAN
62
Lampiran 1. Jadwal rencana penelitian Penelitian berjudul “Hubungan Pola, Motif dan Minat Menonton Sinetron di Televisi dengan Perilaku Hedonis Remaja (Kasus di SMA Negeri dan Swasta Kota Bogor)” dilaksanakan selama empat bulan, yaitu Maret 2010 sampai Juni 2010. Matriks alokasi waktu penelitian terlihat pada tabel 10. Selama penelitian, peneliti mempunyai beberapa agenda yang tidak berhubungan secara langsung dengan penelitian. Pada tanggal 29 Maret 2010, peneliti akan menjadi pengawas Ujian Nasional SMP/SMA selama empat hari. Pada minggu kedua bulan April 2010 dan minggu kedua bulan Juni 2010, mahasiswa IPB akan melaksanakan Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester. Bila peneliti mempunyai waktu senggang, peneliti berencana untuk ikut mengawas ujian. Kemudian bila seluruh kegiatan tersebut dapat dilakukan lebih cepat dari yang telah dijadwalkan, peneliti berencana untuk pulang ke rumah, yaitu di Cepu. Tabel 10. Matriks alokasi waktu penelitian No
Kegiatan 1
I 1. 2. 3. 4. II 1. 2. 3. III 1. 2. 3. IV 1. 2. 3.
Proposal dan Kolokium Penyusunan draft Konsultasi proposal Orientasi lapangan Kolokium Studi Lapangan Pengumpulan data Analisis data Konsultasi pengolahan data Penulisan Laporan Analisis lanjutan Penyusunan draft revisi Konsultasi laporan Ujian Skripsi Ujian Perbaikan skripsi Konsultasi Perbaikan
Maret 2 3
4
1
April 2 3
4
1
2
Mei 3
4
1
Juni 2 3
4
63
Lampiran 2. Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner A. Minat menonton program sinetron di televisi Validitas : Korelasi antara V1 dengan Vtot V2 dengan Vtot V3 dengan Vtot V4 dengan Vtot V5 dengan Vtot V6 dengan Vtot V7 dengan Vtot V8 dengan Vtot V9 dengan Vtot V10 dengan Vtot V11 dengan Vtot
Nilai Korelasi (Pearson Corellation) 0,702 0,581 0,727 0,478 0,405 0,679 0,484 0,782 0,564 0,820 0,568
Probabilitas Korelasi [sig.(2-tailed)] 0,000 0,001 0,000 0,012 0,036 0,000 0,011 0,000 0,002 0,000 0,002
Nilai r tabel (n=27, α=5%)
0,381
Kesimpulan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Reliabilitas: Reliability Statistics Cronbach's Alpha
Part 1
Value
.632 6a
N of Items Part 2
Value
.769 5b
N of Items
Spearman-Brown Coefficient
Total N of Items Correlation Between Forms Equal Length Unequal Length Guttman Split-Half Coefficient
11 .728 .842 .843 .841
a. The items are: v1, v3, v5, v7, v9, v11. b. The items are: v11, v2, v4, v6, v8, v10.
B. Motif menonton program sinetron di televisi Validitas: Korelasi antara V1 dengan Vtot V2 dengan Vtot V3 dengan Vtot V4 dengan Vtot V5 dengan Vtot V6 dengan Vtot V7 dengan Vtot V8 dengan Vtot V9 dengan Vtot V10 dengan Vtot
Nilai Korelasi (Pearson Corellation) 0,851 0,773 0,624 0,644 0,590 0,588 0,575 0,417 0,554 0,408
Probabilitas Korelasi [sig.(2-tailed)] 0,000 0,000 0,001 0,000 0,001 0,001 0,002 0,31 0,003 0,034
Nilai r tabel (n=27, α=5%)
0,381
Kesimpulan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
64
Korelasi antara V11 dengan Vtot V12 dengan Vtot V13 dengan Vtot V14 dengan Vtot V15 dengan Vtot V16 dengan Vtot V17 dengan Vtot
Nilai Korelasi (Pearson Corellation) 0,558 0,626 0,749 0,611 0,373 0,232 0,363
Probabilitas Korelasi [sig.(2-tailed)] 0,002 0,000 0,000 0,001 0,056 0,245 0,063
Nilai r tabel (n=27, α=5%)
0,381
Kesimpulan Valid Valid Valid Valid Tidak Valid Tidak valid Tidak Valid
Reliabilitas: Reliability Statistics Cronbach's Alpha
Part 1
Value
.799 9a
N of Items Part 2
Value
.298 8b
N of Items Total N of Items Correlation Between Forms Spearman-Brown Equal Length Coefficient Unequal Length Guttman Split-Half Coefficient a. The items are: v1, v3, v5, v7, v9, v11, v13, v15, v17. b. The items are: v17, v2, v4, v6, v8, v10, v12, v14, v16.
17 .565 .722 .723 .658
C. Perilaku hedonis remaja Validitas: Korelasi antara V1 dengan Vtot V2 dengan Vtot V3 dengan Vtot V4 dengan Vtot V5 dengan Vtot V6 dengan Vtot V7 dengan Vtot V8 dengan Vtot V9 dengan Vtot V10 dengan Vtot V11 dengan Vtot V12 dengan Vtot V13 dengan Vtot V14 dengan Vtot V15 dengan Vtot V16 dengan Vtot V17 dengan Vtot V18 dengan Vtot
Nilai Korelasi (Pearson Corellation) 0,434 0,428 0,227 0,084 0,379 0,478 0,487 0,298 0,083 0,136 0,197 0,476 0,140 0,010 0,330 0,493 0,534 0,589
Probabilitas Korelasi [sig.(2-tailed)] 0,017 0,018 0,227 0,659 0,030 0,008 0,006 0,109 0,662 0,474 0,298 0,008 0,460 0,960 0,075 0,006 0,002 0,001
Nilai r tabel (n=30, α=5%)
0,361
Kesimpulan Valid Valid Tidak Valid Tidak valid Valid Valid Valid Tidak Valid Tidak Valid Tidak Valid Tidak Valid Valid Tidak valid Tidak Valid Tidak Valid Valid Valid valid
65
Korelasi antara V19 dengan Vtot V20 dengan Vtot V21 dengan Vtot V22 dengan Vtot V23 dengan Vtot V24 dengan Vtot V25 dengan Vtot V26 dengan Vtot V27 dengan Vtot V28 dengan Vtot V29 dengan Vtot V30 dengan Vtot V31 dengan Vtot V32 dengan Vtot V33 dengan Vtot V34 dengan Vtot V35 dengan Vtot V36 dengan Vtot V37 dengan Vtot V38 dengan Vtot V39 dengan Vtot V40 dengan Vtot V41 dengan Vtot V42 dengan Vtot V43 dengan Vtot V44 dengan Vtot V45 dengan Vtot
Nilai Korelasi (Pearson Corellation) 0,316 0,502 0,471 0,467 0,168 0,251 0,296 0,289 0,517 0,288 0,432 0,527 0,260 0,367 0,192 0,367 0,312 0,653 0,170 0,496 0,473 0,595 0,284 0,395 0,455 0,386 0,433
Probabilitas Korelasi [sig.(2-tailed)] 0,089 0,005 0,009 0,009 0,376 0,182 0,112 0,122 0,003 0,123 0,017 0,003 0,166 0,046 0,309 0,046 0,093 0,000 0,369 0,005 0,008 0,001 0,128 0,031 0,011 0,035 0,017
Nilai r tabel (n=30, α=5%)
0,361
Kesimpulan Tidak Valid Valid Valid Valid Tidak Valid Tidak Valid Tidak valid Tidak Valid Valid Tidak Valid Valid Valid Tidak Valid Valid Tidak Valid Valid Tidak Valid Valid Tidak Valid Valid Valid Valid Tidak Valid Valid Valid Valid Valid
Reliabilitas: Reliability Statistics Cronbach's Alpha
Part 1 Value N of Items Part 2 Value N of Items
.578 23a .674 22b
Total N of Items 45 Correlation Between Forms .813 Spearman-Brown Equal Length .897 Coefficient Unequal Length .897 Guttman Split-Half .894 Coefficient a. The items are: v1, v3, v5, v7, v9, v11, v13, v15, v17, v19, v21, v23, v25, v27, v29, v31, v33, v35, v37, v39, v41, v43, v45. b. The items are: v45, v2, v4, v6, v8, v10, v12, v14, v16, v18, v20, v22, v24, v26, v28, v30, v32, v34, v36, v38, v40, v42, v44.
66
Lampiran 3. Hasil uji crosstab chi-square hubungan jenis kelamin dengan minat, motif dan pola menonton sinetron serta perilaku hedonis remaja untuk keseluruhan SMA Jenis Kelamin * Minat Kesukaan Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square .910 3 Likelihood Ratio .896 3 Linear-by-Linear Association .586 1 N of Valid Cases 96 a. 1 cells (12.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.83. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
.823 .827 .444
Approx. Sig.
.097 96
.823
Jenis Kelamin * Minat Ketertarikan Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 7.400 3 Likelihood Ratio 8.987 3 Linear-by-Linear Association 2.374 1 N of Valid Cases 96 a. 1 cells (12.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.83. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
.060 .029 .123
Approx. Sig.
.268 96
.060
Jenis Kelamin * Motif Kognitif Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 6.196 3 Likelihood Ratio 6.794 3 Linear-by-Linear Association 3.378 1 N of Valid Cases 96 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.74. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
.246 96
Approx. Sig. .102
.102 .079 .066
67
Jenis Kelamin * Motif Diversiti Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 3.721 3 Likelihood Ratio 4.085 3 Linear-by-Linear Association 1.798 1 N of Valid Cases 96 a. 1 cells (12.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.83. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
.293 .252 .180
Approx. Sig.
.193 96
.293
Jenis Kelamin * Motif Personal Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 1.803 2 Likelihood Ratio 1.846 2 Linear-by-Linear Association 1.743 1 N of Valid Cases 96 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.25. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
.406 .397 .187
Approx. Sig.
.136 96
.406
Jenis Kelamin * Intensitas Menonton Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
df a
4.435 4.738 3.801 96
Asymp. Sig. (2-sided) 2 2 1
.109 .094 .051
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.46. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
Approx. Sig. .210 96
.109
68
Jenis Kelamin * Durasi Menonton Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 9.132 2 .010 Likelihood Ratio 9.762 2 .008 Linear-by-Linear Association 6.440 1 .011 N of Valid Cases 96 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.14. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
Approx. Sig.
.295 96
.010
Jenis Kelamin * Jumlah Judul yang Ditonton Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 8.644 2 .013 Likelihood Ratio 9.013 2 .011 Linear-by-Linear Association 6.640 1 .010 N of Valid Cases 96 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.44. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
Approx. Sig.
.287 96
.013
Jenis Kelamin * Pola Menonton Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
df a
8.664 8.957 8.312 96
Asymp. Sig. (2-sided) 2 2 1
.013 .011 .004
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.55. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
.288 96
Approx. Sig. .013
69
Jenis Kelamin * Perilaku Konsumtif Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 8.933 3 .030 Likelihood Ratio 9.904 3 .019 Linear-by-Linear Association .753 1 .385 N of Valid Cases 96 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.74. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
Approx. Sig.
.292 96
.030
Jenis Kelamin * Perilaku Hura-Hura Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 1.659 3 .646 Likelihood Ratio 1.721 3 .632 Linear-by-Linear Association .706 1 .401 N of Valid Cases 96 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.04. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
Approx. Sig.
.130 96
.646
Jenis Kelamin * Perilaku Malas Bekerja Keras Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square .929a 3 .819 Likelihood Ratio .910 3 .823 Linear-by-Linear Association .291 1 .590 N of Valid Cases 96 a. 1 cells (12.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.83. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
.098 96
Approx. Sig. .819
70
Jenis Kelamin * Perilaku Hedonis Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square .527 3 .913 Likelihood Ratio .515 3 .916 Linear-by-Linear Association .002 1 .966 N of Valid Cases 96 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.74. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
.074 96
Approx. Sig. .913
71
Lampiran 4. Hasil uji crosstab chi-square hubungan jenis kelamin dengan minat dan motif menonton sinetron untuk SMA Negeri Jenis Kelamin * Minat Kesukaan Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square .255 3 Likelihood Ratio .247 3 Linear-by-Linear Association .045 1 N of Valid Cases 55 a. 3 cells (37.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.55. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
Approx. Sig. .068 55
.968
Jenis Kelamin * Minat ketertarikan Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 3.268 3 .352 Likelihood Ratio 4.332 3 .228 Linear-by-Linear Association .008 1 .929 N of Valid Cases 55 a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.24. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal
Contingency Coefficient
Approx. Sig.
.237
N of Valid Cases
.352
55
Jenis Kelamin * Motif Kognitif Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 7.874a 3 .049 Likelihood Ratio 10.379 3 .016 Linear-by-Linear Association 3.219 1 .073 N of Valid Cases 55 a. 3 cells (37.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.78. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
.354 55
.968 .970 .832
Approx. Sig. .049
72
Jenis Kelamin * Motif Diversiti Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 3.022 3 Likelihood Ratio 4.768 3 Linear-by-Linear Association 1.611 1 N of Valid Cases 55 a. 3 cells (37.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.85. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
.228 55
.388 .190 .204
Approx. Sig. .388
Jenis Kelamin * Motif Personal Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square .086 2 Likelihood Ratio .088 2 Linear-by-Linear Association .077 1 N of Valid Cases 55 a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.40. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
.040 55
Approx. Sig. .958
.958 .957 .782
73
Lampiran 5. Hasil uji crosstab chi-square hubungan jenis kelamin dengan minat dan motif menonton sinetron untuk SMA Swasta Jenis Kelamin * Minat Kesukaan Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 3.005 3 .391 Likelihood Ratio 2.816 3 .421 Linear-by-Linear Association 1.946 1 .163 N of Valid Cases 41 a. 5 cells (62.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.46. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
Approx. Sig.
.261 41
.391
Jenis Kelamin * Minat Ketertarikan Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 9.453 3 .024 Likelihood Ratio 10.090 3 .018 Linear-by-Linear Association 7.535 1 .006 N of Valid Cases 41 a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.34. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
.433 41
Approx. Sig. .024
Jenis Kelamin * Motif Kognitif Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 2.927 3 .403 Likelihood Ratio 3.259 3 .353 Linear-by-Linear Association 1.393 1 .238 N of Valid Cases 41 a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.93. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
.258 41
Approx. Sig. .403
74
Jenis Kelamin * Motif Diversiti Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 5.791 3 .122 Likelihood Ratio 5.948 3 .114 Linear-by-Linear Association 1.559 1 .212 N of Valid Cases 41 a. 5 cells (62.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.76. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
Approx. Sig.
.352 41
.122
Jenis Kelamin * Motif Personal Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 5.146 3 .161 Likelihood Ratio 5.433 3 .143 Linear-by-Linear Association 3.003 1 .083 N of Valid Cases 41 a. 5 cells (62.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .59. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
.334 41
Approx. Sig. .161
75
Lampiran 6. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan tingkat pendidikan, tingkat prestasi dan tingkat ekonomi dengan minat dan motif menonton sinetron untuk keseluruhan SMA
76
Lampiran 7. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan tingkat pendidikan, tingkat prestasi dan tingkat ekonomi dengan minat dan motif menonton sinetron untuk SMA Negeri
77
Lampiran 8. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan tingkat pendidikan, tingkat prestasi dan tingkat ekonomi dengan minat dan motif menonton sinetron untuk SMA Swasta
78
Lampiran 9. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan minat dan motif menonton sinetron dengan pola menonton sinetron untuk keseluruhan SMA
79
Lampiran 10. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan minat dan motif menonton sinetron dengan pola menonton sinetron untuk SMA Negeri
80
Lampiran 11. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan minat dan motif menonton sinetron dengan pola menonton sinetron untuk keseluruhan SMA Swasta
81
Lampiran 12. Hasil uji korelasi rank Spearman untuk hubungan tingkat pendidikan dengan pola menonton sinetron untuk keseluruhan SMA Correlations JUmlah Judul Intensitas
Durasi
Tingkat
yang
Menonton Menonton Ditonton Spearman' Intensitas Correlation s rho
1.000
**
.634
**
.625
Pola
Pendidika
Menonton
n
**
.199
.796
Menonton Coefficient Sig. (2-tailed) N Durasi
Correlation
.
.000
.000
.000
.052
96
96
96
96
96
**
1.000
**
.195
.000
.
.000
.000
.057
96
96
96
96
96
**
**
1.000
**
.000
.000
.
.000
.031
96
96
96
96
96
**
1.000
.206
.634
**
.945
.842
Menonton Coefficient Sig. (2-tailed) N Jumlah
Correlation
Judul
Coefficient
yang
Sig. (2-tailed)
.625
.945
.850
*
.220
Ditonton N Pola
Correlation
**
.796
**
.842
.850
*
Menonton Coefficient Sig. (2-tailed) N Tingkat
Correlation
.000
.000
.000
.
.044
96
96
96
96
96
.199
.195
.220*
.206*
1.000
.052
.057
.031
.044
.
96
96
96
96
96
Pendidika Coefficient n
Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
82
Lampiran 13. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan pola menonton sinetron dengan perilaku hedonis remaja untuk keseluruhan SMA
83
Lampiran 14. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan pola menonton sinetron dengan perilaku hedonis remaja untuk SMA Negeri
84
Lampiran 15. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan pola menonton sinetron dengan perilaku hedonis remaja untuk SMA Swasta
85
Lampiran 16. Hasil uji korelasi rank Spearman hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku hedonis remaja Correlations Perilaku Tingkat
Perilaku
Pendidikan Konsumtif Spearman's
Tingkat
rho
Pendidikan
Correlation Coefficient
Konsumtif
Hura-Hura
Malas Bekerja Keras Perilaku Hedonis
Perilaku
Hura
Keras
Hedonis
-.118
.108
-.036
.
.361
.251
.296
.729
96
96
96
96
96
-.094
1.000
.477**
.280**
.606**
.361
.
.000
.006
.000
96
96
96
96
96
-.118
.477**
1.000
.331**
.792**
.251
.000
.
.001
.000
96
96
96
96
96
Correlation Coefficient
.108
.280**
.331**
1.000
.638**
Sig. (2-tailed)
.296
.006
.001
.
.000
96
96
96
96
96
-.036
.606**
.792**
.638**
1.000
.729
.000
.000
.000
.
96
96
96
96
96
Sig. (2-tailed)
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Perilaku
Bekerja
-.094
N Perilaku
Malas
Hura-
1.000
N Perilaku
Perilaku
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).