HUBUNGAN KEBIASAAN TIDUR DAN MENONTON TELEVISI DENGAN STATUS GIZI REMAJA DI SMP BINA INSANI BOGOR
FAJAR NA’IMAH
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Hubungan Kebiasaan Tidur dan Menonton Televisi dengan Status Gizi Remaja di SMP Bina Insani Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014 Fajar Na’imah NIM I14090044
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.
ABSTRAK FAJAR NA’IMAH. Hubungan Kebiasaan Tidur dan Menonton Televisi dengan Status Gizi Remaja di SMP Bina Insani Bogor. Dibimbing oleh M RIZAL MARTUA DAMANIK. Di Indonesia, khususnya kota besar, terjadi perubahan gaya hidup remaja dengan tingkat aktivitas yang cenderung sedentary. Salah satu aktivitas fisik sedentary yang mempengaruhi indeks massa tubuh (IMT) adalah menonton televisi. Selain menonton televisi, kebiasaan tidur juga ikut mempengaruhi IMT remaja. Tujuan penelitian adalah mengetahui hubungan kebiasaan tidur dan menonton televisi dengan IMT remaja. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dengan penarikan contoh secara purposive. Contoh terdiri atas 48 orang remaja dengan umur 13–15 tahun yang merupakan siswa SMP Bina Insani Bogor. Hasil penelitian menunjukkan hubungan signifikan antara IMT remaja dengan jenis kelamin (p = 0.01), pendidikan ayah (p = 0.04), durasi tidur malam (p = 0.01) dan konsumsi camilan saat menonton televisi (p = 0.03). Akan tetapi, tidak terdapat hubungan signifikan antara IMT remaja dengan umur (p = 0.26), pendidikan ibu (p = 0.05), tingkat aktivitas fisik (p = 0.77), waktu tidur malam (p = 0.75), dan durasi menonton televisi (p = 0.93). Kata kunci: remaja, indeks massa tubuh, tidur, menonton televisi
ABSTRACT FAJAR NA’IMAH. Correlation of Sleeping and Watching Television Habits to Nutritional Status in Adolescents at SMP Bina Insani Bogor. Supervised by M RIZAL MARTUA DAMANIK. In Indonesia, especially big cities, there has been lifestyle changing of adolescents who commonly tend to be sedentary physical activities. One of the sedentary physical activities that affect body mass index (BMI) is watching television. In addition, sleeping habits also influence adolescents BMI. The purpose of the present study was to determine the relationship between sleeping and watching television habits on adolescents and BMI. This study used a crosssectional study design with purposive sampling. Samples consisted of 48 adolescents aged 13–15 years who were junior high school student at Bina Insani Bogor School. The results showed a significant relationship between adolescents BMI with gender (p = 0.01), father's education (p = 0.04), night sleep duration (p = 0.01) and the consumption of snacks while watching television (p = 0.03). However, there was no significant relationship between adolescents BMI with age (p = 0.26), maternal education (p = 0.05), level of physical activities (p = 0.77), night sleep time (p = 0.75), and duration of watching television (p = 0.93). Keywords : adolescent, body mass index, sleeping, watching television
HUBUNGAN KEBIASAAN TIDUR DAN MENONTON TELEVISI DENGAN STATUS GIZI REMAJA DI SMP BINA INSANI BOGOR
FAJAR NA’IMAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Nama NIM
: Hubungan Kebiasaan Tidur dan Menonton Televisi dengan Status Gizi Remaja di SMP Bina Insani Bogor : Fajar Na’imah : I14090044
Disetujui oleh
Prof drh M Rizal Martua Damanik, MRepSc, PhD Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Rimbawan Ketua Departemen
Tanggal Disetujui:
PRAKATA Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Hubungan Kebiasaan Tidur dan Menonton Televisi dengan Status Gizi Remaja di SMP Bina Insani Bogor” dapat diselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof drh M Rizal Martua Damanik, MRepSc, PhD selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan arahan, kritik, saran serta dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi. 2. Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS selaku dosen penguji pada sidang skripsi. 3. Ir Eddy Setyo Mudjajanto selaku dosen pembimbing akademik. 4. Seluruh guru, siswa/i, dan satpam SMP Bina Insani atas kerjasama dan keramahan selama melakukan penelitian. 5. Abi, Mama, dan adikku tercinta satu-satunya atas kasih sayang tak terhingga, motivasi, dukungan dan doa yang tak pernah lepas seusai solat. 6. Teman seperjuangan dalam penelitian: Ilyatun Niswah atas dukungan, semangat, kebersamaan dan kerjasama selama penelitian hingga meraih gelar sarjana gizi. 7. Teman-teman Gizi Masyarakat angkatan 46 (Coconuters) untuk motivasi, semangat dan kebersamaan selama 3 tahun ini. 8. Keluarga HIMAGIZI, terutama teman-teman PSDM: Avliya Quratul Marjan, SGz, Diego Armando Umuru, SGz, Wilda Yunieswati, M Mifthah Farid, Fitria Nurjanah, Emir Wibowo, Pamila Adhi Annisa dan Andika Mohammad atas kerjasama, keceriaan dan kebersamaan selama 2 tahun ini. 9. Teman-teman seperjuangan Internship Dietetik di RSUD Pasar Rebo Jakarta Timur: Nurayu Annisa, SGz; Armina Puji Utari, SGz; Inti Makaryani, SGz; dan Teguh Jati Prasetyo, SGz atas kerjasama dan kebersamaannya. 10. Keluarga Pondok Ginastri yang telah memberikan dukungan, kehangatan, keceriaan dan kebersamaan selama 4 tahun terakhir ini. 11. Sahabat-sahabatku tercinta: Ina Rahmawati, STP; Nurayu Annisa, SGz; Risa Sawitri SSi; Anggi Widyasari, Skom dan Aulia Anggraeni STP atas semua dukungan, motivasi, keceriaan, dan kebersamaan selama 5 tahun terakhir ini. 12. Serta pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini. Penulis memohon maaf atas segala kekurangan ataupun kekhilafan yang penulis lakukan, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat. Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Bogor, Mei 2014 Fajar Na’imah
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Tujuan umum
2
Tujuan khusus
2
Manfaat Penelitian
2
KERANGKA PEMIKIRAN
3
METODE PENELITIAN
5
Desain, Waktu dan Tempat
5
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
5
Jenis dan Cara Pengambilan Data
6
Pengolahan dan Analisis Data
7
DEFINISI OPERASIONAL
10
HASIL DAN PEMBAHASAN
11
Gambaran Umum Sekolah
11
Karakteristik Contoh
11
Umur
11
Jenis Kelamin
12
Pendidikan Orang Tua
12
Status Gizi
13
Indeks Massa Tubuh
13
Persen Lemak Tubuh
13
Aktivitas Fisik Tingkat Aktivitas Fisik (PAL) Kebiasaan Tidur
14 15 16
Durasi Tidur Malam
16
Waktu Tidur Malam
16
Gangguan Tidur
17
Kebiasaan Menonton Televisi
18
Durasi Menonton Televisi
18
Konsumsi Makanan Ringan (Camilan)
19
Hubungan Antar Variabel
20
Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Umur
21
Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Jenis Kelamin
21
Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Pendidikan Orang Tua
22
Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Tingkat Aktivitas Fisik
23
Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Durasi dan Waktu Tidur Malam
23
Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Durasi Menonton Televisi dan Konsumsi Camilan
24
Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Persen Lemak Tubuh
25
SIMPULAN DAN SARAN
26
Simpulan
26
Saran
26
DAFTAR PUSTAKA
27
LAMPIRAN
30
RIWAYAT HIDUP
33
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Jenis dan cara pengambilan data Variabel dan kategori yang digunakan dalam penelitian. Kategori status gizi anak umur 5–18 tahun berdasarkan IMT/U Kategori aktivitas fisik berdasarkan nilai PAR Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL Sebaran contoh berdasarkan umur Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua Sebaran status gizi IMT/U berdasarkan jenis kelamin Sebaran persen lemak tubuh berdasarkan jenis kelamin Sebaran tingkat aktivitas fisik berdasarkan jenis kelamin Sebaran durasi tidur malam berdasarkan jenis kelamin contoh Sebaran waktu tidur berdasarkan jenis kelamin Sebaran gangguan tidur berdasarkan jenis kelamin Sebaran durasi menonton berdasarkan jenis kelamin Sebaran konsumsi camilan saat menonton berdasarkan jenis kelamin Hasil uji hubungan antar variabel dengan indeks massa tubuh Tabulasi silang indeks massa tubuh dengan jenis kelamin Tabulasi silang indeks massa tubuh dengan pendidikan ayah Tabulasi silang indeks massa tubuh dengan durasi tidur Tabulasi silang indeks massa tubuh dengan konsumsi camilan
6 8 8 9 9 11 12 12 13 14 15 16 16 17 19 19 21 21 22 24 25
DAFTAR GAMBAR 1 2 3
Kerangka pemikiran “Hubungan Kebiasaan Tidur dan Menonton Televisi dengan Status Gizi Remaja di SMP Bina Insani Bogor” Proporsi contoh yang mematikan lampu ketika tidur Proporsi jenis camilan saat menonton
4 18 20
DAFTAR LAMPIRAN 1
Kuesioner penelitian hubungan
31
PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini, dunia sedang menghadapi masalah gizi serius, yaitu overweight dan obesitas. Overweight dan obesitas menduduki peringkat kelima risiko kematian global. Overweight dan obesitas dapat membunuh lebih banyak orang dibandingkan dengan underweight. Sekitar 2.8 juta orang dewasa meninggal setiap tahunnya diakibatkan oleh keduanya. Data WHO 2008 menunjukkan bahwa prevalensi overweight dan obesitas pada orang dewasa umur 20 tahun ke atas masing-masing sebesar 35.00% dan 12.00%. Lebih dari 1.4 milyar orang dewasa mengalami overweight, bahkan lebih dari 200 juta laki-laki dan hampir 300 juta perempuan di dunia mengalami obesitas. Pada tahun 2011, lebih dari 40 juta balita di dunia mengalami overweight (WHO 2013). Masalah gizi lebih bukan hanya masalah di negara-negara maju. Saat ini, negara-negara berkembang menunjukkan peningkatan prevalensi gizi lebih, termasuk Indonesia. Gizi lebih dapat dialami oleh semua kelompok umur, khusunya anak-anak dan remaja. Data WHO menunjukkan lebih dari 30 juta anak overweight hidup di negara sedang berkembang dan 10 juta hidup di negara berkembang. Data Riskesdas (2007) menunjukkan prevalensi gizi lebih pada lakilaki dan perempuan umur 6–14 tahun masing-masing sebesar 9.50% dan 6.40%. Tahun 2010, prevalensi gizi lebih pada laki-laki dan perempuan umur 13–15 tahun masing-masing sebesar 2.90% dan 2.00% (Riskesdas 2010). Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai kelebihan atau akumulasi lemak abnormal yang dapat mengganggu kesehatan. Menurut WHO, seseorang berstatus overweight jika Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 25.00 kg/m2, sedangkan obesitas jika IMT ≥ 30.00 kg/m2. Overweight dan obesitas berisiko menyebabkan penyakit sindrom metabolik dan degeneratif. Data WHO menunjukkan bahwa sebanyak 44.00% diabetes melitus, 23.00% penyakit jantung iskemik, dan 41.00% kanker diakibatkan oleh gizi lebih. Gizi lebih disebabkan karena ketidakseimbangan asupan energi dengan pengeluaran energi. Hal tersebut banyak dialami oleh golongan masyarakat tingkat menengah ke atas dan tinggal di perkotaan. Prevalensi gizi lebih pada anak 13–15 tahun di perkotaan sebesar 3.20% lebih besar dibandingkan dengan di pedesaan sebesar 1.70% (Riskesdas 2010). Di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, terjadi perubahan gaya hidup yang ditandai dengan tingkat aktivitas yang cenderung sedentary. Salah satu aktivitas fisik sedentary yang mempengaruhi overweight dan obesitas adalah menonton televisi. Menonton televisi merupakan salah satu aktivitas fisik yang biasa dilakukan anak. Aktivitas tersebut cenderung lebih sedikit menghabiskan kalori per menitnya. Alokasi waktu menonton televisi pada anak semakin meningkat dari tahun ke tahun (Kusramadhanty 2012). Menurut Bappenas (2010), satu hingga empat jam per hari dihabiskan oleh anak untuk menonton televisi. Studi yang dilakukan oleh Harvard School of Public Health menunjukkan bahwa orang dewasa yang banyak menonton televisi saat masih anak-anak cenderung mengalami obesitas. Setiap satu jam anak menonton televisi setiap hari, berat
2 badan meningkat 0.23 kg. Selain itu, jeda iklan bisa membuat anak mengambil camilan terlebih dahulu (Hapsari 2013). Kebiasaan tidur juga berpengaruh terhadap gizi lebih. Beberapa studi menyatakan bahwa durasi tidur berhubungan dengan overweight dan obesitas. Studi yang dilakukan oleh Al-Hazza et al. (2012) menunjukkan bahwa durasi tidur yang pendek berhubungan signifikan dengan peningkatan risiko overweight dan obesitas pada remaja 15–19 tahun di Saudi Arabia. Durasi tidur yang pendek memungkinkan adanya peningkatan kesempatan untuk makan, khususnya jika durasi bangun dihabiskan untuk aktivitas fisik sedentary (Taveras 2012). Studi yang dilakukan Sekine et al. (2002) menyatakan bahwa waktu menonton televisi yang lama dan aktivitas fisik sedentary serta durasi tidur yang pendek secara signifikan berhubungan dengan obesitas. Penelitian mengenai hubungan kebiasaan tidur dan menonton televisi dengan status gizi masih belum terlalu banyak dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian hubungan durasi tidur dan menonton televisi dengan status gizi penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana penyebab overweight dan obesitas pada remaja di Indonesia. Tujuan Penelitian Tujuan umum Penelitian ini bertujuan mengkaji kebiasaan tidur dan menonton televisi dan kaitannya dengan status gizi remaja di SMP Bina Insani Bogor. Tujuan khusus 1. Menjelaskan karakteristik contoh 2. Menjelaskan indeks massa tubuh dan persen lemak tubuh contoh 3. Menjelaskan tingkat aktivitas fisik, kebiasaan tidur dan menonton televisi contoh 4. Mengetahui hubungan karakteristik contoh, kebiasaan tidur dan menonton televisi dengan indeks massa tubuh contoh. 5. Mengetahui hubungan indeks massa tubuh dengan persen lemak tubuh contoh. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini, antara lain: 1. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang durasi tidur, menonton televisi, tingkat aktivitas fisik dan kaitannya dengan status gizi pada remaja. 2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan acuan tentang pencegahan overweight dan obesitas serta menjaga aktivitas fisik yang baik. 3. Bagi akademisi, penelitian ini sebagai bahan referensi dalam perkembangan ilmu pengetahuan mengenai overweight dan obesitas kaitannya dengan kebiasaan tidur dan menonton televisi.
3
KERANGKA PEMIKIRAN Prevalensi gizi lebih pada anak dan remaja semakin meningkat setiap tahunnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi meningkatnya kejadian gizi lebih pada remaja adalah karakteristik remaja dan aktivitas fisik. Karakteristik remaja dikaitkan dengan umur, jenis kelamin dan pendidikan orang tua. Penelitian Proper et al. (2006) menyatakan bahwa laki-laki secara signifikan memiliki kemungkinan untuk menjadi overweight dan obesitas dibandingkan dengan perempuan. Hal ini karena laki-laki cenderung menghabiskan lebih banyak waktu untuk santai di akhir minggu atau waktu senggang. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Atmarita dan Fallah 2004). Beberapa tahun terakhir terjadi perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan aktifitas fisik, seperti ke sekolah dengan naik kendaraan dan kurangnya aktivitas bermain dengan teman di lingkungan rumah. Anak lebih senang bermain komputer atau games, menonton televisi atau video dibanding melakukan aktivitas fisik (Hidayati et al. 2009). Suatu studi dari ALSPAC (Avon Longitudinal Study of Parents and Children) di Inggris menunjukkan kaitan antara menonton televisi dengan kejadian obesitas. Anak yang menonton televisi lebih dari delapan jam seminggu memiliki kemungkinan menjadi obes 1.5 kali lebih besar dibandingkan anak yang menonton televisi kurang dari delapan jam per minggu. Menonton televisi juga sangat berkaitan erat dengan kebiasaan makan makanan ringan (snacking) yang akan memberikan asupan energi yang tinggi (Reilly et al. 2005). Beberapa penelitian menghubungkan durasi tidur yang singkat dengan kelebihan berat badan pada anak dan remaja. Studi yang dilakukan pada remaja di Arab Saudi menunjukkan bahwa durasi tidur yang pendek berhubungan secara signifikan dengan peningkatan risiko overweight dan obesitas (Al-Hazza et al. 2012). Lebih lama tidak tidur juga berarti lebih banyak kesempatan untuk makan (Taveras 2012). Orang yang kurang tidur memiliki selera makan yang berbeda dan hormon yang berhubungan dengan rasa lapar, seperti leptin dan ghrelin (Priyambodo 2010). Kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan dalam skema di Gambar 1.
4
Karakteristik contoh - Umur - Jenis kelamin - Pendidikan orang tua
Faktor genetik
Konsumsi pangan
Status gizi Persen lemak tubuh
Kebiasaan menonton televisi: - Durasi - Snacking
Indeks massa tubuh (IMT/U)
Kebiasaan tidur: - Durasi - Waktu - Gangguan
-
Status kesehatan Metabolisme Enzim dan hormon Obat-obatan
Tingkat aktivitas fisik (PAL)
Keterangan: : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang diteliti : Hubungan yang tidak diteliti Gambar 1 Kerangka pemikiran “Hubungan Kebiasaan Tidur dan Menonton Televisi dengan Status Gizi Remaja di SMP Bina Insani Bogor”
5
METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Waktu penelitian dimulai dari bulan Desember 2013 hingga Februari 2014. Penelitian dilakukan di SMP Bina Insani yang berada di Kota Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan kemudahan akses selama penelitian. SMP tersebut juga merupakan sekolah swasta dengan rata-rata murid dari keluarga ekonomi menengah ke atas sehingga peluang memperoleh anak berstatus gizi lebih cukup tinggi. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Bina Insani Bogor yang berjumlah 154 siswa. Kelas VII dan IX tidak diambil sebagai subjek penelitian dengan pertimbangan kelas VII merupakan siswa baru yang masih beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan kelas IX yang sedang persiapan Ujian Akhir Nasional. Metode yang digunakan dalam penarikan contoh adalah secara purposive sampling. Contoh dalam penelitian ini merupakan siswa yang memiliki kriteria inklusi yang telah ditetapkan sebelumnya. Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: a. berumur 13–15 tahun b. tidak dalam keadaan sakit c. memiliki status gizi normal dan lebih berdasarkan hasil pengukuran Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) d. bersedia untuk dijadikan sampel dalam penelitian. Penelitian ini diawali dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan untuk mengetahui jumlah siswa SMP yang memiliki status gizi normal dan lebih. Selanjutnya, siswa terpilih diukur persentase lemak tubuh total dan diberikan kuesioner penelitian. Penentuan jumlah contoh minimal yang digunakan pada penelitian ini menggunakan rumus Lemeshow dan David (1997):
Keterangan: n = jumlah subjek minimum yang diperlukan Z = 1.96 (α = 0.05) P = proporsi gizi lebih pada anak 13–15 tahun di Jawa Barat (2.50%) = toleransi estimasi d Berdasarkan perhitungan di atas, didapatkan jumlah subjek penelitian minimal yang diperlukan adalah 38 orang, namun yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 48 orang dari siswa kelas VIII yang dipilih secara acak.
6 Jenis dan Cara Pengambilan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Jenis data primer yang dikumpulkan adalah: a. Data karakteristik contoh (umur, jenis kelamin dan pendidikan orang tua) diperoleh dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner. b. Data antropometri contoh meliputi berat badan, tinggi badan, dan persen lemak tubuh yang diperoleh melalui pengukuran secara langsung. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur berat badan yaitu timbangan injak digital, alat ukur tinggi badan yaitu microtoise dan alat ukur persen lemak tubuh yaitu body fat analyzer. c. Data aktivitas fisik (tingkat aktivitas fisik, kebiasaan tidur dan menonton televisi) contoh diperoleh melalui metode recall 2 x 24 jam pada hari sekolah dan hari libur serta wawancara langsung dengan kuesioner. Data sekunder yang akan dikumpulkan diperoleh melalui buku profil sekolah, data tersebut meliputi sejarah sekolah, data guru dan siswa SMP keseluruhan, lokasi sekolah, fasilitas sarana dan prasarana sekolah. Tabel 1 Jenis dan cara pengambilan data Jenis Data Karakteristik contoh
Primer
Variabel - Jenis kelamin - Umur - Pendidikan orang tua
Cara Pengambilan Data - Pengisian kuesioner
Antropometri contoh
Primer
- Berat badan - Tinggi badan - Persen lemak tubuh
- Timbangan injak digital dengan ketelitian 0.50 kg - Microtoise dengan ketelitian 0.10 cm - Body fat analyzer (Omron-BHF 306).
Aktivitas fisik contoh
Primer
- Tingkat aktivitas fisik (PAL) - Kebiasaan tidur - Durasi tidur - Waktu tidur - Gangguan tidur - Kebiasaan menonton televisi - Durasi menonton - Konsumsi camilan
- Pengisian kuesioner - Recall aktivitas 2 x 24 jam selama satu hari libur dan sekolah untuk PAL.
Profil sekolah
Sekunder
- Gambaran umum sekolah
- Buku profil SMP Bina Insani Bogor
7 Pengolahan dan Analisis Data Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, cleaning, dan analisis. Proses editing adalah pemeriksaan seluruh kuesioner setelah data terkumpul. Coding adalah pemberian angka atau kode tertentu terhadap jawaban pertanyaan dalam kuesioner. Entry adalah memasukkan data jawaban kuesioner sesuai kode yang telah ditentukan untuk masing-masing variabel sehingga menjadi suatu data dasar. Cleaning yaitu melakukan pengecekan terhadap data di luar pilihan jawaban yang disediakan kuesioner. Data yang telah diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Windows versi 16.0. Variabel dan kategori data penelitian ditunjukkan oleh Tabel 2. Data yang diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif, yaitu jenis kelamin, umur, pendidikan orang tua, indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U), persen lemak tubuh, tingkat aktivitas fisik (PAL), durasi tidur, waktu tidur, gangguan tidur, durasi menonton televisi dan konsumsi camilan. Analisis statistik inferensia digunakan untuk hubungan karakteristik contoh, kebiasaan tidur, kebiasaan menonton televisi, tingkat aktivitas fisik, dan persen lemak tubuh dengan IMT/U. Hubungan antar variabel diuji menggunakan uji korelasi yang bergantung pada jenis data hasil penelitian, yakni data kontinu dan kategorik. Uji korelasi yang digunakan adalah uji Pearson, Spearman dan Chi-Square. Selain uji korelasi, data juga diuji beda dengan mengggunakan uji MannWhittney U atau T-Test yang bergantung pada jenis data penelitian. Sebelum dianalisis, data diuji normalitas terlebih dahulu menggunakan uji One Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Data dinyatakan memiliki sebaran normal jika lebih dari 0.05. Uji Pearson digunakan apabila kedua variabel memiliki jenis data kontinu dan sebaran normal. Jika salah satu atau kedua variabel memiliki sebaran tidak normal maka menggunakan uji Spearman. Uji Chi-Square digunakan jika jenis data berupa kategorik. Uji Mann Whitney U digunakan jika variabel yang dibedakan memiliki sebaran tidak normal, sebaliknya uji T-Test digunakan apabila variabel memilik sebaran normal. Berat dan tinggi badan contoh digunakan untuk pengukuran status gizi dengan klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U). Hasil yang diperoleh kemudian dikategorikan berdasarkan WHO (2007) untuk anak umur 5– 18 tahun. Kategori status gizi IMT/U ditunjukkan oleh Tabel 3. Aktivitas fisik selama 24 jam digunakan untuk menaksir pengeluaran energi. Jenis aktivitas fisik yang dilakukan contoh dikategorikan menjadi 18 jenis kategori berdasarkan Physical Activity Ratio (PAR) menurut FAO/WHO/UNU (2001). Kategori aktivitas fisik berdasarkan nilai PAR ditunjukkan pada Tabel 4.
8 Tabel 2 Variabel dan kategori yang digunakan dalam penelitian. Variabel Status gizi berdasarkan IMT/U (WHO 2007)
Pendidikan orang tua (Pramudita 2011)
Persen lemak tubuh remaja (Ross 2013) a. Remaja perempuan
b. Remaja laki-laki
Tingkat aktivitas fisik (FAO/WHO/UNU 2001) Kebiasaan tidur Durasi tidur (Hermana 2009)
Waktu tidur Gangguan tidur
berdasarkan
1. 2. 3. 4. 5.
Kategori Sangat kurus (< -3 SD) Kurus (-3 s/d < -2 SD) Normal (-2 s/d +1 SD) Overweight (> +1 s/d +2 SD) Obesitas (> +2 SD)
1. 2. 3. 4.
SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Tamat Perguruan Tinggi
1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4.
Low (12–15%) Considered health (16–25%) Overweight (26–30%) Obes (> 30%) Low (5–10%) Considered health (11–25%) Overweight (26–30%) Obes (> 30%)
PAL 1. Aktivitas ringan (1.40–1.69) 2. Aktivitas sedang (1.70–1.99) 3. Aktivitas berat (2.00–2.40) 1. Kurang (< 7 jam per hari) 2. Cukup (7–9 jam per hari) 3. Lebih (> 9 jam per hari) 1. 2. 1. 2.
Kebiasaan menonton televisi a. Durasi menonton televisi (Dunstan et al. a. 2010 dalam Kusramadhanty 2012) b. c. a. Konsumsi snack 1. 2.
≥ pukul 22.00 WIB < pukul 23.00 WIB Ya Tidak Ringan (< 2 jam per hari) Sedang (2–4 jam per hari) Berat (> 4 jam per hari) Ya Tidak
Tabel 3 Kategori status gizi anak umur 5–18 tahun berdasarkan IMT/U Kategori Sangat kurus Kurus Normal Overweight Obesitas Sumber: (WHO 2007).
Batas Z-score < -3 SD -3 SD sampai dengan < -2 SD -2 SD sampai dengan +1 SD > +1 SD sampai dengan +2 SD > +2 SD
9 Tabel 4 Kategori aktivitas fisik berdasarkan nilai PAR Kategori PAL 1 PAL 2 PAL 3 PAL 4 PAL 5 PAL 6 PAL 7 PAL 8 PAL 9 PAL 10 PAL 11 PAL 12 PAL 13 PAL 14 PAL 15 PAL 16 PAL 17 PAL 18
Katerangan Tidur (tidur siang dan tidur malam) Tidur-tiduran (tidak tidur, duduk diam, dan membaca) Duduk sambil menonton TV Berdiam diri, beribadah, menunggu (berdiri), dan berhias Makan dan minum Jalan santai Berbelanja (membawa beban) Mengendarai kendaraan Menjaga anak Melakukan pekerjaan rumah (bersih-bersih dan lain-lain) Setrika pakaian (duduk) Kegiatan berkebun Office worker (duduk di depan meja, menulis, dan mengetik) Office worker (berjalan mondar-mandir sambil membawa arsip) Exercise (badminton) Exercise (jogging, lari jarak jauh) Exercise (bersepeda) Exercise (aerobik, berenang, sepak bola, dan lain-lain)
PAR 1.00 1.20 1.72 1.50 1.60 2.50 5.00 2.40 2.50 2.75 1.70 2.70 1.30 1.60 4.85 6.55 3.60 7.50
Sumber: FAO/WHO/UNU (2001)
Nilai PAR diperlukan untuk menentukan tingkat aktivitas fisik (Physical Activity Level). Nilai Physical Activity Level (PAL) dihitung dengan menggunakan rumus:
Kategori tingkat aktivitas Physical Activity Level (PAL) dibedakan menjadi tiga, yaitu aktivitas ringan, sedang dan berat menurut FAO/WHO/UNU (2001), seperti yang disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL Kategori Aktivitas ringan Aktivitas sedang Aktivitas berat
Nilai PAL 1.40 – 1.69 1.70 – 1.99 2.00 – 2.40
Durasi tidur diklasifikasi menjadi tiga kategori menurut Hermana (2009), yaitu kurang (< 7 jam per hari), cukup (7–9 jam per hari), dan lebih (> 9 jam per hari). Durasi menonton televisi diklasifikasikan menjadi tiga kategori menurut Dunstan et al. (2010) dalam Kusramadhanty (2012), yaitu ringan (< 2 jam per hari), sedang ( ≥ 2 jam sampai < 4 jam per hari), dan berat (≥ 4 jam per hari). Persen lemak merupakan perbandingan antara jumlah lemak yang ada dalam tubuh dengan keseluruhan berat badan. Pada penelitian ini, cut off point persen lemak berdasarkan umur remaja 13–17 tahun. Menurut Ross (2013), persen lemak tubuh terdiri atas empat kategori yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Pada
10 remaja perempuan, kategori persen lemak terdiri atas low (12–15%), considered health (16–25%), overweight (26–30%), dan obes (> 30%), sedangkan remaja laki-laki terdiri atas low (5–10%), considered health (11–25%), overweight (26– 30%), dan obes (> 30%).
DEFINISI OPERASIONAL Aktivitas Fisik adalah alokasi waktu (24 jam) yang dihabiskan anak gemuk dan normal untuk melakukan aktivitas setiap hari di sekolah, di luar sekolah, kegiatan di luar rumah baik pada hari sekolah dan hari libur. Antropometri adalah metode yang digunakan dalam melakukan penilaian status gizi secara langsung yaitu tinggi badan, berat badan. Contoh adalah siswa-siswi kelas VIII SMP Bina Insani yang memiliki status gizi normal dan kegemukan. Karakteristik contoh adalah ciri-ciri dan keadaan umum contoh yang meliputi umur, jenis kelamin, tinggi badan dan berat badan. Kebiasaan adalah kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari. Obesitas adalah akumulasi jaringan lemak dibawah kulit yang berlebihan dan menggangu kesehatan tubuh. Overweight adalah berat badan melebih standar berat badan menurut tinggi badan, meningkatnya otot tubuh atau jaringan lemak atau keduanya. Pendidikan adalah jenjang pendidikan tertinggi yang pernah ditempuh yang dikategorikan menjadi tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, dan tamat Perguruan Tinggi. Remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa dimulai sejak umur 10 hingga 19 tahun. Status gizi adalah suatu kondisi gizi contoh yang ditentukan dengan hasil Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) dengan kategori sangat kurus (< -3 SD), kurus (-3 SD s/d <-2 SD), normal (-2 SD s/d +1 SD), overweight (> +1 SD s/d +2 SD) dan obesitas (> +2 SD). Persen lemak tubuh adalah perbandingan seluruh jumlah lemak yang ada di dalam tubuh dengan berat badan secara keseluruhan. Tingkat aktivitas fisik adalah intensitas kegiatan contoh yang dinyatakan dengan nilai PAL (Physical Activity Level). Durasi menonton televisi adalah lama waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi selama 24 jam. Durasi tidur adalah lama waktu yang dihabiskan untuk tidur selama 24 jam.
11
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Sekolah SMP Bina Insani adalah sekolah berciri khas Islam yang berkualitas. SMP Bina Insani merupakan salah satu unit pendidikan di bawah naungan Yayasan Bosowa Bina Insani yang berdiri pada tahun ajaran 1992–1993. SMP Bina Insani termasuk ke dalam jajaran SMP unggulan di Kota Bogor dengan nilai akreditasi A. Sebagai salah satu sekolah unggulan, SMP Bina Insani banyak mendapatkan prestasi baik bidang akademik maupun non-akademik. Sekolah ini terletak di Jalan KH. Sholeh Iskandar, Sukadamai, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat. Bangunan sekolah menempati lahan seluas 1260 m2 dengan luas tanah sebesar 1840 m2. Ruang belajar terdiri atas enam kelas dengan siswa sebanyak ± 25 orang per kelas. Sekolah ini memiliki sistem full day (Senin–Jumat) yang dimulai dari pukul 07.15 hingga 16.00 WIB. Pada tahun 2002, SMP Bina Insani memperoleh penghargaan sebagai Sekolah Bermutu Tinggi dari Departemen Pendidikan Nasional. Selain itu, SMP Bina Insani dipercaya menjadi Sekolah Standar Nasional (SSN) dengan tenagatenaga pendidik professional dalam bidangnya. Fasilitas yang disediakan oleh sekolah terdiri atas ruang kantor, ruang kelas, perpustakaan, laboratorium IPA dan komputer, ruang multimedia, ruang kesenian, lapangan olahraga dan upacara, serta aula serba guna. Dalam rangka membantu mengembangkan potensi, minat, dan bakat anak didik yang positif, maka dikembangkan berbagai jenis kegiatan ekstrakulikuler yang meliputi ekskul wajib dan pilihan. Ekskul wajib terdiri atas Pramuka, PMR, Passus dan Kimbani. Ekskul pilihan terdiri atas Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), bahasa inggris, sepak bola, basket, taekwondo, karate, paduan suara, gitar assamble. Karakteristik Contoh Umur Remaja atau adolescents merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. WHO (2008) membagi umur remaja menjadi dua, yaitu remaja awal (10– 14 tahun) dan remaja akhir (15–19 tahun). Contoh penelitian yang diambil pada penelitian ini adalah siswa dan siswi SMP Bina Insani Bogor yang berjumlah 48 orang. Contoh penelitian berasal dari seluruh kelas VIII yang terbagi menjadi enam kelas. Umur contoh pada penelitian ini berada pada rentang 13–15 tahun. Sebaran contoh berdasarkan umur ditunjukkan oleh Tabel 6. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan umur Umur (tahun) 13 14 15 Total Rata-rata ± SD
n 45 3 0 48
Persentase (%) 93.75 6.25 0.00 100.00 13.06 ± 0.25
12 Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa sebanyak 45 orang contoh berumur 13 tahun dengan persentase sebesar 93.75%. Rata-rata umur contoh adalah 13.06 ± 0.25 tahun. Dengan demikian, umur contoh tergolong pada umur remaja awal berdasarkan WHO (2008). Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan karakteristik contoh yang diduga mempengaruhi status gizi. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan oleh Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh adalah perempuan. Jumlah contoh perempuan sebanyak 25 orang dengan persentase sebesar 52.08%, sedangkan contoh laki-laki sebanyak 23 orang dengan persentase sebesar 47.92%. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total
n 23 25 48
Persentase (%) 47.92 52.08 100.00
Pendidikan Orang Tua Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka status gizi anak cenderung lebih baik. Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua ditunjukkan oleh Tabel 8. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua Pendidikan orang tua Ayah
Total Ibu
Total
SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Tamat Perguruan Tinggi SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Tamat Perguruan Tinggi
n 0 0 2 46 48 0 0 4 44 48
Persentase (%) 0.00 0.00 4.17 95.83 100.00 0.00 0.00 8.33 91.67 100.00
Berdasarkan Tabel 8, hampir seluruh pendidikan orang tua baik ayah maupun ibu terdapat pada kategori Tamat Perguruan Tinggi. Persentase pendidikan ayah yang tamat perguruan tinggi sebesar 95.83%, sedangkan persentase pendidikan ibu yang tamat perguruan tinggi sebesar 91.67%. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010, pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar dimulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) atau sederajatnya hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajatnya. Pendidikan
13 menengah setara dengan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajatnya, sedangkan pendidikan tinggi terdiri atas Diploma, Sarjana, Magister, Doktor dan Profesor. Dengan demikian, pendidikan kedua orang tua contoh sebagian besar tergolong pada kategori pendidikan tinggi. Tingkat pendidikan orang tua berpengaruh terhadap sikap dan perilaku hidup sehat keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula kemampuan seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari (Atmarita dan Fallah 2004). Status Gizi Indeks Massa Tubuh Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumber daya manusia dan kualitas hidup. Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan pengunaan zat gizi (Kusramadhanty 2012). Status gizi dapat ditentukan dengan pengukuran indeks massa tubuh (IMT/U) dan persen lemak tubuh. Sebaran status gizi IMT/U berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan oleh Tabel 9. Tabel 9 Sebaran status gizi IMT/U berdasarkan jenis kelamin IMT/U Normal Overweight Obesitas Total
Laki-laki n % 8 34.78 6 26.09 9 39.13 23 100.00
Perempuan n % 20 80.00 2 8.00 3 12.00 25 100.00
Total n 28 8 12 48
% 58.33 16.67 25.00 100.00
p-value 0.002
Berdasarkan Tabel 9, diketahui bahwa lebih dari setengah status gizi contoh termasuk pada kategori normal dengan persentase sebesar 58.33%. Namun, sebaran status gizi contoh laki-laki dan perempuan berbeda. Sebagian besar status gizi contoh laki-laki tergolong obesitas dengan persentase 39.13%. Pada contoh perempuan, sebagian besar status gizi tergolong normal dengan persentase 80.00%. Berdasarkan hasil uji Mann-Withney U, terdapat perbedaan signifikan (p = 0.002) antara contoh laki-laki dan perempuan pada status gizi. Penelitian Proper et al. (2006) menyatakan bahwa laki-laki secara signifikan memiliki kemungkinan untuk menjadi overweight dan obesitas dibandingkan dengan perempuan. Hal ini karena laki-laki cenderung menghabiskan lebih banyak waktu untuk santai di akhir minggu atau waktu senggang. Selain itu pada anak perempuan, body image atau citra tubuh diduga mempengaruhi status gizinya. Perempuan cenderung untuk menurunkan berat badan dengan cara diet sehingga memiliki berat badan ideal. Persen Lemak Tubuh Komposisi tubuh manusia terdiri atas dua bagian utama, yaitu adiposa (simpanan lemak) dan jaringan bebas lemak (lean tissue). Komposisi tubuh dapat ditentukan melalui persen lemak tubuh. Persen lemak tubuh merupakan total
14 massa lemak dibagi total berat badan. Persen lemak tubuh terdiri atas lemak esensial dan simpanan lemak. Lemak esensial adalah lemak yang dibutuhkan untuk menjaga fungsi kehidupan dan reproduksi. Simpanan lemak adalah akumulasi lemak pada jaringan adiposa yang melindungi organ internal dalam dada dan perut (Intan 2008). Sebaran persen lemak tubuh berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan oleh Tabel 10. Tabel 10 Sebaran persen lemak tubuh berdasarkan jenis kelamin Persen lemak tubuh Low Considered healthy Overweight Obes Total
Laki-laki % 0 0.00 9 39.13 7 30.43 7 30.43 23 100.00
n
Perempuan n % 0 0.00 13 52.00 6 24.00 6 24.00 25 100.00
n 0 22 13 13 48
Total % 0.00 45.57 27.22 27.22 100.00
p-value
0.05
Berdasarkan Tabel 10, diketahui bahwa sebagian besar persen lemak tubuh contoh tergolong considered healthy atau normal dengan persentase sebesar 45.57%. Baik contoh laki-laki maupun contoh perempuan, sebagian besar tergolong considered healthy dengan persentase masing-masing sebesar 39.13% dan 52.00%. Berdasarkan hasil uji Mann-Withney U, tidak terdapat perbedaan signifikan (p = 0.05) antara contoh laki-laki dan perempuan pada persen lemak tubuh. Menurut WHO (2000), perempuan cenderung mengalami peningkatan lemak. Umumnya perempuan memiliki jumlah lemak lebih besar dibandingkan laki-laki. Pada masa pra-pubertas, proporsi lemak, otot dan massa otot-tanpalemak pada laki-laki dan perempuan cenderung sama. Tetapi ketika masa pubertas, massa otot pada laki-laki menjadi lebih banyak dibandingkan perempuan (Soetardjo et al. 2011). Sejalan dengan hasil penelitian Madan et al. (2014) yang menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki rata-rata persen lemak tubuh lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan saat pubertas. Aktivitas Fisik Menurut Almatsier (2001), aktivitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam tubuh, di samping metabolisme basal. Aktivitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total energy expenditure. Penelitian di negara maju menunjukkan hubungan antara aktvitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Menurut WHO (2000), kehidupan modern telah memberikan pola hidup yang lebih efisien. Ketika di tempat umum, tersedia eskalator atau lift untuk menghemat waktu. Sistem transportasi yang semakin canggih menyebabkan seseorang dapat menempuh jarak jauh dengan lebih cepat dan mudah dibandingkan dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Perkembangan ekonomi dan teknologi juga berpengaruh terhadap penurunan aktivitas fisik. Penurunan aktivitas fisik inilah yang pada akhirnya berujung pada kejadian gizi lebih.
15 Tingkat Aktivitas Fisik (PAL) Aktivitas fisik dapat diukur nilainya dengan menggunakan perhitungan tingkat aktivitas fisik atau Physical Activity Level (PAL). Sebaran tingkat aktivitas fisik berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan oleh Tabel 11. Tabel 11 Sebaran tingkat aktivitas fisik berdasarkan jenis kelamin PAL Ringan Sedang Berat Total Rata-rata
Laki-laki % n
Perempuan n %
21 2 0 23
22 3 0 25
91.30 8.70 0.00 100.00
88.00 12.00 0.00 100.00 1.51 ± 0.13
Total n
%
43 5 0 48
89.58 10.42 0.00 100.00
p-value
0.71
Berdasarkan Tabel 11, diketahui bahwa sebagian besar tingkat aktivitas fisik contoh baik laki-laki maupun perempuan termasuk kategori rendah dengan persentase sebesar 91.30% dan 88.00%. Rata-rata tingkat aktivitas fisik atau PAL contoh adalah 1.51 ± 0.13. Nilai PAL tersebut termasuk dalam kategori aktivitas rendah, yakni antara 1.40 dan 1.69 (FAO/WHO/UNU 2001). Berdasarkan hasil uji Mann-Withney U, tidak terdapat perbedaan signifikan (p = 0.71) antara contoh laki-laki dan perempuan pada tingkat aktivitas fisik. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 11, baik contoh laki-laki maupun perempuan sebagian besar aktivitas fisik tergolong aktivitas ringan (sedentary). Contoh laki-laki lebih senang menghabiskan waktu luang dengan bermain games dan menonton televisi, begitu pula dengan contoh perempuan. Berdasarkan data recall aktivitas fisik 2 x 24 jam, sebagian besar waktu senggang dihabiskan untuk bersantai dibandingkan dengan berolahraga. Pada hari sekolah, contoh lebih banyak menghabiskan waktu untuk duduk diam dan belajar, sedangkan pada hari libur contoh lebih memilih menghabiskan waktu dengan menonton televisi. Dengan demikian, baik hari sekolah maupun hari libur aktivitas fisik contoh cenderung tidak aktif (sedentary) Menurut data Riskesdas (2007), prevalensi nasional kurang aktivitas fisik pada penduduk umur lebih dari 10 tahun adalah 48.20%. Prevalensi kurang aktivitas fisik penduduk perkotaan (57.60%) lebih tinggi dibandingkan pedesaan (42.40%). Lingkungan rumah juga berpengaruh terhadap aktivitas fisik anak. Lingkungan rumah yang tidak mendukung menyebabkan anak lebih memilih bermain di dalam rumah dibandingkan dengan di luar rumah (Hidayati et al. 2009). Dengan demikian, aktivitas fisik cenderung lebih rendah. Aktivitas fisik yang cukup dilakukan selama 10 menit secara terus-menerus tanpa henti dalam satu kegiatan atau sebanyak 150 menit selama lima hari dalam seminggu (Riskesdas 2007). Menurut Physical Activity Guidelines for Americans, setiap anak minimal harus melakukan aktivitas fisik 60 menit setiap harinya dengan tingkat aktivitas sedang (moderate) hingga berat (vigorous). Anak melakukan aktivitas intensitas berat paling sedikit tiga hari seminggu. Aktivitas tersebut dapat berupa latihan aerobik atau aktivitas yang memperkuat tulang dan otot (HHS 2008)
16 Kebiasaan Tidur Tidur merupakan keadaan hilangnya kesadaran secara normal dan periodik. Tidur yang cukup membuat tubuh memiliki kesempatan untuk beristirahat dan memulihkan kondisi tubuh baik secara fisiologis maupun psikis. Tidur dianggap sebagai perlindungan bagi tubuh untuk menghindarkan dari pengaruh yang merugikan kesehatan akibat kurang tidur (Lanywati 2001). Durasi Tidur Malam Durasi tidur merupakan lamanya waktu yang dihabiskan untuk tidur. Pada penelitian ini, durasi tidur yang diteliti adalah lamanya waktu tidur contoh pada malam hari. Sebaran durasi tidur berdasarkan jenis kelamin contoh ditunjukkan oleh Tabel 12. Tabel 12 Sebaran durasi tidur malam berdasarkan jenis kelamin contoh Durasi tidur malam Lebih Cukup Kurang Total
Laki-laki n % 1 4.35 13 56.52 9 39.13 23 100.00
Perempuan n % 3 12.00 19 76.00 3 12.00 25 100.00
Total n 4 32 12 48
% 8.33 66.67 25.00 100.00
p-value 0.03
Berdasarkan Tabel 12, diketahui bahwa sebagian besar durasi tidur malam contoh baik laki-laki maupun perempuan termasuk kategori cukup. Contoh lakilaki dan perempuan yang menghabiskan waktu 7–9 jam setiap malam untuk tidur masing-masing sebanyak 56.52% dan 76.00%. National Sleep Foundation (c2013) merekomendasikan durasi tidur untuk remaja adalah 8.50–9.50 jam per hari. Berdasarkan hasil uji Mann-Withney U, terdapat perbedaan signifikan (p = 0.03) antara contoh laki-laki dan perempuan pada durasi tidur malam. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 12, contoh laki-laki yang memiliki durasi tidur malam yang kurang lebih banyak dibandingkan contoh perempuan. Pada perempuan, jumlah contoh dengan durasi tidur kurang dan lebih memiliki proporsi yang sama banyak. Waktu Tidur Malam Selain durasi tidur, waktu tidur juga berpengaruh terhadap lamanya tidur malam. Semakin larut waktu tidur maka semakin pendek kemungkinan durasi tidur. Sebaran waktu tidur berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan oleh Tabel 13. Tabel 13 Sebaran waktu tidur berdasarkan jenis kelamin Waktu tidur ≥ 22.00 wib < 22.00 wib Total
Laki-laki n % 12 52.17 11 47.83 23 100.00
Perempuan n % 17 68.00 8 32.00 25 100.00
Total n 29 19 48
% 60.42 39.58 100.00
p-value 0.27
17 Berdasarkan Tabel 13, diketahui bahwa sebagian besar contoh tidur pada waktu ≥ 22.00 WIB dengan persentase sebesar 60.42%. Baik contoh laki-laki maupun perempuan memiliki presentase masing-masing sebesar 52.17% dan 68.00%. Anak yang tidur larut malam kemungkinan akan memiliki durasi tidur yang lebih pendek dibandingkan anak yang tidur tepat waktu. National Sleep Foundation (c2013) menyarankan waktu tidur anak tidak lebih dari pukul 23.00. Berdasarkan hasil uji Mann-Withney U, tidak terdapat perbedaan signifikan (p = 0.27) antara contoh laki-laki dan perempuan pada waktu tidur. Hal ini diduga karena baik laki-laki maupun perempuan menggunakan waktu tidur mereka untuk melakukan hal lain. Menurut recall aktivitas fisik 2 x 24 jam, contoh tidur larut malam dikarenakan waktu tidur mereka digunakan untuk menonton televisi, video dan membuka media sosial. Gangguan Tidur Gangguan tidur juga dapat mempengaruhi durasi dan waktu tidur contoh. Gangguan tidur secara garis besar terdiri atas, disomnia dan parasomnia. Disomnia adalah gangguan terutama dalam kualitas, waktu atau lamanya tidur, seperti sleep refusal dan night waking. Sebaliknya, parasomnia adalah gangguan karena kejadian abnormal yang terjadi selama tidur, seperti night terrors, nightmare, sleep walking dan sleep talking (Widodo dan Soetomenggolo 2000). Pada penelitian ini, gangguan tidur hanya berdasarkan mengalami atau tidak gangguan tidur. Sebaran gangguan tidur berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan oleh Tabel 14. Tabel 14 Sebaran gangguan tidur berdasarkan jenis kelamin Gangguan tidur Ya Tidak Total
Laki-laki n % 5 21.74 18 78.26 23 100.00
Perempuan n % 5 20.00 20 80.00 25 100.00
Total n 10 38 48
% 20.83 79.17 100.00
p-value 0.88
Berdasarkan Tabel 14, diketahui bahwa sebagian besar contoh tidak mengalami gangguan tidur dengan persentase sebesar 79.17%. Baik contoh lakilaki maupun perempuan, sebagian besar tidak mengalami gangguan tidur dengan masing-masing persentase sebesar 78.26% dan 80.00%. Gangguan tidur dapat menyebabkan perubahan pada siklus tidur biologiknya, menurunnya daya tahan tubuh dan konsentrasi, depresi, mudah tersinggung serta kelelahan. Pada akhirnya akan menyebabkan masalah kesehatan (Japardi 2002). Berdasarkan uji MannWithney U, tidak terdapat perbedaan signifikan (p = 0.88) antara contoh laki-laki dan perempuan pada gangguan tidur. Salah satu upaya untuk mengurangi gangguan tidur adalah dengan mematikan lampu ketika tidur. Dalam keadaan gelap, tubuh akan menghasilkan hormon melatonin. Melatonin merupakan hormon yang berperan dalam siklus tidur-bangun. Melatonin mampu mencegah dan melawan berbagai penyakit termasuk kanker payudara dan prostat (NSF c2014). Selain itu, keadaan gelap
18 akan membantu tubuh lebih rileks dan meningkatkan kualitas tidur. Proporsi contoh yang mematikan lampu ketika tidur dapat dilihat pada Gambar 2.
27% mati 73%
nyala
Gambar 2 Proporsi contoh yang mematikan lampu ketika tidur Berdasarkan Gambar 2, persentase contoh yang mematikan lampu ketika tidur sebesar 73.00% atau sebanyak 35 orang. Menurut studi yang diterbitkan dalam jurnal Sleep Medicine bahwa tidur dengan lampu menyala dihubungkan dengan tidur yang terganggu. Terganggunya tidur bahkan bisa membuat seseorang terbangun beberapa kali dalam semalaman. Para peneliti menemukan bahwa ketika responden tidur dengan lampu menyala maka tingkat kelelapan tidur lebih rendah dan gelombang tidur lebih lambat. Sebuah artikel dalam jurnal Nature yang ditulis Charles A. Czeisler, MD, Ph.D menyatakan bahwa paparan sinar lampu membuat seseorang merasa seperti “kurang tidur” (Kinanti 2013). Kebiasaan Menonton Televisi Menonton televisi adalah salah satu kegiatan favorit yang dilakukan pada waktu senggang. Harvard School of Public Health (c2014) melaporkan bahwa setelah bekerja dan tidur, menonton televisi adalah aktivitas yang paling umum dilakukan di Amerika. Menonton televisi menghabiskan lebih dari setengah semua waktu senggang atau sebanyak 5 jam setiap harinya. Durasi Menonton Televisi Penelitian terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka yang menonton televisi 5 jam per hari mempunyai risiko obesitas sebesar 5 kali lebih besar dibandingkan dengan menonton televisi 2 jam setiap harinya (Hidayati et al. 2009 dalam Pramudita 2011). Sebaran durasi menonton berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan oleh Tabel 15.
19 Tabel 15 Sebaran durasi menonton berdasarkan jenis kelamin Durasi menonton Ringan Sedang Berat Total
Laki-laki n % 4 17.39 13 56.52 6 26.09 23 100.00
Perempuan n % 5 20.00 12 48.00 8 32.00 25 100.00
Total n 9 25 14 48
% 18.75 52.08 29.17 100.00
p-value 0.85
Berdasarkan Tabel 15, diketahui bahwa sebagian besar contoh memiliki durasi menonton televisi yang tergolong sedang dengan persentase sebesar 52.08%. Contoh laki-laki memiliki persentase sebesar 56.52% dan contoh perempuan memiliki persentase sebesar 48.00%. Dengan demikian, sebagian besar contoh memiliki durasi menonton televisi sebanyak 2–4 jam perhari. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U, tidak terdapat perbedaan signifikan (p = 0.85) antara contoh laki-laki dan perempuan pada durasi menonton televisi. Menonton televisi berisiko menyebabkan obesitas karena kegiatan ini mengambil waktu anak yang seharusnya digunakan untuk melakukan aktivitas fisik lainnya. Aktivitas fisik yang kurang menyebabkan penurunan energy expenditure (Reilly et al. 2005) Konsumsi Makanan Ringan (Camilan) Menonton televisi berkaitan dengan kebiasaan mengonsumsi makanan ringan (camilan). Camilan menyebabkan ketidakseimbangan neraca energi karena peningkatan asupan energi dari camilan. Ketidakseimbangan inilah yang berisiko menyebabkan obesitas (Reilly et al. 2005). Sebaran konsumsi camilan saat menonton berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran konsumsi camilan saat menonton berdasarkan jenis kelamin Konsumsi camilan Ya Tidak Total
Laki-laki n % 6 26.09 17 73.91 23 100.00
Perempuan n % 19 76.00 6 24.00 25 100.00
Total n 25 23 48
% 52.08 47.92 100.00
p-value 0.001
Berdasarkan Tabel 16, diketahui bahwa sebagian besar contoh perempuan mengonsumsi camilan ketika sedang menonton televisi dibandingkan dengan contoh laki-laki. Sebesar 76.00% contoh perempuan mengonsumsi camilan ketika menonton televisi, sedangkan contoh laki-laki hanya sebesar 26.09% yang mengonsumsi camilan. Berdasarkan hasil uji Mann-Withney U, terdapat perbedaan signifikan (p = 0.001) antara contoh laki-laki dan perempuan pada konsumsi snack saat menonton. Konsumsi camilan ketika menonton lebih banyak tejadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Perempuan cenderung mengonsumsi makanan sumber energi pada masa pubertas sedangkan laki-laki cenderung mengonsumsi makanan sumber protein (Soetardjo et al. 2011).
20 Kebiasaan ngemil ini tidak selalu buruk apabila dimaksudkan untuk membantu penyediaan energi yang kurang dari asupan makanan utama sehari-hari. Baik buruknya camilan bergantung pada jenis dan kandungan gizi di dalamnya. Camilan dikatakan buruk apabila berlebihan kandungan gula, garam dan lemak, tetapi rendah protein, vitamin dan mineral (Pramudita 2011). Persentase jenis camilan yang dikonsumsi oleh contoh saat menonton televisi ditunjukkan oleh Gambar 3.
32%
28%
coklat biskuit kacang-kacangan
12%
28%
kripik dan ciki
Gambar 3 Proporsi jenis camilan saat menonton Berdasarkan Gambar 3, diketahui bahwa jenis camilan yang paling banyak dipilih saat menonton televisi adalah keripik dan ciki dengan persentase sebesar 32.00%. Camilan yang paling sedikit dipilih saat menonton televisi adalah kacang-kacangan. Kripik merupakan jenis camilan yang diolah dengan cara digoreng dan memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi. Menurut Hidayati et al. (2009), makanan berlemak mempunyai kandungan energi lebih tinggi dan efek pembakaran dalam tubuh yang lebih kecil dibandingkan makanan yang mengandung protein dan karbohidrat. Selain itu, rasa lezat yang dimiliki makanan berlemak akan meningkatkan selera makan. Peningkatan selera makan inilah yang pada akhirnya menyebabkan konsumsi berlebihan. Camilan seharusnya hanya memberikan 20% dari total energinya. Hubungan Antar Variabel Hubungan antar variabel yang diuji pada penelitian ini adalah hubungan indeks massa tubuh dengan karakteristik contoh, tingkat aktivitas fisik, durasi tidur malam, waktu tidur malam, durasi menonton televisi dan konsumsi camilan, serta hubungan indeks massa tubuh dengan persen lemak tubuh. Hubungan antar variabel ditunjukkan oleh Tabel 17.
21 Tabel 17 Hasil uji hubungan antar variabel dengan indeks massa tubuh Indeks Massa Tubuh (IMT/U) p
Variabel Karakteristik contoh - Umur - Jenis kelamin - Pendidikan ayah - Pendidikan ibu Tingkat aktivitas fisik Kebiasaan tidur - Durasi tidur malam - Wakti tidur malam Kebiasaan menonton televisi - Durasi menonton televisi - Konsumsi camilan Persen lemak tubuh
0.26 **0.01 **0.04 0.05 0.77 **0.01 0.75 0.93 **0.03 *0.00
* Hubungan signifikan pada tingkat 0.01 ** Hubungan signifikan pada tingkat 0.05
Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Umur Hasil uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara indeks massa tubuh dengan umur contoh (p = 0.26). Hal tersebut dikarenakan hampir seluruh contoh berada pada umur yang sama, yakni 13 tahun. Umur contoh tergolong umur remaja awal, yaitu 10–14 tahun (WHO 2008). Umur merupakan faktor penting dalam menentukan status gizi. Penentuan umur yang salah dapat menyebabkan kesalahan dalam interpretasi status gizi (Kusramadhanty 2012). Menurut Manurung (2009), terdapat empat periode kritis terjadinya obesitas, yaitu masa prenatal, masa bayi, masa adiposity rebound dan masa remaja. Obesitas yang terjadi saat remaja, sebanyak 30% akan melanjut sampai dewasa hingga menjadi obesitas persisten. Obesitas yang berlanjut hingga dewasa akan sulit diatasi secara konvensional (diet dan olahraga). Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Jenis Kelamin Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa jenis kelamin berhubungan signifikan dengan indeks massa tubuh contoh (p = 0.01). Berdasarkan tabel tabulasi silang (Tabel 18), sebaran indeks massa tubuh contoh laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan yang berbeda. Contoh perempuan cenderung memiliki indeks massa tubuh normal, sementara contoh laki-laki cenderung obesitas. Tabel 18 Tabulasi silang indeks massa tubuh dengan jenis kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Normal 8 20
Overweight 6 2
Obesitas 9 3
Total 23 25
22 Menurut Almatsier (2001), laki-laki dan perempuan dengan umur yang sama memiliki komposisi tubuh yang berbeda. Perempuan mempunyai lebih banyak jaringan lemak dan lebih sedikit otot dibandingkan laki-laki. Peningkatan hormon androgen berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan tubuh. Hormon estrogen dan progesteron pada perempuan menyebabkan peningkatan timbunan lemak secara proporsional dibandingkan dengan penambahan otot. Sementara pada laki-laki, hormon testosteron menyebabkan peningkatan massa otot secara proporsional (Soetardjo et al. 2011). Studi yang dilakukan oleh Low et al. (2009) menunjukkan prevalensi obesitas pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Pengaruh budaya dan kemakmuran keluarga menyebabkan penurunan aktivitas fisik dan peningkatan diet tinggi energi pada perempuan. Namun, penelitian Proper et al. (2006) dan Sartika (2011) menunjukkan bahwa laki-laki cenderung berisiko obesitas dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena laki-laki cenderung menghabiskan waktu untuk bersantai pada saat senggang, sementara anak perempuan cenderung membatasi makan untuk menjaga penampilan. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Pendidikan Orang Tua Berdasarkan hasil uji Chi-Square, pendidikan ayah menunjukkan hubungan yang signifikan dengan indeks massa tubuh contoh (p = 0.04). Pendidikan ayah diduga berkaitan dengan tingkat status ekonomi keluarga karena pendidikan ayah berhubungan dengan pekerjaan dan tingkat pendapatan keluarga. Tingkat pendapatan yang tinggi berpengaruh terhadap kemudahan akses untuk mendapatkan informasi mengenai kesehatan dan gizi yang lebih baik. Berdasarkan data profil sekolah, hampir seluruh pekerjaan orang tua contoh adalah pegawai swasta dan sebanyak 60% pendapatan keluarga berada pada rentang Rp2 000 000 – Rp5 000 000. Menurut Tabel 19, sebagian besar contoh memiliki indeks massa tubuh normal pada pendidikan ayah yang tamat perguruan tinggi. Namun, contoh yang memiliki indeks massa tubuh obesitas pada pendidikan ayah yang tamat perguruan tinggi juga cukup tinggi. Penelitian Proper et al. (2006) menyatakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap peningkatan risiko overweight dan obesitas. Pada penelitian ini, tingginya tingkat pendidikan ayah berdampak terhadap kemudahan akses dan kenyamanan fasilitas kepada anak, misalnya berangkat dan pulang sekolah diantar menggunakan kendaraan pribadi, tersedianya gadget dan fasilitas lainnya yang menyebabkan anak cenderung memiliki aktivitas sedentary. Berdasarkan data recall 2 x 24 jam, sebagian besar waktu anak dihabiskan untuk menonton televisi, bermain games dan tidur. Tabel 19 Tabulasi silang indeks massa tubuh dengan pendidikan ayah Pendidikan ayah SMA Perguruan Tinggi
Normal 0 28
Overweight 0 8
Obesitas 2 10
Total 2 46
23 Berbeda dengan pendidikan ayah, pendidikan ibu tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan indeks massa tubuh contoh (p = 0.05). Tidak adanya hubungan antara pendidikan ibu dengan indeks massa tubuh contoh diduga disebabkan oleh perkembangan teknologi saat ini (Astuti dan Sulistyowati 2013). Perkembangan teknologi cenderung menyebabkan perubahan gaya hidup dan penurunan aktivitas fisik pada anak. Pada penelitian ini, tingkat pendidikan ibu tergolong pendidikan tinggi. Sejalan dengan penelitian Manurung (2009), ibu yang berpendidikan tinggi mempunyai kekhawatiran yang lebih besar terhadap status gizi anaknya sehingga tanpa disadari memberikan peluang kepada anak untuk makan berlebihan. Sebaliknya, ibu berpendidikan rendah cenderung kurang memperhatikan kandungan zat gizi dalam makanan yang dikonsumsi anaknya. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Tingkat Aktivitas Fisik Uji Pearson tidak menunjukkan hubungan yang signifikan antara tingkat aktivitas fisik dengan indeks massa tubuh contoh (p = 0.77). Padahal aktivitas fisik merupakan komponen penting dalam manajemen pengaturan berat badan. Hal ini sejalan dengan penelitian Intan (2008) dan Manurung (2009) yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian obesitas. Pada penelitian ini, sebagian besar IMT contoh perempuan tergolong normal (80.00%), namun memiliki presentase aktivitas ringan sebesar 88.00%. Menurut Soetardjo (2011), faktor psikososial diduga lebih berpengaruh pada manajemen berat badan contoh perempuan. Selama masa remaja, terjadi perkembangan emosi, fisik, sosial dan intelektual. Kematangan emosi memungkinkan remaja mengembangkan sistem nilainya sendiri. Hal ini menyebabkan mereka dapat memilih makanan yang meningkatkan kesehatannya daripada makanan yang kurang sehat. Selain itu, gambaran tubuh menyebabkan remaja perempuan membatasi asupan makanannya sebagai akibat berat badan yang bertambah karena perkembangan karakteristik seksual sekundernya. Selain tingkat aktivitas fisik, indeks massa tubuh dapat dipengaruhi oleh faktor idiopatik dan lingkungan. Faktor idiopatik yang diduga berhubungan dengan indeks massa tubuh adalah faktor genetik atau keturunan, sedangkan faktor lingkungan antara lain perilaku makan, nerologis, psikologis, gaya hidup dan sosial ekonomi (Hidayati et al. 2009). Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Durasi dan Waktu Tidur Malam Menurut Taveras (2012), hanya satu dari lima remaja yang tidur malam selama 9 jam secara optimal pada hari sekolah. Hampir semua remaja Amerika (97%) memiliki paling sedikit satu macam alat elektronik (televisi, komputer, telepon atau pemutar musik) dalam kamar yang menyebabkan penurunan durasi tidur. Uji Chi-square menunjukkan hubungan yang signifikan durasi tidur malam dengan indeks massa tubuh contoh (p = 0.01). Tabel 20 menunjukkan bahwa contoh yang tidur cukup (7–9 jam sehari) cenderung memiliki indeks massa tubuh yang normal. Namun, contoh yang memiliki durasi tidur kurang (< 7 jam sehari) cenderung memiliki indeks massa tubuh berlebih, yakni overweight dan obesitas.
24 Tabel 20 Tabulasi silang indeks massa tubuh dengan durasi tidur Durasi tidur > 9 jam 7–9 jam < 7 jam
Normal 3 23 2
Overweight 0 3 5
Obesitas 1 6 5
Total 4 32 12
Studi yang dilakukan oleh Al-Hazza et al. (2012) menunjukkan bahwa durasi tidur yang pendek berhubungan secara signifikan dengan peningkatan risiko overweight dan obesitas pada remaja 15–19 tahun di Saudi Arabia. Durasi tidur yang pendek memungkinkan adanya peningkatan kesempatan untuk makan, khususnya jika waktu bangun dihabiskan untuk aktivitas fisik sedentary (Taveras 2012). Penurunan durasi tidur dapat menyebabkan penurunan kadar hormon leptin dan peningkatan kadar hormon ghrelin. Perbedaan rasio kadar leptin dan ghrelin menyebabkan peningkatan napsu makan sehingga asupan energi meningkat (Taheri et al. 2004). Sama halnya dengan studi yang dilakukan oleh Schmid et al. (2008) bahwa penurunan durasi tidur hingga 4 jam selama dua hari berturut-turut menunjukkan penurunan kadar leptin dan peningkatan kadar ghrelin. Durasi tidur yang pendek juga menyebabkan peningkatan kelelahan sehingga terjadi penurunan pengeluaran energi. Pada akhirnya, peningkatan asupan energi disertai penurunan pengeluaran energi berisiko menyebabkan obesitas (Taveras 2012). Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan indeks massa tubuh yang disebabkan peningkatan durasi tidur. Akan tetapi, mekanisme peningkatan indeks massa tubuh akibat peningkatan durasi tidur berbeda dengan peningkatan indeks massa tubuh akibat penurunan durasi tidur. Peningkatan durasi tidur diduga merupakan konsekuensi dari peningkatan indeks massa tubuh. Nilai indeks massa tubuh yang meningkat menyebabkan individu malas bergerak dan akhirnya memperpanjang durasi tidur dibandingkan dengan normal (Hasiana 2013). Waktu tidur malam tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan indeks massa tubuh contoh (p = 0.75). Hal ini diduga karena peningkatan indeks massa tubuh dipengaruhi oleh durasi tidur atau jumlah jam tidur. Walaupun tidur larut, kemungkinan contoh masih dapat memenuhi durasi tidur yang dianjurkan terutama pada hari libur. National Sleep Foundation (c2013) merekomendasikan durasi tidur untuk remaja adalah 8.50–9.50 jam per hari dengan waktu tidur tidak lebih dari pukul 23.00. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Durasi Menonton Televisi dan Konsumsi Camilan Durasi menonton televisi tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan indeks massa tubuh contoh (p = 0.93) menurut uji Chi-Square. Berbeda dengan penelitian Sekine et al. (2002), Reilly et al. (2005) dan Madan et al. (2014) yang menunjukkan peningkatan risiko obesitas secara linear dengan peningkatan durasi menonton televisi. Menonton televisi adalah salah satu kegiatan sitting time di waktu senggang. Penelitian Proper et al. (2006) menunjukkan bahwa kegiatan sitting time di waktu senggang secara signifikan berhubungan dengan kejadian overweight dan obesitas. Menonton televisi juga
25 mengurangi kesempatan remaja untuk berada di luar rumah sehingga mengurangi waktu untuk beraktivitas fisik (Adityawarman 2007). Menonton televisi sangat berkaitan dengan kebiasaan konsumsi camilan yang memberikan asupan energi tinggi, sementara menonton televisi termasuk aktivitas ringan yang tidak banyak mengeluarkan energi. Ketidakseimbangan energi ini yang berisiko menyebabkan obesitas. Menurut Taveras (2012), semakin lama menonton televisi maka semakin tinggi kesempatan untuk makan. Pada umumnya, secara tidak sadar seseorang akan terus makan ketika sedang menonton televisi. Hal inilah yang berisiko meningkatkan indeks massa tubuh. Tabel 21 Tabulasi silang indeks massa tubuh dengan konsumsi camilan Konsumsi camilan Ya Tidak
Normal
Overweight
Obesitas
Total
19 9
2 6
4 8
25 23
Konsumsi camilan menunjukkan hubungan yang signifikan dengan indeks massa tubuh contoh (p = 0.03). Tabel 21 menunjukkan bahwa contoh yang mengonsumsi camilan ketika menonton televisi cenderung memiliki indeks massa tubuh yang normal. Sebaliknya, contoh yang tidak mengonsumsi camilan cenderung memiliki indeks massa tubuh berlebih. Pada penelitian ini, konsumsi camilan tidak diukur secara kuantitas sehingga tidak diketahui seberapa banyak camilan yang dikonsumsi untuk berkontribusi terhadap sumbangan energi. Penelitian Madan et al. (2014) pada remaja perkotaan di India menunjukkan bahwa makan di depan televisi berkontribusi terhadap ukuran lingkar pinggang yang besar. Menurut Hidayati et al. (2009), makanan berlemak mempunyai kandungan energi lebih tinggi dan efek pembakaran dalam tubuh yang lebih kecil dibandingkan makanan yang mengandung protein dan karbohidrat. Kebiasaan mengonsumsi camilan ketika menonton televisi disertai dengan tingkat aktivitas yang rendah berisiko menyebabkan obesitas. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Persen Lemak Tubuh Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai kelebihan atau akumulasi lemak abnormal yang dapat mengganggu kesehatan. Menurut WHO, seseorang berstatus overweight jika Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 25.00 kg/m2, sedangkan obesitas jika IMT ≥ 30.00 kg/m2. Berdasarkan uji korelasi Pearson, persen lemak tubuh berhubungan secara signifikan dan berkorelasi positif dengan indeks massa tubuh (p = 0.00, r = 0.80). Hal ini berarti semakin tinggi persen lemak tubuh maka semakin tinggi nilai indeks massa tubuh. Menurut Adityawarman (2007), individu yang memiliki nilai IMT tinggi belum tentu memiliki massa lemak yang besar. IMT yang tinggi dapat disebabkan oleh massa tulang yang lebih padat dan lebih berat seiring dengan maturitas remaja. Selain massa tulang, massa otot juga dapat mempengaruhi nilai IMT. Pengaruh hormonal menyebabkan proporsi massa otot lebih besar dibandingkan massa lemak pada laki-laki. Peningkatan pertumbuhan linier menyebabkan rangka tubuh menjadi lebih berat. Pada remaja laki-laki umur 10–17 tahun, massa otot menjadi dua kali lipat dari massa semula (Soetardjo et al. 2011).
26
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Contoh penelitian adalah siswa SMP Bina Insani Bogor kelas VIII yang berjumlah 48 orang. Sebanyak 45 orang contoh (93.75%) berumur 13 tahun dan 3 orang (6.25%) berumur 14 tahun. Rata-rata umur contoh adalah 13.06 ± 0.25 tahun. Dengan demikian, umur contoh tergolong pada umur remaja awal. Contoh terdiri atas 23 orang laki-laki (47.92%) dan 25 orang perempuan (52.08%). Tingkat pendidikan ayah (95.83%) dan ibu (91.67%) termasuk kategori tamat perguruan tinggi. Tingkat aktivitas fisik contoh laki-laki (91.30%) dan perempuan (88.00%) termasuk kategori rendah. Rata-rata tingkat aktivitas fisik atau PAL contoh adalah 1.51 ± 0.13. Nilai PAL tersebut termasuk dalam kategori aktivitas rendah. Durasi tidur malam contoh laki-laki (56.52%) dan perempuan (76.00%) tergolong cukup. Contoh laki-laki (52.17%) dan perempuan (68.00%) tidur pada waktu ≥ 22.00 wib. Sebagian besar contoh tidak mengalami gangguan tidur (79.17%) dengan sebanyak 35 orang contoh (73.00%) mematikan lampu ketika tidur. Contoh memiliki durasi menonton televisi yang tergolong sedang baik contoh laki-laki (56.52%) maupun perempuan (48.00%). Sebagian besar contoh perempuan (76.00%) mengonsumsi camilan ketika sedang menonton televisi dibandingkan dengan contoh laki-laki (26.09%). Status gizi contoh laki-laki sebagian besar tergolong obesitas (39.13%), sedangkan status gizi perempuan tergolong normal (80.00%). Persen lemak tubuh sebagian besar contoh tergolong normal baik laki-laki (39.13%) maupun perempuan (52.00%). Berdasarkan hasil uji korelasi, diketahui bahwa indeks massa tubuh berhubungan secara signifikan dengan jenis kelamin, pendidikan ayah, durasi tidur malam dan konsumsi camilan. Remaja laki-laki dan perempuan memiliki indeks massa tubuh yang berbeda. Sementara itu, durasi tidur yang pendek cenderung meningkatkan nilai indeks massa tubuh. Indeks massa tubuh juga memiliki hubungan signifikan dengan persen lemak tubuh. Semakin besar nilai indeks massa tubuh maka semakin besar nilai persen lemak tubuh. Namun, indeks massa tubuh tidak berhubungan signifikan dengan umur, pendidikan ibu, PAL, waktu tidur malam, dan durasi menonton televisi. Saran Berdasarkan pada hasil penelitian ini, kebiasaan tidur dan menonton televisi berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi gizi lebih. Dengan demikian, sebaiknya orang tua dapat menerapkan kebiasaan tidur dan menonton televisi yang baik dan teratur. Anak diharapkan memperbanyak kegiatan positif di luar rumah, seperti olahraga sehingga meningkatkan aktivitas fisik. Minimal anak melakukan aktivitas fisik sedang dan berat sebanyak 60 menit sehari atau tiga hari seminggu. Selain itu, pihak sekolah sebaiknya menerapkan sistem sekolah yang memungkinkan anak untuk olahraga atau melakukan aktivitas fisik yang aktif.
27
DAFTAR PUSTAKA Adityawarman. 2007. Hubungan aktivitas fisik dengan komposisi tubuh pada remaja. [artikel penelitian]. Semarang (ID): Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Al-Hazza HM, Musaiger AO, Abahussain NA, Al-Sobayel HI, Qahwaji DM. 2012. Prevalence of short sleep duration and its association with obesity among adolescents 15–19 tahun: A cross-sectional study from three major cities in Suadi Arabia. Annals Of Thoracic Medicine. 7(1): 133–139 .doi: 10.4103/1817-1737.98845. Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Astuti FD, Sulistyowati TF. 2013. Hubungan tingkat pendidikan ibu dan tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi anak prasekolah dan sekolah dasar di kecamatan Godean. Kesmas. 7(1): 15–20. Atmarita, Fallah TS. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Di dalam: Widya Karya Pangan dan Gizi VIII. Jakarta (ID): Lembaga Penelitian Indonesia. [Bappenas] Badan Pengawas Pembangunan Nasional. 2010. Televisi Ramah Anak. [internet]. [diunduh 2013 Des 25]. Tersedia pada: http//www.bappenas.go.id. FAO/WHO/UNU. 2001. Human Energy Requirements. Roma: FAO. Hapsari DS. 2013. Anak sering nonton televisi saat makan cenderung alami obesitas saat dewasa [internet]. [diunduh 2014 Jan 28]. Tersedia pada: http//food.detik.com. Harvard School of Public Health. c2014. Television watching and “sit time” [internet]. [diunduh 2014 Mar 19]. Tersedia pada: http://www.hsph. harvard.edu/obesity-prevention-source/obesity-causes/television-andsedentary-behavior-and-obesity/ Hasiana R. 2013. Hubungan pola tidur dengan indeks massa tubuh pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. [karya tulis ilmiah]. Medan (ID): Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Hermana M. 2009. Pengaruh durasi tidur terhadap risiko obesitas pada pria dewasa [skripsi]. Bandung (ID): Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha. [HHS] US Department of Health and Human Service. 2008. Physical Activity Guidelines for Americans: Active Children and Adolescents [internet]. [diunduh 2014 mar 18]. Tersedia pada: http://www.health.gov/paguidelines/guidelines/chapter3.aspx Hidayati SN, Irawan R, Hidayat B. 2009. Obesitas pada Anak. Surabaya (ID): Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Intan NR. 2008. Faktor-faktor yang berhubungan dengan obesitas berdasarkan persen lemak tubuh pada remaja di SMA Islam Terpadu Nurul Fikri Depok. [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Japardi I. 2002. Gangguan Tidur. Sumatera Utara (ID): Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara Kinanti AA. 2013. Sering tidur dengan lampu menyala? Ini akibatnya bagi kesehatan. detikHealth. Rubik Health News [internet]. [diunduh 2014 Mar 18].
28 Tersedia pada: http://health.detik.com/read/2013/11/19/195731/2417654/ 763/sering-tidur-dengan-lampu-menyala-ini-akibatnya-bagi-kesehatan Kusramadhanty M. 2012. Hubungan aktivitas fisik, waktu menonton televisi, dan konsumsi pangan dengan status gizi dan status kesehatan anak umur prasekolah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lanywati E. 2001. Insomnia: Gangguan Sulit Tidur. Yogyakarta (ID): Kanisius [internet]. [diunduh 2014 Mar 18]. Tersedia pada: books.google.com/books?isbn=9792100083. Low S, Chin MC, Deurenberg-Yap M. 2009. Review on epidemic of obesity. Annals Academy of Medicine Singapore. 38(1): 57–65. Madan J, Gosavi N, Vora P, Kalra P. 2014. Body fat percentage and its correlation with dietary pattern, physical activity, abd life-style factors in school-going children of Mumbai, India. Journal of Obesity and metabolic Research. 1(1): 14–19. Manurung NK. 2009. Pengaruh karakteristik remaja, genetik, pendapatan keluarga, pendidikan ibu, pola makan dan aktivitas fisik terhadap kejadian obesitas di SMU Tri Sakti Medan 2008, 2009. [tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. [NSF] National Sleep Foundation. c2013. How much sleep do we really need [internet]. [diunduh 2014 Mar 18]. Tersedia pada: http://sleepfoundation.org/how-sleep-works/how-much-sleep-do-we-reallyneed. _____. 2014. Melatonin and sleep [internet]. [diunduh 2014 Mar 18]. Tersedia pada: http://sleepfoundation.org/sleep-topics/melatonin-and-sleep Pramudita RA. 2011. Faktor resiko obesitas pada anak sekolah dasar di Kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Priyambodo. 2010. Sedikit tidur berisiko obesitas pada anak [internet]. [diunduh 2014 Jan 2]. Tersedia pada: http//www.antaranews.com/berita/ 1284156755/sedikit-tidur-berisikoobesitas-pada-anak. Proper KI, Cerin E, Brown WJ, Owen N. 2006. Sitting time and sosio-economic differences in overweight and obesity. International Journal of Obesity. 31(1): 169–176.doi: 10.1038/sj.ijo.0803357. Reilly JJ, Armstrong J, Emmett PM, Ness A, Rogers I, Steer C, Sherriff A. 2005. The Avon Longitudinal Study of Parents and Children Study Team. Early life risk factor for obesity in childhood: cohort study. British Medical Journal. 330(7504):1357.doi:10.1136/bmj.38470.670903.E0 [Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2007. Laporan hasil riset kesehatan dasar nasional 2007 [internet]. [diunduh 2014 Jan 22]. Tersedia pada: http//www.riskesdas.litbang.depkes.go.id. _____. 2010. Laporan hasil riset kesehatan dasar nasional 2010 [internet]. [diunduh 2013 Okt 01]. Tersedia pada: http//www.riskesdas.litbang.depkes.go.id. Ross M. 2013. What is healthy body fat percentage for teenagers?. Livestrong.com [internet]. [diunduh 2014 Mar 1]. Tersedia pada: http://www.livestrong.com/article/281660-healthy-body-fat-percentage-forteenagers/. Sartika RAD. 2011. Faktor risiko obesitas pada anak 5–15 tahun di Indonesia. Makara Kesehatan. 15(1): 37–43.
29 Schmid SM, Hallschmid M, Kamila JC, Born J, Schultes B. 2008. A single night of sleep deprivation increases ghrelin levels feelings of hunger in normalweight healthy men. Journal of Sleep Research. 17(3): 331–334. Sekine M, Yamagami T, Handa K, Saito T, Nanri S, Kawaminami K, Tokui N, Yoshida K, Kagamimori S. 2002. A dose-response relationship between short sleeping hours and childhood obesity: results of the Toyama Birth Cohort Study. US National Library of Medicine National Institute of Health. 28(2):163–70. Soetardjo S, Almatsier S, Soekatri M. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan: Gizi Usia Remaja. Almatsier S, editor. Jakarta (ID): Gramedia. Taheri S, Lin L, Austin D, Young T, Mignot E. 2004. Short sleep duration is associated with reduced leptin, elevated ghrelin, and increase body mass index. PLoS Med. 1(3): e62 Taveras EM. 2012. Short sleep duration: Associations with childhood obesity. Let’s Go! Childhood Obesity Conference. Boston (USA): Harvard Medical School. [WHO] World Health Organization. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Eidemic. Geneva: WHO Technical Report Series. _____. 2007. Body Mass Indeks (BMI) = Indeks Massa Tubuh. _____. 2008. Growth reference 5–19 years [internet]. [diunduh 2013 Des 18]. Tersedia pada: http//www.who.int/features/factfiles/adolescent_health/en/ _____. 2013. Fact sheet [internet]. [diunduh 2014 Jan 10]. Tersedia pada: http//www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/ Widodo DP, Soetomenggolo TS. 2000. Perkembangan normal tidur pada anak dan gangguannya. Sari Pediatri. 2(3): 139–145
30
LAMPIRAN
31 Lampiran 1 Kuesioner penelitian hubungan
KUISIONER PENELITIAN HUBUNGAN KEBIASAAN TIDUR DAN MENONTON TELEVISI DENGAN STATUS GIZI REMAJA DI SMP BINA INSANI BOGOR
Nama Responden
: __________________________________________
Enumerator
: __________________________________________
Tanggal wawancara
: __________________________________________
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
32 A. Identitas Siswa Nama Responden
: __________________________________________
Jenis Kelamin
: 1. Laki-laki
Tanggal Lahir
: _______tgl/_______bln/_______thn
Umur
: __________________________________________
Kelas
: __________________________________________
Alamat Rumah
: __________________________________________
No. Telp/Hp
: __________________________________________
Uang saku per hari
: Rp._______________________________________
2. Perempuan
B. Antropometri Berat badan (BB)
: ________kg
Tinggi badan (TB)
: ________cm
IMT
: ________kg/m2
Persen lemak tubuh
: ________%
Pilihlah salah satu jawaban yang paling mendekati keadaan Adik. Isilah jawaban di kolom kosong sebelah kanan dengan sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya! Terima kasih banyak ^^ C. Karakteristik Orang Tua Apa pendidikan formal terakhir ayah adik? a. SD/sederajat C1 b. SMP/sederajat [ ] c. SMA/sederajat d. Tamat Perguruan Tinggi Apa pendidikan formal terakhir ibu Adik? a. SD/sederajat C2 b. SMP/sederajat [ ] c. SMA/sederajat d. Tamat Perguruan Tinggi Apa pekerjaan ayah Adik? a. PNS b. Pegawai swasta C3 [ ] c. Wiraswasta d. Polisi/ABRI/TNI e. Lainnya, sebutkan…………………………………. Apa pekerjaan ibu Adik? a. PNS b. Pegawai swasta C4 c. Wiraswasta [ ] d. Polisi/ABRI/TNI e. Ibu Rumah Tangga f. Lainnya, sebutkan………………………………….
33
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri pasangan H. Yayat Dimyati, Lc dan Hj. Nura Yuliati. Penulis memiliki adik perempuan satusatunya bernama Fatia Rahma Damayanti. Penulis dilahirkan di Pandeglang pada tanggal 15 Juli 1991. Pendidikan TK ditempuh pada tahun 1996–1997 di TK Islam Aisiyah, lalu pendidikan SD ditempuh pada tahun 1997–2003 di SD Negeri Kejaksaan Rangkasbitung, dilanjutkan ke SMP Negeri 4 Rangkasbitung pada tahun 2003–2006 dan SMA Negeri 1 Rangkasbitung pada tahun 2006–2009. Penulis diterima sebagai mahasiswa Intitut Pertanian Bogor (IPB), Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Gizi Masyarakat melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2009. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi, yaitu sebagai Sekretaris Divisi PSDM HIMAGIZI tahun 2010– 2011 dan Ketua Divisi PSDM HIMAGIZI tahun 2011–2012. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai acara mahasiswa diantaranya, Anggota Divisi Publikasi Nutrition Fair 2010, Ketua Divisi Acara MPD (Masa Perkenalan Departemen) 2011, Anggota LEF (Leadership and Enteurpreneur Forum) BEM FEMA IPB 2011, Anggota Divisi Danus INDEX FEMA IPB 2011 dan Anggota Divisi Humas Nutrition Fair 2012. Pada bulan Juni–Juli 2012 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Cibodas, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Februari–Maret 2013, penulis mengikuti Internship Dietetik di Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo, Jakarta Timur. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Manajemen Jasa Makanan dan Gizi Tahun Ajaran 2012–2013, Ekologi Pangan dan Gizi Tahun Ajaran 2012–2013 dan 2013–2014. Selain itu, penulis juga penerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) IPB Tahun 2011– 2013.