Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Inflasi Aktual dan Inflasi Target Ruth Kartika Mardiana, Prof. Munawar Ismail., SE., DEA., Ph.D
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Email:
[email protected]
ABSTRACT This research investigates the factors that influence differences of inflation actual and inflation targets. Variables is used in this research are money supply, BI Rate as monetary sectors and oil price international, gold price as nonmonetary sectors. The research use logit model analysis and correlation analysis. The result showed that the variable money suuply, BI Rate, Oil price international, Gold Price doesn’t have significant effect on the difference of inflation actual and inflation targets. Because doesn’t significant, but added correlation analysis with nonmonetary sector were inflations was seen from seven groups of goods and inflation by types. The result showed that from seven groups of good there four groups was correlate.And from inflation by types there all types was correlate. But, the most correlate was nonmonetary to differences of inflation. Keywords: inflation Actual, inflation targets, monetary sector, non monetary sector, logit model, correlation
A. PENDAHULUAN Sejak tahun 1990 penggunaan inflasi sebagai jangkar nominal yang digunakan sebagai target utama kebijkan moneter mulai menjadi pilihan bagi bank sentral di beberapa negara ( Bernanke dan Mishkin, 1997 ; Mishkin dan Posen, 1997). Kerangka baru kebijakan moneter tersebut kemudian dikenal sebagai Inflation Targeting Framework (ITF). Perintis awal penggunaan ITF yaitu Selandia Baru yang kemudian diikuti oleh Inggris, Kanada, Swedia dan Australia. Dalam perkembangannya, ITF sampai dengan tahun 2007 telah diadopsi oleh 27 negara di dunia. Popularitas ITF ini, menggeser paradigma lama tentang kebijakan moneter yang menggunakan target jumlah uang beredar dan besaran moneter lainnya (Frederick Mishkin,2006). Paska krisis 1997-1998, banyak negara yang mulai mengadopsi ITF. Bila ditelisik kembali, krisis tersebut terjadi dikarenakan lemahnya keamanan pada sektor moneter yang menyebabkan keruntuhan ekonomi. Diawali dari runtuhnya perekonomian Thailand sehingga terjadi krisis yang berujung pada contagion effect yang meluas ke berbagai negara di belahan dunia. Dua negara yang terparah saat itu, Indonesia dan Korea Selatan. Dampak dari krisis tersebut memaksa Korea Selatan dan Indonesia mereformasi peraturan pada sektor moneter, yang awalnya berpatokan pada base money menjadi kerangka tunggal inflasi atau Inflation Targeting Framework (ITF). Korea selatan merupakan salah satu negara yang dinilai sukses dalam menerapkan ITF. Negeri ginseng ini menerapkan ITF pada tahun 1998 dengan sasaran tunggal adalah kestabilan inflsi berkisar diatas 5%, namun pada tahun 1999 menurun menjadi 1%. Dan setelah, itu angka inflasi berada di kisaran 3-4% yang mana inflasi aktual selalu sesuai. Dari penjabaran dia atas, dapat diambil sebuah pandangan bahwa inflasi menjadi factor yang sangat penting bagi perekonomian negara. Selain itu, karakteristik utama model ITF adalah target inflasi sebagai tujuan utama sehingga perlunya transparansi dan akuntabilitas. Dimana hal tersebut dijadikan kelebihan dalam ITF. Popularitas ITF merupakan klaim peningkatan kinerja perekonomian negara-negara yang menerapkan ITF, sehingga menarik perhatian Bank Indonesia untuk menerpakan ITF.Didalam penerapan ITF diperlukan Bank sentral untuk menargetkan tingkat inflasi di masa yang akan datang. Yang menjadikan sebagai referensi para pelaku ekonomi untuk menganalisis pendapatan dan biaya yang dikeluarkan di masa yang akan datang. Selain itu dapt dijadikan penilaian tingkat kredibilitas Bank Sentral yaitu Bank Indonesia sebagai pemangku kepentingan kebijakan.
1
Akan tetapi dalam kenyataannya pencapaian target inflasi dengan inflasi aktual berbeda selama 11 tahun (2005-2015) masih banyak yang meleset. Dan hanya pada tahun 2007 dan 2012 saja yang mampu sesuai dengan target. Hal ini mungkin dapat dijadikan pertimbangan bahwa terdapat fenomena selain moneter yang mempengaruhi. Adapun pencapaian target inflasi yang ditetapkan Bank Indonesia dalam 10 tahun terakhir dapat dilihat pada table dibawah ini.
Tabel 1. Perbandingan Inflasi Target dan Inflasi Aktual Tahun
Target Inflasi
Inflasi Aktual
Keterangan
2005
5-7%
17,11%
Tidak sesuai
2006
7-9%
6,6%
Tidak Sesuai
2007
5-7%
6,59%
Sesuai
2008
4-6%
11,6%
Tidak Sesuai
2009
3,5-5,5%
2,78%
Tidak Sesuai
2010
4-6%
6,96%
Tidak Sesuai
2011
4-6%
3,79%
Tidak Sesuai
2012
3,5-5,5%
4,30%
Sesuai
2013
3,5-5,5%
8,38%
Tidak Sesuai
2014
3,5-5,5%
8,36%
Tidak sesuai
2015
3-5%
2,37%
Tidak Sesuai
Sumber : Bank Indonesia, Laporan inflasi, data diolah,2015 Sekilas capaian tersebut cukup menjanjikan bahwa ITF mampu mengarahkan ekspektasi inflasi sesuai dengan yang ditargetkan penguasa moneter. Jika dilihat dari tahun 2001 dimana Bank Indonesia mulai melakukan fase persiapan ITF inflasi lebih banyak meleset dari target. Bisa dilihat hanya dua kali saja Bank Indonesia berhasil memperkirakan Inflasi. Akan tetapi penelitian di bidang ini dinilai masih sangat terbatas baik di Indonesia maupun luar negri sekalipun. Namun terdapat satu penelitian dari luar yang meneliti tentang perbedaan inflasi target dan inflasi aktual, walaupun demikian teori yang dilakukan peneliti ini masih belum diuji langsung kepada negara – negara penganut ITF . Sehingga masih dianggap sebagai teori yang belum signifikan yaitu dari Hebbel dan Mishkin pada tahun 2010, yang mengatakan perbedaan inflasi target dan inflasi aktual pada Negara Maju pengadopsi ITF dipengaruhi beberapa faktor,yaitu factor Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga The FED ,Harga Minyak Dunia dan Harga emas Dunia. Sehingga dari variable yang di kemukakan oleh peneliti ini , diangkat oleh penulis sebagai variable penelitian yang dilakukan di Indonesia. Sehingga dari variable yang dibentuk oleh Mishkin dan Hebbel ingin mengetahui ,apakah keempat variable dapat relevan dengan fenomena yang terjadi di Indonesia. Namun dari variable tersebut masih disesuaikan dengan keadaan Indonesia yaitu pada sektor moneter adalah Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga BI Rate dan pada sektor nonmoneter adalah Harga Minyak Dunia dan Harga Emas. Dari keempat variable diharapkan dapat menjawab adanya perbedaan inflasi target dan inflasi aktual. Oleh karena itu permasalahn yang ingin diangkat oleh penulis:
2
1. Apakah Jumlah Uang Beredar, BI Rate, Harga Emas dan Harga minyak dunia berpengaruh terhadap perbedaan antara inflasi aktual dan inflasi yang ditargetkan? 2. Apakah dari Inflasi menurut tujuh kelompok barang atau pengeluaran dan menurut sumber inflasi, mana yang paling memiliki keeratan dengan penyebab perbedaan inflasi target dan inflasi aktual?
B. KERANGKA TEORITIS Inflasi Menurut Sukirno (2002) inflasi aktual merupakan kecenderungan dari harga-harga naik secara umum dan terus menerus. Selain itu, Boediono (1998) mengungkapkan kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali bila kenaikan harga meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lainnya. Pohan (2008) mengatakan Kenaikan hargaharga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama. Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus menerus dan kenaikan harga yang terjadi pada seluruh kelompok barang dan jasa. Bahkan mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidak bersamaan. Yang penting kenaikan harga umum barang secara terus menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan harga barang yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar, bukanlah merupakan inflasi, (Nopirin, 2000).
Jenis inflasi A. Jenis inflasi menurut sebab terjadinya 1. Demand Pull Inflation Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (agregat demand). Maka jenis inflasi ini dikatakan sesuai dengan sebab asal muasal terjadinya gap inflasi target dan inflasi aktual.Sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja penuh. Apabila kesempatan kerja penuh (full employment) telah tercapai, penambahan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja (sering disebut dengan Inflasi murni).
Gambar 1. Demand Pull Inflation
Sumber: Boediono, 1998 Bermula dengan harga P1 dan output Q1, kenaikan permintaan total dari AD1 ke AD2 menyebabkan ada sebagian permintaan yang tidak dapat dipenuhi oleh penawaran yang ada. Akibatnya, harga naik menjadi P2 dan output naik menjadi QFE. Kenaikan AD2 selanjutnya menjadi AD3 menyebabkan harga naik menjadi P3, sedang output tetap pada QFE. Kenaikan harga ini disebabkan oleh adanya inflationary gap. Proses kenaikan harga ini akan berjalan terus sepanjang permintaan total terus naik (misalnya menjadi AD4). 2. Cost Push Inflation Cost pust inflation ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Jadi inflasi yang dibarengi dengan resesi. Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya penurunan dalam penawaran total (agregat supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi. Kenaikan produksi akan menaikkan harga dan turunnya produksi. Serikat buruh yang menuntut kenaikan upah, manajer dalam pasar monopolistis yang dapat menentukan harga (yang lebih tinggi), atau kenaikan harga bahan baku,
3
misalnya krisis minyak adalah faktor yang dapat menaikkan biaya produksi, atau terjadi penawaran total (aggregate supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi.
Gambar 2. Cost Push Inflation
Sumber: Boediono, 1995 Bermula pada harga P1 dan QFE. Kenaikan biaya produksi (disebabkan baik karena berhasilnya tuntutan kenaikan upah oleh serikat buruh ataupun kenaikan harga bahan baku untuk industri) akan menggeser kurva penawaran total dari AS1 menjadi AS2. konsekuensinya harga naik menjadi P2 dan produksi turun menjadi Q1. Kenaikan harga selanjutnya akan menggeser kurva AS menjadi AS3, harga naik dan produksi turun menjadi Q2.Proses ini akan berhenti apabila AS tidak lagi bergeser ke atas. Proses kenaikan harga ini (yang sering dibarengi dengan turunnya produksi) disebut dengan costpush inflation. B. Jenis Inflasi menurut asalnya Jenis inflasi menurut asal dari inflasi dibagi menjadi (Boediono, 1998): 1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) yaitu, Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul misalnya karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, gagal panen dan sebagainya. 2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation) yaitu, Penularan inflasi dari luar negeri ke dalam negeri ini dapat mudah terjadi pada negara-negara yang perekonomiannya terbuka.
Teori Inflasi Secara garis besar teori mengenai inflasi ada tiga yaitu Teori Kuantitas (Teori Irving Fisher), Teori Keynes, dan Teori Strukturalis. Namun dari ketiga teori ini yang menyoroti aspek non moneter yaitu pada teori strukturalis saja.Sedangkan pada kedua teori, lebih menyoroti aspek moneter. Pada teori kuantitas atau teori Irving Fisher misalnya lebih menyoroti pada sebab-sebab timbulnya inflasi di zaman modern, terutama di negara-negara berkembang. Pada teori kuantitas menyoroti peranan dalam proses terjadinya inflasi yang disebabkan oleh dua factor. Pertama Jumlah uang beredar, Dimana inflasi hanya bisa terjadi jika ada penambahan volume jumlah uang beredar (baik penambahan uang kartal maupun uang giral). Kedua yaitu Ekspektasi atau harapan masyarakat mengenai kenakan harga.Dimana Ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga dapat memicu tingkat inflasi secara aktual mengalami kenaikan. Sedangkan pada teori yang dikemukakan oleh Keynes, mengatakan bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Dengan demikian permintaan masyarakat akan barang melebihi jumlah yang tersedia. Dan yang terakhir teori Strukturalis, menyoroti pada sektor non moneter. Dimana teori ini juga disebut teori inflasi jangka panjang, karena menyoroti sebab-sebab munculnya inflasi yang berasal dari kekakuan struktur ekonomi terutama yang terjadi di negara berkembang. Ada dua kekakuan/ketidakelastisan dalam perekonomian di negara berkembang yang menimbulkan inflasi yaitu Pertama yaitu Kekakuan dari penerimaan impor. Dan kekakuan penawaran bahan makanan di negara berkembang.
4
Teori Perbedaan Inflasi Target dan Inflasi Aktual Akan tetapi pada negara pengadopsi Inflation Targeting, tidak banyak berjalan sukses sehingga oleh Frederic Mishkin dan Schmidt Hebbel (2007) mengatakan Gap antara inflasi target dan inflasi aktual merupakan kinerja dari adanya deviasi antara inflasi itu sendiri. Yang dikontrol oleh determinan potensional dari shock inflation atau noise.Hal ini, menjadikan adanya korelasi antara Inflation Targeting. Di dalam menentukan perbedaan deviasi inflasi diantara inflasi target. Sehingga dapat dirumuskan :
|
|
∑
|
|
(1)
Dimana menurut Hebbel dan Mishkin π-π* merupakan perbedaan inflasi target dan inflasi aktual. Sedangkan X merupakan factor – factor yang diteliti yaitu factor moneter seperti Jumlah uang beredar dan The FED Rate. Dan pada factor non moneter yang digunakan yaitu Harga Minyak Dunia dan Harga Emas Dunia. Pada model yang dikemukakan beranggapan inflasi tidak hanya dipengaruhi oleh sektor moneter tapi juga terdapat sektor non moneter yang mempengaruhi. Selain itu pada factor non moneter yang ditekankan oleh Mishkin dan Hebbel merupakan factor eksternal internasional. Hal ini dirasa karena setiap inflasi baik di negara maju dan negara berkembang dipengaruhi juga dari factor eksternal internasional. Dan untuk pemilihan sektor moneter yaitu Jumlah uang beredar dan The FED rate karena di rasa kedua factor ini, memiliki peranan yang besar dalam mengendalikan inflasi baik di negara maju maupun berkembang. Karena masih terbatasnya penelitian tentang ini. Dimana penulis hanya menemukan penelitian yang sesuai hanya tiga. Pada penelitian Mishkin dan Hebbel (2007) disini menjelaskan perbedaan inflasi target dan inflasi aktual disebabkan dua sektor besar. Namun dihubungkan dengan inflasi di negara penganut ITF dan Non ITF. Sehingga metode yang digunakan metode panel. Dan ternyata dari hasil yang dikemukakan bahwa penganut ITF lebih sigap dengan goncangan yang ada. Pada negara non ITF memiliki perekonomian yang kuat sehingga tidak berimbas. Selain itu, berbeda pada penelitian di Negara India yang diteliti oleh Vivek Moorthy dan Shrikant Kolhar (2007) yang mengungkapkan inflasi yang terjadi di Negara India seringkali karena kenaikan harga bahan makanan dan kenaikan harga minyak dunia. Namun menurut artikel ekonomi oleh Gavin, William, Mandal (2002) Mengatakan bahwa inflasi secara luas lebih banyak dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan pangan. Sehingga untuk memprediksi inflasi di seluruh negara dapat dilihat dari persediaan bahan pangan dan kestabilan harga pangan di pasaran. Berdasarkan penjelasan di atas dapat di simpulkan hiptesis penelitian sebagai berikut: Hipotesis 1 : Diduga terdapat pengaruh JUB terhadap perbedaan inflasi aktual dan inflasi target. Hipotesis 2 : Diduga terdapat pengaruh BI Rate terhadap perbedaan inflasi aktual dan inflasi target. Hipotesis 3 : Diduga terdapat pengaruh Harga minyak dunia terhadap perbedaan inflasi aktual dan inflasi target. Hipotesis 4 : Diduga terdapat pengaruh Harga emas terhadap perbedaan inflasi aktual dan inflasi target.
C. METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan Penelitian Model yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Qualitative response regression models, dimana model ini dipilih karena variable dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah variable kualitatif, sehingga dalam penganalisaan dalam model tersebut adalah untuk mencari kemungkinan terjadinya suatu keadaan yang didasarkan pada variable-variabel independen yang mempengaruhi. Secara spesifik, teknik penganalisaan ini disebut sebagai logit model, dimana variable dependen menggunakan variable yang sifatnya dummy.Selain itu, untuk memperkuat
5
penelitian maka ditambahkan dengan analisis korelasi. Dimana untuk melihat hubungan keeratan antar variable.
Model Analisis Pada analisis data ini penelitian menggunakan metode berupa model logit, untuk mengetahui apakah variable dependen dari perbedaan target inflasi dan inflasi aktual dipengaruhi variable- variable independen seperti Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga BI Rate, Harga minyak dunia, harga emas. Dimana variable dependen, berbentuk dummy variable dalam hal ini nilai 1 adalah inflasi target dan nilai 0 adalah inflasi aktual. Estimasi model yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (2)
Keterangan: : gap inflasi target dan inflasi aktual JUB : Nilai Jumlah Uang Beredar BI Rate : Nilai suku bunga BI Rate PMD : Harga Minyak Dunia PE : Harga Emas
Definisi Operasional Variabel Tabel 2 : Jenis Operasional Variabel Notasi Variabel Y
Variabel
Definisi
Dependen
Inflasi aktual sama atau tidak sesuai dengan inflasi target X1 Independen Jumlah uang beredar di masyarakat ( tidak termasuk cadangan di Bank Umum di Bank Sentral) X2 Independen BI Rate merupakan suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. X3 Independen Harga minyak dunia adalah harga minyak yang ada di pasar internasional X4 Independen Harga emas dunia adalah harga emas yang ada di pasar internasional Sumber : Berbagai Sumber, Data Diolah, 2016
6
Pengukuran
Sumber Data
Variabel Dummy 1 = Jika sesuai 0 = lainnya Rupiah
Website Bank Indonesia
Persen
Website Bank Indonesia
Rupiah
Website The Federal Reserve St. Louis
Rupiah
Website World Gold Council
Website Badan Pusat Statistik
D.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Estimasi Regresi Penelitian ini menggunakan jumlah observasi 10 buah yang dimulai dari awal pembentukannya Inflation Targeting yaitu tahun 2005 sampai tahun 2014. Hal ini dikarenakan variable seperti Jumlah uang beredar, harga emas dunia dan harga minyak dunia tidak sampai pada tahun 2015. Berdasarkan penelitian terdahulu serta teori yang melandasi, diperoleh karakteristik variable independen berdasarkan jumlah uang beredar dan BI Rate sebagai variable moneter. Dan juga variable non moneter yaitu Harga Minyak Dunia dan Harga Emas Internasional.
Tabel 3. Uji Estimasi Menggunakan Regresi Logit Variabel JUB
Koefisien -3.48E-08
Odds Ratio -7
BI Rate -0.001198 0 Harga -7 Minyak Dunia 2.57E-08 Harga Emas -7 Dunia 7.97E-08 Sumber : Berbagai Sumber, Data Diolah, 2016
Std Error 9.28E-07
z -0.037541
Prob 0.9701
0.001965
-0.609923
0.5419
4.12E-08
0.622717
0.5335
2.21E-07
0.360946
0.7181
Dari hasil estimasi pada table diatas, memperlihatkan variable jumlah uang beredar, BI Rate, Harga Minyak Dunia, Harga Emas Dunia tidak signifikan dengan hasil probabibitas diatas derajat kepercayaan sebesar 5%.
Pengujian Hipotesis Untuk mengetahui dugaan bahwa variable yang dimiliki gap antara inflasi target dan inflasi aktual yaitu Jumlah uang beredar, BI Rate, Harga Minyak dunia dan Harga Emas berpengaruh terhadap adanya kesesuaian gap antara inflasi target dan inflasi aktual ditolak atau diterima maka dalam penelitian ini digunakan analisa kuantitatif dan alat uji statistic Logit Model. Hasil Analisa dengan Logit model, didapat model sebagai berikut: A. McFadden R square Hasil output pengolahan data nilai MCFadden R Square menghasilkan nilai yang berbeda tiap variable karena hanya bisa diuji apabila sendiri-sendiri. Hal ini dikarenakan kurangnya data untuk melengkapi. Dengan nilai McFadden R Square JUB 0,000141 yang berarti variabilitas variable dependen yang dapat dijelaskan oleh variable independen khususnya JUB adalah sebesar 0,0141%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variable lainnya diluar penelitian. Sedangkan variable independen BI Rate nilai R 2 sebesar 0,041820 yang berarti variabilitas variable dependen yang dapat dijelaskan oleh variable independen BI Rate sebesar 0,41%. Untuk variable Harga minyak dunia nilai R 2 sebesar 0,176989 yang berarti variabilitas variable independen Harga minyak dunia sebesar 1,76%. Selain itu, pada harga emas memiliki nilai R2 sebesar 0,01351 yang berarti variabiltas variable independen sebesar 0,13% B. Likelihood Ratio Test Hasil output pengolahan data nilai Likelihood Ratio Test pada variable Jumlah Uang Beredar menghasilkan nilai sebesar 0,970013 [0.0000] yang berarti chi-square yang tinggi dan signifikan sebesar 0,970013. artinya model dengan hanya intercept berbeda secara statistic dibandingkan dengan model yang memasukan semua variabel predictor. Sedangkan pada BI Rate menghasilkan nilai
7
0,517670 [0.0000] yang berarti chi-square yang tinggi dan signifikan sebesar 0517670. artinya model dengan hanya intercept berbeda secara statistic dibandingkan dengan model yang memasukan semua variabel predictor.Lalu pada variable harga minyak dunia sebesar 0,183129 [0.0000] yang berarti chisquare yang tinggi dan signifikan sebesar 0183129. artinya model dengan hanya intercept berbeda secara statistic dibandingkan dengan model yang memasukan semua variabel predictor.Dan yang terakhir pada variable harga emas sebesar 0,717926 [0.0000] yang berarti chi-square yang tinggi dan signifikan sebesar 0,717926. artinya model dengan hanya intercept berbeda secara statistic dibandingkan dengan model yang memasukan semua variabel predictor.
Hasil Analisis Perbedaan Inflasi dilihat dari Kelompok Pengeluaran dan Jenisnya Hasil regresi yang dilakukan tidak menjelaskan secara pasti karena tidak satupun variable yang signifikan ,meskipun masing-masing variable diregresi secara parsial. Hal ini memperlihatkan bahwa variable atau factor – factor yang tidak mampu menyelesaikan fenomena di Indonesia. Hal ini disebabkan model yang digunakan baru memasukkan variable moneter dan variable non moneter luar negri. Oleh karena itu peneliti akan melakukan pembahasan dengan menggunakan pemikiran inflasi structural. Dari teori structural dikatakan bahwa inflasi aktual sangat dipengaruhi factor struktur seperti bahan pangan. Disamping itu, adanya kebijakan pemerintah yang tidak dapat teratasi seperti kenaikan harga bahan bakar minyak dan kenaikan harga dasar tarif listrik. Dimana factor eksternal seperti inilah yang mempengaruhi inflasi aktual. Jadi terdapat peluang bahwa adanya unsur non moneter dalam inflasi di Indonesia. Kalau ini terus berkelanjutan maka Bank Indonesia akan kesulitan untuk menyamakan inflasi aktual dengan inflasi target. Karena dalam membuat target Bank Indonesia lebih banyak memperhatikan factor moneter. Oleh karena itu, selain dijelaskan dengan teori structural. Hal ini juga ditambahkan penelitian deskriptif menggunakan data-data inflasi yang ada untuk memperkuat terjadinya gap antara inflasi target dan inflasi aktual. Dengan melihat dari perbandingan antara table inflasi menurut tujuh kelompok barang atau pengeluaran dibawah ini:
Tabel 4. Inflasi Menurut Kelompok Pengeluaran
Tah un
Bahan Maka nan (**)
Makan an Jadi, Minum an, Rokok, dan Temba kau (**)
2005
13,91
13,71
13,94
6,92
6,13
6,24
44,75
17,1 1
12,94 11,26
6,36 6,41
4,83 4,88
6,84 8,42
5,87 4,31
8,13 8,83
1,02 1,25
6,60 6,59
16,35
12,53
10,92
7,33
7,96
6,66
7,49
3,88
7,81
1,83
6,00
3,89
3,89
-3,67
11,0 6 2,78
15,64
6,96
4,08
6,51
2,19
3,29
2,69
6,96
3,64
4,51
3,47
7,57
4,26
5,16
1,92
3,79
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Peruma han, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar (**)
Sanda ng
Keteran gan
Keseha tan
Pendidi kan, Rekreas i dan Olahrag a
Transpo r, Komuni kasi, dan Jasa Keuanga n
Umu m
8
Tidak Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai
2012
5,68
6,11
3,35
4,67
2,91
4,21
2,20
4,30
2013
11,35
7,45
6,22
0,52
3,70
3,91
15,36
8,38
2014
10,57
8,11
7,36
3,08
5,71
4,44
12,14
8,36
2015
1,68
5,89
2,93
3,33
5,06
3,91
-1,97
2,37
Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai
** : menunjukkan tingkat kelompok yang paling mempengaruhi Inflasi Aktual Sumber : Badan Pusat Statistik, Data Diolah, 2016 Pada table tersebut menjelaskan bahwa dari ketujuh kelompok pengeluaran yang terlihat angka nominalnya yang berpengaruh yaitu empat kelompo bertanda merah. Sehingga dari 11 tahun ITF berdiri di Indonesia hanya dua tahun saja yang sesuai dengan target yaitu tahun 2007 dan 2012. Hal ini dikarenakan pada tahun 2007 nilai yang besar hanya satu kelompok sedangkan pada enam kelompok lainnya berimbangan maka dapat sesuai. Berbeda halnya dengan tahun 2012 yang memperlihatkan dari ketujuh kelompok barang semua nilainya stabil. Selain itu untuk melihat hubungan keeratan atau korelasi antara ketujuh kelompok dibandingkan dengan perbedaan inflasi aktual dan inflasi target. Seperti pada table dibawah ini:
Table 5. Korelasi antara Inflasi Aktual menurut kelompok pengeluaran Variabel Korelasi Pearson Bahan Makanan(Kelompok 1) 0,754 Makanan jadi,minuman(Kelompok 2) 0,881 Perum,air,listrik,energy(Kelompok 3) 0,978 Sandang (Kelompok 4) 0.139 Kesehatan (Kelompok 5) 0.600 Pendidikan,rekreasi,olahraga (Kel 6) 0.255 Transport, Komunikasi (Kelompok 7) 0.896 Sumber : Badan Pusat Statistik, Data Diolah,2016
Probabilitas 0,004 0,000 0,000 0.342 0.033 0.239 0.000
Dalam table diatas menunjukkan terdapat lima kelompok yang memiliki hubungan korelasi terhadap inflasi aktual yaitu kelompok 1, kelompok 2, kelompok 3, kelompok 5 dan yang terakhir kelompok 7. Namun hanya pada kelompok 5 korelasi pada derajat kepercayaan 5%, yang lainnya korelasi dengan derajat kepercayaan 1%. Hanya kelompok 4 dan kelompok 6 yang tidak memiliki korelasi. Namun dari ketujuh kelompok pengeluaran yang sangat memiliki korelasi moderat yaitu kelompok 1, kelompok 2 dan 3. Hal ini tidak semata-mata dilihat dari table saja, namun dari diperkuat dengan teori strukturalis yang mengatakan inflasi disebabkan oleh struktur. Sehingga ketiga kelompok tersebut dikatakan sangat kuat erat hubungan dengan struktur. Maka dapat diinterpetasikan pada keempat kelompok dominan, yaitu kelompok pertama yaitu Besarnya Korelasi antara inflasi aktual dan kelompok bahan makanan adalah 0,754 (hubungan korelasi Moderat) dan signifikan pada alfa 1% oleh karena nilai p-value sebesar 0,0004 < 0,01. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif moderat antara nilai inflasi aktual dengan bahan makanan yang diperoleh tiap tahunnya. Pada kelompok kedua yaitu Besarnya Korelasi antara inflasi aktual dan kelompok Makanan jadi,minuman,rokok dan tembakau adalah 0,881 (hubungan korelasi Moderat) dan signifikan pada alfa 1% oleh karena nilai p-value sebesar 0,0000 < 0,01. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif moderat antara nilai inflasi aktual dengan Makanan jadi,minuman,rokok dan tembakau yang diperoleh tiap tahunnya. Pada kelompok ketiga yaitu Besarnya Korelasi antara inflasi aktual dan Kelompok Perumahan,air,listrik,gas dan bahan bakar adalah 0,978 (hubungan korelasi Moderat) dan signifikan pada alfa 1% oleh karena nilai p-value sebesar 0,000 < 0,01. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif moderat antara nilai inflasi aktual dengan Perumahan,air,listrik,gas dan bahan bakar yang diperoleh tiap tahunnya.
9
Dan yang terakhir pada kelompok empat yaitu transport, komunikasi dimana besrnya korelasinya adalah 0,896 (hubungan korelasi moderat) dan signifikan pada alfa 1% Karen p value sebesar 0,000<0,01. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif moderat antara nilai inflasi aktual dengan Perumahan,air,listrik,gas dan bahan bakar yang diperoleh tiap tahunnya. Selain dilihat dari tujuh kelompok pegeluaran. Dapat dilihat pula dari jenis-jenis inflasi. Seperti pada table dibawah ini yang menggambarkan tingkat jenis inflasi tersebut mulai tahun 2009-2015:
Tabel 6. Jenis-jenis Inflasi Keterangan Tahun
Umum
Inti
Harga Yang Diatur Pemerintah
2009
2,78
4,28
-3,26
3,95
Tidak Sesuai
2010
6,96
4,28
5,40
17,74
Tidak Sesuai
2011
4,34 4,40
2,78 2,66
3,37 5,68
Tidak Sesuai
2012
3,79 4,30
2013
8,38
4,98
16,65
11,83
Tidak Sesuai
2014
8,36
4,93
17,57
10,88
Tidak Sesuai
Barang Bergejolak
Sesuai
Tidak Sesuai 2015 2,37 3,72 -0,46 1,27 Sumber : Badan Pusat Statistik, Data Diolah,2016. Dari kesamaan dengan table diatas yaitu bahwa mulai tahun 2009 sampai tahun 2015 hal yang sering menyebabkan gap antara inflasi karena adanya kenaikan atau pengurangan harga yang diatur dan barang yang bergejolak. Dimana kedua hal ini merupakan variable non moneter yang tidak mampu dijangkau oleh BI dalam mengatasinya. Selain itu terdapat penghitungan korelasi yang mampu menggambarkan apakah terdapat hubungan antara inflasi aktual dengan inflasi harga yang diatur dan barang bergejolak:
Tabel 7. Korelasi inflasi aktual menurut jenisnya Variabel Korelasi Pearson Administrace Price 0,939 Volatile Price 0,839 Inti 0,802 Sumber : Badan Pusat Statistik, Data Diolah, 2016
Probabilitas 0,003 0,009 0,027
Dari table diatas menunjukkan adanya hubungan korelasi antara inflasi inti, inflasi administrace price dan Inflasi volatile price. Namun dari ketiga inflasi tersebut yang paling dominan mempengaruhi yaitu administrace price dan volatile price. Hal ini sesuai dengan pandangan teori structural yang mengatakan bahwa inflasi di negara berkembang lebih Sehingga dapat diinterpretasikan pada administrasi price bahwa Besarnya Korelasi antara inflasi aktual dan Harga yang diatur adalah 0,939 (hubungan korelasi Moderat) dan signifikan pada alfa 1% oleh karena nilai p-value sebesar 0,003 < 0,01. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif moderat antara nilai inflasi aktual dengan bahan makanan yang diperoleh tiap tahunnya. Selain itu pada volatile price menunjukkan Besarnya Korelasi antara inflasi aktual dan barang yang bergejolak adalah 0,839 (hubungan korelasi Moderat) dan signifikan pada alfa 1% oleh karena nilai pvalue sebesar 0,009 < 0,01. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif moderat antara nilai inflasi aktual dengan barang yang bergejolak yang diperoleh tiap tahunnya. Dapat disimpulkan antara ketiga kelompok dominan dan kelompok besar inflasi yaitu administrasi dan volatile memiliki korelasi yang kuat, dan bersifat positif moderat.Sehingga penyebab antara inflasi
10
aktual dan inflasi target berbeda karena adanya fenomena diluar moneter, yang tidak dapat terjamah oleh Bank Indonesia walaupun telah dibentuk Tim Pengendali Inflasi.
Usaha Bank Indonesia dalam Mengatasi Inflasi Sektor Non Moneter Melalui amanat yang tercakup di Undang-undang tentang Bank Indonesia, tujuan Bank Indonesia focus pada pencapaian sasaran tunggal atau single objective-nya, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.Aspek pertama tercemin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercemin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, sumber tekanan inflasi Indonesia tidak hanya berasal dari sisi permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia. Dari hasil penelitian, karakteristik inflasi di Indonesia masih cenderung bergejolak yang terutama dipengaruhi oleh sisi suplai (sisi penawaran) berkenaan dengan gangguan produksi, distribusi maupun kebijakan pemerintah. Selain itu, shocks terhadap inflasi juga dapat berasal dari kebijakan pemerintah terkait harga komoditas strategis seperti BBM dan komoditas energi lainnya (administered prices). Berdasarkan karakteristik inflasi yang masih rentan terhadap shocks tersebut, untuk mencapai inflasi yang rendah, pengendalian inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi lintas instansi, yakni antara Bank Indonesia dengan Pemerintah. Diharapkan dengan adanya harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan tersebut, inflasi yang rendah dan stabil dapat tercapai yang pada gilirannya mendukung kesejahteraan masyarakat. Menyadari pentingnya peran koordinasi dalam rangka pencapaian inflasi yang rendah dan stabil, Pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di level pusat sejak tahun 2005. Penguatan koordinasi kemudian dilanjutkan dengan membentuk Tim Pengendalian Inflasi di level daerah (TPID) pada tahun 2008. Selanjutnya, untuk menjembatani tugas dan peran TPI di level pusat dan TPID di daerah, maka pada Juli 2011 terbentuk Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) TPID yang diharapkan dapat menjadi katalisator yang dapat memperkuat efektivitas peran TPID. Keanggotaan Pokjanas TPID adalah Bank Indonesia, Kemenko Perekonomian dan Kemendagri. Namun akan tetapi, adanya peran TPI baik di pusat maupun sampai di daerah dinilai kurang efektif. Karena masih adanya gap antara inflasi target dan inflasi aktual. Walaupun TPID menjaga pada, tingkat inflasi non moneter seperti Inflasi administrasi dan inflasi volatile, namun masih belum banyak berkurang. Sehingga inflasi aktual yang terjadi seringkali menjadi berbeda dengan inflasi target. Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama terus menerus antara Bank Indonesia, Pemerintah pusat/daerah dan lembaga bidang lain yang terkait, agar dapat menjadikan iklim perekonomian yang baik dan berkesinambungan.
E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “ Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Perbedaan Inflasi Target dan Inflasi Aktual” maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Model yang diajukan dengan variable Jumlah uang beredar,BI Rate sebagai sektor moneter dan Harga minyak dunia, harga emas sebagai sektor nonmoneter.Tidak mampu menjelaskan terjadinya fenomena gap inflasi target dan inflasi aktual karena terdapat penyebab yaitu: a.Observasi yang kekurangan data pendukung b.Variabel masih kurang relevan dengan keadaan fenomena di Indonesia Atas alasan ini, peneliti mencoba melihat dari sumber-sumber inflasi dari kelompok pengeluaran dan macam inflasi seperti inti, volatile dan administrace. Sehingga dari alasan deskriptif menjelaskan bahwa perbedaan inflasi antara inflasi target dan inflasi aktual disebabkan oleh 3 kelompok pengeluaran yaitu kelompok Bahan makanan , kemudian kelompok makanan jadi, minuman
11
rokok, dan tembakau.Selanjutnya yang terakhir yaitu kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar. Dari ketiga kelompok tersebut bisa dikelompokkan besar menjadi inflasi volatile dan inflasi administrasi yang banyak mempengaruhi inflasi aktual. Selain itu, adanya pengaruh dari Internasional seperti harga minyak dunia dan kebijakan The Fed yang mampu mempengaruhi tingkat inflasi.Sehingga perlu adanya koordinasi yang kuat antara Bank Indonesia dan Pemerintah seperti yang sudah dilakukan. Agar kinerja yang dilakukan dapat efektif dengan baik. 2. Dengan menambahkan korelasi atau melihat hubungan antara ketujuh kelompok pengeluaran sehingga hasilnya keempat kelompok pengeluaran yaitu bahan makanan, makanan jadi, energy, transportasi yang dominan dengan perbedaan inflasi target dan aktual dari tujuh kelompok barang atau pengeluaran. Selain itu, menyatakan bahwa ketiga kelompok inflasi menurut jenisnya yaitu administrace, volatile dan core tersebut memiliki korelasi yang besar dan bersifat positif moderat. Namun yang yang paling mendasari yaitu inflsi volatile dan administrace price yang merupakan sektor non moneter.
Saran Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini dapat dikemukakan beberapa saran, yaitu: 1. Penelitian ini masih banyak mengandung keterbatasan, terutama berkaitan dengan variable-variabel bebasnya seperti Jumlah uang beredar, BI Rate di sektor moneter dan Harga minyak dunia, harga emas di sektor nonmonter. Dan juga berkaitan dengan data yang disajikan, karena antara gap inflasi target dan inflasi aktual hanya sampai tahun 2015 namun hanya dua tahun saja yang mampu sesuai sehingga hal ini menyulitkan peneliti. Selain itu, dari variable bebas seperti JUB dan Harga Emas hanya dikeluarkan sampai tahun 2014 saja. Sehingga data untuk menyempurnakan penelitian ini, sangat sulit untuk dicari. 2. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik, The FED St.Louis, dan World Gold Council. Adapun keterbatasan dari penggunaan data sekunder yaitu tidak semuanya di hitung oleh BPS seperti pada data inflasi umum,inflasi inti, harga yang diatur pemerintah dan harga yang bergejolak hanya sampai tahun 2009 sampai tahun 2015 saja. Sedangkan untuk variable JUB hanya sampai bulan November tahun 2015 saja. Selain itu untuk harga sektor nonmoneter dalam negri seperti harga BBM, harga tarif Listrik dan Harga Beras tidak ditemukan datanya. Sehingga penulis tidak memasukkan dalam pembuatan kerangka model penelitian. 3.Selain itu mengapa target inflasi dapat berbeda dengan inflasi aktual karena terdapat factor-faktor yang terkadang tidak dapat dijangkau oleh Bank Indonesia selaku pemangku kepentingan moneter, seperti factor inflasi nonmoneter. Sehingga diharapkan kedepannya Bank Indonesia dapat memperkuat lebih lagi sektor nonmoneter.Kemudian bekerjasama dengan institusi-institusi terkait seperti departemen pertanian, Departemen Sumber daya energy dan mineral, departemen perhubungan dan lain sebagainya. Sehingga dengan kurang adanya kerjasama antara Bank Indonesia dengan lembaga– lembaga diluar Bank Indonesia maka menjadikan sebab-penyebab terjadinya inflasi aktual yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA Ascari , Guido. 2014. Discussion of “Do Inflation Targeting Central Bank Implicitly Target the Price Level?. Juni. International Journal of Central Banking. Vol. 10 No. 2 . Page 327-334. Badan Pusat Statistik. 2006. Berita Resmi Statistik. No.01/IX/2, 2 Januari. http ://bps.go.id. Diakses Desember 2015. Badan Pusat Statistik. 2007. Berita Resmi Statistik. No.01/01/Th.X., 2 Januari. http ://bps.go.id. Diakses Desember 2015. Badan Pusat Statistik. 2008. Berita Resmi Statistik No.01/01/Th.XI, 2 Januari. http ://bps.go.id. Diakses Desember 2015.
12
Badan Pusat Statistik. 2009. Berita Resmi Statistik No.01/01/Th.XII. 5 Januari . http ://bps.go.id. Diakses Desember 2015. Badan Pusat Statistik. 2010. Berita Resmi Statistik. No.01/01/Th.XIII. 4 Januari. http ://bps.go.id. Diakses Desember 2015. Badan Pusat Statistik. 2011. Berita Resmi Statistik. No.01/01/Th.XIV. 4 Januari. http ://bps.go.id. Diakses Desember 2015. Badan Pusat Statistik. 2012. Berita Resmi Statistik. No. 01 / 01 / Th. XV. 2 Januari .http ://bps.go.id. Diakses Desember 2015. Badan Pusat Statistik. 2013. Berita Resmi Statistik. No. 01 / 01 / Th. XVI. 2 Januari. http ://bps.go.id. Diakses Desember 2015. Badan Pusat Statistik.2014. Berita Resmi Statistik. No. 01 / 01 / Th. XVII. 2 Januari. http ://bps.go.id. Diakses Desember 2015. Badan Pusat Statistik. 2015. Berita Resmi Statistik No. 10 / 02 / Th. XVII. 3 Februari http ://bps.go.id. Diakses Desember 2015. Badan Pusat Statistik. 2016. Berita Resmi Statistik. No. 01 / 01 / Th. XIX. 4 Januari http ://bps.go.id. Diakses Januari 2016. Bank Indonesia. Hasil Rapat Dewan Gubenur . No. 7 / 104 / PSHM / Humas. http ://bi.go.id. Diakses Desember 2015. Bank Indonesia. Hasil Rapat Dewan Gubenur .No. 7 / 104 / PSHM / Humas. http //bi.go,id. Diakses Desember 2015. Bernanke. B , Mishkin .F. S. 1997. Inflation Targeting A New Framework for Monetary Policy. Working Paper. NBER No 5893. Bernanke, Ben S.; Laubach, Thomas ;Mishkin, Frederic S. and Posen, Adam S. 2001. The Rationale for Inflation Targeting. Working Paper. Princeton University Press. Boediono. 1998. Ekonomi Makro. Yogyakarta : Universitas Gajahmada Press. Blose ,E Laurence. 2005. How Changes in Expected Inflation Affect Gold Prices. Working Paper.September. www. Researchgate .net/publication /242310099. Daboussi ,Olfa Manai. 2014. Economic Perfomance and Inflation Targeting in Developing Economies. Journal of World Economic Research.Vol. 3, No.1,pp1-7. Dotsey, Michael . 2006. A Review of Inflation Targeting in Developed Countries. Businness Review. Philadelphia. Galbraith, J.D. 1997. The Inflation Obsession : Flying in the face of the facts. http://www.foreignaffairs.com. Diakses Desember 2015 Ismail, M. 2006. Inflation Targeting dan Tantangan Implementasi di Indonesia. April. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Vol 21. No.2 . pp105-121. Kolhar , Shrikant, Vivek. Moorthy. 2007. Rising food inflation and India’s monetary policy, India: Indian Institute of Management Bangalore. Kurihara , Yutaka. 2013. Does Adoption of Inflation Targeting Reduce Exchange Rate Volatility and Enhance Economic Growth. December .Journal of World Economic Research. 2(6): 104-109. Liputan6. 2014. Ekonomi RI Dihantui Harga Minyak dan Stok Pangan. http://www.bisnis.liputan 6.com. Diakses Desember 2015. Mandal, Rachel. J; William T, Gavin. 2002. Predicting Inflation: Food for thought, Regional Januari .Economist. pg. 4. Martines, Guillermo Ortiz . 2008. Inflation Targeting. November. Bank of Canada. Mishkin, F. S. 1999. Inflation Targeting in Emerging Market Countries. National Bureau of Economic Research. Working Paper 7618.
13
Mishkin, F. S . 2004. Can Inflation Targeting Work in Emerging Market Countries?. Working Paper. NBER No 1046. Mishkin, F. S , Klaus Schmidt-Hebbel. 2007. Does Inflation Targeting Make a Difference?. January .Working Paper. NBER No. 12876. Mishkin ,F. S , Niklas J. Westelius. 2006. Inflation Band Targeting and Optimal Inflation Contracts. July .Working Paper. NBER No. 12384. Mishkin , Frederic .S . 2011. Monetary Policy Strategy: Lessons From The Crisis. February. Working Paper. NBER No: 16755. Mishkin , Frederic . S. 1984.The Causes Of Inflation. September .Working Paper. NBER No: 1453. Mishkin , Frederic . S. 1983. A Rational Expectations Approach to Macroeconomics: Testing Policy Ineffectiveness and Efficient- Markets Models. Working Paper. NBER No. 10243. Mohamadi , Elham . 2010. A survey On The Requirements of Applying The Framework of Inflation Targeting in Iran’s Economy. October . Iran : Palame Noor University (PNU). Nopirin. 1988. Ekonomi Moneter. Yogyakarta : BPFE. Pohan, Aulia. 2010. Potret Kebijakan Moneter Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers Divisi Perguruan Tinggi. PT. Raja Grafindo Perkasa Ricka. 2009. Kasus Century berdampak pada ekonomi 2010. http://www.antaranews.com/berita/166656/kasus-century-berdampak- pada pertumbuhan-ekonomi-2010. Diakses Desember 2015. Sukirno, Sadono. 2004. Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta : Rajawali Press. Susanti, Hera, Ihksan.M dan Widyanti. 2000. Indikator-indikator makroekonomi. Ed 2. Jakarta : Lembaga Penerbit FEUI Sholeh, Maimun. 2006. Kebijakan Moneter dan Inflation Targeting : Suatu Tinjauan Teori. http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Drs.%20Maimun%20Sholeh. Diakses Desember 2015. Solimun; Eni Sumarningsih,; Lia Kurniasari. 2008. Permodelan Regresi Logistik dan Regresi Probit pada Peubah Respon Multinomial. Malang. Tkacz ,Greg. 2007. Gold Prices and Inflation. Working Paper. Bank of Canada No: 35. Vibi News. 2013. Berita Terpenting Tahun 2013. http://vibiznews.com/2013/12/21/beritaterpenting-tahun2013/. Diakses Desember 2015. Waluyo J, Bathaluddin B.M, Harmanta. 2011. Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on Arimbi ( Aggregate Rational Inflation – Targeting Model for Bank Indonesia) ,Lesson From Indonesia Experience. Januari . Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. http://www.bi.go.id/id/publikasi/jurnal-ekonomi/. Diakses Desember 2015. Warjiyo, Perry, dan Solikin. 2003. Kebijakan Moneter di Indonesia. Jakarta : PPSK BI. Warjiyo, Perry. Ed. 2004. Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia : Sebuah Pengantar. Jakarta : Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan. Widhiarso , Wahyu. 2012. Berkenalan dengan Regresi Probit. Yogyakarta.: Fakultas Psikologi University Gadjah Mada.
14
15