ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA
OLEH: ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A14301041
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek di Indonesia (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR). Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan perkembangan konsumsi cengkeh oleh industri rokok kretek dan menganalisis faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi permintaan cengkeh oleh industri rokok kretek. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data time series tahunan dari tahun 1980-2006. Jenis data yang digunakan adalah permintaan cengkeh industri rokok kretek, harga riil cengkeh, jumlah produksi rokok kretek, jumlah penduduk, jumlah industri rokok kretek dan ekspor rokok kretek. Sumber data yang digunakan diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) dan literatur-literatur serta laporan-laporan lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Data dan informasi yang diperoleh akan dianalisis dengan metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan perkembangan konsumsi cengkeh industri rokok kretek di Indonesia di samping permintaan itu sendiri. Sedangkan metode kuatitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan komoditi cengkeh. Model yang digunakan dalam analisis data adalah model regresi linier berganda. Model ekonometrika yang digunakan dalam penelitian ini adalah: QdC = β0 + β1 PCt + β2 NpRkt + β3 NiRkt + β4 ExRkt+ β5 Popt + β6 D + εt Persamaan di atas mengasumsikan bahwa permintaan cengkeh industri rokok kretek dipengaruhi oleh harga riil cengkeh, jumlah produksi rokok kretek, jumlah industri rokok kretek, ekspor rokok kretek, jumlah penduduk dan dummy kebijakan tataniaga cengkeh. Dalam penelitian ini juga dilihat nilai elastisitas rataan setiap variabel bebas. Dari penelitian ini diperoleh hasil rata-rata pertumbuhan konsumsi cengkeh industri rokok kretek dari tahun 1994-2007 sebesar 1,2 persen per tahun. Besarnya konsumsi cengkeh industri rokok sangat tergantung pada jumlah cengkeh yang terkandung dalam setiap jenis rokok dan jumlah produksi rokok kretek. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia adalah jumlah produksi rokok kretek, jumlah industri rokok kretek dan lag permintaan cengkeh industri rokok kretek. Dari nilai elastisitas, elastisitas rataan dari jumlah produksi rokok kretek yang memiliki nilai terbesar. Namun demikian tidak ada diantaranya yang bersifat elastis. Dengan besarnya kebutuhan cengkeh industri rokok kretek, pemerintah perlu menjamin ketersediaan cengkeh melaui pengelolaan stok cengkeh dengan pengadaan gudang sementara dan juga membuat suatu pola usahatani cengkeh pada daerah yang sesuai dengan keadaan tumbuh tanaman cengkeh.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA
Oleh: ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A14301041
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama
: Royan Agustinus Siburian
NRP
: A 14301041
Program Studi
: Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya
Judul
: Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek di Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. NIP. 131 803 656
Mengetahui, Dekan Fakuktas pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Febuari 2008
Royan Agustinus Siburian A14301041
RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah putera dari pasangan Bapak Budiman Siburian dan Ibu Yatan Ngau merupakan anak kelima dari lima besaudara. Penulis dilahirkan di Tanjung Selor pada tanggal 11 Agustus 1983. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 2 Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan Propinsi Kalimantan Timur pada tahun 1995. Pada tahun 1995 sampai tahun 1998, penulis menempuh pendidikan di SLTP Negeri 1 Tanjung Selor. Pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Tanjung Selor dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (undangan seleksi masuk IPB). Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen Institut Pertanian Bogor (UKM-PMK IPB). Dan pada periode tahun 2003/2004 menjabat bendahara komisi Diaspora.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi, penulis banyak memperoleh bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan rasa penghargaan yang tulus kepada: 1. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 2. A. Faroby Falatehan, SP, ME. selaku dosen penguji utama yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 3. Adi Hadianto, SP. selaku dosen penguji departemen yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 4. Orang tua dan keluarga besar, atas dukungan doa dan motivasi kepada penulis. 5. Semua mahasiswa/mahasiswi eps 38 atas kebersamaannya selama ini. 6. Keluarga besar UKM PMK IPB atas dukungan dan doanya bagi penulis. 7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan dan dukungannya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada hal-hal yang kurang sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Febuari 2008
Royan Agustinus Siburian A14301041
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ...........................................................................
i
DAFTAR ISI .........................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ..................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang .......................................................................
1
1.2
Perumusan Masalah ……………………………………..….
7
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................
7
1.4. Ruang Lingkup ……………………………………………..
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Cengkeh .................................................................
9
2.2. Produksi dan Luas Areal Tanaman Cengkeh Indonesia ........
11
2.3. Mutu Cengkeh Indonesia .......................................................
15
2.4. Tataniaga Cengkeh Indonesia .........…...................................
19
2.4.1. Kebijakan Pemerintah dalam Tataniaga Cengkeh .......
20
2.4.2. Saluran Tataniaga Cengkeh Indonesia ….....................
24
2.5. Tinjauan Studi Terdahulu …..................................................
26
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................
32
3.1.1. Konsep Permintaan ......................................................
32
3.1.2. Pergerakan Sepanjang Kurva Permintaan Versus Pergeseran Seluruh Kurva Permintaan ........................
34
3.1.3. Permintaan Industri .....................................................
35
3.1.4. Elastisitas Permintaan ..................................................
39
a. Elastisitas Permintaan terhadap Harga .........................
39
b. Elastisitas Permintaan Silang .......................................
40
c. Elastisitas Permintaan terhadap Pendapatan ................
41
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ..........................................
42
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data ...........................................................
44
4.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data ..................................
44
4.3. Model Persamaan Regresi .....................................................
45
4.4. Evaluasi Model ......................................................................
46
4.4.1. Kriteria Ekonomi .........................................................
47
4.4.2. Kriteria Statistik ..........................................................
47
4.4.3. Kriteria Ekonometrika ................................................
49
4.5. Model Persamaan Pendugaan ................................................
52
4.6. Konsep Elastisitas Permintaan …….......................................
53
4.7. Hipotesis Penelitian ...............................................................
54
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek ..
55
5.2. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek …………….....
60
5.3. Uji Ekonometrika ..................................................................
65
5.4. Uji Statistik ...........................................................................
67
5.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek di Indonesia ………………………..
68
5.6. Implikasi Kebijakan ………………………………………..
71
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ………………………………………………..
73
6.2. Saran ……………………………………………………….
74
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
75
LAMPIRAN ……………………………………………………………
78
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Luas Areal dan Produksi Tanaman Cengkeh Nasional Tahun 1970-2007...............................................................................
3
2. Volume dan Nilai Ekspor-Impor Cengkeh Indonesia ………………
4
3. Perbedaan Sifat antara Siputih, Sikotok dan Zanzibar ……………...
10
4. Standar Mutu Cengkeh Indonesia …………………………………..
16
5. Standar Mutu Minyak Daun, Gagang dan Bunga Cengkeh ………...
17
6. Hasil Analisis Beberapa Parameter Mutu Cengkeh dari Beberapa Sentra Produksi di Indonesia ………………………………………
18
7. Perkembangan Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek (1994-2007) ………………………………………………...
56
8. Perkembangan Kandungan Cengkeh dalam Rokok Kretek Menurut Berbagai Penelitian dan Laporan Tahun 1989-2003 ……………...
57
9. Perkembangan Produksi Rokok Kretek Nasional Tahun 1980-2007 …………………………………………………………..
58
10. Perkembangan Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek Tahun1980-2006 versi Gappri (Ton) ……………………………....
60
11. Hasil Model Lengkap (data asal) Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia Tahun 1980-2006 ......................................................................................... 12. Hasil Model (dalam bentuk logaritma natural) Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh
61
di Indonesia Tahun 1980-2006 .........................................................
62
13. Hasil Model Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia (tanpa variabel ekspor rokok) Tahun 1980-2006 .............................................................................
63
14. Hasil Model Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia (tanpa ekspor rokok dan populasi) Tahun 1980-2006 .............................................................................
63
15. Hasil Model Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia (dengan penambahan variabel lag) Tahun 1980-2006 .............................................................................
64
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Penggunaan Cukai Rokok Kretek .....................................................
1
2. Perkembangan Produksi Rokok Kretek …………………………....
2
3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Cengkeh ………………….
6
4. Rantai Tataniaga Menurut Keppres No. 8 Tahun 1980 ………….....
24
5. Rantai Tataniaga Non-Keppres ……………………………………..
24
6. Saluran Tataniaga Cengkeh Menurut SK. Mendag Tahun 1990 …...
25
7. Kurva Primary Demand dan Derived Demand ……………………..
35
8. Menurunkan Produktivitas Rata-rata dan Produktivitas Marjinal untuk Kurva Tenaga Kerja dari Kurva Produk Total ……………....
38
9. Kerangka Pemikiran Operasional …………………………………..
43
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1.
Hasil Analisis Korelasi ................................................................
2.
Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia Tahun 1980-2006 ................
3.
Halaman 79
80
Hasil Analisis Regresi (Data dalam Bentuk Logaritma) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia Tahun 1980-2006 ..................................................
4.
81
Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh (Tanpa Eekspor) di Indonesia Tahun 1980-2006 .......................................................................
5.
82
Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia (Tanpa Ekspor dan Populasi) Tahun 1980-2006 .......................................................................
6.
83
Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh (dengan Lag) di Indonesia Tahun 1980-2006 .......................................................................
84
7. Uji Heteroskedastisistas ………………………………………..
85
8.
86
Uji Normalitas …………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Cengkeh atau dalam bahasa latinnya di kenal dengan Eugenia aromatikal / Syzigium, L. adalah salah satu komoditas penting tanaman perkebunan. Tanaman ini merupakan tanaman asli Indonesia tepatnya berasal dari daerah Banda di kepulauan Maluku (Conti dalam Ruhnayat, 2002). Cengkeh sebagai sumber pendapatan petani tanaman perkebunan dan dalam industri rokok kretek merupakan sumber bahan baku utama. Selain itu cengkeh juga berperan dalam industri minyak cengkeh dan industri-industri lainnya. Cengkeh memberikan keterkaitan industri hilir dan hulu. Keterkaitan ini dapat memberikan pendapatan, nilai tambah serta berperan dalam penyerapan tenaga kerja. Industri berbahan baku cengkeh seperti industri rokok kretek dapat memberikan pendapatan untuk negara dalam bentuk cukai rokok. Gambar 1 menunjukkan penggunaan cukai rokok terus meningkat yang sejalan juga peningkatan penerimaan pemerintah dari
Penggunaan Pita Cukai (Trilyun Rupiah)
cukai rokok. 30 25 20 15 10 5 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
Tahun
Sumber: Rumangit,2007
Gambar 1. Penggunaan Cukai Rokok Kretek
2002
2003
2004
Produksi cengkeh yang dihasilkan 95 persen diusahakan oleh perkebunan rakyat dan sisanya diusahakan oleh perkebunan swasta dan perkebunan negara. Dari produksi cengkeh nasional, industri rokok kretek merupakan konsumen utama cengkeh karena menyerap 95 persen produksi cengkeh nasional yang digunakan sebagai bahan baku utama dalam memproduksi rokok kretek. Perkembangan produksi rokok kretek mengalami peningkatan (Gambar 2) terutama produksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM), hal ini akan menyebabkan
permintaan cengkeh meningkat. Sejalan
dengan peningkatan permintaan cengkeh terutama dari sektor industri rokok kretek, untuk memenuhi permintaan dalam negeri Indonesia harus mengimpor cengkeh dari Zanzibar dan Madagaskar. Dengan keadaan yang demikian, Indonesia merupakan negara produsen dan pengimpor cengkeh terbesar di dunia.
SKT
SKM
KLB
Total
Produksi (MilyarBatang)
250 200 150 100 50
Tahun
Sumber: Gappri, 2006 Keterangan: SKT = Sigaret Kretek Tangan SKM = Sigaret Kretek Mesin KLB = Klobot
Gambar 2. Perkembangan Produksi Rokok Kretek
20 03
20 01
19 99
19 97
19 95
19 93
19 91
19 89
19 87
19 85
19 83
19 81
19 79
19 77
19 75
0
Besarnya kebutuhan devisa untuk mengimpor cengkeh guna memenuhi permintaan dalam negeri, pada tahun 1969 pemerintah menetapkan program swasembada untuk tanaman cengkeh. Dekade 1970-an diwarnai dengan adanya kekurangan produksi dan harga cengkeh terus meningkat. Tertarik dengan harga yang terus meningkat maka pada waktu itu petani berlomba-lomba untuk menanam cengkeh, sehingga pada dekade 1970-an terjadi demam cengkeh. Dekade 1980-an, swasembada cengkeh nasional tercapai pada tahun 1985. Selama dekade ini, produksi cengkeh terus meningkat sebagai akibat dari perluasan areal tanaman cengkeh diberbagai lokasi. Data luasan areal dan produksi tanaman cengkeh nasional tahun 1970-2007 dapat di lihat pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Areal dan Produksi Tanaman Cengkeh Nasional Tahun 1970-2007 Tahun 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988
Luas Areal (Ha) 82387 103520 114345 146366 180536 217886 241727 294356 313450 535064 408102 517134 530869 572645 608282 663475 679309 742269 692765
Produksi (Ton) 15447 11331 15130 27446 14998 19294 20032 39923 21554 18208 34218 29352 32809 41828 48888 41990 50628 71002 81224
Sumber: Departemen Pertanian, 2006 Keterangan: * = Estimasi
Tahun 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007*
Luas Areal (Ha) 701992 692682 668204 608350 571047 534376 501923 491713 457542 428735 415859 417598 429300 430212 442331 438253 448858 455393 448808
Produksi (Ton) 56398 66912 80253 73124 73124 78379 90107 59479 59194 67177 52903 59879 72685 79010 76471 73837 78350 83782 83815
Tercapainya swasembada cengkeh, impor cengkeh Indonesia turun sangat drastis, dari volume impor 13.725 ton pada tahun 1985 turun menjadi 2.189 ton pada tahun 1986 bahkan hanya 6-12 ton pada tahun-tahun berikutnya. Volume dan nilai ekspor, impor Indonesia dapat di lihat pada Tabel 2. Tabel 2. Volume dan Nilai Ekspor-Impor Cengkeh Indonesia Tahun 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Ekspor Volume (Ton) Nilai (000 US$) 47 3 125 57 86 117 16 25 17 35 39 121 51 102 81 257 341 984 1.584 6.452 1.071 2.977 1.818 3.822 1.836 3.044 2.568 4.267 1.255 1.963 1.105 2.035 1.118 2.312 794 1.157 700 1.109 670 1.917 690 1.728 230 48 356 221 20.157 14.115 1.776 1.636 4.655 8.281 6.324 10.670 9.399 25.973 15.688 24.929 9.060 16.037 7.680 14.916
Impor Volume (Ton) Nilai (000 US$) 28.948 89.276 10.291 41.592 3.787 14.322 9.791 49.330 10.993 68.049 9.510 60.921 14.492 120.014 7.998 70.156 3 69 2 56 13.725 47.401 2.189 7.829 1.996 14.003 6 113 12 217 8 144 3 34 6 72 5 89 3 46 4 54 0 0 0.1 0.7 1 0.5 22.610 40.067 20.873 52.390 16.899 17.365 796 653 172 151 9 8 1 1
Sumber : Departemen Pertanian, 2006
Gonarsyah (1996) mengemukakan bahwa saat awal terjadinya kelebihan pasokan (oversupply) cengkeh di pasar domestik sejak awal tahun 1988, impor
cengkeh di atur secara ketat. Impor cengkeh hanya dapat dilakukan dengan izin khusus oleh importir terdaftar atau yang di tunjuk. Kemudian pada tahun 1995, impor cengkeh disatukan dengan kegiatan pengadaan cengkeh dalam negeri yaitu dengan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Langkah stategis ini di tempuh pemerintah dengan alasan untuk meredam masuknya cengkeh impor. Hal ini berdampak dengan tidak adanya impor cengkeh tahun 1996. Kondisi ini berbalik saat dibubarkannya BPPC pada tahun 1998, mulai saat itu terjadi lonjakan impor cengkeh terutama pada periode tahun 1999-2001. Dengan demikian, untuk mengantisipasiterjadinya lonjakan impor cengkeh yang akan mengakibatkan turunnya harga cengkeh di pasar domestik terutama pada saat panen raya, maka tahun 2002 melalui SK Memperindag RI No 528/MPP/Kep/7/2002 tentang ketentuan Impor Cengkeh, antara lain mengatur bahwa importir cengkeh adalah industri pengguna cengkeh yang memiliki Angka Pengenal Impor Produsen (API-P) atau Angka Pengenal Impor Terbatas (API-T) yang disetujui untuk mengimpor cengkeh yang diperlukan semata-mata untuk proses produksi dan pada saat ini impor cengkeh dikenakan tarif impor sebesar 5 persen. Dampak langsung dari pembatasan impor tersebut menunjukkan penurunan volume impor cengkeh yang signifikan pada tahun 2002-2005. Pada dekade 1990-an, perkembangan produksi cengkeh cenderung fluktuatif jika dibandingkan dengan perkembangan konsumsi cengkeh (Gambar 3). Terjadinya fluktusi produksi cengkeh, terutama disebabkan oleh perilaku produksi tanaman cengkeh itu sendiri yang mengikuti siklus empat tahunan. Produksi cengkeh mencapai puncaknya pada saat panen raya berlangsung, setelah itu produksi akan kembali turun drastis pada tahun berikutnya karena tanaman
cengkeh dalam tahap pemulihan, setelah itu terjadi panen kecil pada dua tahun berikutnya, dan begitu seterusnya. Selain itu, penurunan produksi juga disebabkan oleh kurang intensifnya pemeliharaan tanaman disebagian besar sentra produksi cengkeh sebagai dampak dari rendahnya tingkat harga cengkeh pada beberapa tahun yang lalu, terlebih pada saat panen raya. Sedangkan konsumsi cengkeh industri rokok kretek cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya produksi rokok kretek. Produksi
Konsumsi
120000
Volume (Ton)
100000 80000 60000 40000 20000 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Sumber: Gappri,2006
Gambar 3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Cengkeh Dengan keadaan ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi harga cengkeh. Rata-rata harga cengkeh meningkat hampir tiga kali lipat dari Rp. 7.420 per Kg tahun 1998 menjadi Rp. 20.000 per Kg pada tahun 1999. Kemudian terus meningkat berkisar Rp. 75.000 hingga Rp. 100.000 pada Juni 2002, namun berangsur turun hingga mencapai Rp. 13.500 per Kg di akhir tahun 2003. Hal ini menyebabkan petani yang memiliki “bargaining position” lemah hanya menerima harga yang berlaku di pasar, apalagi saat panen raya petani bahkan menerima
harga yang lebih rendah karena mereka tidak mampu mempertahankan stok sambil menunggu harga yang lebih baik.
1.2. Perumusan Masalah Kebutuhan akan cengkeh terus meningkat, terutama permintaan cengkeh untuk faktor produksi industri rokok kretek. Walaupun kebutuhan cengkeh terus meningkat, tetapi tidak diikuti dengan perbaikan harga cengkeh. Harga cengkeh terus berfluktuasi menyebabkan produksi cengkeh dalam negeri terganggu. Dengan keadaan percengkehan nasional yang tak menentu, masalah-masalah yang menarik untuk diteliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perkembangan konsumsi cengkeh oleh industri rokok kretek? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi permintaan cengkeh untuk industri rokok kretek?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini dapat disusun sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan perkembangan konsumsi cengkeh oleh industri rokok kretek. 2. Menganalisis
faktor-faktor
yang
secara
permintaan cengkeh oleh industri rokok kretek.
signifikan
mempengaruhi
1.4. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini hanya mencakup sisi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia. Hasil penelitian ini akan memberi gambaran umum mengenai kondisi perkembangan konsumsi cengkeh industri rokok kretek, dan dapat juga menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap cengkeh oleh industri rokok kretek.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Cengkeh Cengkeh adalah bunga yang belum mekar yang dikeringkan hingga kadar airnya tersisa antara 11 sampai 12 persen. Menurut Conti dalam Ruhnayat (2002), tanaman cengkeh merupakan tanaman asli Indonesia tepatnya berasal dari daerah Banda di kepulauan Maluku. Sampai abad ke-18 hanya Maluku satu-satunya produsen cengkeh. Namun di permulaan abad ke-19, Kepulauan Zanzibar dan Madagaskar telah merupakan produsen baru cengkeh (Hadiwijaya, 1989). Gmelig dalam Sumargandi (1983) membedakan jenis cengkeh di Indonesia dalam jenis cengkeh liar dan cengkeh dibudidayakan. Masing-masing jenis di bagi dalam dua tipe utama dan dalam tiap tipe utama terdapat sub-sub tipe. Jenis yang paling dominan dibudidayakan adalah sub jenis Sikotok, Siputih dan Zanzibar. Perbedaan sifat antara ketiga jenis cengkeh dapat dilihat dari daun, bunga, percabangan dan akarnya (Tabel 3). Dari ke tiga jenis cengkeh, jenis Zanzibar memiliki daya tahan yang lebih baik. Dengan terjadinya persarian persilangan maka terjadilah bentuk-bentuk peralihan dari ke tiga jenis cengkeh tersebut. Oleh karena itu sulit untuk membedakan jenis cengkeh yang ada sekarang. Tanaman cengkeh mempunyai dua masa kritis dalam siklus hidupnya, yaitu masa sebelum tanaman mencapai umur 3 tahun dan setelah umur 8 tahun, terutama pada awal dan sesudah panen pertama. Keadaan pertumbuhan tanaman tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh dan cara budidaya. Tanaman
cengkeh dimasukkan pada kategori tanaman manja dalam arti memerlukan lingkungan yang khusus dan pemeliharaan yang intensif (Ruhnayat, 2002). Tabel 3. Perbedaan Sifat antara Siputih, Sikotok dan Zanzibar Sifat
Siputih
Sikotok
Zanzibar
Warna daun
Kuning atau hijau muda
Hijau sampai hijau tua
Hijau gelap
Besar
Lebih kecil dari siputih
Panjang dan ramping
Kurang rimbun
Sangat rindang
Sangat rindang
Dekat dengan permukaan tanah, cabang bawah terus tumbuh Kuning dengan sedikit kemerahmerahan pada pangkal bunganya Lebih kecil dari siputih Lebat Agak banyak Diduga lebih tahan dari siputih
Dekat dengan permukaan tanah, cabang bawah terus tumbuh
Lebat Banyak Diduga lebih tahan dari siputih
Diduga lebih baik
Diduga lebih baik
Ukuran helai daun Cabang, dahan dan daun Letak percabangan
Agak jauh dari permukaan tanah, cabang bawah mati
Warna bunga
Kuning
Besar bunga
Besar
Jumlah bunga Jumlah perakaran Resisten terhadap mati bujang Daya adaptasi terhadap sifat tanah yang kurang baik
Kurang lebat Sedikit Diduga tidak tahan
Diduga kurang baik
Lebih merah
Kecil atau sedang
Sumber: Taruli, 2002
Cengkeh menghendaki iklim yang panas dengan curah hujan cukup merata, karena tanaman ini tidak tahan kemarau panjang. Tanaman cengkeh tumbuh dengan baik pada suhu optimum 18ºC-30ºC, kelembaban optimum antara 60-80 persen, ketinggian 600-900 meter dari permukaan laut dan curah hujan 2000-6000 mm tiap tahun (Hadiwijaya dalam Taruli, 2002). Selain itu, tanah yang sesuai adalah yang gembur, solum yang tebal (minimal 1,5 meter) dan kedalaman air tanah lebih dari 3 meter dari permukaan tanah serta memiliki tingkat
kemasaman 5,5-6,5 pH. Jenis tanah yang cocok antara lain latosol, podsolik merah, mediterian dan andosol (Ruhnayat, 2002).
2.2. Produksi dan Luas Areal Tanaman Cengkeh Indonesia Menurut Kemala (1999), perkembangan luas areal tanaman cengkeh sangat dipengaruhi harga. Jika harga dan luas areal tanaman cengkeh tidak dipertahankan dikuatirkan produktivitas cengkeh akan terus menurun. Penurunan produktivitas ini disebabkan oleh keterbatasan modal yang dimiliki petani sehingga mereka tidak mampu mengelola usahatani cengkeh dengan baik. Hal tersebut berakibat terhadap menurunnya pasokan cengkeh pada tahun-tahun yang akan datang. Menurut Wahid dalam Yuhono (1997), tanaman cengkeh termasuk tanaman yang berbunga terminal dalam arti mengenal siklus produksi dimana setiap tiga sampai empat tahun terjadi satu kali berbunga lebat, satu kali berbunga sedang dan satu kali berbunga sedikit. Di sisi lain tanaman cengkeh mengenal kesesuaian lahan dan agroklimat dimana tiap daerah dapat berbeda satu sama lain sehingga jatuh tempo dari siklus produksi dapat bervariasi bagi seluruh wilayah produsen cengkeh di Indonesia. Pengaruh simultan dari faktor tersebut menyebabkan fluktuasi produksi cengkeh nasional. Ruhnayat (1997) menyimpulkan bahwa penyebab utama fluktuasi produksi tanaman cengkeh adalah faktor iklim, genetis, fisiologis dan budidaya. a. Faktor iklim Faktor iklim cukup menentukan pembungaan tanaman cengkeh. Pengaruh iklim ini berkisar antara 37-68 persen (Wahid dalam Ruhnayat, 1997). Hubungan
antara iklim dengan pembungaan ini terjadi karena untuk inisiasi pembungaan diperlukan hormon florigen yang pembentukannya dirangsang oleh faktor iklim. Dengan demikian faktor iklim akan mengarahkan tanaman apakah akan terus tumbuh vegetatif atau generatif. Menurut Hadiwijaya dalam Ruhnayat (1997), untuk pembungaan tanaman cengkeh membutuhkan adanya suatu periode yang agak kering tanpa hujan sama sekali dan penyinaran matahari yang terik. Pengaruh faktor iklim masih terus berlanjut walaupun inisiasi pembungaan telah terjadi atau bakal bunga telah muncul. Hadiwijaya dalam Ruhnayat (1997), mengemukakan bahwa bakal bunga ini biasanya mulai tampak pada periode kurang lebih dua bulan setelah adanya masa kering selama dua minggu berturutturut. Namun apabila terjadi curah hujan yang sangat tinggi dan diikuti dengan kelembaban serta temperatur udara yang dingin di malam hari maka bakal bunga dapat berubah menjadi kuncup daun. Sedangkan apabila terjadi musim kemarau yang berkepanjangan menyebabkan pertumbuhan bakal bunga menjadi terganggu. Perubahan iklim menyebabkan fluktuasi hasil cengkeh sulit untuk diatasi. Perubahan iklim tidak bisa dicegah dan terjadinya meliputi daerah yang cukup luas. Oleh karena itu upaya yang bisa dilakukan untuk memperkecil terjadinya fluktuasi hasil cengkeh yang diakibatkan oleh iklim adalah dengan cara membudidayakannya pada daerah yang sesuai terutama keadaan curah hujan ratarata satu sampai empat bulan sebelum primordial bunga. b. Faktor genetis Paling sedikit ada tiga faktor genetis tanaman cengkeh yang ada hubungannya dengan fluktuasi hasil yaitu sifat berbunga terminal, daya regenerasi yang rendah dan jarak antara waktu panen ke masa pembungaan selanjutnya yang
relatif pendek. Pada tanaman yang berbunga terminal, bunga hanya keluar pada ujung-ujung pucuk. Apabila terjadi pembungaan yang lebat, hampir semua ujung pucuk tersebut terisi bunga sehingga pertumbuhan vegetatif yang diperlukan untuk pembentukan energi baru mendatang menjadi kurang. Akibatnya sehabis panen besar, tanaman cengkeh menjadi merana. Hal ini ditunjang pula oleh sifat genetis tanaman cengkeh yang lainnya yaitu daya regenerasi tanaman yang rendah sedangkan jarak antara waktu panen ke masa pembentukan bunga primordial bunga selanjutnya relatif pendek yaitu antara tiga sampai empat bulan. Setelah panen besar hal tersebut seringkali menyebabkan primordial bunga yang muncul hanya sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu pemilihan varietas tanaman yang memiliki daya regenerasi yang cepat perlu diupayakan karena tipe tanaman yang demikian hasil panennya kurang berfluktuasi. c. Faktor fisiologis Seperti telah dikatakan di atas bahwa tanaman cengkeh bersifat berbunga terminal. Keluarnya primordial bunga pada ranting terminal ini selain dipengaruhi oleh faktor dari luar juga dipengaruhi oleh faktor dari dalam tanaman. Salah satu faktor dari dalam tanaman adalah kondisi fisiologis yang mencakup status senyawa-senyawa yang dapat mempengaruhi terbentuknya primordial bunga seperti kandungan karbohidrat, asimilatat, hara mineral dan fitohormon. Pada masa pembungaan yang lebat sebagian besar asimilatat dan unsur hara akar ditranslokasikan untuk pengembangan struktur reproduktif sehingga pembentukan tunas vegetatif yang akan datang mendukung struktur reproduktif
pada tahun berikutnya akan berkurang. Keadaan ini semakin menjadi buruk bila kesuburan fisik dan kimia tanah menurun. Upaya menyeimbangkan pertumbuhan vegetatif dan pertumbuhan produktif dapat dilakukan dengan beberapa cara. Perompesan sebagian kuncup bunga merupakan salah satu cara untuk mengurangi terkurasnya karbohidrat cadangan. Cara ini mampu menstimulir timbulnya ranting-ranting vegetatif baru satu bulan sebelum bunga dipanen. Cara lain untuk mendorong pertumbuhan vegetatif dan reproduktif adalah dengan pemupukan. Tanaman yang dipupuk mempunyai fluktuasi yang lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang tidak dipupuk. Selain itu senyawa kimia seperti kalium nitrat memiliki potensi untuk merangsang pembungaan pada tanaman cengkeh. Pemberian zat perangsang diberikan setelah panen besar. d. Faktor budidaya Dari aspek budidaya yang paling berpengaruh terhadap terjadinya fluktuasi hasil pada tanaman cengkeh antara lain penggunaan bahan tanaman yang kurang unggul, pemeliharaan dan cara panen. Untuk tanaman yang cukup tinggi sebaiknya panen dilakukan dengan menggunakan tangga dan hindari memanjat pohon karena percabangan cengkeh yang mudah patah. Sedangkan cara pemetikan bunga yang baik adalah daun tidak ikut dipetik, yaitu dengan cara menjepit pangkal gagang dengan tangan kiri, kemudian tangan kanan memetik bunga. Dengan cara ini pada ruas yang daunnya tidak ikut dipetik akan tumbuh tunas baru sebagai cabang tempat keluarnya bakal-bakal bunga pada masa pembungaan selanjutnya. Sedangkan apabila daun ikut terpetik, tunas baru
tersebut lebih lama keluarnya sehingga calon bunga biasanya akan muncul dua sampai tiga tahun kemudian.
2.3. Mutu Cengkeh Indonesia Pengembangan areal pertanaman cengkeh dilakukan pada jenis lahan yang berbeda-beda. Hal ini ternyata mengakibatkan variasi cengkeh yang dihasilkan cukup besar (Rusli dalam Hidayat,1997). Penyebab lain dari variasi mutu cengkeh menurut Laksmanahardja et al. dalam Hidayat (1997) karena perbedaaan varietas tanaman serta cara pengolahan yang berlainan. Untuk meningkatkan dan menekan variasi mutu maka diperlukan standar mutu cengkeh. Dengan adanya standar mutu yang telah disepakati bersama antara produsen dan konsumen maka kepastian perdagangan dapat ditingkatkan. Konsumen dapat mengetahui dengan pasti mutu barang yang akan di beli dan produsen dapat mengarahkan mutu produksinya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Standar mutu cengkeh yang berlaku di Indonesia adalah SNI No. 01-33921994 yang di buat oleh Dewan Standardisasi Nasional (DSN) dari Standar Perdagangan SP-48-1976. Standar mutu cengkeh di susun setelah mempelajari hasil survei diperkebunan rakyat dan swasta, pabrik rokok kretek, wawancara dengan pihak-pihak yang berkecimpung dalam perdagangan cengkeh, dan membandingkan dengan standar mutu cengkeh dari American Spice Trade Association (ASTA), serta dengan beberapa negara importir dan negara eksportir cengkeh. Standar mutu cengkeh Indonesia dapat di lihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Standar Mutu Cengkeh Indonesia Syarat Mutu
Mutu I
Mutu II
Mutu III
Ukuran
Rata
Rata
Tidak rata
Warna
Cokelat kehitaman
Cokelat
Cokelat
Bahan asing (%, b/b) maks.
0,5
1
1
Gagang cengkeh (%, b/b) maks.
1
3
5
Cengkeh inferior (%, b/b) maks.
2
2
5
Cengkeh rusak
Negatif
Negatif
Negatif
Kadar air (%, v/b) maks.
14
14
14
Kadar minyak atsiri (%< v/b) min.
20
18
16
Sumber: Ruhnayat, 2002
Syarat mutu dari cengkeh terdiri dari ukuran, warna, bahan asing, gagang cengkeh, cengkeh inferior, cengkeh rusak, kadar air dan kadar minyak atsiri. Bahan asing dalam syarat mutu diartikan sebagai semua bahan yang bukan berasal dari bunga cengkeh. Cengkeh inferior adalah cengkeh keriput, patah dan cengkeh yang telah dibuahi. Sedangkan cengkeh rusak adalah cengkeh berjamur dan telah diekstraksi. Selain standar mutu untuk cengkeh, telah ditetapkan juga standar mutu untuk minyak cengkeh baik yang dari daun, gagang maupun bunga (Tabel 5). Standar mutu minyak cengkeh dari daun telah ditetapkan oleh DSN yang dituangkan dalam SNI No. 06-2387-1991. Sementara Indonesia belum menetapkan standar mutu minyak cengkeh dari bagian gagang dan bunga. Untuk acuan standar mutu minyak gagang cengkeh digunakan standar dari Standar of Essential Oil Association (EOA) No. 178, sedangkan untuk minyak bunga cengkah digunakan standar dari Internasional Standard Organization (ISO) atau kesepakatan antara produsen dan konsumen.
Tabel 5. Standar Mutu Minyak Daun, Gagang dan Bunga Cengkeh Syarat Mutu
Daun (SNI)
Gagang (EOA)
Bunga (ISO)
Bobot jenis (25º/25ºC)
1,03 – 1,06
1,048 – 1,056
1,044 – 1,057
Indeks bias (20ºC)
1,52 – 1,54
1,534 – 1,538
1,528 – 1,538
Putaran optik (º)
1º35’
0º – (-1º30’)
0º – (-1º35’)
Kadar eugenol total (%)
78 – 93
89 – 95
85 – 93
Kelarutan dalam alkohol 70%
1:2
1:2
1:2
Minyak pelikan
negatif
-
-
Minyak lemak
negatif
-
-
Sumber: Ruhnayat, 2002
Masalah mutu yang banyak dijumpai pada pengolahan cengkeh di tingkat petani antara lain variasi mutu yang cukup besar serta mutu cengkeh yang dihasilkan masih relatif rendah. Hal tersebut dapat ditunjukkan dari hasil analisis beberapa parameter mutu baik fisik maupun kimiawi (Tabel 6). Menurut Hidayat dan Nurdjannah (1997), kadar minyak cengkeh yang dihasilkan dari beberapa sentra produksi cengkeh di Indonesia sebagian besar baru masuk dalam kelompok mutu II dan mutu III serta bahkan ada yang tidak masuk dalam standar mutu. Ditinjau dari kadar air, cengkeh yang dihasilkan petani umumnya mempunyai kadar air yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan standar mutu (maksimal 14 persen). Hal ini bertentangan dengan pendapat beberapa pihak yang mengatakan bahwa cengkeh dari petani mempunyai kadar air yang terlalu tinggi.
Tabel 6. Hasil Analisis Beberapa Parameter Mutu Cengkeh dari Beberapa Sentra Produksi di Indonesia
No
Propinsi
1
Sulawesi Utara
2
Sulawesi Selatan
3
Sulawesi Tengah
4
Aceh
5
Sumatera Barat
6
Lampung
7
Bengkulu
8
Jawa Barat
9
Jawa Tengah
10
Jawa Timur
11
Bali
12
Maluku
Daerah
Kadar air (%)
Kadar minyak (%)
Kadar abu (%)
Minahasa Sangir Bantaeng Bulukumba Wajo Tana Toraja Enrekang Toli-toli Lampuuk Samalaga Sabang Solok Teluk Kabuas Sungai Batang Lampung Utara Lampung Tengah Lampung Selatan Kodya Bengkulu Bengkulu Utara Sukabumi Bogor Salatiga Banyumas Moga Waleri Jombang Malang Trenggalek Buleleng Tabanan Jembrana Maluku Utara Maluku Tengah
7,4 7,8 10,2 9,5 8,5 6,5 10,0 10,3 8,8 7,5 9,2 7,8 7,8 11,5 15,4 11,7 10,6 11,3 11,3 8,3 11,0 7,5 7,8 9,8 10,0 8,0 8,5 9,5 8,6 9,7 11,7 8,5 7,7
14,2 16,6 20,1 18,8 18,6 19,3 21,1 15,6 17,7 18,4 17,1 17,1 18,3 16,2 18,3 17,2 15,0 16,3 15,4 18,9 19,1 16,6 17,5 19,4 18,5 17,0 15,7 19,7 20,1 18,8 17,3 18,9 17,0
6,3 4,8 10,8 11,1 12,8 11,7 11,4 6,2 7,0 6,2 4,2 5,8 6,9 6,8 4,6 4,9 4,8 3,9 4,5 6,6 6,8 6,2 6,0 5,8 5,9 6,4 6,5 6,0 5,8 6,0 5,8 5,5 5,3
Sumber: Taruli, 2002
Beberapa upaya perbaikan untuk menanggulangi permasalahan mutu cengkeh antara lain dapat dilakukan dengan perwilayahan cengkeh sehingga penanaman dilakukan pada daerah yang sangat sesuai, penggunaan varietas unggul serta perbaikan dan standarisasi cara pengolahan. Perbaikan cara pengolahan antara lain dengan waktu panen yang tepat sehingga rendemen cengkeh kering dan kadar minyak meningkat serta cengkeh inferior dan menir
berkurang. Untuk mengurangi kadar bahan asing, pengeringan sebaiknya dilakukan pada lantai jemur yang bersih atau di atas para-para menggunakan tampah atau dengan pengering buatan. Selain itu kadar bahan asing dan persentase gagang cengkeh dapat dikurangi dengan melakukan sortasi sebelum cengkeh disimpan atau dipasarkan.
2.4. Tataniaga Cengkeh Indonesia Menurut Sinaga (1999), tataniaga merupakan bagian perilaku ekonomi yang termasuk dalam kelompok distribusi. Tataniaga atau sistem pemasaran adalah suatu cara untuk menyalurkan barang yang diproduksi oleh produsen agar dapat tiba kepada konsumen. Fungsi tataniaga merupakan peningkatan kegunaan suatu barang yang di konsumsi oleh konsumen, di mana peningkatan kegunaan tersebut berhubungan dengan kegunaan waktu, bentuk, tempat dan harga. Pada prinsipnya fungsi tataniaga tersebut lebih menekankan pada peningkatan nilai guna tempat dari waktu suatu barang, di dalam pendistribusiannya diperlukan adanya perantara atau yang di sebut pedagang perantara. Kotler (1999) menyatakan bahwa tataniaga atau pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial di mana individu dan kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan mereka dengan menciptakan, menawarkan dan bertukar sesuatu yang bernilai satu sama lain. Sedangkan Kohls dan Downey dalam Sinaga (1999) mendefinisikan tataniaga sebagai semua langkah-langkah dari produksi awal sampai ke konsumen terakhir. Cengkeh sebagai salah satu komoditi perkebunan memiliki karakteristik yang khas yaitu dapat di simpan lama tanpa mengalami penurunan mutu
(Mubyarto dalam Sinaga, 1999). Dengan kondisi tersebut maka harga cengkeh yang terjadi tidak merupakan akibat langsung dari situasi panenan atau dengan kata lain tidak ada hubungan erat antara harga dengan permintaan, sehingga petani seharusnya dapat menyimpan cengkeh pada saat harga jatuh dan menjual pada saat harga meningkat. Tataniaga cengkeh adalah suatu sistem yang mengatur mekanisme transaksi perdagangan cengkeh hasil produksi dalam negeri dari tingkat produksi (perkebunan rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta) hingga ke tingkat konsumen yaitu industri (rokok dan obat-obatan) dan rumah tangga. Tataniaga cengkeh memiliki suatu keunikan karena produsennya banyak tapi jumlah industri rokok serta pabrik lainnya yang menggunakan cengkeh sebagai bahan baku hanya sedikit. Strategi terhadap tataniaga cengkeh di Indonesia yang bersifat oligopsoni, di samping cengkeh merupakan komoditi pertanian yang memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional maka tataniaga cengkeh di atur melalui kebijakan pemerintah dengan tujuan: a.
Agar petani sebagai produsen cengkeh menerima harga yang wajar sehingga tingkat pendapatan petani dapat meningkat.
b.
Agar dapat menjamin ketersediaan stok cengkeh sebagai persyaratan terjaminnya secara berkesinambungan produksi pabrik rokok kretek.
2.4.1. Kebijakan Pemerintah dalam Tataniaga Cengkeh Kebijakan pemerintah terhadap tataniaga cengkeh pertama kali di atur dalam Keppres RI tanggal 28 Desember 1969 mengenai impor cengkeh, dengan pelaksanaan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 167 tanggal
25 Juli 1970 dengan menetapkan Badan Pengadaan Cengkeh (BPC) sebagai badan tunggal yang dapat melakukan pengadaan dan penyaluran cengkeh di dalam negeri. Sedangkan importir cengkeh ditunjuk CV. Wijaya dan PT. Mega, yang kemudian pada tahun 1970 diganti oleh CV. Mercu Buana sedangkan BPC dibubarkan tahun 1972, tugasnya dialihkan kepada Direktorat Perdagangan Dalam Negeri. Tahun 1973, pemerintah menetapkan kebijakan dalam bentuk penurunan pajak penjualan cengkeh dari 10 persen menjadi 5 persen dan pengangkutan cengkeh antar pulau di wilayah Indonesia harus disertai Surat Ijin Pengangkutan Antar Pulau Cengkeh (SIPAP-C). Kemudian Keppres No. 8 tahun 1980 tentang Tataniaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri, yang mengatur harga dasar dan tataniaga cengkeh dalam negeri. Isi dari Keppres No. 8 tahun 1980 antara lain: 1.
Pembelian dan pengumpulan cengkeh dari petani dilakukan oleh KUD.
2.
Bank Rakyat Indonesia menyediakan dana atau kredit yang cukup untuk KUD.
3.
Harga dasar pembeli dan lelang ditentukan oleh Menteri Perdagangan dan Koperasi.
4.
Peserta lelang terdiri dari pedagang antar pulau dan PT. Kerta Niaga yang memiliki SIUPP.
5.
PT. Kerta Niaga di tunjuk sebagai badan penyangga dan pemegang stok cengkeh nasional bila harga dasar tidak tercapai.
6.
Dana pengelolaan stok cengkeh nasional disediakan melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).
7.
Cengkeh yang diantar pulaukan dikenakan Sumbangan Rehabilitasi Cengkeh (SRC) sebesar Rp 500/kg. Tujuan dari Keppres No. 8 tahun 1980, adalah:
1.
Stabilitas harga cengkeh.
2.
Melindungi petani cengkeh.
3.
Meningkatkan peran KUD.
4.
Meningkatkan peran lembaga tataniaga seperti Perdagangan Antar Pulau (PAP), PT Kerta Niaga sebagai perusahaan pemegang stok dan penyangga cengkeh nasional di tingkat KUD. Banyaknya masalah yang ditemui dalam kebijakan tataniaga cengkeh
tahun 1980, menyebabkan pemerintah menetapkan kebijakan yang baru dalam tataniaga cengkeh Indonesia, yaitu dengan membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 306 tahun 1990, BPPC berhak melakukan pembelian, penyanggaan dan stabilisasi harga di tingkat petani dan menjual kepada konsumen. BPPC dibentuk dengan tujuan meningkatkan pendapatan petani cengkeh akibat banyaknya keluhan dari petani dengan harga jual cengkeh yang sangat murah. Kebijakan tataniaga cengkeh berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992 tentang tataniaga cengkeh hasil produksi dalam negeri ditetapkan pada tanggal 11 April 1992. Inti dari kebijakan tersebut adalah: a.
Pembelian cengkeh dari petani cengkeh dilakukan KUD dengan harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah.
b.
KUD menjual cengkeh tersebut kepada badan penyangga yang di tunjuk oleh pemerintah.
c.
Penjualan cengkeh oleh badan penyangga kepada pabrik rokok atau konsumen lainnya dikenakan Sumbangan Diversifikasi Tanaman Cengkeh (SDTC) sebesar Rp. 150/Kg. Berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992, ditetapkan juga harga cengkeh,
dana pembelian, penyerahan pita cukai serta pembinaan dan pengawasan dalam tataniaga cengkeh. Sedangkan pelaksanaan tataniaga cengkeh berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992 dan Inpres No. 4 tahun 1996, kembali di atur melalui Keputusan Menperindag tahun 1996 dan keputusan Menkop/PKK No. 335 tahun 1996. Sejak dikeluarkannya Keppres No. 21 tahun 1998 yang mengatur tentang perdagangan cengkeh, BPPC resmi dibubarkan dan Keppres No. 20 tahun 1992 tidak berlaku lagi. Isi Keppres No. 21 tahun 1998 adalah sebagai berikut: Pasal 1 Petani dan pedagang dapat menjual dan atau membeli secara bebas cengkeh kepada dan atau dari pihak manapun berdasarkan harga pasar. Pasal 2 Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) wajib menyelesaikan semua hal yang menyangkut kegiatannya selambat-lambatnya sampai dengan 30 Juni 1998. Pasal 3 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Presiden ini ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Pasal 4 Dengan ditetapkan Keputusan Presiden ini, Keputusan No. 20 tahun 1992 tentang Tataniaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri dan seluruh peraturan pelaksanaannya dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 5 Keputusan ini berlaku pada tanggal 2 Febuari 1998.
2.4.2. Saluran Tataniaga Cengkeh Indonesia Rantai tataniaga menurut Keppres No. 8 tahun 1980 dapat di lihat pada gambar di bawah ini. KUD/ PUSKUD
Petani
Lembaga Lelang
PAP/ Penyangga
Pabrik
Sumber: Rosmeilisa, 1997
Gambar 4. Rantai Tataniaga Menurut Keppres No. 8 Tahun 1980 Tataniaga cengkeh ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Kemala dalam Rosmeilisa (1997), terjadinya hal tersebut disebabkan adanya distorsi pasar akibat pemerintah selaku regulator tidak konsisten terhadap sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi diantaranya adalah harga yang diterima petani kurang dari Rp 6.500 sebagai harga yang telah ditetapkan. Petani hanya menerima harga sebesar Rp 3.000 per kilogram, hal ini jelas sangat merugikan petani. Walaupun pemerintah telah membuat suatu rantai tataniaga cengkeh, namun ada juga petani yang menjual produksi cengkehnya tanpa mengikuti rantai tataniaga yang telah ditetapkan. Rantai tataniaga bukan berdasarkan Keppres No. 8 tahun 1980 dapat di lihat pada gambar berikut.
Petani
Konsumen Pedagang Pengumpul
Pedagang Kabupaten
Pedagang Propinsi/Besar
Sumber: Rosmeilisa, 1997
Gambar 5. Rantai Tataniaga Non-Keppres
Pada tahun 1988 terjadi kelebihan penawaran yang mengakibatkan harga turun tajam sampai Rp 1.500 per kilogram. Dengan tujuan menolong petani, pemerintah menetapkan rantai tataniaga baru berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992 dengan membentuk BPPC yang merupakan badan usaha swasta yang bertugas melakukan pembelian, menyangga dan menstabilkan harga cengkeh di tingkat petani dan menjual ke pabrik-pabrik rokok melalui SK. Menteri Perdagangan No. 306/KP/XII/1990. Untuk mengawasi jual beli cengkeh di bentuk Badan Cengkeh Nasional (BCN). Tataniaga cengkeh yang ditetapkan dengan adanya BPPC dapat di lihat seperti pada gambar di bawah.
Petani
KUD
BPPC
Konsumen Pabrik Rokok atau Lainnya
Surveyor/ PT. Sucofindo
Sumber: Rosmeilisa, 1997
Gambar 6. Saluran Tataniaga Cengkeh Menurut SK. Mendag Tahun 1990 Di lihat dari rantai tataniaga berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992, banyak pemotongan rantai tataniaga sehingga diharapkan tataniaga cengkeh menjadi lebih efisien tetapi pada pelaksanaannya banyak syarat biaya yang dibebankan sehingga pelaksanaannya tidak seperti yang diharapkan. Dengan terbitnya Keppres No. 21 tahun 1998, maka tataniaga cengkeh yang selama ini ditangani oleh BPPC dibebaskan. Para petani bebas menjual hasil cengkehnya dan pedagang dapat membeli cengkeh dengan pihak manapun.
2.5. Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian tentang analisis permintaan cengkeh untuk industri rokok kretek pernah dilakukan oleh Chaniago (1980). Dalam penelitian tersebut salah satu tujuannya
adalah
menentukan
faktor-faktor
yang
berpengaruh
terhadap
permintaan cengkeh dan membuat suatu estimasi atau proyeksi permintaan cengkeh. Penelitian dilakukan dengan mengunakan data time series selama 21 tahun, yaitu data berskala dari tahun 1958-1979. Data di olah dengan persamaan regresi berganda dengan metode analisis pangkat dua terkecil dua tahap (two stage least square). Estimasi atau proyeksi permintaan cengkeh untuk industri rokok kretek dibuat dengan menggunakan beberapa asumsi, di mana pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk berubah sedangkan harga-harga setelah memperhitungkan laju inflasi yang berpedoman dari perkembangan laju inflasi sebelumnya, dianggap tetap. Dari hasil analisis permintaan rokok kretek ternyata yang sangat mempengaruhi permintaan cengkeh adalah pendapatan. Berdasarkan perhitungan proyeksi permintaan cengkeh dengan asumsi angka kenaikan pendapatan nasional 7 persen setahun, angka kenaikan penduduk 2,3 persen setahun dan harga-harga tetap dengan menggunakan 0,9 gram cengkeh per batang rokok kretek, diperkirakan permintaan cengkeh tahun 1990 mencapai 75.574 ribu ton sedangkan jika 0,7 gram cengkah per batang rokok kretek, permintaan cengkeh pada tahun 1990 diperkirakan 58.780 ribu ton. Dengan asumsi angka kenaikan pendapatan nasional 6 persen setahun, angka kenaikan penduduk 2,4 persen setahun dan harga-harga tetap dengan menggunakan 0,9 gram cengkeh per batang rokok kretek, diperkirakan
permintaan cengkeh tahun 1990 mencapai 68.714 ribu ton. Sedangkan jika satu batang rokok kretek 0,7 gram cengkeh, kebutuhan cengkeh untuk rokok kretek pada tahun 1990 hanya mencapai 53.444 ribu ton. Selain penelitian Chaniago, penelitian tentang cengkeh juga dilakukan oleh Wachjutomo (1996), Sinaga (1999) dan Rumangit (2007). Penelitian yang dilakukan oleh Wachjutomo (1996) dengan judul analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap penawaran dan permintaan cengkeh di Indonesia, membahas masalah adanya penurunan harga cengkeh di tingkat petani, dan peningkatan harga cengkeh di tingkat industri sigaret kretek yang disebabkan oleh kebijakan tataniaga cengkeh. Dalam penelitian tersebut menggunakan data time series, yaitu data tahun 1969 sampai dengan tahun 1993. Data di olah menggunakan model ekonometrika yang mempresentasikan pasar dan proses produksi komoditi cengkeh dalam bentuk persamaan simultan. Model di duga dengan metode three-stage least squares dan disimulasi untuk berbagai alternatif kebijakan. Dari analisis diperoleh bahwa volume impor cengkeh responsif terhadap perubahan jumlah produksi cengkeh, stok cengkeh nasional tahun lalu, dan konsumsi cengkeh industri sigaret kretek. Jumlah stok cengkeh nasional dalam jangka panjang responsif terhadap perubahan jumlah konsumsi cengkeh industri sigaret kretek. Kenaikan konsumsi sigaret kretek akan meningkatkan stok cengkeh nasional sehingga sebagian besar jumlah stok cengkeh nasional berada di tingkat industri sigaret kretek. Dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, volume ekspor cengkeh responsif terhadap perubahan nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Sehingga penurunan nilai tukar (depresiasi) akan meningkatkan volume ekspor
cengkeh. Dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, harga cengkeh impor responsif terhadap perubahan harga cengkeh di pasar dunia. Sehingga kenaikan harga cengkeh di pasar dunia akan meningkatkan harga impor cengkeh. Bagi petani produsen cengkeh, kebijakan tataniaga cengkeh berdasarkan Keppres No. 8 tahun 1980, lebih baik dibandingkan dengan kebijakan tataniaga cengkeh berdasarkan BPPC. Karena apabila kebijakan tataniaga berdasarkan Keppres No. 8 tahun 1980 dihapuskan akan berdampak terhadap penurunan harga cengkeh di tingkat petani, sedangkan jika kebijakan BPPC dihapuskan berdampak terhadap peningkatan harga cengkeh di tingkat petani. Semua alternatif kebijakan dalam pasar komoditi cengkeh berdampak terhadap peningkatan surplus nasional dan surplus industri sigaret kretek. Tetapi hanya kebijakan peningkatan harga cengkeh di tingkat petani, peningkatan harga cengkeh di tingkat industri sigaret kretek dan penghapusan tataniaga cengkeh BPPC yang akan meningkatkan surplus dan penerimaan petani produsen. Kebijakan kenaikan harga cengkeh di tingkat petani, merupakan satu-satunya kebijakan yang berdampak terhadap peningkatan surplus dan penerimaan petani produsen cengkeh dan produsen sigaret kretek. Sinaga (1999) dalam penelitiannya yang berjudul dampak perubahan faktor ekonomi terhadap permintaan dan penawaran cengkeh di Indonesia bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, permintaan dan penawaran cengkeh di Indonesia; menganalisis keterkaitan produksi, permintaan dan penawaran cengkeh di Indonesia; menganalisis dampak perubahan faktor ekonomi terhadap produksi, permintaan dan penawaran cengkeh di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan mengunakan data sekunder berupa data
time series dari tahun 1970-1998 atau dengan rentang waktu 29 tahun. Faktorfaktor yang di duga berpengaruh adalah harga cengkeh di tingkat pabrik rokok, harga di tingkat petani, konsumsi industri rokok kretek, kebijakan tataniaga cengkeh, konsumsi cengkeh industri lain, konsumsi cengkeh oleh rumah tangga, jumlah penduduk Indonesia, pendapatan perkapita dan ekspor rokok kretek. Metode pendugaan yang digunakan adalah metode Two- Stage Least Squares (2 SLS). Dari hasil analisis yang diperoleh, faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap permintaan cengkeh adalah harga cengkeh di tingkat petani, konsumsi industri rokok kretek, jumlah penduduk Indonesia dan ekspor rokok kretek. Meningkatnya
konsumsi
industri
rokok
kretek
berpengaruh
terhadap
meningkatnya permintaan cengkeh di Indonesia. Sedangkan dummy kebijakan tataniaga cengkeh tidak berpengaruh terhadap permintaan cengkeh di Indonesia. Permintaan cengkeh respon hanya terhadap jumlah penduduk Indonesia. Permintaan cengkeh akan meningkat bila penduduk Indonesia meningkat. Rumagit (2007) dalam penelitiannya dengan judul kajian ekonomi keterkaitan antara perkembangan industri cengkeh dan industri rokok nasional. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis (1) keterkaitan antara industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional, (2) perkembangan sistem produksi dan tataniaga dalam usahatani cengkeh dan (3) kemungkinan kerjasama antara industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data di analisis dengan menggunakan pendekatan ekonometrika, matriks analisis kebijakan periode ganda (multi-period PAM) dan teori permainan (game theory). Hasil
penelitian menyimpulkan bahwa (1) keterkaitan antara industri cengkeh dan industri rokok kretek perlu diperbaiki, (2) rendahnya harga cengkeh terutama pada saat panen raya menyebabkan keuntungan privat usahatani cengkeh relatif rendah, walaupun masih tetap memiliki keunggulan komparatif dan (3) kerjasama yang sinergis antara petani cengkeh dan pabrik rokok kretek diperlukan untuk keberlanjutan industri cengkeh dan industri rokok kretek Beberapa penelitian sebelumnya yang juga diperlukan selain dari penelitian tentang cengkeh di atas dilakukan oleh Ketura (1996) dan Afifa (2006). Penelitian yang dilakukan oleh Ketura (1996) dengan judul analisis permintaan cabai di Indonesia, memiliki tujuan menduga fungsi permintaan akan komoditi cabai dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cabai dengan ruang lingkup mencakup estimasi fungsi permintaan cabai sebagai konsumsi langsung dan sebagai faktor produksi. Dari hasil analisis model yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa permintaan cabai sebagai konsumsi langsung rumah tangga terutama dipengaruhi oleh selera. Hal ini menunjukkan bahwa minat masyarakat akan komoditas cabai meningkat. Selain itu, harga cabai, tingkat pendapatan, harga beras, harga cabai botol dan jumlah penduduk turut mempengaruhi. Selera masyarakat akan komoditas cabai terus meningkat, hal ini ditunjukkan oleh variabel trend yang berpengaruh nyata dan bernilai positif. Permintaan cabai sebagai bahan baku industri dipengaruhi oleh harga cabai, pengeluaran untuk tenaga kerja, jumlah industri yang menggunakan sebagai bahan baku dan jumlah produksinya. Sebagai bahan baku industri permintaan
akan cabai terus meningkat. Sama halnya dengan permintaan cabai sebagai konsumsi langsung, hal ini secara keseluruhan terlihat dari nilai trend yang positif. Secara keseluruhan, konsumsi cabai dipergaruhi oleh harga cabai, pendapatan, harga beras, harga cabai botol, jumlah penduduk, pengeluaran untuk tenaga kerja dari industri yang menggunakan cabai sebagai bahan baku, jumlah industri yang menggunakan cabai sebagai bahan baku dan produksi serta trend. Afifa (2006) dalam penelitiannya yang berjudul analisis permintaan kedelai pada industri kecap di Indonesia bertujuan menguraikan keragaan perekonomian kedelai dan industri kecap di Indonesia dan menganalisis faktorfaktor yang memepengaruhi permintaan kedelai pada industri kecap di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan mengunakan data sekunder berupa data time series dari tahun 1990-2002. Data di olah dengan menggunakan software Minitab 13.1 dengan model persamaan tunggal yang di estimasi dengan teknik kuadrat terkecil biasa (OLS/Ordinary Least Square). Dari penelitian tersebut diperoleh nilai R² sebesar 0,713 yang berarti 71,3 persen keragaman permintaan kedelai pada industri kecap dijelaskan oleh keragaman variabel-variabel dalam model. Sementara sisanya 28,7 persen dijelaskan oleh variabel di luar model yang di duga disebabkan oleh kondisikondisi di luar model yang sesuai dengan kondisi kedelai di Indonesia seperti menurunnya produksi dalam negeri sehingga impor kedelai meningkat setiap tahunnya, ketidakstabilan ekonomi di Indonesia dan kurangnya penggunaan teknologi untuk menghasilkan benih kedelai yang bermutu. Pada model permintaan kedelai pada industri kecap, peubah yang berpenggaruh nyata adalah harga kecap, nilai tukar rupiah dan perusahaan kecap.
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Permintaan Permintaan adalah banyaknya jumlah barang yang di minta pada suatu pasar tertentu dengan tingkat harga tertentu pada tingkat pendapatan tertentu dan dalam periode tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap suatu barang, diantaranya adalah harga barang itu sendiri, harga barang lain yang berkaitan dengan barang tersebut, pendapatan rumah tangga dan pendapatan ratarata masyarakat, corak distribusi pendapatan dalam masyarakat, cita rasa masyarakat, jumlah penduduk dan ramalan mengenai keadaan di masa mendatang (Sugiarto et al, 2005). Menurut Lipsey (1995), jumlah yang ingin di minta (quantity demanded) untuk suatu komoditi merupakan jumlah komoditi total yang ingin di beli oleh semua rumah tangga. Istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan pembelian yang diinginkan, sedangkan istilah kuantitas nyata yang di beli (quantity actually bought) digunakan untuk menunjukkan jumlah pembelian yang sebenarnya. Banyaknya komoditi yang akan di beli oleh semua rumah tangga pada periode waktu tertentu dipengaruhi oleh harga komoditi itu sendiri, rata-rata penghasilan rumah tangga, harga komoditi yang berkaitan baik berkaitan secara substitusi maupun komplementer, selera, distribusi pendapatan di antara rumah tangga dan besarnya populasi. Jadi adanya perubahan dari variabel-variabel tersebut akan mempengaruhi permintaan suatu rumah tangga.
Kurva permintaan memperlihatkan hubungan antara jumlah keseluruhan komoditi yang di minta pada tingkat harga tertentu, cateris paribus. Kurva permintaan mempunyai slope yang negatif dari kiri atas ke kanan bawah, dimana jika terjadi penurunan harga akan menambah jumlah komoditi yang di minta (Nicholson, 2001). Konsep dasar dari fungsi permintaan dari suatu barang dapat dinyatakan dalam bentuk hubungan antara kuantitas yang di minta dan sekumpulan variabel spesifik yang mempengaruhi permintaan dari barang itu. Dalam bentuk model matematika, konsep permintaan untuk suatu barang dinotasikan sebagai berikut: Dx = f (Px, Py, I, T, Idist, Pop) Dimana: Dx
= Kuantitas permintaan barang x
f
= Notasi fungsi yang berarti “fungsi dari” atau tergantung pada
Px
= Harga barang x
Py
= Harga barang y (substitusi atau komplementer)
I
= Pendapatan konsumen
T
= Selera
Idist
= Distribusi pendapatan
Pop
= Jumlah penduduk
Dx adalah variabel tidak bebas (dependent variable), karena besar nilainya ditentukan oleh variabel-variabel lain, yaitu variabel yang berada di sisi kanan persamaan. Variabel-variabel ini disebut variabel bebas (independent variable) karena besar nilainya tidak tergantung besarnya nilai variabel lain.
Perubahan dari faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan akan menyebabkan terjadinya pergeseran kurva permintaan. Pergeseran kurva permintaan ke kanan disebabkan oleh peningkatan pendapatan, kenaikan harga komoditi substitusi, penurunan harga komoditi komplementer, perubahan selera konsumen yang lebih menyukai produk tersebut, distribusi pendapatan yang menguntungkan kelompok yang membeli komoditi tersebut dan kenaikan jumlah tersebut. Sedangkan pergeseran kurva permintaan ke kiri dapat disebabkan keadaan sebaliknya dari hal tersebut.
3.1.2. Pergerakan Sepanjang Kurva Permintaan Versus Pergeseran Seluruh Kurva Permintaan Penting untuk membedakan antara pergerakan sepanjang kurva permintaan dan pergeseran kurva permintaan. Pergerakan sepanjang kurva permintaan disebabkan adanya perubahan jumlah yang di minta sebagai akibat perubahan harga dari produk tersebut. Penurunan harga produk akan menyebabkan jumlah produk yang di minta naik dan kenaikan harga produk akan mengurangi jumlah produk yang di minta. Sedangkan pergeseran kurva permintaan disebabkan adanya perubahan permintaan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor selain harga produk tersebut. Dengan demikian, suatu peningkatan permintaan berarti pergeseran seluruh kurva permintaan ke kanan. Sedang suatu kenaikan jumlah yang di minta berarti suatu pergerakan ke bawah ke arah kanan sepanjang kurva pemintaan.
3.1.3. Permintaan Industri Sistem permintaan cengkeh untuk keperluan industri di Indonesia berkaitan erat dengan permintaan primer (primary demand) dan permintaan turunan (derived demand). Derived demand digunakan untuk menunjukkan daftar permintaan bagi input yang diperlukan dalam menghasilkan
produk akhir.
Derived demand juga menyangkut sistem pemasaran secara keseluruhan ataupun fungsi permintaan di tingkat petani. Kurva derived demand dapat berubah salah satunya karena pergeseran kurva primary demand atau perubahan marjin pemasaran. Secara empiris hubungan derived demand dapat diperkirakan secara tidak langsung antara lain dengan mengurangi marjin yang terdapat dalam daftar primary demand atau secara langsung dengan menggunakan data harga dan jumlah yang diperoleh dari setiap tingkat pemasaran ( Tomek dan Robinson, 1972). Harga
Pr Primary demand Pf Derived demand Q
Jumlah per unit waktu
Gambar 7. Kurva Primary Demand dan Derived Demand
Perubahan dalam permintaan konsumen akan berpengaruh terhadap harga yang ditawarkan kepada produsen, demikian juga secara tidak langsung berpengaruh terhadap harga input yang digunakan dalam memproduksi output. Hal ini disebabkan permintaan terhadap input merupakan permintaan turunan (derived demand) yang diperoleh dari proses produksi. Perubahan harga produk akan menyebabkan jumlah pemakaian input berubah pula. Bila harga produk naik, pemakaian input akan naik dan sebaliknya, cateris paribus. Fungsi permintaan input dapat diturunkan dari fungsi produksi. Fungsi produksi menunjukkan produk maksimum yang dapat diperoleh dengan sejumlah masukan tertentu, pada teknologi tertentu yang menyatakan hubungan antara input dan produk. Jadi barang produksi merupakan variabel tidak bebas dan faktor produksi (input) adalah variabel bebas. Secara matematika, fungsi produksi dapat dinyatakan sebagai berikut: Y = f (X1, ..., Xn) di mana Y adalah output dan X adalah input-input yang digunakan untuk memproduksi Y. Misalnya Y adalah rokok kretek, X adalah input-input yang digunakan untuk menghasilkan rokok kretek, termasuk diantaranya ialah cengkeh. Efek perubahan dalam satu faktor produksi terhadap output digambarkan oleh produk marjinal. Secara matematika sebagai berikut: ∂Y PMxi =
= fxi ∂Xi
Definisi produk marjinal secara matematika menggunakan turunan sebagian (partial derivatives) yang mencerminkan bahwa penggunaan semua
input lain di anggap konstan sementara input yang ingin diamati di ubah-ubah. Marjinal produk dari satu input unit terakhir tidak selalu sama besarnya. Ketika input yang digunakan, misalnya cengkeh (X) masih sedikit, produk marginal sangat tinggi. Semakin banyak cengkeh tersebut digunakan sementara input lain konstan, maka produk marjinal semakin berkurang. Produktivitas rata-rata persatu satuan cengkeh (APX) didefinisikan sebagai berikut: Keluaran APX = Masukan Kurva dalam Gambar 8 memperlihatan bagaimana produktivitas rata-rata dan produktivitas marjinal diturunkan dari kurva produk total. Kurva TPX dalam (a) mewakili hubungan antara masukan input dan keluaran, dengan asumsi bahwa semua masukan lain dapat dipertahankan konstan. Seperti yang terlihat pada (b) kemiringan kurva pada TPX merupakan produk marjinal cengkah (MPX), dan kemiringan kurva yang menggabungkan titik asal dengan satu titik di kurva TPX menghasilkan produk rata-rata (APX).
Output (Rokok Kretek) TPX
Input (Cengkeh,X) 0
(a)
MPX, APX
APX
0
X*
X** (b)
Input (Cengkeh, X) X*** MPX
Gambar 8. Kaitan Produktivitas Rata-rata dan Produktivitas Marjinal dengan Kurva Produk Total (Nicholson, 1995) (a) Produk total. (b) Kurva produk rata-rata dan kurva produk marjinal untuk input X (cengkeh). Penggunaan cengkeh (X) dalam proses produksi untuk menghasilkan output (Y) menunjukkan permintaan terhadap X dalam rangka menghasilkan Y. Semakin banyak Y yang akan dihasilkan membutuhkan X yang semakin banyak. Inilah yang disebut dengan “permintaan turunan”.
3.1.4. Elastisitas Permintaan Satu ukuran daya tangkap yang diperlukan dikeseluruhan pengambilan keputusan manajerial adalah elastisitas, yang didefinisikan sebagai persentase perubahan dalam variabel dependent Y, yang dihasilkan dari perubahan satu persen dalam nilai variabel independent X. persamaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut (Pappas dan Hirchey, 1995): Persentase Perubahan Y Elastisitas Y terhadap X = Persentase Perubahan X Elastisitas permintaan mengukur perubahan relatif dalam jumlah unit barang yang di minta sebagai akibat perubahan salah satu faktor yang mempengaruhinya (cateris paribus). Secara umum elastisitas dapat dibedakan menjadi tiga (Sugiarto et al, 2005) yaitu elastisitas permintaan terhadap harga (price elasticity of demand), elastisitas permintaan terhadap pendapatan (income elasticity of demand) dan elastisitas permintaan silang (cross price elasticity of demand). a. Elastisitas Permintaan terhadap Harga Elastisitas permintaan terhadap harga mengukur seberapa besar perubahan jumlah komoditas yang di minta apabila harganya berubah. Jadi elastisitas permintaan terhadap harga adalah ukuran kepekaan perubahan jumlah komoditas yang di minta terhadap perubahan harga komoditas tersebut (cateris paribus). Nilai elastisitas permintaan terhadap harga yang diperoleh menunjukan berapa besar perubahan jumlah komoditas yang di minta apabila dibandingkan dengan
perubahan harga (Sugiato et al, 2005). Elastisitas permintaan terhadap harga dapat di hitung dengan menggunakan rumus : Persentase Perubahan Jumlah yang Diminta Ed = Persentase Perubahan Harga Angka elastisitas permintaan terhadap harga dapat bervariasi mulai dari nol sampai tak terhingga. Elastisitas sama dengan nol jika tidak ada perubahan jumlah yang di minta bila terjadi perubahan harga, artinya jumlah yang di minta tidak peka terhadap adanya perubahan harga. Semakin besar elastisitas permintaan terhadap harga, semakin besar persentase perubahan jumlah yang di minta untuk suatu persetase perubahan harga (semakin peka jumlah barang yang di minta terhadap perubahan harga). Selama elastisitas permintaan terhadap harga memiliki nilai yang kurang dari satu, persentase perubahan jumlah yang di minta lebih kecil dari persentase perubahan harga (permintaan dikatakan inelastis). Bila nilai elatisitasnya sama dengan satu, persentase perubahan keduanya sama (permintaan dikatakan unitarian). Bila persentase perubahan jumlah yang di minta lebih besar dari persentase perubahan harga, nilai elastisitas permintaan terhadap harga lebih besar dari satu (permintaan dikatakan elastis). b. Elastisitas Permintaan Silang Menurut Sugiarto et al (2005) koefisien yang menunjukkan besarnya perubahan permintaan suatu komoditas apabila terjadi perubahan harga komoditas lain dinamakan elastisitas permintaan silang. Koefisien elastisitas permintaan silang sering digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan komplementer atau
subtitusi di antara berbagai komoditas. Nilai elastisitas permintaan silang berkisar dari negatif tak terhingga sampai positif tak terhingga. Perhitungan elastisitas permintaan silang dapat menggunakan rumus : Persentase Perubahan Jumlah Komoditas X yang Diminta Ec = Persentase Perubahan Harga Komoditas Y Tanda dari elastisitas silang akan tergantung kepada apakah komoditas yang terkait merupakan komoditas subtitusi atau komplementer. Bila komoditas X dan komoditas Y adalah subtitusi, maka elastisitas silang bernilai positif (Ec > 0) karena peningkatan harga komoditas Y akan membuat jumlah komoditas X yang di minta juga meningkat. Sedangkan bila komoditas X dan komoditas Y adalah komplemeter, maka elastisitas silangnya bernilai negatif (Ec < 0) karena peningkatan harga komoditas Y akan membuat jumlah komoditas X yang di minta menurun. c. Elastisitas Permintaan terhadap Pendapatan Koefisien yang menunjukan besarnya perubahan permintaan atas suatu komoditas sebagai akibat dari perubahan pendapatan konsumen dikenal dengan elastisitas permintaan terhadap pendapatan. Elastisitas permintaan terhadap pendapatan merupakan suatu besaran yang berguna untuk menunjukkan responsivitas konsumsi suatu komoditas terhadap perubahan pendapatan. Nilai yang diperoleh dapat digunakan untuk membedakan komoditas apakah termasuk dalam kategori komoditas mewah, normal dan inferior (Sugiarto et al, 2005). Rumus elastisitas permintaan terhadap pendapatan adalah sebagai berikut :
Persentase Perubahan Jumlah Komoditi X yang Diminta Ei = Persentase Perubahan Pendapatan Komoditas normal dan komoditas mewah memiliki elastisitas permintaan terhadap pendapatan positif (Ei > 0). Sedangkan komoditas inferior memiliki elastisitas permintaan terhadap pendapatan negatif (Ei < 0).
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Dalam suatu penelitian diperlukan kerangka berpikir secara operasional yang dapat mempermudah pemahaman terhadap hal-hal yang ditemui sehingga pembahasan terarah dan sesuai dengan tujuan penelitian. Permintaan terhadap cengkeh yang terus meningkat, mengakibatkan harga cengkeh juga meningkat. Peningkatan harga cengkeh yang ada tidak diikuti dengan produksi dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri pemerintah harus mengimpor cengkeh dari luar. Untuk mengurangi impor cengkeh pemerintah menetapkan kebijakan swasembada cengkeh sehingga produksi dalam negeri menjadi meningkat. Dengan produksi yang meningkat, harga cengkeh yang sebelumnya tinggi menjadi sangat rendah bahkan jauh dari harga yang telah ditetapkan. Keadaan percengkehan yang tak menentu, menyebabkan perlunya dilakukan analisis untuk mengetahui perkembangan konsumsi cengkeh oleh industri rokok kretek dan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan cengkeh oleh industri rokok kretek. Faktor-faktor yang di duga mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek antara lain harga riil cengkeh, jumlah produksi rokok kretek, jumlah industri rokok kretek,
jumlah penduduk, ekspor rokok kretek dan kebijiakan tataniaga cengkeh dengan adanya BPPC. Dari uraian di atas maka dapat digambarkan alur pemikiran untuk penelitian ini pada gambar di bawah.
Permintaan Cengkeh di Indonesia
Industri Rokok Kretek
Faktor-faktor yang diduga Mempengaruhi: a. Harga riil cengkeh b. Jumlah industri rokok kretek c. Jumlah produksi industri rokok kretek d. Jumlah penduduk e. Ekspor rokok kretek f. Dummy kebijakan tataniaga
Analisis Regresi dengan Metode OLS
Implikasi Kebijakan
Gambar 9. Kerangka Pemikiran Operasional
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data time series tahunan dari tahun 1980-2006. Jenis data yang digunakan adalah permintaan cengkeh industri rokok kretek, harga riil cengkeh, jumlah produksi rokok kretek, jumlah penduduk, jumlah industri rokok kretek dan ekspor rokok kretek. Sumber data yang digunakan diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) dan literatur-literatur serta laporanlaporan lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
4.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data Data dan informasi yang diperoleh akan di analisis dengan metode deskriptif
dan
metode
kuantitatif.
Metode
deskriptif
digunakan
untuk
mendeskripsikan perkembangan konsumsi cengkeh industri rokok kretek di indonesia di samping permintaan itu sendiri. Sedangkan metode kuatitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan komoditi cengkeh. Model yang digunakan dalam analisis data adalah model regresi linier berganda. Regresi linier berganda digunakan kerena metode tersebut sederhana dan mampu menunjukkan berapa persen peubah tak bebas (dependent) dapat dijelaskan oleh peubah bebas (independent) dengan nilai R-squared, yaitu nilai
koefisien determinasi yang sudah memperhitungkan trade off antara penambahan peubah bebas dan penurunan derajat bebas dalam model. Selain itu output model tersebut juga cukup lengkap untuk memenuhi asumsi dalam pendugaan model dengan OLS. Sedangkan kekurangan dari metode ini adalah dalam pendugaan modelnya, terdapat beberapa asumsi yang harus dipenuhi. Data yang diperoleh dikelompokkan, kemudian dilakukan berbagai penyesuaian untuk dimasukkan dalam tabel sesuai keperluan. Data yang telah ditabelkan dipersiapkan sebagai input komputer sesuai dengan model yang di duga dan asumsi yang digunakan. Proses perhitungan model dan pengolahan data dilakukan dengan program komputer
Minitab for Windows untuk kemudian
diinterpretasikan secara manual.
4.3. Model Persamaan Regresi Model merupakan suatu penjelasan dan penyederhanaan dari fenomena aktual. Suatu model dikatakan baik apabila memenuhi kriteria ekonomi, statistika dan ekonometrika (Gujarati, 1993). Secara umum model persamaan regresi adalah Yt = βo + ΣβiXit + εt Dimana : Yt = Peubah tak bebas tahun ke-t βo = Intersep Xit = Peubah bebas ke-i yang menjelaskan peubah tak bebas Yt βi = Parameter penduga Xi εt = Error term tahun ke-t i = 1,2,3,…,k yaitu banyaknya peubah bebas dalam fungsi tersebut.
Pendugaan model tersebut dilakukan dengan menggunakan Metode Kuadrat Terkecil Biasa (Ordinary Least Square/OLS ) yang didasarkan asumsiasumsi sebagai berikut (Gujarati, 1993) : 1.
Nilai rata-rata untuk kesalahan pengganggu sama dengan nol, yaitu E (εi) = 0, untuk I = 1,2,3,…,k
2.
Ragam εi = σ², sama untuk semua kesalahan pengganggu (asumsi homoscesidasticity)
3.
Tidak ada autokorelasi antara kesalahan pengganggu berarti kovarian (εi,εj) = 0, untuk i ≠ j. dengan demikian antara εi dan εj tidak saling tergantung
4.
Peubah bebas X1, X2, X3,…, Xk konstan dalam pengambilan sampel terulang dan bebas terhadap kesalahan pengganggu, E (Xi, εi) = 0
5.
Peubah bebas X saling bebas atau tidak ada kolinearitas ganda diantara peubah bebas X
6.
εi ~ N (0, σ²), artinya kesalahan pengganggu mengikuti distribusi normal dengan rata-rata nol dan varian σ².
Apabila asumsi di atas dapat terpenuhi, maka koefisien regresi (parameter) yang diperoleh merupakan penduga linier terbaik yang tidak bias (BLUE = Best Linear Unbiased Estimator).
4.4. Evaluasi Model Evaluasi model pendugaan bertujuan untuk mengetahui apakah model yang di duga terpenuhi secara teori. Untuk itu model pendugaan harus sesuai dengan kriteria ekonomi, statistik dan ekonometrika.
4.4.1. Kriteria Ekonomi Penentuan parameter model regresi berdasarkan teori ekonomi yang ada, kemudian di uji berdasarkan berdasarkan teori ekonomi pula. Teori ekonomi yang digunakan untuk menerangkan hasil analisis ini adalah teori permintaan dan elastisitas. 4.4.2. Kriteria Statistik Pengujian suatu model meliputi uji pengaruh parameter secara individual, pengujian parameter secara keseluruhan dan koefisien determinasi (R²) sebagai suatu ukuran kebaikan (goodness of fit). Statistik uji yang digunakan untuk mengukur signifikasi parameter secara individual adalah uji-t, sedangkan untuk signifikasi parameter secara keseluruhan adalah uji-F. Dalam penelitian ini, uji-t bertujuan untuk mengetahui apakah dari masing-masing variabel bebas memiliki pengaruh nyata terhadap permintaan cengkeh, sedangkan uji-F bertujuan untuk mengetahui apakah seluruh variabel bebas secara bersama-sama memiliki pengaruh nyata terhadap permintaan cengkeh. Koefisien determinasi (R²) digunakan untuk mengukur keragaman dari variabel tidak bebas yang dapat diterangkan oleh variabel bebas. Nilai R² berkisar 0 sampai 1, semakin besar nilai R² berarti model semakin baik. Pengujian hipotesis baik uji-t maupun uji-F yaitu dengan melihat tingkat signifikansi (α) yaitu probalitas kesalahan menolak hipotesis yang ternyata benar. Semakin kecil nilai α berarti semakin mengurangi resiko kesalahan (Santoso dalam Nurlianti, 2002). Uji-t dalam penelitian ini memiliki hipotesis sebagai berikut: Hipotesis: H0: βi = 0
H1: βi ≠ 0 βi Statistik Uji: t hitung = S(βi) Dimana: i
= 1,2,3,…,k
βi
= Koefisien parameter ke-i yang diduga
S(βi) = Standar deviasi dari parameter βi dengan derajat bebas (df) = n-k n
= Jumlah pengamatan
k
= Jumlah parameter regresi
Kriteria uji: t hitung > t tabel:
maka tolak H0 artinya koefisien regresi secara statistik berbeda nyata dengan nol sehingga parameter dugaan tersebut berpengaruh nyata dalam model.
t hitung < t tabel: maka terima H0 artinya koefisien regresi secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol sehingga parameter dugaan tersebut tidak berpengaruh nyata dalam model. Uji-F dalam penelitian ini memiliki hipotesis sebagai berikut: Hipotesis: H0: β1 = β2 =…= βk = 0 H: minimal ada satu nilai parameter dugaan (βi) ≠ 0 SSR/(k – 1) Statistik Uji: F hitung =
dengan derajat bebas (df) = (k-1), (n-k) SSE/(n – k)
Dimana: i
= 1,2,3,…,k
β
= Parameter
SSR = Jumlah kuadrat regresi SSE = Jumlah kuadrat sisa
n
= Jumlah pengamatan
k
= Jumlah parameter regresi
Kriteria uji: F hitung > F tabel:
maka tolak H0 artinya secara besama-sama peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas.
F hitung < F tabel:
maka terima H0 artinya secara besama-sama peubah bebas tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas.
4.4.3. Kriteria Ekonometrika Asumsi-asumsi utama yang harus dipenuhi dalam model regresi linier adalah sebagai berikut: a.
Asumsi Kenormalan Uji kenormalan diperlukan pada pengujian hipotesis dan penyusunan
selang kepercayaan bagi parameter. Pengaruh ketidaknormalan sisaan terhadap pengujian dan penyusunan selang kepercayaan adalah bahwa taraf nyata yang berkaitan dengan pengujian dan selang kepercayaan tidak lagi sesuai dengan yang ditentukan. Secara eksplorasi, pemeriksaan terhadap asumsi kenormalan dapat dilakukan dengan histogram sisaan maupun plot normal. Apabila bentuk sebaran uji kenormalan berbentuk garis lurus atau tidak setangkup, maka sisaan dapat dikatakan menyebar normal. b. Heteroskedastisitas Menurut Gujarati (1993) suatu model regresi linier harus memiliki varians (penyebaran) yang sama. Menurutnya, jika asumsi ini tidak dipenuhi maka akan terdapat masalah heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas tidak merusak sifat
ketakbiasan dan konsistensi dari penaksir OLS, tetapi penaksir yang dihasilkan tidak lagi mempunyai varians minimum (efisien). Konsekuensi bila terjadi heteroskedastisitas, maka akan berakibat: 1.
Estimasi dengan menggunakan OLS tidak akan memiliki varians yang minimum atau estimator tidak efisien. Dalam penyampelan berulang penaksir OLS secara rata-rata sama dengan nilai populasi sebenarnya (sifat tak bias) dan dengan meningkatnya ukuran sampel sampai tak terhingga penaksir OLS mengarah pada nilai sebenarnya (sifat konsistensi) tetapi variansnya tidak lagi minimum bahkan jika besarnya sampel meningkat secara tak terbatas.
2.
Tidak dapat diterapkannya uji nyata tidaknya koefisien atau selang kepercayaan dengan menggunakan formula yang berkaitan dengan nilai varians (penyebaran). Pengujian heteroskedastisitas bertujuan untuk melihat apakah ada variabel
yang diamati mengandung informasi yang lebih dibandingkan dengan variabel yang lainnya. Dengan demikian, pengamatan ini seharusnya mendapatkan bobot yang lebih besar dibandingkan yang lain. Hal ini dapat diketahui dengan menggunakan metode kuadrat terkecil terboboti. Plot sisaan yang dapat dipergunakan untuk pengujian heteroskedastisitas adalah plot antara sisaan dengan dugaan respon. Apabila ragam sisaan homogen, maka seharusnya plot antara sisaan tersebut tidak memiliki pola apapun. Sedangkan apabila ragam sisaan tidak homogen, maka plot sisaan tersebut akan berpola. Solusi dari masalah heteroskedastisitas adalah mencari transformasi model asal sehingga model yang baru akan memiliki error-term dengan varians yang konstan.
c. Multikolinearitas Pada mulanya model regresi yang baik seharusnya tidak ada hubungan linier yang sempurna di antara beberapa atau semua variabel bebas. Tetapi dalam pengertian luas di kenal multikolinearitas yang kurang sempurna yaitu menunjukkan bahwa variabel bebas (X) tidak merupakan kombinasi linier yang pasti dari X lainnya karena juga ditentukan oleh unsur kesalahan (Gujarati, 1993). Untuk mengetahui ada/tidaknya masalah multikolinearitas dalam model, dapat dilakukan dengan melihat nilai Variance Inflaton Factor (VIF) pada masingmasing variabel bebasnya. 1 Rumus VIF adalah ; VIF = ²
(1 - Ri ) ²
Dimana: Ri adalah koefisien determinasi yang dihasilkan dengan meregresikan variabel Xi dengan variabel lainnya, yaitu Xj (j ≠ i) Jika nilai VIF kurang dari sepuluh maka dapat disimpulkan bahwa dalam model tidak terdapat multikolinieritas. Sebaliknya jika nilai VIF lebih dari sepuluh maka dapat disimpulkan terdapat masalah multikolinieritas dalam model. Selain itu untuk melihat korelasi antar peubah bebas dalam model dapat digunakan uji korelasi Pearson, di mana nilai yang semakin mendekati satu berarti korelasi antar peubah bebas semakin kuat, dan sebaliknya.
d. Autokorelasi Suatu asumsi penting dari model regresi linier adalah autokorelasi atau bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain manapun (Gujarati, 1993). Untuk mengetahui ada/tidaknya autokorelasi bisa
dilakukan dengan percobaan d dari Durbin-Watson. Percobaan d dari DurbinWatson dirumuskan sebagai berikut: t=n
Σ (e – e t
t-1
)²
t=2
d = t=n
Σe² t
t=1
Mekanisme tes Durbin-Watson adalah sebagai berikut: •
Dapatkan nilai kritis dL dan dU
•
Jika hipotesis H0 adalah bahwa tidak ada autokorelasi, maka jika d < dL atau d > 4 – dL berarti menolak H0 (ada autokorelasi positif atau negatif) dU < d < 4 – dU berarti tidak menolak H0 (tidak ada autokorelasi positif atau negatif) dL ≤ d ≤ dU atau 4 – dU ≤ d ≤ 4 – dL berarti daerah keragu-raguan
4.5. Model Persamaan Pendugaan Berdasarkan penelitian terdahulu dan teori yang relevan maka model dugaan untuk permintaan cengkeh adalah sebagai berikut. Fungsi permintaan yang digunakan adalah: QdC = X (PC, NpRk, NiRk, Pop, ExRk, D) Dimana: QdC
= Permintaan cengkeh industri rokok kretek (Ton)
PC
= Harga riil cengkeh (Rupiah)
NpRk
= Jumlah produksi rokok kretek (Juta Batang)
NiRk
= Jumlah industri rokok kretek
ExRk
= Ekspor rokok kretek (Ton)
Pop
= Jumlah penduduk (Ribu Orang)
D
= Dummy kebijakan tataniaga, 1: ada BPPC, 0: tanpa BPPC
Fungsi permintaan di atas dapat ditulis dalam bentuk model persamaan sebagai berikut: QdC = β0 + β1 PCt + β2 NpRkt + β3 NiRkt + β4 ExRkt+ β5 Popt + β6 D + εt Persamaan di atas mengasumsikan bahwa permintaan cengkeh industri rokok kretek dipengaruhi oleh harga riil cengkeh, jumlah produksi rokok kretek, jumlah industri rokok kretek, ekspor rokok kretek, jumlah penduduk dan dummy kebijakan tataniaga cengkeh.
4.6. Konsep Elastisitas Permintaan Elastisitas permintaan digunakan untuk mengukur tingkat kepekaan atau untuk mengetahui persentase kenaikan atau penurunan jumlah permintaan jika terjadi
perubahan
sebesar
satu
persen
pada
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhinya (cateris paribus). Nilai elastisitas yang di bahas dalam penelitian ini adalah nilai elastisitas rataan dengan rumus sebagai berikut. dY / Y Ei =
dY
.
Xi
= dX / Xi
dXi
Y
4.7. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh di Indonesia: 1.
Perkembangan konsumsi cengkeh industri rokok kretek sangat dipengaruhi oleh banyaknya kandungan cengkeh dalam setiap jenis batang rokok.
2.
Pengaruh harga riil cengkeh terhadap permintaan cengkeh industri rokok kretek adalah negatif.
3.
Pengaruh jumlah produksi rokok kretek terhadap permintaan cengkeh industri rokok kretek adalah positif.
4.
Pengaruh jumlah industri rokok kretek terhadap permintaan cengkeh industri rokok kretek adalah positif.
5.
Pengaruh ekspor rokok kretek terhadap permintaan cengkeh industri rokok kretek adalah positif.
6.
Pengaruh jumlah penduduk terhadap permintaan cengkeh industri rokok kretek adalah positif.
7.
Pengaruh kebijakan tataniaga cengkeh terhadap permintaan cengkeh industri rokok kretek adalah negatif.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Perkembangan Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek Cengkeh sebagai salah satu komoditas penting tanaman perkebunan di Indonesia sebagian besar diproduksi oleh perkebunan rakyat. Industri rokok kretek merupakan konsumen utama cengkeh karena menyerap hampir seluruh produksi cengkeh nasional yang digunakan sebagai bahan baku utama dalam memproduksi rokok kretek. Sedangkan konsumsi cengkeh oleh rumah tangga, industri farmasi dan industri kosmetik masih relatif kecil. Karena rumah tangga hanya menggunakan cengkeh untuk kebutuhan bumbu masak, industri farmasi dan kosmetik menggunakan cengkeh hanya sebagai penolong. Konsumsi cengkeh industri rokok kretek cenderung stagnan. Dalam periode tahun 1994 sampai tahun 1999 rata-rata konsumsi cengkeh industri rokok kretek sebesar 96079 ton atau dengan rata-rata pertumbuhan sebesar -0,2 persen. Sedangkan pada periode tahun 2000 sampai 2007 rata-rata konsumsi cengkeh industri rokok kretek sebesar 97168 ton atau dengan dengan laju rata-rata pertumbuhan sebesar 2,3 persen. Bila di lihat pada Tabel 7. hanya pertumbuhan pada tahun 2004 yang mencapai angka di atas 10 persen, sedangkan tahun-tahun yang lain memiliki pertumbuhan di bawah 10 persen.
Tabel 7. Perkembangan Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek (1994-2007) TAHUN
KONSUMSI CENGKEH (TON)
PERTUMBUHAN (%)
1994 1995 1996 1997 1998 1999 1994-1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007* 2000-2007 1994-2007
95378 98703 92298 96777 99906 93410 96079 96818 96106 86823 85245 95670 100454 105476 110750 97168 96701
3,5 -6,5 4,9 3,2 -6,5 -0,2 3,6 -0,7 -9,7 -1,8 12,2 5,0 5,0 5,0 2,3 1,2
Sumber: Gapri, 2006 Keterangan: * = Sementara
Jumlah konsumsi cengkeh industri rokok kretek dapat juga di lihat dari besarnya kandungan cengkeh dalam rokok kretek yang diproduksi (Tabel 8). Besarnya kandungan cengkeh dalam rokok kretek tergantung jenis rokok kretek dan ukurannya. Penelitian atau laporan dari berbagai instansi yang dilakukan, kandungan cengkeh yang paling tinggi terdapat dalam rokok jenis klobot, diikuti rokok jenis SKT dan yang paling rendah kandungan cengkehnya terdapat dalam rokok jenis SKM. Ukuran yang meliputi besar kecil dan panjang pendek batang rokok kretek akan mempengaruhi bobot rokok kretek dan kandungan cengkehnya. Umumnya rokok jenis SKM yang paling ringan kemudian rokok jenis SKT dan jenis klobot yang paling berat.
Tabel 8. Perkembangan Kandungan Cengkeh dalam Rokok Kretek Menurut Berbagai Penelitian dan Laporan Tahun 1989-2003 Penelitian/laporan
Jenis Rokok Kretek (mg/batang) SKT
SKM
KLB
1989
800
600
1000
1995
640
480
880
2004
640
350
880
1989
690
385
880
1992
445
325
638
Dirjen IHP, Depperin 1995
590
520
480
Balitro
590
330
-
GAPPRI
LPEM UI
1995
Sumber: Rumangit, 2007
Perkembangan produksi rokok kretek di Indonesia akan mempengaruhi jumlah cengkeh yang di konsumsi oleh industri rokok kretek. Tampak secara total, produksi rokok kretek cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada periode tahun 1980 sampai tahun 1984 produksi rokok kretek didominasi oleh rokok jenis SKT. Baru pada periode tahun 1985 sampai tahun 2006
dominasi
di
ambil
alih oleh produksi rokok jenis SKM. Sementara rokok jenis klobot dari tahun ke tahun relatif sedikit atau cenderung tetap. Perkembangan produksi rokok kretek berdasarkan jenisnya dapat di lihat pada Tabel 9. Pesatnya perkembangan produksi rokok kretek jenis SKM, tidak terlepas dari perkembangan teknologi dalam industri rokok kretek melalui kegiatan mesinisasi dalam produksi rokok kretek yang dipelopori oleh PT Bentoel, Malang (Rumangit, 2007). Sedangkan peningkatan produksi rokok kretek jenis SKT erat kaitannya dengan perkembangan selera konsumen dan seiring dengan perkembangan teknologi dalam industri rokok kretek (Gonarsyah, 1996).
Secara rataan dalam kurun waktu 27 tahun (1980-2006), total produksi rokok kretek mengalami laju pertumbuhan sebesar 6,14 persen per tahun. Laju rata-rata pertumbuhan total produksi rokok kretek periode tahun 1980 sampai tahun 1989 sebesar 10,65 persen per pertahun lebih tinggi dari pada periode tahun 1990 sampai tahun 2006 sebesar 3,48 persen per tahun. Tabel 9. Perkembangan Produksi Rokok Kretek Nasional Tahun 1980-2007 TAHUN
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1980-1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1990-2006 1980-2006
SKT (juta batang) 37493 39511 39809 43186 43873 41771 41465 42016 41945 40298 41136,7 40598 44108 40274 40881 47440 50928 53038 52382 60226 73041 77036 84790 79409 76159 82882 86954 91157 63606,06 54778,81
Sumber: Gappri, 2006
(%) 5,38 0,75 8,48 1,59 -4,79 -0,73 1,33 -0,17 -3,93 0,88 0,74 8,65 -8,69 1,51 16,04 7,35 4,14 -1,24 14,97 21,28 5,47 10,07 -6,35 -4,09 8,83 4,91 4,83 5,20 3,60
SKM (juta batang) 13882 23461 20573 23988 31579 43785 56678 69908 81165 87413 45243,2 98418 89424 93454 97858 108218 111026 116789 127480 104373 95982 104458 101868 93862 103293 120649 126071 132575 107399,89 82981,18
(%)
69,00 -12,31 16,60 31,64 38,65 29,45 23,34 16,10 7,70 24,46 12,59 -9,14 4,51 4,71 10,59 2,59 5,19 9,15 -18,13 -8,04 8,83 -2,48 -7,86 10,05 16,80 4,49 5,16 2,88 10,88
KLB (juta (%) batang) 1391 1283 -7,76 1291 0,62 805 -37,65 953 18,39 1032 8,29 1160 12,40 1091 -5,95 1111 1,83 1108 -0,27 1122,5 -1,12 1143 3,16 988 -13,56 866 -12,35 731 -15,59 631 -13,68 665 5,39 609 -8,42 566 -7,06 825 45,76 741 -10,18 1054 42,24 675 -35,96 640 -5,19 611 -4,53 626 2,45 683 9,11 662 -3,07 748 -1,26 895,125 -1,21
TOTAL (juta (%) batang) 52766 64255 21,77 61673 -4,02 67979 10,22 76405 12,40 86588 13,33 99303 14,68 113015 13,81 124221 9,92 128819 3,70 87502,4 10,65 140159 8,80 134520 -4,02 134593 0,05 139470 3,62 156289 12,06 162619 4,05 170436 4,81 180429 5,86 165425 -8,32 169764 2,62 185549 9,30 187333 0,96 173911 -7,16 180063 3,54 204157 13,38 213708 4,68 224394 5,00 171930,53 3,48 138762,33 6,14
Pada tabel juga dapat di lihat pada periode tahun 1980 sampai tahun 1989, laju rata-rata produksi rokok jenis SKM sebesar 24,46 persen per tahun, tetapi pada periode tahun 1990 sampai tahun 2006 mengalami penurunan menjadi hanya sebesar 2,88 persen per tahun. Hal ini berbanding terbalik dengan laju rata-rata pertumbuhan produksi rokok jenis SKT yang mengalami peningkatan, yaitu 0,88 persen per tahun pada periode tahun 1980 sampai 1989 menjadi 5,20 persen per tahun pada periode tahun 1990 sampai 2006. Rumangit (2007) menyatakan pesatnya perkembangan produksi rokok kretek dalam negeri, di dorong oleh dua hal, yaitu: pertama, meningkatnya potensi pasar rokok kretek di dalam negeri. Ditunjukkan oleh meningkatnya rata-rata konsumsi rokok kretek per kapita per bulan, baik untuk daerah pedesaan maupun daerah perkotaan, dari 2,4 batang SKT dan 4,0 batang SKM pada tahun 1990 menjadi 3,7 batang SKT dan 6,0 batang SKM pada tahun 2003. Kedua, meningkatnya potensi ekspor rokok kretek terlihat dari nilai ekspor rokok kretek. Ditunjukkan oleh meningkatnya sumbangan devisa dari ekspor rokok kretek, dari 100 juta US$ tahun 1998, 113 juta US$ tahun 1999, 137 juta US$ tahun 2000 dan 172 juta US$ tahun 2001 serta bertambahnya negara-negara tujuan ekspor baru yang cukup potensial bagi rokok kretek produksi Indonesia. Dengan mengetahui jumlah produksi rokok kretek berdasarkan jenisnya dan jumlah kandungan cengkeh dalam rokok kretek, dapat diketahui perkembangan konsumsi cengkah dari tahun 1980 sampai tahun 2006. Tabel 10. menunjukkan perkembangan konsumsi cengkeh industri rokok kretek tahun 19802006. Meskipun rokok jenis SKM menggunakan cengkeh lebih sedikit dibandingkan dengan rokok jenis SKT dan klobot, tetapi dari segi produksi,
jumlah konsumsi cengkeh rokok jenis SKM tahun 1986 sampai 2000 jauh lebih besar dibandingkan dengan rokok jenis SKT dan klobot. Tabel 10. Perkembangan Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek Tahun1980-2006 Versi Gappri (Ton) TAHUN
SKT
SKM
KLB
TOTAL
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
29994 31609 31847 34549 35098 33417 33172 33613 33556 32238 32478 35286 32219 32705 37952 32594 33944 33524 38545 46746 49303 54266 50822 48742 53873 56520 59252
8329 14077 12344 14393 18947 26271 34007 41945 48699 52448 59051 53654 56072 58715 64931 53292 56059 61190 50099 46071 50140 48897 45054 49581 42227 44125 46401
1391 1283 1291 805 953 1032 1160 1091 1111 1108 1143 988 866 731 631 585 536 498 726 652 928 594 563 538 551 601 583
39715 46968 45482 49747 54999 60720 68339 76649 83366 85794 92672 89929 89158 92151 103514 86472 90539 95213 89370 93470 100370 103756 96439 98860 96651 101246 106236
5.2. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek Permintaan Cengkeh untuk industri rokok kretek dalam penelitian ini merupakan total konsumsi cengkeh untuk produksi rokok jenis SKM, SKT dan klobot. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok, dilakukan analisis regresi linier berganda terhadap faktor-faktor
yang di duga mempengaruhi. Hasil estimasi model ditampilkan pada tabel di bawah ini. Tabel 11. Hasil Model Lengkap (Data Asal) Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia Tahun 1980-2006 Variabel Koefisien C 18660 PC -0,2352 NpRk 0,2869 NiRk -179,28 ExRk -0,720 Pop 0,3327 D 670 R-squared Adjusted R-squared F-statistik
Standard Error 48122 0,2553 0,1407 59,97 1,253 0,3856 3290 = 91,6% = 89,1% = 36,28
t_hitung Probabilitas VIF 0,39 0,702 -0,92 0,368 2,5 2,04 0,055 32,1 -2,99 0,007 1,9 -0,57 0,572 9,0 0,86 0,398 50,5 0,20 0,841 1,7 Prob (F-statistik) = 0,000 Durbin-Watson = 1,03068
dimana: C
= Konstanta
PC
= Harga riil cengkeh (Rupiah)
NpRk
= Jumlah produksi rokok kretek (Juta Batang)
NiRk
= Jumlah industri rokok kretek
ExRk
= Ekspor rokok kretek (Ton)
Pop
= Jumlah penduduk (Ribu Orang)
D
= Dummy kebijakan tataniaga cengkeh, 1: ada BPPC, 0: tanpa BPPC
Dari
hasil estimasi tersebut
model
regresi
mengalami
masalah
multikolinieritas, yang ditunjukkan dari nilai VIF lebih besar dari 10 dan masalah autokorelasi dengan nilai Durbin-Watson sebesar 1,03068. Untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan antara lain dengan mentransformasikan
variabel-variabel model ke dalam bentuk logaritma natural. Adapun hasil estimasinya ditampilkan pada tabel berikut. Tabel 12. Hasil Model (dalam Bentuk Logaritma Natural) Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia Tahun 1980-2006 Variabel Koefisien C 7,118 LnPC -0,02060 LnNpRk 0,8157 LnNiRk -0,2880 LnExRk -0,01478 LnPop -0,2997 D -0,01614 R-squared Adjusted R-squared F-statistik
Standard Error 7,103 0,02193 0,1804 0,1357 0,02733 0,8071 0,04259 = 97,4% = 96,7% = 126,92
t_hitung Probabilitas VIF 1,00 0,328 -0,94 0,359 3,5 4,52 0,000 52,2 -2,12 0,047 3,4 -0,54 0,595 12,4 -0,37 0,714 90,3 -0,38 0,709 3,1 Prob (F-statistik) = 0,000 Durbin-Watson = 1,10585
Setelah model ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma natural, ternyata belum bisa mengatasi masalah multikolinearitas dan autokorelasi. Hal ini dapat di lihat nilai VIF pada beberapa variabel bebas yang lebih dari 10 yaitu jumlah produksi rokok kretek (NpRk), jumlah penduduk (Pop) dan ekspor rokok kretek (ExRk), serta dari nilai Durbin-Watson sebesar 1,10585. Bila dibandingkan dengan model sebelumnya yang hanya terdapat dua variabel bebas yang nilai VIF lebih besar dari 10, maka model yang digunakan dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia adalah model regresi linier berganda. Selain model ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma natural, dalam mengatasi masalah tersebut dapat juga dilakukan dengan menghilangkan beberapa variabel bebas dari model yang satu sama lainnya mempunyai korelasi yang kuat (Lampiran 1). Bila di lihat korelasi dari variabel populasi dengan ekspor rokok kretek memiliki korelasi yang sangat tinggi yaitu sebesar 0,912 maka variabel
ekspor rokok kretek dihilangkan dari model. Pada tabel berikut ditampilkan hasil estimasi model tanpa variabel ekspor rokok kretek. Tabel 13. Hasil Model Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia (Tanpa Variabel Ekspor Rokok) Tahun 1980-2006 Variabel Koefisien C 40052 PC -0,3415 NpRk 0,3306 NiRk -176,94 Pop 0,1752 D 82 R-squared Adjusted R-squared F-statistik
Standard Error 34359 0,2105 0,1300 54,37 0,2947 3158 = 94,6% = 93,3% = 73,20
t_hitung Probabilitas VIF 1,17 0,257 -1,62 0,120 1,9 2,54 0,019 39,2 -3,25 0,004 1,7 0,59 0,558 41,3 0,03 0,979 1,7 Prob (F-statistik) = 0,000 Durbin-Watson = 1,16092
Setelah variabel ekspor rokok kretek dikeluarkan dari model, ternyata masih belum bisa mengatasi masalah tersebut. Pada tabel dapat di lihat nilai VIF dua variabel bebas masih lebih besar dari 10 dan nilai Durbin-Watson sebesar 1,16092. Bila di lihat Lampiran 1, nilai korelasi antara populasi dengan jumlah produksi rokok kretek sangat kuat yaitu sebesar 0,984. Sama dengan cara sebelumnya maka variabel populasi akan dikeluarkan dari model. Hasil estimasi ditampilkan pada tabel berikut. Tabel 14. Hasil Model Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia (Tanpa Ekspor Rokok dan Populasi) Tahun 1980-2006 Variabel Koefisien C 59900 PC -0,3619 NpRk 0,40665 NiRk -163,09 D -301 R-squared Adjusted R-squared F-statistik
Standard Error 8023 0,2046 0,02257 48,41 3046 = 94,5% = 93,5% = 94,18
t_hitung Probabilitas VIF 7,47 0,000 -1,77 0,091 1,8 18,02 0,000 1,2 -3,37 0,003 1,4 -0,10 0,922 1,6 Prob (F-statistik) = 0,000 Durbin-Watson = 1,11770
Setelah mengeluarkan dua variabel bebas yaitu ekspor rokok kretek dan populasi masalah multikolinearitas dapat teratasi. Hal ini dapat di lihat dari nilai VIF pada peubah bebas, tidak ada yang lebih dari 10. Dari hasil estimasi model di atas, walaupun masalah multikolinearitas dapat teratasi tetapi dengan nilai Durbin- Watson sebesar 1,11770 tidak dapat disimpulkan ada/tidaknya masalah autokorelasi. Agar model tidak memiliki masalah autokorelasi, ke dalam model ditambahkan variabel lag permintaan cengkeh industri rokok kretek (lag variabel dependent). Variabel lag (beda kala) ditambahkan kedalam model karena ketergantungan variabel tak bebas (QdC) pada variabel bebas (PC,NpRk,NiRk) jarang terjadi seketika itu juga. Sering kali reaksi variabel tak bebas terhadap pengaruh variabel bebas memerlukan waktu. Hasil estimasi dari model dengan penambahan variabel lag ditampilkan pada tabel berikut. Tabel 15. Hasil Model Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia (dengan Penambahan Variabel Lag) Tahun 1980-2006 Variabel Koefisien C 39755 PC -0,1644 NpRk 0,23239 NiRk -101,90 D -154 QdC-1 0,3929 R-squared Adjusted R-squared F-statistik
t_hitung 3,80 -0,83 3,53 -2,12 -0,06 2,64 = 93,4% = 91,9% = 59,91
Probabilitas 0,001 0,415 0,002 0,046 0,956 0,015 Prob (F-statistik) Durbin-Watson
VIF 2,0 9,5 1,7 1,6 8,3
Elastisitas -0,01855 0,392694 -0,23209 = 0,000 = 1,90976
Penambahan variabel lag permintaan cengkeh industri rokok dapat mengatasi masalah autokorelasi dan multikolinearitas, dapat di lihat dari nilai Durbin-Watson sebesar 1,90976 dan nilai VIF dari semua peubah kurang dari 10. Dari semua hasil estimasi model, model ini merupakan model yang terbaik.
Berdasarkan hasil estimasi di atas maka dapat di susun model analisis faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh di Indonesia sebagai berikut: QdC = 39755 - 0,164 PC + 0,232 NpRk - 102 NiRk - 154 D + 0,393 QdC-1 Langkah selanjutnya setelah mendapatkan parameter-parameter estimasi adalah melakukan berbagai macam pengujian terhadap parameter estimasi tersebut.
5.3. Uji Ekonometrika Berdasarkan hasil regresi, dengan melakukan pengujian terhadap permasalahan-permasalahan yang biasa dihadapi dalam menggunakan OLS. Pengujian tersebut dilakukan melalui: a.
Uji Normalitas Keluaran dari uji normalitas berupa plot peluang normal dari data yang di
uji disertai dengan garis bantu bersamaan dengan keluaran hasil statistik. Berdasarkan Lampiran 8, titik-titik sisaan mendekati garis lurus seperti hasil yang didapatkan dari eksplorasi kenormalan sisaan lewat plot normal. Kemudian uji Anderson-Darling dihasilkan statistik uji A2 sebesar 1,614 dengan nilai p-value kurang dari 0,005. Dengan demikian untuk taraf nyata α sebesar lima persen, maka hipotesis H0 di tolak. Artinya error dari model tidak menyebar normal. Hal ini relatif sering terjadi apabila jumlah observasi sangat terbatas, seperti pada penelitian ini. b.
Uji Heteroskedastisitas Pengujian heteroskedastisitas bertujuan untuk melihat apakah ada variabel
yang diamati mengandung informasi yang lebih dibandingkan dengan variabel
yang lainnya. Dengan demikian, pengamatan ini seharusnya mendapatkan bobot yang lebih besar dibandingkan yang lain. Hal ini dapat diketahui dengan menggunakan metode kuadrat terkecil terboboti. Plot sisaan yang dapat dipergunakan untuk pengujian heteroskedastisitas adalah plot antara sisaan dengan dugaan respon. Apabila ragam sisaan homogen, maka seharusnya plot antara sisaan tersebut tidak memiliki pola apapun. Sedangkan apabila ragam sisaan tidak homogen, maka plot sisaan tersebut akan berpola. Berdasarkan hasil uji Residuals Versus the Fitted Values (Lampiran 7) dapat disimpulkan bahwa model regresi analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia tidak mengandung masalah heteroskedastisitas yang dapat di lihat dalam lampiran uji heteroskedastisitas. c.
Uji Multikolinearitas Pengujian multikolinearitas dilakukan dengan menghitung nilai VIF atau
Variance Inflation Factor. Nilai VIF ini mengukur seberapa besar ragam dari dugaan koefisisen regresi akan meningkat apabila antar peubah penjelas terdapat masalah multikolinier. Terdapat multikolinearitas apabila nilai VIF lebih besar dari 10. Dari hasil uji regresi, nilai VIF semua peubah bebas kurang dari 10 maka dapat dikatakan pada model regresi penelitian ini tidak terdapat masalah multikolinier. d.
Uji Autokorelasi Suatu asumsi penting dari model regresi linier adalah autokorelasi atau
bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain manapun
(Gujarati, 1993). Autokorelasi lebih mudah timbul pada data yang bersifat time series, karena berdasarkan sifatnya, data masa sekarang dipengaruhi oleh data-data pada masa sebelumnya. Autokorelasi dapat berbentuk autokorelasi positif dan autokorelasi negatif. Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi bisa dilakukan dengan percobaan dari nilai Durbin-Watson. Dengan nilai Durbin-Watson sebesar 1,90976 yang berada dalam batas du dan 4 – du yaitu 1,54 sampai 2,46 maka dapat disimpulkan pada model regresi tidak terdapat masalah autokorelasi.
5.4. Uji Statistik a.
Koefisien Determinasi (R2) Pada persamaan regresi analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia, didapatkan nilai koefisien determinasi sebesar 93,4 persen yang artinya bahwa keragaman dari variabel terikat dapat dijelaskan hubungan liniernya oleh variabel-variabel bebas (harga riil cengkeh, jumlah produksi rokok kretek, jumlah industri rokok kretek, dummy kebijakan dan lag permintaan cengkeh industri rokok) sebesar 93,4 persen. Sedangkan sisanya sebesar 6,6 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. b.
Uji F-Statistik Uji F-Statistik menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas secara bersama-
sama mampu menjelaskan atau mempengaruhi variabel terikat pada tingkat signifikan lima persen. Hal ini dapat di lihat dari angka probabilitas F-Statistik sebesar 0,000 yang nilainya lebih kecil dari derajat kepercayaan lima persen (α = 5 persen). Nilai probabilitas F-Statistik juga dapat menilai baik tidaknya sebuah
model persamaan regresi. Jika nilai probabilitas F-Statistik lebih kecil dari derajat kepercayaan α maka dapat dikatakan bahwa model persamaan tersebut bagus. Dapat disimpulkan bahwa model persamaan regresi analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia tergolong baik. c.
Uji t-Statistik Uji t-Statistik dilakukan dengan melihat nilai probabilitas dari masing-
masing variabel bebas, di mana nilai probabilitas untuk setiap variabel bebas harus lebih kecil dari derajat kepercayaan yang digunakan. Pada persamaan regresi analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia menunjukkan bahwa variabel bebas yaitu jumlah produksi rokok kretek, jumlah industri rokok kretek dan lag permintaan cengkeh industri rokok berpengaruh secara signifikan pada derajat kepercayaan lima persen (α = 5 persen).
5.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek di Indonesia 1.
Harga Riil Cengkeh (PC) Berdasarkan hasil regresi linier berganda, variabel harga riil cengkeh memiliki nilai koefisien regresi yang negatif, ini sesuai dengan hipotesis awal. Koefisien harga riil cengkeh sebesar –0,164 yang artinya jika harga riil cengkeh naik sebesar satu rupiah maka jumlah permintaan cengkeh industri rokok kretek turun sebesar 0,164 ton. Namun demikian variabel harga riil cengkeh ini tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan cengkeh
industri rokok kretek. Hal ini ditunjukkan oleh nilai p-value pada uji t yang lebih besar pada taraf nyata α = 5 persen. Elastisitas harga riil cengkeh rataan pada permintaan cengeh bernilai negatif yaitu sebesar -0,01855. Artinya kenaikan harga riil cengkeh rata-rata satu persen akan mengurangi jumlah permintaan cengeh rata-rata sebesar 0,01855 persen (cateris paribus). Nilai elastisitas harga riil cengkeh rataan bersifat inelastis karena perubahan harga riil cengkeh memberikan respon yang kecil terhadap jumlah permintaan cengkeh. Hal ini disebabkan peran dari komoditas cengkeh yang sangat penting karena komoditas cengkeh tidak memiliki komoditas subtitusi dalam permintaan cengkeh industri rokok kretek guna memproduksi rokok kretek 2.
Jumlah Produksi Rokok Kretek (NpRk) Berdasarkan hasil regresi linier berganda, variabel jumlah produksi rokok kretek memiliki nilai koefisien regresi positif yang sesuai dengan hipotesis awal. Koefisien jumlah produksi rokok kretek sebesar 0,232 artinya jika jumlah produksi rokok kretek naik sebesar satu juta batang maka jumlah permintaan cengkeh industri rokok kretek naik sebesar 0,232 ton. Variabel jumlah produksi rokok kretek berpengaruh nyata terhadap permintaan cengkeh industri rokok kretek dengan nilai p-value pada uji t sebesar 0,002 atau lebih kecil pada taraf nyata α = 5 persen. Elastisitas jumlah produksi rokok kretek rataan pada permintaan cengeh bernilai positif yaitu sebesar 0,392694 yang artinya kenaikan jumlah produksi rokok kretek rata-rata satu persen akan meningkatkan jumlah permintaan cengeh rata-rata sebesar 0,392694 persen (cateris paribus).
3.
Jumlah Industri Rokok Kretek (NiRk) Berdasarkan hasil regresi linier berganda, variabel jumlah industri rokok kretek memiliki nilai koefisien regresi yang negatif, hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal yang mengharapkan nilai koefisien jumlah industri rokok kretek bernilai positif. Ini dimungkinkan karena sebagian besar jumlah produksi industri rokok kretek tersebut didominasi oleh empat perusahaan besar yaitu PT. Gudang Garam, PT. Djarum, PT. Bentoel dan PT. Sampurna, sehingga lahirnya industri-industri rokok kretek kurang berdampak terhadap kenaikan permintaan cengkeh industri rokok kretek. Variabel jumlah industri rokok kretek berpengaruh nyata terhadap permintaan cengkeh industri rokok kretek, hal ini ditunjukkan oleh nilai pvalue
pada uji t yang lebih kecil pada taraf nyata α = 5 persen. Elastisitas
jumlah industri rokok kretek rataan pada permintaan cengeh bernilai negatif yaitu sebesar -0,23209. 4.
Dummy Kebijakan Tataniaga Cengkeh (D) Berdasarkan hasil regresi linier berganda, variabel kebijakan tataniaga cengkeh memiliki nilai koefisien regresi yang negatif. Nilai koefisien kebijakan tataniaga cengkeh sebesar -154, artinya dengan adanya kebijakan tataniaga (adanya BPPC) akan menyebabkan jumlah permintaan cengkeh industri rokok kretek berkurang sebesar 154 ton. Variabel kebijakan tataniaga harga cengkeh tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan cengkeh industri rokok kretek dengan nilai p-value pada uji t sebesar 0,956 atau lebih besar dari taraf nyata α = 5 persen.
5.
Lag Permintaan Cengkeh Industri Rokok (QdC-1) Berdasarkan hasil regresi linier berganda, variabel lag permintaan cengkeh industri rokok memiliki nilai koefisien regresi yang positif. Koefisien lag permintaan cengkeh industri rokok sebesar 0,393 yang artinya jika perubahan beda kala permintaan cengkeh industri rokok naik sebesar satu ton maka jumlah permintaan cengkeh industri rokok kretek naik sebesar 0,393 ton. Variabel lag permintaan cengkeh industri rokok berpengaruh nyata terhadap permintaan cengkeh industri rokok kretek, hal ini ditunjukkan oleh nilai p-value pada uji t yang lebih kecil pada taraf nyata α = 5 persen.
5.6. Implikasi Kebijakan Dari hasil penelitian yang dilakukan, beberapa implikasi kebijakan dapat dirumuskan baik dalam aspek usahatani cengkeh maupun dalam aspek keberlangsungan industri rokok kretek nasional, yaitu sebagai berikut: 1.
Produksi rokok kretek merupakan faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek. Dengan terus berkembangnya produksi rokok kretek nasional akan mengakibatkan permintaan cengkeh industri rokok kretek meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan cengkeh industri rokok kretek, pemerintah perlu membuat suatu pola usahatani cengkeh pada daerah yang sesuai dengan keadaan tumbuh tanaman cengkeh. Selain itu pemerintah juga perlu menjamin ketersediaan cengkeh melalui pengelolaan stok cengkeh dengen penyediaan gudang sebagai tempat penyimpanan cengkeh sementara terutama pada saat produksi cengkeh berlebih untuk
kemudian dapat di jual pada saat paceklik. Dengan adanya gudang, produksi cengkeh nasional yang diusahakan oleh sebagian besar perkebunan rakyat dapat terserap sengan harga yang sesuai. Hal ini dilakukan agar menjaga kestabilan harga cengkeh di pasar domestik dan memberi dorongan bagi petani untuk merawat atau menjaga tanaman cengkehnya. 2.
Jumlah industri rokok kretek merupakan salah satu faktor yang berpengaruh nyata terhadap permintaan cengkeh industri rokok kretek. Pemerintah sebaiknya lebih bijaksana dalam menetapkan tarif cukai rokok agar industri rokok kretek kecil dapat bertahan dan meningkatkan jumlah produksi rokok kreteknya. Pemerintah perlu membuat suatu kebijakan yang mempermudah industri-industri rokok kretek dalam memperoleh ijin untuk usaha, sehingga memicu lahirnya industri-industri rokok kretek.
3.
Untuk meningkatkan bargaining position petani cengkeh dalam penetapan harga cengkeh, pemerintah perlu memfasilitasi petani cengkeh supaya mampu mengelola stok cengkehnya melalui penyediaan gudang sebagai tempat penyimpanan cengkeh sementara terutama pada saat produksi cengkeh berlebih untuk kemudian dapat di jual pada saat paceklik.
4.
Perlu dibentuknya suatu wadah atau perkumpulan yang didalamnya terdapat berbagai pihak-pihak yang terkait seperti petani cengkeh, perwakilan industri rokok kretek, pemerintah, para pakar atau akademisi yang diharapkan dapat menyampaikan masukan, penilaian atau perencanaan untuk kemajuan percengkehan nasional.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan a
Industri rokok kretek merupakan konsumen utama cengkeh karena menyerap 95 persen produksi cengkeh nasional. Rata-rata pertumbuhan konsumsi cengkeh industri rokok kretek dari tahun 1994-2007 sebesar 1,2 persen per tahun. Besarnya konsumsi cengkeh industri rokok sangat tergantung pada jumlah cengkeh yang terkandung dalam setiap jenis rokok
dan jumlah
produksi rokok kretek. Di lihat dari kandungan cengkehnya, rokok jenis klobot yang memiliki kandungan cengkeh tertinggi. Dari segi produksi rokok kretek, rokok jenis SKM yang mengkonsumsi cengkeh dalam jumlah yang banyak. b
Model terpilih yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia adalah model regresi linier berganda. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia adalah jumlah produksi rokok kretek, jumlah industri rokok kretek dan lag permintaan cengkeh industri rokok kretek. Dari nilai elastisitas, elastisitas rataan dari jumlah produksi rokok kretek yang memiliki nilai terbesar. Namun demikian tidak ada diantaranya yang bersifat elastis.
6.2. Saran a
Melihat besarnya kebutuhan cengkah untuk industri rokok, pemerintah perlu menjamin adanya ketersediaan cengkeh dengan membuat suatu pola usahatani cengkeh pada daerah yang sesuai dengan keadaan tumbuh tanaman cengkeh. Pemerintah perlu memberikan dukungan nyata berupa bantuan pemberian bibit dan bantuan berupa pelatihan dan penyuluhan usahatani cengkeh kepada para petani. Mengingat produksi cengkeh nasional diusahakan oleh sebagian besar perkebunan rakyat, pemerintah juga perlu menjamin terserapnya produksi cengkeh nasional oleh pasar dengan harga yang sesuai agar memberi dorongan bagi petani untuk merawat atau menjaga tanaman cengkeh mereka.
b
Pemerintah sebaiknya lebih bijaksana dalam menetapkan tarif cukai rokok agar industri rokok kretek kecil dapat bertahan dan memicu lahirnya industri-industri rokok kretek.
c
Pemerintah melalui departemen maupun instansi lainnya yang terkait seyogianya dapat meningkatkan ketersediaan data yang menyangkut percengkehan nasional secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Afifa, R. D. 2006. Analisis Permintaan Kedelai pada Industri Kecap di Indonesia. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Balitro. 1997. Monograf Tanaman Cengkeh. Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. BPS. 2004. Statistik Industri Besar dan Sedang. Volume I. Badan Pusat Statistik. Jakarta. BPS. 2006. Statistik Ekspor Impor Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. BPS. 2007. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Chaniago, D. 1980. Analisis Permintaan Cengkeh untuk Industri Rokok Kretek. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Departemen Pertanian. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia. Cengkeh 20012006. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Jakarta. Gappri. 2006. Data Produksi Rokok Kretek. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia. Jakarta. Gujarati, D. 1993. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta. Gonarsyah, I, S. 1996. Antisipasi Kebijakan Tataniaga Cengkeh Pasca GATT. Kerjasama Direktorat Jenderal Perdangangan Dalam Negeri dengan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hadiwijaya, T. 1989. Produksi dan Tataniaga di Indonesia. Forum Komunikasi Ilmiah, 24-25 Febuari 1989. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Hidayat, T. dan N. Nurjanah. 1997. Masalah Standar Mutu Cengkeh. Monograf Cengkeh Nomor 2. Monograf Tanaman Obat. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Iswandono. 1994. Teori Ekonomi Mikro. Penerbit Gramedia. Jakarta. Kemala, S. dan E. R. Pribadi. 1999. Pengaruh Harga terhadap Produktivitas dan Pasokan Cengkeh. Perkembangan Penelitian Agroekonomi Tanaman Rempah dan Obat. Volume IX. Nomor 2. Bogor.
Ketura, W. B. 1996. Analisis Permintaan Cabai di Indonesia. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kotler, P. 1999. Manajemen Pemasaran. Penerbit Indeks. Jakarta. Lipsey, at al. 1995. Pengantar Mikroekonomi; Edisi Kesepuluh Jilid Satu. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta Barat. Mattjik, A. A. dan I Made Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab; Jilid Satu. IPB Press. Bogor Nocholson, W. 2001. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya; Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga. Jakarta. Nurlianti, Lia. 2002. Analisis Permintaan Telur Ayam Ras oleh Pedagang Martabak Telur di Kota Bogor. Skripsi Jurusan Sosial Ekonomi Industri Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pappas, James L. and Mark Hirschey. 1995. Ekonomi Manajerial Jilid Satu. Edisi Keenam. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta Barat. Ramanathan, Ramu. 1989. Introductory Econometrics. The Dryden Press.USA. Rosmeilisa, P. dan Ermiati. 1997. Tataniaga Cengkeh di Indonesia. Monograf Cengkeh. Nomor 2. Monograf Tanaman Obat. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Ruhnayat, A. dan A. Dhalini. 1997. Fluktuasi Harga Cengkeh. Monograf Cengkeh. Nomor 2. Monograf Tanaman Obat. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Ruhnayat, A. 2002. Memproduktifkan Cengkeh, Tanaman Tua dan Tanaman Terlantar. Cetakan 1. Penerbit Swadaya. Jakarta. Rumagit, G. 2007. Kajian Ekonomi Keterkaitan Antara Perkembangan Industri Cengkeh dan Industri Rokok Kretek Nasional. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sinaga, B. M. 1999. Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Permintaan dan Penawaran Cengkeh di Indonesia. Laporan Penelitian. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sugiarto, at al. 2005. Ekonomi Mikro Sebuah Kajian Komprehensif. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sumargandi, 1983. Seleksi dan Pemuliaan Tanaman Cengkeh Perlu Digalakkan. Buletin Pertanian Cengkeh dan Tembakau, Juli-Oktober 1983. Pusat Penelitian Cengkeh dan Tembakau. Bogor. Taruli. 2002. Analisis Peluang Ekspor Agribisnis Cengkeh di Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tomek, William G. and Kenneth L. Robinson. 1972. Agricultural Product Prices. First Edition. Cornell University Press. Ithaca and London. Wachjutomo, A. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Penawaran dan Permintaan Cengkeh di Indonesia. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yuhono, J. T, D. I. Sitorus dan Ermiati. 1997. Permintaan dan Penawaran Cengkeh di Indonesia. Monograf Cengkeh. Nomor 2. Monograf Tanaman Obat. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.
LAMPIRAN 1
Hasil Analisis Korelasi
Correlations: QdC; Pc; NpRk; NiRk; ExRk; Pop; Dummy QdC -0,275 0,165
Pc
NpRk
0,938 0,000
-0,091 0,652
NiRk
0,104 0,606
0,345 0,078
0,343 0,080
ExRk
0,774 0,000
0,176 0,380
0,883 0,000
0,407 0,035
Pop
0,912 0,000
-0,067 0,739
0,984 0,000
0,408 0,035
0,912 0,000
Dummy
0,270 0,173
-0,608 0,001
0,184 0,358
-0,099 0,622
-0,013 0,949
Pc
NpRk
NiRk
ExRk
Pop
0,148 0,462
LAMPIRAN 2
Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia Tahun 1980-2006
Regression Analysis: QdC versus Pc; NpRk; NiRk; ExRk; Pop; Dummy QdC = 18660 - 0,235 Pc + 0,287 NpRk - 179 NiRk - 0,72 ExRk + 0,333 Pop + 670 Dummy Predictor Constant Pc NpRk NiRk ExRk Pop Dummy
Coef 18660 -0,2352 0,2869 -179,28 -0,720 0,3327 670
S = 1624962
SE Coef T 48122 0,39 0,2553 -0,92 0,1407 2,04 59,97 -2,99 1,253 -0,57 0,3856 0,86 3290 0,20
R-Sq = 91,6%
P 0,702 0,368 0,055 0,007 0,572 0,398 0,841
VIF 2,5 32,1 1,9 9,0 50,5 1,7
R-Sq(adj) = 89,1%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source Pc NpRk NiRk ExRk Pop Dummy
DF 1 1 1 1 1 1
DF 6 20 26
SS 5,74713 5,28100 6,27523
Seq SS 5,41026 5,43939 2,33703 16314732042 1,86674 1,09585
Durbin-Watson statistic= 1,03068
MS 9,57854 2,64050
F 36,28
P 0,000
LAMPIRAN 3
Hasil Analisis Regresi (Data dalam Bentuk Logaritma) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia Tahun 1980-2006
Regression Analysis: LnQdC versus LnPc; LnNpRk; ... LnQdC = 7,15 - 0,0205 LnPc + 0,816 LnNpRk - 0,286 LnNiRk - 0,0147 LnExRk - 0,303 LnPop - 0,0158 Dummy Predictor Constant LnPc LnNpRk LnNiRk LnExRk LnPop Dummy
Coef 7,151 -0,02054 0,8155 -0,2862 -0,01465 -0,3030 -0,01577
S = 0,177987
SE Coef 7,130 0,02194 0,1813 0,1362 0,02751 0,8101 0,04268
R-Sq = 97,3%
T 1,00 -0,94 4,50 -2,10 -0,53 -0,37 -0,37
P 0,328 0,360 0,000 0,048 0,600 0,712 0,716
VIF 3,5 50,7 3,4 12,2 88,1 3,1
R-Sq(adj) = 96,5%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source LnPc LnNpRk LnNiRk LnExRk LnPop Dummy
DF 1 1 1 1 1 1
DF 6 20 26
SS 23,0102 0,6336 23,6438
MS 3,8350 0,0317
Seq SS 3,3154 19,1253 0,5131 0,0487 0,0033 0,0043
Durbin-Watson statistic = 1,10446
F 121,06
P 0,000
LAMPIRAN 4
Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh (Tanpa Ekspor) di Indonesia Tahun 1980-2006 Regression Analysis: QdC versus Pc; NpRk; NiRk; Pop; Dummy The regression equation is QdC = 37121 - 0,309 Pc + 0,308 NpRk - 169 NiRk + 0,199 Pop + 678 Dummy Predictor Constant Pc NpRk NiRk Pop Dummy
Coef 37121 -0,3094 0,3082 -169,16 0,1994 678
S = 1598837
SE Coef T 35250 1,05 0,2167 -1,43 0,1335 2,31 56,40 -3,00 0,3031 0,66 3237 0,21
R-Sq = 91,4%
P 0,304 0,168 0,031 0,007 0,518 0,836
VIF 1,8 29,9 1,7 32,2 1,7
R-Sq(adj) = 89,4%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 5 21 26
Source Pc NpRk NiRk Pop Dummy
Seq SS 5,41026 5,43939 2,33703 1,00884 1,11993
DF 1 1 1 1 1
SS 5,73841 5,36818 6,27523
Durbin-Watson statistic = 1,12193
MS 1,14768 2,55628
F 44,90
P 0,000
LAMPIRAN 5
Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh (Tanpa Ekspor dan Populasi) di Indonesia Tahun 1980-2006
Regression Analysis: QdC versus Pc; NpRk; NiRk; Dummy QdC = 59900 - 0,362 Pc + 0,407 NpRk - 163 NiRk - 301 Dummy
Predictor Constant Pc NpRk NiRk Dummy
Coef 59900 -0,3619 0,40665 -163,09 -301
S = 5132,94
SE Coef 8023 0,2046 0,02257 48,41 3046
R-Sq = 94,5%
T 7,47 -1,77 18,02 -3,37 -0,10
P 0,000 0,091 0,000 0,003 0,922
VIF 1,8 1,2 1,4 1,6
R-Sq(adj) = 93,5%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source Pc NpRk NiRk Dummy
DF 1 1 1 1
DF 4 22 26
SS 9925066960 579636643 10504703603
MS 2481266740 26347120
Seq SS 794794583 8826809017 303206626 256733
Durbin-Watson statistic = 1,11770
F 94,18
P 0,000
LAMPIRAN 6
Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh (dengan Lag) di Indonesia Tahun 1980-2006
Regression Analysis: QdC versus Pc; NpRk; NiRk; Dummy; QdC-1 The regression equation is QdC = 39755 - 0,164 Pc + 0,232 NpRk - 102 NiRk - 154 Dummy + 0,393 QdC-1 Predictor Constant Pc NpRk NiRk Dummy QdC-1
Coef 39755 -0,1644 0,23239 -101,90 -154 0,3929
S = 1399212
SE Coef T 10473 3,80 0,1977 -0,83 0,06581 3,53 48,16 -2,12 2775 -0,06 0,1487 2,64
R-Sq = 93,4%
P 0,001 0,415 0,002 0,046 0,956 0,015
VIF 2,0 9,5 1,7 1,6 8,3
R-Sq(adj) = 91,9%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source Pc NpRk NiRk Dummy QdC-1
DF 1 1 1 1 1
DF 5 21 26
SS 5,86409 4,11137 6,27523
MS 1,17282 1,95779
Seq SS 5,41026 5,43939 2,33703 14116021880 1,36749
Durbin-Watson statistic = 1,90976
F 59,91
P 0,000
LAMPIRAN 7
UJI HETEROSKEDASTISISTAS
Residuals Versus the Fitted Values (response is QdC) 15000
Residual
10000
5000
0
-5000
-10000 40000
50000
60000
70000 80000 Fitted Value
90000
100000
110000
LAMPIRAN 8
UJI NORMALITAS
Normal Probability Plot Normal 99 Mean StDev N AD P-Value
95
Probability
90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1
0 00 40
0 00 50
0 0 00 00 60 70
0 0 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 80 90 0 1 2 3 1 1 1 1 QdC
82882 20100 27 1,614 <0,005